Artikel Jurnal [PDF]

  • Author / Uploaded
  • ani
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LARANGAN MEMAKAI BATIK PARANG RUSAK SEBAGAI KEARIFAN BUDAYA LOKAL YANG BERPOTENSI SEBAGAI DESA WISATA DOSEN PEMBIMBING LAPANGAN: ZAYAD ABD. RAHMAN, M.HI



Oleh: Kelompok 26 KKN Ds. Gampeng Kec. Ngluyu Kab. Nganjuk



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI 2019



Kelompok 26: Muhammad Agus Faisal(933202216) Susilo



(933707416)



M. Shofana Alwi Shofwan



(932119016)



Yoga Dwi Pratama



(932209616)



Denis Wahyu Prasetyawan



(931319715)



Nur Fadilah



(933803716)



Ika Sri Wahyu Nengseh



(933415616)



Riska Kurniawati



(933415916)



Qoni Nella Syahida



(933103316)



Banatur Rofiqoh



(932123916)



Nelly Maratus Sholikah



(932125616)



Alik Husna



(932114516)



Delia



(932203516)



Azuna Fitratush Shaliha



(932204216)



Siti Muarifah



(931304716)



Gita Karisma Arum



(931319316)



Ani Rosida Rohmah



(931302716)



Devi Kalbarina



(931213216)



LARANGAN MEMAKAI BATIK PARANG RUSAK SEBAGAI KEARIFAN BUDAYA LOKAL YANG BERPOTENSI SEBAGAI DESA WISATA Abstrak Parang rusak adalah jenis pakaian yang dilarang dikenakan dalam prosesi adat dan acara-acara tertentu, jika ada batik parang rusak yang dipakai di Ngluyu maka diyakini akan terjadi hal yang tidak diinginkan yakni akan ada hujan deras disertai angin dan petir yang menyambar-nyambar daerah acara tersebut. Batik parang rusak merupakan ageman Pangeran Suromangundjoyo sang pembabat alas Ngluyu. Keunikan sejarah dan mitos ini menjadi ciri khas kearifan local dari Ngluyu. Keunikan dari kearifan local ini sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi desa wisata, melihat masih terjaganya situs budaya lain. Penelitian ini menggunakan studi lapangan atau field research dimana penelitian ini dilakukan untuk menemukan secara khusus dan realitas tentang alasan apa yang menjadi dasar dalam larangan memakai batik parang rusak serta mengkaji potensi wisata yang perlu untuk dikembangkan di Kecamatan Ngluyu. Kata kunci: batik parang rusak, kearifan local, desa wisata



Pendahuluan Batik parang rusak merupakan batik warisan leluhur yang sudah ada sejak lama, sebagai orang jawa sudah tidak asing lagi pemakaian batik jenis apapun tak terkecuali batik parang rusak. Sejak jaman kerajaan Majapahit masyarakat sudah memakai batik sebagai pakaian sehari-hari mulai dari pedagang, petani, hingga keluarga kerajaan. Pemakaian batik sebagai pakaian sehari-hari membuat keberadaanya tetap ada. Orang zaman dahulu mengenakan kain batik untuk kemben, sarung jarit, selimut, dan bahkan untuk gendongan. Seiring berkembangnya masa kain batik tidak lagi difungsikan sebagai pakaian sehari-hari, melainkan sebagai pakaian adat untuk acara atau moment tertentu saja, seperti digunakan untuk pakaian pengantin, pakaian resmi pemerintahan, dan bahkan kain batik identik dengan penutup jenazah. Sudah umum jika kain batik digunakan sebagai pakaian pernikahan yang dijadikan pakaian adat. Ada banyak jenis batik yang bisa digunakan sebagai pakaian pengantin tak terkecuali batik parang rusak, batik ini bergambarkan parang rusak yang sudah tak asing lagi bagi masyarakat Jawa. Namun ada hal yang dilarang oleh masyarakat Ngluyu bahwa tidak boleh ada yang menegenakan batik parang rusak untuk acara pernikahan dan untuk hajat apapun. Jika ada batik parang rusak yang dipakai di Ngluyu maka diyakini akan terjadi hal



yang tidak diinginkan yakni akan ada hujan deras disertai angin dan petir yang menyambar-nyambar daerah acara tersebut. Banyak warga Ngluyu meyakini larangan atau pantangan ini, menurut penuturan warga Desa Gampeng memang batik parang rusak ini benar mengundang bahaya, sudah pernah terjadi pada acara pernikahan salah satu warga Desa Gampeng yang mengundang penyanyi untuk mengisi pada acara pernikahan tersebut, tanpa sengaja penyanyi tersebut membawa kain bermotif parang rusak, karena ketidaktahuan penyanyi tersebut acara pernikahan pun menjadi kacau, tiba-tiba saja hujan turun sangat deras disertai angin dan petir yang menyambar-nyambar di daerah tersebut. Ternyata setelah diselidiki diyakini ada yang membawa batik parang rusak, hingga penyanyi tersebut menyerahkan kain batik kepada masyarakat, setelah diketahui hal tersebut masyarakat pun membuang batik tersebut ke sungai Gondang atau sampai keluar daerah Ngluyu, dalam perjalanan pun si pembawa batik akan diikuti oleh petir yang menyambar ditempat acara. Cerita menegenai mitos batik parang rusak di Ngluyu pun sudah tersebar dan banyak yang mengetahui hal tersebut, cerita mitos batik parang rusak ini menimbulkan rasa ketakutan dan was-was oleh warga luar yang akan memasuki



daerah Ngluyu, namun tak jarang banyak yang penasaran dan ingin tau apakah mitos ini benar, tak jarang ada orang dari luar Ngluyu yang sengaja datang untuk melakukan penelitian atau hanya sekedar ingin mendengar cerita dari warga Ngluyu mengenai mitos ini, terlebih lagi di Ngluyu masih terpeliharanya makam sesepuh pembabat alas Ngluyu atau yang mendirikan Ngluyu. Namun rasa keingintahuan orang luar mengenai Ngluyu tidak selaras dengan kondisi di Ngluyu, ketika ingin datang ke Ngluyu orang masih akan berfikir mau kemana mereka akan singgah, untuk tempat wisata yang ada di Ngluyu pun sangat minim untuk dijadikan tempat bermalam. Masih adanya cagar budaya yang ada pun tak sebanding dengan pengelolaannya, padahal Ngluyu sangat menarik untuk dijadikan desa wisata dengan situs peninggalan yang ada didalamnya. Dari latar belakang tersebut dapat diambil sisi keunikannya yakni adanya larangan memakai batik parang rusak di Ngluyu hingga keadaan ini membuat penasaran warga diluar daerah Ngluyu, bahkan dengan sengaja datang untuk sekedar mengetahui kebenarannya. Dari sini penulis ingin mengkaji potensi daerah Kecamatan Ngluyu menjadi desa wisata yang akan diangkat kedalam judul “LARANGAN MEMAKAI



BATIK



PARANG



RUSAK



SEBAGAI



KEARIFAN BUDAYA LOKAL YANG BERPOTENSI SEBAGAI DESA WISATA”. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi lapangan atau field research dimana penelitian ini dilakukan untuk menemukan secara khusus dan realitas tentang alasan apa yang menjadi dasar dalam larangan memakai batik parang rusak dalam acara hajatan serta mengkaji potensi wisata yang perlu untuk dikembangkan di Kecamatan Ngluyu. Pembahasan A. Asal muasal batik parang rusak sebagai ikon Kecamatan Ngluyu Kepercayaan



masyarkat



mengenai



pelarangan



memakai batik parang rusak yang terjadi di Ngluyu tidak terlepas dari sejarahnya, sejarah singkat dari Desa Ngluyu tidak



terlepas



dari



perjuangan



sosok



Pangeran



Suromangundjoyo.1 Pada awalnya terjadi pertikaian anatara Bupati Pati yang bernama Pragulo dengan Panembahan Senopati. Keduanya masih kerabat dekat 1



Kiki Resita Oktaviana, Mitos jarit parang dan makam Mbah



Gedong di Desa Ngluyu Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk, skripsi, (Surabaya: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, 2014).



dengan Kerajaan Mataram. Panembahan Senopati tersebut dipimpin oleh Tumenggung Wiraguna.



Di



tengah



pertempuran tersebut, Bupati Pragula akhirnya gugur. Semua putri dan keluarga lainnya diboyong langsung ke Kerajaan Mataram. Selama pemboyongan tersebut, salah satu putra Adipati Pragulo berhasil melarikan diri. Dia bernama Pangeran Suromangundjoyo. Dia berhasil mengajak istri, keponakan-keponakan, dan para pengikut setianya. Hal tersebut dilakukan karena Pangeran Suromangundjoyo tidak ingin tunduk kepada Panembahan Senopati. Setelah jauh melarikan diri akhirnya rombongan Pangeran Suromangundjoyo tadi tiba di wilayah Giri Gresik. Sunan Giri menerima dengan baik kedatangan rombongan tersebut. Di sana, mereka diajari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu tentang kehidupan seperti bercocok tanam, dan lain-lainnya sebab mereka berasal dari kerajaan dan terbiasa dengan hidup yang serba ada sehingga tidak mengenal



bagaimana



prosesnya.



Pangeran



Suromangundjoyo dan yang lainnya menerima dengan baik apa yang telah diajarkan oleh Sunan Giri. Suatu ketika, Sunan Giri memanggil Pangeran Suromangundjoyo untuk menghadapnya. Sunan Giri memerintahkan



Pangeran



Suromangundjoyo



supaya



membuka hutan di wilayah Ngluyu yang masih belum ada penduduknya. Pangeran Suromangundjoyo bersedia untuk melaksanakan perintah tersebut. Dengan istri, keponakankeponakan, dan para pengikut setianya, dia berangkat menuju ke arah Hutan Ngluyu. Tentu saja selama perjalanan menuju ke Hutan Ngluyu tidak mudah karena banyak kejadian-kejadian aneh. Pada saat perjalanan yang melelahkan, keponakan Pangeran Suromangundjoyo yang bernama Pangeran Suromangunonengan



merasakan



dahaga.



Di



hutan



tersebut tidak terlihat sungai maupun sumber air. Akhirnya Pangeran Suromangundjoyo berpikir sejenak kemudian setelah itu dia menancapkan tongkatnya ke tanah.



Alhasil



ternyata



tanah



tersebut



tiba-tiba



mengeluarkan sumber air yang sangat bersih. Kemudian rombongan Pangeran Suromangundjoyo meneruskan perjalanan kembali. Pangeran Suromangundjoyo berhasil membuka



hutan



untuk



dijadikan



perkampungan.



Perkampungan pertama yang didirikan tersebut oleh Pangeran Suromangundjoyo dinamakan Jonggan yang berarti jujukan. Jujukan dalam bahasa Jawa yaitu tempat singgah sementara. dan sekarang Jonggan menjadi sebuah Dusun Jonggan, Desa Sugihwaras.



Selanjutnya Pangeran Suromangundjoyo dan para pengikutnya menuju ke daerah jujukan kedua yaitu ke wilayah Garas. Dan sekarang ini dinamakan Dusun Garas (Semen), Desa Sugihwaras. Desa Garas ini memiliki tanah yang tandus sehingga kurang cocok untuk dijadikan lahan pertanian atau perkebunan. Karena hal tersebut, maka



rombongan



Pangeran



Suromangundjoyo



memutuskan untuk pindah ke wilayah lainnya. Selanjutnya perjalanan Pangeran Suromangundjoyo dan pengikutnya ini menuju ke wilayah Ngluyu. Daerah Ngluyu inilah yang menjadi tempat tinggal terakhir Pangeran Suromangundjoyo dan rombongannya. Ngluyu tidak semata-mata sebuah nama, ada asal-usul nama Ngluyu sendiri. Adapun asal-usul Desa Ngluyu dalam sejarahnya berasal dari kata lunyu atau watu lunyu yang berarti dalam bahasa Indonesia adalah licin atau batu licin. Pada saat membuka hutan Ngluyu, Pangeran Suromangundjoyo menemukan sebuah batu yang aneh dengan ciri-ciri berwarna hitam mengkilat dan sangat dan sangat licin seperti ada air yang menyelimuti sekitar permukaan kulit batu. Karena hal tersebut, membuat Pangeran Suromangndjoyo memberikan nama untuk desa yang didirikan di Hutan Ngluyu ini dengan nama Desa Ngluyu. Batu tersebut merupakan lambang bahwa Ngluyu



adalah daerah yang sangat subur baik tanahnya maupun sumber airnya yang melimpah. Untuk itu Pangeran Suromangundjoyo dan rombongannya memutuskan untuk tinggal di Desa Ngluyu. Mereka bercocok tanam dan setiap tahunnya mereka mengadakan syukuran dengan mengumpulkan hasil panen untuk dibagi-bagikan. Tujuan dari syukuran tersebut adalah bentuk terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan rezeki yang melimpah untuk mereka. Sampai sekarang tradisi tersebut



tetap



berjalan



dan



generasi



penerusnya



menyebutnya sebagai tradisi nyadranan. Dari cerita asal mula Desa Ngluyu yang didirikan oleh Pangeran Suromangundjoyo alias Mbah Gedhong, masyarakat begitu menghormati benda kesayangan Mbah Gedhong yang ketika semasa hidupnya selalu memakai kain parang dan ketika beliau meninggal dunia, masyarakat juga mempercayai bahwa tidak ada yang boleh membawa kain tersebut masuk kedaerah Desa Ngluyu sampai saat ini. Bila ada yang melanggar maka akan terjadi mendung, hujan deras, dan petir yang memekakkan telinga, bahkan bisa terjadi banjir bandang. 2 2



Nita Sukmawati, Mitologi kain parang di Desa Ngluyu sebagai



gagasan berkarya tari “kesrimpet parang”, naskah publikasi, (Surabaya: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya),



B. Mitos larangan memakai batik parang rusak di Kecamatan Ngluyu Dalam perkembangan tata kehidupan di era modern ini sudah mulai meluntur adat kebiasan Jawa yang dianggap melenceng, keberadaan mitos yang berkembang di masyarakat pun mulai perlahan ditinggalkan. Namun masih ada sisi lain kehidupan manusia yang kontras dengan zaman modern saat ini, yakni masyarakat yang meyakini dan menjaga mitos yang diwariskan oleh leluhur. Mitos di Jawa pun selalu berhubungan dengan keyakinan dan kepercayaan. Berupa cerita suci yang berbentuk simbolik yang mengisahkan serangkaian peristiwa nyata dan imajiner menyangkut asal-usul dan perubahan-perubahan alam raya dan dunia. Cerita-certita atau aturan yang terbentuk oleh masyarakat kuno menjadi pedoman yang mengatur kehidupan manusia, bahkan dapat menentukan atau mengubah nasib seseorang meskipun kebenarannya tidak bisa disesuaikan dengan kebenaran



empiris



atau



logika



ilmiah,



sehingga



sekelompok orang tertentu yang memiliki kepercayaan terhadap kebenaran mitos tersebut tetap menjadikannya pedoman dalam bertindak.3



hal.3



Mitos dianggap sebagai pengetahuan tentang katakata atau ucapan yang bukan sekedar ucapan biasa tapi ucapannya suci atau mengandung ilham atau wahyu. Keberadaan mitos sangat erat kaitannya dengan adat istiadat dan budaya yang masih bersifat tradisional. Mitos yang telah berlalu tidak mudah disisihkan dari kehidupan sehari-hari terutama pada masa lalu karena jika melanggar pantangan pasti akan kualat atau sering disebut pamali. 4 Larangan



menggunakan



batik



parang



rusak



merupakan larangan dalam adat masyarakat Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk yang dilangsungkan ketika prosesi acara tertentu. Parang rusak adalah jenis pakaian yang dilarang dikenakan dalam prosesi adat dan acaraacara tertentu, dan larangan tersebut diyakini oleh 3



Rio Yuli Hartanto, Konstruksi Pengetahuan Remaja Tentang Mitos



Lusan di Plosokerep, Kelurahan Bendosari, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, skripsi, (Surakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2012), hal.99 4



Rini Mulyani, Pernikahan Adat Jawa dalam Perspektif Tokoh



Masyarakat (Studi Kasus Desa Ketangirejo Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan, naskah publikasi, (Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013), hal.3



masyarakat Ngluyu baik beragama Islam maupun non Islam dan warga masyarakat yang memiliki darah keturunan Ngluyu pasti memahami bahwa larangan yang diwarisi dari nenek moyang merupakan tradisi yang masih melekat hingga saat ini yang tidak mudah dilupakan dan tidak mudah ditinggalkan terutama dalam menjalani acara-acara hajatan yang melibatkan keluarga, tetangga maupun kerabatnya khususnya seperti acara perkawinan dan hajatan lainnya. Parang rusak atau jarik parang merupakan pakaian atau ageman kesukaan Mbah Suro Mangundjojo yang merupakan salah satu tumenggung dari kerajaan Mataram dan orang yang membabat hutan Ngluyu, lalu mendirikan Desa Ngluyu. Beliau menetap di Desa Ngluyu sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di sebelah barat desa yang sampai sekarang di kenal sebagai makam Mbah Gedong.5 Larangan memakai batik parang rusak inipun masih terjaga dan menjadi ciri khas ketika orang pertama kali mendengar kata Ngluyu pasti akan tersugesti tentang “jangan memakai batik parang rusak”, itu semua adalah 5



M.Awaluddin jamil, Larangan Memakai Batik Parang Rusak dalam



Pernikahan Perspektif urf, skripsi, (Malang: Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2018).



bentuk penghargaan pada Mbah Gedong, kita tidak ikut babat alas ya harus menghormati.6 C. Kearifan



lokal



budaya



yang



diwariskan



dan



dilestarikan hingga sekarang Indonesia



merupakan



bangsa



yang



memiliki



keanekaragaman dalam berbagai hal. Salah satunya adalah budaya yang berkembang dalam masyarakat adat sebagai kekayaan nasional. Masyarakat adat secara tradisi terus berpegang pada nilai-nilai lokal yang diyakini kebenarannya



dan



menjadi



pegangan



hidup



yang



diwariskan secara turun temurun. Sebagai kesatuan hidup, masyarakat adat memiliki nilai sosial-budaya yang layak dikembangkan



dalam



pembelajaran,



seperti



kesetiakawanan sosial (solidaritas) dalam melakukan aktivitas hidupnya. Selain memiliki kesetiakawanan sosial yang tinggi, masyarakat adat juga memiliki budaya luhur lain yang berupa gotong-royong, musyawarah, dan kerukunan.



Perilaku



prososial



(prosocial



behavior)



tersebut masih melekat kuat dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki tingkat heterogenitas yang lebih tinggi. Berkenaan dengan lingkungan, nilai luhur yang dapat dikaji dari masyarakat adat adalah kearifan lokal dalam 6



Wawancara dengan Mbok Yat warga Desa Gampeng



melakukan pengelolaan lingkungan. Sebuah nilai penting yang dimiliki masyarakat adat dalam berhubungannya dengan eksplorasi dan eksploitasi alam. Nilai budaya tersebutlah yang kemudian diyakini sebagai cara paling ampuh dalam mengelola alam. Salah satu bentuk kearifan lingkungan yang ditunjukkan masyarakat adat adalah dengan



menjadikan



hutan



sebagai



tempat



yang



dikeramatkan. Hutan dijaga dengan berbagai tabu yang berfungsi sebagai pengendali segala aktivitas manusia yang berhubungan dengan tempat tersebut. Ketaatan pada tabu yang diwariskan secara turun-temurun menjadikan hutan tetap lestari. Terlepas dari unsur mistis yang ada di dalamnya, pemahaman tentang nilai-nilai budaya lokal penting dimiliki peserta didik, kini dan pada masa yang akan datang.



Kearifan lokal merupakan kemampuan



penyerapan kebudayaan asing yang datang secara selektif, artinya



disesuaikan



dengan



suasana



dan



kondisi



setempat.7 Kearifan lokal memiliki signifikasi serta fungsi sebagai berikut: 1) penanda identitas sebuah komunikas; 7



Agus Efendi, Implementasi kearifan budaya local pada masyarakat



adat Kampung Kuta sebagaisumber pembelajaran IPS, SMP Negeri 1 Tambaksari Kabupaten Ciamis, Sosio Didaktika: Vol. 1 No. 2 Des 2014, hal211



2) elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan; 3) unsur kultural yang ada dan hidup



dalam



masyarakat



(bottom



up);



4)



warna



kebersamaan sebuah komunitas; 5) akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan



meletakkannya



ground/kebudayaan



yang



di



atas



common



dimiliki;



6)



mendorong



terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir bahkan merusak solidaritas komunal yang dipercaya dan disadari tumbuh di atas kesadaran bersama dari sebuah komunitas terintegrasi. 8 Adat budaya larangan batik parang rusak di Ngluyu yang ada dan terus dipercaya merupakan kearifan local yang patut untuk diapresiasi, ditengah gerusan zaman keberadaan kearifan local menjadi filter dan pelindung budaya agar terus ada dan lestari. D. Potensi wisata yang ada di Kecamatan Ngluyu sebagai kearifan local Ngluyu memiliki beragam kisah dan sejarah yang masih kental dan tetap terjaga hingga era modern saat ini. 8



Maria Mtildis Banda, Upaya Kearifan Lokal dalam Menghadapi



Tantangan Perubahan Kebudayaan, (Bali: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Bali), naskah publikasi, hal. 1



Cagar budaya di Ngluyu terbilang sangat unik dimana Mbah Gedong sebagai pembabat alas keberadaannya masih sangat dihormati, tempat makamnya pun di sakralkan. Beberapa tempat bersejarah di Ngluyu yang masih terjaga terbilang cukup baik seperti wisata Goa Margo Tresno di Desa Sugihwaras, Makam Mbah Gedong di Desa Sugihwaras, Makam Mbah Kombor di Desa Gampeng yang semuanya adalah situs budaya yang apabila terus dikembangkan pembangunannya maka akan menjadi tempat wisata yang yang potensial. Imbas jika keseluruh situs budaya tersebut diperbaiki adalah terbangunnya desa wisata yang akan lebih memajukan perekonomian warga sekitar. Tidak hanya tempat-tempat wisata tersebut yang masih perlu dilakukan pembangunan tetapi menata tiap Desa yang ada di Kecamatan Ngluyu juga merupakan hal yang sangat perlu mengingat Ngluyu mepunyai banyak ciri khas yang patut untuk diketahui seperti halnyaGoa Margo Tresno sebenarnya tempat ini sangat menarik dijadikan sebagai tempat wisata alam letak Goa dari pintu masuk yang terbilang cukup jauh yakni 600 meter memberikan sensasi berbeda ketika berjalan. Ketika pengunjung menaiki tangga menuju goa mereka akan disuguhkan dengan pemandangan hutan yang masih asli,



bahkan



bisa



dibilang



menaiki



tangga



menuju



Goabagaikan mini pendakian, jalurnya yang cukup curam dan panjang serta suasa khas gunung dan hutan membuat seakan-akan sedang mendaki gunung. Pembangunan dan penataan memang sudah Nampak di area pintu masuk hutan dan kolam renang sumber, namun ketika menaiki anak tangga menuju Goa banyak sekali fasilitas yang sudah terbengkalai dan tidak berfungsi, seperti adanya gazebo yang sudah usah serta toilet yang tidak berfungsi. Situs-situs pemakaman pun sudah cukup tertata dengan dibangunnya area sekitar makam yang membuat peziarah nyaman untuk sekedar membacakan yasin dan tahlil didalamnya. Makam para pembabat alas ini wajib untuk terus dijaga dan dilakukan pembangunan karena segala sejarah, cerita dan keunikan di Ngluyu tidak luput dari peran pembabat alas. Ngluyu sangat berpotensi besar untuk dijadikan desa wisata segala unsure kehidupan Ngluyu menarik untuk dipelajari mulai dari mitos jarit parang rusak, situs budaya berupa makam para pembabat alas, wisata alam Goa Margo Tresno, hingga masakan asem-asem yang sangat terkenal yakni asem-asem Bu Harsuni yang terletak di Dusun Putuk Wetan Desa Gampeng Ngluyu, asem-asem kambing yang dijual Bu Harsuni berhasil mengundang



para pecinta kuliner untuk datang melewati hutan yang panjang hanya untuk makan asem-asem ini. Setiap harinya warung Bu Harsuni tidak pernah sepi pembeli, mobil-mobil selalu terparkir berjejer disepanjang jalan tiap jam makan siang. Dengan segala potensi yang ada Ngluyu sangat menarik untuk dikaji. Diperlukan peran semua unsure untuk menciptakan Ngluyu menjadi desa wisata



yang



kaya akan sejarah, budaya, serta unsur menarik lain untuk dipelajari. Perlu adanya rangkulan dari pemerintah juga warga masyarakat yang proaktif untuk terus menjaga dan melestarikan serta mengembangkan Kecamatan Ngluyu agar terus berbenah, support dari masyarakat dan para pegiat cagar budaya perlu adanya guna mengembangkan potensi yang ada pada tiap desa di Kecamatan Ngluyu. Kesimpulan Kepercayaan



masyarkat



mengenai



pelarangan



memakai batik parang rusak yang terjadi di Ngluyu tidak terlepas dari sejarahnya, sejarah singkat dari Desa Ngluyu tidak



terlepas



dari



perjuangan



sosok



Pangeran



Suromangundjoyo. Larangan



menggunakan



batik



parang



rusak



merupakan larangan dalam adat masyarakat Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk yang dilangsungkan ketika



prosesi acara tertentu, dan larangan tersebut diyakini oleh masyarakat Ngluyu baik beragama Islam maupun non Islam dan warga masyarakat yang memiliki darah keturunan Ngluyu pasti memahami bahwa larangan yang diwarisi dari nenek moyang merupakan tradisi yang masih melekat hingga saat ini. Adat budaya larangan batik parang rusak di Ngluyu yang ada dan terus dipercaya merupakan kearifan local yang patut untuk diapresiasi, ditengah gerusan zaman keberadaan kearifan local menjadi filter dan pelindung budaya agar terus ada dan lestari. Perlu adanya rangkulan dari pemerintah juga warga masyarakat



yang



proaktif



untuk



terus



menjaga



dan



melestarikan serta mengembangkan Kecamatan Ngluyu agar terus berbenah, support dari masyarakat dan para pegiat cagar budaya perlu adanya guna mengembangkan potensi yang ada pada tiap desa di Kecamatan Ngluyu.



Daftar Pustaka Oktaviana, Kiki Resita. 2014. Mitos jarit parang dan makam Mbah Gedong di Desa Ngluyu Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk, skripsi. Surabaya: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Sukmawati, Nita. Mitologi kain parang di Desa Ngluyu sebagai gagasan berkarya tari “kesrimpet parang”, naskah publikasi. Surabaya: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Hartanto, Rio Yuli. 2012. Konstruksi Pengetahuan Remaja Tentang Mitos Lusan di Plosokerep, Kelurahan Bendosari, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, skripsi. Surakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Mulyani, Rini. 2013. Pernikahan Adat Jawa dalam Perspektif Tokoh Masyarakat (Studi Kasus Desa Ketangirejo Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan, naskah publikasi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jamil, M. Awaluddin. 2018. Larangan Memakai Batik Parang Rusak dalam Pernikahan Perspektif urf. Skripsi. Malang: Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Efendi, Agus. Implementasi kearifan budaya local pada masyarakat adat Kampung Kuta sebagaisumber pembelajaran IPS, SMP Negeri 1 Tambaksari Kabupaten Ciamis. Sosio Didaktika: Vol. 1 No. 2 Des 2014.



Banda, Maria Mtildis. Upaya Kearifan Lokal dalam Menghadapi Tantangan Perubahan Kebudayaan, naskah publikasi. (Bali: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Bali.