3 Kimia 1453 2006 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS ANTI BAKTERI MASKER PEEL OFF SERBUK GETAH PEPAYA MUDA DAN MADU HITAM Ade Arinia Rasyad, Frenny Zumariny, dan Ni Wayan Lisa Suasti Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi email: [email protected] Abstract It has been reported before that sap of papaya and honey had antibacteria effect against Propionibacterium acne and Staphylococcus sp. The goal of this study is to see the influence of combination between papaya's sap and honey as active agent to their activity as antibacteria. Active agent is formulated in peel-of mask to increase the theurapetic activity and comfort of using consideration. Papaya's sap is prepared as powder. It was extracted and dried in oven. Dry powder was then added with sodium metabisulphite 0,7% before mixed with honey. There were 4 formulas prepared as the composition of papaya's sap and honey. The composition of those formulas were : 12% -8% (F1), 10%-10% (F2), 8%-12% (F3) and pell-of mask without active agent (F4) respectively. PVA, HPMC, Potasium sorbate, glycerin, demin water and ethanol 96% were used to make peel-of mask. Physical evaluation and antibacteria test were then conducted. "sumuran" method was choosen to explore the antibacteria effect. Based on the data, F1 was the most stable formula that give maximum antibacteria effect, i.e. 18,83, mm against SA and 17,82 mm against PA. It can be concluded that the composition of active agent influenced the physical properties and antibacteria effect of papaya's sap and honey. Keywords: peel-of mask, papaya, honey, antibacterial Abstrak Dari hasil penelitian sebelum nya getah papaya (Carica papaya L.) dan madu (Apis dorsata) mampu bersifat sebagai antibakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus sp. Dengan memformula kombinasi getah pepaya dan madu dalam bentuk sediaan masker peel of diharapkan dapat meningkatkan efektivitas terapetik dan kenyamanan dalam penggunaannya. Serbuk getah buah pepaya diperoleh dengan cara getah murni yang didapat dengan cara disadap ditambahkan dengan natrium metabisulfit 0,7% kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven. Dibuat menjadi 3 formula, dengan persentase kombinasi serbuk getah pepaya dan madu berturut-turut untuk F1, F2, F3 dan F4 adalah 12% dan 8%, 10% dan 10% , 8% dan 12%, serta masker peel off tanpa zat aktif. Bahan tambahan yang digunakan untuk membuat masker peel off adalah Polivinil Alkohol (PVA), HPMC (Hydroxy propyl methyl cellulose), Kalium Sorbat, Gliserin, Etanol 96%, dan Aquadest. Setelah masker jadi dilakukan evaluasi fisik dan uji aktivitas antibakteri. Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan cara metode difusi sumuran. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kombinasi getah pepaya dan madu dalam bentuk sediaan masker peel of mempengaruhi sifat fisik sediaan dan aktivitas antibakteri. Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan formula 2 memiliki aktivitas antibakteri paling stabil dengan diameter hambat 15,74 mm terhadap Staphylococcus aureus dan 18,83 mm terhadap Propionibacterium acne. Kata Kunci : masker peel of, papaya, madu, antibakteri



madu juga dapat menyembuhkan jerawat. Hal ini terbukti dari hasil penelitian sebelumnya dimana serbuk getah papaya dan madu mampu menghambat pertumbuhan bakteri - bakteri penyebab jerawat antara lain Propionibacterium acne Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus aureus (Rinawati, 2014 dan Salampessy, 2013 ).



1. PENDAHULUAN Acne vulgaris yang dikenal awam dengan jerawat adalah penyakit kulit yang terjadi akibat adanya peradangan menahun. Peradangan dipicu oleh bakteri Propionibacterium acne, Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus aureus (Wasiaatmadja,1997).



Salah satu bentuk sediaan kosmetik yang digunakan untuk merawat wajah adalah masker. Namun, proses pemakaian masker pada umumnya cukup rumit, padahal gaya



Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai obat anti jerawat adalah pepaya. Selain serbuk getah pepaya muda, 1453



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



hidup masyarakat perkotaan dipenuhi dengan kesibukan. Sehingga dibutuhkan produk masker yang praktis dalam pemakaiannya, salah satunya adalah dengan memakai masker peel off. Masker peel off merupakan sediaan kosmetik perawatan kulit yang berbentuk gel dan setelah diaplikasikan ke kulit dalam waktu tertentu hingga mengering, sediaan ini akan membentuk lapisan film transparan yang elastis, sehingga dapat dikelupaskan (Morris, 1993).



(Medina,



Gutierrez



dan



Garcia



dalam



Rinawati, 2014). Menurut hasil penelitian uji aktivitas antibakteri getah pepaya terhadap mikroba uji yang diisolasi dari jerawat (Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermis) getah pepaya dengan pelarut air (1:1) dapat menghambat semua isolat berjerawat dengan diameter hambat paling besar 2,41 mm terhadap isolat bakteri jerawat Propionibacterium acne, getah pepaya dengan pelarut Natrium Klorida 2% (1:1) dapat menghambat semua isolat berjerawat dengan diameter hambat paling besar 2,03 mm terhadap isolat bakteri jerawat Propionibacterium acne, getah pepaya dengan pelarut larutan dapar fospat pH 6,4 (1:1) dapat menghambat semua isolat berjerawat dengan diameter hambat paling besar 2,87 mm terhadap isolat bakteri jerawat Propionibacterium acne (Salampessy, 2013).



Kaum muda yang sangat memperhatikan akan kesehatan kulit khususnya kulit wajah, merupakan hal yang mendasari para industri farmasi khususnya industri kosmetik untuk berlomba-lomba membuat sediaan kosmetik yang efektif, aman, dan bentuk sediaan yang disukai konsumen serta mudah digunakan, selain itu juga bahan baku zat aktif yang mudah didapatkan dari lingkungan sekitar menjadi daya tarik tersendiri. Sehingga hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengangkat tema penelitian ini dengan membuat sediaan masker peel off dari serbuk getah pepaya muda yang dikombinasikan dengan madu hitam, untuk menjamin efektifitas khasiat dari penggunaan sediaan maka dilakukan evaluasi stabilitas fisik sediaan dan pengujian aktivitas antibakteri terhadap bakteri penyebab jerawat (Propionibacterium acne dan Staphylococcus aureus ).



Dari penelitian lainnya formulasi gel antijerawat serbuk getah buah pepaya muda (Carica papaya L.) dan uji daya hambat terhadap Staphylococcus aureus mamberikan hasil formulasi gel serbuk getah buah pepaya muda (Carica papaya L.) dengan konsentarsi 10% memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dengan diameter daya hambat 25,7 mm (Rinawati, 2014). Madu adalah suatu cairan kental, berasa manis dan lezat bewarna kuning terang atau kuning tua keemasan yang dihasilkan oleh lebah. Madu umumnya terbuat dari nektar yakni cairan manis yang terdapat di dalam mahkota bunga yang dihisap oleh lebah kemudian dikumpulkan dan disimpan didalam sarangnya untuk diolah menjadi madu (Purbaya, 2002).



2. KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS Nama umum pepaya di dunia adalah “Pawpaw”,namun di berbagai negara memiliki nama yang beragam. Misalnya di Malaysia disebut “betik”,dicina dikenal dengan “Pohon Melon”, dan di Indonesia populer dengan nama “Pepaya” (Rahmat,1995). Getah buah pepaya mengandung papain, chymopapain A, chymopapain B, protease, papain peptidase A dan damar. Keterangan yang didapat dari masyarakat dan beberapa buku obat tradisional, getah buah tumbuhan ini dapat digunakan dalam bidang kosmetik untuk mengobati jerawat, luka bakar, ketombe, jamur dan kutil (Baga, 1996).



Sejumlah mineral yang terdapat dalam madu seperti magnesium, kalium, potasium, sodium, klorin, sulfur, besi dan fosfat. Madu juga mengandung vitamin, seperti vitamin E dan vitamin C serta vitamin B1, B2 dan B6 (Winarno, 1982). Menurut Hamad (2007) Di dalam madu juga terdapat berbagai jenis enzim, antara lain enzim glukosa oksidase dan enzim invertase yang dapat membantu proses pengolahan sukrosa untuk diubah menjadi glukosa dan fruktosa yang keduanya mudah diserap dan dicerna. Sehingga, madu disebut “higroskopis yakni mudah menghisap dan melepas uap air (Purbaya, 2002).



Getah buah pepaya muda mengandung 10 % papain berdasarkan berat kering dan jumlah papain yang dihasilkan berkisar antara 20-25 % dari getah yang dikumpulkan



1454



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Hasil penelitian pengaruh konsentrasi madu hutan sumbawa terhadap sifat fisik dan aktivitas antibakteri Propionibacterium acne pada sediaan krim madu memberikan hasil bahwa peningkatan konsentrasi madu hutan Sumbawa (30%, 35%, dan 40%) menyebabkan peningkatan aktivitas antibakteri, penurunan daya sebar krim dan pH, serta peningkatan daya lekat dan viskositas (Silvia, 2010). Dan dari hasil penelitian lainnya Uji Aktivitas Antibakteri dari Madu terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa madu dengan konsentrasi 1 % dan 2,5 % (v/v) belum menunjukkan hambatan pada media pertumbuhan, sedangkan madu dengan konsentrasi 5 %, 10 %, 25 %, 50 % (v/v) menunjukkan aktivitas antibakteri dengan diameter zona hambatan 22,80; 26,90; 28,80; 28,70 mm (Susanti, 2010). Masker wajah adalah sediaan kosmetik untuk perawatan kulit wajah. Salah satu jenis masker wajah adalah masker wajah gel peel off. Masker peel off biasanya dalam bentuk gel atau pasta, yang dioleskan ke kulit muka. Setelah alkohol yang terkandung dalam masker menguap, terbentuklah lapisan tipis film yang tipis dan transparan pada kulit muka. Setelah berkontak selama 15-30 menit, lapisan tersebut akan diangkat dari permukaan kulit dengan cara dikelupas (Slavcheff, 2000).



reaksi, pH meter, viskometer Brookfield, mikroskop, kapas, kassa steril, kertas perkamen, glass ukur, tabung reaksi, jarum ose, cawan pentri, lampu bunsen, penjepit kayu, pipet tetes, objek gelas, autoklaf, lemari pendingin, dan jangka sorong. Bahan Bahan yang digunakan adalah Serbuk getah pepaya (Carica papaya L.), Madu Hitam (Apis dorsata ), Polivinil Alkohol (PVA), HPMC (Hydroxy propyl methyl cellulose), Kalium Sorbat, Gliserin, Etanol 96%, Aquadest, Natrium Metabisulfat 0,7%, Nutrien agar, Bakteri Propionibacterium acnes, Bakteri Staphylococcus aureus, dan NaCl 0,9%.



Penyiapan Sampel



Serbuk Getah Buah Pepaya Muda (Carica papaya L.) Penyadapan getah dilakukan pada pagi hari antara jam 05.00 sampai 08.00 WIB. Sebelum disadap buah dibersihkan dengan kain serbet basah. Penyadapan dilakukan dengan cara menorehkan alat sadap (pisau) pada kulit buah mulai dari pangkal menuju ujung buah, kedalaman torehan antara 1–2 mm, getah yang keluar dari buah segera ditampung dalam wadah stainless steel. Getah yang membeku pada buah dapat dikerok secara hati-hati dengan pisau karet, pengerokan dimulai dari pangkal (atas) ke ujung bawah, getah yang membeku dikumpulkan menjadi satu dengan getah lainnya.



3. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian in vitro eksperimental dengan meneliti aktivitas serbuk getah buah pepaya muda (Carica papaya L.) dan madu hitam (Apis dorsata) dalam sediaan masker peel off sebagai antibakteri untuk pengobatan jerawat yang disebabkan oleh bakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus aureus.



Getah hasil penyadapan diolah menjadi papain kasar (crude papain). Getah hasil penyadapan dicampur dengan larutan Natrium metabisulfit 0,7% sebanyak 4 kali jumlah getah, lalu diaduk merata dengan alat pengaduk (blender), campuran ini membentuk emulsi getah berwarna putih susu agak kental, selanjutnya emulsi getah dikeringkan dengan oven pada suhu ± 55oC, dengan cara emulsi getah dituang merata pada wadah stainless steel dengan ketebalan ± 1 cm. Setelah kering getah diambil lalu digerus dan diayak dengan ayakan mesh-20.



Alat dan Bahan Alat Alat yang digunakan adalah stopwatch, sarung tangan, blander, erlemeyer, mortir, lumpang, timbangan analitik, sudip, pot plastik, pisau cukur, kain serbet, wadah stainless steel, kaca arloji, batang pengaduk, cawan penguap, beker gelas, oven, ayakan mesh-20, kaca transparan, kertas grafik, tabung



Lokasi pengambilan sampel berada di Jl. Taqwa Mata Merah Kelurahan Sei-selincah,



1455



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Kecamatan Kalidoni, Sumatera Selatan.



Kota



Sorbat



Palembang,



% Etanol 5.



Madu Hitam (Apis dorsata)



70%



5



5



5



5



Mempercep at waktu mengering



Ad 100



Pelarut



(g)



Sampel yang digunakan selain Carica papaya, akan digunakan juga madu sebagai kombinasi dalam pembuatan masker peel off. Madu yang digunakan adalah madu hitam dari lebah jenis Apis dorsata yang diambil dari Desa Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin SumSel.



6.



Tabel 1. Formula masker peel off anti jerawat serbuk getah buah pepaya muda (Carica papaya L.) dan Madu Hitam (Apis dorsata). No



Bahan FI



1.



2.



Serbuk getah pepaya (%) Madu Hitam



F II



FIII



Fungsi Kontrol Negatif



12



10



8



-



Zat Aktif



8



10



12



-



Zat Aktif



5



5



5



-



Pelarut



Tween 80 10%



Basis ad 100



Formula Basis *



0



10 0



Ad 100



2. Pemeriksaan homogenitas 0,1 gram sediaan dioleskan pada sekeping kaca yang transparan, amati didalam mikroskop harus menunjukan susunan yang homogen dan tidak boleh terlihat adanya bintik-bintik partikel.



(ml) 3.



ad



Ad



EVALUASI FISIK MASKER PEEL-OF 1. Pemeriksaan organoleptis Meliputi pemeriksaan bau, bentuk dan warna, yang dilakukan secara visual



(ml)



3.



10



Cara Pembuatan Sediaan Masker Peel Off Anti Jerawat dari Serbuk Getah Buah Pepaya (Carica papaya L.) dan Madu Hitam (Apis dorsata) : PVA dilarutkan dengan aquadest hangat (80oC) hingga mengembang sempurna lalu gerus homogen (Massa 1). HPMC dikembangkan terlebih dahulu dengan air dingin (20 kalinya jumlah HPMC) di dalam lumpang selama 15 menit digerus homogen (Massa 2). Kalium Sorbat larutkan dengan air (Massa 3). Tambahkan massa 2 dan gliserin gerus homogen lalu masukkan massa 3 gerus homogen. Kemudian tambahkan massa 1 gerus homogen lalu tambahkan etanol dan diamkan sebentar gerus homogen. Selanjutnya tambahkan sisa aquadest gerus sampai terbentuk massa gel yang homogen. Gerus serbuk getah pepaya larutkan dengan Tween 80 10% diamkan dahulu lalu tambahkan madu hitam lalu masukkan basis gel sedikit demi sedikit sambil terus gerus hingga homogen.



Formulasi Masker Peel Off



Konsentrasi



Aquades



Basis berdasarkan Sukmawati dkk ( 2013 ) Pilivinil



1.



Alkohol *



16



16



16



16



Gelling Agent dan Filming Agent



2



2



2



2



Peningkat Viskositas



5



5



5



5



Humektan



3. Pemeriksaan pH Pemeriksaan pH pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Pengujian pH dilakukan dengan cara mencelupkan elektroda kedalam formula, jarum akan bergerak menunjukan harga pH sediaan .



0,2



0,2



0,2



0,2



Pengawet



4. Pengukuran viskositas



(%)



2.



HPMC* (%)



Gliserin 3. 4.



% Kalium



1456



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Pengukuran viskositas sediaan gel dengan volume 100 dalam beker gelas 250 dilakukan dengan Viskometer Brookfield pada suhu kamar dengan menggunakan spindel nomor 6 kemudian dicelupkan ke dalam gel dengan kecepatan putar sebesar 5 rpm kemudian viskositas masker peel off dapat terbaca pada layar monitor alat viskometer (Wulansari, 2014).



digoyangkan beberapa kali secara horizontal agar suspensi bakteri ini merata pada seluruh permukaan agar. Kemudian dibiarkan pada suhu kamar selama 15 menit. Setelah media padat, buat lubang menggunakan pipet tetes, kemudian lubang diisi dengan 50 mg sediaan masker peel off, kontrol positif dan kontrol negatif. Inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam kemudian ukur diameter hambatan pertumbuhan bakteri uji yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambat yaitu daerah jernih disekitar lubang atau sumuran. Pengukuran dilakukan dari dasar cawan petri dengan jangka sorong.Pengujian dilakukan 3 kali untuk setiap formula kemudian dihitung niali rata-rata efek antibakteri pada masingmasing formula.



5. Uji daya menyebar Sebanyak 1 gram masker peel off diletakkan diatas kertas grafik yang sudah dilapisi plastik transparan kemudian ditutupi dengan plastik transparan lain dan diukur diameternya dari lima titik sudut. Beban 10 gram diletakkan diatas lapisan gel, didiamkan selama 1 menit dan dicatat diameter yang menyebar. Kemudian beban 20 gram ditambahkan kembali diatas gel, didiamkan selama 1 menit dan dicatat diameter gel yang menyebar. Beban 20 gram selanjutnya ditambahkan hingga beban maksimum diatas gel seberat 99 gram, dan setiap kali beban ditambahkan diatas gel didiamkan selama 1 menit dan dicatat diameter gel yang menyebar. Dibuat grafik hubungan antara beban dan luas gel yang menyebar (Voight, 1994).



Analisa Data Data disajikan dalam bentuk tabel, kemudian dianalisis secara deskriptif, sedangkan untuk data pH dan viskositas dianalisa dengan menggunakan One way Anova kemudian dilanjutkan dengan metode Duncan. Data diameter hambat yang diperoleh dirata-ratakan, lalu ditabulasi berdasarkan formula masker peel off antibakteri.



4. HASIL DAN PEMBAHASAN



6. Pengujian waktu sediaan mongering 1 gram gel masker peel off dioleskan pada kulit lengan dengan panjang 7 cm dan lebar 7 cm. Kemudian dihitung kecepatan mengering gel hingga membentuk lapisan film dan gel masker peel off dengan menggunakan stopwatch (Pertiwi, 2012).



Hasil Penelitian



7. Ui stabilitas metode cycling test Sample gel disimpan pada suhu 4oC selama 48 jam dan suhu 40oC selama 48 jam dilakukan sebanyak 3 siklus dan diamati terjadinya perubahan fisik dari gel (Butler, 2000). 8. Penentuan Aktivitas Antibakteri dengan Metode Sumuran Teteskan suspensi mikroba sebanyak 2 tetes ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml media nutrien agar lalu homogenkan kemudian tuangkan diatas cawan petri yang berisi 10 ml media nutrien agar yang telah memadat lalu ratakan. Cawan petri tersebut 1457



1.



Dari 72 buah pepaya muda (Carica papaya L.) dapat menghasilkan 257,38 gram getah murni kemudian ditambahkan dengan larutan natrium metabisulfit 0,7%. Total serbuk getah pepaya kasar yang didapat sebanyak 103,77 gram.



2.



Hasil pemeriksaan organoleptis sediaan gel Masker Peel off yang mengandung serbuk getah pepaya dan madu hitam ( FI, FII, dan FIII) berwarna coklat muda hingga ke coklat tua yang dihasilkan dari madu hitam serta menunjukkan bentuk yang kental dan bau khas madu hitam, sedangkan sediaan yang tidak mengandung zat aktif (FIV) berwarna jernih tidak berwarna dan berbentuk sangat kental dengan bau khas etanol.



3.



Dari Hasil pemeriksaan homogenitas keempat formula masker peel off



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



didapatkan sediaan yang homogen, hal ini ditunjukkan dengan olesan yang rata dan tidak adanya warna ataupun partikel yang menumpuk.



Gambar 1. Kurva Viskositas Sebelum dan Sesudah Cycling Test 4.



Tabel 2. Hasil Pengujian pH, viskositas, waktu pengeringan masker peel of



Sampel



pH



Viskositas ( cps )



Formula I Formula II Formula III Formula IV



5,2 5,2 5,2 5,9



12.533 9.866 10.400 20.000



Waktu mengering (Menit : Detik) 27 : 37 27 : 12 28 : 29 25 : 06



Pada pemeriksaan menggunakan alat pH meter yang telah dikalibrasi terlebih dahulu pada pH 4 dan pH 7. Hasil uji pH dari keempat sediaan masker peel off dengan berkisar antara 5,1 sampai 6,0. Setelah dianalisis dengan menggunakan One Way Anova lalu dilanjutkan dengan metode Duncan didapatkan formula I yang lebih stabil dibandingkan formula IV.



Gambar 2. Kurva pH Sebelum dan Sesudah Cycling Test 7.



Aktivitas antibakteri masker peel-of



Tabel 4. Data Uji Aktivitas Antibakteri terhadap Bakteri Staphyloccocus aureus 5.



Tabel 3. Hasil Uji Daya Sebar Diameter Daerah Hambatan ( mm) Luas Daya Sebar Gel (cm)



Beban (gram)



FI



FII



FIII



FIV



0



4,69



4,22



6,26



3,78



10



4,69



4,22



6,26



3,78



20



4,69



4,22



6,28



3,79



50



4,69



4,22



6,28



3,79



100



4,88



4,49



6,44



3,94



6.



Formula Formula I Formula II Formula III Kontrol Negatif (FIV)



Dari hasil cycling test untuk keempat formula didapatkan sediaan gel masker peel off yang stabil karena tidak terjadi sineresis.



I



II



III



RataRata



21,1



17,5



17,9



18,83



12,35



18,7



16,18



15,74



19,4



17,6



19



18,65



-



-



-



-



Tabel 4. Data Uji Aktivitas Antibakteri terhadap Bakteri Propionibacterium acne Diameter Daerah Hambatan ( mm) Formula I



1458



II



III



RataRata



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 Formula I Formula II Formula III Kontrol Negatif ( FIV)



18,5



19,46



15,5



17,82



19,6



17,05



16,18



18,83



19,6



16,83



17,4



17,94



-



-



-



-



mengandung air sehingga rentan terhadap pertumbuhan mikroba. Kalium sorbat sering digunakan sebagai pengawet dalam sediaan kosmetik selain itu kalium sorbat sangat larut dalam air sehingga sesuai digunakan untuk sediaan yang banyak mengandung air. Langkah selanjutnya menambahkan polivinil alkohol yang sudah larut dengan cara penggerusan yang lambat agar tidak terlalu banyak membentuk gelembung-gelembung udara . Langkah selanjutnya menambahkan etanol dipermukaan basis biarkan sebentar sebelum melakukan penggerusan. Langakah terakhir mencampurkan basis dalam jumlah tertentu dengan serbuk getah pepaya yang telah dilarutkan dengan tween 10% yang berperan sebagai surfaktan selanjutnya yang terakhir baru tambahkan madu hitam gerus sediaan hingga homogen.



Pembahasan Proses pembuatan masker peel off dilakukan dengan beberapa langkah. Langkah pertama yaitu dengan mengembangkan polivinil alkohol dengan air panas sebanyak 3 kali jumlah polivinil alkohol diatas penangas air sehingga partikel polivinil alkohol lebih mudah larut. Polivinil alkohol digunakan sebagai gelling agent dan filming agent karena memiliki sifat adhesive atau dapat membentuk lapisan film yang dapat dikelupas setelah mengering (Lestari dkk, 2013). Pencampuran polivinil alkohol dibantu dengan pengadukan dan pemanasan, gunanya agar polivinil lebih cepat larut. Langkah selanjutnya di lumpang yang berbeda hidrosipropil metilselulosa (HPMC) yang berfungsi sebagai peningkat viskositas dikembangkan juga dengan air hangat pada lumpang panas. Hal ini dimaksud untuk mempercepat mengembang HPMC lebih cepat, HPMC yang berfungsi sebagai peningkat viskositas dalam formulasi dengan menggunakan donor hidroksil dari polivinil alkohol yang ditambahkan pada polimer. Kombinasi dari donor hidroksil dan satu atau lebih donor hidroksil akan menghasilkan kekentalan karena bentuk hidrogen. Terjadinya ikatan hidrogen dengan molekul polimer dapat membentuk gel yang tidak coil sehingga dapat meningkatkan viskositas (Anwar, 2012). Selanjutnya ditambahkan gliserin yang berperan sebagai humektan. Gliserin yang bersifat higroskopis dengan afinitas tinggi untuk menarik dan menahan molekul air sehingga menjaga kestabilan dengan cara mengabsobsi lembab dari lingkungan dan mengurangi penguapan air dari sediaan ( Barel dkk, 2009). Langkah ketiga yaitu melarutkan kalium sorbat yang berfungsi sebagai pengawet. Masker peel off sebagian besar



Setelah terbentuk sediaan masker peel off dilakukan evaluasi mutu fisik terhadap sediaan yang meliputi pengamatan organoleptis, homogenitas, pengukuran pH, daya sebar, waktu sediaan mengering dan uji stabilitas cycling test. Secara Organoleptis Sediaan gel Masker Peel off yang mengandung serbuk getah pepaya dan madu hitam ( FI, FII, dan FIII) berwarna coklat muda hingga ke coklat tua terlihat homogen. Hasil uji pH dari keempat sediaan masker peel off dengan berkisar antara 5,1 sampai 6,0. Sediaan gel yang mengandung zat aktif memiliki pH yang lebih asam dibandingkan dengan sediaan yang tidak mengandung zat aktif. Hal ini mungkin dipengaruhi dari penambahan serbuk getah pepaya dan madu hitam. Dari data yang dihasilkan, nilai pH keempat sediaaan gel masih berada dalam rentang pH normal kulit yaitu 4,5-6,5. Sediaan masker peel off sebaiknya memiliki pH yang sesuai dengan pH kulit karena jika gel memiliki pH yang terlalu basa maka dapat memyebabkan kulit menjadi kering, sedangkan jika pH terlalu asam akan menimbulkan iritasi kulit (Djajadisastra, 2004). Dari hasil pengukuran viskositas viskositas paling tinggi yaitu dari formula IV (tanpa zat aktif) sebesar 20.000 cPs dan hasil viskositas paling rendah yaitu dari formula II ( kombinasi serbuk getah buah pepaya 10% dan Madu Hitam 10%) sebesar 9.866 cPs.Sedangkan pada pengukuran daya sebar Formula III memiliki daya menyebar yang paling besar 1459



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



kemungkinan karena pada formula III madu hitam yang ditambahkan lebih besar dari formula lainnya sehingga sediaan formula III lebih cair. Penurunan daya sebar terjadi melalui meningkatnya ukuran unit molekul karena telah terabsorsi pelarut sehingga cairan tersebt tertahan dan menigkatkan tahanan untuk mengalir dan menyebar (Martin et al,1993).



formulasi 1 memiliki akivitas daya hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureus sebesar 18,83 mm dan terhadap bakteri Propionibacterium acne sebesar 17,82 mm.. 6. REFERENSI Butler, H. 2000. Poacher’s Perfumes, cosmetics and Soap 10th Edition. London: Kluwer Academic Publishers. Djajadisastra, Joshita. 2004. Seminar Setengah Hari HIKI. Jakarta : Cosmetic Stability Martin, A., Swarbick, J., dan Cammarata, A. 1993. Farmasi Fisik : Dasar-Dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu Farmasetik Edisi Ketiga Penerjemah Yoshita. Jakarta : UI Press. Morris, K. 1993. Depilatories Mask Scrubs and Bleaching Preparation, Paucher’s Perfumes Cosmetics and Soaps Hieda Butler. London. Pertiwi, Putri Laras. 2012. Formulasi Gel Masker Peel Off Bongkahan Gambir (Uncaria gambir Roxb.) dengan Basis Kitosan dan Polivinil alkohol (PVA). Skripsi Terpublikasi. Jakarta : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta. Purbaya, J Rio. 2007. Mengenal Madu Alami. Bandung: Pionir Jaya.Rahmat,1995 Rinawati, Bernadetha. 2014. Formula gel anti jerawat dari serbuk buah pepaya muda (Carica Papaya L.) dan uji daya hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Skripsi. Palembang : STIFI Bhakti Pertiwi Palembang. Salampessy, Zulhaima Rezna. 2013. Uji Aktivitas Antibakteri Getah Pepaya (Carica papaya L.) Terhadap Bakteri Uji Yang Diisolasi Dari Jerawat. Skripsi Terpublikasi. Jakarta : Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta. Susanti, Sinta. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri dari Madu Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus. Karya Tulis Ilmiah Terpublikasi. Bandung : Sekolah Tinggi Farmasi Bandung. Slavtcheff, C.S. 2000. Komposis Kosmetik Untuk Masker Kulit Muka. Indonesia : Petent 2000/0004913. Vieira, Rafael Pinto, et al. 2009. Physical and Physicochemical Stabilyty Evaluation of Cosmetic Formulations Containg Soybean Extract Fermented by Bifidobacterium Animals. Brazil Journal of Pharmaceutical Sciences. Voight, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Wasitaatmadja, S.M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: Penerbit UI-Press. Wulansari, Sri Dewi. 2014. Formulasi Masker Gel Peel Off Ekstrak Kunyit Putih (Curcuma Valeton & Zijp ). Skripsi Terpublikasi. Palu : Universitas Tadulako Palu.



Pengujian lama waktu mngering dilakukan dengan mengoleskan 0,1 gram sediaan gel pada 2,5x2,5 cm di kulit lengan tangan dan dibiarkan hingga mengering dan dapat dikelupas. Waktu kering sediaan dari keempat formula masker peel off berkisar antara 25 menit hingga 28 menit . Formula yang tidak mengandung zat aktif (FIV) memiliki waktu kering yang lebih cepat dibandingkan ketiga formula lainnya yang mengandung zat aktif, waktu mengering formula yang tidak mengandung zat aktif ( FIV ) selama 25 menit 6 detik. Dari data yang diperoleh keempat formula masker peel off masih memenuhi waktu mengering gel masker peel off yang baik yaitu antara 15-30 menit (Vieira, 2009). Dari hasil anova terlihat tidk ada perbedaan yang nyata antara setiap formula, hanya saja dari hasil cycling test didapatkan formula yang paling stabil adalah formula 1. Dari pengujian aktivitas antibakteri, sediaan yang menghasilkan daya hambat paling baik terhadap bakteri Staphylococcus aureus adalah sediaan formula I, sedangkan sediaan yang menghasilkan daya hambat paling baik terhadap bakteri Propionibacterium acne adalah sediaan formula II, tetapi hasil nya tidak terlalu berbeda dari Formula I.



5. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian dan analisa data yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa : 1.



2.



Serbuk getah pepaya yang dikombinasikan dengan madu hitam dapat diformulasikan menjadi sediaan masker peel off dan memiliki stabilitas fisik yang baik. Formulasi masker peel off serbuk getah buah pepaya dan madu hitam pada



1460



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



Isolasi dan Uji Aktivitas Senyawa Aktif Antihiperurikemia dari TumbuhanSida rhombifolia. Andita Utami 1)dan Roekmi-ati Tjokronegoro2) 1



Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Jambi email : [email protected] 2 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran Abstrak Sidagori (Sida rhombifolia) merupakan jenis tanaman obatyang memiliki khasiat utama menyembuhkan penyakit asam urat. Obat asam urat dari tumbuhan S. rhombifolia sudah umum digunakan berupa teh herbal, namun tidak ada keterangan yang lengkap seperti dosis pemakaian dan lama penggunaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi senyawa aktif antihiperurikemia dan mengetahui adanya pengaruh senyawa aktif terhadap penurunan kadar asam urat secara in-vivo. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi isolasi senyawa aktif menggunakan metode ekstraksi dan kromatografi mengikuti penelitian sebelumnya, selanjutnya dilakukan uji aktivitas farmakologis terhadap senyawa aktif secara in-vivo menggunakan mencit sebagai hewan percobaan. Mencit dibagi atas kelompok kontrol, kelompok pembanding dan kelompok uji. Pada kelompok kontrol, mencit diberi suspensi kalium oksonat dengan dosis 350mg/kg kemudian dibiarkan selama satu jam lalu diberi suspensi PGA 2%. Satu jam kemudian darah mencit diambil dengan cara memotong ekornya dan kadar asam urat diukur menggunakan alat pengukur asam urat UA Sure. Sedangkan untuk kelompok uji, setelah pemberian kalium oksonat, mencit diberi suspensi senyawa aktif antihiperurikemia dengan dosis 75mg/kg dan 150mg/kg secara oral, begitu pula kelompok pembanding yang diberikan suspensi allopurinol dosis 5mg/kg, yang selanjutnya diperlakukan sama seperti kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh pemberian senyawa aktif terhadap penurunan kadar asam urat secara in-vivo. Kata Kunci: Antihiperurikemia, Sida rhombifolia, asam urat Abstract Sida Rhombifolia L. is one type of medicinal plants which has main benefit to heal the illness called gout. Hyperuricemic drug from S. rhombifolia is commonly used as herbal tea, but the dose and limitation of usage have not been reported. This research aims to determine the effect of the active antihyperuricemia compounds on the decrease of uric acid level in vivo. The stages of the research consisted of the isolation of the active compound using the extraction and chromatography methods as has been done by previous researched before, followed by the tests of pharmacological activity of active compound in vivo using mice as experimental animals. Mice were divided into control group, test group and compared group, each group consisted of 3 mices. In the control group, mice were given potassium oxonate dose 350mg/kg suspense orally, left for an hour and then given a suspense of 2% PGA. One hour later, mice blood was collected by cut the mice’s tail and uric acid levels were measured using UA Sure tool. As for the test group, after potassium oxonate were given, then mice were given active compound dose 75mg/kg and 150mg/kg orally in the form of suspense, as a compared group were given allopurinol dose 5mg/kg, then treated the same as the control group. The results showed there were an effect of the active compound on the decrease of uric acid level in vivo. Keywords: Antihyperuricemia, Sida rhombifolia, Uric Acid



mg/dL pada wanita dan 2 - 7,3 mg/dL pada pria. Pada keadaan yang normal, asam urat ini akan dikeluarkan dalam tubuh melalui feses (kotoran) dan urin, tetapi bila ginjal tidak mampu mengeluarkan asam urat yang ada maka kadarnya akan meningkat dalam darah. Hal lain yang dapat meningkatkan kadar asam urat adalah bila terlalu banyak mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung kadar karbohidrat dan protein tinggi dan minuman yang mengandung alkaloida turunan purin.



1. PENDAHULUAN Asam urat merupakan senyawa yang terdapat di dalam tubuh manusia yang merupakan sisa metabolisme zat purin. Secara alamiah, purin terdapat dalam tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel hidup, yakni makanan dari tanaman (sayur, buah, kacang-kacangan) atau pun hewan (daging, jeroan, ikan sarden). Asam urat diperlukan dalam tubuh manusia, pada tubuh yang normal mengandung kadar asam urat sebesar 2 - 5,7 1461



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Penumpukan asam urat menyebabkan rasa nyeri pada persendian dan badan. Hal ini disebabkan karena berlebihan asam urat menyebabkan terjadinya pengkristalan pada persendian dan pembuluh kapiler darah. Bila ini dibiarkan terus menerus akan menyebabkan cairan getah bening yang berfungsi sebagai pelincir tidak berfungsi, sehingga persendian tidak dapat digerakkan dan terjadi benjolan pada persendian yang dinamakan penyakit gout (Jo, 2007). Kebanyakan obat asam urat bekerja untuk menginhibisi kerja enzim ksantin oksidase sehingga asam urat tidak terbentuk lagi dan kelebihan asam urat akan dikeluarkan secara berangsur-angsur melalui urine. Dengan demikian penyembuhan berjalan lambat terlebih jika asam urat sudah mengendap pada sendi-sendi sehingga terjadi pembengkakan dan dalam kasus ini asam urat sulit untuk dikeluarkan(Gutiérrez-Macias et al., 2005). Allopurinol merupakan obat sintesis yang sangat efektif dalam mengobati penyakit gout, namun allopurinol dapat menyebabkan efek samping yang berbahaya. Sebagai alternatif maka digunakan obat-obatan tradisional (Julian, 2008). Pengobatan kelebihan asam urat dilakukan secara tradisional oleh banyak penderita dengan menggunakan berbagai macam tumbuhan. Salah satunya adalah tumbuhan S. rhombifolia yang biasanya dikenal sebagai tumbuhan sidagori merupakan salah satu jenis tumbuhan obat dari keluarga Malvaceae. Salah satu khasiat utamanya adalah untuk menyembuhkan penyakit asam urat yang sering diderita baik pria maupun wanita di atas usia tiga puluh tahun (Yasuda et al., 200). Berdasarkan pengalaman empiris, rebusan akar S. rhombifolia dapat digunakan untuk menurunkan kadar asam urat dalam darah dengan cara diambil 7 akar kemudian direbus dalam 5 gelas air sampai tersisa 3 gelas, menurunkan kadar asam urat dalam darah 8 mg/dL menjadi 6mg/dL dan pada hari ketiga asam urat menjadi 3 mg/dL (Asta, 2005). Mengingat aktivitas rebusan akar S. rhombifolia yang tinggi terhadap penurunan kadar asam urat, ada kemungkinan yang memberikan aktivitas tersebut merupakan komponen utama. Sebelumnya, isolasi komponen utama telah dilakukan terhadap senyawa aktif yang diketahui sebagai benzofenon glikosida yang beraktivitas



antihiperurikemia. Benzofenon glikosida dari tanaman S. rhombifolia dengan konsentrasi 9,7 mg/dL dapat menurunkan kadar asam urat dari 9.7 mg/dL menjadi 4.4mg/dL (Tjokronegoro dkk., in press). Untuk itu pada penelitian ini dilakukan isolasi ulang senyawa aktif antihiperurikemia tersebut, kemudian diuji aktivitas farmakologisnya secara in vivo. Di dalam persyaratan langkah pembuatan obat dibutuhkan uji farmakologis, baik itu secara in vitro maupun secara in vivo. Perlu dilakukan pengujian secara in vivo untuk mengetahui pengaruh senyawa aktif terhadap penurunan kadar asam urat di dalam tubuh manusia. Uji farmakologis secara in vivo ini menggunakan mencit sebagai hewan percobaan dengan asumsi semua jaringan, selsel penyusun tubuh, serta enzim-enzim yang ada pada tubuh hewan tersebut memiliki kesamaan dengan manusia. 2. METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah senyawa aktif antihiperurikemia yang diisolasi dari tumbuhan S. rhombifolia L. Untuk uji farmakologiss senyawa aktif terhadap penurunan kadar asam urat secara in vivo digunakan hewan uji yaitu mencit jantan (Mus muculus) galur Swiss. Bahan Kimia Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi dan isolasi adalah air suling, butanol, etil asetat, n-heksan, kloroform, metanol, silika gel GF254 untuk kromatografi lapis tipis (KLT) dan silika gel G60(70–230 mesh). Bahan kimia yang digunakan untuk uji farmakologiss secara in vivo adalah obat allopurinol, alkohol 70%, kalium oksonat dan PGA (Pulvis Gummi Arabici) 2%. Alat Alat-alat yang akan digunakan untuk isolasi senyawa aktif meliputi berbagai alat gelas yang umum digunakan di laboratorium Kimia Analitik. Selain itu juga digunakan peralatan pendukung lainnya seperti alat distilasi, alat maserasi, alat kromatografi, rotary evaporator dan corong pisah. Untuk keperluan uji aktivitas farmakologis senyawa aktif antihiperurikemia terhadap penurunan kadar asam urat secara in vivo digunakan kandang hewan uji dan perlengkapannya, 1462



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



didiamkan selama 1 hari. Ekstrak aseton yang dihasilkan lalu dikristalisasi untuk memperoleh kristal murni senyawa aktif antihiperurikemia.



mortir, spuit injeksi 1 mL, spuit oral,



timbangan analitis, alat pengukur asam urat UA Sure beserta test strip yang diproduksi oleh Apexbio.



Uji Aktivitas Farmakologiss secara In-Vivo Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan mencit sebagai hewan percobaan yang dikelompokkan menjadi kelompok kontrol, kelompok pembanding dan kelompok uji, masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor tikus. Sebelum percoabaan dilakukan, mencit dipuasakan terlebih dahulu selama 6 jam tetapi masih diberi air minum ad libitum. Perlakuan tiap-tiap kelompok adalah sebagai berikut: Kelompok kontrol mencit diberikan senyawa penginduksi asam urat berupa suspensi kalium oksonat secara intraperitoneal. Satu jam kemudian, mencit diberikan senyawa pembawa oral berupa suspensi PGA 2 %. Dua jam setelah diberikan suspensi kalium oksonat, darah mencit diambil dengan cara memotong bagian ekornya. Kemudian kadar asam urat diukur menggunakan alat UA Sure. Kelompok pembanding mencit diberikan senyawa penginduksi asam urat berupa suspensi kalium oksonat secara intraperitoneal. Satu jam kemudian, mencit diberikan suspensi obat allopurinol secara oral. Dua jam setelah diberikan suspensi kalium oksonat, darah mencit diambil dengan cara memotong bagian ekornya. Kemudian kadar asam urat diukur menggunakan alat UA Sure. Kelompok uji mencit diberikan senyawa penginduksi asam urat berupa suspensi kalium oksonat secara intraperitoneal. Satu jam kemudian, mencit diberikan suspensi senyawa aktif antihiperurikemia secara oral. Dua jam setelah pemberian suspensi kalium oksonat, darah mencit diambil dengan cara memotong bagian ekornya. Kemudian kadar asam urat diukur menggunakan alat UA Sure.



Tahapan Ekstraksi dan Fraksionasi Bagian akar tanaman S. rhombifolia dicuci, dikeringkan, kemudian dihaluskan sampai menjadi serbuk. Serbuk akar sebanyak 2 kg dimaserasi menggunakan pelarut metanol 95%. Ekstrak metanol dipekatkan pada tekanan rendah menggunakan alat rotary evaporator pada suhu ±40°C hingga diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak dilarutkan dengan campuran pelarut air dengan kandungan metanol 10% dan dipartisi dengan dua pelarut yang tidak bercampur. Ekstrak metanol-air diekstraksi dalam corong pisah menggunakan pelarut n-heksana dengan perbandingan nheksana dan metanol-air (3:1). Fraksi nheksana dikumpulkan, sedangkan fraksi metanol-air kembali dipartisi menggunakan perbandingan pelarut etil asetat dan metanolair (3:1), sampai senyawa yang larut dalam etil asetat habis. Fraksi metanol-air kemudian dipartisi dengan n-butanol (3:1) sampai senyawa yang larut dalam n-butanol habis, yang diuji dengan KLT. Fraksi n-butanol dipekatkan menggunakan alat rotary evaporator, lalu beratnya ditimbang. Tahapan Isolasi dan Pemurnian Pemisahan fraksi n-butanol sebanyak 3,5g dilakukan dengan menggunakan kromatografi kolom menggunakan pelarut kloroform-metanol sebagai eluen secara bergradien. Kecepatan elusi yang digunakan 4 menit/10mL. Kemudian fraksi-fraksi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Fraksi terberat kembali dipisahkan dengan kolom kromatografi terbuka menggunakan eluen kloroform-metanol-n-heksana dengan perbandingan 5:1:1, digunakan kecepatan alir 8 menit/10mL. Kemudian fraksi-fraksi yang diperoleh lalu dianalisis dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Fraksi terberat kemudian dipisahkan dengan metode kromatografi lapis tipis preparatif menggunakan silika gel GF254 (20x20) cm dengan ketebalan 1mm, dielusi dengan perbandingan pelarut kloroform-metanol 6 : 1. Pola noda yang diinginkan kemudian dipisahkan lalu diekstraksi menggunakan pelarut aseton dan



3. HASIL DAN PEMBAHASAN



Ekstraksi dan Fraksionasi Serbuk akar S. rhombifolia dikeringkan di udara terbuka yang bertujuan agar dapat memecahkan dinding-dinding sel pada tanaman sehingga senyawa-senyawa yang terkandung di dalam tanaman sidagori dapat lebih mudah terekstraksi. Hasil maserasi disaring dan dipekatkan menggunakan rotary 1463



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



evaporator pada suhu ± 40ºC dan tekanan rendah hingga diperoleh ekstrak pekat metanol sebanyak 118 g. Ekstrak pekat metanol kemudian dilarutkan dengan pelarut air dan dipartisi dengan dua pelarut yang tidak bercampur. Ekstrak metanol-air berturut-turut diekstraksi dalam corong pisah menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat dan n-butanol. Penggunaan metode partisi dengan berbagai pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda-beda dalam isolasi senyawa bertujuan untuk mengklasifikasikan senyawa-senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya (Harborne, 1987).



dengan kecepatan elusi 8 menit/10mL. Kemudian fraksi-fraksi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Hasil analisis menggunakan KLT diperoleh 3 fraksi gabungan yaitu B1 (100 mg), B2 (400 mg), B3(70mg), dengan profil kromatogram sebagai berikut:



Isolasi dan Pemurnian Senyawa Aktif Antihiperurikemia Fraksi n-butanol menggunakan pelarut bergradien kloroform-metanol dengan perbandingan 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5 dan 100% metanol dengan kecepatan elusi 4 menit/10mL. Masing-masing tampungan kemudian dielusi menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan fasa diam silika gel GF254 untuk mengetahui pola nodanya.. Fraksi-fraksi dengan pola noda yang sama dikumpulkan kemudian diuapkan pelarutnya menggunakan rotary evaporator, diperoleh sebanyak 3 fraksi yaitu fraksi A (0,21 g), fraksi B (1,24 g) dan fraksi C (0,21 g), dengan profil kromatogram sebagai berikut :



Gambar 2. Profil kromatografi lapis tipis dengan fasa gerak kloroform-methanol-nheksana (5:1:1) dan penampak noda lampu UV λ254 nm. Fraksi B1 (1-19), Fraksi B2 (20-70) dan fraksi B3 (71-158). Berdasarkan kromatogram KLT, dipilih fraksi B2 untuk dipisahkan kembali dengan metode kromatografi lapis tipis preparatif menggunakan silika gel GF254 (20 x 20) cm dengan ketebalan 1 mm. Sebelumnya dilakukan elusi dengan kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan fasa diam silika gel GF254 dengan ukuran lebih kecil yaitu 6 x 3 cmuntuk mengetahui mengetahui komposisi pelarut yang dapat dengan baik memisahkan senyawa aktif antihiperurikemia dari pengotor-pengotor yang tidak diinginkan, serta dijadikan profil/ acuan saat kromatografi lapis tipis pada plat yang lebih besar. Dari percobaan diperoleh pelarut kloroform-metanol (6:1) yang dapat memisahkan pola noda senyawa aktif anti hiperurikemia dengan pola noda lainnya yang dianggap sebagai pengotor. Selanjutnya dilakukan kromatografi lapis tipis preparatif dengan ukuran yang lebih besar yaitu 20x20 cm menggunakan pelarut kloroform-metanol (6:1) pada fraksi B2. Hasil pemisahan dari kromatografi lapis tipis preparatif menunjukkan hasil yang baik, sehingga senyawa target mudah diperoleh. Noda dari senyawa target dipisahkan, kemudian diekstraksi menggunakan pelarut aseton dan didiamkan selama 1 hari agar proses ekstraksi oleh aseton berlangsung maksimal. Ekstrak aseton kemudian dipekatkan dan dikristalisasi sehing-



Gambar 1. Profil kromatografi lapis tipis (silika gel 60 GF254) dengan fasa gerak kloroform:methanol(8:2) penampak noda lampu UV λ254 nm. Fraksi A (1-45), Fraksi B (46-90), fraksi C (91-95).



Fraksi B dipilih untuk dilakukan pemisahan selanjutnya berdasarkan pada noda mayor yang dihasilkan dari kromatogram KLT. Fraksi B dipisahkan dengan menggunakan kolom kromatografi terbukamenggunakan eluen kloroform-metanol-n-heksana (5:1:1) 1464



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



ga menghasilkan isolat murni senyawa aktif antihiperurikemia.



memberikan aktivitas penurunan kadar asam urat yang jauh lebih besar. Penggunaan allopurinol ini biasanya pada rentang waktu yang cukup lama dan memberikan efek samping yang paling fatal yaitu kerusakan hati. Untuk itulah digunakan obat-obatan tradisional yang memiliki efek samping lebih sedikit dan mengandung senyawa aktif antihiperurikemia yang selanjutnya diisolasi serta diuji aktivitasnya. Senyawa aktif antihiperurikemia yang ditemukan ini bisa dijadikan acuan untuk penemuan obat baru.



Uji Aktivitas Farmakologis secara In-Vivo Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya pengaruh pemberian senyawa aktif dengan dosis 75 mg/kg dan 150 mg/kg terhadap penurunan kadar asam urat yang diuji secara in vivo. Penurunan kadar asam urat tersebut dapat diketahui dengan membandingkan kadar asam urat pada mencit yang diberikan senyawa aktif antihiperurikemia dengan kadar asam urat pada mencit yang diberi perlakuan hiperurikemia. Selain itu digunakan pula obat allopurinol sebagai pembanding. Mencit yang telah dibagi menjadi 3 kelompok, dibuat hiperurikemia lalu sejam setelahnya diberikan suspensi PGA 2% pada kelompok kontrol, senyawa aktif dengan dosis 75 mg/kg dan 150 mg/kg untuk kelompok uji, serta diberikan juga obat allopurinol pada kelompok pembanding. Digunakan obat allopurinol karena allopurinol merupakan obat modern yang umum digunakan untuk pengobatan asam urat. Dua jam setelah pemberian kalium oksonat, kadar asam urat pada mencit putih diukur menggunakan alat pengukur asam urat UA Sure. Alat semacam ini dapat diterapkan dalam penentuan kadar asam urat mencit melalui sampel darah dari ekornya. Hasil analisis kadar asam urat mencit putih ditunjukkan pada grafik batang berikut ini. 8 6 4



4. KESIMPULAN Dari penelitian ini diketahui adanya senyawa aktif yang berperan dalam penurunan kadar asam urat yang diisolasi dari tumbuhan S. rhombifolia. Senyawa aktif dengan dosis 75 mg/kg memberikan penurunan kadar asam urat sebesar 27 %, sedangkan senyawa aktif dengan dosis 150 mg/kg memberikan penurunan kadar asam urat sebesar 36% dalam 3 hari masa percobaan. 5. REFERENSI Asta, R. 2005. Isolasi Komponen Utama dari Fraksi Butanol Akar Sidagori (Sida rhombifolia) dan penentuan Pendahuluan Farmakologinya Sebagai Anti asam Urat dan Anti Bakteri. UNPAD. Gutiérrez-Macíaz, A., A. Lizarralde-Palacioz, P. Martínez-Odriozola & F.M. De La Villa. 2005. Fatal Allopurinol Hypersensitivity Syndrome After Treatment of Asymptomatic Hyperuricemia. http://bmj.com/cgi /content/full/331/7517/ 623. Jo, J. 2007. Gout dan Asam Urat. Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta. http://www.depkes.go id. Julian, A. 2014. Allopurinol. http://www.dechacare. com/Allopurinol-P630.html. Tjokronegoro, R., R. Asta, A. Subarnas & D. Kurniawan in press. Isolasi dan Struktur Elusidasi Senyawa Aktif Anti Asam Urat dalam Akar Sidagori (Sida rhombifolis). Jurusan Kimia. FMIPA UNPAD. Yasuda, T., T. Yoshida, E. Ahmed, H. Mano, K. Yano, S. Takumi, W. Miki, M. Yoichi, T. Miki & S. Toshiyuki. 2008. Anti-Gout Agent Allopurinol Exerts Cytotoxicity to Human Hormone-Refractory Prostate Cancer Cells in Combination with Tumor Necrosis Factor Related Apoptosis-Inducing Ligand. American Association for Cancer Research. 10: 15417786.



Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3



2 0 kelompok kelompok Kelompok Kelompok Kontrol Allopurinol Uji Dosis Uji Dosis 75mg/kg 150mg/kg



Gambar 3. Diagram batang penurunan kadar asam urat secara in vivo



Dari diagram batang terlihat jelas adanya perbedaan terhadap penurunan kadar asam urat pada pemberian senyawa aktif antihiperurikemia dengan pemberian allopurinol.. Kadar asam urat setelah pemberian allopurinol yang tidak dapat terbaca oleh alat UA Sure, diasumsikan memiliki kadar asam urat di bawah 3 mg/dL, dalam hal ini 1465



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



Pengaruh Pemberian Sari Daun Cincau (Premna oblongiofolia Merr ) terhadap kadar Trigliserida dan Malonaldialdehida ( MDA) Tikus Hiperlipidemia (Rattus norvegicus ) Anna Roosdiana1), Dyah Ayu Oktavianie2), 2Fadillah Asyiah Rahmatina2) , Eka Nora Vitaloka 2) Jurusan Kimia FMIPA Universitas Brawijaya 1) [email protected] Program Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya 2) Abstract Hyperlipidemia is the increase of blood lipid level consists of lipoprotein (cholesterol and triglyceride) followed by the increase of MDA level. Grass Jelly leaves (Premna oblongiofolia Merr) contains flavonoid ,polyphenolic , alkaloid and saponin compounds which may lower cholesterol and triglyceride level. This research aimed to investigate the potency of grass jelly leaves extract (Premna oblongifolia Merr) to prevent hyperlipidemia which is indicated by Triglyceride and MDA level of rat induced with High-Fatty Diet (HFD. This study was carried out using male rat (Rattus norvegicus), Wistar strain, the age of 8 weeks, and weight of 200g which was divided into 5 groups of treatment namely group Kn (negative control), Kp (positive control), P1, P2, and P3 induced with HFD and grass jelly leaves extract at a dose of 5.27 g/ kg BW/ daily, 8.43 g/ kg BW/ daily, 9.37 g/ kg BW/ daily. The grass jelly leaves extract was dissolved in water and delivered by sonde, followed by HFD induction similarly with grass jelly extract, HFD composed of 1 g quail egg yolk; 2 g butter; 2 g cow fat. The triglyceride level was measured with Glycerol 3phosphate oxidase – PhenolAminophenazone(GPO-PAP, while MDA level was measured with Thiobarbituric Acid methode (TBA). The data of triglyceride and MDA level were analyzed using ANOVA. This research showed that treatment of grass jelly leaves extract (Premna oblongifolia Merr) can reduce 49.74 % of Triglyceride and 48.40% of MDA level..The conclusion of this study was the grass jelly leaves extract was able to prevent the increase of Triglyceride and MDA level rat (Rattus noervegicus) induced with HFD on dose 9.37 g/ kg/ BW/ daily. Keywords: Grass Jelly leaves ,Hyperlipidemia , HFD, MDA, Triglyceride



merangsang VLDL di hepar yang dapat merangsang peningkatan trigliserida, LDL, dan penurunan HDL. Sedangkan diet lemak jenuh dan makanan tinggi kolesterol dapat mengaktifkan reseptor LDL yang dapat meningkatkan LDL dan trigliserida[2]. Kadar lemak darah yang tinggi akan disimpan sebagian dalam jaringan adiposa dalam bentuk trigliserida [3]. Diet tinggi lemak (terutama lemak jenuh dan lemak trans) merupakan sumber radikal bebas.. Kelebihan radikal bebas tersebut dapat menyebabkan stres oksidatif yaitu ketidak seimbangan antara radikal bebas dan antioksidan . Stres oksidatif dapat memicu reaksi peroksida lipid yang menghasilkan malondialdehida (MDA).



1. PENDAHULUAN Hiperlipidemia merupakan suatu keadaan dimana kadar kolesterol atau trigliserida yang tinggi di dalam darah ditunjukkan oleh kadar LDL (Low Density Lipoprotein )yang tinggi , tetapi kadar HDL (High Density Lipoprotein) rendah di dalam darah . Kadar kolesterol HDL plasma darah tikus yang normal yaitu ≥35 mg/dL. Sedangkan ambang batas normal LDL pada tikus adalah 7-27,2mg/dl. Tikus memiliki kadar kolesterol normal yaitu 10-54mg/dL[1]. Penyebab hiperlipidemia sangatlah kompleks dan multifaktor, yaitu faktor genetik (hiperlipidemia primer) dan lingkungan. Diet tinggi lemak akan meningkatkan total asupan energi dan meningkatkan kemungkinan terjadinya hiperlipidemia dan berbagai kelainan sistemik yang terkait dengan obesitas. Pada hewan model yang diberikan diet tinggi lemak dapat menginduksi retensi insulin, hiperinsulinemia, dislipidemia dan obesitas. Diet tinggi kalori yang diberikan dapat



Salah satu tumbuhan yang digunakan sebagai alternatif pencegahan dan pengobatan hiperlipidemia yang aman dan murah, serta memiliki khasiat untuk menurunkan berat badan adalah daun 1466



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



meningkatkan kadar kolesterol terutama kolesterol low density lipoprotein (LDL). Peningkatan permeabilitas pembuluh darah karena disfungsi endotel menyebabkan LDL lebih mudah masuk ke dinding pembuluh darah. Keadaan stres oksidatif tersebut menyebabkan LDL mudah masuk ke dinding pembuluh darah. Stres oksidatif disebabkan adanya peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS) sebagai akibat dari paparan pakan diet tinggi lemak. Stres oksidatif tersebut dapat memicu terjadinya reaksi peroksidasi lipid yang menghasilkan MDA[8]. Cincau hijau (Premna oblongifolia Merr) adalah salah satu tanaman yang mengandung serat. Sari dari daun cincau dapat membentuk gel karena mengandung serat yang dapat larut air. Kandungan dari serat larut air salah satunya adalah polisakarida pektin. Pektin merupakan salah satu jenis serat pangan yang larut air dan mudah difermentasikan oleh mikroflora usus besar. Karena kandungan pektin tersebut, maka cincau hijau di anggap sebagai sumber serat pangan yang baik. Serat larut air jenis pektin mampu menurunkan kadar kolesterol total dan LDL serum. Penurunan kadar kolesterol dan trigliserida oleh serat dilakukan dengan mengikat asam lemak bebas serta kolesterol dalam bentuk asam empedu di dalam saluran pencernaan dan mengeluarkannya melalui feses. Serat juga dapat difermentasikan dengan mudah oleh mikroflora di dalam usus yang menghasilkan asam asetat, propionat dan butirat yang dapat menghambat sintesis kolesterol. Selain mengandung serat cincau hijau juga memiliki senyawa antioksidan salah satunya adalah klorofil. Kadar klorofil yang tinggi dapat menekan peningkatan kadar kolesterol total dan trigliserida serum[4] Struktur klorofil yang terdiri dari dua cincin kompleks porfirin dan fitol. Fitol merupakan senyawa yang bersifat hidrofobik yang dapat menyebabkan penurunan timbunan lemak dalam darah sekaligus penyumbatan pembuluh darah[9].



cincau hijau (Premna oblongifolia merr) yang diberikan dalam bentuk sari daun cincau. Daun cincau hijau ini mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, klorofil, karotenoid, alkaloid bisbenzylisoquinoline yang memiliki efek farmakologi. Flavonoid merupakan senyawa yang memiliki aktifitas antioksidan yang dapat mempengaruhi beberapa reaksi yang tidak diinginkan di dalam tubuh, misalnya menghambat reaksi oksidasi, sebagai pereduksi radikal hidroksil dan superhidroksil serta radikal peroksil.[4] Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian sari daun cincau terhadap kadar trigliserida dan MDA dalam serum Tikus (Rattus norvegicus ) yang diiduksi dengan High Fatty Diet(HFD) 2.KAJIAN LITERATUR PENGEMBANGAN HIPOTESIS



DAN



Lipid dari makanan, lipid yang disintesis oleh hati dan jaringan adiposa, akan dibawa oleh darah ke berbagai jaringan dan organ tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi atau disimpan sebagai cadangan lemak. Lipid akan disimpan sebagai trigliserol (trigliserida) yang sebagian besar terdapat dalam jaringan adiposa, dapat juga ditemukan dalam otot rangka dan plasma [5]. Hewan yang diberi HFD (High Fatty Diet) mengkatabolisme karbohidrat menjadi monosakarida galaktosa dan fruktosa dan disimpan sebagai glikogen di dalam hati. Pada saat tubuh membutuhkan energi glikogen akan dipecah menjadi glukosa,dilanjutkan dengan glikolisis dan pembentukan asetil KoA. Asetil KoA dari siklus krebs digunakan untuk membentuk asam lemak bebas di sitosol [6]. Asam lemak dengan gliserol diesterifikasi menghasilkan trigliserida [7]. Pemberian pakan tinggi lemak dapat menyebabkan peningkatan dari trigliserida. Peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol (lipoprotein) di dalam darah menyebabkan terjadinya peningkatan penyimpanan jaringan lemak. Lemak dalam tubuh disimpan dalam bentuk trigliserida. Trigliserida terakumulasi menyebabkan terjadinya hiperlipidemia. Hiperlipidemia kronis dapat menyebabkan disfungsi endotel. Pakan diet tinggi lemak atau HFD yang diberikan dapat



2. METODE PENELITIAN Bahan penelitian berupa daun cincau hijau dibeli dari daerah Batu, Jawa Timur Tikus (Rattus norvegicus) berasal dari Laboratorium Biosains, Universitas Brawijaya, Malang strain Wistar sejumlah 20 ekor, jenis kelamin jantan, berumur 8 minggu, berat badan 200 gram dan penggunaan hewan model 1467



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



sudah mendapatkan sertifikat layak etik dari Komisi Etik Penelitian (KEP) Universitas Brawijaya. Bahan kimia dan alat yang digunakan Seperangkat alat gelas, Spektrofotometer UVVisible Merk Genesis, sentrifuse Thermoscientific Sorvall Biofuge Primo R, pakan tikus standar pokhpand 511, kuning telur puyuh, mentega, lemak sapi, lipase. 4aminoantipirin dan 4-klorofenol , peroksidase Phosphate Buffer Saline (PBS), aquades, Asam trikloroasetat (TCA) 4%, Asam klorida (HCl) 1 N, Natrium thiobarbiturat, Natrium klorida (NaCl) fisiologis 0,9%, kloroform 10%, standar MDA Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) . Variabel bebas: dosis sari daun cincau dan induksi HFD (high-fatty diet), Variabel terikat : kadar MDA dan kadar trigliserida , sedangkan variabel kontrol :jenis kelamin, umur, berat badan tikus Rattus norvegicus strain Wistar, suhu, lingkungan, dan air minum



Darah diambil melalui ekor ( sebelum perlakuan) dan jantung( akhir perlakuan). Darah dimasukkan dalam tabung ependorf dan diletakkan pada posisi miring dan dibiarkan mengendap pada suhu kamar. Penetapan kadar trigliserida menggunakan metoda GPOPAP(Glycerol 3phosphate oxidase – PhenolAminophenazone) . Trigliserida akan mengalami hidrolisis secara enzimatik dengan lipase. Indikator yang digunakan adalah quinonimin yang terbentuk dari hidrogen peroksida , 4-aminoantipirin dan 4-klorofenol dengan adanya pengaruh katalis peroksidase. Serapan diukur pada λ546nm kurva standar MDA. Kurva standar MDA dihasilkan berdasarkan persamaan regresi antara absorbansi (y) dan konsentrasi MDA (x).



Pengukuran Kadar MDA Pengukuran kadar MDA dilakukan dengan cara[10] : 100 µL serum dimasukkan dalam tabung microtube, ditambahkan 550 µL aquades dan dihomogenkan. ditambah 100 µL TCA 4% dan dihomogenkan kembali. Kemudian dilakukan penambahan 100 µL HCl 1 N dan 100 µL Na-Thiobarbiturat dan dihomogenkan dengan vortex. Mulut tabung mikro ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan pada suhu 100oC selama 30 menit dalam water bath. Setelah dingin, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 500 rpm selama 10 menit dan supernatannya dipindahkan ke tabung mikrotube yang baru. Serapan sampel diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang maksimum (λmaks = 533 nm). Nilai serapan dikonversikan ke kadar MDA menggunakan kurva baku. Kurva baku dibuat dengan mengukur serapan larutan MDA standar pada konsentrasi konsentrasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 µg/mL. Perlakuan larutan MDA standar sama seperti pada saat mengukur larutan sampel.



Persiapan Hewan Model Tikus (Rattus norvegicus) Hiperlipidemia Hewan model hiperlipidemia dibuat dengan induksi HFD (high-fatty diet) yaitu diet pakan diet lemak yang diberikan dengan perbandingan 1 gram kuning telur puyuh : 2 gram mentega : 2 gram lemak sapi. HFD diinduksikan dengan cara sonde dan diberikan sebanyak 2,5 ml/tikus/ekor. Pembuatan HFD dilakukan memanaskan lemak sapi bersama mentega, mengambil suspensinya dengan meninggalkan padatan dari lemak sapi. Kemudian disaat kondisi lemak hangat-hangat kuku dicampurkan dengan kuning telur puyuh dan dimasukkan kedalam spuit 3 mL. Pakan tinggi lemak diberikan dengan cara menyondekan sebanyak 2,5 mL. Penentuan volume yang diberikan mempertimbangkan daya tampung atau volume lambung tikus, yaitu maksimal 5 mL. Pemberian HFD dilakukan dengan cara sonde lambung. Penentuan kondisi hiperlipiemia pada hewan model dilakukan menggunakan pengukuran tes kadar kolesterol, trigliserida, LDL, dan HDL. Induksi hiperlipidemia menggunakan HFD dan sari daun cincau dilakukan selama 2 minggu. Pemeriksaan kadar kolesterol total, LDL dan Trigliserida satu minggu setelah perlakuan. Pengukuran kadar Trigliserida dari Serum



3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran kadar trigliserida pada serum tikus yang diberikan sari daun cincau sebelum pemberian HFD selama 14 hari ditampilkan pada Tabel 1 dan kadar MDA pada Tabel 2 Tabel 1. Kadar trigliserida Tikus pada kelompok perlakuan sari daun Cincau 1468



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 Kelompok Perlakuan K(n) K(p) P1 P2 P3



cincau hijau (P1, P2, P3) dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (Kn), tidak terdapat perbedaan yang signifikan terlihat dengan notasi yang sama. Penurunan kadar trigliserida darah pada kelompok perlakuan sari daun cincau hijau dipengaruhi oleh kandungan serat dan klorofil yang tekandung dalam daun cincau hijau. Cincau hijau mengandung pektin yang dapat mengikat lemak yang ada dalam saluran pencernaan, kemudian mengeluarkannya melalui feses . Cincau hijau juga mengandung klorofil yang merupakan salah satu antioksidan yang dapat menghambat oksidasi lipid daun cincau hijau memiliki kadar klorofil relatif tinggi yaitu 1184 ppm[11],. Klorofil juga diduga mempengaruhi peningkatan enzim lipoprotein lipase yang dapat berdampak pada metabolisme lipoprotein yang kaya trigliserida. Dengan meningkatnya enzim tersebut lipoprotein VLDL yang mengangkut trigliserida akan mengalami hidrolisis menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak yang dibebaskan kemudian diserap oleh otot dan jaringan lain yang dioksidasi untuk menghasilkan energi dan oleh jaringan adiposa disimpan sebagai cadangan energi . Kadar MDA merupakan indikator terhadap reaksi adanya radikal bebas yang diakibatkan oleh peroksidasi lipid yang terjadi di dalam tubuh (Tabel 2) . Tikus kelompok kontrol negatif (Kn) memiliki rata-rata kadar MDA terendah karena hanya diberikan pakan standar, sehingga pembentukan ROS sedikit dan tidak terjadi stress oksidatif. Kolesterol dapat memicu terbentuknya radikal bebas di dalam tubuh, akan tetapi jumlah radikal bebas pada tikus kontrol negatif (Kn) tidak melebihi jumlah antioksidan yang terdapat di dalam tubuh tikus sehingga antioksidan dapat menangkap radikal bebas dan menghambat terjadinya peroksidasi lipid. Selain itu, radikal bebas secara normal diproduksi oleh tubuh dalam jumlah kecil yang merupakan akibat dari hasil samping metabolisme sel yang berlangsung selama respirasi sel dan pencernaan. Radikal bebas diproduksi oleh beberapa komponen penyusun sel tubuh seperti mitokondria, membran plasma, lisosom, reticulum endoplasma dan nukleus, sehingga kadar MDA pada tikus kontrol negatif merupakan termasuk rata-rata kadar MDA yang normal dan dijadikan sebagai standar terhadap kenaikan atau penurunan akibat perlakuan.



Kadar Trigliserida ratarata(mg/dL) a



80,75 ± 16,68 b 143,25±24,76 a 68,00 ±14,94 a 76,25±15,02 a 72,00±12,00



Keterangan: notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05)



Tabel 2. Kadar MDA rata-rata pada kelompok perlakuan Kelompok



kadar MDA (µg/ml) Ratarata



K(n) K(p) P1 P2 P3



0,498±0,028a 0,988±0,005d 0,863±0,033c 0,565±0,026b 0,509±0,009a



Keterangan: notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05) Kadar trigliserida pada kelompok kontrol negative K(n) dijadikan sebagai kadar normal pada tikus model dan dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol negatif (KN) dengan kontrol positif (KP). Terjadi peningkatan secara signifikan pada kelompok kontrol positif sebesar 77,4% dari kelompok kontrol negatif, hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian HFD selama 14 hari pada tikus dapat meningkatkan kadar trigliserida darah. Pemberian makanan kaya lemak dapat memicu terjadinya Hiperlipidemia dengan cara meningkatkan aktifitas lipogenesis dan asam lemak bebas sehingga asam lemak bebas di dalam jaringan menjadi tinggi. Peningkatan asam lemak bebas ini mengakibatkan peningkatan trigliserida [3] Pada kelompok perlakuan sari daun cincau (P1, P2, dan P3) terjadi penurunan kadar trigliserida darah tikus model yang signifikan jika dibandingkan dengan kontrol positif. Kelompok perlakuan sari daun cincau hijau 5,27 g/kg BB (P1) mengalami penurunan kadar trigliserida darah sebesar 52,53% , perlakuan sari daun cincau hijau 8,438 g/kg BB (P2) mengalami penurunan kadar trigliserida darah sebesar 46,77% . Kelompok perlakuan sari daun cincau hijau 9,375 g/kg BB (P3) mengalami penurunan sebesar 49,74% . Kelompok perlakuan sari daun 1469



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Pada tikus kelompok kontrol positif (Kp) memiliki rata-rata kadar MDA 0,498±0,028 µg/mL dengan rata-rata peningkatan kadar MDA 49,5% dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Peningkatan kadar MDA pada kelompok kontrol positif tikus yang diberi diet lemak atau HFD yang dapat menyebabkan kadar kolesterol di dalam darah meningkat dan berbeda nyata dari kondisi normal. Peningkatan ROS disebabkan oleh adanya peningkatan sintesa asam empedu akibat dari kelebihan kolesterol dan menyebabkan peningkatan pembentukan radikal bebas. Peningkatan ROS dapat menyebabkan terjadinya stress oksidatif yang memicu terjadinya reaksi peroksidasi lipid yang menghasilkan kenaikan kadar MDA. Tingginya kadar kolesterol di dalam darah tersebut dapat menyebakan disfungsi endotel. Efek samping dari disfungsi endotel tersebut berupa peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga LDL yang teroksidasi mudah masuk ke dinding pembuluh darah dan terjadi peningkatan ROS. Penurunan kadar MDA kelompok perlakuan 1 (P1) dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dengan pemberian sari daun cincau hijau dosis 5,27 gram/ kg BB selama 21 hari yaitu sebesar 12,6%. Sedangkan kenaikan rata-rata kadar MDA berbeda signifikan (p0,05) dengan kelompok kontrol positif. Penurunan kadar trigliserida kelompok P1 yang dibandingkan dengan kelompok kontrol positif ini akan diikuti dengan penurunan akumulasi lipid yang diikuti dengan penurunan pembentukan radikal bebas dan kondisi stress oksidatif, peroksidasi lipid dan kadar MDA di dalam tubuh. Penurunan rata-rata kadar MDA kelompok perlakuan 2 (P2) yang dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dengan pemberian sari daun cincau hijau dosis 8,43 gram/ kg BB selama 21 hari yaitu sebesar 42,8%. Sedangkan kenaikan kadar MDA berbeda signifikan (P0,05) dengan kelompok kontrol positif. Penurunan kadar MDA dikarenakan kandungan klorofil, pektin dan saponin dari sari daun cincau hijau dapat menurunkan akumulasi lipid yang diikuti dengan penurunan pembentukan radikal bebas sehingga tidak terjadi kondisi stress oksidatif dan tidak terdapat oksidasi lipid. Kadar MDA pada tikus kelompok P3 yang dibandingkan dengan kelompok positif mengalami penurunan sebesar 48,4% dikarenakan oleh pemberian perlakuan sari daun cincau hijau dengan dosis 9,37 gram/ kg BB selama 21 hari. Sedangkan kenaikan kadar MDA kelompok P3 berbeda signifikan (P0,05) dengan kelompok kontrol negatif. Dengan demikian pemberian sari daun cincau hijau dengan dosis 9,37 gram/ kg BB efektif dalam menurunkan kadar hiperlipidemia tikus (Rattus norvegicus). Penurunan kadar MDA tikus disebabkan oleh sari daun cincau hijau mengandung serat larut air berupa pektin yang dapat dengan mudah difermentasikan oleh mikroflora usus besar yang menghasilkan asam asetat, propionat dan butirat yang dapat menghambat sintesis kolesterol. Penurunan kadar kolesterol dan trigliserida oleh serat dilakukan dengan mengikat asam lemak bebas serta kolesterol dengan bantuan asam empedu yang masuk melalui saluran hepatic duct yang melewati pancreas kemudian masuk proksimal duodenum yang letaknya berdekatan dengan pylorus di dalam saluran pencernaan dan mengeluarkannya melalui feses. Selain mengandung serat cincau hijau juga mengandung antioksidan salah satunya adalah klorofil. Kadar klorofil yang tinggi dapat menekan peningkatan kadar kolesterol total dan trigliserida serum, dikarenakan klorofil dapat menyumbangkan oksigen yang dapat menetralkan radikal bebas dan menggagalkan aktivitas dari radikal bebas sehingga tidak terjadi stress oksidatif dan kerusakan membran sel yang ditandai dengan penurunan kadar MDA. Stress oksidatif disebabkan adanya peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS) sebagai akibat dari paparan pakan diet tinggi lemak. Radikal bebas cenderung 1470



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



berikatan dengan senyawa lain untuk membentuk senyawa yang stabil dan mampu merusak makromolekul, seperti lipid membran sel, DNA dan protein yang menyebabkan stres oksidatif [12]. Stres oksidatif tersebut dapat memicu terjadinya reaksi peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid pada membran sel yaitu reaksi radikal bebas dengan PUFA dapat menghasilkan MDA [13] Peningkatan ROS disebabkan oleh adanya peningkatan sintesa asam empedu akibat dari kelebihan kolesterol dan menyebabkan peningkatan pembentukan radikal bebas. Hal tersebut dikarenakan adiposit dan preadiposit yang diidentifikasikan sebagai sumber sitokin proinflamasi, seperti TNF-α, IL-1, dan IL-6. Sitokin merupakan stimulator untuk memproduksi ROS dan nitrogen oleh makrofag dan monosit. Stress oksidatif merupakan suatu keadaan oksidan dan antioksidan yang tidak seimbang di dalam tubuh, sehingga dapat memicu terjadinya peroksidasi lipi. Peroksidasi lipid merupakan reaksi berantai yang ditandai dengan proses panambahan atom hidrogen oleh radikal oksigen atau merupakan reaksi dari radikal bebas dengan PUFA pada membran sel[13]. Secara luas stress oksidatif ditandai dengan kadar MDA, sehingga kadar MDA digunakan sebagai tanda biologis atau pengukuran stress oksidatif yang terjadi di dalam tubuh . Hal ini sesuai dengan peningkatan rata-rata kadar MDA sebasar 48,4% pada kelompok kontrol positif subyek hiperlipidemia yang menunjukkan adanya kerusakan oksidatif pada lipid (LDL dioksidasi menjadi LDLox). Berdasarkan hasil rata-rata kadar MDA kelompok P3 pemberian sari daun cincau hijau dosis 9,37 gram/kg BB/hari menunjukkan kadar MDA tidak berbeda signifikan (P>0,05) dari kontrol negatif. Dosis tersebut merupakan dosis yang cukup efektif menurunkan kadar MDA secara signifikan. Hal tersebut dikarenakan sari daun cincau mengandung serat larut air berupa pektin yang dapat dengan mudah difermentasikan oleh mikroflora usus besar yang menghasilkan asam asetat, propionat dan butirat yang dapat menghambat sintesis kolesterol. Penurunan kadar kolesterol dan trigliserida oleh serat dilakukan dengan mengikat asam lemak bebas serta kolesterol dalam bentuk asam empedu di dalam saluran pencernaan dan mengeluarkannya melalui feses. Selain mengandung serat cincau hijau juga mengandung antioksidan salah satunya



adalah klorofil. Kadar klorofil yang tinggi dapat menekan peningkatan kadar kolesterol total dan trigliserida serum, dikarenakan klorofil dapat menyumbangkan elektron hidrogen yang dapat menetralkan radikal bebas dan menggagalkan aktivitas dari radikal bebas sehingga tidak terjadi stress oksidatif dan kerusakan membran sel yang ditandai dengan penurunan kadar MDA. 4. KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah : Pemberian sari daun Cincau(Premna oblongifolia merr) dengan dosis ≥ 5,27 g/kg BB tikus 1jam sebelum pemberian HFD dapat mencegah kenaikan kadar Trigliserida dan pada dosis ≥ 9,37 g/kg BB dapat mencegah kenaikan kadar MDA 5. REFERENSI 1. Riesanti, Diajeng Galuh, Masdiana C Padaga dan Herawati. 2012. Kadar HDL, Kadar LDL dan Gambaran Histopatologi Aorta Pada Hewan Model Tikus (Rattus norvegicus) Hiperkolesterolemia Dengan Terapi Ekstrak Air Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra). [Skripsi}. Program Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya Malang 2. Frida Lorita Hafidasari Priyoto dan Heni Fatmawati. 2012. Efek Quercetin Untuk Menurunkan Kadar Trigliserida Dan Glukosa Darah Pada Tikus Model Diet-Induced Obesity. The Journal of Medical Plant Vol. 1, No. 5, April 2012. 3. Julizar, Bahroelim B., Etti Y., Endrinaldi, Nasni Y. 1997. Uji Efek Preventif Dan Kuratif Infusa Daun Asam (Tamarindus indica. L) Terhadap Obesitas Pada Tikus Yang Diberi Diet Kalori Tinggi. Majalah Kedokteran Andalas Vol. 21, No. 2, Juli – Desember 1997. 4. Wahyu Budiono dan Aryu Candra. 2013. Perbedaan Kolesterol Total dan Trigliserida Sebelum dan Setelah Pemberian Sari Daun Cincau Hijau (Premna oblongifolia Merr) Pada Tikus Dislipidemia. Journal Of Nutrition College, Volume , Nomor 1, Tahun 2013, hlm. 118-125 5. D. F. Coelho, L. O. Pereira-Lancha, D.S. Chaves, D. Diwan, R. Ferraz, P.L. CamposFerraz, J.R. Poortmans and A.H. Lancha Junior. 2011. Effect of High-Fat Diets on Body Composition, Lipid Metabolism and Insulin Sensitivity, and the Role of Exercise on These Parameters. Brazillian Journal of Medical and Biological Research 44:966-972. 6. Almatsier, Sunita. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia. Jakarta.



1471



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 7. Basciano, H., L. Federico and K. Adeli. 2005. Fructose, insulin resistance and metabolic dyslipidemia. Nutrition and Metabolism 2005, 2:5. 8. Fitria Adinda, Masdiana C. Padaga, Dyah Kinasih Wuragil. 2014. Efek Terapi Water Soluble Extract (WSE) Yogurt Susu Kambing Terhadap Kadar Malondialdehida (MDA) dan Histopatologi Aorta Tikus (Rattus norvegicus) Model Hipertensi Induksi DOCA-Salt.[Skripsi]. Program Studi Kedokteran Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya. Malang 9. Astirani, Ananda E. 2012. Pengaruh Pemberian Sari Daun Cincau Hijau (Premna oblongifolia Merr) Terhadap Kadat Kolesterol HDL dan Kolesterol LDL Tikus SPRAGUE DAWLEY Dislipidemia. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Gizi. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang



10. Botsoglou N A, Fletouris D J, Papageorgiou G E, Vassilopoulos V N, Mantis A J, Trakatellis A G 1994 Rapid, sensitive and specific thiobarbituric acid method for measuring lipid peroxidation in animal tissue, food and feedstuff samples. Agric Food Chem 42: 1931–37 11. Novelina, Tuty Anggraini and Rudi Hermansyah,2015,Production of Liquid Chlorophyll from The Leaves of Green Grass Jelly (Premna oblongifolia Merr.), International Journal on Advance Science engineering Information Technology , 5,5:366-369 12. Valko, M., C. J. Rhodes, J. Moncol, M. Izakovic and M. Mazur. 2006. Free radical, mental and antioxidant in oxidative stress induced cancer. J Chem-Biol Rusia 160:1-40. 13. Afonso V., R. Champy, D. Mitrovic, P. Collin dan A. Lomri. 2007. Reactive Oxygen Species and Superoxide Dismutases: Role in Joint Disease. Joint Bone Spine 74:324-329.



1472



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



Pengembangan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) Matakuliah Bahasa Inggris Kimia Asmadi Muhammad Noer* *Prodi Pendidikan Kimia, FKIP- Universitas Riau Email: [email protected] Abstract The English for Chemistry Course materials worksheet for chemistry education students- FKP- Riau University aims at not only supporting student work study programs but aslso supporting their professional Chemistry teacher candidates later on. So in order to increase of the mastery of content, this studunet’s worksheet is developed and provided for them. Development of methods of teaching materials / course worksheet (or also called LKM in Indonesia) is adopted the Plomp’s design which consists of three stages: the initial study or sometimes called preliminary study (analysis of the needs and characteristics of learners), product (prototype) and evaluation (validation product). After the prototype teaching materials forming which is based on student needs and their characteristics, then the product is validated until the expert perceived the product is fulfill the standard quality. The product is validated by instructional design specialist, expert specialist content (chemical education) and English language experts. All of inputs and comments will be based to formulated a new next protipe. In this stage of research report, the validation of product.protype conducted just until self-evaluation or / first product evaluated. Keywords: English for Chemistry, Courework-sheet (LKM), Self-Evaluation. Abstrak Matakuliah bahasa Inggris Kimia merupakan matakuliah pendukung berkarya yang menunjang profesional mahasiswa prodi kimia atau calon guru Kimia dalam rangka peningkatan penguasaan konten/isi (ilmu kimia). Metode Pengembangan bahan ajar/matakuliah (atau disebut juga LKM) ini mengikuti desain Plomp dimana terdiri dari tiga tahap yaitu penelitian awal (analisis kebutuhan dan karakteristik peserta didik), Produk (prototype) dan Evaluasi (validasi produk). Sesetelah terbentuk prototype bahan ajar yang memperhatikan analisis kebutuhan dan karakteristik mahasiswa, maka dilakukan validasi produk dengan meminta para pakar bidang pembelajaran ( instruksional desain specialist), pakar konten specialist (pendidikan kimia) dan pakar bahasa Inggris. Semua masukan dan perbaikan diakomodasi setelah sebelumnya dilakukan dilakukan validasi self-evaluation terhadap dari prosuk asal/protype pertama kali dihasilkan. Kata kunci: Matakuliah-Bahasa Inggris Kimia, Lembar Kerja Mahasiswa, Evaluasi–sendiri.



mempelajari bahasa Inggris tidak hanya untuk kemudahan, prestise (menaikan gengsi) tetapi sekaligus bahasa Inggris merupakan kebutuhan, dimana bahasa Inggris adalah kunci perkembangan ilmu -teknologi dan perdagangan. Pebisnis yang ingin menjual produk, mekanik yang ingin baca petunjuk manual, dokter/doktor yang membutuhkan pengembangan karir dibidang masing-masing dan seluruh pelajar/mahasiswa yang membutuhkan bacaan (bahan kuliah) dan jurnal yang tersedia didominasi dalam bahasa Inggris. Sejalan dengan pernyataan pada paragraf di atas, Jalal (2008) menyatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia tidak dapat ditingkatkan apabila para lulusan Perguruan Tinggi Indonesia tidak mampu bersaing dalam dunia kerja. Perguruan Tinggi harus membekali lulusannya untuk memenuhi tuntutan kualifikasi memasuki lapangan kerja. Lulusan harus dipersiapkan secara profesional,



I. 1.PENDAHULUAN Bahasa Inggris telah menjadi bahasa global dunia dengan jumlah negara pengguna sebagai bahasa resmi menduduki urutan pertama sebagai bahasa internasional, 140 negara sekitar 341 juta orang penutur asli (Basri, 2011). Basri menyatakan lebih jauh bahwa bahasa Inggris untuk bidang studi nonEnglish dititikberatkan sebagai English for Specific Purposes (ESP) yang diarahkan pada pengembangan kompetensi disiplin ilmu mayor mahasiswa- seperti matakuliah Bahasa Inggris Kimia pada program studi kimia-FKIP, Universitas Riau. Hal senada disampaikan oleh Seung-Lee (2010) dimana lima Universitas besar di Korea-Selatan melakukan bilingual pada pembelajaran untuk persiapan menghadapi era globalisasi. Hutchinson and Waters (1987) memberi alasan detail kenapa bahasa Inggris menjadi begitu penting: Begitu banyak orang 1473



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



salah satu cara dengan membekali mereka dengan ESP-Kimia (bahasa Inggris kimia) untuk meningkatkan kompetensi. Bahasa Inggris kimia merupakan mata-kuliah wajib prodi Kimia-FKIP Universitas Riau. Berdasarkan Kurikulum lama, mata kuliah Bahasa Inggris Kimia bertujuan membekali mahasiswa agar dapat membaca-memahami buku teks. Sejak tahun 1999/2000 proses pembelajaran yang digunakan masih pendekatan konvesional yaitu teacher-centered, serta men-“translate” kata per kata dan menterjemahkan kalimat perkalimat. Hasil refleksi mengharapkan agar mahasiswa terlibat dalam –selama proses pembelajaran berlangsung. Untuk menjembatan agar mahasiwa berpartispasi aktif, disediakanlah bahan ajar berupa “hand out” juga ditribusikan agar mahasiswa terbantu. Namun usaha ini belum begitu memperlihatkan hasil signifika, karena bahan ajar/Lembar Kerja Mahasiswa belum dirancang sesuai dengan prosedur saintifik dan analisis kebutuhan. Disadari bahwa kebutuhan ESP Kimia begitu penting untuk mahasiswa kimia/calon guru Kimia, karena ESPKimia tak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan. Satu sisi, ESP Kimia merupakan isi (contents) dan sisi lain adalah bahasa Inggris. Konsep, istilah, simbol dan terminalogi dst. merupakan satu kesatuan yang khas pada mata pelajaran Kimia, sehingga ESP-kimia merupakan suatu hal yang penting dikuasai dan dimiliki. Di samping itu pesatnya perkembangan informasi dan IPTEK yang berpuluh kali kecepatan atau kecepatan manusia membaca (access) satu buku, maka untuk life-long learning pengguasan kompetensi (skill) ESP oleh peserta didik adalah sesuatu pilihan yang tepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ansyar (1998) bahwa peserta didik hendaklah dibekali ketrampilan dasar (basic skills-5Rs):Reading, Writing, Arithmetic (3Rs), Computer (4R) & foreign language (5R). Namun karena banyaknya masalah yang ditemukan, penguasaan ESP- masih menemukan banyak kendala di lapangan. Hasil identifikasi masalah yang terkait dengan pembelajaran ESP kimia adalah sebagai berikut: (1) bahan ESP-sangat padat dan topik belum tersaji secara berurutan (sequence); (2). mahasiswa masih cenderung mengambil/merujuk buku-buku yang bukan berbahasa Inggris untuk pembuatan tugas,



makalah, bahan seminar padahal mereka sudah dibekali dengan ketrampilan ESP kimia. (3) proses pembelajaran masih didominasi oleh dosen/pengampu, (4) pelum semua mahasiswa aktif dalam perkuliahan, mereka lebih dominan mendengar, mencatat, dan (5) Kesulitan mengelola kelas besar, rata-rata berisi 50 mahasiswa. Setelah dilakukan analisis hasil belajar dan proses belajar yang belum terlaksana, maka tim pengajar perlu merancang Lembaran Kerja Mahasiswa (LKM) yang mampu mengaktifkan peserta didik (mahasiswa). Salah satu strategi untuk mengaktifkan mahasiswa yaitu dengan menggunakan strategi pendekatan belajar aktif, active learning (Dee Fink, 1999; Silberman, 2006) 2.KAJIAN TEORI Metode pengembangan LKM yang digunakan merujuk kepada metode penelitian Plomp (Desain Penelitian Plomp) yang dapat dilihat pada tabel 1 berikut: Khusus untuk desain/rancangan LKM dan Pengembangan LKM-bahasa Inggris terdapat pada poin 2 pada tabel 1. Tabel 1.Design Research Model Plomp (2013) No 1



2



3



4



1474



Tahap Pengembangan Penelitian Pendahuluan (Preliminary Research)



Bentuk Kegiatan yang dilakukan pada Penelitian Menganalisis karakteristik instistusi Menganalisis karakteristik Needs and mahasiswa context analysis Menganalisis instruksional mata kuliah Bahasa Inggris Kimia Mengkaji Review of literatur/pustaka terkait literature dengan penelitian Development of conceptual or Merancang kerangka theoretical konseptual untuk studi framework for pengembangan the study



Tahap Prototipe (Prototyping Stage)Lembar Kerja Mahasiswa



Desain prototype



Kegiatan



Mendesain model pembelajaran aktif Melakukan uji Formative validitas prototype evaluation (expert validity) Merevisi prototipe Revision berdasarkan hasil formative evaluation Tahap Penilaian Melakukan uji (Assesment Summative praktikalitas dan Stage) evaluation efektifitas terhadap prototype Dokumentasi Mendokumentasikan dan Refleksi Documentation dan menyempurnakaan Sistematis protipe



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 (Systematic Reflection and Documentation) Reflection



Melakukan Refleksi terhadap produk/protype akhir berdasarkan hasil penelitian



3.



4.



Prototipe LKM yang dihasilkan berdasarkan kajian pendahuluan, diperoleh model LKM dengan sintak/tahapan sebagai berikut: (1) orientasi, (2) pembentukan kelompok, (3) penugasan kerja kelompok, (4) eksplorasi, (5) presentasi materi, (6) pengecekan pemahaman dan pendalaman materi, (7) refleksi dan umpan balik, dan (8) evaluasi formatif



5.



3. METODE PENELITIAN



9.



6.



7.



8.



1. Model LKM berbasis aktif Metode Penelitian dengan mengadopsi design researh Plomp (lihat Bagan) dimana perekaan model LKM memperhatikan dan mempertimbangkan (diperoleh Prototype LKM) 2. Prosedur Pengembangan Prosedur pengembangan Lembar Kerja Mahasiswa mengikuti beberapa tahap, dimana tahap awal/disebut LKM prototipe awal (pertama) dirancang oleh peneliti dengan bimbingan pembimbing/promotor dilakukan self-evaluation mengenai validitas, praktikalitas dan effektivitas dari LKM prototype 1 tersebut. Selanjutnya LKM-Prototyp1 kemudian dilakukan oleh Validator ahli (expert validator) yang sesuai dengan kepakaran/keahlian yang relevan. Validasi Konten/isi di validasi oleh pakar bidang Ilmu Kimia(1 orang) dan pakar ilmu Bahasa Inggis (1 Orang) dan satu (1) orang dari pakar Instruksional desain (pembelajaran) serta oleh 1 orang praktisi ( dosen pengampu matakuliah sejenis). serta respon oleh mahasiswa yang menggambil mata kuliah. Sampai diperoleh produk final yang telah memenuhi pada tingkat validitas, tingkat praktikalitas dan tingkat efektifitas skore tinggi.( sesuai skala likert) 4.HASIL DAN PEMBAHASAN a. HASIL



10.



11.



Aspek yang Dinilai



1.



Pertanyaan menggambarkan kegiatan membaca teks –bacaan Bahasa Inggris Kimia Pertanyaan menggambarkan kegiatan Menunjukan arah/tujuan bacaan. untuk ORIENTASI – bacaan Bahasa Inggris Kimia



2.



0



X



X



X



X



X



X



X



X



X



Penilaian secara umum No



Uraian



A



Penilaian secara umum terhadap instrumen penilaian validitas LKM



B X



Nilai C D



E



Keterangan A = Dapat digunakan tanpa revisi. B = Dapat digunakan dengan revisi sedikit. C = Dapat digunakan dengan revisi sedang. D = Dapat digunakan dengan revisi banyak. E = Tidak dapat digunakan. Berikut ini pada tabel 3, ada validasi Prototype LKM1 secara Self-Evaluation. Tabel 3. Penilaian Validasi LKM No



Aspek yang Dinilai



A



ASPEK DIKDAKTIK Kegiatan-Kegiatan pada Pendahuluan (Pre-Reading) yang disajikan membantu mahasiswa mengaitkan dengan konsep/materi yang akan mereka konstruk Kegiatan-kegiatan pada kegiatan Inti(Reading) yang disajikan membantu mahasiswa mengkonstruk materi dan ketrampilan membaca. Kegiatan-kegiatan pada Kegiatan Penutup (Post-Reading) yang disajikan membantu mahasiswa merefleksi konsep yang dipelajari dan ketrampilan membaca LKM membantu mahasiswa untuk memperoleh ketrampilan reading LKM memudahkan Dosen dan Mhs untuk melakukan kegiatan refleksi ASPEK ISI



1



2



Tabel 2. Lembaran Validasi Instrumen No



Pertanyaan menggambarkan kegiatan mhs pada fase Eksplorasi Pertanyaan menggambarkan pkegiatan mhs pada fase Elaborasi Pertanyaan menggambarkan kegiatan mhs pada fase Refleksi dan Umpan Balik Pertanyaan yang menggambarkan kegiatan mhs. Mengkomunikasikan ide-ide baik secara lisan dan tulisan. Pertanyaan menggambarkan penggunaan bahasa pada LKM yang dirancang. Pertanyaan menggambarkan penyajian format LKM yang dirancang. Pertanyaan menggambarkan penyajian soal-soal latihan pada LKM yang dirancang Pertanyaan menggambarkan Ketrampilan Reading” yang sesuai dengan rancangan LKM Menggunakan kalimat yang mudah dipahami



3



Skor Penilaian 1 2 3 4 X



4 X 5 B



1475



0



Skor Penilaian 1 2 3 4 X



X



X



x



x



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 1



2. 3.



4.



C 1. 2. 3. D. 1 2 3 4



Terdapat kesesuaian antara materi, latihan dan komponen refleksi pada LKM Gambar-caption/ilustrasi pada LKM dapat membantu mhs memahami bacaan-teks Gambar-caption/ilustrasi sesuai dengan materi yang dipelajari Soal latihan yang terdapat pada LKM memfasilitasi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan meahami Bahasa Inggris Kimia/reading skills, ASPEK BAHASA Kalimat yang digunakan pada LKM baik dan benar sesuai kaidah Bahasa yang digunakan pada LKM mudah dipahami mahasiswa Struktur kalimat yang digunakan jelas dan tidak menimbulkan kerancuan ASPEK TAMPILAN Bentuk dan ukuran huruf dapat terbaca dengan jelas Gambar, ilustrasi dan CaptionBox yang digunakan menarik, bermanfaat bagi mahasiswa Penempatan Gambar, ilustrasi dan Caption-Box pada LKM tepat Disain tampilan LKM menarik



X



Kimia (disingkat BIK), dimana tujuan BIK adalah memperoleh kemahiran generik/ Skill of strategy learning bahasa- dalam bahasa Inngris untuk peningkatan ilmu Kimia ( konsep, alur berfikir dan sesuai dengan tujuan matakuliah ini diadakan- sehingga penekanan “Reading ( ketrampilan membaca- dengan pendekatan strategi ketampilan membaca/ Reading Skill Strategy) akan menjadi kan bekal untuk “mengeksplor” buku-buku teksbook maupun jurnal dan kariah ilmiah lainnya dalam bahasa Inggris. Penekanan Ketrampilan Membaca, sperti ketrampilan Scanning, Skimming yang digunakan seperti penentuan “topic sentence dan ide pokok pada bacaan tesk kimia bahasa Inggris- lebih diutamakan karena notabene lulusan prodi Kimia akan berprofesi menjadi Guru, yang mesti dan mengharuskan banyak membaca, , sedangakan spekaing/ketreampilan berbicara bukan tidak dibutuhkan namun pada LKM ini tidak di prioritas ( analisis kebutuhan ketermapilan bicara lebih banyak diperlukan untuk profesi guide/prawisata dan profesi toursime- perhotelan- sesuai dengan hasil wawancara dengan pakar bahasa Inggris.



X



X X



X



X X



X X



X X



Penilaian secara umum No



Uraian Penilaian secara umum LKM berbasis Pembelajaran Aktif pada matakuliah Bahasa Inggris Kimia



A



B X



Nilai C D



E



Hasil validasi terbatas-peer review cukup menunjukkan LKM yang dihasilkan cukup memadai untuk tahap awal, karena seperti sudah diketahui dan menurut pakar innstruksional diperlukan waktu, validasi yang bertingkat serta uji coba yang bertingkat juga untuk menghasilkan bahan ajar ( LKM- bagian bahan Ajar) yang mumpuni, paraktis dan efektif.



Keterangan: A = Dapat digunakan tanpa revisi. B = Dapat digunakan dengan revisi sedikit. C = Dapat digunakan dengan revisi sedang. D = Dapat digunakan dengan revisi banyak. E = Tidak dapat digunakan.



6.KESIMPULAN 5.PEMBAHASAN



Hasil validasi LKM bahasa Inggris Kimia yang dilakukan pada tingkat “self-evaluation “ cukup baik, namun uji ini perlu dilanjutkan ke tahap yang tahap lebih tinggi sebelum dilakukan implementasi uji coba melalui eksprimen.



Prototype LKM –Bahasa Inggris Kimia yang dihasilkan telah dipelajarai –dilakukan peer-review dengan teman sejawat yang memiliki kompetensi yang sama serta mempertimbagkan dan diperkuat dengan penelitian Muhatadi (2008) yang melaksankan pembelajaran aktif sejenis.



DAFTAR PUSTAKA



Hasil analisis pendahuluan, dimana karena karakteristik matakuliah Bahasa Inggris Kimia ini berbeda dengan matakuliah yang dilaksankan oleh (ada komponen grammarbahasa Inggris serta Vocab yang spesifik, penulis mengadopsimengambil bagian/langkah yang sesuai dengan karekateriktik mata kuliah Bahasa inngris



Dee Fink. 1999. Active Learning. http://coe.sdsu. edu. eet/ article/activeleraning/start.htm, diakses tanggal 28 Agustus 2011). Dimyati dan Mujiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gagne, M. Robert. 1988. Essential Learning for Instruction. Hindale: The Dryden Press.



1476



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 Gal,Iddo., Ginsburg, Lynda and Schau,Candance. 1997. Monitoring Attitudes and Beliefs in Statics Education. Retrieved 20 Oct.2011 from http:// www.stat.auckland.ac.nz/iase/publication/assessbkref. Gay, L.R , Mills. G.E dan Airasian, P. 2009. Educational Research: Comptencies for Analyisis and applications. Columbus, Ohio: Pearson Guilford. J.P. & Frcher, B. 1978. Fundamental Statistics in Psychology and Education. Sixth Editions. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd. Howard, J., Major, J. (2005). Guidelines for Designing Effective English Language Teaching Materials.Seoul, South Korea: Ninth Conference of the Pan-Pacific Association of Applied Linguistics, Oct 2004. 101-109. http://www.paaljapan.org/resources/proceedings /PAAL9/pdf/Howard.pdf Joyce Bruce, Weil Marsha dan Calhoun Emily. 2010. Models of Teaching- Model model Pengajaran. Edisi kedelapan. Jakarta: Pustaka Pelajar. Joyce, B., Weil, M., with Showers, B. 1992.. Models of Teaching, 4 Th ed. Boston: Allyn & Kaifa. Littlewood, Wiliam. 1996. „AUTONOMY”; An Anatomy and Framework System. 24 (4): 427435 Muhtadi. A, 2011 Implemnetasi Konsep Pembelajaran „Active Learning” sebagai upaya untuk meningkatkan keatifan mahasiswa dalam Perkuliahan. Nieveen, Nienke. 1999. Prototyping to Reach Product Quality. Dalam Plomp, T; Nieveen, N; Gustafson, K; Branch, R.M; dan van den Akker, J (eds). Design Approaches and Tools in Education and Training. London: Kluwer Academic Publisher. Nieveen, Nienken. 2010. Formative Evaluation in Educational Design Reseach. Dalam Tjeerd Plom and Nienken Nieeveen (Ed). An Introduction to Educational Design Research. Netherlands in www.slo.nl/organisatie/international/publication s. Persada.



Plomp, T. 1997 . Educational Design: Introduction from Tjeerd Plomp (eds). Eduacational & Training Sistem Design: Introduction Design of Education and Training (in Dutch). Utrech (the Netherlands): Lemma. Netherland:Faculty of Educational Science and Technology, University of Twente. Plomp, Tjeerd. 2010. Educational Design Research: An Introduction. Dalam Tjeerd Plom and Nienken Nieeveen (Ed). An Introduction to Educational Design Research. Netherlands in www.slo.nl/organisatie/international/ publications. Reigeluth, C. M., and Ann, Y. J. 2006. Functional Contextualism: an Idea Framework for Theory in Instructional Design and Technology. Education Technology Research and Development, 54(1):49-53. Richey, R. C., Klein, D.K and Nelson, W. A. 2002. Developmental Research: Studies of Instructional Design and Development. In David Jonassen, (Eds). Handbook of Research on Educational Communication and Technology (2nd Edition). P: 110 1-1130. On http://www.aectorgledtech/ 42.pdf Richey, R.C & Nelson, W.A 1996). Developmental Research. Handbook of Research for Educational Communications and Technology. New York. MacMillan Simon & Schuster Seung Lee, Jae. 2010. Offering English-Mediated Chemistry Classes in South Korea: A note Silberman, Melvin L. 2006. Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Edisi Terjemah, Cetakan III. Bandung: Penerbit Nusamedia. Tracey, M. W. 2009. Design and Development Research: a model validation case. Educational Technology Research and Development, 57:553-5 71. Tracey, M. W., and Richey, R. C. 2007. ID model construction and validation: a multiple intelligences case. Educational Technology Research and Development, 55:369-390. Zukowski J.; Faust. 2002. Steps to Academic Reading: Steps and Pateaus. 2nd Edition. Reading. Canada: Heinle, a division of Thomson Learning Inc



1477



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



EFEKTIVITAS METODE STUDENT CENTERED LEARNING BERORIENTASI GREEN CHEMISTRY Axel Deby Cornellia Arifianty1), Ugi Fitri Hardiyanti2), Dahlena Pulungan3) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan Email: [email protected], [email protected], [email protected] Abstract This research aims to know the effectiveness of student centered learning oriented green chemistry for science process skills at XI school grade of SMA in Medan on 2016/2017 period. The population is normal and homogeneous, so to take two groups of samples using cluster random sampling techniques. Design of this research is posttest only control design. The succes of this research seen from cognitive aspect of student achievement reach KKM. At the final stage ofthe analysis, the t test used was left-test with t count > t table (1.696). The student achievementfor experimental classes obtained t count of 3.860 while the control class 0,914. This suggeststhat the experimental class has achieved mastery learning, while the control class not yet. The average value of the psychomotor aspects of students in the experimental class was 82.6 which is included in the excellent category and control class was 74 included in good category. In the aspect of Students environmental concern, the average value of the experimental class was88.65 included in the excellent category and class control was 81.7 included in good category. The conclusion was that the research-oriented student centered learning of green chemistry proved effectively increase learning outcomes. Keywords: student centered learning, green chemistry.



menerapkan pembelajaran yang berdasarkan pada penguasaan tingkat materi. Dalam metode Student Centered Learning, maka siswa memperoleh kesempatan dan fasilitasi untuk membangun sendiri pengetahuannya sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam (deep learning) dan pada akhirnya meningkatkan mutu kualitas siswa (Afiatin, 2005:1). Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa digunakan sistem belajar yang fleksibel sesuai dengan kehidupan dan gaya belajar siswa sehingga guru tidak berperan sebagai central dalam kegiatan belajar mengajar tetapi hanya sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar mengajar (Hamalik, 2005: 201). Green chemistry bukanlah environmental science tetapi bagian ilmu kimia yang mencari dan berkreasi untuk mem-berikan solusi bagi penciptaan teknologi yang aman bagi manusia dan lingkungan-nya (Ilyas, 2010). Green chemistry adalah bagian dari produk dan proses kimia yang ramah lingkungan meliputi semua aspek dan jenis dari proses kimia yang mengurangi efek negatif bagi kesehatan manusia dan lingkungan sekitar (Kusuma, et al, 2009). Pembelajaran kimia berorientasi green chemistry bertujuan agar siswa me-miliki karakter peduli lingkungan, khususnya dalam penanganan



1. PENDAHULUAN Kesulitan pembelajaran kimia terletak pada kesenjangan yang terjadi antara pemahaman konsep dan penerapan konsep yang ada sehingga menimbulkan asumsi sulit untuk mempelajari dan mengembangkannya. Saat ini metode pengajaran yang banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar adalah metode ceramah yang lebih berpusat terhadap guru sehingga proses pembelajarannya hanya berlangsung satu arah. Metode ceramah ini menyebabkan siswa menjadi jenuh dan bosan terhadap materi pelajaran yang membuat siswa menjadi pasif dalam kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran kimia tidak lagi merupakan proses transfer pengetahuan dari guru pada siswa, tetapi harus merupakan upaya peningkatan keterampilan edukasional secara menyeluruh melalui pelajaran kimia. Banyak cara yang dilakukan oleh seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran yang akan membuat siswa senang, di antaranya adalah dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat yang mampu mengubah rasa jenuh dan bosan siswa dalam pembelajaran. Metode yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran kimia agar siswa merasa senang dan tidak merasa bosan yaitu dengan menggunakan metode Student Centered Learning atau pembelajaran yang berpusat pada siswa. Metode Student Centered Learning juga 1478



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



masalah lingkungan, membentuk perilaku agar dapat berparti-sipasi dalam pemeliharaan lingkungan. Peng-kajian terhadap fenomena dan dam-pak perubahan lingkungan perlu dilakukan melalui pendidikan formal (Setyo, 2011). Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu efektifkah pembelajaran model student centered learning berorientasi green chemistry terhadap keterampilan dan kepedulian lingkungan siswa suatu SMA di Medan pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifanpembelajaran model student centered learning ber-orientasi green chemistry terhadap keteram-pilan proses sains dan kepedulian lingkung-an siswaSMA di medan pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di suatu SMA di Medan pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Desain penelitian ini yaitu posttest only control design. Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah siswa XI IPA SMA tahun pelajaran 2016/2017. Kelas XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 2 sebagai kelas kontrol yang diambil dengan teknik cluster random sampling. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran. Kelompok eksperimen menggunakan model pembelajaran student centered learning berorientasi green chemistry sedangkan kelompok kon-trol menggunakan model pembelajaran kon-vensional. Variabel terikat dalam pene-litian ini yaitu keterampilan proses sains dan kepedulian lingkungan siswa SMA tahun ajaran 2016/2017. Keberhasilan di dalam penelitian ini dilihat dari ketuntasan belajar pembelajaran yang menggunakan model student centered learning berorientasi green chemistry dari aspek kognitif mencapai nilai KKM yaitu 72, aspek psikomotorik dan kepedulian terhadap lingkungan setiap siswa mencapai nilai 65 dengan ketuntasan klasikal sebesar 85% (Mulyasa, 2002).Metode pengumpulan data dilaku-kan dengan metode dokumentasi, tes, lembar observasi dan angket. Bentuk instrumen yang digunakan berupa silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, soalposttest, lembar observasi kepedulian terhadap lingkungan, lembar observasi psikomotorik dan angket. Data penelitian posttest dianalisis secara statistik parametrik yaitu dihitung dengan uji t dan uji ketuntasan klasikal sedangkan kepedulian lingkungan,



sikomotor dan hasil angket tanggapan siswa dianalisis secara deskriptif. 2. HASIL DAN PEMBAHASAN Kelas eksperimen pada penelitian ini menggunakan model student centered learning berorientasgreen chemistry. Sedangkanpembelajaran pada kelas kontrol meng-gunakan model pembelajaran seperti yang biasa digunakan guru mitra yaitu menggunakan metode ceramah dan diskusi. analisis hasil belajar kognitif secara statistika meliputi uji normalitas, uji kesama-an dua varians, uji keefektifan, uji ketunta-san belajar, dan uji estimasi rata-rata hasil belajar. Hasil uji normalitas data postteskedua kelas berdistribusi normal. Uji kesa-maan dua varians, kedua kelas memiliki varians yang tidak berbeda (homogen). Perhitungan uji keefektifan menggunakan uji t, pada kelas eksperimen diperoleh thitung = 3,8601 sedangkan ttabel= 1,696. Besarnyathitung> ttabel dan thitung berada di daerah penerimaan H, sedangkan untuk kelas kontrol thitung 0,914 dan thitung berada didaerah penolakan H. Jadi, ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar kimia kelas eksperimen dengan kelas kontrol atau hasil belajar kimia kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol. Hasil perhitungan uji ketuntasan belajar, diperoleh hasil ketuntasan belajar pada kelas eksperimen adalah 87,5% yang berarti bahwa kelas eksperimen telah mencapai ketuntasan belajar klasikal sedangkan hasil ketuntasan belajar kelas kontrol adalah 71,9% yang berarti bahwa kelas kontrol belum mencapai ketuntasan belajar klasikal karena kurang dari 85%. Hal ini dikarenakan kelas eksperimen menggunakan student centered learning sehingga siswa dapat belajar menemukan pengetahuan atau konsep, guru hanya memberi pengarahan dan bimbingan jika diperlukan siswa (Djamarah, 2002). Siswa dengan keterampilan proses sains yang tinggi lebih mudah dalam memahami materi yang diajarkan dan berdampak pada kognitif siswa (Rahayu, 2011). Berdasarkan uji estimasi ratarata hasil belajar, dapat diprediksikan bahwa rata-rata yang mungkin dicapai kelas eksperimen berkisar antara 74,8 sampai 81,4 sedangkan pada kelas kontrol rata-rata hasil belajarnya berkisar 70,7 sampai 76,6. Hasil estimasi rata-rata hasil belajar ini menunjukkan bahwa prediksi rata-rata hasil belajar yang 1479



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



dicapai kelas eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata hasil belajar yang dicapai kelas kontrol. Penilaian ranah psikomotorik meng-gunakan lembar observasi atau lembar pengamatan yang dilakukan oleh observer. Penilaian ini dilaksanakan ketika siswa melaksanakan praktikum. Penilaian psiko-motorik terdiri dari empat aspek. Aspek yang pertama yaitu kegiatan persiapan. Kegiatan persiapan ini dibagi menjadi 3 sub aspek yaitu menyiapkan alat, menyiapkan zat/larutan kerja, dan menyiapkan format laporan sementara. Untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol ratarata nilai aspek kegiatan persiapan ini termasuk kriteria sangat tinggi, tetapi terdapat perbedaan rata-rata nilai yaitu kelas ekperimen 3,6 sedangkan kelas kontrol 3,5. Aspek yang kedua yaitu keterampilan proses sains. Aspek ini terbagi menjadi 11 sub aspek yang sesuai dengan sub-sub indikator keterampilan proses sains serta disesuaikan dengan materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Untuk aspek ini rata-rata nilai kelas eksperimen 3,38 dan kelas kontrol 2,8yang termasuk dalam kriteria tinggi. Siswa dengan keterampilan proses sains tinggi cenderung melaksanakan percobaan sesuai dengan metode ilmiah yang baku, siswa memiliki bekal keterampilan untuk melaku-kan percobaan, siswa tidak mengalami hambatan yang berarti dalam pelaksanaan percobaan. Hal ini berdampak pada psikomotorik siswa, yakni siswa dengan keterampilan proses sains tinggi cenderung memiliki prestasi belajar yang lebih baik daripada siswa dengan keterampilan proses sains rendah (Nur, 2011). Aspek yang ketiga yaitu membuat laporan sementara. Aspek ini hanya terbagi menjadi dua aspek yaitu membuat laporan sementara hasil analisis dan merevisi kesalahan hasil analisis. Untuk kelas eksperimen rata-ratanya sebesar 2,68 sedangkan kelas kontrol 2,7. Kelas eksperimen memiliki rata-rata yang lebih rendah dari kelas kontrol dikarenakan kelas eksperimen mencari sendiri susunan laporan yang sistematis, sedangkan untuk kelas kontrol susunan laporan diberikan olehguru sehingga lebih sistematis. Susunan laporan hasil siswa kelas eksperimen kurang sistematis, maka guru memberikan arahan terhadap siswa. Untuk aspek yang terakhir yaitu kegiatan setelah praktikum, aspek ini dibagi menjadi tiga sub aspek yaitu membuang sisa praktikum ke tempat yang disediakan, kebersihan, dan pengembalian alat



yang sudah dibersihkan. Dalam aspekini kelas eksperimen memiliki rata-rata 3,63, sedangkan kelas kontrol memiliki rata rata 3,57. Hasil nilai rata-rata psikomotorik kelas eksperimen dan kelas control ditampilkan pada Gambar 1.



Gambar 1. Hasil nilai rata-rata psikomotorik kelas eksperimen dan kelas kontrol Keterangan: Aspek Psikomotorik 1: Kegiatan Persiapan 3: Laporan Sementara 2: Keterampilan Proses Sains 4: Kegiatan Setelah Praktikum Karakter peduli lingkungan merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang terjadi. Penilaian ranah ini dilakukan pada saat proses pembelajaran di kelas dan pada saat praktikum di laboratorium. Peni-laian dilakukan oleh observer. Untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol setiap siswa telah mencapai nilai lebih dari 65 tetapi terdapat perbedaan pada ratarata nilai aspek kepedulian terhadap lingkungan. Rata-rata nilai pada kelas eksperimen 88,65 yang termasuk dalam kategori sangat baik dan kelas kontrol 81,7 yang termasuk dalam kategori baik. Adapun perbedaan rata-rata hasil analisis aspek kepedulian siswa terhadap lingkungan kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Gambar 2. 3 2 1 0



nilai rata-rata



kelas kelas kontrol eksperimen



aspek kepedulian terhadap lingkungan



Gambar 2. Hasil nilai rata-rata nilai kepedulian lingkungan terhadap lingkungan kelas eksperimen dan kelas kontrol.



1480



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Keterangan: Aspek Kepedulian Terhadap Lingkungan 1: Kepedulian Lingkungan Saat di Kelas 2: Kepedulian Lingkungan Saat Praktikum Perbedaan rata-rata nilai posttest, psikomotorik dan kepedulian terhadap lingkungan lebih baik pada kelas eksperimen daripada kelas kontrol. Student Centered Learning menghasilkan efek yang cukup signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (Bilgin, 2009). Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa penggunaan Student learning centered berorientasi green chemistry dalam pelajaran kimia efektif terhadap hasil postes, psikomotorik dan kepedulian siswa terhadap lingkungan. Berdasarkan hasil analisis angket tanggapan siswa dalam penelitian ini dapat disimpulkan pada kelas eksperimen siswa menyukai pembelajaran menggunakan student centered learning berorientasi green chemstry. Angket ini memiliki tingkatan respon mulai dari sangat setuju, setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hasil angket menyatakan bahwa 63% sangat setuju, 38% setuju, dan 0% tidak setuju dengan per-tanyaan berkaitan dengan ketertarikan pada materi kimia kelarutan dan hasil kali kelarutan yang dipelajari. Siswa menyatakan 53% sangat setuju, 41% setuju, dan 6% tidak setuju dengan pernyataan pembelajaran student centered learning berorientasi green chemistry dapat membuat merekalebih mudah memahami materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Pernyataan rasa ingin tahu meningkat, mendapat respon 56% sangat setuju, 31% setuju, dan 13% tidak setuju. Siswa menyatakan 41% sangat setuju, 53% setuju, dan 6% tidak setuju terhadap pertanyaan pembelajaran student centered learning berorientasi green chemistry dapat meningkatkan kemampuan untuk mengingat suatu konsep pembelajaran. Hasil ini didukung dengan nilai posttest hasil belajar kelas eksperimen yang meningkat dan lebih tinggi dari pada kelas kontrol. Siswa memilih 66% sangat setuju, 31% setuju, dan 3% tidak setuju mengenai pernyataan pembelajaran student centered learning berorientasi green chemistry membuka wawasan mengenai fenomena kelarutan dan hasil kali kelarutan dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan tentang lebih mudah dalam menyelesaikan soal-soal latihan materi kelarutan dan hasil kali kelarutan mendapat respon 59% sangat setuju, 31% setuju dan 9% tidak setuju. Siswa



menyatakan 72% sangat setuju, dan 28% setuju terhadap pertanyaan Pelaksanaan pembelajaran student centered learning berorientasi green chemistry membuat mereka lebih tertarik untuk memperdalam kimia lebih lanjut. Siswa menyatakan 69% sangat setuju dan 31% setuju dengan pernyataan Pelaksanaan pembelajaran student centered learning berorientasi green chemistry membuatnya lebih peduli lagi terhadap lingkungan sekitar. Adapun hasil analisis respon siswa terhadap pembelajaran disajikan dengan Gambar 3.



Keterangan: Pernyataan 1. Pelaksanaan pembelajaran student centered learning berorientasi green chemistry sangat menarik dan menyenangkan 2. Pelaksanaan pembelajaran student centered learning berorientasi green chemistry dapat membuat saya lebih mudah memahami materi kelarutan dan hasil kali kelarutan 3. Pelaksanaan pembelajaran student centered learning berorientasi green chemistry dapat meningkatkan rasa ingin tahu saya 4. Pelaksanaan pembelajaran student centered learning berorientasi green chemistry dapat meningkatkan kemampuan saya untuk mengingat suatu konsep pembelajaran 5. Pembelajaran student centered learning berorientasi green chemistry membuka wawasan saya mengenai fenomena kelarutan dan hasil kali kelarutan dalam kehidupan sehari-hari 6. Pelaksanaan pembelajaran student centered learning berorientasi green chemistry membuat saya lebih mudah dalam menyelesaikan soal-soal latihan materi kelarutan dan hasil kali kelarutan 7. Pelaksanaan pembelajaran model student centered learning berorientasi green chemistrymembuat saya lebih tertarik untuk memperdalam kimia lebih lanjut 8. Pelaksanaan pembelajaran model student centered learning berorientasi green 1481



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 Djamarah, S., 2002, Strategi BelajarMengajar, Jakarta : Rineka Cipta. Ilyas, W., 2010, Sama atau Bedakah GreenChemistry Dan EnviromentalChemistryItu? Diunduhdarihttp://greenchemistryindonesia.blo gspot.com/pada tanggal 8 April 2016. Karsi dan Sahin, 2009, Developing Worksheet Based On Science Process Skills: factors affecting solubility, Journal Of Science Learning and Teaching Vol 1, No 10, Hal: 112. Kusuma, E., Sukirno, dan Kurniati, 2009, Penggunaan Pendekatan ChemoEntrepreneurship Berorientasi Green Chemistry Untuk Meningkatkan Kemampuan Life Skill Siswa SMA, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia Vol 1, No 3, Hal: 2-4. Syarif Hidayatullah. Mulyasa,2002, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Rosda-karya. Nur, M., 2011, Modul Keterampilan Proses Sains, Surabaya: Pusat Matematika dan Sains Sekolah (PSMS) Universitas Negeri Surabaya. Rahayu, E., Susanto, dan Yulianti, 2011,Pembelajaran sains dengan keterampilan proses untuk meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir kreatif siswa,Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, Vol 2, No 7, Hal: 106-110. Roestiyah, 2001, Strategi Belajar Mengajar,Jakarta: Rineka CiptaRustaman, N., 1992, Pengembangan dan Validasi Alat Ukur Keterampilan Proses Sains Pada Pendidikan Dasar 9 Tahun Sebagai Persiapan Pelaksanaan Kurikulum 1994,Laporan Penelitian, Bandung :FPMIPA IKIP.



chemistry membuat saya lebih peduli lagi terhadap lingkungan sekitar saya 3. SIMPULAN Pembelajaran model student centered learning berorientasi green chemistry efektif terhadap keterampilan proses sains dan kepedulian lingkungan. Nilai posttest kelas eksperimen yang menerapkan model student centered learning berorientasi green chemistrysebesar 77,50 sedangkan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konven-sional sebesar 73,18. Nilai aspek psiko-motorik yang didalamnya sudah mencakup keterampilan proses sains untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol setiap siswa telah mencapai nilai lebih dari 65 tetapi terdapat perbedaan pada rata-ratanya.Rata-rata nilaipada kelas eksperimen 82,6 yang termasuk dalam kategori sangat baik dan kelas kontrol yang termasuk dalam kategori baik. Nilai aspek kepedulian terhadap lingkungan untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol setiap siswa telah mencapai nilai lebih dari 65 tetapi terdapat perbedaan pada rata-rata. Ratarata nilai pada kelas eksperimen 88,65yang termasuk dalam kategori sangat baik dan kelas kontrol 81,7 yang termasuk dalam kategori baik. 4.



DAFTAR PUSTAKA



Amri,S.,2010,Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif Dalam Kelas,Jakarta : Prestasi Pustaka.



1482



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



ISBN: 978-602-71798-1-3



THE IMPLEMENTATION OF QUANTUM TEACHING WITH MODULE TO INCREASE STUDENT’S ACHIEVEMENT IN TEACHING HYDROCARBON Biuti Fourtuna Student of Chemistry Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, State University of Medan, e-mail: [email protected] ABSTRACT The influence of using module as a learning media combined with quantum teaching to increase student’s achievement in chemistry for Senior High School (SHS) on the teaching of hydrocarbon is explained in this paper. The objectives of quantum teaching combined with module is to give a new innovation in teaching and learning process and to find the best way to increase student’s achievements. The research was done in the first grade of State Senior High School in Percut Sei Tuan (SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan), Regency of Deli Serdang, and Province of North Sumatera. The result showed, the influence of quantum teaching with module to increase students’ achievements on the teaching of hydrocarbon had been proven; it can be seen by comparing the students’ ability of solving problems before and after the teaching activities. Before teaching, the students’ achievement in control class was (M=27), and in experimental class was (M=31), by using F-test for homogeneity, those 2 classes were homogeneous where Fcalculation 1.028 < Ftable 2.168. After learning process, there was an increasing of students’ achievement, where the result in experimental class (M=79.5) was bigger than in control class (M=60). By using t-test of comparing 2 classes, the effectiveness of using quatum teaching with module in learning process had also been proven after having significantly different results compared to conventional (speech) method, where tcalculation 8.304 > ttable 2093. It can be concluded that the student’s achievements were increased after using quantum teaching with module because it gave new innovation and interesting way in learning. Keywords : Learning Media, Module, Quantum Teaching, Hydrocarbon



1. Learningisa processto obtainmotivationin knowledge, skills, habits, and behavior; 2. Learning isknowledge orskills gainedfrom theinstruction. " Learningcan be said to bemanaged through a variety of activities. In this connection, Rohani Ahmad and Abu Ahmadi said that:“Successful earning through a series of activities, both physical and mental activity. Physical activityis the enterprisinglearneractive with your body, making things, play ingor working, he did notjust sitandlisten, watchor just passive. Learners who havepsychicactivity(psychiatric) is if thepowerof his soulto workas muchora lot ofwork in order to teach”. Based onthe above opinionis clear thatlearning activitiesarepsychic and physicalactivityof studentsin thelearningprocessthrough the guidance ofthe teacher. At the time ofan activestudentbody,by itself itis also activesoul,and vice versa. A teachercan only bepresentandprovidelearning materials,students areprocessing



1. INTRODUCTION Education functions like an enlightened torch for this civilized and sophisticated society. Without education human beings are no more than animals. On the basis of wisdom and sanity grounds, education is the lighthouse that enlightens in them the ability to differentiate between right and wrong, true and false, correct and incorrect and also is the milestone in the development of integrated personality, the righteousness in character, the enlightenment of conscience and the inculcation of social, moral, ethical and spiritual values. “A child’s legs, arms and body are made stronger by healthful play. We can deduce the mind with its organic counter – part, the nervous system, improves and becomes better equipped because of use and exercise in the form of reading, calculating, memorizing, speaking, imagining and other mental activities.”(Sorenson 1948).This is education that is responsible for the all round development of human beings. Learningaccording toGagnecontains twodefinitionsare: 1483



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



anddigestingitself in accordancewith the will, skills, talents, and background. Today’s competitive world demands quality education. Therefore Quality teacher education has become an enduring theme as we have to strive for better teachers for better education of children. The quality of school education has direct links to the knowledge, competence and skills of teachers and their initial training preparations. The quality and coverage of any system of teacher education is always decided by the content of teacher education curriculum and the operational modes used for its delivery by the system. Curriculum cannot be stagnant or once for all process of education. It is an evolutionary phase of education phase at all levels from KG to PG. It has to be in line with the changing goals of education from time to time and therefore meet the needs of the changing environment in which we have to live in future and compete for survival and success. Curriculum development and modification has to be rational but not emotional. Hence, for achieving excellence, it has to be in line with modern principles and practices in education. In order to createanactiveand creativelearning, thenteachers need topay attention tofourthings: 1. Ensuringthat everystudentactive, studentinterestneedditingktakan, thenneed to be guidedto achieve certain goals. 2. Analyzingthe structure ofthe material that willdiajarka, alsoneed to bepresentedin a simplematerialthatis easily understood bystudents. 3. Analyzingsequence. Teachersteach,meansguiding studentsthrough a sequence ofstatementsof a problem, so studentsgain an understandingandbe able to transferwhat waslearned. 4. Providingreinforcementand feedback. Optimalreinforcementoccurswhenstudents knowthat "he found the answer".



matter, solving problems,orapply whatthey have learnedinto anewproblem thatexists inreal life(Zaini et al, 2008). Activelearning strategiesdesignedto turn theclassroombecause studentsbe involveddirectlyin the process oflearning, fun learningactivitiesforlearning that is notmonotonous andimprovephysical andmentalengagement. Active learningis intendedtooptimize the use ofall thepotential of thestudents, so that allstudentscan achievea satisfactorylearning outcomesaccording totheirpersonal characteristics(Silberman, 2007). Because students are engaged in learning the subject matter. It takes a strategy that would make students active during the learning process. Where active learning strategies designed to turn the classroom because students be involved directly in the process of learning, fun learning activities for learning that is not monotonous and increasing involvement of physically and mentally (Silberman, 2007). One strategy that can enable the students are learning Quantum teaching strategies. This strategy emphasizes the dynamics of the learning process in the classroom. Quantumteaching islearningalterationfestivewith all thenuances.Inquantumteachingalso includesall theterms ofinteraction andmaximize themoment oflearningdifferences. Quantumteachingfocuses onthe dynamic relationshipswithinthe classroom environment. Interactionsthat makethe foundationand frameworkfor learning(De porter.B, 2004). Then, by Quantum Teaching as a guidance in teaching the students. It will be combined with a media in order to make the students interested and more understanding the matter. In this research, media that is used is module which contain the resume of matter “The Development of Atomic Theory”. Learning Media Generally media is the human, material, or events that establish conditions that make students be able to get knowledge, skills, or attitudes. In this case, teachers, textbooks, and school environment is a medium. If the media was carrying messages or information that aims to contain instructional or teaching purposes then the media is called media learning. (Arsyad, 2009)



2. LITERATURE REVIEW Active Learning&Quantum Teaching Active learningisalearninginvites students toactivelylearn, where studentsarelearningto dominateactivity. Inactive learning, students activelyuse the brain, eitherto findthe main ideaof the subject 1484



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



A learning media must fulfill some requirements. Learning media should increase learner motivation. The use of media has the goal of providing motivation to the learners. Besides, the media should also stimulate the learner to remember what has been learned in addition to provide new learning stimuli. Good media will also enable learners to provide feedback and encourage students to perform practices properly. Based on the development of technology learning media can be grouping in four groups namely: (1) printing media, (2) audio-visual media, (3) based on computer media, (4) collaboration of printing and computer media. According to Arsyad (2009), in a collaboration of printing and computer media there are two kinds of media, namely Traditional Media and Sophisticated Media. One of example from traditional media in printing is MODULE. According to Munadi (2008) there are three functions of media based on its media namely: (a) Learning media have function as a learning resource. (b) Semantic function is to increase the vocabulary (verbal symbol) which its meaning can be understood by students. (c) Manipulative function. This function is based on their general characteristic, media has two abilities, and they are to overcome the limitation of space and time and also the insufficiency of sense.



the particular field of study from achievement through this module. Except where readers wanting the development of insight of these fields, it is recommended to explore it down even further through the reference (bibliography) which often also attached at the end of each module. The contents of a module should be complete, whether viewed from its grain pattern, let alone its contents. There are some advantages of module. 1. Module was made communicatively and in two direction of learning, so it’s become easier to student or user to use module as a learning resources. 2. Module can change some of the role of teaching. Then module cover of topic focus and measurable so it makes all of competence will fill in module. 3. Module more priority the activity of student (user) it make student more active. Learning module is a self-learning approach that is focused on master in competence of learning materials which students learned by a certain time in accordance with the potential and conditions. Learning to use the module useful for such things as the following: 1. Improve the effectiveness of learning without having to go through face to face on a regular basis because of geographical conditions, social, economic, and community situations. 2. Determine and set the time to learn more in line with the needs and development of learn students. 3. Expressly aware of students achieving in competence in stages through the criteria established in the module. 4. Knowing the weakness or the competence of learners who have not achieved based on the criteria set out in the module so that the tutor can decide and help learners to improve learning and perform remediation. The purpose of learning to use the module is to reduce the diversity of students learning speed through independent learning activities. Implementation of the learning modules more involved role of students than teachers.



Module According to Rosyid (2010), the module is print teaching material which designed to be studied independently by learning participants. The module is also called the media for self-study because it has been completed for self-study guide. It means that readers can perform learning activities without the presence of teacher directly. The module is a learning tool that contain material, methods, limitations, and evaluation that designed systematically and attractive to achieve the expected competencies in accordance with the level of complexity. The use of modules is often associated with independent learning activities (self instruction). Because its function is as described above, then the other consequences that must be filled by this module is the completeness of the contents; means the content materials of a module must explain in a whole of content so that readers understand



Hydrocarbon Hydrocarbon is a subject matter that is learned in the second semester of the first year in the senior high school. This topic can be considered as a quite difficult matter, because 1485



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



students have not learn about chemistry, particularly in this topic for the previous year. They have to open up their mind in comprehending and analyzing the topic. There are some subtopicsexplained inhydrocarbon, which are: a) hydrocarbon as carbon compound, b) the groups of hydrocarbon, c) reactions of hydrocarbon compound and d) the use of hydrocarbon in daily life.



a graduated student from this school so that make it easier to the researcher to get permission to conduct the mini research, such as sampling, treating and evaluating during the teaching process. The number of samples for both experimental and control class are 20 students. To test the homogeneity of the samples, researcher gave 10 questions pre test for them. So, based on this result, researcher will find whether all of samples are homogeneus in their initial knowledge. Student Achievement in Pre Test Before conducting the research using module combined with quantum teaching, the researcher have to know the student’s initial knowledge in the topic of hydrocarbon that will be taught. To test the initial knowledge of all students and also in order to test their homogeneity, given the 10 question’s pre test for both control and experimental class. The result is shown in Table 1. Table 1. The Result of Pre Test of Samples



3. RESEARCH METHODOLOGY The study is conducted in Medan. The researcher choose one school that is wanted to be the object of research which is SMAN 1 Percut Sei Tuan. Which is at Academic Year 2014/2015 in the second semester, on March2015. The time of this research is adjusted suitable with the schedule allocated in the schools when the target materials of Hydrocarbon are being taught and at the same time the research is conducted without interfere the students and the teachers activity in the selected schools. The procedure of this research are determining the population and sample. The population in this research is all of students in class X senior high school, then from the population researcher choose SMAN 1 Percut Sei Tuan as a sample. From the sample, taking 2 class randomly of school and classify them into experimental and control class. Both of the experimental and control class, choosen 20 students for each as a sample. After choosing the classes, giving pre test (10 questions) for both of classes. After that,giving treatment for both experimental class and control class. Experimental class is treated with module and quantum teaching learning while control class is treated with conventional method. In the end of learning process, students from both experimental and control class are given by post test (same question like pre test). Collecting, evaluating and anlysing the result of post test done by students. Comparing the final result between experimental and control class, then conclude the result.



Sam-ple



Control Class Conventional Method



Experimental Class Treating Method



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Total Mean



30 30 40 30 20 40 30 20 30 30 40 30 20 10 20 20 10 30 30 30 540 27



40 50 30 40 30 30 20 30 40 30 30 40 40 20 20 30 20 30 20 30 620 31



Based on the data in Table 1, the first thing that we can see is the initial knowledge of all sample is relatively low, from 10 questions, they can comprehend for about 3-4 questions. We find the result of both experimental and control class initial knowledge about the topic averagely are; M(control) = 27, M(experimental) = 31. This



4. RESULT AND DISCUSSION Homogeneity of Samples In order to make the research goes on just like expected, has conducted the research in 2 classes in SMAN 1 Percut Sei Tuan. The reason of choosing this location of the sample is caused by the limitation of researcher and as 1486



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



results also show the low of their knowledge about the topic initially. Not only to test their initial knowledge, but also to test their homogeneity based on this result. This test has conducted to show the homogeneity between the control class and the experimental class (Fstat 1.02 tcrit 2.093). Based on this data analyzed, the student’s achievement in experimental class is higher compared to the student’s achievement in control class due to the post test result that shows the significant different between the class treated by using module combined with quantum teaching and class treated conventionally.



The Effectivenessof Using Module Combined with Quantum Teaching to The Student’s Achievement The effectiveness of learning by using module combined with quantum teaching to the student achievement can be seen after doing the treatment to the experimental class and then analyzed of the result of post test. The result is shown in table 2



5. CONCLUSION AND SUGGESTION From the result of the research can be concluded that the teaching process by using Module combined with quantum teaching in the topic of hydrocarbon can increase the student’s achievement. Module as a learning media make the student easier in comprehending the material because only the important things are putted in the module. And also the teaching process using the quantum teaching makes the student more attractive during the learning process compared to the control class which is treated by conventional method. As a suggestion, this learning media using module can be applied by teacher in daily learning process and also combined with quantum teaching in order to make the class more attractive. Maybe not only for hydrocarbon but also for another topic in chemistry.



Table 2. The Result of Post Test of Samples Sample



Control Class Conventional Method



Experimental Class Treating Method



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Total Mean



70 50 80 70 60 70 50 60 60 50 70 60 50 50 60 50 50 70 60 60 1200 60



70 100 80 90 80 80 70 80 80 80 80 90 70 70 80 70 70 90 80 80 1590 79.5



6. REFERENCES Alipoetry, (2011). PENGERTIAN MODUL (Dalam Media Pembelajaran PAI) “”untuk sahabatku. .http://aliranim.blogspot.com/2011/02/pengertia nmodul- dalammedia.html. Arikunto, S., (2010), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta. Arsyad, A., (2009), Media Pembelajaran. Rajawali Pres. Jakarta. Bandhana. (2011). Development and Modification of Curriculum for Excellence in Teacher Education Vol 2, No 9. India.



This post test was performed to test the student’s level after given by treatment, both for experimental and control class. From the 1487



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 Barba, R. H., Valerie O. P., and Rafaela S. C., (1993). User-friendly text, Journal Textbook Analysis, 60: 14-17. Craggs, C. E., (2002). Media Education in the Primary School. Taylor & Francis eLibrary. New York. Harish, Bala. (2011). Challenges of Higher Education in 21st Century Vol 2, No 6. India. Justina, S. and Muchtaridi., (2009), Chemistry for Senior High School, Yudistira: Jakarta. Mahajan, Gourav. 2011. Multimedia in Teacher Education: Perceptions & Uses Vol 3, No 1. India. Munadi, Y., (2008). Media Pembelajaran. Gaung Persada Press. Jakarta. Nadu, Tamil. (2011). Attitude of Teachers’ of Higher Education towards e-Learning Vol 2,No 4. India. Nyenwe, Joy. (2012). Integration of Information and Communication Technology (ICT) in Teacher Education for Capacity Building Vol 3, No 10. Port Harcourt Rivers State. Oden N, Sarah. (2012). Optimizing Students’ Performance in English through Quality Teacher Education Vol 3, No.9. Nigeria.



Quitadamo, Ian J., Brahler, C. Jayne, Crouch, Gregory J. (2009). Peer-Led Team Learning: A Prospective Method for Increasing Critical Thinking in Undergraduate Science Courses, Journal of Science Educator Vol. 18, No. 1: (29-39). Rosyid, M., (2010), PENGERTIAN, FUNGSI, DAN TUJUAN PENULISAN MODUL, http://www.rosyid.info/2010/06/pengertianfungsi-dantujuanpenulisan.html Saleem, Afshan. 2011. Higher Education and Society Vol 2, No 8. Pakistan. Senapati , Pritimayee. 2012. Role of Medium of Instruction on the Development of Cognitive Processes Vol 3, No 3. India. Silberman, ML. (2007). Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Nuansa Nusamedia. Bandung. Silitonga, PM. (2011). Metodologi Penelitian, FMIPA Unimed. Medan. Situmorang, M., (2010). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Untuk Mata Pelajaran Kimia. Unimed. Medan. Zaini. H, Munthe. B, dan Ayu.AS,.(2008). Strategi Pembelajaran Aktif. CTSD. Yogyakarta.



1488



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



ANALISIS KANDUNGAN BEBERAPA ION PADA AIR SUNGAI DI KOTA PADANG MENGGUNAKAN HIGH ION CHROMATOGRAPHY (HIC) Budhi Oktavia1), Edi Nasra2), Hary Sanjaya3), Emil Febrianto4), Adek Sudtri Yunanda5) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Padang email: [email protected], [email protected], [email protected], 4 [email protected], [email protected] Abstract The content of ions in the water is one of the reference water quality. That requires a method that could test the ion content continuously with a high degree of accuracy. The river water is the source of water used for drinking, irrigation and industry, so it is necessary to continuously analyzes. In this study we analyzed the content of cations and anions such as sodium (Na +), magnesium (Mg2+), calcium (Ca2+), chloride (Cl-), bromine (Br-), and sulfate (SO42-) were performed by varying the eluent , eluent concentration and concentration of ions, as well as the measurement is done by HIC. These cations and anions that are often found in fresh water, that cause of the decline in water quality as pollutant such as pesticides, detergents and hardness in high concentrations. This research has been applied to determine the content of these ions in the river water in the Padang city. These results indicate that the eluent 5 mM oxalic acid as the mobile phase to determine cations and 4 mM sodium benzoate as the mobile phase for anions. The results showed that the concentration of sodium = 2,95 ppm, magnesium = 5,22 ppm, calcium = 58,40 ppm, chloride = 1,01 ppm, sulfate = 17,3 ppm and for bromide was not detected in sample river water. Keywords: High Ion Chromatography, Cations, Anions, River Water of Padang City



hanya 2,75 %. Hal ini menunjukan bahwa air yang digunakan oleh manusia untuk keperluan domestik, irigasi, industri, dan sebagainya, serta oleh tumbuh-tumbuhan dan hewanhewan darat hanya tersedia dalam porsi yang kecil dari seluruh total air yang ada (1). Namun jumlah air tawar yang kecil ini dapat mengalami pencemaran yang luar biasa yang dapat merusak kualitas air tersebut. Pencemaran perairan dapat berasal dari penggunaan pestisida, deterjen, shampoo, dan lain-lain yang dibuang keperairan. Bahanbahan tersebut didalam air dapat terurai menjadi anion-anion seperti Cl-, Br-, I-, SO42-, SO32-, PO43-, Cr2O42-, BO2-, CO32-, C2O42-, AsO43-, NO3-, NO2-,C2H3O2-, dan lain-lain. Keberadaan anion yang melewati nilai ambang batas (NAB) di perairan dapat menyebabkan pencemaran perairan. Jenis anion yang umum dijumpai dalam air tawar adalah klorida, bromida dan sulfat. Selain anion, beberapa kation dengan kadar yang melebihi ambang batas juga dapat menyebabkan pencemaran pada air tawar. Pada air tawar, kation yang sering ditemukan adalah kalsium, magnesium dan natrium pada konsentrasi tinggi. Kalsium adalah unsur kimia yang memegang peranan penting dalam



1. PENDAHULUAN Air merupakan kebutuhan utama bagi makhluk hidup, terutama manusia. Kandungan zat zat yang terlarut dalam air merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas air. Ion-ion yang terdapat dalam air dapat menjadi penentu kualitas air, apakah air tersebut dapat digunakan sebagai air minum, untuk pertanian, industri atau sudah mengalami pencemaran. Kota Padang, Sumatera Barat dilalui oleh beberapa sungai yang cukup besar seperti Batang Kuranji, Batang Arau, Batang Anai, Sungai Lubuk Minturun dengan panjang masing-masing sungai mencapai 20 km. Air sungai ini digunakan oleh warga kota Padang sebagai perikanan, pertanian, kebutuhan rumah tangga, air minum dan juga digunakan oleh industri untuk kebutuhan dalam proses indutri di pabriknya. Air yang digunakan manusia adalah air tawar yang bersumber pada air permukaan, air tanah, dan air atmosfer, yang ketersediaannya sangat ditentukan oleh air atmosfer atau sering dikenal dengan air hujan. Air di planet bumi ini seperti air asin yang merupakan bagian terbesar, yakni 97,25 % sedangkan air tawar 1489



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



banyak proses geokimia. Ion kalsium bersamasama dengan magnesium dapat menyebabkan kesadahan air. Dimana Air dengan kesadahan yang tinggi memerlukan sabun lebih banyak sebelum terbentuk busa. Sedangkan natrium secara umum terdapat dalam konsentrasi tinggi di dalam air tawar yang dapat menyebabkan penurunan kualitas air bersama dengan ion klorida (2). Untuk mengetahui kadar dari ion-ion tersebut secara terus menerus dibutuhkan satu metoda analisa yang sangat bisa terpercaya dan memberikan batas deteksi hingga konsentrasi ppm maupun ppb. Salah satu metoda yang dapat diandalkan untuk penentuan kadar ion tersebut, baik anion maupun kation adalah kromatografi penukar ion. Kromatografi adalah suatu cara pemisahan yang pertamakali diperkenalkan oleh seorang botani dari Rusia pada tahun 1903 yaitu Mikhail Semenovich Tswett (1872-1919), yang memisahkan dan mengisolasi pigmen pada daun. Sekarang ini, kromatografi telah berkembang dengan sangat pesat, dimana kromatografi adalah metoda yang umum dan terbagi dalam beberapa teknik khusus dalam pemisahan secara fisika dan kimia berdasarkan kepada perbedaan distribusi dantara fasa diam dan fasa gerak (3,4). Kromatografi ion (IC) diperkenalkan pada tahun 1975 oleh Small, Stevens dan Baumann sebagai metode analisis baru (5). Kromatografi pertukaran ion adalah bentuk kromatografi yang mendayagunakan gaya-gaya ikatan kimia dalam proses pemisahannya. Dalam pemisahannya terjadi perubahan struktural dalam molekulnya. Komponen yang dipisahkan akan tertinggal bersama dengan fase diam di dalam kolom dan penukarnya akan keluar sebagai eluat (6). Kromatografi penukar ion merupakan metoda untuk penentuan ion yang digunakan beberapa tahun belakangan ini. Hal ini sangat cocok untuk penentuan anion dan kation karena dapat mendeteksi secara simultan, biaya analisis rendah, batas deteksinya tinggi dan cepat dalam penganalisaan. Pada penelitian ini telah dilakukan optimasi metoda untuk penentuan kandungan kation natrium, magnesium dan kalsium serta anion klorida, bromida dan sulfat.



Alat-alat yang digunakan adalah 1 set peralatan HIC dengan tipe Promenence Liquid Chromatograp LC-20AD SP, peralatan gelas, batang pengaduk, pipet tetes, labu semprot, neraca analitik, ultrasonik dan kertas saring. Bahan- bahan yang digunakan adalah aquades, asam asetat (CH3COOH), asam oksalat dihidrat (H2C2O4.2H2O), asam tartarat (C4H6O6), magnesium nitrat heksa hidrat (Mg(NO3)2.6H2O), natrium karbonat (Na2CO3), kalsium nitrat dihidrat Ca(NO3)2.4H2O, nartium klorida (NaCl), Natrium Bromida (NaBr), natrium sulfat (Na2SO4), natrium karbonat (Na2CO3), natrium bikarbonat (NaHCO3), dan natrium benzoat (C7H5NaO2). B. Penentuan kondisi optimum eluen untuk analisa ion Na+, Mg2+, Ca2+ pada variasi eluen dan konsentrasi eluen Larutan standar kation diinjeksikan sebanyak 10 l ke dalam kolom penukar kation menggunakan variasi fasa gerak yaitu CH3COOH, H2C2O4 dan C4H6O6 dengan variasi konsentrasi eluen yaitu 1 mM, 2,5 mM, 5 mM, 7,5 mM, 10 mM. Laju alir eluen yaitu 1 mL/menit. Dipilih komposisi fasa gerak yang memberikan pemisahan terbaik berdasarkan waktu retensi (tR). C. Penentuan kondisi optimum eluen untuk analisa ion Cl-, Br-, SO42pada variasi eluen dan konsentrasi eluen Larutan standar anion diinjeksikan sebanyak 10 l ke dalam kolom penukar kation menggunakan variasi fasa gerak Na2CO3, C7H5NaO2, dan NaHCO3 dengan variasi konsentrasi 20 mM; 15 mM; 10 mM; 5 mM dan 2 mM. Laju alir eluen yaitu 1 mL/menit. Dipilih komposisi fasa gerak yang memberikan pemisahan terbaik berdasarkan waktu retensi (tR). D. Penentuan kadar Na +, Mg 2+, Ca2+, Cl-, Br-, dan SO42- pada sampel secara kromatografi penukar ion Kondisi terpilih kemudian digunakan pada analisis sampel air sungai. Sampel tersebut disaring terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang terkandung di dalamnya. Kemudian digetarkan dengan ultrasonik untuk menghilangkan gelembung-gelembung udara pada sampel



2. METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan 1490



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



yang nantinya dapat mengganggu kromatogram yang dihasilkan. 10 µl sampel diinjeksikan ke dalam kolom penukar kation dan dicatat waktu retensi puncak-puncak yang dihasilkan sampel. Jika puncak-puncak tersebut mempunyai waktu retensi yang kurang lebih sama dengan waktu retensi puncak larutan standar sampel simulasi, maka dapat disimpulkan bahwa pada sampel air sungai terdapat ion-ion tersebut.



dengan menggunakan HIC pada kondisi optimum yang telah di dapatkan terlihat pada gambar 2 di bawah ini.



Gambar 2: Kromatogram Na+, K+, Mg2+, Ca2+, dan Sr2+ 50 ppm dengan eluen asam oksalat 5 mM, laju alir1 mL/menit, injeksi 10 µL



3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Kondisi Optimum Dengan Menggunakan HIC 1. Variasi Fasa Gerak untuk kation Fasa gerak atau eluen merupakan salah satu komponen penting yang akan mempengaruhi kesempurnaan pada suatu pemisahan dalam kromatografi penukar ion. Maka dari itu dilakukan variasi fasa gerak untuk mencari kondisi optimum pemisahan yang baik. Fasa gerak yang divariasikan adalah asam oksalat, asam asetat, dan asam tartarat. Dimana masing- masing dari fasa gerak tersebut terdiri dari lima konsentrasi yaitu 1 mM, 2,5 mM, 5 mM, 7,5 mM, dan10 mM. Pengujian dilakukan dengan menggunakan sampel ion Na+, Mg2+, dan Ca2+ pada satu konsentrasi yaitu 50 ppm. Kromatogram yang memperlihat puncak yang tajam yakni kromatogram yang dihasilkan dengan menggunakan fasa gerak asam oksalat 5 mM dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini:



2. Variasi Fasa Gerak untuk anion Fasa gerak yang divariasikan adalah natrium karbonat, natrium bikarbonat dan natrium benzoat. Kolom yang digunakan pada HIC adalah tipe IC-A3 dari produk Shimadzu yang berisikan fasa diam berupa ammonium kuartener group. Fasa gerak yang divariasikan masing-masing terdiri dari lima konsentrasi yaitu 2 mM, 5 mM, 10 mM, 15 mM dan 20 mM. Pengujian dilakukan dengan menggunakan sampel ion Cl-, Br- dan SO42pada satu sampel pada satu konsentrasi 100 ppm. Kromatogram yang memperlihatkan puncak yang tajam dengan intensitas yang tinggi yakni kromatogram yang dihasilkan dengan menggunakan fasa gerak natrium benzoat 5 mM, dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini.



Gambar 1: Kromatogram Na+, Mg2+, Ca2+ 50 ppm dengan eluen asam oksalat 5 mM, laju alir1 mL/menit, injeksi 10 µL



Gambar 3. Kromatogram Cl-, Br-, SO42- dan NO350 ppm dengan eluen natrium benzoat 5 mM, laju alir 1 mL/menit, injeksi 10 μL



Hasil ini membuktikan pemisahan sudah sempurna dibanding 2 eluen yang lainnya, sehingga ditetapkan sebagai kondisi optimum untuk pemisahan ion Na+, Mg2+, dan Ca2+ dengan menggunakan kromatografi penukar ion. Sampel simulasi ini mengandung ion Li+, + Na , K+, Mg2+, Ca2+, dan Sr2+ yang di ukur



Namun setelah dilakukan penentuan untuk anion simulasi seperti NO3-, terdapat puncak yang berdempet antara NO3- dan SO42-. Hal ini di sebabkan karena anion NO3- dan SO42memiliki waktu retensi yang berdekatan yaitu 5,8 dan 6,1 menit. Untuk itu dilakukan kembali analisis anion Cl-, Br-, SO42- dan NO3- secara 1491



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 Gambar 5: Kromatogram sampel dengan eluen asam oksalat 5 mM, laju alir1 mL/menit, injeksi 10µL



simultan dengan cara memperkecil konsentrasi dari eluen natrium benzoat 5 mM menjadi 4 mM. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini.



Cl-



SO42-



Gambar 6. Kromatogram Sampel dengan eluen Natrium Benzoat 4 mM, laju alir 1 mL/menit, injeksi 10 μL



Gambar 4. Kromatogram Cl-, Br-, SO42- dan NO350 ppm dengan eluen natrium benzoat 4 mM, laju alir 1 mL/menit, injeksi 10 μL



Dari kromatogram pada gambar 5 dan 6 di atas dilakukan perhitungan terhadap kandungan kation dan anion berdasarkan pada larutan standar. Diperoleh kadar kation dan anion pada sungai Batang Arau pada daerah Lubuk Begalung seperti pada tabel 1 berikut ini.



Dapat dilihat pada kromatogram ini sudah memberikan hasil pemisahan yang sempurna sehingga ditetapkan sebagai kondisi optimum untuk pemisahan anion Cl-, Br-, SO42- dan NO3dengan menggunakan kromatografi penukar ion. Disana terlihat ion Cl- muncul lebih dulu pada waktu retensi 3,7 menit; ion Br- pada waktu retensi 5,5 menit; ion SO42- pada waktu retensi 7,9 menit dan ion NO3- pada waktu retensi 6,6 menit.



Tabel 1. Kadar Ion Sampel No Ion Kadar (ppm) 1 Natrium 2,95 2 Magnesium 5,22 3 Kalsium 58,40 4 Klorida 1,01 5 Bromida --6 Sulfat 17,83



B. Pengukuran sampel air sungai dengan menggunakan HIC Kondisi optimum pada penentuan kation dan anion tersebut telah diaplikasikan pada sungai Batang Arau dengan titik pengambilan sampel pada daerah aliran sungai yang melewati Lubuk Begalung. Sampel diambil pada siang hari pada tahun 2015 dengan kondisi udara cerah. Sampel ini mengalami proses penyaringan terlebih dahulu sebelum diukur dengan HIC dan di ultrasonic selama 5 menit untuk menghilangkan gelembung udara pada sampel tersebut yang nantinya akan mengganggu pada saat pengukuran. Kromatogram yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 5 dan 6 di bawah ini:



Pada tabel 1 di atas terlihat bahwa kadar kesadahan untuk sampel bisa dikatakan tingkat kesadahannya belum terlalu tinggi atau masih aman untuk masyarakat melakukan aktivitas kesehariannya. Menurut Peraturan Menteri kesehatan RI nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum menyatakan kadar maksimum kesadahan yang di perbolehkan adalah 500 mg/L(7).Sedangkan Peraturan Menteri Kesehehatan nomor 416/MEN.KES/PER/IX/1990 tentang syaratsyarat dan pengawasan kualitas air menyatakan bahwa kadar kesadahan yang di perbolehkan pada air minum, air bersih, air kolam renang adalah 500 mg/L(8). Untuk anion dapat dilihat bahwa kadar yang didapatkan masih aman dan tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Menurut Effendi(9) menyatakan bahwa kadar



1492



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Cl- di air tawar sekitar 8,3 mg/L dan sulfat berkisar dibawah 250 mg/L.



5. REFERENSI 1. Amdani, Khairul. 2001. Sumber Daya Air Tawar. Jurnal Pendidikan Science. Medan. 2. Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Universitas Negeri Jakarta 3. P. A. Williams, M. J. Hudson. 1987. Recent Developments in Ion Exchange, Elsevier, London, New York 4. T. I. Williams. 1948. An Introduction to Chromatography, Blackie & Son Ltd., London, Glasgow 5. J. Weiss, Ion Chromatography. 1995. 2nd ed., VCH, Weinheim, New York, Basel, Cambridge, Tokyo 6. Wonorahardjo, S. 2013. Metode-Metode Pemisahan Kimia. Jakarta: Akademia Permata 7. Depkes RI. 2010. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Jakarta 8. Depkes RI. 2010. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MEN.KES/PER/IX/1990 Tentang Syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas Air. Jakarta 9. Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisus, Yogyakarta



4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Kondisi optimum yang diperoleh dari variasi eluen adalah natrium benzoat 4 mM untuk analisa anion dan variasi eluen adalah asam oksalat 5 mM untuk analisa kation masing-masing dengan laju alir 1 mL/menit dan volume injeksi sampel 10 µL. 2. Aplikasi pada sungai Batang Arau diperoleh kadar natrium 2,95 ppm, magnesium 5,22 ppm, kalsium 58,40 ppm, klorida 1,01 ppm, 17,83 ppm dan bromida tidak terdeteksi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar ion yang dianalisa masih dibawah ambang batas pencemaran air.



1493



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



ISOLASI DAN UJI ANTIOKSIDAN SENYAWA KUMARIN DAN FLAVONOID DARI TANAMAN Fagraea ceilanica Thunb. Bustanul Arifin1) , Afrizal Itam, Norman Ferdinal, Rian Wahyu, Rizki Alfajri Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas Universitas Andalas, Padang 25613 e-mail: [email protected] HP: 08126752199 Abstract Isolation coumarin compounds of Fagraea ceilanica Thunb leaves and flavonoid compounds from the bark Fagraea ceilanica Thunb has been done by maceration method using n-hexane, ethyl acetate and methanol. At the ethyl acetate extract was carried out using a chromatography column eluent n-hexane and ethyl acetate in a polar-rise. Compounds isolated from leaves in the form of a white solid, melting point 140-1410C. Ultraviolet spectra were obtained absorption at a wavelength of 227 and 311 nm. While the infrared spectrum showed the presence of substituents OH, C = O, C = C and C-H. The antioxidant activity was very weak with IC50 value of 4098 mg / L.. While the compounds isolated from the bark in the form of yellow colored crystals, melting point 205-2070C. Ultraviolet spectra were obtained absorption at a wavelength of 288; 296; 344 nm. While the infrared spectrum showed the presence of substituents OH, C = O, C = C, C-O and C-H. The antioxidant activity was relatively weak with IC50 values of 358 mg / L. Keywords: Fagraea ceilanica, kumarin, flavonid, antioksidan Abstrak Isolasi senyawa kumarin dari daun Fagraea ceilanica Thunb dan senyawa flavonoid dari kulit batang Fagraea ceilanica Thunb telah dilakukan dengan metoda maserasi menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat dan metanol. Ekstrak etil asetat dilakukan kolom kromatografi menggunakan eluen n-heksana dan etil asetat dengan kepolaran bertingkat. Senyawa hasil isolasi dari daun berupa padat bewarna putih, titik leleh 140-1410C. Spektrum ultra violet diperoleh serapan pada panjang gelombang 227 dan 311 nm. Sedangkan spektrum inframerah menunjukan adanya subtituen –OH, C=O, C=C, dan C-H. Aktfitas antioksidan sangat lemah dengan nilai IC50 sebesar 4098 mg/L. Sedangkan senyawa hasil isolasi dari kulit batang berupa kristal bewarna kuning, titik leleh 205-2070C. Spektrum ultra violet diperoleh serapan pada panjang gelombang 288; 296; 344 nm. Sedangkan spektrum inframerah menunjukan adanya subtituen –OH, C=O, C=C, C-O dan C-H. Aktfitas antioksidan tergolong lemah dengan nilai IC50 sebesar 358 mg/L. Kata kunci: Fagraea ceilanica, kumarin, flavonid dan antioksidan



penelitian terhadap famili Gentianceae dan genus Fagraea, telah dilaporkan kandungan berbagai senyawa metabolit sekunder seperti fagraldehid5, gentisin, orientin6, fagraeoside7, dan eudesmin8. Bioaktifitas metabolit sekunder dari famili dan genus ini yang telah dilaporkan diantaranya antiinflamasi6, aktifitas hipoglikemik9, antiplasmodium5, dan antibakteri6. Salah satu spesies dari genus Fagraea adalah Fagraea ceilanica Thunb., namun laporan mengenai metabolit sekundernya masih sangat minim sehingga perlu dilakukan penelitian terkait pada spesies ini.



1. PENDAHULUAN Penggunaan bahan alam sebagai obat maupun tujuan lain cenderung meningkat. Tumbuhan obat yang dikenal dengan obat tradisional sudah banyak digunakan masyarakat dalam upaya pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Disamping itu banyak anggapan bahwa penggunaan tumbuhan obat relatif lebih aman dibandingkan dengan obat sintetis. Walaupun demikian bukan berarti tumbuhan obat tidak memiliki efek samping yang merugikan bila penggunaannya belum tepat.1 Genus Fagraea (Gentianaceae) telah banyak digunakan secara tradisional sebagai obat-obatan dan parfum. Tumbuhan ini tersebar luas seperti di India, Asia Tenggara, China Selatan, Australia Utara serta di Kepulauan Pasifik.2,3,4. Dari beberapa



2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat distilasi, rotary evaporator (Heidolph Laborota 4000), melting point appa1494



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



ratus (Electrothermal MEL-TEMP), neraca analitik (KERN), spektroskopi ultraviolet dan sinar tampak (Shimadzu PharmaSpec UV1700), spektroskopi inframerah FTIR (Thermo Scientific Nicolet iS10), lampu UV (λ = 254 dan 356 nm), plat KLT (silica gel 60 F 254) dan kolom kromatografi. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: metanol, n-heksan, etil asetat, aseton, kloroform, asam klorida, logam magnesium, silika gel, asam sulfat, natrium hidroksida, ammonia, asam borat dan asam sitrat.



dengan kromatografi kertas preparatif menggunakan eluen n-butanol : asam asetat : air (4:1:5). Hasil isolasi senyawa yang didapatkan dilakukan karakterisasi untuk mengetahui strukturnya (T.J. Mabry, at. al, 1970). Sedangkan hasil kolom kromatografi fraksi etil asetat dari kulit batang dimurnikan dengan cara rekristalisasi. Kemudian senyawa hasil isolasi dilakukan karamterisasi. 2.2.4 Karakterisasi Senyawa hasil isolasi dikarakterisasi secara kimia dan spektroskopi. Karakterisasi secara kimia yang dilakukan meliputi uji kumarin dengan natrium hidroksida 10%10,11. Sedangkan untuk flavonoid dilakukan logam magnesium dan asam klorida. Karakterisasi secara spektroskopi yang dilakukan yaitu spektoskopi UV/Vis, spektroskopi IR dan alat uji titik leleh.



2.2. Prosedur Penelitian 2.2.1 Uji profil fitokimia sampel Sampel uji yang digunakan yaitu daun segar dan kulit batang Fagraea ceilanica Thunb. Pengujian yang dilakukan diantaranya uji flavonoid dengan shinoda tes, triterpenoid dan steroid dengan reagen Liebermann-Burchard, alkaloid dengan pereaksi Meyer, dan uji kumarin dengan natrium hidroksida/UV.



2.2.5 Pengujian aktifitas antioksidan Pengujian aktifitas antioksidan dilakukan dengan metode antiradikal bebas DPPH15,16, terhadap fraksi n-heksan, etil asetat, metanolair serta senyawa hasil isolasi. Larutan DPPH 50 µg/mL dibuat dengan cara melarutkan 2,5 mg DPPH dalam labu ukur dengan metanol hingga volume 50 mL. Sebanyak 10 mg ekstrak masing-masing fraksi dilarutkan dengan metanol hingga volume 10 mL, sehingga diperoleh larutan induk sampel uji 1000 µg/mL. Dari larutan induk dibuat larutan uji dengan konsentrasi 150, 250, 350, 450, 550, dan 650 µg/mL. Untuk senyawa hasil isolasi dibuat larutan uji dengan konsentrasi 40, 80, 120, 160 dan 200 µg/mL. Disiapkan juga larutan asam askorbat sebagai pembanding. Sebanyak 1 mg asam askorbat dilarutkan dengan metanol hingga volume 100 mL sehingga didapatkan larutan induk asam askorbat 10 µg/mL. Dari larutan induk kemudian dibuat larutan uji dengan konsentrasi 0,5; 2; 3,5; 5 dan 6,5 µg/mL. Sebagai larutan kontrol pada pengujian ini adalah metanol. Kontrol dan masing-masing larutan uji diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2,5 mL DPPH dan didiamkan selama 30 menit dan campuran dihindarkan dari cahaya. Setelah itu diukur absorbansi larutan campuran pada panjang gelombang 516 nm. Dari nilai absorbansi kemudian ditentukan persen inhibisi dan IC50.



2.2.2 Ekstraksi dan fraksinasi Sebanyak 1000 gram sampel kering diekstrak dengan menggunakan metode maserasi mengggunakan pelarut metanol. Proses maserasi dilakukan selama 3 hari pada suhu ruang. Hasil maserasi disaring dan filtrat dipekatkan dengan rotary evaporator. Maserasi dilakukan beberapa kali hingga pelarut tidak berwarna lagi, dan dilanjutkan dengan proses fraksinasi. Sebanyak 200 gram ekstrak pekat metanol dilarutkan dalam air dan difraksinasi dengan pelarut n-heksan dan etil asetat. Dari proses fraksinasi didapatkan tiga fraksi yaitu fraksi heksan, etil asetat dan metanol-air. 2.2.3 Kromatografi kolom Sebanyak 10 g fraksi etil asetat dilakukan kolom kromatografi dengan menggunakan eluen n-heksan dan etil asetat menggunakan sistem step gradien polarity (SGP). Hasil kolom kromatografi dilakukan kromatografi lapisan tipis (KLT) dengan pengungkap noda uap iodium. Untuk fraksi yang mempunyai pola noda dan harga Rf yang sama digabung menjadi satu fraksi dan selanjutnya dipekatkan dengan rotari evaporator. Hasil kolom kromatografi terhadai fraksi etil asetat dari daun dilakukan uji flavonoid dan dilakukan kromatografi kertas untuk menentukan adanya senyawa flavonoid. Fraksi yang positif terhadap uji flavonoid dimurnikan



3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1495



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



3.1 Profil fitokimia sampel Hasil pengujian diketahui bahwa kulit batang Fagraea ceilanica Thunb. mengandung senyawa kumarain dan daun Fagraea ceilanica Thunb. mengandung senyawa flavonoid.



asetat (5:5) dan 0,82 dengan eluen n-heksan : aseton (3:7). 3.4 Karakterisasi dan analisis senyawa hasil isolasi 1. Daun Fagraea ceilanica Thunb. Hasil karakterisasi secara kimia senyawa hasil isolasi dengan berbagai reagen menunjukan bahwa senyawa tersebut merupakan senyawa fenolik golongan kumarin. Titik leleh senyawa hasil isolasi berada pada rentang 140,7-140,9oC. Pada spektrum UV yang didapatkan, serapan maksimum senyawa hasil isolasi muncul pada panjang gelombang 211,0; 227,6 dan 311,2 nm. Pola spektrum senyawa hasil isolasi memiliki kemiripan dengan pola spektrum senyawa pinnarin13. Pada spektrum inframerah senyawa hasil isolasi yang didapatkan, bisa diamati beberapa pita serapan penting yang terdapat pada senyawa hasil isolasi. Pita serapan pada angka gelombang 3378 cm-1 mengindikasikan adanya gugus OH, 1685 cm-1 mengindikasikan adanya C=O dan serapan pada 1600 cm-1 mengindikasikan adanya C=C pada sistim aromatis. Pita serapan pada angka gelombang 1433 cm-1 mengindikasikan adanya C-H. Pita serapan di pada 1100-1300 cm-1 mengindikasikan adanya gugus ester. Adanya pita serapan penting senyawa kumarin seperti serapan gugus ester, C=C aromatis dan gugus karbonil semakin mempertegas kesimpulan bahwa senyawa hasil isolasi merupakan golongan kumarin.



3.2 Ekstraksi dan fraksinasi 1. Daun Fagraea ceilanica Thunb. Dari proses fraksinasi ekstrak metanol didapatkan fraksi n-heksan sebanyak 26,2 gram (rendemen 13,1%), fraksi etil asetat sebanyak 12,6 gram (rendemen 6,3%), dan fraksi metanol-air sebanyak 160,4 gram (rendemen 80,2%). 2. Kulit batang Fagraea ceilanica Thunb. Dari proses fraksinasi ekstrak metanol didapatkan fraksi n-heksan sebanyak 15,8 gram (rendemen 2,63%), fraksi etil asetat sebanyak 23,4 gram (rendemen 3,90%), dan fraksi metanol-air sebanyak 12,4 gram (rendemen 2,06%). 3.3 Isolasi senyawa metabolit sekunder 1. Daun Fagraea ceilanica Thunb. Kromatografi kolom dari fraksi etil asetat diperoleh hasil sebanyak 380 vial. Setelah dikelompokan berdasarkan pola noda yang sama pada plat KLT dengan eluen nheksan:etil asetat (6:4) diperoleh fraksi A sampai O. Fraksi yang dimurnikan lebih lanjut yaitu fraksi B dengan jalan dekantasi. Fraksi B dipilih karena merupakan fraksi dengan jumlah yang memadai untuk dimurnikan lebih lanjut dan memiliki pola noda yang paling sederhana dibanding fraksi lainnya. Senyawa hasil isolasi yang diperoleh berupa kristal jarum berwarna putih dengan nilai Rf 0,62 dengan eluen nheksan : etil asetat (7:3), 0,90 dengan eluen nheksan : etil asetat (5:5) dan 0,20 dengan eluen n-heksan:aseton (8:2). 2. Kulit Batang Fagraea ceilanica Thunb. Kromatografi kolom dari fraksi etil asetat diperoleh hasil sebanyak 436 vial. Setelah dikelompokan berdasarkan pola noda yang sama pada plat KLT dengan eluen n-heksan: etil asetat (6:4) diperoleh fraksi A sampai M. Fraksi yang dimurnikan lebih lanjut yaitu fraksi H dengan jalan dekantasi. Fraksi H dipilih karena merupakan fraksi dengan jumlah yang memadai untuk dimurnikan lebih lanjut dan memiliki pola noda yang paling sederhana dibanding fraksi lainnya. Senyawa hasil isolasi yang diperoleh berupa kristal kuning dengan nilai Rf 0,42 dengan eluen n-heksan : etil asetat (7:3); 0,62 dengan eluen n-heksan : etil



2. Kulit batang Fagraea ceilanica Thunb. Sedangkan senyawa hasil isolasi dari kulit batang berupa kristal bewarna kuning, titik leleh 205-2070C. Spektrum ultra violet diperoleh serapan pada panjang gelombang 288; 296; 344 nm. Sedangkan spektrum inframerah menunjukkan adanya subtituen OH pada angka gelombang 3318 cm-1, C=O pada 1698 cm-1, C=C pada 1602 cm-1, C-O pada 1026 cm-1 dan C-H pada 1446 cm-1. 3.5 Pengujian aktivitas antioksidan Uji antioksidan dilakukan terhadap fraksi nheksan, etil asetat, air serta senyawa hasil isolasi dan digunakan asam askorbat sebagai pembanding. Hasil uji antioksidan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.



1496



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 2. Motley T.J., 2004, The ethnobotany of Fagraea Thunb. (Gentianaceae) : The timber of Malesia and the scent of Polynesia, Economic Botany, 58(3):396-409. 3. Majumdar K., Datta B.K., Shankar U., 2012, Ten new additions of tree species to the flora of Tripure state, North East India : Distributional range extension and geographic map, NeBio, 3(1):17-24. 4. Weaver R.E, Anderson P.J., 2007, Botany section, TRI-OLOGY, 46(2). 5. Jonville M-C., Capel M., Fre´de´rich M., Angenot L., Dive G., Faure R., Azas N., Ollivier E., 2008, Fagraldehyde, a secoiridoid isolated from Fagraea fragrans, Journal of natural products, 71(12):2038-2040. 6. Jensen S.R., Schripsema J., 2002, Chemotaxonomy and pharmacology of Gentianaceae. In: Gentianaceae : Systematics and natural history, Cambridge University press, hal 199-201. 7. Suciati., Lambert L.K., Ross B.P., Deseo M.A., Garson M.J., 2011, Phytochemical study of Fagraea spp. uncovers a new terpene alkaloid with anti-inflammatory properties, Australian journal of chemistry, 64:489-494. 8. Kaikaew K., Mahabusarakam W., 2010, Furofuran lignans from the stem bark of Fagraea fragrans Roxb. Proceedings of 7th IMT-GT UNINET and the 3rd International PSU-UNS Conferences on Bioscience, Prince of Songkla University, Thailand. 9. Singh A., 2008, Phytochemicals of Gentianaceae : A review of pharmacological properties, International journal of pharmaceutical sciences and nanotechnology, 1(1):33-36. 10. Wagner H., Bladt S., 2001, Plant drug analysis : A thin layer chromatography atlas, 2nd ed., Springer, hal 358-364. 11. Waksmundzka-Hajnos M., Sherma J., Kowalska T., 2008, Thin layer chromatography in phytochemistry, CRC press, hal 185-189. 12. Jork H., Werner F., Fischer W., Wimmer H., 1994, Thin-layer chromatography : Reagents and detection methods, VCH verlagsgesellschaft, hal 214 dan 446. 13. Murray R.D.H., Mendez J., Brown S.A., 1982, The Natural Coumarins : Occurrence, chemistry and Biochemistry, John wiley and Sons, hal 28. 14. Spangenberg B., Poole C.F., Weins C., 2011, Quantitative thin-layer chromatography : A practical survey, Springer, hal 189. 15. Enujiugha V.N., Talabi J.Y., Malomo S.A., Olagunju A.I., 2012, DPPH radical scavenging capacity of phenolic extracts from African yam beam (Sphenostylis stenocarpa), Food and nutrition sciences, 3:7-13. 16. Kumar H.N.K., Navyashree S.N., Rakshitha H.R., Chauhan J.B., 2012, Studies on the free radical scavenging activity of Syagrus romanzoffiana, International journal of pharmaceutical and biomedical research, 3(2):81-84.



Tabel 1. Hasil uji antioksidan masing-masing fraksi dan senyawa hasil isolasi No.



Sampel Uji



1. 2. 3. 4. 5.



Fraksi n-heksan Fraksi etil asetat Fraksi Air Senyawa isolasi Asam askorbat



IC50 (µg/mL) Daun Kulit Batang 864,24 6490,78 353,29 175,68 430,22 118,76 4098,00 358,71 5,56



Tinggi rendahnya aktifitas antioksidan suatu senyawa dapat dilihat dari nilai IC50. Semakin rendah nilainya maka semakin baik aktifitas antioksidan senyawa tersebut. Dari hasil perhitungan IC50 yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa fraksi etil asetat memiliki aktifitas antioksidan paling baik diantara ketiga fraksi tersebut, ditunjukan dengan nilai IC50 paling rendah jika dibandingkan dengan fraksi lainnya. Jika dibandingkan dengan asam askorbat, nilai IC50 ketiga fraksi jauh lebih besar, maka dapat disimpulkan bahwa aktifitas antioksidan ketiga fraksi kurang aktif dibanding asam askorbat. Walaupun berasal dari fraksi etil asetat, senyawa hasil isolasi menun-jukan nilai IC50 yang jauh lebih besar dari pada fraksi tersebut. Dapat disimpulkan bahwa senyawa hasil isolasi bukanlah senyawa yang aktif sebagai antioksidan pada fraksi etil asetat tersebut. 4. KESIMPULAN Senyawa hasil isolasi termasuk kedalam golongan kumarin dengan titik leleh 140,7140,90C. Senyawa ini memiliki gugus –OH, stretching C=O, stretching C=C aromatis, bending C-H pada bidang, gugus ester dan gugus nitril (-C≡N). Senyawa ini kurang aktif sebagai antioksidan dengan nilai IC50 didapatkan sebesar 4098 µg/mL. Sedangkan senyawa hasil isolasi dari kulit batang berupa kristal kuning, titik leleh 205-2070C. Spektrum ultra violet diperoleh serapan pada panjang gelombang 288; 296; 344 nm. Sedangkan spektrum inframerah menunjukan adanya subtituen –OH, C=O, C=C, C-O dan C-H. Aktfitas antioksidan tergolong lemah dengan nilai IC50 sebesar 358 mg/L. REFERENSI 1. Daniel, 2010, Isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid pada fraksi etil asetat dari daun tumbuhan sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav), Mulawarman Scientifie, 9(2):17-26.



1497



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



SINTESIS HIDROKSIAPATIT BERPORI DARI CANGKANG KEONG SAWAH (Bellamya javanica) DENGAN POROGEN POLIVINIL ALKOHOL DAN PATI SINGKONG Charlena 1), Irma Herawati Suparto2), Kartika Ayu Kusumawardhani 1 FMIPA Institut Pertanian Bogor email: [email protected] 2 FMIPA Institut Pertanian Bogor email: [email protected]



Abstract Hydroxyapatite (HAp) (Ca10(PO4)6(OH)2) is a bioceramicswithchemical composition similar to bone tissue. The purpose of this study was to synthesize porous HAp from snail shell as a calcium sourceby using polyvinyl alcohol and starch as porogen agents. The method used was wet method (precipitation) by reacting Ca(OH)2 and H3PO4 85% at 40 oC and pH 10. Synthesis of theporous HAp was carried out by adding PVA and starch as porogen with the ratio of 10%:20%, 15%:15%, 20%:10%. Spectrum of X-ray diffraction showed that HAp is the dominant phase. In addition, there were alsoother HAp phase such as Ca10(PO4)6CO3 and Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2. Scanning electron microscope analysis showed that the best HAp was obtained from porogen PVA and starch at 10%:20% ratio with maximum pore size was 7.2 m. Analysis of functional groups by using Fourier transform infrared spectrum showing OH-, PO43-, and CO32- functional groups at HAp without porogen and that with PVA:starch (10%:20%). Keywords: cassava starch, hydroxyapatite, polyvinyl alcohol, porogen. dalam siput air tawar. Berdasarkan penelitian Winata (2012), kandungan kalsium pada cangkang keong sebesar 52%. Oleh sebab itu, cangkang keong dapat digunakan sebagai sumber kalsium dalam sintesis HAp. Penelitian tentang HAp kini dikembangkan untuk biokeramik HAp dengan morfologi berpori. Pori-pori pada HAp akan menjadi kantung oksigen dan tempat tumbuhnya saraf dari tulang, sehingga pori tersebut menjadi tempat tumbuhnya sel–sel tulang baru. Pengendalian ukuran pori perlu dilakukan agar didapat HAp dengan ukuran pori dankekuatan mekanis sesuai dengan kebutuhan (Purwamargapratala 2011). Pembentukan HAp berpori dapat dilakukan menggunakan bahan porogen yang akan menghilang selama proses sintering. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai porogen antara lain: parafin, naftalena, pati atau beberapa polimer (Sopyan et al. 2007). Bahan porogen yang digunakan pada penelitian ini, yaitu PVA dan pati. Polivinil alkohol bersifat nontoksik dan larut dalam air, sehingga banyak digunakan diberbagai bidang, antara lain bidang medis dan farmasi (Mutia dan Eriningsih 2012). Pati mampu membentuk



1. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi yang semakin maju mendorong berkembangnya riset mengenai implan. Pada berbagai kasus kerusakan tulang (bone deffect) seperti periodontitis, kanker tulang, dan lain sebagainya, graft tulang sering digunakan sebagai pengganti tulang yang rusak. Hidroksiapatit (HAp) merupakan senyawa mineral dan bagian dari kelompok mineral apatit sebagai suatu bahan keramik yang memiliki kesamaan komposisi kimia dengan jaringan tulang (Bahrololoom et al. 2009). Hidroksiapatit memiliki rumus molekul Ca10(PO4)6(OH)2 dengan rasio Ca/P sekitar 1.67. Hidroksiapatit telah secara luas digunakan untuk menambahkan, memperbaiki, mengisi, dan merekonstruksi ulang jaringan tulang yang telah rusak dan juga dalam jaringan lunak. Hidroksiapatit dapat disintesis dari beberapa sumber yang ada di alam sepertikulit kerang, batu koral, tulang mamalia, ataupun cangkang telur (Suryadi 2011). Sumber yang digunakan pada penelitian ini berasal dari kulit kerang, yaitu cangkang keong sawah (Bellamya javanica) yang termasuk 1498



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



pori-pori kecil berukuran mikrometer dalam HAp (Lei et al. 2005). Sumber pati baik digunakan untuk aplikasi biomedis karena memiliki sifat biodegradabel, biokompatibel, dapat larut dalam air, dan harganya murah (Sadjadi et al. 2010). Hidroksipatit dapat disintesis dengan metode kering dan basah. Metode basah yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah metode pengendapan. Hal ini karena dengan teknik ini dapat disintesis HAp dalam jumlah besar tanpa menggunakan pelarut-pelarut organik dan juga dengan biaya yang tidak begitu mahal (Suryadi 2011). Berdasarkan hasil morfologi mikroskop elektron payaran (SEM) pada penelitian Trianita (2012), ukuran pori dari variasi konsentrasi HAp-PVA 10%, 15%, dan 20% berada pada rentang 0.26-2.89 μm, hasil yang diperoleh dari HAp-pati dengan variasi konsentrasi yang sama menghasilkan ukuran yang mirip.Ukuran pori yang dihasilkan masih kurang dari 100 m. Menurut Sopyan et al. (2007), ukuran pori minimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan pada jaringan tulang sekitar 100-150 m pada makropori. Untuk memperbaiki ukuran pori pada penelitian sebelumnya, maka dilakukan sintesis HApPVA-pati agar diperoleh ukuran pori yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan menyintesis HAp berpori dari cangkang keong sawah dengan pencampuran porogen polivinil alkohol dan pati singkong dengan nisbah 10%: 20%, 15%: 15%, dan 20%: 10% agar didapatkan HAp dengan ukuran pori yang diharapkan. Kemudian dilakukan pencirian menggunakan difraksi sinar-X, SEM, dan spektrofotometer inframerah transformasi fourier. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dibidang biomedis.



dengan proses tersebut, dilakukan pengadukan menggunakan pengaduk magnetikpada suhu 40 ˚C.Larutan NaOH 1M ditambahkan untuk mengontrol nilai pH agar didapat nilai pH 10. Larutan didiamkan pada suhu kamar selama 24 jam,kemudiandisentrifus dan divakum. Endapan yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C sampai endapan menjadi kering. Selanjutnya, dipanaskan dalam tanur pada suhu 1100 ˚C selama 5 jam. Sintesis Hidroksiapatit dengan Porogen(Modifikasi Trianita 2012 dan Poursamar et al. 2011) Serbuk Ca(OH)2 (hasil kalsinasi cangkang keong sawah) sebanyak 3.7000 g dilarutkan dalam 25 mL etanol 96 %. Larutan H3PO4 85 % sebanyak 1.5 mL dilarutkan dalam 25 mL etanol 96 %. Larutan H3PO4 85% dimasukkan dalam buret, dan larutan Ca(OH)2 berada dalam gelas piala. Proses pencampuran kedua larutan tersebut dilakukan dengan cara larutan H3PO4 85% diteteskan pada larutan Ca(OH)2. Bersamaan dengan proses tersebut, dilakukan pengadukan menggunakan pengaduk magnetik pada suhu 40 °C. Larutan NaOH 1M ditambahkan untuk mengontrol nilai pH. Kontrol pH yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu pada pH 10. Proses selanjutnya ditambahkan larutan PVA dan pati dengan nisbah konsentrasi10%:20%, 15%:15%, dan 20%:10%. Larutan PVA maupun pati diteteskan secara perlahan-lahan dan dihomogenisasikan menggunakan pengaduk magnetik pada suhu 40 ˚C. Larutan didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar. Kemudian disentrifus dan divakum. Endapan yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada suhu 100 ˚C. Proses selanjutnya endapan dipanaskan dalam tanur pada suhu 1100 ˚C selama 5 jam.



2. METODE PENELITIAN



Penentuan Pola Difraksi dan Kristalinitas HAp dengan XRD Sampel sebanyak 200 mg ditempatkan pada suatu spesimen holder yang diletakkan pada guaniometer dan dirotasikan pada sudut kalibrasi (2θ) tertentu. Hasil yang diperoleh berupa suatu difraktogram yang menunjukkan fase yang terdapat dalam sampel. Data Joint Committee on Powder Diffraction Standards (JCPDS) digunakan sebagai pembanding untuk mengetahui fase yang terkandung dalam HAp.



Sintesis Hidroksiapatit Tanpa Porogen(Modifikasi Trianita 2012 dan Poursamar et al. 2011) Serbuk cangkang kerang Ca(OH)2 hasil kalsinasi sebanyak 3.7000 g dilarutkan dalam 25 mL etanol 96 %. Laruan H3PO4 85 % sebanyak 1.5 mL dilarutkan dalam 25 mL etanol 96 %. Larutan H3PO4 85% dimasukkan pada buret dan larutan Ca(OH)2 pada gelas piala. Kedua larutan dicampurkan dengan cara larutan H3PO4 85% diteteskan secara perlahanlahan ke dalam larutan Ca(OH)2. Bersamaan 1499



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



akhir proses pembentukan HAp, akan terbentuk struktur apatit yang mengalami defisiensi kalsium dan pada tahap sintering akan mengalami dekomposisi sehingga berubah menjadi trikalsium fosfat (Wojciech dan Yoshimura 1998). Hidroksiapatit murni dapat disintesis pada pH 10, campuran -TCP dan HAp terbentuk pada pH 9, dan pada pH 8 fase yang dominan terbentuk adalah Ca2P2O7 (-TCP) (Kannan et al. 2006). Pola difraksi sinar X HAp ditunjukkan pada Gambar1.



Penentuan Struktur Morfologi dan Pori HAp dengan SEM Sampel diletakkan pada plat alumunium kemudian dilapisi dengan pelapis emas setebal 48 nm. Sampel yang telah dilapisi emas diamati menggunakan SEM dengan tegangan 20 kV dan perbesaran 1000, 1500, dan 2000. Pengukuran pori dapat dilakukan dengan membandingkan diameter pada skala foto. Penentuan Gugus Fungsi HAp dengan FTIR Sampel dibuat pelet telebih dahulu dengan mencampurkan sebanyak 2 mg dengan 100 mg KBr. Pelet dianalisis dengan jangkauan bilangan gelombang 4000-400 cm-1. Identifikasi gugus fungsi yang ada dalam HAp dapat dilakukan menggunakan FTIR. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN



Gambar 1 Pola difraksi sinar X hidroksiapatit



Hidroksiapatit, merupakan padatan kristalin yang tersusun atas kalsium dan fosfat dengan rasio Ca/P = 1,67 (Darwis dan Warastuti 2008). Sumber kalsium yang digunakan pada penelitian ini berasal dari cangkang keong sawah, sedangkan sumber fosfat yang digunakan berasal dari asam fosfat. Reaksi pembentukan HAp melibatkan reaksi antara asam (H3PO4) dan basa (Ca(OH)2) sebagai berikut :



Berdasarkan difraktogram sinar X HAp (Gambar 1), puncak tertinggi berada pada sudut 2θ 31.88 dengan intensitas 192 untuk fase HAp. Selain faseHAp (Ca10(PO4)6(OH)2) yang dominan, terdapat juga fase lain, yaitu AKA (Ca10(PO4)6CO3), dan AKB (Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2). Senyawa Ca3(PO4)2 tidak terdeteksi lagi keberadaannya pada XRD. Hal ini diduga karena pengaruh suhu pada proses sintering. Sintering merupakan proses pemanasan pada suhu tinggi dibawah titik lebur sampel. Proses sintering bertujuan untuk menghilangkan pengotor dan senyawa organik lain yang ada pada sampel. Fase AKA dibuktikan pada sudut 2θ 32.26°. Fase AKB dibuktikan pada sudut 2θ 49.54° dan 52.2°. Fase AKA dan AKB diduga karena keberadaan CaCO3 yang ada pada cangkang keong sawah hasil hidrasi, sehingga mengganggu proses pembentukan kristal apatit. Ion karbonat dapat menempati dua posisi pada struktur HAp, yaitu pada posisi pertama menggantikan OH- membentuk apatit karbonat tipe A Ca10(PO4)6CO3 (AKA) pada suhu tinggi dan posisi kedua menggantikan membentuk apatit karbonat tipe B Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2 (AKB) pada suhu rendah (Aoki 1991). Derajat kristalinitas yang diperoleh HAp adalah 82.34%.



10Ca(OH)2(aq) + 6H3PO4(aq) Ca10(PO4)6(OH)2(s) + 18H2O(l) Reaksi antara Ca(OH)2 dan H3PO4 menghasilkan produk samping berupa air. Komposisi Ca(OH)2 dan H3PO4 didapat berdasarkan perhitungan stoikiometri terhadap rasio konsentrasi Ca/P yaitu 1.67. Pada penelitian ini dilakukan sintesis HAp tanpa porogen dan dengan porogen. Porogen yang digunakan adalah polivinil alkohol (PVA) dan pati singkong dengan variasi konsentrasi. Metode yang digunakan pada penelitian ini, yaitu metode presipitasi karena murah, mudah mengontrol komposisi dan karakteristik fisik dari HAp, serta proses sintesisnya relatif lebih mudah. Metode presipitasi (pengendapan) merupakan metode yang sering digunakan dalam sintesis HAp (Pankaew et al. 2010). Reaksi pengendapan dilakukan pada suhu tidak lebih dari 100°C. Kontrol terhadap pH dilakukan agar nilai pH selalu lebih besar dari 9 karena jika kurang maka pada tahap 1500



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



dengan sudut 2θ 25.94° dan 32.26°, sedangkan fase AKB dibuktikan dengan sudut 2θ 52.16°. Penambahan porogen polivinil alkohol dan pati mampu meningkatkan kemurnian HAp, terbukti dengan berkurangnya fase selain HAp (Ca10(PO4)6(OH)2) seperti AKA (Ca10(PO4)6CO3) dan AKB (Ca10(PO4)3(CO3)3 (OH)2) pada difraktogram. Hal ini terjadi karena porogen mampu mengikat pengotor sehingga dapat mengurangi pembentukan fase lain (Trianita 2012).



Sintesis Hidroksiapatit Berpori Sintesis HAp berpori dilakukan dengan menggunakan porogen PVA dan pati singkong. Polivinil alkohol dan pati singkong dicampurkan secara bersamaan ketika proses sintesis HAp berlangsung. Porogen ini akan menghilang dan membentuk pori ketika proses sintering. Konsentrasi PVA dan pati singkong yang digunakan adalah (10%:20%), (15%:15%), (20%:10%). Total porogen yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 30%. Total porogen yang digunakan dalam pembuatan HAp harus kurang dari 30% karena jika lebih dari 30% akan membentuk komposit. Pola difraksi sinar X HAp dengan porogen PVA dan pati dengan variasi konsentrasi ditunjukkan pada Gambar 5.



Tabel 1 Derajat kristalinitas hidroksiapatit berporogen Sampel Derajat kristalinitas (%) HAp-PVA-pati 85.82% (10%:20%) HAp-PVA-pati 88.29% (15%:15%) HAp-PVA-pati 95.34% (20%:10%) Derajat kristalinitas dapat dihitung dengan cara membandingkan luas kristalin dengan jumlah luas kristalin dan luas amorf. Kristalinitas sampel berkaitan dengan keteraturan susunan atom. Semakin besar nilai kristalinitasnya maka, semakin teratur susunan atomnya. Derajat kristalinitas yang diperoleh HAp dengan porogen PVA:pati (10%:20%) adalah 85.82% (Tabel 1). Derajat kristalinitas yang diperoleh HAp dengan porogen PVA:pati (15%:15%) adalah 88.29%. Derajat kristalinitas yang diperoleh HAp dengan porogen PVA:pati (20%:10%) adalah 95.34%. Mekanisme pembentukaan pori pada Hap terjadi ketika proses sintering. Modifikasi pori dengan penambahan porogen polivinil alkohol dan pati menyebabkan ukuran pori yang terbentuk lebih besar. Porogen akan masuk kedalam pori HAp dan memodifikasi ukuran pori. Porogen akan menghilang selama proses sintering dan membentuk pori.



Gambar 2 Pola difraksi sinar X hidroksiapatit dengan porogen (a) PVA:pati (10%:20%) (b) dengan porogen PVA:pati (15%:15%) (c) dengan porogen PVA:pati (20%:10%) Berdasarkan difraktogram sinar X (Gambar 2) HAp dengan porogen PVA:pati (10%:20%), puncak tertinggi berada pada sudut 2θ 31.82 dengan intensitas 258 untuk fase HAp. Difraktogram sinar X menunjukkan bahwa fase HAp adalah fase yang dominan, selain itu juga terdapat fase AKA. Fase AKA dibuktikan pada sudut 2θ 32.22°. Puncak tertinggi dari HAp dengan porogen PVA:pati (15%:15%) berdasarkan difraktogram sinar X terdapat pada sudut 2θ 31.78° dengan intensitas 246 untuk fase HAp. Fase lain yang terbentuk adalah AKB pada sudut 2θ 32.20° dan 52.16°. Difraktogram sinar X untuk HAp dengan porogen PVA:pati (20%:10%) menunjukan fase HAp, AKA, dan AKB . Fase HAp merupakan fase yang dominan. Puncak tertinggi faseHAp berada pada sudut 2θ 31.82° dengan intensitas 216. Fase AKA dibuktikan



Pencirian Menggunakan SEM Mikroskop elektron payaran dapat digunakan untuk mengamati struktur mikroskopik dari sampel. Prinsip kerja SEM,



yaitu dengan memindai permukaan dari material. Berkas elektron yang memindai permukaan sebuah spesimen difokuskan sehingga menghasilkan sebuah gambar. Topografi dan morfologi dapat diamati menggunakan SEM karena kedalaman area 1501



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



menghasilkan pori yang lebih banyak, namun ukuran pori yang dihasilkan belum seragam. Hidroksiapatit yang dihasilkan juga memiliki permukaan yang kasar, tidak merata, dan berongga. Hidroksiapatit tanpa porogen memiliki ukuran pori yang lebih kecil bila dibandingkan HAp dengan penambahan porogen hal ini dikarenakan porogen akan terjebak di dalam HAp, kemudian porogen menghilang dan membentuk pori ketika proses sintering (Abdurahim dan Sopyan 2008). Nisbah konsentrasi porogen yang digunakan pada penelitian ini, yaitu PVA: pati (10%:20%), PVA:pati (15%:15%), PVA:pati (20%:10%).Ukuran pori yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian untuk HAp dengan porogen PVA:pati (10%:20%) berada pada rentang 1.9-7.2 μm dengan ukuran pori maksimum 7.2 μm menggunakan perbesaran 1000×. Ukuran pori untuk HAp dengan porogen PVA:pati (15%:15%) berada pada rentang 1.7-5.3 μm dengan ukuran pori maksimum 5.3 μm menggunakan perbesaran 1500×. Ukuran pori untuk HAp dengan porogen PVA:pati (20%:10%) berada pada rentang 2-4.2 μm dengan ukuran pori maksimum 4.2 μm menggunakan perbesaran 2000×. Berdasarkan penelitian Trianita (2012), ukuran pori yang terbentuk dari variasi konsentrasi PVA 10%, 15%, dan 20% dan pati 10%, 15%, dan 20% berada antara rentang 0.26-2.89 μm. Ukuran pori maksimum 2.89 μm dengan penambahan PVA 15% dan 2.81 μm dengan penambahan pati 15%. Ukuran pori yang diperoleh dengan penambahan PVA:pati(10%:20%) lebih besar dibanding PVA:pati (15%:15%), serta pati (20%:10%).Ukuran granula pati singkong berkisar 4-35 μm. Ukuran granula pati yang besar menyebabkan ukuran pori yang dibentuk juga semakin besar. Jejak pori yang besar pada saat proses sintering juga dapat dihasilkan akibat konsentrasi pati yang besar sehingga menyebabkan adanya akumulasi pati yang besar yang terjebak dalam HAp (Murphy 2000). Ukuran pori yang diperoleh dari sintesis HAp berpori menggunakan porogen PVA dan pati dengan nisbah 10%:20%, 15%:15%, dan 20%:10% masih jauh dari ukuran pori minimum yang dibutuhkan oleh jaringan tulang. Persyaratan minimum untuk ukuran pori yang dibutuhkan untuk pertumbuhan pada jaringan tulang sekitar 100-150 μm pada makropori (Sopyan et al. 2007). Ukuran pori



yang bisa mencapai orde puluhan mikrometer pada perbesaran 1000 kali dan orde mikrometer pada perbesaran 10000 kali (Suryadi 2011). Morfologi dan ukuran pori dari sampel yang diamati pada penelitian ini, yaitu HAp tanpa porogen dan menggunakan porogen PVA dan pati dengan nisbah konsentrasi yang berbeda. Hasil analisis SEM HAp tanpa porogen dan dengan porogen PVA dan pati singkong dengan berbagai variasi konsentrasi ditunjukkan pada Gambar 3. (a)



(b)



Gambar 3 Hasil analisis SEM hidroksiapatit (a) tanpa porogen perbesaran 1500× (b) menggunakan porogen PVA:pati (10%:20%) perbesaran 1000× (c) menggunakan porogen PVA:pati (15%:15%) perbesaran 1500× (d) menggunakan porogen PVA:pati (20%:10%) perbesaran 2000× Hidroksiapatit hasil sintesis tanpa penambahan porogen memiliki permukaan yang tidak merata, kasar serta bergranula. Berdasarkan hasil analisis SEM HAp tanpa penambahan porogen dengan perbesaran 1500×, ukuran pori yang diperoleh berkisar antara 0.6-1.9 m.Sintesis HAp dengan penambahan porogen PVA dan pati 1502



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



yang dihasilkan juga masih belum merata. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan penelitian Athawi (2013), ukuran pori yang diperoleh pada sintesis HAp dengan porogen pati singkong dengan konsentrasi 20% adalah 4.54-19.69 μm sedangkan ukuran pori yang diperoleh dengan konsentrasi pati 30% adalah 13.20-46.79 μm. Ukuran pori yang diperoleh jauh lebih besar bila dibandingkan dengan ukuran pori yang diperoleh pada penelitian ini, hal ini kemungkinan karena PVA menutupi pori yang terbentuk dari pati singkong, sehingga ukuran pori yang diperoleh lebih kecil. Penelitian lebih lanjut untuk hidroksiapatit berpori perlu dilakukan agar diperoleh ukuran pori yang lebih besar dan seragam. Selain itu, pengukuran diameter pori disarankan menggunakan particle size analysis (PSA) agar diperoleh hasil yang lebih akurat. Karakteristik pori sangat penting dalam tulang karena berhubungan dengan derajat pertumbuhan tulang, terutama porositas, morfologi, distribusi ukuran pori, dan orientasi pori, serta tingkat kesalingterkaitan pori. Kesalingterkaitan pori memungkinkan sirkulasi dan pertukaran cairan tubuh, penetrasi sel osteoblas, difusi ion, pasokan gizi, dan vaskularisasi (Purwamargapratala 2011).



Gambar 4 Spektrum FTIR hidroksiapatit (a) menggunakan porogen PVA dan pati (10%: 20%) (b) tanpa porogen Berdasarkan spektrum FTIR untuk HAp tanpa porogen dan dengan porogen, terdapat gugus fungsi penyusun HAp seperti gugus OHdan gugus PO43-. Intensitas serapan gugus OHpada HAp dengan porogen mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan HAp tanpa porogen, hal ini menunjukkan adanya interaksi antara gugus OH- pada PVA dan pati dengan HAp. Pada HAp tanpa porogen, pita serapan vibrasi ulur asimetri (v3) PO43-berada pada bilangan gelombang 1080.06 cm-1. Pita serapan vibrasi ulur simetri (v1) berada pada bilangan gelombang 962.41 cm-1. Pita serapan vibrasi tekuk asimetri fosfat (v4) berada pada bilangan gelombang 595.96 cm-1. Menurut Pattanayak et al. (2005) ikatan gugus fosfat dari v3dengan intensitas yang paling kuat berada pada bilangan gelombang 1000-1100 cm-1. Pita serapan PO43- dari v4 diamati pada bilangan gelombang 560-610 cm-1.Menurut Sasikumar (2006), Pita serapan PO43- dengan intensitas paling tinggi berada pada bilangan gelombang 503.21 cm-1 dan 603.72 cm-1 untuk v4, dan 1026.13 cm-1 untuk v3. Pita serapan OH-berada pada bilangan gelombang 3571.92 cm-1, 629.72 cm-1.Menurut Pattanayak et al. (2005), pita serapan gugus OH-berada pada bilangan gelombang 3400 cm1 dan 630 cm-1. Pita serapan CO32-berada pada bilangan gelombang 1447.48 cm-1.Gugus apatit karbonat berada pada bilangan gelombang 1400–1450 cm-1 (Dewi 2009). Pada HAp dengan penambahan porogen PVA dan pati (10%:20%), pita serapan PO43-berada pada bilangan gelombang 1083.92 cm-1, 961.45 cm-1 dan 589.21 cm-1. Pita serapan OH- untuk PVA dan pati (10%:20%) berada pada bilangan gelombang 3570.96 cm-1 dan 628.75 cm-1. Pada bilangan gelombang 1446.51 cm-1, muncul pita serapan CO32-.



Pencirian Menggunakan FTIR Identifikasi gugus fungsi dalam senyawa kalsium fosfat dapat dilakukan menggunakan FTIR yang merupakan salah satu teknik spektroskopi inframerah. Spektrum inframerah terletak pada daerah dengan panjang gelombang 0.78 sampai 1000 μm atau bilangan gelombang dari 12800 sampai 1 cm-1. FTIR termasuk ke dalam kategori radiasi inframerah pertengahan (bilangan gelombang 4000-200 cm-1) (Lestari 2009). Hasil analisis FTIR HAp tanpa porogen dan dengan penambahan porogen PVA dan pati (10%:20%) ditunjukkan pada Gambar 4.



6. Kesimpulan Sintesis HAp berpori menggunakan porogen PVA dan pati singkong dengan 1503



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 Mutia T, Eriningsih R. 2012. Penggunaan webs serat alginat/polivinil alkohol hasil proses elektrospining untuk pembalut luka primer. Jurnal Riset Industri. 6(2): 137-147. Pankaew P, Hoonnivathana E, Limsuwan P, Naemchanthara K. 2010. Temperature effect on calcium phosphate synthesized from chicken eggshells and ammonium phosphate. Journal of Applied Sciences. 10(24): 3337-3342. doi: 10.3923/jas.2010.3337.3342. Pattanayak DK, Divya P, Upadhyay S, Prasad RC, Rao BT, Mohan TRR. 2005. Synthesis and evaluation of hydroxiapatite ceramics. Trends in Biomaterials and Artificial Organs. 18(2). Poursamar SA, Mahmoud A, Masoud Mi.2011. Controllable synthesis and characterization of porous polyvinyl. Colloids and Surface B: Biointerfaces. 84: 310-316. doi:10.1016/j.colsurfb.2011.01.015. Purwamargapratala Y. 2011. Sintesis dan karakterisasi hidroksiapatit dengan pori terkendali [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sadjadi MS, Meskinfam M, Jazdarreh H. 2010. Hydroxyapatite-starch nano biocomposites synthesis and characterization. International Journal of Nano Dimension. 1(1): 57-63. Sasikumar S dan Vijayaraghavan S. 2006. Low temperature synthesis of nanocrystaline hydroxyapatite from egg shells by combustion methods. Trends in Biomaterials and Artificial Organs. 19(2): 70-71.s Sopyan I, Mel M, Ramesh S, Khalid KA. 2007. Porous hydroxyapatite for artificial bone applications. Science and Technology of Advance Materials. 8 (1): 116–123. doi: 10.1016/j.stam.2006.11.017. Suryadi. 2011. Sintesis dan karakterisasi biomaterial dengan proses pengendapan kimia basah [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Trianita VN. 2012. Sintesis hidroksiapatit berpori dengan porogen polivinil alkohol dan pati [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor .



berbagai variasi konsentrasi telah berhasil dilakukan menggunakan metode presipitasi. Berdasarkan analisis XRD, fase HAp merupakan fase yang dominan terbentuk, selain itu terdapat juga fase lain seperti AKA dan AKB. Berdasarkan analisis SEM, ukuran pori yang diperoleh dari sintesis HAp dengan penambahan PVA dan pati singkong secara keseluruhan berkisar 1.7-7.2 μm dengan ukuran pori maksimum 7.191 μm dengan penambahan porogen PVA:pati (10%:20%). Analisis gugus fungsi pada HAp tanpa porogen dan dengan porogen PVA:pati (10%:20%) menunjukkan adanya gugus fungsi OH-, PO43-, dan CO32-. 7. REFERENSI Abdurrahim T, Sopyan I. 2008. Recent Progress On The Development Of Porous Bioactive Calcium Phosphate For Biomedical Application. Recent Patents on Biomedical Engineering. 1: 213-229. Aoki H. 1991. Science Medical Applications of Hydroxyapatite. Tokyo (JP): JAAS. Bahrololoom ME, Javidi M, Javadpour S, Ma J. 2009. Characterisation of natural hydroxyapatite extracted from bovin cortical bone ash. Journalof Ceramic Processing Research. 10(2): 129-138. Darwis D, Warastuti Y. 2008. Sintesis dan karakterisasi komposit hidroksiapatit (HA) sebagai graft tulang sintetik. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 4(2): 143-153. Kannan S, Lemos AF, Ferreira JMF. 2006. Synthesis and mechanical performances of biological-like hydroxyapatite. Chemistry of Material. 18(8): 2181-2186. doi:10.1021/cm052567q. Lei Y, Xiao-shan N, Qun-fang X, He-ping Z. 2005. Preparation of porous hydroxyapatite ceramics with starch additives. Transactions of Nonferrous Metals Society China. 15(2): 257260. Lestari A. 2009. Sintesis dan karakterisasi komposit apatit-kitosan dengan metode in-situ dan ex-situ [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.



1504



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



ADSORPSI ION Pb(II) MENGUNAKAN ADSORBEN KITIN TERESTERIFIKASI Darjito1), M. Misbah Khunur dan Arya Budi Setyadi Jurusan Kimia FMIPA UB, Email : [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang adsorpsi ion Pb(II) menggunakan adsorben kitin teresterifikasi. Proses esterifikasi merupakan modifikasi struktur adsorben kitin melalui reaksi esterifikasi gugus – OH pada kitin. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pH, lama kontak dan variasi konsentrasi ion Pb(II) pada proses adsorpsi menggunakan adsorben kitin teresterifikasi. Variabel yang akan dikaji dalam penelitian ini secara berurutan adalah pH larutan (3, 4, 5, 6, dan 7); lama kontak (20, 40, 60, 80, dan 100 menit) dan variasi konsentrasi ion Pb(II) (100, 150, 200, 250, 300, dan 350 ppm). Hasil penelitian Kitin teresterifikasi teridentifikasi dari data FT-IR dengan munculnya spektra serapan gugus O-H asam karboksilat pada bilangan gelombang 3388,70 dan 3564,21 cm-1 serta gugus C=O karboksilat pada bilangan gelombang 1666,38 cm-1 yang diikuti juga adanya gugus C-O ester pada bilangan gelombang 1000 - 1300 cm-1. Berdasarkan hasil uji menggunakan SEM-EDX menunjukkan morfologi kitin teresterifikasi memiliki struktur yang lebih teratur dibandingkan kitin dan terjadi peningkatan jumlah kandungan unsur karbon dari 20,25% menjadi 33,33%. Kondisi optimum adsorpsi ion Pb(II) terjadi pada pH 5 dan lama kontak pada menit ke 60. Kapasitas adsorpsi kitin teresterifikasi terhadap ion Pb(II) sebesar 124,33 mg/g. Kata kunci: Ion Pb(II), Adsorpsi, Kitin teresterifikasi.



pertanian, dan limbah industri[4]. Keberadaan limbah Pb(II) ini berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas lingkungan hidup. Limbah logam berat yang mencemari lingkungan air secara berlebihan akan bersifat sebagai racun (toxic). Salah satu contohnya yaitu pada industri yang berpotensi mengeluarkan sisa-sisa pembuangan limbah yang dapat mencemari lingkungan perairan disekitarnya, karena logam berat mudah terionisasi oleh air dan udara secara langsung[3]. Timbal termasuk logam yang beracun. Pencemaran perairan yang disebabkan oleh timbal menjadi permasalahan serius yang mengganggu lingkungan dan kesehatan publik. Manusia dapat tercemar oleh timbal melalui makanan, udara, tanah, dan debu. Timbal dapat mengganggu kesehatan sistem reproduksi dan sistem saraf, merusak ginjal, kesulitan konsentrasi dan ingatan, menyebabkan tekanan darah tinggi, serta dalam jumlah besar dapat menyebabkan koma hingga kematian. Meskipun begitu, timbal tetap digunakan dalam berbagai aplikasi industri. Sejumlah besar limbah cair yang mengandung sejumlah Pb(II) dari industri dapat menyebar ke sistem perairan lingkungan sehingga perlu untuk dimurnikan[5]. Timbal termasuk unsur yang sangat melimpah dan dapat mencemari lingkungan karena kelarutannya yang kecil, bersifat karsinogen, dan dapat menyebabkan mutagenesis. Keracunan timbal dapat menyebabkan anemia,



1. PENDAHULUAN Air merupakan sumber daya alam yang terbatas. Air juga merupakan kebutuhan dasar bagi tubuh manusia.Kegunaan air untuk kebutuhan manusia antara lain: air untuk konsumsi, air untuk kebersihan, dan air untuk memproduksi makanan[1]. Tetapi sekarang air sudah banyak tercemari yang dikarenakan oleh terjadinya pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan ini terjadi sebagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh semakin banyaknya industri yang dibangun. Lingkungan dapat dikatakan tercemar apabila keadaan lingkungan telah berubah dari keadaan semula dan atau masuknya zat dan benda asing yang dapat menurunkan kualitas lingkungan tersebut[2]. Salah satu zat yang dapat mencemari lingkungan yaitu logam berat. Logam berat merupakan unsur yang dapat membahayakan kehidupan apabila konsentrasinya melebihi ambang batas yang telah ditentukan. Kadar logam berat yang melebihi ambang batas bersifat karsinogenik dan teratogenik. Logam berat yang biasa ditemukan adalah logam berat yang dapat larut dalam air, seperti ion Co(II), Cd(II), Ni(II), dan Pb(II)[3] . Ion Pb(II) merupakan contoh ion logam berat yang keberadaannya sering dijumpai pada limbah-limbah pertambangan, 1



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



hepatitis, sindrom nefritik, dan encephalophaty. Sehingga perlu untuk menghilangkan timbal dari limbah sebelum dibuang ke sistem pembuangan atau lingkungan perairan[6]. Proses penghilangan Pb(II) dalam air juga dapat dilakukan melalui proses adsorpsi. Pb(II) dapat direduksi melalui proses adsorpsi menggunakan adsorben kitin terikat silang glutaraldehid[7]. Pengikatan silang kitin dengan glutaraldehid ini ternyata mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi kitin terhadap Pb(II) sebesar 62,86 mg/g. Berdasarkan hasil penelitian dari peneliti tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan upaya lain untuk memodifikasi permukaan kitin melalui proses esterifikasi kitin. Esterifikasi digunakan untuk meningkatkan kemampuan adsorpsi terhadap ion logam berat. Adsorpsi logam berat menggunakan adsorben termodifikasi dapat meningkatkan kemampuan sebagai adsorben dengan memodifikasi gugus OH melalui reaksi esterifikasi[8]. Proses esterifikasi ini dilakukan dengan menambahkan gugus karboksilat. Adanya gugus karboksilat ini diharapkan akan mampu meningkatkan ketersediaan situs aktif yang lebih berkarakter sebagai basa kuat yang kemungkinan akan meningkatkan kemampuan kitin teresterifikasi dalam mengikat logam berat yang memiliki karakter sebagai asam keras. Proses adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pH, lama kontak, luas permukaan, jenis dan sifat adsorben, sifat dan konsentrasi adsorbat[9]. Pada penelitian kali ini akan diangkat dua parameter, yaitu lama kontak dan konsentrasi adsorbat. Parameter lama kontak,dipergunakan untuk menentukan terjadinya kesetimbangan proses adsorpsi. Sedangkan variasi konsentrasi adsorbat dipergunakan untuk menentukan kapasitas adsorpsi dari adsorben kitin teresterifikasi. Untuk pH digunakan kondisi pH optimum adsorpsi Pb(II) menggunakan adsorben kitin terikat silang glutaraldehid[7].



dengan akuades hingga pH filtrat sama dengan pH akuades. Setelah itu, kitin dikeringkan dengan oven pada suhu 60oC sampai berat konstan dan disimpan dalam desikator. Penentuan pH Optimum Adsorpsi Pb(II) oleh Kitin Teresterifikasi Larutan Pb(II) 100 ppm sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL dan ditambahkan dengan larutan pH 3 hingga mencapai tanda batas. Larutan ini dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 mL dan ditambah 0,1 gram adsorben kitin teresterifikasi. Kemudian dilakukan pengocokan dengan kecepatan 125 rpm (rotasi per menit) selama 100 menit. Suspensi yang terbentuk disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Supernatan yang diperoleh dipisahkan dan dimasukkan ke dalam botol sampel. Konsentrasi kadmium dalam supernatan ditentukan menggunakan SSA. Perlakuan yang sama dilakukan juga pada pH 4, 5, 6, dan 7. Penentuan Pengaruh Lama Kontak terhadap Daya Adsorpsi Adsorben Kitin Teresterifikasi terhadap ion logam Pb(II). Larutan Pb(II) 100 ppm sebanyak 10 mL dimasukkan botol sampel dan diatur menjadi pH 5 dengan penambahan HCl 0,1 M. Setelah itu dimasukkan dalam labu ukur 25 mL dan ditandabataskan dengan akuades pH 5. Larutan ini dimasukkan dalam erlenmeyer 100 mL dan ditambah 0,1 gram adsorben kitin teresterifikasi. Kemudian dilakukan pengocokan menggunakan pengocok elektrik pada kecepatan 125 rpm selama 20 menit lalu disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang dihasilkan dipipet sebanyak 1 mL dam dimasukkan labu ukur 25 mL dan ditambah 1 mL HNO3 pekat dan 5 tetes larutan lantan lalu ditandabataskan dengan akuades. Larutan dimasukkan ke dalam botol sampel dan diukur konsentrasi ion logam Pb(II) sisa dengan spektrofotometer serapan atom. Perlakuan yang sama dilakukan juga pada lama kontak 40, 60, 80, dan 100 menit.



2. METODE PENELITIAN Preparasi kitin teresterifikasi asam sitrat Serbuk kitin sebanyak 5 gram ditambahkan 50 mL larutan asam sitrat 0,8 M dalam gelas kimia 250 mL dan diaduk selama 2 jam pada suhu ruang (25 ± 2oC). Suspensi dikeringkan pada 60oC selama 24 jam didalam oven. Selanjutnya temperatur oven dinaikkan menjadi 120oC selama 3,5 jam. Kitin hasil esterifikasi didinginkan dan kemudian dicuci



Penentuan kapasitas adsorpsi kitin teresterifikasi terhadap ion Pb(II) Larutan ion Pb(II) 100 ppm sebanyak 10 mL dimasukkan botol sampel dan diatur menjadi pH 7 dengan penambahan HCl 0,1 M atau NaOH 0,1 M. Setelah itu dimasukkan dalam labu ukur 25 mL dan ditandabataskan dengan akuades pH 7. Larutan ini dimasukkan 1506



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



dalam erlenmeyer 100 mL dan ditambah 0,1 gram adsorben kitin terimobilisasi glutaraldehid. Kemudian dilakukan pengocokan menggunakan pengocok elektrik pada kecepatan 125 rpm selama 100 menit yang diperoleh dari lama kontak 60 menit lalu disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang dihasilkan dipipet sebanyak 1 mL dam dimasukkan labu ukur 25 mL dan ditambah 1 mL HNO3 pekat dan 5 tetes larutan lantan lalu ditandabataskan dengan akuades. Larutan dimasukkan ke dalam botol sampel dan diukur konsentrasi ion Pb(II) sisa dengan spektrofotometer serapan atom. Perlakuan yang sama dilakukan juga pada konsentrasi Pb(II) 150, 200, 250, 300, dan 350 ppm.



Gambar 2. Mekanisme reaksi kitin teresterifikasi



Uji pendukung yang dilakukan untuk memastikan kitin telah terikat silang glutaraldehid adalah menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Pengujian dengan SEM dapat memberikan gambaran morfologi kitin teresterifikasi serta unsur-unsur yang terdapat pada kitin dan kitin teresterifikasi. Bentuk morfologi permukaan kitin dan kitin teresterifikasi terlihat pada Gambar 3.



3. HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Kitin Teresterifikasi Kitin yang digunakan sebagai bahan dasar untuk proses esterifikasi berasal dari kulit udang yang telah mengalami proses demineralisasi dan deasetilasi. Data spektra infra merah kitin teresterifikasi disajikan pada Gambar 1. (A)



Kitin Esterif ikasi Kitin Tanpa Esterif ikasi



1 7 9 5 .6 0



%T



1 0 1 0 .6 3



2 5 1 6 .9 3



75



60



Berdasarkan Gambar 3. terlihat bahwa hasil morfologi kitin teresterifikasi lebih teratur dibandingkan dengan kitin. Adanya keteraturan struktur kitin teresterifikasi tersebut diduga bahwa gugus ester yang terbentuk juga menyebabkan terjadinya ikatan silang antar polimer kitin. Uji pendukung lainnya yang dilakukan adalah dengan analisa EDX digunakan untuk mengetahui kandungan unsur yang ada pada kitin dan kitin teresterifikasi. Data spektra EDX kitin dan kitin teresterifikasi seperti tersaji pada Tabel 1.



4000 3500 3000 Kitin Tanpa Esterifikasi



1750



1 3 0 7 .6 5



1 2 6 9 .0 7



1 5 2 5 .5 9



1500



1 0 7 8 .1 3



1 1 4 7 .5 7



2000



1 4 4 6 .5 1 1 4 1 7 .5 8



1 6 6 6 .3 8



2500



1 5 7 7 .6 6



2 9 4 3 .1 7



3 2 4 9 .8 3 3 6 4 3 .2 8 3 5 6 4 .2 1



3 4 2 5 .3 4 3 3 8 8 .7 0



15



2 9 4 3 .1 7



30



8 7 5 .6 2 8 3 8 .9 8



1 1 8 4 .2 1



1 6 3 7 .4 5



45



0



(B)



Gambar 3. Bentuk Morfologi permukaan (A) Kitin (B) Kitin Teresterifikasi



90



1250



1000



750



500 1/cm



Gambar 1. Spektra IR kitin dan kitin teresterifikasi dari Cangkang Udang



Dari data spektra IR pada Gambar 1. terlihat bahwa kitin memiliki serapan yang cukup lebar, terdapat gugus N-H amina pada bilangan gelombang 3249,83 dan 3425,34 cm-1 dan gugus C=O amida pada bilangan gelombang 1637,45 cm-1 sedangkan kitin teresterifikasi terdapat gugus O-H asam karboksilat pada bilangan gelombang 3388,70 dan 3564,21 cm-1 dan terdapat gugus C=O karboksilat pada bilangan gelombang 1666,38 cm-1. Selain itu, pada spektra esterifikasi juga terdapat gugus C-O ester pada bilangan gelombang 1000 - 1300 cm-1. Hal ini menunjukan bahwa proses esterifikasi pada kitin telah terjadi. Reaksi kitin teresterifikasi seperti terlihat pada Gambar 2.



Tabel 1. Hasil SEM-EDX pada adsorben kitin dan kitin teresterifikasi Unsur Karbon Oksigen Magnesium Alumunium Silikon Kalsium



Kitin 20.252 48.426 0.361 0.292 0.591 30.078



Kandungan (%) Kitin Teresterifikasi 33.332 49.359 TD TD 0.345 16.964



Keterangan: TD = Tidak Terdeteksi



Berdasarkan data pada Tabel 1. terlihat bahwa adsorben kitin teresterifikasi mengalami kenaikan prosentase unsur oksigen. Semula 1507



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



pada adsorben kitin unsur oksigen yang terkandung sebesar 48,426% sedangkan setelah diesterifikasi menjadi 49,359%. Selain unsur oksigen, unsur karbon juga mengalami kenaikan dari 20,252% menjadi 49,359%. Hal ini menunjukan bukti keberhasilan proses esterifikasi dengan adanya penambahan basa lewis dari asam sitrat



Pengaruh Lama Kontak Pada Kemampuan Adsorpsi Kitin Teres-terifikasi terhadap ion Pb(II) Data hasil penelitian pengaruh lama kontak pada kemampuan adsorpsi kitin teresterifikasi terhadap ion Pb(II) disajikan pada Gambar 5.



Pengaruh pH Pada Kemampuan Adsorpsi Kitin Teresterifikasi terhadap ion Pb(II) Data hasil penelitian pengaruh pH pada kemampuan adsorpsi kitin teresterifikasi terhadap ion Pb(II) disajikan pada Gambar 4.



Gambar 5. Kurva hubungan variasi lama kontak dengan prosentase ion logam teradsorpsi



Lama kontak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi, secara umum dengan semakin bertambahnya lama kontak maka akan semakin meningkat jumlah adsorbat yang dapat terserap pada adsorben dan bila lama kontak semakin diperlama maka jumlah adsorbat yang dapat teradorpsi akan mencapai keadaan keseimbangan dimana laju adsorpsi akan sama dengan laju desorpsi yang ditandai oleh tidak adanya peningkatan jumlah adsorbat yang teradsorpsi. Suatu keadaan dimana penambahan lama waktu kontak tidak mempengaruhi jumlah adsorbat yang teradsorpsi dikatakan sistem sudah berada dalam keseimbangan dan biasanya dirujuk sebagai lama kontak optimum. Berdasarkan kurva pada Gambar 5. terlihat bahwa lama kontak berpengaruh terhadap prosen ion Pb(II) teradsorpsi oleh adsorben kitin teresterifikasi. Lama kontak yang semakin meningkat dari 20 menit hingga 60 menit mampu meningkat prosentase ion Pb(II) yang teradsorpsi dari 34,53% menjadi 39,47% ini menunjukkan bahwa pada lama kontak tersebut belum terjadi keseimbangan antara laju adorpsi dan laju desorpsi. Sementara itu bila lama kontak ditingkatkan lebih dari 60 menit terlihat jumlah ion Pb(II) yang teradsorpsi sedikit mengalami penurunan. Dengan demikian lama kontak optimum untuk adsorpsi ion Pb(II) terjadi pada menit ke 60 dengan prosen adsorpsi sebesar 39,47%.



Gambar 4 Kurva hubungan variasi pH dengan prosentase ion logam teradsorpsi



Berdasarkan kurva pada Gambar 4. terlihat bahwa pH berpengaruh nyata pada adsorpsi ion Pb(II), dimana pada pH rendah dengan semakin banyaknya ion H+ dalam larutan menyebabkan terjadi proses protonasi pada gugus aktif dari adsorben yaitu gugus amida (-NCOCH3) menjadi (-NHCOCH3)+ yang menyebabkan kemampuan dari adsorben untuk mengikat ion logam menjadi menurun. Sementara itu bila pH larutan terlalu tinggi meskipun dari sisi gugus aktif adsorben menguntungkan karena gugus amida dapat bertindak penuh sebagai basa Lewis tetapi dengan semakin meningkatnya jumlah ion OHyang juga merupakan gugus basa Lewis yang jauh lebih keras akan menyebabkan terjadi kompetisi ikatan dengan ion logam yang bertindak sebagai asam Lewis, sehingga ion logam akan cenderung membentuk ikatan M(OH)x(n-1)+, hal itu terlihat dari kurva Gambar 4. untuk pH diatas 5 prosentase ion logam teradsorpsi mengalami penurunan. Dengan demikian pada proses adsorpsi ion Pb(II) menggunakan kitin teresterifikasi optimum terjadi pada pH 5 dengan prosentase adsorpsi 39,47%. 1508



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



gelombang 1000 - 1300 cm-1. Hasil identifikasi menggunakan SEM-EDX menunjukkan morfologi kitin teresterifikasi memiliki struktur yang lebih teratur dibandingkan kitin dan terjadi peningkatan jumlah kandungan unsur karbon dari 20,25% menjadi 33,33%. 2. Kondisi optimum adsorpsi ion Pb(II) terjadi pada pH 5 dengan prosen adsorpsi sebesar 39,47% dan lama kontak pada menit ke 60 dengan proses adsorpsi sebesar 39,47%. 3. Kapasitas adsorpsi kitin teresterifikasi terhadap ion Pb(II) sebesar 124,33 mg/g.



Pengaruh Konsentrasi ion Pb(II) Terhadap Daya Adsorpsi Kitin Teresterifikasi Data hasil penelitian pengaruh variasi konsentrasi ion Pb(II) terhadap adsorpsi kitin teresterifikasi disajikan pada Gambar 6.



5. REFERENSI [1]



Gambar 6. Kurva hubungan antara Ceq (mg/L) dengan mg/g ion Pb(II) Teradsorpsi



[2]



Dari data pada Gambar 6. terlihat bahwa peningkatan konsentrasi ion Pb (II) diikuti dengan meningkatnya mg/g ion Pb(II) teradsorpsi pada adsorben kitin teresterifikasi sampai pada konsentrasi kesetimbangan 225 ppm peningkatan konsentrasi ion Pb(II) lebih lanjut tidak menambah jumlah mg/g ion Pb(II) teradsorpsi. Harga mg/g Ion Pb(II) teradsorpsi pada kondisi optimum yang sudah tidak memberikan kenaikan lagi tersebut yang merupakan kapasitas adsorpsi dari adsorben kitin teresterifikasi yaitu sebesar 124,33 mg/g. Bila dilihat lebih lanjut dari kurva pada Gambar 6 terlihat bahwa kurva hubungan antara konsentrasi ion Pb(II) pada kesetimbangan (Eq) dengan mg/g ion Pb(II) teradsorpsi menghasilkan kurva tipe L seperti rektanguler hipérbola, hal ini mengindikasikan bahwa proses adsorpsi ion Pb(II) dengan adsorben kitin teresterifikasi mengikuti isoterm Langmuir.



[3] [4]



[5]



[6]



[7]



4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan: 1. Kitin teresterifikasi teridentifikasi dari data FT-IR dengan munculnya spektra serapan gugus O-H asam karboksilat pada bilangan gelombang 3388,70 dan 3564,21 cm-1 serta gugus C=O karboksilat pada bilangan gelombang 1666,38 cm-1 yang diikuti juga adanya gugus C-O ester pada bilangan



[8]



[9]



1509



Christine,L. M and Richard, D. R, 2006, Global Challenges In Water, Sanitation And Health, Journal of Water and Health, IWA Publishing, USA Mashhood, A K, 2011, Environmental Pollution:Its Effects On Life And Its Remedies, International Refeed Research Journal, vol 2, hal 278-285 Darmono, 1995, Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup, UI Press, Jakarta Rahardjo. M, Rosita. S.M.D., dan Darwati. I, 2001, Status Logam Berat Kadmium (Cd) Dan Hasil Rimpang Temu Ireng (Curcuma Aeruginosa Roxb.) Pada Pemupukan Fosfat. Balai Penelitian Obat dan Tanaman, Bogor. Suc, N. V., dan Ly, H. T. Y., 2012, Equilibrium Study Of Lead(II) Adsorption From Aqueous Solution On Modified Chitosan With Citric Acid, The 2012 International Conference on GTSD. Kaur, L., Gadgil, K., dan Sharma, S., 2010, Effect of pH and Lead Concentration On Phytoremoval Of Lead From Lead Contamined Water By Lemma minor, American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci, Vol. 7, No. 5, Hal. 542-550. Joko, I., Darjito, dan Purwonugroho, D., 2014, Pengaruh pH, Waktu Kontak, dan Konsentrasi pada Adsorpsi Pb(II) Menggunakan Adsorben Kitin Terikat Silang Glutaraldehid, Skripsi, FMIPA, Universitas Brawijaya. Mao, J., Won, S. W., Choi, S. B., Lee, M. N., and Yun, Y. S., 2009, Surface Modification of The Corynebacterium glutamicum Biomass to Increase Carboxyl Binding Site for Basic Dye Molecules, Biochemical Engineering Journal, 46: 1-6. Sawyer, C.N dan P.L Mc Carty, 1987, Chemistry of Engineering, Third Ed., Mc Graw Hill, Kogakusha Ltd., Tokyo



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



THE IMPLEMENTATION OF COOPERATIVE LEARNING MODEL TYPE TOWARD STUDENTS’ LEARNING OUTCOMES IN LEARNING COLLOIDAL SYSTEM TOPIC Descey Natalia Simbolon Chemistry Department of FMIPA State University of Medan, Jl.Willem Iskandar Psr V Medan Estate, Medan, North Sumatera, Indonesia, 20221, E-mail: [email protected] Abstract The Implementation of Cooperative Learning Model Type toward Students’ Learning Outcomes in Learning Colloidal System is explained in this paper. The purpose of this research is to fulfill the knowledge of the students through Cooperative Learning Model Type. This research was conducted on SMAN 2 Balige through the teaching of students with Cooperative Learning Model Type to the experimental class and compared the result with those control class that taught by conventional teaching. The Cooperative Learning Model Type can make students’ learning outcomes increase. The result showed of compare that students’ learning outcomes with Cooperative Learning Model Type STAD (M= 70±7.94) is higher than the students that taught by conventional teaching (M= 52±7.67), and both of the class are significantly different (ttest 2.77 > ttable 1.33). It can be concluded that teaching of Colloidal system with Cooperative Learning Model Type can improve students’ learning outcomes and character in learning. Furthermore, using Cooperative Learning Model Type in the class is more effectively than using conventional method that is shown from the different of value that is gotten from the experimental class and control class. Keywords : Cooperative Learning, Learning Model, Learning Outcomes, Colloidal System



efficacy and can’t develop the active participation in the learning process. Teachers should be known to teach the learning material by used method combined with media compatible. The teachers need to be more creative and innovative in teaching, especially in the learning chemistry topic. Education without technological advances is boring. The tendency of a teacher in delivering subject matter using the same method in chemistry courses, asked students to read and memorize the learning materials make students feel bored, annoyed and less active. It is make decrease of students’ interest inquired for the material being taught and understand it. The teachers should keep students’ interest and motivate to learn in different ways of teaching, using varies teaching method and combined with teaching media in improving students’ motivation and students’ achievement. Cooperative learning model is a learning approach that focuses on the use of small groups to work together to maximize the learning conditions for achieving the goal (Muhammad, 2010). Cooperative learning model is method that can be done because it can improve learning progress; makes positives attitudes of students; increases motivation and confidence of students.(Slavin, 1995).



I. INTRODUCTION Chemistry is one of the most important branches of science; it enables learners to understand what happened around student. Because chemistry topics are generally related to or based on the structure of matter, chemistry proves a difficult subject for many students. Taber said that Chemistry curricula commonly incorporate many abstract concepts, which are central to further learning in both chemistry and other sciences. These abstract concepts are important because further chemistry/science concepts or theories cannot be easily understood if these underpinning concepts are not sufficiently grasped by the student. Most of teacher who teach chemistry through face to face in the classroom using conventional learning, which is dominated by the lecture method. Thus, these methods of learning is still teacher-centered learning, have not been able to increase the active role students in the learning process, and provides less opportunity for students to express their understanding and skills. Students will find it is hard to follow or get the essence of learning materials, so that their activities are limited to take notes apocryphal. The pattern of active learning with students’ teachers is passive low



1510



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Cooperative learning model has several types with different steps include learning model STAD (Students Teams Achievement Division), TGT (Team Games Tournament) and Jigsaw. Where all three of these methods are equally divide the students into groups of heterogeneous and students work together with the group, so that students can exchange information and learning experiences. Concept of Colloidal system in the SHS is the concept of remembering, because it is about theory. So, many students difficult to remember the colloidal system. So, with the cooperative learning model types, like STAD (Students Team Achievement Division) that can make the students active in the class in learning colloidal system and make the students can remember easily. That’s why the cooperative learning model types can help the increasing of students’ learning outcomes and give the students develop their ability and increase their learning outcomes in cognitive and affective aspects.



The research sample that used as experimental class and control class. The XI-IA 4 as the experimental class and the XI-IA 5 is the conventional class that have 30 students per class. The experimental class taught by Cooperative Learning Model Type in here we use the STAD (Students Team Achievement Division) and the control class taught by conventional type.



II. RESEARCH METHODS 2.1 Overview of Research Research conducted is about The Implementation of Cooperative Learning Model Type toward Students’ Learning Outcomes in Learning Colloidal System Topic are interesting to discuss because by using the suitable ways believed can increase student learning outcomes in teaching of chemistry to high school students. By using this method, students can be learn independently and try not just to be listener but they should be a searcher, thus the students will be more understood about what they are learn actually. The overview of the research is summarized in Figure 2.1. 2.2 Place and Time of Research The research is conducted at SMAN 2 Balige that located in Kabupaten Tobasa. This school is one of the Schools in the North Sumatera. SMAN 2 Balige has 92 teachers and 780 students that grouping in 26 classrooms. This research is conducted on April until May in the first half of XI class school year 2015/2016. 2.3 Population and Sample of Research The population of this research is all students of XI grade in Balige in school year 2015/2016 that have 206 numbers of students and grouping in 7 classes of Science Classes.



Figure 2.1. The overview of research planning to Senior High School students. The Implementation of Cooperative Learning Model Type toward Students’ Learning Outcomes in Learning Colloidal System Topic.



2.4 Research Variables The variables in this study are as follows: 1. Independent Variables The independent variable in this study is the cooperative learning Type STAD and conventional model in colloids system. 2. Dependent VariablesDependent variable is students’ learning outcomes in colloids system. 3. Control Variables In this research, the variable is the students sample from the same school, same teacher, same curriculum, same books and some material that will teach in experimental class and control class. 2.5 Research Instruments The instruments that used in this research are evaluation test. The evaluation test is including the pretest and post test. The written test conducts to know whether the learning achievements of students who have learning by using the Cooperative Learning model type STAD in colloids system subject.



1511



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



The written test consists of prepared questions to be answered by students as the respondents with maximum score 1 and minimum score is 0. Test used are multiple choice test, which is consist of 20 questions and five options. The questions raised for each topic are distributed based on the grade, category, and the difficulty index of the subject. This test is to get the value of pre-test and post test for each class.



to have the permission to do experiment in state high schools in North Sumatera. In to the target SHS, the class sample are chosen to be included in the study, followed by sampling process to obtain experimental class and control class in SMAN 2 Balige. Before treatments have been done, the samples are homogenized in order to have the samples with the relatively same knowledge in the target topic of colloidal system topic. The pretest is given to obtain the data on the achievement of the students on chemistry. The evaluation was conducted prior to the teaching for experimental class and control class. The data obtained from pretest was used to see the variation of the samples before teaching treatments being carried out. After the samples are assessed to be homogeny, the study was then followed by the teaching treatments for three experimental classes. Teaching treatments are given by using cooperative learning model types STAD for the experimental class and conventional method for the control class. The data of the students’ learning outcomes on chemistry were obtain from evaluation test were conducted at the end of the teaching. Through implementation of cooperative learning model types then investigated from students’ learning outcomes on chemistry. The evaluation tests were conducted one month after teaching treatment to obtain how far students understand the concept of chemistry with those treated by the cooperative learning model types STAD.



2.6 Design of the Research Research is the containing of group of students treated with cooperative learning model type STAD, and Direct Instruction method and student handbook that’s just given an ordinary lecture in the class. In this research use two treatment classes and the Direct Instruction method is called as experimental treatment classes, and the Direct Instruction method is called control class (Situmorang, et.all,2007; Situmorang, et. all, (2010). To determine student’s learning outcomes obtain by using this treatment are given test, consist of the pretest and post test. The design of this research is shown in Table 2.1. Table 2.1. The research design of the implementation of cooperative learning model type toward students’ learning outcomes in learning colloidal system topic Teaching Method



Group of Sample



Average Student Achievement



Pretest Post test Experimental Class P1 Y1 Y2 Controlled P2 Y1 Y2 Class Where : Y1: pretest, Y2: post test, P1: learning by using Cooperative Learning Model Type STAD (Students Team Achievement Division), P2: learning by using Direct Instruction or conventional method



III. RESULTS AND DISCUSSIONS 3.1 The General Procedure from Research Results The research had done in the class for the colloidal system topic. For the experimental class had taught by cooperative learning model type STAD and the control class had done learned the same topic with the conventional method. 3.2 The Students’ Learning Outcomes before Method To measure the basic knowledge of students for colloidal system topic that would be taught by the researcher using pretest. The results from pretest based on the total of problems that answered that right from 20 problems of colloidal system in multiple choices. The results of pretest in the control



2.7 Research Procedure Research procedures on the implementation of cooperative learning model type toward students’ learning outcomes in learning Colloidal system are containing of arranging the research instrument, innovation of teaching method, sampling, treatment teaching, evaluation, and conducting survey to investigate the motivation of the students in learning. The research procedures are summarized in Figure 2.1. The complete procedures begin from administration process 1512



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



class M=38.5±6.708 and in experimental class M=43.5±10.894.



STAD in colloidal system topic. It can conclude that the cooperative learning model type STAD can be used to increase the students’ learning outcomes.



Table 3.1. Students’ Learning Outcomes in Learning Colloidal System The numbers in the table are average and deviation standard Name of School Class Pretest Control M=38.5±6.708 SMA Negeri 2 Balige Experiment M=43.5±10.894



IV. CONCLUSION AND PROSPECT From the analysis can be concluded that cooperative learning model type STAD can increase students’ learning outcomes in colloidal system. It can be seen from the increasing pretest and posttest. So that the cooperative learning model type can be used in the learning to increase the students’ learning outcomes and can be used by chemistry teacher at school for students.



3.3 The Students’ Learning Outcomes with the Method Table 3.2. Students’ Learning Outcomes in Posttest in cooperative learning model type STAD in learning colloidal system The numbers in the table are average and deviation standard Name of School Class Post test Control M=52±7.67 SMA Negeri 2 Balige Experiment M= 70±7.94



V. ACKNOWLEDMENTS Thank you for Prof.Drs. Manihar Situmorang, M.Sc, Ph.D as the lecturer in this major that helping me to do his research. Thank you for Prof. Asrin Lubis as the Dean of FMIPA and Dr. Iis Siti Jahro as the Coordinator of Bilingual Class Program that allow to do this research. And also, thank you for the headmaster of SMAN 2 Balige, Mr. Aldon Samosir and chemistry teacher Mrs. Lamtiur Hutabarat that allow us to do this research.



The students’ learning outcomes with cooperative learning model type STAD is (M= 70±7.94) higher than control class (M=52±7.67) where both of class have the significant different (ttest 2.773 > ttable 1.33). The implementation of cooperative learning model types STAD can be seen after learning. The evaluation in the posttest done to know the students’ knowledge in colloidal system topic. The data showed that there is increasing of students’ learning outcomes after taught by cooperative learning model type STAD. The posttest in the experimental class is higher (M= 70±7.94) than control class (M= 52±7.67). The analysis showed that the average from both of the class have the significant different.



REFERENCES Alebiosu, K. A., (1998), Effects of Two Cooperative Learning Models on Senior Secondary School Students’ Learning Outcomes in Chemistry, Thesis.Dept.of Teacher Education. University of Ibadan, Ibadan. Giancarlo, L.C., and Slunt, K.M., (2004), The Dog ate My Homework: A Cooperative Learning Project for Instrumental Analysis, Journal of Chemical Education 81: 868-869. Muhammad, R., (2010), Effect of Cooperative Learning Instructional Strategy on Students’ Performance in Biology, Journal of Theoretical and Empirical Studies in Education 2 (1), 222278. Siegel, C., (2005), Implementing a Research-Based Model of Cooperative Learning, Journal of Educational Research, vol. 98, no. 6, pp. 339– 349. Situmorang, M. (2010), Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk Mata Pelajaran Kimia, FMIPA, UNIMED, Medan. Slavin, Robert E., (1980) Cooperative Learning, Review of Educational Research, vol. 50, no. 2, Johns Hopkins University , Sage Publications.



Figure 3.1. The comparison of Pretests value and Posttest value in the experiment class



The results impact that the cooperative learning model type STAD help students easy to remember the topic that taught. The result analysis from both of the class show the increasing students’ learning outcomes after taught by cooperative learning model type



1513



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



DESIGN EKPERIMEN UNTUK OPTIMASI PENENTUAN TEMBAGA DALAM AIR SECARAVOLTAMMETRI STRIPPING ADSORPTIF Deswati dan Hamzar Suyani Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas Padang, 25163, [email protected], [email protected] Abstract A procedure for the determination of metal Cu(II) by adsorptive stripping voltammetry (AdSV) using calcein as a complexing agent, has been optimized. These lection of the experimental conditions was made using experimental of respon surface methodology. The influence of several parameters were studied: variations ofcalcein concentration, pH, accumulation potential and accumulation time. The design experiment was a central composite design with 4 factors/variables, 3 levels and 31 treatment combinations. From analysis of variance, it was decided to accept the second-order model and the independent variable, concluded that asignificanteffectontheresponse variable (peakcurrent). Based on data analysis with response surface method, the determination of copper obtained optimum conditions were: calcein concentration 0.11mM, pH 6.79, accumulation potential -0.88Volt and accumulation time 42.34 seconds with a maximum peak current 373. 14nA. At the optimum condition were obtained relative standard deviation 0.74 %, recovery 99.88%, the linear range 0.2- 110µg/L, coefficient of correlation 0.99 with a detection limit of 1.79µg/L. The procedure was successfully applied to the determination of copper in water samples without prior treatment. Keywords: copper, adsorptive, stripping, voltammetry, water.



dan Zang and Huang, 2001). Disamping itu, dengan metoda ini dimungkinkan mempelajari spesi kimia dari logam berat (Jugade and Joshi, 2006 ; El-Shahawi et al., 2011), yang tidak bisa dilakukan dengan metoda lain. Hampir semua metoda penentuan logam dalam jumlah yang sangat kecil memerlukan waktu yang cukup lama pada tahap pre-konsentrasi sebelum pengukuran. Pada Voltammetri Sripping Adsorptif tahap pre-konsentrasinya waktunya lebih singkat, umumnya kurang dari 1 menit (Amini and Kabiri, 2005). Untuk mencari kondisi optimum (optimasi) penentuan ion-ion logam Cd, Cu, Pb dan Zn (Deswatiet.al.,2012) dan ion-ion logam Fe, Co, Ni dan Cr (Deswatiet.al.,2014b) baik dalam bentuk tunggal maupun simultan secara Voltammetri Stripping Adsorptif (AdSV), dilakukan dengan mengamati pengaruh salah satu variabel yang berubah, sementara variabel yang lainnya disimpan pada tingkat yang konstan. Teknik optimasi ini disebut optimasi satu variabel atau satu faktor pada waktu saat tersebut. Kelemahan utama dari hasil optimasi satu faktor adalah optimasi yang tidak memperhitungkan efek interaksi antar variabel yang diteliti. Oleh sebab itu, teknik ini tidak menggambarkan efek lengkap parameter terhadap respon (Bezerra et. al., 2008).



1. PENDAHULUAN Latar Belakang Beberapa unsur yang termasuk dalam kategori logam berat seperti : As, Cr, Cd, Pb. Fe Cu, Co, Hg, Se, Sb, Mn, Zn dan Ni berasal dari limbahindustridanhasilaktivitaspenduduk, khususnya di kotabesar. Adanya logam berat dalam lingkungan termasuk bahan makanan sangat berbahaya, karena mempunyai tingkat toksisitas yang tinggi (Sanusi et. al., 1985). Apabila masuk ke dalam tubuh manusia mempunyai kecenderungan berkumpul dalam organ tubuh, tidak bisa keluar lagi melalui proses pencernaan. Air, tanah dan udara adalah media yang dapat digunakan untuk penyebaran logam berat ke lingkungan. Tanaman yang berdaun lebar disamping menyerap logam berat dari tanah juga dapat menyerap logam berat dari udara (Saryati dan Wardiyati, 2008). Voltammetri stripping adsorptif dipilih sebagai alternatif metoda karena memiliki banyak kelebihan antara lain : kadar garam yang tinggi dari air laut tidak mengganggu dalam analisis, memiliki sensitivitas tinggi, limit deteksi rendah pada skala ug/L (ppb), penggunaan mudah dan preparasi sampel yang mudah, analisis cepat, infra struktur yang murah (Deswati et. al., 2012, Ensafi et. al., 2001, Abbasi et.al., 2011, Attar et. al., 2014 1514



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Kelemahan lain dari optimasi satu faktor adalah peningkatan jumlah percobaan diperlukan untuk melakukan penelitian, yang mengarah ke peningkatan waktu dan peningkatan konsumsi reagen dan bahan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan suatu teknik optimasi prosedur analitik yaitu dengan menggunakan teknik statistik multivarian. Di antara teknik multivarian yang paling relevan digunakan dalam optimasi analitis adalah Metode Permukaan Respon (RSM) dengan Rancangan Komposit Pusat (CCD). Metode permukaan respon adalah kumpulan teknik matematika dan statistik, yang digunakan untuk pemodelan dan analisis masalah dalam suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel yang tujuannya adalah untuk mengoptimasi respon tersebut atau mengoptimalkan tingkat variabel-variabel ini untuk mencapai sistem kinerja yang terbaik (Bezerra et. al., 2008 ; Dewi et. al., 2013 dan Oramahi, 2008). Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pada penelitian ini akan dikembangkan suatu metoda optimasi Cu menggunakan kalsein sebagai pengomplek dengan teknik optimasi desain komposit pusat. Pemilihan kalsein sebagai pengomplek yang sensitif dan selektif telah dilaporkan oleh (Marcin and Golimowski, 2001) pada penentuan Ti, tetapi penggunaan kalsein dalam penentuan Cu belum pernah dilaporkan. Voltammetri stripping adsorptif merupakan teknik yang sangat sensitif (Jugade and Joshi, 2006), respon yang diperoleh berupa arus puncak(Ip) sangat dipengaruhi oleh variabel- variabel (parameter) berikut yaitu: konsentrasi pengomplek, kondisi pH, potensial akumulasi dan waktu akumulasi. Oleh sebab itu sangat penting untuk menentukan optimasi dari parameter tersebut, yang akan mempengaruhi terhadap pengukuran arus puncak dalam rangka untuk meningkatkan kualitas hasil analisis (Paolicchi et. al., 2004). Design/rancangan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini, sebagai alat untuk optimasi adalah: Design Komposit Sentral (CCD) dengan 4 variabel, 3 level/taraf dan 31 kombinasi perlakuan. Langkah pertamadari optimasi rancangan 2k factorial adalah: memberi kode, dimana nilai level tertinggi (+1), level terendah(-1) dan kode (0) sebagai titik pusat. Program yang a kan di guna kan untuk analisis data statistik yaitu Software Minitab dengan menggunakan



metode RSM (Respon Surface Methodology). Penelitian menitik beratkan mempelajari pengaruh parameter-parameter berikut : variasi konsentrasi kalsein, pH, waktu dan potensial akumulasi. Dari hasil kondisi optimum yang didapatkantersebut, ditentukan nilai limit deteksi (LOD) untuk sensifitas metoda, linear range, serta recovery dan standar deviasi relatif Selanjutnya, dilakukan pengujian hasil kondisi optimum yang telah didapat tersebut, untuk analisis logam Cu, dalam sampelair secara voltammetri stripping adsorptif. Urgensi/Keutamaan Penelitian Analisis logam-logam berbahaya dalam lingkungan (Mohammad et. al., 2011), baik tanah, batuan maupun bahan biologi (penentuan Cu dalam sampel darah, Attar et. al., 2013) bahan makanan dan air (penentuan Cu dan Cd, Shahryar et. al., 2011) menjadi subyek yang menempati perioritas yang tinggi, dan difokuskan pada penentuan logam-logam berat beracun yang bila masuk ke dalam tubuh manusia dan hewan dalam waktu yang lama sehingga dapat terakumulasi di dalam organ vital. Oleh sebab itu diperlukan suatu metoda yang sensitif dan selektif untuk menentukan kadar ion logam yang jumlahnya runut tersebut, yaitu Voltammetri Stripping Adsorptif (AdSV). Voltammetri stripping adsorptif dipilih sebagai alternatif metoda penentuan logam-logam, karena memiliki banyak kelebihan antara lain : kadar garam yang tinggi dari air laut tidak mengganggu dalam analisis, memiliki sensitivitas tinggi, limit deteksi rendah pada skala ug/L (ppb), penggunaan mudah dan preparasi sampel yang mudah, analisis cepat, infra struktur yang murah (Deswati et. al., 2012, Ensafi et. al., 2001, Zang dan Huang., 2001). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan sangat diharapkan dapatdiaplikasikanoleh masyarakatluasatau dipatenkan.Untuk itu pertimbangan biayamutlak diperlukan, danoptimasi merupakan salah satu carauntuk menekan biayadengan hasil optimal (Oramahi, 1991). Tujuan Penelitian Tujuan daripenelitianini adalah untuk mendapatkan kondisi optimum dari ion logam berat Cu tersebut. Selanjutnya,sehingga dapat diaplikasikan untuk analisis logam tembaga 1515



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



dalam sampel air Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu teknik optimasi prosedur analitik yaitu menggunakan Metode Permukaan Respon(RSM) dengan Desain Komposit Pusat (CCD) (Dewiet.al.,2013). Beberapa parameter yang ditelitiantara lain: variasi konsentrasi kalsein, pH, potensial akumulasi dan waktu akumulasi. Untuk menentukan ketelitian, ketepatan dan kesensitifan metoda ditentukan standar deviasirelatif (SDR), perolehan kembali (recovery), batas deteksi (limit deteksi), serta linear range. 2. KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS



dengan 1,10 fenantrolin sebagai pengomplek secara voltammetri stripping adsorptif (Sudkate et. al., 2013) dan penentuan Cu dalam level ultra runut dalam sampel makanan dengan tiosemikarbazida sebagai pengomplek (Shahryar et. al., 2011). Pengggunaan kalsein sebagai pengomplek telah dilaporkan untuk penentuan sensitif dan selektif Titanium secara voltammetri stripping katalitik adsorptif (Marcin and Golimowski, 2001), sedangkan penggunaan kalsein untuk penentuan tembaga belum pernah dilaporkan. Pada penelitian ini digunakan kalsein sebagai pengomplek untuk analisis logam Cu, dengan voltammetri stripping adsorptif dimana struktur kalsein dapat dilihat pada Gambar 1 (Marcin and Golimowski., 2001).



Voltammetri stripping adsorptif (AdSV) adalah bagian dari metode voltammetri stripping yang didasarkan atas penyerapan (adsorpsi) dari komplek logam pada elektroda kerja atau elektroda merkuri tetes gantung (HMDE), kemudian diikuti reduksi dari komplek logam yang teradsorpsi pada permukaan elektroda kerja dengan memberikan potensial reduksi secara cepat (Wang, 2006). Metode ini, terdiri dari 4(empat) langkah yaitu pembentukan kompleks antara logam dengan ligan, adsorpsi kompleks pada permukaan elektroda, reduksi logam atau kompleks dan pengukuran arus dengan scan potensial secara anoda atau katoda (Amini and Kabiri, 2005). Dari hasil penelitian sebelumnya, telah dilaporkan oleh berbagai peneliti di dunia, beberapa jenis pengomplekyang digunakan untuk analisis penentuan ion-ion logam baik individual maupun secara simultan dengan voltammetri stripping adsorptif. Penentuan simultan Pb dan Cd dengan morin (Edgar et. al., 2012a, penentuan simultan Cu, Pb, Cd dan Zn dengan menggunakan mureksid sebagai pengomplek (Deswati et. al., 2014a). penentuan simultan Pb dan Cd pada level runut dalam perairan alami dengan pirogalol merah (Edgar et al., 2012b).Penentuan simultan Cu, Pb, Cd, Ni, Co dan Zn dalam sampel bahan bakar bioetanol dengan campuran beberapa pengomplek secara voltammetri stripping adsorptif dan regresi multi varian (Danielle et. al., 2014) dan penentuan simultan Pb(II), Cd(II) dan Zn(II) menggunakan clioquinol sebagai pengompleks (Herrero et. al., 2014). Penentuan yang sangat sensitif untuk sejumlah runut Cu dalam sampel makanan



Gambar 1. Struktur Kalsein (Fluorexon) Kalsein, juga dikenal sebagai fluorexon, kompleks fluorescein, adalah pewarna fluorescent dengan eksitasi dan emisi masingmasing panjang gelombang 495/515 nm. Kalsein berupa bubuk berwarna orange dengan rumus molekul C30H26N2O13 dan massa molekul relatifnya adalah 622,55 g/mol yang larut dalam NaOH 50 mg/mL digunakan sebagai indikator untuk titrasi kompleksometri untuk ion kalsium dengan EDTA, dan untuk penentuan fluorometric kalsium. Untuk penentuan kondisi optimum dari penelitian digunakan teknik optimasi menggunakan Metode Respon Permukaan dengan Rancangan Komposit Pusat (CCD) dengan 4 variabel, 3 level/taraf dan 31 kombinasi perlakuan. Langkah pertama dari optimasi rancangan 2k factorial adalah : memberi kode , dimana nilai level tertinggi (+1), level terendah (-1) dan kode (0) sebagai titik pusat. Program untuk pengolahan data statistik yaitu Mini Tab dengan menggunakan metode RSM (Respon Surface Methodology). Response Surface Methodology (RSM) merupakan suatu metode gabungan antara teknik matematika dan teknik statistik, digunakan untuk membuat model dan menganalisa suatu respon y yang dipengaruhi oleh beberapa 1516



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



variabel bebas/faktor x guna mengoptimalkan respon tersebut (Montgomery, 1991) RSM mempunyai duamodel yang dapat menggambarkan hubungan X dan Y, yaitu model orde satu dan model orde dua. Kedua model mempunyai sedikit perbedaan pada desain percobaan yang akan dianalisa. Kedua model ini harus dianalisa dan model orde satu dianalisa terlebih dahulu. Apabila model orde satu sudah baik untuk menggambarkan data, maka tidak perlu dilakukan analisa model orde dua (Isnainiet. al., 2012). Rancangan eksperimen orde I yang sesuai untuk tahap penyaring faktor adalah rancangan faktorial 2k(Two Level Factorial Design). Selanjutnya untuk model orde II, biasanya terdapat kelengkungan dan digunakan model polinomial orde kedua yang fungsinya kuadratik: k



k



i 1



i 1



Central Composite Design untuk optimasi penentuan In(III) secara voltammetry stripping adsorptif dengan menggunakan ammonium pirollidin ditiokarbamat (APDC) sebagai pengompleks. Danielle et al., (2014) telah melaporkan penentuan simultan Cu, Pb, Cd, Ni, Co dan Zn secara voltammetri stripping adsorptif dengan menggunakan teknik optimasi regresi multivariant dibantu dengan algoritma proyeksi (SPA-MLR). EspadaBellido et al., (2009) telah menggunakan analisis multivariant untuk optimasi penentuan timbal dalam air secara voltammetri stripping adsorptif pada tingkat nanomolar berdasarkan pembentukan komplek logam dengan 2asetilpiridin salicylhydrazon (2-APS). 3, METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain adalah neraca analitik Metttler AE 200, Toledo OH-USA, pH meter model 80 Griffin,797 Computer ace dari Metrohm HMDE sebagai elektroda kerja, Ag/AgClKCl 3M elektroda refrensi dan Pt sebagai electroda pembantu dan peralatan gelas yang digunakan dalam laboratorium. Bahan-bahan yang digunakan adalah HNO3 pa, NaOH, HCl pa,HClO4 pa, Cu(SO4)2, KCl, kalsein, NH4OH, gas nitrogen, akuabider, bufer pH 4, 7 dan 10. Sampel: buah-buahan, kertas saring Whatman42. Prosedur Kerja Untuk Optimasi RSM Ke dalam vessel voltammeter, dimasukkan 10 mL larutan estándar Cu(II) 10 ug/L, ditambahkan 0,2 mLKCl 0,1M dan 0,2 mL kalsein dalam 20 mL larutan, variabel ini diatur konstan selama percobaan. Konsentrasi kalsein, pH, potensial akumulasi dan waktu akumulasi diatur sesuai dengan rancangan percobaan dari Central Composit Design (CCD) pada Tabel1, di bawah ini. Dari Tabel1 tersebut didapatkan respon berupa arus puncak dari ion logam Cu Rancangan Penelitian Desain/rancangan penelitian yang akan digunakan adalah : Rancangan Komposit Pusat (CCD) dengan Response Surface Methodology (RSM) 4 faktor, dan 3 taraf/level dari setiap faktor yang diberi kode -1, 0 dan +1, dengan 2 kali ulangan. Angka -1, 0, dan +1 merupakan simbol (kode) yang menunjukkan nilai dari variabel. Angka -1 menunjukkan nilai vaiabel terendah, angka +1 menunjukkan nilai variabel tertinggi, dan



Y   0    i X i    ii X i2    ij X i X j   i j



Rancangan eksperimen orde II yang digunakan adalah rancangan faktorial 3k (Three Level Factorial Design), yang sesuai untuk masalah optimasi. Kemudian dari model orde II ditentukan titik stasioner yaitu titik dimana respon yang diamati akan maksimal, minimal atau pelana (Montgomery, 1991 dan Noordin et.al., 2004). Data pada model orde dua, agak berbeda dengan model orde satu. Pada model orde dua, data model orde satu ditambah dengan data pada titik axialnya. Model orde kedua bertujuan untuk menentukan titik yang memberikan respon yang optimum sehingga wilayah optimum yang diperkirakan akan dieksplorasi lebih jauh dapat diperkirakan dengan model yang lebih kompleks. Langkahlangkah yang diperlukan untuk menentukan model orde kedua antara lain : 1) Melakukan eksperimen dengan Central Composite Design, dan 2) Model desain eksperimen dan hasil percobaan dihitung dengan software Minitab sehingga diperoleh titik optimum. Penggunaan Metode Permukaan Respon telah dilaporkan oleh (Yilmaz et. al., 2013) dalam penentuan kandungan Al dalam sampel garam dengan menggunakan kalkon sebagai pengomplek secara voltammetry stripping katodik adsorptif (AdCSV). Selanjutnya, (Phaollicci et. al., 2004)telah menggunakan design experiment berupa 1517



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



angka 0 menunjukkan nilai variabel medium. Faktor/variable dari rancangan penelitian ini adalah konsentrasi pengomplek (kalsein), pH larutan, potensial akumulasi dan waktu akumulasi. Program untuk pengolahan data statistik yaitu Minitab dengan menggunakan metode RSM (Respon Surface Methodology). Penentuan Ketelitian Metoda (Miller and Miller, 1991) Untuk melihat ketelitian metoda yang diusulkan ditentukan nilai standar deviasi relatif (SDR) dan perolehan kembali (recovery). Penentuan standar deviasi relatif dilakukan perhitungan untuk konsentrasi ion logam Cu dengan 8 kali pengulangan (n = 8). Selanjutnya nilai perolehan kembali dilakukan dengan menggunakan sampel yang ditambahkan, yang diperoleh dari perbandingan konsentrasi sampel ditambahkan dengan sejumlah konsentrasi standar yang ditambahkan pada sampel. Aplikasi pada sampel Metoda pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampling purposif, yaitu dilakukan dengan memperhatikan kondisi serta keadaan dari daerah penelitian juga arus dan kedalaman daerah penelitian. Hal ini dimaksud untuk melihat sampai sejauh mana konsentrasi zat pencemar menyebar. Untuk mengetahui kandungan logam berat dilakukan pengambilan sampel berupa air laut, air kran, air sungai dan limbah rumah sakit. Sampel berupa air laut yang diambil dari lokasi sebelum dianalisis diawetkan dengan HNO3 65 % dengan perbandingan 2 : 1000, sedangkan sampel air sungai, air kran dan air limbah rumah sakit disaring dulu sebelum dianalisis. Penentuan Batas Deteksi (LOD) Penentuan batas deteksi (LOD) dilakukan dengan menghitung kadar yang didapat dari arus puncak yang terukur dari masing-masing larutan standar ion logam Cu, dengan menggunakan kondisi optimum yang diperoleh dari masing-masing ion logam tersebut. Selanjutnya dihitung nilai rata-rata dan standar deviasi relatifnya. Batas deteksi dihitung dari tiga kali simpangan baku (3 SB) dibagi dengan slope (kemiringan) dari larutan standar ion logam Cu. Penentuan Linear Range Daerah pengukuran linier range dilakukan dengan mengukur masing-masing arus puncak dari 10 mL larutan standar Cu dalam rentang konsentrasi antara 0-130 µg/L



pada kondisi pengukuran optimum yang telah diperoleh sebelumnya. Tabel 1. Rancangan Percobaan CCD logam Cu



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan data dilakukan dengan bantuan software Minitab 16. Analisis RSM tahap I logam Cu Hasil pengolahan data pada percobaan tahap I diperoleh hasil sebagai berikut Tabel 2. Koefisien Regresi pada Model Orde I Term Constant X1 X2 X3 X4



Coef 258,591 -36,2685 22,7848 -5,05229 -6,27646



Berdasarkan Tabel 1, model yang diperoleh dari analisis data tahap I adalah ; ŷ = 258,591 - 36,2685 X1+ 22,7848 X25,05229 X3 - 6,27646 X4 Sedangkan hasil analisis ragam data percobaan tahap I dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Ragam Model Orde I



1518



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



H0 : βi=0, H1 : ada βi≠0; i = 1,2,3,…,k Tabel 4. Hasil Analisis Ragam Model Orde II



Berdasarkan Tabel 3 dilakukan prosedur uji yang digunakan untuk memutuskan apakah model orde satu dapat digunakan atau tidak. Uji hipotesis ini digunakan untuk menguji keberartian model regresi, yaitu menguji apakan terdapat peubah bebas yang berpengaruh signifikan terhadap peubah respon, Hipotesis yang diuji adalah: H0 : βi=0, H1 : ada βi≠0; i = 1,2,3,4 Berdasarkan Tabel 3, uji parameter regresi secara serempak menghasilkan p-value sebesar 0.530, artinya p-value yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi yang digunakan yaitu sebesar α = 0.05. Dengan demikian diputuskan untuk tidak menolak H0 dan disimpulkan bahwa tidak satu pun peubah bebas yang berpengaruh signifikan terhadap peubah respon, sehingga model orde I tidak dapat digunakan. Analisis RSM tahap II logam Cu



Berdasarkan Tabel 4, uji parameter regresi secara serempak menghasilkan p-value sebesar 0.000, artinya p-value yang diperoleh lebih kecil dari taraf signifikansi yang digunakan yaitu sebesar α = 0.05. Dengan demikian diputuskan untuk menolak H0 dan disimpulkan bahwa terdapat peubah bebas yang berpengaruh signifikan terhadap peubah respon, sehingga model orde II dapat diterima. Penentuan Titik Stasoner Berdasarkan nilai Koefisien regresi pada Tabel 3 dapat disusun matriks b dan B sebagai berikut:



Karena model orde I tidak dapat digunakan, maka dilanjutkan dengan model orde 2 yaitu dengan menambahkan pengaruh kuadratik dan interaksi.Hasil pengolahan data tahap II diperoleh hasil sebagai berikut:



- 30,3417   22,4800   dan b  1,5131    3,0543



Berdasarkan Tabel 3,model yang diperoleh dari hasil ananlisis data Tahap II adalah



- 31,9435 24,0380 - 3,7643 17,9886   24,0380 - 32,9085 - 4,7447 - 10,4934  B  - 3,7643 - 4,7447 - 27,5806 - 3,6557     17,9886 - 10,4934 - 3,6557 - 33,6431 



ŷ = 362,610 - 30,342 X1 + 22,480X2 + 1,513X3 + 3,054X4 - 31,944X12-32,908 X22- 27,581 X32 - 33,643 X42 + 48,076 X1X2 - 7,529 X1X3 + 35,977X1X4 - 9,489 X2X3 - 20,987 X2X4 7,311 X3X4



sehingga diperoleh titik stasioner sebagai berikut: - 0,876403   B b - 0,210201 x0     0,233981  2   - 0,383074 1



sedangkan hasil analisis ragam data percobaan tahap II dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 dilakukan prosedur uji terhadap model orde II. Uji hipotesis ini digunakan untuk menguji keberartian model regresi, yaitu menguji apakah terdapat peubah bebas (termasuk efek kuadratik dan interaksi) berpengaruh signifikan terhadap peubah respon, Hipotesis yang diuji adalah:



Dengan demikian, solusi respons pada titik stasioner diperoleh sebagai berikut:\ 1 yˆ  ˆ0  x0 'b  362,10  10.5251  373,135 2



Selanjutnya titik stasioner dapat dikembalikan ke nilai sesungguhnya, diperoleh kondisi yang



1519



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



memberikan solusi optimla adalah sebagai berikut: Peubah



X1 (kons kalsein) X2(pH) X3 (Potensial) X4 (Waktu)



Nilai optimal (dikodekan)



Nilai optimal (tidak dikodekan)



-0,876403 -0,210201 0,233981 -0,383074



0,11 mM 6,79 -0,88 V 42,34 s



SURFACE PLOT DARI ARUS PUNCAK LOGAM Cu Hold Values Potensial(X3) 0,2340 Waktu(X4) -0,3831



400



Arus Puncak (Y)



200



0



1 0 -2



pH(X2)



-1



-1



0



1



-2



Kons. Calsein(X1)



Analisis Karakteristik Permukaan Respons.



b. Plot Contour dan Permukaan Respon pada Kondisi X2 dan X4 di titik Stasioner



Untuk mendapatkan gambaran tentang karakteristik permukaan respons maka terlebih dulu dilkukan perhitungan nilai eigen () dari matriks B dan diperoleh    - 68,4096 - 29,5170 - 23,3413 - 4,8078 Karena keempat nilai eigen adalah negative, maka bentuk permukaan respon adalah maksimum. Hal ini dapat juga dilhat dari plot contour dan plot permukaan respon. Dengan membuat konstans dua diantara 4 faktor yang diamati pada titik stasioner, maka dapat dibuat plot contour dan permukaan respons seperti dapat dilihat pada Gambar (terlampir). Berdasarkan analisis data dengan metode permukaan respon, maka disimpulkan bahwa Arus Puncak akan mencapai nilai maksimum pada saat konsentrasi kalsein = 0,11 mM, pH = 6,79, potensial akumulasi = - 0,88 Volt dan waktu akumulasi = 42,34 detik. Adapun nilai maksimum dari arus puncak adalah sebesar 373,14 nA.



Contour Plot of Arus Puncak (Y) vs Potensial(X3); Kons. Calsein(X1) Arus Puncak (Y) < 100 100 – 150 150 – 200 200 – 250 250 – 300 300 – 350 > 350



1,5



Potensial(X3)



1,0 0,5 0,0



Hold Values pH(X2) -0,2102 Waktu(X4) -0,3831



-0,5 -1,0 -1,5 -1,5



-1,0



-0,5 0,0 0,5 Kons. Calsein(X1)



1,0



1,5



SURFACE PLOT DARI ARUS PUNCAK LOGAM Cu Hold Values pH(X2) -0,2102 Waktu(X4) -0,3831



400 300 Arus Puncak (Y)



200 1



100



0 -2



-1



-1 0



Potensial(X3)



-2



1



Kons. Calsein(X1)



c. Plot Contour dan Permukaan Respon pada Kondisi X2 dan X3 di titik Stasioner SURFACE PLOT DARI ARUS PUNCAK LOGAM Cu



Plot Contour dan Permukaan Respons pada Titik Stasioner (LOGAM Cu)



Hold Values pH(X2) -0,2102 Potensial(X3) 0,2340



Dengan membuat konstan dua diantara empat faktor yang digunakan, maka dapat ditunjukkan bahwa be ntuk contour dan permukaan respons adalah maksimum. Berikut akan disajikan plot contour dan permukaan pada setiap kemungkinan pasangan faktor yang digunakan.



300 Arus Puncak (Y)



200 100 1



0



0 -2



-1



-1 0



1



Waktu(X4)



-2



Kons. Calsein(X1)



Contour Plot of Arus Puncak (Y) vs Potensial(X3); pH(X2) Arus Puncak (Y) < 200 200 – 240 240 – 280 280 – 320 320 – 360 > 360



1,5



a. Plot Contour dan Permukaan Respon pada Kondisi X3 dan X4 di titik Stasioner



Potensial(X3)



1,0



Contour Plot of Arus Puncak (Y) vs pH(X2); Kons. Calsein(X1) Arus Puncak (Y) < 0 0 – 100 100 – 200 200 – 300 > 300



1,5 1,0



pH(X2)



0,5



Hold Values Kons. Calsein(X1) -0,8764 Waktu(X4) -0,3831



0,0 -0,5 -1,0 -1,5



Hold Values Potensial(X3) 0,2340 Waktu(X4) -0,3831



0,0



0,5



-1,5



-1,0



-0,5



0,0 0,5 pH(X2)



1,0



1,5



-0,5



d. Plot Contour dan Permukaan Respon pada Kondisi X1 dan X3 di titik Stasioner



-1,0 -1,5 -1,5



-1,0



-0,5 0,0 0,5 Kons. Calsein(X1)



1,0



1,5



1520



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



ini dapat diterapkan penentuan tembaga dalam air laut secara cepat, efektif dan efesien.



Contour Plot of Arus Puncak (Y) vs Waktu(X4); pH(X2) Arus Puncak (Y) < 50 50 – 100 100 – 150 150 – 200 200 – 250 250 – 300 300 – 350 > 350



1,5 1,0



Waktu(X4)



0,5 0,0



UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah mendanai penelitian ini, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Nomor: 030/SP2H/PL/ DITLITABMAS/II/2015, Tanggal 05 Feb. 2015.



Hold Values Kons. Calsein(X1) -0,8764 Potensial(X3) 0,2340



-0,5 -1,0 -1,5 -1,5



-1,0



-0,5



0,0 0,5 pH(X2)



1,0



1,5



SURFACE PLOT DARI ARUS PUNCAK LOGAM Cu



DAFTAR PUSTAKA



Hold Values Kons. Calsein(X1) -0,8764 Potensial(X3) 0,2340



Abbasi, S,. Khodarahmiyan, K and Abbasi.F., (2011), Simultaneous determination of ultra trace amounts of lead and cadmium in food samples by adsorptive stripping voltammetry, Food Chemistry, 128: 254258. Amini. M.K and Kabiri. M., (2005), Determination of trace amounts of nickel by differential pulse adsorptive cathodic stripping voltmmetry using calconcarboxylic acid as a chelating agent, J. Iran. Chem Soc., 2 : 32-39. Attar. T., Harek. Y., and Larabi. L., (2014), Determination of copper in whole blood by differential pulse adsorptive stripping voltammetry, Mediterranean Journal of Chemistry., 2 Issue 6 : 691-700. Bezerra. M.A., Santelli. R.E., Oliveira. E.P., Villar. L.S., and Escaleira. L.A., (2008), Respon surface methology (RSM) as a tool for optimization in analytical chemistry, Talanta, 76 : 965 – 977 Danielle. S., Nascimento., Insausti. M., Band. S.F., and Lemos. S.G., (2014), Simultaneous determination of Cu, Pb, Cd, Ni, Co and Zn in bioethanol fuel by adsorptive stripping voltammetry and multivariate linear regression, Fuel, 137 :172-178. Deswati. Suyani. H and Safni.,(2012), The Method of the development of analysis Cd, Cu, Pb and Zn in sea water by adsorptive stripping oltammetry (AdSV) in the presence of calcon as complexing agent, Indo. J. Chem., 12(1) : 20 -27. Deswati, Suyani. H., Safni., Loekman. U., and Pardi. H., (2013), Simultaneous determination cadmium,copper and lead in sea water by adsorptive stripping voltammetry in the presence of calcon as complexing agent, Indo. J. Chem., 13(3) : 236 -241. Deswati, Buhatika, C., Suyani, H., Emriadi and U. Loekman., (2014)a, Simultaneous determination of copper, lead, cadmium and zinc by adsorptive stripping voltammetry in the presence of murexide, Int. J. Res. Chem. Environ., Vol. 4 Issue : 2 April :143 – 152. Deswati, Munaf. E., Suyani. H., Loekman. U and Pardi. H.,(2014)b, The Sensitiveand Simple Determination of Trace Metals Fe, Co, Ni and Cr in water samples by Adsorptive Stripping Voltammetry (AdSV) in the Presence of Calcon, Res. J.Pharm, Biol. Chem. Sci., 5(4): 990-999. Deswati, Munaf. E., Suyani. H., and Zein. R., (2015), Simultaneousdeterminationoftrace amountsofiron, cobalt,nickelandchromiuminwatersamples with calconasacomplexingagentbyadsorptive strippingvoltammetry. Asian J. of Chem., 27(11): 3978-3982.



300 Arus Puncak (Y)



200 100



1



0



0 -2



-1



-1



0



1



pH(X2)



Waktu(X4)



-2



e. Contour dan Permukaan Respon pada Kondisi X1 dan X2 di titik Stasioner Contour Plot of Arus Puncak (Y) vs Waktu(X4); Potensial(X3) Arus Puncak (Y) < 150 150 – 200 200 – 250 250 – 300 300 – 350 > 350



1,5 1,0



Waktu(X4)



0,5



Hold Values Kons. Calsein(X1) -0,8764 pH(X2) -0,2102



0,0 -0,5 -1,0 -1,5 -1,5



-1,0



-0,5 0,0 0,5 Potensial(X3)



1,0



1,5



SURFACE PLOT DARI ARUS PUNCAK LOGAM Cu Hold Values Kons. Calsein(X1) -0,8764 pH(X2) -0,2102



400



Arus Puncak (Y)



300 200



1 0 -2



-1



-1 0



1



Waktu(X4)



-2



Potensial(X3)



5. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dengan metode permukaan respon, maka didapatkan kondisi optimum penentuan tembaga yaitu: konsentrasi kalsein 0,11 mM, pH = 6,79, potensial akumulasi -0,88 Volt dan waktu akumulasi 42,34 detik dengan nilai arus puncak maksimum dari tembaga 373,14 nA.Pada kondisi optimumum tersebut diperoleh nilai standar deviasi relatif 0,74%, recovery 99,88%, linear range sampai 0,2 - 110 µg/L dengan limit deteksi 1,794 µg/L. Metoda permukaan respon



1521



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 Deswati, Suyani, H., Zein. R and Rahmi. I., (2015), Application of respon surface methodology for the determination of cadmium in sea water by adsorptive stripping voltammetry in the presence of calcon. J. Chem. Pharm. Res., 7(8): 750 -757. Deswati, Rahmi. I., Suyani. H and Zein. R., (2015), Respon surface methodology optimization for the determination of zinc in water sample by adsorptive tripping voltammetry. J. Chem, Pharm. Res., 7(10): 862 - 870. Dewi, A.K., Sumarjaya. I.W., dan Srinadi. I.G.A.M., (2013), Penerapan metode permukaan respon dalam masalah optimasi. E-Jurnal Matematika, 2(2) : 32-36. Edgar. N., Arancibia. V., Rios. R., and Rojas. C., (2012) a, Simultaneous determination of lead and cadmium in the presence of morin by adsorptive stripping voltammetry with a nafion-ionic liquid-coated mercury film electrode, Int. J. Electrochem. Sci., 7: 5521-5533. Edgar. N., Arancibia. V., Rios. R., and Rojas. C., and Segura. R., (2012)b, Nafion-mercury coated film electrode for the adsorptive stripping voltammetric of lead and cadmium in the presence of pyrogallol red, Talanta., 99: 119-124. El-Shahawi. M.S., Bashammakh. A.S., Al-Shibaai. A.A., Bahaffi. S.O., and Al-Gohani. E.H., (2011), Chemical speciation of Antimony (III and V) in water by adsorptive cathodic stripping voltammetry using the 4-(2-thiazolylazo)- resorcinol, Electroanalysis., 23(3) : 747-754. Ensafi. A.A., Abbasi S., Mansour H.R., (2001), Differential pulse adsorption stripping voltammetric determination of copper(II) with 2mercaptobenzimidazol at Hanging Mercury-Drop Electrode, Anal. Sci., 17 : 609-612 Espada-Bellido. E., Galindo-Riano. M.D., and GarciaVargas. M., (2009), Sensitive adsorptive stripping voltammetric method for determination of lead in water using multivariate analysis for optimization, Journal of Hazardous Materials., 166 :1326-1331. Herrero. E., Arancibia. V., and Rojas. C., (2014), Simultaneous determination of Pb(II), Cd(II) and Zn(II) by adsorptive stripping voltammetry using clioquinol as a chelating agent, J. Elect. Anal. Chem., 729 : 9-14. Isnaini. N., Hadi. A.F., dan Julianto. B., (2012), Model permukaan respon pada percobaan faktorial, Majalah Ilmiah Matematika dan Statistika, 12 : 24 – 32. Jugade. R., and Joshi. A.P., (2006), Highly sensitive adsorptive stripping voltammetric method for the ultra trace determination of chromium(VI), Anal. Sci., 22 : 571-574. Marcin. G and Golimowski. J., (2001), Sensitive and very selective determination of titanium by



adsorptive-catalytic stripping voltammetry with methylthymol blue, xylenol orange and calcein, Analytica Chemica Acta., 427 : 55-61. Mohammad. B., Gholivand., Pourhossein. A., and Shahlaei. M., (2011), Simultaneous determination of copper and cadmium in environmental water and tea samples by adsorptive stripping voltammetry, Turk. J. Chem., 35: 839-846. Oramahi. H.A., (2008), Teori dan aplikasi penggunaan RSM, penerbit Ardana Media, Yogyakarta, hal : 6 – 12. Paolicchi. I., Renedo. O.D., Lomillo. M.A.L and Martinez. M.A.A., (2004), Application of an a optimazation procedure in adsorptive stripping voltammetry for the determination of trace contaminant metals in aqueos medium, Anal. Chem. Acta., 511: 223 – 229. Proti. P., (2001), Introduction to modern voltammetric and polarographicanalysistechniques, Amel Electrochemistry Ed. IV. Richard. J.C., Brown Martin. J and Milton. T., (2005), Analytical technique for trace element analysis : an overview, Trend in Anal. Chem., 24(3) : 266 – 274. Sanusi. H.S., Syamsu. S dan Sardjirun. S., (1985). Kandungan dan distribusi logam berat pada berbagai komoditi ikan laut disalurkan lewat TPI Pasar Ikan Jakarta, Skripsi Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Saryati dan Wardiyati. S., (2008), Aplikasi voltammetri untuk penentuan logam berat dalam bahan lingkungan, Indo. J. Mat. Sci., edisi khusus Desember : 265-270. Shahryar. A., Bahirae. A., and Abbasai. F., (2011), A highly sensitive method for simultaneous determination of ultra trace levels of copper and cadmium in food and water samples with luminal as a chelating agent by adsorptive stripping voltammetry, Food Chemistry., 129 Issue 3: 1274-1280. Sudkate. C., Chailapakul. O., Sakai. T., Teshima. N and Siangproh. W., (2013), Highly sensitive determination of trace copper in food by adsorptive stripping voltammetry in the presence of 1,10phenanthroline, Talanta., 108 : 1-6. Wang. J., (2006). Analytical Electrochemistry, 3nded, A John Willey and Sons, Inc., Publication, New York, 85-87 and 93-97. Yilmaz. S., Ozturk. B., Ozdemir. D., Eroglu. A.E and Ertas. F.N., (2013), Application of experimental design on determination of aluminum content in saline samples by adsorptive cathodic stripping voltammetry, Turk. J. Chem., 37 : 316 – 324. Zang. S and Huang. W., (2001), Simultaneous determination of Cd(II) and Pb(II) using a chemically modified electrode, Anal. Sci., 17 : 983-985



1522



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



PENGARUH INHIBITOR EKSTRAK KULIT BUAH KAKAO (THEOBROMA CACAO) TERHADAP LAJU KOROSI BAJA LUNAK DALAM MEDIA DALAM GARAM Yuli Yetri1,2, Emriadi2, Novesar2 , Gunawarman3 1 Padang State Politechnic Chemistry Deparment Faculty of Mathematic and Natural Science Unand 3 Mechanic Department of Faculty Engineering Unand Kampus Limau Manis Padang , Indonesia Email: yuliyetriyetri @ yahoo.com, [email protected]



2



Abstrak Efek inhibisi korosi dan sifat-sifat adsorpsi oleh ekstrak kulit buah kakao (Theobroma cacao) pada mild steel dalam larutan NaCl 1,5M dipelajari menggunakan teknik konvensional metode berat hilang (weight loss) pada variasi waktu, konsentrasi dan suhu, polarisasi potensiodinamik (Tafel) pada rentang suhu (303-323) K serta Electron Impedance Spectroscopy (EIS) dengan konsentrasi ekstrak 0,5-2,5% dengan selang 0,5% untuk menentukan efisiensi inhibisinya. Polarisasi elektrokimia telah dievaluasi untuk memastikan jenis inhibitor. Spektra infrared dan GCMS dilakukan untuk mengetahui senyawa ekstrak yang berperan dalam proses inhibisi. Morfologi permukaan sampel diamati dengan menggunakan scanning electron microscopy dengan energy dispersive X-ray spectroscopy (SEM-EDX). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa laju korosi berkurang dengan kenaikan konsentrasi ekstrak dan meningkat dengan kenaikan temperatur. Efisiensi inhibisi terkorosi sebesar 91.93 (weight loss) dan 85.90% (Tafel), 90.19% (Rp) dan 71.78% (EIS) pada konsentrasi ekstrak 2,5%. Kenaikan efisiensi inhibisi juga diikuti oleh kenaikan derajat penutupan permukaan akibat dari adsorpsi kimia yang terjadi di permukaan. Kurva polarisasi menunjukkan inhibitor ini berperilaku sebagai inhibitor campuran dengan dominan pada inhibisi katodik. Adsorpsi kimia (chemiadsorpsi) yang terjadi di permukaan memenuhi aturan adsorpsi Isotherm Langmuir, dengan indikasi adsorpsinya unimolekuler. Penambahan ekstrak polar kulit buah kakao ke dalam larutan NaCl sangat efektif untuk mengurangi serangan korosi di permukaan mild steel. Key word: Extract, Corrosion inhibitor, Tafel, Adsorption, GC-MS Corrosion inhibitor is a compound that when added in small amounts can reduce the rate of corrosion in aggressive media efficiently7,8,9. Commonly used corrosion inhibitor compounds are compounds containing atoms N, P, O, S, or As10. Extract has many natural ingredients that attempted to obtain an environmentally friendly corrosion inhibitors, especially derived from extracts of bark, skin fruit4, leave5, 7, and seeds such as musa aquapinata skin4, henna leaves5, azadirachta indica11, kalmegh leaves12, rosemary flower13 , citrus aurantifiifolia14, carica papaya leaves15,16, piper ningrum 17, artemisia annua18, cathechin19, garcinia mangostana fruit20, fenugreek leaves21 and flavonoid monomers22. Cacao peels as a result of plantation waste is potentially used as inhibitors. The cacao peel until now has not been used optimally even still largely a waste of cacao plantations. The skin is only collected on a closed hole, disposed around the cacao plant, or as a mixture fodder. In order for the utilization of waste cacao peels can be useful; it is necessary to find a more efficient utilization of alternative and has a higher economic value. One is as a corrosion inhibitor because the peels of cacao containing metabolites secunder sizable19,22. Among polyphenols,



INTRODUCTION Corrosion is a spontaneous process that occurs in metal who want to return to forms previously, as a result of material degradation. One easily corroded material is mild steel. Mild steel has a high popularity because these metals have the ability to be used in a wide variety of needs, easily welded, and relatively inexpensive. Because of this ability then steel is widely used as a commercial commodity to make the construction, automotive industry, machinery industry, automobile industry and lainnya1-3. Because steel is easily corroded it needs maintenance to reduce the corrosion rate. There are several ways to slow the rate of corrosion, namely: the coating, anodic or cathodic protection and with the addition of inhibitor1-4. The use of corrosion inhibitors corrosion treatment is one of the most efficient and economical, because the compound will protect the surface of mild steel from corrosive media by forming a passive layer or protective. The use of the usual inorganic inhibitors is less effective and has a negative impact because it is toxic and unfriendly environment5. Therefore it may be advisable use of organic inhibitors from natural product, non-toxic and biodegradable5, 6.



1523



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 flavonoids, tannins, saponins and anthocyanin rich in lone electro pairs15,16,22. Based on this needs to be done a study to determine the inhibitory power of cacao peels extract to the reaction rate of corrosion of steel in sodium chloride solution.



using the KBr disk technique. Then, analyzed the spectrum produced by the compound functional group table. METHODS Weight loss method Mild steel which has been prepared weighed to determine the initial, then immersed in 1.5 M NaCl corrosive medium for 48 hours, 96 hours, 192 hours, 384 hours and 768 hours, the inhibitor concentration variation was 0.5%, 1.0%, 1.5%, 2.0% and 2.5%. After the corrosion process run for a predetermined time, corrosion products removed from the media corrosion, brushed using a soft brush, then washed with distilled water and finally rinsed with acetone. Then dried at room temperature, and then weighed as the final weight. Corrosion rate and inhibition efficiency calculated with equations 1 and 213-14 the following:



EXPERIMENTAL Mild steel Sample Preparation The sample used for this study is a low carbon steel (mild steel). The chemical composition testing of mild steel with a Foundry-Master Xpert Spectrometry. The composition of mild steel obtained as in Table 1. Sample preparation is done by forming a circular piece of mild steel with a diameter of 25 mm and a thickness of 2-3 mm. After that, the specimen is polished using SiC emery paper to the size of fineness 120, 600, 800, 1000, and 1500 μm and final polished with alumina compound. This has a smooth surface washed with detergent and distilled water, the last use of alcohol in order to free samples of fat. Then the sample was dried with a hot dryer at a temperature of 30 °C for 10 minutes. Ready-made samples stored in desiccators. Table 1. Chemical composition of mild steel Mild steel Contain



V=



IE% =



ΔW



Axt V without inhibitor – V with inhibitor V without inhibitor



(1) x 100% (2)



Where, w is weight loss in mg, A is area of the specimen in cm2, t is exposure time in hours, V is corrosion rate and IE is inhibition efficiency.



Chemical composition (% mass) C Fe Si Cr Mo Mn S Cu P 0,32 97,8 0,22 0,1 0,2 0,9 0,06 0,3 0,07



Electrochemical measurements First prepared in solution and computer controlled potentiostat instrument EDAQ 466 Potentiostat-Advanced Electrochemical System. Samples to be corrosion, put on holder footage, and dipped in a corrosion cell containing a solution of corrosive media as much as 10 ml. Then put mild steel as the working electrode, auxiliary electrode and electrode comparator into the corrosion cell. Then the three electrodes were connected to the potentiostat instrument. Measured with a scanning speed of 0.1 mV/sec. Measurements will be obtained from the corrosion current density (Icorr), corrosion potential (Ecorr), resistance polarization (Rp). Tafel curves obtained while the inhibition efficiency was obtained using the formula 38,12,21 following:



Preparation of Cacao peels Extract Cacao peels is cleaned of dirt, then chopped into small pieces and dried in the open air without sunlight for 14 days. Skin that has been dried, ground up into a powder. Cacao powder rind 200 grams, put in macerator, then added 70% methanol in 1 L. Then the mixture was stirred and left in a macerator for 4-5 day. Maceration results filtered by using filter paper, then the filtrate was put in a vacuum rotary evaporator with a Heidolph WB 2000 at temperature of 54-55 °C for 1 hour until a concentrated extract. The extracts ready to be used as inhibitors. Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) and Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FTIR) GC-MS is used to identify what compound that plays a role in the inhibition of corrosion of mild steel. The composition of the extracts studied earlier by using gas chromatography mass spectrometry (GC-MS). Tests carried out by GC-MS-QP2010S Shimadzu, with parameters of initial column: AGILENTJ%W DB-1, length: 30 m, ID: 0.25 mm, carrier gas: Helium, EI: 70 Ev, injection mode: Split, injection temperature: 310oC, column temperature: 70oC and maximum of 324oC for 50 minutes, column flow: 0,5 ml/min, linear velocity: 25.9cm/sec. Than continue FTIR test. This test is done to see the functional groups contained in the cacao peels extract. FTIR spectra were recorded in a Nicolet iS10-FTIR spectrophotometer, which extended from 4000 to 400 cm-1,



IE% =



Icorr – Icorr (inh ) Icorr



x100%



(3)



Where, Icorr and Icorr (inh) are the corrosion current densities without and with the presence of inhibitors. Corrosion testing using the technique of Resistance Polarization, intended to look at the sample resistance to oxidation when given external potential. Resistance polarization is a good method to determine the corrosion rate and inhibition efficiency without damaging the metal by using the formula 4 22 following: Rp =



1524



ba x bc Icorrx 2.303 (ba +bc )



x100%



(4)



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 Where: ba = Tafel slope of the anodic and bc = cathodic Tafel slope



0,60 0,50 Weight loss (g)



Electron Impedance Spectroscopy (EIS) Methods EIS method used to determine the resistant transfer of electric charge and double layer interface with a solution of mild steel. The procedure with this method is almost the same as the Tafel method. Electrochemical parameter obtained from this test is Rs, Rct and Cdl, where Rs is the resistance of the solution, the Rct is the charge transfer resistant and Cdl is the capacitance of the electric double layer. Initial operation of the tool is tested OCP (open circuit potential) to determine the stability of the electrode surface and the test solution. At the time of the EIS measurements, this used amplitude of 10 mV peak to peak with a frequency range of 0.1 Hz to 100Hz. The percentage inhibition efficiency is determined by the following equation 520,23: Rct(inh) - Rct %IE = ------------------ x 100% (5) Rct(inh)



0,40



48 jam



0,30



96 jam



0,20



192 jam



0,10



364 jam



0,00



768 jam 0,0



1,0



2,0



3,0



Concentration of extract (%)



. Figure 1: Weight loss against concentration of extract at different time interval 3,0 Corrosion rate (gram.cm2 day)



2,5 2,0



Where, Rct and Rct (inh) are the charge transfer resistant of mild steel in solutions without and with the presence of inhibitors.



48 jam



1,5



96 jam



1,0



192 jam 364 jam



0,5



Surface analysis After the corrosion test, surface samples were analyzed using optical microscopy brand S-3400N Scanning Electron Microscopy. This observation aims to look at the sample surface before and after the occurrence of corrosion.



768 jam



0,0 0,0



0,5



1,0



1,5



2,0



2,5



3,0



Concentration of extract (%)



Figure 2: Corrosion rate against concentration of extract at different time



RESULT AND DISCUSSION Analysis of GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry) The results of GC-MS spectra showed that the cacao peels extract as a whole contains 42 compounds (spectra peaks) dominant, can be shown in previous article (---).Of the 42 compounds that, when grouped consists of: 3 benzene groups, 1 amide, 5 carboxylic acid , 3 monoterpenes, 1 aromatic , 5 alkanes, 3 alcohols, 2 ketones and 1 steroid and the rest could not be determined because there is no supporting data.These compounds have high molecular weights that are rich in lone electron pairs. The lone electron pairs can be used to bind to the surface of mild steel through covalent bonding coordination, to form a monolayer coating on the surface of mild steel.



Iinhibition Efficiency (%)



100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0



48 jam 96 jam 192 jam 364 jam 768 jam 0,0



0,5



1,0



1,5



2,0



2,5



3,0



Concentration of extract (%) Figure 3. Inhibition Efficiency against concentration of extract at different time



Analysis of corrosion rate with the Weight loss method



The results of the corrosion test of weight loss method is seen that the addition of inhibitors to minimize weight loss and will slow the corrosion rate of the initial corrosion rate before given inhibitor as shown in Figure 1



1525



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 and 2. In contrast, the increase in the concentration of inhibitor will increase the efficiency of inhibition on the surface of mild steel; the relationship can be seen in Figure 3. This is because the larger the surface of mild steel in contact with the solution, the more surface coated mild steel by cacao peels extract as presented in Figure 4. The occurrence of these terms, in accordance with the protection mechanisms that the natural extracts are compounds containing atoms with lone electron pairs 1, 10. These atoms act as electron donors that will produce complexes with iron19. These complexes are stable, not easily oxidized and will envelop the iron metal surface, so that the rate of corrosion can be inhibited. Means with the increase of the inhibitor concentration will also increase the degree of surface coverage.



further reduce the price of Icorr. Price highest Icorr look at specimens were immersed in the media without the addition of inhibitors. While the lowest value of Icorr is owned by the specimen with the addition of inhibitors of 2.5%. If we compare the test results with weight loss potentiodynamic polarization produces the same relative response. Means a decline in the rate of corrosion of the material with increasing concentrations of inhibitors were added18.23. Figure 5 shows an indication of the increasing concentration of inhibitor was added to the media will increasingly shift the curve upward. Curves shift to a more positive price indicates that the inhibitor is added anodic23, 24 . This means that the cacao peels has a significant effect in inhibiting the anodic dissolution of mild steel in the simultaneously inhibit the hydrogen evolution reaction at the cathode 25. A rise upward curve tends in the increasing in the value of corrosion potential. Lowest Ecorr value owned by the media without the addition of inhibitors is 0.2800 V, and was highest in the medium with the addition of inhibitors is -0.2000 V. Ecorr price increase will lead to more cathodic seen specimens of the reference electrode. This shows the corrosion potential difference between the two values will be much smaller.



Surface coverage (Ɵ)



1 0,8 48 jam



0,6



96 jam



0,4



192 jam 0,2



364 jam



0



Polarization Resistance Analysis When the metal is inserted into the solution will occur interfacial electrochemical reaction between the metal and the solution. This reaction produces an electrochemical potential called the corrosion potential. This potential is determined by the amount of negative charge is formed when the metal was added to solution26,.27. When potential oxidation rate equal to the rate of reduction is called an equilibrium system. If the corrosion current Ired reduction occurs in the reduction process while the current Ioks corrosion occurs by a process of oxidation that Itotal = Ired + Ioks = 0. Flow is measured on the instrument is the total current. When a potential is not the same as Ecorr given to a system there will be polarization resulting in the reduction and oxidation reactions, thus Ired and Ioks at Ecorr can be determined. Table 2 shows the value of the free corrosion potential (Ecorr), corrosion current density (Icorr), and resistance polarization (Rp) of the measurement of each sample at various concentration of inhibitor used.



768 jam 0,0



2,0



4,0



Concentration of extract (%) Figure 4: Surface coverage against concentration of extract



Analysis of potentiodynamic polarization method Calculation of corrosion rate with Tafel curve begins by finding the value of Icorr (corrosion current density) and Ecorr (potential corrosion). Icorr and Ecorr of each sample obtained from Tafel extrapolation curves. Extrapolation is done by drawing a tangent to the anodic and cathodic parts of the branch that has the greatest straightness. Both tangents are then extended to meet at a point. This point that shows Icorr and Ecorr of the specimen in the solution. Price corrosion rate of specimens tested by potentiodynamic polarization method is determined by the value of Icorr obtained. In Table 2 it can be seen, with increasing concentrations of inhibitors in the media will Table 2. Electrochemical and corrosion parameters for mild steel in the absence and presence of Theobroma cacao peels extract in NaCl 1,5 M No.



Inhibitor Conc. (%V/V)



Icorr mA cm-2



Ecorr Vdec-1



ba Vdec-1



1. 2. 3. 4.



Blank 0,5 1,0 1,5



0.0631 0.0513 0.0467 0.0347



-0.2700 -0.2750 -0.2200 -0.2100



1.8000 3.6000 6.0000 5.0000



1526



bc Vdec-1 1.1430 2.8000 3.7500 2.5000



Rp m2 7.279 13.331 21.457 27.661



IE(%) Icorr



EI(%) Rp



18.70 25.83 29.17



45.39 66.07 73.69



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 5. 6.



2,0 2,5



0.0200 0.0089



-0.2100 -0.2200



5.6000 4.7000



The size of the potential price of corrosion samples indicate a tendency to undergo oxidation while the corrosion media18.28. High and low prices on a sample of potential corrosion inhibitor depend on the formation of a protective oxide layer membrane27. Solids Fe, Fe2O3, Fe3O4, and FeO (OH) which is a product and serves as a protective corrosion formed according to the reaction: +2



2



2Fe(OH) + Fe + 2H O →Fe O + 6H 3



(7)



3Fe(OH) → Fe O + H + 2H O 2



+



3



4



-



2



500



+



4



(8)



2



Blanko



0



Ekstrak 0.5%



-500



Ekstrak 1%



-1000



Ekstrak 1.5%



-1500



Fe(OH) + OH → FeO(OH) + H O (9) 2



81.65 90.19



1000



(6)



3



2



68.30 85.90



-



2Fe + 3H O → Fe O + 6H + 6e 2 +2



39.668 74.2365



that the resulting current is small and the rate of corrosion will be reduced, otherwise the sample has a small prices of resistance polarization have a large corrosion rate.



I (mA/cm2)



+



3.2000 2.2500



Ekstrak 2%



2



-2000



Products of iron compounds and extracts of cacao peels more often referred to as passive protective membrane layer impenetrable by oxygen. The stability of the compound Fe3O4 is highly dependent on the concentration and temperature of the solution. Needed the higher of corrosion potential enable can damage the protective layer. The formation of a protective coating that causes metal corrosion potential shifts towards more positive samples29. In theory, if the addition massive element is added in an amount which is not enough in a corrosive medium, there will be an increase in the rate of corrosion due to passivation process. The decrease in corrosion rate can only be reduced if the inhibitor is added has reached the minimum concentration for massive metal. If the amount of the minimum concentration for passivation has not been reached, then the protective layer formed could not protect the entire surface of the sample. So that part has a protective oxide coating would be cathodic and parts that are not covered by a protective membrane will be the anodic oxide, thereby increasing the corrosion process on the sample 20, 30. The size of the corrosion rate is determined by the polarization resistance value of corrosion and current density, as shown in Figure 5. In accordance with the mechanism of corrosion which results in the current, when resistant per unit area larger than the current per unit are that occurred small. The increase of resistance polarization on metal surface causes the diffusion of ions and electrons are separated from the metal surface will be reduced. So



-1,5



-0,5



0,5



1,5



Ekstrak 2.5%



E (V) vs AgCl



Figure 5. Polarization curves of mild steel absence and presence of Theobroma cacao peels extract in NaCl 1.5M Impedance Relationship with Inhibitor Concentration The results of EIS measurements on NaCl media at room temperature and atmospheric pressure expressed in the Nyquist plot. Semi-circular Nyquist plot, which shows the relationship between the real impedance to the impedance imaginary. In general, the resulting Nyquist plot does not show the half-circle, but rather a semi-circle. This behavior can be attributed to the frequency dispersion as a result of the electrode surface roughness25. The first phase of the impedance measurements without inhibitor (blank) then performed the addition of inhibitors variation. Nyquist plot difference between the blank and the absence of inhibitors. In the media added inhibitors, an increase the value of impedance in the electrode solution interface, especially Rct value. This shows that the addition of inhibitors inhibit the transfer of electrons from the surface of mild steel into the solution. So the process of oxidation of iron atoms and the reduction of H + ions are decrease29. Electrochemical parameters on the variation of the inhibitor concentration can be seen in Figure 6 and Table 3. Table



3. Relations inhibitor concentration with the electrochemical parameters in NaCl 1.5M media at room temperature and atmospheric pressure No. 1. 2. 3. 4.



Konsentrasi inhibitor (%) 0.0 0.5 1.0 1.5



Rs 34.0 23.0 23.3 22.2



Rct (Ώcm2) 505 850 1680 2435



1527



Cdl (μFcm2) 26.8 15.8 49.0 50.1



n 0.750 0.664 0.735 0.756



EI (%) 40.90 69.94 79.26



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 5. 6.



2.0 2.5



32.4 181



3259 3552



4.76 80.0



0.869 0.975



84.50 85.78



Adsorption of cacao peels extract on the surface of mild steel in NaCl was studied using equations 107.8. C 1 ---- = ----- + C (10) Ɵ Kads Where C is the concentration of inhibitor, Kads is adsorption coefficient, and Ɵ is surface coverage of mild steel by cacao peels extract. The amount of cacao peels extract covering the steel surface was studied using Langmuir and Freundlich adsorption isotherm. From 2 isotherm analysis is performed, both give a straight line if plotted C/ Ɵ vs C in Figure 8. The highest correlation coefficient was obtained from the Langmuir adsorption isotherm is 0.98-0.99. Mean adsorption occurs closer to the Langmuir adsorption isotherm equation is unimoleculer indication.



Figure 6. Nyquist plot of mild steel in NaCl 1.5M media absence and presence of inhibitors of cacao peels extract



4



Effect of Temperature Temperature variations performed from 303K323K to see interactions between iron and salt absence and presence inhibitors. Seen from Figure 7 inhibition efficiency increased with increasing concentration of cacao peels extract is added, but decreased with increasing temperature. The decrease in inhibition efficiency of the inhibitor with increase of temperature might be due to the adsorption and desorption inhibitors. Adsorption and desorption of inhibitor molecules occurs on a continuous metal surface until a balance between these two processes is reached at a certain temperature.



C/Ɵ



3 2



R² = 0,993



R² = 0,981 0,994 R² = 0,988



96 jam



1



192 jam



R² = 0,987



0 0



382 jam



1



2



0,6 R² = 0,935 0,4



303 K



Ɵ



Inhibition Efficiency (%)



764 jam



a



0,8



308 K



R² = 0,967



R² = 0,869 R² = 0,991 48 jam



R² = 0,964



96 jam 192 jam



0,2



313 K



364 jam



0,0



318 K



-0,5



324 K 0



3



C (%)



1,0 80 70 60 50 40 30 20 10 0



48 jam



0



0,5



768 jam



log C



1 2 3 Concentration of extract (%)



b



Figure 7. Effect of temperature on Inhibition Efficiency of Theobroma cacao peels extract in NaCl 1.5 M



Figure 8. Isotherm Adsorption a. Langmuir, b.Freundlich Kinetics and Thermodynamics Parameters



Adsorption Isotherm



1528



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



log V



To determine the activation energy of corrosion and thermodynamic parameters, weight loss measurements performed from 303 K - 323 K absence and presence inhibitors of cacao peels extract in various concentrations. Activation energy on the surface of mild steel in NaCl is determined by using equation 1114. Ea k



=



A



exp



-3



--------



(11)



Kads



- ∆Gads ----exp



I/T.10-3



Presenc e extract



log V/T



0



y= 0,0035 y =-10,0030 50 24, 50-2 x+ 98,-3 12, x+ 2… 12,-4 2…-5 I/T 10-3



absence extract Presence extract



b. Figure. 9. Arrhenius plots for mild steel immersed in NaCl 1.5 M solution in the absence and presence of optimum concentration (2.5 % v/v) of Theobroma cacao peels extract (a) log V vs 1/T (b) log V/T vs 1/T Table 4. Kinetic and thermodynamic parameters of mild steel in presence of Theobroma cacao peels extract in HCl. 1,5 M



-----------



N o



Indicato r



Ea (kJ/mol )



∆H (kJ/mol )



∆Go (kj/mol )



1.



Blank



98.669



347.32



2.



Blank + inhibitor



17.838 6



100.84



12 55.5



5



Absenc e extract



a.



RT Where k is a pre-exponential Arrhenius constant, T is the temperature and R is the ideal gas constant. Arrhenius curve obtained from the plot of log V vs 1/T and log V/T vs 1/T Figure 9a and Figure 9b for the system absence and presence of inhibitors. The activation energy (Ea) and heat of adsorption ΔH is calculated from the slope of the curve in Figure 9, and the results are presented in Table 4. From Table 4 looks Ea for the process of steel corrosion in NaCl absence inhibitor 98.67 KJmol-1 and the presence of inhibitors 100.08 kJmol-1. This value indicates the process of corrosion of mild steel in NaCl with inhibitors occurs slower than without inhibitor. This process occurs because the cacao peels extract to form a passive layer on the surface of mild steel, so the solubility of Fe is reduced 23. The changes of Ea also showed that the inhibitor on the metal surface either participate in the adsorption process. Langmuir adsorption isotherm has provided a clear of the mechanism of corrosion inhibition of mild steel surface in NaCl 1.5M solution without and with the presence of the extract. Value of the free energy of adsorption (ΔGads) can be calculated from the following equation 1211.12 1 =



0 y y0,0035 0,0030 = -1 = -2 5 -



∆S (kj/mol )



RT



With R is the ideal gas constant (8.314 Jmol-1K-1), the value 55.5 is the concentration of water (H2O) in solution (mol) and T is the temperature (K). The calculation of value Kads 1.2759.103 and ΔGads -17.8386 KJ/mol. Negative values of ΔGo, indicate adsorption of cacao peels molecules on the surface of mild steel in NaCl spontaneous. Adsorption occurs on the surface of mild steel is chemical, because a large value of ΔH obtained from 20 KJ/mol 31.



352.44



Mechanism Inhibitors The presence of the inhibitor molecules on the mild steel surface is due to the adsorption. Adsorptions arise due to the adhesion force between inhibitors and the surface of mild steel. The adsorption of inhibitor molecules on the mild steel surface will produce a kind of thin layers (films) that can inhibit the rate of corrosion. In this case inhibitor of cacao peels extract will act as forming a thin layer on the surface of mild steel. Additionally inhibitors also serve as



1529



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 the control of the rate of corrosion by making the metal



interaction and chemical bonding between compounds of extracts cacao peels with metal in surface area. Functional groups identified from existing peaks in both spectra are shown in Table 5.



divider between the media 8. Adsorption process of cacao peels extract on mild steel surface will occur in fungsional group19, 25. The higher the concentration of the inhibitor, which is covered by a piece of metal corrosion inhibitor molecules have also increased as shown in Figure 4. Bonding that occurs on inhibitor adsorption processes in mild steel surface alleged coordination covalent bonds



a



involving chemical adsorption as seen in the hard layer is



b



c



removed (Yuli Yetri, 2014). Figure 10 . FTIR spectra of a) TCPE, b) corrosion product after immersion in NaCl 1.5M without TCPE for 8 days (196 h), c) adsorption layer formed on the mild steel surface after immersion in NaCl 1.5Mwith 2.5 % TCPE for 8 days (196 h)



FTIR analysis Table 5. FTIR Transmittance spectra of Theobroma cacao peels extract (TCPE), Corrosion product and their Identification



N o



1 2 3 4 5 6 7 8 9



Peaks from FT-IR spectra, ν (cm-1) Corrosion Corrosion TC Product Product PE without with TCPE TCPE 668 835 105 1020 1 1022 140 0 1458 1459 160 1654 3 1637 2360 2283 2923 2923 342 34222 3854 3397



Analysis of Microstructure The observation of the surface morphology of mild steel that has not done the treatment and pre-treated with 200x magnification can be seen in Figure 11a-11c. Photos surface structure of the sample is obtained by using the S3400N Scanning Electron Microscopy with a magnification of 200 times. Photo initial surface morphology of the specimen can be seen in Figure 11a, the image seen the fine lines are white and relatively thin which is the effect of grinding and sanding on the surface of mild steel. Seen also that the surface is flat, clean, and non-porous and there are no holes.



Possible groups



Fe-H Fe=O C-O (ether) C-C=C(asimetric aromatic) C-C (aromatic) C=O H-C-H (phenol) C-H O-H (phenol)



a Figure 10 shows a significant difference between the three spectra. There are several peaks in Figure 10a is lost, but in Figure 10b and 10c accompanied by the presence of a new peak in the both picture. However, many peaks that appears in the same or adjacent frequencies. Identified functional groups of cacao peels extract (Figure 10a) is phenols, aromatic rings and ether. Most of these functional groups appear in the corrosion products but with little frequency shift. For example, C-O functional groups that are at a frequency of 1051cm-1 shifted to 1020 and 1022 cm-1, C = O shift from 1603 cm-1 to 1654 cm-1 and 1637, while the OH shift from 3422 cm-1 to 3422 cm-1 and 3397. New peak appears at frequency 2360 and 2283 is the C-H bonds (phenol), 668 cm-1 is the Fe-H bond, and another new peak at 835 cm-1 is predicted Fe = O bond the effect of strain. These results indicate that there has been



c b



Figure 11. SEM images of Mild steel in NaCl 1.5M after 8 days immersion at room temperature (a) before immersion (polished) (b) without inhibitor (blank) (c) with 2.5 % inhibitor. This means it has not been demonstrated mild steel corrosion reaction because there is no influence of the environment such as water, air, acids, salts, bases or from corrosive substances. The morphology of the surface of mild steel after immersion for eight days in NaCl 1.5M corrosive solution with and without the addition of cacao peel extract shown in Figure 11b and 11c. Of the two images can be seen there are significant differences in the surface of mild steel due to the reaction that occurs in a corrosive solution of sodium chloride. Figure 10b the steel surface looks rough and many clumps of corrosion



1530



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 products. While in Figure 10c with the addition of 2.5% extract visible decrease the rate of corrosion attack, the steel surface is smooth and no visible lumps of corrosion products.



2. Cacao peels extract adsorbed on the surface of the mild steel by chemical adsorption, through coordination covalent bonds with forming a passive layer on its surface. The increasing concentration of the extract, increasing the surface coverage of the mild steel surface. 3. Corrosion rate of mild steel was significantly reduced with the addition of the cacao peels extract in NaCl.1.5M. But inhibition efficiency increases with increase concentration of extract to 2.5%. Although the efficiency decreases with increasing working temperature, but the efficiency is still high enough until temperature 323K. 4. From the potentiodynamic measurement known inhibitor type cacao peels extract is mixed type inhibitors in NaCl 1.5M with dominant cathodic inhibitor, obeys Langmuir isotherm adsorption. 5. Impedance measurements showed that the addition of inhibitors inhibit the transfer of electrons from the surface of mild steel into the solution, so that the process of oxidation of the iron atoms and the reduction of H + ions decreases. 6. The mechanism of inhibition between extract of cacao peels with mild steel surface studied through the interaction between pairs of lonely electrons that functions as donor ions to the surface of mild steel as an acceptor. 7. It can be concluded that the cacao peels extract is a good corrosion inhibitor for mild steel in NaCl. 1.5M.



Analysis of SEM-EDX Analysis of elements of C and Fe on the surface of mild steel in NaCl 1.5Mwas immersed for 8 days with and without the cacao peels extract studied by SEM-EDX. The results can be seen in Figure 12 and Table 6. Based on the obtained graphs the percentage of element C increases from 0.3% to 6.58% with the cacao peels extract. This proves that C element of the molecule cacao peels extract adsorbed on the mild steel surface to form a passive layer. While the percentage of Fe element decreased in the presence of the cacao peels extracts from 98.79% to 80.00%. The elements were detected in the initial O in Figure 12a does not exist, and in Figure 12b is detected with a low percentage. While there was an increase in Figure 12c oxygen percentage to 15.16% as immersion in NaCl 1.5M corrosive media without inhibitors, so the oxide formed quickly by an attack from the corrosive ions NaCl. But oxygen percentage is decreased to 14.54% after adding the cacao peels extract. This indicates that the Fe to form complex compounds with molecular cacao peels extract so that the percentage of Fe element were detected becomes smaller. a b c d



Acknowledgements The first author thanks to Ministry of Education, Republic of Indonesia, for BPPS scholarship grant during her doctoral study, and Hibah Doctor Grant no. DIPA 042.05.28.33421/2014. The last author thanks to Indonesia Government for providing SEM and other characterization equipments. Part of this work is supported by DP2M DIKTI under Hibah Pascasarjana Research Grant no. DIPA 023.04.2.415061/2012.



Figure 12: SEM-EDX graph the surface of Mild steel, b. Mild Steel in the extract, c. Mild Steel in NaCl 1.5M (blank), d. Mild steel in NaCl 1.5M with 2.5% extract Table 6: Recapitulation of some elements and oxides were identified in the SEM-EDX testing No



Treatment



1. 2. 3. 4.



ST 37 ST 37 + 2.5% extract ST 37 + NaCl 1.5M ST 37 + NaCl + 2.5% extract



Contain of element (% mass) C Fe O 0.32 98.79 6.19 92.66 4,33 2.27 80.61 15.16 6.58 80.00 14.54



REFERENCES 1.



2. 3.



Conclusion 1. The results of GC-MS showed that the cacao peels extracts contain many secondary metabolites. Where the functional group of compounds obtained was confirmed by FTIR testing, to determine the heteroatom groups that role in the inhibition of corrosion.



4.



5.



1531



Sastri. V. S, 2011, Green Corrosion Inhibitor Theory and Practice, John Wiley & Sons, Inc. Publication, 1st edition, Canada, pp.103-212. Fontana, M.G, 1987, Corrosion Engineering, 3rd ed, Mac Graw Hill Book Company, Singapore, 4, 14-31. Okafor, P. C, Ebiekpe, V. E, Azike, C. F, Egbung , G. E, Brisibe, E. A, and Ebenso, E. E, 2012, Inhibitory Action of Artemisia annua Extract and Artemisinin on the corrosion of Mild Steel in H2SO4 Solution, International Journal of Corrosion, Vol. 10, No. 8. Gunavathy, N. and Murugavel, S.C, 2012, Corrosion Inhibition Studies of Mild Steel in Acid Medium Using Musa Acuminata Fruit Peel Extract, E-Journal of Chemistry, Vol. 9, No. 1, pp. 487-495. Al-Sehaibani, H, 2000, Evolution of Extracts of Henna Leaves as Environmentally Friendly Corrosion Inhibitors for Metals, Mat.-wiss.u. Werkstofftech, 31, 1060-1063.



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 6.



7.



8.



9.



10.



11.



12.



13.



14.



15.



16.



17.



18.



B P. Raja, M.G. Sethurahman, 2009, Solanum Tuberosum as an Inhibitor of Mild Steel Corrosion in Acid Media, Iran J.Chem. Eng, 28: 77-84. Eddy, N. O, Awe, F, and Ebenso, E. E, 2010, Adsorption and Inhibitive Properties of Ethanol Extracts of Leaves of Solanum Melongena for the Corrosion of Mild Steel in 0,1 M HCl, Int. J. Electrochem. Sci. No. 5, pp. 1996-2011. Loto, C. A, Loto, R.T, and Popoola, A.P.I, 2011, Inhibition Effect of Extracts of Carica Papaya and Camellia Sinensis Leaves on the Corrosion of Duplex (α, β) Brass in 1M Nitric acid, Int.J. Electrochem. Sci, No. 6, pp. 4900-4914. Loto. C.A, 2012, Electrode Potential Evaluation of Effect of Inhibitors on the Electrochemical Corrosion Behaviour of Mild Steel Reinforcement in Concrete in H2SO4, J. Mater. Environ.Sci, Vol. l. No. 3, pp. 195 – 205. B. E. Amitha Rani and B.B.J. Basu, 2011, Green Inhibitors for Corrosion Protection of Metals and Alloys:An Overview, International Journal of Corrosion, 2012, 1-33. Okafor, Peter, C, Ebenso E. E, and Udofot, J, 2010, Azadirachta Indica Extracts as Corrosion Inhibitor for Mild Steel in Acid Medium. Int. J. Electrochem.Sci, No. 5, pp. 978-993. Singh, A, Singh, V.K, and Quraish, M.A, 2010, Aqueous Extract of Kalmegh (Andrographis paniculata) Leaves as Green Inhibitor for Mild Steel in Hydrochloric Acid Solution, International journal of Corrosion, pp. 1-10. Hasan, S. K. and Edrah, S, 2011, Rosemary Extract as Eco Friendly Corrosion Inhibitor for Low Carbon Steel in Acidic Medium, J. Ind. Res Tech.Vol. 1, No. 2, pp. 110113. Saratha, R, Priya, S.V and Thilagavathy P, 2009, Investigation of Citrus aurantiifolia Leaves Extract as Corrosion Inhibitor for Mild Steel in 1 M HCl, E- Journal of Chemistry. Vol. 6, No. 3, pp. 785-795. A. Figueira, and Janick, 2008, New products from Theobroma cacao seed pulp and pod gum, J. New crops, 475-478. Azizah A. H, Nik Ruslawati M. N, Swee Tee T, 1999, Extraction and Characterisation of Antioxidant from Cacao by-Products, Journal of Food Chemistry, 64, pp. 199-202. Matheswaran, P and Ramasamy, A. K., 2012, Corrosion Inhibition of Mild Steel in Citric Acid by Aqueous Extract of Piper Nigrum L, E-Journal of Chemistry, Vol. 9, No. 1, pp. 75-78. Okafor, P. C, Ebiekpe, V. E, Azike, C. F, Egbung, G. E, Brisibe, E. A, and Ebenso, E. E,



2012,



20. K.P. Vinod Kumar, M.S. Narayanan Pillai and G. Rexin Thusnavis, 2010, Pericarp of the Fruit of Garcinia Mangostana as Corrosion Inhibitor for Mild Steel in Hydrochloric Acid Medium, Portugaliae Electrochimica Act, 28, 373-383. 21. E. A. Noor, 2007, Temperature Effects on the Corrosion Inhibition of Mild Steel in Acidic Solutions by Aqueous Extract of Fenugreek Leaves, Int. J. Electrochem Sci, 2, 9961017. 22. T. Okuda, H.Ito, 2011, Tannin of Constant Structure in Medical and Food Plant, Hydrolyzable Tannins and Polyphenol Related to Tannins, J. Molecule 16, 2191-2217. 23. M. Shyamala, P.K. Kasthuri, 2012, The Inhibitory Action of The Extracts of Adathoda vesica, Eclipta alba, and Centella asiatica on The Corrosion of Mild Steel in Hydrochloric Acid Medium : A Comparative Study, International Jurnal of Corrosion, pp. 1-13. 24. P.A. Schweitzer, 2010, Fundamental of Corrosion Mechanisms, Cause, and Preventative Methods, Boca Raton, CRC Press, America, pp. 23-24. 25. T. David and J. Talbot, 1997, Strategies for Corrosion Control, Science and Technology, Brian Ralph, CRC Press, New York, pp. 14-29. 26. ASTM Standard G 59-78, 1991, Standard Practice for Conducting Potentiodynamic Polarization Resistance Measurements, American Society for Testing and Materials, Philadelphia, pp.15-47. 27. Loto, C.A, 2012, Electrode Potensial Evaluation of Effect inhibitors on the Electrochemical Corrosion Behaviour of Mild Steel reinforcement in Concrete in H2SO4, J. Mater Environ.Sci, Vol. 3, No. 1, pp. 195-205. 28. Sayed, S. Rehim, Abdel.,Hazzazi, Omar A, Amin, Mohammed, A, Kpped, Kpped, F, 2008, On The Corrosion Inhibition of Low Carbon Steel in Concentrated Sulphuric acid solutions, Journal Corrosion Science. No. 50, pp. 2258-2271. 29. N. Azzeeri, F. Mancia and A.Tamba, 1982, Electrochemical Prediction of Corrosion Behaviour of Stainless Steels in Chloride Containing Water, Corrosion Science, Vol. 22, No. 7, pp. 675-687. 30. Cheng, S, S. Chen, T. Liu, and Y. Yin, 2007, Carboxymenthyl Chitosan as an Ecofriendly Inhibitor for Mild Steel in 1M HCll, Materials Letters, 61, pp. 3276 – 3280. 31. Abdallah, M, 2004, Guar Gum as Corrosion Inhibitor for Carbon Steel in Sulfuric Acid Solutions, Portugaliae Electrochimica Acta, 22,161 – 175. 32. Yuli Yetri, Emriadi, Novesar J and Gunawarman, Corrosin Inhibitor of Mild Steel by Polar Extract of Theobroma cacao Peels in Hydrochloric Acid Solution, Asian Journal of Chemistry, (2015), 27 (3), 875-881. 33. U.S. Mohanty and K.L Lin, 2006, Potentiodynamic Polarization Measurement of Sn–8.5Zn–XAl–0.5Ga Alloy in 3.5% NaCl Solution, J. Electrochemical Society, 153, pp. 319-324.



Inhibitory



Action of Artemisia annua Extract and Artemisinin on the corrosion of Mild Steel in H2SO4 Solution, International 19.



Journal of Corrosion, Vol. 10, No. 8. M. H. Hussin and M. J. Kassim, 2011, Electrochemical, Thermodynamic and Adsorption Studies of (+)-Catechin Hydrate as Natural Mild Steel Corrosion Inhibitor in 1 M HCl, Int. J. Electrochem. Sci, 6, 1396-1414.



1532



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



UTILIZATION STUDY OF Ipomoea batatas EXTRACT AS NATURAL INDICATOR TO DETECT BORAX Dwita Oktiarni 1), Indah Puspita Sari, Sal Prima Yudha S 1), Asdim 1), Devi Ratnawati 1) 1 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu email: [email protected] Abstract The aim of this research was to determine whether the water extract of Ipomoea batatas tubers can be used as a natural indicator to detect the presence of borax content based on qualitative analysis using spectrophotometer UV-Vis. Research stages were identification of sample, preparation of Ipomoea batatas tubers extract solution, analysis of solution stability and measurement of wavelength alterations. Based on the UV-Vis analysis, the solution of water extract of Ipomoea batatas tubers could be used as an indicator for borax identification. This phenomenon was supported by the presence of new peak at 601-609 nm when borax was added to the solution. Beside that long storage time of solution was very influential on wavelength shift, where only the first day of measurement shown the best result. Therefore in analysis of borax should be done in a fresh condition. Keywords: Borax, Ipomoea batatas, Spectrophotometer UV-Vis



mahal sehingga menyulitkan masyarakat untuk dapat menguji makanan yang dikomsumsinya terdeteksi boraks atau tidak secara langsung, sehingga dibutuhkan cara untuk mendeteksi adanya boraks secara alami. Penelitian terdahulu telah menemukan bahwa ekstrak ubi jalar ungu dapat dijadikan pewarna makanan alami [3]. Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas (L.) Poir) biasa disebut Ipomoea batatas blackie karena memiliki kulit dan daging umbi yang berwarna ungu kehitaman (ungu pekat). Ubi jalar ungu mengandung pigmen antosianin yang lebih tinggi dari pada ubi jalar jenis lain. Namun selama ini belum ada laporan tentang pemanfaatan ekstrak umbi ubi jalar ungu sebagai indikator adanya boraks.



1. PENDAHULUAN Peranan bahan tambahan pangan (BTP) khususnya pengawet menjadi semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintesis. Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen, karena dampak penggunaan bahan tambahan pangan dapat berakibat positif maupun negatif. Di bidang pangan diperlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang, yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, dan bergizi [1]. Salah satu jenis BTP yang berdampak negatif bagi kesehatan tubuh dan dilarang penggunaannya yaitu boraks. Boraks sejak lama digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk pembuatan gendar nasi dan kerupuk gendar yang oleh masyarakat Jawa disebut karak atau lempeng. Boraks secara lokal dikenal sebagai air bleng, garam bleng atau pijer [2]. Pemerintah melarang penggunaan boraks per Juli 1979 dan dikuatkan melalui SK Menteri Kesehatan RI No.733/Menkes/Per/IX/1988. Meskipun sebagian masyarakat sudah mengetahui terutama produsen bahwa zat ini berbahaya jika digunakan sebagai pengawet makanan, namun penggunaannya semakin meningkat.



2. KAJIAN LITERATUR Kondisi makanan dan minuman yang tidak sehat sangat merugikan kesehatan tubuh, diantaranya dapat terinfeksi atau sakit bahkan keracunan dengan gejala antara lain mual, sakit perut, muntah, diare bahkan dapat menyebabkan kejang dan akhirnya fatal bila tidak segera mendapatkan pertolongan. Dalam kehidupan sehari-hari, bahan tambahan pangan (BTP) sudah digunakan secara umum oleh masyarakat termasuk dalam pembuatan makanan. Namun dalam prakteknya masih banyak produsen makanan yang menggunakan bahan tambahan yang berlebih, sehingga dapat menjadi racun dan berbahaya bagi kesehatan yang sebenarnya tidak boleh digunakan dalam makanan [4].



Uji boraks ini hanya dapat dilakukan pada skala laboratorium saja dan harganya pun 1533



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Sudah sejak lama boraks disalahgunakan oleh produsen nakal untuk pembuatan kerupuk beras, mi, lontong (sebagai pengeras), ketupat (sebagai pengeras), bakso (sebagai pengenyal dan pengawet), kecap (sebagai pengawet), bahkan pembuatan bubur ayam (sebagai pengental dan pengawet). Padahal fungsi boraks yang sebenarnya adalah digunakan dalam dunia industri non pangan sebagai bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu, antiseptik, dan pengontrol kecoa [1]. Sering mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks akan menyebabkan gangguan otak, hati, lemak dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin), koma, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan bahkan kematian [5]. Pada anak kecil dan bayi bila dosis dalam tubuh sebanyak 5 gram dapat menyebabkan kematian, sedangkan untuk orang dewasa kematian terjadi pada dosis 10-20 gram [6]. Penelitian terkait menyatakan bahwa ekstrak kunyit dapat digunakan sebagai pendeteksi adanya boraks pada makanan. Hasil untuk sampel yang positif mengandung boraks akan berubah warna menjadi merah kecoklatan setelah ditetesi ekstrak kunyit yang berwarna kuning. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan meneteskan ekstrak kunyit ke dalam makanan yang dijadikan sebagai sampel [7]. Selanjutnya, telah dilaporkan bahwa sampel yang positif mengandung boraks jika diteteskan pada kertas ekstrak rimpang kunyit (kertas turmeric) akan membentuk cincin berwarna ungu kecoklatan. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan meneteskan ekstrak sampel pada kertas turmeric [8]. Penelitian terdahulu melaporkan bahwa ekstrak ubi jalar ungu dapat digunakan sebagai indikator titrasi asam basa [9]. Semakin ungu warna umbinya, maka kandungan antosianinnya semakin tinggi. Berdasarkan penelitian terkait lainnya [10], diharapkan ekstrak ubi jalar ungu juga memberikan hasil yang positif dengan terjadinya perubahan warna pada larutan yang mengandung boraks, sehingga dapat digunakan sebagai indikator alami untuk mendeteksi adanya boraks.



NaOH 0,1 N, H3BO3 0,1 N, kapas, kertas saring, alumunium foil, tisu, akuades teknis, dan umbi ubi jalar ungu. Alat yang digunakan meliputi pipet mikro, pH meter, dan Spektrofotometer UV-Vis. Sampel Ipomoea batatas (L.) Poir diambil di perkebunan daerah Pematang Donok Kota Kepahiyang, Provinsi Bengkulu. Identifikasi tumbuhan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor Jl. Raya Jakarta - Bogor KM 46 Cibinong, Indonesia. Pembuatan Larutan Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu Dengan memodifikasi metode yang dilakukan terdahulu [11], umbi ubi jalar ungu yang telah dicuci bersih dengan air mengalir, dipotong kecil-kecil, diblender hingga halus dengan perbandingan 1 : 1 yaitu 100 g sampel : 100 mL akuades. Kemudian ekstrak sampel diperas dengan menggunakan kain lalu disaring dengan kapas dan kertas saring. Larutan ekstrak umbi ubi jalar ungu tersebut dipipet 5 mL dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, kemudian ditambahkan akuades sampai tanda batas. Pembuatan Larutan Boraks 1% Serbuk boraks ditimbang sebanyak 5 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 500 mL, ditambahkan akuades sampai tanda batas dan dikocok hingga larutan menjadi homogen. Pembuatan Larutan Boraks Berbagai Macam Variasi Larutan boraks 1% dipipet 75 mL dengan menggunakan pipet volume dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, kemudian ditambahkan akuades sampai tanda batas. Selanjutnya dari larutan boraks 1% diambil secara berurut sebanyak 10µL; 100µL; 1 mL; 10 mL; 15 mL; 20 mL; 25 mL; 50 mL dengan pipet mikro dan pipet volume dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL dan diencerkan dengan akuades sampai tanda batas. Sehingga dihasilkan konsentrasi 0,0001%; 0,001%; 0,01%; 0,1%; 0,15%; 0,20%; 0,25%; 0,5%; 0,75%; 1% larutan boraks. Pembuatan Larutan Uji Larutan boraks dari berbagai konsentrasi, yaitu 0,0001%; 0,001%; 0,01%; 0,10%; 0,15%; 0,20%; 0,25%; 0,50%, 0,75% dan 1% masing-masing dipipet 10 mL dengan menggunakan pipet gondok kemudian masingmasing larutan boraks ditambahkan dengan 10



3. METODE PENELITIAN Bahan-bahan pereaksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah boraks, HCl 0,1 N, 1534



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



mL ekstrak air umbi ubi jalar ungu hasil dari pengenceran ekstrak air umbi ubi jalar ungu 5 mL dalam labu ukur 100 mL. Selanjutnya dibuat larutan ekstrak air umbi ubi jalar ungu 10 mL yang telah ditambahkan akuades 10 mL, larutan ekstrak air umbi ubi jalar ungu 10 mL ditambahkan akuades kemudian dipanaskan pada suhu 100°C. Larutan boraks 0,50% 10 mL yang telah ditambahkan 10 mL ekstrak air umbi ubi jalar ungu dipanaskan sampai suhu 100°C kemudian dinginkan. Larutan boraks 0,50% 10 mL ditambahkan dengan 10 mL air umbi ubi jalar ungu dan 10 mL NaOH 0,1 N kemudian 10 mL larutan boraks 0,50% ditambahkan dengan ekstrak air umbi ubi jalar ungu dan HCl 0,1 N masing-masing 10 mL.



Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum (λmax) Larutan Campuran Ekstrak Air Umbi Ubi Jalar Ungu Larutan yang telah dibuat dari langkah (pembuatan larutan uji) masing-masing dipipet sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke dalam botol vial yang telah ditutup dengan alumunium foil lalu larutan dimasukan ke dalam kuvet. Kemudian diatur panjang gelombangnya mulai dari panjang gelombang 380-800 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan data yang diperoleh dari pengukuran panjang gelombang ini digunakan untuk melihat perubahan absorbansi dan pergeseran puncak spektrum yang dihasilkan karena adanya interaksi antara boraks dan ekstrak umbi ubi jalar ungu. Dilakukan juga pengukuran pada larutan boraks 1% dan untuk blanko menggunakan akuades.



Uji Stabilitas pH Larutan Terhadap Lama Waktu Penyimpanan Tingkat keasaman (pH) sampel dapat diukur menggunakan alat pH meter. Sebelum memulai pengukuran alat ini dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan buffer pH 7. Nilai yang terbaca harus sesuai dengan nilai pH kalibrasi. Setelah kalibrasi dilakukan, elektroda dicuci dengan menggunakan akuades. Setelah pH meter dikalibrasi, pengukuran larutan ekstrak umbi ubi jalar ungu dapat dimulai. Pengukuran pH larutan ini diukur pada hari ke-1, hari ke-3, dan hari ke-6 dengan larutan yang sama. Larutan yang akan diukur meliputi larutan-larutan yang telah dibuat pada langkah (pembuatan larutan uji), akuades dan larutan boraks 1%.



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Stabilitas pH Larutan Terhadap Lama Penyimpanan Penelitian terdahulu menyatakan bahwa pH akan mempengaruhi stabilitas antosianin dan juga warna dari antosianin tersebut [12]. Dengan meningkatnya pH menunjukkan adanya pengurangan kualitas warna merah dan perubahan warna pada pigmen antosianin [13]. Data pengukuran pH ekstrak air umbi ubi jalar ungu dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 hasil pengukuran pH larutan memperlihatkan bahwa lamanya penyimpanan larutan yang ditambahkan ekstrak ubi jalar ungu berpengaruh terhadap derajat keasaman larutan tersebut, dimana nilai pH larutan bertambah seiring dengan lamanya penyimpan sampel larutan. Nilai pH larutan ekstrak selama masa penyimpanan mengalami peningkatan pada No. 1, 2, 3, 4, 5, 14 jika dibandingkan dengan pH pada hari ke-1. Berbeda dengan larutan ekstrak ubi jalar ungu pada No. 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, serta pH akuades dan boraks 1% semakin lama penyimpanan larutan tersebut nilai pH-nya semakin turun. Perubahan saat penyimpanan dikemungkinan disebabkan (1). Reaksi kopigmentasi, (2). Diduga ekstrak masih mengandung enzim polifenolase yang mengkatalis reaksi pencoklatan [14].



Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum (λmax) Larutan Ekstrak Air Umbi Ubi Jalar Ungu Dengan Larutan Pembanding. Larutan ekstrak umbi ubi jalar ungu dipipet sebanyak 2 mL dan dicampurkan dengan akuades sebanyak 2 mL dimasukkan ke dalam botol vial kemudian larutan diaduk hingga homogen dan dimasukan ke dalam kuvet. Kemudian diatur panjang gelombangnya mulai dari panjang gelombang 380-800 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Perlakuan yang sama dilakukan dengan mengganti akuades dengan penambahan larutan Boraks 0,5%, larutan HCl 0,1 N, larutan NaOH 0,1 N, larutan H3BO3 0,1 N dan larutan (H3BO3 0,1 N dan NaOH 0,1 N). Blanko yang digunakan pada pengukuran ini adalah akuades.



Hasil Nilai Panjang Gelombang Maksimum (λmax) dan Absorbansi (A) Ekstrak Air 1535



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



puncak gelombang larutan ekstrak ubi jalar ungu dengan variasi konsentrasi boraks dan larutan pembanding. Adanya puncak pada rentang panjang gelombang 380 nm sampai 800 nm menunjukkan bahwa adanya interaksi antar larutan tersebut. Adapun spektrum dari ekstrak air ubi jalar ngu dengan variasi konsentrasi boraks ditunjukkan pada Gambar 1.



Umbi Ubi Jalar Ungu Dengan Variasi Konsentrasi Boraks. Metode spektroskopi UV-Vis dapat digunakan dalam analisis kualitatif, tetapi hanya sebagai data sekunder atau pendukung, yaitu dengan cara membandingkan spektrum baku pembanding dengan spetrum dari cuplikan yang dianalisis [15]. Analisis kualitatif menggunakan spektrometer UV-Vis dilakukan untuk mengetahui perbandingan



Tabel 1. Data uji stabiltas pH larutan ekstrak umbi ubi jalar ungu No.



Larutan



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 1.2. 13. 14. 15. 16. 17.



Ekstrak Ubi + Akuades Ekstrak Ubi + Akuades Pemanasan Ekstrak Ubi + Boraks 0,0001% Ekstrak Ubi + Boraks 0,001% Ekstrak Ubi + Boraks 0,01% Ekstrak Ubi + Boraks 0,1% Ekstrak Ubi + Boraks 0,15% Ekstrak Ubi + Boraks 0,20% Ekstrak Ubi + Boraks 0,25% Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% Ekstrak Ubi + Boraks 0,75% Ekstrak Ubi + Boraks 1% Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% + Pemanasan Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% + HCl 0,1 N Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% + NaOH 0,1 N Akuades Boraks 1%



Hari ke-1 4,75 4,63 4,20 4,84 4,89 7,52 7,83 7,97 8,16 8,43 8,46 8,51 8,30 3,26 9,13 7,21 8,57



Hari ke-1



Abs



Panjang gelombang (nm)



1536



pH Hari ke-3 4,92 5,70 5,24 4,49 5,68 6,91 7,77 7,83 7,91 8,08 8,19 8,32 8,14 3,37 8,23 7,23 8,44



Hari ke-6 6,50 6,91 6,88 6,60 7,06 7,03 7,26 7,24 7,40 8,09 8,16 8,31 8,17 3,79 7,84 7,01 8,41



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Hari ke-3



Abs



Panjang gelombang (nm) Hari ke-6



Abs



Panjang gelombang (nm) Gambar 1. Hasil spektrum larutan ekstrak air umbi ubi jalar ungu. Tabel 2. Hasil nilai panjang gelombang maksimum (λmax) dan absorbansi (a) ekstrak air umbi ubi jalar ungu dengan variasi konsentrasi boraks. No



Larutan



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.



Ekstrak Ubi + Akuades Ekstrak Ubi + Akuades Pemanasan Ekstrak Ubi + Boraks 0,0001% Ekstrak Ubi + Boraks 0,001% Ekstrak Ubi + Boraks 0,01% Ekstrak Ubi + Boraks 0,1% Ekstrak Ubi + Boraks 0,15% Ekstrak Ubi + Boraks 0,20% Ekstrak Ubi + Boraks 0,25% Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% Ekstrak Ubi + Boraks 0,75% Ekstrak Ubi + Boraks 1% Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% + Pemanasan Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% + HCl 0,1 N Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% + NaOH 0,1 N Akuades Boraks 1%



Hari ke-1 543 553 544 543 541 601 604 605 606 606 606 606 606 521 606 -



Berdasarkan Tabel 2 larutan boraks dan ekstrak air umbi ubi jalar ungu dengan



λmax (nm) Hari ke-3 539 527 537 527 603 604 520 -



Absorbansi (A) Hari ke-6 553 603 603 520 -



Hari ke-1



Hari ke-3



Hari ke-6



0,301 0,231 0,311 0,312 0,312 0,406 0,449 0,432 0,461 0,442 0,467 0,433 0,177 0,453 0,215 -



0,348 0,323 0,256 0,327 0,313 0,297 0,528 -



0,273 0,270 0,266 0,537 -



berbagai perlakuan didapatkan panjang gelombang dan absorbansi yang berbeda-beda, 1537



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



dimana setiap pengulangan pengukuran larutan dari hari ke-1 hingga hari ke-6 didapatkan bahwa semakin lama penyimpanan sampel maka struktur yang ada di dalam ekstrak akan semakin rusak karena pengaruh dari suhu dan lingkungan. Dari data Tabel 2 dan Gambar 1, hasil pengukuran panjang gelombang maksimum larutan dapat dilihat bahwa hanya pada hari ke1 semua larutan yang direaksikan dengan larutan ekstrak umbi ubi jalar ungu puncak panjang gelombangnya dapat diukur. Setelah hari ke-3 dan ke-6 larutan ekstrak yang direaksikan dengan boraks tidak terukur lagi panjang gelombangnya. Hal ini mungkin dikarenakan terjadinya dekomposisi larutan boraks terhadap lamanya penyimpanan larutan tersebut. Larutan ekstrak air umbi ubi jalar



ungu mempunyai serapan puncak panjang gelombang pada daerah 530-550 nm. Pada hari ke-1 absorbansi yang didapatkan 0,301 dan terjadi peningkatan absorbansi pada hari ke-3 tetapi di hari ke-6 larutan ekstrak telah menurun kembali, dan panjang gelombang yang didapat semakin hari semakin menurun ini disebabkan larutan yang berkurang kadar keasamannya sehingga kestabilan larutan ini pun menurun. Pada larutan ekstrak dan boraks yang dapat terdeteksi UV-Vis dengan terjadinya pergeseran batokromatik meliputi larutan boraks antara lain 0,1%; 0,15%; 0,20%, 0,25%, 0,50%, 0,75% dan 1%. Puncak panjang gelombang larutan ekstrak ubi dengan larutan boraks dari hasil spektrum berada pada daerah yang sama yaitu daerah 600-610 nm.



(a. )(b.)(c.)(d.)(e.) (f.) (g.)(h.)(i.) (j.) (k.) (a. )(b.)(c.)(d.)(e.)(f.)(g.)(h.)(i.) (j.)(k.) (a. )(b.)(c.)(d.) (e.) (f.) (g.)(h.) (i.) (j.) (k.)



Gambar 2. Hasil gambar fisik larutan ekstrak air umbi ubi jalar ungu. (a.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + akuades (b.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,0001%, (c.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,001% (d.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,01% (e.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,1% (f.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,15% (g.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,20% (h.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,25% (i.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,50% (j.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,75% (k.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 1%. Pada Gambar 2 dapat terlihat jelas berwarna coklat [14]. Pada larutan ekstrak perubahan warna yang terjadi pada saat larutan yang telah ditambahkan boraks dengan ekstrak ditambahkan dengan larutan boraks konsentrasi 0,75% dan 1% masih didapat 0,1% dan 1% warnanya berubah menjadi biru puncak panjang gelombangnya diduga karena kehijauan dari warna merah pucat warna dasar antosianin tidak stabil pada larutan boraks ekstrak ubi. Perubahan warna tersebut yang konsentrasinya kecil sehingga dikarenakan perubahan pH dari bentuk kation menyebabkan panjang gelombang flavilium menjadi quinodial anionik dimana maksimumnya tidak teramati dan stabil pada terjadi kehilangan satu atom H pada cincin B konsentrasi boraks yang tinggi. antosianin. Namun pada hari ke-3 dan ke-6 Berbeda dengan larutan ekstrak umbi ubi larutan tersebut berubah warna menjadi jalar ungu dengan boraks yang ditambahkan kecoklatan hanya pada larutan campuran larutan HCl 0,1 N. Dari Tabel 2 larutan dengan konsentrasi 0,75% dan 1% saja yang tersebut semakin hari absorbansinya naik dan bertahan warna serta puncak gelombangnya. serapan puncaknya stabil pada panjang Perubahan warna antosianin ini disebabkan gelombang 521 nm sama dengan larutan karena antosianin mengalami degradasi ekstrak umbi ubi jalar ungu tanpa boraks, ini pigmen yang ditunjukkan oleh penurunan menandakan larutan ekstrak ubi dengan HCl absorbansi. Penurunan nilai absorbansi tidak dapat digunakan untuk mendeteksi disebabkan karena terjadinya perubahan adanya boraks karena HCl yang bersifat asam struktur pigmen antosianin sehingga bentuk kuat akan menutupi larutan boraks yang aglikon menjadi kalkon (tidak berwarna) dan bersifat asam lemah sehingga larutan yang akhirnya membentuk alfa diketon yang didapat tetap bersifat asam. Warna pada 1538



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 [5] Widyaningsih D.T dan Erni S.M. Formalin. Trubus Agri Sarana. Surabaya. 2006. [6] Norliana, S. The Health Risk of Formaldehyde to Human Beings. Malaysia. University Putra Malaysia. Faculty of Food Science and Tekhnology. 2009. [7] Reysa E. Rahasia Mengetahui Makanan Berbahaya. Titik Media Publisher. Jakarta. 2013. [8] Fardiaz, S. Bahan Tambahan Makanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 2007. [9] Sari, I.P. Pemanfaatan Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomea Batatas Poir) Sebagai Indikator pada Titrasi Asam Basa. Bengkulu: Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Bengkulu. 2011. [10] Badriyah, L. Ekstrak Kunyit Sebagai Pendeteksi Boraks Pada Makanan. UNEJ JURNAL 2013, I (1): 1-3. 2013. [11] Sihombing, P. Aplikasi Ekstrak Kunyit (Curcuma domestica) Sebagai Bahan Pengawet Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. 2007. [12] Markakis P. Stability of Anthocyanins in Foods dalam Anthocyanins as Food Colors. New York : Academic Press inc. 1982. [13] Satyatama, DI. Pengaruh Kopigmentasi Terhadap Stabilitas Warna Antosianin Buah Duwet (Syzygium cumini). Tesis. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 2008. [14] Lydia, S.W., Simon, B.W., dan Susanto, T. Ekstraksi Dan Karekterisasi Pigmen Dari Kulit Buah Rambutan (Nephelium lappaceum). Var. Binjai Biosains, Vol. 1 No. 2, Hal. 42-53. 2001. [15] Mulya, M dan Suharman. Analisis Instrumental. Airlangga University Press, Surabaya, 1995.



larutan ini menjadi semakin pekat sehingga nilai absorbansinya pun semakin tinggi. Berdasarkan Gambar 2 warna merah larutan stabil tidak berubah karena antosianin stabil pada kondisi asam. 5. KESIMPULAN Ekstrak air umbi ubi jalar ungu dapat digunakan sebagai indikator alami untuk mendeteksi adanya boraks, dimana konsentrasi boraks yang terdeteksi yaitu pada variasi 0,1 %, 0,15%, 0,20%, 0,25%, 0,50%, 0,75% dan 1,0% yang ditunjukkan dengan adanya puncak serapan larutan pada panjang gelombang 601609 nm dan terjadinya perubahan warna larutan. Dari hasil spektrum serapan UV-Vis dapat juga terlihat bahwa lama waktu penyimpanan larutan sangat berpengaruh terhadap pergeseran panjang gelombang, sehingga dalam analisis boraks sebaiknya dilakukan dalam keadaan larutan segar. 6. REFERENSI [1] Cahyadi W. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta, 2008, Edisi Kedua. [2] Winarno, F.G dan Rahayu, S.T. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994. [3] Winarti, S., Sarofa, U., Anggrahini, D. Ekstraksi dan Stabilitas Warna Ubi Jalar Ungu (Ipomoea Batatas L.,) Sebagai Pewarna Alami. Jurnal Teknik Kimia. Vol 3. No. 1. September 2008. 2008. [4] Hastuti S. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Formaldehid Pada Ikan Asin di Madura. Teknologi Industri Pertanian. Universitas Trunojoyo, Madura. 2010.



1539



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



KAJIAN IMMOBILISASI ASAM GALAT PADA Mg/Al HIDROTALSIT Dyah Fitriani1 Sri Juari Santosa2 1 FMIPA Universitas Bengkulu email : [email protected] 2 FMIPA Universitas Gadjah Mada email : [email protected] Abstract Immobilization of gallic acid on Mg/Al hydrotalcite has been conducted. Mg/Al hydrotalcite (Mg/Al HT) has been synthesized by coprecipitation method of Mg(NO 3)2 and Al(NO3)3 at pH 10 with Mg(II) and Al(III) molar ratio of 2 : 1. The synthesized Mg/Al HT as well as its immobilization product with gallic acid (Mg/Al HT-GA) were characterized by X-ray Diffraction and FT-IR Spectroscopy. The effect of pH on immobilization Gallic acid and isoterm adsorption were also studied. Immobilization of gallic acid was reached at pH 5. The analytical result using FTIR and XRD showed that gallic acid has been immobilized on surface of Mg/Al HT with adsorption capacity which was determined according Langmuir isoterm model was 86.957 mg/g. Keywords : Mg/Al hydrotalcite, gallic acid, Langmuir isoterm model.



Dengan terimobilisasinya asam galat pada HT diharapkan molekul ini akan mampu meningkatkan daya adsorpsi HT sekaligus juga memiliki kemampuan untuk dapat mereduksi anion logam.



1.



PENDAHULUAN Hidrotalsit (HT) merupakan salah satu mineral lempung yang murah dan mudah disintesis, mempunyai kemampuan pertukaran anion yang besar dan luas muka yang besar. Rumus umum senyawa ini adalah [MII1-xMIIIx(OH)2]x+[AmxII dan MIII berupa kation x/m·nH2O] , dengan M divalen dan trivalen seperti Mg2+ dan Al3+. Amadalah anion organik atau anorganik dan nilai x berkisar antara 0,20–0,33 [1]. HT juga disebut hidroksida lapis ganda, karena terdiri dari dua lapisan dan ruang antar lapis. Hidrotalsit dapat disintesis dengan dua metode yaitu pengendapan langsung dan pengendapan tidak langsung. Hidrotalsit hasil sintesis dengan metode pengendapan secara langsung banyak dimanfaatkan untuk menyerap anion-anion anorganik yang bersifat polar, dimana anion yang diserap akan menggantikan posisi –OH pada lembar bidang lapisnya ataupun anion anorganik pada bidang antar lapisnya [2]. Hidrotalsit memiliki sifat yang istimewa karena mampu berperan sebagai penukar ion, mempunyai sifat memory effect dan luas permukaan yang tinggi. Adsorben ini banyak diaplikasikan untuk mengadsorpsi berbagai anion misalnya diklofenak [3], zat warna metilen orange [4], timbal [5] anion AuCl4ˉ [6] dan lain-lain. Asam galat termasuk senyawa fenolik. Molekul ini mempunyai tiga gugus hidroksil dan satu gugus karboksil. Senyawa fenolik yang mengandung gugus OH yang terikat pada cincin aromatis diketahui mempunyai kemampuan sebagai agen pereduksi.



2. METODE PENELITIAN 2.1 Alat dan Bahan Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini Mg(NO3)2·6H2O, Al(NO3)3·9H2O, NaOH, HCl, HNO3, asam galat (C7H6O5), semua bahan ini produksi E.Merck, dan gas N2 (CV Perkasa). Analisisnya dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer inframerah (Shimadzu FTIR-8201 PC), diffraktometer sinar-X (Shimadzu XRD-6000), spektrofotometer UV-VIS (Shimadzu UV-1700 pharmaspec), Spektrometer Serapan Atom (SSA) (Analytic Jena contrAA 300). 2.2 Prosedur Kerja 2.2.1 Sintesis Mg/Al HT Sejumlah 12,821 g (0,05 mol) Mg(NO3)2·6H2O ditambahkan 9,378 g (0,025 mol) Al(NO3)3·9H2O, selanjutnya dilarutkan dalam akuades bebas CO2 dalam labu takar 100 mL. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan larutan NaOH 0,5 M tetes demi tetes sampai larutan campuran mencapai pH 10, selanjutnya diaduk ± 30 menit sambil dialiri dengan gas N2. Larutan campuran kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 120 ºC selama 5 jam, selanjutnya didinginkan hingga proses pengendapannya sempurna.



1540



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Endapan dipisahkan dari larutannya dengan cara centrifuge. Endapan yang diperoleh dicuci dengan akuades bebas CO2, hingga pH netral. Endapan koloid yang masih mengandung air tersebut selanjutnya disaring dengan kertas whatman 42 dan dikeringkan dalam oven pada temperatur 70 ºC selama 48 jam. Setelah kering padatan yang diperoleh digerus pada lumpang porselen dan diayak dengan ayakan ficsher 250 mesh. Karakterisasi padatan hasil sintesis dilakukan dengan menggunakan difraktometer sinar-X dan spektroskopi inframerah.



c. Penentuan model isoterm adsorpsi Larutan asam galat dengan pH optimum diinteraksikan dengan 0,01 gram Mg/Al HT pada variasi konsentrasi asam galat 0; 10; 25; 50; 100; 200 dan 500 ppm. Selanjutnya digojog selama 90 menit, setelah itu disaring dengan kertas saring whatman no.42. Konsentrasi asam galat dalam larutan diukur dengan spektrofotometer UV-Visibel pada panjang gelombang serapan maksimum. d. Stabilitas asam galat yang terimobilisasi pada Mg/Al HT (Mg/Al HT-AG) Dibuat larutan akuades pada variasi pH 3; 5; 7; 9 dan 11 dengan penambahan HCl atau NaOH. Pada masing-masing larutan tersebut ditambahkan 0,01 gram Mg/Al HT-AG dan kemudian digojog selama 90 menit, setelah itu disaring dengan kertas saring whatman no.42 dan kemudian filtratnya diukur dengan spektrofotometer UV-Visibel pada panjang gelombang serapan maksimum.



2.2.2 Analisis kandungan logam dan air bebas serta air kristal pada Mg/Al HT Sebanyak 50 mg Mg/Al HT ditambahkan 10 mL larutan HNO3 0,1M kemudian diaduk dan ditambahkan akuabides hingga volume 100 mL sehingga diperoleh konsentrasi 500 ppm. Larutan Mg/Al HT yang diperoleh kemudian dianalisis kandungan logam Mg dan Al nya. Analisis H2O bebas dan H2O kristal pada Mg/Al HT dilakukan dengan cara menimbang 0,2 gram Mg/Al HT kering kemudian dipanaskan selama 3 jam pada suhu 110 oC, setelah itu timbang berat Mg/Al HT hasil pemanasan. Hasil yang diperoleh merupakan H2O bebas, kemudian Mg/Al HT ini dipanaskan kembali pada suhu 180 oC selam 3 jam. Selisih berat sampel sebelum dan sesudah pemanasan pada suhu 180 oC merupakan H2O kristal.



e. Karakterisasai padatan Mg/Al HT-AG Mg/Al HT sebanyak 0,10 gram digunakan untuk mengadsorp 100 mL larutan asam galat pada kondisi pH dan konsentrasi optimum dengan waktu kontak 90 menit. Endapan dipisahkan dari larutan dengan penyaringan menggunakan kertas saring whatman no. 42. Endapan selanjutnya dikeringkan dan dikarakterisasi menggunakan spektrofotometer inframerah dan difraktometer sinar-X.



2.2.3 Kajian imobilisasi asam galat pada Mg/Al HT a. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum asam galat Dibuat larutan 25 ppm asam galat kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 200-700 nm. Selanjutnya dibuat grafik absorbansi versus panjang gelombang dan dari grafik ini, dapat ditentukan berapa panjang gelombang serapan maksimum asam galat.



3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Sintesis dan Karakterisasi Mg/Al HT Komposisi kimia Mg/Al HT pada penelitian ini adalah Mg0,751Al0,249(OH)2(NO3)0,249·0,323H2O. Harga x = 0,249 pada padatan Mg/Al HT hasil sintesis telah memenuhi rentang x yang diperbolehkan seperti yang telah dilaporkan [1]. Berdasarkan hasil analisis menggunakan difraktometer sinar-X dihasilkan 3 puncak utama yaitu pada 2θ 11,02˚; 22,92˚ dan 34,77˚ dengan d003 sebesar 8,02 Å (Gambar 1). Tiga puncak utama ini menunjukkan puncak karakteristik Mg/Al HT sesuai dengan kartu JCPDS 14-191 [7].



b. Pengaruh keasaman Sebanyak 0,01 gram Mg/Al HT diinteraksikan dengan 10 mL larutan asam galat dengan konsentrasi 100 ppm. Harga pH larutan divariasi mulai dari pH 3; 5; 7; 9 dan 11 dengan cara menambahkan larutan HCl atau NaOH. Selanjutnya campuran digojog selama 90 menit, setelah itu disaring dengan kertas saring whatman no.42. Konsentrasi asam galat dalam larutan diukur dengan spektrofotometer UV-Visibel pada panjang gelombang serapan maksimum.



1541



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Intensitas (Counts)



1200



3.3 Kajian Imobilisasi Asam Galat pada Mg/Al HT 3.3.1 Pengaruh keasaman pH optimum imobilisasi asam galat pada Mg/Al HT tercapai pada pH 5, sedangkan pH di bawah dan di atas 5, adsorpsi mengalami penurunan. Nilai pHpzc untuk Mg/Al HT antara 8,78 [10] sampai dengan 12,0 [11] maka Mg/Al HT diduga akan mulai bermuatan positif pada pH medium di bawah 8,78. Sementara asam galat mempunyai pKa1 sebesar 4,4 dan pKa2 sebesar 8,5 [12]. Pada pH ≈ 5, asam galat telah mengalami disosiasi dan dominan dengan spesies yang bermuatan negatif. Dengan dominannya spesies yang bermuatan negatif pada asam galat, menyebabkan lebih mudah spesies bermuatan negatif dari adsorbat ini untuk berinteraksi dengan permukaan adsorben Mg/Al HT. Namun demikian, seiring dengan berubahnya nilai pH kearah nilai yang semakin besar (pH>pHpzc dan pH>pKa), jumlah asam galat yang terserap pada Mg/Al HT semakin berkurang, diduga karena Mg/Al HT yang bermuatan positif sifat positifnya semakin berkurang. Pada kondisi pH yang tinggi (kondisi basa), jumlah ion-ion OHˉ melimpah sehingga kemungkinan akan terjadi kompetisi antara ion – OHˉ dengan anion asam galat, sehingga akibatnya adsorpsi menjadi berkurang.



800



400



0 0



10



20



30



40



50



60



70



80



2 theta (derajat)



Gambar 1. Difraktogram Mg/Al HT hasil sintesis Interpretasi spektra FTIR Mg/Al HT hasil sintesis disajikan pada Gambar 2.



Gambar 2. Spektra FTIR Mg/Al HT hasil sintesis



3.3.2 Isoterm adsorpsi Kapasitas adsorpsi asam galat pada Mg/Al HT ditentukan menggunakan dua model isoterm adsorpsi yaitu isoterm Freundlich dan Langmuir.



Berdasarkan data spektra FTIR muncul serapan kuat dan melebar pada bilangan gelombang 3471 cm-1 yang menunjukkan vibrasi stretching gugus hidroksi pada lembaran-lembaran Mg/Al HT dan molekul air pada bidang antar lapisnya [6]. Bilangan gelombang 1635 cm-1 merupakan vibrasi bending molekul air pada daerah antar lapis. Pita serapan yang relatif kuat pada 1381 cm-1 menunjukkan adanya anion nitrat pada Mg/Al HT. Data spektra tidak memperlihatkan serapan dari ion karbonat yang biasanya muncul pada bilangan gelombang antara 1359-1369 cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa dalam bidang antar lapis HT hasil sintesis didominasi oleh anion NO3ˉ dan molekul air. Serapan yang melebar pada bilangan gelombang di bawah 1000 cm-1 berhubungan dengan serapan Mg-OH atau Al-OH [4,6,8]



Tabel 1.



Variasi parameter isoterm adsorpsi Freundlich dan Langmuir pada proses imobilisasi asam galat pada Mg/Al HT Freundlich Langmuir KF qmax KL N R2 R2 (mg/g) (mg/g) (L/mg) 11,83 2,48 0,74 86,96 0,10 0,974



Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa adsorpsi asam galat pada Mg/Al HT mengikuti model isoterm Langmuir dengan faktor korelasi (R2) sebesar 0,974. Artinya situs aktif pada permukaan adsorben Mg/Al HT adalah homogen, sehingga adsorpsi asam galat pada permukaan Mg/Al HT hanya membentuk satu lapisan (monolayer).



3.2 Hasil Pengukuran Panjang Gelombang Serapan Maksimum Asam Galat Panjang gelombang serapan maksimum asam galat yang diperoleh yaitu 265 nm sesuai dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Cioroi, M [9].



3.3.3 Stabilitas Mg/Al HT-AG



1542



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Abs. Larutan A dan B



Nilai absorbansi dari Mg/Al HT-AG yang diinteraksikan dengan akuades dalam berbagai variasi pH (larutan A) dengan Mg/Al HT yang diinteraksikan dengan akuades pada variasi pH (larutan B) menunjukkan nilai absorbansi yang tidak jauh berbeda atau berdekatan pada kondisi pH medium 3; 5; 7 dan 9. Sementara pada pH 11, terlihat selisih dari absorbansi larutan A dan B cukup besar dibandingkan pada pH medium yang lain (Gambar 3). Hal ini dapat dikarenakan pada pH 11 jumlah ion OHˉ dalam larutan berada dalam jumlah yang banyak, sehingga hal ini akan menyebabkan semakin besar kesempatan ion OHˉ untuk berikatan pada permukaan adsorben sehingga asam galat dapat terdesorpsi.



Hasil karakterisasi Mg/Al HT-AG dengan difraktometer sinar X dapat dilihat pada Gambar 5 berikut 1800



1600



Intensitas (a.u)



1400



1200



1000



0



2



4



6



8



10



200



(a)



0



0



10



20



30



40



50



60



70



80



2 theta (derajat)



Gambar 5.



Difraktogram padatan (a) Mg/Al HT (b) Mg/Al HT-AG Berdasarkan analisis dengan difraktometer sinar-X (Tabel 2), nilai d003 pada Mg/Al HT sebesar 8,02 sedangkan untuk Mg/Al HT-AG sebesar 8,01. Tidak adanya peningkatan basal spacing d003 pada Mg/Al HT-AG mengindikasikan bahwa anion asam galat tidak masuk ke dalam antar lapis Mg/Al HT, melainkan hanya teradsorp di permukaan Mg/Al HT. Mekanisme yang terjadi diduga bukanlah pertukaran ion melainkan interaksi elektrostatik antara asam galat dengan permukaan Mg/Al HT.



12



pH medium



Gambar



600



400



Larutan A Larutan B



0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0



(b)



800



3. Grafik Perbandingan antara absorbansi larutan hasil interaksi Mg/Al HT-AG dengan akuades (larutan A) dan Mg/Al HT dengan akuades (larutan B) pada berbagai variasi pH.



Tabel 2. Harga d(Å)/(2θ) Mg/Al HT sebelum dan setelah adsorpsi dengan asam galat Mg/Al HT d (Å)/ 2θ (derajat) 8,02 / 11,02 Sebelum adsorpsi 2,58 / 34,78 3,88/ 22,92 8,01 / 11,04 Setelah adsorpsi 2,59 / 34,62 3,92 / 22,64



3.3.4 Karakterisasi padatan Mg/Al HT- AG Pada Gambar 4 terlihat bahwa terdapat pita serapan baru yang muncul pada bilangan gelombang 2931,80 cm-1 yang menunjukkan vibrasi stretching dari C-H (sp2) yang kemungkinan berasal dari rantai cincin aromatis dari molekul asam galat. Hal ini mengindikasikan adanya imobilisasi asam galat pada Mg/Al HT.



4. KESIMPULAN 1. Immobilisasi asam galat pada Mg/Al HT terjadi pada pH 5. 2. Berdasarkan data XRD, Mg/Al HT telah berhasil disintesis pada pH 10 dengan puncak utama pada 2θ = 11,02˚; 22,92˚; 34,77˚ dan berdasarkan spektra FTIR menunjukkan adanya ikatan Mg-O dan Al-O pada permukaan serta anion nitrat pada antar lapisnya. 3. Tidak adanya peningkatan basal spacing d003 pada Mg/Al HT-AG menunjukkan bahwa asam galat teradsorp pada permukaan Mg/Al HT bukan pada antar lapis.



Gambar 4. Spektra IR Mg/Al HT (a) sebelum berinteraksi dengan asam galat (b) setelah berinteraksi dengan asam galat



5. 1543



REFERENSI



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 Treatments on Magnesium-Aluminium Hydrotalcites, J. Mater. Sci., 35, 4347-4353 [7] Bayliss, P., 1980, Mineral Powder Diffraction File, Pensylvania 19801, U.S.A. [8] Kloprogge, J.T., Wharton, D., Hickey, L., and Frost, R.L., 2002, Infrared and Raman Study of Interlayer Anions CO32-, NO3ˉ, SO42– and ClO4ˉ in Mg/Al Hydrotalcite, Am.Mint, 87, 623-629. [9] Cioroi, M., 2009, Study on Total Polyphenols and Reducing Power of Aqueous Extracts from Selected Lamiaceae Species, J. Agro. Processess and Tech., 15, 521-524. [10] Das, D. P., Das, J. P. And Parida, K., 2003, Physicochemical Characterization and Adsorption Behaviour of Calcined Zn/Al Hydrotalcites-like Compound (HTlc) Towards Removal of Fluoride from Aqueous Solution, J. Colloid. Interf. Sci., 261, 213-220. [11] Martin, M.J.S., Villa, M.V. and Camazano, M.S., 1999, Glyphosate-Hydrotalcite Interaction as Influenced by pH, Clay and Clays Minerals, 47, 777-783. [12] Slawinska,, D., Polewski, K., Rolewski, P., and Slawinski, J., 2007, Synthesis and Properties of Model Humic Substances Derived from Gallic Acid, Int. Agrophysics, 21, 199-208.



[1] Cavani, F., Trifiro, F., and Vaccari, A., 1991,



[2]



[3]



[4]



[5]



[6]



Hydrotalcite-type Anionic Clays : Preparation, Properties and Applications, Catal. Today, 11, 173301 Pollman,H., 1989, MineralogischKristallographische Untersuchugen a Hydratations Produkten der Aluminatphase Hydraulisher Bindemittel- Habilitationsschrift, Mineralogische Institut der Universitat Erlangen, Nurenberg, website http://www.wiley.com diakses tanggal 10 Oktober 2010. Astuti, 2012, Sintesis Mg-Al-Diklofenak Hydrotalcite Melalui Reaksi Penukaran Ion, Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Heraldy, E., Prasasti, D., Triyono, Wijaya, K., and Santosa, S.J., 2012, Studi Pendahuluan Pemanfaatan Limbah Desalinasi untuk Pembuatan Mg/Al Hydrotalcite-Like Sebagai Adsorben Methyl Orange, J. Bumi Lestari, 12, 16-23. Karyani, M.S., 2007, Sintesis Ca-Al-Fosfat Hidrotalsit dan Aplikasinya Sebagai Adsorben Logam Timbal (Pb2+) dalam Limbah Cair, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hickey, L., Klopprogge, J. T., and Frost, R. L., 2000, The Effects of Various Hydrothermal



1544



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



ISBN: 978-602-71798-1-3



KARAKTERISTIK SENYAWA ISOPULEGOL TERKAPSULASI SERTA UJI AKTIVITASNYA SEBAGAI ANTI OKSIDAN DAN ANTI BAKTERI Elvina Dhiaul Iftitah 1), Ravika Endriyana Safitri 2) 1 Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya Malang email: [email protected] 2 Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya Malang email: [email protected]



Abstract Research on characteristic of microencapsulated isopulegol was aimed to determine the ideal proportion between maltodextrin and arabic gum as coating material and how the antioxidant and antibacterial activity. The ration between maltodextrin and arabic gum were studied in 1:1 2:3 and 3:2. Microencapsulation was carried out by freez drying. The optimum condition for microcapsules were determined based on entrapped isopulegol through the FTIR spectra and micrograph image from SEM (Scanning Electron Microscopy). The antioxidant avtivity were determined by the 2,2diphenyl-1-picrylhydrazil (DPPH) method. Antibacterial activities were measured by paper disc diffusion of isopulegol against Escherichia coli. Microcapsules at a ratio of 3:2 was found to have better characteristics with porous and particle size of microscale. Antioxidant activity has EC50=24974 ppm. Antibacterial activity has strong inhibition toward E.coli growth around 13.3. Keywords: Microencapsules, Isopulegol, Antioxidant, Antibacterial



Abstrak Karakterisasi senyawa isopulegol termikrokapsulasi bertujuan untuk menentukan komposisi ideal bahan penyalut maltodekstrin dan gum arab. Mikrokapsul isopulegol dengan komposisi bahan penyalut ideal diuji aktivita antioksidan dan antibakteri. Komposisi bahan penyalut dibuat dalam variasi 1:1, 2:3 dan 3:2. Teknik mikrokapsul dilakukan dengan metode kering-beku. Jumlah optimum isopulegol terkapsulasi diukur secara kuantitatif dengan FTIR dan profil dianalisis dengan SEM. Aktivitas antioksidan ditentukan dengan metode DPPH. Sedangkan aktivitas antobakteri diukur dengan metode difusi terhadap bakteri Escherichia coli. Hasil yang didapatkan adalah bahwa komposisi dengan karakter terbaik adalah maltodekstrin : gum arab = (3:2) dengan pori dan ukuran partikel bersakala mikro. Aktivitas antioksidan EC50 = 24974 ppm dan aktivitas antibakteri mampu menginhibisi E.coli sebesar 13,3 Kata kunci: Mikrokapsul, isopulegol, antioksidan, antibakteri didalam satu titik saja. Sedangkan polimer yang digunakan harus biokompatibel ataupun biodegradabel [1]. Salah satunya adalah polimer campuran maltodekstrin : gum arab. Beberapa factor utama yang perlu mendapat perhatian dalam teknik mikroenkapsulasi adalah : konsentrasi bahan inti, konsentrasi emulgator dan struktur permukaan penyalut yang mempengaruhi waktu release [2] Berdasarkan strukturnya, isopulegol dapat berperan aktif sebagai senyawa antioksidan dan antibakteri. Senyawa antioksidan



1. PENDAHULUAN Isopulegol (C10H18), merupakan senyawa golongan monoterpen alcohol siklik dan memiliki volalitas yang tinggi dengan bau yang khas. Sifatnya yang mudah menguap pada suhu ruang dapat diatasi dengan menarapkan metode mikroenkapsulasi. Metode ini merupakan teknik pelapisan atau penyalutan senyawa aktif dengan polimer berukuran sangat kecil (micron). Senyawa aktif bertindak sebagai inti dan tidak terpusat 1545



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



merupakan inhibitor penghambat oksidasi. Sedangkan antibakteri adalah zat yang dapat membunuh atau menekan pertumbuhan atau reproduksi bakteri. Dalam penelitian ini, produk mikroenkapsulasi dengan berbagai komposisi penyalut terhadap bahan inti isopulegol dikarakterisasi secara kualitatif dan kuantitatif. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antioksidan dan antibakteri sebagai alternative bahan pengawet makanan.



Bahan yang digunakan : isopulegol (emerck), maltodekstrin sintetis, gum arab sintetis, aquades, 2,2-difenil-2-prihydrazil, etanol, indikator microorganism yakni Bacillus subtilis MIUG B106B, Bacillus cereus MIUG B107B, Rhodoturula glutinis MIUG D7, Candida utilis MIUG D8, Saccharomyces cerevisiae MIUG D9, Aspergillus niger MIUG M5, Penicillium glaucum MIUG M9, Geotrichum candidum MIUG M13 Peralatan yang digunakan : neraca analitik Ohaus, oven, cawan petri, motor rotary dan stirrer, botol sampel, alumunium foil, kertas saring. FREEZE DRYER MODEL FD81, seperangkat alat SEM TM3000 HITACHI, seperangkat alat UV-Visibel.



2. KAJIAN LITERATUR Mikroenkapsulasi Mikroenkapsulasi merupakan suatu teknik yang ditujukan untuk menyalut senyawa aktif berupa padatan, cairan maupun gas menggunaan polimer dalam skala mikro. Tujuan teknik tersebut adalah untuk melindungi bahan aktif, salah satunya yang disebabkan oleh sifat volalitas yang tinggi sekaligus mengatur pelepasannya. [3] Ada 2 tipe material penyalut untuk melapisi material inti yakni polimer alami dan polimer sintetis. Polimer alami yakni kitosan, gelatin, alginat, pati, glikogen selulosa yang bersifat biodegradable atau ramah lingkungan dan untuk memanfaatkan sistem- release dari bahan aktif yang tidak stabil atau juga dapat digunakan untuk bahan tertentu dalam suatu makanan. Polimer sintetik meliputi melamin, urea, dan lain sebagainya. polimer sintetik ini memiliki sifat racun apabila dikonsumsi secara langsung terutama pada bidang makanan [4].



Pembuatan Mikrokapsul Isopulegol Mikrokapsul isopulegol dibuat dengan cara melarutkan gum arab dan maltodekstrin dengan variasi bahan penyalut yakni 1:1, 2:3 dan 3:2. Tekniknya menggunakan homogenizer dengan kecepatan 5000 rpm dalam waktu 5 menit, kemudian sampel tersebut dikeringkan dengan menggunakan metode kering-beku (Freeze Dryer). Penentuan Efisiensi Jumlah Pembentukan Mikrokapsul Penentuan efisiensi dari jumlah mikrokapsul yang terbentuk dilakukan dengan cara menimbang mikrokapsul yang telah berhasil dikeringkan dengan menggunakan metode pengeringan atau freeze drying kemudian dimasukkan kedalam persamaan berikut ini:



Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Metode penentuan aktivitas antioksidan biasanya menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-2-prihidrazil) yang dapat memberikan informasi reaktivitas senyawa uji dengan sutau radikal bebas stabil. Metodenya sederhana, cepat dan mudah. Sedangkan pengujian aktivitas antibakteri digunakan metode difusi agar Kirby-Bauer menggunakan kertas yang didasarkan pada kemampuan senyawa antibakteri menghasilkan jari-jari pada zona hambat di sekeliling sumur uji terhadap bakteri yang digunakan.



% Yield = dimana : M = Berat Mikrokapsul M0= Berat isopulegol yang digunakan untuk mikrokapsulasi Penentuan Ukuran Mikrokapsul dengan Menggunakan SEM (Scanning Electrone Microscopy) Penentuan ukuran partikel mikrokapsul isopulegol yang terbentuk dari proses freeze drying dianalisis dengan SEM untuk menggambarkan morfologis dan permukaaan mikrokapsul. Produk mikrokapsulasi dilapisi atau dicoating dengan logam Pt dan Au dan dimasukkan kedalam kolom SEM pada 10 mA



3. METODE PENELITIAN Bahan dan Alat



1546



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



selama 5 menit dan kemudian dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Image sampel diamati dengan perbesaran hingga 3001200 kali. Penentuan aktivitas radikal DPPH terhadap mikrokapsul isopulegol Produk mikrokapsul ditambahkan 2 ml larutan DPPH dan 1 ml etanol. Diaduk menggunakan stirer dengan kekuatan tinggi. Kemudian dilakukan inkubasi kedalam tempat gelap selama ±60 menit. Kemudian sampel tersebut dilakukan pengukuran absorbansi pada λ 515 nm dengan menggunakan instrumen UV-Visibel. Untuk menentukan persen aktivitas antiradikal digunakan persamaan berikut ini AA% = 100 – Dimana : A sampel adalah serapan sampel dan DPPH A sampel kosong adalah serapan sampel ( mikrokapsulasi) A control adalah serapan blanko ( 2 ml DPPH + 1 ml etanol ) Penentuan aktivitas antimikroba pada mikrokapsulasi isopulegol Aktivitas mikroba ditentukan dengan menggunakan metode Mueller Hinton difusi sumuran agar. Bakteri ditumbuhkan pada nutrient agar dengan suhu 37oC selama 18 atau 20 jam tergantung pada pelarutnya. Suspensi microorganisme diuji dalam pelarut kimia (0.9 % NaCl, w/v). 2 ml supensi sel dituangkan pada kultur spesifik medium agar (masingmasing MEA dan PCA) pada temperatur 42oC dan kemudian dihomogenkan pada cawan petri steril. Setelah beku 3 sumuran dengan ukuran 5 mm dalam medium agar dan diisi dengan 200 µL suspensi dari mikrokapsul isopulegol dalam Mili-Qwater. Piringannya diinokulum dengan bakteri yang kemudian dilakukan inkubasi pada 37oC selama 48 jam untuk yeast dan 25oC selama 96 jam untuk moulds. Setelah dilakukan inkubasi pembentukan lingkaran pada daerah disekitar sumuran yang dapat diindikasikan adanya aktivitas mikroba.



4. HASIL DAN PEMBAHASAN Mikrokapsulasi Isopulegol dengan Variasi Komposisi Bahan Penyalut Maltodekstrin : Gum Arab Variasi komposisi bahan penyalut berperan dalam penentuan konsentrasi maksimum yang efisien dalam menyalut isopulegol. Maltodekstrin dipilih karena merupakan suatu polimer yang bersifat biodegradabel dan tidak berbahaya bagi tubuh. Sedangkan gum arab dapat berfungsi sebagai emulsifier yang dapat melarutkan isopulegol yang bersifat non polar dan maltodekstrin yang bersifat polar. Proses pencampuran dilakukan dengan menggunakan homogenizer yang berperan untuk menghomogenkan suatu campuran dan memperkecil ukuran glabula. Ukuran glabula berbanding lurus dengan kestabilan dari emulsi. Semakin kecil ukuran glabula maka akan semakin stabil emulsi yang akan dihasilkan. Proses terakhir yakni proses freeze dryer. Freeze dryer merupakan suatu proses pengeringan dengan menurunkan suhu dan tekanan yang akan berubah menjadi kristal. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses mikrokapsulasi adalah konsentrasi bahan inti dan emulgator. Berikut adalah hasil variasi komposisi bahan penyalut maltodekstrin : gum arab terhadap massa mikrokapsul isopulegol yang dihasilkan disajikan dalam Tabel 1 :



Tabel 1 Massa Mikrokapsul Isopulegol No 1 2 3



Komposisi Bahan Penyalut



Massa (gram)



1:1 2:3 3:2



3.73 4.31 6.15



Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan adanya kenaikkan massa mikrokapsul isopulegol terhadap kenaikkan dari komposisi bahan penyalut yang digunakan. Pada komposisi bahan penyalut 3 : 2 memiliki massa sebesar 6.15 gram.



Penentuan efisiensi maksimum Mikrokapsul Isopulegol dengan menggunakan FTIR Efisiensi mikrokapsul isopulegol dengan bahan penyalut maltodekstrin : gum 1547



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



arab ditentukan berdasarkan (%T) gugus C=C (alkena) pada bilangan gelombang 1640 – 1680 cm-1. Hasilnya menunjukkan bahwa komposisi bahan penyalut maltodekstrin : gum arab 3 : 2 memiliki konsentrasi isopulegol maksimum dengan efisiensi sebesar 58,98%.



penyalut 3:2 menggunakan SEM Quorum Q150R dengan perbesaran 300x. Gambar 2 (a) merupakan profil mikrokapsul yang disalut dengan komposisi maltodekstrin : gum arab sebesar 3:2 memiliki ukuran partikel yang besar dan memiliki pori tiap partikelnya serta bentuk dari mikrokapsul tersebut tidak berbentuk bulat sempurna dan cekung disetiap permukaan mikrokapsul, hal ini dikarenakan terjadinya penguapan pelarut pada saat proses pengeringan sehingga matriks yang telah menjerap air, akan kehilangan kandungan air [1]. Akibatnya terbentuknya cekungan – cekungan pada permukaan luar mikrokapsul. Hal tersebut umum terjadi pada bahan penyalut polimer yang berasal dari golongan polisakarida. Mikrokapsul sendiri umumnya memiliki ukuran partikel antara 15000 µm [2]. Berdasarkan hasil dari penelitian didapatkan ukuran mikrokapsul maksimum yakni sebesar 220 µm yang menunjukkan bahwa ukuran partikel tersebut sesuai dengan teori. Gambar 2 (b) memiliki profil morfologi berupa serpihan – serpihan, tidak memiliki pori, strukturnya lebih halus, dan tidak berbentuk bulat hal ini dikarenakan tidak adanya bahan inti yang digunakan. Ukuran partikel pada bahan penyalut maltodekstrin : gum arab maksimum tanpa inti yakni sebesar 57.2 µm. Dapat dilihat perbedaan ukuran partikel dari mikrokapsul dengan inti dan tanpa inti, mikrokapsul dengan menggunakan inti ukuran partikelnya lebih besar yakni 220 µm sedangkan tanpa inti sebesar 57.2 µm. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa ukuran partikel dapat mempengaruhi ketebalan dinding dari mikrokapsul. Jika mikrokapsul mengalami penurunan ketebalan dinding, maka kecepatan pelepasan dari senyawa yang terdapat dalam mikrokapsul semakin cepat [3]. Berdasarkan hasil penelitian mikrokapsul tanpa inti mengalami pelepasan yang cepat dibandingkan dengan mikrokapsul dengan inti sehingga lebih cepat menguap jika dibandingkan dengan mikrokapsul.



Gambar 1 Efisiensi Mikrokapsul Isopulegol dengan Variasi Bahan Penyalut



Penentuan Ukuran Mikrokapsul dengan Menggunakan SEM Penentuan profil dari mikrokapsul dilakukan pada mikrokapsul yang memiliki konsentrasi yang optimum dan memiliki efisiensi yang tinggi yakni pada mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan penyalut 3:2 yang kemudian dibandingkan dengan profil dari mikrokapsul tanpa mensisipkan bahan inti isopulegol dengan variasi komposisi bahan penyalut 3:2 disajikan dalam Gambar 2. (a)



(b)



Penentuan Aktivitas Antioksidan Isopulegol memiliki gugus hidroksil didalam rantai ikatannya sehingga berpotensi mempunyai aktivitas antioksidan seperti ditunjukkan dalam mekanisme reaksi berikut : Gambar 2 (a) Mikrokapsul 3:2, (b) tanpa bahan inti dengan variasi komposisi bahan 1548



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



yang lebih dari 1 sehingga mampu untuk berikatan dengan DPPH dengan jumlah yang banyak. Kemampuan untuk menghambat radikal bebas lebih besar ditunjukkan dengan kenaikan % inhibisi dari vitamin C sehingga dapat berpengaruh pada nilai EC50 yang lebih kecil. Oleh karena itu vitamin C termasuk dalam senyawa memiliki aktivitas antioksidan yang kuat.



Isopulegol akan mendonorkan I elektron pada gugus Hidrogennya sehingga akan berikatan dengan DPPH radikal menjadi DPPH tereduksi. DPPH tereduksi inilah yang akan mempengaruhi absorbansi dalam penentuan aktivitas antioksidan. Hal ini dibuktikan dengan uji aktivitas antioksidan pada isopulegol yang dibandingkan dengan yang telah dimikrokapsul adalah sebagai berikut disajikan dalam Tabel 2 :



Gambar 3. Grafik aktivitas Antioksidan



Berdasarkan Gambar 3 aktivitas antioksidan pada isopulegol lebih tinggi jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan pada mikrokapsul, hal ini dapat terjadi karena pada mikrokapsul senyawa inti yang digunakan yakni isopulegol mengalami slow release. Prinsip dari slow release adalah pengaturan pelepasan bahan aktif dari mikrokapsul untuk melindungi bahan aktif yang melarut secara konvensional [3] yang mekanisme secara lepas lambat. Oleh karena itu dapat dibuktikan dengan pengujian aktivitas antioksidan secara berkala dengan menggunakan preparasi yang sama. Kemudian dibandingkan aktivitas antioksidan yang awal dan yang berkala. Pada pengujian aktivitas antioksidan secara berkala mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan awal seperti yang disajikan pada Tabel 3. Terlihat bahwa kenaikan aktivitas antioksidan pada mikrokapsul mengalami peningkatan yang cukup tinggi jika dibandigkan dengan isopulegol tanpa mikrokapsul.



Tabel 2 Aktivitas Antioksidan pada isopulegol dan mikrokapsul No.



Konsentrasi (ppm)



1 2 3 4 5



50 100 150 200 250



% Inhibisi Isopulegol Mikrokapsul 1.799 0.957 4.570 1.641 5.912 1.778 6.169 2.735 7.969 3.000



Berdasarkan data diatas pada Tabel 2 didapatkan adanya pengaruh dari bertambahnya konsentrasi akan meningkatkan peredaman radikal bebas yang menunjukkan adanya aktivitas sebagai antioksidan. Aktivitas antioksidan yang terdapat pada isopulegol dibandingkan dengan isopulegol yang telah termikrokapsul. Berdasarkan nilai regresi didapatkan nilai EC50 pada isopulegol sebesar 5460 ppm sedangkan pada mikrokapsul sebesar 24974 ppm. Menurut Miryanti,dkk [5] aktivitas antioksidan berdasarkan harga EC50 : < 50 ppm sangat kuat, 50-100 ppm kuat,100150 ppm sedang dan >150 ppm lemah. Dari kedua nilai EC50 tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa tersebut memiliki nilai EC50 yang lemah hal ini dapat dikarenakan isopulegol merupakan senyawa monoterpene yang hanya memiliki 1 siklis sehingga hanya dapat berikatan dengan DPPH radikal hanya 1 tahap saja. Berbeda jika dibandingkan dengan Vitamin C yang merupakan kontrol positif. Vitamin C memiliki jumlah gugus hidroksil



Tabel 3. Aktivitas Antioksidan dari waktu ke waktu (ppm) 50 100 150 200 250



1549



% Inhibisi Isopulegol Awal Akhir Selisih 1.799 2.685 0.886 4.570 4.265 -0.305 5.912 8.688 2.776 6.169 10.426 4.257 7.969 11.216



% Inhibisi Mikrokapsul Awal Akhir Selisih 0.957 5.869 4.912 1.641 7.223 5.582 1.778 7.900 6.122 2.735 9.255 6.52 3.000 9.480 6.48



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Terlihat pula pada Gambar 4 yang merupakan grafik aktivitas antioksidan pada isopulegol sebelum dimikrokapsul maupun yang sudah termikrokapsul mununjukkan adanya aktivitas antioksidan, pada mikrokapsul mengalami kenaikkan yang signifikan dibandingkan dengan isopulegol hal ini dikarenakan mikrokapsul yang memiliki kemampuan slow release pada senyawa aktifnya sehingga dapat digunakan pada jangka waktu berkala tanpa mengurangi aktivitas antioksidan pada senyawa senyawa aktifnya



kertas cakram dengan menggunakan penggaris. Hasil pengukuran zona hambat dapat dilihat pada Tabel 4 Tabel 4. Diameter Zona Hambat (inhibisi) Mikrokapsul Isopulegol terhadap E.Coli Ulangan



Diameter Zona Hambat (mm) Akuades



1 2 3 Total Rata2



0 0 0 0 0



50 ppm 0 0 0 0 0



100 ppm 14 10 8 32 10.67



150 ppm 15 13 12 40 13.3



Tetracyclin (+) 22.7 22.7 23.1 68.5 22.8



Tabel 4 menunjukkan bahwa dari keempat perlakuan zona hambat yang dihasilkan pada mikrokapsul isopulegol terhadap E.coli pada konsentrasi 50 ppm tidak membentuk zona hambat (0 mm), pada 100 ppm membentuk zona hambat sebesar 10.67 mm, 150 ppm membentuk zona hambat sebesar 13.3 mm, dan pada tetracyclin yang bertindak sebagai kontrol positif memberikan zona hambat sebesar 22.8 mm hal ini menunjukkan bahwa kontrol positif dan sampel dalam berbagai konsentrasi memberikan aktivitas yang dapat menghambat bakteri E.coli. Pelarut yang digunakan sebagai kontrol yakni aquades tidak memberikan zona hambat (0 mm). Pada mikrokapsul isopulegol terhadap E.coli menunjukkan bahwa semakin pekat konsentrasi akan membentuk diameter zona hambat yang semakin besar. Aktivitas antibakteri pada isopulegol dapat diketahui dengan terbentuknya zona bening yang merupakan zona hambat dari aktivitas bakteri yang berada disekeliling kertas cakram pada media biakan E. coli. Konsentrasi yang digunakan yakni 50, 100 dan 150 ppm dengan menggunakan kontrol negatif yakni akuades. Berdasasarkan hasil penelitian yang memberikan zona hambat dari aktivitas bakteri adalah isopulegol dengan konsentrasi 50, 100 dan 150 ppm seperti pada Gambar 6.



Gambar 4. Grafik Aktivitas Antioksidan dari waktu ke waktu



4.4 Penentuan Aktivitas Antimikroba



Gambar 5. Zona Hambat Mikrokapsul Isopulegol Perlakuan terhadap E.coli



Aktivitas antibakteri pada mikrokapsul isopulegol dapat diketahui dengan terbentuknya zona bening yang merupakan zona hambat dari aktivitas bakteri yang berada disekeliling kertas cakram pada media biakan E. coli. Konsentrasi mikrokapsul isopulegol yang digunakan yakni 50; 100; 150 ppm dengan kontrol yakni berupa aquades yang merupakan suatu pelarut yang digunakan. Berdasarkan hasil dari penelitian, yang memberikan zona hambat dari aktivitas bakteri adalah mikrokapsul isopulegol dengan konsentrasi 100 dan 150 ppm sedangkan pada konsentrasi 50 ppm tidak memberikan zona hambat seperti pada Gambar 5.



Gambar 6. Zona Hambat Isopulegol Perlakuan terhadap E.Coli



Pengamatan yang dilakukan yakni dengan mengukur diameter zona hambat disekitar 1550



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Pengamatan yang dilakukan yakni dengan mengukur diameter zona hambat disekitar kertas cakram dengan menggunakan penggaris. Hasil pengukuran zona hambat dapat dilihat pada Tabel 5.



5. KESIMPULAN Mikrokapsul isopulegol efektif pada komposisi bahan penyalut maltodekstrin : gum arab = (3:2) dengan profil berpori, tidak berbentuk bulat sempurna dan memiliki ukuran partikel 220 m. Aktivitas antioksidan terukur dengan nilai EC50 sebesar 24974 ppm dan aktivitas antibakteri terhadap bakteri E.Coli memiliki zona hambat 13,3 mm yang tergolong dalam zona hambat kuat.



Tabel 5. Diameter Zona Hambat (inhibisi) Isopulegol terhadap E.Coli Ulangan



Diameter Zona Hambat (mm) Akuades



1 2 3 Total Rata-rata



0 0 0 0 0



50 ppm 7.11 7.1 8.4 22.6 7.5



100 ppm 8.4 10.6 8.6 27.6 9.2



150 ppm 7.4 7.4 7.1 21.9 7.3



Tetracyclin (+) 22.7 22.7 23.1 68.5 22.8



6. REFERENSI [1] Dima, Cristian, Cotarlet, Mihaela, Tiberius, Balaes, Bahrim, Gabriela, Alexe, Petru and Dima, S., 2014, Encapsulation of Coriander Essential Oil in Beta-Cyclodextrin : Antioxidant and Antimicrobial Properties Evaluation, Romanian Biotechnology Letters, Vol. 19 (2) [2] George, James P., and Datta, A.K., 2002, Development and Validation of Heat and Mass Transfer Models for Freeze drying of Vegetable Slices, Journal of Food Engineering, Vol. 52, p.90 [3] Chung, Seong Kyun, Seo Ji Yeon, Lim, Jung Hoon, Park Hyung Hwan, Yea, Myeong Jai., Park, H.J., 2013, Microencapsulation of Essential Oil for Insect Repellent in Food Packaging System, Journal of Food Science, Vol. 78 [4] Yuliani, S., Desmawarni dan Harimurti, N., 2007, Pengaruh Laju Alir Umpan dan Suhu Inlet Spray Drying pada Karakteristik Mikrokapsul Oleoresin Jahe, J. Pascapanen, Vol. 4 (1), Hal. 18-26



Tabel 5 menunjukkan bahwa dari keempat perlakuan zona hambat yang dihasilkan pada isopulegol terhadap E.coli pada konsentrasi 50 ppm membentuk zona hambat sebesar 7.5 mm, pada 100 ppm membentuk zona hambat sebesar 9.2 mm, 150 ppm membentuk zona hambat sebesar 7.3 mm, dan pada tetracyclin yang bertindak sebagai kontrol positif memberikan zona hambat sebesar 22.8 mm hal ini menunjukkan bahwa kontrol positif dan sampel dalam berbagai variasi konsentrasi memberikan aktivitas yang dapat menghambat aktivitas bakteri E.coli. Pelarut yang digunakan sebagai kontrol yakni aquades tidak memberikan zona hambat (0 mm).



1551



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



PENGGUNAAN PARAMETER GEOKIMIA MOLEKULAR UNTUK MENENTUKAN KORELASI MINYAK BUMI BLOK BANGKO–ROKAN HILIR DENGAN MINYAK BUMI DURI-BENGKALIS, RIAU Emrizal Mahidin Tamboesai Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Riau email: [email protected] Abstract The demand for crude oil in Indonesia is much higher than its production which leads to current energy crisis. One of solutions for this crisis is to conduct correlation study, which determines the genetic relationship at each oil well. This study could assist to provide the indication of the genetic relationship (source matter, souce rock and the origins) of Bangko and Duri crude oil. The saturated fraction was analyzed using Gas Chromatography (GC). On the basis of the abudance of hydrocarbon aliphatic, the crude oils samples have small ratio value, which is 0,38-0,50 for Pr/n-C17 and 0,16-0,18 Ph/n-C18. This values indicated that the samples were originated from higher vascular plants (terrestrial). The samples derived from lacustrine environments (lake) have ratio valueof Pr/Ph (2,50-2,90). The calculation from Star diagram have showed that the oil samples in area MB-07, MB-076 dan MB-172 of Bangko with the oil sample in Duri (MD-01) are negatively correlated. The negative correlation indicated that the oil samples have different the genetic relationship source matter and different in enhance oil recovery. Keywords: crude oil, correlation study, oil wells, Gas Chromatography, hydrocarbon aliphatic. Abstrak Minyak bumi merupakan sumber energi utama dalam bidang industri, transportasi dan rumah tangga. Peningkatan kebutuhan minyak bumi tidak seimbang dengan produksinya, dengan demikian menyebabkan Indonesia mengalami krisis energi. Salah satu upaya untuk hal tersebut dengan studi korelasi, yang merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan hubungan genetik antar sumur minyak. Studi korelasi dari sumur produksi yang berada di daerah Bangko – Rokan Hilir dengan Duri - Bengkalis belum pernah dilakukan. Studi korelasi yang dilakukan pada sampel minyak Bangko dan Duri memberikan gambaran tentang hubungan genetik, lingkungan pengendapan, batuan sumber (source rock). Sampel minyak bumi yang baru diangkat dari sumur minyak didinginkan terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis geokimia. Sampel minyak mentah dari sumur Bangko dan Duri difraksinasi dengan kolom kromatografi menjadi hidrokarbon saturat. Analisis menggunakan kromatografi gas (GC) dari fraksi saturat. Berdasarkan kelimpahan hidrokarbon alifatik, dari sampel ladang minyak bumi memiliki rasio nilai Pr/n-C17 dan Ph/n-C18 yang rendah yaitu 0,38-0,50 dan 0,16-0,18 yang mengindikasikan minyak tersebut berasal dari sumber material organik tumbuhan tingkat tinggi (terrestrial), dan lingkungan pengendapan berasal dari lingkungan lacustrine (danau) memiliki nilai rasio Pr/Ph 2,50 – 2,90. Hasil analisis diagram bintang menunjukkan minyak bumi Blok Bangko (MB-07, MB-026 dan MB-172) berkorelasi positif, akan tetapi MB-07 dengan MB-026 lebih dekat korelasinya dibandingkan dengan MB-172, sedangkan sampel minyak Bangko (MB-07, MB-026 dan MB-172) dengan sampel minyak Duri (MD-01) berkorelasi negatif. Korelasi positif mengindikasikan bahwa minyak bumi tersebut mempunyai hubungan genetik, sumber material yang sama. Kata kunci: Minyak mentah, lacustrine, kromatografi gas, diagram bintang



harus diimpor. Berdasarkan data dari Ditjen Migas (2013), konsumsi minyak bumi di Indonesia per harinya mencapai 1.530.000 barel, sedangkan jumlah produksi per hari hanya sebesar 870.000 barel. Hal ini mengakibatkan negara Indonesia harus membeli minyak bumi dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Potensi



1. PENDAHULUAN Minyak bumi merupakan sumber devisa bagi negara, sumber energi utama untuk industri, transportasi, dan kebutuhan rumah tangga. Peningkatan kebutuhan minyak bumi di Indonesia, menyebabkan komsumsi minyak bumi ini sudah tidak dapat lagi dipenuhi lagi oleh produksi minyak bumi di Indonesia sehingga sebagian kebutuhan bahan bakar 1552



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



minyak bumi di Indonesia menurut data Ditjen Migas (2013) mencapai 1,43miliar barel. Penurunan jumlah produksi dikarenakan salah banyaknya sumur minyak yang tidak berproduksi lagi (sumur tua). Oleh karena itu, perlu dilakukan eksplorasi untuk mencari sumur-sumur produksi yang baru, menentukan arah migrasi, asal usul dan sumber material organik. Salah satu upaya eksplorasi adalah dengan melakukan studi korelasi minyak bumi dari beberapa sumur produksi dan analisis geokimia molekuler (Kaufman dkk.,1990). Data kajian geokimia molekular minyak bumi digunakan untuk menentukan hubungan genetik dan arah migrasi dari sumur produksi yang berada di daerah Bangko dan Duri. Meskipun telah banyak dilakukan kajian korelasi sebelumnya, seperti kajian geokimia minyak bumi Sumatera Tengah, pernah dilakukan oleh Tamboesai (2002) terhadap korelasi antar minyak dari sumur produksi Duri, Riau, dan hal sama juga dilkukan berdasarkan penelitian Rohmani (2010), korelasi minyak bumi dari sumur produksi Langgak, Namun, lapangan Bangko belum ada studi kajian geokimia yang pernah dilakukan. Minyak bumi Bangko-Rokan Hilir dan DuriBengkalis merupakan salah satu sumur minyak yang terletak di cekungan Sumatera Tengah dan belum ada studi korelasi minyak bumi pada lapangan tersebut.



Analisis whole oil dapat di analisis yaitu sampel minyak bumi Bangko melarutkan sampel dengan diklorometana yaitu 10 mL pelarut diklorometana dan 2 g sampel p.a untuk mendapatkan minyak mentah dari sampel yang digunakan. Sampel Minyak bumi yang dilarutkan dikocok selama 30 detik. Kalau minyaknya ada berarti warna larutan berubah menjadi kuning kehitaman. Sampel yang ada minyaknya disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Hal ini dilakukan melarutkan sampel dua kali dan hasilnya kemudian digabungkan. Kemudian dianalisis dengan kromatografi gas. c. Fraksinasi minyak mentah Fraksinasi minyak mentah di bagi 2 metode yaitu menghilangkan kontaminasi senyawa polar dan memisahkan fraksi saturat. Metode pertama untuk menghilangkan senyawa polar yaitu Sampel minyak mentah ditimbang sebanyak 200 mg dilarutkan dengan 1mL n-heksana/DCM (3:1 v/v) murni, kemudian dimasukkan kedalam kolom dengan panjang 20 cm diameter 1 cm yang berisi silika gel di dalam kolom yang telah diaktivasi dengan ukuran 60-200 mesh. Kolom yang telah berisi dielusi dengan 17 mL n-heksana/DCM (3:1 v/v) murni. Kemudian eluat ditampung pada botol vial dan pelarut diuapkan hingga terbentuknya minyak pada dinding vial. Metode kedua yaitu untuk minyak yang diperoleh kemudian dilarutkan dengan 2 mL nheksana (homogen) murni, hasil yang diperoleh kemudian dimasukkan kedalam kolom panjang 20 cm dan diameter 1 cm yang berisi silika gel yang telah diaktivasi dengan ukuran 60-200 mesh. Kolom yang telah berisi sampel kemudian dielusi menggunakan 6 mL nheksana murni hingga didapat fraksi saturat berwarna bening dapat dilihat dengan kasat mata. Eluat saturat diuapkan menggunakan waterbath sampai pelarut menguap. Kemudian dianalsis dengan GC FID. d. Analisis kromatogram fraksi saturat menggunakan kromatogarafi gas Fraksi saturat dianalsis menggunakan kromatografi gas (GC) Agilent Technologies 7890 A Series dilengkapi dengan kolom kapiler fused silica DB-5, panjang kolom 30 m, diameter kolom 0,32 mm, tebal fase diam 0,25μm. Gas helium digunakan sebagai gas pembawa dengan kecepatan alir 1 mL/menit. Sampel diinjeksikan menggunakan column



2. METODE PENELITIAN a. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolom yang berdiameter 1 cm dan panjang 20 cm, kromatografi gas (GC) Agilent Technologies 7890 A Series, centrifuge, peralatan gelas yang menunjang penelitian, botol kecil (vial), statip, timbangan digital, oven. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel minyak bumi dari enam buah sumur produksi yaitu dua dari sumur minyak Bangko (PN-07, MB-076 dan MB-172) dan minyak bumi Duri (0SD-01), Silika 60-200 mesh, n-heksana, dikorometana (DCM), dan kapas steril. b. Analisis whole oil 1553



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



injector 0,2 μL dengan tinggi temperature inlet 270oC, kemudian dideteksi oleh Flame Ionization Detector (FID) yang temperaturnya o dipertahankan pada 350 C. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. whole oil kromatogram Dari analisis sampel minyak Bangko kromatogram whole oil n-alkana yang mengandung fraksi saturat, aromat dan residu (Gambar 1)



Gambar 2. Fraksi saturat kromatogram sampel minyak Blok Bangko (MB-07). Gambar 2. menunjukkan hasil dari kromatogram sampel minyak Bangko (MB-07) pada hasil kromatogram tersebut terlihat adanya puncak pristana C17 dan phitana C18. Pada kromatogram ini luas area sebagai data kuantitatif. Gambar 1. Kromatogram whole oil sampel minyak bumi Blok Bangko Whole oil merupakan minyak mentah yang diinjeksikan kedalam kromatografi gas yang belum terpisahnya fraksi saturat, aromat, dan residu. Fraksi saturat identik dengan puncak yang tinggi, sedangkan aromat puncak yang rendah. Hasil analisis dari whole oil kromatogram pada Gambar 1. menunjukkan ada dua puncak yang saling berdampingan pada bagian tengah kromatogram. Puncak pertama pada puncak tertinggi merupakan normal C17 (pristana) sedangkan puncak kedua adalah normal C18 (phitana). Kedua puncak ini merupakan awal dari penentuan nomor rantai karbon, biasanya nomor rantai karbon dapat ditentukan pada puncak sebelum maupun sesudah dari puncak pristana dan phitana.



Gambar 3. Fraksi saturat kromatogram sampel minyak Blok Bangko (MB-076) Gambar 3. menunjukkan hasil dari kromatogram sampel minyak Bangko (MB076) pada hasil kromatogram tersebut terlihat pada bagian tengah yang berdempetan adanya puncak pristana C17 dan phitana C18.



b. Analisis kromatogram GC fraksi saturat Hasil kromatogram GC FID pada fraksi saturat dari masing-masing sampel yang dilakukan pada empat sampel. Fraksi saturat terdiri dari n-parafin, iso-parafin, dan sikloalkana (naftana). Hasil fraksi saturat terlihat dari Gambar 2-5



1554



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Gambar 4. Fraksi saturat kromatogram sampel minyak Bangko (MB-172). Gambar 4. menunjukkan hasil dari kromatogram sampel minyak Bangko (MB172) bagian tengah yang berdempetan adanya puncak pristana C17 dan phitana C18.



Gambar 6. Cross plot Pr/n-C17 dan Ph/n-C18 pada minyak mentah Blok Bangko dan Duri (peters dkk., 1999) Keterangan: No



Rasio Puncak



Bangko (MB-07)



Bangko (MB-076)



a b c d e f g h



13/14 15/16 17/18 19/20 21/22 23/24 25/26 27/28



0,51 0,79 1,04 0,99 0,95 0,91 0,98 1,13



0,45 1,06 1,05 1,02 0,97 0,96 0,99 1,15



Bangko Duri (MB- (MD172) 01) 0,32 0,99 0,86 1,18 1,04 1,25 1,02 1,24 0,92 1,32 0,94 1,34 1,01 1,34 0,68 1,33



Minyak Blok Bangko (MB-07) Minyak Blok Bangko (MB-076) Minyak Blok Bangko (MB-172) Minyak Duri (MD-01) Gambar 6 menunjukkan bahwa sampel minyak tersebut pada zona A hal ini menunjukkan berasal dari sumber material organik tumbuhan tingkat tinggi (terrestrial) dan mengalami biodegradasi dengan meningkatnya kematangan (Peter dan Moldowan,1993). Nilai Pr/Ph untuk setiap sampel teranalisis dari sumur produksi Bangko yaitu 2,29-2,30, sedangkan nilai Pr/Ph Duri 2,14. Perbandingan Pr/Ph diatas dapat disimpulkan bahwa sampel diatas berasal dari lingkungan pengendapan yang sama lacustrine (danau). Menurut Didyk dkk (1975) nilai Rasio Pr/Ph antara 1,5-3,0 mengidentifikasikan tipe minyak bumi berasal dari lingkungan lacustrine (danau) yang terbentuk dalam



Gambar 5. Fraksi saturat kromatogram sampel minyak Duri (MD-01) (Putri, 2013) c. Penentuan sumber material batuan organik Sumber material batuan organik terbagi atas sumber terestrial, sumber marine ,dan sumber campuran.



1555



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



dibawah kondisi reduksi (lingkungan pengendapan material organik kurang oksigen).



bedrimplikasi kepada teknik pengurasan (eksploitasi) yang berbeda antara minyak bumi bangko dan Duri.



d. Studi korelasi dengan diagram bintang Tabel 1. Data rasio tinggi puncak kromatogram diagram bintang sumur minyak Blok Bangko dan Duri. Tabel 1. Menunjukkan data rasio tinggi puncak dari kromatogram setiap sumur minyak. Data tersebut dapat digunakan untuk membuat diagram bintang



5. Referensi Agustina, R. 2013. Kajian Geokimia Molekuler untuk Menentukan Asal-Usul, Lingkungan Pengendapan, Jenis Minyak Pertamina Lirik, Riau. Skripsi, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau, Pekanbaru. Darpis. 2014. Korelasi Geokimia Molekular Minyak Bumi Blok Langgak dengan Sumur Minyak Bumi di Pendalian IV Koto, Rokan Hulu, Riau. Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau, Pekanbaru. Didyk B.M., Simoneit B.R.T., Brassel S.C and Englinton G., 1978. Organic Geochemical Indicator of Paleoenviromental conditions of sedimentation. Nature. 272: 216-221. Ditjen Migas. 2013. “Statistik Minyak Bumi’’Kementrian Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Jakarta. Kaufman, R.L., Ahmed, A.S dan Elsinger, R.J. 1990. Gas Chromatography as development and production tool for finger printing oils from individual reservoirs : Applications in the Gulf of Mexico. Didalam : Scumacker, D. & Perkins, B.F (ed). Proceedings of the 9th Annual Research Conference of the society of economic Paleontologists and Mineralogists. New Orleands. Peters, K.E. dan Moldowan, J.M. 1993. The Biomarker Guide, Interpreting molecular fossils in Petroleum and ancient Sediments. Prentice, New Jersey. Rohmani, S. 2011. Korelasi antar Minyak Bumi dari Blok Langgak. Skripsi, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau, Pekanbaru. Tamboesai, E.M. 2002. Korelasi Antar Minyak Bumi dari Sumur Produksi. Tesis. Pasca Sarjana, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok.



Gambar 7. Diagram bintang sumur minyak Blok Bangko dan Duri berdasarkan rasio puncak kromatogram. Gambar 7 menunjukkan bahwa ketiga sampel minyak bumi dari sumur minyak Bangko (MB-07, MB-076 dan MB-172) berkorelasi positif dan berkorelasi negatif dengan minyak bumi Duri (MD – 01), hal ini menunjukkan perbedaan asal usul batuan sumber dan lingkungan pengendapan yang berbeda antara minyak bumi Bangko dan minyak bumi Duri. 4. KESIMPULAN Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa minyak bumi asal Bangko-Rohil dan Duri-Bengkalis berkorelasi negative. Hal ini menunjukkan bahwa kedua minyak bumi tersebut berasal dari batuan sumber yang berbeda dan hal tersebut



1556



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI EMULSI BERBAHAN BAKU MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN JENIS BASA YANG BERBEDA 1



Eni Widiyati 1 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu E-mail: [email protected]



Abstrak Penelitian tentang pembuatan dan karakterisasi emulsi dengan bahan baku minyak kelapa menggunakan jenis basa yang berbeda (KOH, NaOH dan trietanolamina = TEA) telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat emulsi dengan bahan baku minyak kelapa menggunakan emulgator sabun stearat dan mempelajari pengaruh konsentrasi basa terhadap sifat-sifat emulsi. Emulsi dibuat dengan cara mencampur fase air (akuades dan gliserin) yang telah dipanaskan sampai mencapai suhu 70 oC ke dalam fase minyak (minyak kelapa, asam stearat, lanolin dan setil alcohol) yang telah dipanaskan sampai 70 oC juga, kemudian ditambahkan basa sedikit demi sedikit sambil diaduk, sampai mencapai suhu 35 oC. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi basa terhadap sifat-sifat emulsi, maka basa (KOH, NaOH dan TEA) ditambahkan dengan konsentrasi yang divariasi. Emulsi yang dihasilkan ditentukan sifat-sifat fisika dan kimia meliputi bentuk, warna, pH, dan viskositas. Hasil penelitian menunjukkan, emulsi dengan bahan baku minyak kelapa menggunakan jenis basa yang berbeda telah dapat dibuat. Jika konsentrasi basa yang ditambahkan ditingkatkan, maka pH dan viskositas emulsi juga akan mengalami peningkatan. Emulsi yang dibuat dengan basa KOH dan TEA lebih stabil daripada emulsi yang dibuat dengan basa NaOH. Hal ini berarti konsentrasi basa berpengaruh terhadap sifat-sifat emulsi, dan pada penelitian ini, jenis basa yang berbeda berpengaruh pada stabilitas emulsi. Kata kunci : pembuatan dan karakterisasi, emulsi, minyak kelapa, konsentrasi basa, sifat-sifat emulsi Abstract A research on preparation and characterization of emulsions with coconut oil as raw material and using different types of bases (KOH, NaOH and triethanolamine =TEA) has been done. The purpose of this research was to prepare the emulsion with coconut oil as raw material using stearic soap as an emulgator and to study the effect of base concentration on properties of emulsions. The emulsion was made by mixing a hot (70 oC) of aqueous phase ( aquadest and glycerin ) to the hot (70 oC) of oil phase (coconut oil, stearic acid, lanolin, and cetyl alcohol), then the mixture was added a base while stirring until it reached a temperature of ± 35 oC. To investigate the effect of base concentration on properties of emulsions, the concentration of KOH, NaOH, and TEA as a base were added with varied concentrations. The emulsions were determined physical and chemical properties, such as form, color, pH, and viscosity. The results show an emulsions with coconut oil as raw material and using different types of bases have been prepared. If the base concentration increase, the pH and the viscosity of emulsions will also increase. The emulsions with KOH and TEA as a base are more stable than the emulsion with NaOH as a base. This mean that concentration of base affects the properties of emulsions, especially pH and viscosity, and the type of base affects the stability of emulsions. Keywords : preparation and characterization, emulsions, coconut oil, base concentration, properties of emulsions



dengan persentase tinggi (93%) sehingga cocok untuk pembuatan kosmetik [1], mengandung asam laurat (47-50%) [2], dimana di dalam tubuh manusia atau hewan asam ini akan diubah menjadi monolaurin yang berfungsi sebagai antiviral, antibakteri dan antiprotozoa [3]. Minyak kelapa merupakan trigliserida, dapat bereaksi dengan basa (KOH, NaOH atau TEA) menghasilkan sabun, dan sabun yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai kosmetik pembersih. Minyak ini mengandung gugus C=C dan C=O sehingga dapat menyerap radiasi UV [4], mempunyai harga SPF sebesar 7,119, sehingga minyak kelapa



1. PENDAHULUAN Saat ini, sudah banyak bahan-bahan kebutuhan sehari-hari tersedia dalam bentuk emulsi, salah satunya adalah kosmetik. Sebagian masyarakat lebih memilih kosmetik yang mengandung bahan alami dengan alasan kurang memiliki efek samping sehingga lebih aman untuk digunakan. Salah satu bahan yang diperoleh dari bahan alam hayati yang dapat digunakan sebagai bahan baku kosmetik adalah minyak kelapa. Minyak kelapa memiliki beberapa manfaat antara lain mengandung asam lemak jenuh 1557



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



direkomendasikan untuk digunakan pada pembuatan tabir surya [5]. Minyak kelapa efektif dan aman digunakan sebagai moisturiser pada kulit sehingga dapat meningkatkan hidrasi kulit, meningkatkan kandungan lipid di permukaan kulit dan mempercepat penyembuhan pada kulit [6; 7]. Mengingat minyak kelapa memiliki banyak manfaat, maka pada tahun-tahun terakhir ini minyak ini banyak digunakan pada pembuatan kosmetik. Sebagian besar kosmetik perawatan kulit (pembersih, pelembab dan tabir surya) yang beredar di pasaran saat ini adalah dalam bentuk emulsi. Emulsi adalah sistem koloid yang mengandung dua cairan yang tidak saling bercampur, dimana cairan yang satu (fase terdispersi) didispersikan dalam media cair yang lain (fase pendispersi) [8]. Dispersi yang terbentuk tidak stabil, sehingga perlu ditambahkan zat pengemulsi (emulgator) ke dalamnya. Untuk membuat emulsi kosmetik dapat digunakan emulgator sabun dari hasil reaksi antara asam stearat dengan basa [9]. Suatu emulsi kosmetik harus terjaga stabilitasnya dalam kurun waktu tertentu, baik selama pemakaian atau penyimpanan. Stabilitas emulsi kosmetik dapat dipengaruhi oleh konsentrasi emulgator dan konsentrasi minyak yang ditambahkan [10], oleh karena itu formulasi pada pembuatan emulsi kosmetik sangat penting untuk dilakukan. Saat ini sudah banyak tersedia kosmetik dalam bentuk emulsi dengan menggunakan emulgator sabun dari hasil reaksi antara asam stearat dan basa, demikian juga dengan penelitian-penelitian yang ada hubungannya dengan pembuatan kosmetik tersebut. Penelitian tentang pembuatan krim pelembab dengan menggunakan jenis minyak yang berbeda yaitu minyak sayur dan minyak paraffin, dengan bahan-bahan tambahan seperti asam stearat 4%, trietanolamina (TEA) 0,4% telah dilakukan. Krim yang dihasilkan memiliki harga pH 6,8 untuk krim paraffin dan 6,37 untuk krim minyak kelapa. Krim yang dihasilkan merupakan emulsi minyak dalam air dan merupakan krim yang stabil [11]. Juga telah dipelajari pembuatan vanishing cream dengan konsentrasi asam stearat 24% dan 1.35% KOH. Krim yang dihasilkan memiliki pH antara 6,7 sampai 6,8, dan memiliki sifatantara lain efektif dan mudah dicuci [9]. Dari hasil-hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa penggunaan jenis dan konsentrasi basa



yang berbeda akan berpengaruh pada sifat-sifat emulsi seperti bentuk, pH dan viskositas. Mengingat pada umumnya kosmetik dibuat dalam bentuk emulsi, dan suatu emulsi dapat distabilkan oleh emulgator seperti sabun, maka pemilihan jenis basa dan konsentrasi basa yang sesuai untuk menghasilkan sabun (suatu surfaktan) perlu diperhatikan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang pembuatan dan karakterisasi emulsi menggunakan jenis basa yang berbeda (KOH, NaOH dan trietanolamina (TEA)). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat emulsi dengan bahan baku minyak kelapa dan mempelajari pengaruh penggunaan jenis basa yang berbeda terhadap sifat-sifat emulsi yang dihasilkan. 2. METODE PENELITIAN Bahan-bahan Bahan-bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini meliputi minyak kelapa, asam stearat, lanolin, setil alkohol, gliserin (semua bahan-bahan tersebut berkwalitas untuk kosmetik), KOH (Merck), NaOH (Merck), TEA (Merck) dan akuades. Alat-alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi peralatan gelas laboratorium, timbangan digital, kompor listrik, alat penentu viskositas (RION-Viscotester VT-04 E), dan pH meter digital. Pembuatan emulsi berbahan baku minyak kelapa Pada penelitian ini emulsi dengan bahan baku minyak kelapa dibuat menggunakan emulgator sabun dari hasil reaksi antara asam stearat dengan jenis basa yang berbeda (KOH, NaOH dan TEA). Untuk mempelajari pengaruh konsentrasi basa terhadap sifat-sifat emulsi, maka ditambahkan basa (KOH, NaOH, dan TEA) dengan konsentrasi yang divariasi. Cara kerja (1) : Masing-masing emulsi (Komposisi Tabel 1) dibuat dengan cara sejumlah tertentu fase air dimasukkan ke dalam gelas beker 250 mL dan dipanaskan di atas kompor listrik sampai mencapai suhu 70 oC. Kemudian, sejumlah tertentu fase minyak dimasukkan ke dalam 1558



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 Tabel 1. Komposisi Emulsi dengan variasi konsentrasi KOH



gelas beker 500 mL dan dipanaskan di atas kompor listrik sampai mencapai suhu 70 oC, juga. Setelah itu, fase air dimasukkan ke dalam fase minyak sedikit demi sedikit, sambil diaduk, dan ditambahkan sejumlah tertentu KOH. Campuran diaduk sampai mencapai suhu kamar ± 35 oC. Emulsi yang dihasilkan ditentukan sifat-sifatnya meliputi bentuk, warna, tipe emulsi (dengan cara : sedikit emulsi dilarutkan dalam pelarut), pH (dengan alat pH meter digital), dan viskositas (dengan alat RION-Viscotester). Cara kerja (1) di atas diulangi dengan menggunakan jenis basa yang berbeda yaitu NaOH dan TEA. Komposisi bahan-bahan untuk pembuatan emulsi masing-masing disajikan di Tabel 2 dan Tabel 3 . Masing-masing emulsi yang dihasilkan diamati pH dan viskositas setiap seminggu sekali selama 1 bulan.



Bahan kimia (%b/b)



1



Fase minyak Minyak kelapa Asam Stearat Setil Alkohol Lanolin Fase aiar : Gliserin Akuades



Basa : KOH 50%



2



3



Sampel 4



5



6



7



10 10 1 1



10 10 1 1



10 10 1 1



10 10 1 1



10 10 1 1



10 10 1 1



10 10 1 1



8 69,5 0,5



8 69,25 0,75



8 69 1



8 68,75 1,25



8 68,5 1,5



8 68,25 1,75



8 68 2



Hasil pengamatan pH dan viskositas emulsi menunjukkan, konsentrasi KOH berpengaruh pada pH (Gambar 2) dan viskositas emulsi (Gambar 3). Dari Gambar 2 dapat diketahui bahwa dengan meningkatnya konsentrasi KOH, maka pH emulsi cenderung mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena pada penelitian ini digunakan basa kuat (KOH), yang akan bereaksi dengan asam stearat (asam lemah) menghasilkan sabun – + kalium stearat, (CH3 (CH2)16COO K )



3. HASIL DAN PEMBAHASAN



yang merupakan garam basa (Gambar 1).



Pada penelitian ini telah dibuat 19 emulsi dengan bahan baku minyak kelapa menggunakan emulgator sabun dari hasil reaksi antara asam stearat dan basa (KOH, NaOH dan TEA).



Adanya senyawa-senyawa yang bersifat basa menyebabkan pH emulsi lebih dari 7. Jika konsentrasi basa dinaikkan, maka jumlah garam basa juga akan meningkat sehingga pH juga akan mengalami peningkatan. Apabila konsentrasi basa yang ditambahkan berlebihan, maka akan terdapat kelebihan basa, dan menyebabkan pH emulsi tinggi.



Emulsi yang dibuat dengan basa KOH Dengan menggunakan komposisi Tabel 1, telah dibuat 7 emulsi dengan bahan baku minyak kelapa menggunakan basa KOH. Kalium hidroksida (KOH), merupakan basa kuat, dapat bereaksi dengan sebagian asam stearat menghasilkan kalium stearat (persamaan reaksi di Gambar 1), yang berfungsi sebagai emulgator. CH3 (CH2 )16 COOH + KOH → H2O + CH3(CH2)16 COO- K kalium stearat



p 7,6 7,4 pH



7,2 7 0



1



2



konsentrasi KOH (%b/b) Gambar 2. pH emulsi pada konsentrasi KOH yang divariasi 300



Gambar 1. Reaksi pembuatan sabun kalium stearatHasil penelitian menunjukkan, semua emulsi minyak kelapa yang dibuat dengan basa KOH berwarna putih, tektur lembut, termasuk dalam tipe emulsi minyak dalam air (M/A). Emulsi yang dibuat dengan KOH konsentrasi rendah (0,25 dan 0,375 % b/b) berbentuk emusi encer, namun jika konsentrasi KOH ditingkatkan, maka emulsi yang dihasilkan menjadi semakin kental.



200 100



visko…



0 0



0,5



1



1,5



konsentrasi KOH



Gambar 3. Viskositas emulsi pada konsentrasi KOH yang divariasi 1559



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Data yang terdapat pada Gambar 3 menunjukkan semakin tinggi konsentrasi KOH, maka viskositas emulsi akan meningkat pula. Kondisi ini terjadi karena dengan meningkatnya jumlah basa KOH, maka banyaknya sabun kalium stearat sebagai emulgator juga akan meningkat. Emulgator sabun kalium stearat memiliki gugus polar (hidrofil) yaitu –COO- +K, yang dapat larut dalam fase air dan gugus non polar (hidrofob) yaitu (CH3(CH2)16-, yang dapat larut dalam fase minyak. Dengan meningkatnya jumlah emulgator yang terbentuk, maka banyaknya fase air dan fase minyak yang diemulsikan juga akan meningkat, akibatnya viskositas emulsi akan meningkat pula, dan diharapkan emulsi yang dihasilkan akan lebih stabil. Jika hanya ditambahkan sedikit KOH (konsentrasi rendah), maka emulgator yang terbentuk hanya sedikit, sehingga fase air dan fase minyak yang diemulsikan juga hanya sedikit. Akibatnya emulsi yang terbentuk tidak kental (viskositas rendah).



konsentrasi NaOH yang divariasi terdapat di Gambar 5 dan viskositas emulsi pada konsentrasi NaOH yang divariasi disajikan di Gambar 6. Dari Gambar 5 dapat diketahui, semakin tinggi konsentrasi NaOH, maka pH emulsi juga akan meningkat. Pada pembuatan emulsi dengan emulgator sabun dari hasil reaksi basa NaOH dengan asam stearat, akan dihasilkan sabun natrium stearat (Gambar 4). Basa NaOH juga merupakan basa kuat seperti KOH, maka di dalam emulsi akan terbentuk garam basa dan apabila terdapat kelebihan NaOH maka pH emulsi akan mengalami peningkatan. 10 8 6 4 2 0 0 0,5 konsentrasi NaOH (% b/b)



Emulsi yang dibuat dengan basa NaOH



100 50



Sampel 3



2



4



0



10 10 1 1



10 10 1 1



10 10 1 1



10 10 1 1



8 69,67 0,33



8 69,34 0,66



8 69 1



8 68,67 1,33



8 68,34 1,66



0,5 1 konsentrasi NaOH (%



Gambar 6. Viskositas emulsi pada konsentrasi



NaOH yang divariasi Dari Gambar 6 dapat diketahui peningkatan konsentrasi NaOH tidak linier dengan peningkatan viskositas emulsi, namun pada penelitian ini pH emulsi juga cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi NaOH. Dari pengamatan viskositas selama penyimpanan, emulsi yang dibuat dengan basa NaOH cepat sekali mengalami perubahan viskositas, hal ini menyebabkan emulsi dengan basa NaOH kurang stabil bila dibandingkan dengan emulsi yang dibuat dengan basa KOH. Emulsi yang dibuat dengan basa TEA



5



10 10 1 1



viskosita s (dPas)



0



Gambar 4. Reaksi pembuatan sabun natrium stearat Tabel 2. Komposisi Emulsi dengan variasi konsentrasi NaOH 1



1



Gambar 5. pH emulsi pada konsentrasi NaOH yang divariasi 150



Pada penelitian ini juga telah dibuat sebanyak 5 emulsi berbahan baku minyak kelapa (komposisi Tabel 2) dengan emulgator sabun dari hasil reaksi antara asam stearat dengan basa NaOH (persamaan reaksi Gambar 4). Natrium hidroksida (NaOH) juga merupakan basa kuat, jika bereaksi dengan asam stearat (asam lemah), maka akan dihasilkan garam basa. CH3 (CH2 )16 COOH + NaOH → H2O + CH3(CH2)16 COO- Na+ Natrium Stearat



Bahan kimia (%b/b) Fase minyak Minyak kelapa Asam Stearat Setil Alkohol Lanolin Fase aiar : Gliserin Akuades Basa : NaOH 50%



Ph



Pada penelitian ini telah dibuat 8 emulsi berbahan baku minyak kelapa menggunakan basa TEA (komposisi Tabel 3). TEA merupakan basa lemah, akan bereaksi dengan sebagian asam stearat menghasilkan TEA



Emulsi minyak kelapa yang dibuat dengan basa NaOH berbentuk krim, berwarna putih tekstur lembut. Hasil penentuan pH dengan 1560



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



stearat (persamaan reaksi Gambar 7), yang berfungsi sebagai emulgator.



menstabilkan emulsi dengan jalan menurunkan tegangan permukaan kedua fase pembentuk emulsi. Semakin banyak emulgator terbentuk, maka akan semakin banyak pula fase air dan fase minyak yang diturunkan tegangan permukaannya, sehingga emulsi makin kental.



(HOCH2CH2)3N: + H2O HO(HOCH2CH2)3N:H TEA TEA(aq)



8



CH3(CH2)16COOH + HO(HOCH2CH2)3N:H (HOCH2CH2)3NH+OOC(CH2)16CH3 + H2O asam stearat TEA(aq) TEA stearat



7,8 7,6 7,4 0 1 2 konsentrasi TEA (%



Hasil penentuan pH emulsi pada konsentrasi TEA yang divariasi disajikan pada Gambar 8, dan viskositas emulsi pada konsentrasi TEA yang divariasi terdapat di Gambar 9. Emulsi yang dihasilkan berbentuk krim, berwarna putih, dan termasuk tipe A/W. Hasil penentuan pH emulsi Gambar 8 menunjukkan apabila konsentrasi TEA ditingkatkan, maka pH emulsi secara umum juga mengalami peningkatan. Apabila konsentrasi basa yang ditambahkan berlebih, maka pH emulsi akan menjadi >7 sehingga bersifat basa. TEA adalah basa lemah, merupakan basa organik dengan struktur (HOCH2CH2)3 N:, apabila direaksikan dengan asam stearat maka akan menghasilkan senyawa TEA stearat yang berfungsi sebagai emulgator (persamaan reaksi Gambar 7).



1



2



3



Sampel 4 5



Fase minyak Minyak kelapa Asam Stearat Setil Alkohol Lanolin



6



7



8



10 10 1 1



10 10 1 1



10 10 1 1



10 10 1 1



10 10 1 1



10 10 1 1



10 10 1 1



Fase air : Gliserin Akuades Basa :TEA



10 10 1 1



3



Gambar 7. Pengaruh konsentrasi TEA terhadap pH emulsi 500 400 300 200 100 0



viskosit as… 0



2 4 konsentrasi TEA (%



Gambar 8. Pengaruh konsentrasi TEA terhadap viskositas emulsi



Sediaan emulsi yang dibuat pada penelitian ini diharapkan berfungsi sebagai kosmetik, sehingga penentuan parameter pH dan viskositas sangat penting dilakukan. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) [13] untuk tabir surya, maka sediaan emulsi harus memiliki persyaratan antara lain pH antara 4,5 – 8 dan viskositas antara 2000 – 50000 cps. Pada penelitian ini, emulsi yang dibuat dengan basa KOH dengan konsentrasi antara 0,25-1% b/b, memiliki nilai pH antara 7,1-7,56 dan viskositas antara 20-250 dPa.s (2000-25000 cps). Kondisi ini berarti semua emulsi yang dibuat dengan basa KOH memenuhi standar pH dan viskositas sesuai SNI. Emulsi yang dibuat dengan basa NaOH dengan konsentrasi 0,165-0,66% b/b memiliki pH antara 7-8 (memenuhi standar SNI), namun emulsi yang dibuat dengan konsentrasi 0,83% b/b memiliki nilai pH 8,5 (tidak sesuai SNI). Viskositas emulsi yang dibuat dengan basa NaOH, sebesar 43-105 dPa.s (4300-10500 cps), berarti sudah sesuai menurut standar SNI. Hasil pengamatan pH dan viskositas emulsi yang dibuat dengan basa TEA menunjukkan, penambahan TEA dengan konsentrasi antara



Tabel 3. Komposisi Emulsi dengan variasi konsentrasi TEA Bahan kimia (%b/b)



P…



7,2



Gambar 7. Reaksi antara asam stearat dan TEA menghasilkan TEA stearat [12]



8 8 8 8 8 8 8 8 69,75 69,50 69,25 69,00 68,75 68,50 68,25 68,00 0,25 0,50 0,75 1,00 1,25 1,50 1,75 2,00



Hasil penentuan viskositas emulsi (Gambar 9), dengan konsentrasi TEA yang divariasi menunjukkan, semakin tinggi konsentrasi TEA, pada umumnya viskositas emulsi juga akan meningkat.Dengan meningkatnya konsentrasi TEA, akan menyebabkan peningkatan jumlah garam TEA stearat sebagai emulgator yang terbentuk. Emulgator TEA stearat memiliki gugus polar yaitu (HOCH2CH2)3NH+ - OOC- , yang bisa larut (mengikat) fase air dan gugus non polar yaitu CH3(CH2)16- (bagian rantai karbon), yang bisa larut (mengikat) fase minyak. Emulgator juga akan bekerja 1561



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



0,25- 2% b/b, memiliki nilai pH antara 7,477,91 dan viskositas emulsi sebesar 40-464 dPa.s (4000-464000 cps). Hal ini berarti semua emulsi yang dibuat dengan basa TEA telah memenuhi standar pH dan viskositas menurut SNI. Mengingat sediaan kosmetik ini dipergunakan pada kulit, maka pemilihan jenis dan konsentrasi basa perlu dipertimbangkan. Pemilihan jenis dan konsentrasi basa perlu dilakukan agar diperoleh emulsi yang memenuhi standar pH dan viskositas sebagai kosmetik. Dari hasil pengamatan setiap seminggu 1x selama 1 bulan terlihat, emulsi yang dibuat dengan basa KOH dan TEA memiliki pH yang stabil, sedang yang dibuat dengan basa NaOH mengalami penurunan pH. Hasil pengamatan viskositas emulsi dapat diketahui emulsi yang dibuat dengan basa KOH memiliki viskositas konstan, sedang viskositas emulsi yang dibuat dengan basa NaOH mengalami penurunan, dan yang dibuat dengan basa TEA, viskositas emulsi mengalami peningkatan. Penurunan viskositas emulsi dapat disebabkan oleh faktor selama penyimpanan seperti perubahan suhu ruang dan tipe emulsi. Peningkatan suhu ruang dapat mengganggu daya tahan krim. Penurunan viskositas karena waktu mencerminkan peningkatan ukuran partikel karena penggumpalan [14]. Dilihat dari parameter pH dan viskositas, maka pada penelitian ini, emulsi yang dibuat dengan basa KOH merupakan emulsi yang paling stabil, dan emulsi yang dibuat dengan basa NaOH merupakan emulsi yang paling tidak stabil. 4. KESIMPULAN



[1] Alvarez, A. M. R., and Rodriquez, M. L. G., 2000, Lipids in Pharmaceutical and Cosmetic Preparations, Grasas. Aceites, 51, 74-96. [2] Kamariah, L., Azim, A., Rosmawati, A., Ching, M.G.W., Azlina, M.D., Sivapragasam, A., Tan, C.P., dan Lai, O.M., 2008, Physico-chemical and Quality Characteristics of Virgin Coconut Oil-A Malaysian Survey, J. Trop. Agric. and Fd. Sc., 36 (2), 1-10. [3] Rubin, J., 2003, Extra Virgin Coconut Oil-the Good Saturated Fat, Total Health, 25 (3), 30. [4] Supratman, U., 2010, Elusidasi Struktur Senyawa Organik : Metode Spektroskopi Untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik, Widya Padjadjaran, Bandung. [5] Kaur, C. D. and Saraf, S., 2010, Invitro Sun Protection Vactor Determination of Herbal Oils Used in Cosmetics, Pharmacog. Res, 2 (1), 2225. [6] Agero, A.L. and Rowell, V.V.M., 2004, a randomized double-blind controlled trial comparing extra VCO as a moisturizer for mild to moderate xerosis, Dermatitis, 15 (3), 109-116. [7] Gediya, S. K., Mistry, R. B., Patel, U. K., Blessy, M. and Jain, H. N., 2011, Herbal Plants : Used as a Cosmetics, J. Nat. Plant Resour., 1 (1), 24-32. [8] Tadras, T. F., 2009, Emulsion Science and Technology, Wiley- VCHVerlag Gmb H & Co, Weinheim. [9] Das, K., Dang. R., Machale., M. U., Re, U., and Lalita, B., 2012, Evaluation for Safety Assessmentof Formulated Vanishing Cream Containing Aqueous Stevia Extract for Topical Application, Indian J. Novel Drug Delivery, 4 (1), 43-51. [10] Taherian, A. R., Fustier, P. dan Ramaswamy, H. S., 2006, Effect of Added Oil and Modified Starch on Rheological Properties, Droplet Size Distribution, Opacity and Stability of Beverage Cloud Emulsions, J. Food Eng., 77, 687-696. [11] Oyedeji, F.O., and Okeke, I. E., 2010, Comparative Analysis of Moisturizing Creams from Vegetable Oils and Paraffin Oil. Res. J. Applied Sci,. 5(3): p. 157-160. [12] Zhu, S., Pudney, P.D.A., Butler, M.H., Butler, M., Ferdinando, D., and Kirkland, M., 2007, Interaction of The Acid Soap of Triethanolamine Stearate and Stearic Acid with Water, J. Phy. Chem. B., 111, 1016-1024. [13] Anonim, 1996, Standar Nasional Indonesia (SNI) : Sediaan Tabir Surya, DSN, SNI 164399-1996, 1-3. [14] Gozali, D., Abdassah, M.,Subghan, A., dan Lathiefah, S.A., 2009, Formulasi krim pelembab wajah yang mengandung tabir surya nanopartikel zink oksida salut silica, Farmaka, 7 (1), 37-47.



Emulsi dengan bahan baku minyak kelapa menggunakan emulgator sabun dari hasil reaksi dari asam stearat dengan basa (KOH, NaOH dan TEA) telah dapat dibuat. Konsentrasi KOH, NaOH, dan TEA berpengaruh pada sifat-sifat (pH dan viskositas) emulsi, yaitu jika konsentrasi basa KOH, NaOH, dan TEA ditingkatkan, maka secara umum pH dan viskositas emulsi juga akan meningkat. Emulsi yang dibuat dengan basa KOH merupakan emulsi yang paling stabil dan emulsi yang dibuat dengan basa NaOH merupakan emulsi yang paling tidak stabil. 5.



REFERENSI



1562



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016 ISBN: 978-602-71798-1-3



THERMOSTABLE ENZYMES FROM JABOI SABANG ISOLAT : EFFECT OF FERMENTATION TEMPERATURE Febriani1, Teuku Mohammad Iqbalsyah2, Frida Oesman3 Chemistry Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Syiah Kuala University, e-mail : [email protected], [email protected] 3 Pharmacy Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Syiah Kuala University, e-mail : [email protected]



Abstract Thermophilic microorganisms could be produced thermostables enzymes of the highly potential application for the research and industry. The goal of this study was investigated effect of fermentation temperature to the enzymes activity such as protease, lipase, celullase and α-amylase from Jaboi Sabang Isolate.The Jaboi Sabang isolate was identified morphology based on Gram staining and Scanning Electron Microscopy as Geobacillus sp. The Jaboi Sabang isolate showed the highest biomass when incubated temperature of 65 oC after incubation periods 13 hour. The highest activity of protease (16,9 U) was found in 30 hours incubation period on 70 ˚C. The fermentation temperature of 70 oC also showed the highest lipase activity (11,8 U) after incubation periods 14 hour. In addition, the cellulase and α-amylase activity showed highest activity at temperature 70 oC and 72 o C, with activity enzymes of 1,678 U/g dan 1,882 U/g respectively by using Solid State fermentation. The high activity of thermostable enzymes suggested that the Jaboi Sabang isolate was identified as unique local isolate and have potential to produce thermostable enzymes. Keyword : Thermostable enzymes, α-amylase, protease, lipase cellulase, and Jaboi Sabang Isolate



me kelompok ini dapat menghasilkan enzim yang bersifat termostabil. Enzim protease (Annamalai et al., 2014), lipase (Zuraida et al 2011), selulase, kitinase, DNA Polimerase (Guimin et al ., 2012) dan amilase termostabil (Kumar et al., 2010) yang dihasilkan sangat membantu katalisis reaksi di industri. Kelarutan dari reaktan, khususnya senyawa polimer, pada suhu tinggi meningkat sehingga memudahkan proses di industri. Karena itu penggunaan enzim yang tahan panas akan sangat menguntungkan. Selain itu resiko kontaminasi dari mikroorganisme mesofilik juga akan menurun (Burg, 2003). Enzim termostabil juga mudah dimurnikan dan memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap denaturasi kimia (Becker et al., 1997). Walaupun telah banyak dimanfaatkan dalam proses industri, namun kajian terhadap enzim termostabil masih perlu dilakukan karena permintaan terhadap enzim-enzim baru dengan karakter unik terus meningkat.



1. PENDAHULUAN Mikroorganisme ditemukan dihampir seluruh biosfer, termasuk pada lingkungan dengan suhu, tekanan, salinitas dan pH yang ekstrim (Ramesh and Mathivanan, 2009; Rothschild and Maninelli, 2001). Mikroorganisme yang tumbuh pada lingkungan ekstrim ini disebut extremophile dan jika memiliki kemampuan adaptasi pada lebih dari satu lingkungan ekstrim maka disebut poliextremophile (Rothschild and Maninelli, 2001). Kelompok extremophile yang hidup pada suhu ekstrim meliputi psikrophile (0-200C), thermophile (45-80°C) dan hiperthermophile (>80°C). (Kumar et al,2009) berdasarkan pH habitatnya, extremophile dikelompokkan menjadi acidophile (pH 9). Mikroorganisme yang dapat hidup di lingkungan dengan kadar garam yang tinggi, misalnya di laut, disebut sebagai halophile. Beberapa extremophile lain misalnya metallophile (kadar logam yang tinggi), radiophile (tingkat radiasi tinggi), microaerophile (kadar oksigen yang sangat rendah). Selain itu, terdapat mikroorganisme yang mampu hidup di lingkungan dengan tekanan sangat tinggi (piezophiles) (Rossi et al., 2003).



Beberapa contoh lokasi untuk mendapatkan mikroorganisme thermofilik misalnya hot spring (Febriani et al., 2013), lingkungan geothermal (Yohandini et al., 2008; Adiawati et al., 2009) dan kompos termogenik (Nurhasanah et al., 2015). Potensi mikroorganisme ekstrem di Indonesia untuk pengembangan bioteknologi sangat besar.



Dari seluruh extremophile, thermophile adalah golongan yang paling menarik. Mikroorganis1563



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Sabuk gunung api, yang memiliki suhu lingkungan di atas rata-rata, membentang dari barat ke timur Indonesia. Area ini merupakan habitat dari mikroorganisme termofilik.



Uji morfologis dilakukan menggunakan pewarnaan Gram dan pewarnaan spora dengan menggunakan mikroskop untuk visualisasi. Uji fisiologis dilakukan dengan uji fermentasi karbohidrat dan uji hidrolisis pati. Uji fermentasi karbohidrat dilakukan dengan mengamati aktivitas bakteri dalam tabung Durham berisi glukosa yang ditambahkan indikator merah fenol. Bila warna medium berubah menjadi kuning, maka bakteri tersebut membentuk asam dari fermentasi glukosa. Bila pada tabung kecil yang diletakkan terbalik di dalam tabung Durham terdapat gelembung, maka pada fermentasi tersebut terbentuk pula gas. Sementara itu, uji hidrolisis pati dilakukan dengan menggenangi seluruh permukaan agar dengan iodium Gram. Hasil positif ditandai dengan area bening di sekitar koloni.



Sebelumnya kami telah mengisolasi bakteri termofilik yang berasal dari area geothermal Jaboi, Sabang. Pada penelitian ini kami mengeksplorasi potensi enzim termostabil yang dihasilkan seperti protease, lipase dan selulase dan amilase. Parameter yang dipelajari difokuskan pada suhu fermentasi. Dengan penelitian lebih lanjut, diharapkan enzimenzim yang dihasilkan memiliki potensi untuk aplikasi industri. 2. METODE PENELITIAN 2.1 Isolasi Mikroorganisme Sampel air dan sedimen diambil dari area hidrotermal di Jaboi Sabang Aceh, yang memiliki lingkungan fisiologis dengan suhu diatas 90oC dan pH sekitar 7. Sampel air dan sedimen dipindahkan ke dalam media ½ Lysogeny Broth (LB) dan diinkubasi pada suhu 70oC. Salah satu koloni tunggal yang tumbuh diregenerasi kembali pada media ½ LB padat. Koloni tunggal ini selanjutnya disebut dengan Isolat Jaboi Sabang.



2.5Pengaruh Protease



Koloni tunggal ditumbuhkan di dalam 50mL media cair mengandung glukosa 0,5% (b/v), NaCl 5% (b/v), MgSO4.7H2O 0,5% (b/v), KH2PO4 0,5% (b/v), FeSO4. 7H2O 0,01% (b/v) dan tripton 0,75% (b/v). Kultur selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 70°C dan 150 rpm. Jumlah sel ditentukan dari OD pada 600 nm menggunakan spektrofotometer (OD600 Geobacillus = 1,0 setara dengan 106 sel/mL). Kurva Pertumbuhan Sabang



Isolat



Terhadap



Aktivitas



Optimasi suhu fermentasi terhadap aktivasi protease dilakukan dengan menumbuhkan koloni tunggal dalam media cair dengan komposisi 0,5% (b/v) glukosa, larutan garam 5% (b/v) (dibuat dengan mencampurkan glukosa 0,5% (b/v), NaCl 5% (b/v), MgSO4.7H2O 0,5% (b/v), KH2PO4 0,5% (b/v), FeSO4. 7H2O 0,01% (b/v) dan tripton 0,75% (b/v). Media produksi ini diatur hingga mencapai pH 9 dan diinkubasi pada variasi suhu 60o, 70o, 80oC, serta waktu fermentasi 48 jam dengan pengamatan dilakukan setiap enam jam. Protease didapatkan pada supernatan setelah disentrifus dengan kecepatan 7000g selama 10 menit.



2.2 Pembuatan Starter Cair Inokulum



2.3



Suhu



Penentuan aktivitas protease dilakukan menggunakan metode Anson. Campuran 2,5mL kasein 2,5% (b/v) dan 1,5 mL buffer glisin pH 3 diinkubasi selama 10 menit pada suhu 65oC. Kedalam campuran selanjutnya ditambahkan 1mL supernatan dan diinkubasi lanjut selama 30 menit pada suhu yang sama. Reaksi enzimatis dihentikan dengan penambahan 5mL TCA 30%. Setelah dikocok, larutan didinginkan dalam penangas es selama 30 menit dan disentrifus dengan kecepatan 5000g selama 10 menit. Sebanyak 2mL supernatan dicampur dengan 5mL NaOH 0,5N dan 1,0mL reagen folin ciocalteau dan dibiarkan selama 10 menit. Absorbansinya diukur pada λ660. Sebagai blanko digunakan supernatan yang telah diinaktifasi dengan larutan TCA 30%.



Jaboi



Untuk mempelajari pertumbuhannya pada berbagai suhu, Isolat Jaboi Sabang ditumbuhkan pada media cair ½ LB dengan komposisi tripton 0,5% (b/v), NaCl 0,5% (b/v), yeast extract 0,25% (b/v), bacto agar 2% (b/v) dan dilarutkan dalam aquades. Kultur diinkubasi pada variasi suhu 60°, 65° dan 70°C selama 15 jam. Sampel diambil setiap satu jam dan penambahan biomassa diukur secara sepektrofotometri pada λ600nm. 2.4 Identifikasi Morfologis dan Fisiologis Isolat Jaboi Sabang 1564



Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016



Aktivitas protease dihitung dengan menggunakan kurva standar tirosin (20-70 µg/mL). Satu unit aktivitas protease didefinisikan sebagai jumlah enzim yang mengubah kasein menjadi 1µmol tirosin selama 30 menit pada kondisi percobaan. Aktivitas protease dihitung menggunakan persamaan dibawah ini.



Pengulangan untuk dilakukan tiga kali.



setiap



variabel



suhu



Penentuan jumlah air pada sekam dilakukan dengan terlebih dahulu mengeringkan 10g sekam pada suhu 100°C sampai beratnya konstan. Kadar air sekam diatur dengan menambahkan air sesuai persamaan:



Setelah fermentasi, material pada cawan petri dipindahkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 100mL aquades dan digoyang pada 200 rpm selama 30 menit pada suhu ruang. Suspensi yang dihasilkan selanjutnya disentrifuse pada 7000g selama 20 menit pada suhu ruang. Supernatan digunakan untuk analisa aktivitas selulase dan amilase.



2.6 Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Lipase Optimasi suhu fermentasi terhadap aktivasi lipase dilakukan dengan menumbuhkan koloni tunggal dalam media cair dengan komposisi pepton 0,5% (b/v), ekstrak ragi 0,5% (b/v), NaCl 0,05% (b/v), CaCl2 0,05% (b/v) dan dilarutkan sampai 100mL dengan bufer glisinNaOH 0,2M pH 9,0. Media produksi lipase diinkubasi pada variasi suhu 65o dan 70oC, serta waktu fermentasi 16 jam dengan pengamatan dilakukan setiap dua jam. Lipase didapatkan pada supernatan setelah disentrifus dengan kecepatan 7000g selama 10 menit.



Aktivitas selulase ditentukan dengan menginkubasi 1mL supernatan dan 2mL substrat selulosa (100mg/L dalam larutan bufer sitrat 0,05 M pH 5) pada suhu 70°C selama 30 menit. Reaksi dihentikan dengan pemanasan dalam penangas air mendidih selama 15 menit dan didinginkan dalam penangas es. Larutan selanjutnya disentrifuse pada 7000g selama 5 menit. Supernatan selanjutnya ditambahkan 3mL pereaksi DNS dan dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 5 menit. Absorbansi larutan selanjutnya diukur pada λ516nm. Nilai absorbansi menunjukkan gula reduksi yang dilepaskan akibat aktivitas enzim. Konsentrasi gula reduksi dihitung dari kurva standard glukosa (0,8 – 3,0 mmol/L) Larutan yang terdiri dari 1ml bufer sitrat 0,05 M pH 5, 2mL substrat selulosa dan 3mL DNS yang telah dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 5 menit digunakan sebagai blanko.



Aktivitas lipase ditentukan secara spektrofotometri menggunakan substrat pnitrofenil palmitat (p-NP palmitat) (Lee et al., 1999, dimodifikasi). Campuran enzim dengan substrat diinkubasi pada suhu 65oC pH 8 selama 15 menit. Reaksi enzim dihentikan dengan inkubasi pada es kering selama 10 menit. Aktivitas enzim ditentukan dengan mengukur absorbansi pada λ405nm dengan menggunakan kurva standar p-nitrofenol 0 10µg/mL. Satu unit aktivitas lipase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dapat melepaskan 1 µmol p-nitrofenol per menit pada kondisi percobaan. Aktivitas lipase dihitung menggunakan persamaan dibawah ini.



Uji aktivitas amilase dilakukan dengan cara yang sama, namun substrat selulosa diganti dengan amilum dengan konsentrasi yang sama. Aktivitas selulase dan amilase dihitung dengan persamaan berikut:



2.7 Pengaruh Suhu Fermentasi Secara SSF Terhadap Aktivitas Selulase dan Amilase



Aktivitas spesifik selulase dan dihitung dengan persamaan berikut:



Masing-masing sebanyak 10g sekam padi steril dengan ukuran partikel