Askep Glomerulonefritis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.R DENGAN DIAGNOSA MEDIS GLOMERULONEFRITIS DENGAN KEBUTUHAN OKSIGENASI DI RUANG ASTER RSUD dr. DORIS SLYVANUS PALANGKARAYA



Di Susun Oleh: Tingkat II B/Semester III



Ruly Ramadana



2018.C.10a.0983



YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PRODI SARJANA KEPERAWATAN TA 2019/2020



1



LEMBAR PENGESAHAN



Laporan ini disusun oleh : Nama



: Ruly Ramadana



NIM



: 2018.C.10a.0983



Program Studi



: S-1 Keperawatan



Judul



: Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada An.R Dengan



Diagnosa



Medis



Glomerulonefritis



Dengan



Kebutuhan Oksigenasi di Ruang Aster RSUD dr. Doris Slyvanus Palangkaraya Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan Praktik Pra Klinik Keperawatan 1 Program Studi S-1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangkaraya. PEMBIMBING PRAKTIK Pembimbing Akademik



Ika Paskaria, S.Kep., Ners



Mengetahui, Ketua Program Studi Ners,



Meilitha Carolina, Ners, M.Kep.



ii



KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan ini dengan judul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada An.R Dengan Diagnosa Medis Glomerulonefritis Dengan Kebutuhan Oksigenasi di Ruang Aster RSUD dr. Doris Sylvanus Palangkaraya” Laporan ini disusun guna melengkapi tugas PPK 1. Laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis ingin mengucapkan terimakasih. Penulis menyadari bahwa laporan ini mungkin terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.



Palangka Raya, 10 Juni 2020



Penyusun



DAFTAR ISI



iii



SAMPUL DEPAN.................................................................................................... LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………....ii KATA PENGANTAR...........................................................................................iii DAFTAR ISI......................................................................................................... iv BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang..............................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................2 1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................... 2 1.3.1 Tujuan Intruksional Umum (TIU)………………………………………2 1.3.2 Tujuan Intruksional Khusus (TIK)……………………………………...2 1.4 Manfaat Penulisan......................................................................................... 2 1.4.1 Bagi Mahasiswa………………………………………………………… 2 1.4.2 Bagi Klien dan Keluarga………………………………………………..2 1.4.3 Bagi Institusi…………………………………………………………….3 1.4.4 Untuk IPPTEK…………………………………………………………..3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penyakit...........................................................................................4 2.1.1 Definisi………………………………………………………………….4 2.1.2 Anatomi Fisiologi……………………………………………………….4 2.1.3 Etiologi………………………………………………………………….7 2.1.4 Klasifikasi………………………………………………………………8 2.1.5 Patofisiologi…………………………………………………………….9



iv



2.1.6 Menifestasi Klinis……………………………………………………...12 2.1.7 Komplikasi…………………………………………………………….. 13 2.1.8 Pemeriksaan Penunjang……….... ……………………………………...13 2.1.9 Penatalaksanaan Medis………………………………………………....14 2.2 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Oksigenasi...........................................15 2.3 Menejemen



Asuhan



Keperawatan ..............................................................22 2.3.1



Pengkajian



Keperawatan……………………………………………….22 2.3.2



Diagnosa



Keperawatan………………………………………………...24 2.3.3 Intervensi Keperawatan………………………………………………..24 2.3.4



Implementasi



Keperawatan…………………………………………….27 2.3.5



Evaluasi



Keperawatan………………………………………………….27 BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian.....................................................................................................28 3.2 Diagnosa........................................................................................................37 3.3 Intervensi.......................................................................................................40 3.4 Implementasi.................................................................................................44 3.5 Evaluasi.........................................................................................................44 BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan ...................................................................................................47



v



4.2 Saran..............................................................................................................47 DAFTAR PUSTAKA



vi



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Glomerulonefritis merupakan keadaan atau manifestasi utama gangguan



sistemik dengan rentang penyakit minimal sampai berat sampai berat. Glomerulonefritis poststreptokokal Akut (APSGN, acute postsreptococcal Glomerulonefritis) merupakan penyakit ginjal pasca infeksi yang sering terjadi pada masa kanak-kanak dan merupakan penyakit yang menyebabkan dapat ditegakan pada sebagian besar kasus. Dapat terjadi pada setiap tingkatan usia tetapi terutama menyerang anak-anak pada awal usia sekolah dengan awitan paling sering terjadi pada usia 6–7 tahun. Penyakit ini jarang dijumpai pada anak– anak usia dibawah 2 tahun. (Donna L wong, 2009) Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan proliferasi sel glomerulus. Peradangan tersebut terutama 15 disebabkan mekanisme imunologis yang menimbulkan kelainan patologis glomerulus dengan mekanisme yang masih belum jelas. Pada anak kebanyakan kasus glomerulonefritis akut adalah pasca infeksi, paling sering infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A. Glomerulonefritis umumnya disebabkan oleh infeksi, yang sering terjadi pada anak-anak, seperti infeki traktus respiratorius. Glomerulonefritis dapat terjadi secara epidemik atau sporadik, paling sering pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara 5–8 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan 2:1. WHO memperkirakan 472.000 kasus GNAPS terjadi setiap tahunnya secara global dengan 5.000 kematian setiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan di Sri Manakula Vinayagar Medical College and Hospital India pada periode waktu Januari 2012– Desember 2014 ditemukan 52 anak dengan diagnosis GNAPS. Dari 52 pasien ditemukan 46 anak (88,4%) dengan GNAPS, usia pasien berkisar antara 2,6– 13 tahun, 27 anak (52%) pada kelompok usia 5-10 tahun. Di Indonesia pengamatan mengenai GNA pada anakdi sebelas universitas di Indonesia pada tahun 1997-2002, lebih dari 80% dari 509 anak dengan GNA mengalami efusi pleura, kardiomegali serta efusi perikardial, dan 9,2% mengalami ensefalopati hipertensif. Selama 5 tahum sejak 1998-2002, didapatkan 45 pasien GNA (0,4%)



2



yaitu diantara 10.709 pasien yang berobat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Empat puluh lima pasien ini terdiri dari 26 laki–laki dan 19 perempuan yang berumur antara 4-14 tahun, dan yang paling sering adalah 6–11 tahun. Angka kejadian ini relatif rendah, tetapi menyebabkan morbiditas yang bermakna. Dari seluruh kasus, 95% diperkirakan akan sembuh sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari penyakit, dan 2% menjadi glomerulonefritis kronis. ( Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016). Di Indonesia, penelitian multisenter selama 12 bulan pada tahun 1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan, terbanyak di Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak usia 6–8 tahun (40,6%) (Alatas et al, 2012). Berdasarkan



uraian



tersebut



penulis



mempunyai



keinginan



untuk



mengangkat kasus Glomerulonefritis. 1.2



Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas bagaimana rencana keperawatan yang



dapat dilakukan pada pasien penderita Glomerulonefritis dan bagaiamana asuhan keperawatan kebutuhan dasar oksigenasi Pada An. R ? Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Intruksional Umum (TIU) Mahasiswa mampu melakukan dan memberikan asuhan keperawatan dengan kebutuhan dasar oksigenasi pada An. R di ruang Aster RSUD dr. Sylvanus. 1.3.2



Tujuan Intruksional Khusus (TIK)



1.3.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar penyakit Glomerulonefritis. 1.3.2.2 Mahasiswa mampu menjelaskan kebutuhan dasar manusia oksigenasi 1.3.2.3 Mahasiswa mampu menjelaskan menejemen asuhan keperawatan pada pasien Glomerulonefritis dan kebutuhan dasar dengan kebutuhan dasar Aman dan Nyaman. 1.3.2.4 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada An. R. 1.3.2.5 Mahasiswa mampu menentukan dan menyusun intervensi pada An. R. 1.3.2.6 Mahasiswa mampu melaksanakan implementasi pada An. R.



3



1.3.2.7 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi. 1.3.2.8 Mahasiswa mampu menyusun dokumentasi. 1.4



Manfaat Penulisan



1.4.1 Bagi Mahasiswa Sebagai penambah pengetahuan dan refrensi bagi mahasiswa tentang Glomerulonefritis. 1.4.2 Bagi Klien dan Keluarga Diharapkan dapat mengedukasi keluarga untuk dapat selalu menjaga kesehatannya



dan



sebagai



sumber



informasi



pada



keluarga



tentang



Glomerulonefritis. 1.4.3 Bagi Institusi Menjadi sumber refrensi bagi institusi pendidikan maupun rumah sakit. 1.4.4 Bagi IPTEK Hasil laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat peraktis dalam keperawatan yaitu sebagai panduan perawat dalam pengelolaan kasus pada pasien dengan Glomerulonefritis.



4



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Konsep Penyakit



2.1.1 Definisi Glomerulonefritis akut merupakan penyakit ginjal noninfeksius yang paling umum pada masa kanak-kanak, glomerulonefritis akut memengaruhi glomerulus dan laju filtrasi ginjal, yang menyebabkan retensi natrium dan air, serta hipertensi. Biasanya disebabkan oleh reaksi terhadap infeksi streptokokus, penyakit ini jarang memiliki efek jangka panjang pada system ginjal. (Kathhleen, 2008). Glomerulonefritis Akut (GNA) merupakan keadaan atau manifefstasi utama gangguan sistemik dengan rentang penyakit minimal sampai berat sampai berat. Glomerulonefritis poststreptokokal akut ( APSGN, acute poststreptokokal glomerulonefritis) merupakan penyakit ginjal pasca infeksi yang sering terjadi pada masa kanak-kanak dan merupakan penyakit yang menyebabkan dapat ditegakan pada sebagian besar kasus. dapat terjadi pada setiap tingkatan usia tetapi terutama menyerang anak-anak pada awal usia sekolah dengan awitan paling sering terjadi pada usia 6-7 tahun. Penyakit ini jarang dijumpai pada anakanak ,usia dibawah 2 tahun ( Donna L wong, 2009 ). Glomerulonfritis berdasarkan definisi dari International Collaboratif Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) pada tahun 2003 adalah sekumpulan gejala – gejala yang timbul mendadak, terdiri dari hematuria, proteinuria, silinderuria (terutama silinder eritrosit), dengan atau tanpa disertai hipertensi, edemam gejalagejala dari kongesti vaskuler atau gagal ginjal akut, sebagai akibat dari suatu proses peradangan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologik pada ginjal yang secara spesifik mengenai glomerulus (Aditiawati et al, 2011). Jadi kesimpulannya, Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal yang dimulai dalam glomerulus. 2.1.2 Anatomi Fisiologi 2.1.2.1 Ginjal



5



4



Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium (retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di 4



bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjaradrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa  berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kirakira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram (Doenges, 1999;626). Ginjal Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam.  Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan  ginjal kiri untuk memberi tempat  lobus hepatis dexter yang besar.  Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam guncangan. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.



6



Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul (Price,1995 : 773). Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul. (Price, 1995) Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter, kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin. 2.1.2.2 Glomerulus



7



Glomerulus terdiri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan diliputi oleh simpai Bowman. Glomerulus yang terdapat dekat pada perbatasan korteks dan medula (“juxtame-dullary”) lebih besar dari yang terletak perifer. Percabangan kapiler berasal dari arteriola afferens, membentuk lobul-lobul, yang dalam keadaan normal tidak nyata, dan kemudian berpadu lagi menjadi arteriola efferens. Tempat masuk dan keluarnya kedua arteriola itu disebut kutub vaskuler. Diseberangnya terdapat kutub tubuler, yaitu permulaan tubulus contortus proximalis. Gelung glomerulus yang terdiri atas anyaman kapiler tersebut, ditunjang oleh jaringan yang disebut mesangium, yang terdiri atas matriks dan sel mesangial. Kapiler-kapiler dalam keadaan normal tampak paten dan lebar. Di sebelah dalam daripada kapiler terdapat sel endotel, yang mempunyai sitoplasma yang berfenestrasi. Di sebelah luar kapiler terdapat sel epitel viseral, yang terletak di atas membran basalis dengan tonjolan-tonjolan sitoplasma, yang disebut sebagai pedunculae atau “foot processes”. Maka itu sel epitel viseral juga dikenal sebagai podosit. Antara sel endotel dan podosit terdapatmembrana basalis glomeruler (GBM = glomerular basement membrane). Membrana basalis ini tidak mengelilingi seluruh lumen kapiler. Dengan mikroskop elektron ternyata bahwa membrana basalis ini terdiri atas tiga lapisan, yaitu dari arah dalam ke luar ialahlamina rara interna, lamina densa dan lamina rara externa. Simpai Bowman di sebelah dalam berlapiskan sel epitel parietal yang gepeng, yang terletak pada membrana basalis simpai Bowman. Membrana basalis ini berlanjut dengan membrana basalis glomeruler pada kutub vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler pada kutub tubuler. Dalam keadaan patologik, sel epitel parietal kadangkadang berproliferasi membentuk bulan sabit (”crescent”). Bulan sabit bisa segmental atau sirkumferensial, dan bisa seluler, fibroseluler atau fibrosa. 2.1.3 Etiologi Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman streptokokus beta



8



hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%. Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan bahwa : 1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina. 2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A. 3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita. Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss. Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya: 1. Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans, Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll 2. Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis epidemika dl 3. Parasit : malaria dan toksoplasma 2.1.4



Klasifikasi



2.1.4.1 Glomerulonefritis Primer 2.1.4.1.1 Glomerulonefritis membranoproliferasif Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan gejala yang tidak spesifik, bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30% pasien menunjukkan hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya menunjukkan gejala glomerulonefritis akut dengan hematuria nyata dan sembab, sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan gejala-gejala sindrom nefrotik. Tidak jarang ditemukan 25-45% mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan bagian atas, sehingga penyakit tersebut dikira glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA. 2.1.4.1.2 Glomerulonefritis membranosa Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu atau setelah pengobatan dengan obat tertentu. Glomerulopati membranosa paling



9



sering dijumpai pada hepatitis B dan lupus eritematosus sistemik. Glomerulopati membranosa jarang dijumpai pada anak, didapatkan insiden 2-6% pada anak dengan sindrom nefrotik. Umur rata-rata pasien pada berbagai penelitian berkisar antara 10-12 tahun, meskipun pernah dilaporkan awitan pada anak dengan umur kurang dari 1 tahun. Tidak ada perbedaan jenis kelamin. Proteinuria didapatkan pada semua pasien dan sindrom nefrotik merupakan 80% sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan hematuria terdapat pada 50-60%, dan hipertensi 30%. 2.1.4.2 Glomerulonefritis Sekunder Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu glomerulonefritis pasca streptococcus, dimana kuman penyebab tersering adalah streptococcus beta hemolitikus grup A yang nefritogenik terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah. Glomerulonefritis pasca streptococcus datang dengan keluhan hematuria nyata, kadang-kadang disertai sembab mata atau sembab anasarka dan hipertensi. 2.1.5 Patofisiologi Hampir pada semua tipe glomelurusnefritis terjadi gangguan di lapisan epitel atau lapisan podosit membran glomelurus. Gangguan ini mengakibatkan hilangnya muatan negatif. Glomerulonefritis pascastreptokokal akut terjadi karena kompleks antigen–antibodi terperangkap dan menumpuk di dalam membran kapiler glomelurus sesudah infeksi oleh streptococcus beta-hemolyticus group A. Antigen tersebut, yang bisa endogen atau eksogen, menstimulasi pembentukan antibodi. Kompleks antigenantibodi yang beredar di dalam darah akan tersangkut di dalam kapiler glomerulus. Cedera glomerulus terjadi ketika kompleks tersebut memulai pengaktifan komplemen dan pelepasan substansi imunologi yang menimbulkan lisis sel serta meningkatkan permeabilitas membrane. Intensitas kerusakan glomerulus dan insufisiensi renal berhubungan dengan ukuran, jumlah, lokasi (lokal atau difus), durasi panjang dan tipe kompleks antigenantibodi dalam dinding kapiler glomerulus mengaktifkan mediator biokimiawi inflamasi yaitu, komplemen, leukosit, dan fibrin. Komplemen yang sudah diaktifkan akan menarik sel–sel neutrofil serta monosit yang melepaskan enzim lisosom. Enzim lisosom ini merusak dinding sel glomelurus dan menyebabkan poliferasi matriks ekstrasel yang akan mempengaruhi aliran darah



10



glomerulus. Semua kejadian tersebut meningkatkan permeabilitas membran yang menyebabkan kehilangan muatan negatif pada membran glomerulus dan meningkatkan pula filtrasi protein. Kerusakan membran menyebabkan agregasi trombosit, dan degranulasi trombosit melepaskan subtansi yang meningkatkan permeabilitas glomerulus. Molekul protein dan sel darah merah kini dapat melintas masuk ke dalam urine sehingga terjadi proteinnuria dan hematuria. Pengaktivan sistem koagulasi menimbulkan endapan fibrin dalam ruang Bowman. Akibatnya adalah pembentukan struktur terbentuk bulan sabit (erescent) dan penurunan aliran darah renal serta laju filtrasi glomelurus. Perdarahan glomelurus menyebabkan urine menjadi asam. Keadaan ini akan mengubah hemoglobin menjadi meihemoglobin dan mengakibatkan urine berwarna cokelat tampa ada bekuan darah. Respons inflamasi akan menurunkan laju filtrasi glomelurus, dan keadaan ini menyebabkan retensi cairan serta penurunan haluaran urine, peningkatan volume cairan ekstrasel, dan hopertensi. Proteinuria yang nyata menyertai sindrom nefrotik sesudah 10 hingga 20 tahun kemudian akan terjadi insufisiensi renal, yang diikuti oleh sindrom nefrotik dan gagal ginjal terminal. Sindrom goodpasture merupakan glomerulonefritis progresif cepat yang disertai produksi antibodi terhadap kapiler pulmoner dan membran basalis glomelurus. Proliferasi antibodi intrasel yang difus dalam ruang bowman menyebabkan pembentukan struktur berbentuk bulan sabit yang menyumbat ruang tersebut. Struktur ini tersusun atas fibrin dan sel – sel endotel, mesangial, serta fagositik yang menekan kapiler glomerulus, mengurangi aliran darah, dan menimbulkan parut yang luas pada glomerulus. Laju filtrasi glomerulus menurun dan gagal ginjal terjadi dalam waktu beberapa minggu atau beberapa bulan. Nefropati IgA atau penyakit berger biasanya bersifat idiopatik. Kadar IgA plasma meninggi dan IgA serta sel–sel inflamasi mengendap di dalam ruang bowman. Akibatnya adalah sklerosis dan fibrosis glomerulus serta penurunan laju filtrasi glomerulus. Nefrosis lipid menyebabkan disrupsi membran filtrasi kapiler dan hilangnya muatan negatif pada membran ini. Keadaan ini meningkatkan permeabilitas yang disertai hilangnya protein sebagai akibatnya sehingga terjadi sindrom nefrotik. Penyakit sistemik, seperti infeksi virus hepatitis B, sistemik lupus eritematosus atau tumor



11



solid yang malignan, menyebabkan nefropati membranosa. Proses inflamasi menyebabkan penebalan dinding kapiler glomerulus. Peningkatan permeabilitas dan proteinuria menimbulkan sindrom nefrotik. Kadang–kadang komplemen imun merusak lebih lanjut membran glomerulus. Glomerulus yang rusak dan mengalami inflamasi akan kehilangan kemampuan untuk memiliki permeabilitas yang selektif sehingga sel darah merah dan protein dapat melewati filtrasi membran tersebut ketika laju filtrasi glomerulus menurun. Keracunan karena ureum dapat terjadi. Fungsi ginjal dapat memburuk, khususnya pada pasien dewasa dengan glomelurus pascastreptokokal akut, yang umumnya berbentuk glomerulus sklerosis dan disertai hipertensi. Semakin berat gangguan tersebut, semakin besar kemungkinan terjadi komplikasi. Hipovolemik menimbulkan hipotensi yang bisa terjadi karena retensi natrium dan air (akibat penurunan laju filtrasi glomerulus) atau pelepasan renin yang tidak tepat. Pasien mengalami edema paru dan gagal jantung. (kowalak, welsh dan mayer, 2011).



WOC Glomerulonefritis



28



Nefritis hipertensi



SLE Nefritis lupus Diabetic kidney disease



Obstruksi dan infeksi Gangguan glomerulus Glomerulus cedera Peradangan



Glomerulonefritis B1 (Breathing)



B2 (Blood)



Kebocoran kapiler glomerulus



Kerusakan struktur ginjal



Proteinuria



Sintesis eritropeotik menurun



Penurunan fungsi ginjal



B4 (Bladder)



B5 (Bowel)



B6 (Bone)



Peningkatan aktivitas system RAA



Proteinuria



Penurunan fungsi ginjal



Retensi air dan Na



Hipoalbuninea



GFR menurun



Retensi Na+



Hipoalbuninea Defusi cairan ke extra sel



B3 (Brain)



Anemia



Hipertensi



ECF meningkat



Defusi cairan ke sel



GFR menurun ECF meningkat Edema



Kerja napas meningkat



Hipoksia jaringan



Peningkatan TIK



Edema



Sakit kepala



Kelebihan volume cairan



Menekan diafragma Napas tidak adekuat



Pola Napas Tidak Efektif



Gangguan perfusi jaringan Resiko cedera



Penekanan gaster



Mual,Muntah Defisit Nutrisi



Gangguan Mobilitas Fisik



12



2.1.6 Menifestasi Klinis



1.



Hematuria (kencing berwarna seperti air cucian daging). Hematuria dapat terjadi karena kerusakan pada rumbai kapiler glomerulus).



2.



Proinuria (protein dalam urine) adalah suatu kondisi dimana urine mengandung jumlah protein yang tidak normal.



3.



Oliguria dan anuria. Selama fase akut terdapat vasokonstriksi arteriol glomerulus yang mengakibatkan tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi glomerulus juga berkurang. Filtrasi air, garam, ureum dan zat-zat lainnya berkurang dan sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin dalam darah meningkat. Fungsi tubulus relatif kurang terganggu, ion natrium dan air diresorbsi kembali sehingga diuresis berkurang maka timbul oliguria dan anuria.



4.



Edema. Edema yang biasanya dimulai pada kelopak mata dan bisa ke seluruh tubuh. Edema dapat terjadi karena adanya akumulasi cairan akibat penurunan fungsi ginjal, dimana terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus yang mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema.



5.



Hipertensi. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Hal ini disebabkan akibat terinduksinya sistem renninangiotensin.



6.



Hipertermi/suhu tubuh meningkat. Dikarenakan adanya inflamasi oleh strepkokus. 7. Menurunya out put urine ( pengeluaran urine ) adalah keadaan dimana produksi urine seseorang kurang dari 500 mililiter dalam 24 jam.



7.



Anak pucat dan lesu.



8.



Mual muntah.



9.



Fatigue ( keletihan atau kelelahan ) adalah suatu kondisi yang memiliki tanda berkurangnya kapasitas yang dimiliki seseorang untuk bekerja dan



13



mengurangi efisiensi prestasi dan biasanya hal ini disertai dengan perasaan letih dan lemah.



10. Demam. 11.



Sesak napas.



12.



Anoreksia (penurunan nafsu makan)



2.1.7 Komplikasi 1.



Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walaupun oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang diperlukan.



2.



Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hiperetensi terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejangkejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.



3.



Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkab oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.



4.



Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia disamping sintesis eritropoetik yang menurun.



2.1.8



Pemeriksaan Penunjang



1. Pemeriksaan urin sangat penting untuk menegakkan diagnosis nefritis akut. Volume urin sering berkurang dengan warna gelap atau kecoklatan seperti air cucian daging. 2. Tes darah : Bun (bloot urea nitrogen : nitrogen urea darah) dan creatinine meningkat



kreatinin



serum



menigkat



bila



fungsi



ginjal



mulai



menurun.Albumin serum dan protein total mungkin normal atau agak turun (karena hemodilusi).



14



3. Laju endap darah meninggi, kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air). Pada pemeriksaan urin di dapatkan jumlah urin mengurang, berat jenis meninggi. Hematuria makroskopis ditemukan pada 50% penderita. Ditemukan pula albumin (+), eritrosit (++), leukosit (+), silinder leukosit, dan hialin. 4. Biopsi ginjal dapat di indikasikan jika dilakukan kemungkinan temuan adalah menningkatnya jumlah sel dalam setiap. 2.1.9 Penatalaksanaan Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus. 1.



Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.



2.



Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi



beratnya



glomerulonefritis,



melainkan



mengurangi



menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis. 3.



Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan



15



kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi. 4.



Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.



5.



Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam



darah



dengan



beberapa



cara



misalnya



dialisis



pertonium,



hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga. 2.2



Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Oksigenisasi



2.2.1 Definisi Oksigen(O2) adalah salah satu komponen gas dan unsur vital dalam proses metabolisme untuk mempertahankan kelangsungan hidupseluruh sel – sel tubuh.Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup oksigen setiap kali bernapas. Masuknya oksigen ke jaringan tubuh ditentukan oleh sistem respirasi kardiovaskuler dan keadaan hematologi (Wartonah & Tarwoto 2003). Oksigen adalah kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kelangsungan metabolisme sel tubuh mempertahankan dan aktivitas berbagai organ atau sel (Carpenito, 2006). Dalam keadaan biasa manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen setiap hari (24 jam) atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Respirasi berperan dalam mempertahakan kelangsungan metabolisme sel. Sehingga di perlukan fungsi respirasi yang adekuat. Respirasi juga berarti gabungan aktifitas mekanisme yang berperan dalam proses suplai O² ke seluruh tubuh dan pembuangan CO² (hasil pembakaran sel). 2.2.2 Fisiologi



16



Peristiwa bernapas terdiri dari 2 bagian: 2.2.2.1 Menghirup udara (inpirasi) Inspirasi adalah terjadinya aliran udara dari sekeliling masuk melalui saluran pernapasan sampai keparu-paru. Proses inspirasi : volume rongga dada naik/lebih besar, tekanan rongga dada turun/lebih kecil. 2.2.2.2 Menghembuskan udara (ekspirasi) Tidak banyak menggunakan tenaga, karena ekspirasi adalah suatu gerakan pasif yaitu terjadi relaxasi otot-otot pernapasan. Proses ekspirasi : volume rongga dada turun/lebih kecil, tekanan rongga dada naik/lebih besar. Proses pemenuhan oksigen di dalam tubuh terdiri dari atas tiga tahapan, yaitu ventilasi, difusi dan transportasi. 2.2.2.2.1 Ventilasi Merupakan proses keluar masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Proses ini di pengaruhi oleh beberapa factor: 2.2.2.2.1.1 Adanya kosentrasi oksigen di atmosfer. Semakin tingginya suatu tempat, maka tekanan udaranya semakin rendah. 2.2.2.2.1.2 Adanya kondisi jalan nafas yang baik. 2.2.2.2.1.3 Adanya kemampuan toraks dan alveoli pada paru-paru untuk mengembang di sebut dengan compliance. Sedangkan recoil adalah kemampuan untuk mengeluarkan CO² atau kontraksinya paru-paru. 2.2.2.2.2 Difusi Difusi gas merupakan pertukaran antara O² dari alveoli ke kapiler paruparu dan CO² dari kapiler ke alveoli. Proses pertukaran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 2.2.2.2.2.1



Luasnya permukaan paru-paru.



2.2.2.2.2.2 Tebal membrane respirasi/permeabilitas yang terdiri atas epitel alveoli dan interstisial. Keduanya dapat mempengaruhi proses difusi apabila terjadi proses penebalan. 2.2.2.2.2.3 Pebedaan tekanan dan konsentrasi O². Hal ini dapat terjadi sebagaimana O² dari alveoli masuk kedalam darah secara berdifusi karena tekanan O² dalam rongga alveoli lebih tinggi dari pada tekanan O² dalam darah vena vulmonalis.



17



2.2.2.2.2.4 Afinitas gas yaitu kemampuan untuk menembus dan mengikat HB. 2.2.2.2.3 Transportasi gas Transfortasi gas merupakan proses pendistribusian O² kapiler ke jaringan tubuh dan CO² jaringan tubuh ke kapiler. Transfortasi gas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 2.2.2.2.3.1



curah jantung (kardiak output), frekuensi denyut nadi.



2.2.2.2.3.2



kondisi pembuluh darah, latihan perbandingan sel darah dengan darah secara keseluruhan (hematokrit), serta elitrosit dan kadar Hb.



2.2.3 Etiologi Faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigen: 2.2.3.1 Faktor Fisiologi 2.2.3.1.1 Menurunnya kemampuan mengikat O2 seperti pada anemia 2.2.3.1.2 Menurunnya konsetrasi O2 yang diinspirasi seperti pada obstruksi saluran pernapasan atas, peningkatan sputumyang berlebihan pada saluran pernapasan. 2.2.3.1.3 Hipovolemia sehingga tekanan darah menurun yang mengakibatkan terganggunya O2. 2.2.3.1.4 Meningkatnya



metabolisme



seperti



adanya



infeksi,demam,



ibu



hamil,luka,dll. 2.2.3.1.5 Kondisi yang mempengaruhi pergerakan dinding dada seperti pada kehamilan, obesitas, muskuloskletal yang abnormal, penyakit kronik seperti TBC paru. 2.2.3.2 Faktor Perkembangan 2.2.3.2.1 Bayi prematur, yang disebabkan kurangnya surfaktan. 2.2.3.2.2 Bayi dan balita, adanya risiko infeksi saluran pernapasan akut. 2.2.3.2.3 Anak usia sekolah dan remaja, resiko saluran pernapasan dan merokok. 2.2.3.2.4 Dewasa muda dan pertengahan, diet yang tidak sehat, kurang aktivitas, stress yang mengakibatkan penyakit jantungdan paru-paru. 2.2.3.2.4 Dewasa tua, adanya proses penuaan yang mengakibatkan kemungkinan arteriosklerosis, elastisitas menurun, ekspansi paru menurun. 2.2.3.3 Faktor Perilaku



18



2.2.3.3.1 Nutrisi: misalnya pada obesitas menyebabkan penurunan ekspansi paru, gizi yang buruk menyebabkan anemia, sehingga daya ikat oksigen menurun, diet yang tinggi lemak menimbulkan arteriosklerosis. 2.2.3.3.2 Aktivitas fisik: latihan akan meningkatkan kebutuhan oksigen (meningkatkan heart rate dan respirasi). 2.2.3.3.3 Merokok: nikotin menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan koroner. 2.2.3.3.4 Alkohol dan obat-obatan: menyebabkan asupan nutrisi dan Fe menurun yang mengakibatkan penurunan hemoglobin.Alkohol menyebabkan depresi pusat pernapasan. 2.2.3.3.5 Kecemasan: Menyebabkan metabolisme meningkat. 2.2.3.4 Faktor Lingkungan 2.2.3.4.1 Tempat kerja (polusi) 2.2.3.4.2 Suhu lingkungan 2.2.3.4.3 Ketinggian tempat dari permukaan laut (Konsentrasi oksigen pada dataran tinggi cenderung lebih rendah, sehingga tubuh berespon untuk meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernafasan untuk memenuhi oksigenasi jaringan). 2.2.4 Patofisiologi Proses pertukaran gas dipengaruhi oleh ventilasi, difusi dan trasportasi. Proses ventilasi adalah proses penghantaran jumlah oksigen yang masuk dan keluar dari dan ke paru-paru, apabila pada proses ini terdapat obstruksi maka oksigen tidak dapat tersalur dengan baik dan sumbatan tersebut akan direspon jalan nafas sebagai benda asing yang menimbulkan pengeluaran mukus. Proses difusi adalah penyaluran oksigen dari alveoli ke jaringan, yang terganggu akan menyebabkan ketidakefektifan pertukaran gas. Selain kerusakan pada proses ventilasi, difusi, maka kerusakan pada transportasi seperti perubahan volume sekuncup, afterload, preload, dan kontraktilitas miokard juga dapat mempengaruhi pertukaran gas (Brunner & Suddarth, 2002). 2.2.5 Menifestasi Klinis Adanya penurunan tekanan inspirasi/ ekspirasi menjadi tanda gangguan oksigenasi. Penurunan ventilasi permenit, penggunaaan otot nafas tambahan untuk



19



bernafas, pernafasan nafas flaring (nafas cuping hidung), dispnea, ortopnea, penyimpangan dada, nafas pendek, posisi tubuh menunjukan posisi 3 poin, nafas dengan bibir, ekspirasi memanjang, peningkatan diameter anterior-posterior, frekuensi nafas kurang, penurunan kapasitas vital menjadi tanda dan gejala adanya pola nafas yang tidak efektif sehingga menjadi gangguan oksigenasi (NANDA, 2011). Beberapa tanda dan gejala kerusakan pertukaran gas yaitu takikardi, hiperkapnea, kelelahan, somnolen, iritabilitas, hipoksia, kebingungan, AGS abnormal, sianosis, warna kulit abnormal (pucat, kehitam-hitaman), hipoksemia, hiperkarbia, sakit kepala ketika bangun, abnormal frekuensi, irama dan kedalaman nafas (NANDA, 2011). 2.2.6



Komplikasi



2.2.6.1 Hipoksia 2.2.6.2 Hipoksemia 2.2.6.3 Hiperkapnia 2.2.6.4 Gagal napas 2.2.6.5 Gagal Jantung 2.2.6.6 Kematian 2.2.7 Pemeriksaan Diagnaostik Pemeriksaan diagnostik



yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya



gangguan oksigenasi yaitu: 2.2.7.1 EKG: menghasilkan rekaman grafik aktivitas listrik jantung, mendeteksi transmisi impuls dan posisi listrik jantung. 2.2.7.2 Pemeriksaan stres latihan, digunakan untuk mengevaluasi



respond



jantung terhadap stres fisik. Pemeriksaan ini memberikan informasi tentang respond miokard terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan menentukan keadekuatan aliran darah koroner. 2.2.7.3 Pemeriksaan untuk mengukur keadekuatan ventilasi dan pemeriksaan fungsi paru, analisis gas darah (AGD). 2.2.7.4 Foto thorax : deviasi mediastinal adanya tegangan (tension). 2.2.8 Penatalaksanaan Medis



oksigenasi ;



20



Secara umum, langkah awal untuk mengatasi gangguan oksigen adalah dengan terapi oksigen. Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 teknik: 2.2.8.1 Sistem aliran rendah Teknik sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara ruangan. Teknik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran rendah ini ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya klien dengan Volume Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit (Harahap, 2005). Yang termasuk dalam sistem aliran rendah yaitu 2.2.8.1.1 Kateter nasal Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 1-6. Keuntungan pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan berbicara, murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap. Kerugian Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 45%, tehnik memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir nasofaring, aliran lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumbat (Harahap, 2005). 2.2.8.1.2 Kanul nasal Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 1-6. Keuntungan Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, mudah memasukkan kanul dibanding kateter, klien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien. Kerugian tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2 berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lender (Harahap, 2005). 2.2.8.1.3 Sungkup muka sederhana Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 5-8. Keuntungan konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, system humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol. Kerugian Tidak dapat memberikan konsentrasi



21



O2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah (Harahap, 2005). 2.2.8.1.4 Sungkup muka dengan kantong rebreathing Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 8-12. Keuntungan Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak mengeringkan selaput lender. Kerugian Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa terlipat (Harahap, 2005). 2.2.8.1.5 Sungkup muka dengan kantong non rebreathing Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 8-12. Keuntungan konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapai 98%, tidak mengeringkan selaput lendir.  Kerugian kantong O2 bisa terlipat (Harahap, 2005) 2.2.8.2 Sistem aliran tinggi Suatu teknik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe pernafasan, sehingga dengan teknik ini dapat menambahkan konsentrasi O2 yang lebih tepat dan teratur. Adapun contoh teknik sistem aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan ventury. Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung akan menuju ke sungkup kemudian dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibat udara luar dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini ± 4–14 L/mnt dan konsentrasi 30 – 55% (Harahap, 2005). Keuntungan : Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap FiO2, suhu dan kelembapan gas dapat dikontrol serta tidak terjadi penumpukan CO2(Harahap, 2005).Kerugian sistem ini hampir sama dengan sungkup muka yang lain pada aliran rendah. 2.2.9 Masalah Oksigenisasi 2.2.9.1 Hipoksia Merupakan kondisi tidak tercukupinya pemenuhan kebutuhan oksigen dalam tubuh akibat defisiensi oksigen. 2.2.9.2 Perubahan Pola Nafas 2.2.9.2.1 Takipnea, merupakan pernafasan dengan frekuensi lebih dari 24x/ menit karena paru-paru terjadi emboli.



22



2.2.9.2.2 Bradipnea, merupakan pola nafas yang lambat abnormal, ± 10x/ menit. 2.2.9.2.3 Hiperventilasi, merupakan cara tubuh mengompensasi metabolisme yang terlalu tinggi dengan pernafasan lebih cepat dan dalam sehingga terjadi jumlah peningkatan O2 dalam paru-paru. 2.2.9.2.4 Kussmaul, merupakan pola pernafasan cepat dan dangkal. 2.2.9.2.5 Hipoventilasi merupakan upaya tubuh untuk mengeluarkan CO2 dengan cukup, serta tidak cukupnya jumlah udara yang memasuki alveoli dalam penggunaan O2. 2.2.9.2.6 Dispnea, merupakan sesak dan berat saat pernafasan. 2.2.9.2.7 Ortopnea, merupakan kesulitan bernafas kecuali dalam posisi duduk atau berdiri. 2.2.9.2.8



Stridor merupakan pernafasan bising yang terjadi karena penyempitan pada saluran nafas



2.2.9.3 Obstruksi Jalan Nafas Merupakan suatu kondisi pada individu dengan pernafasan yang mengalami ancaman, terkait dengan ketidakmampuan batuk secara efektif. Hal ini dapat disebabkan oleh sekret yang kental atau berlebihan akibat infeksi, imobilisasi, serta batuk tidak efektif karena penyakit persarafan. 2.2.9.4 Pertukaran Gas Merupakan kondisi pada individu yang mengalami penurunan gas baik O2 maupun CO2 antara alveoli paru-paru dan sistem vaskular. 2.2.10 Penatalaksanaan 2.2.10.1



Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif



2.2.10.1.1 Pembersihan jalan napas 2.2.10.1.2 Latihan batuk efektif 2.2.10.1.3 Suctioning 2.2.10.1.4 Jalan napas buatan 2.2.10.2 Pola Nafas Tidak Efektif 2.2.10.2.1 Atur posisi pasien ( semi fowler ) 2.2.10.2.3 Pemberian oksigen 2.2.10.2.4 Teknik bernafas dan relaksasi 2.2.10.3 Gangguan Pertukaran Gas



23



2.2.10.3.1 Atur posisi pasien ( posisi fowler ) 2.2.10.3.2 Pemberian oksigen 2.2.10.3.3 Suctioning 2.3 2.3.1



Menejemen Asuhan Keperawatan Pengkajian Keperawatan Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Disini, semua



data – data dikumpulkan secara sistematis guna menentukan status kesehatan klien saat ini. Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif terkait dengan aspek biologis, psikologis, sosial, maupun spritual klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar klien. Metode utama yang dapat digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik serta diagnostik. (Asmadi, 2008) 2.3.1.1 Identitas klien Glomerulus nefritis akut biasanya ditemukan pada anak usia sekolah 2 – 15 tahun dan lebih sering terjadi pada anak laki – laki dibanding anak perempuan ( Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016. 2.3.1.2  Keluhan utama Pada anak dengan glomerulus nefritis akut biasanya memiliki keluhan seperti edema, hipertensi dan sesak napas. Edema ditemukan pada 85% kasus, terutama pada daerah periorbital (76,3%), wajah, ekstremitas, bahkan seluruh tubuh. Biasanya edema terjadi secara mendadak dan terlihat perta-ma kali pada daerah orbital terutama saat bangun di pagi hari dan menghilang di sore hari setelah penderita melakukan aktivitas. Sedangkan hipertensi sebanyak (81%) dan sesak napas (79%) (JBM), Volume 10, Nomor 3, November 2018, hlm.185189 ). 2.3.1.3  Riwayat Pasien Sekarang Yang harus dikaji adalah adakah hematuria, sesak napas, gejalah gangguan saluran kemih, penurunan berat badan, mual, muntah, anoreksia, bengkak pada tungkai, mata, kencing berwarna seperti cucian daging, peningkatan tekanan darah dan peningkatan suhu badan. 2.3.1.4  Riwayat Penyakit Dahulu



24



Yang harus dikaji antara lain penyakit anak sebelumnya, apakah pernah dirawat di RS sebelumnya, obat – obatan yang digunakan sebelumnya, riwayat alergi, riwayat operasi sebelumnya atau kecelakaan dan imunisasi dasar. 2.3.1.5  Riwayat Penyakit Kelurga Yang harus dikaji adanya riwayat penyakit ginjal dalam keluarga dan penyakit turunan dalam keluarga seperti DM, Hipertensi, dll. 2.3.1.6 Psikososial Meliputi perasaan klien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana prilaku klien pada tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. 2.3.2



Dioagnosa



2.3.2.1 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan defusi cairan dibuktikan dengan napas cepat. SDKI (D.0005 : Hal 26). 2.3.2.2 Defisit Nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme dibuktikan dengan berat badan menurun sebesar 10%. SDKI (D.0019 : Hal 56) 2.3.2.3 Resiko ketidak seimbangan cairan berhubungan dengan kelebihan volume cairan. SDKI (D.0036 : Hal 87) 2.3.3



Intervensi



2.3.3.1 Pola Napas Tidak Efektif Diagnosa 1: Pola napas tidak efektif berhubungan dengan defusi cairan dibuktikan dengan napas cepat. Dalam waktu 1 x 7 jam setelah diberikan intervensi pola napas kembali efektif dengan kreteria evaluasi : 1. 2. 3. 4.



Keluhan sesak napas berkurang Tak tampak sesak napas Pola napas normal TTV dbn Intervensi 1. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman napas. 2. Ajarkan pasien tehknik napas dalam 3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam 4. Posisikan pasien semi fowler



Rasional 1. Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien. 2. Napas dalam dapat membantu



25



5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan 6. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. 7. Monitor respirasi dan status O2 8. Pertahankan hidrasi yang adekuat 9. Kolaborasi untuk pemberian terapi Oksigen



3.



4. 5.



6.



7.



8. 9.



masuk nya oksigen Istirahat dapat membantu badan menjadi meregenasi dan mempertahan kan system imun Posisi semi fowler dapat memaksimalkan ventilasi Mengidentifikasi suara napas dapat mengetahui seberapa parah secret yang ada Mengatur cairan dapat mengoptimalkan keseimbangan tubuh Untuk mengetahui apakah oksigen yang masuk dapat memenuhi kebutuhan Hidrasi yang adekuat dapat mengencerkan secret Pemberian O2 dapat membantu meringankan kerja paru



2.3.3.2 Defisit Nutrisi Diagnosa 2 : Defisit Nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme dibuktikan dengan berat badan menurun sebesar 10%. Dalam waktu 1 x 7 jam setelah diberikan intervensi Defisit nutrisi dengan kreteria evaluasi: 1. 2. 3. 4.



Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan Tidak ada tanda tanda malnutrisi 1. 2. 3.



4. 5. 6.



Intervensi Rasional Kaji adanya alergi makanan 1. Mengkaji adanya alergi pada Identifikasi makanan yang di sukai klien dapat mengetahui apakah klien klien memiliki alergi atau tidak Kolaborasi dengan ahli gizi untuk 2. Memberikan makanan yang menentukan jumlah kalori dan disukai dapat membantu nutrisi yang dibutuhkan pasien menambah nafsu makan klien Monitor BB 3. Kolaborasi gizi dapat membantu Monitor turgor kulit mengetahui seberapa jumlah Monitor mual dan muntah nutrisi yang diperlukan klien 4. Membantu mengetahui status



26



7. Lakukan oral hygiene



berat badan pasien 5. Monitor tugor kulit bertujuan apakah cairan dalam tubuh tercukupi atau tidak 6. Monitor mual dan muntah untuk mengidentifikasi nutrisi yang terbuang oleh klien 7. Melakukan oral hygine untuk menjaga kesehatan oral klien juga dapat menambah kenyamanan dalam mengkonsumsi makanan



2.3.3.3 Resiko Ketidakseimbangan Cairan Diagnosa 3 : Resiko ketidak seimangan cairan berhubungan dengan kelebihan volume cairan. Dalam waktu 1 x 7 jam setelah diberikan intervensi kelebihan cairan dengan kreteria evaluasi: 1. Tidak terdapat odem 2. Turgor kulit baik 3. Pengeluaran urine baik 1. 2.



3. 4. 5.



6.



2.3.4



Intervensi Memonitor intake dan output cairan Monitor berat badan pasien sebelum dan sesudah di lakukan dialysis Monitor turgor kulit Batasi intake cairan pada pasien Berikan informasi pada pasien dan keluarga untuk tidak mengkonsumsi makanan tinggi protein Kolaborasi untuk tindakan hemodialisa



Implementasi



1.



2. 3. 4. 5. 6.



Rasional Mengetahui seberapa banyak masuk dan keluarnya kebutuhan cairan pada pasien Mengetahui perkembangan dari hasil tindakan perawatan Mengetahui perkembangan dari hasil tindakan perawatan Mengurangi suplai cairan yang berlebih pada pasien Makanan yang tinggi protein dapat menambah kerja ginjal Membantu menyaring dan membersihkan darah



27



Pelaksanaan adalah dari rencana tindakan yang spesifik untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan (nursalam, 2014). Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan dan rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Pada tahap ini, perawat sebaiknya tidak bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan secara integrasi semua profesi kesehatan yang menjadi tim perawatan (Setiadi, 2010). Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan yang pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada langkah sebelumnya (intervensi). 2.3.5



Evaluasi



Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan klien (Nursalam, 2014). Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan, evaluasi dapat dibagi dua yaitu evaluasi hasil atau formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan dan evaluasi proses atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP. S



: Respon subyektif klien terhadap tindakan yang dilaksanakan



O



: Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang di laksanakan



A



: Analisa ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap muncul atau ada masalah baru atau ada masalah yang kontradiktif dengan masalah yang ada



P



: Pelaksanaan atau rencana yang akan di lakukan kepada klien Setelah dilakukan implementasi keperawatan di harapkan :



1.



Tidak merasakan nyeri lagi



2.



Mual dan muntah teratasi



3.



Suhu tubuh menjadi normal



28



BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN Berdasarkan hasil pengkajian tanggal 10 juni 2020 didapatkan hasil 3.1



Pengkajian



3.1.1 Identitas Klien Nama



: An.R



Umur



: 11 Tahun



Jenis Kelamin



: Laki-Laki



Suku/Bangsa



: Dayak/Indonesia



Agama



: Kristen



Pekerjaan



:-



Pendidikan



: SD



Status Perkawinan



: Belum Menikah



Alamat



: Bangas Permay



TGL MRS



: 09 Juni 2020



Diagnosa Medis



: Glomerulonefritis



3.1.2 Identitas Penanggung Jawab Nama



: Ny. J



Umur



: 24 Tahun



Jenis Kelamin



: Perempuan



Suku/Bangsa



: Dayak/Indonesia



Agama



: Kristen



Pekerjaan



: Petani



Pendidikan



: SMA



Status Perkawinan



: Menikah



Alamat



:Bangas Permay



29



Hubungan



: Ibu Kandung



3.1.3 Riwayat Kesehatan 3.1.3.1 Keluhan Utama Ibu Klien mengatakan An. R sesak napas dan Klien mengatakan merasa sesak napas. 3.1.3.2 Riwayat Penyakit Sekarang Ibu Klien mengatakan “sejak seminggu (2 juni 2020) yang lalu anak saya mengeluhkan sesak napas dan beberapa hari kemudian kaki anak saya menjadi bengkak, anak saya juga merasa mual28terkadang juga muntah dan membuat anak saya tidak napsu makan, pada saat itu saya membelikan obat antimo di warung klontong” karena kondisi klien tidak kunjung baik pada tanggal 9 juni 2020 klien di antarkan oleh keluarganya ke RSUD dr. Sylvanus setelah itu klien di rawat inapkan di ruang Aster, dan sekarang pasien tampak sesak napas, terpasang Oksigen nasal kanul 3L/mnt. 3.1.3.3 Riwayat Penyakit Sebelumnya Ibu Klien mengatakan sebelumnya An. R tidak pernah mengalami keluhan seperti ini dan belum pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya. 3.1.3.4 Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan klien.



Genogram :



Keterangan : = Laki-laki



30



= Perempuan = Meninggal Hubungan keluarga =



Menikah = Pasien



= Ibu klien



3.1.4 Pemeriksaan Fisik 3.1.4.1 Keadaan Umum Klien nampak sesak napas, terlihat geliasah dan pucat terdapat edem pada bagian ekstremitas bawah klien, terpasang Oksigen nasal kanul 3L/mnt. 3.1.4.2 Status Mental Kesadaran pasien Compos Menthis, eskpresi wajah meringis, bentuk badan simetris, cara berbicara baik dan lancar, pasien berbaring semi fowler, penampilan rapi, pasien menggunakan pakaian baju dan celana, pasien dapat membedakan waktu dengan baik (pagi, siang, malam), pasien tahu keadaannya sekarang berada di rumah sakit serta dapat membedakan antara keluarga dan perawat, pasien tidak menggunakan kaca mata, insight baik, mekanisme pertahanan diri adaptif. Keluhan Lainnya



: Tidak Ada Keluhan



3.1.5 Tanda-tanda Vital 3.1.5.1 Suhu/T



: 39 oC Axilla



3.1.5.2 Nadi/HR



: 87 x/menit



3.1.5.3 Pernapasan/RR



: 30 x/menit



3.1.5.4 Tekanan Darah/BP



: 110/70 mmHg



3.1.6 Pernapasan (Breathing) Bentuk dada pasien simetris, Pasien tidak merokok, pasien tidak batuk, tidak ditemukan sputum, mengalami sianosis, tidak terdapat nyeri, dyspnea, mengalami sesak napas saat inspirasi, type pernapasan dada, irama pernapasan tidak teratur, suara napas tambahan wheezing. Masalah Keperawatan 3.1.7 Cardiovasculer (Bleeding)



: Pola napas tidak efektif



31



Klien tidak merasakan nyeri di dada, klien tampak pucat, tidak merasakan pusing, tidak mengalami clubbing finger, terlihat sianosis, tidak merasakan sakit kepala, tidak terdapat palpitasi, tidak ada pingsan, capillary refill klien > 2 detik, terdapat oedema di ektremitas bawah, ictus cordis klien tidak terlihat, vena jugulasir klien tidak mengalami peningkatan, suara jantung klien “Lupp Dubb” dan tidak ada mengalami kelainan. Keluhan Lainnya: Ibu klien mengatakan kaki An. R bengkak Masalah Keperawatan: Resiko ketidak seimbangan cairan 3.1.8 Persyarafan (Brain) Nilai GCS : E = 4 (membuka mata spontan), V = 5 (komunikasi verbal baik), M = 6 (mengikuti perintah), total nilai GCS = 15 (normal), kesadaran klien tampak normal, pupil isokor, reflex cahaya kanan positif dan kiri positif, tidak vertigo, tampak gelisah, tidak aphasia, klien tidak merasakan kesemutan, tidak bingung, tidak dysarthria dan tidak mengalami kejang. Uji Syaraf Kranial : 3.1.3.7.1 Nervus Kranial I (Olvaktori) : Klien dapat membedakan bau-bauan seperti : minyak kayu putih atau alcohol. 3.1.3.7.2 Nervus Kranial II (Optik) : Klien dapat melihat dengan jelas orang yang ada disekitarnya. 3.1.3.7.3 Nervus Kranial III (Okulomotor) : Pupil klien dapat berkontraksi saat melihat cahaya. 3.1.3.7.4 Nervus Kranial IV (Trokeal) : Klien dapat menggerakan bola matanya ke atas dan ke bawah. 3.1.3.7.5 Nervus Kranial V (Trigeminal) : Klien dapat mengunyah makanan seperti : nasi, kue, buah. 3.1.3.7.6 Nervus Kranial VI (Abdusen) : Klien dapat melihat kesamping kiri ataupun kanan. 3.1.3.7.7 Nervus Kranial VII (Fasial) : Klien dapat tersenyum. 3.1.3.7.8 Nervus Kranial VIII (Auditor) : Pasien dapat merespon perkataaan dokter, perawat dan keluarganya. 3.1.3.7.9 Nervus Kranial IX (Glosofaringeal) : Klien dapat membedakan rasa pahit dan manis.



32



3.1.3.7.10 Nervus Kranial X (Vagus) : Klien dapat berbicara dengan jelas. 3.1.3.7.11 Nervus Kranial XI (Asesori) : Klien dapat mengangkat bahunya. 3.1.3.7.12 Nervus Kranial XII (Hipoglosol) : Klien dapat menjulurkan lidahnya. Uji Koordinasi : kestabilan tubuh klien tampak baik, refleks bisep kanan dan kiri klien baik skala 1, trisep kanan dan kiri klien baik skla 1, brakioradialis kanan dan kiri klien baik skla 1, patella kanan kiri klien baik skla 1, dan akhiles kanan dan kiri klien baik skla 1, serta reflek babinski kanan dan kiri klien baik skla 1. Keluhan Lainya



: Tidak ada masalah.



Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah. 3.1.9 Eliminasi Uri (Bladder) Klien memproduksi urin 400 ml 2-4 x 24 jam (normal), dengan warna kuning pekat, aroma khas aroma ammoniak, tidak menetes, tidak onkotinen, oliguria, tidak nyeri, retensi, tidak poliguri, tidak panas, tidak hematuria, tidak hematuria, tidak terpasang kateter dan tidak pernah melakukan cytostomi. Keluhan Lainnya



: Tidak Ada Keluhan



Masalah Keperawatan: Resiko ketidakseimbangan cairan 3.1.10 Eliminasi Alvi (Bowel) Bibir pasien Nampak keriput dan pucat, gigi pasien komplit, gusi pasien nampak pucat, lidah pasien Nampak pucat, membran lidah tidak terdapat pembengkakan, tonsil pasien normal dan tidak terdapat peradangan, tidak terdapat peradangan di hemoroid. Keluhan Lainnya



: Ibu Klien mengatakan An. R merasakan mual dan



sering muntah Masalah Keperawatan: Defisit Nutrisi 3.1.11 Tulang – Otot – Integumen (Bone) Kemampuan pergerakan sendi klien tampak bebas, tidak ada parase, tidak ada paralise, tidak ada hemiparese, tidak ada krepitasi, tidak ada bengkak, tidak ada kekakuan, tidak ada flasiditas, tidak ada spastisitas, ukuran otot klien teraba simetris. Uji kekuatan otot ekstermitas atas = 4 (cukup) dan ektermitas bawah = 4 (cukup). tidak terdapat peradangan dan perlukakaan di bagian punggung bagian



33



kanan, tangan kanan, pantat kaki kiri dan kaki kanan dan tidak ada patah tulang, serta tulang belakang klien tampak teraba normal. Keluhan Lainnya



: Tidak ada keluhan



Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah 3.1.12 Kulit-kulit Rambut Klien tidak memiliki riwayat alergi baik dari obat, makanan kosametik dan lainnya. Suhu kulit klien hangat, warna kulit sianosis, turgor kurang baik, tekstur kasar, tidak terdapat lesi, tidak terdapat jaringan parut, tekstur rambut kasar keriting, distribusi rambut dengan sebaran yang baik dan bersih berwarna hitam dan bentuk kuku simetris. Masalah Keperawatan: Resiko ketidak seimbangan cairan 3.1.13 Sistem Penginderaan 3.1.12.1 Mata/Penglihatan Fungsi penglihatan klien berkurang karena usia, gerakan bola mata klien tampak bergerak normal dengan visus : mata kanan (VOD) = 6/6 (20/20) dan mata kiri (VOS) = 6/6 (20/20), sclera klien normal/ putih, warna konjungtiva pucat, kornea bening, tidak terdapat alat bantu penglihatan pada klien dan tidak terdapat adanya nyeri. Keluhan Lainnya : Tidak Ada Keluhan Masalah Keperawatan : Tidak Ada Masalah 4.1.12.2 Telinga/Pendengaran: Normal Pendengaran klien normal dan tidak ada berkurang, tidak berdengung dan tidak tuli. 4.1.12.3 Hidung/Penciuman : Normal Bentuk hidung klien teraba simetris, tidak terdapat lesi, tidak terdapat patensi, tidak terdapat obstruksi, tidak terdapat nyeri tekan sinus, tidak terdapat transluminasi, cavum nasal normal, septum nasal tidak ada masalah, dan tidak ada polip. Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah 4.1.13



Leher dan Kelenjar Limfe



34



Leher klien tampak tidak ada massa, tidak ada jaringan parut, tidak ada teraba kelenjar limfe, tidak ada teraba kelenjar tyroid, dan mobilitas leher klien bergerak bebas. 4.1.14



Sistem Reproduksi



3.1.14.1 Reproduksi Pria Tidak terdapat kemerahan pada organ reproduksi pasien, tidak terjadi gatal-gatal, gland panis normal, meatus uretra normal, discharge putih bening (normal), srotum normal, tidak ditemukan organ yang mencuat keluar, tidak ada kelainan. 3.1.15 Pola Fungsi Kesehatan 3.1.15.1 Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit: Pasien mengatakan mengetahui keadaannya yang sedang tidak sehat. 3.1.15.2 Nutrisida Metabolisme Pasien mendapatkan diet khusus rendah garam, pasien merasakan mual dan muntah sebanyak 2-3 kali/hari, tidak terdapat kesukaran menelan. TB



: 141 cm



BB sekarang



: 40,5 Kg IMT : 20,4 (Normal)



BB sebelum sakit: 45 Kg IMT : 22,6 (Normal) Keluhan Lainnya: Napsu makan menurun Pola Makan Sehari-hari Frekuensi/hari Porsi Nafsu makan Jenis makanan



Sesudah Sakit 3x1 sehari 1 porsi Rumah Sakit Menurun Bubur, lauk, sup, sayur



Sebelum Sakit 3x1 sehari 1-2 porsi Baik Nasi, sayur, lauk, sayur



Jenis minuman Jumlah minuman/cc/24 jam Kebiasaan makan



dan buah Air putih, Susu ± 1200cc Dibantu perawat dan



Bebas ± 1800cc Mandiri, teratur



keluarga, teratur Keluhan/masalah Mual, muntah Masalah Keperawatan: Defisit nutrisi



Tidak Ada



3.1.15.3 Pola istirahat dan tidur: Ibu klien mengatakan tidak ada masalah pada pola tidur An. R sebelum sakit klien tidur 7 jam pada malam hari dan 1 jam pada siang hari sedangkan pada saat sudah sakit klien mengatakan tidur 8 jam pada malam hari 2 jam pada siang hari.



35



Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan 3.1.15.4 Kognitif: Pasien dan keluarga mengatakan sudah mengetahui penyakitnya setelah diberikan penjelasan dari dokter dan tenaga medis lainnya. Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan 3.1.15.5 Konsep diri (Gambaran diri, ideal diri, identitas diri, harga diri, peran): 3.1.15.5.1 Gambaran Diri : Pasien merasa kurang percaya diri dengan kondisinya 3.1.15.5.2 Ideal Diri : Pasien mengatakan ingin segera sembuh dan pulang kerumah 3.1.15.5.3 Identitas Diri : Pasien dapat mengenali diri sendiri 3.1.15.5.4 Harga Diri : Pasien dapat disayangi oleh anggota keluarganya saat sakit keluarga datang menjenguk 3.1.15.5.5 Peran : Pasien adalah anak sulung dari 4 bersaudara Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan 3.1.15.6 Aktivitas Sehari-hari Ibu klien mengatakan sebelum sakit An. R selalu rajin belajar namun setelah jatuh sakit klien hanya tebaring di kasur dengan sesekali melakukan gerakan mobilitas yang di bantu oleh perawat dan keluarga. Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan 3.1.15.7 Koping-Toleransi terhadap stress Ibu klien mengatakan An. R selalu mengatakan keluhan sakitnya kepada keluarga Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan 3.1.15.8 Nilai Pola Keyakinan Ibu pasien mengatakan An. R sebelum sakit selalu rajin beribadah di gereja namun setelah sakit pasien hanya bisa berdoa bersama kelurganya. Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan 3.1.16 Sosial – Spiritual 3.1.16.1 Kemampuan berkomunikasi : Pasien dapat memahami apa yang disampaikan oleh perawat 3.1.16.2 Bahasa sehari-hari : Pasien berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia kepada perawat dan bahasa Dayak pada keluarganya



36



3.1.16.3 Hubungan dengan Keluarga : Pasien sebagai anak tertua dari 4 bersaudara 3.1.16.4 Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain : Pasien selalu dijenguk oleh keluarga dan teman-temanya. 3.1.16.5 Orang berarti/terdekat : Pasien mengatakan sangat mencintai keluarganya karena selalu memberikan motivasi kepada pasien. 3.1.16.6 Kebiasaan menggunakan waktu luang : Ibu pasien mengatakan An. R selalu rajin membantu ibu di dapur dan rajin belajar 3.1.16.7 Kegiatan beribadah : Pasien selau berdoa agar diberi kesembuhan 3.1.17 Data Penunjang Pemeriksaan Tanggal 09-Juni-2020 No 1 No 2 No 3



Parameter Parameter Leb Leukosit Parameter Leb Eritrosit



No 4 No 5 No 6



Pemeriksaan Tanggal 09-Juni-2020 Parameter Hasil Lab Urea 143,0 mg/dl Parameter Hasil Lab Creatinin 6,5 mg/dl Parameter Hasil Lab Uric. Acid 7,58 mg/dl



Leb HB



3.1.18 Penatalaksanaan Medis Obat/Terapi Medis Dosis 1. 1. 3 L/mnt 2. 2. 30 mg 2x/hari 3. 3. 300 mg 3x/hari 4. 4. 4 mg/8 jam Ondansetron



Hasil 7 g/dl Hasil 13.000/mm3 Hasil 3,2 juta/mm3



1.



2. 3. 4.



Nilai Normal 14-18 g/dl Nilai Normal 3000-10.000/mm3 Nilai Normal 4-6 juta/mm3



Nilai Normal 15,0-39,0 mg/dl Nilai Normal 0,9 – 1,3 mg/dl Nilai Normal 3,5 – 7,2 mg/dl



Indikasi Membantu pasien dengan keluhan sesak napas dengan pemberian oksigen pada saluran pernapasan. Mengobati berbagai macam macam infeksi bakteri Menetralisir asam darah, urine yang terlalu asam, dan asam lambung Menghambat ikatan serotonin pada



37



reseptor 5HT3, sehingga membuat penggunanya tidak mual dan berhenti muntah Palangka Raya, 10 Juni 2020 Ruly Ramadana 3.2 Tabel dan Analisa Data DATA SUBYEKTIF DAN



KEMUNGKINAN



DATA OBYEKTIF



PENYEBAB



DS : Kebocoran kapiler glomerulus 1. Ibu klien mengatakan An. R sesak napas. DO : 1. K Proteinuria lien Nampak sesak napas, keringat dingin, dan gelisah. Hipoalbuninea 2. P ola napas cepat dan dangkal. 3. TTV : TD 110/70 mmhg, Defusi cairan ke extra sel RR 29 x/mnt, N 87 x/mnt, T 39 oC.



MASALAH



Pola napas tidak efektif



Menekan diafragma



DS : 1. Ibu klien mengatakan An. R mual dan muntah yang membuat An. R tidak napsu makan DO : 1. Klien Nampak mual 2. Napsu makan klien berkurang 3. Muntah 1-3 x/hari 4. Klien Nampak lemas



Pola napas tidak efektif Defusi cairan ke sel



Penekanan gaster



Mual, muntah



Defisit Nutrisi



Defisit Nutrisi



38



5. Berat badan menurun 10% DS : 1. Ibu klien mengatakan kaki An. R bengkak DO : 1. Namapak odem pada ekstremitas bawah klien 2. Turgor kulit kurang (2 detik) 3. Oliguri 4. Input-Output cairan 1200900 ml/hari



Peningkatan aktivitas system RAA



Retensi air dan Na



ECF meningkat



Edema



Resiko ketidakseimbangan cairan



Resiko ketidakseimbangan cairan



39



PRIORITAS MASALAH 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan defusi cairan dibuktikan dengan napas cepat. SDKI (D.0005 : Hal 26). 2. Defisit Nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme dibuktikan dengan berat badan menurun sebesar 10%. SDKI (D.0019 : Hal 56) 3. Resiko ketidak seimbangan cairan berhubungan dengan kelebihan volume cairan. SDKI (D.0036 : Hal 87)



40



3.3



Rencana Keperawatan



Nama Pasien : An.R Ruang Rawat : Ruang Aster Diagnosa



Tujuan dan Kriteria



Keperawatan Pola napas tidak efektif berhubungan dengan defusi cairan dibuktikan dengan napas cepat ditandai dengan : DS : 1. I bu klien mengatakan An. R sesak napas. DO : 1. K lien Nampak sesak napas, keringat dingin, dan gelisah. 2. P ola napas cepat dan dangkal. 3. T TV : TD 110/70 mmhg, RR 29



Hasil Dalam waktu 1 x 7 jam setelah diberikan intervensi pola napas kembali efektif dengan kreteria evaluasi: 1. Keluhan sesak napas berkurang. 2. Tak tampak sesak napas 3. Pola napas normal 4. TTV dbn



Intervensi



Rasional



1. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman napas. 2. Ajarkan pasien tehknik napas dalam 3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam 4. Posisikan pasien semi fowler 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan 6. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. 7. Monitor respirasi dan status O2 8. Pertahankan hidrasi yang adekuat 9. Kolaborasi untuk pemberian terapi Oksigen



1. Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien. 2. Napas dalam dapat membantu masuk nya oksigen 3. Istirahat dapat membantu badan menjadi meregenasi dan mempertahan kan system imun 4. Posisi semi fowler dapat memaksimalkan ventilasi 5. Mengidentifikasi suara napas dapat mengetahui seberapa parah secret yang ada 6. Mengatur cairan dapat mengoptimalkan keseimbangan tubuh 7. Untuk mengetahui apakah oksigen yang masuk dapat memenuhi kebutuhan 8. Hidrasi yang adekuat dapat mengencerkan secret 9. Pemberian O2 dapat membantu meringankan kerja paru



41



x/mnt, N 87 x/mnt, T 39 oC. Defisit Nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme dibuktikan dengan berat badan menurun sebesar 10%. ditandai dengan : DS : 1. Ibu klien mengatakan An. R mual dan muntah yang membuat An. R tidak napsu makan DO : 1. Klien Nampak mual 2. Napsu makan klien berkurang 3. Muntah 1-3 x/hari 4. Klien Nampak lemas 5. Berat badan menurun 10%



Dalam waktu 1 x 7 jam setelah diberikan intervensi Defisit nutrisi dengan kreteria evaluasi: 1. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti 2. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan 3. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan 4. Tidak ada tanda tanda malnutrisi



1. Kaji adanya alergi makanan 2. Identifikasi makanan yang di sukai klien 3. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien 4. Monitor turgor kulit 5. Monitor BB 6. Monitor mual dan muntah 7. Lakukan oral hygiene



1. Mengkaji adanya alergi pada klien dapat mengetahui apakah klien memiliki alergi atau tidak 2. Memberikan makanan yang disukai dapat membantu menambah nafsu makan klien 3. Kolaborasi gizi dapat membantu mengetahui seberapa jumlah nutrisi yang diperlukan klien 4. Monitor tugor kulit bertujuan apakah cairan dalam tubuh tercukupi atau tidak 5. Mengetahui status berat badan pasien 6. Monitor mual dan muntah untuk mengidentifikasi nutrisi yang terbuang oleh klien 7. Melakukan oral hygine untuk menjaga kesehatan oral klien juga dapat menambah kenyamanan dalam mengkonsumsi makanan



42



Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan kelebihan volume cairan Ditandai dengan : DS : 1. Ibu klien mengatakan kaki An. R bengkak DO : 1. Namapak odem pada ekstremitas bawah klien 2. Turgor kulit kurang (2 detik) 3. Oliguri 4. Input-Output cairan 1200-900 ml/hari



1. Memonitor intake dan output Dalam waktu 1 x 7 jam cairan setelah diberikan 2. Monitor berat badan pasien intervensi Resiko sebelum dan sesudah di lakukan ketidakseimbangan cairan dialysis dengan kreteria evaluasi: 3. Monitor turgor kulit 1. Tidak terdapat odem 4. Batasi intake cairan pada pasien 5. Berikan informasi pada pasien 2. Turgor kulit baik dan keluarga untuk tidak 3. Pengeluaran urine mengkonsumsi makanan tinggi baik protein 6. Kolaborasi untuk tindakan hemodialisa



1. Mengetahui seberapa banyak masuk dan keluarnya kebutuhan cairan pada pasien 2. Mengetahui perkembangan dari hasil tindakan perawatan 3. Mengetahui perkembangan dari hasil tindakan perawatan 4. Mengurangi suplai cairan yang berlebih pada pasien 5. Makanan yang tinggi protein dapat menambah kerja ginjal 6. Membantu menyaring dan membersihkan darah



43



44



3.4 Implementasi dan Evaluasi Nama Pasien : An.R Ruang Rawat : Ruang Aster Hari Tanggal Jam Diagnosa 1 10-Juni-2020 Pukul 07:00 WIB Pukul 09:00 WIB Pukul 11:00 WIB Pukul 14:00 WIB



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.



Implementasi Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman napas. Ajarkan pasien tehknik napas dalam Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam Posisikan pasien semi fowler Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. Monitor respirasi dan status O2 Pertahankan hidrasi yang adekuat Kolaborasi untuk pemberian terapi Oksigen



Evaluasi S: 1. Klien mengatakan keluhan sesak napas berkurang O: 1. Tampak sesak napas, bernapas agak ringan 2. TTV : TD 100/60 mmHg, RR 26 x/mnt, N 80 x/mnt, T 37 C 3. Klien tampak lebih tenang/rileks A: Masalah Pola napas tidak efektif teratasi sebagian P: Lanjutkan intervensi 1. Tetap ajarkan klien melakukan napas dalam 2. Monitor respirasi dan status O2



Diagnosa 2



1. Kaji adanya alergi makanan



TTD



S:



(Ruly Ramadana)



45



11 Juni 2020 Pukul 07:00 WIB Pukul 09:00 WIB Pukul 11:00 WIB Pukul 14:00 WIB



2. Identifikasi makanan yang di sukai klien 3. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien 4. Monitor turgor kulit 5. Monitor BB 6. Monitor mual dan muntah 7. Lakukan oral hygiene



1. Klien mengatakan sudah mulai kembali nafsu makan dan mual mulai berkurang O: 1. 2. 3. 4. 5.



Klien nampak lebih segar dan baik Turgor kulit cukup Tidak terjadi muntah Mual pasien berkurang Klien tampak lebih tenang/rileks A: Masalah defisit nutrisi teratasi sebagian P: Lanjutkan intervensi



1. Lakukan oral hygiene dan berikan makanan yang sudah di resepkan ahli gizi



Diagnosa 3 12 Juni 2020 Pukul 07.00 WIB Pukul 09:00 WIB Pukul 11:00 WIB Pukul 14:00 WIB



1. Memonitor intake dan output cairan 2. Monitor berat badan pasien sebelum dan sesudah di lakukan dialysis 3. Monitor turgor kulit 4. Batasi intake cairan pada pasien 5. Berikan informasi pada pasien dan keluarga untuk tidak mengkonsumsi makanan tinggi protein



S: 1. Klien mengatakan bengkak pada kakinya mulai mengecil O: 1. Odem pada kaki klien nampak berkurang 2. Turgor kulit cukup membaik 3. TTV : TD 100/70 mmHg, RR 25



(Ruly Ramadana)



46



x/mnt, N 80 x/mnt, T 36 C 4. Klien tampak lebih tenang/rileks A: Masalah Resiko ketidakseimbangan cairan teratasi sebagian P: Lanjutkan intervensi 1. Batasi intake cairan pada pasien 2. Monitor turgor kulit



47



DIAGNOSA



CATATAN PERKEMBANGAN 13 JUNI 2020



KEPERAWATAN DX 1



S : Klien mengatakan sudah tidak sesak napas lagi O: 1. Ekspresi wajah klien rileks 2. Tak tampak sesak napas 3. Irama pernafasan teratur 4. TTV normal TD 110/70 mmHg, N 80 x/menit, Suhu 36 oC RR 20 x/menit, A : Masalah teratasi



DX 2



P : Intervensi terselesaikan S : Klien mengatakan sudah tidak mual dan muntah lagi dan napsu maka membaik O: 1. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan 2. Tidak ada tanda tanda malnutrisi 3. Badan kembali bugar TD 110/70 mmHg, N 80 x/menit, Suhu 36 oC RR 20 x/menit, A : Masalah teratasi



DX 3



P : Intervensi terselesaikan S : Klien mengatakan kaki nya sudah tidak ada bengkak lagi O: 1. Tidak terdapat odem 2. Turgor kulit baik 3. Pengeluaran urine lancar A : Masalah teratasi



48



P : intervensi terselesaikan.



BAB 4 PENUTUP



49



4.1 Kesimpulan Asuhan keperawatan medis pada An.R dengan gangguan oksigenisasi dalam pemberian asuhan keperawatan disesuaikan dengan standar keperawatan dalam pelaksanaan intervensi dan implementasi. Dimana masalah yang ditemukan pada kasus An.R dengan diagnosa Pola napas tidak efektif, Defisit Nutrisi, dan Resiko ketidakseimbangan cairan. Dengan hasil yang membaik. 4.2 Saran Penulis mengharapkan agar materi laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca agar dapat menambah wawasan tentang keilmuan keperawatan penyakit Glomerulonefritis, dan semoga keilmuan keperawatan terus dapat berkembang dalam bidang ilmu pengetahuan.



47



50



DAFTAR PUSTAKA



http://repository.poltekeskupang.ac.id/1866/1/RAMON%20ADYESA %20TOBE.pdf Price, Sylvia A, 1995 Patofisiologi :konsep klinis proses-proses penyakit, ed 4, EGC, Jakarta. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985, Glomerulonefritis akut, 835839, Infomedika, Jakarta. Ilmu Kesehatan Nelson, 2000, vol 3, ed Wahab, A. Samik, Ed 15, Glomerulonefritis akut pasca streptokokus,1813-1814, EGC, Jakarta. http://www/.5mcc.com/ Assets/ SUMMARY/TP0373.html. Accessed April 20th, 2016.http://inspiratif95.blogspot.co.id/Kesehatan Asmadi. ( 2008 ). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC Donna L. Wong. (2013) Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran. EGC Gloria M. Bulechek, dkk (2016) Nursing Intervenstions Classification (NIC). Edisi keenaam. Jenifer P.Kowalak, William Welsh, Brenna Mayer, 2011. Buku ajar patofisiologi. Jakarta : EGC Jurnal Biomedik (JBM), Volume 10, Nomor 3, November 2018, hlm.185-189 ) Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016. Potter & Perry. ( 2005 ). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Volume 2. Jakarta : EGC Shigemi Kamitsuru, PhD,RN,FNI & T. Heather Herdman, PhD,RN,FNI (2018) NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2018-2020. Edisi 11. Penerbit Buku Kedokteran. EGC



51



Sue Moorhead, dkk (2016) Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan. Edisi kelima. Suriadi,Yuliani R.2001.Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak.Edisi 1.Jakarta:EGC. Sylvia A. Price and Lorraine M. Wilson, 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses – proses penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC 48



Tylor M. Cyntia & Ralph Sparks Sheila (2003). Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan. Edisi 10. Penerbit Buku Kedokteran. EGC



52



53



LAMPIRAN



SATUAN RENCANA KEGIATAN



54



SAP Topik Pendidikan



Kesehatan



Pada



An.



R



Dengan



Diagnosa



Medis



Glomerulonefritis Dengan Kebutuhan Dasar Manusia Oksigenasi Di Ruang Aster Rsud Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Sasaran : Pasien dan Keluarga Tujuan Tujuan Instruksional Setelah mendapatkan penyuluhan 1x20 menit, pasien dan keluarga memahami dan mampu menjelaskan tentang Oksigenasi. Tujuan Instruksi Khusus: 1.



Menyebutkan pengertian Oksigenasi



2.



Macam-macam pola pernapasan



3.



Memperagakan salah satu teknik pernapasan (Tehknik napas dalam)



Metode a.



Ceramah dan Tanya Jawab



Media 1.



Leaflet Leaflet yang digunakan dalam media pendidikan kesehatan ini dalam bentuk selembar mengenai informasi Oksigenasi.



Waktu Pelaksanaan



55



1.



Hari/tanggal : Sabtu 13 Juni 2020



2.



Pukul



: 09:00 s/d 09:20 WIB



3.



Alokasi



: 20 Menit



No 1



Kegiatan Pendahuluan : 



Memberi



Waktu 3 Menit



salam



dan



memperkenalkan diri 







Metode Menjawab salam







Mendengarkan







Menjawab



Menjelaskan maksud dan



pertanyaan



tujuan penyuluhan 



Melakukan



evaluasi



vadilasi 2



Penyajian :



7 Menit







Pengertian Oksigenasi







Macam-macam







dengan seksama 



pola



Mengajukan pertanyaan



pernapasan 



Mendengarkan



Memperagakan salah satu teknik untuk membantu pernapasan



3



napas dalam) Evaluasi : 



4



(Tehknik



Memberikan



5 Menit pertanyaan



akhir dan evaluasi Terminasi : 



menyimpulkan bersamasama



hasil



5 Menit







Menjawab







mendemontrasi







mendengarkan







menjawab salam



kegiatan



penyuluhan 



menutup penyuluhan dan mengucapkan salam



Tugas Pengorganisasian 1)



Moderator, Penyaji, Fasilitator, Simulator : Ruly Ramadana



56



Tempat 1.



Ruang Aster



57



58