Analisis Korupsi Dalam Perspektif Kriminologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Analisis Korupsi dalam Perspektif Kriminologi Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kriminologi Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.H



Disusun Oleh Rima Sumiar A E0014439



ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET



Analisis Korupsi dalam Perspektif Kriminologi BAB I



A. Latar Belakang Korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Tidaksaja karena modus dan teknik yang sistematis, akibat yang ditimbulkan kejahatankorupsi bersifat pararel dan merusak seluruh sistem kehidupan, baik dalam bidangekonomi, politik, sosialbudaya dan bahkan sampai pada kerusakan moral serta mentalmasyarakat.1Kerugian secara ekonomi dari korupsi, jelas dapat dirasakan oleh masyarakat,tercermin dari tidak optimalnya pembangunan ekonomi yang dijalankan, selain itu hasilyang diperoleh dari berbagai aktifitas ekonomi bangsa, seperti pajak, menjadi jauh lebihkecil dari yang seharusnya dicapai. Kerugian dalam bidang politik, praktek korupsimenimbulkan diskriminasi pelayanan publik ataupun diskriminasi



penghargaanterhadap hak-hak politik masyarakat. Sedangkan kerugian dalam



bidang sosial-budayadan moral, praktek korupsi telah menimbulkan “penyakit” dalam masyarakat, bahwaperbuatan tersebut seakan dianggap sebagai perbuatan yang halal dan wajar.



Masalah korupsi bukan lagi masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Korupsi telah menyelinap masuk dari berbagai penjuru dunia sehingga menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan merugikan kepentingan masyarakat.



Sosiolog akanmengundang



Raimon gejolak



Aron



mengatakan



revolusi,



serta



bahwa menjadi



korupsi alat



yang



pada ampuh



akhirnya untuk



mendiskreditkanpemerintah, jika pemerintah tidak mampumenyelesaikan kasus-kasus korupsi. Peristiwa ini pernah terjadi di Indonesia, pada masa pemerintahan presiden Soeharto.Kala itu pemerintah tidak mampu mencegah, memberantas dan menyelesaikan kasuskasus korupsi, akhirnya presiden Soeharto harus mengundurkan diri dari jabatannyasebagai presiden. (Halif, 2011)



Memberantas korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, perluadanya usaha yang bersifat luar biasa. Satjipto Rahardjo berpendapatbahwamemberantas korupsi tidak bisa lagi menggunakan cara bertindak dan berfikir biasa,tetapi harus sebaliknya yaitu bertindak dan berfikir luar biasa. Oleh karena itu harustumbuh sikap keberanian dari para



penegak



hukum



untuk



melakukan



lompatan-lompatan yuridis dan diimbangi dengan



kesadaran hukum masyarakat untuk menerimaputusan-putusan yang di luar kebiasaan. (Rahardjo, 2006). Andi Hamzah juga berpendapat bahwa pemberantasa korupsi tidak hanyabertumpu pada pembaharuan undang-undang, namun harus terdapat upaya lebih dar itu.



Pasalnya sejak didirikannya lembaga anti rasuah pada tahun 2004 sampai 2018, kejahatan korupsi justru kian meningkat tiap tahunnya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa korupsi merupakan kejahatan yang paling sering dilakukan oleh seorang dengan jabatan dan kekuasaan tinggi. Terbukti dari total 998 kasus korupsi, 247 kasus diantaranya dilakukan oleh anggota DPR atau DPRD, 283 kasus yang lain dilakukan oleh Swasta, 198 kasus dilakukan oleh pejabat eselon I/II/III, dan sisanya tersebar di seluruh jenjang pemerintahan juga penegak hukum.



Perntanyaan yang sering timbul adalah mengapa orang orang yang tentunya mempunyai pendidikan dan wawasan tinggi masih saja melakukan korupsi? Bukankah mereka telah di gaji negara dengan nilai yang cukup tinggi? Bukankah mereka juga mengetahui ancaman pidana yang akan didapat jika mereka melakukan korupsi?



B. Rumusan Masalah 1. Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi dilihat dari sudut pandang kriminologi? 2. Upaya apa saja yang dapat dilukakan untuk mencegah kejahatan korupsi?



BAB II



C. Pembahasan 1. Faktor Penyebab Korupsi A. Differential Association Theory Salah satu faktor penyebab tindak pidana korupsi adalah tempat atau lingkungan sosial dari pelaku yang mempengaruhi tingkah laku kejahatan. Sebagai salah satu kejahatan kerah putih, korupsi tidak terjadi begitu saja, Ia merupakan ‘hasil belajar’ seseorang yang kemudian diajarkan lagi kepada orang lainnya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa meskipun seorang yang baru menjabat anggota dewan juga seruing terlibat korupsi. Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut telah “diajari” dan terpengaruh dengan ajaran korupsi, karena interaksi yang intensif antara orang tersebut dengan lingkungannya yang penuh dengan korupsi. Kondisi tersebut sejalan dengan teori Differential Association yang dicetuskan oleh Sutherland. Pengertian Differential Association oleh Sutherland diartikan sebagai “the contents of the patterns presented in association”. Hal ini tidak berarti bahwa hanya kelompok pergaulan dengan penjahat akan menyebabkan perilaku kriminal, tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dengan orang lain. Sutherland menjelaskan proses terjadinya perilaku kejahatan dengan mengajukan Sembilan proposisi sebagai berikut: (Santoso, 2001) a. Tingkah laku kriminal dipelajari. b. Tingkah kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi. c. Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok yang intim. d. Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/ dorongan atau alasan pembenar. e. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundangan: menyukai atau tidak menyukai. f. Seseorang menjadi delinquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan: lebih suka melanggar daripada menaatinya. g. Asosiasi diferensial ini bervariasi bergantung pada frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitasnya.



B. Teori Anomie Penyebab seseorang melakukan korupsi yang lain adalah karena mengendornya pengawasan dan pengendalian social yang berpengaruh terhadap terjadinya kemerosotan moral orang tersebut. Kondisi ini mendorong sifat individualistis sehingga cenderung melepaskan



pengendalian social yang kemudian seringkali berujung pada konflik. Hal ini senanda dengan apa yang dikemukakan oleh Durkheim dalam teori anomie-nya. (Rukmini, 2009) Riset Durkheim tentang “suicide” (1897) atau bunuh diri di landaskan pada asumsi bahwa rata-rata yang bunuh diri yang terjadi di masyarakat yang merupakan tindakan akhir puncak dari suatu anomi; bervariasi atas dua keadaan sosial, yaitu social integration dan social deregulation. Durkhein mengemukakan bahwa bunuh diri atau “suicide” berasal dari 3 kondisi sosial yang menekan (stres), yaitu: a. Derugulasi kebutuhan atau anomi; b. Regulasi yang keterlaluan atau fatalisme; dan c. Kurangnya integrasi struktural atau egoisme. Hipotesis keempat dari ”suicide” merujuk pada proses sosialisasi dari seseorang individu kepada suatu nilai budaya “altruistic” yang, mendorong yang bersangkutan untuk melakukan bunuh diri. Yang menarik perhatian dari konsep anomi durkheim adalah di gunakan konsep dimaksud lebih lanjut untuk menjelaskan penyimpanagan tingkah laku yang disebabkan kondisi ekonomi dalam masyarakat. Secara gemilang, konsep ini telah dikembangkan lebih lanjut oleh merton (1938) terhadap penyimpangan tingkah laku yang terjadi pada masyarakat Amerika. Merton menjelaskan bahwa masyarakat telah melembaga suatu cita-cita (goals) untuk mengejar sukses semaksimal mungkin yang umumnya diukur dari harta kekayaan seseorang. Pada umunnya, mereka yang melakukan cara yang bertentangan dengan undangundang tersebut berasal dari masyarakat kelas bawah dan golongan minoritas. Ketidaksamaan kondisi sosial yang ada di masyarakat adalah di sebabkan proses terbentuknya masyarakat itu sendiri, yang menurut pandangan Merton, struktur masyarakat demikian adalah anomistis. (Susanto, 2011) Pada saat Merton pertama menulis artikel, “social structureand anomi” teori-teori ini mengenai penyimpangan tingkah laku dimaksud abnormal. Oleh karena itu penjelasan terletak pada individu pelakunya. Berbeda dengan pendapat teori-teori tersebut, merton justru mecoba mengemukakan bagaimana struktur masyarakat mengakibatkan tekanan begitu kuat pada diri seseorang di dalam masyarakat sehingga ia melibatkan dirinya ke dalam tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Box mengemukakan pendapatnya bahwa semula merton dengan pendapatnya dengan penjelasan mengenai tekanan sosial mengikuti konsep anomi durkheim. Meskipun kemudian dalam argumentasinya ia memalingkan perhatiannya dari konsep anomi durkheim yang menekankan pentingnya sarana-sarana yang normatif untuk mencapai nilai-nilai struktur, kapada differential acces in opprtunity structures.



C. Teori Kontrol Kejahatan korupsi yang sering kali diasosiasikan pada anggota dewan dan pejabat pemerintahan sering kali membuat rakyat terheran-heran. Hal tersebut disebabkan karena dua lembaga inilah yang berperan dan bahkan terjun langsung dalam membuat peraturan perundang-undangan. Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi, keduanya pasti paham dan mengerti mengenai ancaman hukum pelaku tindak pidana korupsi. Lalu mengapa korupsi tetap dilakukan justru sering dilakukan oleh keduanya? Teori control social dapat memberikan gambaran secara singkat mengenai hal itu. (Halif, 2011)



Pada dasarnya, teori kontrol berusaha mencari jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum. Ditinjau dari akibatnya, pemunculan teori kontrol disebabkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. (Alam, 2018) a) Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku kriminal. Kriminologi konservatif (sebagaimana teori ini berpijak) kurang menyukai “kriminologi baru” atau “new criminology” dan hendak kembali kepada subyek semula, yaitu penjahat (criminal). b) Kedua, munculnya studi tentang “criminal justice”dimana sebagai suatu ilmu baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem. c) Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagitingkah laku anak/remaja, yakni self report survey.



Perkembangan berikutnya, selama tahun 1950-an beberapa teorisi mempergunakan pendekatan teori kontrol terhadap kenakalan remaja. Pada tahun 1951, Albert J. Reiss, Jr menggabungkan konsep kepribadian dan sosialisasi dengan hasil penelitian dari aliran Chicago dan menghasilkanteori kontrol sosial. Menurut Reiss, terdapat tiga komponen kontrol sosial dalam menjelaskan kenakalan remaja, yaitu: a) A lack of proper internal controls developed during childhood (kurangnya kontrol internal yang memadai selama masa anak-anak). b) A breakdown of those internal control (hilangnya kontrol internal). c) An absence of or conflict in social rules provided by important social group (the family, close other, the school) (tidak adanya norma-normasosial atau konflik antara norma-norma dimaksud di keluarga, lingkungan dekat, sekolah)



Selanjutnya, Albert J. Reiss, Jr membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan social control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau lembagalembaga di masyarakat melaksanakan norma-norma atauperaturan-peraturan menjadi efektif. Pada tahun 1957, Jackson Toby memperkenalkan pengertian “Commitment” individu sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot Briar dan Irvine Piliavian menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan adaptasi atau penyesuaian diri memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan. Pendekatan lain digunakan Walter Reckless (1961) dengan bantuan rekannya Simon Dinitz. (Hartanti, 2005)



Walter Walter Reckless menyampaikan Contaiment Theory yang menjelaskan bahwa kenakalan remaja merupakan hasil (akibat) dari interelasi antara dua bentuk kontrol, yaitu internal (inner) dan eksternal (outer). Menurut Walter Reckless, contaiment internal dan eksternal memiliki posisi netral, berada dalam tarikan sosial (social pull) lingkungan dan dorongan dari dalam individu. F.Ivan Nyedalam tulisannya yang berjudul Family Relationsipand Delinquent Behavior (1958), mengemukakan teori kontrol tidak sebagai suatu penjelasan umum tentang kejahatan melainkan penjelasan yangbersifat kasuistis. F. Ivan Nye pada hakikatnya tidak menolak adanya unsur-unsur psikologis, di samping unsur sub kultur dalam proses terjadinya kejahatan. Sebagian kasus delinkuen, menurut F. Ivan Nye disebabkan gabungan antara hasil proses belajar dan kontrol sosial yang tidak efektif. (Ediwarman, 2012)



Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari keluarga. “Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan terbatas, maka terjadilahdelinkuen,” hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Menurut F.Ivan Nye manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di sinilah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melakukan pengekangan keinginan (impulse). Di samping itu, faktor internal dan eksternal kontrol harus kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum (law-abiding). Asumsi teori kontrol yang dikemukakan F. Ivan Nye terdiri dari: a) harus ada kontrol internal maupun eksternal; b) manusia diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran;



c) pentingnya proses sosialisasi bahwa ada sosialisasi yang adequat (memadai), akan mengurangi terjadinya delinkuen, karena di situlah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang; dan d) diharapkan remaja mentaati hukum (law abiding).



Menurut F. Ivan Nyeterdapat empat tipe kontrol sosial, yaitu: a) direct control imposed from without by means of restriction and punishment (kontrol langsung yang diberikan tanpa mempergunakan alat pembatas dan hukum); b) internalized control exercised from within through conscience (kontrol internalisasi yang dilakukan dari dalam diri secara sadar); c) indirect control related to affectional identification with parent andother noncriminal person (kontrol tidak langunsung yangberhubungan dengan pengenalan (identifikasi) yang berpengaruh dengan orang tua dan orang-orang yang bukan pelaku kriminal lainnya); dan d) availability of alternative to goal and values (ketersediaan sarana-sarana dan nilainilai alternatif untuk mencapai tujuan).



D. Teori Culture Conflict Teori Culture Conflict atau konflik kebudayaan akan dikaji dari perspektif social heritage, intellectual heritage, teori serta asumsi dasarnya sehingga diharapkan relatif memadai untuk memahami teori culture conflict. Berangkat dari polarisasi pemikiran di atas lebih lanjut dikaji mengenai: (Alam, 2018)



Social Heritage. Sejak beberapa tahun terakhir, banyak kajian dilakukan tentang konflik budaya dan kenakalan. Asumsinya bahwa keberadaan conduct norm yang legal maupun tidak, berada dalam konflik satu sama lainnya. Konflik budaya yang menyertai conduct norm merupakan akibat migrasi (perpindahan conduct norm dari satu budaya atau wilayah yang kompleks ke budaya lainnya). Menurut aliran Chicago, urbanisasi dan industrialisasi telah menciptakan masyarakat yang memiliki variasi budaya bersaing dan berpeluang terpecah belah sebagai ulah masing-masing keluarga, kelompok persahabatan dan kelompok sosial yang menjadi lebih individual, sehingga timbul konflik. Perilaku menyimpang umumnya terjadi jika seseorang berperilaku menurut tindakannya yang berkonflik dengan tatanan budaya yang dominan.



Intellectual Heritage. Teori konflik budaya dipengaruhi kondisi intelektual (Intellectual Heritage) dari beberapa kaum intelektual, yaitu: a) Frank Speek, menyatakan bahwa konflik budaya dapat terjadi akibat dari pertumbuhan peradaban. b) Edwin H. Sutherland, menyatakan bahwa culture conflict merupakan dasar terjadinya kejahatan. c) Taft, menyatakan, crime is product of culture. d) Louis With, menyatakan bahwa culture conflict merupakan faktor penting dalam timbulnya kejahatan. e) Clifford Shaw, menunjukkan bahwa daerah perkotaan ditandai adanya kemiskinan yang amat sangat, perumahan kumuh yang tidak layak untuk dihuni, pengaruh tetangga yang kurang menguntungkan, adanya kelompok anak-anak nakal, menjadi pemicu terjadinya konflik perilaku.



Teori culture conflict dikemukakan Thorsten Sellin, dalam bukunya Culture Conflict and Crime (1938). Fokus utama teori ini mengacu pada dasar norma kriminal dan corak pikiran atau sikap. Thorsten Sellin menyetujui bahwa maksud norma-norma mengatur kehidupan manusia setiap hari. Norma adalah aturan-aturan yang merefleksikan sikap dari kelompok satu dengan lainnya. Konsekuensinya, setiap kelompok mempunyai norma dan setiap norma dalam setiap kelompok lain memungkinkan untuk konflik. Setiap individu boleh setuju dirinya berperan sebagai penjahat melalui norma yang disetujui kelompoknya, jika norma kelompoknya bertentangan dengan norma yang dominan dalam masyarakat. Persetujuan pada rasionalisasi ini, merupakan bagian terpenting untuk membedakan antara yang kriminal dan nonkriminal dimana yang satu menghormati pada perbedaan kehendak atau tabiat norma.



Secara gradual dan substansial, menurut Thorsten Sellin, semua culture conflict merupakan konflik dalam nilai sosial, kepentingan dan norma. Karena itu, konflik kadangkadang merupakan hasil sampingan dari proses perkembangan kebudayaan dan peradaban atau seringkali sebagai hasil berpindahnya norma-norma perilaku daerah atau budaya satu ke budaya lain dan dipelajari sebagai konflik mental. Konflik norma tingkah laku dapat timbul karena adanya perbedaan cara dan nilai sosial yang berlaku di antara kelompok-kelompok. Begitu juga, konflik norma terjadi karena berpindahnya orang desa ke kota. Konflik norma dalam aturan-aturan kultural yang berbeda dapat terjadi antara lain disebabkan tiga aspek, yaitu: a) Bertemunya Dua Budaya Besar. Konflik budaya dapat terjadi apabila adanya benturan aturan pada batas daerah kultur yang berdampingan. Contohnya,



bertemunya orang-orang Indian dengan orang-orang kulit putih di AS. Pertemuan tersebut mengakibatkan terjadinya kontak budaya di antara mereka, baik terhadap agama, cara bisnis dan budaya minum minuman kerasnya yang dapat memperlemah budaya suku Indian tersebut. b) Budaya Besar Menguasai Budaya Kecil. Konflik budaya dapat juga terjadi apabila satu budaya memperluas daerah berlakunya budaya tersebut terhadap budaya lain. Aspek ini terjadi dengan norma hukum dimana undang-undang suatu kelompok kultural diberlakukan untuk daerah lain. Misalnya, diberlakukannya hukum Perancis terhadap suku Khabile di Aljazair, atau bergolaknya daerah Siberia ketika diterapkannya hukum Uni Soviet. c) Apabila Anggota Dari Suatu Budaya Pindah Ke Budaya Lain. Konflik budaya timbul karena orang-orang yang hidup dengan budaya tertentu kemudian pindah ke lain budaya yang berbeda.



Misalnya, walaupun mempunyai budaya vendetta, karena pindah ke AS maka orangorang Sicilia tunduk pada hukum AS. Berdasar asumsi di atas ternyata Thorsten Sellin membedakan antara konflik primer dan konflik sekunder, yaitu: a) Konflik Primer, dapat terjadi ketika norma dari dua kultur, bertentangan. Pertentangan ini dapat terjadi pada batas areal kultur yang dimiliki masingmasing ketika hukum dari kelompok lain muncul ke permukaan daerah atau teritorial lain atau ketika orang-orang satu kelompok pindah pada kultur yang lain. b) Konflik Sekunder, timbul ketika dari sebuah kultur kemudian terjadi varietas kultur, salah satunya dibentuk dari penormaan sikap atau tabiat. Tipe konflik ini terjadi ketika kesederhanaan kultur pada masyarakat yang homogen berubah menjadi masyarakat yang kompleks.



2. Upaya Penanggulangan Korupsi Upaya penanggulangan korupsi di samping melalui sarana hukum pidana maka kebijakan penanggulangan tindak pidana korupsi juga harus diusahakan dan diarahkan pada usaha-usaha untuk mencegah dan menghapus faktor-faktor yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya korupsi. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana atau nonpenal policy merupakan kebijakan yang paling strategis. (Hartanti, 2005) Hal ini disebabkan karena nonpenal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya kejahatan. Upaya-upaya nonpenal untuk mencegah korupsi diantaranya yaitu:



1. Bappenas mengemukakan bahwa langkah-langkah pencegahan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan 2004-2009 diprioritaskan pada: a. Mendesain ulang pelayanan publik, terutama pada bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat seharihari. Langkah-langkah prioritas ditujukan pada : 1) Penyempurnaan Sistem Pelayanan Publik; 2) Peningkatan Kinerja Aparat Pelayanan Publik; 3) Peningkatan Kinerja Lembaga Pelayanan Publik; dan 4) Peningkatan Pengawasan terhadap Pelayanan Publik. b. Memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya manusia. Langkah-langkah prioritas ditujukan pada : 1) Penyempurnaan Sistem Manajemen Keuangan Negara; 2) Penyempurnaan Sistem Procurement/ Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah; dan 3) Penyempurnaan Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Negara. c. Meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi 2. Upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah atau mengatasi kejahatan korupsi ditinjau dari kriminologi antara lain: a. Menyeimbangkan antara Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan Keimanan dan Ketaqwaan (IMTAQ). b. Melakukan penyuluhan hukum yang berkaitan dengan masalah korupsi. c. Melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintah baik secara represif maupun reprentif. d. Meningkatkan kualitas keimanan individu masing-masing. e. Menumbuhkan rasa kesadaran masyarakat akan bahayanya korupsi. f. Menerapkan sanksi yang berat bagi pelaku korupsi. g. Penyederhanaan sistem pemerintahan. h. Menumbuhkan sikap jujur dalam bermasyarakat. i. Menumbuhkan sikap tanggung jawab akan tugas dan kewajibannya. Strategi tersebut bertujuan untuk melanjutkan dan menyempurnakan berbagai upaya dan kebijakan



pemberantasan



korupsi



agar



menghasilkan



peningkatan



kesejahteraan,



keberlangsungan pembangunan berkelanjutan dan konsolidasi demokrasi. Strategi tersebut harus dirumuskan melalui partisipasi aktif dari masyarakat sipil dan kalangan dunia usaha,



selain peran aktif dari pemerintahan untuk mendorong danmeningkatkan pemberantasan korupsi harus senantiasa dilakukan oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya. (Ediwarman, 2012)



BAB III



D. Kesimpulan 1. Simpulan -



Salah satu faktor penyebab tindak pidana korupsi adalah pengaruh tempat atau lingkungan social sekitar pelaku. Kejahatan korupsi tidak terjadi begitu saja, namun merupakan ‘pembelajaran’, sebagaimana yang diterangkan dalam teori defferential association.



-



Penyebab korupsi yang lain adalah karena mengendornya pengawasan dan pengendalian social yang berpengaruh terhadap terjadinya kemerosotan moral orang tersebut. Kondisi ini mendorong sifat individualistis sehingga cenderung melepaskan pengendalian social yang kemudian seringkali berujung pada konflik. Hal ini senanda dengan apa yang dikemukakan oleh Durkheim dalam teori anomie-nya.



-



Penyebab fenomena korupsi yang dilakukan oleh orang orang paham hukum tergambarkan secara singkat dalam Teori control social.



E. Daftar Pustaka



Alam, P. D. (2018). Kriminolagi. Jakarta: Kencana. Ediwarman. (2012). Paradoks Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi Di Indonesia. Jurnal Kriminologi, 38-51. Halif. (2011). Kejahatan Korupsi Dalam Prespektif Kriminologi. Jurnal Anti Korupsi. Hartanti, E. (2005). Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Nurfitria, I. (2015). Analisis Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan Pemerintahan Di Bandar Lampung. Jurnal Unila. Rahardjo, S. (2006). Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas. Rukmini, M. (2009). Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Alumni. Santoso, T. (2001). Kriminologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Susanto, I. (2011). Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing.