5 0 487 KB
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Support System Keluarga 1. Pengertian Keluarga Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan
dan
kedekatan
emosional
serta
yang
mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga. Keluarga juga didefinisikan sebagai kelompok individu yang tinggal bersama dengan atau tidak adanya hubungan darah, pernikahan, adopsi dan tidak hanya terbatas pada keanggotaan dalam suatu rumah tangga (Friedmen dkk, 2010). Menurut Duvall dalam (Harmoko, 2012) konsep keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan
budaya
yang
umum:
meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial dari tiap anggota.Keluarga merupakan aspek terpenting dalam unit terkecil dalam
masyarakat,
penerima
asuhan,
kesehatan
anggota
keluarga dan kualitas kehidupan keluarga saling berhubungan, dan menempati posisi antara individu dan masyarakat (Harmoko. 2012).
12
13
2. Fungsi Keluarga Menurut Nasrul Effendy (1998) Fungsi keluarga adalah sebagai berikut : a. Fungsi Biologis 1) Meneruskan keturunan 2) Memelihara dan membesarkan anak 3) Memenuhi kebutuhan gizi keluarga 4) Memelihara dan merawat anggota keluarga b. Fungsi Psikososial 1) Memeberikan kasih sayang dan rasa aman 2) Memberikan perhatian diantara anggota keluarga 3) Memberikan pendewasaan kepriadian anggota keluarga 4) Memeberikan identitas keluarga c. Fungsi Sosialisasi 1) Membina sosialisasi pada anak 2) Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak 3) Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga d. Fungsi Ekonomi 1) Mencari sumber-sumber penghasilan unutk memenuhi kebutuhan keluarga 2) Pengaturan
penggunaan
penghasilan
memenuhi kebutuhan keluarga
keluarga
untuk
14
3) Menabung untuk memenuhi kkebutuhan-kebutuhan kelarga dimasa yang akan datang. e. Fungsi Pendidikan 1) Meneyekolahakan anak untuk memeberi pengetahuan, keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki. 2) Memepersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam mememnuhi perananannya sebagai orang dewasa. 3) Mendidik anak sesuai tignkat perkembangannya.
3. Tipe dan Bentuk Keluarga Tipe keluarga menurut Harmoko (2012) yaitu sebagai berikut : a. Nuclear Family Keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang tinggal dalam satu rumah di tetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu/ keduanya dapat bekerja di laur rumah. b. Extended Family Keluarga inti ditambahkan dengan sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu, pama, bibi, dan sebagainya.
15
c. Reconstitud Nuclear Pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali suami/istri, tinggal dalam pembentuan satu rumah dengan anak-anaknya, baik itu bawaan dari perkawinan lama maupun hasil dari perkawinan baru. Satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah. d. Middle Age/ Aging Couple Suami sebagai pencari uang. Istri di rumah/ kedua-duanya bekerja di rumah, anak-anak sudah meningglakan rumah karena sekolah/ perkawinan/meniti karier. e. Dyadic Nuclear Suami istri yang sudah berumur da tidak mempunyai anak, keduanya/slah satu bekerja di rumah. f. Single Parent Satu
orang
tua
sebagai
akibat
perceraian/
kematian
pasangannya dan anak-anaknya dapat tinggal di rumah/ di luar rumah. g. Dual Carier Suami istri atau keduanya berkarier dan tanpa anak.
16
h. Commuter Married Suami istri/ keduanya orang karier dan tinggal terpisah pada jarak tertentu, keduanya saling mencari pada waktu-waktu tertentu. i.
Single Adult Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya keinginan untuk menikah.
j.
Three Generation Tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah.
k. Institutional Anak-anak atau orang-orang dewasa tinggal dalam suaru pantipanti. l.
Comunal Satu rumah terdiri atas dua/lebih pasangan yang monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan fasilitas.
m. Group Marriage Satu perumahan terdiri atas orangtua dan keturunannya di dalam satu kesatuan keluarga dan tiap indivisu adalah menikah dengan yang lain dan semua adalah orang tua dari anak-anak. n. Unmarried paret and child Ibu dan aak dmana perkawinan tidak dikehendaki, anakya di adopsi.
17
o. Cohibing Cauple Dua orang/ satu pasangan yang tinggal bersama tanpa pernikahan. (Harmoko. 2012) 4. Support System Keluarga Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganya yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dalam hal inipenerima dukungan keluarga akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintainya. (Friedman, 2010). Dukungan keluarga merupakan sebuah proses yang terjadi sepanjang
kehidupan,
dimana
dalam
semua
tahap
siklus
kehidupan dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal untuk meningkatakan kesehatan dan adaptasi keluarga dalam kehidupan (Setiadi, 2008). Dukungan sosial keluarga merupakan dukungan sosial yang dapat dijangkau oleh keluarga. Dukungan sosial keluarga sangat diperlukan oleh seseorang yang menjadi anggota keluarga karena keluarga merupakan sumber dukungan yang terdekat dan yang paling mengetahui kebutuhan anggota keluarganya. Dukungan sosial keluarga ini memberikan gambaran bahwa anggota keluarga menerima dukungan dari orang pendukung ketika dibutuhkan.
18
Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga dapat diakses atau diadakan atau dapat dijangkau oleh keluarga14 (Nurfika. 2014) Support System keluarga merupakan dukungan yang diberikan oleh keluarga kepada anggota keluarga lain yang membutuhkan dukungan baik berupa fisik, psikis,maupun material sehingga keluarga dapat melangsungkan hidup dengan baik.
5. Jenis Support System Keluarga Menurut House dan Kahn (1985) dalam Friedman (2010), terdapat empat tipe dukungan keluarga yaitu: a. Dukungan Emosional Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk bersistirahat dan juga menenangkan pikiran. Setiap orang pasti membutuhkan bantuan dari keluarga. Individu yang menghadapi persoalan atau masalah akan merasa terbantu kalau ada keluarga
yang
mau
mendengarkan
dan
memperhatikan
masalah yang sedang dihadapi. b. Dukungan Penilaian Keluarga bertindak sebagai penengah dalam pemecahan masalah dan juga sebagai fasilitator dalam pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Dukungan dan perhatian dari keluarga
19
merupakan bentuk penghargaan positif yang diberikan kepada individu.
c. Dukungan instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan dalam hal pengawasan, kebutuhan individu. Keluarga mencarikan solusi yang dapat membantu individu dalam melakukan kegiatan. d. Dukungan informasional Keluarga
berfungsi
sebagai
penyebar
dan
pemberi
informasi. Disini diharapkan bantuan informasi yang disediakan keluarga dapat digunakan oleh individu dalam mengatasi persoalan - persoalan yang sedang dihadapi.
6. Support System Keluarga Bagi Lansia Menurut Kuntjoro (2002) dukungan yang diberikan keluarga pada lansia dalam merawat dan meningkatkan status kesehatan adalah memberikan pelayanan dengan sikap menerima kondisinya. Bomar (2004) menjelaskan bahwa dukungan keluarga adalah suatu bentuk perilaku melayani yang dilakukan oleh keluarga baik dalam bentuk dukungan emosi, penghargaan, informasi dan instrumental. Dukungan sosial keluarga mengacu pada dukungan-dukungan yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai suatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga.
20
Dukungan bisa atau tidak digunakan tapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Keluarga
merupakan
sistem
pendukung
yang
berarti
sehingga dapat memberikan petunjuk tentang kesehatan mental, fisik dan emosi lanjut usia. Dukungan keluarga itu dapat dibagi menjadi empat aspek yaitu dukungan penilaian, dukungan instrumental, dukungan informasional dan dukungan emosional (Kaplan, 2010).
7. Sumber Support System Keluarga Dukungan Keluarga menurut Kementrian Kesehatan RI adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu atap dalam keaadaan saling ketergantungan. Keluarga merupakan kesatuan dari orang – orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peran – peran sosial bagi suami dan istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara pria, dan saudara wanita. Dukungan sosial akan lebih berarti bagi seseorang apabila diberikan oleh orang-orang yang memiliki hubungan yang signifikan dengan individu yang bersangkutan, dengan kata lain dukungan tersebut diperoleh dari keluarga seperti orang tua, pasangan (suami
21
atau istri), anak, dan kerabat keluarga lainnya (Taylor, 2006 ; Desi, 2014) 8. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Support System Keluarga Menurut Purnawan (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga adalah: a. Faktor internal 1) Tahap perkembangan Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda. a) Pendidikan atau tingkat pengetahuan Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir
seseorang
termasuk
kemampuan
untuk
memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit
dan
menggunakan
pengetahuan
kesehatan untuk menjaga kesehatan dirinya.
tentang
22
b) Faktor emosi Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap adanya dukungan dan cara melakukannya. Seseorang yang mengalami respon stress dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawatirkan
bahwa
penyakit
tersebut
dapat
mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respon emosional yang kecil selama ia sakit. Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara emosional terhadap ancaman penyakit mungkin. c) Spiritual Aspek
spiritual
dapat
terlihat
dari
bagaimana
seseorang menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan
yang
dilaksanakan,
hubungan
dengan
keluarga atau teman, dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup. 2) Eksternal a) Praktik di keluarga Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya mempengaruhi penderita dalam melaksanakan kesehatannya. Misalnya, klien juga kemungkinan besar
23
akan melakukan tindakan pencegahan jika keluarga melakukan hal yang sama. b) Faktor sosio-ekonomi Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara seseorang
mendefinisikan
dan
bereaksi
terhadap
penyakitnya. Variabel psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan lingkungan kerja.Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok keyakinan
sosialnya, kesehatan
hal dan
ini
akan cara
mempengaruhi pelaksanaannya.
Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan 9. Manfaat Support System Keluarga Wills (1985) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya
24
mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi. Stuart
daan
Sundeen
dalam
(Tamher,
Noorkasiani,
2009)
menjelaskan Dukungan dari keluarga merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat. Friedman (2010) menjelaskan stress sangat rentan terjadi pada lansia karena faktor kehilangan, penurunan kesehatan fisik, dan kurangnya dukungan dari keluarga. Kurangnya dukungan keluarga kepada lansia, akan mempengaruhi koping pada lansia tidak adekuat. Koping yang tidak adekuat dalam mengahadapi masalah, akan menyebabkan krisis yang bertumpuk dan berkepanjangan yang akhirnya dapat menimbulkan gejala depresi. Dengan itu anggota keluarga (terutama lanjut usia) perlu mempunyai mekanisme koping agar meredakan krisis dalam masalah di keluarga tersebut. Koping tersebut berasal dari kemampuan individu memecahkan masalah, mempunyai pandangan positif, kesehatan fisik, keterampilan sosial dan materi yang memadai dan dukungan keluarga. Yang kemudian koping tersebut dapat mengarah ke adaptif. Koping maladaptif lanjut usia terjadi karena berkurangnya support system dari keluarga. Lanjut usia yang tidak mendapatkan dukungan atau perawatan dari keluarga menyebabkan
lanjut
usia
sulit
mempertahankan
kesehatannya
25
(Halawa, 2014). Hasil penelitian bahwa semua lanjut usia hidup sendiri sehingga tidak ada dukungan dari keluarga. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Na’imah (2014) yang mengatakan bahwa faktor munculnya kesepian pada lanjut usia karena lansia yang ditinggal oleh orang-orang yang dicintai, karena meninggal dunia atau bekerja luar kota. Lansia yang ditinggalkan sendiri dirumah akan kehilangan figur yang dapat memberikan perhatian sehingga lansia kehilangan interaksi sosial dan hambatan berkomunikasi (Sri Handayani, 2017 ) Dani,Yaunin, & Edison (2010) yang menjelaskan bahwa dukungan keluarga juga merupakan bentuk terapi keluarga yang termasuk pada penatalaksanaan depresi pada usia tua sehingga usia tua dapat menjalankan
hidupnya
lebih
baik dan terhindar
dari
depresi.
House(1994, dalam Setiadi, 2008) juga menjelaskan bahwa lansia sangat membutuhkan dukungan emosional sehingga lansia merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri tetapi ada orang lain yang memperhatikan, mendengar, dan membantu memecahkan masalah yang terjadi. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Zulfitri (2006) yang menemukan adanya hubungan antara dukungan emosional keluarga
dengan
perilaku
lansia
hipertensi
dalam
mengontrol
kesehatannya. Dalam menjalani hidupnya, lansia dihadapkan dengan banyak masalah yang dapat membuat lansia menjadi stres, untuk itu sangat dibutuhakan dukungan dari keluarga agar lansia dapat menangani
26
serta menghadapi masalah yang dialami yang dapat membuat lansia menjadi stres.
B. Tinjauan Umum Mekanisme Kopping Lansia 1. Pengertian Lansia Menurut Hidayat, usia lanjut adalah hal yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Supraba, 2015). Menurut Hawari (2006) Usia lanjut merupakan seorang laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik secara fisik masih berkemampuan (potensial) ataupun karena sesuatu hal tidak mampu lagi berperan secara aktif dalam pembangunan (tidak potensial). Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat usia lanjut sering didefinisikan mereka yang telah menjalani siklus kehidupan diatas usia 60 tahun (Juwita. 2013). Menua (menjadi tua) adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya
kerentanan
terhadap
berbagai
penyakit
dan
kematian (Setiati, Harimurti, & R, 2009). Lansia atau usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus kehidupan manusia dan hal
27
tersebut merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu (Prasetya, 2010). Tahap usia lanjut menurut teori Erik Erikson tahun 1963 merupakan tahap integrity versus despair, yakni individu yang sukses dalam melampauin tahap ini akan dapat mencapai integritas diri (integrity), lanjut usia menerima berbagai perubahan yang
terjadi
dengan
tulus,
mampu
beradaptasi
dengan
keterbatasan yang dimilikinya, bertambah bijak menyikapi proses kehidupan yang dialaminya. Sebaliknya mereka yang gagal maka akan melewati tahap ini dengan keputusasaan (despair), lanjut usia mengalami kondisi penuh stres, rasa penolakan, marah dan putus asa terhadap kenyataan yang dihadapinya (Setiati et al., 2009). Lansia adalah keadaan dimana seorang individu berusia diatas 60 tahun yang mengalami kemunduran baik secara fisik maupun psikis yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu.
2. Batasan Umur Lansia Pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyatakan bahwa “Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”. Umur yang dijadikan patokan sebagai lanjut usia berbedabeda,
umumnya
berkisar
antara
60-65
tahun.
Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4
28
yaitu : usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Menurut Depkes RI (2003), batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan umur usia lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 4554 tahun, usia lanjut dini (prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun, kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun keatas dan usia lanjut dengan resiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat. Di Indonesia, batasan lanjut usia adalah 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 43 tahun 2004.
3. Ciri – Ciri Masa Lansia Menurut Hurlock (2002) terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut usia, yaitu : a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran, Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki
29
motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi. b. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas, Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise iu seperti : lansia lebih
senang
mempertahankan
pendapatnya
dari
pada
mendengarkan pendapat orang lain. c. Menua membutuhkan perubahan peran, Perubahan peran tersebutdilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. d. Penyesuaian yang buruk pada lansia, Perlakuan yang buruk terhadap
orang
mengembangkan
lanjut konsep
usia diri
membuat yang
lansia
buruk.
cenderung
Lansia
lebih
memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk.
4. Koping a. Pengertian Koping Koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan
30
atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu (Lazarus dalam Mustikasari, 2009). Koping juga dapat digambarkan sebagai berhubungan dengan masalah dan situasi, atau dengan menghadapinya dengan berhasil/sukses (Kozier, 2004). b. Strategi Koping Strategi Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 2004). Koping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak efektif berakhir dengan maladaptif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan. Setiap individu dalam melakukan tidak sendiri dan tidak hanya menggunakan satu strategi tetapi dapat melakukannya bervariasi, hal ini tergantung dari kemampuan dan kondisi individu (Rasmun, 2004). Strategi koping juga dibedakan menjadi dua tipe menurut Kozier (2004) yaitu: 1) Koping berfokus pada masalah (problem focused coping), meliputi usaha untuk memperbaiki suatu situasi dengan membuat perubahan atau mengambil beberapa tindakan
31
dan usaha segera untuk mengatasi ancaman pada dirinya. Contohnya adalah negosiasi, konfrontasi dan meminta nasehat. 2) Koping berfokus pada emosi (emotional focused coping), meliputi usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distres emosional. Mekanisme koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki situasi tetapi seseorang sering merasa lebih baik. Menurut Stuart dan Sundeen (2007), secara garis besar strategi koping dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1) Strategi Koping Adaptif. Strategi koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah
berbicara
dengan
orang
lain,
berdoa,
memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Kegunaan koping adaptif membuat individu akan mencapai keadaan yang seimbang antara tingkat fungsi dalam memelihara dan memperkuat kesehatan fisik dan psikologi. 2) Strategi Koping Maladaptif. Strategi koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan,
menurunkan
otonomi
dan
cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah
32
makan
berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan,
banyak tidur, menangis, menghindar dan aktivitas destruktif. Mekanisme koping ini mencegah suatu konflik dengan melakukan pengelakan terhadap solusi. Menurut Stuart dan Sundeen (2007), strategi koping juga meliputi mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang tetapi jika berlangsung pada tingkat tidak sadar dan melibatkan penipuan diri dan distorsi realitas maka
mekanisme
ini
dapat
merupakan
respons
maladaptif terhadap kecemasan. Adapun mekanisme pertahanan diri tersebut, yaitu: a) Denial
yaitu
menghindari
realita
yang
tidak
mengabaikan atau menolak untuk mengakuinya. b) Kompensasi memperbaiki
yaitu
proses
penurunan
dimana
citra
diri
individu berupaya
menggantinya dengan menonjolkan kelebihan lain yang dimiliki. c) Displacement
yaitu
memindahkan
emosi
atau
perasaan kepada seseorang atau obyek lain yang lebih netral. d) Proyeksi yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya tidak baik.
33
e) Reaction formation yaitu mengembangkan perilaku dan pola sikap tertentu yang disadari, berlawanan dengan perasaan dan keinginannya. f) Isolasi yaitu memisahkan atau mengeluarkan dari komponen perasaan tentang pikiran, kenangan atau pengalaman tertentu. g) Introyeksi
yaitu
mendalam
bentuk
dimana
identifikasi
individu
yang
lebih
mengambil
atau
memasukkan nilai dari orang lain yang dicintai atau benci menjadi struktur egonya. h) Rasionalisasi
yaitu
memberikan
alasan
atau
penjelasan yang masuk akal agar perilaku, pikiran atau perasaan yang tidak dapat diterima atau dibenarkan oleh orang lain. i) Subtitusi yaitu mengganti tujuan bernilai lebih tinggi yang tidak dapat dicapai dengan tujuan lain yang hampir sama tetapi nilainya lebih rendah. j) Identifikasi yaitu suatu proses dimana seseorang berusaha seperti orang yang dikagumi dengan meniru cara berfikir dan perilakunya. k) Undoing yaitu suatu tindakan atau komunikasi tertentu
yang
bertujuan
menghapuskan
meniadakan tindakan sebelumnya.
atau
34
l) Sublimasi yaitu perubahan bentuk ekspresi dorongan atau rangsangan yang terhambat ke ekspresi yang lebih dapat diterima oleh masyarakat secara sosial. m) Regresi yaitu menghadapi stress dengan perilaku, perasaan dan cara berfikir mundur kembali ke ciri tahap perkembangan sebelumnya. n) Represi yaitu pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran atau memori yang menyatakan atau bertentangan dengan kesadaran.
c. Faktor yang Mempengaruhi Strategi Koping Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik/energi,
keyakinan/pandangan
positif,
keterampilan
memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi (Keliat, 2004). 1) Kesehatan Fisik Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi cemas individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.
35
2) Keyakinan atau pandangan positif Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi koping dengan tipe: problem-solving focused coping. 3) Keterampilan memecahkan masalah Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian
mempertimbangkan
alternatif
tersebut
sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. 4) Keterampilan sosial Keterampilan
ini
meliputi
kemampuan
untuk
berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat. 5) Dukungan sosial Dukungan
ini
meliputi
dukungan
pemenuhan
kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang
36
diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya. 6) Materi Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.
5. Mekanisme Koping Pada Lansia Seseorang dapat mengatasi stres dan kecemasan dengan menggerakkan sumber koping di lingkungan yang berupa modal ekonomi, kemampuan penyelesaian masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya (Stuart, 2007). Mekanisme Koping adalah salah satu cara yang dilakukan untuk beradaptasi terhadap stress (Saam & Wahyuni, 2012). Dalam menghadapi permasalahan pada umumnya lansia memiliki cara untuk mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi. Upaya menghadapi masalah yang dihadapi dikenal dengan istilah koping. Koping didefinisikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan seseorang untuk mengatasi stressor baik dalam diri maupun lingkungannya.
Mekanisme
koping
tiap
individu
berbeda.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, kemampuan personal, ekonomi, dan dukungan sosial (Rasmun, 2001). Penggunaan koping yang efektif dalam merawat lansia akan lebih optimal bila didukung pemberdayaan keluarga (Nursasi,
37
2002). Karena dalam kehidupan keluarga, usia lanjut merupakan figur tersendiri dalam kaitannya dengan sosial budaya bangsa. Motivasi
dari
keluarga
bertujuan
agar
lansia
tetap
dapat
menjalankan kegiatan sehari-hari secara teratur, dan akan tercipta hubungan interpersonal di antara mereka baik (Nursasi, 2002).