Abortus Berulang Email [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ABORTUS BERULANG RECURRENT PREGNANCY LOSS (RPL) 1.



PENDAHULUAN Abortus masih merupakan masalah besar di Indonesia dilihat dari segi



epdemiologis, morbiditas, mortalitas, dan prognosisnya. Kehamilan dengan riwayat abortus berulang sebenarnya dapat dicegah dan diselamatkan sehingga tidak sampai terjadi abortus. Ketidakjelasan patologis akibat ketidakpastian etiologi yang direfleksikan pada belum adanya perlakuan yang mampu mendeteksi sedini mungkin dan mencegah kejadian abortus merupakan salah satu sebab ketidakberhasilan penanggulangan penyakit ini.1 Di Indonesia abortus merupakan berakhirnya kehamilan sebelum 20 minggu kehamilan atau berat janin di bawah 500 gram. Definisi ini berbeda dengan hukum di negara lain misalnya Inggris, abortus adalah kehilangan janin sebelum usia 24 minggu kehamilan. Diagnosis dini umumnya memeriksa HCG dikenal dengan istilah kehamilan biokimiawi, selanjutnya ultrasonografi (USG) berperan dalam mendiagnosis kehamilan. USG dapat memperlihatkan katung kehamilan yang kosong (bligthed ovum), kehamilan dapat terhenti tetapi janin tidak keluar dan mengalami maserasi membentuk massa yang dinamakan fetus kompresus dan fetus papiraseus (missed abortion). Umumnya abortus terjadi spontan dan 80% abortus terjadi sebelum kehamilan 12 minggu, sebagian dari etiologinya adalah kelainan bawaan. Seperempat wanita hamil pernah mengalami abortus. Dilaporkan sekitar 1% pada kejadian abortus terjadi abortus berulang.1 2.



DEFINISI Abortus didefenisikan sebagai terminasi kehamilan sebelum usia 20 minggu



atau dimana berat fetus 10 IU/L) atau hiperandrogenemia yang terkait dengan gambaran PCO juga berhubungan dengan kejadian keguguran baik pasca konsepsi alami atau pasca siklus IVF. H. 2.5% pasien keguguran berulang menunjukkan adanya peningkatan kadar hormon prolaktin. I. Kadar serum progesteron yang rendah pada fase midluteal (< 5 ng/ ml pada hari ke 18-21 ) atau hasil pemeriksaan biopsi endometrium yang menunjukkan ketidaksesuaian (kurang atau lebih dari 2 hari) dengan kriteria Noyes dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis defek fase luteal yang dihubungkan dengan kejadian kegagalan implantasi dan keguguran berulang. J. Salah satu faktor yang dapat mengakibatkan kejadian keguguran berulang adalah reaksi sistem imun maternal terhadap janin K. Sindrom antibodi antifosfolipid L. Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya), berarti tidak didapatkan suatu faktor risiko tunggal pada kedua belah pihak (suami-isteri) yang bermakna dapat menimbulkan suatu kejadian keguguran berulang setelah dilakukan



28



Gambar . Langkah-langkah Diagnosis Keguguran Janin berulang.6 Keterangan: A. Keguguran Janin berulang B. Salah satu faktor yang dapat mengakibatkan kejadian keguguran berulang adalah reaksi dari sistem imun maternal pada janin. Reaksi sistem imun maternal terhadap janin yang dapat mengakibatkan terjadinya keguguran berulang dapat diklasifikasikan sebagai : 1). Reaksi otoimun, apabila sistem imun maternal menyerang jaringan dan organnya sendiri, atau 2) Reaksi aloimun, apabila sistem imun maternal yang seharusnya melindungi janin (yang merupakan benda asing di dalam tubuh ibu) selama kehamilan justru bertindak sebaliknya. C. Sindrom antibodi antifosfolipid D. Trombofilia adalah suatu kondisi di mana terdapat suatu kecenderungan aliran darah penderita untuk mengalami trombosis yang diakibatkan oleh karena adanya kondisi prokoagulasi. Terdapat beberapa kelainan pembekuan darah yang dapat diklasifikasikan dalam trombofilia, di antaranya adalah : activated protein C resistance (APCR), protein S deficiency, protein C deficiency, prothrombin mutation, antithrombin III (AT III) deficiency, dan hyperhomocysteinemia. E. Kondisi hiperkoagulasi didefinisikan apabila terdapat aktivitas yang meningkat dari faktor-faktor pembekuan yang ditandai dengan pemendekan nilai PT dan aPTT, serta peningkatan kadar fibrinogen dan D-dimer, sertaterdapat peningkatan aktivitas agregasi trombosit (hiperagregasi). F. Pemeriksaan hormon yang dilakukan meliputi pemeriksaan fungsi kelenjar tiroid maupun pankreas dalam hal melakukan pengaturan kadar gula darah. G. Kejadian hiper atau hipotiroid banyak dikaitkan dengan kejadian keguguran berulang



29



H. Bukti saat ini menunjukkan bahwa kondisi diabetes yang terkendali tidak berhubungan dengan kejadian keguguran berulang I. Pemeriksaan anatomi dilakukan untuk menyingkirkan adanya peran dari kelainan uterus yang dapat memicu gangguan ruang dan sirkulasi yang dibutuhkan pada uterus untuk menerima embrio. Instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian adalah USG trans-vaginal (USGTV), USG trans-vaginal dikombinasi dengan infus cairan saline (USG-SIS), histerosalfingografi dan histeroskopi. USG-TV adalah merupakan instrumen diagnostik yang cukup baik, namun kadangkala sulit untuk membedakan massa yang terletak di dalam cavum uteri. J. Kelainan fusi dan resorbsi uterus yang bersifat kongenital. Kejadian kelainan ini diperkirakan berkisar antara 1:200 hingga 1:600. Paling tidak diperkirakan 1 dari 4 wanita yang memiliki kelainan kongenita uterus dapat mengalami masalah reproduksi termasuk kejadian keguguran berulang. Bentuk kelainannya dapat berupa uterus septus, uterus bikornus, atau uterus didelfis. K. Kelainan ukuran dan sirkulasi pada uterus akibat adanya suatu massa dapat memicu terjadinya keguguran. Ukuran dan sirkulasi uterus dapat berubah dengan kehadiran myoma uteri, polip endometrium atau sindrom Asherman L. Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya),



Gambar . Langkah-langkah Diagnosis6 A. Keguguran trimester 2 berulang. B. Pemeriksaan uterus ditujukan untuk melihat adanya kelainan morfologi pada uterus. Dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG),histerosalfingografi (HSG) dan histeroskopi. (Untuk penjelasan lebih lengkapdapat melihat point I pada pemeriksaan kasus keguguran janin). C. Kelainan fusi dan resorbsi uterus bersifat kongenital. Kejadian kelainan ini diperkirakan berkisar antara 1:200 hingga 1:600. Paling tidak diperkirakan 1 dari 4 wanita yang memiliki kelainan kongenita uterus dapat mengalami masalah reproduksi termasuk kejadian keguguran berulang. Bentuk kelainannya dapat berupa uterus septus, uterus bikornus, atau uterus didelfis. D. Kelainan pada ukuran dan sirkulasi dari uterus akibat adanya suatu massa abnormal dapat memicu terjadinya keguguran. E. Pemeriksaan serviks ditujukan untuk melihat kekuatan dari serviks. Umumnya dapat dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan busi Hegar no. 8, HSG dan USG.



30



F.



Inkompetensi servikalis adalah suatu keadaan di mana serviks tidak mampu menahan kehamilan, yang ditandai dengan dilatasi dari ostium uteri internum. Diagnosis inkompetensi servikalis dapat ditegakkan apabila sebuah busi no. 8 dapat dimasukkan melalui ostium uteri internum uterus non-gravidus, atau terdapatnya gambaran cerobong pada pemeriksaan HSG atau adanya pemendekan kanalis servikalis pada pemeriksaan USG-TV. G. Pemeriksaan infeksi ditujukan untuk mendeteksi adanya infeksi pada traktus genitalis. H. Bakteriosis vaginalis (BV) adalah kejadian infeksi vagina yang disebabkan oleh karena adanya ketidakseimbangan pada polimikroba vagina. Pemeriksaan BV umumnya dilakukan menggunakan metode preparat basah dengan menggunakan kriteria Nugent.



7.



TERAPI



Terapi harus didasarkan pada hasil pemeriksaan untuk diagnostik 7.1. Terapi antikoagulan Diantara wanita dengan abortus berulang dan yang memiliki tes antipospolipid positif, dua percobaan klinis telah menunjukkan peningkatan tingkat kelahiran yang signifikan. Dengan menggunakan unfractionated heparin dosis profilaksis (misalnya, 5000 U subkutan dua kali sehari) dan aspirin dosis rendah. Strategi ini telah menjadi standar untuk pengobatan abortus berulang karena sindrom antibodi antifosfolipid, namun dua studi random yang lebih baru yang melibatkan wanita dengan sindrom ini yang menunjukkan tidak ada perbaikan yang signifikan pada tingkat kelahiran hidup dengan menggunakan dosis profilaksis heparin berat molekul rendah dibandingkan dengan aspirin sendiri.23 Aspirin 80 mg perhari dapat digunakkan untuk pasien dengan antibodi antiphospolipid



level



rendah, adanya lupus antikoagulan, atau antibodi



antikardiolipin. Pemberian prednison pada pasien dengan SLE digabung dengan haparin atau aspirin atau ketiganya. Pasien dengan lupus yang aktif harus diobati sebelum adanya kehamilan, dan pasien tersebut harus mengalami remisi paling tidak 6 bulan sebelum dapat hamil. Pasien dengan SLE yang remisi yang mengkonsumsi prednison pada awal kehamilan harus melanjutkan konsumsi pada dosis yang sama. Untuk pasien dengan abortus berulang harus dipertahankan pada trimester pertama dan kemudian diturunkan perlahan-lahan.2



31



7.2.Terapi anomali uterus Kebanyakan ahli merekomendasikan reseksi dengan histeroskopi dari septum uteri pada wanita dengan abortus berulang, rekomendasi ini berdasarkan data retrospektif tidak terkontrol dan studi-studi kasus.Namun, data uji coba yang didesain dengan baik dan mendukung praktik ini sangat kurang, septum juga terdeteksi pada wanita dengan kehamilan normal.23 Reseksi histeroskopi dari adhesi intrauterin dan septum uteri dilakukan hanya jika kelainan ini teridentifikasi. Miomektomi dilakukan jika terdapat fibroid submukosa atau fibroid apapun yang lebih besar dari 5 cm.5 7.3.Insufisiensi serviks Setelah dikonfirmasi, inkompetensi serviks diatasi dengan pembuatan serklase dimana dilakukan tindakan operasi memperkuat kelemahan serviks dengan jahitan melingkar.17



Gambar 7. Teknik serklase 15



Gambar 8. Menunjukkan tigatingkat utama/jenis serklase : (1) serklase transvaginal biasanya di persimpangan dari leher rahim dan forniks, (2) serklase transvaginal tinggi setelah membuka forniks dan (3) serklase transabdominal di level ostium uteri internal. Tingkat efektivitas serklase ini belum secara sistematis dipelajari . Dari sudut pandang / klinis mekanis, serklaseservikoisthmik lebih unggul dibanding serklases lain karena dijahit pada tingkat internal os servikalis dan karena itu mencegah funneling (pembukaan kanalis servikalis dari internal os ).15



32



Prosedur Serklase -



Teknik McDonalds17



Gambar 9. Prosedur Serklase McDonald untuk inkompetensi serviks. A. Dimulai dari prosedur serklase dengan suture monofilamen nomor 2 yang ditempatkan dalam korpus dari serviks sangat dekat tingkat ostium interna. B. Melanjutkan jahitan dalam tubuh serviks untuk melingkari ostium. C. penyelesaian lingkaran. D. suture diperketat di kanalserviks cukup untuk mengurangi diameter kanal sebesar 5-10 mm, dan kemudian suture diikat 17



-



Teknik Modifikasi Shirodkar17



33



Gambar 10. Teknik Modifikasi Shirodkar untuk inkompetensi serviks. A. Insisi transversal di buat daerah di atas anterior cervix dan buli-buli yang ditekan chepalad B. Dengan pita Mesiline 5mm pada jarum mayo melewati antrior dan posterior. C. Pita dipertemukan secara posterior ke anterior pada bagian lain di cervix. Kelm allis diarahkan agar jarum dapat melewati bagian submukosal D. Setelah pita terikat rapat, jahit kontinus mukosa serviks.17



7.4.Intervensi genetik Pasangan yang mengalami keguguran oleh karena aneuploidi dapat menjalani fertilisasi in vitro. Blastosit kemudian dievaluasi dan diimplantasi hanya jika secara kromosom normal. 7 7.5.Terapi DM dan Hipotiroid Hipotiroid dapat diterapi dengan pergantian hormon. Sementara pasien dengan diabetes dilakukan kontrol terhadap glukosa darah dapat diberikan metformin dengan dosis rendah dinaikkan hingga dosis terapeutik.5



34



Tabel 3. Terapi Abortus Berulang Berdasar Etiologi5



35



7.6.Penatalaksanaan Abortus Berulang Menurut HIFERI



Gambar. Penatalaksanaan Abortus Berulang menurut HIFERI.6 Keterangan: A. Konseling mengenai masalah kelainan kromosom dan genetika perlu diberikan, apabila dari hasil analisa kariotipe didapatkan suatu kelainan. Hal ini penting untuk informasi orang tua yang bersangkutan terkait dengan pola penurunan kelainan kromosom tersebut. Perlu diberikan informasi terkait kemungkinan berulang dan ketidaktersediaan terapi. Diharapkan dokter yang menangani dapat berkoordinasi dengan ahli genetika B. Skrining pranatal perlu dianjurkan apabila pasien tersebut hamil untuk memastikan tidak ditemukannya kelainan kromosom. Pemeriksaan pranatal bisa dilakukan dengan menggunakan metode chorionic villi sampling (CVS) atau amniosentesis. C. Pasien dengan gangguan tiroid atau gangguan sensitivitas hormon insulin hingga diabetes penanganannya dapat berkolaborasi dengan teman sejawat dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam. D. Untuk kasus resistensi insulin dapat diberikan metformin. Metformin tergolong dalam obat biguanid oral yang terbukti dapat digunakan untuk pengobatan kasus Diabetes Melitus (DM) tipe 2. Metformin dapat memperbaiki resistensi insulin melalui mekanisme peningkatan ambilan glukosa oleh otot dan lemak, serta meningkatan ikatan dengan reseptor insulin. Pemberian metformin dapat memicu efek samping pada saluran cerna berupa timbulnya rasa mual. Oleh karena itu amat penting untuk memulai pengobatan metformin dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan hingga mencapai dosis pengobatan, yaitu 3 x 500 mg per hari atau 2 x 850 mg per hari.



36



E. Untuk kasus resistensi insulin dapat diberikan metformin. Metformin tergolong dalam obat biguanid oral yang terbukti dapat digunakan untuk pengobatan kasus Diabetes Melitus (DM) tipe 2. Metformin dapat memperbaiki resistensi insulin melalui mekanisme peningkatan ambilan glukosa oleh otot dan lemak, serta meningkatan ikatan dengan reseptor insulin. Pemberian metformin dapat memicu efek samping pada saluran cerna berupa timbulnya rasa mual. Oleh karena itu amat penting untuk memulai pengobatan metformin dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan hingga mencapai dosis pengobatan, yaitu 3 x 500 mg per hari atau 2 x 850 mg per hari. F. Untuk masalah hiperprolaktinemia perlu dilakukan investigasi lebih lanjut untuk mengetahui penyebab kondisi tersebut. Awalnya perlu disingkirkan kemungkinan kelainan hormon tiroid (hipotiroid), penggunaan obat-obatan yang dapat memicu peningkatan kadar hormon prolaktin, atau adanya massa di hipofisis (mikroadenoma, makroadenoma atau tumor stalk). Pemberian dopamin agonis (bromokriptin) dapat diberikan mulai dengan dosis yang rendah hingga tercapai dosis terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien dan mampu menurunkan kadar hormon prolaktin. Dosis maksimum bromokriptin adalah 7.5 mg per hari. Apabila pasien tidak dapat mentoleransi penggunaan bromokriptin, maka dapat menggunakan preparat kabergolin dengan dosis mulai dari 0.25 mg per minggu. G. Pemberian obat-obatan antikoagulan dan antiagregasi dianjurkan untuk dilakukan sendiri oleh dokter SpOG berdasarkan panduan yang ada. Pemberian obat-obatan tersebut harus didasarkan atas temuan klinis dan laboratoris yang mendukung adanya suatu kondisi hiperkoagulasi. Apakah pemberian obat antikoagulan dimulai pada masa pra-konsepsi atau pasca-konsepsi harus didasari temuan apakah penderita tersebut memang memiliki kondisi hiperkoagulasi pada masa pra-konsepsi. Pemberian aspirin dosis rendah (81 mg per hari) dapat diberikan segera setelah pasien positif hamil. Selanjutnya pemberian heparin dapat diberikan setelah dikonfirmasi adanya detak jantung janin. Heparin dapat diberikan dengan dosis sebagai berikut : Unfractionated heparin (UFH) dapat diberikan 2x5000 iu per hari sub kutan. Sementara Low Molecular Weight Heparin (LMWH) seperti enoxoparin dapat diberikan 40 mg per hari sub kutan. Pemeriksaan kadar trombosit dapat dilakukan tiap minggu dalam 2 minggu pertama pemberian, namun selanjutnya dapat dipantau tiap 4 minggu sekali untuk memantau terjadinya Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT). Pemberian heparin memiliki target untuk mempertahankan aPTT paling tidak 1.5 x kontrol. Untuk mencegah terjadinya osteopenia, maka dapat diberikan suplemen kalsium dengan dosis 2x600 mg per hari. Penggunaan aspirin harus dihentikan paling tidak 3 minggu sebelum persalinan. LMWH harus dihentikan paling tidak 5 hari sebelum persalinan, dan diganti dengan UFH hingga 1 hari sebelum persalinan. Sementara UFH dihentikan paling tidak 1 hari sebelum persalinan. H. Kelainan uterus berupa gangguan fusi dan resorbsi dari duktus muller serta adanya massa abnormal mengganggu kontur dari kavum uteri serta memicu terjadinya gangguan sirkulasi (myoma uteri, polip endometrium) dapat diatasi dengan melakukan tindakan pembedahan untuk melakukan koreksi serta pengangkatan massa tersebut. I. Kelainan kelemahan (inkompetensi) serviks dapat diatasi dengan melakukan tindakan sirklase menggunakan teknik Shirodkar atau McDonald. J. Infeksi BV dapat diatasi dengan menggunakan antibiotika seperti klindamisin atau metronidazol (tidak dianjurkan jika sudah hamil). K. Dukungan yang bersifat suportif baik dari pasangan, serta lingkungan sekitarnya amat bermanfaat untuk memberikan ketenangan bagi pasien yang kadang merasa amat sedih dan kecewa dengan terjadinya keguguran secara berturut-turut. Tidak jarang dibutuhkan pula kerjasama dengan seorang ahli yang dapat membangkitkan semangat pasien untuk bangkit dari rasa bersalah. L. Pada kasus keguguran berulang idiopatik (penyebab tidak diketahui) dapat dicoba untuk melakukan pemberian obat kombinasi secara empirik. Dari suatu penelitian didapatkan pemberian obat kombinasi ini dapat meningkatkan angka kelahiran hidup dibandingkan dengan pasien keguguran berulang yang tidak diterapi. Kombinasi obat tersebut adalah sebagai berikut : Prednison 20 mg per hari dan Progestogen (didrogesteron (Duphaston®)), 20 mg per hari hingga usia kehamilan 12 minggu, Aspirin 80 mg per hari hingga usia kehamilan 28 minggu, dan asam folat 5 mg tiap 2 hari sekali selama masa kehamilan.



37



8. Prognosis Prognosis individu tergantung dari kausa yang mendasari. Koreksi kelainan endokrin, APA, dan anomali anatomi memiliki tingkat kesuksesan paling tinggi, paling kurang 60%-90%. Pasien dengan kelainan sitogenetik tingkat keberhasilan berkisar 20%-80% tergantung dari tipe kelainan yang ada. Secara keseluruhan RPL dapat diterapi.5



38