Bab Xiii Wawasan Kebangsaan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB XIII WAWASAN KEBANGSAAN DAN KONSEP NASIONALISME



1.Nasionalisme Pengertian nasionalisme dapat ditinjau atau didekati dari beberapa aspek seperti aspek idiologi, politik, ekonomi, sosialogi, etnik dan kepribadian dan karenanya dapat dikatakan bersifat multidimensional. Sehingga pendekatan apapun yang akan dipakai dan corak seperti apapun definisi yang akan digunakan, nasionalisme adalah sebuah cita-cita yang ingin memberikan batas antara ” kita yang sebangsa ” dengan mereka dari bangsa lain ” antara negara kita dengan dengan negara mereka. Pengertian Nasionalisme dapat didefinisikan sebagai berikut : a. Nasionalisme adalah sentimen nasional kelompok manusia, yang mendorong terbentuknya



suatu bangsa atau nation. Dengan perkataan lain, terjadi suatu



kehendak untuk bersatu dari kelompok manusia yang disebut le desir d’etre ensamble (Ernest Renan,1994) b. Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan individu harus diserahkan kepada Negara kebangsaan ( Hans Kohn dalam PPKn untuk SMU, 2000). c. Nasionalisme adalah suatu iktikat, suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat itu ada suatu golongan suatu bangsa ( Soekarno, 1959) d. Nasionalisme adalah perasaan cinta terhadap bangsa dan tanah air yang ditimbulkan oleh perasaan tradisi yang berkaitan dengan sejarah, agama, bahasa, kebudayaan, Pemerintahan,



tempat



tinggal,



dan keinginan



untuk



mempertahankan



dan



memperkembangkan tradisinya sebagai milik bersama dari anggota-anggota bangsa itu sebagai satu kesatuan bangsa.(Tim sejarah SMU-Yudistira, 2000) Menyimak pengertian Nasionalisme seperti diatas



dapatlah dikatakan bahwa



pembentukan nasionalisme membutuhkan pengorbanan pribadi dan kelompok untuk bersatu sebagai suatu bangsa. Pada kenyataan selama ini Nasionalisme memainkan tiga fungsi yakni : mengikat semua kelas, menyatukan mentalitas, dan membangun serta memperkokoh pengaruh terhadap kebijakan yang ada. Nasionalisme itu ada dan sangat dibutuhkan oleh negara manapun didunia. Namun setiap negara memiliki kekhasan dalam Nasionalisme yang dikembangkan.



Adapun ciri khas dari Nasionalisme Indonesia menurut Lanur (1995:47) dalam Arnie Fadjar adalah sebagai berikut : a.



Etis, berarti harus dijelaskan, dipahami, dan bahkan diamalkan dalam kaitannya yang utuh dengan tak terpisahkan dari seluruh asas-asas politik Indonesia. b. Terbuka, baik secara kultural dan religius, dalam arti tidak menutup dirinya dan seluruh sejarahnya terhadap pelbagai pengaruh yang datang dari luar yang lama kelamaan akan membentuk jati diri nasionalnya. c. Serasi dan seimbang, dalam arti menghargai dirinya sendiri sebagai negara dan bangsa yang tertentu sebagaimana adanya, tetapi serentak pula menghargai negara dan bangsa lain, dalam kesadarannya akan ketergantungannya yang tak terelakan pada bangsa dan negara lain, Indonesia membangun dirinya dengan kepercayaan pada kemampuan sendiri. d. Berlandaskan hakekat dan kodrat manusia, itulah sebabnya merupakan sesuatu yang berlaku secara universal Menumbuhkan nasionalisme bukan persoalan yang gampang, karena Nasionalisme itu harus dibangun dari idialisme yang melekat pada diri seseorang. Selama orang itu tidak memiliki idialisme sebagai bangsa yang bersatu dalam realitas kebihnekaannya, maka kesadaran akan Nasionalisme itu masih perlu terus dibentuk. 2. KONSEP WAWASAN KEBANGSAAN Wawasan kebangsaan adalah sudut pandang atau cara memandang yang mengandung kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk memahami keberadaan jati dirinya sebagai satu bangsa, juga dalam memandang dirinya dan bertingkah laku sesuai falsafah hidup bangsanya dalam lingkungan internal dan lingkungan eksternalnya. Wawasan ini menentukan cara suatu bangsa mendayagunakan kondisi geografis negaranya, sejarah, sosial budaya, ekonomi dan politik, serta pertahanan keamanan dalam mencapai cita-cita dan menjamin kepentingan nasionalnya. Agar wawasan kebangsaan masyarakat tepat dalam proses pembentukannya, dan tetap relevan dengan perkembangan mutakhir dimana tujuan PKN adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat Lokal maupun Nasional maka partisipasi semacam itu memerlukan penguasaan sejumlah Kompetensi Kewarganegaraan. Dari sejumlah Kompetensi yang diperlukan, yang terpenting adalah : 1) Penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu, 2) Pengembangan kemampuan Intelektual dan partisipatoris, 3) Pengembangan karakter dan sikap mental tertentu, 4) Komitmen yang benar terhadap Nilai dan prinsip dasar demokrasi Konstitusional.( Bransen Dalam Budimansyah dan Udin Hal 186)



Pengetahuan Kewarganegaraan : membantu warga negara memberikan pertmbanganpertimbangan yang matang mengenai hakekat kehidupan kewarganegaraan, politik, dan Pemerintahan serta mengapa politik dan Pmemerintahan itu penting, tujuan-tujuan Pemerintahan, hakekat dan tujuan Konstitusi, menneorganisassikan Pemerintahan Konstitusional, sistim politik Indonesia, karakter khas masyarakat dan kultur Indonesia, dan prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu pengetahuan membantu



masyarakat mengevaluasi Pemerintahan terbatas dan menjaga



Pemerintahan di tingkat Lokal maupun Nasional, bagaimana hubungan Indonesia dengan Negara lain karena sebagai negara Indonesia tidak dapat hidup sendiri. Yang terakhir dalam konteks pengetahuan adalah kewaarganegaraan dalam Demokrasi Konstitusional berarti setiap warga negara merupakan anggota yang setara dalam komunitas otonom dan memiliki hak-hak fundamental dan tanggung jawab. Kecakapan kewarganegaraan, Selain pengetahuan diatas, warga negara memerlukan kecakapan Intelektual dan partisipatoris yang relevan. Kecakapan itu walaupun berbeda satu dengan yang lain, namun tidak dapat dipisahkan. Misalnya dalam konteks Isu Politik, seseorang harus memahami terlebih dahulu Isu itu akan sejarahnya, relevansinya dimasa kini. Demikian halnya dengan Isu-Isu dibidang lain yang membutuhkan kecakapan menganalisa permasalahan. Watak



Kewarganegaraan,



watak



kewarganegaraan



sebagaimana



kecakapan



kewarganegaraan berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh seseorang di rumah, disekolah, komunitas dan organisasi-organisasi Civil Society. Pengalaman-pengalaman demikian hendaknya membangkitkan pemahaman bahwasanya demokrasi mensyaratkan adanya Pemerintahan mandiri yang bertanggung jawab dari tiap Individu. Karakter privat seperti tanggung jawab Moral, disipin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Secara singkat karakter Privat dan Publik diuraikan sebagai berikut : a. Menjadi anggota masyarakat yang Independen Karakter ini merupakan kesadaran secara pribadi untuk bertanggung jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau pengawasan dari luar menerima tanggung jawab akan konsekuensi dari tindakan yang diperbuat dan memenuhi kewajiban moral dan egal sebagai anggota masyarakat demokratis. b. Memenuhi tanggung jawab personal kewarganegaraan dibidang ekonomi dan politik



Tanggung jawab ini meliputi memelihara/menjaga diri, memberi nafkah dan merawat keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Termasuk pula mengikuti informasi tentang isuisu publik, menggunakan hak pilih dalam pemilu, membayar pajak menjadi saksi dipengadilan, kegiatan pelayanan masyarakat, melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing. c. Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap Individu Menghormati orang lain berarti mendengar pendapat mereka, bersikap sopan, menghargai hak-hak dan kepentingan – kepentingan sesama warga negara, dan mengikuti aturan musyawarah mufakat dan prinsip mayoritas namun tetap menghargai hak-hak minoritas untuk berbeda pendapat. d. Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana Karakter ini merupakan bentuk sadar informasi sebelum menentukan pilihan atau berpartisipasi dalam debat publik,terlibat dalam diskusi yang santun dan serius, serta memegang kendali dalam kepemimpinan bilaq diperlukan.Juga membuat evaluasi tentang kapan saatnya kepentingan pribadi seseorang sebagai warga negara harus dikesampingkan demi memenuhi kepentingan publik dan mengevaluasi kapan seseorang karena kewajibannya atau prinsip-prinsip konstitusional diharuskan menolak tuntutantuntutan kewarganegaraan tertentu. e. Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter ini merupakan sadar informasi dan kepekaan terhadap urusan-urusan publik, melakukan penelahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional, memonitor keputusan para pemimpin politik dan lembaga - lembaga publik pada nilai-nilai dan prinsip - prinsip tadi serta mengambil langkah - langkah yang diperlukan bila ada kekurangannya. Karakter ini mengarahkan warga negara agar bekerja dengan cara-cara yang damai dan legal dalam rangka mengubah undang-undang yang dianggap tidak adil dan tidak bijaksana. Wawasan ini juga menentukan bagaimana bangsa itu menempatkan dirinya dalam tata berhubungan dengan sesama bangsanya dan dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain didunia internasional. Dalam wawasan kebangsaan juga terkandung komitmen dan semangat persatuan untuk menjamin keberadaan dan peningkatan kualitas kehidupan bangsanya. Selain itu wawasan



kebangsaan menhendaki pengetahuan yang memadai tentang tantangan masa kini dan mendatang serta potensi bangsanya. Manifestasi wawasan kebangsaan manusia Indonesia menurut Soeprapto (dalam prayogi : 1997: 29) adalah sebagai berikut : a. Kesadaran seseorang bahwa dirinya adalah merupakan anggota atau warga negara bangsanya b. Kebanggan seseorang akan negara bangsanya c. Kecintaan seseorang akan Negara bangsanya d. Kesetiaan dan ketaatan seseorang terhadap negara bangsanya e. Perjuangan seseorang bagi Negara Bangsanya f. Kerelaan seseorang bagi negara bangsanya Pembentukan karakter yang baik akan menumbuhkan wawasan kebangsaan yang baik pula, kemudian keberhasilan membentuk wawasan kebangsaan akan membentuk Nasionalisme. Nasionalisme begitu penting bagi suatu negara, Karim dalam analisis CSIS tahun XXV No.2 (1996:101) menyatakan Nasionalisme merupakan salah satu alat perekat kohesi sosial, dan semua negara memerlukannya. 3. WAWASAN KEBANGSAAN INDONESIA 1.1.Wawasan Kebangsaan Dalam Cita-cita menurut UUD 1945 Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tangga117 Agustus 1945 adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Para pejuang bangsa kita (the founding fathers) yang telah melahirkan dan membentuk negara ini dengan pemikiran yang arif dan bijaksana, dan dengan pandangan yang jauh ke depan telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dan teguh di atas nama negara ini dapat tumbuh dan berkembang dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu prinsip dasar yang diletakkan adalah prinsip negara kesatuan yang bersifat integralistik dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Salah satu pertimbangan yang melatarbelakangi pemikiran dari para pembentuk negara (the founding fathers) pada waktu itu adalah bahwa negara yang akan dikelola nanti, memiliki wilayah yang sangat luas, terdiri dari ribuan pulau, dengan jumlah penduduk yang cukup besar, yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama, adat istiadat dan sebagainya. Kondisi objektif seperti itu pada satu sisi mengandung kekuatan tetapi pada sisi yang lain sekaligus mengandung kelemahan. Ia mengandung kekuatan apabila perbedaan-perbedaan dari keanekaragaman itu dapat hidup bersama dalam satu kesatuan yang harmonis.



Sebaliknya ia mengandung kelemahan apabila perbedaan-perbedaan yang ada dalam keanekaragaman itu hidup dalam suasana penuh kecurigaan, pertentangan dan bahkan saling menghancurkan antara satu dengan yang lainnya. Itu sebabnya, sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan yang ingin dikembangkan adalah sistem pemerintahan yang bersifat demokratis dan desentralistis dalam negara kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Dengan prinsip negara kesatuan memang menghendaki adanya pemerintahan pusat yang kuat dan berwibawa untuk menjamin terpeliharanya stabilitas nasional dan kesatuan bangsa sedangkan prinsip desentralisasi menghendaki adanya pemerintahan daerah yang semakin dewasa, mandiri, dan demokratis. Dengan demikian harmonisasi hubungan pusat dan daerah menurut adanya wawasan kebangsaan yang memahami keberadaan wawasan kewilayahan/kedaerahan yang memiliki karakteristik tertentu untuk dikembangkan dengan penuh prakarsa, kreasi, dewasa, dan mandiri. Demikian juga sebaliknya, wawasan kewilayahan/kedaerahan yang semakin dewasa dan mandiri hendaknya senantiasa ditempatkan secara proporsional untuk memperkuat pembinaan wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan yang di dalamnya memberikan ruang dan kesempatan untuk berkembangnya wawasan kewilayahan/kedaerahan yang semakin dewasa dan mandiri itu pada hakikatnya bertolak dari fakta bahwa memang wilayah negara ini sangat luas, yang di dalamnya hidup masyarakat bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, agama, adat istiadat, dan sebagainya. Keanekaragaman itu justru dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk mempersatukan dan membangun bangsa yang besar itu. 4.. Wwasan Kebangsaan dalam aspek Sejarah Wawasan kebangsaan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia berkembang dan mengkristal tidak lepas dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia dalam membentuk negara ini. Konsep wawasan kebangsaan Indonesia tercetus pada waktu diikrarkan sumpah pemuda 28 oktober 1928 sebagai tekat perjuangan yang merupakan konvensi nasional tentang pernyataan eksistensi bangsa Indonesia yaitu : satu nusa, satu bangsa dan menjunjung tinggi bahasa persatuan Indonesia. Wawasan seperti itu pada hakekatnya tidak membedakan asal suku, keturunan, ataupun perbedaan warna kulit. Dengan perkataan lain wawasan tersebut mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa atau yang dapat disebut sebagai wawasan



kebangsaan Indonesia. Wawasan kebangsaan didukung oleh idiologi (gerakan pemikiran) yang timbul diabad ke 18 yakni Nasionalisme. Kejayaan Sriwijaya dan Majapahait mencatat bahwa bangsa Indonesia pernah mengalami masa kejayaan yang luar biasa mencapai puncak kemegahannya sebagai bangsa yang mereka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta berperan sangat penting dikawasan Asia tenggara. Namun karena kedatangan bangsa asing dengan menggunakan politik memecah belah, maka berakhirlah periode kejayaan kerajaan nusantara itu. Bangsa Indonesia berjuang untuk merebut kejayaan tersebut kembali, namun selalu gagal karena perjuangan hanya bersifat kedaerahan. Dalam perkembangan berikutnya muncul kesadaran bahwa perjuangan yang bersifat Nasional yakni perjuangan yang berlandaskan persatuan dan kesatuan dari seluruh bangsa Indonesia akan mempunyai kekuatan yang nyata. Karena itulah muncul pergerakan Budi Oetomo 28 Mei 1928, yang merupakan tonggak awal sejarah perjuangan



yang bersifat Nasional,



sekaligus menandai pula kebangkitan Nasional untuk menentang penjajah secara terorganisasi dan terbuka untuk semua golongan bangsa Indonesia. Disamping itu bangkit pula gerakangerakan dibidang politik ekonomi/perdagangan, pendidikan, kesenian, pers dan kewanitaan. Dalam perjalanan sejarah itu timbul pula gagasan sikap,dan tekad yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa serta disemangati oleh cita-cita Moral rakyat yang luhur. Sikap dan tekat itu adalah pengejewantahan dari satu wawasan kebangsaan. Paham kebangsaan dapat berwawasan luas dan sempit. Fasisme dan Nazisme sebagai Nasionalisme sempit jelas ditolak olah bangsa Indonesia. Dengan demikian esensi Nasionalisme sebagai suatu tekad bersama yang tumbuh dari bawah untuk bersedia hidup sebagai suatu bangsa dalam negara merdeka. Kebangsaan/Nasionalisme adalah paham kebersamaan, persatuan dan kesatuan, selalu berkaitan erat dengan demokrasi karena tanpa demokrasi kebangsaan akan mati bahkan merosot menjadi fasisme atau nazisme, yang bukan saja berbahaya bagi bangsa yang bersangkutan, tapi juga berbahaya bagi bangsa lain Selain itu Wawasan kebangsaan Indonesia mengamanatkan kepada seluruh masyarakat bangsa dan negara agar menempatkan persatuan, kesatuan, serta keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan. Diharapkan manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Sehubungan dengan itu hendaknya dipupuk penghargaan terhadap martabat manusia, cinta tanah air dan bangsa, demokrasi dan kesetiakawanan sosial. Wawasan kebangsaan mengembangkan persatuan Indonesia sedemikian



rupa sehingga asas Bihneka Tunggal Ika tetap dipertahankan. Persatuan tidak boleh mematikan keanekaan dan kemajemukan. Sebaliknya keanekaan dan kemajemukan tidak boleh menjadi pemecah belah, namun harus menjadi kekuatan yang memperkaya persatuan. Wawasan kebangsaan tidak memberikan tempat kepada Patriotisme yang picik. Missi yang diamanatkan adalah agar warga negara Indonesia membina dengan jiwa besar dengan setia kepada Tanah Air dan Bangsa, sekaligus diarahkan kepada kepentingan seluruh umat manusia yang saling berhubungan dengan berbagai jaringan antar ras, antar bangsa dan antar negara.Wawasan kebangsaan Indonesia dalam pelaksanaannya harus dilandasi oleh



Pancasila



sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa karena Pancasila telah membuktikan keampuhannya merintis jalan menyelenggarakan misinya ditengah tata kehidupan dunia. Keberhasilan pembinaan wawasan kebangsaan akan menghasilkan Nasionalisme Keindonesiaan yang kuat. 1.



Hal-hal yang harus dipelihara, dikembangkan dan yang dicegah



dalam



pengembangan wawasan Kebangsaan Agar bangsa Indonesia tidak terpecah belah seperti negara lainnya dibelahan dunia, dibutuhan kerja keras dengan mempertaruhkan eksistensi bangsa Indonesia. Sebagian orang menjawab perpecahan mungkin saja terjadi tapi sebagaian lainnya yakin bahwa hal tersebut tidak akan terjadi. Jika kita ingin bangsa Indonesia tetap berdiri ditengah-tengah bangsa lain didunia, maka kita harus melakukan sesuatu sebagai jaminan. Jaminan yang kita berikan harus konkrit dengan sejumlah langkah-langkah yang secara sadar dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia untuk memelihara dan mengembangkan langkah atau upaya-upaya yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta upaya-upaya mencegah hal-hal yang dapat mencegah bahkan menghambat bahkan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, yang oleh suebu( 1993: 45) diuraikan ha-hal yang harus dipelihara, dikembangkan dan yang dicegah sebagai berikut : 1.3.1 Hal-hal yang harus dipelihara. a



Keutuhan dan kedaulatan wilayah Negara dari Sabang sampai Merauke



b



Pancasila dan UUD45 sebagai acuan dasar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.



c



Konsep wawasan Nusantara dan ketahanan Nasional sebagai acuan operasional.



d



Kekayaan budaya bangsa Indonesia termasuk hasil-hasil pembangunan Nasional



sebagai perwujudan cipta, karsa, rasa, dan karsa bangsa Indonesia. 2.



Hal- hal yang harus dikembangkan Dalam proses rekayasa sosial untuk membina wawasankebangsaan, dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa harus ditumbuhkembangkan dari nilai-nilai moral Pancasila yang diaktualisasikan dengan perkembangan Zaman. Proses kearah itu dilaksanakan melalui pelaksanaan pembangunan Nasional yang bercirikan wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan untuk memperkuat ketahanan Nasional. Perkembangan pembangunan itu harus membawa perubahan kearah yang diinginkan. Agar perubahan perubahan itu bergerak secara teratur, maka perubahan itu harus direncanakan dan dikendalikan oleh mereka yang merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan perubahan itu yakni Manusia. Perubahan itu sendiri harus memberikan makna yang lebih baik kepada masyarakat yakni, kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sebagai upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat bangsa dan Negara. Inilah pentingnya sebuah rekayasa sosial yang dilaksanakan dengan baik dengan memperhatikan berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat. Bangsa Indonesia dalamproses sejarahnya telah mengalami berbagai kontak budaya antar bangsa, antar suku bangsa, dan kelompok etnis. Kontak-kontak budaya yang berlangsung sepanjang masa itu dimungkinkan oleh letak silang kepulauan Nusantara yang terletak diantara dua buah benua dan dua samudra.Dalam kontak-kontak budaya yang diartikan sebagai interaksi kebudayaan telah terjadi integrasi kebudayaan antara unsur-unsur luar dan unsur-unsur yang berasal dari kebudayaan daerah yang diangkat untuk memperkaya khasanah kebudayaan Nasional. Dalam hubungan ini semua kebudayaan daerah baik yang besar, kuat, maupun yang kecil, lemah dan belum mapan harus diberi ruang gerak dan kesempatan yang sama untuk hidup da bertumbuh kembang sebagai bagian dari budaya bangsa kita yang ikut memperkaya dan memperindah taman sari kebudayaan Nasional. Dalam hubungan ini pula beberapa gagasan strategis yang harus dikembangkan sebagai berikut : a



Menggali, menghimpun, mengientifikasi, mendiskripsikan berbagai aspek budaya, menyususun peta bahasa dn peta etnografi melalui suatu pusat studi



Nasional yang juga mmiliki sistim informasi budaya secara Nasional. b



Mengadakan kontak lintas budaya dan media apresiasi antar budaya dengan prinsip



saling



mengakui,saling



menghargai,



saling



melengkapi



untuk



memperkaya khasana budaya Nasional c



Pengarahan pendidikan anak sejak dini untuk memahami dan menghargai budaya lokal dan juga memahami dan menghargai budaya dan kelompok suku bangsa lain.



d



Terus mengembangkan dan mengimplementasikan Nilai-nilai Moral Pancasila agar secara aktual dapat menjawab tuntutan dan kebutuhan yang sesuai dengan perkembangan zaman sebagai upaya sadar dalam mewariskan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang berwawasan kebangsaan.



e



Meningkatkan daya adaptasi masyarakat terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan meningkatnya Nasionalitas bangsa dan wawasan kebangsaan, mudah-mudahan hal yang menyangkut fanatisme golongan yang bersumber pada primordialisme dapat terkikis secara berangsur-angsur.



3. a



Hal-hal yang harus dicegah Pikiran-pikiran dan perasaan antar suku bangsa, agam, bahasa, adat istiadat, golongan masyarakat dimana yang satu merasa lebih daripada yang lainnya ikut mempengaruhi pengembangan wawasan kebangsaan Indonesia. Pikiran dan perasaan seperti itu bertolak dari fanatisme kelompok atau golongan yang sempit dan bertentangan dengan pembentukan wawasan kebangsaan yang ingin memberikan ruang gerak dan kesempatan yang sama untuk bertumbuh atas dasar saling mengakui, menghargai, melengkapi dan memperkaya. Pikiran dan perasaan seperti itu dapat menumbuhkan kecemburuan sosial yang mengarah pada pertentangan/konflik sosial dan pada gilirannya dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.



b



Kesenjangan pembangunan antar wilaya harus dicegah karena kemajuan pembangunan yang terlalu pesat disatu daerah sementara didaerah lain yang sanat tertinggal dapat menimbulkan kecemburuan sosial, yang secara umum terjadi antara wilaya barat dan timur kususnya di Papua.



c



Kesenjangan sosial dan ekonomi antar golongan penduduk harus dicegah melalui upaya yang sungguh-sungguh untuk mengentaskan kemiskinan. Harapan kita adalah penduduk



miskin yang berpenghasilan rendah akan berkurang dan mencegah golongan elit yang sangat kaya tidak bertambah kaya. d



Upaya untuk mengekang proses demokratisasi dan desentralisasi dengan alasan stabilitas dan kesatuan bangsa yang berlebih-lebihan harus dicegah. Agar emokrasi dapat tumbuh secara wajar dan desentralisasi dapat dikembangkan secara proporsional kepada daerahdaerah perlu diberikan ruang gerak dan peluang yang cukup memadai untuk mengembangkan aspirasi, prakarsa dan kreatifitasnya.



4. . Tantangan dan ancaman potensial dalam pengembangnan wawasan kebangsaan Kalau dikaji secara mendalam, mendasar dan hati-hati, (Yudhoyono 42) sesungguhnya banyak sekali tantangan dan ancaman potensial yang terhadap kelangsungan kelangsungan perkembangan wawasan kebangsaan dan kehidupan kebangsaan kita. Hal-hal tersebut adalah : 1.4.1. Aspek negatif dari proses globalisasi Harus diakui bahwa selain memiliki aspek positif, proses globalisasi dalam banyak hal juga bisa membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan wawasan kebangsaan kita. Sedangkan bagi kita proses globalisasi itu adalah suatu proses yang tidak dapat dihindari keberadaannya, atau dengan kata lain kita tidak bisa melarikan diri dari globalisasi karena kita memang hidup dalam dunia yang sedang dan terus berubah. Dunia yang bisa kita sebut sebangai dunia yang sedang mengalami globalisasi dan universialisasi. 1.4.2. Perkembangan pandangan tentang sub Nasionalisme. Dalam konteks pandangan wawasan kebangsaan kita sekarang ini, harus diakui masih ada suatu komunitas tatau ras yang berpandangan bahwa mereka bisa dan membentuk suatu negara dan bangsa sendiri, terlepas dari naungan negara dan bangsa selama ini. Pandangan yang terlalu mengedepankan sub nasionalisme ini jelas bisa menjadi ancaman bagi perkembangan wawasan kebangsaan, sekaligus juga bagi keutuhan dan kelanjutan masa depan negara kebangsaan. Oleh karena itu dalam perkembangan negara kebangsaan Indonesia kedepan, perlu ditegaskan kembali bahwa persoalan nasionalisme sesungguhnya telah selesai sejak terbangun dan ditetapkannya konsensus dasar kebangsaan dan kenegaraan pada saat Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. 1.4.3.Gagasan Nasionalisme sempit (Chauvinisme)



Kemerdekaan



Nasionalisme



sempit



adalah



suatu



gagasan



atau



paham



yanga



amat



mengagungkan bangsanya sendiri dan menganggap bangsa lain rendah. Paham seperti nini dalam prakteknya seringkali bersifat konfrontatif terhadap segala hal yang bersifat” dari luar” ia bahkan bisa amat curiga terhadap hal-hal yang berbau asing meskipun halhal yang dicurigai itu bersifat positif, atau mampu memberikan dan mengandung unsurunsur yang bermanfaat. Dalam zaman globalisasi ini kecendrungan nasionalisme sempit itu banyak dinilai sebagai suatu gejala pemikiran yang tidak sehat. Selain itu juga bisa dinilai sebagai salah satu faktor tantangan dan ancaman potensial bagi masa depan negara kebangsaan Indonesia. 1.4.4. Pandangan yang berusaha memonopoli kebenaran. Pandangan yang berusaha memonopoli kebenaran ini dalam prakteknya seringkali secara tidak sadar muncul dan tercermin dari sikap-sikap yang kelewat memandang hitam dan putih perkembangan zaman.Di Zaman reformasi misalnya, hal seperti ini diwakili oleh mereka yang sangat percaya terhadap pandangan yang melihat bahwa segala hal yang terjadi dimasa lalu semuanya tidak benar bahkan salah semua, kecuali keadaan sekarang. Pandangan yang seperti ini jelas merupakan tantangan dan ancaman bagi perkembangan wawasann kebangsaan. Untuk itu masalah seperti ini harus dilihat secara lebih bijaksana sehingga tidak muncul suatu kelompok, golongan, kekuatan yang mampu memonopoli kebenaran.Yang jelas tidak ada satu pihak manapun, siapapun itu, dan generasi kapanpun yang bisa dan boleh merasa benar sendiri. Sebaliknya dalam keberagaman dan kemajemukan di Indonesia ini, kita dapat mendorong berlangsungnya dialog tentang berbagai hal yang menyangkut permasalahan antar kelompok, golongan dan bahkan antar generasi. B. TANTANGAN DAN ANCAMAN TERHADAP NEGARA KEBANGSAAN Beberapa tantangan dan ancaman terhadap Negara kebangsaan Indonesia ( Yudhoyono : 54 )adalah sebagai berikut : 1.5.1. Situasi disintegrasi Nasional Perkembangan keadaan yang mengarah pada situasi disintegrasi Nasional dengan sendirinya



merupakan



tantangan



dan



ancaman



bagi



kelangsungan



negara



kebangsaan.Oleh karena itu upaya untuk memelihara dan menjaga integrasi Nasional perlu mendapat tempat yang utama dalam perjalanan membangun wawasan kebangsaan



dan negara kebangsaan.Dalam hubungan dengan ini, perlu dicatat bahwa suatu negara dapat dikatakan terintegrasi dengan baik ( well integratet ) apabila : Pertama, negara yang bersangkutan secara ideologis tidak mengalami gangguan atau masalah. Oleh karena itu kalau Pancasila tetap kokoh menjadi falsafah, landasan, dasar, dan ideologi negara, maka secara ideologis negara Indonesiadianggap tidak sedang menghadapi ancaman ideologis. Dan begitupula sebaliknya bila keberadaan Pancasila terus dipermasalahkan atau telah menjadi masalah. Kedua, Negara yang bersangkutan memiliki integrasi sosial yang cukup kuat. Dalam prakteknya hal ini terwujud dari perkembangan situasi yang menunjukkan tidak terjadinya suatu gangguan atau konflik sosial dan terdapat suatu harmoni dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu berbagai kejadian konflik yang telah memporakporandakan harmoni masyarakat di Maluku utara, posso dan Kalimantan tengah misalnya, bisa dikategorikan ancaman terhadap integrasi Nasional. Ketiga, Negara yang bersangkutan mampu memelihara dan mempertahankan keutuhan wilayahnya. Berkaitan dengan keutuhan wilayah ini, maka bagi negara kebangsaan Indonesia masalah yang berkembang di Aceh dan Papua dengan tepat, arif dan tegas (decisive) mampu diselesaikan dengan baik. 1.5.2. Proses marginalisasi peran negara bangsa Dewasa ini berbagai pemikiran provokatif yang pada intinya menantang peran negara bangsa semakin membanjir. Negara bangsa dinilai sebagai suatu konsepsi yang sudah usang, dan dalam era fglobalisasi diyakini akan melemah dan surut peranannya. Sebaliknya dalam zaman globalisasi yang keberadaannya ditopang oleh perkembangan kemajuan teknologi informasi, pasar mendapat tempat penting dalam hubungan bangsabangsa. Lebih dari itu pemikiran yang provokatif meramalkan bahwa negara bangsa sudah sampai pada akhir perjalanannya. Pemikiran provokatif ini misalnya tercermin dalam gagasan-gagasan yang ditulis oleh beberapa penulis futurolog seperti Alfian Toffler dalam bukunya the future Shock, Power Shift dan War and anti war, John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya global Paradox, dan Konichi Ohmae dalam the End of Nation State.Membanjir dan menguatnya pemikiran-pemikiran seperti ini pada gilirannya bisa menjadi tantangan dan ancaman yang potensial terhadap negara kebangsaan. 1.5.3. Perkembangan konsep kedaulatan global



Pada dasarnya inti dari konsepsi kedaulatan global hampir sejalan dengan pemikiran provokatif yang melihat semakin melemahnya peran negara bangsa di era globalisasi. Konsepsi negara bangsa dalam perkembangannya sudah dianggap tidak relefan, kuno, Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa dunia telah bergerak maju dalam tataran hukum, logika dan aturan main, yang semuanya serba baru. Sejalan dengan gerak maju maka dalam pandangan kedaulatan global, yang menentukan kehidupan bangsa-bangsa bukan lagi negara kebangsaan ( nation state ) atau Pemerintah tetapi adalah hukum pasar. Dengan mengacu pada pandangan seperti itu, maka ide-ide atau gagasan-gagasan ataupun pemikiran-pemikiran tentang sesuatu hal pada dewasa ini menjadi mampu bergerak bebeas tanpa batas.Ide- ide pemikiran itu mampu meramba kemana-mana dari suatu tempat ketempat lain dan dari suatu negara ke negara lain. Bebas tanpa batas menyebabkan dunia menjadi dunia yang tanpa batas ( borderless world ). Tidak hanya ide gagasan dan pemikiran, yang mampu bergerak bebas tanpa batas.Investasi atau modal juga mampu bergerak secara leluasa kemana-mana melintasi batas-batas negara tanpa ada hambatan yang berarti.Begitu juga dengan individu, orang atau manusia bisa bermigrasi kemana-mana mengikuti dorongan hukum pasar. Tentang implikasi global terhadap pembangunan ekonomi nasional, dijelaskn bahwa kalau cerdas, melalui globalisasi bangsa kita bisa mengambil, memanfaatkan dan mengalirkan sumber-sumber kemakmuran dari bangsa-bangsa dan negara-negara lain. Bukan sebaliknya globalisasi malah menjadi ajang bagi pihak lain untuk mengeksploitasi bangsa kita. Melalui globalisasi kita harus bisa meraih keuntungan dengan memanfaatkan kerjasama perdagangan, investasi dan lain-lain. Memang ada kajian yang mengatakan bahwa kerjasama ekonomi tidak selamanya menguntungkan apalagi bagi negara yang belum maju, malah memberikan kesenjangan cukup jauh antara negara maju dan negara berkembang. Disisi lain pengaruh globalisasi juga membawa pengaruh yang besar terhadap pelestarian nilai, jati diri dan budaya bangsa. Bagaimanapun pengaruh seperti ini sulit untuk dielakkan karena gaya hidup yang kita alami dan kembangkan sekarang ini, sebagian besar berinteraksi dengan proses-proses dengan globalisasi itu sendiri. Pada aspek tertentu hal seperti ini tak terelakkan telah menimbulkan suatu situasi yang



membuat sebagian dari kita merasa cemas dan kuatir. Cemas dan kuatir terhadap kemungkinan bahwa diantara interaksi dengan globalisasi itu sebagian hasilnya ternyata bisa mempengaruhi dan menggilas sistim nilai, budaya, jati diri, dan tradisi yang kita anggap luhur, termasuk kedaulatan dan keamanan nasional, yang artinya apabila ada negara yang tidak mampu dalam berbagai aspek, maka atas nama kemanusiaan bisa dibantu oleh negara lain.contohnya pasukan koalisi yang datang ke kosovo tanpa mandat PBB. Kedatangan ini dianggap sah karena di Kosovo terjadi tragedi kemanusiaan. Globalisasi juga bisa membawa pengaruh dan memicu timbulnya benturan konflik kesetiaan. Hal seperti ini seringkali terlihat pada fenomena ketika sebagian diantara kita, apakah perorangan atau kelompok merasa lebih setia kepada masyarakat global ketimbang kepada bangsanya sendiri. Karena kesetiaannya kepada masyarakat global maka diantara mereka terkadang tidak segan-segan menjual kehormatannya demi popularitas, demi uang, demi status, dan lain sebagainya. Keadaan ini harus dikritisi, dan dalam menghadapi masalah seperti ini tidak ada cara lain kecuai harus membangun wawasan kebangsaan yang tepat. 2. PENTINGNYA PENGKAJIAN TEN TANG WAWASAN KEBANGSAAN 2.1. Situasi Global Abad ke-19 yang dikenal sebagai Abad Ideologi telah lewat dengan janji dan harapan besar akan perbaikan nasib bagi umat manusia. Ideologiideologi besar itu telah gagal dalam memenuhi janji janji mereka. Karenanya kita kini hidup dalam suatu babak sejarah dunia yang memperlihatkan kita dalam masa ketidakpastian, yang juga semakin menghebat sebagai akibat dari kegagalan yang dialami oleh tata dunia yang berlaku. Lembaga-lembaga internasional tidak berhasil mengatasi proses penghancuran lingkungan alam, serta penyelesaian hutang negaranegara sedang berkembang . Akibatnya, orang tertarik untuk kembali dan mundur kepada, dan lebih mengakrabkan diri lagi dengan aneka komunitas sosial-anthropologis yang lebih sempit seperti komunitas kekerabatan, kedaerahan, agama, atau kelas sosial, sebagaimana yang telah ditampilkan dalam sejarah dan bermanifestasi sebagai komunalisme. Komunalisme etnik cenderung mendesak negara untuk memihak pada kaum mayoritas yang pada tingkat ekstrem dapat mengambil bentuk sebagai usaha purifikasi etnik. Pelajaran yang dapat ditarik dari komunalisme agama adalah, bahwa hubungan antara negara dan agama adalah selalu problematis, karena negara lalu cenderung didesak untuk bertopang pada agama kalangan mayoritas.



Masalah dunia dengan dimensi sosio-antropologis itu juga dibebani dengan kepincangan ekonomi. Sistem ekonomi pasar bebas yang didukung oleh media komunikasi dan teknologi canggih dan yang menjadi dominan di dunia serta cenderung untuk berlangsung menurut hukum efisiensi dan berorientasi pada profit, di satu sisi semakin meningkatkan kemakmuran di sebagian negara yang maju tetapi di lain pihak juga memperparah kemiskinan di banyak negara sedang berkembang. Secara global keadaan itu tercermin dalam kesenjangan antara Utara dan Selatan serta juga secara lokal sebagai kesenjangan antara kaum kaya dan miskin. Kesenjangan itu mendorong terjadinya iklim persaingan yang semakin tajam dan terbuka. Bagi bangsa-bangsa lemah yang tidak mampu melayani persaingan itu secara seimbang, penetrasi tersebut mengakibatkan semakin besarnya ketergantungan mereka dari bangsa-bangsa yang kuat. Ketimpangan itu mengakibatkan frustrasi yang mendorong pecahnya konflik-konflik sosial dan kultural dan yang pada gilirannya mengimbas perilaku primordial, seperti yang dapat diamati di berbagai negara di Eropa dan Asia. Bahayanya adalah bahwa dalam masyarakat-masyarakat yang heterogen, primordialisme itu menumbuhkan benih-benih permusuhan dan menghasilkan disintegrasi nasional. Harus kita akui, bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia yang heterogen rawan terhadap bahaya tersebut sehingga usaha untuk mengatasi sebab-sebab yang melatarbelakangi tidak dapat digampangi. Bagian penting dalam usaha itu adalah pemaknaan baru yang relevan, serta untuk mensosialisasikan wawasan kebangsaan itu ke seluruh lapisan masyarakat. 2.2. Relevansi Wawasan Kebangsaan dalam menyadarkan warga negara. Berkembangnya kecenderungan primordial yang seringkali bermanifestasi sebagai sektarianisme itu justru ketika terjadi keruntuhan dari aneka sistem makro seperti komunisme dan totalitarianisme serta bocornya konsep integritas teritorial sebagai bagian dari konsep negara kebangsaan, memberi kita suatu korelasi fenomenal yang tidak niscaya logis. Selagi kita diharuskan untuk melakukan konsolidasi diri secara nasional, dalam kenyataannya kita malahan sedang berada dalam proses sektarianisasi untuk pada akhirnya terjebak dalam disintegrasi politik dengan akibat fatal dalam bentuk segregasi dan separatisme, jika dibiarkan berlanjut. Mengingat kecenderungan itu lalu pantas untuk dipertanyakan: Masih relevankah pemikiran tentang wawasan kebangsaan? Bukankah di Eropa orang sudah berpikir dalam kerangka kontinental sedangkan di kalangan bisnis internasional orang berbicara jelas jelas dalam konteks transnasional? Wawasan kebangsaan justru akan menyadarkan warga negara akan pentingnya



arti hidup bersama atas dasar persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum, serta sebagai pembentukan tata pandang yang sehat dan wajar mengenai masa depan justru dalam menghadapi krisis itu wawasan kebangsaan mempunyai misi ganda: a



mendukung suatu unikum dalam arti suatu pengelolaan berbagai sub-unikum dalam suatu rangkaian kerangka kebangsaan. Fenomena usaha itu dapat dilihat pada Uni Soviet yang menjelma menjadi CIS yang longgar, yang meniadakan suatu wawasan kebangsaan dalam bentuk yang mirip dengan suatu oikumene;



b



wawasan kebangsaan dapat efektif untuk mengelola suatu bangsa yang besar, dalam mana setiap unikum dapat mempertahankan keunikannya. Di India dibuktikan bahwa perlakuan terhadap hak dan kewajiban. Kedua misi itulah yang membuat wawasan kebangsaan tetap relevan, lebih-lebih karena



tatanan dunia modern ternyata juga terseok-seok. Dapat kita mengamati adanya suatu proses rusaknya wawasan kebangsaan yang tidak disebabkan oleh kaburnya wawasan ke bangsaan di kalangan masyarakat di daerah-daerah atau di desa-desa, yang secara tradisional memang tidak memiliki pemahaman yang analitis mengenai konsep kebangsaan. Proses kerusakan itu lebih merupakan hasil dari perilaku masyarakat di kota-kota besar dan kalangan-kalangan tertentu kelas menengah dan kelas atas masyarakat kita yang note bene mampu mempengaruhi proses politik, dan dengan demikian ikut membentuk kebijakan-kebijakan politik yang dirumuskan oleh lembaga-lembaga negara. Mudah dipahami jika kebijakan-kebijakan itu kemudian memang akan menggapai masyarakat di daerah dan di desa, dengan akibat bahwa pada akhirnya perapuhan dalam wawasan kebangsaan di kota atau di kalangan elit itu akan merambat ke desa-desa juga. C. TINJAUAN HISTORIS WAWASAN KEBANGSAAN DALAM PENDIDIKAN 31. Wawasan Kebangsaan dalam Pergerakan Nasional Secara dokumenter rumusan dan pengertian itu tumbuh pada berbagai golongan yang menjadi dasar politik dengan berimajinasi akan terbentuknya Nasion Indonesia sebagai hasil akhir perjuangan menuju tercapainya Indonesia merdeka. Pada awal pemikiran para pelajar STOVIA ketika mereka berusaha untuk meraih kemajuan bersama melalui persatuan sebagai bentuk organisasi antara, maka dinyatakan bahwa tujuan lebih lanjut.ialah terbentuknya suatu persaudaraan nasional (nationale broederschap), tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, maupun kepercayaan dalam suatu Perserikatan Umum di Jawa. "Dengan cara itu perserikatan akan sungguh-sungguh mampu mewujudkan cita-



citanya dan ikut serta ke arah pertumbuhan yang kuat dan perkembangan yang lebih indah, ke suatu evolusi yang tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi juga kepentingan berbagai ras dan bangsa di Hindia Belanda (Surat Edaran Kedua, tertanggal Weltevreden, 5 September 1908). Ketika Sarekat Islam didirikan pada 11 November 1911(Deliar Noer: 102) dan perkembangannya pada tahun-tahun pertama "Islam dapat dipergunakan dengan berhasil sebagai alat pengikat bagi penduduk Hindia yang heterogen itu" (Suryaningrat 1917; Surjomihardjo 1978). Sifat Sarekat Islam yang nasionalis Hindia tampak dari ketentuan anggaran dasarnya yang menentukan "orang Islam berkebangsaan asing tidak boleh menduduki jabatan jabatan yang penting dalam pimpinan partai" (Suryaningrat 1917; Surjomihardjo 1978). Kata "nasional" ketika diadakan Kongres Nasional Pertama Sarekat Islam di Bandung (1916) diartikan oleh Tjokroaminoto sebagai "cita-cita pergerakan rakyat membentuk persatuan bersama dan bersama seluruh suku bangsa naik menuju sebuah bangsa (natie)". (Blumberger 1931:63; van der Wal 1964: 160 dst.) Tujuan untuk memupuk Nasionalisme Hindia atau Indisch Nasionalism.e mencakup tidak saja seluruh penduduk bumi putera, tetapi juga golongan keturunan Belanda, Tionghoa, dll, yang menganggap Hindia sebagai national home. Dibandingkan dengan kedua organisasi sebelumnya Indische Partij lebih terinci dalam merumuskan tujuan dan daftar kegiatannya. Ia berimajinasi tentang bentuk negara Hindia dengan Kaum Hindia (Indiers) sebagai warganegara baru. Dokumen Indische Partij menjadi bersejarah, dan walaupun usianya sangat pendek, tetapi pengaruh



pemikirannya



sampai



kepada



perkumpulan



mahasiswa



di



Belanda



yang



mengembangkan gagasan nasionalisme berdasarkan pengetahuan mereka tentang gerakan kebangsaan di Eropa, dan tentang bangsa-bangsa dalam khasanah kepustakaan etnologi ketika itu. Pemikiran dengan rumusan awal pada ketiga organisasi tersebut diolah dengan lebih tajam setelah diterimanya kata Indonesia yang berasal dari kepustakaan etnologi menjadi pengertian ketatanegaraan sebagai identitas Bangsa Baru yang mampu mandiri di tengah-tengah bangsa lain. Pengaruh perkumpulan mahasiswa di Nederland itu menjadi kuat setelah Partai Nasional Indonesia didirikan di Indonesia. Sebelumnya para pemuda pelajar di Indonesia juga sudah memahami konsep Indonesia sebagai pengertian ketatanegaraan, maupun Bangsa Baru yang lahir dari kemauan bersama, ketidaksetiakawanan karena mengalami nasib yang sama, dan cita-



cita tentang keadilan dan kemakmuran yang merata. Pembicaraan dan hasil-hasil Kongres Pemuda I dan II menunjukkan arus pemikiran semacam itu. Walaupun gagasan kebangsaan sampai saat ini dalam praktek politik praktis menunjukkan jalan yang ditempuh berbeda, akan tetapi terdapat arus pemikiran yang kuat tentang persatuan dan kesatuan. Pengelompokkan dalam federasi maupun peleburan beberapa organisasi politik silih berganti terjadi, suatu proses yang tidak dapat dilewat begitu saja menuju kedewasaan pemikiran politik dan peran yang ingin mencapainya. 3..2. Wawasan kebangsaan dalam pendidikan Nasional Di samping organisasi dan partai politik, lembaga pendidikan ekstra kolonial di masa Hindia Belanda merupakan tempat penyebaran wawasan kebangsaan dengan alasan dasar yang beragam. Menarik barangkali untuk dicatat bahwa pendidikan yang dicita-citakan oleh kaum wanita menitikberatkan usahanya kepada tercapainya persamaan derajat sehingga masyarakat menjadi sejahtera. Lembaga pendidikan lain bertujuan untuk "mendidiki murid-murid agar mempunyai rasa kewajiban terhadap berjuta juta kaum kromo". Para murid berpakaian seragam putih-putih dengan selempang kain merah bertuliskan "Rasa Kemerdekaan". Pendidikan yang mendatangkan faedah bagi rakyat menjadi "haluan pendidikan" yang dengan sadar dilakukan pada sekolahsekolah Sarekat Islam yang dipimpin oleh Tan Malaka. Pendidikan yang mencoba untuk menghasilkan manusia "yang merdeka pemikirannya, merdeka batinnya, dan merdeka tenaganya" berdasarkan keyakinan pada hakikat pendidikan yang hendak melepaskan ikatan-ikatan yang sangat menyempitkan budi manusia serta menurunkan derajat kemanusiaan. Pendidikan ke arah itu mau tidak mau harus berdasarkan kebangsaan karena yang dididik adalah rakyat Indonesia yang sedang menuju kemerdekaannya. Pada lembaga pendidikan itu konsep nasionalisme sesuai konsep Guiseppe Mazzini dan Rabindranath Tagore menjadi bahan kajian, seperti terungkap dalam karangan-karangan Ki Hadjar Dewantara dan Sarmidi Mangunsarkoro. Suatu lembaga pendidikan yang mengarahkan perhatiannya kepada terbentuknya golongan menengah yang mempunyai harga diri, cinta kepada masyarakatnya, dan sadar akan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya meninggikan peradaban bangsa dan kemanusiaan ialah Ksatriaan Instituut, yang dipimpin oleh E.F.E. Douwes Dekker, mantan pemimpin Indische Partij. Apa yang tertera di muka ini adalah intisari dari pernyataan institut itu pada tahun 1924,



yang ingin mewujudkan golongan menengah yang berjiwa ksatria, pembela si lemah dalam kedudukan ekonomisnya. Sebagai latar belakang pengetahuan para murid diperkenalkan buku baru yang ditulis oleh Douwes Dekker sendiri tentang "perkembangan lalu lintas manusia di dunia", "pandangan ringkas sejarah Indonesia" dan "sejarah dunia". Lembaga pendidikan yang dipengaruhi oleh semboyan Abraham Lincoln, dengan melaksanakan praktek yang berasal dari dan untuk rakyat dengan "cara kesadaran berpikir Barat" dalam mendidik, namun anak didik diarahkan untuk tidak menjadi "cendekiawan setengah matang yang angkuh, akan tetapi menjadi pekerja yang cekatan yang. rendah hati" menjadi arah perkembangan lain. Murid yang ideal adalah mereka yang telah memiliki cinta akan kebenaran dan pengetahuan kegembiraan kerja dalam suasana kesehatan rohani dan jas mani, mencintai tanah airnya tetapi sadar sebagai bagian dunia, demikian pernah diucapkan oleh pemimpin sekolah di Kayu Tanam (Sumatera Barat), atau Indonesich Nederlandsche School (INS) pada 1926. Sebuah lembaga pendidikan di Jakarta, yang sekitar 1928 telah memberikan iklim sosial kultural dan politik telah membuka peluang usaha bersama mewujudkan pengertian keindonesiaan. "Perguruan Rakyat" yang didirikan oleh sekelompok kaum nasionalis (antara lain Dr. Muh. Nazif, Arnold Monohutu, dan Mr. Sunario) dalam rencana pendidikan jelas jelas mengatasi asal-usul mereka, baik karena keturunan, kesukuan maupun agama. Para pendirinya memiliki latar belakang pendidikan akademis yang telah terpanggil untuk berpartisipasi aktif di dalam pergerakan nasional di Indonesia, khususnya mereka yang pernah menjadi anggota Perhimpunan Indonesia dan PNI. Pembantu-pembantu pelaksananya ialah para mahasiswa di Jakarta (antara lain Sugondo, Ketua Kongres Pemuda Indonesia II) yang sengaja diikutsertakan sebagai latihan tanggung jawab.sosial dan sebagai calon-calon pemimpin yang akan datang. Rangkaian intisari pendidikan berdasarkan wawasan kebangsaan dalam masa kolonial itu direkam dalam bahan dokumenter (Albert de la Court 1945, Dahler 1936, Kenji Tsuchiya 1987, Medeclingen 1930, Poeze 1972, Sjafei 1953, Surjomihardjo 1978a, van der Plas 1931, van der Wal 1963, Vastenhouw 1949). Paham kebangsaan yang diketahui dari dalam kepustakaan asing, menjadi persepsi dan aspirasi para pemimpin muda, kemudian dirumuskan dalam usaha mereka yang lebih bermakna mewujudkan pengertian ke-Indonesia-an yang lebih luas dan dalam dari sekedar pengertian geografis atau batas daerah jajahan Hindia Belanda. Di dalam rangkaian proses pembentukan bangsa, tidak dapat diabaikan pengaruh dari sekolah-sekolah yang berdasarkan agama yang di dalam jumlah maupun dasar agama yang



dipakai lebih berakar dalam sejarah Indonesia sebagai unsur pemersatu (Alfian 1989; Debar Noer 1973). Demikian juga kerangka dasar pendidikan Belanda yang tersebar di seluruh Hindia Belanda dan tarikan bagi para lulusannya untuk mengisi pendidikan akademis di kota-kota besar bahkan ke luar negeri, membuat jalur itu penting sekali dalam menyatukan elite berpendidikan dalam proses pembentukan bangsa (nation formation). Proses pembentukan bangsa itu menyatukan para pemimpinnya untuk aktif dalam pembinaan bangsa (nation building). Bangsa Indonesia, seperti dibayangkan di masa kolonial, unsur-unsur pembinaannya melalui pengertian-pengertian awal, diuraikan sebelumnya. 3.3 Wawasan Kebangsaan sesudah Proklamasi Kemerdekaan Ideologi kebangsaan yang tumbuh melalui proses sejarah dalam kesadaran antar-subjektif kaum terpelajar Indonesia, pada akhirnya menjadi bagian integral dari dasar negara Pancasila, dan Pembukaan UUD 45 yang berarti menjadi sumber hukum yang tertinggi di dalam negara kesatuan Indonesia. Namun di dalam perkembangannya, penghayatan terhadap "wawasan kebangsaan" tadi mengalami pasang surutnya, yang kadang-kadang terkait dengan upayaupaya mendemistifikasi proses sejarah yang telah melahirkan Pancasila sebagai ideologi nasional. Pada awal dasawarsa kedua keberadaan Negara Kesatuan Indonesia, misalnya konflik ideologi secara eksplisit dan terbuka terjadi di dalam Konstituante, baik ideologi yang ingin mengajukan ideologi alternatif maupun ideologi yang ingin memodifikasi Pancasila yang dengan sendirinya akan menggeser posisi sentral wawasan kebangsaan. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 secara formal mengakhiri konflik-konflik terbuka tersebut, akan tetapi friksi-friksi masih berlangsung. Di antara tahun 1958-1961 bermunculan kekuatan-kekuatan sentrifugal atau dissident dalam bentuk daerahisme atau regionalisme. Sementara itu konflik-konflik yang bersumber pada perbedaan interpretasi ideologi negara masih berlanjut yang mencapai puncaknya pada Gerakan 30 September 1965. Pemerintah Orde Baru yang lahir pada paska abortive coup tadi mewarisi sejumlah patologi politik yang pada hakikatnya merefleksikan menurunnya kadar penghayatan terhadap wawasan kebangsaan tadi. Konstelasi politik yang mendominasi era menjelang kelahiran Orde Baru tadi dapat disimpulkan sebagai berikut: a



Kegagalan berfungsinya sistem multi partai, yang bersumber pada maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 dalam konteks demokrasi parlementer-liberalistis, masih



berlanjut dalam sistem multi partai yang bersumber pada prinsip Demokrasi Terpimpin. b



Percaturan politik yang bertumpu pada platform ideologi berlangsung di dalam situasi belum terkristalisasikannya aturan percaturan politik.



c



Fragmentasi birokrasi sebagai akibat dari penetrasi partai dalam birokrasi menjadikan birokrasi sebagai political basenya.



d



Kecenderungan partai-partai politik mengadopsi sosok partai totaliter yang menuntut loyalitas penuh bukan saja kehidupan seseorang di dalam segala dimensi kehidupannya, tetapi juga kehidupan keluarganya melalui komitmen mereka terhadap aux iliary organizations.



e



Penetrasi Partai Komunis secara sistematis dan metodis ke dalam tubuh ABRI menimbulkan disharmoni dalam hubungan antara angkatan atau kesatuan.



f



Interaksi politik di tingkat desa yang amat diwarnai oleh nilainilai primordial, orientasi parokial, serta hubungan patron-klien mengakibatkan erosi solidaritas pedesaan dan menimbulkan konflik interpersonal. Kesemua patologi politik tadi sedikit banyak merefleksikan erosi wawasan kebangsaan overshadowed oleh political interest yang sempit. Pembangunan politik jangka panjang yang digariskan pemerintah Orde Baru secara



implisit nampak merefleksikan upaya-upaya untuk mengeliminasi kecenderungan sentrifugal dan mengatasi destabilizing forces tadi yang diletakkan untuk menegakkan sistem politik berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Pembangunan politik tadi secara sistematis menyentuh, mulai dari dimensi kultural, dimensi fungsional, sampai kepada dimensi ideologis dan kultur politik. Dalam dimensi struktural telah dilakukan berbagai tindakan yang



mencakup: (1)



penyederhanaan sistem kepartaian melalui proses fusi; (2) melepas keterkaitan organisasi massa dari organisasi politik sebagaimana diatur dalam W No. 8 tahun 1985, dan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1986, yang membatasi kecenderungan timbulnya partai totaliter; (3) restrukturisasi lembaga-lembaga politik berdasarkan Pancasila dan UUD 45 Dalam dimensi fungsional, upaya-upaya tadi mencakup: (1) refungsionalisasi lembagalembaga politik berdasar ketentuan-ketentuan dalam Pancasila dan UUD 45; (2) refungsionalisasi proses politik pemilihan umum berdasarkan ketentuan formal yang diletakkan oleh lembaga



perwakilan tertinggi negara. Dalam dimensi ideologis dan kultur politik dilakukan langkahlangkah: (1) mengeliminasi ideologi yang incompatible, dan karenanya tidak mempunyai dasar eksistensi dalam ideologi negara Pancasila, yaitu dengan pembubaran PKI; (2) mewujudkan konsensus nasional, menempatkan Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat sebagaimana diatur dalam UU No. 3 tahun 1985; (3) penggarapan kultur politik Pancasila melalui mekanisme sosialisasi politik Pancasila (P4) sebagaimana diatur dalam Tap MPR II/MPR/1978; (4) menegakkan prinsip monoloyalitas di kalangan aparat pemerintah; (5) sosialisasi konsep wawasan nusantara dan sebagainya. Melalui penggarapan dimensi struktural, fungsional, ideologi, dan kultur politik tadi diharapkan tercapai platform bagi aktualisasi kekuatan sentrifugal. Kebijakan pembangunan nasional dalam bidang politik melalui pendekatan inkremental ini telah dapat meletakkan berbagai landasan kehidupan politik nasional melalui upaya-upaya mengeliminasi destabilizing forces, restrukturisasi, dan refungsionalisasi lembaga-lembaga politik, pelembagaan Pancasila sebagai ideologi negara dan satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun pengembangan kultur politik melalui proses sosialisasi politik. Kebijakan pembangunan politik yang demikian telah dapat menciptakan tertib politik yang stabil yang mendukung proses pembangunan nasional, khususnya di bidang ekonomi. Kita dapat mengkonstansir bahwa sikap ambivalen pemerintah dalam mengambil posisi antara dua kutub, yaitu antara kehendak untuk menciptakan sistem politik yang stabil dan dinamis melalui pemberian kesempatan pada rakyat untuk mengartikulasikan kepentingannya melalui sistem perwakilan kepentingan yang demokratis di satu pihak, dan tertib politik yang meminimalkan konflik demi kelangsungan pembangunan di lain pihak, nampaknya mulai bergeser ke kutub yang pertama._Hal ini mungkin karena diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal dipandang dapat berfungsi sebagai security belt, yang memberi kemungkinan bagi perluasan margin of tolerance. Suatu proses unleasing kekuatan politik yang selama ini underarticulate mulai dilakukan. Toleransi yang lebih besar mulai diberikan kepada adanya perbedaan-perbedaan pendapat. Fenomena tadi dapat merupakan indikator yang positif bagi



proses demokratisasi. Langkahlangkah kebijakan politik yang masih embrional ini mempunyai potensi untuk berkembang secara positif yang menimbulkan optimisme. Namun harus diakui bahwa demokratisasi yang menimbulkan optimisme tadi, terutama pada Pembangunan sekarang ini, disertai oleh potensi-potensi kerawanan yang merupakan akibat dari tipisnya penghayatan terhadap kaidah-kaidah aturan permainan politik seharusnya menjadi tumpuan berfungsinya suatu sistem politik demokratis berdasarkan Pancasila. Kerawanan--kerawanan tadi antara lain (Moeljarto 1jokrowinoto, 1991, p. 16-17): a



adanya pandangan-pandangan miopia egosentrisme dan elitisme kelompok (Pabottinggi, 1991) yang cenderung menerapkan kaidah-kaidah parokial untuk menilai sikap dan perilaku orang lain.



b



kecenderungan bergesernya pluralisme menuju ke polarisasi yang disertai dengan pergeseran hakikat cleavages (perpecahan) dari cross-cutting (saling silang) menjadi overlapping (tumpang tindih) di mana pertentangan antar kelompok dalam polarisasi tadi hampir menjangkau semua dimensi kehidupan;



c



timbulnya kembali fenomena organisasi totaliter yang mengungkung kehidupan seseorang dan keluarganya di dalam berbagai dimensinya yang amat membatasi interaksi lintas kelompok;



d



proses kooptasi reversal tengah berlangsung yang membalik kecenderungan kooptasi yang selama ini sering dilakukan. Kalau pada masa-masa lalu penyelenggara pemerintah cenderung melakukan kooptasi terhadap informal leaders ke dalam inner circlenya dewasa ini justru organisasi-organisasi masyarakat melakukan kooptasi pada pejabatpejabat teras negara dan anggota inner circle sehingga timbul solidaritas mekanik baru yang memotong solidaritas organik yang sebenarnya mulai mengkristal. Hal ini dapat menimbulkan fragmentasi birokrasi dan distorsi dalam alokasi sumber serta kesenjangan dalam pemilikan akses terhadap sumber-sumber kekuasaan yang membahayakan;



e



masih sangat mudahnya timbul prasangka-prasangka primordial;



f



akhirnya, timbulnya potensi ideological displacement mengambil Pancasila sebagai sosok ideologi formal, namun hal ini menggeser nilai fundamentalnya. Fenomena ini cenderung melampaui batas toleransi terhadap konsep Pancasila sebagai ideologi terbuka. Sejumlah kecenderungan fenomenologis tadi justru menimbulkan tanda tanya besar,



apakah "wawasan kebangsaan" justru mengalami political decay, suatu set back dari posisi



pada waktu "wawasan kebangsaan" menjadi titik konvergensi politik pada waktu Ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. D. PEMAKNAAN WAWASAN YANG SESUAI NILAI-NILAI PANCASILA "Political decay" ini tidak berarti bahwa secara kultural generasi sekarang dan mendatang kalah dalam sikap berkorban diri demi nilai-nilai dan pemaknaan kebangsaan. Namun tentulah sudah dan akan berbentuk lain. Di mana harus kita cari? Tanpa ragu kita akan menunjuk kepada ideal atau pencapaian tujuan yang diterima dengan konsensus secara luas semua golongan dan kelompok, yakni Pancasila. Pancasila yang historis berkembang dan terbuka seperti dalam proses metamorfosa dari ulat sampai kupu-kupu, dapat berubah bentuknya, menyeseuaikan diri dengan kebutuhan jaman dan persoalan generasi, namun tetap sama dengan esensinya. Pertama: Ketuhanan yang Mahaesa. Kini dan di tahun-tahun mendatang generasi baru Indonesia, yang sedikit-banyak sudah mulai meninggalkan paradigma budaya agraris dan masuk ke dalam galaksi budaya industri dan pasca-industri, sudah lain pertanyaaan perihal Sila pertama ini. Mereka sudah belajar dan merefleksi banyak tentang sejarah dunia perihal berbagai agama maupun kepercayaan dari berbagai orijin serta konteks sosialnya, dan itu dengan studi maupun pengalaman spontan secara komparatip (berkat media massa dan sumber-sumber informasi yang sangat luas), sehingga dapat diperkirakan, bahwa mereka akan mengambil sendiri beberapa kesimpulan praktis mereka. Antara lain, generasi Indonesia masa kini dan mendatang yang sudah modern dan belajar terbuka secara bertahap akan menghayati Sila pertama ini dengan lebih dewasa. Dalam penghayatan yang lebih dewasa itu iman dan takwa diberi bobot yang lebih tinggi. Agama bukan Tuhan dan bukan juga Wahyu, tetapi hanya aspek atau wadah/sarana/jalan hukum tertentu yang dipilih demi pelaksanaan Firman Allah, yakni peraturan, ritus resmi, organisasi, ajaran formal, ciri-ciri khas yang memberi bentuk spesial tertentu dari suatu agama tertentu yang tidak dimiliki agama lain serta ekspresi lahiriahnya. Agama adalah sebentuk Gesellschaft dalam bahasa Jerman, masyarakat, kolektivitas dengan titik-berat lahiriahnya. Sedangkan iman dan takwa atau religiositas mengandung isi kedalamannya, hakekat esensialnya, seperti misalnya sikap konsisten kepada kata lubuk hati, nurani, keakraban intim dengan Tuhan, Manusia dan Alam, sisi batin dan sikap-tindakan nyata berbaik hati, berkorban, menolong sesama, menciptakan persaudaraan, toleransi, menghargai orang lain, fair play, percaya, berharap, bercinta dan segala sikap esensial manusia yang berpredikat berhati baik dan



berjiwa mulia dsb; Gemeinschaft dalam bahasa Jerman, keguyuban, keintiman dengan titik berat rohani, esensi, hakekat dalam. Agama dan iman-takwa/religiositas mestinya saling berkaitan, tetapi tidak sama dan demi kesuburan dan benarnya penghayatan Sila Ketuhanan Yang Mahaesa perlu dipilahkan (distinguished) kendati tidak dapat dipisahkan (separated), juga agar kita lebih tajam dan mendalam menerangi duduk perkara, mengapa agama selalu menjadi unsur perpecahan, sedangkan iman-takwa atau religiositas unsur pemersatu dan pembuat persaudaraan. Kedua: Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab juga akan mengalami proses pendewasaan di kalangan generasi berikut, khususnya dalam pemahaman, penghayatan serta pengamalan kewajiban-kewajiban serta hak-hak asasi manusia Indonesia di dalam konteks seluruh kemanusiaan universal. Tidak ada orang yang berakal sehat akan berkata bahwa situasi dan kondisi budaya serta perkembangan historis dari semua bangsa itu sama. Akan tetapi dalam pengakuan perbedaan kultural dan historis itu generasi manusia Indonesia yang sedang tumbuh dan memasuki abad ke-21 ini akan paham bahwa pelanggaran hak-hak asasi pribadi-pribadi warganegara akhirnya akan merugikan kepentingan nasional juga. Orang boleh setuju atau tidak setuju dengan konsep dan perumusan hak-hak asasi manusia yang dicetuskan di Wiena bulan lalu, akan tetapi manusia Indonesia tidak boleh melepaskan diri dari tugas dan kewajiban untuk merealisasikan sikap namun terutama struktur-struktur poleksosbudhankamling yang semakin manusiawi, tepo-seliro, fair play; dengan langkah-langkah politis yang tidak machiavelian. Dengan pengakuan keuniversalan Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia di Wiena 1993 baru-baru ini sebenarnya bangsa Indonesia mengukuhkan kembali niatnya memberi kenyataan kepada Sila ke-dua ini. Mengukuhkan dan merinci lebih mendetil apa isi Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab itu, dalam forum serta konteks global sekarang. Sumbangan RI dalam upaya perumusan tersebut lebih rinci, lagi membanggakan. Kini tinggal konsekuen mengerjakannya konkret. Ketiga: Pemaknaan dalam wawasan kebangsaan sangat mencolok dalam Sila Persatuan Indonesia dalam arti politik, ideologi, ekonomi dan sosial. Namun tetaplah bhinneka tunggal ika. Perlu diingatkan kembali bahwa kebangsaan yang kita pilih bukanlah nasionalisme model Nazi Hitler yang berasas kecongkakan yang eksklusif. Atau Inggris punya yang berpedoman right or wrong my country, seperti yang sayang sering didengungkan tanpa pikir oleh sekian pejabat kita. Nasionalisme dan patriotisme hanyalah bermakna bila didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila lain, khususnya pada moral dan etika yang bersumber pada religiositas



ke- Tuhanan yang Mahaesa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan demokrasi yang sejati. Semboyan right or wrong my country, yang dikibarkan oleh Perdana Menteri Disraeli di abad-abad kolonialisme imperialisme yang telah lampau, dan yang sepatutnya tidak kita imitasi dalam ucapan maupun tindakan. Dari yang telah ditekankan di atas tentang hubungan makna dan keikhlasan berkorban, dalam wawasan kebangsaan ini kita dapat bertanya ulang, sampai di mana manusia Indonesia, khususnya para pemuda-pemudi rela "berkorban demi tanah air". Ini sangat tergantung kepada isi yang telah kita praksiskan dalam bermasyarakat dan kepada ada tidaknya solidaritas sosial. Keempat: Semua yang telah kami sajikan di atas berlaku terutama dalam struktur-struktur yang telah dicantumkan dalam Sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Generasi muda sekarang sudah muak apabila mereka hanya mendapat keterangan, bahwa demokrasi kita bukan demokrasi liberal atau komunis, bukan Barat dan tidak mengimpor dari luar negeri dan sebagainya. Sebab mereka pun tahu bahwa Indonesia itu bukan Barat dan bukan RRC. Tetapi bukan di situ soalnya. Yang mereka cari pada hakekatnya adalah konsisten dan konsekuensi struktur-struktur poleksosbud yang benarbenar pancasilais. Sudahkah keadilan, fair play sudah terasa sebagai iklim dan suasana umum sehari-hari? Ataukah hanya rekayasa yang urik, nakal dan tidak adil yang mereka alami? Mereka tahu betul siapa dalam suatu struktur poleksosbud diuntungkan dan siapa yang dirugikan terus-menerus. Mereka pertanyakan apa arti kebijaksanaan di sini. Apakah kebijaksanaan dalam arti aslinya yang arif, bermoral, beretika, ataukah euphemisme "kebijaksanaan" yang berarti korupsi, berkonotasi uang semir dan macam-macam bentuk tiputipuan? Demikianlah juga dalam soal perwakilan di atas perlulah fair play terjamin dan terjaga. Orang sering mengatakan bahwa politik itu kotor dan mustahil fair play. Pasti manipulasi terjadi. Harus dibedakan antara kotor yang melawan aturan permainan dan "kotor di dalam aturan permainan". Jikalau Maradona dengan pintar membuat gol dengan hands tetapi tidak dapat dilihat oleh wasit, sehingga gol itu disahkan oleh wasit, maka dia main "kotor di dalam aturan permainan". Perbuatan ini masuk kategori pelanggaran poenalis (pantas dihukum), tetapi tidak melawan moral, karena tugas dari wasitlah yang berkewajiban untuk mencatat kesalahan. Seperti jaksa yang bertugas membuktikan kesalahan terdakwa, bukan si terdakwa sendiri yang dibebankan dengan tuduhan. Tetapi jika pemain memukul wasit karena tidak mengakui keputusan wasit, meski wasit salah melihat dan salah menilai, ini namanya main kotor



melawan aturan permainan. Dalam politik pun main kotor melawan aturan permainan adalah tabu, tetapi "kotor" di dalam kerangka rule of the game memang diperbolehkan. Namun untuk itu perlulah wasit. Siapa wasit di dunia ketatanegaraan? Dalam masyarakat wasit adalah hakim. Dalam dunia politik hal-hal yang menyangkut konstitusi mestinya Mahkamah Agung. Kelima: Bagaimana makna dalam wawasan kebangsaan perihal sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Teranglah ini sangat erat hubungan dengan keempat sila di atas, dan merupakan sesuatu yang masih memerlukan perjuangan panjang dan berat. Jika dalam dasawarsa-dasawarsa yang lampau sila Persatuan Indonesia-lah yang menghadapi ujian berat dan kritis, boleh jadi sekarang sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini, bersama dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab pada saat ini dan dasawarsadasawarsa yang akan datang masih akan merupakan tantangan yang tergolong paling berat. Pengertian adil pun bukan sesuatu barang konfeksi yang sudah jadi begitu saja, akan tetapi basil proses cara pikir, citarasa dan rasa menghayati kehidupan. Khususnya hubungan antara hakhak serta kewajiban pribadi perorangan dan hak-hak serta kewajiban kolektif konkret. Jadi sesuatu yang tumbuh serta historis. Begitu juga ada derajat tertentu samalah soalnya dengan penafsiran apa yang disebut seluruh rakyat. Dalam iklim feodal "seluruh rakyat" sudah dihitung makmur apabila seluruh golongan atasan atau para ksatria (jadi sebagian kecil sebetulnya) sudah makmur.Untuk sekarang dan masa mendatang seyogyanya kita menafsirkan semua itu dengan tolok ukur manusia Indonesia yang tetap berPancasila, namun yang moderen kontemporer dan yang berbudaya Indonesia yang berwawasan kebangsaan maupun berwawasan global bumi secara relevan. Dengan kata lain: pasca-nasional. Istilah pasca tidak sama dengan post dalam bahasa Inggris. Istilah pasca, misalnya pasca sarjana bukan bukan-saijana-lagi, melainkan tetap sarjana, akan tetapi sudah lebih luas lebih mendalam cara menghayati kesarjanaannya. Demikianlah generasi kini sudah masuk dalam era pasca-nasional, akan tetapi sudah bermetamorfosa dengan pandangan lebih luas dari batas-batas nasional, lebih multidimensional, dengan kata lain berkembang relevan. Maka



penafsiran,



penghayatan



dan



pengamalan



sila



kelima



sila



tadi



dalam



wawasankebangsaanyangrelevan mestinya dan seyogyanya dilihat dalam suasana jiwa generasi kebangsaan yang sudah pasca-nasional dan pasca-Indonesia juga.



5.. PEMBENTUKAN WARGA NEGARA YANG SADAR DAN PERCAYA DIRI. Wawasan kebangsaan dalam pendidikan dewasa ini dasar-dasarnya ialah prinsip-prinsip yang tertuang dalam UUD 45. Setiap prinsip harus dikaji ulang, dijelaskan, dan dianalisis berdasarkan realitas hari ini yang dirasakan tidak sesuai dengan hak-hak warganegara, baik yang berasal dari suku tertentu, golongan dalam masyarakat, maupun agama yang dianut. Ini memerlukan suatu gerakan baru dan terbentuknya pemimpin-pemimpin baru yang kreatif. Di samping itu kedudukan guru sebagai agen perubahan, berpikiran maju, dan pem baharu menjadi agenda pelaksanaan pendidikan calon guru dengan wawasan kebangsaan yang terbuka. Gagasan ini pernah ditawarkan kepada Seminar Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat di Jakarta (6 Mei 1993), juga dalam Seminar Nasionalisme Indonesia menjelang dan pada Abad XXI yang diselenggarakan oleh Yayasan Bina Darma di Salatiga (2-5 Juni 1993). Suatu diskusi dan rumusan lanjutan dari kedua seminar terdahulu dan seminar hari ini kiranya dapat menghasilkan suatu rumusan bersama dan upaya bersama membuat suatu gerakan intelektual yang memperhatikan bagaimana wawasan kebangsaan dapat dengan kesegaran interpretasinya masuk dalam pendidikandewasa ini. Mungkin sebagai penutup dapat dikutip kembali semboyan yang perlu direnung ulang dan dikaji ulang karena berasal dari masa sebelum 1940:"Goeroe tidak bisa main koemidi, goeroe tidak bisa mendurhakai ia punja djiwa sendiri. Goeroe hanjalah dapat mengasihkan apa dia itu sebenarnja... Soeatu bangsa mengadjar sendiri" (Men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan alleen onderwijzen wat men is. ... De Natieonderwijst zichzelfi. E.KAITAN JATI DIRI, KARAKTER, JATI DIRI BANGSA DAN WAWASAN KEBANGSAAN Penampilan seseorang secara utuh dapt digambarkan denan suatu simbol yang berisi tiga lapis. Lapisan yang paling luar menampilkan kepribadian yang ditampilkan keseharian ( yang juga berisi identitas dan tempramen), Lapisan kedua adalah karakter dan lapisan paling dalam adalah jati diri. Kepribdian yang kita tampilkan keseharian sering belum menampilkan karakter kita yang sesungguhnya. Dalam mengenal karakter seseorang diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mengetahuinya. Keterkaitan antara jati diri, karakter, jati diri bangsa, dan wawasan kebangsaan dapat digambarkan sebagai berikut



1. JATI DIRI Untuk memahami jati diri kita berpegang pada konsep jati diri yang yang berdasarkan pada kesadaran tentang esensi keberadaan kita sebagai manusia. Jati diri berasal dari bahasa Jawa Sejatining diri yang berarti siapa diri kita sesungguhnya, hakekat atau fitra manusia, juga disebut Nur ilahi yang berisikan sifat-sifat dasar manusia yang murni dari Tuhan yang berisikan percikan-percikan sifat ilahia dalam batas kemampuan insani yang dibawa sejak lahir.Hal ini tentunya merupakan potensi yang dapat memancar dan ditumbuhkembangkan selama persyaratannya dipenuhi. Persyaratan tersebut adalah hati yang bersih dan sehat. Jika hati kotor dan penuh penyakit, akan terjadi sumbatan sehingga jati diri tidak dapat memancar. Aapalagi ditumbuh kembangkan ( yang menampilkan penampilan tidak tulus ikhlas, tidak sungguhsungguh, senang semu.). Pada pengembangan, jati diri merupakan totalitas penampilan atau kepribadian seseorang yang akan mencerminkan secara utuh pemikiran, sikap dan perlakunya.Seorang yang berjati diri bisa menampilkan siapa dirinya yang sesungguhnya tanpa menggunakan kedok/topeng dan mampu secara segar dan tegar tampil dengan keadaan yang sebenarnya sebagai sinergi antara jatidiri, karakter, dan kepribadiannya. Dengan kata lain orang yang berjati diri akan mampu memadukan antara cipta ( olah pikir/the head), karsa (kehendak dan karya/ the hand) dan rasa ( olah hati ( the heart) sementara orang Indonesia sekarang baru mampu menampilkan cipta dan karsanya, sedangkan unsur rasa belum ditampilkan padahal didalamnya justru terdapat karakter maupun jati diri seseorang. 2. .KARAKTER. Karakter memang sulit didefinisikan, tetapi lebih mudah dipahami melalui uraian-uraian berisikan pengertian. Beberapa pengertian karakter yang saling isi mengisi dan memperjelas arti pemahaman kita tentang karakter sebagai berikut :



1. Sigmund Freud, karakter dapat diartikan sebagai kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistim daya juang yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku. 2. Drs.Hanna Djumhana Bastaman,M.Psi, karakter merupakan aktualisasi potensi dari dalam dan internalisasi nilai-nilai moral dari luar menjadi bagian kepribadiannya. 3. H.Soemarno Soedarsono, karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, pengaruh lingkungan, dipadukan dengan nilai-nilai dalam diri manusia menjadi semacam nilai intrinsik yang mewujud dalam sisitim daya juang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku manusia. 4. Dr.HM. Quraish Sihab, himpunan pengalaman, pendidikan, dan lain-lain yang dapat menumbuhkan kemampuan dalam diri kita, sebagai alat ukir sisi paling dalam hati nurani yang mewujudkan, baik pemikiran sikap dan perilaku, termasuk akhlak mulia dan budi pekerti. 5. Kamus besar bahasa Indonesia, watak (karakter) sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti dan tabiat. Dari beberapa pengertian diatas, kita pahami bahwa karakter harus diwujudkan melalui nilai-nilai moral yang dipatrikan untuk menjadi semacam nilai intrinsik dalam diri kita dan mewujud dalam suatu sisitim daya juang yang akan melandasi pemikiran, sikap dan perilaku kita. Karakter tentu tidak datang dengan sendirinya tetapi harus dibentuk, kita tumbuh kembangkan, dan kita bangun secara sadar dan sengaja. 3.JATI DIRI BANGSA Berbeda dengan jati diri manusia , jati diri suatu bangsa yang merupakan tampilan dari adanya suatu bangsa walaupun suatu bangsa lahir dari pilihan sekumpulan individu yang megelompok dan bersepaham untuk mendirikan suatu bangsa. Kelahiran bangsa Indonesia bertolak dari ketika the Founthing Fathers kita mencanagkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dengan mengubah identitas ke KAMI an menjadi ke KITA an sebagai suatu bangsa Indonesia. Jati diri bangsa adalah suatu pilihan, dan jati diri bangsa Indonesia merupakan pencerminan atau tampilan dari karakter bangsa Indonesia. Karakter bangsa merupakan akumulasi atau sinergi dari karakter individu anak bangsa yang berproses secara terus menerus yang mengelompok menjadi bangsa Indonesia. Karakter bangsa akan ditampilkan sebagai nilai-nilai luhur yang digali dari



khasana ibu pertiwi dan mencerminkan tata nilai kehidupan nyata anak bangsa oleh Faunthing Fathers dan dirumuskan dalam suatu tata nilai yang kita kenal sebagai Pancasila. Disampaing itu, jati diri bangsa tampil dalam tiga fungsi yaitu : 1. Penanda keberadaan atau eksistensinya ( bangsa yang tidak mempunyai jati diri tidak akan eksis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara) 2.



Pencerminan kondisi bangsa yang menampilkan kematangan jiwa, daya juang, dan kekuatan bangsa ( Ini akan tercermin dalam kondisi bangsa pada umumnya dan kondisi ketahanan bangsa pada khususnya)



3. Pembeda dengan bangsa lain didunia ( disinilah harus tampak makna Pancasila sebagai Dasar negara, pandangan hidup yang harus kita banggakan dan unggulkan, yang merupakan pembeda dengan bangsa-bangsa lain didunia ( Yudhoyono 2008 : 21) 4. WAWASAN KEBANGSAAN Wawasan kebangsaan adalah cara pandang kita terhadap diri sendiri sebagai bangsa yang harus mencerminkan rasa dan semangat kebangsaan( karakter bangsa) dan mampu mempertahankan jati dirinya sebagai bangsa, yaitu Pancasila. Dalam kaitan bernegara kita memiliki UUD 45,NKRI, Bihneka tunggal Ika dan pemahaman tentang Geografi negaranya yang adalah negara kepulauan. Dari uraian keterkaitan jati diri, karakter, jati diri bangsa dan wawasan kebangsaan dapat disimpulkan bahwa pencanagan wawasan kebangsaan memosisikan bangsa secara Futurologis, yakni pada jangka waktu yang jauh ke depan yang harus realistic, credible, dan workable. Untuk itu pencanangan wawasan kebangsaan seperti ini hanya bisa dilaskuksn oleh suatu bangsa yang tahu siapa dirinya atau bangsanya dan harus dapat menampilkan jati dirinya yang mantap.Jika wawasan kebangsaan dicanagkan oleh suatu bangsa yang belum mantap jati dirinya sebagai bangsa, maka wawasan kebangsaan hanya akan merupakan wacana belaka atau suatu intelectual exersice yang tentunya kurang bermanfaat.Sebaliknya jati diri bangsa harus mencerminkan atau merupakan pancaran karakter bangsa yang berasal segenap potensi anak bangsa yang memiliki jati diri dan mau serta mampu membangun jati dirinya yang berarti membangun karakternya untuk secara bersama dengan anak bangsa lain membangun bangsanya.