Bayan Tamim Daulah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam atas imamul mujahidin, nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabatnya. Adapun selanjutnya: sungguh Allah Ta’ala telah berfirman : {Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lebih baik (benar) sesungguhnya syaithan menimbulkan perselisihan di antara mereka sesungguhnya syaithan musuh nyata bagi manusia} (Q.S Al-Isra : 53) Akhir-akhir ini telah tersebar di antara junud Daulah Islamiyah permasalahan yang mengakibatkan perselisihan tentang sebagian masalah-masalah yang membuat hati dan lisan berselisih serta merusak hubungan di antara mereka. Dan ini merupakan masalah yang kami sekali-kali tidak meremehkannya. Dan sungguh rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan kita darinya karena hal itu dapat mengikis habis (Al-Haliqah) agama, beliau bersabda (Sesungguhnya yang dapat merusak hubungan adalah Al-Haliqah)1. Kami telah menelaah akar masalah yang diperselisihkan di dalamnya dan berkaitan dengan hukum orang yang tawaqquf dalam mengkafirkan orang musyrik yang ber-intisab kepada Islam serta pendapat-pendapat yang lahir darinya. Dan kesimpulan kami, ada dua pendapat antara Ifrath (melampaui batas dalam beribadah dan beramal tanpa ilmu) dan Tafrith (melalaikan dan meremehkan ibadah), dimana kedua pendapat tersebut tidak benar. Dan akan dijelaskan bidzinillah Ta’ala rincian dua pendapat itu dan yang benar dalam masalah ini.



1



. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan beliau berkata : Hadits Hasan Shahih.



PENDAPAT PERTAMA Orang yang tawaqquf dalam mengkafirkan musyrikin (orang yang beribadah kepada selain Allah) yang ber-intisab kepada Islam, maka dia musyrik sama seperti mereka. Karena pengkafiran terhadap mereka adalah merupakan ashlud din. Maka orang yang tawaqquf tentang status mereka adalah sama seperti menyembah selain Allah. Karena dia mulhaq bihim (diikutkan kepada mereka) dalam nama dan status hukum secara muthlaq. PENDAPAT KEDUA Sesungguhnya takfir bukan termasuk ashlud din tapi lawazimnya. Maka, orang yang tawaqquf dalam mengkafirkan orang-orang musyrik yang ber-intisab kepada Islam tidak dikafirkan hingga ditegakkan hujjah atasnya dan dihilangkannya syubhat serta tidak bisa ditakwilkan lagi. - Maksud dari ashlud din dari dua pendapat ini adalah segala sesuatu yang tauhid ditetapkan dengannya sebelum Hujjah Risaliyyah. Dan setelah mengoreksi masalah yang diperselisihkan, kami katakan seraya memohon pertolongan kepada Allah : 1. Sesungguhnya Pendapat Pertama mengandung makna yang fasid (rusak). Karena Syirik Akbar memiliki hakekat dan shifat jika terealisasikan maka diterapkan nama “musyrik” kepada orang melakukannya. Jika kita samakan antara orang yang tawaqquf dalam mengkafirkan (orang musyrik yang berintisab kepada Islam) dengan orang yang menyembah kepada selain Allah secara muthlaq, maka konsekuensi darinya adalah harus mengkafirkan orang yang tawaqquf dari meng-kafirkannya karena Syirik Akbar tidak ada pengudzuran karena kebodohan. Maka orang yang tawaqquf (menurut pendapat pertama) dari mengkafirkan orang musyrik (ber-intisab kepada Islam), maka dia seperti orang musyrik (yang tidak dikafirkan). Dan konsekuensinya adalah orang yang tawaqquf dalam (mengkafirkan orang tawaqquf dalam mengkafirkan orang musyrik) juga musyrik. Dan begitu seterusnya.



Dan ini adalah lazim haqiqi dan tidak rancu dengan penta’shilan (penerapan kaedah) ini. Dan akan menghantarkan pada takfir bid’ah lagi bathil secara berantai. Dan ini menunjukkan bahwa pendapat ini adalah mengada-ada yang timbul dari pemahaman yang salah terhadap nash-nash dan tidak mungkin dibatasi. Ini pula pendapat yang tertolak karena bathilnya lazimnya. 2. Pendapat Kedua mengandung makna yang fasid (rusak). Ia menjadikan masalah pengkafiran orang-orang musyrik pada posisi Masail Khafiyyah yang tidak mungkin di dalamnya iqamatul hujjah dan mengkafirkan orang tawaqquf selama masih ada syubhat atau ta’wil. Dan ini adalah ta’thil fasid (peniadaan/pengguguran yang fasid/tidak memberlakukan) bagi pembatal yang disepakati termasuk dari pembatal-pembatal keislaman. Karena keberadaan syubhat adalah perkara yang terjadi yang wajib dihilangkan oleh Daulah Islamiyah yang berhukum dengan Syari’at. Adapun menjadikan ini sebagai sesuatu yang terjadi pada dasarnya yang dibangun di atasnya hukum, maka sesungguhnya hal tersebut merupakan ta’thil terhadap hukum-hukum dan bertentangan dengan makna Izharud Din. Hal ini menyelisihi apa yang dinukil dari para Imam, terutama Aimmah Dakwah Najdiyah. 3. Dilarang menyibukkan diri dengan istilah (Ashl dan Lazim) dalam makna Laa ilaha illallah dan Kufur bit Thoghut dengan cara kontroversial seperti ini. Karena itu pendapat yang mengada-ada yang tidak ada hasilnya dan Allah tidak membebankan kita untuk menganutnya. Dan darinya mengharuskan lawazim yang bathil, seperti mengeluarkan apa yang ditetapkan dengan Hujjah Risaliyah, dari perkara Ashlud Din, berdasarkan defenisi ini (seperti beriman kepada kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam). Begitu juga hal ini dapat menyebabkan pertikaian antara mujahidin tentang perkara yang masuk dalam Ashl dan apa yang keluar darinya. Dan ini adalah bentuk yang kami peringatkan darinya dan kami berupaya untuk mencegahnya. Karena perselisihan dalam



masalah ini sangat berbahaya akan menyebabkan takfir (penjatuhan vonis kafir) dan tabdi’ (penjatuhan vonis bid’ah) secara zalim dan melampaui batas terhadap orang yang menyelisihi pendapatnya (keberadaan permasalah yang diperselisihkan adalah kalimat tauhid itu sendiri). Dan ini tidak dapat diterima oleh Daulah Islamiyah, apalagi yang berselisih dalam masalah ini adalah mujahidin fi sabilillah yang mengkufuri thoghut, mengkafirkannya, memusuhinya memeranginya dan menampakkan baro darinya dan pengikutnya. Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ditanya tentang masalah serupa: Masalah Keenam : Tentang Al-Muwalah wal Mu’adah : Apakah dia bagian dari makna Laa ilaaha illallah atau dari lawazimnya? Jawabnya : hendaklah dikatakan wallahu a’lam : tapi sebagai muslim hendaklah ia mengetahui : bahwa Allah memfardhukan atasnya memusuhi orang-orang musyrik, tidak berwala kepada mereka, mewajibkan atasnya mencintai orang beriman dan berwala kepadanya. Dan Allah mengabarkan bahwa itu syarat dari iman, Ia menafikan iman dari orang yang mencintai orang yang menentang Allah dan rosul-Nya meskipun dari ayah, anak, saudara atau kerabatnya. Adapun keberadaannya merupakan bagian dari Laa ilaaha illallah atau lawazimnya, maka Allah tidak membebankan kita untuk membahasnya. Tapi Allah membebankan kita untuk mengetahui bahwa Allah memfardhukan dan mewajibkannya serta wajib mengamalkannya. Ini adalah fardhu yang tidak diragukan. Dan siapa yang mengetahui bahwa ia merupakan ma’nanya atau dari lawazimnya maka itu baik dan kelebihan dalam kebaikan. Dan siapa yang tidak mengetahuinya, maka Allah tidak membebankannya untuk mengetahui, apalagi sampai menimbulkan perdebatan dan perselisihan yang menyebabkan perpecahan di antara kaum mu’minin yang menegakkan kewajiban iman, berjihad di jalan Allah, memusuhi musyrikin dan berwala kepada mu’minin. Maka



diam adalah wajib dalam hal ini. Dan ini yang saya pahami bahwa perbedaan tersebut lebih dekat pada makna (laa ilaaha illallah), wallahu a’lam2. 4. Dilarang menggunakan istilah (Takfirul ‘Adzir/mengkafirkan orang yang mengudzur pelaku syirik akbar dengan kejahilan) untuk menyebut hukum orang yang tawaqquf dalam mengkafirkan orang-orang musyrik yang ber-intisab kepada Islam karena istilah tersebut tidak tepat. Meskipun kami tidak mengudzur jahil dalam masalah syirik akbar, namun tidak lantas pendapat bid'ah ini (udzur jahil) mengharuskan seseorang tawaqquf dalam mengkafirkan pelaku syirik akbar. Karena di antara mereka ada yang mengkafirkan musyrikin yang intisab kepada Islam karena menurutnya hujjah telah tegak kepada mereka, maka dia tidak disebut tawaqquf. Sebagaimana masalah tawaqquf dalam mengkafirkan musyrikin tidak terbatas pada masalah udzur jahil, maka mungkin ia tawaqquf dalam mengkafirkan karena sombong dan mengikuti hawa nafsu atau karena berdalil dengan dalil-dalil mujmal tentang keutamaan laa ilaaha illallah. 5. Sesungguhnya orang yang tawaqquf dalam mengkafirkan orang-orang musyrik yang ber-intisab kepada Islam, telah melakukan salah satu pembatal keislaman yang disepakati. Dan kekafirannya dibangun di atas qiyamul hujjah dalam masalah ini berbeda dengan orang yang beribadah kepada selain Allah. Dan pengkafiran terhadap musyrikin adalah masalah yang ditetapkan dengan nash-nash yang zhahir mutawatir yang manusia sama dalam memahaminya. Dan qiyamul hujjah dalam masalah ini adalah sampainya Al-Qur’an, hakekat dan hukumnya. Allah Ta’ala berfirman : {Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)} (Q.S Al-An’am : 19) 2



. Ad-Duror As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah 8/166.



Asy-Syaikh Al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata : (Ketahuilah bahwa dalil-dalil atas pengkafiran seorang muslim yang sholeh jika menyekutukan Allah, atau bersama orang musyrikin memerangi muwahhidin meskipun dia tidak berbuat syirik adalah banyak dari kalamullah, kalamur rosul dan perkataan semua ahlul ilmi)3. Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan rahimahumullah berkata : (Dan dikatakan : Kitabullah, sunnah rosul-Nya dan perkataan-perkataan ahlul ‘ilmi jelas nyata dalam mengkafirkan orang yang berdoa kepada selain Allah dan memanggilnya untuk menunaikan hajat yang tidak ia sanggupi kecuali Allah. Dan Al-Qur’an seluruhnya menunjukkan makna ini dan menetapkannya. Meskipun cara-cara berbeda dalam menjelaskan dan memperingatkannya)4. Berkata sebagian ulama Dakwah Najdiyah : (Sesungguhnya orang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik adalah orang yang tidak membenarkan AlQur’an. Karena Al-Qur’an mengkafirkan orang-orang musyrik dan memerintahkan untuk mengkafirkannya, memusuhinya dan memeranginya)5. - Kecuali masalah ini terkadang samar pada sebagian musyrikin yang berintisab kepada Islam karena merebaknya kejahilan, lemahnya dakwah dan tersebarnya syubhat. Dan di sini hujjah tegak dengan menjelaskan nashnash shorih yang menunjukkan kekafiran orang-orang musyrik itu. Jika ia tawaqquf setelah dijelaskan, maka dia kafir. Syaikh Sulaiman bin Abdullah taqabbalahullah berkata : (Jika ia ragu tentang kekafiran mereka atau tidak tahu kekafiran mereka, maka dijelaskan kepadanya dalil-dalil dari Kitabullah dan sunnah rosul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kekafiran mereka. Jika ia ragu setelah itu, maka ia kafir secara ijma’



3



. Ad-Duror As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah 10/8. . Ad-Duror As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah 12/19). 5 . Ad-Duror As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah 9/291. 4



ulama: bahwa orang yang ragu terhadap kekafiran orang kafir maka dia kafir6. - Jika masalah ini telah nampak dengan nampaknya Din dan tingginya suara Din serta sampainya dakwah (seperti yang terjadi di Daulah Islamiyah -semoga Allah memuliakannya-). Maka tidak dipakai syubhat dalam menjalankan hukum syar’i (tidak mengkafirkan orang-orang musyrik yang ber-intisab kepada Islam). Dan ini yang dikenal dari imamimam Dakwah Najdiyah dari mereka yang menyuarakan masalah ini dan mati di atas kebaikan. Sebagian imam Dakwah Najdiyah rahimahullah : (Siapa tidak mengkafirkan orang-orang musyrik dari Daulah Turki dan penyembah kubur seperti penduduk Mekkah dan lainnya yang menyembah orang-orang shalih, berpaling dari mentauhidkan Allah kepada kesyirikan dan mengganti sunnah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan bid’ah, maka ia kafir seperti mereka meskipun membenci din mereka, membenci mereka, mencintai Islam dan muslimin. Karena orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrikin, dia tidak membenarkan Al-Qur’an. Karena Allah telah mengkafirkan orang-orang musyrik dan memerintahkan mengkafirkan mereka, memusuhi dan memerangi mereka)7. Dan wajib bagi para da’i dan thalabatul ‘ilmi di Daulah Islamiyah memperingatkan manusia dari syirik dan agar tidak terjatuh di dalamnya atau tawaqquf dalam mengkafirkan orang-orang musyrik, menyingkap syubhatsyubhat orang yang membela mereka karena menjalankan kewajiban dakwah. Dan ini adalah Dinul Anbiya ‘alaihimussalaam. Maka dengan hal tersebut nampaklah Din. Syaikh Abdul Lathif Alu Syaikh rahimahullah berkata : (Ahlul ‘Ilmi memberitahukan kepada orang-orang jahil tentang rukun Islam, ashlul Iman, nash-nash qath’i dan masalah-masalah ijma’ adalah hujjah bagi Ahlul ‘Ilmi, yang 6 7



. Ad-Duror As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah 8/160. . Ad-Duror As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah 9/291.



dengannya tegak hujjah dan diterapkan di atasnya hukum-hukum, hukum-hukum riddah dan lainnya. Dan rosul shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk menyampaikannya. Allah Ta’ala berfirman tentang berhujjah dan memberi peringatan di dalam kitab-Nya : {supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)} (Q.S Al-An’am : 19). Sampai perkataan beliau rahimahullah : (Dan secara umum : maka hujjah di setiap zaman adalah dengan adanya ahlul ‘ilmi yang menjadi pewaris para nabi)8. Maka kejelasan masalah pengkafiran terhadap musyrikin adalah ashal (pokok). Dan kami berada di Negara yang berhukum dengan Syari’at Allah, wajib atas para da’i di dalamnya memberi peringatan, menyampaikan dan mengajarkan hukum-hukum syar’i, menghilangkan segala syubhat, di antaranya pengkafiran terhadap orang yang tawaqquf dalam mengkafirkan orang musyrik yang berintisab kepada Islam, tidak membangunnya di atas syubhat-syubhat orangorang bathil dan menjadikannya kaedah yang menggugurkan hukum syar’i yang telah disepakati. Wal ‘iyadzu billah Dan kami peringatkan kepada putera-putera kami, junud Daulah Islamiyah, akan perintah Allah dan rosul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam tentang wajibnya mendengar dan taat kepada waliyyul amr, wajibnya bersatu dan menjauhi perselisihan dan perpecahan.. Allah Ta’ala berfirman : {Dan taatlah kepada Allah dan rosul-Nya dan janganlah berselisih maka kalian akan kalah dan hilanglah kekuatan kalian, dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar} (Q.S Al-Anfal : 46). Allah Ta’ala berfirman {Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikitpun bukan tanggungjawabmu (Muhammad) atas mereka, sesungguhnya 8



. Mishbahuz Zhulam fir Raddi ‘ala man Kadzdzabasy Syaikh Al-Imam wa Nasbihi ila Takfiri Ahlil Iman wal Islam 1/207.



urusan mereka dikembalikan kepada Allah lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka lakukan} (Q.S Al-An'am : 159). Dan rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : (Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang utama daripada derajat puasa, shalat dan shadaqah) para sahabat berkata : iya, Beliau bersabda (Baiknya hubungan sesama, karena rusaknya hubungan antara sesama adalah Al-Haliqah (mengikis habis) dalam riwayat lain (Aku tidak katakan mengikis habis rambut, tapi ia mencukur agama)9 semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya.



Selesai diterjemahkan oleh : Abu Bakr Al-Qahthany 16 Dzulhijjah 1437 Hijriyah



9.



Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan beliau berkata : Hadits Hasan Shahih.