BAB 2. Biografi KH As - Ad Humam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

28



BAB II BIOGRAFI KH. AS’AD HUMAM



A. Latar Belakang Kehidupannya Tahun kelahiran KH. As’ad Humam, sebagaimana yang tercantum dalam KTP terakhirnya, adalah tahun 1933. Tentang hari, tanggal dan bulannya tidak tercantum dalam KTP, demikian pula dari pihak keluarga tidak ada lagi yang mengingatnya.1 Tampaknya keluarga KH. As’ad Humam adalah keluarga yang tidak mementingkan terhadap hari kelahiran maupun hari kematian seseorang. Sikap seperti ini jauh berbeda dengan sikap masyarakat Yogyakarta pada umumnya, yang biasanya sangat menganggap penting karena dikaitkan dengan kepercayaan akan nasib baik dan buruk dalam kehidupannya.2 KH. As’ad Humam dilahirkan dan dibesarkan di Kampung Selokraman,3 sebuah kampung kecil di pinggiran Kota Yogyakarta yang masuk wilayah Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta. Dari pusat kota Yogyakarta, letak Kotagede berada sekitar 7 km ke arah tenggara, sedang Kampung Selokraman berada sekitar 1 km ke arah tenggara dari pusat Kotagede. Di Kotagede inilah dulunya Kerajaan Mataram berpusat sebelum kemudian berpindah ke tengah-tengah kota Yogyakarta yang sekarang ini.4



1



Wawancara dengan H. Djumanuddin, adik kandung KH. As’ad Humam, Rabu, 31 Desember



2008. 2



Wawancara dengan H. Widodo, SH, Ketua Ta’mir Masjid Baiturrahman Selokraman, Rabu, 31 Desember 2008. 3 Wawancara dengan H. Djumanuddin, adik kandung KH. As’ad Humam, pada hari Rabu, 31 Desember 2008. 4 Wawancara dengan Arief Noor Hartanto, tokoh masyarakat Kotagede (Ketua DPRD Kota Yogyakarta), Senin, 5 Januari 2009.



29



Untuk sekarang ini, Kotagede lebih dikenal sebagai pusat kerajinan perhiasan yang terbuat dari perak, sehingga dikenal sebagai “Kota Perak”. Dibidang keagamaan, Kotagede juga dikenal sebagai masyarakat yang cukup religius. Di Yogyakarta umumnya orang akan segera menunjuk 3 K (Kauman, Karangkajen dan Kotagede) sebagai kantong basis Muhammadiyah yang kuat serta telah berhasil memunculkan tokoh-tokoh Muhammadiyah, baik tingkat regional maupun nasional, seperti KH. Kahar Muzakir, KH. Ahmad Rosyidi, KH. Amir dan masih banyak lagi.5 KH. As’ad Humam adalah merupakan putra dari pasangan suami-istri, H. Humam Siraj (1905-1975 M) dan Hj. Dalimah (1910-2001) yang menikah pada tahun 1930 Masehi. H. Humam ini merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara pasangan suami-istri Bapak dan Ibu Siraj bin H. Sidiq. Mereka adalah Sholeh, Muhsin, Mualim dan Humam. Sedang ibunya yang bernama Hj. Dalimah merupakan anak pertama dari 7 bersaudara pasangan suami-istri Somahardjo (1885-1945) dan Zaidah binti Kholil (1890-1975), mereka adalah (1) Hj. Dalimah (1910-2001), (2) Hadiyah (1913-1939), (3) Ngadilah (1916-2003), (4) Ahmad Wardi (1919-1989), (5) Afiatun (1922-1994), (6) Djuraimi (1925-1986), (7) Badjuri (1928-1993) dan (8) Maslichah (lahir 1932). Bapak Somahardjo, kakek KH. As’ad Humam dari jalur ibu ini, berasal dari Kutoarjo-Purworejo Jawa Tengah. Sedang H. Siraj, kakeknya dari jalur ayah, berasal dari Kotagede Yogyakarta. 6



5 Wawancara dengan H. Widodo, SH, Ketua Ta’mir Masjid Baiturrahman Selokraman, Selasa, 6 Januari 2009. 6 Wawancara dengan H. Djumanuddin, adik kandung KH. As’ad Humam, Sabtu, 2 Januari 2009.



30



Ayah KH. As’ad Humam, H. Humam Siraj, dilahirkan dan bertempat tinggal hingga wafatnya di Kampung Selokraman juga. Beliau adalah seorang guru agama (swasta) yang mengajar di SD Muhammadiyah Kleco Yogyakarta serta aktif sebagai muballigh yang menyampaikan dakwahnya dari kampung ke kampung di wilayah Kotagede dan sekitarnya. Beliau juga aktif di organisasi Muhammadiyah, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Kotagede periode tahun 1955-1958. Dan pada beberapa periode berikutnya beliau masih aktif sebagai anggota pimpinan. Disamping punya pekerjaan sebagai guru agama, beliau juga aktif berwiraswasta dibidang konveksi atau membuat pakaian jadi, yang sebelumnya telah dirintis oleh isterinya. Dari usaha konveksi ini kemudian beralih ke usaha imitasi (usaha kerajinan membuat perhiasan dari kuningan, tembaga dan logam) dengan merek “Gangsa” pada tahun 1952, yang kemudian berubah merek menjadi “Padi Mas”. Usaha imitasinya cukup berhasil sehingga bisa mengantarkan ekonomi keluarganya terpandang di lingkungannya. Di kemudian hari, usaha imitasi ini diteruskan oleh KH. As’ad Humam dan ditangannya merek “Padi Mas” menjadi sebuah merek yang cukup terkenal di Indonesia.7 KH. As’ad Humam adalah anak kedua dari 7 bersaudara, masing-masing adalah (1) Hj. Wasilah (1926-1999), (2) KH. As’ad Humam (1933-1996), (3) H. Djumanuddin (lahir 1936), (4) H. Djunaidi (lahir 1940), (5) Hj. Dayinah (lahir 1943), (6) H. Zahar (lahir 1944), dan (7) Abdul Djawad (1951-2003). Ketujuh bersaudara ini tidak ada seorangpun yang terjun menjadi pegawai negeri



7



Wawancara dengan H. Djunaidi, adik kandung KH. As’ad Humam, Ahad, 3 Januari 2009.



31



ataupun menjadi pimpinan formal di pemerintahan.8 Tampaknya darah wiraswasta yang diwariskan oleh H. Humam, ayah mereka, mengalir kuat dalam diri anakanaknya. Seluruh dari mereka bermata pencaharian sebagai wiraswasta dan berdagang. Usaha mereka tampak cukup berhasil, terbukti dari kemampuan mereka menunaikan ibadah haji. Untuk itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa KH. As’ad Humam berasal dari latar belakang keluarga yang cukup terpandang di lingkungannya, baik dan segi ekonomi maupun keagamaannya. Pada tahun 1960, saat berusia 27 tahun, KH. As’ad Humam menikah dengan seorang gadis dari Jember Jawa Timur yang bernama Chuzaimah (lahir 1943). Dari pernikahan dengan Chuzaimah ini lahir 2 anak perempuan, yaitu Kaelesha Afiati (lahir 1961) dan Espeerde Manfaati (lahir 1962). Namun karena permasalahan yang timbul dari pasangan ini tidak bisa diatasi, akhirnya mereka bercerai pada tahun 1963. Satu tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1964, KH. As’ad Humam menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang gadis berusia 21 tahun, yang bernama Iskilah dari Desa Karangsemut-Trimulyo Jetis Bantul. Iskilah merupakan anak bungsu dari 9 bersaudara pasangan Bapak-Ibu Hasan Mursyid. Mereka adalah Surat, Walijem, Maimunah, Salasah, Wardani, Walijo, Jaizah, Sarmidi dan Iskilah. Dari pernikahan yang kedua ini melahirkan 3 orang putri dan seorang putra, yaitu: (1) Erweesbe Maimanati (lahir 1965), (2) Sri Repsa Khanifati (lahir 1968), (3) Ahmad Syahadatan (lahir 1970), dan (4) Anna Markhamah (lahir 1972).9



8



Wawancara dengan H. Djumanuddin, adik kandung KH. As’ad Humam, Sabtu, 2 Januari



9



Wawancara dengan Hj. Iskilah, istri KH. As’ad Humam, Ahad, 4 Januari 2009.



2009.



32



B. Latar Belakang Pendidikannya Melihat latar belakang keluarganya, baik dari jalur ayah maupun ibunya tampak sekali bahwa KH. As’ad Humam dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga dan lingkungan yang taat beragama. Sehingga sudah barang tentu, baik ayah maupun ibunya, bercita-cita agar kelak putra-putrinya menjadi anak-anak sholeh sesuai dengan perintah agama. Sejak dini, orangtuanya sangat disiplin mendidik As’ad Humam bersama saudara-saudaranya untuk beribadah, terutama masalah shalat. Ayahnya mengarahkan mereka untuk senantiasa melaksanakan shalat tepat waktu secara berjamaah di masjid.10 Masjid Baiturahman yang sekarang ada di tengah-tengah Kampung Selokraman, tanahnya adalah berasal dari wakaf keluarga ayahnya, H. Humam.11 Di samping masalah shalat, orangtuanya juga mendidik langsung masalah pembelajaran membaca Al-Qur’an. Hal ini bisa dimengerti, karena memang ayahnya adalah seorang guru agama, muballigh, tokoh Muhammadiyah dan guru ngaji Al-Quran di lingkungannya. Pada tahap berikutnya KH. As’ad Humam belajar Al-Qur’an beserta tajwidnya dan dasar-dasar ilmu agama pada kakak iparnya, Kyai Suaman Habib (1915-2002), suami Hj. Wasilah (1926-1999). “Kyai Suaman Habib inilah yang paling besar andilnya dalam mendidik dan mengajarkan agama kepada Pak As’ad”, demikian dinyatakan oleh H. Djunaidi, adik kandung KH. As’ad Humam.12



10



Wawancara dengan H. Djumanuddin, adik kandung KH. As’ad Humam, Sabtu, 2 Januari



11



Wawancara dengan H. Widodo, SH, Ketua Ta.mir Masjid Baiturrahman, Senin, 5 Januari



12



Wawancara dengan H. Djunaidi, adik kandung KH. As’ad Humam, Senin, 5 Januari 2009.



2009. 2009.



33



K. Suaman Habib menikahi gadis Wasilah binti Humam Siraj pada tahun 1943. Saat itu, pemuda yang berasal dari Magelang ini nyantri di Selokraman pada Pondok Pesantren Ma’had Islami yang dikelola oleh Kyai Amir tidak jauh dari rumah H. Humam. Sejak saat itu, As’ad Humam yang masih berusia 10 tahun banyak belajar agama dari kakak iparnya ini. Bahkan sewaktu kakak iparnya pindah ke kota Ngawi Jawa Timur karena menjadi penghulu disana (1949), As’ad Humam ikut serta. Dengan demikian, hubungan KH. As’ad Humam dengan Kyai Suaman Habib tidaklah sekedar hubungan adik dengan kakak ipar, tetapi jauh dari itu, adalah hubungan seorang murid dengan guru. Hubungan yang demikian terus berlangsung sejak usia menjelang remaja, dewasa, tua bahkan sampai akhir hayatnya. Di era tahun 1980-1996, K. Suaman Habib secara rutin tiap malam Kamis mengisi Pengajian Kitab Riyadhus Shalihin dan Bulughul Maram yang diselenggarakan di rumah KH. As’ad Humam untuk masyarakat sekitar. Dan bila ada persoalan keagamaan yang muncul, maka K. Suaman Habib inilah yang menjadi orang pertama, untuk dimintai pendapatnya.13 K. Suaman Habib sampai akhir hayatnya (2002) tinggal dan menetap di Potrobangsan Magelang, dan menjadi salah seorang ulama terpandang di sana. Beliau termasuk ikut andil dalam mendirikan Universitas Muhammadiyah Magelang (UMM), dan sewaktu belum udzur karena usia, juga aktif mengajar sebagai dosennya. Ilmunya cukup luas terutama dalam masalah tafsir, hadits dan fiqih. Kitab-kitab kuning model pondok pesantren dikuasainya dengan baik, 13



2009.



Wawancara dengan H. Djumanuddin, adik kandung KH. As’ad Humam, Sabtu, 2 Januari



34



bahkan sanggup memberikan kritik terhadap pendapat-pendapat mazhab yang ada, termasuk pendapat-pendapat keputusan tarjih Muhammadiyah.14 Selain berguru dengan ayah dan kakak iparnya, ilmu-ilmu KH. As’ad Humam diperolehnya juga melalui lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal. Ketika berusia 6 tahun, pernah tinggal di Desa Cabean-Lendah Kulonprogo, ikut budenya Umi Kultsum (kakak H. Humam). Di sana sempat bersekolah di SR (Sekolah Rakyat) Muhammadiyah. Dua tahun kemudian kembali ke Kotagede dan melanjutkan sekolah di SR Muhammadiyah Kleco Kotagede hingga tamat pada tahun 1947.15 Di sini terjadi kejadian yang langka, sebab ketika sudah dinyatakan lulus, dia tidak melanjutkan ke sekolah menengah tetapi justru mendaftar ulang ke kelas 6 karena merasa belum sempurna ilmu pengetahuannya sebagai pemegang ijazah SR tersebut.16 Baru setahun kemudian, melanjutkan ke tingkat SLTP di Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Di Mu’allimin hanya selesai pada kelas 1 (satu), karena harus pindah ke kota Ngawi Jawa Timur mengikuti kakak iparnya, Kyai Suaman Habib yang menjadi penghulu (naib) di kota ini.17 Selain pada pagi hari belajar di SR Muhammadiyah Kleco, setiap ba’da maghrib hingga isya’ As’ad Humam belajar mengaji bersama teman-temannya yang berjumlah kurang lebih 25 anak di mushalla yang terletak tidak begitu jauh 14



Wawancara dengan Drs. Asrorudin Hadi, anak kandung K. Suaman Habib, Senin, 5 Januari



15



Wawancara dengan H. Djumanuddin, adik kandung KH. As’da Humam, Sabtu, 2 Januari



2009. 2009. 16



H. Syamsuhadi, Kumpulan makalah yang disampaikan dalam “Sarasehan Sehari Mengenang Gerakan Dakwah KH. As’ad Humam”, Balitbang LPTQ Nasional, Yogyakarta, 1996, halaman 37. 17 Wawancara dengan Drs. Asrorudin Hadi, anak kandung K. Suaman Habib, Senin, 5 Januari 2009.



35



dari rumahnya, tepatnya di Kampung Joyopranan, yang diasuh oleh H. Anwar, dan juga mengaji kepada H. Nur, seorang alim yang rumahnya di Kampung Boharen Kotagede.18 Sewaktu belajar di Mu’allimin dan beberapa bulan sebelumnya, di malam harinya selama dua kali dalam seminggu, yaitu setiap malam Senin dan malam Kamis, As’ad Humum belajar mengaji kepada Kyai Djohar, seorang ulama di Yogyakarta. Di masa yang sama juga aktif mengikuti pengajian tafsir Al-Qur’an yang diasuh oleh Kyai Basir di Masjid Agung Kauman. Antara tahun 1948-1949, aktif pula menjadi santri kalong19 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Di pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Munawwir ini, KH. As’ad Humam banyak menimba ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bacaan AlQur’an. Pesantren yang dikenal sebagai basis NU di DIY ini, memang dikenal sebagai pesantren Al-Qur’an.20 Di pertengahan kelas 2 belajar di Mu’allimin, As’ad Humam lalu pindah ke kota Ngawi Jawa Timur untuk mengikuti kakak iparnya, Kyai Suaman Habib, yang mendapat tugas sebagai penghulu di Kantor Departemen Agama di sana. Di kota ini melanjutkan sekolah di SMP PGRI dan berhasil mendapatkan ijazah.21



18



Dokumentasi Team Tadarus AMM berupa hasil wawancara langsung Ustadz M. Ridlo Hisyam dengan KH. As’ad Humam pada hari Jum’at 30 September 1995, dikutip tanggal 30 Desember 2008. 19 Santri kalong adalah santri yang tidak mukim di pondok pesantrennya. 20 Wawancara dengan H. Djumanuddin, adik kandung KH. As’ad Humum, Selasa, 6 Januari 2009. 21 Wawancara dengan Drs. Asrorudin Hadi, anak kandung Kyai Suaman Habib, Senin, 5 Januari 2009.



36



Pada tahun 1952, As’ad Humam kembali ke Yogyakarta. Berbekal ijazah SMP yang diperolehnya di Ngawi, dilanjutkannya sekolahnya di SGA (Sekolah Guru Bagian A) Muhammadiyah Yogyakarta. Namun baru sekitar setahun di SGA, tiba-tiba terserang penyakit pengapuran tulang belakang dan dirawat selama 1,5 tahun di RS Bethesda Yogyakarta. Penyakit inilah yang kemudian membuatnya tidak mampu bergerak leluasa. Sekujur tubuhnya dari kaki sampai kepala mengejang dan sulit untuk dibungkukkan. Shalatnyapun terpaksa dilakukan sambil duduk lurus tanpa bisa melakukan posisi ruku dan sujud. Bahkan hanya untuk menengok pun harus membalikkan seluruh tubuhnya. 22 Karena dalam perawatan di rumah sakit ini, membuat pendidikan formalnya terhenti. Namun hal ini tidak membuat semangat belajarnya ikut berhenti, justru tampak sebaliknya. Berbagai buku-buku agama, terutama karangan Prof. Hamka dan Imam Al-Ghozali, menjadi teman setia selama 1,5 tahun berbaring di RS Bethesda. Barangkali buku-buku tulisan Hamka dan Imam Ghozali yang banyak berisi nasehat dan ajaran tasawuf ini, ikut andil memompa semangat juang, pantang menyerah, tabah dan ikhlas menerima kenyataan cacat fisik yang disandangnya sampai akhir hayat.23 Kegemaran membacanya terus berlangsung hingga masa-masa tuanya. Kemanapun ia pergi, dalam tasnya tentu didapati kitab suci Al-Qur’an, buku-buku dan majalah. Majalah “Al-Muslimun”, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Pesantren Bangil yang berisi kajian masalah hukum itu, menjadi salah satu kegemarannya. Majalah lain yang menjadi langganannya adalah “Panji 22 23



2009.



Wawancara dengan H. Djunaidi, adik kandung KH. As’ad Humam, Senin, 5 Januari 2009. Wawancara dengan H. Djumanuddin, adik kandung KH. As’ad Humam, Selasa 6 Januari



37



Masyarakat” dan “Suara Muhammadiyah”. Sedang buku-buku kegemarannya adalah buku-buku yang menyangkut akhlak, tasawuf dan hukum Islam. Perpustakaan pribadinya, banyak menyimpan tulisan Hamka, Imam Ghozali dan Hasbi As-Shiddiqy.24



C. Pekerjaan Sehari-hari KH. As’ad Humam adalah seorang pengusaha yang sukses. Perusahaan imitasi dengan merk “Padi Mas” yang diwarisi dari ayahnya, H. Humam, semakin bertambah maju dibawah kepemimpinannya. Tak kurang dari 50 orang setiap harinya bekerja sebagai karyawan di perusahaannya ini yang memproduksi berbagai perhiasan imitasi seperti cincin, giwang, kalung, gelang, peniti, bros, tusuk konde, anting-anting, dan sebagainya. Merek “Padi Mas” cukup dikenal di kalangan penggemar imitasi, tidak hanya di pulau Jawa, tetapi sampai di seluruh propinsi di Indonesia.25 KH. As’ad Humam memiliki daya kreasi dan seni yang cukup tinggi. Model dan gaya perhiasan baru terus mengalir dari otaknya. Inilah yang membuat perusahaan “Padi Mas” bisa terus memenuhi selera pasar. Demikian diungkap oleh H. Djunaidi, adik kandung KH. As’ad Humam, yang juga seorang pengusaha kerajinan perak di Kotagede.26



24



Wawancara dengan H. Widodo, SH., teman dekat KH. As’ad Humum, Jum’at, 16 Januari



25



Wawancara dengan H. Ngatijo, karyawan Padi Mas, Sabtu, 17 Januari 2009. Wawancara dengan H. Djumanuddin, adik kandung KH. As’ad Humum, Senin, 5 Januari



2009 26



2009



38



Berkat usahanya yang sukses ini, menjadikan KH. As’ad Humam tidak hanya sekedar bisa menghidupi diri sendiri dan keluarganya, tetapi bisa menjadi seorang dermawan yang sangat dikenal di Yogyakarta. Ratusan masjid dan ribuan aktifitas dakwah di Yogyakarta telah menikmati kucuran infak dari tangannya. Demikian pula Team Tadarus Angkatan Muda Masjid dan Mushalla (Team Tadarus AMM), sebuah organisasi yang menghimpun para aktivis dakwah yang didirikan pada tahun 1983, hampir sepenuhnya dibiayai oleh dana yang diambilkan dari sebagian penghasilan perusahannya.27 Tidak hanya itu, beberapa aktifis dan karyawan “Padi Mas” yang telah ikut andil dalam menyukseskan misi dan usahanya telah pula dibiayai untuk menunaikan ibadah haji. Tercatat tidak kurang dari 20 orang yang telah berangkat menunaikan ibadah haji atas biaya dari perusahaan “Padi Mas” ataupun dari Team Tadarus AMM.28 Kini sepeninggal KH. As’ad Humam perusahaan “Padi Mas” diteruskan oleh putra-putrinya. Namun karena kecenderungan mereka dalam berwirausaha yang berbeda, perusahaan “Padi Mas” mulai nampak menurun. Jumlah karyawannya kini tidak lebih dari 10 orang. Sedang putra-putrinya lebih menekuni pada usaha penerbitan, percetakan, perdagangan dan konveksi.29



27



Wawancara dengan H. Djuhani, orang kepercayaan KH. As’ad Humum di “Padi Mas”, Rabu, 31 Desember 2008. 28 Wawancara dengan H. Yusa’ Fathudin, teman dekat KH. As’ad Humum, Kamis, 1 Januari 2009 29 Wawancara dengan H. Ponimin, karyawan “Padi Mas”, Sabtu, 17 Januari 2009



39



D. Profil Serta Kepribadiannya Bagi yang belum pernah bertatap muka langsung dengan KH. As’ad Humam, artinya baru melihat foto yang terpampang di cover buku Iqro’, tentu akan mengira bahwa KH. As’ad Humam itu fisiknya tinggi, besar dan tegap. Tetapi apabila sudah bertatap muka, perkiraan itu segera akan sirna. Karena bila dilihat dari keadaan fisik ternyata orangnya kecil, berat badan tidak lebih dari 50 kg, tinggi kurang dari 160 cm dan wajah biasa-biasa saja. “Wajah saya tidak seindah fotonya”, demikian suatu saat beliau berkelakar di depan kawan-kawan karibnya.30 Namun demikian kesan “low profile” tersirat jelas dari kesehariannya. KH. As’ad Humam bukanlah orang yang meledak-ledak dalam bicara tetapi tipe orang yang kalem, santai, rendah hati dan pandai bergaul.31 Namun dibalik itu, tersimpan



dalam



jiwanya



ketabahan



dan



ketekunan



yang



menonjol.



Kesuksesannya dalam mengelola perusahaan “Padi Mas”, demikian pula keberhasilannya dalam menyusun buku “Iqro” adalah bukti ketekunan dan kekerasan kemauannya ini. “Pak As itu keras kemauannya untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan”, demikian kata H. Syamsuhadi, teman sekolah sewaktu di Mu’allimin.32



30



Wawancara dengan Ustadz Ridlo Hisyam, teman dekat KH. As’ad Humam, Jum’at, 16 Januari 2009 31 Wawancara dengan H. Yusa’ Fathudin, teman dekat KH. As’ad Humum, Kamis, 1 Januari 2009 32 H. Syamsu Hadi, Kumpulan makalah yang disampaikan dalam “Sarasehan Sehari Mengenang Gerakan Dakwah KH. As’ad Humam”, Balitbang LPTQ Nasional, Yogyakarta, 1996, halaman 37.



40



Sifat lain yang menonjol pada dirinya adalah sifat kedermawanan. Hal ini diakui oleh banyak pihak, termasuk oleh Drs. RMA. H. Hanafi, Wakil Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menulis sebagai berikut: “KH. As’ad Humam adalah sosok pribadi muslim yang sholeh dan pejuang yang gigih. Beliau memiliki heroisme individual dan memiliki pula sifat-sifat heroisme sosial (kelompok) yang tinggi. Dalam masalah jihad bil amwal, nilai beliau menempati rangking teratas dari sekian banyak dermawan yang ada di Yogyakarta. Siang dan malam beliau senantiasa menginfakkan hartanya untuk kepentingan Islam. Beliau tidak pernah menampik permintaan seseorang. Kebersihan hati dan ketulusan beramalnya, sungguh patut ditiru oleh anak dan cucu kader penerus”.33 Demikianlah kesan yang ditangkap oleh Drs. RMA. H. Hanafi sebagai tokoh yang bergerak di dunia dakwah di Yogyakarta mengenai kedermawanan KH. As’ad Humam. Sayangnya Drs. RMA. H. Hanafi tidak melengkapi pernyataannya dengan angka-angka nominal ataupun urut-urutan tokoh dermawan lainnya. Sedangkan H. Chaerani Idris, tokoh pemuda dari Kalimantan Selatan yang pernah menjabat sebagai Direktur Nasional LPP TKA-TPA BKPRMI menjadi saksi atas kepribadian KH. As’ad Humam yang gemar bersilaturahim untuk menggalang ukhuwah Islamiyah. Dalam makalahnya H. Chaerani Idris menulis: “Sulit bagi kami untuk melihat dimana letak cacatnya almarhum. Sebagai manusia biasa sudah tentu beliau takkan luput dari kesalahan dan kelemahan. Tetapi yang selalu tampak di mata kami justru adalah segisegi kelebihannya. Beliau adalah seorang figur kyai yang amat bersahaja, sederhana, lugu, tawadlu’, pemurah, sangat hormat pada tamu, rajin bersilaturahim dan sangat mendambakan ukhuwah Islamiyah. Hal itu amat terkesan di mata kami atau siapapun ketika berkunjung ke tempat kediamannya atau sebaliknya beliau ketika berkunjung ke tempat kita dalam rangka memenuhi undangan, baik undangan pribadi, undangan 33



Ibid,. halaman 35.



41



keluarga maupun undangan atas nama lembaga/organisasi. Beliau tercatat sebagai orang yang sangat meperhatikan undangan, dari manapun datangnya. Beliau sangat sering dan senang bersilaturahim sekalipun ke tempat-tempat yang jauh, baik luar Yogyakarta maupun luar jawa, bahkan dengan biaya sendiri. Kondisi fisik beliau yang begitu lemah tidaklah menjadi penghalang baginya. Sungguh mengagumkan sekaligus mengundang rasa iba bagi orang yang melihatnya. Khusus dalam hal bersilaturrahim dan memenuhi undangan ini, BKPRMI mempunyai catatan tersendiri. Beliau hampir selalu hadir pada even-even penting. Mulai dari acara wisuda santri dari kota ke kota di berbagai propinsi hingga even-even nasional seperti MTQ Santri TKA-TPA, Festival Anak Sholeh (FASI), dan lain-lain. Barangkali itulah kesan kami yang terpenting tentang kepribadian almarhum. Suatu kepeloporan dan keteladanan almarhum yang merupakan bagian integral dari gerakan dakwah beliau.”34 Terbentuknya Team Tadarus “AMM” di tahun 1983, juga menjadi bukti sejarah akan semangat ukhuwah Islamiyah yang menggelora dalam dada KH. As’ad Humam. Dalam Team Tadarus “AMM” yang didirikan dan diasuh sampai akhir hayatnya itu, berhimpun 17 orang aktifis dakwah yang datang dari berbagi golongan dan aliran keagamaan. Ada yang Muhammadiyah, NU, IMM, PMII, HMI, PII dan ada pula yang menyatakan sebagai manusia “netral”. Nampak sekali kalau KH. As’ad Humam lewat Team Tadarus “AMM” ini ingin menunjukkan kepada umat Islam satu “miniatur” bentuk ukhuwah Islamiyah yang diharapkannya.35 Semangat ukhuwahnya ini tercermin pula dalam coretan tangan yang tertulis dalam buku pribadinya yang diberi judul “Forum Ukhuwah” sebagai berikut:



34 H. Chaerani Idris, Sewindu Gerakan TK Al-Qur’an Metode Iqro’ serta Kepeloporan dan Keteladanan KH. As’ad Humam, Balitbang LPTQ Nasional, Yogyakarta, 1996. 35 Wawancara dengan Humam Masyudi, anggota team Tadarus “AMM”, Ahad, 18 Januari 2009



42



1. Umat mendambakan pemimpin Islam. Sayang masih ada yang hanya memimpin organisasi Islam. Dan sayang bangga hanya karena besar organisasinya. 2. Jadilah pemimpin Islam, disamping pemimpin organisasi Islam. Pejuang sejati lebih mengutamakan misi daripada pribadi/organisasi. 3. Minder, biasanya mengena bagi yang merasa kecil. Takabur, biasanya mengena bagi yang merasa punya kelebihan. 4. Yang kecil mestinya memberi salam lebih dulu kepada yang besar. Yang besar mestinya peduli pula pada yang kecil. 5. Betul! Bertambah sukses, bertambah syukur dan tawadlu’. 6. Ringan silaturahim perlu digairahkan 7. Forum ukhuwah, mutlak diupayakan 8. Forum ukhuwah tumbuh, bila yang kuat mempelopori dan yang kecil mendukungnya 9. Rasa syukur, asal TKA-TPA menggema. Walau gema datang dari luar organisasinya. Bukankah kita satu misi Al-Qur’an? Sungguh nikmat TKATPA Indonesia bersatu. 10. Masya Allah! Kadang-kadang kita masih tersinggung hanya masalah pribadi, bukan misi. Astaghfirullah!36 Dari coretan di atas, tergambar jelas betapa KH. As’ad Humam sangat mendambakan terwujudnya ukhuwah Islamiyah. Dan untuk mewujudkan dambaannya itu, upaya nyata yang dilakukannya adalah gemar bersilaturahim dan bergaul dengan siapa saja, tanpa memandang organisasi, partai, aliran keagamaan maupun lembaga yang diikuti. “Hanya dengan silaturrahim ukhuwah islamiyah akan terwujud. Semakin ramai kita berseminar tentang ukhuwah Islamiyah, maka umat Islam akan semakin pecah”, kata KH. As’ad Humam dalam berbagai kesempatan.37



36 Dokumentasi yang tersimpan di Sekretariat Team Tadarus AMM Yogyakarta, dikutip Senin, 19 Desember 2008 37 Wawancara dengan Humam Masyudi, anggota Team Tadarus “AMM”, Ahad, 18 Januari 2009.