2210 - IDI - Buku Putih - LOWRES PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Buku Putih IDI



IDI Menolak Program Studi Dokter Layanan Primer



Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia 2017



Buku Putih IDI



IDI Menolak Program Studi Dokter Layanan Primer



Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia 2017



Penyusun Abdul Razak Thaha Andi Khomeini Takdir Ario Djatmiko Baety Adhayati Fika Ekayanti Hadiwijaya Mahesa Paranadipa Mariya Mubarika Muhammad Adib Khumaidi Muhammad Akbar Purnawan Junadi Pranawa Martosuwignjo Siti Fikriyah Khuriyati



Penyunting Dian IP Nugrahari Dien Kuswardani Alfu Nikmatul Laily Purnawan Junadi



Foto Foto cover oleh Mia Riko Foto foto lain sumbangan dari Anggota IDI



Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN 978-602-72055-5-0 ISBN 978-602-72055-5-0



9



786027



205550



Sambutan Ketua PB IDI Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya atas selesainya “Buku Putih IDI Tentang DLP”. Buku ini merupakan bahan kajian akademis dan refleksi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menjelaskan sikap IDI terhadap istilah program studi dokter layanan primer setara spesialis yang saat ini masih terus menjadi masalah yang diperdebatkan antara IDI dan pemerintah (khususnya Kementerian Kesehatan RI dan Kementerian Ristek Dikti RI). Istilah dokter layanan primer dikenal sejak terbitnya UU Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Pada awal pembahasan RUU Dikdok, istilah dokter layanan ini tidak ditemukan, karena tujuan utama disusunnya UU Dikdok ini adalah untuk mencegah komersialisasi pendidikan kedokteran dan adanya keberpihakan pada anak daerah untuk menjadi dokter. Namun pada UU tersebut tercantum dokter layanan primer (DLP) sebagai kelompok baru dalam dunia kedokteran Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi bagi dokter memang bukanlah suatu lembaga penyelenggara pendidikan, meski di dalamnya terdapat Kolegium yang memiliki wewenang mengampu keilmuan kedokteran berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Namun IDI memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjamin mutu pelayanan dokter yang dihasilkan dari proses pendidikan itu sendiri. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran peran dan fungsi IDI memang diperlihatkan hanya pada tataran koordinatif. Namun harus disadari bahwa proses pendidikan dan pelayanan kedokteran merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan. Proses pendidikan kedokteran yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan tentunya tidak lepas dari tanggung jawab menghadirkan mutu pelayanan yang baik. Para pendidik atau supervisor dalam proses pendidikan maupun internsip pun tidak lepas dari proses pelayanan kedokteran. Oleh karenanya IDI tidak dapat melepas diri atau dianggap bukan bagian dari proses menjaga mutu pendidikan kedokteran. Pasca terbitnya UU pendidikan kedokteran, IDI pernah terlibat dalam kelompok kerja (Pokja) Dokter Layanan Primer (DLP) yang dibentuk bersama Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia, dan pemangku kebijakan lainnya. Adanya proses uji materi UU pendidikan kedokteran di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh salah satu perhimpunan di lingkungan IDI mendorong IDI untuk tidak meneruskan pembahasan di Pokja hingga proses uji materi selesai, yang kemudian kita ketahui bahwa MK menolak seluruh permohonan. Namun perkembangan selanjutnya, karena proses terbentuknya kolegium dan perhimpunan yang tidak tuntas, disebabkan belum jelasnya ranah kompetensi dan aspek pelayanannya, serta kuatir banyaknya tumpang tindih antar dokter di lapangan, menyebabkan forum pengambil keputusan di IDI yaitu Muktamar tidak dapat menerima pembahasan program studi tersebut.



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



i



Sambutan Ketua PB IDI



Dinamika lebih lanjut, seluruh jajaran IDI dan sebagian besar anggota menyatakan aspirasinya dalam aksi damai tanggal 24 Oktober 2016 berupa penolakan program studi DLP ini. Aspirasi ini tentunya menjadi amanah bagi IDI sebagai tempat berhimpun seluruh dokter Indonesia. Namun penolakan tentunya harus didasarkan kepada kajian komprehensif. Kajian terkait hal ini harus dilakukan dengan dasar ilmiah serta bukti yang jelas untuk meyakinkan semua pihak bahwa kebijakan tersebut layak dijalankan atau perlu dilakukan penyesuaian. Atas dasar di atas, Pengurus Besar IDI sebagai badan ekeskutif IDI di tingkat pusat telah membentuk Tim Buku Putih PB IDI Tentang DLP, yang merangkum semua data serta informasi yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara akademik maupun organisasi terkait program dokter layanan primer yang termaktub dalam undang-undang pendidikan kedokteran. Dan Alhamdulillah tim telah menuntaskan amanah tersebut. Dalam buku ini disusun kajian mulai dari kondisi pendidikan kedokteran di Indonesia, polemik DLP, rangkaian peristiwa mengenai DLP yang terjadi mulai dari awal hingga saat ini, analisis sikap IDI terhadap DLP, hingga kesimpulan dan rekomendasi yang diajukan oleh IDI. Buku ini diharapkan dapat membuka mata berbagai pihak dan memberikan pemahaman mengenai posisi IDI terhadap DLP dan bagaimana langkah perjuangan IDI patut terus dilanjutkan untuk memberikan kontribusi penyelesaian masalah kesehatan yang terjadi pada saat ini dengan cara yang lebih baik dan menyasar pada akar masalahnya. Saya selaku Ketua Umum PB IDI mewakili segenap jajaran IDI mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya bagi Tim Buku Putih PB IDI tentang DLP, serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan Buku Putih PB IDI tentang Dokter Layanan Primer. Diharapkan dengan keberadaan buku ini dapat memberikan informasi dan penjelasan yang lengkap dan jelas terkait kebijakan IDI terhadap program DLP. Diharapkan juga buku ini dapat menyelesaikan polemik yang sangat menyita energi sehingga energi tersebut selanjutnya dapat dimanfaatkan secara konstruktif demi kemajuan bangsa khususnya mutu pendidikan kedokteran di masa yang akan datang. Semoga Tuhan YME selalu memberikan kebijaksanaan dan rahmatNya kepada kita semua. Amin Jakarta, Maret 2017 Ketua Umum PB IDI



Prof. Dr. I. Oetama Marsis,Sp.OG NPA. IDI : 7.535



ii



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Kata Pengantar



Ketua Tim Buku Putih DLP IDI Bermula dari gencarnya sosialisasi Prodi DLP oleh Pokjanas Percepatan RPP UU Dikdok. Anggota IDI baik perorangan maupun kelembagaan, terutama IDI Wilayah dan Cabang mendesak PB IDI - yang juga menjadi anggota Pokjanas, untuk keluar dari keanggotaan Pokjanas dan dengan tegas menyatakan secara terbuka penolakan terhadap DLP. Gelombang desakan makin keras dan meluas akibat surat-surat Kemenkes ke berbagai daerah “mendesak” pemerintah daerah untuk membantu mempercepat pelaksanaan Prodi DLP. PB IDI ditengarai telah “bermain mata” dengan Kemenkes dan Kemristekdikti dan dengan sengaja melanggar amanah Muktamar yang jelas-jelas menolak Prodi DLP. Desakan-desakan memuncak dalam bentuk suara-suara yang mengusulkan pemakzulan Ketua Umum PB IDI. PB IDI berpendapat bahwa IDI sebagai sebuah organisasi profesi yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai luhur profesi, dalam menerima atau menolak sebuah kebijakan dan atau program tidak boleh hanya melulu didasarkan pada desakan anggota seberapa besar dan luas pun desakan tersebut. Tetapi terutama harus didasarkan pada pertimbanganpertimbangan ilmiah yang logis, rasional dan berbasis bukti. Atas dasar pemikiran tersebut, PB IDI membentuk sebuah tim kerja yang diberi nama Tim Penyusun Buku Putih DLP. Tim diberi tugas untuk melakukan kajian akademik terhadap Kebijakan DLP dan menyusunnya dalam bentuk sebuah Buku Putih yang didasarkan pada alasan-alasan teoritik dan bukti-bukti yang valid. Tim mengalami kesulitan memulai tugas ini karena minimnya dokumen dan data pendukung. Namun melalui kerja keras dan cerdas dari semua anggota Tim, meski membutuhkan waktu yang relatif lama, dengan izin-Nya, akhirnya dokumen penting dan data valid yang diperlukan dapat juga terkumpul. Alhamdulillah, hasilnya adalah buku yang berada di tangan pembaca. Buku ini adalah pertanggungjawaban ilmiah atas amanah yang dipercayakan oleh PB IDI kepada Tim Buku Putih DLP. Untuk itu, terima kasih diucapkan kepada PB IDI atas kepercayaan tersebut. Terima kasih kepada semua pihak terutama pihak-pihak yang telah berbaik hati membantu dokumen dan data yang diperlukan. Terima kasih kepada setiap anggota Tim yang telah bekerja tanpa pamrih dan nyaris tanpa keluhan. Terima kasih kepada Tim Sekretarit PB IDI atas dukungan administrasi dan logistik. Terima kasih juga kepada para editor atas bantuannya yang sangat berharga. Sebagai sebuah hasil kerja akademik, buku ini terbuka bagi kritik dan masukan dari pihak mana pun. Harapannya, buku kecil ini bisa ikut memberikan kontribusi yang makin memperkokoh tradisi ilmiah Ikatan Dokter Indonesia sebagai organisasi profesi tertua di negeri ini. Tradisi yang telah dipertahankan dengan konsisten sejak peletakkan fondasinya



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



iii



Kata Pengantar : Ketua Tim Buku Putih DLP IDI



oleh para pendahulu di tahun 1908 yang melahirkan Gerakan Kebangkitan Nasional sebagai cikal bakal perjuangan kemerdekaan Indonesia. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan perlindungan-Nya kepada kita semua. Amin. Ketua Tim Buku Putih DLP IDI



Prof. Dr. Abdul Razak Thaha, MSc. NPA. IDI : 48390



iv



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Daftar Isi Sambutan Ketua PB IDI



i



Kata Pengantar Ketua Tim Buku Putih DLP IDI



iii



Daftar Isi



v



Daftar Tabel



vii



Daftar Singkatan



viii



Prolog



1



I.



Pendidikan Kedokteran dan Polemik DLP



4



A.



Perkembangan Kurikulum Pendidikan Kedokteran Indonesia



4



B.



Pelaksanaan Program Pendidikan Dokter



C.



Polemik Dokter Layanan Primer



11



1.



DLP Adalah Dokter yang Bekerja di FKTP



11



2.



DLP: Kastanisasi Baru



12



D.



E.



7



Problematik Melahirkan Program Studi DLP



12



1.



Syarat Membuka Program Studi



12



2.



Standard Pendidikan Profesi



13



3.



Kolegium DLP



13



4.



Surat Tanda Registrasi



14



Peningkatan Kualitas Pelayanan melalui Modul Terstruktur



14



Klarifikasi buku “Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional Berorientasi Pelayanan Primer”



15



II.



Program Studi DLP: Pemborosan Dan Bukan Solusi



17



A.



Isu Pertama: Memantapkan Sistem Pelayanan Kesehatan



17



B.



Isu Kedua: Menuju Universal Coverage di 2019



18



C.



Isu Ketiga: Menyelesaikan Disparitas Pelayanan Kesehatan



20



D.



Isu Keempat: Menurunkan Angka Rujukan di FKTP



21



1.



Fasilitas Kurang Memadai



22



2.



Layanan Pengobatan Tidak Adekuat



23



3.



Biaya Pelayanan di Atas Biaya Penggantian



23



4.



Rujukan Atas Permintaan Sendiri (APS)



24



E.



Isu Kelima: Mengurangi Biaya Katastrofik



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



24



v



Daftar Isi



III. DISHARMONI Undang-Undang AKIBAT Dokter layanan primer



26



A.



Ketidakharmonisan Jenis Profesi



26



B.



Ketidakharmonisan Kewenangan



27



C.



Ketidakharmonisan Gelar Profesi



29



IV. Penyisipan Pasal DLP Dalam Pembahasan UU Pendidikan Kedokteran



31



A.



DLP tidak ada dalam Naskah Akademik maupun RUU Uji Publik



31



B.



Proses Pembahasan RUU Dikdok di DPR



31



C.



Penyisipan pasal DLP



34



1.



Berubahnya jenis profesi kedokteran



35



2.



Dokter Keluarga tidak ada dalam pembahasan Kurikulum Pokok Pendidikan Kedokteran



36



D.



Keterlibatan IDI dalam Pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran



38



Aksi Damai IDI 24-10-2016



39



Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran DKI Jakarta dan Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016



42



V.



Upaya Metamorfosa Kedokteran Keluarga Menjadi DLP



51



A.



Kilas balik IDI



51



B.



Perkembangan Institusional Kedokteran Keluarga



54



C.



Kegiatan-kegiatan Penting



54



VI. Kesimpulan dan Rekomendasi



56



Epilog



58



A.



Advokasi Perubahan UU No 20 tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran



58



B.



Advokasi Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pendidikan Kedokteran



59



Perjalanan Perjuangan Revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran



60



Daftar Pustaka



66



vi



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Daftar Tabel Tabel 1.



Perbedaan KBK dan KBD



6



Tabel 2.



Gambaran akreditasi Fakultas/Prodi Kedokteran (BAN PT, 2016)



7



Tabel 3.



Persentase kelulusan UKMPPD tahun 2015



9



Tabel 4.



Nama Praktisi yang bekerja di Layanan Primer



12



Tabel 5.



Pertambahan Jumlah FKTP dan Peserta JKN



18



Tabel 6.



Kecukupan Dokter Puskesmas Menurut Wilayah Tahun 2015



20



Tabel 7.



Rasio Rujukan dan Kunjungan FKTP per Tahun 2015-Agustus 2016



21



Tabel 8.



Rasio Rujukan Menurut Divisi Regional (Divre)



22



Tabel 9.



Tumpang Tindih jenis profesi



26



Tabel 10.



Ketidakharmonisan Kewenangan



28



Tabel 11.



Ketidakharmonisan Gelar Profesi



29



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



vii



Daftar Singkatan AD/ART : Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga ADB : Asian Development Bank AIPKI : Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia APS : Atas Permintaan Sendiri ARSPI : Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia AS : Amerika Serikat ASEAN : Association of South East Asia Nations Baleg : Badan Legislatif BAN PT : Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BIDI : Berita Ikatan Dokter Indonesia BME : Basic Medical Education BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial CBT : Computer Based Testing CHS : Consortium of Health Sciences CMMAO : Confederation of Medical Associationin Asia and Oceania Co-Ass : Coassistenschap DHA : District Health Account DIB : Dokter Indonesia Bersatu DIM : Daftar Isian Masalah Dirjen DIKTI : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DLP : Dokter Layanan Primer DPP : Dokter Pelayanan Primer DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia FK : Fakultas Kedokteran FKTP : Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer FKUI : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia FPKS : Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Gerindra : Gerakan Indonesia Raya Golkar : Golongan Karya HAM : Hak Asasi Manusia Hanura : Hati Nurani Rakyat HPEQ : Health Professional Education Quality IAKMI : Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia INA CBGs : Indonesia Case Base Groups ISMKI : Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia JKN : Jaminan Kesehatan Nasional KBD : Kurikulum Berbasis Disiplin Ilmu KBK : Kurikulum Berbasis Kompetensi Kemenristekdikti : Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi KIKKI : Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia



viii



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Daftar Singkatan



KIPDI : Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia KIS : Kartu Indonesia Sehat KKI : Konsil Kedokteran Indonesia KKNI : Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Kodeki : Kode Etik Kedokteran Indonesia KSDK : Kelompok Studi Dokter Keluarga MASEAN : Medical Association of ASEAN Menko PMK : Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan MK : Mahkamah Konstitusi MKI : Majalah Kedokteran Indonesia MKKI : Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia MTKI : Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia Nasdem : Nasional Demokrat NHA : National Health Account OSCE : Objectives Structured Clinical Examination P2KB : Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan PAN : Partai Amanat Nasional Panja : Panitia Kerja PB IDI : Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia PBL : Problem Based Learning PBPU : Peserta Bukan Penerima Upah PDGI : Persatuan Dokter Gigi Indonesia PDI : Partai Demokrasi Indonesia PDIB : Perhimpunan Dokter Indonesia Bersatu PDKI : Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia PDLP : Program Dokter Layanan Primer PDSm : Perhimpunan Dokter Seminat PDSp : Perhimpunan Dokter Spesialis PDUI : Perhimpunan Dokter Umum Indonesia Perthabin : Persatuan Thabib Indonesia PGME : Post Graduate Medical Education PKB : Partai Kebangkitan Bangsa PKS : Partai Keadilan Sejahtera PMDWNI : Penyelenggara Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia PMKS : Penyandang Masalah Kesehatan Sosial Pokja : Kelompok Kerja PPP : Partai Persatuan Pembangunan Prolegnas : Program Legislasi Nasional PTN : Perguruan Tinggi Negeri



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



ix



Daftar Singkatan



PTNBH : Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum PTS : Perguruan Tinggi Swasta Rakor : Rapat Koordinasi RDP : Rapat Dengan Pendapat RDPU : Rapat Dengar Pendapat Umum RI : Republik Indonesia RPP : Rencana Pelaksaan Pembelajaran RUU : Rancangan Undang-undang RUU Dikdok : Rancangan Undang-Undang Pendidikan Dokter SDM : Sumber Daya Manusia SJKN : Sistem Jaminan Kesehatan Nasional SK : Surat Keputusan SKDI : Standar Kompetensi Dokter Indonesia SKN : Sistem Kesehatan Nasional SKPDI : Standar Kompetensi Pendidikan Dokter Indonesia SKS : Satuan Kredit Semester SPICES : Student-centred, Problem-based, Integrated, Community-based, Elective, dan Systematic STR : Surat Tanda Registrasi Timus : Tim Perumus TOT : Training of Trainers UC : Universal Coverage UCSF : University of Carolina San Fransisco UI : Universitas Indonesia UK : United Kingdom UKM : Upaya Kesehatan Masyarakat UKMPPD : Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter UKP : Upaya Kesehatan Perorangan UKT : Uang Kuliah Tunggal UNICEF : United Nations International Children’s Emergency Fund UU : Undang-undang UUD 45 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 VIG : Van Indonesische Genesjkundigen WEF : World Economic Forum WFME : World Federation on Medical Education WHO : World Health Organization WMA : World Medical Association WONCA : World Organization of Family Doctors YME : Yang Maha Esa



x



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Prolog Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah usaha pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya tujuan berbangsa, yaitu derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45). Landasan konstitusional dari SKN adalah UUD 45 khususnya Pasal 28A: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28H ayat (1) ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 34 ayat (2) ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”, dan Pasal 34 ayat (3) ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”1. Kegagalan rakyat mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau secara geografis dan finansial adalah cerminan kegagalan negara. Pembangunan manusia bertumpu pada kesiapan layanan primer dengan mengedepankan kegiatan promotif dan preventif. Untuk itu, layanan primer harus dilaksanakan dengan sistematik, strategis dan senantiasa dipantau agar perjalanan kesehatan bangsa dapat terukur dan mencapai derajat kesehatan tertinggi Sir Michael Marmot (WHO) menyatakan, sistem kesehatan nasional pada setiap negara adalah “kendaraan” bagi bangsa itu untuk meraih masa depan.2 Ditegaskan, sistem kesehatan adalah kekuatan dan karakter bangsa yang mencakup keputusan politik, hukum, budaya, spiritual, solidaritas, pengelolaan ekonomi, teknologi, konsep, dan manajemen yang berfokus untuk membangun masa depan bangsa. Pencapaian setiap negara dalam membawa rakyatnya ke kehidupan yang lebih baik dapat terbaca dengan jelas dalam angka yang tertera dalam Human Development Index. Melihat angka yang tertera dalam Human Development Index dari tahun ketahun, perkembangan derajat kesehatan rakyat Indonesia tidak menggembirakan. Bahkan dalam catatan Indeks Daya Saing Global 2016-2017 yang ditulis World Economic Forum (WEF), peringkat Indonesia menurun, dari peringkat 37 menjadi peringkat 41 dari 138 negara. Pilar kesehatan dan pendidikan (2014-2016) peringkat Indonesia 1 2



Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diakses dari https://portal. mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UUD_1945_Perubahan.pdf pada tanggal 22 Februari 2017, pukul 23.24 Michael Marmot: Social Determinants of Health Inequalities. Lancet 365, 1099-104 (2005)



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



1



Prolog



turun drastis 20 tingkat menjadi peringkat ke 100 dari 138 negara.3 Penurunan tajam peringkat kesehatan dan pendidikan ini merupakan ”lampu merah” yang harus segera diantisipasi karena berkaitan langsung dengan perjalanan bangsa ini kedepan. WEF menyatakan, pembangunan pilar kesehatan Indonesia berjalan berbalikan dengan tren di negara-negara di kawasan ASEAN. Bahkan jelas dinyatakan bahwa derajat kesehatan bangsa Indonesia disebut sebagai yang terburuk diluar negara sub-Sahara Afrika. Hal yang menjadi catatan khusus adalah penurunan tajam peringkat Indonesia di pilar kesehatan dan pendidikan justru terjadi saat Indonesia memulai Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) pada tahun 2014. Walaupun belum jelas mekanismenya, angka penurunan peringkat ini jelas merupakan cerminan kegagalan pelaksanaan Sistem Kesehatan Nasional di negeri ini. Kegaduhan pada pelaksanaan SJKN-BPJS yang terus berlanjut, beredarnya vaksin palsu dan banyak hal buruk lain di negeri ini, menunjukkan adanya benang kusut pada pelaksanaan SKN. Hal yang menjadi pertanyaan, apakah keputusan yang diambil pemerintah di masa kemelut ini merupakan sebuah terapi kausal? Mungkinkah keputusan yang tepat akan lahir dari sebuah kekusutan? Ikatan Dokter Indonsisa (IDI) melihat adanya bayang-bayang kegagalan kian menghantui Sistem Kesehatan Nasional. Disinilah awal polemik Dokter Layanan Primer (DLP) itu lahir dan terus berkepanjangan. IDI sangat memahami bahwa layanan primer adalah tulang punggung Sistem kesehatan Nasional. IDI paham bahwa untuk mencapai tujuan kesahatan nasional penguatan layanan primer adalah harga mati. Persoalannya, benarkah pendidikan formal DLP yang memakan waktu 3 tahun dan membutuhkan biaya besar ini merupakan terapi kausal pada benang kusut yang terjadi di Sistem Kesehatan Nasional? Benarkah penyelenggaraan pendidikan DLP yang panjang dan mahal ini mampu mengangkat peringkat Indonesia dari keterpurukan? Apakah tidak ada cara lain yang lebih efektif dan efisien? Dalam situasi negara seperti ini, keputusan yang salah dapat membawa kerugian material, sosial, spiritual yang fatal sehingga dapat menyebabkan penderitaan masyarakat. Penurunan drastis pada produktivitas bangsa dan daya saing menjadikan cita-cita dan masa depan bangsa semakin menjauh sehingga perlu dilakukan usaha bermakna untuk mengatasi kegagalan ini, minimal dengan cara membuat keputusan yang tepat. Berdasarkan latar belakang tersebut, setiap keputusan harus dilakukan berdasarkan 3



Klaus Schwab: The Global Competitiveness Report 2016-2017. World Economic Forum. Jenewa (2016)



2



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Prolog



fakta dan studi lapangan yang seksama agar dapat memberi jawaban akurat atas kebutuhan riil masyarakat ditiap daerah. Situasi, ekologi, populasi, keadaan ekonomi dan pola penyakit disetiap negara tidak sama, sehingga keputusan yang baik bukan hanya berdasarkan telaah literatur saja atau mengadopsi keputusan negara lain. Negara Indonesia yang begitu luas dan beragam memerlukan solusi khusus dan tidak bisa disamakan dengan negeri Belanda. Sebagai organisasi profesional dan sekaligus pelaku lapangan terdepan yang selalu mengedepankan fakta lapangan dan kajian akademis, IDI meminta agar dilakukan studi (akademis) lapangan dalam pembuatan setiap keputusan agar kebutuhan masyarakat terpenuhi dan sistem dapat berjalan dengan efektif. Sesuai yang tertulis dalam AD/ART, IDI hadir bukan untuk kepentingan golongan tetapi untuk kepentingan “perjalanan” bangsanya. Namun ironis, polemik DLP mengesankan adanya konflik kepentingan antara IDI dan pemerintah. Akibatnya, titik temu semakin jauh dan akan merugikan semua pihak terutama masyarakat. Sistem adalah upaya berbagai pihak yang bekerja sinergis untuk menuju ke satu tujuan yang sama. Sistem pada layanan kesehatan di level manapun merupakan pekerjaan kompleks yang membutuhkan muatan ilmu pengetahuan (knowledge). Kesamaan rasa dan kesamaan pemahaman semua pihak sangat diperlukan agar sinergisme kerja dapat terbangun optimal dan hasil terbaik dapat tercapai. Buku putih ini adalah sikap ilmiah terbuka IDI atas persoalan bangsanya. Buku putih ini ditulis semata-mata atas panggilan tanggung jawab kebangsaan anggota IDI.



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



3



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP IDI menolak Program Studi Dokter Layanan Primer (DLP). Dasar pendapat IDI adalah bahwa pendidikan dokter umum sudah memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana yang diharapkan dalam Program Studi Dokter Layanan Primer, yaitu meliputi pemecahan masalah mulai dari promotif/preventif hingga kuratif menggunakan pendekatan individual, keluarga dan komunitas. Perbedaan yang ada sifatnya minor, yang bisa didekati melalui continuing professional education menggunakan modul terstruktur melalui P2KB (Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan). Selain itu IDI berpendapat untuk memperbaiki kualitas lulusan dokter umum, lebih baik memperbaiki dulu proses pendidikan dokter di hulu yang banyak bermasalah, daripada memperbaiki di hilir. Hal inilah yang dibahas mendalam dalam bab ini. A. Perkembangan Kurikulum Pendidikan Kedokteran Indonesia Pendidikan kedokteran adalah program studi yang sudah berevolusi sejak lama. Sebelum 1955 pendidikan berjalan lebih bebas dan mengikuti pendidikan dokter Belanda. Mahasiswa dapat menentukan sendiri mata kuliah dan praktikum yang akan diambilnya. Konsekuensi dari hal ini adalah lama pendidikan menjadi sangat beragam dan lebih panjang. Sulit untuk menentukan perkiraan jumlah lulusan per tahun, serta kesulitan untuk merancang pemenuhan kebutuhan dokter secara nasional. Pada tahun 1955, Prof. Soetomo melakukan pendekatan dengan University of Carolina San Fransisco (UCSF) untuk membantu penyusunan kurikulum baru. Kurikulum ini memiliki lama studi selama 6 tahun yang disebut dengan studi terpimpin (guided study). Sistem pendidikan tersebut berlangsung selama 6 tahun, terdiri dari tahap preklinik yang lama pendidikannya adalah 4 tahun dengan gelar Doctorandus Medicus (Drs.Med) dan tahap klinik di Rumah Sakit (Coassistenschap) dan Puskesmas dengan sebutan Co-Ass selama 2 tahun. Tahap klinik, mahasiswa melakukan rotasi di berbagai departemen, yaitu: Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Bedah masing-masing selama 12 minggu; Ilmu Kebidanan, Ilmu Kedokteran Anak dan Psikiatri-Neurologi masing-masing selama 8 minggu. Kurikulum dan metode pengajaran sejak tahun 1955 ini terus berjalan selama sekitar 26 tahun. Pada tahun 1981, kurikulum pendidikan kedokteran dimodifikasi merujuk pada Consortium of Health Sciences (CHS) melalui terbitnya Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) I. KIPDI I merupakan discipline based-curriculum dengan pendekatan aspek kognitif, psikomotor, dan perilaku (attitude) dan memenuhi kemampuan bidang medik, bedah, perilaku, dan kesehatan komunitas. Kurikulum yang menjadi acuan bagi Fakultas Kedokteran adalah minimal mengandung KIPDI I atau 80% KIPDI dengan 20% muatan lokal. KIPDI I ini berlaku hingga tahun 1993. Pada tahun 1993, CHS menerbitkan kembali KIPDI II yang bersifat lebih terintegrasi dengan belajar aktif serta mandiri. Pada KIPDI II, terdapat tahapan program pendidikan akademik dengan jumlah SKS 128-160 SKS dan program keprofesian dengan jumlah SKS 32-40 SKS. Kurikulum fakultas harus 80% mengacu kepada KIPDI II, 20% muatan lokal (kurikulum pelengkap). KIPDI II yang bersifat subject-based, berlaku dari periode 19932006, namun pelaksanaan KIPDI II ini tidak berjalan dengan baik di Fakultas Kedokteran



4



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP



sehingga banyak yang kembali menggunakan metode pengajaran konvensional. Pada tahun 2004, dibentuk tim untuk pembentukan KIPDI III yang terdiri dari Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan dan perhimpunan profesi yang diwakili oleh Kolegium Dokter Indonesia yang disebut dengan Tim Kurikulum Nasional Berbasis Kompetensi untuk Pendidikan Dokter Pelayanan Primer dengan pendekatan kedokteran keluarga. Sejak tahun ini, pendidikan dokter umum sudah secara eksplisit diarahkan sebagai dokter keluarga. Dalam berjalannya proses pembentukan KIPDI III, kurikulum pada singkatan KIPDI, diganti menjadi “Standar Kompetensi”. Pada tanggal 27-28 April 2006, di Hotel Millenium Jakarta, dengan diprakarsai oleh Dirjen DIKTI diadakan lokakarya KIPDI III yang kemudian disebut dengan Standar Kompetensi Pendidikan Dokter Indonesia (SKPDI). Kurikulum pendidikan dokter menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan ini terdiri dari tahap pendidikan kedokteran dasar dan internship. SKPDI ini sebenarnya mengacu pada kebutuhan masyarakat yang indikatornya diformulasikan pada standar pelayanan minimal untuk mencapai Indonesia Sehat 2010 dan World Federation on Medical Education (WFME). WFME dalam konferensi yang dilaksanakan di Kopenhagen, Denmark (2002), menyatakan perlu adanya kompetensi yang wajib dikuasai dokter untuk menjamin mutu dan peningkatan pelayanannya kepada masyarakat. Kompetensi ini digunakan sebagai standar pendidikan dan mendasari proses pendidikan yang digunakan untuk mencapai kompetensi. Kompetensi yang disusun dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) terdiri dari 7 area kompetensi dengan kompetensi inti dan komponen kompetensinya. Kompetensi ini telah difokuskan pada pendekatan kedokteran keluarga karena disesuaikan dengan hasil WHO-WONCA (Organisasi Dokter Keluarga Sedunia) tahun 1994, yang merekomendasikan penyelarasan program pendidikan kedokteran dasar untuk menanggapi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu melalui konten pendekatan kedokteran keluarga di dalam kurikulumnya. Perbedaan antara Kurikulum Berbasis Disiplin Ilmu (KBD) dengan KBK antara lain tergambar dalam Tabel 1. SKDI digunakan sebagai acuan bagi pengembangan kurikulum pendidikan kedokteran. SKDI terbaru yang digunakan adalah SKDI 2012 yang merupakan hasil dari dari evaluasi SKDI 2006. Pada saat ini, minimal lama pendidikan dokter adalah 7 semester untuk tahap akademik dan 4 semester untuk tahap profesi. SKDI 2012 ini adalah hasil kerjasama dari Konsil Kedokteran Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia Kolegium Dokter, Kolegium-kolegium Dokter Spesialis, Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Kesehatan (2009-2012), Kelompok Kerja Ikatan Dokter Indonesia, 72 Fakultas Kedokteran/ Program Studi Kedokteran dan 36 Kolegium Kedokteran1. 1



Konsil Kedokteran Indonesia (KKI): Standar Kompetensi Dokter Indonesia, Jakarta 2012



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



5



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP



Tabel 1. Perbedaan KBK dan KBD Referensi



KBK1



KBD2



WFME



Konvensional



Lama studi



Min 7 + 4 semester



Proses



Banyak metoda/ SPICES



“pasien bukan objek”



Kuliah + Praktikum



Min 8 + 4 semester



“pasien jadi objek” Output



Mencapai kompetensi



Kompetensi ++



Internsip



+



-



Uji Kompetensi



Sebelum internship



Sesudah selesai proses pendidikan



Penilaian Kinerja & Profesionalisme



+



-



SKDI ini berisi Daftar Pokok Bahasan untuk mencapai 7 area kompetensi,
yaitu Daftar Masalah, berisikan berbagai masalah yang akan dihadapi dokter pada layanan primer, Daftar Penyakit, berisikan nama penyakit yang merupakan diagnosis banding dari masalah yang dijumpai pada daftar masalah dan Daftar Keterampilan Klinis, berisikan keterampilan klinis yang perlu dikuasai oleh dokter pada layanan primer di Indonesia2. Dalam pemecahan masalah kesehatan, kurikulum SKDI 2012 sudah dirancang agar lulusan dokter mampu untuk: 1. Melaksanakan promosi kesehatan pada individu, keluarga dan masyarakat 
 2. Melaksanakan pencegahan dan deteksi dini terjadinya masalah kesehatan pada individu, keluarga dan masyarakat
 3. Melakukan penatalaksanaan masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat
 4. Memberdayakan dan berkolaborasi dengan masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
 5. Mengelola sumber daya secara efektif, efisien dan berkesinambungan dalam penyelesaian masalah kesehatan
 6. Mengakses dan menganalisis serta menerapkan kebijakan kesehatan spesifik yang merupakan prioritas daerah masing-masing di Indonesia Jelaslah bahwa pendidikan dokter umum di Indonesia sudah diarahkan untuk menjadi dokter pada layanan primer dengan pendekatan individual, keluarga dan masyarakat. Jika output nya masih belum sesuai dengan tujuan dalam SKDI ini, maka yang perlu diperbaiki adalah input dan proses pendidikan dari institusi pendidikannya, dan melalui pendidikan 2



Konsil Kedokteran Indonesia (KKI): Standar Kompetensi Dokter Indonesia, Jakarta 2012; hal 19-20.



6



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP



profesi berkelanjutan, bukan diperbaiki di hilir melalui program studi DLP. Bagaimanakah kualitas proses pendidikannya, dibahas dalam seksi berikut. B.



Pelaksanaan Program Pendidikan Dokter



Dalam melaksanakan pendidikan kedokteran, terdapat standar yang perlu dipenuhi dan digunakan di berbagai negara di dunia. Standar tersebut bertujuan untuk menjaga kualitas produksi dokter agar dokter yang dihasilkan adalah dokter dengan kualitas terbaik. Standar tersebut mulai dari aspek masukan, proses dan luaran serta outcome-nya. Pada kualitas masukan perlu dipantau sistem penerimaan mahasiswa baru, staf pengajarnya dan fasilitas yang dimiliki Fakultas Kedokteran. Pada kualitas proses perlu dipantau mengenai kurikulum, proses belajar mengajar, dan sistem penilaian yang digunakan. Pada kualitas luaran perlu dipantau lulusan yang dihasilkan Fakultas Kedokteran apakah sesuai dengan kompetensi yang diharapkan, sedangkan pada aspek outcome perlu dipantau profesionalisme dokter setelah bekerja (pada tahap internship). Proses penjaminan mutu ini melibatkan berbagai pemangku kebijakan, selain Fakultas Kedokteran terkait, pemerintah melalui Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dan Kementerian Kesehatan yang terutama terlibat dalam koordinasi kegiatan pendidikan tahap profesi, Konsil Kedokteran Indonesia, dan juga organisasi profesi. Pemantauan dilakukan pada berbagai aspek tersebut melalui akreditasi, uji kompetensi dan evaluasi KKI dan koordinasi dengan organisasi profesi terutama pada aspek luaran dan kualitas outcome. Dari sisi masukan, hingga akhir tahun 2016, jumlah seluruh Fakultas Kedokteran di Indonesia saat ini mencapai 83 Fakultas Kedokteran, dengan tambahan 8 Fakultas Kedokteran baru yang telah diresmikan oleh pemerintah di tahun 2016. Namun mutu pendidikan dari 83 Fakultas Kedokteran di Indonesia masih belum optimal dengan adanya 37 Fakultas Kedokteran dengan akreditasi C (1 Fakultas Kedokteran belum terakreditasi) dan hanya 17 Fakultas Kedokteran yang terakreditasi A (Tabel 2). Tabel 2. Gambaran akreditasi Fakultas/Prodi Kedokteran (BAN PT, 2016)3



3



Akreditasi



Jumlah FK



A



17



B



28



C



37 (+ 1 Fakultas Kedokteran belum terakreditasi)



Jumlah



83



Tabel tersebut diambil dari presentasi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kebijakan Kemristekdik/Penjaminan Mutu Pendidikan Kedokteran, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2015. Presentasi itu menjelaskan posisi 75 Fakultas Kedokteran yang ada. Namun pada tahun 2016, bertambah lagi 8 Fakultas Kedokteran baru.



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



7



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP



Sejak tahun 2006, Fakultas Kedokteran di Indonesia menggunakan kurikulum berbasis kompetensi dengan menggunakan Problem Based Learning (PBL). PBL merupakan metode pendidikan yang membutuhkan sumber daya yang besar, baik dalam hal infrastruktur, fasilitas pendidikan maupun sumber daya manusia. Infrastruktur dan fasilitas pendidikan dibutuhkan ruang-ruang yang lebih banyak dan ruang untuk melakukan keterampilan klinis serta ruang ujian yang menjadi standar pendidikan dalam akreditasi. Dari sisi sumber daya, dibutuhkan 1:10 mahasiswa untuk tahap preklinik dan 1:5 mahasiswa untuk tenaga pengajarnya, belum lagi terdapat lebih dari 30 bidang ilmu di kedokteran yang harus dimiliki oleh institusi pendidikannya untuk dapat mencapai sasaran pembelajaran mahasiswa. Dari aspek masukan ini, KBK dengan metode PBL yang dilaksanakan pada Fakultas Kedokteran menuntut pula sumber daya yang besar. Pembiayaan pada tahap akademik semakin meningkat, demikian pula biaya yang besar terutama dikeluarkan institusi pendidikan pada tahap profesi. Pendidikan di Rumah Sakit melibatkan fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya yang besar termasuk keselamatan pasien dan mahasiswa sendiri dalam melakukan praktik, karena fokus kegiatan di rumah sakit adalah pelayanan. Belum lagi adanya syarat bagi Fakultas Kedokteran untuk memiliki Rumah Sakit Pendidikan sendiri untuk menjalankan kegiatan pendidikannya. Pengelolaan Rumah Sakit membutuhkan juga biaya yang besar. Pada beberapa pengelola institusi pendidikan, Fakultas Kedokteran ditempatkan juga sebagai institusi yang dapat memberikan keuntungan komersial. Adanya kriteria kelompok jalur penerimaan mahasiswa baru, seperti jalur penerimaan mandiri ataupun internasional, merupakan salah satu bentuk inovasi institusi pendidikan yang menunjukkan bentuk komersialisasi pendidikan kedokteran. Walaupun saat ini pemerintah sudah memberlakukan sistem pembiayaan melalui Uang Kuliah Tunggal (UKT), namun hal ini hanya berlaku untuk Fakultas Kedokteran negeri yang dikelola pemerintah. Pembiayaan untuk Fakultas Kedokteran tetap tertinggi di antara bidang ilmu lainnya. Komersialisasi pendidikan kedokteran ini terlihat juga dari menjamurnya pembukaan Fakultas Kedokteran oleh perguruan-perguruan tinggi negeri dan swasta. Pada tahun 2007, Fakultas Kedokteran hanya berjumlah 35 Fakultas Kedokteran, pada tahun 2015 menjadi 75 Fakultas Kedokteran, kemudian pada tahun 2016, telah diresmikan oleh pemerintah 8 Fakultas Kedokteran baru, sehingga jumlah seluruh Fakultas Kedokteran di Indonesia saat ini mencapai 83 Fakultas Kedokteran yang terdiri dari 35 Fakultas Kedokteran di perguruan tinggi negeri (3 Fakultas Kedokteran di bawah Kementerian Agama) dan 46 Fakultas Kedokteran di perguruan tinggi swasta. Pembiayaan pendidikan kedokteran yang tinggi ini menimbulkan persepsi masyarakat yang kurang baik. Fakultas Kedokteran dianggap dikelola untuk mendatangkan pendapatan cukup besar bagi perguruan tinggi dengan cara yang sangat mudah, yaitu dengan menerapkan uang pendaftaran dan uang kuliah yang sangat tinggi kepada para calon peserta didik, jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah. Hal yang sangat berbeda



8



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP



dengan 15 tahun lalu di saat negara masih bertanggungjawab terhadap pendidikan termasuk pendidikan kedokteran, sehingga biaya pendidikan kedokteran sangat murah dan terjangkau. Dari sisi proses, pendidikan kedokteran di Indonesia yang berlangsung 10 semester, itu dianggap kurang cukup untuk membuat dokter mahir untuk berpraktik di layanan primer atau di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer (FKTP). Karena itu untuk memahirkan perlu pembelajaran secara mandiri di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan untuk 1 tahun internship. Melalui KBK dan active learning, proses pendidikan dilewati oleh mahasiswa seharusnya lebih baik daripada pendidikan konvensional terutama dalam hal penguasaan keterampilan klinis, namun yang perlu dikaji apakah pelaksanaannya optimal. Sebagai contoh: mahasiswa membutuhkan diskusi kelompok yang dilaksanakan oleh 1 tutor untuk 10 mahasiswa, namun karena kendala pada prosesnya kegiatan ini terpaksa dilakukan secara bersamaan dengan 10 mahasiswa dari kelompok yang lain, dst. Dari sisi luaran, penilaian bagi dokter untuk dapat berpraktik telah dilakukan melalui beberapa tahap antara lain uji kompetensi nasional dengan mengikui Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) Indonesia sebagai syarat kelulusan untuk mengikuti internship. UKMPPD juga dilakukan dengan 2 tahap, Computer Based Testing (CBT) dan Objectives Structured Clinical Examination (OSCE). Setelah UKMPPD, tahap ujian selanjutnya adalah ujian internship melalui portfolio. Jika dilihat dari hasil lulusan UKMPPD, pada tahun 2015 hanya terdapat 40 Fakultas Kedokteran yang telah meluluskan dokter yang dinyatakan memiliki lulusan UKMPPD >50%. Dari 40 itu, sebanyak 21 Fakultas Kedokteran yang mampu meluluskan >70%). Dari 25 Fakultas Kedokteran yang meluluskan 70 % 6 19 25



9 10 19



14 7 21



Jumlah 29 36 65



Tabel tersebut diambil dari presentasi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kebijakan Kemristekdik/Penjaminan Mutu Pendidikan Kedokteran, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2015. Dari 75 Fakultas Kedokteran yang ada, baru 65 Fakultas Kedokteran yang menghasilkan lulusan



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



9



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP



Dari sisi luaran lainnya, yaitu jumlah dokter yang dibutuhkan berdasarkan jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan standar perbandingan jumlah dokter dan jumlah penduduk menurut WHO (40 dokter untuk 100.000 penduduk), jumlah dokter Indonesia telah mencukupi, yaitu 45 dokter untuk 100.000 penduduk (jumlah penduduk Indonesia sekitar 255.461.700 jiwa pada tahun 2015). Saat ini jumlah dokter berdasarkan data KKI, per tanggal 10 Februari 2017 tercatat telah terdaftar 149,479 dokter, terdiri atas 116,935 dokter dan 32,544 dokter spesialis di Indonesia (Bagan 1).



Dari Bagan 2 terlihat bahwa jumlah dokter yang mempunyai STR aktif adalah sebanyak 125,847 dokter, terdiri atas 96,298 dokter dan 29,549 dokter spesialis. Sehingga dari sekitar 150,000 dokter, ada sekitar 23,600 dokter dan 3000 dokter spesialis yang STR nya tidak aktif, bisa jadi karena belum diurus, bisa juga karena mereka berpindah ke tugas struktural atau berpindah bidang penelitian atau lainnya yang tidak memerlukan STR lagi. Hingga kini, banyak daerah kekurangan dokter, sebaliknya di kota besar terjadi penumpukan dokter5. Kekurangan dokter di daerah tertentu dijadikan dalih oleh Pemda dan perguruan tinggi setempat untuk mengajukan pembukaan Fakultas Kedokteran meskipun perguruan tinggi pengusul tidak mempunyai cukup kompetensi dan kapasitas untuk menyelenggarakan pendidikan dokter. Sebenarnya persoalan ini jika dikaitkan dengan pendidikan kedokteran saat ini, banyak faktor yang menimbulkan masalah distribusi dokter, mulai dari tingginya biaya sekolah, rekruitmen calon dokter yang tidak sesuai, proses pendidikan yang kurang mengakrabkan mahasiswa dengan daerah, maupun insentif dan fasilitas yang tidak memadai untuk dokter bekerja di daerah. Peran pemerintah untuk melakukan affirmative action, merupakan antisipasi yang sangat baik bagi distribusi dokter di daerah, bukan dengan melalui ijin penambahan jumlah Fakultas Kedokteran-nya. 5



besarnya maldistribusi ini akan dibahas pada bab berikut.



10



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP



C.



Polemik Dokter Layanan Primer



Pada saat diterbitkannya UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang selanjutnya akan disebut denganUndang Undang no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, timbul nomenklatur baru yang tidak terdapat sebelumnya pada UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu Dokter Layanan Primer (DLP). DLP ini menjadi polemik bagi profesi dokter, karena dokter umum yang merupakan produk dari pendidikan profesi kedokteran yang tadinya sudah layak bekerja sebagai dokter di layanan primer atau FKTP (fasilitas kesehatan tingkat pertama, berdasarkan UU No 20 Tahun 2013 ini, dianggap masih belum kompeten dan dituntut untuk melanjutkan pendidikan DLP, agar memenuhi kualifikasi untuk melakukan praktik di pelayanan primer, sesuai penjelasan Undang undang itu pasal 8 ayat 2 : “Program dokter layanan primer ditujukan untuk memenuhi kualifikasi sebagai pelaku awal pada layanan kesehatan tingkat pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan nasional”6. Pemberlakuan undang undang itu otomatis mengancam legalitas 100 ribu dokter umum yang bekerja di FKTP, baik Puskesmas, klinik maupun dokter praktik mandiri. Mereka bisa di pidanakan7. Namun polemik DLP jauh lebih luas, karena persoalan yang ditimbulkan nya baik dari segi definisi, istilah setara spesialis, kesulitan profesi, maupun ketidakharmonisan dengan Undang-undang lainnya. Di dalam bab ini, kita membahas berbagai masalah yang timbul, kecuali ketidakharmonisannya dengan undang-undang lain yang dibahas pada bab lain. 1.



DLP Adalah Dokter yang Bekerja di FKTP



Dokter layanan primer, adalah satu-satunya profesi yang disebut dalam undang-undang, namun definisinya tidak ada dari 24 istilah yang disebut dalam pasal 1 dalam Bab 1 Ketentuan Umum UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Di seluruh dunia tidak ada profesi dokter bergelar DLP atau dokter layanan primer. Karena memang dokter layanan primer adalah dokter yang bekerja di layanan primer. Dokter yang bekerja di layanan primer, pada umumnya disebut dokter umum, atau dokter keluarga, meskipun di Amerika Serikat ada dokter spesialis yang bekerja di layanan primer. Biasanya di sebuah negara, dokter yang bekerja di layanan primer adalah dokter umum atau dokter keluarga (Lihat Tabel 4). Karena di manapun di dunia dokter umum adalah dokter keluarga. WONCA (World Organization of National Colleges, Academies and Academic Associations of General Practitioners/Family Physicians) juga menyebutkan dokter umum adalah dokter keluarga. 6 7



Banyak tafsir atas penjelasan itu. Tetapi justru itu masalahnya: ketidakpastian hukum. Undang Undang ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Keterangan prof Hasbullah Tabrani, pakar JKN di berbagai kesempatan.



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



11



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP



Karena itu IDI berpendapat bahwa DLP bukan profesi. DLP merupakan istilah untuk dokter yang bekerja di layanan primer atau di FKTP, apapun profesinya. Tabel 4: Nama Praktisi yang bekerja di Layanan Primer8 Nama Departemen Primary Care Health Sciences Health Sciences and Primary Care Family Medicine General Practice Primary Care Family Medicine Family Medicine Family and Community Medicine Primary Care Medicine



2.



Universitas Oxford Utrecht Sebagian besar FK Melbourne, Monash Tsukuba Semua FK



Negara UK Belanda AS Australia Jepang Korea Selatan Semua FK Taiwan Philippines Filipina University of Malaya Malaysia



Praktisi General Practitioner Family Physician Family Physician General Practitioner Family Physician Family Physician Family Physician Family Physician Family Physician



DLP: Kastanisasi Baru



Dalam UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran disebutkan bahwa dokter layanan primer adalah dokter setara spesialis, sebuah istilah yang juga tidak dijelaskan. Mengingat istilah setara spesialis tidak sama dengan spesialis, tidak perlak lagi dokter layanan primer menimbulkan kastanisasi baru, yaitu dokter umum, dokter layanan primer yang setara spesialis dan dokter spesialis. Karena model pendidikan kedokteran di Indonesia, jenjang spesialis diselenggarakan setelah sesorang selesai menempuh pendidikan dokter umum, maka dokter umum menjadi kasta yang paling rendah. Masalah ini tidak bisa selesai hanya dengan menghilangkan posisi dokter layanan primer, melainkan melalui reformasi sistem pendidikan kedokteran di Indonesia, agar posisi dokter umum sejajar dengan posisi spesialis, berbeda hanya karena lapangan kerjanya. Artinya revisi UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran menjadi keharusan. D. Problematik Melahirkan Program Studi DLP 1. Syarat Membuka Program Studi Fakultas kedokteran yang akan melahirkan program studi dokter layanan primer akan menghadapi problem, karena kurikulum program studi adalah 80 % program studi dokter keluarga, 10 % kedokteran komunitas, dan 10 % kesehatan masyarakat. Program Studi baru hanya bisa disetujui oleh pemerintah bila berbeda signifikan (60%)9. 8 9



Tabel diambil dari Kelompok Kerja Percepatan Pendidikan Dokter Layanan Primer : Pendidikan Dokter Layanan Primer, Kementerian Pendidikan Tinggi & Ristek - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2015 , dipotong sebagian. Prosedur PenyeIenggaraan Program Studi Program Magister dan Profesi PTN dan Swasta, Kemenristekdikti 2015



12



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP



Menurut UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Perguruan Tinggi Negeri yang sudah berbadan hukum (PTNBH) memiliki kewenangan untuk membuka, menyelenggarakan dan menutup program studi10. Demikian pula pada Peraturan Pemerintah no 4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, pasal 25 ayat a1.b. disebutkan juga kewenangan otonomi pengelolaan bidang akademik untuk pembukaan, perubahan dan penutupan program studi bagi PTNBH. Namun, sebagaimana diketahui untuk pembukaan program studi profesi, UU no 12 tahun 2012 pasal 17 ayat 2 juga menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan profesi dilakukan bekerja sama dengan Kementerian terkait dan Organisasi Profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi tersebut. Pembukaan program studi profesi tidak dapat dibuka secara otonomi tanpa berkoordinasi dengan pihak lainnya. Di samping itu, pada UU yang sama, dinyatakan pembukaan program studi harus memenuhi persyaratan minimum akreditasi11, sehingga pembentukannya tidak dapat dilakukan semaunya. Program studi baru pun harus memiliki perbedaan signifikan, sebagaimana program studi baru pada umumnya. Apalagi program studi dokter layanan primer, jika pun ingin dibuka, perlu menunggu keluarnya peraturan pemerintah tentang hal itu terlebih dahulu sesuai amanat UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran12. 2. Standard Pendidikan Profesi Pendidikan profesi juga harus melalui berbagai ketentuan. Perlu ada standar pendidikan profesinya, yang harus ditetapkan bersama oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan Kolegium Kedokteran, assosiasi pendidikan kedokteran, dan asosiasi rumah sakit pendidikan13. Padahal sampai sekarang standar pendidikan profesinya belum pernah ditetapkan. 3. Kolegium DLP Profesi baru hanya ada bila ada kolegiumnya. Kolegium kedokteran Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut14. Kolegium baru harus diusulkan melalui dan disetujui oleh MKKI (Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia). Dalam hal ini, Kolegium dokter layanan primer juga tidak mungkin disetujui, karena sudah ada Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia (KIKKI). Kolegium Dokter Layanan Primer tidak mungkin terbentuk, karena keilmuannya praktis sama dengan Kedokteran Keluarga 10 UU 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 65, ayat 3g. 11 lihat UU 12 tahun 2012 pasal 33, ayat 3. Program studi diselenggarakan atas izin Menteri setelah memenuhi persyaratan akreditasi. PTNBH tidak perlu ijin menteri, namun tetap harus memenuhi persyaratan akreditasi. 12 UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran pada pasal 7 ayat (9) menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai program dokter layanan primer sebagaiamana dimaksud pada ayat (5) dan program internsip sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Pemerintah” 13 Pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang Undang 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 14 Pasal 1 ayat 13 Undang Undang 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



13



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP



4. Surat Tanda Registrasi Karena Kolegium Dokter Layanan Primer tidak ada, maka lulusan program studi DLP seperti yang diselenggarakan di universitas tertentu tidak mendapat sertifikat kompetensi15. Tanpa sertifikat kompetensi, tidak mungkin mendapat STR (Surat Tanda Registrasi) dari KKI (Konsil Kedokteran Indonesia)16, sebagai syarat untuk bekerja di layanan primer. Artinya 3 tahun yang ditempuhnya akan mubadzir. Kedudukan MKKI dan KKI sebagai institusi terpisah dari MTKI (Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia) menjadi kuat karena keputusan Mahkamah Konstitusi menyetujui Judicial Review UU Tenaga Kesehatan. E. Peningkatan Kualitas Pelayanan melalui Modul Terstruktur Melalui SKDI 2012, dokter umum sudah dipersiapkan melayani di FKTP. Dengan semangat KKNI, maka pencapaian pembelajaran bisa beragam, tidak harus melalui pendidikan formal17. IDI berpendapat, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di tingkat primer di seluruh wilayah Indonesia dapat lebih efektif dan lebih efisien dilakukan melalui modul terstruktur, melalui program P2KB (Program Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan P2KB yang sangat fleksibel, karena IDI bisa bekerja sama baik dengan universitas, maupun dengan institusi pendidikan/pelatihan lainnya, melalui sertifikasi kelayakannya, sehingga bisa lebih merata ke seluruh provinsi, dengan daya tampung yang lebih besar. Artinya, peserta bisa melakukan pendidikannya pada wilayah yang lebih dekat. 2. P2KB memungkinkan IDI bekerja sama dengan 36 Kolegium yang ada, sehingga bisa lebih fleksibel menggunakan tenaga ahli yang keahliannya beragam. 3. Metode P2KB secara administratif lebih sederhana dibandingkan pendidikan formal, berupa pelatihan tatap muka dan e-learning sehingga bisa disusun modul yang kontekstual dengan kebutuhan sesuai dengan kebutuhan dokter di layanan primer di berbagai wilayah di Indonesia. 15 Pasal 29 ayat 3 Undang Undang 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 16 Pasal 29 ayat 2 Undang Undang 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 17 Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) adalah kerangka penjenjangan kualifikasi sumber daya manusia Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam suatu skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan. Lihat di http:// www.kkni-kemenristekdikti.org



14



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP



4. Dari segi waktu, 1 modul mungkin berkisar 1-2 bulan, sehingga memungkinkan peserta didik mencapai kompetensi yang lebih cepat dan sesuai, karena hanya mengambil modul sesuai kebutuhan saja. Secara singkat P2KB memungkinkan kita untuk melaksanakan program peningkatan kualitas layanan di lebih banyak tempat, menjangkau lebih banyak dokter, membuat kurikulum yang lebih beragam, dengan waktu yang lebih singkat dan biaya yang lebih terjangkau.



Klarifikasi buku “Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional Berorientasi Pelayanan Primer”



Sebuah kontroversi yang beberapa kali disebut: mengapa IDI, yang menerbitkan buku “Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional Berorientasi Pelayanan Primer” (lihat cover terlampir), yang didalamnya menjelaskan Dokter Layanan Primer, menolak Program Studi Dokter Layanan Primer? Bagian ini menjelaskan kontroversi tersebut. Buku tersebut disusun oleh Dr. Gatot Soetono, MPH dan Dr. Oktarina, MSc. Oleh PB IDI buku ini dimaksudkan sebagai sebuah karya akademik sebagai dasar untuk menyikapi isu DLP yang dimuat di dalam UU No. 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran. IDI sebagai sebuah organisasi profesi selalu berusaha menyikapi sebuah isu melalui bahasan akademik. Karya akademik adalah salah satu ciri utama IDI sebagai sebuah organisasi organisasi profesi, yang selalu terbuka untuk dikritisi terutama oleh anggota-anggota IDI. Sehingga buku itu bukan atau belum mencerminkan persetujuan IDI. Sikap IDI terhadap DLP ditentukan kemudian, melalui rapat pleno. Menindaklanjuti buku yang diterbitkan pertama kali pada 2014 tersebut, PB IDI melalui SK PB IDI NO. 1552/PB/A/4/01/2015 tertanggal 5 Januari 2015 membentuk Pokja Tim Penyusun Konsep Pelayanan dan Pendidikan Terpadu bagi Dokter yang Bekerja di Layanan Primer Berbasis Kebutuhan Masyarakat. Dengan berpegang pada buku Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional Berorientasi Pelayanan Primer, Tim melakukan pengumpulan data lapangan di Kota Malang. Di sana para dokter telah menerapkan prinsip-prinsip yang berorientasi pada pelayanan primer.



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



15



I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP



Hasil kerja Pokja dilaporkan pada Rapat Pleno PB IDI tanggal 19 Maret 2015. Keputusan Rapat Pleno PB IDI menerima konsep yang ditawarkan oleh Pokja dengan pokok pikiran sebagai berikut: 1. Peningkatan kompetensi dokter yang bekerja di tingkat layanan primer mendesak untuk segera dilakukan. 2. Peningkatan kompetensi dilakukan melalui P2KB terstruktur 3. Disiapkan modul sesuai kebutuhan lapangan. Pada saat itu diidentifikasi telah tersedia 24 modul Dalam ini Pokja ditugaskan untuk: 1. Merampungkan modul-modul yang tersedia dan menambah modul baru sesuai dengan kebutuhan 4. Penyiapan modul dilakukan dengan dukungan kolegium terkait 5. Menyiapkan metode belajar-mengajar dalam bentuk tatap muka dan jarak jauh. 6. Melakukan uji coba model P2KB terstruktur tersebut dalam bentuk riset operasional pada 3 kabupaten/kota dengan kriteria urban, suburban dan rural 7. Riset operasional bekerja sama dengan Asosiasi pemerintah kabupaten dan kota. Langkah pertama dilakukan dalam bentuk Semiloka Pelayanan Kesehatan Tingkat Primer. Pleno juga merekomendasikan untuk melakukan lokakarya sebagai bentuk sosialisasi hasil kerja Pokja kepada semua pemangku kepentingan. Lokakarya yang menjadi rekomendasi Pleno PB 19 Maret 2015 dilaksanakan pada tanggal 7 April 2015 yang dihadiri oleh Kementerian Kesehatan RI dalam hal ini Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan dan Badan PPSDM Kesehatan, Direktorat Jenderal DIKTI, Bappenas, Bank Dunia, WHO, UNICEF, ADB, dll. Hasil lokakarya adalah rekomendasi untuk melanjutkan rencana tahapan yang sudah disiapkan karena dianggap sebagai jalan keluar terbaik. Sehingga tidak benar jika dikatakan bahwa konsep pendidikan DLP melalui jalur formal berasal dari PB IDI. PB IDI merekomendasikan pendidikan bagi dokter yang bekerja pada layanan primer dilakukan melalui konsep P2KB – Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan.



16



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



II. Program Studi DLP: Pemborosan Dan Bukan Solusi Salah satu isu besar lainnya mengapa IDI menolak program studi DLP adalah ketidaksesuaiannya dengan konteks pelayanan kesehatan saat ini sehingga DLP dapat dikatakan pemborosan dan bukan solusi. Pemborosan menjadi krusial, apalagi saat negara menganjurkan berhemat yang ditandai dengan banyaknya pemotongan budget anggaran yang sudah disetujui dalam tahun 2016-2017. Pendirian program studi DLP ini juga bukan solusi atas berbagai masalah yang saat ini dihadapi. Pada bab ini akan diperjelas isu tersebut, dan akan digarisbawahi kontradiksinya dengan upaya pemerintah untuk mengatasi masalah pelayanan kesehatan saat ini. A.



Isu Pertama: Memantapkan Sistem Pelayanan Kesehatan



Salah satu fokus pengelolaan pelayanan kesehatan di Indonesia adalah pemantapan sistem pelayanan kesehatan. Secara legal, Sistem Kesehatan Nasional (SKN) diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 20121. Menurut PP tersebut, pelayanan kesehatan terbagi dalam dua golongan besar, yaitu Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Meskipun keduanya mempunyai spektrum pelayanan yang komprehensif, mulai dari promotif ke kuratif, namun fokus dari UKP adalah kuratif sedang fokus UKM adalah promotif (lihat gambar). Jika UKP melakukan pelayanan promotif, maka konteksnya adalah penjelasan atau konsultasi secara individu. Bila UKM melakukan kuratif, maka konteksnya adalah pengobatan massal, ataupun ketika menanggulangi wabah. Tentu diantaranya ada wilayah kerja yang beririsan, misalnya pendekatan ke keluarga, yang bisa didekati dari aspek anggota keluarga (UKP), maupun sebagai anggota masyarakat (UKM). Karena UKP dan UKM memiliki spektrum pembelajaran yang lebar, maka dalam rangka memantapkan sistem pelayanan kesehatan perlu diperhatikan mengenai diversifikasi tenaga. Ada yang difokuskan untuk melakukan pelayanan UKP, seperti dokter, bidan dan perawat. Ada tenaga kesehatan yang memang berfokus untuk pengembangan UKM, seperti ahli promosi kesehatan, ahli gizi masyarakat, ahli sanitasi lingkungan, dan lain-lainnya yang dikenal dengan ahli kesehatan masyarakat2. Pemantapan SKN terjadi jika semua ahli yang bergerak dalam UKP dan UKM bekerja sama secara harmonis. Dalam konteks ini, pendekatan DLP yang memperkuat fungsi promosi dan preventif, yang membuat dokter 1 2



Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional Lihat misalnya pada presentasi Perkumpulan Promotor Dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia: Kurikulum Pendidikan Profesi Promotor Dan Pendidik Kesehatan Masyarakat. Lokakarya Bahan Kajian Kurikulum Profesi Promotor Kesehatan Universitas Diponegoro - Semarang, 3 Juni 2016



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



17



II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI



menjadi “serba bisa”, adalah pemborosan3. Padahal tenaga ahli kesehatan masyarakat lebih banyak jumlahnya (sekarang ini jumlah 700 ribu orang dibandingkan dengan jumlah dokter yang sekitar 180 ribu), namun jumlahnya di Puskesmas masih relatif kurang. Selama ini dari seluruh tenaga pelayanan kesehatan, perhatian pemerintah selama puluhan tahun selalu kepada tenaga UKP, misalnya tercermin dalam perencanaan maupun pendayagunaan tenaga kesehatan oleh pemerintah. Setelah keluar UU tenaga kesehatan, yang mengakui adanya tenaga kesehatan masyarakat4, dan juga ahli kesehatan masyarakat diakui sebagai profesi, barulah tenaga UKM menjadi perhatian. Ketidakseimbangan dalam SKN juga terjadi karena selama puluhan tahun, Kementerian Kesehatan fokus pada pelayanan kuratif (UKP). Informasi dari berbagai National Health Account (NHA) maupun District Health Account (DHA) yang melihat kategori pengeluaran pada tingkat nasional maupun kabupaten/kota selalu menunjukkan pengeluaran untuk kegiatan promotif dan preventif (atau UKM) yang kecil. Pada penelitian NHA tahun 2014 misalnya, selama 4 tahun terakhir, angka itu berkisar 10-15 %5. Dalam hal ini, pengembangan program studi DLP adalah kontradiksi. Perhatian pemerintah mestinya adalah bagaimana meningkatkan pembiayaan UKM, misalnya melalui pengembangan dana pendayagunaan tenaga UKM. B.



Isu Kedua: Menuju Universal Coverage di 2019



Masalah kesehatan lain di Indonesia adalah adanya disparitas dalam layanan kesehatan. Untuk menjamin ekuitas penerima layanan kesehatan, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi alternatif solusi pemecahan. Dengan adanya Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebagai kartu identitas peserta JKN dan sekaligus berfungsi sebagai kartu peserta untuk Penyandang Masalah Kesehatan Sosial (PMKS), konsep pelayanan kesehatan yang berkualitas dan ekual dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa melihat latar belakang sosial dan ekonomi. Pada tahun 2019, menurut road map seluruh rakyat Indonesia diharapkan sudah mempunyai KIS untuk menjamin Universal Coverage (UC). Tabel 5. Pertambahan Jumlah FKTP dan Peserta JKN Jumlah Peserta / FKTP



20141



20162



Estimasi 20193 Kebutuhan UC 2019



Jumlah Puskesmas



9,731



9,814



10,000



10,000



JumlahKlinik



3,712



4,903



8,476



22000



3,984



4,511



6,092



44000



133,423,653 166,900,000



270,000,000



Dokter Praktik Peserta Peserta ideal4 3 4 5



77,085,000



84,862,500



107,610,000



270,000,000



lihat misalnya di http://www.depkes.go.id/article/view/16102300002/perkuat-upaya-promotifpreventif-melalui-DLP.html. Lihat pasal 11 UU 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan AIPHSS, Laporan Akhir National Health Accounts (NHA) Indonesia
2014



18



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI



Catatan: 1. Sumber: Kementerian Kesehatan RI: Profil Kesehatan Indonesia 2014 2. Sumber: Laporan BPJS, 2016 3. Estimasi linear, dari performa 2014-2016 4. Estimasi, setiap Puskesmas dan klinik memelihara kesehatan 5000 peserta, sedang dokter praktik memelihara 2500 peserta Pada tahun 2014, ketika BPJS mulai berjalan, terdapat 133,5 juta peserta JKN. Pada tahun 2016, jumlah peserta sudah meningkat menjadi 167 juta orang. Pada tahun 2019, jumlah penduduk diperkirakan sebesar 270 juta orang, dan menurut road map karena pada tahun itu seluruh penduduk diharapkan seluruh penduduk dilindungi JKN, maka jumlah peserta sama dengan seluruh penduduk. Dari Tabel 5 terlihat bahwa jika norma ideal digunakan untuk menjaga mutu pelayanan, yaitu agar Puskesmas dan klinik memelihara kesehatan maksimum 5000 peserta, dan dokter praktik maksimum 2500 peserta6, perkembangan jumlah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan pelayanan. Apalagi jika jumlah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS diproyeksikan secara linear, maka tahun 2019 Indonesia akan banyak sekali kekurangan FKTP. Kekurangan ini belum menjadi masalah bermakna karena di sebagian besar wilayah padat penduduk, banyak Puskesmas memegang kapitasi lebih dari 5000 peserta. Di DKI Jakarta bahkan terjadi fenomena Puskesmas dengan kapitasi 100.000 peserta. Jumlah kunjungan rawat jalan di Puskesmas juga mencapai 60 % dari semua kunjungan FKTP7. Dampak yang terjadi adalah, karena kewalahan melakukan pelayanan UKP, banyak Puskesmas yang mengenyampingkan tugas UKM. Padahal pelayanan UKM derajatnya sama atau bahkan lebih penting daripada pelayanan UKP karena pelayanan UKM yang paripurna dapat menjamin masyarakat tetap sehat sehingga jumlah kunjungan penduduk yang sakit akan berkurang. Syarat pendirian klinik diberbagai wilayah sulit dan mahal, mencapai puluhan juta rupiah, diluar dari biaya investasi bangunan8. Belum lagi tambahan syarat bila FKTP ingin bekerja sama dengan BPJS. Pemerintah mestinya memfasilitasi agar jumlah klinik dan dokter praktik yang bekerja sama dengan BPJS bisa bertambah. Sehingga, memaksakan dokter umum menempuh program studi DLP sebagai syarat agar bisa bekerja di FKTP cenderung, bersifat kontra produktif.9



6 7 8 9



lihat di “Kebijakan Akselerasi Pengembangan Pelayanan Dokter Keluarga”, Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2007 data BPJS sd Agustus 2016, jumlah kunjungan puskesmas adalah 49 juta sedang total kunjungan FKTP adalah 72 juta. Diskusi informal dengan dokter praktik yang mendirikan klinik lihat penjelasan pasal 8 ayat 2 di UU Pendidikan Kedokteran



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



19



II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI



C.



Isu Ketiga: Menyelesaikan Disparitas Pelayanan Kesehatan



Selain kekurangan jumlah, maldistribusi dokter di Indonesia menyebabkan tidak meratanya pelayanan kesehatan. Di Sumatera dan Jawa Bali sekitar 18 % Puskesmas kekurangan dokter. Di wilayah Sulawesi Maluku Papua, hampir separuh Puskesmas kekurangan dokter. Tambahan lagi pada tahun 2015, sebanyak 10% Puskesmas di Indonesia tidak mempunyai dokter10. Sebaliknya pada tiap wilayah terdapat Puskesmas dengan kelebihan dokter. Tabel 6. Kecukupan Dokter Puskesmas Menurut Wilayah Tahun 2015 Wilayah



Cukup



Kurang



Lebih



Sumatera



33.3%



18.9%



47.8%



Jawa Bali



39.5%



17.2%



43.3%



NTB Kalimantan



37.3%



35.1%



27.6%



Sulawesi Maluku Papua



32.2%



44.0%



23.7%



Sumber: data Pusdatin Kemenkes 2015, diolah. Program studi DLP mengharuskan seorang dokter untuk menempuh pendidikan tambahan setara spesialis selama 3 tahun sebelum bisa berpraktik di FKTP. Konsep ini tidak dapat menyelesaikan problematika kekurangan dan maldistribusi dokter. Saat pasukan dokter di butuhkan untuk berpraktik di FKTP demi mencapai Universal Coverage pada tahun 2019, penambahan masa studi dokter justru mempersulit pencapaian tujuan. Penambahan lama studi juga akan menambah parahnya maldistribusi, sebagaimana pengalaman pendidikan perawat dan bidan. Isunya adalah untuk apa menambah lama pendidikan dokter umum, jika tidak menyelesaikan masalah kesehatan, dalam hal ini maldistribusi SDM kesehatan atau pengisian dokter di wilayah terpencil? Padahal tujuan Undang Undang no 20 tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran adalah pemerataan persebaran lulusan dokter. Yang diperlukan adalah reformasi pendidikan kedokteran, melalui subsidi biaya pendidikan, rekruitmen calon dokter, proses pendidikan yang membuat dokter terbiasa bekerja di pedesaan, dan lama pendidikan yang cost effective, bukan dengan memperpanjang masa pendidikan.



10 Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Kemitraan dan Pelayanan Kesehatan Primer, Diah Satyani Saminarsih pada acara Annual Scientifict Meeting (ASM) 2015 di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat (6/3/2015) di akses tanggal 8/9/ 2016 dari http://health. detik.com/read/2015/03/06/172535/2851941/763/243-puskesmas-di-indonesia-rusak-berat.



20



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI



D.



Isu Keempat: Menurunkan Angka Rujukan di FKTP



Asumsi selanjutnya yang tidak tepat mengenai Program studi DLP adalah tujuan pendiriannya untuk mengatasi tingginya rujukan ke rumah sakit11. Kontak pertama pelayanan medis pada sistem JKN dilakukan di FKTP. Apabila FKTP tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan, maka dapat melakukan rujukan ke jenjang lanjutan yaitu FKTL. Tingginya angka rujukan ke rumah sakit (FKTL) menjadi salah satu tolok ukur rendahnya kualitas layanan primer. Berdasarkan asumsi inilah Dokter Layanan Primer (DLP) diprediksi menjadi solusi dalam memperkuat pelayanan primer. Padahal Data Nasional Rasio Rujukan peserta BPJS dari FKTP, baik tahun 201512, maupun 2016 (s/d bulan Agustus 2016)13 , menunjukkan bahwa angka rasio total rujukan dari FKTP masih di bawah patokan BPJS 15%, yaitu 12%. Lihat misalnya rasio rujukan tahun 2016 pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Rasio Rujukan dan Kunjungan FKTP per Tahun 2015-Agustus 2016 Jenis FKTP



Kunjungan



Rujukan



Rasio



Dokter Praktik Perorangan



9.494.333



941.582



9.92%



946.395



216.458



22.87%



Klinik TNI



677.352



112.554



16.62%



Klinik Pratama



Klinik POLRI



19.229.082



2.226.405



11.58%



Puskesmas



48.000.905



5.871.107



12.23%



9.089



919



10.11%



705.479



24.544



3.48%



79.062.635



9.393.569



11.88%



RS Tipe D Pratama Dokter Gigi Praktik Perorangan Total



Sumber: laporan BPJS Agustus 2016 Gambaran rujukan pada tiap divisi regional (divre) juga masih dibawah 15 %, lihat Tabel 8 berikut. Tingginya rasio rujukan terhadap kunjungan pada salah satu jenis FKTP diasumsikan merupakan sebab dari kurangnya kompetensi dokter di pelayanan primer sehingga cenderung untuk merujuk. Padahal tingginya angka rujukan pada beberapa lokasi 11 Contoh “Selama ini angka rujukan masih tinggi karena kompetensi dokter di layanan primer masih perlu ditingkatkan” - See more at: http://www.depkes.go.id/article/view/16102300002/perkuatupaya-promotif-preventif-melalui-DLP.html#sthash.Wihin0b6.dpuf 12 Mundiharno, Direktur Perencanaan Pengembangan & MR, BPJS: Jaminan Kesehatan Nasional: Pencapaian & tantangan dari sudut pandang penyelenggara, Presentasi pada Kongres InaHEA ke-3 Yogyakarta, 28 Juli 2016 13 Laporan BPJS Agustus 2016, permintaan melalui PB IDI



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



21



II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI



Puskesmas belum berarti kelemahan terletak pada dokter di pelayanan primer. Istilah yang tepat untuk masalah ini adalah ketidakmampuan FKTP, bukan ketidakmampuan dokter di layanan primer. Tabel 8. Rasio Rujukan Menurut Divisi Regional (Divre) Divisi Regional



Kunjungan



Rujukan



Rasio



Divre Aceh dan Sumatera Utara



7.402.741



1.042.110



14,08%



Divre Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi



6.478.934



82.202



1,27%



Divre Sumatera Selatan, Belitung, Bengkuliu



3.175.120



394.355



12,42%



Divre Jabodetabek



14.187.563



1.490.919



10,51%



Divre Jawa Barat



7.733.042



956.814



12,37%



Divre Jawa Tengah dan Yogyakarta



13.270.594



1.321.992



9,96%



Divre Jawa Timur



11.324.645



1.623.738



14,34%



Divre Kalimantan Timur, Tengah, Selatan dan Utara



2.637.044



273.505



10,37%



Divre Sulawesi Selatan, Tenggara, Barat dan Maluku



3.865.883



291.516



7,54%



Divre Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, Maluku Utara



2.022.480



20.513



1,01%



Divre Bali, NTB, dan NTT



2.900.005



269.131



9,28%



637.523



39.463



6,19%



3.427.061



379.959



11,09%



Divre Papua dan Papua Barat Divre Banten, Kalimantan Barat dan Lampung



Sumber: Laporan BPJS, Agustus 2016. Terdapat beberapa permasalahan radikal yang berimplikasi pada lemahnya FKTP, yaitu: 1.



Fasilitas Kurang Memadai



FKTP mempunyai beban berat dalam memberikan pelayanan kesehatan. FKTP umumnya memiliki fasilitas yang kurang lengkap jika dibandingkan dengan rumah sakit. Data Riset Fasilitas Kesehatan Nasional menunjukkan bahwa sebanyak 2,4% Puskesmas di Indonesia mengalami rusak berat dan 9,9% mengalami rusak sedang. Puskesmas pada wilayah dengan rasio rujukan tinggi cenderung memiliki presentase tinggi Puskesmas dengan kerusakan sedang hingga berat. Kelengkapan peralatan kesehatan menjadi salah satu kunci pelayanan kesehatan yang berkualitas. Poliklinik umum dan Puskesmas di Indonesia yang memiliki kelengkapan alat diatas 60% hanya sebesar 42,4%. Bahkan sebesar 3,7% dan 6,3% Puskesmas belum memiliki alat esensial pemeriksaan yaitu stetoskop dan tensimeter14. 14 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.” Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan Puskesmas 2011.” 2011.



22



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI



Senada dengan itu, pada tahun 2016, berdasarkan hasil Diskusi Kelompok terfokus, DJSN telah mengidentifikasi bahwa beberapa daerah fasilitas pelayanan yang ada tidak memungkinkan dokter umum menangani jumlah kasus penyakit yang seharusnya 144 penyakit. Misalnya Jawa Tengah (Semarang) hanya 126 diagnosis; Bali (Denpasar) hanya 110 diagnosis; Sulawesi Selatan (Makasar) hanya 122 diagnosis; Kepulauan Riau (Batam) hanya 121 diagnosis; Kalimantan Tengah (Palangkaraya) hanya 97 diagnosis; Sumatera Barat (Padang) hanya 130 diagnosis; Kota Bekasi hanya 126 diagnosis; Kabupaten Bekasi hanya 122 diagnosis dan Klinik TNI hanya 115 diagnosis. 2.



Layanan Pengobatan Tidak Adekuat



Sesuai dengan peraturan menteri kesehatan, biaya obat akan disokong oleh BPJS termasuk dalam biaya kapitasi, namun pembelanjaan dilakukan mandiri oleh FKTP atau tenaga kefarmasian dari Dinas Kabupaten15. Berdasarkan 144 diagnosis penyakit yang dapat ditangani oleh FKTP, tentu harus dipersiapkan obat dengan kapasitas pasien yang datang. Data tahun 2011 menunjukkan sebanyak 74,6% Puskesmas tidak menerima pelatihan Penggunaan Obat Rasional. Selain itu, sebesar 44,2% Puskesmas tidak memiliki pedoman pengobatan dasar. Sedangkan supervisi Dinas Kesehatan dalam hal pengawasan, evaluasi dan bimbingan program pengobatan hanya berjalan pada 51,4% Puskesmas di Indonesia16. Dapat dimengerti mengapa penyediaan obat di Puskesmas masih banyak masalah. Rata-rata Puskesmas hanya mempunyai 70 % obat yang diperlukan17. Tenaga kesehatan penyelenggara pelayanan pengobatan ditangani oleh ahli kefarmasian. Jumlah presentase apoteker, S1 Farmasi dan D3 Farmasi pada seluruh Puskesmas di Indonesia secara berturut-turut adalah 14,3%, 7,5% dan 26,7%18. Keabsenan tenaga ahli tersebut berimbas pada kualitas pelayanan pengobatan Puskesmas sehingga menjadikan lemahnya FKTP. 3.



Biaya Pelayanan di Atas Biaya Penggantian



Sistem pelayanan JKN mengadopsi prinsip kapitasi dalam penerapannya. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menyokong dana kapitasi per kapita per bulan pada FKTP. Standar kapitasi untuk FKTP adalah Rp. 2000 – Rp. 10.000 per orang/per bulan. Kapitasi ini sebenarnya masih dibawah biaya pelayanan sebenarnya (real cost), yang diperkirakan sekitar 20.000 per orang19. Sebagai kontak pertama penyedia pelayanan medis, FKTP cenderung mengeluarkan rujukan pada pasien dengan penyakit yang diperkirakan memakan biaya pelayanan yang tinggi untuk menghindari defisit internal. 15 16 17 18 19



PMK No. 28 Tahun 2014 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, opcit. ibid ibid diskusi dengan Prof. Hasbullah Thabrani, pakar JKN



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



23



II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI



4.



Rujukan Atas Permintaan Sendiri (APS)



Sebagian masyarakat sakit yang bertempat tinggal dekat FKTL, ketika sakit akan lebih memilih berkunjung ke FKTL tersebut. Bagi sebagian masyarakat tersebut, FKTP merupakan kontak awal penanganan medis hanya untuk mendapatkan surat rujukan ke rumah sakit. Hal itunya yang menjadi penyebab tingginya data rujukan pada beberapa Puskesmas di berbagai wilayah. Misalnya di divisi regional Aceh angka rujukan APS relatif tinggi, yaitu 30-75% dari total rujukan.20 Pasien telah membayar premi JKN setiap bulannya, sehingga mereka merasa memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di lokasi yang menurut mereka lebih baik. E.



Isu Kelima: Mengurangi Biaya Katastrofik



Meroketnya biaya pelayanan kesehatan yang terjadi di banyak negara menjadi perhatian pemerintah terutama solusi penyelesaian tingginya biaya pelayanan tersebut. Hal yang sama terjadi di Indonesia. Biaya pelayanan kesehatan di FKTP dan FKTL meroket dari 46 Trilyun rupiah pada tahun 2014, menjadi 61 Trilyun rupiah pada tahun 2015, sebuah kenaikan 33 %21, jauh diatas inflasi keseluruhan yang dilaporkan oleh BPS, yaitu sebesar 3,35 % pada tahun 2015. Hal ini menjadikan pemerintah kawatir karena mempunyai target meningkatkan peserta JKN menjadi 100% dari 70%. Sekitar ¾ biaya pelayanan kesehatan tersebut terjadi di FKTL (INA CBGs), sehingga logis jika pemerintah berusaha meredam kenaikan biaya di FKTL. Namun solusi kementerian kesehatan, dengan program studi DLP, agar dokter yang menjadi pelaku awal dalam pelayanan kesehatan di layanan primer adalah solusi yang inadekuat. Meroketnya biaya pelayanan dalam 2 tahun terakhir ini karena adanya fenomena adverse selection dan penyakit katastrofik. Pada periode sosialisasi menuju Universal Coverage, BPJS, sebagai asuransi sosial, mendorong setiap keluarga untuk menjadi peserta mandiri JKN (atau disebut juga PBPU, peserta bukan penerima upah), baik dalam kondisi sehat maupun sakit. Jika dibandingkan dengan asuransi komersial, jelas JKN lebih menguntungkan secara finansial karena tidak perlu membayar premi yang lebih tinggi atau biaya tambahan ketika mendaftar dalam keadaan sakit. Namun yang terjadi sekarang ini lebih banyak PBPU yang sakit dibanding yang sehat. Inilah yang disebut sebagai adverse selection, dengan dampaknya yang terlihat pada tahun 2015, yaitu dengan jumlah peserta 156,79 juta jiwa, jumlah premi yang didapat adalah sebesar 52,78 trilyun rupiah, namun biaya pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan mencapai 57,08 trilyun rupiah, sehingga terjadi defisit sekitar 4,4 trilyun rupiah. Setelah diamati lebih rinci menurut jenis peserta, maka peserta PBPU yang 20 Zahrawardi, “Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Wajib PT. Askes pada Puskesmas Mibo, Puskesmas Batoh dan Puskesmas Baiturahman di Kota Banda Aceh Tahun 2007. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2007 21 Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Optimalisasi Profesionalisme Dokter Umum Di Tingkat Pelayanan Primer Pada Era JKN Menyongsong SDG, Disampaikan pada
Pertemuan Ilmiah Tahunan dan Musyawarah Kerja Nasional PDUI, Jakarta 22 April 2016



24



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI



jumlahnya sekitar 14,96 juta jiwa, menyumbang iuran sebesar 4,6 triliun rupiah (8.86%), namun BPJS perlu membayar biaya pelayanan kesehatannya sejumlah 16,7 triliun rupiah (29.22%)22, sebuah rasio benefit/premi sekitar 400 %. Dapat dikatakan defisit tahun 2015 adalah karena peserta PBPU ini. Defisit JKN juga diakibatkan oleh banyaknya peserta yang menderita penyakit katastrofik (penyakit berat yang membutuhkan biaya pengobatan tinggi). Sebanyak 33.62% dari total beban biaya rujukan, diserap oleh jenis penyakit katastrofik seperti penyakit jantung, gagal ginjal, kanker dan stroke23. Penyakit katastrofik tersebut berasal dari golongan penyakit tidak menular. Data perbandingan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dan 2013 menunjukkan adanya transisi beban kesehatan dari penyakit menular ke penyakit tidak menular (penyakit kronis) Pelayanan kesehatan bagi pasien kronis jelas membutuhkan biaya tinggi sehingga memberatkan beban biaya pelayanan. Program studi DLP bukanlah solusi untuk kedua fenomena diatas. Adanya adverse selection adalah keniscayaan dalam periode menuju universal coverage. Pemerintah perlu mencari cara bagaimana membujuk seluruh peserta PBPU ikut dalam sistem JKN. Penyakit katastrofik hanya bisa diatasi dengan menjalankan program promosi kesehatan, pencegahan penyakit dan perlindungan khusus, serta deteksi dini dan pengobatan segera. Namun sebagian besar program promotif dan preventif ini ada di layanan UKM, yang menjadi kewajiban pemerintah daerah, bukan BPJS. Pelakunya adalah gabungan dari berbagai tenaga kesehatan. Menambah pendidikan melalui program studi DLP kepada dokter umum agar lebih berkualitas dalam melakukan pelayanan kepada peserta JKN adalah pemborosan dan tidak tepat sasaran.



22 23



Mundiharno, opcit Menteri Kesehatan RI, opcit



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



25



III. DISHARMONI Undang-Undang AKIBAT Dokter layanan primer Sejarah perundang-undangan Indonesia penuh dengan berbagai pertentangan dan kemelut. Permasalahan itu muncul saat budaya kolonial dan budaya dari negara lain, serta keinginan untuk mempertahankan budaya kita sendiri saling bertentangan. Ini memunculkan suatu situasi dimana masyarakat bersikap reaktif terhadap ide, wacana, golongan, bahkan peristiwa tertentu yang tidak sesuai dengan kepercayaan atau kepentingannya. Belum lagi kepentingan politik, birokrasi dan lembaga-lembaga lainnya. Semua ini menyebabkan munculnya berbagai peraturan yang saling bertentangan atau tumpang-tindih Namun, paradigma hukum terbuka di Indonesia tidak memberi tempat adanya undangundang induk atau pokok. Artinya, semua undang-undang berada dalam posisi setara atau setingkat. Oleh karena itu yang dapat dilakukan adalah harmonisasi horizontal terhadap semua undang-undang lain yang setingkat. Salah satu alasan mengapa IDI mengajukan revisi UU 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, adalah UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran—terkait dokter layanan primer—tidak harmonis dengan dua Undang-undang lainnya, yaitu 1. 2.



UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi



Dalam hal ini, ketidakharmonisan yang ada adalah yang mengatur mengenai jenis profesi, kelembagaan profesi, gelar, praktik layanan dokter dan juga pelaksanaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Detail ketidakharmonisan itu adalah sebagai berikut: A.



Ketidakharmonisan Jenis Profesi



Jenis profesi dalam UU Pendidikan Kedokteran pasal 1 ayat (9), bertumpang-tindih dengan UU Praktik Kedokteran pasal 1 ayat (2). Lihat Tabel 9 berikut: Tabel 9. Tumpang Tindih jenis profesi Undang-undang



Bunyi Pasal



UU Nomor 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran



Pasal 1 ayat (2): Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



26



Keterangan Jenis profesi dokter (medis): Dokter, dokter gigi, dokter spesialis dokter gigi spesialis



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



III. DISHARMONI UNDANG-UNDANG AKIBAT DOKTER LAYANAN PRIMER



Undang-undang



Bunyi Pasal



UU Nomor 20 Tahun Pasal 1 ayat (9): Dokter adalah dokter, dokter 2013 Pendidikan layanan primer, dokter spesialis-subspesialis lulusan Kedokteran pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah. Pasal 1 ayat (10): Dokter Gigi adalah dokter gigi, dokter gigi spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter gigi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah.



Keterangan Jenis profesi dokter: Dokter, Dokter layanan primer, Dokter spesialissubspesialis, Dokter gigi, Dokter gigi spesialissubspesialis



UU Pendidikan Kedokteran memasukkan ‘dokter layanan primer’ ke dalam jenis profesi dokter, nomenklatur yang tidak dikenali oleh jenis profesi dokter (medis) dalam UU Praktik Kedokteran. Problematikanya adalah di UU Praktik Kedokteran, tidak diatur dimana dokter layanan primer akan berpraktik setelah selesai dididik. Sebenarnya, dalam hal jenis profesi, UU Pendidikan Kedokteran juga tidak harmonis dengan UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Pasal 11 ayat (2) yang menjelaskan bahwa Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. Jadi di dalam UU Tenaga Kesehatan, profesi Dokter Layanan Primer juga tidak dikenal. Namun Mahkamah Kontitusi (MK) pada tanggal 14 Desember 2016 mengabulkan sebagian uji materi beberapa pasal UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang di mohonkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), MK mencabut pasal 11 ayat (2) dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga perbedaan ini tidak relevan. Namun tidak bisa dihindari, bahwa posisi profesi dokter layanan primer tidak jelas. IDI berpendapat dokter layanan primer bukanlah gelar profesi, tetapi merujuk pada lokasi pelayanan, yaitu pelayanan pada FKTP 1. Penamaan lokasi pelayanan menjadi gelar profesi ini akan merusak sistematika pemberian gelar. B.



Ketidakharmonisan Kewenangan



Kewenangan atau otoritas tugas profesi kedokteran sebagaimana diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran juga tidak harmonis dengan kewenangan yang terdapat dalam UU Praktik Kedokteran. Untuk jelasnya, lihat pasal 51 huruf (b) UU Praktik Kedokteran dengan penjelasan pasal 8 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran dalam Tabel 10 berikut. 1



Lihat Peraturan Presiden no 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



27



III. DISHARMONI UNDANG-UNDANG AKIBAT DOKTER LAYANAN PRIMER



Tabel 10. Ketidakharmonisan Kewenangan Undang-undang



Pasal



UU Nomor 29 Pasal 51 Tahun 2004 Praktik Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan Kedokteran praktik kedokteran mempunyai kewajiban: b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.



Keterangan Kewenangan pemberian rujukan oleh dokter dan dokter gigi menunjuk pada: Dokter, dokter gigi, dokter spesialis dokter gigi spesialis



DLP sebagai pelaku awal pada UU Nomor 20 Tahun Penjelasan pasal 8 ayat 2: layanan kesehatan tingkat 2013 Pendidikan Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Program Kedokteran dokter layanan primer ditujukan untuk memenuhi pertama, penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kualifikasi sebagai pelaku awal pada layanan kesehatan tingkat pertama, melakukan penapisan kedua, serta kendali mutu dan kendali biaya dalam sistem rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai jaminan kesehatan nasional dengan standar kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan nasional.



Ini berarti kewenangan atau otoritas profesi kedokteran juga saling bertentangan. Dalam UU pendidikan kedokteran pasal 8 ayat (2), dokter berkuasa untuk merujuk pasien dari sarana kesehatan tingkat pertama ke sarana kesehatan tingkat kedua, melakukan kendali mutu dan biaya dalam sistem JKN adalah dokter layanan primer. Sedangkan dalam UU Praktik Kedokteran pasal 51 huruf (b) yang berkuasa untuk memberikan rujukan adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis. Ketidakharmonisan kewenangan atau otoritas antara dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis dalam UU tentang Praktik Kedokteran dengan dokter layanan primer dalam UU tentang Pendidikan Kedokteran dapat berimplikasi menimbulkan masalah dalam praktik layanan dokter dan juga pelaksanaan JKN. Dengan dinormakannya profesi baru dokter layanan primer, timbul inkonsistensi norma yang berakibat kepada kekacauan tatanan sistem hukum praktik kedokteran. Hal ini dapat diidentifikasi dengan adanya norma “dokter layanan primer” namun tidak memiliki justifikasi dalam sistem hukum praktik kedokteran, karenanya adanya ketidakcocokan dengan regulasi dan prosedur praktik kedokteran, terutama mengenai syarat penerbitan Sertifikat Kompetensi oleh Kolegium terkait, yang hanya mengenal kualifikasi dokter dan dokter spesialis-subspesialis. Padahal, kekacauan tatanan sistem hukum dan ketidakpastian hukum mestinya dihindari karena mengancam jaminan kepastian hukum pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Konsistensi norma hukum menjadi bagian tak terpisahkan dari kepastian hukum sebagai sifat utama dari norma Undang-undang. Konsistensi antar subsistem hukum muncul jika



28



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



III. DISHARMONI UNDANG-UNDANG AKIBAT DOKTER LAYANAN PRIMER



sistem tersebut memiliki sifat wholism2. Kepastian hukum yang adil menjadi penyangga prinsip Negara Hukum (rechs staat). Kepastian hukum yang adil dan keadilan yang dipastikan dengan hukum3. Selama ini, praktik pelayanan kedokteran primer dilakukan oleh dokter umum. Salah satu kewenangan dokter umum adalah memberikan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu sebagai kontak pertama. Berdasarkan Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN pasal 17 bahwa dokter umum melayani jenjang pelayanan kesehatan tingkat pertama. Sedangkan jika menurut UU tentang Pendidikan Kedokteran, penjelasan pasal 8 ayat (2) bahwa kontak pertama JKN adalah Dokter Layanan Primer (DLP). Hal ini berpotensi terjadinya kriminalisasi dokter umum yang menangani pasien JKN, yang mengakibatkan BPJS rentan terhadap tuntutan akibat bekerjasama dengan dokter umum dalam penyelenggaran JKN. C.



Ketidakharmonisan Gelar Profesi



UU No 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran juga tidak harmonis dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yaitu tentang gelar profesi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Ketidakharmonisan Gelar Profesi Undang-undang



Pasal



UU Nomor 20 Tahun Pasal 8 ayat (3) 2013 Pendidikan Program dokter layanan primer sebagaimana Kedokteran dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis UU Nomor 12 Pasal 26 ayat (6) Tahun 2012 tentang Gelar profesi sebagaimana dimaksud pada Pendidikan Tinggi ayat (5) ditetapkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi.



2 3



Keterangan



Gelar Setara Spesialis belum melalui prosedur yang benar sehingga menimbulkan kesimpangsiuran.



Martinah, “Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature”, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 5-6 Jimly Asshiddiqie, “Komentar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal. 117.



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



29



III. DISHARMONI UNDANG-UNDANG AKIBAT DOKTER LAYANAN PRIMER



UU Pendidikan Kedokteran menyebutkan dokter layanan primer adalah gelar yang setara spesialis. Namun, setara spesialis itu tidak sama dengan spesialis. Tidak bisa dihindari anggapan adalah bahwa setara spesialis itu berada diantara dokter umum dan dokter spesialis. Masalah yang timbul akibat adanya anggapan baik dari kalangan masyarakat, maupun kalangan dokter sendiri bahwa dokter umum itu kastanya di bawah spesialis, menjadi lebih parah, karena sekarang kastanya dibawah dokter spesialis dan dokter layanan primer. Ini adalah masalah yang serius dan kronis. Karena itu IDI ingin merevisi UU Pendidikan Kedokteran, salah satu alasannya adalah agar dokter umum itu sama derajatnya dengan dokter spesialis, hanya berbeda dalam lapangan pengabdian.



30



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



IV. Penyisipan Pasal DLP Dalam Pembahasan UU Pendidikan Kedokteran RUU Pendidikan Kedokteran dibahas selama 2,5 tahun dimulai Januari 2011 hingga Juni 2013. Disahkan dalam paripurna DPR tanggal 11 Juli 2013, dicantumkan dalam lembaran negara tanggal 6 Agustus 2013. UU ini dibentuk atas dasar keinginan baik DPR RI untuk merespon dunia pendidikan kedokteran yang semakin mahal sehingga perlu kiranya memastikan alokasi mahasiswa miskin dan dari daerah dapat diterima, kualitas pendidikan kedokteran, Rumah Sakit Pendidikan, kurikulum pendidikan kedokteran, uji kompetensi, kuota mahasiswa pendidikan kedokteran, fakultas kedokteran, penjaminan mutu, dan standar pendidikan kedokteran. Pendidikan kedokteran sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional perlu diselenggarakan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan untuk menumbuh kembangkan penguasaan, pemanfaatan, penelitian, serta pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran dan kedokteran gigi. Upaya penataan itu perlu diatur secara komprehensif dalam peraturan perundang- undangan. A.



DLP tidak ada dalam Naskah Akademik maupun RUU Uji Publik Kemudian disusunlah Naskah Akademik sebagai kerangka acuan untuk pembentukan draf rancangan undang-undang pendidikan kedokteran. Didalam naskah akademik, yang resmi dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2011, dijelaskan Landasan Filosofis, Landasan Historis, 
Landasan Sosiologis dan Landasan Hukum. Kemudian dijelaskan tentang sistem pendidikan kedokteran Indonesia, kondisi sistem pendidikan kedokteran terkini, masalah yang dihadapi, dan tantangan serta peluang pendidikan kedokteran di masa depan. Dalam seluruh tulisan naskah akademis itu, yang disebutkan hanya dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. Istilah dokter layanan primer sama sekali TIDAK disebutkan.



Atas dasar Naskah Akademis ini, disusun rencana undang undang (RUU) Pendidikan Kedokteran. Berkali kali perbaikan dilakukan, akhirnya pada tanggal 16 Maret 2012, oleh Komisi 10 DPRUI, dikeluarkan RUU Pendidikan Kedokteran untuk kepentingan uji publik. Dalam RUU itu istilah dokter layanan primer juga TIDAK disebutkan. B.



Proses Pembahasan RUU Dikdok di DPR



Menurut salah satu mantan anggota Komisi X yaitu Prof Sudigdo Adi dari Fraksi PDI Perjuangan, inisiatif mengenai RUU Pendidikan Kedokteran, sesungguhnya telah



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



31



IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN



dibicarakan di Komisi X periode DPR 2004-20091. Konsep awal dari UU ini, setidaknya beberapa hal, yaitu : Pertama, Komisi X memandang penting untuk membentuk pendidikan dokter harus menjadi dokter yang mumpuni. Pemikiran ini merupakan koreksi atas keprihatinan terhadap situasi pendidikan kedokteran yang saat ini diperpendek masa studinya sehingga berimplikasi pada materi kurikulum klinis yang berubah pendekatan pengajarannya kepada mahasiswa lebih banyak sebagai observer saja. Kedua, Komisi X memandang bahwa dengan penduduk Indonesia semakin banyak, di butuhkan sebaran dokter yang dapat menjangkau daerah pinggiran yang mumpuni bisa menangani. Ketiga, Komisi X melihat bahwa fasilitas pendidikan kedokteran di fakultas Kedokteran yang bagus hanya sedikit. Banyak Fakultas kedokteran melakukan teaching hospital hanya nebeng, asal ikut, sehingga menyebabkan lulusan dokter menjadi tidak jelas. Keempat, bahwa sistem pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia masih amburadul, antara Rumah sakit pusat, daerah dan kabupaten dan Puskesmas tidak saling terkoordinasi dengan baik. Kelima, Komisi X memandang perlu untuk peningkatan kemampuan mahasiswa kedokteran, maka sebaiknya RS pemerintah semuanya menjadi RS Pendidikan agar RS pendidikan menjadi luas2. Sudigdo Adi dengan tegas menyampaikan bahwa di Komisi X tidak pernah ada pembicaraan mengenai doker layanan primer sebagaimana konsepsi yang saat ini dimuat dalam UU No 20 tahun 2013. Pembahasan awal Komisi X berkutat pada sistem pendidikan kedokteran yang memiliki kaitan dengan sistem layanan kesehatan. Paradigma dalam pembicaraan di Komisi X adalah pendidikan kesehatan sebagai bagian dari pembangunan sistem kesehatan nasional. Tujuan utama dari inisiatif RUU Pendidikan Kedokteran adalah : 1.



Pendidikan dokter di jadikan satu antara akademis dan klinis



2.



Kendali mutu, agar fakultas kedokteran yang tidak memenuhi syarat harus ditutup.



1 2



Tim buku putih melakukan diskusi khusus dengan Prof Sudigdo Adi. Menurut Prof Sudigdo Adi: Untuk dokter yang pintar, ia menjadi pendidik di RS, dan hak mereka menjadi guru besar di samakan dengan posisi di DIKNAS. Tidak seperti di Indonesia, di Belanda pada Rumah Sakit yang dijadikan RS pendidikan, Fakultas Kedokteran dan Departemen Kesehatan menjadi satu, direktur RS juga menjadi dekan pendidikan kedokteran, dengan demikian maka terjadi pengaturan terintegrasi antara pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta penghematan biaya.



32



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN



3.



Alokasi anggaran untuk pendidikan dokter, agar negara dapat memberikan subsidi pendidikan kesehatan agar murah dan dapat diakses oleh rakyat miskin.



Untuk mendalami tujuan sebenarnya dari UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, Tim Buku Putih DLP melakukan kajian terhadap seluruh risalah sidang pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran dari awal tahun 2011 hingga pertengahan tahun 2013. Jumlahnya sekitar 876 halaman. Dalam risalah tersebut tercatat DPR melakukan pembahasan RUU sebanyak 23 kali dengan perincian sebagai berikut: 1.



Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) sebanyak 9 kali sepanjang Januari hingga Juni 2011 dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Rinciannya sebagai berikut : Kamis, 13 Januari 2011 Kamis, 27 Januari 2011 Kamis, 17 Februari 2011 Kamis, 24 Februari 2011 Rabu, 9 Maret 2011



Rabu, 9 Maret 2011 Kamis, 9 Juni 2011



Senin, 20 Juni 2011 Kamis, 2 Februari 2012



: RDPU dengan Deputi Perundang-undangan : RDPU dengan Pakar Kedokteran yaitu Lukman Hakim, Prof. Dr Sudigdo Adi, dr. Pranawa, Dr dr Fahmi Idris : RDPU dengan Deputi Perundang-undangan dan TIM : RDPU dengan Deputi Perundang-undangan dan TIM : RDPU dengan Rektor-Rektor Universitas yaitu Universitas Diponegoro, Universitas Sriwijaya, Universitas Hasanudin, Universitas Mulawarman, Universitas Trisakti, Universitas Yarsi, dan Universitas Kristen Indonesia : RDPU dengan ARSPI (Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia) : RDPU dengan Pakar Pendidikan Kedokteran yaitu Prof. Dr Sudigdo Adi, Prof DR Drg Egi Surya Sumantri, Prof. Dr dr Akmal Taher, Prof. Dr dr Laksono Trisnantoro, Dr dr Fahmi Idris, dr Pranawa : RDPU dengan Prof Dr dr Laksono Trisnantoro : RDPU dengan Fakultas Kedokteran UI dan Panja Pemerintah



2.



Rapat Dengan Pendapat (RDP) dengan pemerintah pada tanggal 27 Januari 2011 dengan Balitbang Kementerian Kesehatan



3.



Lokakarya pada tanggal 23 Maret 2011 khusus mengenai kurikulum pendidikan kedokteran dengan melibatkan beberapa pemangku kepentingan yaitu Sudigdo Adi, BUKD diwakili Bambang S, PRSDM diwakili Yudianto, PB IDI diwakili dr. Priyo Sidi Pratomo, dan PDUI diwakili Bram.



4.



Pembahasan dalam Panitia Kerja (Panja) sebanyak 12 kali yaitu : Panja 11 Maret 2011, 15 Maret, 23 Maret 2011, 2 April 2012, 4 April 2012, 9 April 2012, 11 Maret 2013, 25 Juni 2013, 26 Juni 2013 (3 sesi sidang), dan 4 Juli 2013 (panja gabungan



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



33



IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN



dengan Komisi IX). Pembahasan dalam Panja beberapa kali juga melibatkan pakar seperti Prof Sulaksono pada tanggal 15 Maret 2013, dan Prof. Ilham Marsis Oetomo dari PB IDI. Dari kajian Tim Buku Putih PB IDI, terkonfirmasi bahwa rapat panja RUU Pendidikan Kedokteran Komisi X dari tanggal 11 Maret 2011 hingga 25 Juni 2013 tidak ada pembahasan mengenai profesi dokter layanan primer maupun program studi dokter layanan primer. Isu-isu yang menjadi fokus pembahasan di antaranya adalah mengenai rumah sakit pendidikan, kuota penerimaan mahasiswa kedokteran, fakultas kedokteran, dokter subspesialis, uji kompetensi, kurikulum pendidikan kedokteran, sinkronisasi standar pendidikan kedokteran versi UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan RUU Pendidikan Kedokteran. Dalam rapat-rapat panja ditegaskan sejumlah hal yaitu : 1.



Jenis profesi kedokteran spesialis adalah 4 jenis yaitu dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis. Terhadap profesi dokter spesialis, panja RUU menyepakai untuk mengakomodassi perkembangan profesi kedokteran spesialis dengan menambahkan dokter subspesialis. Dokter subspesialis masih berada dalam 1 domain dengan dokter spesialis. 2. Mengenai kurikulum kedokteran, anggota panja berpendapat bahwa kurikulum pokok pendidikan kedokteran paling tidak mengadopsi keilmuan bio medis, keterampilan kedokteran klinis, bioetika atau humaniora kesehatan, dan kedokteran komunitas atau kesehatan masyarakat. 3. Mengenai organisasi profesi, anggota panja sepakat bahwa organisasi profesi merujuk pada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Penempatan rujukan organisasi ini diusulkan untuk dimuat dalam penjelasan pasal, namun pada akhirnya disepakati agar dicantumkan eksplisit dalam peraturan yang lebih operasional dalam Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri. 4. Mengenai pelayanan pada tingkat primer, dilakukan dengan penguatan kompetensi dokter melalui kursus-kursus. 5. Pelaku pelayanan primer merujuk pada komunitas dokter yang menangani pasien pada tingkat primer yaitu dokter umum maupun dokter spesialis. C.



Penyisipan pasal DLP



Pada Draf RUU Pendidikan Kedokteran tanggal 21 Maret 2011 dan Draf RUU Pendidikan Kedokteran versi tanggal 16 Maret 2012 tidak terdapat satu pasal pun mengenai jenis profesi dokter layanan primer mau pun program studi DLP. DLP baru muncul dalam draf RUU hasil rapat timus (tim perumus)/timsin (tim sinkronisasi) tanggal 25-26 Juni 2013



34



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN



yang disusun setelah rapat konsinyering timus/timsin yang berlangsung tanggal 25-26 Juni 2013. Dari kajian terhadap risalah sidang pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran membuktikan bahwa sepanjang pembahasan sejak tahun 2011 hingga 2013 atau setelah 19 kali pertemuan dari lokakarya, rapat dengar pendapat umum (RDPU), rapat dengar pendapat (RDP), rapat panja termasuk di dalamnya rapat tim perumus (timus), tidak pernah ada pembahasan mengenai dokter layanan primer meliputi definisi, jenis profesi baru DLP, program studi DLP mau pun kurikulum DLP. Lalu kapan DLP disisipkan? Materi mengenai DLP baru diusulkan di dalam rapat tim perumus (timus) dan langsung disepakati dalam 1 sesi sidang pagi pukul 10.15-13.00 WIB, tanggal 26 Juni 2013. Pengusul materi mengenai DLP adalah dari pemerintah. Mengapa disebut penyisipan pasal? Pada dasarnya tim perumus panja RUU hanya tim yang merumuskan redaksional dari pokok-pokok substansi yang disepakati dalam pleno panja RUU. Tim perumus seharusnya tidak boleh menambahkan substansi baru. Namun pembahasan dalam tim perumus (timus) RUU Pendidikan Kedokteran ini membuktikan praktik yang berbeda dari kelaziman. Pembahasan materi usulan baru DLP ini pun hanya dibahas singkat, kurang lebih 3 jam saja. Kajian ini mengkonfirmasi bahwa usulan mengenai DLP tidak melalui suatu pemikiran mendasar, jernih dan matang, apalagi didasarkan pada penelitian atau kajian yang cukup layak. Konsekuensi dari usulan baru yang tidak melalui proses penelitian, pengkajian dan pemikiran yang mendasar, jernih dan matang terlihat dari konsep DLP yang kabur dan berubah-ubah. Kronologi pembahasan Rancangan Undang-undang Tentang Pendidikan Kedokteran memperjelas bahwa pengertian-pengertian fundamental yang disampaikan tidak konsisten terkait dengan jenis profesi, definisi, kurikulum, dan lain-lain. 1.



Berubahnya jenis profesi kedokteran



Sepanjang Tahun 2011-2013, dalam rapat pleno panja hingga rapat tim perumus yaitu tanggal Panja 11 Maret 2011, 15 Maret, 23 Maret 2011, 2 April 2012, 4 April 2012, 9 April 2012, 11 Maret 2013, dan 25 Juni 2013, jenis profesi dokter meliputi 4 (empat) jenis profesi dengan mengakomodasi kategori tambahan dokter subspesialis yang masih berada dalam ruang lingkup dokter spesialis, sehingga jenis profesi dokter adalah dokter, dokter spesialis-subspesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis. Berikut kutipan pernyataan ‘terakhir” dalam sidang tanggal 25 Juni 20133 : Pimpinan Rapat 3



: “Saya langsung ke DIM 18. Silakan Pak Akmal untuk memberikan keterangannya.”



DPR RI, Risalah Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Tentang Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran, 25 Juni 2013



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



35



IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN



Kemenkes (Prof Akmal)



: Seperti yang tadi Pak, artinya perbedaannya adalah bukan lulusan pendidikan kedokteran, tapi pendidikan dokter. Jadi dokter adalah dokter, dokter subspesialis adalah dokter subspesialis, lulusan pendidikan kedokteran diganti “pendidikan dokter”, yang lainnya sama. Hanya itu saja.



Pimpinan Rapat



: Jadi oke semua ya. Jadi sekarang yang DIM 18 oke ya.



Selanjutnya terjadi perubahan pengertian jenis profesi dokter seketika ketika pada sidang tanggal 26 Juni 2013 sesi sidang pagi pukul 10.15-13.00, dalam pembahasan DIM No 80. Kementerian Kesehatan diwakili Prof Dr Akmal Taher menyebut jenis profesi baru dokter layanan primer. Berikut sejumlah kutipan pernyataannya4 : Pemerintah (Prof. Akmal) : “ Terima kasih Pak. Saya mengerti sekali tentang kebingungan karena kita yang membuat bingung ini, cuma saya senang artinya secara filosofis tadi kata bapak kita sepakat itu bahwa memang hal seperti ini. Tetapi sekarang kalau begitu gimana masuknya, masuknya ini bayangan saya nanti waktu kita ngomong DIM 77 tentang Pendidikan Profesi, itu cuma ada profesi dokter dan dokter gigi, kemudian dokter spesialis, dan subspesialis. Mestinya kita tambahkan ada dokter layanan primer. Itu nyambung, bahwa pendidikan itu terdiri atas itu sehingga nanti jelas, bahwa dokter itu bukan cuma jadi spesialis, tapi dokter layanan primer ini apalagi kalau memang kita sepakat secara filosofis ini memerlukan bantuan. “ Pernyataan berikutnya : “.....untuk memperluas pelayanan kesehatan primer pemerintah menyelenggarakan program pendidikan dokter layanan primer dan mengembangkan profesi dokter layanan primer.” 2.



Dokter Keluarga tidak ada dalam pembahasan Kurikulum Pokok Pendidikan Kedokteran



Fokus utama kurikulum pokok pendidikan kedokteran paling tidak mengadopsi keilmuan biomedis, keterampilan kedokteran klinis, bio etika atau humaniora kesehatan, dan kedokteran komunitas atau kesehatan masyarakat. Berikut adalah kutipan rapat panja tanggal 2 April 2012 sebagai berikut5 :



4 5



DPR RI, Risalah Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Tentang Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran, 26 Juni 2013 DPR RI, Risalah Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran, 2 April 2012



36



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN



PEMERINTAH



:



“ Kita sepakat dengan pasal ini pak. Jadi, ada dengan ayat , maaf di usulan uji publik. Hanya saja di, kita harus menambahkan didalam penjelasan bahwa ada unsur humaniora kesehatan, ada unsur kedokteran komunitas dan juga kita perhatikan didalam pada waktu melaksanakan ini. Penjelasan saja pak.”



Bahkan hingga rapat tanggal 4 Juli 2013 panja RUU masih menyebutkan kurikulum sebagai berikut : PIMPINAN RAPAT



:



Pasal 7 ayat 1, 2 dan 3 tetap. Ayat 4, Timus mengusulkan ada penambahan ayat, yang materi dan redaksinya merupakan pindahan dari pasal 17. Coba lihat pasal 17 ayat 2 dengan rumusan sebagai berikut. “Pendidikan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 melaksanakan pembelajaran akademik laboratorium dan lapangan dibidang ilmu biomedis, bioetika, humaniora, kesehatan, ilmu kependidikan kedokteran serta kedokteran komunitas kesehatan masyarakat. Ada tambahan ayat, tadi sudah dijelaskan diatas pindahan dari pasal 17 ayat 2. Tolong dicek lagi Pak. Kalau setuju kita ketok ini.



F. PDI-P/ KOM. IX (DR. SURYA CHANDRA SURAPATY)



:



Usul : “kedokteran komunitas garis miring kesehatan masyarakat. Saya usulkan jangan garis miring, “dan”.



PIMPINAN RAPAT



: Kita tambah “dan”. Kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat. Gimana kira-kira, pemerintah setuju, oke. Sekarang kita ketok.



(RAPAT SETUJU) Persandingan perihal kurikulum ini dengan UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran terkonfirmasi bahwa tidak ada 1 kata pun menyebut materi kurikulum pendidikan kedokteran mengadopsi ‘dokter keluarga.’ Hingga rapat terakhir gabungan dengan Komisi IX, tanggal 4 Juli 2013, materi kurikulum dokter keluarga tidak tersebut sama sekali. Secara singkat, dari pembahasan di DPR, konsep mengenai urgensi dokter layanan primer dibangun dari argumentasi lemahnya kompetensi dokter layanan primer saat ini yaitu dokter umum. Tidak dikaji mendalam sebab-sebab hulu dari lemahnya kompetensi dokter umum, seperti persoalan melubernya quota penerimaan mahasiswa fakultas pendidikan kedokteran, kurangnya fasilitas praktik klinis di mana salah satunya adalah pemenuhan syarat keberadaan Rumah sakit pendidikan, kualitas dan kuantitas dosen pengajar,



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



37



IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN



kurikulum, dan lain-lain, maupun pada aspek hilir yaitu praktik layanan kesehatan pada tingkat primer yang tidak memenuhi syarat karena faktor kekurangan alat medis dan obat-obatan. Program dokter layanan primer pun belum memiliki arah pasti dalam hal model pendidikannya, apakah dokter umum harus mengikuti perkuliahan kembali, atau melalui modul-modul yang disusun oleh IDI selaku organisasi profesi. Konsep pemerintah mengenai dokter layanan primer juga tidak jelas apakah dokter spesialis, bukan spesialis, atau jenis profesi baru. Jika dokter layanan primer adalah dokter keluarga dan menempuh pendidikan tambahan setelah dokter umum, maka semestinya DLP merupakan dokter spesialis. Namun pemerintah memaksa DLP menjadi bentuk profesi baru yang dimuat dalam undang-undang sehingga menimbulkan persoalan baru akibat penambahan ‘kamar’ jenis profesi dokter. D.



Keterlibatan IDI dalam Pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran



Pada tanggal 10 Februari 2013 PB IDI mendapat undangan mendadak dari Panja Pemerintah Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Kedokteran (Dikdok) yang ditujukan kepada pemangku kepentingan untuk dapat memberi asupan pada Presiden dan Mendikbud yang akan bertemu DPR RI pada tanggal 13 Februari 2013. Pihak DPR ingin mengetahui keinginan pemerintah tentang Rencana Undang Undang Pendidikan Kedokteran apakah akan dilanjutkan atau tidak. Pertemuan tersebut dipimpinan oleh Prof. Dr. Ali Gufron, MPH yang saat itu menjabat Wakil Menteri Kesehatan RI. Dalam pertemuan tersebut, Prof.Marsis menyampaikan bahwa IDI bersedia menjadi bagian dari Panja Pemerintah dengan beberapa catatan sebagai berikut: 1.



2.



3.



6



Jika ingin meneruskan pembahasan Rencana Undang Undang Pendidikan Kedokteran harus disepakati bahwa tujuan pembuatan Undang Undang no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran adalah untuk menata sistem dan program pendidikan kedokteran di Indonesia, sehingga mampu dalam jangka waktu relatif pendek dapat memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia yang berkualitas dan berkeadilan. Draf RUU merupakan perombakan total dari draf RencanaUndang Undang Pendidikan Kedokteran tanggal 16 April 2012, yang sangat jelas mengeliminir peran organisasi profesi dan kolegium serta KKI. Dalam draf yang baru hendaknya jangan mengatur dan memuat hal-hal yang sudah diatur oleh undang-undang sebelumnya dan jangan mengeliminir institusi yang sudah berfungsi dan tercantum dalam undang-undang sebelumnya6. Rencana Undang Undang Pendidikan Kedokteran hendaknya



Yang dimaksud adalah UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi



38



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN



4.



tidak mempunyai tujuan untuk meniadakan UU Praktik Kedokteran yang bersifat legi posterior. Hal-hal yang dapat diatur dengan peraturan pemerintah (PP) atau peraturan menteri tidak perlu dicantumkan dalam RencanaUndang Undang Pendidikan Kedokteran, oleh karena perubahan-perubahan dalam pendidikan kedokteran berlangsung cepat, sehingga bila dalam bentuk PP dan atau Permen maka perubahan dapat dilakukan dengan lebih cepat.



IDI konsisten dalam menolak frasa dokter layanan primer dan mengawal agar peran organisasi profesi dan kolegiumnya tercantum secara eksplisit di dalam pasal-pasal tertentu di dalam RUU, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Pasal 1 tentang Ketentuan Umum Pasal 5 tentang pembentukan fakultas kedokteran Pasal 7 tentang program internship Pasal 8 tentang program pendidikan spesialis-subspesialis Pasal 11 tentang fakultas kedokteran Pasal 26 tentang standar nasional pendidikan kedokteran Pasal 38 dan 40 tentang uji kompetensi



Akhirnya pada tanggal 6 Agustus 2013, Undang-Undang 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran resmi disahkan. Perlu dicatat, bahwa meskipun IDI tetap menolak substansi DLP di dalam undang-undang itu, IDI menyetujui tentang pembentukan pembentukan fakultas kedokteran, program internship, program pendidikan spesialissubspesialis, standar nasional pendidikan kedokteran dan uji kompetensi.



Aksi Damai IDI 24-10-2016



Dalam sejarah, IDI turun kejalan baru dua kali. Pertama pada tanggal 27 November 2013 dalam memprotes dipenjaranya sejawat dr. Ayu di Manado. Yang kedua sekarang ini, ketika memprotes kebijakan pemerintah dalam menggoalkan Program Studi Dokter Layanan Primer. Banyak pertanyaan: mengapa IDI, sebagai organisasi profesi turun kejalan? Bukankah IDI sudah terlibat dalam penyusunan konsep DLP sejak awal? PB IDI yang meski ikut dalam rapat pembentukan Rencana Undang Undang Pendidikan Kedokteran selalu menyatakan keberatannya tentang pasal pasal DLP. Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), sebagai pemangku kepentingan terbesar dari dokter umum, mengajukan Permohonan Uji Materil Undang Undang Pendidikan Kedokteran Nomor 20 tahun 2013 kepada Makamah Konstitusi, tanggal 21 Oktober 2014 dengan Nomor 122/PUU-XII/2014. Namun pengajuan ini ditolak pada tanggal 7 Desember 2015. Pada saat yang hampir bersamaan, Muktamar IDI XXIX tahun 2015, dalam Komisi B, menolak DLP untuk dibahas baik dalam BME (Basic Medical Education) maupun dalam



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



39



IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN



PGME (Post Graduate Medical Education). Sidang pleno dalam Mukmatar itu menguatkan keputusan itu, menjadi keputusan Muktamar. Menindaklanjuti amanah muktamar, PB IDI membentuk Tim Telaah dan Advokasi Dokter Layanan Primer, dengan SK PB IDI No. 00257/PB/A.4/04/2016 tanggal 20 April 2016. Rapat Pleno PB IDI dan Rapat Pleno Diperluas yang diadakan pada tanggal 16 April 2016 memutuskan sikap IDI untuk mengawal DLP dengan melakukan kajian dalam bentuk buku putih. Untuk itu PB IDI kemudian membentuk Tim Penyusun Buku Putih Kajian DLP melalui SK No. 00371/PB/A.4/06/2017 tanggal 15 Juni 2016. Tim tersebut untuk mengawal RPP Dikdok pada setiap pertemuan dengan Tim Pokjanas RPP Undang Undang no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Namun, dalam berkali kali pertemuan dengan Tim Pokjanas baik di Gedung Kemenristekdikti maupun di Hotel Century Senayan selalu tidak ada titik temu. Jalan yang ditempuh oleh tim Buku putih adalah melakukan berbagai diskusi dengan departemen terkait dengan Kementerian Kesehatan serta Kementerian Riset dan Teknologi Tinggi menjelaskan mengapa program studi DLP adalah program yang memboroskan dan tidak menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan. Selain itu, atas inisiatif beberapa anggota PB IDI, maka tim buku putih merapat kepada fraksi fraksi di DPR, melakukan hal yang sama. Pada berbagai kesempatan pertemuan dengan komisi IX, komisi X, Fraksi PDIP, Fraksi PKS, Fraksi Golkar, Fraksi Demokrat, Tim Buku Putih juga menjelaskan alasan IDI menolak program studi DLP. Komisi IX DPR memberi waktu 90 hari agar IDI dan pemerintah melakukan pendekatan untuk menghilangkan perbedaan. Dan tidak melakukan kegiatan yang dapat memperuncing perbedaan. Namun terbit surat Kemenkes yang terus mempersiapkan pembukaan Prodi DLP dengan memberikan surat kepada Gubernur seluruh Indonesia untuk mengirimkan dokter-dokter Puskesmas menempuh Pendidikan DLP. Dampaknya banyak anggota IDI di Cabang dan Wilayah seluruh Indonesia gelisah, nampak dari banyaknya pertanyaan langsung, email dan pernyataan berkelompok dari anggota IDI kepada pengurus IDI Cabang. Mereka mengusulkan protes atau demo. Pada awalnya PB IDI, sebagai perhimpunan profesi tidak setuju demo. Salah seorang anggota Pengurus IDI menjembatani usulan dan desakan aksi protes anak anak muda



40



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN



IDI itu dengan bertemu di Kalibata Mall hari minggu 2 Oktober 2016. Dalam pertemuan itu 40 anggota IDI yang hadir yang tergabung dalam kelompok Anak Muda IDI mendesak demo. Salah satu desakan adalah agar turun ke Jalan tepat di Hari Jadi Ikatan Dokter Indonesia 24 Oktober 2016. PB IDI masih tetap tidak setuju, namun anggota tetap ingin melakukan aksi turun kejalan. Pada rapat itu, diputuskan turun kejalan dengan tema Aksi Damai Dokter Indonesia Tolak Prodi DLP. Namun saat itu PBIDI tetap belum setuju. Suasana makin menghangat. Setelah anggota Pengurus IDI pulang dari pertemuan tersebut dan melaporkan putusan itu, Ketua IDI Cabang dan Ketua Wilayah IDI Banten mendukung penuh Aksi Damai Ikatan Dokter Indonesia Tolak Prodi DLP. Melalui media sosial Anggota IDI cadang dan wilayah lain mendorong aksi turun kejalan. Melalui rapat Pleno PB IDI tanggal 13 Oktober 2016 aksi turun kejalan dibahas. Namun Ketua Umum PB IDI dan para Dewan Pakar PB IDI tetap belum memberikan lampu hijau. Tidak bisa dipungkiri peranan Media Sosial begitu penting. Banyak anggota IDI seluruh Indonesia melakukan protes terhadap Kementerian Kesehatan dan Kemenristekdikti. Kelompok kelompok dokter yang tergabung dalam DIB (Dokter Indonesia Bersatu) serta PDIB (Perhimpunan Dokter Indonesia Bersatu) yang anggotanya adalah semua anggota IDI juga protes. Lebih kurang 300 surat Ketua Cabang dan Wilayah seluruh Indonesia masuk ke PB IDI yang semuanya memprotes kebijakan pemerintah dalam membuka Prodi DLP. Dalam Rapat Cito Pleno IDI di Sam Ratulangi 29 tanggal 18 Oktober 2016, IDI memutuskan untuk melakukan unjuk rasa dengan nama Kegiatan: Aksi Damai Hari Ulang Tahun IDI. Dibentuk Panitia untuk melakukan persiapan. Tema besarnya adalah Reformasi Sistem Kesehatan dan Sistem Pendidikan Kedokteran Yang Pro Rakyat. Salah satu sub temanya adalah “Prodi DLP Pemborosan, bukan solusi”. Panitia Aksi Damai IDI Tolak Prodi DLP kemudian merancang aturan Aksi Damai. Salah satunya agar selama aksi, pelayanan emergensi disetiap sarana pelayanan kesehatan seluruh Indonesia baik swasta dan pemerintah tetap berjalan. Berbagai rapat berikutnya memutuskan, aksi damai boleh dilakukan di Jakarta, maupun menyelenggarakan aksi damai sendiri di wilayah. Akhirnya, pada tanggal 24 oktober berlangsunglah Aksi Damai IDI Tolak Prodi DLP yang diikuti lebih kurang 4000 dokter di Jakarta dengan sasaran Istana Presiden dan Kementerian Kesehatan. Selain itu di berbagai daerah juga berlangung Aksi Damai dokter seluruh Indonesia baik Kabupaten/ Kota dan Provinsi. Diperkirakan lebih kurang 40.000 dokter seluruh Indonesia ikut dalam Aksi damai itu.



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



41



AKSI DAMAI IDI MENUNTUT REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN KEDOKTERAN DKI JAKARTA DAN BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA SENIN, 24 OKTOBER 2016 Gambar 1A, B dan C. Berangkat menuju Monas



Gambar 2. Perwakilan dokter dari seluruh Indonesia hadir di ibukota untuk menyuarakan reformasi sistem pendidikan kedokteran sebelum berdampak pada sistem pelayanan kesehatan nasional



42



Gambar 3. Gelar orasi aksi damai di Monas, karena tidak dapat memasuki jalan di depan Istana Presiden



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016



Gambar 4. Aksi Damai IDI di Riau



Gambar 5A dan B. Aksi Damai IDI di Sumatera Selatan



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



43



Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016



Gambar 6. Aksi Damai IDI di Bandar Lampung



Gambar 7. Aksi Damai IDI di Karanganyar



44



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016



Gambar 8. Aksi Damai IDI di Magetan



Gambar 9. Aksi Damai IDI di Trenggalek



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



45



Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016



Gambar 10. Aksi Damai IDI di Kabupaten Kediri



Gambar 11.A, B dan C. Aksi Damai IDI se- Kalimantan Timur



46



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016



Gambar 12. Aksi Damai IDI di Bali



Gambar 13. Aksi Damai IDI di Bolaang Mongondow Raya



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



47



Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016



Gambar 14. Aksi Damai IDI di Konawe Selatan



Gambar 15. Aksi Damai IDI se Provinsi Maluku Utara



48



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016



Gambar 16. Aksi Damai IDI di Maluku



Gambar 17. Aksi Damai IDI di Kabupaten Sampang



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



49



Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016



Gambar 18. Aksi Damai IDI di Gorontalo



Gambar 19. Aksi Damai IDI di Pare Pare



50



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



V. Upaya Metamorfosa Kedokteran Keluarga Menjadi DLP IDI berpendapat, DLP adalah metamorfosa dari dokter keluarga. IDI mengusulkan dari pada membuka program studi DLP yang setara spesialis, lebih baik mengembangkan spesialis dokter keluarga. Karena saat ini, dalam rumah besar IDI telah terbentuk Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Keluarga dan sudah memiliki Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia yang disingkat KIKKI. A.



Kilas balik IDI







Tahun 1926. Perkumpulan Vereniging van Indische Artsen berubah namanya menjadi Vereniging Van Indonesische Genesjkundigen (VIG). Perubahan ini timbul dari rasa nasionalisme, yang mengubah kata “indische” menjadi “Indonesische”. Tujuan VIG ialah menyuarakan pendapat dokter untuk mempersamakan kedudukan antara dokter pribumi dengan dokter Belanda dari segi kualitasnya.



Tahun 1940. VIG mengadakan kongres di Solo. Kongres tersebut mengumpulkan 3000 istilah baru dalam dunia kedokteran dan menuntut peningkatan gaji (upah) dokter Melayu dengan hasil peningkatan upah mencapai 70% dari jumlah semula yang hanya 50% dibandingkan dengan dokter Belanda. Serta pemberian kesempatan pendidikan lanjutan bagi dokter Melayu.



Tahun 1943. Dalam masa pendudukan Jepang, VIG dibubarkan dan diganti menjadi Jawa izi Hooko-Kai.







30 Juli 1950. PB Perthabin (Persatuan Thabib Indonesia) dan DP-PDI (Perkumpulan Dokter Indonesia) membentuk panitia penyelenggara Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia (PMDWNI) yang bertugas menyelenggarakan ‘Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia’. Muktamar bertujuan untuk mendirikan suatu perkumpulan dokter warga negara Indonesia yang baru, dan merupakan wadah representasi dunia dokter Indonesia. Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) dilaksanakan pada 22-25 September 1950 bertempat di Deca Park yang kemudian menjadi gedung pertemuan Kotapraja Jakarta. Sebanyak 181 dokter WNI (62 di antaranya datang dari luar Jakarta) menghadiri Muktamar tersebut. Dalam muktamar IDI itu, Dr. Sarwono Prawirohardjo terpilih menjadi Ketua Umum IDI pertama.







24 Oktober 1950. Dr. Soeharto (pantia Dewan Pimpinan Pusat IDI waktu itu), atas nama sendiri, dan atas nama pengurus lainnya, yakni Dr. Sarwono Prawirohardjo, Dr. R. Pringgadi, Dr. Puw Eng Liang, Dr. Tan Eng Tie, dan Dr. Hadrianus Sinaga menghadap notaries R. Kadiman untuk memperoleh dasar hukum berdirinya perkumpulan dokter dengan nama ‘Ikatan Dokter Indonesia’, yang dalam Anggaran Dasarnya pada tahun 1952 berkedudukan “sedapat-dapatnya di Ibukota Negara Indonesia” dan didirikan untuk waktu yang tidak ditentukan”. Tanggal 24 Oktober kemudian dietapkan sebagai Hari Lahir IDI.



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



51



V. UPAYA METAMORFOSA KEDOKTERAN KELUARGA MENJADI DLP







Dalam periode pengurusan IDI ini, Dr. Tan Eng Tie (bendahara IDI enam kali berturutturut) ditugaskan membeli gedung IDI (sekarang) di Jalan Sam Ratulangi, Jakarta dari seorang warga Negara Belanda seharga Rp 300.000. Sejak itulah, pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melayarkan bahtera organisasinya ditempat tersebut.







Tahun 1951. IDI pertama kali menerbitkan Majalah Kedokteran Indonesia (MKI) yang kemudian ditetapkan sebagai majalah ilmiah resmi IDI.







Tahun 1953. IDI diterima menjadi anggota World Medical Association (WMA). Pada tahun yang sama IDI memprakarsai berdirinya Confederation of Medical Associationin Asia and Oceania (CMMAO) dan sejak itu,







Tahun 1969. IDI menyelenggarakan Musyawarah Kerja Sosial Kedokteran Indonesia. Musyawarah ini berhasil menyusun dan mensahkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki).







Tahun 1979. Untuk pertama kalinya, IDI menerbitkan Berita Ikatan Dokter Indonesia (BIDI). BIDI berkembang menjadi media komunikasi resmi IDI.







Tahun 1980. IDI memprakarsai berdirinya Medical Association of ASEAN (MASEAN), dan sejak itu menjadi anggota aktif organisasi tersebut.







Tahun 1982. IDI pertama kalinya menyusun konsep Dokter Keluarga sebagai alternatif pengembangan praktik dokter swasta di Indonesia. Dan tahun 1985 pada Muktamar IDI di Bandung menetapkan lahirnya Perhimpunan Dokter Spesialis (PDSp) dan Perhimpunan Dokter Seminat (PDSm) sebagai badan kelengkapan IDI yang bernaung di bawah IDI.







Tahun 1997. IDI mengalami perkembangan pesat. Tercatat sebanyak 242 IDI Cabang, 24 IDI wilayah, 24 PDSp dan 23 PDSm sebanyak 23 dengan anggota berjumlah 32.220 orang.







Tahun 2015 untuk ke-29 kalinya IDI menyelenggarakan Muktamar di Medan. Muktamar XXIX memilih Dr. Daeng M. Faqih, SH, MH sebagai Ketua Terpilih dan mengukuhkan Prof. dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG sebagai Ketua Umum.







Pada saat ini IDI telah memiliki 432 Cabang, 33 Wilayah, 36 PDSp, 48 PDSm dan 2 PDPP serta memiliki anggota 109.597 dokter dan 26.896 dokter spesialis. Salah satu di antara 86 perhimpunan tersebut adalah Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia yang pada Muktamar XXIX diputuskan kembali memiliki Kolegium sendiri.



52



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



V. UPAYA METAMORFOSA KEDOKTERAN KELUARGA MENJADI DLP



B.



Perkembangan Institusional Kedokteran Keluarga







Ide mengenai perlunya Dokter Keluarga di Indonesia bermula sejak beberapa pengajar dari bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Pencegahan (yang saat ini berganti nama menjadi Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas) Fakutas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta kembali dari Internasional Conference of Family Medicine di Filipina tahun 1978. Akhirnya pada tahun 1979 dibentuk “Kelompok Studi Dokter Keluarga Indonesia” yang menerbitkan buku Bunga Rampai Dokter Keluarga Indonesia. Pada tahun yang sama kedokteran keluarga mulai dilaksanakan dalam pembelajaran di FKUI.







Kelompok Studi Dokter Keluarga (KSDK, 1983) adalah sebuah organisasi dokter seminat di bawah IDI dengan beragam anggota, umumnya adalah dokter praktik umum dan dokter spesialis. Pada tahun 1986 KSDK menjadi anggota organisasi dokter keluarga sedunia (WONCA). Setelah Kongres Nasional di Bogor, pada tahun 1990, bersamaan dengan Kongres Dokter Keluarga Asia-Pasifik di Bali, KSDK berganti nama menjadi Kolese Dokter Keluarga Indonesia (KDKI), tetapi masih merupakan organisasi dokter seminat. Pada tahun 2003 dalam Kongres Nasional di Surabaya, KDKI ditasbihkan sebagai perhimpunan profesi, yang anggotanya terdiri atas dokter praktik umum, dengan nama Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI), namun saat itu belum mempunyai kolegium yang berfungsi. Dalam Kongres Nasional di Makassar 2006 didirikan Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga (KIKK), serta telah dilaporkan ke IDI dan MKKI.







Anggota KIKK atau Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga dipilih dalam Kongres Nasional VII di Makassar 30 Agustus – 2 September 2006 dan disahkan oleh PB IDI melalui SK Ketua Umum PB IDI. Tugas KIKK adalah memberikan pengakuan kompetensi keprofesian kepada setiap anggota PDKI. Dibawah ini adalah kewenangan KIKK: 1.



Menetapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sistem pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga; 2. Menetapkan program studi pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga beserta kurikulumnya; Menetapkan kebijakan dan pengendalian uji kompetensi nasional pendidikan profesi kedokteran keluarga; 3. Menetapkan pengakuan keahlian (sertfikasi dan resertifikasi); 4. Menetapkan kebijakan akreditasi pusat pendidikan dan rumah sakit pendidikan untuk pendidikan dokter keluarga; 5. Mengembangkan sistem informasi pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga Anggota KIKK terdiri atas anggota PDKI yang dinilai mempunyai tingkat integritas dan kepakaran yang tinggi untuk menilai kompetensi keprofesian anggotanya



Pada tahun yang sama, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengeluarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, yang pada bab pendahuluannya menyebutkan karakteristik lulusan sama dengan karakterisitik dokter keluarga seperti yang



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



53



V. UPAYA METAMORFOSA KEDOKTERAN KELUARGA MENJADI DLP



terdapat pada buku Standar Profesi Dokter Keluarga. PB IDI menganjurkan agar KIKK bergabung dengan KDI dengan pertimbangan karena dua kolegium tersebut selama ini sama-sama menerbitkan sertifikat kompetensi untuk Dokter yang bekerja pada Pelayanan Primer (DPP). Setelah melalui diskusi yang berkepanjangan akhirnya pada tahun 2007, kedua kolegium bergabung menjadi satu yakni Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga disingkat KDDKI dengan dua divisi masing-masing divisi dokter praktik umum dan divisi dokter keluarga.



November 2015, Muktamar IDI XXIX di Medan, PDUI dan PDKI, menyepakati pemisahan kolegium KDDKI menjadi dua kolegium seperti sebelumnya yakni KDI – Kolegium Dokter Indonesia dan Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga (KIKK). Pada bulan Juli 2016, Pengurus Pusat PDKI dibentuk, ini terdiri dari Badan Pertimbangan, Badan Pengurus dan Badan Etik. Pada tahun yang sama, Rapat Pleno MKKI menyetujui PDKI sebagai Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Keluarga dan pembentukan Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indoneisa atau KIKKI. Beberapa waktu kemudian, terbitlah Penetapan PB IDI tentang Pengurus Pusat Perhimpuan Dokter Spesialis Kedokteran Keluarga Indonesia dengan singkatan yang tetap sama yakni PDKI.



C.



Kegiatan-kegiatan Penting







Pada tahun 1990 tersusun program pembelajaran post graduate paket A, B, C, D atas kerjasama Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Masyarakat, Departement Kesehatan RI, dengan PDKI dan FKUI yang kemudian diujicobakan serta dilaksanakan di berbagai tempat di Indonesia.







Pada tahun 1995-2002 diselenggarakan berbagai Training of Trainers (TOT) dari pelatihan paket A, B, C, D di berbagai tempat dengan penyelenggara kerjasama tiga pihak masing-masing Fakultas Kedokteran setempat, PDKI cabang dan Dinas Kesehatan setempat, dengan narasumber berasal baik dari Pengrus Pusat PDKI pusat dan lokal. Program Magister Dokter Keluarga FK Universitas Nasional 11 Maret dibuka pada tahun 1998 yang telah menghasilkan sekitar 500 orang Master Dokter Keluarga.







Dalam lokakarya nasional pada tahun 2001 yang dihadiri oleh dekan dan ketua bagian IKK atau IKM-IKP seluruh Indonesia, 38 fakultas kedokteran sepakat bahwa materi kedokteran keluarga harus masuk dalam kurikulum pendidikan dokter. Pada tahun 2003 diselenggarakan kegiatan pemutihan untuk menjadi pakar kedokteran keluarga dengan maksud mendorong pembelajaran kedokteran keluarga pada institusi pendidikan dokter. Sejumlah 20 fakultas kedokteran yang berminat dalam pembelajaran kedokteran keluarga memiliki pakar Kedokteran Keluarga sejumlah 2-5 orang tiap fakultas. Lokakarya nasional tahun 2003 yang merupakan kelanjutan dari lokakarya tahun 2001 menghasilkan kesepakatan materi kedokteran keluarga pada tahap preklinik dan tahap klinik.







Pada tahun 2004 diselenggarakan lokakarya nasional yang ketiga dan menyepakati kepaniteraan kedokteran keluarga pada 3 FK yang pada saat itu presentasi



54



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



V. UPAYA METAMORFOSA KEDOKTERAN KELUARGA MENJADI DLP



untuk dijadikan contoh. Di tahun ini pula, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi Program Studi Dokter yang bertujuan meluluskan dokter primer dengan pendekatan kedokteran keluarga.



Tahun 2006 Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia (KIKK) dibentuk dan standar Profesi Dokter Keluarga, Standar Kompetensi Dokter Keluarga, Standar Pelayanan Dokter Keluarga disusun oleh PDKI atas pembiayaan proyek HWS IDI dan arahan Ketua PB IDI.







Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 2008, IDI mencanangkan dimulainya program konversi Dokter Keluarga yang dikelola oleh PDKI. Namun, program ini dihentikan pada tahun 2011 oleh PB IDI, pada saat itu 1743 dokter praktik umum telah dikonversi menjadi dokter keluarga.







Pada tahun 2012, FK Universitas Indoneisa, FK Universitas Gajah Mada, dan FK Universitas Hasanuddin memulai program graduate certificate in Family Medicine. Di tahun ini, konsorsium Dokter Keluarga Indonesia yang didukung oleh Project Health Professional Education Quality (HPEQ-2012-2014) dan di pelopori oleh FK UGM dan FK UNHAS, dibentuk untuk memperkuat kualitas dan kuantitas staf pengajar Kedokteran Keluarga baik dalam program pendidikan dasar dan maupun lanjutan.







Namun, sejak tahun 2013 tidak tercatat adanya kegiatan yang bermakna kecuali kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan DLP. Sejak diundangkannya UU No. 20 Tahun 2013 tentang UU Pendidikan Dokter, para tokoh Kedokteran Keluarga menjadi jajaran terdepan menyuarakan dan memperjuangkan DLP. Diduga, kelompok inilah yang menjadi kelompok penekan dalam proses penyelundupkan DLP ke dalam UU No. 20 Tahun 2013.







Dalam Catatan sejarah DLP yang ditulis oleh Pokja Percepatan Pendidikan Dokter Layanan Primer dalam Draf Naskah Akademik Standar Kompetensi Dokter Layanan Primer Indonesia. Sejarah DLP diawali dengan lahirnya Kedokteran Keluarga hingga kegiatan kedokteran keluarga pada 2012 dan tiba-tiba pada alinea berikut dicatat tentang masuknya Dokter Keluarga ke dalam UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Ini adalah bukti metamorfosa kedokteran keluarga menjadi DLP. Bukti lain yang menunjukkan bahwa DLP adalah metamorfosa dari Kedokteran Keluarga ditunjukkan oleh rumusan kompetensi DLP oleh Pokja Percepatan Pendidikan Dokter Layanan Primer dinyatakan bahwa 80% kompetensi DLP adalah kompetensi dokter keluarga.







Pertanyaannya, mengapa harus bermetamorfosa menjadi DLP? Mengapa tidak sebagai spesialis dokter keluarga? Pada saat ini, dalam rumah besar IDI telah terbentuk Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Keluarga dan sudah memiliki Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia yang disingkat KIKKI. Sedangkan DLP terkesan tidak jelas dan belum memiliki kolegium. Dengan demikian, profesi DLP yang tumpang tindih adalah perbuatan yang tidak perlu dan jelas merupakan sebuah pemborosan.



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



55



VI. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan 1: Dokter Umum yang dididik menggunakan kurikulum beradasarkan SKDI 2012 cukup berkualifikasi untuk melakukan pelayanan kesehatan di FKTP. Rekomendasi: IDI mengusulkan agar penambahan kompetensi pada dokter umum dilakukan melalui modul terstruktur, melalui P2KB, karena lebih cepat, kontekstual dengan kebutuhan lokal, dan lebih cost effective. Kesimpulan 2: Akar masalah dari ketidakefektifan pendidikan dasar kedokteran adalah karena banyaknya fakultas kedokteran yang masih berakreditasi B dan C. Karena itu dapat disimpulkan bahwa usulan Pendidikan Program Studi DLP yang mensyarakatkan pendidikan tambahan selama 3 tahun, agar memenuhi kualifikasi pemberian pelayanan di FKTP adalah usulan tambal sulam. Rekomendasi: Pemerintah perlu memprioritaskan—dengan bantuan dari FK yang berakreditasi A—untuk memperbaiki peringkat FK lainnya yang masih berakreditasi B dan C. Kesimpulan 3: Pendekatan DLP yang memperkuat fungsi promosi dan preventif, yang membuat dokter seperti seolah “serba bisa”, adalah pemborosan, tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang yang mengutamakan kerja sama tim, membangun koordinasi UKP-UKM sesuai dengan rancangan Sistem Kesehatan Nasional. Rekomendasi: Lebih cost effective jika pemerintah menggunakan tenaga lulusan ahli kesehatan masyarakat yang sudah tersedia lebih banyak jumlahnya untuk memperkuat fungsi promotif dan preventif, dan menaikkan anggaran untuk infrastruktur UKM. Kesimpulan 4: IDI berpendapat bahwa memaksakan dokter umum agar ikut program studi DLP, sebagai syarat agar bisa bekerja di FKTP cenderung bersifat malahan kontra produktif dengan prioritas pemerintah untuk melaksanakan Universal Coverage 2019, karena sekarang ini jumlah FKTP masih kurang tersedia. Rekomendasi: Pemerintah mestinya memfasilitasi agar jumlah klinik dan dokter praktik yang bekerja sama dengan BPJS bisa bertambah untuk, sehingga sehingga menjamin penyediaan fasilitas pelayanan cukup, dan otomatis mengurangi beban Puskesmas dalam UKP, sehingga, dan Puskesmas mampu bisa mengerjakan UKM yang selama ini masih terabaikan. Kesimpulan 5: IDI berpendapat bahwa Program studi DLP tidak dapat menyelesaikan problematika kekurangan dan maldistribusi dokter terutama di wilayah terpencil. Pendidikan yang lebih lama justru akan memperparah maldistribusi. Padahal maldistribusi adalah prioritas yang mesti diselesaikan pemerintah. Rekomendasi: IDI mengusulkan reformasi pendidikan kedokteran, melalui subsidi biaya pendidikan, rekrutmen calon dokter, proses pendidikan yang membuat dokter



56



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI



terbiasa bekerja di pedesaan, dan lama pendidikan yang cost effective, bukan dengan memperpanjang masa pendidikan Kesimpulan 6: Asumsi bahwa Program studi DLP untuk mengatasi tingginya rujukan ke rumah sakit tidak didukung data. Data Nasional Rasio Rujukan peserta BPJS dari FKTP, baik tahun 2015, maupun 2016, menunjukkan bahwa angka rasio total rujukan dari FKTP masih di bawah patokan BPJS 15%, yaitu 12 %. Rujukan tinggi terjadi di lokasi tertentu lebih disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana, masih rendahnya kapitasi dibanding biaya pelayanan dan karena atas permintaan sendiri. Rekomendasi: IDI mengusulkan agar pemerintah memperbaiki sarana dan prasarana FKTP milik pemerintah dan menaikkan biaya kapitasi, sehingga kualitas pelayanan bisa lebih baik. Kesimpulan 7: Defisit anggaran BPJS yang terjadi dalam 2 tahun terakhir adalah terjadi karena fenomena adverse selection dan karena besarnya penderita penyakit katastrofik. Penyakit katastrofik timbul, karena UKM belum berjalannya UKM, bukan karena kurangnya kemampuan dokter di FKTP. Rekomendasi: pemerintah sebaiknya lebih baik mencari solusi agar seluruh pekerja informal / mandiri /PBPU bersedia mau menjadi peserta BPJS. Pemerintah harusnya mulai berfokus pada lulusan ahli kesehatan masyarakat, dan meningkatkan anggaran UKM. Kesimpulan 8: UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran—terkait dokter layanan primer—tidak harmonis dengan dua Undang-undang lainnya, yaitu UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Rekomendasi: IDI mengajukan revisi UU 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, agar masalah ketidakharmonisan ini bisa diselesaikan Kesimpulan 9: Kolegium DLP tidak mungkin lahir, karena keilmuannya sangat mirip dengan kedokteran keluarga yang sudah mempunyai Kolegium tersendiri (KIKKI). Jadi STR sebagai profesi DLP tidak bisa keluar. Universitas yang sekarang menyelenggarakan program studi DLP juga melanggar undang undang. Rekomendasi: Progaram studi DLP tidak perlu didirikan dan Universitas yang berminat mengembangkan karir dokter umum lebih baik mengembangkan program spesialis kedokteran keluarga.



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



57



Epilog Perjuangan IDI untuk menata sistem dan program pendidikan kedokteran di Indonesia, sehingga mampu dalam jangka waktu relatif pendek dapat memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia yang berkualitas dan berkeadilan masih panjang. Sepanjang UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran masih dalam bentuknya seperti sekarang, ancaman penyimpangan sistem atas nama hukum masih akan tetap ada. Karena itu IDI akan tetap berjuang di dua sisi. Pertama, melakukan advokasi untuk perubahan terbatas (revisi) UU No 20 Tahun 2013 melalui DPR RI. Kedua, ikut terlibat bersama pemerintah dalam pembahasan draf Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang UU Pendidikan Kedokteran itu. A.



Advokasi Perubahan UU No 20 tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran







Dalam rangka advokasi perubahan atas UU No 20 tahun 2013, PB IDI telah melaksanakan serangkaian advokasi Perubahan Atas UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran sebagai berikut :







Tanggal 23 dan 30 Mei 2016, IDI memaparkan alasan revisi dalam RDPU dengan Komisi IX. Komisi IX dalam hal ini mengapresiasi paparan IDI, mengundang pihak terkait, berkoordinasi dengan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi. Komisi IX bahkan mengusulkan untuk membentuk pansus dan panja bersama Komisi X.







Tanggal 27 September 2016, IDI ikut dalam RDPU dengan Badan Legislasi DPR RI (Baleg). Ikut hadir juga Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, dan Kementerian Kesehatan. Dalam rapat itu Semua anggota DPR yang hadir pada Rakor/RDP Baleg menyatakan setuju untuk dilakukan revisi UU no 20 tahun 2013 terutama untuk materi DLP. Baleg sepakat membentuk panja terutama untuk re-evaluasi substansi DLP dan UKMPPD. Baleg meminta pemerintah agar sebelum pembentukan panja revisi UU dikdok, maka RPP tidak diputuskan terlebih dahulu dan agar menahan atau menunda terlebih dahulu pelaksanaan program DLP hingga dilakukan kajian UU dikdok oleh Panja perjalanan UU dikdok tidak akan mulus dengan adanya program pendidikan dokter yang justru ditentang oleh dokter.







Tanggal 24 Oktober 2016 IDI mengikuti RDPU dengan Baleg DPR RI. Dalam rapat ini, Dalam sidang ini, PB IDI menyampaikan naskah akademis dan usulan draf RUU Perubahan atas UU No 20 Tahun 2013. Baleg Meminta pemerintah melibatkan IDI dalam pembahasan RPP pendidikan kedokteran.







Tanggal 28 Desember 2016 diselenggarakan RDPU Komisi X dengan PB IDI. Hasilnya Komisi X DPR mendesak pemerintah untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam menyusun rancangan peraturan pemerintah pelaksanaan UU Dikdok No 20 tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi No 122/PU-XII/2014, dengan melibatkan Komisi IX DPR RI paling lambat 90 hari kerja terhitung sejak kesimpulan ini diputuskan.



58



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Epilog







IDI menindak lanjuti RDPU itu dengan melakukan audiensi dengan Fraksi DPR RI, seperti PKS, PDIP, Nasdem, Gerindra dan Golkar. Sebagai hasil dari audiensi ini, Fraksi PKS mendukung revisi UU; Fraksi PDIP dan Frasdem masing masing mengusulkan Usulan Resmi Fraksi tentang RUU Perubahan Atas UU no 20 tahun 2013. Beberapa Fraksi yang belum merespon permohonan audiensi dari IDI adalah PPP, Demokrat, PAN, PKB, dan Hanura.







Diluar catatan ini, sejak tanggal 17 November 2016 Panja Komisi X Menyetujui adanya Panja mengenai DLP. Untuk menindaklanjuti hasil itu maka panja program studi DLP Komisi X telah menyelenggarakan rapat dengan sejumlah pemangku kepentingan dan pakar pendidikan kedokteran. Sampai buku ini dibuat, rapat berkala Panja Komisi X belum selesai.







Secara singkat, Perjuangan PB IDI dalam rangka Perubahan Atas UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran belumlah selesai, Namun fase pertama ini ditutup dengan harapan yang baik, yaitu ketika pada Rapat Baleg mengenai Program Legislasi Nasional tanggal 14 Desember 2016 telah disepakati bahwa Perubahan Atas UU No 201 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2014-2019 atau lazim disebut longlist Prolegnas dan untuk Prolegnas tahun 2017, RUU ini masuk sebagai daftar tunggu Prolegnas 2017. Hasil pembahasan ini selanjutnya ditetapkan dalam paripurna DPR RI tanggal 15 Desember 2016.



B.



Advokasi Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pendidikan Kedokteran







Dalam rangka menindaklanjuti keputusan sidang Badan Legislatif DPR, Komisi IX dan Komisi X, maka pemerintah mengundang PB IDI dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pendidikan Kedokteran. PB IDI menyambut baik undangan tersebut dan menghadiri pembahasan RPP. Bahwa pembahasan RPP Pendidikan Kedokteran telah sampai pada tahap pembicaraan harmonisasi antar departemen (interdep) meliputi kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Riset, teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Kesehatan, dan Sekretariat Negara.







Dalam perkembangannya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) sebagai Menteri Koordinator yang mengkoordinasikan kementerian-kementerian tersebut turut serta mengkoordinasikan pembahasan RPP. Penyusunan Rancangan Perundang Undangan tentang dokter layanan primer berlangsung lebih dari 10 kali sampai proses harmonisasi, dalam perjalanan nya belum menemukan titik temu antara Pemerintah dan IDI. Namun hal ini tidak akan menyurutkan langkah PB IDI untuk terus memperjuangkan Perubahan UU No 20 Tahun 2013 Tentang pendidikan Kedokteran.



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



59



PERJALANAN PERJUANGAN REVISI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN Gambar 1. Jumpa Pers Uji Materi UU no. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran di PB IDI



Gambar 2. Audiensi dengan Komisi X DPR RI, 30 Mei 2016



Gambar 3A, B, C, D. RDPU Badan Legislasi DPR RI dengan IDI, 25 Juli 2016



Hasil : Disepakati perubahan atas UU No 20 tahun 2013 untuk dimasukkan dalam Prolegnas 2016 atau 2017 dan diagendakan untuk pembentukan panitia kerja lewat pemantauan peninjauan UU. Baleg meminta IDI menyiapkan position paper, Naskah Akademis, dan draf RUU perubahan atas UU No 20 Tahun 2013.



60



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Perjalanan Perjuangan Revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran



Gambar 4. Audiensi dengan Menteri Pertahanan, 22 Agustus 2016



Gambar 6. Audiensi dengan Sekneg RI Divisi Kelembagaan, 5 September 2016



Gambar 7. Audiensi dengan Deputi III, Kemenko PMK, 6 Sept 2016



Gambar 8. Audiensi dengan Fraksi PKS DPR-RI, 20 September 2016



Gambar 9. RDPU Badan Legislasi (Baleg) bersama IDI, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, dan Kementerian Kesehatan, 27 September 2016 A. Berbagai perwakilan IDI Wilayah dan Cabang berjalan menuju gedung DPR-RI



B. Menunggu waktu sidang di gedung DPR RI



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



61



Perjalanan Perjuangan Revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran



Hasil: Semua anggota DPR yang hadir pada Rakor/RDP Baleg menyatakan setuju untuk dilakukan revisi UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Dikdok) terutama untuk materi DLP. Baleg RI sepakat membentuk panja terutama untuk re-evaluasi substansi DLP dan UKMPPD dalam UU Dikdok. Sebelum pembentukan panja revisi UU Dikdok, maka RPP tidak diputuskan terlebih dahulu. Baleg meminta pemerintah untuk menahan atau menunda terlebih dahulu pelaksanaan program DLP hingga dilakukan kajian UU dikdok oleh Panja. Perjalanan UU dikdok tidak akan mulus dengan adanya program pendidikan dokter yang justru ditentang oleh dokter. Baleg juga meminta pemerintah melibatkan IDI dalam pembahasan RPP pendidikan kedokteran. Dalam sidang ini, PB IDI menyampaikan naskah akademik dan usulan draf RUU perubahan atas UU no 20 tahun 2013.



62



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Perjalanan Perjuangan Revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran



Gambar 10. Audiensi dengan Sekretaris Negara Pratikno, 20 September 2016



Gambar 11. Seminar Pendidikan Dokter Layanan Primer dengan Fraksi PPP



Gambar 12. Audiensi dengan Fraksi Partai Golkar



Gambar 13. Audiensi dengan Fraksi Partai Nasional Demokrat, 4 Oktober 2016



Gambar 14. Audiensi dengan Fraksi PDIP, 11 Oktober 2016



Gambar 15. Sinkronisasi RPP, 23 Oktober 2016



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



63



Perjalanan Perjuangan Revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran



Gambar 16. Audiensi dengan Fraksi Partai Gerindra, 28 Oktober 2016



Gambar 17. Audiensi dengan Media Kompas, 16 Desember 2016



Gambar 18. Harmonisasi RPP DLP, Hotel Century, 22 Desember 2016



Gambar 19. Audiensi dengan Metro TV dan Media Indonesia, 16 Januari 2017



Gambar 20. Audiensi dengan Koran Tempo, 19 Januari 2017



Gambar 21. Audiensi dengan SCTV, 20 Januari 2017



64



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Perjalanan Perjuangan Revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran



Gambar 22. Audiensi dengan Republika, 9 Februari 2017



Gambar 23. Harmonisasi RPP di Kemko PMK, 14 Februari 2017



Gambar 24. Penyerapan Aspirasi IDI Wilayah Jawa Timur Bersama Komisi X Fraksi NasDem



Gambar 25. Diskusi pembahasan DLP versi IDI dan pemerintah, Surabaya, 2016



Gambar 26. Penyerapan Aspirasi IDI Cabang Ngawi, Jawa Timur



Gambar 27. Seminar Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di gedung DPR. Jakarta, 21 Februari 2017



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



65



Daftar Pustaka Asshiddiqie J. Komentar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika; 2013. Australia-Indonesia Partnership for Healh Systems Strengthening. Laporan Akhir National Health Accounts (NHA) Indonesia. 2014 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan Puskesmas. 2011. Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Perkuat Upaya Promotif Preventif melalui DLP. [Online]: http://www.depkes.go.id/ article/view/16102300002/perkuat-upaya-promotif-preventif-melalui-DLP.html. Diakses tanggal 1 Maret 2017. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Tentang Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 25 Juni 2013 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Tentang Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 26 Juni 2013 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 2 April 2012. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Lokakarya Panja Rancangan Undang-Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 23 Maret 2011. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Dengar Pendapat Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pendidikan Kedokteran, 27 Januari 2011. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Tentang Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 25 Juni 2013. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Tentang Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 26 Juni 2013. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Dengar Pendapat Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 26 Juni 2013. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Dengar Pendapat Umum Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 26 Juni 2013. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Panja Rancangan UndangUndang Tentang Pendidikan Kedokteran. 15 Maret 2011. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Panja Rancangan UndangUndang Tentang Pendidikan Kedokteran. 2 April 2012. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Panja Rancangan UndangUndang Tentang Pendidikan Kedokteran. 4 April 2012. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Panja Rancangan UndangUndang Tentang Pendidikan Kedokteran. 9 April 2012.



66



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



Daftar Pustaka



Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Panja Rancangan UndangUndang Tentang Pendidikan Kedokteran. 11 Maret 2013. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Panja Rancangan UndangUndang Tentang Pendidikan Kedokteran. 4 Juli 2013. Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar, Departemen Kesehatan RI. Kebijakan Akselerasi Pengembangan Pelayanan Dokter Keluarga. Jakarta; 2007. Kelompok Kerja Percepatan Pendidikan Dokter Layanan Primer. Pendidikan Dokter Layanan Primer, Kementerian Pendidikan Tinggi & Ristek - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Kementerian Kesehatan Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Repubik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014. Jakarta; 2014. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). [Online]: http://www.kkni-kemenristekdikti.org, diakses tanggal 1 Maret 2016. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Prosedur PenyeIenggaraan Program Studi Program Magister dan Profesi PTN dan Swasta. 2015. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2012. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta; 2014. Martinah. Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Jakarta: Konstitusi Press, Jakarta: 2013. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Optimalisasi Profesionalisme Dokter Umum Di Tingkat Pelayanan Primer Pada Era JKN Menyongsong SDG. Jakarta: Disampaikan pada
Pertemuan Ilmiah Tahunan dan Musyawarah Kerja Nasional PDUI. Jakarta; 22 April 2016. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Kebijakan Kemristekdik/Penjaminan Mutu Pendidikan Kedokteran, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. 2015. Marmot M. Social Determinants of Health Inequalities. Lancet 20015; 365, 1099-104. Mundiharno. Jaminan Kesehatan Nasional: Pencapaian & tantangan dari Sudut Pandang Penyelenggara. Presentasi pada Kongres InaHEA ke-3 Yogyakarta: 28 Juli 2016. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta; 2012. Perkumpulan Promotor Dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia. Kurikulum Pendidikan Profesi Promotor Dan Pendidik Kesehatan Masyarakat. Lokakarya Bahan Kajian Kurikulum Profesi Promotor Kesehatan Universitas Diponegoro – Semarang. 3 Juni 2016.



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



67



Daftar Pustaka



Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Jakarta; 2012. Saminarsih SD. Annual Scientific Meeting. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. [online] http://health.detik.com/read/2015/03/06/172535/2851941/763/243-puskesmas-diindonesia-rusak-berat. Di akses tanggal 08 September 2016. Schwab K. The Global Competitiveness Report 2016-2017. Jenewa:World Economic Forum; 2016. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Jakarta; 2004. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta; 1945. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Jakarta; 2014. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Jakarta; 2013. Zahrawardi. Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Wajib PT. Askes pada Puskesmas Mibo, Puskesmas Batoh dan Puskesmas Baiturahman di Kota Banda Aceh Tahun 2007. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2007.



68



BUKU PUTIH IDI | IDI MENOLAK PROGRAM STUDI DOKTER LAYANAN PRIMER



PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA Jl. Dr. G.S.S.Y. Ratulangi No. 29 Menteng, Jakarta Pusat 10350



ISBN 978-602-72055-5-0



9



786027



205550