1000 Hari Pertama Kehidupan Ubai [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1000 Hari Pertama Kehidupan



Oleh: Ubaidillah Hafidz 100100107



PEMBIMBING: Sri Lestari, SP, M.Kes



DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN/ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015



BAB 1 PENDAHULUAN



Ibu hamil, ibu menyusui, bayi baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun (baduta) merupakan kelompok sasaran untuk meningkatkan kualitas kehidupan 1000 hari pertama manusia. Seribu hari pertama kehidupan adalah periode seribu hari mulai sejak terjadinya konsepsi hingga anak berumur 2 tahun. Seribu hari terdiri dari, 270 hari selama kehamilan dan 730 hari kehidupan pertama sejak bayi dilahirkan. Periode ini disebut periode emas (golden periode) atau disebut juga sebagai waktu yang kritis, yang jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan terjadi kerusakan yang bersifat permanen (window of opportunity).1,2 Untuk itu diperlukan dua kelompok intervensi, yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Yang dimaksud dengan intervensi gizi sensitif adalah adalah berbagai kegiatan yang cukup cost effective untuk mengatasi masalah gizi khususnya masalah gizi stunting (anak pendek jika dibandingkan dengan standar normal). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi stuntin rata-rata nasional sebesar 37,2 persen.3 Sedangkan yang dimaksud dengan intervensi spesifik adalah berbagai kegiatan program pembangunan yang memberi pengaruh terhadap status gizi masyarakat terutama kelompok 1000 hari pertama, misalnya penanggulangan kemiskinan, pendidikan,gender, air bersih, sanitasi dan kesehatan lingkungan. Kegiatan sensitif ini merupakan kegiatan yang bersifat multi dan lintas sektor.Intervensi gizi spesifik telah banyak dilaksanakan pada perbaikan gizi masyarakat di Indonesia dan umumnya ditangani oleh kementerian kesehatan. Hampir semua intervensi gizi spesifik telah dilaksanakan, namun cakupan dan kualitas kegiatan dari intervensi gizi spesifik itu masih rendah. Kegiatan gizi sensitif yang bersifat lintas sektoral, Indonesia telah mempunyai pengalaman yang cukup panjang dan menunjukkan hasil yang baik. Misalnya pada saat pelaksanaan



1



program Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) pada tahun 1970-1980an. Pada Program UPGK tersebut paling tidak melibatkan sektor kesehatan, pertanian, BKKBN, dalam negeri dan organisasi kemasayarakatan (PKK). Namun sejak terjadinya krisis multi dimensi pada tahun 1997-1998, kegiatan gizi sensitif ini mengalami kemunduran. Contoh lain dari intervensi gizi sensitif adalah kegiatan yodisasi garam, yang melibatkan beberapa sektor penting yaitu kesehatan, perindustrian, Badan POM, perdagangan dan dalam negeri. Contoh lainnya adalah bantuan langsung bersyarat (conditional cash transfer) yang di Indonesia nama programnya dikenal dengan nama Program Keluarga Harapan (PKH) yang tujuannya untuk memperbaiki keadaan kesehatan dan gizi ibu hamil dan anak balita yang melibatkan sector sosial, pendidikan, kesehatan, dan dalam negeri.1,2 Dalam perbaikan gizi masyarakat, kontribusi intervensi gizi sensitif lebih besar yaitu sekitar 70 persen dibanding dengan intervensi spesifik yang hanya 30 persen. Oleh karena itu kedua intervensi gizi tersebut harus dilaksanakan secara bersamaan dan komprehensif. Gerakan perbaikan gizi dengan fokus terhadap kelompok 1000 hari pertama kehidupan pada tataran global disebut Scalling Up Nutrition (SUN) dan di Indonesia disebut dengan Gerakan Nasional Sadar Gizi dalam Rangka Percepatan Perbaikan Gizi Pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan dan disingkat Gerakan 1000 HPK). Tujuan Global SUN Movement adalah menurunkan masalah gizi, dengan fokus pada 1000 hari pertama kehidupan (270 hari selama kehamilan dan 730 hari dari kelahiran sampai usia 2 tahun) yaitu pada ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-23 bulan. Indikator Global SUN Movement adalah penurunan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), anak balita pendek (stunting), kurus (wasting), gizi kurang (underweight), dan gizi lebih (overweight).1,2,4,5



2



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Pentingnya 1000 Hari Pertama Kehidupan Status gizi dan kesehatan ibu dan anak sebagai penentu kualitas sumber daya manusia, semakin jelas dengan adanya bukti bahwa status gizi dan kesehatan ibu pada masa pra-hamil, saat kehamilannya dan saat menyusui merupakan periode yang sangat kritis. Periode seribu hari, yaitu 270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya, merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampak tersebut tidak hanya pada pertumbuhan fisik, tetapi juga pada perkembangan mental dan kecerdasannya, yang pada usia dewasa terlihat dari ukuran fisik yang tidak optimal serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.1,2 Banyak yang berpendapat bahwa ukuran fisik, termasuk tubuh pendek, gemuk dan beberapa penyakit tertentu khususnya PTM disebabkan terutama oleh faktor genetik. Dengan demikian ada anggapan tidak banyak yang dapat dilakukan untuk memperbaiki atau mengubahnya. Namun berbagai bukti ilmiah dari banyak penelitian dari lembaga riset gizi dan kesehatan terbaik di dunia telah mengubah paradigma tersebut. Ternyata tubuh pendek, gemuk, PTM dan beberapa indikator kualitas hidup lainnya, faktor penyebab terpenting adalah lingkungan hidup sejak konsepsi sampai anak usia 2 tahun yang dapat dirubah dan diperbaiki.6,7 Didalam kandungan, janin akan tumbuh dan berkembang melalui pertambahan berat dan panjang badan, perkembangan otak serta organ-organ lainnya seperti jantung, hati, dan ginjal. Janin mempunyai plastisitas yang tinggi, artinya janin akan dengan mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungannya baik yang menguntungkan maupun yang merugikan pada saat itu. Sekali perubahan tersebut terjadi, maka tidak dapat kembali ke keadaan semula. Perubahan tersebut merupakan interaksi antara gen yang sudah dibawa sejak awal kehidupan, dengan lingkungan barunya. Pada saat dilahirkan, sebagian besar perubahan tersebut



3



menetap atau selesai, kecuali beberapa fungsi, yaitu perkembangan otak dan imunitas, yang berlanjut sampai beberapa tahun pertama kehidupan bayi. Kekurangan gizi yang terjadi dalam kandungan dan awal kehidupan menyebabkan janin melakukan reaksi penyesuaian. Secara paralel penyesuaian tersebut meliputi perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan pengembangan sel-sel tubuh termasuk sel otak dan organ tubuh lainnya. Hasil reaksi penyesuaian akibat kekurangan gizi di ekspresikan pada usia dewasa dalam bentuk tubuh yang pendek, rendahnya kemampuan kognitif atau kecerdasan sebagai akibat tidak optimalnya pertumbuhan dan perkembangan otak. Reaksi penyesuaian akibat kekurangan gizi juga meningkatkan risiko terjadinya berbagai penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi, penyakit jantung koroner dan diabetes dengan berbagai risiko ikutannya pada usia dewasa.1,2 Berbagai dampak dari kekurangan gizi yang diuraikan diatas, berdampak dalam bentuk kurang optimalnya kualitas manusia, baik diukur dari kemampuan mencapai tingkat pendidikan yang tinggi, rendahnya daya saing, rentannya terhadap PTM, yang semuanya bermuara pada menurunnya tingkat pendapatan dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Dengan kata lain kekurangan gizi dapat memiskinkan masyarakat. Suatu yang menggembirakan bahwa berbagai masalah tersebut diatas bukan disebabkan terutama oleh faktor genetik yang tidak dapat diperbaiki seperti diduga oleh sebagian masyarakat , melainkan oleh karena faktor lingkungan hidup yang dapat diperbaiki dengan fokus pada masa 1000 HPK. Investasi gizi untuk kelompok ini harus dipandang sebagai bagian investasi untuk



menanggulangi



kemiskinan



melalui



peningkatan



pendidikan



dan



kesehatan.1,2



Masalah kekurangan gizi 1000 HPK diawali dengan perlambatan atau retardasi pertumbuhan janin yang dikenal sebagai IUGR (Intra Uterine Growth Retardation). Di negara berkembang kurang gizi pada pra-hamil dan ibu hamil berdampak pada lahirnya anak yang IUGR dan BBLR Kondisi IUGR hampir separonya terkait dengan status gizi ibu, yaitu berat badan (BB) ibu pra-hamil yang tidak sesuai dengan tinggi badan ibu atau bertubuh pendek , dan



4



pertambahan berat badan selama kehamilannya (PBBH) kurang dari seharusnya. Ibu yang pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh pendek pada saat meninjak dewasa. Apabila hamil ibu pendek akan cenderung melahirkan bayi yang BBLR.2,3 Apabila tidak ada perbaikan terjadinya IUGR dan BBLR akan terus berlangsung di generasi selanjutnya, sehingga terjadi masalah anak pendek intergenerasi. Siklus tersebut akan terus terjadi apabila tidak ada perbaikan gizi dan pelayanan kesehatan yang memadai pada masa-masa tersebut. Kelompok ini tidak lain adalah kelompok 1000 HPK yang menjadi fokus perhatian dokumen ini. Mengapa penting kelompok 1000 HPK diperhatikan. Jawabnya adalah karena akan mengurangi jumlah anak pendek di generasi yang akan datang dan seterusnya. Dengan itu, akan ditingkatkan kualitas manusia dari aspek kesehatan, pendidikan dan produktivitasnya yang akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.8 Para ahli ekonomi dunia perbaikan gizi pada 1000 HPK adalah suatu investasi pembangunan yang "cost effective".9



2.2 Masalah di Tingkat Global dan di Indonesia Saat ini, BBLR masih tetap menjadi masalah dunia khususnya di negaranegara berkembang. Lebih dari 20 juta bayi di dunia (15,5% dari seluruh kelahiran) mengalami BBLR dan 95 persen diantaranya terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia, pada tahun 2013, prevalensi BBLR sebesar 10,2 persen. Besar kemungkinan, kejadian BBLR diawali berasal dari ibu yang hamil dengan kondisi kurang energi kronis (KEK), dan risikonya lebih tinggi pada ibu hamil usia 15-19 tahun. Dimana proporsi ibu hamil KEK usia 15-19 tahun masih sebesar 31 persen. Dipahami pula bahwa, ibu yang masih muda atau menikah di usia remaja 15-19 tahun cenderung melahirkan anak berpotensi pendek dibanding ibu yang menikah pada usia 20 tahun keatas. Dari 23 juta balita di Indonesia, 19,2 % tergolong pendek. Kejadian anak pendek pada usia balita, terkait dengan masalah berat badan pada saat lahir