8 0 315 KB
EKSISTENSI ALUN-ALUN LUMAJANG PADA MASA KOLONIAL BELANDA HINGGA MASA KEDUDUKAN JEPANG Existence Of Lumajang Town Square In The Dutch Colonial Period To Japanese Sumarjono1, Nalar Cahyati Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember2 [email protected] ABSTRAK Kedatangan Belanda di Lumajang pada awal abad-19 membawa dampak baik bagi kemajuan infrastruktur maupun pendidikan di daerah tersebut, namun setelah kedudukan Jepang di Lumajang menyebabkan hilangnya beberapa arsip-arsip zaman Hindia-Belanda termasuk catatan-catatan penting sejarah Lumajang pada zaman Hindia Belanda. Pengkajian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan fungsi dari alun-alun Lumajang pada masa kolonial Belanda dan pada masa kedudukan Jepang. Tujuan penelitian ini untuk memberikan informasi mengenai dinamika eksistensi alun-alun Lumajang pada masa kolonial Belanda dan masa kedudukan Jepang dengan melalui sumber-sumber yang dapat dipercaya. Kata Kunci: kedatangan Belanda, kedudukan Jepang, sejarah Lumajang
ABSTRACT The arrival of the Dutch in Lumajang at the beginning of the 19th century had an impact both on the progress of infrastructure and education in the area, but after the Japanese occupation of Lumajang led to the loss of several archives of the Dutch East Indies including important historical records of Lumajang in the Dutch East Indies era. This study uses historical research methods. The results of this study indicate that there are different functions of the Lumajang town square in the Dutch colonial period information about the dynamics of the existence of the Lumajang town square in the Dutch colonial period and the period of Japanese occupation through reliable sources. Keywords: Dutch arrival, the arrival of Japan, history of Lumajang
1 2
Dosen Pendidikan Sejarah UNEJ Jl. Kalimantan No. 37, Krajan Timur, Sumbersari, Kec. Sumbersari
seorang asisten residen). Munculnya
PENDAHULUAN
Sejarah Alun-alun Lumajang dimuali
pada
zaman
bangunan-bangunan
bercorak
colonial
alun-alun
di
kawasan
penguasa
Lumajang,
alun-alun
pergeseran kekuasaan dari penguasa
tradisional memiliki fungsi sebagai
tradisional ke penguasa colonial pada
tempat bertemunya penguasa dan
akhir abad XIX. Namun ketika
rakyat.
ini
Jepang menguasai Lumajang pada
berkembang pada masa kerajaan-
tahun 1942, Jepang menghapuskan
kerajaan islam (khususnya di Jawa)
segala sesuatu yang berbau Belanda
sejak awal abad XVI. Pohon beringin
baik berupa bahasa maupun buku-
yang ada ditengah-tengah Alun-alun
buku, arsip surat yang tercetak pada
Lumajang, sudah ada jauh sebelum
zaman Hindia Belanda yang dibakar
kedatangan
bersama-sama. (Tamrin, 1999: 37)
tradisional.
Pada
Model
alun-alun
Belanda.
Menurut
Multatuli (2005), pembangunan alunalun
atau
pusat
pemerintahan
berdasarkan lokasi pohon keramat (pohon beringin). Dengan kata lain, alun-alun
sengaja
tempat-tempat
dibangun
yang
suci
di dan
keramat, seperti di dekat pohon beringin.
menunjukkan
Oleh
sebab
mengenai
Lumajang
pada
zaman
pengetahuan masyarakat Lumajang akan sejarah daerahnya, sehingga artikel ini ditulis dengan tujuan untuk informasi eksistensi
Lumajang banyak dijumpai ketika
Lumajang
pada
Belanda
Belanda
kawasan
Hindia-
Belanda yang membuat rendahnya
dinamika
memasuki
alun-alun
karena
minimnya arsip mengenai keadaan
memberikan
Arsip
itu,
adanya
dan
mengenai alun-alun
masa masa
kolonial kedudukan
Lumajang yang semula merupakan
Jepang, sehingga dapat bermanfaat
sebuah desa kecil yang kemudian
bagi
menjadi
daerah
wawasan lebih dalam lagi dengan
(bagian
referensi yang dapat dipercaya, dan
ibu
administrative keresidenan
kota afdeeling
yang dipimpin oleh
untuk
pembaca
penulis
untuk
menambah
sendiri
supaya
bermanfaat dengan kritik dan saran dalam penulisan sejarah kedepannya.
Sejak
Belanda
menguasai
Lumajang pada akhir abad ke-19, penguasa Belanda langsung meng-
TINJAUAN PUSTAKA
kavel (membagi atas petak-petak) alun-alun
Kawasan hakikatnya
alun-alun adalah
pada tempat
untuk
kepentingan
pemerintahan
kedepannya.
…(Lentera Jagad Abadi, 1998: 19)
berkumpulnya masyarakat, terutama Munculnya
untuk melepas lelah sekaligus tempat
bangunan-
rehat sambil menyaksikan aneka
bangunan
bercorak
colonial
di
hiburan yang ada, serta ajang saling
kawasan Alun-alun Lumajang pada
interaksi dan saling mengenal satu
akhir abad XIX ini, menunjukkan
sama lain. (Suciyani, W.O, 2013
adanya pergeseran dari penguasa
:147)
tradisional ke penguasa kolonial. (Balai Arkeologi Yogyakarta, 1995: Secara
umum
Alun-alun
96)
Lumajang memiliki makna sebagai METODE
ruang public dengan masih adanya area yang masih memiliki kesan kuat
Metode
tentang makna konotatifnya yaitu sisi
penelitian
utara yang bermakna ruang public
digunakan
masyarakat. (Firmansyah A.R, :10)
adalah menggunakan metode sejarah karena
Pada masa lampau, alun-alun digunakan sebagai tempat berkumpul rakyat saat pejabat pemerintahan berpidato
atau
acara
tertentu,
contohnya
pelaksanaan
hukuman
pancung,
pesta
rakyat,
dan
pertunjukan kesenian. . (Raap, O.J, 2017: 1).
dalam
yang
sesuai
penulisan
dengan
ini
bidang
keilmuan peneliti. Metode sejarah adalah
proses
menguji
dan
menganalisis secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau dan menuliskan hasilnya berdasarkan
fakta
yang
telah
diperoleh yang disebut historiografi (Gottschalk ,1985: 32). Berdasarkan metode penelitian yang digunakan
yaitu metode penelitian sejarah maka
dipercaya
perlu dilaksanakan beberapa langkah
diandalkan (reliable).
atau prosedur dalam penelitiannya. Tahap
Tahapan
dan
ketiga
dapat
adalah
adalah
interpretasi. Peneliti menyusun fakta-
merupakan
fakta dari sumber sejarah yang sudah
mencari dan mengumpulkan sumber-
di peroleh secara kronologis. Peneliti
sumber sejarah yang terkait masalah
melakukan
yang akan dikaji. Pada tahap ini
eksistensi alun-alun Lumajang pada
penulis mencari berbagai sumber
masa kolonial Belanda hingga pada
yang berkaitan dengan kondisi alun-
masa kedudukan Jepang.
alun Lumajang pada masa Kolonial
Tahapan
Heuristik.
pertama
(kredibel)
Heuristik
penafsiran
terhadap
Keempat
adalah
Belanda dan pada masa kedudukan
historiografi.
Jepang.
merupakan tahap penulisan untuk
Tahap
merupakan
merekontruksi peristiwa yang benar-
tahapan kritik. Kritik ekstern dalam
benar terjadi dalam bentuk cerita
penelitian ini adalah menyelidiki
sejarah
keaslian sumber dengan jalan melihat
penyusunan cerita sejarah dilakukan
secara fisik. Pada tahap kritik ekstern
dengan
ini
pengecekan
sejarah yang telah diperoleh sehingga
terlebih dahulu terhadap sumber-
menjadi suatu rangkaian urutan yang
sumber yang ada sebelum dirangkai
kronologis dan sistematis.
juga
menjadi
kedua
Historiografi
dilakukan
kajian
sejarah.
Apakah
secara
ilmiah.
merangkaikan
Kegiatan
fakta-fakta
Penulisan penting yang harus
keterangan yang didapat dari sumber
diperhatikan
dokumen
adalah berkenaan dengan model
bisa
dalam
historiografi
dipertanggungjawabkan. Sedangkan
penulisan.
kritik intern berusaha melakukan
mutakhir lebih mengutamakan model
penyelidikan
dan
deskriptif analitis. Unsur deskriptif
agar
adalah ciri utama penulisan sejarah
mendapat keterangan yang valid.
yaitu memaparkan dinamika kondisi
Kegunaan kritik intern itu akan
alun-alun
terhadap
isi
membanding-bandingkan
menghasilkan
fakta
yang
dapat
Penulisan
Lumajang
pada
sejarah
masa
colonial
Belanda
hingga
masa
kedudukan Jepang secara kronologis.
Belanda
yang
informatif,
terjemahannya
dalam
yang bahasa
Indonesia berbunyi: “Pohon Beringin HASIL DAN PEMBAHASAN
tampak
sangat
memberi Eksistensi
Alun-alun Lumajang
pada masa colonial Belanda
menarik
kesan
karena
seakan-akan
sekumpulan pohon menyatu menjadi satu
batang
yang sama. Pohon
ke-19,
tumbuh ke atas dan ke bawah bolak
Lumajang masih merupakan desa
balik, semakin besar hingga menjadi
kecil yang kemudian menjadi ibu
kubah dengan warna hijau yang
kota daerah administratif afdeeling
sangat indah. Kemudian ranting-
(bagian keresidenan yang dipimpin
rantingnya menghujamkan tangkai-
oleh
residen).
tangkainya kedalam tanah, yang akan
Kediaman asisten residen dibangun
menjadi batang baru dan akhirnya
di sisi utara (kini gedung Pemda),
menumbuhkan akar sulur sendiri.
masjid di sisi barat, dan di sisi
Pada
selatan terdapat kediaman kepala
mencapai ukuran raksasa. (Raap, O.J,
pribumi (sejak 1882 seorang wedana,
2017).
Pada
awal
seorang
abad
asisten
sejak tahun 1886 seorang patih, dan
akhirnya
Pada
pohon
awalnya
beringin
alun-alun
sejak 1928 seorang bupati). Pohon
merupakan pusat kota yang berfungsi
beringin tidak hanya tumbuh di
sebagai tempat bertemunya penguasa
tengah, tetapi juga di bagian tepinya.
dan rakyat. Kedatangan belanda di
Dari ukurannya, pohon beringin
Lumajang pada sekitar akhir abad
terlihat lebih tua daripada semua
XIX, yang ditandai dengan adanya
gedung
bangunan-bangunan
bercorak
…(Lentera Jagad Abadi, 1998: 19)
Belanda
alun-alun
Karena keindahan pohon beringin
Luamajang
tersebut,
abadikan
adanya pergeseran kekuasaan dari
menjadi kartu pos. Pada sisi belakang
penguasa tradisional ke penguasa
di
sekeliling
sehingga
di
alun-alun.
kartu pos dicetak penjelasan bahasa
disekitar yang
menunjukkan
kolonial.
(Balai
Arkeologi
Yogyakarta, 1995). Penguasa
Feotball Association). Para pelajar Belanda
meng-
kavel (membagi atas petak-petak) alun-alun
untuk
pemerintahan petak
kepentingan
kedepannya.
(kapling)
bagian
Pada selatan,
berupa “tennishaan” (lapangan tenis) untuk sarana rekreasi para pejabat Belanda dan tuan-tuan besar pemilik pabrik-pabrik
Sentose), PS-YOFA (Young Chinese
seluruh
memanfaatkan
tempat
yang
terluanguntuk bermain kasti atau main korfbal (bola keranjang ala Belanda).
Sedangkan
di
musim
kemarau, banyak anak-anak bermain layang-layang
di
alun-alun
ini.
…(Lentera Jagad Abadi, 1998: 19) Bagian utara sampai barat
wilayah
alun-alun Lumajang (kini menjadi
Lumajang. Lalu terdapat sepetak
lapangan upacara) digunakan sebagai
kapling
untuk
tempat pertunjukan umum seperti
gedung “landraad” (kini ditempati
pasar malam atau sirkus. Pernah juga
oleh TK Dharma Wanita). Gedung
diadakan
itu bersebrangan dengan “sccieteit”
primadona
(gedung pertemuan) orang Belanda
Dardanelle
untuk menikmati malam minggu atau
sekaligus
acara
berdansa
memberikan sumbangan mesin cetak
berpasangan di ruang tengah dan di
kepada M. Sastrodikoro, “Untuk
belakang diputar bioskop (sekarang
Suara Desa” yang mereka terbitkan.
menjadi
…(Lentera Jagad Abadi, 1998: 19)
yang
besar
digunakan
dengan
gedung
pertemuan
dan
kesenian). …(Lentera Jagad Abadi, 1998: 19)
Dewi
dari di
Dja
sandiwara
Lumajang
kedatangan
dan
tersebut
Pada siang hari yang panas, pohon beringin di tengah-tengah
Bagian Luamajng,
pertunjukan
timur
dimanfaatkan
alun-alun
alun-alun memberi naungan yang
untuk
cukup sejuk. Di sore hari, anak-anak
lapangan sepak bola yang digunakan
bermain
gebag
sodor,
oleh klub-klub sepak bola (PS),
lempar batu pipih, bermain adu
antara lain: PS-Semeru, PS-Hizbul
gangsing, atau bermain kelereng di
wathan, PS-RAS (Rukun Agama
alun-alun.
Terkadang
bermain
juga
para
anggota P.O. (Pencak Organisasi)
Januari 1929 M atau tanggal 2
yang dipimpin Moh. Imam Sudja’i
Ramadhan
yang
tersebut
berlatih
dibawah
pohon
1859 didirikan
R.
J.
Monumen
atas
prakarsa
beringin. Pada saat istirahat, diisi
Bupati
Kertoadirejo.
dengan gemblang rohani antara lain
Arkeologi Yogyakarta, 1995).
(Balai
menebalkan rasa cinta kepada Tanah air
dan
Bangsa
mengalami
yang saat
penjajahan
itu
Belanda.
Banyak masyarakat yang tertarik
Eksistensi
Alun-alun Lumajang
pada masa kedudukan Jepang Pada
periode
1942-1945
dengan kegiatan P.O. ini. Namun,
kedatangan
apabila dirasa terdapat PID (Dinas
menggantikan kekuasaan kolonial
Intel Polisi Belanda) diantara para
Belanda. Pada masa itu Jepang
penonton,
Sudja’i
menanamkan pengaruh di berbagai
membubarkan
bidang seperti pada bidang ekonomi,
pelatihan itu dan dilanjutkan di
social, pendidikan, dan politik.di
tempat lain yang tidak bisa segera
bidang politik, Jepang secara intensif
diketahui
mengumpulkan dan mendidik kaum
dengan
maka segera
oleh
Imam
petugas
PID.
…(Lentera Jagad Abadi, 1998: 19) Monumen
“regentschap”
(Pemda Kabupaten) yang bentuknya mirip candi, tetapi bukan candi,
bangsa
Jepang
muda pribumi serta meresmikan berdirinya gerakan barisan pemuda (Seinendan) pada tahun 1943. (Balai Arkeologi Yogyakarta, 1995)
karena bedanya berlubang tembus,
Sebelum perang dunia II
pada dinding atas mulut lubang
pecah, di wilayah Hindia Belanda
terdapat tulisan huruf Jawa baru dan
banyak warga Jepang bergerak di
angka. Monumen ini merupakan
bidang bisnis sebagai tokowan atau
peringatan perubahan status daerah
pengusaha.
Lumajang dari afdeling (bagian dari
perayaan hari ulang tahun Ratu
Kabupaten)
menjadi
Belanda Wilhelmina, warga Jepang
regentschap (Kabupaten). Perubahan
di wilayah Lumajang mendirikan
status tersebut ditetapkan tanggal 1
gapura tinggi khas Jepang dari beton
Probolinggo
Dalam
menyambut
bertulang. Gapura itu didirikan di
Selatan menuju Dampit. (Tamrin,
pojok alun-alun sebelah barat laut.
1999)
…(Lentera Jagad Abadi, 1998: 19) Karena mulai nampak adanya tanda-tanda pecah,
perang Pasifik
gapura
buatan
akan Jepang
Sejak itu kota
Lumajang
menjadi sepi, kantor-kantor, sekolah, toko, dan pasar ditutup. Warga Belanda
dan
Eropa
menunggu
dirobohkan oleh Belanda. Dan semua
nasibnya, karena tak lama lagi para
orang Jepang di Hindia Belanda
heitaisang (prajurit jepang) pasti
termasuk di “regentschop” Lumajang
datang dan menawan mereka. Selang
diusir pulang kenegaranya. Ternyata
2 hari waktu pagi, alun-alun kota
mereka telah menjadi spion/intel
Lumajang kedatangan tamu berupa
pemerintahan Jepang yang nantinya
truck-truck kosong milik tentara
akan menyerang dan menduduki
Jepang.
Hindia Belanda. …(Lentera Jagad
menggiring warga Belanda/ Eropa
Abadi, 1998: 19)
menuju
ke
Residen
(AR)
Awal
bulan
Maret
1942
tentara Jepang menggempur kota Surabaya dari laut dan udara. Para serdadu kini mengundurkan diri dan kota Surabaya
jatuh
ke tangan
Jepang. Dalam kegelapan malam KNIL melarikan diri dari Gempol ke arah
Lumajang.
Tengah
Malam
Para
heitaisang
Alun-alun.
sibuk
Asisten
ditangkap,
tetapi
karena mencoba melawan, AR itu digerubut heitaisang dan dimasukan kedalam
keranjang
babi
dan
dinaikkan keatas truck. (Tamrin, 1999) Setelah
berkuasanya
Dai
Nippon Teikoku seitu (Pemerintahan
jalanan disekitar alun-alun pun sudah
Kekaisaran
dipenuhi truck-truck militer yang
Hinomaru dikibarkan pada tiang di
menurunkan para serdadu KNIL
halaman Pendopo regent Lumajang.
yang langsung menggeletakan tidur
Aparat pemerintahan ada yang terus
di rerumputan. Di pagi hari, mereka
dimanfaatkan
bangun
melanjutkan
Abubakar Kartowinoto yang semula
perjalanannya lewat jalan Semeru
mengungsi ke luar kota, diangkat
dan
Jepang)
Jepang,
bendera
Regeni
kembali
menjadi
Bupati
dengan
Penguasa
sebutan Keneho, patih Pratalykrama
menerima
menjadi
Semu
Jepang
informasi
dari
telah para
Bucho
(Urusan
intelnya pada zaman kolonial Hindia
Umum)
sebutan
Belanda, bahwa para ustad, para
Wedana-Petinggi
murid, maupun para kyai dan santri-
diganti Guneho-Seneho-Kucho. Ada
santrinya bersikap non kooperatif
tambahan dua jabatan non formal
terhadap pemerintah kolonial. Sikap
sebagai Verlengtuk Petinggi (Lurah)
itu
yaitu Azzacho dan Tonan Kumicha
berpakaian berkopiah, mengenakan
yaitu ketua RW dan RT yang sampai
sarung, sandal dan kelompen. Bahasa
kini dilestarikan. (Tamrin, 1999: 37)
Belanda sangat tabu untuk diajarkan
Pemerintahan Wedana-asisten
Sekolah
sebagai
lembaga
pendidikan sistem Hindia Belanda
nampak
pada
gaya
mereka
kepada murid dan santri. (Tamrin, 1999: 37)
oleh Jepang dijungkir balikkan, yaitu
Dalam rangka Nipponisasi
RIS 7 Tahun, Fervelgscool 6 tahun
rakyat Indonesia, penguasa Jepang
ajaran.
memasukkan
Sekolah
EIS,
HCS
dan
pengaruh
budaya
Schaischool di bubarkan ambach
dengan
techool diubah namanya menjadi
menghapuskan segala sesuatu yang
Semmong-Gakko (Sekolah Teknik).
berbau
Sekolah-sekolah swasta yang lain
Lumajang
untuk sementara boleh dibuka untuk
pelajaran, arsip surat yang tercetak
menamatkan pelajaran bagi murid-
dan tertulis pada zaman Hindia
murid kelas 6 atau kelas 7 yang
Belanda dikumpulkan dan dibakar
diturunkan ke kelas 6. Setelah itu
bersama-sama.
para
guru
terlebih
Belanda. semua
Di
dahulu
Alun-alun buku-buku
Nama-nama
jalan,
dan
murid-muridnya
sekolah, kantor, perusahaan atau
di
kokuming-gakko,
toko-toko tak boleh menggunakan
kecuali sekolah swasta noeroel Islam
bahasa Belanda lagi, dan harus
(di sebelah utara masjid). (Tamrin,
diganti bahasa Jepang atau bahasa
1999: 37)
Indonesia.
ditampung
Bahasa
Jepang
wajib
diajarkan di Kokumin-Gakko dan
para karyawan Pemda dan instansi
boleh nampak keluar (ditutup dengan
lain wajib mengikuti kursus bahasa
kertas warna merah), setiap malam
di sore hari. (Tamrin, 1999: 37)
adalah
Di
Alun-alun
Luamajang
hampir setiap hari diadakan latian baris berbaris dengan gorai (aba-aba) Jepang. Upacara penaikan bendera (kokki) Jepang dan menyanyikan lagu
nasional
(kokka)
Kimigayo
dilakukan sebagai pengganti lagu Wilhelmus
waktu
zaman
Hindia
Belanda. (Tamrin, 1999: 37) Pada dengan
acara
(membungkukkan
kearah
istana di Tokyo dengan diakhiri teriakan
bersama
Banzai
(hidup
Tenno Sang
Heika, Baginda
Maharaja!). Kemudian disusul senam bersama dengan aba-aba lewat radio yang disebut kokuming rajio taiso. Pada siang hari, alun-alun penuh dengan kegiatan semi militer (barisberbaris,
dsb).
Oleh
menegangkan,
sewaktu
para
anggota
Keibodang berkeliling lari untuk mengawasi apakah warga Lumajang betul-betul sudah memasuki lubang perlindungan (bokugo) atau belum. Setiap
warga
sepotong
karet
menjaga
siap
bom
menggigit
mentah
paru-paru,
goncangan
ialah
saikeeree
badan)
karena
yang
untuk
apabila
yang
ada
jatuh
di
dekatnya. (Tamrin, 1999: 37)
puncak
melakukan
saat
Sainendan
(barisan pemuda), kaibodan (barisan ibu-ibu/wanita remaja), maka pada malam hariseluruh kota dan alunalun menjadi sunyi sepi dan samarsamargelap karena cahaya lampu baik di jalan maupun di rumah tidak
Menjelang
tahun
1945,
perang Pasifik semakin hebat dan berkali-kali terdengar gaung sirine dan teriakan kusyukeiho dari mulut keibodang baik malam maupun siang hari. Pada saat itu kereta api dan truck-truck Jepang mengangkut atau mencuri (beras,
bahan jagung,
makanan gula,
dll)
pokok yang
semuanya diangkut ke pelabuhan Probolinggo terus dikirim ke medan perang Pasifik. Seperti itulah Jepang menakut-nakuti atau menipu orangorang Indonesia yang benar-benar ketakutan sehingga berlindung di bokugo. (Tamrin, 1999: 37)
Heitaisang dinyatakan kalah dalam
peperangan,
Indonesia
dan
bangsa
memproklamasikan
kemerdekaannya,
semua
warga dengan
Lumajang
bernafas
lega
hilangnya
malam
gelap
gulita
benerang,
bahan
menjadi
terang
makanan tidak dirampok lagi, kerja paksa romusha juga dihapus, begitu pula sandang dan pangan mulai nampak ada perbaikan, tidak ada lagi mereka yang memakan karet mentah dan berpakaian goni lagi. (Tamrin, 1999: 37)
prakolonial
digunakan
sebagai tempat bertemunya penguasa rakyat.
Pada
saat
Belanda
memasuki Lumajang, struktur dan fasilitas
alun-alun
mengalami
perubahan yang telah dibagi-bagi berdasarkan fungsi letaknya masingmasing dan masyarakat bebas untuk melakukan kegiatan di alun-alun, namun
masih
dipantau
oleh
pemerintah Belanda. Sedangkan pada zaman
upacara-upacara
Jepang,
fungsi
tertentu
saja,
penggunaannya dibatasi dan tidak bisa
digunakan
untuk
khalayak
umum. Banyaknya arsip-arsip
dokumen
Hindia
atau
Belanda
di
Lumajang yang dimusnahkan oleh pemerintahan minimnya Belanda,
Jepang,
arsip yang
Kearsipan
membuat
zaman ada
di
Daerah Bahkan
Hindia kantor
Kabupaten museum
Kabupaten Lumajang itu sendiri
Fungsi alun-alun Lumajang
dan
dan hanya untuk kegiatan militer dan
Lumajang. KESIMPULAN
zaman
zaman ini penggunaannya dibatasi
alun-alun
mengalami perubahan yang semula bebas untuk kalangan umum, pada
hanya sedikit membeikan penjelasan mengenai
zaman
Kolonial.
Kebanyakan arsip-arsip mengenai zaman kolonial ini ditulis oleh para pelaku sejarah mengenai kehidupan di
wilayah
Lumajang.
Dengan
demikian diharapkan instansi yang terkait lebih memperhatikan dan mencari arsip-arsip kolonial maupun peninggalan-peninggalan yang masih ada.
kolonial
Kawasan
DAFTAR PUSTAKA
Alun-Alun
Kota
Bandung. Jurnal Pembangunan Anonim. 1998.
"Alun-Alun Kota
Lumajang Saksi Bisu Sejarah Selama Satu Abad" dalam MAHAMERU:
Parpol
Wilayah & Kota, 9(2), 144. https://doi.org/10.14710/pwk.v9 i2.6520 Ardy, R., & Budiarto, C. (n.d.).
Berebut PNS. XI/Nopember
Pemaknaan
1998.
Lumajang
Surabaya:
Lentera
Jagad Abadi.
Publik.
Raap, O. J. (2017). Kota Di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: PT Gramedia. Tarmin. 1999. "Alun-Alun, Saksi Bisu Sejarah Selama Satu Abad" dalam MAHAMERU: Heroisme Ala Wong Cilik. III/Maret
1999,
Surabaya:
Lentera Jagad Abadi. Balai Arkeologi Yogyakarta. (1995). Studi
Perencanaan
Pengembangan
Tempat-
tempat Benda Bersejarah dan Purbakala
di
Lumajang
Provinsi
Jawa
Yogyakarta:
Balai
Timur.
Kabupaten
Arkeologi Yogyakarta. Suciyani, W. O. (2013). Optimasi Pemanfaatan Aset Pemerintah sebagai
Upaya
Revitalisasi
Alun-Alun Sebagai
Ruang