2 Bab 2 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Kepatuhan Minum obat 1. Definisi Kepatuhan Minum obat Compliance dan adherence merupakan dua istilah yang umumnya digunakan secara bergantian untuk menggambarkan kepatuhan minum obat. Menurut Sarafino & Smith (2012), kepatuhan (compliance ataupun adherence) merupakan istilah yang mengacu pada sejauh mana pasien melaksanakan tindakan dan pengobatan yang direkomendasikan oleh dokter atau orang lain. Namun Brown & Bussell (2011) menyebutkan bahwa konotasi keduanya sedikit berbeda.



Adherence



melibatkan



persetujuan



pasien



terhadap



anjuran



pengobatan, hal ini secara implisit menunjukkan keaktifan pasien bekerjasama dalam proses pengobatan, sedangkan compliance mengindikasikan bahwa pasien secara pasif mengikuti petunjuk dokter. Sejalan dengan hal tersebut, Sarafino & Smith (2012) mengungkapkan bahwa adherence adalah istilah yang lebih baik karena menunjukkan sifat kolaboratif pengobatan, sedangkan compliance mengisyaratkan bahwa individu pasrah terhadap tuntutan pengobatan, sehingga terkesan bahwa sebenarnya individu tersebut enggan mematuhi pengobatan. Pada penelitian-penelitian terdahulu, perspektif pasien terkait kepatuhan cenderung diabaikan, namun pada penelitian akhir-akhir ini pembahasan seputar bagaimana resep disepakati,



16



17



pandangan pasien mengenai pilihan pengobatan dan manajemen pengobatan dalam kehidupan sehari-hari mulai mengemuka. Sehingga, istilah compliance telah semakin digantikan oleh istilah adherence yang diangggap dapat membangkitkan lebih banyak gambaran kerjasama antara prescriber dan pasien, serta mengurangi konotasi kepatuhan pasif pasien terhadap instruksi dokter (Vrijens et al., 2012). Adapun menurut Morisky (1986) penggunaan istilah “noncompliance” menyiratkan ketidaksukaan atau perasaan negatif terhadap pasien yang sering dianggap tidak kooperatif. Morisky (1986) mengatakan bahwa istilah "compliance" biasanya mengacu pada sejauh mana pasien mengikuti instruksi terkait resep dan larangan dari dokter atau penyedia layanan kesehatan lainnya. Berbeda dengan istilah adherence yang memuat kesanggupan serta kemauan pasien untuk patuh. Nonadherence pun menjadi concern utama dalam penelitian Morisky (1986) terkait alat ukur kepatuhan minum obat. Berdasarkan hal tersebut, istilah adherence yang memuat kesediaan pasien menjadi istilah yang dirasa lebih tepat digunakan pada penelitian ini untuk mengukur kepatuhan. WHO (2003) mendefinisikan adherence sebagai sejauh mana perilaku seseorang—minum obat, mengikuti diet, dan/atau melakukan perubahan gaya hidup—sesuai dengan rekomendasi yang disepakati dari penyedia layanan kesehatan. Adapun Brannon & Feist (2010) mendefinisikan adherence sebagai kemampuan dan kemauan seseorang untuk mengikuti praktik kesehatan yang direkomendasikan. Berikutnya, Mihalko et al., (2004) mengungkapkan bahwa adherence mengacu pada tingkat partisipasi dalam menjalankan aturan perilaku



18



terkait pengobatan setelah individu menyetujui aturan atau rejimen pengobatan tersebut. Inheren dalam definisi ini adalah peran aktif dan sukarela yang dilakukan pasien dalam proses dinamis yang sedang berlangsung. Menurut Vrijens et al, (2012), situasi seperti terlambat atau tidak memulai pengobatan yang ditentukan, pelaksanaan sub-optimal dari rejimen dosis atau penghentian pengobatan secara dini menggambarkan ketidakpatuhan. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan dapat terjadi dalam salah satu atau kombinasi dari beberapa situasi tersebut. Berlandaskan beberapa teori-teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepatuhan minum obat merupakan tingkat partisipasi individu dalam mengikuti instruksi terkait resep dan larangan yang telah disepakati bersama prescriber (dokter atau konselor) dengan tepat dan dilakukan atas kesediaan pribadi. Gambaran ketidakpatuhan dapat dilihat berdasarkan salah satu atau kombinasi dari beberapa situasi yang diciptakan pasien mengacu pada ketidaksesuaiannya dengan petunjuk pengobatan. 2. Aspek-aspek Kepatuhan Minum obat Berdasarkan teori kepatuhan yang dikemukakan oleh Morisky (1986), diketahui bahwa kepatuhan minum obat terdiri atas beberapa aspek, di antaranya: a.



Forgetting, yaitu sejauh mana pasien melupakan jadwal untuk meminum obat. Pasien yang menunjukkan kepatuhan minum obat yang tinggi memiliki frekuensi kelupaan dalam mengkonsumsi obat yang rendah.



19



b.



Carelessness, yaitu sikap mengabaikan yang dilakukan pasien dalam masa pengobatan, seperti melewatkan jadwal meminum obat dengan alasan lain selain karena lupa. Pasien yang menunjukkan kepatuhan minum obat yang tinggi mampu bersikap hati-hati atau dengan penuh perhatian mengontrol dirinya untuk tetap mengkonsumsi obat.



c.



Stopping the drug when feeling better, or starting the drug when feeling worse, yaitu penghentian pengobatan tanpa sepengetahuan dokter atau penyedia kesehatan lainnya saat merasa obat yang dikonsumsi membuat kondisi tubuh menjadi lebih buruk atau ketika merasa tidak perlu lagi mengkonsumsi obat karena kondisi tubuh dirasa telah membaik. Pasien yang menunjukkan kepatuhan minum obat yang tinggi tidak akan menunjukkan kesengajaan untuk



menghentikan pengobatan tanpa



sepengetahuan dokter atau penyedia layanan kesehatan lainnya. Sekali pun merasa kondisi diri menjadi lebih baik atau sebaliknya, merasa lebih buruk, pasien tetap bersedia melanjutkan pengobatan ketika tidak ada instruksi dari dokter untuk mengakhiri pengobatan. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepatuhan minum obat tediri dari aspek forgetting, carelessness, dan stopping the drug when feeling better, or starting the drug when feeling worse. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum obat Brannon & Feist (2010) mengelompokkan enam faktor yang dapat menentukan kepatuhan atau ketidakpatuhan pada individu, yaitu sebagai berikut:



20



a. Severity of the Disease Keparahan penyakit menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan, namun, secara objektif keparahan penyakit kurang erat hubungannya dengan kepatuhan minum obat. Menurut Brannon & Feist (2010) terkadang individu peduli mengenai kesehatannya bukan karena individu tersebut percaya jika dirinya menderita masalah kesehatan yang serius, namun karena penampilan atau ketidaknyamanan yang dirasakan akibat penyakit tersebut. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa keparahan penyakit hanya secara subjektif mempengaruhi kepatuhan karena melibatkan persepsi pasien terhadap keparahan penyakitnya. b. Treatment Characteristics Karakteristik tritmen atau pengobatan yang mempengaruhi kepatuhan termasuk di dalamnya adalah efek samping obat dan kompleksitas pengobatan. Efek samping yang berat dan pengobatan yang rumit seperti dosis obat yang tinggi atau pengobatan yang dilakukan secara rutin berhubungan dengan tingkat kepatuhan yang rendah. Contohnya, kepatuhan individu mencapai 90% ketika dosis obat yang dikonsumsi hanya satu pil dalam sehari, namun kepatuhan akan sedikit berkurang ketika dosis ditingkatkan menjadi dua pil per hari. c. Personal Factors Faktor personal yang mempengaruhi kepatuhan termasuk di dalamnya adalah usia, gender, pola kepribadian, emosi, dan keyakinan diri. Orang yang lebih tua menghadapi berbagai situasi yang membuat kepatuhan sulit untuk



21



dicapai, seperti kemampuan mengingat yang menurun, kesehatan yang buruk, dan rejimen yang mencakup banyak pengobatan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Bianco dkk (2011) pada orang dewasa paruh baya dengan HIV positif yang mengungkapkan bahwa setengah dari sampel penelitiannya tidak mencapai tingkat kepatuhan 95%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hanya terdapat 49% orang dewasa paruh baya yang melaporkan kepatuhan konsisten dan tepat waktu terhadap ART. Di samping itu, ada pula penelitian lain yang menyebutkan bahwa anak-anak dan orang dewasa muda pun juga memiliki masalah terkait kepatuhan. Sehingga, usia dianggap sebagai faktor yang tidak terlalu besar pengaruhnya, namun memiliki hubungan yang kompleks terhadap kepatuhan. d. Enviromental Factors Faktor lingkungan yang mempengaruhi kepatuhan termasuk di dalamnya adalah faktor ekonomi dan dukungan sosial. Penghasilan seseorang memiliki dampak besar terhadap kepatuhan minum obat, keadaan kesehatan dan akses untuk minum obat. Orang dengan penghasilan rendah yang umumnya berlatar pendidikan rendah atau berasal dari etnis minoritas memiliki keterbatasan dan kekhawatiran mengenai biaya pengobatan. Permasalahan terkait kepatuhan dalam minum obat lebih sering ditemukan pada orang dengan penghasilan rendah dibandingkan orang yang berekonomi tinggi. Adapun dukungan sosial secara tersurat maupun tersirat membantu seseorang merasa diterima oleh anggota keluarga maupun teman-temannya. Sehingga, tingkat dukungan sosial yang diperoleh menjadi prediktor yang kuat dalam kepatuhan.



22



e. Cultural Norms Keyakinan dan norma budaya memiliki pengaruh yang kuat tidak hanya pada tingkat kepatuhan namun mendasari terjadinya kepatuhan. Sebagai contoh, seseorang yang berlatarbelakang budaya yang memiliki kepercayaan kuat terhadap keampuhan pengobatan tradisional, cenderung tidak mengindahkan pengobatan modern yang direkomendasikan oleh ahli medis. Penelitian lainnya menyebutkan suatu budaya yang kental akan nilai spiritual serta menekankan pada dukungan dan kesatuan keluarga menjadi faktor positif yang menyokong kepatuhan minum obat pada orang yang terinfeksi HIV. f. Practitioner-Patient Interaction Interaksi antara ahli medis dan pasien yang mempengaruhi kepatuhan termasuk di dalamnya adalah komunikasi verbal dan karakteristik pribadi practitioner. Komunikasi verbal yang baik akan membuat pasien merasa percaya bahwa dokter mengerti alasan pasien menjalani pengobatan dan keduanya sama-sama menyetujui pengobatan yang akan dilakukan, sehingga membuat kepatuhan menjadi meningkat. Adapun karakteristik pribadi dokter seperti level keahlian yang dimiliki akan membantu pasien merasa percaya bahwa dirinya ditangani oleh dokter yang kompeten. Selain itu, sikap hangat, ramah, peduli yang ditunjukkan oleh dokter juga membantu membuat pasien menjadi lebih patuh dalam menerima petunjuk dan intruksi dari dokter. Faktor lainnya yang mempengaruhi kepatuhan, khususnya pada ODHA yang menganut agama Islam telah ditemukan pada beberapa penelitian yang dilakukan



23



di Negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Badahdah & Pedersen (2011) yang melakukan penelitian di



Mesir



menemukan



bahwa



faktor-faktor



yang



mempengaruhi kepatuhan pasien HIV terhadap pengobatan ARV terdiri atas; ketakutan akan stigma, kendala keuangan, karakteristik ART, dukungan sosial, serta menggantungkan nasib pada iman (keyakinan). Adapun penelitian yang dilakukan di Indonesia mengenai analisis faktor yang mempengaruhi kepatuhan pada ODHA menunjukkan bahwa motivasi untuk hidup, keinginan sembuh/sehat, menganggap obat sebagai vitamin, keyakinan terhadap agama, ketersediaan obat ARV, dukungan sosial khususnya dukungan keluarga, rasa tanggung jawab dan kasih sayang terhadap anak, keinginan menikah, dukungan teman-teman di KDS (Kelompok Dukungan Sebaya), LSM dan dari tokoh agama, serta hubungan baik dengan tenaga kesehatan menjadi faktor-faktor pendukung kepatuhan ODHA dalam mengkonsumsi ARV (Yuniar, Handayani & Aryastami, 2013).



B. Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif 1.



Definisi Teoritis Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif Menurut Julianto & Subandi (2015) membaca Al Fatihah Reflektif Intuitif sendiri pada dasarnya adalah membaca Al Quran yang direfleksikan dalam diri secara berulang-ulang dengan memahami makna dan menghayatinya. Membaca Al-Fatihah secara reflektif intuitif berguna untuk memberikan motivasi dan pemahaman pada pembacanya mengenai pandangan terhadap pegangan hidupnya, sehingga dapat meneguhkan pegangan hidup (anchor)nya kepada Allah (Julianto & Subandi, 2015). Adapun Terapi al-Fatihah



24



Reflektif Intuitif adalah proses terapi dengan pendekatan religiusitas membaca surat al-Fatihah yang diikuti proses berpikir, memahami dan merasakan makna secara mendalam ayat surat al-Fatihah yang dibaca (Maulana, 2017). Lebih lanjut Maulana (2017) menerangkan bahwa refleksi menurut perspektif agama Islam sama halnya dengan tadabbur yang mengandung makna keseriusan dalam berpikir, pemikiran yang muncul dari suatu pertimbangan, perbaikan pemikiran pada sesuatu dan manifestasi dari sesuatu. Sedangkan intuisi adalah kapasitas batin yang membuat seseorang mengetahui dan melakukan sesuatu tanpa proses berpikir secara sadar atau sudah menjadi kebiasaan berdasar bisikan (gerak) hati. 2.



Tahap-tahap Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif Tahapan dalam menjalankan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif menurut Maulana (2017), di antaranya : a. Sesi Pertama: Pengenalan Program Membaca Al Fatihah Reflektif-Intuitif Pada sesi pertama ini, peserta diperkenalkan gambaran umum mengenai terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif. Seperti halnya, asbabun nuzul AlFatihah, keutamaan dan manfaat dari membaca surat Al-Fatihah, efek yang didapat dari membaca Al-Fatihah, serta keistimewaan ayat-ayat Al-Fatihah yang mengandung dialog antara Allah dan hamba secara langsung saat proses membaca Al-Fatihah. Fasilitator juga menjelaskan mengenai tata cara membaca Al-Fatihah secara refelektif-intuitif. Pada sesi ini, fasilitator akan membangun kedekatan dengan peserta untuk mempermudah dalam menjalin keakraban selama proses terapi.



25



b. Sesi kedua: “Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang” Pada sesi kedua ini, fasilitator menjabarkan terkait makna Al-Fatihah ayat pertama, yakni Allah selalu bersama umat-Nya serta Allah memiliki sifat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hal ini dilakukan agar peserta dapat memahami dan merefleksikan ayat pertama Al-Fatihah. Selanjutnya, peserta diminta untuk menghayati makna bahwa hidup penuh berkah, rahmat dan pertolongan Allah serta hidup penuh dengan kasih dan sayang Allah. c. Sesi ketiga: “Segala Puji Bagi Tuhan Semesta Alam” Pada sesi ketiga ini, fasilitator memberikan penjelasan mengenai makna ayat kedua surah Al-fatihah. Peserta diajak untuk memahami dan merefleksikan bahwa Allah adalah Pencipta, Pengatur dan Penguasa alam serta besar dan luasnya nikmat yang diberikan Allah. Di samping itu, dijelaskan pula dialog yang termuat dalam ayat ini yaitu saat hamba-Nya membaca “Alhamdulillahirabbil aalamin”, maka Allah akan menjawab “hamba-Ku telah memuji-Ku”. Selanjutnya, peserta diminta untuk menghayati bahwa kejadian dalam hidup ialah sebuah kebesaran Allah dan manusia tidak akan pernah bisa menghitung luasnya nikmat Allah. Selain itu, peserta juga diarahkan untuk menghayati bahwa semua yang terjadi berasal dari Allah, sehingga manusia harus memohon, bersandar dan berharap kepada-Nya.



26



d. Sesi keempat: “Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang” Pada sesi keempat ini, penjelasan mengenai makna ayat ketiga yakni Allah memiliki sifat Pengasih dan Penyayang diterangkan oleh fasilitator. Fasilitator kemudian meminta peserta untuk menghayati bahwa perasaan cinta, takut dan pengharapan kepada Allah akan memunculkan motivasi dalam hidup. Selain itu, dijelaskan pula dialog yang termuat dalam ayat ini yaitu saat hamba-Nya membaca “Arrahmanirrahim”, maka Allah akan membalas “hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. e. Sesi kelima: “Yang Menguasai Hari Pembalasan” Sesi kelima adalah sesi dimana fasilitator memberikan uraian penjelasan perihal makna ayat keempat dalam surah Al-Fatihah, yakni akan ada perhitungan dan pembalasan untuk kehidupan di dunia. Peserta pun diajak untuk menghayati bahwa hidupnya dihitung dan dibalas. Di samping itu, dijelaskan pula dialog yang termuat dalam ayat ini yaitu saat hambaNya membaca “Maaliku yau middin”, Allah akan membalas “Hamba-Ku telah memuliakan-Ku”. f. Sesi keenam: “Hanya Kepada Engkaulah Kami Menyembah dan Hanya Kepada Engkaulah Kami Memohon Pertolongan” Pada sesi keenam ini, fasilitator menguraikan makna yang terdapat pada ayat kelima surah Al-Fatihah, yaitu seseorang berharga di hadapan Allah karena ibadahnya. Selain itu peserta juga diberikan pemahaman bahwa ibadah adalah yang menyebabkan nilai manusia menjadi berharga dan merupakan sebuah jalan untuk membuktikan kecintaan pada Allah, serta



27



hanya Allah-lah tempat berserah diri untuk meminta kesembuhan dan memohon pertolongan. Selanjutnya, peserta diminta untuk menghayati nikmat akan beribadah, rasa cinta kepada Allah saat beribadah serta menghayati bahwa akan ada pertolongan Allah saat mengalami kesulitan hidup. Di samping itu, dijelaskan pula dialog yang termuat dalam ayat ini yaitu saat hamba-Nya membaca “Iyyakana’budu wa Iyyaka nasta’iin”, Allah menjawab “Ini antara Aku dan hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta”. g. Sesi ketujuh: “Berikan Kami Petunjuk Jalan Yang Lurus” Sama seperti sesi-sesi sebelumnya, pada sesi ini fasilitator juga akan menerangkan seputar makna yang terkandung dalam sebuah ayat pada surah Al-Fatihah. Pada sesi ketujuh ini ayat yang akan dikupas yakni ayat keenam surah Al-Fatihah. Ayat ini memuat makna bahwa hidayah adalah milik Allah. Peserta pun kemudian diarahkan untuk menghayati bahwa Allah akan memberikan hidayah bila hamba-Nya memohon dengan sungguh-sungguh. Selain itu, dijelaskan pula dialog yang termuat dalam ayat ini yaitu saat hamba-Nya membaca “Ihdinash shirathal mustaqim”, Allah menjawab “Inilah (hak) milik hamba-Ku, dan hambaKu akan memperoleh apa yang dimintanya”. h. Sesi kedelapan: “(Yaitu) Jalan Orang-orang Yang Telah Engkau Beri Nikmat Kepada Mereka, Bukan (Jalan) Mereka Yang Dimurkai dan Bukan (Pula Jalan) Mereka Yang Sesat”



28



Pada sesi terakhir dalam proses terapi ini, fasilitator menjelaskan mengenai makna ayat terakhir pada surah Al-Fatihah, yaitu ayat ketujuh. Ayat ini mengandung makna bahwa jalan yang lurus ialah jalan bagi orang yang telah mendapatkan kenikmatan berupa ibadah dan ketaatan. Di samping itu, makna lain yang terkandung dalam ayat ini yakni kehidupan penuh dengan godaan penyimpangan terhadap jalan Allah. Peserta pun kemudian diajak untuk menghayati bahwa terdapat kenikmatan saat beribadah kepada Allah serta menghayati bahwa ke-istiqomah-an akan membantu agar terhindar dari jalan yang penuh murka Allah. Pada sesi ini juga akan diterangkan dialog yang termuat dalam ayat ini yaitu saat hambaNya membaca “Ihdinash shirathal mustaqim, shiraathalladzina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh dhaallin..aamiinn”, Allah menjawab “Inilah (hak) milik hamba-Ku, dan hambaKu akan memperoleh apa yang dimintanya”. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa langkahlangkah Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif terdiri atas delapan sesi yakni pengenalan terapi dan pembahasan ayat 1-7 surah Al-Fatihah. Adapun di tiap sesi yang mengupas satu persatu ayat memuat pola tahapan yang sama, yakni meminta peserta untuk memahami dan menghayati makna masing-masing ayat pada surah Al-Fatihah.



29



C. Pengaruh Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif terhadap Kepatuhan Minum obat Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada Ibu Rumah Tangga dengan HIV Positif di Yogyakarta diketahui bahwa ketidakpatuhan sebagai manifestasi dari perasaan, pikiran dan perilaku disfungsional yang dikembangkan. Pola pikir yang meyakini bahwa hidupnya seperti diatur oleh obat yang dikonsumsi serta percaya bahwa efek samping obat membuatnya menjadi tidak produktif dapat dikategorikan sebagai pikiran disfungsional yang dialami Ibu Rumah Tangga dengan HIV Positif. Pola pikir tersebut kemudian melahirkan perasaan jenuh dan malas untuk meminum obat yang merupakan perasaan disfungsional. Adapun perilaku disfungsional yang ditampakkan dalam penundaan dan sikap sengaja melewatkan jadwal minum obat menjadi permasalahan puncak yang menandai ketidakpatuhan. Menurut Brannon & Feist (2010) salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan ialah cultural norms. Lebih lanjut Brannon & Feist (2010) menerangkan bahwa salah satu penelitian menyebutkan suatu budaya yang kental akan nilai spiritual menjadi faktor positif yang menyokong kepatuhan minum obat pada orang yang terinfeksi HIV. Hal ini terjadi karena orang-orang dalam budaya tersebut yakin akan hal-hal yang diajarkan pada agamanya, seperti halnya takdir, kasih sayang dan kuasa Allah, sehingga dapat lebih mendorongnya agar berusaha untuk sembuh dan berharap Allah akan menolongnya dengan melihat usahanya tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Yuniar, Handayani & Aryastami (2013) yang mengungkapkan bahwa keyakinan terhadap agama menjadi salah satu faktor



30



internal yang mendukung kepatuhan minum obat ARV pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Keyakinan terhadap agama atau yakin akan adanya Tuhan, Sang Pencipta Alam yang maha kuasa, mewajibkan seseorang untuk melahirkan keyakinannya dalam bentuk amal perbuatan (Kiswati, 2013). Pada pandangan agama Islam, membaca Al-Quran semestinya menjadi ibadah yang diutamakan karena sangat menentukan amal ibadah lainnya di kehidupan sehari-hari. Selain sebagai tuntunan dan pedoman, bacaan yang tidak tepat dalam melafalkan ayat AlQuran dapat menjadikan ibadah shalat yang dilakukan tidak afdal sebab bacaan yang berbeda sedikit saja akan mengubah arti atau makna dari ayat yang dibaca. Sebagai kitab suci umat muslim, Al-Quran memuat banyak kandungan nilai tentang keimanan, ibadah, ilmu pengetahuan, tentang kisah-kisah tertentu, filsafat, juga panduan mengenai tata hubungan manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial (Najati dalam Julianto, 2015). Mendengar al-Quran merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membawa manusia pada kesehatan spiritual, psikologis, dan fisik (Ramadhani, 2008). Selain mendengarkan, membaca al-Quran pun dapat memberikan dampak yang baik bagi individu. Sebagaimana penelitian Khan, Ahmad, Beg, Fakheraldin, Alla, & Nubli (2010) yang mengungkapkan bahwa pembacaan Al Quran dengan menggunakan visualisasi dan sistem multimedia terbukti dapat mengurangi kebosanan, kelelahan, depresi, stres dan perilaku agresif dari tubuh manusia. Hal senada juga ditemukan pada penelitian Julianto (2013) yang menunjukkan bahwa pelatihan Membaca Al Quran Reflektif Intuitif dapat menurunkan stres, meningkatkan imunitas serta memberikan ketenangan dan mengingatkan



31



keberadaan Allah dalam kehidupan. Refleksi atau tadabbur ayat-ayat al-Qur’an dapat dijadikan upaya mengatasi permasalahan psikologis, seperti yang termuat pada QS. Yunus ayat 57 yang artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif sebagai intervensi yang diusung dalam penelitian ini dipilih dengan alasan bahwa surat Al-Fatihah merupakan pembuka dari setiap kebaikan, asas dari segala yang ma’ruf, surat yang dibaca berulang-ulang dalam shalat, serta perbendaharaan ayat-nya menyangkut segala sesuatu (Mudzkiyyah, Nashori dan Sulistyarini, 2014). Di samping itu, sebagaimana diketahui bahwa surah Al-Fatihah umum dibacakan untuk kesembuhan penyakit seperti hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya: “Bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu berada dalam perjalanan safar, lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk kampung tersebut lantasberkata kepada para sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang bias meruqyah karena pembesar kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.” Di antara para sahabat lantas berkata, “Iya ada.” Lalu iapun mendatangi pembesar kampung tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat Al-Fatihah. Maka pembesar kampung itupun sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor kambing, namun ia enggan menerimanya, -dan disebutkan- ia mau menerima sampai kisah tadi diceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kisahnya tadi kepada beliau. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah kecuali dengan membaca surat Al-Fatihah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas tersenyum dan berkata, “Bagaimana engkau bias tahu Al-Fatihah adalah ruqyah?” Beliaupun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian”.



32



Menurut Maulana (2017) Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif memiliki kemiripan dengan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) yakni sama-sama mengembangkan cara berpikir yang lebih adaptif dan memberikan dampak lebih baik pada perubahan fungsi afek dan perilaku. Pada penelitian Chattopadhyay dkk (2017), Cognitive Behaviour Therapy (CBT) terbukti dapat meningkatkan kepatuhan terhadap terapi antiretroviral pada pasien yang terinfeksi HIV di India Timur. Namun demikian, refleksi Al-Fatihah yang menurut Purwoko (2013) memiliki konsepsi bahwasanya manusia adalah ciptaan Allah yang memberikan petunjuk, keringanan, perlindungan, dukungan, dan keberlangsungan hidup dirasa lebih efektif. Hal tersebut dapat diasumsikan atas dasar bahwa Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif menekankan pada pendekatan religiusitas yaitu menggunakan ayat-ayat dari surah Al-Fatihah untuk menemukan solusi dari permasalahan (Maulana, 2017). Unsur religiusitas tersebut akan memperkuat perubahan kognitif yang terjadi karena akan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan, sedangkan perubahan yang didapat dari terapi kognitif perilaku hanya bersifat sementara (Irawati, Subandi, & Kumolohadi, 2011). Berdasarkan penelitian Ilmiah, Azizah, & Amelia (2017) tingkat religiusitas pun memiliki hubungan yang positif dengan kepatuhan minum obat ARV pada wanita HIV Positif di Poli VCT RSUD Waluyojati Kraksaan Probolinggo. Tahapan dalam menjalankan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif terbagi menjadi 8 sesi (Maulana, 2017). Pada sesi pertama, yaitu Pengenalan Program Membaca Al Fatihah Reflektif-Intuitif, peserta diberikan edukasi terkait gambaran umum mengenai terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif seperti asbabun nuzul,



33



keutamaan, manfaat, efek dan keistimewaan surah Al-Fatihah, serta tata cara membaca Al-Fatihah secara refelektif-intuitif (Maulana, 2017). Pemberian edukasi tersebut merupakan langkah awal bagi para peserta untuk mengubah pola pikir agar menjadi lebih positif serta betujuan untuk membuka wawasan menjadi lebih luas. Menurut penelitian Zhao, Sampson, Xia dan Jayaram (2015), kepatuhan terhadap pengobatan terbukti secara signifikan lebih baik pada pasien yang menerima psikoedukasi singkat pada terapi. Pada sesi ini, fasilitator juga akan membangun kedekatan dengan peserta melalui perkenalan dan menjalin keakraban dari pembicaraan dengan topik-topik ringan di awal sesi dan pertanyaan terkait kesulitan-kesulitan yang dialami selama proses pengobatan, sehingga peserta merasa diterima, diperhatikan dan dimengerti karena mendapat dukungan sosial secara tersirat dari fasilitator maupun dari sesama peserta lainnya. Menurut Brannon & Feist (2010) dukungan sosial secara tersurat maupun tersirat membantu seseorang merasa diterima, sehingga dukungan sosial termasuk dalam enviromental factors yang mempengaruhi kepatuhan minum obat. Di samping itu, kondisi pikiran yang positif yang didapat dari psikoedukasi singkat yang diberikan dapat menjadi perantara yang baik antara dukungan sosial dan kepatuhan minum obat. Sebagaimana penelitian Gonzalez dkk (2004) yang mengungkapkan bahwa kondisi pikiran yang positif (positive state of mind) memediasi hubungan antara dukungan sosial dan kepatuhan pada laki-laki dan perempuan yang hidup dengan HIV/AIDS. Sesi kedua membahas ayat pertama surah Al-Fatihah yakni “Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”. Pada sesi ini, dari proses



34



refleksi makna ayat 1, peserta akan memahami bahwa berkah, rahmat dan pertolongan Allah selalu datang ketika memulai sebuah urusan dengan nama Allah. Selain itu, dari proses penghayatan makna ayat 1, peserta juga akan merasakan bahwa Allah selalu bersama dirinya sehingga menimbulkan perasaan tenang dan kemampuan untuk memandang positif hal-hal yang terjadi dalam hidup (Julianto & Subandi, 2015). Oleh karena itu, peserta yang memiliki core beliefs “Saya pasti menjadi tidak produktif setelah mengkonsumsi ARV” akan mengurangi prasangka negatif tersebut karena yakin bantuan Allah akan datang. Sikap yang mengandalkan keimanan tersebut akan membawa peserta pada perilaku



kepatuhan



minum



obat



karena



yakin



bahwa



Allah



akan



menyanggupkannya untuk menghadapi efek samping obat dan membantunya untuk dapat menjalankan aktivitas sehari-hari dengan baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Badahdah & Pedersen (2011) pada wanita dengan rentang usia 22-52 tahun yang hidup dengan HIV/AIDS. Subjek pada penelitiannya berbicara mengenai meletakkan hidupnya di tangan Allah, lalu meminta Allah untuk mengingatkannya meminum obat tepat waktu, memaafkan pasangannya, serta membantunya menghadapi efek samping obat dan mengatasi kesepian maupun kesedihan yang dirasakan (Badahdah & Pedersen, 2011). Lebih lanjut Badahdah & Pedersen (2011) mengungkapkan bahwa menggantungkan nasib pada iman (keyakinan) seperti yang dilakukan oleh subjek pada penelitiannya tersebut menjadi salah satu faktor yang mendukung kepatuhan pasien HIV terhadap pengobatan ARV.



35



Sesi ketiga membahas ayat kedua surah Al-Fatihah yakni “Segala Puji Bagi Tuhan Semesta Alam”. Pada sesi ini, dari proses refleksi makna ayat 2, peserta akan memahami bahwa Allah adalah Pencipta, Pengatur dan Penguasa Alam ini. Selain itu, dari proses penghayatan makna ayat 2, peserta akan menghayati bahwa kejadian dalam hidupnya adalah sebuah kebesaran Allah dan manusia tidak akan pernah bisa menghitung luasnya nikmat Allah. Pemahaman dan penghayatan makna tersebut akan menghantarkan peserta pada rasa syukur kepada Allah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kustanti dan Pradita (2017) mengenai self efficacy penderita HIV/AIDS



dalam



mengkonsumsi



antiretroviral



diketahui



bahwa



aspek



kebersyukuran mendorong sebagian besar subjeknya yang beragama Islam untuk memiliki self efficacy yang tinggi. Self efficacy atau keyakinan diri pun termasuk dalam personal factors yang mempengaruhi kepatuhan minum obat menurut Brannon dan Feist (2010). Adapun pada sesi keempat, ayat surah Al-Fatihah yang didiskusikan adalah ayat 3 yakni “Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”. Dari proses refleksi makna ayat 3, peserta akan memahami bahwa Allah memiliki sifat Pengasih dan Penyayang. Selain itu, dari proses penghayatan makna ayat 3, peserta dapat merasakan bahwa motivasi dalam hidup ini adalah karena cinta kepada Allah, takut kepada Allah dan pengharapan kepada Allah (Maulana, 2017). Oleh karena itu peserta menjadi tergerak untuk melakukan sesuatu karena Allah untuk mendapat kasih sayang-Nya. Upaya untuk mencari hubungan yang lebih kuat dengan Tuhan, mencari cinta dan perhatian Tuhan, serta fokus pada agama untuk berhenti mengkhawatirkan masalah merupakan koping religius positif yang secara



36



signifikan dikaitkan dengan kepatuhan minum obat yang lebih baik. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Ayuk, Udonwa dan Gyuse (2017) dalam penelitiannya terkait pengaruh spiritualitas dan agama pada kepatuhan terhadap terapi antiretroviral yang sangat aktif pada pasien dewasa HIV/AIDS di Calabar, Nigeria. Pada sesi selanjutnya, yakni sesi kelima, fasilitator dan peserta akan mendiskusikan ayat 4 surat Al-Fatihah yang memiliki arti “Yang Menguasai Hari Pembalasan”. Dari proses refleksi dan penghayatan makna ayat 4, peserta dapat memahami bahwa kehidupan di dunia akan ada perhitungan dan pembalasannya, serta merasakan bahwa hidupnya akan dihitung dan dibalas (Maulana, 2017). Tidak hanya terkait pembalasan di hari akhir, tetapi juga pada konteks kehidupan. Atas kuasa Allah, hasil yang dipetik di masa depan adalah buah dari perilaku saat ini. Peserta menjadi yakin bahwa Allah akan menghitung dan memberikan pembalasan yang setara dengan upaya yang dikerahkannya, sehingga dapat mempercayai hasil atau manfaat dari pengobatan yang peserta lakukan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kustanti dan Pradita (2017) diketahui bahwa sebagian besar penderita HIV/AIDS di LSM Kebaya Yogyakarta memiliki self efficacy yang tinggi dalam mengkonsumsi ARV (87,5%) dikarenakan memiliki keyakinan akan manfaat ARV. Lebih lanjut Kustanti dan Pradita (2017) menuturkan bahwa hal tersebut kemudian berdampak baik pada kemampuan penderita HIV/AIDS untuk mengatur pengobatan. Berikutnya adalah sesi keenam yang memuat pembahasan terkait ayat 5 surah Al-Fatihah yakni “Hanya Kepada Engkaulah Kami Menyembah dan Hanya Kepada Engkaulah Kami Memohon Pertolongan”. Dari proses refleksi makna ayat 5,



37



peserta dapat memahami bahwa hanya Allah tempat berserah diri menyembah dan memohon pertolongan, serta memahami bahwa ia akan merasa berharga bila beribadah pada Allah. Adapun dari proses penghayatan makna ayat 5, peserta dapat merasakan pertolongan Allah setiap menghadapi kesulitan hidup dan merasakan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah (Maulana, 2017). Pemahaman maupun penghayatan makna ayat tersebut akan membentuk core beliefs “Saya lemah di hadapan Allah, oleh karena itu saya menyandarkan diri kepada-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya untuk menjalankan taat dan mencapai semua keperluan saya”. Core beliefs tersebut diharapkan akan membawa peserta pada keinginan untuk semakin ingin mendekatkan diri pada Allah, sehingga dapat melakukan ibadah dengan senang hati. Menurut Yuniar, Handayani dan Aryastami (2013), beberapa di antara partisipan penelitiannya yang merupakan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) menjadi lebih semangat untuk hidup setelah melakukan kegiatan ibadah ataupun setelah mendapat dukungan dari tokoh-tokoh agama melalui ceramah. Oleh karena itu, ibadah yang dilakukan beriringan dengan keyakinan yang semakin diperkuat tersebut dapat dikatakan memicu motivasi untuk hidup serta keinginan untuk sembuh/sehat yang lebih besar. Yuniar, Handayani & Aryastami (2013) pun menuturkan bahwa motivasi untuk hidup dan keinginan sembuh/sehat termasuk dalam faktor pendukung ODHA untuk mengkonsumsi ARV. Sesi selanjutnya adalah sesi ketujuh yakni pembahasan terkait ayat 6 surah AlFatihah yang memiliki arti “Berikan Kami Petunjuk Jalan Yang Lurus”. Dari proses refleksi dan penghayatan makna ayat 6, peserta dapat memahami bahwa hidayah



38



adalah milik Allah dan merasakan bahwa Allah akan memberikan hidayah apabila ia memohon dengan sungguh-sungguh (Maulana, 2017). Hal ini menumbuhkan harapan dan keyakinan akan masa depan yang diberkahi oleh hidayah Allah. Pada penelitian Arriza, Dewi dan Kaloeti (2011) dikatakan bahwa optimism dan harapan terhadap masa depan merekonstruksi kebahagiaan pada ODHA. Maka, perasaan seolah-olah semakin diyakinkan bahwa peserta mengidap penyakit yang sangat berat karena mengkonsumsi obat ARV dapat dihilangkan karena tergantikan oleh perasaan bahagia dalam upaya memperoleh hidayah Allah melalui ketekunan menjalani proses pengobatan. Hal ini didukung dengan pernyataan Brannon dan Feist (2010) yang mengatakan bahwa emosi termasuk dalam personal factors yang dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat. Adapun sesi terakhir adalah sesi yang memuat pembahasan terkait ayat ketujuh surah Al-Fatihah yang mengandung arti “(Yaitu) Jalan Orang-orang Yang Telah Engkau Beri Nikmat Kepada Mereka, Bukan (Jalan) Mereka Yang Dimurkai dan Bukan (Pula Jalan) Mereka Yang Sesat”. Dari refleksi makna ayat 7, peserta akan memahami bahwa manusia harus selalu istiqomah dan menghindari jalan yang penuh dengan murka Allah (Maulana, 2017). Oleh karena itu peserta akan menjauhi hal-hal yang tidak disukai Allah, termasuk sikap pasrah atau tidak berupaya untuk sembuh karena berputus asa dari rahmat Allah. Sebagaimana yang termuat dalam QS. Az-zumar ayat 53 yang berarti; “Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”



39



Adapun dari proses penghayatan makna ayat 7, peserta akan merasakan bahwa dengan istiqomah maka ia akan terhindar dari jalan yang dimurkai Allah. Maka peserta akan menghilangkan sikap berputus asa yang tidak disukai Allah dan menjadi konsisten dalam menjalani pengobatan sebagai bentuk ikhtiar agar dapat istiqomah meraih hidayah Allah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anastasiades, Gupton, Fritz, Calzada dan Stillman (2016) yang menemukan bahwa depresi dan keputusasaan memiliki dampak negatif yang signifikan pada tingkat kepatuhan. Ketika depresi dan keputusasaan meningkat, tingkat ketidakpatuhan pasien juga akan meningkat, begitu pula sebaliknya. Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa sesi kedua hingga sesi terakhir merupakan tahapan inti pada Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif yang mendiskusikan satu persatu ayat surah Al-Fatihah. Selain refleksi makna, hal lain yang ditekankan berulang-ulang dalam Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif adalah penghayatan makna ayat-ayat Al-Fatihah. Pada sesi-sesi tersebut, peserta diarahkan untuk dapat merefleksikan dan merasakan makna dari masing-masing ayat. Di samping itu, peserta kemudian diwajibkan menerapkan terapi ini dalam kehidupan sehari-hari. Tugas rumah atau penerapan yang ditugaskan oleh Fasilitator selama masa terapi merupakan upaya untuk membantu peserta dalam mengubah perilaku disfungsional secara kontinu. Ibu Rumah Tangga dengan HIV Positif diminta untuk membaca surah Al-Fatihah secara reflektif intuitif minimal 3 kali selepas sholat maghrib, sholat isya dan sholat subuh. Pembiasaan yang dilakukan tersebut akan membentuk pola perilaku yang sehat. Menurut Machfoedz dalam Suharjana (2012) salah satu cara membentuk perilaku adalah dengan kondisioning atau kebiasaan.



40



Apabila individu membiasakan diri dengan berperilaku seperti yang diharapkan kaidah-kaidah tertentu, maka perilaku tersebut akan terbentuk dengan sendirinya. Ketika Ibu Rumah Tangga dengan HIV positif membiasakan merefleksikan dan mengintuisikan ayat-ayat surah Al-Fatihah di setiap hari, Ibu Rumah Tangga dengan HIV positif tersebut akan terbiasa dan tidak terbebani dengan kegiatan yang diwujudkan tersebut, sehingga manfaat dan keistimewaan yang terkandung dalam ayat-ayat surah Al-Fatihah pun akan mengiringi dan membentuk perilaku yang mencerminkan kepatuhan dalam pengobatan secara konsisten.



41



Gambar 1. Bagan Dinamika Psikologis



Ibu Rumah Tangga dengan HIV Positif  Subjek memiliki pikiran bahwa hidupnya seperti diatur oleh obat yang dikonsumsinya dan meyakini bahwa efek samping obat pasti membuatnya menjadi tidak produktif.  Subjek memiliki perasaan bosan dan malas untuk segera minum obat serta merasa seolah-olah semakin diyakinkan bahwa dirinya mengidap penyakit yang sangat berat.



Kepatuhan Minum obat ARV Rendah Subjek mengembangkan perilaku yang menunda-nunda mengkonsumsi obat, bahkan dengan sengaja melewatkan waktu untuk meminum obat. Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif:



     



Pengenalan Program Membaca Al Fatihah Reflektif-Intuitif “Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang” “Segala Puji Bagi Tuhan Semesta Alam” “Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang” “Yang Menguasai Hari Pembalasan” “Hanya Kepada Engkaulah Kami Menyembah dan Hanya Kepada Engkaulah Kami Memohon Pertolongan”  “Berikan Kami Petunjuk Jalan Yang Lurus”  “(Yaitu) Jalan Orang-orang Yang Telah Engkau Beri Nikmat Kepada Mereka, Bukan (Jalan) Mereka Yang Dimurkai dan Bukan (Pula Jalan) Mereka Yang Sesat”



Meningkatkan Kepatuhan Minum obat ARV Subjek menyandarkan diri kepada-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya untuk membuatnya mampu menghadapi efek samping obat dan mencapai semua keperluannya. Subjek menjadi semangat untuk menjalani pengobatan karena yakin akan bantuan-Nya. Maka, subjek pun tidak dengan sengaja melupakan ataupun lalai terhadap pengobatannya dan bersedia mengikuti instuksi dari dokter maupun penyedia kesehatan lainnya.



42



Keterangan : : Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif : Kondisi subjek setelah pemberian terapi : Kondisi subjek sebelum diberi terapi : Dampak



D. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif efektif untuk meningkatkan kepatuhan minum obat ARV pada Ibu Rumah Tangga dengan HIV positif. Kelompok Ibu Rumah Tangga dengan HIV Positif yang memperoleh intervensi Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif akan memiliki tingkat kepatuhan minum obat ARV yang lebih tinggi dibandingkan kelompok Ibu Rumah Tangga dengan HIV Positif yang tidak mendapatkan intervensi Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif.