Askep Fraktur Nasal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PATHWAY kondisi patologis, osteoporosis, neoplasma



Trauma Facial Langsung/tidak langsung



Absorbsi calcium



Rentan fraktur



Fraktur nasal



perdarahan



Bersihan jalan nafas inefektif Deprasi saraf nyeri



reposisi Port de entre kuman



Gangguan rasa nyaman : nyeri



Deficit pengetahuan



Resti infeksi fiksasi



cemas Pemasangan tampon pada hidung



nyeri



Nafsu makan



Gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan



Pola nafas tidak efektif



Perubahan sensori persepsi ; penciuman



FRAKTUR NASAL A. KONSEP DASAR 1. Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada yang diabsorpsinya. Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah. Sedangkan jika disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur wajah. Selain itu, injury nasal juga berhubungan dengan cedera leher atau kepala. Fraktur nasal adalah terjadinya diskontinuitas jaringan tulang (patah tulang) yang biasanya disebabkan benturan keras. Fraktur tulang hidung dapat mengakibatkan terhalangnya jalan pernafasan dan deformitas pada hidung. Jenis dan kerusakan yang timbul tergantung pada kekuatan, arah dan mekanismenya. Terdapat beberapa jenis fraktur hidung antara lain (Robinstein,2000). 2. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah



lobolus



hidung



yang



mudah



digerakkan



(Ballenger,1994;



Hilger,



1997;



Mangunkusomo,2001; Levine,2005) Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril (Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasarhidung(Ballenger,1994;Hilger,1997).



Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Maran,1990; Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997) Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise(Maran,1990;Ballenger,1994;Mangunkusumo,2001) Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior ( Ballenger, 1994 ; Hilger,1997) Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan



dikenal



sebagai



prosesus



unsinatus



(Ballenger,1994).



Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke



fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla (Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997). Perdarahan hidung Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu: 1. Arteri Etmoidalis anterior 2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika 3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis(Ballenger, 1994; Hilger, 1997). Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (little¡¦s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (Ballenger,1994; Hilger,1997). Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus (Maran,1990; Ballenger, 1994; Mangunkusumo, 2001). Persyarafan hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum (Maran,1990;



Ballenger, 1994; Hilger, 1997). Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior



konkha



media



(Maran,1990;



Ballenger,



1994;



Mangunkusumo,



2001).



Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (Maran,1990; Ballenger, 1994; Hilger, 1997, Mangunkusumo, 2001). Fisiologi hidung Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi



akan



melindungi



saluran



napas



dibawahnya



dari



kerusakan.



Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan



bantuan



TMS



(Ballenger,



1994



;



Hilger,



1997



;McCaffrey,2000).



Menurut Mangunkusumo (2001) fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses bicara,(7) Reflek nasal (Ballenger,1994; Mangunkusomo,2001). 3. Etiologi Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu: 



Mendapat serangan misal dipukul.







injury karena olah raga







kecelakaan (personal accident).







kecelakaan lalu lintas.



Dari 4 causa diatas, yang paling sering karena mendapat serangan misalnya dipukul dan kebanyakan pada remaja. Jenis olah raga yang dapat menyebabkan injury nasal misalnya sepak bola, khususnya ketika dua pemain berebut bola diatas kepala; olah raga yang menggunakan raket misalnya ketika squash, raket dapat mengayun ke belakang atau depan dan



dapat



memukul



hidung



atau



karate;



petinju.



Trauma nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi menyebabkan fraktur wajah. Terdapat beberapa jenis fraktur nasal antara lain (Robinstein,2000) : a.



Fraktur lateral adalah kasus yang paling sering terjadi, dimana hanya terjadi pada salah satu sisi saja, kerusakan yang ditimbulkan tidak begitu parah.



b.



Fraktur bilateral merupakan salah satu jenis fraktur yang juga paling sering terjadi selain fraktur lateral, biasanya disertai dislokasi septum nasal atau terputusnya tulang nasal dengan tulang maksilaris.



c.



Fraktur direct frontal yaitu fraktur os nasal dan os frontal sehingga menyebabkan desakan dan pelebaran pada dorsum nasalis. Pada fraktur jenis ini pasien akan terganggu suaranya.



d.



Fraktur comminuted adalah fraktur kompleks yang terdiri dari beberapa fragmen. Fraktur ini akan menimbulkan deformitas dari hidung yang tampak jelas.



4. PATOFISIOLOGI Tulang hidung dan kartilago rentan untuk mengalami fraktur karena hidung letaknya menonjol dan merupakan bagian sentral dari wajah, sehingga kurang kuat menghadapi tekanan dari luar. Pola fraktur yang diketahui beragam tergantung pada kuatnya objek yang menghantam dan kerasnya tulang. Daerah terlemah dari hidung adalah kerangka kartilago dan pertemuan antara kartilago lateral bagian atas dengan tulang dan kartilago septum pada krista maksilaris. Daerah terlemah merupakan tempat yang tersering mengalami fraktur atau dislokasi pada fraktur nasal. Kekuatan yang besar dari berbagai arah akan menyebabkan tulang hidung remuk yang ditandai dengan deformitas bentuk C pada septum nasal. Deformitas bentuk C biasanya dimulai di bagian bawah dorsum nasal dan meluas ke posterior dan inferior sekitar lamina perpendikularis os ethmoid dan berakhir di lengkung anterior pada kartilago septum kira-kira 1 cm di atas krista maksilaris. Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur nasal adalah fraktur frontalis, ethmoid dan tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital ethmoid; fraktur dinding orbita; fraktur lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur maksila Le Fort I, II, dan III. Jenis fraktur nasal adalah a.



fraktur nasal sederhana.



b.



fraktur pada prosessus frontalis maksila.



c.



fraktur nasal dengan pergeseran kartilago nasi



d.



fraktur dengan keluarnya kartilago septum dari sulkusnya di vomer.



e.



fraktur kominunitiva pada vomer dan



f.



fraktur pada tulang ethmoid sehingga CSS mengalir dari hidung.



5. Tanda dan gejala a.



Bentuk hidung berubah



b.



Epiktasis/keluar darah dari hidung



c.



Krepitasi yaitu teraba tulang yang pecah



d.



Hidung serta daerah sekitarnya bengkak



6. Komplikasi a.



Deviasi hidung (Keadaan dimana terjadi peralihan pada septum nasal, tulang nasal atau keduanya).



b.



Bleeding (perdarahan hidung)



c.



Hematoma septi ( penggumpalan darah dibagian septum).



d.



Septum



hematom



ditandai



dengan



adanya



akumulasi



darah



pada



ruang



subperikondrial. Ruangan ini akan menekan kartilago di bawahnya, dan mengakibatkan nekrosis septum irreversible. Deformitas bentuk pelana dapat berkembang dari jaringan lunak yang hilang. 7. Pemeriksaan Diagnostik a.



Foto nasal



b.



Radiografi nasal



c.



Pemeriksaan hidung bagian dalam



d.



Sinar X untuk menilai ductus nasolakrimalis



8. Penatalaksanaan a.



Tujuan Penanganan Fraktur Hidung a)



Mengembalikan penampilan secara memuaskan



b)



Mengembalikan patensi jalan nafas hidung



c)



Menempatkan kembali septum pada garis tengah



d)



Menjaga keutuhan rongga hidung



e)



Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi septum,retraksi kolumela, perubahan bentuk punggung hidung



f) b.



Mencegah gangguan pertumbuhan hidung



Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan Awal a)



Pertolongan pertama ( emergency )



b)



Resusitasi



c)



Penilaian klinis



Enam prinsip umum pengobatan fraktur a)



Jangan membuat keadaan lebih jelek



b)



Pengobatan berdasarkan diagnosis dan prognosis yang akurat



c)



Seleksi pengobatan 1) Menghilangkan nyeri 2) Memperoleh posisi fragmen yang baik 3) Mengusahakan penyambungan tulang 4) Pengembalian fumgsi yang obtimal



d)



Mengingat proses penyembuhan secara alami



e)



Bersifat realistic dan praktek dalam memilih jenis pengobatan



f)



Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individu



AR sebelum melakukan pengobatan definitive. a) Recognition ; diagnosis dan penilaian fraktur 1) Lokasi fraktur 2) Bentuk fraktur 3) Tahnik sesuai fraktur 4) Komplikasi yang mungkin terjadi b) Reduction ; perlu bila restorasi frakturuntuk mendapatkan posisi yang dapat diterima. c) Retention ; mobilisasi fraktur. d) Rehabilitasi Tindakan Medis a). Deviasi Tindakan yang dilakukan pada deviasi septum biasanya dengan septoplasty. Selain itu seiring dengan perkembangan bedah plastic untuk komestika, maka dapat dilakukan rhinoplasty. Rhinoplasty adalah operasi plastic pada hidung.



Ada 2 macam : 1) Augmentasi rhinoplasty Penambahan pada hidung. Yang harus diperhatikan tidak boleh menambahkan injeksi silicon. Yang boleh digunakan adalah bahan dari luar, misalnya silicon padat maupun bahan dari dalam tubuh sendiri misal tulang rawan, flap kulit/dermatograft. 2) Reduksi rhinoplasty : pengurangan pada hidung. b) Bleeding Terjadi bleeding karena lacerasi mucosal sebaiknya dihentikan 24 jam dengan nasal packing atau jika persisten dan banyak dilakukan dengan membuka arteri sphenopalatine atau arteri ethmoidal anterior. Tempat terjadinya bleeding seharusnya diidentifikasi dan jika dari sphenopalatine maka eksplorasi septal dikeluarkan dan ketika arteri dibebaskan dari segmen fraktur biasanya dihentikan dengan packing (balutan). Jika arteri ethmoidal masih terjadi bleeding setelah fraktur ethmoidal maka dilakukan ‘clip’ dengan ethmoid eksternal yang sesuai. c) Saddling Biasanya terjadi pada fraktur kelas 3 dan hasilnya adalah kegagalan untuk mengekstrak tulang nasal dari bawah tulang frontal atau terjadi malunion tulang nasal yang disebabkan fraktur laybirith ethmoidal. d) Kebocoran cairan serebrospinal Ini jarang terjadi. Ini hanya akan terjadi jika fragmen tulang menginsersi ke dalam area dural tear (air mata) maka akan terjadi kebocoran. Tindakan yang dilakukan dengan craniotomy frontal. Perlu diperhatikan juga bahwa kebocoran bisa terjadi karena komplikasi dari meningitis sehingga perlu diobservasi kondisi pasien post trauma dan periode discharge. Penanganan dengan antibiotic prophylactic perlu dilakukan. e) Komplikasi orbital Tindakan dacryocystorrhinostomy dilakukan untuk mengatasi masalah.



B. ASUHAN KEPERAWATAN 1.



Pengkajian



Hidung diperiksa ke dalam untuk menyingkirkan kemungkinan dimana cedera dapat diperburuk oleh fraktur septum nasal dan adanya hematoma submukosa septal. Jika terjadi hematoma dan tidak dialirkan, hematoma ini pada akhirnya akan menjadi abses yang menghancurkan kartilago septum. Deformitas pelana hidung akan terjadi. Segera setelah cedera biasanya terjadi perdarahan banyak dari hidung eksternal dan internal ke dalam faring. Terdapat pembengkakan yang jelas pada jaringan lunak yang berdekatan dengan hidung dan seringkali deformitas tertentu. Oleh karena pembengkakan dan perdarahan, diagnosis yang akurat dapat ditegakkan hanya setelah pembengkakan menghilang. Cairan jernih yang mengalir dari salah satu nostril menandakan fraktur lempeng kribrifomis dengan kebocoran cairan serebrospinal. Karena cairan serebrospinal mengandung glukosa, cairan ini dapat dengan mudah dibedakan dari mukus hidung dengan menggunakan dipstick. Biasanya, inspeksi dan palpasi yang cermat akan menemukan setiap deviasi tulang atau gangguan pada kartilago hidung dan membantu menyingkirkan perluasan fraktur ke dalam tulang tengkorak. 2.



Diagnosa Keperawatan



Pre operasi : 1.



Nyeri akut berhubungan dengan agen fisik



2.



Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan deformitas tulang



3.



Perubahan sensori persepsi : penciuman



Post operasi : 1.



Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah



2.



Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi



3.



Gangguan gambaran diri berhubungan dengan injury/trauma dan pembedahan.