Bioteknologi Di Indonesia - Peluang & Tantangan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Vol. 19/XXIII/Juli 2011



Majalah Ilmiah Persatuan Pelajar Indonesia Jepang



io.ppijepang.org



PPI JEPANG



KECERDASAN SOLUSI HIDUP



ISSN 2085-871X



Bioteknologi di Indonesia Peluang dan Tantangan



Rekayasa Protein



Desain Obat



Catatan Teknis



Pengembangan mikroba penghasil protein di Indonesia masih mengalami hambatan. Mengapa? 6



Indonesia berpotensi mendesain obat berbasis struktur. Bagaimana caranya? 30



Catatan tim ahli nuklir KBRI Jepang tentang gempa, tsunami dan radiasi nuklir 44



DEWAN REDAKSI Vol. 19/XXIII/Juli 2011 Penanggung Jawab Fithra Faisal Hastiadi Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Jepang Waseda University Editor Utama Arief Yudhanto Tokyo Metropolitan University



Editori@l Menyelaraskan Gelombang Bioteknologi Indonesia 1 Cahyo Budiman (Editor)



Editor Udin Bahrudin Universitas Diponegoro



Teguh Dartanto Nagoya University Universitas Indonesia



Catatan Teknis: Gempa, Tsunami & Radiasi Nuklir



Nirmala Hailinawati Tokyo Institute of Technology



Krisis Nuklir Fukushima Dai-ichi 44 Sidik Permana



Maharani Hapsari Nagoya University Universitas Gadjah Mada



Joni Jupesta United Nations University, Tokyo Oce Madril Nagoya University Universitas Gadjah Mada Retno Ninggalih Sendai, Tohoku Vita Paramita Tottori University Universitas Sebelas Maret Pandji Prawisudha Tokyo Institute of Technology



Kesehatan Desain Obat Berbasis Struktur: Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia? 30 Bimo A. Tejo



Catatan Riset Simulasi Kesetimbangan Kimia untuk Menghasilkan Bahan Bakar Gas (H2+CO) dari Proses Gasifikasi UapTandan Kosong Kelapa Sawit 37 Adjar Pratoto, Slamet Raharjo



Cahyo Budiman Osaka University Institut Pertanian Bogor



Haryanto Kanazawa University STIK Muhammadiyah Pontianak



ISSN 2085-871X



Topik Utama Rekayasa Protein: Perkembangan dan Tantangan 6 Khomaini Hasan



The Role of Protein Biochemistry in Biotechnology 11 Wangsa T. Ismaya



Potensi Penelitian Macrostomum Lignano untuk Memahami Regenerasi Hewan 19 Wibowo Arindarto



Editor Bahasa Indonesia Dina Faoziah Tokyo University of Agriculture and Technology



Teknologi Video di Internet untuk Pemantauan Tingkat Radiasi 51 Kunta Biddinika Model Deformasi Permukaan Bumi terkait Gempa Tohoku 54 Agustan



Layout and Cover Arief Yudhanto Udin Bahrudin (Foto) Produksi Bayu Indrawan Tokyo Institute of Technology Retno Ninggalih Kontak: [email protected]



UCAPAN TERIMA KASIH Reviewer Tamu Prof. Harijono Djojodihardjo, Sc.D. Profesor Emeritus, Inst. Teknologi Bandung Universitas Al-Azhar, Indonesia Universiti Putra, Malaysia



Iptek dan Inovasi Design and Control of a Cascade Multilevel STATCOM for Reactive Power Control and Fault-RideThrough Capability 24 Akhmad S. Hidayat Panduan Penulisan Naskah untuk Majalah Inovasi Online 57



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



INOVASI online



EDITORIAL ISSN 2085-871X



Menyeleraskan Gelombang Bioteknologi Indonesia Cahyo Budiman Editor Inovasi Online Tahun ini menjadi penanda satu dekade purnanya human genome project (HGP) pasca diumumkannya hasil HGP pada 2001 silam. Inilah dekade post-genome: sebuah era ketika informasi urutan (sequence) gen dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia, mulai dari kesehatan, pangan hingga energi. Dan, pada era ini pula, gelombang bioteknologi berkembang jauh lebih maju daripada sekedar memanfaatkan, misalnya, mikroorganisme untuk proses fermentasi (sebagaimana pemahaman bioteknologi secara populer selama ini, yaitu penerapan teknik-teknik yang sesuai untuk mendayagunakan organisme dalam rangka memperoleh hasil yang diinginkan). Mari kita catat bagaimana bioteknologi merangkak dari awal hingga saat ini. Gelombang bioteknologi Pra-Pasteur. Gelombang pertama bioteknologi ditandai dengan praktik bioteknologi yang paling sederhana, yaitu pemanfaatan berbagai jenis mikroorganisme (bakteri, kapang, khamir) untuk pengawetan dan/atau pembuatan makanan atau minuman lewat proses fermentasi. Gelombang ini dikenal dengan nama pra-Pasteur. Produk-produk dari era ini sudah sangat populer di masyarakat, mulai dari sake (arak Jepang), bir, anggur, keju, yoghurt, atau berbagai jenis makanan tradisional di Indonesia (tempe, oncom kecap). Dalam gelombang ini pula, mikroorganisme dimanfaatkan untuk menghasilkan produk-produk metabolit sekunder (aseton, butanol, asam sitrat) termasuk juga biomassa. Era Antibiotika. Tahun 1929, Sir Alexander Fleming (1881 – 1955), ahli biologi dan farmakologi Skotlandia, berhasil memanfaatkan mikroorganisme untuk membuat antibiotika, yaitu penisilin. Ini merupakan dorongan bagi bioteknologi untuk melompat ke titik yang baru. Antibiotika ini memasuki dunia industri pada 1944. Gelombang ini dikenal dengan nama era antibiotika. Sampai sekarang, bioteknologi dijadikan ‘alat’ untuk mengeksplorasi dan memproduksi berbagai jenis antibiotika dari banyak organisme, selain juga komponen lainnya seperti vitamin dan asam-asam organik. Era Rekayasa Genetika. Pada 1970-an, perkembangan bioteknologi semakin pesat dengan adanya pengembangan teknik manipulasi urutan gen untuk memperbaiki sifat organisme. Inilah era rekayasa genetika. Sejatinya, manipulasi yang dilakukan masih sebatas teknik DNA (deoxyribo nucleic acid) rekombinan, dimana gen asing dimasukkan ke dalam suatu organisme sehingga ia mampu mengekspresikan gen tersebut. Teknik ini menghasilkan produk yang terkenal, yaitu insulin yang diproduksi lewat bakteri pada 1984. Pada era ini pula, organisme transgenik (genetically modified organism) mulai dimanfaatkan, baik untuk keperluan farmasi maupun keperluan pemuliaan (breeding) tanaman atau hewan. Selain itu, teknik ini juga menghasilkan produk-produk farmasi kedokteran, misalnya interferon, hormon, dan vaksin. Era Rekayasa Protein. Gelombang bioteknologi yang ke-4 ditandai dengan perekayasaan struktur enzim atau protein lewat teknik rekayasa protein (protein engineering). Teknik rekayasa ini tidak lepas dari peranan enzim sebagai biokatalis yang banyak dimanfaatkan di industriindustri bioteknologi. Di dunia farmasi, teknik ini dimanfaatkan untuk memecahkan mekanisme katalisis yang berkaitan dengan penyakit pada manusia. Hasilnya kemudian dimanfaatkan untuk merancang obat-obatan yang penting bagi manusia. Pada era ini pula, bioteknologi dikawinkan dengan teknik analisis lain, misalnya X-ray crystallography (fisika), Nuclear Magnetic Resonance / NMR (kimia), dan informatika dan komputasi (bioinformatika).



Budiman - Menyelaraskan Gelombang Bioteknologi Indonesia



1



INOVASI online



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



EDITORIAL



Era post-genome. HGP mengantarkan kita pada era post-genomic dengan ‘membekali’ berbagai inovasi teknologi yang berkembang selama perjalanannya. Beberapa inovasi tersebut diantaranya adalah DNA chips, DNA microarray dan protein microarray yang sangat penting 1 dalam riset bioteknologi saat ini. Dalam otobiografinya, Dr. Craig J Venter memaparkan perkembangan DNA sequencer sebagai salah satu inovasi teknologi yang berkembang pesat 2 selama HGP berjalan. Saat ini para peneliti bioteknologi sangat tertolong dengan perkembangan DNA sequencer yang kemampuannya berlipat lebih maju daripada satu dekade lalu. Di sisi lain, HGP juga mendorong program sekuens genom untuk keperluan lain (non human genome sequencing project), misalnya energi, lingkungan dan farmasi. Departemen Energi Amerika Serikat (DOE) adalah salah satu lembaga yang mendorong aktivitas ini melalui The DOE Joint Genome Institute (JGI) yang memfokuskan diri pada pengurutan gen mikroba. Secara keseluruhan, catatan Genome News Network (GNN) menunjukkan bahwa sudah lebih dari 180 organisme yang berhasil diurutkan secara lengkap sejak 1995. Jumlah ini diramalkan akan terus bertambah karena usaha proses pengurutan masih berjalan hingga kini. Tidak berhenti di tahap pengurutan saja, beberapa grup riset bahkan mengembangkan HGP ke tahap hilir untuk melihat fungsi masing-masing gen melalui ekspresi protein dan karakterisasi strukturnya lewat teknologi NMR ataupun X-ray crystallography. Hal ini dicontohkan oleh grup di Join Center for Structural Genomic (JCSG), sebuah konsorsium yang melibatkan The Scripps Research Institute (TSRI); the Genomics Institute of the Novartis Research Foundation (GNF); the University of California, San Diego (UCSD); the Sanford-Burnham Medical Research Institute (Sanford-Burnham); dan the Stanford Synchrotron Radiation Lightsource (SSRL), SLAC National Accelerator Laboratory di Stanford University. Konsorsium ini mengembangkan strategi terpadu untuk mengidentifikasi seluruh protein dari genom bakteri hipertermofilik, Thermotoga maritima. Tujuannya, selain mengindentifikasi seluruh motif folding (pelipatan) protein, diarahkan untuk anotasi genome secara umum baik dari sisi struktur (structural annotation) maupun fungsinya (functional annotation). Di sisi lain, Industrialisasi bioteknologi menyebabkan HGP dianggap sebagai gelombang baru 3 dunia ekonomi. Industri-industri berbasis bioteknologi membangun sebuah organisasi bernama Biotechnology Industry Organization (BIO). Organisasi ini beranggotakan lebih dari 1,100 perusahan penghasil produk-produk bioteknologi dalam bidang kesehatan, pertanian, energi, dan lingkungan dengan penjualan total mencapai US$ 13 milyar. Uraian di atas merupakan gambaran era post-genome berdasarkan fakta-fakta yang bisa kita temukan di negara-negara maju, Dengan kata lain, negara-negara maju sudah berada dalam gelombang terdepan dalam perkembangan bioteknologi. Bioteknologi dengan ‘kokoh’ masuk ke dalam industri, dan terus dibarengi dengan riset unggulan (frontier/cutting-edge).



Budiman - Menyelaraskan Gelombang Bioteknologi Indonesia



2



INOVASI online



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



EDITORIAL



Pertanyaannya saat ini adalah bagaimana perkembangan bioteknologi di Indonesia? Bagaimana dekade post genome pasca-HGP berjalan di Indonesia? Tertinggal tetapi potensial Indonesia tertinggal! Dengan jujur harus kita akui bahwa bioteknologi di negara kita masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara (maju) lainnya. Meski agak sulit menentukan fase perkembangan bioteknologi di Indonesia, hampir dipastikan bahwa kita belum ‘menjejak’ fase terakhir, dimana teknik rekayasa mulai dikembangkan, bahkan hingga penentuan struktur protein atau enzim sebagai produk gen. Meski demikian, potensi bioteknologi di Indonesia sangat besar untuk bisa bersaing dan sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Misalnya di bidang kesehatan, pembuatan vaksin hepatitis B di Biofarma sudah berjalan. BPPT Serpong juga dikabarkan telah memiliki reaktor berkapasitas ribuan liter untuk membuat eritromisin, sefalosporin, dan vitamin B12. Meski masih 4 skala laboratorium, ini sangat potensial untuk didorong ke level industri. Di bidang bioteknologi pangan, industri bioteknologi pangan di Indonesia tergolong berkembang paling pesat dibandingkan bidang lainnya. Bahkan Indonesia ditengarai sebagai produsen 4 asam sitrat dan monosodium glutamate (MSG) terbesar di dunia. Di bidang pertanian, teknologi fusi sel dan rekayasa genetik telah dimanfaatkan untuk menghasilkan tanaman dengan sifatsifat yang diinginkan. Teknik kultur jaringan juga sudah lama digunakan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan memperbanyak tanaman unggul secara masal, misalnya pisang, nanas, kentang, kelapa sawit, kelapa hibrida, dan lainnya. Meski demikian, perkembangan yang ‘lambat’ masih terlihat di bidang lingkungan. Bioteknologi masih bergerak di level laboratorium; belum banyak dimanfaatkan di industri. Catatan tentang pengembangan bioteknologi dalam bidang lingkungan tidak banyak di Indonesia. Ada catatan yang menunjukkan bahwa PAU Bioteknologi di Institut Teknologi Bandung (ITB) telah mampu mengembangkan sistem pengolahan limbah berbasis bioteknologi yang kini sudah dipakai 4 industri. 3



Secara umum, besarnya potensi bioteknologi Indonesia juga dipaparkan oleh Witarto (2005). Kekayaan sumber daya alam Indonesia merupakan modal dalam mendorong ekonomi Indonesia lewat industrialisasi bioteknologi. Dalam kerangka itu, maka penyelerasan ‘gelombang’ bioteknologi Indonesia merupakan keniscayaan. Penyelarasan ‘gelombang’ ini bukan sekedar tuntutan supaya bioteknologi di Indonesia ‘naik kelas’ sehingga bisa menyelaraskan diri dengan gelombang perkembangan bioteknologi di dunia dan bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Lebih dari itu, penyelerasan juga diperlukan dalam aspek ‘gelombang pemahaman’ antara seluruh stakeholder bioteknologi di Indonesia, meliputi peneliti, pemerintah, dunia industri, dan masyarakat. Di sinilah Inovasi Online edisi bulan ini secara khusus menyoroti perkembangan bioteknologi Indonesia pada era post genome. Naik kelas Jika dicermati, riset-riset yang memanfaatkan, mengeksploitasi, dan merekayasa protein sangat mewarnai era post-genome. Sehingga tidak salah jika era ini disebut sebagai era protein. Gelombang perkembangan bioteknologi pada era ini juga tidak terlepas dari eksploitasi fungsi 5 protein sebagai produk gen tersebut. Dalam konteks ini, pengembangan riset-riset di bidang protein bisa mendorong perkembangan bioteknologi di Indonesia agar ‘naik kelas’ – sehingga tidak makin tertinggal pada era post genome ini. Beberapa artikel dalam edisi kali ini secara jelas menunjukkan potensi ‘naik kelas’ tersebut lewat riset-riset dalam bidang protein ini.



Budiman - Menyelaraskan Gelombang Bioteknologi Indonesia



3



INOVASI online



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



EDITORIAL



6



Artikel Khomaini Hasan menyajikan tentang teknik rekayasa protein sebagai bagian dari gelombang bioteknologi ke-4 pada era post genome saat ini. Sayangnya, perkembangan riset di bidang rekayasa protein masih dirasakan kurang berkembang mengingat begitu banyak keterbatasan dan tantangan yang masih dihadapi para peneliti di bidang ini. Keterbatasan fasilitas yang dimiliki, serta kurang optimalnya pemanfaatan bidang-bidang penunjang rekayasa protein, seperti bioinformatika dan komputasi, menjadi rintangan pengembangan bidang ini di Indonesia. Akan tetapi, rekayasa protein memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia karena sumber daya alam hayati yang melimpah dan tingginya tingkat biodiversitas yang dimiliki. Potensi sumber mikroba penghasil protein yang berasal dari Indonesia menjadi salah satu potensi utama yang saat ini masih kurang dioptimalkan, termasuk kemungkinan dihasilkannya protein-protein baru dengan mekanisme reaksi baru. Potensi “naik kelas”-nya gelombang bioteknologi di Indonesia pun disinggung dalam artikel Bimo Ario Tejo yang secara lugas membahas data-data struktur protein hasil ekspresi gen yang 7 tersedia di bank data bisa dimanfaatkan dalam desain obat-obatan. Desain obat-obatan berbasis struktur merupakan salah satu bidang riset terkini yang berkembang pesat di era post genome ini karena sangat bermanfaat bagi industri farmasi dan dunia kesehatan secara umum. Bisakah Indonesia? Bisa! Apalagi hampir semua basis data molekul, terutama basis data Protein Data Bank dan senyawa ligand, bisa digunakan secara gratis. Malaysia yang juga negara berkembang sudah membuktikan bisa ‘bermain’ dalam bidang ini dan mulai memanfaatkan hasilnya. Indonesia punya potensi untuk berkembang lebih maju mengacu pada kelebihan yang dimilikinya. Kelebihan yang dimiliki Indonesia adalah keragaman sumber daya alam yang tersebar di darat dan di laut. Sumber daya alam yang amat beragam ini mengandung berbagai jenis senyawa kimia eksotik yang mungkin tidak pernah ada dalam basis data apapun. Senyawa-senyawa kimia ini kemungkinan besar unik dan tidak dikandung oleh 7 bahan alam dari negara-negara maju yang memiliki empat musim. Penyelarasan Gelombang Tentu saja mendorong perkembangan bioteknologi di Indonesia bukanlah tanpa kendala. Kebutuhan perangkat keras dan lunak dalam membangun bioteknologi di Indonesia perlu menjadi perhatian secara serius seluruh stakeholder bioteknologi Indonesia. Catat, misalnya, permasalahan bidang rekayasa protein. Fasilitas yang masih terbatas menjadi satu rintangan yang secara serius menghambat pengembangan di bidang ini. Meski kendala tersebut bisa diatasi dengan membangun kolaborasi internasional dengan lembaga/institut/grup penelitian lainnya, tapi perlu ada upaya jangka panjang dalam menghilangkan hambatan 6 tersebut.



Dalam pengembangan desain obat-obat berbasis struktur, ketiadaan basis data merupakan masalah yang secara serius perlu ditangani. Ketiadaan basis data ini bukan hanya menghambat pemanfaatan sumber daya alam kita, tapi juga membuka peluang terjadinya biopirasi, pembajakan sumber daya hayati, oleh pihak luar. Tentu saja mutlak diperlukan



Budiman - Menyelaraskan Gelombang Bioteknologi Indonesia



4



INOVASI online



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



EDITORIAL



investasi besar dalam mendorong perkembangan bidang ini yang mestinya difasilitasi oleh 7 pihak berwenang. Berangkat dari contoh-contoh masalah tersebut, perlu ada penyelarasan gelombang pemahaman antara seluruh stakeholder bioteknologi di Indonesia, mulai dari peneliti, pemerintah, dunia industri hingga masyarakat. Penyelarasan ini diperlukan untuk mengarahkan pengembangan bioteknologi di Indonesia berdasarkan kebutuhan masyarakat baik dalam jangka pendek dan panjang. Penyelarasan juga diperlukan untuk membangun kesamaan persepsi tentang nilai penting bioteknologi bagi masyarakat secara umum. Pada tahap akhir, berbagai kendala yang muncul saat ini bisa diatasi secara bersama-sama oleh seluruh stakeholder sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, 3



Sebagai gelombang ekonomi yang baru, bioteknologi bukan mustahil secara nyata mengakselerasi capaian mimpi bangsa Indonesia untuk menjadi negara maju di tahun 2030. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Helianti I. Inovasi teknologi di balik proyek pembacaan genom. Inovasi Online. 2005; 4:39-42. Venter JC. A life decoded: my genome my life. Pinguin Group, New York. 2007. Witarto A. Bioteknologi, sebuah gelombang ekonomi baru. Bisnis Indonesia, edisi 14 Juni 2005. Setiawan B. Masa depan bioteknologi Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1997; 117: 47-51. Ismaya WT. Role of protein biochemistry in biotechnology. Inovasi Online. 2011; 19:11-18 Hasan K. Rekayasa protein: perkembangan dan tantangan. Inovasi Online. 2011; 19: 6-10 Tejo BA. Desain obat berbasis struktur, apa yang bisa dilakukan Indonesia?. Inovasi Online. 2011; 19: 30-36



Budiman - Menyelaraskan Gelombang Bioteknologi Indonesia



5



INOVASI online



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



TOPIK UTAMA ISSN 2085-871X



Rekayasa Protein: Perkembangan dan Tantangan Khomaini Hasan Loschmidt Laboratories, Department of Experimental Biology, Masaryk University Kamenice 5/A13, 625 00 Brno, Republik Ceko E-mail: [email protected]



Abstrak Rekayasa protein adalah metode untuk mengubah karakter protein agar memiliki sifat-sifat unggul. Pendekatan yang digunakan untuk mengubah sifat protein ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu tingkat gen dan protein. Dengan keterbatasan yang dimiliki, para ilmuwan mulai mencari solusi akan keterbatasan yang ada. Kata kunci: rekayasa protein, directed evolution, rational design ©2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.



1. Pendahuluan “We have found the secret of life”, ungkapan terkenal dari Francis Crick ini disampaikan oleh kolaboratornya James D. Watson. Di tahun 1950-an, dibantu oleh Rosalind Franklin, ia 1 mempublikasikan struktur DNA di jurnal Nature . Publikasi ini menjadikan keduanya sebagai peraih Nobel di bidang fisiologi atau kedokteran di tahun 1962 bersama kolega Rosalind Franklin, Maurice Wilkins. Keberhasilan elusidasi struktur DNA, selanjutnya memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan ilmu rekayasa genetika. Di tahun 1970-an, perkembangan modifikasi 2 oligonukelotida menjadi dasar dari perkembangan rekayasa protein, walaupun istilah ini belum dikenal pada saat itu. 2. Rekayasa protein Istilah rekayasa protein (protein engineering) diperkenalkan pertama kali oleh Kevin M. Ulmer di 3 jurnal Science pada tahun 1983. Rekayasa protein bisa didefinisikan sebagai suatu proses pengembangan secara logika dari suatu protein untuk mencapai sifat-sifat protein yang diinginkan dengan cara mengganti atau mengubah sifat-sifat fisiologis protein. Sifat fisiologis ini bisa dengan cara mengubah aktivitas atau fungsinya. Selain itu, tujuan utama dari rekayasa protein adalah meningkatkan “nilai jual” pemanfaatan protein untuk aplikasi industri atau medis. Sifat protein yang diinginkan ketika istilah “rekayasa protein” ini diperkenalkan pertama kali masih terbatas pada stabilitas protein terhadap suhu atau pH. Perkembangan bidang biologi molekuler dan elusidasi struktur protein yang sangat signifikan di tahun 1990-an memperluas jangkauan pengembangan sifat-sifat protein yang diinginkan, seperti stabilitas terhadap senyawa organik, enantioselektivitas, spesifisitas substrat, pembentukan mekanisme enzimatik baru, percampuran sisi katalitik, dan lain-lain. 2.1. Metode rekayasa protein: rational design dan directed evolution Terdapat dua metode umum dalam teknik rekayasa protein, yaitu rational design dan directed evolution. Dalam rational design, ilmuwan memulai rekayasa suatu protein yang telah diketahui secara pasti struktur tersiernya, yang selanjutnya melakukan rekayasa–baik dengan modifikasi 4 kimia atau manipulasi genetik–sehingga mengubah stabilitas atau fungsinya. Pendekatan



Hasan. Rekayasa Protein: Perkembangan dan Tantangan.



6



INOVASI online



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



TOPIK UTAMA



rational design memiliki keuntungan pada sisi kemudahan dalam menentukan target rekayasa berdasarkan informasi struktur protein disertai perkembangan metode mutagenesis terarah yang sangat cepat sehingga tingkat efisiensi – baik waktu, tenaga, maupun dana – rekayasa dengan metode rational design sangat tinggi. Walaupun begitu, ilmuwan dihadapkan pada kesulitan dalam melakukan prediksi sejauh mana perubahan asam amino spesifik akan mengubah karakter protein sesuai dengan keinginan.



Gambar 1. Perbedaan skema antara rational design dan directed evolution



Metode lain yang digunakan untuk menutupi kekurangan metode rational design adalah metode yang disebut dengan directed evolution. Metode ini juga sering disebut dengan metode 4 molecular breeding. Dengan metode ini, ilmuwan melakukan mutagenesis secara acak pada gen pengkode protein atau melakukan pencampuradukan (shuffling) gen-gen pembentuk antar domain sehingga dihasilkan ribuan protein hasil mutasi dengan struktur yang mungkin berbeda dengan protein asalnya. Keuntungan penting yang didapatkan dari metode directed evolution adalah ilmuwan tidak membutuhkan informasi struktur protein yang direkayasa atau pengaruh dari mutasi yang diaplikasikan pada protein tersebut.



Hasan. Rekayasa Protein: Perkembangan dan Tantangan.



7



INOVASI online



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



TOPIK UTAMA



Besarnya jumlah protein hasil rekayasa dengan metode ini menjadi salah satu faktor perintang dalam tingkat efisiensi dibandingkan dengan metode rational design. Sehingga dibutuhkan suatu metode high-throughput screening untuk mengetahui pengaruh dari ribuan mutasi terhadap protein yang direkayasa. Perbandingan dari skema kedua metode tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Dengan melakukan kombinasi metode rational design dan directed evolution, kekurangan yang dihadapi satu metode akan dikompensasi dengan metode lain. 2.2. Modifikasi protein: level gen dan protein Sejak DNA mengalami booming di tahun 1980-an, pendekatan rekayasa protein dengan mengubah gen pengkode protein (genetic level modification) adalah metode yang banyak digunakan ilmuwan untuk mengubah karakter suatu protein. Rekayasa pada genetic level lebih 5-7 diarahkan untuk memahami mekanisme protein serta fungsi dari suatu asam amino. Namun, kini tidak sedikit publikasi yang juga diarahkan untuk mengubah karakter protein untuk 8-10 meningkatkan “nilai jual” protein tersebut. Sementara itu, pendekatan rekayasa protein dengan modifikasi kimia terhadap protein (protein level modification) mulai menjadi perhatian para ilmuwan di tahun 1990-an. Modifikasi kimia protein adalah metode rekayasa protein dengan mereaksikan asam amino reaktif dari protein dengan suatu reagen kimia. Metode ini lebih cenderung diarahkan untuk asam amino yang terletak di permukaan protein (Gambar 2). Asam amino yang menjadi target biasanya adalah gugus amino primer residu lisin, gugus karboksil residu asam aspartat atau glutamat, gugus 11-13 sulfhidril residu sistein atau gugus karbonil dari glikoprotein. Kelebihan dalam modifikasi kimia ini adalah bersifat progresif, tak terbatas, dan bervariasi. Kelemahan dari modifikasi kimia bersifat non-spesifik, dan sangat tergantung kepada posisi 12 asam amino reaktif yang berada di permukaan struktur protein. Beberapa publikasi telah melaporkan keberhasilan rekayasa protein dengan modifikasi kimia, seperti peningkatan 14 14-15 kestabilan terhadap suhu dan senyawa organik, resistensi terhadap proteolisis dan 16 17 pembentukan mekanisme enzimatik baru, atau peningkatan enantioselektivitas.



Gambar 2. Skema rekayasa protein dengan modifikasi kimia suatu protein



3. Peran teknologi informasi dan komputasi pada perkembangan rekayasa protein Perkembangan teknologi informasi dan komputerisasi dalam 15 tahun belakangan ini semakin membantu ilmuwan rekayasa protein dalam menyelesaikan beberapa permasalahan rekayasa protein. Kecenderungan para ilmuwan membentuk konsorsium penyimpanan database sangat membantu para ilmuwan lain dalam mengekstrak seluruh informasi hasil perkembangan bidang rekayasa protein. Perkembangan bidang komputasi biologi, bioinformatika, molecular modeling, atau pengembangan software memberikan loncatan besar dalam perkembangan bidang rekayasa protein, terutama membantu para eksperimentalis dalam merencanakan rekayasa 18 suatu protein.



Hasan. Rekayasa Protein: Perkembangan dan Tantangan.



8



INOVASI online



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



TOPIK UTAMA



4. Tantangan bidang rekayasa protein Keterbatasan 20 asam amino yang alamiah, memberikan suatu ruang yang sempit bagi para peneliti untuk melakukan kreasi baru dalam diversitas rekayasa protein. Implementasi asam amino yang tidak alamiah ke dalam struktur protein, selain 20 asam amino yang dikenal saat ini, memberikan suatu loncatan besar yang tidak terbatas di bidang ini. Dengan perkembangan ini, rekayasa protein tidak lagi sekadar mengisolasi protein dari alam yang kemudian direkayasa guna mengubah karakter protein supaya memiliki “nilai jual” yang tinggi, tetapi lebih mengarah kepada mendesain protein yang tidak disediakan alam. Desain artifisial protein secara de novo 4 merupakan suatu holy grail perkembangan bidang rekayasa protein. Salah satu perkembangan terbaru dari holy grail ini adalah desain enzim yang dapat mengkatalis secara stereoselektif reaksi bi-molekular yang merupakan hasil kolaborasi grup rekayasa protein Profesor Donald Hilvert di ETH Zurich, Swiss dan kelompok ahli desain komputasi biologi Profesor David Baker 19 di University of Washington. 5. Rekayasa protein dalam perspektif potensi di Indonesia Sebagai negara kepulauan dengan kekayaan biodiversitas yang sangat besar, tidak diragukan lagi bahwa Indonesia memiliki potensi menjadi laboratorium raksasa dengan sumber hayati yang sangat banyak. Perkembangan ilmu-ilmu dasar seperti biologi atau kimia seyogianya menjadi sangat maju dengan sumber alam raksasa ini. Dengan perkembangan ilmu-ilmu dasar, perkembangan ilmu yang berhubungan, seperti rekayasa protein, akan maju secara beriringan. Potensi sumber mikroba penghasil protein yang berasal dari Indonesia menjadi salah satu potensi utama yang saat ini masih kurang dioptimalkan, termasuk kemungkinan dihasilkannya protein-protein baru dengan mekanisme reaksi baru. Sejauh ini, perkembangan bidang rekayasa protein di Indonesia masih dirasakan kurang mengingat begitu banyak keterbatasan dan tantangan yang masih dihadapi para peneliti di bidang ini. Keterbatasan fasilitas yang dimiliki serta kurang optimalnya pemanfaatan bidang-bidang penunjang rekayasa protein, seperti bioinformatika dan komputasi menjadi faktor perintang perkembangan bidang ini di Indonesia. Salah satu strategi yang sangat penting untuk menutup keterbatasan yang dimiliki adalah dengan meningkatkan kolaborasi internasional dengan institut/lembaga/grup penelitian yang berfokus dalam penelitian rekayasa protein. 6. Penutup Dari paparan singkat di atas, kita semua bisa melihat bahwa perkembangan bidang rekayasa protein akan semakin tak terbatas. Hal ini seiring dengan berkembangnya bidang lain yang memiliki hubungan–baik langsung ataupun tidak langsung–dengan rekayasa protein, seperti genetika, mikrobiologi, kimia, komputasi, bioinformatika, dan lain-lain. Dalam perspektif Indonesia, rekayasa protein memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, didasari kayanya sumber daya alam hayati dan tingginya tingkat biodiversitas yang dimiliki. Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kolaborasi yang bersifat sinergi menjadi sesuatu yang wajib untuk perkembangan rekayasa protein ini. Semoga kita bisa saling bersinergi di masa datang. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Crick FHC, Watson JD. 1953. Molecular structure of nucleic acids. Nature. 171:737-738. Leatherbarrow RJ, Fersht AR. 1986. Protein engineering. Protein Eng. 1:7-16. Ulmer KM. 1983. Protein engineering. Science. 219:666-671. Tucker JB, Hoper C. 2006. Protein engineering: security implications. EMBO Reports. 7:S14-S17. Pavlova M, Klvana M, Chaloupkova R, Banas P, Otyepka M, Wade R, et al. 2009: Redesigning Dehalogenase Access Tunnels as a Strategy for Degrading an Anthropogenic Substrate. Nat Chem Biol. 5: 727-733. Silberstein M, Damborsky J, Vajda S. 2007. Exploring the Binding Sites of the Haloalkane Dehalogenase DhlA from Xanthobacter autotrophicus GJ10. Biochemistry. 46: 9239-9249.



Hasan. Rekayasa Protein: Perkembangan dan Tantangan.



9



INOVASI online



7.



8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



TOPIK UTAMA



Prokop Z, Sato Y, Brezovsky J, Mozga T, Chaloupkova R, Koudelakova T, et al. 2010: Enantioselectivity of Haloalkane Dehalogenases and its Modulation by Surface Loop Engineering. Angew Chem Int Ed Engl. 49: 6111-6115. Zhu GP, Xu C, Teng MK, Tao LM, Zhu XY, Wu CJ, et al. 1999. Increasing the thermostability of Dxylose isomerase by introduction of a proline into the turn of a random coil. Protein Eng. 12:635-638. Shiraki K, Sakiyama F. 2002. Histidine 210 mutant of a trypsin-type Achromobacter protease I shows broad optimum pH range. J Biosci Bioeng. 93:331-333. Schmidt M, Baumann M, Henke E, Konarzycka-Bessler M, Bornscheuer UT. 2004. Directed evolution of lipases and esterases. Meth Enzymol. 388:199-207. Tawfik DS. Side chain selective chemical modifications of proteins. In The Protein Protocols nd Handbook. Editor: J. M Walker. 2 Edition. New Jersey: Human Press inc. 2002. 465-467. Davis BG. 2003. Chemical modification of biocatalysts. Curr Opin Biotechnol. 14:379-386. Tann C-M, Qi D, Distefano MD. 2001. Enzyme design by chemical modification of protein scaffolds. Curr Opin Chem Biol. 5:696-704. Liu JZ, Wang M. 2007. Improvement of activity and stability of chloroperoxidase by chemical modification. BMC Biotechnol. 7:23-31. Vinogradov AA, Kudryashova EV, Grinberg VY, Grinberg NV, Burova TV, Levashov AV. 2001. The chemical modification of alpha-chymotrypsin with both hydrophobic and hydrophilic compounds stabilizes the enzyme against denaturation in water-organic media. Protein Eng. 14:683-689. Fernandez M, Fragoso A, Cao R, Banos M, Villalonga R. 2002. Chemical conjugation of trypsin with monoamine derivatives of cyclodextrins – catalytic and stability properties. Enzym Microb Tech. 31:543-548. Ueji S-I, Tanaka H, Hanaoka T, Ueda A, Watanabe K, Kaihatsu K, Ebara, Y. 2001. Effects of chemical modification of lipase on its enantioselectivity in organic solvents. Chem Lett. 1066-1067. Damborsky J, Brezovsky J. 2009. Computational tools for designing and engineering biocatalysts. Curr Opin Chem Biol. 13: 26-34. Siegel JB, Zanghellini A, Lovick, HM, Kiss, G, Lambert AR, St. Clair JL, et al. 2010. Computational Design of an Enzyme Catalyst for a Stereoselective Bimolecular Diels-Alder Reaction. Science. 329:309-313.



Hasan. Rekayasa Protein: Perkembangan dan Tantangan.



10



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



INOVASI online



TOPIK UTAMA ISSN 2085-871X



The Role of Protein Biochemistry in Biotechnology Wangsa T. Ismaya



Department of Biochemistry and Cell Biology, Faculty of Veterinary Medicine, Utrecht University, Yalelaan 2, 2584 CM Utrecht, The Netherlands Email: [email protected]



Abstract Protein literally holds the key role in biological processes, the major driving force in living organisms. It serves various functions such as structural support, storage, transport, and catalysis in reactions. Its functioning has markedly been exploited in biotechnology, which is an integrated application of biological sciences. Here is described several fundamental protein biochemistry studies in various fields that may illustrate the significance of protein biochemistry in biotechnology. Keywords: protein, biochemistry, engineering, biotechnology.



1. Introduction Protein is involved in all biological processes occurring in living organisms. Protein interacts with various kinds of compounds or within its kind to establish its functionality and assignment. Hemoglobin, for example, binds O2 molecules in the lung and carries them to cell tissues, where they are exchanged with CO2 [1]. This process occurs in mammals, while in arthropods and mollusks its function is equally replaced by hemocyanin [2]. The most notorious example for protein functioning is enzyme, protein that capable of catalyzes chemical reactions. The use of enzyme advances industrial processes because enzymatic reaction is faster and specific [1]. Non-enzymatic protein also demonstrates activity by means of its interaction with small molecules or other proteins. Interaction between proteins that define the functionality is described by antibody [3]. These protein functionalities have been pursued for the purposes of human well-being [4]. The utilization of protein and its host is commonly translated into biotechnology, which is defined as any technological application that uses biological systems, living organisms, or derivatives thereof, to make or modify products or processes for specific use [5]. The protein, however, mostly needs engineering at both protein or gene level to meet the conditions required for its applications [6] or for production. Industrial processes, for example, require enzymes that are active at extreme conditions, such as high temperature or very low pH. Low cost – large production of insulin for treatment of diabetes can be achieved by the use of bacterial expression system. Generation of protein-based therapeutic agent to combat infectious diseases also serves as a good example of the importance of protein engineering. 2. Protein engineering Protein engineering is a continuous process to obtain protein with desired properties. Therefore, the process is normally described as a cycle presented in Figure 1. As



Ismaya. The Role of Protein Biochemistry in Biotechnology.



11



INOVASI online



TOPIK UTAMA



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



clearly indicated in this figure, the center of protein engineering is characterization. This step determines whether the obtained protein has the desired properties or requires modifications. While the modification at gene level requires genetic information, modifications at protein level can be done directly. However, the later is random and involves numerous trials. A more directed and rational modification at gene or protein level can be established with prior information in the protein structure. Therefore, the elucidation of a protein structure becomes crucial in the protein engineering cycle. Information about a protein structure is not only advantageous for the modification of the protein, but also allows a design of (small) molecules that interacts with the protein, such as inhibitor or cofactor of an enzyme. Likewise, the gene sequencing provides valuable information for the structural studies. All the information regarding the structure and gene of proteins are stored in databases, which are the reference for any works on modification of a protein. Furthermore, a fragment representing the function of the proteins can also be determined and selected. Then, this fragment can then be synthesized chemically, which is process wise and economically more convenient. The protein engineering cycle is therefore a multi-disciplinary system involving natural sciences (biology, chemistry, physics, and mathematics), social sciences, and information technology. However, this article presents case studies of several proteins representing steps in the protein engineering cycle.



Figure 1. Protein engineering cycle.



2.1.



Isolation and characterization of Pseudomonas cepacia UK7WS1 [7]1



a



haloacid



dehalogenase



from



Screening for microorganisms that demonstrate dehalogenase activity is done for the purpose of remediation of halogen-polluted environment, due to mining or industrial activities. Halogenated compounds are also conventionally used as herbicide and pesticide, which persistently exists in the soil despite of discontinued in use for years. A bacterium, identified as Pseudomonas cepacia, is isolated and used for the production



1



Hibah Bersaing project batch VII/1-3 (1997-1999, T. Hernawan), Inter-university center for biotechnology, Bandung Institute of Technology, Indonesia.



Ismaya. The Role of Protein Biochemistry in Biotechnology.



12



TOPIK UTAMA



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



INOVASI online



of the enzyme. The enzyme is isolated by disrupting the bacteria’s cell wall with ultrasonication. The contaminants are then removed via sequential purification steps using fractionation with ammonium sulfate, anion exchange and subsequent gel filtration chromatography. The progress on the purification steps is monitored by sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE). Pure dehalogenase is then characterized to determine its optimum pH and working temperature, molecular size, isoelectric point, and specific activity. We reported that secretion of dehalogenase is part of P. cepacia survival, in which carbon source depletion occurs in the environment [7]. Halogenated compound becomes an alternative carbon source for the bacteria, but the halogen group must be removed prior to that. Therefore, the production of the enzyme is complicated because the enzyme is secreted only at the end of stationary phase of the bacterial growth, just before the cells death due to starvation. The purification is also difficult because the enzyme is only a minor fraction from proteins secreted by the bacteria cells, thus plenty of contaminants. Further, characterization indicates that the enzyme is active at a pH range of 7.5 – 9.0, with an optimum activity observed at 8.5. Despite broad range of pH, the enzyme is active at a temperature range of 20 – 30oC, with an optimum activity observed at 25oC. The isolated enzyme has affinity towards tested halogenated compounds, such as monochloropropionate (MCPA) and monochloroacetate (MCA), but it is not effective against chloralhydrate. An analysis on the effect of metal ions suggested that the purified dehalogenase is not a metalloprotein and that the enzyme activity is mostly inhibited in the presence of metal ions, except for sodium at low concentration and zinc (Table 1). The KM and Vmax value are 2.81 mM and 12.21 µmol/sec., respectively. The experimentally determined isoelectric point is 4.8 and the enzyme occurred as a dimer with a total molecular mass of 58 + 2 kDa. Table 1. Effect of metal Ions on enzyme activity.



% Inhibition



Metal Ions 1 mM



5 mM



+



(-) 100



40



Cu



2+



0



100



Ca



2+



100



100



2+



0



100



2+



50



100



2+



60



100



2+



100



100



100



100



0



100



0



0



Na



Mg Co Fe Ni



Mn



2+



EDTA Zn



2+



(-) indicates activation



Thus, the described work demonstrates the initial steps in the protein engineering cycle. The work would be continued by (1) isolation of the encoding gene for over expression



Ismaya. The Role of Protein Biochemistry in Biotechnology.



13



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



INOVASI online



TOPIK UTAMA



of the protein in foreign host to overcome problems in enzyme production and (2) determination of the enzyme structure that may lead to the modification of the enzyme for improvement of its characteristics, such as higher working temperature, resistance against inactivation by metal ions, or broaden its substrate specificity. 2.2. Protein engineering of α-amylase from Saccharomycopsis fibuligera R642 α-Amylase is among the most important industrial enzymes and is widely employed from sugar syrup production to textile industry. It catalyzes the cleavage of glycosidic bond, degrading starch to its simple sugar component. The enzyme from S. fibuligera demonstrates a high activity at 50oC, a wide working pH range of 5.0 – 8.0, and rawstarch degrading properties. Thus, it is highly potential for industrial applications. Series of enzyme stabilization and chemical modifications are performed [8] to improve the characteristics of the enzyme. Structure-function relationship analysis in the absence of its structure is also performed [9] to assess the possibility of reshaping the enzyme activity for broader applications. The interpretation of the results of the later study is helped by the primary and tertiary structures of its homolog. Nevertheless, in parallel, the elucidation of the amino acid sequence and three-dimensional structure of the enzyme is also commenced. Treatment of the enzyme with sorbitol increases the thermal-stability of the enzyme from 60oC to 85oC, in expense of lower enzyme affinity towards substrate. Chemical modification of the enzyme using various modifying compounds [10] results in an increase in thermal-stability with negligible decrease in enzyme activity and resistance against proteolytic degradation. Further, the domain organization of the enzyme is studied by means of proteolytic digestion with trypsin [9]. The result shows that the enzyme consists of two separable units (Figure 2), which may represents the A/B domain (~39 kDa, p39) the C domain (~10 kDa, p10). The p39 demonstrates enzyme activity but had lower affinity towards substrate, suggesting that p10 may have a role in the substrate binding. Nevertheless, this indicates that the enzyme specificity can be tuned. The enzyme demonstrated raw-starch degradation against corn, tapioca, sago, and in some extends potato. This result suggested that enzyme could be used in, for example, bioethanol production directly from biomass, which is very appealing.



66 kDa 43 kDa



30 kDa



Figure 2. Proteolytic digestion product of S. fibuligera α-amylase (sfamy). The arrows mark the position of (from top to bottom) sfamy, the A/B domain, trypsin, and the C domain.



Thus, protein engineering of α-amylase demonstrates the attempts to obtain enzyme with desired properties without using prior information of the enzyme structure.



2



Riset Unggulan Terpadu project batch I/1-3 (1993-1995, S. Soemitro), Hibah Bersaing project batch IX/1-3 (20012004, W.T. Ismaya), Scientific Program Indonesia – Netherlands (2004, S. Soemitro), Indonesia Toray Science Foundation (2005, K. Hasan), Inter-university center for biotechnology, Bandung Institute of Technology, Indonesia.



Ismaya. The Role of Protein Biochemistry in Biotechnology.



14



TOPIK UTAMA



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



INOVASI online



Nevertheless, it provides substantial information and firm ground for further engineering of the enzyme, which would be advanced in the use of its three-dimensional structure. 2.3. Crystal structure of mushroom Agaricus bisporus tyrosinase3 Tyrosinase catalyzes the conversion of phenolic compound into diphenol and further to its quinone derivative. The final product is a precursor for melanin, a pigment that is widely distributed in living organisms. Thereby, the enzyme is associated with pigmentation and pigment-related diseases such as albinism and vitiligo. In agricultural produce, it is responsible for the browning. The enzyme from mushroom A. bisporus has been widely employed in research by pharmaceutical and cosmetic industry, e.g. to find amenable inhibitor for skin whitening product. The research has been done without prior knowledge in the protein structure. The use of high throughput facilities has indeed improved the screening process in such research. Nevertheless, a rational and directed approach based on the structure is highly preferred. Therefore, the enzyme structure is highly desired. The enzyme has successfully been crystallized [11] and it’s three-dimensional structure has been elucidated by means of X-ray crystallography [12]. X-ray crystallography (PX) is one of the approaches to elucidate protein structure, being nuclear magnetic resonance (NMR) and electron microscopy (EM) as the other approach. NMR is very powerful for structure elucidation of a small protein (up to ~30 kDa) as oppose to EM for a large protein (~200 kDa onwards), while PX falls in the molecular mass range between that of NMR and EM. Mushroom tyrosinase is composed of two subunits with molecular mass of ~45 kDa and ~15 kDa, forming a tetramer with ~120 kDa in total. The obtained crystal contains this tetramer, and therefore, the structure may represent the physiological condition. Furthermore, the crystallized enzyme (Figure 3a), after exposure to X-ray (Figure 3b), demonstrates a significant tyrosinase activity, suggesting that the active enzyme is successfully crystallized by our group.



(a)



(b)



Figure 3. A mushroom tyrosinase crystal mounted on a nylon loop, ready for X-ray diffraction analysis (a) and diffraction pattern obtained from a tyrosinase crystal (b).



3



The work had been conducted at the laboratory of biophysical chemistry, University of Groningen, The Netherlands.



Ismaya. The Role of Protein Biochemistry in Biotechnology.



15



INOVASI online



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



TOPIK UTAMA



The data from the X-ray diffraction of the crystal is collected and then processed according to its spacegroup, to which the crystal is belonging. This processed data set, together with the amino acid sequence and initial structural model based on its protein homolog, is employed to generate an electron density map, which has been exploited to build the structural model of the enzyme. The building of the model is iteratively performed by using automatic model building program and by hand. The generated final model delivers essential information on the identity of the subunits composing the enzyme tetramer. The information obtained from the structure compliments as well as perfects the reported results from biochemical studies. The structure of enzyme in complex with a specific inhibitor is also elucidated. Thus, the structure of the enzyme and of the enzyme-inhibitor complex provides essential information for the characteristics of the enzyme. Most importantly, the arrival of the structures enables the design of, for example, inhibitor for the enzyme activity in a rational and directed fashion. 2.4. Generation of a bifunctional protein to combat infectious disease4 Dealing with infectious diseases is difficult because the pathogens are becoming more resistant as well as new pathogens emerge. As antibiotics are becoming ineffective, bispecific antibodies (BsAb) offer an alternative to combat infectious diseases. BsAb consists of a fragment of human antibody and an antibody rose against specific pathogen. However, this is a disadvantage of BsAb because it has a limited specificity. Therefore, generation of BsAb with broad spectrum of pathogen is attractive. Surfactant protein D (SP-D) recognizes wide variety of microorganism via its carbohydrate recognition domain (Figure 4a). Thereby, SP-D serves as a good partner candidate for BsAb. Recombinant fragment of human SP-D (rfh-SPD) and Fab’ fragment of antibodies directed against human CD89 or CD64 are chemically coupled, resulted in a bifunctional protein (bfp). This bfp demonstrates the uptake and clearance of Escherichia coli, Candida albicans, and influenza A virus by human neutrophils. It also enhances uptake of E. coli by human monocytes [13]. This finding indicates that bfp can be used to combat infectious diseases. Moreover, the use of anti-CD64 is beneficial because it has vaccination effect, meaning that application of the bfp results in recognition of the pathogens by human immune system. Thus, using the prior information on the protein structures and the gene encoding the expression of each protein, rational design is applied to construct this bifunctional protein as a fusion protein.



4



The work is currently conducted at the department of biochemistry and cell biology, veterinary medicine, Utrecht University, The Netherlands.



Ismaya. The Role of Protein Biochemistry in Biotechnology.



16



TOPIK UTAMA



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



INOVASI online



(a)



(b)



Figure 4. Cartoon representation of the structure of human SP-D trimer (a, PDB accession code 1PWB) and dimer of singe-chain variable domain of human antibody (b, 1NQB). Each monomer is depicted in blue. The grey spheres and red sticks represent calcium ions and sugar residues, respectively.



3. Discussion Biochemistry is divided to three main streams: carbohydrates, proteins, and lipids. They and the interactions between them are the driving force in all living organisms. Nevertheless, protein is the only active player in biological system while carbohydrates and lipids are involved to shape the functionality of proteins. Therefore, it is reasonable to find that most of research in biochemistry deals with protein. Protein research is directed towards all aspects in the wellness of living organisms, covering the protection and rejuvenation of environment, sustainability of energy, better health and medicine, and food. The use of enzyme for remediation of contaminated soil improves the quality of environment, providing better living condition and more useful land. Enzymes also improve the industrial processes by means of providing more effective and greener process, which will benefit the environment as well as lower production cost. Recently, enzyme is also used in producing biofuel, sustainable alternative energy source to fossil fuel. Inhibitor for enzyme activity prevents the deterioration of agricultural produce and is used in cosmetics. Enzyme based electrode has been employed for detection of pollutants in wastewater. Study on the regulation of proteins in human helps us to deal with various diseases. The generation of vaccines improves the human’s resistance against infections, and thereby increases survivability of humankind. All mentioned biochemical and biotechnological studies are based on prior information in protein, i.e. its functioning, its characteristics, and its interactions. Therefore, protein biochemistry holds the fundamental role in biotechnology. 4. Conclusion Protein is the active player, responsible for the processes in biological system. Understanding its function and properties allow its utilization and plausible manipulation for the well being of living organisms such as better health, better food, cleaner and greener environment, safer and friendlier processes, and prevention of diseases.



Ismaya. The Role of Protein Biochemistry in Biotechnology.



17



INOVASI online



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



TOPIK UTAMA



References 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.



Nelson DL. Lehninger principles of biochemistry. 5th ed. Lehninger AL, Cox MM (Eds). Freeman WH: New York. 2008: 188-200. van Holde KE, Miller KI. Hemocyanins. Adv Protein Chem. 1995; 47:1-81. Janeway C, Murphy KP, Travers P, Walport M. Janeway's immunobiology. New York: Garland Science. 2008: 381-402. Carter PJ. Potent antibody therapeutics by design. Nat Rev Immunol. 2006;6(5):343-357. --. 1992. The convention on biological diversity. United Nations. URL: http://www.cbd.int/convention/articles/?a=cbd-02 (accessed on April 20, 2011). Hol WGJ. Applying knowledge of protein structure and function. Trends Biotechnol. 1987; 5(5):137143. Hernawan T, Soemitro S, Dewayani H, Setiana T, Ismaya WT. Isolation and purification of dehalogenase from Pseudomonas cepacia UK7WS1. JMS. 1999;4(2):70-82. Ismaya WT, Setiana T, Mulyana B, Natalia D, Soemitro S. Stabilization and protein engineering of alpha-amylase from Saccharomycopsis fibuligera. In: First Symposium on The Alpha-Amylase Family. Smolenice, Slovakia. 2001. Hasan K, Ismaya WT, Kardi I, Andiyana Y, Kusumawidjaya S, Ishmayana S, et al. Proteolysis of αamylase from Saccharomycopsis fibuligera: characterization of digestion products. Biologia. 2008; 63(6):1044-1050. Ismaya WT, Rahmawaty RI, Kardi I, Zainuri A, Elviera BV, Permanahadi SW, et al. Increasing the stability of Saccharomycopsis fibuligera R64 alpha-amylase via PEGylation. Manuscript in preparation. Ismaya WT, Rozeboom HJ, Schurink M, Boeriu CG, Wichers H, Dijkstra BW. Crystallization and preliminary X-ray crystallographic analysis of mushroom Agaricus bisporus tyrosinase. Acta Crystallogr D. 2011. In press. Ismaya WT, Rozeboom HJ, Weijn A, Mes JJ, Fusetti F, Wichers H, et al. Crystal structure of Agaricus bisporus mushroom tyrosinase - Identity of the tetramer subunits and interaction with tropolone. Biochemistry. 2011. Submitted. Tacken PJ, Batenburg JJ. Monocyte CD64 or CD89 targeting by surfactant protein D/anti-Fc receptor mediates bacterial uptake. Immunology. 2006; 117(4):494-501.



Ismaya. The Role of Protein Biochemistry in Biotechnology.



18



INOVASI online



Vol. 19 | XXIII | July 2011



TOPIK UTAMA ISSN 2085-871X



Potensi Penelitian Macrostomum lignano untuk Memahami Regenerasi Hewan Wibowo Arindrarto Cancer Genomics & Developmental Biology Graduate School of Life Science, Utrecht University, The Netherlands Email: [email protected] Abstrak Regenerasi merupakan fenomena yang dapat dijumpai di beragam jenis hewan, dari invertebrata sederhana seperti Hydra hingga yang vertebrata kompleks seperti salamander dan mencit. Usaha memahami proses regenerasi ini sudah dimulai ratusan tahun yang lalu dan hasilnya akan memiliki potensi besar memperkaya pemahaman kita serta memajukan aplikasi pengobatan regeneratif. Walaupun demikian, pengertian kita mengenai proses ini masih sedikit. Hewan-hewan model yang selama ini telah banyak diteliti, seperti lalat buah dan mencit, memiliki kapasitas regenerasi yang sangat terbatas sehingga tidak banyak yang dapat kita pelajari dari mereka. Untuk mengatasi kekurangan ini, kini cacing pipih Macrostomum lignano mulai dikembangkan sebagai hewan model untuk mempelajari proses molekuler regenerasi. Cacing ini memiliki kapasitas regenerasi yang mengagumkan, dapat menumbuhkan kembali seluruh organ tubuhnya yang hilang selama kepalanya masih utuh. Artikel singkat ini akan mengulas penelitian regenerasi hewan secara singkat kemudian memaparkan potensi M. lignano sebagai hewan model untuk memahami regenerasi. Kata kunci: regenerasi, hewan model, cacing pipih ©2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.



1. Pendahuluan Pengertian mengenai proses regenerasi hewan merupakan salah satu tujuan penting di bidang biologi. Regenerasi, yang umumnya didefinisikan sebagai proses pertumbuhan kembali bagian tubuh 1 yang hilang atau rusak, sudah diteliti sejak abad 18, tetapi hingga kini belum dapat dimengerti seutuhnya. Beragam pertanyaan masih belum dapat terjawab. Bagaimana mekanisme molekuler proses regenerasi? Mengapa kapasitas regenerasi hewan berbeda-beda? Mungkinkah kapasitas regenerasi ini diubah? Pengetahuan kita mengenai regenerasi masih terbatas sehingga terbuka peluang besar untuk melakukan berbagai studi lanjut. Mari kita lihat apa saja yang sudah kita pahami mengenai regenerasi hewan ini dari berbagai hewan yang telah kita teliti. 2. Regenerasi Hewan Sejak awal penemuan fenomena regenerasi hewan, sebagian besar penelitian regenerasi dilakukan 2 menggunakan beberapa hewan model (Tabel 1). Bely menyimpulkan bahwa walaupun hewan-hewan 3 model yang digunakan beragam, ada beberapa mekanisme yang umum dijumpai. Mekanisme4,5 mekanisme itu antara lain kesamaan proses yang mengatur pembentukan epitel penutup luka, 6,7 interaksi antara berbagai jaringan yang tumbuh dengan identitas lokasi yang berbeda, peningkatan 8,9 10,11 aktivitas enzim perupa matriks ekstraseluler, terlibatnya sinyal bioelektrik dan jaringan saraf, 12 serta pentingnya beberapa jalur transduksi sinyal seluler. Kesamaan-kesamaan tersebut, walaupun belum cukup untuk menjelaskan bagaimana regenerasi terjadi, paling tidak menjadi bukti bahwa penelitian regenerasi menggunakan hewan model dapat memberikan informasi tentang regenerasi hewan pada umumnya. Satu hal yang menarik dari kesamaan-kesamaan tersebut adalah terlibatnya jalur-jalur transduksi sinyal seluler dalam proses regenerasi. Jalur-jalur yang terlibat, seperti jalur TGFβ, Hedgehog, dan FGF, juga merupakan jalur yang banyak digunakan dalam proses perkembangan normal embrio berbagai hewan. Ini tidak 2,13 mengejutkan karena proses regenerasi mirip dengan pertumbuhan normal hewan. Yang menarik lagi, adalah fakta bahwa semua hewan pasti berkembang dari embrio, tetapi tidak semua hewan dapat melakukan regenerasi. Penyebabnya belum diketahui dan hingga kini tetap menjadi satu topik menarik yang mendorong penelitian regenerasi.



Wibowo. Potensi Penelitian Macrostomum lignano untuk Memahami Regenerasi Hewan.



19



INOVASI online



Tabel 1. Beberapa hewan model penelitian regenerasi dan kemampuan regenerasinya Spesies/Kelompok



TOPIK UTAMA



Vol. 19 | XXIII | July 2011



2



Kemampuan regenerasi



Invertebrata Hydra



Semua jaringan dan organ



Planaria



Semua jaringan dan organ



Ascidia



Semua jaringan dan organ



Vertebrata Salamander famili Salamandridae



Tungkai, ekor, jantung, lensa mata, saraf tulang punggung, otak, rahang, retina, sel rambut indera pendengaran



Salamander famili Ambystomatidae



Tungkai, ekor, jantung, saraf tulang punggung, otak



Katak



Tungkai (sebelum metamorfosis), ekor, retina, lensa mata, sel rambut indera pendengaran



Ikan zebra



Sirip, ekor, jantung, hati, saraf tulang punggung, sel rambut indera pendengaran, sel pada indera peraba tekanan dan gerakan



Ayam



Sel rambut indera pendengaran



Mencit



Hati, ujung jari



Satu hewan yang ingin penulis soroti dari Tabel 1 adalah planaria, atau lebih spesifiknya planaria Schmidtea mediterranea, cacing pipih dari filum Platyhelminthes. Hewan ini memiliki populasi sel 14 punca pluripoten yang bertanggung jawab untuk regenerasinya, yang disebut dengan neoblast. Kapasitas regenerasi hewan ini menakjubkan. Neoblast yang mereka miliki dapat berkembang menggantikan semua organ tubuh yang rusak atau hilang. Ia dapat membentuk satu organisme utuh 15 dari potongan tubuh yang berukuran 1/273 kali asalnya. Tidak mengherankan jika hewan ini sempat menarik perhatian Thomas H. Morgan untuk mempelarinya, sebelum ia beralih mempelajari genetika pada lalat buah. Namun demikian, di luar kemampuan regenerasinya yang menakjubkan itu, penelitian regenerasi menggunakan hewan ini memiliki beberapa tantangan tersendiri. Pertama, hewan ini cenderung berkembang biak dengan cara membelah diri. Ini mempersulit pembuatan lini hewan transgenik yang penting untuk mengetahui fungsi gen-gen tertentu dalam proses regenerasi. Reproduksi seksual 16 mungkin terjadi, tetapi sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Kedua, dalam pohon filogenetik, S. mediterranea termasuk hewan yang telah berevolusi menjadi relatif berbeda dibanding nenek 17 moyangnya (atau derived). Ini akan mempersulit analisis kekerabatan mekanisme regenerasinya dengan hewan-hewan lain karena semakin berbeda (derived) satu hewan, kemungkinan karakterkarakternya itu tidak ditemukan di hewan lain semakin besar. Kedua hal ini membuat kita bertanya, adakah hewan lain serupa planaria yang dapat digunakan sebagai model? 3. Karakteristik dan potensi Macrostomum lignano sebagai model hewan coba baru M. lignano (Gambar 1) adalah spesies cacing pipih yang termasuk dalam famili Rhabditophora yang berkerabat dengan planaria S. mediterranea dan cacing parasit Schistosoma mansoni. Lokasinya pada pohon filogenetik adalah pada dasar filum Platyhelminthes. Cacing ini hidup bebas di pesisir 18 pantai dan pertama kali diisolasi di daerah Lignano, Itali. Ia merupakan hewan hermafrodit sepanjang sekitar 1 mm yang bereproduksi dengan pasangannya. Setelah pembuahan, ia akan bertelur dan telurnya akan berkembang selama sekitar lima hari sebelum kemudian menetas. Cacing muda ini akan tumbuh menjadi dewasa dalam kurun waktu 18 hari dan dapat hidup di alam bebas hingga berumur 6 bulan. Mirip seperti S. mediterranea, M. lignano juga memiliki kemampuan 19 regenerasi yang mengandalkan pluripotensi neoblast (Gambar 2). Walaupun demikian, kemampuan regenerasi M. lignano dan S. mediterranea tidaklah sama. Kalau S. mediterranea dapat tumbuh menjadi hewan baru dari satu potongan kecil tubuhnya, M. lignano hanya dapat melakukan 20 regenerasi tubuhnya dari bagian posterior mulut. Dengan kata lain, bagian ujung kepala hingga



Wibowo. Potensi Penelitian Macrostomum lignano untuk Memahami Regenerasi Hewan.



20



INOVASI online



TOPIK UTAMA



Vol. 19 | XXIII | July 2011



mulut yang utuh dapat menumbuhkan kembali organ pencernaan, organ reproduksi, dan bagian tubuh lainnya (Gambar 1). Yang lebih menarik lagi, usia cacing yang normalnya hanya 6 bulan dapat diperpanjang sampai sekitar 2 tahun jika regenerasi, yang dipicu misalnya oleh pemotongan, 20 dilakukan terus – menerus. Mekanisme molekuler proses regenerasi ini belum diketahui seutuhnya dan peluang untuk menelitinya kini makin terbuka dengan dikembangkannya berbagai teknik penelitian untuk cacing pipih ini.



(a)



(b) 21



Gambar 1. Anatomi M. lignano (a) dan perubahan morfologinya selama regenerasi ((, dari kanan atas sesuai arah panah: potongan kepala M.lignano 1 hari setelah pemotongan, 14 hari setelah 20 pemotongan, 51 hari setelah pemotongan).



19



Gambar 2. Neoblast M. lignano (bintik gelap di kedua sisi cacing). Saat ini belum ditemukan penanda molekuler yang spesifik untuk neoblast sehingga identifikasinya baru sebatas sel yang aktif membelah pada cacing dewasa. Tanda panah menunjukkan posisi mata.



Wibowo. Potensi Penelitian Macrostomum lignano untuk Memahami Regenerasi Hewan.



21



INOVASI online



TOPIK UTAMA



Vol. 19 | XXIII | July 2011



21



Teknik pengulturan M. lignano di laboratorium cukup mudah. Hewan ini dapat ditumbuhkan pada cawan petri dengan diatom Nitzschia curvilineata sebagai makanannya. Diatom ini tumbuh dalam o medium air laut artifisial dengan salinitas 32% pada suhu 20 C dengan siklus pencahayaan 14/13 jam gelap dan 10/11 jam terang serta kelembaban relatif 60%. Cacing yang sudah dewasa akan bertelur setiap hari sehingga jumlah besar yang diperlukan untuk berbagai eksperimen dapat tercapai dalam waktu singkat. Tubuhnya yang transparan memungkinkan pengamatan secara in vivo dalam keadaan hidup. Pengamatan regenerasinya sendiri dilakukan dengan melakukan pemotongan bagian tubuh cacing dan mengamati perkembangan blastema hingga cacingnya kembali seperti sedia kala. Bagaimana M. lignano dapat berkontribusi untuk penelitian regenerasi? Sekilas, hewan model untuk penelitian regenerasi tampaknya sudah cukup beragam. Ditambah lagi, kemampuan regenerasinya tidak sebaik S. mediterranea yang sama-sama merupakan anggota filum cacing pipih. Ada empat hal yang perlu diketahui seputar pertanyaan ini. Pertama adalah fakta bahwa hingga kini proses regenerasi belum dipahami sepenuhnya sehingga penambahan hewan model baru berpotensi memberikan sudut pandang baru yang informatif. Kedua, ketidakmampuan M. lignano untuk meregenerasi tubuhnya tanpa organ dan jaringan yang terletak anterior dari farings dapat menjadi petunjuk penting mengapa sebagian hewan dapat melakukan regenerasi dan yang lainnya tidak. Ketiga, M. lignano memiliki beberapa kelebihan dibandingkan S. mediterranea. Kelebihan M. lignano dibanding S. mediterranea antara lain, tubuh transparan yang mempermudah pengamatan dan reproduksi seksual yang memungkinkan dibuatnya hewan transgenik. Reproduksi S. mediterranea hampir selalu dilakukan secara aseksual dengan pembelahan diri. Ini mempersulit pembuatan satu hewan utuh dengan mutasi gen yang diinginkan. Teknik ini penting untuk mengetahui fungsi gen yang berperan dalam proses regenerasi. Keempat, lokasinya pada dasar pohon filogenetik filum Platyhelminthes memperbesar kemungkinan penemuan mekanisme regenerasi yang mendasar dan ada pada hewan-hewan lain. 4. Penutup M. lignano berpeluang baik memberikan kontribusi signifikan untuk penelitian regenerasi. Selain kapasitas regenerasinya yang serupa dengan S. mediterranea, ia memiliki beberapa keunggulan lain dari segi reproduksinya dan posisi filogenetiknya. Kini, dua lini M. lignano transgenik telah berhasil dibuat di laboratorium (De Mulder, belum dipublikasi). Kedua lini ini dibuat dengan memasukkan gen green fluorescent protein dengan promotor gen EF2α sehingga semua sel cacing tersebut dapat memancarkan cahaya fluoresens berwarna hijau. Selain itu, teknik RNA interference, yaitu teknik untuk menekan tingkat ekspresi gen-gen tertentu, dan teknik in situ hybridization untuk mengetahui 22 lokasi ekspresi gen tertentu telah dikembangkan di cacing ini. Cacing trensgenik dan kedua teknik tersebut bermanfaat untuk mencari tahu fungsi berbagai gen M. Lignano, terutama dalam proses regenerasinya. Dengan demikian, kita dapat mengetahui apakah kapasitas regenerasi cacing pipih ini dapat diubah atau adakah kemungkinan hewan lain direkayasa agar memiliki kapasitas regenerasi serupa. Draft sekuen genom dan transkriptom M. lignano juga senantiasa dikembangkan dan kini sudah dapat diakses melalui internet (http://www.macgenome.org/). Ini semua memberikan landasan awal yang menjanjikan untuk kontribusi M. lignano dalam membantu kita memahami regenerasi hewan. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Sunderland ME. 2009. Regeneration: Thomas Hunt Morgan’s window into development. J Hist Biol 43:32561. Alvarado AS, Tsonis PA. 2006. Bridging the regeneration gap: genetic insights from diverse animal models. Nat Rev Genet 7:873-84. Bely AE, Nyberg KG. 2009. Evolution of animal regeneration: re-emergence of a field. Trends Ecol Evol 25:161-70. Kato K, Orii H, Watanabe K, Agata K. 2001. Dorsal and ventral positional cues required for the onset of planarian regeneration may reside in differentiated cells. Dev Biol 23:109-21. Campbell LJ, Crews CM. 2008. Wound epidermis formation and function in urodele amphibian limb regeneration. Cell Mol Life Sci 65:73-9. Bosch TCG. 2007. Why polyps regenerate and we don't: towards a cellular and molecular framework for Hydra regeneration. Dev Biol 303:421-433. Yokohama H. 2008. Initiation of limb regeneration: the critical steps for regenerative capacity. Dev Growth Differ 50:13-22.



Wibowo. Potensi Penelitian Macrostomum lignano untuk Memahami Regenerasi Hewan.



22



INOVASI online



8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.



Vol. 19 | XXIII | July 2011



TOPIK UTAMA



Levin M. 2007. Large-scale biophysics: ion flows and regeneration. Trends Cell Biol 17:261-270. Adams DS, Masi A, Levin M. 2007. H+ pump-dependent changes in membrane voltage are an early mechanism necessary for and sufficient to induce Xenopus tail regeneration. Development 134:1323-1335. Langfeld T, Watanabe H, Simakov O, Lindgens D, Gee L, Law L, et al. 2009. Multiple Wnts are involved in Hydra organizer formation and regeneration. Dev Biol 330:186-99. Gurley KA, Rink JC, Alvarado-Sanchez A. 2008. Beta-catenin defines head versus tail identity during planarian regeneration and homeostasis. Science 319:323-327. Kumar A, Godwin JW, Gates PB, Garza-Garcia AA, Brockes JP. 2007. Molecular basis for the nerve dependence of limb regeneration in an adult vertebrate. Science 318:772-7. Poss KD. 2010. Advances in understanding tissue regenerative capacity and mechanisms in animals. Nat Rev Genet 11:710-22. Alvarado AS, Kang H. 2005. Multicellularity, stem cells, and the neoblasts of the planarian Schmidtea mediterranea. Exp Cell Res 306:299-308. Morgan TH. 1898. Experimental studies of the regeneration of Planaria maculata. Arch Entwm Org 7:364397. Newmark PA, Sanchez-Alvarado A. 2002. Not your father's planarian: a classic model enters the era of functional genomics. Nat Rev Genet 3:210-219. Egger B, Steinke D, Tarui D, De Mulder K, Arendt D, et al. 2009. To be or not to be a flatworm: the Acoel controversy. PLoS ONE 4(5): e5502. doi:10.1371/journal.pone.0005502. Ladurner P, Scharer L, Salvenmoser W, Rieger RM. 2005. A new model organism among the lower Bilateria and the use of digital microscopy in taxonomy of meiobenthic Platyhelminthes: Macrostomum lignano, n. sp. (Rhabditophora, Macrostomorpha). J Zool Syst Evol Res 43:114-26. Bode A, Salvenmoser W, Nimeth K, Mahlknecht M, Adamski Z, Rieger RM, et al. 2006. Immunogold-labeled S-phase neoblasts, total neoblast number, their distribution, and evidence for arrested neoblasts in Macrostomum lignano (Platyhelminthes, Rhabditophora). Cell Tiss Res 325:577-87. Egger B, Ladurner P, Nimeth K, Gschwentner R, Rieger R. 2006. The regeneration capacity of the flatworm Macrostomum lignano -- on repeated regeneration, rejuvenation, and the minimal size needed for regeneration. Dev Genes Evol 216:565-77. Ladurner P, Egger B, De Mulder K, Pfister D, Kuales G, Salvenmoser W, Scharer L. 2008. The stem cell system of the basal flatworm Macrostomum lignano. Di dalam: Stem Cells: from Hydra to Man. Editor: Bosch TCG. Springer Science. Pfister D, De Mulder K, Philipp I, Kuales G, Hrouda M, Eichberger P, et al. 2007. The exceptional stem cell system of Macrostomum lignano: screening for gene expression and studying cell proliferation by hydroxyurea treatment and irradiation. Front Zool 4:9.



Wibowo. Potensi Penelitian Macrostomum lignano untuk Memahami Regenerasi Hewan.



23



INOVASI online



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



IPTEK DAN INOVASI ISSN 2085-871X



Design and Control of a Cascade Multilevel STATCOM for Reactive Power Control and Fault-Ride-Through Capability Akhmad Syaiful Hidayat Akagi & Fujita Laboratory, Tokyo Institute of Technology, Japan Email: [email protected] Abstract This paper describes a control method for a cascade multilevel Static Synchronous Compensator (STATCOM) to perform reactive power control and fault-ride-through capability during voltage sags condition. The control method consists of reactive power and capacitor voltage control combined with the capacitor voltage balancing control. Computer simulation has proven that the proposed control success in making thecascade multilevel STATCOM be able to compensate reactive power while keeping the capacitor’s voltage balance during normal operation as well as during voltage sags condition. Keywords: STATCOM, voltage sags, fault-ride-through capability ©2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.



1. Introduction Excessive amount of reactive power result in negative effectson an electrical system, e.g. power qualityand efficiency problems. For decades, the reactive power compensator has been used to overcome those problems. The reactive power compensator controls the amount of reactive powerto achieve optimum power transfer to the load i.e.by increasingmaximum active power, transmission 1 efficiency, etc. As a part and arising technology of the reactive power compensators, Static Synchronous Compensator (STATCOM) offers major attributes of quick response time, minimum space, optimum voltage platform, higher operational flexibility and excellent dynamic characteristics 2 under various conditions. Moreover when the STATCOM implemented with multi-level converter 3 technique may avoid the utilization of the bulky, heavy, and costly line-frequency transformer. However, cascade multilevel STATCOM may encounter instability when voltage sags occur. Voltage sags are voltage frequent problems that would cause voltage imbalance. In the worst scenario they may cause failure to the cascade multilevel STATCOM, especially when it is not equipped with proper control strategy. This paper describes control and technique of a cascade multilevel STATCOM to achieve fault-ride-through capability during voltage sags condition. The proposed control method has an ability to adjust reactive power and capacitor voltage. Its performance is verified with simulation based on PSCAD software. 2. Control Method The control method for a cascade multilevel STATCOM can be described in Figure 1. The control method consists of reactive power and capacitor voltage that are equipped with capacitor-voltage balancing control. As the input, voltage and current of the system are used as actual value combined with the reactive power reference (q*) and capacitor voltage reference (vc*) to set the reference value for the cascade multilevel STATCOM. Based on decoupling current control, the proposed control method can provide proper control value under real-time operating condition.



HIdayat. Design and Control of a Cascade Multilevel STATCOM.



24



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



INOVASI online



IPTEK DAN INOVASI



Figure 1. Control method of the cascade multilevel STATCOM



The control method can be derived as follow. A set of voltage and current equations for a cascade multilevel STATCOM operation can be converted into d-q form, where vSd referred to the system voltage and vd for the cascade multilevel STATCOM voltage.



d  L vSd - vd   ac dt v - v  =   Sq q   ω L ac 



 −ω Lac  i d    i d L ac   q  dt 



(1)



Using sinusoidal and balance three-phase supply voltages, Akagi et al. describes the instantaneous 4 imaginary power as follow :



p = vSd .id + vSq .iq = vSd .id



(2)



q = vSd .iq + vSq .id = vSd .iq



(3)



From Equations (2) and (3), instantaneous imaginary power can be controlled separately from instantaneous real power by controlling the current values, iq. Meanwhile, the current reference in d-q * * form, id and iq , and the mean capacitor voltage ‫ݒ‬ҧ஼௨ in u-phase and three clusters ‫ݒ‬ҧ஼ are evaluated by following expression



id* =



3NvC vSd



iq* =



q* vSd



vCu = vC =



  K1 * * vC − vC   K1 vC − vC + T1  



(



)



(



)



(4)



(5)



1 ( vCu1 + vCu 2 + vCu 3 + vCu 4 + vCu 5 + vCu 6 ) 6



1 ( vCu + vCv + vCw ) 3



(6)



(7)



The voltage value reference ind-q form (vd* and vq*) can be written as:



HIdayat. Design and Control of a Cascade Multilevel STATCOM.



25



 vd*  1   vSd   0  *  =    −   vq  6   vSq  ωLac



The



IPTEK DAN INOVASI



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



INOVASI online



 vSd   0   and   vSq  ωLac



id* − id  K 2  0   − ωLac   id  − K   − i* − i dt  2 * ∫ 0   iq  i − i  q q  T2  q q  



(8)



− ωLac   id    terms in the right hand side cancel out the effect of the 0   iq 



source voltage and the inductor voltage (LAC). In addition to the reactive power and capacitor voltage controls, a cascade multilevel STATCOM is also equipped with capacitor voltage balancing control. This control consists of clustered balancing and individual balancing controls to balance capacitor voltages in each phase and cluster. 5



The proposed design of the clustered balancing control uses the neutral shift technique. The value of * voltage reference v0 is used as the reference for neutral shift and adjust the voltage value within each phase. This value was determined by



[



v0* = K 0 / I d2 + I q2 (∆vCx I d + ∆vCy I q )sin ωt + (∆vCx I q + ∆vCy I d )cos ωt



]



(9)



where ∆vCx = 1.225 (vC – vCu) and ∆vCy = 0.707 [(vC - vCu) – (vC – vCw)].



The individual voltage balancing control uses feed-forward control, and is set as follows



vBum = K 5 (vCu − vCum )cosθ



(10)



The three clusters use phase-shift unipolar sinusoidal Pulse Width Modulation (PWM) to control the switching operation of the converter. The carrier signals are set to 1 kHz shifted π/6 with other cells in one phase. 3. Simulation Result Simulations were carried out to show the viability and effectiveness of a cascade multilevel STATCOM. The simulations consist of six converter cells for each cluster and the clusters are connected in star configuration. Each cell consists of an H-bridge converter with a split capacitor. Figure 2 shows the simulation circuit. It consists of three phase system with six converter cells in each phase. Table 1 describes circuit parameter for simulation.



HIdayat. Design and Control of a Cascade Multilevel STATCOM.



26



IPTEK DAN INOVASI



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



INOVASI online



Figure 2. Simulation Configuration of Cascade Multilevel STATCOM Table 1. Circuit Parameter for Simulation Rated Reactive Power, Q Nominal line-to-line Voltage (rms), vs



15 kVA 200V



Background System Induction, Ls



48µH (0.8%)



AC Inductor, Lac



0.42mH (5%)



DC Capacitor Voltage Reference, vc*



30V



DC Capacitor Capacitance, C



47000µF



Unit Capacitance Constant, H



25.5ms



Carrier Frequency for PWM



1kHz



Dead Time in Each Converter



4µs



Figure 3 shows the simulation under capacitive mode in normal operation. Simulation shows the control method has the ability to control the reactive power and capacitor voltages to follow the reference value. Meanwhile, Figure 4 (a) shows the cascade multilevel STATCOM suffered 50% voltage sags for 100ms in capacitive mode operation without capacitor voltage balancing control. When the voltage sags appear, capacitor voltages suffer imbalance both in clusters and individual. This condition persists even after voltage sags have been removed. In contrast, Figure 4 (b) shows the result of similar condition as in Figure 4 (a) by activating the capacitor voltage balancing control in the operation. When the voltage sags appear, capacitor voltages to experience imbalance. However, after the voltage sags removed the capacitor voltages return to follow the reference. This simulation shows the ability of capacitor voltage balancing control.



HIdayat. Design and Control of a Cascade Multilevel STATCOM.



27



IPTEK DAN INOVASI



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



INOVASI online



Figure 3. Simulation result under capacitive mode in normal operation (q* = 15 kVA and vC* = 30V)



(a)



(b)



Figure 4. Simulation result for 50% Voltage Sags(q* = 15 kVA and vC* = 30V): (a) without Voltage Balancing Control, (b) with Voltage Balancing Control



4. Conclusion A new control method for a cascade multilevel STATCOM with improved reactive power and capacitor voltage control has been proposed. The control method is also equipped with capacitor voltage balancing capability which is ableto keep the capacitor voltage in each cell balance. Simulation has been carried out to verify the performance of the control method based on cascade configuration consist of six converter cells in each phase. Simulation results have proven the ability of the new control strategy to make a cascade multilevel STATCOM has fault-ride-trough capability. During voltage sag condition, the compensator will continue to operate under its rated value and improved performance.



HIdayat. Design and Control of a Cascade Multilevel STATCOM.



28



INOVASI online



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



IPTEK DAN INOVASI



Reference 1. 2. 3. 4. 5.



Dixon J, Moran L, Rodriguez J, Dunke R. Reactive Power Compensation Technologies, State-of-the-Art Review. Proc IEEE. 2005; 93(2):2144-164. Singh B, Saha R, Chandra A, Al-Haddad K. Static Synchronous Compensator: A Review. IET Power Electronics. 2009; 2(4): 297-324. Yoshii T, Inoue S, Akagi H. Control and Performance of a Medium-Voltage Transformerless Cascade PWM STATCOM with Star-Configuration, in: Conf. Rec. IEEE-IAS Ann. Meeting. 2006: pp.1716-23. Akagi H, Kanazawa Y, Nabae A. Instantaneous Reactive Power Compensators Comprising Switching Devices Without Energy Storage Components. IEEE Trans. Ind. Appl. 1984; 20(3):625-30. Betz RE, Summers T, Furney T. Symmetry Compensation using a H-Bridge Multilevel STATCOM with Zero Sequence Injection, in: Conf. Rec. IEEE-IAS Ann. Meeting. 2006. pp. 1724-31.



HIdayat. Design and Control of a Cascade Multilevel STATCOM.



29



KESEHATAN



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



INOVASI online



ISSN 2085-871X



Desain Obat Berbasis Struktur: Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia? Bimo A. Tejo Department of Chemistry, Universiti Putra Malaysia, 43400 UPM Serdang, Selangor, Malaysia E-mail: [email protected]



Abstrak Industri farmasi berbasis bioteknologi diperkirakan mampu menyumbang pada peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Indonesia memiliki kekayaan alam yang merupakan sumber senyawa obat berbasis bahan alam. Tulisan ini menjelaskan konsep dasar mengenai senyawa bahan alam dan peranannya dalam desain obat berbasis struktur. Juga diuraikan mengenai langkah-langkah yang bisa dilakukan Indonesia untuk menjadi pemain global dalam industri farmasi dengan menanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya yang unik. Kata kunci: bahan alam, obat, desain obat berbasis struktur ©2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.



1. Pendahuluan Visi Indonesia 2030 yang dirumuskan oleh Yayasan Indonesia Forum menargetkan Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi kelima di dunia setelah China, India, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Selain itu, di tahun 2030 disasarkan pendapatan per kapita sebesar US$18.000 per tahun dengan syarat pertumbuhan ekonomi riil harus berada pada angka rata-rata 7,62% setiap tahun. Untuk mencapai target tersebut, adalah mutlak untuk membangun industri berbasis teknologi maju yang sanggup menghasilkan produk bernilai tambah. Ada dua pertanyaan yang melandasi pemikiran tersebut. Pertama, mengapa harus membangun perindustrian? Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad memberi perumpamaan yang sangat sederhana: sebuah ladang pertanian seluas 1000 acre (400 hektar) memerlukan 500 orang untuk menggarapnya, dan sebaliknya sebuah pabrik yang berdiri di atas tanah hanya 10 acre (4 hektar) bisa menyerap hingga 1000 tenaga kerja. Kedua, mengapa harus menghasilkan produk bernilai tambah? Mantan Wakil Presiden B.J. Habibie pernah terkenal dengan kegigihannya memperkenalkan konsep value added yang dipraktikkannya dengan mendirikan industri pesawat terbang. Menjual pesawat tentu mendatangkan keuntungan finansial berlipat ganda ketimbang hanya menjual biji besi. Salah satu industri berbasis teknologi yang sanggup menghasilkan pemasukan finansial (revenue) sangat tinggi adalah bioteknologi. Menurut laporan tahunan MedAdNews, untuk tahun 2008 industri bioteknologi seluruh dunia mendapat pemasukan sebesar US$ 89,7 triliun dengan 1 porsi terbesarnya didominasi oleh perusahaan-perusahaan bioteknologi Amerika Serikat. Dan yang menariknya, dari 10 perusahaan bioteknologi terbesar di Amerika Serikat, 9 di antaranya 2 adalah perusahaan farmasi yang terlibat dalam penemuan dan produksi obat-obatan. Obat-obatan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masa kini. Manusia ingin hidup lebih lama, tetapi kehidupan yang lebih lama itu justru membuat manusia terpapar lebih banyak penyakit. Generasi pendahulu kita berumur lebih pendek dan kadang-kadang meninggal hanya karena infeksi sederhana sehingga tak sempat untuk menderita penyakit-penyakit degeratif seperti diabetes, gangguan jantung, rheumatoid arthritis, Alzheimer’s disease, atau



Tejo. Desain Obat Berbasis Struktur – Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?



30



INOVASI online



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



KESEHATAN



sejenisnya. Obat-obatan baru menjadi jawaban untuk hidup yang lebih lama, lebih sehat, dan lebih berkualitas di tengah keberadaan penyakit-penyakit yang semakin kompleks. Tak berlebihan kiranya jika dikatakan industri farmasi merupakan industri yang akan selalu mampu menghasilkan keuntungan ekonomi selama manusia menginginkan kehidupan yang lebih berkualitas. Membangun industri farmasi yang kuat dan berdaya saing adalah salah satu cara untuk mencapai target Visi Indonesia 2030 dari segi pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Untuk saat ini Indonesia belum menjadi pemain utama dalam industri farmasi. Kebanyakan industri farmasi di Indonesia masih terfokus pada formulasi obat-obatan yang diimpor dari luar negeri, tetapi belum berani terjun ke dalam upaya penelitian dan penemuan obat-obatan baru. Investasi yang sangat besar dan tingkat risiko yang amat tinggi adalah kendala serius, walaupun industri besar seperti Kalbe Farma sudah memulainya, misalnya dengan membangun pusat penelitian dan pengembangan obat Innogene Kalbiotech di 3 Singapura. Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk menghasilkan sendiri obat-obatan yang bernilai ekonomis tinggi. Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang nyaris tak terbatas. Senyawa kimia yang diisolasi dari bahan-bahan alam (natural products) merupakan sumber utama senyawa pemula (lead compound) untuk menghasilkan obat-obatan. Hampir separuh dari 520 obat baru yang disahkan oleh U.S. Food and Drug Administration antara tahun 1983 dan 1994 merupakan turunan dari senyawa bahan alam. Dan lebih dari 60% obat antikanker dan antiinfeksi yang beredar di pasaran maupun yang tengah berada dalam uji klinik merupakan 4 turunan senyawa bahan alam. Lantas, apa yang bisa diperbuat Indonesia untuk menjadi pemain besar dalam industri obat? Tulisan ini akan dimulai dengan ulasan mengenai senyawa bahan alam sebagai sumber senyawa obat, desain obat berdasarkan struktur reseptor, dan apa yang bisa dilakukan Indonesia untuk masuk sebagai pemain dalam industri farmasi global. 2. Bahan alam sebagai sumber senyawa obat Catatan terawal mengenai penggunaan bahan alam sebagai obat dijumpai dalam dokumen Kaisar Shen Nung dari China yang ditulis 5100 tahun yang lalu. Buku berjudul Pen Ts’ao itu memuat uraian beberapa jenis tumbuhan yang bisa digunakan sebagai obat. Salah satunya adalah ch’an shan yang merupakan akar tanaman spesies Dichroa febrifuga dan digunakan sebagai obat demam. Tumbuhan ini belakangan diketahui mengandung beberapa senyawa alkaloid dan masih digunakan secara tradisional untuk mengobati malaria. Contoh lain adalah opium yang pertama kali disebut oleh Theophrastus di abad ke-3 sebelum Masehi sebagai obat penahan sakit. Pada abad ke-10 sesudah Masehi, ilmuwan Muslim al-Razi memperkenalkan pil opium sebagai obat batuk, gangguan mental, dan penahan sakit. Penelitian modern menunjukkan opium mengandung morfin, zat penahan sakit, dan juga kodein yang pada masa kini banyak diresepkan sebagai obat batuk. Penisilin, jenis antibiotik paling populer dalam sejarah kedokteran modern, juga merupakan senyawa bahan alam. Proses penemuannya diawali dengan ketidaksengajaan. Pada tahun 1928, Alexander Fleming yang baru kembali dari perjalanan liburannya melihat jamur berwarna hijau (Penicillium notatum) yang tumbuh di sebelah kultur bakteri Staphylococcus aureus dan ketika keduanya bergabung ternyata menyebabkan kematian bakteri. Penisilin mulai digunakan sebagai obat sejak Sir Howard Florey dari Universitas Oxford berhasil mendesain formulasi yang memungkinkan penisilin digunakan sebagai obat oles pada kulit dan jaringan berlendir. Pada tahun 1944 untuk pertama kalinya struktur penisilin berhasil diketahui melalui teknik kristalografi sinar-X oleh Dorothy Crowfoot Hodgkin. Popularitas senyawa bahan alam sebagai sumber senyawa obat mencapai puncaknya di industri farmasi negara-negara Barat pada periode 1970–1980. Pada masa itu teknik identifikasi



Tejo. Desain Obat Berbasis Struktur – Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?



31



INOVASI online



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



KESEHATAN



senyawa bahan alam yang berpotensi obat masih dilakukan dengan cara pemindaian acak (random screening). Salah satu upaya pemindaian acak yang terkenal adalah ketika Kongres Amerika Serikat dan U.S. National Cancer Institute mengobarkan perang terhadap kanker di awal tahun 70-an. Ketika itu, setiap senyawa kimia baru yang berhasil diisolasi dari bahan alam 4 langsung diuji aktivitas antitumornya terhadap tikus. Pada masa kini teknik pemindaian acak masih dipakai secara terbatas, tetapi kepopulerannya meredup akibat mahalnya biaya pemindaian. Faktor lain yang membuat teknik pemindaian acak makin ditinggalkan adalah kehadiran teknik pemindaian kapasitas tinggi (high throughput screening, HTS) yang mampu memindai hingga 100.000 senyawa per hari. Malangnya, kehadiran HTS ini juga menyebabkan potensi bahan alam sebagai sumber senyawa semakin kurang diminati. Pasalnya, teknik HTS memerlukan perpustakaan senyawa (compound library) yang sangat besar dalam angka jutaan senyawa. Di saat yang sama, jumlah senyawa bahan alam yang bisa diisolasi setiap tahun sangat terbatas sehingga para peneliti obat lebih tertarik untuk membuat perpustakaan senyawa berbasis kimia kombinasi (combinatorial chemistry), yaitu koleksi besar/perpustakaan senyawa kimia yang dibuat dengan mensintesis berbagai jenis 5 kombinasi yang berasal dari unit struktur kimia yang lebih kecil. Faktor lain yang membuat popularitas bahan alam sebagai sumber senyawa obat meredup adalah ditetapkannya Konvensi Rio untuk Keberagaman Biologi di tahun 1992. Konvensi ini menyebabkan keraguan dalam upaya pengumpulan material biologis. Negara-negara yang kaya sumber daya alam seperti Indonesia semakin protektif melindungi sumber dayanya, tetapi sayangnya sikap ini tidak disusul oleh upaya pengembangan sumber daya alam secara mandiri, salah satunya adalah senyawa obat berbasis bahan alam. Meredupnya popularitas bahan alam sebagai sumber senyawa obat tidak berlangsung selamanya. Saat ini senyawa bahan alam kembali dilirik sebagai sumber senyawa obat. Salah satu sebab adalah keterbatasan teknik HTS yang terfokus pada senyawa-senyawa kimia berukuran kecil (drug-like compounds). Salah satu parameter yang digunakan secara luas adalah Lipinski’s Rule of Five: tidak boleh memiliki lebih dari 5 donor ikatan hidrogen, tidak boleh ada lebih dari 10 penerima ikatan hidrogen, berat molekul tidak lebih dari 500 g/mol, dan nilai logP 6 tidak lebih dari 5. Aturan Lipinski ini secara tegas menolak senyawa bahan alam yang berukuran besar. Salah satu senyawa bahan alam yang berukuran besar dan berfungsi sebagai obat adalah Micafungin (Mycamine®) yang dipasarkan oleh Astellas Pharma sebagai obat anti jamur sejak tahun 2005 (Gambar 1). Senyawa ini jelas menyalahi aturan Lipinski, tetapi tetap berfungsi sebagai senyawa obat. Berdasarkan fakta ini, dan juga keberadaan berbagai senyawa bahan alam berukuran besar yang memiliki fungsi sebagai obat terutamanya dari golongan peptida, bahan alam diyakini akan kembali merebut reputasinya yang meredup dalam 20 tahun terakhir ini.



Gambar 1. Micafungin (Sumber: Wikipedia)



Tejo. Desain Obat Berbasis Struktur – Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?



32



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



INOVASI online



KESEHATAN



Indonesia sebagai negara yang kaya dengan bahan alam tentu bisa memainkan peranan penting sebagai penghasil obat-obatan baru yang berbasis bahan alam. Namun, mengumpulkan bahan alam dan mengujinya secara acak bukan lagi teknik yang populer saat ini, dilihat dari segi biaya, efisiensi, dan efektivitas. Sejak pertengahan tahun 1980-an, industri farmasi menggunakan konsep baru yang dinamakan sebagai desain obat berbasis struktur (structure-based drug design).



3. Desain obat berbasis struktur Konsep desain obat berbasis struktur didasarkan pada pemikiran bahwa setiap senyawa obat berinteraksi dengan molekul reseptor (receptor) tertentu. Interaksi antara obat dengan reseptor ini akan menimbulkan efek farmakologis tergantung jenis molekul reseptornya. Jika molekul reseptornya berupa DNA, sintesis protein yang bertanggung jawab terhadap penyakit tertentu akan terhenti. Jika molekul reseptornya berupa enzim, proses katalisis reaksi kimia tertentu yang berimplikasi terhadap munculnya penyakit akan terhenti. Desain obat berbasis struktur memerlukan dua informasi utama, yaitu struktur tiga dimensi reseptor dan juga senyawa yang akan diuji efektivitasnya (ligand). Kedua syarat ini dipenuhi oleh keberadaan basis data Protein Data Bank (http://www.pdb.org) yang bisa diakses secara gratis dan hingga saat artikel ini ditulis telah mengumpulkan lebih dari 71 ribu struktur protein, DNA, dan 7 RNA. Adapun struktur tiga dimensi jutaan senyawa kimia tersebar di berbagai basis data, misalnya ZINC yang menyimpan struktur ~2,7 juta senyawa kimia (http://zinc5.docking.org) dan LIDAEUS yang menyimpan struktur ~5 juta senyawa kimia yang bisa dibeli secara komersial 8,9 untuk diuji efektivitasnya (http://opus.bch.ed.ac.uk/lidaeus/). Langkah-langkah untuk melakukan desain obat berbasis struktur bisa dirangkum seperti berikut: 1.



2.



3.



4.



Menentukan reseptor yang diyakini sebagai target berdasarkan informasi dari penelitian-penelitian sebelumnya. Struktur reseptor bisa diunduh dari Protein Data Bank. Identifikasi tempat interaksi antara ligand dan reseptor ditentukan dengan melihat posisi ligand yang ada di dalam struktur kristal kompleks protein-ligand, atau jika struktur kristal tersebut tidak memiliki ligand, tempat interaksi ligand-protein bisa ditentukan secara teoritis, misalnya menggunakan program STP (http://opus.bch.ed.ac.uk/stp/index.php). Proses selanjutnya adalah memindai interaksi jutaan ligand terhadap molekul reseptor. Proses ini dinamakan molecular docking yang pada intinya mencari ligand yang berinteraksi paling kuat dengan molekul reseptor berdasarkan energi interaksi elektrostatik, ikatan hidrogen, dan interaksi antarunit hidrofobik antara ligand dan reseptor. Proses docking bisa dilakukan dengan berbagai program, misalnya 10 11 12 13 AUTODOCK , DOCK , GOLD , Glide , dan lain-lain. Basis data LIDAEUS mempunyai fungsi docking yang terintegrasi di dalam program tersebut sehingga output yang otomatis didapat adalah daftar 100–500 ligand yang mempunyai interaksi terkuat dengan molekul reseptor yang kita masukkan dalam sistem LIDAEUS. Selanjutnya dilakukan proses validasi dengan menguji aktivitas senyawa kimia hasil proses docking. Basis data ZINC dan LIDAEUS mencantumkan nomer katalog dan nama penyalur untuk setiap ligand yang ada di dalam basis data mereka sehingga memudahkan proses pembelian. Setelah proses validasi, selanjutnya adalah pengoptimalan struktur senyawa kimia melalui sintesis kimia organik untuk menciptakan struktur molekul baru yang berinteraksi lebih kuat dengan molekul reseptor. Beberapa laboratorium akademik menghentikan proses penemuan obat sampai langkah nomor 3 untuk keperluan publikasi, sedangkan industri farmasi akan meneruskan langkah ke-4.



(Catatan: keempat langkah ini bukan merupakan konsep yang mutlak digunakan oleh semua industri farmasi dan akademik. Masing-masing kelompok peneliti mungkin mengadopsi



Tejo. Desain Obat Berbasis Struktur – Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?



33



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



INOVASI online



KESEHATAN



langkah-langkah berbeda, misalnya ada peneliti yang tidak menggunakan basis data ZINC ataupun yang sejenisnya, melainkan dengan mendesain ligand baru berdasarkan pecahan-pecahan (fragments) molekul yang berinteraksi dengan reseptor) Salah satu contoh termutakhir aplikasi konsep desain obat berbasis struktur untuk penemuan senyawa kimia baru yang mampu menghambat enzim methyltransferase virus demam berdarah dengue dipaparkan secara apik oleh kelompok peneliti dari Universitas Basel, Novartis Institute 14 for Tropical Disease Singapore, dan Schrödinger LLC. Penggunaan konsep desain obat berbasis struktur dengan bantuan teknologi komputer telah 15 melahirkan berbagai cerita sukses. Contoh yang paling terkenal adalah zanamivir (Relenza®) dan oseltamivir (Tamiflu®), dua obat yang digunakan secara luas sebagai penghambat enzim neuraminidase pada virus influenza A. Penemuan zanamivir dimulai oleh kajian yang sangat elegan oleh kelompok penelitian von Itzstein dari Australia yang melakukan studi docking dengan bantuan komputer menggunakan program GRID terhadap enzim neuraminidase dan berhasil 16 menemukan senyawa kimia baru yang mampu menghambat fungsi enzim tersebut. Senyawa yang kemudian dikembangkan menjadi Relenza® itu hanya bisa dipakai melalui saluran pernapasan (inhaler), sehingga para peneliti di Gilead Sciences kemudian mengembangkan molekul baru yang bisa dimasukkan melalui mulut. Molekul baru tersebut memiliki kemiripan struktur dengan zanamivir pada bagian rangka asam sialat (sialic acid), diberi nama oseltamivir dan dipasarkan dengan nama Tamiflu® (Gambar 2).



A



B



Gambar 2. Zanamivir (A) dan oseltamivir (B) (Sumber: Wikipedia)



4. Apa yang bisa dilakukan Indonesia? Sekarang pertanyaannya, mampukah Indonesia melakukan penemuan obat baru berlandaskan pada konsep desain obat berbasis struktur? Jawabannya sangat bisa. Hampir semua basis data molekul, terutama basis data Protein Data Bank dan senyawa ligand bisa digunakan secara gratis. Proses pemindaian maya (virtual screening) terhadap jutaan senyawa ligand bisa dilakukan dari komputer desktop, terutama jika menggunakan basis data LIDAEUS. Tetapi Indonesia harus jeli melihat kelebihan yang dimilikinya secara khusus. Basis data senyawa ligand seperti ZINC dan LIDAEUS rata-rata dimiliki oleh negara maju. Jika peneliti Indonesia menggunakan basis data itu dan memutuskan untuk mengembangkan senyawa ligand yang dibeli secara komersial, masalah paten senyawa ligand akan menjadi hambatan terbesar dalam proses penemuan obat. Kelebihan yang dimiliki Indonesia adalah keragaman sumber daya alamnya yang tersebar di darat dan laut. Sumber daya alam yang amat beragam ini mengandung berbagai jenis senyawa kimia eksotik yang mungkin tidak pernah ada dalam basis data apapun. Senyawa-senyawa kimia ini kemungkinan besar unik dan tidak dikandung oleh bahan alam dari negara-negara maju yang



Tejo. Desain Obat Berbasis Struktur – Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?



34



INOVASI online



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



KESEHATAN



memiliki empat musim. Sudahkah kita memiliki basis data yang menghimpun senyawa-senyawa kimia yang berhasil diisolasi oleh peneliti Indonesia dari bahan alam? Jika jawabannya belum, tidak ada salahnya belajar dari Malaysia yang sudah memulainya terlebih dahulu. Malaysia yang beriklim sama dengan Indonesia telah lama menyadari potensi terpendam dalam sumber daya alamnya, terutama senyawa-senyawa kimia yang diisolasi dari bahan alam. Universiti Sains Malaysia bekerja sama dengan Malaysian Institute of Pharmaceuticals and Nutraceuticals (IPHARM) telah membangun basis data senyawa kimia bahan alam yang dinamai NADI© (Nature Drug Discovery System). Hingga tahun 2008, NADI telah mengumpulkan struktur 4000 senyawa kimia bahan alam dan melakukan virtual screening 4000 senyawa itu terhadap 645 struktur reseptor. Proses docking dilakukan menggunakan AUTODOCK dan sistem jaringan komputer berbasis grid yang menghubungkan sumber daya komputer di Malaysia dan Uni Eropa. Untuk saat ini akses NADI tidak dibuka untuk umum karena terkait dengan hak intelektual atas senyawa-senyawa tersebut. Untuk membangun basis data seperti NADI, pertama-tama Indonesia tentu harus melakukan pendataan terhadap hasil-hasil penelitian ilmuwan kita yang seringkali luput tak terdokumentasi. Sumber daya komputer bukan masalah besar, apalagi jika kita bisa masuk ke dalam jaringan internasional komputer grid. Namun, virtual screening bukan akhir segalanya. Proses terpenting adalah validasi hasil virtual screening dengan menguji aktivitas senyawa-senyawa tersebut di laboratorium, serta modifikasi struktur molekul untuk menghasilkan senyawa dengan aktivitas lebih tinggi. Penulis yakin banyak ilmuwan Indonesia yang memiliki kepakaran dalam bidang sintesis kimia organik dan biologi sel. Untuk uji klinik tahap 1 hingga 3 bisa bekerja sama dengan industri farmasi yang sudah lama berdiri dan mempunyai dana khusus untuk keperluan tersebut. Masalahnya tinggal menunggu kemauan pemerintah untuk fokus ke arah menjadikan Indonesia sebagai pemain besar dalam industri farmasi. Investasi yang harus dikucurkan memang besar dan risikonya memang sangat tinggi. Bisa saja dari 1 juta molekul yang diuji pada tahap HTS, hanya 10 ribu molekul yang lolos ke tahap pengujian pada hewan percobaan, 10 molekul lolos ke tahap uji klinik, dan hanya 1 molekul yang pada akhirnya lolos ke konsumen sebagai obat. Di kalangan peneliti kimia medisinal ada gurauan tersendiri: berjudi di Las Vegas kemungkinannya lebih besar untuk mendapat keberuntungan ketimbang mendesain obat! Tetapi investasi dan risiko yang besar ini akan terbayar jika industri farmasi Indonesia bisa menghasilkan obat yang efektif. Dan investasi besar inilah yang menyebabkan harga obat mahal. Jika ingin menjadi negara berpendapatan tinggi di tahun 2030, pemerintah harus berani berinvestasi besar. Kalau tidak berani berinvestasi, jangan bermimpi untuk menjadi negara maju di tahun 2030! Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



18th Annual Report: Top 100 Biotechnology Companies. MedAdNews. June 2009. URL: http://www.scribd.com/doc/17231282/18th-Annual-Report-Top-100-Biotech-Companies-MedAdNewsJun-09 (diakses tanggal 14 Februari 2011). Top 50 Biotechnology Companies and their Pipelines. Special Report August 2009. PharmaLive.com. URL: http://www.pharmalive.com/special_reports/sample.cfm?reportID=281 (diakses tanggal 14 Februari 2011). Homepage Innogene Kalbiotech Pte Ltd. URL: http://www.innogene-kalbiotech.com/ (diakses tanggal 14 Februari 2011). nd Silverman RB. The Organic Chemistry of Drug Design and Drug Action, Elsevier Academic Press (2 edition). 2004. Koehn FE, Carter GT. 2005. The evolving role of natural products in drug discovery. Nat Rev Drug Discov. 4:206–220. Lipinski CA, Lombardo F, Dominy BW, Feeney PJ . 2001. Experimental and computational approaches to estimate solubility and permeability in drug discovery and development settings. Adv Drug Deliv Rev. 46:3–26. Berman HM, Westbrook J, Feng Z, Gilliland G, Bhat TN, Weissig H, et al. 2000. The Protein Data Bank. Nucl Acids Res. 28:235–242.



Tejo. Desain Obat Berbasis Struktur – Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?



35



INOVASI online



8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.



Vol. 19 | XXIII | Juli 2011



KESEHATAN



Irwin JJ, Shoichet BK. 2005. ZINC--a free database of commercially available compounds for virtual screening. J Chem Inf Model .45(1):177–82. Taylor P, Blackburn E, Sheng YG, Harding S, Hsin KY, Kan D, et al. 2008. Ligand discovery and virtual screening using the program LIDAEUS. BJP. Suppl 1:S55-67. Morris GM, Goodsell DS, Halliday RS, Huey R, Hart WE, Belew RK, Olson AJ. 1998, Automated docking using a Lamarckian Genetic Algorithm and empirical binding free energy function. J Comput Chem. 19:1639–1662. Ewing TJA, Makino S, Skillman AG, Kuntz ID. 2001. DOCK 4.0: search strategies for automated molecular docking of flexible molecule databases. J Comput Aided Mol Des. 15:411–428. Verdonk ML, Cole JC, Hartshorn MJ, Murray W, Taylor RD. 2003. Improved protein-ligand docking using GOLD. Proteins. 52:609–623. Friesner RA, Banks JL, Murphy RB, Halgren TA, Klicic JJ, Mainz DT, et al. 2004. Glide: a new approach for rapid, accurate docking and scoring. 1. Method and assessment of docking accuracy. J Med Chem. 47(7):1739–1749. Podvinec M, Lim SP, Schmidt T, Scarsi M, Wen D, Sonntag LS, et al. 2010. Novel inhibitors of dengue virus methyltransferase: discovery by in vitro-driven virtual screening on a desktop computer grid. J Med Chem. 53(4):1483–1495. Talele TT, Khedkar SA, Rigby AC. 2010. Successful applications of computer aided drug discovery: moving drugs from concept to the clinic. Curr Top Med Chem. 10(1):127–141. von Itzstein M, Wu WY, Kok GB, Pegg MS, Dyason JC, Jin B, et al. 1993. Rational design of potent sialidase-based inhibitors of influenza virus replication. Nature. 363(6428):418–423.



Tejo. Desain Obat Berbasis Struktur – Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?



36



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



INOVASI online



CATATAN TEKNIS ISSN 2085-871X



Krisis Nuklir Fukushima Dai-ichi Sidik Permana Institute for Science and Technology Studies Chapter Japan E-mail: [email protected] Pada hari Jumat, 11 Maret 2011, pukul 14:46 waktu setempat, Jepang mengalami gempa berkekuatan 9 magnitude (skala Richter) yang berpusat di perairan Pasifik, sebelah timur pulau Honshu. Gempa ini merupakan gempa terbesar di Jepang sejak tahun 1900. Intensitas kekuatan gempa di daratan Jepang bervariasi seperti yang terlihat pada Gambar 1-a. Sekitar tiga menit kemudian, tsunami setinggi antara 6 hingga 14 meter menyapu pesisir timur Jepang. Wilayah yang mengalami kerusakan terparah adalah propinsi Miyagi. Kerusakan di wilayah ini 2 mencapai 300 km . Dua wilayah lain juga mengalami kerusakan yang parah, yaitu Fukushima 2 2 (110 km ) dan Iwate (50 km ). Pesisir pantai, perumahan, perkantoran, sekolah, dan fasilitas kota lainnya tersapu. Gambar 1-b memperlihatkan gelombang tsunami yang menyapu wilayah perkotaan.



(a)



(b)



Gambar 1. (a) Tanda merah ’x’ menunjukkan pusat gempa berkekuatan 9 magnitude di timur 1 Jepang, (b) gelombang tsunami yang menghantam pantai Kepolisian Jepang melaporkan korban gempa dan tsunami berjumlah 26 ribu orang, dan 14.294 di antaranya meninggal. Korban tersebut sudah termasuk korban meninggal akibat gempa pada 7 dan 11 April. Dari korban-korban itu, sekitar 84% jasad dapat diidentifikasi (data 24 April 2 2011). Warga yang selamat, sekitar 200.000 orang, mengungsi di 1.000 tempat pengungsian. Selain itu, menurut Tokyo Shoko Research, lebih dari 30% perusahaan Jepang (1.135 perusahaan) mengalami kerusakan dan 50% di antaranya tidak dapat melakukan aktivitas 3 bisnis. Dampak Gempa dan Tsunami terhadap PLTN di Jepang Ketika gempa terjadi fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) secara otomatis berhenti beroperasi. Gempa tersebut menghentikan operasional pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik bahan bakar fosil, dan juga fasilitas transmisi dan distribusi listrik dari pembangkit. Ada sekitar 20 unit PLTA dan 15 unit pembangkit listrik bahan bakar fosil yang mati (shut down). Pembangkit listrik ini sebagian dikelola oleh Tokyo Electric Power Corporation 4 (TEPCO).



Sidik Permana. Krisis Nuklir Fukushima Dai-ichi



44



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



INOVASI online



CATATAN TEKNIS



Di Jepang, PLTN adalah pembangkit listrik yang penting karena 31 % listrik nasional dipasok 5 oleh PLTN. Ada 54 unit PLTN yang beroperasi di Jepang. Empat belas unit PLTN di antaranya berada di daerah yang terkena dampak gempa dan tsunami, yaitu 3 unit di PLTN Onagawa, 4 unit di Fukushima Dai-ni, 1 unit di Tokai Dai-ni, dan 6 unit di Fukushima Dai-ichi (lihat Gambar 2). Keempat belas unit ini berhenti beroperasi ketika gempa terjadi, sedangkan sisanya, yaitu 40 unit reaktor, tetap beroperasi. Efek dari berhentinya puluhan pembangkit listrik ini adalah turunnya pasokan listrik hingga 20% dari total produksi listrik TEPCO dan Tohoku Electric Power Company. Persentase ini setara dengan 10 – 15 gigawatt (TEPCO) dan 2 – 3 gigawatt 6 (Tohoku Electric).



Gambar 2. Peta status pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Jepang setelah gempa dan 7 tsunami Krisis Nuklir di Fukushima Dai-ichi PLTN yang mengalami krisis setelah bencana gempa dan tsunami adalah PLTN Fukushima Dai-ichi (Gambar 3). Krisis ini bersumber pada terganggunya proses pendinginan reaktor karena gelombang tsunami telah menyapu fasilitas pendingin Fukushima Dai-ichi. Dari enam unit di Fukushima Dai-ichi, tiga unit, yaitu unit 1 – 3, langsung shutdown ketika gempa terjadi. Sedangkan unit 4 – 6 dalam keadaan tidak beroperasi karena sedang menjalani inspeksi. Menurut standar operasional yang berlaku untuk PLTN, jika gempa dengan intensitas membahayakan terjadi maka semua unit PLTN yang tengah beroperasi harus secara otomatis shutdown. Selain PLTN Dai-ichi, shutdown juga dialami oleh empat unit di PLTN Fukushima Dai-ni, tiga unit di PLTN Onagawa (milik Tohoku Electric Power Corporation) dan satu unit di PLTN Tokai Dai-ni (milik Japan Atomic Power Corporation). Setelah unit reaktor dihentikan, langkah selanjutnya adalah mendinginkan reaktor. Pendinginan ini diperlukan karena reaktor yang baru saja berhenti sebenarnya masih menyimpan panas akibat peluruhan produk fisi sebesar 7% dari tenaga total. Proses pendinginan ini memerlukan pasokan listrik yang ketika gempa terjadi juga mengalami shutdown secara otomatis. Pasokan listrik kemudian disediakan



Sidik Permana. Krisis Nuklir Fukushima Dai-ichi



45



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



INOVASI online



CATATAN TEKNIS



oleh generator diesel darurat yang dapat beroperasi selama satu jam. Sayangnya, belum lama generator ini beroperasi, gelombang tsunami setinggi diatas 10 meter dan maksimum ketinggian 14-15 meter menyapu semua tangki bahan bakarnya. Ketinggian tsunami tersebut melebihi desain dasar PLTN Fukushima dai-ichi, yaitu sekitar 6 meter untuk menahan tsunami. Sebenarnya sudah ada saran dari pemerintah Jepang untuk meningkatkan desain standarnya 8 dari gempa dan tsunami, akan tetapi PLTN Fukushima dai-ichi tidak selesai. Proses pendinginan mengalami kegagalan, dan di sinilah asal muasal krisis nuklir Fukushima, yaitu gagalnya proses pendinginan reaktor karena sistem pendingin tidak berfungsi.



(a)



(b) 9



Gambar 3. (a) Kompleks PLTN Fukushima Dai-ichi, (b) gelombang tsunami memasuki 10 kompleks PLTN Gagalnya generator diesel darurat ini menyebabkan kosongnya pasokan air pendingin ke dalam reaktor. Akibatnya, teras reaktor kekurangan air dan beberapa bagian fuel rod tidak terendam dan seiring dengan peningkatan temperatur, beberapa bagian fuel rod mempunyai temperatur diperkirakan diatas 1000 derajat. Peningkatan temperatur ini merusakkan bahan selongsong pelindung bahan bakar (cladding zircalloy) yang kemudian berinteraksi dengan uap air dan menghasilkan gas hidrogen. Saat ini sebagian kerusakan pada teras reaktor 1, 2, dan 3 7 bervariasi antara 25% hingga 70%, yang intinya disebabkan oleh kerusakan cladding. Selain berkonsentrasi pada penstabilan unit reaktor 1 – 3, proses pendinginan juga dilakukan pada kolam bahan bakar bekas (spent fuel pool) di unit 4 yang juga mengalami kenaikan temperatur dan kehilangan pasokan air pendingin. Sebagai konsekuensinya, proses pendinginan dilakukan secara manual dengan memompa air laut ke dalam reaktor tanpa proses pemindahan panas dan uap air ke bagian turbin. Proses pendinginan terus dilakukan dengan menggunakan air laut yang kemudian diganti oleh air biasa untuk mengurangi korosi akibat garam yang terkandung dalam air laut. Untuk beberapa saat, aliran air tidak dapat masuk ke dalam reaktor karena tekanan terlalu tinggi. Untuk mengurangi tekanan di dalam reaktor, venting (proses mengeluarkan gas) dilakukan, dan seiring dengan proses venting tersebut sebagian gas hidorgen yang terbentuk di reaktor keluar disertai sebagian produk fisi berbentuk gas dan berkumpul diatas bagian atap bangunan reaktor. Ketika gas hidrogen ke luar dari reaktor, hidrogen ini berinteraksi dengan udara luar dan meledak. Ledakan ini meruntuhkan atap gedung unit reaktor. Jadi, tidak ada yang namanya ledakan nuklir. Yang terjadi adalah ledakan hidrogen. Kenyataannya, pressure vessel yang melindungi inti reaktor (core) masih ada. Bangunan (containment vessel) yang melindungi pressure vessel tersebut juga masih utuh. Pressure vessel tersebut merupakan bagian yang langsung melindungi teras reaktor. Ini berarti bahwa bahan bakar nuklir relatif aman di dalam reaktor meskipun sebagian pelindung bahan bakar (cladding zircaloy) mengalami kerusakan akibat panas, kecuali sebagian kecil yang dikeluarkan oleh beberapa kali proses venting yang berasal dari partikel radioaktif gas. Saat ini, reaktor boleh dikatakan relatif stabil, dan dapat dikendalikan suhu dan tekanannya. Namun demikian,



Sidik Permana. Krisis Nuklir Fukushima Dai-ichi



46



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



INOVASI online



CATATAN TEKNIS



banyaknya air yang dimasukkan ke dalam reaktor tanpa proses sirkulasi menyebabkan penumpukan air. Air yang menumpuk tersebut ada yang terkontaminasi dengan bahan radioaktif. Level radiasi yang tinggi biasanya disebabkan oleh air yang berinteraksi langsung dengan bahan bakar yang dalam keadaan normal, bahan bakar tersebut terlindungi oleh cladding zorcaloy dan air hanya menerima panas dari hasil reaksi fisi. Bahan bakar tersebut berada dalam teras reaktor. Proses interaksi ini disebabkan oleh rusaknya selubung pelindung bahan bakar (cladding zircalloy). Diperkirakan akibat ledakan hidrogen di unit 2, menyebabkan sebagian containment vessel ikut rusak dan air yang tertampung di containmnet vessel bocor. Air yang keluar sebagian tertampung dibawah turbin dan penampungan air lainnya, dan sebagian kecil keluar ke laut yang alirannya sudah berhasil dihentikan. Penanganan selanjutnya adalah menampung air yang terkontaminasi, dan tidak keluar ke lingkungan. Air yang terkontaminasi ini dapat juga dimurnikan oleh fasilitas khusus. Saat ini, beberapa upaya terus dilakukan, yaitu proses pendinginan, minimalisasi bahan radioaktif dari air yang terkontaminasi, purifikasi air, pembangunan instalasi penukar panas dan perbaikan turbin untuk sirkulasi air pendingin secara stabil. Proses perbaikan PLTN ini diperkirakan memakan waktu 6 sampai 9 bulan. Sebenarnya, proses pendinginan reaktor pada saat keadaan normal bisa dilakukan dalam satu hari untuk mencapai kestabilan pendinginan. Apabila dalam keadaan darurat, dengan memakai generator diesel darurat, backup batere dan kemudian disambungkan dengan listrik ditempat yang sudah dikembalikan fungsinya yang sebelumnya berhenti akibat gempa, dapat dilakukan secara aman sampai mencapai keadaan pendinginan yang stabil selama satu hingga empat hari. Proses ini berhasil dilakukan di beberapa PLTN lain yaitu PLTN Fukushima Dai-ni 11 12 (TEPCO), PLTN Onagawa (Tohoku Electric Power Corporation) dan PLTN Dai-ni Tokai 13 (JAPC). Level Radiasi di Jepang Radiasi yang terpancar dari bahan radioaktif ke lingkungan ada dua jenis, yaitu:  



Paparan luar (eksternal) yaitu paparan langsung dari luar ke tubuh kita. Paparan dalam (internal) yaitu paparan yang terjadi di dalam tubuh akibat zat atau partikel radioaktif yang terserap ke dalam tubuh baik lewat aktivitas pernafasan, makan atau minum.



Umumnya, radiasi eksternal dan internal terjadi akibat tersebarnya partikel gas dari produk fisi seperti Iodine-131 dan Cesium-137. Partikel radioaktif lainnya tersimpan tidak ikut tersebar (atau terbang) karena berupa padatan. Radiasi yang keluar karena partikel-partikel radioaktif gas ini disebabkan oleh proses venting dan sebagian berasal dari bocornya air pendinginan yang terkontaminasi di reaktor. 14



Level radiasi di udara, tanah, dan air terus dipantau oleh pemerintah Jepang. Mereka mengawasi level radiasi di 47 prefektur setiap hari. Pemerintah Jepang melihat adanya penurunan level radiasi. Pada 25 April 2011 misalnya, radiasi di kota Fukushima berada pada level 1,7 microSievert/jam. Prefektur Ibaraki (Mito) berada di level 0,12 microSv/jam. Di prefektur lain, levelnya di bawah 0,1 mciroSv/jam. Sebagai acuan, radiasi alami dari lingkungan dalam keadaan normal berkisar antara 0,05 – 0,1 microSv/jam. Dari hasil pemantauan radiasi di luar daerah evakuasi (di atas radius 20 km dari Fukushima Dai-ichi) dan daerah perluasan evakuasi, level radiasi di banyak daerah sudah kembali ke level radiasi alami. Kita dapat mengukur radiasi dengan mengacu pada Gambar 4. Gambar ini memperlihatkan bahwa kita sehari-hari sebenarnya sudah berinteraksi dengan radiasi. Namun, meski dosis radiasinya kecil, jika terpapar dalam jangka waktu lama, ada kekhawatiran bahwa dampak akumulasinya akan berbahaya. Kekhawatiran ini sebenarnya tidak perlu terjadi karena setiap hari kita juga menerima radiasi dari alam dalam dosis yang kecil, dan dosis tersebut tidak akan berbahaya. Selain itu, kita dibantu oleh proses perbaikan sel tubuh yang terus menerus berlangsung. Apabila dibandingkan dengan proses pengobatan kesehatan menggunakan



Sidik Permana. Krisis Nuklir Fukushima Dai-ichi



47



INOVASI online



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



CATATAN TEKNIS



radiasi atau perjalanan menggunakan pesawat udara, level radiasi alami ini masih dapat dikatakan jauh dari berbahaya. Perhatian utama para analis radiasi kesehatan adalah radiasi paparan langsung dengan level di atas 100 miliSv dalam satu kali paparan, seperti yang ada di 15 lokasi PLTN Fukushima Dai-ichi. Dampak radiasi untuk radiasi di bawah level 100 miliSv belum diketahui. Radiasi internal dalam dosis yang sangat tinggi dapat mengakibatkan gangguan kelenjar tyroid, yang kemudian dapat menjadi kanker tyroid. Sumber radiasi internal bisa dari minuman, susu, sayuran ataupun terhirup oleh pernafasan kita. Kontrol yang diberikan pemerintah Jepang untuk distribusi makanan, minuman dan ikan telah dilakukan, sehingga yang beredar dipasar adalah bahan yang sudah aman.



14



Gambar 4. Diagram radiasi dalam kehidupan sehari-hari Penilaian skala INES pada Kecelakaan PLTN Fukushima daiichi



International Nuclear and Radiological Event Scale (INES) merupakan sebuah evaluasi yang dilakukan berdasarkan standar internasional terkait sebuah kejadian yang terjadi di sebuah fasilitas nuklir baik di pembangkit, fuel processing dan fasilitas lainnya yang berkaitan. Penilaian ini dilakukan setelah kejadian dan berdasarkan data di lapangan yang dikumpulkan dan diperkirakan memenuhi kriteria INES pada berbagai level, dari level 0 sampai level 7 dengan mengacu kepada komponen radiasi yang dikeluarkan, kerusakan fasilitas (core reaktor) atau 16 kematian akibat radiasi langsung. Evaluasi bisa berubah bergantung data yang dikumpulkan dan bisa berubah bergantung dari sudut estimasi yang dilakukan. Evaluasi yang dilakukan terhadap kecelakaan Fukushima Dai-ichi ini berdasarkan pada komponen-komponen INES yang berlaku terutama partikel radioaktif yang keluar dari fasilitas PLTN tersebut. Evaluasi tersebut dilakukan oleh NISA (Nuclear and Industrial Safety Agency (NISA) dan Japan Nuclear Energy Safety Organization (JNES) yang kemudian dikirim ke



Sidik Permana. Krisis Nuklir Fukushima Dai-ichi



48



INOVASI online



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



CATATAN TEKNIS



International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai bahan laporan. Penetapan level INES dilakukan berdasarkan radioaktif yang keluar dari partikel I-131 (Yodium-131) yang dikeluarkan PLTN Fukushima dengan mengakumulasikan dari semua reaktor unit 1, 2, dan 3 menjadi sebuah kejadian dan berdasarkan dari estimasi total akumulasi radioaktif yang dikeluarkan. Penilaian sebelumnya yang diberikan untuk Fukushima Dai-ichi ini adalah level 5 INES karena didasarkan pada penilaian terpisah pada masing-masing unit sebagai satu peristiwa terpisah. Level 7 bisa diberikan karena berdasarkan sebuah peristiwa yang menghasilkan radioaktivitas 15 ke lingkungan sebanyak lebih dari beberapa puluh ribu terabequerels dari I-131. Dari estimasi NISA dan JNES diperoleh nilai yang telah melebihi kuantitas level radiasi I-131 dalam INES level 7 tersebut. Dari hasil evaluasi NISA dan JNES didapatkan total akumulasinya sekitar 10% dari radiasi yang dikeluarkan oleh Chernobyl. Meskipun Fukushima sama dengan Chernobyl, yaitu ada di level 7 (level maksimum INES), tetapi level kerusakan core, radioaktif yang dikeluarkan, serta korban jiwa akibat langsung dari radiasi jauh di bawah dari kecelakaan 17 Chernobyl. Dalam tragedi Fukushima Dai-ichi, operasi reaktor telah bisa dikontrol dan dishutdown, kemudian proses pendinginan dilakukan beberapa saat sebelum akhirnya pendinginan gagal karena tsunami dan mengakibatkan kerusakan core karena panas yang berasal dari sisa proses peluruhan produk fisi di core. Akan tetapi isi reaktor yang rusak masih di dalam teras reaktor, kecuali beberapa partikel radioaktif gas seperti I-131, Cs-137 yang keluar seiring dengan proses venting dan air yang terkontaminasi yang tertampung di beberapa lokasi di Fukushima Dai-ichi. Karena evaluasi ini berdasarkan pada kejadian yang sudah terjadi akibat dari sejumlah partikel radioaktif yang dikeluarkan dari fasilitas PLTN Fukushima Dai-ichi, artinya tidak berefek dengan keadaan yang sudah ada sekarang. Yang ada saat ini adalah sisasisa radiasi yang masih ada disekitar yang terpancar dan jauh menurun dari beberapa waktu sebelumnya. Level radiasi yang tinggi di mana level radiasinya melebihi ambang batas berbahaya terutama di daerah evakuasi 20 km dan ditambah beberapa lokasi di atas 20 km seperti desa Kutsurao, kota Namie, desa Iitate, sebagian kota Kawamata dan sebagian kota Minami Souma. Artinya, penetapan level INES 5 menjadi 7 tidak memberikan efek langsung terhadap proses evakuasi dan proses perbaikan yang sedang berlangsung saat ini. Referensi 1.



Hayes G, Wald D. The 03/11/2011 Mw9.0 Tohoku, Japan earthquake. Educational slides. URL: http://earthquake.usgs.gov/learn/topics/Tohoku2011.pdf diakses 5 Mei 2011. 2. Over 26,000 dead or missing. NHK Report, Friday, April 24, 2011. URL: http://www3.nhk.or.jp/daily/english/24_14.html diakses 24 April 2011. 3. Over 30% of listed firms report damage. NHK Report, Friday, March 25, 2011. 4. Impact to TEPCO's Facilities due to Miyagiken-Oki Earthquake. Tokyo Electric Power Company (TEPCO) Press Release (Mar 11, 2011). URL: http://www.tepco.co.jp/en/press/corpcom/release/11031105-e.html diakses 2 Mei 2011. 5. Nuclear Energy Buyers Guide in Japan 2011. Japan Atomic Industrial Forum (JAIF). February 2011. URL : http://www.jaif.or.jp/english/buyersguide/jaif_buyersguide2011.pdf diakses 5 Mei 2011. 6. The path from Fukushima: short and medium-term impacts of the reactor damage caused by the Japan earthquake and tsunami on Japan’s electricity systems. Nautilus Institute for Security and Sustainability report, 2011. URL: http://www.nautilus.org/publications/essays/napsnet/reports/SRJapanEnergy.pdf diakses 5 mei 2011 7. Information on status of nuclear power plants in Fukushima. Japan Atomic Industrial Forum. 13 April 2011. URL: http://www.jaif.or.jp/english/news_images/pdf/ENGNEWS01_1302693266P.pdf diakses 4 Mei 2011. 8. Fukushima Daiichi Nuclear Power Plant Accident and Radiation Health Effects. Presentation at International center of Waseda University April 14, 2011. URL: http://www.f.waseda.jp/okay/news_en/news_content/Fukushima_Waseda_110420.pdf diakses 5 Mei 2011. 9. Resource Gallery / Nuclear Power Station, Tokyo Electric Power Company. URL : http://www.tepco.co.jp/en/news/gallery/nuclear-e.html diakses 5 Mei 2011. 10. TEPCO releases report on tsunami that hit Fukushima NPS: height of wave three times higher than projected in plant design. JAIF. URL: http://www.jaif.or.jp/english/news_images/pdf/ENGNEWS01_1303102145P.pdf diakses 4 Mei 2011. 11. TEPCO plant status of Fukushima daini nuclear power station (as of 4:00 pm April 16th). TEPCO.



Sidik Permana. Krisis Nuklir Fukushima Dai-ichi



49



INOVASI online



12. 13. 14. 15. 16. 17.



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



CATATAN TEKNIS



URL: http://www.tepco.co.jp/en/press/corp-com/release/betu11_e/images/110416e5.pdf diakses 4 Mei 2011. http://www.tohokuPress release, Tohoku Electric Power Company. URL: epco.co.jp/emergency/8/1182598_1800.html diakses 5 Mei 2011. Press release, Japan Atomic Power Company (JAPC). URL: http://www.japc.co.jp/tohoku/index.html diakses 5 Mei 2011 Reading of environmental radioactivity level (English version). Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology, Japan (MEXT). URL: http://www.mext.go.jp/english/incident/1303962.htm diakses 4 Mei 2011. Brenner DJ, Doll R, Goodhead DT, Hall EJ, Land CE, Little JB, et al. Cancer risks attributable to low doses of ionizing radiation: assessing what we really know. Proc Natl Acad Sci U S A. 2003; 100(24):13761-6. The International Nuclear and Radiological Event Scale, User’s Manual 2008 Edition. International Atomic Energy Agency. 2008. URL: http://www-pub.iaea.org/MTCD/publications/PDF/INES2009_web.pdf diakses 5 Mei 2011. INES (the International Nuclear and Radiological Event Scale) Rating on the Events in Fukushima Dai-ichi Nuclear Power Station by the Tohoku District - off the Pacific Ocean Earthquake. Ministry of Economy, Trade and Industry. News relese, April 12, 2011. URL: http://www.nisa.meti.go.jp/english/files/en20110412-4.pdf diakses 5 Mei 2011.



Sidik Permana. Krisis Nuklir Fukushima Dai-ichi



50



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



INOVASI online



CATATAN TEKNIS



ISSN 2085-871X



Teknologi Video di Internet untuk Pemantauan Tingkat Radiasi Muhammad Kunta Biddinika Research Laboratory for Nuclear Reactors, Tokyo Institute of Technology, Japan Email: [email protected] Video internet Tidak lama selang waktu antara Will Dalrymple, editor kepala di Nuclear Engineering Magazine, yang menceritakan betapa hebatnya tampilan video di internet sekarang serta berbagai aplikasi 1 sederhananya yang melibatkan teknologi nuklir khususnya PLTN, dengan gempa yang diikuti dengan tsunami di Tohoku terjadi. Tsunami itu menjadi penyebab utama kecelakaan PLTN 2 Fukushima Dai-ichi. Meski hanya dengan kamera yang murah sekalipun, menurutnya, dapat dihasilkan gambar yang cukup bagus serta menarik untuk dinikmati. Dia menggarisbawahi kekuatan video dibandingkan media-media komunikasi lainnya karena video mencerminkan apa yang kita dengar dan kita lihat secara langsung sehingga bisa membawa sebuah sensasi realisme yang lebih mampu menghadirkan keadaan sebenarnya. Dalrymple mencontohkan beberapa video yang terkait dengan ketenaganukliran, khususnya PLTN. Tetapi semua yang dia ceritakan adalah yang berbentuk video on demand, di mana sebuah rekaman video sudah diunggah ke server terlebih dahulu, baru kemudian bisa dinikmati rekaman itu dari awal hingga akhir, secara utuh, kapan pun kita ingin menikmatinya. Kita juga bisa mengatur video tersebut, apakah akan dimajukan atau dimundurkan ditengah-tengah pemutarannya. Video seperti ini relatif lebih mudah ditemui di internet. Youtube adalah penyedia layanan video-on-demand yang paling terkenal di internet. Pemantauan tingkat radiasi nuklir melalui vidoe internet Ada manfaat layanan video lainnya di internet yang sebenarnya bisa diaplikasikan dalam teknologi nuklir, yaitu untuk keperluan pemantauan. Aplikasi ini sangat cocok, khususnya, untuk pasca kecelakaan Fukushima Dai-ichi di mana radiasi nuklir perlu dipantau secara terus menerus; kalau perlu secara real-time. Idenya adalah bahwa kita dapat mengarahkan webcam ke bagian jendela bacaan detektor radiasi atau survey-meter, dan menyambungkan webcam tersebut ke personal computer yang punya akses internet. Kemudian, gambar yang ditangkap webcam tersebut dimasukkan ke penyedia layanan video internet yang punya kemampuan penyiaran secara langsung (live broadcasting). Hasilnya, video yang ditangkap oleh webcam tersebut dapat ditampilkan secara langsung melalui internet lewat layanan live broadcasting berbasis web. Beberapa pemantauan radiasi yang dapat dilihat secara langsung melalui fasilitas video internet 3 tersebut dikumpulkan dalam satu situs seperti yang dapat dilihat di http://future-box.de/. Meski sekilas situs ini berpenampilan seperti Youtube, tetapi ada perbedaan mendasar yang tidak bisa ditemui pada video dari live broadcasting tadi, yaitu jendela yang menampilkan video tersebut tidak punya fasilitas untuk memaju-mundurkan video tadi. Jadi pemirsa hanya bisa mengatur ukuran tampilan dan volume suara video tersebut saja. Ini persis dengan layanan televisi melalui internet. Perbandingan video internet Ventle dan Ustream Ada dua website yang banyak digunakan layanan live broadcastingnya, yaitu Veetle (http://veetle.com/) dan Ustream (http://www.ustream.tv/). Ustream lebih ramah kepada hampir semua browser internet, sementara Veetle hanya ramah ke beberapa browser saja. Artinya, Veetle mengharuskan kita meng-install plug-in terlebih dahulu ke browser yang dipakai sebelum bisa menggunakan fasilitasnya. Itu pun tidak bisa dari semua browser internet, misalnya Veetle masih belum bisa dijalankan dengan browser Safari. Sementara Ustream tidak perlu melakukan



Biddinika. Teknologi Video di Internet untuk Pemantauan Tingkat Radiasi.



51



INOVASI online



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



CATATAN TEKNIS



instalasi plug-in apapun ke browser manapun. Hal ini berlaku baik ketika kita menyiarkan suatu tampilan dari webcam kita maupun ketika kita menonton siaran. Secara kualitas tampilan, Veetle memang lebih mampu menyiarkan video dengan kualitas high definition sekalipun; tergantung apakah perangkat kerasnya mendukung atau tidak. Tetapi, tidak demikian dengan Ustream. Tidak peduli sebagus apa perangkat kerasnya, kualitas tampilan dan suara yang dihasilkannya tidak sama dengan kualitasnya dengan yang high definition. Meski begitu, jendela video dari Ustream lebih banyak dipasang (embedded) di 3 tampilan website. Kemudahan ini pula yang menjadikan Ustream lebih bisa dipilih untuk 3 keperluan pemantauan radiasi tersebut. Pemantauan tingkat radiasi oleh pemerintah daerah di Jepang Sebagai ilustrasi, mari kita cermati pemantauan radiasi yang dilakukan oleh pemerintahpemerintah daerah di seluruh Jepang pasca terjadinya kecelakaan di salah satu PLTNnya. Semua pemerintah provinsi (prefektur) di Jepang memiliki sistem deteksi radiasi. Ketika terjadi kecelakaan di Fukushima Dai-ichi, hasil pemantauan radiasi di tiap prefektur dilaporkan secara periodik kepada pemerintah pusat. Kemudian, pemerintah pusat lewat Kementerian Pendidikan, Sains dan Teknologi (MEXT) melaporkan rekapitulasi pantauan semua prefektur secara periodik. Dalam kasus ini adalah hasil pemantauan dilaporkan dua kali sehari kepada publik 4 melalui website. Artinya, ada rentang waktu antara saat detektor menampilkan tingkat radiasinya dengan waktu saat publik melihat hasilnya. Itu pun sudah merupakan hasil rerata bacaan detektor tiap satu jam. Bandingkan jika publik dapat melihat langsung bacaan detektor radiasi yang dimiliki oleh setiap prefektur tadi. Bahkan, misalnya, dalam satu prefektur terdapat lebih dari satu detektor pun, semuanya bisa ditampilkan secara embedded dalam website tiap prefektur. Semua hasil detektor dari seluruh prefektur tidak perlu dikumpulkan dalam satu website yang dikelola MEXT, misalnya. Cukup tiap prefektur yang kesemuanya memang sudah punya website yang menampilkan video dari jendela bacaan detektor yang dimilikinya. Pemantauan tingkat radiasi di KBRI Tokyo Dengan demikian, MEXT tetap saja terus merekapitulasi seluruh data radiasi per jam dari tiap prefektur dan melaporkannya via website dua kali sehari. Namun publik juga bisa lebih meyakinkan dirinya lagi dengan cara melihat bacaan detektor-detektor milik setiap prefektur yang ditampilkan secara embedded di website masing-masing prefektur tersebut. Kalau perlu, publik bahkan bisa ikut menghitung tingkat radiasi di prefektur tertentu dengan cara mereratakan hasil yang dia baca langsung dari detektor yang bacaannya dapat dia amati secara real-time. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo (KBRI Tokyo) juga berencana memanfaatkan teknologi video internet tersebut untuk memberikan informasi paparan radiasi secara real-time. Sebuah detektor radiasi akan dipasang di KBRI Tokyo dan bacaannya akan ditampilkan di websitenya (http://www2.indonesianembassy.jp/) dengan teknologi tersebut. Nantinya, masyarakat bisa langsung mengamati tingkat radiasi di Tokyo, khususnya di sekitar lokasi KBRI Tokyo. Meskipun status aman atau tidaknya suatu tempat dari bahaya radiasi tidak dapat ditentukan hanya dengan satu detektor saja, tetapi paling tidak, pemanfaatan teknologi video internet untuk pemantauan radiasi ini dapat mengurangi kekhawatiran masyarakat Indonesia yang ada di Tokyo, khususnya, dan juga masyarakat Indonesia yang berencana bepergian ke Tokyo. Referensi 1. 2.



Dalrymple W. Seeing is believing. Nuclear Engineering International Magazine. 2011; 56(680):5. Japan Nuclear and Industrial Safety Agency. Great East Japan Earthquake and the seismic damage th to the NPSs as of 8:00am April 27 , 2011 (JST). URL:



Biddinika. Teknologi Video di Internet untuk Pemantauan Tingkat Radiasi.



52



INOVASI online



3. 4.



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



CATATAN TEKNIS



http://www.meti.go.jp/english/earthquake/nuclear/pdf/110427_0800_factsheet.pdf diakses pada 30 April 2011. Kumpulan video internet pemantauan radiasi di beberapa tempat diantaranya di Jepang. URL: http://future-box.de/blog/?tag=messnetz diakses pada 30 April 2011. Reading of environmental radioactivity level (English version). URL: http://www.mext.go.jp/english/incident/1303962.htm diakses pada 30 April 2011.



Biddinika. Teknologi Video di Internet untuk Pemantauan Tingkat Radiasi.



53



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



INOVASI online



CATATAN TEKNIS ISSN 2085-871X



Model Deformasi Permukaan Bumi Terkait Gempa Tohoku Agustan Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Indonesia Email: [email protected] Gempa yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2011 di wilayah Tohoku, Jepang, terjadi akibat patahnya lempeng di suatu wilayah yang berpusat di 38,322 Lintang Utara dan 142,369 Bujur Timur dengan kedalaman 24 km (Gambar 1-a). Patahan berjenis patah naik (thrust fault) ini terjadi akibat desakan lempeng Pasifik terhadap lempeng Amerika Utara. Gambar 1-b memperlihatkan posisi Jepang yang berada di persimpangan empat lempeng, dan Gambar 1-c menunjukkan patahan naik. Proses patahan ini berlangsung selama 150 detik dengan luas wilayah sekitar 540 km x 200 km. Pada awalnya, proses ini diperkirakan mampu membangkitkan energi seismik sebesar 1,97 24 x10 Nm, atau skala 8,8 moment magnitude (Mw). Energi ini setara dengan satu juta kali kekuatan bom atom Hiroshima (lihat Tabel 1). Namun, beberapa hari kemudian, para ahli sepakat bahwa skala gempa ini adalah 9,0. Mekanisme gempa menurut United States of Geological Survey (USGS) dari inversi data broadband seismometer adalah (1) arah gempa atau strike = 195°, (2) sudut bidang gempa (dip angle) = 9°, dan (3) slip maksimum = 17,5 meter.



(a)



(b)



(c) Gambar 1. (a) Tanda bintang menunjukkan pusat gempa Tohoku, (b) lempeng tektonik yang ada di wilayah Jepang, (c) patah naik (thrust fault)



Agustan – Model Deformasi Permukaan Bumi Akibat Gempa



54



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



INOVASI online



CATATAN TEKNIS



Tabel 1. Hubungan skala gempa bumi dengan energi akibat ledakan trinitrotoluene (TNT) dan 1 bom atom Hiroshima Magnitude 1 2 3 4 5 6 6,9 7 8 8,5 8,6 8,7 8,8 9 9,1 9,2 9,5



TNT (Ton) 4,.77E-04 1,51E-02 4,77E-01 1,51E+01 4,77E+02 1,51E+04 3,38E+05 4,77E+05 1,51E+07 8,49E+07 1,20E+08 1,69E+08 2,39E+08 4,77E+08 6,74E+08 9,52E+08 2,68E+09



Bom Hiroshima 2,12E-06 6,71E-05 2,12E-03 6,71E-02 2,12E+00 6,71E+01 1,50E+03 2,12E+03 6,71E+04 3,77E+05 5,33E+05 7,53E+05 1,06E+06 2,12E+06 3,00E+06 4,23E+06 1,19E+07



Di sekitar lokasi gempa yang sama, gempa besar pernah terjadi pada 1896. Ketika itu kekuatan gempa adalah 8,1 Mw, dan korban akibat tsunami sekitar 22.000 jiwa. Pada 1933 terjadi gempa lagi berkekuatan 8,4 Mw dengan korban akibat tsunami sekitar 3.000 jiwa. Wilayah ini kemudian dikenal dengan nama gempa Sanriku. Efek dari Gempa Gempa ini mengakibatkan perubahan bentuk (deformasi) permukaan bumi yang meliputi dasar laut dan daratan yang dikenal dengan nama co-seismic deformation. Dari mekanisme gempa 2 yang dapat dihitung, deformasi permukaan bumi dapat dimodelkan dengan formula Okada. Hasil pemodelan memperlihatkan bahwa ada perubahan vertikal (up-lift) lebih dari 5 meter yang terjadi di dasar laut yang kemudian menghasilkan tsunami, serta ada pula penurunan (subsidence) lebih dari 1 meter di daratan seperti diilustrasikan pada Gambar 2.



Gambar 2. Model perubahan bentuk permukaan akibat gempa Tohoku pada 11 Maret 2011



Agustan – Model Deformasi Permukaan Bumi Akibat Gempa



55



INOVASI online



Vol. 19 | XXII | Juli 2011



CATATAN TEKNIS



Pemodelan ini dapat digunakan untuk memperkirakan waktu tempuh dan tinggi gelombang tsunami dalam mencapai titik tertentu. Hasil pemodelan memperlihatkan bahwa gelombang tsunami mulai masuk wilayah Indonesia bagian utara-timur pada detik ke 22.800, atau sekitar hampir 6 jam, setelah gempa terjadi. Jika diasumsikan bahwa jarak pusat gempa dengan Indonesia adalah 4.500 km maka kecepatan cepat rambat gelombang tsunami adalah 750 km/jam. Hasil pemodelan juga menunjukkan bahwa minimal ada 3 kali sapuan gelombang yang akan masuk wilayah Indonesia. Model penjalaran gelombang tsunami dapat dilihat pada Gambar 3.



Gambar 3. Model penjalaran waktu gelombang tsunami akibat gempa Tohoku Referensi



1. Lahr CJ. Comparison of Earthquake Energy to Nuclear Explosion Energy. 2000 URL: http://www.jclahr.com/alaska/aeic/magnitude/ diakses pada 28 April 2011.



2. Okada Y. Internal Deformation due to Shear and Tensile Faults in a Half-space. Bulletin of the Seismological Society of America. 1992; 82(2):1018–40.



3. Amante C, Eakins BW. ETOPO1 1 Arc-Minute Global Relief Model: Procedures, Data Sources and Analysis. NOAA Technical Memorandum NESDIS NGDC-24. 2009. 19 halaman.



Agustan – Model Deformasi Permukaan Bumi Akibat Gempa



56



Panduan Penulisan Naskah untuk Majalah Inovasi (font: Arial 12 points, bold) Nama penulis pertama1, nama penulis kedua2 (font: Arial 10.5 points, bold) 1



Afiliasi penulis 1 (font: Arial 10 points) Afiliasi penulis 2 (font: Arial 10 points) E-mail: [email protected] (font: Arial 10 points, italic) 2



Abstrak (font: Arial 10 points, bold) Abstrak harus ditulis dalam text box ini tidak lebih dari 200 kata. Isi abstrak antara lain ruang lingkup penelitian (apa yang akan anda sampaikan, ukuran, analisis dan lainnya), metode penelitian, hasil analisis dan kesimpulan secara singkat. Sertakan maksimal lima kata kunci untuk mempermudah pencarian. Kata kunci: artikel, abstrak, kata ©2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.



1. Inovasi (font: Arial 10 points, bold) Majalah INOVASI (ISSN: 2085-871X) diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (http://www.ppijepang.org/) sebagai berkala ilmiah semi-populer untuk menyajikan tulisan-tulisan berbagai topik, seperti sains dan teknologi, sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan topik humaniora lainnya. Majalah INOVASI berfungsi sebagai media untuk mengartikulasikan ide, pikiran, maupun hasil penelitian dalam rangka memperkaya wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan. Website Inovasi: http://io.ppijepang.org/ 2. Kategori artikel Majalah INOVASI menerima naskah baik yang bersifat ilmiah populer maupun ilmiah non-populer dengan kategori sebagai berikut: 2.1. Artikel populer Berisi tentang ide-ide atau gagasan baru yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Ditulis dalam bahasa Indonesia dengan ejaan yang disempurnakan (EYD) dan tidak lebih dari 6000 karakter atau maksimal 4 halaman. 2.2. Artikel non-populer Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan dan tidak akan dipublikasikan di media lainnya. a. Maksimal 9000 karakter atau tidak lebih dari 6 halaman dan ditulis dalam bahasa Indonesia/Inggris. b. Judul harus menggambarkan isi pokok secara ringkas dan jelas serta tidak melebihi 14 kata.



57



c. Struktur naskah terdiri atas Pendahuluan, Uraian Isi (metode, hasil dan diskusi), kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar pustaka. Judul bab boleh disesuaikan, misal: Bab 1 Perspektif Pertanian 5 tahun masa reformasi (mewakili pendahuluan)… dst. Huruf pertama setiap kata dalam judul bab harus ditulis dengan huruf kapital d. Pendahuluan berisi latar belakang/masalah, hipotesis, referensi yang relevan, pendekatan dan tujuan yang hendak dicapai. e. Uraian isi terdiri dari judul bab yang disesuaikan dengan kebutuhan dan informasi yang tersedia. Apabila naskah ini menyampaikan hasil penelitian yang khas, judul bab dalam uraian isi dapat terdiri dari Bahan dan Metode serta Hasil dan Pembahasan. f. Sangat disarankan jika dalam uraian isi/pembahasan bersifat kuantitatif. Misal: A lebih besar 10% daripada B, bukan A lebih besar dari B. g. Kesimpulan memuat secara singkat hasil yang telah diuraikan sebelumnya. Dapat dibuat dengan menggunakan penomoran atau pointer dalam satu paragraph. 3. Format penulisan artikel Ukuran kertas: A4; Margin atas: 3.5 cm; margin kiri, kanan dan bawah: 3 cm; tulisan: 1 kolom; spasi: tunggal; jenis huruf: Arial; ukuran: 10 points. Judul, nama penulis, afilisasi penulis dan alamat email ditulis dalam 1 kolom (center). Judul ditulis dengan font Arial, 12 points, bold, huruf kapital. Nama penulis ditulis dengan font Arial, 10.5 points, bold. Afiliasi penulis ditulis dengan font Arial, 10 points. Alamat email ditulis dengan font Arial, 10 points, italic. Satuan ditulis dalam unit satuan internasional (SI Unit) misalnya meter atau milimeter, kg atau gram, Newton dan lainnya. Pemisahan desimal untuk dimensi berat, tinggi dan waktu ditulis menggunakan titik (.) misalnya 3.4 m. Tanda koma (,) digunakan untuk memisahkan desimal pada besaran mata uang (misalnya : Rp 1,005,500,00) 4. Penulisan gambar/ilustrasi Gambar harus disertakan dengan resolusi tinggi supaya mempermudah pengamatan (format TIFF sangat disarankan). Gambar/Ilustrasi diberi nomor dan judul singkat. Sumber kutipan dicantumkan dengan jelas (jika gambar/ilustrasi merupakan hasil kutipan). Judul diletakkan di bawah gambar/ilustrasi dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan setiap kata diawali dengan huruf besar, kecuali kata-kata seperti, dan, atau, dalam, kata depan, yang, untuk. Gambar harus didiskusikan dalam teks utama (gambar berperan dalam mempermudah penyampaian gagasan dan paparan). Berikan warna biru untuk kata ‘Gambar’ di dalam teks untuk mempermudah pencarian.



Gambar 1. Kata “gambar” harus ditulis dengan huruf biru untuk memudahkan pencarian dari teks utama



5. Penulisan tabel



58



Judul tabel diletakkan di atas tabel dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan ditulis mengikuti aturan seperti penulisan Judul Gambar. Catatan mengenai isi tabel (misal “sumber” atau satuan) dapat diletakkan dibawah tabel. Kata ‘Tabel’ juga diberi warna biru untuk mempermudah pencarian teks. Tabel 1. Kata “tabel” harus ditulis dengan huruf biru Frekuensi Standard Deviasi (cm/s) (kHz) N=10 N=12 76.8 6.723 4.751 104.6 3.375 2.112 205.1 2.418 1.869 Sumber: Inovasi Online



6. Pengiriman naskah Naskah dikirim melalui elektronik mail dalam bentuk attachment file MS Word (*.doc atau *.docx) ke redaksi INOVASI yaitu [email protected] Referensi Referensi diketik dengan menggunakan font 9. Referensi setiap sumber harus dirujuk dan disusun berdasarkan urutan pemunculan dalam naskah dengan menuliskan angka arab dalam format subscript tanpa tanda kurung, ditulis setelah tanda titik. Misalnya: “Majalah Inovasi 1 merupakan majalah ilmiah yang diterbitkan PPI Jepang. ” - Cara penulisan referensi dari majalah ilmiah Urutan penulisannya mulai dari nama pengarang (diakhiri tanda ”titik”), judul (diakhiri tanda ”titik”), nama majalah (diakhiri tanda ”titik”), tahun terbit (diakhiri tanda ”titik koma”), volume dan bila ada diikuti nomor (nomor ditulis dalam tanda kurung, tanpa spasi setelah volume, kemudian diakhiri tanda ”titik dua”), halaman (diakhiri tanda ”titik”). Penulisan nama pengarang dimulai dari ”nama akhir (nama keluarga)” diikuti inisial ”nama awal” dan bila ada inisial ”nama tengah” tanpa tanda ”koma” ataupun ”titik” di antara ”nama keluarga” dan inisial ”nama awal” maupun ” nama tengah”. Bila jumlah nama pengarah tujuh atau kurang, ditulis semua; tetapi bila lebih dari tujuh, maka cukup ditulis enam nama pertama diikuti kata ”dkk.” (bila artikel ditulis dalam Bahasa Inggris maka ditulis ”et al.”). Contoh: 1. 2. 3.



Bucchi A, Plotnikov AN, Shlapakova I, Danilo P Jr, Kryukova Y, Qu J, et al. Wild-type and mutant HCN channels in a tandem biological-electronic cardiac pacemaker. Circulation. 2006. 114(16): 992-999. Cai J, Lin G, Jiang H, Yang B, Jiang X, Yu Q, Song J. 2006. Transplanted neonatal cardiomyocytes as a potential biological pacemaker in pigs with complete atrioventricular block. Transplantation. 81:1022-1026. Sudaryanto A, Kartono M. Petunjuk penulisan ilmiah. Inovasi Online. 2010; 9:6-9.



- Cara penulisan referensi dari buku Urutan penulisannya mulai dari nama pengarang (diakhiri tanda ”titik”), judul (diakhiri tanda ”titik”), nama buku (diakhiri tanda ”titik”), nama editor buku, dikuti kata ”(Ed.)” yang merupakan kependekan dari ”Editor” (diakhiri tanda ”titik”), nama kota penertbitan (diakhiri tanda ”titik dua”), nama penerbit (diakhiri tanda ”titik”), tahun terbit (diakhiri tanda ”titik dua”), halaman (diakhiri tanda ”titik”). Contoh: 4.



Basuki A. Panduan penulisan untuk majalah ilmiah. Dalam: Strategi menulis. Suryanegara L, Junaidi B (Ed.). Jakarta: Gramedia. 2010: 16-20.



- Cara penulisan referensi dari laman internet 59



Referensi yang berasal dari laman internet (website) harus menyertakan uniform resource locator (URL) dan tanggal referensi tersebut diakses. Nama judul artikel dan (bila ada) nama penulis dicantumkan. Contoh: 5.



Maryadi J. Arsitektur Tradisional Ternate - Tidore dan Halmahera (Studi Analisa Konstruksi http://busranto.blogspot.com/2007/04/arsitektur-tradisional-ternate-dan.html Tradisional). URL: diakses tanggal 10 Juni 2010.



Contoh, bila artikel ditulis dalam Bahasa Inggris: 6.



Arsitektur tradisional, perkembangan dan analisis. URL: http://busranto.blogspot.com/2007/04/arsitektur-tradisional-ternate-dan.html accessed on June 10, 102010.



60



Majalah INOVASI Diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia Jepang Website: http://io.ppijepang.org