Autopot SDR [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN AKHIR PENELITIAN DASAR UNGGULAN PERGURUAN TINGGI



MODIFIKASI DAN PENGEMBANGAN SISTEM FERTIGASI AUTOPOT PADA BUDIDAYA TANAMAN HORTIKULTURA TAHUN KE 1 DARI RENCANA 2 TAHUN TIM PENELITI: Sophia Dwiratna NP, STP., MT Prof. Dr. Nurpilihan Bafdal, Ir., M.Sc Dr. Dwi Rustam Kendarto, S.Si., MT



UNIVERSITAS PADJADJARAN NOVEMBER 2018



(0024067803) (0023064802) (0029106901)



LEMBAR PENGESAHAN



RINGKASAN Kekurangan air pada tanaman dapat ditambahkan dengan pemberian air irigasi; namun metode pemberian air irigasi seyogyanya mengacu pada efisiensi dalam segala ukuran irigasi. Salah satu teknologi yang saat ini dikembangkan di Eropa, Malaysia, Australia dan Inggris adalah autopot system. Sistem fertigasi Autopot adalah suatu sistem pemberian air otomatis tanpa menggunakan listrik dan pompa, namun memberikan hasil pemberian air yang sangat efisien. Aplikasi sistem fertigasi Autopot untuk industri pertanian di Indonesia membutuhkan investisi awal yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan produk tersebut belum tersedia di Indonesia sehingga harus impor. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan modifikasi pada sistem Autopot yang ada yaitu membuat Autopot Modifikasi dengan memanfaatkan alat dan bahan yang sederhana dan mudah didapatkan di lingkungan sekitar yang berbeda dengan sistem Autopot yang ada sehingga penggunaan alat sederhana dapat dijadikan sebagai bagian dari modifikasi sistem Autopot. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi sistem fertigasi Autpot Modifikasi dengan kinerja irigasi sama dengan Autopot namun menggunakan bahan lokal yang mudah didapat dengan harga terjangkau. Adapun tujuan khusus pada tahun pertama dari penelitian ini adalah sebagai berikut ; 1. Merancang sistem Autopot Modikasi 02 (AM02) untuk budidaya sayuran daun (kangkung) skala produksi/komersial (Tahun 1) 2. Menguji rancangan Autopot Modikasi 02 (AM02) pada budidaya tanaman kangkung (Tahun 1) 3. Mengetahui nilai kebutuhan air tanaman, kebutuhan air konsumtif dan nilai koefisien tanaman pada budidaya sayuran kangkung menggunakan sistem fertigasi Autopot Modikasi 02 (AM02) (Tahun 1) 4. Mengetahui keragaan kinerja sistem fertigasi menggunakan Autopot Modifikasi 02 berdasarkan nilai keseragaman pertumbuhan, keseragaman produksi, keseragaman irigasi, efisiensi irigasi dan efisiensi penggunaan air irigasi pada budidaya sayuran kangkung (Tahun 1) Penelitian “Modifikasi Sistem Fertigasi Autopot pada Budidaya Tanaman Hortikultura Bernilai Ekonomi Tinggi” dilaksanakan dalam dua tahapan penelitian. Penelitian tahap pertama (tahun 1) dilaksanakan menggunakan metode rekayasa dan metode deskriptif analitis. Metode rekayasa digunakan dalam merancang sistem fertigasi Autopot Modifikasi 2. Rancangan Autopot Modifikasi 02 pada tahun pertama digunakan untuk budidaya tanaman sayuran daun (kangkung). Selanjutnya sistem Autopot Modifikasi 02 dibangun dan diujicobakan untuk budidaya sayuran dalam greenhouse yang dibangun untuk pelaksanaan penelitian. Dalam tahapan ini metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Analitik dengan mengamati kinerja sistem fertigasi Autopot Modifikasi 02 pada pertumbuhan dan produksi tanaman. Kata kunci : Autopot Modifikasi; irigasi hemat air; efisiensi irigasi; fertigasi; hidroponik; hortikultura



PRAKATA



Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan berkah dan rahmat-Nya Tim Peneliti dapat menyelesaikan laporan kemajuan penelitian Tahun-1 yang berjudul “Modifikasi dan Pengembangan Sistem Fertigasi Autopot pada Budidaya Tanaman Hortikultura”. Penelitian tahap pertana ini sesuai dengan payung penelitian Fakultas Teknologi Industri Pertanian hanya difokuskan mendapatkan formulasi sistem fertigasi Autpot Modifikasi dengan kinerja irigasi sama dengan Autopot namun menggunakan bahan lokal yang mudah didapat dengan harga terjangkau. Penelitian ini dilaksanakan melalui skema pendanaan Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi Universitas Padjadjaran yang didanai Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Riset, Teknologi dan Tinggi. Tim Peneliti menyadari bahwa mulai dari pelaksanaan hingga penyelesaian laporan ini menerima banyak bantuan baik berupa dorongan moral maupun material dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini perkenankanlah Tim Peneliti menyampaikan terima kasih berturut-turut kepada : 1.



Direktorat Riset dan Pengandian Masyarakat, Ditjen Penguatan



Riset dan



Pengembangan c.q. Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat



2.



Direktur Riset, Pengabdian kepada Masyarakat dan Inovasi Universitas Padjadjaran



3.



Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran



4.



Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu, yang telah banyak memberikan bantuan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.



Semoga segala amal baiknya dinilai oleh Allah SWT sebagai pahala dan mendapat balasan yang lebih baik. Akhir kata, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Jatinangor. November 2018 Tim Peneliti



DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................2 RINGKASAN............................................................................................................................3 PRAKATA................................................................................................................................4 DAFTAR ISI.............................................................................................................................5 DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................6 BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................................................7 1.1.



Latar Belakang............................................................................................................7



1.2.



Rumusan Masalah.....................................................................................................10



BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................11 2.1. State of The Art............................................................................................................11 2.1.1. Sistem Autopot......................................................................................................11 2.2 Sistem Fertigasi.........................................................................................................12 2.2. Peta Jalan (Roadmap) Penelitian..................................................................................13 BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN..............................................................15 3.1.



Tujuan Riset..............................................................................................................15



3.2.



Urgensi Penelitian....................................................................................................15



BAB 4. METODE PENELITIAN...........................................................................................17 4.1.



Lokasi dan Waktu Riset............................................................................................17



4.2.



Rancangan Riset........................................................................................................17



4.3.



Data, Teknik Pengumpulan dan Sumber Data..........................................................18



4.4.



Pengambilan/Pemilihan Sampel...............................................................................20



4.5.



Pengolahan dan Analisis Data...................................................................................20



BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI...............................................................22 5.1. Rumah Tanaman (Greenhouse)....................................................................................22 5.2. Karakteristik Media Tanam..........................................................................................26 5.3. Karakteristik Suhu, Kelembaban dan Intensitas Cahaya Matahari..............................28 5.4. Perancangan Sistem Fertigasi Autopot Modifikasi......................................................32 5.5. Uji Kinerja Autopot Modifikasi....................................................................................34 BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA..................................................................35 DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................37 LAMPIRAN............................................................................................................................40



DAFTAR GAMBAR



Gambar 1. Sistem Fertigasi Autopot.........................................................................................8 Gambar 2. Autopot dan Autopot Modifikasi 01 (Dwiratna dkk, 2016)....................................9 Gambar 3. Sistem Fertigasi Autopot (a) Tampak Atas; (b) Tampak Samping (Fah, 2006)....11 Gambar 4. Kaitan Penelitian dengan Bidang Riset Universitas Padjadjaran..........................13 Gambar 5. Keterkaitan Penelitian dengan Bidang Riset Pusat Studi......................................14 Gambar 6. Peta Jalan/Roadmap Penelitian Autopot Modifikasi.............................................14 Gambar 7. Lokasi Penelitian....................................................................................................17 Gambar 8. Sketsa rancangan Autopot Modifikasi 02..............................................................18



BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang



Peningkatan jumlah penduduk di dunia menyebabkan juga peningkatan kebutuhan pangan dunia. Hal ini seiring dengan peningkatan teknologi budidaya pertanian guna mengejar peningkatan produksi tanaman. Salah satau teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi bahan pangan adalah melalui pengembangan sistem hidroponik dalam budidaya tanaman hortikultura seperti sayuran dan buah buahan yang bernilai ekonomi tinggi. Kunci sukses budidaya tanaman dengan sistem hidroponik adalah terjaganya kesediaan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga tanaman dapat menghasilkan poduksi yang tinggi dan seragam serta dapat waktu panennnya sehingga pasokan kebutuhan bahan pangan dapat dijaga jumlah maupun kontinuitasnya. Sistem fertigasi pada budidaya hidroponik yang dikenal selama ini diataranya adalah irigasi tetes, irigasi curah, sistem Nutrient Film Technique dan sistem Deep Flow Technique. Meskipun terbukti dapat memberikan hasil produksi tanaman tinggi dengan efisiensi irigasi yang tinggi juga namun sistem fertigasi yang diterapkan saat ini sangat bergantung pada listrik dan tidak hemat energy. Pasokan listrik diperlukan untuk menjalankan pompa sirkulasi nutrisi dari tendon nutrisi hingga ke tanaman. Dalam sistem budidaya hidroponik dengan irigasi tetes dan curah setidaknya diperlukan 5 kali penyiraman dalam sehari, sedangkan pada sistem NFT dan aeroponik pompa listrik dijalankan terus menerus selama sehari. Oleh karena itu, budidaya hidroponik membutuhkan biaya investasi dan biaya operasional yang tinggi. Salah satu teknologi yang saat ini dikembangkan di Eropa, Malaysia, Australia dan Inggris adalah autopot system (Gambar 1). Sistem fertigasi Autopot adalah suatu sistem pemberian air otomatis tanpa menggunakan listrik dan pompa, namun memberikan hasil pemberian air yang sangat efisien. Salah satu cara membudidayakan selada adalah dengan menggunakan sistem Autopot berupa sistem irigasi yang berasal dari Australia yang secara otomatis memberikan kebutuhan air pada tanaman. Sistem Autopot ini mempunyai beberapa kelebihan yaitu, larutan nutrisi yang masuk menuju reservoir dikontrol dengan menggunakan katup yang dikenal dengan sebutan smart valve. Melalui katup ini, larutan nutrisi yang akan masuk ke media tanam dikontrol dengan cara menyalurkan air hingga



mencapai batas maksimal dan menyalurkan kembali nutrisi ketika nutrisi pada baki sudah mencapai batas minimal sehingga penggunaan larutan nutrisi lebih efisien.



Gambar 1. Sistem Fertigasi Autopot Aplikasi sistem fertigasi Autopot untuk industri pertanian di Indonesia membutuhkan investisi awal yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan produk tersebut belum tersedia di Indonesia sehingga harus impor. Pada Autopot, media yang digunakan yaitu perlite dan vermikulit dengan rasio yang direkomendasikan sebesar 50:50. Kedua jenis media ini tidak banyak tersedia dilapangan dan juga harganya tinggi, Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan modifikasi pada sistem Autopot yang ada yaitu membuat Autopot Modifikasi dengan memanfaatkan alat dan bahan yang sederhana dan mudah didapatkan di lingkungan sekitar yang berbeda dengan sistem Autopot yang ada sehingga penggunaan alat sederhana dapat dijadikan sebagai bagian dari modifikasi sistem Autopot. Berdasarkan jenis irigasi yang diterapkan, sistem fertigasi Autopot menggunakan sistem irigasi bawah permukaan untuk mensuplai air dan nutrisi ke zona perakaran. Oleh karena itu, modifikasi Autopot ini dilakukan pada bagian kontrol pemberian air dari sistem



Autopot. Pada Autopot, irigasi dan pemupukan dikontrol dengan menggunakan smart valve sedangkan pada Autopot Modifikasi fertigasi dikontrol dengan menggunakan prinsip bejana berhubungan yang bekerja dengan tekanan dan gravitasi. Selain itu, modifikasi juga dilakukan pada media tanam yang digunakan dimana media tanam yang digunakan adalah media tanam yang memiliki nilai water holding capacity tinggi sehingga mampu menghantarkan air dan nutrisi ke zona perakaran dengan baik. Selain itu, pemilihan media tanam ini didasarkan pada kemudahan untuk didapatkan dengan harga yang relatif murah. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan modifikasi autopot menggunakan botol air minum kemasan 1,5 liter. Pemberian air diakukan dengan menggunakan lubang yang terdapat pada bagian bawah botol seperti pada Gambar 2 yang mempunyai fungsi mengontrol tinggi mukaair sebagaimana fungsi smartvalve pada Autopot. Pada penelitian tersebut, botol air minum 1.5 liter setinggi 32 cm digunakan sebagai tempat penampung larutan nutrisi yang akan dialirkan ke tanaman sedangkan untuk tempat penyimpanan botol dan pot yang digunakan yaitu bak dengan ukuran 31 cm x 25 cm x 6 cm. Botol air minum tersebut dilubangi pada bagian bawahnya dengan posisi lubang berbentuk persegi dengan ukuran 3 cm x 1.5 cm dari dasar permukaan botol. Lubang ini nantinya akan berguna untuk mengalirkan larutan dari botol ke dalam wadah. Styrofoam digunakan sebagai penutup air untuk menghindari kehilangan air melalui evaporasi. Tanaman selada Botol Smartvalve Batas maksimum



Lubang botol



Autopot Modifikasi 01



Autopot Batas minimum



Gambar 2.Autopot dan Autopot Modifikasi 01 (Dwiratna dkk, 2016) Dwiratna, dkk (2016) menyatakan bahwa sistem kerja Autopot Modifikasi menggunakan prinsip bejana berhubungan mampu memberikan hasil terbaik dengan nilai efisiensi diatas 99% yang ujikan untuk tanaman selada dengan media tanam arang sekam + humus pada komposisi (50:50). Namun begitu, penelitian tersebut baru diujikan pada satu tanaman untuk satu reservoir, belum diujikan untuk sistem jaringan fertigasi pada budidaya



tanaman pada skala semi-produksi/komersial. Oleh karena itu penelitian ini akan menitikberatkan pada ujicoba sistem Autopot Modifikasi untuk budidaya hortikultura bernilai ekonomi tinggi pada skala produksi Autopot Modifikasi 02 (AM02). Ujicoba sistem akan diterapkan pada tanaman hortikultura jenis sayuran daun dan sayuran buah dalam hal ini adalah tanaman selada dan tomat cherry.



1.2. Rumusan Masalah



Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1.



Bagaimana rancangan sistem Autopot Modikasi 02 (AM02) menggunakan bahan local dengan harga terjangkau untuk skala produksi pada budidaya hortikultura sayuran daun (selada) dan sayuran buah (tomat cherry).



2.



Bagaimana pertumbuhan dan produksi hortikultura sayuran daun dan sayuran buah yang dibudidayakan secara hidroponik menggunakan sistem fertigasi Autopot Modifikasi 02 (AM02)



3.



Bagaimana keragaan kinerja sistem fertigasi menggunakan Autopot Modifikasi 02 berdasarkan nilai keseragaman pertumbuhan, keseragaman keseragaman irigasi, efisiensi irigasi dan efisiensi penggunaan air irigasi.



produksi,



BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. State of The Art 2.1.1. Sistem Autopot Sistem Autopot adalah teknik hidroponik yang dipatenkan yang berbeda dari metode konvensional dalam sejumlah hal yang membuatnya serbaguna, efektif, murah untuk dijalankan, mampu beroperasi dalam berbagai lokasi di mana hidroponik konvensional tidak akan efektif dan mampu digunakan oleh semua orang dari usia sekolah atas (Fah, 2006). Wadah sistem berkebun otomatis ini hanya perlu diperiksa untuk memastikan bahwa reservoir tidak kosong. Sistem ini meniru frekuensi penyiraman siklus alami hujan dan membutuhkan sedikit perawatan



(Patterson, 2015). Sistem Autopot



digambarkan pada Gambar 3 berikut :



a. Gambar 3. Sistem Fertigasi Autopot (a) Tampak Atas; (b) Tampak Samping (Fah, 2006)



Smart valve merupakan benda yang terpenting pada sistem Autopot karena smart valve yang akan mengontrol masuknya air ke reservoir. Smart valve cukup kecil untuk muat pada telapak tangan, dengan konstruksi utama plastik dan terdiri dari dua ruang. Alat ini berbeda dengan jenis katup pelampung konvensional karena memungkinkan pengurangan total kadar cairan sebelum isi ulang (Fah, 2006). Sistem Autopot terdiri dari beberapa bagian yaitu tangki penampung, pipa berdiameter 4 mm, baki, pot serta smart valve. Larutan nutrisi yang terdapat pada tangki penampung akan dialirkan dengan pipa berdiameter 15 mm yang telah terhubung dengan smart valve. Larutan nutrisi yang akan



masuk ke dalam baki akan dikontrol dengan smart valve dan dialirkan ke dalam baki yang akan diserap oleh tanaman yang terdapat pada pot. Ketika terhubung ke pasokan air katup terbuka untuk memungkinkan air memasuki bagian bawah wadah dengan kedalaman yang telah ditentukan (biasanya 35mm). Katup kemudian menutup dan akan mengizinkan air untuk memasuki wadah sampai semua pasokan pertama telah dialirkan dari ruang air ke pot dan akhirnya menuju tanaman. Penyerapan ini dicapai dengan aksi kapiler yang secara alami terjadi pada media tumbuh. Setelah air diserap sejauh lapisan air di bawah katup telah habis, katup kembali membuka dan pasokan air yang lain memasuki wadah. Ini adalah bagaimana siklus basah dan kering terjadi pada sistem Autopot (Fah, 2006). 2.2 Sistem Fertigasi Praktek pemberian pupuk kepada tanaman di lapangan melalui air irigasi disebut fertigasi (Bar-Yosef, 1991 dalam Kafkafi dan Tarchitzky, 2011). Fertigasi merupakan teknik pertanian modern, yang memberikan kesempatan yang sangat baik untuk memaksimalkan hasil dan meminimalkan pencemaran lingkungan (Hagin et al., 2002 dalam Kafkafi dan Tarchitzky, 2011) dengan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, meminimalkan penggunaan pupuk dan meningkatkan laba atas pupuk yang diinvestasikan. Dalam fertigasi, waktu, jumlah dan konsentrasi pupuk diterapkan dengan mudah untuk dikendalikan (Kafkafi dan Tarchitzky, 2011). Menurut Kafkafi dan Tarchitzky (2011), penggabungan pupuk ke dalam sistem irigasi menuntut persyaratan dasar berikut: 1. Peralatan a.



Dalam sistem irigasi bertekanan, larutan pupuk yang disuntikkan harus lebih besar dibandingkan dengan tekanan internal.



b.



Sebuah filter untuk mencegah penyumbatan pada dripper oleh partikel padat (Elfuving, 1982).



c.



Sebuah katup aliran



2. Pupuk a.



Kelarutan pupuk pada sumber air: air irigasi mengandung berbagai kandungan kimia beberapa kandungan tersebut dapat berinteraksi dengan pupuk terlarut dengan efek yang tidak diinginkan.



b.



Derajat keasaman larutan pupuk harus dipertimbangkan dalam hal korosif pada komponen sistem irigasi.



2.2. Peta Jalan (Roadmap) Penelitian Pada penelitian ini akan dirancang sebuah sistem Autopot sederhana dengan memanfaatkan alat dan bahan yang sederhana dan mudah didapatkan di lingkungan sekitar yang berbeda dengan sistem Autopot yang dikembangkan di Australia merupakan sistem budidaya tanaman dengan memggunakan teknologi smart valve untuk melakukan irigasi dan pemupukan. Namun untuk mengaplikasikan sistem ini diperlukan biaya invesitasi awal untuk pengadaan alat. Penelitian ini termasuk dalam bidang riset pangan Unpad dengan penekanan focus penelitian dalam bidang Teknologi Budidaya, Teknologi Tepat Guna dalam sistem pemberian air irigasi/fertigasi serta Pertanian Presisi pada budidaya tanaman hortikultura bernilai ekonomi tinggi sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini :



Gambar 4. Kaitan Penelitian dengan Bidang Riset Universitas Padjadjaran Selain terkait dengan tema riset unggulan Universtitas Padjadjaran untuk bidang riset Pangan, keterkaitan penelitian ini dengan Pusat Studi Pengembangan Teknologi Pertanian juga dapat dilihat pada Gambar 5 berikut. Dalam Pusat Studi Pengembangan Teknologi Pertanian penelitian ini termasuk dalam bidang riset Pengelolaan Lahan dan Air.



Gambar 5. Keterkaitan Penelitian dengan Bidang Riset Pusat Studi Pengembangan Teknologi Pertanian Penelitian ini dapat mendukung proses pembelajaran terutama dalam bidang teknologi budidaya dan teknologi pertanian. Adapun luaran riset selain berupa artikel untuk mendukung capaian artikel pada jurnal internasional berreputasi, juga dapat menghasilkan produk inovatif yang dapat diimplementasikan di masyarakat untuk membantu menyelesaian permasalahan penyediaan pangan melalui dukungan teknologi tepat guna dan teknologi budidaya yang ramah lingkungan dan terjangkau. Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian mengenai teknologi irigasi pada pertanian modern dan berkelanjutan dengan fokus peningkatan efisiensi air irigasi sebagaimana dijabarkan dalam peta jalan (roadmap) penelitian pada Gambar 6 berikut ini.



Gambar 6. Peta Jalan/Roadmap Penelitian Autopot Modifikasi



BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN



3.1. Tujuan Riset



Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi sistem fertigasi Autpot Modifikasi dengan kinerja irigasi sama dengan Autopot namun menggunakan bahan lokal yang mudah didapat dengan harga terjangkau. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut ; 1. Merancang sistem Autopot Modikasi 02 (AM02) untuk budidaya sayuran daun (kangkung) skala produksi/komersial 2. Menguji rancangan Autopot Modikasi 02 (AM02) pada budidaya tanaman kangkung Mengetahui nilai kebutuhan air tanaman, kebutuhan air konsumtif dan nilai koefisien tanaman pada budidaya sayuran kangkung menggunakan sistem fertigasi Autopot Modikasi 02 (AM02) 3. Mengetahui keragaan kinerja sistem fertigasi menggunakan Autopot Modifikasi 02 berdasarkan nilai keseragaman pertumbuhan, keseragaman produksi, keseragaman irigasi, efisiensi irigasi dan efisiensi penggunaan air irigasi pada budidaya sayuran kangkung 3.2. Urgensi Penelitian



Teknologi budidaya yang tepat guna dan ramah lingkungan merupakan aspek penting yang saat ini sedang dikembangkan untuk mendukung pembangunan pertanian di Indonesia. Penelitian mengenai Autopot Modifikasi ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman mengenai kinerja sistem Autopot Modifikasi pada budidaya tanaman hortikultura. Sistem Autopot Modifikasi ini dapat diterapkan dan dikembangkan dalam budidaya pertanian modern skala industry atau komersial. Secara khusus manfaat hasil penelitian untuk petani dan pembangunan pertanian pada umumnya adalah : 1. Terciptanya budidaya pertanian dengan efisiensi air yang tinggi tanpa menggunakan energi listrik (high water efficiency and zero energy irrigation) dalam pertanian modern



2. Sebagai percontohan sistem pertanian modern yang terintegrasikan dengan upaya konservasi air melalui pemanenan air hujan sebagai sumber air irigasi untuk pertanian (rainwater harvesting for agriculture). 3. Terciptanya inovasi teknik dan produk fertigasi Autopot berbahan baku lokal yang dapat diterapkan pada petani maupun urban farmers tanpa bergantung pada produk impor.



BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Riset Penelitian Tahun pertama dilaksanakan dari bulan Februari hingga Desember Tahun 2017. Lokasi utama penelitian dilakukan di atap gedung TPN Fakultas Teknologi Industri Pertanian samping, Universitas Padjadjaran Kampus Jatinangor, Jawa Barat sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7.



LOKASI PENELITIAN



Gambar 7. Lokasi Penelitian



4.2. Rancangan Riset Penelitian “Modifikasi Sistem Fertigasi Autopot pada Budidaya Tanaman Hortikultura Bernilai Ekonomi Tinggi” dilaksanakan dalam dua tahapan penelitian. Penelitian tahap pertama (tahun 1) dilaksanakan menggunakan metode rekayasa dan metode deskriptif analitis. Metode rekayasa digunakan dalam merancang sistem fertigasi Autopot Modifikasi 02. Rancangan Autopot Modifikasi 02 pada tahun pertama digunakan untuk budidaya tanaman sayuran daun (kangkung). Prinsip dasar rancangan irigasi menggunakan prinsip floating system dengan kontrol tinggi muka air dan sirkulasi menggunakan prinsip bejana berhubungan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8 berikut ini.



(a). Auto watering; (b). Floating system; (c). netpot dan media tanam; (d). sayuran; (e). tinggi larutan nutrisi dalam floating system



Gambar 8. Sketsa rancangan Autopot Modifikasi 02 Selanjutnya sistem Autopot Modifikasi 02 dibangun dan diujicobakan untuk budidaya sayuran dalam greenhouse yang dibangun untuk pelaksanaan penelitian. Dalam tahapan ini metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Analitik dengan mengamati kinerja sistem fertigasi Autopot Modifikasi 02 pada pertumbuhan dan produksi tanaman. Selain itu juga diamati kondisi fisik thermal dalam larutan nutrisi dan media tanam untuk melihat kondisi sebaran nutrisi pada sistem. Parameter yang diamati antara lain adalah kondisi mikroklimat, pertumbuhan tanaman, penggunaan air konsumtif, dan kualitas larutan nutrisi. Hasil pengamatan dilapangan dianalisis untuk mengetahui nilai koefisien tanaman dan kehandalan sistem fertigasi autopot berdasarkan nilai efisiensi irigasi, keseragaman irigasi, keseragaman pertumbuhan tanaman, keseragaman produksi dan efisiensi penggunaan air. 4.3. Data, Teknik Pengumpulan dan Sumber Data Data yang diamati dalam penelitian ini meliputi data mikroklimat dalam greenhouse, kondisi larutan nutrisi, parameter pertumbuhan, dan penggunaan air konsumtive. Secara rinci pengambilan data selama penelitian dijelaskan berikut ini ; 1. Pengukuran Mikroklimat Greenhouse Pengukuran Mikroklimat Greenhouse dilakukan setiap hari selama masa tanam pada pagi hari pukul 07.00 WIB. Parameter mikroklimat yang diukur adalah:



a. Suhu (oC) minimum dan maksimum b. Kelembaban relatif (RH) (%) minimum dan maksimum c. Intensitas cahaya matahari diukur dengan lux meter setiap pukul 07.00 WIB, 12.00 WIB dan 17.00 WIB. 2. Pengamatan Nutrisi (EC, pH, TDS, DO, Salt) Nutrisi untuk pertumbuhan tanaman merupakan campuran dari pupuk AB mix, dan air yang digunakan berasal dari pemanenan air hujan. Pemberian nutrisi diaplikasikan dengan sistem fertigasi supaya pemberian air lebih optimal. Campuran air dan nutrisi yang digunakan adalah 100 liter air ditambahkan 1 liter pupuk AB mix (500 ml pupuk A + 500 ml pupuk B). Pengamatan kondisi kualitan nutrisi dilakukan setiap hari pada pukul 7.00 WIB. Parameter pengamatan nutrisi tersebut adalah: a. Nilai konduktivitas elektrik (EC) (mS) diamati dengan alat EC meter b. pH larutan diamati dengan alat pH meter c. Total Padatan Terlarut (TDS) (ppm) dihitung dengan nilai EC x 500 ppm. d. Demand Oxygen (DO) (mg/L) diamati dengan EC meter setiap hari e. Salt (kadar garam yang terlarut dalam air) diamati dengan EC meter setiap hari 3. Pengukuran parameter pertumbuhan dan hasil produksi Pengukuran parameter pertumbuhan dilakukan tiga hari sekali selama masa tanam yaitu saat mulai pindah tanam dan berakhir pada saat panen. Parameter yang diukur adalah: a. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai ujung tanaman. b. Bobot hasil panen, dilakukan pada saat panen. 4. Pengukuran penggunaan air Konsumtive Prosedur pengukuran penggunaan air konsumtive untuk tanaman dengan mengukur volume nutrisi hari sebelumnya dan volume nutrisi hari sesudah. Dengan rumus berikut : ∆V = V − V Dimana: ∆V = Volume nutrisi terpakai untuk tanaman (L)



V = Volume nutrisi hari sebelumnya (L) V = Volume nutrisi hari sesudah (L) 4.4. Pengambilan/Pemilihan Sampel Pengamatan kondisi suhu dan karakteristik fisik dan kimia dalam larutan nutrisi dilakukan pada setiap talang. Satu tanki nutrisi di distribusikan untuk 3 talang, dalam penelitian ini digunakan 3 tangki nutrisi, sehingga total talang yang digunakan sebanyak 9 talang dengan ukuran 2 meter. Pengamatan pertumbuhan dilakukan pada masing masing tanaman yang dicoba. Dalam satu talang digunakan untuk 15 tanaman sayuran selada dengan jarak antar tanaman 15 cm 4.5.Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh selama penelitian kemudian diolah dan dianalisis sebagai berikut : a. Analisis Mikroklimat di dalam Greenhouse Analisis



mikroklimat



mengetahui



tingkat



didalam



greenhouse



kesesuaian



kondisi



digunakan



untuk



mikroklimat



untuk



pertumbuhan tanaman. Pengamatan kondisi mikroklimat yang dilakukan meliputi suhu maksimum dan minimum, kelembaban maksimum dan minimum serta intensitas cahaya matahari yang diterima. b. Analisis penggunaan air konsumtive per tanaman Analisis penggunaan air konsumtif dilakukan pada setiap tahap tumbuh tanaman. Perhitungan dilakukan dengan membagi total penggunaan air dibagi dengan jumlah tanaman



sebagaimana



persamaan berikut : = c. Analisis keseragaman Analisis keseragaman meliputi keseragaman irigasi, keseragaman pertumbuhan dan dan keseragaman produksi. Analisis keseragaman



dilakukan dengan menggunakan persamaan Cristiansen Uniformity berikut ini : CU = 100 1 −



∑|X − x| ∑X



Dimana : CU = Tingkat Keseragaman (%) Xi



= parameter keseragaman (kedalaman air irigasi, pertumbuhan, dan produksi) = Rata – rata parameter keseragaman



d. efisiensi penggunaan air irigasi Efisiensi penggunaan air (WUE) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan dibawah ini : WUE (kg ∙ m ) =



hasil produksi total penggunaan air



Hasil produksi dinyatakan dalam satuan kg, total air yang digunakan untuk menghasilkan produk dinyatakan dalam m3 serta efisiensi penggunaan air (WUE) dinyatakan dalam satuan kg/m3.



BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI 5.1. Rumah Tanaman (Greenhouse) Rumah tanaman (atau Greenhouse) adalah sebuah bangunan di mana tanaman dibudidayakan. Sebuah rumah kaca terbuat dari gelas atau plastik; yang membuat menjadi panas karena radiasi elektromagnetik yang datang dari matahari memanaskan tumbuhan, tanah, dan barang lainnya di dalam bangunan ini. Greenhouse juga dapat membantu tanaman terhindar dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, antara lain suhu udara yang terlalu rendah, curah hujan yang terlalu tinggi, dan tiupan angin yang terlalu kencang. Fungsi greenhouse di daerah tropis seperti Indonesia lebih ditekankan sebagai sarana pelindung tanaman terhadap iklim ekstrim, terutama mengurangi intensitas cahaya matahari, terpaan curah hujan, dan mengurangi intensitas serangan hama penyakit (Widyastuti, 1993). Konsep greenhouse adalah berdasarkan greenhouse effect. Menurut Boutet dan Terry (1987), radiasi gelombang pendek yang masuk ke dalam greenhouse diubah menjadi gelombang panjang karena melewati bahan penutup, yaitu atap dan dinding serta dipantulkan oleh lantai maupun bagian kontruksi greenhouse. Radiasi gelombang panjang yang terperangkap di dalam greenhouse menyebabkan naiknya suhu udara di dalam greenhouse. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diperhatikan bentuk greenhouse maupun sirkulasi udara didalamnya. Dari berbagai jenis atap greenhouse, maka dapat ditentukan beberapa jenis-jenis bahan yang digunakan untuk membuat atap tersebut, ini digunakan untuk mendapatkan radiasi



sinar



matahari



yang



maksimal.



Karakteristik



yang



digunakan



untuk



mempertimbangkan pemilihan bahannya tersebut adalah karakteristik fisik (Tabel 1), thermal, optik, dan harga bahan tersebut. panjang gelombang tersebut adalah kaca, polyethylene (PE), dan polyvinylchloride (PVC). Tabel 1. Karakteristik fisik beberapa bahan atap greenhouse



Karakteristik fisik



Uraian Transparansi Kekuatan Resistansi Terhadap Panas Anti debu



Kaca Baik sekali Baik Baik sekali Baik



PE Baik Cukup Kurang Baik



PVC Baik sekali Baik Baik Kurang



Anti droplet Toleransi terhadap cuaca



Baik Baik sekali



Kurang Cukup



Baik Baik



Karakteristik thermal bahannya meliputi transsimivity,absorptivity,dan reflectivity, dari segi optik atap greenhouse perlu mempunyai karakterisitk dapat meneruskan sebanyak mungkin sinar tampak yang diperlukan tanaman untuk fotosintesis (Tabel 2). Tabel 2. Karakterisitk thermal beberapa bahan atap greenhouse Jenis Bahan



PAR (%)



Kaca PE



71-92 85-87



PVC



71-92



Ketebalan (mm) 3.0 0.05 0.10 0.05 0.01



Absorptivitas Transmisivitas Reflektivitas 0.05 0.15 0.45 0.65



0.95 0.85 0.75 0.45 0.25



0.05 0.1 0.1 0.1 0.1



Dari bahan tersebut yang paling populer adalah PE, ini diakibatkan dengan adanya tambahan UV stabilizer harganya cukup relatif muran dan daya tahan yang cukup baik, dan bersifat fleksibilitas yang cukup tinggi. Selain bahan yang fleksibilitas, ada juga bahan yang bersifat kaku, namun cukup baik juga untuk digunakan sebagai bahan dari atap greenhouse, yaitu antara lain corrugated fiberglass, acrylic, dan polycarbonate (Tabel 3). Tabel.3 Karakteristik tambahan pada beberapa bahan atap greenhouse Jenis Bahan corrugated fiberglass



PAR(%) 60-88



acrylic 1 lapis acrylic 2 lapis



93 83



polycarbonate 1 lapis polycarbonate 2 lapis



87 79



Umur(tahun) Kelebihan 7-15 Murah,kuat, dan mudah 20 Murah, tahan UV dan cuaca 5-10



Ringan, terhadap tekanan



Kekurangan Mudah terbakar



Mudah tergores, terbakar, dan rapuh tahan Mudah tergores, tidak tahan Uv, dan cuaca



Selain konstruksi atap pada bangunan greenhouse, diperhatikan pula konstruksi dan struktural bangunan yang lain, ini ditujukan agar tanaman yang terletak di dalam greenhouse dapat melakukan proses secara nyaman. Pada bagian dinding ruangan, ruangan harus cukup tinggi agar tanaman dan orang agar dapat bekerja dengan nyaman.



Tinggi dinding ruangan sebaiknya tidak kurang dari 2 meter. Kemiringan atap juga perlu diperhatikan agar aliran air dari atap dapat berjalan dengan lancar, kemiringan atap sekitar 28⁰ dianggap sebagai kemiringan minimalnya. Akses pintu juga diperhatikan, pintu yang cukup lebar diperlukan sebagai jalan lalu lintas manusia atau kendaraan yang sedang memindahkan atau mengeluarkan tanaman atau sisa tanaman, tanah, dan lain-lain. Rumah tanaman di daerah tropika perlu memperhatikan kriteria bukaan rumah tanaman harus merupakan kombinasi yang baik antara bukaan untuk ventilasi dan proteksi terhadap air hujan, kerangka konstruksi harus cukup kuat sebagai antisipasi terhadap kemungkinan angin kencang., dan biaya pembangunan harus cukup murah dan tata letaknya mempertimbangkan kemungkinan perluasan area rumah tanaman. Rancang bangun yang sesuai untuk iklim tropika adalah modified standard peak greenhouse. Bentuk atap berundak dengan kemiringan tertentu mempercepat aliran air hujan ke arah ujung bawah atap. Kemiringan sudut atap 25-35º tergolong optimal dalam mentransmisikan radiasi matahari, untuk daerah tropika basah, atap rumah tanaman sebaiknya menggunakan bahan plastik film yaitu Polyethylene dengan UV stabilizer karena memiliki umur pakai lebih lama, selain itu untuk menghindari proses degradasi fotokimia akibat komponen ultraviolet dari radiasi matahari. Budidaya tanaman pada umumnya dilakukan di lahan terbuka dengan media tanam berupa tanah. Namun teknik budidaya tersebut memiliki risiko tanaman terkena hama dan penyakit yang sangat tinggi. Pengontrolan kondisi tanaman pun sulit dilakukan dengan lebih teliti dan akurat. Kondisi lingkungan yang berubah atau tidak stabil juga menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya kualitas tanaman dan kuantitas produksi. Greenhouse atau rumah tanaman merupakan suatu bangunan dimana tanaman dapat dibudidayakan dengan pengontrolan sistem yang lebih baik. Tiap wilayah memiliki bentuk dan desain greenhouse yang berbeda sesuai dengan iklim dan kondisi geografisnya. Bagi wilayah yang memiliki iklim subtropis, desain greenhouse ditujukan untuk memerangkap panas karena kondisi udara lingkungan bersuhu dingin. Sedangkan bagi Indonesia yang beriklim tropis basah, desain greenhouse ditujukan



untuk



melindungi tanaman dari hama dan penyakit tanaman serta mengeluarkan panas dari dalam greenhouse ke luar. Greenhouse dibuat sebagai tempat budidaya tanaman seperti tomat, paprika, melon dan lain-lain. Pembuatannya green house memerlukan rancangan



yang optimal baik dari segi desain, keamanan, keawetan, maupun faktor biaya. sehingga perhitungan rancangan dengan metode optimasi perlu dilakukan agar



diperoleh



rancangan greenhouse yang tepat. Greenhouse didesain dengan tipe atap modified standard peak sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 18 berikut ini. Tipe ini sesuai dengan kondisi iklim di lokasi penelitian. Rumah tanaman dibangun diatas atap gedung dengan dimensi 20 meter x 4 meter (Gambar 18 ). Karena berada diatas bangunan maka rumah tanam dirancang tanpa dinding agar sirkulasi udara tidak terganggu sehingga suhu tidak terlalu tinggi. Rancangan



Gambar 11. Rancangan Detail Greenhouse Penyesuaikan biaya produksi dalam pembuatan greenhouse maka bahan yang digunakan adalah rangka baja ringan dan atap popropelene. Proses pembuatan dan hasil akhir rumah tanaman atau greenhouse yang dibangun dapat dilihat pada Gambar 12 berikut.



Gambar 12. Proses Pembuatan dan Hasil Akhir Rumah Tanaman 5.2. Karakteristik Media Tanam Media tanam diartikan sebagai media yang digunakan untuk menumbuhkan tanaman, tempat akar tumbuh dan berkembang. Media ini digunakan tanaman sebagai tempat berpegangnya akar, agar tajuk tanaman dapat tegak dan kokoh berdiri di atas media tersebut. Selain itu, media tanam digunakan sebagai sarana untuk menghidupi tanaman



karena



tanaman



mendapatkan



makanan



untuk



pertumbuhan



dan



perkembangannya dengan cara menyerap unsur hara yang terkandung di dalam media tanam (Suryanto, 2012). Menurut Nelson (1978) dalam Iqbal (2006), pemilihan media tanam yang baik didasarkan pada empat kriteria sebagai berikut



:



(1)



dapat



menjadi



tempat



penyimpanan hara untuk tanaman, (2) mempunyai kemampuan menyimpan



air



untuk tanaman, (3) tidak menghalangi terjadinya pertukaran udara antara akar dengan atmosfer di atas media dan (4) mempunyai kemampuan daya dukung mekanis untuk tanaman.



Tanaman yang dibudidayakan secara hidroponik dapat tumbuh optimal bila didukung dengan penggunaan media tanam yang baik. Media tanam



yang baik



dapat mendukung daerah perakaran untuk memperoleh nutrisi, air, dan oksigen. Media tanam hidroponik memiliki persyaratan antara lain steril dan bersih, dapat menyimpan air sementara, porus, memiliki pH netral, tidak mudah lapuk, bebas racun dan hama penyakit, serta tidak menimbulkan reaksi kimia yang mengganggu pertumbuhan tanaman. Media tanam hidroponik dapat menggunakan berbagai macam bahan seperti pasir, batu bata, styrofoam, arang sekam, busa, cocopeat, kerikil, rockwool, air, bahkan udara (Lestari, 2009). Karakteristik fisik media tanam menjadi dasar dalam pemilihan media yang cocok digunakan dalam self watering fertigation system. Sistem self watering fertigation yang menggunakan sistem irigasi bawah permukaan mensyaratkan penggunaan media tanam yang mampu menyerap air dan nutrisi dan mengalirkannya ke atas ke daerah perakaran. Dengan demikian sistem ini membutuhkan media tanam yang memiliki kapasitas menahan air yang cukup tinggi. Diantara media tanam yang biasa digunakan, media yang memiliki kapasitas memegang air tinggi diantaranya adalah arang sekam, rockwool dan cocopeat. Tabel xx berikut ini menggambarkan karakteristik fisik tiga media tanam yang dicobakan dalam penelitian ini.



Tabel 4. Karakteristik Fisik Media Tanam Karakteristik Fisik Kapasitas Pegang Air Porositas Ukuran Partikel pH Kapilaritas Kehilangan Evaporasi Berat Jenis Penggunaan Ulang Kesesuaian System Daya Tahan Struktur Media



Rockwool tinggi tinggi serat 7,1 tinggi tinggi rendah Tidak biasa NFT, DFT, FS sedang



Media Tanam Cocopeat tinggi sedang medium 6,5 tinggi tinggi rendah tidak biasa Substrat sedang



Arang Sekam tinggi sedang medium 6,0 tinggi tinggi rendah tidak biasa Substrat sedang



Karakteristik Fisik Kapasitas Tukar Kation Sterilisasi



Rockwool tinggi ya



Media Tanam Cocopeat ya



Arang Sekam ya



Berdasarkan Tabel 8 diatas diketahui bahwa media tanam cocopeat dan arang sekam memiliki nilai pH di bawah tujuh. Sebagian nutrisi tanaman dapat diserap oleh tanaman dengan mudah pada kisaran pH antara 5.5 – 6.5, dengan demikian media tanam cocopeat dan arang sekam lebih sesuai untuk digunakan sebagai media tanam. Selain itu kedua media tanam ini relatif mudah didapatkan dan tidak terlalu mahal. Selain itu, media tanam cocopeat memiliki keunggulan untuk digunakan sebagai media tanam dalam proses persemaian karena lebih mudah dalam proses penanaman benih. Namun demikian, pada sistem fertigasi yang menggunakan air sebagai kultur budidayanya seperti NFT, DFT dan Rakit Apung, penggunaan media tanam cocopeat maupun arang sekam dapat menyebabkan terbentuknya endapan yang berasal dari kedua jenis media tanam tersebut. Hal ini dapat mengganggu kerja pompa dalam mensirkulasikan larutan nutrisi. Untuk itu dalam budidaya tanaman sayuran dengan sistem fertigasi Autopot Modifikasi dengan prinsip dasar sistem rakit apung ini akan digunakan rockwool sebagai media tanamnya. 5.3. Karakteristik Kondisi Mikroklimat Kondisi iklim lingkungan menjadi salah satu penentu keberhasilan budidaya hidroponik dalam sebuah rumah tanaman. Parameter iklim dalam rumah tanaman yang dijadikan indikator diantaranya adalah intensitas cahaya, suhu lingkungan dan kelembaban udara. 5.3.1. Intensitas Cahaya Cahaya matahari adalah sumber energi utama bagi kehidupan seluruh makhluk hidup didunia. Bagi tumbuhan khususnya yang berklorofil, cahaya matahari sangat menentukan proses fotosintesis. Fotosintesis adalah proses dasar pada tumbuhan untuk menghasilkan makanan. Makanan yang dihasilkan akan menentukan ketersediaan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (http://afriathinks.blogspot.com). Menurut (http://www.silvikultur.com) cahaya merupakan faktor penting terhadap berlangsungnya fotosintesis, sementara fotosintesis merupakan proses yang menjadi kunci dapat berlangsungnya proses metabolisme yang lain di dalam tanaman.



Pengaruh cahaya juga berbeda pada setiap jenis tanaman. Tanaman C4, C3, dan CAM memiliki reaksi fisiologi yang berbeda terhadap pengaruh intensitas, kualitas, dan lama penyinaran oleh cahaya matahari (Onrizal, 2009). Selain itu, setiap jenis tanaman memiliki sifat yang berbeda dalam hal fotoperiodisme, yaitu lamanya penyinaran dalam satu hari yang diterima tanaman. Perbedaan respon tumbuhan terhadap lama penyinaran atau disebut juga fotoperiodisme, menjadikan tanaman dikelompokkan menjadi tanaman hari



netral,



tanaman



hari



panjang,



dan



tanaman



hari



pendek



(http://thejeber.wordpress.com). Kekurangan cahaya matahari akan mengganggu proses fotosintesis dan pertumbuhan, meskipun kebutuhan cahaya tergantung pada jenis tumbuhan. Selain itu, kekurangan cahaya saat perkembangan berlangsung akan menimbulkan gejala etiolasi, dimana batang kecambah akan tumbuh lebih cepat namun lemah dan daunnya berukuran kecil, tipis dan berwarna pucat ( tidak hijau ). Gejala etiolasi tersebut disebabkan oleh kurangnya cahaya atau tanaman berada di tempat yang gelap. Cahaya juga dapat bersifat sebagai penghambat (inhibitor) pada proses pertumbuhan, hal ini terjadi karena dapat memacu difusi auksin ke bagian yang tidak terkena cahaya (http://kampoengpintar.blogspot.com). Cahaya yang bersifat sebagai inhibitor tersebut disebabkan oleh tidak adanya cahaya sehingga dapat memaksimalkan fungsi auksin untuk penunjang sel – sel tumbuhan sebaliknya, tumbuhan yang tumbuh ditempat terang menyebabkan tumbuhan – tumbuhan tumbuh lebih lambat dengan kondisi relative pendek, lebih lebar, lebih hijau, tampak lebih segar dan batang kecambah lebih kokoh (http://afriathinks.blogspot.com). Pertumbuhan pada tumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pertumbuhan pada tumbuhan adalah cahaya matahari. Cahaya matahari sangat dibutuhkan oleh tumbuhan hijau karena cahayanya diperlukan untuk membuat makanannya sendiri. Pengaruh cahaya juga berada pada setiap jenis tanaman. Selain itu, setiap jenis tanaman memiliki sifat yang berbeda dalam hal fotoperiodisme, yaitu lamanya penyinaran dalam satu hari yang diterima tanaman. Perbedaan respon tumbuhan terhadap intensitas cahaya matahari juga berpengaruh terhadap kondisi fisik tumbuhan. Gambar 13 berikut menunjukkan rata rata intensitas cahaya matahari pada tiga waktu pengukuran yang berbeda di lokasi penelitian.



Intensitas Cahaya (Lux)



90,000 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 Pagi



Siang



Sore



Waktu Pengamatan Intensitas Cahaya Matahari



Gambar 13. Intensitas Cahaya Matahari lokasi Penelitian 5.3.2. Suhu Lingkungan Tanaman kangkung tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang sulit. Salah satu syarat yang penting adalah air yang cukup, terutama untuk kangkung air. Bagi kangkung darat apabila kekurangan air pertumbuhannya akan mengalami hambatan, sehingga perlu dilakukan penyiraman. Pada budidaya secara hidroponik menggunakan sistem fertigasi autopot modifikasi pemberian air dilakukan secara otomatis. Tanaman kangkung dapat tumbuh dengan baik pada suhu lingkungan antara 25 oC – 30 oC. Grafik dibawah ini



Suhu Udara (oC)



menggambarkan kondisi suhu lingkungan pada lokasi penelitian. 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0



12345678910111213141516 HST Suhu Harian Minimum



Suhu Harian Maksimum



Suhu Harian Rata Rata



Gambar 14. Kondisi suhu lingkungan di lokasi penelitian Gambar 14 diatas menunjukkan bahwa suhu lingkungan di lokasi penelitian sesuai dengan syarat tumbuh tanaman kangkung. 5.3.3. Kelembaban Udara Lingkungan Selain suhu lingkungan dan intensitas cahaya matahari, faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman sayuran adalah kelembaban udara. Kangkung mempunyai daya adaptasi cukup luas terhadap kondisi iklim tropis dan dapat ditanam di berbagai daerah atau wilayah di Indonesia. Kangkung dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai dataran tinggi (pegunungan) + 2000 mdpl, dan diutamakan lokasi lahanya terbagi atau sinar matahari yang cukup (Rukmana, 1994). Kebutuhan sinar matahari untuk tanaman kangkung adalah 400-800 footcandles yang akan mempengaruhi pertumbuhan optimum. Oleh karena itu, kangkung dapat tumbuh pada lahan terbuka tetapi tidak terlalu panas (Bandini dan Azis, 2001). Untuk pertumbuhan kangkung diperlukan iklim yang toleran. Pertumbuhan kangkung biasanya optimal bola dipengaruhi oleh suhu daerah setempat. Suhu yang dibutuhkan tanaman kangkung yaitu rata-rata 20-300 C dengan kelembaban daerah (RH) dibawah 60 % (Nazaruddin, 2000). Gambar 15 berikut menunjukkan bahwa kelembaban udara rata-rata di lokasi lingkungan kurang dari 60 % sehingga sesuai untuk budidaya tanaman kangkung.



Kelembaban Udara (%)



120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0



12345678910 11 12 13 14 15 16 HST RH Minimum



RH Maximum



RH Rata Rata



Gambar 15. Kondisi kelembaban udara lingkungan 5.4. Perancangan Sistem Fertigasi Autopot Modifikasi Sistem fertigasi autopot modifikasi (selanjutnya di sebut Automod) yang digunakan untuk budidaya sayuran daun dibuat dengan menggunakan prinsip dasar hidroponik sistem rakit apung. Tanaman sayuran dibudidaya secara mengapung diatas larutan nutrisi yang ditampung pada sebuah bak media. Larutan nutrisi dialirkan dari sebuah tanki nutrisi menggunakan prinsip bejana berhubungan. Dengan demikian air akan otomatis berhenti mengalir pada saat tinggi larutan nutrisi pada bak media sama dengan tinggi titik input air. Rancangan sistem fertigasi Automod untuk sayuran daun dapat dilihat pada Gambar 16 berikut ini. Bak media dibuat dengan menggunakan papan kayu yang dilapisi lembaran plastic terpal untuk menampung air. Sedangkan larutan nutrisi disimpan pada sebuah jerigen berkapasitas 30 L. Tinggi larutan nutrisi pada bak media dijaga tetap setinggi 6 cm. Sistem fertigasi Automod yang dibuat dapat dilihat pada Gambar 17. Jumlah lubang tanam dibuat sebanyak 50 lubang untuk menampung 100 netpot yang berisi 5-6 tanaman per netpot.



Gambar 16. Rancangan Sistem Fertigasi Automod untuk Sayuran Daun



Gambar 17. Sistem Fertigasi Automod untuk Sayuran Daun



5.5. Uji Kinerja Autopot Modifikasi Setelah sistem fertigasi Automod langkap berikut dilakukan proses pindah tanam tanaman kangkung yang sudah disemai terlebih dahulu. Tanaman kangkung dapat mulai dipindah kedalam sistem fertigasi Automod setelah berumur 7-10 hari setelah semai (HSS). Dalam satu netpot diisi dengan 5 buah tanaman kangkung dengan menggunakan media tanam rockwool. Media tanam berfungsi sebagai media berpegang tanaman agar dapat berdiri tegak. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 18.



Gambar 18. Budidaya Sayuran Kangkung Menggunakan Sistem Fertigasi Automod



BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA



Rencana tahapan berikutnya dalam penelitian tahun kedua yang berjudul “Modifikasi dan Pengembangan Sistem Fertigasi Autopot Untuk Budidaya Tanaman Hortikultura”, difokuskan pada modifikasi dan uji kinerja sistem Fertigasi Autopot untuk budidaya tanaman sayuran buah. Komoditas yang dicobakan berupa tanaman tomat sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 19 berikut.



Gambar 19. Rencana Penelitian Tahun Berikutnya



BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN



7.1. Kesimpulan 1. Atap bangunan gedung perkantoran dan fasilitas umum seperti gedung perguruan tinggi memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam mengembangkan sistem pertanian perkotaan (urban farming). Budidaya hidroponik tanaman hortikultura cocok diterapkan pada sistem pertanian perkotaan ini. Salah satunya dengan menggunakan sistem fertigasi autopot yang telah dimodifikasi (Automod) sehingga tidak bergantung pada produk impor. 2. Sistem fertigasi automod memiliki kinerja sistem yang sangat baik dilihat dari nilai nilai keseragaman irigasi, nilai keseragaman pertumbuhan dan produksi serta nilai efisiensi penggunaan air 7.2. Saran Perlu dikembangkan sistem yang mampu menampung budidaya sayuran secara komersial Penggunaan prinsip bejana berhubungungan memiliki kelemahan, karena sistem baru dapat berjalan jika tangki nutrisi bersifat vakum sehinga kapasitasnya terbatas. Untuk itu perlu dicoba



DAFTAR PUSTAKA



Agustina, H. 2009. Efisiensi Penggunaan Air pada Tiga Teknik Hidroponik untuk Budidaya Amaranthus viridis L (Bayam) .Makalah. Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia: Depok. Agustin, D. A., Riniarti dan Duryat. 2014. Pemanfaatan Limbah Gergaji dan Arang Sekam Sebagai Media Sepih untuk Cempaka Kuning (Michelia champaka). Jurnal Sylva Lestari Volume 2 No 3 Halaman 49-58. Agoes, D. 1994. Berbagai Jenis Media Tanam dan Penggunaannya. Penebar Swadaya: Jakarta. Albaho, M., B. Thomas and A. Christopher. 2008. Evaluation of Hydroponic Techniques on Growth and Productivity of Greenhouse Grown Bel Pepper and Strawberry. International Journal of Vegetable Science 14: 23-40. Alexander, T. dan D. Parker. 1994 -2002. The Best of the Growing Edge. New Moon Publishing, Inc: New York. Allen, R. G., L. S. Pereira, D. Raes and M. Smith. 2006. Crop Evapotranspiration: guidelines for computing crop water requirements. FAO Irrigation and Drainage Paper No. 56: Rome. Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Airan Sungai. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Ayars, J. E., C.J. Phene, R. B. Hutmacher, K. R. Davis, R. A.Schoneman, S. S.Vail and R. M. Mead. 1999. Subsurface drip irrigation of row crops : a review of 15 years research at the Water Management Research Laboratory. Agric. Water Manage 42 (1) 1- 27. Elsevier B. V. Brooks, P. D., J. M. Stark., T. Preston and B. B. Mclnteer. 1989. Diffusion Method To Prepare Soil Extracts for Automated Nitrogen 15 Analysis. Soil ScienceSociety of America Journal. Brouwer, C. and W. Heibloem. 1986. Irrigation Water Management: Irrigation Water Needs. Food and Agriculture Organization. Rome. Buck, J. S. 2008. The Use of Ground Parboiled Fresh Rice Hulls as an Alternative Horticultural Root Subtrate Component for Containerized Greenhouse Crop Production. University of Arkansas: United States. Bugbee, B. 2003. Nutrient Management in Recirculating Hydroponic Culture. The South Pasific Soilless Culture Conference: New Zealand. Ciptaningtyas, D. 2011. Simulasi Pola Sebaran Suhu Media Tanam Arang Sekam pada Sistem Hidroponik Substrat Dengan Menggunakan ComputationalFluid Dynamics (CFD). Skripsi. Institut Pertanian Bogor: Bogor.



Defriyadi, Y. S. 2014. Pengendali Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban Pada Rumah Kaca dengan Metode PID .Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Bengkulu: Bengkulu. Doorenbos, J and W. O. Pruitt. 1977. Crop Evapotranspiration: guidelines for predicting crop water requirements. FAO Irrigation and Drainage Paper No.24: Rome. Doorenbos, J and A. H. Kassam. 1979. Yield Respons to Water. Irrigation and Drainage Paper Volume 33. Food and Agriculture Organization of the United Nations: Rome. Douglas, J. S. 1985. Advance Guide to Hydroponics. Perhalm Books: London. Dunne, T. and L. B. Leopold. 1978. Water in Enviromental Planning. W. H. Freeman and Company: New York. Dwiratna, Sophia, Dita Komalasari, Bambang Aris Sistanto. 2016. Modifications and Performance Test of Autopot System Using Simple Device. Globelic International Conference. Bandung Edmond, J. B., A. M. Musser and F. S. Andrews. 1957. Fundamentals of Holticulture : A Textbook Design for Courses in General Holticulture. Mc Graw Hill Book Company Inc: Texas. Epstein, E. 1997. The Science of Composting. CRC Press: New York. Fah, J. 2006. Hydroponics Made Easy 2nd Edition: A Guide to Hydroponic Growing The Revolutionary Autopot Way. Agromatic Corporation Pty Limited. Frank, A. B., R. E. Barker and J. D. Berdahl. 1987. Water Use Efficiency of Grasses Grown Under Controlled Andfield . Agronomy Journal 79. Garcia-Tejero, I. F., V. H. Duran-Zuazo, J. L. Muriel-Fernandez and C. R. RodriguezPleguezuelo. 2011. Water and Sustainable Agriculture. Springer: Berlin. Ginting, C. 2010. Analisis Pertumbuhan Selada (Lactuca sativa) Dibudidayakan Secara Hidroponik Pada Musim Kemarau dan Penghujan. Agriplus Vol. 20No 1 Januari 2010 ISSN 0854-0128. Hansen, V. E., W. O. Israelsen dan G. E. Stringham. 1979. Irrigation Principles and Practices. John Wiley and Sons Inc: New York. Hansen, V. E., W. O. Israelsen dan G. E. Stringham. 1986. Dasar-dasar dan Praktek Irigasi. Penerbit Erlangga: Jakarta. Harris, D. 1988. Hydroponics : The Complete Guide to Gardening Without Soil. A Practical Handbook for Beginners, Hobbyists and Commercial Growers. New Holland Publisher: London. Hendra, H. A. dan A. Andoko. 2014. Bertanam Sayuran Hidroponik. PT. Agromedia Pustaka: Jakarta. Hermansyah, R. 2015. Kajian Data Suhu Udara, Kelembaban Relatif Udara dan Intensitas Cahaya Matahari Terhadap Perkembangan Tanaman Selada Merah (Lactuva sativa L) di Luar dan di Dalam Rumah Kaca. Skripsi.. Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Universitas Padjadjaran.



James, L. G. 1988. Principle of Farm Irrigation System Design. John Wiley and Sons Inc: Canada. Junior, J. Benton Jones. 2005. Hydroponics: A Partical Guide for the Soilless Grower Second Edition. CRC Press: New York Kafkafi, U. and J. Tarchitzky. 2011. Fertigation: a Tool for Efficient Fertilizer and Water Management. International Fertilizer Industry Association and International Potash Institute: Paris. Mas'ud, H. 2009. Sistem Hidroponik dengan Nutrisi dan Media Tanam Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Hasil Selada. Media Penelitian dan Pengembangan Sulawesi Tengah 2 (2). Michael, A. M. 1978. Irrigation Theory and Practises Volume 2. Terjemahan. Vikas Publishing House PVT LTD: New Delhi. Miller, J. H. and N. Jones. 1995. Organic and Compost Based Growin Media For Tree Seedling Nurseries. The World Bank: Washington DC. Morimoto, Y. and Y. Hashimoto. 1991. Application of Fuzzy Logic and Neural Network to The Process Control of Solution pH in Deep Hydroponic Culture. IFAC/ISHS Workshop. Matsuyama, Japan. Nisa, S. N. 2014. Uji Komparasi Media Tanam Arang Sekam dan Cocopeat pada Metode Hidroponik Substrat Tanaman Selada Lollo Rossa. Skripsi. Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Universitas Padjadjaran. Patterson, S. 2015. 7 Steps to Make an Autopots Hydroponic System. Retrieved from Do It YourSelf: http://doityourself.com Resh, H. M. 1985. Hydroponic Food Production. Woodbridge Press Publishing Co: California. Rubatzky, V. E. and M. Yamaguchi. 1997. World Vegetable : Principle, Production and Nutritive Value 2nd Edition. Chapman and Hall: New York. Rukmana, R. 1994. Bertanam Selada dan Andewi. Kanisius: Yogyakarta. Rosliani, R. dan N. Sumarni. 2005. Budidaya Tanaman Sayuran dengan Sistem Hidroponik. Balai Penelitian Tanaman Sayuran: Bandung. Savage, A. J. 1985. Hydroponics Worldwide : State of The Art in Soilless Crop Production. Honolulu, HI: International Center for Special Studies. Sinclair, T. R., C. B. Tanner and J. M. Bennett. 1984. Water use efficiency in crop production. Bioscience 34. Singh, A., N. Aggarwal, G. S. Aulakh and R. K. Hundal. 2012. Ways to Maximize Water Use Efficiency in Field Crops. Greener Journal of Agricultural Science 2 (4).



LAMPIRAN Lampiran 1. Draft luaran artikel



Kajian Perubahan Suhu Lingkungan terhadap EC dan pH Larutan Nutrisi Pada Sistem Fertigasi Autopot



Sophia Dwiratna1, Nurpilihan Bafdal1, Dwi Rustam Kendarto1



Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung – Sumedang, km. 21 Email: [email protected]



ABSTRAK



Kemampuan tanaman hidroponik untuk berproduksi sangat tergantung pada interaksi antara pertumbuhan tanaman dan kondisi lingkungannya. Faktor lingkungan yang menyebabkan produksi tomat rendah salah satunya perubahan suhu dimana perubahan tersebut dapat mempengaruhi nilai EC (Electrical Conductivity) dan pH (potential of hydrogen) pada larutan nutrisi. Kondisi nilai EC dan pH larutan nutrisi akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif analitik, dengan meneliti dan mengamati pengaruh antara variabel EC, pH, dan suhu lingkungan pada budidaya tanaman secara hidroponik. Hasil penelitian menunjukan suhu lingkungan yang tinggi dapat mempengaruhi EC larutan nutrisi pada autopot dan EC tersebut dipengaruhi dari pH awal ketika pembuatan nutrisi. nilai suhu lingkungan, suhu larutan, EC, dan pH saat penelitian mempengaruhi laju pertumbuhan tanaman sehingga tidak optimal. Suhu lingkungan rata-rata adalah 28,1°C, sedangkan suhu maksimum rata-rata mencapai



36,3°C, nilai EC pada masa vegetatif yaitu 1,5-2,5 mS/cm sedangkan pada masa generatif 2-3 mS/cm. Sedangkan nilai pH pada masa vegetatif 6,5-6,7 dan masa generatif berkisar 6,2-6,4. Nilai tersebut cukup optimal dalam pertumbuhan tanaman pada sistem autopot. Kata kunci: hidroponik, fertigasi, Suhu, pH, EC(Electrical Conductivity)



PENDAHULUAN Hidroponik adalah tren dalam budidaya tanaman, karena memberikan kesan baru untuk kegiatan budidaya tanaman khususnya aneka jenis sayur yang sebelumnya terkesan ribet dan kotor. Metode hidroponik menggunakan larutan nutrisi mineral dalam air tanpa menggunakan tanah untuk proses pertumbuhan tanaman. Teknik hidroponik bermacammacam dibagi menjadi enam jenis, yaitu Wick, Deep Water Culture (DWC), Ebb dan Flow (Flood & Drain), Drip (recovery atau nonrecovery), Nutrient Film Technique (NFT) dan Aeroponik. Ada ratusan variasi pada sistem hidroponik, tetapi semua metode hidroponik adalah variasi dan kombinasi dari jenis dasar (Domingues dkk, 2012). Hidroponik dengan menggunakan self watering system atau disebut autopot system. Sistem ini merupakan pemberian air otomatis tanpa menggunakan listrik dan pompa, Nurpilihan (2000) berpendapat bahwa agar selalu dicarikan inovasi ataupun teknologi baru yang murah, ramah lingkungan dan tidak memerlukan biaya tinggi agar teknologi yang diterapkan dapat diadopsi oleh petani di pedesaaan (rural farming) ataupun dikembangkan dalam konteks pertanian perkotaan (urban farming). Sistem ini memberikan hasil pemberian air yang sangat efisien. Pemberian air yang mengalir pada saluran autopot dapat bersamaan diiringi dengan pemberian nutrisi dan pupuk atau dinamakan fertigasi. Unsur utama tanaman hidroponik dengan bantuan air, maka selain faktor lain ketergantungan terhadap larutan nutrisi menjadi salah satu faktor penentu yang paling penting dalam menentukan hasil dan kualitas tanaman (Toshiki, 2012). Sedangkan pada tanaman tomat membutuhkan unsur hara makro dan mikro untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Dimana unsur tersebut sudah tersedia pada pupuk AB Mix yang berupa cairan pekat antara berbagai unsur hara makro maupun mikro. Ada 2 variabel utama yang harus



dipertimbangkan dalam larutan nutrisi, yaitu konduktivias listrik / Electrical Conductivity (EC) dan potensi ion hydrogen (pH). Konduktivias listrik / Electrical Conductivity (EC) larutan hara dalam hidroponik dapat mewakili jumlah total garam dalam larutan nutrisi yang juga merupakan indikator jumlah ion untuk tanaman. Nilai EC yang tinggi dapat mengambat serapan hara dengan meningkatkan tekanan osmotik, sedangkan nilai EC yang rendah dapat mempengaruhi kesehatan tanaman (Ibrahim dkk, 2015). Sedangkan larutan untuk proses penanaman hidroponik tomat ceri membutuhkan nilai EC yang berbeda setiap fase. Pada fase pertumbuhan atau vegetatif dibutuhkkan nilai EC berkisar antara 1-1,5 mS/cm. Setelah dewasa atau menjelang berbunga/berbuah yang disbut fase generatif, EC bisa ditingkatkan sampai 2,5-5 mS/cm. Pada umumnya, angka EC lebih dari 4 akan menimbulkan toksisitas pada tanaman (Untung, 2000). Perubahan suhu lingkungan dapat mempengaruhi nilai Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik. Hal ini sesuai dengan (Karsono, dkk, 2002) yang menyatakan bahwa temperatur tinggi mengakibatkan reaksi kimia semakin cepat. Peningkatan suhu akan mengakibatkan reaksi kimia dalam larutan semakin cepat dan pergerakan ion-ion dalam larutan aktif dan cepat. Peningkatan ini akan megakibatkan nilai Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik semakin meningkat Pada tanaman tomat membutuhkan pH larutan yang direkomendasikan adalah 5,5 sampai 6,5. Perubahan tingkat pH akan berpengaruh terhadap aktivitas fotosintesis tanaman, Karena CO2 mudah larut dalam air dan menurunkan pH. Karena nilai pH dapat memberikan pengaruh terhadap aktivitas tanaman, tingkat pH dalam larutan air harus dikontrol untuk menghindari tanaman mengalami kerusakan (Said dkk, 2015). Nilai pH merupakan indikator yang sangat penting dalam menentukan kesuburan karena ketersediaan unsur hara bagi tanaman sangat berkaitan dengan nilai pH nutrisi. Semakin rendah nilai pH berarti semakin asam larutan nutrisi tersebut. Populasi dan kegiatan mikroorganisme di dalam nutrisi juga sangat dipengaruhi oleh pH. Sutiyoso (2003) menyatakan bahwa dalam perjalanan pertumbuhan suatu tanaman, akan terjadi perubahan fluktuasi nilai pH. Peningkatan suhu dalam larutan nutrisi dapat menyebabkan oksigen terlarut di dalamnya berkurang. Daerah perakaran merupakan bagian tanaman yang paling peka terhadap fluktuasi suhu. Kandungan oksigen yang tidak cukup mengakibatkan



permeabilitas akar terhadap air menurun dan menimbulkan terjadinya penimbunan bahan beracun. Kondisi tersebut berakibat pada penyerapan air dan hara yang tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Dalam sistem hidroponik sangat penting untuk menjaga stabilitas suhu larutan agar tetap optimal untuk mendukung pertumbuhan akar dan menjaga efektivitas penyerapan hara oleh akar. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh perubahan suhu lingkungan terhadap kualitas larutan nutrisi pada sistem fertigasi autopot. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2017 sampai dengan Desember 2017. Bertempat di greenhouse rooftop FTIP Gdg TPN Universitas Padjadjaran Jatinangor. Penenlitian utama yang dilakukan diantaranya pengukuran kondisi lingkungan setiap hari selama periode tumbuh tanaman. Parameter yang diukur adalah suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya. Pengukuran perubahan suhu lingkungan greenhouse terhadap suhu larutan nutrisidilakukan secara berkala satu jam sekali pada pukul 06.00 hingga18.00 WIB tiga hari dalam masa vegetatif dan generatif. Pengukuran dilakukan dengan termohygrometer yang terpasang di dalam greenhouse, sementara suhu larutan nutrisi didapatkan dengan mengukur suhu larutan dalam drum dan autopot menggunakan termometer yang berbeda. Pengukuran pH dan EC larutan nutrisi dilakukan secara berkala pada pukul 6.0



WIB hingga 18.00 WIB tiga hari dalam masa vegetatif dan generatif. Pengukuran



pH diukur dengan pH meter dan pengukuran EC diukur dengan EC meter. Pengamatan dan pengukuran morfologi tanaman parameter yang digunakan adalah tinggi tanaman dan bobot buah.Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada saat panen. Pengukuran dilakukan setiap minggu dengan cara mengukur menggunakan alat ukur seperti meteran. Selain itu diamati pula kondisi tanaman serta proses pertumbuhan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran mikroklimat di dalam greenhouse dilakukan setiap hari selama satu periode masa tanam tanaman tomat cherry setiap jam dari pukul 06.00 hingga 18.00 WIB. Adapun parameter yang diukur adalah intensitas cahaya, suhu dan kelembaban udara. Suhu



dan kelembaban udara menggunakan termohygrometer sedangkan intensitas cahaya matahari menggunakan lux meter. Pengukuran mikroklimat dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan di dalam greenhouse dan sebagai kontrol agar kondisi lingkungan di dalam greenhouse mendekati kondisi optimum untuk pertumbuhan tanaman tomat cherry. Karakteristik iklim mikro tersebut di dalam greenhouse bersifat khas, karena berada pada lingkungan yang terkendali. Intensitas cahaya, suhu dan kelembaban udara yang tercatat di dalam greenhouse berfluktuasi dari hari ke hari tergantung cuaca harian. Intensitas Cahaya Intensitas cahaya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman tomat cherry, utamanya pada spektrum radiasi PAR (Photosynthetically Active Radiation) sangat dibutuhkan dalam proses fotosintesis. Darmawan dan Baharsiah (2010) mengemukakan apabila intensitas cahaya cukup tinggi, maka makin tinggi suhu makin tinggi pula laju fotosintesis. Akan tetapi apabila intensitas cahaya rendah, maka kenaikan suhu tidak diikuti oleh kenaikan fotosintesis, karena pada keadaan demikian reaksi terang tidak berlangsung cukup. Selain mempengaruhi fotosintesis, cahaya mempengaruhi perkembangan struktur atau morfogenesisnya. Proses morfogenik bermula dari perkecambahan biji dan perkembangan kecambah hingga mencapai puncaknya pada pembentukan bunga dan biji yang baru. Kecambah yang tumbuh dalam gelap akan teretiolasi, saat batangnya harus menerobos



media



tanam



dan



dedaunannya



perlu



mencapai



cahaya



untuk



mengembangkan daun dan akar dan juga untuk membentuk klorofil (Salisbury dan Ross 1992). Hasil intensitas cahaya selama penelitian dapat dilihat dalam grafik berikut.



Intensitas…



07:0006:00



Intensitas cahaya



120000 100000 80000 60000 40000 20000 0



waktu



Gambar 1. Grafik Rata-rata Intensitas Cahaya Perjam Pada penelitian menunjukan bahwa rata-rata intensitas cahaya berlangsung tinggi pada pukul 11.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB. Pada pukul 11.00 WIB intemsitas cahaya rata-rata sebesar 7692,261 cd/m2, sedangkan pada pukul 12.00 WIB intensitas cahaya rata-rata mencapai 5596,8 cd/m2. Intensitas cahaya selama penelitian berlangsung tergantung kondisi matahari yang menyinari greenhouse karena setiap harinya berbedabeda, selain itu bergantung juga pada tinggi tanaman yang berada pada greenhouse. Pada masa vegetatif berbeda dengan masa generatif, dimana pada masa generatif tanaman tomat sudah tumbuh tinggi sehingga ketika pengukuran lux di titik yang sudah ditetapkan lebih rendah hasil intensitas cahayanya dibanding pada masa vegetatif. Suhu Suhu mempengaruhi kecepatan pertumbuhan maupun sifat dan struktur dari tanaman. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan antara lain : laju pertumbuhan, transpirasi dan penyerapan hara. Hasil dari fotosintesis yang dipengaruhi oleh suhu menentukan perkembangan jaringan meristem, baik pada ujung akar maupun ujung dahan yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan ke bawah dan ke atas yang disebut pertumbuhan primer (Darmawan dan Baharsjah 2010). Suhu udara sangat penting artinya karena suhu udara merupakan penduga suhu tanaman dan suhu tanah yang mempengaruhi laju proses biokimia.



40 35 30 rata-rata suhu harian T minimum



25 20 15 0



20



40



60



80



100



Gambar 2. Suhu Rata-rata harian Rata-rata suhu udara di dalam greenhouse selama penelitian berlangsung yaitu 28.1oC, rata-rata suhu udara maksimum 36,4oC dan suhu udara minimum yaitu 19,8 oC. Tanaman tomat dapat tumbuh dan berproduksi pada rentang suhu 10 – 40 oC, tetapi tanaman ini tumbuh dan berproduksi optimal pada kisaran suhu udara 16-20 oC (malam hari) dan 14 – 17oC (siang hari) (Geisenberg dan Stewart 1986 dalam Impron (2011). Ratarata suhu udara dalam greenhouse yang tercatat 28.1oC termasuk suhu udara yang cukup optimum untuk tanaman tomat. Salisbury dan Ross (1995) menjelaskan tentang suatu fenomena yang menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan tanaman ditingkatkan oleh suhu siang dan malam yang bergantian. Pembentukan buah tomat ditingkatkan oleh suhu malam yang rendah. Dari hasil pengukuran selama penelitian puncak suhu maksimum terjadi antara pukul 12.00 WIB hingga 14.00 WIB.



40 35 30 25



T rata-rata perjam 20 15



18:00



17:00



16:00



15:00



14:00



13:00



12:00



11:00



10:00



09:00



08:00



07:00



06:00



10



Gambar 3. Grafik Rata-rata Suhu Udara Greenhouse Bila dibandingkan dengan suhu udara di luar greenhouse selama penelitian berlangsung rata-rata suhu udara di dalam greenhouse lebih besar 1,1 oC dibanding suhu udara di luar greenhouse. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh efek rumah kaca (greenhouse effect), radiasi surya yang ditransmisikan dalam greenhouse menyebabkan panas terperangkap dalam rumah tanaman yang mengakibatkan naiknya suhu udara dibanding lingkungan sekitarnya. Kelembaban Udara Kelembaban udara (relative humidity) menentukan kapasitas udara untuk menampung uap air sehingga laju kehilangan air dari tanaman (transpirasi) sangat tergantung kelembaban. Kelembaban udara juga memegang peranan penting dalam hal pendugaan tingkat serangan hama dan penyakit tanaman. Kelembaban udara erat kaitannya dengan suhu udara. Semakin tinggi suhu udara, makin besar kapasitas udara untuk menampung uap air per satuan volume udara.



RH



100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0



07:0006:00



Rh rata-rata



waktu



Gambar 4. Grafik RH Perjam 100 80 60 40 20



RH harian RH Max RH min



0 0



50



100



150



Gambar 5. Kelembaban Udara Rata-rata



Seperti yang ditunjukan pada grafik pada Gambar 11 rata-rata kelembaban udara 58%, kelembaban udara maksimum 100% dan kelembaban udara minimum 33%. Gardner et al. (1991) mengemukakan tingkat kelembaban udara menentukan : 1). berbagai proses yang berhubungan dengan pergerakan atau perpindahan air (dalam bentuk gas, cair maupun padat, di dalam tanaman dan di luar tanaman), yakni evaporasi dan transpirasi, translokasi hara dan hara, membuka dan menutupnya stomata. 2). pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme di lingkungan tanaman, baik yang merugikan (patogen, penyebab penyakit) maupun yang menguntungkan. Kelembaban udara berhubungan dengan tingkat radiasi surya sebagai sumber energi panas, sehingga berkaitan juga dengan



suhu udara. Menurut Handoko (1995) kelembaban udara merupakan fungsi dari suhu, jika suhu udara bervariasi maka kelembaban udara juga bervariasi. Hubungan Suhu Larutan dengan Suhu Lingkungan Pengaruh perubahan suhu lingkungan terhadap suhu air nutrisi didapatkan untuk mengetahui apakah ada pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu nutrisi pada autopot. Hubungan suhu air dan suhu lingkungan dapat dilihat pada grafik berikut ini: Gambar 12. Grafik Hubungan Suhu Air dengan Suhu Lingkungan Air adalah salah satu media yang digunakan pada hidroponik dengan sistem autopot dengan aspek fertigasi. Air berfungsi sebagai pengikat unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Untuk tetap menjaga suhu larutan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman maka pengecekan suhu terus dipantau.



suhu



45 40 35 30 25 20 15 10 5 0



T lingkungan T nutrisi



waktu



a. Hubungan Suhu lingkungan dan suhu larutan fase vegetatif



40 35 30 25 20 15 10 5 0 07:00 06:00



T Lingkungan T udara



b. Hubungan Suhu lingkungan dan suhu larutan fase generatif Gambar 6. a dan b Hubungan Suhu lingkungan dan suhu larutan Suhu larutan yang terlalu tinggi akan mempersulit tanaman untuk menyerap unsur hara. Larutan nutrisi lebih baik dijaga pada kisaran suhu 25-30 ºC jika melebihi dari suhu tersebut maka air tersebut tergolong pada air hangat dan menyebabkan panthogen hidup di larutan nutrisi (contoh Pythium) ini berpengaruh pada berkurangnya kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan akar tanaman (Asmana,2017). Gambar 12 a menunjukkan bahwa hubungan suhu air dengan suhu lingkungan yang diambil berkala seminggu sekali selama fase vegetatif yaitu dari 15 HST hingga 30 HST. Pada grafik tersebut menunjukkan nilai suhu air yang terus meningkat seiring dengan peningkatan suhu lingkungan. Semakin tinggi suhu lingkungan, maka suhu air akan meningkat. Ini disebabkan karena posisi drum nutrisi dan autopot yang menghadap sejajar dengan penyinaran matahari. Pada pukul 06.00 suhu lingkungan rata-rata sebesar 18,9ºC dan suhu air sebesar 20,19 ºC. Sedangkan pada suhu lingkungan pukul 13.00 meningkat jadi sebesar 37,03ºC dan suhu air menjadi 30,9ºC. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi lingkungan maka semakin tinggi pula suhu air. Sama halnya pada saat fase generatif nilai suhu larutan terus meningkat ketika suhu lingkungan meningkat. Namun selama fase generatif yaitu dari 30 HST hingga 80 HST rata-rata kenaikan suhu maksimum lebih rendah daripada masa vegetatif suhu maksimum rata-rata mencapai 35,1 ºC pada pukul 12.00 WIB dan suhu larutan 27,9ºC. Hal ini disebebkan karena pada bulan Sepember saat pengukuran fase vegetatif matahari lebih terik dibandingkan pada saat bulan Oktober pada fase generatif. Salah satu perlakuan yang dilakukan untuk mengatasi suhu udara yang terlalu tinggi adalah melakukan spray cooling system dengan menyalakan nozzle. Ketika nozzle dinyalakan, maka akan keluar butiran-butiran air yang tersebar beberapa wilayah untuk menurunkan suhu udara. Nozzle tersebut dipasang dibawah atap greenhouse dimana letaknya menyebar searah pada tanaman. Penyalaan spray cooling system dilakukan ketika suhu udara memasuki lebih dari 30ºC. Namun terdapat suatu kendala ketika melakukan penyalaan pada spray cooling system, air yang keluar dari nozzle berupa butiran semprotan yang terlalu kasar sehingga tidak menurunkan suhu tetapi membasahi isi greenhouse, hal ini dapat memberi dampak berjamur pada tanaman tomat sehingga perlakuan menurukan



suhu tidak dilakukan. Hal ini tidak berdampak kasat mata pada pertumbuhan tanaman tomat ketika suhu meningkat tidak terjadi kelayuan bahkan mati. Pengaruh Perubahan Suhu Lingkungan Terhadap EC Larutan Nutrisi Perkembangan maupun pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh unsur-unsur cuaca seperti suhu lingkungan. Namun faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan tanaman adalah suhu dan panjang hari, sedangkan pada pertumbuhan hampir semua unsur cuaca sangat mempengaruhinya (Handoko1994). Perubahan suhu larutan nutrisi pada beberapa sample tanaman pada autopot dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar tanaman. Lingkungan luar yang berpengaruh, salah satunya suhu udara dalam greenhouse. Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh suhu udara. Perubahan beberapa derajat saja sudah menyebabkan perubahan yang nyata dalam laju pertumbuhan. Pada tahap tertentu dalam daur hidup tanaman, tiap spesies atau varietas mempunyai suhu minimum, (rentang) suhu optimum dan suhu maksimum. Di bawah suhu minimum ini tanaman tidak akan tumbuh; pada rentang suhu optimum, laju tumbuhnya paling tinggi; dan di atas suhu maksimum tanaman tidak akan tumbuh bahkan mati (Salisbury dan Ross 1995). Pengukuran suhu lingkungan dan Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik pada tiga sample autopot setiap satu rak. Data diambil setiap jam sepanjang hari dari pukul 06.00-18.00 wib berkala seminggu sekali selama fase vegetatif dari 15 HST hingga 30 HST. Hubungan suhu lingkungan dan Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada pengaruh suhu terhadap perubahan Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik.



EC



EC 2.25



2.55



2.20



2.50



1. 90



24.33



23.47



a. Fa se Ve ge tat



26.90 30.27 31.97 33.50



su hu



33.80 34.53



36.20



32.87



33.10



27.63



25.73



32.30



37.03



35.07



25.80



29.33



35.90



35.10



27.17



2. 00



18.93



18.53



w ak tu



1. 95



EC



30.80 EC 27.70 25.93



2. 05



2. 10



2. 15



b.Fase Generatif Gambar 7. Grafik Hubungan Suhu Lingkungan Terhadap EC



Suhu lingkungan yang semakin meningkat setiap jamnya berpengaruh terhadap nilai Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik pada tiap-tiap autopot setiap rak. Untuk mengetahui



hubungan



suhu



lingkungan



dengan



nilai



Electrical



Conductivity



(EC)/konduktivitas listrik dilakukan pengamatan pada 15 HST 22 HST dan 29 HST dimana merupakan periode pertumbuhan atau disebut juga fase vegetatif, yang ditentukan untuk mewakili tiap-tiap periode pertumbuhan. Dapat dilihat pada Gambar 13 a nilai EC mengalami naik turun tiap jamnya dimana ketika suhu larutan menurun pada pukul 13:00 WIB nilai Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik larutan nutrisi pun menurun berbanding terbalik



dengan



meningkatnya



suhu



lingkungan,



nilai



Electrical



Conductivity



(EC)/konduktivitas listrik suhu lingkungan mengalami penurunan menjadi 30,8°C. Nilai Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik tertinggi rata-rata pada pukul 18.00 WIB yaitu sebesar 2,13 , dan nilai EC terendah terjadi pada pukul 10.00 WIB yaitu mencapai 1,98 mS/cm dimana pada saat jam tersebut tanaman sedang aktif menyerap hara sehingga EC yang didapatkan rendah. Kepekatan larutan nutrisi dipengaruhi oleh kandungan garam total serta akumulasi ion-ion yang ada dalam larutan nutrisi. Konduktivitas listrik dalam larutan mempengaruhi metabolisme tanaman, yaitu dalam hal kecepatan fotosintesis, aktivitas enzim dan potensi penyerapan ion-ion oleh akar. Parameter keberhasilan dalam penyerapan nutrisi oleh akar dapat dilihat dengan mengetahui selisih nilai EC pada awal pemberian dan setelah aplikasi. Jika nilai EC pada awal pemberian berkurang setelah aplikasi, maka penyerapan unsur hara pada nutrisi berjalan dengan baik. Namun sebaliknya, jika nilai EC pada awal pemberian bertambah atau stagnan, maka penyerapan hara oleh akar terganggu. Pada fase vegetatif pemberian nutrisi tidak lebih dari 2,5 mS/cm pada drum nutrisi dan setelah dialirkan nilai EC yang terkandung dalam autopot cenderung berkurang hal ini berarti penyerapan unsur hara pada nutrisi berjalan dengan baik untuk fase pertumbuhan tanaman tomat. Berbeda pada grafik yang tertera pada Gambar 13 b dimana nilai kepekatan Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik lebih tinggi dibanding Gambar 13 a, hal ini karena pada kondisi fase generatif tanaman tomat membutuhkan hara lebih banyak daripada ketika 1



fase pertumbuhan guna untuk proses pembuahan pada tanaman tomat cherry sehingga EC dinaikan menjadi kurang dari 3 mS/cm karena rentan EC yang baik menurut (Untung,2000) adalah 2,5-5 mS/cm. Namun saat penelitian EC yang paling optimal untuk fase generatif tanaman tomat cherry adalah kurang dari 3 mS/cm saat dialirkan ke autopot EC kepekatan EC semakin berkurang karena adanya penyerapan unsur hara pada nutrisi oleh tanaman tomat. Ketika pukul 12.00 WIB nilai EC mulai mengalami penurunan nilai EC minimum terjadi pada pukul 12.00 WIB sebesar 2,28 mS/cm, dimana suhu lingkungan pada jam tersebut sedang meningkat. Namun semakin sore ketika udara mulai lembab nilai kepekatan larutan juga semakin meningkat. Nilai EC pada pertumbuhan generatif berpengaruh pada pertumbuhan buah tomat dan kadar kemanisan buah. Selain itu nilai EC sangat berpengaruh pada pertumbuhan tunas baru, ketika fase generatif tidak hanya berpengaruh pada proses pembuahan tetapi pada batang. Tunas lateral atau cabang sering kali muncul pada setiap antara batang tanaman tomat cherry upaya yang dilakukan saat penelitian adalah melakukan pewiwilan rutin setiap 2 hari sekali guna untuk membuang baik tunas maupun daun yang sudah tua bertujuan agar nutrisi yang diserap oleh tanaman terpusat pada batang utama sehingga akan menghasilkan kualitas buah yang baik. Pengaruh Perubahan Suhu Lingkungan Terhadap pH Larutan Nutrisi Menurut Moekasan, dkk (2008), pH merupakan kadar keasaman dan garam alkali dalam air dan terukur dalam skala 0 sampai 14. Makin rendah nilai pH maka menandakan makin asam suatu larutan dan semakin tinggi nilai pH menandakan makin basa atau alkali suatu larutan. Nilai pH normal pada suatu larutan adalah 7, namun pada pH optimum untuk suatu larutan nutrisi agar dapat tersedia bagi tanaman tomat adalah 5,5 sampai dengan 6,5. Pengukuran derajat keasaman (pH) merupakan faktor yang sangat penting dalam budidaya hidroponik. Nilai pH merupakan indikator yang sangat penting dalam menentukan kesuburan karena ketersediaan unsur hara bagi tanaman sangat berkaitan dengan nilai pH nutrisi. Semakin rendah nilai pH berarti semakin asam larutan nutrisi tersebut. Populasi dan kegiatan mikroorganisme di dalam nutrisi juga sangat dipengaruhi oleh pH. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Derajat keasaman (pH) suatu larutan nutrisi untuk budidaya hidroponik tanaman tomat cherry berada pada kisaran 5,5-6,5. Terjadi perubahan 2



nilai pH pada drum air dan autopot. Perubahan tersebut terjadi karena selama pertumbuhannya, tanaman tomat cherry menyerap nutrisi dalam bentuk kation dan anion sehingga terjadi fluktuasi pada nilai pH. Peristiwa semacam ini menunjukkan adanya pengaruh perubahan nilai pH terhadap penyerapan nutrisi oleh tanaman tomat cherry selama hidupnya. 6.8 6.7



pH



6.7 6.6 6.6



25.93



27.70



30.80



33.10



6.5



36.20



24.33 18.93



6.5



6.4



a. Fase Vegetatif suhu



35.07 35.10



suhu lingkungan 33.50



23.47 18.53



pH



6.4 6.4 6.3 6.3 6.2 6.2 6.1 6.1



b. b.



Fase Generatif Gambar 8. Grafik pH larutan nutrisi Data hasil pengukuran nilai pH larutan nutrisi dapat dilhat pada Gambar 13. Dari data pengukuran pH larutan nutrisi tersebut menunjukkan bahwa pH larutan nutrisi pada autopot cenderung mengalami fluktuasi pada setiap jam, pada talang air dengan kapasitas 1200 liter air dengan sumber air yaitu air hujan hasil pemanenan dari atap greenhouse kualitasnya cukup baik hanya saja sedimen yang terdapat pada atap greenhouse terbawa ke dalam talang. Untuk mengukur tingkat keasaman dari air tersebut maka perlu menggunakan alat, yaitu pH meter. 3



Hasil pengukuran menggunakan pH meter menunjukkan bahwa pada awal pertumbuhan tanaman tomat cherry ketika fase vegetatif pada autopot pH rata-rata berkisar 6 hingga 6,7 termasuk dalam kategori pH yang ideal, pada pukul 06.00 berkisar 6,5 ketika pukul 12.00 menurun menjadi 6,5 setiap suhu naik maka pH akan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa pada larutan nutrisi lebih banyak mengandung anion dibandingkan dengan kation. Kation adalah ion ion yang bermuatan positif antara lain NH4+, K+ , Ca2+, Mg2+, Cu2+, Mn2+ , Mo2+, dan Zn2+. Pada periode awal dan tengah pertumbuhan tanaman lebih banyak menyerap Anion. Anion adalah ionion yang bermuatan negatif antara lain NO3- , PO4



2-



, SO4



2-



dan BO3



3-



.



Hal ini sesuai dengan Sutiyoso (2003) yang menyatakan dalam perjalanan pertumbuhan tanaman mungkin akan ada perubahan pH atau pH akan mengalami naik dan turun. Misalnya pada tanaman yang masih kecil lebih banyak menyerap anion dan ketika tumbuh besar lebih banyak menyerap kation. Ketika fase generatif pH maksimum tanaman tomat yaitu mencapai 6,4 dan paling rendah 6,2. Perbahan pH terjadi dari berbagai faktor selain suhu diantaranya adalah faktor dari media tanam dan air baku. Media tanam yang dipakai adalah arang sekam dengan campuran zeolit 9:1, kandungan pH arang sekam cukup tinggi, yaitu antara 8,5 sampai 9.0 sehingga sangat baik digunakan untuk menigkatkan pH pada larutan nutrisi autopot. Pada dasarnya jika pH terlalu rendah atau dibawah 5 dapat menyebabkan penyerapan hara yang kurang baik oleh akar sehingga dapat menyebabkan pembusukan pada akar. Selain itu faktor yang mempengaruhi pH adalah air baku yang baik untuk melarutkan nutrisi hidroponik adalah air yang memiliki pH 7,0 atau netral. Air dengan pH kurang dari 7,0 bersifat asam, dan akan lebih asam ketika nutrisi hidroponik dilarutkan. pH air akan turun setelah nutrisi ab mix dilarutkan, hal ini disebabkan oleh kandungan unsur hara yang terdapat pada nutrisi ab mix, terutama unsur nitrogen. pH larutan nutrisi hidroponik harus dicek sesering mungkin. Perubahan pH larutan nutrisi ab mix berdampak langsung pada laju pertumbuhan tanaman. Analisis Data Model analisis regresi linear berganda ini bertujuan untuk menganalisis suhu lingkungan (X) yang mempengaruhi EC dan pH larutan nutrisi dalam autopot pada pertumbuhan tanaman tomat cherry. Berdasarkan hasil analisis regresi pada tabel 6 diatas menunjukan bahwa besarnya nilai yang didapat adalah 519,11881 dan untuk koefisien regresi variabel EC sebesar -39,949275. Koefisien untuk pH adalah sebesar -61,283818. Hasil pengujian sebagaimana pada tabel 7 diatas menunjukan bahwa besarnya nilai F hitung 26,12216334 4



pada tingkat signifikan 0,000107029. Menunjukan bahwa suhu lingkungan dapat mempengaruhi nilai EC dan pH larutan nutrisi dalam autopot. Berikut ini merupakan tabel koefisien korelasi dan koefisien determinasi dari analisis regresi linier berganda pengaruh suhu terhadap EC dan pH. Tabel 1. Parameter Hubungan Antara Suhu lingkungan dengan EC dan pH Coefficients Standard Error



t Stat



P-value



Lower 95%



Upper 95%



Lower 95,0%



Upper 95,0%



Intercept



519,12



77,73



6,68



5,51E-05



345,92



692,32



345,92



692,32



EC (mS/cm) pH



-39,95 -61,28



19,92 14,52



-2,005 -4,219



0,073 0,0018



-84,34 -93,64



4,44 -28,92



-84,34 -93,64



4,44 -28,92



Sumber: Data primer diolah, 2018 Tabel 2. Anova F Hitung Suhu Lingkungan Greenhouse Model



df



Regression



SS



MS



F



Significance F



2 287,53 143,76 26,12



Residual



10



55,04



Total



12 342,56



0,0001



5,50



Sumber: Data primer diolah, 2018 Tabel 3. Nilai R square Regression Statistics Multiple R



0,92



R Square



0,84



Adjusted



R



Square



0,81



Standard Error



2,34



Observations



13



Sumber: Data primer diolah, 2018 Dapat dilihat bahwa perubahan suhu lingkungan 80,7% mempengaruhi pada variabel EC dan pH selebihnya 19,3% adalah dari pengaruh lainnya yang tidak ada dalam model. Nilai R square sebesar 80,7% menunjukkan bahwa perubahan EC dan pH dapat dipengaruhi 5



oleh suhu lingkungan karena perubahan suhu lingkungan cenderung mempengaruhi reaksi kimia dalam larutan nutrisi sehingga Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik pada larutan meningkat.



KESIMPULAN Kenaikan suhu lingkungan mempengaruhi suhu larutan nutrisi. Semakin tinggi suhu lingkungan maka sumakin tinggi pula suhu larutan nutrisi. Suhu tertinggi terdapat pada pukul 12.00 hingga 14.00 WIB rata-rata suhu udara maksimum 36,4 oC. Sehingga berdapak kurang baik pada pertumbuhan tanaman tomat cherry; Nilai EC pada larutan nutrisi mengalami fluktuasi tergantung pada suhu lingkungan yang terjadi. Semakin tinggi nilai EC maka semakin rendah nilai pH. Namun pH yang didapat selama penelitian pada fase vegetatif terlampau tinggi yaitu berkisar 6,8 namun pada fase generatif pH yang didapatkan cukup optimal yaitu rata-rata 5,8. DAFTAR PUSTAKA Darmawan J dan Baharsjah J, 2010.Dasar-Dasar Fisiologi Tanaman. SITC, Jakarta. Handoko. 1994. Dasar penyusunan dan aplikasi model simulasi computer untukpertanian. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematikadan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. 112p. Harjadi, S. S. 1984. Pengantar Agronomi. Gramedia, Jakarta. Kartapradja, R. dan D. Djuariah, 1992.Pengaruh tingkat kematangan buah tomat terhadap daya kecambah, pertumbuhan dan hasil tomat.Buletin Penelitian Hortikultura Vol XXIV/2. Salisbury F dan Ross C. 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid II. ITB, Bandung Susila, A.D. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Agroforestry and Sustainable Vegetable Production in Southeast Asian Wathershed Project.SANREM-CRSPUSAID.131 hal. Subagyono, K. 2004. Teknologi Konservasi Air Pada Lahan Kering. Balitbang. Suhardiyanto, H. 2009. Teknologi Hidroponik untuk Budidaya Tanaman. Departemen Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian - IPB.Bogor. 28-40 Hal 6



Yamaguci M. 1983. World vegetables : principle, production and nutritive values. AVI Publishing company, Inc. Westport, Connecticut.



7