Aswaja & Nu (Pmii) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

0



Karakteristik Aswaja: Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh sebagai Metode Berfikir Ahlusssunnah wa al-Jama’ah (ASWAJA) pada hakikatnya adalah ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu, secara embrional, ASWAJA sudah muncul sejak munculnya Islam itu sendiri. Hanya saja penamaan Ahlussunnah wa al-Jamaah sebagai sebuah nama kelompok tidaklah lahir pada masa Rasulullah, tetapi baru muncul pada akhir abad ke 3 Hijriyah. Dalam catatan sejarah pemikiran Islam, Al-Zabidi adalah ulama yang pertama kali mengenalkan istilah Ahlussunnah wa al-Jamaah. Beliu mengatakan “ kalau dikatakan Ahlussunnah wa al-Jamaah, maka yang dimaksud adalah kelompok ummat Islam yang mengikuti imam al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang ilmu Tauhid. Namun demikian rumusan al-Zabidi di atas tentu hanya satu versi dari sebuah rumusan definisi ASWAJA di antara definisi-definisi lainnya. Salah satu ormas keagamaan yang kemudian menformulasikan ajaran ASWAJA sebagai dasar ajaran agamanya misalnya adalah Nahdhatul Ulama (NU). Kerangka pemahaman ASWAJA yang dikembangkan NU memiliki karakteristik yang khusus yang mungkin juga membedakan dengan kelompok muslim lainya yaitu bahwa ajaran ASWAJA yang dikembangkan berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Pemahaman tentang paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah sangat penting bagi warga NU, Karena Aswaja merupakan fundamen NU dalam membangun gerakan dan berkhidmat kepada umat. Dengan sendirinya seluruh metode berpikir (manhaj al-fikri) dan metode pergerakan (manhaj alharaki) warga, terutama pengurus NU dan lembaga di 1



bawahnya, harus merujuk kepada konsep dan semangat Aswaja. Dalam pemikiran fiqh yang dianut NU konsep hukum Allah terbagai menjadi dua besaran yaitu hukum yang bersifat iqtidha (sesuatu yang sudah ada ketentuanya secara eksplisit dalam nash) dan hukum Allah yang bersifat takhyir (belum ada ketentuan dasarnya) yang biasanya disebut ibahah. Ketentuan hukum yang secara eksplisit tidak diatur jumlahnya jauh lebih banyak dan ini merupakan wilayah hukum yang bersifat ijtihadiyah dan menjadi tugas umat Islam untuk mengembangkannya dengan mendasarkan pada kaidah fiqh al-hukmu ma’al al-‘illat (hukum itu didasarkan pada ada dan tidaknya alasan hukum yang mendasarinya) dengan mendasarkan pada logika sebab akibat (causality) yang biasanya mendasarkan pada kalkulasi maslahat dan madharat. Formulasi pemahaman keagamaan NU terhadap ASWAJA yang mengikuti pola/model ulama mazdhab bukan berarti NU puas dengan situasi Jumud/stagnan yang penuh taqlid sebagaimana dituduhkan oleh kelompok “Islam Modernis”. Ide dasar pelestarian mazdhab oleh NU justeru sebagai bagian dari tanggung jawab pelestarian dan pemurnian ajaran Islam itu sendiri. Pola bermazdhab yang dikembangkan oleh NU sebagaimana hasil Musyawarah Nasional di Bandar Lampung tahun 1992 menganut dua pola yaitu bermazdhab secara qauli (tekstual) ataupun bermazdhab secara manhaji (dimensi metodologis/istinbathi). Sedangkan basis sosial warga NU adalah masyarakat muslim yang secara keagamaan pada umumnya berbasis pendidikan pesantren baik masyarakat pedesaan maupun perkotaan walaupun sekarang ini terjadi pergeseran yang sangat signifikan pada tataran segmen warga NU dengan lahirnya alumni-alumni perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. 2



Pergeseran warga dan basis sosial NU ini pada akhirnya mempengaruhi dinamika pemikiran keagamaan didalam tubuh NU sendiri dengan corak yang beragam. Pada umumnya perbedaan corak pemahaman keagamaan ini berporos pada dua kubu yaitu kubu yang cenderung mempertahanakan tradisi bermazdhab secara qauli (materi/tekstual) dan kubu yang mencoba mengembangkan pemahaman secara manhaji (metodologis) dengan pendekatan kontekstual yang melahirkan berbagai pemikiran alternatif. Dalam pandangan NU perjuangan pembumian syari’at Islam adalah kewajiban agama dengan memperjuangkan sesuatu yang paling mungkin dicapai, dan sesuatu yang paling mungkin dicapai adalah yang paling tepat digunakan. Dalam konteks hukum agama (bidang muamalah) berlaku prinsip apa yang disebut dengan prinsip ‘tujuan dan cara pencapaianya” (al-ghayah wa al-wasail). Selama tujuan masih tetap, maka cara pencapaiannya menjadi sesuatu yang sekunder. Tujuan hukum akan selalu tetap, tetapi cara pencapaianya bisa berubah-rubah seiring dengan dinamika zaman. Prinsip dasar yang dikembangkan NU dalam merespon arus perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan khususnya berkaitan dengan problematika hukum kontemporer (alwaqi’iyyah al-haditsah) dan perubahan kebudayaan, NU berpegang pada kaidah “al-Muhafadhatu ‘ala al-qadim alshalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah” yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Indonesia yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan system budaya lokal. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat 3



akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama. Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumber di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang menggunakan jalan pendekatan: 1. Di dalam bidang aqidah, Nahdlatul Ulama yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur alMatuidi. 2. Di dalam bidang fiqih, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan. (al-Madzhab) salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Maliki bin Anas, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. 3. Di bidang tashawwuf mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Bahdadi dan Imam Ghazali serta imam-imam yang lain. Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilainilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut. Ahlussunnah wal Jamaah yang dimaknai sebagai manhajul fiqr, dideteksi dari ciri-cirinya sebagai berikut. 1. Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru; 2. Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauly) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy); 4



3. Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’); 4. Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif; 5. Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya. Adapun karakter umum dari pola Ahlussunnah waljamaah tertanam dalam sikap tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), ta’adul / I’tidal (netral, keadilan), dan tasamuh (toleran). 1) Tawasuth Tawasuth adalah sikap tengah atau moderat yang tidak terjebak oleh sikap ekstrimis. Dalam hal dosa besar, ia berada di antara teologi Khawarij dan Mu’tazilah. Dalam masalah kepemimpinan, ia berada di antara khawarij dan Syiah , penganut garis moderat di antara madhab liberal Mu’tazilah dan madzhab literal Dawud Dahiri, dan berada di garis tengah antara tradisi tasawuf madzhab kebatinan dengan kalangan legalistik-formalistik yang membenci tasawuf. Tentu saja, sikap moderat ini memiliki landasan ortodoksi sehingga bisa dibedakan dengan pengertian pragmatis-oportunis. Kaitannya dengan konsep berbangsa dan bernegara, Ahlussunnah waljamaah mampu mengakomodir berbagai kepentingan golongan sehingga mampu dicapai kesepakatan yang lebih baik (aslah). Hal ini sesuai dengan Firman Allah:



         …….      Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi 5



atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143). Sementara dalam hadits dikatakan,



‫َخْي ُر اْأل ُُم ْوِر أ َْو َساطُ َها‬



“Sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat.” Mirip dengan hadits di atas adalah riwayat,



ِ ِ ِ ِ ‫ال‬ َ ْ َ‫َو َخْي ُر اْأل َْع َم ِال أ َْو َسطُ َها َوديْ ُن اهلل ب‬ ْ َ‫ْي الْ َقاس ْى َوالْغ‬



“Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada di antara yang beku dan yang mendidih.” 2) Tawazun Tawazun adalah sikap berimbang dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan hukum atau kebijakan. Proses harmonisasi dan integralisasi antara dalil nash dengan pertimbangan-pertimbangan rasio menyebabkan posisinya seimbang dalam melakukan putusan/ kebijakan. Ia tidak terpolarisasi kepada ekstrim kanan (fundamentalime) dan ekstrim kiri (liberalisme). Dalam hal sosial-politik pun, sikap tawazun diwujudkan dengan pertimbangan secara komprehensif dan holistik, baik ekonnomi-politik, geopolitik, sosio-kultur, dan hal-hal lainnya. Posisinya menanggapi kekuasaan, tentu saja ia tidak berada dalam posisi mendukung atau menolak suatu rezim, tetapi lebih melihat prasyarat yang dipenuhi kekuasaan tersebut sudah dipandang memenuhi kaidah-normativitas atau kah tidak. Hal ini termaktub dalam surat Alhadid ayat 25



       



6



 ….     Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25). 3) Ta’adul (I’tidal) Ta’adul ialah sikap adil dalam menyikapi suatu persoalan. Adil adalah sikap proporsional dalam menyikapi persoalan berdasarkan hak dan kewajiban. Ta’adul berbeda dengan tamastul yang menghendaki kesamaan. Seseorang mampu mencapai kesamaan dan kesetaraan jika realitas individu benar-benar sama persis dan setara dalam segala sifat-sifatnya. Jika terjadi tafadlul (keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlil). Dalam konteks politik, sikap ta’adul ini tercermin dalam proporsional antara kewajiban pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan publik dan haknya seperti mendapatkan tunjangan dan lain sebagainya. Dengan hal ini, jika pemerintah tidak melaksanakan tugas itu atau mengambil hak rakyat, ia telah melakukan aniaya. Begitu pula rakyat yang membangkang dari ketetapan konstitusinal Negara, maka rakyat pun dinyatakan aniaya. Hal ini ditegaskan dalam firman allah.



                               7



Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Alma'idah: 8). 4) Tasamuh Tasamuh ialah sikap toleran terhadap perbedaan, baik agama, pemikiran, keyakinan, social kemasyarakatan, budaya, dan berbagai perbedaan lain. Keragaman merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Ia merupakan entitas yang hadir sebagai ajang untuk bersilaturahmi, bersosialisasi, akulturasi, asosiasi, sehingga tercipta sebuah peraudaraan yang utuh. Toleransi dalam beragama bukan berarti sikap kompromistis dalam berkeyakinan karena keyakinan adalah kebenaran penuh yang tidak bisa dicampur dengan keyakinan agama lain, bukan pula membenarkan kebenaran keyakinan agama yang salah dan batil. Toleransi menjadi suatu hukum alam dalam mengelaborasi perbedaan menjadi sebuah rahmat. Kaitannya dengan budaya, secara substansial budaya ialah hasil dari akal budi manusia yang memiliki nilai luhur dan merupakan arkeologi kesejarahan yang patut dihargai sebagai suatu kebijaksanaan. Dalam pandangan Ahlussunnah waljamaah, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilainilai keislaman. Dari sikap tasamuh inilah, Ahlussunnah waljamaah merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah) universal. Hal ini meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan 8



keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah SWT:



                       Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Alhujurat; 13).



 ……           Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (QS. Albaqarah: 30) Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44) 1. Akidah. a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli. b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam. c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir. 9



2. Syari'ah a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang jelas (sharih/qotht'i). c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni). 3. Tashawwuf/ Akhlak a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu. c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros). 4. Pergaulan antar golongan a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing. b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda. c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai. d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam. 5. Kehidupan bernegara a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus 10



tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa. b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah. d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik. 6. Kebudayaan a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama. b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal. c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah). 7. Dakwah a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT. b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas. c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah. Reinterpretasi sebuah konsep aswaja adalah kembali kepada pemahaman as-salaf as-shaleh yang paling dekat dengan sistem hidup Rasulullah dan sahabatnya. Dan upaya mencari kebenaran adalah dengan menggunakan 11



pisau analisis para mujtahidin yang diakui kemampuan dan keikhlasannya dalam memahami islam. Bukan hanya dengan sebuah wacana yang dikembangkan oleh orientalis yang berusaha membius pemikir muslim dan menghancurkan islam dari dalam. Wallahu a’lam bisshawab.



12