Asprilla Fernando - 1810913210025 - Tugas Praktikum 7 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HUBUNGAN USIA DAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN TINGKAT STRES PASIEN DM YANG MENJALANI DIET DI RSUD ULIN BANJARMASIN



Proposal Penelitian Diajukan guna memenuhi sebagian syarat Untuk memperoleh derajat Sarjana Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat



Oleh Asprilla Fernando 1810913210025



UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN BANJARBARU 2021



PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam karya tulis ilmiah ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diberikan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka



Banjarbaru, 2021



ii



Proposal Penelitian oleh Asprilla Fernando ini Telah diperiksa dan disetujui untuk diseminarkan



Banjarbaru,



2021



Pembimbing Utama



Banjarbaru,



2021



Pembimbing Pendamping



iii



DAFTAR ISI



Contents PERNYATAAN.............................................................................................................................ii DAFTAR ISI.................................................................................................................................iv DAFTAR SKEMA.........................................................................................................................vi DAFTAR SINGKATAN..............................................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................................vii BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................................1 1.1



Latar Belakang............................................................................................1



1.2



Rumusan Masalah.....................................................................................2



1.3



Tujuan Penelitian.......................................................................................2



1.3.1



Tujuan Umum.......................................................................................2



1.3.2



Tujuan Khusus....................................................................................2



1.4



Manfaat Penelitiaan...................................................................................2



1.4.1



Bagi perawat........................................................................................2



1.4.2



Bagi Instansi Kesehatan...................................................................2



1.4.3



Bagi Peneliti.........................................................................................3



1.5



Keaslian Penelitian....................................................................................3



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................4 BAB 3 KERANGKA KONSEP..................................................................................................19 BAB 4 METODE PENELITIAN................................................................................................34 4.1



Rangcangan penelitian...........................................................................34



4.2



Populasi dan Sampel..............................................................................34



4.2.1



Populasi...............................................................................................34



4.2.2



Sampel.................................................................................................34



4.3



Instrumen penelitian...............................................................................35



4.5



Definis Operasional.................................................................................36



Tabel 4.1 Definisi Operasional..................................................................................................36



iv



4.6



Prosedur Penelitian.................................................................................39



4.7



Cara Analisi Data......................................................................................41



4.8



Tempat dan waktu penelitian................................................................41



4.9



Aggaran kegiatan penelitian.................................................................42



Tabel 4.2 anggaran kegiatan....................................................................................................42 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................43 LAMPIRAN.................................................................................................................................45 A.



Identitas Responden......................................................................................49



Pengetahuan Diet Diabetes Mellitus........................................................................50 Tingkat stres menjalani diet.....................................................................................53



DAFTAR SKEMA



v



DAFTAR SINGKATAN



DM



: Diabetes Melitus



HHNK



: Hiperglikemik Hipersmoler Non Ketotik



PJK



: Penyakit Jantung Koroner



FK



: Fakultas Kedokteran



PSIK



: Program Studi Ilmu Keperawatan



RI



: Republik Indonesa



RSUD



: Rumah Sakit Daerah Umum



BMI



: Body Mass Indeks



IMT



: Indeks Massa Tubuh



PAD



: Peripheral Artery Disease



IWGDF



: International Working Group on Diabetic Foot



ABI



: Ankle Brachial Index



EMG



: Electromyography



ADI



: Accepted Daily Intake



BBI



: Berat Badan Ideal



vi



DAFTAR LAMPIRAN Lampiran1 Biodata Peneliti Lampiran 2 Lembar informasi (information sheet) Lampiran 3 Lembar informedconsent Lampiran 4 Lembar Kuesioner



vii



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang



Diabetes Melitus (DM) dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia pada pasien DM. Kondisi hiperglikemia yang terjadi pada pasien DM dan tidak dikontrol dapat menimbulkan gangguan serius pada sistem tubuh, terutama saraf dan pembuluh darah (WHO, 2018). Diabetes Mellitus adalah penyakit kronis yang menjadi tantangan di dalam dunia kesehatan, Diabetes Mellitus adalah salah satu Penyakit Tidak Menular (PTM) yang menjadi penyebab kematian 1,6 juta orang di dunia pada tahun 2010 (WHO, 2010) Penyakit mematikan ini masih menjadi persoalan serius dunia, termasuk Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara berkembang di dunia bagian Asia Tenggara dan mengalami peningkatan jumlah penderita Diabetes Melitus. Di tahun yang sama 2015, Indonesia menempati peringkat ke tujuh di dunia sebagai prevalensi penderita diabetes tertinggi di dunia bersama dengan China, India, Amerika Serikat, Brazil, Rusia dan Meksiko dengan jumlah estimasi orang dengan diabetes sebesar 10 juta orang. (WHO, 2015). Pada tahun 2017 Indonesia mengalami peningkatan jumlah penderita Diabetes Mellitus dan menempati peringkat ke-6 dengan prevalensi penderita Diabetes Melitus usia 20-79 tahun pada tahun 2017 mencapai 10,3 juta orang dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2045 menjadi 16,7 juta orang, ini setelah China, India, Amerika Serikat, Brazil, dan Meksiko (IDF, 2017). Pasien diabetes melitus saat menjalani program diet mudah sekali mengalami stres, sehingga cara



penanganan yang dilakukan pasien dalam menangani stres ketika menjalani diet memengaruhi keberhasilan



mereka dalam mematuhi program diet serta pengendalian kadar gula darah (Widodo, 2012). Penanganan yang tepat terhadap penyakit diabetes mellitus sangat di perlukan. Penanganan Diabetes mellitus bisa dikelompokkan dalam lima pilar, ialah edukasi, perencanaan makan, latihan jasmani, intervensi farmakologis dan pemeriksaan gula darah (Haida, Putri, & Isfandiari, 2013) Perencanaan makanan adalah salah satu pilar pengelolaan diabetes. Faktor yang berpengaruh pada respon glikemik makanan adalah cara memasak, proses penyiapan makanan dan bentuk makanan serta komposisi makanan (karbohidrat, lemak dan protein), yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung dan serat (Prabowo & Hastuti, 2015) Keberhasilan pengelolaan diabetes melitus membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga, tenaga kesehatan terkait dan masyarakat. Pencapaian keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif. (Rahayu et al., 2014). Pasien diabetes perlu diberikan beberapa perawatan sehingga tidak semakin parah dan tidak akan mengalami komplikasi yang dapat menimbulkan masalah kesehatan baik makroangiopati maupun mikroangiopati (Adi Sucipto 1,) melakukan diet yang dimaksud ialah pengaturan pola makan yang tepat ditentukan dari 3J yaitu jadwal makan, jumlah makan, dan jenis makan.



1



Salah satu faktor utama kegagalan sebuah terapi ialah ketidakpatuhan terhadap terapi yang telah direncanakan, maka salah satu upaya penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi ialah dengan edukasi atau pemberian konseling yang lengkap, akurat serta secara terstruktur tentang terapi tersebut (Vatankhah, Ebrahim, & Jahangiri, 2009). stres yang terjadi pada pasien DM menunjukkan sebagian besar adalah ringan. Hal ini disebabkan adanya beberapa faktor yang berhubungan dengan tingkat stres Responden. Dan hubungan Diabetes SelfManagement dengan tingkat stres pasien Diabetes Melitus yang menjalani diet memperoleh hasil SelfManagement diabetes memiliki hubungan dengan tingkat stres pada pasien Diabetes Melitus yang menjalani diet. Oleh sebab itu diperlukannya penelitian tentang hubungan faktor-faktor yang lain yang mempengaruhi tingkat stress pada pasien DM yang menjalani diet seperti faktor tingkat pengetahuan dan usia dari pasien (Kusnanto, et all. 2019)



1.2



Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut “bagaimana hubungan usia dan tingkat pengetahuan dengan tingkat stress pasien dm yang menjalani diet ?



1.3



Tujuan Penelitian



1.3.1



Tujuan Umum untuk mengetahui hubungan usia dan tingkat pengetahuan dengan tingkat stress pasien dm yang menjalani diet



1.3.2



Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian adalah a. Mengidentifikasi karakteristik (umur. Jenis kelamin, Pendidikan, pekerjaan, lama menderita) pada pasien Diabetes Mellitus yang menjalani diet di RSUD Ulin Banjarmasin b. Mengidentifikasi usia dan tingkat pengetahuan pasien dm yang menjalani diet di RSUD Ulin Banjarmasin



1.4



Manfaat Penelitiaan



1.4.1



Bagi perawat



Penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi perawat untuk menangani tingkat stres pasien dm yang menjalani diet di RSUD Ulin Banjarmasin. 1.4.2



Bagi Instansi Kesehatan Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi sebagai bahan pertimbangan dan masukan untuk



meningkatkan mutu kualitas pelayanan bagi pihak RSUD Ulin Banjarmasin, khususnya di poliklinik diet, sub spesialis endokrin dan ruang rawat inap mengenai kepatuhan diet pasien diabetes mellitus sehingga bisa dijadikan bahan evaluasi untuk mengurangi angka kejadian terjadinya penyakit diabes mellitus.



2



1.4.3



Bagi Peneliti Hasil penelitian ini sebagai sarana pengembangan dan pembelajaran ilmu pengetahuan yang didapat dari masa penelitian, dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengalaman secara langsung yang sangat berguna dari studi lapangan.



1.5



Keaslian Penelitian



1. Stres pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe-2 dalam Melaksanakan Program Diet di Klinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang (Widodo, 2012). Keenam partisipan yang terlibat dalam penelitian, semuanya mengalami stres selama menjalankan program diet yang dianjurkan. Stres yang timbul dan lamanya stres ditentukan



oleh



berbagai kesulitan yang dialami partisipan selama melaksanakan diet terutama



berhubungan dengan jumlah makanan yang harus diukur, pembatasan jenis makanan, pola kebiasaan makan yang salah sebelum sakit serta lamanya menderita diabetes. 2. Stres dan Koping pada Pasien dengan DM Tipe 2 dalam Pelaksanaan Manajemen Diet di Wilayah Puskesmas Banguntapan II Kabupaten Bantul (Setyorini, 2017). 3 tema dan 12 sub tema terkait gambaran dari stres dan koping pada pasien dengan DM tipe 2 dalam pelaksanaan manajemen diet. 3, Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Tingkat Pendidikan dengan Kepatuhan Diet pada Pralansia Penderita Diabetes Mellitus (Amaliyah, 2016). Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan diet Diabetes mellitus (p= 0,001) dan terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan diet Diabetes mellitus (p= 0,001).



3



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2



Diabetes Melitus



2.1.



Definisi



Diabetes melitus adalah suatu gangguan metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi insulin dan kerja insulin (Smeltzer et al, 2013; Kowalak, 2011). Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. Kadar glukosa darah setiap hari bervariasi, kadar gula darah akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa darah normal pada pagi hari sebelum makan atau berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar gula darah normal biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun mengandung karbohidrat (Irianto, 2015). Jadi Diabetes melitus ialah suatu gangguan metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa di dalam darah tinggi (hiperglikemia) karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. 2.2.



Klasifikasi



Menurut Smeltzer et al, (2013) klasifikasi diabetes melitus terbagi menjadi 3, yaitu: a. Tipe 1 (Diabetes melitus tergantung insulin) Sekitar 5% sampai 10% pasien mengalami diabetes tipe 1. Diabetes melitus tipe 1 ditandai dengan destruksi sel-sel beta pankreas akibat faktor genetik, imunologis, dan juga lingkungan. DM tipe 1 memerlukan injeksi insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah. b. Tipe 2 (Diabetes melitus tak – tergantung insulin) Sekitar 90% sampai 95% pasien mengalami diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 disebabkan karena adanya penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah insulin yang diproduksi. c. Diabetes mellitus gestasional Diabetes gestasional ditandai dengan intoleransi glukosa yang muncul selama kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga. Risiko diabetes gestasional disebabkan obesitas, riwayat pernah mengalami diabetes gestasional, glikosuria, atau riwayat keluarga yang pernah mengalami diabetes. 2.3.



Etiologi



Diabetes melitus menurut Kowalak, (2011); Wilkins, (2011); dan Andra, (2013) mempunyai beberapa penyebab, yaitu: a. Hereditas Peningkatan kerentanan sel-sel beta pancreas dan perkembangan antibodi autoimun terhadap penghancuran sel-sel beta. b. Lingkungan (makanan, infeksi, toksin, stress) Kekurangan protein kronik dapat mengakibatkan hipofungsi pancreas. Infeksi virus coxsakie pada seseorang yang peka secara genetic. Stress fisiologis dan emosional meningkatkan kadar hormon



4



stress (kortisol, epinefrin, glucagon, dan hormon pertumbuhan), sehingga meningkatkan kadar glukosa darah. c. Perubahan gaya hidup Pada orang secara genetik rentan terkena DM karena perubahan gaya hidup, menjadikan seseorang kurang aktif sehingga menimbulkan kegemukan dan beresiko tinggi terkena diabetes melitus. d. Kehamilan Kenaikan kadar estrogen dan hormon plasental yang berkaitan dengan kehamilan, yang mengantagoniskan insulin. e. Usia Usia diatas 65 tahun cenderung mengalami diabetes melitus f. Obesitas Obesitas dapat menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam tubuh. Insulin yang tersedia tidak efektif dalam meningkatkan efek metabolic. g. Antagonisasi Efek insulin yang disebabkan oleh beberapa medikasi, antara lain diuretic thiazide, kortikosteroid adrenal, dan kontraseptif hormonal. 2.4.



Patofisiologi



Ada berbagai macam penyebab diabetes melitus menurut Price, (2012) dan Kowalak (2011) yang menyebabkan defisiensi insulin, kemudian menyebabkan glikogen meningkat, sehingga terjadi proses pemecahan gula baru (glukoneugenesis) dan menyebabkan metabolisme lemak meningkat. Kemudian akan terjadi proses pembentukan keton (ketogenesis). Peningkatan keton didalam plasma akan mengakibatkan ketonuria (keton dalam urin) dan kadar natrium akan menurun serta pH serum menurun dan terjadi asidosis. Defisiensi insulin mengakibatkan penggunaan glukosa menurun, sehingga menyebabkan kadar glukosa dalam plasma tinggi (hiperglikemia). Jika hiperglikemia parah dan lebih dari ambang ginjal maka akan menyebabkan glukosuria. Glukosuria akan menyebabkan diuresis osmotik yang meningkatkan peningkatan air kencing (polyuria) dan akan timbul rasa haus (polidipsi) yang menyebabkan seseorang dehidrasi (Kowalak, 2011). Glukosuria juga menyebabkan keseimbangan kalori negatif sehingga menimbulkan rasa lapar yang tinggi (polifagia). Penggunaan glukosa oleh sel menurun akan mengakibatkan produksi metabolisme energi menurun sehingga tubuh akan menjadi lemah (Price et al, 2012). Hiperglikemia dapat berpengaruh pada pembuluh darah kecil, sehingga menyebabkan suplai nutrisi dan oksigen ke perifer berkurang. Kemudian bisa mengakibatkan luka tidak kunjung sembuh karena terjadi infeksi dan gangguan pembuluh darah akibat kurangnya suplai nutrisi dan oksigen (Price et al, 2012).



5



Gangguan pembuluh darah mengakibatkan aliran darah ke retina menurun, sehingga terjadi penurunan suplai nutrisi dan oksigen yang menyebabkan pandangan menjadi kabur. Akibat utama dari perubahan mikrovaskuler adalah perubahan pada struktur dan fungsi ginjal yang menyebabkan terjadinya nefropati yang berpengaruh pada saraf perifer, sistem saraf otonom serta sistem saraf pusat (Price et al, 2012). 2.5.



Manifestasi Klinis



Tanda dan gejala diabetes melitus menurut Smeltzer et al, (2013) dan Kowalak (2011), yaitu: a. Poliuria (air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang berlebih) yang disebabkan karena osmolalitas serum yang tinggi akibat kadar glukosa serum yang meningkat. b. Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi karena glukosuria yang menyebabkan keseimbangan kalori negatif. c. Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan penggunaan glukosa oleh sel menurun. d. Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa gatal pada kulit. e. Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan oleh kadar glukosa intrasel yang rendah. f. Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat ketidakseimbangan elektrolit. g. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan karena pembengkakan akibat glukosa. h. Sensasi kesemutan atau kebas di tangan dan kaki yang disebabkan kerusakan jaringan saraf. i. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan karena neuropati otonom yang menimbulkan konstipasi. j. Mual, diare, dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit serta neuropati otonom. 2.6.



Komplikasi



Komplikasi dari diabetes mellitus menurut Smeltzer et al, (2013) dan Tanto et al, (2014) diklasifikasikan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut terjadi karena intoleransi glukosa yang berlangsung dalam jangka waktu pendek yang mencakup: a. Hipoglikemia Hipoglikemia adalah keadaan dimana glukosa dalam darah mengalami penurunan dibawah 50 sampai 60 mg/dL disertai dengan gejala pusing,gemetar, lemas, pandangan kabur, keringat dingin, serta penurunan kesadaran. b. Ketoasidosis Diabetes (KAD) KAD adalah suatu keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolic akibat pembentukan keton yang berlebih. c. Sindrom nonketotik hiperosmolar hiperglikemik (SNHH)



6



Suatu keadaan koma dimana terjadi ganagguan metabolisme yang menyebabkan kadar glukosa dalam darah sangat tinggi, menyebabkan dehidrasi hipertonik tanpa disertai ketosis serum. Komplikasi kronik menurut Smeltzer et al, (2013) biasanya terjadi pada pasien yang menderita diabetes mellitus lebih dari 10 – 15 tahun. Komplikasinya mencakup: a. Penyakit makrovaskular (Pembuluh darah besar): biasanya penyakit ini memengaruhi sirkulasi koroner, pembuluh darah perifer, dan pembuluh darah otak. b. Penyakit mikrovaskular (Pembuluh darah kecil): biasanya penyakit ini memengaruhi mata (retinopati) dan ginjal (nefropati); kontrol kadar gula darah untuk menunda atau mencegah komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular. c. Penyakit neuropatik: memengaruhi saraf sensori motorik dan otonom yang mengakibatkan beberapa masalah, seperti impotensi dan ulkus kaki. 2.7.



Penatalaksaan



1. Diet Diabetes Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Cara yang paling umum digunakan adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal (BBI), ditambah atau dikurangi dengan beberapa faktor koreksi. Faktor koreksi ini meliputi jenis kelamin, umur, aktivitas, dan berat badan. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dilakukan dengan menggunakan rumus Brocca yang dimodifikasi yaitu: Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi : Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg. Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan antara lain : 



Jenis Kelamin



Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dibandingkan kebutuhan kalori pada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BBI dan pria sebesar 30 kal/kg BBI. 



Umur



Untuk pasien usia di atas 40 tahun: kebutuhan kalori dikurangi 5% (untuk dekade antara 40 dan 59 tahun), dikurangi 10% (untuk usia 60 s/d 69 tahun), dan dikurangi 20% (untuk usia di atas 70 tahun). 



Aktivitas Fisik



Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik. Penambahan 10% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dalam keaadaan istirahat total, penambahan 20% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dengan aktivitas fisik ringan, penambahan 30% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dengan aktivitas fisik sedang, dan penambahan 50% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dengan aktivitas fisik sangat berat.



7







Berat Badan



Pada pasien dengan obesitas, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20-30% dari kebutuhan kalori basal (tergantung pada derajat obesitas yaitu apakah obes I atau obes II). Pada pasien dengan underweight, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30% dari kebutuhan kalori basal (sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB). Dari hasil perhitungan kalori total yang didapatkan dengan menggunakan rumus Brocca dan memperhitungkan faktor koreksi, kalori total ini dibagi dalam 3 porsi besar untuk waktu makan utama yaitu makan pagi(20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%). Sisanya, dibagi untuk waktu makan selingan di antara tiga waktu makan utama tersebut. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sedapat mungkin perubahan porsi dan pola makan ini dilakukan sesuai dengan kebiasaan pasien sebelumnya. Untuk pasien diabetes yang mengidap penyakit lain,terapi nutrisi disesuaikan dengan penyakit penyertanya. 2. Terapi farmakologi Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan pola makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat oral dan obat suntikan, yaitu: 1) Obat antihiperglikemia oral Menurut Perkeni, (2015) berdasarkan cara kerjanya obat ini dibedakan menjadi beberapa golongan, antara lain: a) Pemacu sekresi insulin: Sulfonilurea dan Glinid Efek utama obat sulfonilurea yaitu memacu sekresi insulin oleh sel beta pancreas. cara kerja obat glinid sama dengan cara kerja obat sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama yang dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. b) Penurunan sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan Tiazolidindion (TZD) Efek utama metformin yaitu mengurangi produksi glukosa hati (gluconeogenesis) dan memperbaiki glukosa perifer. Sedangkan efek dari Tiazolidindion (TZD) adalah menurunkan resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan glukosa di perifer. c) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa Fungsi obat ini bekerja dengan memperlambat absopsi glukosa dalam usus halus, sehingga memiliki efek menurunkan kadar gula darah dalam tubunh sesudah makan. d) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV) Obat golongan penghambat DPP-IV berfungsi untuk menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon sesuai kadar glukosa darah (glucose dependent).



8



2) Kombinasi obat oral dan suntikan insulin Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Terapi tersebut biasanya dapat mengendalikan kadar glukosa darah dengan baik jika dosis insulin kecil atau cukup. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6- 10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan melihat nilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Ketika kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan (Perkeni, 2015). b. Terapi non farmakologi Terapi non farmakologi menurut Perkeni, (2015) dan Kowalak, (2011) yaitu: 1) Edukasi Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidup menjadi sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan dan bisa digunakan sebagai pengelolaan DM secara holistic. 2) Terapi nutrisi medis (TNM) Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang jadwalmakan yang teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya, terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah maupun insulin. 3) Latihan jasmani atau olahraga Pasien DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3 sampai 5 hari dalam seminggu selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150 menit perminggu, dan dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Jenis olahraga yang dianjurkan bersifat aerobic dengan intensitas sedang yaitu 50 sampai 70% denyut jantung maksimal seperti: jalan cepat, sepeda santai, berenang,dan jogging. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara: 220 – usia pasien. 3



Terapi Diet DM



3.1.



Definisi



Dalam kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga (2009) keluaran Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), diet memiliki arti sebagai pengaturan pola dan konsumsi makanan serta minuman yang dilarang, dibatasi jumlahnya, dimodifikasi, atau diperolehkan dengan jumlah tertentu untuk tujuan terapi penyakit yang diderita, kesehatan, atau penurunan berat badan. Diet diabetes melitus adalah diet yang diberikan kepada penyandang diabetes melitus, dengan tujuan membantu memperbaiki kebiasaan makan untuk mendapatkan control metabolik yang lebih baik dengan cara: menyeimbangkan asupan makanan dengan obat penurun glukosa oral ataupun insulin dan aktivitas fisik untuk mencapai kadar gula darah normal, mencapai dan mempertahankan kadar lipida dalam normal. 3.2.



Tujuan Diet Pasien DM



9



Tujuan diet pada diabetes melitus adalah mempertahankan atau mencapai berat badan ideal, mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal, mencegah komplikasi akut dan kronik serta meningkatkan kualitas hidup (Hasdianah, 2012). 3.3.



Syarat Diet Diabetes Melitus



Menurut Krisnatuti dkk (2014) syarat umum yang harus dipenuhi dalam penyusunan menu, diantaranya sebagai berikut : a. Kebutuhan kalori disesuaikan dengan keadaan metabolik, umur, berat badan, dan aktivitas tubuh. b. Jumlah kalori disesuaikan dengan kesanggupan tubuh dalam menggunakannya. c. Cukup protein, mineral dan vitamin dalam makanan. d. Menggunakan bahan makanan yang mempunyai indeks glikemik rendah. 3.4.



Komposisi Diet pada Pasien Diabetes Melitus



Komposisi diet yang dianjurkan untuk penderita diabetes melitus berulang kali mengalami perubahan. Mula-mula komposisi diet mengacu pada diet diabetes melitus di Negara Barat dengan komposisi karbohidrat rendah, sekitar 40-50% dari total energy (diet A). Namun, saat ini dianjurkan peresentase karbohidrat lebih tinggi sampai 60-70% dari total kebutuhan energi atau disebut juga diet B. Dalam diet tersebut dianjurkan juga komposisi protein dan lemak. Disamping anjuran mengenai karbohidrat, protein, dan lemak dianjurkan pula pemakaian karbohidrat kompleks yang mengandung banyak serat dan rendah kolesterol. KOMPOSISI DIET A DAN DIET B NO



Zat Gizi



Diet A



Diet B



1.



Karbohidrat



50%



60-68%



2.



Protein



20%



12-20%



3.



Lemak



30%



20%



4.



Kolesterol



500 mg



100-150 mg



5.



Serat



Sayuran tipe A



Sayuran tipe B



Komposisi diet B merupakan diet yang umum digunakan di Indonesia. Anjuran penggunaan diet B berdasarkan pada penelitian prospektif dengan crassover design yang dilakukan pada 260 penderita diabetes melitus yang terawat baik. Dari penilaian tersebut, diet B mempuyai daya yang kuat untuk menurunkan kolesterol selain mempunyai efek hipoglikemik. Diet B juga tidak menaikkan kadar trigliserida darah. Dengan demikian, diet B dapat mencapai diet diabetes melitus. Setiap jenis diet dianjurkan mengandung serat, terutama serat yang bersifat larut (Krisnatuti dkk 2014). 3.5.



Pemenuhan Pola Makan 3J



10



Menurut Fauzi (2014) bagi penderita diabetes, kecenderungan perubahan kadar gula darah yang drastis akan terjadi pada saat sehabis makan. Sehabis makan maka kadar gula akan tinggi. Namun beberapa lama tidak mendapat asupan makanan maka kadar gula darah akan rendah sekali. Harus dilakukan penjadwalan makan dengan teratur untuk mencegah terlalu besarnya rentangan kadar gula darah. Pola 3J harus diingat bagi penderita diabetes dalam mengatur pola makan sehari-hari. A. Jadwal Pengaturan jadwal bagi penderita diabetes biasanya adalah 6 kali makan. 3 kali makan besar dan 3 kali makan selingan. Adapun jadwal waktunya adalah sebagai berikut : 1. Makan pagi atau sarapan dilakukan pada pukul 07.00 2. Snack pertama dikonsumsi pada pukul 10.00 3. Makan siang dilakukan pada pukul 13.00 4. Snack kedua dikonsumsi pada pukul 16.00 5. Makan malam dilakukan pada pukul 19.00 6. Snack ketiga dikonsumsi pada pukul 21.00 Usahakan makan tepat pada waktu. Apabila terlambat makan maka akan bisa terjadi hipoglikemia atau rendahnya kadar gula darah. Hipoglikemia meliputi gejala seperti pusing, mual, dan pingsan. Apabila hal ini terjadi segera minum air gula. B. Jumlah Jumlah atau porsi makan yang dikonsumsi harus diperhatikan. Jumlah makanan yang dianjurkan untuk penderita diabetes adalah porsi kecil tapi sering. Penderita harus makan dalam jumlah sedikit tapi sering. Adapun pembagian kalori untuk setiap kali makan dengan pola menu 6 kali makan adalah sebagai berikut : 1. Makan pagi atau sarapan jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 20% dari total kebutuhan kalori sehari. 2. Snack pertama jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 10%dari total kebutuhan kalori sehari. 3. Makan siang jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 25% dari total kebutuhan kalori sehari. 4. Snack kedua jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 10% dari total kebutuhan kalori sehari. 5. Makan malam jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 25% dari total kebutuhan kalori sehari. 6. Snack ketiga jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 10% dari total kebutuhan kalori sehari. C. Jenis Jenis makanan menentukan kecepatan naik atau turunnya kadar gula darah. Kecepatan suatu makanan dalam menaikkan kadar gula darah disebut indeks glikemik. Semakin cepat menaikkan kadar gula darah sehabis makan tersebut dikonsumsi, maka semakin tinggi indeks glikemik makanan tersebut. Hindari makanan yang berindeks glikemik tinggi, seperti sumber karbohidrat sederhana, gula, madu, sirup, roti, mie dan lain-lain. Makanan yang berindeks glikemik lebih rendah adalah makanan yang kaya dengan serat,contohnya sayuran dan buah-buahan. Pemenuhan pola makan dengan 3J menjamin penderita diabetes untuk tetap bias aktif dalam kehidupan sehari-hari. Jadwal yang tetap



11



memungkinkan kebutuhan tubuh akan insulin dapat terpenuhi. Sementara itu, jumlah dan jenis makanan akan melengkapi kebutuhan gula darah yang seimbang. 3.6.



Dampak Terapi Diet Terhadap Pasien Diabetes Melitus 



Stres



Penderita diabetes mudah mengalami stres dalam melaksanakan program diet sehingga cara penanganan yang dilakukan penderita dalam menangani stres ketika menjalani diet mempengaruhi keberhasilan mereka dalam mematuhi program diet serta pengendalian kadar gula darah. Sehingga diharapkan akan meminimalkan terjadinya komplikasi baik akut maupun kronis (Setyorini, 2017). 4



Stress



4.1.



Definisi



Stres merupakan masalah umum yang terjadi dalam kehidupan umat manusia. Stres yang ada saat ini adalah sebuah atribut kehidupan modren. Hal ini dikarenakan stres sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa terelakkan. Baik di lingkungan sekolah, kerja, keluarga, atau dimanapun, stres bisa dialami oleh seseorang. Stres juga bisa menimpa siapapun termasuk anak-anak, remaja, dewasa, atau yang sudah lanjut usia. Dengan kata lain, stres pasti terjadi pada siapapun dan dimanapun(Musradinur, 2016). 4.2.



Teori Stress



Cofer & Appley (1964) menyatakan bahwa stres adalah kondisi organik seseorang pada saat ia menyadari bahwa keberadaan atau integritas diri dalam keadaan bahaya, dan ia harus meningkatkan seluruh energy untuk melindungi diri (Jenita DT Donsu, 2017). Cranwell-Ward (1987) menyebutkan stres sebagai reaksi-reaksi fisiologik dan psikologik yang terjadi jika orang mempersepsi suatu ketidakseimbangan antara tingkat tuntutan yang dibebankan kepadanya dan kemampuannya untuk memenuhi tuntutan itu (Jenita DT Donsu, 2017). Anggota IKAPI (2007) menyatakan stres adalah reaksi non-spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan (stimulus stressor). Stres merupakan suatu reaksi adaptif, bersifat sanga individual, sehingga suatu stres bagi seseorang belum tentu sama tanggapannya bagi orang lain (Jenita DT Donsu, 2017). Stres adalah segala sesuatu di mana tuntutan non-spesifik mengharuskan seorang individu untuk merespons atau melakukan tindakan (Potter dan Perry, dalam Jenita DT Donsu, 2017). Menurut Hawari (2008) bahwa Hans Selve menyatakan stres adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya (Jenita DT Donsu, 2017). Stres didefinisikan sebagai ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi keadaan fisik manusia tersebut. Stres dapat dipandang dalam dua acara, sebagaiu stres baik dan stres buruk (distres). Stres yang baik disebut stres positif sedangkan stres yang buruk disebut stres negatif. Stres buruk dibagi menjadi dua yaitu stres akut dan stres kronis (Widyastuti, Palupi, 2004). Menurut WHO (2003) stres



12



adalah reaksi/respon tubuh terhadap stressor psikososial (tekanan mental/beban kehhidupan (Priyoto, 2014). 4.3.



Jenis-Jenis Stress



Menurut Jenita DT Donsu (2017) secara umum stres dibagi menjadi dua yaitu : a. Stres akut Stres yang dikenal juga dengan flight or flight response. Stres akut adalah respon tubuh terhadap ancaman tertentu, tantangan atau ketakutan. Respons stres akut yang segera dan intensif di beberapa keadaan dapat menimbulkan gemetaran. b. Stres kronis Stres kronis adalah stres yang lebih sulit dipisahkan atau diatasi, dan efeknya lebih panjang dan lebih. Menurut Priyoto (2014) menurut gejalanya stres dibagi menjadi tiga yaitu: a. Stres Ringan Stres ringan adalah stressor yang dihadapi setiap orang secara teratur, seperti banyak tidur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari atasan. Situasi stres ringan berlangsung beberapa menit atau jam saja. Ciri-ciri stres ringan yaitu semangat meningkat, penglihatan tajam, energy meningkat namun cadangan energinya menurun, kemampuan menyelesaikan pelajaran meningkat, sering merasa letih tanpa sebab, kadang-kadang terdapat gangguan sistem seperti pencernaan, otak, perasaan tidak santai. Stres ringan berguna karena dapat memacu seseorang untuk berpikir dan berusaha lbih tangguh menghadapi tantangan hidup. b. Stres Sedang Stres sedang berlangsung lebih lama daripada stress ringan. Penyebab stres sedang yaitu situasi yang tidak terselesaikan dengan rekan, anak yang sakit, atau ketidakhadiran yang lama dari anggota keluarga. Ciri-ciri stres sedang yaitu sakit perut, mules, otot-otot terasa tengang, perasaan tegang, gangguan tidur, badan terasa ringan. c. Stres Berat Stres berat adalah situasi yang lama dirasakan oleh seseorang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan, seperti perselisihan perkawinan secara terus menerus, kesulitan financial yang berlangsung lama karena tidak ada perbaikan, berpisah dengan keluarga, berpindah tempat tinggal mempunyai penyakit kronis dan termasuk perubahan fisik, psikologis sosial pada usia lanjut. Ciri-ciri stres berat yaitu sulit beraktivitas, gangguan hubungan sosial, sulit tidur, negatifistic, penurunan konsentrasi, takut tidak jelas, keletihan meningkat, tidak mampu melakukan pekerjaan sederhana, gangguan sistem meningkatm perasaan takut meningkat. 4.4.



Stress pada Pasien DM



Stres yang dialami penderita DM dalam jangka panjang dapat memperburuk kondisi kesehatan. Stres dapat menghasilkan perubahan dalam aspek psikologis dan fisiologis. Seperti yang dikemukakan oleh



13



Sarafino (1990) bahwa stres dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada system fisik tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Keadaan stres pada penderita DM memiliki efek negatif yaitu dapat meningkatkan sekresi katekolamin dalam kondisi stres yang dapat memicu terjadinya glikogenolisis, hipoglikemia dan hiperglikemia (Darmono, 2005). Stres yang dialami penderita DM dalam melakukan pola hidup sehat dan diet jika dibiarkan terlalu lama akan memperburuk kesehatan individu. Penderita diabetes mudah mengalami stres dalam melaksanakan program diet sehingga cara penanganan yang dilakukan penderita dalam menangani stres ketika menjalani diet mempengaruhi keberhasilan mereka dalam mematuhi program diet serta pengendalian kadar gula darah. Sehingga diharapkan akan meminimalkan terjadinya komplikasi baik akut maupun kronis (Setyorini, 2017). Stres dua kali lebih mudah menyerang orang dengan diabetes dibandingkan dengan orang yang tidak mengidap diabetes. Stres yang timbul dan lamanya stres ditentukan oleh berbagai kesulitan yang dialami pasien diabetes selama melaksanakan diet terutama berhubungan dengan jumlah makanan yang harus diukur, pembatasan jenis makanan, pola kebiasaan makan yang salah sebelum sakit serta selama menderita diabetes. 4.5.



Faktor yang mempengaruhi Stres pada seseorang 



Usia Usia adalah salah satu faktor yang penting, semakin tinggi usia semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar. Semakin tua seseorang maka orang tersebut semakin rentan mengalami stres, sedangkan seseorang akan rentan mengalami stres pada usia 21–40 tahun dan pada usia 40–60 tahun.Usia berkaitan erat dengan stress. Semakin tua usia seseorang maka akan menyebabkan organ dan kondisi fisik.







Tingkat Pengetahuan Tingkat pengetahuan yang rendah tentang perawatan diri dapat memperburuk kondisi kesehatan serta menimbulkan stres akibat ketidakmampuan dalam melakukan perawatan diri







Diabetes Self-Management Aikens (2012) menyebutkan self-management memiliki hubungan yang signifikan dengan



diabetes distress, yang ditunjukkan dengan peningkatan HbA1c, ketidakpatuhan konsumsi obat, dan ketidakpatuhan diet dan aktivitas fisik 5



Usia



5.1.



Definisi



Usia ialah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun, dikatakan masa awal dewasa adalah usia 18 – 40 tahun, dewasa madya adalah 41 – 60 tahun, dewasa lanjut > 60 tahun. Umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan. Umur ialah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun(Santika I. 2015)



14



5.2.



Klasifikasi Usia



Pada Tahun 2009 DepKes RI mengkategorikan usia atau umur dibagi menjadi : a. Berusia 0 sampai dengan 5 Tahun merupakan Masa Balita b. Usia 5 sampai dengan 11 Tahun merupakan Masa Kanak – kanak c. Usia 12 sampai dengan 16 Tahun merupakan Masa Remaja Awal d. Usia 17 sampai dengan 25 Tahun merupakan Masa Remaja Akhir e. Usia 26 sampai dengan 35 Tahun merupakan Masa Dewsa Awal f. Usia 36 sampai dengan 45 Tahun merupakan Masa Dewasa Akhir g. Usia 46 sampai dengan 55 Tahun merupakan Masa Lansia Awal h. Usia 56 sampai dengan 65 Tahun merupakan Masa Lansia Akhir i. Sesorang dengan Usia 65 Tahun keatas masuk Masa Manula



Sedangkan pembagian kategori usia menurut badan kesehatan dunia atau WHO dibagi menjadi : a. Berusia 0 – 17 Tahun adalah Masa Anak – anak dibawah umur b. Berusia 18 – 65 Tahun memasuki Masa Pemuda c. Berusia 66 – 79 Tahun adalah Masa Setengah baya d. Berusia 80 – 99 Tahun merupakan Orang Tua e. Berusia 100 Tahun keatas adalah Orang Tua berusia panjang 5.3.



Jenis Perhitungan Usia



Jenis perhitungan umur / usia terdiri atas : 1) Usia Kronologis ialah perhitungan usia yang dimulai dari saat kelahiran seseorang sampai dengan waktu penghitungan usia. 2) Usia Mental ialah perhitungan usia yang didapatkan dari taraf kemampuan mental seseorang. Misalkan seorang anak secara kronologis berusia empat tahun akan tetapi masih merangkak dan belum dapat berbicara dengan kalimat lengkap dan menunjukkan kemampuan yang setara dengan anak berusia satu tahun maka, dinyatakan bahwa usia mental anak tersebut adalah satu tahun. 3) Usia Biologis ialah perhitungan usia berdasarkan kematangan biologis yang dimiliki oleh seseorang(Santika I. 2015) 5.4.



Hubungan Usia dengan Stress



Usia adalah salah satu faktor yang penting, semakin tinggi usia semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar. Semakin tua seseorang



15



maka orang tersebut semakin rentan mengalami stres, sedangkan seseorang akan rentan mengalami stres pada usia 21–40 tahun dan pada usia 40–60 tahun.Usia berkaitan erat dengan stress. Semakin tua usia seseorang maka akan menyebabkan organ dan kondisi fisik. 6



Tingkat Pengetahuan



6.1.



Definisi



Pengetahuan adalah suatu hasil dari rasa keingintahuan melalui proses sensoris, terutama pada mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam terbentuknya perilaku terbuka atau open behavior. 6.2.



Tingkatan Pengetahuan



Notoatmodjo menyatakan dalam Wawan dan Dewi, 2010 pengetahuan seseorang terhadap suatu objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda. Secara garis besar terbagi menjadi 6 tingkat pengetahuan(Kusnanto, et al. 2019), yaitu :



6.3.







Tahu (Know)







Mengetahui (Comprehention)







Aplikasi (Application)







Analisis (Analysis)







Sintesis (Synthesis)







Evaluasi (Evaluation)



Pengukuran Pengetahuan



Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan melakukan wawancara atau angket yang menjawab isi materi yang ingin diukur. Bila seseorang dapat menjawab pertanyaan mengenai suatu bidang tertentu dengan lancar, baik secara lisan maupun tulisan maka dikatakan dia mengetahui hal itu. Pengukuran pengetahuan secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu pertanyaan subjektif dan objektif. Pertanyaan esai faktor subjektif karena penilaian untuk pertanyaan melibatkan faktor subjektif dan penilaian, sehingga nilainya akan berbeda dari seorang penilaian dengan penilaian lainnya. Sedangkan pertanyaan pilihan ganda betul salah, menjodohkan disebutkan pertanyaan objektif karena pertanyaan tersebut dapat dinilai secara pasti oleh penilai tanpa melibatkan faktor subjektivitas dari penilai. 6.4.



Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan



1) Faktor Internal a) Jasmani Faktor jasmani di antaranya keadaan indera seseorang



16



b) Rohani Faktor rohani di antaranya adalah kesehatan psikis, intelektual, psikomotor, serta kondisi efektif dan kognitif individu. 2) Faktor Eksternal Faktor eksternal meliputi : a) Jenis Kelamin Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan penafsiran atau penbagian dua jenis kelamin manusia yang ditentuka secara biologis, bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan pemverian Tuhan ; sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. b) Umur Umur merupakan salah satu faktor yang dapat menggambarkan kematangan sesorang baik fisik, psikis maupun sosial, sehingga membantu seseorang dalam pengetahuannya. Semakin bertambah umur, semakin bertambah pula pengetahuan yang didapat. c) Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon terhadap sesuatu yang dalam dan luar. Orang berpendidikan tinggi akan datang dan berfikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari gagasan tersebut d) Paparan Media Massa Melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik berbagi informasi dapat diterima oleh masyarakat, Sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa (TV, radio, majalah, pamflet, dan lain-lain) akan memperoleh informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan orang-orang yang tidak pernah terpapar informasi media. Ini berarti paparan media massa mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang. e) Ekonomi Dalam menandai kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan sekunder, keluarga dalam status ekonomi baik akan lebih mudah tercukupi dibanding keluarga dengan status ekonomi rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa ekonomi dapat dibutuhkan seseorang dalam berbagai hal. f) Hubungan Sosial Manusia adalah makhluk sosial dimana di dalam kehidupan sedikit berinteraksi secara kontinyu akan lebih besar terpapar informasi. Sementara hubungan sosial juga mempengaruhi kemampuan individu sebagai komunikan untuk menerima pesan menurut model komunikan media massa. g) Pengalaman Pengalaman seseorang individu tentang berbagai hal bisa



17



diperoleh dari lingkungan dalam proses perkembangan, misalya sering mengikuti kegiatan yang mendidik. Organisasi dapat memperhias jangkauan pelayanannya, karena dari berbagai kegiatan tersebut informasi tentang sesuatuhal diperoleh. Adanya pengetahuan tentang sesuatu hal yang akan menyebabkan timbulnya satu respon baik positif maupun negatif pada seseorang, sehingga bisa bersikap dan berperilaku dalam kesehatan.



. Skema Teori Hubungan Usia dan Tingkat Pengetahuan dengan Tingkat Stress Pasie Menjalani Diet



Definisi



Klasifikasi Definisi Etiologi Tujuan



Penatalaksanaan Diabetes Melitus



1. Terapi Diet 2. Terapi Farmakologi



Syarat Diet



Komposisi Diet



Manifestasi Klinis Komplikasi



Pemenuhan Pola 3J Patofisiologi Dampak Terapi Terhadap Pasien DM



Definisi







Teori



Stres



Jenis-Jenis Stres Stres Pada Pasien DM Definisi Klasifikasi Usia Jenis Perhitungan Usia



Faktor yang Mempengaruhi



Definisi



 



Tingkatan Pengetahuan



 Hubungan usia dengan stres



Usia Tingkat Pengetahuan Diabetes SelfManagement



Pengukuran Pengetahuan 18



Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan



DM Yang



BAB 3 KERANGKA KONSEP Diabetes Melitus Definisi Diabetes melitus adalah suatu gangguan metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi insulin dan kerja insulin (Smeltzer et al, 2013; Kowalak, 2011). Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. Kadar glukosa darah setiap hari bervariasi, kadar gula darah akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa darah normal pada pagi hari sebelum makan atau berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar gula darah normal biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun mengandung karbohidrat (Irianto, 2015). Klasifikasi Menurut Smeltzer et al, (2013) klasifikasi diabetes melitus terbagi menjadi 3, yaitu: a. Tipe 1 (Diabetes melitus tergantung insulin) Sekitar 5% sampai 10% pasien mengalami diabetes tipe 1. Diabetes melitus tipe 1 ditandai dengan destruksi sel-sel beta pankreas akibat faktor genetik, imunologis, dan juga lingkungan. DM tipe 1 memerlukan injeksi insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah. b. Tipe 2 (Diabetes melitus tak – tergantung insulin) Sekitar 90% sampai 95% pasien mengalami diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 disebabkan karena adanya penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah insulin yang diproduksi. c. Diabetes mellitus gestasional Diabetes gestasional ditandai dengan intoleransi glukosa yang muncul selama kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga. Risiko diabetes gestasional disebabkan obesitas, riwayat pernah mengalami diabetes gestasional, glikosuria, atau riwayat keluarga yang pernah mengalami diabetes. Etiologi Diabetes melitus menurut Kowalak, (2011) mempunyai beberapa penyebab, yaitu: a. Hereditas Peningkatan kerentanan sel-sel beta pancreas dan perkembangan antibodi autoimun terhadap penghancuran sel-sel beta. b. Lingkungan (makanan, infeksi, toksin, stress) Kekurangan protein kronik dapat mengakibatkan hipofungsi pancreas. Infeksi virus coxsakie pada seseorang 19



yang peka secara genetic. Stress fisiologis dan emosional meningkatkan kadar hormon stress (kortisol, epinefrin, glucagon, dan hormon pertumbuhan), sehingga meningkatkan kadar glukosa darah. c. Perubahan gaya hidup Pada orang secara genetik rentan terkena DM karena perubahan gaya hidup, menjadikan seseorang kurang aktif sehingga menimbulkan kegemukan dan beresiko tinggi terkena diabetes melitus. d. Kehamilan Kenaikan kadar estrogen dan hormon plasental yang berkaitan dengan kehamilan, yang mengantagoniskan insulin. e. Usia Usia diatas 65 tahun cenderung mengalami diabetes melitus f. Obesitas Obesitas dapat menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam tubuh. Insulin yang tersedia tidak efektif dalam meningkatkan efek metabolic. g. Antagonisasi Efek insulin yang disebabkan oleh beberapa medikasi, antara lain diuretic thiazide, kortikosteroid adrenal, dan kontraseptif hormonal. Patofisiologi Ada berbagai macam penyebab diabetes melitus menurut Price, (2012) dan Kowalak (2011) yang menyebabkan defisiensi insulin, kemudian menyebabkan glikogen meningkat, sehingga terjadi proses pemecahan gula baru (glukoneugenesis) dan menyebabkan metabolisme lemak meningkat. Kemudian akan terjadi proses pembentukan keton (ketogenesis). Peningkatan keton didalam plasma akan mengakibatkan ketonuria (keton dalam urin) dan kadar natrium akan menurun serta pH serum menurun dan terjadi asidosis. Defisiensi insulin mengakibatkan penggunaan glukosa menurun, sehingga menyebabkan kadar glukosa dalam plasma tinggi (hiperglikemia). Jika hiperglikemia parah dan lebih dari ambang ginjal maka akan menyebabkan glukosuria. Glukosuria akan menyebabkan diuresis osmotik yang meningkatkan peningkatan air kencing (polyuria) dan akan timbul rasa haus (polidipsi) yang menyebabkan seseorang dehidrasi (Kowalak, 2011). Glukosuria juga menyebabkan keseimbangan kalori negatif sehingga menimbulkan rasa lapar yang tinggi (polifagia). Penggunaan glukosa oleh sel menurun akan mengakibatkan produksi metabolisme energi menurun sehingga tubuh akan menjadi lemah (Price et al, 2012). Hiperglikemia dapat berpengaruh pada pembuluh darah kecil, sehingga menyebabkan suplai nutrisi dan oksigen ke perifer berkurang. Kemudian bisa mengakibatkan luka tidak kunjung sembuh karena terjadi infeksi dan gangguan pembuluh darah akibat kurangnya suplai nutrisi dan oksigen (Price et al, 2012). 20



Gangguan pembuluh darah mengakibatkan aliran darah ke retina menurun, sehingga terjadi penurunan suplai nutrisi dan oksigen yang menyebabkan pandangan menjadi kabur. Akibat utama dari perubahan mikrovaskuler adalah perubahan pada struktur dan fungsi ginjal yang menyebabkan terjadinya nefropati yang berpengaruh pada saraf perifer, sistem saraf otonom serta sistem saraf pusat (Price et al, 2012). Manifestasi Klinis Tanda dan gejala diabetes melitus menurut Smeltzer et al, (2013) dan Kowalak (2011), yaitu: a. Poliuria (air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang berlebih) yang disebabkan karena osmolalitas serum yang tinggi akibat kadar glukosa serum yang meningkat. b. Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi karena glukosuria yang menyebabkan keseimbangan kalori negatif. c. Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan penggunaan glukosa oleh sel menurun. d. Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa gatal pada kulit. e. Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan oleh kadar glukosa intrasel yang rendah. f. Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat ketidakseimbangan elektrolit. g. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan karena pembengkakan akibat glukosa. h. Sensasi kesemutan atau kebas di tangan dan kaki yang disebabkan kerusakan jaringan saraf. i. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan karena neuropati otonom yang menimbulkan konstipasi. j. Mual, diare, dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit serta neuropati otonom. Komplikasi Komplikasi dari diabetes mellitus menurut Smeltzer et al, (2013) dan Tanto et al, (2014) diklasifikasikan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut terjadi karena intoleransi glukosa yang berlangsung dalam jangka waktu pendek yang mencakup: a. Hipoglikemia Hipoglikemia adalah keadaan dimana glukosa dalam darah mengalami penurunan dibawah 50 sampai 60 mg/dL disertai dengan gejala pusing,gemetar, lemas, pandangan kabur, keringat dingin, serta penurunan kesadaran. b. Ketoasidosis Diabetes (KAD) KAD adalah suatu keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolic akibat pembentukan keton yang berlebih. c. Sindrom nonketotik hiperosmolar hiperglikemik (SNHH) Suatu keadaan koma dimana terjadi ganagguan metabolisme yang menyebabkan kadar glukosa dalam darah sangat tinggi, menyebabkan dehidrasi hipertonik tanpa disertai ketosis serum. 21



Komplikasi kronik menurut Smeltzer et al, (2013) biasanya terjadi pada pasien yang menderita diabetes mellitus lebih dari 10 – 15 tahun. Komplikasinya mencakup: a. Penyakit makrovaskular (Pembuluh darah besar): biasanya penyakit ini memengaruhi sirkulasi koroner, pembuluh darah perifer, dan pembuluh darah otak. b. Penyakit mikrovaskular (Pembuluh darah kecil): biasanya penyakit ini memengaruhi mata (retinopati) dan ginjal (nefropati); kontrol kadar gula darah untuk menunda atau mencegah komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular. c. Penyakit neuropatik: memengaruhi saraf sensori motorik dan otonom yang mengakibatkan beberapa masalah, seperti impotensi dan ulkus kaki. Penatalaksaan Diet Diabetes Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Cara yang paling umum digunakan adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal (BBI), ditambah atau dikurangi dengan beberapa faktor koreksi. Faktor koreksi ini meliputi jenis kelamin, umur, aktivitas, dan berat badan. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dilakukan dengan menggunakan rumus Brocca yang dimodifikasi yaitu: Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi : Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg. Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan antara lain : Jenis Kelamin Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dibandingkan kebutuhan kalori pada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BBI dan pria sebesar 30 kal/kg BBI. Umur Untuk pasien usia di atas 40 tahun: kebutuhan kalori dikurangi 5% (untuk dekade antara 40 dan 59 tahun), dikurangi 10% (untuk usia 60 s/d 69 tahun), dan dikurangi 20% (untuk usia di atas 70 tahun). Aktivitas Fisik Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik. Penambahan 10% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dalam keaadaan istirahat total, penambahan 20% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dengan aktivitas fisik ringan, penambahan 30% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dengan aktivitas fisik sedang, dan penambahan 50% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dengan aktivitas fisik sangat berat. 22



Berat Badan Pada pasien dengan obesitas, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20-30% dari kebutuhan kalori basal (tergantung pada derajat obesitas yaitu apakah obes I atau obes II). Pada pasien dengan underweight, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30% dari kebutuhan kalori basal (sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB). Dari hasil perhitungan kalori total yang didapatkan dengan menggunakan rumus Brocca dan memperhitungkan faktor koreksi, kalori total ini dibagi dalam 3 porsi besar untuk waktu makan utama yaitu makan pagi(20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%). Sisanya, dibagi untuk waktu makan selingan di antara tiga waktu makan utama tersebut. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sedapat mungkin perubahan porsi dan pola makan ini dilakukan sesuai dengan kebiasaan pasien sebelumnya. Untuk pasien diabetes yang mengidap penyakit lain,terapi nutrisi disesuaikan dengan penyakit penyertanya. Terapi farmakologi Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan pola makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat oral dan obat suntikan, yaitu: 1) Obat antihiperglikemia oral Menurut Perkeni, (2015) berdasarkan cara kerjanya obat ini dibedakan menjadi beberapa golongan, antara lain: Pemacu sekresi insulin: Sulfonilurea dan Glinid Efek utama obat sulfonilurea yaitu memacu sekresi insulin oleh sel beta pancreas. cara kerja obat glinid sama dengan cara kerja obat sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama yang dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Penurunan sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan Tiazolidindion (TZD) Efek utama metformin yaitu mengurangi produksi glukosa hati (gluconeogenesis) dan memperbaiki glukosa perifer. Sedangkan efek dari Tiazolidindion (TZD) adalah menurunkan resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan glukosa di perifer. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa Fungsi obat ini bekerja dengan memperlambat absopsi glukosa dalam usus halus, sehingga memiliki efek menurunkan kadar gula darah dalam tubunh sesudah makan. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV) Obat golongan penghambat DPP-IV berfungsi untuk menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon sesuai kadar glukosa darah (glucose dependent). 23



2) Kombinasi obat oral dan suntikan insulin Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Terapi tersebut biasanya dapat mengendalikan kadar glukosa darah dengan baik jika dosis insulin kecil atau cukup. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6- 10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan melihat nilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Ketika kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan (Perkeni, 2015). b. Terapi non farmakologi Terapi non farmakologi menurut Perkeni, (2015) dan Kowalak, (2011) yaitu: 1) Edukasi Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidup menjadi sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan dan bisa digunakan sebagai pengelolaan DM secara holistic. 2) Terapi nutrisi medis (TNM) Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang jadwalmakan yang teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya, terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah maupun insulin. 3) Latihan jasmani atau olahraga Pasien DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3 sampai 5 hari dalam seminggu selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150 menit perminggu, dan dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Jenis olahraga yang dianjurkan bersifat aerobic dengan intensitas sedang yaitu 50 sampai 70% denyut jantung maksimal seperti: jalan cepat, sepeda santai, berenang,dan jogging. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara: 220 – usia pasien. Terapi Diet DM Definisi Dalam kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga (2009) keluaran Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), diet memiliki arti sebagai pengaturan pola dan konsumsi makanan serta minuman yang dilarang, dibatasi jumlahnya, dimodifikasi, atau diperolehkan dengan jumlah tertentu untuk tujuan terapi penyakit yang diderita, kesehatan, atau penurunan berat badan. Diet diabetes melitus adalah diet yang diberikan kepada penyandang diabetes melitus, dengan tujuan membantu memperbaiki kebiasaan makan untuk mendapatkan control metabolik yang lebih baik dengan cara: menyeimbangkan asupan makanan dengan obat penurun glukosa oral ataupun insulin dan aktivitas fisik untuk mencapai kadar gula darah normal, mencapai dan mempertahankan 24



kadar lipida dalam normal. Tujuan Diet Pasien DM(Hasdianah, 2012). Tujuan diet pada diabetes melitus adalah mempertahankan atau mencapai berat badan ideal, mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal, mencegah komplikasi akut dan kronik serta meningkatkan kualitas hidup (Hasdianah, 2012). Syarat Diet Diabetes Melitus Menurut Krisnatuti dkk (2014) syarat umum yang harus dipenuhi dalam penyusunan menu, diantaranya sebagai berikut : a. Kebutuhan kalori disesuaikan dengan keadaan metabolik, umur, berat badan, dan aktivitas tubuh. b. Jumlah kalori disesuaikan dengan kesanggupan tubuh dalam menggunakannya. c. Cukup protein, mineral dan vitamin dalam makanan. d. Menggunakan bahan makanan yang mempunyai indeks glikemik rendah. Komposisi Diet pada Pasien Diabetes Melitus Komposisi diet yang dianjurkan untuk penderita diabetes melitus berulang kali mengalami perubahan. Mulamula komposisi diet mengacu pada diet diabetes melitus di Negara Barat dengan komposisi karbohidrat rendah, sekitar 40-50% dari total energy (diet A). Namun, saat ini dianjurkan peresentase karbohidrat lebih tinggi sampai 60-70% dari total kebutuhan energi atau disebut juga diet B. Dalam diet tersebut dianjurkan juga komposisi protein dan lemak. Disamping anjuran mengenai karbohidrat, protein, dan lemak dianjurkan pula pemakaian karbohidrat kompleks yang mengandung banyak serat dan rendah kolesterol. KOMPOSISI DIET A DAN DIET B NO 1. 2. 3. 4. 5.



Zat Gizi Karbohidrat Protein Lemak Kolesterol Serat



Diet A 50% 20% 30% 500 mg Sayuran A



tipe



Diet B 60-68% 12-20% 20% 100-150 mg Sayuran tipe B



Komposisi diet B merupakan diet yang umum digunakan di Indonesia. Anjuran penggunaan diet B berdasarkan pada penelitian prospektif dengan crassover design yang dilakukan pada 260 penderita diabetes melitus yang terawat baik. Dari penilaian tersebut, diet B mempuyai daya yang kuat untuk menurunkan kolesterol selain mempunyai efek hipoglikemik. Diet B juga tidak menaikkan kadar trigliserida darah. Dengan demikian, diet B dapat mencapai diet diabetes melitus. Setiap jenis diet dianjurkan mengandung serat, terutama serat yang bersifat larut (Krisnatuti dkk 2014). 25



Pemenuhan Pola Makan 3J Menurut Fauzi (2014) bagi penderita diabetes, kecenderungan perubahan kadar gula darah yang drastis akan terjadi pada saat sehabis makan. Sehabis makan maka kadar gula akan tinggi. Namun beberapa lama tidak mendapat asupan makanan maka kadar gula darah akan rendah sekali. Harus dilakukan penjadwalan makan dengan teratur untuk mencegah terlalu besarnya rentangan kadar gula darah. Pola 3J harus diingat bagi penderita diabetes dalam mengatur pola makan sehari-hari. A. Jadwal Pengaturan jadwal bagi penderita diabetes biasanya adalah 6 kali makan. 3 kali makan besar dan 3 kali makan selingan. Adapun jadwal waktunya adalah sebagai berikut : 1. Makan pagi atau sarapan dilakukan pada pukul 07.00 2. Snack pertama dikonsumsi pada pukul 10.00 3. Makan siang dilakukan pada pukul 13.00 4. Snack kedua dikonsumsi pada pukul 16.00 5. Makan malam dilakukan pada pukul 19.00 6. Snack ketiga dikonsumsi pada pukul 21.00 Usahakan makan tepat pada waktu. Apabila terlambat makan maka akan bisa terjadi hipoglikemia atau rendahnya kadar gula darah. Hipoglikemia meliputi gejala seperti pusing, mual, dan pingsan. Apabila hal ini terjadi segera minum air gula. B. Jumlah Jumlah atau porsi makan yang dikonsumsi harus diperhatikan. Jumlah makanan yang dianjurkan untuk penderita diabetes adalah porsi kecil tapi sering. Penderita harus makan dalam jumlah sedikit tapi sering. Adapun pembagian kalori untuk setiap kali makan dengan pola menu 6 kali makan adalah sebagai berikut : 1. Makan pagi atau sarapan jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 20% dari total kebutuhan kalori sehari. 2. Snack pertama jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 10%dari total kebutuhan kalori sehari. 3. Makan siang jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 25% dari total kebutuhan kalori sehari. 4. Snack kedua jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 10% dari total kebutuhan kalori sehari. 5. Makan malam jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 25% dari total kebutuhan kalori sehari. 6. Snack ketiga jumlah kalori yang dibutuhkan adalah 10% dari total kebutuhan kalori sehari. C. Jenis Jenis makanan menentukan kecepatan naik atau turunnya kadar gula darah. Kecepatan suatu makanan dalam menaikkan kadar gula darah disebut indeks glikemik. Semakin cepat menaikkan kadar gula darah sehabis makan tersebut dikonsumsi, maka semakin tinggi indeks glikemik makanan tersebut. Hindari makanan yang berindeks glikemik tinggi, seperti sumber karbohidrat sederhana, gula, madu, sirup, roti, mie dan lain-lain. Makanan yang berindeks glikemik lebih rendah adalah makanan yang kaya dengan serat,contohnya sayuran dan buah-buahan. Pemenuhan pola makan dengan 3J menjamin penderita diabetes untuk tetap bias aktif dalam 26



kehidupan sehari-hari. Jadwal yang tetap memungkinkan kebutuhan tubuh akan insulin dapat terpenuhi. Sementara itu, jumlah dan jenis makanan akan melengkapi kebutuhan gula darah yang seimbang. Dampak Terapi Diet Terhadap Pasien Diabetes Melitus Stres Penderita diabetes mudah mengalami stres dalam melaksanakan program diet sehingga cara penanganan yang dilakukan penderita dalam menangani stres ketika menjalani diet mempengaruhi keberhasilan mereka dalam mematuhi program diet serta pengendalian kadar gula darah. Sehingga diharapkan akan meminimalkan terjadinya komplikasi baik akut maupun kronis (Setyorini, 2017). Stress Definisi Stres merupakan masalah umum yang terjadi dalam kehidupan umat manusia. Stres yang ada saat ini adalah sebuah atribut kehidupan modren. Hal ini dikarenakan stres sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa terelakkan. Baik di lingkungan sekolah, kerja, keluarga, atau dimanapun, stres bisa dialami oleh seseorang. Stres juga bisa menimpa siapapun termasuk anak-anak, remaja, dewasa, atau yang sudah lanjut usia. Dengan kata lain, stres pasti terjadi pada siapapun dan dimanapun(Musradinur, 2016). Teori Stress Cofer & Appley (1964) menyatakan bahwa stres adalah kondisi organik seseorang pada saat ia menyadari bahwa keberadaan atau integritas diri dalam keadaan bahaya, dan ia harus meningkatkan seluruh energy untuk melindungi diri (Jenita DT Donsu, 2017). Cranwell-Ward (1987) menyebutkan stres sebagai reaksi-reaksi fisiologik dan psikologik yang terjadi jika orang mempersepsi suatu ketidakseimbangan antara tingkat tuntutan yang dibebankan kepadanya dan kemampuannya untuk memenuhi tuntutan itu (Jenita DT Donsu, 2017). Anggota IKAPI (2007) menyatakan stres adalah reaksi non-spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan (stimulus stressor). Stres merupakan suatu reaksi adaptif, bersifat sanga individual, sehingga suatu stres bagi seseorang belum tentu sama tanggapannya bagi orang lain (Jenita DT Donsu, 2017). Stres adalah segala sesuatu di mana tuntutan non-spesifik mengharuskan seorang individu untuk merespons atau melakukan tindakan (Potter dan Perry, dalam Jenita DT Donsu, 2017). Menurut Hawari (2008) bahwa Hans Selve menyatakan stres adalah respon tubuh yang sifatnya non-spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya (Jenita DT Donsu, 2017). Stres didefinisikan sebagai ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi keadaan fisik manusia tersebut. Stres dapat 27



dipandang dalam dua acara, sebagaiu stres baik dan stres buruk (distres). Stres yang baik disebut stres positif sedangkan stres yang buruk disebut stres negatif. Stres buruk dibagi menjadi dua yaitu stres akut dan stres kronis (Widyastuti, Palupi, 2004). Menurut WHO (2003) stres adalah reaksi/respon tubuh terhadap stressor psikososial (tekanan mental/beban kehhidupan (Priyoto, 2014). Jenis-Jenis Stress Menurut Jenita DT Donsu (2017) secara umum stres dibagi menjadi dua yaitu : a. Stres akut Stres yang dikenal juga dengan flight or flight response. Stres akut adalah respon tubuh terhadap ancaman tertentu, tantangan atau ketakutan. Respons stres akut yang segera dan intensif di beberapa keadaan dapat menimbulkan gemetaran. b. Stres kronis Stres kronis adalah stres yang lebih sulit dipisahkan atau diatasi, dan efeknya lebih panjang dan lebih. Menurut Priyoto (2014) menurut gejalanya stres dibagi menjadi tiga yaitu: a. Stres Ringan Stres ringan adalah stressor yang dihadapi setiap orang secara teratur, seperti banyak tidur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari atasan. Situasi stres ringan berlangsung beberapa menit atau jam saja. Ciri-ciri stres ringan yaitu semangat meningkat, penglihatan tajam, energy meningkat namun cadangan energinya menurun, kemampuan menyelesaikan pelajaran meningkat, sering merasa letih tanpa sebab, kadang-kadang terdapat gangguan sistem seperti pencernaan, otak, perasaan tidak santai. Stres ringan berguna karena dapat memacu seseorang untuk berpikir dan berusaha lbih tangguh menghadapi tantangan hidup. b. Stres Sedang Stres sedang berlangsung lebih lama daripada stress ringan. Penyebab stres sedang yaitu situasi yang tidak terselesaikan dengan rekan, anak yang sakit, atau ketidakhadiran yang lama dari anggota keluarga. Ciri-ciri stres sedang yaitu sakit perut, mules, otot-otot terasa tengang, perasaan tegang, gangguan tidur, badan terasa ringan. c. Stres Berat Stres berat adalah situasi yang lama dirasakan oleh seseorang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan, seperti perselisihan perkawinan secara terus menerus, kesulitan financial yang berlangsung lama karena tidak ada perbaikan, berpisah dengan keluarga, berpindah tempat tinggal mempunyai penyakit kronis dan termasuk perubahan fisik, psikologis sosial pada usia lanjut. Ciri-ciri stres berat yaitu sulit beraktivitas, gangguan hubungan sosial, sulit tidur, negatifistic, penurunan konsentrasi, takut tidak jelas, 28



keletihan meningkat, tidak mampu melakukan pekerjaan sederhana, gangguan sistem meningkatm perasaan takut meningkat. Stress pada Pasien DM Stres yang dialami penderita DM dalam jangka panjang dapat memperburuk kondisi kesehatan. Stres dapat menghasilkan perubahan dalam aspek psikologis dan fisiologis. Seperti yang dikemukakan oleh Sarafino (1990) bahwa stres dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada system fisik tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Keadaan stres pada penderita DM memiliki efek negatif yaitu dapat meningkatkan sekresi katekolamin dalam kondisi stres yang dapat memicu terjadinya glikogenolisis, hipoglikemia dan hiperglikemia (Darmono, 2005). Stres yang dialami penderita DM dalam melakukan pola hidup sehat dan diet jika dibiarkan terlalu lama akan memperburuk kesehatan individu. Penderita diabetes mudah mengalami stres dalam melaksanakan program diet sehingga cara penanganan yang dilakukan penderita dalam menangani stres ketika menjalani diet mempengaruhi keberhasilan mereka dalam mematuhi program diet serta pengendalian kadar gula darah. Sehingga diharapkan akan meminimalkan terjadinya komplikasi baik akut maupun kronis (Setyorini, 2017). Stres dua kali lebih mudah menyerang orang dengan diabetes dibandingkan dengan orang yang tidak mengidap diabetes. Stres yang timbul dan lamanya stres ditentukan oleh berbagai kesulitan yang dialami pasien diabetes selama melaksanakan diet terutama berhubungan dengan jumlah makanan yang harus diukur, pembatasan jenis makanan, pola kebiasaan makan yang salah sebelum sakit serta selama menderita diabetes. Faktor yang mempengaruhi Stres pada seseorang Usia Usia adalah salah satu faktor yang penting, semakin tinggi usia semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar. Semakin tua seseorang maka orang tersebut semakin rentan mengalami stres, sedangkan seseorang akan rentan mengalami stres pada usia 21–40 tahun dan pada usia 40–60 tahun.Usia berkaitan erat dengan stress. Semakin tua usia seseorang maka akan menyebabkan organ dan kondisi fisik. Tingkat Pengetahuan Tingkat pengetahuan yang rendah tentang perawatan diri dapat memperburuk kondisi kesehatan serta menimbulkan stres akibat ketidakmampuan dalam melakukan perawatan diri Diabetes Self-Management Aikens (2012) menyebutkan self-management memiliki hubungan yang signifikan dengan diabetes distress, 29



yang ditunjukkan dengan peningkatan HbA1c, ketidakpatuhan konsumsi obat, dan ketidakpatuhan diet dan aktivitas fisik (Kusnanto, et al. 2019) Usia Definisi Usia ialah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun, dikatakan masa awal dewasa adalah usia 18 – 40 tahun, dewasa madya adalah 41 – 60 tahun, dewasa lanjut > 60 tahun. Umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan. Umur ialah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun(Santika I. 2015) Klasifikasi Usia Pada Tahun 2009 DepKes RI mengkategorikan usia atau umur dibagi menjadi : a. Berusia 0 sampai dengan 5 Tahun merupakan Masa Balita b. Usia 5 sampai dengan 11 Tahun merupakan Masa Kanak – kanak c. Usia 12 sampai dengan 16 Tahun merupakan Masa Remaja Awal d. Usia 17 sampai dengan 25 Tahun merupakan Masa Remaja Akhir e. Usia 26 sampai dengan 35 Tahun merupakan Masa Dewsa Awal f. Usia 36 sampai dengan 45 Tahun merupakan Masa Dewasa Akhir g. Usia 46 sampai dengan 55 Tahun merupakan Masa Lansia Awal h. Usia 56 sampai dengan 65 Tahun merupakan Masa Lansia Akhir i. Sesorang dengan Usia 65 Tahun keatas masuk Masa Manula



Sedangkan pembagian kategori usia menurut badan kesehatan dunia atau WHO dibagi menjadi : a. Berusia 0 – 17 Tahun adalah Masa Anak – anak dibawah umur b. Berusia 18 – 65 Tahun memasuki Masa Pemuda c. Berusia 66 – 79 Tahun adalah Masa Setengah baya d. Berusia 80 – 99 Tahun merupakan Orang Tua e. Berusia 100 Tahun keatas adalah Orang Tua berusia panjang Jenis Perhitungan Usia Jenis perhitungan umur / usia terdiri atas : 1) Usia Kronologis ialah perhitungan usia yang dimulai dari saat kelahiran seseorang sampai dengan waktu penghitungan usia. 2) Usia Mental ialah perhitungan usia yang didapatkan dari taraf kemampuan mental seseorang. Misalkan 30



seorang anak secara kronologis berusia empat tahun akan tetapi masih merangkak dan belum dapat berbicara dengan kalimat lengkap dan menunjukkan kemampuan yang setara dengan anak berusia satu tahun maka, dinyatakan bahwa usia mental anak tersebut adalah satu tahun. 3) Usia Biologis ialah perhitungan usia berdasarkan kematangan biologis yang dimiliki oleh seseorang(Santika I. 2015) Hubungan Usia dengan Stress Usia adalah salah satu faktor yang penting, semakin tinggi usia semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar. Semakin tua seseorang maka orang tersebut semakin rentan mengalami stres, sedangkan seseorang akan rentan mengalami stres pada usia 21–40 tahun dan pada usia 40–60 tahun.Usia berkaitan erat dengan stress. Semakin tua usia seseorang maka akan menyebabkan organ dan kondisi fisik. Tingkat Pengetahuan Definisi Pengetahuan adalah suatu hasil dari rasa keingintahuan melalui proses sensoris, terutama pada mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam terbentuknya perilaku terbuka atau open behavior. Tingkatan Pengetahuan Notoatmodjo menyatakan dalam Wawan dan Dewi, 2010 pengetahuan seseorang terhadap suatu objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda. Secara garis besar terbagi menjadi 6 tingkat pengetahuan(Kusnanto, et al. 2019), yaitu : Tahu (Know) Mengetahui (Comprehention) Aplikasi (Application) Analisis (Analysis) Sintesis (Synthesis) Evaluasi (Evaluation) Pengukuran Pengetahuan Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan melakukan wawancara atau angket yang menjawab isi materi yang ingin diukur. Bila seseorang dapat menjawab pertanyaan mengenai suatu bidang tertentu dengan lancar, baik secara lisan maupun tulisan maka dikatakan dia mengetahui hal itu. Pengukuran pengetahuan secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu pertanyaan subjektif dan objektif. Pertanyaan esai faktor subjektif karena penilaian untuk pertanyaan melibatkan faktor subjektif dan 31



penilaian, sehingga nilainya akan berbeda dari seorang penilaian dengan penilaian lainnya. Sedangkan pertanyaan pilihan ganda betul salah, menjodohkan disebutkan pertanyaan objektif karena pertanyaan tersebut



dapat dinilai secara pasti oleh penilai tanpa melibatkan faktor subjektivitas dari penilai.( Ningsih, SU et al.2016) Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan 1) Faktor Internal a) Jasmani Faktor jasmani di antaranya keadaan indera seseorang b) Rohani Faktor rohani di antaranya adalah kesehatan psikis, intelektual, psikomotor, serta kondisi efektif dan kognitif individu. 2) Faktor Eksternal Faktor eksternal meliputi : a) Jenis Kelamin Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan penafsiran atau penbagian dua jenis kelamin manusia yang ditentuka secara biologis, bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan pemverian Tuhan ; sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. b) Umur Umur merupakan salah satu faktor yang dapat menggambarkan kematangan sesorang baik fisik, psikis maupun sosial, sehingga membantu seseorang dalam pengetahuannya. Semakin bertambah umur, semakin bertambah pula pengetahuan yang didapat. c) Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon terhadap sesuatu yang dalam dan luar. Orang berpendidikan tinggi akan datang dan berfikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari gagasan tersebut d) Paparan Media Massa Melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik berbagi informasi dapat diterima oleh masyarakat, Sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa (TV, radio, majalah, pamflet, dan lain-lain) akan memperoleh informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan orang-orang yang tidak pernah terpapar informasi media. Ini berarti paparan media massa mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang. e) Ekonomi



Dalam menandai kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan sekunder, keluarga dalam status ekonomi baik



akan lebih mudah tercukupi dibanding keluarga dengan status ekonomi rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa 32



ekonomi dapat dibutuhkan seseorang dalam berbagai hal. f) Hubungan Sosial Manusia adalah makhluk sosial dimana di dalam kehidupan sedikit berinteraksi secara kontinyu akan lebih besar terpapar informasi. Sementara hubungan sosial juga mempengaruhi kemampuan individu sebagai komunikan untuk menerima pesan menurut model komunikan media massa. g) Pengalaman Pengalaman seseorang individu tentang berbagai hal bisa diperoleh dari lingkungan dalam proses perkembangan, misalya sering mengikuti kegiatan yang mendidik. Organisasi dapat memperhias jangkauan pelayanannya, karena dari berbagai kegiatan tersebut informasi tentang sesuatu hal diperoleh. Adanya pengetahuan tentang sesuatu hal yang akan menyebabkan timbulnya satu respon baik positif maupun negatif pada seseorang, sehingga bisa bersikap dan berperilaku dalam kesehatan.( Ningsih, SU et al.(2016))



Kerangka Konsep Hubungan Usia dan Tingkat Pengetahuan dengan Tingkat Stres Pasien DM yang Menjalani Diet Variabel Independen



Variabel Dependen



Usia dan Tingkat Pengetahuan



Tingkat Stres Pasien DM yang Menjalani Diet Variabel Confounding 1. Lama Menderita 2. Tingkat Pendidikan 3. Jenis Kelamin 4. Status Ekonomi



= Diteliti



= Tidak diteliti BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1



Rangcangan penelitian



Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian cross sectional merupakan jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau



33



observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada suatu saat. Variabel dinilai secara simultan pada satu saat, jadi tidak ada tindak lanjut (Nursalam, 2016).



Dalam penelitian ini peneliti menganalisis hubungan antara variabel usia dan tingkat pengetahuan dengan tingkat stres menjalani diet penderita DM. 4.2



Populasi dan Sampel



4.2.1



Populasi Populasi adalah sekumpulan topik yang digunakan dalam bahan penelitian berupa jumlah orang, benda atau luas menurut jumlah dan Karakteristik yang diidentifikasi oleh peneliti (Hidayat 2008).Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien DM yang menjalani diet RSUD Ulin Banjarmasin Pada bulan Agustus sampai November 2020 dengan jumlah populasi 23 orang.



4.2.2



Sampel Sampel merupakan komponen dari banyak objek atau populasi, dan memiliki karakteristik yang sama dengan sumber datanya (Afifudin 2009). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua pasien DM yang menjalani diet di RSUD Ulin Banjarmasin Pada bulan Agustus sampai November 2020. Banyaknya sampel yang diambil dalam penelitian ditentukan menggunakan rumus perhitungan slovin yaitu berjumlah 20 orang (Nursalam 2014). Sampling penelitian adalah proses menyeleksi populasi yang dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2014) Sampling penelitian adalah proses menyeleksi populasi yang dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2014). Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik Purposive sampling yaitu digunakan apabila sasaran sampel yang diteliti telah memiliki karakteristik tertentu sehingga tidak mungkin diambil sampel lain yang tidak memenuhi karakteristik yang telah ditetapkan. Karakteristik sampel yang diambil sudah ditetapkan oleh peneliti sehingga teknik sampling ini dinamakan sampel bertujuan.(Mulyatiningsih, 2011) Rumus n= n=



23



1 + 23 (0.05)² = 20,4 keterangan : n : Besar sampel minimum N : Populasi e² : tingkat kepercayaan atau kesalahan



34



A. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah : 



pasien diabates mellitus tipe 2 yang menjalani rawat jalan dan rawat inap di RSUD Ratu Zalecha Martapura







Pasien bersedia menjadi responden dan mengisi kuesioner



B. Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu : 



Pasien diabetes mellitus yang menjalani rawat jalan maupun rawat inap tidak menyelesaikan kuesioner penelitian.



Pasien mengalami penurunan kesadaran saat pengisian kuesioner. 4.3



Instrumen penelitian



Kuesioner yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Kuesioner 1 (Karakteristik Pasien) Kuesioner A berisi tentang karakteristik pasien meliputi nama inisial pasien, umur, jenis kelamin, lama menderita penyakit dm, pendidikan terakhir. 2. Kuesioner 2 (Knowledge of Diabetic Diet Questionnaire (KDDQ)) Kuesioner tingkat pengetahuan diet DM digunakan untuk mengkaji tingkat pengetahuan penderita DM untuk patuh terhadap diet DM. Kuesioner tingkat pengetahuan diadopsi dari kuesioner yang dibuat oleh Fitzgerald (2016) dan Haskas (2016). Pemilihan pertanyaan kuesioner berdasarkan dengan data operasional dari penelitian ini. Kuesioner pengetahuan terdiri dari 15 pertanyaan dengan skor Benar (1) dan salah (0). Hasil



penghitungan skor yang didapat pengetahuan dikatakan baik apabila didapatkan jawaban benar >80%, pengetahuan sedang bila 60-80% jawaban benar, dan pengetahuan kurang bila 80%



0,950.



jawaban benar



36



2.Pengeta huan sedang, bila 6080% jawaban benar 3.Pengeta huan kurang