Ajaran Sosial Gereja Katolik (Asg) - Evangelii Nuntiandi - Mewartakan Injil [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL 1



  Lainnya    Blog Berikut»



Buat Blog   Masuk



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG) EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL



77,277 DOKUMEN GEREJA KATOLIK SKEMA ISI ASG RINGKASAN ASG ­ BUKU RESMI DARI VATIKAN



ANJURAN APOSTOLIK PAUS PAULUS VI



Maret (13)



“EVANGELII NUNTIANDI” (MEWARTAKAN INJIL) TENTANG PEWARTAAN INJIL DALAM DUNIA MODERN KEPADA PARA USKUP, IMAM­IMAM DAN UMAT BERIMAN SELURUH GEREJA KATOLIK Saudara­Saudara yang terhormat, Putera­Puteri yang terkasih, Salam dan berkat apostolik. MEWARTAKAN INJIL: TUGAS GEREJA 1. Pantang diragukan: usaha MEWARTAKAN INJIL kepada orang­orang zaman sekarang, yang diteguhkan oleh harapan tetapi sekaligus sering ditimpa oleh rasa takut dan gelisah, merupakan pelayanan kepada jemaat Kristiani maupun seluruh umat manusia.             Oleh karena itu tugas meneguhkan saudara­saudari­tugas yang beserta jabatan pengganti  Petrus[1],  kami  terima  dari  Tuhan,  dan  yang  bagi  kami  merupakan  ”urusan sehari­hari” [2], program hidup dan kegiatan, serta komitmen mendasar jabatan kepausan kami­bagi  kami  nampak    makin  luhur  dan  perlu,  kalau  pokoknya  ialah  mendorong saudara­saudari  dalam  misi  mereka  selaku  pewarta  Injil,  supaya­di  masa  ketidak­pastian dan  kekaburan  ini­mereka  menunaikan  tugas  itu  dengan  cintakasih,  semangat  dan kegembiraan yang makin besar. 2. Justru itulah yang hendak kami lakukan di sini, menjelang akhir Tahun Suci ini. Selama tahun  ini  Gereja,  yang  ”berusaha  mewartakan  Injil  kepada  semua  orang” [3], mempunyai maksud  satu­satunya  untuk  menjalankan  tugasnya  sebagai  duta  warta  gembira  tentang Yesus  Kristus.  Warta  gembira  itu  disiarkan  berdasarkan  dua  perintah  yang  mendasar: ”Kenakanlah manusia baru” [4]dan ”Berilah dirimu didamaikan dengan Allah” [5].                         Kami  hendak  menjalankan  itu  pada  ulang  tahun  kesepuluh    penutupan  Konsili vatikan  II,  yang  tujuannya  secara  definitif  dirangkum  dalam  satu  pokok  ini:  menjadikan Gereja abad ke­XX makin cakap mewartakan Injil kepada masyarakat abad ke­XX.             Kami hendak melakukan itu satu tahun seusai sidang umum ketiga Sinode para Uskup,  yang  seperti  diketahui  diperuntukkan  bagi  pewartaan  Injil.  Dan  kami  makin bersedia  menjalankannya,  karena  kami  diminta  oleh  para  Bapa  Sinode  sendiri.  Memang menjelang  akhir  sidang  yang  layak  dikenang  itu  para  Bapa  memutuskan  untuk menyerahkan  kepada  gembala  Gereja  semesta,  dengan  kepercayaan  yang  besar  dan kesederhanaan,  buah­hasil  segala  jerih­payah  mereka.  Mereka  menyatakan,  bahwa mereka  mengharapkan  dari  padanya  dorongan  segar  ke  masa  depan,  yang  mampu menciptakan periode baru pewartaan Injil[6] dalam Gereja, yang kian mantap lagi berakar pada kuasa dan kekuatan Pentekosta yang tak kenal binasa.   3.  Sudah  sering  kali  kami  tekankan  pentingnya  tema  pewartaan  Injil,  jauh  sebelum Sinode  diselenggarakan.  Pada  tgl  22  Juni  1973  kami  sampaikan  kepada  Dewan  para Kardinal:”Situasi  masyarakat  kita  sekarang  mewajibkan  kita  semua  meninjau  ulang metode­metode,  menjalankan  segala  macam  usaha  untuk  mempelajari:  bagaimana amanat  Kristiani  dapat  kita  sampaikan,  sehingga  manusia  modern  dapat  menemukan jawaban  atas  pertanyaan­pertanyaannya    serta  kekuatan  bagi  komitmennya  terhadap solidaritas  manusiawi” [7].  Lalu  kami  tambahkan,  bahwa  untuk  kita  perhatikan,  mutlak



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



1/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL perlulah  bagi  kita  mengindahkan  pusaka­warisan  iman,  yang  oleh  Gereja  wajib dipertahankan  kejernihannya  yang  tak  tercemarkan,  dan  disajikan  kepada  orang­orang zaman kita, dengan cara yang sedapat mungkin mereka fahami dan meyakinkan. 4.  Kesetiaan  baik  kepada  amanat  yang  kita  layani,  maupun  kepada  umat  yang  harus menerima  pewartaan  amanat  itu  secara  hidup    dan  utuh,  merupakan  poros  pusat pewartaan  Injil.  Kesetiaan  itu  mengajukan  tiga  pertanyaan  mendesak,  yang  terus menerus diperhatikan oleh Sinode tahun 1974: ­  Zaman  sekarang  ini  apa  yang  terjadi  pada  daya­kekuatan  terselubung  warta  gembira, yang mampu berdampak kuat atas hatinurani manusia? ­  Seberapa  jauh  dan  bagaimana  kekuatan  Injil  mampu  sungguh  merombak  masyarakat abad sekarang? ­  Metode­metode  manakah  yang  harus  ditempuh,  supaya  kekuatan  Injil  dapat membuahkan hasil?                         Pada  dasarnya  pertanyaan­pertanyaan  itu  menegaskan  soal  mendasar,  yang sekarang  ditujukan  oleh  Gereja  kepada  dirinya,  dan  dapat  dirumuskan  sebagai  berikut: seusai Konsili dan berkat Konsili, masa yang oleh Allah dikurniakan kepadanya, pada titik­ balik  sejarah  ini,  benarkah  atau  tidak  Gereja  merasa  berbekal  lebih  baik  untuk mewartakan  Injil  dan  mencamkannya  di  hati  orang­orang  secara  meyakinkan,  dengan kebebasan hati dan secara efektif? 5. Kita semua dapat memahami, betapa mendesak menanggapi masalah itu dengan tulus­ setia,  rendah  hati  dan  berani,  dan  bertindak  sesuai  dengannya.  Karena  ”keprihatinan kami terhadap semua jemaat” [8] kami ingin membantu Saudara­saudara danputera­puteri kami  menjawab  soal­soal  itu.  Kata­kata  kami  bersumber  pada  kekayaan  Sinode  dan dimaksudkan  sebagai  renungan  tentang  pewartaan  Injil.  Semoga  berhasil  mengajak segenap  umat  Allah  yang  terhimpun  dalam  Gereja  untuk  merenungkannya  juga.  Dan semoga memberi dorongan segar kepada tiap anggota, khususnya mereka yang ”dengan jerih­payah  berkotbah  dan  mengajar” [9],  sehingga  mereka  masing­masing  ”berterus­ terang memberitakan amanat kebenaran itu” [10] serta berkarya sebagai pewarta Injil dan menunaikan pelayanannya dengan sempurna.                         Anjuran  semacam  itu  bagi  kami  nampak  sangat  penting,  sebab  bagi  Gereja penyajian amanat Injil bukan sumbangan atas pilihan sendiri. Pewartaan itu tugas Gereja atas  perintah  Tuhan  Yesus,  supaya  umat  dapat  beriman  dan  diselamatkan.  Amanat  itu memang  sungguh  perlu.  Sifatnya  unik.  Tidak  tergantikan.  Tidak  mengizinkan  adanya perbedaan, sinkretisme atau penyesuaian. Pokok taruhan ialah keselamatan umat. Itulah keindahan  perwahyuan  yang  disajikannya.  Pewartaan  membawa  serta  kebijaksanaan yang bukan dari dunia ini. Atas kekuatannya mampu menyemangati iman, yang bertumpu pada  kekuasaan  Allah [11].  Itulah  kebenaran.  Sudah  selayaknya  rasul  membaktikan kepadanya  segenap  waktu  dan  seluruh  kekuatannya,  dan  bila  perlu  mengorbankan hidupnya sendiri. I TELADAN  YESUS 6.  Kesaksian  Tuhan  tentang  Diri­Nya,  yang  oleh  Lukas  dihimpun  dalam  Injilnya­”Aku harus  memberitakan  warta  gembira  Kerajaan  Allah” [12]­sudah  pasti  mempunyai konsekuensi­konsekuensi yang besar sekali, sebab merangkum seluruh perutusan Yesus: ”Untuk itulah Aku diutus” [13]. Pernyataan itu menampilkan maknanya sepenuhnya, kalau dikaitkan  dengan  ayat­ayat  sebelumnya,  ketika  Kristus  mengenakan  pada  Diri­Nya amanat  nabi  Yesaya:  ”Roh  Tuhan  ada  pada­Ku,  sebab  Ia  telah  mengurapi  Aku,  untuk menyampaikan kabar baik kepada kaum miskin” [14].             Menjelajahi kota demi kota, mewartakan kepada orang­orang yang paling miskin­ merekalah  yang  sering  paling  terbuka  untuk  menerima­warta  gembira  pemenuhan  janji­ janji  serta  perjanjian  yang  ditawarkan  oleh  Allah,  itulah  perutusan  Yesus.  Ia  menyatakan bahwa  untuk  itulah  Ia  diutus  oleh  Bapa.  Dan  segala  aspek  misteri­Nya­penjelmaan­Nya sendiri,  mukjizat­mukjizat,  ajaran­Nya,  ketika  Ia  menghimpun  murid­murid­Nya,  dan mengutus  Dua  belas,  salib  dan  kebangkitan­Nya  bahwa  Ia  tetap  tinggal  di  antara  murid­ murid­Nya­semuanya itu unsur­unsur kegiatan­Nya mewartakan Injil. 7.  Selama  Sinode  para  Uskup  sering  sekali  mengacu  kepada  kebenaran  ini:  Yesus sendiri,  warta  gembira  Allah [15],  ialah  Pewarta  Injil  yang  paling  pertama  dan  paling agung.  Itulah  Dia  sepenuh­penuhnya:  sempurna  hingga  mengorbankan  hidup­Nya  di dunia. Mewartakan  Injil:  manakah  arti  kewajiban  itu  bagi  Kristus?  Pasti  tidak  gampang mengungkapkan  dalam  suatu  sintese  lengkap  arti,  isi  dan  cara­cara  pewartaan  Injil, seperti  difahami  dan  dilaksanakan  oleh  Yesus.  Bagaimana  pun  juga  usaha  menyusun sintese semacam itu takkan pernah selesai. Cukuplah bagi kita mengenangkan beberapa aspek saja yang hakiki.



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



2/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL 8.  Sebagai  Pewarta  Injil  Kristus  pertama­tama  mewartakan  kerajaan,  yakni  Kerajaan Allah.  Dan  itu  begitu  penting,  sehingga  dibandingkan  dengannya  segala­sesuatu  lainnya menjadi  ”sisa”  yang  ”ditambahkan” [16].  Oleh  karena  itu  hanya  Kerajaan  itulah  yang mutlak,  dan  menjadikan  semua  lainnya  relatif.  Tuhan  berkenan  menggambarkan  dengan pelbagai  cara  kebahagiaan  orang  yang  termasuk  Kerajaan  itu  (kebahagiaan  yang paradoksal,  terdiri  dari  hal­hal  yang  ditolak  oleh  dunia) [17],  tuntutan­tuntutan  Kerajaan dan  Piagam  Dasarnya [18],  para  duta  Kerajaan [19],  misteri­misterinya [20],  putera­ puterinya [21],  sikap  berjaga  dan  kesetiaan  yang  diminta  dari  siapa  pun  mendambakan kedatangannya secara definitif[22]. 9. Sebagai hakikat dan pusat warta gembira­Nya Kristus mewartakan keselamatan, kurnia agung  Allah,  yakni  pembebasan  dari  apa  pun  yang  menindas  manusia,  tetapi  terutama pembebasan dari dosa dan si jahat, dalam kegembiraan mengenal Allah dan dikenal oleh­ Nya, memandangNya, dan menyerahkan diri kepada­Nya. Semuanya itu berawal selama hidup  Kristus,  dan  dengan  jelas  terlaksana  oleh  wafat  dan  kebangkitanNya.  Akan  tetapi harus dengan sabar dilangsungkan di sepanjang sejarah, untuk diwujudkan sepenuhnya pada  hari  kedatangan  mutakhir  Kristus,  yang  saatnya  tidak  diketahui  oleh  siapa  pun kecuali Bapa [23]. 10.  Kerajaan  dan  keselamatan  itu,  kata­kata  kunci  dalam  pewartaan  Injil  oleh  Yesus Kristus, tersedia bagi tiap manusia seabgai rahmat dan kurnia belaskasihan. Akan tetapi sekaligus  tiap  orang  harus  memperolehnya  dengan  kekuatan­itu  menjadi  milik  mereka yang  menggagahinya,  kata  Tuhan [24],  melalui  jerih­payah  dan  penderitaan,  melalui perihidup  menurut  Injil,  melalui  pengingkaran  diri  dan  salib,  melalui  semangat  Sabda Bahagia.  Akan  tetapi  terutama  tiap  oran  memperolehnya  melalui  pembaharuan  batin seutuhnya,  yang  oleh  Injil  disebut  ”Metanoia”,  yakni  pertobatan  radikal,  perubahan  budi maupun hati” [25]. 11.  Kristus  melaksanakan  proklamasi  Kerajaan  Allah  itu  melalui  pewartaan  sabda  tanpa kenal  lelah,  yang  konon  di  mana  pun  tiada  bandingnya:  ”Suatu  ajaran  baru!  Ia  berkata­ kata  dengan  kuasa!” [26]  Kata­kata  indah  yang  diucapkan­Nya” [27].  ”Belum  pernah seorang  manusia  berkata  seperti  Dia  itu!” [28].  Amanat  Kristus  menyingkapkan  rahasia Allah.  Rencana­Nya  dan  Janji­Nya,  dan  sementara  itu  mengubah  hati  manusia  dan nasibnya. 12. Akan tetapi Kristus juga menjalankan pewartaan itu dengan tanda­tanda tak terbilang jumlahnya,  yang  menakjubkan  banyak  orang,  dan  sekaligus  menarik  mereka  untuk melihat Dia, mendengarkan­Nya dan membiarkan diri diubah oleh­Nya: mereka yang sakit disembuhkan,  air  diubah  menjadi  anggur,  roti  dilipatgandakan,  orang­orang  mati dihidupkan. Dan di antara semua tanda itu ada satu yang dipandang­Nya penting sekali: mereka  yang  hina­dina  dan  miskin  menerima  pewartaan  Injil,  menjadi  murid­murid­Nya dan  berkumpul  ”dalam  nama­Nya”  dalam  persekutuan  besar  mereka  yang  beriman  akan Dia. Sebab Yesus itu, yang menyatakan: ”Aku harus mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah” [29], tak lain ialah Yesus, yang menurut pengarang Injil Yohanes telah datang dan harus  wafat  ”untuk  mengumpulkan  dan  mempersatukan  anak­anak  Allah  yang  tercerai­ berai” [30].  Begitulah  Ia  melaksanakan  perwahyuan­Nya  tentang  Diri­Nya,  melalui  kata­ kata maupun tindakan, melalui tanda­tanda dan mukjizat­mukjizat, dan secara lebih khas lagi melalui wafat serta kebangkitan­Nya, dan dengan  mengutus Roh kebenaran [31]. 13. Oleh karena itu mereka yang dengan tulus menerima warta gembira, berkat kekuatan penerimaan  itu  dan  iman  bersama,  berhimpun  dalam  nama  Yesus,  untuk  bersama mencari  Kerajaan,  membangun  dan  menghayatinya.  Mereka  membentuk  jemaat  yang mewartakan  Injil.  Perintah  kepada  Duabelas  untuk  pergi  dan  meyiarkan  warta  gembira berlaku  abgi  semua  orang  Kristiani  juga,  kendati  secara  berbeda.  Justru  karena  itulah Petrus  menyebut  umat  Kristiani  ”bangsa  yang  terpilih  dikhususkan  untuk  memberitakan karya­karya agung Allah” [32], hal­hal yang menakjubkan yang oleh masing­masing dapat di dengar dalam bahasanya sendiri[33]. Lagi pul awarta gembira tentang Kerajaan yang sedang  datang  dan  telah  mulai  diperuntukkan  bagi  semua  orang  dari  segala  zaman. Mereka  yang  telah  menerima  warta  gembira  dan  karena  itu  dihimpun  menjadi  jemaat keselamatan dapat dan wajib menyalurkan dan menyiarkannya. 14.  Gereja  mengetahui  itu.  Dengan  jelas  sekali  ia  menyadari  kenyataan  bahwa  sabda Sang  Penyelamat,  ”Aku  harus  mewartakan  kabar  gembira  tentang  Kerajaan  Allah”



[34]sepenuhnya  berlaku  bagi  dirinya.  Dengan  sukarela  ditambahkannya  bersama  St. Paulus:”..aku  tidak  mempunyai  alasan  untuk  memegahkan  diri.  Sebab  itu  keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil!” [35]. Dengan gembira dan rasa terhibur  menjelang  akhir  sidang  agung  pada  tahun  1974  kami  mendengar  ungkapan



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



3/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL berikut  yang  memancarkan  terang:  ”Sekali  lagi  kami  hendak  meneguhkan,  bahwa  tugas mewartakan  Injil  kepada  semua  orang  merupakan  misi  hakiki  Gereja” [36].  Tugas­ perutusan  itu  karena  perubahan­perubahan  meluas  dan  mendalam  masyarakat  zaman sekarang  menjadi  semakin  mendesak.  Mewartakan  Injil  memang  rahmat  dan  panggilan  khas  Gereja,  jatidirinya  yang  terdalam.  Gereja  berada  untuk  menyiarkan  Injil,  artinya mewartakan  dan  mengajar,  menyalurkan  kurnia  rahmat,  mendamaikan  orang­orang berdosa  dengan  Allah,  dan  melestarikan  korban  Kristus  dalam  Ekaristi,  kenangan  wafat serta kebangkitan­Nya dalam kemuliaan. 15.  Siapa  pun,  yang  dalam  Perjanjian  Baru  membaca  ulang  asalmula  Gereja,  menyimak sejarahnya langkah demi langkah, dan menyatakan kehidupan serta kegiatannya, melihat bahwa Gereja berkaitan dengan pewartaan Injil dalam kenyataannya yang terdalam:             ­ Gereja lahir dari kegiatan Yesus dan Duabelas mewartakan Injil. Ia merupakan buah­hasil  yang  biasa,  diinginkan,  paling  langsung  dan  paling  kelihatan  kegiatan  itu: ”Oleh  karena  itu  pergilah,  jadikanlah  semua  bangsa  murid­murid­Ku” [37].  Kemudian” orang­orang yang menerima perkataannya itu membiarkan diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira­kira tiga ribu jiwa....Dan tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan mereka yang diselamatkan” [38].                         ­  Karena  Gereja  lahir  sebagai  konsekuensi  perutusan,  ia  sendiri  diutus  oleh Yesus. Gereja tetap tinggal di dunia, bila Tuhan yang mulia pulang kepada Bapa. Gereja tetap  menjadi  tanda­sekaligus  redup­redup  dan  terang­bahwa  Yesus  hadir  secara  baru, bahwa  Ia  telah  berangkat  dan  sekaligus  tetap  hadir.  Gereja  memperpanjang  dan melanjutkan  Yesus.  Dan  terutama  perutusan­Nya  dan  kondisi­Nya  sebagai  Pewarta Injillah,  yang  Gereja  harus  melangsungkan [39].  Sebab  jemaat  Kristiani  tidak  pernah terkungkung  dalam  dirinya.  Kehidupan  batin  jemaat  itu­kehidupan  mendengarkan  sabda dan  ajaran  para  rasul,  cintakasih  yang  dihayati  secara  persaudaraan,  bersama memecahkan  roti[40]­kehidupan  batin  itu  hanya  beroleh  makna  yang  sepenuhnya,  bila menjadi  kesaksian,  bila  mengundang  rasa  kagum  dan  pertobatan,  dan  bila  menjadi pewartaan  dan  proklamasi  warta  gembira.  Maka  Gereja  semestalah  yang  menerima perutusan  mewartakan  Injil,  dan  karya  masing­masing  anggota  penting  bagi keseluruhannya.                         ­  Gereja  itu  pewarta  Injil,  tetapi  mulai  dengan  mengalami  evangelisasi  sendiri. Gereja  persekutuan  umat  beriman,  persekutuan  harapan  yang  dihayati  dan  disalurkan, persekutuan  kasih  persaudaraan.  Gereja  perlu  tiada  hentinya  mendengarkan  apa  yang harus  diimaninya,  alasan­alasannya  untuk  berharap,  perintah  baru  cintakasih.  Gereja umat  Allah  yang  tenggelam  didunia,  dan  sering  digoda  oleh  berhala­berhala.  Ia  selalu perlu  mendengar  pewartaan  “karya­karya  agung  Allah” [41],  yang  mempertobatkannya kepada  Tuhan.  Selalu  Gereja  perlu  dihimpun  secara  baru  oleh­Nya  dan  disatukan. Pendek kata itu berarti bahwa Gereja terus menerus perlu mengalami evangelisasi, kalau ingin  tetap  segar,  tetap  teguh  dan  tetap  kuat  untuk  mewartakan  Injil.  Konsili  Vatikan  II mengenangkan [42]  dan  Sinode  tahun  1974  dengan  tegas­tandas  mengangkat  tema  itu lagi  tentang  Gereja,  yang  mengalami  evangelisasi  melalui  pertobatan  dan  pembaharuan tiada  hentinya  supaya  dalam  mewartakan  Injil  kepada  dunia  layak  mendapat kepercayaan.             ­ Gereja ialah perbendaharaan warta gembira yang harus disebarluaskan. Janji­ janji  Perjanjian  Baru  dalam  Yesus  Kristus,  ajaran  Tuhan  maupun  para  Rasul,  sabda kehidupan,  sumber­sumber  rahmat  dan  kebaikan  hati  Allah  Mahakasih,  jalan  menuju keselamatan­semuanya  itu  dipercayakan  kepada  Gereja.  Isi  Injil,  dan  karena  itu pewartaan  Injillah,  yang  dilestarikan  oleh  Gereja  sebagai  pusaka­warisan  hidup  yang amat berharga, bukan untuk disembunyikan saja, melainkan untuk diwartakan.                         ­Karena  diutus  dan  mengalami  evangelisasi.  Gereja  sendiri  mengutus  para pewarta  Injil.  Ia  menaruh  ke  dalam  mulut  mereka  sabda  yang  menyelamatkan.  Gereja menjelaskan kepada mereka amanat yang dipercayakan kepadanya. Ia memberi mereka kuat­kuasa,  yang  diterimanya  sendiri,  dan  mengutus  mereka  untuk  mewartakan. Mewartakan  bukan  diri  mereka  sendiri  atau  gagasan­gagasan  pribadi  mereka [43], melainkan  Injil;  dan  bukan  Gereja  atau  merekalah  penguasa  atau  pemilik  Injil,  sehingga dapat diperlakukan menurut keinginan mereka sendiri; melainkan Injil itulah yang mereka layani, untuk disalurkan dengan kesetiaan yang sepenuhnya. 16. Jadi ada ikatan mendalam antara Kristus, Gereja dan pewartaan Injil. Selama periode Gereja,  masa  hidup  kita,  Gerejalah  yang  bertugas  mewartakan  Injil.  Perintah  itu  tidak dilaksanakan tanpa Gereja, apalagi melawan Gereja.             Pasti selayaknyalah mengenangkan kenyataan itu pada saat seperti sekarang ini; sebab  bukannya  tanpa  merasa  sedih  kami  mendengar  tentang  orang­orang­dan  kami ingin  percaya  bahwa  mereka  bermaksud  baik,  tetapi  pasti  salah­asuh  dalam  sikap mereka­yang  terus  menerus  mendengungkan,  bahwa  mereka  mengasihi  Kristus  tetapi tanpa Gereja, mendengarkan Kristus tetapi bukan Gereja, menajdi muris Kristus tetapi di luar  Gereja.  Betapa  jelas  pemisahan  itu  sama  sekali  tidak  masuk  akal,  terang  sekali  dari kalimat  Injil:  ”Siapa  pun  menolak  kamu,  menolak  Aku” [44].  Lalu  bagaimana  mungkin orang ingin mengasihi Kristus tanpa mencintai Gereja, kalau kesaksian paling indah akan



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



4/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL Kristus  ialah  kesaksian  St.  Paulus:”Kristus  mencintai  Gereja  dan  mengorbankan  diri baginya”? [45] II MAKNA PEWARTAAN INJIL 17. Tentu saja dalam pewartaan Injil oleh Gereja ada unsur­unsur dan segi­segi tertentu yang  perlu  khas  ditekankan.  Ada  di  antaranya  yang  begitu  penting,  sehingga  ada kecenderungan  untuk  begitu  saja  menganggapnya  sama  saja  dengan  pewartaan  Injil. Demikian telah mungkin mendefinisikan ”evangelisasi”: pewartaan Kristus kepada mereka yang  tidak  mengenal­Nya,  kotbah,  katekese,  pemberian  baptis  dan  sakramen­sakramen lainnya.             Tiap definisi yang hanya menyangkut sebagian saja, tetapi mencoba melukiskan kenyataan  pewartaan  Injil  dalam  seluruh  kenyataan,  sifat  kompleks  dan  dinamismenya, hanay  akan  terancam  risiko  memiskinkannya    atau  bahkan  memberi  gambaran  yang salah.  Mustahil  menangkap  makna  evangelisasi,  kalau  orang  tidak  mencoba mengindahkan semua unsur hakikinya.                         Unsur­unsur  itu  kuat­kuat  ditekankan  pada  Sinode  terakhir,  dan  masih  sering merupakan bahan studi, sebagai hasil karya Sinode. Kami merasa gembira, bahwa pada dasarnya unsur­unsur itu menganut  haluan yang digariskan bagi kita oleh Konsili Vatikan II,  khususnya  dalam  Konstitusi  ”Lumen  Gentium”  dan  ”Gaudium  et  Spes”,  dan  dalam Dekrit ”Ad Gentes”. 18. Bagi Gereja evangelisasi berarti menyampaikan warta gembira kepada segala lapisan umat  manusia,  dan  melalui  pengaruhnya  merombak  masyarakat  dari  dalam  serta membaharuinya:  ”Lihatlah,  Aku  menjadikan  segala  sesuatu  baru!” [46].  Akan  tetapi  tidak ada umat manusia baru, kalau tidak terutama ada manusia­manusia yang diperbarui oleh baptis[47],  dan  perihidup  menurut  Injil[48]. Oleh  karena  itu  tujuan  pewartaan  Injil  justru perubahan  batin  itu.  Dan  kalau  harus  diungkapkan  dalam  satu  kalimat,  cara  terbaik merumuskannya  yakni:  Gereja  mewartakan  Injil  bila  berusaha  mempertobatkan [49]­ melulu  berkat  kekuatan  ilahi  amanat  yang  diwartakannya­hatinurani  orang­orang  baik perorangan  maupun  kolektif,  kegiatan­kegiatan  yang  mereka  lakukan,  dan  kehidupan serta lingkungan konkret hidup mereka. 19.  Lapisan­lapisan  masyarakat  perlu  mengalami  perombakan.  Bagi  Gereja  pokoknya bukan  sekedar  mewartakan  Injil  dalam  kawasan  geografis  yang  makin  luas  atau  kepada semakin  banyak  orang.  Melainkan  juga  menyentuh  dan  seperti  menggoncangkan­berkat kekuatan  Injil  norma­norma  penilaian  umat  manusia,  yang  menentukan  nilai­nilai,  pokok­ pokok  kepentingan,  cara­cara  berpikir,  sumber­sumber  inspirasi  dan  pola­pola  hidup, yang bertentangan dengan sabda Allah dan Rencana keselamatan. 20.  Semuanya  itu  dapat  diungkapkan  sebagai  berikut:”yang  penting  ialah:  evangelisasi kebudayaan  dan  pelbagai  kebudayaan  (bukan  melulu  sebagai  hiasan,  seolah­olah dengan mengenakan padanya selaput luar yang hanya tipis saja; melainkan secara vital, mendalam  hingga  mencapai  akar­akarnya),  dalam  arti  yang  luas  dan  kaya  menurut makna istilah dalam Konstitusi”Gaudium et Spes” [50], dengan selalu bertolak dari pribadi dan  senantiasa  kembali  kepada  hubungan  antar  manusia  serta  hubungan  manusia dengan Allah.             Injil, karena itu juga pewartaan Injil, jelas tidak identik dengan kebudayaan; dan keduanya  tidak  tergantung  dari  semua  kebudayaan.  Meskipun  begitu  Kerajaan  yang diwartakan  oleh  Injil  dihayati  oleh  orang­orang  yang  secara  mendalam  terikat  pada kebudayaan. Kerajaan tidak dapat dibangun secara lain kecuali dengan meminjam unsur­ unsur  kebudayaan  atau  pelbagai  kebudayaan  manusiawi.  Kendati  tidak  tergantung  dari kebudayaan­kebudayaan,  Injil  maupun  pewartaan  Injil  tidak  niscaya  tak  selaras dengannya.  Bahkan  keduanya  mampu  merasuki  semua  kebudayaan  itu  tanpa  menjadi terbawah kepada kebudayaan mana pun.             Pantang disangsikan, pemisahan antara Injil dan kebudayaan merupakan drama zaman  sekarang,  seperti  pada  masa­masa  lainnya.  Oleh  karena  itu  hendaklah  sedapat mungkin  diusahakan  untuk  menjamin  evangelisasi  kebudayaan  sepenuhnya,  atau  lebih tepat:  kebudayaan­kebudayaan.  Semua  kebudayaan  perlu  dilahirkan  ulang  melalui perjumpaan  dengan  Injil.  Akan  tetapi  perjumpaan  itu  takkan  terjadi  bila  Injil  tidak diwartakan. 21.  Injil  terutama  harus  diwartakan  melalui  kesaksian.  Ambillah  seorang  atau  sejumlah orang  Kristiani,  yang  di  tengah  masyarakat  menunjukkan  kemampuan  memahami  dan menampung  sesama,  hidup  bersama  dan  senasib  dengan  sesama,  bersikapt  solider dengan  usaha­usaha  siapa  saja  untuk  mencapai  tujuan  yang  mulia  dan  baik.  Selain  itu andaikan  saja  bahwa  mereka  secara  sederhana  sekali  dan  spontan  memancarkan  iman mereka  dalam  nilai­nilai,  yang  melampaui  nilai­nilai  yang  lazim;  mencerminkan  harapan akan  sesuatu  yang  tak  kelihatan  danorang  tidak  berani  membayangkan.  Melalui



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



5/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL kesaksian tanpa kata­kata orang­orang Kristiani itu menimbulkan pertanyaan­pertanyaan yang tak tertahan di hati mereka yang menyaksikan perihidup mereka: Mengapa mereka seperti  itu?  Mengapa  hidup  begitu?  Apa  atau  siapa  yang  mengilhami  mereka?  Mengapa mereka  ada  di  tengah  kita?  Kesaksian  itu  diam­diam  sudah  mewartakan  kabar  gembira, dan  itu  pewartaan  yang  berpengaruh  besar  dan  efektif.  Di  situ  terdapat  tindakan  awal pewartaan  Injil.  Pertanyaan­pertanyaan  tadi  barangkali  yang  pertama,  yang  akan diajukan oleh banyak orang bukan Kristiani, entah kepada mereka Kristus belum pernah diwartakan,  atau  mereka  sudah  baptis  dan  tidak  mengamalkan  agamanya  lagi,  atau orang­orang yang hanya menyandang nama Kristiani, tetapi menurut prinsip­prinsip yang sama  sekali  tidak  Kristiani,  atau  juga  orang­orang  yang  bukannya  tanpa  penderitaan sedang  mencari  sesuatu  atau  seseorang  yang  mereka  ”rasakan”  tetapi  tidak  mampu menyebutkan  namanya.  Pertanyaan­pertanyaan  lain  pun  akan  muncul,  lebih  mlendalam dan lebih menuntut; pertanyaan yang dibangkitkan melalui kesaksian itu, yang mencakup kehadiran,  saling  berbagi,  kesetiakawanan,  dan  yang  merupakan  unsur  hakiki­dan  pada umumnya itu yang pertama diajukan –dalam pewartaan Injil[51].             Semua orang Kristiani dipanggil untuk kesaksian itu, dan dengan demikian mereka dapat menjadi pewarta Injil yang sejati. Khususnya kami berpikir tentang tanggung jawab para imigran di negeri yang menampung mereka.  22. Kendati demikian itu tetap tidak cukup, karena bahkan kesaksian yang terindah pun pada  jangka  panjang  akan  ternyata  tidak  efektif  kalau  tidak  dijelaskan,  dibenarkan­yang oleh  Petrus  disebut:”selalu  siap  sedia  untuk  memberi  pertanggung  jawaban  kepad  siapa pun  yang  meminta  pertanggung  jawaban  dari  kamu  tentang  pengharapan  yang  ada padamu” [52]­dan  ditegaskan  melalui  pewartaan  yang  terang  dan  jelas  tentang  Tuhan Yesus  Kabar  gembira  yang  diwartakan  melalui  kesaksian  hidup  kapan­kapan  harus disiarkan melalui sabda kehidupan. Tidak ada evagelisasi yang sejati, kalau nama, ajaran, kehidupan,  janji­janji,  Kerajaan  dan  misteri  Yesus  dari  Nazareth,  Putera  Allah,  tidak diwartakan.             Sejarah Gereja, sejak kotbah Petrus pada hari Pentekosta pagi, berbauran dan dianggap  sama  dengan  sejarah  pewartaan.  Pada  tiap  tahap  sejarah  manusia,  Gereja, selalu  tertawan  oleh  keinginan  mewartakan  Injil,  hanya  mempunyai  satu  kepedulian: mengutus siapa untuk menyiarkan misteri Yesus?Bagaimana misteri itu harus diwartakan? Bagaimana  menjamin  supaya  misteri  itu  tetap  menggema  dan  menjangkau  siapa  pun yang  harus  mendengarnya?  Pewartaan  itu­”kerygma”,  pewartaan  atau  katekese­ menduduki  tempat  begitu  penting  dalam  pewartaan  Injil,  sehingga  sering  sinonim dengannya. Meskipun begitu hanya satu aspek evangelisasi. 23.  Kenyataannya  pewartaan  hanya  mencapai  perkembangan  sepenuhnya  bila didengarkan, diterima dan sungguh dicamkan di hati, dan bila oleh karenanya si penerima setulus  hati  berpegang  teguh  padanya.  Menerima  penuh  kebenaran­kebenaran  yang oleh  Tuhan  dalam  kerahiman­Nya  telah  diwahyukan.  Lebih  lagi,  menganut  rencana kehidupan  yang  selanjutnya  mengalami  perombakan­seperti  ditawarkan­Nya.  Pendek kata, menerima Kerajaan, artinya ”dunia baru” bagi kenyataan baru segala sesuatu, bagi cara berada, perihidup, kehidupan di masyarakat yang serba baru, yang dimulai oleh Injil. Penerimaan  Injil  itu  tidak  dapat  tetap  abstrak,  tanpa  diwujudkan  secara  nyata,  dan nampak  secara  konkret,  bila  orang  secara  kelihatan  masuk  anggota  jemaat  beriman. Begitulah  mereka,  yang  hidupnya  mengalami  perubahan  memasuki  persekutuan,  yang hakikatnya  melambangkan  perubahan,  menandakan  kebaharuan  hidup:  itulah  Gereja, lambang  (sakramen)  yang  kelihatan  bagi  keselamatan [53].  Akan  tetapi  masuknya seseorang ke dalam persekutuan gerejawi sendiri juga akan diungkapkan melalui sekian banyak  tanda  lain,  yang  melestarikan  dan  mengembangkan  pertandaan  Gereja.  Dalam dinamisme  pewartaan  Injil  orang  yang  menerima  Gereja  sebagai  sabda  penyelamat[54] lazimnya  membahasakan  itu  kedalam  tindakan­tindakan  sakramental  berikut:  bergabung dengan  Gereja,  dan  menerima  sakramen­sakramen,  yang  menampilkan  dan  mendukung penggabungan itu melalui rahmat yang diterimakannya. 24.  Akhirnya:  orang  yang  mengalami  evangelisasi  kemudia  mewartakan  Injil  kepada sesama.  Di  situlah  kebenaran  diuji;  itulah  batu  ujian  bagi  evangelisasi:  tidak terbayangkan,  bahwa  orang  menerima  sabda  dan  menyerahkan  diri  kepada  Kerajaan, tanpa kemudian menjadi saksi dan mewartakan Kerajaan itu.             Guna melengkapi refleksi tentang makna pewartaan Injil, masih perlu disampaikan catatan  akhir,  yang  pada  hemat  kami  akan  membantu  menjelaskan  pemikiran­pemikiran yang masih akan menyusul.                         Seperti  telah  diuraikan,  pewartaan  Injil  itu  proses  yang  kompleks  terdiri  dari pelbagai unsur: pembaharuan umat manusia, kesaksian, pewartaan eksplisit, penerimaan batin  Injil,  masuknya  orang  ke  dalam  jemaat,  penerimaan  lambang­lambang,  prakarsa untuk  merasul.  Barangkali  unsur­unsur  itu  nampak  tidak  saling  sesuai,  bahkan  saling bertentangan.  Kenyataannyajustru  saling  melengkapi  dan  memperkaya.  Masing­masing unsur  hendaknya  selalu  dilihat  dalam  hubungan  dengan  unsur­unsur  lainnya.  Relevansi Sinode  terakhir  ialah:  terus  menerus  mengajak  kita  menghubungkan  unsur­unsur  itu, bukan  memperlawankannya  satu  terhadap  yang  lain,  untuk  mencapai  pengertian



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



6/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL seutuhnya tentang kegiatan Gereja mewartakan Injil. Pandangan menyeluruh itulah yang kini  ingin  kami  sajikan  garis  besarnya,  dengan  meneliti  isi  pewartaan  Injil  dan  cara­cara mewartakannya,  dengan  menjelaskan  kepada  siapa  amanat  Injil  ditujukan,  dan  siapakah yang sekarang ini bertanggung jawab atasnya. III ISI AMANAT INJIL 25.  Dalam  amanat  yang  diwartakan  oleh  Gereja  tentu  terdapat  banyak  unsur  sekunder. Penyajiannya banyak tergantung dari situasi yang berubah­ubah. Unsur­unsur itu sendiri juga  berubah.  Akan  tetapi  ada  isi  yang  hakiki,  pokok  utama  yang  sungguh  nyata,  yang tidak dapat diubah atau diabaikan tanpa secara serius mengurangi hakikat pewartaan Injil sendiri.   26.  Bukannya  tiada  gunanya  menyebutkan  pokok­pokok  berikut:  mewartakan  Injil pertama­tama  berarti  memberi  kesaksian  secara  sederhana  dan  langsung  akan  Allah yang diwahyukan oleh Yesus Kristus dalam Roh Kudus; memberi kesaksian bahwa dalam Putera­Nya  Allah  mencintai  dunia­bahwa  dalam  Sabda­Nya  yang  menjelma  Ia  telah menciptakan  segala  sesuatu  dan  memanggil  manusia  untuk  menerima  hidup  kekal. Barangkali  pernyataan  tentang  Allah  itu  bagi  banyak  orang  mengambarkan  Allah  yang tidak dikenal[55], yang mereka sembah­sujudi tanpa mereka beri nama, atau mereka cari atas  panggilan  hati  yang  bersifat  rahasia,  bila  mereka  mengalami  kehampaan  segala berhala. Akan tetapi berlangsung pewartaan Injil sepenuhnya, bila dijelaskan kenyataan, bahwa  bagi  manusia  Sang  Pencipta  bukannya  kekuatan  tanpa  nama  yang  jauh.  Dia  itu Bapa:”...sehingga  kita  disebut  anak­anak  Allah,  dan  memang  kita  ini  anak­anak Allah” [56]. Begitulah kita ini dalam Allah saudara­saudari satu bagi yang lain.   27.  Pewartaan  Injil  selalu  juga  akan  mencakup­sebagai  dasar,  pusat  dan  sekaligus puncak  dinamismenya­pewartaan  yang  jelas,  bahwa  dalam  Yesus  Kristus,  Putera  Allah yang  menjelma,  yang  wafat  dan  bangkit  dari  kematian,  keselamatan  ditawarkan  kepada semua  orang,  sebagai  anugerah  rahmat  dan  belaskasihan  Allah [57].  Dan  bukan keselamatan  yang  terkungkung,  memenuhi  kebutuhan­kebutuhan  jasmani  atau  bahkan rohani,  terbatas  pada  lingkup  kehidupan  di  dunia  dan  dianggap  sama  belaka  dengan aspirasi­aspirasi,  harapan­harapan,  perkara­perkara  dan  pergumulan  di  dunia  ini; melainkan  keselamatan  yang  melampaui  semua  batas­batas  itu,  untuk  mencapai kepenuhannya  dalam  persekutuan  dengan  Nan  Mutlak  ilahi  satu­satunya:  keselamatan adisemesta  yang  menjangkau  akhir  zaman,  yang  memang  berawal  dalam  hidup  di  dunia ini tetapi mekar penuh dalam kehidupan kekal. 28.  Oleh  karena  itu  evangelisasi  mau  tak  mau  mencakup  pewartaan  kenabian  zaman akhirat,  panggilan  mausia  yang  mendalam  sekali  untuk  selamanya,  zaman  yang melanjutkan  situasi  sekarang  dan  sekaligus  berbeda  dengannya:  melampaui  waktu  dan sejarah,  melampaui  kenyataan  yang  fana  dunia  ini,  dan  melampaui  perkara­perkara duniawi,  yang  suatu    ketika  akan  diwahyukan  dimensinya  yang  terselubung­melampaui manusia sendiri, yang tujuannya sejati tidak terbatas pada segi sementaranya, melainkan akan  diwahyukan  dalam  hidup  yang  akan  datang [58].  Oleh  karena  itu  evangelisasi  juga mencakup  pewartaan  harapan  akan  janji­janji  Allah  dalam  Perjanjian  Baru  dalam  Yesus Kristus;  pewartaan  cinta­kasih  Allah  terhadap  semua  orang­kemampuan  memberi  dan menerima, mengingkari diri, membantu saudara­saudari­yang bersumber pada cintakasih Allah  dan  merupakan  inti  Injil;  pewartaan  misteri  kejahatan  dan  usaha  aktif  menemukan kebaikan.  Begitu  pula  pewartaan­dan  ini  selalu  mendesak­usaha  mencari  Allah  sendiri melalui doa, yang terutama berupa doa sembah­sujud dan puji syukur, tetapi juga melalui persekutuan  dengan  lambang  kelihatan  perjumpaan  dengan  Allah,  yakni  Gereja  Yesus Kristus.  Dan  persekutuan  itu  sendiri  diungkapkan  melalui  penerimaan  lambang­lambang Kristus lainnya, yang hidup dan berkarya, yakni sakramen­sakram Menghayati sakramen­ sakramen  secara  demikian,  membawa  perayaannya  kepada  kepenuhannya  yang  sejati, tidak  berarti­seperti  dikatakan  oleh  beberapa  orang­menghambat  pewartaan  Injil  atau menerima evangelisasi yang keliru; melainkan melengkapi pewartaan Injil. Sebab ditinjau menyeluruh,  evangelisasi­melampaui  sekedar  menyiarkan  suatu  amanat  saja­berarti menanamkan Gereja; padahal Gereja tidak ada tanpa daya pendorong, yakni kehidupan sakramental yang memuncak pada Ekaristi[59]. 29.  Akan  tetapi  pewartaan  Injil  tidak  lengkap,  seandainya  tidak  memperhitungkan pengaruh  timbal­balik  yang  tiada  hentinya  antara  Injil  dan  kehidupan  konkret  manusia, baik  perorangan  maupun  sosial.  Itulah  sebabnya,  mengapa  pewartaan  Injil­menanggapi pelbagai situasi yang terus menerus bermunculan­mencakup amanat jelas tetang hak­hak maupun  kewajiban­kewajiban  tiap  manusia,  tentang  kehidupan  keluarga  yang  sangat dibutuhkan  bagi  pertumbuhan  dan  perkembangan  pribadi[60],  tentang  kehidupan  dalam masyarakat,  tentang  kehidupan  internasional,  perdamaian,  keadilan  dan  pembangunan­ amanat yang sekarang ini cukup kuat tentang pembebasan.



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



7/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL 30.  Siapa  pun  mengetahui,  bagaimana  sekian  banyak  Uskup  dari  semua  benua membicarakan  pokok  itu  pada  Sinode  terakhir,  khususnya  para  Uskup  Dunia  Ketiga, dengan  tekanan  pastoral  yang  memantulkan  suara  jutaan  putera­puteri  Gereja  yang termasuk  bangsa­bangsa  itu  sekuat  tenaga  berusaha  dan  berjuang  untuk  mengatasi segala  sesuatu,  yang  menghukum  mereka  untuk  tetap  berada  di  pinggiran  kehidupan: kelaparan,  wabah  yang  berlarut­larut,  keadaan  buta­huruf,  kemiskinan,  pelanggaran keadilan  dalam  hubungan  internasional,  dan  khususnya  dalam  perdagangan,  berbagai situasi  neokolonialisme  di  bidang  ekonomi  dan  kebudayaan,  yang  ada  kalanya  sama kejamnya seperti kolonialisme politik masa silam. Seperti diulangi oleh para Uskup, Gereja wajib  mewartakan  pembebasan  jutaan  manusia,  di  antara  mereka  banyak  pula  putera­ puterinya sendiri. Gereja wajib mendampingi lahirnya pembebasan itu, memberi kesaksian akan pembebasan, menjamin agar pembebasan itu utuh­purna. Semuanya itu tidak asing bagi pewartaan Injil.



PEWARTAAN INJIL DAN PEMBEBASAN 31.  Antara  pewartaan  Injil  dan  kemajuan  manusiawi­perkembangan  dan  pembebasan­ memang  terdapat  ikatan  yang  mendalam.  Termasuk  di  situ  ikatan    pada  tingkat antropologi,  sebab  manusia  yang  harus  menerima  pewartaan  bukan  sesuatu  yang abstrak,  melainkan  terkena  oleh  masalah­persoalan  sosial  dan  ekonomi.  Termasuk  pula ikatan  pada  tingkat  teologis,  sebab  Rencana  Penciptaan  tidak  terceraikan  dari  Rencana Penebusan.  Rencana  kedua  itu  menyangkut  pelbagai  situasi  sangat  konkret  ketidak­ adilan  yang  harus  diperangi,  dan  keadilan  yang  harus  dipulihkan.  Tercakup  juga  ikatan pada  tingkat  sangat  Injili,  yakni  ikatan  cintakasih:  sebab  menurut  kenyataan,  bagaimana orang  dapat  mewartakan  perintah  baru,  tanpa  mendukung  dalam  keadilan  dan perdamaian  kemajuan  manusia  yang  otentik­sejati?  Kami  sendiri  berusaha  menunjukkan itu  dengan  mengingatkan,  bahwa  mustahillah  menerima  ”bahwa  dalam  pewartaan  Injil orang  dapat  atau  harus  tidak  mau  tahu­menahu  tentang  pentingnya  masalah­persoalan yang  sekarang  ini  begitu  banyak  diperdebatkan,  tentang  keadilan,  pembebasan, perkembangan  dan  perdamaian  di  dunia.  Andaikata  begitu,  itu  berarti  melupakan pelajaran  yang  kita  terima  dari  Injil  tentang  cintakasih  terhadap  sesama  yang  sedang menderita dan serba kekurangan” [61].                         Suara­suara  serupa,  yang  selama  Sinode  penuh  semangat,  kearifan  dan keberanian menyentuh tema yang hangat itu,­dan ini sangat menggembirakan kami­telah menyajikan  prinsip­prinsip  yang  gemilang  untuk  dengan  cermat  memahami  penting  dan mendalamnya makna pembebasan, seperti diwartakan dan dilaksanakan oleh Yesus dari Nazareth, dan disiarkan oleh Gereja. 32.  Hendaklah  kita  sadari  kenyataan,  bahwa  banyak  orang  Kristiani,  juga  yang  berjiwa besar,  cukup  peka  terhadap  soal­soal  dramatis  berkaitan  dengan  pembebasan.  Karena menghendaki  komitmen  Gereja  terhadap  usaha  pembebasan,  mereka  sering  tergoda untuk  membatasi  perutusannya  pada  dimensi  proyek  duniawi  melulu.  Mereka  membatasi sasaran­sasaran  Gereja  pada  tujuan  yang  berpusatkan  manusia.  Kalau  begitu keselamatan  yang  diwartakannya  dibatasi  pada  kesejahteraan  jasmani.  Lalu  kegiatan Gereja  mengabaikan  segala  kepedulian  rohani  serta  keagamaan,  dan  menjadi  inisiatif­ inisiatif  politik  atau  sosial.  Akan  tetapi  andaikata  begitu,  Gereja  akan  kehilangan maknanya  yang  mendasar.  Pewartaannya  tentang  pembebasan  tidak  lagi  memiliki keasliannya,  dan  akan  mudah  terbuka  bagi  monopolisasi  serta  manipulasi  oleh  sistem­ sistem ideologis dan partai­partai politik. Gereja tidak mempunyai kewibawaan lagi untuk mewartakan  pembebasan  demi  nama  Allah.  Itulah  sebabnya  mengapa  kami  hendak menekankan,pada  amanat  pembukaan  Sinode,  ”kebutuhan  untuk  dengan  jelas menyatakan  ulang  tujuan  khas  religius  pewartaan  Injil.  Evangelisasi  akan  kehilangan dasar  adanya,  seandainya  menyimpang  dari  poros  keagamaan  yang  membimbingnya, yakni  kerajaan  Allah,  melampaui  segalanya,  dalam  arti  teologisnya  yang sepenuhnya....” [62]. 33.  Mengenai  pembebasan,  yang  diwartakan  dan  dicoba  dilaksanakan  melalui evangelisasi, pokok­pokok berikutlah yang harus dikatakan: ­  pembebasan  tidak  tercakup  dalam  dimensi  melulu  dan  terbatas  ekonomi,  politik, kehidupan  sosial  atau  budya,  melainkan  harus  mempedulikan  manusia  seutuhnya, beserta segala seginya, sampai dengan dan termasuk keterbukaannya bagi yang mutlak, pun juga Nan Mutlak ilahi. ­  Oleh  karena  itu  terkait  dengan  pengertian  tertentu  tentang  manusia,  pada  visi  tentang manusia  yang  tak  pernah  dapat  dikorbankan  kepada  kebutuhan  strategi,  praktek  atau efisiensi jangka pendek mana pun juga.



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



8/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL  34. Oleh karena itu, bila mewartakan pembebasan dan bergabung dengan mereka yang bekerja dan menderita untuk itu, Gereja pasti tidak bermaksud membatasi misinya hanya pada  bidang  keagamaan  dan  bersikap  tak  acuh  terhadap  masalah­masalah  duniawi. Akan tetapi Gereja menegaskan lagi, bahwa yang paling utama panggilan rohaninya, dan menolak  menggantikan  pewartaan  Kerajaan  dengan  penyiaran  berbagai  bentuk pembebasan  manusiawi.  Gereja  bahkan  menyatakan,  bahwa  sumbangannya  bagi pembebasan tidak lengkap, kalau melalaikan pewartaan keselamtan dalam Yesus Kristus. 35.  Gereja  memadukan  pembebasan  manusia  dengan  penyelamatan  dalam  Yesus Kristus,  tetapi  tidak  pernah  menganggap  keduanya  sama  saja.  Sebab  berkat perwahyuan,  pengalaman  sejarah  dan  refleksi  iman  Gereja  tahu,  bahwa  tidak  setiap faham  pembebasan  pasti  konsisten  dan  selaras  dengan  visi  Injili  tentang  manusia, kenyataan­kenyataan  serta  peristiwa­peristiwa.  Gereja  tahu  juga,  bahwa  untuk kedatangan  Kerajaan  Allah  tidak  cukuplah  mewujudkan  pembebasan  dan  menciptakan kesejahteraan dan perkembangan.             Apa lagi Gereja berkeyakinan kuat, bahwa segala pembebasan duniawi, semua pembebasan  politik­juga  kalau  mencoba  membenarkan  diri  berdasarkan  suatu  halaman Perjanjian Lama atau Baru, juga kalau bagi kaidah­kaidah ideologisnya dan norma­norma tindakannya  meng­”klaim”  data  maupun  konklusi­konklusi  teologis,  juga  kalau  berlagak ”teologi zaman sekarang”­dalam dirinya sudah membawa benih penyangkalannya sendiri, dan  gagal  mencapai  cita­cita  yang  dibayangkannya  sendiri,  bila  motivasinya  yang mendalam bukan keadilan dalam cintakasih, bila semangatnya tidak berdimensi sungguh rohani, dan bila tujuan akhirnya bukan keselamatan dan kebahagiaan dalam Allah. 36. Gereja memandang penting sekali membentuk struktur­struktur yang lebih manusiawi, lebih adil, lebih menghormati hak­hak manusia dan kurang menindas atau memperbudak. Tetapi  Gereja  menyadari,  bahwa  struktur­struktur  terbaik  dan  sistem­sistem  yang  paling ideal pun segera kehilangan perikemanusiaannya, kalau kecondongan­kecondongan hati manusia  yang  tidak  manusiawi  tidak  disembuhkan,  kalau  mereka  yang  hidup  dalam struktur­struktur itu atau mengendalikan tidak mengalami pertobatan hati dan pandangan. 37.  Gereja  tidak  dapat  menerima  kekerasan,  khususnya  kekuatan  senjata­yang  sekali dibiarkan saja sudah tidak terkendalikan lagi­dan maut tanpa pandang bulu sebagai jalan pembebasan.  Sebab  Gereja  tahu,  bahwa  kekerasan  selalu  mengundang  kekerasan  dan mau  tak  mau  melahirkan  bentuk­bentuk  baru  penindasan  dan  perbudakan,  yang  sering lebih  berat  ditanggung  dari  pada  penindasan  dan  perbudakan  di  masa  lampau,  yang mereka  harapkan  membawa  kebebasan.  Itu  pada  perjalanan  kami  di  Kolombia  kami nyatakan  dengan  jelas:”Kami  anjurkan,  agar  anda  jangan  mengandalkan  kekerasan  dan revolusi: itu berlawanan dengan semangat Kristiani, lagi pula justru dapat menunda, dan tidak memajukan peningkatan sosial, yang sewajarnya anda dambakan” [63]. ”Harus kami katakan dan tegaskan lagi, bahwa kekerasan tidak sesuai dengan Injil, tidak Kristiani; dan bahwa  perubahan  struktur­struktur  yang  mendadak  dan  disertai  kekerasan  dengan sendirinya  akan  mengelabui  dan  tidak  efektif,  serta  pasti  tidak  selaras  dengan  martabat rakyat” [64]. 38.  Sesudah  menyampaikan  semuanya  itu,  kami  bergembira  bahwa  Gereja  makin menyadari  cara  yang  cocok  dan  upaya­upaya  yang  sungguh  Injili  yang  ada  padanya, untuk berperan­serta dalam pembebasan banyak orang. Apa yang dilakukannya? Gereja makin  berusaha  mendorong  banyak  orang  Kristiani  untuk  membaktikan  diri  demi pembebasan  sesama.  Para  ”pembebas”  Kristiani  itu  dibekalinya  dengan  inspirasi  iman, motivasi  cintakasih  persaudaraan,  ajaran  sosial  yang  tak  dapat  dikesampingkan  oleh orang  Kristiani  sejati,  dan  yang  harus  dijadikannya  dasar  bagi  kebijaksanaan  serta pengalamannya,  untuk  menjabarkannya  secara  konkret  dalam  bentuk­bentuk  tindakan, peran­serta dan komitm Semuannya itu harus menandai semangat seorang Kristiani yang sungguh  melibatkan  diri,  tanpa  dicampur­adukkan  dengan  sikap­sikap  strategis  atau pengabdian  kepada  sistem  politik.  Gereja  selalu  berusaha  mengintegrasikan  perjuangan Kristiani  demi  pembebasan  dalam  Rencana  semesta  Penyelamatan  yang  diwartakannya sendiri.                         Yang  baru  saja  kamiuraikan  itu  acap  kali  dikemukakan  dalam  diskusi  selama sinode.  Memang  kami  sumbangkan  kepad  tema  itu  beberapa  penjelasan  dalam  amanat kami kepada para Bapa pada akhir Sidang [65].                         Diharapkan,  supaya  semua  pertimbangan  itu  akan  membantu  menyingkirkan ketidak­jelasan,  yang  sering  sekali  terdapat  pada  istilah  ”pembebasan”  dalam  ideologi­ ideologi,  sistem­sistem  atau  kelompok­kelompok  politik.  Pembebasan,  yang  diwartakan dan  disiapkan  oleh  evangelisasi  ialah  yang  diwartakan  oleh  Kristus  sendiri  dan dikurniakan­Nya kepada manusia melalui korban­Nya. 39.  Kebutuhan  menegakkan  hak­hak  asasi  manusia  tidak  terpisahkan  dari  pembebasan yang  adil  itu,  yang  melekat  pada  pewartaan  Injil,  dan  berusaha  mengamankan  struktur­ struktur  yang  menjamin  kebebasan  manusiawi.  Di  antara  hak­hak  asasi    itu  kebebasan beragama  menduduki  tempat  utama.  Belum  lama  ini  kami  menguraikan  relevansi  soal  itu



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



9/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL dan  menekankan:”Betapa  masih  banyak  orang  Kristiani  sekarang,  yang  karena  mereka Kristiani, karena beragama Katolik, hidup tertindas oleh penganiayaan sistematis! Drama kesetiaan  kepada  Kristus  dan  kebebasan  beragama  tetap  berlangsung,  juga  kendati diselubungi  oleh  pernyataan­pernyataan  yang  jelas  mendukung  hak­hak  manusia  dan kehidupan dalam masyarakat!” [66]



IV UPAYA­UPAYA UNTUK MEWARTAKAN INJIL 40.  Jelasnya  relevansi  isi  pewartaan  Injil  tidak  boleh  mengurangi  pentingnya  cara­cara maupun upaya­upaya.                         Soal  ”bagaimana  mewartakan  Injil”  tetap  relevan,  sebab  metode­metode pewartaan  berbeda­beda  menurut  majemuknya  situasi  masa,  tempat  dan  kebudayaan, dan karena serta­merta cara­cara itu mengajukan tantangan tertentu kepada kemampuan kita untuk menemukan sesuatu dan mengadakan penyesuaian.             Pada kita khususnya, para gembala Gereja, ada tanggung jawab meninjau ulang dengan  keberanian  dan  kebijaksanaan,  tetapi  dalam  kesetiaan  sepenuhnya  terhadap  isi evangelisasi,  upaya­upaya  yang  paling  cocok  dan  efektif  untuk  menyampaikan  amanat Injil  kepada  orang­orang  zaman  sekarang.  Cukuplah  dalam  renungan  ini  menyebutkan sejumlah metode yang, karena alasan tertentu, mempunyai relevansi mendasar. 41. Tanpa mengulangi apa pun yang sudah dikemukakan, sudah sewajarnyalah terutama menekanka  pokok  berikut:  bagi  Gereja  upaya  pertama  mewartakan  Injil  ialah  kesaksian hidup  otentik  Kristiani,  dalam  penyerahan  diri  kepada  Allah,  dalam  persekutuan  yang pantang  dihancurkan,  dan  sekaligus  dalam  komitmen  kepada  sesama  dengan  semangat tanpa batas. Seperti baru­baru ini kami sampaikan kepada sejumlah ahli hukum: ”Manusia modern  lebih  suka  mendengarkan  saksi­saksi  dari  pada  guru­guru,  dan  kalau  ia mendengarkan 



guru­guru, 



itu 



karena 



mereka 



saksi” [67]. 



Santo 



Petrus



mengungkapkannya  dengan  tepat,  ketika  ia  mengutarakan  teladan  hidup  saleh  dan murni,  yang  bahkan  tanpa  kata­kata  pun  menarik  mereka  yang  tidak  mau  mematuhi sabda [68]. Oleh karena itu terutama melalui perilaku dan corak hidupnyalah Gereja akan mewartakan Injil kepada dunia; dengan kata lain, melalui kesaksiannya yang hidup akan kesetiaan  terhadap    Tuhan  Yesus­kesaksian  kemiskinan  dan  sikap  lepas­bebas, kesaksian kebebasan menghadapi berbagai kekuasaan dunia ini, pendek kata, kesaksian kekudusan. 42.  Kedua,  ada  gunanya  menekankan  relevansi  dan  perlunya  pewartaan.”...bagaimana mereka  dapat  berseru  kepada­Nya,  jika  tidak  percaya  kepada­Nya?  Bagaimana  mereka dapat  percaya  kepada­Nya,  jika  tidak  mendengar  tentang  Dia?  Bagaimana  mereka mendengar  tentang  Dia,  jika  tidak  ada  yang  memberitakannya?...Jadi  iman  timbul  dari pendengaran, dan pendengaran oleh pewartaan tentang Kristus” [69]. Hukum yang sekali ditetapkan oleh Rasul Paulus itu sekarang pun tetap berlaku sepenuhnya.             Pewartaan, pemberitaan amanat secara lisan, memang selalu sungguh perlu. Kita menyadari,  bahwa  manusia  modern  banyak  dijejali  kata­kata.  Jelas  ia  sering  merasa jenuh mendengarkan, dan lebih buruk lagi: sudah kebal bagi kata­kata. Kita sadari juga, bahwa  banyak  psikolog  dan  sosiolog  menyatakan  pandangan,  bahwa  manusia  modern sudah melampaui peradaban kata­kata, yang sekarang sudah tidak efektif atau berguna lagi,  dan  bahwa  sekarang  ia  hidup  dalam  peradaban  gambar­gambar.  Tentu  kenyataan­ kenyataan  itu  harus  mendorong  kita  memanfaatkan­untuk  menyalurkan  amanat  Injil­ upaya­upaya  modern  yang  dihasilkan  oleh  peradaban  itu.  Memang  usaha­usaha  positif sekali telah dijalankan di bidang itu. Kita tak dapat lain keculai memujinya dan mendorong perkembangannya  selanjutnya.  Akan  tetapi  kejeuhan  yang  sekarang  diakibatkan  oleh sekian banyak omong kosong, dan relevansi sekian banyak bentuk komunikasi yang lain jangan  memperlemah  kekuatan  yang  tetap  ada  pada  kata­kata,  atau  menimbulkan  sikap kurang mempercayainya. Kata­kata tetap masih relevan, khsususnya bila menjadi wahana kekuatan  Allah [70].  Itulah  sebabnya  mengapa  dalil  St.  Paulus  ”Iman  timbul  dari pendengaran” [71]  juga  tetap  relevan:  sabda  yang  didengarlah,  yang  mengantar  kepada iman. 43.  Pewartaan  Injil  itu  mengenakan  banyak  bentuk,  dan  semangat  merasul  akan mengilhami  cara­cara  yang  hampir  tak  terbatas  untuk  membaharuinya.  Memang  tak terbilang jumlah kejadian dalam kehidupan dan situasi manusia, yang membuka peluang bagi pernyataan yagn arif tetapi sungguh mengena tetang apa yang hendak diamanatkan oleh  Tuhan  dalam  situasi  tertentu.  Cukuplah  memiliki  perasaan  sungguh  rohani  yang halus  untuk  membaca  amanat  Allah  dalam  peristiwa­peristiwa.  Akan  tetapi  sementara liturgi yang diperbaharui oleh Konsili telah banyak meningkatkan nilai ibadat sabda, akan merupakan kekeliruan, seandainya homili tidak dipandang lagi sebagai upaya pewartaan



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



10/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL Injil,  yang  penting  dan  mudah  disesuaikan.  Tentu  saja  perlulah  mengetahui  dan memanfaatkan dengan baik tuntutan­tuntutan maupun kemungkinan­kemungkinan homili, sehingga  dapat  menjadi  sungguh  efektif  dalam  reksa  pastoral.  Akan  tetapi  terutama perlulah  meyakini  itu,  dan  membaktikan  diri  baginya  penuh  kasih.  Pewartaan  itu,  yang secara unik diintegrasikan dalam perayaan Ekaristi, dan yang beroleh dari padanya daya­ kekuatannya yang khas, pasti mempunyai peranan istimewa dalam pewartaan Injil, sejauh mengungkapkan  iman  pelayan  yang  mendalam  dan  dirasuki  cintakasih.  Umat  beriman, yang berhimpun sebagai jemaat Paska, dan memeriahkan hari raya Tuhan yagn hadir di tengah mereka, mengharapkan banyak dari kotbah itu, dan akan memetik banyak faedah, asal kotbah itu sederhana, jelas, langsung, sungguh cocok, secara mendalam tergantung dari  ajaran  Injil  dan  setia  kepada  Magisterium,  dijiwai  oleh  semangat  merasul  yang seimbang  dan  bersumber  pada  hakekatnya  yang  khas,  penuh  harapan,  memupuk  iman, dan  menciptakan  damai  dan  kesatuan.  Banyak  jemaat  paroki  atau  lain  hidup  dan  tetap terhimpun berkat homili hari Minggu, kalau mempunyai sifat­sifat itu.                         Marilah  kami  tambahkan,  bahwa  berkat  pembaharuan  liturgi  itu  juga  perayaan Ekaristi  bukan  satu­satunya  saat  yang  cocok  bagi  homili.  Homili  harus  mendapat  tempat dan  tidak  boleh  diabaikan  dalam  perayaan  semua  sakramen,  pada  upacara­upacara para­liturgi,  dan  pada  pertemuan­pertemuan  umat  beriman.  Homili  selalu  akan  membuka kesempatan istimewa untuk menyampaikan sabda Tuhan. 44. Upaya pewartaan Injil yang tidak boleh diabaikan ialah pendidikan kateketis. Akalbudi, khususnya  anak­anak  dan  kaum  muda,  perlu  belajar  melalui  pelajaran  agama  yang sistematis  ajaran­ajaran  mendasar  kenyataan  yang  tercakup  dalam  kebenaran,  yang hendak  disampaikan  oleh  Allah  kepada  kita.  Gereja  telah  berusaha  mengungkapkan kebenaran  itu  secara  makin  kaya  selama  sejarahnya  yang  panjang.  Tak  seorang  pun akan  mengingkari,  bahwa  pendidikan  itu  harus  diberikan  untuk  membentuk  pola­pola hidup  Kristiani,  dan  bukan  supaya  tetap  berupa  pengetahuan  saja.  Usaha  mewartakan Injil sungguh akan mendapat banyak faedah­pada taraf pendidikan kateketis di gereja, di sekolah­sekolah,  di  mana  pun  itu  mungkin,  dan  bagaimana  pun  juga  dalam  keluarga Kristiani­kalau mereka yang memberi pendidikan kateketis mempunyai naskah pegangan yang cocok, diperbaharui dengan bijaksana dan cakap, di bawah bimbingan para Uskup. Metode­metode harus sesuai dengan umur, kebudayaan dan daya­tangkap orang­orang yang  dilayani.  Mereka  hendaknya  selalu  berusaha  mencamkan  dalam  daya­ingat, akalbudi  dan  hati  kebenaran­kebenaran  pokok  yang  harus  merasuki  seluruh  kehidupan. Terutama  perlulah  disiapkan  pendidik­pendidik  yang  baik­katekis­katekis  paroki,  guru­ guru,  para  orangtua­yang  ingin  menyempurnakan  diri  dalam  profesi  yang  luhur  itu,  yang sungguh dibutuhkan dan memerlukan pendidikan agama. Lagi pula, tanpa bagaimanapun juga mengabaikan pendidikan anak­anak, jelaslah bahwa situasi sekarang menyesak bagi sekian banyak orang muda dan kaum dewasa, yang berkat sentuhan rahmat demi sedikit menemukan wajah Kristus dan merasa perlu menyerahkan diri kepada­Nya. 45.  Abad  kita  ditandai  media  massa  atau  upaya­upaya  komunikasi  sosial.  Seperti  telah kamitekankan,  pewartaan  pertama,  katekese  atau  pendalaman  iman  selanjutnya  tidak dapat berlangsung tanpa upaya­upaya itu.                         Bila  diabdikan  kepada  Injil,  upaya­upaya  komunikasi  itu  mampu  memperluas hampir  tak  terbatas  wilayah  sabda  Allah  didengar.  Media  itu  memungkinkan  warta gembira  menjangkau  jutaan  orang.  Gereja  akan  merasa  bersalah  di  hadapan  Tuhan, andaikata  tidak  memakai  sarana­sarana  yang  besar  sekali  dampaknya  itu,  yang  berkat keahlian  manusia  dari  hari  ke  hari  semakin  canggih.  Melalui  upaya­upaya  itulah  Gereja mewartakan  ”dari  atap  rumah­rumah” [72]  amanat  yang  dipercayakan  kepadanya.  Bagi Gereja media massa merupakan versi mimbar yang modern dan efektif. Berkat media itu Gereja berhasil menyapa banyak orang.                         Meskipun  begitu  penggunaan  media  komunikasi  sosial  bagi  pewartaan  Injil mengajukan  tantangan:  melalui  media  itu  amanat  Injil  harus  menjangkau  sejumlah  besar orang­orang,  tetapi  dengan  kemampuan  menembus  hatinurani  tiap  orang,  menanamkan diri  di  dalam  hatinya,  seolah­olah  dialah  satu­satunya  yang  disapa,  dengan  segala  sifat­ sifatnya  yang  pribadi  sekali,  dan  mengundang  komitmen  yang  sepenuhnya  bersifat pribadi. 46.  Karena  alasan  itu,  di  samping  pewartaan  Injil  kepada  kelompok  umat,  cara penyampaian yang lain pun, yakni secara perorangan, tetap berlaku penuh dan penting. Tuhan sering menempuh cara itu (misalnya dengan Nikodemus, Zakeus, wanita Samaria, Simon  orang  Farisi),  begitu  pula  para  Rasul.  Dalam  jangka  panjang  adakah  jalan  lain untuk menyampaikan Injil kecuali dengan menyalurkan kepada sesama pengalaman iman pribadi?  Jangan  sampai  kebutuhan  mendesak  untuk  menyiarkan  warta  gembira  kepada orang  banyak  menyebabkan  kita  melupakan  bentuk  pewartaan  ini,  sehingga  hatinurani pribadi  seseorang  dicapai  dan  disentuh  oleh  kata­kata  yang  khusus  sama  sekali,  yang diterimanya dari orang lain. Tak pernah kita dapat cukup memuji imam­imam, yang melalui sakramen  tobat  atau  wawancara  pastoral  menunjukkan  kesediaan  mereka  membimbing umat  pada  jalan  Injil,  mendukung  mereka  dalam  usaha­usaha  mereka,  membangkitkan mereka bila jatuh, dan selalu mendampingi mereka dengan arif­bijaksana dan siap­sedia.



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



11/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL 47.Sungguhpun  begitu  tidak  pernah  cukup  ditekankan  kenyataan  bahwa  pewartaan Injiltidak  hanya  berupa  kotbah  danpenyampaian  ajaran.  Sebab  pewartaan  itu  harus menyentuh  kehidupan:  hidup  kodrat  yang  diberinya  makna  baru  berkat  perspektif­ perspektif  Injili  yang  diwahyukannya;  dan  hidup  adikodrati,  yang  bukan  penyangkalan melainkan  penjernihan  dan  pengangkatan  hidup  kodrati.  Hidup  adikodrati  diungkapkan secara nyata dalam tujuh sakramen dan dengan dipancarkannya rahmat serta kekudusan yang mengagumkan, yang terdapat pada sakramen­sakramen itu.                         Demikianlah  evangelisasi  mewujudkan  khasiatnya  sepenuhnya,  bila  mencapai hubungan  paling  batin,  atau  lebih  tepat  lagi:  komunikasi  timbal­balik  yang  tetap  dan  tak terputuskan,  antara  sabda  dan  sakramen­sakram  Dalam  arti  tertentu  kelirulah mempertentangkan  pewartaan  Injil  dan  penerimaan  sakramen­sakramen,  seperti  ada kalanya  terjadi.  Memang  betul,  cara  tertentu  menerimakan  sakramen­sakramen  itu  dan katekese  yang  menyeluruh,  akhirnya  dapat  banyak  mengurangi  daya­manfaatnya. Peranan  pewartaan  Injil  justru  membina  umat  untuk  hidup  beriman  sedemikian  rupa, sehingga  tiap  orang  Kristiani  dibimbing  untuk  menghayati  sakramen­sakramen  sebagai sakramen iman yang sejati­dan bukan menerimanya atau mengalaminya secara pasif. 48. Di sini kita menyentuh segi pewartaan Injil, yang tidak dapat diabaikan. Kami hendak berbicara  tentang  apa  yang  sekarang  sering  disebut  religiositas  (cita­rasa  keagamaan) rakyat.             Di kalangan rakyat terdapat ungkapan­ungkapan khas usaha mereka menemukan Allah  dan  iman,  dikawasan­kawasan  Gereja  sudah  berdiri  berabad­abad  lamanya maupun  tempat  Gereja  mengalami  proses  didirikan.  Cukup  lama  ungkapan­ungkapan  itu dipandang  sebagai  kurang  murni,  kadang­kadang  bahkan  diremehkan.  Akan  tetapi sekarang  hampir  di  mana­mana  ungkapan­ungkapan  itu  ditemukan  lagi.  Selama  Sinode terakhir para Uskup mempelajari maknanya dengan realisme dan semangat pastoral yang mencolok.             Tentu saja religiositas rakyat mempunyai batas­batasnya. Sering juga kemasukan banyak  gambaran  salah  tentang  agama,  bahkan  berbagai  takhyul.  Seringkali  tetap berada  pada  taraf  bentuk­bentuk  ibadat,  tanpa  sungguh  dijiwai  penerimaan  iman  yang sesungguhnya.  Bahkan  dapat  bermuara  dalam  pembentukan  sekte­sekte  dan membahayakan jemaat gerejawi yang sejati.                         Akan  tetapi  bila  mendapat  pengarahan  yang  tepat,  terutama  berkat  pedagogi pewartaan  Injil,  cita­rasa  keagamaan  itu  kaya  nilai­nilai.  Sebab  menyatakan  rasa  haus akan  Allah,  yang  hanya  dialami  oleh  mereka  yang  sederhana  dan  miskin.  Karena religiositas itu mereka dapat berjiwa besar, bahkan siap untuk pengurbanan yang bersifat kepahlawanan, bila ditantang untuk mengungkapkan iman mereka. Cita­rasa keagamaan mencakup  kesadaran  yang  tajam  dan  mendalam  akan  sifat­sifat  Allah:  kebapaan, penyelenggaraan,  kehadiran  penuh  kasih  dan  setia.  Selain  itu  membuahkan  sikap­sikap batin  yang  jarang  nampak  di  lain  tempat  dalam  kadar  setinggi  itu:  kesabaran,  kepekaan akan salib dalam hidup sehari­hari, sikap lepas­bebas, sikap terbuka bagi sesama, sikap bakti.  Karena  sikap­sikap  itulah  kami  suka  menyebutnya  “ketakwaan  rakyat”,  artinya: agama (“religio”) rakyat, lebih tepat dari cita­rasa keagamaan (“religiositas”).                         Cintakasih  kegembalaan  harus  menggariskan  bagi  semua  ,  yang  oleh  Tuhan ditempatkan  sebagai  pemimpin  jemaat­jemaat  gerejawi  sikap  yang  tepat  menghadapi kenyataan itu, yang sekaligus begitu kaya dan begitu rawan. Terutama dibutuhkan sikap peka,  tahu  bagaimana  mengerti  dimensi­dimensi  batinnya  serta  nilai­nilainya  yang pantang  diingkari,  siap  membantu  mengatasi  risiko­risikonya  untuk  menyimpang.  Kalau diarahkan  dengan  tepat,  religiositas  rakyat  bagi  banyak  rakyat  kita  dapat  makin  berupa perjumpaan sejati dengan Allah dalam Yesus Kristus.



V SEMANGAT MISIONER DALAM DUNIA MODERN 49.  Amanat  terakhir  Yesus  menurut  Injil  Markus  mengenakan  pada  pewartaan  Injil  yang oleh Tuhan dipercayakan kepada para Rasul­Nya sifat universal tanpa batas: ”Pergilah ke seluruh dunia; wartakanlah kabar gembira kepada segala makhluk” [73].             Duabelas Rasul dan angkatan pertama umat Kristiani mengerti dengan baik pesan teks  itu  dan  teks­teks  semacam  itu.  Mereka  menjadikannya  program  kerja.  Bahkan penganiayaan  pun,  dengan  mencerai­beraikan  para  Rasul,  membantu  menyebarluaskan sabda  dan  mendirikan  Gereja  di  daerah­daerah  yang  makin  jauh.  Penerimaan  Paulus menjadi  seorang  Rasul  dan  karismanya  sebagai  pewarta  kepada  bangsa  kapir  (bukan Yahudi) tentang kedatangan Yesus lebih jelas lagi menggarisbawahi sifat universal itu. 50.  Selama  sejarah  dua  puluh  abad  angkatan­angkatan  umat  Kristiani  secara  berkala menghadapi  pelbagai  rintangan  terhadap  perutusan  universal  itu.  Di  satu  pihak,  yakni  di pihak  para  pewarta  Injil  sendiri,  karena  pelbagai  alasan  timbul  godaan  untuk mempersempit  gelanggang  kegiatan  misioner  mereka.  Di  pihak  lain  muncul  perlawanan yang menurut perhitungan manusiawi sering tidak teratasi pada orang­orang yagn disapa oleh  pewarta  Injil.  Lagi  pula  dengan  rasa  sedih  dapat  dicatat,  bahwa  karya  Gereja



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



12/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL mewartakan  Injil  ditentang  dengan  sengit,  kalau  bukan  dicegah,  oleh  pemerintah­ pemerintah  tertentu.  Bahkan  sekarang  pun  terjadi,  bahwa  para  pewarta  sabda  Allah dirampas  hak­hak  mereka,  dianiaya,  diancam  atau  disingkirkan  melulu  karena mewartakan Yesus Kristus dan Injilnya. Akan tetapi kami percaya, bahwa kendati cobaan­ cobaan  yang  amat  menyakitkan  itu  kegiatan  para  rasul  itu  tidak  pernah  mengalami kegagalan mutakhir di mana pun di dunia ini.                         Kendati  rintangan­rintangan  itu  Gereja  tiada  hentinya  membaharui  inspirasinya yang terdalam, yakni yang diterimanya dari Tuhan: kepada seluruh dunia! Kepada segala makhluk!  Sampai  ke  segala  penjur  dunia!  Sekali  lagi  itu  dilakukannya  pada  Sinode terakhir,  sebagai  seruan:  jangan  memenjara  pewartaan  Injil  dengan  membatasinya  pada satu  sektor  umat  manusia  atau  pada  satu  golongan  masyarakat  atau  pada  hanya  satu pola peradaban. Beberapa contoh dapat membuka mata. 51.  Menampilkan  Yesus  Kristus  beserta  Injil­Nya  kepada  mereka  yang  tidak  mengenal­ Nya  sejak  pagi  hari  Pentakosta  merupakan  program  dasar,  yang  diangkat  oleh  Gereja sebagai  rencana  yang  diterimanya  dari  Pendirinya.  Seluruh  Perjanjian  Baru,  khususnya Kisah  para  Rasul,  memberi  kesaksian  akan  saat  yang  istimewa  dan  dalam  arti  tertentu teladan bagi usaha misioner, yang seterusnya akan menandai seluruh sejarah Gereja.                         Gereja  melaksanakan  pewartaan  pertama  tentang  Yesus  Kristus  itu  melalui kegiatan  yang  kompleks  dan  bermacam­ragam,  yang  kadang  diistilahkan  ”pra­ evangelisasi”, tetapi sudah merupakan pewartaan Injil yang sesungguhnya, kendati baru pada  tahap  awalnya  yang  serba  belum  lengkap.  Sejumlah  upaya  yang  hampir  tidak terbatas  dapat  dikerahkan  untuk  tujuan  itu:  pewartaan  eksplisit  tentu  saja,  tetapi  juga kesenian,  pendekatan  ilmiah,  penelitian  filsafah,  dan  sapaan  yang  wajar  terhadap  rasa­ perasaan hati manusiawi. 52.  Pewartaan  pertama  itu  khususnya  ditujukan  kepada  mereka  yang  belum  pernah mendengar  warta  gembira  Yesus,  atau  kepada  anak­anak.  Akan  tetapi,  akibat  situasi dekristianisasi  yang  sekarang  banyak  terdapat,  ternyata  sama­sama  dibutuhkan  oleh orang­orang  yang  tak  terbilang  jumlahnya,  yang  memang  pernah  dibaptis,  tetapi  hidup sama  sekali  di  luar  kehidupan  Kristiani,  oleh  orang­orang  sederhana  yang  mempunyai iman  tertentu,  tetapi  tidak  memadai  pengetahuannya  tentang  dasar­dasar  iman  itu,  oleh kaum  cendekiawan  yang  merasa  membutuhkan  mengenal  Yesus  Kristus  dalam  sorotan yang berbeda dengan ketika mereka mendapat pelajaran sebagai kanak­kanak, dan oleh sekian banyak orang lain. 53.  Pewartaan  pertama  itu  ditujukan  juga  kepada  sebagian  amat  besar  umat  manusia, yang  menganut  agama­agama  bukan­Kristiani.  Gereja  mengungkapkan  secara  hidup­ hidup  jiwa  golongan  amat  besar  orang­orang.  Agama­agama  itu  mendengungkan  gema ribuan  tahun  kerinduan    akan  Allah,  pendambaan  yang  tidak  lengkap  tetapi  sering tercetuskan  dengan  kejujuran  yang  asli  dan  ketulusan  hati.  Agama­agama  itu  juga memiliki  pusaka­warisan  yang  mempesonakan  berupa  teks­teks  yang  kadar  religiusnya mendalam.  Angkatan  demi  angkatan  telah  diajarnya  berdoa.  Semuannya  dirasuki  oleh ”benih­benih  sabda” [74],  yang  tak  terbilang  jumlahnya,  dan  sungguh  dapat  merupakan ”persiapan Injil” [75], mengutip istilah begitu tepat, yang digunakan oleh Konsili Vatikan II dan dipinjam dari Eusebius dari Kaisarea.             Situasi itu tentu menimbulkan pertanyaan­pertanyaan yang kompleks dan rumit, yang  harus  dipelajari  dalam  terang  tradisi  Kristiani  dan  Magisterium  Gereja,  untuk menggelar bagi para misionaris sekarang dan di masa mendatang cakrawala baru dalam kontak mereka dengan agama­agama bukan­Kristiani.                         Terutama  sekarang  kami  hendak  menyatakan,  bahwa  baik  sikap  hormat  dan penghargaan terhadap agama­agama itu maupun serba rumitnya pertanyaan­pertanyaan yang  diajukan  tidak  merupakan  ajakan  kepada  Gereja,  supaya  jangan  mewartakan Kristus  kepada  umat  bukan­Kristiani  itu.  Sebaliknya  Gereja  berpandangan  bahwa  sekian banyak  orang  itu  berhak  mengetahui  kekayaan  misteri  Kristus[76],­harta­karun,  yang pada  hemat  kami  dapat  menyajikan  kepada  segenap  umat  manusia,  dalam  kepenuhan yang  tak  terduga,  segala  sesuatu,  yang  dicarinya  dengan  meraba­raba  mengenai  Allah, manusia beserta tujuan hidupnya, kehidupan dan kematian serta kebenaran.                         Bahkan  menghadapi  ungkapan­ungkapan  religius  alami  yang  pantas  sekali dihargai,  Gereja  mendapat  dukungan  pada  kenyataan  bahwa  agama  Yesus,  yang diwartakannya  melalui  evangelisasi,  secara  obyektif  menaruh  manusia  dalam  hubungan dengan  Rencana  Allah,  kehadiran­Nya  yang  nyata  dan  karya­Nya.  Jadi  Gereja menimbulkan  perjumpaan  dengan  misteri  ke­Bapa­an  ilahi,  yang  berkenan  memandang umat  manusia.  Dengan  kata  lain,  agama  kita  secara  efektif  menjalin  dengan  Allah hubungan  yang  otentik  dan  hidup,  yang  tidak  berhasil  dijalin  oleh  agama­agama  lain, meskipun agama­agama itu seolah­olah mengulurkan lengannya ke arah surga.                         Itulah  sebabnya  mengapa  Gereja  tetap  memelihara  semangat  misionernya, bahkan  hendak  meningkatkannya  pada  saat  hidup  kita  dalam  sejarah.  Gereja  merasa bertanggung  jawab  di  hadapan  semua  bangsa.  Gereja  takkan  berhenti  selama  belum berusaha  sedapat  mungkin  memaklumkan  warta  gembira  tentang  Yesus  Sang Penyelamat.  Gereja  selalu  menyiapkan    angkatan­angkatan  baru  rasul­rasul.  Marilah



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



13/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL kenyataan  itu  kita  akui  dengan  gembira,  pada  saat  ada  saja  yang  mengira  dan  bahkan mengatakan,  bahwa  sudah  habislah  semangat  merasul  yang  menggebu­gebu,  dan zaman  misi  sekarang  sudah  lewat.  Sinode  menjawab  bahwa  pewartaan  misioner  tidak pernah berhenti, dan bahwa Gereja selalu akan berusaha menunaikan pewartaan itu. 54. Walaupun begitu Gereja tetap merasa wajib memberi perhatian yagn pantang kendur juga  kepada  mereka  yang  telah  menerima  iman,  dan  sering  sudah  sekian  banyak generasi  berkenalan  dengan  Injil.  Maka  Gereja  berusaha  memperdalam,  memantapkan, memupuk  dan  makin  mendewasakan  iman  mereka  yang  sudah  disebut  umat  yang beriman atau percaya, supaya tetap masih berkembang penghayatan mereka.                         Sekarang  iman  itu  hampir  selalu  dihadapkan  pada  sekularisme,  bahkan  pada ateisme yang militan. Iman menghadapi pelbagai cobaan dan ancaman, bahkan lebih lagi, dirundung  bahaya  dan  ditentang  secara  aktif.  Iman  menghadapi  risiko  merosot  karena dikekang atau merana, kalau tidak dipupuk dan dipelihara dari hari ke hari. Oleh karena itu  mewartakan  Injil  sering  sekali  berarti  memberi  santapan  yang  diperlukan  untuk melestarikan iman mereka yang percaya, khasnya melalui katekese penuh kesegaran Injili dan dalam bahasa yang cocok bagi orang­orang beserta situasi mereka.                         Gereja  penuh  kepedulian  juga  terhadap  umat  Kristen,  yang  tidak  sepenuhnya bersekutu  dengannya.  Sementara  bersama  mereka  menyiapkan  kesatuan  yang dikehendaki  oleh  Kristus,  dan  justru  untuk  mewujudkan  kesatuan  dalam  kebenaran, Gereja  menyadari  bahwa  ia  secara  serius  melalaikan  tugasnya,  seandainya  tidak memberi  kesaksian  di  hadapan  mereka  tentang  kepenuhan  perwahyuan,  yang dipercayakan kepada caranya sendiri. 55.  Relevan  pula  keprihatinan  Sinode  terakhir  tentang  dua  bidang  yang  jauh  berbeda, tetapi  sekaligus  amat  berdekatan  karena  tantangan  yagn  diajukannya  terhadap pewartaan Injil, masing­masing dengan caranya sendiri.             Bidang pertama dapat diistilahkan makin paranhnya sikap tak beriman di dunia modern.  Sinode  berusaha  melukiskan  dunia  modern  itu:  betapa  banyak  arus  pemikiran, nilai  dan  nilai­tandingan,  aspirasi  terselubung  atau  benih­benih  kehancuran,  keyakinan lama  yang  menghilang  dan  keyakinan  baru  yang  muncul  tercakup  dalam  istilah  ”tak beriman”  yang  umum  itu!  Ditinjau  dari  sudut  pandangan  rohani  agaknya  dunia  modern untuk  selamanya  tenggelam  dalam  apa  yang  oleh  pengarang  modern  disebut  ”drama humanisme ateis ” [77].                         Di  satu  pihak  mau  tak  mau  tampillah  di  jantung  dunia  masa  kini  gejala,  yang menjadi  cirinya  yang  cukup  menyolok,  yakni  sekularisme.  Yang  kami  bicarakan  bukan sekularisasi,  yakni  usaha­dan  usaha  –dan  usaha  itu  sendiri  wajar  dan  semestinya,  dan sama  sekali  tidak  bertentangan  dengan  iman  atau  agama,  ­untuk  menggali  di  dunia tercipta,  pada  tiap  hal  atau  kejadian  di  alam  semesta,  hukum­hukum  yang  mengatur semuanya  itu  dengan  otonomi  tertentu,  tetapi  dengan  keyakinan  batin  bahwa  Sang Pencipta menanam hukum­hukum itu dalam ciptaan­Nya. Dalam arti itulah Konsili terakhir menegaskan otonomi sewajarnya, yang ada pada kebudayaan dan khususnya pada ilmu­ pengetahuan [78].  Di  sini  yang  kami  maksudkan  sekularisme  yang  sesungguhnya; menurut pandangan dunia itu, dunia dapat menjelaskan dirinya sendiri, sama sekali tidak membutuhkan bantuan Allah, yang karena itu sudah tidak diperlukan lagi, malahan suatu halangan.  Maka  untuk  mengakui  kekuatan  manusia,  sekularisme  semacam  itu  akhirnya tidak membutuhkan Allah lagi, bahkan menolak Dia.                         Agaknya  bentuk­bentuk  baru  ateisme  bersumber  padanya,  yakni  ateisme berpusatkan  manusia,  tidak  abstrak  atau  bukan  filsafah  lagi,  melainkan  pragmatis, sistematis  dan  militan.  Berkaitan  dengan  sekularisme  ateis  itu,  kita  sehari­harian menghadapi masyarakat konsumeris dalam bentuk­bentuknya yang berbeda­beda, usaha mengejar  kenikmatan  yang  dicanangkan  sebagai  nilai  tertinggi,  keinginan  akan kekuasaan  dan  dominasi,  dan  segala  macam  diskriminasi:  arus­arus  tidak  manusiawi pada ”humanisme”itu.                         Di  lain  pihak  di  dunia  modern  ini  juga,  ­dan  itu  suatu  paradoks,­tidak  dapat disangkal  adanya  batu­batu  loncatan  ke  arah  agama  Kristiani,  serta  nilai­nilai  Injili, setidak­tidaknya  berupa  rasa  kekosongan  atau  nostalgia.  Beukannya  berlebihan mengatakan, bahwa ada seruan cukup kuat dan tragis mengharapkan pewartaan Injil. 56. Bidang kedua ialah: mereka yang tidak mengamalkan agama. Sekarang besar sekali jumlah orang yang dibaptis; kebanyakan tidak secara formal mengingkari baptis mereka, tetapi  sama  sekali  tak  peduli  dan  tidak  hidup  sesuai  dengannya.  Kendala  tidak mengamalkan  agama  kuno  sekali  dalam  sejarah  umat  Kristiani.  Sebabnya  kelemahan kodrati, sikap tidak konsisten yang mendalam, yang­sungguh malang­tetap melekat pada kita.  Akan  tetapi  sekarang  menampilkan  ciri­ciri  tertentu  yang  baru.  Sering  sebabnya alienasi  yang  menandai  zaman  kita.  Dapat  juga  diakibatkan  oleh  kenyataan,  bahwa orang­orang  Kristiani  hidup  berdekatan  dengan  orang­orang  yang  tidak  beriman,  dan terus  menerus  mengalami  dampak­pengaruh  sikap  tak  beriman.  Lagi  pula,  orang­orang Kristiani yang sekarang tidak mengamalkan agama,­masih melebihi orang­orang di masa lampau,­berusaha  menjelaskan  dan  membenarkan  posisi  mereka  dengan  dalih  agama batin, kemerdekaan pribadi, atau otentisitas.



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



14/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL                         Jadi  ada  kaum  ateis  dan  tidak  beriman  di  satu  pihak,  dan  mereka  yang  tidak mengamalkan  agama  dipihak  lain.  Kedua  kelompok  cukup  sengit  menentang  pewartaan Injil.  Perlawanan  kelompok  pertama  berupa  suatu  penolakan  dan  ketidak­mampuan menangkap tata baru segalanya, makna baru dunia, kehidupan dan sejarah; mengerti itu memang  tidak  mungkin  kalau  orang  tidak  bertolak  dari  Nan  Mutlak  ilahi.  Sedangkan penolakan  kelompok  kedua  berupa  apati  dan  sikap  sedikit  memusuhi  pada  orang  yang merasa  dirinya  anggota  keluarga,  tetapi  berlagak  tahu  segalanya  dan  sudah  mencoba semuanya, dan sudah tidak percaya lagi.             Sekularisme ateis dan agama yang tidak diamalkan terdapat di kalangan orang dewasa dan kaum muda, di antara para pemimpin masyarakat dan pada rakyat biasa, di segala  taraf  pendidikan,  di  Gereja­Gereja  yang  tua  maupun  yang  muda.  Karya  Gereja mewartakan  Injil  tidak  dapat  mengabaikan  kedua  dunia  itu,  dan  tidak  boleh  macet  bila menghadapi mereka. Hendaklah Gereja tiada hentinya mencari upaya­upaya yang cocok dan bahasa penyajian, atau cara menghadirkan lagi bagi mereka, perwahyuan Allah dan iman akan Yesus Kristus. 57.  Seperti  Kristus  selama  menjalankan  pewartaan,  seperti  Duabelas  pada  hari Pentekosta  pagi,  begitu  pula  Gereja  menghadapi  rakyat  tak  terbilang  jumlahnya,  yang membutuhkan Injil dan berhak atasnya, sebab Allah ”menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan beroleh pengetahuan akan kebenaran” [79].             Gereja secara mendalam menyadari tugasnya mewartakan keselamatan kepada semua  orang.  Gereja  tahu  bahwa  amanat  Injil  tidak  diperuntukkan  melulu  kepada kelompok  kecil  yang  sudah  masuk  anggota,  yang  diutamakan  atau  terpilih,  melainkan dimaksudkan  bagi  semua  orang.  Maka  seperti  Kristus  Gereja  merasa  gelisah menyaksikan  banyak  orang  berkeliaran  dan  kehabisan  tenaga,  ’ibarat  domba­domba tanpa  gembala”,  dan  sering  mengulangi  kata­kata­Nya:  ”Hati­ku  tergerak  oleh  belas­ kasihan  terhadap  semua  orang  itu” [80].  Akan  tetapi  Gereja  menyadari  juga,  bahwa supaya pewartaan Injil efektif ia harus menujukan amanatnya kepada hati orang banyak, kepada  jemaat­jemaat  beriman,  yang  kegiatannya  dapat  dan  harus  menjangkau  orang­ orang lain. JEMAAT­JEMAAT BASIS 58. Sinode terakhir memberi cukup banyak  perhatian  kepada  ”jemaat­jemaat  kecil”  atau jemaat­jemaat  basis[81],  karena  memang  sering  dibicarakan  dalam  Gereja  sekarang. Apakah  jemaat­jemaat  itu?  Mengapa  harus  secara  istimewa  mendengar  pewartaan  Injil dan sekaligus mewartakan Injil sendiri?                         Menurut  berbagai  pernyataan  yang  didengar  di  Sinode,  jemaat­jemaat  itu berkembang  subur  kurang  lebih  di  seluruh  Gereja.  Mereka  sangat  berbeda­beda  dalam wilayah yang sama, apa lagi dari wilayah ke wilayah.                         Di  berbagai  kawasan  jemaat­jemaat  itu  bermunculan  dan  berkembang  hampir tanpa  kecuali  dalam  Gereja,  dalam  solidaritas  dengannya,  dipupuk  dengan  ajarannya, dan bersatu dengan para gembalanya. Dalam keadaan itu mereka muncul dari kebutuhan menghayati  kehidupan  Gereja  secara  lebih  intensif,  atau  dari  keinginan  dan  usaha mencari  dimensi  lebih  manusiawi,  seperti  hanya  dengan  sulit  dapat  disediakan  oleh jemaat­jemaat  gerejawi  yang  lebih  besar,  khususnya  di  kota­kota  besar  yang  modern, yang  membawa  ke  arah  pola  hidup  massal  dan  anonim.  Jemaat­jemaat  itu  dapat  begitu saja,  dengan  cara  masing­masing,  merupakan  perluasan  rukun  hidup  sosial  yang  kecil, seperti  desa,  dan  sebagainya,  pada  taraf  rohani  dan  keagamaan­ibadat,  pendalaman iman,  cintakasih  persaudaraan,  doa,  komunikasi  dengan  para  gembala.  Atau  juga  dapat bertujuan menghimpun kelompok­kelompok umat yang terikat karena umur, kebudayaan, kedudukan  sipil  atau  situasi  sosial:  pasangan  suami­isteri,  kaum  muda,  orang­orang profesional,  dan  sebagainya,  mereka  yang  kebetulan  sudah  bersatu  dalam  perjuangan demi keadilan, bantuan persaudaraan kepada kaum miskin, kemajuan manusiawi; mereka dapat  dihimpun  untuk  mendengarkan  dan  merenungkan  sabda,  untuk  menerima sakramen­sakramen  dan  mengalami  ikatan  ”agape” [82].  Atau  juga  jemaat­jemaat  itu himpunan umat Kristiani di tempat­tempat kekurangan imam tidak mendukung kehidupan lazim  jemaat  paroki.  Semuanya  itu  diandaikan  dalam  jemaat­jemaat  yang  didirikan  oleh Gereja, khususnya Gereja­Gereja dan paroki­paroki.             Di lain pihak di kawasan­kawasan lain berkumpullah jemaat­jemaat basis dengan semangat  kritik  yang  pedas  terhadap  Gereja,  yang  cepat  mereka  cap  sebagai ”institusional”. Jemaat­jemaat itu menempatkan diri sebagai jemaat karismatis, bebas dari struktur­struktur  dan  hanya  berinspirasi  Injil.  Jadi  ciri  mereka  yang  jelas  ialah  sikap mencari  kesalahan  dan  menolak  terhadap  penampilan  Gereja:  hirarkinya,  tanda­ tandanya.  Secara  radikal  mereka  melawan  Gereja.  Dengan  menempuh  haluan  itu inspirasi  utama  mereka  cepat  sekali  menjadi  ideologis.  Jarang  kelompok­kelompok    itu tidak  lekas  terjerumus  ke  dalam  suatu  pilihan  politik  atau  arus  gagasan,  kemudian  ke dalam suatu sistem dan bahkan partai dengan segala risiko diperalat olehnya.             Perbedaan sudah jelas: jemaat­jemaat yang karena sikap oposisi menceraikan diri dari  Gereja,  yang  kesatuannya  mereka  lukai,  dapat  saja  disebut  ”jemaat  basis”;  akan tetapi  itu  istilah  sosiologis  belaka.  Kelompok­kelompok  itu  tidak  dapat  tanpa



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



15/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL penyalahgunaan  istilah  disebut  ”jemaat  basis”  gerejawi,  sekalipun  meng­”klaim”  tetap berada  dalam  kesatuan  Gereja,  sedangkan  mereka  memusuhi  hirarki.  Nama  ”jemaat basis” milik kelompok­kelompok lain, yang berkumpul dalam Gereja untuk menyatukan diri dengan Gereja serta mendukung perkembangannya.             Jemaat­jemaat terakhir itulah yang akan menjadi gelanggang pewartaan Injil, demi jemaat­jemaat  yang  lebih  besar,  khususnya  Gereja­Gereja.  Dan  seperti  kami  uraikan pada penutupan Sinode terakhir, mereka tumpuan harapan bagi Gereja semesta, sejauh: ­  Jemaat­jemaat  itu  mencari  santapannya  dalam  sabda  Allah,  dan  tidak  membiarkan  diri terjebak dalam pertentangan politik atau ideologi­ideologi yang sedang laku, yang sudah akan menghisap sumber­daya manusiawi mereka yang besar; ­jemaat­jemaat  itu  menghindari  godaan  yang  selalu  ada  untuk  secara  sistematis melontarkan  protes  dan  bersikap  hiperkritis  atas  dalih  otentisitas  dan  semangat kerjasama; ­jemaat­jemaat  itu  tetap  erat  bergabung  dengan  Gereja  setempat  yagn  mencakup mereka, dan dengan Gereja semesta, serta dengan begitu menghindari bahaya yang riil sekali  menjadi  terkunkung  dalam  diri  mereka,  dan  mengira  seakan­akan  mereka sendirilah  satu­satunya  Gereja  Kristus  yang  otentik,  dan  karena  itu  mengecam  jemaat­ jemaat gerejawi lainnya; ­jemaat­jemaat  itu  tetap  berada  dalam  persekutuan  yagn  tulus  dengan  para  gembala, yang  oleh  Tuhan  dikurniakan  kepada  Gereja­Nya,  dan  dengan  Magisterium,  yang  oleh Roh Kristus dipercayakan kepada para gembala itu; ­jemaat­jemaat  itu  tidak  pernah  memandang  diri  sebagai  satu­satunya  penerima  atau satu­satunya  pelaku  pewartaan  Injil,  ­atau  bahkan  satu­satunya  pemelihara perbendaharaan Injil,­melainkan menyadari bahwa Gereja jauh lebih luas dan bermacam­ ragam  serta  menerima  kenyataan  bahwa  Gereja  itu  tampil  nyata  dengan  cara­cara  lain dari pada melalui mereka sendiri. ­  jemaat­jemaat  itu  tetap  bertumbuh  dalam  kesadaran  misioner,  entusiasme,  komitmen dan semangat; ­ jemaat­jemaat itu tampil sebagai universal dalam segalanya, dan tidak pernah sektarian.             Dengan terpenuhinya syarat­syarat itu, yang tentu memang cukup menuntut tetapi juga  mengangkat,  jemaat­jemaat  basis  gerejawi  akan  memenuhi  panggilan  mereka  yang paling  mendasar,  yakni:  sebagai  pendengar  Injil  yang  diwartakan  kepada  mereka,  dan sebagai  penerima  evangelisasi  yang  posisinya  istimewa,  mereka  segera  akan  menjadi pewarta Injil sendiri. VI



GEREJA SEMESTA, GEREJA­GEREJA SETEMPAT 59.  kalau  orang  mewartaan  Injil  keselamatan  di  masyarakat,  itu  dilakukannya  atas perintah  Kristus  sang  Penyelamat,  atas  nama­Nya  dan  berkat  rahmat­Nya.”Bagaimana mereka  dapat  memebrikan­Nya,  kalau  tidak  diutus?” [83],  tulis  dia  yang  pantang diragukan  ialah  salah­seorang  pewarta  Injil  yang  ulung.  Tak  seorang  pun  mampu menjalanknanya tanpa diutus.             Lalu siapakah yang menerima misi mewartakan Injil?             Konsili Vatikan II menjawab pertanyaan itu dengan jelas: pada Gerejalah, ”atas perintah  ilahi,  terdapat  kewajiban  pergi  ke  seluruh  dunia  dan  mewartakan  Injil  kepada segala  makhluk” [84].  Dan  dalam  teks  lain:”...seluruh  Gereja  bersifat  misioner,  karya mewartakan Injil ialah tugas mendasar umat Allah” [85].             Telah kami sebutkan kaitan erat itu antara Gereja dan evangelisasi. Sementara mewartakan  dan  membangun  Kerajaan  Allah,  Gereja  memantapkan  diri  di  tengah  dunia sebagai  lambang  dan  upaya  Kerajaan  yangsudah  ada  dan  harus  datang.  Konsili mengangkat  ungkapan  St.  Agustinus  tentang  kegiatan  misioner  Duabelas:  ”Mereka mewartakan sabda kebenaran dan melahirkan Gereja” [86]. 60.  Pernyataan,  bahwa  Gereja  diutus  dan  diperintahkan  untuk  mewartakan  Injil  di  dunia harus  membangkitkan  pada  kita  dua  keyakinan.  Pertama:  pewartaan  Injil  bagi  siapa  pun bukan  tindakan  perorangan  yagn  tersendiri,  melainkan  secara  mendalam  bersifat gerejawi. Bial pewartaan katekis atau pastor yagn paling tak dikenal di negeri yang paling terpencil  mewartakan  Injil,  menghimpun  jemaatnya  yang  kecil  atau  menerimakan sakramen, juga seorang diri, ia sedang menjalankan tindakan gerejawi, dan tindakannya pasti  tergabungkan  pada  kegiatan  evangelisasi  seluruh  Gereja  melalui  hubungan­ hubungan  kelembagaan,  tetapi  juga  melalui  kaitan­kaitan  mendalam  yang  tak  kelihatan pada tingkat rahmat. Itu mengadandaikan bahwa ia bertindak bukan atas perutusan yang dianggapnya berasal dari dirinya atau atas ilham perorangan, melainkan dalam persatuan dengan misi Gereja dan atas namanya.                         Dari  situ  lahirlah  keyakinan  kedua:  bila  siapa  pun  mewartakan  Injil  atas  nama Gereja,  yang  menjalankannya  juga  atas  perintah  Tuhan,  tak  seorang  pun  pewarta berdaulat  mutlak  atas  tindakannya  mewartakan  Injil,  seolah­olah  ia  berwenang  memilih



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



16/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL dan melakukannya menurut norma­norma dan perpektif­perpektifnya secara perorangan. Ia bertindak dalam persekutuan dengan Gereja beserta para gembalanya.             Telah kami kemukakan, bahwa Gereja seluruhnay dan selengkapnya mewartakan Injil. Itu berarti bahwa, di seluruh dunia dan di tiap wilayah dunia tempat Gereja hadir, ia merasa bertanggungjawab atas tugas menyiarkan Injil. 61.Saudara­saudar dan putera­puteri terkasih, pada tahap refleksi kita sekarang ini kami hendak  berhenti  sejenak  bersama  Anda,  untuk  menelaah  soal,  yagn  pada  zaman  ini sungguh penting sekali. Dalam perayaan liturgi, dalam kesaksian mereka di hadapan para hakim  serta  para  pelaksana,  begitu  pula  dalam  karya  tulis  mereka  untuk  membela  iman, umat  Kristiani  pertama  dengan  sukarela  mengungkapkan  ian  mereka  yang  mendalam akan  Gereja  dengan  menggambarkannya  sebagai  tersebar  di  seluruh  dunia.  Mereka menyadari  sepenuhnya,  bahwa  mereka  termasuk  jemaat  yang  besar  dan  tak  dapat dibatasi  oleh  ruang  atau  kurun  waktu:  ”Dari  Abel  yang  benar  hingga  yang  terakhir  di antara  kaum  terpilih” [87],  ”sampai  di  segala  penjuru  dunia” [88],  ”hingga  akhir zaman” [89].             Begitulah  Tuhan  menghendaki  Gereja­Nya:  universal,  suatu  pohon  besar,  yang cabang­cabangnya  menaungi  burung­burung  di  udara [90],  jala  yang  menyaring  segala macam ikan [91],  atau  yang  diangkat  oleh  Petrus  penuh  dengan  seratus  lima  puluh  tiga ikan  besar [92],  kawanan  yang  digembalakan  oleh  satu  gembala [93].  Gereja  semesta tanpa perbatasan kecuali batas­batas hati dan budi dan manusia pendosa.



62.  Meskipun  begitu  Gereja  semsta  kenyataannya  menjelma  dalam  Gereja­Gereja setempat,  terdiri  dari  sebagian  konkret  umat  manusia,  menggunakan  bahasa  tertentu, mewaris  pusaka  budaya,  pandangan  dunia,  masa  silam,  dan  terletak  pada  lapisan manusiawi  yang  khas.  Sikap  terbuka  bagi  kekayaan  Gereja  masing­masing  sesuai dengan kepekaan khas manusia modern.             Marilah sangat berhati­hati, jangan menganggap Gereja semesta sebagai jumlah, atau­kalau  boleh  dikatakan  begitu­perserikatan  kurang­lebih  campur­baur  Gereja­Gereja yang  banyak  berbeda  antara  mereka.  Menurut  maksud  Tuhan  gereja  bersifat  universal karena  panggilan  dan  perutusannya.  Tetapi  bila  berakar  dalam  kemajemukan  bidang budaya,  sosial  dan  manusiawi,  Gereja  mengenakan  ungkapan­ungkapan  serta penampilan­penampilan lahiriah yang serba berbeda di tiap bagian dunia.             Maka  tiap  Gereja,  yang  dengan  sengaja  memisahkan  diri  dari  Gereja  semesta, akan kehilangan hubungannya dengan Rencana Allah, dan mengalami pemiskinan dalam dimensi  gerejawinya.  Akan  tetapi  sementara  itu,  seandainya  Gereja  melulu  ”toto  orbe diffusa”  (meliputi  seluruh  dunia),  akan  menjadi  abstraksi,  kalau  tidak  mendarah­daging justru  melalui  Gereja­Gereja  setempat.  Hanya  bila  kedua  kutub  Gereja  itu  terus diperhatikan,  kita  akan  mampu  menangkap  kekayaan  hubungan  antara  Gereja  semesta dan Gereja­Gereja lokal. 63.  Gereja­Gereja  itu,  yang  mencakup  dalam  dirinya  bukan  hanya  orang­orang, melainkan juga aspirasi­aspirasi, kekayaan serta sifat terbatasnya, pelbagai cara berdoa, mengasihi,  memandang  kehidupan  dan  dunia,  yang  membedakan  pelbagai  kelompok manusia,  bertugas  mengolah  hakikat  amanat  Injil  dan­tanpa  sedikitpun  mengkhianati kebenaran  hakikinya­menerjemahkannya  ke  dalam  bahasa  yang  dimengerti  oleh kelompok yang khusus itu, kemudian mewartakannya dalam bahasa itu.                         Penerjemahan  harus  dijalankan  dengan  arif  dan  serius,  sikap  hormat  dan kompetensi  yang  dibutuhkan  di  bidang  ungkapan  liturgis[94],  dan  di  gelanggang katekese,  perumusan  teologis,  tata­susunan  gerejawi  yang  sekunder,  serta  pelayanan­ pelayanan.  Dan  istilah  ”bahasa”  di  sini  hendaklah  dimengerti  tidak  terutama  dalam  arti semantis  atau  harafiah,  melainkan  terutama  dalam  arti  yang  dapat  disebut  antropologis dan budaya.                         Pastilah  soalnya  cukup  rumit.  Pewartaan  Injil  banyak  kehilangan  kekuatan  dan daya­gunanya  kalau  tidak  mempertimbangkan:  secara  konkret  ditujukan  kepada  siapa saja,  kalau  tidak  menggunakan  bahasa  mereka,  tanda­tanda  dan  lambang­lambang mereka,  kalau  tidak  menanggapi  soal­soal  yang  mereka  tanyakan,  dan  kalau  tidak mempunyai  dampak  atas  hidup  konkret  mereka.  Tetapi  di  lain  pihak  ada  risiko evangelisasi  kehilangan  kekuatannya  bahkan  sama  sekali  menghilang,  kalau  artinya dikosongkan atau diubah dengan dalih mengalih­bahasakannya, dengan kata lain, kalau kenyataan  itu  dikurbankan  dan  kesatuannya  dihancurkan,  padahal  itu  mutlak  perlu  bagi sifat  universalnya,  melulu  karena  orang  mau  menyesuaikan  kenyataan  universal  dengan situasi  lokal.  Padahal,  hanya  gereja  yang  tetap  memelihara  kesadaran  akan  sifat semestanya,  dan  menunjukkan  bahwa  memang  bersifat  universal,  mampu  membawakan amanat  yang  dapat  didengarkan  oleh  semua  orang,  tanpa  menghiraukan  batas­batas regional.                         Bila  Gereja­Gereja  setempat  mendapat  perhatian  sewajarnya,  mau  tak  mau Gereja  akan  diperkarya.  Perhatian  itu  mutlak  perlu  dan  mendesak.  Dan  memang  sesuai dengan aspirasi­aspirasi yang sangat mendalam pada bangsa­bangsa serta rukun­rukun hidup manusiawi untuk kian jelas menemukan jatidiri mereka.



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



17/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL  64.  Akan  tetapi  supaya  Gereja  diperkaya,  Gereja­Gereja  setempat  harus  tetap  terbuka sepenuhnya bagi Gereja semesta. Lagi pula cukup menyolok, bahwa umat Kristiani yang paling  sederhana,  mereka  yang  paling  setia  terhadap  Injil  dan  paling  terbukan  bagi makna  sejati  Gereja,  mempunyai  kepekaan  spontan  dan  sepenuhnya  terhadap  dimensi universal  itu.  Secara  naluri  mereka  sangat  merasa  membutuhkannya,  mereka  mudah mengenali  diri  dalam  dimensi  itu.  Mereka  ikut  merasakannya,  dan  sangat  menderita  bila, atas nama teori­teori yang tidak mereka fahami, mereka terpaksa menerima suatu Gereja tanpa sifat semesta itu, suatu Gereja daerah melulu tanpa cakrawala.                         Seperti  ternyata  dari  sejarah,  bila  suatu  Gereja  khusus  memisahkan  diri  dari Gereja semesta dan dari pusatnya yang hidup dan nampak­ada kalanya dengan maksud­ maksud  baik  sekali,  berdasarkan  argumen­argumen  teologis,  sosiologis,  politik  atau pastoral,  atau  bahkan  karena  menghendaki  kebebasan  tertentu  untuk  bergerak  dan bertindak­hanya dengan sukar sekali mengelakkan (kalau memang menghindarinya) dua bahaya yang sama gawatnya. Bahaya pertama ialah isolasionisme yang makin rancu, dan kemudian  ,  takkan  lama  lagi,  keruntuhan  gereja  setempat,  yang  tiap  selnya  akan menceraikan  diri  dari  padanya,  tepat  seperti  Gereja  itu  meninggalkan  intinya  yang sekaligus  pusatnya.  Bahaya  kedua  yakni:  kehilangan  kebebasannya,  bila  Gereja­ terlepaskan  dari  pusatnya  dan  dari  Gereja­Gereja  lain  yang  memberi  keteguhan  dan kekuatan­menemukan  dirinya  sendirian  semata­mata,  serta  menjadi  bulan­bulanan  bagi kekuatan­kekuatan yang sangat majemuk, serba memperbudakkan dan menghisap.                         Semakin  Gereja  khusus  menyatu  dengan  Gereja  semesta  karena  ikatan persekutuan  yang  mantap,  dalam  cintakasih  dan  loyalitas,  dengan  sikap  menerima terhadap Magisterium Petrus, dalam kesatuan ”lex orandi” (hukumberdoa) yang sekaligus ”lex credendi”  (hukum  beriman)  dalam  keinginan  akan  kesatuan  bersama  semua  Gereja lainnya  yang  mewujudkan  keseluruhan­semakin  Gereja  itu  akan  mampu  mengalih­ bahasakan  perbendaharaan  iman  ke  dalam  kemajemukan  yang  sewajarnya  mengenai ungkapan­ungkapan  pengakuan  iman,  doa  dan  ibadat  ,  kehidupan  serta  perilaku Kristiani, dan pengaruh rohaniatas masyarakat tempatnya berada. Gereja itu akan makin sungguh  mewartakan  Injil  juga  ,  maksudnya:  mampu  menggali  pusaka­warisan  semesta untuk  memampukan  umatnya  sendiri  mendapat  manfaat  dari  padanya,  mampu  pula menyalurkan  kepada  Gereja  semesta  pengalaman  serta  kehidupan  umatnya  sehingga berguna bagi semua anggota. 65. Justru dalam arti itulah pada penutupan Sinode terakhir kami sampaikan amanat yang jelas penuh kasih kebapaan, dan kami tekankan peranan pengganti Petrus selaku prinsip yang  kelihatan,  hidup  dan  dinamis,  mendasari  kesatuan  antara  Gereja­Gereja,  dan dengan  demikian  prinsip  kesemestaan  Gereja  yang  tunggal[95].  Kami  garisbawahi  juga tanggung  jawab  berat  kami,  tetapi  yang  kami  tanggung  bersama  dengan  Saudara­ Saudara  kami  semartabat  Uskup,  untuk  tetap  menjaga  keutuhan  isi  iman  Katolik,  yang oleh Tuhan dipercayakan kepada para Rasul. Sementara diterjemahkan ke dalam segala ungkapannya,  isi  itu  tidak  boleh  dirugikan  atau  dikurangi.  Sementara  mengenakan bentuk­bentuk  lahir  yang  khas  bagi  tiap    bangsa,  dan  dijabarkan  denganjelas  melalui ungkapan teologis, yang mengindahkan lingkungan budaya, sosial dan bahkan kesukuan yang  serba  berbeda,  isi  itu  harus  tetap  merupakan  isi  iman  Katolik,  persisi  seperti Magisterium gerejawi telah menerima dan menyalurkannya. KEMAJEMAKAN TUGAS­TUGAS.  66.  Oleh  kaerna  itulah  seluruh  Gereja  dipanggil  untuk  mewartakan  Injil.  Tetapi  di  dalam Gereja  harus  dilaksanakan  berbagai  tugas  evangelisasi.  Keragaman  pelayanan  dalam kesatuan  misi  yang  sama  itu  mewujudkan  kekayaan  dan  keindahan  pewartaan  Injil. Tugas­tugas itu dengan singkat akan kami ulas.             Pertama kami  tunjukkan pada halaman­halaman Injil kesungguhan Tuhan, ketika meneyrahkan  kepada  para  Rasul  tugas  mewartakan  sabda.  Ia  memilih  mereka [96], membina  mereka  dalam  pergaulan  erat  selama  beberapa  tahun [97],  mengangkat[98] dan  mengutus  mereka [99]  sebagai  saksi  dan  guru  berwenang  penuh  untuk menyampaikan  amanat  keselamatan.  Kemudian  Duabelas  Rasul  mengutus  para pengganti  mereka,  yang  dalam  jalur  penggantian  mereka  melanjutkan  misi  mewartakan kabar gembira. 67.  Jadi  atas  kehendak  Kristus  pengganti  Petrus  diserahi  pelayanan  luhur  sekali,  yakni mengajarkan kebenaran yang diwahyukan. Acap kali Perjanjian Baru menampilkan Petrus ”penuh  dengan  Roh  Kudus”  berbicara  atas  nama  semua  murid [100].  Justru  itulah alasannya  mengapa  St.  Leo  Agung  melukiskannya  sebagai  dia  yang  selayaknya menerima posisi utama dalam kerasulan [101]. Itu  pula sebabnya mengapa suara Gereja menampilkan  paus”  pad  atitik  puncak­”in  apice,  in  specula”  –kerasulan” [102].  Konsili Vatikan  II  bermaksud  menegaskannya  lagi,  ketika  menyatakan,  bahwa  ”perintah  Kristus mewartakan  kabar  gembira  kepada  tiap  makhluk  (bdk.  Mrk  16:15)  pertama­tama  dan secara langsung menyangkut para Uskup bersama Petrus dan di bawah Petrus” [103].



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



18/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL                         Kewenangan  penuh  tertinggi  dan  universal[104],  yang  oleh  Kristus diberikankepada  wakil­Nya  untuk  pembimbingan  pastoral  Gereja­Nya,  dengan  demikian secara  khas  dilaksanakan  oleh  Paus  dalam  kegiatan  pewartaan  dan  usahanya,  supaya warta gembira keselamatan disebarluaskan.   68.  dalam  eprsatuan  dengan  pengganti  Petrus,  para  Uskup  yang  menggantikan  para Rasul  melalui  kuasa  tahbisan  episkopal  mereka  menerima  kewenangan  untuk mengajarkan kebenaran yang diwahyukan dalam Gereja. Merekalah guru­guru iman.             Tergabungkan pada para Uskup dalam pelayanan mewartakan Injil, sekaligus juga bertanggung  jawab  atas  dasar  yang  khas,  ialah  mereka  yang  karena  tahbisan  imamat ”bertindak  dalam  pribadi  Kristus” [105].  Merekalah  pembina  umat  Allah  dalam  iman  dan pewarta, pun sekaligus pelayan Ekaristi dan sakramen­sakramen lainnya.             Oleh karena itu kita para gembal adiundang untuk memperhatikan tugas itu, lebih dari  para  anggota  Gereja  mana  pun  juga.  Yang  merupakan  ciri  khas  pelayanan  kita sebagai  imam  menyatukan  secara  mendalam  seribu  satu  tugas,  yang  dari  hari  ke  hari menuntut  perhatian  dan  seumur  hidup  kita,  lagi  pula  memberi  ciri  tersendiri  kepada kegiatan­kegiatan  kita  ialah  tujuan  ini  yang  selalu  dalam  segala  tindakan  kita,  yakni: menyiarkan warta gembira tentang Allah [106].                         Suatu  corak  jatidiri  kita  yang  pantang  disangsikan  atau  digoyahkan  oleh keberatan  mana  pun  yakni:  selaku  gembala,  kita­kendati  kurang  memadai­berkat kerahiman  Sang  Gembala  Tertinggi[107],  telah  dipilih  untuk  mewartakan  dengan kewibawaan  sabda  Allah;  untuk  menghimpun  umat­Nya  yagn  tercerai­berai;  untuk memelihara umat memakai lambang­lambang tindakan Kristus, yakni sakramen­sakramen; untuk  menempatkan  umat  pada  jalan  menuju  keselamtan;  untuk  melestarikannya  dalam kesatuan,­untuk itu kita di berbagai tingkat menjadi upaya yang aktif dan hidup; dan untuk tiada  hentinya  menjaga  agar  persekutuan  yang  terhimpun  sekitar  Kristus  tetap  setia kepada  panggilannya  yang  terdalam.  Kalau  semuanya  kita  jalankan  dalam  batas kemampuan  insani  kita  dan  berkat  rahmat  Allah,  pewartaan  Injilah  yang  sedang  kita lakukan  .  Karya  itu  menyangkut  diri  kami  sendiri  sebagai  gembala  Gereja  semesta, Saudara­Saudara  kami  para  Uskup  pemimpin  Gereja­Gereja  khusus,  para  imam  dan diakon  dalam  persatuan  dengan  Uskup­Uskup  yang  mereka  bantu,  berdasarkan persekutuan yang bersumber pada sakramen Tahbisan dan cintakasih Gereja. 69.  Para  religius  menemukan  dalam  hidup  bakti  mereka  upaya  yang  luar  biasa  untuk mewartakan Injil secara efektif.                         Pada  inti  terdalam  hidup  mereka  terintegrasikan  dalam  dinamisme  kehidupan Gereja,  yang  haus  akan  Nan  Mutlak  ilahi  dan  dipanggil  untuk  kekudusan.  Kekudusan itulah  yang  menajdi  pokok  kesaksian  mereka.  Mereka  mengejawantahkan  gereja  dalam keinginannya untuk mempertaruhkan diri seutuhnya demi tuntutan radikal Sabda Bahagia. Karena  perihidup  mereka  menjadi  tanda  kesediaan  sepenuhnya  untuk  mengabdi  Allah, Gereja  dan  sesama.  Karena  kesediaan  itu  mereka  secara  khas  relevan  dalam  konteks kesaksian,  yang  seperti  telah  kami  katakan  penting  sekali  dalam  pewartaan  Injil. Sekaligus,  sebagai  tantangan  terhadap  dunia  dan  Gereja  sendiri,  kesaksian  tanpa  kata­ kata akan kemiskinan dan ingkar diri, akan kemurnian dan ketulusan, akan pengurbanan diri dalam ketaatan, dapat menjadi kesaksian penuh makna, yang mampu menyentuh hati umat bukan­Kristiani juga, yang beriktikad baik dan peka terhadap nilai­nilai tertentu.             Dalam perspektif itu jelaslah peranan yang dlaam pewartaan Injil dijalankan oleh pria  maupun  wanita  relifius,  yang  membaktikan  diri  bagi  doa,  berdiam  diri,  ulahtapa  dan pengurbanan. Kaum religius lain, yang berjumlah besar, secaralangsung membaktikandiri bagi pewartaan Kristus. Kegiatan misioner mereka jelas tergantung dari hirarki, dan perlu dikoordinasi  dengan  rencana  pastoral  yang  dilaksanakan  oleh  hirarki.  Tetapi  siapakah tidak melihat sumbangan tiada taranya yang telah dan tetap diberikan ioleh para religius kepada  pewartaan  Injil?  Berkat  pentakdisan  mereka  mereka  secara  istimewa  bersedia dan bebas untuk meninggalkan segalnya danpergi serta mewartakan Injil bahkan sampai ke penjuru dunua. Mereka penuh semagnat kerja dan kerasulan mereka sering diwarnai sifat  asli,  ditandai  kreativitas  yagn  mengagumkan.  Mereka  berjiwa  besar:  sering  mereka dijumpai  di  pelosok­pelosok  misi,  dan  mereka  sanggup  menghadapi  risiko  terbesar  bagi kesehatan  dan  bahkan  hidup  mereka  sendiri.  Gereja  sungguh  banyak  berhutang  budi kepada mereka. 70.  Umat  awam,  yang  karena  panggilan  khas  berada  di  tengah  masyarakat,  dan bertanggung jawab atas tugas­tugas duniawi yang sangat beraneka, justru karena alasan itu harus menjalankan bentuk pewartaan Injil yang sangat istimewa.             Tugas mereka yagn utama dan langsung bukan mendirikan dan mengembangkan jemaat gerejawi­itu tugas khas para gembala­melainkan memanfaatkan tiap kemungkinan Kristiani  dan  Injili,  yang  terselubung  tetapi  sudah  ada  dan  aktif  dalam  perkara­perkara dunia.  Bidang  yang  khusus  bagi  mereka  untuk  mewartakan  Injil  ialah  dunia  politik, masyarakat  dan  perekonomian,  yang  luas  dan  penuh  masalah,  tetapi  juga  dunia kebudayaan, ilmu­pengetahuan dan kesenian, kehidupan internasional, media komunikasi sosial.  Termasuk  juga  kenyataan­kenyataa  lain  yang  terbuka  bagi  evangelisasi,  misalnya cintakasih  manusiawi,  keluarga  pendidikan  anak­anak  dan  kaum  remaja,  kerja



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



19/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL profesional,  penderitaan.  Semakin  banyak  umat  awam  berjiwakan  Injil  yang  berkecimpung  dalam  kenyataan­kenyataan  itu,  jelas­jelas  melibatkan  diri,  cakap  untuk membawa  kemajuan,  dan  sadar  bahwa  mereka  diharapkan  mengerahkan  sepenuhnya potensi­potensi  Kristiani  mereka,  yagn  sering  terpendam  dan  tercekam,  semakin kenyataan­kenyataan  itu  akan  diabdikan  kepada  Kerajaan  Allah,  dan  karena  itu  kepada penyelamatan  dalam  Yesus  Kristus,  tanpa  bagaimana  pun  juga  kehilangan  atau mengurbankan  makna  manusiawinya,  melainkan  menunjuk  kepada  dimensi  transenden, yang sering diabaikan. 71.  Tidak  dapat  diabaikan  penekanan  pada  kegiatan  keluarga  mewartakan  Injil  dalam kerasulan  evangelisasi  umat  awam.  Pada  berbagai  saat  dalam  sejarah  Gereja,  begitu pula dalam Konsili Vatikan II, keluarga memang selayaknya mendapat gelar indah ”Gereja keluarga” [108]. Itu berarti, bahwa di tiap keluarga Kristiani harus terdapat pelbagai aspek seluruh Gereja. Lagi pula keluarga, seperti Gereja, harus menjadi tempat Injil disalurkan, dan memancarkan Injil.                         Dalam  keluarga  yang  menyadari  misi  itu,  semua  anggota  mewartakan  Injil  dan mengalami  penginjilan.  Orangtua  tidak  hanya  menyalurkan  Injil  kepada  anak­anak mereka, melainkan dari anak­anak pun mereka sendiri dapat menerima Injil, sebagaimana mereka hayati secara mendalam.             Dan keluarga seperti itu menjadi pewarta Injil bagi banyak keluarga lainnya dan bagi  lingkungan  mereka.  Keluarga­keluarga  berdasarkan  pernikahan  campur  pun  wajib mewartakan  Kristus  kepada  anak­anak  sebagai  konsekuensi  penuh  Baptis  bersama; selain itu mereka mempunyai tugas yang sukar, yakni membangun kesatuan. 72. Situasi mengundang kami untuk secara khas menyebutkan kaum muda. Meningkatnya jumlah  mereka,  dan  bertumbunya  kehadiran  mereka  dalam  masyarakat,  begitu  pula masalah  persoalan  yagn  menyerbu  mereka,  harus  membangkitkan  pada  siapa  pun keinginan  untuk  penuh  semangat  dan  pengertian  menyajikan  kepada  mereka  cita­cita Injili, supaya dikenal dan dihayati. Dan di lain pihak, kaum muda yang dibina dengan baik dalam  iman  dan  doa  harus  makin  mnejadi  rasul­rasul  kaum  muda.  Gereja  banyak mengandalkan  sumbangan  mereka,  dan  kami  sendiri  sudah  sering  menyatakan kepercayaan kami sepenuhnya terhadap mereka. 73.  Dengan  demikian  kehadiran  aktif  umat  awam  dalam  kenyataan­kenyataan  duniawi ternyata penting sekali. Akan tetapi tidak dapat diabaikan atau dilupakan dimensi lainnya: umat  awam  dapat  juga  merasa  diri  terpanggil,  atau  memang  dipanggil,  untuk  bekerja sama  dengan  para  gembala  mereka  dalam  pelayanan  kepada  jemaat  gerejawi,  demi pertumbuhan  serta  kehidupannya,  dengan  menjalankan  aneka  macam  pelayanan menurut  rahmat  serta  karisma­karisma  yang  Tuhan  berkenan  mengurniakan  kepada mereka.                         Kami  tak  dapat  lain  kecuali  mengalami  kegembiraan  batin  yang  besar, menyaksikan  sekian  banyak  gembala,  religius  dan  umat  awam,  yang  penuh  semangat menunaikan  misi  mereka  mewartakan  Injil,  dan  mencari  cara­cara  yang  makin  cocok untuk  secara  efektif  mewartakan  Injil.  Kami  dorong  sikap  terbuka,  yang  dewasa  ini ditunjukkan oleh Gereja ke arah itu dan penuh kepedulian. Itulah terutama sikap terbuka bagi  renungan,  kemudian  bagi  pelayanan­pelayanan  gerejawi  yang  dapat  membaharui dan meneguhkan semangat mewartakan Injil dalam Gereja.             Sudah  pastilah,  di  samping  pelayanan­pelayanan  berdasarkan  tahbisan,­di  situ orang­orang tertentu diangkat menajdi gembala dan secara khas membaktikan diri untuk melayani  jemaat,­Gereja  mengakui  posisi  pelayanan­pelayanan  tanpa  tahbisan,  yang dapat memberi pelayanan khusus kepada Gereja.             Selayang pandang atas awalmula Gereja menjelaskan banyak hal, dan memberi keuntungan pengalaman awal tentang pelayanan­pelayanan. Pengalaman itu makin tinggi nilainya, karena memungkinkan Gereja memantapkan diri, berkembang dan kian meluas. Akan  tetapi  perhatian  terhadap  sumber­sumber  perlu  dilengkapi  dengan  perhatian terhadap kebutuhan­kebutuhan umat manusia maupun Gereja zaman sekarang. Menimba dari  sumber­sumber  yagn  selalu  kaya  inspirasi  tanpa  mengurbankan  nilai­nilainya  yang mana  pun,  dan  sekaligus  tahu  bagaimana  menyesuaikan  diri  dengan  tuntutan­tuntutan serta  kebutuhan­kebutuhan  masa  kini­itulah  tolak­ukur  yang  memungkinkan    orang mencari  dengan  bijaksana  dan  menemukan  pelayanan­pelayanan  yang  dibutuhkan  oleh Gereja,  dan  yang  akan  disanggupi  dengan  gembira  oleh  banyak  anggotanya  untuk menjamin gairah hidup yang lebih besar dalam jemaat gerejawi. Pelayanan­pelayanan itu akan  memiliki  nilai  pastoral  yang  nyata,  sejauh  diselenggarakan  dengan  sikap  hormat sepenuhnya  terhadap  kesatuan,  sementara  pedoman­pedoman  para  gembala  dipatuhi; sebab merekalah yang bertanggung jawab atas kesatuan Gereja dan membangunnya.                         Pelayan­pelayan  itu  nampaknya  saja  baru,  tetapi  berkaitan  erat  dengan pengalaman  nyata  Gereja  dari  abad  ke  abad,  misalnya  katekis,  pemimpin  doa    dan nyanyian,  orang­orang  Kristiani  yang  melayni  sabda  Allah  atau  menolong  sesama  dalam kebutuhan mereka, pemuka jemaat­jemaat kecil, atau orang­orang lain yang bertanggung jawab  atas  gerakan­gerakan  kerasulan.  Pelayanan­pelayanan  itu  berharga  sekali  bagi pembentukan,  kehidupan  dan  pertumbuhan  Gereja,  dan  bagi  kemampuannya mempengaruhi  lingkungannya  dan  menjangkau  mereka  yang  jauh  dari  padanya.  Sudah



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



20/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL selayaknya pula kami nyatakan penghargaan istimewa kami terhadap semua awam, yang sungguh  membaktikan  sebagian  waktu  dan  tenaga  mereka,  dan  ada  kalanya  seluruh hidup mereka, untuk melayani misi­misi.                         Dibutuhkan  persiapan  yang  sungguh  baik  bagi  semua  yang  berkarya  dalam evangelisasi.  Persiapan  itu  makin  perlu  bagi  mereka  yang  membaktikan  diri  bagi pelayanan  sabda.  Dijiwai  oleh  keyakinan  yang  terus  menerus  diperdalam  akan keagungan  dan  kekayaan  sabda  Allah,  mereka  yang  diutus  menyalurkannya  harus memberi  perhatian  sebesar  mungkin  kepada  keanggunan,  kecermatan  dan  penyesuaian bahasa mereka. Siapa pun tahu bahwa sekarang ini seni­wicara sungguh penting sekali. Bagaimana  mungkin  para  pewarta  dan  katekis  mengabaikannya?  Dengan  sungguh  kami inginkan, agar di tiap Gereja Uskup betul­betul memperhatikan pembinaan yang memadai bagi  semua  pelayan  sabda.  Persiapan  yang  sungguh  baik  itu  akan  meningkatkan keyakinan  yang  mereka  butuhkan  dan  semangat  mereka  untuk  sekarang  mewartakan Yesus Kristus. VII MEWARTAKAN DALAM KUASA ROH KUDUS   74.  Kami  tidak  hendak  mengakhiri  perjumpaan  dengan  Saudara­Saudari  dan  putera­ puteri  kami  yang  terkasih  tanpa  menyampaikan  seruan  yang  mendesak  tentang  sikpa­ sikap batin, yang harus menjiwai mereka yang berkarya dalam pewartaan Injil.             Demi Rasul Petrus dan Paulus kami ingin mendorong semua saudara­saudari , yang berkat karisma­karisma Roh Kudus maupun atas perintah Gereja, menjadi pewarta Injil yang sejati, supaya dengan pantas menghayat panggilan itu, melaksanakannya tanpa terhambat  oleh  kebimbangan  atau  rasa  takut,  dan  jangan  melalaikan  persyaratan,  yang tidak  hanya  akan  memungkinkan  pewartaan  Injil,  melainkan  mengaktifkan  dan menyuburkannya  juga.  Berikut  inilah­di  antara  sekian  banyak  lainnya­syarat­syarat mendasar, yang kami anggap penting ditekankan. 75.  Pewartaan  Injil  tak  pernah  akan  mungkin  tanpa  karya  Roh  Kudus.  Roh  turun  atas Yesus  dari  Nazareth  pada  saat  Ia  dibaptis,  ketika  suara  Bapa­”Inilah  Putera­Ku  yang terkasih, Aku berkenan pada­Nya” [109] ­secara lahir memaklumkan pemilihan Yesus dan perutusan­Nya.  Yesus  ”dibimbing  oleh  Roh”  untuk  mengalami  di  padang  gurun perjuangan yang menentukan dan ujian mutakhir sebelum memulai misi­Nya [110]. ”Dalam kuasa  Roh” [111]­lah  Ia  kembali  ke  Galilea  dan  mengawali  pewartaan­Nya  di  Nazareth dengan  mengenakan  pada  Diri­Nya  nas  nabi  Yesaya:  ”Roh  Tuhan  turun  atas  Diri­Ku”. Dan  Ia  menyatakan:  ”Hari  ini  terpenuhilah  nas  Kitab  ini” [112].  Kepada  para  murid  yang akan diutus­Nya Ia berkata sambil menghembusi mereka: ”Terimalah Roh Kudus” [113].             Baru sesudah Roh Kudus turun pada hari Pentekostalah para Rasul bertolak ke segala  penjuru  bumi,  untuk  memulai  karya  agung  Gereja  mewartakan  Injil.  Petrus menjelaskan peristiwa itu sebagai pemenuhan nubuat Yoel: ”Aku akan mencurahkan Roh­ Ku” [114]. Petrus penuh dengan Roh Kudus[115] , sehingga ia mampu berbicara kepada umat tentang Yesus Putera Allah [116]. Paulus pun dipenuhi oleh Roh Kudus, sebelum ia membaktikan  diri  kepada  pelayanan  kerasulannya,  seperti  Stefanus  juga  ketika  ia  dipilih untuk  tugas  pelayanan  dan  kemudian  untuk  kesaksian  berdarah [117].  Roh,  yang mendorong Petrus, Paulus dan Duabelas untuk berbicara, dan yang mengilhamkan kata­ kata  yang  harus  mereka  ucapkan,  turun  juga  ”atas  mereka  yang  mendengarkan sabda” [118].             Dalam ”penghiburan Roh Kudus”­lah Gereja berkembang [119]. Roh Kudus ialah jiwa  Gereja.  Dialah  yang  menjelaskan  kepada  umat  beriman  makna  mendalam  ajaran Yesus dan misteri­Nya. Roh Kuduslah yang sekarang seperti pada awal Gereja, berkarya dalam  tiap  pewarta  Injil,  yang  membiarkdan  diri  dirasuki  dan  dituntun  oleh­Nya.  Roh Kudus menaruh ke dalam mulutnya kata­kata, yang tidak dapat ditemukannya sendiri, dan sekaligus  Roh  Kudus  pula  yang  menyiapkan  jiwa  pendengar  untuk  membuka  diri  dan menerima warta gembira, serta bagi Kerajaan yang sedang diwartakan.             Teknik­teknik pewartaan Injil baik saja. Akan tetapi teknik yang paling maju pun tidak  dapat  menggantikan  karya  Roh  yang  serba  halus.  Persiapan  pewartaan  Injil  yang paling  sempurna  pun  tidak  ada  buahnya  tanpa  Roh  Kudus.  Tanpa  Roh  penalaran  yang paling  meyakinkan  pun  tidak  berkuasa  atas  hati  manusia.  Tanpa  Roh  program­program yang  paling  canggih  pun,  yang  mempunyai  dasar  sosiologis  atau  psikologis,  cepat  akan ternyata tiada nilainya sama sekali.             Kita hidup dalam Gereja pada saat Roh yang istimewa. Di mana pun orang­orang berusaha  mengenal­Nya  makin  baik,  seprti  diwahyukan  oleh  Kitab  Suci.  Mereka berbahagia menaruh diri di bawah inspirasiNya. Mereka berkumpul di sekitar­Nya. Mereka hendak membiarkan diri dituntun oleh­Nya. Nah, kalau Roh Allah mempunyai tempat yang istimewa dalam seluruh kehidupan Gereja, apa lagi dalam misi Gereja untuk mewartakan Injilah  Ia  paling  aktif.  Bukan  kebetulan  saja  permulaan  agung  evangelisasi  berlangsung pada pagi hari Pentekosta, berkat inspirasi Roh.



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



21/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL                         Perlu  dikatakan  bahwa  Roh  Kuduslah  Pelaku  utama  evangelisasi:  Dialah  yang mendorong  tiap  orang  supaya  mewartakan  Injil;  Dia  pula  yang  dilubuk  hati  orang­orang menyebabkan  sabda  keselamatan  diterima  dan  dimengerti[120].  Akan  tetapi  dapat dikatakan  juga,  bahwa  Dialah  tujuan  pewartaan  Injil.  Dialahsatu­satunya  yang membangkitkan  ciptaan  baru,  umat  manusia  baru  yang  harus  berbuah­hasil  dalam pewartaan Injil, dengan kesatuan dalam kemacam­ragamannya, yang mau dicapai melalui evangelisasi  dalam  jemaat  Kristiani.  Berkat  karya  Roh  Kudus  Injil  memasuki  hati  dunia; sebab  Dialah  yang  membimbing  umat  menjalankan  penegasan  terhadap  tanda­tanda zaman,  yang  dikehendaki  oleh  Allah.  Pewartaan  Injil  menyingkapkan  dan  memanfaatkan tanda­tanda itu dalam sejarah.                         Sinode  para  Uskup  tahun  1974,  yang  cukup  kuat  menekankan  peranan  Roh Kudus  dalam  pewartaan  Injil,  menyatakan  keinginannya  juga,  agar  para  gembala  dan para teolog­dan kami ingin menambahkan: umat beriman yang ditandai meterai Roh pada Baptis­ mempelajari secara lebih mendalam hakikat dan cara Roh Kudus berkarya dalam pewartaan  Injil  zaman  sekarang.  Itulah  yang  kami  inginkan  juga.  Dan  kami  mendorong semua  pewartaan  Injil,    siapa  pun  mereka  itu,  untuk  tiada  hentinya  berdoa  kepada  Roh Kudus penuh iman dan semangat , serta membiarkan diri dituntun dengan kebijaksanaan oleh Dia sebagai Pengilham yang menentukan bagi rencana­rencana, prakarsa­prakarsa, dan kegiatan mereka mewartakan Injil. SIFAT­SIFAT PEWARTA INJIL 76.  Marilah  kita  pandang  pribadi  para  pewarta  Injil  sendiri.  Sekarang  sering  dikatakan bahwa abad ini haus akan keaslian. Khususnya mengenai kaum muda dikatakan: mereka muak akan apa saja yang dibuat­buat atau palsu, dan terutama mereka sedang mencari kebenaran dan kejujuran.                         ”Tanda­tanda  zaman”  itu  hendaklah  menjadikan  kita  waspada.  Diam­diam  atau lantang­tetapi selalu dengan tegas­kita ditanya: Benarkah anda sungguh mengimani apa yang anda wartakan? Benarkah anda hayati apa yang anda imani? Lebih dari sebelum ini kesaksian kehidupan merupakan syarat pokok, supaya pewartaan sungguh efektif. Justru karena  itulah  dalam  arti  tertentu  kita  bertanggung  jawab  atas  kemajuan  Injil  yang  kita wartakan.                         ”Bagaimanakah  keadaan  Gereja  sepuluh  tahun  seusai  Konsili?”,  Begitulah kamitanyakanpada awal renungan ini. Benarkah posisinya mantap di tengah masyarakat, tetapi toh cukup bebas dan tidak tergantung, sehingga mampu meminta perhatian dunia? Benarkah Gereja memberi kesaksian akan solidaritas dengan rakyat, dan sekaligus akan Nan Mutlak yang ilahi? Benarkah Gereja lebih berkobar dalam kontemplasi dan sembah­ sujud  dan  lebih  bersemangat  dalam  kegiatan  misioner,  amal  kasih  dan  pembebasan? Lebih penuhkah komitmen Gereja terhadap usaha memperjuangkan pemulihan kesatuan umat  Kristiani  seutuhnya,  kesatuan  yang  meningkatkan  efektifnya  kesaksian  bersama, ”supaya  dunia  percaya”? [121]  Kita  semua  bertanggung  jawab  atas  tanggapan­ tanggapan yang dapat diberikan terhadap pertanyaan­pertanyaan itu.                         Oleh  karena  itu  anjuran  kami  ini  kami  tujukan  kepada  Saudara­Saudara  kami dalam  martabat  Uskup,  yang  oleh  Roh  Kudus  diangkat  untuk  memimpin  Gereja [122]. Kami  sampaikan  anjuran  ini  kepada  para  imam  dan  diakon,  rekan­rekan  sekerja  para Uskup  dalam  menghimpun  umat  Allah  dan  memberi  penjiwaan  rohani  kepada  jemaat­ jemaat setempat. Anjuran ini kami arahkan kepada kaum religius, saksi­saksi Gereja yang dipanggil untuk kekudusan, dan karena itu mereka sendiri diundang untuk perihidup yang memberi  kesaksian  akan  Sabda  Bahagia  menurut  Injil.  Kami  sampaikan  anjuran  ini kepada umat awam: keluarga­keluarga Kristiani, anak­anak muda, kaum dewasa, semua saja  yang  menjalankan  perdagangan  atau  profesi,  para  pemimpin,  tanpa  melupakan kaum miskin, yang sering justru kaya dalam iman dan harapan –seluruh umat awam yang menyadari  peranan  mereka  mewartakan  Injil  dalam  pengabdian  kepada  Gereja  atau  di tengah  masyarakat  dan  dunia.  Kepada  mereka  semua  kami  serukan:  semangat  kita mewartakan  Injil  harus  bersumber  pada  kekudusan  hidup  yang  sejati,  dan  –  seperti disarankan  oleh  Konsili  Vatikan  II­pewartaan,  sendiri  harus  mendorong  pewarta  untuk berkembang dalam kekudusan, yang dipupuk melalui doa dan terutama melalui cintakasih terhadap Ekaristi[123].             Kendati – secara paradoksal – tidak terbilang tanda­tanda pengingkaran terhadap Allah,  dunia  toh  masih  merindukan  Dia  dengan  cara­cara  yang  tak  terduga,  dan mempunyai  pengalaman  yang  menyakitkan  tentang  kebutuhan  akan  Dia.  Dunia membutuhkan  pewarta­pewarta  Injil  untuk  berbicara  kepadanya  tentang  Allah,  yang mereka  sendiri  harus  mengenal  dan  menyapa  dengan  akrab,  seolah­olah  mereka  dapat melihat  yang  tidak  nampak[124].  Dunia  memerlukan  dan  mengharapkan  dari  kita kehidupan  yang  ugahari,  semangat  doa,  cintakasih  terhadap  siapa  saja,  khasnya terhadap mereka yang dina dan miskin, ketaatan dan kerendahan hati, sikap lepas­bebas dan  pengurbanan  diri.  Tanpa  ciri  kekudusan  itu,  perkataan  kita  akan  mengalami kesukaran  menyentuh  hati  manusia  modern.  Kata­kata  itu  menghadapi  risiko  percuma saja dan mandul.



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



22/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL  77. Daya­kekuatan evangelisasi akan banyak berkurang, bila dengan pelbagai cara para pewarta  Injil  terpecah­belah  antara  mereka  sendiri.  Tidakkah  itu  barangkali  salah­satu penyakit  parah  dalam  pewartaan  Injil  zaman  sekarang?  Memang,  jika  Injil  yang  kita wartakan  nampak  tersobek­sobek  oleh  berbagai  perdebatan  tentang  ajaran,  beberapa polarisasi  ideologis,  atau  kecaman­kecaman  timbal­balik  di  kalangan  umat  Kristiani,  jika Injil  menjadi  kurban  pandangan­pandangan  mereka  yang  berbeda­beda  tentang  Kristus dan  Gereja,  bahkan  juga  karena  beraneka  macam  pengertian  mereka  tentang masyarakat  dan  lembaga­lembaga  manusiawi,  bagaimana  mungkin  mereka  yang  kita sapa dengan pewartaan kita tidak terganggu, kehilangan arah, bahkan terkena oleh batu­ sandungan?                         Wasiat  rohani  Tuhan  menyatakan,  bahwa  kesatuan  antara  para  pengikut­Nya tidak  hanya  membuktikan  bahwa  kita  milik­Nya,  melainkan  juga  bahw  aIa  diutus  oleh Bapa.  Kesatuan  itulah  batu­ujian  kredibilitas  (kelayakan  dipercaya)  umat  Kristiani  dan Kristus sendiri. Sebagai pewarta Injil janganlah kita menyajikan kepada umat beriman milik Kristus  citra  umat  yang  terbagi  dan  tercerai­berai  akibat  percekcokan  yang  berdampak merusak; melainkan citra umat yang dewasa imannya dan mampu menemukan titik temu melampaui  pelbagai  ketegangan  yang  nyata,  berkat  usaha  kita  bersama  yang  tulus  dan tanpa  pamrih  untuk  menemukan  kebenaran.  Ya,  nasib  evangelisasi  pasti  terikat  pada kesaksian  akan  kesatuan  yang  diberikan  oleh  Gereja.  Itu  sumber  tanggung  jawab  tetapi juga peneguhan.             Di  sini  kami  hendak  menekankan  tanda  kesatuan  antara  semua  orang  Kristiani sebagai  jalan  dan  upaya  pewartaan  Injil.  Perpecahan  di  kalangan  umat  Kristiani merupakan  kendala  yang  gawat,  yang  merintangi  karya  Kristus  sendiri.  Konsili  Vatikan  II dengan  jelas  dan  tegas  menyatakan  bahwa  perpecahan  itu  ”merugikan  perkara  amat kudus,  yakni  pewartaan  Injil  kepada  semua  orang;  dan  menghalang­halangi  banyak orang  untuk  iman” [125].  Karena  alasan  itu  dalam  memaklumkan  Tahun  Suci  kami memandang perlu mengingatkan segenap umat beriman di dunia Katolik, bahwa ”sebelum semua orang dapat dihimpun dan dipulihkan kepada rahmat Allah Bapa kita, persekutuan harus  dibentuk  kembali  antara  mereka,  yang  karena  iman  telah  mengakui  dan  merima Yesus  Kristus  sebagai  Tuhan  kerahiman,  yang  membebaskan  umat  manusia  dan menyatukannya  dalam  Roh  cintaksih  dan  kebenaran” [126].  Dengan  cita  rasa  kuat harapan  Kristianilah  kami  memandang  usaha­usaha  yang  sedang  dijalankan  di  dunia Kristiani  untuk  memulihkan  kesatuan  penuh  yang  dikehendaki  oleh  Kristus.  St.  Paulus menyatakan  kepada  kita  bahwa  ”harapan  tidak  mengecewakan  kita”(125) [127]. Sementara  kami  sedang  berusaha  memperoleh  kesatuan  penuh  dari  Tuhan,  kami  ingin melihat doa ditingkatkan. Lagi pula kami bergabung dengan keinginan para Bapa Sidang Umum III Sinode para Uskup akan kerjasama yang ditandai dengan komitmen yang lebih penuh dengan saudara­saudari Kristen, yang belum bersatu dengan kita dalam kesatuan sempurna,  berdasarkan  Baptis  dan  pusaka­warisan  iman  kita  bersama.  Dengan  begitu kita sudah dapat memberi kesaksian bersama yang lebih agung akan Kristus di hadapan dunia dalam karya pewartaan Injil sendiri.             Perintah Kristus mendesak kita untuk menjalankannya. Kewajiban mewartakan injil dan memberi kesaksian tentangnya meminta itu. 78.  Injil  yang  dipercayakan  kepada  kita  sekaligus  juga  sabda  kebenaran.  Kebenaran  itu membebaskan [128],  satu­satunya  yagn  mendatangkan  damai  di  hati;  itulah  yang  dicari oleh orang­orang bila kita menyiarkan warta gembira kepada mereka. Kebenaran tentang Allah,  tentang  manusia  dan  tujuan  hidupnya  yang  penuh  rahasia,  tentang  dunia. Kebenaran yang sulit, yang kita cari dalam sabda Allah dan yang –sekali lagi kami ulangi­ tidak  kita  kuasai  atau  kita  miliki,  melainkan  dipercayakan  kepada  kita  para  bentara  dan pelayannya.                         Setiap  pewarta  Injil  diharapkan  menghormati  kebenaran,  khususnya  karena kebenaran  yang  dipelajari  dan  disampaikannya  tidak  lain  kecuali  kebenaranyang diwahyukan,  dan  karena  itu  partisipasi  dalam  kebenaran  perdana,  yakni  Allah  sendiri. Oleh  karena  itu  pewarta  Injil  hendaklah  seorang  pribadi,  yang  bahkan  dengan menyangkal diri dan menderita senantiasa mencari kebenaran, yang harus disalurkannya kepada  sesama.  Ia  tidak  pernah  mengkhianati  atau  menyembunyikan  kebenaran  karena ingin  menyenangkan  hati  orang­orang,  untuk  menimbulkan  rasa  kagum  atau mengejutkan,  atau  demi  originalitas  atau  karena  ingin  mempesonakan.  Ia  tidak  menolak kebenaran.  Ia  tidak  mengaburkan  kebenaran  yang  diwahyukan  dengan  bersikap  terlalu sombong untuk mencarinya, atau demi kesenangannya sendiri, atau karena takut. Ia tidak melalaikan  mempelajarinya.  Ia  melayani  kebenaran  dengan  kebesaran  jiwa,  tanpa mengabdikannya kepada dirinya.                         Kita  gembala­gembala  umat  beriman.  Pelayan  pastoral  kita  mendorong  kita melestarikan,  membela  dan  menyalurkan  kebenaran  tanpa  menghitung  pengurbanan yang tercakup di dalamnya. Sekian banyak gembala yang ulung dan kudus meninggalkan kepada  kita  teladan  cintakasih  akan  kebenaran  itu.  Sering  sekali  itu  cintakasih  berjiwa kepahlawanan. Allah kebenaran mengharapkan kita menjadi pembela yang waspada dan pewarta kebenaran yang sungguh mencintainya.                         Saudara­saudari  yang  cendekia­entah  teolog,  ahli  tafsir  Kitab  Suci  atau  ahli sejarah­karya  evangelisasi  memerlukan  usaha  penelitian  yang  tak  kenal  lelah,  lagi  pula



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



23/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL kecermatan  dan  kearifan  dalam  menyalurkan  kebenaran,  yang  anda  temukan  melalui studi, tetapi yang selalu lebih agung dari hati manusia, karena kebenaran Allah sendiri.             Para orangtua dan guru­guru, kewajiban anda­dan sekian banyak konflik zaman sekarang  tidak  mempermudahnya­ialah  membantu  anak­anak  kita  dan  siswa­siswi  anda untuk menemukan kebenaran, termasuk kebenaran keagamaan dan rohani. 79.  Karya  pewartaan  Injil  mengandaikan  pada  pewarta  cintakasih  yang  makin berkembang  terhadap  mereka  yang  dilayaninya  melalui  pewartaan.  Pola  pewartaan  Injil, yakni  Rasul  Paulus,  menulis  kepada  umat  di  Tesalonika  kata­kata  berikut,  yang  menjadi program bagi kita semua: ”Dalam kasih sayang yang besar akan kamu, kami bukan saja rela  membagi  Injil  Allah  dengan  kamu,  tetapi  juga  hidup  kami  sendiri  dengan  kamu, karena kamu telah kami kasihi” [129]. Apakah cintakasih itu? Jauh melebihi kasih seorang guru;  itu  kasih  seorang  bapak;  lagi  pula  cinta  seorang  ibu [130].  Cintakasih  itulah,  yang oleh Tuhan diharapkan dari setiap pewarta Injil, dari setiap pembangun Gereja.                         Suatu  tanda  cintakasih  ialah  kepedulian  menyampaikan  kebenaran  dan mengantar umat kepada kesatuan. Tandanya yang lain ialah dedikasi untuk mewartakan Yesus Kristus, tanpa reserve atau mundur.                         Marilah  kita  tambahkan  bebarapa  tanda  lainnya  untuk  cintakasih  itu.  Pertama: sikap hormat terhadap situasi keagamaan dan rohani mereka yang menerima pewartaan Injil. Sikap hormat terhadap kecepatan daya tangkap mereka; tidak seorang pun  berhak memaksa  mereka  secara  berlebihan.  Sikap  hormat  terhadap  hatinurani  maupun keyakinan­keyakinan mereka, yang tidak boleh diperlakukan dengan kasar.             Suatu tanda cintakasih lainnya yakni kepedulian untuk tidak melukai hati sesama, khususnya  kalau  ia  lemah  imannya [131],  dengan  pernyataan­pernyataan,  yang barangkali  jelas  bagi  mereka  yang  sudah  diantar  untuk  mendalaminya,  melainkan  yang bagi  umat  beriman  dapat  menimbulkan  kebingungan  atau  batu­sandungan,  bagaikan luka­luka dalam jiwa.                         Suatu  tanda  lain  lagi  bagi  cintakasih  ialah  usaha  menyampaikan  kepada  umat Kristiani,  bukan  hal­hal  yang  diragukan  atau  tidak  pasti,  timbul  dari  banyaknya pengetahuan  tanpa  diolah  dengan  baik,  melainkan  hal­hal  yang  pasti  dan  dapat diandalkan,  karena  bertumpu  pada  sabda  Allah.  Umat  beriman  membutuhkan  hal­hal yang  pasti  itu  bagi  penghayatan  Kristiani  mereka.  Mereka  berhak  atasnya,  sebagai putera­puteri Allah yang menyerahkan diri sepenuhnay ke dalam tangan­Nya dan kepada tuntutan­tuntutan cintakasih. 80.  Seruan  kami  di  sini  diilhami  oleh  semangat  para  pengkotbah  dan  pewarta  Injil  yang ulung,  yang  membaktikan  hidup  mereka  kepada  kerasulan.  Kami  bergembira menunjukkan di antara para pewarta itu mereka , yang telahkami ajukan untuk dihormati olehumat beriman selama Tahun Suci ini. Mereka dulu tahu bagaimana  mengatasi sekian banyak rintangan terhadap evangelisasi.             Rintangan­rintangan semacam itu sekarang punada, dan kami akan membatasi diri dengan hanya menyebutkan tiadanya semangat. Itu  semakin  gawat,  karena  berasal dalam.  Gejala­gejalanya  ialah:  rasa  jenuh,  kekecewaan,  kompromi,  tidak  ada  minat,  dan terutama  tidak  ada  kegembiraan  dan  harapan.  Kami  anjurkan  kepada  mereka  yang bertugas  mewartakan  Injil,  karena  alasan  apa  pun  dan  pada  tingkat  mana  pun,  untuk senantiasa memupuk semangat rohani[132].                         Semangat  itu  pertama­tama  meminta,  supaya  kita  tahu  bagaimana mengesampingkan  dalih­dalih,  yang  menghambat  pewartaan  Injil.  Yagn  paling  gawat  di antara  dalih­dalih  itu  pasti  ialah,  yang  menurut  orang­orang  tertentu  didukung  oleh ajaran­ajaran tertentu Konsili.             Begitulah  terlampau  sering  terdengar  ungkapan,  dengan  pelbagai  cara,  bahwa mengharuskan  menerima  kebenaran,  biar  itu  kebenaran  Injil,  atau  mengharuskan  suatu jalan,  entah  itu  jalan  keselamatan,  hanyalah  berarti  melanggar  kebebasan  beragama. Selain  itu,  begitu  ditambahkan,  mengapa  mewartakan  Injil,  kalau  seluruh  dunia diselamatkan  berkat  ketulusan  hati?  Kita  toh  tahu  juga  bahwa  dunia  dan  sejarah  penuh dengan  ”benih­benih  sabda”.  Maka  tidakkah  itu  khayalan  belaka  meng­”klaim” menyampaikan  Injil  ke  tempat  itu  sudah  terdapat  dalam  benih­benih  yang  sudah ditaburkan oleh Tuhan sendiri?                         Siapa  pun  yang  mau  bersusah­payah  mempelajari  dalam  dokumen­dokumen Konsili  soal­soal,  yang  bagi  dalih­dalih  itu  menjadi  landasan  yang  terlampau  dangkal, akan menemukan pandangan yang berbeda sekali.                         Sudah  pasti  merupakan  kesesatan,  memaksakan  sesuatu  pada  hatinurani sesama.  Akan  tetapi  menyajikan  kepada  hatinurani  mereka  kebenaran  Injil  dan keselamatan  dalam  Yesus  Kristus,  secara  terang­benderang  dan  dengan  sepenuhnya menghormati  pilihan­pilihan  bebas  yang  diajukannya­”tanpa  paksaan,  atau  penekanan yang  tak  terhormat  dan  tak  layak” [133],­sama  sekali  bukan  serangan  terhadap kebebasan beragama, melainkan berarti menghormati sepenuhnya kebebasan itu, sebab kepadanya  diajukan  pilihan  jalan,  yang  bahkan  oleh  kaum  tak  beriman  pun  dipandang luhur  dan  mengangkat  martabat  manusia.  Apakah  itu  kejahatan  melawan  kebebasan sesama,  untuk  dengan  gembira  mewartakan  kabar  sukacita,  yang  mulai  dikenal  berkat belaskasihan Tuhan? [134] Dan mengapa hanya kepalsuan dan kesesatan, kemerosotan



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



24/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL akhlak  dan  pornografi  berhak  dihidangkan  kepada  rakyat,  dan  sayang  sekali  sering dipaksakan  atas  mereka  melalui  propaganda  media  massa  yang  serba  merusak,  melalui toleransi  perundang­undangan,  akbiat  rasa  takut  orang­orang  baik  dan  kekebalan  hati orang­orang jahat?                         Penuh  hormat  menyajikanKristus  beserta  Kerajaan­Nya  merupakan  lebih  dari sekedar  hak  pewartaan  Injil;  itu  kewajibannya.  Begitu  pula  merupakan  hak  sesamanya menerima  dari  padanya  pewartaan  kabar  gembira  keselamatan.  Allah  dapat menyelenggarakan  keselamatan  itu  pada  siapa  pun  dikehendaki­Nya  dengan  cara­cara yang  hanya  diketahui  oleh­Nya [135].  Meskipun  begitu,  kalau  Putera­Nya  datang,  itu justru  untuk  mewahyukan  kepada  kita,  melalui  sabda  dan  hidup­Nya,  jalan  yang  biasa menuju keselamatan. Dan Ia telah memerintahkan kita untuk menyalurkan perwahyuan itu kepada sesama atas kewibawaan­Nya sendiri. Akan berguna, bila tiap orang Kristiani dan tiap  pewarta  Injil  berdoa  tentang  gagasan  berikut:  manusia  dapat  beroleh  keselamatan juga melalui jalan­jalan lain, berkat belaskasihan Allah, juga kendati kita tidak mewartakan Injil  kepada  mereka.  Akan  tetapi  dari  pihak  kita,  dapatkah  kita  beroleh  keselamatan karena  kelalaian  atau  rasa  takut  atau  malu­yang  oleh  St  Paulus  disebut  ”merasa  malu karena  Injil” [136]­atau  kalau  akibat  gagasan­gagasan  yang  salah  kita  tidak mewartakannya?  Sebab  itu  akan  berarti  mengkhianati  panggilan  Allah,  yang menghendaki benih subur berbuah melalui suara para pelayan Injil. Dan akan tergantung dari  kita,  apakah  benih  itu  bertunas  dan  bertumbuh  menjadi  pohon  dan  menghasilkan buah yang sepenuhnya.                         Oleh  karena  itu  marilah  kita  tetap  memelihara  semangat  jiwa  kita.  Marilah  kita lestarikan  kegembiraan  yagn  menyenangkan  dan  menghibur  hati  mewartakan  Injil,  juga kendati dengan airmatalah kita harus menabur. Hendaklah pewartaan itu bagi kita­seperti bagi  Yohanes  Pembaptis,  Petrus,  dan  Pulus,  bagi  para  Rasul  lainnya  dan  bagi  sekian banyak  pewarta  Injil  yang  ulung  di  sepanjang  sejarah  Gereja­berarti  entusiasme  batin, yang  tidak  dapat  dipadamkan  oleh  siapa  pun  atau  apa  pun.  Semoga  itu  merupakan kegembiraan  besar  hidup  kita  yang  ditakdiskan.  Dan  semoga  dunia  masa  kini,  yang sedang  mencari,  kadang  dengan  cemas­gelisah,  kadang  dengan  berharap,  dimapukan menerima  warta  gembira  bukan  dari  pewarta­pewarta  Injil  yang  kehilangan  semangat, putus asa, tidak sabar atau serba ragu, melainkan dari para pelayan Injil, yang berkobar semangatnya,  yang  pertama  menerima  kegembiraan  Kristus,  dan  bersedia mempertaruhkan  hidup  mereka,  supaya  Kerajaan  diwartakan  dan  Gereja  dibangun  di tengah dunia.  81. Demikianlah, Saudara­Saudara dan putera­puteri terkasih, seruan kami setulus hati. Seruan  itu  mengemakan  suara  Saudara­Saudara  kami  yang  berhimpun  pada  Sidang Umum III Sinode para Uskup. Itulah tugas yang ingin kami percayakan kepada anda pada penutupan  Tahun  Suci,  yang  memampukan  kita  melihat  lebih  jelas  lagi  dari  sebelum  ini kebutuhan­kebutuhan  dan  tuntutan­tuntutan  sekian  banyak  saudara­saudari,  Kristiani maupun bukan­Kristiani, yang mendambakan dari Gereja sabda keselamatan.                         Semoga  cahaya  Tahun  Suci,  yang  bersinar  di  Gereja­Gereja  setempat  dan  di Roma  bagi  jutaan  hatinurani  yang  berdamai  dengan  Allah,  tetap  bercahaya  seperti  itu sesudah  yubile  melalui  program  kegiatan  pastoran  dengan  pewartaan  Injil  sebagai  ciri dasarnya,  selama  tahun­tahun  mendatang,  yang  menandai  masa  menjelang  abad  baru, masa juga menjelang millennium ketiga Kristianitas. 82. Itulah keinginan, yang penuh kegembiraan kami percayakan ke dalam tangan dan hati Santa  Perawan  Maria  yagn  tak  bernoda,  pada  hari  ini  yang  secara  istimewa  dikuduskan kepadanya, dan yang juga merupakan ulang tahun kesepuluh Penutupan Konsili Vatikan II.  Pada  pagi  ari  Pentekosta  Santa  Maria  melindungi  dengan  doanya  permulaan pewartaan Injil, yang diilhami oleh Roh Kudus. Semoga Santa Maria juga menjadi bintang evangelisasi yang tetap dibaharui; pewartaan yang oleh Gereja, selalu taat­patuh kepada perintah  Tuhannya,  harus  dimajukan  dan  dilaksanakan,  khususnya  zaman  sekarang  ini, yang serba sukar tetapi penuh harapan!             Demi nama Kristus kami memberkati anda, jemaat­jemaat anda, keluarga­keluarga anda, semua saja yang anda kasihi, dengan kata­kata yang oleh Paulus ditujukan kepada jemaat  di  Filipi:”Aku  mengucap  syukur  kepada  Allahku  setiap  kali  aku  mengingat  kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita...aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Injil...Sebab kamu semua ada  dalam  hatiku,  karena  kamu  semua  ikut  serta  dalam  kasih  karunia  yang  diberikan kepadaku..pada  waktu  aku  membela  dan  meneguhkan  Injil.  Sebab  Allah  ialah  Saksiku, betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kami sekalian” [137].                         Dimaklumkan  di  Roma,  di  gereja  basilika  St.  Petrus,  pada  hari  raya  Santa Perawan  Maria  dikandung  Tak  Bernoda,  tanggal  8  Desember  tahun  1975,  pada  tahun ketigabelas masa kepausan kami. PAUS PAULUS VI [1] Bdk. Luk 22:32. [2] 2Kor 4 11:28.



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



25/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL [3] Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.1: AAS



58 (1966) hlm. 947. [4] Bdk. Ef 4:24; 2:15; Kol 3:10; Gal 3:27; Rom 13:14; 2Kor 5:17. [5] 2 Kor 5:20. [6]  Bdk.  Paus  Paulus  VI,  Amanat  pada  penutupan  sidang  umum  III  Sinode  para  Uskup (tgl.26 Oktober 1974): AAS 66 (1974) hlm. 634­635,637. [7]  Paus  Paulus  VI,  Amanat  kepada  Dewan  para  Kardinal  (tgl.22  Juni  1973):  AAS  65 (1973) hlm. 383. [8] 2 Kor 11:28. [9] 1 Tim 5:17. [10] 2 Tim 2:15. [11] Bdk. 1Kor 2:5. [12] Bdk. Luk 4:43. [13] Ibidem. [14] Luk 4:18; bdk. Yes 61:1. [15] Bdk. Mrk 1:1; Rom 1:1­3. [16] Bdk. Mat 6:33. [17] Bdk. Mat 5:3­12. [18] Bdk. Mat 5­7 [19] Bdk. Mat 10, [20] Bdk. Mat 13. [21] Bdk. Mat 18 [22] Bdk. Mat 24­25. [23] Bdk. Mat 24:36; Kis 1:7; 1Tes 5:1­2. [24] Bdk. Mat 11:12; Luk 16:16. [25] Bdk. Mat 4:17. [26] Mrk 1:27. [27] Luk 4:22. [28] Yoh 7:46. [29] Luk 4:43. [30] Yoh 11:52. [31] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis “Dei Verbum” tentang wahyu ilahi, art.4: AAS 58 (1966) hlm. 818­819. [32] 1Ptr 2:9. [33] Bdk. Kis 2:11. [34] Luk 4:43 [35] 1Kor 9:16. [36] “Pernyataan para Bapa Sinode”, 4:L’Osservatore Romano (tgl.27 Oktober 1974) hlm.6. [37] Mat 28:19. [38] Kis 2:41, 47. [39] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, art.8: AAS 57 (1965) hlm. 11: Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.5: AAS 58 (1966) 951­952. [40] Bdk. Kis 2:42­46; 4:32­35; 5:12­16. [41] Bdk. Kis 2:11; 1 Ptr 2:9. [42] Bdk. Dekrit “ Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.5, 11­12: AAS 58 (1966) hlm. 951­952, 959­961. [43] Bdk. 2Kor 4:5; St. Agustinus, Kotbah XLVI tentang Para Gembala, CCLXLI, hlm. 529­ 530. [44] Luk 10:16; bdk. St. Siprianus, “De Unione Ecclesiae” (tentang Persatuan Gereja), 14.PL 4, 527; St. Agustinus Enarrat., 88; Kotbah 2:14: PL 37, 1140; St. Yohanes Krisostomus, Homili “de capto Eutropio” (tentang Eutropius yang ditawan), 6: PG.52, 402. [45] Ef 5:25. [46] Why 21:5; bdk. 2Kor 5:17; Gal 6:15. [47] Bdk. Rm 6:4. [48] Bdk. Ef 4:23­24; Kol 3:9­10. [49] Bdk. Rom 1:16; 1Kor 1:18­24. [50] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral, “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, art.53: AAS 58 (1966) hlm. 1075. [51] Bdk. Tertulianus, “Apologeticum” (pembelaan Iman), 39:CCL, I, hlm.150­153; Minucius Felix, Octavius 9 dan 31, CSLP, Turin 1963, hlm. 11­13, 47­48. [52] 1Ptr 3:15. [53] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, art.1, 9, 48: AAS  57  (1965)  hlm.  5,  12­14,  53­54;  Konstitusi  pastoral  “Gaudium  et  Spes”  tentang Gereja dalam Dunia Moern, art.42, 45: AAS 58 (1966) hlm.1060­1061, 1065­1066; Dekrit “ Ad Gentes”  tentang  Kegiatan  Misioner  Gereja,  art.  1,  5:  AAS  58  (1966)  hlm.  947,  951­ 952. [54] Bdk. Rom 1:16; 1Kor1:18. [55] Bdk. Kis 17:22­23. [56] 1 Yoh 3:1; bdk. Rom 8:14­17.



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



26/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL [57] Bdk. Ef 2:8; 1:16. Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, “ Declaratio ad fidem tuendam



in mysteria Incarnationis et SS. Trinitatibus e quibusdam recentibus erroribus” (Pernyataan untuk membela iman akan misteri Penjelmaan dan Tritunggal Mahakudus terhadap berbagai kesesatan akhir­akhir ini) (tgl. 21 Februari 1972): AAS 64 (1972) hlm. 237­241. [58]  Bdk.  1Yoh  3:2;  Rom  8:29;  Flp  3:20­21.  Bdk.  Konsili  Vatikan  II,  Konstitusi  Dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, art 48­51: AAS 57 (1965) hlm. 53­58. [59]  Bdk.  Kongregasi  untuk  Ajaran  Iman,  “  Declaratio  circa  Catholicam  Doctrinam  d Ecclesia contra nonnullos errores hodiernos tuendam” (Pernyataan sekitar Ajaran Katolik tentang Gereja yang harus dipertahankan melawan berbagai kesesatan zaman sekarang (tgl.24 Juni 1973): AAS 65 (1973) hlm.396­408. [60] Bdk.  Konsili  Vatikan  II,  Konstitusi  Pastoral  “Gaudium  et  Spes”  tentang  Gereja  dalam Dunia  Modern,  art.  47­52:  AAS  58  (1966)  hlm.  1067­1074;  Paus  Paulus  VI,  Ensiklik  “ Humanae Vitae”: AAS 60 (1968) hlm. 481­503. [61] Paus Paulus VI, Amanat pembukaan Sidang Umum III Sinode para Uskup (tgl.27 September 1974): AAS 66 (1974) hlm.562. [62] Ibidem. [63]  Paus  Paulus  VI,  Amanat  kepada    para  “Campesinos”  di  Kolumbia  (tgl.23  Agustus 1968): AAS 60 (1968) hlm. 623. [64] Paus Paulus VI, Amanat untuk “Hari Perkembangan” di Bogota (tgl.23 Agustus 1968): AAS 60 (1968) hlm.627; St. Agustinus, Surat 229:1, PL 33: 1020. [65] Paus Paulus VI, Amanat pada Penutupan Sidang Umum III Sinode para Uskup (tgl.26 Oktober 1974): AAS 66 (1974) hlm. 637. [66]  Paus  Paulus  VI,  Amanat  pada  tgl.15  Oktober  1975,  L’Osservatore  Romano  (tgl.17 Oktober 1975). [67] Paus Paulus VI, Amanat kepada para anggota Panitia tentang Umat Awam (tgl.2 Oktober 1974): AAS 66 (1974) hlm.568. [68] Bdk. 1Ptr 3:1. [69] Rom 17 [70] Bdk. 1Kor 2:1­5. [71] Rom 10:17. [72] Bdk. Mat 10:27; Luk 12:3. [73] Mrk 16:15. [74] Bdk. St. Yustinus, I Apologia (pembelaan), 46,1­4, PG.6,11; Apologia, 7(8) 1­4;10,1­3; 13,3­4; Florilegium Patristicum (Bunga­rampai  Patristik)  II,  cet  2  Bonn  1911,  hlm.81,  125, 129, 133; Klemens dari Iskandaria, stromata 1, 19, 91, 94, Sources chretiennes, hlm. 117­ 118;  119­120;  Konsili  Vatikan  II,  Dekrit  “Ad  Gentes”  tentang  Kegiatan  Misioner  Gereja, art.11:  AAS  58  (1966)  hlm.  960;  Konstitusi  dogmatis  “Lumen  Gentium”  tentang  Gereja art.17: AAS 57 (1965) hlm. 20. [75] Eusebius dari Kaisarea, “ Praeparatio Evangelica” (persiapan Injil) I, 1, PG.21,26­28; bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis ”Lumen Gentium” tentang Gereja, art.16: AAS 57 (1965) hlm.21. [76] Bdk.Ef 3:8. [77] Bdk. Henri de Lubac, “Le drame de I’humanisme athee”, Paris” Spes 1945. [78] Bdk: Konstitusi pastoral “ Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, art.59: AAS 58 (1966) hlm.1080. [79] 1 Tim 2:4. [80] Bdk. Mat 9:36; 15:32. [81] “Communautes de base” [82] “Agape”= (perjamuan) cintakasih. [83] Rom 10:15. [84] Pernyataan ”Dignitatis Humanae” tetnang Kebebasan Beragama, art.13: AAS 58 (1966) hlm. 939; bdk. Konstitusi dogmatis ”Lumen Gentium” tentang Gereja art.5: AAS 57 (1965) hlm. 7­8. Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.1: AAS 58 (1966) hlm. 947. [85] Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.35: AAS 58 (1966) hlm. 983. [86] St. Agustinus, “Enarratio in Ps” (uraian tentang Mazmur) 44, 23 CCLXXXVIII, hlm.510; bdk. Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.1: AAS 58 (1966) hlm. 947. [87] St. Gregorius Agung, “Homil. In Evangelica” (Homili tentang Injil), 19,1, PL.76,1154. [88] Kis 1:8; bdk. “Didache” (Ajaran para Rasul) 9,1, Runk, “Patres Apostolici”, 1,22. [89] Mat 28:20. [90] Bdk. Mat 13:32. [91] Bdk.Mat 13:47. [92] Bdk. Yoh 21:11/ [93] Bdk. Yoh 10:1­16. [94]Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi “ Sacrosanctum Concilium” tentang liturgi, art.37­38: AAS  56  (1964)hlm.110;  bdk.  Juga  buku­buku  liturgis  dan  dokumen­dokumen  lain  yang diterbitkan  sesudahnya  oleh  Takhta  apostolik  untuk  melaksanakan  pembaharuan  liturgi yang dicita­citakan oleh Konsili. [95] Paus Paulus VI, Amnat penutupan Sidang Umum III Sinode para Uskup (tgl.26 Oktober 1974): AAS 66 (1974) hlm. 636. [96] Bdk. Yoh 15:16; Mrk 3:13­19; Luk 6:13­16.



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



27/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL [97] Bdk. Kis 1:21­22. [98] Bdk. Mrk 3:14. [99] Bdk. Mrk 3:14­15; Luk 9:2. [100] Kis 4:8 ; bdk. 2:14; 3:12. [101] Bdk. St. Leo Agung, Sermo (kotbah) 69,3; Sermo 70,1­3, Sermo 94,3; Sermo 95,2;



Sources chretiennes 200, hlm. 50­52; 58­66; 258­260; 268. [102] Bdk. Konsili Ekumenis I di Lyon, Konstitusi “ Ad Apostolicae Dignitatis” ; Conciliorum Oecumenicorum  Decreta,  Bologna:  Istituto  per  le  Scienze  Religiose,  1973,  hlm.278; Konsili  Ekumenis  di  Vienna,  Konstitusi  “  Ad  Providam  Christi”,  ed.cit,  hlm.343;  Konsili Ekumenis  V  di  Lateran,  Konstitusi  “  In  Apostolici  Culminis”,  ed.cit.,  hlm.  608;  Konstitusi  “ Pastquam  ad  Universalis”,  ed.cit.,  hlm.609;  Konstitusi  “  Supernae  Dispositionis”,  ed.  Cit., hlm. 614; Konstitusi “ Divina Disponente Clementia”, ed.cit., hlm.638. [103] Dekrit “ Ad Gentes”  tentang  Kegiatan  Misioner  Gereja,  art.  38:  AAS 58  (1966)  hlm. 985. [104] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis “ Lumen Gentium” tentang Gereja, art. 22: AAS 57 (1965) hlm.26. [105] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis “ Lumen Gentium” tentang Gereja, art.10, 37: AAS 57 (1965) hlm.14, 43: Dekrit “ Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art. 39:  AAS  58  (1966)  hlm.  986;  Dekrit  “  Presbyterorum  Ordinis”  tentang  Pelayanan  dan Kehidupan para imam, art.2, 12, 13: AAS 58 (1966) hlm. 992, 1010, 1011. [106] Bdk. 1Tes 2:9. [107] Bdk. 1Ptr 5:4. [108] Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” tentang gereja, art.11: AAS 57 (1965); Dekrit “ Apostolicam Actuositatem” tentang Kerasulan Awam, art. 11: AAS 58 (1966) hlm. 848; St. Yohanes Krisostomus, In Genesim Serm. (Kotbah tentang kitab Kejadian), VI,2; VII,1; PG 54, 607­608. [109] Mat 3:17. [110] Mat 4:1. [111] Luk 4:14. [112] Luk 4:18, 21; bdk. Yes 61:1. [113] Yoh 20:22. [114] Kis 2:17. [115] Bdk. Kis 4:8. [116] Bdk. Kis 9:17. [117] Bdk. Kis 6:5, 10; 7­55. [118] Kis 10:44. [119] Kis 9:31. [120] Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.4: AAS 58 (1966) hlm. 950­951. [121] Yoh 17:21. [122] Bdk. Kis 20:28. [123] Bdk. Dekrit “ Presbyterorum Ordinis” tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, art.13: AAS 58 (1966) hlm. 1011. [124] Bdk. Ibr 11:27. [125] Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja art.6: AAS 58 (1966) hlm. 954­ 955; bdk: Dekrit ”Unitatis Redintegratio” tentang Ekumenisme, art.1: AAS 57 (1965) hlm. 90­91. [126] Bulla “Apostolorum Limina”, VII: AAS 66 (1974) hlm. 305. [127] Rom 5:5. [128] Bdk. Yoh 8:32. [129] 1 Tes 2:8; bdk. Flp 1:8. [130] Bdk. 1 Tes 2:7­11; 1Kor 4:15; Gal 4:19. [131] Bdk. 1Kor 8:9­13; Rom 14:15. [132] Bdk. Rom 12:11. [133] Konsili Vatikan II, Pernyataan “Dignitatis Humanae” tentang Kebebasan Beragama, art.4: AAS 56 (1966) hlm.933. [134] Bdk. Ibidem, art.9­14; loc.cit., hlm. 935­940. [135] Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja; art.7: AAS 58 (1966) hlm. 955. [136] Bdk. Rom 1:16 [137] Flp 1:3­5, 7­8



Posting Lebih Baru



Beranda



Posting Lama



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



28/29



5/1/2017



AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK (ASG): EVANGELII NUNTIANDI ­ MEWARTAKAN INJIL Tema Tanda Air. Diberdayakan oleh Blogger.



http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/evangelii­nuntiandi­mewartakan­injil.html



29/29