Analisis Kelayakan Usaha Peternakan Ayam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PETERNAKAN AYAM PEDAGING DENGAN POLA KEMITRAAN DI KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR



HASAN SUBKHIE



SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009



SURAT PERNYATAAN



Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya, bahwa semua pernyataan dalam tugas akhir yang berjudul :



ANALISIS KELAYAKAN USAHA PETERNAKAN AYAM PEDAGING DENGAN POLA KEMITRAAN DI KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR



Merupakan hasil gagasan dan hasil kajian saya sendiri di bawah bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tugas akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.



Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.



Bogor, Oktober 2009



Hasan Subkhie F352064055



ABSTRACT HASAN SUBKHIE. Feasibility Analysis of Chicken Ranch Business by Plasma Partnerships System in Ciampea Bogor. Supervised by SURYAHADI as committee chairman and AMIRUDDIN SALEH as member. Poultry commodities have a good prospect of market because it is supported by its character that easily received by Indonesian people. People of Indonesia that nearly 220 million people and can be growth 1,4 percent per year are potential market of chicken ranch business. The aim of this study are: (a) identifying the system of chicken management ranch business by plasma partnership system with PT Charoen Pokphand Indonesia, (b) analyzing feasibility of chicken ranch business by plasma partnership system with PT Charoen Pokphand Indonesia (c) arrangging the strategies that should be done by plasma farmer in Ciampea Bogor which are doing partnerships with PT Charoen Pokphand Indonesia. Collecting data conducted through direct observation of four plasma chicken ranch business through interview with the owner of plasma chicken ranch. The data consisted of primary data and secondary data that were used to identify and evaluate system of management of chicken ranch business by plasma partnership system with PT Charoen Pokphand Indonesia. The data were also used to analyze feasibility of chicken ranch business by plasma partnership system with PT Charoen Pokphand Indonesia and to know the good strategies that had to be developed generally in four locations of study through SWOT analysis. The good chicken ranch business should use hencoop with stage system which made by permanent materials with monitoring system roof made by genteng. By doing good practice management on starter, grower and finisher period and also pressing the Feed Conversion Ratio (FCR) value until 1,5, so that the chicken ranch business can give much benefits. Feasibility analysis of financial aspect with population scale 22.000 chickens, 14.000 chickens, 8.000 chickens and 4.000 chickens with interest rate 16%, shows that chicken ranch business is feasible to be implemented and developed if can reach FCR value 1,5. Based on the SWOT analysis, alternative strategies for plasma chicken ranch business development are improving productivity to increase benefits, increasing efficiency of using production factors, being proactive to solve the techniques problem, increasing the knowledge of handling disease problem, being optimal in using production factors, increasing practice management according to standard and increasing farmer’s knowledge about the good practice management.



Keywords : practice management, plasma partnerships, feed efficiency



RINGKASAN HASAN SUBKHIE. Analisis Kelayakan Usaha Peternakan Ayam Pedaging dengan Pola Kemitraan di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SURYAHADI sebagai Ketua dan AMIRUDDIN SALEH sebagai Anggota. Agribisnis ayam pedaging merupakan usaha komersial yang dapat dilakukan secara massal, intensif dan hemat lahan sehingga peningkatan produksinya dapat dilakukan dalam waktu relatif cepat dan murah dibandingkan dengan sumber protein hewan lainnya. Komoditas unggas mempunyai prospek pasar yang sangat baik karena didukung oleh karakteristik produk unggas yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 yang mencapai 206.264.595 jiwa dan masih tumbuh sekitar 1,4 persen per tahun merupakan sebuah pasar yang sangat potensial sebagai konsumen produk usahaternak unggas. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (a) mengidentifikasi sistem manajemen usaha peternakan ayam pedaging melalui pola kemitraan dengan PT Charoen Pokphand Indonesia, (b) menganalisis kelayakan usaha peternakan ayam pedaging melalui pola kemitraan dengan PT Charoen Pokphand Indonesia dilihat dari aspek teknis, aspek finansial dan aspek sensitivitasnya terhadap perubahan feed conversion ratio (FCR) dan (c) menyusun strategi pola kemitraan yang dilakukan peternak plasma di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor yang bermitra dengan PT Charoen Pokphand Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap empat usaha peternakan ayam pedaging melalui wawancara dengan pemilik peternakan. Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder, digunakan untuk mengidentifikasi sistem manajemen usaha peternakan ayam pedaging melalui pola kemitraan dengan PT Charoen Pokphand Indonesia. Selain itu, data yang diperoleh juga digunakan untuk menganalisis kelayakan usaha peternakan ayam pedaging melalui pola kemitraan dengan PT Charoen Pokphand Indonesia dan analisis SWOT untuk mengetahui strategi yang perlu dikembangkan secara umum di empat lokasi kajian. Hasil analisis manajemen usaha pada peternak plasma, terdapat perbedaan pelaksanaan manajemen pemeliharaan pada keempat peternak plasma yang ditimbulkan oleh besarnya skala pemeliharaan yang dilaksanakan dan modal yang dimiliki peternak. Semakin besar skala pemeliharaan akan semakin banyak pula modal yang diperlukan, karena untuk menghindari resiko kerugian akibat tingkat kematian ayam yang tinggi, maka peternak harus melaksanakan manajemen pemeliharaan sesuai standar yang memerlukan biaya yang banyak. Peternakan ayam pedaging yang baik yaitu dengan menggunakan kandang panggung yang terbuat dari bahan permanen dengan atap sistem monitor dengan bahan genteng. Dengan melaksanakan sistem manajemen pemeliharaan yang baik pada periode starter, pertumbuhan dan panen serta menekan nilai FCR sampai 1,5, maka usaha peternakan ayam pedaging akan memberikan keuntungan yang besar. Hasil analisis kelayakan usaha dari aspek finansial dengan skala pemeliharaan 22.000 ekor, 14.000 ekor, 8.000 ekor dan 4.000 ekor dengan tingkat suku bunga 16 persen, menunjukkan usaha peternakan layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan jika dapat mencapai nilai FCR 1,5. Alternatif strategi dari hasil analisis SWOT yaitu meningkatkan produktivitas untuk meningkatkan keuntungan, meningkatkan efisiensi penggunaan sapronak, bersikap proaktif



untuk menanggulangi permasalahan teknis yang terjadi, meningkatkan pengetahuan tentang penanganan penyakit, mengoptimalkan pemanfaatan sapronak, meningkatkan manajemen pemeliharaan sesuai standar, serta meningkatkan pengetahuan peternak mengenai manajemen pemeliharaan ayam yang baik.



Kata kunci : pelaksanaan manajemen, kemitraan plasma, efisiensi pakan



©Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB



ANALISIS KELAYAKAN USAHA PETERNAKAN AYAM PEDAGING DENGAN POLA KEMITRAAN DI KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR



HASAN SUBKHIE



Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional Pada Program Studi Industri Kecil Menengah



SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009



LEMBAR PENGESAHAN Judul Tugas Akhir : Analisis Kelayakan Usaha Peternakan Ayam Pedaging dengan Pola Kemitraan di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi



: Hasan Subkhie : F352064055 : Industri Kecil Menengah



Disetujui,



Komisi Pembimbing



Dr.Ir. H.Suryahadi, DEA



Dr.Ir.H. Amiruddin Saleh, MS



Ketua



Anggota



Diketahui,



Ketua Program Studi Industri Kecil Menengah



Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS,Dipl.Ing,DEA



Tanggal Ujian : 16 Oktober 2009



Dekan Sekolah Pascasarjana



Prof.Dr.Ir.H. Khairil Anwar N, MS



Tanggal Lulus :



PRAKATA Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga laporan akhir ini berhasil diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri kecil Menengah (PS MPI), Sekolah Pascasarjana (SPs), Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis menyadari bahwa laporan akhir ini tidak dapat selesai tanpa bantuan dan dorongan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, melalui prakata ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada: 1. Dr. Ir. H. Suryahadi, DEA selaku pembimbing utama yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan pengarahan selama kegiatan kajian dan penulisan laporan akhir ini. 2. Dr. Ir. H. Amiruddin Saleh, MS, selaku pembimbing anggota yang juga telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama penulis melakukan kajian dan penulisan laporan akhir ini. 3. Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, M.Ec, selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukannya guna penyelesaian laporan akhir ini. 4. Seluruh dosen pengajar dan staf serta karyawan sekolah Pascasarjana IPB yang telah banyak membantu selama kuliah berlangsung. 5. Keluarga yang telah memberikan dorongan selama menjalankan kuliah. 6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas kerjasama dan informasi yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kajian ini dapat menambah khasanah pengetahuan bagi dunia industri kecil pada umumnya dan kegiatan pengembangan kemitraan inti plasma peternakan ayam ras khususnya. Saran dan kritik atas kajian ini diharapkan, agar kajian ini menjadi lebih sempurna serta memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.



Bogor, Oktober 2009 Penulis



RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 17 Maret 1980 sebagai putera. kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak H. Machfud Hasan Sobari dan Hj. Konstitusi Siti Khodijah. Tahun 1992 penulis lulus Sekolah Dasar Negeri Kebon Baru IV di Cirebon, kemudian dilanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Cirebon dan lulus pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Cirebon dan lulus pada tahun 1998. Pendidikan sarjana diperoleh penulis dari Fakultas Peternakan Jurusan Produksi Ternak Universitas Padjadjaran, Bandung pada tahun 1998 s.d. 2003. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan sekolah ke Sekolah Pascasarjana pada Program Studi Industri Kecil Menengah dan lulus pada tahun 2009. Penulis memulai karirnya sebagai auditor di Inspektorat Jenderal Departemen Pertanian pada tahun 2003 hingga saat ini.



DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL….......……………………................................................... xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... BAB I PENDAHULUAN……...……………………………………………... A. Latar Belakang .................………………………………….……................. B. Perumusan Masalah ………………………………..…….………................ C. Tujuan……………..………………………………………….…….............. D. Kegunaan…….……………………………………………..……................. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..…………………………………………… A. Agribisnis Peternakan..……………………………………………............... B. Agribisnis Peternakan Ayam Pedaging ...………………………….............. C. Kemitraan ...................................................................................................... D. Kemitraan Usaha Peternakan ……………………………………................. E. Analisis Ekonomi Usaha Peternakan Ayam Pedaging ..…………............... F. Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Feed Conversion Ratio (FCR)….......................................................................................................... G. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Peternakan Ayam Pedaging dengan Pola Kemitraan ………………………………………….................. BAB III METODE KAJIAN .………………………………………….......... A. Lokasi dan Waktu… ……………………………………………….............. B. Metode Pengumpulan Data ........................................................................... C. Metode Pengolahan dan Analisis Data………………………....................... C.1. Analisis Teknis........................................................................................ C.2. Analisis Biaya ......................................................................................... C.3. Analisis Finansial ................................................................................... C.4. Analisis Matriks SWOT ...…….……………………………………….



xiv 1 1 4 4 5 6 6 8 10 16 17 20 21 23 23 23 24 24 24 24 26



BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... A. Keadaan Umum ............................................................................................. B. Identifikasi Pola Kemitraan ........................................................................... C. Hasil Kajian ................................................................................................... C.1.Analisis Manajemen Usaha Peternakan Ayam Pedaging Pola Kemitraan ............................................................................................... C.2. Analisis Kelayakan Usaha Peternakan Ayam Ras Pola kemitraan ........ C.3. Analisis SWOT ......................................................................................



28 28 29 31



KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... A. Kesimpulan ................................................................................................... B. Saran .............................................................................................................



51 51 52



DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...........



54



LAMPIRAN ......................................................................................................



56



31 36 44



DAFTAR TABEL



Halaman 1 Matriks SWOT .............................................................................



22



2 Harga garansi ayam hidup.............................................................



30



3 Rincian insentif berdasarkan selisih FCR ....................................



31



4 Sistem manajemen pemeliharaan ayam pedaging pada masingmasing peternak ………………………………………................



32



5 Lama pemanasan dan kepadatan per brooder



36



6 Jumlah penerimaan per periode produksi .....................................



39



7 Biaya investasi per periode produksi ...........................................



40



8 Biaya operasional per periode produksi .......................................



41



9 Hasil analisis kelayakan finansial usaha peternakan ayam pedaging …........………………………………………………..



42



10 Keuntungan peternak plasma berdasarkan nilai FCR ....………..



43



11 Matriks analisis SWOT usaha peternakan ayam ras.....................



50



DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pemberian air minum dengan automatic drinker …………….



34



2. Kepadatan brooder yang ideal ..................................................



37



DAFTAR LAMPIRAN



Halaman 1 Kuesioner kajian………………………………………………………...



57



2 Perhitungan kelayakan usaha peternakan milik Edy Hidayat (jumlah populasi DOC 22.000 ekor) .....................................................................



64



3 Perhitungan kelayakan usaha peternakan milik H. Diding (jumlah populasi DOC 14.000 ekor) .....................................................................



66



4 Perhitungan kelayakan usaha peternakan milik Furqon (jumlah populasi DOC 8.000 ekor) .......................................................................



68



5 Perhitungan kelayakan usaha peternakan milik Munir (jumlah populasi DOC 4.000 ekor) .....................................................................................



70



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Agroindustri adalah usaha untuk mengolah bahan baku hasil pertanian menjadi berbagai produk yang dibutuhkan konsumen (Austin 1981). Bidang agroindustri pertanian dalam arti luas meliputi pengolahan hasil perikanan, peternakan, hortikultura, tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan. Peternakan merupakan subsektor yang memberikan kesempatan kerja cukup besar bagi masyarakat, baik dalam kegiatan budidaya maupun pemasaran dan pengolahan hasilnya yang sebagian besar dilakukan dengan cara tradisional. Agribisnis peternakan merupakan segala aktivitas bisnis yang terkait dengan kegiatan budidaya ternak, industri hulu, industri hilir dan lembaga-lembaga pendukung. Agribisnis tersebut merupakan salah satu bidang yang sangat penting bagi hajat hidup masyarakat dan memiliki potensi dijadikan sebagai penggerak utama ekonomi nasional. Usaha budidaya peternakan adalah sebuah usaha yang hampir seluruhnya dilakukan oleh masyarakat desa yang kebanyakan merupakan masyarakat ekonomi lemah. Oleh karena itu, peternakan memiliki peran penting dan posisi yang sangat strategis dalam meningkatkan kehidupan masyarakat ekonomi lemah. Usaha peternakan bahkan mampu meningkatkan ekonomi pedesaan dan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat desa (Sutawi 2007). Meski belum menunjukkan adanya perkembangan yang optimal, peternakan sudah menunjukkan adanya perkembangan yang baik. Bahkan untuk jenis ternak ayam pedaging, baik ayam petelur (layer) maupun ayam pedaging (broiler), telah terjadi perkembangan yang luar biasa. Perunggasan kini bahkan telah berkembang menjadi sebuah industri modern terlengkap di sektor pertanian. Agribisnis perunggasan khususnya ayam pedaging merupakan yang paling maju di bidang peternakan. Industri perunggasan Indonesia merupakan bagian dari industri perunggasan global yang mengalami pertumbuhan luar biasa, tak hanya kuantitas tetapi juga kualitas. Agribisnis ayam pedaging merupakan usaha komersial yang dapat



dilakukan secara massal, intensif dan hemat lahan sehingga peningkatan produksinya dapat dilakukan dalam waktu relatif cepat dan murah dibandingkan dengan sumber protein hewan lainnya. Pesatnya produksi ayam pedaging selama ini dipacu oleh teknologi pemeliharaan yang relatif mudah, masa pemeliharaan yang singkat, konversi pakan yang efisien dan pemasaran yang mudah. Komoditas unggas mempunyai prospek pasar yang sangat baik karena didukung oleh karakteristik produk unggas yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2000 menurut Badan Pusat Statistik mencapai 206.264.595 jiwa dan masih tumbuh sekitar 1,4 persen per tahun merupakan sebuah pasar yang sangat potensial sebagai konsumen produk usahaternak unggas. Konsumsi rata-rata masyarakat terhadap hasil unggas khususnya daging ayam memiliki trend yang meningkat. Hal ini mengindikasikan konsumsi masyarakat akan hasil komoditas unggas semakin baik dan merupakan peluang bagi usaha dan industri perunggasan untuk mengembangkan usahanya (Sutawi 2007). Namun demikian, pengembangan industri peternakan saat ini menghadapi berbagai permasalahan, antara lain struktur industri peternakan yang masih tersekat-sekat dan belum menunjukkan keterkaitan yang kuat antara satu dan lain subsistem agribisnis peternakan. Idealnya, menurut pendekatan sistem agribisnis, setiap subsistem yang ada (subsistem penyediaan sarana produksi, produksi, pengolahan, pemasaran dan sarana pendukung) harus terpadu secara fungsional satu sama lain. Di dalam setiap subsistem tersebut juga masih terdapat permasalahan. Subsistem produksi misalnya, sering mengalami keterbatasan pasokan bahan baku pakan, sehingga harus impor dan ini menyebabkan tingginya biaya produksi. Agribisnis ayam pedaging juga merupakan bisnis yang penuh gejolak dan beresiko. Hampir setiap tahun dijumpai gejolak harga dengan intensitas yang berbeda dan selalu menempatkan peternak dalam posisi rawan. Siklus gejolak biasanya diawali dengan naiknya harga sarana produksi peternakan (sapronak) dan sering diikuti dengan turunnya harga jual produk. Naiknya sarana produksi menyebabkan peningkatan biaya produksi, tetapi menurunkan pendapatan peternak sampai di bawah ambang batas titik impas. Turunnya pendapatan peternak



2



yang berkepanjangan menyebabkan peternak menghentikan usahanya, hal ini mengakibatkan permintaan DOC (day old chicken) berkurang dan menyebabkan supply produk (daging ayam) menurun sehingga penawaran lebih rendah dari permintaan. Terganggunya supply-demand meningkatkan harga jual produk, sehingga menarik minat peternak untuk berusaha kembali dan akibatnya permintaan DOC naik. Demikian siklus tersebut dapat selalu terulang kembali yang menyebabkan ketidakstabilan agribisnis ayam pedaging (Sutawi 2007). Gejolak terbesar sepanjang sejarah agribisnis ayam pedaging terjadi sejak Juli 1997 berupa krisis moneter yang diikuti krisis ekonomi. Sebagai akibat kenaikan kurs dollar Amerika dari Rp 2.500,00/1 US$ (Juli 1997) menjadi Rp 8.000,00 – Rp 11.000,00 (Januari-Maret 1998), maka harga pakan konsentrat naik Rp 39.500,00/zak menjadi Rp 89.500,00/zak (50 kg). Kenaikan harga pakan tentu saja menyebabkan kenaikan biaya produksi yang harus ditanggung peternak. Peningkatan biaya produksi ayam pedaging ini justru diperburuk dengan menurunnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga sembilan bahan pokok, sehingga harga jual hasil peternakan pun menurun tajam. Harga ayam pedaging di pasaran hanya Rp 2.500,00/kg hidup. Komoditas agribisnis ternak unggas juga bergantung dari ketersediaan produk lain seperti pakan, dimana harga dan ketersediaan pakan tersebut mempengaruhi harga akhir dari ternak unggas yang dipelihara oleh peternak. Pakan memegang peranan penting dalam industri ternak unggas, selain karena merupakan bahan pokok untuk pertumbuhan dan perkembangan unggas sendiri, pakan mempunyai prosentase yang cukup tinggi dalam proses dan komposisi harga produksi. Ketidakstabilan agribisnis ayam pedaging menyebabkan terpuruknya usaha peternakan ayam, khususnya peternakan rakyat. Salah satu cara untuk menanggulangi permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan pola kemitraan, seperti yang dilakukan oleh peternak ayam pedaging di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Di sini, peternak mengembangkan usaha peternakan ayam pedaging pola kemitraan inti plasma dengan PT Charoen Pokphand Indonesia. Untuk mengetahui kelayakan usaha peternakan tersebut perlu dilakukan suatu pengkajian yang diharapkan dapat



3



memberikan masukan kepada peternak dalam menjalankan usaha peternakannya dengan lebih optimal lagi. B. Perumusan Masalah Salah satu kendala pengembangan pola kemitraan adalah ketidakpuasan atas keuntungan yang diperoleh peternak. Peternak sebagai plasma merasa keuntungannya terlalu sedikit. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana sistem manajemen usaha peternakan ayam pedaging melalui pola kemitraan dengan PT Charoen Pokphand Indonesia? 2. Bagaimana kelayakan usaha peternakan ayam pedaging melalui pola kemitraan dengan PT Charoen Pokphand Indonesia dilihat dari aspek teknis, aspek finansial dan sensitivitasnya terhadap perubahan feed conversion ratio (FCR)? 3. Bagaimana bentuk strategi pola kemitraan yang dilakukan peternak plasma di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor yang bermitra dengan PT Charoen Pokphand Indonesia? C. Tujuan Berdasarkan latar belakang kajian dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka disusun tujuan kajian untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap usaha peternakan melaui pola kemitraan. Secara spesifik tujuan kajian dapat dituliskan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi sistem manajemen usaha peternakan ayam pedaging melalui pola kemitraan dengan PT Charoen Pokphand Indonesia. 2. Menganalisis kelayakan usaha peternakan ayam pedaging melalui pola kemitraan dengan PT Charoen Pokphand Indonesia dilihat dari aspek teknis, aspek finansial dan aspek sensitivitasnya terhadap perubahan feed conversion ratio (FCR). 3. Menyusun strategi pola kemitraan yang dilakukan peternak plasma di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor yang bermitra dengan PT Charoen Pokphand Indonesia.



4



D. Kegunaan Hasil Pengkajian mampu memberikan manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pihak-pihak sebagai berikut: 1. Manfaat bagi pengkaji Kajian ini merupakan suatu kesempatan yang sangat baik dan berharga untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai usaha peternakan melalui pola kemitraan. 2. Manfaat bagi perusahaan Dapat dijadikan bahan informasi atau masukan bagi PT Charoen Pokphand Indonesia untuk membuat suatu kebijakan dalam diversifikasi usaha. 3. Manfaat bagi dunia pendidikan Menambah khasanah pengkajian mengenai usaha peternakan melalui pola kemitraan dan dapat dijadikan acuan bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengadakan kajian mengenai usaha peternakan melalui pola kemitraan.



5



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Agribisnis Peternakan Agribisnis menurut Davis dan Goldberg (1957) merupakan suatu sistem, apabila dikembangkan harus terpadu dan selaras dengan semua subsistem yang ada di dalamnya. Pengembangan agribisnis tidak akan efektif dan efisien bila hanya mengembangkan salah satu subsistem yang ada di dalamnya. Salah satu subsistem yang terdapat dalam agribisnis lazimnya adalah agroindustri. Agroindustri adalah usaha untuk mengolah bahan baku hasil pertanian menjadi berbagai produk yang dibutuhkan konsumen (Austin 1981). Kemajuan dalam bidang agribisnis ditandai dengan semakin menyempitnya spesialisasi fungsional dan semakin jelasnya pembagian kerja berdasarkan fungsi-fungsi sistem agribisnis. Fungsi-fungsi agribisnis terdiri atas kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan produksi primer (budidaya), pengolahan (agroindustri) dan pemasaran. Agroindustri berperan sebagai jembatan yang menghubungkan sektor pertanian dengan sektor industri. Pengembangan agroindustri juga diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian melalui pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan teknologi pengolahan, meningkatkan pendapatan petani dan pengusaha kecil, menambah lapangan pekerjaan dan memenuhi permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri dengan produk-produk bermutu sehingga dapat meningkatkan penerimaan devisa (Saragih 2001 diacu dalam Puspita 2007). Sutawi (2007) mengungkapkan bahwa pertanian berperan penting pada perekonomian di negara berkembang. Di Indonesia sektor pertanian masih merupakan sektor andalan perekonomian nasional. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya Program Revitalisasi Pertanian



sebagai salah satu strategi pembangunan Kabinet Indonesia



Bersatu yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain itu 19% pendapatan nasional merupakan hasil pertanian, 50% tenaga kerja bekerja di sektor



6



pertanian, 62% pendapatan masyarakat pedesaan berasal dari pertanian dan 55% pendapatan rumah tangga dibelanjakan untuk membeli hasil-hasil pertanian. Subsektor peternakan yang merupakan bagian dari sektor pertanian merupakan subsektor strategis dalam menopang perekonomian regional maupun nasional. Pada tahun 2004 subsektor peternakan menyumbang 12,71% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian dan 1,94% terhadap PDB nasional. PDB subsektor peternakan dan hasil-hasilnya mengalami kenaikan dari Rp 25,2 trilyun tahun 2000 menjadi Rp 37,4 trilyun tahun 2003 dan akhirnya mencapai Rp 43,1 trilyun tahun 2005 (Daryanto 2007). Subsektor peternakan memiliki potensi dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi nasional. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa pertama, Indonesia memiliki sumberdaya peternakan yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, Industri di bidang peternakan memiliki keterkaitan (backward and forward lingkages) yang kuat dengan industri-industri lainnya. Ketiga, industri peternakan berbasis sumberdaya lokal atau dikenal dengan istilah resources based industries, dan keempat Indonesia memiliki keunggulan (comparative advantage) yang tinggi di bidang peternakan sebagaimana tercermin dari potensi sumberdaya ternaknya. Untuk mendukung potensi-potensi tersebut dibutuhkan sumberdaya manusia (SDM) peternakan yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan, memiliki jiwa kewirausahaan serta siap menghadapi kompetensi bisnis, baik pada tataran lokal, regional, nasional maupun global (Daryanto 2007). Peranan kewirausahaan dapat ditunjukkan dalam tiga bidang yaitu, inovasi, jumlah pemula bisnis baru dan penciptaan pekerjaan. Perusahaan yang memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurial firms) dapat bertindak sebagai agen perubahan dengan menyediakan sumber ide baru dan unik yang oleh perusahaan lain mungkin diabaikan. Hal terpenting yang harus dilakukan oleh para pemimpin agribisnis peternakan adalah bagaimana menciptakan suatu agribisnis peternakan yang berdayasaing dan memiliki kemampuan merespons perubahan selera konsumen secara cepat dan efisien. Mereka harus mampu menghasilkan produk yang efisien dan sesuai dengan atribut yang dituntut oleh konsumen dalam era persaingan global.



7



B. Agribisnis Peternakan Ayam Pedaging Agribisnis perunggasan khususnya ayam pedaging merupakan yang paling maju di bidang peternakan. Agribisnis ayam pedaging merupakan usaha komersial yang dapat dilakukan secara massal, intensif dan hemat lahan, sehingga peningkatan produksinya dapat dilakukan dalam waktu yang relatif cepat dan murah dibandingkan sumber protein hewani lainnya. Pesatnya produksi ayam pedaging selama ini dipicu oleh teknologi pemeliharaan yang relatif mudah, masa pemeliharaan yang singkat, konversi pakan yang efisien dan pemasaran yang mudah. Ayam pedaging dipasarkan pada bobot hidup antara 1,3 hingga 1,6 kg per ekor ayam dan dilakukan pada usia 5-6 minggu (Rasyaf 2001). Dalam produksi ayam pedaging hanya memiliki satu tujuan yaitu, produksi daging yang sesuai dengan sasaran yang hendak dicapai dalam rencana yang telah ditentukan. Bila dalam rencana semula ditetapkan sasaran bobot hidup rata-rata 1,6 kg di usia enam minggu dengan jumlah jual 1.800 ekor dari jumlah masuk 2.000 ekor, maka itulah sasaran yang hendak diusahakan. Sasaran berguna untuk pegangan atau arah pengelolaan peternakan. Dengan berpegang pada sasaran itulah dilakukan pengawasan dalam pemberian ransum. Perkembangan konsumsi ransum dan pertambahan bobot tubuh ayam diawasi setiap minggu, lalu dibandingkan dengan sasaran produksi. Dengan fungsi pengawasan pemberian ransum, penurunan konsumsi ransum dan mortalitas yang tidak wajar dapat dipantau, kemudian diambil tindakan pembedahan bangkai ayam, untuk mengetahui penyebab masalah. Uraian di atas menunjukkan adanya unsur teknis yang harus diperhatikan dalam usaha peternakan ayam pedaging yaitu, produksi, pakan dan pencegahan penyakit. Di samping itu juga ada unsur bukan teknis yang mendukung unsur teknis. Kedua unsur ini harus berjalan selaras dan saling mendukung. Unsur bukan teknis meliputi administrasi, pemasaran, keuangan dan pengadaan (Rasyaf 2001). Administrasi adalah suatu bagian yang sangat penting dan bisa diumpamakan sebagai jantung suatu peternakan. Banyak peternakan yang gagal karena administrasinya buruk. Dalam skala yang tidak besar, bagian administrasi sering digabungkan dengan bagian keuangan, karena fungsi pengawasan dan pengendalian berlaku ketat dalam aktivitas keuangan. Pemasaran



8



adalah bagian yang menentukan untung atau ruginya suatu peternakan. Pemasaran juga menentukan berat ayam yang dipelihara, jumlahnya dan sasaran penjualan. Bagian yang tidak kalah pentingnya yaitu bagian pengadaan. Bagian inilah yang memesan DOC, ransum, obat, vaksin dan alat-alat peternakan beserta jadwal pengiriman dan negosiasi harganya. Bagian ini penting karena dari sinilah tercermin biaya produksi. Bagian pengadaan yang baik akan mendapatkan biaya produksi yang murah melalui negosiasi harga yang baik. Semua unsur tersebut harus bekerja dengan optimal dan berkoordinasi dengan baik, karena masing-masing unsur memiliki fungsi yang saling terkait. Satu unsur saja tidak bekerja optimal akan mempengaruhi kinerja usaha peternakan yang dijalankan. Dalam agribisnis peternakan ayam ras seorang peternak akan selalu berpikir bagaimana



memperoleh



produksi



(output)



yang



sebanyak-banyaknya



dengan



penggunaan sarana produksi (input) yang sekecil-kecilnya. Dalam ilmu ekonomi, cara berpikir demikian sering disebut profit maximization. Tujuan tersebut dapat tercapai jika peternak dapat mengalokasikan penggunaan sarana produksi yang dimilikinya secara efisien. Menurut Sutawi (2007), ada tiga macam ukuran efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (allocative efficiency) dan efisiensi ekonomis (economic efficiency). Pengertian efisiensi ini sangat relatif. Efisiensi teknis dapat diartikan sebagai upaya penggunaan input sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi sebesarbesarnya. Efisiensi teknis tercapai jika produksi rata-rata setiap unit input mencapai maksimum. Efisiensi harga adalah upaya untuk memperoleh keuntungan maksimum dengan tingkatan penggunaan input tertentu. Efisiensi harga tercapai kalau nilai produksi marjinal (produksi marjinal dikalikan harga produksi) untuk suatu input sama dengan harga input tersebut, atau jika produksi marjinal sama dengan nisbah antara harga input dengan harga output. Efisiensi ekonomis merupakan gabungan antara efisiensi teknis dan efisiensi harga. Pada usaha peternakan ayam pedaging baik petelur maupun pedaging, produksi daging maupun telur sangat ditentukan oleh banyaknya pakan. Secara ekonomis keuntungan yang diperoleh juga sangat ditentukan oleh biaya pakan, karena biaya pakan



9



mencapai 70-80% dari biaya produksi total (Sutawi 2007). Harga pakan sendiri dipengaruhi oleh harga bahan baku yang digunakan, dimana bahan baku yang digunakan dalam industri makanan ternak sebagian besar masih diimpor dari luar negeri seperti bungkil kacang kedelai, jagung, meat bone meal (MBM), tepung ikan serta suplemen penunjang lainnya. Ketergantungan akan bahan baku pembuatan pakan ini menyebabkan harga pakan akan terus naik seiring dengan kenaikan harga bahan baku yang digunakan. Kenaikan harga pakan akan membuat harga jual ayam di tingkat peternak menjadi meningkat pula. Pada peternakan ayam pedaging, efisiensi teknis untuk pakan dihitung dari bobot badan dibagi dengan jumlah pakan yang dihabiskan. Semakin tinggi nilai perbandingan (nisbah) antara output dengan input tersebut, berarti secara teknis penggunaan pakan semakin efisien. Cara lain untuk mengetahui tingkat efisiensi teknis pakan adalah dengan melihat angka konversi pakan (feed conversion ratio). Konversi pakan adalah banyaknya pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu kilogram berat ayam hidup (Fadilah 2005). Semakin kecil angka konversi pakan berarti secara teknis penggunaan pakan semakin efisien. Pada ayam pedaging angka konversi terkecil terjadi pada minggu pertama pertumbuhan. C. Kemitraan Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah dan atau dengan usaha besar, disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan (Blessing 2007). Kemitraan usaha bukanlah suatu konsep baru. Kemitraan usaha mengandung pengertian adanya hubungan kerja sama usaha di antara berbagai pihak yang sinergis, bersifat sukarela dan dilandasi oleh prinsip saling membutuhkan, saling menghidupi, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Prinsip kerja sama seperti itu dapat mengatasi pembatas potensi usaha yang melekat pada satu unit usaha. Dengan menjalin kemitraan, produsen memperoleh manfaat antara lain: (1) stabilitas pendapatan (income stability), karena berkurangnya resiko produksi dan



10



pemasaran, (2) peningkatan efisiensi (improved efficiency) melalui bimbingan teknis, manajemen, pengetahuan pasar dan akses teknologi, (3) keamanan pasar (market security) berkaitan dengan grade dan standar produk yang dihasilkan, (4) akses terhadap kapital (access to capital) lebih mudah karena sebagian sarana produksi dipenuhi oleh kontraktor sehingga produsen dapat memperbesar skala usahanya (Sutawi 2007). Bagi perusahaan, manfaat yang diperoleh antara lain: (1) terjadinya stabilitas produksi yang menjamin kontinuitas suplai (controlling input supply), (2) meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan, baik tenaga kerja maupun permodalan, (3) menciptakan perluasan pasar dan memperkuat posisi persaingan pasar dan (4) memperluas kesempatan melakukan ekspansi dan diversifikasi operasional perusahaan (Sutawi 2007). Kemitraan ada yang bersifat vertikal (antarskala usaha), yaitu antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar, dan ada pula yang bersifat horisontal pada skala usaha yang sama. Namun, yang pada umumnya dimaksud dengan kemitraan adalah antar skala usaha. Dalam praktek bisnis internasional dewasa ini (era 1990-an) kemitraan usaha telah menjadi bagian strategi bisnis perusahaan terutama bagi perusahaan-perusahaan besar yang tidak lagi dapat mengandalkan pada strategi internalisasi aktivitas usaha melalui akuisisi dan merger dalam rangka integrasi vertikal dan horisontal. Dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan investasi yang sarat dengan persaingan, kemitraan usaha dipandang sebagai suatu cara untuk mengurangi resiko usaha serta meningkatkan efisiensi dan dayasaing usaha. Dalam suasana persaingan yang ketat, hanya usaha yang lentur, lincah dan cepat tanggap terhadap perubahan permintaan pasar yang dapat memenangkan persaingan. Untuk



itu



perusahaan-perusahaan



besar



cenderung



melakukan



restrukturisasi,



perampingan dan konsentrasi pada bisnis utamanya, serta melakukan kemitraan usaha baik secara vertikal maupun horisontal. Kemitraan usaha akan menghasilkan efisiensi dan sinergi sumberdaya yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bermitra dan karenanya menguntungkan semua pihak yang bermitra. Selain dapat memberikan kelenturan dan kelincahan bagi usaha besar, kemitraan usaha juga dapat menjawab masalah diseconomies of scale yang sering



11



dihadapi oleh usaha besar. Kemitraan juga memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang efisien dan produktif sehingga dapat mengalihkan dari kecenderungan monopoli/monopsoni atau oligopoli/oligopsoni. Bagi usaha kecil, kemitraan jelas menguntungkan karena dapat turut mengambil manfaat dari pasar, modal, teknologi, manajemen, dan kewirausahaan yang dikuasai oleh usaha besar. Usaha besar juga dapat mengambil keuntungan dari keluwesan dan kelincahan usaha kecil. Kemitraan usaha bukanlah penguasaan yang satu atas yang lain, khususnya yang besar atas yang kecil, melainkan menjamin kemandirian pihak-pihak yang bermitra, karena kemitraan bukanlah proses merger atau akuisisi. Kemitraan usaha yang diinginkan bukanlah kemitraan yang bebas nilai, melainkan kemitraan yang tetap dilandasi oleh tanggung jawab, moral dan etika bisnis yang sehat, yang sesuai dengan demokrasi ekonomi. Kemitraan hanya dapat berlangsung secara efektif dan berkesinambungan jika kemitraan dijalankan dalam kerangka berpikir pembangunan ekonomi, bukan semata-mata konsep sosial yang dilandasi motif belas kasihan atau kedermawanan. Kemitraan yang dilandasi motif belas kasihan cenderung mengarah kepada inefisiensi sehingga tidak akan berkembang secara sinambung. Sebagai suatu strategi pengembangan usaha kecil, kemitraan telah terbukti berhasil diterapkan di banyak negara, antara lain di Jepang dan empat negara macan Asia, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Di negara-negara tersebut kemitraan umumnya dilakukan melalui pola subkontrak yang memberikan peran kepada industri kecil dan menengah sebagai pemasok bahan baku dan komponen industri besar. Proses ini menciptakan keterkaitan antar usaha yang kukuh tanpa harus melakukan integrasi vertikal atau konglomerasi. Jika kita pelajari secara seksama, kunci sukses berkembangnya kemitraan di negara-negara yang telah lebih maju adalah, karena kemitraan usahanya terutama didorong oleh adanya kebutuhan dari pihak-pihak yang bermitra itu sendiri, atau diprakarsai oleh dunia usahanya sendiri, sehingga kemitraan dapat berlangsung secara alamiah. Hal ini dimungkinkan mengingat iklim dan kondisi ekonomi mereka telah cukup memberikan rangsangan ke arah kemitraan yang berjalan sesuai dengan kaidah ekonomi yang berorientasi pasar.



12



Di negara kita, kondisi ideal itu belum sepenuhnya tercipta. Kenyataan menunjukkan masih kuatnya kecenderungan usaha besar untuk menguasai mata rantai produksi dan distribusi dari perekonomian nasional, bahkan sampai kepada lembaga pembiayaannya. Hal ini dapat menghambat perkembangan usaha kecil, dan jika tidak terkendali, bahkan dapat merugikan kepentingan ekonomi nasional secara keseluruhan. Belum lagi dampak negatif yang ditimbulkan akibat melebarnya kesenjangan sosial ekonomi sehingga menyebabkan timbulnya kerawanan dan kecemburuan sosial. Kemitraan masih belum melembaga dalam dunia usaha nasional kita. Kemitraan yang sudah berjalan selama ini pada umumnya masih berlangsung karena ada himbauan dari pemerintah. Dalam kenyataan, kemitraan usaha yang benar-benar didasarkan pada adanya kebutuhan dan dilandasi oleh motivasi ekonomi relatif masih sedikit jumlahnya. Berdasarkan kenyataan-kenyataan itu, maka peran pemerintah tampaknya masih diperlukan, setidaknya pada tahap-tahap awal yang sifatnya memotivasi (memicu) atau mendorong (memacu), bukan memaksa. Peran pemerintah yang pertama dan paling utama adalah menciptakan iklim usaha yang sehat bagi kemitraan usaha. Salah satu instrumennya adalah sistem insentif dan disinsentif yang tepat dan proporsional. Dalam hubungan ini perlu dicari bentuk dari sistem insentif serta disinsentif yang efektif dan yang tidak counter productive terhadap kemitraan, misalnya dalam bentuk insentif fiskal, moneter atau bentuk-bentuk lainnya seperti perizinan, kebijaksanaan harga dan penyanggaan (buffer program). Selanjutnya, pemerintah dapat berperan dalam memberikan pedoman dan ramburambu tentang kemitraan melalui peraturan perundangan, misalnya bagaimana kemitraan itu dapat dijalankan secara saling menguntungkan, apa saja kriteria yang menjamin penanggungan resiko dan pembagian keuntungan secara adil, serta bagaimana mengatasi perselisihan yang terjadi di antara pihak-pihak yang bermitra. Pemerintah juga berperan penting dalam memberikan informasi peluang kemitraan dan bantuan teknis kepada usaha kecil dalam perencanaan kemitraan dan negosiasi bisnis. Pemerintah dapat mendukung kemitraan dengan memantapkan prasarana-sarana dan



memperkuat



kelembagaan



pendukung



kemitraan



antara



lain



dengan



mengembangkan sistem dan lembaga keuangan yang efektif bagi usaha kecil. Hal ini



13



penting mengingat akses kepada dana, khususnya kredit perbankan dengan persyaratan teknisnya, masih menjadi kendala bagi usaha kecil dalam pengembangan usahanya. Bagi usaha kecil lapisan bawah yang belum laik bank (bankable), barangkali patut dipikirkan pendekatan yang berbeda dengan cara-cara perbankan konvensional, termasuk pengembangan lembaga keuangan alternatif yang lebih sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan usaha kecil. Namun pada akhirnya, kemitraan haruslah berdasarkan asas sukarela dan suka sama suka. Dalam kemitraan harus dijauhkan “kawin paksa.” Oleh karena itu, pihakpihak yang bermitra harus sudah siap untuk bermitra, baik kesiapan budaya maupun kesiapan ekonomi. Jika tidak, maka kemitraan akan berakhir sebagai penguasaan yang besar terhadap yang kecil atau gagal karena tidak bisa jalan. Artinya, harapan yang satu terhadap yang lain tidak terpenuhi. Oleh karena itu meskipun telah kita nyatakan bahwa kemitraan merupakan salah satu instrumen yang strategis bagi pengembangan usaha kecil, tetapi ini tidak berarti bahwa semua usaha kecil bisa segera secara efektif dikembangkan melalui kemitraan. Bagi pengusaha informal atau yang sangat kecil skala usahanya (gurem) dan belum memiliki dasar kewirausahaan yang memadai, kemitraan dengan usaha besar belum tentu efektif karena belum tercipta kondisi saling membutuhkan, karena usaha kecil membutuhkan usaha besar sedangkan usaha besar tidak merasa membutuhkan usaha kecil. Usaha kecil yang demikian barangkali perlu dipersiapkan terlebih dahulu, misalnya dengan memperkuat posisi transaksi melalui wadah koperasi atau kelompok usaha bersama (prakoperasi) dan pembinaan kewirausahaan. Dengan memahami berbagai aspek kewirausahaan dan bergabung dalam wadah koperasi, usaha-usaha yang sangat kecil atau informal tersebut secara bersama-sama akan memiliki kedudukan dan posisi transaksi yang cukup kuat untuk menjalin kemitraan yang sejajar, saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan dengan usaha besar mitra usahanya itu. Sumardjo (2001) menyatakan, dalam sistem agribisnis terdapat lima bentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha besar. Kelima jenis kemitraan tersebut adalah:



14



1. Pola Inti Plasma Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara petani/kelompok tani atau kelompok mitra sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis dan manajemen serta menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi. Perusahaan inti tetap memproduksi kebutuhan perusahaannya, sedangkan kelompok mitra usaha memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. 2. Pola Subkontrak Pola ini merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bahan dari produksinya. Bentuk kemitraan semacam ini biasanya ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kontrak bersama di antaranya mencakup volume, harga, mutu dan waktu. Pola kemitraan ini dalam banyak kasus ditemukan sangat bermanfaat dan kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, keterampilan dan produktivitas, serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. 3. Pola Dagang Umum Pola kemitraan dagang umum merupakan pola hubungan usaha dalam pemasaran hasil antara pihak perusahaan pemasar dengan pihak kelompok pemasok kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan pemasar. Pada dasarnya pola kemitraan ini adalah hubungan jual-beli sehingga memerlukan struktur pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra, baik perusahaan maupun usaha kecil. 4. Pola Keagenan Merupakan bentuk kemitraan dengan peran pihak perusahaan besar/menengah memberi hak khusus untuk memasarkan barang atau jasa usaha perusahaan atau usaha kecil mitra usaha. Perusahaan besar/menengah bertanggungjawab atas mutu dan volume produk atau jasa tersebut. Di antara pihak-pihak yang bermitra terdapat kesepakatan tentang target-target yang harus dicapai dan besarnya fee atau komisi.



15



5. Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis merupakan pola hubungan bisnis, dimana kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga. Sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian. Di samping itu, perusahaan mitra juga sering berperan sebagai penjamin pasar produk, di antaranya juga mengolah produk tersebut dan dikemas lebih lanjut untuk dipasarkan. D. Kemitraan Usaha Peternakan Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan produsen peternakan melalui penguatan dayasaing (competition power), pemerintah Indonesia telah mengarahkan para produsen peternakan untuk saling menjalin kerjasama kemitraan (Sutawi 2007). Berdasarkan PP No.44/1997 tentang kemitraan, menjelaskan bahwa kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah dan/atau usaha besar disertai pembinaan oleh usaha menengah dan/atau usaha besar dengan memperhatikan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Menurut Kepmentan No. 940/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra di bidang usaha pertanian. Bertindak sebagai kelompok mitra antara lain petani/nelayan, kelompok tani nelayan, gabungan tani/nelayan, koperasi dan usaha kecil. Sedangkan perusahaan mitra terdiri perusahaan menengah dan besar pertanian serta perusahaan menengah dan besar di bidang pertanian (Sutawi, 2007). Pada kemitraan ayam pedaging perusahaan mitra menyediakan sarana produksi berupa bibit ayam, pakan dan obat-obatan, memberi bimbingan teknis dan manajemen, menampung, mengolah dan/atau memasarkan hasil produksi peternakan, mengusahakan permodalan, sedangkan peternak plasma menyediakan tenaga kerja, kandang dan peralatan untuk melaksanakan budidaya. Dalam agribisnis ayam pedaging, pada tahun 1990 pemerintah mencoba melakukan restrukturasi dengan menerbitkan Keppres nomor 22/1990 tentang



16



Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging, yang pada intinya membebaskan usaha ayam pedaging tidak hanya untuk usaha peternakan rakyat, tetapi juga mengijinkan untuk skala perusahaan dengan catatan mereka harus melakukan kemitraan dengan peternakan rakyat. Lebih lanjut, menurut Kepmentan nomor 472/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging, kemitraan dapat dilaksanakan dengan pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat), pola pengelola atau pola penghela. Berbagai pola kemitraan usaha peternakan sudah banyak diterapkan pada kegiatan agribisnis di Indonesia. Pola inti-plasma telah banyak dilakukan pada kegiatan agribisnis usaha perkebunan antara lain PIR Perkebunan, PIR Transmigrasi, PIR Bun-KPPA dan PIR Perunggasan. Beberapa komoditas yang diusahakan dan cocok dalam kemitraan tersebut antara lain kelapa sawit, karet, teh, kopi dan ayam pedaging. Dalam perjalanannya, kemitraan ayam pedaging mengalami berbagai tentangan dan tantangan. Tahun 1996, setahun sebelum krisis ekonomi, kemitraan di berbagai daerah hanya dilaksanakan oleh 30% peternak, sedangkan 70% sisanya lebih suka berusaha secara mandiri. Krisis ekonomi tahun 1997 yang telah menghancurkan 80% usaha budidaya ayam pedaging, dan 20% yang bertahan adalah peternakan rakyat yang menjalin kemitraan. Meski bertahan menghadapi krisis perekonomian yang berkepanjangan, kemitraan ayam pedaging belum juga diterima oleh seluruh peternakan rakyat. Bahkan organisasi peternakan ayam rakyat (PPUI), dalam berbagai kesempatan selalu mengusulkan agar kemitraan ayam pedaging dihentikan atau setidaknya ditangguhkan, karena dinilai tidak berpihak dan tidak mampu memberdayakan peternakan rakyat. E. Analisis Usaha Peternakan Ayam Pedaging Menurut Mubiyarto (1984), pada umumnya petani mengadakan perhitunganperhitungan ekonomi dalam keuangan menyangkut input (biaya) yang dibutuhkan dan output (penerimaan) yang akan diperoleh nantinya, namun perhitungan-perhitungan yang dilakukan hanyalah perhitungan sederhana. Besarnya penerimaan dari proses produksi dapat ditentukan dengan mengalikan produk yang dihasilkan dengan harga produk tersebut. Secara umum semakin besar



17



produksi yang dihasilkan, akan menyebabkan semakin besar pula penerimaan atau sebaliknya (Bishop & Toussaint 1997). Menurut Soekartawi (2002), pendapatan bersih usaha adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran total. Penerimaan suatu usaha adalah sebagai produk total suatu usaha dalam produk tertentu baik dijual maupun tidak dijual. Penerimaan dihitung dengan mengalikan produk total dengan harga yang berlaku. Sedangkan pengeluaran total suatu usaha adalah nilai semua masukan yang habis dipakai atau dikeluarkan dalam proses produksi. Pendapatan bersih dari suatu usaha mengukur imbalan yang diperoleh dari penggunaan faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal dan pengelolaan. Untuk mendapatkan keuntungan dari usahaternak ayam pedaging pedaging yang penting adalah kecepatan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum yang tinggi. Jadi jelaslah bahwa pertumbuhan pada ayam pedaging pedaging merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian dari peternak, karena pemeliharaan pada saat pertumbuhan akan dapat menentukan hasil produksinya kelak (Rasyaf 1992). Winter dan Funk (1962) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi keuntungan dalam peternakan ayam di antaranya adalah biaya dan pengolahan ransum, efisiensi tenaga kerja, biaya pemasaran, harga DOC, tingkat kematian dan besarnya skala usaha. Rasyaf (1992) menyatakan bahwa biaya yang tetap dikeluarkan tanpa memperdulikan keberadaan ayam di dalam kandang dinamakan biaya tetap. Biaya tersebut antara lain biaya pembuatan kandang, tenaga kerja dan listrik. Sedangkan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan jumlah ayam yang dipelihara dinamakan biaya tidak tetap atau biaya variabel. Biaya ini antara lain terdiri dari biaya pembelian DOC, pakan, pemeliharaan dan obat-obatan. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Isbandi (1988), menunjukan bahwa usaha ayam pedaging pedaging menguntungkan pada skala lebih dari 750 ekor per periode. Faktor sosial tidak berpengaruh pada tingkat pendapatan peternak, sedangkan faktor ekonomi yang berpengaruh pada tingkat pendapatan peternak adalah berat ayam, harga jual, jumlah ayam terjual dan biaya pengeluaran ayam pedaging pedaging. Manurung dan Djafar (1988), mengatakan bahwa analisa “Break Event” (BE) adalah suatu cara atau teknik untuk mengetahui kaitan antara volume produksi, volume



18



penjualan, harga jual, biaya produksi, biaya lainnya yang variabel atau yang tetap serta laba rugi. Kegunaan-kegunaannya antara lain: 1. Sebagai dasar untuk merencanakan kegiatan operasional dalam usaha mencapai laba tertentu. 2. Sebagai dasar untuk mengendalikan kegiatan operasi yang sedang berjalan, yaitu untuk pencocokan antara realisasi dengan angka-angka dalam perhitungan BE. 3. Sebagai bahan pertimbangan dalam harga jual setelah diketahui hasil perhitungan menurut analisa BE dan laba yang ditargetkan. 4. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Untuk melihat kelayakan usaha peternakan ayam broiler dapat dihitung dengan metode cash flow analysis. Metode ini dilakukan setelah komponen-komponen biaya dan manfaat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat atau penerimaan (benefit; inflow) dan biaya atau pengeluaran (cost; outflow). Selisih antara keduanya disebut manfaat bersih (net benefit), untuk tingkat investasi menggunakan beberapa kriteria penilaian kelayakan yaitu, Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Net Benefit Cost (B/C) (Gittinger 1986). Net Present Value (NPV) atau manfaat sekarang neto dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh pananaman investasi. Jika NPV bernilai positif (NPV>0), maka usaha layak untuk dilaksanakan. Sebaliknya jika NPV bernilai negatif (NPV 10.000 ekor) 8. Modal investasi (di luar tanah) < Rp20 juta Rp20 juta s.d. Rp30 juta > Rp30 juta (sebutkan Rp ___________ ) 9. Ukuran kandang: Kandang 1:_________m X_________m Kandang 2: _________m X_________m Kandang 3: _________m X_________m Kandang 4: _________m X_________m 10. Jumlah tenaga kerja a. Dalam Keluarga : __________ orang b. Luar Keluarga : __________ orang



58



B. Biaya produksi dalam satu periode 1. Suplai perusahaan (inti) No



Jenis Pengeluaran



Jumlah Harga/unit



Total (Rp)



(Rp) 1



DOC masuk



2



Pakan



3



Obat-obatan



2. Biaya operasional peternak (plasma) a. Biaya Tetap No



Jenis Pengeluaran



Jumlah Harga/unit



Total (Rp)



(Rp) 1



Pembuatan kandang



2



Tenaga Kerja



3



Terpal



4.



Listrik



b. Biaya Tidak Tetap No



Jenis Pengeluaran



Jumlah Harga/unit



Total (Rp)



(Rp) 1



Pemanasan



2



Sekam



59



C. Pendapatan dalam satu periode 1. Pendapatan dari produksi NO 1 2 3 4 5 8



Item Jumlah ayam besar (ekor) Jumlah ayam keluar (ekor) Total Berat (kg) Harga garansi Harga pasar Selisih harga



Keterangan



Rp Rp Rp



2. Pendapatan lainnya Item NO 1 Kotoran a. Jumlah (karung) b. harga/karung Jumlah 2



Keterangan



Rp Rp



Insentif a. bonus/aktual b. IP/standar Jumlah Total



Rp Rp



D. Teknis Pemeliharaan 1. Kepadatan populasi per m2: ...................................................................... 2. Jenis kandang yang baik menurut peternak: ........................................... .................................................................................................................... 3. Tipe kandang yang digunakan: ................................................................. .................................................................................................................... 4. Teknis pemberian pakan: .......................................................................... .................................................................................................................... ........................ 5. Teknis pemberian minum:.......................................................................... ...................................................................................................................



60



6. Frekuensi penimbangan ayam :................................................................. 7. Frekuensi pembalikan litter : ...................................................................... 8. Persiapan kandang yang dilakukan sebelum DOC datang: ...................... .................................................................................................................... .................................................................................................................... 9. Kualitas DOC yang baik menurut peternak:............................................... .................................................................................................................... .................................................................................................................... 10. Sistem pengatur suhu kandang yang digunakan: ..................................... 11. Kapasitas ideal pemanas (berapa ekor ayam untuk 1 pemanas): .................................................................................................................... 12. Vaksin apa saja yang diberikan dan bagaimana pola pemberiannya: No



Jenis Vaksin



Umur Ayam



13. Standar berat panen: ................................................................................. 14. perhitungan FCR : ..................................................................................... .................................................................................................................... .................................................................................................................... 15. Rata-rata umur ayam yang dipanen :........................................................ 16. Penanganan pasca panen: ........................................................................ ...................................................................................................................



17. Penyakit apakah yang sering menyerang ayam dan dapat menyebabkan kematian yang tinggi: ................................................................................. .................................................................................................................... .................................................................................................................... 18. Bagaimana penanganan terhadap penyakit tersebut: ............................... .................................................................................................................... 61



.................................................................................................................... ....................................................................................................................



19. Penanganan ayam mati:............................................................................. .................................................................................................................... .................................................................................................................... 20. Kendala teknis selain wabah penyakit yang dapat menyebabkan kerugian: .................................................................................................... .................................................................................................................... .................................................................................................................... E. Kondisi Lingkungan 1. Jarak kandang dengan pemukiman penduduk:.......................................... 2. Sumber air yang digunakan: ...................................................................... 3. Antisipasi lalat yang dilakukan : ................................................................. 4. Penanganan limbah/kotoran kandang:.............................. .................................................................................................................... .................................................................................................................... F. Keuntungan yang didapat dalam melakukan kemitraan : .......................... ........................................................................................................................... .......................................................................................................................... G. Model pembinaan yang dilakukan oleh peternak inti: ...................................... ........................................................................................................................... ........................................................................................................................... H. Pemasaran



ayam



hasil



panen



selain



melalui



peternak



inti:



........................................................................................................................... ........................................................................................................................... I. Kelemahan yang dihadapi dalam melakukan kemitraan: ................................. ........................................................................................................................... ..........................................................................................................................



62



J. Perbandingan harga ayam panen antara peternak plasma dengan peternak non plasma: ...................................................................................................... ........................................................................................................................... K. Alasan ikut kemitraan



No



Alasan



1



Produksi



2



Pemasaran



3



Perawatan



Manfaat diperoleh Baik Cukup Kurang



Keterangan



L. Keluhan dalam bermitra: ................................................................................ ........................................................................................................................... ........................................................................................................................... M. Saran terhadap pelaksanaan kemitraan yang dilaksanakan:...................... ........................................................................................................................... ........................................................................................................................... ...........................................................................................................................



Bogor, .............................2009 Peternak Plasma



(...................................................) 63