Analisis Kasus Ptun [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANALISIS PUTUSAN NOMOR 68/G/2012/PTUN-SMG TENTANG IZIN LOKASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP BATANG Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah HUKUM ADMINISTRASI NEGARA



Dosen Pengampu



ADHINING PRABAWATI RAHMAHANI



Makalah ini disusun oleh: Himmel Yoel Popper



20180401152



Wahyuddin



20180401175



FAKULTAS HUKUM 2018 UNIVERSITAS ESA UNGGUL BEKASI



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh karena berkat dan pertolongan-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Tidak lupa juga penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan makalah ini sampai dengan selesai; baik dalam segi waktu, ide, maupun materi. Juga kepada Ibu Adhining Prabawati Rahmahani selaku dosen mata kuliah Hukum Administrasi Negara yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengulas sedikit lebih dalam tentang makalah yang berjudul “ANALISIS PUTUSAN NOMOR 68/G/2012/PTUN-SMG TENTANG IZIN LOKASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP BATANG”. Dan dalam kesempatan kali ini, penulis senantiasa mengajak pembaca untuk mengenal dan memahami lebih dalam tentang pokok materi dalam makalah ini, serta diharapkan turut menganalisis guna mencari kesalahan baik dalam penulisan, format, maupun kandungan dari pada isi makalah. Mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, penulis ucapkan mohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat banyak kesalahan ataupun kekurangan dalam penulisan makalah ini, karena senyatanya penulis sendiri menyadari bahwa makalah ini sungguh jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian. Atas waktu dan pengertiannya, penulis ucapkan banyak terima kasih.



Bekasi, 05 Desember 2019



PENULIS



TIM KELOMPOK 14



ii



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Konsepsi negara kesejahteraan terkandung di dalam UUD 1945, dimana pada bagian Pembukaan UUD 1945 alinea 4 diberikan gambaran akan tujuan negara Indonesia, yaitu pertama, negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; kedua, memajukan kesejahteraan umum; ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan keempat, ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Adanya tujuan-tujuan tersebut tentunya membawa dampak bagi pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi warganya. Di Kabupaten Batang, terdapat proyek PLTU Batang berkapasitas 2x1000 MW yang diklaim sebagai PLTU terbesar di Asia Tenggara dibangun oleh tiga perusahaan besar, yakni J. Power, Adaro Power dan Itochu Corp yang membentuk konsorsium bernama PT Bhimasena. PLTU Batang akan menjadi megaproyek strategis nasional untuk memenuhi pasokan kebutuhan listrik Jawa-Bali karena pemerintah mengejar pasokan listrik 10.000 MW. Megaproyek ini akan melahap lahan seluas 370 hingga 700 hektar, memangsa lahan tanah produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar, sawah tadah hujan seluas 152 ha, dan kawasan konservasi laut daerah dari Ujungnegoro-Roban yang juga tempat menanam terumbu karang. Adapun pembangunan PLTU Batang telah memiliki berbagai perizinan meliputi Izin Prinsip PMA dari BKPM, Izin Lokasi dari Pemerintah Kabupaten Batang, Izin Lingkungan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, IMB dan Izin HO untuk Blok 140 ha. Akan tetapi, permasalahan terjadi ketika dikeluarkannya berbagai perizinan pembangunan PLTU tersebut, salah satunya yaitu Keputusan Bupati Batang Nomor: 460/06/2012 tentang Pemberian Izin Lokasi untuk keperluan pembangunan Power Block untuk PLTU 2x100 MW kepada PT. Bhimasena di Desa Ujungnegoro, Desa Karanggeneng, Kecamatan Kandeman dan Desa Ponowareng, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang tanggal 6 Agustus 2012. Pasca dikeluarkannya keputusan tersebut, salah seorang warga di Desa Ponowareng RT.011/RW.002, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang yang merupakan pemilik dari salah satu lahan terdampak izin lokasi PLTU, menggugat Keputusan Bupati Batang karena dianggap merugikan kepentingannya. Keputusan tersebut juga dianggap bertentangan



3



dengan



peraturan



perundang-undangan



yang



berlaku



yakni



Peraturan



Menteri



Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Peraturan Daerah Povinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang, serta melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik diantaranya asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan dan asas profesionalitas. Gugatan terhadap Keputusan Bupati Batang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang dan telah mendapat putusan dengan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG yang mana putusannya gugatan Penggugat pada pokok perkara ditolak seluruhnya. Tidak terima dengan putusan tersebut, Penggugat lantas mengajukan Banding dengan Nomor Putusan 130/B/2013/PT.TUN.SBY yang putusannya justru menguatkan Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG. Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG terdapat permasalahan dimana hakim tidak mengadili salah satu perkara di dalam putusan tersebut. Perkara yang tidak diadili tersebut adalah perkara dimana Penggugat mendalilkan bahwa obyek sengketa dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional jo. Lampiran VIII yang menyatakan “Taman Wisata Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah sebagai Kawasan Lindung Nasional”. Permasalahan tidak diadilinya perkara tersebut menjadikan hakim tidak melaksanakan penegakan hukum sebagaimana tugasnya. Itu artinya, permasalahan tersebut tentu akan berdampak kepada unsur kepastian hukum yang seharusnya ada di dalam suatu putusan menjadi tercederai. Hal ini dikarenakan kepastian hukum itulah yang merupakan jaminan bahwa hukum dijalankan sebagaimana mestinya namun pada Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG, unsur tersebut belum terpenuhi. Bukan hanya tidak diadilinya salah satu perkara, Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG juga terdapat permasalahan lain yaitu kurangnya pertimbangan hakim. Kurangnya pertimbangan hakim terjadi karena hakim mengabaikan salah satu peraturan perundangperundangan yang dijadikan pedoman dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Peraturan perundang-undangan yang diabaikan hakim adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun



4



2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Peraturan tersebut merupakan salah satu peraturan mengenai rencana tata ruang yang seharusnya dipertimbangkan dalam penyelesaian sengketa di atas, dikarenakan penunjukan tanah untuk izin lokasi haruslah sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. Berdasarkan permasalahan di atas, maka asas-asas hukum yang dianut oleh Peradilan Tata Usaha Negara di dalam praktiknya bisa terkena imbasnya karena asas-asas ini merupakan prinsip-prinsip yang harus dipatuhi dalam beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, diantaranya asas hakim bersifat aktif, asas pembuktian bebas dan asas putusan bersifat erga omnes. Dengan terdapatnya permasalahan di dalam Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG, maka akan mengakibatkan putusan tersebut menjadi kurang proporsional. Adapun kekurang-proporsionalan pada Putusan Nomor 68/G/2012/PTUNSMG tersebut akan penulis tinjau dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada waktu putusan tersebut dijatuhkan oleh majelis hakim.



B. RUMUSAN MASALAH Adapun berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang kami sajikan dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG bertentangan dengan kepastian hukum? 2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG?



C. TUJUAN PENULISAN Adapun tujuan daripada penulisan makalah yang kami sajikan ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisa dan mendeskripsikan Putusan Nomor 68/G/2012/PTUNSMG. 2. Untuk menganalisa dan mendeskripsikan pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG.



5



BAB II PEMBAHASAN A. KRONOLOGI KASUS Di Kabupaten Batang, terdapat proyek PLTU Batang berkapasitas 2x1000 MW yang diklaim sebagai PLTU terbesar di Asia Tenggara dibangun oleh tiga perusahaan besar, yakni J. Power, Adaro Power dan Itochu Corp yang membentuk konsorsium bernama PT Bhimasena. PLTU Batang akan menjadi megaproyek strategis nasional untuk memenuhi pasokan kebutuhan listrik Jawa-Bali karena pemerintah mengejar pasokan listrik 10.000 MW. Megaproyek ini akan melahap lahan seluas 370 hingga 700 hektar, memangsa lahan tanah produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar, sawah tadah hujan seluas 152 ha, dan kawasan konservasi laut daerah dari Ujungnegoro-Roban yang juga tempat menanam terumbu karang. Adapun pembangunan PLTU Batang telah memiliki berbagai perizinan meliputi Izin Prinsip PMA dari BKPM, Izin Lokasi dari Pemerintah Kabupaten Batang, Izin Lingkungan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, IMB dan Izin HO untuk Blok 140 ha. Akan tetapi, permasalahan terjadi ketika dikeluarkannya berbagai perizinan pembangunan PLTU tersebut, salah satunya yaitu Keputusan Bupati Batang Nomor: 460/06/2012 tentang Pemberian Izin Lokasi untuk keperluan pembangunan Power Block untuk PLTU 2x100 MW kepada PT. Bhimasena di Desa Ujungnegoro, Desa Karanggeneng, Kecamatan Kandeman dan Desa Ponowareng, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang tanggal 6 Agustus 2012. Pasca dikeluarkannya keputusan tersebut, salah seorang warga di Desa Ponowareng RT.011/RW.002, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang yang merupakan pemilik dari salah satu lahan terdampak izin lokasi PLTU, menggugat Keputusan Bupati Batang karena dianggap merugikan kepentingannya. Keputusan tersebut juga dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Peraturan Daerah Povinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata



6



Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang serta melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik diantaranya asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan dan asas profesionalitas. Gugatan terhadap Keputusan Bupati Batang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang dan telah mendapat putusan dengan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG yang mana putusannya gugatan Penggugat pada pokok perkara ditolak seluruhnya. Menyikapi hal tersebut, Penggugat mengajukan Banding dengan Nomor Putusan 130/B/2013/PT.TUN.SBY yang putusannya justru menguatkan Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG. B. ANALISA KASUS



1. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG. Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aquo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Berdasarkan Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN.SMG, maka dapat disimpulkan pertimbangan hakim sebagai berikut: a. Pengadilan berpendapat Tergugat secara hukum berwenang (bevoegdheid) untuk menerbitkan objek sengketa baik dari segi materi/substansi,



segi



wilayah/locus,



maupun



dari



segi



waktu/tempus. Menurut penulis, jika pertimbangan ini diperbandingkan dengan pendapat para ahli tentang kewenangan dan sumber wewenang seperti



halnya



dikutip



Hakim,



serta



peraturan



perundang-undangan sebagai dasar pemberian wewenang bagi Tergugat, diantaranya Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi, Peraturan Bupati Batang No. 28 Tahun 2011 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perijinan dan Non Perijinan, maka



7



pertimbangan Hakim tersebut sudah sesuai. Hal ini karena pertimbangan Hakim didasarkan pada alat bukti dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan Hakim tersebut mengarah kepada batasan-batasan penggunaan wewenang. Hal ini terjadi karena apabila wewenang pemerintah tidak diberi batasanbatasan, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang semakin besar. b. Objek sengketa berupa Keputusan Bupati Batang Nomor 460/06/2012 tentang Pemberian Izin Lokasi seluas 192,63 Ha untuk keperluan pembangunan Power Block untuk PLTU 2x1.000 MW kepada PT. Bhimasena di Desa Ujungnegoro, Desa Karanggeneng, Kecamatan Kademan dan Desa Ponowareng Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029 Pasal 27 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf d jo. Peraturan Daerah Kabupaten Batang No. 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011-2031 Pasal 43 ayat 2 huruf a dan Pasal 49, Pengadilan berpendapat dengan mensubsumsi semua peraturan terkait maka tidak terdapat pertentangan norma karena Izin Lokasi diterbitkan dan dipergunakan untuk kebutuhan industri besar yang membutuhkan luasan lahan yang besar, dengan syarat



masih



dalam



suatu



kawasan



yang sesuai



dengan



peruntukannya, bukan wilayah administratif yang menjadi patokan namun lebih kepada daya dukung nilai dari kawasan tersebut. Menurut



penulis,



jika



pertimbangan



tersebut



hanya



dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan meliputi Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi jo. Pasal 3, Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah jo. Peraturan Daerah Kabupaten Batang No. 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah



8



Kabupaten Batang, maka pertimbangan tersebut kurang sesuai. Hal ini dikarenakan Hakim kurang cermat dalam mensubsumsikan peraturan perundang-undangan yang ada. Kekurang-cermatan pertimbangan Hakim ini dapat dilihat dari Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi jo. Pasal 3 yang menyatakan “tanah yang dapat ditunjuk dalam Izin Lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan menurut persetujuan penanaman modal yang dipunyainya.” Berdasarkan peraturan tersebut, tanah yang ditunjuk Izin Lokasi harus menurut Rencana Tata Ruang yang berlaku diperuntukkannya. Menurut Rencana Tata Ruang yang berlaku berarti mengacu kepada peraturan perundang-undangan tentang Rencana Tata Ruang. Akan tetapi, Hakim mengarahkan Rencana Tata Ruangnya hanya kepada Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 dan Peraturan Daerah Kabupaten Batang No. 7 Tahun 2011. Padahal masih ada peraturan lainnya mengenai Rencana Tata Ruang yang diabaikan oleh hakim dan memiliki kedudukan lebih tinggi serta menjadi pedoman bagi kedua peraturan daerah tersebut. Peraturan yang dimaksud adalah PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. c. Pengadilan berpendapat penerbitan objek sengketa telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik khususnya asas



kepastian



hukum,



asas



keterbukaaan,



asas



tertib



penyelenggaraan negara dan asas profesionalisme, dan asas mengutamakan kepentingan umum. Menurut penulis, jika pertimbangan ini dibandingkan dengan peraturan pengambilan keputusan penerbitan izin lokasi yakni Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional



9



Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi mengenai tata cara pemberian izin lokasi, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah dan alat bukti serta ditinjau dari teori asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka pertimbangan tersebut sudah sesuai, karena Hakim dalam



memberikan



pertimbangannya



berdasarkan



peraturan



perundang-undangan dan alat bukti yang diajukan Tergugat yang mana merupakan hasil dari pelaksanaan prosedur tersebut. Berkenaan asas-asas umum pemerintahan yang baik, Jazim Hamidi berpendapat terkait pengertian asas tersebut, yaitu:11 1) merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan Hukum Administrasi Negara. 2) berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai



tindakan



administrasi



negara



(berwujud



penetapan/beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat. 3) sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan masyarakat. 4) sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari asas itu berubah menjadi kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap asas hukum. Sejalan dengan pendapat Jazim Hamidi, menurut penulis, apabila alat bukti yang diajukan Tergugat menjadi acuan penilaian Hakim dalam mempertimbangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik maka telah tepat. Hal ini disebabkan penilaian mengenai asasasas umum pemerintahan yang baik haruslah digali dalam praktik, sebab merupakan pegangan bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam menjalankan fungsinya.



10



2. Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG Bertentangan Dengan Kepastian Hukum Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara para pihak. Ketiga unsur yang harus ada dalam putusan hakim secara proporsional, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit). Itu adalah idealnya. Namun di dalam prakteknya jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur itu secara proporsional. Ketidak-proporsionalan putusan juga terjadi pada Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG, dimana putusan tersebut belum memenuhi unsur kepastian hukum. Menurut Soedikno Mertokusomo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan. Itu artinya bahwa di dalam Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG, pelaksanaan penegakan hukum belum berjalan semestinya. Tidak dijalankannya hukum pada putusan tersebut berkaitan dengan tidak diadilinya salah satu perkara yang dihadapkan kepada hakim. Padahal sesuai Pasal 10 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan jelas dilarang menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Perkara yang tidak diadili oleh hakim adalah perkara dimana Penggugat mendalilkan bahwa obyek sengketa dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional jo. Lampiran VIII angka 311 yang menyatakan bahwa “Taman Wisata Alam Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah sebagai Kawasan Lindung Nasional.” Pertentangan obyek sengketa dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional jo. Lampiran VIII angka 311 dapat diketahui dari lokasi pembangunan PLTU Batang yang berada di sekitar kawasan lindung nasional yang telah ditentukan oleh peraturan pemerintah tersebut. Menurut Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 menyebutkan “kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dianggap terdapat ketidak-sesuaian penggunaan fungsi kawasan karena lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan lindung nasional oleh peraturan pemerintah justru dijadikan sebagai sistem jaringan energi yakni pembangkit tenaga listrik. Sebagai akibat tidak diadilinya



11



perkara diatas oleh hakim, maka persoalan obyek sengketa yang dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 jo. Lampiran VIII angka 311 menjadi tidak jelas kepastiannya. Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG juga terdapat kekurang-cermatan hakim dimana hakim mengabaikan salah satu peraturan perundang-undangan yang seharusnya dijadikan pedoman dalam menyelesaikan perkara di putusan tersebut. Peraturan perundang-undangan yang diabaikan hakim adalah Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Tugas yudisial hakim yaitu memeriksa, mengadili dan kemudian menjatuhkan putusan atas perkara yang dihadapkan kepadanya dan pertama-tama yang menjadi pedoman bagi hakim dalam hal ini yakni peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dengan terabaikannya Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagai salah satu pedoman dalam menyelesaikan perkara Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG maka telah membuat putusan tersebut menjadi kekurangan pertimbangan. Peraturan mengenai Rencana Tata Ruang dalam skala nasional sejatinya memiliki kedudukan lebih tinggi serta menjadi pedoman bagi RTRW Provinsi Jawa Tengah dan RTRW Kabupaten Batang yang justru oleh hakim lebih dijadikan fokusan dalam memberikan pertimbangnnya. Padahal baik PP RTRW Nasional, Perda RTRW Jawa Tengah maupun Perda RTRW Kabupaten Batang merupakan peraturan perundangundangan yang sejenis dan saling memiliki keterkaitan, apalagi jika dikomparasikan dengan ketentuan penunjukkan tanah untuk izin lokasi yang harus sesuai dengan Peraturan mengenai Rencana Tata Ruang. Oleh karena itu, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi hakim untuk mengesampingkan PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional untuk dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam mengadili. Konsekuensi dari kurang cermatnya hakim tersebut, mengakibatkan hakim juga tidak memberikan penilaian terhadap dalil Penggugat yang menyatakan obyek sengketa dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional jo. Lampiran VIII. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara peranan Hakim bersifat aktif (nie lijdelijkheid van de rechter). Diberikannya peranan aktif kepada hakim untuk mencari kebenaran materiil sesuai dengan tugasnya, pada sisi lain telah pula



12



menimbulkan implikasi dan komplikasi tertentu bagi hakim dalam melaksanakan tugasnya. Hakim menjadi tidak lagi bergantung kepada dalil dan bukti yang diajukan para pihak kepadanya. Penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim berdasarkan teori pembuktian bebas. Berhubung Putusan Nomor 68/G/2012/PTUNSMG terdapat permasalahan yakni tidak diadilinya salah satu perkara dan kurangnya pertimbangan seperti yang diuraikan di atas, maka asas peranan hakim aktif yang dianut di Peradilan Tata Usaha Negara menjadi tidak berjalan ideal. Pada kenyataannya, hakim tidak menjalankan hukum sebagaimana mestinya, padahal di dalam Peradilan Tata Usaha Negara pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim, sehingga hakim bebas menentukan penilaian pembuktiannya, namun hal ini juga tidak berjalan ideal. Selain itu, sengketa administrasi merupakan sengketa yang terletak dalam lapangan hukum publik, maka putusan hakim peradilan administrasi akan menimbulkan konsekuensi mengikat umum dan mengikat terhadap sengketa yang mengandung persamaan yang mungkin timbul pada masa yang akan datang. Sifat ini disebut asas erga omnes. Apabila asas tersebut diperbandingkan dengan permasalahan yang terdapat di dalam Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG, tentunya akan menjadi polemik baru. Putusan yang mengandung permasalahan pada kepastian hukumnya justru akan dijadikan acuan bagi perkara-perkara yang hampir sama di masa yang akan datang. Hal ini tentu akan dikhawatirkan karena perkara-perkara yang hampir sama tersebut justru akan mengikuti ketidak-proporsionalan dari putusan tersebut.



13



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Pertama, Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN-SMG merupakan putusan yang kurang proporsional karena bertentangan dengan unsur kepastian hukum sebab pelaksanaan hukum di dalam putusan tersebut tidak berjalan baik. Pelaksanaan hukum yang tidak berjalan yakni tidak diadilinya obyek sengketa yang dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional jo. Lampiran VIII angka 311 yang menyatakan “Taman Wisata Alam Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah sebagai Kawasan Lindung Nasional”. Pertentangan tersebut timbul lantaran pembangunan PLTU yang disebut oleh obyek sengketa dibangun di sekitar kawasan lindung nasional yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah melalui lampirannya. Konsekuensi dari persoalan tersebut, maka peranan hakim aktif dan pembuktian bebas yang dianut oleh Peradilan Tata Usaha Negara di dalam putusan tersebut menjadi tidak berjalan ideal, serta dikhawatirkan menjadi polemik baru karena menganut asas erga omnes. Kedua, Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 68/G/2012/PTUN.SMG, masih terdapat kekurangan dimana Hakim kurang cermat dalam memberikan pertimbangan. Kekurang-cermatan Hakim terletak pada terabaikannya salah satu peraturan perundangundangan mengenai rencana tata ruang yaitu Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Peraturan tersebut mengatur mengenai Rencana Tata Ruang skala nasional dan memiliki kedudukan lebih tinggi serta menjadi pedoman bagi RTRW Provinsi Jawa Tengah dan RTRW Kabupaten Batang yang justru oleh hakim lebih dijadikan fokusan dalam memberikan pertimbangnnya. Padahal baik PP RTRW Nasional, Perda RTRW Jawa Tengah maupun Perda RTRW Kabupaten Batang merupakan



peraturan



perundang-undangan



yang



saling



berkaitan



apalagi



jika



dikomparasikan dengan ketentuan penunjukkan tanah untuk izin lokasi yang harus sesuai Rencana Tata Ruang yang berlaku.



14