Ant I - Suyuti - Dimensi Budaya-Karakteristik Budaya Keselamatan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas Dimensi Budaya Dosen : Dr. Ir. AbdoellahDjabier, DESS



KARAKTERISTIK KESELAMATAN PELAYARAN



SUYUTI NIS: 19 08 101 002



AHLI NAUTIKA TINGKAT I POLITEKNIK ILMU PELAYARAN MAKASSAR 2019



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merujuk pada amanat Undang-Undang No.17 Tahun 2008, Pelayaran merupakan bagian dari sarana transportasi laut yang sangat strategis bagi wawasan nasional serta menjadi sarana vital yang menunjang tujuan persatuan dan kesatuan nasional dikarenakan dapat menunjang dan mempermudaha akses penghubungan dan penjangkauan wilayah satu dengan yang lainnya melalui perairan. Mengingat tujuh puluh persen wilayah Indonesia adalah wilayah perairan. Untuk menghadapi perubahan ke depan, Pelayaran atau angkutan



laut



mempunyai



potensi



kuat



untuk



dikembangkan



mengingat karakteristiknya mampu melakukan pengangkutan secara massal sehingga mampu mendorong dan menunjang pembangunan nasional demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan mandat Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian sistem keselamatan dan keamanan menjadi faktor penting yang harus diperhatikan dan sebagai dasar dan tolok ukur bagi pengambilan keputusan dalam menentukan kelayakan dalam pelayaran baik dilihat dari sisi sarana berupa kapal maupun prasarana seperti sistem navigasi maupun sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya. Maraknya terjadi kecelakaan baik kapal tenggelam, kapal terbalik, tersapu ombak hingga gagal bersandar di



pelabuhan, bukti bahwa sistem keselamatan pelayaran kita belum berjalan optimal. Data Ditjen Perhubungan Laut menyebutkan, lebih dari 80% kasus kecelakaan pelayaran karena faktor manusia yang lalai, baik di pihak operator atau regulator. Dan tidak sedikit pengguna jasa yang cenderung memaksakan diri dan melanggar aturan sampai terjadi kecelakaan.



Untuk



mewujudkan



keselamatan



pelayaran



dan



keamanan pelayaran dibutuhkan peran semua pihak. Terdapat beberapa unsur yang memiliki peranan penting yakni pemerintah sebagai regulator, pengusaha sebagai operator dan tidak ketinggalan masyarakat sebagai pengguna jasa transportasi laut. Berbagai masalah kehidupan terkait keselamatan pelayaran menjadi latar belakang penulis untuk melakukan analisis dan kajian berkaitan dengan penyusunan makalah ini. Hal-hal krusial yang menarik untuk dikaji dengan harapan hasil dapat digunakan atau minimal sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah atau pihakpihak terkait dalam mengambil kebijakan atau keputusan yang berkaitan dengan keselamatan pelayaran atau angkutan laut yang aman. 1.2 Rumusan Masalah a. Apa landasan hukum yang mengatur mengenai Keselamatan Pelayaran?



b. Bagaimana penerapan aturan tersebut jika dikaitkan dengan das sein dan das sollen ? c.



Apa penyebab sehingga adanya kesenjangan antara das sein dan das sollen?



1.3 Tujuan a. Mengetahui



landasan



hukum



yang



mengatur



mengenai



Keselamatan Pelayaran; b. Mengetahui penerapan aturan tersebut jika dikaitkan dengan das sein dan das sollen; c.



Mengetahui penyebab sehingga adanya kesenjangan antara das sein dan das sollen.



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Landasan Hukum Keselamatan Pelayaran A. Hukum Internasional 1. Safety of life at Sea 1974 diperbaiki dengan Amandemen 1978 berlaku bagi semua kapal yang melakukan pelayaran antara pelabuhan-pelabuhan di dunia. B. Hukum Nasional 1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; 2. Scheepen Ordonansi 1953 (SO. 1935) Scheepen Verordening 1935 (SV. 1935) dan peraturan pelaksanaan lainnya yang bersumber dari ordonansi tersebut. 3. Peraturan lambung timbul 1935.[2] 2.2 Perbandingan Das Sein dan Das Sollen Jika



membahas mengenai



Keselamatan



Pelayaran,



kita



dihadapkan dengan materi cakupan yang cukup luas. Misalkan saja mengenai kelayakan kapal, penganggaran, kondisi masyarakat baik selaku pelaku maupun pengguna jasa, belum lagi kaitannya dengan keprofesionalan petugas lapangan yang terdiri pegawai pelabuhan, Syahbandar, Biro Klasifikasi, dan pihak lainnya yang terkait. Maka untuk lebih memahami penerapan hukum tentang Keselamatan Pelayaran berkaitan dengan das sein dan das sollen, maka penulis



dalam menganalisis mengangkat beberapa contoh kasus yang paling sering diacuhkan penerapannya. Antara lainnya sebagai berikut. 1. Overcapacity a. Das Sollen Pasal 117 (2) Kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dipenuhi setiap kapal sesuai dengan daerah-pelayarannya yang meliputi: a. keselamatan kapal; b. pencegahan pencemaran dari kapal; c. pengawakan kapal; d. garis muat kapal dan pemuatan; e. kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang; f. status hukum kapal; g. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan h. manajemen keamanan kapal.[3] b. Das Sein Tenggelamnya KM Windu Karsa di Teluk Bone, Sabtu (27/8/2011) dini hari diduga akibat kelebihan daya tampung penumpang



(overcapacity).



Membuktikan



kelalaian



pemerintah dalam menjalankan UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Contoh lain ketidakseriusan Syahbandar selaku pemerintah mengawasi dan memeriksa kapal-kapal yang akan berlayar memuat



penumpang



melebihi



kapasitas.



KM



Senopati



Nusantara yang tenggelam di utara Semarang beberapa



tahun yang lalu, KM Levina I terbakar dan tenggelam di perairan Tanjung Priuk memakan korban jiwa ratusan orang.. c. Saran Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran terdiri dari XXII Bab 355 Pasal ini cukup komprehensif, namun tidak banyak menguraikan secara jelas mengenai keselamatan kapal. Bahkan, larangan kelebihan muatan dan jumlah alat penolong yang harus ada di atas kapal sama sekali tidak disinggung dalam Undang-Undang No 17 tersebut, padahal sesungguhnya hal tersebut sangat penting. Dalam SOLAS 1974, sangat jelas dinyatakan dalam Bab III: alat penolong baik berupa sekoci penolong (life boat), rakit penolong kembung (inflatabel life raft /ILR), maupun rakit penolong (rigit liferaft) jumlah keseluruhannya paling kurang adalah 110 persen dari jumlah orang yang ada (seluruh penumpang dan awak kapal) di atas kapal. Pemerintah



seharusnya



semaksimal



mungkin



menaati



ketentuan yang ada dalam International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS), 1974, yang disepakati pada tanggal 1 November 1974 dan berlaku sejak 25 Mei 1980. 2. Standar Keselamatan dan Kelayakan Kapal a. Das Sollen



Pasal 303 (1) Setiap orang yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). b. Das Sein Berdasarkan hasil investigasi tenggelamnya KM Karya Indah) didapatkan



tidak



dilengkapi



adanya



alat



keselamatan



penumpang seperti pelampung sebagai syarat keselamatan pelayaran dan juga tidak ada pembelajaran kepada pekerja untuk



menangani



situasi



darurat



transportasi



sungai.



Ditemukan pula bahwa kapal mengalami kebocoran hingga tenggelam. Contoh lainnya kasus tenggelamnya kapal KM Munawar pada hari Jum’at tanggal 3 Januari 2014 malam dini hari pkl 02.00. Kapal ini diperkirakan telah berusia lebih dari 30 tahun dan masih saja digunakan sebagai salah satu moda transportasi air di pelabuhan Kayangan Lombok Timur menuju Pelabuhan Poto Tano Sumbawa. Meskipun terdapat lebih dari 20 kapal lainnya yang dalam kondisi cukup baik. c. Saran



Berdasarkan



hasil



pengkajian



adanya



kesenjangan



ini



disebabkan ketidakseriusan pemerintah. Misalkan sajauji petik rutin dilakukan pemerintah hanya menjelang masa kepadatan penumpang seperti menjelang Lebaran. Padahal salah satu yang menjadi sasaran pemeriksaan tim uji petik adalah pemenuhan standar keselamatan kapal. Seharusnya pemerintah dan pihak yang terkait lebih sering melakukan pengujian terlebih Kapal penumpang. Apalagi perkembangan transportasi perairan di Indonesia cukup tinggi tapi sangat miris karena tidak ditunjang oleh pengawasan yang lebih dari instansi terkait. 3. Dispensasi Perwira a. Das Sollen Pasal 310 Setiap orang yang mempekerjakan Awak Kapal tanpa memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13527 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). b. Das Sein Kesatuan



Pelaut



Indonesia



(KPI)



sering



menemukan



pelanggaran dispensasi yang keluarkan oleh syahbandar, baik untuk



mengisi



jabatan



perwira



yang



kosong



maupun



dispensasi penumpang. Dispensasi perwira hanya diizinkan



jika betul-betul kapal dalam kondisi darurat dan itu hanya diberikan untuk satu kali pelayaran. Pelanggaran yang sering terjadi, perusahaan pelayaran sengaja tidak mau mencari perwira kapal, tapi terus meminta dispensasi sebagai pengganti dengan memberikan imbalan. “Kapal ukuran di atas 500 GT mestinya dinakhodai oleh pelaut berijazah ANT (Ahli Nautika) IV, tapi kenyataannya banyak diisi



oleh



ANT-5



dengan



meminta



dispensasi



dari



syahbandar,” katanya memberi contoh.[8] c. Saran Sudah waktunya melarang kapal tua, kapal tidak laik laut, dan terlalu kecil untuk ukuran laut tertentu untuk beroperasi. Hentikan kebiasaan lama membuat kebijaksanaan dan dispensasi karena tidak ada kompromi untuk nyawa manusia. Pelabuhan terutama adalah wilayah pemerintahan, baru kemudian wilayah pengusahaan atau komersial. Untuk



penanggungjawab



pelabuhan



dalam



hal



ini



Syahbandar dalam menjalankan tugasnya harus di butuhkan sikap yang profesional agar supaya pengawasan menjadi lebih intensif demi menjaga keamanan dan keselamatan dalam pelayaran agar tidak merugikan bagi para pemakai jasa transportasi laut.



2.3 Penyebab Terjadinya Kesenjangan antara Das Sein dan Das Sollen Jika dicermati, pembangunan kelautan selama tiga dasawarsa terakhir kurang dapat perhatian dan selalu diposisikan sebagai pinggiran dalam pembangunan ekonomi nasional. Kondisi ini sangat ironis mengingat hampir 70 persen wilayah Indonesia merupakan laut dengan potensi ekonomi sangat besar. Kita memang tak memiliki keberpihakan politik ataupun ekonomi dalam pembangunan kelautan. Sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan sangat luas, Indonesia hanya punya satu undang-undang yang mengatur tentang penggunaan



laut,



yaitu



UU



No



21/1992



tentang



Pelayaran,



disempurnakan dengan UU No 17/2008. UU itu digunakan untuk mengontrol dan mengawasi semua jenis kegiatan di perairan Indonesia. Konvensi IMO yang sudah diratifikasi oleh Indonesia sebagai standar kelaiklautan kapal melakukan persaingan dapat digunakan sebagai dasar membuat peraturan menjaga keselamatan, keamanan, dan perlindungan lingkungan pelayaran. Namun, sangat disayangkan, sampai sekarang pemerintah belum serius menggunakan kemudahan yang telah disepakati bersama oleh negara-negara anggota IMO itu. Selain itu, Tidak ada kecelakaan baik pesawat terbang, kapal maupun angkutan



darat



yang



terjadi



oleh



penyebab



tunggal.



Pasti



penyebabnya adalah gabungan dari beberapa kesalahan, ataupun



suatu kondisi yang mengancam, yaitu faktor manusia, mesin (kelaikan pesawat, kapal, kendaraan), media (cuaca), metode dan manajemen. Akan tetapi, faktor manusia selalu menjadi penyebab utama kecelakaan, baik sebagai operator maupun pengambil keputusan. Penyebab terbesar kedua adalah tidak adanya prosedur atau metode yang baik, atau pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan atau prosedur yang ada. Dengan terjadinya perubahan iklim saat ini, kondisi laut menjadi lebih ganas, ombak dan badai semakin besar. Hal ini bisa diatasi dengan keterampilan personel, ketaatan kepada prosedur, dan kelaikan kapal yang tinggi.



BAB III PENUTUP Kesimpulan Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa penyebab kesenjangan das sollen dan sein adalah Lalai dan dilalaikan adalah jawaban pertama, selanjutnya sikap menganggap remeh kondisi kapal yang sudah lama bocor dan lambung berlubang adalah kesalahan kedua. Masalah ketiga adalah KKN antara pemilik kapal dengan syahbandar dan dinas perhubungan serta pihak keamanan di Pelabuhan adalah masalah akut. Keempat, penghargaan rendah terhadap nyawa manusia dan HAM penumpang.



DAFTAR PUSTAKA Supit, Hengky dkk. 2009. Pedoman Khusus Keselamatan dan Keamanan Pelayaran. (pdf). BAKORKAMLA . Jakarta. Randy Y.C. Aguw. 2013. Tanggung Jawab Syahbandar dalam Keselamatan Pelayaran Ditinjau dari UU No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. hal 51-52 Undang – Undang No.17 Tentang Pelayaran Willy Widianto. 2011. Windu Karsa Tenggelam, Bukti Pemerintah Lalai. [online]. Diakses di :https://id.berita.yahoo.com/windu-karsatenggelam-bukti-pemerintah-lalai-084721023.html. Rosihan Arsyad. 2012. Selamatkan Jiwa Kami. [online]. Diakses di : http://www.shnews.co/kolom/periskop/detile-54-selamatkan-jiwakami-di-laut.html. Tenaga Ahli Indonesian Offshore Shipping Association (IOSA). 2010. Masalah Penerapan UU Pelayaran. [online]. Diakses di : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dfb22 c545ed4/masalah-dalam-penerapan-uu-pelayaranbroleh--pieter-batti-. Robert. 2013. Tenggelamnya KM Karya Indah. [online]. Diakses di :http://news.detik.com/read/2013/05/21/231232/2252398/10/inside n-tenggelamnya-km-karya-indah-di-sungai-mahakam-dipolisikan? nd771104bcj. 06/04/14. Suara Pembaruan. 2012. Kesejahteraan Pelaut Rendah, Kecelakaan Kapal pun Terjadi. [online]paragraph 10 – 11 http://www.suarapembaruan.com/ekonomidanbisnis/ kesejahteraan-pelaut-rendah-kecelakaan-kapal-pun-terjadi/21804.