BAB I Adat Perkawinan Sikka Krowe [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adat perkawinan di Indonesia banyak sekali macam ragamnya. Setiap suku bangsa memiliki adat perkawinan masing- masing. Diantara adat perkawinan itu ada yang hampir serupa terutama pada suku-suku yang berdekatan, tetapi ada pula yang sama sekali berlainan. Pernikahan memang menjadi sebuah momen yang penting dan begitu sakral dalam kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali dengan adanya pemberian mahar atau mas kawin yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat melangsungkan pernikahan.



Bagi masyarakat Sikka-Krowe, salah satu etnis terbesar yang mendiami daerah Maumere, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu sebelum pernikahan dilangsungkan. Salah satunya adalah pembelian belis atau mas kawin. Maumere sendiri adalah sebuah kecamatan serta ibukota Kabupaten Sikka yang terletak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Sementara Sikka adalah nama yang menunjukkan sebuah kampung tradisional di pantai selatan Kabupaten Sikka yang dikenal dengan Sikka Natar atau Kampung Sikka, sedangkan Krowe adalah orang pedalaman yang tinggal dari Desa Nele di Kabupaten Sikka. Di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), warisan kebudayaan simbolik berupa materi cenderung memiliki pengaruh lebih besar dalam kehidupan masyarakat. Kenyataan menunjukan bahwa simbol materi dalam kebudayaan masyarakat Sikka dapat berimbas pada kedudukan sosial ekonomi. Hal ini berarti, materi sebagai simbol kebudayaan masyarakat Sikka telah mengambil peran penting yang menentukan pertumbuhan sosial ekonomi. Akibat adanya hal tersebut, masyarakat cenderung memandang materi sebagai beban dalam kehidupan. Masyarakat belum mampu masuk ke dalam suatu proses internalisasi yang tepat terhadap kedudukan materi. Hal ini kemudian diperparah dengan lemahnya pemahaman terhadap kedudukan materi. Simbol yang digunakan dalam kebudayaan, pada tahap selanjutnya bukan lagi menjadi pegangan yang membentuk pemahaman dan pola perilaku masyarakat tetapi kehadiran simbol kebudayaan lebih berdampak mengganggu 1



kemapanan hidup masyarakat.



Dalam proses pernikahan adat Sikka, terdapat proses yang disebut pengantaran belis. Belis atau Mahar adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat pernikahan. Masyarakat Sikka dituntut membawa belis atau mahar berupa kurban dalam jumlah yang besar disertai uang sesuai permintaan dari pihak mempelai wanita. Tuntutan yang dibuat oleh pihak mempelai wanita umumnya didasarkan pada status sosial yang dimiliki. Semakin besar kedudukan seorang mempelai wanita dalam kehidupan bermasyarakat, maka semakin besar pula belis yang harus diberikan oleh mempelai pria. Dalam beberapa kasus, mempelai pria dapat saja melakukan sistem pembayaran kredit karena kurangnya persiapan materi yang bisa digunakan sebagai belis. Di atas tuntutan ini, sesungguhnya terdapat suatu nilai penting yang hendak diperjuangkan oleh masyarakat Sikka. Besar kecilnya belis atau mahar dan proses pernikahan menunjukan bahwa masyarakat Sikka memiliki penghargaan yang tinggi terhadap martabat hidup seorang wanita. Sebagai sumber kehidupan, wanita adalah ibu yang melahirkan dan bertanggung jawab membesarkan anak-anak kelak. Di pihak lain, tuntutan yang besar dalam belis dan proses pernikahan menjadi salah satu sarana agar tercipta ikatan yang kuat antara mempelai wanita dan pria. Keduanya terikat dalam beban moral karena belis yang besar dan proses pernikahan yang membutuhkan banyak dana. Persepsi masyarakat yang tepat terhadap makna simbol yang digunakan dalam belis atau mahar dan proses pernikahan diharapkan menjadi pegangan bagi segenap masyarakat Sikka. Hal ini dimaksudkan agar belis dan segenap proses



pernikahan



tidak memicu lahirnya konflik karena kesalah pahaman, tetapi sebaliknya menggerakan masyarakat untuk menghayati nilai dan makna yang terkandung di balik semua proses itu.



2



B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan sebelumnya maka rumusan masalah, yang akan dibahas di dalam makalah tentang Adat Perkawinan Sikka Krowe adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana presepsi masyarakat terhadap makna adat perkawinan Sikka Krowe ? 2. Apa saja tahapan-tahapan dalam adat perkawinan Sikka Krowe ? 3. Bagaimana proses yang dilalalui dalam adat perkawinan Sikka Krowe ? C. Tujuan Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Adat Perkawinan Sikka Krowe ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui presepsi masyarakat terhadap makna adat



perkawinan Sikka



Krowe 2. Untuk mengetahui tahapan-tahapan dalam adat perkawinan Sikka Krowe 3. Untuk mengetahui proses prose yang dilalui dalam adat perkawinan Sikka Krowe



3



BAB II PEMBAHASAN



A. Makna Adat Perkawinan Sikka Krowe Perkawinan merupakan hal yang sangat sakral, jadi harus dijaga dan dihormati dengan sungguh-sungguh, Maka dari itu, seorang laki-laki atau perempuan yang ingin membangun rumah tangga maka dia harus benar-benar dalam menghayati perkawinan itu. Perkawinan ini bukan untuk dipermainkan oleh orang-orang yang akan membangun rumah tangga tetapi perkawinan ini harus benar-benar dihayati dengan sungguh-sungguh. Perkawinan ini perlu dihargai dan dihormati oleh manusia. Karena perkawinan ini ada dan lahir dari manusia melalui keseluruhan hidup manusia. Ikatan perkawinan mengikat dua pribadi yang mempunyai perbedaan cara pandang, perbedaan karakter, mungkin juga perbedaan bahasa dan suku. Oleh karena itu, pentingnya menghargai personalitas dengan beragam latar belakang tersebut. Manusia sebagai pribadi dalam perkawinan adat masyarakat Sikka merupakan suatu unsur yang sangat bermakna dan mempunyai nilai kesucian serta keluhuran yang terkandung di dalamnya. Karena keluhuran itu, manusia harus dihormati, dijunjung tinggi, dan tanpa pembedaan ras, bahasa, agama, status ekonomi, dan aneka prestasi lainnya. Keluhuran manusia ada dan melekat di dalam diri manusia sejak manusia dilahirkan sampai pada kematiannya. Namun hal yang sama pula terjadi dengan masyarakat Sikka, masyarakat Sikka melihat perkawinan itu sebagai suatu hal yang sangat suci atau sakral sehingga perlu untuk dihormati dan dijunjung tinggi nilai kemartabatannya. Dalam perkawinan ini ada dua pribadi yang bersatu untuk menjalani kehidupan mereka demi melanjutkan keturunan. Dalam hal ini, tidak mudah untuk menyatukan dua pribadi yang berbeda karakter untuk hidup bersama atau bersatu. Pandangan yang berkaitan dengan kesucian dalam perkawinan ini muncul ketika dipengaruhi oleh pandangan orang Sikka tentang wujud tertinggi dan lam semesta. Apabila dalam perjalanan waktu terjadi ketidaksetiaan dalam perkawinan maka akan diberikan sanksi adat sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh suaminya seperti memberi kuda, uang dan sebagainya. 4



Dalam Gereja Katolik seorang laki-laki maupun perempuan tidak diperbolehkam untuk menikah lagi bila salah satunya masih hidup kecuali salah satunya meninggal baru diperbolehkan untuk menikah lagi dengan pasangan yang lain yang dianggap cocok atau ideal. Tujuan dari perkawinan ini untuk memperoleh keturunan, kesejahteraan dan keharmonisan suami istri. B. Tahapan Dan Langkah-Langkah Dalam Adat Perkawinan Sikka Krowe Tahapan dan Langkah-langkah dalam setiap jenis perkawinan adat berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan ini teridentifikasi berdasarkan tata cara perkawinan tersebut. Dalam pengaturannya ditetapkan sebagai berikut: 1. Kawin Lari ( Du’a Depo La’I ) Tahapannya diatur dalam dua alternatif/dua kemungkinan Yaitu : a.  Pasangan Suami-Istri mendatangi orang tua dan keluarga pihak wanita dengan membawa sejumlah barang pembelisan sesuai ajaran adat yang biasa disebut:“RUKU GAPU WAIN KONGONG PIRU LIMAN” (SUJUD MENCIUM KAKI, SEMBAH MEMELUK TANGAN) Sebagai wujud permohonan maaf dari anak yang telah melanggar. b. Orang tua/keluarga si wanita datang mencari anaknya ke rumah Pria dengan tuntutan Adat “RI’I BAI ROTAN GLOROT” (KAKI TERTUSUK DURI TANGAN TERTANCAP ONAK). Berarti keluarga si pria berkewajiban memberikan sejumlah barang pembelisan sebagai wujud penghormatan dan permohonan maaf. Setelah itu kedua keluarga merundingkan pembelisan dan ongkos-ongkos seadanya untuk memasuki Upacara Akad Perkawinan Adat “WAWI WOTIK” atau WOTIK WAWI ‘WATEN. 2. Kawin Masuk ( Lebo Kuat ) Perkawinan jenis ini hanya ditempuh melalui sebuah langkah yaitu Upacara Pencabutan Suku (LEBO KUAT) Oleh Si Pria (Si Pria beralih ke suku Wanita). Keluarga besar suku dan Tetua Kampung turut hadir dan menyaksikan upacara tersebut. Kepala Suku keluarga Wanita mempersembahkan sesajen pada batu sesajen lalu melaporkan sekaligus memohon restu dari Leluhur dan mereciki pasangan pengantin dengan Air Berkat Adat, dengan seekor babi yang telah disiapkan untuk upacara ini. Lalu babi dibunuh dan darahnya direciki pada dahi pasangan pengantin tersebut. Setelah daging babi masak dan segala perlengkapan lainnya disiapkan, maka dilanjutkan dengan Upacara Lebo Kuat. 3. Kawin Paksa ( Ina Ama Wen ) Kawin Paksa merupakan jenis perkawinan yang dikehendaki oleh orang tua 5



para calon pengantin. Faktor pembicaraan belis, pembelisan, dan penyerahan ongkosongkos tidak menjadi beban bagi pengantin yang dijodohkan. Tahapan-tahapan dan proses-proses pun diatur berdasarkan selera orang tua. Pasangan hanya menunggu untuk menerima Upacara Akad Perkawinan Adat.



4. Kawin Mulia ( Wain Plan ) Kawin Mulia adalah satu-satunya jenis perkawinan yang paling dihormati dan dijunjung tinggi karena mengandung nilai paling luhur yaitu: a. Mempertahankan ketinggian harkat dan martabat manusia beserta suku rumpunnya dalam sudut pandang adat. b. Memperkokoh status perkawinan dan status keturunan maupun perlakuan dalam hukum. Oleh karena itu Kawin Mulia (WAIN PLAN), biasanya diproses secara terbuka, teratur, terencana, terkoordinir dan disertai dengan pengorbanan baik waktu, harta benda maupun beban perasaan. C. Proses proses yang di lalui dalam adat perkawinan Sikka Krowe Seperti telah diketahui bahwa adat perkawinan di Kabupaten Sikka diproses secara panjang sebanyak tiga tahap delapan langkah. Tahapan-tahapan dan langkahlangkah dalam penyelenggaraannya dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Berkenalan ( Ga’I Glengan ) Langkah Pertama Mobo Tulung (Bertandang ) Seorang Pemuda dan seorang Gadis dapat bertemu sewaktu-waktu apakah di pasar, pesta, gereja atau di tempat pengambilan air dan sebagainya. Dalam pertemuan tersebut membawa kemungkinan Si Pemuda jatuh cinta pada Si Gadis ataupun sebaliknya. Lalu Si Pemuda akan menyampaikan niat luhurnya kepada orang tuanya. 2. Wua Ta’a Diri Mipin ( Sirih pinang Penentu Alamat ) Di rumah si pemuda, keluarga mempersiapkan sirih pinang dan tembakau yang dibungkus dalam selembar kain dan dibawah oleh teman si pemuda sambil membembeng seekor ayam. Mereka berdua berangkat ke rumah si gadis. Setiba di rumah si gadis, mereka langsung menyerahkan sirih pinang, tembakau dan ayam kepada orang tua si gadis. Biasanya langsung ditempatkan di sudut kanan kamar upacara. Mulai saat itu, pemuda dan temannya tidak lagi dijamu sebagai tamu biasa. Berdasarkan adat perkawinan, mereka dijamu secara khusus dengan santapan nasi, ikan dan tuak. Dan apabila mereka tidak menghabiskan makanan yang disajikan, maka sisanya akan dibawa pulang ke rumah orang tuanya. Dan 6



kepada mereka akan dipesan bahwa sirih pinang ini sebagai penentu alamat sehingga mereka harus membawa sisa makanan tersebut, agar orang tua dan keluarga turut menyantapnya, sebagai tanda peran serta mereka dalam mencari alamat, dengan memohon restu dari leluhur (NITU NOAN) serta langit dan bumi (NIAN TANAH LERO WULAN), agar memberi gambaran melalui mimpi tentang hubungan yang sementara dibangun 3. Wua Lema Lepo, Ta’a Rawit Woga Pla Wain Nian Poa, Heron Men Lero Ha’e (Tunangan) Memasuki tahap ini, kedua keluarga akan dihadapkan dengan berbagai macam kesibukan. Keluarga si gadis akan mempersiapkan babi, moke, sarung, dan berbagai



menu



makanan



untuk



menjamu



keluarga



si



pria.



Sekaligus



mengumpulkan keluarga besar yang berperan dalam acara ini. Sedangkan keluarga si pria mempersiapkan barang-barang pembelisan. Biasanya berupa kuda, uang, emas dan barang-barang utama seperti sirih, pinang, tembakau dan ayam. Serta mengumpulkan keluarga besar yang akan berperan dalam langkah ini. Selanjutnya perentas jalan si pria akan mendatangi keluarga si wanita untuk membuat kesepakatan menyangkut waktu berlangsungnya upacara. Setelah perundingan mencapai kata sepakat, maka hasilnya akan disampaikan kepada masing-masing pihak, dan sejak saat itu, perentas jalan kedua belah pihak akan berubah peran menjadi pembicara belis. Saat satu hari sebelum upacara sesuai kesepakatan, keluarga si pria harus segera memetik sirih pinang. Memetik sirih pinang pun harus sesuai petunjuk adat yaitu tangkai sirih dan mata pinang tidak boleh terlepas dari buahnya sebagai wujud keutuhan hati dalam meminang gadis tersebut. 4. Pati Wawi Plan Wua Ta’a (Pengresmian Tunangan) Kepala suku meletakan sesajen berupa seekor ikan kering, dengan beras di Watu Mahang, sebagai suguhan bagi arwah untuk memohon restu dan kekuatan. Dan selanjutnya mengambil air berkat adat untuk HULER WAIR/mereciki si gadis, si pemuda, sirih pinang, dan babi pengresmian tunangan. Setelah itu, babi dibunuh. Saat mereciki air berkat adat pada dahi si gadis dan si pemuda, bersamaan dengan itu diucapkan doa adat yang berbunyi sebagai berikut: BLATAN GANU WAIR, GANU WAIR EI NAPUN BLIRAN GANU BAO, GANU BAO GERA WOLON UBUN LEBUR GANU TEBUK, GANU TEBUK LAU DETUT BAKUT PLIAK GANU BAKI, GANU BAKI RETA ILIN PUNAN DA’AN AJIN BOLEK UBUT NAHA BAKA LIKAT KLEKOT NAHA PAGA LIGA Artnya:



7



DINGINLAH KAMU BAGAI AIR, BAGAI AIR DI KALI ABADI SEGARLAH KAMU BAGAI BERINGIN, BAGAI BERINGIN DI BUKIT KEKAL SEHAT SEGARLAH DIKAU BERTUMBUH BAGAI GEBANG DI TANAH DATAR MEKAR BERKEMBANGLAH CINTAMU NAN LUHUR BAGAI BAKI DI RIMBA RAYA



Doa ini diakhiri dengan mengolesi darah babi ke dahi si gadis dan si pemuda sebagai tanda “Resmilah mereka bertunangan” pada saat itu juga resmilah kedua keluarga besar menggelar sapaan umum, dimana keluarga si gadis disapa InaAma, oleh keluarga si pemuda, dan keluarga si pemuda akan disapa Me-Pu oleh keluarga si gadis. Pada saat inilah berlaku hukum adat perkawinan dimana InaAma tidak dibenarkan menyantap daging babi dan lain-lain yang telah dipersiapkan untuk Me-Pu, dan sebaliknya Me-Pu tidak dibenarkan menyantap daging ayam dan barang-barang lain yang menjadi haknya Ina-Ama. Sapaan dan larangan ini berlaku seumur hidup sampai turun temurun.Demikian juga adat perkawinan mewajibkan pihak Me-Pu harus senantiasa bersikap santun dan merendah di hadapan Ina-Ama. 5. Hiwi Hao ( Pemberian Nafkah ) Karena proses perkawinan berada pada tahap tunangan, maka calon suami berkewajiban bertanggung jawab atas segala kebutuhan hidup beserta beban pekerjaan di rumah calon istrinya. Oleh karena itu ia harus secara berkala mengantarkan kebutuhan hidup calon istrinya berupa makanan, pakaian dan lain sebagainya. Setiiap kali mengantar ia harus tinggal beberapa waktu untuk membantu pekerjaan calon istrinya. Kesempatan inilah yang menjadi peluang bagi mereka untuk saling memahami secara lebih jauh tentang kepribadian mereka masing-masing. Meskipun mereka belum diperkenankan untuk berkomunikasi secara langsung. Apabila jangka waktu pada langkah ini dianggap cukup, maka mereka beralih ke langkah berikutnya. 6. Tuji Lin Taji Welin (Membicarakan Belis) Belis merupakan ukuran ketinggian harkat , martabat dan derajat manusia dalam sudut pandang adat. Oleh karena itu belis menduduki posisi strstegis dalam sebuah proses perkawinan yang mutlak dibicarakan. Biasanya belis dirinci dalam apa yang disebut “Wu’un Larun” atau Buku dan Ruas. Leluhur menetapkan belis sebanyak 12 Wu’un Larun atau 12 simpul yaitu: TUDI HELIT GEBI PORON SODANG GARAN, WAWI DADI, GAER WUA TA’A, KILA, KLU’UT, UHE, KABOR, LEA, BUKU, WUA TA’A GETE, LIMAN HONAN, PORON PATI TALI8



PIGANG LOTAK WAIR, selain itu ada yang tidak termasuk dalam Wu’un Larun, tetapi disebut HU’E HERENG atau Ukuran Kepantasan momentum. Karena ada momentum-momentum tertentu sepanjang proses perkawinan berlangsung, yang mewajibkan Me-Pu, memberikan tanda takluk dengan wujud barang pembelisan. Pada umumnya, disaat pembicaraan belis, pihak Ina-Ama melakukan penekananpenekanan yang bertujuan besarnya belis dan derajat barang pembelisan harus setimpal mewujudkan ketinggian harkat martabat dan derajat manusia, sehingga gading, kuda, emas, dan uang yang khasnya selalu disebut “Bahar balik” sering dituntut dalam momentum pembicaraan belis. Meskipun besarnya belis dan derajat barang pembelisan ditetapkan agak tinggi, namun tidak selamanya jumlah dan jenis tersebut harus diberikan sekaligus pada saat yang telah disepakati. Hal ini diatur dalam adat perkawinan yang memberikan kelunakan kepada pihak Me-Pu, bahwa masa pemberian belis tidak memiliki batas waktu tertent u. Adat perkawinan menentukan batas waktu pembelisan dalam sebutan “’EA DA’A RIBANG NOPOK, TINU DA’A KOLI TOKAR” artinya makan seumur hidup minum sepanjang hayat, berarti urusan belis tetap berjalan sebagaimana biasa selagi turun temurun pasangan tersebut masih ada. Tujuan pembicaraan belis/perundingan ini adalah untuk mencapai kesepakatan tentang besarnya belis, berapa jumlah belis yang dapat diangsur, kapan pembelisan dilaksanakan, paket-paket apa yang harus disiapkan dalam upacara Akad Perkawinan Adat dan jumlah orang yang datang pada hari penentuan. 7. Leto Woter ( Pembelisan ) Leluhur dalam adat perkawinan menekankan persamaan derajat dengan sebutan “DU’A LIN, LA’I WELIN” yang dimaksudkan adalah hak wanita maupun lakilaki dalam posisi perkawinan adat dalam pembelisan menyandang derajat dan penghargaan yang sama. Oleh karena itu, apabila si wanita beserta suku rumpunnya dihargai dalam bentuk pembelisan, maka laki-lakipun harus diakui martabatnya oleh Ina-Ama dengan menyerahkan balasan pembelisan yang disebut ongkos dalam bentuk babi, beras, tuak, sarung, baju dan lain-lain, kesemuanya itu untuk membuktikan bahwa belis yang diberikan bukan merupakan nilai dar transaksi jual beli manusia, sehingga penyerahan belis disebut oleh adat “LETO WOTER” artinya PEMBERIAN BELIS, bukan “TE’A WOTER” yang artinya PEMBELIAN BELIS. Maka kegiatan pada langkah ini adalah penentuan belis dan penyerahan ongkos-ongkos. 8. Wotik Wawi Waten ( Upacara Akad Perkawinan Adat) Proses panjang dalam WAIIN PLAN (KAWIN MULIA) akhirnya tiba pada puncak acara. Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa sebuah perkawinan 9



adat baru dapat dinyatakan sah dan resmi serta memiliki kekuatan hukum, apabila telah kukuh dengan upacara sumpah perkawinan adat.Oleh karena itu dikamar upacara yang telah ditempati oleh pengantin, keluarga besar kedua pihak, para saksi dan pendamping,beserta segala menu makanan upacara, hadir seorang IMAM ADAT untuk melaksanakan upacara sumpah perkawinan. Imam adat mengambil secuil nasi dan hati babi dari piring pengantin, sambil mengucapkan sumpah perkawinan bait demi bait lalu disuapkan ke mulut pengantin disertai tegukan tuak sebagai penguat sumpah. Pengantin wanita dan pria,masing-masing diucapkan 7 bait sumpah perkawinan yang keseluruhannya berisikan pesan, petuah dan amanat demi keharmonisan serta kebahagian dan kesejahteraan rumah tangga mereka. Secara garis besar digambarkan disini bahwa bait-bait tersebut masing-masing mengatur tentang halhal sebagai berikut: – Ikatan perkawinan hanya dipisahkan oleh kematian – Pengantin pria dan wanita tidak boleh lagi menganggap diri sebagai pemuda atau gadis bebas – Pengantin pria dan wanita harus betah di rumah tangga sebagai suami dan istri sejati – Pengantin pria dan wanita harus hidup bersatu erat melekat pantang tergeser haram tercecer – Pengantin wanita sah berpindah suku dan wajib menyandang suku suaminya – Pengantin didoakan untuk memperbanyak keturunan secara terukur, karena anak yang dilahirkan menjadi penghibur dan pembawa damai, pewaris hak dan kewajiban, serta tumpuan harapan keluarga, suku dan sesama – Pengantin wanita berkewajiban melayani suami tercinta dengan tulus dan ikhlas – Pengantin wanita harus tampil sebagai seorang ibunda suku yang ramah, rendah hati, pembawa damai, tabah, tekun dan ulet menghadapi segala problem serta memanfaatkan semua hasil karya suaminya secara berdaya guna dan berhasil guna. – Pengantin pria diamanatkan untuk bekerja keras mencari nafkah secara halal demi kesejahteraan istri dan anak- anaknya – Pengantin pria diwajibkan menyerahkan segala hasil karya yang diperolehnya secara utuh kepada istri dan anak-anaknya – Pengantin pria diwajibkan memberikan perlindungan total kepada anak dan istrinya baik makan minum, perumahan, pakaian, kesehatan lahir bathin dan pendidikan – Pengantin pria harus mendidik dan memberikan contoh serta teladan yang baik agar anak istrinya tumbuh sebagai keluarga yang dikagumi dan dihormati. 10



Dengan selesainya pengucapan sumpah perkawinan, maka selesailah sudah seluruh rangkaian tahapan dan langkah-langkah dalam proses kawin mulia. Sebelum agama katholik dianut oleh masyarakat adat disaat ini juga pengantin wanita diboyong ke rumah pengantin pria.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Perkawinan merupakan hal yang sangat sakral, jadi harus dijaga dan dihormati dengan sungguh-sungguh, Maka dari itu, seorang laki-laki atau perempuan yang ingin membangun rumah tangga maka dia harus benar-benar dalam menghayati perkawinan itu. Manusia sebagai pribadi dalam perkawinan adat masyarakat Sikka merupakan suatu unsur yang sangat bermakna dan mempunyai nilai kesucian serta keluhuran yang terkandung di dalamnya.Namun hal yang sama pula terjadi dengan masyarakat Sikka, masyarakat Sikka melihat perkawinan itu sebagai suatu hal yang sangat suci atau sakral sehingga perlu untuk dihormati dan dijunjung tinggi nilai kemartabatannya. B. Saran Bahwa dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat akan mempengaruhi perkawinan adat. Maka kita semua



harus dapat menelaah setiap perkembangan dan



perubahan yang terjadi, dengan kata lain bahwa setiap hal-hal yang baru akan membawa pengaruh baik atau pengaruh buruk. Kita sebagai generasi penerus harus tetap menjaga ajaran tersebut agar semakin berkembang dan kian dirasakan manfaatnya, dan makin melekat, mentradisi dan membudaya, hingga akhirnya dipandang penting untuk diwariskan kepada generasi penerus berikutnya dalam kemasan ajaran adat.



11



DAFTAR PUSTAKA MUBARIK, IBNU. PERSEPSI MASYARAKAT SIKKA PADA SIMBOL PERNIKAHAN ADAT (KABUPATEN SIKKA, FLORES). Diss. UPN Veteran Jawa Timur, 2021.



Lavanto Kanisius. 2001. Pengetahuan Lingkungan Sosial Budaya Dan Daerah. Baowunut Rony, Adrianus Nong, Makna Perkawinan Adat Sikka (Tinjauan Filosofis Antorpologis)



12