50 Tahun Aceh Membangun [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1998 A



PROF. DR. H. SYAMSÜDDIN MAHMUD 6ÜBERNUR KEPALA DAERAHISTIMEWA ACEH



Dari Medan Gerilya ke Arena Politik



Setelah Sultan A l a i d d i n Muhammad Daud Syah dan beberapa orang pemimpin pemerintahan lainnya ditawan tentara Belanda, maka Pemerintah Nasional yang teratur dan efektif praktis sudah tidak berjalan lagi. Tinggallah yang berjalan lancar Komando Tertinggi Gerilya di bawah pimpinan para Ulama, sementara di daerah-daerah Nanggrou pemerintah berjalan terus menurut kemungkinan-kemungkinan yang ada di bawah pimpinan para Hulubalang yang tidak menyerah atau tertawan. Semenjak itu, kebijaksanaan pelaksanaan "perang" terhadap tentara pendudukan Belanda mengalami perubahan, ada perang di Medan Gerilya dan ada jihad di Medan Politik.



Sepucuk Surat Dari Kota Pendudukan Dalam tahun 1903 Sultan Aceh Muhammad Daud Syah, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, Tuwanku Raja Keumala dan beberapa orang pemimpin penting lainnya ditawan tentara Belanda dengan suatu tipudaya yang kotor. Dalam tahun-tahun berikutnya sepucuk surat dari "Kota Pendudukan", yaitu Banda A c e h , Ibukota' Kerajaan yang telah diduduki Belanda, melayang ke daerah pedalaman, dimana Komando Tertinggi Perang Gerilya berkedudukan. Surat penting tersebut ditandatangani Tuwanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan Tuwanku Mahmud Banta K e c i l . Surat yang ditujukan kepad Panglima Tertinggi Komando Perang Gerilya, Teungku C h i k D i Tiro Muhammad A m i n , mengandung pesan* pesan penting untuk dipertimbangkan. Antara lain, surat tersebut menjelaskan bahwa sekarang telah banyak putera-puteri bangsa yang tidak mendapat pendidikan karena pusat-pusat pendidikan sudah tidak berfungsi lagi; sudah porak poranda semenjak terjadi Perang K o l o n i a l di A c e h . Kalau keadaan berlanjut terus demikian, Angkatan M u d a Aceh yang akan datang menjadi jahil dan dapat condong ke arah kekafiran, demikian maksud surat tersebut.



66



Aceh Membangun



67



Selanjutnya surat mengharapkan agar dipertimbangkan pemberian kesempatan kepada sejumlah ulama untuk melapor kepada penguasa pendudukan, yang dengan demikian mendapat kesempatan membangun dayah-dayah kembali, hatta putera-puteri A c e h dapat belajar. Surat yang ditandatangani tiga orang tokoh penting yang 'telah ditawan itu, dibicarakan dalam satu rapat Komando Tertinggi Perang G e r i l y a , yang kemudian menghasilkan keputusan penting dalam kebijaksanaan pelaksanaan Perang Gerilya terhadap tentara pendudukan Belanda. Yang sangat menggembirakan Komando Tertinggi Perang G e r i l y a , bahwa Sultan A l a i d d i n M u h a m m a d Daud Syah tidak mau menandatangani "Sarakata Penyerahan Kedaulatan A c e h Kepada Belanda" yang telah dipersiapkan komando tentara pendudukan Belanda. Sultan menolak menurunkan tandatangannya atas sarakata tersebut dengan alasan bahwa "Kedaulatan" berada di tangan rakyat dan beliau tidak berhak menyerahkannya kepada siapa pun. Dengan demikian, menurut pendapat K o m a n d o Tertinggi Perang G e r i l y a , A c e h masih berdaulat sekalipun sebahagian wilayah Kerajaan telah diduduki tentara Belanda ; tentunya suatu pendudukan yang tidak sah menurut hukum Intemasional. Atas dasar itu, perang yang akan dilanjutkan di bawah Pimpinan K o m a n d o Tertinggi Perang G e r i l y a adalah untuk mempertahankan Kemerdekaan dan Kedaulatan yang hendak direbut Belanda; suatu peperangan suci (Qitaal fi Sabilillah) menurut Syari'at Islam. Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti tersebut di atas, maka Sidang Istimewa Komando Tertinggi Perang G e r i l y a memutuskan : 1. Perang Gerilya dalam segala bentuk dan cara akan dilanjutkan sampai tentara pendudukan Belanda terusir dari Tanah A c e h . 2. Kepada sebahagian para U l a m a diizinkan melapor kepada penguasa tentara Pendudukan Belanda di daerah-daerah pendudukan, dengan tujuan membangun kembali dayah-dayah sebagai Pusat Pendidikan Islam, yang selanjutnya membina kesadaran dalam rangka merebut kemerdekaan kembali lewat perjuangan politik. Dengan kebijaksanaan baru itu, sejumlah Ulama turun, melapor dan membangun dayah-dayah kembali di seluruh Tanah A c e h , sementara sebahagian yang lain tetap di "Daerah Merdeka" untuk memimpin Perang G e r i l y a , yang menyebabkan tentara pendudukan Belanda tidak pernah aman selama mereka menduduki Tanah A c e h .



kg



Aceh Membangun



Sesuai dengan suratnya kepada Pimpinan Komando Tertinggi Perang Gerilya, maka Tuwanku Raja Keumala memulai sendiri anjurannya itu. Dalam tahun 1916, beliau mempelopori pembangunan Pusat Pendidikan Islam yang dinamakan "Jam'iyah Khairiyah", berlokasi dalam Masjid Raya Baiturrahman, Banda A c e h ; mungkin mengambil sempena dari ".lam'ah Baiturrahman" yang dalam zaman Kerajaan A c e h Darussalam, merupakan Perguruan Tinggi Islam ternama di A s i a Tenggara.



Syarikat Islam Dalam rangka pelaksanaan "kebijaksanaan baru" yang telah ditetapkan Komando Tertinggi Perang G e r i l y a , para ulama yang telah "melapor" itu, disamping membangun dayah-dayah kembali, juga bersama sebahagian Hulubalang yang pada lahirnya bersedia kerjasama dengan tentara pendudukan Belanda, mendirikan cabang-cabang dan ranting-ranting Syarikat Islam, sebuah Partai Politik Islam yang sedang membesar di bawah pimpinan H . O . S . Tjokroaminoto. Bersamaan dengan lahirnya Jam'iyah Khairiyah di Banda Aceh dalam tahun 1916, maka dalam tahun itu juga didirikan Cabang Syarikat Islam "kota pendudukan" itu yang telah dirobah nama oleh penguasa Belanda dari Banda A c e h menjadi Kutaraja. Berdirinya Syarikat Islam (S.I) Cabang Banda Aceh sebagai suatu 'proklamasi' bahwa "Perjuangan Politik" untuk merebut kemerdekaan kembali telah mulai. M e m a n g nyatanya demikian, karena setelah Banda Aceh (sebagai Ibukota yang telah diduduki) memulai, maka berdirilah di Tanah A c e h ranting-ranting dan cabang-cabang Syarikat Islam, yang digerakkan para U l a m a dan Hulubalang. Berdirinya ranting-ranting dan cabang-cabang Syarikat Islam nyatanya cepat sekali, seakan-akan Tanah A c e h telah dipersiapkan menjadi "ladang subur" bagi Syarikat Islam yang menjelang tahun duapuluhan anggotanya telah mendekati tiga juta orang di seluruh Indonesia, dan di A c e h telah mencapai hampir seratus ribu orang. Hal ini tidak mengherankan, karena para ulama dan para Hulubalang menjadi pelopor-pelopor utamanya. D i Pulau A c e h , sebuah pulau keen antara Uleelheu dan Pulau Weh (Sabang) tercatat lebih seratus anggota Syarikat Islam. Hal ini di ketahui betul karena dalam tahun 1948, A . H a s j m y bersama teman-teman



Aceh Membangun



^



(antaranya : Teuku Muhammad A m i n , A M E L Z , Teungku A m i r Husin A l M u j a h i d , Umar Husni, M.Saleh Rakmany, Nyak Neh L h o k n g a , Syekh Marhaban, Yahya Hasjmi, Pawang Leman dan lain-lain mendirikan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) W i l a y a h A c e h , maka datanglah dari Pulau Aceh Imeuem Gam (dahulu Ketua Syarikat Islam Pulau Aceh) melapor kepada kami tentang keadaan Syarikat Islam di sana dahulu. Menurut beliau Syarikat Islam telah berdiri di Pulau A c e h dalam tahun 1919 dan beliau sendiri sejak semula menjadi Ketuanya. Dalam tahun 1925, anggota telah mendekati dua ratus orang. Waktu terjadi larangan terhadap Syarikat Islam di Aceh dalam tahun 1926, Syarikat Islam tidak dinyatakan bubar dengan resmi oleh pengurusnya; hanya beliau kumpulkan kartu anggotanya dari sebahagian mereka dan beliau simpan dalam bantal, sementara sebahagian telah lebih dahulu dibakar pemegangnya. Yang sempat dibatalkan Imeuem G a m sebanyak 173 lembar, dan waktu dikeluarkan dari bantal dan disampaikan kepada kami keadaannya telah kumal. Dengan rasa bangga dan masih bersemangat, Imeuem Gam yang telah tua menyerahkan kartü-kartu anggota Syarikat Islam yang telah kumal itu kepada Pimpinan W i l a y a h PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) sambil menyatakan bahwa di Pulau A c e h telah didirikan Cabang PSII. Perkembangan Syarikat Islam yang demikian cepatnya di Tanah A c e h , membuat kekuasaan Hindia Belanda di A c e h merasa takut, apalagi karena tersiar desas-desus yang santer bahwa Syarikat Islam ikut campur dalam menggerakkan beberapa pemberontakan di daerahdaerah pendudukan, termasuk yang terjadi di Bakongan dalam tahun 1925/1926, di mana dikatakan bahwa tokoh-tokoh pemberontak itu, seperti Teuku Raja Angkasah dan Cut A l i , adalah orang-orang Syarikat Islam. Berdasarkan kenyataan-kenyataan yang pahit itulah, maka kekuasaan H i n d i a Belanda melarang berdirinya Syarikat Islam dan partai-partai politik lain di Tanah A c e h . A p a k a h dengan demikian, ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin rakyat di A c e h kehilangan "jalan" dalam melaksanakan "kebijaksanaan baru" dari K o m a n d o Tertinggi Perang G e r i l y a ? T i d a k !



70



Aceh Membangun



Persatuan Kemerdekaan Akhirat Penguasaan Hindia Belanda dapat saja bertindak sewenangwenang, tetapi para ulama dan pemimpin rakyat yang berjiwa merdeka tidak kehilangan akal. Bermacam jalan mereka tempuh untuk melaksanakan amanah Sidang Istimewa Komando Tertinggi Perang Gerilya. Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku C h i k Dayah Indrapuri, dengan cepat mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama "Jam'iyah A l - A t a q i y a h A l Ukhrawiyah" (Persatuan Kemerdekaan Akhirat). Persatuan ini bergerak untuk membebaskan manusia dari khurafat dan bid'ah, dari akidah yang salah, dari ibadah bukan kepada A l l a h Y a n g Maha Esa. Menurut pendiri Jam'iyah A l - A t a q i y a h al-Ukhrawiyah, bahwa apabila manusia telah bebas dari perbudakan hawa nafsu, dari akidah yang salah dan dari ibadah bukan kepada A l l a h , maka dia akan menjadi manusia yang dengan sendirinya berjuang untuk membebaskan dirinya dari "belenggu" perbudakan jasmani. Dengan cepat organisasi "Persatuan Kemerdekaan Akhirat" ini meluas ke daerah-daerah luar Indrapuri dan berdirilah ranting-ranting dan cabang-cabangnya di berbagai tempat. Selain Jam'iyah A l - A t a q i y a h yang didirikan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, di beberapa tempat lain para ulama mendirikan organisasi-organisasi yang pada lahirnya bertujuan memajukan Agama Islam, antara lain Al-Jam'iyah A l - K h a i r i y a h , A l - J a m ' i y a h A l - D i n i y a h , A l Jami'ah A l Madaniyah Al-Jam'iyah A l - D i n i y a h A l - M o n t a s i y a h . Seperti telah dinyatakan bahwa organisasi-organisasi yang bernama " A l - J a m ' i y a h " ini bertujuan memajukan A g a m a Islam dengan jalan membangun pusat-pusat pendidikan Islam yang diberi nama Madrasah. Ja'iyah-Jam'iyah inilah yang mempelopori pembaharuan sistem pendidikan Islam di Aceh.



Serikat Pemuda Islam Aceh Sampai dengan tahun 1913, di tanah Aceh belum ada sebuah organisasi pemuda yang bersifat daerah A c e h apalagi yang bersifat "Indonesia", kecuali Pemuda Muhammaddiyah yang telah berdiri semenjak berdiri organisasi Muhammadiyah di A c e h .



Aceh Membangun



71



Dalam tahun 1935, A . H a s j m y bersama sejumlah pemuda yang waktu belajar di Sumatera Barat bergerak dalam organisasi pemuda HP11 (Himpunan Pemuda Islam Indonesia), bermaksud hendak mendirikan sebuah organisasi pemuda di A c e h , karena Pemuda Muhammadiyah hanya terbatas di kota-kota saja. Dalam satu pembicaraan terbatas antara beberapa orang pemuda yang baru kembali dari Minangkabau (antara lain ; Said Abubakar, Muhammad A l i Piyeueng, A . H a s j m y , A b d u l Jalil A m i n ) , dibicarakan masalah pendirian sebuah organisasi pemuda. Pada mulanya kami bermaksud mendirikan HPII (Himpunan Pemuda Islam Indonesia). Setelah mempertimbangkan, bahwa HPII oleh Pemerintah H i n d i a Belanda dipandang sebagai organisasi pemuda radikal yang perlu dibatasi gerakannya, maka kami berpendapat lebih baik mendirikan sebuah organisasi pemuda yang baru sama sekali. Untuk keperluan tersebut, diadakanlah satu pertemuan besar yang dihadiri sekitar 50 orang Pemuda, baik yang baru pulang dari Sumatera Barat maupun yang memang berada di A c e h sendiri. Pertemuan besar tersebut di adakan di Madrasah Diniyah Lamjampok Montasiek. Setelah bertukar pikiran sampai larut malam, maka disepakati untuk membentuk satu organisasi pemuda yang wilayah geraknya meliputi s J u r u h Tanah A c e h . Organisasi tersebut dinamakan S P I A (Serikat Pemuda Islam Aceh), dengan tempat kedudukan Pengurus Besarnya untuk sementara di Seulimeum. Untuk pertama kali dipilih Pengurus Besarnya terdiri dari : Ketua U m u m



:



Sekretaris U m u m Bendahara



: :



Komisaris-Komisaris



Said Abubakar, Guru Perguruan Islam Seulimeum. Thamrin A m i n , Jadam Montasiek A . Hasjmy, Guru Perguruan Islam Seulimeum. Abdul Jalil Amin (Montasiek), Muhammad Ali (Piyeueng), Suleiman A h m a d (Cot Saloran), Muhammad A l i Cotgu (Lamjampok), Y a h y a Hasjmy (Cot Hoho) dan M.Arsyad



Dalam waktu yang relatif cepat, berdirilah cabang-cabang dan ranting-ranting S P I A di A c e h , terutama dalam daerah A c e h Besar dan Aceh barat.



72



Aceh Membangun



Dalam kongresnya yang pertama, yang berlangsung di Montasiek, setelah pertukaran pikiran yang hangat, maka S P I A (Serikat Pemuda Islam Aceh) dirobah namanya menjadi P E R A M I I N D O (Pergerakan Angkatan M u d a Islam Indonesia). Bukan saja namanya yang dirobah, tetapi sikap perjuangannya pun dirobah, sehingga gerakannya lebih radikal. A , H a s j m y dan Said Abubakar tidak duduk lagi dalam Pengurus Besar P E R A M I I N D O , karena waktu Kongres S P I A pertama berlangsung mereka sedang dalam persiapan berangkat ke Padang, untuk melanjutkan studi pada Al-Jam'iyah Al-Islamiyah yang dipimpin Ustaz Mahmud Yunus, hatta karena itu tidak memungkinkan ikut memimpin PERAMIINDO. Kongres kemudian memilih antara lain dari : Ketua U m u m Sekretaris U m u m Bendahara Komisaris-Komisaris



: :



Pengurus



Besarnya yang terdiri



Jalil A m i n Arsyad Husin Muhammad A l i Piyeueng Teuku Muhammad A l i Basyah, Teungku Muhammad A l i Cotgu, Suleiman A h m a d , Cutpo Cahya dan Muhammad Saman.



Kongres memutuskan juga, bahwa tempat kedudukan Pengurus Besarnya dipindahkan dari Seulimeum ke Montasiek. Dapat dijelaskan bahwa setelah berdiri P U S A (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), P E R A M I I N D O bekerjasama erat sekali dengan pemuda P U S A . Dalam hal i n i , P E R A M I I N D O tidak membentuk kepanduan sendiri, hanya anggota-anggotanya dianjurkan memasuki kepanduan P U S A yang bernama K . I . (Kasysyafatul Islam atau Kepanduan Islam). Dalam pemberontakan terhadap tentara pendudukan Belanda pada awal tahun 1942, P E R A M I I N D O ikut aktif bersama-sama dengan Pemuda P U S A .



PUSA Pengganti Partai Politik Pelarangan berdirinya partai-partai politik, mendorong para ulama untuk mendirikan sebuah organisasi agama non politik yang berpolitik, yang dinamakan P U S A (Persatuan U l a m a Seluruh Aceh).



Aceh Membangun



73



Para pendiri P U S A , ialah ularna-ulama yang beberapa tahun sebelum lahir Persatuan Ulama Seluruh A c e h telah mendirikan di tempatnya masing-masing organisasi yang diberi nama "Al-Jam'iyah ..." (lanjutannya A l - D i n i y a h , A l - K h a i r i y a h dan sebagainya) yang tujuan utamanya mendirikan madrasah-madrasah dan memperbaharui Sistem Pendidikan Islam. Para Ulama Pemimpin P U S A pada umumnya mempunyai dayahdayahnya sendiri, yang setelah pelaksanaan pembaharuan Sistem Pendidikan Islam dirobah namanya menjadi "Madrasah ..." dengan bermacam-macam nama. Inilah yang menyebabkan kemudian mendapat dukungan sangat luas dari masyarakat A c e h . D i antara para Ulama/Pemimpin Utama P U S A , yaitu Teungku Muhammad Daud B e u r e u è h , Teungku Abdurrahnam Meunasah Meucap, Teungku A b d u l Wahab Seulimeum, Teungku Haji A h m a d Hasballah Indrapuri, Teungku Muhammad Nur E l Ibrahimy, Teuku Muhammad A m i n , teungku Syekh A b d u l Hamid Samalanga, Teungku A m i r Husin A l Mujahid, teungku Hasan Hanafiah Lhok Bubon, Teungku Zamzami Yahya Tapak Tuan, teungku Muhammad Dahlan Masjid Raya, Teungku Muhammad A m i n A l u e . P U S A tidak memusuhi Hulubalang afau kaum bangsawan, yang menjadi musuh P U S A yaitu penguasa kolonial Belanda dan kakitangankakitangannya yang menindas rakyat. -Banyak Hulubalang yang membantu dan mendukung gerakan P U S A , bahkan bukan sedikit kaum bangsawan (Teuku) yang menjadi Pemimpin P U S A , baik pada tingkat Pengurus Besar maupun pada cabang-cabang dan ranting-ranting. Sebagai organisasi non politik yang berpolitik, P U S A pernah dituduh berusaha mengembalikan Kesultanan A c e h dengan Tuwanku Mahmud (Penasehat Pengurus Besar P U S A ) sebagai Sultannya. Memang tuduhan tersebut sebahagian ada kebenarannya, yaitu bahwa PUSA bergerak dan berjuang untuk mengembalikan "Kemerdekaan A c e h " sebagai satu mata rantai dari Kemerdekaan Indonesia seluruhnya; bukan mengembalikan "Kesultanan A c e h " sebagai satu mata rantai dari "tanah jajahan" Belanda. Sekalipun waktu P U S A didirikan dalam tahun 1939, sebagai hasil Muktamar U l a m a - U l a m a A c e h yang berlangsung di G e u k m p a n g D u a , para pemuda A c e h yang sedang belajar di Sumatera Barat mengikuti dengan cermat berlangsungnya Kongres para U l a m a A c e h tersebut, bahkan menyambut dengan amat gembira pembentukan P U S A .



74



Aceh Membangun



Bukan yang di Sumatera Barat saja, bahkan seluruh pemuda A c e h yang sedang belajar di luar A c e h menyambut dengan hangat, karena kelahiran P U S A dianggap sebagai pelaksana lanjutan dari "amanah" Sidang Istimewa Komando Tertinggi Perang G e r i l y a ; yaitu pelaksanaan dengan sebuah organisasi moderen. Atas dasar pemikiran itulah, para pemuda/pelajar Aceh di Sumatera Barat memberi penjelasan kepada Masyarakat Minangkabau tentang pentingnya arti kelahiran P U S A . Sebagai hasil penjelasan mereka, para ulama dan pemimpin rakyat di Sumatera Barat memandang P U S A sebagai satu Organisasi Nasional yang berazaskan Islam, sekalipun namanya seakan-akan mengkhususkan organisasi tersebut bagi ulama-ulama A c e h . M u d i r Al-Jam'iah A l - I s l a m i y a h , Ustaz Mahmud Yunus, yang diundang untuk menghadiri Kongres P U S A Pertama yang berlangsung di Kuta Asan, Sigli, sekembali dari Kongres tersebut beliau seperti menjadi Duta Khusus P U S A di Sumatera Barat. Dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menganjurkan kepada para pelajar A l Jam'iyah Al-Islamiyah yang berasal dari A c e h , agar sekembalinya ke A c e h harus menjadi pendukung Persatuan Ulama Seluruh A c e h , terutama Pemuda P U S A yang beru dibentuk dalam Kongres Pertama itu. Kasysyafatul Islam Untuk menyambut kelahiran PUSA, PPA (Persatuan Pemuda/Pelajar Aceh) yang berkedudukan di Padang (Ketua Umumnya waktu itu : A.Hasjmy) merencanakan mengadakan sebuah Kongres Pemuda/Pelajar Aceh se Sumatera Barat, dengan mengambil tempat di kota Padang. Kongres tersebut kemudian gagal, karena dilarang Penguasa Hindia Belanda dengan alasan bahwa Belanda telah diduduki tentara Nazi Jerman. Sekalipun kongres yang akan diadakan itu gagal karena "jatuhnya" Negeri Belanda ke tangan N a z i Jerman, para Pemuda A c e h sangat gembira karena A l l a h telah mentakdirkan Nazi Jerman untuk merenggut kemerdekaan Kerajaan Belanda, sebagai balasan atas kezaliman Belanda memperkosa Kemerdekaan Aceh, bahkan Kemerdekaan Indonesia. Dalam suasana demikianlah, sejumlah Pemuda/Pelajar A c e h kembali ke A c e h dengan niat yang pasti, akan berjuang dengan jalan apa saja untuk merebut Kemerdekaan Indonesia.



Aceh Membangun



Pengurus Besar P U S A berkedudukan di Sigli dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai Ketua Umumnya dan Teuku Muhammad A m i n sebagai Sekretaris Umumnya. Pengurus Besar Pemuda P U S A berkedudukan di ldi dengan Teungku A m i r Husin A l Mujahid sebagai Ketua Umumnya dan Abubakar "Adami sebagai Sekretaris U m u m n y a . Kwartir Besar Kasysyafatul Islam (Kepanduan Islam) berkedudukan di Bireuen dengan A b d u l Gani Usman (Ayah Gani) sebagai Ketua Kwartir Besar dan R, Hadi sebagai Kepala Staf Kwartir Besarnya. Baik Pengurus Pemuda P U S A Wilayah Aceh Besar maupun Kwartir Kasysyafatul Islam Wilayah Aceh Besar, keduanya berkedudukan di Seulimeum, seperti halnya cabang P U S A Wilayah Aceh Besar juga berkedudukan di Seulimeuem. Jadi dengan demikian, Kota Seulimeum adalah Pusat Kegiatan PUSA/Pemuda P U S A / K a s y s y a f a t u l Islam Wilayah Aceh Besar, dengan tenaga-tenaga pada Perguruan Islam menjadi pemimpin-pemimpin terasnya. Pendidikan kepanduan dalam Kasysyafatul Islam ditingkatkan benar, sehingga hampir serupa dengan pendidikan/latihan milter, yang menyebabkan para anggotanya kemudian menjadi kader-kader yang militan. Hampirr semua pelajar dari madrasah-madrasah yang dibawah pimpinan/asuhan orang-orang P U S A , masuk menjadi anggota organisasi kepanduan Kasysyafatul Islam, disamping ada juga pemuda-pemuda dari sumber lain. M e l a l u i organisasi Pemuda P U S A dan Kasysyafatul Islam ditanam semangat kemerdekaan ke dalam j i w a tunas-tunas rnuda itu, yang pada satu waktu nanti menjadi tenaga pemberontak terhadap tentara K o l o n i a l Belanda dan Pelopor Revolusi '45. Menjelang akhir pendudukan tentara Hindia Belanda di A c e h , anggota-anggota Kasysyafatul Islam mendekati 50 ribu orang banyaknya, dengan pasukan-pasukannya lebih 30 buah yang bertebaran di kota-kota, kampung-kampung dan dusun-dusun yang jauh di pedalaman.



Perguruan Tinggi Islam Menurut pemahaman para Ulama dan pemimpin rakyat di A c e h , "amanat" Komando Tertinggi Perang G e r i l y a meliputi pendidikan kader pejuang kemerdekaan melalui Perguruan Tinggi Islam. Atas dasar pemahaman i n i , maka para ulama dan pemimpin rakyat bercita-cita



7g



Aceh Membangun



membangun sebuah Universitas islam di A c e h , sebagai penjelmaan kembali Jam'iyah Baiturrahman yang pernah berdiri dengan jayanya dalam Kerajaan A c e h Darussalam. Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam di Aceh merupakan langkah awal ke arah pembangunan sebuah Perguruan Tinggi Islam. Beratus-ratus Madrasah Ibtidaiyah (Sekolah dasar) dan berpuluh-puluh Madrasah Sanawiyah (Sekolah menengah Pertama) telah didirikan di seluruh A c e h , dengan puluhan ribu murid/pelajarnya. Dalam rangka menjadikan madrasah-madrasah tersebut sanggup menyiapkan bibit-bibit yang layak untuk Perguruan Tinggi Islam yang akan dibangun itu, P U S A berusaha menyatukan kurikulum bagi madrasah-madrasah tersebut dan usahanya berhasil dengan baik. Kemudian P U S A sendiri mendirikan sebuah madrasah tingkat lanjutan atas di kota Bireuen (Aceh Utara) dengan nama Normal Islam Institut. Muhammadiyah mendirikan sekolah menengah lanjutan atas di Banda A c e h dengan nama Darul M u ' a l l i m i n , sementara di Lampaku Seulimeum didirikan pula sebuah Madrasah lanjutan atas dengan nama M I M (Ma'had Iskandar Muda) yang dipelopori Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Dengan adanya tiga madrasah tingkat lanjutan, ini dianggap bahwa sumber mahasiswa bagi sebuah Perguruan Tinggi Islam telah ada, di tambah lagi dengan dua buah madrasah lanjutan tingkat atas sedang dalam persiapan, masing-masing di Langsa dan Meulaboh. Kalau dalam tahun 1944 direncanakan pembangunan Universitas Islam A c e h , maka pada waktu itu calon mahasiswa telah cukup dan tenaga-tenaga dosen pun sudah akan. ada. Tetapi, sebelum cita-cita besar itu terlaksana, Perang A s i a T i m u r Raya pun pecah dan maksud baik itupun terhenti buat sementara. Bagaimana besar hasrat yang dikandung Angkatan M u d a agar di A c e h didirikan sebuah Universitas Islam, pernah dilukiskan A . H a s j m y dalam novelnya yang bernama " M e l a l u i Jalan Raya Dunia" dimana dalam novel tesebut T o k o h Utamanya yang keluaran sebuah Al-Jam'iyah A l - I s l a m i y a h di Sumatera Barat bercita-cita mendirikan sebuah Perguruan Tinggi Islam dengan nama "Seulawah Jantan Institut", yang selain jurusan i l m u A g a m a Islam, juga meliputi jurusan-jurusan Pertanian, T e k n i k dan sebaginya.



Aceh Membangun



Perjuangan Lewat Surat Kabar Bagi Angkatan M u d a A c e h , perjuangan melalui "karya tulis", terutama majalah dan surat kabar, merupakan realisasi Amanat Komando Tertinggi Perang Gerilya. Usaha untuk menerbitkan surat kabar atau majalah di Aceh mengalami kesulitan, karena percetakan (Atjeh Drukkerij) satu-satunya yang ada di Banda A c e h adalah kepunyaan Penguasa Hindia Belanda, yang sama sekali tidak mau mencetak surat kabar dan majalah dari orang-orang gerakan. Majalah "Industri" yang diterbitkan dan dipimpin sendiri T . M . U s m a n EI Muhammady, terpaksa dipindahkan ke Medan karena sulitnya percetakan di Banda A c e h . Majalah "Penyuluh" yang diterbitkan P U S A terpaksa di cetak di Medan, yang menyebabkan terbitnya kadang-kadang tidak teratur. Sebuah mingguan yang bernama "Gubahan" yang dipimpin Teuku Muhammad A l i Panglima Polem dan Teuku Johan Meraxa dan dicetak oleh "Atjeh Drukkerij", setelah terbit beberapa nomor, terpaksa dihentikan penerbitannya, karena percetakan kolonial itu tidak mau mencetak lagi, berhubung isinya berjiwa kebangsaan dan bercita-cita Kemerdekaan Indonesia. Karena hal-hal tersebut di atas, maka Aceh selama pendudukan Belanda tidak pernah m e m i l i k i majalah atau surat kabar kepunyaan bangsa Indonesia sendiri vang berhaluan agama atau kebangsaan, kecuali surat kabar kepunyaan Belanda (Aceh Neuwsblaad). Untuk melaksanakan amanat Sidang Istimewa Komando Tertinggi Perang G e r i l y a . sejumlah pengarang muda A c e h , harus menulis dalam surat kabar dan majalah yang terbit di luar A c e h (Medan, Jakarta, Surabaya). Surat kabar-surat kabar Pewarta Deli dan Sinar Deli yang terbit di Medan menjadi medan tempat para pengarang muda A c e h menulis, membongkar kezaliman dan kekejaman penguasa H i n d i a Belanda dan para kakitangannya terhadap Rakyat dan Perjuangan Kemerdekaan. Majalah-majalah Masyarakat, Penyedar, medan yang ampuh melaksanakan amanat Gerilya.



mingguan : A b a d X X , Panji Islam, Pedoman Suluh Islam dan Seruan K i t a , juga merupakan bagi para pengarang muda A c e h dalam Sidang Istimewa Komando Tertinggi Perang



78



Aceh Membangun



Yang amat besar jasanya dalam menghantam habis-habisan kejahatan kolonialisme Belanda di A c e h , yaitu Mingguan Seruan Kita di bawah pimpinan Muhammad Said (H.Muhammad Said, ahli sejarah dan jurnalis terkenal). Baik dalam tajuknya, sudutnya maupun dalam karangan-karangan yang lain, hampir tiap minggu Seruan K i t a menguliti kejahatan-kejahatan yang dilakukan aparat penguasa K o l o n i a l Belanda. Untuk selanjutnya, bukan saja dalam Seruan K i t a , Haji Muhammad Said banyak sekali menulis masalah-masalah A c e h , bahkan beliau telah menulis sebuah buku sejarah A c e h yang amat bernilai, Aceh Sepanjang Abad, di samping berkali-kali menyampaikan prasaran tentang A c e h dalam berbagai seminar/simposium. Adalah hal yang amat layak bahwa Pemerintah Daerah Istimewa A c e h telah menganugerahkan kepada Haji Muhammad Said Piagam Penghargaan dan Medali Ulama, dalam resepsi penutupan Musyawarah Majlis Ulama A c e h , yang dihadiri para Pembesar Sipil dan Militer, Ulama dan pemimpin rakyat.



Bergerilya di Kaki Bukit Barisan



Sikap dasar PUSA (Persatuan" Ulama Seluruh Aceh) yang menentang kolonialisme Belanda, bukanlah karena ia bangsa kulit putih yang beragama Nasrani, tetapi karena Belanda telah merenggut Kemerdekaan Aceh sebagai Negara Berdaulat terakhir di Kepulauan Nusantara. Karena itu, PUSA tidak sependapat dengan sementara "Pemimpin Indonesia" yang menganjurkan kerjasama dengan Penjajah Belanda melawan Jepang waktu pecah Perang Asia Timur Raya. Pecahnya perang tersebut dipandang PUSA sebagai suatu kesempatan untuk mengusir Belanda dari Indonesia, sekalipun sebagai taktik untuk sementara harus bekerjasaman dengan Jepang sebagai penjajah Baru.



Sikap PUSA Menghadapi Jepang Setelah Jepang mengumumkan perang kepada A m e r i k a Serikat, yang berarti Perang A s i a Timur Raya telah dimulai, maka pimpinan P U S A memusyawarahkan sikap apa yang akan diambil menghadapi situasi baru itu. A d a tiga sikap yang dipertimbangkan untuk diambil, salah satu di antaranya yaitu : 1. Bekerjasama dengan Belanda, seperti yang di anjurkan sementara Pemimpin Indonesia, untuk meiwan Jepang. 2. Bekerjasama dengan Jepang untuk mengusir Belanda sekalipun diyakini bahwa Jepang juga penjajah. 3. Menjadi penonton yang pasif. Setelah pertukaran pikiran yang seru dengan pertimbangan yang masak, akhirnya musyawarah memutuskan memilih alternatif yang kedua, yaitu bekerjasama dengan Jepang dalam batas-batas tertentu dan mengadakan perlawanan aktif terhadap kekuasaan Hindia Belanda, dan harus dimulai sebelum bala tentara Jepang mendarat di A c e h .



79



52



Aceh Membangun



Perlawanan dilakukan secara bertahap: kampanye berbisik, perang urat syaraf, sabotase, pembentukan unit-unit kekuatan dalam rahasia (gerakan bawah tanah) dan akhirnya perlawanan secara fisik. Pimpinan P U S A menyerahkan kepada para Pimpinan P U S A / P e m u d a P U S A di daerah-daerah untuk melaksanakan keputusan tersebut, sesuai dengan situasi setempat dan menurut kemungkinan-kemungkinan yang terbuka. Dalam melaksanakan keputusan yang dianggap amat penting itu, Pimpinan P U S A kecuali menginstruksikan kontak rahasia sejumlah U l a m a dan pemimpin di luar P U S A , seperti dengan Teungku Syekh Ibrahim Ayahanda, Teungku Muhammad Saleh Lambhuk, Teuku Muhammad A l i Panglima Polem, Teuku Nyak A r i f dan sebagainya. Sikap P U S A yang tidak ingin bekerjasama dengan Belanda seperti yang disiarkan sementara pimpinan Indonesia, mendapat sambutan para Ulama/pemimpin di luar P U S A , sekalipun ada juga di antara mereka yang tidak bersedia dengan Jepang ; mereka ingin menjadi penonton yang pasif dalam menghadapi Perang A s i a T i m u r Raya. Pimpinan P U S A menghormati sikap mereka yang demikian, karena diperhitungkan bahwa pada satu waktu nanti akan ada gunanya. Para Ulama yang bersikap demikian, antara lain yaitu Teungku H.Hasan Krueng K a l e , Teungku A b d u l Jalil Bayu, dan lain-lain ulama pengikut kedua ulama besar tersebut. Kecuali itu, tentu ada juga sebagian kecil tokoh-tokoh Aceh yang pro Belanda karena sebab-sebab tertentu, tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu gerakan untuk membantu Belanda pada waktu Penguasa dan tentara Hindia Belanda mati ketakutan menjelang akan datang Jepang, setelah Semenanjung Tanah M e l a y u dan Singapura didudukinya.



Lahirnya Gerakan Fajar Kebijaksanaan pimpinan P U S A memanfaatkan Perang A s i a Timur Raya yang dicetuskan Jepang sebagai suatu kesempatan baik untuk menggerakkan perlawanan terhadap kekuasaan pendudukan Belanda di A c e h , dan untuk sementara dalam batas-batas tertentu bekerjasama dengan Jepang, telah menumbuhkan pusat-pusat perlawanan di beberapa daerah dengan caranya masing-masing, tetapi tidak menyimpang dari "sikap dasar" yang telah ditetapkan musyawarah pimpinan pusat P U S A . Sementara itu, di luar organisasi P U S A timbul pula beberapa pusat perlawanan pada beberapa tempat, seperti di Montasiek di bawah



Aceh Membangun



81



pimpinan Teungku Syekh Ibrahim Ayahanda ; di Lamnyong/Leubok di bawah pimpinan Teuku Nyak A r i f . Gerakan perlawanan yang diorganisir P U S A / P e m u d a P U S A , antara lain berpusat di Sigli di bawah pimpinan langsung Teungku Muhammad Daud B e u r e u è h (Ketua U m u m P U S A ) , d i Aceh Utara di bawah pimpinan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap (Wakil Ketua U m u m P U S A ) , di Idi ( A c e h Timur) d i bawah pimpinan Teungku A m i r Husin A l Mujahid (Ketua U m u m Pemuda P U S A ) , d i Calang (Aceh Barat) di bawah pimpinan Teuku Sabi Lageuen (Penasehat P U S A ) , di Tapak Tuan ( A c e h Selatan) di bawah pimpinan Teungku Zamzami Y a h y a (Pengurus P U S A ) , di Seulimeum (Aceh Besar) di bawah pimpinan Teungku A b d u l Wahab ( W a k i l Ketua U m u m P U S A ) dan di Indrapuri (Aceh Besar) di bawah pimpinan Teungku A h m a d Hasballah Indrapuri (Ketua Majlis Syura P U S A ) . Baik Teungku A b d u l Wahab Seulimeum maupun Teungku Haji A h m a d Hasballah Indrapuri, kedua beliau sepakat menyerahkan kepada pimpinan Pemuda P U S A Aceh Besar untuk membentuk satu gerakan rahasia (Gerakan Bawah Tanah), yang kemudian dilaksanakan oleh Ahmad A b d u l l a h dan A . H a s j m y (masing-masing Kwartir Kasysyafatul Islam W i l a y a h A c e h Besar dan keduanya guru pada Perguruan Islam Seulimeum). Perlu dijelaskan bahwa semua pusat-pusat gerakan perlawanan tersebut tetap berada di bawah koordinasi dan pengawasan Pengurus Besar P U S A . Setelah A h m a d Abdullah dan A . H a s j m y mengadakan perundingan dengan Pengurus Besar P E R A M I I N D O (Pergerakan Angkatan M u d a Islam Indonesia) yang berpusat di Montasiek, maka dibentuklah sebuah gerakan bawah tanah yang diberi nama Gerakan Fajar dan berpusat di Seulimeum. Dalam Gerakan Fajar tidak diikutsertakan secara aktif Teungku A l i Ibrahim (Kepala Perguruan Islam Seulimeum), dengan pertimbangan kalau rahasia terbuka masih ada yang melanjutkan pimpinan Pusat Pendidikan Islam yang penting itu. Dapat dijelaskan bahwa anggota-anggota P E R A M I I N D O di anjurkan memasuki organisasi kepanduan Ksysyafatul Islam yang merupakan gerakan "Pemuda M i l i t a n " dari P U S A . " A . H a s j m y dan A h m a d A b d u l l a h yang memimpin Gerakan Fajar, dibantu para Kepala Pasukan Ksysyafatul Islam dalam W i l a y a h A c e h Besar sebagai tenaga-tenaga pimpinan itu, sementara pelaksana-pelaksana utama adalah pasukan-pasukan Ksysyafatul Islam dalam W i l a y a h A c e h Besar, yang akan diberitahukan pada waktunya dan tentunya akan dibantu oleh rakyat pada umumnya"



82



Aceh Membangun



Dalam Kwartir Aceh Besar telah terbentuk beberapa Pasukan Kasysyafatul Islam. D i Seulimeum terdapat satu pasukan di bawah pimpinan Teungku Raden Sulaiman, di Lampaku terdapat satu pasukan di bawah pimpinan Teunghku Jamaluddin, di banda Aceh (waktu itu namanya Kutaraja) di bawah pimpinan Muhammad Juned Y u s u f (kemudian terkenal Muhammad Juned Indocolim), di L a m Puuk Lhoknga terdapat satu pasukan di bawah pimpinan Muhammad A d a m (Teungku Padang), di Indrapuri satu pasukan di bawah pimpinan Muhammad A l i . Baik juga diketahui bahwa sebahagian besar dari anggota pasukan-pasukan Kasysyafatul Islam terdiri dari para pelajar pusat-pusat Pendidikan Islam (madrasah-madrasah dengan bermacam nama), sementara kebanyakan para pengajarnya menjadi pimpinannya, baik pimpinan pasukan maupun pimpinan regu. Pada awal tahun 1942, para pimpinan maupun para anggota Gerakan Fajar, baik yang telah diberi tahu ataupun yang belum di beritahu tentang gerakan bawah tanah itu, mulai melakukan sabotase dan perang urat syaraf, seperti memotong kawat telepon, mengirim surat buta yang bersifat ancaman kepada orang-orang Belanda dan yang bersifat hasutan kepada serdadu-serdadu dan pegawai-pegawai sipil Indonesia. Gerakan sabotase dan perang urat syaraf tidak saja terjadi dalam wilayah Aceh Besar bahkan juga terjadi di beberapa tempat lainnya di Tanah A c e h . Surat dari Said Abubakar Dalam bulan Januari 1942, A . H a s j m y menerima "briefcard" (kartupos) dari Said Abubakar yang sedang dalam tahanan polisi Sektor Barat Medan. Kartupos itu berisi singkat sekali, bunyinya kira-kira : Saudara A . H a s j m y : Saya melarikan diri dari kekejaman Jepang di Singapura Sekarang sedang dalam tahanan polisi Sektor Barat Medan. Demikian untuk dimaklumi Dari sahabatmu ttd Said Abubakar



Aceh Membangun



83



Said Abubakar adalah teman sekolah A.Hasjmy di Madrasah Thawalib Padang Panjang, kemudian sama-sama mengajar di Perguruan Islam Seulimeum, setelah mengajar tiga tahun sama-sama melanjutkan studi pada A l Jami'ah A l Islamiyah Padang. Kembali dari Padang Said Abubakar berangkat ke Semenanjung Tanah Melayu dan mengajar pada Madrasah Islamiyah di Negeri Keudah, sementara A.Hasjmy kembali mengajar di Perguruan Islam Seulimeum bersama-sama Teungku A l i Ibrahim dan Ahmad Abdullah. Kartupos dari Said Abubakar diserahkan kepada Teungku Abdul Wahab, yang kemudian dibicarakan dalam kalangan terbatas Pimpinan PUSA/Pemuda PUSA Wilayah Aceh Besar tentang kemungkinan yang tersirat dari kartupos tersebut. Pimpinan PUSA/Pemuda PUSA Wilayah Aceh Besar yang membahas isi kartupos dari Said Abubakar itu berkesimpulan, bahwa Said Abubakar ada membawa suatu "missi rahasia" yang penting. Untuk menjumpai Said Abubakar, diputuskan mengirim Ahmad Abdullah dan Teuku Zainul Abidin Samalanga ke Medan, dengan tugas menghubungi Said Abubakar. Sudah dapat diperhitungkan, bahwa polisi Medan tidak akan mengizinkan Ahmad Abdullah dan Teuku Zainul Abidin menjumpai Said Abubakar. Namun demikian, kepada utusan tersebut diharapkan agar mencari jalan hatta dapat berjumpa apapun jalannya, kalau perlu dan mungkin menyuap polisi atau siapa saja. Memang perhitungan itu benar, Ahmad Abdullah dan Teuku Zainul Abidin tidak diperkenankan menjumpai Said Abubakar, sekalipun telah diberi alasan-alasan yang bermacam-macam, bahkan telah diberi gambaran tentang pemberian "uang rokok". Dalam keadaan belum "putus asa" kedua beliau itu mundarmandir di jalan kantor Polisi Sektor Barat, dan tiba-tiba serine berbunyi mengaung-ngaung memberi tahu datangnya serangan udara Jepang seperti biasanya setiap hari. Polisi memerintahkan orang-orang yang lalu lintas di jalan, termasuk Ahmad Abdullah dan Teuku Zainul Abidin, agar segera memasuki "lubang perlindungan besar" yang tersedia di dalam pekarangan kantor polisi Sektor Barat itu. Dalam lobang perlindungan itulah selama lebih satu jam Ahmad Abdullah dan Teuku Zainul Abidin berjumpa dengan Said Abubakar, dalam keadaan semua orang yang berlindung di "lubang maut" itu panik dan ketakutan.



Aceh Membangun



Said Abubakar menceriterakan bahwa dia dan sejumlah temantemannya diutus M a y o r Fujiwara (Kepala Intelijen Tentara Jepang) untuk mendirikan gerakan perlawanan terhadap tentara Belanda mendahului pendaratan Balatentara Jepang. Said Abubakar dan beberapa teman yang lain (jumlahnya hampir 30 orang) diantar oleh sebuah "gun boat" tentara Jepang yang menarik dua buah perahu besar di mana dalam dua perahu tersebut menumpang Said Abubakar dan teman-temannya. Setalah mendekati pantai Pangkalan Berandan, kedua perahu itu dilepaskan oleh "gun boat" Jepang itu dan para penumpangnya memasang layar serta berkayuh menuju pantai. D i pantai Pangkalan Berandan, semua mereka ditangkap pengawal pantai dan dibawa ke Medan yang berakhir ke tempat tahanan polisi Sektor Barat. Kepada polisi yang memeriksa mereka dinyatakan bahwa mereka lari dari kekejaman Jepang. Said Abubakar menganjurkan kepada Ahmad Abdullah dan dan Teuku Zainul A b i d i n agar mendirikan "gerakan Fujiwara" di A c e h , sebuah " K o l o n e K e l i m a " yang dibentuk oleh Mayor Fujiwara, dengan tugas-tugas sabotase, paerang urat syaraf dan kalau mungkin perlawanan fisik. A h m a d Abdullah menjelaskan kepada Said Abubakar bahwa P U S A / P e m u d a P U S A telah membangun gerakan perlawanan di seluruh A c e h dan dengan berpusat di Seulimeum telah dibangun pula gerakan bawah tanah yang bernama "Gerakan Fajar" di bawah pimpinan A . H a s j m y dan A h m a d A b d u l l a h . Dalam perundingan di bawah bayang pesawat-pesawat tempur/pembom Jepang yang terbang rendah, disepakati bahwa "Kolone K e l i m a Fujiwara" dapat dibangun dan bekerjasama dengan "Gerakan Fajar" dengan sama-sama memakai lambang huruf " F " . Setelah lebih dari satu jam dalam "lubang perlindungan" dan setelah mengetahui "missi Said Abubakar", A h m a d Abdullah dan Teuku Zainul A b i d i n keluar dengan rasa puas. Sore hari itu juga, dengan menumpang kereta api malam (waktu itu masih ada kereta api malam yang berangkat ke A c e h ) dari Besitang kedua utusan yang berhasil itu kembali ke A c e h .



Kolone Kelima Fujiwarakikan Sesampai ke Seulimeum, A h m a d A b d u l l a h bersama Teungku A b d u l Wahab berangkat ke S i g l i untuk melapor kepada Ketua Umum P U S A Teungku Muhammad Daud B e u r e u è h tentang "missi Said



Aceh Membangun



Abubakar", yang kemudian bersama-sama dengan Teungku Muhammad Daud Beureuèh berangkat ke Banda Aceh untuk membicarakan hal tersebut dengan Teuku Nyak Arif. Di rumah Teuku Nyak Arif Lamnyong, dalam satu permusyawaratan antata Pengurus Besar PUSA (Teungku Muhammad Daud Beureuèh, Teungku Abdul Wahab Seulimeum dan Ahmad Abdullah) dan Teuku Nyak Arif dibicarakan masalah "Kolone Kelima Fujiwarakikan" dan kemudian disepakati untuk membantu gerakan itu dengan tujuan utama memakainya sebagai alat mengusir Belanda dari Aceh. Kepada Teuku Nyak Arif tidak diberitahu, bahwa sebelum datang "missi Said Abubakar" dengan membawa "Kolone Kelima Fujiwarakikan" di Aceh telah dibentuk sebuah gerakan di bawah tanah yang diberi nama "Gerakan Fajar". Setelah pertemuan Lamnyong itu, maka berdirilah di seluruh Aceh Barisan "F", dengan dua penafsiran. Ada yang menafsirkan "F" itu dengan "Fajar" dan ada pula yang menafsirkan dengan "Fujiwarakikan", sesuai dengan pengetahuan masing-masing. Tidak lama kemudian, Said Abubakar dan teman-temannya dibebaskan dari tahanan polisi Sektor Barat Medan, setelah polisi dapat meyakinkan bahwa mereka benar lari dari kekejaman Jepang. Sebagai orang yang wataknya dinamis, Said Abubakar bekerja cepat untuk melaksanakan "missinya", sehingga hasilnya cepat kentara, antara lain terjadi gangguan terhadap "Pangkalan Udara Lhoknga" yang telah ditempati Angkatan Udara Australia dan larinya beberapa orang serdadu Hindia Belanda yang berkebangsaan Indonesia. Gerakan perlawanan yang murni "Kolone Kelima Fujiwarakikan" berdiri di beberapa tempat, antara lain di Lamnyong dan sekitarnya di bawah pimpinan Teuku Nyak Arif, di Montasiek dan sekitarnya di bawah pimpinan Teungku Syekh Ibrahim Ayahanda, sementara "Gerakan Fajar" yang berselimutkan "Kolone Kelima Fujiwarakikan", selain di Seulimeuem dan Indrapuri, berdiri pula di beberapa tempat, juga di Montasiek terdapat "Gerakan Fajar" di bawah pimpinan Abdul' Jalil Amin dan Muhammad A l i Piyeueng. Baik juga dijelaskan, bahwa sebelum sampai "Missi Said Abubakar", Pimpinan Pusat P U S A telah mengirim sebuah delegasi ke Semenanjung Tanah Melayu di bawah pimpinan Syekh Abdul Hamid atau Ayah Hamid (Anggota Pengurus Besar PUSA) dengan anggotanya antara lain Haji Ahmad Batee, dengan tugas menyampaikan "Sikap



86



Aceh Membangun



Dasar" P U S A kepada Pimpinan Tentara Jepang di Pulau Pinang atau di Singapura. M i s s i Syekh A b d u l hamid berselisih jalan (di laut) dengan M i s s i Said Abubakar sehingga tidak sempat berjumpa di Singapura.



Perlawanan Mulai di Seulimeum Pada malam itu, tanggal 20 Februari 1942, perlawanan fisik terhadap pendudukan Belanda dimulai dengan mengepung Tangsi Tentara Belanda dan rumah Countroleur di kota Seulimeuem. Perlawanan fisik telah didahului persiapan-persiapan yang matang : penanaman semangat dan pengertian kepada pasukan-pasukan Kasysyafatul Islam, terutama kader-kader yang dipersiapkan, kampanye yang luas kepada masyarakat, sabotase terhadap alat-alat perhubungan, seperti pemotongan kawat telepon dan pembongkaran rel kereta api, perang urat syaraf melalui surat-surat buta dan selebaran-selebaran gelap. Semua itu telah menyebabkan timbul ketakutan dalam kalangan militer dan orang-orang sipil pemerintah Hindia Belanda. Pada malam tanggal 20 Februari 1942 menjelang waktu penyerbuan yang telah ditetapkan, Kampus Perguruan Islam Seulimeuem menjadi amat sibuk ; ratusan pelajarnya yang berumur antara 15 dan 18 tahun dan para pemuda kampung sekitar Keunalu telah berkumpul dengan senjata perang, rencong, tombak dan keiewang, untuk mendengar penjelasan dan instruksi pimpinan. Teungku Abdulwahab sebagai pemimpin umum menyampaikan nasehat-nasehat. Teuku Panglima Polem Muhammad A l i bersama Teungku Abdulwahab dan Teungku Cut A h m a d (Kepala Kantor Pos Seulimeuem) serta beberapa orang lainnya, sebelum waktu penyerbuan, telah berangkat ke Data C o o , Markas G e r i l y a yang baru, kira-kira 15 km dari kota Seulimeuem, sementara A h m a d A b d u l l a h dua hari yang lalu telah berangkat ke Samalanga untuk menggerakan pemberontakan di sana. Yang tinggal di Seulimeuem menjelang saat-saat penyerbuan, hanya A . H a s j m y yang ditugaskan untuk memimpin penyerbuan, sementara Teungku A l i Ibrahim ditugaskan melanjutkan pimpinan Perguruan Islam, yang telah ditetapkan pelajarannya harus berjalan terus. Satu jam sebelum pukul 12 tengah malam, dilaksanakan pengucapan bahagian-bahagian yang rawan dari Hikayat Prang Sabi (Karangan Teungku C h i k Muhammad Pante Kulu) di depan para mujahid yang sebentar lagi akan melakukan tugas jihadnya. Pengucapan dengan irama yang bersemangat dilakukan Teungku



Aceh Membangun



g7



•Seunadeu, seorang tua yang pernah hidup dalam Perang K o l o n i a l di A c e h dan matanya telah buta, tetapi beliau hafal seluruh Hikayat Prang Sabi, karena d i waktu berkecamuk perang kolonial itu beliau mendapat tugas membacakan Hikayat Perang Sabi di depan para Mujahid yang akan berangkat ke medan perang. Dengan semangat bernyala-nyala setelah mendengar deklamasi Hikayat Prang Sabi, pada pukul 12 tengah malam para mujahidin yang masih muda belia itu berangkat dengan derap langkah pasti menuju kota Seulimeuem yang tidak begitu jauh dari Kampus Perguruan Islam. Y a n g menjadi sasaran penyerbuan yaitu Tangsi M i l i t e r dan rumah Countroleur (Kepala Pemerintahan S i p i l Onder Afdeeling Seulimeum yang berbangsa Belanda). Serdadu-serdadu Hindia Belanda yang berkurung diri dalam tangsi yang telah dikepung, tidak ada seorangpun yang berani keluar dan kami tidak memerintahkan para mujahidin yang masih muda belia untuk menyerbu ke dalam tangsi, hatta menjelang subuh mereka diperintahkan kembali ke kampus untuk besok pagi belajar kembali. L a i n halnya dengan Countroleur, yang dengan satu tipu muslihat dia keluar rumah yang diiringi istrinya yang masih muda. Waktu Belanda itu turun tangga dengan pistol di tangan kanan dan lampu senter di tangan k i r i , Teuku Ubit (16 tahun) yang bersembunyi di bawah tangga keluar dengan cepat dan dengan parang dapurnya mencencang tangan kanan Countroleur sehingga jatuh pistolnya. Kemudian seorang pemuda tani kampung A l u e Gintong yang bernama Ibrahim tampil mencencang Belanda itu sehingga tersungkur ke bumi, dan istrinya berteriak-teriak minta tolong. "Teuku A l i , tolong ! Teuku A l i , tolong ! (maksudnya : Teuku Muhammad A l i Panglima P o l e m , yang ru'mahnya dekat dengan kediaman resmi Countroleur. Rupanya dia tidak tahu bahwa Teuku Muhammad A l i Panglima Polem ikut m e m i m p i n pemberontakan). Besoknya Controleur dan istrinya di bawa ke S i g l i , karena ke Banda A c e h sudah tidak mungkin lagi, berhubung pertempuran telah pecah pula di Keumire. Menjelang subuh, penyerbuan berakhir. Para mujahidin belia yang belajar kembali ke Kampus Perguruan Islam dan pemuda kampung kembali ke rumahnya masing-masing, dan A , . H a s j m y bersama beberapa staf pimpinan menghindar dalam sebuah kebun pisang di seberang Krueng A c e h , kira-kira satu kilometer dari kota Seulimeum.



gg



Aceh Membangun



Selama dua hari bersembunyi dalam "kebun pisang" itu untuk mengikuti dari dekat perkembangan situasi, dan setelah mendapat laporan lengkap dari mereka yang'masih tinggal di kampus, A.Hasjmy berangkat menggabungkan diri dengan Teungku Abdulwahab yang telah berada di Data Coo, tempat "Markas Gerilya", sementara Teuku Muhammad A l i Panglima. Polem bersama Pawang hajat, Teuku Abdullah dan lain-lainnya telah membangun "markas cadangan" kirakira 10 km dari Data Coo arah ke gunung. Setelah penyerbuan terhadap tangsi dan rumah Countroleur di Seulimeuem, besoknya tanggal 21 Februari 1942 dilanjutkan dengan pertempuran Keumire kira-kira 10 km dari Seulimeuem. Pertempuran Keumire tersebut terjadi antara para mujahidin yang memakai ditangannya ban putih bertulisan "F" merah, yang lanjutannya mungkin dibaca "Fajar" atau Fujiwarakikan" dan tentara Hindia Belanda yang diangkut dengan kereta api untuk membantu Seulimeum. Di jembatan Keumire, yang menuruU rencana Belanda akan dihancurkan kalau Jepang datang, kereta api yang membawa serdadu "Marsose" yang sebahagiannya orang Belanda dan lainnya orang-orang Ambon, dihempang dan diserang para mujahidin, sehingga terjadi pertempuran seru antara dua pasukan yang tidak berimbang persenjataannya. Dalam kereta api tersebut, kecuali sejumlah perwira Belanda juga terdapat Graaf U Bernstorft Von Sperling, Kepala Ekploitasi Kereta Api Aceh (Atjeh Trem). Dalam pertempuran yang hebat itu, beberapa perwira dan serdadu Hindia Belanda mati konyol, termasuk Kepala Eksploitasi Aceh Trem yang Belanda, sementara di pihak mujahidin syahid tiga orang, yaitu Ismail, Ibrahim, dan Ahmad yang kemudian di ujung "Jembatan Keumire" itu didirikan "Tugu Kenangan" bagi mereka yang syahid itu. Berlakunya Pemerintahan Militer Penyerbuan terhadap tangsi tentara dan rumah Countroleur di Seulimeuem, yang disusul pertempuran di Keumire, dianggap penguasa pendudukan Hindia Belanda di Aceh sebagai suatu permulaan masa yang amat sulit bagi kedudukan Hindia Belanda. Karena itu, daerah Onder Afdeeling Seulimeuem dinyatakan daerah dalam keadaan darurat perang, yang selanjutnya untuk memerintahkan daerah tersebut sebagai pengganti Countroleur Y.C.Tiggelman yang telah terbunuh dikirim seorang perwira Marsose yang berpangkat Mayor, yaitu W.F.Palmer van



Aceh Membangun



89



der Broek. M a y o r tersebut selama ini adalah Komandan Korps Marsose (pasukan istimewa semacam Kopasus dari A B R I ) yang khusus dibentuk untuk memenangkan perang kolonial di A c e h , dan ternyata tidak pernah menang. Sebagai penguasa Militer dalam keadaan darufat perang, Mayor W.F.Palmer van der Broek bertindak kejam, sekalipun dia sangat panik dan ketakutan. Sungguhpun demikian, serdadu-serdadu yang diperintahkan untuk memerangi kaum G e r i l y a , terutama laskar Gerilya di data C o o , tidak pernah berani keluar jauh dari kota Seulimeuem, paling jauh mereka keluar dalam lingkaran dua kilometer di keliling kota Seulimeuem, yang sering-sering juga mendapat gangguan dari pasukan gerilya. Untuk mengetahui situasi, kaum gerilya sering turun sampai dekat sekali dengan kota Seulimeuem (juga waktu siang) tempat M a y o r van der Broek berbenteng. Dalam keadaan demikian, M a y o r van der Broek menjadi kalap. Ditangkaplah orang-orang yang bermukim dalam kota Seulimeuem, yang pada lahirnya tidak ikut dalam pemberontakan. D i antara orangorang yang ditangkap, yaitu ayah A . H a s j m y (Teungku Hasyim Pang Abbas) ; mereka yang ditangkap itu diangkut ke "Kutaraja" (Banda Aceh) dengan pengawalan militer yang ketat, dan di Kutaraja dikurung dalam kamar-kamar sempit di Tangsi Keraton, yang kemudian waktu Jepang akan mendarat dan Belanda melarikan diri dari Banda A c e h , rumah tahanan orang-orang tangkapan itu dibakar. Syukurlah, A l l a h melindungi mereka ; tidak ada yang mati terbakar. D i antara tindakan-tindakan kejam lainnya, yaitu penangkapan terhadap sejumlah anggota Pengurus Besar P U S A , antaranya Teuku Muhammad A m i n (Sekretaris U m u m P U S A ) . D i samping itu, sejumlah Hulubalang/Pegawai Tinggi diundang oleh Residen Belanda ke tempat kediaman resminya, katanya untuk membicarakan masalah penyerahan A c e h kepada orang-orang A c e h , tetapi setelah mereka hadir langsung ditangkap serdadu-serdadu yang telah dipersiapkan M a y o r van der Broek. Yang memenuhi undangan Residen Belanda itu antara lain Tuwanku M a h m u d , Teuku A l i Basyah Peukan Bada dan yang tidak mau hadir yaitu Teuku N y a k A r i f . Mereka yang ditangkap itu menurut rencana akan dibawa ke Takengon. Tindakan kejam Mayor van der Broek tambah mendorong rakyat A c e h untuk menggempur tentara H i n d i a Belanda. Terjadilah penyerbuan di S i g l i , yang antara lain terbunuh Asisten Residen Pidie, terjadilah pertempuran di W i l a y a h Calang ( A c e h Barat). Mujahidin



90



Aceh Membangun



A c e h Barat d i bawah "pimpinan Teuku Sabi Lageuen menghadang pasukan tentara Hindia Belanda yang melarikan diri lewat pantai Barat A c e h , yang juga menimbulkan korban di kedua pihak. Teuku Sabi sendiri berkali-kali dilanggar peluru karaben musuh, tetapi kulitnya tahan peluru. Pertempuran di W i l a y a h Calang ini dianggap militer Belanda sebagai satu pertempuran yang serius. Kecuali pertempuran-pertempuran yang terjadi di sana-sini, juga sabotase dan perang urat syaraf semakin gencar, hatta menyebabkan para Penguasa Hindia Belanda dan pimpinan militernya menjadi sangat panik. Akibatnya, sebelum tentara Jepang mendarat di A c e h , semua pejabat Hindia Belanda yang berbangsa Belanda dan semua militer Hindia Belanda telah menyingkir ke perbatasan Aceh dengan Sumatera Timur, yaitu di daerah A l a s , dan di sanalah kemudian mereka menyerah kepada Jepang. Pada waktu Jepang mendarat di pantai-pantai Aceh (Sabang, Ujong Batee/Ladong A c e h Besar dan Kuala Bugak Peurelak, Aceh Timur) pada tanggal 12 Maret 1942, mereka dapati Aceh telah bersih dari orang-orang dan tentara Hindia Belanda. Setelah bergerilya selama 26 hari memimpin perlawanan terhadap kekuasaan Hindia Belanda, pada tanggal 13 Maret 1942 para mujahidin gerilyawan dijemput Said Abubakar di markas Gerilya Data C o o , kemudian bersama-sama dengan Said Abubakar, Teungku Abdulwahab, A . H a s j m y , Teuku Muhammad A l i Panglima Polem, Cut Ahmad dan lain-lainnya turun ke Seulimeum.



Jepang Mendarat di Aceh



Tentara Hindia Belanda dan orang-orang Belanda sudah tidak ada lagi di Banda Aceh, dua hari yang lalu mereka telah pergi. Orang-orang K N I L yang berbangsa Indonesia (Jawa, Ambon, dan Manado) banyak yang lari dari tangsi dan menanggalkan bajunya mereka meminta perlindungan di kampung-kampung. Banda Aceh pada tanggal 12 Maret 1942 sudah menjadi kota terbuka, karena semenjak pagi para polisi Hindia Belanda menanggalkan baju mereka dan bersembunyi di rumahrumah mereka, sehingga rakyat bebas mengambil apa saja yang ditinggalkan Belanda, baik di rumah-rumah maupun di kantor-kantor dan gudang-gudang perusahaan. Serdadu-serdadu Jepang yang pada waktu tengah hari masuk kota, membiarkan saja keadaan demikian rakyat beramai-ramai mengambil harta rampasan ...



Rakyat Masuk Kota Para pemimpin Perang Gerilya pada tanggal 13 Maret 1942, dengan dijemput Said Abubakar meninggalkan Markas Gerilya di Data Coo, dan setelah bermalam satu malam di Seulimeum menuju Sigli untuk menjumpai Teungku Muhammad Daud Bereueh (Ketua Pengurus Besar PUSA) dan para anggota Pengurus PUSA lainnya. Di Sigli berjumpa dengan S. Matsubuci, seorang Pemimpin Fujiwarakikan, yang ditugaskan segera ke Aceh untuk membentuk Pemerintahan Pantadbiran Militer Jepang Sementara. Malamnya, S. Matsubuci bersama beberapa anggota Pengurus Besar P U S A dan Mujahiddin yang baru turun dari kaki Bukit Barisan berangkat ke Banda Aceh. Berhubung hotel-hotel sudah tidak ada lagi yang mengurus, maka semua (termasuk S. Matsubuci) pergi ke kampung Alue (Dayah Geulumpang) dan di sana menginap di rumah Teungku Muhammad Yunus Jamil (salah seorang tokoh Fujiwarakikan). 91



92



Aceh Membangun



Besoknya mereka menuju ke Banda A c e h , di mana didapati kota sudah tidak terurus, rumah-rumah dan gedung-gedung yang ditinggalkan Belanda berantakan ; apa yang ada di dalamnya diangkut rakyat beramai-ramai, baik mereka penghuni kota maupun mereka yang datang dari kampung-kampung yang jauh. Polisi yang seharusnya menjaga ketertiban sudah tidak kelihatan ; mereka telah menanggalkan baju dinasnya dan mungkin sekali bahwa mereka yang telah memakai baju "preman" ikut mengambil harta rampasan perang. Kalau dalam kota pada hari itu, orang beramai-ramai berpesta pora dengan harta rampasan "perang", maka rakyat banyak di luar kota, dipinggir laut tempat pendaratan tentara Jepang, dan di sepanjang jalan yang dilalui pasukan-pasukan tentara Jepang yang baru mendarat, mereka menyambut "saudara tua" itu dengan kelapa muda dan nasi bungkus dan bahkan banyak yang memberikan sepedanya yang diminta serdadu-serdadu yang sepedanya telah kempis atau memang tidak mempunyai sepeda. Rakyat umum yang di kampung-kampung, kecuali sedikit yang telah ke kota, tidak menghiraukan "harta rampasan perang" di kota, karena mereka berkeyakinan bahwa dalam waktu dekat kapal-kapal dagang Jepang akan membawa bahan pakaian dan barang-barang keperluan hidup lainnya yang akan dijual dengan harga murah, bahkan ada yang mengira bahwa bahan-bahan pakaian itu nanti akan dibagibagi tanpa bayar, karena A c e h telah memberontak terhadap Belanda dan telah membantu tentara Jepang. Ini salah satu sebab yang menyebabkan pada satu waktu nanti rakyat kecewa dan marah kepada Jepang.



Feranan Kassyafatul Islam Sesuai dengan pendidikan dan latihan kepanduan yang mengharuskan bertindak cepat mengatasinya kalau terjadi suatu gangguan ketertiban, maka A . H a s j m y yang pernah memimpin kepanduan dengan cepat mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan ketertiban di Banda A c e h . D i a hubungi segera pimpinan pasukan Kasysyafatul Islam Banda A c e h dan dalam waktu relatif singkat telah dapat dikerahkan anggota Kasysyafatul Islam dengan baju seragamnya. M e r e k a ditebarkan ke bahagian-bahagian Banda A c e h yang rawan, dengan tugas mengatur ketertiban kembali. Untuk dapat memberi komando dengan baik, maka A . H a s j m y memakai pakaian seragam K w a r t i r Kasysyafatul Islam selama hari-hari anggota pasukan bertugas.



Berperang Melawan Jepang



Telah menjadi fakta sejarah, tidak ada penjajah yang baik, yang ada hanya penjajah yang kurang jahat dibandingkan dengan penjajah yang lebih jahat. Telah menjadi fakta sejarah pula, tidak ada rakyat terjajah yang rela tanah airnya dijajah. Yang ada hanya rakyat yang terjajah yang kurang revolusioner perjuangannya melawan penjajah dibandingkan dengan rakyat terjajah yang melawan penjajah dengan angkatan senjata terhadap Jepang di Bayu dan Pandrah.



Politik Dua M u k a Pada tahun pertama Jepang menduduki A c e h , politik dua muka yang dijalankannya memang berhasil. Dengan muka yang satu Jepang memandang para U l a m a dengan senyum manis dan seakan-akan hanya itu saja mukanya. Sebaliknya, muka yang lain Jepang menyapa Hulubalang dengan senyum simpul, seakan-akan hanya itu sajalah mukanya. Pada mulanya, baik Hulubalang maupun Ulama tidak mengetahui bahwa "muka Jepang" yang berhadapan dengan mereka itu adalah "muka palsu", sedangkan "muka yang asli" bermu^im di balik "muka palsu" itu. Dengan "politik dua muka" itu Jepang mempergunakan Hulubalang untuk memaksa rakyat agar menyerahkan padinya kepada B D K (Badan K u m p u l dan Bagi) yang telah dibentuk Jepang, agar mau bekerja keras (paksa) untuk membikin jalan, lapangan terbang, bentengbenteng pertahanan dan sebagainya. Dengan "politik dua muka" itu pula Jepang dapat mempergunakan lidah U l a m a agar mendakwahkan rakyat bahwa penyerahan padi, pembuatan lapangan terbang, jalan-jalan, bentengbenteng pertahanan dan sebagainya adalah untuk memenangkan Perang A s i a T i m u r Raya, yang nantinya akan menjadikan A s i a M a k m u r , rakyatrakyat A s i a merdeka dan senang. Dengan cara yang tidak disadari dan halus, Jepang membiarkan Hulubalang menangkap rakyat.



93



sewaktu-waktu Dipihak lain,



94



Aceh Membangun



dengan halus dan tidak terasa Jepang memberi sugesti kepada badanbadan pengadilan yang pada umumnya dipegang para Ulama, agar melaksanakan keadilan terhadap rakyat tertindas dan teraniaya, sehingga dengan demikian rakyat yang ditangkap Hulubalang dibebaskan Ulama lewat pengadilan. Politik "dua muka" Jepang cepat disadari para Ulama P U S A / P e m u d a P U S A , sehingga pada awal sejarah pendudukan Jepang di Indonesia, para Ulama Pimpinan P U S A / P e m u d a P U S A telah melakukan semacam "pemberontakan politik" terhadap Jepang, yang menyebabkan sejumlah pimpinan P U S A / P e m u d a P U S A ditangkap dan ditahan dalam tahanan Kempetai beberapa waktu. Mengapa para Ulama P U S A / P e m u d a P U S A yang cepat menyadari akan bahaya dan jahatnya "politik dua muka" Jepang ? M u n g k i n karena para pemimpin P U S A / P e m u d a PUSA dalam menetapkan "kebijaksanaan kerjasama" dengan Jepang dahulunya, juga telah digariskan batas-batas yang tidak boleh dilewatinya dalam pelaksanaan kerjasama. Sekalipun pemberontakan P U S A / P e m u d a P U S A terhadp Jepang sifatnya hanya politik, namun dampaknya sangat jauh dan mendalam. Dengan pemberontakan politik itu, para pemimpin P U S A / P e m u d a P U S A seakan-akan mengatakan kepada rakyat bahwa kerjasama dengan Jepang hanya sampai disini, dan kepada para Ulama/Pemimpin di luar P U S A / P e m u d a P U S A seperti mengisyaratkan bahwa Jepang bukanlah "teman" orang A c e h . Pemberontakan politik yang dilakukan P U S A / P e m u d a P U S A terhadap Jepang, telah memberanikan sebahagian rakyat untuk menolak penyerahan padi, membangkang terhadap perintah kerja paksa/gotong royong yang disuruh Jepang lewat Hulubalang. Hal i n i , pada waktunya membangkitkan kemarahan sebahagian Hulubalang, sehingga merekapun mencari jalan sendiri untuk melawan/memberontak terhadap Jepang. Para ulama di luar P U S A / P e m u d a P U S A yang sejak semula menolak kerjasama dengan Jepang dan memandang Jepang kalau tidak lebih jahat sama dengan Belanda, melihat pemberontakan fisik seperti yang telah dilakukan terhadap Belanda. H a l i n i , mungkin telah mendorong mereka untuk mendahului P U S A / P e m u d a P U S A dalam hal memerangi Jepang dengan senjata.



Aceh Membangun



95



Kakitangan Sekutu Telah dijelaskan bahwa "politik dua muka" Jepang telah memarahkan sebahagian Hulubalang, bahkan telah mendorong mereka untuk melawan Jepang. Dalam tahun 1943 dan 1944, Sekutu aktif mengadakan kontak dengan para Hulubalang yang telah marah tadi. Lewat kapal selam, Sekutu mendaratkan sejumlah spionnya di pantai-pantai Aceh, dan spion-spion inilah yang memberi perintah-perintah apa yang harus dikerjakan para kakitangan mereka. Kepada para kakitangan tidak disuruh memberontak dengan senjata, tetapi mereka diperintahkan agar melakukan sabotase dalam segala kesempatan dan kemungkinan. Sasaran sabotase mereka, yaitu alat-alat perhubungan, seperti kereta api, telepon dan alat-alat pemancar. Yang tidak kurang pentingnya, mereka diperintahkan agar melakukan "sabotase administrasi" di kantor-kantor pemerintahan, yang dengan demikian roda pemerintahan tidak atau kurang berputar bahkan kalau mungkin diputar ke belakang. Untuk keperluan ini, pegawai-pegawai negeri peninggalan Hindia Belanda harus dihubungi dengan janji-janji yang indah. Sudah beberapa kali beradu kereta api, sehingga lokomotif tua yang memang sudah kurang tenaga menjadi bertambah kurang, karena kehancuran akibat terjadinya peraduan yang mungkin sekali diatur oleh kakitangan (spion) Sekutu. Sekalipun pihak Ulama PUSA/Pemuda PUSA yang telah melakukan pemberontakan politik terhadap Jepang, yang dalam hal melawan Jepang sama tujuan dengan sementara mereka yang telah menjadi "kakitangan Sekutu", namun dalam usaha mencapai tujuan dalam banyak hal berbeda tindakan. Pihak PUSA/Pemuda PUSA berpendapat bahwa "kereta api" yang hanya satu-satunya alat perhubungan yang masih ada pada waktu itu, harus diselamatkan untuk kepentingan ekonomi rakyat umum, apalagi Jepang sendiri tidak banyak mempergunakan kereta api untuk gerakan militer. JMenurut PUSA/Pemuda P U S A bahwa yang perlu di "sabotase" yaitu "sarana militer" baik sarana komunikasi maupun sarana perbentengan. Dalam gerakan yang betujuan satu, tetapi berbeda jalan, Atjeh Sinbun oleh masing-masing dapat dipergunakan menjadi sarana penyalur berita-berita palsu, surat-surat buta dan karangan-karangan yang bertendensi mengunggulkan Sekutu atas Jepang, bahkan juga sering-



96



Aceh Membangun



sering bertujuan memfitnah golongan yang dianggapnya membantu Jepang. Dalam hal i n i , yang agak lucu yaitu bahwa dua golongan yang telah menjadi "musuh Jepang" juga menjadi musuh y a , , j satu terhadap lainnya. D i sinilah terletak kelemahan "gerakan perlawanan" mereka. M u n g k i n karena sebab ini dan mungkin pula karena kurang licinnya mereka, akhirnya "gerakan bawah tanah" sementara orang yang menjadi "kaki tangan Sekutu" mengambang ke atas oleh kecerdikan "Intelijen Jepang" di bawah pimpinan Kapiten Sato. Akibat lanjutan, sejumlah anggota "gerakan bawah tanah" tersebut dan pengikutnya ditangkap Kempetai Jepang. Para tokoh kaki tangan Sekutu yang ditangkap kemudian dihukum mati tidak diketahui sampai sekarang di mana kuburnya. Pada saat-saat seperti yang tertera di atas, di mana dua kelompok yang sama-sama menentang Jepang tetapi bermusuhan satu sama lain, kedudukan A.Hasjmy, A m e l z , T . A l i b a y a h Talsya dan lain-lain di Atjeh Sinbun memang sulit. Kalau kurang hati-hati bisa saja menjadi "mangsa" Kempetai, apalagi hampir menjadi pengetahuan orang ramai bahwa kami adalah Kelompok Pemberontakan Politik. K.Yamada-san yang menjadi atasan mereka, sebenarnya mengetahui posisi mereka yang demikian, tetapi dibiarkan saja, karena dia sendiri pada hakekatnya adalah "Pemberontak Politik" terhadap Pemerintah Militer Jepang. D i samping itu, dengan Sato-san, kepala Intelijen Jepang untuk A c e h dan W a k i l Komandan Militer (Kemptai-co) yang terkenal dengan nama hebatnya " S i Balok" (kayu broti) karena besar dan tegap badannya memberi kemungkinan bagi kami untuk dapat melewati jurang-jurang yang berbahaya dengan selamat, bahkan sampai akhir pendudukan Jepang di Aceh kami (A.Hasjmy, Abdullah A r i f , Teuku Alibasyah Talsya, Ridwan dan Syarif A l i m y ) dapat menguasai Atjeh Sinbun dengan percetakannya, yang kemudian menjelma menjadi Harian Semangat Merdeka.



Perang Bayu Sebahagian para ulama A c e h non P U S A yang sejak semula menentang kerjasama dengan Jepang, dengan semboyan mereka yang terkenal "Talet bui tapeutamong asee" (mengusir babi, menerima anjing), terpengaruh benar dengan "pemberontakan politik" yang



Aceh Membangun



97



dilakukan para ulama P U S A / P e m u d a P U S A pada awal sejarah pendudukan Jepang di A c e h , sehingga mendorong mereka melakukan "oposisi keras" terhadap tentara pendudukan Jepang dengan melakukan "pemberontakan bersenjata" yang cukup memusingkan Jepang. Pemberontakan bersenjata yang dilakukan sebahagian para ulama non P U S A memperkuat alasan bagi P U S A / P e m u d a P U S A dalam hal tuntutannya agar Jepang memberi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, dan khusus di A c e h agar Jepang memberi kesempatan yang luas kepada para ulama dalam pemerintahan, sebagai langkah awal ke arah pemberian kemerdekaan. Tuntutan i n i , sebahagian berhasil, antara lain dengan pembentukan "Mahkamah Syari'ah di seluruh A c e h , yang dipimpin dan anggota-anggotanya dipercayakan kepada para ulama, sementara sebahagian pimpinan "Pengadilan Negeri" juga diberi kepada para ulama. Disamping itu, sebahagian besar para pemuda P U S A / K a s y s y a f a t u l Islam diterima untuk dilatih menjadi perwira dalam organisasi ketentaraan "Gyugun" dan "Tokubetsu". D i antara para ulama non P U S A yang terdorong oleh "Pemberontakan Politik" P U S A untuk cepat bertindak melakukan "Perang Jihad" terhadap Jepang, yaitu Teungku A b d u l J a l i l , seorang ulama yang masih muda, yang berasal dari Buloh Blang A r a , Lhokseumawe. Beliau termasuk di antara anak-anak orang Aceh yang mau belajar pada "sekolah kafir" yang didirikan Belanda," yaitu V o l k s c h o o l tiga tahun. Setamat dari "sekolah kafir" itu beliau belajar pada berbagai dayah yang dipimpin oleh ulama non P U S A . M u l a - m u l a A b d u l Jalil belajar pada dayah yang dipimpin Teungku Muhammad A m i n Jumphoh (dalam Kabupaten Pidie); kemudian melanjutkan pada Dayah Krueng K a l e , salah satu Pusat Pendidikan Islam terkenal di A c e h Besar, yang dipimpin oleh Teungku Haji Hasan Krueng K a l e . Dari Dayah Krueng K a l e , A b d u l Jalil pindah ke Dayah Cot Plieng Bayu (Lhoksukon, A c e h Utara) yang d i p i m p i n Teungku A h m a d . D i Cot Plieng B a y u , A b d u l Jalil di kawinkan dengan Teungku A s i a h puteri Teungku A h m a d , yang kemudian beliau menggantikan mertuanya untuk memimpin Dayah Cot Plieng, sebagai Teungku C h i k . B a i k Teungku M u h a m m a d A m i n Jumphoh, maupun Teungku Haji Hasan K r u e n g K a l e dan Teungku A h m a d , ketiga mereka termasuk dalam kelompok ulama non P U S A , yang disebut " K a u m Tua", sementara ulama P U S A disebut " K a u m Muda".



98



Aceh Membangun



Memperhatikan latar belakang pendidikannya dengan ulamaulama yang menjadi gurunya, adalah suatu hal yang wajar kalau Teungku A b d u l Jalil kemudian menjadi seorang ulama Aceh yang sangat fanatik dan anti "kafir" baik "kafir Belanda" maupun "kafir Jepang". Adalah suatu hal yang logis, kalau sejak semula beliau tidak menyetujui "kerjasama" dengan Jepang, sekalipun untuk tujuan mengusir "kafir Belanda", yang oleh para ulama P U S A / P e m u d a P U S A dipandang sebagai "taktik perjuangan". Suatu perbedaan yang sangat mendasar antara ulama P U S A / P e m u d a P U S A yang disebut "Kaum M u d a " dengan ulama non P U S A yang disebut "Kaum Tua", yaitu bahwa ulama P U S A / P e m u d a P U S A berpolitik dalam "organisasi yang non politik", sementara ulama non P U S A pada umumnya tidak berorganisasi dan tidak berpolitik sama sekali, sehingga mereka tidak mempunyai pengalaman dan pandangan politik. Perbedaan yang mendasar inilah yang menyebabkan adanya perbedaan "ijtihad" dalam menghadapi Jepang, baik sebelum maupun setelah "Tentara Dai Toa" mendarat di Tanah Aceh. Suatu hal yang tidak diragukan lagi, behwa kedua kelompok ulama Aceh itu sama-sama melawan penjajah, baik penjajah Belanda maupun penjajah Jepang. Dengan mengetahui perbedaan yang mendasar i n i , maka ariflah kita mengapa pada awal sejarah pendudukan tentara Jepang di Aceh ulama P U S A / P e m u d a P U S A melakukan "Pemberontakan Politik" terhadap Jepang, sementara Teungku A b d u l Jalil dan kawan-kawan yang Ulama non P U S A terus mengadakan persiapan-persiapan ke arah "pemberontakan bersenjata". Sesuai dengan keyakinan yang demikian, maka Teungku A b d u l Jalil dan kawan-kawan dengan diam-diam (pada tahap pertama) mengadakan dakwah "anti Jepang" dan seruan "jihad fi sabilillah", dari desa ke desa dalam Kabupaten A c e h Utara. Menjelang akhir tahun 1942, dakwah diam-diam ini berobah menjadi "dakwah terangterangan", setelah kekejaman tentara Jepang menjadi kenyataan yang pahit dan setelah keluar anjuran/perintah "kirei" (hormat) kepada Tenno Heika dengan menghadap ke T o k y o . Para muridnya di Dayah Cot Plieng Bayu menjelang akhir tahun 1942 telah matang untuk terjun ke dalam "jihad fi sabilillah" sementara sebahagian rakyat umum di sekitarnya telah mulai matang untuk suatu gerakan bersenjata, dan pada saat itu pihak intelijen dan Kempetai pun telah mengetahuinya.



Aceh Membangun



99



Pihak Jepang tentu berusaha untuk memadamkan api yang belum menyala itu, antara lain dengan mempergunakan aparatnya yang orang Aceh, yaitu para Hulubalang yang telah diangkat menjadi Gunco (Wedana) dan Sonco (Camat), yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus melaksanakan permintaan Penguasa Jepang itu. . Ulama PUSA/Pemuda P U S A yang dengan cara halus diharapkan oleh Jepang untuk melakukan "Dakwah Tandingan" terhadap Teungku Abdul Jalil, dengan halus pula tidak melakukan harapan Jepang itu, sekalipun tidak menolak. Para Ulama PUSA/Pemuda PUSA bersikap melihat saja, dan mungkin barangkali hatinya menyetujuinya. Dalam rangka penolakan dengan halus ini A.Hasjmy dan kawankawan sebagai "Orang Atjeh Sinbun" tidak melakukan tugas Jepang untuk pergi ke Bayu Lhoksukon, bersama Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman T W H guna ikut kampanye menghentikan "gerakan Teungku Abdul Jalil". Usaha para Hulubalang (Gunco dan Sonco) untuk membujuk Teungku Abdul Jalil agar mengurungkan niatnya yang hendak memberontak terhadap kekuasaan Jepang tidak berhasil sama sekali, sehingga akhirnya Jepang mengambil keputusan untuk menumpas "gerakan Teungku Abdul Jalil" dengan kekuatan senjata. Demikianlah, pada tanggal 6 November 1942 Jepang mengirim pasukannya yang cukup banyak ke Bayu dan dengan cepat membangun "kubu pertahanan" behadapan dengan "Dayah Cot Plieng" yang telah menjadi "kubu pertahanan" Teungku Abdul Jaül. Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi antara dua pasukan yang tidak berimbang persenjataannya; yaitu pasukan Jepang yang mempunyai persenjataan serba modern dan pasukan Teungku Abdul Jalil yang hanya mempunyai persenjataan tradisiona), seperti rencong, keiewang, lembing dan pedang, tetapi ditunjang keimanan yang membaja dan tawakal kepada Allah Yang Maha Kuasa. Pertempuran yang berlangsung sehari suntuk, terhenti sejenak pada waktu sore, setelah Teungku Abdul Jalil dan pasukannya meninggalkan Dayah Cot Plieng menuju pedalaman, dan dalam pertempuran seru pada hari itu telah meminta korban yang banyak dari kedua pasukan, bahkan dari pihak Jepang seorang Perwira berpangkat Mayor tewas. Perlu dijelaskan bahwa Teungku Abdul Jalil dalam memimpin pertempuran dibantu oleh adiknya Teungku Thaib.



Aceh



Membangun



Dalam perjalanan mundur, Teungku A b d u l Jalil singgah sebentar di Meunasah Baro, kemudian melanjutkan perjalanan ke pedalaman yang lebih jauh dan berhenti di A l u e Badeeh untuk menyusun kekuatan kembali sambil menunggu pasukan yang menyusul dari Bayu. Pada hari Jum'at tanggal 9 November 1942, Teungku A b d u l Jalil dan pasukannya yang telah dibina kembali turun ke Meunasah Blang B u l o h , yang jauhnya dari B a y u sekitar 10 k m , untuk melakukan Shalat Jum'at'. Shalat Jum'at dianggap Jepang satu kesempatan baik bagi mereka. Dari B a y u Pasukan Jepang yang telah ditambah dan diperkuat menyerbu ke Meunasah Blang B u l o h , kebetulan waktu mereka sampai ke sana upacara Shalat Jum'at baru selesai. Tentu tidak dapat dielak lagi, bahwa pertempuran terjadi dengan amat serunya ; maksud Jepang hendak menangkap Teungku A b d u l Jalil hidup-hidup selagi Shalat Jum'at tidak berhasil. Dalam pertempuran yang amat dahsyat, satu lawan satu, di mana tentara Jepang tidak mungkin mempergunakan senapan/senapan mesin lagi, hanya mempergunakan bayonet, sementara para mujahiddin hanya menggunakan senjata sakti rencong. Sungguh pertempuran yang banyak meminta korban di kedua belah pihak. Serdadu-serdadu Jepang yang bersemangat "jibaku" berguguran laksana bunga sakura yang berusia singkat dan pasukan Aceh yang bersemangat "jihad" syahid laksana kembang mawar yang pohonnya berduri. Setelah Panglima Perang A c e h , Teungku A b d u l Jalil syahid bersama sebahagian besar para mujahiddinnya, maka pada sore hari pertempuran berhenti dan berhenti pula "Pemberontakan Bayu" yang terkenal itu. Menurut Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman T W H (keduanya dari Atjeh Syu Hodoka = Jawatan Penerangan Aceh) yang sengaja d i k i r i m Jepang ke Bayu sebelum terjadi pertempuran, para mujahiddin Aceh yang syahid memang cukup banyak, tetapi juga tidak kurang banyaknya tentara Jepang yang gugur, termasuk beberapa orang perwiranya, antaranya seorang M a y o r . Kedua orang tersebut menyaksikan betapa heroiknya pasukan Teungku A b d u l Jalil bertempur dengan persenjataan yang demikian tidak berimbang. Waktu dalam bulan November 1980, A . H a s j m y bertemu dengan Jenderal Fujiwara di T o k y o , perwira yang telah pensiun dan tua itu menyatakan kekagumannya yang amat sangat akan keberanian pasukan Aceh yang dipimpin Teungku A b d u l Jalil.



Aceh Membangun



101



D e m i k i a n pula, waktu dalam bulan Oktober tahun 1981, A . H a s j m y berjumpa dalam satu pertemuan di T o k y o dengan para perwira Jepang yang pernah bertugas di A c e h , antara lain Sagawa (bekas Kepala Hodoka Jepang di Aceh), mereka menyatakan kepada A.Hasjmy kira-kira demikian : " K a m i orang Jepang memang dipuji kenekatannya melakukan jibaku tanpa mengenal takut; tetapi kami rasa bahwa j i b a k u orang Jepang masih di bawah keberanian orang A c e h yang kami saksikan dalam Pertempuran Bayu dan Pertempuran Pandrah". Tentang berapa jumlah serdadu-serdadu Jepang yang gugur tidak ada data tang pasti, tetapi jumlahnya juga banyak, mungkin ratusan. Tetapi, menurut keterangan dari berbagai sumber, antara lain dari Abdurrahman T W H , bahwa para mujahid A c e h yang syahid berjumlah 109 orang, di antaranya Teungku Muhammad Hanafiah, Teungku Muhammad Abbas Punteut, Teungku Badai, Teungku B i d i n , Teungku Husin H a y i m , Teuku Muda Yusuf, Nyak M i r a h . Perang Pandrah Pada ma'am Kamis tanggal 2 jalan 3 M e i 1945 di bawah pimpinan Pang A k o b 40 Mujahid Lheu Simpang menyerbu tangsi militer Jepang di Pandrah, yang kemudian terkenal dalam sejarah "Heroik Rakyat Indonesia di A c e h " sebagai "Pemberontakan Pandrah". kalau "Perang B a y u " yang terjadi dalam tahun 1942 dapat disebut sebagai ucapan "Selamat datang" kepada Balatentara Jepang yang mengandung peringatan bahwa Rakyat Indonesia tidak bersedia dijajah, maka "Pemberontakan Pandrah" yang terjadi dalam tahun 1945 dapat dikatakan sebagai "selamat Jalan" kepada mereka dengan mengandung pesan bahwa semua penjajah yang berani datang ke Aceh/Indonesia pasti akan disambut dengan perlawanan bersenjata. Para ulama/pemimpin yang menggerakkan semangat rakyat untuk berjihad melawan Jepang pada tahun akhir Jepang menduduki Indonesia, disamping mempergunakan "alat peledak" ajaran-ajaran Islam yang anti penjajah, juga mempergunakan suasana yang telah semakin memburuk di mana keganasan tentara Jepang dalam melaksanakan "kerja paksa" sudah sangat menyolok, pengambilan padi dari rakyat sangat menekan dan berbagai kejahatan lainnya yang semakin meningkat.



I



j 02



Aceh Membangun



Dalam suasana demikian dan dengan mempergunakan "alat peledak" ajaran Islam, "gunung api" pemberontakan sangat mudah meletus. H a l ini berbeda dengan "Pemberontakan B a y u " pada akhir tahun 1942 yang melulu mempergunakan ajaran Islam sebagai alat penggerak, karena waktu itu kezaliman Jepang belum banyak yang menonjol. Para ulama/pemimpin yang menggerakkan "Pemberontakan Pandrah" antara lain, yaitu Teungku Ibrahim Peudada, Teungku Pang A k o b , Teungku Nyak Isa, Keuchik Usman, Keuchik Johan dan Teungku A b d u l Jalil (bukan Teungku A b d u l Jalil Bayu). Kampanye Jihad dilakukan para ulama/pemimpin tersebut dilakukan siang dan malam dan hasilnya sangat efektif. Suasana yang sudah memburuk dan ajaran-ajaran Islam menjadi alat kampanye mereka yang ternyata sangat berhasil. Dalam keadaan kampanye Jihad sudah membara, seorang pemuda yang bernama Nyak Umar ditangkap dan dianiaya tentara Jepang, karena dia membangkan terhadap "kerja paksa". Penyiksaan terhadap Nyak Umar yang kemenakan Teungku Pang A k o b dari kampung Meunasah Dayah, telah memberi dorongan jihad yang lebih keras lagi kepada pamannya yang memang sedang melakukan kampanye jihad. Sebelum pemberontakan dimulai, Teungku Pang A k o b pergi bertapa ke sebuah gua yang terletak di Cot Kayee Kunyet, pegunungan G l e Banggalang, sementara rakyat kampung Leu Simpang di bawah pimpinan K e u c h i k Johan sudah dalam keadaan siap menunggu komando jihad dan pemuda Nyak Umar dengan menyamar sebagai penjual obat mengadakan kampanye jihad berbisik dari kampung ke kampung. Muhammad Daud, seorang pemuda yang melarikan diri dari pendidikan G y u n g u n , melatih para calon mujahid yang akan berjihad di G l e Banggalang. Muhammad Daud meninggalkan tempat latihan kemiliterannya dengan maksud mengambil bahagian dalam pemberontakan yang segera akan terjadi. Para ulama/pemimpin yang menganjurkan "Perang Jihad" terhadap Jepang menyadari bahwa mereka tidak akan memenangkan perang, karena Jepang masih cukup kuat, namun mereka mengatakan kepada rakyat bahwa yang penting ialah balasan A l l a h di akhirat nanti, bukan kemenangan di dunia, penerangan mana diterima baik oleh rakyat.



Aceh Membangun



JQ^



Menurut sebuah informasi, bahwa Teungku Pang Akob belum akan memulai pemberontakan terhadap Jepang "pada tanggal 2 jalan 3 Mei 1945 karena persiapan belum matang betul, tetapi gerakan rahasia mereka telah diketahui Jepang, dan maka terpaksalah pemberontakan dipercepat. Rahasia mereka telah dicium oleh Jepang dapat dibenarkan, karena sebelum awal Mei itu beberapa petugas Atjeh Syu Hodoka (Jawatan Penerangan Aceh), antaranya Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahan T W H , telah diberitahu untuk siap-siap berangkat ke Jeunib dengan tugas memberi penerangan kepada rakyat tentang maksud Pemerintah Jepang yang akan memberi "kemerdekaan" kepada Bangsa Indonesia, termasuk Aceh. Kali ini, kami dari Atjeh Sinbun tidak diperintahkan ke sana. Tetapi, sebelum Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman T W H berangkat, pemberontakan telah dimulai pada tanggal 2 jalan 3 Mei 1945, seperti telah dijelaskan di atas. Sungguhpun demikian, kedua mereka diperintahkan berangkat pada tanggal 3 Mei 1945 dengan tugas untuk memadamkan "api pemberontakan" yang telah menyala. Dalam pertempuran pada malam tersebut, yaitu penyerbuan terhadap "tangsi militer Jepang" di Pandrah, tidak ada para mujahidin yang syahid, sementara tentara Jepang tewas semuanya kecuali satu orang yang dapat melarikan diri ke Jeunib, tempat induk pasukannya. Adapun tujuh orang Gyugun yang berada dalam "Tangsi Pandrah" tidak di apa-apakan. Ada kemungkinan antara para mujahidin yang menyerbu dan para Gyugun yang di dalam telah ada kontak lebih dahulu. Setelah penyerbuan, para Mujahidin mengundurkan diri kembali ke Markasnya di Gle Banggalang untuk bersiap-siap bagi penyerbuan baru. Menurut keterangan Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman T W H , bahwa tentara Jepang tidak segera menyerbu Markas Mujahidin di Gle Banggalang, tetapi mereka berusaha agar para mujahidin itu bersedia menyerah dengan baik dengan perjanjian bahwa mereka tidak akan dihukum. Dalam usaha membujuk mereka agar bersedia menyerah, bersama-sama utusan lainnya turut Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman T W H . Teungku Pang Akob menerangkan kepada utusan, bahwa mereka akan turun menyerah di Meunasah Lheu Simpang Pandrah pada tanggal 5 Mei 1945 dan tentara Jepang tidak perlu naik ke Gle Banggalang.



1Q4



Aceh Membangun



Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman T W H yang menyaksikan peristiwa pertempuran 5 M e i 1945 itu, menceriterakan kepada staf redaksi Atjeh Sinbun, sebagai berikut : Pada pagi-pagi 5 M e i 1945 itu, di Meunasah Lheu Simpang Pandrah berkumpul para pembesar/perwira Jepang bersama satu pasukan tentara yang dalam keadaan siap perang, di antara mereka terdapat beberapa pejabat orang Indonesia, antaranya Teuku Yakub, Guntyo Bireun, Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman T W H , keduanya dari Atjeh Syu Hodoka. Berkumpulnya mereka di Meunasah Lheu Simpang adalah untuk menanti kedatangan Teungku Pang A k o b dan pasukannya dalam rangka penyerahan mereka kepada Jepang, sesuai dengan janji. Para pembesar/perwira lagi santai duduk di atas Meunasah, sementara pasukan yang dalam keadaan siap berkeliaran dalam pekarangan Meunasah, tiba-tiba terdengar membahana suara takbir : A l l a h u Akbar ! Allahu Akbar! A l l a h h u Akbar ! yang terus menerus dan menakutkan. Suara takbir yang demikian gegap gempita membuat para pembesar/perwira dan pasukan Jepang gugup, kalang kabut dan ketakutan. Pada saat panik sedang mencekam mereka, Teungku Pang A k o b dengan para mujahidinnya keluar dari "alur yang rimbun ditutupi daundaun pepohonan" dan menyerbu ke Meunasah, sehingga terjadilah pertempuran seru, di mana rencong-rencong yang telah keluar dari sarungnya menancap pada tubuh-tubuh yang masih belum siap untuk mati, tetapi mereka harus mati juga. Menurut penuturannya, bahwa Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman T W H dapat menyelamatkan diri dan terhindar dari kematian, karena kedua mereka, antara sadar dengan tiada, lari ke dalam "alur" yang tidak dalam airnya dan bersembunyi di situ beberapa waktu sampai pertempuran selesai. Waktu kami keluar dari alur yang berair siwong (tidak mengalir) itu, di badan kami masing-masing telah bermukim puluhan lintah yang sudah mulai kenyang, demikian kisah Said A h m a d Dahlan. Selain dari beberapa perwira dan sejumlah serdadu Jepang yang tewas, juga Guntyo Bireun, Teuku Y a k u b , ikut menjadi mangsa rencong hatta mati. Menurut saksi mata, Said A h m a d Dahlan dan Abdurrahman T W H , memang banyak Jepang yang tewas, jumlahnya puluhan sekalipun mereka tidak mengetahui angka yang pasti.



Aceh Membangun



. Setelah kedua petugas "Hudoka" itu keluar dari "alur" tempat persembunyiannya, mereka melihat di samping tubuh-tubuh Jepang yang bergelimpangan, juga mereka menyaksikan jasad-jasad para mujahidin yang telah rubuh disambar peluru dan bayonet Jepang, yang kemudian diketahui jumlahnya 44 orang. Penyerbuan terhadap "Tangsi Pandrah" dan pertempuran dahsyat yang terjadi di Meunasah Lheu Simpang, sangat memarahkan Jepang sehingga pada hari-hari berikutnya mereka melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap rakyat dalam kecamatan Jeunib, yang menurut dugaan mereka tersangkut dalam "Pemberontakan Pandrah". Para mujahid yang ditawan Jepang itu, sebahagiannya, setelah melalui proses pemeriksaan dan penyiksaan, dibebaskan kembali dalam keadaan yang sudah amat parah. Adapun teman-temannya yang berjumlah 24 orang diangkut ke Medan. 12 orang di antara mereka tidak lagi diperiksa, tetapi terus dilaksanakan hukuman mati di sana. Mereka yang dihukum mati itu, yaitu : Teungku Abdul Wahab A l i , Teungku Usman Yusuf, Teungku Muhammad Yakub, Teungku Abu' Thalib, Teungku M . Hamzah, Teungku M.Husin Bungong, Teungku Agam Cut, Teungku Abdullah, Teungku Harun, Teungku Husin bin Pawang Usman, Teungku Abdullah Jeumpa Sikureung dan Teungku Abdul Jalil Pang. Adapun teman-temannya yang 12 orang lagi dihukum penjara antara 5 sampai dengan 12 tahun dan dikurung dalam penjara Pematang Siantar. Enam orang di antara mereka yang meninggal dalam penjara karena penganiayaan yang berat, yaitu Teungku Thalib Beungga, Teungku Badal Husin Peusangan, Teungku Muhammad A j i Yusuf dan Teungku Uyasa Yusuf. Eanam orang lagi yang masih hidup dan pulang ke Aceh setelah Jepang kalah, yaitu Teungku Yahya, Keuchik Muhammad A l i , Teungku Muhammad A l i Tineubok, Teungku Isham Banta Panjang, teungku Ibrahim Beungga dan Teungku Muhammad Hasan A l i . Adapun Syuhada (para pejuang yang tewas) dalam pertempuran tanggal 5 Mei 1945 di Lheu Simpang (Pandrah), Teungku Siti Aminah, Teungku Ibrahim Meulaboh (suami Siti Aminah), Teungku Mahmud' Ben, Teungku Ismail Rahman, Teungku Sabon Piah, Teungku Usman Lheu, Teungku Muhammad Adam Rifin, Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Muhammad Yusuf gagap, Nyak Abu Bakar Amin, Teungku' Muhammad Amin, Teungku Mat Kasim, Teungku Meulaboh, Teungku Muhammad Hasan Banta, Teungku Sueiman A l i , Teuku Nyak Isa,



106



.



.—.



Aceh Membangun



Teungku K a s i m , Teungku Muhammad Y a k o b , Petua J a l i l , Teungku Muhammad Y u s u f bin Dayah, Teungku Jalil B e n , K e u c h i k Johan, A b u K e u c h i k L h e u , Muhammad G a m , Teungku Saleh Ismail, Teungku Ismail A h m a d , Teungku Mahmud bin Abdurrahman, Teungku A h m a d Itam, Teungku Ibrahim A l i , Nyak Umar A d a m , Teungku A b d u l l a h B e n , Teungku Sulaiman Lheu, Teungku A h m a d Gampong B l a n g , Teungku A h m a d Usman, Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Ismad R i f m , Teungku A b d u l l a h Gampong B l a n g , Teungku Saleh ben Tulot, Teungku Ibrahim H u s i n , Teungku Su'ud Trienggadeng, Teungku Saleh Gampong B l a n g , Teungku Nyak Z u l k i f l i Yusuf, Teungku Saleh bin Abdurrahman dan syuhada ke-44, yaitu bayi dalam kandungan Siti A m i n a h .



Pemberontakan Gyugun Telah dimaklumi bahwa dalam pembentukan " G y u g u n " di A c e h Jepang tidak begitu sulit mendapat pemuda-pemuda untuk menjadi anggota organisasi ketenteraan tersebut, golongan-golongan yang bertentangan yang dihasilkan "politik adu domba" Belanda saling lomba memasukkan pemuda-pemuda pihaknya ke dalam organisasi Jepang itu. Hulubalang maupun Ulama P U S A / P e m u d a P U S A yang telah secara aktif membentuk " G y u g u n " dengan menyerahkan para pemudanya masing-masing, tentu kemudian dipelihara tetap adanya kontak antara mereka dan para pemudanya itu, baik untuk menyampaikan pesan-pesan missi masing-masing maupun untuk keperluan-keperluan lam. Kalau para Ulama P U S A / P e m u d a P U S A telah memutuskan untuk melakukan "pemberontakan politik" terhadap Jepang, maka keputusan tersebut harus dimengerti oleh para pemudanya'yang telah ditempatkan dalam Gyugun. Demikian pula sebahagian Hulubalang yang telah ikut dalam "gerakan bawah tanah" Sekutu, berusaha agar para pemudanya dalam Gyugun memahami missi yang mereka jalankan. Dengan latar belakang i n i , dan ditambah lagi dengan perlakuanperlakuan jelek dari para pelatih Jepang terhadap anggota-anggota G y u g u n , maka dalam tahun 1944 timbullah perasaan tidak senang yang meluas dalam kalangan Gyugun terhadap Jepang. Perasaan tidak senang kemudian menjelma menjadi "sikap melawan" terhadap para perwira Jepang yang melatih mereka. A k i b a t n y a , di berbagai tempat pendidikan/latihan G y u g u n terjadilah perkelahian perorangan antara "pelatih" dan anggota Gyugun ; kadangkadang perkelahian "kelompok pelatih" dengan kelompok Gyugun.



\ceh Membangun



107



Dalam bulan November 1944, "sikap melawan" berobah menjadi "pemberontakan" di Tangsi Gyugun Jangkabuya, dalam bentuk minggat dari induk dengan membawa senjata. Tiga orang perwira Gyugun dari Tangsi Jangkabuya, yaitu Teuku Abdulhamid, Teuku Muhammad A l i dan Hasan Ismail memimpin peminggat tersebut dan melarikan diri ke daerah pegunungan. Dari kenyataan kemudian, dapat disimpulkan bahwa gerakan pemberontak Gyugun Jangkabuya belum matang betul ; kelihatannya mereka tidak/kurang mengadakan kontak dengan para Gyugun di Tangsi-Tangsi yang lain. Kekurang matang "gerakan pemberontak" mereka terpahami dari penyerahan mereka kepada Jepang, setelah pihak penguasa Jepang mengancam akan membunuh ahli famili mereka kalau mereka tidak menyerah. Sungguhpun gerakan tidak berhasil sebagai suatu pemberontakan, lamum peristiwa tersebut mempunyai arti yang sangat penting bila iirangkaikan dalam mata rantai Pemberontakan Rakyat Aceh terhadap lepang, bahkan Pemberontakan Gyugun Jangkabuya itu telah membuat sistem pertahanan Jepang menjadi lemah.