Beda Fraud Examination, Forensic Acc, Audit Investigasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NAMA NIM



: ELIS NUR ROHMA : 115020300111051



Perbedaan Fraud Examination, Forensic Accounting, dan Audit Investigasi Fraud Examination atau Pemeriksaan Keuangan merupakan kegiatan meliputi pengumpulan dokumen dan barang bukti dari tindak pidana Fraud, interview para saksi dan orang-orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana Fraud, investigasi dan penulisan laporan hasil investigasi, konfirmasi dan menjadi saksi kebenaran dan keabsahan dari penemuan barang bukti, dan membantu setiap upaya pendeteksian dan pencegahan tindak pidana Fraud yang dilakukan oleh aparat kepolisian atau oleh petugas yang berwenang lainnya (http://wikifraud.wordpress.com, 2014). Fraud Examination sering disama-artikan dengan Forensic Accounting, padahal sebenarnya keduanya memiliki cakupan kerja yang sedikit berbeda. Forensic Accounting memiliki cakupan yang lebih luas dibanding Fraud examination, karena Forensic Accounting juga menangani masalah likuiditas dan bankruptcy dari sebuah perusahaan atau entiti, perceraian dan sengketa harta, dan hal-hal litigasi atau peradilan lainnya. Fraud Examination pada umumnya dilakukan oleh para akuntan atau orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu akuntansi, namun Fraud examination juga bisa dilakukan oleh para aparat penegak hukum (termasuk kepolisian) dan privat investigator (http://wikifraud.wordpress.com, 2014).. Forensic Accounting terdiri dari dua kata yakni forensic dan akuntansi. Forensik adalah pemaparan fakta sebagai bahan bukti sengketa di pengadilan. Definisi forensik sebagai penerapan akuntansi pada masalah hukum, merupakan akibat dari perkembangan pesat dalam dunia ekonomi dan bisnis. Ruang lingkup perusahaan semakin tidak terbatas dan tidak terkendali yang diikuti oleh tindakan-tindakan yang merugikan perusahaan hingga kasusnya dibawa dalam ranah hukum. Sehubungan dengan masalah tersebut, karna bukti yang dibawa ke pengadilan juga bersifat keuangan yang merupakan produk dari akuntan maka munculah istilah akuntansi forensik sebagai kesaksian ahli dibidang akuntansi. Menurut Hopwood (2008”3) akuntansi forensik adalah aplikasi keterampilan investigasi dan analitik yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah keuangan melalui cara-cara yang sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pengadilan dan hukum. Menurut Tuanakotta (2010) akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan. Definisi akuntansi forensik menurut D. Larry Crumbey dalam Tuanakotta (2010) adalah akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum, atau akuntansi yang tahan uji dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan yudisial, atau tinjauan administratif. Definisi dari Crumbey menekankan bahwa pijakan dari akuntansi forensik adalah ketentuan hukum dan perundang-undangan, tidak seperti akuntansi keuangan yang berpedoman pada GAAP (Generally Accepted Accounting Principles). Jelasnya, akuntansi forensik merupakan analisis akuntansi yang dapat mengungkap penipuan, yang sangat cocok untuk presentasi di pengadilan. Analisis akuntansi forensic digunakan untik untuk resolusi diskusi, perdebatan, dan perselisihan. Seorang akuntan forensik menggunakan pengetahuannya tentang akuntansi, studi hukum, investigasi dan



kriminologi untuk mengungkap fraud, menemukan bukti dan selanjutnya bukti tersebut akan dibawa ke pengadilan jika dibutuhkan. The American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) dalam Hopwood (2008 : 5) mengklasifikasikan akuntansi forensik dalam dua kategori : “jasa penyelidikan (investigative services) dan jasa litigasi (litigation services)”. Dalam jasa layanan yang pertama meliputi pemeriksa penipuan atau auditor penipuan dimana mereka mengetahui tentang akuntansi mendeteksi, mencegah, dan mengendalikan penipuan, penyalahgunaan dan misinterpretasi. Jenis layanan yang kedua merepresentasikan kesaksian dari seorang pemeriksa penipuan dan jasa-jasa akuntansi forensik yang ditawarkan untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus perceraian. Pada mulanya, di Amerika Serikat, akuntansi forensik digunakan untuk menentukan pembagian warisan atau mengungkapkan motif pembunuhan. Bermula dari penerapan akuntansi untuk memecahkan hukum, maka istilah yang digunakan akuntansi (bukan audit) forensik. Praktik akuntansi forensik tumbuh tidak lama setelah krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997 (http://repository.usu.ac.id/). Seiring berjalannya waktu, perkembangan akuntansi forensik menjadi lebih kompleks sehingga melibatkan satu bidang lagi yaitu audit. Berkembangnya kompleksitas bisnis dan semakin terbukanya peluang usaha dan investasi menyebabkan risiko terjadinya fraud semakin tinggi. Pelaksanaan audit investigasi lebih mendasarkan kepada pola pikir bahwa untuk mengungkapkan suatu kecurangan auditor harus berpikir seperti pelaku fraud itu sendiri, dengan mendasarkan pelaksanaan prosedur yang ditetapkan baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pelaporan hingga tindak lanjut pemeriksaan. Menurut Tuanakotta (2007 : 49) auditor investigasi adalah “gabungan antara pengacara, akuntan, kriminolog, dan detektif (atau investigator)”. Menurut Herlambang (2011) audit investigasi yaitu suatu bentuk audit atau pemeriksaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengungkap kecurangan atau kejahatan dengan menggunakan pendekatan, prosedur atau teknik-teknik yang umumnya digunakan dalam suatu penyelidikan atau penyidikan terhadap suatu kejahatan. Menurut Herlambang (2011) audit investigasi yaitu suatu bentuk audit atau pemeriksaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengungkap kecurangan atau kejahatan dengan menggunakan pendekatan, prosedur atau teknik-teknik yang umumnya digunakan dalam suatu penyelidikan atau penyidikan terhadap suatu kejahatan. Tanggung jawab pelaksanaan audit investigasi adalah pada lembaga audit atau satuan pengawas. Prosedur dan teknik audit investigasi mengacu pada standar auditing serta disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi. Dalam merencanakan dan melaksanakan audit investigasi, auditor mengunakan skeptic profesionalisme serta menerapkan azas praduga tidak bersalah. Tim yang melaksanakan audit investigasi sebaiknya oleh tim atau minimal salah satu auditor yang telah mengembangkan temuan audit sebelumnya. Tim audit baru dapat dibentuk apabila sumber informasi berasal dari informasi dan pengaduan masyarakat. Laporan hasil audit investigasi menetapkan siapa yang terlibat atau bertanggungjawab, dan ditandatangani oleh kepala lembaga satuan audit (http://keuanganlsm.com/).



NAMA NIM



: ELIS NUR ROHMA : 115020300111051



LPS, Lembaga Penjaga Stabilitas Keuangan atau Justru Lembaga “Pengacau” Stabilitas Keuangan ? Sejak berdirinya pada tahun 2006, LPS telah melikuidasi 57 bank yang mayoritas merupakan Bank Perkreditan Rakyat (http://lps.go.id/, 2014). "Sebagian besar Bank yang dilikuidasi LPS disebabkan bukan karena kesulitan ekonomi, tapi karena adanya fraud atau kecurangan oleh pengurus, pegawai, maupun pemegang saham," ungkap Direktur Grup Litigasi LPS, Arie Budiman (http://www.gatra.com/, 2013). Fraud yang menyebabkan tidak sehatnya Bank berupa kredit fiktif atau “topengan”. Sering kali untuk mencairkan atau mendapat kredit, seseorang hanya meminjam nama atau KTP orang lain dan kreditnya dinikmati oleh pemegang saham atau pengurus. Kasus seperti ini mayoritas terjadi di Bank Perkreditan Rakyat. Selain itu, kasus pidana yang menyebabkan bank gagal, di antaranya pencairan dana nasabah tanpa sepengetahuan pemilik. Deposito nasabah dicairkan oleh petugas, sehingga nasabah tidak bisa lagi mencairkan depositonya karena saldonya sudah kosong. Ada pula deposito fiktif. Ini terjadi karena pengurus bank menerima simpanan, tapi simpanan itu tidak dicatat dalam pembukuan bank, dibuatkan bilyetnya, tapi tidak dicatat di pembukaan bank (http://www.gatra.com/, 2013) Keberadaan LPS sebagai lembaga penjamin simpanan dana masyarakat seperti dua mata pisau yang berimplikasi ganda. Di satu sisi, jaminan dari LPS dapat membuat masyarakat yang menyimpan dananya di Bank merasa aman dan tidak resah karena uang yang disimpannya pasti akan kembali, di sisi lain Bank yang telah membayar premi pada LPS dan telah menjadi anggotanya merasa berada di atas angin sehingga merasa tidak perlu “menjaga” uang nasabah karena telah dijamin oleh LPS. Keadaan ini memberikan celah maraknya fraud yang terjadi di BPR sehingga menyebabkan bank tidak sehat dan harus dilikuidasi oleh LPS. Dalam proses likuidasi Bank yang gagal pun masih terdapat risiko fraud karena aliran dana LPS bisa saja tidak hanya digunakan untuk menyelamatkan bank semata namun juga masuk ke dalam kantong pihak-pihak yang berkaitan dengan proses penyelamatan tersebut. Sebut saja bail out Bank Century oleh LPS. Penyelamatan bank swasta “kecil” itu membutuhkan dana hingga 6,7 trilyun rupiah (ICW, 2009). Alasan dari penyelamatan bank tersebut hingga memakan dana sedemikian besar adalah karena dikhawatirkan menimbulkan dampak sistemik bagi dunia perbankan dan lembaga keuangan. Padahal membengkaknya penyelamatan century itu karena skandal korupsi oleh pihak-pihak yang dilalui oleh upaya proses penyelamatan bank tersebut. Keberadaan LPS sebagai penjamin simpanan dan penjaga stabilitas keuangan Indonesia justru akan berbalik menjadi “pengacau” stabilitas keuangan tanpa peraturan-peraturan yang jelas terkait penyelamatan atau likuidasi Bank. Hal ini dikarenakan, dana yang mengalir dari LPS untuk menyelamatkan atau melikuidasi bank justru akan jatuh pada tangan-tangan “serakah” yang dilewati. Dalam konteks ini, perlu dicarikan dasar pengucuran dana dan besarnya plafon setiap kali pengucuran, apakah sudah melalui perhitungan dan audit yang matang atau



belum. Plafon kucuran dana tersebut penting untuk mengetatkan “kran” uang LPS dan menjadi pintu masuk temuan-temuan berikutnya. Maklum, setiap pengucuran dana melibatkan uang yang tidak kecil, mencapai triliunan rupiah. Jika pengucuran tersebut, ternyata, hanya untuk menalangi/menomboki para deposan kakap yang melakukan rush (pengambilan dana besar-besaran) depositonya, itu jelas melanggar prinsip penjaminan LPS. Bukankah dana-dana yang dijamin oleh LPS maksimal adalah Rp 2 miliar? Semestinya dana-dana yang lebih besar dari nominal Rp 2 miliar seyogianya tetap bercokol di Bank Century karena bank tersebut tidak dilikuidasi (hanya diselamatkan). Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Dana-dana kakap tersebut telanjur keluar dari brankas Bank Century dan terbang ke brankas bank lain. Masalah itulah yang perlu mendapatkan prioritas audit investigasi sehingga permasalahannya menjadi semakin jelas. Selain masalah tersebut, perlu diselidiki lebih lanjut tentang aset-aset “bodong” milik Bank Century baik dalam bentuk surat berharga, kredit fiktif (L/C fiktif), maupun jaminan kredit (collateral) yang nilainya di-mark up (ICW, 2009) Seperti pepatah “menjadi tukang aspal jalan maka bau aspal akan menempel, sebaliknya menjadi penjual minyak wangi maka bau wangilah yang menempel” pun menjadi orang yang bekerja di sektor keuangan maka “uang” yang menempel. Biasanya, orang yang bekerja di sektor keuangan sudah memiliki gaji yang tinggi supaya tidak tergiur untuk “masih” mengambil uang yang bukan haknya, namun sifat serakah yang terlalu besar yang menyebabkan banyaknya kasus fraud. Menurut saya, setiap pekerja di sektor keuangan harus diseleksi secara ketat untuk merekrut orang-orang berakhlak dan berintegritas. Selain itu, perlu siraman rohani yang rutin untuk menjaga iman para pekerja di sektor keuangan sehingga mereka diperbudak oleh uang. Ketika melakukan fraud, bukan kebutuhan jasmani mereka yang tidak terpenuhi melainkan kebutuhan rohani yang tidak pernah dicukupi sehingga mereka cenderung melupakan Tuhan yang yang Maha Melihat segala aktivitas manusia serta Tuhan yang Meminta Pertanggung Jawaban setiap perbuatan manusia kelak.