Ards [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Kasus



PENATALAKSANAAN ARDS



dr. Tjahya Aryasa E.M., SpAn



PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR 2019



BAB I PENDAHULUAN



Acute Respiratory Distress Syndome ( ARDS) pertama kali digambarkan oleh Ashbaugh dkk. Tahun 1967 sebagai sindrom acute lung injury yang ditandai dengan onset akut, takipneu, hipoksemia serta hilang atau berkurangnya compliance paru yang berhubungan dengan berbagai faktor diantaranya trauma, sepsis atau aspirasi. Petty menyebut penemuan ini sebagai adult respiratory distress syndrome untuk membedakan dari sindrom distress pernafasan yang terjadi pada neonatus. Kemudian nama ini diganti menjadi acute respiratory distress syndrome untuk menyatakan bahwa sindrom ini dapat terjadi pada semua usia2,3,5 ARDS merupakan suatu kondisi penyakit yang umum kita jumpai di Intensive Care Unit (ICU). Penyakit ini selalu diasosiasikan dengan peningkatan angka mortalitas dan morbiditas serta besarnya biaya perawatan.



Penyakit pernafasan ini sering



berhubungan dengan kegagalan multiple organ. Angka kematian di rumah-rumah sakit besar berkisar antara 20% – 50%. Dari beberapa studi menunjukkan angka kematian berkisar 32 – 45 %1,2,6. Di Amerika Serikat insiden berkisar 150.000 kasus pertahun dengan perkiraan insiden 75 kasus dari 100.000 populasi, dengan rata-rata angka yang didapat dari penelitian prospektif berkisar 12,6 – 18 dari 100.000 orang dalam setahun. Mengenai angka insiden ini masih kontroversial karena masih ada perbedaan kriteria dalam menentukan suatu ARDS. 2,3,6 Penatalaksanaan ARDS ditujukan untuk memperbaiki ventilasi, perfusi jaringan, keseimbangan cairan dan asam basa, serta mengatasi faktor pencetus.2,4,5 Komplikasi yang dapat terjadi pada berbagai sistem organ seperti sistem respirasi, sistem gastrointestinal, kardiovaskuler, sampai multiple organ failure.2 Prognosis kurang baik karena mortalitas masih tinggi walaupun dengan terapi intensif.2,3



1



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Karena ARDS dapat terjadi dalam latar belakang klinis yang luas, dan merupakan diagnosis klinis primer, hal ini menyebabkan penggunaan sejumlah definisi oleh klinisi maupun peneliti. Namun sejak tahun 1994 The American European Consensus Conference Committee merekomendasikan definisi baru ARDS dan ALI sebagai syndrome inflamasi dan peningkatan permeabilitas yang berhubungan dengan sekumpulan kelainan klinis, radiologis dan fisiologis yaitu adanya infiltrate paru dan gangguan oksigenasi dengan latar belakang onset akut gagal nafas2,6,9. Meskipun sindrom ini dikenal dengan banyak nama lainnya, sepert wet lung, shock lung, Adult Hyalin Membrane Disease, Stiff Lung syndrome, Post Traumatic Pulmonale Insufficiency, Ventilator Lung dan



Pump Lung, aspiration pneumonia,



congestive atelectase namun istilah ARDS lebih banyak diterima.2,5 Tabel 1. Definisi ARDS dan Acute Lung Injury (ALI) menurut American-European Consensus Conference.3,6,7



Acute Lung Injury (ALI) • Kegagalan respirasi dengan onset yang akut • Terdapat infiltrat pada dada bilateral yang terlihat pada rontgen dada • Tidak terdapat peningkatan tekanan jantung kiri, tidak ada bukti terjadinya gagal jantung ( Pulmonary Artery Occlusion Pressure/PAOP < 18 mmHg ) • PaO2/FIO2 < 300 mmHg Acute Respiratory Distress Syndrome • Kegagalan respirasi dengan onset yang akut • Terdapat infiltrat pada dada bilateral yang terlihat pada rontgen dada • Tidak terdapat peningkatan tekanan jantung kiri, tidak ada bukti terjadinya gagal jantung ( Pulmonary Artery Occlusion Pressure/PAOP < 18 mmHg ) • PaO2/FIO2 < 200 mmHg



2



2.2 Etiologi ARDS terjadi jika paru-paru terkena cedera baik secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai proses. Etiologi ARDS pada bayi berbeda dengan dewasa dimana penyebab pada bayi berhubungan erat dengan imaturitas sedang pada dewasa menyertai penyakit yang berat misalnya trauma, emboli lemak, pneumonia karena aspirasi, atau virus, sepsis, gagal ginjal akut, polusi atau intoksikasi gas yang berat, serta operasi jantung terbuka. Dari sumber yang lain dikatakan bahwa ARDS ini merupakan suatu kegawatan yang disebabkan oleh berbagai proses yang akut baik secara langsung maupun tidak langsung mencederai paru, misalnya sepsis, infeksi primer virus atau bakteri, aspirasi isi lambung, trauma dada secara langsung, syok yang berkepanjangan, luka bakar, emboli lemak, near drowning, transfusi darah masif, cardiopulmonary bypass, keracunan Oksigen, pankreatitis hemoragik akut, terhirup asap atau gas beracun dan akibat over dosis beberapa macam obat seperti narkotik, obat-obat sedatif, atau aspirin (jarang). Insiden ARDS diperkirakan > 30 % dengan sepsis. 4,8,9,10 Masih belum jelas diketahui mengapa ARDS yang mempunyai sebab bermacammacam dapat berkembang menjadi sindrom klinis dan patofisiologis yang sama. Penyebab dari ARDS ini bisa disebabkan karena kelainan paru itu sendiri maupun penyebab dari faktor ekstrapulmoner. Beberapa keadaan yang sering mengakibatkan ARDS dimuat dalam tabel 2.5,9 Secara klinis faktor-faktor risiko yang bisa menyebabkan terjadinya ARDS dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu secara langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Faktor risiko langsung antara lain pneumonia (46 %), Aspirasi isi lambung (29%), kontusio pulmonum (34 %), emboli lemak, near drowning, trauma inhalasi, reperfusion injury. Sedangkan faktor risiko tidak langsung antara lain sepsis nonpulmonum (25%), trauma multiple (41 %), transfusi masif (34 %), pankreatitis (25 %), cardiopulmonary bypass.4,9 Petunjuk umum penyebab edema alveolar yang khas agaknya berupa cedera membran kapiler-alveolar yang menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler. Penyelidikan dengan mikroskop elektron menunjukkan pembatas udara-darah terdiri dari pneumosit tipe I (sel-sel penyokong) dan pneumosit tipe II (sumber surfaktan) bersama-sama dengan



3



membran basalis dari sisi alveolar. Pembatas tersebut bersinggungan dengan membran basalis kapiler dan sel-sel endotel. Selain itu, alveolus juga memiliki sel-sel jaringan pengikat yang bekerja sebagai pembantu dan pengatur volume. Membran kapiler alveolar dalam keadaan normal tidak mudah ditembus partikel-partikel. Tetapi dengan adanya cedera maka terjadi perubahan pada permeabilitasnya, sehingga dapat dilalui oleh cairan, sel darah merah, dan protein darah. Mula-mula cairan akan berkumpul di dalam alveolus, sehingga mengakibatkan atelektasis kongestif. Tempat-tempat lemah tampaknya pada interdigitasi (ruang-ruang kecil selebar kira-kira 60 A) antar endotel kapiler yang melebar, sehingga partikel-partikel kecil dapat masuk, dan terjadi perubahan dalam tekanan onkotik.2,6 Di samping itu, perubahan-perubahan dalam sistem surfaktan dapat dipastikan memegang peranan penting dalam mikroatelektasis difus.



Injuri yang terjadi tidak



homogeneus dan mempengaruhi keseluruhan zona paru yang dependent. Antara 2 – 3 hari, interstitial dan bronkoalveolar berkembang menjadi inflamasi, kemudian sel-sel epitelial dan interstitial berproliferasi. Kemudian jaringan kolagen terbentuk dengan cepat, menghasilkan fibrosis interstitial yang berat antara 2 – 3 minggu.



Dengan



mikroskop cahaya dapat terlihat materi-materi protein yang membentuk membran hialin yang melapisi alveolus. Gambaran patologi ini mirip dengan sindroma distres pernafasan yang terjadi pada bayi.



Perubahan-perubahan patologik ini akan mengakibatkan



penurunan



paru,



compliance



penurunan



fungsional



Residual



Capasity,



ketidakseimbangan rasio Ventilasi/Perfusi, peningkatan physiologic dead space, hipoksemia berat dan hipertensi pulmoner. Akibat dari edema difus dan atelektasis ini juga akan terjadi pirau intrapulmoner yang nyata, yang dapat mempengaruhi lebih dari 40% curah jantung.2,9 Tabel 2. Keadaan-keadaan yang Dapat Menyebabkan terjadinya ARDS 1



Syok Semua tipe Trauma Trauma paru langsung Trauma non torakal Fraktur tulang iga Inhalasi Zat yang Berbahaya Aspirasi isi lambung Near drowning (air tawar maupun air laut)



4



Gas iritan Inhalasi asap FiO2 tinggi (>50%-60%) Infeksi Pneumonia oleh karena virus maupun bakteri Septikemia Overdosis Obat Heroin Metadon Asam asetilsalisilat (aspirin) Barbiturat Colchicine Propoxyphene (Darvon) Chlordiazepoxide (Librium) Kelainan Hematologi Transfusi darah yang masif Disseminated Intravascular Coagulation Prolonged Cardiopulmonary bypass Thrombotic thromocytopenic purpura Leukemia Kelainan Metabolik Ketoasidosis diabetik Uremia Pankreatitis Lain-lain Eklampsia Emboli udara atau cairan amnion Radiasi Heat Stroke 2.3. Patofisiologi Akibat injury pada endotel kapiler paru akan terjadi kebocoran cairan kapiler yang kaya protein dan mengakibatkan gangguan pada surfactant mengakibatkan sembab interstisial dan alveolar. Selanjutnya dinding alveoli menjadi lebih tebal karena dinding sel alveoli yang sudah rusak yaitu sel-sel alveoli tipe I diganti oleh sel kuboid mikrovillius tipe II. Jaringan interstitial terisi sel radang dan sel-sel yang lain sementara itu banyak alveoli yang terisi oleh debris-debris, cairan protein dan darah. Keadaan yang sering dijumpai adalah adanya membrane hialin, focal atelectasis dan mikroemboli pada kapiler sehingga tampak jaringan paru yang fibrosis dan obliterasi, termasuk mikrovaskulernya. Perubahan ini mengakibatkan penurunan kapasitas fungsional residu paru, kenaikan shunt dan penurunan compliance paru serta hipoksemia berat. Sehingga pada ARDS yang telah lanjut, meski dengan pemberian oksigen 100% tidak akan memperbaiki status hipoksemianya. Penurunan surfactant yang abnormal masih diperdebatkan



5



dan dari pemeriksaan cairan bilasan bronkoalveolar didapatkan banyak agregasi abnormal dan surfaktan-surfaktan yang inaktif2,6. Makroskopis tampak paru menjadi lebih berat dan bengkak, bila dipotong permukaan paru terdapat cairan hemoragis. Mikroskopis tampak adanya focal atelectasis, emboli serta penebalan dinding alveoli. Dan banyal alveoli yang berisi cairan menyerupai protein dan hemoragis, emboli lemak juga sering ditemukan.7 Patogenesis kerusakan paru pada ARDS masih kontroversial, karena sangat kompleks dan bersifat multifaktoral.Tapi setidaknya konsep kebocoran kapiler non kardiogenik dan respon inflamasi tidak terkontrol masih banyak diterima oleh kalangan ahli.Respon hipoksia dan



tingginya AaDO2 terhadap terapi peningkatan FiO2 sebanding dengan tingkat shunting arteri-vena paru. Beberapa studi binatang dan klinis manusia postmortem berhasil menegakkan beberapa hipotesis tentang mekanisme atau factor-faktor umum sebagai mediator kejadian kerusakan paru akut pada ARDS. Dalam hipotesis aktivasi komplemen dan makrofag, diduga aktivasi inilah yang mengawali kejadian ARDS yang mana akan menghasilkan komplemen dan mediator makrofag seperti Tumor Necroting Factor (TNF), Interleukin dan Platelet Activating Factor (PAF) yang memacu lekosit-PMN dan netrofil beragregasi dan menempel pada endotel kapiler melalui pembebasan radikal bebas (superoksida).Agregat ini juga menghasilkan protease yang bersama dengan aktivasi



asam



arakhidonat



oleh



tromboksan



A2,



prostasiklin



dan



leukotrin



menghancurkan struktur-struktur protein, misalnya kolagen, elastin, fibronektin yang merupakan struktur dasar jaringan paru. Selain itu enzim lisosomal (yang sebagian dihasilkan oleh agregat dari jaringan nekrotik/terinfeksi) juga berperan dalam kerusakan struktur mitokondria dan pembengkakan endotel, sehingga endotel-endotel saling lepas dan ruang intersel membesar progresif. Antiprotease Pulmoner yang normal (1 antitripsin) diinaktivasi oleh radikal superoksid yang menambah kerusakan paru. Pada ARDS edema paru dapat terjadi bila ada perubahan-perubahan tiap aspek dari hukum Starling.6,7,8 Hukum Starling : Q = K (Pc – Pt) - d ( c-t ) Q = kecepatan filtrasi melewati membran kapiler K = koefisien filtrasi d = Koefisien refleksi Pc = tekanan hidrostatik kapiler



6



Pt = tekanan hidrostatik interstisial c = tekanan onkotik kapiler t = tekanan onkotik interstisial Gambaran umum yang terjadi terdiri dari tiga fase : 2,6,9 2.1 fase eksudasi ( initial phase ) 2.2. fase proliferasi ( sub-acute ) 2.3 fase fibrosis ( chronic ) 2.1. Fase eksudasi (initial phase). Terjadi pada hari ke 3-5. Dikarenakan adanya kerusakan alveolar yang difus. Trauma pada endotel → peningkatan permeabilitas → terjadi eksudasi cairan yang banyak di alveolus. Terbentuk infiltrat di kedua lapangan paru. Terjadi proses inflamasi yang melibatkan sel netrofil, juga perpindahan material semisolid dari darah ke jaringan paru membentuk suatu membran hialin (pada bayi baru lahir menimbulkan suatu kelainan yang disebut hyalin membrane disease). Kelainan yang tampak juga merupakan aktifitas sitokin dan enzim lainnya. Dapat terjadi pemulihan atau berlanjut ke fase proliferasi (subacute)



7



2.2. Fase proliferasi (sub-acute). Terjadi setelah 5-7 hari. Pada fase ini terjadi proliferasi sel dengan regenerasi sel epitel, reaksi fibroblastik dan remodeling. Terjadi peningkatan alveolar dead space dan penurunan compliance paru yang menetap. Timbul penyumbatan dan penghancuran pada mikrosirkulasi paru. Pada fase inipun masih mungkin untuk terjadi pemulihan. Jika tidak berhasil, maka akan berlanjut ke fase fibrosis yang bersifat kronik.



2.3. Fase fibrosis (chronic). Terjadi setelah 14 hari. Pada beberapa penderita yang berat atau lama tidak terjadi perbaikan pada paru -paru , akan timbul jaringan parut akibat deposisi jaringan kolagen di alveolus, pembuluh darah dan jaringan intersititial. Paru – paru menjadi tidak elastik sehingga penderita menjadi lebih sulit bernafas. Dapat terjadi resolusi yang lengkap, tetapi lebih sering menimbulkan sisa fibrosis.



8



Mekanisme cedera paru-paru akut tidak diketahui. Bone (1984) telah memeriksa sejumlah mediator kimiawi yang berkaitan dengan patogenesis ARDS. Faktor-faktor ini terdiri dari prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, hasil-hasil pemecahan fibrin, dan enzim-enzim trombosit serta leukosit, yang diamati terdapat dalam jumlah abnormal dalam darah atau sekret, atau pada paru-paru hewan atau manusia setelah mengalami sebab-sebab yang dapat menimbulkan ARDS. Hubungan antara mediatormediator yang dicurigai ini dengan gangguan pada permeabilitas kapiler masih belum diketahui.5 Meskipun kerusakan paru pada ARDS masih kontroversial, namun dari hasil studi beberapa binatang dan klinis manusia post mortem berhasil menegakkan beberapa hipotesis yaitu diantaranya hipotesis “aktivasi komplemen dan makrofag” dan hipotesis “fibrinolisis dan agregasi platelet”. Kedua hipotesis ini paling diterima dan tampaknya memang merupakan mekanisme umum yang lebih mengacu pada dua kejadian penyebab ARDS yang terbanyak yaitu sepsis dan trauma (dengan DIC).2,9 Gambar 1. Skema Patofisiologi ARDS 2



Kegagalan respirasi Trauma Gangguan Endotel kapiler Sel tipe I



Sel Tipe II



Kebocoran kapiler pulmonal



inaktivasi surfaktan



Edema alveolar dan interstisial



Atelektasis



Shunt, Complance menurun



FRC menurun Hipoksemia



Fibrosis pulmonar Obliterasi mikrovaskular Sepsis Kegagalan multi organ Kematian



Diferensiasi menjadi Sel tpe I



perbaikan membran kapilerr



9



2.4 Gambaran Klinis dan Diagnosis Gejala klinik awal ARDS/ALI mungkin bervariasi. Tergantung proses penyakit dasar penderita dan juga kondisi secara umum dari penderita. Penegakan diagnosis ARDS tergantung juga dari amamnesis klinis yang tepat. Gambaran primer dari ARDS meliputi pirau intra pulmoner yang nyata dengan hipoksemia, berkurangnya daya kembang (compliance) paru-paru yang progresif, dan dispnea (napas dangkal) dan takipnea yang berat akibat hipoksemia dan bertambahnya kerja pernapasan sekunder terhadap penurunan daya kembang paru-paru.



Kapasitas residu fungsional juga



berkurang. Gambaran-gambaran ini merupakan akibat edema alveolar dan interstisiel. Akibatnya timbul paru-paru yang kaku dan sukar berventilasi.



Pada penderita



mungkin tampak adanya retraksi intercostal dan suprasternal. Pada auskultasi dapat terdengar krepitasi, ronkhi atau whezzing, atau bahkan bisa terdengar normal. Ciri khas dari ARDS ini adalah penderita tampak sianotik dan hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan pemberian oksigen selama bernafas spontan. Kesadaran penderita mungkin berubah/gelisah, dan juga penderita biasanya takikardi serta mengalami hipotensi/syok (hal ini akan diikuti kegagalan fungsi organ).



Gambaran klinis



lengkap dapat bermanifestasi 24 – 48 jam setelah cedera. 3,5,10,12 Diagnosis dugaan telah terjadinya suatu ARDS dapat ditegakkan melalui pemeriksaan analisa gas darah (AGD) dan foto thoraks.



Hasil



AGD awalnya



menunjukkan suatu alkalosis respiratorik yang akut : PaO2 yang sangat rendah, PaCO2 normal atau menurun, dan peningkatan nilai pH darah. Aa-DO2 meningkat, juga ratio PaO2/FiO2 = 150 atau kurang. Foto thoraks biasanya menunjukkan infiltrat alveolar difus bilateral, yang gambarannya mirip dengan edema paru akut pada gagal jantung, namun gambaran jantung biasanya masih dalam batas normal. Pada pasien dengan penyakit dasar di paru-paru, perubahan fokal mungkin terlihat sejak awal pada foto thoraks. Namun pada pasien yang tidak mempunyai penyakit dasar di paruparu, dari hasil foto thoraks awal mungkin tidak spesifik atau mirip dengan gambaran congestive heart failure dengan efusi ringan.



Perkembangan selanjutnya terjadi



edema pulmoner interstitiel dengan infiltrat yang difus (gambar 1). Bila perjalanan penyakit berkembang secara progresif, akan terlihat gambaran opak alveolar dan retikuler difus bilateral (gambar 2). 3,6,9,10



10



Perjalanan ARDS yang merupakan edema paru non kardiogenik, dapat dibagi menjadi 4 tahap gambaran klinis yaitu 2,8 : •



Tahap 1 (Cedera dan Resusitasi). Pada tahap ini terjadi injuri yang berat ditandai dengan gangguan metabolisme dan perfusi jaringan.



Karakteristik ditandai



dengan adanya alkalosis respiratorik akibat hiperventilasi (PaCO2 30-40 mmHg). PaO2 mungkin sedikit menurun atau normal dan A-aDO2 dengan udara kamar meningkat sedikit atau sedang antara 20-40 mmHg. Tidak dijumpai kelainan pada pemeriksaan radiologik, kadang-kadang hanya dijumpai kongesti atau atelektasis yang minimal. •



Tahap 2 (Respiratory distress subklinik). Hiperventilasi terus berlangsung atau sedikit lebih meningkat lagi, dengan PaCO2 25-35 mmHg. A-aDO2 udara kamar meningkat 35-50 mmHg tetapi masih sedikit atau tidak ada masalah pernafasan. Tahap ini disebut free interval dimana tekanan darah, perfusi jaringan dan fungsi ginjal masih normal. Secara radiologis mungkin masih normal, atau ada infiltrat difus yang minimal yang sesuai dengan daerah atelektasis kecil yang multipel dan bendungan paru atau awal edema paru.







Tahap 3 (Respiratory Distress yang jelas). Hiperventilasi bertambah dan penderita tampak mengalami gangguan pernafasan secara klinik. Kesannya timbul secara mendadak. PaCO2 turun sampai 20-35 mmHg, PaO2 mulai menurun 50-60 mmHg atau lebih rendah, A-aDO2 sering 40-60 mmHg atau lebih besar, shunting paru 20-40% atau lebih. Pada foto thoraks tampak edema paru dan infiltrat difus bertambah progresif. Kondisi pasien sangat gawat tetapi belum irreversible.







Tahap 4 (Gagal nafas berat). Insufisiensi menjadi berat dengan meningkatnya akumulasi CO2 dalam darah. Pada tahap ini jumlah kapiler paru yang berfungsi menurun drastis. Dipakai parameter PaCO2, sebab pada keadaan normal CO2 dikeluarkan dengan mudah sesuai dengan ventilasi alveolar.



Manifestasi



klinisnya adalah dispnoe, takipnoe dan penurunan PaO2 yang cepat sehingga



11



membutuhkan bantuan ventilasi dengan tekanan tinggi. Ini merupakan kondisi yang fatal dan dapat meninggal dalam 48 jam bila tidak diterapi. Pada tahap ini asidosis metabolik bertambah berat dan penderita sangat memerlukan peningkatan konsentrasi Oksigen untuk mempertahankan PaO2 diatas 60 mmHg. Shunting lebih besar dari 50-60 % dan paru benar-benar gambaran opak pada foto thoraks.



Pada stadium terminal sesak nafas bertambah berat dengan penurunan volume tidal dan kenaikan PCO2, hipoksemia berat, asidosis metabolik karena adanya hipoksia serta tekanan darah sulit dipertahankan dan timbul gangguan kesadaran. 2,6 Penyulit yang memperberat keadaan ini adalah syok, sepsis, gagal ginjal akut atau nekrosis tubular akut, kegagalan hati, hipoalbuminemia, hiponatremia, serta kelainan metabolik yaitu asidosis metabolik. 2,9 Kriteria untuk menegakkan diagnosis untuk ARDS



ini dilihat dari gambaran



klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti terlihat pada tabel 3.



gambar 1. Fase awal pada ARDS menunjukkan infiltrat interstitiel dan patchy infiltrat 6



12



Gambar 2. Fase lanjut ARDS, terlihat gambaran opak alveolar dan retikuler yang difuse dan bilateral 6



Tabel 3. Kriteria Diagnosis ARDS 2 A. Gambaran Klinis 1. Catastrophic event a. Pulmoner b. Non pulmoner (contoh: syok) 2. Eksklusi a. Penyakit paru kronis b. Abnormalitas jantung kiri 3. Respiratory Distress (dibuktikan secara klinis) a. Takipnoe > 20 kali permenit b. Sulit bernafas B. Foto Thoraks : Infiltrat paru yang difus 1. Interstisial (pada fase awal) 2. Alveolar (fase lanjut) C. Fisiologik 1. PaO2 0,6 2. Compliance keseluruhan 1000 gram Atelektasis kongestif Membran hyalin Fibrosis



13



Secara ringkas kriteria diagnosis ARDS adalah sebagai berikut (Rinaldo) : -



Adanya infiltrat difus pada foto toraks



-



Rasio oksigen arterial dan alveolar