Aktiva Tetap Tidak Berwujud [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

AKTIVA TETAP TIDAK BERWUJUD Asset tidak berwujud dapat diketegorikan sebagai asset tetap perusahaan, namun secara fisik asset tetap tersebut tidak tampak. Oleh karena itu, disebut dengan istilah tidak berwujud. Dalam PSAK No. 19 Tahun 2007 menyatakan asset tetap tidak berwujud (intangible assets) adalah asset tidak lancar (noncurrent assets) dan tidak berbentuk yang memberikan hak keekonomian dan hokum kepada pemiliknya dan dalam laporan keuangan tidak dicakup secara terpisah dalam klasifikasi asset yang lain. Karakteristik asset tidak berwujud yang paling menonjol adalah tingkat ketikpastian nilai dan manfaat dikemudian hari. Nilai asset tidak berwujud ini dapat dalam jumlah yang besar. Sedangkan bentuk asset tidak berwujud ini dapat berbentuk hak paten, hak cipta , waralaba (franchise), merk dagang dan goodwill. Cara untuk memperoleh asset tidak tetap ini dapat dilakukan dengan membeli dari pihak luar. Termasuk dalam harga asset tidak berwujud tersebut, yaitu harga beli termasuk biaya tambahan untuk mendapatkan asset, misalnya biaya yang dibayar kepada pemerintah, notaries, dan biaya administrasi lainnya. Contoh asset tidak berwujud adalah hak paten, hak cipta, dan hak merek. Contoh lainnya adalah biaya riset dan pengembangan. Demikian pula halnya dengan biaya yang dikeluarkan dalam jumlah besar selama perusahaan belum menghasilkan produk komersial, dikenal sebagai biaya pra operasional, termasuk biaya komisi dan biaya pendirian. Biaya yang dapat dikapitalisasi ini juga dibebankan perperiode melalui amortisasi Contoh asset tidak berwujud adalah hak paten, hak cipta, dan hak merek. Contoh lainnya adalah biaya riset dan pengembangan. Demikian pula halnya dengan biaya yang dikeluarkan dalam jumlah besar selama perusahaan belum menghasilkan produk komersial, dikenal sebagai biaya pra operasional, termasuk biaya komisi dan biaya pendirian. Biaya yang dapat dikapitalisasi ini juga dibebankan perperiode melalui amortisasi.



JENIS-JENIS ASET TETAP TIDAK BERWUJUD Jenis aset tak berwujud 1. Aset tak berwujud yang dimiliki untuk dijual entitas dalam kegiatan usaha normal 2. Aset pajak tangguhan 3. Sewa 4. Aset yang timbul dari imbalan kerja 5. Aset keuangan



Pengaturan dalam PSAK terkait PSAK 14 (Revisi 2008): Persediaan PSAK 34: Akuntansi Kontrak Konstruksi PSAK 46: Akuntansi Pajak Penghasilan PSAK 30 (Revisi 2007): Sewa PSAK 24: Imbalan Kerja PSAK 55 (Revisi 2006): Instrumen Keuangan,Pengakuan dan Pengukuran PSAK 4 (Revisi 2009): Laporan



6. Goodwill yang timbul dari kombinasi bisnis 7. Biaya akuisisi yang ditangguhkan dan aset tak berwujud yang timbul dari hak kontraktual penjamin berdasarkan kontrak asuransi 8. Aset tak berwujud tidak lancar yang diklasifikasikan untuk dijual (atau termasuk dalam kelompok aset lepasan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual) 9. Aset tak berwujud yang berbentuk fisik, seperti compact disk (yang memuat piranti lunak komputer), dokumentasi legal (yang memuat lisensi atau paten), atau film dalam hal elemen tak berwujudnya lebih signifikan



Keuangan Konsolidasian dan laporan keuangan tersendiri, PSAK 15 (Revisi 2009): Investasi pada Entitas Asosiasi dan PSAK 12 (Revisi 2009): Invetasi pada Ventura Bersama PSAK 22 (Revisi 2010): Kombinasi Bisnis PSAK 28: Akuntansi Asuransi Kerugian PSAK 36: Akuntansi Asuransi Jiwa PSAK 58 (revisi 2009): Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan PSAK 19 (Revisi 2010): Aset Tak Berwujud



1.Hak paten Hak paten (patent) merupakan suatu hak yang diberikan kepada pihak yang menentukan hal untuk menjual, membuat, atau mengawasi penemuannya selama jangka waktu tertentu (umumnya 17 tahun). Hak paten ini dapat digunakan sendiri atau diserahkan kepada pihak lain dengan suatu perjanjian. Harga perolehan paten ini terdiri atas biaya-biaya pendaftarn, biaya membuat percobaan, dan lain sebagainya. Hak paten diamortisasi selama masa penggunannya. Adapun jurnal amortisasi yaitu: Amortisasi hak paten xxx Hak paten xxx 2.Hak Cipta Hak cipta (copyright) merupakan suatu hak yang diberikan kepada seorang pengarang atau pencipta untuk menerbitkan, menjual, atau mengawasi hasil ciptaannya. Pencatatan atas hak cipta di neraca sesuai dengan harga perolehan yang terdiri atas semua biaya yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut. Selain itu, hak cipta dapat pula dibeli. Amortisasi terhadap hak cipta ini sesuai masa yang ditetapkan atau diamortisasi sekaligus spabila masanya kurang dari yang ditetapkan dan taksiran masa sesuai jumlah yang akan dijual. 3.Merk Dagang



Dalam bentuk merk dagang (trade mark) didaftarkan terlebih dahulu dan dilindungi oleh undang-undang yang penggunaannya tidak terbatas. Cara memperoleh merek dagang ini dapat dengan pembelian atau dibuat sendiri. Mengingat timbulnya yang tidak terbatas inilah, maka tidak dilakukan amortisasi, tetapi timbulnya asumsi perubahan masa mendatang, maka merek dagang akan diamortisasi dalam masa yang pendek. 4.Waralaba Waralaba (franchise) merupakan hak yang diberikan oleh pihak tertentu (franchisor) kepada pihak lain atas penggunaan fasilitas yang dimiliki franchisor. Akuntansi dan hal yang berkenaan dengan pemajakan atas waralaba diatur sendiri. 5.Leasehold Bentuk leasehold ini merupakan hak dari penyewa untuk menggunakan aset tetap dalam perjanjian sewa menyewa. Sewa yang dibayar setiap periode dibebankan pada periode terjadinya atau dikapitalisasi sebagai aset tetap berwujud tergantung perjanjian sewa, operating, atau capital lease . Apabila pembayaran sewa dilakukan dimuka, maka perlakuan akuntansinya yaitu: 1. Dicatat pada aset lancer dengan akun sewa yang dibayar di muka. 2. Dicatat sebagai aset tetap tidak berwujud (pembayaran di muka dalam beberapa periode yang relative sama). Terhadap beban sewa yang dibayar di muka atau aset tetap tidak berwujud diamortisasi setiaaap masa selama jangka waktu sewa, untuk pengelompokan pada aset tetap tidak berwujud dapat digunakan dalam leasehold. 6.Goodwill PSAK No. 19 Tahun 2007 tidak mengatur khusus masalah goodwill. Dimana goodwill merupakan aset tetap tidak berwujud yang tidak dapat didafinisikan secara khusus. Bahasan dari akunyansi kom ersial, goodwill sebagai kemampuan oerusahaan untuk memperoleh keuntungan (rate of return) atau kondisi normal sebagai akibat adanya faktor tertentu yang mendukung. Goodwill dicatat ketika terjadi: 1. Pembelian; 2. Merger, reorganisasi, perubahan bentuk uasha, dan perubahan kepemilikan. Variable yang menentukan dalam perhitungan goodwill antara lain: 1. Rate of return atau proyeksi laba yangd apat dihasilkan di masa yang akan datang. 2. Nilai aset diluar goodwill. Penetapan besarnya goodwill dapat digunakan dua cara, yaitu: 1. Kapitalisasi penghasilan bersih rata-rata (capitalization of average incomeI); 2. Kapitalisasi kelebihan penghasilan rata-rata (capitalization of average exess income). Ilustrasi soal: PT Bintang memperoleh laba bersih (tidak termasuk laba luar biasa) dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007, adalah sebagai berikut:



Tahun 2003 2004 2005 2006 2007



Laba bersih sebesar Rp 115.000.000,00 Laba bersih sebesar Rp 103.000.000,00 Laba bersih sebesar Rp 103.000.000,00 Laba bersih sebesar Rp 140.000.000,00 Laba bersih sebesar Rp 126.000.000,00 Jumlah Bersih Rp 587.000.000,00 Penghasilan bersih rata-rata 1/5 Rp 587.000.000,00 = Rp 117.400.000,00 per tahun. Estimasi penghasilan setiap tahun Rp 120.000.000,00 Pada tanggal 1 Januari 2008 aset perusahaan (tidak termasuk goodwill) besarnya Rp 1.050.000.000,00 dan utang Rp 110.000.000,00. Berdasarkan data tersebut, dapat dihitung goodwill sebagai berikut: 1. Metode Kapitalisasi Penghasilan Bersih Rata-rata Pada cara ini ditetapkan bahwa jumlah yang akan dibayarkan kepada perusahaan yang dibeli, dihitung dengan cara mengkapitalisasi estimasi penghasilan yang akan datang dengan menggunakan tariff. Tarif ini yang menunjukkan hasil yang diharapkan dari investasi (ditetapkan 10%). Jumlah yang dibayar (Rp 120.000.000 x 100/10) Rp 1.200.000.000,00 Nilai bersih aset (Rp 1.050.000.000 x Rp 110.000.000) (Rp 940.000.000,00) Goodwill Rp 260.000.000,00 2. Kapitalisasi Kelebihan Penghasilan Rata-rata Perhitungan goodwill didasarkan pada penghasilan bersih rata-rata dan nilai aset yang akan dibeli selanjutnya apabila diketahui hasil yang diharapkan dari investasi 10% dan kelebihan penghasilan penghasilan yang akan dikapitalisasi 25%, maka penghitungan goodwill: Estimasi penghasilan yang akan datang Rp 1.200.000.000,00 Nilai bersih aset (Rp 940.000.000,00) Kelebihan penghasilan Rp 260.000.000,00 Proyeksi hasil investasi 10% x Rp 260.000.000,00 Rp 26.000.000,00 Goodwill = 100/25 x Rp 26.000.000,00 = Rp 104.000.000,00 Biaya Yang Ditangguhkan Biaya yang ditangguhkan (deffered cost) diketegorikan sebagai aset tetap tidak berwujud. Aset tetap tidak berwujud mempunyai hak, tetapi pada biaya yang ditahun ditangguhkan ini memperoleh nilai karena adanya pembayaran di muka yang biasanya menyangkut masa yang lama. Konsekuensinya setiap tahun dilakukan amortisasi sebagai contoh amortisasi atas biaya pendirian. Apabila biaya pendirian ini memberikan manfaat selama perusahaan berdiri, maka biaya pendirian setelah dikapitalisasi tidak diamortisasi sehingga tampak terus menerus dineraca.



Sebaliknya terhadap biaya pendirian tidak memberi manfaat langsung akan diamortisasi tergantung kebijakan perusahaan. DEPLESI (sumber daya) Pada akuntansi komersial aset tidak tidak berwujud dikelompokkan menjadi aset dengan masa manfaat yang dibatasi oleh ketentuan hukum yaitu: atas dasar ketentuan, persetujuan atau sifat dari aset itu sendiri. Terdapat pula aset tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak terbatas sebagai contoh goodwill dan merek dagang. Sedangkan perkakuan akuntansi untk tujuan pajak dalan Undang-undang Pajak tidak diatur secara tersendiri. Masalah pengelompokkan sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan akan dibahas pada bahasan amortisasi. Perusahaan dapat juga memperoleh hak, berupa hak untuk pengelolaan sumber alam (penggalian dan pemanfaatnya). Biaya-biaya yang berkaitan dengan penguasaan akan semakin berkurang setiap periodenya. Pembebanan biaya per periode tersebut disebut deplesi. Pada ketentuan pajak, hak penambangan dan penguasaan hutan termasuk dalam aktiva tidak berwujud : 1. Biaya untuk perolehan penambangan selain minyak dan gas bumi, hak penguasaan hutan, hak pertambangan dan hak sumberdaya alam yang lainya yang masa maanfaatnya lebih dari 1 tahun di amortisasikan menggunakan metode satuan jam produksi dengan presentase 20% Amortisasi pertahun = jumlah penambangan x 20% Taksiran total produksi 2. Minyak dan gas bumi juga menggunakan uni produksi tetapi toidak di tentukan presentasenya Amortisasi pertahun = jumlah penambangan x tanpa batas Taksiran total produksi AMORTISASI Amortisasi dalam Akuntansi Komersial Pada saat tertentu nilai aset tidak berwujud akan habis. Oleh karena itu, harga perolehan aset tidak berwujud harus diamortisasi selama taksiran masa manfaat, dan tidak boleh dibebankan seluruhnya pada periode perolehan. Periode amortisasi ini harus dievaluasi secara teratur, jumlah harga perolehan yang belum diamortisasi harus menjadi beban sisa masa manfaat yang baru, namun dipersyaratkan untuk tidak meleihi 20 tahun dari tanggal perolehan. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam menaksir masa manfaat aset tidak berwujud (PSAK No. 19 Tahun 2007): 1. Ketentuan hukum, peraturan, dan perjanjian yang membatasi masa manfaat maksimum.



2. Kemungkinan untuk memperbarui atau memperpanjang masa manfaat yang telah ditentukan . 3. Pengaruh keuangan, permintaan, persaingan, dan faktor perubahan ekonomi dan teknologi yang mempengaruhi masa manfaat. 4. Perkiraan tindakan yang akan dilakukan oleh pesaing, pelaksana hukum atau peraturan yang membatasi keunggulan dalam daya saing (competitive advantage). 5. Adanya masa manfaat yang tidak terbatas dan masa manfaat yang diharapkan tidak dapat ditaksir secara wajar. 6. Kemungkinan aset tidak berwujud terdiri atas beberapa jenis atau faktor yang mempunyai masa manfaat berbeda. Praktik akuntansi komersial metode amortisasi aset tidak berwujud pada umumnya menggunakan metode garis lurusyang dirumuskan: Biaya amortisasi = % tarif x harga perolehan aset tidak berwujud Namun ada pengecualian apabila terdapat metode lain yang lebih sesuia dengan kondisi perusahaan. Contoh: PT Jaya mengeluarkan seluruh biaya Rp 300.000.000,00 untuk memperoleh hak paten yang dibayarnya tunai untuk masa manfaat 5 tahun. Dengan menggunakan garis lurus, besarnya amortisasi tiap tahun = 1/5 x Rp 300.000.000,00 = Rp 60.000.000,00 Jurnal yang disusun: 1. Pada saat pembayaran Hak paten 300.000.000 Kas dan Bank 300.000.000 2. Pada saat pembebanan Biaya amortisasi 60.000.000 Hak paten 60.000.000 Amortisasi Dalam Akuntansi Pajak Perlakuan akuntansi aset tidak berwujud tidak berbeda dengan perlakuan akuntansi aset tetap. Kesulitan yang dihadapi pada umumnya karena sifta aset yang tidak berwujud fisik berakibat bukti keberadaan kabur, termasuk kesulitan dalam penentuan nilai perolehan serta masa manfaat ekonomis. Periode amortisasi aset tidak berwujud tidak boleh melebihi 20 tahun, dengan dasar pemikiran bahwa periode tersebut sudah banyak perkembangan dan periode selebihnya tidak lagi mempunyai masa manfaat ekonomis. Namun perusahaan diharuskan mengevaluasi periode amortisasi aset tidak berwujud secara teratur dan harus dibebankan pada sisa manfaat dengan syarat tidak melebihi 20 tahun dari tanggal perolehan. Amortisasi menurut akuntansi pajak berdasarkan pada Pasal 11a Undang-undang Pajak Penghasilan, menyebutkan bahwa amortisasi dilakukan terhadap pengeluaran untuk memperoleh



aset tidak berwujud dan pengeluaran lainnya, termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Metode yang digunakan dalam amortisasi aset tetap tidak berwujud menurut akuntansi pajak: 1. Metode garis lurus 2. Metode saldo menurun Untuk tujuan pajak dalam menghitung amortisasi aset tetap tidak berwujud, terlebih dahulu aset tersebut dikelompokkan sesuai dengan masa manfaatnya, yang terlihat sebagai berikut: Kelompok harta tidak berwujud



Masa manfaat



Tarif amortisasi Garis lurus



Saldo menurun



Kelompok 1



4 tahun



25 %



50%



Kelompok 2



8 tahun



12,5%



25%



Kelompok 3



16 tahun



6,25%



12,5%



Kelompok 4



20 tahun



5%



10%



Penetapan masa manfaat dan tarif amortisasi dimaksudkan untuk memberikan keseragaman dalam melakukan amortisasi. Kemungkinan dapat terjadi bahwa masa manfaat aset tetap tidak berwujud tidak tercantum pada kelompok masa manfaat, maka wajib pajak menggunakan masa manfaat terdekat. Contohnya, aset tetap tidak berwujud masa manfaat sebenarnya 6 tahun, dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun atau 8 tahun. Ilustrasi: Untuk memperoleh hak paten perusahaan telah mengeluarkan uang tunai sebesar Rp 150.000.000,00. Masa manfaat hak paten tersebut 4 tahun. 1. Perhitungan amortisasi setiap tahun dengan menggunakan garis lurus = 25% x Rp 150.000.000,00 = Rp 37.500.000,00 2. Perhitungan amortisasi setiap tahun dengan menggunakan saldo menurun = 50% x Rp 150.000.000,00 = Rp 75.000.000,00 SAAT AMORTISASI DAN AMORTISASI PADA AKHIR MASA MANFAAT



Dalam akuntansi komersial, amortisasi ini dilakukan pada saat diperoleh, demikian pula dalam akuntansi pajak mempunyai cara yang sama. Pada akhrir masa manfaat, asset tetap tidak berwujud akan diamortisasi sekaligus. Khusus untuk amrortisasi asset tetap tidak berujud menggunakan metode saldo menurun. Ketentuan Khusus Pada ketentuan khusus ini mengatur masalah; 1. Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya pendirian modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai ketentuan yang berlaku. 2. Amortisasi terhdap pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun dibidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi. Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan presentasi tariff amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan presentase dengan perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi dilokasi tersebut diproduksi. Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh haak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran dapat dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan. Contoh: PT Maju Jaya mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi disuatu lokasisebesar Rp 800.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak sebesar 200.000.000 barel produksi sebenarnya 50.000.000 barel. a. Tariff amortisasi = (50.000.000/200.000.000) x 100% = 25% Amortisasi tahun pertama = 25% x Rp 800.000.000,00 = Rp 200.000.000,00 b. Produksi sebenarnya tahun 2 sebesar 75.000.000 barel Tariff amortisasi = (75.000.000/25.000.000) x 100% = 37,5% Tariff amortisasi tahun ke-2 = 37,5% x Rp 800.000.000,00 = Rp 300.000.000,00 3. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan yang memunyai masaa manfaat lebih dari 1 tahun selain minyak dan gas bumi, hak penguasaan hutan dan hak penguasaan sumber alam, serta hasil alam lainnya, seperti hak penguasaan hasil laut, diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% setahun. Contoh: Pengeluaran untuk memperoleh hak penguasaan hutan sebesar Rp 800.000.000,00. Potensi hutan tersebut 10.000.000 ton kayu. a. Produksi sebenarnya tahun pertama = 1.000.000 ton Tariff amortisasi = (1.000.000/10.000.000) x 100% = 10% Amortisasi = 10% x Rp 800.000.000,00 = Rp 80.000.000,00



b. Apabila produksi sebenarnya tahun ke-2 sebesar 3.000.000 ton atau 30% potensi tersedia, maka amortisasi tahun tersebut 20% x Rp 800.000.000,00 = Rp 160.000.000,00 4. Amortisasi atas pengeluaran yang dilakukan operasi operasional mempunyai masa manfaat lebh dari satu tahun. Terhadap pengeluaran tersebt harus dikapitalisasi terlebih dahulu. Pengertian biaya-baya adalah yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, sebagai contoh: biaya study kelayakan dan biaya produksi perobaan tetapi tidak termasuk biaya operasional rutin (gaji pegawai, rekening listrik dan sebagainya). Biaya rutin ini akan dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran. 5. Amortisasi terhadap goodwill tidak diperkenankan oleh ketentuan perundang-undangan perpajakan. Goodwill sebenarnya termasuk juga asset tetap tidak berwujud, tetapi tidak dapat diidentifikasi khusus dan memang tidak terpisah dari perusahaan. Apabila ditinjau dari sisi ekonomis, goodwill menunjukkan kemampuan lebih perusahaan dalam memperoleh laba diatas nomal rata-rata perusahaan sejenis. Oleh karena itu, goodwill merupakan kombinasi bermacam-macam factor yang melekat pada eksistensi perusahaan. Hal ini juga yang menjadikan alasan praktik akuntansi pajak tidak diperkenankan melakuka amortisasi terhadap goodwill. PENGALIHAN HAK ASET TETAP TIDAK BERWUJUD Apabila terjadi pengalihan hak asset tetap tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam pasal 11a ayat 1, 4, dan ayat 5 undang-undang pajak penghasilan yaitu: 1. Pengeluaran untuk memperoleh asset tetap tidak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. 2. Pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi. 3. Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud pada point 2, hak penguasaaan hutan dan hak penguasaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan. Kemungkinan terjadi pengalihan asset tetap tidak berwujud yang memenuhi syarat pasal 4 ayat 3a dan 3b undang-undang pajak penghasilan (yang tidak termasuk sebagai obyek pajak:



warisan), maka Nilai Sisa Buku Aset tersebut boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. Sebagai contoh: PT Monalisa mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi disuatu lokasi sebesar Rp 600.000.000,00 dan gas bumi mencapai 100.000.000 barel, hak penambangan dijual kepada pihak lain seharga Rp 400.000.000,00 Harga perolehan = Rp 600.000.000,00 Amortisasi yang telah dilakukan 100.000.000 x 100% x Rp 600.000.000,00 = (Rp 300.000.000,00) 200.000.000 Nilai Sisa Buku = Rp 300.000.000,00 Harga jual = Rp 400.000.000,00 Dengan demikian Nilai Sisa Buku sebesar Rp 300.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan harga jual sebesar Rp 400.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan. DEVALUASI, REORGANISASI SEMU, DAN APRESIASI AKTIVA Secara komersial, kalau dianggap nilai suatu aktiva terlalu tinggi (overstated) dari manfaatnya, perusahaan dapat melakukan devaluasi aktiva. Devaluasi itu menurunkan nilai aktiva dengan membebankannya ke rugi-laba atau saldo laba (laba ditahan). Overstatement itu dapat dilakukan oleh investor terutama yang mempunyai induk perusahaan diluar negeri karena pada saat perolehan overstatement nilai aktiva dimaksudkan terutama untuk memenuhi persyaratan tertentu, misalnya minimum realisasi penanaman modal. Dalam ketentuan perpajakkan devaluasi sendiri (tanpa adanya ketentuan operasional perpajakkan) aktiva perusahaan tidak dikenal. Untuk mengurangi rugi operasi yang diderita secara berkelanjutan, dalam praktek komersial perusahaan dapat melakukan reorganisasi semu atau reasdjustment. Hal ini akan menurunkan nilai aktiva tetap, laba ditahan, nominal modal saham, dengan selisih defisit dapat dibebankan kepengurangan modal saham. Ketentuan pajak sangat peduli terhadap penghasilan (keuntungan) perusahaan. Dengan mengabaikan dengan turunnya daya beli uang, jumlah penghasilan wajib pajak diukur berdasarkan nilai histories barang atau jasa yang diserahkan. Pemakaian nilai historis itu memberikan petunjuk umum, devaluasi aktiva atau reorganisasi semu kurang dikenal dalam ketentuan perpajakkan. Sama halnya dengan praktek akuntansi komersial, untuk tujuan perpajakkan dasar penilaian aktiva merupakan harga perolehan (cost) yang diukur sebesar harga pasar wajar. Namun, berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya karena devaluasi nilai rupiah. Kekurangsepadanan antara biaya (historis) penyusutan dengan tingkat harga yang berlaku atau



pertimbangan yang lain, pemerintah dapat mengeluarkan ketentuan penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap perusahaan. Kesempatan revaluasi sejak tahun 1970 diberikan tiga kali, yaitu pada 1971 (berdasarkan Kepmen Nomor KEP-508/KMK/II/7/1971 Tanggal 7 Juli 1971), pada 1976 (berdasarkan Kepmen Nomor KEP-1677/KMK/II/12/1976 tanggal 28 Desember 1976) pada 1978 (berdasarkan Kepmen Nomor KEP-109/KMK.04/1978 tanggal 27 Maret 1978). Selanjutnya pada 1986 pemerintah juga memperkenankan revaluasi berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 45 tahun 1986 dan Kepmen Nomor 914/KMK.04/1986 tanggal 25 Oktober 1986. teakhir berdasarkan keputusan Menteri Keuangan Nomor 507/KMK.04/1996 tanggal 13 Agustus 1996, pemerintah juga memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk melakukan revaluasi aktiva tetapnya yang dimiliki lebih dari 5 tahun. Revaluasi dilakukan terhadap seluruh aktiva, termasuk tanah dan hak-hak atas tanah, dengan dasar penilaian yang dilakukan oleh lembaga penilai. Ketentuan tentang penilaian kembali ini bersifat repetitive dan otomatis setiap 5 tahun perusahaan dapat melakukan revaluasi terhadap aktiva yang belum dilakukan penilaian kembali pada saat revaluasi masa sebelumnya. Dengan tujuan untuk memperbaiki iklim berusaha dan investasi, ketentuan penilaian kembali aktiva tetap memberikan keringanan perpajakkan terhadap pajak penghasilan (tariff umum maksimal 30%) atas nilai lebih (surplus) karena penilaian kembali dengan tariff pajak final 10%. Pengenaan pajak itu setelah terlebih dahulu memperhitungkan nilai lebih revaluasi dengan kerugian fiscal yang masih berhak atas kompensasi kerugian. Selanjutnya, apabila nilai lebih karena penilaian kembali itu dikapitalisasi, kemudian dibagikan dalam bentuk saham bonus, penghasilan deviden tidak dikenakan pajak penghasilan. Sebagai contoh, PT Andi pada akhir 1996 mempunyai aktiva tetap dengan nilai buku Rp500 juta. Kerugian yang masih berhak atas kompensasi Rp100.000.000,00. perusahaan itu memanfaatkan ketentuan penilaian kembali aktiva tetap dengan meminta jasa dari perusahaan penilai PT iwan. Nilai aktiva itu berdasarkan perhitungan dari PT iwan Rp700 juta. Dengan demikian, 1. Untuk mencatat penilaian kembali Aktiva tetap Rp 250.000.000,00 Selisih penilaian kembali aktiva Rp 250.000.000,00 2. Untuk mencatat pembayaran dan pembebanan pajak 10% Pajak penghasilan revaluasi Rp 15.000.000,00 Kas Rp 15.000.000,00 Selisih penilaian kembali aktiva tetap Rp 15.000.000,00 Pajak penghasilan revaluasi Rp 15.000.000,00



3. Untuk mencatat kapitalisasi Selisih penilaian kembali aktiva Rp 235.000.000,00 Modal saham Rp 235.000.000,00 Pembagian saham bonus tidak dicatat dalam praktek akuntansi komersial. Penghapusan atas aktiva yang dinilai kembali itu dilakukan berdasarkan masa manfaat yang tercantum dalam ketentuan perpajakkan (pasal 11 UU PPh (umur semula) bukan berdasarkan sisa masa manfaat. Misalnya biaya revaluasi aktiva Rp 35 juta, berdasarkan ketentuan pajak final biaya itu tidak boleh dikurangkan dari nilai lebih revaluasi (karena telah dikenakan pajak dengan tariff murah) maupun penghasilan yang lain (karena tidak ada kaitan langsung). Biaya itu langsung dikurangkan dari selisih penilaian kembali aktiva. Dengan demikian, yang tersedia untuk pembagian saham bonus hanyalah Rp 200 juta.