Asal Usul Kekayaan Teori Nilai PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RESIST BOOK



SEJARAH TEORI NILAI DALAM ILMU EKONOMI DARI ARISTOTELES SAMPAI AMARTYA SEN



Martin Suryajaya “Bila dewasa ini ilmu ekonomi sedang melorot menjadi sekadar mekanika mengeruk laba, pada mulanya adalah perdebatan filsafat tentang 'nilai' (value). Ke situ pula ilmu ekonomi perlu menimba kembali ilham untuk menerobos kekerdilannya. Inilah bukunya. Saya belum pernah menemukan buku seperti ini bagi pembaca bahasa Indonesia. Buku ini menempatkan kembali ekonomi dalam sejarah pemikiran dan filsafat. Sumbangan yang cemerlang.” — Dr. B. Herry-Priyono, Dosen Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.



“Buku pemikir muda cemerlang Martin Suryajaya tentang sejarah pemikiran filsafat ilmu ekonom‫ ؛‬ini akan menjadi sumbangan pemikiran penting untuk menghidupkan kembali ilmu ekonomi yang sedang mengalami krisis dewasa ini.” — Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Cendekiawan Muslim “Membaca buku ini membuat para ilmuwan ekonomi susah tidur, karena ilmu ekonomi mencakup ruang lingkup begitu luas, mulai dari pendekatan filosofis (epistemologi), teoretis, hingga empiris. Buku yang layak dibaca bagi siapapun yang mengaku dirinya ekonom, pengambil kebijakan level tinggi (pejabat tinggi), dan juga akademisi.” — Dr. A. Prasetyantoko, Doktor Ilmu Ekonomi École Normale Supérieure de Lyon (ENS Lyon), Prancis; Dosen di Unika Atma Jaya, Jakarta “Kekuatan utama buku ini terletak pada telaah filosofis-ontologis tentang hal ihwal kekayaan yang didasarkan pada sejarah teori nilai yang menjadi inti ilmu ekonomi itu sendiri. Buku ini memberi sumbangan akademis yang sangat berguna bagi studi tentang ilmu ekonomi sekaligus sumbangan luar biasa penting bagi studi ilmu sosial dan politik, khususnya tentang persoalan keadilan ekonomi.” — Dr. Sonny Keraf, Dosen Filsafat Ekonomi di Unika Atma Jaya, Jakarta “Saya mengagumi kesungguhan dan kesabaran saudara Martin Suryajaya dalam menulis buku ini. Melalui buku ini, ia tidak hanya berhasil mengungkapkan dinamika pergulatan pemikiran yang mewarnai perjalanan ilmu ekonomi secara sistematis dan lengkap, tetapi juga memetakan berbagai alirannya ke dalam dua kubu utama, kubu teori nilai kerja Marxian dan kubu teori nilai utilitas Neoklasik, secara kritis dan berimbang.” — Dr. Revrisond Baswir, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Universitas Gadjah Mada “Isu yang diangkat dalam buku karya Martin ini sangat jarang dijumpai, karena mempersoalkan hal paling dasar dalam ilmu ekonomi, yaitu bagaimana duduk perkaranya teori nilai dan kritiknya atas teori nilai-utilitas kaum Neoklasik (yang semakin bangkrut dan menjadi sumber krisis global sekarang).” — Bonnie Setiawan, Direktur Eksekutif di Résistance and Alternatives to Globalization (RAG) “Buku ini tergolong langka di kepustakaan akademik Indonesia saat ini. Dan ia hadir pada saat yang sangat tepat, dimana kapitalisme secara global termasuk di Indonesia kembali berhadapan dengan krisis, dan gugatan terhadap kekayaan kembali menjadi sumber perdebatan.” — Irwansyah, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia “Dengan gaya analitik-historis khas, Martin membongkar dan merakit kembali perseteruan paling menggetarkan dalam sejarah ekonomika. Dalam khazanah pemikiran di Indonesia, saya kira buku sekelas ini baru pertama kali diterbitkan.” — Dede Mulyanto, Dosen Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran dan penulis buku Genealogi Kapitalisme (Resistbook, 2012) “Di tengah heboh prediksi ekonomi yang semakin mirip ilmu nujum dan kegelisahan mencari model ekonomi yang tepat bagi dunia, Martin Suryajaya mengajak kita kembali ke soal yang sangat mendasar, yakni teori tentang nilai. Buku ini penting dibaca mereka yang ingin tahu 'rahasia' yang membentuk dunia kita hari ini dan kemungkinan mengubahnya.” — Hilmar Farid, Sejarawan



،٨ ، r e s is t



V ' BOOK



% BACA8LAWAN



i ¥ ¥ “l



A



sal - U s u l



K f.k ay a a n



Sejarah Teori Nilai dal am Ilinu Ekonomi dari Aristoteles Sarnpai Amartya Sen



Martin Suryajaya



RESIST BOOK



6



2013



Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan (KDT)



Suryajaya, Martin Asal-Usul Kekayaan— Martin Suryajaya, Yogyakarta: Resist Book, 2013 368 halaman, i - xvi, 14 X 21 cm ISBN 978-979-1098-18-2



1. Asal-Usul Kekayaan I. Judul



2. Teori Sosial



Cetakan Pertama, 2013



Rancang Sampul: asn Kompugrafi: Meja Malam Design



Diterbitkan oleh: Resist Book



Gedung Amal Insani Lt. 03 Jl. Ring Road Utara No.4 Maguwoharjo Sleman Yogyakarta Telp. 0274-7422 761 E-mail: [email protected]



3. Ekonomi-Politik



D aptar I si



Prakata ~ix I. Pendahuluan 1.1. Krisis Ilmu Ekonomi sebagai Latar Belakang ~1 1.2. Sekilas tentang Teori Nilai ~ 3 1.3. Catatan tentang Metode ~ 12 1.4. Ringkasan Argumen ~ 17



II. Aristoteles dan Asal-Usul Teori Nilai 2.1. Pengantar ~ 25 2.2. Aristoteles dan Persoalan Keseukuran Benda-benda ~ 26 2.3. Persoalan Keseukuran dalam Ontologi Aristoteles ~ 31 2.4. Persoalan Keseukuran dan Distingsi Ekonomi-Khrematistik ~ 34 2.5. Rangkuman ~ 38



III. Teori Nilai-Kerja dalam Ekonomi-Politik Klasik 3.1. Pengantar ~ 41 3.2. Sejarah Teori Nilai-Keija ~ 42 3.2.1. Genealogi Teori Nilai-Keija dalam Abad Pertengahan ~ 42 3.2.2. Kemunculan Teori Nilai-Kerja dalam Pemikiran William Petty ~ 45 3.2.3. Adam Smith dan ‘Hukum Gravitasi’ Nilai ~ 52 3.2.4. David Ricardo dan Rumusan Klasik Teori NilaiKeija ~ 59



3.2.5. Karl Marx dan Kekhususan Historis Teori Nilai-



3.3. Ontologi Teori Nilai-Ke‫'؟‬a ~ 81 3.3.1. Problem Keseukuran: Sumber, Regulator dan Sarana Pengulair Nilai ~ 83 3.3.2. Teori Nilai-Kerja sebagai Teori tentang ‘Kualita$ Primer Sosial’ ~ 85 3.3.3. Ontologi Substansialis dalam Teori Nilai-Kerja ~ 99 3.4. Rangkuman ~ 103



rv. Teori Nilai-Utilitas sebagai Kritik atas Teori NilaiKerja 4.1. Pengantar ~ 109 4.2. Genealogi Teori Nilai-Utilitas ~ 110 4.3. Revolusi Marginalis dan Kritik atas Teori Nilai-Kerja ~ 126 4.3.1. William StanleyJevons ~ 126 4.3.2. Cari Menger ~ 137 4.3.3. Léon Walras ~ 146 4.4. Ontologi Teori Nilai-tJtilit148 ~ ^ ‫؛‬ 4.4.1. Pengertian Utilitarian tentang Keseukuran ~ 150 4.4.2. Reduksi Ontologi ke Epistemologi ~ 156 4.4.3. Persoalan Determinasi Harga sebagai Inti Kritik atas Teori Nilai-Kerja ~ 161 4.5. Rangkuman ~ 167



V. Perkembangan Teori Nilai-Utilitas 5.1. Pengantar ~ 171 5.2. Dari Teori Nilai-Utilitas ke Teori Pilihan Sosial ~ 172 5.2.1. Vilfredo Pareto, Ordinalisme dan ‘Ekonomi Kemakmuran’~ 172 5.2.2. Formasi Teori Pilihan Sosial: Arrow dan Sen ~ 182 5.3. Ontologi Ordinalisme ~ 191 5.3.1. Ordinalisme sebagai Kelanjutan Kardinalisme " 194



5.3.2. Ketakseukuran dan Lenyapnya Pengandaian Teori Nilai ~ 196 5.3.3. Absennya Stratifikasi Kapabilitas ~ 198 5.4. Rangkuman ~ 203



VI. Fungsi Eksplanatoris Teori Nilai-Kerja 6.1. Pengantar ~ 207 6.2. Realisme Kritis Roy Bhaskar ~ 208 6.2.1. Syarat Kemungkinan Sains ~ 208 6.2.2. Struktur sebagai Jaringan Disposisi: Stratifikasi Kenyataan 213 ‫د‬ 6.2.3. Stratifikasi Penjelasan dan Prediksi ' 221 6.2.4. Kriteria bagi Pemilahan Realisme dan Antirealisme ~ 227 6.3. Peralihan Epistemologis dari Teori Nilai-Kerja ke Teori Nilai-Utilitas ~ 232 6.3.1. Tipologi Teori Nilai-Kerja dan Teori Nilai-Utilitas ~ 232 6.3.2. Kriteria I: Adanya Stratifikasi Ontologis ~ 233 6.3.3. Kriteria II: Adanya Stratifikasi Penjelasan ~ 238 6.3.4. Kriteria III: Status Ontologis Hukum Ilmiah ~ 241 6.4. Konsekuensi Ekonomis dari Teori Nilai-Utilitas ~ 246 6.5. Rangkuman ~ 250



VII. Rehabilitasi Teori Nilai Marxian 7.1. Pengantar ~ 253 7.2. Implikasi Eksplanatoris dari Teori Nilai Marx ~ 254 7.2.1. Kondisi Hipotetik Analisis: Komoditas Dijual Sesuai dengan Nilainya ~ 257 7-2-2- Materialisme Historis dalam Ekonomi: Produksi Mengkondisikan Sirkulasi ~ 260 7.2.3. Distingsi Nilai dalam Kapital^ab I ~ 263 7.2.4. Asal-Usul Nilai-Lebih ' 2.6?



V



7.2.5. Derivasi Nilai ke ‫ س س‬Kapital dan Laba ~ 268 7.2.6. Proses Akumulasi Kapital ~ 273 7.2.7. Teori Krisis Kapitalisme ~ 281 7.2.8. Transformasi Nilai ke Harga Produksi 286 7.3. Kritik atas Teori Nilai-Kerja Marx ~ 292 7.3.1. Kritik Neoklasik Böhm-Bawerk ~ 292 7.3.2. Pembelaan Hilferding dan Bukharin ~ 298 7-3.3. ‘Solusi’Bortkiewicz atas ‘Problem Transformasi’ ~ 304 7.3.4. Kritik Neo-Ricardian Piero Sraffa ~ 306 7.4. Situasi Perdebatan Terakhir ~ 301 7-4-1- ‘Pendekatan Bentuk-Nilai’Arthur ~ 311 7.4.2. ‘Interpretasi Baru’Dumenil-Foley ~ 314 7.4.3. ‘Interpretasi Sistem Temporal-Tunggal’ FreemanCarchedi-Kliman ~ 319 7.5. Rangkuman ~ 323



VIII. Penutup 8.1. Rangkuman Umum ~ 328 8.2. Teori Nilai sebagai Teori Umum tentang Masyarakat ~ 340 8.3. Persoalan Emansipasi dalam Ilmu Ekonomi ~ 344



Daftar Pustaka~ 349 Indeks ~ '١^ ١ Tentang Penulis ~ 3^7



D aftajr T a b e l , G r a h k d an D ia g ram



TABEL Tabel 1. Faktor-Faktor Produksi ~ 11 Tabel 2. Utilitas Kardinal ~ 174 Tabel 3. Utilitas Ordinal ~ 175 Tabel 4. Pelapisan Domain Kenyataan ~ 214 Tabel 5. Tipologi Teori Nilai-Kerja dan Utilitas ~ 232 Tabel 6. Transformasi Nilai l‫؛؛‬e Harga Produksi ~ 289



GRAFIK Grafik 1. Fungsi Utilitas Gossen ~ 124 Grafik 2. Variasi Utilitas Jevons ~ 129 Graiik3. Kurva Indiferensi Pareto ~ 176



DIAGRAM Diagram 1. Kerangka Marxian tentang Kerja dan Nilai ~ 266 Diagram 2. Pendekatan Marx dan Sraffa ~ 309



v ii



viii



Pr akata



Dalam ilmu-ilmu yang telah mencapai tahap formalisasi matematis tertentu seperti ilmu ekonomi, pertanyaanpertanyaan ilmiah dapat dirumuskan dan dijawab melalui pembangunan suatu model. Apa yang dimaksud dengan model adalah keseluruhan teorema yang dapat diturunkan dari sederet aksioma tertentu dan menerangkan suatu rentang fenomena yang terpadu. Ilmu ekonomi dewasa ini dirumuskan dalam kerangka pemodelan seperti itu: model input-output Leontief, model IS/LM Keynes-Hicks, model pertumbuhan Harrod-Domar, dan seterusnya. Dalam kajian yang lebih teoretis, model-model semacam itu dirumuskan melalui matematika ekonomi dan kalkulus predikat. Sementara dalam kajian yang lebih empiris, modelmodel itu diterapkan atau diuji melalui penelitian statistik dalam kerangka ekonometri. Dua wilayah kajian tersebut mencirikan dua jenis ekonom hari ini: ekonom teoretis yang ahli di bidang pemodelan formal serta ekonom empiris yang pandai mengolah data ekonometris. Ringkasnya, dalam kedua wilayah itulah tercakup semua pekerjaan para ekonom kontemporer: merumuskan model secara formal atau menguji dan menerapkannya secara empiris.



Topik kajian buku ini berada di luar wilayah kajian yang digambarkan di muka. Sebelum berpikir tentang model-model ilmiah dan pengujian empirisnya, kita perlu menjernihkan pertanyaan fundamental dari sebuah ilmu. Apakah syarat kemungkinan dari ilmu ekonomi? Apakah sebenarnya objek utama yang hendak dijelaskan oleh ilmu ekonomi? Apakah raison d’ttre dari ilmu ekonomi? Itulah wilayah kajian buku ini. Dalam pengertian tradisionalnya, objek ilmu ekonomi adalah kekayaan (wealth). Menjelaskan asal-usul kekayaan, dengan demikian, merupakan tugas utama ilmu ekonomi—sebuah tugas yang mendefinisikan keberadaannya sebagai disiplin ilmu. Apakah yang dimaksud dengan kekayaan? Dalam masyarakat kita, kekayaan tampil sebagai tumpukan barang-dagangan. Karenanya, pertanyaan tentang asal-usul kekayaan pada akhirnya adalah pertanyaan tentang asal-usul barang-dagangan. Lantas apakah syarat yang mesti dipenuhi agar barang-dagangan ada? Syaratnya adalah bahwa barang-barang tersebut dapat dipertukarkan dalam rasio tertentu. Pada gilirannya, rasio itu sendiri mengandaikan adanya kesamaan ukuran antar barang. Apakah asal-usul, prinsip penentu dan sarana pengukur rasio tersebut? Inilah pertanyaan dasar dari teori nilai. Kesimpulannya, teori nilai adalah landasan ilmu ekonomi. Kita tak bisa berharap memperoleh kejernihan dalam ilmu ekonomi apabila kita tak mendapat kejernihan tentang duduk perkara dasarnya. Penjernihan atas teori nilai, karenanya, merupakan prasyarat yang mesti dipenuhi bagi pembangunan model-model ekonomi yang ilmiah. Itulah tugas yang dikerjakan oleh buku ini. Melalui buku ini, penulis bermaksud memberikan sumbangan kecil bagi diskusi tentang teori nilai sebagai landasan ilmu ekonomi melalui tinjauan sejarah pemikiran dan filsafat ilmu. Penulis menganggap bahwa upaya ini diperlukan mengingat masih minimnya kajian tentang teori nilai, sejarah pemikiran maupun filsafat ilmu di Indonesia. x



Melalui paparan sejarah pemikiran, penulis berharap dapat menunjukkan kesejarahan dari gagasan ekonomi tentang nilai dan proses perdebatan yang mengiringinya. Sementara melalui tinjauan filsafat ilmu, penulis berharap dapat menjernihkan andaian epistemik dan ontologis dari gagasan tersebut. Harapan penulis, dengan cara itu penulis dapat memberikan secercah terang pada kajian tentang duduk perkara ilmu ekonomi sehingga dapat menyediakan perspektif kritis dalam proses perumusan dan penerapan model-model ekonomi. Bentuk awai dari naskah buku ini berasal dari tesis magister yang penulis kerjakan semasa kuliah di STF Driyarkara, Jakarta, di bawah bimbingan Dr. B. HerryPriyono. Penulis berterima kasih untuk seluruh masukan dan kritik yang beliau berikan. Atas bimbingan beliau pula, penulis berhasil mempertahankan tesis yang diuji pada bulan November 2012 oleh Dr. Karlina Supelli, Prof. Dr. J. Sudarminta bersama dengan beliau. Penulis merasa beruntung bisa diuji oleh Dr. Herry-Priyono yang pakar dalam hal ilmu ekonomi dan filsafat ekonomi, Dr. Karlina Supelli yang pakar dalam kajian filsafat ilmu, serta Prof. Dr. J. Sudarminta yang pakar dalam kajian epistemologi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih. Penulis juga bersyukur atas iklim akademis lingkungan pasca-sarjana STF Driyarkara yang sangat menghargai dialog antara filsafat dan ilmu-ilmu. Tanpa iklim semacam itu, tentunya buku ini tak akan ada. Maka itu, penulis juga berterima kasih kepada seluruh dosen, karyawan serta kawan-kawan mahasiswa pasca-sarjana STF Driyarkara. Di luar kampus, penulis juga beruntung bisa terlibat dalam kelompok diskusi ekonomi bernama Masyarakat Heterodoks Indonesia yang dibentuk atas inisiatif Institute for Global Justice (IGJ). Melalui forum ini, penulis mendapat kesempatan untuk menguji pengertian otodidak penulis tentang ekonomi di hadapan kawan-kawan yang



belajar ilmu ekonomi secara formal. Untuk itu, penulis berterima kasih kepada kawan-kawan yang terlibat dalam forum ini: Bonnie Setiawan, Fachru Nofrian, Diah Laksmi dan Edy Burmansyah. Perkenalan pertama penulis dengan ilmu ekonomi sendiri bermula dari kelompok kajian Komunitas Marx. Setelah sekitar dua tahun berdiskusi tentang tiga Bab pertama Das Kapital dalam kelompok ini, terbit keinginan dalam hati penulis untuk membuat suatu kajian yang agak sistematis tentang teori nilai. Untuk itu, penulis berterima kasih pada kawan-kawan Komunitas Marx: Berto Tukan, Yovantra Arief dan Anom Astika. Dalam kaitan dengan itu, penulis juga berterima kasih pada kawan-kawan dari gerakan sosial. Kepada Dede Mulyanto dan para mahasiswanya, penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusinya tentang ekonomi-politik yang terus menyemangati penulis untuk membukukan penelitian ini. Kepada Harry Wibowo (Harwib), penulis mengucapkan terima kasih atas cerita tentang aktivitasnya bersama kelompok studi era 80-an dalam mengkaji teori nilai Marx. Era gerakan sosial dan kelompok studi tahun 80/90-an awai memang tampak seperti Belle Époque buat penulis. Karenanya, cerita dari Harwib itu menambah tebal tekad penulis untuk menjalankan penelitian ini. Kepada Hilmar Farid, penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya untuk membagikan wawasannya tentang perkembangan kontemporer perdebatan teori nilai Marx. Sebagian kecil materi dalam buku ini pernah penulis sampaikan pada kesempatan lain. Sebagian dari Bab VII pernah penulis terbitkan sebagai artikel untuk jurnal Indoprogress, sementara sebagian yang lain penulis presentasikan dalam forum diskusi yang diadakan oleh Perhimpunan Rakyat Pekerja. Sebagian kecil dari Bab VI



dan Bab VIE pernah penulis sampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Masjid Salman-ITB, Bandung. Oleh karenanya, penulis mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang telah menyediakan kesempatan tersebut. Penulis juga berterima kasih kepada Bung Wawan dari Resist Book yang telah menyunting naskah ini dengan baik. Akhirul kalam, penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan komentar atas naskah dan mengizinkan komentamya dicetak sebagai endorsement bagi karyaini.



Jakarta, Gang Kabel Atas 13 September 2013 Martin S.



xiv



‫‪AX‬‬



‫‪ Hnt u 7 b‬دبموءمء‪//‬ء‬



xvi



P en dah uluan



1.1. Krisis Ilmu Ekonomi sebagai Latar Belakang Pada tahun2000, sekelompok mahasiswa dan pengajar ilmu ekonomi di Prancis menerbitkan sebuah petisi protes yang mempersoalkan kurikulum ilmu ekonomi di berbagai universitas karena dipandang semakin tenggelam dalam abstraksi matematis dan kehilangan sentuhan dengan realitas. Tuntutan pertama dalam petisi tersebut ialah “Kita ingin keluar dari dunia imajiner” (Fullbrook 2006: 13). Ekonomi Neoklasik1, sebagai ilmu ekonomi yang umum diajarkan di institusi pendidikan tinggi, dipandang tidak berhasil menyajikan pengertian tentang realitas ekonomi dan justru terbenam ke dalam kecenderungan formalistik, yakni keharusan untuk merumuskan kenyataan ekonomi dalam rumusan matematis. Apa yang lantas hilang dari 1 Istilah ‘ekonomi Neoklasik’ umumnya dimengerti sebagai sesuatu yang identik dengan ‘ekonomi Modern’, yakni mayoritas pandangan para pemikir ekonomi sejak 1870—atau sejak W.S. Jevons, C. Menger dan L. Walras memperkenalkan teori nilai-utilitas dan dengan demikian mengubah paradigma ilmu ekonomi secara keseluruhan.



panorama seperti ini adaiah realisme i!mu ekonomi itu sendiri. Paul Ormerod juga mencatat hal yang serupa, yakni asumsi realistik yang dipegang dalam ekonomi Klasik2 sampai Ricardo dan Marx kemudian hilang dalam beberapa dasawarsa terakhir abad ke-19 dengan munculnya paradigma ekonomi Neoklasik (Ormerod 1994: 41). Postulat-postulat dasar tentang ekonomi—misalnya, homo economicus atau manusia yang aktivitasnya digerakkan sepenuhnya oleh kalkulasi berbasis kepentingan-dili— terlanjur diformalisasi ke dalam rumusan matematis dan tak lagi diperiksa validitasnya di hadapan kenyataan. Tony Lawson, seorang filsuf ekonomi dari Inggris, mendukung gerakan yang dengan cepat meluas tersebut dan mengkritik ilmu ekonomi arus-utama karena menerapkan metode dedu^if-formal dalam ranah sosial dimana ‘regularitas empirik’ (jika X, maka y) sangat jarang dijumpai (Lawson 2003:13). Dengan melanggar batas-batas penerapan metode deduktif-formal yang sah, ilmu ekonomi arus-utama atau Neoklasik tak lagi menjejakkan kakinya pada bumi realitas dan tenggelam dalam konstruksi-konstruksi hipotetik yang dirancang secara arbitrer. Ilmu ekonomi kontemporer, dengan demikian, telah kehilangan realitasnya. Adalah hal yang menarik bahwa menjadi semakin spekulatifoya ilmu ekonomi kontemporer juga berjalan bebarengan dengan kecenderungan spekulatif fenomena perekonomian dewasa ini. Krisis kredit perumahan di Amerika Serikat pada tahun 2008 yang berkembang menjadi krisis finansial global hingga hari ini hanyalah riak dari hegemoni pasar finansial di atas se^or riil.3 Materialitas 2 Istilah ‘ekonomi Klasik’ umumnya mengacu pada pandangan sederet pemikir ekon©mi mulai dari William Petty pada abad ke-17 hingga Karl Marx pada abad ke-1^. Secara lebih spesifik lagi, istilah tersebut dipakai dalam buku ‫ ل ط‬sebagai sin ^ im dari ilmu ekonomi yang dibangun di atas ^ngandaian teori nilai-kerja. ‫ أ‬Krisis kredit perumahan Amerika Serikat bermula dari krisis pembayaran subprime mortgage. Apa yang dimaksud dengan subprime



komoditas yang diproduksi dalam sektor riil kini seakan ditelan dalam gelombang supramaterial pasar derivatif.4 Komoditas konkret yang dipertukarkan di pasar kini justru ditentukan, alih-alih menentukan, komoditas ‘virtual’: pertukaran komoditas justru ditentukan oleh pertukaran atas prospek pertukaran itu sendiri. Ada sesuatu yang ganjil secara epistemologis dalam panorama kontemporer ini. Masyarakat tidak hidup dengan mengunyah lembar saham dan memakan prospek atau risiko, melainkan dari nasi dan roti yang diproduksi dalam sektor riil. Ketika kedua ranah perekonomian ini didekati dengan kebijakan yang menaruh keduanya dalam satu level penjelasan, atau bahkan memprioritaskan sektor finansial di atas sektor riil karena potensi laba yang lebih besar, maka kebijakan itupun sejatinya tengah berjalan setengah melayang meninggalkan kenyataan, mengabaikan syarat-syarat material dasar bagi adanya masyarakat.



1.2. Sekilas tentang Teori Nilai Berangkat dari refleksi sederhana itu, kita mendapatkan suatu gambaran tentang betapa akutnya persoalan epis­ temologis yang mengeram dalam ilmu ekonomi dan mortgage adalah kredit dengan persyaratan yang lunak (tidak mensyaratkan jaminan, latar belakang peminjam dan kemampuan pelunasan yang memadai). Persyaratan yang sangat lunak ini dikompensasi dengan tingkat bunga yang tinggi. Prospek pelunasan hutang ini kemudian diperdagangkan lebih lanjut. Akibatnya, macetnya pembayaran kredit perumahan menimbulkan efek berantai yang destruktif pada sektor finansial dan akhimya merembet ke sektor riil. Proses ini dideskripsikan, antara lain, dalam Roubini & Mihm (2010: 86-114). 4 Derivatif adalah prospek nilai masa depan sebuah aset dalam perbandingannya dengan nilai masa kini. Perdagangan derivatif merupakan praktik jual-beli prospek aset yang dilakukan demi melindungi nilai aset dari fluktuasi aktual harga aset tersebut. Perdagangan derivatif macam ini disebut juga sebagai future trading.



penerapannya dewasa ini. Ada yang problematis dengan pengertian para ekonom arus-utama tentang realitas ekonomi. Buka ini berupaya menjelajahi salah satu aspek dari sejarah permasalahan yang mensituasikan kecenderungan antirealis ilmu ekonomi dewasa ini. Penjelajahan tersebut akan dijalankan pada aras teori nilai {value theory). Mengapa demikian? Menurut hemat penulis, teori nilai dapat menjadi sudut pandang yang strategis untuk mengamati proses formasi antirealisme dalam ilmu ekonomi sebab nilai kerap dipandang sebagai entitas dasar dalam ilmu ekonomi, sebagai batu fondasi realitas perekonomian. Inilah sebabnya hampir setiap ekonom— baik Klasik maupun Neoklasik awai—mengawali traktat yang berisi pemaparan menyeluruh tentang pandangan ekonominya dengan sebuah bab tentang nilai (value).5 Nilai dapat dikatakan sebagai batu fondasi realitas ekonomi dan objek utama ilmu ekonomi karena tiga alasan: i. Persoalan nilai adalah persoalan keseukuran (icommensurability) antar barang/jasa yang dipertu­ karkan. Oleh karena keseukuranlah yang memung­ kinkan pertukaran barang/jasa tersebut, maka nilai merupakan syarat kemungkinan bagi setiap relasi ekonomi (sejauh relasi ekonomi dimengerti sebagai relasi pertukaran barang/jasa kebutuhan, yang kini biasanya disebut ‘komoditas’). ii. Nilai adalah komponen dasar dari konsep kekayaan {wealth) dan karena kekayaan adalah objek kajian 5 Lih. antara lain: Smith [28 :1937 ‫ل‬776‫( ل‬Buku I, Bab 5); Ricardo [1817] 2004a: 11 (Bab 1 berjudul ٠ » Value)■, Marx [1867] 1979, Bab 1; Marehall [1890] 1972: 51 (Bab 2 berjudul Wealth dan secara lebih umum Bab 6 berjudul Value and Utility). Pengecualian yang langka ialah Mill [1848] 1929: 435 (Bab 1 dari Buku IV tentang pertukaran). Kendati begitu Mill tetap mengakui sentralitas teori nilai dengan mengangkat sebuah tradisi yang menyatakan bahwa ekonomi-politik tak lain adalah ‘Sains tentang Nilai-Nilai’ (Science o f Values) (Mill ] ‫ل‬848‫ ل‬1929:435(.



ekonomi-politik6 (Klasik) dan ilmu ekonomi (Neo­ klasik)7, maka nilai adalah objek fondasional dalam ilmu ekonomi. iii. Teori nilai adalah landasan teoretik ilmu ekonomi dan peralihan paradigmatik dalam ilmu ekonomi selalu membawa serta perubahan teori nilai, misalnya peralihan dari ekonomi-politik Klasik ke ilmu ekonomi Neoklasik membawa serta perubahan dari teori nilaikerja ke teori nilai-utilitas.8 6 ‘Ekonomi-politik’ (political economy) mulanya adalah istilah para ekonom Klasik untuk apa yang sekarang disebut ‘ilmu ekonomi’ (economics). Sejak era Modem, ekonomi-politik bergeser madanya menjadi sekadar salah satu cabang ilmu ekonomi, yakni sebagai €abang yang berurusan dengan persoalan administrasi ekonomi negara ‫ س ه‬kebijakannya. 7 Status k©nsep kekayaan sebagai objek utama analisis ekonomi Klasik nampak dengan jelas dalam, misalnya, Adam Smith yang mendekati persoalan ekonomi dari perspetoif pemajuan ‘kekayaan bangsabangsa’. Sentralitas konsep tersebut dalam ekonomi Neoklasik juga masih terasa antara lain dalam Alfred Marshall yang mengawali paparan substantifnya tentang teori ekonomi dengan konsep wealth. Bahkan paragraf pertama buku Principles ofEconomics-nya diawali dengan kalimat berikut: “Political Economy or Economics is ‫ ه‬study ٠/ mankind in the ordinary business oflife; it examines thatpart ofindividual and social action which is most closely ‫ءجسمء‬/‫ محة‬with the attainment and with the use of the material requisites o f wellbeing’ (Marshall [1890] 1972: 1). Frase ‘persyaratan material bagi hidup yang baik’ tak lain merujuk pada kekayaan sebab ia memberikan definisi berikut: “Ali wealth consists of desirable things; that is, things which satisfy human wants directly or indirectly” (Marshall [1890] 1972: 45). 8 Ada klarifikasi yang perlu ditambahkan di sini. Ekonomi-politik Klasik, tentu saja, tidak hanya mengenal teori nilai-kerja semata. François Quesnay, seorang pemikir fîsiokrat, yang secara historis berada dalam fase Klasik sejarah pemikiran ekonomi justru memandang tanah— dan bukan kerja—sebagai sumber nilai (Dooley 2005: 68). Dengan demikian, Quesnay dan para fîsiokrat lain telah memperkenalkan apa yang disebut sebagai ‘teori nilai-tanah’ (land theory ofvalue). Namun, teori nilai-tanah (maupun ‘teori nilai-kapital’ atau penentuan nilai berbasis penawaran dan permintaan yang dirumuskan oleh J.B. Say dan Malthus) tetaplah menjadi faksi minor dalam arus besar sejarah pemikiran ekonomi Klasik. Tokoh-tokoh puncak dari apa yang



Kita akan menguraikan ketiga alasan tersebut berikut ini. Sejak Adam Smith, nilai lazimnya ditilik dari dua segi: nilai-pakai (value in use) dan nilai-tukar {value in exchange) (Smith [1776] 1937: 28). Nilai-pakai adalah kemampuan sebuah komoditas untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebuah bangsa disebut makmur apabila bangsa tersebut memiliki sejumlah besar barang berguna. Nilai-tukar adalah rasio pertukaran sebuah komoditas terhadap komoditas lainnya. Jika sekarung gandum dipertukarkan dengan dua pasang sepatu, maka nilai-tukar sekarung gandum adalah dua pasang sepatu. Apa yang dimaksud dengan persoalan nilai dalam ekonomi tak lain ialah persoalan penentuan nilai-tukar: mengapa sekarung gandum ditukarkan dengan dua pasang sepatu, mengapa tidak tiga atau lima? Apakah yang meregulasi proporsi nilai-tukar tersebut? Pertanyaan fundamental ini membawa kita kembali ke pemikiran awai tentang nilai, yakni kembali ke Aristoteles. Dalam Etika Nikomakhea, Aristoteles menyatakan bahwa “tidak ada pertukaran tanpa kesetaraan dan tidak ada kesetaraan tanpa keseukuran” (Etika Nikomakhea 1133bl718). Gandum dan sepatu dapat dipertukarkan karena ke­ duanya dapat disetarakan—senilai—sebab jika tidak demi­ kian maka salah satu dari kedua pihak yang melakukan pertukaran akan mengalami kerugian sehingga alasan bagi perlunya pertukaran jadi hilang. Namun kesetaraan itu dimungkinkan karena pertama-tama ada keseukuran (commensurability) antara gandum dan sepatu. Darimana asalnya keseukuran antar komoditas ini? Persoalan nilai adalah, pada akhimya, persoalan ukuran (measure). Mengapa dua benda yang begitu berbeda (nilai-pakainya) dapat diukur dalam sebuah besaran yang ekuivalen (proporsi mengkonstitusikan ekonomi Klasik—Adam Smith, David Ricardo dan Karl Marx—berpegang pada teori nilai-kerja.



nilai-tukar yang kemudian diekspresikan secara moneter sebagai harga)? Apakah yang menjamin keseukuran di antara benda-benda itu? Apakah substansi umum yang melandasi pluralitas komoditas? Inilah pertanyaan dasar dalam perkara teori nilai. Perbedaan antara ilmu ekonomi (atau ekonomi-politik) Klasik dan ilmu ekonomi Modern ditentukan dari jawaban terhadap pertanyaan di muka. Ilmu ekonomi Klasik akan menyatakan bahwa kendati nilai-pakai mengkondisikan mungkinnya pertukaran dan nilai-tukar, tetapi nilai-pakai tereebut tidak menentukan proporsi nilai-tukar itu sendiri (Ricardo [ 1871] 2004a: 11 ‫ ه‬Mara [ 1867] 1979: 131). Apa yang menentukan rasio n^ai-tukar tersebut, bagi para ekonom Klasik, adalah hal yang berkait dengan syarat bagi produksi dan reproduksinya, yakni kerja. Sekarung gandum dan dua karung sepatu dapat dipertukarkan karena keduanya sama-sama merupakan hasil kerja dalam masyarakat. Kerja, karenanya, adalah substansi umum yang melandasi dan memungkinkan keseukuran antar komoditas. Jadi jumlah jam kerja‫ ؟‬sosial rata-rata'‫ ؛؛‬yang 9 Peralihan dari konsepsi tentang kerja (labour) sebagai substansi yang melandasi keseukuran komoditas ke konsepsi tentang waktu kerja (/‫هه‬،‫ا‬،،‫ م‬time) sebagai penentu nilai komoditas melibatkan suatu transformasi ontologis yang menarik. Nantinya, khususnya dalam Bab in, penulis akan membahas sebaran dari transformasi ontologis tereebut, ‫ س ل‬berkenaan dengan pandangan Marx tentang bagaimana kerja yang berbeda-beda (tergantung dari kegunaan spesifik dari barang-barang yang dihasilkannya) secara historis mengalami transformasi menjadi kerja rata-rata yang diukur dengan besaran waktu, ‫ س ل‬jumlah kerja yang diupah berdasarkan jam kerjanya. 10 Socially necessary labour adalah konsep kerja yang ،li^‫؛‬rkenalkan Marx sebagai koreksi atas konsep embodied labour Ricardo. Koreksi ini diperlukan karena kritik yang menjamur kala ‫ ل ه؛‬terhadap teori nilai-kerja Ricardo menyatakan bahwa konsepsi Ricardo itu absurd karena seolah-olah semakin seorang J^kerja tidak efisien memproduksi komoditas semakin tinggilah nilai komoditas itu. Marx mengkoreksi teori nilai-kerja Klasik dengan menunjukkan bahwa kerja yang memproduksi nilai tersebut adalah keija yang rata-rata



diperlukan untuk memproduksi komoditas X adalah regulator nilai-tukar X. Nilai komoditas ditentukan oleh jumlah kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Inilah intisari teori nilai-kerja (labour theory of value) yang menjadi tulang punggung ilmu ekonomi Klasik. Para ekonom Modem (atau yang kemudian disebut ‘Neoklasik’), sebaliknya, akan menjawab pertanyaan di muka dengan menyatakan bahwa proporsi nilai-tukar ditentukan oleh nilai-pakai dalam makna utilitas atau manfaatnya.11 Bagaimana utilitas ini ditentukan? Dari evaluasi subjektif calon konsumen berdasarkan hirarki hasratnya berhadapan dengan keragaman komoditas yang ditawarkan di pasar.12 Jadi regulator nilai-tukar tidak terletak pada aras produksi, melainkan pada aras sirkulasi. Ini disebut sebagai teori nilai-utilitas (utility theory of value) yang berkembang melalui ‘Revolusi Marginal’.13 Kerap juga disebut sebagai teori dalam sebuah masyara^t dan bukan kerja individual (Marx [1867] 1979: 129). Jadi apabila seorang pekerja membutuhkan waktu 5 jam untuk menyamak kulit, sementara peke^a pada umumnya dalam masyarakat membutuhkan waktu 3 jam untuk pekerjaan yang sama, maka yang menjadi acuan ‫ ن ظنه‬adalah ‘jumlah ke^a sosial rata-rata’ yang 3 jam itu. " Kendati kata ‘utilitas’ umumnya diterjemahkan sebagai ‘kegunaan’ atau ‘manfaat’, tetapi terjemahan itu agaknya dapat merancukan pemahaman kita tentang kekhasan pengertian ‘utilitas’ dalam ekonomi Neoklasik. Sebabnya, penerjemahan seperi itu akan membuat ‘utilitas’ sama dengan konsep nilai-pakai yang digunakan para ekonom Klasik, ?adahal nilaipakai dimengerti dalam artian Klasiknya sebagai sesuatu yang ٠^^،‫؛ ؛‬ (kegunaan objektif sebuah komoditas), sementara ‘utilitas’ mengacu pada kegunaan yang subjektif. Oleh karena alasan inilah dalam buku ini penulis memilih untuk hanya mengalih-aksa^kan utility menjadi ‘utilitas’ tanpa menerjemahkannya menjadi ‘kegunaan’ karena kekhawatiran akan kerancuan yang telah dijelaskan di muka. 12 William Stanley Jevons, salah seorang pendiri ilmu ekonomi Modem, mengatakan dengan eksplisit: “nilai sepenuhnya bergantung pada utilitas” (Jevons [1871] 1888: 1). ‫ لل‬Menurut sejarawan pemikiran ekonomi, seperti Roneaglia 2005: 279, istilah ‘Revolusi Marjinal’ umumnya dipakai untuk menandai peralihan paradigmatik ilmu ekonomi dari fase Klasik ke Modem



nilai-utilitas marginal (marginal utility theory of value) karena utilitas dimengerti secara psikologistik sebagai kenikmatan dalam konsumsi komoditas yang selalu melibatkan selisih (margin). Misalnya, segelas es teh manis memiliki utilitas yang rendah apabila hal itu dikonsumsi persis sesudah beberapa gelas es teh dikonsumsi. Dengan demikian, nilaitukar segelas es teh ditentukan dari proporsi kenikmatan antara segelas es teh yang akan dikonsumsi dan jumlah es teh yang telah dikonsumsi. Teori nilai-utilitas inilah yang menjadi tulang punggung ilmu ekonomi Modern (atau Neoklasik) sampai hari ini.14 Ringkasnya, teori nilai-kerja melihat nilai sebagai kualitas yang inheren dalam komoditas sebagai komoditas (yakni ketika komoditas keluar dari aras produksi), sementara teori nilai-utilitas melihat nilai sebagai kualitas



yang terjadi antara ‫ل‬871- ‫ل‬874 ‫ ا‬yakni sejak terbitnya buku Principles -ofPure Economics-nya Menger dan The Theory ofPolitical Economy nya Jevons di tahun 1871 serta Elements ofPure Economics-nya Walras di ،،‫؛‬١٧١١ Isi dari ‘R .1874،‫؛‬volu$i’ tersebut ialah dorongan untuk meninggalkan teori nilai-kerja dan segala varian Ricardianisme yang .bertumpu padanya dengan eara mengemukakan teori nilai-utilitas .Tentu saja, teori nilai-utilitas sendiri mengalami perkembangan 14 Seperti akan dikupas dalam Bab V nanti, perkembangan tersebut ’utamanya berkaitan dengan peralihan dari pengertian ‘kardinalis atas utilitas ke pengertian ‘ordinalis’. Kardinalisme adalah pandangan bahwa utilitas dapat diukur secara universal sehingga penandingan interpersonal atas utilitas dimungkinkan, sementara ordinalisme ialah pandangan bahwa utilitas tidak dapat, dan tidak perlu, diukur secara universal sehingga utilitas tetul-betul menjadi perkara preferensi subjektif dan ‫ اسمحمحآمح»'ء‬sejauh perbandingan preferensi interpersonal tidak dimungkinkan (Screpanti-Zamagni 2005: 224-225). Pengertian utilitas ordinal yang pertamakal‫ ؛‬dikemukakan oleh Vilfredo Pareto pada peralihan abad ke-19-20 ini kemudian dipopulerkan sejak tahun -an abad yang lalu oleh John Hicks dan Lionel Robbins (Screpanti-30 Zamagni 2005: 286 & 291-292) serta dalam reformulasi teori utilitas )sebagai teori tentang ‘preferensi yang tersingkap’ [revealed preference dalam Paul Samuelson yang sejak saat itu menjadi model tafsir yang dominan dalam ilmu ekonomi Modem atas teori nilai-util‫؛‬tas



yang ek$temal terhadap adan^a komoditas (sebab ia baru muncul ketika dievaluasi oleh calon konsumen). Buku ‫ نمن‬akan mengupas bagaimana peralihan paradigmatik teori nilai ini mengikutsertakan suatu peralihan epistemologis dari realisme ke antirealisme dalam ilmu ekonomi. Namun, karena buku ini adalah kajian tematik tentang sejarah pemikiran ekonomi yang sangat luas, maka perlu ada pembatasan. Prinsip pembatasan itu adalah sebagai berikut: hal-hal yang berkaitan dengan teori nilai tetapi tidak berhubungan langsung dengan perkara realisme ،‫ سل‬antirealisme dalam ilmu ekonomi akan ditangguhkan dari analisis (‫ م س‬،‫ ر م ا‬. Oleh karenanya, penulis akan berfokus pada teori nilai-keija (labour theory ‫ بمو‬value) dan tidak memasukkan diskusi tentang teori nilai-tanah (‫س‬ theory of value). Untuk memperjelas makna pembatasan ini, penulis akan menerangkan duduk soalnya secara singkat di sini. Ekonomi-politik Klasik telah mengidentifikasi tiga elemen dasar yang mewujudkan proses produksi, yakni tanah, kerja ‫ س ه‬kapital (land, labour, capital). Ketiganya juga d ia ^ i dalam ilmu ekonomi Modern sebagai ‘faktorfaktor produksi’. Ketiganya menjadi syarat dasar bagi adanya produksi dan karenanya juga menjadi prinsip dasar distribusi pendapatan. Adam Smith, misalnya, berargumen bahwa harga komoditas adalah penjumlahan atas sewa, upah dan laba (rent, wage, profit) yang proporsional terhadap nilai dari tanah, kerja dan kapital yang diperlukan dalam produksi (Smith 1937: 49). Berdasarkan ketiga syarat produksi inilah juga, analisis kemudian diarahkan pada persoalan kelas-kelas s©$ial yang menerima distribusi pendapatan tersebut, yakni tuan tanah, buruh ‫ س ه‬kapitalis (Ricardo [1817] 2(5 :‫) س‬.



10



‘Faktor-Faktor Produksi’



Bentuk Pendapatan



Kelas-Kelas Sosial



Tanah



Sewa



Tuan tanah



Ke^a



Upah



Buruh



Kapital



Laba



Kapitalis



Tabel ‫ل‬. Faktor-Faktor Produksi Berangkat dari ketiga ‘fa^or produksi’ itulah para pemikir ekonomi merumuskan teori nilainya. Para pemikir fîsiokrat seperti Quesnay akan berfokus pada kategori tanah dan memandangnya sebagai sumber nilai (Dooley 2005: 68). Mereka mengangkat sebuah paradigma yang dapat disebut sebagai land theory ٠/ value. Di lain pihak, para pemikir yang umumnya diidentifikasi sebagai tokoh-tokoh utama ekonomi Klasik—Smith, Ricardo, Marx—akan berfokus pada kategori kerja (‫ س ه‬karenanya labourtheory of value). Jadi, bahkan dalam era Klasik pun terdapat beibagai posisi teori nilai, tidak hanya teori nilai-kerja. Dalam buku ‫نمن‬, penulis akan membatasi diri pada tradisi teori nilai-kerja dan tidak akan mendalami secara mendetail teori nilai yang berada di luar tradisi tersebut, kendati teori itu mengemuka dalam fase pemikiran yang sedang dianalisis. Penulis hanya akan berfokus pada teori nilai yang dominan pada era Klasik, yakni labourtheory of value, dan mengamati peralihannya ke dalam utility theory ‫ بمو‬value pada era Modern. Mengapa penulis memilih untuk meletakkan fokus pada teori nilai-kerja dalam kaitannya dengan realisme ilmu ekonomi dan bukan, misalnya, teori nilai-tanah? Jawabnya adalah bahwa teori nilai-kCTja yang memuat dimensi sosial-anttopologis dan ilmu ekonomi adalah ilmu tentang masyarakat manusia. Artinya, jika dimensi sosialantropologis lebih mengemuka dalam teori nilai-kerja dan ilmu ekonomi adalah ilmu yang tersi^sik an dalam dimensi tersebut, maka secara prima facie realisme ilmu ekonomi— 11



kesesuaiannya dengan realitas yang melandasinya—dengan mudah dapat diamati dalam teori nilai-kerja.



1.3. Catatan tentang Metode Kerangka teori yang penulis gunakan dalam penelitian ‫ نمن‬ialah realisme kritis yang dirumuskan Roy Bhaskar. Ada dua persoalan metodis yang perlu penulis pertanggungjawabkan di sini. Pertama, mengapa penulis memilih menggunakan kerangka teori realisme kritis dalam mendekati persoalan teori nilai-kerja dan realisme ilmu ekonomi? Kedua, bagaimana penggunaan kerangka teori ‫ نمن‬dijabarkan dalam bangunan argumen ‫ ن ط‬secara keseluruhan sehingga terwujud koherensi m‫؟‬tode analisis dan tidak sekadar berciri eklektik? Pilihan penulis untuk menggunakan pendekatan realisme kritis berangkat dari perhatian penulis dalam perumusan persoalan dalam buku ini. Persoalan yang penulis angkat dalam b u ^ ini adalah teori nilai sebagai ontologi ekonomi. Persoalan ini, setidaknya sejauh yang penulis pelajari dari literator filsafat ekonomi yang ada, belum pernah dibahas sebelumnya. Kajian filsafat ekonomi yang lain umumnya berkenaan dengan proses penyimpulan dalam ilmu ekonomi dan, dengan demikian, kendati berbicara tentang realisme, pada umumnya kajian ‫نط‬ tidak berbicara tentang teori nilai (misalnya artikel-artikel metodologis dalam Backhouse 1994). Salah satu pendekatan filsafat ekonomi yang dominan adalah pendekatan falsifikasionis yang dikembangkan, antara lain, oleh Mark Blaug (Blaug 1994: 111-139). Blaug menggunakan filsafat ilmu Karl Popper untuk mendekati ilmu ekonomi. Penjelasan dalam ilmu ekonomi, menurut Blaug, mesti didasari oleh asumsi bahwa penjelasan tersebut dapat diujicobakan (‫محمحءء‬/‫ )ء‬sehingga dapat disanggah (falsifiable) (Blaug 1994: 113). Syarat kemungkinan bagi ‫?ا‬ -



falsifikasi, dengan demikian, adalah pengujian empiris. Atas dasar inilah P©pper mengakui teori pilihan rasional sebagai teori yang dapat menjelaskan realitas ekonomi karena teori tersebut secara empiris dapat diujikan (Blaug 1994: 114). Persoalan dari pendekatan ini adalah ketergantungannya pada eksperimen empiris dan penyimpulan berbasis regularitas empiris. Eksperimen empiris menjadi problematis karena dalam ilmu sosial seperti ilmu ekonomi, rekayasa objek kajian untuk mengisolasi sebuah prinsip kausal tidak dapat diwujudkan (Lawson 1997: 203-204). Ilmu sosial bukanlah ilmu eksperimental. Ketergantungan pada regularitas empiris juga bermasalah karena regularitas semacam itu (jika X , maka ‫ ) م‬mCTupakan hasil dari rekayasa eksperimental. Pendebatan Popperian tidak relevan untuk menjelaskan persoalan teori nilai karena nilai bukanlah sesuato yang secara empirik teramati secara langsung (kita hanya bisa mengamati efeknya, yakni harga) sehingga tidak dapat diuji dan karenanya tak mungkin difalsifikasi. Pada ujung yang berlawanan, terdapat para filsuf ekonomi yang menggunakan pendekatan pascamodern seperti dekonstruksi untuk mengkaji pereoalan ekonomi (McCloskey 1994 ‫ ه‬Brown 1994). Pendekatan ini melihat realitas ekonomi sebagai reahtas diskursif yang tersusun oleh metafor atau ‘teks’. Salah satu tujuannya adalah untuk mendemistifikasi pretensi ilmiah ilmu ekonomi dengan memperlihatkannya sebagai segugus metafor yang tidak lebih tinggi dari gugus metafor yang lain (McCloskey 1994: 334-335). Persoalan dari pendekatan ini adalah bahwa ilmu ekonomi kemudian direduksi menjadi sekedar cabang dari kritik sastra. Akibatnya, realitas direduksi ke diskursivitas. Dalam pandangan ‫نمن‬, persoalan nilai akan dipandang sebagai sekedar metafor dan dilepaskan dari realitas yang mensituasikannya secara material. Di antara kedua kutub tersebut, terdapat pendekatan realisme kritis yang dirumuskan oleh Roy Bhaskar.



Kendati sains adalah hasil diskursus sosial, sains juga merupakan sains tentang sesuatu, dan sesuatu itu bisa ada tanpa diskursus sosial. Sesuatu itulah yang disebut sebagai dimensi intransitif sains (Bhaskar 1975: 21). Intransitivitas tidak identik dengan sesuatu yang terobservasi secara empirik. Oleh karenanya, intransitivitas tak dapat direduksi pada regularitas empirik. Kendati begitu, juga bukan berarti intransitivitas itu merupakan hasil konstruksi diskursif semata. Walaupun realitas dapat diamati secara empirik (pada aras objek-objek) dan aktual (pada aras peristiwa), realitas itu memuat dimensi riil yang merupakan domain mekanisme atau struktur yang non-empirik, yang pada gilirannya menjelaskan penampakan aktual objek-objek empirik. Pendekatan realisme kritis ini relevan untuk mendekati persoalan teori nilai dalam ilmu ekonomi sebab nilai adalah ihwal yang non-empiris. Nilai berkaitan dengan mekanisme implisit yang memungkinkan terwujudnya realitas ekonomi. Satu-satunya tulisan, sejauh yang penulis ketahui, yang pernah membahas tentang teori nilai dalam kaitannya dengan filsafat ekonomi dan ontologi ialah artikel Steeve Fleetwood tentang teori nilai-kerja Marx (Fleetwood 2002: 57-87). Fleetwood menggunakan pendekatan realisme kritis untuk mendekati persoalan teori nilai-kerja Marx. Penerapan realisme kritis ke dalam perkara teori nilai oleh Fleetwood inilah yang mendorong penulis untuk meng­ gunakan pendekatan yang sama untuk mengkaji persoalan teori nilai-kerja secara umum (tidak hanya Marx) dalam kaitannya dengan teori nilai-utilitas dan perkara realisme ilmu ekonomi. Oleh karenanya, ada sebuah alasan mengapa penulis memilih realisme kritis sebagai pendekatan, yakni bahwa realisme kritis memungkinkan kajian tentang nilai yang tak secara langsung terobservasi secara empiris sekaligus tidak sekadar hasil fabrikasi diskursif. Ini menjawab persoalan metodis pertama di muka. 14



Ada catatan yang perlu ditambahkan di sini soal kebaruan penelitian ini. Kendati hipotesis penulis beririsan dengan kesimpulan Fleetwood dalam artikelnya (bahwa fungsi kualitatif teori nilai-kerja masih bisa dipertahankan sembari meninggalkan atau mempersoalkan fungsi kuantitatifnya), argumen yang disusun penulis untuk sampai kepada kesimpulan tersebut berbeda dari argumen Fleet­ wood. Berbeda dari Fleetwood yang membatasi analisis realis-kritisnya pada teori nilai-kerja Marx, dalam penelitian ini penulis menguraikan proses evolusi sejarah pemikiran teori nilai-kerja dan transformasinya ke dalam teori nilaiutilitas. Jadi, kendati kesimpulan penulis tentang teori nilaikerja serupa dengan kesimpulan Fleetwood, tetapi objek analisis dan detail argumen dalam buku ini jauh lebih luas ketimbang objek analisis dan argumen Fleetwood yang hanya mengkaji teori nilai-kerja Marx semata. Kini penulis akan menjawab persoalan metodis kedua, yakni tentang penerapan pendekatan realisme kritis dalam bangunan argumen buku ini. Kendati tinjauan realis-kritis atas persoalan teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas baru menjadi eksplisit dalam Bab VI, tetapi bukan berarti argumen dalam Bab-Bab sebelumnya—khususnya Bab II, HI, IV dan V—tersusun secara eklektik tanpa kaitannya dengan pendekatan realisme kritis yang dipakai. Bab II, HI, IV dan V berfungsi memberikan narasi sejarah pemikiran (bagian 2.2., 3.2., 4.2-3., 5.2.) serta, terutama, rekonstruksi filsafat dan ontologi dari teori ekonomi tentang nilai (khususnya bagian 2.3., 3.3., 4.4. dan 5.3.). Rekonstruksi inilah yang menjadi batu pijakan argumentatif untuk perumusan distingsi realisme dan antirealisme dalam Bab VI yang menggunakan realisme kritis secara eksplisit. Rekonstruksi tersebut, karenanya, berperan sebagai ‘data argumen’ yang akan dipilah status realis/antirealisnya berdasarkan kriteria yang ditawarkan oleh realisme kritis dalam Bab VI. Dengan demikian, keseluruhan proses argumentatif dalam buku 15



ini terangkai dalam suatu kesatuan metodis dan mengarah pada Bab VI. Narasi sejarah pemikiran dalam bagian 2.2., 3.2., 4.2-3. dan 5.2. hanya akan berperan sebagai data awai untuk direkonstruksi posisi filosofisnya dalam bagian 2.3., 3.3., 4.4. dan 5.3. Data argumen filsafat dalam keempat bagian terakhir itulah yang akhimya dianalisis dengan pendekatan realisme kritis dalam keseluruhan Bab VI. Dengan cara demikianlah penulis hendak menghindari eklektisisme dalam pendekatan penelitian ini. Oleh karena penelitian ini bersifat tematik, maka penulis perlu memberikan pertanggungjawaban atas sumber acuan yang dipilih. Dengan memilih untuk melakukan penelitian tematik, maka jumlah literatur yang berkaitan dengan penelitian penulis menjadi sangat besar. Oleh karenanya, pembatasan atas sumber acuan pun tak terelakkan. Di sini penulis akan menguraikan prinsip dasar yang digunakan dalam menentukan sumber acuan bagi penelitian ini. Prinsip tersebut ialah pemilahan umum antara sumber yang bersifat struktural (mencakup sumber primer dan sekunder) serta sumber pendukung. i. Sumber struktural ialah literatur yang tema utamanya memang berkenaan dengan tema utama yang penulis kaji dalam buku ini, yakni teori nilai-kerja, teori nilaiutilitas dan persoalan realisme dalam ilmu ekonomi. Kategori sumber simptomatik atau struktural ini mencakup dua jenis literatur: a. Yang pertama ialah sumberprimer atau karya-karya yang ditulis oleh para ekonom Klasik dan Modem (Neoklasik) yang merepresentasikan pandangan dominan teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas. Selain itu, kategori ini juga meliputi karya filsafat ilmu yang dipakai sebagai pisau analisis atas persoalan realisme dalam ilmu pengetahuan, yakni karya Roy Bhaskar.



16



b. Yang kedua adalah sumber sekunder atau karyakarya yang ditulis oleh sejarawan pemikiran ekonomi yang secara langsung mendiskusikan tema yang penulis angkat dalam buku ini. iii. Sumberpendukung adalah segala literatur yang beririsan dan mendukung tema kajian penulis kendati tidak membahas secara khusus dan ekstensif tentangnya. Sumber pendukung tersebut umumnya berkaitan dengan sejarah pemikiran ekonomi secara garis besar.



1.4. Ringkasan Argumen Ada sebuah pertanyaan utama yang akan dijawab dalam buku ini. Pertanyaan itu adalah: mengapa terdapat permasalahan epistemologis yang penting dalam peralihan dari teori-nilai kerja ke teori nilai-utilitas dan apakah solusi terhadap masalah tersebut? Pertanyaan umum ini kemudian dipecah ke dalam enam pertanyaan elementer. Keenam pertanyaan itu sekaligus merupakan tahapan untuk menjawab pertanyaan utama. Keenam pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: i. Apakah duduk perkara dasar dari teori nilai secara umum?ii. Apa itu teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas serta pengandaian ontologis dari keduanya? iii. Apakah kriteria untuk memilah realisme dan antirealisme dalam ilmu pengetahuan? iv. Bagaimana teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas ditinjau dari kriteria realisme dan antirealisme tersebut? v. Apakah masalah yang ditimbulkan dari peralihan epistemologis dalam peralihan teori nilai tersebut? vi. Apakah alternatif teori yang dapat menjawab masalah tersebut?



17



Keenam pertanyaan di muka merupakan pokokpokok permasalahan dasar yang hendak dipecahkan oleh buku ini. Hipotesis penulis menjawab pertanyaan utama tersebut adalah sebagai berikut: Peralihan dari teori nilai-kerja ke teori nilai-utilitas melibatkan peralihan dari realisme ke antirealisme dalam ilmu ekonomi (karena teori nilai-kerja memuat pengertian tentang stratifikasi kenyataan, stratifikasi penjelasan dan status ontologis hukum ilmiah yang justru dihapuskan dalam teori nilai-utilitas) dan peralihan epistemologis ini melibatkan implikasi teoretis dan empiris yang bermasalah sehingga solusi terhadapnya adalah dengan merehabilitasi secara kritis teori nilai-kerja Marxian. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Persoalan nilai adalah persoalan keseukuran antar komoditas yang menjadi basis bagi adanya pertukaran dan karenanya juga realitas ekonomi. Oleh karenanya, teori nilai adalah ontologi ekonomi. Inilah yang menjelaskan mengapa teori nilai demikian sentral dalam ilmu ekonomi. Teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas adalah dua model ontologi ekonomi yang berbeda. Apabila ontologi yang beroperasi di dalam teori nilai-kerja adalah suatu ontologi substansialis yang berbasiskan kerja, ontologi di belakang teori nilai-utilitas adalah ontologi relasional yang berbasiskan evaluasi. Berdasarkan tipologi dari pandangan kedua teori nilai tersebut tentang realitas ekonomi, kita akan memeriksa pergeseran epistemologis dari realisme ke antirealisme. Kita akan menggunakan kriteria pemilahan realisme dan antirealisme yang direkonstruksi dari filsafat ilmu Roy Bhaskar. Ada tiga kriteria: adanya stratifikasi kenyataan, stratifikasi penjelasan dan status ontologis hukum ilmiah. Apabila sebuah teori mengakui ketiganya, maka teori tersebut memenuhi kriteria untuk digolongkan ke dalam 18



posisi realis, dan sebaliknya. Berdasarkan ketiga kriteria ini, ditunjukkan bagaimana teori nilai-kerja mengandung posisi realis dan teori nilai-utilitas memuat posisi antirealis. Peralihan epistemologis dalam teori nilai memiliki dampak négatif dalam wujud terbentuknya pola pikir kebijakan yang sesat dalam melihat hubungan antara sektor finan­ sial dan riil dalam perekonomian. Pola pikir inilah yang berkontribusi bagi penciptaan prakondisi bagi krisis finan­ sial belakangan ini. Ketika nilai komoditas dilepaskan dari aras produksi dan disituasikan pada aras sirkulasi dan konsumsi, maka terciptalah suatu pengertian yang terbalik tentang fundamen kenyataan ekonomi. Langkah alternatif yang mesti diambil guna mengatasi masalah ini melibatkan keniscayaan untuk kembali merehabilitasi secara kritis teori nilai-kerja Marxian sebagai bentuk termaju dari teori-teori nilai-kerja Klasik. Buku ini disusun ke dalam delapan Bab mulai dari Pendahuluan hingga Penutup. Bab I adalah uraian pendahulan yang sedang diuraikan ini dan oleh karenanya tidak memerlukan keterangan lebih lanjut. Bab II memuat kajian tentang duduk persoalan dasar teori nilai secara umum sebagaimana mengemuka dalam pemikiran Aris­ toteles. Di sana penulis akan menguraikan bagaimana Aristoteles memahami persoalan keseukuran sebagai syarat kemungkinan bagi pertukaran. Kita akan menemukan bahwa persoalan nilai yang sejatinya merupakan perkara keseukuran antar komoditas merupakan persoalan onto­ logis yang berkaitan dengan konsep substansi dalam metafisika Aristoteles. Terakhir, kita akan menunjukkan sentralnya persoalan nilai dalam kerangka ilmu ekonomi sebagai khrematistik, yakni sebagai ilmu tentang pengejaran kekayaan. Bab III memuat kajian tentang sejarah terbentuknya teori nilai-kerja dalam ilmu ekonomi Klasik dan ontologi yang terdapat di dalamnya. Teori nilai-kerja muncul sebagai 19



perkembangan dari pendekatan nilai berbasis ongkos produksi yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas. William Petty adalah ekonom pertama yang membuka jalan ke arah terbentuknya teori nilai-kerja dengan mengupayakan redeskripsi atas ongkos produksi ke dalam satuan elementer yang menyusunnya, yakni kerja dan tanah, dan dari situ berupaya meredeskripsikannya kembali ke dalam satuan kerja. Adam Smith, David Ricardo dan Karl Marx meneruskan upaya Petty dalam mendasarkan nilai pada kerja. Melalui proses ini, muncullah pengertian tentang kerja sebagai sumber, prinsip penentu dan sa­ rana pengukur nilai. Ontologi yang termuat di balik teori nilai-kerja ialah ontologi yang substansialis. Nilai dipandang sebagai kualitas inheren barang-dagangan yang keberadaannya tidak mengandaikan aktualisasinya dalam pertukaran empirik di pasar. Bab IV memuat kajian tentang sejarah kemunculan teori nilai-utilitas sebagai alternatif kritis terhadap teori nilai-kerja. Teori nilai-utilitas memiliki pendahulunya dalam pemikiran kaum merkantilis yang berfokus pada aktivitas perdagangan. Dalam kerangka ini, nilai baru muncul pada ranah sirkulasi atau pertukaran. Apa yang menentukan nilai adalah evaluasi atas utilitas atau manfaat komoditas dari titik pijak konsumen berdasarkan hasratnya. Hermann Heinrich Gossen menunjukkan bahwa utilitas sebuah komoditas dapat diukur secara kuantitatif sebagai sesuatu yang berbanding terbalik terhadap jumlah konsumsi atas komoditas yang sama. Kuantifikasi fenomena mental inilah yang kemudian dikembangkan oleh William Stanley Jevons, Cari Menger dan Léon Walras ke dalam teori nilai-utilitas yang menjadi tulang-punggung ilmu ekonomi modern (Neoklasik). Ontologi yang terdapat di balik teori nilai-utilitas adalah ontologi yang berbasis pada evaluasi subjektif. Komoditas tidak mengandung nilai pada dirinya, nilai itu baru muncul dalam ranah sirkulasi melalui 20



evaluasi konsumen atas komoditas yang ditawarkan. Nilai adalah apa yang mengemuka secara empirik sebagai rasio pertukaran antar komoditas. Apabila Bab IV menerangkan formasi teori nilaiutilitas pada abad ke-19, BabV menguraikan perkembangan teori nilai-utilitas pada abad ke-20. Kita akan menjabarkan dan menganalisis bagaimana konsepsi kardinalis tentang teori nilai-utilitas beralih ke dalam pengertian ordinalis tentangnya serta bagaimana ordinalisme ini menyediakan landasan bagi teori pilihan sosial yang begitu dominan hari-hari ini. Teori pilihan sosial merupakan bentuk baru dari teori nilai-utilitas Neoklasik. Penulis akan mengulas kontribusi Vilfredo Pareto (dan sekilas tentang John Hicks, R.G.D. Allen serta Paul A. Samuelson), Kenneth Arrow dan Amartya Sen dalam perkembangan kontemporer teori nilai-utilitas ini. Selanjutnya, penulis akan merekonstruksi ontologi dari ordinalisme yang merupakan wujud kon­ temporer dari teori nilai-utilitas. Ada tiga aspek yang akan disorot di sini: pertama, ciri sinambung dari peralihan pendekatan kardinalis ke ordinalis atas teori nilai-uti­ litas‫ ؛‬kedua, masalah ketakseukuran dalam pendekatan ordinalis dan implikasinya bagi pengandaian teori nilai; ketiga, absennya stratifikasi kausal atas kapabilitas akibat paradigma kapabilitas yang ada masih tersituasikan dalam Weltanschauung subjektivis yang mencirikan teori nilaiutilitas pada umumnya. Bab VI bertujuan memberikan tilikan filsafat ilmu terhadap peralihan dari teori nilai-kerja ke teori nilaiutilitas, khususnya dalam pengertian Neoklasiknya (dengan asumsi bahwa konsepsi ordinalis tentang teori nilai tersebut tidak sungguh berbeda, sejauh ditinjau aspek ontologissnya, dari konsepsi kardinalis yang dikupas di Bab IV dan lebih merupakan kelanjutan ketimbang patahan radikal atasnya). Kita akan berangkat dengan penjabaran atas filsafat ilmu Roy Bhaskar. Realisme kritis dikembangkan Bhaskar 21



sebagai kritik atas realisme empirik, yakni pandangan yang menyamakan realitas secara keseluruhan dengan realitas yang terberikan pada subjek pengamat. Melalui uraian atas realisme kritis inilah kita memperoleh tiga kriteria yang harus dipenuhi agar suatu ilmu atau teori dapat dikatakan berposisi realis: adanya pelapisan kenyataan, adanya pelapisan penjelasan dan diakuinya status ontologis hukum ilmiah. Berdasarkan ketiga kriteria ini, penulis akan menjelaskan mengapa peralihan dari teori nilai-kerja ke teori nilai-utilitas melibatkan peralihan dari realisme ke antirealisme. Dari sini akan ditunjukkan dampak négatif dari peralihan epistemologis tersebut bagi pola pikir para perumus kebijakan dalam memandang realitas ekonomi— sebuah pola pikir yang ikut memungkinkan terjadinya krisis finansial. Bab VII mengajukan alternatif teoretik bagi teori nilai-utilitas yang, sebagaimana ditunjukkan dalam Bab VI, mengandung dampak buruk bagi realitas ekonomi kontemporer. Alternatif teoretik yang dimaksud adalah teori nilai-kerja Marxian sebagai varian teori nilai-kerja Klasik yang termaju. Oleh karenanya, penulis akan menunjukkan daya eksplanatoris dari teori nilai-kerja Marxian tersebut dengan memperlihatkan implikasinya bagi pandangan ekonomi Marx secara keseluruhan. Dengan itu, terlihat bahwa teori nilai Marx dapat digunakan untuk menjelaskan eksploitasi dalam kapitalisme, formasi rezim akumulasi yang mendorong imperialisme dan krisis periodik kapi­ talisme yang menunjukkan instabilitas inherennya sebagai suatu tata ekonomi. Adapun demikian, rehabilitasi terha­ dap teori nilai Marx ini tetap mesti dijalankan dengan kritis. Artinya, kita mesti bersedia berhadapan dengan masalah utamanya, yakni problem transformasi nilai ke harga produksi. Penulis akan menguraikan berbagai kritik atas model ekonomi Marxian, khususnya berkaitan dengan



22



‘problem transformasi’ tersebut, serta sejarah kontemporer dari upaya memberikan solusi terhadap problem tersebut. Bab VIII merupakan penutup dari buku ini. Bab ini akan diawali dengan rangkuman menyeluruh atas proses argumentasi yang telah dijalankan. Dengan cara ini, akan diketengahkan konftrmasi atas hipotesis awai penulis di muka. Kemudian penulis akan mengklarifikasi anggapan yang keliru tentang hubungan di antara teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas. Kita akan melihat bahwa teori nilai-kerja bukanlah ‘kasus khusus’ atau cabang dari teori nilai-utilitas, melainkan bahwa kedua teori tersebut mencerminkan dua teori sosial yang demikian berlainan. Terakhir, buku ini akan ditutup dengan refleksi tentang pertanyaan emansipasi dalam ilmu ekonomi. Oleh karena ilmu ekonomi adalah ilmu sosial, maka tugasnya bukan hanya memberikan deskripsi dan prediksi kenyataan, tetapi menjelaskannya untuk kemudian mengintervensinya. Tuntutan emansipatoris sudah inheren dalam ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial. []



23



24



II A r is t o t e l e s A sa l-U su l T



dan



eori



N



il a i



2.1. Pengantar Tujuan Bab ini adalah untuk menjelaskan duduk perkara dasar teori nilai dalam ilmu ekonomi. Dari aspek sejarah pemikiran ekonomi, beberapa komentator menunjukkan bahwa Aristoteles adalah pemikir yang pertam ak ali mengetengahkan persoalan nilai, kendati masih secara implisit.1Di sini penulis akan mengikuti intuisi para komentator itu dan menguraikan duduk persoalan teori nilai sejak kemunculannya dalam Aristoteles. Susunan pemaparan penulis adalah sebagai berikut. Pertama, da­ lam 2.2., penulis akan menguraikan persoalan nilai yang mengemuka secara implisit dalam wacana Aristoteles tentang pertukaran yang adil. Kedua, penulis akan mema­ parkan bagaimana persoalan nilai tersebut berkait erat dengan pandangannya tentang ontologi dalam 2.3. Ketiga, penulis akan menguraikan dalam 2.4. bagaimana persoalan nilai itu dikaitkan dengan distingsi Aristoteles antara ekonomi dan khrematistik. Dalam 2.5., penulis akan 1 Antara lain Schumpeter (1963: 60-62), Sewall (1901:1-4), Pack (2010: 3-14), Meikle (2001: 33-35) dan Mirowski (1995: 144-146).



25



merangkum uraian dalam Bab ini dengan merekonstruksi dalam arti apa teori nilai dapat dimengerti sebagai ontologi ekonomi.



2.2. Aristoteles dan Persoalan Keseukuran Benda-Benda Aristotelestidakpernahsecaralangsungmendiskusikan persoalan nilai dalam ekonomi—bahkan istilah ‘nilai’ (aksia) sendiri tak pernah ia pakai dalam pembahasannya tentang ekonomi. Teks Aristoteles yang paling mendekati persoalan nilai adalah Etika Nikomakhea Buku V, 1132b22-1133b28. Aristoteles mengetengahkannya sebagai pembukaan diskusi tentang keadilan resiprokal yang dibedakannya dari keadilan distributif dan keadilan rektifikatoris yang telah ia bahas sebelumnya. Keadilan distributif berkenaan de­ ngan pembagian pendapatan yang proporsional terhadap orang-orang yang terlibat dalam komunitas (1130a3032). Keadilan rektifikatoris berhubungan dengan perkara penegakan keadilan di pengadilan melalui hakim yang mencari jalan tengah di antara kedua ekstrem (1132a2431). Jenis keadilan ketiga, bagi Aristoteles, adalah keadilan resiprokal (komutatif), yakni keadilan yang berhubungan dengan individu-individu dalam sebuah transaksi dagang. Persoalan yang mau dijawab Aristoteles di situ ialah bagaimana menentukan adil/tidaknya sebuah pertukaran komersial di antara dua pihak. Di sinilah persoalan nilai muncul. Kalau si A adalah tukang bangunan dan si B adalah pembuat sepatu, bagaimana hubungan timbal-balik yang adil di antara keduanya terwujud? Hubungan itu, kata Aristoteles, mensyaratkan kesetaraan barang yang mau dipertukarkan. Dengan contoh lain, ia menyatakan: “Bukanlah dua dokter yang berasosiasi untuk melakukan pertukaran, melainkan seorang dokter dan seorang petani, atau secara umum orang-orang yang berbeda—namun 26



ini mesti disetarakan. Inilah sebab mengapa semua benda yang mau dipertukarkan mesti bagaimanapun juga seukur”.2 Seorang tukang bangunan menghasilkan produk yang berbeda secara kualitatif dari yang dihasilkan oleh seorang pembuat sepatu, demikian pula antara dokter dan petani. Produk-produk yang berbeda jenis itu, agar bisa dipertukarkan, mestilah seukur satu sama lain. Sebuah pertukaran baru dapat disebut adil apabila pertukaran itu dilangsungkan sesuai dengan proporsi keseukuran barangbarang yang mau dipertukarkannya. Pertanyaan Aristoteles kemudian adalah: Apakah yang menjamin keseukuran (commensurability) di antara benda-benda yang berlainan itu? Aristoteles tidak memberikan jawaban definitif ter­ hadap pertanyaan di muka. Mulanya Aristoteles menyebut uang sebagai penjamin keseukuran benda-benda sejauh uang mampu “mengukur segala sesuatu” (1133a20). Fungsi pengukuran uang ini, pada gilirannya, dijamin oleh “kesepakatan” (113b21). Namun Aristoteles tidak sepenuhnya puas dengan jawaban ini sebab uang hanyalah alat untuk mengukur dan bukan prinsip yang menentukan ukuran. Ia menyatakan bahwa kalau “semua barang mesti diukur oleh satu hal” maka “satu hal itu tak lain adalah kebutuhan‘ [khreia]”3, dan uang hanyalah “representasi dari kebutuhan” itu (1133a25-30). Dua barang yang berbeda seperti sepatu dan rumah memiliki kesamaan dalam hal keduanya merupakan objek kebutuhan manusia. Rasio pertukaran di antara kedua barang tersebut, karenanya, mencerminkan rasio kebutuhan manusia. Posisi ini meng­ antisipasi pendekatan subjektivis yang nantinya berkembang 1 “For it is not two doctors that associatefor exchange, but a doctor and a farmer, or in generalpeople who are different and unequal; but these must be equated. This is why all things that are exchanged must be somehow commensurable.” {Etika Nikomakhea 1133al6-19) 3 Di sini saya mengikuti tafsir Pack (2010: 9) yang menerjemahkan khreia sebagai need (kebutuhan) ketimbang—seperti dalam terjemahan standar—sebagai demand (permintaan).



27



dalam teori nilai kaum merkantilis, Jean-Baptiste Say



‫ س ه‬€‫ ناااههلط‬Neoklasik sejak abad ke-19 sampai hari ini (Dooley 2005:6). Namun, pada saat yang sama, Aristoteles juga menulis bahwa “jumlah sepatu yang ditukarkan dengan sebuah rumah mestilah berkorespondensi dengan rasio antara tukang bangunan dan pembuat sepatu.”4 Artinya, rasio pertukaran antara sepatu dan rumah mencerminkan jumlah kerja yang dicurahkan untuk memproduksi sepatu dalam proporsinya terhadap jumlah kerja yang lain. Dengan ini, Aristoteles juga dapat dikatakan telah mengantisipasi— kendati dengan cara yang jauh lebih kabur—pendekatan objektivis yang dalam kerangka ekonomi-pohtik Klasik dikenal sebagai teori nilai-kerja.‫؛‬ Kendati Aristoteles belum dapat memberikan jawaban definitif atas persoalan nilai, ia setidaknya sudah menunjukkan duduk perkara dasarnya, yakni tentang keseukuran benda-benda. Intuisinya mengemuka dengan jelas dalam pernyataannya berikut ini: “tak akan ada asosiasi jika tidak ada pertukaran, tidak ada pertokaran jika tidak ada kesetaraan, tak ada kesetaraan jika tak ada keseukuran”.‫؛‬ Pernyataan inilah yang membuat para komentator, antara lain Marx ([1867] 1979: 151), menganggap Aristoteles adalah pemikir pertama yang mengetengahkan persoalan nilai dalam ilmu ekonomi. Hubungan sosial dimungkinkan karena adanya perdagangan sarana kebutuhan hidup, perdagangan dimungkinkan karena adanya kesetaraan 4 “ The number of shoes exchangedfor a house must therefore correspond to the ratio of builder to shoemaker. For if this be not so, there will be no exchange and no intercourse.'” (Etika Ntkomakhea 1133a22-23) 5 Pendapat ini, antara lain, dinyatakan oleh Schumpeter (1963: 61) dalam komentamya atas kutipan di muka: “If I am right, then Aristotle was gropingfor some labor-cost theory of price which he was unable to state explicitly.’’ 6 “[...] neither would there have been association if there were no exchange, nor exchange if there were not equality, nor equality if there were not commensurability.” {Etika Nikomakhea 1133bl6-18)



28



nilai atau ekuivalensi di antara barang-barang yang mau dipertukarkan dan kesetaraan nilai atau ekuivalensi tersebut, pada akhirnya, dimungkinkan karena adanya keseukuran antar benda-benda. Sepasang sepatu yang kegunaannya sepenuhnya berlainan dengan sekantung gandum dapat dipertukarkan sejauh keduanya dapat diekspresikan dalam sebuah ukuran yang sama. Persoalan teori nilai adalah persoalan penentuan asal-usul keseukuran tersebut. Apakah yang dimaksud Aristoteles dengan ‘seu­ kur’? Pack (2010: 11-14) menguraikan persoalan ini dengan menunjukkan beberapa teks Aristoteles yang mensituasikannya. Persoalan keseukuran mengemuka da­ lam Fisika Buku VII dimana Aristoteles mendiskusikan keseukuran di antara berbagai macam gerak. Ia menulis: “hal-hal yang tidak sinonim tidak seukur. Misalnya, pena, anggur dan nada tertinggi dalam sebuah tangga nada tidak seukur: kita tidak dapat menyatakan mana di antara mereka yang lebih tajam dari yang lain. Mengapa demikian? Mereka tak seukur karena mereka homonim.”7 Dua hal dikatakan homonim apabila keduanya memiliki nama yang sama tetapi definisinya berbeda (Pack 2010:11). Dalam contoh yang diberikan Aristoteles di muka, pena, anggur dan nada tertinggi tidak seukur karena ‘ketajaman’ memiliki pengertian yang berbeda dalam ketiga kasus tersebut. Artinya, keseukuran mengandaikan kesamaan basis evaluasi. Hal-hal yang berbeda dapat diukur dan diperbandingkan sejauh hal-hal tersebut memiliki kesamaan tertentu. Kesamaan inilah yang diuraikan Aristoteles dalam analisisnya tentang doktrin elemen Empedokles dalam On Generation and Corruption, Buku II. Ia tuliskan di sana: “segala 7 “[...] things not synonymous are all incommensurable. E.g. a pen, a wine, and the highest note in a scale are not commensurable: we canotsay whetherany one of them is sharper than any other; and why is this? they are incommensurable because they are homonymous.” (Fisika 248b7-9)



29



hal yang dapat diperbandingkan mestilah memiliki sesuatu yang identik yang melaluinya mereka diukur. Apabila, misalnya, satu gelas air menghasilkan sepuluh udara, keduanya diukur dengan satuan yang sama dan, karenanya, keduanya sejak mula merupakan sesuatu yang identik.”8 Syarat keterukuran dan keterbandingan hal-hal yang berbeda adalah bahwa hal-hal tersebut identik dalam aspek tertentu keberadaannya. Dua hal dapat dikatakan seukur hanya jika terdapat sebuah himpunan yang elemennya adalah sifat-sifat yang sama-sama dimiliki keduanya sehingga keduanya dapat diukur dan diperbandingkan berdasarkan himpunan sifat-sifat tersebut. Sesuatu yang identik di balik hal-hal berbeda yang mau diperbandingkan itulah yang kemudian dinyatakan Aristoteles dalam Metafisika: “Ukuran selalu homogen terhadap hal yang diukur”.9 Ukuran mengekspresikan sesuatu yang identik di antara hal-hal berbeda yang diukurnya. Lima meter dan tiga meter adalah dua hal yang berbeda, tetapi keduanya identik sebagai besaran panjang. Dalam Metafisika, Aristoteles berbicara tentang yangsatu sebagai ukuran bagi segala kuantitas. “Ukuran,” demikian Aristoteles, “adalah hal yang melaluinya kuantitas diketahui; dan kuantitas sebagai kuantitas diketahui entah melalui sebuah ‘satu’ atau melalui sebuah bilangan, dan semua bilangan diketahui melalui sebuah ‘satu’. Karenanya, semua kuantitas sebagai kuantitas diketahui



8



all the comparables mustpossess an identicalsomething whereby they are measured. If, e.g., onepint ٠/ Wateryields ten of Air, both are measured by the same unit; and therefore both werefrom thefirst an identical something.”(On Generation and Corruption 333a21-24) 9 “ The measure is always homogeneous with the thing measured: the measure of spatial magnitudes is ‫ ه‬spatial magnitude, and in particular that ٥/ length is a length, that ٠/ breadth a breadth, that of articulate sounds an articulate ‫مء‬،،»‫مح‬, that of weight a weight, that of units a unit." {Metafisika 1053a2427)



٩٨



melalui yang-satu”.10 Ukuran, dengan demikian, tersusun oleh satuan terkecil halnya yang sama-sama dimiliki oleh setiap hal yang mau diukur. Satuan ukuran terkecil berkenaan dengan apa yang disebut Aristoteles sebagai ‘hal yang melandasi’ (hupokeimenon; substratum', underlying thing) (1087b3). Keseukuran adalah ‘hal yang melandasi’ karena ukuran “pastilah merupakan sesuatu yang dapat disifatkan pada semua yang sejenis”.11 Mengukur berarti menerakan predikat pada sesuatu, menyifatkannya, dan pemberian predikat hanya dimungkinkan apabila ada subjek atau ‘hal yang melandasi’, yang menjadi penerima predikat tersebut. Teori tentang keseukuran, karenanya, adalah pada dasarnya suatu teori tentang substansi sebagai substratum (hupokeimenon).12



2.3. Persoalan Keseukuran dalam Ontologi Aristoteles Pandangan Aristoteles tentang substansi merupakan bagian dari teorinya tentang Ada ('ousia). Metafisika Aristotles adalah wilayah kajian yang sangat luas dan tak mungkin dikupas seluruhnya di sini.13 Dalam pemaparan 10 “For measure is that by which quantity is known; and quantity qua quantity is known either by a ,one ’or by a number, and all number is known by a ‘one ’. Therefore all quantity qua quantity is known by the one, and that by which quantities are primarily known is the one itself, and so the one is the startingpoint of number qua number. And hence in the other classes too ‘measure’ means that by which each isfirst known, and the measure of each is a ‘one’" (Metafisika 1052b20-26) 11 “ The measure must always be something predicable of all alike, e.g., if the things are horses, the measure is horse, and they are men, man.”(Metafisika 1088a6-10) 12 Kendati Pack (2010: 11-14) memaparkan beberapa bukti teks dari berbagai naskah Aristoteles tentang keseukuran, sayangnya ia tidak melihat bahwa perkara keseukuran ini sejatinya adalah persoalan ontologis tentang substansi. 13 Ada banyak pengertian tentang Ada dalam Aristoteles. Brentano (1975: 3-4) dan Owens (1951: 183), mengikuti Metafisika Buku VI, memilah empat makna Ada: Ada dalam arti aksidental (per accidens),



31



berikut, penulis hanya akan mengangkat secara ringkas dua dimensi teori Ada Aristoteles yang berkaitan langsung dengan problem keseukuran (nilai): pertama, teori tentang substansi sebagai substratum (hupokeimenon) dan, kedua, teori tentang substansi sebagai genus (genos). Pengertian substratum diberikan dalam Metafisika Buku VTI: “Substratum adalah yang melaluinya hal lain disifatkan, sementara ia sendiri tidak tersifatkan oleh apapun. [...] yang melandasi sebuah benda utamanya dipikirkan sebagai substansi dalam artinya yang sejati.”14 Substratum adalah landasan umum yang menjadi basis keberadaan benda-benda. Oleh karena landasan umum inilah setiap benda dapat diperbandingkan dan disifatkan. Syarat kemungkinan agar seseorang, katakanlah Si A, dapat disebut baik atau buruk adalah karena Si A ada, yakni sebagai landasan tempat diletakkannya predikat baik dan buruk tersebut. Substratum inilah yang disamakan dengan hal material dalam Fisika Buku I: perunggu adalah substratum material dari sebuah patung sebelum dikenai bentuk apapun.15 Dengan demikian, substratum adalah dalam arti benar-salah, dalam arti potensial-aktual dan dalam arti kategori. Rijk (2002:158-19), mengikuti Metafisika Buku VII, memilah empat makna Ada: Ada dalam arti ‘apa yang ada’ (to ti en einai), dalam arti ‘yang universal’ (to katholou), dalam arti genus (to genos) dan dalam arti substratum atau ‘yang melandasi (to hupokeimenon; that which underlies). 14 “Now the substratum is that of which other things are predicated, while it is itself not predicated of anything else. And so we must first determine the nature of this;for that which underlies a thingprimarily is thought to be in the truest sense its substance." (Metafisika 1028b35-37). 15 “ The underlying nature can be known by analogy. For as the bronze is to the statue, the wood to the bed, or the matter and the formless before receiving form to any thing which has form, so is the underlying nature to substance, i.e. the ‘this’ or existent." (Fisika 191a9-12). Dalam Metafisika 1029all12, Aristoteles menulis tentang substratum: “ When aU else is taken away evidently nothing but matter remains." Namun, penyamaan substratum dengan materi ini kemudian dikoreksi Aristoteles dengan melihat substratum sebagai ‘bentuk-dalam-materi’ (indwelling form dalam



32



syarat minimal bagi adanya sesuatu yang diperlukan bagi mungkinnya pensifatan atas segala yang bertumpu padanya. Keseukuran dapat dilihat sebagai substratum karena keseukuran, seperti substratum, digambarkan sebagai ‘hal yang melandasi’ yang “dapat disifatkan pada semua yang sejenis” (Metafisika 1088a7-8). Mengatakan bahwa dua hal seukur berarti mengatakan bahwa keduanya bertumpu pada satu landasan yang sama, yang menjadi sumber keberadaan keduanya. Keseukuran, sebagai sumber keberadaan, adalah sama dengan substratum. Persoalan keseukuran juga mengemuka dalam teori Aristoteles tentang genus yang berkaitan erat dengan konsep substratum. Aristoteles memilah antara genus dan ‘pembeda’-nya (differentiae). Dalam frase ‘binatang berkaki dua’, yang menjadi genus adalah ‘binatang’ sementara pembedanya adalah ‘berkaki dua’ (Rijk 2002: 287). Genus, dengan demikian, adalah substratum yang menjadi alas tempat kualitas tertentu diterakan.16 Kaitan antara keseukuran dan genus mengemuka dengan jelas dalam teks berikut: “Sifat sebuah benda yang berbeda secara spesifik dari hal lain terletak pada perbedaan dalam hal entitas ketiga, dan entitas ini mesti terdapat dalam keduanya. Misalnya, apabila ada pembicaraan tentang binatang yang berbeda secara spesifik terhadap binatang lain, maka keduanya adalah binatang. Karenanya, halhal yang berbeda secara spesifik pastilah berada di dalam genus yang sama. Dengan ‘genus’ saya



Metafisika 1037a29 atau enmatteredform dalam Rijk 2002: 285). 16 Penyamaan antara genus dan substratum dinyatakan dalam Metafisika 1024b8-9 atau seperti ditunjuk Rijk (2002:287): “a thing’s genus is called the matter or substratum of its differentia, for what qualifying differentiae are of is their substratum, which we call their matter’".



33



memaksudkan sebuah hal identik yang dinyatakan tentang keduanya”17 Mengatakan A dan B berbeda berarti mengatakan bahwa keduanya berbeda dalam hal tertentu yang samasama terdapat dalam keduanya. Misalnya, panjang tiga meter dan panjang lima meter berbeda dalam jumlah panjang tetapi sekaligus sama dalam hal sama-sama mengacu pada besaran panjang. Genus adalah hal yang melaluinya perbedaan itu diekspresikan dan, dengan kata lain, menjadi basis persamaan yang memungkinkan evaluasi. Genus, sebagaimana substratum, adalah keseukuran.



2.4. Persoalan Keseukuran dan Distingsi EkonomiKhrematistik Keseukuran, seperti telah dikupas, mengindikasikan adanya suatu landasan umum yang menautkan hal-hal yang berlainan. Landasan umum atau substratum inilah yang dipertanyakan dalam ilmu ekonomi dengan teori nilai. Atas dasar apa sepasang sepatu dapat dipeibandingkan dan ditukarkan dengan dua kantung gandum? Aristoteles, seperti telah kita lihat, tidak memberikan jawaban definitif atas pertanyaan ini. Di satu tempat ia menerangkan keseukuran berdasarkan kebutuhan (bahwa barang-barang yang berbeda itu sama-sama menjadi objek kebutuhan manusia), tetapi di tempat lain ia juga menyebutkan peran kerja (dalam wujud rasio antara jumlah tukang bangunan dan pembuat sepatu) (bdk. Etika Nikomakhea 1133a2517 “A thing’s property of being specifically different lies in the difference thatfalls to some entity, and this entity must belong to both. For instance, if there is talk of an animal that is specifically different , then both are animals. The things, thus, that are specifically different must be in the same genus. For by ‘genus’ I mean that one identical thing which is said of both” (Metafisika 1057b-1058a, seperti dikutip dalam Rijk 2002: 287-288).



34



30 23-2‫ لل س ه‬33‫)ص‬. Berikut ‫ لهن‬kita akan memeriksa bagaimana persoalan keseukuran tersebut muncul kembali dalam uraian Aristoteles tentang hakikat ekonomi. Pandangan Aristoteles tentang hakikat ekonomi tertuang dalam Politik, khususnya Buku I, 1256al-1258b7. Di sana ia memilah antara ‘ilmu pengelolaan rumahtangga’ (ekonomi) dan ‘ilmu pencarian kekayaan’ (khrematistik). Ekonomi berkenaan dengan perkara ‘pemenuhan kebutuhan alamiah manusia’ (1257a30) dan, oleh karenanya, memiliki batas (1257b31-32). Batas tersebut tercapai ketika manusia sudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Aristoteles menyatakan bahwa ilmu pengaturan rumah tangga (oikonomike) dalam wujudnya yang alamiah/kodrati berkenaan dengan pencarian sarana pemenuhan kebutuhan yang niscaya diperlukan bagi adanya kehidupan material dan sarana itulah yang dimengerti sebagai ‘kekayaan yang sesungguhnya’ yang tidak tak terbatas.18 Sebaliknya, khrematistik berurusan dengan pencarian kekayaan melalui penimbunan uang ‫ س ه‬, oleh karenanya, tak memiliki batas (1257b34-35 dan 1257b39-41). Apabila tujuan ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan melalui konsumsi (Baloglou 2012: 19), tujuan khrematistik adalah akumulasi kekayaan dalam rupa uang. Distingsi antara ekonomi ‫س ه‬ khrematistik, pada akhirnya, adalah distingsi antara bentuk penghidupan ekonomis yang alamiah dan tidak alamiah.1‫؟‬



18 "Of the art ٠/ acquisition then there is one kind which by nature is apart ٥/ the management ٠/ ٠ household, in sofar as the art ٠/ ‫مه‬،،‫ محس؟‬management must eitherfind ready ‫؛‬٠ hand, ٠٢itself provide, such things necessary ‫؛‬٠ ‫رهو‬ and usefulfor ‫ءءم؛‬community of thefamily orstate, ‫ ته‬can ‫ ءء‬stored. They are the elements ٥/ true riches;for the amount of property which is #‫سمممحءمحءء‬a good life is »٠‫ ؛‬unlimited.’’ (Politik 1256b26-32( There are two sorts of wealth-getting, as I have said; one is apart of household “ 19 ,management, the other is retail trade: theformer is necessary and honourable while that which consists in exchange isjustly certsured;for it is unnatural, and a mode by which mengainfrom another.’’ (Politik 1258a8-1258b2(



35



Disting$i antara yang alamiah ‫ س ه‬tidak alamiah itu didasarkan pada distingsi kegunaan b a ra n g -b a ra n g . Aristoteles menulis: “Dari segala hal yang kita miliki ada dua kegunaan: keduanya berasal dari bendanya sendiri tetapi tidak dalam cara yang sama, sebab yang satu adalah kegunaan yang alamiah ‫ س ه‬yang lain adalah kegunaan yang tidak alamiah.”“ Contoh yang ia berikan adalah kegunaan sepasang sepatu. Kegunaan khas sepasang sepatu adalah sebagai alas kaki, sementara kegunaan yang tidak alamiah adalah sebagai barang dagangan. Demikian pula dengan uang. Uang yang fongsi khasnya adalah sebagai alat tukar menjadi tak alam iahji^ digunakan untuk menimbun kekayaan (Pack 2010: 17). Ekonomi dimengerti sebagai aktivitas yang alamiah karena berkaitan dengan produksi kegunaan khas barang-barang dan karenanya tujuannya adalah subsistensi. Khrematistik, sebaliknya, dimengerti sebagai sesuatu yang tak alamiah karena berkaitan dengan pengejaran kegunaan yang tidak alamiah dari barangbarang dan karenanya tujuannya adalah akumulasi demi akumulasi. Distingsi antara kegunaan yang layak dan tidak layak dari barang-barang dapat dilihat sebagai pen،lahulu distingsi antara nilai-pakai dan nilai-tukar dalam ekonomi Klasik (Roncaglia 2005: 27). Kegunaan yang alamiah dari sebuah barang mengemuka dalam nilai-pakainya, sementara kegunaan yang tidak alamiah mengemuka dalam nilai-tukarnya. Apabila nilai-pakai ialah kegunaan fisik sebuah barang dalam memenuhi kebutuhan, nilai-tokar adalah rasio pertukaran sebuah barang di hadapan barang lain. Dominannya nilai-pakai menandai bentuk ekonomi subsisten yang digambarkan Aristoteles, sementara



Of everything which we possess there“ 20 ٠٢، ‫؛‬١٧٠ ،،‫؟‬،«; both belong ‫؛‬٠ the thing as such but not in the same manner, for one is the proper, and the other the improper use of it." (.Politik 1257a8-10(



36



dominannya nilai-tukar menandai khrematistik yang dikecamnya.21 Distingsi kegunaan tersebut berkaitan erat dengan persoalan keseukuran. Dalam hal kegunaan yang alamiah, persoalan keseukuran tidak mengemuka. Sepasang sepatu memiliki kegunaan khas yang sepenuhnya berbeda dengan sekantung gandum. Keduanya tak seukur. Persoalan keseukuran mengemuka dalam kegunaan yang tak alamiah, yakni dalam penggunaan barang sebagai komoditas untuk diperjual-belikan. Bagaimana mungkin sepatu yang fungsi khasnya sepenuhnya berbeda dengan gandum dapat dipertukarkan dalam proporsi tertentu dengannya? Bu­ kankah itu sama seperti bertanya tentang manakah yang lebih ‘tajam’ antara pena, anggur dan nada tinggi? Sepatu dan gandum hanya mungkin dipertukarkan apabila keduanya memiliki substratum yang sama dan substratum ini pastilah tidak berhubungan dengan kegunaan yang alamiah dari masing-masing barang (sebab kegunaan jenis terakhir ini berbeda secara kualitatif satu sama lain). Problem keseukuran adalah misteri di balik konsep kekayaan (wealth) yang khrematistik. Dalam kerangka khrematistik, kekayaan seseorang dihitung dari berapa jumlah uang yang dimilikinya dan bukan dari berapa jumlah gandum di lumbung. Aristoteles bertanya: Bagaimana 21 Mengomentari orang yang terlibat dalam kegiatan ek©n©mi sebagai khrematistik, Aristoteles menulis: “thewholeideaoftheirlivesisthatthey ought either ‫ هء‬increase their money without limit, ٠٢ at any rate «٠‫؛ ؛‬٠ lose it. The origin of this disposition ١'« men is that they are intent upon living only, and «٠‫ ؛‬upon living well; and, as their desires are unlimited, they also ‫ ء/the Land. But ifa mans labourforayearcan make thesaidLcmdtoyieldmore thanfifty days Food ٠/ the same, ٠٢ ٠/ any other kind, then ‫ ممأمء‬overplus of daysfood is the Wages ٠/ the Man; both being expressed by the number ‫ه‬/ ‫محم‫ ءءء‬may be ‫هء‬/‫‘ محءا‬value in use;’ the other, ‘٧،،/،،، in exchange’.’’ (Smith [1776] 1937: 28) “ Parad©k$ Nilai juga dikenal dalam tradisi Klasik sebagai paradoks tentang air dan berlian. Inti paradoks ini adalah bahwa barang yang memiliki kegunaan yang besar justru rendah nilai tukarnya (seperti air) sementara barang yang rendah kegunaannya justru tin^ i nilai tukarnya (seperti berlian). Paradoks ini mulanya ©leh Davanzati pada akhir abad ke-16, lalu dirumuskan sebagai ‘paradoks air dan berlian’ oleh J©hn Law pada permulaan abad ke-18 ‫س ه‬ dirumuskan secara sistematis oleh Abbe Galiani di ' abad ke-18 (Schumpeter 1963:3©0-301). Galiani menggunakan paradoks ‫محن‬ untuk mengajukan pendekatan subjektif tentang nilai: " " ditentukan oleh ‫'ء س‬/‫ ء قه‬rarita atau kegunaan (yang dievaluasi secara subjektif) ‫ س ه‬kelangkaannya (k©ndisi penawaran dan ’ Oleh karena kegunaan objektif air nyatanya tidak menjamin tingginya nilai tukarnya dan kelangkaan serta kegunaan subjektif berlian menjamin hal itu, maka nilai tukar barang ditentukan oleh kegunaan subjektif dan kelangkaannya. Namun, di sisi lain, iajuga ' kerja (fatica) sebagai alat untuk mengukur nilai barang (Schumpeter 1963: 302). Jadi Galiani‫ س ؛ا‬secara konsisten berpegang pada salah satu dari dua posisi teori nilai yang diantisipasinya. 23 “The things which have the greatest value in use have frequently little ٠٢ no value in exchange; and ٠« the contrary, those which have the greatest‫ااا‬،‫ ءاا‬in exchange havefrequently little ٠٢«٠ value in use. Nothing is more useful than water: but it will purchase scarce any thing; scarce any thing can be ‫ س ه‬in exchangefor it. A ‫ ' ه‬، ‫ ؛ سا‬٠« the contrary, has scarce any value in use; buta very great quantity ٠/ other goods mayfrequently be had in exchangejbrit.’’



53



berguna tetapi nyaris tak berharga sementara berlian tidak terlalu berguna tetapi harganya tinggi. Paradoks ini, bagi Smith, hanya dapat dipecahkan apabila kita dapat menentukan prinsip dasar yang meregulasi nilai tukar komoditas. Inilah yang akan ia kerjakan, secara berurutan, dalam Bab V, VI dan VII risalah tersebut-tiga Bab kunci yang memaparkan teori nilai Smith. Smith menulis, “Kerja adalah harga pertama, uang pembelian asah yang dibayarkan untuk semua barang. Bukanlah melalui emas ataupun perak, m e la in k a n melalui kerja, semua kemakmuran dunia pada mulanya dibeli” (Smith [1776] 1937: 30). Jadi kerja adalah ukuran dasar nilai tukar. Namun Smith kemudian menambahkan bahwa nilai tukar itu “setara dengan jumlah kerja yang memungkinkannya untuk membeli.” Smith juga menyatakan bahwa ukuran nilai tukar sebuah barang adalah “jumlah kerja yang memungkinkannya untuk membeli” (Smith [1776] 1937: 30). Jadi nilai tukar barang A adalah sejumlah kerja yang dapat dibeli dengan barang A. Inilah yang dimaksud dengan konsep ‘kerja yang dibeli’ (commanded labour). Nilai tukar sepotong baju dapat diukur dari lima jam kerja yang dibeli dengan baju tersebut. Namun, pada saat yang bereamaan. Smith dalam teksnya juga berbicara tentang /‫ أممسأ‬kerja yang diperlukan untuk memproduksi barang A sebagai nilai tukar barang A. Inilah yang dinyatakannya dalam para^af pembukaan Bab VI yang terkenal itu: “Dalam tahapan awai masyarakat yang mendahului akumulasi modal ataupun pengolahan tanah, proporsi di antara jumlah kerja yang diperlukan untuk memperoleh objek-objek yang berbeda tampak sebagai kondisi satu-satunya yang dapat memberikan aturan bagi pertukarannya satu sama lain. [...] Adalah (Smith [1776] 1937: 28)



54



alami bahwa apa yang memerlukan dua hari atau dua jam kerja mesti dihargai dua kali lipat dari apa yang diproduksi dengan satu hari atau satu jam kerja.”24 Melalui kutipan di muka, terlihat jelas bahwa nilai tukar sebuah barang diukur dari jumlah jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Smith tidak menciptakan istilah teknis untuk menyebut ukuran nilai tukar ini. Tradisi Klasik sesudahnya akan memakai istilah ‘kerja yang menubuh’ (iembodied labour) untuk menyebutnya. Kerja yang menubuh ini tak lain daripada kelanjutan ide ‘kerja lampau’ (past labour) yang dirumuskan Petty. Tidak ada identitas yang total antara commanded labour dan embodied labour. Inilah sumber kontradiksi teori nilai Smith: ia menggunakan dua basis pengukuran yang saling berkonflik. Corak konfliktual tersebut baru mengemuka ketika kita menempatkan kedua konsep tersebut dalam cakrawala historisnya. “Dalam tahapan awai masyarakat yang mendahului akumulasi modal ataupun pengolahan tanah,” commanded labour dan embodied labour memang identik. Kerja yang dicurahkan untuk memproduksi daging rusa sama dengan kerja yang dapat diperoleh dari pertukaran daging rusa itu. Artinya, tidak ada selisih antara nilai kerja dan nilai produk kerja (Meek 1973: 70). Sebabnya karena dalam konteks tiadanya pemisahan antara produsen dan sarana produksi, nilai input (kerja dan sarana kerja) sama dengan nilai output. Belum ada problem distribusipendapatan yang terpisah antara pemilik ‘tenaga-kerja’ dan pemilik sarana kerja. Situasi ini 24 “Inthat early and rude state of society which precedes both the accumulation of stock and the appropriation of land, the proportion between the quantities of labour necessary for acquiring different objects seems to be the onfy circumstance which can afford any rulefor exchanging themfor one another. If among a nation of hunters, for example, it usually costs twice the labour to kill a beaver which it does to kill a deer, one beaver should naturally exchangejor or be worth two deer. It is natural that what is usually theproduce of two days or two hours labour, should be worth double of what is usually the produce of one day’s or one hour’s labour” (Smith [1776] 1937: 47).



55



berubah dengan terjadinya pemisahan antara produsen dan sarana produksi. Dengan pemisahan tersebut muncul pula bentuk pendapatan baru yang mengemuka akibat privatisasi sarana kerja, yakni sewa (rent) dan laba (profit). Artinya, muncul problem distribusi nilai ke dalam sewa lahan dan laba yang membuat nilai input tidak identik dengan output— output lebih besar dari input. Dengan kata lain, commanded labour lebih besar nilainya dibandingkan embodied labour. Dalam situasi seperti ini, basis ganda pengukuran nilai yang diajukan Smith jadi problematis sebab nilai yang dihitung dari perspektif commandedlabourbeibcda. dari yang dihitung dengan perspektif embodied labour. Problem distribusi pendapatan inilah yang diper­ soalkan Smith dalam Bab VI bukunya. Begitu terjadi privatisasi lahan dan modal, terjadi pula pemisahan antara produsen dan sarana produksinya. Dengan pemisahan ini produsen memperoleh bentuk pendapatan baru, yakni upah (wage), yang terpisah dari pendapatan para pemilik sarana produksi: kelas pemilik tanah (rent) dan kelas pemilik kapital (profit). Smith menjelaskan bahwa tiga komponen harga atau nilai tukar dalam tahapan masyarakat sesudah “akumulasi modal dan pengolahan tanah” adalah upah, sewa dan laba.25 Dengan mempertimbangkan distribusi pendapatan ini kemudian Smith mengubah teori nilainya. Sementara dalam tahapan masyarakat primitif, Smith menggunakan argumen teori nilai-kerja untuk berbicara tentang ukuran dan penentu nilai, dalam tahapan masyarakat modern, Smith menggunakan argumen teori nilai-ongkos produksi. Nilai tukar kini ditentukan oleh ‘ongkos produksi’-nya, yakni upah, sewa dan laba. Pendekatan Smith atas nilai



25 “ Wages, profit, and rent, are the three original source of all revenue as well as ٠/ all exchangeable value. All other revenue is ultimately derivedfrom some one or other of these.” (Smith [1776] 1937: 52)



56



inilah yang dikenal sebagai ‘teori penjumlahan’ (‫؛‬ adding up theory): nilai = sewa + upah + laba.26 Berdasarkan teori tentang distribusi pendapatan ke dalam tiga kelas itulah Smith merumuskan konsepnya tentang ‘harga alamiah’ (natural price). Seperti dituliskan Smith: “Ketika harga setiap komoditas tidak lebih atau kurang dari apa yang diperlukan untuk membayar sewa tanah, upah kerja dan laba modal yang dipergunakan ... dalam tingkat alamiahnya, maka komoditas dijual pada apa yang dapat disebut sebagai harga alamiahnya. Komoditas itu, karenanya, dijual sesuai dengan nilainya [worth]”27 Konsep harga alamiah ini dipilahnya dari ‘harga pasar’ (‫؛‬ market price), yakni harga komoditas yang memang aktual di pasaran. Harga pasar ini tidak selalu identik dengan harga alamiahnya. Perbedaan antara harga pasar dan harga alamiah ini, menurut Smith, dijelaskan oleh ‘permintaan efektif’ (effectual demand) yang ada di pasar. Permintaan efektif adalah permintaan yang dibarengi dengan kapasitas untuk membeli. Apabila permintaan efektif atas sepatu melebihi jumlah sepatu yang ditawarkan di pasaran, maka harga pasar sepatu akan meningkat, demikian pula sebaliknya. Namun peningkatan ini tidak mempengaruhi harga alamiahnya secara langsung. Naik-turunnya harga pasar, oleh karena itu, disebabkan oleh proporsi penawaran dan permintaan (supply-demand) yang ada di pasar. 26 Lih. pengantar yang diberikan Piero Sraffa dalam Ricardo ([1817] 2004a: xxxv-xxxvi). 27 “ When the price of any commodity is neither more nor less than what is sufficient to pay the rent of the land, the wages of the labour, and theprofits of the stock employed in raising, preparing, and bringing it to market, according to their natural rates, the commodity is then sold for what may becaUed its natural price. The commodity is then sold precisely for what it is worth” (Smith [1776] 1937: 55).



57



Gelombang fluktuasi penawaran dan permintaan ini terjadi karena adanya kompetisi bebas di pasar. Namun, secara bersamaan, kompetisi pulalah yang mengarahkan harga pasar terus-menerus kembali mendekati harga alamiahnya. Ini dapat diilustrasikan sebagai berikut. Andaikan sekantung peniti memiliki harga alamiah Rp.500 dan memerlukan dua jam kerja untuk memproduksinya, sementara sepotong baju memiliki harga alamiah Rp.2000 dan memerlukan 8 jam kerja untuk memproduksinya. Andaikan bahwa harga alamiah dan harga pasarnya identik. Sekarang andaikan bahwa karena kenaikan permintaan akan peniti, harga pasarnya menjadi Rp. 1000. Kenaikan ini akan menyebabkan para pelaku industri garmen beralih ke industri peniti. Sebabnya karena dengan dua jam kerja mereka dapat menghasilkan Rp. 1000 dibandingkan dengan delapan jam kerja yang hanya menghasilkan Rp.2000. Namun kenaikan ini tidak akan bertahan lama karena penawaran peniti akan membanjiri pasar dan akibatnya menurunkan harga pasarnya sehingga memaksa para industrialis untuk keluar dari industri peniti dan kembali ke industri garmen. Sehingga harga pasar peniti dan baju kembali identik dengan harga alamiahnya. Dengan kata lain, ada kecenderungan kembalinya fluktuasi harga kepada ‘ongkos produksi’ (harga alamiah). Inilah yang diterangkan Smith sebagai fenomena gravitasi harga: “Harga alamiah, karenanya, ialah harga pokok yang kepadanya harga-harga semua komoditas terus-menerus bergravitasi [gravitating] . Aksidenaksiden yang berlainan terkadang dapat membuatnya menggantung di atasnya dan terkadang memaksanya turun lebih bawah lagi. Namun, apapun yang menjadi halangan yang menghambatnya untuk menetap pada



58



pusat diam dan kelangsungan ‫ ن ط‬, harga-harga tersebut senantiasa cenderung terarah padanya.”28 Jika Newton menemukan hukum gravitasi yang mengatur benda-benda fisik, Smith menemukan hukum gravitasi yang mengatur mekanisme harga. Inilah cikalbakal dari apa yang dalam tradisi Klasik sampai dengan Man، dikenal sebagai ‘Hukum Nilai’ (law of value). Mekanisme penyesuaian harga pasar ke harga alamiah ini dijamin oleh keberadaan kompetisibebas. Mekanisme itu terjadi karena ada ketebasan para investor unluk bergerak secara lintas-sektoral. Itulah sebabnya, pada akhirnya Bab VII, Smith berbicara tentang dampak buruk intervensi pemerintah atas realitas perekonomian. Dengan adanya regulasi dari pemerintah, pergerakan modal lintas-sektoral menjadi terhambat dan karenanya ‘hukum gravitasi’ tadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, harga barang-barang menjadi terlalu mahal atau terlalu murah.29



3.2.4. David Ricardo dan Rumusan Klasik Teori NilaiKerja Smith meninggalkan warisan yang berharga dalam sejarah teori nilai. Ia berusaha memecahkan paradoks nilai atau persoalan relasi antara nilai-pakai dan nilai-tukar. Pemecahan ini ia berikan dengan cara mengasalkan nilai 28 “ The natural price, therefore, is, as it were, the ‫ءء' صئس«ءء‬, ‫؛‬٠ which the price of all commodities are continually gravitating. Different accidents may sometimes keep them suspendedagooddealabove it, andsometimesforce them ‫مح‬،‫ اسل‬even somewhat below it. But whatever may be the obstacles which hinder themfrom settling in this center ٠/ repose ‫ا Kerja KinkritA



' Kerja KonkritB



Kerja Konkrit C



Diagram 1. Kerangka Marxian tentang Kerja dan Nilai Nilai-tukar linen terhadap mantel mengemuka ketika sejumlah jam kerja untuk memproduksi linen diekspresikan dalam kuantitas tertentu mantel. Artinya, nilai-tukar identik dengan ongkos produksi sebuah barang yang dibahasakan dalam sejumlah barang lain. Nilai-tukar adalah ekspresi nilai suatu komoditas (bentuk relatif) dalam nilai-pakai komoditas lain (bentuk ekuivalen). Dalam arti inilah nilaitukar disebut sebagai ‘bentuk tampilan’ dari nilai. Dari penjelasan di muka kita saksikan bagaimana Marx mampu mengargumentasikan kemungkinan bagi pertukaran dari titik pijak produksi semata—dengan kata lain, tanpa bertumpu pada argumen tentang permintaan dan penawaran pasar. Apa yang belum nampak bagi kita adalah asal-usul laba. Apabila, konsisten dengan asumsi Marx, komoditas dipertukarkan sesuai dengan nilainya sehingga pertukaran tidak menghasilkan laba lalu dari mana asal-usul laba? Inilah pertanyaan dasar Marx: apakah 266



syarat kemungkinan dari adanya laba? Untuk menjawab ini kita mesti mempelajari analisis Marx tentang kerja.



7.2.4.Asal-UsulNilai-Lebih Ada dua komponen utama dalam proses produksi, yakni bahan dasar (termasuk sarana produksi) dan tenaga kerja.‫ ؛‬Kapitalis membeli keduanya untuk memproduksi komoditas. Sekarang andaikan bahwa sang kapitalis membelinya pada tingkat harga ekuilibrium dan menjual hasilnya juga pada tingkat harga ekuüibrium. Kalau dari penjualan ini sang kapitalis memperoleh laba, maka kita pantas bertanya: dari mana asai mula laba ini?Tidakmungkin dari bahan dasar ‫ س ه‬alat produksi sejauh keduanya bukan merupakan benda gaib yang secara misterius menelurkan nilai. Nilai keduanya (dipotong penyusutan) hanya akan ditransfer menjadi nilai output komoditas. Kalau begitu, apakah laba itu muncul dari ranah sirkulasi (misalnya, karena kecerdasan sang kapitalis dalam mencari peluang pasar)? Kalau laba sepenuhnya dihasilkan dalam sirkulasi, maka setiap kapitalis bisa saja menjual komoditasnya dengan harga setinggi mungkin sehingga akibatnya tak ada seorang kapitalis pun yang mampu membeli bahan dasar yang ia perlukan sendiri. Maka satu-satunya kemungkinan adalah tenaga kerja. Pertanyaannya: apabila kerja adalah sumber nilai, berapakah nilai dari sumber nilai ini? Melampaui ekonomPolitik Klasik, Marx membuat distingsi penting antara kerja dan tenaga kerja. Dalam modus produksi kapitalis, pekerja tidak menjual kerjanya pada sang pemodal. Artinya, si pekerja tidak menjual keseluruhan hidupnya seperti seorang budak. Apa yang dibeli oleh kapitalis adalah ‘kapasitas kerja’-nya (Arbeitsvermörgen) atau ‘tenaga kerja’٠ ‫ذ ح‬



pemaparan terikut ini penulis (1968:60-61).



mengikuti s ^ / e y



267



nya (Arbeitskraft) (Marx [1867] 1979: 270). Yang dijual oleh pekerja adalah kemampuannya untuk bekerja selama jangka waktu tertentu. Di sini Marx menunjukkan letak kunci permasalahannya: adanya diskrepansi antara nilai-pakai tenaga kerja dan nilainya (Marx [1867] 1979: 300-301). Nilaipakai tenaga kerja terwujud dalam sejumlah nilai produk yang dapat dihasilkannya. Sementara nilai tenaga kerja adalah sejumlah nilai yang proporsional terhadap syaratsyarat produksinya (seperti bahan pokok dan pelatihan) dan dibayarkan sebagai upah. Andaikan hasil kerja dan upah pekerja diekspresikan dalam satu komoditas yang sama, misalnya jagung. Apabila nilai-pakai dan nilai tenaga kerja diekspresikan dalam sejumlah jagung, maka kita bisa segera melihat selisih jumlah dari keduanya. Dalam sehari seorang pekerja dapat menghasilkan komoditas yang setara dengan 20 jagung. Sementara dalam sehari juga si pekerja hanya membutuhkan komoditas senilai 10 jagung untuk mereproduksi tenaga kerjanya. Oleh karena 10 jagung itu sudah memenuhi syarat produksi dari adanya tenaga kerja dalam satu hari, maka upahnya adalah 10 jagung. Dengan kata lain, nilai tenaga kerja adalah 10 jagung. Di sini kita dapat lihat selisih nilai-pakai tenaga kerja dari nilainya, yakni selisih 10 jagung yang diperoleh dari pengurangan 10 jagung yang diperlukan untuk hidupnya sehari terhadap 20 jagung yang dihasilkannya per hari. Selisih 10 jagung itulah laba yang masuk ke gudang kapitalis. Itulah nilai-lebih.



7.2.5. Derivasi Nilai ke dalam Kapital dan Laba Setelah mengerti sumber nilai-lebih pada jantung produksi, kini kita akan mempelajari bagaimana nilai sejatinya menstruktur totalitas ekonomi kapitalis, bagai­ mana kategori nilai menjelaskan keseluruhan kategori yang bermain dalam kapitalisme. Kita akan mengikuti rekonstruksi Paul Sweezy dalam The Theory of Capitalist 268



Development (Sweezy [1942] 1968). Dalam sistem produksi komoditas yang sederhana (simple commodity production), surplus komoditas yang tidak berguna bagi pemiliknya dijual agar dapat membeli komoditas yang berguna. Ini dapat digambarkan dengan kumparan Ka - U - Kb (komoditas a dijual dan uang hasil penjualan itu digunakan untuk membeli komoditas b). Masing-masing ujung dari kumparan ini berbeda secara kualitatif. Dalam modus produksi kapitalis, yang terjadi tidak demikian. Uang digunakan untuk membeli komoditas tertentu yang dapat menghasilkan uang lebih banyak. Ini digambarkan dengan kumparan U - K - U ’. Berbeda dengan kumparan pertama, masing-masing ujung dari kumparan ini hanya berbeda secara kuantitatif. Dalam modus produksi kapitalis, kumparan ini dapat diuraikan sebagai berikut:



U - K { SP - U’ TK Artinya, kapitalis membelanjakan uangnya untuk membeli sarana produksi (SP) termasuk bahan baku dan tenaga kerja (TK) untuk menghasilkan komoditas yang dapat dijual dan merealisasikan laba. Proses peningkatan uang inilah (kumparan U - K - U’) yang disebut Marx sebagai formula umum kapital. U’ adalah kapital yang dapat digunakan untuk memperbaharui proses ini dan selisih uang pada akhir proses ini, yakni U’ - U atau AU, adalah nilai-lebihnya. Berdasarkan pengertian tentang kumparan kapital ini, kita dapat memecah kapital ke dalam dua komponen, yakni kapital konstan (constant capital) atau kapital dalam rupa sarana produksi dan kapital variabel (variable capital) atau kapital dalam wujud tenaga kerja (upah). Nilai-lebih, seperti sudah kita lihat, mengemuka lewat kapital variabel. 269



Ketiganya—kapital konstan, kapital variabel dan nilailebih-mengkonstitusikan nilai total dari komoditas yang diproduksi. Marx merumuskan nilai total sebuah komoditas dalam formula sederhana ini: k+v+ s=t Nilai total komoditas (t) adalah penjumlahan atas kapital konstan (k), kapital variabel (v) dan nilai-lebih atau surplus nilai (s). Inilah formula dasar yang dipakai Marx untuk menghittjng nilai komoditas apapun. Sweezy menyatakan bahwa formula ‫ ضن‬dapat digunakan untuk menghitung pendapatan nasional. Apabila huruf kapital K dan ٧ masing-masing menandai agregat kapital konstan dan agregat kapital variabel, maka apa yang dimaksud dengan ‘pendapatan nasional bruto’ {gross national income)— atau nilai total komoditas yang dihasilkan oleh warga negara dalam jangka waktu tertentu—sebenarnya dapat dirumuskan sebagai V + S + nilai susut dari K. Sementara ‘pendapatan nasional neto’ («‫ مح‬national income)—atau jumlah pendapatan seluruh warga negara-sebenarnya bisa dirumuskan sebagai v +s (Sweezy 1%63 ‫) ج‬. Rumusan dasar di muka dapat diderivasikan ke dalam beberapa rumusan lain. Yang pertama adalah rumus ‘tingkat nilai-lebih’ (rate of surplus value). Yang dimaksud dengan tingkat nilai-lebih adalah rasio atau proporsi antara nilai-lebih dan kapital variabel yang memproduksi nilailebih tersebut. Kalau tingkat nilai-lebih dinotasikan dengan s’, maka rumusannya adalah sebagai berikut. V



Tingkat nilai-lebih ini adalah nama lain dari ‘tingkat eksploitasi’ (rate of exploitation). Alasannya karena tingkat ini juga menggambarkan proporsi pengambilan nilai-lebih 270



yang diproduksi oleh pekerja. Contohnya, apabila nilai tenaga kerja (upahnya) adalah setara dengan nilai enam jam kerja dan nilai-lebih yang dihasilkannya setara dengan dua belas jam kerja maka tingkat eksploitasinya (12 / 6 X 100%) adalah 200%. Rumusan derivat kedua adalah apa yang disebut Marx sebagai ‘komposisi organik kapital’ (iorganic composition of capital). Yang hendak dinyatakan dengan ‫ ن ط‬adalah proporsi antara kapital konstan terhadap total kapital. Apabila komposisi organik ini kita notasikan dengan 0, maka rumusnya demikian. k + v ~ ° Rumusan ini merefleksikan tingkat penggunaan teknologi (permesinan) dalam proses produksi. Sejauh kapital konstan adalah hasil terdahulu dari kapital variabel (mesin merupakan hasil dari tenaga kerja terdahulu), maka kapital konstan ini disebut Marx sebagai ‘kerja yang mati’ (dead labour) berkebalikan dengan kapital variabel yang disebut sebagai ‘kerja yang hidup’ (living labour). Komposisi organik kapital, karenanya, memottet tingkat dominasi kerja mati terhadap keseluruhan proses produksi. Rumusan ketiga adalah ‘tingkat laba’ (rate of profit) yang m enunju^an proporsi antara nilai-lebih dan keseluruhan kapital yang dilibatkan dalam proses produksi. Kalau tingkat laba ini kita notasikan dengan L, maka kita mendapat rumus berikut.



Dalam rumus ini kita menyaksikan bahwa apa yang dimaksud dengan laba, dari perspektif produksi, tidak lain adalah AU atau selisih antara U’ dan U dalam kumparan kapital di muka. AU atau laba ini tidak dilihat dari perspektif 271



pertukaran (K - U - K), melainkan dari perspektif produksi (U - K {SP + TK} - U’). Tingkat laba, karenanya, mengekspresikan proporsi antara AU terhadap SP dan TK. Berdasarkan rumusan-rumusan yang diderivasikan dari persamaan, kita dapat membangun persamaan tentang tingkat laba (L) sebagai fungsi dari tingkat nilai-lebih (s’) dan komposisi organik kapital (o). Persamaan itu adalah: L= S’(l-o). Rumus ini diperoleh dari penjabaran aljabar yang penulis ambil dan sederhanakan dari Sweezy (1968: 68) berikut ini:



_ sv + s k ~ sk v(k + v) _ s (v + k) ~ sk v (k + v) _ s (v + k) sk v (k + v) v(fc + v) = ‫ ؛‬i. — JL



k



v v' k +v = s' — s'.o = 5 (l —o)



Dengan mengetahui relasi langsung antara tingkat nilai-lebih dan komposisi organik kapital terhadap tingkat laba, maka kita dapat menerangkan hubungan kenaikan komposisi organik kapital terhadap tingkat laba. Inilah yang menjadi penting dalam teori Marx tentang krisis 272



kapitalisme. Namun sebelum sampai situ, kita mesti mempelajari terlebih dahulu proses akumulasi kapital untuk melihat bagaimana teori nilai-kerja Marx berguna juga bagi perumusan teori tentang siklus bisnis (bussines cycle).



7.2.6. Proses Akumulasi Kapital Setelah memahami komponen-komponen konseptual dasar yang bekeija dalam kapitalisme, kini kita akan mempelajari pandangan Marx tentang totalitas proses perekonomian kapitalis yang merupakan hasil derivasi dari teori nilainya. Proses ini bermula dari produksi, distribusi, konsumsi hingga produksi yang baru. Inilah yang dibahas Marx dalam teori reproduksi kapital. Marx memecah analisisnya ke dalam dua bentuk reproduksi: reproduksi sederhana dan reproduksiyang diperluas. Reproduksi sederhana (simple reproduction) adalah siklus reproduksi kapital di mana nilai input dan nilai output dari proses ini sama. Artinya, reproduksi sederhana menggambarkan proses elementer dari perekonomian secara umum, yakni bahwa hasil akhir dari proses hanya cukup untuk memperbaharui proses dalam skala yang tetap. Karena identitas input-output itulah maka dalam skema reproduksi ini belum ada akumulasi. Skema ini hanya berfungsi untuk menunjukkan kondisi minimal yang mesti dipenuhi untuk adanya perekonomian. Ada beberapa asumsi yang dipakai Marx dalam menjelaskan kedua skema reproduksinya (Tarbuck 1972: 271). Yang pertama adalah asumsi ‘dua kelas’. Yang diandaikan adalah keberadaan kelas kapitalis dan kelas buruh, serta eksklusi atas semua kelas yang lain dalam analisis sejauh pendapatan semua kelas yang lain dapat diturunkan dari kedua kelas tersebut. Asumsi kedua adalah ‘ekonomi tertutup’ (closed economy) di mana perdagangan internasional dikeluarkan dari analisis. Asumsi ketiga dan keempat adalah tingkat teknologi dan tingkat nilai-lebih 273



yang tetap. Asumsi ‫ نمن‬dipakai untuk memudahkan analisis saja dan bukan dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi objektif (sebab dalam kondisi riil, selalu ada perkembangan tingkatteknologi dan variasi nilai-lebih). Marx([1885] 1992:471)mengawah analisis reproduksi sederhana ini dengan membagi produk total yang dihasilkan masyarakat ke dalam dua departemen: departemen I memproduksi sarana produksi (means ٠/ production) dan departemen II memproduksi sarana konsumsi (means of consumptiori). Apa yang diproduksi oleh departemen I adalah semua komoditas yang memiliki fungsi ‘konsumsi produktif’ iproductive consumptiori)—konsumsi atasnya identik dengan produksi komoditas baru-seperti mesin, alat-alat kerja, bahan mentah dan sebagainya. Sementara apa yang diproduksi oleh departemen II adalah semua komoditas yang dikonsumsi oleh kapitalis dan pekerja secara non-produktif (habis tanpa menghasilkan komoditas b a r u ) seperti makanan, minuman, pakaian dan sebagainya. Berdasarkan rumus nilai yang telah ‫ قا ظ‬dapat di muka, kita dapat menguraikan komponen nilai dari kedua departemen tersebut sebagai berikut. 1



k, +v, +sI = tl



n



k2 +V2 +S2 = t2



Mengikuti paparan Sweezy, ada dua syarat bagi terjadinyareproduksisederhana(Sweezyl968:76-77).Syarat pertama adalah bahwa kapital konstan dari semua departemen mesti sama dengan output departemen yang menghasilkan sarana produksi (departemen I). Alasannya karena seluruh sarana produksi atau kapital konstan dihasilkan oleh departemen I sehingga agar ada keberlanjutan proses produksi, hasil dari departemen I mesti mencukupi kebutuhan sarana produksi bagi setiap departemen. Atau jika kita rumuskan secara formal: 7.74



kl +k2 = kI +Vl +SI



Syarat kedua adalah bahwa jurtilah konsumsi dari semua departemen mesti sama dengan output dari departemen yang menghasilkan sarana konsumsi (departemen II). Karena seluruh barang konsumen dihasilkan oleh departemen II, maka agar ada keberlanjutan produksi hasil dari departemen II mesti mencukupi kebutuhan konsumen yang bekerja di setiap departemen. Jika dirumuskan secara formal: vt + s, + v2 + s2= k2 + v2 + s2 Kebutuhan konsumen dari kedua departemen disamakan dengan kapital konstan dan kapital variabel karena pendapatan kapitalis diperoleh dari nilai-lebih (s) yang adalah laba yang didapatnya dari proses produksi sementara pendapatan buruh diperoleh dari kapital variabel (v) yang adalah upah yang diterimanya selama proses produksi. Sweezy kemudian menyederhanakan kedua rumusan ini ke dalam sebuah rumus yang menangkap prakondisi dasar bagi adanya reproduksi sederhana. k 2 = V, + S I



Rumus ini adalah inti dari kedua syarat di muka. Syarat inti bagi adanya reproduksi sederhana, karenanya, adalah bahwa nilai sarana produksi dari departemen yang memproduksi sarana konsumsi mesti sama dengan jumlah nilai tenaga kerja dan nilai-lebih dari departemen yang menghasilkan sarana produksi. Dengan terpenuhinya syarat ini, terwujud ekuilibrium di antara kedua departemen dan ekonomi dapat berjalan m e m a s u k i periode berikutnya. Skema reproduksi sederhana ini adalah bentuk formal dari ekonomi subsistensi. Akan tetapi tujuan dari 275



aktivitas ekonomi kapitalis bukanlah subsistensi melainkan akumulasi, bukan nilai-pakai melainkan nilai-lebih. Oleh karenanya, skema tersebut tidak memadai untuk menangkap proses riil dalam kapitalisme. Kendati begitu, para ekonom Klasik—dari Smith hingga Ricardo—tidak berhasil menteorikan siklus produksi kapitalis di luar skema reproduksi sederhana. Smith, misalnya, memahami akumulasi sebagai transformasi keseluruhan laba dari proses lama ke dalam upah tenaga kerja dalam proses yang baru.7 Jika ‘akumulasi’ adalah pengimpasan atas ongkos produksi, tak akan ada seorang pun yang mau menjadi kapitalis, sebab rationale atau alasan dari adanya kapitalis adalah akumulasi dan bukan sekedar subsistensi atau impas. Akumulasi kapital hanya dapat terjadi dalam skema reproduksi yang diperluas (expanded reproduction).‫؛؛‬ Asumsi dasar dari reproduksi jenis ini adalah bahwa kelas pekerja mengkonsumsi keseluruhan pendapatannya dan kelas kapitalis menyisakan sebagian dari pendapatannya untuk investasi demi perluasan skala produksi. Apabila kita hendak formalkan skema reproduksi ini, kita mesti menambahkan beberapa elemen selain kapital konstan dan variabel: nilai konsumsi kapitalis pada periode terdahulu (sk), kenaikan nilai konsumsi dalam periode yang baru (s^), nilai akumulasi yang diinvestasikan dalam kapital variabel (s^) dan nilai akumulasi yang diinvestasikan dalam kapital konstan (s^). Berdasarkan definisi konsep-konsep dasar ini, 7 “Adam Smith has made it the fashion to present accumulation as nothing more than the consumption of the surplusproduct by productive workers. This amounts to saying that the capitalization of surplus-value consists merely in turning surplus-value into labour-power. [...] There can be no greater error than the one repeated after Adam Smith by Ricardo and all subsequent political economists, namely the view that ‘the portion of revenue so said to be added to capital, is consumed by productive labourers’ (Marx [1867] 1979: 736) 8 Penjelasan tentang skema reproduksi yang diperluas ini didasarkan pada Sweezy (1968: 163-164).



276



kita dapat membangun persamaan elementer dari skema reproduksi yang diperluas seperti berikut ini. 1



* ,+ * ,+ * < , + ‫ س ء‬+ ‫ ا‬, + ‫ ئ‬, = * ,



11



k 2 + V 2 + S k 2 + S * 2 + S aV2 + S ak2 =



t2



Apabila kita memperhatikan skema ini, di dalamnya secara implisitjuga terkandung skema reproduksi sederhana. Skema itu mengemuka dalam kj + Vj + skl dan k, + v2 + sk2 sebab, jika dilihat dari definisinya, skl dan s^ tidaklah lain daripada Sjdans 2,‫ ن س أ‬nilai-lebih atau laba yang menjadi basis konsumsi kapitalis, ?erluasan dalam reproduksi yang diperluas ini mengacu ke S^J + savl + S^J dan + sm2 + 8‫س‬. Dari persamaan dasar di muka kita dapat mencari kondisi ekuihbrium bagi reproduksi yang diperluas. Sebagaimana dalam reproduksi sederhana, ada dua syarat yang mesti dipenuhi agar reproduksi yang diperluas dimungkinkan. Syarat pertama adalah bahwa jumlah nilai yang merepresentasikan permintaan atas kapital konstan mesti sama dengan nilai output dari departemen yang menghasilkan sarana produksi. Permintaan atas kapital konstan direpresentasikan oleh kapital konstan dalam dua departemen (kj dan k ‫ )؛‬ditambah dengan akumulasi yang diinvestasikan dalam kapital konstan di dua departemen tereebut (sa،1‫ ؛‬dan $‫) ئو‬. Bentuk formalnya demikian.



Syarat kedua bagi adanya reproduksi yang diperluas adalah bahwa jumlah nilaiyang merepresentasikan permintaan atas barang konsumsi mesti sama dengan nilai output dari departemen yang menghasilkan sarana konsumsi. Permintaan atas barang konsumsi mencakup permintaan akan barang yang dikonsumsi kelas pekerja (kapital variabel) dan kelas kapitalis (nilai-lebih). ©leh karenanya, '' 277



ini mencakup kapital variabel (v‫ ؛‬dan v^), nilai-lebih yang dikonsumsi kapitalis pada periode terdahulu (skl dan sk2), selisih kenaikan nilai-lebih pada periode baru (sAkl dan sAk2) ditambah dengan akumulasi yang diinvestasikan dalam kapital variabel di kedua departemen (savl dan sav2). Rumusnya adalah seperti ini. v, + sk, + *■•■+ * . + *.+ *-+*■-+* = *‫ د‬+ ‫ دأ‬+ ‫ آل‬+ ‫ أل‬+ ‫ط ب أل‬ Sebagaimana dalam reproduksi sederhana, kedua syarat reproduksi yang diperluas ‫ ن ط‬dapat disederhanakan ke dalam sebuah formula dasar.



Melalui formula dasar ‫ ن ط‬dinyatakan kondisi ekuihbrium bagi keberadaan proses reproduksi yang diperluas. Syarat dasar dari adanya reproduksi yang diperluas, oleh karenanya, adalah bahwa nilai sarana produksi dan investasi dalam sarana produksi yang baru dalam departemen yang menghasilkan sarana konsumsi mesti sama dengan jumlah nilai tenaga kerja beserta investasi di dalam tenaga kerja yang baru dan nilai-lebih beserta peningkatannya dalam departemen yang memproduksi sarana produksi. Implisit dalam rumusan ini bahwa kapital konstan yang diproduksi dalam departemen I habis dikonsumS dalam departemen tersebut sementara output dari departemen II habis dikonsumsi oleh pekerja dan kapitalis dalam departemen tersebut. Skema reproduksi Marx ini memiliki pengaruh dalam ilmu ekonomi Modern. Persamaan laba (profit equation) yang dirumuskan Michal Kalecki, misalnya, berangkat dengan asumsi Marxian tentang pembagian pendapatan ke dalam dua kelas (kapitalis dan pekerja) dan bahwa hanya kelas kapitalis yang menjalankan investasi. Skema 278



‫ نعن‬juga berpengaruh dalam analisis input-output yang dikembangkan oleh Vassily Leontief (kendati Leontief berangkat dengan asumsi reproduksi sederhana dimana output identik dengan input). Yang khas dalam skema Marx ini adalah bahwa reproduksi dapat ditampilkan tidak hanya sebatas repetisi melainkan juga sebagai akumulasi. Skema reproduksi kapitalis adalah skema reproduksi yang diperluas. Akumulasi yang digambarkan lewat reproduksi yang diperluas inilah yang membukakan jalan bagi konsentrasi dan sentralisasi kapital. Yang dimaksud dengan konsentrasi kapital adalah reinvestasi kapital dalam proses produksi demi perluasan skala produksi. Namun jika bergantung pada konsentrasi ini saja, laju akumulasi ‫س‬ akan cepat dan akibatnya membuat sang kapitalis suht berhadapan dengan pesaingnya. Oleh karena itu, sang kapitalis mesti menempuh jalan sentralisasi kapital, yakni penyatuan kapitalkapital yang ada ke dalam sebuah p£rusahaan. Cara ini ditempuh lewat penggunaan sistem kredit. Yang dimaksud Marx dengan sistem kredit bukan mengacu hanya pada pranata perbankan, melainkan pada keseluruhan bangunan finansial seperti pasar saham, obligasi dan lain sebagainya. Pada intinya, sentralisasi kapital dijalankan dengan cara menyerap kapital dari tempat lain (entah melalui kredit bank maupun lewat investasi saham) sehingga melipat-gandakan jumlah kapital yang tersedia pada awai proses produksi yang baru. Sentralisasi kapital mendorong ke arah terbentuknya perusahaan saham (joint-stock company) yang kepemilikan kapitalnya sepenuhnya berada di tangan para pemegang saham. Di sini, Marx menunjukkan adanya transformasi dari kapitalis yang menjalankan usaha menjadi sekedar manajer dan kemunculan para pemilik modal (pemegang saham) sebagai kapitalis-uang (money capitalist). Pasar saham yang muncul dari desakan sentralisasi kapital pada akhirnya berperan mengantarkan proses 279



sentralisasi sampai ke tujuannya, yakni monopoli. Alasannya karena keberadaan pasar saham memudahkan gerak keluarmasuknya kapital secara lintas-sektoral dan fleksibilitas ini memungkinkan penguasaan saham di luar perusahaan yang pada mulanya dimiliki oleh sang kapitalis. Gerak ke arah monopoli ini terwujud dalam tiga momen utama: formasi kartel, pakat (trust) dan merger. Kartel adalah asosiasi antar badan usaha yang dilandasi oleh kesepakatan bersama mengenai pembagian tugas antar badan tersebut untuk memerangi pesaing. Komite sentral kartel memiliki hak untuk menetapkan harga dan menerapkan kuota produksi terhadap badan-badan usaha yang tergabung di dalamnya. Pakat adalah kesepakatan di antara pemilik saham dari berbagai badan usaha dalam sebuah industri untuk menyerahkan hak pengelolaannya pada badan kepercayaan (board of trustees) yang berkuasa penuh dengan ganti berupa dividen. Dengan pakat ini dicapailah penyatuan kebijakan seluruh badan usaha dalam sebuah industri. Yang terakhir adalah merger dan akuisisi. Di sini terjadi penyatuan total berbagai badan usaha ke dalam sebuah badan usaha raksasa yang mampu menjalankan monopoli efektif dalam bidang usahanya. Tendensi historis kapitalisme ke arah monopoli ini diuraikan lebih lanjut oleh Sweezy (bersama Paul Baran) dalam karya klasik mereka, Monopoly Capital (Baran & Sweezy 1966). Pembicaraan tentang akumulasi kapital, berlandaskan skema reproduksi Marx, juga mempengaruhi perdebatan keras di awai abad ke-20 tentang imperialisme. Rosa Luxemburg, misalnya, dalam buku Akumulasi Kapital membaca ulang skema reproduksi Marx dalam Das Kapital jilid II untuk merumuskan teori tentang keniscayaan kapitalisme untuk menjadi imperialisme. Untuk itu, ia meninggalkan asumsi ketiadaan perubahan teknologi. Dengan mengakui kenaikan komposisi organik kapital (kenaikan kapital konstan yang adalah sarana produksi), 280



Luxemburg menunjukkan bahwa akan ada surplus produk di departemen II yang tak terserap oleh sistem secara keseluruhan. Ketakterserapan ini hanya bisa diatasi dengan perluasan pasar di luar relasi kapitalis dan buruh, ke dalam ‘pasar ketiga’ dengan modus produksi yang pra-kapitalis— di sinilah masyarakat non-Barat masuk ke dalam potret (Luxemburg 1972: 21). Dengan kata lain, secara empiris, kapitalisme memerlukan imperialisme.



7.2.7. Teori Krisis Kapitalisme Ada beragam tafsiran tentang krisis kapitalisme dalam perspektif ekonomi Marxian yang semuanya mendasarkan diri pada tafsiran atas teks tertentu yang ditulis Marx sendiri. Di sini, tentu saja, kita tidak akan mengulas semuanya. Kita hanya akan memaparkan tiga pendekatan krisis yang umum dalam wacana ekonomi Marxian: (1) teori ‘tekanan atas laba’ {profit squeeze) atau ‘over-akumulasi’ (overaccumulation), (2) teori ‘konsumsi kurang’ (underconsumption) dan (3) teori ‘kejatuhan tendensial tingkat laba’ (tendentialfall in the rate of profit). Pendekatan ‘tekanan atas laba’ atau ‘over-akumulasi’ dikembangkan oleh Andrew Glyn di tahun 70-an dan juga oleh Ernst Mandel serta, belakangan, oleh ekonom Marxis yang terpengaruh oleh Kozo Uno (Makoto Itoh, Robert Albritton, dll.). Argumen dasarnya, seperti dinyatakan Glyn, adalah bahwa akumulasi dalam kapitalisme dapat mencapai suatu titik di mana kapitalisme itu sendiri tak mampu menopangnya (Howard & King 1992: 320). Akumulasi yang terlalu tinggi akan berhadapan dengan keterbatasan penawaran tenaga keija. Hal ini akan mengakibatkan kenaikan upah (kapital variabel) yang akan coba diatasi oleh kapitalis dengan menaikkan harga. Kenaikan harga akan diikuti dengan inflasi yang akhimya mendorong kenaikan upah lebih lanjut dan tekanan atas laba jadi tak 281



terhindarkan. Dalam hal ini, Mandel menekankan peran yang dimainkan oleh perjuangan kelas untuk mengawal kenaikan upah yang secara langsung memotong tingkat laba kapitalis dan akhirnya membawa kapitalisme ke dalam pusaran krisis (Howard ‫ ه‬King 1992: 319). Problem dari pendekatan ini adalah adanya tendensi historis kenaikan komposisi organik kapital (kenaikan kapital konstan di atas kapital variabel) yang mengemuka dalam rupa formasi labour-saving industry (misalnya dengan otomatisasi produksi). Problem yang lain adalah pengabaian atas peran yang dimainkan oleh ‘angkatan kerja cadangan’ (reserve army of labour) dalam menekan kenaikan upah. Pendekatan ‘konsumsi kurang’ merupakan sebuah pendekatan yang memiliki sejarah panjang dalam perdebatan ekonomi Marxian. Pendekatan ini berkembang dalam penafsiran Rosa Luxemburg, Nikolai Bukharin, Paul Sweezy dan—setidaknya menurut Sweezy—Lenin.9 9 Lih. Sweezy (1968: 184-186). Dalam kasus Lenin dan Bukharin, menurut Sweezy, keduanya menggunakan pendekatan konsumsi kurang yang disintesakan dengan pendekatan ‘disproporsi’ untuk mengkritik pandangan ekonomi kaum Narodnik yang berpegang total pada teori konsumsi kurang sekaligus pandangan Tugan-Baranovsky yang bergantung sepenuhnya pada teori disproporsi. Kaum Narodnik melihat kurangnya konsumsi dalam negeri menyebabkan kapitalisme di Rusia hanya bisa lahir dengan terjunnya Rusia dalam pasar intemasional. Akan tetapi ini juga tidak menyelesaikan masalah karena Rusia akan kalah bersaing dengan negara-negara Eropa Barat yang tingkat kapitalismenya sudah jauh lebih maju. Oleh karena itu, konsekuensi politiknya, sosialisme Rusia tak bisa bergantung pada kelas pekerja melainkan pada kelas petani. Sementara itu, ekonom non-Marxis yang bernama Tugan-Baranovsky melihat sumber krisis pada ketidakmerataan distribusi kapital di antara berbagai sektor dalam ranah produksi. Konsekuensinya, krisis tidak bersifat imanen atau struktural terhadap kapitalisme dan dapat diobati lewat intervensi negara dengan redistribusi investasi. Berlawanan dengan kaum Narodnik, Lenin melihat bahwa ada kapitalisme di Rusia dan mengkritik anggapan tentang ketakmungkinan pasar domestik untuk meluas namun, berlawanan dengan Tugan-Baranovsky, Lenin juga menolak pandangan bahwa pasar domestik bisa diperluas tanpa henti



282



Inti argumen dari pendekatan ini adalah kurangnya ‘permintaan efektif’ (effective demand) atas komoditas yang disebabkan oleh rendahnya tingkat upah. Dengan demikian, locus krisis terletak pada ranah konsumsi. Sweezy menempatkan pendekatan ini pada aras problem realisasi nilai, yakni permasalahan kapitalis menjual komoditasnya di atas nilai komoditas itu. Problem realisasi ini muncul jika kita meninggalkan asumsi Hukum Nilai yang digunakan Marx dalam Dos Kapital jilid I dan II (asumsi bahwa nilai identik dengan harga atau asumsi akuilibrium antara penawaran dan permintaan). Begitu kita mengakui bahwa, pada kenyataannya, nilai (yang dikonstitusikan melalui keija) tak selalu identik dengan harga (yang dikondisikan oleh penawaran dan permintaan), maka kita tak bisa mengandaikan bahwa semua yang diproduksi niscaya akan dikonsumsi, bahwa penawaran niscaya akan menciptakan permintaannya sendiri (kontra-Hukum Say). Artinya, selalu terbuka kemungkinan bagi adanya gap antara kapasitas produksi dan kapasitas konsumsi. Luxemburg, seperti telah kita lihat, menggunakan argumen tentang kesenjangan ini (turunnya upah akibat kenaikan komposisi organik kapital) untuk berbicara tentang imperialisme. Sweezy akan menggunakan asumsi konsumsi kurang— yakni ditanggalkannya asumsi Hukum Nilai (persaingan sempurna)—untuk berargumen tentang kapitalisme monopoli. Problem dari pendekatan ini adalah bahwa Marx sendiri mengkritik pendekatan konsumsi kurang yang dikembangkan oleh Johann Karl Rodbertus (yang mengaitkan krisis dengan turunnya konsumsi dan upah) melalui redistribusi investasi. Menurut Sweezy, Lenin memadukan tesis tentang konsumsi kurang dengan tesis disproporsi, yakni dengan memandang konsumsi kurang sebagai disproporsi antara penawaran dan permintaan sarana konsumsi. Jadi Lenin mengakui baik sisi produksi maupun konsumsi dalam analisis tentang krisis dan oleh karenanya memberikan ruang bagi pendekatan konsumsi kurang.



283



dengan menyatakan bahwa krisis justru diawali oleh kenaikan upah. Problem lebih lanjut, dari kerangka proyek Marx, adalah bahwa melihat sumber kri$is pada konsumsi (dalam kondisi ketiadaan Hukum Nilai) berarti melihat krisis kapitalisme sebagai sesuatu yang aksidental dan tak tumbuh dari dalam perut kapitalisme itu sendiri (dalam ranah produksi). Pendekatan ‘kejatuhan tendensial tingkat laba’ adalah pendekatan paling umum dalam wacana Marxian tentang krisis dan paling sesuai dengan intensi metodologis Marx, yakni kritik imanen atas kapitalisme. Pendekatan ini memiliki basis tekstual yang paling kokoh dalam tulisan Marx, yakni dalam Das Kapital jihd III. Argumen Marx tentang hukum kejatohan tendensial tingkat laba diturunkan dari rumus nilai (k + V + s = t). Seperti telah kita lihat, dari rumus nilai ini kita mendapatkan rumus tentang komposisi organik kapital dan tingkat nilai-lebih yang keduanya dapat diekspresikan sebagai rumusan tentang tingkat laba: L = ٥ • 1)’‫ ■)ء‬Berdasarkan rumus ini kita dapat melihat bahwa, dengan mengandaikan tingkat nilai-lebih (s’) tetap, kenaikan komposisi organik kapital (o) meniscayakan turunnya tingkat laba (L) (Sweezy 1968: 96). Jadi hukum tentang kejatuhan tendensial tingkat laba yang dirumuskan Marx bertumpu pada dua asumsi: 1) ada tendensi historis dalam kapitalisme yang mendorong kenaikan komposisi organik kapital (kenaikan kapital konstan di atas kapital variabel); 2) tingkat nilai-lebih diandaikan tetap (sebab bila ada kenaikan tingkat nilai-lebih hal ini dapat mengkompensasi kenaikan komposisi organik kapital sehingga membuat tingkat laba tidak jatuh). Hukum itu berperan sebagai semacam pembuktian imanen bahwa kapitalisme pada-dirinya sendiri bermasalah. Perkembangan kapitalisme menciptakan batas yang tak mampu diterobosnya sendiri. Marx menuliskannya dengan



284



penekanan metodologis yang kentara dalam Das Kapital jilid III: “Di sini dibuktikan dengan cara yang sepenuhnya ekonomis [in a purely economic way], yakni dari perspektif borjuis, dalam batasan pemahaman kapitalis, dari titik pijak produksi kapitalis itu sendiri, bahwa ia memiliki sebuah batas, bahwa ia bersifat relatif dan bukanlah sesuatu yang absolut, [bahwa ia] hanyalah sebuah modus produksi yang historis, yang berkorespondensi dengan tahapan tertentu dan terbatas di dalam perkembangan syarat-syarat material produksi.” (dikutip dalam Sweezy 1968: 97) Kapitalisme bergerak ke arah naiknya kapital konstan dalam hubungannya atas kapital variabel—dominasi kerja mati (mesin) di atas kerja hidup (tenaga kerja). Dengan naiknya kapital konstan, kerja menjadi semakin produktif menghasilkan komoditas (apa yang dulu diproduksi sehari lewat jarum di tangan kini diproduksi satu jam dengan mesin jahit). Hasilnya adalah over-produksi, spekulasi, kelebihan kapital dan kelebihan populasi. Semuanya berkontribusi bagi terkonsolidasikan krisis internal kapitalisme. Akan tetapi mesti diingat bahwa kejatuhan yang digambarkan lewat hukum itu tetaplah merupakan ke­ jatuhan tendensial. Artinya, kejatuhan itu bersifat niscaya hanya dalam batasan asumsi yang dipakai (ada kenaikan komposisi organik kapital dan tingkat nilai-lebih yang tidak melampaui komposisi organik kapital). Oleh karena hukum itu bersifat tendensial, Marx kemudian juga menunjukkan adanya beberapa faktor yang berperan sebagai kontratendensi (counteracting causes) terhadap hukum tersebut. Pertama, pemurahan atas kapital konstan. Oleh karena kenaikan komposisi organik kapital juga meningkatkan jumlah sarana produksi, maka produksi atas sarana produksi baru juga menjadi relatif lebih murah. Kedua, 285



kenaikan tingkat eksploitasi (kenaikan tingkat nilai-lebih). Ini terjadi, misalnya, lewat pemanjangan waktu kerja. Ketiga, pemotongan upah akibat kompetisi di antara kapitalis yang mendorong kenaikan tingkat nilai-lebih. Keempat, ledakan populasi (angkatan cadangan tenaga kerja) yang diakibatkan oleh penggunaan permesinan secara massif sehingga mendorong terciptanya pembukaan industri baru yang rendah komposisi organik kapitalnya (tidak labour-saving). Kelima, perdagangan internasional mengkondisikan pemurahan kapital konstan sehingga menurunkan komposisi organik kapital. Problem utama yang kerap dilayangkan pada pendekatan ini adalah bahwa Marx membangun rumusan tentang komposisi organik kapital dan tingkat nilailebih dalam asumsi berlakunya Hukum Nilai sementara berbicara tentang kejatuhan tendensial tingkat laba yang berangkat dengan asumsi ‘Hukum Pasar’ (permintaan dan penawaran). Dengan kata lain, problem utamanya adalah menjelaskan transformasi nilai ke harga. Dalam sejarah perdebatannya, hukum kejatuhan tendensial tingkat laba sejak Böhm-Bawerk sampai dengan Samuelson dan Okishio selalu dibantah dengan menunjukkan absennya penjelasan Marx yang memadai tentang perubahan nilai (yang dikonstitusikan oleh kerja) ke harga (yang ditentukan oleh rasio permintaan dan penawaran).



7.2.8.Transformasi Nilai ke Harga Produksi Sesudah Kapital jilid I terbit, banyak komentator yang mengkritik Marx karena tidak mengawali paparannya, sebagaimana Ricardo dan ekonom-politik pada umumnya, dengan sebuah Bab tentang nilai. Tidak hanya itu, Bab tentang nilai bahkan sama sekali tidak ada di dalam risalah tersebut. Marx menanggapi ini dalam suratnya kepada Kugelmann tanggai 11 Juli 1868: 286



“Bahkan jika tidak ada Bab tentang ‘nilai’ dalam buku saya, analisis tentang relasi riil yang saya berikan telah mengandung bukti dan demonstrasi atas relasi nilai yang nyata. [...] Sains terletak dalam pembuktian bagaimana hukum nilai berlaku. Jadi jika kita ingin ‘menjelaskan’ pada awai mula semua fenomena yang nampak berlawanan dengan hukum itu, kita akan menghadirkan sains sebelum sains. Di sinilah letak kekeliruan Ricardo yang pada Bab pertamanya tentang nilai mengandaikan keterberian semua kategori yang masih harus dirumuskan bagi kita hanya untuk membuktikan kecocokannya dengan hukum nilai.” (Marx [1868] 1958: 461-462) Terlihat melalui surat tersebut bahwa bagi Marx, yang terpenting bukanlah mempostulatkan Hukum Nilai melainkan membuktikannya. Apabila kita mempostulatkan keberadaan Hukum Nilai, maka kita akan ‘menghadirkan sains sebelum sains’ karena penjelasan tentang nilai mensyaratkan penjelasan tentang aras material dari manifestasi nilai—yakni komoditas—dan tentang bagai­ mana bentuk kerja yang tertentu menghasilkan nilai. Hukum Nilai, karenanya, bukan titik berangkat analisis di mana semua kategori lain dideduksikan darinya melainkan merupakan hasil yang tak terelakkan dari formasi modus produksi yang tertentu, modus produksi kapitalis, dengan evolusi bentuk kerja yang tertentu, yakni kerja sebagai substansi abstrak-homogen. Penjelasan itulah yang mengisi Bab-Bab awai Kapital ÿlià I. Namun pembuktian keberlakuan Hukum Nilai juga mensyaratkan pembuktian bahwa harga-harga produksi (prices of production) rata-rata yang ada di berbagai cabang industri yang ada dalam sebuah masyarakat, pada hakikatnya, identik dengan nilai. Artinya, Marx mesti mem­ buktikan teori nilai-kerjanya dengan membuktikan bahwa



287



nilai yang dihasilkan oleh sejumlah tenaga-kerja adalah sama dengan harganya. Harga-harga produksi rata-rata ini mensyaratkan terbentuknya ‘tingkat laba rata-rata’ (average rate of profit) yang mengemuka dari penyetaraan tingkat laba di berbagai industri akibat kompetisi. Semua ini harus bisa dibuktikan berdasarkan determinasi nilai oleh waktu kerja sosial. Marx menulis dalam Theories of Surplus Value'. “Laba rata-rata, dan karenanya juga harga-harga pro­ duksi, akan jadi sepenuhnya imajiner dan tanpa dasar jika kita tidak menggunakan nilai yang dideterminasi sebagai fondasi. Penyetaraan nilai-lebih di berbagai ranah produksi tidak akan menghasilkan perbedaan dalam besaran absolut dari total nilai-lebih melainkan hanya mengubah distribusinya di antara berbagai ranah produksi. Determinasi atas nilai lebih itu sendiri, kendati begitu, hanya muncul dari determinasi nilai oleh waktu kerja. Tanpa ini, laba rata-rata akan menjadi ketiadaan rata-rata, menjadi hasil imajinasi belaka.” (dikutip dalam Meek 1973:189) Jika laba rata-rata yang melandasi harga produksi tidak didasari oleh determinasi waktu kerja, maka laba ratarata itu tidak dapat kita ukur secara pasti. Laba rata-rata akan menjadi sepenuhnya arbitrer tergantung fluktasi pasar. Tugas sains adalah mencari landasan fiks-objektif dari fluktuasi aksidental dunia penampakan ini. Dengan kata lain, determinasi waktu kerja mesti dibuktikan sungguh berlaku sampai pada level harga produksi. Inilah yang Marx jalankan dalam Kapital jilid III Bab 9 dengan transformasi nilai ke harga produksi. Kita sudah mendapatkan rumusan nilai total ko­ moditas, yakni t = k + v + s. Berdasarkan rumus ini kita dapat menentukan ‘harga ongkos’ (cost price) dari sebuah komoditas. Jika ongkos produksi dinotasikan dengan ‘h’, maka rumusnya adalah 288



h = k +v Rumusan di muka10 memotret ongkos produksi mi­ nimal yang diperlukan bagi adanya produksi komoditas tertentu dengan mengesampingkan nilai lebih. Melalui rumus ini, nilai total komoditas dapat dirumuskan sebagai t=h+s. Berbekal pemahaman ini kita akan mulai mengikuti skenario transformasi yang ditawarkan Marx. Dalam rancangan transformasinya, Marx membuat tiga asumsi penting: pertama, setiap cabang produksi komoditas bersifat independen (tidak ada komoditas yang disyaratkan di dalam produksi komoditas yang lain), kedua, terbentuknya tingkat laba rata-rata dalam setiap cabang produksi sebagai akibat dari kompetisi dan, ketiga, hanya sebagian dari kapital konstan yang dikonsumsi secara produktif dalam proses produksi (sisanya tetap utuh). Marx kemudian menggambar tabel berikut:11



Kapital (k + v)



Kapital konstan yang terpakai



Harga ongkos



Nilailebih



Nils!



Tingkat Laba



Harga prod^si



(h)



(s)



(١١



‫( ؛‬



‫ا‬



(hp)



180k + 20v Il70k + 30v Ill60k + 40v IV85k + 15v V95k + 5v



50 51 51 40 10



70 81 91 55 15



30 40 15 5



90 111 131 70 20



22 22 22 22 22



92 103 113 77 37



+2 -8 -18 +7 + 17



110



422



110



422



0



390k + 110v







□eviasi harga dari nilai



Tabel 6. Transformasi Nilai ke Harga Produksi 10 Lih. Marx (118 :1981 ‫ء‬1894‫ل‬ ). Marx memberikan bentuk rumusan yang berbeda, yakni h = t - s. Namun karena t = k + V + s, maka t - s = k + v dan artinya h = k + V. “ Marx ([1894] 1981: 256). Tabel yang penulis buat mengacu pada tabel Ronald Meek yang memuat keterangan lebih lengkap (Meek 1973: 190).



289



Basis penghitungan kapital konstan dalam tabel di muka adalah kapital konstan yang terpakai dalam proses produksi (kolom kedua). Jadi, misalnya, harga ongkos untuk cabang produksi I adalah 70 karena itu merupakan penjumlahan dari kapital konstan yang terpakai di cabang produksi I (50) dan kapital variabelnya (20). Demikian pula dengan nilai (t = h + s). Harga produksi (dinotasikan sebagai ‘hp’) diperoleh dari penjumlahan harga produksi (h) dan laba (L). Skenario transformasi Marx sejatinya memuat watak ganda. Apa yang mau ditransformasi awainya adalah perwujudan persamaan berikut: t = hp h + s = h +L s= L Artinya, membuktikan identitas antara nilai dan harga (t = hp) berarti membuktikan identitas antara nilailebih (s) dan laba (L). Identitas ini terjadi pada level global, mencakup keseluruhan cabang produksi yang ada. Dengan demikian, identitas ini mesti ditunjukkan dalam level agregat total. Kita mesti menunjukkan bahwa total nilai-lebih dari cabang industri I sampai V sama dengan total laba dari totalitas cabang industri itu. Bagaimana laba diturunkan dari nilai-lebih? Caranya adalah dengan— berdasarkan asumsi kompetisi yang menyetarakan tingkat laba—membagi agregat nilai-lebih, yakni 110, ke dalam lima cabang produksi sehingga masing-masing memperoleh laba 22. Setelah nilai-lebih berhasil ditransformasi menjadi laba, kemudian kita mesti menentukan harga produksi. Karena harga produksi adalah penjumlahan dari harga ongkos dan laba (hp = h + L), maka kita memperoleh hasilnya dalam tabel di muka. Dapat kita lihat bahwa total harga produksi identik dengan total nilai produk. Sehingga kendati deviasi harga terhadap nilai tetap ada dalam masing-masing cabang 290



produksi, secara global deviasi itu = 0. Dengan demikian, nilai sepenuhnya dittansformasi menjadi harga produksi. Harga akmal yang bergravitasi pada harga produksi mengalami ‘determinasi pada pokok terakhir’ oleh nilai. Keberhasilan transformasi yang dibuat Marx ini masih dikondisikan oleh batasan asumsi yang ia gunakan. Asumsi yang paling problematis secara aktual adalah asumsi tentang independensi dari masing-masing cabang produksi. Dalam kenyataan sehari-hari, apalagi dalam era industri maju seperti sekarang ini, jarang sekali ada komoditas yang agar bisa diproduksi tidak mensyaratkan input komoditas dari cabang produksi lain. Industri kecap, misalnya, mensyaratkan input agricultural kacang kedelai. Marx sendiri tidak mencoba membuktikan transformasinya dalam kondisi interdependensi cabang produksi seperti itu. Ia hanya menyatakan bahwa apa yang ia buktikan di sini juga pada prinsipnya berlaku untuk kasus di mana terdapat interdependensi produksi (Meek 1973: 191). Inilah yang kemudian menjadi sumber permasalahan. Banyak kritikus yang menunjukkan bahwa transformasi nilai ke harga tidak bisa dibuktikan dalam kasus yang diperluas (dalam kondisi interdependensi cabang-cabang produksi). Dalam kasus yang diperluas itu, input juga merupakan hasil output sebelumnya. Problemnya, output pada periode sebelumnya merupakan hasil transformasi nilai ke harga. Jadi input pada periode sekarang yang berwujud nilai mestilah merupakan hasil dari transformasi harga ke nilai yang belum ditunjukkan Marx. Jadi kita mesti mentransformasi harga output terdahulu ke nilai input sekarang dan juga mentransformasi nilai input sekarang ke harga output sekarang. Dengan ini dimulailah perdebatan panjang berkenaan dengan ‘problem transformasi’ ( Transformation Problem).



?91



7.3. Kritik atas Teori Nilai-Keqa Marx



Sejak akhir abad ke-19, telah terbit beragam literatur yang bersikap kritis terhadap pandangan ekonomi Marx. Pada kesempatan ini kita akan mengkaji beberapa dari antaranya, khususnya yang berkaitan dengan teori nilai. Ada tiga kritik yang penulis angkat di sini: kritik neoklasik Bohm-Bawerk, kritik atas ‘problem transformasi’ dari Bortkiewicz dan kritik neo-Ricardian dari Sraffa. Ketiganya perlu diketengahkan di sini agar kita dapat mempelajari masalah-masalah pokok yang kerap dilayangkan terhadap teori nilai Marx dan menemukan cara untuk menjawabnya. Kritik pertama, dari Bohm-Bawerk, sudah dijawab oleh Hilferding dan Bukharin yang penulis paparkan segera setelah menguraikan kritik Bohm-Bawerk. Akan tetapi, kritik Bortkiewicz dan Sraffa baru akan dijawab nanti ketika kita menguraikan situasi perdebatan terbaru tentang teori nilai Marx di bagian 7.4.



7.3.1. Kritik Neoklasik Bohm-Bawerk Eugen von Bohm-Bawerk (1851-1914) adalah salah satu dari tiga orang pendiri mazhab ekonomi Austria (bersama Carl Menger dan Friedrich Wieser) yang beraliran Neoklasik. Pada tahun 1896, dua tahun sesudah Kapitaljilid III terbit, ia menerbitkan risalah pendek berjudul Tentang Kesimpulan dari Sistem Marxian (Zum Abschluss des Marxschen Systems). Teks itu kemudian dikenal sebagai upaya kritik sistematis pertama atas totalitas pemikiran ekonomi-politik Marx. Perlawanan Bohm-Bawerk atas Marx timbul dari peibedaan semangat analisis di antara keduanya. BohmBawek adalah salah seorang pencetus pendekatan subjektifpsikologis atas nilai. Pendekatan ini jelas berkontras dengan tendensi objektivis yang inheren dalam paradigma teori nilai-kerja Marx. Semangat subjektivisme inilah yang menggerakkan keseluruhan kritik Bohm-Bawerk atas Marx. 292



Untuk memahami konteks kritik tercebut, karenanya, kita mesti mengingat konteks kelahiran teori niiai-utiJitas modern dalam sosok tiga ekonom: Jevons, Menger dan Walras. Böhm-Bawek datang dari tikungan yang sama dengan triumvirat Neoklasik itu. Fokus bukunya adalah kritik atas teori nilai Marx. “Pilar dari sistem Marx,” tulis BöhmBawerk, “adalah konsepsinya tentang nilai dan Hukum Nilai” (Böhm-Bawerk 1949: 9). Akar permasalahan dari teori nilai Marx terletak pada “kontradiksi antara sistem dan fakta” (Böhm-Bawerk 1949:4), yakni antara pandangan Marx bahwa harga aktual komoditas akan bergravitasi pada harga produksi yang ditentukan langsung olehjumlah kerja sosial yang dicurahkan. Menurut Böhm-Bawerk, Hukum Nilai yang dirumuskan Marx tak lain adalah ‫؛‬lusi yang tak punya dasar.‫ ل ه ؛ د ل ل‬mensyaratkan adanya keseragaman tingkat laba yang diperoleh sebagai akibat dari kompetisi agar kemudian dapat mentransformasi nilai ke harga produksi. Namun keseragaman tingkat laba, bagi BöhmBawerk, justru berbanding terbalik dengan Hukum Nilai. Artinya, apabila harga pasar pada akhirnya bergravitasi pada tingkat yang dideterminasi oleh jumlah waktu kerja, maka keseragaman tingkat laba menjadi tak mungkin, begitu juga sebaliknya. ٧ Dengan kata lain, kompetisi justru memungkinkan terciptanya keseragaman tingkat laba justru karena persaingan harga tidak dibatasi oleh jumlah tenagakerja yang digunakan, kesimpulan ini didapat BöhmBawerk sebagai konsekuensi dari pendekatan subjektivisnya yang akan kita periksa berikut ini.



Eitherproducts“ 12،‫؛‬٠actually exchange in the long ron in proportion ‫؛‬٠the labor attaching to them—in which case ٠» equalization of the gains of capital is impossible; ٠٢there is an equalization ٠/ the gains ٠/ capital—in which case ‫ ه‬is impossible thatproducts should continue ‫؛‬٠ exchange inproportion ‫؛‬٠the labor attaching to them. ” (Bôhm-Bawerk 1949: 28(



293



Bagi Böhm-Bawerk, Marx tidak pernah melandaskan teori nilainya pada fondasi empirik yang ketat. ? ‫ اا ؛‬،‫ال ضا ط‬ empirik ini menurutnya mesti dicari di dalam duniapsikologis dari para pelaku ekonomi, yakni dengan memeriksa motifmotif yang menggerakkan aktivitas perekonomian mereka. Alih-alih mengupayakan pembuktian empiris-psikologis atas teori nilainya, Marx malah, menurut Böhm-Bawerk, tenggelam dalam upaya pembuktian logis melalui ‘deduksi dialektis’ tentang pertukaran.13 Pendekatan ini membawa Marx masuk ke dalam cakrawala problematik yang didefinisikan oleh Aristoteles tentang pertukaran, yakni problem keseukuran. A^batnya, pertukaran dipahami sebagai ‘persamaan’ (equation) yang mengimplikasikan kesamaan nilai di antara kedua barang yang dipertukarkan— dan dengan itu telah mendiskualifikasi kemungkinan bagi asal-usul nilai dalam ranah sirkulasi (profit upon alienation). Bagi Böhm-Bawerk, ini adalah “titik terlemah dari teori Marxian” (the most vulnerable point in the Marxian theory) (Böhm-Bawerk 1949: 69). Setelah mengidentifikasi kecendcrungan dasar teori nilai Marx, Böhm-Bawerk menjalankan serangkaian kritik yang dihantamkan pada beberapa pokok teori Marx: pertama, metode pembuktian négatif atas teori nilai; kedua, separasi nilai-tukar dari nilai-pakai; ketiga, reduksi kerja kompleks ke kerja sederhana; keempat, tendensi struktural kearah ekuilibrium. Kita mulai dari yang pertama. Prosedur di mana Marx menyimpulkan tenaga-kerja sebagai sumber nilai komoditas, bagi Böhm-Bawerk, dijalankan dengan arbitrer. Marx hanya memberikan ‘bukti négatif’ atasnya. Pembuktian ‫ نمن‬dilakukan dengan menjalankan seleksi “ “Now Marx, instead of proving his thesisfrom experience orfrom its operant motives—that is, empirically or psychologically—prefers ‫ آءااءم»ه‬and for such a subject somewhat singular line ٠/ evidence—the method of a purely logicalproof, ‫ ه‬dialectic deductionfiom the very nature ٠/ exchange. ” (B6hmBawerk 1949: 68)



294



eliminatif atas beberapa kemungkinan sumber nilai. Pertama-tama Marx membatasi ©bjek kajiannya pada komoditas yang sudah terlebih dahulu didefinisikan sebagai produk kerja manusia, ketimbang berangkat dari kategori yang lebih luas seperti ‘barang-barang’ {goods). Sesudahnya Marx menyeleksi dari sumber-sumber nilai yang mungkin dan akhirnya menemukan bahwa kerjalah yang menjadi sumber nilai. Böhm-Bawerk menyatakan bahwa metode pembuktian ini keliru. Baginya, yang dilakukan Marx ‫ نمن‬analog dengan yang dijalankan oleh para filsuf alam: karena ingin mencari sifat umum yang ada dalam setiap benda seperti warna, mereka memilih serangkaian benda yang memiliki stfat yang sama seperti memiliki berat yang sama untuk kemudian menyimpulkan bahwa berat benda adalah sebab bagi warnanya.14 Akibatnya, Marx sedari mula sudah mengesampingkan kemungkinan bagi barangbarang alamiah (seperti air dan tanah) sebagai sumber nilai. Bagi Böhm-Bawerk, barang-barang alamiah seperti tanah adalah ‘pemberian alam’ (gift of nature) yang tidak dihasilkan oleh pencurahan kerja manusia sehingga fakta bahwa tanah memiliki harga jelas menyangkal pandangan Marx bahwa kerjalah yang menjadi sumber nilai (BöhmBawerk 1949: 71-72). Kritik pertama itu berkait dengan yang kedua, yakni tentang hubungan antara nilai-pakai dan nilaitukar. Bagi Mara, kuantitas nilai-ftjkar samasekali tidak ditentukan oleh nilai-pakainya. Böhm-Bawerk kemudian membantahnya dengan analogi tentang penyanyi opera. Argumen Marx seperti menyatakan bahwa kalau tiga 14 “It is just as though a natural philosopher, desiring ‫؛‬٠ discover ‫ ه‬property ‫؛ س م‬٠ all bodies—weight, for instance—were ‫؛‬٠ sift the properties of a single group ٠/ bodies—transparent bodies, for instance—and after passing in ٢» ‫ ؛‬، * all theproperties common ‫ ءه‬transparent bodies were ‫؛‬٠ declare that transcparency must ‫ ءه‬the causeof weight, for the sole reason that he ‫مء‬،،‫مم‬ demonstrate that it ‫ ممءهء‬not ‫ ءء‬caused by any of the other properties.” (Böhm-Bawerk 1949: 70-71)



295



orang penyanyi opera dibayar sama (nilai-tukarnya sama), maka jumlah pembayaran itu tidak ditentukan dari apakah suaranya bagus atau tidak (nilai-pakainya). Dengan mengesampingkan nilai-pakai sebagai fondasi nilai, Marx kemudian menunjukkan bahwa hanya ada satu sifat yang dimiliki beragam komoditas, yakni bahwa semuanya merupakan hasil kerja. Bagi Böhm-Bawerk, penyimpulan ini tidak valid karena setelah nilai-pakai dikesampingkan masih ada banyak sifat yang sama yang dimiliki komoditas, misalnya bahwa semuanya memiliki berat, bahwa semuanya memiliki derajat kelangkaan yang tertentu, bahwa semuanya dimaknai oleh manusia secara tertentu, dst. Lini kritik ketiga mempersoalkan reduksi yang dilakukan Marx atas kerja kompleks ke kerja sederhana. Marx berargumen dalam Kapital jilid I bahwa tenagakerja adalah besaran homogen yang dapat dipakai untuk menghitong secara kuantitatif nilai komoditas. Syarat dari homogenitas itu adalah bahwa kerja yang kompleks (dengan derajat keahlian yang tinggi) dapat diekspresikan ke dalam kerja sederhana sehingga segala sesuattmya dinilai berdasarkan besaran tunggal kerja sederhana tersebut. Misalnya, kerja satu jam pematung yang ahli dapat dirumuskan ke dalam kerja satu hari tukang batu biasa. Böhm-Bawerk mengkritik reduksi ini dengan berpegang pada salah satu prinsip ekonomi Neoklasik: bygone is bygone. Prinsip ini berposisi diametral terhadap visi ‫ صم‬labour Klasik. Hampir seluruh ekonom-politik Klasik sejak Petty hingga Marx melihat komoditas seperti mesin dan perkakas sebagai penubuhan dari sejumlah kerja tertentu di masa lalu. Ekonomi Neoklasik mengabaikan historisitas komoditas itu dan mengasumsikan adanya komoditas begitu saja, tanpa perlu mengecek ke belakang. Dalam semangat inilah BöhmBawerk mengatakan bahwa dalam kerja kompleks seorang pematang yang ahli samasekali tidak ada kerja sederhana para tukang batu (Böhm-Bawerk 1949: 82). Kerja satu 296



jam pematung itu adalah hasil kejeniusannya, keunikan bakatnya yang mungkin tak perlu dilatih, yang tidak dapat disamakan bahkan dengan kerja bertahun-tahun dari para tukang batu. Unsur latihan sebagai reservoir kerja lampau justru dikesampingkan sebab apa yang secara langsung terberi adalah kerja yang ada di hadapan kita saat ini. Dimensi ahistoris kerja inilah yang ditekankan oleh BöhmBawerk Lini kritik terakhir Böhm-Bawerk berkenaan dengan syarat kemungkinan bagi adanya mekanisme ekuilibrasi harga pasar ke harga produksi. Marx, sebagaimana Ricardo dan Smith, mengandaikan adanya gaya gravitasi yang menarikharga sehari-hari yangdikondisikanolehdisproporsi penawaran dan permintaan ke arah harga produksi (harga alamiah dalam kosakata Klasik). Marx merumuskan bahwa “jika permintaan dan penawaran saling menyeimbangkan, keduanya akan berhenti berlaku. Jika dua daya berlaku sccara setara dalam arah yang berlawanan, keduanya akan saling membatalkan-keduanya tidak menghasilkan apa-apa dan fenomena yang terjadi dalam kondisi itu mesti dijelaskan dari agensi lain di luar ‫ ص س‬daya tersebut” (dikutip dalam BöhmBawerk 1949:93). Bagi Böhm-Bawerk, ini keliru. Penawaran dan permintaan tidak ‘berhenti berlaku’ bahkan ketika keduanya seimbang sebab ekuilibrium itu justru diciptakan oleh penawaran dan permintaan itu sendiri. Ia mengambil analogi tentang balon udara (Böhm-Bawerk 1949: 96). Jika balon udara yang digerakkan oleh gas melambung pada satu titik tertentu, gaya yang ditimbulkan oleh gas akan dircspon secara seimbang oleh gaya gravitasi. Pada titik itu, gaya yang ditimbulkan oleh gas dan gaya gravitasi tidak ‘berhenti berlaku’ sebab kalau demikian maka balon udara itu akan mengapung selamanya. Jadi, dengan kata lain, BöhmBawerk mau berkata bahwa ekuilibrium tidak membatalkan penawaran dan permintaan, melainkan justru dikondisikan oleh keduanya, ^sim pulannya, harga pasar adalah harga 297



e k ib r iu m ^ e n g a n kata lain, harga ekuilibrium adalah semua harga yang ada di pasar. Tak ada harga yang tidak terkonstruksi secara arbitrer via fluktuasi penawaran dan permintaan. Tak ada fondasi objektifbagi harga. Demikianlah garis-garis besar kritik Bohm-Bawerk atas teori nilai-kerja Marx. Risalah pendeknya menjadi model yang sangat berpengaruh dalam setiap upaya kritik atas ekonomi Marxian sampai hari ‫نمن‬. Respon terhadapnya dari kalangan Marxis baru mengemuka delapan tahun sesudahnya, ‫ ؛اط^أل‬pada tahun 1904, dengan kemunculan pamflet Rudolf Hilferding, Bohm-Bawerk’s Criticism ofMarx. Pembelaan Marxian ‫ نمي‬kemudian disusul olehbuku Nikolai Bukharin yang terbit pada tahun 1919 (kendati selesai ditulis pada tahun 1914), Economic Theory ‫ بمو‬The Leisure Class. Kita akan merangkumkan dengan singkat balasan kedua tokoh ini.



? ‫ دد‬. Pembelaan Hilferding dan Bukharin Hilferding melihat bahwa teori nilai yang dibasiskan pada konsep nilai-pakai atau kegunaan niscaya mewujud dalam teori ekonomi yang bertumpu pada individu soliter dan kebutuhannya (Hilferding 1949: 133). Titik berangkatnya adalah individu yang dalam kesendiriannya merenungi kebutuhannya dan mengevaluasi, menilai, objekobjek berdasarkan kebutuhannya itu. Tak jelas darimana asal-usul kebutuhan itu, tak jelas juga dari mana objek-objek itu ada. Objek-objek itu ada, bagi Bohm-Bawerk, sebagai ‘pemberian alam’ (gift ٠/ nature). Hilferding, mengikuti Marx, memperlihatkan bahwa konsepsi ‫ ل ط‬berasal dari ilusi kaum fisiokrat tentang alam sebagai tatanan kodrati yang menjadi sumber nilai. Melawan ilusi ini, Hilferding berargumen bahwa barang-barang alami seperti air dan tanah memiliki nilai-tukar karena mengalami ‘kapitalisasi’, yakni masuk ke dalam proses produksi sebagai faktor 298



yang meningkatkan produksi nilai. Hanya dengan cara inilah barang-barang alami itu memiliki nilai. Hilferding juga melawan psikologisme Bohm-Bawerk yang membuat nilai seolah menjadi entitas psikologis semata yang sama seperti rasa sedih, rasa gelisah dan segala persoalan rasamerasa lainnya. Akar dari kecenderungan ini dapat dilacak di Adam Smith ketika Smith menulis bahwa kerja menghasilkan nilai karena kerja adalah menahan-diri (iabstinence) dari kebebasan, kebahagiaan dan kesenggangan. Marx sudah mengkritik Smith jauh-jauh hari dengan menunjukkan bahwa kebebasan, kebahagiaan dan waktu senggang adalah produk historis dari pembagian kerja sosial. Demikian pula terhadap Bohm-Bawerk, persoalan rasa-merasa tidak menjelaskan tetapi justru dijelaskan oleh sejarah perkembangan modus produksi. Konsekuensi logis dari pandangan Bohm-Bawerk ini, bagi Hilferding, pada akhirnya adalah matinya ekonomi-politik itu sendiri.15 Ekonomi-politik—yang bagi Hilferding merupakan bagian dari ilmu sosial dan sejarah—di tangan Bohm-Bawerk berubah jadi sekedar ilmu kejiwaan. Dalam buku yang dituliskan semasa pengasingannya di berbagai negeri Eropa Barat, Bukharin mengajukan kritik sistematik atas totalitas ekonomi Austria dan Mazhab Historis Jerman dan segala varianya yang berpegang pada pendekatan subjektivis-psikologis. Mazhab Historis Jerman di bawah Gustav Schmoller memiliki kecenderungan antiabstraksi dan anti-teori umum. Dengan menggunakan “Thepsychologicalschoolofeconomicshaschosentheotherpath. The members of this school have endeavoured ‫؛‬٠construct a theory ٠/ economic happenings by excluding economics itselffrom theirpurview. Instead of taking economic orsocial relationships as thestartingpoint ٠/ theirsystem, they have chosenfor that starting point the individual relationship between men and things. They regard this relationshipfrom the psychological outlook as one which is subject ‫؛‬٠ natural and unalterable laws. /...] This economic theory the repudiation ٠/ economics. The last word in the rejoinder ٥/ bourgeois economics ‫؛‬٥scientific socialism is the suicide of political economy.” (Hilferding 1949: 196).



299



distingsi Neo-Kantian dari Heinrich Rickert dan Wilhelm Windelband antara sains idiografis (deskriptif dan nonkausal) dan sains nomografis (eksplanatif dan mencari hukum umum yang kausal), Bukharin menunjuk bahwa Mazhab Historis memaksa ilmu ekonomi untuk menjadi sains idiografis saja (Bukharin 1927: 19-20). Para pengikutnya menyibukkan diri dengan upaya penum pulan data, deskripsi historis yang spesifik, sambil menolak untuk mengambil kesimpulan umum yang akan menjadi hukum dari fenomena yang dianalisis. Sebaliknya, Mazhab Austria mengabaikan kajian sosio-historis demi mewujudkan teori murni tentang ekonomi. Para pengikutnya berangkat dengan postulat yang dibasiskan pada model individu di era kapitalis saat itu untuk berbicara tentang ekonomi secara universal. Bagi Bukharin, kedua mazhab ekonomi paling dominan dan berlawanan satu sama lain ini sejatinya dipertemukan oleh benang merah yang sama, yakni/ ‫مص‬logisme. Berkenaan dengan Mazhab Austria, tentu saja, label ini dapat diterima dengan mudah. Mengapa Mazhab Historis dapat diklasifikasikan sebagai aliran psikologisme? Jawabnya karena, kendati para pengikutnya menolak untuk berangkat dari analisis psikologi individu,tetapimereka tetap menolak separasi antara ekonomi dan kebudayaan atau adat dan kebiasaan. Padahal kebudayaan, kebiasaan, tak lain adalah wilayah kejiwaan yang sama imaterialnya dengan ikhwal rasa-merasa individu. Bagi Bukharin, persoalannya adalah mereka tidak mau menerima abstraksi sama se k a litidak mau memilah realitas ke dalam ontological layers untuk membedakan mana yang sekedar empiris-fenomenal ‫س ه‬ mana yang determinan-objektif-struktural-nomografis.16 ‫؛‬٠ “This School ‫مح‬،‫» ءءر‬٠، separate the social-economic life at alljrom the other phases of the process ٠/ life, particularlyfrom law and custom, in spite of the fact that the purposes ٠/ knowledge would ‫ ءء‬best ‫ س ل‬by such ‫ ء‬.division This point of view is again a result of their aversion ‫؛‬٠all abstraction;for, ‫ص‬ ‫ ه‬matter offact, the lifeprocess ٠،‫؛‬society is ‫ ه‬single stream; there ‫ ة‬in reality



300



Akibatnya, mereka tetap berenang-renang dalam ekspose deskriptif tentang fenomena—sejarah, bagi mereka, tak lebih dari sejarah kejiwaan, sejarah rasa-merasa. Kritik Bukharin atas Mazhab Austria diartikulasikan secara sistematis ke dalam tiga pokok perbedaan terhadap Marx: perbedaan antara ekonomi Marxian versus ekonomi Austria adalah perbedaan antara, pertama, objektivisme versus subjektivisme, kedua, pendekatan historis versus pendekatan ahistoris, dan ketiga, sen tralitas produksi versus sentraHtas konsumsi. Rumusan dasar dari teori nilai subjektif, dalam pelacakan Bukharin, sudah dimulai dengan ekonom Jerman, Herman Gossen ( 8 5 8 ‫ل‬810- ‫ل‬ Ia bahkan melihat bahwa apa yang dituhskan oleh Cari Menger sejatinya sudah dirumuskan secara sistematis oleh Gossen. Gossen sendiri adalah seorang ekonom yang tak dikenal pada zamannya, kendati ia memandang tinggi pencapaiannya sendiri dengan menyebut dirinya sebagai “Kopernikusnya ekonomi-politik” (Bukharin 1927: 33). Ia memang telah melakukan ‘Revolusi Kopernikan’ seperti yang dilakukan oleh Immanuel Kant: membalik fokus dari objek ke subjek pengamat dan membedah Struktur subjektif yang memungkinkan penampakan objek. Subjektivisme Austria, sebagai kelanjutan tradisi Gossen, terlihat dalam modelnya tentang agen ekonomi. Bukharin membuat daftar yang mencantumkan semua contoh yang diberikan para ekonom Austria tentang agen ekonomi: Böhm-Bawerk— ‘seorang manusia yang duduk di depan mata air’, ‘seorang pengembara di padang pasir’, ‘seorang petani yang terisolasi dari seluruh dunia’, ‘seorang kolonis yang gubuknya only one history, not a number o f histories—a history ٠/ law, of economy, o f customs, etc. It is only with the aid ٠/ the abstractions of science that we can divide this single life into parts, artificially emphasising certain series ٠/ phenomena and grouping them according to specific traits. Logically, thertfore, he who is opposed to abstraction in general should also be opposed to ‫ ه‬division between economy and law and custom. ” (Bukharin !92?: ^0)



301



berdiri $endirian di hutan perawan’; Menger—‘seorang individu di pulau yang sepi’, ‘orang yang kapalnya karam’ (Bukharin 1927: 41). Ekonom Austria berangkat dari kerangka individualisme metodologis ini untuk kemudian menggeneralisasi apa yang terjadi dengan individu soliter itu ke masyarakat secara keseluruhan. Prosedur analisis ‫ن ط‬ telah diawali oleh Frederic Bastiat, seorang ekonom yang dikritik Marx dalam Grundrisse. Bastiat menyatakan bahwa tujuan ilmu ekonomi-politik adalah membuktikan bahwa “yang benar untuk satu orangjuga benar untuk masyarakat” (dikutip dalam Bukharin 1927: 41). Problem dari individualisme metodologis ini, menurut Bukharin, adalah bahwa ilmu yang dibangun darinya niscaya berhenti sebagai sains idiografis. Alasannya karena begitu para ekonom Austria hendak menerangkan transisi dari individu ke masyarakat, dalam analisis formasi harga misalnya, mereka akan berangkat dari penjelasan bahwa harga terbentak dari motif-motif individu pelaku ekonomi di mana motifmotif ini dijelaskan oleh harga yang terdahulu yang, pada gilirannya, dijelaskan oleh motif-motif sebelumnya lagi, ‫ س ه‬seterusnya (Bukharin 1927: 45). Sehingga tidak akan ada hukum umum yang mengatur harga-seperti Hukum Nilai dalam ekonomi-politik Klasik—dan yang ada hanya deskripsi proses psikis itu. Kritik kedua Bukharin berkenaan dengan pendekatan ahistoris ekonomi Austria. Bagi Bukharin, Marx mampu mensintesakan pendekatan idiografis dan nomografis. Ketika menganalisis tentang hukum ekonomi, misalnya, Marx mengakui kespesifikan historis dari daya jangkau hukum tereebut—misalnya Hukum Nilai yang mensyaratkan transformasi kerja ke tenaga-kerja, kerja konkrit ke kerja abstrak—sambil tetap mengakui bahwa ada elemen dasar dari hukum tersebut yang berlaku untuk semua zam an-m isalnya bahwa cara masyarakat berproduksi mengkondisikan cara masyarakat itu berpikir 302



(tesis materiatisme historis). Berbeda * ekonom Austria seperti Böhm-Bawerkcenderung mengekalkan relasi ekonomi yang ada sekarang, membuatnya jadi model abadi untuk menerangkan semua relasi ekonomi di mana saja dan kapan saja. Kontras antara Marx dan B^m-Bawerk juga mengemuka dalam pengertiannya tentang kapital. Sementara Marx memahami kapital, secara mendasar, sebagai ‘relasi sosial”‫؟‬, B^m-Bawerk memahaminya sebagai ‘batu’ yang dimiliki oleh pemburu primitif.18 Kritik ketiga Bukharin berhubungan dengan penekanan pada produksi atau konsumsi. Marx melihat sirkulasi dan konsumsi sebagai momen dari produksi dalam tiga arti: bahwa produksi menciptakan materi bagi konsumsi, bahwa modus produksi mengkondisikan modus konsumsi dan bahwa produksi menciptakan kebutuhan baru bagi konsumsi (.Bukharin 1927: 55). Sementara, sejalan dengan pendekatan ahistorisnya, B^m-Bawerk berangkat dengan mengandaikan terberinya begitu saja komoditas-komoditas (tanpa mengecek ke belakang dari mana asal-usul komoditas itu) dan dengan itu membuat supply menjadi data posittf yang tak punya sejarah. Bertolak dari penawaran tanpa latar belakang itulah individu calon konsumen akan menentukan pilihan subjektifoya sesuai dengan hierarki hasratnya. Penekanannya atassentralitas konsumsi dan sirkulasi di atas produksi, dengan demikian, merupakan konsekuensi logis dari pendekatan psikologis ‫ س ه‬ahistorisnya. Demikianlah, dengan menyerang ekonomi Marxian, B^m-Bawerk telah mempertunjukkan titik problematis dari pendekataimya sendiri (Kay 1979: 64).



17 “Capital is not ‫ ه‬thing. It is a definite interrelation in social production belonging ‫؛‬٠ a definite historical formation of society.’’ Seperti dikutip dalam Bukharin (192?: 50-51). 18 “Bohm-Bawerk regard the ‘stone of the savage as the origin of capital’and the savage himself as a capitalist." (Bukharin 1927: 52)



303



7 .3 .3 .‘S olu si’ B ortkiew icz atas ‘Problem Transform asi’



‘Solusi’ pertama atas ‘problem transformasi’ diajukan oleh Ladislaus von Borkiewicz, seorang statistikawan Ricardian, dalam artikelnya di jurnal Jahrbücher für Nationalökonomie und Statistik pada tahun 1907. Akan tetapi, seperti akan kita lihat, solusi ini lebih tepat dipahami sebagai kritik atas solusi transformasi Marx. Bortkiewicz berangkat dengan menempatkan ‘problem transformasi’ dalam kerangka skema reproduksi yang diuraikan Marx dalam Kapital )\]i& n. Ia mengasumsikan keberadaan tiga departemen: departemen I memproduksi sarana produksi untuk ketiga departemen, departemen II memproduksi barang konsum$i pekerja untuk ketiga departemen, departemen III memproduksi barang konsumsi kapitalis (luxurygoods) untuk ketiga departemen. D i sini Bortkiewicz berpegang pada asumsi ‘reproduksi sederhana’ {simple reproduction) yang tanpa surplus. Kondisi ekuilibrium untuk ketiga departemen itu adalah sebagai berikut: I



kI + v I +sI = k I +k2 +k3



II



k2 + v 2 + s2 = v, + v 2 + v 3



m



* ‫ ء‬+ ‫ آل ا‬+ ‫ك = ء ء‬/ + ‫ آل‬+ ‫لء‬



Ketiga persamaan ini masih dalam bentuk persamaan nilai dan belum memasukkan variabel harga. Untuk mengikutsertakan harga, Bortkiewicz memasukkan tiga koefisien: X untuk menunjukkan rasio harga terhadap nilai dalam produksi sarana produksi, y untuk menunjukkan rasio harga terhadap nilai dalam produksi barang konsumsi pekerja, dan z untuk menunjukkan rasio harga terhadap nilai dalam produksi barang konsumsi kapitalis. Berbekal ketiga koefisien ‫ نمن‬dan tingkat laba rata-rata (r), Bortkiewicz merumuskan pereamaan yang menyertakan transformasi nilai ke harga berikut ini (Bortkiewicz 1949: 202). 304



I II III



kpc + v; y + r(kpc + v; y ) = ( k I + k2 +k^)x kpc + v2y+r(kpc + v2y ) = ( y I +v2 + v^)y kpc + v3y + r {kpc + v3y ) - ( s I +s2 + s3)z



atau dengan kata lain: I II III



(1 + r) (kpc + vy) - (kt +k2 + k3) x (1 + ٢) (kpc + vpy) = (v; +v2 + v^)y (1 + r) {kpc + v^y) = (s; + s2 + s}) z



Dengan persamaan ini, rasio nilai dan harga dimasukkan ke dalam bagian analisis sehingga penyelesaian ‘problem transformasi’ bergantung hanya pada penyelesaian aljabarnya. Kendati begitu, ketiga persamaan di muka mengandung empat variabel yang tidak diketahui, yakni x, y, z dan r. Untuk mengetahui keempat variabel itu melalui penyelesaian aljabar, hanya ada dua kemungkinan: kita memasukkan persamaan keempat atau kita mengurangi salah satu variabel dengan memasukkan asumsi baru (Howard & King 1989: 61). Kemungkinan yang pertama dilakukan dengan memasukkan persamaan baru berikut ini. Kx + Vy + Sz = K + V + S Variabel K, V dan S bukanlah variabel baru melainkan agregat dari variabel terkait dalam keseluruhan departemen (misalnya: K = k} + k2 + k3). Dengan tambahan persamaan ini, ketiga persamaan di muka dapat dipecahkan. Hasil akhir dari solusi ini adalah kesamaan nilai total dan harga total. Berkebalikan dengan itu, kemungkinan kedua berjalan dengan mengurangi satu variabel dari empat variabel yang tak diketahui di muka. Bortkiewicz memilih variabel z— rasio nilai-harga untuk barang konsumsi kapitalis—dengan 305



mengasumsikan bahwa nilai diekspresikan dalam uang ‫ س ه‬emas adalah uang-komoditas yang diproduksi di departemen III (sebagai bagian dari luxury goods) sehingga variabel z dianggap tidak relevan, tidak menghasilkan variasi tersendiri (Meek 1973: 195). Dengan demikian, diasu m sik an seperti berikut: 2=1



Alhasil kita memperoleh tiga persamaan dengan tiga variabel (x, y, r) yang dapat dipecahkan. Hasil dari penyelesaian ini adalah kesamaan nilai-lebih total dan laba total. Kesamaan ini, bereamaan dengan kesamaan nilai total dan harga total, adalah kriteria penentu kesuksesan proses ttansformasi Marx. Keduanya harus sama-sama terbukti agar ‘problem transformasi’ terpecahkan. Namun, menurut Bortkiewicz, hanya salah satu dari dua kemungkinan di atas yang dapat dibuktikan: kalau kita memilih kemungkinan pertama maka nilai total = harga total namun sekaligus kemungkinan kedua ‫ محا‬terwujud (nilai-lebih total ‫ ءآ‬laba total), begitu juga sebaliknya (Milios et.al. 2002: 122). Inilah solusi buntu yang banyak diperdebatkan di sepanjang abad ke-20. 7.3.4. Kritik N eo-Ricardian Piero Sraffa Apabila dalam kasus B^m-Bawerk kita menyaksikan perlawanan yang tipikal antara subjektivisme-psikologis dan objektivisme, antara Neoklasisisme dan Klasisisme, berikut ini kita akan menyaksikan kritik atas teori nilai Maraian dari sudut yang takbiasa, yakni dari sudut teori nilai Klasik itu sendiri. Kendati begitu, pencetus awai dari kritik ini sejatinya tidak bermaksud untuk mengarahkan kritiknya pada Marxisme. Justru sebaliknya, ia berupaya mengkritik ekonomi Neoklasik. Kendati ?iero Sraffa (1898-1983) 306



bukanlah $emang anti-Marxis, ia berkawan dekat dengan Antonio Gramsci dan memberikan banyak dukungan ketika Gramsci mendekam di penjara (Roncaglia 2005: 438-440). Bukunya yang di kemudian hari dianggap telah memberikan kritik telak atas teori nilai Marxian, Production ‫ تمو‬Commodities by means of Commodities (1960), tak pemah dimaksudkan oleh Sraffa sendiri untuk mengkritik Marx melainkan para ekonom Neoklasik. Lantas bagaimana kemudian karya tersebut bisa ditafsir sebagai kritik atas teori nilai Marxian? Kita perlu memeriksa argumen dasar bukuitu. Apa yang menjadi fokus Sraffa dalam buku tersebut adalah persoalan determinasi harga yang tidak dijelaskan dari titik pijak sirkulasi (supply-demand), melainkan produksi. Sraffa dipengaruhi secara kolosal oleh ekonomi-politik Ricardo. Sraffa jugalah yang mengumpulkan dan mengedit buku kumpulan karya lengkap Ricardo di tahun 50-an. Akan tetapi, Ricardo yang ia rumuskan kembali bukanlah Ricardo yang berbicara tentang teori nilai-kerja, melainkan Ricardo Periode awai pra-Principles dan periode paling akhir (saat ia menulis Absolute Value and Exchangeable Value). Dengan kata lain, Ricardonya Sraffa adalah Ricardo yang berbicara tentang ‘komoditas standar’ sebagai patokan nilai yang tetap dan meregulasi harga seluruh komoditas lain (seperti jagung dalam pandangan Ricardo awai). Karena tujuan Sraffa adalah merumuskan determinasi harga, maka ia menghindari sebisa mungkin ،feto^yang tidak diperlukan. Detour yang tidak diperlukan itu adalah teori nilai-kerja atau bahkan teori nilai apapun. Ini tidak diperlukan karena kemudian kita mesti menjelaskan ttansformasi nilai ke harga yang, seperti ia lihat dalam Marx, sulit dipecahkan. Menurut Sraffa, kita dapat menentukan determinasi harga tanpa perlu berbasis pada teori nilai. Ini dilakukan dengan cara membasiskan harga pada harga. Tidakkah ini tautologis? Untuk menghindari tautologi itulah, Sraffa *07



memilah antara komoditas dasar (basic commodities) ‫س ه‬ komoditas non-dasar. Komoditas dasar ada-1a-h komoditas yangmenjadi input dalam .‫؟‬،?ra«،2 cabangproduksikomoditas, sementara komoditas non-dasar tidak demikian (Sraffa 1960: 8). Berdasarkan pengertian inilah kemudian Sraffa merumuskan konsep sistem produksi komoditas sebagai sistem di mana ‘komoditas dasar memproduksi dirinya sendiri dan komoditas lain’ (Howard 2011: 146). Inilah yang dimaksud dengan judul bukunya, produksi komoditas oleh komoditas. Apakah komoditas dasar ‫ ن ط‬adalah tenagakerja? ?ertanyaan ini tidak relevan bagi Sraffa karena unit penghitungan dasarnya adalah kuantitas barang input. Jadi tenaga-kerja masuk ke dalam hitungan sejauh diekspresikan sebagai sejumlah barang-barang upah {wage goods). Surplus ‫ س ه‬laba ditentukan dari kuantitas barang input itu, bukan dari kapital variabel sebagai besaran yang independen. Apa yang penting bagi Sraffa adalah jumlah fisik komoditas. Sistem ekonomi surplus dibedakannya dari sistem ekonomi subsisten dengan menunjukkan adanya jumlah output yang berlebih terhadap input. Demikian pula, selisih inputoutput inilah juga yang dipakainya untuk berbieara tentang determinasi harga. Di sini Sraffa bahkan tidak memilah antara nilai dan harga sama sekaH—keduanya identik, yakni sejumlah tertentu input atau sejumlah tertentu output produksi (Sraffa 1960: 9). Konsekuensi dari pengertian kuantitatif-fisikalistik tentang nilai/harga adalah bahwa Sraffa tidak bisa memahami surplus sebagai surplus-value melainkan hanya sebagai surplus produk atau jumlah output yang lebih besar dari input (Howard 2011: 145). Metode ini memang sederhana tetapi sekaligus juga miskin karena proses produksi samasekali absen dari analisisnya. Proses produksi menjadi ibarat kotak hitam {black box) yang isinya tak pernah kita ketahui dan satu-satonya yang dapat diketahui adalah



308



jumlah input dan output.19 Bagi Sraffa, model penjelasan harga seperti ini lebih efisien sebab tidak terbebani oleh teori nilai-kerja yang memang problematis. Skema komparatif berikut dapat memperjelas perbedaan langkah-langkah analisis Marx dari Sraffa.20 M ARX



Kondisi produksi upah riil (k+v & (



SRAFFA



Nilai & nilai٠"



lebih



Problem " ٦^ transformas‫؛‬



Harga produksi & tingkat laba



Kon(j ‫؛‬s ‫ ؛‬prcxJuksi



. . .



‫؛‬S i -،, ------------- ٠ ~ Diagram 2. Pendekatan Marx dan Sraffa Kekurangan mendasar dari Srajfian bypass ini adalah problem tua dalam ekonomi-politik seperti asal-usul keseukuran (commensurability) di antara komoditas—prob­ lem nilai—menjadi tak terjelaskan, begitu juga dengan asal-usul nilai-lebih dan eksploitasi dalam proses produksi. Di sini kita sudah bisa merasakan bagaimana dampaknya terhadap ekonomi Marxian. Pokok sentral yang dihantam secara tidak sengaja oleh Sraffa adalah teori eksploitasi Marxian yang berbasis pada teori nilai-kerja Marx. Teori eksploitasi ini dirumuskan secara matematis oleh Michio Morishima dalam artikelnya di jumal Econometrica sebagai ‘Teorema Fundamental Marxian’ (Fundamental Marxian Theorem)-. “Tingkat eksploitasi yang positif adalah niscaya dan diperlukan bagi sistem untuk memiliki kapasitas pertumbuhan yang positif dan menjamin laba positif kapitalis” (Morishima 1974: 621). Singkat 19 Istilah proses produksi sebagai black box ini berasal dari kritik Geoffrey Hodgson, seorang institusionalis Amerika, atas ekonomi Neoklasik dan Keynesian (Hodgson 1991: 10). 20 Direproduksi dari Howard dan King (1992: 250).



309



kata, tingkat laba positif mensyaratkan tingkat eksploitasi positif. Dengan kata lain, laba mensyaratkan eksploitasi atau produksi nilai-lebih. Hanya dalam kerangka Teorema Fundamental inilah kritik Marx atas kapitalisme bersifat struktural, yakni bahwa sistemnya itu sendiri yang kontradiktif dan bukan varian tertentu dari sistem tersebut. Teorema tersebut, karenanya, mensyaratkan teori nilai-kerja Marx. Oleh karena Sraffa secara implisit menunjukkan bahwa teori nilai-kerja itu redundant untuk menjelaskan harga produksi, maka Teorema Fundamental itu jadi problematis. Konsekuensi implisit dari argumen Sraffa adalah bahwa eksploitasi dapat dibicarakan tanpa perlu berlandaskan pada teori nilai-kerja dan teori nilai-lebih, bahwa nilai dan nilai-lebih adalah konsep yang redundant untuk menjelaskan eksploitasi. Kalau begitu eksploitasi dalam kapitalisme dijelaskan dengan cara yang non-struktural, yakni sebagai akibat sampingan dari sistem yang, karenanya, dapat dihapus dengan reformasi. Implikasi reformis Sraffa inilah yang mendorong para Marxis dari tahun 70-an untuk bereaksi keras terhadap kaum Sraffian. 7.4. Situasi Perdebatan Terakhir Setelah menyaksikan tiga model kritik atas teori ni­ lai Marx, berikut ini kita akan melihat berbagai upaya kontemporer untuk memperbaiki teori nilai tersebut guna menjawab kritik yang dilayangkan terhadapnya. Sebagian besar upaya kontemporer yang penulis uraikan di sini umumnya berbicara dalam kerangka solusi atas ‘problem transformasi’. Biarpun begitu, upaya-upaya tersebut me­ nyentuh dan merombak secara kreatif berbagai aspek dari teori nilai Marx. Karena keragaman interpretasi kreatif itulah kontribusi penulis-penulis berikut layak dipelajari.



310



7.4.1. ‘Pendekatan B en tu k -N ilai’A rthur



Salah satu bentuk reaksi terhadap serangan neo-Ricardianisme atas teori nilai Marxian yang berhasil membangun mazhab baru adalah ‫ ل م ال ء ء‬£ ‫ د‬bentuk-nilai iyalue-form approach) yang digawangi, salah satunya, oleh Christopher j. Arthur. Dalam deskripsi seorang kritikus, “tujuan asli dari pendekatan bentuk-nilai adalah (di tengah gempuran neo-Ricardian) untuk mengindari ‘problem’ transformasi dengan menyangkal keberadaan nilai sebelum pertukaran” (Carchedi 2011: 65). Upaya melarikan diri dari serangan neo-Ricardianisme terhadap redundancy dari problem transformasi ini mengemuka sebagai pelarian dari ekonomi-politik ke dalamfilsafat. Lebih tepatnya, ke dalamfilsafat Hegel. Chris Arthur menggunakan WissenschaftderLogik-nya. Hegel untuk membaca seksi ketiga dari Bab I KapitalyiM. I, yakni seksi tentang bentuk-nilai. Pembacaan yang berbasis pada teori bentuk-nilai memiliki $umber inspirasinya dalam karya seorang Menshevik dari tahun 20-an, Isaak Illich Rubin, yang terjemahan bahasa Inggrisnya baru muncul pada tahun 1973 dan segera mempengaruhi banyak pemikir Marxis, termasuk Arthur dan kelompoknya. Menurut Arthur, hal yang inspiratif dari Rubin adalah pemisahannya antara nilai dan kerja (Arthur 2004:39). Rubin juga banyak memberi perhatian pada aspek sirkulasi dari teori nilai dan condong melihat aras sirkulasi dalam kesatuan dialetoisnya dengan aras produksi. Arthur berangkat dari Rubin untuk melangkah lebih jauh dengan memberikan pengutamaan pada sirkulasi di atas produksi. Dalam esainya dari tahun 70-an, Dialectic of the ValueForm, Arthur menyatakan bahwa dalam seksi ketiga tersebut diperlihatkan bahwa nilai adalah sesuatu yang hanya ada dalam sirkulasi. “Hanya bila sebuah komoditas memasuki relasi pertukaran dengan yang lainlah ia mendapatkan,” tulis Arthur, “suatu bentuk penampakan nilainya” (Arthur 311



2004:68). Dan bagi seorang Hegelian seperti Arthur, bentuk penampakan nilai tidak bisa tidak sama dengan nilai itu sendiri sebab dalam Hegel tidak ada distingsi antara bentuk dan isi. Keduanya, seperti juga bagi Rubin, terhubung secara internal: perubahan bentuk akan secara signifikan mengubah isinya, dan sebaliknya.21 Konsekuensinya, nilai bukanlah sebuah positivitas yang tercipta dari aras produksi, melainkan mengada sebagai akibat dari proses dalam ranah sirkulasi (Arthur 2004: 10-11). Teori nilaikerja Marx yang dirumuskan dalam tafsiran tradisional sebagai embodied labour atau socially necessary labour dibantah Arthur. Dengan mengacu pada seksi ketiga Kapital kita memang melihat bahwa nilai suatu komoditas hanya dapat diekspresikan dalam nilai-pakai komoditas lain. Nilai, karenanya, mesti mengalienasikan dirinya ke dalam medium yang eksternal dan asing untuk dapat mengemukakan dirinya. Dengan itu nampak bahwa kerja tidak memproduksi nilai. Yang memproduksi nilai adalah relasi antara ‘nilai’ sebuah komoditas dan nilai-pakai komoditas lain. Relasi itu tak lain adalah sirkulasi ataupertukaran yang mengemuka dalam konsep kapital. Arthur memahami konsep kapital secara Hegelian sebagai sesuatu yang sebangun dengan konsep Ide atau R©h dalam Hegel (Arthur 2004: 8). Dalam arti itu, kapital adalah sebuah daya yang menggerakkan segala sesuatu 21 “One cannotforget that, ٠» the question of the relation between content and form, M arxtookthestandpointof Hegel, andnotofKant. Kanttreatedform as something external in relation ‫؛‬٠ the content, and as something which adheres to the contentfiom the ‫» ه‬،‫ءمح'ءء‬. From the standpoint ٠/ Hegel’s philosophy, the content is not in itself something ‫؛‬٠ whichform adheresfrom the ‫صءم‬،'‫ءمح‬. Rather, through its development, the content itself gives birth to theform which ١٧،‫ ؟؛‬already latent in the content. Form necessarily grows ٠،،‫ ؛‬of the content itself (Rubin 1973: 117). Kendati teg ‫ ل ه؛‬, Rubin tetap mengutamakan teori nilai-kerja Marx dan tidak membesar-tesarkan dimensi sirkulasi dalam teori nilai. Itulah sebabnya, setelah menerangkan dialektika antara bentuk dan ‫؛‬si, Rubin mengatakan bahwa kerja absttak adalah isi yang memanifestasikan bentuk berupa nilai.



312



termasuk dirinya sendiri. Segala entitas ekonomi adalah momen dari kapital ini. Konsisten dengan pendekatannya ini, Arthur kemudian membuang konsep kerja abstrak (atau socially necessary labour) sebagai asal-usul nilai. Dalam tafsir tradisionalnya,PaulSweezytelahmemilahdimensikualitatif dan kuantitatif nilai: dimensi kualitatif nilai mengemuka dalam konsep kerja abstrak (aspek sosiologisnya) sementara dimensi kuantitatif nilai muncul dalam konsep ‘waktu kerja yang diperlukan secara sosial’ (aspek ekonomisnya). Arthur membuang keduanya. Distingsi tradisional itu masih berbasis pada pengertian yang keliru, menurut Arthur, tentang titik tolak Marx, yakni bahwa tafsiran tradisional itu masih melihat gerak analisis Marx dari ‘produksi komoditas sederhana’ {simple commodity production) ke produksi komoditas kapitalis. Tafsiran tradisional tentang ‘produksi komoditas sederhana’ ini bersumber dari Engels dan bukan Marx (Arthur 2004: 19). Ini mengakar pada kekeliruan Engels dalam melihat metode Marx sebagai metode logis-historis, yakni analisis historis tentang formasi elemen ekonomi dalam bentuk-bentuk klasiknya seperti fase ‘produksi komoditas sederhana’. Bagi Arthur, metode Marx adalah dialektika di mana gerak, mediasi—dengan kata lain, sirkulasi—memainkan peran sentral, sehingga titik tolaknya bukan kerja atau produksi melainkan pertukaran alias sirkulasi dengan kapital sebagai konsep sentralnya. Kalau kerja abstrak tidak menciptakan nilai, lantas siapa yang menciptakan nilai? Bagi Arthur, jawabnya adalah kapital itu sendiri-. “kapital lah yang ‘menciptakan’ nilai; namun ia melakukannya melalui ‘pemompaan’ atas jasa kerja dalam jam kerja” (Arthur 2004: 41). Dengan kata lain, teori nilai-kerja benar jika dan hanya jika kerja yang ‘menciptakan’ nilai itu terkondisikan dalam konteks pasca-sirkulasi, dalam konteks pasca-kemunculan kapital. Kerja abstrak menghasilkan nilai hanya sejauh ia ‘berpartisipasi’ dalam kapital (Arthur 2004: 45). Arthur, 313



karenanya, menganut sejenis capital theory of value, nilai komoditas bersumber pada kapital. Jika demikian, maka kita menghadapi sebuah ironi: pendekatan bentuk-nilai yang digagas untuk melarikan diri dari neo-Ricardianisme justru berakhir dalam posisi Ricardian yang memandang bahwa sumber nilai-lebih adalah kapital (sejauh Ricardo memahami nilai-lebih sebagai identik dengan profit yang merupakan revenue dari kapitalis).22 7.4.2. ‘Interpretasi Baru’ Dumenil-Foley Mazhab ‘Interpretasi Baru’ (awainya juga dikenal se­ bagai 'Solusi Baru’) atas teori nilai Marxian mengemuka sebagai hasil dari kajian independen Gerard Dumenil dan Duncan Foley di awai tahun 80-an. Mazhab ini juga merupakan respon terhadap pembacaan Sraffian atas Marx dan dipengaruhi, sebagaimana pendekatan ‘bentuk-nilai’, oleh kajian Rubin tentang aspek sirkulasi dalam teori nilai. Pengaruh juga muncul dari karya Michel Aglietta, A Theory of Capitalist Regulation (Saad-Filho 2002: 29). Pendekatan yang terbangun dari artikel-artikel Dumenil dan Foley di awai tahun 80-an ini juga diteruskan kemudian oleh Simon Mohun dan juga mempengaruhi Alain Lipietz. Interpretasi Baru berangkat dari kritik atas pendekatan tradisional yang memandang teori nilai Marx sebagai modifikasi dari Ricardo, teori tentang embodied labour.21 Pendekatan tradisional yang berkembang lewat Sweezy, Dobb dan Meek ini mengalami kebuntuan berhadapan dengan ‘problem transformasi’ yang diketengahkan oleh Ladislaus von Bortkiewicz di muka dan diteruskan oleh



“ “When we speak o f his [Ricardo] theory of surpJus-¥aJue, we are, therefore, speaking of his theory o f profit, in so far as he conft،ses the latter with surplus-value” . (Marx [1862] 1975a: 374) 2‫ ء‬Untuk paparan singkat yangjeJas tentang ini Jih. Mohun ( 393 :994‫ل‬394).



314



Sraffa. Pendekatan tradisional berbasis pada argumen dasar bahwa harga dapat diturunkan secara kuantitatif dari nilai yang merupakan pencurahan waktu kerja yang diperlukan secara sosial. Derivasi kuantitatif ini mesti melibatkan dua persamaan agrégatif: antara nilai dan harga produksi serta antara nilai-lebih dan laba. Bortkiewicz menunjukkan bahwa hanya satu dari dua persamaan ini yang dapat dijamin. Hasilnya muncul kontradiksi dalam proses transformasi: kalau total nilai identik dengan harga produksi, maka nilailebih tidak sama dengan laba, dan sebaliknya. Kontradiksi ini lalu ‘dipecahkan’ oleh Sraffa dengan membuang teori nilai-kerja sama sekali dan meninggalkan segala upaya untuk menurunkan secara kuantitatif harga dari nilai. Harga, menurut Sraffa, dapat diterangkan tanpa mengacu ke nilai. Dengan demikian, teori nilai-kerja Marx menjadi redundant. Berangkat dari situasi seperti ini, Interpretasi Baru menggeser medan perdebatan pendekatan tradisional ke luar wilayah produksi mumi (penentuan kuantitatif nilai atas harga) dengan mengevaluasinya dalam kesatuan dengan wilayah sirkulasi. Untuk itu, langkah pertama yang diambil Duménil-Foley adalah mengubah satuan penghitung upah kerja dalam satuan komoditas (wage goods) ke satuan uang-upah (money wage). Jadi titik tolak determinasi harga adalah tenaga-kerja yang diasumsikan telah mengalami monetarisasi (dibayar dengan uang dan bukan in kind). Itulah mengapa Mohun juga menyebut pendekatan ini sebagai ‘pendekatan kerja-abstrak’. Konsekuensi langsung dari pendekatan ini adalah dibuangnya asumsi equal exchange Klasik. Apabila kita berangkat dengan intensi untuk membuktikan determinasi nilai atas harga, maka kita amat memerlukan asumsi equal exchange itu, yakni bahwa kedua ruas dalam persamaan pertukaran mesti memiliki nilai yang sama (jumlah waktu kerja sosial yang sama). Jika asumsi ini tidak terpenuhi, jika pertukaran yang terjadi 315



adalah unequal exchange (misalnya antara negara pusat dan ‘periferi’) dengan jumlah waktu kerja sosial yang berbeda, maka kita akan sulit menunjukkan bagaimana nilai mendeterminasi harga produksi. Interpretasi Baru memiliki kekebalan terhadap cacat asumsi ini. Sebabnya tak lain karena ia berangkat tidak dari nilai melainkan dari harga itu sendiri. Titik tolak analisisnya bukanlah nilai tenaga-kerja yang diekspresikan dalam sejumlah komoditas subsisten, melainkan dari upah yang dibayarkan dalam bentuk uang. Dengan itu, hilanglah problem disproporsi waktu kerja sosial antar masyarakat dan tergantikan dengan medium uang yang dapat diekspresikan secara universal dalam beragam mata uang lain. Interpretasi Baru berangkat dengan input dalam wujud harga upah. Oleh karenanya, ia melihat teori nilaikerja tidak tumbang oleh kritik von Bortkie^cz ،!an Sraffa. Mohun menunjukkan pelampauan yang berhasil dijalankan Interpretasi Baru atas pendekatan ttadisional berikut ini: “Dalam tradisi von Bortkiewicz, terdapat sejumlah kerja menubuh yang harus ditransformasi menjadi harga produksi, kemudian nampak bahwa ketetapan agregat tidak dapat dideduksikan dari prosedur ini dan teori nilai-kerja gugur. Sebaliknya, pendekatan kerjaabstrak memandang produk agregat netto sebagai total nilai yang diproduksi oleh kerja (produktif), menangani bentuk-uangnya (dan bentuk-uang secara umum) sebagai sesualu yang sentral bagi penjelasan tentang kapitalisme, memahami harga sebagai sarana di mana nilai agregat ini didistribusikan dan karenanya sebagai bentuk-nilai, dan tidak bergantting pada asumsi partikular tentang pertukaran ekuivalen maupun non-ekuivalen.” (Mohun 1994: 406-407) Dengan Interpretasi Baru, teori nilai-kerja tidak tumbang akibat gempuran kaum Sraffian, melainkan 316



mengalami transformasi. Nilai yang dideterminasi ©leh jumlah kerja sosial bukanlah nilai pra-moneter, melainkan nilai sebagai yang sekaligus identik dengan harga. Konsekuensinya, ‘problem transformasi’ terselesaikan. Kita tak perlu mentransformasi nilai (pra-moneter) ke harga karena nilai sudah selalu dalam wujud harga. Dengan kata lain, ‘problem ttansformasi’ tidak ada (Mohun 1994: 407). Teori nilai-kerja diselamatkan dengan membatasi jangkauan klaimnya untuk tidak masuk ke dalam ranah nilai pramoneter. Bagi Interpretasi Baru, hanya dua hal yang harus dibuktikan agar teori nilai-kerja tetap hidup: bahwa semua laba adalah gaji yang tak terbayar dan bahwa harga adalah representasi dari kerja-abstrak (Mohun 1994: 401). D u n cn F ole^ el^ atb ah w a secara umum pendekatan yang ditawarkan oleh Interpretasi Baru memiliki kelebihan pada aspek empirik-aktualnya (Foley 2000:23). Interpretasi Baru tidak mensyaratkan argumentasimetafisis tentang nilai pra-moneter sebagai substansi keseukuran antar barangbarang yang masih harus dijelaskan hubungannya dengan harga. Tujuan Interpretasi Baru adalah membangun model analisis tentang sitoasi kapitalisme yang aktual di mana bentuk-uang telah menjadi umum ‫ س ه‬pertukaran tidak selalu bersifat ekuivalen. Kalaupun teori nilai-kerja masih bertahan dalam kerangka Interpretasi Baru, bentaknya telah ditransformasi menjadi sejenis monetary labour theory ٠/ value (Moseley 2000: 305). Namun pada titik itu pula Interpretasi Baru menuai kritiknya. Kritik ،latang dari Anwar Shaikh, salah seorang eksponen kontemporer dari pendekatan tradisional, yang melihat bahwa Interpretasi Baru memecahkan persoalannya dengan cara mengubah définisinya saja: ketimbang menjelaskan bagaimana nilai menjadi harga ‫ س ه‬nilai-lebih menjadi laba, Interpretasi Baru menyelesaikannya dengan mendefinisikan nilai se-



317



bagai harga dan nilai-lebih sebagai laba.24 Problem selanjutnya, menurut Shaikh, adalah bahwa Interpretasi Baru memahami nilai tenaga-kerja secara Smithian sebagai jumlah komoditas yang dapat dibeli dengan upah-uang tersebut (sejenis commanded labour)—sebuah miskonsepsi yang sudah dikritik oleh Ricardo dan Marx. Kritik yang lain datang dari Alfredo Saad-Filho: “Konsep harga [Interpretasi Baru] patut dipertanyakan secara metodologis. Cacat mendasarnya adalah bah­ wa ini hanyalah pandangan tentang harga yang ber­ basis sirkulasi. [...] ia gagal memberikan prioritas analitis pada proses-proses yang lebih fundamental secara konseptual seperti performa kerja dalam produksi, berhadapan dengan fenomena permukaan seperti relasi penawaran dan permintaan bagi setiap komoditas atau kuasa monopoli. Struktur internal dari Pendekatan Baru membawanya berkubang da­ lam permukaan sejak m ula..., namun sesuatu yang nampaknya menguntungkan ini membawa beban berat: ia menjadi sangat sulit untuk mengembangkan teori lebih lanjut tanpa menjadi arbitrer dalam pemilihan atas fenomena yang mau dijelaskan” (dikutip dalam Foley 2000: 30). Singkat kata, Interpretasi Baru terjebak ke dalam empirisisme: memahami penampakan empirik sebagai esensi persoalan. Padahal Marx sendiri melihat fluktuasi penawaran dan permintaan sebagai ilusi fetisistik yang menyembunyikan Struktur realitas yang esensial, yakni determinasi nilai oleh waktu kerja sosial. Keyakinan akan 24 “Marx argued thatprice andprofits were monetaryforms o f value and surplus value. The new approach abandons this altogether by defining surplus value to be a form o f profit! The whole relation between surplus value and profit is turned on its head.” Anwar Shaikh dan Ahmet Tonak seperti dikutip dalam Foley (2000: 25).



318



perbedaan antara bentuk penampakan dan esensi inilah yang menyebabkan Marx bersusah-payah membuktikan formasi nilai dalam ranah produksi dan derivasinya dalam konteks sirkulasi sehingga menunjukkan bahwa harga produksi—yang merupakan pusat gravitasi supply-demand— ditentukan oleh agregat jumlah waktu kerja sosial. 7.4.3. ‘Interpretasi Sistem Temporal-Tunggal’FreemanCarchedi-Kliman Dalam waktu yang kurang lebih bersamaan dengan munculnya Interpretasi Baru, berkembang pula model penjelasan lain tentang teori nilai Marx. Model penjelasan alternatif ini dikembangkan antara lain oleh Alan Freeman, Guglielmo Carchedi dan Andrew Kliman. Para eksponennya menggunakan nama ‘Interpretasi Sistem Temporal-Tunggal’ (Temporal Single System Interpretation— sering disingkat TSSI) sebagai nama mazhabnya. Aliran penafsiran ini berkembang pesat melalui asosiasi kajian International Working Group on Value Theory (IWGVT). Publikasi buku pertama yang mengangkat perdebatan awai di seputar TSSI ini adalah Marx and Non-Equilibrium Economics (1996) yang diedit oleh Freeman dan Carchedi. Sebagaimana Interpretasi Baru, TSSI dengan sangat keras melawan tafsiran tradisional atas teori nilai Marx. Tafsir tradisional yang berkembang di kalangan ekonom Marxis ini (seperti Sweezy, Dobb, Meek) menempatkan Marx dalam cakrawala ekonomi-politik Ricardo dan konsekuensinya tak mampu menghindar dari kontradiksi yang ditunjukkan von Bortkiewicz dan redundancy yang diperlihatkan kaum Sraffian. Problem mendasar dari tafsiran tradisional ini ada dua dan kritik atas keduanya akan membentuk ciri pendekatan TSSI (Freeman, Kliman & Wells 2004: xi). Pertama, tafsiran tradisional bergantung pada pendekatan yang atemporal atau serentak (simultaneist).



319



Rentang waktu dalam proses produksi (selisih waktu input dan output) seolah ditiadakan. Dengan itu, gejolak flu ^ a si nilai/harga dalam proses dikeluarkan dari asumsi. Artinya, secara implisit tafsiran tradisional berpegang pada kondisi ekuilibrium. Konsekuensi dari pendebatan yang serentak ini adalah kecenderungan Ricardian untuk melihat surplus sebagai surplus fisik komoditas dan bukan perubahan nilainya.25Berhadapan dengan ini, TSSI menekankan aspek temporal dari proses produksi: nilai biji besi yang masuk sebagai input dapat berfluktuasi selama jangka waktu proses produksi sampai menghasilkan output yang jumlah nilainya tidak sama dengan input. Kedua, tafsiran tradisional memiliki watak ganda (dual). Sistem nilai dan harga dijadikan dua sistem yang terpisah dan membutuh^n analisis yang terpisah pula. Implisit dalam separasi ini adalah separasi total antara produksi dan sirkulasi, seakan-akan produksi kapitalis dapat berjalan tanpa ‫ نةةالطمح‬. Berlawanan dengan itu, TSSI menekankan as^‫؛‬k tunggcd dalam analisis nilai dan harga: nilai input komoditas dalam sebuah proses produksi adalah sama dengan harga yang dihasilkan dari proses produksi terdahulu. Nilai input dari biji besi pra-transformasi ke harga besi olahan adalah sejatinya juga harga sebagai hasil dari transformasi nilai dalam proses produksi biji besi. Dengan itu mau ditunjukkan bahwa uang telah selalu memediasi proses produksi kapitalis. Dalam arti ‫نمن‬, TSSI dekat dengan tendensi sirkulasionis dalam Interpretasi Baru “ Kliman menulis: “Simultaneist models have their own logic, ‫ ه‬logic that leads inexorably tophysicalist conclusions. / . .. / The aggregate ٧٠/»،■ )) orprice o f ‫ ه‬peculiar type if item is the per-unit value (or price) times the physical quantity ٠/ the item. There ٥٢،‫ ؟‬thus two things that ‫هء‬،‫ ءى‬aggregate value ‫؛‬٠ change, changes in the physical quantity o f the item and changes in its -per-unit value. But simultaneous valuation eliminates the change in the per unit value that occurs during the production period. Hence, there is only one remaining cause ofchanges in the item ’s aggregate value—changes in the physical quantity. ” Sepert‫؛‬dikutip dalam Jeannot )2010 : 219 (.



320



yang berangkat dari Rubin. Keduanya mendekati teori nilaikerja Marx seeara moneter. Dengan mengkritik dua kekeliruan pokok tafsiran tradisional, para eksponen TSSI membuang seluruh argumentasi yang sudah berhasil dilakukan oleh para ekonom Marxis sepanjang abad ke-20. Kliman menyatakan dengan tegas: “Teori nilai dari ‘para Marxis abad ke-20’ bukanlah teori nilai Marx” (Kliman 2004: 24). Berdasarkan penolakan atas tafsiran tradisional ini, para eksponen TSSI berpendapat bahwa ‘inkonsistensi’ yang dituduhkan pada teori nilai Marx sejatinya bukanlah inkonsistensi Marx sendiri,melainkan inkonsistensi dalammodel yang dibangun oleh para ^nafsirnya di abad ke-20. Dengan menekankan watak tunggal ‫ س ه‬temporal dari teori nilai Marx, TSSI be‫> ؟‬endapat bahwa teori tereebut terbebas dari tuduhan inkonsistensi yang kerap dilayangkan padanya. Deviasi harga dari nilai diterangkan terdasarkan titik berangkat nilai yang selalu sudah berarti harga yang ditentokan oleh jumlah waktu kerja sosial terdahulu (upah dalam bentok uang) dan flukftjasi temporal nilai sebuah komoditas yang terjadi antara proses input dan output diterangkan sebagai efek dari agregat nilai yang berelasi terhadap komoditas itu, yang pada akhirnya juga ditentokan oleh jumlah waktu kerja sosial. Dengan membutoikan kebenaran teori nilai Marx, TSSI juga mendeduksikan hasilnya untuk membantah teorema Nobuo Okishio (yang menyatakan bahwa peningkatan teknologi produksi tidak membawa kejatuhan pada tingkat laba) dan karenanya merehabilitasi teori krisis Marx yang paling fandamental, yakni hukum kejatuhan tendensial tingkat laba (Kliman 2004: 33-34). Dalam menegakkan pendekatan TSSI, para eksponennya mengkritik sisa-sisa penafsir ttadisional yang mereka labeh sebagai ‘Ricardian’, antara lain Anwar Shaikh dan David Laibman. Namun sanggahan balik terhadap mereka juga tidak kurang kerasnya. Laibman mengolongkan TSSI 321



ke dalam kategori ‘kaum Marxis ortodoks baru’ karena TSSI menganggap teori nilai Marx sudah sempurna tanpa cacat apapun. Penekanan temporalis TSSI, bagi Laibman, akan berujung pada penghancuran segala bentuk teori tentang determinasi harga. Apabila analisis mesti setia pada asumsi bahwa nilai input berubah setiap detik dalam proses produksi relatif terhadap nilai dari keseluruhan komoditas lain yang berkaitan dengannya, maka analisis tersebut tak mungkin berjalan. Analisis sudah selalu mensyaratkan generalisasi dan simplifikasi asumsi. Tujuan dari generalisasi dan simplifikasi itu adalah untuk menemukan titik ketetapan, titik ekuilibrium yang menggambarkan prakondisi minimum bagi keberadaan sistem, untuk kemudian menerangkan seluruh fluktuasi tersebut berdasarkan titik ekuilibrium tersebut. Menolak jalan ini berarti, bagi Laibman, terjatuh ke dalam empirisisme yang memustahilkan segala teori.26 Penekanan kedua TSSI juga tak lepas dari kritik. Pengertian tentang ketunggalan nilai-harga yang dipakai sebagai dasar untuk menyelesaikan ‘problem transformasi’ hanya akanberujung pada tautologi. Kalau nilai input adalah sekaligus juga harga dalam proses produksi terdahulu, maka harga output identik dengan nilai input dalam proses produksi sekarang ditambah nilai-lebih. Artinya, tidak ada yang perlu ditransformasi.27 Laibman menyatakan bahwa apa yang dilakukan para eksponen TSSI adalah membuat 26 “This ‘historical-accidental’ view o f the value o f the capital stocks is, however, a retreat to a crude empiricism, and a denial o f the possibility of any theory. I f the capitalist economy can only be described in terms of perpetual non-equilibrium—anything else being an instance o f ‘Walrasian’ psychopathology—then no story about the formation o f prices o f production can be told, including M arx’s original one." (Laibman 2004: 6) 27 “Obviously, if one interprets values to be prices o f production from a preceeding period, and one further interprets the transformation procedure as being sequential, then there is no reason to require values of inputs to be transformed into prices o f production since theformer are deemed to be prices c f production”. (Howard 2011: 87)



322



“penjelasan Marx tentang transformasi nilai ke harga diselamatkan dengan cara dihapuskan” (Laibman 2004: 6). Transformasi mensyaratkan dualitas nilai dan harga, yakni bahwa ada dua satuan yang berbeda di mana satuan yang satu akan diterjemahkan ke dalam ekspresi satuan yang lain. Menolak dualitas ini dan mengasumsikan ketunggalan nilai-harga berarti mengesampingkan transformasi itu sendiri. Dan fakta bahwa Marx bergulat dengan prosedur transformasi dalam Kapital jilid HI mengindikasikan bahwa transformasi nilai ke harga adalah persoalan sentral dalam teori nilai Marx. Menyelesaikannya dengan cara mengesampingkannya berarti menganggap upaya Marx itu sendiri inkonsisten—sebuah tuduhan yang justru mau dibantah oleh para eksponen TSSI. 7.5. Rangkuman Ada tiga hal yang dapat disarikan dari paparan se­ panjang Bab ini. Pertama, demonstrasi kekuatan eksplanatoris dari teori nilai Marxian. Sebagaimana telah kita periksa dalam bagian 7.2., terdapat sejumlah besar teori yang dapat diturunkan dari teori nilai-kerja Marx. Sejumlah teori tersebut dapat kita buatkan daftar tak lengkapnya sebagai berikut: a. Teori yang menjelaskan keseukuran antar komoditas b. Teori yang menjawab pertanyaan soal syarat kemung­ kinan adanya laba dalam asumsi pertukaran di antara yang senilai (exchange of equivalents) c. Teori tentang eksploitasi kelas d. Teori tentang formasi harga ekuilibrium kompetitif e. Teori tentang penghitungan pendapatan nasional f. Teori tentang siklus bisnis g. Teori tentang interaksi antar sektor ekonomi h. Teori tentang imperialisme 323



i. Teori tentang formasi pasar finansial j. Teori tentang krisis ekonomi Sepuluh teori turunan yang penulis sebutkan di muka belum mencakup keseluruhan teori yang dapat diturunkan dari teori nilai-kerja Marx. Sepuluh teori tersebut hanyalah teori-teori yang disinggung sepanjang pemaparan kita dalam Bab ini. Tak dapat dipungkiri bahwa rentang feno­ mena yang sanggup dijelaskan oleh teori nilai-kerja Marx sungguh luas. Ada beberapa hal yang dapat dicatat di sini. Adalah fakta yang signifikan bahwa teori tersebut dapat menjelaskan pengandaian dasar ilmu ekonomi, yakni masalah keseukuran antar komoditas. Sebab, seperti telah kita saksikan di Bab V, teori nilai-utilitas justru kesulitan menerangkan pengandaian dasar tersebut. Selain itu, teori nilai-kerja Marx juga memiliki daya penjelasan terhadap fenomena yang lazimnya dikeluarkan dari domain analisis ilmu ekonomi seperti fenomena imperialisme. Ini menunjukkan daya eksplanatoris teori nilai Marx tidak hanya sebagai bagian dari ilmu ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari ilmu sosial yang lebih luas. Kedua, tersisanya masalah penting dari sistem pemi­ kiran ekonomi Marx yang masih terus diperdebatkan hingga kini, yakni ‘problem transformasi’. Sebagaimana kita periksa dalam bagian 7.3., ada sejumlah kritik atas teori nilai Marx yang bergravitasi di seputar masalah transformasi nilai ke harga produksi. Bortkiewicz menunjukkan per­ masalahan mendasar dari solusi transformasi yang diajukan Marx. Sementara Sraffa menunjukkan bahwa problem transformasi dapat dihindari sama sekali dengan mengganti pendekatannya; tidak lagi berdasarkan jumlah nilai, melainkan berdasarkan komoditas standar seperti yang disarankan Ricardo di salah satu fase perkembangan pemikirannya. Sebagaimana telah kita pelajari dari bagian 7.4., beragam alternatif solusi atas problem transformasi



324



yang telah diajukan selama ini masih menemui kebuntuan. Problem transformasi masih merupakan permasalahan mendasar dalam teori nilai Marx yang mesti kita hadapi di awai abad ke-21 ini. Ketiga, kekuatan teori nilai Marxian sebagai alternatif terhadap teori nilai-utilitas. Walaupun ‘problem transformasi’ masih belum dapat diselesaikan sampai hari ini, kita dapat mengevaluasi bagaimana keunggulan relatif teori nilai-kerja Marxian dibandingkan teori nilai-utilitas. Problem utama yang tak terjawab oleh teori nilai-utilitas adalah menjelaskan keseukuran antar komoditas. Selama masalah ini tak terjelaskan, teori nilai-utilitas tidak akan mampu menjelaskan raison d ’etre dari teori nilai dan totalitas ilmu ekonomi yang dibangun di atasnya. Ketakmungkinan perbandingan interpersonal atas utilitas yang diakui sendiri oleh para pendukungnya semakin menegaskan fakta bahwa keseukuran antar komoditas memang merupakan horrorvacui pada jantung ilmu ekonomi kontemporer. Permasalahan ini, sebagaimana telah ditunjukkan dalam Bab VI, antara lain disebabkan oleh semangat antirealis yang terkandung dalam pendekatan teori tersebut. Alhasil, asal-muasal harga dan kemakmuran pun direduksi oleh para pendukung teori nilaiutilitas sebagai hasil dari perilaku empiris agen. Pendekatan tersebut gagal mengidentifikasi asas kausal yang berlaku di balik semesta perilaku dan perasaan agen-agen ekonomi. Persis di sinilah letak keunggulan teori nilai Marxian. Teori nilai ini mampu mengidentifikasi asas kausal yang bertanggung-jawab bagi terwujudnya fenomena fluktuasi harga dan interaksi agen-agen ekonomi di pasar. Identifikasi tersebut dimungkinkan karena teori nilai Marx mengijinkan pembicaraan tentang strata realitas non-empirik, yakni kesejarahan dari komoditas, berikut dengan determinasi kausal (tenaga-kerja) yang termuat di dalamnya. Dengan mengakai strata tersebut, teori nilai Marx dapat digunakan untuk mengajukan penjelasan tentang asas kausal yang 325



beberan dalam fluktuasi harga dan interaksi agen-agen ekonomi, yakni sebagai totalitas proses yang dikondisikan oleh cara masyarakat berproduksi. ٥



326



VIII P enutup



Dari manakah asal-muasal kekayaan? Dalam entri ter­ kait untuk The New Palgrave Dictionary of Economics, Robert Heilbroner menyatakan bahwa kekayaan adalah “titik berangkat konseptual dari disiplin ilmu ekonomi” (Heilbroner 2008: 711). Secara tradisional, seseorang disebut kaya apabila semua kebutuhan hidupnya tercukupi. Akan tetapi, dalam sebuah masyarakat dimana perdagangan telah menjadi bentuk umum pemenuhan kebutuhan hidup manusia, kekayaan hadir dalam dimensi yang khas. Objek kekayaan mengemuka sebagai komoditas atau barang serta jasa yang dapat dipertukarkan. Karenanya, pertanyaan tentang asal-muasal kekayaan—yang merupakan perta­ nyaan fundamental ilmu ekonomi—pada dasarnya identik dengan pertanyaan tentang asal-muasal ketertukaran komoditas. Bagaimana komoditas yang memiliki kegunaan yang berlainan dapat dipertukarkan sama sekali? Apakah syarat kemungkinan dari pertukaran komoditas? Pertanyaan dasar inilah yang melahirkan teori pertama dalam ilmu ekonomi: teori nilai. Jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan tersebut mewujud ke dalam teori-teori nilai yang 327



berbeda dan, bersamaan dengan itu, konsepsi tentang ilmuilmu ekonomi yang berbeda. Uraian tentang perbedaanperbedaan itulah yang mengisi keseluruhan buku ini. Pada Bab penghabisan ini, khususnya pada bagian 8.1., penulis akan merangkum secara garis besar temuantemuan yang telah dihasilkan dari keseluruhan kajian ini. Kesimpulan-kesimpulan utama dari Bab I hingga VII akan dipaparkan ulang secara ringkas. Tak berhenti sebatas rangkuman, Bab ini akan berbicara juga tentang implikasi teori nilai bagi ilmu sosial secara umum pada bagian 8.2. Penulis akan menunjukkan bahwa di balik dua teori nilai yang telah dikupas sepanjang buku ini termuat dua konsepsi umum tentang masyarakat. Terakhir, pada bagian 8.3., Bab ini akan dipungkasi dengan sebuah refleksi akhir tentang persoalan emansipasi sosial dalam ilmu ekonomi. Apabila tujuan utama dari adanya ilmu ekonomi adalah menjelaskan asal-usul kekayaan, lantas apakah yang dapat dilakukan oleh ilmu ekonomi berhadapan dengan fakta ketimpangan kekayaan? 8.1. Rangkuman ٥١^ ٧١١١ Sebagaimana terungkap dalam Bab I, buku ini hendak menjawab sebuah pertanyaan dasar: mengapa terdapat permasalahan epistemologis yang penting dalam peralihan dari teori-nilai kerja ke teori nilai-utilitas dan apakah solusi terhadap masalah tersebut? Pertanyaan umum ini kemudian dipecah ke dalam enam pertanyaan elementer: i.



Apakah duduk perkara dasar dari teori nilai secara umum? ii. Apa itu teori nilai-kerja dan teori nüai-utilitas serta pengandaian ontologis dari keduanya? iii. Apakah kriteria untuk memilah realisme dan antirealisme dalam ilmu pengetahuan?



328



iv. Bagaimana teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas ditinjau dari kriteria realisme dan antirealisme tersebut? v. Apakah masalah yang ditimbulkan dari peralihan epistemologis dalam peralihan teori nilai tersebut? vi. Apakah alternatif teori yang dapat menjawab masalah tersebut? Berdasarkan keenam pertanyaan inilah seluruh uraian dalam buku ini disusun. Bab n telah menjawab pertanyaan i, Bab III-V telah menjawab pertanyaan ii dan Bab VI telah menjawab pertanyaan iii-v. Terakhir, Bab VII menjawab pertanyaan vi. Berikut ini, penulis akan uraikan kembali secara singkat hasil-hasil jawaban terhadap keenam pertanyaan di muka seturut pembagian Bab buku ini. Melalui Bab II, penulis menguraikan duduk perkara dasar teori nilai sebagaimana muncul dalam pemikiran Aristoteles. Ketika membahas tentang pertukaran barangdagangan, Aristoteles mengatakan dalam Etika Nikotnakhea bahwa syarat kemungkinan dari adanya pertukaran adalah kesetaraan (equivalence) di antara barang-dagangan dan kesetaraan itu dimungkinkan karena adanya keseukuran (commensurability) di antara barang-dagangan. Dengan demikian, persoalan mendasar dari segala teori nilai adalah persoalan keseukuran antar komoditas. Mengapa barang-dagangan yang berbeda satu sama lain dapat dikatakan seukur? Inilah pertanyaan dasar teori nilai. Dengan melacak teks-teks Aristoteles lain yang berbicara tentang keseukuran, penulis menemukan bahwa persoalan keseukuran nilai antar komoditas memiliki pendasaran dalam metafisika Aristoteles. Persoalan keseukuran sebangun dengan persoalan substansi atau substratum, yaitu kesamaan yang menjadi landasan bagi perbedaan. “Segala hal yang dapat diperbandingkan mestilah memiliki sesuatu yang identik yang melaluinya mereka diukur”



329



(iOn Generation and Corruption 333a21-24). Menjelaskan nilai, dengan ،‫ ا‬£‫ د ه‬, berarti menjelaskan substansi komoditas: sebuah basis kesamaan yang membuat semua kom،^itas adalah komoditas. Oleh karena teori nilai pada dasarnya teori tentang substansi ekonomi, teori tentang landasan yang menjadi syarat kemungkinan bagi adanya tindak pertukaran sama sekali, maka teori nilai adalah ontologi ekonomi. Nilai dalam ilmu ekonomi adalah seperti Ada dalam metafisika: sesuatu yang disyaratkan oleh adanya realitas secara keseluruhan. Dalam pengertian tentang ekonomi sebagai khrematistik atau laku pengejaran kekayaan dengan per،lagangan, nilai menjadi demikian penting karena apa yang diupayakan dalam khrematistik bukan lagi pencukupan kebutuhan hidup (yang diperoleh dari nilai-pakai komoditas), melainkan soal akumulasi komoditas sebanyak-banyaknya (yang diperoleh dari nilai atau rasio pertukaran yang tinggi dalam perdagangan). Melalui Bab in, kita mempelajari sejarah pembentukan teori nilai-kerja dan ontologi yang mendasarinya. Teori nilai-kerja diawali dengan pendekatan nilai berbasis ongkos produksi yang antara lain dirumuskan oleh Thomas Aquinas. Dalam pendekatan ongkos produksi, nilai komoditas ditentukan oleh keseluruhan ongkos yang diperlukan dalam produksi komoditas tereebut. Aquinas m eletak k an persoalan nilai yang ditinjau dari ongkos produksi ini dalam visi etisnya tentang syarat kemungkinan pertukaran yang adil. Sebuah pertukaran dikatakan adil apabila harga yang ditawarkan dalam pertukaran tereebut sesuai dengan ongkos yang diperlukan dalam produksi komoditas terkait. Tingkat harga pada situasi seperti itu disebut sebagai ‘harga yang adil’, yakni nilai komoditas yang sesuai dengan ongkos produksi. Pendekatan berbasis ongkos produksi yang mencari prinsip p e n e n tu nilai atau harga yang adil pada kondisi-kondisi produksi inilah yang melatari pembentukan teori nilai-kerja yang diawali dengan 330



William Petty, diperkokoh oleh Adam Smith, David Ricardo dan Karl Marx. Teori nilai-kerja terbentuk melalui upaya Petty dalam mencari sebab terdasar yang menentukan nilai komoditas. Oleh karena kapital atau sarana produksi merupakan hasil dari ‘kerja lampau’, maka kapital mesti dirumuskan sebagai sejumlah kerja tertentu. Dengan metode penerjemahan atas apa yang kompleks ke sederhana inilah Petty menemukan dua besaran pokok penentu nilai, yakni tanah dan kerja. Kemudian Petty menunjukkan bahwa tanah dapat dirumuskan ke dalam sejumlah kerja karena nilai tanah ditentukan oleh sejumlah waktu yang diperlukan untuk mengolahnya. Dengan demikian, kerja merupakan sumber, prinsip penentu sekaligus sarana pengukur nilai. Pandangan inilah yang dirumuskan secara lebih sistematis oleh Smith. Dalam masyarakat prakapitalis, menurut Smith, nilai komoditas sepenuhnya ditentukan oleh jumlah kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Akan tetapi, ketika sudah muncul sewa tanah dan kapital, nilai komoditas tak hanya ditentukan oleh jumlah kerja, melainkan juga oleh jumlah sewa tanah dan kapital yang diperlukan dalam produksi. Dengan demikian, Smith menggunakan teori nilai-kerja untuk kondisi masyarakat prakapitalis dan teori nilai-ongkos produksi untuk kondisi masyarakat kapitalis. Smith juga merumuskan Hukum Nilai yang akan terus dikembangkan hingga Marx. Harga komoditas yang sesuai dengan nilainya disebut Smith sebagai ‘harga alamiah’. Melalui Hukum Nilainya, Smith menyatakan adanya tendensi historis gravitasi harga pasar yang berfluktuasi menurut proporsi penawaran dan permintaan pada harga alamiahnya. Ricardo mengakui Hukum Nilai ini, tetapi menolak pandangan Smith bahwa dalam masyarakat kapitalis, nilai ditentukan oleh ongkos produksi (sebagai penjumlahan dari sewa tanah, kerja dan kapital). Ricardo mengatakan bahwa karena sewa tanah dan kapital 331



ditentukan oleh sejumlah kerja yang menubuh di dalamnya, maka penentu terdasar nilai adalah kerja. Marx kemudian menunjukkan bahwa kerja hanya menjadi penentu satusatunya nilai pada era sesudah terbentuknya masyarakat kapitalis yang ditandai oleh pemisahan antara produsen dan sarana produksi. Pemisahan itulah yang menyebabkan bentuk-bentuk kerja yang spesifik berdasarkan ke^naannya mengalami homogenisasi menjadi besaran umum kerja yang abstrak, yakni pencurahan tenaga-kerja per waktu



ke^a. Ontologi yang berada di balik teori nilai-kerja adalah suatu metafisika substansialis. Realitas ekonomi digambarkan sebagai suatu dunia yang tersusun oleh nilai sebagai ‘substansi sosial’ yang terdapat dalam setiap komoditas dan meregulasi tindak pertukaran. Dalam ontologi semacam ini, reahtas ekonomi dipandang sebagai bentangan yang te rja n g k a rk a n pada aras produksi sebab melalui proses pr(*luksilah nilai komoditas diciptakan dan prasyarat bagi pertukaran dipenuhi sehingga konsumsi pun dimungkinkan. Penalaran yang termuat dalam teori nilaikerja merupakan sebuah penalaran fisikalis-rettospektif: syarat material yang dituntut oleh adanya sesuatu menjadi sebab yang mengkondisikan terbentuknya sifat-sifat sesuatu itu. Nilai, dengan demikian, merupakan ‘kualitas primer’ dari komoditas sebagai benda sosial: nilai sudah inheren di dalam komoditas begitu komoditas tereebut tercipta dari kerja. Kualitas primer ‫ س ع ن‬yang menjelaskan mengapa Ricardo bisa berpendapat bahwa sekalipun komoditas tidak dipertukarkan sama sekali, nilai komoditas tetap ada (inilah yang diilustrasikan olehnya dengan metafor pencuri). Nilai inheren dalam komoditas dan keberadaannya tak mensyaratkan keterberian pada ranah sirkulasi atau pertukaran. Melalui Bab IV, kita mempelajari sejarah kemunculan teori nilai-utilitas sebagai kritik atas teori nilai-kerja. Teori 332



nilai-utilitas berkembang dari fradisi merkantilis yang menempatkan perhatian pada aktivitas perdagangan (ranah sirkulasi) ketimbang produksi. Nilai, dalam pengertian ‫نمن‬, muncul dari keinginan konsumen untuk memperoleh manfaat dari suatu barang-dagangan. Nilai, dengan kata lain, ditentukan oleh nilai-pakai yang dievaluasi secara subjektif. ©leh karena keinginan mesti berhadapan dengan fakta ketersediaan komoditas, maka kelangkaan dan keinginan merupakan dua sisi dari satu koin. Pandangan inilah yang berkembang sebagai ttadisi minor dalam Bernardo Davanzati, Nicholas Barbon, Perdinando Galiani, Condillac, J.B. Say dan Samuel Bailey. Tradisi ‫ نمن‬dikatakan minor karena pengaruhnya tidak sekokoh teori nilaikerja yang dianut oleh para tokoh utama ekonomi Klasik. Kelemahan dari pendekatan ini adalah ketakmampuannya menjelaskan secara kuantitatif mengapa bisa terbentuk sejumlah nilai tertentu. Apabila keinginan atauhasrat adalah sesuatu yang kualitatif, bagaimana keinginan dipakai untuk menjelaskan bahwa nilai sebuah buku adalah setara dengan lima bungkus rokok dan bukan empat atau enam bungkus? Dengan kata lain, hasrat tidak dapat dijadikan prinsip penentu nilai sejauh hasrat belum dapat dikuantifikasi. Kuantifikasi atas fenomena mental di muka dijalankan oleh Hermann Heinrich Gossen. la menunjukkan secara geometris bagaimana nilai komoditas atau utilitasnya sebagaimana dievaluasi berbanding terbalik dengan jumlah yang telah dikonsumsi. Ia mendaku dirinya sebagai ‘Kopernikusnya ilmu ekonomi’ sebab ia membalik pengertian nilai yang mulanya dimengerti secara dogmatis sebagai sifat inheren benda menjadi kategori berpikir manusia dalam berhadapan dengankomoditas, sebagaimana Kopernikus menunjukkan bahwa apa yang mulanya dikira objektif (matahari mengelilingi bumi) ternyata merupakan sesuatu yang subjektif (matahari mengelilingi bumi sejauh itulah yang nampak pada pengamat). Nilai komoditas pada 333



suatu waktu tertentu ditentukan oleh utilitas yang didapat dari konsumsi atasnya dalam perbandingan dengan jumlah konsumsi yang telah dilakukan atas komoditas yang sama— singkatnya, ditentukan oleh utilitas marginalnya. Inilah Hukum Gossen Pertama yang akan terus dikembangkan oleh William Stanley Jevons, Cari Menger dan Léon Walras—tiga pemikir ‘Revolusi Marginalis’ yang membuka jalan bagi ilmu ekonomi modern. Jevons membuktikan secara matematis keberlakuan hukum ini dan menunjukkan bahwa persamaan nilai dalam pertukaran komoditas apapun pada dasarnya merupakan persamaan utilitas marginal antar kedua komoditas bagi kedua pihak yang bertukar. Menger menunjukkan lebih jauh bahwa pertukaran tidak mengandaikan keseukuran nilai sebab yang menentukan adalah manfaat barang sebagaimana diputuskan oleh masing-masing pihak dalam upaya memaksimalkan laba. Walras kemudian menunjukkan bahwa penentuan nilai berbasis utilitas dan kelangkaan ialah fenomena alamiah yang berlaku sepanjang zaman. Ontologi yang terletak di balik teori nilai-utilitas adalah epistemologi yang dijadikan ontologi. Realitas ekonomi dipandang sebagai dunia yang dibentuk lewat kategori berpikir subjek ekonomi. Segala sesuatu tidak bernilai pada dirinya; segala sesuatu menjadi bernilai persis karena diputuskan demikian oleh konsumen. Segala sesuatu tidak langka pada dirinya; segala sesuatu menjadi langka persis karena dihasrati oleh konsumen. Dunia yang dibayangkan dalam teori nilai-utilitas adalah sebuah dunia dimana keberadaan subjek yang mengevaluasi bersifat konstitutif. Apa yang dijalankan oleh Gossen dan diteruskan oleh para marginalis bukanlah ‘Revolusi Kopernikan’ melainkan ‘kontra-revolusi Ptolemean’: apa yang dihasilkannya bukanlah sebuah dunia yang diemansipasikan dari konstitusi subjektif, melainkan justru suatu dunia dimana kehadiran pengamat bersifat menentukan terhadap hal 334



yang diamati. Dalam pengertian seperti ini, keseukuran tidak dijangkarkan pada realitas eksternal, melainkan pada tindak evaluasi utilitarian. Setiap komoditas seukur satu sama lain karena semuanya adalah objek hasrat. Penalaran yang termuat di dalamnya adalah penalaran psikologistikprospektif: penalaran yang mencari pendasaran mental dari setiap realitas non-mental seperti harga komoditas dan mengupayakan prediksi atas realitas dengan beibasis pada kuantifikasi atas fenomena mental di muka. Di sini penekanan pada prediksi menggantikan penekanan pada retrospeksi yang kita jumpai dalam teori nilai-kerja. Melalui Bab V, kita mengkaji perkembangan lanjutan dari teori nilai-utilitas pada abad ke-20. Sejak sumbangsih Pareto pada dasawarsa pertama abad ke-20, terjadi peralihan cara pembacaan atas utilitas. Pendekatan yang mulanya bercorak kardinalis, sejak Pareto beralih jadi ordinalis. Dengan Pareto, utilitas tak lagi dianggap dapat diukur secara akurat. Kita tak lagi bisa mengukur utilitas suatu komoditas bagi konsumen A seperti layaknya mengukur berat sebongkah batu. Sebabnya, perbandingan interpersonal atas utilitas dianggap tak mungkin dilakukan. Menghadapi kebuntuan ini, Pareto mengajukan solusi berupa pengukuran berdasarkan peringkat. Dengan ini, terbitlah ordinalisme. Apa yang perlu kita ketahui bukanlah besar utilitas yang dievaluasi para konsumen, melainkan cukup peringkat yang mereka berikan. Preferensi konsumen menjadi sumber dan regulator nilai komoditas, sementara skala preferensi menjadi sarana pengukurnya. Langkah ini diteruskan oleh Hicks, Allen, Robbins dan Samuelson. Preferensi kian dirumuskan secara positivistik sebagai ‘preferensi yang tersingkap’ melalui perilaku agen yang teramati di pasar. Di samping itu, ordinalisme Pareto juga membuka pendekatan baru dalam ekonomi kemakmuran dan teori pilihan sosial. Dengan meninggalkan penghitungan 335



kardinalis atas utilitas, kriteria alokasi sumber daya yang efisien berdasarkan jumlah utilitas menjadi tak dimungkinkan. Sebagai gantinya, digunakanlah kriteria efisiensi berbasis peringkat kemakmuran. Dalam arti itu, suatu sistem alokasi dikatakan efisien jika dan hanya jika peningkatan kemakmuran seorang individu akan meniscayakan penurunan kemakmuran individu lain. Kon­ disi seperti itu di kemudian hari dikenal sebagai optimalitas Pareto. Akan tetapi, Arrow menunjukkan bahwa optimalitas Pareto tidak dapat dicapai melalui proses demokratis sebab proses pemungutan suara yang demokratis (nonkediktatoran) akan melibatkan masalah intransitivitas yang mengemuka dalam Paradoks Condorcet. Lahirlah Teorema Ketakmungkman Arrow. Untuk mengatasi teori tersebut, Sen berupaya merehabilitasi pendekatan kardinalis. Ia berupaya membangun perbandingan interpersonal. Namun objeknya bukan lagi utilitas, melainkan kapabilitas. Dengan demikian lahirlah pendekatan kapabilitas dari puing-puing ordinalisme. Secara ontologis, tak banyak yang berubah dari peralihan kardinalisme ke ordinalisme. Realitas ekonomi— utamanya realitas nilai—tetap dipandang sebagai hasil fabrikasi subjektif. Nilai tetap dihasilkan oleh evaluasi agenagen ekonomi. Bedanya hanyalah, dengan ordinalisme, konstitusi subjektif atas nilai tersebut dibasiskan pada aras yang teramati, yakni preferensi dan perilaku empiris agen. Dengan demikian, ontologi yang termuat dalam pendekatan ordinalis adalah subjektivisme empiris. D i samping itu, ordinalisme membuat pertanyaan dasar teori nilai menjadi tak terjawab. Pertanyaan tersebut adalah tentang keseukuran antar komoditas. Pendekatan kardinalis atas utilitas masih berupaya menjelaskan keseukuran itu dengan alasan yang berbeda dari teori nilai-kerja. Untuk membuktikan bahwa evaluasi subjektif merupakan fondasi keseukuran tersebut, para pelopor marginalis berupaya 336



memastikan bahwa hasrat dapat diukur secara akurat. Kaum ordinalis menunjukkan bahwa upaya tereebut tak mungkin diiakukan karena perbandingan interpersonal atas utilitas pada dasarnya mustahil dijalankan. Dengan demikian, teori nilai-utilitas tak lagi bisa memberikan penjelasan alternatif (untuk mengimbangi teori nilaike^’a) dalam menerangkan keseu^ran antar komoditas. Solusi Sen dengan mengembalikan pendekatan kardinalis untuk mengukur kapabilitas juga memuat permasalahan tersendiri. Pendekatan ini dapat direkonsiliasikan dengan pendekatan berbasis utilitas dan karenanya menyimpan permasalahan yang serupa. Utamanya, pendekatan kapabilitas Sen mengaburkan distingsi penting antara kapabilitas fisik dan mental dengan menempad،an keduanya pada strata penjelasan yang sama. Hal ‫ نمن‬menunjukkan bahwa proposal reformasi ilmu ekonomi yang diajukan Sen, kendati menarik, tetaplah pada hitungan terakhir dihambat oleh ketertanamannya dalam tradisi teori nilai-utilitas. Melalui Bab VI, kita mempelajari kriteria bagi pemilahan antara realisme dan antirealisme untuk kemudian meninjau bangunan teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas berdasarkan kriteria yang telah direkonstruksi. Kriteria pemilahan tersebut didapat dari filsafat ilmu Roy Bhaskar sebagaimana mengemuka dalam buku A Realist Theory ‫تمو‬ Science, yakni realisme transendental. Kriteria pertama adalah bahwa realisme selalu mengandung pelapisan kenyataan yang menjangkau domain riil berisi Struktur atau tendensi non-empirik yang menyebabkan adanya fenomena empirik ‫ س ه‬aktual, sementara antirealisme menolak pelapisan itu dengan mereduksi realitas sebagai ranah yang terberikan secara empirik dan ‫س‬ . Kriteria kedua adalah bahwa realisme selalu mengandung pelapisan penjelasan yang menempatkan domain riil sebagai explanans dengan analisis yang bergerak mundur mencari sebab struktural adanya realitas empirik, sementara antirealisme menolak 337



pelapisan itu dengan menempatkan perampatan empirik (hukum ilmiah) sebagai explanans sehingga penjelasan mesti dapat difungsikan sebagai prediksi dan karenanya dapat difalsifikasi oleh manifestasi empiriknya. Kriteria ketiga adalah bahwa realisme selalu mengakui status ontologis hukum ilmiah sebagai sesuatu yang terjangkarkan pada domain riil sebagai tendensi yang berlaku ceteris paribus, sementara antirealisme menolak status ontologis hukum ilmiah dengan mereduksinya sebagai hasil perampatan empirik atas fenomena yang terus berulang dan yang keberlakuannya bersifat stabil sehingga dapat dijadikan basis bagi prediksi. Dengan menggunakan ketiga kriteria di muka, kita kemudian menggolongkan teori nilai-kerja dan teori nilaiutilitas ke dalam posisi realis dan anti realis. Teori nilai-kerja diklasifikasikan sebagai realis dengan dasar bahwa teori itu memenuhi ketiga kriteria di muka. Pertama, teori nilai-kerja mengakui stratifikasi kenyataan. Realitas ekonomi tak dapat direduksi ke ranah empirik semata. Apa yang mengemuka secara empirik sebagai harga nyatanya mensyaratkan keseukuran nilai yang ditentukan oleh jumlah kerja yang pada gilirannya mengandaikan Struktur pembagian kerja sosial. Kedua, teori nilai-kerja mengakui stratifikasi penjelasan. Penjelasan dalam teori nilai-kerja selalu berciri retrospektif, yakni mencari asal-usul yang menyebabkan adanya fenomena empirik sekalipun asal-usul tersebut tak secara langsung mengemuka secara empirik. Ketiga, teori nilai-kerja mengakui status ontologis hukum ilmiah. Hukum Nilai terjangkarkan pada domain riil Struktur pembagian kerja sosial sebagai salah satu Struktur dalam realitas sosial. Itulah sebabnya Hukum Nilai tidak bersifat prediktif, melainkan hanya tendensial: menggambarkan tendensi umum terjadinya sesuatu apabila segala faktor lain diasumsikan konstan.



338



Teori nilai-utilitas diklasifikasikan sebagai antirealis dengan alasan teori tersebut gagal memenuhi ketiga kriteria di muka. Pertama, teori nilai-utilitas menolak stratifikasi ontologis. Nilai tidak berbeda jenis dari harga; keduanya berada di ranah empirik yang sama sebab harga hanyalah ekspresi moneter dari nilai dan nilai adalah rasio pertukaran yang berlaku di pasar. Kedua, teori nilai-utilitas menolak stratifikasi penjelasan. Nilai dijelaskan dengan cara dideduksikan dari hukum variasi utilitas yang diperoleh dari perampatan empirik. Pola penjelasannya serupa dengan model penjelasan Popper-Hempel. Ini tak terhindarkan sejauh tak ada domain riil—domain Struktur objektif nonempirik—tempat penjelasan dapat dijangkarkan. Ketiga, teori nilai-utilitas menolak status ontologis hukum ilmiah. Hukum variasi utilitas tak lebih dari perampatan empirik atas fenomena konsumsi manusia. Oleh karena setiap konsumsi secara empirik selalu disusul dengan penurunan kenikmatan, maka fenomena ini sudah dianggap memadai untuk menjadi hukum ilmiah. Setelah mengetahui implikasi epistemologis yang bermasalah dari peralihan teori nilai-kerja ke teori nilaiutilitas, kita melihat konsekuensi ekonomi dari teori nilai-utilitas. Dengan menempatkan evaluasi subjektif sebagai locus produksi nilai, dan dengan itu membasiskan ekonomi pada ranah konsumsi dan sirkulasi, teori nilaiutilitas telah menyiapkan prakondisi epistemik yang me­ mungkinkan terjadinya krisis finansial belakangan ini. Kekaburan dalam melihat hirarki prakondisi kausal yang terdapat dalam perekonomian ini disebabkan karena tiri antirealis teori tersebut. Upaya untuk melihat prakondisi kausal dalam konteks sektor-sektor ekonomi hanya dapat dilakukan apabila kita mengadopsi titik pijak realis yang mencari sumber kausal dari gejala yang tampak. Inilah yang dilakukan oleh teori nilai-kerja, utamanya dalam bentuknya yang paling maju, yakni teori nilai-kerja Marx. 339



Melalui Bab VII, kita memeriksa kemungkinan bagi rehabilitasi teori nilai Marxian. Sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan beragam fenomena ekonomi dan so­ sial, teori nilai-kerja Marx memiliki daya penjelasan yang kuat. Seperti telah kita saksikan, teori nilai tersebut dapat diturunkan ke dalam berbagai teori yang menjelaskan keseukuran antar komoditas, siklus bisnis, krisis kapitalisme dan sebagainya. Masalah utama yang tersisa bagi teori nilaikerja Marx adalah menerangkan perubahan dari nilai ke harga. ‘Problem transformasi’ inilah yang menjadi sasaran utama para kritikus. Kita telah melihat juga beragam upaya yang telah dijalankan untuk mengatasi problem tersebut. Sampai saat ini belum ada satu solusi pun yang dapat menjawab problem ini sekaligus mempertahankan teori nilai-kerja Marx dan teori-teori lain yang diturunkan dari teori nilai tersebut. Kendati begitu, kekuatan penjelasan yang dimiliki teori nilai Marxian tetaplah lebih besar daripada yang dikandung dalam teori nilai-utilitas. Teori nilai-kerja dapat menjawab pertanyaan paling krusial bagi ilmu ekonomi—setidaknya dalam kerangka penelitian buku ini—yakni pertanyaan tentang keseukuran antar komoditas. Dari segi ini saja sudah ternyatakan daya eksplanatoris teori nilai-kerja Marx dibandingkan teori nilai-utilitas. 8.2. Teori Nilai sebagai Teori Umum tentang Masyarakat Ilmu fisika kerapkali menjadi standar yang digunakan untuk mengevaluasi ilmu-ilmu lain. Dalam semangat ini, seringkah ditarik analogi bahwa hubungan antara teori nilaikerja dan teori nilai-utilitas sebangun dengan hubungan antara fisika Newtonian dan fisika Einsteinian. Apabila maksud buku ini tersampaikan dengan baik, maka kita akan berkesimpulan bahwa analogi itu meleset sama sekali. Fisika Newtonian dapat diturunkan dari fisika Einsteinian



340



demikian rupa sehingga semua teori yang dihasilkan oleh fisika Newtonian dapat juga dihasilkan lewat fisika Einsteinian. Kekuatan fisika Einsteinian terletak pada kemampuannya menerangkan rentang fenomena yang lebih luas. Hal yang sama tidak berlaku bagi teori nilaikerja dan utilitas. Teori nilai-kerja tidak dapat diturunkan dari teori nilai-utilitas. Fenomena ftmdamental ekonomi, yakni keseukuran antar komoditas yang memungkinkan pertukarannya sebagai komoditas, dapat dijelaskan oleh teori nilai-kerja dan tidak dapat dijelaskan oleh teori nilaiutilitas. Implikasinya, teori nilai-kerja tidak dapat direduksi menjadi salah satu kasus khusus dari penerapan teori nilaiutilitas. Dengan demikian, analogi di muka meleset. Oleh karena teori nilai-kerja tidak dapat direduksi ke dalam teori nilai-utilitas tanpa membuat sejumlah fenomena penting menjadi ‫ محا‬terjelaskan, maka kedua teori tereebut lebih tepat dipandang sebagai dua paradigma ftmdamental ilmu ekonomi. Teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas adalah dua teori umum tentang realitas ekonomi. Dari keduanya, kita dapat menurunkan serangkaian teori yang menjelaskan berbagai aspek perekonomian secara demikian berbeda. Berdasarkan teori nilai-keija, kita memperoleh bangunan teori yang melihat realitas ekonomi yang terkondisikan oleh ranah produksi. Semua ^ ‫؛‬njelasan tentang syarat-syarat kekayaan dibasiskan pada apa yang terjadi dalam realitas kerja. Krisis ekonomi dilihat sebagai berakar pada kontradiksi yang terletak pada aras produksi. Berdasarkan teori nilai-utilitas, kita mendapat bangunan teori yang melihat realitas ekonomi yang terkondisikan oleh ranah sirkulasi dan konsumsi. Semua penjelasan tentang syarat-syarat kekayaan dibasiskan pada apa yang teijadi dalam perilaku konsumen. Krisis ekonomi dilihat sebagai berakar pada apa yang terjadi pada aras sirkulasi. Namun, di balik itu semua, perbedaan antara teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas pada ‫« و د‬، merupakan 341



perbedaan antara dua teori umum tentang masyarakat. Keduanya mencerminkan ontologi sosial yang berbeda. Hal ‫ ن ط‬dapat dijelaskan apabila kita beranjak sejenak dari semesta penalaran ekonomi dan meninjaunya dari tatanan metafisis. Teori nilai-kerja berangkat dengan pengandaian ontologis fondamental bahwa sifat-sifat mensyaratkan keberadaan hal-hal yang di$ifatkan. Tidak ada perasaan tanpa keberadaan makhluk yang dapat merasa dan tidak ada realisasi-diri manusia tanpa keberadaan diri manusia. Karenanya, adanya produksi mengkondisikan sirkulasi dan konsumsi. Dirumuskan dalam kosakata metafisika tradisional, pendekatan teori nilai-kerja adalah pendekatan in re. Sementara teori nilai-utilitas berangkat dengan pengandaian ontologis bahwa sifat-$ifat dapat ada tanpa keberadaan hal yang disifatkan. Ti،lak ada keberadaan makhluk yang dapat merasa tanpa keberadaan perasaan dan tidak ada keberadaan diri manusia tanpa realisasi-diri manusia. Karenanya, sirkulasi dan konsumsi mengkondisikan adanya produksi. Dalam kosakata metafisika tradisional, pendekatan teori nilai-utilitas adalah pendekatan ante rem. Kita dapat menemukan preseden historis dari perdebatan di muka dalam filsafat modem, khususnya dalam perdebatan antara Thomas Hobbes dan René Descartes. Dalam buku Meditations ٠« First Philosophy, Descartes mengata^n bahwa oleh karena fakta bahwa ‘saya berpikir’ merupakan satu-satunya bukti yang tak tergoyahkan bagi keteradaan ‘saya’, maka ‘saya’ tidak lain adalah ‘berpikir’. Artinya, keberadaan material ‘saya’ sebagai makhluk hidup yang memiliki tubuh bersifat sekunder terhadap keberadaan mental ‘saya’ sebagai pikiran; kita dapat membayangkan yang kedua tanpa yang pertama. ‘Saya’ dapat ada sebagai pikiran mumi tanpa tubuh material. Inilah argumen ante rem yang kita temukan juga dalam para pemikir teori nilaiutilitas. Dalam sanggahannya, Hobbes menyatakan bahwa 342



Descartes mengelirukan 'halyang berpikir’ dengan ‘berpikir’ itu sendiri. Argumen Hobbes sederhana: tak mungkin ada ‘berpikir’ tanpa adanya hal yang ‘berpikir’. Hubungan antara ‘berpikir’ dan ‘hal yang berpikir’ adalah hubungan antara sifat {property) dan substansi (substance). Asumsinya jelas: tidak ada sifat yang tidak terlembagakan dalam substansi tertentu. Asumsi Hobbes ini berlawanan dengan Descartes. Dalam meditasinya, Descartes menyatakan bahwa entitas geometris seperti segitiga dapat ada tanpa pernah kita pikirkan atau temukan di semesta fisik dan memiliki esensi yang tetap. Dalam sanggahan keempat-belasnya, Hobbes menulis: “Jika segitiga tidak ada di manapun, saya tidak mengerti bagaimana ia bisa punya esensi. Sebab sesuatu yang tidak di manapun adalah bukan apapun juga, sehingga ia tak punya hakikat sama sekali. [...] Ketika umat manusia sudah tak ada lagi, tidak akan ada juga kodrat manusia. [...] Karenanya, esensi tanpa keberadaan adalah suatu fiksi mental.” (Hobbes 2005: 135-136) Agar ada, sifat-sifat mesti terlembagakan dalam sub­ stansi. Oleh karena itu, agar ada ‘kodrat’ manusia, mesti ada manusia konkrit. Agar ada hal yang disebut ‘berpikir’, mesti ada ‘hal yang berpikir’. Hal itu adalah manusia sebagai realitas korporeal. Jadi ‘saya’ tidak mungkin ada sebagai pikiran semata, ‘saya’ juga mesti ada sebagai tubuh material. Karenanya, keberadaan saya sebagai entitas material mengkondisikan keberadaan saya sebagai entitas yang berpikir, dan karenanya, mengkondisikan keberadaan pikiran saya. Apa yang dapat kita pelajari dari perdebatan di awai era filsafat modern ini bagi diskusi kita tentang teori nilai-kerja dan utilitas? Pembaca yang cermat akan segera menyadari 343



bahwa andaian Hobbes sama dengan andaian teori nilaikerja sementara Descartes mengantisipasi andaian teori nilai-utilitas. Bagi Marx, mengikuti Hobbes, sifat-sifat sesuatu berbasis pada syarat-syarat keberadaan material sesuatu itu. Cara sesuatu diproduksi mengkondisikan cara sesuatu itu dipertukarkan dan dikonsumsi. Cara masyarakat memproduksi barang kebutuhan hidup, mereproduksi syarat-syarat keberadaan material mereka, mengkondisikan cara masyarakat merealisasikan dirinya. Ontologinya adalah suatu ontologi yang berlapis (stratified ontology). Bagi Menger, mengikuti Descartes, sifat-sifat sesuatu di­ ceraikan dari syarat keberadaan material halnya. Cara sesuatu dipertukarkan dan dikonsumsi dilepaskan dari cara sesuatu itu diproduksi. Cara masyarakat merealisasikan dirinya dibuat jadi independen dari, dan setaraf dengan, cara masyarakat memproduksi barang kebutuhan hidup mereka. Ontologinya adalah sebuah ontologi yang datar (flat ontology). Model ontologi Menger ini dengan mudah direkonsiliasikan dengan pendekatan positivisme logis yang membatasi pembicaraan tentang kausalitas dalam ilmu sosial pada pembicaraan tentang perilaku agen-agen masyarakat yang teramati. Oleh karenanya, réhabilitas‫ ؛‬atas teori nilai Marxian berarti rehabilitasi atas ontologi berlapis yang memungkinkan pembicaraan tentang Struktur, kausal dalam masyarakat. 8.3. Persoalan Emansipasi dalam Ilmu Ekonomi Masih tersisa satu persoalan dalam agenda rehabilitasi teori nilai Marxian yang belum penulis kupas sejauh ini. Rehabilitasi teori nilai Marxian membawa konsekuensi pada rehabilitasi tesis eksploitasi Marxian. Tesis itu menyatakan bahwa laba diperoleh dari pengambil-alihan selisih antara nilai kerja dan nilai produk kerja yang dihasilkan para pekerja. Jika begitu, tidakkah rehabilitasi atas teori nilai



Marxian akan membuat ilmu ek©n©mi yang dibangun ‫آ ه‬ atasnya menjadi tidak ilmiah karena melibatkan putusan normatif?01ehkarena itu, sebagai refleksipenutup, kita akan berbicara tentang sebuah masalah klasik dari ilmu ekonomi: apakah ilmu ekonomi merupakan bagian dari ‘ilmu moral’ seperti pada era Adam ‫ الل؛ااائ‬ataukah bagian dari ‘ilmu deskriptif’ alias ‘ilmu positif’ seperti yang dikehendaki sebagian besar ekonom sejak Revolusi Marginalis? Dengan kata lain, apakah ilmu ekonomi mengijinkan putusan normatif-preskriptif dalam tubuh teorinya ataukah hal itu mesti dihindari? Apakah status faktualitas dan normativitas dari ilmu ekonomi? Penulis berpendapat bahwa distingsi antara faktualitas dan normativitas yang dimengerti secara eksklusif adalah distingsi yang sesat dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi. ?enulis akan mengikuti argumen Bhaskar (1989) di sini. Apa yang penting adalah membuktikan kesahihan peralihan dari proposisi ‫ ل د‬ke proposisi normatif, dari proposisi tentang apa yang ada (is) ke proposisi tentang apa yang seharusnya (ought). Apabila peralihan ini tidak dapat dijamin, maka ilmu sosial secara niscaya akan terceraikan dari dimensi emansipatorisnya, sebab dengan tiadanya transisi tersebut, tidak ada tuntutan emansipatoris yang mungkin muncul dari pengertian yang akurat tentang realitas sosial. Dengan kata lain, apabila peralihan itu tidak sah, maka persoalan emansipasi sosial adalah perkara yang sepenuhnya ekstra-teoretik, sepenuhnya emotifretoris-sentimentil, sebab diputuskan secara ad hoc tanpa basis ‫ل د‬ ١٢^ terjustifikasi secara ilmiah. Potensi emansipatoris ilmu sosial hanya mungkin jika transisi dari fakta ke nilai normatif, dari deskripsi ke preskripsi, dari proposisi objektif ke formula subjektif bagi tindakan, dimungkinkan. Solusi Bhaskar hanya bertumpu pada sebuah asumsi ftmdamental, yakni bahwa apa yang benar ‫ س ل‬dengan 345



apa yang baik. Kalau asumsi ini diterima, m a^ transisi fakta ke nilai dapat diterangkan sebagai berikut. Apabila proposisi faktual tentang masyarakat mengindikasikan adanya kontradiksi dalam masyarakat ١٢^٥^ dianalisis, maka kontradiksi atau kekeliruan ini dengan sendirinya merupakan sebuah pertanda bagi perlunya perubahan sosial untuk mengatasinya. ‫ آ ه‬sini dapat kita lihat bahwa sementara premis kalimat di muka menangkap faktualitas, kesimpulannya jusfru memuat imperatif etis. Implikasi ‘fakta 3 nilai’ seperti ini dim ungki^an karena bila apa yang benar itu baik dan apa yang keliru itu buruk, maka apa yang keliru harus ditransformasi/dikoreksi menjadi benar, dan karenanya juga baik. Konsekuensi logisnya, kalau laku transformasi (praxis emansipasi) yang dilandasi oleh hubungan implikasi ‘‫ د ع س‬nilai’ ini dimungkinkan, maka hubungan implikasi ‘nilai ‫ د‬fakta’ juga dimungkinkan: oleh karena praxis emansipasi dilandasi oleh nilai (yang dilandasi oleh proposisi faktual), dan emansipasi menciptakan tatanan baru atau fakta baru, maka ada peralihan dari nilai ke fakta. Kita dapat memformalisasikan argumen senttal Bhaskar ini sebagai berikut:



346



Aksioma Situasi



Parafrase 1 Parafrase 2 Parafrase 3



Karena kontradiksi = kekeliruan = ketidakbaikan dan terdapat kontradiksi dalam masyarakat yang dikaji, maka masyarakat mesti diubah jadi benar, dengan kata lain jadi baik (praxis emansipasi)



Implikasi



Pembetulan masyarakat melalui emansipasi sama dengan menciptakan tatanan baru, dengan kata lain terciptafakta baru



Nilai



V



*I



Kontradiksi sama dengan kekeliruan Kekeliruan sama dengan ketidakbenaran Ketidakbenaran sama dengan ketidakbaikan



Kesimpulan ‫؟؛؛‬I



g



‘Apa yang benar sama dengan apa yang baik’ Proposisi faktual indikasikan adanya kontradiksi dalam masyarakat yang dikaji



Sebuah kemungkinan sanggahan yang dapat dimun­ culkan. Tidakkah dengan mengasumsikan identitas antara kebenaran dan kebaikan sebetulnya kita tengah membuat fakta menjadi nilai sehingga distingsi fakta-nilai, serta transisinya, sudah terjawab bahkan sebelum solusinya dirumuskan? Bhaskar menjawabnya dengan mengatakan: tesis bahwa “kebenaran adalah apa yang baik [...] bukanlah sebuah persyaratan bagi diskursus moral saja, melainkan 347



juga persyaratan bagi adanya semua diskursus samasekali. Komitmen pada kebenaran dan konsistensi berlaku dalam diskursus moral maupun faktual” (Bhaskar 1989: 63). Artinya, asumsi bahwa apa yang benar itu baik merupakan asumsi yang secara implisit berlaku juga dalam kajian faktual sebab tanpanya tak akan ada kajian faktual samasekali (sejauh kajian faktual juga mensyaratkan diterimanya kriteria objektivitas sebagai sesuatu yang mesti diupayakan dalam laku ilmiah). Oleh karena asumsi tersebut sahih, maka peralihan dari proposisi faktual ke proposisi normatif dapat dijalankan. Transisi ini mengemuka dalam keperluan normatif bagi perubahan sosial yang timbul sebagai konsekuensi logis dari kebutuhan untuk koreksi atas kekeliruan/kontradiksi yang ada dalam objek analisis. Karenanya, imperatif emansipasi tidak timbul secara ad hoc dari ketergantungan pada kerangka normatif tertentu, melainkan merupakan bagian dari keperluan analisis logis, atau dengan kata lain, merupakan hasil deduksi langsung dari fakta adanya kontradiksi yang mesti dipecahkan dalam objek analisis. Seruan praktis untuk mengakhiri eksploitasi bukanlah seruan normatif dalam pengertian tradisionalnya (yang secara eksklusif dibedakan dari putusan faktual), melainkan merupakan bagian dari keperluan ilmiah ilmu ekonomi itu sendiri. Artinya, seruan praktis itu dapat dibenarkan berdasarkan ilmu pengetahuan itu sendiri dalam kajian ilmiahnya tentang kenyataan objektif. Ilmu ekonomi, sebagai ilmu, secara inheren bersifat emansipatoris. Rehabilitasi teori nilai Marxian, dengan demikian, meniscayakan rehabilitasi agenda emansipatorisnya sebagai bagian dari keperluan ilmiah untuk memahami dan memperbaiki kenyataan. Dan ilmu ekonomi tidak akan kehilangan apapun kecuali rantai yang membelenggu dirinya sendiri.[]



348



D aftak P u staxa



sumber Primer Aquinas, Thomas. [1892 ‫ل‬274 ‫ل‬. Aquinas Ethicus Volume IIor, The Moral Teaching ٠/ St. Thomas. A Translation of The Principal Portions ٠/ The ‫ مح»هءءك‬Part of The "Summa Theologica”', terj. Joseph R ^kaby, S.J. London: Burns and Oates. Aristoteles. 1995. Metaphysics; terj. W.D. Ross. ‫د ه‬ Barnes, Jonathan [peny.] 1995. The Complete Works o f Aristotle (Revised Oxford Translations) Volume 2. N ew Jersey: Princeton University Press. _ _ _ 1995. Nicomachean Ethics', terj. W.D. Ross. Dalam Barnes, Jonathan [peny.] 1995. The Complete Works of Aristotle (Revised Oxford Translations) Volume 2. N ew Jersey: Princeton University Press. _ _ 1995. ٠« Generation and Corruption; terj. H.H. Joachim. D alam Barnes, Jonathan [peny.] 1995. The Complete Works of Aristotle (Revised Oxford Translations) Volume 1. New Jersey: Princeton University Press. _ _ _ 1995. Physics', terj. R.P. H ardie dan R.K. Gaye. D alam Barnes, Jonathan [peny.] 1995. The Complete Works of Aristotle (Revised Oxford Translations) Volume 1. N ew Jersey: Princeton University Press. _ _ 1995. Politics', terj. B. Jowett. D alam Barnes, Jonathan [peny.] 1995. The Complete Works of Aristotle (Revised Oxford Translations) Volume 2. N ew Jersey: Princeton University Press.



349



Arrow, Kenneth j. [1951] 1963. Social Choice and Individual Values, Second Edition. N ew York: John Wiley & Sons. Bailey, Samuel. [1825] 1825. A Critical Dissertation ٠« The Nature, Measure and Causes of Value; Chiefly in Reference ‫؛‬٠ The Writings of Mr. Ricardo and His Followers. London: R. Hunter. Barbon, Nicholas. [1690] 1905. Discourse of Trade, disunting oleh Jacob H. Hollander. Baltimore: The Johns Hopkins Press. Bentham, Jeremy. [1789] 1970. An Introduction ‫؛‬٠ the Principles ٥/ Morals and Legislation, disunting oleh J.H. Burns dan H.L.A. Hart. London: M ethuen. Bhaskar, Roy. 1975. A Realist Theory ‫ تمو‬Science. Leeds: Leeds Books Ltd. ■ 1989. The Possibility of Naturalism: A Philosophical Critique o f Contemporary Human Sciences. Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf. Cantillon, Richard. [1755] ^010. AnEssay onEconomic Theory■, terj. Chantal Saucier. Alabama: Ludwig von M ises Institute. Condillac. [1776] 2008. Commerce ‫ محس‬Government Considered in Their Mutual Relationship■, terj. Shelagh Eltis. Indianapolis: Liberty Fund. Edgeworth, Francis Ysidio. 1881. Mathematical Psychics: An Essay ٥« the Application ،‫ م‬Mathematics ‫؛‬٠ Moral ‫كءء»ءمحك‬. London: K eganPaul. Galiani, Ferdinando. [1751] 1955. De la Monnaie, terj. G.H. Bousquet dan j. Crisafulli. Paris: Librairie M arcel Riviere. Hicks, John. [1939] 1978. Value and Capital: An Inquiry into Some Fundamental Principles o f Economic Theory, ©xford: C larendon Press. Jevons, W illiam Stanley. 1886. Letters and Journal ٠/ W. Stanley Jevons, disunting oleh H arriet A. Jevons. London: M acm illan . [1871] 1888. The Theory o f Political Economy. London: M acmillan and Co. Marshall, Alfred. [1890] 1972. Principles of Economics. London: Macmillan. M arx, Karl. [1868] 1958. Letter to Kugelman, 11 July 1868 dalam Karl M arx dan Frederick Engels, ‫ءك‬/‫ محءمحء‬Works Volume //. Moscow: Foreign Languages Publishing House. ■[1865] 1962. Wages, Price andProfit. D alam M arx, Karl ‫س ه‬ Frederick Engels. 1962. Selected Works Volume /. Moscow: Foreign Languages Publishing House. 350



■[1861] 1963. Theoriesof Surplus Value Ko/wwe/diterjemahkan oleh Emile Burns. Moscow: Foreign Language Publishing House. ■ [1847] 1971. The Poverty o f Philosophy. New York: International Publishers. ■ [1859] 1972. A Contribution ‫؛‬٠ the Critique of Political Economy, terj. S.W. Ryazanskaya. N ew York: International Publishers. ■ [1857] 1973. Grundrisse, terj. M artin Nicolaus. London: A llen Lane. ■ [1862] 1975a. Theories ٠/ Surplus-Value Volume //; terj. s. Ryazanskaya. Moscow: Progress Publishers. ■[1862] 1975b. Theories of Surplus-Value Volume III; terj. Jack Cohen dan s. Ryazanskaya. Moscow: Progress P ublisher. . [1867] 1979. Capital VolumeI; terj. Ben Fowkes. Middlesex: P e n ^ in Books. ■ [1894] 1981. Capital Volume III] terj. David Fernbach. Middlesex: Penguin Books. ■ [1885] 1992. Capital Volume II diterjem ahkan oleh David Fernbach (London: Penguin Books. Menger, Carl. [1871] 2 0 7 ‫ ه‬. Principles of Economics', terj. James Dingwall dan Bert F. Hoselitz. Alabama: Ludwig von Mises 1‫اا‬$‫ظ م‬ M ill, John Stuart. [1848] 1929. Principles of Political Economy, with Seme ٠/ Their Applications ‫؛‬٠ Social Philosophy. London: Longmans, G reen and Co. Pareto, Vilfredo. 2007. Considerations on the Fundamental Principles of Pure Political Economy, disunting oleh Roberto M archionatti dan Fiorenz© M ornati. London: Routledge. Petty, W illiam. 1899a. The Economic Writings of Si* William Petty Volume /, disunting oleh Charles Henry Hull. Cambridge: Cambridge University Press. ■ 1899b. The Economic Writings o f Sir William Petty Volume 2, disunting oleh-Charles H enry Hull. Cambridge: Cambridge University Press. Ricardo, David. [1817] 2004a. On the Principles o f Political Economy and Taxation dalam Sraffa, Piero dan M aurice Dobb [peny.J 2004. The Works and Correspondence o f David Ricardo Volume I. Indianapolis: Liberty Fund. ■ [1811] 2004b. Notes ٠« Bentham’s S ur les prix’ dalam Sraffa, Piero ‫ س ه‬M aurice Dobb [peny.] 2004. The Work* 351



and Correspondence o f David Ricardo Volume III. Indianapolis: Liberty Fund. ■[1815] 2004c. An Essay ٠« the Influence o f tflow Price ٠/ Com ٠« the Profits ٠/ Stock dalam Sraffa, Piero dan M aurice Dobb [peny.] 2004. The Works and Correspondence o f David Ricardo VolumelV. Indianapolis: Liberty Fund. ■ [1823] 2004d. Absolute Value and Exchangeable Value dalam Sraffa, Piero dan M aurice Dobb [peny.] 2004. The Works and Correspondence o f David Ricardo VolumelV. Indianapolis: Liberty Fund. Say Jean-Baptiste. [1821] 1967. Letters to Malthus and A Catechism o f Political Economy, terj. John Richter. N ew York: Augustus M . Kelley. Sen, A ^arty a. 2009. The Idea of Justice. Cambridge, M A.: The Belknap Fress. Smith, Adam . [1776] 1937. The Wealth of Nations, disunting oleh Edwin Cannan. N ew York: T he M odern Library. Walras, Léon. [1874] 1954. Elements o f Pure Economics or The Theory of Social Wealth', terj. W illiam Jaffe. London: George Allen ‫ س ه‬U nw in Ltd.



Sumber Sekunder Böhm-Bawerk, Eugen von. 1949. “Karl M arx and the Close of His System,” dalam Faul Sweezy [peny.] 1949. Karl Marx and the Close ٠/ His System by Böhm-Bawerk ‫ ه‬Böhm-Bawerk's Criticism of Marx by Rudolf Hilferding TogetherwithanAppendix consisting of an Article by Ladislaus ٧٠« Bortkiewicz. N ew York: Augustus M . Kelley. Bortkiewicz, Ladislaus von. 1949. “O n the Correction o f M arx’s Fundam ental Theoretical C onstruction ‫ ط‬the Third Volume,” dalam Paul Sweezy [peny.] 1949. Karl Marx and the Close of His System by Böhm-Bawerk & Böhm-Bawerk’s Criticism o f Marx by Rudolf Hilferding Together with ٠« Appendix consisting o f an ‫س‬ by Ladislaus ٧٠« Bortkiewicz. N ew York: Augustus M. Kelley. Bukharin, Nikolai. 1927. Economic Theory ٠/ The Leisure Class. New York: International P ublisher. Collier, Andrew. 1994. Critical Realism: An Introduction to Roy Bhaskar’s Philosophy. London: Verso.



352



Dobb, M aurice. 2002. Theories ٠/ Value ‫؛ ا س م ح « ه‬،‫ «همح‬sinceAdatn Smith: Ideology and Economic Theory. Cambridge: Cambridge University Press. Dooley, Peter C. 2005. The Labour Theory ٠/ Value. London: Routledge. Elson, D iane [peny.] 1979. Value: The Representation of Labour in Capitalism. London: CSE Books. Foley, D uncan. 2000. “Recent Developments in the Labour Theory o f Value,” dalam Review o f Radical Political Economics Vol. 32, 1. Meek, R onald L. 1973. Studies in the Labor Theory of Value. New York: M onthly Review Press. Meikle, Scott. 2001. “Quality and Q uantity in Economics: The M etaphysical C onsttuction o f the Econom ic Realm ” dalam Uskali M aki [peny.] 2001. The Economic World View: Studies in the Ontology o f Economics, 32-54. Cambridge: Cambridge University Press. Pack, Spencer j. 2010. Aristotle, Adam Smith and Karl Marx: ٠٢١ Some Fundamental Issues in 21st Century Political Economy. Cheltenham: Edw ard Elgar. Rubin, Isaak Illich. 1973. Essays ٠« M arx’s Theory of Value. M ontréal: Black Rose Books. Sewall, H annah Robie. 1901. The Theory of Value Before Adam Smith. N ew York: The M acm illan Co.



sumber Pendukung Arthur, Christopher j. 1979. “Dialectic o f the Value-Form,” dalam D iane Elson ed. Value: The Representation of Labour in Capitalism. London: CSE Books. . 2004. The New Dialectic and M arx’s Capital. Leiden: Brill. Backhouse, Roger E. [peny.] 1994. New Directions in Economic Methodology. London: Routledge. Bacon, Francis. [1620] 2003. TheNew Organon, disunting oleh Lisa Jardine dan M ichael Silverthorne. Cambridge: Cambridge University Press. Baeck, Louis. 1994. The Mediterranean Tradition in Economic Thought. London: Routledge. Baloglou, Christos p. 2012. “The Tradition o f Econom ic Thought in th e M editerranean World from the A ncientTim es Through the Hellenistic Times until the Byzantine Times and Arab353



Islamic W orld” dalam Jürgen Georg Backhaus [peny.] 2012. Handbook o f the History of Economic Thought: Insight ٠« the Founders of Modern Economics, 7-91. New York: Springer. Baran, Paul A. dan Paul M. Sweezy, Monopoly Capital: An Essay ٠« theAmerican Economic and Social Order(N ew York: M odern Reader), 1966. Beebee, Helen dan Nigel Sabbarton-Leary. 2010. “Introduction” dalam Beebee, Helen dan Nigel Sabbarton-Leary [peny.] 2 0 ‫ ل ه‬. The Semantics and Metaphysics ٠/ Natural Kinds, 1-24. London: Routledge. Bird, Alexander. 1998. Philosophy o f Science. London: Routledge. . . 2007. Nature’s Metaphysics: Laws and Properties. Oxford: Oxford Univeristy Press. Blaug, Mark. 1994. “W hy I am not a Constructivist: Confession o f an U nrepentant Popperian” dalam Backhouse, Roger B. [peny.] 1994. New Directions in Economic Methodology, 111139. London: Routledge. Brentano, Franz. 1975. ٠« the Several Senses o f Being in Aristotle', terj. Rolf George. Berkeley: University o f California Press. Brown, Vivienne. 1994. “The Econom y as Text” dalam Backhouse, Roger E. ed. 1994. New Directions in Economic Methodology, 368-382. London: Routledge. Bukharin. 1972. “Imperialism and the A ccum ulation o f Capital,” dalam Rosa Luxemburg dan N ikolai Bukharin. 1972. The Accumulation of Capital: An Anti-Critique dan Imperialism and theAccumulation ٠/ Capital diedit oleh Kenneth j. Tarbuck dan diterjemahkan oleh Rudolf W ichm ann. N ew York: M onthly Review Press. Chakravartty, Anjan. ^007. A Metaphysics for Scientific Realism: Knowing the Unobservable. Cambridge: Cambridge University Press. Carchedi, Guglielmo. 2011. Behind the Crisis: Marx’s Dialectics of Value and Knowledge. Leiden: Brill. Descartes, René. 2005. “M editations on First Philosophy,” dalam René Descartes. 2005. The philosophical Writings o f Descartes Volume II, 3-62, diterjem ahkan oleh John Cottingham , et.al. Cambridge: Cambridge University Press. Dilworth, Craig. 2006. The Metaphysics of Science: An Account ٠/ Modem Science in terms ٠/ Principles, Laws and Theories. Dordrecht: Springer. Dyke, c . 1981. Philosophy of Economics. N ew Jersey: Prentice-Hall. 354



Ellis, Brian. 2000. Scientific Essentialism. Cambridge: Cambridge University Press. Feldm an, Allan M . dan Roberto Serrano. 2006. Welfare Economics and Social Choice Theory, Second Edition. N ew York: Springer. Finkelstein, Andrea. 2000. “N icholas Barbon and the Quality of Infinity” . History of Political Economy vol. 32, no. 1: 83-102. Fleetwood, Steve. 2002. “W hat kind o f theory is M arx’s labour theory o f value? A critical realist inquiry” dalam Brown, Andrew, dkk. [peny.] 2002. Critical Realism and Marxism, 5787. London: Routledge. Fullbrook, Edward [peny.] 2006. The Crisis in Economics: The PostAutistic Economics Movement: The First 600 Days. London: Routledge. Galileo Galilei. [1623] 2008. “The Assayer” dalam Finocchiaro, M aurice A. [peny.] 2008. The Essential Galileo. Indianapolis: Hackett Publishing Company. Hacking, Ian. 1983. Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy o f Natural Science. Cambridge: Cambridge University Press. Harré, Rom. 1985. The Philosophies of Science: An Introductory Survey. Oxford: Oxford University Press. Heilbroner, Robert. 2008. “W ealth,” dalam Steven N. D urlauf dan Lawrence E. Blume [peny.]. The New Palgrave Dictionary of Economics Volume