After Midnight 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

After Midnight: I’ve Met You before Midnight



“Frederick Wentworth, huh?” Bukan hanya suara Malio yang mengejutkan Sera, tapi naungan tubuh Malio dari belakang tubuhnya yang membuat Sera harus menahan napas, apalagi ketika dia merasa terkurung karena kedua tangan Malio mengunci dirinya di kanan kiri meja. “Itu ending-nya–”



“Nggak usah spoiler.” Sera memicing dan menutup



novelnya, dia menengadahkan kepala agar bisa menatap wajah Malio yang tepat di atas kepalanya. Laki-laki itu tertawa kecil dan mundur, kemudian duduk di samping Sera setelah meletakkan ranselnya di kursi perpustakaan. “Udah fan meeting-nya?” sindir Sera sambil berdiri, dia meninggalkan meja dan memilih untuk menuju loronglorong buku yang kosong, lalu duduk di antara dua rak buku.



Malio mengikuti sambil tertawa tanpa suara,



sejujurnya bukan karena sekarang mereka ada di perpustakaan jadi laki-laki itu harus tetap membuat ruangan itu sunyi, dia memang pura-pura tertawa agar Sera semakin jengkel. Love language Malio sepertinya berubah, dari act of service dan quality time menjadi bikin kesel. “Nggak usah ketawa deh kamu.” Sera menepuk pipi Malio pelan. Omong-omong soal fan meeting, sebelum 2



Sera duduk di perpustakaan dan membaca buku karya Jane Austen 20 menit yang lalu, mereka tadinya ada di kantin, menikmati satu piring siomay untuk berdua karena Sera bilang dia kenyang—tapi saat Malio menyantap makanan itu dia jadi tergoda. Semua berjalan lancar sampai di suapan keempat, tiba-tiba datanglah segerombolan adik tingkat mendekati meja dan minta berfoto pada si atlet taekwondo yang pernah diundang ke istana negara itu.



Sera jengah, apalagi saat adik-adik tingkat yang



manis itu justru memintanya untuk memotret mereka bersama Malio satu per satu. Lo pikir gue tukang foto? Gue ceweknya, gerutu Sera di dalam hati. Dia hanya bertahan di foto ketiga, setelah itu kabur meninggalkan Malio ke perpustakaan dan tara! 20 menit kemudian Malio baru menyusulnya, padahal dia pikir Malio akan langsung menyudahi sesi meet and greet-nya dan langsung menyusul. “Sana fan meeting lagi, jangan ganggu, aku mau baca buku.” Sera meluruskan kaki dan duduk bersandar di rak buku yang kokoh, dia berusaha mengabaikan Malio yang sekarang cengengesan. Laki-laki itu tidak menjawab, justru menggeser tubuhnya agar bisa semakin dekat dengan Sera yang sekarang sudah kembali larut dalam 3



buku. Malio tak bersuara, dia justru hanya diam dan dengan perlahan merebahkan diri, meletakkan kepalanya di paha Sera, lalu memejamkan mata.



Suasana perpustakaan siang ini sepi, kebanyakan



mahasiswa sedang ada kelas di jam-jam ini. Malio dan Sera duduk di tengah-tengah rak buku dan hanya ada mereka berdua, tidak ada siapa pun lagi di sana selain penjaga perpustakaan yang ada di lantai satu. Sera merasakan pahanya memberat dan suara napas Malio jadi teratur, dia tak bisa lagi fokus dengan rentetan kalimat puitis yang ditulis oleh Jane Austen, dia justru terpaku menatap mata Malio yang tertutup dengan damai.



Laki-laki ini lebih indah dari sebuah puisi, pikir



Sera. Tangannya terangkat untuk menyisir rambut Malio yang belum dipotong selama 4 bulan terakhir sehingga cukup gondrong dan mulai menutupi dahinya. Tanpa disadari, Sera tersenyum tipis, bukunya dia letakkan di samping dan dia lebih senang menatap wajah damai Malio yang tertidur.



Sera percaya bahwa orang yang tepat akan datang



di waktu yang sama tepatnya. Tapi dia sering menerkanerka akan jadi seperti apa hidupnya jika dia bertemu dengan Malio sejak dulu. Mungkinkah jauh lebih baik jika dia dan Malio bertemu ketika mereka masih duduk di 4



bangku SMA? Atau setidaknya sejak masa-masa mereka awal masuk kampus. Sera rasa akan sangat menyenangkan jika mereka bertemu sejak dulu. Mungkin kesedihannya berkurang satu hari lebih cepat. Menit demi menit Sera lewati dalam diam, entah kenapa duduk tak melakukan apa pun bersama Malio yang tertidur seperti ini sama sekali tidak membuat dia bosan. Sera bahkan yakin jika dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menatap kekasihnya yang tertidur dengan pulas. Jari-jari Sera yang kurus terus bermain di rambut Malio, menyisirnya lembut tapi rupanya bisa membuat Malio membuka matanya. “Jam berapa? Aku tidur berapa lama?” Malio bertanya dengan suara serak sambil matanya mengerjap pelan, Sera rasa laki-laki ini benar-benar mengantuk.



“Udah jam 4, kamu tidur dua jam.”







Mata Malio membulat. “Serius, Ra? Perasaan baru



merem.”



“Mhm, beneran. Bangun dong, Mas Aliolio,



pahaku kram ditindih kamu dua jam.” Sera bercanda, tapi Malio benar-benar menegakkan tubuh dan mengusap wajah dengan asal, dia bahkan menguap sambil merogoh ponselnya di saku celana. 5







Malio melihat jam. “Bohong aja kamu, Mbak Cela,”



ucapnya dongkol, ternyata dia baru memejamkan mata selama 15 menit. Tidurnya pun belum pulas dan masih awang-awangan. Sera justru tertawa puas melihat reaksi Malio, lagi pula kalau mau tidur seharusnya Malio pulang, bukan tiduran di pahanya. “Ngantuk ya kamu? Ya udah, ayo pulang.” Ajakan Sera dibalas dengan gelengan oleh Malio, laki-laki itu bilang jika setelah ini mereka harus ke toko alat-alat musik di Jalan Pakuningratan, sebuah toko yang menjual alat-alat musik di dekat kampus mereka. “Mau ngapain?” Sera bertanya, kemudian Malio bilang jika stik drum milik Marshal patah dan ayahnya menyuruh Malio yang membelikan.



“Diana Musik, kan? Aku dulu kalo beli alat-alat



musik di situ tau, Li. Aku beli gitar buat Richard juga di situ.” Antara sadar dan tidak sadar Sera berkata seperti itu, perempuan itu baru merasa ada sesuatu yang salah dengan kalimatnya ketika Malio hanya diam dan tak memberikan respons. “E-eh hehe bukan maksudnya flashback ya Aliolio, maksudnya aku—”



“Iya iya ngerti, kenapa panik sih?” Malio tertawa 6



dan mencubit pipi Sera. “Emang lengkap sih di situ, tapi tadi kamu bilang kamu beliin Richard gitar di situ?” Entah kenapa Malio penasaran dengan cerita itu, dia menggeser tubuhnya untuk duduk berselonjor di samping Sera. “Kok sweet banget sih kamu beliin dia gitar?” ledek Malio iseng. Anehnya Malio tidak cemburu, justru lucu membayangkan Sera yang bucin pada Richard saat mereka masih bersama dulu.



“Iya dulu aku nabung mau beliin gitar impiannya



Richard, gitarnya warna putih krem gitu. Terus pas mau aku beli, uang aku kurang jadinya cuma bisa beli yang second dan yang biasa, terus kamu tau nggak?” Nada suara Sera meninggi dan dia menoleh menatap Malio. “Gitar itu dibeli orang, aku sedih banget waktu ada mbakmbak sama mas-mas beli gitar itu huhuhu. Itu gitar yang aku mau beliin buat Richard sejak dua bulan sebelumnya. Tapi kamu jangan salah paham, waktu itu aku sedihnya, bukan sekarang. Sekarang kan–”



“Bentar, gitarnya merk Gibson?” tanya Malio



memotong pernyataan Sera.



“Iya deh kayaknya Gibson yang putih, itu bisa



custom namanya juga.”



“Bentar.” Malio membuka ponselnya beberapa 7



saat, laki-laki itu seperti sedang mencari sesuatu di ponselnya. Ketika Sera bertanya dengan penasaran, Malio tak menjawab dan masih fokus mencari-cari sesuatu di ponselnya. “Ini?” Malio menunjukan sebuah foto laki-laki dengan gitar putih di pangkuannya, itu bukan Malio dan Sera tidak mengenalnya, tapi Sera mengenali gitar itu, sebuah gitar yang Richard inginkan dan gitar yang Sera juga idam-idamkan.



“Kayaknya iya deh, itu siapa, Li?”







Wajah Malio langsung memucat, dia menatap Sera



dengan tatapan tak percaya. “Kenapa sih, Li? Itu siapa?” Sera mengguncang lengan Malio yang masih memasang wajah tak percaya. “Apa, itu siapa?”



“Mbak-mbak sama mas-mas yang kamu bilang itu,



aku sama Zara, Sera.” *** 15 tahun gue kenal sama Zara, nggak pernah sekalipun dia ngasih gue hadiah ulang tahun semahal benda yang dia belikan untuk Milan. Laki-laki asing yang masuk ke kehidupan kita dan mengubah semuanya. Terus terang, 8



gue nggak bisa nahan rasa cemburu di dada waktu gue berdiri di belakang Zara yang masih sibuk memilih gitar hadiah ulang tahun untuk Milan. Bukannya gue ingin dibelikan sesuatu yang mahal sama Zara, tapi gue ngerasa ini nggak adil. Zara, Milan dan gue saling mengenal sejak enam tahun yang lalu waktu kami duduk di bangku SMP, tapi Zara bisa ngasih gitar seharga 3,5 juta itu untuk Milan–laki–laki yang baru 6 tahun dia kenal. Gue nggak cemburu sama nominal 3,5 juta itu, gue cemburu sama Zara yang setiap hari menabung demi mengumpulkan uang itu untuk Milan. Gue cemburu, Ra. Sedangkan selama 15 tahun pertemanan kita, hadiah lo selalu barangbarang yang bisa dengan mudah lo dapetin. Bukannya gue nggak bersyukur, tapi gue juga mau dikasih sesuatu dari dia, yang dianya sendiri juga harus berusaha keras buat dapetin itu.



“Menurut kamu bagus yang putih atau cokelat



yang itu, Li?” Zara menatap gue dengan bola matanya yang berbinar, ada cinta di sana, cinta yang sialnya bukan untuk gue tapi untuk Milan. Gue alihkan mata gue dari wajahnya ke gitar-gitar yang menggantung di tembok. Gue tatap dengan teliti gitar-gitar itu, memilih mana yang paling bagus dan mana yang paling jelek, dan gue akan 9



merekomendasikan gitar yang paling jelek. Biarin aja Milan pake gitar yang buluk.



“Yang



cokelat



aja,



putih norak,” sahut gue pada akhirnya.



“Iyakah?” Gue bisa lihat Zara mengangguk-



angguk, dia masih berpikir sejenak sampai 5 menit kemudian, lalu tiba-tiba berkata pada si pemilik toko alat musik ini. “Mas, aku ambil yang putih.”



Gue tercenung, loh loh kenapa yang diambil justru



yang putih?



“Kok yang putih sih, Ra? Kan aku bilang bagusan



yang cokelat buat dia.”



“Selera kamu sama selera dia itu berlawanan, kalo



kamu suka sesuatu, pasti Milan nggak suka, begitu juga sebaliknya. Jadi kalo kamu lebih suka yang putih, pasti Milan sukanya yang cokelat.” Zara tersenyum saat dia berujar begitu. Gue mencibir di dalam hati, bullshit, selera kita sama, sama-sama suka lo, Azzara.



Pemilik toko langsung meraih gitar itu, dibawa



dari tembok ke etalase depan untuk dicek lagi sama Zara. Gue bener-bener kayak orang dongo siang itu, cuma bisa ngikutin Zara sambil sibuk meredam rasa cemburu sedangkan Zara benar-benar bersemangat, dia 10



berbincang dengan pemilik toko dan bertanya-tanya seputar gitar dan cara merawatnya. Rasanya nggak sanggup untuk terus melihat wajah excited dia, makanya gue alihin tatapan ke penjuru toko musik dan berusaha untuk nggak mempedulikan Zara. Gue bersedekap dada dan mendekati etalase yang lain, sedikit menjauh dari Zara sampai akhirnya gue dengar pintu toko ini dibuka dan ada cewek masuk–yang gue tebak seumuran sama gue dan Zara–dia mendekati pemilik toko yang masih berbincang dengan Zara.



“Eh… Ini gitarnya mau dibeli, Mbak?”







“Hehe iya, Mbak,”







“Aaaaah ya ampun, itu gitar impian saya, Mbak,”







“Err haha iyakah? Mbaknya mau beli ini?”







“Nggak sih hehe, uang saya nggak cukup buat beli



itu, tapi saya sedih kalo akhirnya gitar itu ada yang beli.”



“Mbak ini tiap minggu ke toko ini buat ngeliatin apa



gitar itu masih ada atau udah diambil orang, padahal saya bilang dicicil aja nggak apa-apa tapi si Mbak-nya nggak mau.”



“Ahaha iya, itu gitarnya buat hadiah jadi masa



nyicil sih belinya hehe, nggak apa-apa mungkin emang gitar itu takdirnya si Mbak.”



“Aduh aku jadi nggak enak. Bener nih, nggak apa-



apa aku ambil?”



11







“Iya nggak apa-apa ambil aja, Mbak, hehehe.”







Gue tertarik dengan obrolan mereka bertiga, kaki



gue melangkah mendekat lagi ke Zara dan berdiri di sampingnya. “Kenapa?” tanya gue ke Zara.



“Haha nggak kok, ini mbaknya suka sama gitar ini



jadi dia sedih waktu aku ambil gitarnya.” Zara menjelaskan ke gue dan cewek itu tersenyum canggung.



“Buat Mas ya gitar itu? Dijaga baik-baik ya, Mas,



tadinya saya mau beli gitar itu buat pacar saya tapi tabungan saya nggak cukup.” Cewek itu menatap dan gue balas tatapan dia. Bukan, gitar itu bukan buat gue tapi buat orang lain, kata gue dalam hati. Dia bilang dia mau membelikan gitar itu untuk pacarnya. Sial, kenapa cowokcowok di luar sana beruntung banget dapetin pasangan kaya Mbak ini dan juga Zara? Gue iri, kenapa nggak ada perempuan yang bisa mencintai gue kayak dua cewek ini mencintai pasangannya?



Cewek ini melenggang ke tempat tadi gue berdiri,



dia sibuk lihat-lihat peralatan musik di sana dan tanpa disadari mata gue ikut memperhatikan gerak-gerik dia. Tingginya sama kayak Zara, rambutnya juga sama-sama sepunggung, bedanya wajah dia lebih terlihat kayak Chindo sedangkan Zara punya ciri khas wajah orang 12



Timur Tengah. Gue terperangah waktu tiba-tiba dia menoleh dan mata kami bertemu lagi, dengan kikuk gue alihin tatapan dan kembali fokus ke Zara yang sekarang udah bayar gitar milik Milan. ***



Speechless, baik Sera maupun Malio sama-sama



termenung dan saling menatap. “Sumpah, itu kamu?” pekik Sera kemudian. “Aku masih inget kejadian itu karena waktu itu aku sedih banget liat gitar itu diambil orang lain, tapi aku nggak inget sama muka dua orang itu, dan ternyata itu kamu sama Zara? Serius… dunia sempit banget.”



Malio pun sama, dia mengingat hari itu di sepanjang



hidupnya karena setelahnya Milan menggunakan gitar itu untuk menembak Zara tepat di depan matanya. Patah hati Malio dimulai sejak gitar itu ada, jadi mana bisa dia melupakan apa yang terjadi di hari dia menemani Zara membelikan gitar untuk Milan. Dia juga tidak akan melupakan sosok perempuan yang dia temui di sana hari itu, yang ternyata beberapa tahun kemudian menjadi kekasihnya. 13







Malio terkekeh kecil dan memeluk Sera erat, Sera



dikekep oleh Malio dan pipinya dihujami ciuman ringan. “Ternyata kita udah ketemu dari dulu,” ujar Malio dengan gemas. “Tau kalo di masa depan aku jatuh cinta sama kamu, waktu itu aku tarik kamu, Ra. Aku bawa pulang, aku sayang-sayang dari dulu.”



Sera tertawa dengan wajah memerah, entah karena



pelukan Malio yang terlalu erat atau karena ciuman Malio di pipi dan di sudut bibirnya yang membuat dia menjadi merona. “Lucu ya, aku selalu takjub sama semesta yang mempertemukan kita.” Ketika Malio melepaskan rengkuhannya kini giliran tangan Sera mengusap-usap pipi Malio, dia menatap wajah pacarnya dengan teduh. “Kamu pasti sedih banget ya waktu Zara beliin gitar itu buat—siapa namanya?”



“Milan,” sahut Malio.







“Iya







Malio tertawa dan membenarkan duduknya.



buat



Milan,



sedih



banget



ya?”



“Waktu itu, ya sedihlah. Sama kayak kamu yang nabung buat beliin Richard gitar, Zara juga nabung buat beli gitar itu, dia puasa setiap hari biar nggak jajan.” Malio menjelaskan bagaimana dia cemburu karena Milan membuat Zara berusaha untuk menabung agar bisa 14



mengumpulkan uang sendiri. Dulu Zara dan Malio punya kebiasaan setiap minggu pergi ke kedai bubble tea atau kedai gelato dan menghabiskan uang mereka di sana, tapi karena gitar itu Zara jadi melewatkan agenda mereka dan menjadi jauh lebih hemat. Penjelasan Malio mengundang tawa dari Sera. “Ututut kasian,” katanya.



“Bukan masalah harganya, tapi aku iri sama



usahanya. Kamu dan Zara sama-sama nabung buat beliin hadiah itu, ada usaha yang besar di balik itu semua, makanya aku iri, kok mereka disayang sampe segitunya? Apa ada yang salah dari aku? Apa aku kurang tulus atau seberengsek itu sampe nggak ada cewek yang se-effort itu untuk aku?” Ada rasa insecure di dalam nada suaranya, tapi ucapan Malio sama sekali tidak benar, dia adalah laki-laki baik yang pantas dicintai. Sera mengangkat tangannya dan mengusap pipi Malio lagi. “Tapi syal dari kamu kemarin udah cukup sih, kamu buatin syal itu seharian penuh sampe ngantuk-ngantuk waktu itu, aku jadi tau rasanya dikasih hadiah semewah itu.”



“Eh kok nangis sih, hei?” Malio tertawa ketika Sera



menunduk dan meneteskan air mata, dia usap rambut Sera dengan gemas. “Jangan nangis dong, Sera.” 15







“Nggak nangis, nggak tau tiba-tiba netes sendiri.”



Sera mengusap pipinya dan mengangkat lagi wajahnya. “Sekarang kamu disayang sama aku kok, Aliolio.” Lalu dia tersenyum lebar.



Ketika Malio bilang ‘she was the best thing that



ever happened to me’, Malio benar-benar serius dengan ucapannya. Sera seperti sebuah jalanan panjang yang pantas untuk dia lalui, she’s worth it, untuk segala perjuangannya mendapatkan perempuan ini. Bukan hal mudah untuk Malio menyadarkan Sera jika dia pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari lakilaki itu. You deserve someone better than him, Serana, and that person is me. Sera pantas untuk diperjuangkan, Malio tidak menyesal untuk memberikan hatinya yang pernah patah dari cinta sebelumnya kepada Sera, yang juga pernah patah hati dari perpisahan sebelumnya. Mereka dua hati yang patah dan menyatu menjadi sempurna.



“Ayo cabut ke Diana Musik, tapi kali ini kita yang



pacaran,” Malio berkata sambil berdiri dan mengulurkan tangannya pada Sera, dia dengan mudah mengangkat tubuh pacarnya yang lebih kecil. “Ada CCTV nggak ya di sana? Kalo ada minta cek kali ya hahaha, aku mau liat waktu kita ketemu dulu.”



16







“Ih iya bener, semoga ada CCTV deh biar kita bisa



liat, itu juga kalo dibolehin sama mas-masnya.”



“Kalo di sini ada CCTV nggak?” tanyanya pada



Sera dengan senyum miring.



Sera menggigit bibir dan menoleh ke kanan kiri,



“Well, CCTV di situ doang tuh,” tunjuknya pada meja yang yang tadi mereka duduki, dia mundur tiga langkah hingga tubuhnya terpojok di rak buku paling ujung, “kalo di sini kayaknya nggak ada.”



Malio meraih pod miliknya dari saku jaketnya



dan mengisap rokok elektriknya sebentar. Ia menyeringai dan mendorong pipi bagian dalamnya dengan lidah, lalu melangkah mendekati Sera dengan langkah yang sengaja dilama-lamakan. Aroma strawberry dari vape yang lakilaki itu isap semakin tercium oleh Sera saat tubuhnya dikurung oleh Malio, lalu detik kemudian jantung Sera seperti merosot karena sesuatu menyesap bibirnya dengan begitu lembut. Jari Malio tidak bisa diam, mengelus pipi Sera dengan hati-hati seolah itu adalah benda rapuh yang mudah pecah selagi bibirnya terus memperdalam ciuman mereka. Tangan kanan Malio bertengger di pinggangnya, lalu tangan kirinya yang sedari tadi mengusap pipi Sera kini turun dan menuntun tangan Sera untuk melingkar di 17



lehernya. Perempuan itu mengerti dan berjinjit, memeluk erat leher Malio sambil memiringkan wajahnya agar bisa membalas apa yang sedang Malio lakukan pada dirinya. He smelled so good, and his lips taste like strawberries mixed with cigarettes, sweet but also bitter. Perut Sera mencelos saat Malio melepaskan tautan bibir mereka dan menjauhkan wajah sebentar, lalu memberikan kecupan ringan setelahnya. Tiga kali, tiga kali Malio melakukan itu, berulang mengecup bibir Sera yang lembab dengan ringan lalu benar-benar menjauhkan diri sambil tertawa. “Maluuuu.” Sera merengek sambil meletakkan dahinya di bahu Malio, mengundang tawa Malio semakin keras.



“Udah ayo cabut, takut ketauan sama pengawas.”



Perkataan Malio membuat Sera mencibir. Dua menit Sera menetralkan detak jantungnya dan menarik diri menjauh dari Malio, setelahnya mereka berjalan meninggalkan lorong buku itu dan tanpa dosa meraih tas Malio yang tadi diletakkan di meja.



“Kayaknya,” ucap Sera gantung ketika mereka



keluar dari perpustakaan. “Selain di toko musik itu, kita pernah ketemu lagi di mana ya, Li?”



Malio merangkul bahu Sera dan mereka berjalan



santai. “Hm….” Dia berpikir sejenak dan mengingat18



ingat pernah ada hal apa di hidupnya dulu. “Dulu aku pernah kabur dari rumah waktu berantem sama Zara, ke Malioboro naik sepeda, terus nabrak cewek sampe–”



“Es



krimnya



tumpah?”



Sera



memotong



pelanLangkah mereka terhenti. Sera menoleh dan menatap Malio, begitu juga dengan Malio yang menatapnya sambil menggeleng. “Nggak mungkin…” kata Malio tidak percaya. ***



Perhatikan sekitarmu, siapa tahu sosok yang tidak sengaja kamu temui di tengah keramaian adalah takdirmu.



19