Anak Berkebutuhan Khusus (Abk) : Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) Makalah Ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan Dosen Pengampu : Arizka Harisa, S.Psi, M.Si



Disusun Oleh : Kelompok 8 1. Novi Nurul Ramdhanisa (11190162000014) 2. Sofi Safitri (11190162000022)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, shalawat serta salam selalu tercurah limpahkan kepada junjungan alam baginda Nabi besar Muhammad SAW. berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), yang apabila dijabarkan meliputi, Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Hakikat dan Identifikasi Anak Berbakat (Gifted), dan Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Berbakat. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya kepada para teman-teman sekalian. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Karena sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah dan datangnya dari Allah SWT., serta kesalahan mutlak datangnya dari kami sendiri. Wassalamu’alaikum Wr. Wb



Jakarta, 02 Mei 2020 Pemakalah



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 1 1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 1 BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 2 2.1 Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ........................................................... 2 2.2 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)....................................................... 3 2.3 Hakikat dan Identifikasi Anak Berbakat (Gifted) .................................................... 4 2.4 Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Berbakat ........................................................... 13 2.5 Talim Muta'alim Pasal 9 ......................................................................................... 18 BAB III PENUTUP ..............................................................................................................20 3.1 Kesimpulan .............................................................................................................20 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 21



ii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Disadari bahwa setiap individu lahir dengan keistimewaan yang khas, dan tidak sama antar individu satu dengan lainnya. Berbagai keistimewaan individual itulah yang nanti pada akhirnya kelak akan menjadikan siapa dirinya. Hanya saja segala keistimewaan tersebut tidak dapat berkembang secara optimal jika tidak didukung dengan faktor-faktor lain yang memungkin tumbuhberkembangnya potensi istimewa tersebut. Selain itu, yang juga patut disadari oleh para orangtua dan pendidik adalah keistimewaan yang ada pada diri anak akan memiliki keterbatasan, sehingga jangan pernah berpikir bahwa anak-anak dengan kemampuan istimewa dapat mengatasi masalah yang dihadapinya dengan kemampuan yang dimilikinya sendiri, bahkan tidak jarang justru karena kemampuan istimewanya menjadikan anak-anak mengalami situasi dilematis yang sulit dipecahkannya sendiri. Pada saat-saat seperti itu, orang tua dan guru memiliki peran untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapi anak. Terkait dengan relasi orang tua, guru dan siswa dalam pembelajaran. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud hakikat Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 2. Apa saja klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 3. Apa yang dimaksud hakikat dan identifikasi Anak Berbakat (Grifted) 4. Bagaimana pelayanan pendidikan bagi anak berbakat 1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui hakikat Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 2. Untuk mengetahui klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 3. Untuk mengetahui hakikat dan identifikasi Anak Berbakat (Grifted) 4. Untuk mengetahui pelayanan pendidikan bagi anak berbakat



1



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus karena adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Berkaitan dengan istilah disability, maka anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan di salah satu atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti tunanetra dan tunarungu, maupun bersifat psikologis seperti autism dan ADHD. Pengertian lainnya bersinggungan dengan istilah tumbuh-kembang normal dan abnormal, pada anak berkebutuhan khususbersifat abnormal, yaitu terdapat penundaan tumbuh kembang yang biasanya tampak di usia balita seperti baru bisa berjalan di usia 3 tahun. Hal lain yang menjadi dasar anak tergolong berkebutuhan khusus yaitu ciri-ciri tumbuh-kembang anak yang tidak muncul (absent) sesuai usia perkembangannya seperti belum mampu mengucapkan satu katapun di usia 3 tahun, atau terdapat penyimpangan tumbuh-kembang seperti perilaku echolalia atau membeo pada anak autis. Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang bersifat biologis, psikologis, sosio-kultural. Dasar biologis anak berkebutuhan khusus bisa dikaitkan dengan kelainan genetik dan menjelaskan secara biologis penggolongan anak berkebutuhan khusus, seperti brain injury yang bisa mengakibatkan kecacatan tunaganda. Dalam konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali dari sikap dan perilaku, seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak slow learner, gangguan kemampuan emosional dan berinteraksi pada anak autis, gangguan kemampuan berbicara pada anak autis dan ADHD. Konsep sosio-kultural mengenal anak berkebutuhan khusus sebagai anak dengan kemampuan dan perilaku yang tidak pada umumnya, sehingga memerlukan penanganan khusus 1 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia 2013, men-jelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah: “Anak yang mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan,baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya” Secara umum dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus (Heward, 2002) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Istilah lain bagi anak 11



Desiningrum, Rastri, “Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus”. (Yogyakarta: Psikopain, 2016), hlm 1.



2



berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Anak dengan kebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai anak yang lambat (slow) atau mangalami gangguan (retarded) yang sangat sukar untuk berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability, impairment, dan handicap. Menurut World Health Organization (WHO), definisi masing-masing istilah adalah sebagai berikut: Disability yaitu keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari impairment) untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal, biasanya digunakan dalam level individu. Impairment yaitu kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau struktur anatomi atau fungsinya, biasanya digunakan pada level organ. Handicap yaitu ketidakberuntungan individu yang dihasilkan dari impairment atau disability yang membatasi atau meng-hambat pemenuhan peran yang normal pada individu.2 2.2 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Menurut IDEA atau Individuals with Disabilities Education Act Amandements yang dibuat pada tahun 1997 dan ditinjau kembali pada tahun 2004: secara umum, klasifikasi dari anak berkebutuhan khusus adalah: 1. Anak dengan Gangguan Fisik: a. Tunanetra, yaitu anak yang indera penglihatannya tidak berfungsi (blind/low vision) sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas. b. Tunarungu,



yaitu



anak



yang



kehilangan



seluruh



atau



sebagian



daya



pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal. c. Tunadaksa, yaitu anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi dan otot). 2. Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku: a. Tunalaras, yaitu anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. b. Anak dengan gangguan komunikasi bisa disebut tunawicara, yaitu anak yang mengalami kelainan suara,artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara,yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa,isi bahasa,atau fungsi bahasa.



2



Ibid., hlm. 2



3



c. Hiperaktif, secara psikologis hiperaktif adalah gangguan tingkah laku yang tidak normal, disebabkan disfungsi neurologis dengan gejala utama tidak mampu mengendalikan gerakan dan memusatkan perhatian.3 3. Anak dengan Gangguan Intelektual: a. Tunagrahita, yaitu anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh dibawah rata-rata sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial. b. Anak Lamban belajar (slow learner), yaitu anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita (biasanya memiliki IQ sekitar 70-90). c. Anak berkesulitan belajar khusus, yaitu anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus, terutama dalam hal kemampuan membaca,menulis dan berhitung atau matematika. d. Anak berbakat, adalah anak yang memiliki bakat atau kemampuan dan kecerdasan luar biasa yaitu anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) diatas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus. e. Autisme, yaitu gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku. f. Indigo adalah manusia yang sejak lahir mempunyai kelebihan khusus yang tidak dimiliki manusia pada umumnya.4 2.3 Identifikasi Anak Berbakat Intelektual 1. Penjaringan dan penyaringan: pola dan tahapannya a. Penjaringan anak berbakat Berbagai pola penjaringan anak berbakat telah tersebar di seluruh dunia. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa dalam arti makro, diperkirakan 1% dari seluruh populasi suatu bangsa terdiri dari orang berbakat ungul. Kalau populasi suatu



3 4



Ibid., hlm. 7 Ibid., hlm. 8



4



bangsa Indonesia kini diperkirakan kurang lebih 190 juta, barangkali kita memiliki sekitar dua juta orang berbakat unggul dalam arti intelaktual. Seperti sudah dikemukakan, tingkat inteligensi populasi di bawah yang paling superior ke atas itu, masih ada kurang lebih 10% dari penduduk lainnya yang IQ-nya berkisar antara 120-137 dan disebut moderately gifted.5 Penjaringan terhadap keberbakatan intelektual dalam kelompok pipulasi tertentu pada umumnya bertolak dari perkiraan kurang lebih 15% sampai 25% populasi sampel yang secara kasar merupakan identifikasi permulaan dalam menghadapi seleksi yang lebih cermat. Penjaringan itu bisa menggunakan nominasi guru tentang kemajuan sehari-hari siswa, namun bisa juga melalui penilain beberapa mata pelajaran tertentu, tergentung dari tujuan penjaringan. Bila strategi itu yang dipilih, dari 15% sampai dengan 25% yang dijaring, masih diadakan seleksi yang lebih cermat. Suatu keputusan akhir (terminal decision) terhadap kinerja suatu kelompok, selain lebih bersifat sekuensial (sequential), juga merupakan strategi yang menuntu keputusan itu harus didasarkan pada fase berikutnya dalam menilai kinerja kelompok. Biasanya dalam strategi itu kelompok dibagi menjadi tiga subkelompok, yaitu yang sudah dipastikan tidak diterima, kelompok tengah yang belum tentu diterima atau ditolak, dan kelompok yang boleh dikatakan sudah mantap akan diterima. Penjaringan seperti ini terdiri dari dua fase. Fase kedua mencakup penyaringan terhadap kelompok tengah melalui berbagai alat yang lebih mendalam menggali pengetahuan tentang kemampuan, sikap, sifat atau perilaku seseorang. Untuk menghemat tenaga, waktu dan dana dalam penyelenggaraan penjaringan yang masih menuntut penyaringan lagi, penjaringan kelompok sering dilakukan berdasarkan alat yang pada umumnya menuntut kinerja yang dapat dikuasai oleh seluruh kelompok. Namun, keputusan tentang hasil penjaringan itu dengan menggunakan strategi yang bagaimanapun, berkaitan erat dengan tujuan yang hendak dicapai dalam situasi yang amat khusus. Ini berarti tidak tiap pola penjaringan berlaku bagi kelompok mana pun dan di dalam situasi yang bagaimanapun. Selain itu, penjaringan merupakan sarana kasar untuk seleksi yang kebih cermat yang seluruhnya mencakup pengertian identifikasi. Penjaringan memberikan informasi tentang seberapa apa yang dikuasai seseorang, namun tidak memberikan informasi mengapa demikian halnya.



5



Conny, serniawan, “Perspektif Pendidikan Anak Berbakat”. (Jakarta: PT. Grasindo, 1997) hlm. 71



5



b. Penyaringan anak berbakat: pengertian Pengertian penyaringan menunjuk pada suatu seleksi yang lebih halus daripada suatu penjaringan. Penyaringan dengan menggunakaan tes psikologi didasarkan pada beberapa patokan tertentu. Salah satu faktor yang relevan berupa untuk keperluan apa penyaringan itu diadakan. Tujuan itu yang memberikan dasar terhadap penilaian terhadap kemampuan, sifat, sikap atau perilaku seseorang. Namun, apa pun tujuannya, kepada yang bersangkutan harus diberi tahu bahwa penilaian yang baik akan menempatkan dia dalam posisi yang menguntungkan. Dalam arti, tidak akan menuntut dia melakukan pekerjaan atau kinerja tertentu yang tidak sesuai dengan kemampuan. Penyarinagan itu biasanya berguna bagi peramalan tentang kinerja tertentu di dalam waktu yang akan datang. Berbagai perbedaan dalam latar belakang pengalaman, pendidikan ataupun kebudayaan tertentu akan terekspresiakan dalam kinerja yang bersangkutan dalam kesempatan tersebut. Bila penyaringan itu menggunakan tes hasil belajar seperti dilakukan dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), dapat diperoleh suatu profil yang terdiri dari kemampuan berbagai mata pelajaran karena tes hasil belajar dari berbagai mata pelajaran dikonsentrasikan secara independen menjadi berbagai subtes, sehingga dapat diadakan berbagai perbandinagan horizontal dan vertical. Jadi, penyaringan ini memperlihatkan posisi individu dalam berbagai mata pelajaran atau keterampilan pendidikan tertentu sebagai sampel yang secara normatif seragam (semua lulusan SMU). Penyaringan anak berbakat yang pernah dilakukan oleh Balitbang Dikbud (1984), didasarkan pada batterei test (suatu batterei test adalah kumpulan tes yang masing-masing mengukur kriteria tertentu yang secara menyeluruh merupakan keseluruhan tuntunan perilaku tertentu dalam kaitan dengan keperluan tertentu) yang terdiri dari tes inteligensi, tes kreativitas dan suatu tes hasil belajar yang sekaligus juga disertai penilaian guru dalam mata pelajaran tertentu.6 c. Pola dan tahap identifikasi anak berbakat Pola dan tahap identifikasi yang terdiri dari penjaringan sebagai identifikasi kasar yang kemudian diperhalus melalui suatu proses seleksi memilki berbagai variasi,



6



Ibid., hlm. 72-74



6



tergantung dari keperluan, kebudayaan dan tata cara negara di dunia, yang memiliki berbagai gradasi kemajuan dalam perkembangan konsep keberbakatan. Pada permulaan diperkirakan bahwa konsep keberbakatan hanya terbatas pada lingkup ber-IQ tinggi, tetapi ternyata berbagai dimensi keberbakatan yang lain yang dimiliki oleh kelompok berbakat yang lain terabaikan. Orang yang kreatif dan/atau memiliki pemikiran produktif dan mereka yang mencapai kemajuan yang cepat dan/atau luar biasa di sekolah ataupun pemimpin-pemimpin yang istimewa dan memiliki bakat seni rupa ataupun seni pertunjukan, ternyata kini tercakup dalam konsep keberbakatan



untuk



diidentifikasikan. Dengan demikian, klasifikasi



keberbakatan juga mencakup kreativitas, motivasi dan kepemimpinan. Demikian juga bakat khusus dalam salah satu bidang ilmu tertentu. Berbagai kemampuan itu menunjuk pada perwujudan berbagai bakat sebagai kapasitas umum mental. Sampai dengan hari ini ada berbagai pola dan tahapan identifikasi keberbakatan sesuai orientasi masing-masing. Betapapun identifikasi keterbakatan itu tak bisa hanya didasarkan pada suatu skor mentah. Biasanya skor mentah itu dijabarkan dan dikonversikan sesuai norma yang mewakili kinerja tes dari sampel tertentu sesuai standar tes tertentu. Jadi, skor mentah yang dikonversikan itu merupakan ukuran relative yang menggambarkan kedudukan individu secara lebih cermat dalam suatu tes kelompok yang terstandarisasikan (skor standar menyatakan jarak kedudukan individu dari skor rata-rata kelompok berdasarkan deviasi standar distribusi).7 d. Beberapa masalah identifikasi Beberapa penyalahgunaan prinsip identifikasi, antara lain tentang pembedaan antara bakat (gifted) dan talen (talented) dengan menyusun suatu hierarki pengertian dengan menunjuk kepada pengertian kemampuan kepemimpinan dan bakat seni untuk pengertian talen. Suatu



kerancuan



lain



memperkirakan



identifikasi



merupakan



suatu



kategorisasi dari kemampuan keberbakatan yang sudah nyata sepenuhnya. Bila demikian halnya, untuk apa lagi diperlukan pendidikan untuk mereka? Padahal identifikasi sebenarnya merupakan suatu penilaian tentang kebutuhan anak didik untuk menempatkannya dalam program-program pendidikan sesuai dengan dan untuk mengembangkan potensi. Selain itu, ternyata bukan saja di negara kita, tetapi juga 7



Ibid., hlm. 76



7



negara Amerika yang sudah maju, identifikasi keberbakatan sering diterjemahkan sebagai suatu penghargaan terhadap perilaku yang baik. Di Indonesia dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Utami Munandar (Universitas Indonesia,1977) anak berbakat yang diniminasikan oleh guru, yang rajin dan penurut (tidak nakal). Di negara maju pun instrument identifikasi diterapkan pada tahap-tahap penjaringan yang tak pada tempatnya, umpamanya sudah dilakukan diagnosis pada saat penjaringan yang sebenarnya bukan maksudnya dilakukan pada taraf awal identifikasi itu. Ternyata di sana pun tes inteligensi dipakai untuk mengukur kreativitas dan kepemimpinan yang tentu tidak sesuai dengan sifat dan tujuan tes itu.8 2. Alat Identifikasi a. Kemampuan intelektual umum Perkembangan kemampuan intelektual umum bermula dari pengkajian terhadap anak-anak subnormal. Orang Perancis bernama Equirol (seorang dokter), yang pertama-tama menaruh perhatian terhadap kelompok ini dan menemukan sesuatu kontinum kemempuam umum dari normal ke bawah sampai pada taraf idiot. Penemuan Equirol ini segera diikuti oleh sejawatnya Sequin yang ingin membuktikan bahwa orang yang mengalami retardasi mental bukan tidak berguna di masyarakat. Ia mendirikan sekolah untuk orang-orang ini. Ketika dia pindah ke Amerika upayanya diteruskan oleh Binet. Penelitian terhadap kemampuan intelektual umum juga diteruskan oleh seorang Inggris, Sir Francis Galton, yang sangat berminat terhadap faktor keturunan. Dalam upaya mengkaji karakteristik kemempuan intelektual umumia mengukur mereka yang masih punya hubungan darah dan mereka yang tidak ada hubungan darah.9 Ia mengemukakan bahwa mereka yang mengalami retardasi mental berat tidak dapat menemukan perbedaan antara panas, dingin, dan rasa sakit. Ia sampai pada kesimpulan bahwa kemampuan membedakan sensoris (sensory discriminative capacity) tertinggi, ada pada merka yang memiliki kemampuan intelektual tinggi pula. Galton juga terkenal karena analisis data melalui statistic tentang perbedaan individual. Menyusul Galton adalah Cattel, yang seperti Galton percaya bahwa pengukuran kemempuan intelektual umum diperoleh melalui pengukuran kekuatan



8 9



Ibid., hlm. 77 Ibid., hlm. 78



8



otot, kecepatan gerak, sensitivitas terhadap rasa sakit, kecermmatan dalam pendengaran dan penglihatan, perbedaan dalam ingatan dan lain-lain, yang semua disebut “tes mental” meskipun fungsi ental yang lebih komleks pada saat itu belum terpikirkan. Karya-karya para ahli ini segera disusul oleh pakar Eropa lain, seperti Kraepelin yang meneliti faktor dasar dalam karakteristik individu melalui tes berhitung yang mengukur efek kelelahan dan ingatan serta pengalihan perhatian (distraction).10 b. Tes inteligensi umum Binet telah menciptakan tes mental pertama bersama Simon, sejawatnya. Ia menciptakan skala yang terdiri dari 30 masalah yang dicobakan kepada 50 anak normal, berumur 3-11 tahun dan beberapa orang yang mengalami retardasi mental serta orang dewasa. Tes itu mencakup berbagai fungsi dengan tekanan pada penilaian (judgment), pengertian (comprehension) dan penalaran (reasoning), yang menurut Binet merupakan komponen-komponen esensial inteligensi. Tingkat kesukaran tes ditetapkan secara empiris. Skor seseorang pada tes itu mencerminkan umur mental seseorang, yang kemudian dibandingkan dengan umur kronologis. Setelah revisi ketiga, tahun 1911 Binet meninggal, dan tes itu diterjemahkan oleh berbagai negara di berbagai penjuru dunia. Di Amerika pun tes itu diadaptasikan. Tes inteligensi yang pertama-tama menghasilkan IQ ini menggunakan rasio antara umur mental dan umur kronologis. Berbagai penelitian tentang IQ sebagai ukuran terhadap kemampuan umum (inteligensi) itu terkait dengan beberapa masalah tentang rentangan umur, terutama dalam hubungan dengan funsi tes inteligensi. Artinya, apakah cakupan isi (intelegensi) itu sama bagi anaksekolah, anak prasekolah belum memiliki pengalaman belajr yang terstruktur seperti yang diperolehnya dari kurikulum sekolah, sedangkan dalam pengembangan tes bagi anak sekolah (apakah itu sekolah dasar, sekolah menengah atau sekolah tinggi), para pengembang tes dapat dengan mudah menjabarkan berbagai pengalaman belajar yang tidak diperoleh di sekolah, ke dalam item-item yang ekuivalen.11 c. Tes kelompok kontra tes individual 10 11



Ibid., hlm. 79 Ibid., hlm. 80



9



Berbeda dari tes inteligensi seperti Stanford Binet dan skala Wechsler yang terutama diaplikasikan di dalam klinik-klinik psikologi ayau sanggar konseling tertentu secara individual, tes kelompok lebih banyak digunakan dalam system pendidikan, pelayanan pegawai, indusri dan militer. Memang, tes kelompok dirancang terutama untuk sekelompok tertentu. Di samping beberapa keterbatasannya dibandingkan dengan tes individual, banuyak juga kegunaannya. Beberapa keuntungannya, antara lain latihan yang agak ekstensif yang diperlukan untuk tes seperti Stanford-Binet, tak seberapa diperlukan bagi pengetes tes kelompok, asalkan pengetes itu mampu membaca instruksi tes dengan baik dan tepat wakru dalam mengadakan testing. Demikian juga cara menskor dalam tes kelompok lebih mudah, bahkan kini sudah bisa dilakukan oleh computer. Biasanya tes kelompok menyediakan lembar jawaban dan “kunci-kunci” tes. Selain itu, tes kelompok lebih mudah menghasilkan norma daripada tes individual. Bentuk tes kelompok juga berbeda dari tes individual dalam menyusun item dan kebanyakan menggunakan iem pilihan ganda.12 Tes individual dalam menyusun seperti skal Binet, kelompok itemnya dikembangkan sesuai tahap kelompok umur. Tes kelompok kontennya terdiri dari isi yang kurang lebih sama yang dibagi dalam subtes-subtes yang terpisah-pisah. Setiap subtes item disusun dari yang mudah sampai yang sukar. Ini memberi peluang bagi setiap orang yang dites untuk mencoba semua item subtes masing-masing sebelum beranjak kepada yang sulit. Namun, salah satu masalah yang perlu diwaspadai oleh yang dites adlah waktu. Keterbatasan lain yang jug perlu dicatat, pengetes tak banyak kesempatan untuk berkomunikasi dengan yang dites, sehingga bial yang dites sakit, lelah atau ada masalh lain, skornya mungkin tak sesuai dengan kemampuan. Juga untuk pengenalan lebih akrab dengan yang dites, tak banyak peluangnya dalam tes kelompok. Terutama bagi orang yang belum biasa dites, ia akan mengalami gangguan emosional, sehingga tes kelompok tidak terlalu menguntugkan. 13 d. Pengukuran hasil belajar Berbeda dari tes bakat, tes hasil belajar berfungsi untuk mengukur hasil perolehan belajar setelah suatu pendidikan, latihan atau program tertentu selesai



12 13



Ibid., hlm. 81 Ibid., hlm. 82



10



diikuti seseorang. Jadi, tes hasil belajar ini, berbeda dari tes bakat ataupun tes inteligensi mengukur pengalaman belajar yang sudah terstadardisasikan, terawasi dan terancang sebelumnya. Sementara tes bakat mengukur pengalaman yang secara kumulatif diperoleh melalui pengalaman sehari-hari dan secara relative menggali pengalaman yang tak terancang. Jadi, kalu tes bakat meramalkan suatu potensi untuk dibuktikan dalam kinerja tertentu, tes hasil belajar pada umumnya merupakan evaluasi terminal untuk menentukan kedudukan individu setelah menyelesaikan suatu latihan atau pendidikan tertentu. Tekanan tes hasil belajar terutama pada apa yang dapat dilakukan individu pada saat setelah latihan atau pendidikan tertentu. Dalam mengidentifikasi keberbakatan sering digunakan tes hasil belajar. Namun, untuk itu harus disadari keterbatasan dari tes-tes tersebut. Selain tes hasil belajar (seperti tes kelompok yang tidak selalu memiliki dimensi keberbakatan tertentu), tes hasil belajar yang digunakan untuk meramalkan kinerja individu di masa datang juga sering didasarkan atas kurikulum yang bersifat umum, yang tidak selalu memantulkan segi kreativitas dalam perkembangan manusia. Oleh karena itu, konsep baru yang kini juga banyak digunakan untuk menggantikan pengukuran bakat dan hasil belajar berupa kemampuan yang sudah dikembangkan (developed abilities). Di dalamnya tercakup semua kemampuan tes inteligensi baterai bakat jamak, bakat khusus, dan hasil belajar. Pendeknya mengukur tingkat perkembangan yang sudah dicapai seseorang dalam satu atau lebih dari satu bidang tertentu yang merupakan suatu kontinum tertentu. e. Tes hasil belajar individual Tes hasil belajar mengevaluasikan berbagai kemajuan belajar dan perolehan keterampilan dalam berbagai pembelajaran bidang akademis yang sifatnya terencana, tersruktur dan terawasi, berbeda dari tes inteligensi atau tes bakat yang mengukur potensi seseorang untuk meramalkan kemempuan dan keterampilan dalam memperoleh pendidikan tertentu yang banyak tergantung dari bekal yang diperoleh melalui pengalaman sehari-hari. Pada umumnya tes hasilhasil belajar merupakan tes kelompok yang bermaksud membandingkan kemajuan belajar antarindividu sebaya, namun tes hasil belajar yang dibicarakan di sini merupakan tes hasil belajar individual. Dua tes hasil yang terkenal (Kitano & Kirby, 1986), yaitu Peabody Individual Achievement Test (PIAT) dan Wide Range Achievement Test (WRAT). 11



PIAT adlah alat ukur yang mengacu pada norma (norm referenced), yang bermaksud mengukur kemajuan dalam belajar dalam lima bidang akademis, yaitu matematika, pemahaman bacaan, bacaan dalam hati, ejaan dan informasi umum. Keempat subtes pertama bersifat tertulis dan terediri dari item pilihan ganda ataupun bentuk lain, sedangkan subtes terahkir terus dijawab secara lisan oleh siswa. PIAT dipakai bagi siswa TK sampai dengan siswa SMA. WRAT yang juga mengacu pada norma, juga merupakan tes tertulis yang mengukur kinerja siswa dalam membaca berhitung, mengeja. Tingkat I dikembangkan untuk siswa di bawah umur 12 tahun dan tes tingkat II untuk siswa di atas 12 tahun. Meskipun kepurusan pendidikan sebaiknya tidak semata-mayta didasrkan kepada kedua tes itu, tetapi kedua tes hasil belajar individual merupakan indeks global tehadap identifikasi kemajuan siswa yang memperlihatkan kinerja yang luar biasa tinggi dibandingkan dengan teman-teman sebaya. Selain kedua tes itu terkenal juga the Stanford Achievement Test (SAT) untuk siswa kelas satu SD sampai SLTP. Sementara itu, The Stanford Early Svhool Achievement Test untuk siswa TK sampai SD, sedangkan Stanford Test of Academic Skills untuk siswa SLTP. Kedua tes masing-masing mengacu pada norma dan kriteria, yang acuannya di Indonesia terkenal dengan Pengukuran Acuan Norma dan Pengukuran Acuan Kriteria (PAN dan PAK). f. Sumber informasi orang tua Di salah satu sanggar di kota Jakarta identifikasi beranjak dari berbagai informasi dari orang tua tentang diri anaknya. Informasi ini mencakup berbagai aspek kepribadian, minat, kemampuan, aspek sosial, emosional, dan lain-lain. Informasi ini menjadi acuan untuk merancang program sesuai kebutuhan, namun terus menerus diamati perkembangan dan hasil belajarnya. Identifikasi itu berbentuk surat yang akrab kepada orang tuanya yang paling mengenal putra-putrinya, untuk memperoleh informasi tentang hal ihwal anaknya.14 3. Karakteristik anak berbakat intelektual a. Dimensi ciri-ciri intelektual: mudah menagkap pelajaran, ingatan baik, perbendaharaan kata luas, penalaran yajam (berpikir logis-kritis, memahami hubungan sebab-akibat), daya konsentrasi baik, mengasai berbagai topik, senang



14



Ibid., hlm. 83-88



12



dan sering membaca, ungkapan diri lancar dan jelas, pengamat yang cermat, cepat memecahkan soal, cepat menemukan kekeliruan atau kesalahan, cepat menemukan asas dalam suatu uraian, mampu membaca pada usia lebih muda, daya abstraksi tingi, selalu sibuk menangani berbagai hal, dan senang mempelajari kamus, peta, atau ensiklopedi. b. Dimensi ciri-ciri kreativitas: memiliki dorongan ingin tahu yang besar, sering mengajukan pertanyaan yang baik, memberikan banyak gagasan terhadap suatu masalah, bebas dalam menyatakan pendapat, mempunyai rasa keindahan, menonjol dalam salah satu bidang seni, mempunyai pendapat sendiri dan dapat mengungkapkannya, tidak mudah terpengaruh orang lain, rasa humor tinggi, daya imajinasi kuat, orisinalitas tinggi yang tampak dalam ungkapan gagasan, dalam pemecahan masalah mengungkapkan cara-cara orisinal yang jarang diperlihatkan anak lain, dapt bekerja sendiri, senang mencoba hal-hal baru, serta mampu mengelaborasi gagasan. c. Dimensi ciri-ciri motivasi: tekun menghadapi tugas, tidak lekas putus asa, tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi, ingin mendalami bidang pengetahuan yang diberikan, selalu berusaha berprestasi sebaik mungkin, menunjukkan minat terhadap berbagai “masalah orang dewasa” (missalnya masalah pembangunan, korupsi, keadilan), senag dan rajin belajar, penuh semangat, cepat bosan dengan tugas-tugas rutin, jika sudah yakin akan sesuatu tidak mudah melepaskan pendapatnya, mengejar tujuan-tujuan jangka panjang (dapat menunda pemuasan kebutuhan sesaat untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai kemudian), senang memecahkan soal.15 2.4 Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Berbakat Layanan pendidikan anak berbakat yang ada di sekolah khususnya di sekolah dasar, tidak dapat disamakan dengan siswa lainnya. Perlu adanya perhatian dan penanganan khusus bagi siswa berbakat ini agar kemampuan lebih siswa dapat terarahkan, tersalurkan, dan tertangani dengan baik. Oleh karena itu, dalam sekolah yang memiliki siswa berbakat, diperlukan adanya guru yang membimbing siswa tersebut secara khusus sebagai bentuk layanan pendidikan bagi anak berbakat.16 15



Yetti, wandasari, “Peran Dukungan Orangtua dan Guru Terhadap Penyesuian Sosial Anak Berbakat Intelektual”. (Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara Jakarta, 2004) hlm. 33) 16 Indriawati, P. (2013). Implementasi Kebijakan Tugas Guru Pembimbing Khusus pada Pendidikan Inklusif di SD Negeri se-Kecamatan Junrejo Batu. Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, 1(1), 52.



13



Sering kali anak-anak berbakat akan terisolasi secara sosial dan tidak mendapat tantangan yang berarti di kelas. Terlebih jika model pengajaran yang diberikan guru tidak memiliki daya tarik. Tentunya situasi ini menjadikan mereka cepat merasa bosan, tidak termotivasi, cenderung mengganggu teman-teman lainnya. Pada ujungujungnya



karena



perilaku mereka inilah banyak kalangan pendidikan menggolongkan mereka sebagai anak "nakal". 17 Sebenarnya kondisi anak gifted yang tidak tertantanglah yang menjadikan mereka berperilaku "nakal", bolos sekolah, mengganggu teman atau bersikap pasif. Untuk itu sudah seharusnyalah kepada mereka diberikan layanan pendidikan yang dapat menarik minat mereka, menantang dan meningkatkan daya kreativitas mereka. Model pendidikan tradisional dengan memasukkan mereka pada sekolah reguler memiliki titik lemah. Pertama, anak berbakat mungkin akan mengalami frustasi, karena mereka tidak mendapatkan layanan pendidikan yang mereka harapkan. Kedua, karena rasa frustasi mereka ini, maka perilaku yang justru muncul adalah perilaku mengganggu teman-temannya, dan jika ini terjadi dengan sendirikan' kelas juga akan terganggu. Ketiga, muncul rasa bosan yang pada akhirnya menjadikan mereka enggan untuk masuk kelas.18 Untuk itu, bagi mereka yang diidentifikasi memiliki keberbakatan, maka layanan pendidikan yang dapat dilakukan antara lain: 1. Mengelompokkan pada kelas khusus, yaitu siswa yang diidentifikasi memiliki keberbakatan dimasukkan dalam kelas khusus, dengan para peserta didik yang memiliki tingkat kemampuan yang sama. Adanya kemampuan yang sama ini akan menjadikan setiap individu dalam kelas tersebut merasa tertantang, dan pada akhirnya mereka akan menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya. Metode kelas khusus ini tentunya tidak memungkinkan dengan jumlah peserta didik yang banyak, tetapi terbatas pada anak-anak pilihan yang oleh Plato disebut sebagai "men of gold". Tentunya desain kelas khusus bukan hanya sekadar mengelompokkan anak gifted dalam kelompok yang sama saja, tetapi juga hams mendesain ulang model pembelajarannya, kurikulum yang digunakan, sistem evaluasi yang diterapkan, model pemberian tugas. 2. Program Akselerasi. Program akselerasi adalah memindahkan murid secepat mungkin sesuai dengan kemajuan belajar dan kemampuan yang dimiliki individu belajar. Pemindahan dalam proses ini memasukkan individu belajar pada kelas sesuai dengan 17 18



Ormrod, “Educational Psychology Developing Lerners”. (New York: Merrill Prentice Hall, 2018) hlm. 110 Ibid., hlm. 112



14



kemampuan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Tentunya proses pemindahan ini dapat dilakukan jika telah terlebih dahulu dilakukan tes akademik pada peserta didik tersebut, sehingga yang bersangkutan dapat ditempatkan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.19 Terkait dengan strategi khusus untuk meningkatan perkembangan keberbakatan yang dimiliki anak-anak berbakat ini, beberapa alternatif cara yaitu : a. Berikan tugas-tugas yang terindividualisasi, yaitu tugas yang disesuaikan dengan kemampuan individual peserta didik; b. Bentuklah kelompok belajar yang terdiri dan siswa-siswa yang memiliki minat dan kemampuan yang serupa; c. Ajarkan keterampilan kognitif yang kompleks dalam konteks mata pelajaran tertentu; d. Berikanlah kesempatan untuk melakukan kajian secara mandiri tentang satu topik tertentu; e. Dorong siswa untuk menerapkan sasaran yang tinggi f. Mencari sumber daya dari luar.20 Program pendidikan anak-anak berbakat mungkin berupa : a. Program Pengayaan dalam kelas biasa; b. Tersedianya guru tertentu yang bertugas sebagai konsultan bagi anakanak berbakat; c. Tersedianya ruangan yang berisi sumber-sumber belajar yang dapat mereka manfaatkan untuk pengayaan; d. Tersedianya mentor khusus untuk melatih mereka dalam keterampilanketerampilan tertentu, dan mentor ini bukan staf pengajar, melainkan ahli yang disewa oleh sekolah untuk kepentingan anak; e. Studi mendiri dalam bentuk proyek, misalnya proyek penelitian tentang jenis bebatuan, flora, fauna, dll; f. Kelas-kelas khusus berdasarkan minat siswa, misalnya kelas untuk mata pelajaran matematika, fisika, biologi, geografi, sejarah, drama, dan taxi.21 Selain itu kiat lain dapat berupa: a. Memberi kesadaran kepada mereka untuk tidak menjadi Mr/Mrs. Perfeksionis. Hal ini penting untuk dilakukan agar mereka juga menyadari keterbatasan kemampuan yang 19



Muhammad, idrus. (2013). Layanan pendidikan bagi anak gifted. PPSIKOPEDAGOGIA Jurnal bimbingan dan konseling, 2(2), 121. 20 Ormrod, op. cit. hlm 114 21 Supriyadi, “Perspektif Psikologis dan Sosial Pendidikan Anak-anak Berbakat”. (Medan: Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II, 1992) hlm. 56



15



mereka miliki, sehingga seandainya mereka membuat satu kesalahan dalam pengerjaan tugas-tugasnya, maka hal itu hendaklah ditanggapi sebagai suatu kewajaran, dan jangan dijadikan sebagai penghambat untuk melakukan kreativitas berikutnya. b. Merujuk pada model triadik yang diajukan Monk dan Renzulli, maka pemberdayaan aktif aspek keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat menjadi sangat penting. Hal ini dibutuhkan agar siswa memiliki peluang seluas-luasnya untuk mengembangkan keberbakatan yang dimiliki. Dengan begitu jangan sampai terjadi satu aspek tertentu tidak mendukung aspek lain, atau bahkan masing-masing aspek saling menjatuhkan. Tentunya situasi tidak dapat mendukung optimalisasi keberkembangan aspek keberbakatan yang dimiliki siswa. c. Orangtua sebagai pendidik pertama dan utama, hendaklah dapat menemu kenali potensi keberbakatan yang dimiliki anak, sehingga potensi ini dapat dikembangkan sejak awal masa kanakkanak. Banyak hasil penelitian merekomendasikan tentang pentingnya pola pengasuhan untuk keberhasilan individu. Selain itu peran orang terdekat (signifikan people), teman sebaya, lingkungan sekitar (budaya setempat) penting bagi pengembangan keberbakatan anak gifted ini. d. Mengingat keberbedaan yang dimiliki anak berbakat ini, maka desain pembelajaran yang seharusnya mereka terima adalah: Kurikulum yang terdiferensiasi, yang memiliki tingkat fleksibilitas tinggi, sehingga memungkinkan anak berbakat ini melakukan proses pembelajaran dengan tidak terikat pada jenjang dan kelas tertentu untuk masa yang lama. Serta, penciptaan lingkungan belajar yang kondusif. 22 Lingkungan belajar bukan hanya sekadar lingkungan fisik yang terdiri dan penataan ruang, kursi, meja, papan dan alat bantu lain yang berada di kelas, ataupun yang berada di luar kelas, namun juga lingkungan emosional berupa interaksi antara pendidik-siswa, siswasiswa. Sebagai pendidikan komponen lingkungan tersebut harus dapat dikembangkan agar siswa dapat belajar dengan senang di kelas.23 Sehubungan dengan adaptasi lingkungan belajar ini Gallagher, dkk. (1983) mengemukakan ada beberapa cara sebagai berikut. a. Kelas pengayaan, guru kelas melaksanakan suatu program tanpa bantuan petugas dari luar. Contohnya, anak berbakat belajar di kelas biasa bersama dengan anak normal. Anak berbakat dapat belajar di kelas yang lebih tinggi sesuai dengan keberbakatannya. 22 23



Ibid., hlm. 57 M, idrus. (2001). Desain belajar yang menyenangkan. Jurnal studi islam, 2(1), 123



16



Apabila anak berbakat dalam Matematika duduk di kelas 3 SD misalnya, ia bisa mengikuti pelajaran Matematika di kelas yang lebih tinggi. Untuk pelajaran yang lain (tidak unggul) ia tetap belajar di kelasnya semula. b. Guru konsultan, pelaksanaan program pengajaran dalam kelas biasa dengan bantuan konsultan khusus yang terlatih. Contohnya, anak ditempatkan di kelas biasa belajar bersama dengan anak biasa di bawah bimbingan guru kelas biasa. Sekali-kali guru konsultan datang membantu guru kelas dalam menangani dan memberi petunjuk mengenai bahan atau metode sesuai dengan kebutuhan atau bidang keunggulan anak berbakat. Guru konsultan adalah guru yang terlatih dalam bidang keberbakatan. c. Ruangan sumber belajar, siswa berbakat meninggalkan ruang kelas biasa ke ruangan sumber untuk menerima pengajaran dari guru yang terlatih. Contohnya, anak berbakat belajar di kelas biasa bersama temannya yang normal dan mengunjungi ruang sumber kira-kira 1-2 jam sehari untuk mempelajari pelajaran khusus yang menjadi keunggulannya dengan guru yang sudah dilatih secara khusus. Di ruang sumber tersedia alat-alat khusus yang sesuai dengan kebutuhan anak berbakat. d. Studi mandiri, siswa memilih proyek-proyek dan mengerjakannya di bawah pengawasan seorang guru yang berwewenang. Contohnya, anak berbakat dapat mempelajari



topik



yang



disenanginya



di



masyarakat



dan



mendapat



pengawasan/bimbingan dari ahli dalam bidang itu. Misalnya, mengadakan percobaan mengenai pengaruh kimia terhadap benda dan dalam jangka beberapa bulan mereka wajib melaporkan hasil percobaannya. e. Kelas khusus, siswa berbakat dikelompokkan bersama-sama di sekolah dan diajar oleh guru yang dilatih khusus. Contohnya, anak berbakat ditempatkan dalam satu ruangan khusus dengan menggunakan kurikulum khusus yang telah dimodifikasi (berdiferensiasi, akselerasi, pengayaan). Mereka tetap berada dalam lingkungan sekolah yang sama dengan anak normal. Ia bergaul dengan anak normal pada jam istirahat, upacara, dan pada pelajaranpelajaran yang tidak merupakan keunggulan anak berbakat. Di kelas khusus ia mendapat layanan dari guru yang telah terlatih dalam bidang keberbakatan. f. Sekolah khusus, siswa berbakat menerima pengajaran di sekolah khusus dengan staf guru yang dilatih secara khusus. Contohnya, anak berbakat ditempatkan di sekolah khusus tanpa ada teman sebaya yang normal. Anak berbakat disediakan kurikulum khusus, alat, metode khusus dan guru khusus yang sesuai dengan keunggulannya.



17



Model ini memisahkan anak berbakat dari pergaulan dengan anak normal sebayanya sehingga sosialisasi mereka kurang berkembang.24 2.5 Talim muta’alim Pasal 9 (Kasih Sayang dan Nasehat) 1. Kasih Sayang Orang berilmu hendaknya memiliki rasa kasih sayang, senang ketika orang mendapat kebaikan (memberi Nasihat), tidak iri (Hasad) karena sifat iri berbahaya dan tidak ada gunanya (tidak bermanfaat) justru mebahayakan diri sendiri. Guru kita Syaikhul Islam Burhanuddin ra. berkata: “Putra sang guru dapat menjadi alim, karena sang guru itu selalu berkehendak agar muridnya kelak menjadi ulama ahli alqur’an.” Berkat harapan itu serta berkat kasih sayangnya terhadap murid maka anaknya menjadai orang alim. Sebuah kisah menceritakan tentang seorang ayah yang bernama Shadrul Ajal Burhanul Aimmah yang mengajari kedua putranya, Hassanuddin dan Tajuddin dengan penuh kasih sayang. Dan biasanya mengajari anak-anaknya setelah murid-muridnya yang lain. Kedua anak tersebut berkata “ Sesungguhnya kami tidak ada semangat mengaji pada waktu yang ditentukan oleh ayah kami”, kemudian ayahnya berkata “ Sesungguhnya orang-orang jauh datang mengaji kepadaku mereka adalah anak-anak orang besar dan terpandang dari berbagai daerah. Maka aku harus mendahulukan mengajar mereka.” Tetapi berkat kasih sayangnya kedua anaknya bisa menandingi para ahli fiqh. Konsep pembelajaran islam mengajarkan seorang guru harus memberikan sebuah pembelajaran kepada anaknya bahkan muridnya dengan penuh kasih sayang. 2. Menghadapi kedengkian Orang alim (berilmu) hendaknya tidak usah turut melibatkan diri dalam arena pertikaian dan berdebat pendapat dengan orang lain, karena hal itu hanya membuat waktu menjadi habis sia-sia. Ada yang berkata: “orang yang berlaku baik akan dibalas dengan kebaikannya dan orang yang jahat akan dibalas dengan kejahatannya.” Syaikh Az-Zahid AlA’rif Muhammad bin Abi Bakar yang terkenal dengan panggilan Imam Jawahir Zadad AlMufti berkata: Aku Pernah dibacakan syair oleh Yusuf Al-Hmdani. Syair itu berbunyi: َُْ‫سيَ ْك ِف ْي َِ َهب فِ ْي َِ َو َهب ُ َُو فَب ِعل‬ َ



َِ ‫س ْو ِء فِ ْع ِل‬ ُ ‫دَعِ ْال َو ْر َء ََل تُجْ ِس ٍْ َعلَى‬



“Biarkanlah bila ada seseorang yang jahat kepadamu, jangan kaubalas atas kejahatannya. Cukuplah apa yang dia lakukan sebagai balasan kejahatannya”.



24



Astati, “Modul 3 karakteristik dan pendidikan anak berbakat”. (Bandung: UPI, 2009) hlm. 3.16-3.17.



18



Ada yang berkata bahwa barang siapa ingin menundukan musuhnya hendaklah mengulang-ngulang syair ini. Aku juga pernah dibacakan syair berikut: ‫َوت َ ْقتُلََُ َغ ًّوب َوتَحْ ِرقََُ َُ ًّوب‬



‫اِذَا ِشئْتَ ا َ ْى ت َْلقَى َعد َُّوكَ َرا ِغ ًوب‬



ْ ًِ ‫ازدَاد َ ِع ْل ًوب‬ ْ ‫َه ِي‬ ‫بزدَادَ َحب ِسدُ ٍْ َغ ًّوب‬



ْ ‫فَ ُر ْم ِل ْلعُلَى َو‬ ًَََُّ‫ازدَدْ ِهيَ ْال ِع ْل ِن ا‬



“Jika kamu ingin membunuh seseorang karena sedih hati, atau ingin membakarnya karena gelisah, maka berpaculah untuk menambah ilmu karena orang yang iri itu akan bertambah menderita batin.” Dikatakan: kamu harus sibuk melakukan kebaikan dan menghindari permusuhan jika kebaikan sudah semakin tampak dalam dirimu maka keganasan musuh akan tertutupi oleh kebaikanmu. Karena permusuhan hanya akan memojokan dan membuang-buang waktumu dan kamu harus menahan diri dari permusuhan lebih-lebih jika menghadapi orang-orang bodoh. Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan dan tidak halal. Sabda nabi: ُ .‫س ْو ِء الس َِّري َْر ِة‬ َ ٌْ ‫ َواًَِّ َوب َي‬.‫ظٌُّ ْوا ِب ْبل ُوؤْ ِه ِي َخي ًْرا‬ ِ َ‫شب ُ ذَلِلَ ِه ْي َخب‬ ُ ‫ث الٌِّيَ ِت َو‬ “Berprasangka baiklah terhadap orang mukmin karena prasangka buruk itu timbul dari niat yang buruk dan batin yang jahat”. Orang yang berilmu atau yang sedang mencari ilmu hendaknya meghindari dari sikap iri dan dengki karena hanya akan menghalangi hatinya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.



19



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 1. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus karena adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan di salah satu atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti tunanetra dan tunarungu, maupun bersifat psikologis seperti autism dan ADHD. 2. Klasifikasi anak berkebutuhan khusus diantaranya: a. Anak dengan gangguan fisik: tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa. b. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku: tunalaras, tunawicara, dan hiperaktif. c. Anak dengan gangguan intelektual: tuna grahita, anak lamban belajar (slow learner), anak kesulitan belajar khusus, anak berbakat, autisme, dan indigo. 3. Identifikasi anak berbakat melalui beberapa cara, diantaranya: a. Penjaringan dan penyaringan anak berbakat b. Menggunakan alat identifikasi berupa: kemampuan intelektual umum, tes inteligensi umum, tes kelompok kontra tes individual, pengukuran hasil belajar, tes hasil belajar individual, dan sumber informasi orang tua. c. Karakteristik anak berbakat: dimensi intelektual, dimensi kreativitas, dan dimensi motivasi. 4. Layanan pendidikan bagi anak berbakat yaitu mengelompokkan pada kelas khusus dan mengikuti program akselerasi dengan strategi khusus dalam meningkatkan pengembangan keterbakatan, program pendidikan anak-anak berbakat, dan adaptasi lingkungan belajar.



20



DAFTAR PUSTAKA Astati. 2009. Modul 3 karakteristik dan pendidikan anak berbakat. Bandung: UPI. Az Zanurji, A. B. (2014). Tarjamah Kitab Ta'lim Muta'alim. Jakarta: IBA D'Zig Idrus, M. 2001. Desain belajar yang menyenangkan. Jurnal studi islam. 2(1): 121-125. Idrus, Muhammad. (2013). Layanan pendidikan bagi anak gifted. PPSIKOPEDAGOGIA Jurnal bimbingan dan konseling. 2(2): 116-131. Indriawati, P. (2013). Implementasi Kebijakan Tugas Guru Pembimbing Khusus pada Pendidikan Inklusif di SD Negeri se-Kecamatan Junrejo Batu. Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan. 1(1): 49-55. Ormrod, J. E. (2008). Educational Psychology Developing Lerners. New York: Merrill Prentice Hall. Ratri, Desiningrum, D. 2016. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Psikosain. Serniawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Penerbit PT Grasindo. Supriadi, D. (1992). Perspektif Psikologis dan Sosial Pendidikan Anak-anak Berbakat. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II. Medan. Wandansari, Yettie. 2004. Peran Dukungan Orangtua dan Guru Terhadap Penyesuian Sosial Anak Berbakat Intelektual. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta.



21