Bab Ii [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pendekatan Variabel Masukan Pendekatan ini didasarkan atas asumsi bahwa pelayanan kesehatan yang bermutu harus berasal dari masukan. Contoh dari pendekatan ini adalah berupa akreditasi yaitu semacam pengakuan yang diberikan oleh pmerintah atau lembaga tertentu kepada institusi yang telah memenuhi standar yang sudah ditetapkan. Contoh lain adalah sertifikasi yaitu suatu tanda bukti yang dikeluarkan oleh suatu institusi yang sifatnya independen yang menjelaskan kulitas tertentu sesuai dengan keadaan dan sifatnya. Sertifikasi bukan sekedar pemberian tanda kepada seseorang yang telah mengikuti suatu kegiatan, tetapi terkait dengan peningkatan mutu, kompetensi, serta kewenangan tertentu, yang merupakan bukti telah memenuhi standar yang telah ditentukan. Selain kedua hal tersebut adalah perizinan, artinya sebelum kegiatan dimulai harus terlebih dahulu mendapatkan izin sesuai kewenangannya dari pihak yang berwenang. 2.2 Pendekatan Variabel Proses dan Hasil Beberapa pendekatan variabel proses yang dilakukan dalam kajian mutu baik di rumah sakit maupun di unit pelayanan kesehatan lainnya, dijelaskan sebagai berikut ini. 2.2.1 Review kasus (Case Review) Review kasus adalah kegiatan untuk mengukur mutu dan kelayakan pelayanan kepada konsumen/pasien/masyarakat meliputi: 



Review kasus pembedahan (surgical case review) Kajian mutu pelayan kesehatan dalam hal ini berhubungan dengan bagaimana melaksanakan pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan kasus – kasus bedah, mulai dari persiapan alat, sarana, tenaga, dan lain



1



sebagainya sehingga pelayan tersebut terlaksana dengan baik, aman dan 



menyenangkan. Review tranfusi darah (blood tranfusion review) Review pada pelayanan tranfusi darah dimaksudkan agar kegiatan yang dilaksanakan benar – benar sesuai dengan standar yang ada. Review ini menyankut bagaimana proses yang dilakukan tidak akan menimbulkan efek samping, baik kepada pendonor maupun terhadap orang lain yang







akan menggunakan darah tersebut. Review penggunaan obat (drug use review) Review terhadap penggunaan obat (drug use review) adalah pengukuran mutu yang bertujuan untuk mengkaji apakah obat – obatan yang digunakan sudah sesuai dengan ketentuan yang ada dan aman untuk







dikonsumsi. Review rekam medik (medical record review) Pengukuran mutu pelayanan kesehatan dalam hal ini dilaksanakan berdasarkan



pencatatan



(rekaman)



medik



yang



ada.



Kajian



ini



dimaksudkan agar pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan. 2.2.2 Utilization Review Yang dimaksud dengan utilisasi review adalah pengukuran mutu yang bertujuan untuk mengkaji apakah pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan konsumen (pasien atau masyarakat). Pengukuran mutu ini akan membuat pelayanan menjadi lebih murah (cost effective) dan agar dicapai tingkat penggunaan pelayanan kesehatan yang wajar (appropriateness of care). Review tentang penggunaan (utilisasi) alat dan sarana ini sangat penting dalam upaya mengendalikan mutu, termasuk biaya pelyanan kesehatan. Kegiatan ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari seluruh tingkat pelayanan kesehatan. Beberapa keadaan yang dapat dihindari dengan melakukan pemantauan utilisasi ini yaitu:  Kelebihan dosis Kelebihan dosis (overuse) di sini maksudnya adalah suatu keadaan dimana jenis pelayanan kesehatan tertentu diberikan oleh pemberi pelayanan kesehatan (PKK) meskipun sesungguhnya jenis pelayanna itu tidak diperlukan dalam proses pengobatan. Misalnya, untuk pengobatan penderita batuk pilek ringan, obat yang diberikan adalah antibiotik dengan dosis tinggi. Hal ini jelas bertentangan dengan aturan pengobatan rasional. 2







Kekurangan dosis Kekurangan dosis (underuse) adalah suatu keadaan dimana jenis pelayanan kesehatan tertentu tidak diberikan, meskipun jenis pelayanan itu sesungguhnya Misalnya,



diperlukan



pasien



yang



dalam



pengobatan/pemulihan



menderita



pneumonia



berat



kesehatan. seharusnya



mandapatkan antibiotik dalam pengobatan ternyata tidak diberikan 



antibiotik. Salah menggunakan Yang dimaksud dengan salah menggunakan (misuse) adalah suatu keadaan dimana pelayanan kesehatan diberikan secara tidak tepat dan dengan kualitas yang rendah. Misalnya, keliru dalam memberikan obat kepada pasien, atau salah menggunakan alat dalam memberikan pelayanan. Umumnya



dimensi



mutu



yang



sudah



disampaikan



sebelumnya



berhubungan dengan penggunaan alat dan sarana, seperti pelayanan yang diberikan harus menunjukkan manfaat dan hasil yang diinginkan (efficacy of service), relevan dengan kebutuhan klinis pasien dan didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan (appropriateness of service), pelayanan yang dibutuhkan dengan tersedia cukup (availability of service), pelayanan yang diberikan dapat dicapai oleh yang membutuhkan (accessibility of service), pelayanan dilaksanakan dengan cara yang benar berdasarkan ilmu pengetahuan dan mencapai hasil yang diinginkan (effectiveness of service), pelayanan dapat dijangkau oleh masyarakat (affordablity ofservice), pelayanan dapat diterima oleh masyarakat (acceptability of service), pelayanan lebih efisien (efficiency of service), dan pelayanan diberikan secara berkelanjutan atau berjenjang. Kegiatan pemantauan utilisasi dilakukan pada semua jenjang pelayanan kesehatan. Kegiatan – kegiatan tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Memantau dan menilai pemeliharaan kesehatan tingkat pertama. Hal yang penting disini adalah menghitung angka kunjungan (utilization rate) setiap bulan atau setiap tahun. Angka kunjungan ini dapat dinyatakan dalam per seratus atau per seribu. Angka kunjungan pada jenjang pelayanan kesehatan tingkat pertama ini berguna untuk mengetahui:  Proporsi kunjungan serta biaya yang dikeluarkan



untuk



pemeliharaan kesehatan tingkat pertama dibandingkan dengan biaya kesehatan seluruhnya. 3







Proporsi



kunjungan



serta



biaya



yang



dikeluarkan



untuk



pemeliharaan kesehatan tingkat pertama dibandingkan dengan 



biaya kesehatan lanjutan. Kunjungan dan biaya rata – rata (average cost) untuk setiap jenis



pemeliharaan kesehatan di klinik tingkat pertama. 2. Memantau dan menilai pemeliharaan kesehatan lanjutan. Hal ini penting untuk mengetahui:  Persentase rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama.  Persentase rawat inap dibandingkan besarnya rujukan dari 



pelayanan tingkat kedua. Proporsi biaya pemeliharaan tingkat lanjutan dibandingkan dengan







seluruh biaya pemeliharaan. Biaya rata- rata setiap macam pemeliharaan kesehatan tingkat



lanjutan. 3. Memantau dan menilai pemeliharaan rawat inap. Data hasil pemantauan ini penting untuk mengetahui:  Insidensi rawat inap, misalnya per seribu pasien per bulan.  Rata – rata hari rawat inap (average length of stay) setiap kasus di  



rumah sakit. Rata – rata perawatan untuk penyakit tertentu. Biaya rata – rata tindakan penunjang diagnostik seperti pemeriksaan laboratorium, serta sinar X pada rawat jalan tingkat



 



lanjut dan rawat inap. Biaya rata – rata setiap kasus emergensi Biaya rata – rata tindakan operasi khusus (ICU, ICCU, dll) per kasus, termasuk operasi kecil, sedang dan besar.



2.2.3 Peer Review Peer berarti teman sejawat atau teman seprofesi. Peer review adalah pengukuran mutu yang dilakukan oleh pemberi pelayanan yang setingkat atau sama kedudukannya. Peer review merupakan salah satu bentuk pengukuran penampilan kerja individu. Dalam hal ini, seseorang misalnya perawat akan dibandingkan dengan teman seprofesinya dengan tugas atau pekerjaan yang sama. Pengukuran harus dilakukan secara objektif dan berupaya agar bias yang terjadi sekecil mungkin. Pengukuran terhadap teman sejawat atau teman seprofesi ini kemudian berkembang sebagai medical audit, nursing audit, dan sebagainya. Review teman sejawat atau teman seprofesi dalam pelaksanaannya dapat dilakukan dalam bentuk: 4







Pengukuran mutu oleh teman seprofesi atau teman sejawat yang berasal dari luar instansi atau unit pelyanan yang bersangkutan (external peer review).







Pengukuran mutu oleh teman seprofesi atau teman sejawat dalam unit pelayanan atau instansi yang sama (internal peer review)







Pengukuran mutu dengan peer review dapat dilaksanakan dengan metode observasi (pemantauan) dengan menggunakan alat bantu berupa checklist atau kuesioner, misalnya untuk mengetahui tingkat kepatuhan petugas terhadap standar pelayanan yang digunakan. Cara ini kurang dapat memberikan hasil yang memuaskan apabila pelaksanaan observasi tidak dijaga kerahasiaannya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan peer review hendaknya petugas yang diamati tidak boleh tau bahwa ia/mereka sedang dinilai, dan petugas yang memantau harus mempunyai pengetahuan yang luas tentang standar atau prosedur kerja yang diamati. Dengan demikian pengisisan checklist/kuesioner sebagai alat observasi tidak perlu langsung diisi di depan petugas yang diamati, tetapi sebaiknya diisi tanpa diketahui oleh petugas petugasyang sedang diamati atau dipantau.



2.2.4 Pengendalian Terhadap Infeksi Salah satu upaya yang dilakukan di rumah sakit adalah pengendalian terhadap infeksi (infection control), yaitu upaya menghindarkan terjadinya infeksi di dalam rumah sakit (nosocomial infection). Infeksi nosokomial ini dpat ditularkan melalui alat yang tidak steril, petugas yang menolong atau merawat pasien, misalnya karena tidak mencuci tangan sampai bersih dengan sabun sebelum menolong pasien, dan sebagainya. Infeksi yang terjadi di dalam institusi ini akan menurunkan mutu pelayanan kesehatan. Upaya pengendalian infeksi di dalam rumah sakit ini harus mendapat perhatian dari pihak – pihak terkait dalam organisasi rumah sakit. 2.2.5 Manajemen Risiko Manajemen risiko (risk management) dalam pelayanan kesehatan adalah hal yang sangat penting bagi rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lainnya dalam menghadapi masalah yang semakin kompleks. Dalam pendekatan manajemen risiko, upaya yang dilaksanakan bertujuan untuk menghindarkan atau 5



mengatasi masalah cedera yang terjadi pada pelayanan kesehatan, mengatasi masalah hukum, dan masalah pelanggan (pasien atau masyarakat). Menurut William Ryan dalam Nair, B.K and Finucan, ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan dalam manajemen risiko: 1) Manajemen risiko adalah kegiatan yang dilakukan secara komprehensif oleh tim kerja, dan merupakan prosess yang harus melibatkan petugas/karyawan pada masing – masing bagian dan petugas dibagian klinik. 2) Peran ini mencakup pengenalan atau identifikasi masalah, pencegahan, dan kesembuhan pasien. 3) Pimpinan tim bertanggung jawab dalam mengarahkan sikap karyawan agar peduli terhadap proses manajemen risiko. Kunci keberhasilan dalam manajemen risiko adalah dilaksankannya perubahan atau evolusi, bergerak dari “reactive menjadi pro-active”, serta fokus pada investigasi (penemuan kasus) dan pencegahan infeksi. Pendekatan manajemen risiko ini harus terintegrasi dengan penjaminan mutu pelayanan, dimana identifikasi masalah mutu dalam pelayanan kesehatan harus betul – betul mendapat perhatian petugas. Hal ini penting untuk menentukan prediksi dan berbagai indikator pencegahan dalam pendekatan manajemen risiko dan sekaligus untuk mengoptimalkan upaya – upaya penjaminan mutu pelayanan kesehatam. 2.3 Pendekatan Model HP – IV Salah satu bentuk penjaminan mutu yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan RI (sekarang Kementrian Kesehatan RI) di puskesmas dalam pelayanan kesehatan dasar meliputi 3 tahapan, yaitu tahap analisis sistem, tahap supervisi, dan tahap bersumber daya kelompok (team based). Tahapan ini disebut dengan pendekatan evolusi. 2.3.1 Tahap Analisis Sistem Tahap analisis sitem ini diawali dengan suatu seminar yang disebut dengan seminar sadar mutu. Seminar ini dimaksudkan untuk menimbulkan komitmen para penyelenggaranya, baik untuk tingkat kabupaten/kota maupun puskesmas. Seminar dilakukan selama dua hari. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan ini terhadap tenaga puskesmas, maka diadakan pelatihan analisis sistem selama 3 hari, yang kemudian dilanjutkan dengan pelatihan penyusunan rencana kerja atau 6



rencana aksi (plan of action) selama dua hari. Rencana aksi yang disusun berisikan kegiatan untuk meningkatkan kepatuhan petugas kesehatan di puskesmas terhadap penggunaan standar pelayanan kesehatan dasar. Hasil analisis sistem dan rencana aksi yang telah disusun disajikan dalam suatu lokakarya selama satu hari di kabupaten/kota yang dihadiri oleh pejabat dinas kesehatan serta kepala dinas yang bersangkutan. Selanjutnya, pada puskesmas yang sudah di tuntut menindaklanjuti dalam bentu pelaksanaan kegiatan, selama kegiatan tersebut dilaksanakan (kurang lebih enam bulan) puskesmas tersebut secara teratur dikunjungi oleh supervisor dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Tahap analisis sistem seperti ini sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu dilaksanakan dengan cara memantau teman sejawat (Peer Review). Cara ini dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan puskesmas tetangga, artinya tenaga yang sudah dilatih di puskesmas A dengan menggunakan daftar tilik yang sudah disiapkan akan melakukan pengamatan/observasi terhadap tenaga yang ada (yang tidak sama – sama dilatih)di puskesmas B (puskesmas tetangga). Cara ini tentu membutuhkan persiapan yang matang selain dana operasional yang harus ada. Cara lain yang tidak begitu memerlukan dana yaitu melakukan pengamatan teman sejawat yang sama – sama bekerja di satu puskesmas (internal peer review). Kedua cara tersebut sesuai dengan kaidah pengamatan (observasi), yang sudah tentu memerlukan teknik tersendiri, dalam arti yang di observasi tidak mengetahui bahwa ia atau mereka sedang diamati/dinilai. 2.3.2 Tahap Supervisi Tahap supervisi (supervision-based



quality



assurance



approach)



dilaksanakan oleh supervisor dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Para supervisor secara teratur berkunjung ke puskesmas untuk melakukan pembinaan terkait dengan kegiatan penjaminan mutu yang dilakukan oleh puskesmas, terutama tentang tingkat kepatuhan petugas puskesmas terhadap standar pelayanan kesehatan yang diberikan. Agar supervisor dapat melaksanakan kegiatannya dengan baik, mereka terlebih dahulu dibekali dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan tentang teknik supervisi. Dengan demikain, mereka yang sudah ditunjuk akan dilatih



7



terlebih dahulu selama beberapa hari oleh widyaiswara (pelatih) penjaminan mutu provinsi. 2.3.3 Tahap Bersumber Daya Tim Tahap bersumber daya tim (team based assuerance approach) yaitu tahap dimana puskesmas diharapkan mampu memecahkan masalah kesehatan yang ada berupa masalah yang kompleks (complexs problem) yang umumnya terjadi pada keluaran atau hasil pelayanan, seperti rendahnya pencapaian K4 (kunjungan ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya pada trisemester III kehamilan, rendahnya persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (bidan), rendahnya tingkat kesembuhan, ketidakpuasan pasien, dan sebagainya. Walaupun staf puskesmas sudah meningkatkan kepatuhannya terhadap standar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien, namun di sisi lain mereka dituntut untuk mampu memecahkan masalah yang ada dalam pelayanan sehari – hari di puskesmas. Harus disadari bahwa dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, selalu terdapat masalah yang rumit untuk dipecahkan secara berkesinambungan. Pemecahan masalah mutu di puskesmas dilaksanakan melalui tim yang dibentuk (team work) sesuai dengan masalah yang dihadapi. Agar puskesmas mampu melaksanakan pemecahan masalah mutu pelayanan dengan baik, maka tim yang sudah dibentuk harus mengikuti pelatihan terlebih dahulu. Pelatihan dilaksanakan 3-5 hari dengan fasilitator widyaiswara (pelatih) yang mempunyai keahlian dalam pemecahan masalah (problem solving) mutu pelayanan kesehatan. Ia dapat berasal dari provinsi atau kabupaten/kota. Dapat disadari sepenuhnya bahwa tanpa adanya bimbingan dari dinas kesehatan kabupaten/kota, termasuk orang yang sudah ditunjuk dan ditugasi sehar- hari melaksanakan kegiatan bimbingan ke puskesmas (circuit rider), maka kegiatan pemecahan masalah mutu pelayanan kesehatan di puskesmas sulit dilaksanakan. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurangnya komitmen pimpinan dan kurang terlibatnya bawahan dalam pemecahan masalah mutu (complex problem) di puskesmas. Selain itu, staf puskesmas banyak terperangkap oleh kegiatan rutin sehari – hari. 2.4 Pendekatan Model PDCA



8



Pendekatan model PDCA (Plan, Do, Check, Action) dalam pemecahan masalah mutu pelayanan sudah banyak digunakan termasuk dalam pelayanan kesehatan. Siklus PDCA pertama kali dikembangkan oleh Walter Shwehart, seorang ahli fisika Amerika yang bekerja pada Bell Telephone Laboratories. Oleh karena itu, siklus PDCA di kenal juga sebagai siklus Shewhart. Namun demikian, karena yang mempopulerkan siklus PDCA sebagai penerapan metode ilmiah dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan adalah Deming, maka siklus PDCA juga dikenal sebagai siklus Deming, 2.4.1 Batasan Proses PDCA (Planning, Doing, Check, Action) berlangsung dengan didasari kesadaran kualitas atau mutu pelayanan. PDCA merupakan suatu proses yang tidak hanya berlangsung terus – menerus tetapi secara tersisteminasi, PDCA berlangsug di seluruh bagian dan mekanisme pelayanan. PDCA dari tiap – tiap kegiatan berlangsung bersama – sama dan harmonis menuju suatu peningkatan kegiatan pelayanan. PDCA merupakan cara sistematik untuk memecahkan masalah dalam rangka perbaikan muti pelayanan secara kontinu. 2.4.2 Konsep Dasar PDCA Pemecahan masalah pelayanan kesehatan berdasarkan konsep dasar PDCA terdiri atas beberapa langkah yang dapat dilakukan secara berkesinambungan. Adapun langkah – langkah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut. a. Perencanaan Perencanaan (planning) didasarkan pada pemilihan prioritas kebijakan, hasil yang diharapkan dan analisis dari situasi sekarang. Langkah – langkah perencanaan meliputi penentuan masalah dan prioritas masalah, mencari sebab dari masalah yang timbul, meneliti sebab yang paling mungkin, kemudian menyusun langkah perbaikan. Masing – masing langkah perencanaan tersebut dijelaskan berikut ini. i. Penentuan masalah dan prioritas masalah Bidang pekerjaan yang dihadapi diamati dengan seksama dan mendalam, kemudian prosedur dari pekerjaan tersebut dirangkai, sampai dengan mengetahui siapakah pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal. Dalam hal ini sebaiknya disusun bagan alur (flow chart) dari prosedur kerja. Bagan alur ini



9



akan



memudahkan



kita



untuk mengetahui



dimana



lokasi



permasalahan yang sesungguhnya. Lakukan identifikasi masalah berdasarkan pengamatan atau data lainnya yang berkaitan dengan adanya penyimpangan terhadap prosedur kerja tersebut atau adanya keluhan pelanggan atas pelaksanaan kerja. Inventarisasi masalah dilakukan dengan curah pendapat (brain storming). Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan masalah antara lain:  Tingkat kesulitan penanggulangan.  Hubungan dengan target/rencana organisasi (instansi).  Perkiraan waktu/biaya penyelesaian.  Perkiraan hasil yang diharapkan.  Tingkat pemahaman anggota akan masalah.  Tingkat kepentingan/kedaruratan (mendesak/tidak). Selanjutnya, lakukan pengumpulan data dengan memakai alat, misalnya daftar tilik (checklist atau checksheet), terhadap masalah – masalah yang telah dirumuskan diatas untuk menentukan masalah apa yang mendapat prioritas pertama diselesaikan. Buat perbandingan antara masalah – masalah tersebut dengan menggunakan alat, antara lain diagram Pareto, Histogram atau diagram tebar (scatter diagram). Hasilnya akan diperoleh ii.



masalah utama yang akan diselesaikan. Mencari sebab dari masalah yang timbul Pada langkah ini kita akan mencoba mengetahui faktor – faktor apa saja yang diduga menjadi “penyebab” timbulnya “masalah”. Untuk mengetahui faktor – faktor apa saja yang menjadi penyebab masala, maka akan digunakan alat bantu berupa diagram tulang ikan (fish bone diagram)yang dikembangkan oleh Ishikawa untuk menggambarkan hubungan sebab akibat. Analisis dapat dilakukan dengan melihat dari sisi metode atau proses yang akan dilakukan (method), dari sisi manusianya (man), dari sisi



iii.



sarana dan alat (material), dan dari sisi lingkungan (environment). Meneliti sebab yang paling mungkin Setelah memilih beberapa penyebab yang dianggap dominan, langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian sampai sejauh mana penyebab – penyebab itu berpengaruh terhadap 10



timbulnya masalah. Jadi, pada langkah tersebut penentuan faktor – faktor penyebab didasarkan pada dugaan (hipotesis) semata, sehingga pada langkah ini dugaan tersebut harus di uji iv.



kebenarannya. Menyusun langkah perbaikan Rencana perbaikan dapat disusun menggunakan tabel yang berisikan 5W + 1H (what, where, who, when, why, dan how).



b. Pelaksanaan Pelaksanaan (do) harus dilakukan sesuai rencana. Dalam melaksanakan suatu rencana kegiatan, ada kalanya rencanan kegiatan yang telah dibuat tersebut tidak atau belum dapat menyelesaikan masalah. Dengan demikian, didalam pendekatan PDCA perlu dilakukan revisi terhadap rencana kerja hingga pada akhirnya akan diperoleh kegiatan yang tepat. c. Pemeriksaan Hasil dari pelaksanaan kemudian diperiksa. Dasar yang dipakai dalam pemeriksaan (check) adalah dengan membandingkan hasil yang dicapai dengan perencanaan (target) yang telah dibuat. Hal ini untuk menentukan apakah kegiatan berhasil atau tidak. Untuk mengetahui apakah target yang disusun tersebut tercapai atau tidak, biasanya dilakukan dengan cara membandingkan kondisi “sebelum dilakukan rencana perbaikan” dengan “sesudah dilaksanakan perbaikan”. Memeriksa hasil perbaikan dan hasil aktivitas kerja dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:  Dilihat dari pengaturan kerja.  Dilihat dari masalah dominan.  Dilihat dari penyebab dominan.  Dilihat dari penampilan kerja secara keseluruhan. Apabila ternyata hasil yang dicapai tidak memenuhi target, jalan yang terbaik adalah meninjau kembali “rencana perbaikan”. d. Perbaikan Kegiatan dalam perbaikan (action) dimaksudkan untuk:  Mencegah berulangnya persoalan (masalah) yang sama. Hal ini dapat dilakukan dengan: Standarisasi, yaitu



mempertahankan



mengadakan perbaikan standar. 11



standar



atau



Pencatatan sisa masalah lain dari tahap perencanaan (plan) yang belum terpecahkan untuk dipakai dalam perencanaan berikutnya. Dengan demikian, PDCA merupakan suatu proses pengendalian dan sekaligus merupakan suatu proses pemecahan masalah serta peningkatan mutu dalam mencapai suatu kemajuan.



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Perlunya pengukuran mutu pelayanan kesehatan adalah untuk terjaminnya mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan sehingga pelanggan (pasien) akan mendapatkan pelayanan yang bermutu. Pengukuran mutu dalam pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara atau beberapa pendekatan. Pendekatan yang lazim dilakukan dalam pengukuran mutu pelayanan di puskesmas, rumah sakit, dan unit- unit pelayanan kesehatan lainnya adalah pendekatan variabel masukan, pendekatan variabel proses dan hasil, pendekatan model HP-IV, dan pendekatan model PDCA.



12



DAFTAR PUSTAKA Bustami. “Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan dan Akseptabilitasnya”, Padang:2001



13