Adaptasi Hewan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ADAPTASI PADA HEWAN



Untuk memenuhi tugas matakuliah Ekologi Lanjut yang dibina oleh Bapak Dr. Drs. Fatchur Rohman, M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ir. Suhadi, M.Si



Oleh: Arfiatul Isnaini



170341864503



Putri Widya Mayangsari 170341864517



UNIVERSITAS NEGERI MALANG PASCASARJANA PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN BIOLOGI November 2017



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungannya. Pada hubungan ini, terdapat suatu mekanisme adaptasi untuk keberlangsungan hidup. Adaptasi merupakan perubahan yang dapat meningkatkan kemampuan organisme untuk dapat terus hidup dan bereproduksi dalam kondisi lingkungan tertentu. Adaptasi bukan proses penyesuaian diri oleh organisme, melainkan kejadian alamlah yang yang berperan dalam menentukan gen-gen yang tetap bertahan dan gen-gen yang musnah. Alam akan melakukan seleksi pada makhluk hidup yang kurang bisa beradaptasi terhadap lingkungannya (Widodo, 2003). Adaptasi umumnya diartikan sebagai penyesuaian makhluk hidup terhadap lingkungannya.



Adaptasi



menunjukkan



kesesuaian



organisme



dengan



lingkungannya yang merupakan produk masa lalu. Adanya perubahan kondisi pada abiotik pada lingkungan sekitar akan sangat mempengaruhi kehidupan makhluk hidup terutama pada hewan. Hewan-hewan tersebut akan mengadakan respon terhadap perubahan kondisi lingkungannya. Respon tersebut dapat berupa berupa perubahan fisik, fisiologis, dan tingkah laku yang terdiri dari hibernasi, estivasi, dan lain-lain Terdapat 2 konsep penting adaptasi dalam biologi yaitu evolusi genetik dan adaptasi biologi. Pada kosep evolusi genetik berfokus pada umpan balik dari interaksi lingkungan. Sedangkan adaptasi biologi berfokus pada perilaku organisme selama masa hidupnya. Dalam merespon perubahan lingkungannya, hewan akan melakukan adaptasi yang berbeda.



1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah. 1.2.1



Apa pengertian adaptasi hewan?



1.2.2



Bagaimana mekanisme adaptasi pada hewan?



1.2.3



Bagaimana prinsip adaptasi pada hewan?



1.2.4



Apa saja berbagai macam jenis adaptasi pada hewan?



1.2.5



Bagaimana adaptasi yang terjadi pada hewan migrasi?



1.3 Tujuan Tujuan dalam makalah ini adalah sebagai berikut. 1.3.1



Untuk mengetahui pengertian adaptasi pada hewan.



1.3.2



Untuk mengetahui mekanisme adaptasi pada hewan.



1.3.3



Untuk mengetahui prinsip adaptasi pada hewan.



1.3.4



Untuk mengetahui berbagai macam jenis adaptasi pada hewan.



1.3.5



Untuk mengetahui adaptasi yang terjadi pada hewan migrasi.



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Adaptasi Interaksi hewan dengan lingkungnnya menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara hewan dan lingkungannya. Dalam hubungan itu kondisi dan perubahan kondisi lingkungan berpengaruh pada hewan, dan hewan mengadakan reaksi terhadap kondisi atau perubahan kondisi lingkungannya. Reaksi hewan terhadap kondisi dan perubahan lingkungannya dinyatakan sebagai respons hewan terhadap lingkungannya. Respons hewan terhadap lingkungan dapat berupa perubahan fisik, fisiologis dan tingkah laku. Respons hewan terhadap kondisi dan perubahan lingkungan ada yang bersifat reaktif, artinya respons itu terbentuk dan berlaku pada saat pengaruh kondisi dan perubahan lingkungan berlaku. Misalnya, ayam mencari tempat yang teduh ketika hujan turun. Respons-respons seperti itu bukan merupakan respons yang terpola untuk semua anggota spesies. Respons itu merupakan perubahan pada hewan yang bersifat reaktif terhadap lingkungannya. Disamping respons yang bersifat reaktif, hewan mempunyai respons terhadap lingkungan yang terpola untuk semua anggota spesies. Repsons itu mempunyai sifat yang diwarisi dari nenek moyangnya. Misalnya, semua anak itik yang baru menetas mengikuti hewan apa saja yang dijumpai pertama kali. Respons seperti itu dapat digolongkan respons yang bersifat adaptif terhadap kondisi atau perubahan lingkungan yang ada, artinya respons itu merupakan ciriciri yang teradaptasi terhadap kondisi atau perubahan lingkungan yang ada. Adaptasi pada umumnya diartikan sebagai penyesuaian makhluk hidup dengan lingkungannya. Namun, Begon (1996) dalam Dharmawan et al. (2005) berpendapat bahwa pengertian itu mengandung banyak penafsiran. Jika dikatakan bahwa “hewan X teradaptasi untuk hidup di lingkungan Y”, pernyataan itu dapat berarti sebagai berikut:



1.



Hewan X hanya dapat dijumpai pada lingkungan Y. Dalam hal ini kata adaptasi berarti hewan X mempunyai sifat yang hanya sesuai untuk hidup di lingkungan Y, dan tidak dijumpai di tempat lain.



2.



Hewan X hanya dapat hidup di lingkungan Y, tidak dapat hidup di lingkungan lain.



3.



Hewan itu mempunyai sifat yang lolos dari seleksi alam, yang diwarisi dari nenek moyangnya. Dalam hal ini kata adaptasi mempunyai arti bahwa pada diri nenek moyangnya terjadi perubahan genetik sehingga sesuai dengan kondisi lingkungan, dan sifat genetik baru yang terbentuk diturunkan kepada keturunannya. Pengertian ini diberikan oleh para ahli ekologi evolusi.



4.



Ara ahli ekologi mengkhususkan diri pada aspek fisiologis mengartikan pernyataan di atas bahwa hewan X telah mempunyai pengalaman di masa lalu yang memungkinkannya untuk hidup di lingkungan Y. Pengertian ini lebih tepat untuk diterapkan pada sifat-sifat fenotip.



5.



Pernyataan di atas juga dapat berarti bahwa hewan X mempunyai sifat genotip dan fenotip yang sesuai untuk hidup di lingkungan Y. Adaptasi adalah kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri



dengan lingkungannya yang senantiasa berubah-ubah. Perubahan ini bisa berlangsung cepat ataupun lambat, karena lingkungan berubah maka agar makhluk hidup dapat bertahan hidup, dia harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya melebihi dari makhluk lainnya. Disamping itu manusia juga mampu mengubah lingkungannya sesuai dengan hidup dan kemampuannya, dengan cara adaptasi ini maka kelestarian makhluk hidup dapat terjamin. Jika suatu makhluk hidup telah beradaptasi dengan lingkungannya maka makhluk hidup itu sangat sulit untuk berpindah tempat ke lingkungan lain. Jika ingin pindah maka ia pun harus menyesuaikan diri kembali dengan lingkungannya yang baru. Organisme melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan beberapa cara, yaitu adaptasi morfologi (penyesuaian bentuk), adaptasi fisiologi (penyesuaian fungsi) dan adaptasi behavioral (penyesuaian tingkah laku) (Dharmawan et al., 2005).



Adaptasi merupakan konsep yang sangat popular dalam biologi, sehingga pendefinisiannya juga menjadi sangat luas dan terkait beberapa hal: 1. Adaptasi sering digunakan dalam menentukan ciri atau karakter pengamatan suatu



makhluk hidup



yang telah terseleksi.



Seperti



ditemukannya



haemoglobin sebagai indikasi adanya oksigen dalam darah. 2. Adaptasi didefinisikan sebagai sebuah proses yang terjadi secara alami, sehingga memunculkan karakter-karakter tertentu yang mengarah kepada fitness atau seleksi; contoh hewan-hewan yang memiliki kandungan haemoglobin tinggi akan memiliki kemampuan beradapatasi secara cepat di lingkungan yang memiliki kandungan oksigen rendah. 3. Adaptasi didefinisikan sebagai ganti rugi terhadap perubahan lingkungan, perubahan atau pergantian karakter, lebih dikenal dengan istilah phenotypic plasticity, di mana karakter-karakter tersebut tidak muncul pada kondisi normal. Proses adaptasi terhadap lingkungan baru bisa terjadi dalam kurun waktu yang singkat (aklimatisasi) bisa juga dalam kurun waktu yang lama (adaptasi/evolusi). Respons dalam waktu singkat misalnya ekskresi urin yang berlebihan bagi ikan yang akan masuk ke perairan dengan konsentrasi garam (ion) lebih tinggi, ikan yang menghindari kekurangan cahaya dengan bergerak arah permukaan (avoidence). Perubahan tersebut bisa terjadi dalam waktu yang lama seperti proses endemisitas ikan air tawar (Willmer, 2000). 2.2 Mekanisme Adaptasi Sifat yang dimiliki oleh suatu populasi yang sekarang merupakan sifat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Nenek moyang dari populasi yang bersangkutan telah berhasil mempertahankan hidup dan berkembang biak karena memiliki sifat tersebut. Dengan kata lain, populasi yang ada sekarang merupakan populasi yang lolos dari seleksi alam (Dharmawan et al., 2005). Penjelasan ini merupakan ringkasan dari teori seleksi alam yang dikemukakan oleh Darwin, yang mempunyai prinsip-prinsip pokok sebagai berikut: 1. Sifat dari individu dalam suatu populasi tidak sama persis. Individu itu mempunyai sifat yang bervariasi dalam hal ukuran, kecepatan berkembang biak, merespons kondisi lingkungan dan lain-lain.



2. Beberapa sifat yang berbeda dalam suatu populasi diwariskan oleh nenek moyang. Dengan kata lain, individu-individu dalam populasi mewarisi gen pembawa sifat tersebut dari nenek moyangnya. 3. Semua populasi mempunyai potensi untuk mendiami seluruh permukaan bumi jika setiap individu dapat bertahan hidup dan menghasilkan keturunan secara maksimal. Namun, tidak setiap individu mempunyai sifat demikian. Ada individu yang mati sebelum berkembang biak. Individu yang mampu berkembang biak mewariskan sifatnya kepada keturunanya. 4. Nenek moyang moyang berbeda meninggalkan keturunan yang berbebda jumlahnya. Ini juga berarti bahwa individu dari populasi yang ada sekarang menghasilkan anak yang jumlahnya berbeda. 5. Anak-anak yang diturunkan oleh suatu individu tidak seluruhnya tergantung pada interaksi sifat individu orang tua dengan lingkungannya. Meskipun dalam teorinya Darwin yakin bahwa sifat-sifat makhluk hidup yang teradaptasi pada lingkungan hidup merupakan ciri yang bersifat menurun, tetapi ia tidak menyadari bahwa bentuk adaptasi yang baiklah yang memancarkan ciri-ciri adaptif kepada keturunannya (Dharmawan et al., 2005). Adanya sifat menurun itu menjadi lebih terang setelah Mendel dapat mengungkap adanya gen-gen yang menentukan sifat genetik suatu organisme. Pengetahuan genetika yang dipelopori oleh Mendel itu dapat digunakan untuk memperjelas pengaruh kombinasi gen yang terbentuk pada perkawinan dalam populasi terhadap sifat keturunan. Di samping itu pengetahuan genetika juga dapat menjelaskan bahwa seleksi alam merupakan faktor yang menentukan sifat hasil perkawinan. Jika perubahan faktor lingkungan dan perkawinan antara individu dalam populasi memunculkan variasi baru, maka terbentuknya variasi baru itu menimbulkan gangguan pada kesimbangan genetik (genetic equilibrium). Keseimbangan genetik adalah suatu stabilitas genetik individu-individu populasi yang sifat genetiknya sama. Keseimbangan genetik dapat berubah sebagai akibat dari adanya mutasi, perubahan secara acak pada frekuensi gen, dan seleksi alam. Perubahan keseimbangan genetik itulah yang menyebabkan terjadinya evolusi organisme (Dharmawan et al., 2005).



Di alam organisme terkumpul dalam kelompok-kelompok populasi yang diantara anggotanya terjadi hubungan kawin. Setiap kelompok disebut deme. Kelompok besar yang terbentuk dari banyak deme disebut jenis organisme. Deme-deme dari suatu jenis organisme ada yang menempati daerah-daerah geografis yang berbeda, misalnya banteng yang saat ini masih ada di Pulau Jawa, contohnya di Taman Nasional Baluran (Jawa Timur) dan Taman Nasional Ujung Kulon (Jawa Barat). Daerah-daerah geografis itu dapat merupakan lingkungan hidup yang sempit dan bersifat khas dibandingkan daerah penyebaran jenis organismenya. Deme yang menempati daerah geografis khusus itu bisa mempunyai sifat genetik yang berbeda dengan deme yang menempati daerah lain, jika di antara deme-deme itu terjadi isolasi geografis sehingga antar deme tidak dapat terjadi pertukaran informasi genetik. Kelompok yang terisolasi itu disebut klin (cline), dan merupakan subjenis organisme atau subpopulasi. Perbedaan sifat genetik dari suatu klin dengan klin yang lain terbentuk dari perbedaan perubahan lingkungan dalam suatu rentangan tertentu, yang disebut gradien ekologik (ecological gradients) (Dharmawan et al., 2005). Variasi sifat individu pada landaian ekologis yang berbeda disebut ekotip. Perbedaan sifat itu dapat dalam hal bentuk, warna dan lain-lain. Contoh yang terkenal adalah fenomena melanisme industrial. Kupu-kupu Biston betularia yang hidup di hutan yang jauh dari industri berwarna abu-abu keputihan sesuai dengan warna batang pohon yang menjadi substratnya, tetapi kupu-kupu yang hidup di daerah industri di Britania Raya mempunyai warna gelap. Di daerah industri, pohon-pohonan menjadi berwarna hitam karena tertutup oleh asap dan jelaga pabrik. Kupu-kupu yang berwarna terang menjadi mangsa buruan yang mudah dilihat oleh burung predator, tetapi kupu-kupu yang berwarna hitam lebih selamat dari serangan predator. Kejadian inilah yang disebut fenomena melanisme industrial (Dharmawan et al., 2005). Kesesuaian antara sifat-sifat organisme dengan lingkungannya sehingga menimbulkan sifat yang bervariasi antara satu kelompok dengan kelompok lain, baik jenis organismenya sama maupun berbeda telah digeneralisasikan dalam beberapa hukum, antara lain Hukum Bergman, Hukum Allen, dan Hukum Gloger. Hukum Bergman menyatakan bahwa hewan-hewan yang hidup di daerah dingin



memiliki tubuh besar. Rasionalnya adalah untuk bertahan hidup pada suhu dingin, tubuh yang besar tidak cepat kehilangan panas, sedangkan untuk bertahan pada lingkungan panas, hewan yang bertubuh kecil lebih cepat memancarkan panas. Hewan homoterm, yaitu burung dan mamalia yang hidup di daerah dingin mempunyai tubuh yang lebih besar daripada yang hidup di daerah panas. Namun, hewan-hewan



poikiloterm



di



daerah



dingin



cenderung



bertubuh



kecil



(Dharmawan et al., 2005). Hukum Allen menyatakan bahwa bagian-bagian tubuh (ekor, telinga, tangan, kaki dan lain-lain) yang hidup di daerah beriklim dingin lebih pendek daripada hewan yang hidup di daerah beriklim panas. Contoh, tikus yang hidup di lingkungan yang bertemperatur 31-33,50C berekor lebih panjang daripada strain yang hidup di temperatur 15-200C. Hukum Gloger menyatakan bahwa pada lingkungan yang panas dan lembab hewan mempunyai pigmen lebih gelap daripada hewan yang hidup di daerah beriklim dingin dan kering. Di daerah arid (beriklim kering) pigmen yang muncul kebanyakan merah dan kuning kecoklatan. Contoh, Belalang kayu Carausius menjadi berwarna hitam pada temperatur 150C dan berwarna coklat pada temperatur 250C. Hukum-hukum lain yang menyatakan hubungan antara lingkungan dengan sifat hewan adalah berbunyi. Contoh, burung yang hidup di daerah beriklim dingin mempunyai kemampuan bermigrasi lebih besar, rentangan sayap lebih lebar, bertelur lebih banyak, dan saluran pencernaan makanan dapat menyerap sari makanan lebih banyak daripada burung yang hidup di daerah beriklim panas. Katak Hyla dan kecebong bertanduk Phynosoma berwarna makin gelap jika temperatur lingkungannya turun. Deme-deme seringkali terisolasi secara geografis, menyebabkan kelompokkelompok populasi tidak dapat berbaur lagi untuk melakukan hubungan perkawinan. Isolasi itu disebut isolasi geografis. Jika isolasi itu bersifat tetap maka populasi yang terpisah dari populasi yang hidup di habitat asli dapat berubah menjadi jenis organisme baru. Isolasi geografis dapat terjadi pada jenis organisme yang bermigrasi. Isolasi habitat itu disebut isolasi ekologis.



Populasi dapat terisolasi di tempat yang berbeda tetapi masih dalam kawasan habitat yang sama, tetapi tidak dapat melakukan hubungan perkawinan dengan populasi lain. Isolasi itu disebut isolasi spatial. Jenis organisme yang menduduki daerah yang geografisnya berbeda disebut jenis organisme allopatrik, sedangkan yang hidup di tempat yang secara biologis terpisah dari yang lain disebut jenis organisme simpatrik. Contoh yang terkenal isolasi-isolasi tersebut adalah kelompok-kelompok burung Finch Darwin yang tersebar secara terpisah-pisah di pulau-pulau yang berbeda. Burung-burung itu menemukan habitat-habitat yang berbeda ketika bermigrasi dari daratan Amerika ke Kepulauan Galapagos. Itu merupakan contoh allopatrik yang arahnya ditentukan oleh terjadinya perubahan frekuensi gen sebagai akibat dari seleksi alam dan pemisahan genetik. Begitu jenis organisme terisolasi, ketika pindah ke daerah baru yang kondisi lingkungannya berbeda, jenis organisme itu akan berubah menjadi jenis organisme baru seiring dengan perjalanan waktu. Hal ini mengisyaratkan bahwa jenis organisme baru merupakan ekspresi dari kombinasi berbagai faktor lingkungan. Kejadian itu merupakan proses adaptasi yang mengarah pada pengisian nisia yang kosong dan mengarah pada pemanfaatan lingkungan secara efisien dan lengkap (Dharmawan et al., 2005). 2.3 Prinsip Adaptasi Sifat adaptasi penting bagi hewan dan organisme lain untuk bertahan hidup pada lingkungan baru atau jika ada perubahan lingkungan di habitatnya. Namun kemampuan hewan untuk beradaptasi dengan lingkungannya berbeda-beda (Dharmawan et al., 2005). Kemampuan hewan dan makhluk hidup lain untuk beradaptasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. 1. Adaptasi ditentukan oleh sifat genetik. Diatas telah disebutkan bahwa jenis organisme yang sekarang hidup dan teradaptasi dengan lingkungan habitatnya adalah jenis organisme yang sifatsifatnya diwarisi dari nenek moyangnya. Ciri-ciri habitat itu secara kebetulan sama dengan ciri-ciri habitat di lingkungan yang dihuni oleh nenek moyang. Sifat yang diturunkan itu adalah sifat genetik. Sifat-sifat genetik itu memancarkan



fenotip



yang



sesuai



dengan



kondisi



faktor-faktor



lingkungannya. Kupu Biston betularia yang hidup di daerah industri adalah kelompok yang mempunyai variasi gen yang memancarkan warna haitam pada tubuhnya, dan sifat itu menurun sehingga keturunannya tetap berwarna hitam, meskipun kerabatnya yang hidup di luar daerah industri berwarna terang. 2. Kemampuan adaptasi dipengaruhi oleh kemampuan berkembangbiak. Populasi yang anggotanya mampu menghasilkan keturunan dalam jumlah banyak lebih mampu bertahan hidup. Banyaknya anak memunculkan banyak variasi sifat yang ditimbulkan dari perkawinan antara anggota populasi yang mempunyai sifat berbeda. Di antara variasi sifat itu terdapat kemungkinan yang besar untuk sesuai dengan kondisi lingkungannya. 3. Kemungkinan hewan untuk beradaptasi terhadap suatu perubahan lingkungan ditentukan oleh frekuensi perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan ada yang bersifat siklik, terarah dan eratik (tidak teratur). Perubahan lingkungan yang bersifat siklik adalah perubahan lingkungan yang terjadi berulang-ulang dan intensitasnya rendah, misalnya perubahan intensitas cahaya antara siang dan malam. Hewan mudah beradaptasi terhadap perubahan seperti itu. Perubahan lingkungan yang bersifat terarah biasanya berlangsung dalam waktu panjang, seringkali melebihi masa hidup dari hewan, misalnya pendangkalan dasar sungai di muara yang disebabkan oleh terjadinya endapan lumpur yang terbawa air. Hewan mungkin juga mengadaptasikan diri terhadap perubahan itu jika intensitasnya tidak besar. Namun pada perubahan lingkungan yang bersifat eratik, hewan tidak dapat mengadaptasikan dirinya, karena perubahan itu bersifat mendadak, terjadi dalam waktu singkat, dan intensitasnya besar, misalnya kebakaran hutan, siklon dan banjir (Dharmawan et al., 2005). Kemampuan hewan untuk beradaptasi terbatas. Keterbatasannya adalah: 1. Ketahanan hidup (survival) hewan tergantung pada kapasitas individu untuk mengatasi lingkungannya. Setiap individu hewan mempunyai ketahanan hidup sendiri-sendiri. 2. Pada setiap jenis organisme individu-individu berkemampuan adaptasi yang berbeda.



3. Karena setiap perubahan selalu bertumpang tindih dengan kondisi sebelumnya, maka adaptasi merupakan proses yang lambat. 4. Adaptasi melibatkan seluruh kegiatan hidup (the whole bussines of living). 2.4 Jenis Adaptasi Hewan 2.4.1



Adaptasi Struktural Adaptasi struktural adalah sifat adaptasi yang muncul dalam wujud



sifat-sifat morfologis tubuh, ukuran tubuh, yang meliputi bentuk tubuh, bentuk dan susunan alat-alat tubuh, ukuran tubuh serta warna tubuh (kulit dan bulu). Adaptasi struktural merupakan cara makhluk hidup menyesuaikan dirinya terhadap lingkungannya dengan cara mengembangkan struktur tubuh atau alat-alat tubuh kearah struktur yang lebih sesuai dengan keadaan lingkungan dan keperluan hidupnya. Adaptasi struktural ini dapat di dahului oleh terjadinya perubahan gen dan dapat pula tanpa melalui perubahan gen. Sebelumnya telah diuraikan beberapa contoh adaptasi yang menyangkut bentuk, ukuran dan warna tubuh dalam rangka menjelaskan tentang Hukum Bergman, Hukum Allen, dan Hukum Gloger. Berikut ini akan diberikan contoh-contoh lain dari adaptasi morfologi (Dharmawan et al., 2005). 2.4.1.1 Bentuk dan Ukuran Tubuh Bentuk tubuh yang dimaksud adalah pola tubuh yang menyangkut perbandingan antara lebar dan panjang tubuh, hewan-hewan yang hidup di daerah dingin, mempunyai bentuk bulat dan besar sedangkan yang hidup di daerah panas, tubuhnya lebih kecil dan ramping. Pada hewan yang hidup di daerah dingin perbandingan antara lebar dan panjang tubuh kecil, sehingga tubuhnya cenderung berbentuk bulat. Bentuk tubuh ini tidak mudah melepaskan panas, atau lebih bersifat menyimpan panas jika suhu berubah menjadi lebih dingin. Pada tubuh yang bulat dan berukuran besar dengan luas permukaan tubuh yang berhubungan udara luar memiliki proporsi yang kecil. Bentuk tubuh lain yang ada kaitannya dengan penyesuaian



diri dengan



lingkungan adalah bentuk streamline pada ikan. Bentuk seperti itu memudahkan gerak di air, karena bentuk tubuh yang pipih serta meruncing di depan dan di belakang mengurangi tahanan air (Dharmawan et al., 2005).



2.4.1.2 Bagian-bagian Tubuh Dalam hal ukuran dari bagian-bagian tubuh telah diuraikan sesuai dengan Hukum Allen. Hewan yang hidup di daerah panas mempunyai bagian-bagian tubuh yang lebih panjang daripada hewan yang hidup di daerah dingin. Aspek lain pada bagian-bagian tubuh hewan yang memiliki kesesuaian dengan lingkungan adalah bentuk-bentuk bagian-bagian tubuh yang bersifat homolog dan analog. Sifat homolog dapat diamati pada anggota tubuh hewan vertebrata. Pada dasarnya semua hewan vertebrata mempunyai dua pasang anggota tubuh, yaitu sepasang anggota tubuh depan dan sepasang anggota tubuh belakang. Pada hewan mamalia kedua pasang anggota tubuh berfungsi sebagai kaki. Pada burung, anggota tubuh depan berubah bentuk menjadi sayap. Pada beberapa jenis reptil, misalnya kadal dan biawak, kedua pasang anggota tubuh berfungsi sebagai kaki, sedangkan reptil yang lain (misalnya kura-kura dan penyu) kedua pasang anggota tubuh berfungsi sebagai alat renang.



a



c



b



Gambar 2.1 Sirip pada ikan (a) homolog dengan sayap burung (b), dan sayap burung analog dengan sayap kupu-kupu (c) (Sumber: Google Image)



Sirip dada dan sirip ekor pada ikan adalah anggota-anggota tubuh belakang dan depan yang berfungsi sebagai alat renang. Kaki depan kuda, sayap burung, kaki kura-kura dan sirip ikan merupakan alat-alat tubuh yang secara



embrional



berasal



dari



jaringan



yang



sama,



tetapi



dalam



perkembangannya berubah menjadi bagian tubuh yang fungsinya berbeda. Keadaan tersebut disebut homolog. Pada fenomena lain, burung dan belalang mempunyai sayap untuk bergerak di udara, tetapi kedua alat gerak itu berasal dari jaringan embrional yang berbeda. Keadaan itu disebut analog (Dharmawan et al., 2005).



2.4.1.3 Warna Tubuh Selain warna hitam dan putih, hewan-hewan ada yang mempunyai warna merah, hijau dan lain-lain, bahkan ada yang mempunyai beberapa warna sekaligus dalam tubuhnya. Munculnya warna pada permukaan tubuh disebabkan oleh (1) pigmen-pigmen khusus yang menyerap panjang gelombang tertentu dan memantulkan panjang gelombang yang lain, (2) struktur



permukaan



tubuh



yang



menyebabkan



sinar



terserap



dan



direfraksikan, (3) kombinasi dari pengaruh-pengaruh, absorbtif, refraktir, reflektif atau difraktif (Pearse, 1926). Diantara warna-warnaitu mungkin ada yang berhubungan dengan sifat adaptif terhadap lingkungannya. Hubungan itu ditunjukkan oleh hewan-hewan yang hidup di lingkungan geografis yang sama mempunyai warna yang sama. Braun 1914 (seperti yang dikutip oleh Pearse, 1926) yang mempelajari Microlepidoptera dari genus Licthocolletis yakin bahwa pola-pola warna pada hewan merupakan akibat dari proses fisiologis dan bahwa pola-pola itu mengikuti kecenderungan orthogenetik, artinya “tergantung pada kondisi eksternal”. Warna hewan mempunyai manfaat atau fungsi-fungsi khusus untuk menghadapi lingkungannya (Dharmawan et al., 2005). 2.4.1.4 Mimikri Berbagai



penelitian



menunjukkan



bahwa



warna-warna



hewan



mempunyai manfaat tertentu bagi dirinya. Sesuai dengan manfaatnya warnawarni itu dapat dibedakan dengan klasifikasi Poulton (Pearse, 1926): a) Warna apatetik, sama dengan semua atau beberapa bagian dari warna lingkungannya. (1) Warna kriptik, yaitu warna yang sama dengan lingkungannya, untuk bersembunyi, yang dibedakan menjadi: 1) warna prokriptik: kesamaan warna untuk berlindung, 2) warna antikriptik: kesamaan warna untuk menyerang. (2) Warna pseudosematik, yaitu warna untuk peringatan atau tanda yang ironik, yang dibedakan atas: 1) warna pseudaposematik: mimikri yang protektif, dan 2) warna pseudepisematik: mimikri yang bersifat agresif dan warna yang bersifat erotik.



b) Warna sematik, warna untuk memberi peringatan dan sinyal. (1) Warna aposematik, yaitu warna untuk peringatan. (2) Warna episematik, yaitu warna untuk memberi sinyal. c) Warna epigamik, warna yang ditampilkan untuk kawin. Kategori-kategori diatas dapat dijelaskan dengan uraian dan contohcontoh berikut ini. Di antara warna-warna yang dimiliki oleh hewan ada yang sama atau mirip dengan benda-benda yang ada di lingkungannya, baik benda mati maupun makhluk hidup lain. Kesamaan warna hewan dengan bendabenda lain yang ada di lingkungannya dikenal dengan istilah mimikri. Contoh mimikri yang sering ditunjukkan adalah perubahan warna pada Bunglon. Pada saat Bunglon hinggap di tempat yang dasarnya berwarna coklat, kulitnya juga berwarna coklat, dan ketika hinggap di daun yang berwarna hijau, kulitnya berubah menjadi hijau. Warna hewan yang bersifat tetap jug ada yang sama atau mirip dengan lingkungannya. Sifat-sifat mimikri ini banyak dijumpai pada hewan-hewan yang tergolong pada serangga, baik yang masih berupa larva (ulat) maupun sudah dewasa (kupu dan belalang). Misalnya, belalang dan ulat yang hidup di daun banyak yang berwarna hijau, sedangkan belalang dan ulat yang biasa hinggap di batang pohon atau substrat lain yang berwarna coklat, mempunyai sayap dan tubuh berwarna coklat. Kesamaan warna itu bukan hanya warna dasar, melainkan warna permukaan tubuh hewan itu ada yang bermacam-macam dan polanya juga mirip dengan pola warna substrat atau benda lain yang ada di sekitarnya (Dharmawan et al., 2005). Kejadian mimikri itu juga dapat berupa kemiripan bentuk tubuh hewan dengan benda-benda yang ada di lingkungannya. Bentuk tubuh belalang kayu (walking sticks) bersama dengan kakinya mirip dengan cabang serta rantingrantingnya. Ada juga ulat yang jika menempel di suatu cabang atau batang membentuk posisi tubuh sedemikian rupa sehingga menyerupai cabang atau ranting batang yang ditempeli, karena warnanya mirip dengan kulit kayu.



Kesamaan warna dan bentuk hewan yang telah disebutkan di atas merupakan contoh warna prokriptik, yaitu kesamaan atau kemiripan warna yang menyebabkan hewan tersembunyi atau tidak mudah dilihat oleh musuhnya. Di samping itu, ada ulat yang bentuk kepalanya mirip dengan bentuk kepala ular, matanya menonjol dan berwarna menyolok sehingga menunjukkan kesan bahwa hewan itu garang dan sedang akan menyerang. Itu merupakan contoh dari pseudepisematik.



Gambar 2.2 Kepala larva ngengat Hemeroplanes ornatus membengkak menyerupai kepala ular (Sumber: Google Image)



Kesamaan bentuk, warna dan tingkah laku antara lain satu jenis organisme hewan dengan jeis organisme hewan lain juga terjadi di alam. Hewn yang bentuk, warna atau tingkah lakunya “meniru” disebut mimik, sedang hewan yang bentuk, warna atau tingkah lakunya “ditiru” disebut model. Kejadian mimikri terhadap bentuk, warna dan tingkah laku itu banyak dijumpai pada serangga. Sifat mimikri mempunyai manfaat untuk terhindar dari serangan predator. Ada dua macam bentuk mimikri sehubungan dengan kepentingannya untuk mengurangi kemungkinan daat diserang oleh predator, yaitu mimikri Batesian dan mimikri Mullerian (Dharmawan et al., 2005). Mekanisme dari mimikri Batesian adalah peniruan oleh serangga peniru yang tergolong tidak berbahaya pada model-model serangga yang tergolong berbahaya atau beracun. Contoh yang cukup terkenal adalah lalat Eristalis tenax yang morfologi dan perilakunya amat mirip dengan lebah spesies Apis mellifera (Golding dan Edmunds, 2000). Pada penelitian yang dilakukan keduanya, sang lalat syrphid terbukti mampu menirukan perilaku lebah dengan sangat mirip dari aspek waktu kunjungan ke bunga tumbuhan-



tumbuhan tertentu, di samping memang secara morfologis sangat mirip. Contoh lainnya, misalnya pada kumbang staphylinid myrmecophilous, Pella comes yang mampu menirukan morfologi semut inangnya, dan bahkan menghindarkannya dari pemangsaan oleh predator (katak pohon) (Taniguchi et al., 2005). 2.4.1.5 Bau Hewan-hewan tertentu mempunyai bau yang khas. Bau yang khas itu dapat merupakan tanda bagi hewan lain yang sejenis, misalnya seranggaserangga tertentu mempunyai hormon yang dikenal dengan nama feromon, yang dapat digunakan untuk menarik lawan jenisnya pada musim kawin. Namun, hewan-hewan lain ada yang mempunyai bau yang tidak disukai oleh hewan lain. Bau seperti itu menyebabkan hewan predator menjauhinya. Contoh yang mudah diamati adalah bau pada walang sangit (Dharmawan et al., 2005). 2.4.2



Adaptasi Fisiologis



Adaptasi fisiologis adalah adaptasi yang menyangkut kesesuaian prosesproses fisiologis hewan dengan kondisi lingkungan dan sumberdaya yang ada di habitatnya. Diantaranya ada yang berhubungan dengan adaptasi struktural, terutama pada bagian dalam tubuh. Misalnya pada proses respirasi, pencernan makanan dan lain-lain yang menggambarkan adanya adaptasi terstruktur (Dharmawan et al., 2005). 2.4.3



Adaptasi Tingkah Laku



Adaptasi tingkah laku adalah respon-respon hewan terhadap kondisi lingkungan dalam bentuk perubahan tingkah-laku. Perubahan tingkah laku itu biasanya muncul dalam bentuk gerakan untuk menangkap rangsangan yang mengenai dirinya. Rangsangan itu dapat berasal dari lingkungan luar dan dari lingkungan dalam tubuhnya sendiri. Diantara macam-macam tingkah laku hewan yang biasanya muncul sebagai tanggapan terhadap rangsangan yang berasal dari lingkungan luar. Misalnya hibernasi dan estivasi (Dharmawan et al., 2005).



2.4.3.1 Hibernasi Hibernasi adalah tingkah laku hewan untuk mengurangi metabolisme tubh pada musim dingin. Tingkah laku ini kebanyakan dimiliki oleh hewanhewn yang hidup didaerah beriklim dingin. Aspek tingkah laku hibernasi adalah perubahan intensitas gerakan dari gerakan aktof untuk mencari makan menjadi tidak aktif atau istirahat (dormansi). Salah satu hewan yang melakukan hibernasi adalah beruang kutub. Pada musim dingin beruang kutub pada umumnya pergi ke tempat-tempat yang terlindung, misalnya goa untuk berlindung dari serangan cuaca dingin, dan tidak melakukan kegiatan apapun. Tingkah laku bertapa itu dilakukan untuk menghemat energi tubuh yang diperlukan untuk termoregulasi atau mempertahankan suhu tubuh. Penghematan energi itu perlu dilakukan agar ada keseimbangan antara energi yang tersimpan dalam tubuh dengan pengeluaran untuk respirasi dalam rangka menahan penurunan temperatur tubuh. Jika pada musim dingin hewan harus aktif untuk mencari makan, selain udara diluar sangat dingin, makanan yang dicari juga tidak mudah ditemukan. Dalam keadaaan itu energi yang diperlukan sangat banyak tidak seimbang dengan energi yang diperoleh. Sebaliknya pada musim panas hewan-hewan didaerah dingin mencari makan sebanyak-banyaknya sebagai cadangan makanan pada musim dingin (Dharmawan et al., 2005). 2.4.3.2 Estivasi Estivasi adalah tingkah laku untuk melakukan dormansi pada kondisi temperatur tinggi. Tingkah laku ini pada umumnya terjadi pada hewan-hewan yang hidup di daerah yang tinggi. Tingkah laku ini pada umumnya terjadi hewan-hewan yang hidup didaerah beriklim panas. Hewan-hewan yang melakukan estivasi antara lain belut dan siput air. Di indonesia belut dan siput air banyak dijumpai pada rawa atau sawah dataran rendah. Estivasi terjadi bukan hanya berkaitan degan tingginya temperatur lingkungan, melainkan juga hubungan dengan rendahnya kelembanpan udara. Tingginya temperatur dan rendahnya kelembapan mempercepat hilangnya air dari dalam tubuh. Maka dari itu, belut dan siput yang hidup di Indonesia melakukan estivasi pada musim kemarau (Dharmawan et al., 2005).



Pada musim penghujan sawah hampir setiap saat tergenang air. Dalam keadaan seperti belut dan siput air setiap hari aktif pada malam hari, dan masuk ke dalam tanah pada siang hari. Namun , jika temperatur udara tidak terlalu tinggi, pada siang hari sering dijumpai belut dan siput berkeliaran di permukaan tanah. Pada musim kemarau. Selain temperatur tinggi, sawah pada umumnya berada dalam keadaan kering. Dalam keadaan itu, belut dan siput air tidak hnay berada dalam tanah pada malam hari, tetapi boleh dikata selama musim kemarau. Siput darat banyak banyak dijumpai di pekarangan atau kebun juga melakuakn estivasi pada musim kemarau. Untuk meghindari udara yang panas dan kering siput masuk ke batu-batuan atau timbunan sampah dan berada di dalamnya selama musim kemarau. Sering kali dapat dijumpai siput yang tinggal di semak-semak. Siput biasanya membentuk epifragma untuk menutup cangkagnya.



Siput darat pada uumnya tidak memiliki penutup



cangkang seperti yang dimiliki siput air. Penutup cangkang pada siput air terbentuk dari zat kapur, keras dan permanen, dapat dibuka dan ditutup setiap saat. Epifragma merupakan lapisan tipis yang terbentuk dari lendir yang disekresikan oleh tubuh menutup cangkang tanpa dapat dibuka dan ditutup (Dharmawan et al., 2005). 2.4.3.3 Diurnal dan Nocturnal Kebanyakan hewan aktif pada siang hari, dan segian kecil ada yang aktif pada malam hari. Hewan yang aktif pada siang hari dinamakan diurnal, dan yang yang aktif di malam hari disebut nokturnal. Hewan-hewan yang bersifat nokturnal antara lain burung hantu. Burung hantu melakukan aktivitas mencari makan dan aktivitas lain hanya pada malam hari. Salah satu keistimewaan dari burung hantu adalah ketajaman mata, yang terlihat pada intensitas cahaya yang sangat rendah. Hewan-hewan dari kelompok mamalia yang bersifat nokturnal adalah kukang (primata), musang, kalelawar. Jika hewan-hewan lain seperti burung hantu kukang dan musang mempunyai mata tajam, bahkan dapat dikatakan buta. Namun kalelawar mempunyai alat yang bersifat radar yang terdapat pada sayap. Radar itu dapat menangkap getaran benda-benda yang ada disekitarnya. Untuk komunikasi dengan sesama



jenisnya, kalelawar seallu bersuara. Hewan dari kelompok serangga juga banyak yang bersifat nokturnal, antara lain walang sangit (Dharmawan et al., 2005). 2.4.3.4 Orientasi Lingkungan Hampir semua hewan mempunyai kemampuan untuk berorientasi terhadap lingkugannya sehingga dapat mengetahui posisi dan dapat menentukan arah geraknya. Orientasi dilakukan dengan menggunakan alatalat indera. Pada hewan bersel satu orientasi terhadap lingkungan dilakukan dengan indera yang berupa kemosensori. Kemosensori paramecium terletak dibagian belakang tubuhnya. Jika pada waktu bergerak tubuh bagian belakang menyentuh suatu benda, rangsangan, itu diterima oleh kemosensori dan Paramecium bergerak kearah yang berlawanan membelok ke kanan (Dharmawan et al., 2005). Pada hewan-hewan bersel banyak orientasinya dapat dilakukan dengan beberapa macam indera, antara lain peraba, pembau, pendengar dan penglihat. Respon yang paling sederhana yang dilakuan oleh hewan karena adanya rangsang-rangsang yang menyentuh inderanya adalah dengan gerakan taksis. Taksis adalah gerakan yang dilakukan untuk mendekati atau menjauhi rangsang. Gerakan mendekati rangsang disebut taksis positif dan menjauhi rangsang disebut taksis negatif. Beberapa contoh tentang taksis adalah sebagai berikut. Cacing tanah bergerak menghindar jika tubuhnya menyentuh garam. Larva lalat bergerak menjauhi sinar datang dari satu arah tertentu. Pada waktu berjalan menjauhi sinar, larva lalat itu tidak berjalan lurus, tetapi bergerak membelok ke kiri dan kekanan secara bergantian. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara kedua mata yang ada di kedua sisi kepalanya. Pada waktu kepalanya menghadap ke kiri, mata kiri terkena cahaya, cacing membelokkan kepalanya ke arah kanan. Pada waktu kepalanya menghadap ke kanan, mata kanan terkena cahaya, cacing membelokkan kepalanya ke kiri (Dharmawan et al., 2005). Spesies-spesies dari arthropoda mempunyai kemampuan orientasi lingkungan berbeda-beda. Ketam darat, misalnya: Parathelphusa bogarensis, yang banyak dijumpai disawah khusunyadi jawa, dapat menentukan arah



untuk pulang ke liang berdasarkan arah sinar matahari. Disamping itu ketam sawah tersebut juga dapat menentukan arah gerakannya dengan berorientasi pada arah gravitasi juga dimiliki oleh beberapa jenis ketam yang hidup di daerah hutan bakau. Ketam tersebut memanjat pohon bakau jika air laut pasang. Ketam yang hidup di daerah pasang-surut dapat menentukan arah laut berdasarkan bau air laut. Ketam biota dapat menentukan arah untuk pulang keliang dengan berorientasi pada bekas jejak kaki, gundukan-gundukan tanah yang ada disekitar tempat tinggalnya. Hewan-hewan serangga misalnya lebah dapat pergi kemana-kemana dan dapat pulang kembali ke rumahnya dengan berorientasi pada posisi matahari (Dharmawan et al., 2005). Hewan-hewan vertebrata dapat menentukan arah dengan menggunakan hampir seluruh inderanya. Hewan-hewan itu dapat menentukan arah dengan berorientasi pada sinar, bau, arah, angin, dan gravitasi. Hal ini dapat dipelajari dengan mudah dengan mengamati bagaimana manusia berorientasi terhadap lingkungannya. Hal yang mungkin tidak dijumpai pada manusia adalah kemampuan berorientasi pada magnet bumi. Penelitian telah menunjukkan bahwa burung yang bermigrasi dari belahan bumi sebelah utara ke belahan bumi selatan menentukan arah berdasarkan magnet bumi (Dharmawan et al., 2005). 2.4.3.5 Ototomi Ototomi adalah tingkah laku memutus bagian-bagian tubuh. Ketam darat memutuskan kakinya jika kakinya berada dalam keadaan bahaya, misalnya dipatuk oleh burung bangau. Cecak memutuskan ekornya (ototomi) jika diserang oleh hewan lain. ekor cecakyang terputus dapat tumbuh kembali. Tumbuhnya kembali bagian tubuh yang telah putus, seperti pada ekor cecak itu disebut regenerasi. Hewan ain yang mempunyai kemampuan ototomi dan regenerasi adalah Planaria (Dharmawan et al., 2005). 2.4.3.6 Adaptasi Mutual Adaptasi mutual adalah adaptasi untuk hidup bersama atau hidup berdampingan dengan individu atau spesies lain. hidup bersama ini ada yang berbentuk koperasi, simbiosis, dan lain-lain (Dharmawan et al., 2005).



2.4.3.7 Tingkah Laku Sosial Hewan-hewan ada yang hidup secara soliter dan ada yang berkelompok. Hewan bersifat soliter hidup sendiri-sendiri terpisah antara satu individu dengan individu yang lain. hewan yang berkelompok ada yang jumlahnya sedikit, dan ada yang jumlahnya banyak pada tiap kelompok. Kelompokyang anggotanya paling sedikit adalah kelompok yang hanya terdiri dari induk jantan, betina dan anak. Kelompok yang demikian ada kalanya tidak permanen, karena anaknya meisahkan diri setelah dewasa. Kelompok demikian berbentuk dalam rangka pemeliharaan anak contoh dari kelompok anggotanya yang terdiri dari anggota keluarga adalah kelompok banteng. Beberapa jenis burung juga berkelompok dalamdan anaknya. Induk rangka pemeliharaan anak. Dalam kelompok itu induk jantan membuat sarang, mencari makan dan menjaga keselamatan induk betina dan anaknya. Induk betina mengerami telur dan menghangatkan tubuh anaknya pada saat udara dingin (Dharmawan et al., 2005). Kelompok sosial yang anggotanya banyak antara lain kerbau liar. Dalam satu kelompok terdiri dari kurang lebih 25 ekor. Di dalam lkelompok individu yang paling besar biasanya menjadi pemimpin kelompok. Seperti yang terjadi pada Taman Nasional Baluran mungkin dapat diamati beberapa aspek tingkah laku kelompok pada kerbau liar. Pada musim kemarau kerbau dan hewanhewan mamalia yang lain, pergi ketempat-tempat genangan air disekitar hutan pantai. Biasanya kerbau datang sekitar pukul 21.00 mungkin dapat mengamati seekor kerbau yang yang datang sekitar sumber air. Kerbau itu berputar-putar di sekitar sumber air beberapa saat kemudia pergi. Beberapa saat saat kemudian akan datang segerombolan kerbau ke sumber air dan masing-masing individu meminum air sumber itu. Dalam hal ini tampak kerbau yang menjadi pimpinan bertanggung jawab atas keselamatankelompok dengan mengadakan orientasi lebih dahulu terhadap kondisi di sekitar sumber airyang akan dikunjungi. Pada musim kemarau. Bisanya semua jenis hewan hidup di lingkungan yang sama, seperti di Taman Nasional Baluran, menggunakan sumber air amat terbatas. Aspek tingkah laku lain dapat diamati ketika kerbau sedang merumput di padang rumput. Jika kelompok



kerbau mendekati, kelompok itu merapat, hewan-hewan dewasa berada di tepi dan yang lebih kecil berada di tengah-tengah. Hewan yang berada di tepi menunjukkan sikap mempertahankan diri (Dharmawan et al., 2005). Kelompok sosial juga ada pada hewan-hewan serangga, misalnya lebah dan



ani-anai.



Kelompok



sosial



pada



kedua



jenis



serangga



itu



terorganisasilebih sistematik. Diantara anggota kelompok ada satu hewan yang menjadi ratu yang tugasnya hanya bertelur. Anggota yang lain berperan sebagai tentara yang bertuga menjaga kemanan kelompok, dan anggota lainnya lagi mempunyai fungsi untuk mencari makan bagi seluruh anggota kelompok (Dharmawan et al., 2005). 2.4.3.8 Tingkah Laku Perkembangbiakan Tingkah laku kawin dapat dipandang sebagai suatu bentuk adaptasi, karena hewan-hewan tertentu hanya berkembang biak pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, beberapa jenis burung yang hidup di belahan bumi utara di daerah yang beriklim dingin bertelut dan memlihara anknya pada musim panas di belahan bumi selatan. Burung-burung itu bermigrasi ke selatan pada saat utara berlangsung musim dingin. Jika kegiatan bertelur dan memlihara anak itu dilakukan di habitat aslinya induk-induk burung akan keslitan mencari makanan untuk anak-anaknya, karena pada musim dingin tumbuhtumbuhan menggugurkan daunnya. Tingkah laku perkembangbikan seperti ini sangat penting untuk kelestarian anak-anak yang dilahirkan. Hewan-hewan lain yang ,elakukan perkembangbiakan di tempat lain dari habitatnya, antara lain ikan salmon dan ketam air tawar. Ikan salmon hidup di laur tetapi melakukan perkawinan dan bertelur di hulu sungai. Ketam air tawar pergi ke laut pergi untuk bertelur (Dharmawan et al., 2005). 2.4.3.9 Tingkah Laku Berkelahi Tingkah



laku



berkelahi



merupakan



adaptasi



hewan



untuk



mempertahankan hidupnya dari serangan hewan lain. serangan hewan lain dapat berasal dari individu sesama spesies dan individu dari spesies lain. tingkah laku berkelahi ada yang menyerang dan ada yang mempertahankan diri. Tingkah laku menyerang pada umumnya dilakukan oleh hewan predator, dan tingkah laku mempertahankan diri pada umumnya dilakukan oleh hewan



mangsa. Diantara sesama spesies perkelahian dapat terjadi persaingan, misalnya untuk memperebutkan makanan, teritorial, dan pasangan kawin. Tingkah laku perkelahian dinyatakan sebagai adaptasi karena, pola-pola tingkah laku bersifat khas pada satu jenis hewan yaitu, dalam cara menyerang, cara mempertahankan diri. Misalnya burung elang menyerang dengan cara meyambar, harimau menyerang dengan cara menerkan, banteng menyerang dengan menanduk. Sifat adaptasi tingkah laku berkelahi lebih nyata jika dihubungkan dengan alat-alat yang dimiliki oleh hewab untk berkelahi, misalnya kerbau dengan tanduk, ayam bertaji, dan ular berbisa (beracun) (Dharmawan et al., 2005). 2.4.3.10



Tingkah Laku Refleks



Tingkah laku hewan dapat dibedakan menjadi tingkah laku refleks, insting dan belajar. Sebagai gambaran bahwa kecenderungan untuk mengumpulkan uang pada manusia ada lah suatu insting bukan refleks. Gerakan taksis pada hewan avertebrata pada umumnya gerakan reflek. Misalkan pada wereng cokelat mendekati sinar lampu pada malam hari, gerakan larva lalat menjauhi sumber cahaya pada lingkungan yang gela. Tingkah laku refleks tampak pada gerakan-gerakan tubuh yang tidak dikendalikan oleh oleh sistem saraf sadar. Gerakan terjadi secara spontan sebagai tanggapan terhadap rangsang yang mengenai tubuh (Dharmawan et al., 2005). Pavlov membedakan gerakan refleks menjadi gerakan refleks yang bersifat kondisional dan gerakan refleks yang tidak kondisional. Dengan melakukan percobaan pada anjing. Dengan menyodorkan makanan yang merangsang selera makan tanpa memberi kesempatan pada anjing untuk memakannya. Bersamaan dengan penyodoran makanan pavlov membunyikan bel. Anjing mengeluarkan air liur sebagai respon terhadap rangsangan tersebut. Penyodoran makanan dan membunikan bel dilakukan berkali-kali. Suatu ketika ia membunyikan bel tanpa menyodorkan makanan, ternyata anjing mengeluarkan air liur. Keluarnya air liur ketika mendengar bel tanpa dibarengi dengan makanan itu disebut tingkah laku refleks kondisional. Dalam kehidupan sehari-hari setiap anjing akan mengeluarkan air liur jika



disosorkan makanan yang merangsang, meskipun tidak dibarengi dengan bel. Tingkah laku itu adalah refleks tidak kondisional (Dharmawan et al., 2005). 2.4.3.11



Tingkah Laku Insting



Gerakan insting adalah gerakan-gerakan yang tidak memerlukan pengalaman khusus. Gerakan itu pada umumnya bersifat bawaan, dan pola gerakannya sama pada semua individu dalam satu spesies. Pemunculan gerakan terkendali oleh kekuatan dari dalam tubuh, atau dikendalikan oleh sistem saraf pusat. Pola suatu gerakan insting biasanya sama antara yang terjadi di lapangan dengan yang terjaid di dlaboratorium. Contoh yang sangat menarik dan merupakan kejadian yang mengherankan adalah sebagai berikut. 1. Anak bebek yang baru menetas mengikuti hewab aoa yang dijumpai pertama kali. Jika yang dijumpai pertama adalah induk ayam yang mengerami anak itik akan mengikuti ayam tersebut kemanapun pergi, demikian pula jika yang dijumpai pertama adalah manusia. 2. Burung robin menyerang benda-benda yang berbentuk burung. Robin jantan bersyap merah yang digantung. Tingkah laku seperti itu disebut tingkah laku stereotip, artinya hewan beraksi terhadap ciri-ciri khusus organisme lain atau lingkungannya. Contoh gerakan insting yang sering ditemui di alam adalah anak hewan mamalia yang baru lahir mencari dan mengulum punting susu induknya dan induknya yang baru pertama kali melahirkan juga mengambil posisi atau melakukan gerakan tertentu agar anaknya yang baru lahir menyusu putinya. Anjing yang menyambut pemiliknya sambil menggerak-gerakkan ejkornya ketika pemiliknya datang gerakan ini juga disebut insting (Dharmawan et al., 2005). 2.4.3.12



Tingkah Laku Belajar



Belajar adalah modifikasi tingkah laku yang relative permanen dengan terbentuk melalui latihan dan pengalaman(Drickamer, 1982) belajar merupakan proses dalam sistem syaraf pusat yang menyebabkan terjadinya perubahan mekanisme tingkah laku insting sebagai



tanggapan terhadap



rangsangan dari luar. Sementara W,H Thorpe (1963) berpendapat bahwa belajar merupakan manifestasi perubahan tingkah laku yang bersifat adaptif



sebagai akibat adanya pengalaman. Pola tingkah laku belajar dikendalikan oleh faktor internal yang disebut motivasi. Tingkah laku dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu habituasi, trial and erorr, pemahaman dan pelajaran laten. 1. Habituasi Habituasi adalah suatu penurunan amplitude dan probabilitas suatu respons secara gradual sebagai akibat dari hadirnya stimulus tertentu secara berulang-berulang (kendel 1976) . penurunan respon itu bersifat persisten dan tidak diikuti oleh berbagai macam reinforcemen atau penguatan. Tingkah laku yang bersifat habituasi antara lain adalah tingkah laku: melahirkan diri, menyerang, seksual dan frekuensi ejakulasi (Dharmawan et al., 2005). Contoh-contoh tingkah laku habituasi adalah sebagai berikut. Ayam terkejut dan melahirkan diri ketika melihat bayangan daun melayang. Daun itu disosiasikan sebagai burung elang yang menyambar. Namun, ketika tahu bahwa daun tidak mengejar dan tidak menyerang, ayam tidak melarikan diri bila ada daun yang gugur lagi. Habituasi dapat dipelajari di laboratorium, misalnya dengan menggunakan cacing tanah sebagai hewan coba. Cacing tanah dimasukkan ke dalam plastik sedang melingkar. Batang plastik dibuat berlubang-lubang. Kepala cacing dibunyikan bel berulang-ulang dalam waktu pendek. Pada deringan pertama cacing memberikan respon berupa gerakan berbalik arah, mungkin demikian juga pada deringan yang kedua dan ketiga. Namun pada deringan-deringan berikutnya cacing tidak berbalik arah ketika berjalan (Dharmawan et al., 2005). Tingkah laku habituasi mempunyai beberapa fungsi adaptif a.



Mengurangi respon bertahan atau melarikan diri dari rangsangan yang mengejutkan dari predator yang mendekat.



b.



Mengenal hewan-hewan lain yang ada di daerah teritorial



c.



Menstandartkan tingkah laku sosial antara individu-individu dalam satu spesies dan mempertajam rspons untuk stimulus syarat.



2. Trial and Error Trial and error adalah tingkah laku yang tampak bila seekor hewan menampilkan tingkah laku appetitive atau searching yang sering kali diperkuat oleh kejadian-kejadian yang muncul secara tidak terencana. Bentuk tingkah laku ini ditunjukkan oleh Skinner melalui percobaan pada tikus yang diletakkan dalam kotak yang dikenal dengan kotan skinner. Kotak itu dilengkapi kotak-kotak kecil yang berisi makanan. Kotak itu dapat dibuka dengan pengungkit yang terletak didalam kotak besar. Jika pengungkint digerakkan kotak kecil terbuka dan butir makanan keluar dari kotak kecil. Tikus itu mencoba menyentuh benda-benda yang ada dalam kotak. Secara tidak sengaja tikus itu juga menyentuh pengungkit kotak kecil, kotak kecil itu terbuka dan makanan jatuh dekat tikus, tikus memakan makanan itu, ketika tikus menyentuh pengungkit berulangulang, makanan keluar lagi. Keluarnya makanan merangsang tikus untuk mengulang perbuatannya menyentuh pengungki. Sebagai hasil percobaan, skinner berkesimpulan bahwa tingkah laku tersebut meripakan tingkah laku yang dikendalikan kesalhan, tingkah laku tersebut disebut tingkah laku operan (Slavin 1994). Makanan yang keluar dari kotak kecil karena pengungkit yang disentuh merupakan penguatan (reinforcement) bagi munculnya tingkah laku operan (Dharmawan et al., 2005). 3. Belajar Pemahaman Belajar pemahaman (insigh learning) adalah tingkah laku yang terbentuk melalui asosiasi kejadian-kejadian atau kegiatan-kegiatan yang telah dipelajari sebelumnya. Tingkah laku yang terbentuk adalah tingkah laku yang dapat memecahkan masalah baru yang sedang dihadapi. Pemahaman pada hewan ditunjukkan oleh Koliler (1982) dengan menggunakan simpanse deasukkan ke dalam ruangan, diruangan itu digantungkan sebuah pisang pada langit-langit, dan disediakan sebatang tongkat. Simpanse tidak dapt mengambil pisang dengan tangan. Ketika melihat tongkat mengambil dan menggunakannya untuk menjolok pisang. Berdasarkan



fakta



tersebut



disimpulkan



bahwa



simpanse



dapat



mengasosiasikan oanjang tongkat dengan tinggi pisang. Berdasarkan



asosiasinya simpanse menampilkan tingkah laku untuk memecahkan masalah (kesulkitan) untuk mengambil pisang (Dharmawan et al., 2005). 4. Pelajaran Laten Belajar laten (latent learning) yaitu pembuatan asosiasi tanpa adanya penguatan atau tanpa adanya bukti dari perbuatan yang terbentuk pada saat kegiatan belajar. Kegiatan belajar itu muncul sebagai akibat dorongan atau motivasi dari dalam, sehingga tidak perlu ada penguatan yang berasal dari akibat atau hasil dari kegiatan belajar yang pernah dialami. Sifat belajar seperti ini mungkin lebih banyak terjadi pada manusia. Manusia mempunyai semua sifat belajar yang disebutkan diatas yaitu refleks, insting, trial and error, pemahaman, selain belajar laten (Dharmawan et al., 2005). 2.5 Adaptasi Pada hewan Migrasi Proses migrasi pada ikan merupakan respons fisiologis terhadap input internal maupun eksternal yang diterima (Lucas & Baras, 2001). Input yang diterima oleh ikan akan menghasilkan tanggapan atau perubahan pada perilaku dan morfologi. Tanggapan ikan terhadap suatu rangsangan yang diterima bisa berbeda walaupun yang diterima sama, hal ini disebabkan oleh perkembangan fisiologi ikan dan motivasi dalam merespons suatu rangsangan. Peran hormon menjadi sangat penting dalam mempengaruhi respons ikan, berikut ini adalah faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi ikan melakukan migrasi (Gambar 2.3).



Selama proses migrasi ikan akan melakukan berbagai upaya atau strategi untuk mempertahankan hidup di antaranya adalah mengatur tekanan osmotik (osmoregulasi) dan metabolisme. Pada hewan-hewan yang mengalami metamorfosa dari embrio, larva, yuwana, dan dewasa akan memasuki lingkungan yang berbeda pada setiap stadianya sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan fisiologi badannya. Perubahan selama fase perkembangan (development) dapat terjadi secara permanen dari generasi ke generasi (development plasticity), sekali lagi perubahan fenotip tersebut merupakan ekspresi dari gen-gen yang berbeda juga. Pada hewan akuatik faktor lingkungan seperti, suhu, salinitas, tekanan, fotoperiod, pH, kecerahan, dan kandungan oksigen dapat memacu munculnya fenotipik plastisity, karena ikan merupakan hewan polikioterm (suhu badan mengikuti suhu lingkungan). Di samping itu, faktor biotik seperti predator, kelimpahan populasi, perkembangan fisiologi, juga memacu munculnya phenotipic plastisity. Faktor-faktor lingkungan dapat menyebabkan berbagai jenis reaksi fenotip yang berbeda (Willmer, 2000). Pada saat menghadapi perubahan lingkungan maka hewan umumnya akan melakukan berbagai reaksi mulai dari yang paling sedikit mengeluarkan energi yaitu menghindar dari perubahan lingkungan tersebut. Beberapa strategi yang dilakukan oleh hewan pada saat menghadapi perubahan lingkungan yaitu;



1.



Avoiders, mekanisme badan untuk menghindar dari perubahan atau tekanan lingkungan



2.



Conformer, merubah mekanisme internal badan mengikuti perubahan lingkungan (eksternal), umumnya conformer dilakukan tidak untuk menjaga homeostatik badan secara keseluruhan



3.



Regulator, menjaga beberapa mekanisme atau komponen badan yang hampir sama dengan kondisi lingkungan dan Sebuah istilah yang umum dikenal pada proses adaptasi adalah konsep



plastisity. Kelenturan fenotipik (phenotypic plasticity) adalah variasi ekspresi fenotip suatu genotip sebagai respons terhadap kondisi lingkungan tertentu sehingga dapat meningkatkan kemampuan individu untuk tetap bertahan hidup dan berkembang biak. Pengontrolan variasi fenotip ini dilakukan secara genetik (level gene) (Sultan, 1987). Hewan yang mampu menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan lingkungan dan mampu mengeskpresikan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi, dan tingkah laku, maka hewan tersebut dikatakan memiliki kelenturan fenotipik (Sultan, 1987). Kelenturan fenotipik ini mencerminkan kepekaan fenotip terhadap perubahan lingkungan (Noor, 1996). Menurut Taylor & Aarssen (l989), kelenturan fenotipik sebagai suatu variasi ekspresi fenotip suatu genotip merupakan respons terhadap kondisi lingkungan tertentu dan dapat meningkatkan kemampuan individu untuk tetap bertahan hidup dan berproduksi pada lingkungan tersebut. Prinsip plastisity telah menjadi kesepakatan pada para ilmuwan sebagai salah satu upaya untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Namun bagaimana cara mengukur plastisity masih terus berkembang hingga saat ini. Di antara kendala dalam pengukuran satu karakter dari plastisity adalah apakah karakter tersebut berdiri sendiri atau merupakan asosiasi dari berbagai gen. Salah satu pengukuran plastisity yang umum dilakukan adalah dengan mengukur fenotip individu dalam dua lingkungan yang berbeda tanpa menuntut keberadaan gen-gen pengontrol plastisity. Dengan menempatkan individu pada lingkungan berbeda maka hipotesa plastisity dapat dibangun. Pada hewan akuatik yang melakukan aktivitas ruaya/migrasi fenomena plastisity menjadi sangat penting untuk menyukseskan migrasi tersebut.



Mengingat migrasi merupakan aktivitas yang dilakukan dari generasi ke generasi maka dapat diduga gen yang mengontrol kegiatan migrasi akan diturunkan kepada generasi berikutnya. Untuk jangka panjang jika gen-gen yang mengontrol plastisity pada hewan migran dapat dikenali, maka pemeliharaan hewan tersebut dapat dilakukan di habitat yang diinginkan manusia. 2.5.1 Fenomena Plastisity Pada Ikan Migrasi Fenotipik plastisity pada ikan migrasi dapat dilihat dari perubahanperubahan yang terjadi pada morfologi dan fisiologi ikan selama proses migrasi. Perubahan lingkungan selama proses migrasi akan diikuti oleh perubahan morfologi dan fisiologi ikan sebagai upaya adaptasi. Pada ikan sidat perubahan morfologi terlihat mulai dari fase lepthochepalus hingga fase silver eel, meliputi pigmentasi, morfologi, dan perkembangan organ-organ tertentu. Sedangkan perubahan fisiologi umumnya terjadi pada saat memasuki fase pemijahan atau perkembangan organ reproduksi dan pada saat memasuki perairan yang memiliki karakter fisika dan kimia berbeda. Berikut ini merupakan perubahan-perubahan yang dialami oleh ikan sidat selama proses migrasi, baik perubahan morfologi maupun perubahan fisika (Fahmi, 2010). 2.5.1.1 Adaptasi Morfologi Adaptasi merupakan proses penyesuaian organisme, struktur organisme, tingkah laku untuk meningkatkan fitness (kemampuan hidup) sehingga bisa berkembang biak. Ikan sidat memiliki berbagai macam strategi beradaptasi terhadap morfologinya. Di antara adaptasi morfologi yang ada pada ikan sidat adalah bentuk badan, warna kulit, organ pernafasan, organ sensorik, mata, dan lain-lain. Adaptasi bentuk badan ikan sidat pertama kali mulai terlihat pada fase leptocephalus, yaitu bentuk badan yang pipih menyerupai daun. Hal ini sangat penting dimiliki oleh ikan yang akan melakukan migrasi secara pasif (pasif transported) mengikuti pola arus. Di samping bentuk badan yang pipih lapthocephalus juga memiliki warna badan yang transparan sebagai upaya adaptasi terhadap serangan predator. Pada saat memasuki perairan tawar ikan sidat mulai mengalami metamorfosis yaitu bentuk badan berubah menjadi oval dan panjang. Bentuk badan ini sangat memudahkan ikan untuk bergerak/ berenang dengan cepat saat memasuki muara sungai, dan melakukan tingkah laku meliang



dalam lumpur. Di samping itu, kelenturan badan berperan dalam membantu ikan sidat bersembunyi dibalik batu untuk menghindari serangan predator. Pigmetasi ikan sidat akan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan pada tahap larva ikan tidak memiliki warna atau transparan, sehingga memudahkan larva mengindar dari serangan predator. Seiring dengan pertambahan ukuran badan pigmen ikan sidat mulai muncul, hingga ukuran matang gonad warna badan ikan akan semakin terang untuk mengikat pasangan. Ikan sidat mempunyai bagian badan yang sensitif terhadap getaran terutama di bagian lateral. Bagian badan yang sensitif ini sangat membantu ikan sidat dalam bergerak karena kemampuan penglihatannya kurang baik. Di samping itu, ikan sidat juga memiliki organ penciuman yang sangat baik untuk membantu mengatasi kelemahan penglihatannya. Organ pernafasan sidat terdiri atas insang dan kulit. Lamela-lamela yang ada dalam insang memberi kemampuan padanya untuk mengambil oksigen langsung dari udara, selain oksigen yang terlarut dalam air. Mata ikan sidat akan beradaptasi saat memasukan perairan laut dalam. Pembesaran mata ikan sidat mencapai empat kali lipat ukuran normal, hal ini dilakukan untuk meningkatan kemampuan melihat karena lingkungan perairannya sudah mulai gelap. 2.5.1.2 Adaptasi Fisiologi Pada saat ikan sidat menyiapkan diri untuk memijah dan bermigrasi dari perairan tawar menuju laut dalam yang jaraknya sekitar 3.000 km2 terjadi perubahan pada badan yaitu diameter mata membesar. Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap determinasi kelamin. Perkembangan gonad sangat terkait dengan ketersediaan pakan, selama melakukan migrasi ikan sidat tidak makan sehingga mempengaruhi energi untuk reproduksi. Periode pencahayaan dan musim sangat berpengaruh pada kematangan gonad ikan sidat sub tropis. Pengaruh periode cahaya dan salinitas terhadap perkembangan gonad ikan sidat mempengaruhi perkembangan ovarium ikan sidat pada fase yellow eel. Pencahayaan yang diperpanjang memacu perkembangan ovarium ikan sidat dalam lingkungan air tawar. Perkembangan ovarium meningkat pada suhu yang lebih tinggi berkaitan



Adaptasi fisiologis, juga dilakukan oleh ikan sidat pada saat menghadapi kondisi lingkungan yang kurang baik. Secara umum, ikan sidat lebih tahan terhadap konsentrasi oksigen yang rendah jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Ikan sidat dalam beberapa stadia hidupnya akan melakukan adaptasi terhadap salinitas. Stadia glass eel (larva) lebih menyukai air laut dan bersifat osmoregulator kuat. Sedangkan elver (benih sidat) yang sudah mengalami pigmentasi penuh lebih menyukasi perairan tawar. Salinitas media pemeliharaan juga mempengaruhi respons ikan sidat terhadap tekanan lingkungan.



BAB III PENUTUP



3.2 Simpulan 1.



Adaptasi umumnya diartikan sebagai penyesuaian makhluk hidup terhadap lingkungannya. Adaptasi menunjukkan kesesuaian organisme dengan lingkungannya yang merupakan produk masa lalu. Organisme yang ada kini dapat hidup pada lingkungannya karena kondisi lingkungan itu secara kebetulan sama dengan kondisi lingkungan nenek moyangnya.



2.



Kemampuan hewan dalam beradaptasi dengan lingkungannya berbedabeda yang dipengaruhi oleh, sifat genetik, kemampuan berkembang biak, frekwensi perubahan lingkungan. Kemampuan hewan untuk beradaptasi terbatas oleh ketahanan hidup (survival), perbedaan kemampuan setiap jenis organisme dan tumpang tindih dengan kondisi sebelumnya sehingga adaptasi merupakan proses yang lambat, melibatkan seluruh kegiatan hidup



3.



Jenis-jenis adaptasi antara lain adaptasi morfologi atau struktural, adaptasi fisiologi, (adaptasi tingkah laku), hibernasi, estivasi, diurnal dan nokturnal, orientasi terhadap lingkungan, ototomi, adaptasi mutual tingkah laku sosial, tingkah laku perkembangbiakan, tingkah laku refleks, tingkah laku insting, tingkah laku belajar.



DAFTAR RUJUKAN



Dharmawan, A., Tuarita, H. Ibrohim, Suwono, H., dan Susanto, P. 2005. Ekologi Hewan. Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press). Fahmi, M.R. 2010. Phenotypic Plastisity Kunci Sukses Adaptasi Ikan Migrasi: Studi Kasus Ikan Sidat (Anguilla sp.). Prosiding Forum Inovasi teknologi Akuakultur. Golding, Y.C., & M. Edmunds. 2000. Behavioural mimicry of honeybees (Apis mellifera) by droneflies (Diptera: Syrphidae: Eristalis spp.). Proceedings Biological Sciences, 267: 903-909. Noor, R.R. 1987. Genetika Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta. Sultan, S.E. 1987. Evolutionary implication of phenotypic plasticity in plants. Evol. Bio., 20: 127–178. Taniguchi, K., M. Maruyama, T. Ichikawa, & F. Ito. 2005. A case of Batesian mimicry between a myrmecophilous staphylinid beetle, Pella comes, and its host ant, Lasius (Dendrolasius) spathepus: an experiment using the Japanese treefrog, Hyla japonica as a real predator. Insectes Sociaux 52: 320-322. Taylor, D.R. & Aarssen, L.W. 1988. An Interpretation of Phenotypic Plasticity in Agropyron repens (Gramminae). Amer. J. Bot., 75(3): 401–413. Willmer, P., Stone, G., & Jhonston, I. 2000. Enviromental Physioplogy of Animal. London: Blackwell Science.