Bab 7 - Atenuasi Gelombang Seismik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 7 ATENUASI GELOMBANG SEISMIK “Sebuah pemahaman sifat-sifat atetuatif bumi memiliki dua motivasi utama. Pertama, amplitude gelombang seismik berkurang selama gelombang merambat melalui sebuah medium elastik, dan pengurangan ini umumnya bergantung pada frekuensi. Kedua, karakteristik-karakteristik atenuasi mengungkapkan banyak informasi, seperti lithology, keadaan fisik, dan derajat kejenuhan batuan. Fenomena atenuasi jauh lebih kompleks daripada aspek-aspek elastik permabatan gelombanng seismik” (M. Nafi Toksӧz, David H. Johnston. Kata pengantar pada seri cetakan ulang Geofisika SEG No. 2 “Stenuasi Gelombang Seismik”. 1981)



7.1. Definisi dan satuan Perambatan gelombang seismik yang melalui bumi teratenuasi oleh perubahan beberapa bagian energi elastiknya menjadi panas. Simpangan pada dua jarak berbeda x0 dan x dari sumber dapat diuraikan untuk perambatan dalam medium homogen dapat oleh n



x  A( x) = A( x0 )  0  exp [−α ( x − x0 )]  x



(7-1)



di mana A(x) dan A( x0 ) adalah simpangan pada jarak x dan x0 dari sumber seismik. Suku  x0     x



n



menyatakan simpangan yang menurun dari divergensi geometri, dan suku



exp [−α ( x − x0 )] menyatakan simpangan menurun akibat atenuasi (pelemahan). Eksponen n dalam fungsi divergensi tersebut bergantung pada geometri perambatan gelombang; pada kasus gelombang bidang n = 0 , persamaan (7-1) menjadi A( x) = A( x0 ) exp [−α ( x − x0 )]



(7-2)



di mana α adalah koefisien atenuasi. Seringkali persamaan (7-1) dituliskan dalam bentuk A( x) = A0 exp (−α x)



(7-3)



di mana A0 adalah simpangan mula-mula pada jarak x = 0 dari sumber atau pada titik acuan; x adalah jarak antara sumber dan titik pengukuran.



1



Secara matematis, persamaan-persamaan ini diperoleh dari persamaan umum gelombang (bidang) pada medium homogen yang memperkenalkan bilangan gelombang kompleks. Untuk kasus gelombang bidang, simpangannya adalah A( x, t ) = A0 exp [i (kx − ω t )]



(7-4)



di mana t adalah waktu, ω frekuensi sudut, dan k sebagai bilangan gelombang. Atenuasi dapat diperkenalkan oleh bilangan gelombang kompleks (atau frekuensi kompleks)



k = kreal + kimag = kreal + iα



(7-5)



sehingga



A( x, t ) = A0 exp (−α x) exp [i (kreal x − ω t )]



(7-6)



di mana suku pertama menyatakan simpangan mula-mula, suku kedua menyatakan peluruhan eksponensial, dan suku ketiga merupakan osilasi harmonik. Dengan persamaan (7-3), koefisien atenuasinya adalah



α =−



1 dA( x) d ⋅ = − ln A( x) A( x) dx dx



(7-7)



atau, untuk dua posisi x1 dan x2 dengan amplitdo masing-masing A( x1 ) dan A( x2 )



α=



 A( x1 )  1 ⋅ ln   x2 − x1  A( x2 ) 



(7-8)



Dari persamaan (7-7) dan (7-8), α diberikan sebagai panjang kebalikan yang diberikan dalam (Nepers/m). Satuan dB/m dihasilkan dari bentuk persamaan berikut:



α [dB / m] =



1 20 ⋅ log x2 − x1



 A( x1 )     A( x2 ) 



(7-9)



Konversinya adalah



α (dB/m) = 8,686 α (Nepers/m) α (Nepers/m) = 0,115 α (dB/m) Jika rasio simpangan berkaitan dengan jarak panjang gelombang λ , maka dari persamaan (7-8) menghasilkan definisi pengurangan logaritmis:







v A( x)   = α λ = α ⋅    A( x + λ )  f



δ = ln 



(7-10)



di mana A(x) dan A( x + λ ) adalah simpangan dua siklus yang berurutan, v (cepat rambat gelombang), dan f (frekuensi).



2



Pada banyak kasus, ukuran sifat-sifat atenuasi merupakan faktor kualitas yang tak berdimensi Q (Knopoff, 1964, 1865) dan inversnya Q-1 (faktor disipasi): Q −1 = α



v



(7-11)



π f



Sebagai sifat intrinsik batuan, Q merupakan perbandingan antara energi tersimpan dengan energi terdisipasi (hilang). O’Connell-Budiansky (1978) dan Johnston-Toksoz (1981) membahas berbagai definisi fisika dari Q dan hubungannya dengan persamaan secara konstitusi viskoelastik untuk bahan. Berbagai definisi Q sama dengan Q intrinsik jika kehilangan adalah kecil ( Q >10). Secara kebetulan, dibawah kebanyakan kondisi minat dalam geofisika, asumasi disipasi-kecil adalah benar (Johnston dan toksӧz, 1981). Intrinsik Q didefinisikan sebagai (lihat Johnston dan toksӧz, 1981) Q=



ωE − dE / dt



=



2π W ∆W



(7-12)



di mana E adalah energi seketika dalam system, -dE/dt adalah laju energi yang hilang), W adalah energi elastik yang tersimpan dalam stress dan strain maksimum, dan ∆W adalah energi yang hilang (tiap siklus) dari eksitasi harmonik. Definisi alternatif diperoleh dari hubungan stress-strain untuk zat padat hampir elastik atau zat padat linear low-loss. Diberikan stress sinusoidal bervariasi, maka tanggapan strain juga akan sinusoidal. Keduanya dihubungkan dengan modulus elastic M dan ketinggalan fase



φ strain di belakang stress. Membiarkan M menjadi kompleks dimana M = M real + i M im



(7-13)



Dapat ditunjukkan (White, 1965) bahwa Q −1 =



M im = tan ϕ M real



(7-14)



Persamaan (7-13) menghasilkan pada kurva stress-strain elips di bawah pembebanan sinusoidal. Kesepadanan definisi dari Q diberikan pada persamaan (7-12) dan (7-14), secara prinsip menentukan luasan elips yang sebanding dengan energi yang hilang tiap siklus; energi tersimpan diberikan oleh luasan total di bawah kurva pembebanan. Untuk material yang hilang (lossy material), persamaan (7-11) harus memuat bentuk orde kedua. Pada kasus ini, energi tersimpan bergantung pada derivasi modulus kompleks dengan patuh pada frekuensi, sebagaimana nilai modulus (O’Connell dan Budiansky, 1978; Hamilton, 1972)



3



Q −1 = α



v



α2 f 2 π f − 4π f



(7-15)



Dibawah asumsi low-loss ( M im >> M real ) , suku α 2v 2 / 4 π f dapat diabaikan dan persamaan (7-11) dihasilkan langsung dari (7-15). Persamaan (7-11) menunjukkan bahwa jika α merupakan fungsi linear frekuensi (lihat bagian 7.3.1), maka Q tak bergantung frekuensi, dan ini dapat digunakan sebagai parameter tak berdimensi untuk menjelaskan sifat-sifat atenuasi absorbsi batuan tanpa acuan pada frekuensi khusus dalam pembahasan . Kesimpulannya, untuk material lolos-rendah (hampir semua batuan), penyambungan hubungan ukuran-ukuran yang berbeda α , δ , dan Q −1 untuk sifat-sifat atenuasi adalah Q −1 =



δ v =α π π f



(7-16)



7.2. Sifat-sifat tak elastik fluida dan gas pengisi batuan Gas dan fluida memperlihatkan sifat-sifat atenuasi yang dipengaruhi oleh komposisi dan keadaan termodinamik (suhu dan tekanan). Efek viskos (kekentalan) mengakibatkan koefisien atenuasi α bergantung pada kuadrat frekuensi (atau faktor Q bergantung frekuensi). Bergmann (1954) memberi hubungan rata-rata tersebut untuk air pada suhu 20 oC.



α = 8,5 ⋅ 10−15 f 2



(7-17)



di mana α dalam Nepers/m dan f dalam Hz. Tabel 7.1. berisi sifat-sifat atenuasi untuk udara dan berbagai fluida. Pembahasan lebih detail tentang pengaruh sifat-sifat fluida (viskositas, momen dipole, dan luasan molekul) dipublikasikan oleh Burkhardi dkk (1990,1991).



4



Podio dan Gregory (1990) telah meneliti sifat atenuasi (dan kecepatan, pada bab 6) berbagai jenis lumpur dalam range frekuensi 100 Hz – 900 kHz dan mendapatkan: •



atenuasi pada lumpur meningkat sebanding dengan densitas lumpur dan peningkatan frekuensinya.







terdapat hubungan linear antara atenuasi dan persentase volume padatan dalam lumpur pada range frekuensi 200 – 400 kHz







peningkatan tekanan dari 690 kPa hingga 41 MPa mengakibatkan sedikit penurunan koefisien atenuasi pada range frekuensi yang diteliti



Dengan koefisien korelasi 0,999, analisis chi-kuadrat menghasilkan hubungan empiris untuk koefisien atenuasi (Nepers/m) sebagai fungsi frekuensi (MHz) sebagai berikut:



α = 8,338 + 2,15 f + 6,49 f 2 untuk densitas lumpur 1,20 x 103 kg/m3 α = 9,93 + 13,844 f + 23,01 f 2 untuk densitas lumpur 1,44 x 103 kg/m3 α = 20,364 + 23,37 f + 107,71 f 2 untuk densitas lumpur 1,68 x 103 kg/m3



7.3. Atenuasi gelombang seismik dalam batuan – hasil penelitian eksperimen 7.3.1. Ikhtisar



5



Atenuasi gelombang seismik telah diukur pada beberapa jenis batuan pada kedaan fisika tertentu dan pada range frekuensi yang luas, juga dengan beragam teknik. Secara umum, sifat atenuasi batuan alam jauh lebih tinggi daripada sifat atenuasi mineral. Berikut ini salah satu contohnya, Kalsit (mineral)



Q ≈ 1900 atau Q −1 ≈ 5 ⋅ 10 −4



Gamping



Q ≈ 200 atau Q −1 ≈ 5 ⋅ 10 −3



Contoh di atas menunjukkan bahwa atenuasi sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat batuan seperti cacat, ketakhomogenan, struktur, dan ikatan batuan. Gambar 7.1. dan 7.2. menunjukkan dua karakteristik atenuasi: a) koefisien atenuasi merupakan parameter yang bergantung frekuensi. Nilainya meningkat terhadap peningkatan frekuensi (efek low-pass filter). Gambar 7.1 menunjukkan kesebandingan



α~ f



(7-18)



b) atenuasi menurun terhadap peningkatan sementasi batuan dan kedalaman. Hal ini dapat dinyatakan sebagai aturan umum: kecepatan dan atenuasi menunjukkan perilaku yang berlawanan terkait dengan ketergantungannya pada banyak faktor yang berpengaruh (yakni porositas, tekanan, gabungan). Berzon (1977) memberi nilai rata-rata sebagai berikut



α = (10−6...10−7 ) f



untuk mantel dan inti bumi



α ≈ 10−5 f



untuk batuan beku



α ≈ 10−3 f



untuk batuan kering dan tak kompak di permukaan bumi



6



Gambar 7.1 memperlihatkan ketergantungan umum koefisien atenuasi pada frekuensi (ditentukan pada berbagai frekuensi pengukuran seismik). Gambar tersebut menegaskan ketergantungan linear pada frekuensi, serta mengindikasikan sebaran nilai-nilainya. Ketergantungan koefisien atenuasi pada jenis batuan dan porositas ditunjukkan oleh gambar 7.2 dan 7.3. Pada batuan di bawah tekanan permukaan, nilai koefisien atenuasi sangat beragam dan Q cenderung berbanding terbalik terhadap porositas. Penurunan faktor kualitas Q terhadap peningkatan porositas menunjukkan peningkatan sifat atenuasi terhadap peningkatan porositas, dan menegaskan perilaku berlawanan terkait dengan sifat elastik. Pengaruh-pengaruh lainnya akan dibahas lebih lanjut berikut ini.



7



7.3.2. Ketergantungan pada frekuensi Data eksperimen (laboratorium) menunjukkan bahwa Q −1 hampir tidak bergantung frekuensi (atau α sebanding dengan frekuensi) pada range frekuensi (10-2…107 Hz), khususnya untuk batuan kering (Born, 1941; McDonal dkk, 1958; Attewell dan Ramana, 1966; Karus dan Pasecnik, 1954; Bulatova dkk, 1970; Silaeva dan Schamina, 1960; Berzon, 1977). Contohnya, Berzon (1977) menemukan bahwa atenuasi meningkat hampir linear pada range frekuensi antara 10-1 dan 107 Hz (untuk batuan porus endap, diperoleh ketergantungannya sebesar kuadrat frekuensi). Gambar 7.4 berikut menunjukkan koefisien atenuasi untuk serpih Pierre diukur melalui eksperimen lapangan dari publikasi McDonald dkk (1957) dengan ketergantungan hampir linear pada frekuensi 80 – 550 Hz.



8



Dua kurva tersebut memperlihatkan dua pendekatan yang berbeda



α = 0,120 f dan α = 0,0653 f 1,1 Untuk gelombang geser yang merambat horizontal terhadap gerak partikel vertikal (gelombang SV) pada range frekuensi 20 – 125 Hz, hasilnya dinyatakan dengan α = 1,0 ⋅ f . Terkait dengan satuan yang digunakan dalam publikasi aslinya, atenuasi dinyatakan dalam dB per 1000 kaki perambatan dan frekuansi dalam Hz. Ketergantungan linear koefisien atenuasi pada frekuensi berkaitan dengan Q −1 tak bergantung frekuensi. Gambar 7.5 menunjukkan beberapa contoh kumpulan data publikasi Merkulova (1968). Pada range frekuensi 20 – 160 kHz mayoritas jenis batuan memperlihatkan bahwa Q −1 tak bergantung pada frekuensi. Di sisi lain, batu pasir tersaturasi air dan schist (dengan lempung dan batubara) memiliki kecenderungan peningkatan Q −1 terhadap frekuensi. Hal ini telah disarankan oleh Born (1941).



9



Martin dkk (1992) mempelajari sifat-sifat atenuasi dan modulus dispersi pada batu granit Sierra White pada range frekuensi 10-2 hingga 106 Hz dan menemukan tidak adanya ketergantungan terhadap frekuensi untuk batu kering, tapi untuk batuan yang dijenuhkan oleh air, nilai Q −1 sangat bergantung frekuensi (meningkat dari 0,012 – 0,060). Gambar 7.6 juga menguatkan ketergantungan linear koefisien atenuasi pada frekuensi untuk berbagai jenis granit. Perbandingan kurva 1 dan 2 memperlihatkan efek anisotropi untuk sifat-sifat atenuasi.



10



Hamilton (1972, 1976) dan Mc Cann (1969) telah menentukan sifat-sifat atenuasi sedimen laut secara sistematis. Publikasi Hamilton 1972, berisi banyak penjelasan data eksperimen dari literatur. Juga, ketergantungan hampir linear α salah satu jenis batuan sedimen laut terhadap frekuensi. Untuk menganalisis ketergantungan terhadap frekuensi, Hamilton (1972) menggunakan hubungan empiris



 f  α = α1    f1 



n



(7-19)



di mana α1 merupakan koefisien atenuasi untuk frekuensi acuan f1 = 1 kHz; di sini f dalam kHz dan n adalah pangkat frekuensi. Tabel 7.2 memperlihatkan sifat-sifat atenuasi ini dan beberapa data grafik minyak untuk bagian-bagian berbeda dan tipe-tipe sedimen laut.



11



Pada beberapa batuan sangat porus, Q −1 merupakan komponen yang bergantung pada frekuensi (Born, 1941; Wyllie dkk, 1962). Efek ini juga ditemukan pada batuan sedimen lempung (Berzon, 1977). Ketergantungan komponen Q −1 pada frekuensi disebabkan oleh ketergantungan atenuasi fluida pada frekuensi; perilaku viskoelastik menghasilkan nilai Q −1 sebanding dengan frekuansi (atau α sebanding dengan kuadrat frekuensi). Pengaruh lain fluida pada ketergantungan frekuensi telah dirumuskan oleh Wyllie dkk (1962) untuk penurunan logaritmik sebagai berikut:



δ = A+ B f



(7-20)



Juga, bentuk yang terkait dengan Q atau α adalah



α = α1 f + α 2 f 2



(7-21)



Pada frekuensi tinggi, jika panjang gelombang memiliki dimensi yang sama dengan pori, butiran, atau retakan, hamburan Rayleigh akan muncul pada ketakhomogenan ini. Hasil ini dalam mekanisme atenuasi akan mengikuti kesebandingan



α Rayleigh ~ D 3 f 4



(7-22)



di mana D adalah dimensi rata-rata ketakhomogenan.



12



Gambar 7.7 dan 7.8 memberikan contoh fenomena ini. Gambar 7.7 menunjukkan bahwa koefisien atenuasi untuk granit Westerly dalam range frekuensi 100 kHz – 800 kHz.



Begitupula pada range yang lebih rendah (100 – 500 kHz), ketergantungan linear sebesar



α = 1,34 ⋅ 10−5 f



(7-23)



Hubungan tak linear dengan bentuk f 4 ditemukan untuk range yang lebih tinggi (500 – 800 kHz),



α = 1,34 ⋅ 10−4 f + 1,36 ⋅ 10−23 f 4



(7-24)



di mana f dalam Hz dan α dalam m-1. Untuk kecepatan rata-rata 5 km/s dan frekuensi 500 kHz, panjang gelombangnya 1 cm (pada frekuensi 800 kHz, panjang gelombangnya 0,6 cm). Contoh batu pasir yang dapat dibandingkan seperti dalam gambar 7.8 pada range frekuansi 10 kHz – 10 MHz. Kurva Q p−1 terhadap frekuensi memperlihatkan dua bagian penting:



 di bawah 0,7…1Mhz terjadi sedikit peningkatan Q p−1 terhadap frekuensi. Hal ini dimungkinkan akibat mekanisme atenuasi viskos dari material pengisi pori-pori.



 di atas 0,7…1Mhz terdapat ketergantungan yang kuat pada frekuensi. Hal ini mungkin akibat efek hamburan tambahan. Kecepatan gelombang kompresi pada batu pasir sebesar 3600 m/s. Untuk frekuensi 1 MHz, panjang gelombangnya 3,6 mm. Nilai ini sama dengan rata-rata diameter butir



(1 mm).



13



Untuk pasir tak kompak dengan ukuran butir antara 0,18 dan 2,18 mm, Plona dan Tsang (1979) menegaskan hamburan Rayleigh dalam range frekuensi MHz melalui eksperimen.



7.3.3. Atenuasi gelombang seismik pada batuan beku Batuan beku padat, berpori, dan tak retak memperlihatkan hubungan atenuasi atau sifat-sifat tak elastiknya dengan sifat-sifat elastiknya. Gambar 7.9a memperlihatkan koefisien atenuasi terhadap densitas untuk gelombang P dan gambar 7.9b memperlihatkan koefisien atenuasi terhadap kecepatan untuk batuan dasar padat. Kenyataannya, ada kecenderungan perilaku yang berlawanan antara atenuasi dan kecepatan. Hubungan kecepatan dengan densitas telah dibahas lebih awal (bab 6). Di sisi lain, patahan-patahan, retakan-retakan kecil, tekstur dan lainnya memberikan pengaruh yang berbeda pada tiap-tiap sifat. Ini menghasilkan sebaran signifikan kecenderungan ini dalam satu jenis batuan yang ditunjukkan pada tabel 7.3 untuk granit. Keberadaan retakan-retakan kecil, patahan, dan cacat lain dalam material batuan kompak menyebabkan:



 peningkatan atenuasi (dan penurunan kecepatan)  ketergantungan atenuasi terhadap tekanan (berkurang terhadap peningkatan tekanan) dan kecepatan (meningkat dengan peningkatan tekanan) sebagai hasil tertutupnya patahan dan pengembangan kontak. Gambar 7.10 menunjukkan efek tersebut. 14



Empat hal yang perlu ditekankan: 1) batuan dengan ketergantungan kecepatan terhadap tekanan rendah juga menunjukkan ketergantungan atenuasi terhadap tekanan kecil (sampel 1, 2, 5); batuan dengan ketergantungan kuat kecepatan terhadap tekanan juga menunjukkan ketergantungan besar pada atenuasi (sampel 3 dan 4)



15



2) perubahan bagian pada atenuasi lebih besar dibandingkan pada kecepatan untuk sampel yang sama dan tekanan yang berbeda 3) ketergantungan atenuasi (dan kecepatan) terhadap tekanan bersifat tidak linear 4) pada beberapa kasus, atenuasi dan kecepatan memperlihatkan fenomena "histerisis". Empat hal ini dan keterkaitan kecepatan dan perilaku atenuasi menegaskan bahwa tiap-tiap sifat fisik diatur oleh “aturan mekanika batuan” dan utamanya perubahannya terhadap cacat dan tekanan. Gambar 7.11 memperlihatkan perubahan koefisien atenuasi untuk gelombang kompresi dan geser sebagai fungsi tekanan pada gneiss. Terlihat pula perbedaan koefisien atenuasi untuk gelombang kompresi dan geser. Pada eksperimen ini, atenuasi gelombang kompresi memperlihatkan penurunan yang lebih tajam terhadap peningkatan tekanan daripada atenuasi gelombang geser.



Gambar tersebut menjelaskan bahwa secara umum perubahan bagian-bagian pada atenuasi lebih besar dibandingkan pada kecepatan yang terukur pada jenis batuan dengan kondisi yang sama (Pross dkk, 1962; Johnston dkk, 1979)



16



Hasil eksperimen serupa dipublikasikan oleh Klima dkk, 1964 (atenuasi gelombang P untuk diabas dan greywacke mencapai 4 kbar = 400 MPa) dan Gordon-Davis, 1968 (saturasi fluida oleh granit mencapai 4 kbar = 400 MPa). Di bawah tekanan nonhidrostatik, atenuasi tampak jadi anisotropi (Merkulova dkk, 1972). Untuk gelombang geser terpolarisasi tegak lurus terhadap sumbu kompresi maksimum, atenuasi sangat kecil terhadap menutupnya patahan dan peningkatan kontak yang tegak lurus terhadap sumbunya (Johnston dkk, 1979).



7.3.4. Atenuasi gelombang seismik pada batuan sedimen porus Sifat-sifat atenuasi batuan sedimen porus dipengaruhi oleh:



 Sifat penyusun batuan, khususnya ikatan partikel, sementasi, dan porositas.  Sifat fluida pori dan interaksi antara unsur-unsur utama batuan berbeda (khususnya interaksi antara komponen padat dan komponen fluida).



 Tekanan dan suhu. 7.3.4.1. Atenuasi gelombang seismik pada batuan sedimen tak kompak Beberapa karakter utama perilaku atenuasi batuan sedimen ditunjukkan pada contoh batu pasir Berea (gambar 7.12). Faktor kualitas Q diplot terhadap perubahan tekanan ∆p . Hasil eksperimen ini memperlihatkan bahwa: a) atenuasi menurun (Q meningkat) seiring dengan peningkatan tekanan baik untuk gelombang P maupun S pada semua kasus saturasi. Ketergantungan ini tidak linear. Perubahan nyata terjadi pada range tekanan yang lebih rendah. Perubahan kontak butir dan porositas bernilai lebih kecil pada range tekanan yang lebih tinggi. b) atenuasi pada batuan saturasi air asin atau air bernilai lebih tinggi daripada pada batuan saturasi gas atau kering. c) pada batuan saturasi kering atau gas, Qp jauh lebih rendah dari Qs. Pada batuan saturasi air, Qp jauh lebih tingi dari Qs. Hasil pada gambar 7.12d dapat dibandingkan dengan gambar 7.12c untuk range tekanan rendah. Pada tekanan 100 MPa, terdapat peningkatan nyata nilai Q terhadap berkurangnya ketebalan ruang pori dan tertutupnya batas-batas butir secara sempurna (Toksoz dkk, 1979). Hasil eksperimen lain juga dipublikasikan oleh Winkler dan Nur (1982). Pengukuran sampel batu pasir Massilon dengan metode tabung resonansi memperlihatkan perilaku berbeda dari atenuasi shear dan atenuasi kompresi bulk: 17



 dimulai dengan batu pasir kering, atenuasi untuk tiap-tiap jenis gelombang meningkat tapi energi kompresi yang hilang mencapai dua kali, sama besarnya dengan energi shear hilang.



 untuk atenuasi shear, energi yang hilang terus meningkat hingga saturasi penuh (SW=1), seperti halnya untuk atenuasi bulk, energi hilang mencapai maksimum pada saturasi 95% (SW = 0,95) dan kemudian menurun pada saturasi berikutnya.



18



Kesimpulannya, atenuasi shear bernilai minimum pada batuan kering, lebih besar



pada batuan saturasi sebagian, dan maksimum pada batuan saturasi penuh. Atenuasi kompresi juga bernilai minimum pada batuan kering dan lebih besar pada batuan saturasi sebagian, tapi berkurang signifikan oleh saturasi total (Winkler dan Nur, 1974). Penjelasan lebih rinci tentang pengaruh saturasi air sebagian dan berbagai efek saturasi dijelaskan oleh Bourbie dkk (1987). Hubungan timbal balik antara saturasi air dan sifat ketergantungan frekuensi telah diteliti oleh Murphy (1982) dan Winkler-Nur (1982). Kecenderungan umum efek porositas pada sifat atenuasi ditunjukkan pada gambar 7.3 dan tabel 7.4. Sampel dua batu pasir memperlihatkan penurunan kecepatan vp dan vs. Rasio



vp/vs sebagai "indikator litologi" bernilai hampir konstan. Faktor kualitas khususnya Qp lebih tinggi untuk batu pasir porositas rendah Navajo daripada untuk batu pasir berpori Boise. Hal ini menegaskan bahwa peningkatan atenuasi seiring dengan peningkatan porositas.



19



Table 7.4. Porosities, velocities, and quality factors of three rock samples at room temperature; data after Toksoz dkk (1979) Φ



vp in km/s



vs in km/s



vp/vs



Qp



Qs



Qp/Qs



Navajo sanstone



0.125



4.25



2.38



1.79



7.3



6.2



1.18



Boise sandstone



0.25



3.42



1.90



1.80



6.9



6.1



1.13



Spergen limestone



0.148



4.70



2.49



1.89



14.9



12.1



1.23



Rock type



Secara umum batu gamping memperlihatkan kecepatan yang lebih tinggi dan rasio vp/vs yang berbeda jika dibandingkan dengan batu pasir. Gamping memiliki kerangka batuan lebih kompak daripada kerangka butiran batu pasir. Hal ini menyebabkan nilai Q lebih tinggi atau atenuasi yang lebih rendah pada gamping daripada batu pasir. Ini juga menguatkan adanya saling ketergantungan antara kecepatan dan atenuasi pada berbagai jenis ikatan kerangka batuan padat. Di samping itu, juga menunjukkan bahwa rasio Qp/Qs lebih dipengaruhi oleh jenis batuan daripada porositas (lihat bagian 7.3.4). Kandungan lempung sangat berpengaruh terhadap sifat atenuasi seperti halnya pada kecepatan. Pengaruh gabungan porositas dan kandungan lempung diteliti oleh Klimentos dan McCann (1990). Sebanyak 42 sampel batu pasir di UK dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan lokasi dan ciri-ciri petrografik, jenis ukuran butir, dan jenis mineral lempung. Gambar 7.13 memperlihatkan korelasi antara koefisien atenuasi, porositas, dan kandungan lempung untuk semua sampel pada tekanan 40 MPa (sama dengan kedalaman 1,5 km) dan pada frekuensi 1 MHz. Analisis statistik multivariasi menghasilkan hubungan:



α = 0,0315Φ + 0,241C − 0,132



(7-25)



di mana α adalah koefisien atenuasi (dB/cm) pada 1 Mhz, Φ porositas (%), dan C kandungan lempung dalam volume (%); dengan koefisien korelasi 0,88. Efek lempung memberikan pengaruh lebih besar daripada efek porositas. Pengaruh dominan kandungan lempung pada sifat atenuasi terdapat pada 39 sampel dengan porositas antara 6 dan 36% (dan kandungan lempungnya ≠ nol) dengan korelasi kuat antara kandungan lempung dan faktor kualitas



Q = 179 ⋅ C −0,843



(7-26)



dengan koefisien korelasi 0,91.



20



Hasil yang lain dapat dilihat pada gambar 7.14 untuk batuan dari laut utara dan data Klimentos dan McCann (1990) dengan hubungan hampir linear antara kandungan lempung dan faktor kualitas. Korelasi antara atenuasi dan permeabilitas juga telah dipelajari, namun hasilnya tidak cukup baik. Beberapa hasil observasi dari kumpulan data yang terbatas (Klimentos dan McCann, 1990) menunjukkan bahwa:



 batuan dengan permeabilitas rendah disebabkan oleh porositas rendah/pori-pori kecil yang memiliki atenuasi rendah.



 batuan dengan permeabilitas rendah disebabkan oleh kandungan lempung authigenic yang memiliki atenuasi tinggi.



 batuan dengan permeabilitas sedang disebabkan oleh porositas sedang dan pori-pori kosong yang memiliki koefisien atenuasi sangat rendah (umumnya > 1 dB/cm). (untuk pengukuran dengan f = 1 MHz, tekanan 40 MPa).



21



7.3.4.2. Atenuasi gelombang seismik pada sedimen tak kompak Sedimen tak kompak umumnya memiliki sifat atenuasi paling tinggi. Penyebabnya adalah kerangka butir alami tak kompak dan energi hilang yang tinggi pada kontak butir serta sifat transmisi energi yang rendah. Hal ini menyebabkan efek ukuran dan bentuk butir pada sifat atenuasi. Hamburan dan hilangnya energi sebagai hasil interaksi matriks fluida dan gerak fluida dalam ruang pori merupakan efek tambahan. Tabel 7.5 memperlihatkan nilai rata-rata faktor kualitas dan kecepatan.



 porositas dan kandungan lempung  sifat-sifat butir (ukuran, bentuk, distribusi ukuran butir)  sifat-sifat fluida pori, saturasi, interaksi antara fluida pori dan butiran  tekanan



22



Dari hasil studi terhadap sedimen laut, gambar 7.15a dan 7.15b memperlihatkan koefisien atenuasi α1 ternormalisasi pada frekuensi 1 kHz (bandingkan persamaan 7-19) terhadap porositas dan diameter rata-rata butir. Peningkatan atenuasi seiring dengan peningkatan porositas hingga 50% dapat dijelaskan dengan peningkatan jumlah ketakhomogenan (pori-pori) berkaitan dengan matrik di sekitarnya. Di sisi lain peningkatan atenuasi dari porositas 90% hingga 50% mungkin merupakan hasil peningkatan jumlah ketakhomogenan (butiran) terhadap air di sekitarnya. Hubungan atenuasi terhadap ukuran butir meliputi dua efek:



 efek ukuran butir  efek porositas dihasilkan dari hubungan porositas dan ukuran butir (gambar 2.2) Nilai rata-rata Q untuk sedimen dengan berbagai ukuran butir diberikan pada tabel 7.6 dan juga ditunjukkan range rata-rata dan kecenderungannya. Hasil lain hubungan antara atenuasi terhadap porositas dan atenuasi terhadap ukuran butir dipublikasikan oleh Shumway (1956, 1960).



23



Tabel 7.6. Qp and Qp-1 of water sturated marine sediment off San Diego; data after Hamilton (1972) Sediment type Sand, coarse medium fine very fine Sandy silt Clayey silt Sand-silt-clay



Qp-1



Qp 14 kHz



24 kHz



32 31 31 32 111…437 368



32 118 31



100 kHz



14 kHz



29 35 31 29 54 104



0.031 0.032 0.032 0.031 0.002…0.009 0.003



24 kHz



0.044 0.009 0.033



100 kHz 0.034 0.028 0.032 0.034 0.018 0.010



24



Efek ukuran butir dalam penelitian Hamilton juga memuat pengaruh lempung. Data pada tabel 7.5 dan 7.6 memperlihatkan efek peningkatan lempung pada sifat-sifat atenuasi. McCann (1969) mengukur koefisien atenuasi sedimen bawah laut pada frekuensi 368 kHz: faktor Qp berkurang dari 200 (pada kandungan pasir/lumpur 20%) hingga 30 (pada kandungan pasir/lumpur 100%). Peningkatan tekanan menghasilkan penurunan sifat atenuasi sebagai hasil pemadatan sedimen, perbaikan kontak antarbutir dan transfer energi, serta penurunan porositas. Gambar 7.16 memperlihatkan penurunan atenuasi dan peningkatan kecepatan akibat peningkatan tekanan.



25



Masing-masing ketergantungan tersebut berupa hubungan tak linear. Ketergantungan koefisien atenuasi terhadap tekanan dapat dijelaskan dengan hukum pangkat, juga dapat dibandingkan dengan hubungan kecepatan dan tekanan (persamaan 6-80):



 p α = α 0    p0 



−n



(6-27)



di mana p adalah tekanan, p0 tekanan acuan (sebesar 1 kPa), α 0 koefisien atenuasi pada tekanan p0, dan n adalah pangkat. Data dari Hunter dkk (1961) memberikan nilai n = 1 / 6 . Sementara Hamillton (1976) memberi nilai antara 1 / 6 dan 1 / 2 untuk sedimen tersaturasi air. Prasad dan Meissner (1992) meneliti tentang pengaruh ukuran dan bentuk butir, serta tekanan pada kecepatan gelombang kompresi dan shear, serta atenuasi pada frekuensi 100 kHz. Gambar 7.17 menunjukkan contoh ketergantungan faktor kualitas terhadap tekanan. Ketergantungan tak linier ini cukup signifikan untuk material kasar, kecuali untuk faktor kualitas pada kasus tersaturasikan. Sama halnya dengan perilaku kecepatan, atenuasi secara dominan juga ditentukan oleh sifat kerangka butir untuk gelombang shear pada kasus kering dan tersaturasi air, dan untuk gelombang kompresi pada kasus kering. Sifat kompresi dalam kasus tersaturasi air utamanya dikontrol oleh fluida pori. Ketergantungan ini bukan karakteristik fraksi halus.



26



Hasil pengukuran menunjukkan bahwa:



 butiran lebih kasar meningkatkan kecepatan dan atenuasi gelombang kompresi dan atenuasi gelombang shear; kecepatan gelombang shear tampak tak terpengaruh oleh ukuran butir eksperimen (dari rata-rata ukuran butir 5 hingga 500 µm).



 bentuk sudut butir menyebabkan penurunan kecepatan dan atenuasi. Ketergantungan atenuasi terhadap tekanan untuk pengukuran in situ menghasilkan hubungan atenuasi terhadap kedalaman. Untuk sedimen tak kompak Lower Rhine Basin, Akorner dan Budny (1985) mengeplot Q terhadap distribusi kedalaman (gambar 7.18) dan menurunkan hubungan empiris



Q = 2,66 ⋅ z 0,36



(6-28)



di mana kedalaman (z) dalam m.



Figure 7.18. Variation of Q-values with depth for Quaternary and Tertiary soft soil deposits in the Lower Rhine Basin, Germany; after Ahorner dan Budny (1985).



7.3.5. Hubungan antara rasio Qp/Qs dan vp/vs Beragam data eksperimen menunjukkan kecenderungan adanya korelasi antara kecepatan dan sifat atenuasi. Hal ini dihasilkan oleh parameter-parameter umum yang berpengaruh terhadap masing-masing sifat (misalnya tekanan, porositas). Namun di sisi lain, kecepatan dan atenuasi bergantung pada sifat batuan berbeda (khususnya sifat struktur mikro batuan).



27



Gambar 7.19 menunjukkan pemisahan antara batu pasir Massilon kering, tersaturasi sebagian, dan tersaturasi penuh pada plot Qp/Qs terhadap vp/vs. Winkler dan Nur (1982) mencatat bahwa "Qp/Qs jauh lebih peka beberapa derajat saturasi daripada vp/vs".



Figure 7.19. attenuation and velocity data for Massilon sandstone plotted as Qp/Qs versus vp/vs. Arrows indicate directions of increasing effective pressure (from 0 to 34.5 MPa), after Winkler and Nur (1982)



Burkhardt dkk (1991) meneliti batu pasir Obernikirchner dan tidak menemukan tiga perbedaan pada plot yang komparabel, tapi menemukan bahwa rasio Qp/Qs lebih banyak dipengaruhi oleh beragam saturasi daripada rasio kecepatan, pada range frekuensi 0,03…200 Hz. Burkhardt dkk (1991) mencatat bahwa hasilnya "valid hanya untuk batuan yang diteliti, tapi mungkin tidak untuk batuan lain dengan perbedaan struktur mikro yang signifikan atau untuk range frekuensi lainnya". Prasad dan Meissner (1992) menemukan pemisahan untuk sedimen tak kompak dengan saturasi berbeda (kering dan tersaturasi penuh) dan ukuran butir pada "diagram loss"



Qp/Qs terhadap vp/vs. Ketergantungan umum pada satu sisi dan perilaku berbeda di sisi lain memberi peluang untuk memperoleh informasi tentang struktur batuan dan saturasi berdasarkan interpretasi gabungan data kecepatan dan atenuasi.



28



7.4. Teori dan mekanisme atenuasi “Fenomena atenuasi bersifat komplek. Perambatan gelombang elastik umumnya dapat dipahami dengan baik, sementara gelombang tak elastik sebaliknya (tidak dapat dipahami). Sebagaimana pengamatan dari data atenuasi, variasi tak elastik terhadap perubahan tingkat fisis sangat rumit dan mungkin tidak dapat dijelaskan dengan model atau mekanisme tunggal.” M.N. Toksoz dan D.H. Johnston (1981), Mekanisme Atenuasi, Bab Pembuka 3 SEG Geophysics No. 2 Seismic Waves Attenuation, pp. 136-139. SEG Tulsa/Oklahoma.



7.4.1. Ikhtisar Sumber atenuasi yang berasal dari alam sangatlah rumit. Terdapat beberapa teori dan metode untuk menjelaskan efek atenuasi dan beragam ketergantungannya. Pada kenyataannya, perilaku tak elastik tidak dapat dinyatakan dengan satu model atau mekanisme sederhana. Kita harus mengasumsikan aksi dan reaksi berbagai mekanisme serta ciri-ciri fisik baik yang diketahui maupun tidak. Namun demikian, dalam literatur, juga dalam buku ini, berbagai sumber energi loss akan dijelaskan secara sendiri-sendiri. Pembahasan tentang mekanisme atenuasi diawali dengan Ikhtisar pada gambar 7.10. Toksoz dan Johnston (1981) membedakan dua penjelasan matematika dan fisika untuk hilangnya energi seismik. Metode pertama menjelaskan atenuasi alami dalam bentuk persamaan umum



elastisitas



linear



(hukum



Hooke)



atau



dengan



persamaan



modifikasi



mengikuti



ketidaklinearan tertentu. "Model-model fenomenologi ini telah dipelajari dengan baik namun menghasilkan sedikit informasi berkaitan sifat-sifat mikroskopik batuan". Dalam beberapa kasus, model perilaku stress-strain dijelaskan dengan model rheologis. Pada kasus sederhana dinyatakan dengan kombinasi pegas (elastik) dan elemen redaman (viskos), lihat gambar 7.21. Teori dan model jenis kedua menggunakan penjelasan fisika dan matematika dari mekanisme atenuasi yang mungkin. Mekanisme ini berkaitan dengan sifat mikroskopik batuan dan perilakunya sepanjang perambatan gelombang elastik. Karenanya, hal tersebut umumnya memberikan sudut pandang dan informasi tentang sifat batuan yang lebih kepada kita.



29



Deskripsi teori seismic energy loss dalam batuan



Makroskopik



Persamaan umum



Mikroskopik



Mekanisme atenasi



elastisitas linear  Ketakelastisan matrik  Model-model rheologi



ketakelastisan kerangka



 modulus komplek



Gesekan pada - Kontak antarbutir - Permukaan retakan



 Mekanisme fluida pada pori-pori dan retakan - Aliran global (Biot flow) - Aliran lokal (squirting) - Gerak gelembung gas - Efek antarmuka



 Efek geometri - Scatlering at inclusions - refleksi khusus lapisan dasar tipis



Figure 7.20. Theoritical description of seismic energy loss – models and mechanism



Beberapa tipe utama dan kelompok berkaitan dengan "letak sumbernya" dalam batuan, contohnya:



 ketakelastisan matrik termasuk disipasi gesekan terhadap gerak relatif pada batas butir (White, 1966, 1983) dan sepanjang permukaan retakan (Walsh 1966, Walsh dan Grosenbaugh, 1979).



 mekanisme fluida dalam pori-pori dan retakan, termasuk relaksasi terhadap gerakan geser pada batas fluida pori (Walsh, 1968), disipasi dalam batuan tersaturasi penuh akibat gerak relatif dari kerangka berkaitan dengan masuknya fluida (Biot, 1956), fenomena semburan (Marko dan Nur, 1975; O'Connell, R-J., B. Budiansky, 1977, 1978; Marko dan Kjartansson, 1979), dan efek "gelembung-gelembung gas" atau paket-paket bola gas (White, 1975).



30



 efek antarmuka pada antarmuka fluida pori padat (Schopper, 1983; Schopper dan Riep, 1986).



 efek geometri sebagai sumber energi hilang seperti sebaran pori-pori kecil (Kuster, Toksoz, 1974) atau refleksi khusus ketebalan dasar (O'Doherty dan Anstey, 1971; Schoenberger dan Levi, 1974; Shapiro dkk, 1994) Bagian berikut menunjukkan beberapa contoh dan hasil yang representasif hanya pada kelompok teori.



7.4.2. Persamaan umum elastisitas linear dan model-model rheologic Perilaku deformasi makroskopik digambarkan dengan gabungan elastik dan elemen viskos. Pada deskripsi model, dua bagian ini disimbolkan dengan sebuah pegas dan sebuah elemen redaman, dan disebut "model rheologic". Gambar 7.21. menunjukkan dua kombinasi sederhana: Model Maxwell dan model KelvinVoight. Kombinasi lebih dari satu pegas dan beberapa elemen viskos (model standar atau model Zener, badan Burgers, badan Nakamura) digambarkan dan dibahas oleh Karato dan Spetzler (1990), Qaisar (1989), Kogan (1966), Stoll (1971) dan Rosler (1975).



Figure 7.21. The Maxwell, Kelvin-Voigt, and Standard or Zener model



Sebagai contoh, model Kelvin-Voight dibahas untuk kasus homogen isotropis. Susunan pegas paralel dan elemen viskos menghasilkan strain homogen ε . Stress terdiri atas dua bagian:



 elastik



σ spring = E ⋅ ε



 viskos



σ viscous = η ⋅



(7-29)



dε dt



(7-30)



di mana untuk model tersebut menghasilkan



σ = σ spring + σ viscous = E ⋅ ε + η ⋅



dε dt



(7-31)



31



Untuk material padat dengan sifat elastik dan viskos, hubungan stress-strain 6-4 dimodifikasi menjadi bentuk



σ ik = λδ iklmε lm + 2µε ik + λ 'θ iklm



dε lm dε + 2 µ ' ik dt dt



(7-32)



Dengan substitusi persamaan gelombang teredam ke dalam persamaan gerak menghasilkan modulus kompleks, kecepatan bergantung frekuensi (dispersi) dan atenuasi. Untuk gelombang longitudinal, kita dapatkan (lihat White, 1983) 12



2   ω    1 +   12   ω M    0 v p =   2 ⋅  2  d    ω 1 +   + 1     ω0 



αp =



(7-33)



ω0 (ω / ω0 ) 2



(



 M  2 2 ⋅  d  1 + (ω / ω0 )   



)(



)



 1 + (ω / ω0 ) + 1   2



12



(7-34)



di mana



M = λ + 2µ



ω = 2π f



(7-35)



ω0 adalah frekuensi khusus model dan didefinisikan sebagai ω0 =



λ + 2µ λ '+2 µ '



(7-36)



Persamaan ini merupakan rasio antara bagian real dan imajiner dari modulus gelombang bidang. Untuk range frekuensi rendah, ω 2 jauh lebih kecil daripada ω02 dan pendekatan untuk ketakbergantungan kecepatan terhadap frekuensi adalah 12



M  vp =    d 



(7-37)



dan peningkatan koefisien atenuasi sebanding dengan kuadrat frekuensi 2



1 1  2   ω ω0   αp =  ⋅ =  ⋅  ⋅ω  12    v p 2ω0   2 ⋅ (M / d )   ω 0 



(7-38)



Dengan perbandingannya



α ~ f2



(7-39)



Nilai ini tidak sesuai dengan hasil ekperimen (α ~ f ) .



32



Pembahasan lebih jauh tentang perilaku elastik-tak elastik model standar dijelaskan oleh Bourbie dkk (1987). Pembahasan ini meliputi penjelasan tentang jaringan deret dari model Kelvin-Voight. Arts dkk (1992) mengembangkan tensor viskoelastik lengkap untuk medium anisotropic viskoelastik.



7.4.3. Ketakelastisan matrik– disipasi gesekan Atenuasi matrik dapat diakibatkan oleh:



 ketakelastisan intrinsik bahan matrik padat (mineral)  disipasi gesekan terhadap gerak relatif pada batas butir dan sepanjang permukaan retakan. Ketakelastisan intrinsik mineral secara umum bernilai kecil (lihat bagian 7.3.1); pada kristal, harga Q lebih tinggi beberapa ribu, sedangkan pada batuan, nilainya lebih rendah beberapa ratus, sehingga atenuasi intrinsik dalam mineral dapat diabaikan jika dibandingkan dengan atenuasi sepanjang permukaan butir dan retakan (Johnston dkk, 1979) atau pada cacat dalam matrik batuan padat. Walsh (1965, 1966) melakukan pendekatan retakan di dalam batuan dengan ellipsoid pada strain bidang. Perhitungan orientasi acak pada retakan menghasilkan persamaan untuk Q p−1 dan Qs−1 dengan bentuk (lihat Johnston dkk, 1979)



Q p−1 =



Eeff



Qs−1 =



Eeff



Es



⋅ ⋅



(1 − σ ) ⋅ l N ⋅ F (κ ,σ ) (1 − 2σ ) V 3



eff 2 eff



1



Es 1 + σ eff







eff



l3N ⋅ F (κ ) V



(7-40)



(7-41)



di mana Es dan Eeff adalah modulus Young matrik padat dan efektif (batuan); σ eff adalah rasio Poisson efektif, κ koefisien gesekan pada permukaan retakan. N adalah jumlah retakan dengan setengah panjang l dalam volume V. Sifat-sifat dan parameter ini secara terpisah



dijelaskan dalam bagian 6.4.6.1. Fungsi F (κ ,σ eff ) secara implisit bergantung pada sudut antara normal bidang retakan dan arah perambatan gelombang. Satu hasil penting dari teori dan model ini adalah ketakbergantung Q pada frekuensi.



Bagaimanapun, perhitungan harga mutlak memerlukan pengetahuan tentang parameterparameter tak dikenal, khususnya geometri retakan dan koefisien gesek, yang bergantung pada saturasi. Walsh (1966) menyatakan dalam makalahnya bahwa, meski atenuasi tak dapat



33



dihitung pada harga mutlak, namun keakuratannya dapat dicek dengan membandingkan rasio



Qp/Qs setelah model dengan data eksperimen. Gambar 7-22 memperlihatkan rasio ini sebagai fungsi koefisien gesek dan rasio Poisson efektif sebagai parameter kurva. Berdasarkan data dari Horn dan Deere (1962) dan Byerlee (lihat Walsh, 1966), koefisien gesek dapat diasumsikan memiliki range antara 0,1…0,2 (permukaan halus) dan maksimum 0,5…0,6 (permukaan kasar).



Figure 7.22. The ratio Qp/Qs as a function of friction coefficient κ ; curve parameter is the effective Poisson ratio σeff ; after Walsh (1966)



Untuk nilai rata-rata rasio Poisson antara 0,15 dan 0,25 menghasilkan rasio Qp/Qs berkisar antara 0,4 dan 1,6. Hal ini sesuai dengan data eksperimen khususnya untuk batuan kering (bandingkan bagian 7.3.4 dan gambar 7-19). Model dan mekanisme Walsh dapat digunakan untuk menjelaskan efek tekanan pada nilai Q (Johnston dkk, 1979). Dengan menyatukan asumsi bentuk bola dengan rasio aspek kecil dan koefisien gesek tak bergantung tekanan, maka akan dihasilkan bentuk hubungan



Q p−1 = Q p−1,0



Eeff Eeff ,0



⋅ exp(− A ⋅ p )



(7-42)



di mana parameter A bergantung pada rasio aspek, rasio N ⋅ l 3 / V , rasio Poisson dan modulus bulk static frame efektif. Persamaan 7-42 menggambarkan penurunan eksponensial Q-1 atau atenuasi terhadap peningkatan tekanan. Untuk batuan porus khususnya batuan porus tak kompak, model bola diterapkan tidak hanya untuk perhitungan elastik tapi juga untuk perilaku tak elastik. Duffy dan Mindlin (1959), Deresiewics (1958), dan White (1975) telah mempelajari tentang energi hilang pada



34



bola sebagai hasil dari gesekan Coulomb dan luncuran gesek pada kontak bola. Studi ini menghasilkan hubungan untuk Qs−1 bergantung pada tekanan, radius bola, koefisien gesekan (untuk kasus ”tergelincir” dan ”tak tergelincir”), dan sifat material elastik bola. Modifikasi model jenis ini telah dipublikasikan oleh Digby (1981) dengan asumsi kontak deformasi pada permulaannya. Perbandingan dengan hasil eksperimen khususnya Meissner dan Prasad (1992) menunjukkan bahwa model jenis ini dapat memperlihatkan beberapa kecenderungan, seperti penurunan atenuasi terhadap peningkatan tekanan (dengan hubungan tak linear) dan efek umum ukuran butir. Secara umum, untuk model berbentuk bola dengan mekanisme gesek, Q tak bergantung frekuensi.



7.4.4. Mekanisme fluida pada pori-pori dan retakan Aliran fluida dalam ruang pori yang terinduksi oleh stress gelombang elastik merupakan salah satu penyebab atenuasi. Gerakan fluida mengakibatkan stress geser dalam fluida, dan disipasi



viskos energi gelombang. Mekanisme viskos meliputi viskositas fluida η dan sebanding dengan atenuasi sebesar kuadrat frekuensi



α ~ f2



(7-43)



Mekanisme aliran terbagi ke dalam dua kategori:



 aliran tetap  aliran pancar (Marko dan Nur, 1975; O'Connell dan Budiansky, 1977; Murphy dkk, 1986) Teori Biot tentang perilaku elastik dan tak elastik untuk batuan porus dan permeabel menghasilkan persamaan kecepatan gelombang (bab 6.4). Gerak osilasi fluida pori viskos menghasilkan ketergantungan energi hilang gelombang seismik terhadap frekuensi. Pada frekuensi tertentu, gerak ini dapat dijelaskan sebagai aliran Poiseulle (laminer). Koefisien atenuasi untuk gelombang P (jenis pertama) dan gelombang S berubah sebesar kuadrat frekuensi.



α p ,α s ~ f 2



(7-44)



Q p , Qs ~ f 2



(7-45)



atau



Untuk range frekuensi rendah, persamaan koefisien atenuasi



35



2



  2 d ks 1 − k / ks  f ⋅ 1 − ⋅ ⋅  d M 1− Φ + Φ ⋅ k / k − k / k  f s f s  



d κ 1 α p = ⋅ 2π 2 ⋅ f ⋅ vp d ηf 2



d κ 1 α s = ⋅ 2π 2 ⋅ f ⋅ ⋅ f 2 vs d ηf



(7-46)



2



(7-47)



di mana d, df adalah densitas batuan dan fluida, Φ adalah porositas, η f adalah viskositas fluida, K adalah permeabilitas, dan M , k , k s , k f adalah modulus gelombang bidang dan modulus kompresi kerangka batuan, material matrik padat, dan fluida. Ketergantungan pada kuadrat frekuensi tidak sesuai dengan pengetahuan praktek pada umumnya (lihat bagian 7.3.1). Pada frekuensi yang lebih tinggi, aliran bersifat turbulen dan efek viskositas terasa hanya pada lapisan batas tipis (Johnston dkk, 1979) di mana ketergantungan frekuensi jenis ini



α p ,α s ~ f 1 2



(7-48)



White (1965) menghitung secara numerik nilai atenuasi untuk batu pasir dan diperoleh



α p = 9 ⋅ 10−10 f 2



α s = 65 ⋅ 10−10 f 2



(7-49)



di mana atenuasi dalam Nepers/m dan frekuensi dalam Hz. Khusus untuk frekuensi rendah (