Artikel BK [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Dalam konteks pendidikan seutuhnya, layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan suatu hal yang esensial. Danne Borders & Sandra M. Drury dalam Yusuf (1995: 66), menyatakan bahwa “intervensi bimbingan dan konseling mempunyai dampak substansial terhadap perkembangan pribadi dan pendidikan siswa. Kendatipun demikian harus pula disadari bahwa produk pendidikan yang dihasilkan secara maksimal bukanlah semata-mata hasil bimbingan dan konseling, akan tetapi paling tidak keberadaan layanan bimbingan dan konseling memegang peranan yang cukup berarti dalam keseluruhan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam hal ini, dapat dipahami upaya memfasilitasi perkembangan siswa, harus dilakukan secara sinergis antara pendekatan pembelajaran (instructional approach) dengan pendekatan bimbingan konseling (psycho-educational approach).



Arthur J. Jones (1963: 8), mengemukakan bahwa “apabila dalam suatu proses pendidikan, individu yang bersangkutan menentukan sendiri perubahan bagi dirinya atau membuat perubahan bagi dirinya sendiri, maka bimbingan tidak ada, sebab individu yang bersangkutan mendidik dirinya sendiri, tetapi kalau pendidik itu membantu individu untuk memilih, maka bimbingan baru ada”. Permasalahan dalam penyelenggaraan program bimbingan dan konseling sampai saat ini adalah sebagai berikut : ( Syamsu Yusuf & Juntika Nurihsan.2005 : 100-101)



Masih terdapat kesenjangan rasio konselor (guru pembimbing) dengan jumlah sekolah dan jumlah peserta didik di setiap jenjang pendidikan. 1. Dampak dari kesenjangan dari jumlah konselor dan jumlah sekolah atau jumlah peserta didik adalah : (1) di sekolah-sekolah tertentu tidak ada guru pembimbing, (2) di sekolah tertentu terdapat guru pembimbing walaupun tidak sesuai dengan jumlah peserta didik di sekolah tersebut, (3) untuk menutupi kekurangan guru pembimbing,tidak jarang kepala sekolah mengangkat guru bidang studi untuk menjadi guru bimbingan konseling. 2. Pengangkatan guru bidang studi menjadi guru pembimbing du satu sisi memberikan impresi positif bagi penyelenggaraan program BK di sekolah, karena ada kepedulian kepala sekolah terhadap program BK. Namun di sisi lain kebijakan tersebut memberikan dampak yang kurang baik bagi profesi bimbingan yaitu melahirkan citra buruk bagi profesi bimbingan dan konseling itu sendiri, karena dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian tentang BK 3. Meskipun bimbingan dan konseling dipandang sebagai kegiatan professional, namun secara hokum belum terproteksi oleh standar kode etik yang kokoh, yang dapat memberikan jaminan bahwa hanya lulusan pendidikan konselor yang bias mengemban tugas atau memberikan layanan bimbingan konseling 4. Bimbingan konseling masih belum familier di kalangan masyarakat. Populasinya masih terbatas dalam komunitas tertentu, dan di lingkungan (yaitu sekolah) yang seyogyanya sudah akrab dan apresiatif terhadap BK



5. Masih ada kepala sekolah yang belum memahami secara tepat program bimbingan dan konseling di sekolah, sehingga akhirnya mereka suka memberikan tugas kepada guru pembimbing mismatch, tidak proporsional atau tidak sesuai dengan peran yang sebenarnya. Sehingga guru pembimbing diberi tugas dengan kegiatan yang bersebrangan 6. Citra bimbingan konseling semakin diperburuk dengan masih adanya guru pembimbing yang kinerjanya tidak professional, masih lemah dalam : (a) memahami konsep-konsep bimbingan secara komprehensif, (b) menyusun program bimbingan dan konseling, (c) mengimplementasikan teknik-teknik bimbingan dan konseling, (d) kemampuan berkolaborasi dengan pimpinan sekolah atau guru mata pelajaran, (e) mengelola bimbingan dan konseling, (f) mengevaluasi program (proses dan hasil) bimbingan dan konseling dan melakukan tindak lanjut (follow up) hasil evaluasi untuk perbaikan atau pengembangan program, dan (g) penampilan kualitas pribadinya yaitu dinilai masih kurang percaya diri, kurang ramah, kurang kreatif, kurang koopratif dan kolaboratif.



7. LPTK yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru pembimbing (konselor) masih belum memiliki kurikulum mantap untuk melahirkan konsselor professional