Basel Convention - Kelompok 1 - KHL [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KEBIJAKAN DAN HUKUM LINGKUNGAN KONVENSI BASEL (BASEL CONVENTION) Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Kebijakan dan Hukum Lingkungan Dosen Pengampu : Gunadi Priyambada, S.T., M.T.



DISUSUN OLEH : Bagus Duhan Irfandy



2007110727



Diannisa Dwina Bachri



2007110737



Fadillah Amanda Zulkarnain



2007125624



Muhammad Zahran Zaidan



2007114013



Salsabila Kamal



2007126613



Sarah Adriyani



2007125619



Yudha Febriansyah



2007114348



PRODI TEKNIK LINGKUNGAN JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU 2020



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga Kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Konvensi Basel (Basel Convention)” ini tepat pada waktunya.



Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Pak Gunadi Priyambada, S.T., M.T. pada mata kuliah Kebijakan dan Hukum Lingkungan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Kebijakan dan Hukum Lingkungan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.



Kami mengucapkan terima kasih kepada Pak Gunadi Priyambada, S.T., M.T. selaku dosen mata kuliah Kebijakan dan Hukum Lingkungan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.



Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.



Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.



Pekanbaru, 21 September 2021



Penulis



II



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .......................................................................................... II DAFTAR ISI ........................................................................................................ III BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1.



Latar Belakang ......................................................................................... 1



1.2.



Rumusan Masalah .................................................................................... 2



1.3.



Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2



BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3 2.1.



Sejarah Singkat Basel Convention............................................................ 3



2.2.



Tujuan Basel Convention ......................................................................... 4



2.3.



Hasil dari Basel Convention ..................................................................... 6



2.4.



Komitmen dari Basel Convention ............................................................ 8



2.5.



Dampak Diberlakukannya Basel Convention ........................................... 9



BAB III PENUTUP ............................................................................................ 13 3.1.



Kesimpulan ............................................................................................. 13



3.2.



Saran ....................................................................................................... 13



DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14



III



BAB I PENDAHULUAN



1.1.



Latar Belakang Sebagai tanggapan dari eskalasi jumlah pembuangan limbah berbahaya



lintas negara, baik dalam jumlah unit maupun nilainya, dan kesadaran akan besarnya efek negatif yang ditimbulkannya, maka diadakanlah konvensi internasional dengan tujuan untuk menegakkan regulasi aliran sampah elektronik tersebut. Salah satu konvensi yang khusus untuk menangani permasalahan aliran limbah berbahaya adalah Konvensi Basel (The Basel Convention on the Control of Transboundary Movement of Hazardous Wasters and Their Disposal). Konvensi Basel ini lahir karena adanya kekhawatiran atas semakin meningkatnya perdagangan limbah berbahaya lintas negara, terutama menuju negara berkembang. Jumlah limbah berbahaya yang dihasilkan setiap tahun di dunia meningkat dari sekitar lima juta ton pada tahun 1947 hingga melewati angka 300 juta ton pada tahun 1988, yang mana sekitar 265 juta ton dihasilkan oleh Amerika Serikat, dan 35 juta ton lainnya dihasilkan oleh negara-negara di Eropa Barat. Di saat yang sama, biaya pembuangan limbah berbahaya ini juga meningkat pesat, di beberapa kasus mencapai harga $2000 setiap ton dan space yang tersedia untuk pembuangan tersebut juga semakin sedikit sehingga terdapat ketentuan yang sangat ketat, khususnya di Amerika Serikat1 . Fakta ini menarik perhatian internasional sehingga pengaturan mengenai limbah berbahaya telah ada di dalam agenda lingkungan internasional sejak awal 1980, yang mana ditetapkan sebagai satu dari tiga prioritas di Program Montevideo tentang hukum lingkungan pertama yang diselenggarakan oleh United Nations Environmental Programme (UNEP) pada tahun 1981. Konvensi Basel tentang pengawasan perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan pembuangannya (Basel Convention 1989) diadopsi pada tahun 1989 sebagai respons terhadap teriakan publik atas penemuan sejumlah besar limbah beracun impor di Afrika dan bagian Dunia Ketiga lainnya pada tahun 1980-an. Negotiating parties pada Konvensi Basel memercayai bahwa cara paling efektif untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari bahaya yang dihasilkan



oleh limbah-limbah tersebut adalah pengurangan produksi limbah tersebut kepada kuantitas yang terendah dan atau potensi yang berbahaya. 1.2.



Rumusan Masalah 1. Sejarah singkat konvensi Basel? 2. Tujuan konvensi basel? 3. komitmen Indonesia dalam konvensi basel dan hasil konvensi basel? 4. dampak penerapan konvensi basel terhadap perubahan iklim di dunia



1.3.



Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui sejarah dari konvensi basel 2. Untuk mengetahui tujuan dari konvensi basel 3. Untuk mengetahui hasil dan bagaimana komitmen Indonesia dalam konvensi basel. 4. Mengetahui dampak penerapan konvensi basel terhadap perubahan iklim di dunia.



2



BAB II PEMBAHASAN



2.1.



Sejarah Singkat Basel Convention Konvensi Basel merupakan instrumen internasional pertama dalam upaya



pengontrolan manajemen pengelolaan dan penanganan limbah berbahaya. Konvensi tersebut diadakan di Basel, Swiss pada tanggal 22 Maret 1989. Perjanjian lingkungan mutilateral ini secara umum mengatur aliran ekspor dan impor antar negara yang tergabung dalam konvensi ini, mengeluarkan kewajiban untuk memperlakukan komoditas limbah berbahaya dengan cara yang ramah lingkungan serta memastikan agar negara berkembang tidak djadikan sasaran pembuangan limbah berbahaya. Konvensi ini terbuka untuk ditandatangani sejak 22 Maret 1989 dan dinyatakan berlaku sejak 5 Mei 1992. Konvensi Basel diadopsi oleh Conference of Plenipotentiaries di Basel, Swiss, dalam menanggapi kemarahan publik setelah pada 1980-an ditemukan di Afrika dan bagian lain dari negara berkembang, deposito limbah beracun yang diimpor dari luar negeri. Kini, Konvensi Basel telah berusia lebih dari 20 tahun dan walaupun telah banyak organisasi lingkungan yang telah mengadopsi dan mengumumkan terkait konvensi tersebut dan peraturan didalamnya, namun masih lemah dalam pelaksanaannya. Sejarah terbentuknya Basel Convention bisa ditarik dari awal dekade 1980an. Kala itu, jumlah sampah berbahaya yang dihasilkan setiap tahun di dunia meningkat dari sekitar lima juta ton pada tahun 1947 hingga melewati angka 300 juta ton pada tahun 1988. Sekitar 265 juta ton dihasilkan oleh Amerika Serikat, dan 35 juta ton lainnya dihasilkan oleh negara-negara di Eropa Barat. Di saat yang sama, biaya pembuangan limbah berbahaya juga meningkat pesat sementara ruang untuk pembuangan sampah semakin sempit. Fenomena perpindahan sampah berbahaya yang menarik perhatian internasional pada tahun 1980-an adalah tragedi kapal beracun Karin B dan kapal Pelicano. Karin B adalah kapal dari Italia yang mengangkut sampah berbahaya untuk dikirimkan ke Nigeria namun ditolak oleh para aktivis lingkungan dan akhirnya terpaksa mengapung di tengah lautan berbulan-bulan (Greenhouse, 1988). Sedangkan kapal Pelicano adalah kapal yang mengangkut sampah berbahaya seberat 28 juta pound dari Philadelphia dan



3



mengapung di lautan selama dua tahun. Akhirnya, sampah berbahaya itu dibuang di dekat Singapura dan memunculkan protes besar. Sebenarnya, pengaturan mengenai limbah berbahaya telah ada di dalam agenda lingkungan internasional sejak awal 1980-an Oleh karena itu, pengaturan tentang limbah berbahaya masuk dalam tiga prioritas di Program Montevideo tentang Hukum Lingkungan pertama yang diselenggarakan oleh United Nations Environmental Programme (UNEP) pada tahun 1981. Tekanan dari masyarakat global semakin meningkat ketika terdapat fakta bahwa negara-negara Afrika Barat dan negara-negara berkembang menjadi tujuan ekspor sampah berbahaya dari negara-negara maju. Bagi negara-berkembang, menerima limbah berbahaya adalah sebuah pilihan bagi pertumbuhan ekonomi mereka, sementara faktor lingkungan yang diakibatkan olehnya diabaikan. Akhirnya, pada Juni 1987, UNEP menyetujui untuk membentuk Cairo Guidelines. Cairo Guidelines sendiri adalah sebuah prinsip-prinsip yang pada dasarnya bertujuan untuk membantu pemerintah dalam pengembangan dan implementasi yang berkaitan dengan kebijakan pengaturan limbah berbahaya. Cairo Guidelines tidak bersifat mengikat terhadap partisipannya, namun nantinya justru menjadi pendorong kuat untuk dibentuknya Basel Convention pada tahun 1989. Basel Convention termasuk dalam kategori Multilateral Environmental Agreement (MEA) karena diikuti oleh berbagai negara di dunia. Saat ini, Basel Convention telah diikuti sebanyak 187 negara di dunia, dengan 53 di antaranya berperan sebagai penandatangan. Secara umum konvensi ini mengatur aliran ekspor dan impor antar negara yang tergabung dalam konvensi ini. Lebih jauh, konvensi ini mewajibkan para pesertanya untuk memperlakukan komoditas sampah elektronik dengan cara yang ramah lingkungan serta memastikan agar negara berkembang tidak menjadi sasaran pembuangan limbah berbahaya. 2.2.



Tujuan Basel Convention Konvensi Basel menjadi salah satu instrumen penting dalam upaya



pencegahan kejahatan lingkungan dan kesehatan di dunia internasional. Konvensi ini juga menjadi embrio dari konvensi lain yang membuat perjanjian dalam lingkup yang lebih kecil seperti Konvensi Bamako di Afrika dan Konvensi Waigani di wilayah Pasifik Selatan. Nama resmi dari Konvensi Basel adalah The Basel



4



Convention on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal. Tujuan utama Konvensi Basel adalah untuk mencegah penyelundupan/pemindahan limbah B3 ilegal melalui pengaturan perpindahan lintas batas B3 antar negara (Kemenlu, 2014). Selain itu, Konvensi Basel bertujuan untuk mengurangi jumlah limbah B3 serta potensi bahayanya, melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak yang timbul oleh semakin meningkatnya kompleksitas limbah. Selain tujuan untuk mengurangi bahaya dan jumlahnya, Konvensi Basel juga mengatur perpindahan lintas batas limbah B3 dan limbah lainnya, agar perpindahan lintas batas limbah B3 dan limbah lain tersebut dapat berkurang itensitasnya. Tujuan lain dari Konvensi Basel adalah untuk membuat negara-negara industri untuk konsisten dalam pengelolaan limbah B3, dan membuang limbah tersebut ke negara dimana limbah dihasilkan dengan cara yang berwawasan lingkungan, menanamkan prinsip tanggung jawab negara terhadap limbah B3 yang dihasilkan, menjamin pengawasan yang ketat atas perpindahan lintas batas limbah B3 guna pencegahan perdagangan atau pemindahan limbah secara ilegal ke yurisdiksi negara lain dengan cara melarang pengiriman limbah B3 menuju negara yang kurang memadai dalam hal teknologi pengelolaan secara berwawasan lingkungan serta membantu negara-negara berkembang dalam ahli teknologi yang berwawasan lingkungan untuk pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2014). Berdasarkan kesadaran akan ancaman limbah berbahaya kepada kesehatan manusia dan lingkungan, Konvensi ini menetapkan tiga tujuan, yaitu: Pertama, pengurangan terhadap jumlah limbah berbahaya yang dihasilkan; Kedua,



pengurangan terhadap jumlah perpindahan lintas wilayah limbah



berbahaya; dan Ketiga, mempromosikan atau mengenalkan ‘environmentally sound management of hazardous waste’ (ESM). ESM sendiri di dalam Pasal 2 ayat 8 Konvensi Basel didefinisikan sebagai mengambil semua langkah praktis untuk memastikan limbah berbahaya atau limbah lainnya dikelola dengan cara yang akan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari efek yang akan dihasilkan oleh dari limbah-limbah tadi.



5



Inti tujuan atau tujuan umum dari Konvensi Basel yaitu memastikan limbah berbahaya atau limbah lainnya dikelola secara ramah lingkungan sehingga dapat melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari efek samping yang mungkin akan ditimbulkan dari limbah tersebut. Selain tujuan umum terdapat pula tujuan khusus dari terbentuknya Konvensi Basel diantaranya yaitu: 1. Mengurangi perpindahan lintas batas Limbah B3 dan limbah lainnya dan pengelolaan konsisten dengan berwawasan lingkungan. 2. Pembuangan Limbah B3 yang dihasilkan, sebaiknya dibuang dinegara dimana dihasilkan dengan cara yang berwawasan lingkungan. 3. Mengurangi jumlah timbunan Limbah B3 serta potensi bahayanya. 4. Menjamin pengawasan yang ketat atas perpindahan lintas batas Limbah B3 guna mencegah perdagangan illegal. 5. Melarang pengiriman Limbah B3 menuju negara yang kurang memadai dalam hal teknologi pengelolaan secara berwawasan lingkungan. 6. Membantu negara-negara berkembang dalam alih teknologi yang berwawasan lingkungan untuk pengolaan Limbah B3 yang dihasilkan. 2.3.



Hasil dari Basel Convention Indonesia adalah salah satu Negara yang ikut meratifikasi Konvensi Basel



1989. Konvensi Basel yang terdiri dari mukadimah 29 artikel dan 6 anmex telah diratifikasi Indonesia dengan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1993. Ratifikasi Konvensi Basel mencerminkan kesadaran pemerintah Republik Indonesia tentang adanya ancaman pencemaran lingkungan akibat perpindahan atau pengangkutan limbah B3 dari luar negeri ke dalam negeri. Adapun dalam pertimbangnnya dalam Keppres No. 61 Tahun 1993 tersebut yang menjadi alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk mengambil kebijakan meratifikasi Konvensi Basel tersebut. Dengan diratifikasinya Konvensi Basel oleh Indonesia, maka memasukan limbah B3 kedalam wilayah Republik Indonesia harus seizin Pemerintah Indonesia secara tertulis, tanpa adanya izin tertulis dari Pemerintah Indonesia maka kegiatan memasukan limbah B3 ke wilayah Indonesia dapat dipandang sebagai suatu



6



kejahatan dan Indonesia mempunyai kedaulatan untuk menegakan atau memasukan hukum di Wilayah Republik indonesia Dalam Konvensi Basel ditetapkan bahwa lalu lintas perpindahan limbah B3 secara illegal adalah suatu tindakan kriminal. Setiap Negara akan mengambil tindakan legal untuk melaksanakan ketentuan konvensi ini termasuk tindakan pencegahan dan menghukum pelanggar konvensi ini. Adapun perpindahan limbah B3 secara illegal apabila dilakukan sebagai berikut : a. Tanpa pemberitahuan kepada Negara yang bersangkutan b. Tanpa Persetujuan menurut ketentuan konvensi ini dari Negara yang bersangkutan c. Dengan izin, tetapi terjadi karena pemalsuan, intepretasi yang keliru, penipuan d. Tidak sesuai dengan dokumen – dokumen e. Pembuangan secara sengaja (adanya penumpukan) yang bertentangan dengan konvensi ini dan prinsip hukum internasional Apabila terjadi perpindahan limbah B3 secara illegal, maka Negara pengekspor harus : a. Mengambil kembali limbah B3 tersebut b. Di buang menurut ketentuan konvensi ini dalam tempo 30 hari setelah diberitahu bahwa perpindahan yang Negara tersebut lakukan adalah ilegal Dalam hal ekspor dan impor limbah B3 tidak dibenarkan mengekspor limbah B3 kepada Negara yang tidak menjadi peserta dan peratifikasi Konvensi Basel, demikian juga untuk impor tidak dibenarkan melakukan impor ke Negara yang tidak terkait dengan Konvensi Basel walaupun ada ketentuan yang demikian, Negara peserta bisa saja melakukan perjanjian bilateral, multilateral atau regional dalam hal pengangkutan, perpindahan lintas batas limbah B3 dengan Negara yang tidak terkait dengan konvensi ini asalkan tidak menyalahi pengelolaan limbah B3 yang ramah lingkungan sebagaimana yang diharapkan oleh konvensi ini dan ketentuan tersebut dengan memperhatikan Negara – Negara yang sedang berkembang.



7



2.4.



Komitmen dari Basel Convention Dalam statutanya, Basel Convention menempatkan peraturan-peraturan itu



di Artikel 4 dengan judul General Obligations. Artikel 4 ini juga, menjelaskan lebih detail hak dan kewajiban dari peserta Basel Convention. Adapun peraturan itu bisa dijelaskan sebagai berikut: Pertama, peserta Basel Convention dalam ayat 1a, memiliki hak untuk melarang sampah berbahaya untuk masuk ke wilayah teritorinya. Apabila hak ini dipakai oleh peserta, maka muncul kewajiban di atasnya untuk melarang negaranya mengekspor limbah berbahaya menuju negara peratifikasi ataupun tidak, yang dijelaskan di ayat 1b. Kedua, peserta Basel Convention harus memastikan bahwa negaranya mampu mengurangi jumlah sampah elektronik di dalam teritorialnya. Dalam hal ini, negara peserta dibebani untuk membangun mekanisme dan fasilitas yang layak dan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan teknologi, atau dengan cara Environmentally Sound Management (ESM). Ketiga, peserta Basel Convention dilarang untuk mengekspor sampah berbahaya ke sebuah organisasi integrasi ekonomi dan/atau politik yang merupakan peserta, khususnya negara berkembang, yang telah melarang segala jenis impor sampah berbahaya melalui peraturan perundang-undangannya Keempat, peserta Basel Convention harus bersedia untuk bekerjasama dengan peserta lainnya, atau dengan organisasi-organisasi terkait isu pelarangan dan manajemen limbah berbahaya, melalui Sekretariat atau secara langsung. Dalam hal ini, peserta tidak dibatasi untuk bekerjasama dengan organisasi yang hanya berbasis negara saja, tetapi juga dengan organisasi berbasis non-pemerintah. Basel Convention memberikan hak bagi negara-negara pesertanya untuk tetap mengekspor atau mengimpor sampah berbahaya apabila negara ini tidak melarang fenomena itu dalam undang-undang dalam negerinya, atau setidaknya memberi tahu ke peserta Basel Convention lainnya bahwa negara itu belum melarang komoditas sampah elektronik. Proses ekspor dan impor ini harus mengacu pada tujuan untuk melakukan pengolahan sampah berbahaya. Apabila bertujuan untuk menjualnya saja ke negara berkembang, atau untuk membuangnya, maka hal ini dilarang oleh Basel Convention (Basel Convention, 2011). Basel Convention



8



mengalami amandemen pada tahun 1994, negara-negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), dilarang untuk mengekspor sampah berbahayanya ke negara berkembang. Basel Convention juga memiliki suatu protokol yang bertujuan untuk menyediakan dan memastikan adanya rezim yang komprehensif dalam menegakkan kewajiban dan kompensasi yang cukup dan cepat, terhadap kerusakankerusakan yang diakibatkan oleh perpindahan sampah berbahaya (Basel Convention, 2017). Protokol ini berfungsi sebagai norma yang nantinya mengatur pihak yang menyebabkan kerugian dan pihak yang dirugikan. Misalkan saja, sebuah negara mengekspor sampah elektronik secara ilegal ke sebuah negara yang tergabung dalam Basel Convention menyebabkan kerugian berupa pencemaran lingkungan dan menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat negara itu. Dalam hal ini, protokol dari Basel Convention mengaturnya secara lebih detail. Protokol ini mengatur perpindahan sampah berbahaya antar negara-negara partisipan dan juga non-partisipan dengan negara partisipan dari Basel Convention (Basel Convention, 2017). 2.5.



Dampak Diberlakukannya Basel Convention Berikut ini merupakan dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan Basel



Convention : 1. Kondisi Impor-Ekspor Sampah Dunia Pasca Konvensi Basel a) PBB memutuskan Konvensi Basel pada 10 Mei 2018, produsen sampah plastik besar harus mendapatkan persetujuan sebelum mengekspor sampah beracun mereka ke negara-negara berkembang b) Negara-negara maju mengekspor sampahnya ke Asia, termasuk Indonesia c) Indonesia makin banyak mengimpor sampah dari sejumlah negara untuk keperluan industri daur ulang. Di lapangan, sampah-sampah yang diimpor dari luar negeri ini ada yang digunakan usaha kecil oleh warga, dan berisiko membahayakan kesehatan dan lingkungan. Konvensi Basel PBB di Geneva, Switzerland menyatakan produsen sampah plastik besar harus mendapatkan persetujuan sebelum mengekspor sampah beracun mereka ke negara-negara di Selatan. Apa yang dilakukan Indonesia untuk mengawasi impor sampah ini. Pada 10 Mei 2019, sebanyak 187



9



negara mengambil langkah besar untuk mengendalikan krisis perdagangan plastik dengan memasukkan plastik ke dalam Konvensi Basel. Suatu perjanjian yang mengontrol pergerakan sampah dan limbah berbahaya beracun dari satu negara ke negara lain, terutama dari negara maju ke negara berkembang. Perjanjian Basel akan meminta eksportir untuk memperoleh persetujuan dari negara penerima sebelum limbah yang tercemar bercampur. Atau menerima sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang, dikirimkan ke negara tujuan. 2. Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun (LB3) Menurut Konvensi Basel Limbah B3 merupakan komoditi perdagangan yang pada umumnya dikelola oleh pihak swata, namun karena sifatnya yang khusus maka perlu melibatkan Negara – Negara yang bersangkutan antara lain karena limbah B3 darai Negara pengekspor harus melewati wilayah juidiksi Negara – Negara pantai sebagai tempat pembuangan limbah B3 untuk sampai ke wilayah juridiksi Negara penerima, hal ini mencerminkan penghormatan terhadap kedaulatan Negara lain. Pemberitahuan kepada Negara pengimport dan Negara – Negara lain yang dilewati oleh rute pengangkutan limbah B3 merupakan substansi utama pengaturan Konvensi Basel. Dengan kata lain dapat disimpulkan terbentuknya Konvensi Basel 1989 bertujuan untuk : a) Melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup terhadap bahaya limbah B3 b) Mengembalikan kepada suatu prinsip bahwa suatu Negara harus bertanggung jawab terhadap limbah B3 yang dihasilkan c) Mendorong secara intensif bagi upaya pengurangan jumlah limbah B3 yang dihasilkan Indonesia adalah salah satu Negara yang ikut meratifikasi Konvensi Basel 1989. Konvensi Basel yang terdiri dari mukadimah 29 artikel dan 6 anmex telah diratifikasi Indonesia dengan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun1993. Ratifikasi Konvensi Basel mencerminkan kesadaran pemerintah Republik Indonesia tentang adanya ancaman pencemaran lingkungan akibat perpindahan atau pengangkutan limbah B3 dari luar negeri ke dalam negeri. Adapun dalam pertimbangnnya dalam Keppres No. 61 Tahun 1993 tersebut



10



yang menjadi alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk mengambil kebijakan meratifikasi Konvensi Basel tersebut, yaitu : a) Bahwa secara geografis, wilayah Republik Indonesia terdiri dari pulau – pulau dengan perairan terbuka, karena itu sangat potensial berbagai tempat pembuangan limbah B3 secara tidak sah dari luar negeri b) Untuk memelihara kelestarian lingkungan serta mencegah wilah Republik Indonesia menjadi tempat pembuangan limbah berbahaya dan beracun (LB3) Perpindahan lintas batas limbah B3 dengan memakai sarana angkutan kapal laut dan denga demikian sangat potensial untuk mencemari laut akibat zat beracun, zat berbahaya yang dibawa oleh kendaraan air tersebut. Perlindungan terhadap lingkungan laut dari pencemaran yang bersumber dari kapal di Indonesia pada saat ini menjadi penting karena beberapa hal : 1. Lingkungan laut Indonesia sangat potensial tercemar 2. Adanya hak pelayaran internasional melalui perairan Indonesia 3. Pengaturan hokum antar rezim kelautan terharap pencemaran belum jelas 4. Penegakan hokum yang berkaitan dengan koordinasi antar instansi dalam menangani kasus pencemaran lingkungan laut Dengan diratifikasinya Konvensi Basel oleh Indonesia, maka memasukan limbah B3 kedalam wilayah Republik Indonesia harus seizin Pemerintah Indonesia secara tertulis, tanpa adanya izin tertulis dari Pemerintah Indonesia maka kegiatan memasukan limbah B3 ke wilayah Indonesia dapat dipandang sebagai suatu kejahatan dan Indonesia mempunyai kedaulatan untuk menegakan atau memasukan hukum di Wilayah Republik indonesia Dalam Konvensi Basel ditetapkan bahwa lalu lintas perpindahan limbah B3 secara illegal adalah suatu tindakan kriminal. Setiap Negara akan mengambil tindakan legal untuk melaksanakan ketentuan konvensi ini termasuk tindakan pencegahan dan menghukum pelanggar konvensi ini. Adapun perpindahan limbah B3 secara illegal apabila dilakukan sebagai berikut : a) Tanpa pemberitahuan kepada Negara yang bersangkutan



11



b) Tanpa Persetujuan menurut ketentuan konvensi ini dari Negara yang bersangkutan c) Dengan izin, tetapi terjadi karena pemalsuan, intepretasi yang keliru, penipuan d) Tidak sesuai dengan dokumen – dokumen e) Pembuangan secara sengaja (adanya penumpukan) yang bertentangan dengan konvensi ini dan prinsip hokum internasional



Apabila terjadi perpindahan limbah B3 secara illegal, maka Negara pengeksport harus : a. Mengambil kembali limbah B3 tersebut b. Di buang menurut ketentuan konvensi ini dalam tempo 30 hari setelah diberitahu bahwa perpindahan yang Negara tersebut lakukan adalah ilegal Dalam hal eksport dan import limbah B3 tidak dibenarkan mengeksport limbah B3 kepada Negara yang tidak menjadi peserta dan peratifikasi Konvensi Basel demikian juga untuk import tidak dibenarkan melakukan import ke Negara yang tidak terkait dengan Konvensi Basel walaupun ada ketentuan yang demikian, Negara peserta bisa saja melakukan perjanjian bilateral, multilateral atau regional dalam hal pengangkutan, perpindahan lintas batas limbah B3 dengan Negara yang tidak terkait dengan konvensi ini asalkan tidak menyalahi pengelolaan limbah B3 yang ramah lingkungan sebagaimana yang diharapkan oleh konvensi ini dan ketentuan tersebut dengan memperhatikan Negara – Negara yang sedang berkembang.



12



BAB III PENUTUP



3.1.



Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat diperoleh kesimpulan yaitu :



1.



Konvensi Basel merupakan instrumen internasional pertama dalam upaya pengontrolan manajemen pengelolaan dan penanganan limbah berbahaya. Konvensi tersebut diadakan di Basel, Swiss pada tanggal 22 Maret 1989.



2.



Konvensi Basel menjadi salah satu instrumen penting dalam upaya pencegahan kejahatan lingkungan dan kesehatan di dunia internasional.



3.



Tujuan



utama



Konvensi



penyelundupan/pemindahan



Basel



limbah



adalah



untuk



mencegah



ilegal



melalui



pengaturan



B3



perpindahan lintas batas B3 antar negara. Konvensi Basel juga bertujuan untuk mengurangi jumlah limbah B3 serta potensi bahayanya, melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak yang timbul oleh semakin meningkatnya kompleksitas limbah. 4.



Perjanjian lingkungan mutilateral ini secara umum mengatur aliran ekspor dan impor antar negara yang tergabung dalam konvensi ini, mengeluarkan kewajiban untuk memperlakukan komoditas limbah berbahaya dengan cara yang ramah lingkungan serta memastikan agar negara berkembang tidak djadikan sasaran pembuangan limbah berbahaya.



5.



Dalam Konvensi Basel ditetapkan bahwa lalu lintas perpindahan limbah B3 secara illegal adalah suatu tindakan kriminal.



3.2.



Saran Penerapan dari Konvensi Basel baik di Indonesia maupun di negara-negara



yang merupakan peserta dari Konvensi Basel itu sendiri, memiliki tujuan yang baik agar aliran ekspor dan impor antar negara yang tergabung dalam konvensi ini dapat memperlakukan kondisi limbah B3 dengan cara yang ramah lingkungan agar negara-negara berkembang tidak dijadikan sasaran untuk tempat pembuangan limbah B3 tersebut.



13



DAFTAR PUSTAKA Adolf, Huala. 1996. Aspek–Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta : Raja Grafindo Persana. Silalahi, Daud. 2001. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung : Alumni. Haryadi, Yulius. (2017). Pelanggaran Inggris terhadap Konvensi Basel: Digital Dumping Ground di Nigeria. Journal of International Relations,3(4), 3239. Andrews, Alan. (2009). Beyond The Ban-Can The Basel Convention Adequately Safeguard The Interests Of The World’s Poor In The International Trade Of Hazardous Waste”. Law Environment and Development Journal. 5(2), 167. KLHK, ”Pengelolaan Limbah B3 terkait implementasi Konvensi Basel” diakses pada http://www.apbi-icma.org/wpcontent/uploads/2014/12/Implementasi-Peraturan-Bidang-Pengumpulandan-Pemanfaatan-LB3.pdf . 04/12/2018, 02.15 WIB. Syamsul, Arifin. 1993. Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia. Medan: USU Press. Wyasa, Ida Bagus. 2002. Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional. Bandung: Refika Aditama, Rahmadi, Takdir. 2003. Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Surabaya: Airlangga University Press. Suhaidi. 2004. Perlindungan Terhadap Lingkungan Laut Dari Pencemaran Yang Bersumber Dari Kapal : Konsekwensi Penerapan Hak Pelayaran Internasional Melalui Perairan Indonesia. Jakarta: Pustaka Bangsa Press. Haryadi, Yulius. (2017). Pelanggaran Inggris terhadap Konvensi Basel: Digital Dumping Ground di Nigeria. Journal of International Relations, 3(4), 3239.



14



Nainggola, Prasetya dan Tengku M. Derizal. 2016. “Konvensi Basel 1989” Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Internasional hal. 5-8. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.



15