BPH [PDF]

  • Author / Uploaded
  • vina
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA



Oleh : Nova Yunetti (1210070100136)



Preseptor: dr. Abdul Raziq Jamil, Sp. B



BAGIAN ILMU BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SOLOK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH 2017



KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam karena atas izin-Nyalah penulis dapat menyelesaikan referats yang berjudul “Benign Prostatic Hyperplasia” ini dengan sebagaimana mestinya. Referat ini merupakan salah satu tugas kepanitraan klinik di Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Solok tahun 2017. Referat ini disusun berdasarkan tinjauan pustaka dari berbagai sumber dan referensi yang terpercaya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing dr. Abdul Raziq Jamil, Sp. B yang telah memberikan pengarahan dalam menyelesaikan Referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.



Solok,



Desember 2017



Penulis



i



DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................i DAFTAR ISI ......................................................................................................ii DAFTAR GAMBAR .........................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1 1.2 Tujuan Penulisan ...........................................................................................2 1.3 Manfaat .........................................................................................................2 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Anatomi Prostat.............................................................................................3 2.2 Fisiologi Prostat ............................................................................................5 2.3 Defenisi .........................................................................................................5 2.4 Epidemiologi .................................................................................................6 2.5 Etiologi ..........................................................................................................7 2.6 Patofisiologi ..................................................................................................8 2.7 Manifestasi Klinis .........................................................................................10 2.8 Pemeriksaan Fisik .........................................................................................12 2.9 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................14 2.10 Komplikasi ..................................................................................................20 2.11 Penatalaksanaan ..........................................................................................21 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ...................................................................................................33 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................34



ii



DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Alat Reproduksi Pria .......................................................................3 Gambar 2. Zona Kelenjar Prostat ......................................................................5 Gambar 3. Benign Prostat Hyperplasia ............................................................6 Gambar 4. Pemeriksaan Colok Dubur ...............................................................13 Gambar 5.Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Benigna Prostat Hiperplasia ..........................................................................................................16 Gambar 6. Gambaran Sistoskopi Benigna Prostat Hiperplasia .........................17 Gambar 7. Gambaran Sonografi Prostat Normal...............................................18 Gambar 9.Gambaran Elevasi Dasar Buli yang Mengindikasikan Benigna Prostat Hiperplasia ..............................................................................................18 Gambar 10.Gambaran Pancaran Urin Normal dan pada BPH ..........................19



iii



BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan pada pria yang memasuki usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) yang bergejala pada pria berusia 40–49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50–59 tahun prevalensinya mencapai hampir 5% dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%. Angka kejadian BPH di Indonesia sebagai gambaran hospital prevalensi di dua Rumah Sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994–1999) terdapat 1040 kasus. Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladderoutlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Adanya BPH ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu pembedahan. Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang pentingpada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,



1



konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat5. Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%. 1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Tujuan Umum Untuk memenuhi tugas kepanitraan klinik senior di bagian bedah RSUD Solok 1.2.2 Tujuan Khusus 1. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menerapkan defenisi,



epidemiologi,



etiologi,



diagnosis,



gejala



klinis,



pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien BPH 2. Mahasiswa mampu mengetahui penanganan dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien BPH



1.3 Manfaat Penulisan Sebagai bahan acuan dalam memahami dan mempelajari mengenai penyakit BPH



2



BAB II PEMBAHASAN



2.1. ANATOMI PROSTAT Kelenjar prostat adalah salah satu organ



genitalia pria yang



terletak disebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk seperti pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Bila mengalami pembesaran organ ini menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Prostat merupakan kelenjar aksesori terbesar pada pria; tebalnya ± 2 cm dan panjangnya ± 3 cm dengan lebarnya ± 4 cm, dan berat 20 gram.



Gambar 1. Alat Reproduksi Pria Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus : a. Lobus medius b. Lobus lateralis (2 lobus) c. Lobus anterior d. Lobus posterior



3



Pada kelenjar prostat juga dibagi dalam 5 zona: a. Zona Anterior atau Ventral . Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat. b. Zona Perifer Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat.Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak. c. Zona Sentralis. Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah meliputi 25% massa glandular prostat.Zona ini resisten terhadap inflamasi. d. Zona Transisional. Zona ini bersama-sama dengan kelenjarperiuretra disebut juga sebagai kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benignprostatic hyperpiasia (BPH). e. Kelenjar-Kelenjar Periuretra Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.



4



Gambar 2. Zona Kelenjar Prostat



2.2. FISIOLOGI PROSTAT Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersamasama sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5). Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen Bodies dan dapat dihentikandengan pemberian Stilbestrol.



2.3. DEFINISI Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain itu, BPH merupakan pembesaran



5



kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki yang biasanya pada usia pertengahan atau lanjut.



Gambar 3. Benign Prostat Hyperplasia



2.4.EPIDEMIOLOGI Diseluruh dunia, hampir 30 juta pria yang menderita gejala yang berkaitan dengan pembesaran prostat, di USA hampir 14 juta pria mengalami hal yang sama. BPH merupakan penyakit tersering kedua diklinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Sebagai gambaran hospital prevalence, di RS Cipto Mangun kusumo ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama. Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria diIndonesia berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah (LowerUrinaryTractSymptoms/LUTS) akibat BPH. BPH mempengaruhi kualitas kehidupan pada hampir 1/3 populasi pria yang berumur >50 tahun.



6



2.5.ETIOLOGI Hingga sekarang, penyebab BPH masih belum dapat diketahui secara pasti, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan



bahwa BPH erat kaitannya



dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat: 1. Teori dihidro testosteron Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron. Dimana pada kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α– reduktase. DHT inilah yang secara langsung memicum-RNA didalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat. Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5α–reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal. 2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron Pada usia yang makin



tua, kadar



testosteron makin



menurun,



sedangkan kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen: testosteron relatif meningkat. Estrogen didalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Akibatnya, dengan testosteron yang menurun merangsang terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar. 3. Interaksistroma-epitel Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel- sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma



7



melalui suatu mediator (growth factor). Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel stroma itu sendiri, yang menyebabkan terjadinya proliferasisel-sel epitel maupun stroma. 4. Berkurangnya kematian sel prostat Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat



sehingga mengakibatkan



pertambahan



massa prostat. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.1 5. Teorisel stem Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem,yaitu sel



yang mempunyai



kemampuan berproliferasi



sangat



ekstensif.



Kehidupan sel ini bergantung pada hormon androgen, dimana jika kadarnya menurun (misalnya pada kastrasi), menyebabkan terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH diduga sebagai ketidak tepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.



2.6.PATOFISIOLOGI Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi saluran kemih adalah penderita harus menunggu keluarnya kemih pertama, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia,



8



miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan klinis. Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tesebut dapat. pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis



9



2.7.MANIFESTAS KLINIK a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi : Obstruksi



Iritasi







Hesistansi







Frekuensi







Pancaran miksi lemah







Nokturi







Intermitensi







Urgensi







Miksi tidak puas







Disuria







Distensi abdomen



Urgensi dan disuria jarang terjadi,







Terminal dribbling (menetes)



jika ada disebabkan oleh







Volume urine menurun



ketidakstabilan detrusor sehingga







Mengejan saat berkemih



terjadi kontraksi involunter.



Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi Benigna Prostat Hiperplasia Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor, yaitu: 



Volume kelenjar periuretral







Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat







Kekuatan kontraksi otot detrusor



Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.



Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh factor pencetus antara lain : 1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan yang mengandung diuretikum, minum tertalu banyak)



10



2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/ infeksi prostat) 3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-α) Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA). Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat.



11



b. Gejala pada saluran kemih bagian atas Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam (infeksi/ urosepsis). c. Gejala di luar saluran kemih Keluhanpadapenyakithernia/



hemoroidseringmengikutipenyakit



hipertropiprostat.Timbulnyakeduapenyakitinikarenaseringmengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal. Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:



12







Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.







Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.







Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml.







Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.



2.8.PEMERIKSAAN FISIK Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa. 1) Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE ) Merupakan



pemeriksaan



yang



sangat



penting,



DRE



dapat



memberikangambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain sepertibenjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan : a) Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal b) Adakah asimetri c) Adakah nodul pada prostat d) Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih dapat diraba biasanya besar prostat diperkirakan 500ml, pancaran lemah, buli teraba, tidak nyeri







Infeksi traktus urinaria







Batu buli







Hematuri







Inkontinensia-urgensi







Hidroureter







Hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal Hiperplasia Prostat ↓ Penyempitan lumen uretra posterior ↓ Tekanan intravesika meningkat ↓







Buli-buli:



Ginjal dan ureter:



Hipertrofi otot detrusor



Refluks VU



Trabekulasi



Hidroureter



Selula



Hidronefrosis



Divertikel buli-buli



Gagal ginjal Hidronefrosis



Hidroureter



Hipertofi otot detrusor



Benigna prostat hiperplasi



21



2.11.



PENATALAKSANAAN



Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien. Terapi yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1) konservatif (watchful waiting), (2) medikamentosa, (3)pembedahan, dan (4) lain-lain (kondisi khusus).



a. Konservatif Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas seharihari. Pada watchfuf waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai segala sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya: (1)jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2)kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasipada kandung kemih (kopi atau cokelat),



22



(3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin (4) jangan menahan kencing terlalu lama (5) penanganan konstipasi Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-6 bulan) untuk menilai perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volum residu urine. Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.



b. Medikamentosa Terapi



medikamentosa diberikan



pada pasien



dengan skor



IPSS >7.



Jenisobat yang digunakan adalah:



1. a1-blocker Pengobatan dengan a1-blocker bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostatsehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra. Beberapa obat a1-blocker yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari. Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan voiding symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga 30-45% atau penurunan 4-6 skor IPSS dan Qmax hingga 15-30%.Tetapi obat a-blocker tidak mengurangi volume prostat maupun risiko retensi urine dalam jangka panjang. Masing-masing



a1-blocker mempunyai



tolerabilitas dan efek terhadap system kardiovaskuler yang berbeda (hipotensi postural, dizzines, dan asthenia) yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan. Penyulit lain yang dapat terjadi adalah ejakulasi retrograd. Salah satu komplikasi yang harus diperhatikan adalah intraoperative floppy iris syndrome (IFIS) pada operasi katarak dan hal ini harus diinformasikan kepada pasien.



23



2. 5a-reductase Inhibitor 5a-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis sel epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20 — 30%. 5a-reductase inhibitor juga dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dan nilai yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. Saat ini, terdapat 2 jenis obat 5areductase inhibitor yang dipakai untuk mengobati BPH, yaitu finasteride dan dutasteride. Efek klinis finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride atau dutasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit. 3. Antagonis Reseptor Muskarinik Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor muskarinik bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih. Beberapa obat antagonis reseptor muskarinik yang terdapat di Indonesia adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL, solifenacin succinate, dan tolterodine l-tartrate Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage LUTS. Analisis pada kelompok pasien dengan nilai PSA 1,3 ng/dL), dan usia lanjut).



Kombinasi



ini



hanya



direkomendasikan



apabila



direncanakan pengobatan jangka panjang (>1 tahun). b) a1-blocker + antagonis reseptor muskorinik Terapi kombinasi a1-blocker dengan antagonis reseptor muskarinik bertujuan untuk memblok a1-adrenoceptor dan cholinoreceptors muskarinik (M2 dan M3) pada saluran kemih bawah. Terapi kombinasi ini dapat mengurangi frekuensi berkemih, nokturia, urgensi, episode inkontinensia, skor IPSS dan memperbaiki kualitas hidup dibandingkan dengan a1-blocker atau plasebo saja. Pada pasien yang tetap mengalami LUTS setelah pemberian monoterapi al-blocker akan mengalami penurunan keluhan



LUTS



secara



bermakna



dengan



pemberian



anti



muskarinik, terutama bila ditemui overaktivitas detrusor (detrusor overactivity). Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi, yaitu al-blocker dan antagonis reseptor muskarinik telah dilaporkan lebih tinggi dibandingkan monoterapi. Pemeriksaan residu urine harus dilakukan selama pemberian terapi ini. 6. Fitofarmaka Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki gejala, tetapi data farmakologik tentang kandungan zat aktif



26



yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Di antara fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum ofriconum, Serenoo repens, Hypoxis rooperi, Rodix urtico, dan masih banyak lainnya c. Pembedahan Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, seperti: (1) retensi urine akut; (2) gagal Trial Without Catheter (TwoC); (3) infeksi saluran kemih berulang; (4) hematuria makroskopik berulang; (5) batu kandung kemih; (6) penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH; (7) dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas. Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa. i.



Invasif Minimal 1) Tronsurethral Resection of the Prostote (TURP) TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH dengan volume prostat 30-80 ml. Akan tetapi, tidak ada batas maksimal volume prostat untuk tindakan ini di kepustakaan, hal ini tergantung dari pengalaman spesialis urologi, kecepatan reseksi, dan alat yang digunakan. Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%. Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan yang memerlukan transfusi ( 0-9%), sindrom TUR (0-5%), AUR (0-13,3%), retensi bekuan darah (0-39%), dan infeksi saluran



27



kemih (0-22%).. Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30 hari pertama) adalah 0,1.1 Selain itu, komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi meliputi inkontinensia urin (2,2%), stenosis leher kandung kemih (4,7%), striktur urethra (3,8%), ejakulasi retrograde (65,4%), disfungsi ereksi (6,5-14%), dan retensi urin dan UTI. 2) Laser Prostatektomi Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG (Tm:YAG), dan diode. Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada suhu 60-65°C dan mengalami vaporisasi pada suhu yang lebih dari 100°C. Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya pada pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan. 3) Lain-lain Tronsurethral Incision of the Prostote(TUIP) atau insisi leher kandung kemih (bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 ml) dan tidak terdapat pembesaran lobus medius prostat. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP. Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan >45°C sehingga menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan dari berbagai cara, antara lain adalah Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT), Transurethral Needle Ablation (TUNA), dan High Intensity Focused Ultrasound (HIFU). Semakin tinggi suhu di dalam jaringan prostat, semakin baik hasil klinik yang didapatkan,



tetapi



semakin



banyak



juga



efek



samping



yang



ditimbulkan. Teknik thermoterapi ini seringkali tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, tetapi masih harus memakai kateter dalam jangka waktu lama. Angka terapi ulang TUMT (84,4% dalam 5 tahun) dan TUNA (20-50% dalam 20 bulan).



28



Stent dipasang intraluminal di antara leher kandung kemih dan di proksimal verumontanum, sehingga urine dapat melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Stent yang telah terpasang bisa mengalami enkrustasi, obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan disuria. ii.



Operasi Terbuka Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal (Hryntschack atau Freyer) dan retropubik (Millin). Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat yang volumenya lebih dari 80 ml. Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif dengan morbiditas yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi pada saat operasi



dilaporkan



sebanyak



7-14%



berupa



perdarahan



yang



memerlukan transfusi. Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30 hari pertama) adalah di bawah 0,25%. Komplikasi jangka panjang dapat berupa kontraktur leher kandung kemih dan striktur uretra (6%) dan inkontinensia urine (10%). d. Lain-Lain 1. Trial Without Cotheterization (TwoC) TwoC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih secara spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian diminta dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin. TwoC baru dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian al-blocker selama minimal 3-7 hari. TwoC umumnya dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urine akut yang pertama kali dan belum ditegakkan diagnosis pasti. 2. Clean Intermittent Cotheterization (CIC) CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten baik mandiri maupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap dipasang pada pasien-pasien yang mengalami retensi urine kronik dan mengalami gangguan fungsi ginjal ataupun



29



hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam lingkungan bersih ketika kandung kemih pasien sudah terasa penuh atau secara periodik. 3. Sistostomi Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat dilakukan, sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara pemasangan kateter khusus melalui dinding abdomen (supravesika) untuk mengalirkan urine. 4. Kateter menetap Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering digunakan untuk menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis yang tidak dapat menjalani tidakan operasi.



30



31



32



33



BAB III KESIMPULAN Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat bertambah karena terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel kelenjar (jaringan dalam kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini terdiri dari gejala obstruksidan gejala iritatif. Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal invasif. Prognosis untuk BPH berubahubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.



34



DAFTAR PUSTAKA Sjamsuhidajat R, De Jong W. 2010. Hiperplasia Prostat. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta. Chaidir a. Mochtar, dkk. 2015. Panduan Penatalakasanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH. IKatan Ahli Urologi Indonesia. Jakarta Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005 Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. 2000. Pembesaran Prostat Jinak. Dalam: Kapita selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta Mulyono,



A.



1995.



Pengobatan



BPH



Pada



Masa



Kini.



Dalam



:



Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta : Sagung Seto. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah. Binarupa aksara, Jakarta Ramon P, Setiono, Rona, Buku Ilmu Bedah, Fakultas KedokteranUniversitas Padjajaran ; 2002 Sjafei,



M.



1995.



Diagnosis



Pembesaran



Prostat



Jinak.



Dalam



:



Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan penerbit IDI, Jakarta.



35