Asal Usul Desa Mandirancan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASAL USUL DESA MANDIRANCAN Beradasarkan keterangan-keterangan dari sesepuh desa bahwa desa mandirancan berasal dari kata mandi (matih, ampuh) dan rancan (rencana) ada pula yang berpendapat bahwa mandi ( kolam tempat mandi) Jadi mandirancan berarti : - Desa yang mempunyai rencana yang matih/ ampuh dan dapat dilaksanakan dengan baik - Kolam tempat mandi yang matih untuk kekebalan/kesaktian Kedua perktaan tersebut mendekati kebenaran dengan alasan sebagi berikut : Pendapat pertama 1. Semenjak desa mandirancan berdiri semua orang yang bermaksud jahat terhadap masyarakat / penduduk desa selalu mengalami kegagalan. 2. Tiap-tiap pencuri yang melakuakn pencurian didesa mandirancan akhirnya tertyangkap juga. Kalau tidak tertangkap ia mengalami kegagalan (apes bahasa sunda) Keterangan tersebut juga dibuktikan yaitu ketika aksi polisi belanda ke I-II tahun 1947-1949, desa mandirancan diduduki oleh markas belanda dan merupakan pos aliran air ledeng dari desa paniis ke kota cirebon. Pada saat itu penduduk umumnya ada di pihak gerilyawan, berulang ulang markas belanda yang berada di desa mandirancan di serang oleh oihak gerilyawan,namun tidak membawa hasil . pernah terjadi peluru granat yang di lemparkan didepan markas tersebut tidak meledak, peluru mortir yang jatuh di salah satu rumahpun tidak meledak. Sebelum renfil serangan pihak gerilyawan tidak membawakan hasil karena kedua belah pihak gerilyawan tidur di kebun-kebun pinggir desa. Sebelum Cease Fire tahun 949, gerilyawan secara serentak melakukan serangan fajar, tetapi tidak berhasil. Pada tahun 1956 di Mandirancan ada yang bertugas satu Kompi Mobrig Jon 5118 bertempat di balai desa pernah mengalami serangan dari gerombolan DI Kartosuwiryo, mereka menyerang dari sebelah timur ± jarak 10 meter, inipun menemui kegagalan, dan pada tahun 1959 gerombolan DI Kartosuwiryo mengalami kehancuran. Adapumn Rancan yang artinya Rencana menurut keterangan dari orang tua bagi segala rencana dapat di laksanakan dengan baik.



Pendapat kedua Mandi yaitu tempat mandi di kampung cibarong blok pon desa mandirancan disana terdapat mata air yang jernih yang sampai sekarang rami di pakai tempat mandi oleh masyarakat setempat. Kata rancana brasal dari kata ranca yang artinya rawa. Kemungkinan dahulu pernah ada orang yang telah mandi diranca, akhirnya kalimat tersebut sampai sekarang menjadi nama desa. Menurut keterangan orang tua dahulu banyak ahli tarak (tapa), karena biasa (adat) main ujungan. Ahli-ahli tersebut melakuakan mandi di malam hari untuk menambah kekebalan dan kekuatannya/kesaktiannya. Tempat-tempat mandi yaitu yang digunakan yaitu di 7 (tujuh) muara yang ada di desa dan di luar desa. Berdasarkan penghuni desa yang pertama, yang mula-mula membuat saluransaluran air, jalan-jalan desa dan sebagainya yaitu : Buyut Neke dengan Buyut Dukuh. Akhirnya datang pula pendatang dari luar desa, yaitu dari daerah cirebon yaitu Buyut Tumenggung Kuning yang bergelar tunggal Kadu yang kemudian menjadi mantu Buyut Neke. Dari pernikahannya melahirkan buyut tanjung kemuning, dan karena kesaktiannya maka ia mendapat gelar Buyut Sirnabaya, dan Buyut Sirnabaya itu mempunyai seorang pembantu laki laki dari luar desa (sindang laut) yang samapi sekarang di sebut Buyut Lurah (panakawan-bhsa jawa), nama buyut lurah mashur sampai sekarang sehingga kuburannya dipelihara dengan baik. Menururt keterangan bahwa buyut lurah pernah diutus puraga (piket) ke mataram,dan pada jaman sultan agung ia pernah di suruh mengambil air, air tersebut diambil dengan dipikul memakipikulan cerangka rumput. Karena kesaktiannya ia di suruh pulang ke Mandirancan dengan membawa tanda jasa. Selain Buyut Lurah ada lagi orang yang dianggap kuat diantaranya : - Buyut sabuk Halu - Buyut gugur panadah - Buyut Karti - Buyut sajidin dll. Buyut sirnabaya mempunyai seorang gadis yang cantik, dan karena kecantikannya itu ia mempunyai mantu Sultan Cirebon. Di desa Mandirancan di buatnya sebidang kebun yang sampai sekarang disebut kebon Dalem yang terletak disebelah Timur desa, dan sebidang tanah yang dijadikan patamanan dalem seluas 1 Ha, tanah tersebut sampai sekarang disebut “Patoman” yang terletak disebelah Tenggara desa.



Dari pernikahan putri sirnabaya dengan sultan Cirebon tersebut desa Mandirancan menjadi mashur dan mendapat julukan Cirebon tua, dan ada kemungkinan dinamakan Cirebon tua karena saat itu terjadi (ada sebuah nangka) yang masak jatuh ke sebuah sumur, dan nangka tersebut tidak dapat dipotong dengan pisau atau golok. Nangka tersebut oleh para penguasa setepat diserahkan kepada Dalem Cirebon. Sumur itu disebut sumur kejayaan atau sumur bandung yang sekarang tertutup dengan sebuah batu. Sumur tersebut dapat terbuka dengan sendirinya bagi orang yang kewenean (bahasa sunda). Sumur itu terletak di pinggir sungai cipager. Pada tahun ± 1961 Batalyon 325 bertugas di desa Mandirancan, pernah ada seorang prajurit berpangkat Kopral namanya itu Bapak Sadja, ia dengan disertai oleh seorang pemuda desa pada suatu malam berkunjung ketempat tersebut, pada malam itu pula ia melihat 3 buah batu ali, diantaranya: merah delima, djamrud dan jaman. Batu-batu tersebut dengan mudah diangkat dengan maksud tidak akan memilikinya, kalau batu itu ingin dimilikinya, maka batu ali tersebut tidak terangkat. Sebelum batu-batu tersebut terangkat terlebih dahulu muncul godaan-godaan yang bermacam-macam ririwa (memedi dalam bahasa jawa). Menurut keterangan orang tua bahwa besok lusa desa Mandirancan akan dijadikan tempat kegiatan pemerintahannya. Keterangan tersebut terbukti pada tahun 1941 jaman bala tentara Dai Nipon mendarat, saat itu masyarakat kota Cirebon dipimpin oleh L.B.D mengungsi ke desa Mandirancan, juga terjadinya pemerintahan Inspektur wilayah III Cirebon, jawatan-jawatan perusahaan negara, lembaga Nifo keresidenan Cirebon melakukan kegiatan-kegiatan pemerintahannya di desa Mandirancan selama ± 1 bulan, yaitu pada bulan Oktober-November 1969, ketika adanya Fiel test Gala Yuda Angkatan Darat, dan desa Mandirancan dijadikan daerah pangkalan pemerintahan Inspektur wilayah III Cirebon. Pada saat itu masyarakat desa ikut aktif melaksanakan “perata” (perang rakyat semesta) yang disaksikan oleh para tamu dari luar dan dalam negeri. Dengan terbuktinya keterangan-keterangan yang biasa diceritakan oleh orang-orang tua, maka warga masyarakat desa semakin cinta terhadap desa yang merupakan tumpah darahnya. Karena jasa-jasa buyut Sirnabaya, masyarakat desa membentuk satu kesatuan olah raga dan kesatuan siswa dengan memakai nama sirnabaya, yaitu: - Olahraga desa Mandirancan “Sirna Baya” - Ikatan Pelajar Mandirancan “Sirna Baya”Beradasarkan keterangan-keterangan dari sesepuh desa bahwa desa mandirancan berasala dari kata mandi (matih, ampuh Jadi mandirancan berarti :



- Desa yang mempunyai rencana yang matih/ ampuh dan dapat dilaksanakan dengan baik - Kolam tempat mandi yang matih untuk kekebalan/kesaktian Kedua perktaan tersebut mendekati kebenaran dengan alasan sebagi berikut : Pendapat pertama 1. Semenjak desa mandirancan berdiri semua orang yang bermaksud jahat terhadap masyarakat / penduduk desa selalu mengalami kegagalan. 2. Tiap-tiap pencuri yang melakuakn pencurian didesa mandirancan akhirnya tertyangkap juga. Kalau tidak tertangkap ia mengalami kegagalan (apes bahasa sunda) Keterangan tersebut juga dibuktikan yaitu ketika aksi polisi belanda ke I-II tahun 1947-1949, desa mandirancan diduduki oleh markas belanda dan merupakan pos aliran air ledeng dari desa paniis ke kota cirebon. Pada saat itu penduduk umumnya ada di pihak gerilyawan, berulang ulang markas belanda yang berada di desa mandirancan di serang oleh oihak gerilyawan,namun tidak membawa hasil . pernah terjadi peluru granat yang di lemparkan didepan markas tersebut tidak meledak, peluru mortir yang jatuh di salah satu rumahpun tidak meledak. Sebelum renfil serangan pihak gerilyawan tidak membawakan hasil karena kedua belah pihak gerilyawan tidur di kebun-kebun pinggir desa. Sebelum Cease Fire tahun 949, gerilyawan secara serentak melakukan serangan fajar, tetapi tidak berhasil. Pada tahun 1956 di Mandirancan ada yang bertugas satu Kompi Mobrig Jon 5118 bertempat di balai desa pernah mengalami serangan dari gerombolan DI Kartosuwiryo, mereka menyerang dari sebelah timur ± jarak 10 meter, inipun menemui kegagalan, dan pada tahun 1959 gerombolan DI Kartosuwiryo mengalami kehancuran. Adapumn Rancan yang artinya Rencana menurut keterangan dari orang tua bagi segala rencana dapat di laksanakan dengan baik. Pendapat kedua Mandi yaitu tempat mandi di kampung cibarong blok pon desa mandirancan disana terdapat mata air yang jernih yang sampai sekarang rami di pakai tempat mandi oleh masyarakat setempat.



Kata rancana brasal dari kata ranca yang artinya rawa. Kemungkinan dahulu pernah ada orang yang telah mandi diranca, akhirnya kalimat tersebut sampai sekarang menjadi nama desa. Menurut keterangan orang tua dahulu banyak ahli tarak (tapa), karena biasa (adat) main ujungan. Ahli-ahli tersebut melakuakan mandi di malam hari untuk menambah kekebalan dan kekuatannya/kesaktiannya. Tempat-tempat mandi yaitu yang digunakan yaitu di 7 (tujuh) muara yang ada di desa dan di luar desa. Berdasarkan penghuni desa yang pertama, yang mula-mula membuat saluransaluran air, jalan-jalan desa dan sebagainya yaitu : Buyut Neke dengan Buyut Dukuh. Akhirnya datang pula pendatang dari luar desa, yaitu dari daerah cirebon yaitu Buyut Tumenggung Kuning yang bergelar tunggal Kadu yang kemudian menjadi mantu Buyut Neke. Dari pernikahannya melahirkan buyut tanjung kemuning, dan karena kesaktiannya maka ia mendapat gelar Buyut Sirnabaya, dan Buyut Sirnabaya itu mempunyai seorang pembantu laki laki dari luar desa (sindang laut) yang samapi sekarang di sebut Buyut Lurah (panakawan-bhsa jawa), nama buyut lurah mashur sampai sekarang sehingga kuburannya dipelihara dengan baik. Menururt keterangan bahwa buyut lurah pernah diutus puraga (piket) ke mataram,dan pada jaman sultan agung ia pernah di suruh mengambil air, air tersebut diambil dengan dipikul memakipikulan cerangka rumput. Karena kesaktiannya ia di suruh pulang ke Mandirancan dengan membawa tanda jasa. Selain Buyut Lurah ada lagi orang yang dianggap kuat diantaranya : - Buyut sabuk Halu - Buyut gugur panadah - Buyut Karti - Buyut sajidin dll. Buyut sirnabaya mempunyai seorang gadis yang cantik, dan karena kecantikannya itu ia mempunyai mantu Sultan Cirebon. Di desa Mandirancan di buatnya sebidang kebun yang sampai sekarang disebut kebon Dalem yang terletak disebelah Timur desa, dan sebidang tanah yang dijadikan patamanan dalem seluas 1 Ha, tanah tersebut sampai sekarang disebut “Patoman” yang terletak disebelah Tenggara desa. Dari pernikahan putri sirnabaya dengan sultan Cirebon tersebut desa Mandirancan menjadi mashur dan mendapat julukan Cirebon tua, dan ada kemungkinan dinamakan Cirebon tua karena saat itu terjadi (ada sebuah nangka) yang masak jatuh ke sebuah sumur, dan nangka tersebut tidak dapat dipotong dengan pisau atau



golok. Nangka tersebut oleh para penguasa setepat diserahkan kepada Dalem Cirebon. Sumur itu disebut sumur kejayaan atau sumur bandung yang sekarang tertutup dengan sebuah batu. Sumur tersebut dapat terbuka dengan sendirinya bagi orang yang kewenean (bahasa sunda). Sumur itu terletak di pinggir sungai cipager. Pada tahun ± 1961 Batalyon 325 bertugas di desa Mandirancan, pernah ada seorang prajurit berpangkat Kopral namanya itu Bapak Sadja, ia dengan disertai oleh seorang pemuda desa pada suatu malam berkunjung ketempat tersebut, pada malam itu pula ia melihat 3 buah batu ali, diantaranya: merah delima, djamrud dan jaman. Batu-batu tersebut dengan mudah diangkat dengan maksud tidak akan memilikinya, kalau batu itu ingin dimilikinya, maka batu ali tersebut tidak terangkat. Sebelum batu-batu tersebut terangkat terlebih dahulu muncul godaan-godaan yang bermacam-macam ririwa (memedi dalam bahasa jawa). Menurut keterangan orang tua bahwa besok lusa desa Mandirancan akan dijadikan tempat kegiatan pemerintahannya. Keterangan tersebut terbukti pada tahun 1941 jaman bala tentara Dai Nipon mendarat, saat itu masyarakat kota Cirebon dipimpin oleh L.B.D mengungsi ke desa Mandirancan, juga terjadinya pemerintahan Inspektur wilayah III Cirebon, jawatan-jawatan perusahaan negara, lembaga Nifo keresidenan Cirebon melakukan kegiatan-kegiatan pemerintahannya di desa Mandirancan selama ± 1 bulan, yaitu pada bulan Oktober-November 1969, ketika adanya Fiel test Gala Yuda Angkatan Darat, dan desa Mandirancan dijadikan daerah pangkalan pemerintahan Inspektur wilayah III Cirebon. Pada saat itu masyarakat desa ikut aktif melaksanakan “perata” (perang rakyat semesta) yang disaksikan oleh para tamu dari luar dan dalam negeri. Dengan terbuktinya keterangan-keterangan yang biasa diceritakan oleh orang-orang tua, maka warga masyarakat desa semakin cinta terhadap desa yang merupakan tumpah darahnya. Karena jasa-jasa buyut Sirnabaya, masyarakat desa membentuk satu kesatuan olah raga dan kesatuan siswa dengan memakai nama sirnabaya, yaitu: - Olahraga desa Mandirancan “Sirna Baya” - Ikatan Pelajar Mandirancan “Sirna Baya” Adm.Muh.Syakirudin



https://www.facebook.com/kuningankab.go.id/posts/10152114931781515



Asal Usul Kota Kuningan Jawa Barat



11



KamisAPR 2013



POSTED BY PF. AFRILLIANDRIEF IN PITO :) ≈ TINGGALKAN KOMENTAR



Kabupaten Kuningan, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat,Indonesia. Ibukotanya adalah Kuningan. Letak astronomis kabupaten ini di antara 108°23″ – 108°47″ Bujur Timur dan 6°45″ – 7°13″ Lintang Selatan. Kabupaten ini terletak di bagian timur Jawa Barat, berbatasan denganKabupaten Cirebon di utara, Kabupaten Brebes (Jawa



Tengah)



di



timur,Kabupaten



Ciamis di



selatan,



serta Kabupaten



Majalengka di barat. Kabupaten Kuningan terdiri atas 32 kecamatan, yang dibagi lagi



atas



sejumlah



Kecamatan Kuningan.



361 desadan



15 kelurahan.



Pusat



pemerintahan



di



Bagian timur wilayah kabupaten ini adalah dataran rendah, sedang di bagian barat berupa pegunungan, dengan puncaknya Gunung Ceremai (3.076 m) yang biasa salah kaprah disebut dengan Gunung Ciremai, gunung ini berada di perbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Gunung Ceremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat. Asal Mula Kabupaten Kuningan Pertama kali diketahui Kerajaan Kuningan diperintah oleh seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Raja ini memerintah sejaman dengan masa pemerintahan



Sang



Wretikandayun



di



Galuh



(612-702



M).



Sang



Pandawa



mempunyai putera wanita bernama Sangkari. Tahun 617 Sangkari menikah dengan Demunawan, putra Danghyang Guru Sempakwaja, seorang resiguru di Galunggung. Sangiyang Sempakwaja adalah putera tertua Wretikandayun, raja pertama Galuh. Demunawan inilah yang disebutkan dalam tradisi lisan masyarakat Kuningan memiliki ajian dangiang kuning dan menganut agama sanghiyang. Meskipun Kuningan merupakan kerajaan kecil, namun kedudukannya cukup kuat dan kekuatan militernya cukup tangguh. Hal itu terbukti dengan kekalahan yang diderita pasukan Sanjaya (Raja Galuh) ketika menyerang Kuningan. Kedatangan Sanjaya beserta pasukannya atas permintaan Dangiyang Guru Sempakwaja, besan Sang Pandawa dengan maksud untuk memberi pelajaran terhadap Sanjaya yang bersikap



pongah



dan



merasa



diri



paling



kuat.



Sanjaya



adalah



cicit



Sang



Wretikandayun, melalui putranya Sang Mandiminyak yang menggantikannya sebagai Raja Galuh (703-710) dan cucunya Sang Sena yang menjadi raja berikutnya (710717). Di Kerajaan Galuh terjadi konflik kepentingan, sehingga Resi Guru Sempakwaja mengambil keputusan. Diantaranya menempatkan Sang Pandawa menjadi guru haji (resiguru) di layuwatang (sekarang tempatnya di Desa Rajadanu Kecamatan Japara). Sedangkan kedudukan kerajaan digantikan Demunawan dengan gelar Sanghiyangrang Kuku, tahun 723. Masa pemerintahan Rahyangtang Kuku, diberitakan bahwa ibu kota Kerajaan Kuningan ialah Saunggalah. Lokasinya diperkirakan berada di sekitar Kampung Salia,



sekarang



termasuk



Desa



Ciherang



Kecamatan



Nusaherang.



Seluruh



wilayahnya meliputi 13 wilayah diantaranya Galunggung, Layuwatang, Kajaron,



Kalanggara, Pagerwesi, Rahasesa, Kahirupan, Sumanjajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pegergunung, Muladarma dan Batutihang. Tahun 1163-1175, Kerajaan Saunggalah terungkap lagi setelah tidak ada catatan paska Demunawan. Saat itu tahta kerajaan dipegang oleh Rakean Dharmasiksa, anak



dari



Prabu



berkedudukan



Dharmakusumah



di



Kawali.



Rakean



(1157-1175)



seorang



Dharmasiksa



raja



Sunda



memerintah



yang



Saunggalah



menggantikan mertuanya, karena ia menikah dengan putri Saunggalah. Namun Rakean Dharmasiksa tidak lama kemudian menggantikan ayahnya yang wafat tahun 1175 sebagai Raja Sunda. Sedangkan kerajaan Saunggalah digantikan puteranya yang bernama Ragasuci atau Rajaputra. Sebagai penguasa Saunggalah, Ragasuci dijuluki Rahyantang Saunggalah (1175-1298). Ia memperistri Dara Puspa, putri seorang raja Melayu. Tahun 1298, Ragasuci diangkat menjadi Raja Sunda menggantikan ayahnya dengan gelar Prabu Ragasuci (1298-1304). Kedudukannya di Saunggalah digantikan puteranya



bernama



kekuasaannya



Citraganda.



bertambah



Pada



meliputi



masa



kekuasaan



Cipanglebakan,



Geger



Ragasuci, Gadung,



wilayah Geger



Handiwung, dan Pasir Taritih di Muara Cipager Jampang. Masa Keadipatian Berdasarkan tradisi lisan, sekitar abad 15 Masehi di daerah Kuningan sekarang dikenal dua lokasi yang mempunyai kegiatan pemerintahan yaitu Luragung dan Kajene. Pusat pemerintahan Kajene terletak sekarang di Desa Sidapurna Kecamatan Kuningan. saat itu, Luragung dan Kajene bukan lagi sebuah kerajaan tapi merupakan buyut haden. Masa ini, dimulai dengan tampilnya tokoh Arya Kamuning, Ki Gedeng Luragung dan kemudian Sang Adipati Kuningan sebagai pemipun daerah Kajene, Luraugng dan kemudian Kuningan. Mereka secara bertahap di bawah kekuasaan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Djati (salah satu dari sembilan wali, juga penguasa Cirebon). Tokoh Adipati Kuningan ada beberapa versi. Versi pertama Sang Adipati Kuningan itu adalah putera Ki Gedeng Luragung (unsur lama). Tetapi kemudian dipungut anak oleh Sunan Gunung Djati (unsur baru).



Dia dititipkan oleh aya angkatnya kepada Arya Kamuning untuk dibesarkan dan dididik. Kemudian menggantikan kedudukan yang mendidiknya. Versi kedua, Sang Adipati Kuningan adalah putera Ratu Selawati, keturunan Prabu Siliwangi (unsur lama), dari pernikahannya dengan Syekh Maulanan Arifin (unsur baru). Disini jelas terjadi kearifan sejarah. Berdasarkan Buku Pangaeran Wangsakerta yang ditulis abad ke 17, Sang Adipati Kuningan yang berkelanjutan penjelasanya adalah berita yang menyebutkan tokoh ini dikaitkan dengan Ratu Selawati. Bahwa agama Islam menyebar ke Kuningan berkat upaya Syek Maulana Akbar atau Syek Bayanullah. Dia adalah adik Syekh Datuk Kahpi yang bermukim dan membuka pesantren di kaki bukit Amparan Jati (sekarang Cirebon). Syekh Maulana Akbar membukan pesantren pertama di Kuningan yaitu di Desa Sidapurna sekarang, ibu kota Kajene. Ia menikah dengan Nyi Wandansari, putri Surayana. Ada pun Surayana adalah putra Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana, Raja Sunda yang berkedudukan di Kawali (1475-1482) yang menggantikan kedudukan ayahnya Prabu Niskala Wastu Kancana atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi. Dari pernikahan dengan Nyi Wandansari berputra Maulana Arifin yang kemudian menikah dengan Ratu Selawati. Ratu Selawati bersama kakak dan adiknya yaitu Bratawijaya dan Jayakarsa adalah cucu Prabu Maharaja Niskala Wastu Kancana atau Prabu Siliwangi. Bratawijaya kemudian memimpin di Kajene dengan gelar Arya Kamuning. Sedangkan Jayaraksa memimpin masyarakat Luragung dengan gelar Ki Gedeng Luragung. Mereka bertiga, yakni Ratu Selawati, Arya Kamuning (Bratawijaya), Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa) diIslamkan oleh uwaknya yakni Pangeran Walangsungsang. Adapun Sang Adipati Kuningan yang sesungguhnya bernama Suranggajaya adalah anak dari Ki Gedeung Luragung (namun hal itu masih merupakan babad peteng atau masa kegelapan yang sampai saat ini tidak diketahui kebenarannya sesungguhnya anak siapa Sang Adipati Kuningan). Atas prakarsa Sunan Gunung Djati dan istrinya yang berdarah Cina Ong Tin Nio yang sedang berkunjung ke Luragung, Suranggajaya diangkat anak oleh mereka. Tetapi pemeliharaan dan pendidikannya dititipkan pada Arya Kamuning. Sedangkan Arya Kamuning sendiri dikabarkan tidak memiliki keturunan. Akhirnya Suranggajaya



diangkat jadi adipati oleh Susuhunan Djati (Sunan Gunung Djati) menggantikan bapak asuhnya. Penobatan ini dilakukan pada tanggal 4 Syura (Muharam) Tahun 1498 Masehi. Penanggalan tesebut bertempatan dengan tanggal 1 September 1498 Masehi. Sejak tahun 1978, hari pelantikan Suranggajaya menjadi Adipati Kuningan itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kuningan sampai sekarang.***