Buku Ajar Neurologi UI (Gabung) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

£ r im i $



m p r -



LfNiVEKSliAS



INPOSSSJA \ A K V l JAN



Kl: D O KTl: RAN



NEUROLOGI ED ITO R TIARA ANINDITHA WINNUOROHO WIRATMAN



D I M 1 T IM IN N E U R O W G I FA K U LtT A S K I D O K .T E E A N U N IV E X IS IT A S IN I> O N E S lA --



Buku Ajar Neurologi



Hak Cipta Dilindungi Undang-Vndang Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun jug a tanpa seizin editor dan penerbit.



BUKU AJAR NEUROLOGI 18x23 H alam an: i -xli / 3 42



D iterb itk an p ertain a kali oleh : DEPARTEMEN NEUROLOGI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah SakitCipto M angunkusumo Jakarta, 2 0 1 7



Cetakan p e rta m a : Maret, 2 0 1 7



D icetak p e rta m a kali oleh ; PENERBIT KEDOKTERAN INDONESIA Tangerang Email perkisa.indonesia@gmailcom



ISBN: 9 7 8 - 6 0 2 - 7 4 2 0 7 - 4 - 8



Baku Ajar Neurologi



KONTRIBUTOR Adre Mayza Ahmad Yanuar Safri A1 Rasyid Amanda Tiksnadi Astri Budikayanti Darma Imran Diatri Nari Lastri Eva Dewati Fitri Octaviana Freddy Sitorus Henry Riyanto Sofyan Jan Sudir Purba Luh Ari Indrawati Manfaluthy Hakim Mohammad Kurniawan Ni Nengah Rida Ariarini Pukovisa Prawiroharjo Rakhmad Hidayat Riwanti Estiasari Salim Harris Siti Airiza Ahmad Taufik Mesiano Teguh AS Ranakusuma Tiara Aninditha Winnugroho Wiratman Yetty Ramli Zakiah Syeban Ade Wijaya Dyah Tunjungsari Kartika Maharani Ramdinal Aviesena Zairinal Rima Anindita Primandari Wiwit Ida Chahyani



SEKRETARIS Intan Nurul Azni Mumfaridah



ILUSTRATOR Marshal Sumampouw Ni Nengah Rida Ariarini Uti Nilam Sari



COVER Ni Nengah Rida Ariarini



ill



Buku Ajar Neurologi



KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Pencipta sem esta alam, karena atas berkat RahmatNya kita diberi kesem patan dan kemampuan m empelajari ciptaanNya, ilmu Neurologi yang menakjubkan. Ilmu ini sangat sempurna dan sangat khusus, yaitu susunan saraf pusat, susunan saraf otonom, dan susunan saraf tepi, serta hubungan timbal balik sistem dan organ {brain-m ind-behaviour dan brain-neural-vascular-network-system -organs] dal am keadaan sehat maupun sakit akibat berbagai faktor, yaitu vaskular, inflamasi, trauma, autoimun, metabolik, iatrogenik, dan neoplasma (VITAMIN). Para ahli penyandang ilmu saraf atau neurologi, disebut neurolog, mempunyai hak dan kewajiban dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kedokteran, dan kesehatan (IPTEKDOKKES). Oleh karena itu, setiap neurolog wajib m em pelajari ilmu itu secara tuntas, dalam keadaan sehat maupun sakit dan cacat, sebagai upaya m empertahankan maupun meningkatkan kualitas hidupnya. Proses tersebut perlu mengikutsertakan semua strata penyedia kesehatan dalam masyarakat, antara lain pasien sendiri, keluarga, kerabat kerja, perawat, dokter layanan pertama, sistem kedaruratan medis, neurolog umum dan subspesialis, serta penyandang disiplin ilmu lainnya, dalam tim yang terpadu struktural dan nonsktuktural di kehidupan m asyarakat dan bernegara. Maka melalui buku ajar ini, seseorang mendapat kesem patan mengetahui, memahami, dan menghayati ilmu yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan Sang Pencipta sebagai bekal m enjalani kehidupan yang berguna untuk dirinya, orang lain, dan dunia ingkungannya. Mempelajari neurologi bagaikan menyusun kepingan-kepingan puzzle dari anamnesis dan pem eriksaan fisik neurologis yang sistem atis untuk m embentuk suatu gambar yang ituh dan memiliki makna. Kepingan kepinganan tersebut berupa simtom (gejala dan teluhan) serta tanda-tanda berbagai penunjang baik klinis, laboratorium, radiologis, dan ain-lain sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Gambaran yang utuh akan membawa ke :egaknya suatu diagnosis, yang tentunya harus diikuti dengan langkah tata laksana yang :epat, tepat, cerm at, akurat, serta dapat dipertanggungjawabkan.



v



Buku Ajar Neurologi



Semoga melalui buku ajar yang berhasil disusun dari berbagai sum ber aktivitas profesional di Departemen Neurologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo ini dapat menambah khazanah literatur ilmu kedokteran dan kesehatan serta pengetahuan pembaca sekalian dalam upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Teruslah belajar jangan pernah berhenti. Karena ilmu berlimpah telah disediakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang pada umat dan alam semestaNya. Belajarlah-bacalah-pikirkanlah... iqra ; iqra. Semoga Allah SWT selalu melindungi kita aamiin.



Teguh A.S. Ranakusuma Guru Besar Departemen Neurolog: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia



vi



Bukit Ajar Neurologi



KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Allah SWT karena buku ini dapat selesai atas pertolongan dan rahmatNya. Kami sangat menghargai kerja keras para penyusun dan pihak-pihak lain yang berkontribusi terhadap terbitnya buku ini. Untuk semua perjuangan yang panjang, kami ucapkan terim a kasih, Insya Allah buku ini menjadi investasi amal yang terus mengalir sepanjang kegunaannya. Perkembangan ilmu neurologi terus berkem bang setiap saat. Selain itu, anggapan selama ini yang ada di kalangan mahasiswa atau tem an sejaw at adalah ilmu neurologi sulit untuk dipahami. Kebutuhan akan ketersediaan sum ber kepustakaan yang mudah dimengerti merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, Departemen Neurologi FKUI/RSCM menyusun buku ajar ini, yang diharapkan setelah membacanya, ilmu neurologi menjadi lebih dimengerti dan semakin tertarik untuk mendalaminya. Buku ajar ini adalah persem bahan dari kami untuk seluruh mahasiswa kedokteran, peserta program studi dokter spesialissaraf, dan tem an sejawat, serta orang yang tertarik m empelajari ilmu neurologi. Dengan adanya buku ini, semoga kita dapat bersam a-sam a memajukan ilmu neurologi dan meningkatkan kualitas pelayanan pasien.



Diatri Nari Lastri Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia



Vll



Buku Ajar Neurologi



KATA PENGANTAR



G u ru B e s a r Teguh AS Ranakusuma ................... .........................



v



K etu a D ep a rtem en Diatri Nari L a s tri................. ............ ................. .



NEUROLOGI UMUM



1. Pen d ek atan Klinis Gangguan N eu rolo gis..... Tiara Aninditha, Ni Nengah Rida Ariarini, Pukovisa Prawiroharjo



3



2. P en u ru n an K e s a d a r a n ..................................... Tiara Aninditha, Pukovisa Prawiroharjo



16



3. P en in g k atan T ek an an I n tr a k r a n ia l............. Taufik Mesiano



36



4 . Pun gsi Lum bal d an A nalisis C airan S e r e b r o s p in a l......................... Riwanti Estiasari, Ramdinal Aviesena Zairinal, Kartika Maharani



EPILEPSI



vii



45



5. Evaluasi N eurologis P e rio p e ra tif................... Mohammad Kurniawan



53



6. B an g k itan d an E p ile p s i................................... Fitri Octaviana, Astri Budikayanti, Winnugroho Wiratman, Luh Ari Indrawati, Zakiah Syeban



75



7. S tatu s E p ile p tik u s .............. ............... Luh Ari Indrawati, Winnugroho Wiratman, Astri Budikayanti, Fitri Octaviana, Zakiah Syeban



98



IX



Buku Ajar Neurologi



8. Penyakit Parkinson..................................... 109 Eva Dewati, Dyah TunjungsariNiNengah Rida Ariarini



GANGGUANGERAK



9. Hemifasial Spasme.........



136



Amanda Tiksnadi



10. Neurobehavior Dasar dan Pemeriksaannya.......... .



........ 149



Adre Mayza, Diatri Nari Lastri



NEUROBEBAVIOR



11. A fasia............... ..... .



....... 181



Pukovisa Prawiroharjo, Amanda Tiksnadi, Diatri Nari Lastri



12. Mild Cognitive Impairment.................. ...... 195 Yetty Ramli



13. Demensia.................... ....... .



....... 205



Diatri Nari Lastri



14. Infeksi Tuberkulosis pada Susunan Saraf Pusat................ ....... .......... . 227 Darma Imran



NEUROINFEKSI DAN NEUR0IMUN0L0GI



15. Infeksi Oportunistik Susunan Saraf Pusat pada AIDS......... ....



239



Darma Imran, Riwanti Estiasari, Kartika Maharani



16. Multipel Sklerosis............... ....................... 249 Riwanti Estiasari



17. Neuromielitis Optik.................................. 258 Riwanti Estiasari



x



Buku Ajar Neurologi



18. Vertigo Vestibular Sentral...... ................



267



Eva Dewati



19. Vertigo Vestibular P erife r ........ . NEUROOTOOMOLOGINEURO0TOLOGI



........ 271



Freddy Sitorus, Ni Nengah Rida Ariarini, Kartika Maharani



20. Gangguan Gerakan Bola Mata........... ....... 285 M Nengah Rida Ariarini



INDEKS



XI



NEU ROLOGfUMUM Pendekatan Minis Gangguan Neurologis Penurunan Kesadaran Peningkatan Tekanan Intrakranial Pungsi Lumbal dan Analisis Cairan Serebrospinal Evaluasi Neurologis Perioperatif



1



PENDEKATAN KLINIS GANGGUAN NEUROLOGIS Tiara Aninditha, Ni Nengah Rida Ariarini, Pukovisa Prawiroharjo



sistem persarafan itu demikian luas, maka defisit neurologis dapat bersinggungan dipelajari di disiplin ilmu kedokteran lain. Bahkan defisit neurologis pada fungsi luhur dipelajari juga di luar disiplin ilmu kedok­ teran dan kesehatan, seperti Psikologi, Ilmu Pendidikan, Ilmu Manajemen, dan sebagainya.



PENDAHULUAN



Seperti halnya di dalam ilmu kedokteran, pendekatan Minis gangguan neurologis sangat ditentukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis terutama bertujuan untuk mendapatkan ada tidaknya defisit neuro­ logis yang kemudian dibuktikan secara obyektif pada pemeriksaan fisik. Berbeda dengan organ lainnya, pembuatan diagno­ sis pada gangguan neurologis juga disertai dengan diagnosis topis untuk dugaan letak lokasi penyebab munculnya gejala Minis, serta diagnosis etiologi dan patologis untuk kemungkinan mekanisme penyebab kelainannya. Hal ini dapat dibuat bahkan sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang dengan mengikuti prinsip cara kerja otak yang sangat sistematis. Oleh karena itu, anam­ nesis dan pemeriksaan fisik yang teliti yang menghasilkan diagnosis Minis, topis, etiologis, dan patologis akan sangat membantu menentukan pemeriksaan yang dibutuhkan serta tata laksana yang tepat.



Secara umum berdasarkan keterlibatan sistem saraf, defisit neurologis dapat dibagi menjadi fokal maupun global. Defisit neu­ rologis fokal adalah gejala dan tanda akibat kerusakan dari sekelompok sel saraf atau jarasnya di suatu area tertentu (fokal). Misalnya pada pasien yang mengalami kelemahan (paresis) sesisi tubuh kanan, maka kemung­ kinan ada gangguan di sistem piramidalis mulai dari korteks motorik primer hingga jarasnya ke otot. Karena sistem piramidalis hanyalah bagian dari seluruh sistem saraf, maka kelemahan sesisi sebagai gangguan sistem motorik dikategorikan sebagai de­ fisit fokal. Defisit neurologis lainnya yang dapat di­ kategorikan defisit neurologis fokal di antaranya:



DEFISIT NEUROLOGIS



Defisit neurologis adalah istilah yang dipakai untuk suatu gejala dan tanda yang muncul pada pasien akibat gangguan di sistem persarafan, baik sel otaknya (neuron/sel glia) hingga jarasnya (akson) dari reseptor untuk sistem sensorik, maupun ke target organ dalam sistem motorik dan otonom. Karena



1. Paresis dengan berbagai polanya, di antaranya hemiparesis sesisi/alternans/ dupleks, tetraparesis, paraparesis, pare­ sis pada miotom saraf tertentu, paresis pada polineuropati, dan sebagainya.



3



Baku Ajar Neurologi



Defisit neurologis global adalah jika pada gejafa dan tanda diakibatkan oleh kerusakan saraf yang luas, difus, atau menyeluruh. Meskipun nantinya pada analisis lanjutan dari sintesis diagnosis topis yang paling cocok ternyata hanya suatu lesi fokal tertentu yang mengakibatkan gejala dan tanda ini terjadi.



2. Gangguan gerak motorik meliputi gerakan involunter (misalnya tremor, balismus, dan sebagainya) dan gangguan koordinasi otot (misalnya diskinesia, dismetria, dan sebagainya). 3. Gangguan pola pernapasan. 4. Kejang fokal, misal mulut mencong ke satu sisi, salah satu tangan bergerak-gerak, dan lain-lain.



Beberapa gejala dan tanda yang dikategorikan defisit neurologis global di antaranya adalah:



5. Gangguan sensorik eksteroseptif hipestesi atau hiperestesi seperti hiperalgesia dan alodinia, maupun proprioseptif.



1. Penurunan kesadaran, karena salah satu diagnosis topis bandingnya adalah keru­ sakan hemisfer serebri bilateral, meskipun dapat pula disebabkan lesi fokal pada as­ cending reticular activating system (ARAS).



6. Gangguan sensorikproprioseptif, misalnya hipestesi untuk sensasi getar dan posisi. 7. Gangguan sensorik khusus akibat gang­ guan sistem saraf, seperti sistem visual (pola hemianopia, kuadranopia, buta kortikal, dan sebagainya), sistem penghidu (hipo/anosmia, kakosmia, dan sebagainya), sistem pendengaran (tuli perseptif dan sebagainya), dan sistem pengecapan.



2. Delirium, sebagai bagian dari penurunan kesadaran. 3. Kejang umum, misal kaku atau kelojotan pada kedua sisi ekstremitas secara bersamaan.



8. Gangguan keseimbangan misalnya vertigo dan ataksia.



4. Nyeri kepala yang difus, karena bisa akibat perangsangan serabut peka nyeri intrakranial yang difus.



9. Nyeri fokal seperti nyeri leher, punggung bawah, dan sebagainya.



5. Sindrom peningkatan tekanan intrakranial. 6. Demensia, karena salah satu diagnosis bandingnya adalah atrofi serebri meny­ eluruh.



10. Gangguan otonom misalnya sindrom Horner, hipo atau hiperhidrosis, hipotensi ortostatik, inkontinensia atau retensi uri dan alvi, serta gangguan ereksi dan ejakulasi akibat gangguan sistem saraf.



Untuk melatih cara berpikir, pada pembuatan diagnosis neurologis pada kegiatan akademik, tidak hanya memerlukan diagnosis klinis, tetapi juga dianalisis lebih lanjut menjadi di­ agnosis yang khas berupa: diagnosis Idinis, topis, etiologis, dan patologis.



11. Gangguan fungsi luhur fokal, seperti afasia, akalkulia, amnesia, dan seterusnya. 12. Gangguan neuropsikiatrik fokal, misal­ nya agitasi, depresi, dan sebagainya.



Malta langkah-langkah merangkai defisit neurologis menjadi suatu kajian diagnosis yang lengkap diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.



13. Sindrom neurologis yang bersifat fokal, misalnya sindrom lobus frontal dan se­ bagainya.



4



Pendekatan Klinis Gangguan Neurologis



pertolongan. Pasien dibiarkan menjelaskan keluhan dengan istilahnya sendiri, kemudian diarahkan dengan lebih spesifik oleh dokter pemeriksa. Namun dalam neurologi, pemeriksa harus bisa mendapatkan 3 hal dari anamnesis, yaitu durasi dan perjalanan penya­ kit, lesi bersifat fokal atau difus (menyeluruh), serta kemungkinan komponen sistem saraf yang terkena. Hal ini disebabkan oleh kerja sistem saraf pusat (SSP) yang sangat rapi dan sistematis. Setiap area di SSP sudah mempunyai fungsi tersendiri, sehingga kerusakan di area tertentu sudah pasti akan menyebabkan gejala yang khas sesuai dengan fungsinya, apapun penyebabnya. Dengan mengetahui durasi waktu, serta daerah dan perldraan luasnya lesi, maka anamnesis saja sudah dapat membantu perldraan diagnosis dan kemungkinan penye­ bab dengan lebih seksama.



ANAMNESIS



Pada anamnesis perlu dilakukan beberapa langkah penting, yaitu: a. Inventarisasi keluhan (gejala yang dirasakan secara subyektif oleh pasien). b. Dari inventarisasi keluhan itu turut dipilah jika ada yang masuk ke dalam suspek (kecurigaan) defisit neurologis. c. Keluhan termasuk defisit neurologis dianalisis dari sisi kronologis waktu (durasi, awitan/onset), kemunculan (insidens, frekuensi), intensitas gejala (progresivitas memburuk, membaik, atau acak), dan faktor yang memperburuk atau mengurangi gejala. d. Riwayat penyakit dahulu, termasuk pada anak adalah riwayat tumbuh kembang, kehamilan dan persalinan, dan vaksinasi. Perdalam anamnesis tentang analisis faktor risiko tertentu, misalnya hipertensi, diabetes melitus atau penyakit jantung koroner pada pasien yang dicurigai etiologinya vaskular.



Onset yang bersifat akut (dalam hitungan menit atau jam) dimungkinkan oleh kelainan vaskular atau kejang. Kelainan vaskular berupa cerebrovascular disease atau smoke berlangsung akut saat pasien sedang beraktivitas atau bangun tidur. Gejala dapat sangat bervariasi tergantung pada pembuluh darah otak yang terkena, hingga menyebabkan gangguan pada bagian otak tertentu. Pasien akan mengalami gejala yang bersifat fokal, seperti kelemahan tubuh sesisi (hemiparesis), rasa baal/kesemutan pada tubuh sesisi (hemihipestesia/hemiparestesia), kesulitan menelan (disfagia), bicara cadel (disartria), dan sebagainya secara mendadak.



e. Riwayat penyakit keluarga; beberapa pe­ nyakit neurologis bersifat genetik yang terdapat riwayat keluraga yang sama, seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS), epilepsi, migren, dan sebagainya. f. Riwayat pajanan, sosial ekonomi, budaya, dan kebiasaan yang relevan; pasien dengan keluhan nyeri punggung bawah misalnya, perlu diketahui faktor sosio-ekonomi dan kebiasaan untuk menentukan penyebab nyerinya serta edukasi untuk pencegahan nyeri berikutnya.



Kadang gejala tidak segera disadari baik oleh pasien maupun lingkungannya, seperti gang­ guan fungsi kognitif. Pasien bisa mendadak terlihat linglung atau tidak mengerti pembicaraan orang (afasia sensorik) atau tidak



Anamnesis neurologi pada dasarnya sama dengan anamnesis pada umumnya, dimulai dengan gejala yang menyebabkan pasien datang atau dibawa untuk mendapatkan 5



Buku Ajar Neurologi



nesis khusus lengkap dapat dilihat pada topiktopik yang terkait selanjutnya.



dapat mengeluarkan kata-kata dengan jelas (afasia motorik). Apalagi jika gejala bersifat singkat, tidak sampai 24 jam sudah terjadi perbaikan sempurna, yang disebut sebagai transient ischemic attack . Namun pada prinsipnya, seminimal apapun kelainan yang muncul selama berlangsung mendadak, baik membaik sempurna atau menetap, maka dapat dicurigai sebagai suatu serangan stroke.



Berdasarkan anamnesis, seorang dokter harus sudah dapat memperldrakan apakah kelainan yang terjadi bersifat lokal atau difus. Hal ini cukup mudah dengan mempertimbangkan prinsip kerja SSP yang bersifat simetris, bahwa kedua sisi otak akan bekerja bersama-sama memberi impuls yang sama kuatnya ke kedua sisi. Sifat simetris ini yang menyebabkan seseorang dapat berdiri tegak di tengah, perge­ rakan bola mata yang seiring dan seirama saat melirik ke arah manapun, ekspresi wajah yang sama kuatnya saat pasien berbicara atau tersenyum, dan sebagainya.



Gejala stroke dapat berat jika meliputi area otak yang luas akibat besarnya pembuluh darah yang tersumbat pada stroke iskemik atau besarnya hematoma seperti atau stroke hemoragik. Hal ini menyebabkan pasien bisa mengalami penurunan kesadaran hingga koma. Pada perdarahan subaraknoid pasien didahului dengan sakit kepala hebat yang belum pernah dialami sebelumnya.



Oleh karena itu, setiap hal yang tidak simetris harus dicurigai sebagai adanya kelainan di satu sisi. Adanya defisit neurologis fokal, seperti bicara cadel, wajah terlihat mencong, berjalan miring ke satu sisi, atau penglihatan dobel (diplopia) menunjukkan lesi di satu sisi/bagian otak Demikian pula jika seseorang dilaporkan kejang dengan pergerakan pada hanya satu sisi tubuh atau wajah tertarik ke satu sisi akan dianggap sebagai suatu lesi fokal.



Pada onset akut akibat kejang, gejalanya biasanya khas berupa pergerakan abnor­ mal tubuh baik sebagian atau kedua sisi tubuh sekaligus secara involunter yang tidak dapat dihentikan oleh pasien. Kejang dapat didahului dengan aura, seperti halusinasi, terlihat bingung, mengecap-ngecap, atau sensasi aneh di epigastrium. Kalaupun ke­ jang berlangsung lama hingga hitungan jam, maka pasien biasanya akan mengalami penu­ runan kesadaran setelah kejang. Harus dibedakan juga dengan malingering pada gangguan psikiatri, yang biasanya serangan selalu ter­ jadi saat ada orang lain yang memerhatikan, tidak pernah saat pasien sedang sendirian, serta terdapat stresor sebelumnya. Pada onset yang subakut (berjam-jam hingga harian) ter­ jadi pada reaksi inflamasi (meningitis, abses serebri, sindrom Guillain Barre) yang biasa­ nya didahului oleh demam. Onset yang lebih kronik mengarah kepada neoplasma. Anam­



Sebaliknya jika bersifat difus, kelainan justru akan bersifat simetris. Misalnya pada kejang akan terlihat pergerakan pada kedua tangan dan Itakinya sekaligus, yang disebut sebagai ke­ jang umum. Kelainan yang difus biasanya lebih menyebabkan penurunan kesadaran tanpa adanya defisit fokal, seperti gangguan metabolik (syok hipovolemik, hiper/hipoglikemia, hiper/hiponatremia, dan sebagainya) yang mengganggu kerja otak secara keseluruhan. Terakhir, dalam anamnesis sudah harus dapat diperkirakan, sistem SSP bagian mana yang terkena. Secara umum, sistem saraf ter-



6



Pendekatan Klinis Gangguan Neurologis



bagi dalam 4 area kerja yang berbeda, yaitu: sistem saraf perifer, medula spinalis, intrakranial fossa posterior (termasuk batang otak), dan hemisferserebri (Gambar 1]. Hal ini sangat penting, sebagaimana seorang internis yang tidak mengetahui organ tubuh pasien yang terganggu, apakah di paru, lambung, atau ginjal, sehingga tidak dapat ditentukan di­ agnosis dan tata laksananya.



nesis kekuatan ekstremitas yang mengalami kelemahan. ]ika kekuatan tangan sama dengan kaki, maka dipikirkan lesi di daerah subkorteks akibat berkumpulnya jaras motorik dari da­ erah tangan dan kaki. Namun jika kekuatan tangan dan kaki ada yang lebih dominan, kemungldnan lesi di korteks motorik, sesuai dengan homonkulus perbedaan area eks­ tremitas atas dan bawah. Hal ini ditunjang dengan adanya kejang akan lebih sesuai untuk lesi di daerah korteks.



Gejala di intrakranial dapat berupa gang­ guan di hemisfer serebri atau fossa posterior, Daerah fossa posterior yang terdiri dari serebelum dan batang otak sangat khas. Serebelum merupakan pusat keseimbangan, sehingga akan muncul keluhan seperti pusing berputar (vertigo) atau sensasi bergoyang ( dizziness). Pada pasien dengan gangguan batang otak dapat muncul keluhan dari sarafsaraf kranialis seperti diplopia, disfagia, atau disartria, Kesemua ini sangat berbeda dengan gejala di hemisfer serebri yang biasanya didominasi dengan nyeri kepala, kelemahan tu­ buh sesisi, atau gangguan fungsi kognitif.



Gejala akibat gangguan di sistem saraf perifer dan medula spinalis biasanya berupa kelemahan dan gangguan sensasi di anggota gerak tertentu. Gangguan di sistem ini tidak akan menyebabkan keluhan sakit kepala atau nervus kranialis yang menunjukkan ke­ luhan berasal dari kelainan di intrakranial. Gangguan pada medula spinalis bisa disertai nyeri lokal atau menjalar di area yang ter­ ganggu, atau gangguan berkemih dan buang air besar. Adapun lesi di ssaraf perifer dapat menyebabkan paresis yang fokal, misalnya pada 1 ekstremitas atau area otot tertentu. Anamnesis khusus selengkapnya dapat dilihat pada Bab Saraf Tepi.



Daerah hemisfer serebri dapat disebabkan oleh lesi di daerah korteks dan subkorteks. Hal ini dapat dibedakan berdasarkan anam­



Gambar 1. Skema Kemungkinan Topis Berdasarkan Anamnesis



7



Buku Ajar Neurologi



Terminologi yang digunakan oleh pasien juga harus dipastikan sama dengan yang diketahui oleh dokter pemeriksa. Misalnya istilah 'kepala pusing' yang dimaksud oleh pasien apakah nyeri kepala atau pusing berputar. Oleh karena diagnosis banding keduanya sangat jauh berbeda. Demikian pula dengan keluhan 'kejang'. Banyak gejala yang mirip kejang, namun yang khas pada kejang adalah kejadiannya yang mendadak, gerakannya biasanya ritmis sekejap dalam hitungan menit, serta berpola.



Setelah mendapatkan gejala neurologis yang saat ini muncul, harus ditanyakan pula riwayat gangguan neurologis atau penyakit lain dan hasil pemeriksaan sebelumnya. Pada pasien dewasa dengan kejang, perlu ditanyakan apakah itu kejang pertama kali atau sudah mengalami kejang sejak kecil. Pada pasien dewasa atau tua dengan kejang pertama kali harus dipildrkan adanya lesi struktural baru seperti infeksi, neoplasma, atau stroke. Namun jika sudah ada riwayat kejang sejak kecil, maka bisa diperkirakan pasien tersebut adalah penderita epilepsi. Pada penderita seperti ini harus ditanyakan apakah sudah mendapat terapi yang adekuat serta pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) sebagai penunjangnya.



PEMERIKSAAN FISIK 1. Pemeriksaan Fisik Umum a. Pemeriksaan tanda vital; dapat menggambarkan defisit neurologis misal­ nya pola nafas tertentu dan hipotensi ortostatik. Informasi tanda vital lainnya dapat membantu penegakan diag­ nosis pasien dengan penting.



Pasien dengan kecurigaan stroke harus ditanyakan pernah mengalami serangan serupa sebelumnya atau tidak. Jadi gejala klinis yang muncul merupakan gejala yang betul-betul baru pertama kali muncul atau sudah pernah sebelumnya. Apabila sudah pernah, juga harus dipastikan apakah gejala sebelumnya segera pulih dalam waktu kurang dari 24 jam atau menetap lebih dari itu. Jika pasien pernah mengalami stroke sebelumnya, perlu ditanyakan gejala sisa yang dialami dan sejauh apa pasien bisa beraktivitas.



b. Pemeriksaan skrining nyeri misalnya menggunakan Numeric Rating Scale (NRS) atau Visual Analogue Scale (VAS), dan risiko jatuh. c. Pemeriksaan fisik umum lainnya akan sangat membantu diagnosis. Pada kasus trauma, perlu dilakukan pemeriksaan terkait organ yang terkena dampak trauma secara teliti, sehingga mencegah perburukan yang biasanya ter jadi secara drastis.



Hal ini penting untuk memastikan apakah gejala yang muncul saat pasien datang merupakan gejala yang sama atau lebih berat dibanding sisa serangan stroke sebelumnya sehingga dianggap stroke berulang. Jika pasien membawa hasil CT scan atau MRI yang memang memastikan adanya riwayat stroke, akan lebih mudah bagi Dokter untuk menegakkan diagnosis stroke berulang, oleh karena kemungkinannya sangat tinggi pada yang sudah pernah stroke sebelumnya.



d. Inventarisasi beberapa faktor risiko dan komplikasinya pada organ non neurologis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik ini. Pada pasien dengan stroke, karena etiologinya vaskular, perlu diperhatikan se­ cara umum ada tidaknya efek fak-



8



Pendekatcm Klinis Gangguan Neurologis



tor risiko vaskular terhadap organ tar­ get lain. Misalnya pada pasien stroke dengan hipertensi, perlu diketahui kelainan pada jantung, ginjal, dan retina. Pada pasien trauma, perlu diperiksa kemungkinan trauma di organ lain. Demikian pula pasien neoplasma dan infeksi, sesuai dengan patogenesisnya masing-masing.



dalamnya distribusi dan karakteristik nyeri seperti hiperalgesia dan alodinia. Untuk menilai tingkat baal dan tingkat nyeri dapat menggunakan Visual Ana­ logue Scale (VAS] 0-10 dan dilaporkan per regio yang mengalami baal/nyeri. e. Pemeriksaan otonom, seperti adakah inkontinensia/retensio uri et alvi, gang­ guan ereksi/ejakulasi terkait neurologi, hipo/hiperhidrosis, dan berbagai sindrom defisit otonom lainnya.



2. Pemeriksaan Fisik Neurologis Dasar a. Pemeriksaan kesadaran secara kualitatif (kompos mentis, delirium, somnolen, sopor, atau koma], dan kuantitatif menggunakan Skala Koma Glasgow (SKG) dan atau Four Score (baca topik Penurunan Kesadaran].



f. Pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi otot. g. Pemeriksaan fungsi luhur, setidaknya skrining menggunakan MMSE, Mini Cog, MoCA INA, atau perangkat penapisan fungsi luhur lainnya.



a. Pemeriksaan pupil yang mendeskripsikan bentuk, isokoria/anisokoria, di­ ameter pupil mata kanan dan kiri, serta bagaimana reaksinya terhadap cahaya langsung dan tak langsung (baca topik Penurunan Kesadaran].



Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dibuat diagnosis kerja dengan beberapa diagnosis banding yang bersifat umum yang akan jadi acuan pemeriksaan langkahlangkah selanjutnya, Pemeriksaan penunjang termasuk laboratorium dan radiologi, serta penunjang lain yang akan dijelaskan di bab-bab selanjutnya dari buku ini, dilakukan secara prioritas bergantung pada arah diagnosis tersebut. Baru kemudian berdasarkan hasil-hasil penunjang, dibuat diag­ nosis kerja yang lebih akurat dan diagnosis banding (jika masih dipertimbangkan] yang lebih khusus. Kadang pemeriksaan penun­ jang yang dibutuhkan tidak dapat dilakukan secara lengkap, namun perkiraan diagnosis tetap diupayakan untuk dibuat.



b. Pemeriksaan nervus kranialis I sampai XII. Pada pasien tidak sadar, dapat digantikan pemeriksaan refleks-refieks batang otak. c. Pemeriksaan motorik lengkap meliputi kekuatan otot dengan skala 0-5, trofi, tonus, refleks fisiologis tendon dalam, dan refleks patologis. Dijelaskan pula pola distribusi paresisnya, misal hemiparesis, tetra/paraparesis, paresis miotom/otot tertentu. d. Pemeriksaan sensorik lengkap beserta pola distribusi lesinya (misalnya hemihipestesi, hipestesi setinggi dermatom medula spinalis tertentu, hipestesi pada dermatom saraf tertentu, hipestesi pola sarung tangan & kald]. Termasuk di



DIAGNOSIS NEUROLOGIS Khusus bidang neurologi, dibuat analisis lebih lanjutdari diagnosis yang dibuat, yaitu diagno­ sis berdasarkan aspek klinis, topis, patologis, 9



Baku Ajar Neurologi



2. Diagnosis (Aspek) Topis



dan etiologis. Analisis ini penting untuk menjaga pola berpikir khas neurologis yang akan memudahkan penentuan tata laksana berikutnya. Walaupun biasanya keempat diagno­ sis tersebut hanya ditulis untuk kepentingan akademik, namun analisisnya harus menjadi bagian dari manajemen pasien sehari-hari dengan prinsip seperti pada Gambar 2.



Merupakan perldraan lokasi lesi atau topis paling mungkin berdasarkan temuan pada diagnosis klinis. Dugaan ini dibuat ber­ dasarkan neuroanatomi dan fisiologi, suatu analisis secara neurologis yang dibuat tanpa melihat pemeriksaan radiologis dan peme­ riksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan radiologis dapat membuktikan diagnosis topis dan pemeriksaan penunjang lainnya dalam menggambarkan kondisi pasien se­ cara lebih tepat.



X. Diagnosis (Aspek) Klinis Berisi semua gejala klinis yang ditemukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dituiis secara sistematis mulai dari keluhan utama dan keluhan lain, lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan neurologis berurutan dari paresis nervus kranialis dan defisit lainnya. Hal ini dimaksudkan agar semua gejala klinis dapat ditulis lengkap, oleh karena diagnosis klinis akan berdampak menentukan diagnosis topis selanjutnya.



Penentuan diagnosis topis sejak awal juga akan membantu menentukan diag­ nosis kerja, bahwa lesi di daerah tertentu biasanya disebabkan oleh patologis ter­ tentu. Misalnya, sakit kepala yang disertai gangguan lapang pandang hemianopia bitemporal merupakan gajala khas di daerah sella yang biasanya akibat tumor sella, seperti adenoma hipofisis. Diplopia akibat paresis N. VI disertai paresis N. VII perifer sisi yang sama, tanpa adanya gejala lain, menunjukkan topis berupa lesi kecil di daerah pons yang umumnya disebabkan oleh stroke.



Misal pasien dengan tumor di serebelum akan mengalami gejala sakit kepala yang l -r .1 n v, S.i'ii v:; .i !



fi! 11! 1!''■IL.l j 1 li.ii.ihu--



Lobus temporal Peningkatan aktivitas listrik otak



! ■■ ' ■



EDH traumatik dengan penurunan kesadaran



Neuroma akustik



Mehingo- ensoKilitts TB dengan pesuirunan kesadatvm Tumor CPA dengan diseltuilibrium, nyeri kepala selamder dan tuli sensori­ neural



!ni.., t -! l!.! ■'



Stroke iskem'ik



i



sklerosis Epilepsi lobus hipokampus temporal dengan status epileptikus



h nl.ri



Penyaku1



Parkinson .



;



Pendekatan Klinis Gangguan Neurologis



L/ib-bb 5.: 1 1 ■'> ■:■■i ..................!.!■! ■> ......I'!'."- 1■ ‘Mlii ■■!. d.llr; i- -i '■' .■ k . =' -■'*! ' ■ o. i;ip-.ri ■■IJ'.I l i . "1 ! ■•=. ■=i ■ 1 ■■■■■' • a'!; .! i] ■ il=.:: : i "■ m > ■ ■■■■ ■ ■■■■ -! .: ■ 1■■! u.'l.u! ■I - ■■ ■■■ ;.i-' : ‘ ■■= -k-i ■ij Perempuan 20 tahun dibawa ke IGD dengan kejang beru- Status epileptikus lang sejak 3 jam SMRS. Kejang berupa kelojotan seluruh dengan bangkitan tubuh dan sebelumnya tampak bibir mengecap-ngecap, secondary gen eral­ frekuensi 3 kali, selama 15 menit, dan tidak sadar di antara ized seizure (SGS) kejang. Sebelum kejang terdapat rasa tidak nyaman di ulu hati. Kejang seperti ini sudah dialami pasien sejak usia 14 tahun dan pernah kejang demam. Pada pemeriksaan fisik ditemukan SKG E2M5V3 dan tanpa defisit neurologis fokal.



l



Diagnosis Kerja



Buku Ajar Neurologi



mengalami paresis sisi kanan pada m. Leva­ tor sulci nasolabialis, m. Frontalis, m. Orbikularis okuli, dan m. Orbikularis oris dengan skala House-Brackmann 3. Belum ada hasil pemeriksaan lab dan radiologi.



PENUTUP



Pembuatan diagnosis kerja neurologis beserta keempat aspek diagnosis Minis, topis, etiologis, dan patologis terkesan sulit, karena membutuhkan pengetahuan Minis, neuroanatomi, dan patofisiologi penyaldt-penyaMt neurolo­ gis. Namun hal ini dapat dipelajari dan akan menjadi suatu ketrampilan tersendiri seiring dengan banyaknya kasus yang dihadapi, selama klinisi memahami pentingnya prinsip pembuatan diagnosis tersebut. Oleh karena manfaat utamanya adalah bagi Minisi sendiri yang akan menjadi terbiasa untuk berpikir sistematis, sesuai dengan cara kerja otak, serta memudahkan pemilihan tata laksana pasien yang tepat selanjutnya.



Gejala dan tanda Minis yang terkait bidang neurologi adalah: 1. Riwayat pingsan pasca onset trauma kepala 4 jam. Riwayat pingsan setelah trauma adalah bagian dari patofisiologi trauma kepala pada umumnya. 2. Perubahan kepribadian (sering marah padahal awalnya penyabar). 3. Mengucapkan kata-kata kotor. 4. Disinhibisi sosial termasuk disinhibisi terhadap BAB, BAK, dan seksual Poin 2-4 ini dapat dikelompokkan dalam sindrom lobus frontal, khususnya bagian (dorsolateral) korteks prefrontal dan orbitoffontal.



CONTOH KASUS



Tn. A, 23 tahun mengalami kecelakaan sepeda motor berkecepatan tinggi hingga dahi depannya terbentur tiang listrik, lalu terbentur aspal. Pasien tidak sadar sampai 4 jam kemudian tiba di RS, lalu pasien sadar namun mengalami perubahan perilaku. Pasien menjadi sering marah (sebelumnya dikenal penyabar), apati, mengucapkan kata-kata kotor, BAK dan BAB sembarangan (tidak dapat ditahan), tiba-tiba ingin berbuat seks dengan perempuan di dekatnya saat perawatan, serta lupa kejadian sebelum dan sesudah kecelakaan.



5. Amnesia anterograd dan retrograd. Amnesia dapat merupakan bagian dari sindrom lobus frontal dengan kerusakan di bagian mesial inferior. Namun karena mempertimbangkan kemungkinan lainnya, lebih baik amnesia ini dipisahkan dari sindrom lobus frontal, kecuali Minisi sudah berkeyakinan dari pemeriksaan lanjutan bahwa hal itu akibat sindrom lobus frontal.



Pasien juga mengalami perdarahan hidung dan telinga. Tiga hari perawatan tampak mulut mencong ke kiri, kerutan dahi kanan berkurang, dan kelopak mata kanan lebih tampak terbuka. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital normal, jejas trauma di dahi depan dan wajah serta di temporal kanan, tes halo positif pada darah yang keluar dari hidung dan telinga, serta adanya battle sign dan brill hematoma. Pasien juga



6. Rhinorhea dengan kebocoran cairan serebrospinal (CSS). 7. Otorhea dengan kebocoran CSS. 8. Battle sign. 9. Brill hematoma. Poin 6-9 dapat dikelompokkan dalam sindroma fraktur basis kranii, khususnya fossa anterior dan os petrosus. 14



Pendekatan Klinis Gangguan Neurologis



10. Paresis m. levator sulci nasolabialis kanan.



sindroma fraktur basis kranii, paresis N.VII kanan perifer traumatik House Brackmann 3 (lebih baik dari hanya dituliskan tanpa keterangan tingkat keparahan penyakit). Klasifikasi HouseBrackmann dapat dilihat pada Topik Komplikasi Pascacedera Kepala.



11. Paresis m. Frontalis kanan. 12. Paresis m. Orbikularis okuli kanan. 13. Paresis m. Orbikularis oris kanan. Poin 10-13 ini dapat dikelompokkan dalam sindrom paresis N. VII perifer, sehingga cukup dituliskan dalam diagnosis klinis sebagai paresis N. VII perifer kanan. Meskipun pa­ resis N. VII perifer kanan yang terjadi dapat merupakan bagian dari sindroma fraktur basis kranii di atas yang berhubungan dengan fraktur os petrosus, namun karena sangat mungkin ada dd/ topis segmen N. Fasialis lain (selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang memastikan topis segmen N. VII ini], maka lebih baik dipisah dituliskan paresis N. VII perifer kanan traumatik ini dari sindrom fraktur basis kranii os petrosus, kecuali pemeriksa/akademisi sudah berkeyakinan dari pemeriksaan lanjutan bahwa memang yang paling tepat menjelaskan amnesia pada pasien adalah semata-mata terkait fraktur os petrosus. Lengkapi paresis n. VII perifer kanan ini dengan keterangan tingkat keparahannya (dalam hal ini terdapat keterangan skala House Braclonann 3].



2. Diagnosis topis: korteks dorsolateral pre­ frontal, korteks orbitoffontal (lebih spesifik dari hanya dituliskan lobus frontal, akan lebih baik]; basis kranii fossa anterior dan os petrosus (lebih spesifik dari hanya ditu­ liskan basis kranii, akan lebih baik]; N.VII kanan (sementara tak mengapa menulis­ kan N. VII kanan saja, setelah pemeriksaan penunjang perlu disempurnakan menjadi segmen manakah dari N.VII yang terkena: intrakranial, meatal, labirin, timpanik, mastoid, atau ekstratemporal]. 3. Diagnosis patologi: kemungkinan sebelum adanya pemeriksaan penunjang adalah: kontusio (tidak mungkin komosio], axonal injury "baik di lobus frontal maupun N. VII", dan fraktur (untuk area basis kranii]. 4. Diagnosis etiologi: trauma. DAFTAR PUSTAKA 1. Aninditha T, Estiasari R, Octaviana F. Pemeriksaan sistem saraf. Dalam: Sedati S, Naffialdi, Alwi 1, Fahrial AS, Simadibrata M, editor. Panduan sistematis untulc diagnosis fisik: anamnesis dan pemeriksaan fisis komprehensif. Jakarta: Interna Publishing; 2013. 2. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s.prin­ ciples of neurologi, Edisi ke-8. New York: McGraw Hill; 2005.



Maka menuliskan 4 dimensi diagnosis pada pasien ini yang baik adalah sebagai berikut: 1. Diagnosis klinis: sindroma lobus fron­ tal, amnesia anterograd dan retrograd,



15



2



PEMURUNAM KESADARAN Tiara Aninditha, Pukovisa Prawiroharjo



1. Lintasan sensorik spesifik, menghantarkan impuls dari reseptor ke satu titik di korteks sensorik primer. Lintasan ini melalui traktus spinotalamikus, lemniskus medialis, lemniskus lateralis, atau radiasio optika.



PENDAHULUAN



Kesadaran merupakan manifestasi dari normainya aktivitas otak. Kesadaran ditandai dengan adanya awareness (sadar) terhadap diri sendiri dan lingkungan, serta memiliki kemampuan untuk merespons stimulus in­ ternal maupun eksternal. Menurut Plum dan Posner, kesadaran memiliki dua aspek, yaitu: derajat dan kualitas., sehingga berhubungan dengan tingkatkewaspadaan ( alertness ) atau tingkat keterjagaan [wakefulness].



2. Lintasan sensorik nonspesifik, terdiri atas serabut-serabut yang ada pada formasio retikularis. Serabut-serabut ini memanjang di sepanjang batang otak. Formasio retikularis menerima serabut afe­ ren, lalu memproyeksikan serabut eferen dari dan ke korda spinalis, nukleus saraf kranial, serebelum, dan hemisfer serebri. Beberapa nukleus yang ada di formasio retikularis; khususnya yang ada di mid­ brain, diproyeksikan ke pusat yang lebih tinggi (kedua hemisfer otak) dan mener­ ima input kolateral dari berbagai serabut asending (seperti traktus spinotalamikus, traktus spinalis nervus trigeminal, trak­ tus solitarius, dan serabut dari nukleus vestibular serta koklear). Berdasarkan beberapa studi diketahui bahwa sistem ini memiliki peran meng-atur derajat kes­ adaran pada manusia dan menjaga siklus tidur-bangun [sleep-wake cycle]. Selanjutnya sistem tersebut dikenal dengan nama



Sementara itu, kualitas kesadaran menggambarkan fungsi kognitif dan afektif mental seseorang. Kualitas kesadaran bergantung pada cara pengelolaan impuls aferen oleh korteks serebri yang kemudian akan menghasilkan isi pikir, Jika derajat kesadaran terganggu, secara otomatis kualitas kesadaran juga akan terganggu. Namun, terganggunya kualitas kesadaran tidak selalu diikuti oleh terganggunya derajat kesadaran. PATOFISIOLOGI



Terdapat dua struktur anatomi yang mempengaruhi derajat kesadaran, yaitu kedua hemisfer otak dan brainstem reticular ac­ tivating system [RAS). Kedua struktur ini berperan dalam proyeksi dan penerim aan impuls aferen. Ada dua lintasan yang digunakan untuk menyampaikan impuls aferen ke korteks serebri, yaitu:



ascending reticular activa-ting system (ARAS) (Gambar 1).



16



Penurunan Kesadaran



Gambar 1. Skema Ascending Arousal System jaras berwarna biru mencakup jaras noradrenergik, serotonergik, histaminergik, dan dopaminergik, Jaras berwarna merab mencakup jaras kolinergik.



Penurunan kesadaran juga dapat disebab­ kan oleh lesi kompresi dan lesi destruksi. Penurunan kesadaran akibat lesi kompresi, yaitu: 1) lesi secara langsungmengakibatkan distorsi ARAS; 2} lesi menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial secara difus sehingga mengakibatkan terganggunya aliran darah ke otak; 3) lesi menyebabkan iskemia lokal; 4) lesi menyebabkan edema otak; dan 5) lesi menyebabkan herniasi. Contoh lesi kompresi adalah tumor, hematoma, dan abses. Lesi kompresi umumnya hanya m e­ ngenai satu bagian korteks atau substansia alba, namun seringkali menyebabkan kerusakan struktur yang lebih dalam. Kerusakan struktural ini umumnya diakibatkan oleh



Penurunan kesadaran dapat dibagi berdasarkan etiologi, lokasi, dan karakteristik lesx. Berdasarkan etiologi, penurunan ke­ sadaran dapat disebabkan oleh kelainan struktural (lesi diskret pada bagian atas batang otak dan bagian bawah diensefalon atau lesi yang mengenai kedua hemisfer) dan kelainan metabolik (yang mengakibatkan gangguan aktivitas neuron). Berdasar­ kan lokasi lesi, penurunan kesadaran dapat terjadi akibat: a) lesi difus kedua hemisfer; b) yang bisa diakibatkan oleh kelainan me­ tabolik; c) lesi di diensefalon atau hipotalamus di mesensefaion (midbrain) atas; d) pons atas seperti pada emboli diarteri basi­ lar; dan e) pons (Gambar 2). 17



Buku Ajar Neurologi



pergeseran salah satu atau beberapa bagian otak akibat efek desak ruang. Pergesaran ini mengakibatkan hernias! dan kompresi pada mesensefaion dan RAS.



gangguan metabolik, infeksi, dan trauma. Ketidakseimbangan alttivitas metabolik pada neuron di korteks serebral dan nukleus sentral di otak merupakan salah satu jenis gang­ guan yang dapat mengakibatkan penurunan kesadaran. Etiologinya dapat berupa hipoksia, iskemia global, hipoglikemia, kondisi hip­ er- dan hipo-osmolar, asidosis, alkalosis, hipokalemia, hiperamonemia, hiperkalsemia, hiperkarbia, intoksikasi obat, dan defisiensi vitamin. Penurunan kesadaran tersebut dise­ babkan oleh reduksi metabolisme akibat menurunnya aliran darah ke otak.



Sementara itu, penurunan kesadaran pada lesi destruksi disebabkan oleh kerusakan langsung struktur RAS, seperti lesi pada diensefalon atau batang otak yang bilateral, atau dapat juga fokal namun mengenai mesense­ faion atau kaudal diensefalon. Lesi destruksi kortikal dan subkortikal harus bersifat bila­ teral dan difus untuk dapat mengakibatkan penurunan kesadaran, misalnya lesi akibat



Gambar 2, Lesi-Iesi yang Dapat Menyebabkan Penurunan Kesadaran



18



Penurunan Kesadaran



Sebagai contoh, dalam kasus iskemia, pe­ nurunan akut aliran darah ke otak hingga 25mL/menit/100g jaringan otak (nilai normal: 55mL/menit/100g jaringan otak] akan mengakibatkan perlambatan gelombang elelctroensefalografi (EEG), sinkop, atau penurunan kesadaran. Sementara itu, penurunan aliran darah hingga 12-15mL/ menit/lOOg jaringan otak dapat mengaki­ batkan electrocerebral silence, koma, dan perlambatan proses metabolik neuron serta fungsi sinaps. Neuron tidak akan bertahan jika aliran darah otak berkurang di bawah 8-10mL/menit/100g, Berkurangnya aliran darah ke otak sebanding dengan penurunan kecepatan metabolik sel-sel otak.



edema neuron dan hilangnya kalium klorida intrasel. Beberapa jenis obat seperti sebagian besar obat anestesi, alkohol, opiat, barbiturat, fenitoin, antidepresan, dan benzodiazepin dapat menginduksi koma karena obat-obat tersebut berkerja langsung pada membran neuron serebrum, RAS, atau neurotransmiter dan reseptornya. Sebagian besar koma akibat toksin dan penyakit metabolik umumnya akan melewati beberapa tahapan penurunan kesadaran yang dimulai dari drowsiness, confusion, dan stupor, namun tiap penyakit memiliki manifestasi klinis yang khas. Perbedaan manifestasi klinis ini diduga berhubungan dengan mekanisme dan lokus yang terkena efek gangguan metabolik.



Pada kasus koma, penyebab koma seperti toksin metabolik endogen tidak selalu dapat teridentifikasi. Pada pasien dengan diabetes, badan keton (asam asetoasetat, asam betahidroksibutirat, dan aseton) dapat terdeteksi dalam konsentrasi yang tinggi. Pada pasien dengan uremia dapat ditemukan akumulasi molekul toksin yang terdialisasi, seperti derivat fenol yang merupakan bagian dari asam amino aromatik. Pada pasien dengan koma hepatik, peningkatan lcadar amonia lima sampai 6 kali di atas normal berhubungan dengan peningkatan risiko mengalami koma. Pasien dengan asidosis laktat juga berisiko mengalami penurunan kesadaran jika pH darah arteri kurang dari 7. Sementara itu, penurunan kesadaran pada pasien dengan insufisiensi pulmoner dihubungkan dengan kondisi hiperkapnia.



Pada pasien dengan epilepsi dengan bangkitan fokal, umumnya tidak akan menye­ babkan hilangnya kesadaran, kecuali bangkitan kejang menyebar dari satu hemisfer ke hemisfer lainnya. Sementara itu, pada bangkitan umum (kesadaran menurun sejak awal kejang], sumber bangkitan diduga berasal dari diensefalon. Penurunan kesadaran pada kasus infeksi intrakranial terjadi karena lesi yang difus pada seluruh hemisfer baik aki­ bat inflamasi maupun edema yang disebabkannya. Pada cedera kepala tumpul, getaran yang terjadi akibat benturan pada tengkorak akan ditransmisikan ke otak sehingga meng­ akibatkan kerusakan jaringan otak Beberapa benturan bahkan mengakibatkan gerakan rotasi pada hemisfer di sekitar medula oblongata bagian atas, sehingga dapat menyebabkan hilangnya kesadaran. Sementara itu cedera kepala tajam dapat mengakibatkan hilangnya kesadaran jika mengenai diensefalon dan medula oblongata bagian atas.



Pada pasien dengan hiponatremia (kadar Na1 bulan, pasien ini dikatakan berada dalam kondisi vegetatif (persistent vegetative state). Pasien yang berada dalam kondisi vegetatif memiliki kemampuan membuka mata secara spontan, siklus bangun-tidur yang normal, dan fungsi batang otak serta otonom yang intak.



3. Locked-in syndrome



1. Psychogenic unresponsiveness Diagnosis ini merupakan suatu diagno­ sis eksklusi dan ditegakkan hanya jika tidak terdapat bukti yang kuat untuk menegakkan diagnosis penyakit lainnya. Psychogenic unresponsiveness merupakan manifestasi Minis dari skizofrenia (tipe katatonik), kelainan somatoform, atau malingering . Pa da pemeriksaan fisik umum tidak ditemukan adanya kelainan dan pada pemeriksaan fisik neurologis terdapat penurunan tonus otot simetris, refleks yang normal, dan respons yang normal terhadap stimulasi plantar. Pada pemeriksaan tes kalori dengan air dingin ditemukan adanya nistagmus fase cepat yang tidak akan ditemukan pada pasien dengan penurunan kesadaran. Selain itu, pemeriksaan dengan EEG akan memberikan gambaran gelombang normal pada pasien sadar.



2. Persistent vegetative state Beberapa pasien dengan penurunan ke­ sadaran akibat hipoksia serebral, iskemia serebral global, trauma kepala, atau stroke yang mengenai kedua hemisfer



32



Transeksi fungsional pada batang otak di bawah pons tengah, dapat mengganggu jalur descending form ation retikularis (yang bertanggung jawab mengatur ke­ sadaran). Transeksi ini dapat diakibatkan oleh infark pons, perdarahan, mielinolisis pontin sentral, tumor, atau ensefalitis. Tran­ seksi ini akan mengakibatkan kondisi akinetik dan mute state, namun dengan derajat kesadaran penuh. Pasien yang mengalami kondisi ini akan terlihat be­ rada dalam kondisi stupor-koma, tetapi sebenarnya sadar penuh walaupun mengalami kuadriplegia dan mutisme. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan gam­ baran pergerakan volunter yang dikendalikan oleh midbrain , seperti kemampuan membuka mata spontan, pergerakan vertikal bola mata, dan gerakan konvergen bola mata. Hasil pemeriksaan EEG akan menunjukkan gambaran normal. 4. Brain death Diagnosis brain death ditegakkan jika: 1) fungsi respirasi dan sirkulasi berhenti secara ireversibel atau 2) seluruh fungsi



Penurunan Kesadaran



otak terhenti secara ireversibel. Pada pemeriksaan fisik didapatkan semua refleks batang otak negatif. TATA LAKSANA



Pada prinsipnya, setiap gangguan di intrakranial yang mendesak ARAS, maupun gangguan sistemik tubuh yang mengganggu neuron secara difus dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Maka pada setiap pasien d e n g an penurunan kesadaran, yang pertama dicari adalah adanya gangguan intrakranial, oleh karena harus ditatalaksana segera untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Jika ternyata penyebabnya adalah kelainan sistemik, maka penanganannya pun perlu dipertimbangkan dari sudut pandang neurologi agar otak tetap terjaga dan terhindar dari komplikasi ensefalopati yang dapat bersifat ireversibel di kemudian hark Jadi tata laksana akan sangat bergantung pada etiologinya. Namun kadang etiologi tidak dapat langsung ditemukan, sehingga tatalaksananya belum bisa spesifik. Oleh karena pada penurunan kesadaran terjadi penurunan refleks-refleks dasar termasuk menelan dan bisa terjadi gangguan napas, maka diperlukan tata laksana awal yang bersifat suportif, untuk memperbaiki kondisi akutyang mengancam nyawa seperti: a. Bebaskan jalan napas dengan suction jika terdapat lendir di jalan napas atau posisikan pasien sehingga menghadap ke lateral. b. Berikan oksigen dengan nasal kanul atau sungkup dan lakukan pemeriksaan analisis gas darah jika dibutuhkan. Jika pasien diketahui terdapat hipoksia atau hipoventilasi dan tidak memiliki kemampuan mencegah aspirasi, maka dapat di­ pertimbangkan intubasi endotrakeal



c. Untuk mencegah kegagalan sirkulasi, pasang jalur intravena dan lakukan pemer­ iksaan darah untuk mengetahui kadar glukosa, elektrolit, fungsi hati, fungsi ginjal, atau kadar obat-obatan tertentu yang dicurigai menyebabkan terjadinya penu­ runan kesadaran. d. Jika terdapat tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial akibat stroke atau perdarahan, dapat diberikan manitol 25-50m g dalam solusio 20% intravena selama 10-20 menit, atau deksametason loading lOmg IV jika diperkirakan akibat massa atau infeksi intrakranial. e. Antibiotik spektrum luas diberikan pada pasien dengan gejala dan tanda yang mengarah pada meningitis atau ensefalitis bakterialis, jika pungsi lumbal tidak dapat dilakukan segera. f. Jika pasien kejang, berikan diazepam in­ travena perlahan. g. Jika terdapat tanda dan gejala intoksikasi zat atau substansi tertentu, perlu dilaku­ kan bilasan lambung untuk diagnosis dan terapi. Namun, perlu diperhatikan terdapat beberapa obat (salisilat, opiat, dan obatantikolinergik) yang dapat menyebabkan atonia gaster sehingga bilasan lambung tidak dapat dilakukan karena dapat mengakibatkan perforasi. Pada kasus seperti ini, pasien dapat diberikan activated charcoal h. Jika pasien mengalami gangguan pengaturan suhu tubuh, perlu dilakukan koreksi guna mencegah hipo- atau hipertermia. i. Pemasangan kateter urin guna mencegah peningkatan intra-abdomen yang berbahaya pada kasus penurunan kesadaran dengan peningkatan tekanan intrakra­ nial, juga berfungsi untuk memonitor balans cairan pasien. 33



Buku Ajar Neurologi



j.



Pemasangan pipa nasogastrik untuk memudahkan pemberian nutrisi dan mencegah aspirasi.



k. Mobilisasi pasif dengan cara merubah posisi pasien miring ke kiri dan kanan secara teratur tiap 2 jam untuk mencegah uikus dekubitus. L Jaga kebersihan konjungtiva dan mulut pasien untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Pada dasarnya, prognosis pasien dipengaruhi oleh penyakit dasar yang menyebabkan penurunan kesadaran. Pemulihan akibat gangguan metabolik memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan penurunan kesadaran aldbat anoksia. Jika dalam pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya respons pupil, kornea, atau okulovestibular dalam beberapa jam setelah onset koma, maka sangat kecil kesempatan untuk perbaikan kembali. Hal itu terutama jika tidak terjadi pemulihan dalam 1-3 hari setelah onset penurunan kesadaran. CONTOH KASUS



Wanita, 65 tahun, tiba-tiba tidak sadarkan diri saat bangun tidur di pagi hari. Sebelumnya ia merasa lemas seluruh badan dan sakit kepala, tak lama kemudian suami pasien menemukannya terjatuh dan tidak memberikan respons. Pasien pernah ter­ jatuh hingga kepala terbentur tiga hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat mengonsumsi obat-obatan untuk hipertensi dan diabetes. Riwayat penyakit keluarga pasien meliputi stroke pada ibu pasien dan tumor telinga tengah pada saudara laki-lakinya. P e rta n y a a n :



1. Apakah kemungkinan diagnosis pada pasien?



34



2. Apakah intervensi awal yang dibutuhkan pasien ketika pasien sampai di IGD? 3. Apakah pemeriksaan yang dibutuhkan pada pasien? 4. Apakah pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan pada pasien dalam waktu 24 jam? ja w a b a n :



1. Diagnosis banding etiologi penurunan kesadaran pada pasien adalah sebagai berikut: a. Hipoglikemia karena pasien memiliki riwayat mengonsumsi obat-obat untuk hiperglikemia b. Trauma kepala karena pasien memi­ liki riwayat trauma kepala tiga hari yang lalu c. Stroke karena pasien memiliki riwayat hipertensi dan memiliki riwayat pe­ nyakit keluarga stroke d. Massa intrakranial karena pasien me­ miliki riwayat penyakit keluarga tumor pada telinga 2. Tata laksana awal pada pasien dengan penurunan kesadaran, meliputi: a. Bebaskan jalan napas dengan suction (jika terdapat cairan di jalan napas) atau posisikan pasien sehingga menghadap ke lateral. b. Berikan pasien oksigen dengan nasal kanul atau sungkup dan lakukan pemer­ iksaan analisis gas darah jika dibutuhkan. c. Untuk menghadapi kemungkinan adanya kegagalan sirkulasi, pasang jalur intravena dan lakukan pemerik­ saan darah untuk me-ngetahui kadar glukosa, elektrolit, fungsi hati, fungsi



Penurunan Kesadar



ginjal, atau kadar obat-obatan tertentu yang dicurigai menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.



4. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, meliputi: a. CT scan atau MRI kepala mutlak pada penurunan kesadaran akut dengan defisit fokal atau gejala peningkatan tekanan intrakranial.



d. Jika terdapat tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial akibat perdarahan intrakranial akibat stroke atau trauma, diberikan manitol 2550mg dalam solusio 20% secara intra­ vena dalam waktu 10-20 menit Jika disebabkan oleh lesi desak ruang aidbat inflamasi atau neoplasma, diberi­ kan deksamethason bolus lOmg IV.



b. Spesimen urin dikumpulkan dengan kateter untuk pemeriksaan urinalisis guna menentukan kadar glukosa, aseton, dan protein. c. Pemeriksaan darah guna mengetahui konsentrasi glukosa, ureum, kreatinin, amonia, elektrolit, SCOT, dan SGPT perlu dilakukan secara rutin untuk mengeksklusi kemungkinan penurunan kesada­ ran akibat gangguan metabolik. Begitu juga dengan analisis gas darah, dilaku­ kan hanya jika pasien menunjukkan tan­ da dan gejala insufisiensi pernapasan atau gangguan asam-basa.



e. Jika pasien kejang, berikan antikonvulsan. f.



Lakukan pemasangan kateter urin.



g. Pertimbangkan pemasangan pipa nasogastrik untuk memudahkan pemberian nutrisi dan mencegah aspirasi. h. Lakukan imobilisasi dengan cara merubah posisi pasien miring ke ldri dan kanan secara teratur tiap 2 jam un­ tuk mencegah ulkus dekubitus. i. Jaga kebersihan konjungtiva dan mulut pasien untuk mencegah pertumbuhan bakteri. 3. Pemeriksaan fisik: a. Primary survey: airway, breathing, cir­



culation. b. Pemeriksaan umum, meliputi tanda vital, tanda trauma, tanda pada kulit, funduskopi. c. Pemeriksaan neurologis, meliputi pemeriksaan derajat kesadaran, tanda rangsang meningeal, pemerik­ saan pupil, pemeriksaan gerakan bola mata, dan pemeriksaan respons motorik terhadap nyeri.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Aminoff M, Greenberg D, Simon R. Clinical neuro­ logy. Edisi ke-6. California: Lange; 2005. h. 45-51. 2. McNarry AF, Goldhill DR. Simple bedside assessmentoflevel ofconciousness: comparison oftwo simple assessment scales with the Glasgow coma scale. Anaesthesia. 2004;59(l):34-7. 3. Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Plum and Posner’s diagnosis of stupor and coma. Oxford: Oxford University Press; 2007;h.38-46, 77-81. 4. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor's prin­ ciples of neurology. Edisi ke-8. USA: McGraw-Hill; 2005. h. 302-20. 5. Wijdicks EFM, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM. Evidance-based guideline update: determining brain death in adults. Neurology, 2010;74(23):1911-18. 6. Koch C, Massimini M, Bolly M, Tonon i G. Neural correlates of consciousness; Progress and prob­ lems. Nature reviews [serial online] 2016. [diunduh 20 Apr 2016];2016:1038. Tersedia dari: Nature Reviews.



35



PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL Taufik Mesiano



dan sebagainya dapat menyebabkan pen­ ingkatan TIK yang dapat berlangsung cepat jika tidak segera ditatalaksana.



PENDAHULUAN



Tempurung kepala manusia dewasa merupakan rongga yang berisi tiga komponen, yaitu jaringan otak (serebral serebelum, batang otak, dan medula spinalis], darah di dalam pembuluh darah, dan cairan serebrospinal (CSS). Ketiganya terselubungi oleh struktur jaringan yang kuat dan inelastis, yakni duramater. Dengan struktur tersebut, tempurung kepala manusia dewasa merupakan rongga yang tertutup dengan volume yang tetap dan dalam keadaan yang seimbang, yang dikenal sebagai doktrin Monro-Kellie.



Oleh karena itu, semua tindakan neuroemer­ gency pada prinsipnya adalah mengatasi pe­ ningkatan TIK untuk mencegah kecacatan dan kematian. Hal ini hanya akan dapat berhasil dengan memahami gejala dan mekanisme perubahan TIK, serta tata laksana peningkatan TIK berdasarkan patofisiologinya. EPIDEMIOLOGI



Penyebab tersering peningkatan TIK pada kasus neurologi adalah trauma otak, stroke, neoplasma, hidrosefalus, ensefalopati hepatikum, trombosis vena, ensefalitis, dan abses. Peningkatan TIK merupakan prediktor perburukan keluaran pada banyak kasus neurologi. Pada suatu studi trauma otak, pada TIK kurang dari 20mmHg perburukan keluaran terjadi pada 18,4% kasus. Pada TIK lebih dari 40mmHg, keluaran memburuk hingga 3 kali lipatnya.



Adanya peningkatan salah satu dari kompo­ nen akan dikompensasi dengan penurunan volume komponen yang lain, sehingga tekanan intrakranial (TIK) akan dipertahankan konstan. Contohnya penambahan volume otak oleh massa intrakranial, akan menyebabkan kompensasi berupa pemindahan CSS ke rongga spinal, deformasi otak melalui peregangan otak, serta pengurangan produksi CSS, Proses ini dinamakan daya akomodasi tekanan volume otak atau



intracranial compliance.



PATOFISIOLOGI



Jika kompensasi tersebut gagal, maka akan terjadi peningkatan TIK yang menyebabkan gangguan perfusi atau herniasi otak, se­ hingga berujung pada kematian. Sementara berbagai keadaan patologis di otak, seperti iskemia, perdarahan, inflamasi, neoplasma,



TIK pada orang dewasa normal adalah sekitar 100-180mmH20 (8-14mmHg) pada posisi dekubitus lateral, tenang, dan tungkai lurus. Rentang nilai normal TIK ini berubah sesuai dengan keadaan dan posisi tubuh. TIK juga berubah seiring mengikuti satu siklus ritme pernapasan. Pada keadaan se36



Peningkatan Tekanan Intrakranial



an perfusi serebral [cerebral perfusion pressure/C PP), yang selanjutnya menyebabkan penurunan aliran darah serebral atau cere­ bral blood flow (CBF) dan memicu iskemik



seorang mengedan dan batuk, TIK akan meningkat sementara imtuk kemudian kembali normal. Sebagaimana dijelaskan pada pendahuluan, terdapat mekanisme kompensasi terhadap perubahan volume intrakranial untuk menjaga TIK dalam rentang fisiologis. Kom­ pensasi pertama yakni melalui sistem vena yang dapat dengan mudah untuk kolaps mengeluarkan darah melalui vena jugularis, vena emisari, dan vena daerah kulit kepala [scalp). Kompensasi kedua melalui pening­ katan pemindahan aliran CSS dari foramen magnum ke ruang subaraknoid.



global yang berakhir pada kematian. Jantung dan sistem pembuluh darah juga berusaha mengkompensasi dengan meningkatkan rerata tekanan darah arteri [mean arterial pressure/MA?) agar pada saat peningkatan ICP tidak segera menurunkan CPP. Hal ini sesuai dengan formula; CPP= MAP-ICP Mekanisme kedua, peningkatan TIK yang tinggi aldbat penambahan massa fokal di otak dapat mendorong sebagian parenkim otak ke daerah yang lemah yang tidak dibatasi oleh duramater, seperti folks atau tentorium, yang disebut herniasi otak Pada akhirnya, dorongan parenldm itu akan masuk ke satu-satunya daerah kosong di intrakranial, yaitu foramen magnum, yang menuju area batang otak yang sangat vital fungsinya, Inilah yang paling ditakutkan dari peningkatan TIK, yaitu kematian aldbat herniasi ke batang otak sebagai pusat kesadaran, respirasi, dan kardiovaskular.



Oleh karena itu, penambahan volume intrakra­ nial sampai batas tertentu tidak akan segera meningkatkan TIK. Namun jika volume terus bertambah sementara mekanisme kompensasi sudah bekerja maksimal, maka akan terjadi peningkatan TIK [intracranial pressure/ICP) (Gambar 1) yang akan menyebabkan kematian melalui gangguan perfusi dan hemiasi otak Peningkatan TIK akan menurunkan tekan­



Gambar 1. Kurva Hubungan Penambahan Volume dan Tekanan Intrakranial



37



Buku Ajar Neuroiogi



di lobus parietal dari kedua belah hemis­ fer akan mendorong diensefalon dan mid­ brain ke bawah melalui insisura tentorium.



Berdasarkan lokasinya herniasi otak dapat dibagi menjadi empat, yaitu [Gambar 2): 1. H e rn ia s i C in g u lata



Terjadi akibat penambahan massa intrakranial di daerah supratentorial. Penambahan ini mendorong girus cinguli yang terletak di dekat falks serebri (lapisan meningen yang memisahkan kedua hemisfer), sehingga bergeser ke hemisfer kontralateral.



3. H e rn ia s i T e n to ria l (H e rn ia si U n k a l}



Merupakan herniasi yang sering terjadi, terutama pada perdarahan epidural lo­ bus temporal. Berbeda dengan herniasi sentral, herniasi unkal terjadi akibat adanya penambahan massa intrakranial di daerah temporal. Penambahan massa tersebut, menekan massa otak di daerah inferomedial (unkus) sehingga terdorong kebawah melalui celah antara tentorium dengan batang otak. Gejala khas herniasi unkal adalah penurunan kesadaran yang semakin memberat, dilatasi pupil ipsilateral, dan hemiplegia kontralateral



2. H e rn ia s i S e n tra l



Terjadi akibat penambahan massa intrakranial yang jauh dari daerah tento­ rium, seperti pada lobus frontal, parietal, dan atau oksipital. Sebagai contoh penam­ bahan massa akibat perdarahan subdural



38



Peningkatan Tekanan Intrakranial



4, H e rn ia si T o n sila r Penambahan massa intrakranial di daerah fossa posterior atau infratentorial dapat mengakibatkan herniasi tonsilar. Sebagai contoh perdarahan di daerah serebelum yang masif dapat menekan serebelum dan selanjutnya menekan batang otak, sehingga keluar melalui foramen magnum.



Paresis nervus kranialis juga dapat terjadi pada keadaan peningkatan TIK yang telah menekan nukleus di batang otak Tanda yang khas pada herniasi unkal yaitu dilatasi pupil ipsilateral akibat penekanan nukleus EdingerWestphal di mesensefalon, sehingga tampak pupil anisokor. Adapun nervus kranialis yang paling sering terkena adalah nervus abdusens, yang merupakan nervus terpanjang yang berjalan di daerah subaraknoid, setelah keluar dari batang otak melintas di atas klivus. Maka hal ini dapat dicari pada pemeriksaan fisik atau ditanyakan Idiusus ada tidaknya diplopia bersamaan dengan gejala saldt kepala.



g e ja l a d a n t a n d a k l in is



Efek yang ditimbulkan akibat peningkatan TIK tergantung pada patologi dan anatomi yang menjadi penyebabnya. Pada kasus tu­ mor intrakranial yang patologinya terjadi secara gradual, gejala utama yang dikeluhkan berupa sakit kepala, sedangkan pada kasus perdarahan intraserebral masif akibat stroke akut dapat terjadi gejala yang sangat berat, yaitu penurunan kesadaran. Adakalanya peningkatan massa intrakranial tidak bergejala sampai terjadi kegagalan kompensasi untuk menurunkan TIK. Lesi desak ruang di serebelum tidak selalu menimbulkan gejala, namun pasien dapat datang dengan peningkatan TIK akibat hidrosefalus dari obstruksi di ventrikel keempatyang menyebabkan kegagalan kompensasi.



Peningkatan TIK dapat menyebabkan perubahan tanda vital. Pada fase awal keadaan tersebut akan terjadi aktivasi sistem simpatis se­ bagai usaha tubuh untuk meningkatkan suplai darah ke otak, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dan takikardi. Jika peningka­ tan TIK terus berlanjut hingga menyebabkan penekanan batang otak, maka akan terjadi Trias Cushing, yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia, dan pola napas ireguler. Trias ini merupakan gejala khas yang terjadi pada keadaan iskemia general ataupun iskemia lokal akibat penekanan pada batang otak



Gejala dan tanda klasik peningkatan tekanan in­ trakranial adalah adanya salat kepala, muntah, dan papiledema. Sakit kepala dialdbatkan oleh peregangan struktur peka nyeri di meningen pada peningkatan TIK. Muntah biasanya menyertai saldt kepala tanpa didahului oleh mual, karena perangsangan pusat muntah di area postrema (di sekitar ventrikel 4, dorsal dan medula oblongata). Papiledema dapat men­ jadi tanda patognomonik adanya peningkatan TIK dengan spesifisitas yang tinggi. Namun pe­ ningkatan TIK tanpa adanya papilledema juga dapat terjadi pada lesi daerah oksipital.



Pola napas akan berbeda sesuai dengan level batang otak yang mengalami kerusakan (Gambar 3). Lesi di daerah diensefalon dapat menyebabkan pola napas Cheyne-Stokes. Pernapasan hiperventilasi aldbat kerusakan di midbrain dan pons bagian atas. Lesi di pons bagian tengah dapat terjadi napas apneustik. Pola napas klaster terjadi pada kerusakan terjadi pada bagian bawah pons, sedangkan tipe ataksik pada kerusakan di daerah medula oblongata.



39



Buku Ajar Neurologi



,~^ij Pels pematJasai^Cheyraj tmhm U a i Q k ih t i p a d s a e r a b r u m f p e m g k a l M tifppu^a#3fwtg»{H#Junturg# ^ ii /



. »



^ *"'*3



. \



| . . . Q



T t * , p e n s w u li



tfflth



(



^ -w ^ w /



Paid pemapassn ttipcruenLildsi Ncuragenik5crrttt£ Lesi [ikls dMar e lk tsrsgeh dirrtefjs'i alas pcr»



.^ S



J Pola pernapaian Apneuitik



V



L es i p a d s b s g l s n l e n p h j m s



led p*a1i3



V ■\



pc*?*



Pols pernapasmj?£2tefe kesijkx» itstwvikliimi nSSulsrdsnf^sduiscfe*jos»t*



Gambar 3. Pola Pernapasan Abnormal pada Penekanan Batang Otak TIK: tekanan intrakranial



sakit kepala, muntah, dan papiledema. Selain gejala tersebut penting mengetahui kumpulan gejala yang menunjukkan tingkat herniasi dan lokasi kerusakan yang terjadi akibat herniasi tersebut. Kumpulan gejala perubahan pola napas, refleks pupil, refleks okulosefaiik dan okulovestibular, serta respons motorik dapat membantu menentukan topis kerusakan akibat herniasi (Gambar 4).



DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING



Keadaan intrakranial dapat ditegakkan dengan melihat gejala yang timbul pada pasien. Diperlukan anamnesis yang detail mengenai patofisiologi penyebab terjadinya peningkatan TIK untuk memastikan patologi penyebab. Hal ini bermanfaat dalam memilih modalitas tata laksana penurunan TIK. Tiga gejala kardinal keadaan peningkatan TIK yang sebelumnya disebutkan adalah



40



Peningkatan Tekanan Intrakranial



Immp p em jp jso n



pemapason



r«gi^er Iq w m en o u



OkuTOO pupH dan malol



3



*dn pmblhVt



bcrukurin kerf



Rtspuns okukKcfs^k don clajEovestitKAar



fnbVnul



QkutacteEik dart ckukjsrtstlbotar fes kilarl slrdei^n



Manuvw Doits h ex l



fieipons motodksdat dan terhadap fpmuktst



toterl air iS n ^ in ^ ^



Rcipont motortkoaot tsOrahat dan icftvxJop stlmUasi



•LMdwnteiil



( ' ’* \



'’- S v X



V



'/



\J . \



Imma



S:j •‘''■'■•'•u y*?-.



ji



1



\



/



Irsma pem spassn



•' .



^ H e r n ia s i p o n s baw ah - M O



/ # W



A W



Ukurw pupil dan reafcsi pupa



UkurUn pupil dan reaksf pupH



Terbadsng Cbc^T*£i&k«



( tC r i-



X Z X X



Pvipa ix n * ^art teal



■"



:r ' T ;



Respons okuloicfoSik dan okuEovestibutw



''r'^P



4



\V t V 'o V "*



=" "



f^aouv^Po^ head



TiOlkadA petyr+i*aa



4



J VC -V-A-?; -■f {^ \ i ■••< ! ..-»' '•• ^



IMrikH W^Jp* hMuovi kt^kd tkrt^Sh Muldal



1



V i - s “\ v\



^y^A/^JVVV/,A*V^A^



; Hl:'



A



Y



c? r'



Manuvcr Do$% head



'



v



)4



tw>i Wrst*rtixs bb rtiwt dn Uwyww K* M f*w n dwt led



,



1



Inama pcmapasan



«tau —A_/|— A ^ V a —A— A _ \



/ ' / A w v A / A ^ A A / A w v A / w \ / , 'A fA V



44



iItti a n t^ i,^ CUmifi*Mo (fan Urrte^n (« ki£k) Ufcurim pufril dan reoksi pwpti



3



£ ' i O ) J.j



4



y ,l^ ^ ^ " T t l k « a pm ri^iw



X



,_ \



«a*s?o»kH A\ \y._J ~J"'vs s \ ••s \ . ’ ••'\ . ■ s v v 'A \



' v * b«whtc Aj94% atau Pa02 >80mmHg serta mempertahankan CBF tetap optimal dengan menjaga tekanan darah sistolik >90mmHg dan CPP >60mmHg. Selain itu diperlukan pemantauan keseimbangan cairan dengan target mempertahankan status cairan euvolemi serta menurunkan kebutuhan metabolisme dengan mencegah rasa nyeri, demam, dan agitasi.



V olum e D a ra h



Peningkatan CBF dapat meningkatkan cere bral blood volume (CBV) yang dapat berkontribusi meningkatkan TIK. Peningkatan CBV atau keadaan hiperemia dapat menurunkan compliance pembuluh darah dan pening­ katan TIK. Hiperemia dapat terjadi pada trauma kepala sebagai prediktor buruknya keluaran pasien.



Rumus berikut menggambarkan komponen/faktor yang memengaruhi perubahan TIK untuk pertimbangan tata laksana khusus pada peningkatan TIK: VCSS + V d a ra h + V o ta k + V m a s s a lain =



Tata laksana peningkatan TIK akibat hiper­ emia harus secara hati-hati dan dipastikan diketahui proses patologi penyebabnya. Beberapa tata laksana yang dianggap efektif untuk menurunkan CBV, di antaranya adalah dengan hiperventilasi dan elevasi kepala 30°. Elevasi kepala akan memperlancar drainase vena dan aliran CSS yang di ke-



V ru a n g in tra k ra n ia l K e te ra n g a n : VCSS: volume cairan serebrospinal; V darah: vol­ ume darah dalam pembuluh darah; V otak: volume otak; massa lain: volume massa tambahan; V ruang intrakranial: volume ruang intrakranial.



42



Peningkatan Tekanan Intrakranial



© Edema vasogenik Akibat peningkatan permeabilitas endotel kapiler otak oleh pelepasan sitokin proinflamasi pada tumor, abses, ensefalitis, dan meningitis.



luarkan melalui sistim vena. Dengan tingkat elevasi kepala hingga 60° tidak mengganggu perubahan CPP. Hiperventilasi dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah daerah pial de­ ngan menahan responsivitas C02 pembuluh darah. Responsivitas ini masih terjaga walaupun terjadi gangguan pada mekanisme autoregulasi pembuluh darah akibat trauma pada otak. Pada dewasa perubahan lto rr PaC02 menurunkan 3% CBF. Dengan me­ kanisme vasokonstriksi ini, CBV akan turun, diikuti penurunan TIK. Hiperventilasi dapat memicu terjadinya alkalosis pada jaringan, sehingga dapat menjadi buffer asidosis intraseluler dan CSS, yang sering terjadi pada cedera kepala berat. Namun efek tersebut tidak dapat berlangsung lama. Apabila dilakukan hiperventilasi berlebihan, maka akan menyebabkan iskemia yang berujung pada kematian sel. Hiperventilasi dengan target PaC02 32-35Torr dianggap cukup menghindari risiko terjadinya iskemia.



Perbedaan mekanisme edema tersebut akan memengaruhi tata laksana penu­ runan TIK. Pemberian cairan hiperosmolar seperti manitol dan salin hipertonik akan bekerja optimal bila sawar darah otak ma­ sih baik pada edema sitotoksik dan jangan diberikan pada edema vasogenik. Beberapa studi telah melaporkan efikasi pemberian cairan ini pada cedera kepala, perdarahan intraserebral, dan perdarahan subaraknoid. Dosis manitol yang disarankan berkisar 0,18 hingga 2,5g/kg, sedangkan dosis salin hipertonik belum terdapat pedoman yang jelas. Salah satu rekomendasinya adalah salin hipertonik 3% secara infus intravena perifer dengan kecepatan 30cc per jam dan target konsentrasi sodium 145-155mmol/L dicapai dalam 6 jam. Pemberian steroid seperti deksametason dianjurkan diberikan pada edema va­ sogenik akibat tumor intrakranial yang menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak, namun harus dihindari pemberiannya pada keadaan patologi edema sitotoksik karena tidak terbukti bermanfaat.



V olu m e O tak



Faktor ketiga dari volume intrakranial adalah penambahan massa otak, Hal ini ter­ jadi karena edema otak yang dapat disebabkan oleh berbagai patologi, yaitu: °



Edema interstisial Edema akibat peningkatan tekanan CSS, seperti pada keadaan hidrosefalus atau gangguan penyerapan CSS akibat perdarahan intraventrikel



V olu m e M assa Lain



Peningkatan volume akibat massa lain, se­ perti perdarahan, abses, ataupun tumor ditatalaksana dengan evakuasi massa ter­ sebut.



• Edema sitotoksik Merupakan edema neuronal yang ter­ jadi sekunder dari kerusakan sel akibat gangguan pompa ATPase, seperti pada keadaan diffuse axonal injury (DAI) atau hipoksia pascastroke.



Semua tindakan tata laksana tersebut meru­ pakan keadaan neuroemergency yang harus dilakukan sesegera mungkin dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip ABC (air­



43



Buku Ajar Neurologi



way, breathing, circulation) seperti halnya 2.



pada kegawatdaruratan lain dengan pemantauan k etat Adapun tata laksana spesifik masing-masing dapat dilihat di topik selanjutnya sesuai penyebab (Cedera Kepala, Stroke, Tumor Otak, dan sebagainya)



3.



4.



DAFTARPUSTAKA 1.



Ropper AH, Brown RH, Adams Victor's principles of neurology. Edisi ke-8, New York: Me Graw Hill;



44



2005. Rengachary SS, Ellenbogen RG. Principles of neu­ rosurgery. Edisi ke-2, Edinburg: Elsevier Mosby; 2005. Sadoughi AIL Rybinnik Igor. Measurement and management of increased intracranial pressure. The Open Critical Critical Care Medicine Journal. 2013;6(Suppl l:M 4]:56-65. Marmarou A, Beaumont A. Physiology of cere­ brospinal fluid and intracranial pressure. Dalam: Winn HR. Youmans neurological surgery. Edisi ke-6. Elsevier. 2011. h. 176.



PUNGSI LUMBAL DAN ANALISIS CAIMAN SEREBROSPINAL Riwanti Estiasari, Ramdinal Aviesena Zairinal, Kartika Maharani



produksi sepertiga lainnya belum jelas. CSS yang diproduksi di ventrikel lateral akan mengalir ke ventrikel ketiga, melewati akuaduktus sylvii, dan mencapai ventrikel keempat. Selanjutnya, CSS mengalir melalui foramen Luschka dan Magendie untuk dapat keluar dari serebelum dan masuk ke ruang subaraknoid. Di dalam ruang subaraknoid, CSS beredar ke atas melalui tentorium serebral dan mencapai ke seluruh konveksitas serebrum, hingga akhirnya menemui struktur vili araknoid. Melalui vili araknoid, CSS kemudian keluar dari ruang subaraknoid menuju sistem sinus serebral untuk diabsorpsi, dan bergabung dengan aliran vena. Dengan demikian, CSS berasal dari dan kembali ke sirkulasi darah.



PENDAHULUAN



Analisis cairan serebrospinal (CSS) merupakan salah satu pemeriksaan penunjang di bidang neurologi, di samping pemerik­ saan neurofisiologi (elektroensefalografi/ EEG, elektromiografi/EMG, evoked poten­ tial} dan pencitraan (CT scan, MRI, ultrasonografi/USG Doppler). Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendiagnosis beberapa penyakit, antara lain meningitis, ensefalitis, perdarahan subaraknoid, sindrom GuillainBarre, dan sindrom paraneoplastik. Analisis cairan serebrospinal juga dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Untuk dapat melakukan analisis cairan serebro­ spinal, klinisi perlu melakukan tindakan pungsi lumbal dan selanjutnya dianalisis di laboratorium. Bab ini menjelaskan fisiologi cairan serebrospinal, prosedur pungsi lumbal, dan pemeriksaan cairan serebrospinal.



Orang dewasa memiliki volume CSS sekitar 140mL, dengan sebaran 25mL di ventrikel, 30mL di ruang subaraknoid medula spina­ lis, dan sisanya 85mL di ruang subaraknoid otak. Laju produksi CSS berkisar antara 2025mL/jam atau 500-600mL/hari. Dengan demikian, CSS mengalami pergantian sebanyak empat kali sehari, Produksi CSS ini tidak bergantung kepada tekanan CSS, kecuali pada kondisi tekanan CSS >45cmH20, sedangkan absorpsi CSS berbanding lurus dengan tekanan CSS.



CAIRAN SEREBROSPINAL



Cairan serebrospinal merupakan filtrat jernih dari plasma yang diproduksi oleh sel-sel pleksus koroid, yang berada di ventrikel lateral, ventrikel ketiga, dan ventrikel keempat (Gambar 1). Sekitar dua pertiga volume CSS diproduksi di ventrikel lateral dan ventrikel keempat, sedangkan sumber



45



Baku A jar Neurologi



Gambar 1. Aliran Cairan Serebrospinal di Dalam Sistem Saraf Pusat



Namun pungsi lumbal juga memiliki kontraindikasi, baik absolut maupun relatif. Kontraindikasi absolut pungsi lumbal adalah kondisi kardiopulmonal yang tidak stabil dan adanya infeksi kulit di lokasi tindakan. Sementara kontraindikasi relatif ialah koagulopati, jumlah trombosit 200/gL.



nai venula di pleksus Batson, sehingga darah ikut keluar mengalir bersama CSS. Kedua penyebab ini harus dibedakan mengingat konsekuensi tata laksana yang sangat berbeda satu sama lain. Cara membedakannya dengan mengambil dua atau tiga serial sampel CSS pada satu waktu yang sama. Pada traumatic tap, terjadi tren penurunan jumlah eritrosit pada sampel CSS kedua dan ketiga. Pada perdarahan subaraknoid, tren penurunan ini tidak terjadi, oleh adanya hemolisis dan dilusi darah dengan CSS. Proses sentrifugasi CSS juga dapat membedakan CSS berwarna merah akibat traumatic tap atau perdarahan subaraknoid. Pada traumatic tap, supernatan yang dihasilkan tidak berwarna, sementara perdarahan subaraknoid menunjukkan war­ na merah muda (awitan beberapa jam] atau santrokrom (beberapa hari). Aspek mikroskopik yang dinilai meliputi analisis rutin, kultur, polymerase chain reac­ tion (PCR), dan beberapa pemeriksaan spesifik lain (pita oligoklonal, venereal disease research laboratory/V DRL, sitologi), dengan nilai normal seperti pada Tabel 2.



Jika CSS berwarna merah umumnya akibat perdarahan subaraknoid atau kesalahan saat pungsi [traumatic tap). Kesalahan traumatic tap dapat terjadi karena jarum spinal menge-



Tabel 2, Nilai Normal Pem eriksaan Mikroskopik CSS Pem eriksaan Eritrosit Leukosit Hitung jenis Protein total Glukosa Rasio glukosa CSS/darah Pewarnaan Gram Pewarnaan BTA Pewarnaan tinta India



Nilai normal 70 tahun, gangguan fungsi kogni­ tif, dan ketergantungan fungsional sebelum operasi, Usia lanjut mengakibatkan berkurangnya neurological reserve dan kecenderungan untuk memiliki komorbiditas medis lain seperti stroke, penyaldt ginjal atau penyaldt hati kronik, dan penyakit terminal, sehingga meningkatkan kerentanan terjadinya delirium.



54



Evaluasi Neurologis Perioperatif



Gambar 1. Algoritma Diagnosis Delirium Berdasarkan Confusion Assessment Method (CAM) Pasien didiagnosis delirium bila memiiiki gambaran klinis 1 dan 2, serta salah satu dari gambaran Idinis 3 atau 4 Dimodifikasi dari: Ely EW, dkk. JAMA; 2001. h. 2703-10.



Faktor lain adalah penyakit sistemik, dehidrasi, dan malnutrisi. Malnutrisi dibuktikan dengan adanya hiponatremia, hipokalemia, kadar glukosa darah abnormal, hipermagnesemia, blood urea nitrogen (BUN)/creatinine ratio >18, dan hipoalbuminemia. Adanya hendaya panca indera yang mengakibatkan gangguan sensorik (khususnya gangguan pendengaran dan penglihatan) juga merupakan salah satu faktor risiko kuat terjadinya delirium. Beberapa faktor risiko delirium yang bersifat ringan hingga sedang adalah penyalahgunaan alkohol, depresi, penggunaan psikotropik preoperatif, serta adanya gejala psikopatologi sebelumnya.



delirium pascaoperasi, maka perlu dilakukan evaluasi fungsi kognitif. Beberapa pemeriksaan sederhana yang dapat digunakan adalah tes clock-drawing tasks , Mini-Cog, dan Mini-Mental Status Exami­ nation (MMSE). MMSE merupakan tes yang paling banyak dipakai, yaitu skor



oo _° o ou



G O o 0



o *



Nervus vestibularis



Kanaiis semisirku laris horizontal kiri



Kanaiis semisirkularis horizontal kanan



Kanaiis semisirku laris horizontal kiri



Kanaiis semisirkularis horizontal kanan



Gambar 3, Push-Pull T heory pada Reflelcs Vestibular-okular Horizontal (a) Tanpa gerakan kepala, vestibular sisi kanan dan kiri seimbang (b) Pada gangguan vestibular perifer unilateral sisi kanan, terjadi hilangnya resting neural activity pada nervus dan nukleus vestibular kanan. Ketidakseimbangan aktivitas neural ini diinterpretasikan sebagai gerakan kepala cepat, dalam kasus ini ke arah kiri. Kemudian otalc merespons sebagai pergerakan mata korektif berupa nistagmus vestibular.



Benign P aroxysm al P osition al Vertigo



gravitasi. Lepasnya otokonia juga cukup sering terjadi pada kanaiis semisirkularis horizontal, namun keluhan umumnya akan spontan membaik dibandingkan dengan ka­ naiis semisirkularis posterior. BPPV jarang terjadi pada kanaiis semisirkularis anterior, dapat disebabkan karena posisi kanal yang paling atas, sehingga otokonia jarang masuk ke dalamnya.



BPPV terjadi saat otokonia, suatu kalsium karbonat yang terbentuk di makula utrikulus, terlepas dan masuk ke dalam kanaiis semisirkularis. Hal ini menyebabkan sensasi berputar ketika terjadi perubahan posisi kepala. Lokasi tersering BPPV ialah pada kanaiis semisirkularis posterior, yaitu kanal yang paling dipengaruhi oleh perbedaan 273



Buku Ajar N eurobgi



Neuritis Vestibular



telinga dalam dan bermanifestasi sebagai sindrom vertigo episodik disertai dengan gang­ guan pendengaran yang fluktuatif. Terdapat beberapa pendapat mengenai patofisiologi penyakit Meniere, namun yang paling banyak dikenal ialah teori hidrops endolimfatik.



Neuritis vestibular merupakan kondisi inflamasi pada nervus vestibularis yang kemungkinan disebabkan oleh virus. Biasanya diawali gejala prodromal infeksi menyerupai viral-like illness. Riwayat infeksi saluran napas ditemukan sebanyak 23-100% mendahului gejala neuritis vestibular.



Cairan endolimfatik diproduksi di koldea dan kanalis semisirkular, dan diabsorbsi di kantong endolimfatik (endolymphatic sac). Terjadinya hidrops endolimfatik diperkirakan akibat peningkatan volume endolimfe atau gangguan mekanisme absorpsi (Gambar 4). Salah satu pencetus gangguan ini ialah infeksi atau inflamasi pada kantung endolimfatik, sehingga menyebabkan gangguan absorbsi cai­ ran endolimfatik. Hipotesis lain menyebutkan adanya korelasi dengan kondisi metabolik, hormon, alergi, genetik, atau stres. Hingga saat ini belum ditemukan etiologi pasti terjadinya hidrops endolimfatik pada penyakit Meniere. Teori ini masih dalam perdebatan, karena tidak semua pasien dengan gejala penyakit Me­ niere memilki hidrops, dan pada studi autopsi didapatkan bahwa individu dengan hidrops tidak semua simtomatik.



Gambaran klinis neuritis vestibular meru­ pakan gejala keterlibatan nervus vestibular­ is cabang superior, yaitu kanalis semisirkularis horizontal, anterior, serta utrikulus. Hal ini disebabkan oleh karena cabang su­ perior dari nervus vestibularis melewati celah yang lebih panjang dan sempit pada os petrosum dibandingkan cabang inferior, sehingga lebih rentan mengalami edema dan kompresi. Bila disertai dengan gangguan pendengaran telinga, lesi telinga dalam seperti labirintitis, infark labirin, dan fistula perilimfe harus dipertimbangkan.



Penyakit M eniere Penyakit Meniere merupakan penyakit multifaktorial yang menyebabkan kelainan di



Penyakit Meniere



Telinga daiam yang sehat J i — Kantong endolimfatik Kanal keseimbangan /



(\



Nervus vestJbufokokiearis



■Arus baiik cairan menyebabkan edema dan peningkatan tckanaft



Edema mengganggu y informasi keseimbangan ■ Informasi yang / terganggu ■' ditransmisskan ke otak



(Cana! pendengaran



Gambar 4. Patofisologi Terjadinya Hidrops Limfatik pada Penyakit Meniere



274



Vertigo Vestibular Perifer



GEJALA DAN TANDA KLINIS B enign P aroxysm al P osition al Vertigo Kanalis Semisirkularis Posterior



posisi kepala relatif terhadap gravitasi, seperti berbaring, bangun dari tidur, berguling, membungkuk, dan posisi kepala menengadah dalam waktu yang cukup lama. Gejala Minis BPPV umumnya sangat khas, sehingga sering­ kali diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, bahkan sekaligus dapat mengidentifikasi sisi telinga yang terkena.



Gejala utama BPPV meliputi pusing berputar (vertigo vestibular/rotatoar) berdurasi singkat (beberapa detik), intensitas berat, dan disertai mual dan muntah. Keluhan ini seringkali terjadi pada pagi hari, dipicu oleh perubahan



275



Buku Ajar Neurologi



Neuritis Vestibular dan Labirintitis



Respons positif pada manuver Dix-Hallpike (Gambar 5) merupakan standar penegakan diagnosis klinis BPPV dengan cara sebagai berikut:



Pasien dengan neuritis vestibular umumnya mengeluh vertigo yang timbul mendadak, berlangsung beberapa hari, disertai gejala otonom, tanpa gejala koklear (gangguan pendengaran]. Keluhan vertigo akan membaik secara bertahap dalam hitungan hari hingga minggu, walaupun demikian gang­ guan keseimbangan dapat bertahan selama beberapa bulan setelah gejala akut vertigo menghilang. Gejala klinis neuritis vestibular akut meliputi (Gambar 6]:



1. Pasien duduk di atas tempat tidur 2. Kepala dirotasikan 45° ke satu sisi 3. Secara cepat baringkan pasien dengan ke­ pala menggantung pada tepi tempat tidur dengan sudut 20° di bawah garis horizontal 4. Perhatikan adanya nistagmus Pada pemeriksaan Dix-Hallpike, saat terjadi pergerakan otokonia pada kanalis semisirkularis posterior (kanalolitiasis), endolimfe bergerak menjauhi kupula dan merangsang kanal posterior. Hal ini menimbulkan upward-beating nystagmus dan nistagmus torsional. Nistagmus timbul setelah periode latensi (2-5 detik] dan menghilang dalam 1 menit (biasanya 30 detik}. Dengan pengulangan manuver, nistagmus akan berkurang [fatig]. Bila otokonia melekat pada kupula (kupulolitiasis), cetusan nistagmus serupa seperti nistagmus pada kanalolitiasis tapi memiliki durasi yang lebih panjang.



® Vertigo vestibular ( rotatoar } persisten dengan osilopsia © Nistagmus horizontal spontan, makin nyata saat melirik ke sisi telinga yang sehat © Gangguan gait dan kecenderungan jatuh ke sisi telinga yang sakit © Mual dan muntah © Adanya gangguan fungsi kanalis semi­ sirkularis horizontal dapat dilakukan dengan head-impulse test Labirintitis merupaltan proses inflamasi yang melibatkan organ vestibular dan koldea, dapat terjadi unilateral atau bilateral. Berbeda de­ ngan neuritis vestibular dimana pada labirinti­ tis didapatkan adanya gangguan pendengaran. Serupa dengan neuritis vestibular, penyakit ini juga didahului dengan proses infelcsi virus, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri,



B enign P aroxysm al P osition al V ertigo Kanalis Semisirkularis Horizontal Diagnosis BPPV pada kanalis semisirkularis horizontal dilakukan dengan head-roll test atau log-roll test, di mana pasien berbaring, ke­ pala diputar 90° ke arah kiri kemudian kanan. Nistagmus horizontal akan timbul saat kepala diputar ke kedua arah. Bila nistagmus menuju ke bawah disebut nistagmus geotropik, bila menuju ke atas disebut nistagmus ageotropik. Hal ini akan mempengaruhi pilihan terapi reposisi kanal yang sesuai.



Penyakit Meniere Penyakit Meniere ditandai dengan trias gejala, yaitu vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran. Adanya keluhan serangan berulang dari vertigo vestibular perifer disertai dengan gejala aural/koklea (penu-



276



Vertigo Vestibular Perifer



runan pendengaran, tinitus, atau rasa penuh) merupakan dasar penegakan diag­ nosis klinis penyakit Meniere. Pada awalnya, keluhan ini dapat sembuh sendiri 0self-limiting symptoms ). Bentuk atipikal penyakit Meniere yang lain dapat berupa serangan berulang dari gangguan pende­ ngaran fluktuatif (hidrops koklea] atau vertigo (hidrops vestibular).



Gejala klinis penyakit Meniere dibagi ke dalam dua tahap, yaitu: (1) tahap fluktuasi, yaitu gangguan pendengaran masih mengalami perbaikan setelah serangan, lalu diikuti dengan (2) tahap neural, yakni gangguan pendengaran bersifat menetap dan makin memberat Pasien pada tahap fluktuasi umumnya masih berespons dengan obat-obatan medikamentosa, sedangkan pada tahap neural membutuhkan terapi yang lebih invasif.



Nistagmus Vertigo



Tendesi jatuh Arah perputaran mata Subjective visual vertical Subjective straight ahead



Gambar 6 . Gambaran Klinis Neuritis Vestibular



277



Bukti Ajar Neurologi



DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING



pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang pada tahap awal gejala dan di luar serangan umumnya akan memberikan hasil yang nor­ mal. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:



Dalam pendekatan diagnosis vertigo ves­ tibular, sangat penting untulc menentukan apakah vertigo berasal dari gangguan organ vestibular perifer atau sentral. Anamnesis merupakan kunci utama untuk membedakan keduanya. Pokok-pokok yang perlu digali meliputi onset dan durasi vertigo, faktor pencetus atau memperberat, dan gejala lain yang menyertai, khususnya defisit neurologis dan gangguan pendengaran. Hal ini tercantum pada Tabel 1.



® Pemeriksaan audiometri, pada penya­ kit Meniere biasanya akan di-temukan adanya tuli sensorineural nada rendah • Elektrokokleografi ® Brainstem auditory evoked potentials (BAEP)



Diagnosis banding pada penyakit Meniere di antaranya ialah migren basilar. Adanya gangguan vaskular kanalis auditorik inter­ nal yang terjadi pada migren basilar dapat menimbulkan gejala mirip dengan penyakit Meniere. Diagnosis banding lain ialah labirintitis dan penyakit autoimun lain yang menyerang telinga dalam.



TATA LAKSANA Tata laksana pada vertigo meliputi terapi kausal, terapi simtomatik, dan terapi rehabilitatif. Khusus untuk penyakit Meniere, terdapat beberapa rekomendasi tata laksana pada saat serangan, tata laksana pencegahan, hingga terapi pembedahan. Sebelum memulai tera­ pi, pasien perlu mendapat penjelasan bahwa prognosis vertigo vestibular perifer pada umumnya baik dan dapat sembuh spontan, melalui perbaikan fungsi vestibular perifer sebab adanya kompensasi sentral.



Diagnosis penyakit Meniere ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala khas penyakit Me­ niere dan adanya defisit neurologis melalui



Tabel 1. Karakteristik Vertigo Vestibular Perifer dan Sentral Vertigo Vestibular Sentral



Vertigo Vestibular Perifer »



Nistagmus



* *



Kombinasi nistagmus hori­ zontal dan torsional Inhbisi dengan fiksasi penglihatan ke satu obyek Unidireksional



Gangguan keseimbangan



Ringan-sedang



Otonom



° * *



Nistagmus vertikal, horizontal, atau torsional murni Tidak mengalami inhibisi dengan fiksasi penglihatan Bidireksional



Berat



Berat



Bervariasi



Gangguan pendengaran, tinnitus



Sering



Jarang



Defisit neurologis non-auditorik



jarang



Sering



Latensi pada manuver diagnostik



Hingga 20 detik



Hingga 5 detik



(mual, muntah)



Sumber: Labuguen RH. Am Fam Physician. 2006. h. 244-51.



278



Vertigo Vestibular Perifer



Tabel 2. Obat-obatan Simtomatik pada Vertigo Sedasi



Mukosa Kering



Dosis obat



Antiemetik



Dimenhidrinat



50mg/4-8 jam



+



+



+



Prometazin



25mg/4-8 jam



+



++



++



+



-



-



Nama Obat



Ekstrapiramidal



AiiUbts'i.miiiu



Cinarizin



25mg/8 jam



-



Ben/mMa/epin



-



2-5mg/8 jam



+



+++



Klonozepam Bttlirolenon



0,5mg/4-6 jam



+



+■!■+



Halopcridol



0,5-2mg/8 jam



++



+++



24mg/12 jam Sindrom: 72-144mg/hari



+



+



-



+



5-10mg/12 jam



+



+



-



+



Paroksismia vestibular: 200-600mg/hari Epilepsi vestibular: 800-2000mg/hari



-



-



-



Topiramat



Migren vestibular: 50-150mg/hari



-



-i-



-



-



Asam valproat



Migren vestibular: 600-1500mg/hari



+



"







-



-



-



P i .i z e p .u n



++



:>isl:uninik Betahistin



Pi'ijvek.'d koii.ii k; Flunarizin Antiepilepsi Karbamazepin



IVnyeknl kaii.dk; 4-Aminopiridin



5-10mg/8-12 jam



-



Sumber: Tumboimbela M, dkk. Pedoman tata laksana vertigo. 2012. h. 207-13.



Tata laksana Medikamentosa



o Profilaksis mual dan muntah dalam tindakan liberatory maneuver pada BPPV



Pemberian obat-obatan simtomatik untuk mengobat gejala dizziness, mual, dan muntah pada vertigo meliputi golongan antikolinergik, antihistamin, dan benzodiazepin (Tabel 2).



® Profilaksis mabuk perjalanan • Sebagai terapi pada vertigo posisional sentral dengan mual Obat-obatan tersebut tidak direkomendasikan untuk pemberian jangka panjang karena akan mengganggu mekanisme kompensasi sentral pada gangguan vestibular perifer, bahkan dapat menyebabkan adiksi obat



Obat-obatan antivertigo hanya diindikasikan untuk: e



Gejala vertigo vestibular perifer atau sentral akut (maksimal 3 hari)



279



Buku Ajar Neurologi



Berdasarkan studi, betahistin dapat menurunkan frekuensi dan keparahan serangan pada penyakit Meniere. Dosis awal yang dapat digunakan ialah 16mg, 3 kali sehari, dititrasi bertahap hingga dosis 72-144mg/hari.



Manuver Epley dilakukan untuk mengembalikan otokonia dari kanalis semisirkularis posterior kembali ke utrikulus untuk kemudian akan diresorpsi kembali. Setiap posisi dipertahankan selama minimal 30 detik.



Diuretik juga dapat ditambahkan sebagai tata laksana Meniere, dengan hipotesis untuk mengurangi hidrops endolimfatik. Ste­ roid, baik per oral atau intratimpani juga dikatakan dapat mengendalikan gejala vertigo pada penyakit Meniere.



Langkah-langkahnya adalah sbeagai berikut (Gambar 7]: 1. Manuver Dix-Hallpike 2. Bila positif, pertahankan 30 detik 3. Putar kepala 90 derajat ke arah berlawanan, pertahankan 30 detik



Modalitas farmakologik terakhir yang dapat dikerjakan ialah ablasi telinga dalam de­ ngan aminoglikosida intratimpani. Pengobatan ini dikerjakan dengan tujuan untuk menciptakan kerusakan permanen pada organ vestibular sehingga dapat mengakhiri serangan pada penyakit Meniere. Streptomisin merupakan obat pilihan karena sifat ototoksik yang dimiliki. Studi menunjukkan pascapemberian terapi ini, sebanyak 71% pasien mengalami bebas serangan. Namun efek samping berupa gangguan pendengaran memberat dan gangguan keseimbangan akibat hilangnya kompensasi fungsi vestibu­ lar unilateral yang dapat muncul pascapengobatan ini masih menjadi perdebatan.



4. Putar kepala 90 derajat ke arah bawah (wajah menghadap ke lantai), perta­ hankan 30 detik 5. Pasien kembali ke posisi duduk Manuver Semont juga dapat digunakan se­ bagai terapi reposisi kanalit pada BPPV kanal sirkular posterior. Manuver ini diker­ jakan dengan cara (Gambar 8}: 1. Pasien duduk di tepi tempat tidur. 2. Memutar kepala pasien sebanyak 45° kesisi telinga yang sehat. 3. Tubuh pasien diputar 90° ke sisi telinga yang sakit, tetap berbaring selama 1 menit. 4. Secara cepat diikuti posisi tubuh 180° ke sisi telinga yang sehat, dan tetap ber­ baring selama 1 m enit



T a ta L a k sa n a N o n m e d ik a m e n to sa



1. Terapi reposisi kanalit Manuver Epley merupakan tindakan yang efektif untuk pasien dengan BPPV kanalis semisirkularis posterior. Keberhasilan terapi ini dilaporkan 80% pada satu kali terapi, dan 92% pada pengulangan. Cochrane systematic review menyebutkan bahwa manuver Epley aman untuk dikerjakan dan memperbaiki gejala hingga menyebabkan konversi ma­ nuver Dix-Hallpike dari positif ke negatif.



Manuver ini memiliki kelebihan dapat diker­ jakan pada pasien yang lehernya sulit diekstensikan. Pada saat melakukan terapi reposisi kanal­ it, pasien perlu mendapatpenjelasan bahwa tindakan ini dapat disertai dengan munculnya keluhan mual, muntah, dan vertigo.



280



Vertigo Vestibular Perifer



Pasien juga dapat mengeluhkan gangguan keseimbangan serta dizziness yang dipengaruhi posisi kepala selama beberapa hari setelah manuver dilakukan. Komplikasi lain dari manuver ini adalah konversi BPPV dari kanalis semisirkularis posterior ke kanal horizontal Hal ini dapat di tata laksana dengan manuver BPPV kanalis semisirkularis horizontal seperti dijelaskan di bawah ini.



hat. Gerakan ini akan menyebabkan debris otokonia bermigrasi dan keluar dari kanalis semisirkularis horizontal, lalu masuk ke utrikulus (Gambar 9). 3. Latihan mandiri di rumah Latihan Brandt-Daroff (Gambar 10) dapat dikerjakan sendiri oleh pasien apabila gejala tidak membaik dengan manuver Epley. Langkah-langkah latihan ini ialah:



2. Terapi reposisikanalitpada BPPV kanalis semisirkularis horizontal Manuver yang dapat dilakukan pada kasus BPPV pada kanalis semisirkularis horizontal dengan nistagmus geotropik adalah rotasi barbecue (manuver Lempert]. Manuver ini dikerjakan dengan rotasi kepala 90 derajat ke arah telinga yang sakit lalu ke arah telinga yang se-



1. Latihan dilakukan dengan kedua mata terbuka. 2. Pasien duduk tegak di tepi tempat tidur, dengan kedua kaki tergantung. 3. Kepala diarahkan 45° ke kiri, lalu baringkan tubuh dengan cepat ke arah kanan, pertahankan posisi selama 30 detik.



281



Buku Ajar Neurologi



4. Duduk kembali seperti posisi awal selama 30 detik. 5. Kepala kembali diarahkan 45° ke kanan, lalu baringkan tubuh dengan cepatke arah kiri, pertahankan posisi selama 30 detik.



Pada umumnya, vertigo perifer terutama BPPV memiliki prognosis baik dengan kekambuhan 2 tahun sekitar 27% bila lati­ han Brandt-Daroff dikerjakan secara rutin. Rekurensi tersering terjadi pada 6 bulan pertama. Bila rekurensi vertigo sangat sering dengan derajat yang makin berat, maka perlu dipikirkan diagnosis banding vertigo lainnya.



6. Pasien duduk kembali. 7. Latihan ini dilakukan 3 set/hari, masing-masing 5 siklus ke ldri dan ke kanan selama 2 minggu.



282



Vertigo Vestibular Perifer



f f



Gambar 9. Langkah-langltah Manuver Lempert



Gambar 10. Latihan Brandt-Daroff



283



Buku Ajar Neurologi



5. Baloh RW. Clinical practice, vestibular neuritis. N Engl j Med. 2003;348(ll):1027-32. 6 . Labuguen RH. Initial evaluation of vertigo. Am Fam Physician. 2006;73(2):244-51. 7. Tumboimbela M, Nurimaba N, Cahyani A, Bintoro AC, Amar A, Suharjanti I, dkk. Terapi farmakologi vertigo. Dalam: Amar A, Suryamihardja A, Dewati A, Sitorus F, Nurimaba N, Sutarni S, dkk. Pedoman tata laksana vertigo. Kelompok Studi Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf In­ donesia; 2012. h. 207-13. 8 . Jung IE, Kim JS. Approach to dizziness in the emergency department Clin Exp Emerg Med.



DAFTAR PUSTAKA 1. Brandt T, Dieterich M, Strupp M. Vertigo and diz­ ziness. Edisi ke-2. London: Springer; 2013. 2. Thompson TL, Amedee R. Vertigo: a review of common peripheral and central vestibular disor­ ders. Ochsner J. 200 9 ;9 [l):2 0 -6 . 3. Furman JM, Cass SP, Whitney SL. Vestibular dis­ orders: a case-study approach to diagnosis and treatment Edisi ke-3. New York: Oxford Universityp Press; 2010. 4. Kim JS, Zee DS. Benign paroxysmal positional vertigo. N Engl J Med 2014;370(12):1138-47.



2015;2(2):75-88.



284



GANGGUAN GERAKAN BOLA MATA Ni Nengah RidaAriarini



PENDAHULUAN



tertentu, sehingga diperlukan pengetahuan anatomi dan patofisiologi yang baik serta anamnesis dan pemeriksaan fisikyang detail untuk menentukan topis gangguannya.



Gerakan bola mata normal bertujuan untuk menempatkan dan mempertahankan obyek visual pada kedua fovea secara simultan untuk dapat menciptakan satu obyek tunggal yang stabil. Gerakan bola mata yang inadekuat seringkali mengakibatkan ocular misalign­ ment yang akan menyebabkan gejala visual, yakni diplopia.



Berbagai patologi juga dapat terjadi yang dapat berbahaya dan mengancam jiwa, se­ hingga perlu diidentifikasi segera. Contohnya aneurisma yang menyebabkan paresis nervus III atau peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan paresis nervus VI bilateral. Wawasan epidemiologi juga harus dimilild klinisi untuk dapat mendeteksi kegawatdaruratan yang berkaitan dengan ge­ jala gangguan pergerakan bola mata.



Gangguan gerakan bola mata memiliki spektrum yang luas, tidak hanya gangguan ge­ rakan bola mata yang inadekuat atau hipoaktivitas (oftalmoparesis atau oftalmoplegia], namun juga dapat berupa gangguan gerakan bola mata yang berlebihan atau hiperaktivitas ( abnorm al spontaneous eye movement), seperti nistagmus, superior oblique myokimia, ocular flutter, dan masih banyak lagi.



Pemahaman tentang gangguan pergerakan bola mata akan menentukan tata laksana yang tepat untuk menghilangkan atau mengurangi gejala yang dapat menjadi hendaya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga dapat mencegah perburukan ldinis dan komplikasi yang tidak diinginkan akibat tidak teridentifikasi dan diataAiya penyebab tertentu. Pembahasan dibaMsi pada gangguan gerakan bola mata inajekuat yang cukup sering ter­ jadi dan banjak dipelajari, sehingga gang­ guan konvergensi dan gangguan fiksasi tidak disertakan. Penekanan terutama pada halhal yang Masik, secara prinsipal, dan aplikatif.



Gangguan gerakan bola mata yang inadekuat dapat disertai dengan atau tanpa ocular mis­ alignment Pada ocular misalignment, obyek jatuh pada fovea satu mata dan ekstrafovea pada mata lainnya, sehingga obyek yang terlihat tidak tunggal dan menimbulkan gejala visual, yang tersering adalah diplopia. Gang­ guan gerakan bola mata dapat terjadi di sepanjang neuraksis sistem gerakan bola mata, dari supranuklear hingga otot, dapat pula akibat masalah okular atau optik, seperti gangguan refraksi. Masing-masing gangguan gerakan bola mata memiliki karakteristik



EPIDEMIOLOGI Kobashi d kk menelaah 500 kasus gangguan



285



Buku Ajar Neurologi



kepala sedang-berat (CKS dan CKB) mendapat­ kan gangguan gerakan mata binokular atau lirik, seperti sakadik, smooth pursuit, gangguan vergence, maupun paresis nervus okular motor dapat terjadi pada CKR. Dari studi pros­ pektif pada 20 pasien, 30% mengalami gang­ guan sakadik dan 60% mengalami gangguan smooth pursuit Prevalensi gangguan vergence yang pernah dilaporkan sekitar 47-64%.



gerakan bola mata, menunjukkan sebagian besar disebabkan oleh paresis nervus okular motor (56%), sedangkan supranuklear hanya 10%. Sejak dipublikasikan sekitar 20 tahun lalu, belum ada studi prevalensi gangguan gerakan bola mata secara menyeluruh (supranuldear hingga otot) tanpa memandang etiologi. Kebanyakan studi pada etiologi nonspesifik hanya meneliti gangguan aldbat paresis ner­ vus okular motor, sedangkan pada studi etiolo­ gi yang spesifik, penyebab terbanyak adalah stroke, trauma, dan multipel sklerosis.



Studi Coello dkk pada 49 pasien CKR didapatkan 62 kasus paresis nervus kranialis yang sebagian besar (77,6%) multipel dan sisanya terisolir, lebih dari sepertiganya me­ ngalami paresis nervus III, IV dan VI. Studi pada 71 pasien CKS-CKB menunjukan bahwa gangguan sakadik (72%) dan gangguan akomodasi (62%) paling banyak ditemukan. Meskipun multipel sklerosis identik dengan gangguan nervus optikus, namun ditemukan pula gangguan gerakan bola mata yang beragam, mayoritas berupa sakadik dismetria (32-62% ) dan INO (24-53% ).



Fowler dkk mendapatkan 54% strabismus dan diplopia pasca brain injury, disebab­ kan oleh stroke. Dari studi kohort prospektif multisenter Rowe dkk pada 512 pasien pascastroke, 16,5% mengalami strabismus. Tujuh puluh persen dari jumlah tersebut disebab­ kan oleh gangguan gerakan bola mata dan 43,5% mengalami gangguan gerakan bola mata multipel. Gangguan yang paling banyak ditemukan (>20%) adalah gangguan sakadik (sakadik dismetria dan saccade palsy]. Studi Rowe dkk lain yang terbaru dengan subjek lebih besar, yakni 915 pasien stroke, menunjukkan 54% pasien mengalami gang­ guan gerakan bola mata, 41,5% mengalami gangguan lirik, dan 18% mengalami paresis nervus okular motor. Gangguan lirik yang terbanyak yakni smooth pursuit, gaze hold­ ing, dan saccade palsy, sedangkan paresis nervus okular motor terbanyak adalah pa­ resis nervus VI unilateral.



Untuk etiologi yang nonspesifik, studi yang cukup banyak dilaporkan adalah gangguan gerakan bola mata akibat paresis nervus okular motor baik yang terisolir maupun multipel. Studi Dharmaraju dkk pada 50 kasus oftalmoplegia, terdapat 34% paresis nervus okular motor multipel dengan pe­ nyebab tersering lesi inflamasi (12% ). Lesi vaskular, trauma, inflamasi, atau tumor juga dapat menyebabkan hal tersebut. Etiologi tertentu lebih sering ditemukan pada nervus kranial spesifik, pada kelompok usia ter­ tentu, etiologi paresis nervus okular motor juga dapat berbeda. Sejumlah studi pada anak tahun 1990 hingga 2010 menunjukkan kecenderungan penyebab tersering adalah kongenital, trauma dan tumor dengan dis-



Studi retrospektif Ciufredda dkk pada 160 pasien cedera kepala menunjukkan bahwa proporsi gangguan vergence dan version cukup besar (>50%) dibandingkan paresis ner­ vus kranialis (



c: I ■ ■ .... ■ ■ ■* i'.:l



.1L . .............



m



:V/J



\m



kSfcftfSi-atCfattKit



OS



I N. VI



Gambar 1. Gerakan Duksi, Otot yang Bekerja, dan Persarafannya



Intraorbrra Apeksorbita dan faura orbital is superior Sinus kavornostis Ruartg subaraknoid



Batang otak



Gambar 2. Anatomi Nervus III, IV, dan VI



288



Gambar 3.



Gangguan Gerakan Bold Mata



289



Buku Ajar Neurologi



S a k a d ik



T u ju a n



i V '.li r t p s i



G aze shifting



G e ra k a n m a ta



k o n ju g a t



seca ra



b e r tu ju a n



k ed u a



cep at



yang



m em baw a



o b je k



K e r e p n ln n



A rah



cep at



V e r s io n j k o n ju g a t



H o riz o n ta l d an v e r tik a l



b a ru k e fo v e a F ik s a s i



G aze h old in g



G e ra k a n k ed u a m a ta u n tu k



la m b a t



V e r sio n j k o n ju g a t



la m b a t



V e rsio n/ k o n ju g a t



m e m p e rta h a n k a n o b je k y a n g s ta tis te ta p b e r a d a di fo v e a p a d a s a a t k e p a la s ta tis S m o o th p u r su it



G aze h old in g



G e ra k a n



k o n ju g a t



k ed u a



m a ta u n tu k m e m p e rta h a n k a n o b je k y a n g b e r g e r a k s e c a r a la m b a t te ta p b e ra d a di fo v e a O p t o k in e t ik



Gaze h old in g



G era k a n



k o n ju g a t



k ed u a



K om ponen



m a ta u n tu k m e r p e r ta h a n k a n



la m b a t



o b je k



cep at



yang



s ta tis



te ta p



V e rsio n/ k o n ju g a t



dan



b e ra d a di fo v e a p a d a s a a t k e p a la b e r o t a s i s e c a r a te r u s m e n e ru s (su sta in e d } R e fle k s



Gaze h old in g



v e s d b u lo o k u l a r



G era k a n



k o n ju g a t



ked ua



la m b a t



V e rsio n/ k o n ju g a t



la m b a t



Verg e n c e / d tsk o n ju g a t



m a ta u n tu k m e r p e r ta h a n k a n o b je k y a n g s ta t is te ta p



(V O R )



b e ra d a



di fo v e a



pada sa a t



k e p a la b e r o ta s i s in g k a t K o n v e rg en si



Gaze shifting



G era k a n



d is k o n ju g a t k e d u a



m a ta u n tu k m e m b a w a o b je k k e fo v e a



Gambar 4. Enam Kelas Fungsional Gerakan Bola Mata



kiri) maupun vertikal (ke atas dan bawah). Keenam gerakan bola mata ini sering dimasukkan dalam topik gerakan bola mata supranuklear dan internuklear. Supranuklear yakni koneksi aferen serebrum, serebelum, dan batang otak ke nukleus okular motor. In­ ternuklear adalah koneksi antar nukleus oku­ lar motor, misalnya fasikulus longitudinalis medial (FLM). Gambar 5-7 menggambarkan jaras gerakan bola mata supranuklear untuk gerakan horizontal (sakadik horizontal, smooth pursuit horizontal, dan VOR horizon­ tal) serta gerakan bola mata vertikal, yaitu sakadik vertikal.



Gaze shifting, terdiri dari sakadik dan kon­ vergensi, bertujuan menangkap obyek baru. Gaze holding bertujuan mempertahankan obyek yang sudah ada, dengan obyek dalam kondisi diam atau statis (fiksasi), bergerak (smooth pursuit), bergerak secara konstan (optokinetik), dan obyek diam namun kepala bergerak (refleks vestibulookular atau vestibuloocular reflex/V OR], Arah ge­ rakan mergence menujukkan kedua mata bergerak berlawanan (diskonjugat), yakni dapat berupa konvergensi dan divergensi, sedangkan gerakan version menunjukkan kedua mata bergerak dalam arah yang sama (konjugat), baik horizontal (ke kanan dan



290



Gangguan Gerakan Bola Mata



m



tenon



Kortefc* Frontal (Ftf) dan Eye FI«WKortlkal tain



K e te r a n g a n



RM m



Nuk.lsl



Otot Sextus Medic! Otot Rekty; La tera! Nukieus Cketomotor



NPH Nukieus Propositus Hipog'osi M VN



Nukleus Vestibularis



Fk F



Medici Frontoi Eye ne.'d



Gambar 5. Jaras Sakadik Horizontal



Gerakan Bola Mata Horizontal



diproyeksikan ke subnukleus rektus medial nervus okulomotor kontralateral. Dengan demikian akan terjadi kontraksi simultan otot rektus lateral pada satu mata dan otot rektus medial pada mata yang lainnya un­ tuk melirik ke satu arah. Terakhir, pada saat mencapai posisi eksentrik di orbit, bola mata harus melawan kekuatan elastis orbita yang berusaha mengembalikan ke posisi primer. Hal ini membutuhkan aktivitas neural yang disebut "the step".



Struktur supranuklear yang mengontrol ge­ rakan sakadik horizontal dimulai dari korteks frontal {frontal eyefield/FEF) yang berfungsi menginisiasi gerakan sakadik [Gambar 5}, hingga level pons {paramedian pontine reticu­ lar form ation fYFRF) yang berfungsi sebagai burst neuron. Burst neuron mengontrol "the pulse" dengan memberikan discharge yang cepat dan meningkat intensif ke nukleus abdusens untuk menginisiasi gerakan sakadik yangberkecepatan tinggi sekaligus meredam struktur elastis orbita yang bertugas membatasi gerakan bola mata. Nukleus abdusens menerima perintah dan meneruskan sinyal ke motor neuron dan interneuron. Motor neuron berproyeksi ke otot rektus lateral ipsilateral. Interneuron mengirimkan akson yang meyilang ke FLM kontralateral untuk



Arah lirikan sakadik adalah kontralateral dari korteks frontal. Hal ini disebabkan terdapat dekusasio setinggi mesensefalon sebelum menuju ke PPRF. Sebagai contoh, perintah dari korteks frontal kanan akan menghasilkan gerakan sakadik ke kiri, sehngga lesi pada korteks frontal kanan akan menyebabkan disfungsi sakadik ke kiri.



291



Buku Ajar Neurologi



ras pursuit (Gambar 6), yaitu adanya dua kali dekusasio, dari dorsolateral pontine nuclei (DLPN) ke serebelum dan dari MVN ke nuMeus abdusens. jadi berbeda dengan sakadik, kontrol gerakan smooth pursuit dilakukan se­ cara ipsilateral. Sebagai contoh, perintah dari korteks parietal kanan akan menghasilkan gerakan smooth pursuit ke kanan.



Untuk jaras yang lebih kompleks, terdapat struktur supranuldear lain, yaitu:



1. Supplementary eye field (SEF), parietal eye field (PEF), dan dorsolateral prefrontal cortex (DLPC] di korteks serebri. 2. Subkorteks (nukleus kaudatus dan substansia nigra pars retikulata). 3. Kolikulus superior.



Berbeda dengan gerakan sakadik dan smooth pursuit, input VOR bukan berasal dari korteks,



4. Batang otak yang berfungsi sebagai om­ nipause neuron yang menginhibisi burst neuron secara tonik agar tidak terjadi sakadik berlebihan.



namun dari struktur perifer yakni kanal semisirkuler. Untuk VOR horizontal, input berasal dari kanal semisirkuler horizontal/ lateral. Sedangkan dua kanal semisirkuler lain memberikan input untuk VOR vertikal ke atas (kanal semisirkuler anterior) dan VOR verti­ kal ke bawah (kanal semisirkuler posterior).



5. Serebelum (vermis dorsal dan nukleus fastigial) yang berfungsi mengatur akurasi gerakan sakadik. Selain itu terdapat pula neural integrator, yakni nucleus prepositus hypoglossi (NPH) dan medial vestibular nucleus (MVN). Neu­ ral ini berfungsi mengintegrasikan velocity command (the pulse) menjadi position com ­



Pada Gambar 7 terlihat bahwa VOR bersifat kontralateral disebabkan adanya dekusasio dari MVN ke nuldeus abdusens. Jadi pada saat kepala menoleh ke kanan akan menstimulasi kanal semisirkuler kanan, sehingga meng­ hasilkan gerakan mata ke kiri untuk tetap dapat memfiksasi pada target obyek awal.



mand (the step). Adanya struktur yang kompleks ini membuat gerakan sakadik akan berjalan normal, baik dalam aspekinisiasi, amplitudo, kecepatan, dan akurasi, terhadap berbagai stimulus (obyek visual, auditori, taktil, dan obyek yang diingat) maupun tugas (sakadik volunter, sakadik refleks, antisakadik, sakadik prediktif, dan me­ mory-guided saccade ). Demikian pula dalam praktek Minis, akan ditemui berbagai jenis gangguan sakadik, tergantung pada struktur yang terlibat. Jaras sakadik yang kompleks, fiingsi struktur yang terlibat pada jaras tersebut, serta kelainan yang ditimbulkannya, tidak akan dibahas pada bab ini.



Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pada ketiga jaras gerakan mata hori­ zontal tersebut. Persamaannya terletak pada tingkat nuldear dan infranuklear, yakni nuMeus abdusens, nervus abdusens ipsilateral, dan nervus okulomotor kontralateral. Dengan demikian lesi nuldear dan infranuMear akan menghasilkan gangguan sakadik, smooth pur­ suit, dan VOR secara ekual. Berbeda dengan lesi supranuldear, misalnya di korteks frontal dapat hanya menimbulkan gangguan saka­ dik saja, namun gerakan smooth pursuit dan VOR tetap normal. Hal ini menjadi salah satu petunjuk yang dapat membedakan lesi supra­ nuldear dan infranuklear.



Jaras sakadik telah banyak dipelajari, namun jaras smooth pursuit masih memerlukan studi lebih lanjut. Menarik diperhatikan pada ja­



292



Ganggucm Gerakan Bola Mata



CGL



Korteks Frontal (FFFcfanSEF)



Kottek*Oks^pflot IVJ.V4V3)



EM



RM



Rl



Mesensofalon



...... f'" Pons Atas



Pons Bawah



flM P1



fiofculus Porcilsj^UiUS Serobelum



Gambar 6. Jaras Smooth Pursuit Horizontal



knnan



ktrl



Mesensefalon



Kelerangan



Nutloirs.AM.s-'tns.



RM Otcf Re ttys Medial &y. Dior Rekits La'era! N'jkjL



Nukieu 0 O ls t fakluis superior kaiian Otot olslik inferior kiri



O



Otot rektus superior kirs : Otot oblik inferior kanan;



Otot rektus lateralis kannn



Otot rekti



Otot rdiitis m e d ; l i r i



Otot rsktt



Gambar 9. Pem eriksaan Gerakan Bola Mata (Duksi)



Pemeriksaan Hirschberg pada prinsipnya menilai kedudukan bola mata, namun menggunakan senter atau peniight y ang diarahkan ke mata pasien. Dengan mengamati jatuhnya cahaya senter pada mata, maka mengindikasikan bahwa mata tersebut mengalami esotropia, eksotropia atau hip­ ertropia. (Gambar 11).



Pemeriksaan ocular misalignment dapat dilakukan dengan menginspeksi kedudukan bola mata pada posisi primer, tes Hirschberg (corneal light reflex), tes cover uncover, dan tes maddox red. Pemeriksaan pertama merupakan pemeriksaan yang paling mudah, tanpa alat, namun sering terlewatkan oleh klinisi. Padahal pemeriksaan ini penting terutama pada kasus pasien tidak kooperatif untuk diminta menggerakkan bola mata, contohnya pada pasien penurunan kesadaran. Hal yang dibutuhkan hanya mengamati kedudukan bola mata pasien, apakah terdapat juling ke dalam (esotropia) yang dapat mengindikasikan paresis nervus VI, juling ke luar (eksotropia) yang mengindi­ kasikan paresis nervus III, atau posisi salah satu mata lebih tinggi (hipertropia) yang mengindikasikan paresis nervus IV atau skew deviation (gambar 10). Pemeriksaan maddox red test jarang dilakukan.



Pemeriksaan cover uncover bertujuan untuk mengidentifikasi tropia atau foria. Tropia adalah misalignment yang dapat muncul setiap saat, sedangkan foria adalah misalignment yang muncul ketika penglihatan binokular diinterupsi. Terminologi cover uncover seringkali membingungkan dan dapat tertukar. Pada dasarnya, ada 3 pemeriksaan yang berbeda dengan teknik dan intepretasi yang berbeda: (1) cover test (single cover), (2) uncover test (cover-uncover), dan (3) cross cover/alternat­ ing cover test, namun yang biasanya dilakukan



297



Buku Ajar Neurologi



adalah cross cover test Pada pemeriksaan ini pasien diminta melirik ke salah satu sisi dan fiksasi pada jari pemeriksa. Setelah itu peme-



riksa menutup mata pasien secara bergantian dengan cepat dan mengamati adanya drifting pada mata yang sehat.



Reman



Kiri



Ortafropla



Normal



Esotropia



Paresis N.VI



Ik s e tm p ta



Paresis N,III



Paresis N.IV atau skew deviation



Hlperirepia



Gambar 10. Pemerilcsaan Inspeksi Kedudukan Bola Mata pada Posisi Prim er Kanan



Kiri



Ortotiopla



Esotropia



Ikiotropla



Kiperiropla



Gambar 11. Pemeriksaan Hircshberg 298



Gangguan Gerakan Bold Mata



Gambar 12. Pem eriksaan Sakadik



Arah jari Arah gerakan bola



Gambar 14. Pemeriksaan Konvergensi 299



Buku Ajar Neurologi



Gambar 15. Pemeriksaan Optokinetik Pemeriksaan optokinetik dilakukan dengan meminta pasien melihat garis hitam pada drum optokinetik, lalu mengamati adanya gerakan mata fase cepat atau optokinetic nystagmus (OKN) yang berlawanan dengan arah putaran drum



P em eriksaan Neurooftalmologi Atas Indikasi



Pemeriksaan sakadik dilakukan dengan menginstruksikan pasien untuk melirik obyek tar­ get (misalnya jari pemeriksa) bergantian (refiksasi) secara cepat (Gambar 12}. Pemeriksa mengamati kecepatan, range o f movement, dan akurasi gerakan. Meskipun demikian, pa­ rameter sakadik tersebut lebih akurat dengan pemeriksaan kuantitatif, misalnya dengan menggunakan eye tracking device. Pemerik­ saan smooth pursuit dilakukan dengan menginstruksikan pasien untuk mengikuti obyek vi­ sual yang berjalan lambat, menggunakan jari atau bandul (Gambar 13}. Pemeriksaan konvergensi dilakukan dengan menginstruksikan pasien untuk melihat target akomodatif (seperti pensil atau jari} yang bergerak mendekati hidung pasien (Gambar 14}.



1. B ielschow sky T hree Steps Test Dilakukan untuk mengkonfirmasi ada­ nya paresis nervus IV, yang terdiri dari 3 langkah, yaitu: © Langkah pertama; inspeksi untuk mengidentifikasi mata yang mengalami hipertropia dan ototyang menyebabkan hipertropia, yakni dua otot elevator (otot oblik inferior dan otot rektus superior} serta dua otot depressor (otot oblik superior dan otot rektus inferior}. ® Langkah kedua; pasien diminta melirik ke kanan dan ke kiri dan diidentifikasi arah lirikan yang menyebabkan keluhan diplopia atau hipertropia yang memburuk. Dugaan otot yang mengalami kelainan akan dipersempit menjadi dua yakni satu otot elevator (otot rektus superior} dan satu otot depresor (otot oblik superior}.



Pemeriksaan optokinetik menggunakan drum optokinetik. Pasien diminta meli­ hat garis hitam pada drum tersebut yang digerakkan ke arah kanan dan kiri secara bergantian. Pemeriksa mengamati adanya gerakan mata fase cepat atau optokinetic nystagmus (OKN} yang berlawanan dengan arah putaran drum serta simetrisitasnya di kedua sisi (Gambar 15}.



® Langkah ke-3; meminta pasien untuk memiringkan kepala ( head tilt) ke kanan dan ke kiri, kemudian diamati arah kepala yang menyebabkan keluhan diplopia atau 300



Gangguan Gerakan Bold Mata



pemeriksaan Bielschowsicy three steps test. Selain itu, perbedaan antara hiper­ tropia yang disebabkan oleh skew devia­ tion dan paresis nervus IV dapat teriihat pada Tabel 1, Hal ini juga dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan alternating cover dan funduskopi,



hipertropia yang memburuk. Akan teridentifikasi bahwa yang menimbulkan hi­ pertropia adalah otot oblik superior yang diinervasi oleh nervus IV (Gambar 16}



2. Test o f Skew Skew deviation tidak mengikuti kaidah



Otot Elevator



jRoi ■ o\m:



■RSf



,RM,



liOS



OSlP



Otot Dopfoior



^ Ke kiri



A Hipertropia atau diplopia memberat saat kepala miring kanan



Ke kanan



O: % W .



C afaton ; saai kepala miring ke kanan ge rakan kedua mat a ke kiri



Gambar 16. Pemeriksaan Bielschowsky Three Steps Test Tabel 1. Perbandingan Paresis Nervus IV dan Skew Deviation ________________ Paresis Nervus IV______________ Hipertropia pada posisi primer Hipertropia inkomitan yang memberat saat melirilt ke kontralateral pada fase akut Dapat menjadi komitan seiring waktu Hipertropia yang memburuk dengan head tilt ke ipsilateral Head tilt kompensasi kontralateral mata yang mengalami hipertropi Eksiklotorsi pada mata yang hipertropia Tidak ada defisit neurologis lain kecuali jika disebabkan oleh cedera kepala dan lesi batang otak Sumber: Wong AM. J AAP0S; 2010. h. 42.



_________________ Skew Deviation Hipertropia pada posisi primer Inkomitan, komitan atau bergantian



Hipertropia dapat memberat ataupun tidak dengan head tilt Head tilt patologis kontralateral mata yang mengalami hipertropi Insiklotorsi pada mata yang hipertropia (dan eksik­ lotorsi pada mata yang lain] Biasanya disertai defisit neurologis Iain seperd gaze-evoked nystagmus, kelumpuhan iirik, ataksia, hemiplegia, disartria



301



Buku Ajar Neurologi



Tab el 2. Tanda Miastenia Okular Tanda Klinis



____________________________________Keterangan___________________________________



Cogan's Lid Twitch



Setelah melihat ke bawah selama beberapa detik, pada saat melirik ke atas (ke posisi prim­ er) disertai kelopak mata atas terangkat, twitching, dan kembali ptosis



Tanda Peek



Menutup mata dalam jangka waktu lama menyebabkan kelemahan otot orbicularis okuli dan menyebabkan kelopak mata terbuka dan bola mata terpapar, meskipun awalnya dapat menutup sempurna



Enhanced Ptosis



Ptosis bertambah pada mata yang kurang ptosis dengan mengangkat kelopak mata pada mata yang lebih ptosis secara manual



Retraksi kelopak mata



Inervasi maksimal yang mempertahankan kelopak yang mengalami ptosis tetap terbuka menyebabkan peningkatan inervasi berlebihan dan retraksi kelopak mata



Tes ice Pack



Ice pack ditempatkan pada mata yang mengalami ptosis selama 2 menit dan diamati perbaikan



Rest test___________Perbaikan oftalmoplegia atau ptosis setelah istirahat beberapa saat Sumben Burachhio T, dkk. Neurology; 2007. h. 37



Gambar 17. Pemeriksaan Proptosis dengan Eksoftaimometer (Dok: Pribadi)



3. Tanda Miastenia Okular



lakukan juga atas indikasi (Tabel 3). Salah satu tanda lesi ini adalah proptosis yang dapat diperiksa dengan menggunakan eksoftalmometri (Gambar 17).



Dilakukan hanya atas indikasi, yakni dugaan adanya miastenia okular (Tabel 2).



4. Pemeriksaan Lain Pemeriksaan tanda lesi intraorbita di­



302



Gangguan Gerakan Bola Mata



Tabel 3, Tanda Lesi Intraorbita Edema periorbita Kemosis dan injeksi konjungtiva Proptosis Retraksi kelopak mata Lagoftalmus Lid lag (kelopak mata lebih tinggi dari posisi normal pada saat melirik ke bawah) Tanda Von Graefe (perlambatan dinamis gerakan kelopak mata selama mata melirik ke atas dan bawah) Neuropati optik fakibat kompresi nervus optikus)________________________________________________ Sumber: Burachhio T, dkk, Neurology; 2007. h. 36



VI atau restriksi otot rektus medial yang dii­ nervasi oleh nervus III. Dilakukan pemeriksaan forced duction untuk mengkonfirmasi restriksi, sedangkan forced generation un­ tuk mengkonfirmasi paralisis. Pemeriksaan ini jarang dilakukan karena cukup invasif (Gambar 18].



Selain tanda di atas, pada lesi intraorbita, diplopia dapat disebabkan oleh kelumpuhan otot (paralisis) atau tahanan pada otot antagonis (restriksi), Sebagai contoh jika mata kanan tidak dapat melirik ke kanan, maka dapat disebabkan oleh kelumpuhan otot rektus lateral yang diinervasi nervus



Urikfce kanan



Linkt e kanan



PojJsI Primer



II RasUtensi nagaSf Forced diicffon negafif



Redstarts! negaflf ■■■-Forced gen ©fa Son posfflf



( 8)



Gambar 18. Pemeriksaan Forced Duction (A] dan F orced G eneration (B) Pemeriksaan fo r c e d duction dan fo r c e d g en eration bertujuan untuk menentukan apakah keterbatasan rotasi bola mata disebabkan oleh lesi restriksi atau paralisis. Pada fo r c e d duction test, mata digerakkan secara pasif menggunakan forseps ke arah g a z e yang terganggu. Adanya tahanan/resistensi menunjukkan adanya restriksi otot rektus mediaiis. Pada fo r c e d gen eration test, pasien diminta menggerakkan mata ke arah g a z e yang terganggu secara aktif, tidak adanya sensasi kontraksi otot menunjukkan adanya paralisis otot rektus lateralis.



303



Buku Ajar Neurologi



DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING 1. Lesi Supranuklear vs Nukleus dan Nervus Okular Motor



Dua topis utama kelumpuhan lirik horizontal yakni korteks frontal dan pons (PPRF). Dengan mengingat adanya dekusasio di antara korteks dan pons [setingkat mesensefalon), maka lesi di korteks dapat menyebabkan ke­ lumpuhan lirik ke arah kontralateral lesi dan sebaliknya pada pons (Gambar 19). Apabila pasien juga mengalami hemiparesis, maka kelumpuhan lirik sesisi dengan hemiparesis, sebaliknya pada pons.Pada kondisi tertentu, manifestasi yang terjadi adalah deviasi kon­ jugat Pada deviasi konjugat, kedua mata mengalami deviasi ke satu arah (kanan atau kiri). Pada lesi destruktif di korteks, deviasi konjugat ke arah ipsilateral lesi (ipsiversive) atau disebut juga "Look at the lesion". Pada lesi iritatif terjadi sebaliknya, yakni deviasi konjugat ke arah kontralateral lesi ( contra verszve) atau disebut juga "look away the le­ sion " Namun, berbeda jika lesi destruktif terjadi di talamus, terjadi deviasi konjugat ke arah kontralateral lesi ( contraversivej atau disebut ju ga"wrong way eye" (Gambar 19),



Dap at dibedakan seperti pada Tabel 4.



2. Supranuklear dan Internuklear Gangguan gerakan bola mata berupa: 1) kelumpuhan lirik horizontal dan deviasi konjugat horizontal; 2] INO dan sindrom one and a half, 3) gangguan sakadik; 4) gangguan smooth pursuit, 5} gangguan konvergensi; 6) kelumpuhan lirik vertikal; dan 7) nistagmus dan osilasi okular lain. Pada bab ini dibatasi pada gangguan 1-4.



A. Kelumpuhan Lirik dan Deviasi Konjugat Meskipun secara definisi gerakan bola mata horizontal dapat meliputi sakadik horizontal, smooth pursuit horizontal, VOR horizontal, dan konvergensi, namun untuk dapat memahami kelumpuhan lirik horizontal dan deviasi konj'ugat, dapat melihat jaras sakadik horizontal.



Tabel 4. Perbandingan Lesi Supranuklear dengan Lesi Nukleus dan Nervus Okular Motor Supranuklear



Nukleus dan Nervus Okular m otor



Gejala



Umumnyaasimtomatis (kecuali skew deviation, spasme konvergensi, dan lainnya)



Gejala visual seperti diplopia, visual confusion, visual blur.



Kedudukan bola mata



Umumnya ortotropia (kecuali INO bilateral "wall eyed", skew deviation Hipertropia, atau deviasi konjugat)



Esotropia, eksotropia atau hipertro­ pia



Gangguan gerakan bola mata



Binokular



Monokular (duksi) dan Binokular



Keterlibatan Gangguan gerakan bola mata binocular



Keterlibatan tidak sama (misalnya dapat terjadi gangguan sakadik saja namun smooth pursuit dan VOR normal)



Keterlibatan tidak sama



VOR: vestibuloocular reflex



304



Gangguan Gerakan Bala Mata



fCeiESttJttgan x MJXt



V



*■



a-x^setKan50e-xro



«s*iiaiif>s3i (sasjL^sa



A KssV-ttldmSi Wikii



m



m



3.



m



KaSur-cuiWiSfc



C. Deri*na^uye)b>totta*“Seekc'hibar C. C e « a i nalugel fas t *



1 « * ir*Oy S'*! klwar



S,



l e e k a fjcy lltt bi^ai'



faayAjcs! t e te



f. E^fias. kcfak^hsk* ■WeinaWsfEitf' SJlitPl



#



|Plp|§|f^|



1 'IS



Ǥ



X



# V



V. " j t



tct



$ v y (if



9 V



:9 trt



Gambar 19. Kelumpuhan Lirik Horizontal dan Deviasi Konjugat



klrl KehOTipuhan Aduka



n



:m



»HStpgmoid Abduksi



M e se n se fa k jn



1 Kofom ngan



1



P om



Jaras lirik Ice kin



;



Jaras Urikke Kanan



: [



RM Oiot Rektus Media! RM Otot Rektus Latero! Nuk.lii Nuktsus Oku Somatar



1 kanan



kiri



Gambar 20. Oftalmoplegia internuklear Oftalmoplegia internuklear akan muncul sebagai gangguan aduksi ipsilaterai lesi FLM. Sebagai contoh lesi pada FLM kiri, akan terdapat oftalmoplegia internuklear kiri. Pada saat pasien diminta melirik lie kanan, akan terjadi gangguan aduksi mata kiri dan nistagmoid abduksi mata kanan. FLM: fasikulus longitudinalis medial; PPRF: paramedian pontine reticular form ation



305



Baku Ajar Neurologi



Penyebab INO yang cukup sering adalah lesi demielinasi seperti multipel sklerosis dan lesi vaskular, yakni oklusi pembuluh darah kecil (contoh penetrating artery ) atau pembuluh darah besar se­ perti arteri serebri posterior {posterior cerebral artery/?Ch), arteri serebelar superior [superior cerebellar artery / SCA), atau bahkan arteri basilar. Lesi demielinasi sering menyebabkan INO, karena serabut FLM kaya akan mielin.



Belum dapat dipahami sepenuhnya mekanisme deviasi konjugat, namun disebutkan bahwa deviasi dapat dialami pada fase akut dan akan hilang dengan sendirinya. Studi lain mengaitkan dengan ukuran lesi dan sisi lesi, lesi berukuran besar dan hemisfer non-dominan lebih sering mengalami deviasi konjugat. B. Oftalmoplegia Internuklear (INO) dan



Sindrom One an d a H alf INO disebabkan oleh lesi internuklear, yakni FLM. Sepeiti diketahui, FLM membawa sinyal dari interneuron nukleus abdusens ke subnukleus rektus medial nervus III, sehingga pada saat melirik memungkinkan kontraksi simultan antara otot rektus lateral satu mata dan otor rektus medial mata yang lain. Oleh karena FLM secara spesifik berproyeksi ke subnukleus rektus medial, maka gambaran INO adalah gangguan aduksi ipsilateral lesi FLM. Sebagai contoh pada lesi FLM kanan akan terdapat INO kanan berupa gangguan aduksi mata kanan (Gambar 20).



Sama dengan INO, sindrom one and a h a lf juga disebabkan oleh lesi di pons,



Gambaran penyerta lain yang klasik yakni nistagmus abduksi pada mata kontralateral [nistagmoid atau dissociated nystagmus) dengan gerakan konvergensi normal. Mekanisme nistagmoid belum diketahui pasti, salah satu teori menyatakan sebagai fenomena adaptif. Teo-., ri lain akibat disrupsi serabut irihibisi yang berjalan di FLM menuju otot rektus medial kontralateral, Gerakan konver­ gensi tetap utuh karena sinyal konver­ gensi ke otot rektus medial tidak melalui FLM. Selain gambaran klasik tersebut, INO memiliki banyak varian, dan lesi FLM tidak hanya bermanifestasi sebagai INO, namun tidak dibahas dalam bab ini. 306



yang meliputi PPRF, nukleus abdusens, dan FLM. “One" merujuk pada kelumpuhan abduksi satu mata dan aduksi mata yang lain, sehingga kedua mata pasien tidak dapat melirik ke satu sisi sama sekali (kelumpuhan lirik). Hal ini akibat gangguan PPRF atau nukleus abdusens. Adapun " h alf hanya merujuk pada ke­ lumpuhan aduksi saja, seperti pada INO, karena lesi pada FLM. Dengan demikian, sindrom one and a h a lf dapat terlihat berupa "one" atau kelumpuhan lirik ke satu sisi dan "half" atau 'gangguan separuh lirik' -seperti INO- ke sisi lain. Sebagai contoh, lesi di pons kiri, akan melibatkan PPRF kiri, nukleus abdu­ sens kiri, dan FLM kiri. Pada saat melirik ke kiri, maka struktur yang berperan adalah PPRF kiri, nukleus abdusens kiri, dan FLM kanan. Oleh karena FLM kanan tidak mengalami lesi, maka perhatian difokuskan pada PPRF kiri dan nukleus abdusens kiri. Lesi pada struktur ini me­ nyebabkan pasien tidak dapat melirik ke kiri. Pada saat melirik ke kanan, struktur yang berperan adalah PPRF kanan, nu-



Gangguan Gerakan Bola Mata



kanan



kirl



(kelumpuhan in k : od u iii + abdutaij



HALF



{N O : ketumpuhan ad u k ii}



Keterangan Jaras Lirik ke kiri ............. Jaras Lirik ke Kanan RM Otot Rektus Medial RM Otot Reklus Laterd NukJII NuVJeus OkUomotor



kanan



kin



Gambar 21. Sindrom One an d a H alf Lesi di pons (TPRF, nukelus abdusens, dan FLM) dapat menimbulkan sindrom One and a half. Contoh lesi pada pons kiri, saat pasien diminta melirik ke kiri terdapat gangguan abduksi mata kiri dan aduksi mata kanan, sedangkan saat diminta untuk melirik ke kanan hanya didapatkan kelumpuhan aduksi mata kiri. FLM: fasikulus longitudinalis medial; PPRF: p aram ed ian pontine reticu lar form a tio n



sakadik dismetria, dan sakadik diskinesia (sakadik intrusi dan sakadik osilasi). Sakadik insufisiensi dapat disebabkan oleh lesi dari korteks frontal dan pari­ etal, hingga burst neuron di pons (PPRF). Pada lesi korteks terdapat sakadik insu­ fisiensi ke kontralateral, sedangkan pada lesi di pons terdapat sakadik insufisiensi ke ipsilateral.



kleus abdusens kanan dan FLM kiri. Oleh karena PPRF kanan dan nukleus abdu­ sens kanan tidak mengalami lesi, maka perhatian difokuskan pada FLM kiri. Lesi pada FLM kiri INO kiri (Gambar 21). Dengan demikian secara sederhana, lesi pons setidaknya dapat bermanifestasi menjadi tiga, yaitu: kelumpuhan lirik horizontal (lesi di PPRF atau nukleus ab­ dusens), INO (lesi di FLM), dan sindrom one and a h a lf (lesi di PPRF, nukleus ab­ dusens, dan FLM). C.



Sakadik dismetria disebabkan oleh struktur yang berperan dalam akurasi saka­ dik, terutama serebelum, yakni vermis dorsal dan nukleus fastigial. Lesi pada vermis dorsal menyebabkan hypermetric contraversive saccade atau hypometric ipsiversive saccade , sebaliknya pada nu-



Gangguan Sakadik Adalah gangguan gerakan lirik mata cepat. Secara umum gangguan ini dibedakan menjadi sakadik insufisiensi, 307



Buku Ajar Neurologi



kleus fastigial berupa hypermetric ipsiversive saccade atau hypometric contraversive saccade. Sakadik diskinesia seperti ocular flutter, opsclonus, dan square wave je r k merupakan abnorm al spontaneous eye movement; beserta gangguan sakadik



3. Nukleus dan Fasikulus Okular Motor Lesi ini terletak di batang otak, dikelompokkan sebagai lesi sentral dan pada literatur lain sebagai lesi intraaksial. Lesi nukleus dan fasikulus relatif lebih jarang terjadi diban-dingkan lesi nervus okular motor, masing-masing memiliki karakteristikyang berbeda.



lain, seperti gangguan antisakadik, saka­ dik prediktif dan memory-guided saccade tidak dibahas dalam bab ini.



a. Nukleus dan fasikulus nervus III Nuldeus nervus III terdiri dari beberapa subnukleus dengan yang dapat menginervasi secara bilateral (subnukleus leva­ tor palpebra), kontralateral (subnukleus rektus superior), dan sisanya ipsilateral. Dengan demildan, gambaran ldasik lesi nukleus adalah berupa: 1) kelumpuhan depresi, aduksi, eksiklorotasi, dan pupil abnormal (dilatasi pupil dengan refleks cahaya terganggu) ipsilateral; 2) ptosis bilateral; serta 3) kelumpuhan elevasi bilateral. Namun demildan varian selalu ada dan tidak dibahas dalam bab ini.



D. Gangguan Sm ooth Pursuit Apabila dibandingkan dengan gangguan sakadik, gangguan smooth pursuit lebih sulit ditentukan topisnya karena melibatkan struktur yang kompleks dan difus. Setidaknya ada tiga tipe gangguan smooth pursuit, yakni direksional, retinotopik, dan kraniotopik (Gambar 22). Gangguan smooth pursuit direksional meliputi gang­ guan smooth pursuit ke arah ipsilateral lesi. Gangguan ini paling umum terjadi, akibat lesi di occipito-temporo-parietal junction dan korteks frontal atau SEE Gangguan smooth pursuit retinotopik, yakni gangguan smooth pursuit pada sisi kontralateral lesi, tidak bergantung pada arah lirikan, Struktur yang dipikirkan terlibat adalah occipito-temporo-parietal junction dan korteks striatum. Terakhir, gangguan smooth pursuit kraniotopik berupa gangguan smooth pursuit ke arah kontralateral lesi setelah melewati garis tengah. Dalam hal ini gerakan smooth pur­ suit ke arah kontralateral lesi masih nor­ mal sebelum mencapai garis tengah.



Fasikulus, yang merupakan serabut yang berasal dari beberapa subnukleus, berjalan di mesensefalon melalui beberapa struktur. Oleh karena itu petunjuk yang paling mudah adalah adanya sindrom mesensefalon yang terdiri dari paresis nervus III ditambah defisit lain (Gambar 23). Selain itu, oleh karena konfigurasi serabut yang menyusun fasikulus, kadang ditemukan pola divisional, yakni divisi superior (kelumpuhan otot rektus superior dan otot levator palpebral) atau divisi inferior yakni fungsi nervus III yang lain.



308



Gangguan Gerakan Bola Mata



Kanan



Kir;



Kanan



Kin



X



Kanan



X



Keterangan: ^



(A)



(8 )



Lokasi lest



..............



Arah smooth pursuit normal







Arah smooth pursuit yang terganggu



--



(0



Gambar 22. Gangguan Smooth Pursuit (A) direksionai; (B] retinotopik; dan (C) kraniotopik



A



W eber



Pedunkutus ssreb ri



P c rc rb nervus lit



ipd'ateroi HemiDoresIs fconlralateral Benedict



Red Nuktsoi



Paresis nervus 111 ipiiiatfiral Gangguan gerak invotynter . (kcrca /fc a b mu s/tf emorj konlralateral



Claude



Pedunkulus serebeii superior



Paresis nervus III v' ipsisoterai



[kadartg da pat metibatkan red nukieus}



Atafcsta konlralateral



+



Gambar 23. Sindrom Mesensefalon yang Melibatlcan Fasikulus Nervus III



Gambar 24. Anatomi Nervus IV pada Mesensefalon Potongan Aksial



309



Buku Ajar Neurologi



(Gambar 25). Dengan demildan lesi nukle­ us nervus VI akan bermanifestasi sebagai kelumpuhan lirik horizontal, sedangkan lesi fasikulus sama seperti lesi nervus VI yakni kelumpuhan abduksi (otot rektus lateral). Petunjuk lain lesi fasikulus adalah umumnya disertai paresis nervus VII yang letak nukleusnya berdekatan.



b. Nukleus dan fasikulus nervus IV Lesi pada nukleus memilikl gejala yang sama dengan lesi di fasikulus nervus IV, yaitu kelumpuhan otot oblik supe­ rior kontralateral. Hal disebabkan oleh fasikulus nervus IV yang berasal dari nukleus berjalan menyilang di dorsal mesensefalon saat akan keluar dari mesensefalon (Gambar 24). Petunjuk lainnya, lesi nukleus dan fasikulus dapat disertai sindrom Horner, karena traktus okulosimpatik berdekatan dengan nu­ kleus nervus IV.



4. Nervus Olmlar Motor Lesi nervus okular motor difokuskan pada nervus yang telah keluar dari batang otak, yakni yang berada di ruang subaraknoid, sinus kavernosus, dan intraorbita. Lesi ini disebut juga lesi perifer (neuropati perifer) dan pada literatur lain disebut lesi ekstraaksial. Nervus okular motor dalam bahasan ini dibedakan menjadi paresis nervus okular motor terisolir dan paresis nervus okular motor multipel.



c. Nukleus dan fasikulus nervus VI Nukleus nervus VI memiliki dua neuron, yakni motor neuron yang berproyeksi ke otot rektus lateral (fasikulus) dan inter­ neuron yang memberikan sinyal ke nu­ kleus nervus III kontralateral melalui FLM



O io l



O to t



refctvs fcjtsral



refctus m ed ia l



oSxfusem



Pons Gambar 25. Anatomi Nervus VI pada Pons Potongan Aksial



310



Gangguan Gerakan Bola Mata



a. Nervus III terisolir Berdasarkan kelumpuhan otot rektus, oblik, dan levator palpebral, paresis nervus III terisolir dapat dibagi menjadi dua, yakni komplet atau inkomplet Paresis dianggap komplet jika kelumpuhan melibatkan seluruh otot tersebut, sedangkan apabila hanya sebagian yang lumpuh disebut inkomplet Gambaran klinis paresis nervus III komplet sangat khas, yakni ptosis dan posisi mata down and out ipsilateral.



Lesi kompresi sering melibatkan pupil karena serabut yang mempersarafinya berada di dorsomedial dan paling superfisial, sehingga paling rentan terhadap kompresi. Hal ini menjadi tanda yang penting dicari, pada keadaan herniasi unkal, peningkatan TIK yang meregangkan nervus III saat melalui tepi tentorium, dan aneurisma. Aneurisma merupakan penyebab tersering, karena nervus ill pada saat keluar dari mesensefalon diapit oleh 3 pembuluh darah yakni PCA, SCA, dan arteri komunikans posterior [posterior communicating artery{ PCom).



Paresis nervus III terisolir yang hanya melibatkan otot, sementara pupil nor­ mal [pupil sparing) disebut juga oftalmoplegia eksternal. Namun jika melibat­ kan gangguan pupil [pupil involvement) disebut sebagai oftalmoplegia internal. Penentuan keterlibatan pupil [pupil sparing atau involvement) dan komplet atau inkomplet tidak memiliki nilai lokalisasi, namun sangat penting untuk manajemen tata laksana.



Penyebab tersering paresis nervus III komplet dengan pupil sparing adalah iskemia mikrovaskular. Berbeda dengan aneurisma yang mengancam jiwa, iske­ mia ini sering pada pasien diabetes melitus atau faktor risiko vaskular lain. Dise­ but juga penyebab tidak berbahaya atau benign oleh karena umumnya gejalanya akan swasirna dalam 8-12 minggu.



Dua etiologi paresis nervus III terisolir yang paling sering adalah iskemik mikrovaskular dan lesi kompresi. Keduanya sangat berbeda tata laksana dan prognosisnya, namun dapat ditentukan berdasarkan gambaran pupil dan sinkinesia okulomotor. Sinkinesis okulomo­ tor merupakan kontraksi anomali otot akibat regenerasi aberans. Misalnya saat aduksi atau depresi, kelopak mata akan terangkat atau pupil konstriksi. Pada lesi kompresi dapat ditemukan sinkinesis okulomotor, dan sebaliknya pada iske­ mik jarang terdapat sinkinesis.



Kaidah pupil [pupil rule) menyatakan bahwa paresis nervus III terisolir dan komplet dengan pupil sparing komplet tidak pernah disebabkan oleh aneuris­ ma. Jadi jika ditemukan paresis nervus III komplet dengan pupil involvement, harus dipikirkan aneurisma sampai terbukti tidak dengan pemeriksaan MRI/ MRA atau CT angiografi segera. Seba­ liknya jika ditemukan paresis nervus III komplet dengan pupil sparing , paling sering dilakukan "wait and see"



311



Buku A jar N eurologi



Paresis n. Ill terisolir Keterlibatan otot



{m. Rektus medial/superior/inferior, m. Oblik inferior, m. Levator palpebra) Keterlibatan pupil



Komplit



In komplit



Pupil involvement/



Pupil involvement/



Pupil sparing/



oftalmoplegia internal



oftalmoplegia internal



oftalmoplegia eksternal



c 00



"i j f - . 'j L a t a , a 1



Etiologi: 90% aneurisms



Wait and see



to TaiOa aalia, a' I-!"- r.:!!-:.



C: .■



.



VC v^-



Usia >50 tahun tan pa faktor risiko vaskular



Usia >50 tahun dengan faktor risiko vaskular



Usia 5mm) dengan skor SI6, fungsi batang otak masih baik.



Pada pemeriksaan fisik tanda vital stabil. Ditemukan luka robek di kepala kanan be­ lakang dengan tepi tidak rata, dasar otot, kotor, perdarahan tidak masif, tidak ter­ dapat nanah, tanda Battle, maupun raccoon eyes. Pemeriksaan neurologis didapatkan SKG E2M5V2, refleks cahaya langsung mau­ pun tidak langsung baik, serta kesan tidak ada defisit saraf kranial dan motorik.



b. SDH tipis dengan penurunan kesadaran. c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai pergeseran garis tengah (midline shift) dengan fungsi batang otak masih baik. 3. Perdarahan intraserebral adalah: a. Penurunan kesadaran progresif. b. Hipertensi, bradikardi, dan gangguan pernapasan (refleks Cushing).



P e rta n y a a n :



1. Pemeriksaan penunjang apa yang akan Anda lakukan?



c. Terjadi perburukan pada suatu kondisi defisit neurologis fokal.



2. Apa diagnosis kerja kasus ini?



4. Fraktur impresi.



3. Apa dasar diagnosis Saudara?



5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri.



4. Apa tata laksana awal yang akan Anda lakukan?



6. Fraktur kranii terbuka.



5. Apa saja kondisi yang harus dihindari dalam perawatan pasien ini?



7. Edema serebri berat yang disertai de­ ngan tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK).



Ja w a b a n :



1. CT scan kepala tanpa kontras disertai bone window, Rontgen vertebra servikal proyeksi anteroposterior dan lateral. Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, gula darah sewaktu, hemostasis, analisis gas da­ rah, fungsi ginjal, fungsi hepar, dan elektrolit.



CONTOH K A SU S



Laki-laki 42 tahun, dibawa ke IGD dengan penurunan kesadaran setelah jatuh dari motor 1 jam sebelum masuk RS. Pasien dibonceng temannya dengan kecepatan 50 km/jam tanpa menggunakan helm. Sebe­ lum kejadian, pasien dalam keadaan sehat, hanya lebih banyak bicara karena sedang berada di bawah pengaruh alkohol. Pasien biasanya mengonsumsi alkohol 1-2 kali per minggu. Pasien terjatuh ke belakang dengan posisi terlentang dan kepala belakang mengenai aspal. Terdapat muntah sebanyak 2x isi makanan, serta terdapat luka robek di bagian belakang kepala. Saat diantar ke



2. Cedera kepala sedang. 3. Durasi penurunan kesadaran dalam rentang waktu >10 menit dan 90mmHg Sirkulasi o Hipotensi dapat disebabkan oleh renjatan hipovolemia maupun renjatan neurogenik [efek simpatektomi) * Renjatan hipovolemia (hipotensi-takikardi, ekstremitas dingin) resusitasi cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer laktat) kalau perlu kombinasi koloid (albumin 0,5%), posisi trendelenburg ® Renjatan neurogenik (paradoks hipotensi-bradikardi) -> resusitasi cairan adekuat + agen vasopressor (phenylephrine hydrochloride, dopamin, atau norepinephrine) ® Bradikardia Atrofin IV 0,5-1 mg ® Tindakan: pemantauan tekanan vena sentral (untuk menghindari kelebihan cairan); kateter foley Disability « Pemeriksaan neurologis singkat, terdiri dari menentukan tingkat kesadaran (Skala Koma ______________ Glasgow! refleks pupil, dan mengenali kelemahan anggota gerak_______________________ Sumber: American College of Surgeon. Advanced trauma life support. 2 0 1 2 . Airway/jalan napas



411



Buku Ajar Neurologi



Tabel 5. Secondary Survey Langkah Langkah 1



Langkah 2 Langkah 3



Langkah 4



Penielasan e Anamnesis AMPLE e Mekanisme trauma o Riwayafc penyakit dahulu dan pengobatan a Identifikasi obat/terapi yang telah diberikan saat prarumah sakit dan primary survey Penilaian uiang GCS dan pupil Pemeriksaan vertebra e Palpasi seluruh vertebra dari kranial ke kaudal dengan metode log roll. Perhatian pada deformitas, krepitus, nyeri, dan luka tembus/laserasi. e Penilaian level neurologis motorik dan sensorik. Pemeriksaan sensorik mencakup dua rangsangan, yaitu nyeri (pinprick) dan raba (touch). Catat level sensorik paling kaudal yang masih ditemukan normal, o Kekuatan motorik ekstrimitas atas dinilai dengan gerakan - Abduksi bahu (C5) Fleksi siku (C6 ) Ekstensi siku (C7) Fleksi pergelangan tangan (C8 ) - Abduksi jari (T l) « Kekuatan motorik ekstrimitas bawah dinilai dengan gerakan Fleksi panggul (L2) Ekstensi lutut (L3-L4) Fleksi lutut (L4-L5 dan SI] Dorsofleksi ibu jari (L5) Plantarfleksi pergelangan kaki (SI) o Penilaian refleks fisiologis dan patologis Evaiuasi uiang adanva cedera di lokasi lain yang belum tereksplorasi___________________



Sumber: American College of Surgeon. Advanced trauma life support. 2012.



d. Medikamentosa akut Obat-obatan yang dapat diberikan sebagai pengobatan akut, antara lain:



b. Primary survey Tindakan primary survey merupakan evaiuasi uiang dari tindakan prarumah sakit (Tabel 4). Primary survey tetap dilakukan walaupun sudah dilakukan se, belum tiba di rumah sakit.



• Glukokortiko steroid do sis tinggi Studi oleh NASCISII menghasilkan bahwa pemberian metilprednisolon dosis tinggi dalam 24 jam pertama memberikan perbaikan fungsi motorik yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol (plasebo atau nalokson). Penelitian tersebut telah dikembangkan dan saat ini sudah ditetapkan metil­ prednisolon dosis tinggi dalam 8 jam pertama sebagai tata laksana standar pasien cedera medula spinalis. Cara pemberian sebagai berikut:



c. Secondary survey dan pemeriksaan neurologis Setelah primary survey pasien dinyatakan aman, maka pemeriksaan dilanjutkan ke secondary survey, meliputi anamnesis dan pemeriksaan dari kepala hingga ujung kaki, termasuk pemeriksaan neurologis lengkap (Tabel 5]. Tindakan secondary survey ini bertujuan untuk mencari tandatanda cedera medula spinalis secara klinis.



412



Cedera Medula Spinalis



-



Pasien onset 8 jam, maka pemberian steroid tidak dianjurkan.



a. Perawatan masalah kesehatan yang mungkin muncul Selama perawatan di rumah sakit, pasien cedera medula spinalis dapat mengalami beberapa komplikasi akut atau subakut (Tabel 6 dan 7). Hal ini harus diperhatikan oleh klinisi. Komplikasi ini bisa mengenai sistem kardiovaskular, pernapasan, dan saluran cerna. a] Perawatan masalah kardiopulmoner Masalah kardiopulmuner dapat ter­ jadi pada cedera medula spinalis karena gangguan sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis serta pasien yang dalam kondisi imobi­ lisasi. Proses cedera pada segmen servikal hingga torakal atas (T4) menyebabkan hilangnya efek sim­ patis akibat cedera medula spinalis, sehingga resistensi vaskular sistemik menurun dan efek parasimpatis meningkat. Hal ini disebut juga renjatan neurogenik. Manifestasi klinis yang dijumpai adalah hipotensi dengan selisih tekanan sistolik dan diastolik yang lebar (wide pulse pressure), bradikardia, serta ekstrimitas yang hangat. Hal ini berbeda dengan tanda renjatan pada umumnya yang ditandai dengan takikardia, hipotensi dengan selisih tekanan sistolik dan diastolik yang sempit (narrow pulse pressure), serta ekstrimitas yang dingin dan pucat.



© Opiat reseptor antagonis © Nonglukokortikoid steroid tirilazad © Monosialoganglioside (GM-l} 1. P e ra w a ta n in te n s if



Perawatan penderita cedera medula spi­ nalis di ruang rawat intensif ditekankan pada upaya mempertahankan pasien tetap imobilisasi dan mengevaluasi masalah neurologis maupun kesehatan lain yang mungkin timbul sebagai keadaan primer maupun sekunder akibat upaya imobilisasi sendiri. Insiden morbiditas dan mortalitas pasien cedera medula spinalis lebih tinggi terjadi pada dua minggu awal pascacedera. Kriteria tempat tidur yang sesuai dalam perawatan pasien cedera medula spina­ lis, antara lain 1) dapat menunjang stabilitas dan kesegarisan tulang belakang; 2} nyaman dan memiliki risiko rendah ulkus dekubitus; 3} memudahkan akses perawatan; dan 4} memudahkan upaya reposisi pasien untuk mencegah komplikasi imobilisasi.



Penanganan awal renjatan neuroge­ nik adalah resusitasi cairan kristaloid intravena untuk menjaga kecukupan volume intravascular. Jika hipotensi tetap terjadi setelah resusitasi, maka



413



Buku Ajar Neurologi



dapat dipertimbangkan penggunaan vasopresor. Pemilihan regimen vasopresor yang terbaik hingga saat ini masih dalam penelitian, tetapi lebih diutamakan yang memilki aktivitas alfa dan beta adrenergik, misalnya norepinefrin, dopamin, dan adrenalin.



tauan saturasi oksigen menggunakan oksimeter [pulse oximeter ) perlu dilakukan selama perawatan. Selain hipotensi, cedera medula spina­ lis pada segmen servikal dan torakal atas dapat menyebabkan disritmia jantung. Sinus bradikardia yang timbul akibat gangguan simpatis supra­ spinal merupakan bentuk disritmia yang paling sering terjadi. Selain itu, blok konduksi atrioventrikular (A-V block) serta takikardia supraventrikel dan ventrikel juga dapat ditemukan. Timbulnya disritmia ini lebih sering terjadi pada cedera medula spinalis yangkomplet (ASIA/IMSOP derajat A).



Bila pasien mengalami renjatan hipovolemik, maka terapi utamanya adalah resusitasi cairan dengan kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer laktat). Kombinasi dengan koloid, misalnya albumin 5%, dapat juga dipertimbangkan pada kemungkinan kondisi overload serta adanya kontraindikasi pemakaian kristaloid pada cedera kepala. Peman-



Tabel 6. Komplikasi Fase Akut Cedera Medula Spinalis*• ___________________________ Komplikasi Fase Akut_________________________ Hipotensi/Renjatan « Efek simpatektomi e Perdarahan Bradikardi Dengan atau tanpa hypovolemia Hipotermia Dengan atau tanpa Infeksi Hipoventilasi/Gagal Napas * Cedera setinggi oksiput-C2 KehiJangan semua fungsi pernapasan; kelemahan saraf kranial level rendah ® C3-C4 Kelemahan otot interkostalis dan diafragma; fungsi faring/laring baik «» C5-T1 Kelemahan otot interkostalis; fungsi otot diafragma baik ® T1-T12 Gangguan fungsi otot interkostalis beragam (waspada terhadap ARDS sekunder akibat aspirasi saat terjadinya trauma) Komplikasi latrogenik • Dislokasi dengan cedera medula spnialis sekunder ® Ulkus dekubitus akibat penggunaan spine board terlalu lama Perdarahan saluran cerna « Dengan atau tanpa steroid ® Dengan atau tanpa heparin dosis rendah Ileus Distensi abdomen/muntah Aspirasi ___________________ ______________________________ "Dikutip darif Cahill DW, dkk. Neuro trauma. 1996. h. 1229-36,



414



Cedera Medula Spinalis



Bradiaritmia dapat ditatalaksana dengan pemberian atrofin. Sebagian kecil pasien memerlukan pemasangan pacu jantung untuk mengontrol denyut jantungnya. Bila hal ini disertai hipotensi, penggunaan vasopresor yang hanya memiliki aktivitas alfe adrenergik, seperti fenilefrin, sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan perlambatan kerja jantung dan eksaserbasi bradikardia.



rentan mengalami retensi mukus berulang. Penggunakan tracheal bronchial suctioning berkala, pulmonary toilet, dan fisioterapi dada direkomendasikan untuk masalah ini. Selain itu dapat ter­ jadi atelektasis sebagai salah satu predisposisi pneumonia. Kombinasi gang­ guan refleks batuk dan atelektasis akan meningkatkan risiko pneumonia. Oleh karena itu, pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan sesuai dengan pola kuman di RS. Pasien juga berisiko menga­ lami aspirasi terutama bila tidak terintubasi. Salah satu cara pencegahan aspirasi adalah pemasangan pipa nasogatrik dan dilakukan suctioning berkala.



Gangguan pernapasan sekunder terjadi akibat fungsi otot-otot interkostalis terganggu pada cedera medula spinalis servikal, sehingga terjadi gangguan refleks batuk. Pasien menjadi tidak mampu membersihkan sekresi mukus dan label 7. Kompiikasi Subakut Pascacedera Medula Spinalis



Komplikasi Subakut Masalah pernapasan sekunder » Sumbatan lendir e Atelektasis * Pneumonia * Emboli paru Trombosis vena dalam Disfungsi berkemih e Priapismus e Retensi urin Dekubitus Hati-hati penggunaan spine board yang lama untuk prosedur diagnosis atau terapi Masalah saluran cerna « Impaksi feses o Proiaps rekti o Hemorrhoid Malnutrisi Usia dan penyakit kronis meningkatkan semua risiko dari cedera medula spinalis s COPD » ASCVD « Stenosis spinal degeneratif ® Hipertrofi prostat » Osteoporosis Sumber: Cahill DW, dkk. Neurotrauma. 1996, h. 1229-36*



415



Buku Ajar Neurologi



meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Tata laksana akut untuk masalah ileus adalah kompresi dengan pipa nasogastrik atau orogastrik.



Pasien dengan ventilator harus diperhatikan antara kebutuhan terhadap ventilator dan kondisi kemampuan pernapasan pasien sendiri. Penyapihan dari ventilator harus segera dilakukan bila fungsi pernapasan pasien kembali membaik, mengingat penggunaan ventilator juga meningkatkan risiko masalah per­ napasan sekunder, seperti ventilator ac­ quired pneumonia (VAP), trakeomalasia, sinusitis, dan intoksisitas oksigen.



Adanya risiko perdarahan saluran cerna pada penderita cedera medula spinalis diperberat dengan intervensi pengobatan, misalnya pada pemberian steroid dosis tinggi. Pilihan agen profilaksis yang dapat diberikan, antara lain (1) antasid oral dosis tinggi; (2) penyekat H2; atau (3} pelindung mukosa. Penggunaan kombinasi dua obat disarankan untuk pencegahan komplikasi perdarahan saluran cerna pada pasien dengan riwayat ulkus saluran cerna.



b) Trombosis vena dalam Kejadian trombosis vena dalam dan em­ boli paru merupakan dua kemungkinan komplikasi yang harus diwaspadai selama perawatan penderita cedera medula spinalis. Sebanyak 15% penderita cedera medula spinalis mengalami trom­ bosis vena dalam dan setengah di antaranya menjadi emboli paru. Oleh karena itu, upaya pencegahan diutamakan dan harus dilakukan sedini mungkin. Upaya yang dapat dilakukan, di antaranya (1) pemakaian compression stocking; (2) pemberian heparin dosis rendah; atau (3) pemasangan filter vena cava inferior pada kasus kontraindikasi heparin yang masih harus imobilisasi dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain itu, upaya mobilisasi penderita segera juga merupakan langkah untuk menghindari komplikasi trombosis vena dalam.



Selain kedua hal di atas, kebutuhan energi tidak kalah penting untuk diperhatikan. Kebutuhan kalori akan meningkat pada beberapa hari pertama pascacedera. Oleh karena itu, penurunan berat badan penderita cedera medula spinalis pada minggu-minggu awal perawatan men­ jadi tidak dapat dihindarkan. Pemberian nutrisi yang tepat dapat mencegah malnutrisi pada kasus ini. Terputusnya persarafan otonom kolon dan rektum dan persarafan volunter otot din-ding perut dan pelvis menyebabkan kesulitan defekasi. Jika tidak ditangani de­ ngan tepat, maka impaksi feses dapat terjadi. Penanganan masalah tersebut dengan pemberian tambahan asupan makanan tinggi serat (10-20g per hari] dan agen pelunak feses. Agen pelunak feses dapat diberikan secara oral Qaktulosa) maupun supositoria (gliserin). Selain itu, evakuasi digital dapat dipertimbangkan 2-3 kali dalam seminggu sebagai tata laksana akut.



c) Perawatan masalah sistem pencernaan Hal lain yang perlu diperhatikan adalah gangguan saluran pencernaan, yaitu salah satunya ileus. Salah satu gejala ileus adalah distensi abdominal yang akan mempengaruhi kinerja diafragma sehingga mempengaruhi fungsi pernapasan dan



416



Cedera Medula Spinalis



d) Perawatan masalah berkemih Gangguan berkemih yang sering ditemukan pada kasus cedera medula spinalis, antara lain (1) retensi urin disertai distensi berlebih kandung kemih dan (2} priapismus yang sering ditemukan pada pasien laki-laki. Retensi urin pada penderita cedera medula spinalis dapat diakibatkan oleh (1) kelemahan otot detru­ sor; (2) hiperaktivitas sfingter, atau (3) kerja kandung kemih dan sfingter yang tidak sinergi dalam bentuk lain.



Prognosis penderita sangat tergantung dari berat cedera dan lamanya pertolongan hingga tindakan pembedah­ an. Tindakan operatif dapat dilakukan dalam rentang waktu 24 jam hingga 3 minggu pascacedera namun tindakan operatif dini (85tahunsedikitmenurun. 2. Jen is kelam in; laki-laki mempunyai fak­ tor risiko TIA dan stroke rata-rata 1,25 kali dibandingkan perempuan.



Setidaknya terdapat tiga mekanisme yang dapat menyebabkan TIA, yakni: 1) aliran lambat pada arteri besar ( large artery low flow TIAj; 2) emboli pembuluh darah atau jantung; dan 3) oklusi pembuluh darah kecil di otak (lacunar or small penetrating vessel TIA). TIA akibat aliran lambat pada arteri besar umumnya terjadi dalam hitungan menit hingga jam, berulang, dan memiliki karakteristik yang sama. Perlambatan ali­ ran berkaitan dengan stenosis akibat lesi ate­ rosklerosis, yang dapat terjadi pada arteri karotis interna, pembuluh darah kolatera! sirkulus Willisi, arteri serebri media, ataupun pada pertemuan arteri vertebralis dan arteri basilaris. Prinsipnya, setiap obstruksi pada arteri ekstrakranial dan intrakranial dapat menyebabkan perlambatan aliran darah dan berpotensi menimbulkan iskemia.



3. Hipertensi; berkontribusi sebagai fak­ tor risiko sebesar 50% tergantung pada usia pasien. 4. Fibrilasi atrial (atrial fibrillation /AF); risiko TIA dan stroke pada AF nonvalvular adalah sekitar 3-5% pertahun dengan duapertiga kasus akibat kardioemboli. 5. D iabetes mellitus (DM); merupakan faktor risiko TIA dan stroke potensiai, dengan risiko relatif 1,8-3,0. DM dihubung­ kan dengan perkembangan aterosklerosis, hipertensi, obesitas, dan kadar lipid darah yang abnormal. 6. Merokok; sekitar 18% TIA dan stroke dihubungkan dengan merokok aktif dan risiko ini meningkat pada perokok berat 7. Konsumsi alkohol; dalam jumlah besar dapat meningkatkan kejadian hipertensi, hiperkoagulasi, aritmia kardiak, penurunan aliran darah otak, serta meningkatkan kejadian stroke.



TIA akibat emboli memiliki gejala yang berbeda, umumnya fokal dan episodenya lebih lama. Risiko stroke pada TIA akibat emboli lebih tinggi dibandingkan kasus lain. Emboli terbentuk akibat proses patologis pada arteri yang biasanya berlokasi di ekstrakranial atau berkaitan dengan kelainan jantung (seperti fibrilasi atrial atau trombus ventrikel kiri).



Patofisiologi TIA hampir sama dengan stroke iskemik, akibat berkurang/berhentinya aliran darah pada pembuluh darah serebral yang memperdarahi suatu area tertentu di otak secara sementara, sehingga menimbulkan



446



Transient Ischemic Attack



Tabel 1. Gejala Transient Ischem ic Attack (TIA) Gejala Tipikal Kelemahan unilateral dari: e Wajah o Lengan e Tungkai Perubahan sensasi unilateral Disfasia Hemianopia Kebutaan sesisi [monocular blindness)



Gejala Atipikal* Merasa bingung [confusion) Gangguan kesadaran atau sinkop Dizziness atau pusing Kelemahan umum atau gejala sensoris Gangguan pengelihatan bilateral atau kerlipan cahaya [scintillating scotom a) Inkontinensia alvi dan atau uri Amnesia



*jika gejala muncul sendiri tanpa adanya gejala tipikal



lacunar or small penetrating vessel TIA dapat disebabkan oleh stenosis salah satu penetra­ ting vessel yang berasal dari arteri serebral



hanya pada pasien, namun juga keluarga atau orang lain yang menyaksikan kejadian. Pada anamnesis, sebaiknya diperoleh gejala dan karakteristik TIA seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.



media, arteri basilar, arteri vertebralis, atan arteri yang berasal dari sirkulus Willisi, Oklusi pembuluh darah kecil ini dapat disebabkan oleh lipohialinosis akibat hipertensi atau lesi aterosklerosis.



Pemeriksaan fisik harus lengkap meliputi tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, napas, suhu, dan saturasi oksigen, serta pemeriksaan fisik umum dan neurologis. Pada pemeriksaan fisik umum, perlu dicari penyakityangdapatmenyebabkanterjadinya TIA, seperti kelainan jantung, DM, dan Iainlain. Pemeriksaan fisik neurologis dilakukan untuk mencari defisit neurologis yang mungkin masih tersisa, meliputi pemeriksaan saraf kranial, kekuatan motorik, sensoris, fungsi bahasa, sistem keseimbangan, dan kontrol motorik yang diatur oleh serebelum.



Pada TIA, terjadi gangguan perfusi sesaat sehingga tidak terdapat kerusakan permanen pada sel neuron. Defisit neurologis yang terjadi akan pulih sempurna seiring dengan perbaikan fungsi dari sel-sel yang mengalami reperfusi. GEJALA KLINIS



Gejala TIA yang khas umumnya terjadi tibatiba, bersifat sementara dan hilang dalam waktu 30-60 menit. Gejala tersebut dapat tipikal ataupun atipikal [Tabel 1}, antara lain gangguan perilaku ( behaviour ), bahasa, gait, memori, dan gerakan (movement).



Pemeriksaan penunjang untuk memastikan faktor risiko terjadinya TIA, yakni: © Mendapatkan bukti tanda dan gejala pembuluh darah secara langsung atau­ pun tidak langsung. Bukti secara lang­ sung, yakni adanya hipoperfusi dan atau infark akut, sedangkan bukti tidak langsung berupa identifikasi kemung-



DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING



Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus teliti tidak



447



Buku Ajar Neurologi



9 Hipotensi dan atau sinkop



kinan terjadinya stenosis arteri besar. ® Menyingkirkan adanya akibat noniskemik.



9 Gejala fokal episodik sementara [misalnya confusion)



® Mencari faktor risiko mekanisme gangguan pembuluh darah seperti aterotrombotik pembuluh darah besar, kardioemboli, dan gangguan pembuluh darah kecil (small vessel disease).



® Gangguan keseimbangan perifer [misalnya vertigo terisolasi) © Kejang parsial © Ansietas atau hiperventilasi © Amnesia global sementara (transient



• Menentukan dan meramalkan progno­



global amnesia)



sis pasien terhadap terjadinya stroke di kemudian hari.



© Drop attacks, yaitu hilangnya tonus pos­ tural sementara yang mengakibatkan pasien terjatuh



Beberapa pemeriksaan penunjang awal yang perlu dilakukan adalah kadar glukosa darah dengan fingerstick, darah perifer lengkap, elektrolit serum, profil koagulasi, profil lipid, dan EKG 12 sadapan. Pemeriksaan laju endap da­ rah dan kadar enzim jantung hanya jika ada indikasi berhubungan dengan kelainan jan­ tung. Selanjutnya pencitraan otak berupa MRI (diutamakan) dan/atau CT scan [jika MRI tidak tersedia), serta Doppler transkranial (transcranial Doppler/TCD) dan Doppler karotis.



© Hipoglikemia Setelah menegakkan diagnosis TIA, perlu ditentukan prognosis kejadian stroke pascaTIA dengan skor ABCD. Sistem ini mampu memprediksi risiko stroke dalam 2 -9 0 hari pascaTIA melalui penjumlahan 5 faktor independen [Tabel 2). Skor ABCD yang lebih tinggi mengindikasikan risiko terkena stroke yang lebih tinggi dalam waktu 2, 7, 30, dan 90 hari pascaTIA, sehingga direkomendasikan untuk dirawat di RS [Tabel 3).



TIA dapat menyerupai berbagai penyakit, antara lain: ® Migren dengan aura



Tabel 2. Sistem Penskoran ABCD Faktor Risiko Stroke PascaTIA Faktor Risiko



Pom



Usia (>60 tahun) 1 Tekanan darah: Sistolik >140mmHg atau diastolik s90mmHg 1 Manifestasi klinis TIA [pilih salah satu): Kelemahan sesisi dengan atau tanpa gangguan bahasa atau: 2 Gangguan bahasa tanpa kelemahan sesisi 1 Durasi e TIA 5:60 menit 2 e TIA 10-59 menit 1 Diabetes___________________________________________________________ 1_ T IA :



tran sien t ischem ic a tta c k



S u m b e r : S i m m o n s B B , d ld c A m F a m P h y s i c i a n s ; 2 0 1 2 . h . 5 2 1 - 6 ,



448



Transient Ischemic Attack



Tabel 3. Rekomendasi Rawat Inap Pasien TIA Berdasarkan Skor ABCD Skor



Risiko Terkena Stroke dalam 2 Hari {%)



0-3



1



4-5



4,1



6-7 T IA :



8,1 tran sien t ischem ic a tta c k



Rekomendasi Tidak terialu dibutuhkan observasi di RS, kecuali jika ada indikasi lain, seperti; atrial fibrilasi) Perlu dipertimbangkan observasi di RS Perlu dilakukan observasi di RS



S u m b e r : S im m o n s B B , d k k . A m F am P h y s ic ia n s ; 2 0 1 2 , h. 5 2 1 - 6 .



® Hiperlipidemia Jika ditemukan hiperlipidemia, mulai diberikan statin, dengan target kadar LDL-kolesterol 75 tahun lebih tinggi (84,9%) dibandingkan laki-laki (70,7%). Data pasien stroke di Indonesia juga menunjukkan rerata usia perempuan (60,4±13,8 tahun) lebih tua dibandingkan laki-laki (57,5±12,7 tahun). Hal ini dipikirkan berhubungan dengan estrogen. Estrogen berperan dalam pencegahan plak aterosklerosis seluruh pembuluh darah, termasuk pembuluh darah sere­



Trombus dapat lepas dan menjadi embolus atau tetap pada lokasi asal dan menyebabkan oldusi dalam pembuluh darah tersebut. Em­ boli merupakan bagian dari trombus yang terlepas dan menyumbat pembuluh darah



455



Buku Ajar Neurologi



disebabkan oleh sumbatan, tetapi juga akibat proses inflamasi, gangguan sawar darah otak (SDO) atau (blood brain barrier/ BBB), zat neurotoksik akibat hipoksia, menurunnya aliran darah mikrosirkulasi kolateral, dan tata laksana untuk reperfusi.



di bagian yang lebih distal. Emboli ini dapat berasal dari trombus di pembuluh darah, tetapi sebagian besar berasal dari trombus di jantung yang terbentuk pada keadaan tertentu, seperti atrial fibrilasi dan riwayat infark miokard. Bila proses ini berlanjut, akan terjadi iskemia jaringan otak yang menyebabkan kerusakan yang bersifat sementara atau menjadi permanen yang disebut infark.



Pada daerah di sekitar penumbra, terdapat berbagai tingkatan kecepatan aliran darah serebral atau cerebral blood flow (CBF). Aliran pada jaringan otak normal adalah 40-50cc/100g otak/menit, namun pada daerah infark, tidak ada aliran sama sekali (CBF OmL/lOOg otak/menit] (Gambar 2],



Di sekeliling area sel otak yang mengalami infark biasanya hanya mengalami gangguan metabolisme dan gangguan perfusi yang bersifat sementara yang disebut daerah penumbra (Gambar 2). Daerah ini masih bisa diselamatkan jika dilakukan perbaikan aliran darah kembali (reperfusi) segera, sehingga mencegah kerusakan sel yang lebih luas, yang berarti mencegah kecacatan dan kematian. Namun jika penumbra tidak dapat diselamatkan, maka akan menjadi daerah infark. Infark tersebut bukan saja



Pada daerah yang dekat dengan infark CBF adalah sekitar lOcc/lOOg otak/menit. Dae­ rah ini disebut juga daerah dengan ambang kematian sel (threshold o f neuronal death), oleh karena sel otak tidak dapat hidup bila CBF di bawah 5cc/100g otak/menit. Pada daerah yang lebih jauh dari infark, di-



Gambar 1. Oklusi Pembuluh Darah Otak Akibat Trombus



456



Stroke Iskem ik



D aerah otak norm al CBF 40-50 cc/1 OOgotak/m snit D aerah oligem ia C BF30-40 cc/lOOg otat/ m enit D aerah dengan aktivifes listrik neuronal teihanii dan struklur intrasal tidak terintegrasrbaik CBF ~ 2 0 cc/100gotak/ menit



Daerah penumbra



D aerali am bang kem atian sel CBF ~ 10 cc/lOOgotafc/menit * D aerah infark CBF 0 cc/ lOOg otak/menit



Gambar 2. Area Infark dan Penumbra pada Stroke (CBF: cerebral blood flow )



dapatkan CBF sekitar 20cc/100g otak/menit. Pada daerah ini aktivitas listrik neuronal terhenti dan struktur intrasel tidak terintegrasi dengan baik. Sel di daerah tersebut memberikan kontribusi pada terjadinya defisit neurologis, namun memberikan respons yang baik jika dilakukan terapi optimal.



katan kadar laktat intraselular. Kegagalan pompa kalium dan natrium menyebabkan depolarisasi dan peningkatan pelepasan neurotrans miter glutamat. Depolarisasi meningkatkan kadar kalsium intraselular, sedangkan glutamat yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor glutam at yakni N-metil-D-aspartat (NMDA) dan a-arhino-3-hydroxy-5-methyi4-isonazolipropionid-acid (AMPA), yang selanjutnya akan menyebabkan masuknya kalsium intraselular. Dengan demikian, hal tersebut semakin meningkatkan kadar kalsium intraselular. Kalsium intraselular memicu terbentuknya radikal bebas, nitrit oksida (NO), inflamasi, dan kerusakan DNA melalui jalur enzimatik seperti Ca2+ATPase, calsium-dependent phospholipase, protease, endonuklease, dan kaspase yang keseluruhannya berkontribusi terhadap kematian sel.



Bagian yang lebih luar mendapatkan CBF 30-40cc/100g otak/menit, yang disebut dengan daerah oligemia. Bagian terluar adalah bagian otak yang normal. Bagian ini mendapatkan CBF 40-50cc/100g otak/me­ nit Bila kondisi penumbra tidak ditolong secepatnya maka tidak menutup kemungkinan daerah yang mendapat aliran darah dengan kecepatan kurang tadi akan berubah menjadi daerah yang infark dan infark yang terjadi akan semakin luas. Pada daerah yang mengalami iskemia, ter­ jadi penurunan kadar adenosine triphos­ phate (ATP), sehingga terjadi kegagalan pompa kalium dan natrium serta pening457



Buku Ajar Neurologi



sel. Sel neuron/sel glia akan mengalami penurunan aktivitas bioelektrik, kehilangan extracellular ionic gradient, dan masuknya Na diikuti Cl ke dalam sel. Seluruh proses ini akan berujung pada edema intrasel. 4. Inflam asi pada daerah penum bra aidbat adanya iskemia. Respons inflamasi ini merupakan respons normal yang bertujuan untuk pembersihan debris sel, namun juga cenderung meningkatkan kerusakan jaringan serebral. Respons in­ flamasi berupa aktivasi brain resident cells seperti mikroglia dan astrosit, infiltrasi selsel inflamasi ke jaringan iskemik, seperti neutrofil, monosit, makrofag dan limfosit, serta peningkatan alttivasi mediator in­ flamasi dan infiltrasi mediator inflamasi ke jaringan otak. Adapun mediator yang bersifat pro-inflamasi tersebut antara lain tumor necrosis factor (TNF)-a, interleukin (IL)-lp, interferon (IF)-p, serta IL-6) yang diproduksi oleh limfosit.



Faktor Lain yang M em engaruhi Daerah Penum bra Selain CBF yang sangat berpengaruh pada daerah penumbra, ada beberapa faktor lain yang berperan terhadap perkembangan pasien pada fase akut, antara lain stres oksidatif, asidosis derah penumbra, depolarisasi daerah penumbra, dan faktor inflamasi. 1. Kondisi stres oksidatif, merupakan kondisi diproduksinya radikal bebas berupa 0 2, hidroksil [OH), dan NO pada keadaan iskemia serebral. Radikal bebas ini sangat mempengaruhi daerah penumbra akibat pembentukan rantai reaksi yang dapat menghancurkan membran sel, de­ oxyribonucleic acid (DNA), dan protein. Radikal bebas juga menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan merusak sawar darah otak hingga menyebabkan edema. Proses tersebut akan terus berlangsung selama keadaan iskemia tidak segera ditangani, oleh karena radikal bebas bereaksi ldiususnya dengan lemak tidak jenuh (;unsaturated lipid) yang banyak berada di membran neuron dan sel glia.



GEJALA D A N T A N D A K L IN IS Tanda dan gejala ldinis stroke sangat mudah dikenali. Hal ini secara praktis mengacu pada deflnisi stroke, yaitu kumpulan gejala akibat gangguan fungsi otak akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh berkurang atau hilangnya aliran darah pada parenkim otak, retina, atau medula spinalis, yang dapat disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah arteri maupun vena yang dibuktikan dengan pemeriksaan pencitraan otak dan/atau patologi.



2. Asidosis daerah penum bra terfadi aki­ bat peningkatan metabolisme anaerob yang disebabkan oleh proses iskemia. Peningkatan metabolisme ini memicu pembentukan asam laktat, sehingga terjadi asidosis. Asidosis menyebabkan masuknya natrium [Na+] dan Cl‘ke dalam sel melalui ikatan Na+/H+dengan C1/HC03', sehingga terjadi edema intrasel dan pe­ ningkatan tekanan intrakranial (TIK).



Gejala gangguan fungsi otak pada stroke sa­ ngat tergantung pada daerah otak yang terkena. Defisit neurologis yang ditimbulkannya dapat bersifat fokal maupun global, yaitu:



3. Depolarisasi daerah penumbra terjadi akibat kegagalan pompa Na+/iC dan beraldbat terjadinya peningkatan kalium ekstra-



458



Stroke Iskemik



DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Kriteria diagnosis stroke iskemik adalah terdapat gejala defisit neurologis global atau salah satu/beberapa defisit neurologis fokal yang terjadi mendadak dengan bukti gambaran pencitraan otak (CT scan atau MRI]. Adapun diagnosis banding yang pa­ ling sering, yakni stroke hemoragik (bila belum dilakukan CT/MRI otak].



o Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu ekstremitas, kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, kelum­ puhan otot-otot untuk proses menelan, bicara, dan sebagainya o Gangguan fungsi keseimbangan • Gangguan fungsi penghidu • Gangguan fungsi penglihatan



o Gangguan fungsi pendengaran



Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis serta untuk mengeksplorasi faktor risiko dan etiologi stroke iskemik berupa:



® Gangguan fungsi somatik sensoris ® Gangguan fungsi kognitif, seperti: gang­ guan atensi, memori, bicara verbal, gangguan mengerti pembicaraan, gang­ guan pengenalan ruang, dan sebagainya



a. Elektrokardiogram [EKG] b. Pencitraan otak: CT scan kepala non kontras, CT angiografi atau MRI dengan perfusi dan difusi serta magnetic resonance angiogram [MRA]



• Gangguan global berupa gangguan kesadaran Pemeriksaan sederhana untuk mengenali gejala dan tanda stroke yang disusun oleh Cincinnati menggunakan singkatan FAST, mencakup F yaitu facial droop (mulut mencong/tidak simetris), A yaitu arm weakness (kelemahan pada tangan), S yaitu speech difficulties (kesulitan bicara], serta T, yaitu time to seek medical help (waktu tiba di RS secepat mungkin). FAST memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 68% untuk menegakkan stroke, serta reliabilitas yang baik pada dokter dan paramedis.



c. Doppler karotis dan vertebralis d. Doppler transkranial ( transcranial dopp ier/ TCD] e. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium di IGD yakni hematologi rutin, glukosa darah sewaktu, dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin]. Selanjutnya di ruang perawatan dilakukan peme­ riksaan rutin glukosa darah puasa dan 2 jam pascaprandial, HbAlC, profil lipid, c-reactive protein [CRP], dan laju endap darah. Pemeriksaan hemostasis, seperti activated partial thrombin time (APTT], prothrom ­ bin time (PT), dan international norm al­ ized ratio [INR], enzim jantung (troponin, creatine kinase MB/CKMB], fungsi hati, tes uji fungsi trombosit (uji resistensi aspirin dan klopidogrel), serta elektrolit dilakukan atas indikasi.



Tanda ldinis stroke juga dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik neurologi untuk mengkonfirmasi kembali tanda dan gejala yang didapatkan berdasarkan anam­ nesis. Pemeriksaan fisik yang utama meliputi penurunan kesadaran berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG), kelumpuhan saraf kranial, kelemahan motorik, defisit sensorik, gangguan otonom, gangguan fung­ si kognitif, dan lain-lain.



459



Buku Ajar Neurologi



Organisation (ESO) yang terbaru. Acuan ini terbagi dalam kekuatan rekomendasi kelas I-III [class] dengan kelas I yang terkuat dan kualitas bukti [level o f evidence ) dari A-C dengan level A yang tertinggi.



Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan dengan indikasi (sebagian dapat dilakukan di ruang rawat) meliputi:



1. Digital substraction angiography (DSA) serebral 2.



MR difusi dan perfiisi atau CT perfusi otak



3.



Ekokardiografi (transtorakal dan/atau transesofageal)



4.



Rontgen toraks



Tata laksana Umum 1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan a. Pemantauan status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan satu­ rasi oksigen secara kontinu dalam 72 jam pertama (ESO kelas IV, good clini­ cal practice/ GCP)



5. Saturasi oksigen, dan analisis gas darah 6.



Pungsi lumbal jika dicurigai adanya perdarahan subaraknoid namun pada CT scan tidak ditemukan gambaran perdarahan



7.



EKG holter, jika dicurigai terdapat AF paroksismal



8.



Elektroensefalografi (EEG) jika dicuri­ gai adanya kejang



9.



Penapisan toksikologi (misalnya alkohol, kecanduan obat]



b. Pemberian oksigen jika saturasi oksi­ gen 20 menit, diulangi setiap 4-6 jam dengan target osmolaritas 180mg/dL] pada stroke akut harus diatasi dengan titrasi insulin (AHA/ ASA kelas I, level C}. Target yang ha­ rus dicapai adalah normoglikemia.



menggunakan re­ combinant tissue plasminogen activator



Terapi trombolisis



(rTPA) seperti alteplase dapat diberikan pada stroke iskemik akut dengan onset 18 tahun 5) Skor National Institutes o f Health Stroke Scale {NIHSS) >6



ASPECTS merupakan skor yang digunakan untuk membantu mengidentifikasi kandidat terapi trom­ bolisis pada stroke akut. Sistem skor ini digunakan untuk mendeteksi perubahan iskemik awal ( early ische­ mic changes } pada pemeriksaan CT scan di daerah yang diperdarahi oleh MCA Gambaran perubahan iskemik ini dapat berupa hipoatenuasi, penurunan diferensiasi substansia grisea dan substansia alba, serta edema fokal Skor ASPECTS membagi teritori MCA menjadi 10 area (Gambar 3, Tabel 1}.



Trombektomi mekanik merupakan suatu prosedur endovaskular yang dilakukan pada pasien yang memenuhi persyaratan sesuai rekomendasi terapi neurointervensi/endovaskular pada stroke iskemik akut, yaitu: a. Pasien yang memenuh kriteria pemberian trombolisis IV dan akan di­ lakukan terapi endovaskular harus tetap diberikan trombolisis terlebih dahulu (AHA/ASA kelas I; level A).



Prosedur ini idealnya dilakukan dalam anestesi umum. Tindakan di­ lakukan bersamaan dengan prosedur angiografi konvensional dengan m ikrokateter sebagai pemandu un­ tuk menentukan lokasi trombus, kemudian alat stent retriever digunakan untuk menghilangkan trombus yang menyumbat sehingga diharapkan terjadi rekanalisasi pembuluh darah (Gambar 4}.



b. Pasien harus mendapatkan terapi endovaskular dengan menggunakan stent retriever jika memenuhi semua kriteria berikut (AHA/ASA kelas I; level A]: 1} Skor modified rankin scale (mRS] pre-stroke 0 sampai 1



7} Terapi dapat dimulai melalui tin­ dakan groin puncture atau pungsi arteri femoralis maksimal 6 jam setelah onset stroke



2) Stroke iskemik akut yang telah mendapatkan terapi trombolisis intravena dalam waktu 4,5 jam setelah onset



465



Buku Ajar Neurologi



Gambar 3. Pembagian Area MCA pada Skor Alberta Stroke Program m e Early CTScore (ASPECTS) C: nukJeus kaudatus; L: nuldeus lentiformis; I: insular ribbon; IC: kapsula interna; Ml: korteks MCA anterior; M2: korteks MCA lateral hingga insular ribbon; M3: korteks MCA posterior; M4: area MCA posterior, superior dari M l; M5: area MCA posterior, superior dari M2; M6: area MCA posterior, superior dari M3 Tabel 1. Skor Alberta Stroke Program m e Early CT Score (ASPECTS) Skor



Area



1-normal; 0=abnormal



C - Nukleus kaudatus L - Nukleus lentiformis I - Insular ribbon 1C-Kapsula interna Ml (korteks MCA anterior) M2 (korteks MCA lateral hingga insular ribbon) M3 (korteks MCA posterior) M4 (area MCA posterior, superior dari Ml) M5 (area MCA posterior, superior dari M2) M6 (area MCA posterior, superior dari M3) Total Sumber: Pexmen W dkk. AJNR AM} Neuroradiol 2001, h, 1534-42.



d. Meskipun manfaatnya belum jelas, pada kasus stroke yang disebabkan oklusi di arteri serebri media cabang M2 atau M3, arteri serebri anterior, arteri vertebralis, arteri basilaris atau arteri serebri posterior, penggunaan terapi endovaskular dengan stent re-



c. Sejak 2015, AHA/ASA membuat pedoman baru mengenai tatalaksana trombektomi pada pasien stroke iskemik akut dengan onset dibawah 6 jam. Pada pasien yang terindikasi trombektomi, penggunaan stent re­ triever dapat dijadikan pilihan.



466



Stroke Iskemik



triever dapat dipertimbangkan (AHA/ ASA: kelas lib; level C).



c. Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan pencitraan otak memastikan tidak ada perdarahan intrakranial primer. Pasien yang mendapat antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar antikoagulan.



e. Pada stroke yang disebabkan karena oklusi pembuluh darah sirkulasi pos­ terior (arteri vertebralis, arteri basilaris atau arteri serebri posterior), groin puncture maksimal dapat dilakukan 24 jam setelah onset stroke. 4. Pemberian



Antikoagulan Pencegahan Selkunder



d. Tidak ditemukan manfaat pemberian heparin pada pasien stroke akut de­ ngan AF, walaupun masih dapat diberikan pada pasien yang selektif. Aspirin dan dilanjutkan dengan pemberian warfarin untuk prevensi jangka panjang dapat diberikan.



sebagai



a. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan untuk memperbaiki keluaran atau sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi (AHA/ASA: kelas III, level A).



e. Warfarin merupakan pengobatan lini pertama untuk pencegahan sekunder stroke iskemik pada kebanyakan kasus stroke kardio-emboli.



b. Pengobatan antikoagulan dalam 24 jam terhadap pasien yang mendapat rTPA intravena tidak direkomendasi (AHA/ASA: kelas 111, level B).



f.



467



Penggunaan warfarin harus hati-hati, karena dapat meningkatkan resiko perdarahan. Oleh karena itu perlu mon­ itor INR paling sedikit 1 bulan sekali.



Buku Ajar Neuroiogi



tein Iib/Illa tidak dianjurkan (AHA/ ASA: kelas III, level B).



g. Warfarin dapat mencegah terjadinya



stroke emboli kardiogenik dan mence­ gah emboli ulang pada keadaan risiko mayor. Dapat dimulai dari dosis 2mg perhari dengan target INR 2,0-3,0. Pemeriksaan INR awal adalah rutin per 3 hari selama 2 minggu. Selanjutnya pemantauan 1 minggu sekali dan setelah 1 bulan dilakukan 1 bulan sekali.



f. Untuk pencegahan kejadian stroke iskemik, infark jantung, dan kematian akibat vaskuler, klopidogrel 75mg lebih baik dibandingkan dengan as­ pirin dan dapat diberikan pada fase akut atau setelah fase akut selesai. g. Pemberian klopidogrel dikombinasikan dengan aspirin selama 21 hari sampai 3 bulan yang dilanjutkan de­ ngan pemberian clopidogrel saja, su­ perior untuk mencegah stroke pada pasien TIA dan stroke iskemik ringan (NIHSS 50% sebagai upaya pence­ gahan sekunder, Namun demikian, tindakan tersebut dilakukan setalah fase akut (AHA/ASA: kelas I, level A).



c. Jika direncanakan pemberian trombolisis, aspirin jangan diberikan. d. Tidak direkomendasikan penggunaan aspirin sebagai terapi ajuvan dalam 24 jam setelah pemberian obat trombolitik (AHA/ASA: kelas III, level A).



d. Meskipun berbagi hasil penelitian menunjukkan hasil yang berbeda, penggunaan agen neuroprotektor dan neurorecovery seperti sitikolin, pirace­ tam, pentoksifilin, neuropeptida Pro8-



e. Pemberian antitrombosit intravena yang menghambat reseptor glikopro468



Stroke Iskemik



Gly9-Prol0 ACTH (4-10), DLBS 1033, dan MLC 601 dapat dipertimbangkan.



sif, yaitu dengan terapi anti trombotik (terutama antikogulan), terapi simtomatik, dan terapi penyakit dasar.



e. Edema serebri adalah penyebab utama dari kemunduran dini dan kematian pada pasien dengan stroke iskemik luas (teritorial). Edema ini biasanya berkembang antara hari ke-2 dan ke-5 dari awitan stroke, tetapi menjelang hari ke-3, pasien dapat mengalami kemunduran neurologi dalam 24 jam sesudah awitan keluhan. Direkomendasikan pasien dengan stroke iskemik luas/teritorial untuk dirawat di ICU/HCU dalam 1 minggu pertama sejak onset stroke.



j.



Tidak ada data penelitian tentang lama pemberian antikoagulan un­ tuk trombosis vena serebral. Beberapa studi merekomendasikan pemberian antikoagulan sekurangkurangnya 3 bulan, diikuti pem beri­ an terapi antitrom bosit (AHA/ASA: kelas II A, level C).



Neurorehabilitasi/Neurorestorasi castroke



Pas-



Tatalaksana neurorehabilitatif pascastroke mengalami perubahan dalam 15 tahun terakhir. Konsep masa kini untuk pemulihan defisit neurologis pascastroke mencakup ranah yang lebih luas dan berkembang menjadi cabang ilmu neurologi yang dikenal sebagai neurorestoratologi. Hal ini mencakup neu­ rorestorasi struktural dan signaling neuron, dan neuromodulasi, selain tindakan neuro­ restorasi rehabilitatif. Tindakan neurorestora­ si pascastroke diberikan mulai dari fase akut, sub-akut, sampai dengan fase kronik. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada bab Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Saraf.



f. Kraniektomi dekompresi direkomen­ dasikan pada pasien stroke iskemik luas yang mengalami edema serebri [malignant brain infarction) untuk menyelamatkan jiwa namun dengan risiko gejala sisa gangguan neurologik yang berat. Tindakan dilakukan dalam 48 jam sesudah awitan keluhan dan di­ rekomendasikan pada pasien yang berusia 1,5).



2. Laki-laki, umur 58 tahun, datang ke IGD dengan keluhan kelemahan lengan dan tungkai kanan mendadak 3 jam sebelum masuk RS. Terdapat riwayat hipertensi, DM, dan fibrilasi atrial. Pasien mengkonsumsi warfarin 2 mg setiap hari dan tidak terdapat keluhan apapun sebelumnya.



Pasien diberikan alteplase dengan dosis 0,6mg/kgBB. Pertama diberikan 10% dosis melalui bolus IV. Setelah istirahat 15 menit, dilanjutkan 90% dosis sisanya dalam waktu 45 menit. Ketika pasien sedang dalam terapi rumatan tersebut, pasien menjalani persiapan DSA di ruang tindakan ( catheterization laboratory). Hasil DSA didapatkan oklusi pada MCA kiri di M l (Gambar 6).



Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 110/70mmHg dan frekuensi nadi 110x/ menit ireguler, dan SKG E4M6Vafasia global dengan NIHSS 15. EKG didapat­ kan kesan atrial fibrilasi rapid response (AFRR). Pasien terindikasi trombolisis dan code stroke diaktifkan. Pada CT scan



Gambar 5. Hyperdense MCA Sign di Sisi Kiri (Kiri] dan Early Ischem ic Changes di Sisi Kiri (Kanan) (Dok: Pribadi)



471



Buku Ajar Neurologi



Gambar 6. Oklusi Arteri Serebral Media (MCA) Kiri di Ml (Kiri) dan Sesudah Rekanalisasi (Kanan) (Dok: Pribadi)



bri media dan diletakkan selama 5 menit hingga mengembang sempurna (Gambar 7). Ketika stent ditarik, seluruh emboli/trombus dapat ditarik sempurna tanpa meninggalkan sisa emboli/trombus yang baru ke arah dis­ tal. Setelah itu, stent ditarik dan dikeluarkan.



Pasien dilakukan trombektomi menggunakan stent retriever sesuai dengan kriteria AHA/ASA 2015, yaitu: a. Skor mRS prestroke pasien ini = 0 b. Stroke iskemik akut yang telah mendapatkan terapi trombolisis intravena dalam waktu 4,5 jam setelah onset



Pasien menjalani pemeriksaan angiografi ulang dan didapatkan oklusi MCA kiri telah terbuka. Pada pasien ini terjadi rekanalisasi dengan skala thrombolysis in cerebral infarc­ tion (TIC!) perfusion scale 2b j 3 (Gambar 6). Pada stent retriever yang telah ditarik, di­ dapatkan bekuan darah emboli yang sudah dievakuasi (Gambar 8).



c. Stroke aldbat oklusi pada arteri serebri media cabang proksimal d. Usia >18 tahun, yaitu 58 tahun e. Skor NIHSS >6, yaitu 15 f. Skor ASPECTS=10 g. Pasien dapat dilakukan tindakan pungsi arteri femoralis maksimal 6 jam setelah onset stroke



Pascatindakan, pasien dirawat di ruang rawat intensif. Pada hari kedua, terdapat perbaikan NIHSS menjadi 10. Pasien pulang setelah hari perawatan ke-16 dengan NIHSS akhir 8 setelah perbaikan kondisi AFRR dan terapi warfarin sebagai prevensi stroke sekunder.



Alatyang digunakan adalah Solitairetm, salah satu pilihan stent retriever yang tersedia di Indonesia dengan hasil penelitian yang baik. Stent dimasukkan, kemudian ujung stent dipasang pada M1-M2 junction di arteri sere­



472



Stroke Iskemik



Gambar 7. Stent Retriever pada Ml-MZ Junction di Arteri Serebri Media (Tanda Panah) (Dolt: Pribadi)



Gambar 8. Bekuan Darah (Emboli) yang Sudah Dievakuasi (Kiri) pada Stent Retriever (Kanan) (Dok: Pribadi)



DAFTARPUSTAKA 1.



2.



Ramani NV, Yoon BW, Navarro JC. Stroke epide­ miology. Stroke in Asia, Asian Stroke Advisory Panel Queensland: John Wiley&Sons; 2016. Fadhli H, Meisadona G, Kurniawan M, Mesiano T. Stroke patient mortality in Cipto Mangunkusumo hospital in 2014. Dipresentasikan dalam Jakarta Neurology Workshop Exhibition and Symposium



3.



4.



473



(JAKNEWS); 28 Maret 2 0 1 5 ; Jakarta, Indonesia: JAKNEWS; 2015. Yudiarto F, Machfoed M, Darwin A, Ong A, Karyana M, Siswanto. Indonesia stroke registry Neurology. 2 0 1 4 ;8 2 (1 0 ):S 1 0 -2 .0 0 3 . Jauch EC, Saver JL, Adams HP, Bruno A, Connors JJB, Damaerschalk BM. Guidelines for the early management of patients with acute ischemic



Buku Ajar Neurologi



5.



6.



7.



8.



9.



10. 11.



12. 13. 14.



15.



16. 17.



18. Lorenby RB. Handbook of pathophysiology. Edisi ke4. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2011. 19. Tamariz LJ, Young JH, Pankow JS, Yeh HC, Scmidt MI, Astor B, dkk. Blood viscosity and hematocrit as risk factors for type 2 diabetes melitus. The Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) Study. Am J Epidemio. 2 0 0 8 ;1 6 8 (1 0 ):1 1 5 3 -6 0 , 20. Takagi M. Serum uric acid as a risk factor for stroke in a fishing village of rural southerm ja ­ pan. Japan Circul J. 1 9 8 2 ;4 6 (2 ):1 3 1 -6 . 21. Golberg RJ. Lifestyle and biologic factor associ­ ated with atherosclerosis disease in midle aged men 20 year finding from the Honolulu Heart Program, Arc Int. Med. 1 9 9 5 ;1 5 5 (7 ):6 8 6 -9 4 . 22. Furie KL, Kelly JP. Hand book of stroke preven­ tion in clinical practice. Totowa, New Jersey: Hu­ mana Press Inc; 2004. 23. Lubis I. Konsentrasi yang rendah dari high densi­ ty lipoprotein cholesterol (HDLc) sebagai faktor risiko stroke infark [tesis]. Yogyakarta: Universi­



stroke. Stroke. 2 0 1 3 ;4 4 :8 7 0 -9 4 7 . Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Rl. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2014. Mozaffarian D, Benjamin EJ, Go AS, Arnett DK, Blaha MJ, Cushman M, dkk. Heart disease and stroke statistics-2016 update: a report from the American heart association. Circulation. 2017; 133 (4):e38-360. Kurniawan M, Harris S, A1 Rasyid, Mesiano T, Hidayat R. Current status of stroke thromboly­ sis in Indonesia. Dipresentasikan pada The 1st Annual International Conference and Exhibition on Indonesian Medical Education and Research Institute (ICE on IMERI). 2016 November 14-16; Jakarta, Indonesia: ICE on IMERI; 2016. Kernan WN, Ovbiagele B, Black HR, Bravata DM, Chimowitz MI, Ezekowitz MD, dkk. Guideline for the prevention of stroke in patien with stroke or tran­ sient ischemic attack. Stroke. 2014;45:2160-236, Misbach J, Ali W. Stroke in Indonesia: a first large prospective hospital based study of acute stroke in 28 hospital in Indonesia. J Clin Neuro. 2 0 0 0 ;8 (3 ):2 4 5 -9 . Wijaya D. Hipertensi pada stroke [tesis]. Sura­ baya: Universitas Airlangga;1996. Brott T, Thalinger K, Hertzberg V. Hypertension as a risk factor for spontaneous intracerebral hemorrhage. Stroke. 1 9 9 8 ;1 7 (6 ]:1 0 7 8 -8 3 . Toole JF. Cerebrovascular disorder. Edisi ke-4. New York: Raven Press; 1990. Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and the brain. Arch Intern Med. 1 9 9 2 ;1 5 2 (5 ):9 3 8 -4 5 . Wolf PA, D Agostino RB, Belanger AJ. Probability of stroke: a risk profil from the Framingham study. Stroke. 1 9 9 1 ;2 2 (3 ):3 1 2 -1 8 . Bierman EL, Atherosclerosis and other form of atherosclerosis. Dalam: Braunwaid E, Isselbaccher Kj, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper AS, editor. Horrison principles of internal medicine. Edisi ke-13. New York: McGraw-Hill Book Com­ pany; 1994. h. 1106-16. Slyper AH. Low density lipoprotein and athero­ sclerosis. JAMA. 1 9 9 4 ;2 7 2 (4 ):3 0 5 -8 . Jalaluddin, Mondal B, Ahmed S. Smoking and Ischemic stroke. Bangladesh j of Neurosci. 20 0 8 ;2 4 :5 0 -4 .



tas Gajah Mada;1998. 24. Gorelick PB. Epidemiology of transient ischemic attack and ischemic stroke in patients with un­ derlying cardiovascular disease. Clin Cardiol. 2 0 0 4 ;2 7 [5 Suppl 2]:II4-11. 25. Murphy SJ, McCullough LD, Smith JM. Stroke in the female: role of biological sex and estrogen. ILARJour. 2 0 0 4 ;4 5 (2 ): 147-59. 26. Truelsen T, Bonita R, Advances in ischemic stroke epidemiology. Dalam: Barnett HJM, Bogousslavsky, Meldrum H, editor. Ischemic stroke (advances in neurology]. Philadelphia: Lippingcott Williams&Wilkins; 2003. h.1-20. 27. Sharp FR, Lu A, Tang Y, Millhorn DE. Multiple mo­ lecular penumbras after focal cerebral ischemia. J Cereb Blood Flow Metab. 2 0 0 0 ;2 0 (7 ):1 0 1 1 -3 2 . 28. Caplan LR. Stroke: a clinical approach. Edisi ke-4. Philadelphia: Saunders Elsevier Inc; 2009. 29. Cohen SN. Management of ischemic stroke. New York: McGraw-Hill Companies; 2000. 30. Warlow CP, Van-Gijn J, Hankey GJ, Sandercock Banford JM, Warlaw J. Stroke a practical guide to management London: Blackwell Science Ltd; 2007. 31. Donnan AC, Baron JC, Davis SM, Shorp FR. The isch­ emic penumbra: overview, definition, and criteria, New York: Informa Healthcare; 2007. 32. Shenhar-Tsarfaty S, Assayag EB, Bova I, Shopin L, Fried M, Berliner S, dkk. Interleukin-6 as an



474



Stroke Iskemik



early predictor for one-year survival following an ischemic stroke/transient ischemic attack. Int J Stroke. 2 0 1 0 ;5 (l):1 6 -2 0 . 33. Nancy K, Glober, Karl A, Sporer, Kama Z, Guluma, dkk. Acute stroke: current evidence-based recommendations for prehospital care. W est J Emerg Med. 2 0 1 6 ;1 7 (2 ):1 0 4 -2 8 . 34. Kurniawan M. Zairinal RA, Mesiano T, Hidayat R, Harris S, Ranakusuma TAS. Terapi trombolisis in­ travena pada pasien stroke iskemik dengan awitan kurang dari 6 jam. Neurona. 2 0 1 4 ;32(l):53-59. 35. PowersWj, Derdeyn CP, Biller], Coffey CS, Hoh BL, Jauch EC, dkk. AHA/ASA Focused update of the 2013 guidelines for the early management of pa­ tients with acute ischemic stroke regarding endo­ vascular treatment. Stroke. 2015;46(10):3020-35.



36. Frizzell JP. Acute stroke: pathophysiology, diag­ nosis, and treatment, AACN Advanced Critical Care, 2 0 0 S ;1 6 (4 ):4 2 1 -4 0 . 37. Rohde S, Haehnel S, Herweh C, Pham M, Stampfl S, Ringleb PA, Bendszus M. Me­ chanical thrombectomy in acute stroke. Stroke. 2 0 1 1 ;4 2 (1 0 ):2 9 5 4 -6 .



embolic



38. Pexmen W dkk. Use o f the Alberta Stroke Pro­ gram Early CT score (ASPECTS) for assessing CT scans in patients with acute strokes. AJNR AM j Neuroradiol 2 0 0 1 ;2 2 :1 5 3 4 -4 2 . 39. Azad TD, Veeravagu A, Steinberg GIG Neuro­ restoration after stroke. Neurosurg Focus, 2016;40(5);E 2. 40. Chen L, Huang H. Neurorestoratology: new concept and bridge from bench to bedside. Zhongguo Xiu Fu Chong Jian Wi Ke za Zhi, 2009;23(3> 366-70.



475



CEREBRAL SM ALL VESSEL D ISEA SE Salim Harris, A1 Rasyid, Mohammad Kurniawan, Taufik Mesiano, Rakhmad Hidayat



PENDAHULUAN



melakukan komunikasi internal.



Otak manusia adalah organ yang sangat menakjubkan. Dengan berat ±1320gram (2% berat badan manusia), otak mempunyai kebutuhan besar terhadap energi oksigen dan glukosa untuk menjalankan fungsinya secara normal. Kebutuhan ini akan bergantung pada sirkulasi darah yang dikenal dengan cerebral blood flow, mengalir ke seluruh otak sejumlah 50mL/100gram otak/menit (setara dengan 972L/hari) dan memberikan energi pada 151,5 milyar sel saraf yang memiliki 150 triliun sinaps untuk



Energi oksigen yang dibutuhkan otak adalah 72L/hari (3,7mL/100gram otak/menit), dengan kebutuhan glukosa otak sebanyak 107g/hari (5,5mg/100g otak/menit). Ke­ butuhan energi yang berasal dari adeno­ sine triphosphate (ATP) adalah 17,4mmoL/ hari (l,lm m ol/100g otak/menit). Sebagian besar energi (87% ) dibutuhkan untuk alctivitas potensial aksi membran sel dan 13% digunakan sebagai rumatan potensial mem­ bran sel dalam keadaan istirahat.



Gambar 1. Pembagian Pembuluh Darah Utama di Otak



476



Cerebral Small Vessel Disease



Distribusi kebutuhan energi dalam sistem sirkulasi otak disuplai melalui 3 pembuluh darah utama yaitu pembuluh darah parent artery dilanjutkan cortical branch artery dan diakhiri dengan penetrating artery (Gambar 1). Yang termasuk pembuluh darah parent artery adalah a. serebri media, a. serebri an­ terior, a. serebri posterior, a. vertebralis, dan a. basilaris. Pengembalian aliran darah menuju pusat akan melalui pembuluh darah vena, yai­ tu melalui vena kapiler, dilanjutkan ke venula dan selanjutnya ke vena. Penetrating artery merupakan pembuluh darah kecil yang merupakan bagian terakhir dari sistem arteri yang akan berhubungan dengan vena-vena kapiler.



umumnya manifestasi ini berupa gangguan pada sel, serabut saraf, maupun pembuluh darah halus. Gambaran dari small vessel disease dapat berupa infark lakunar, white matter lesion atau leukoaraiosis maupun perdarahan mikro. Penyebab kelainannya juga sangat beragam mulai dari kelainan vaskular berupa arteri oslderosis, infeksi, inflamasi dan autoimun, angiopati genetik seperti cerebral amyloid angiopathy dan venous collagenosis, serta penyakit-penyakit pembuluh darah kecil lainnya.



DEFINISI Cerebral small vessel disease (CSVD) meru­ pakan kondisi klinikopatologis yang sangat penting karena merupakan 20% dari penye­ bab stroke di seluruh dunia, dan merupakan penyebab tersering demensia vaskular mau­ pun demensia campuran (demensia vasku­ lar dan penyakit Alzheimer}. Istilah CSVD digunakan dalam berbagai aspek termasuk aspek klinis, patologis, dan pencitraan.



Gangguan pembuluh darah kecil (small vessel disease ) meliputi gangguan yang terjadi pada penetrating vessels dan vena kapiler yang dapat menghambat pengembalian sirkulasi darah kotor tersebut (Gambar 2). Manifestasi klinis gangguan tersebut berimbang dengan lesi yang ditimbulkannya di otak. Pada



Vaniila



Pembuluh kapiler



Arteri



Vena



Gambar 2. Pembuluh Darah Kecil (Small Vessel Disease) Meliputi Arteriol, Kapiler, dan Venula



477



Buku Ajar Neurologi



Cerebral arterial small vessels berasal dari 2



Dalam aspek klinis, pengertian CSVD memiliki spektrum yang sangat luas yang dapat memberikan manifestasi klinis maupun tidak. Manifestasi klinis dapat bervariasi seperti sakit kepala, gangguan fungsi kognitif, gangguan gait, hingga kelumpuhan. Oleh karena itu, pengertian CSVD lebih mengacu pada gambaran patologis pembuluh darah kecil di otak. termasuk arteri kecil, arteriol, kapiler, vena kapiler, venula, dan vena, Na­ mun, seringkali istilah ini hanya ditujukan kepada pembuluh darah arterial, sedangkan kompartemen vena kurang mendapat perhatian, sehingga CSVD disebut juga sebagai



cabang, yaitu cabang superfisial dan cabang profunda. Cabang superfisial adalah cabang sirkulasi subaraknoid yang merupakan pembuluh darah terminal dari pembuluh darah berukuran sedang. Cabang profunda berasal dari bagian basal, yang merupakan cabang langsung dari pembuluh darah besar yang selanjutnya masuk ke dalam parenkim menjadi arteri perforator. Kedua sistem pembuluh darah tersebut berjalan menuju bagian dalam dari parenkim. Setelah melewati lapisan kortikal serta deep gray struc­ tures, kedua sistem pembuluh darah terse­ but akan bersatu di watershed area, suatu area terdalam dari subcortical white matter.



arterial small vessel disease. Pembuluh darah otak yang terlibat dalam CSVD adalah pembuluh darah kecil di leptomeningeal dan intraparenkimal, seperti pembuluh darah ganglia basal, bagian perifer substansia alba ( white matter), arteri leptomeningeal, pembuluh darah pada sub­ stansia alba serebelum dan talamus, dan pembuluh darah batang otak. Meskipun umumnya pembuluh darah kortikal tidak terlibat dalam CSVD, namun CSVD dapat ditemukan pada korteks bagian dalam [deep



Hal yang penting diperhatikan yakni pem­ buluh darah kecil tidak dapat divisualisasikan, berbeda dengan pembuluh darah besar. Oleh karena itu, lesi parenkim otak sebagai aldbat perubahan pembuluh darah kecil digunakan sebagai penanda CSVD. Selain itu, istilah CSVD seringkali digunakan untuk menggambarkan komponen iskemik dari proses patologis pembuluh darah kecil, meliputi infark lakunar dan white matter lesion. Namun yang ada yang perlu diperhatikan adalah pasien dengan small vessel disease juga sangat berisiko untuk terjadi perdarahan. Jenis patologis yang terjadi juga dipengaruhi oleh lokasi pembuluh darah yang terkena. Kelainan pada pembuluh darah ke­ cil cabang superfisial dapat menyebabkan angiopati amiloid serebral [cerebral amyloid angiopathy/CAA) dan lobar microbleeds. Sementara itu, kelainan pada pembuluh darah profunda dikaitkan dengan kelainan berupa arteriosklerosis, deep microbleeds, peruba­ han white matter, dan infark lakunar (Gambar 3).



gray matter). Pembuluh darah kecil sendiri diartikan se­ bagai pembuluh darah yang berdiameter 60 tahun dan lebih banyak pada perempuan. WML dihubungkan dengan faktor genetik dan terdapat hubungan yang kuat dengan usia dan tekanan da-



489



Baku Ajar Neurologi



yang berhubungan dengan sifat-sifat multifaktoral kompleks seperti WML, yaitu 6 novel single nucleotide polymorphisme (SNP) pada satu lokus kromosom 17q25.



rah. WML dapat memberikan manifestasi klinis yang bervariasi ataupun hanya ditemukan pada pencitraan tanpa gejala klinis. Sebelum adanya MRI, white matter lesion [WML} terlihat sebagai suatu x-ray attenu­ ation di area white matter pada gambaran CT scan. Hachinski dkk menyatakan lesi itu disebut sebagai leukoaraiosis. Pada pemeriksaan MRI, WML berupa gambaran hiperintens didaerah white m atter pada sekuens T2 weighted dan FLAIR di periventrikel dan daerah immediate subcortical white matter.



WML berkaitan dengan beberapa penyakit, diantaranya penyakit Binswanger. Penya­ kit ini secara patologis tampak sebagai area konfluens atau pengelompokan jaringan halus yang berkerut dan berglanulasi pada white m atter di otak, meliputi lobus oksipital, periventrikel terutama bagian anterior, dan serebelum. Volume white m atter menjadi berkurang dan dapat disertai pembesaran ventrikel serta mengecilnya korpus kalosum. Selain lesi white matter , dapat pula ditemukan lacunae, kavitas berbentuk bulat atau lonjong berisi cairan pada daerah subkortikal, berdiameter 3-20mm, yang dite­ mukan pada CT atau MRI. Terkadang pasien dengan perubahan white matter Binswanger juga mengalami amyloid angiopthy dan CADASIL, yaitu arteri yang berada di subkortikal dan leptomeningen mengalami penebalan dan mengandung substansi congophilic yang mewarnai amiioid.



Fazekas memberikan gambaran histopatologis yang sering ditemukan pada WML adalah perubahan perivaskular ringan hingga melibatkan area yang luas dengan kehilangan jumlah serat yang bervariasi, kavitas kecil multipel, serta arteriosklerosis nyata. Hal ini berkaitan dengan berbagai proses patologis, bergantung pada kerusakan jaringan iskemik dapat berupa myelin pallor, gliosis, kehilangan akson, destruksi serat saraf komplet, hingga pada kasus berat dapat menimbulkan gangguan sawar darah otak dan endotel. Selain itu terdapat patologis lain terjadi juga venous collage nosis, yaitu penumpukan kolagen pada dinding venula di pembuluh darah vena kecil periventrikular. Namun proses ini kurang mendapatkan perhatian jika dibandingkan dengan kaitan arteriosklerosis terhadap



Studi



mikroskopik menunjukan



adanya



myelin pallor, suatu area dengan penurunan mielinisasi yang dikelilingi oleh jaringan normal. Pada abnormalitas white m atter yang berat dapat ditemukan nekrosis dan terbentuk kavitas. Selain itu dapat terjadi gliosis, terutama di area yang mengalami myelin pallor. Dinding dari penetrating ar­ teries menebal dan mengalami hialinisasi, namun oklusi dari arteri kecil sangat jarang ditemukan.



small vessel disease. Proses pembentukan WML serta kompleksitas fenotipnya dipikirkan terdapat kontribusi faktor genetik, antara lain perubahan transkrip RNA pada berbagai gen yang melibatkan siklus sel, proteolisis, dan apoptosis pada WML. Hasil studi Genome Wide Association Study (GWAS) telah diidentifikasi adanya gen



Gambaran klinik penyakit Binswanger sa­ ngat bervariasi, umumnya berupa gangguan kognitif berupa perlambatan psikomotor,



490



Cerebral Small Vessel Disease



gangguan memori, bahasa, dan visuospasial, serta abulia. Selain itu dapat ditemukan gejala pseudobulbar, gangguan piramidal, dan gait. Manifestasi ini umumnya bertahap dan memburuk dalam periode hari hingga minggu, kemudian menetap. Adapula yang bermanifestasi sebagai stroke lakunar akut.



lakunar. Kerusakan white m atter dipikirkan merupakan bentuk infark yang tidak lengkap atau nekrosis yang selektif. Me­ kanisme yang mendasarinya dipikirkan akibat restriksi lumen yang menyebabkan hipoperfusi kronik white matter, sehingga menyebabkan degenerasi serabut mielin akibat kematian oligodendrosit selektif dan berulang. Bentuk iskemik lain adalah infark lakunar akibat penyumbatan dan oklusi pembuluh darah kecil yang bersifat akut. Hal ini menyebabkan iskemik yang bersifat fokal dan akut serta nekrosis jaringan komplet (pannecrosis ). Dapat terlibat juga me­ kanisme lain seperti kerusakan sawar darah otak, inflamasi subklinik lokal dan apoptosis oligodendrosit yang berkontribusi terhadap gambaran patologis akhir dari penyakit ini.



PATOGENESIS KERUSAKAN SEREBRAL Mekanisme CSVD menyebabkan kerusakan parenkim otak bermacam-macam dan belum sepenuhnya diketahui, namun pada prinsipnya CSVD menyebabkan perubahan patologis pada pembuluh darah otak. Pada arteriol, perubahan meliputi disfungsi otot pembuluh darah, lipohialinosis, vascular remodelling, dan penumpukan materi fibrotik. Terjadi juga penebalan membran basal, pelebaran ruang perivasltular (rongga Virchow-Robin), serta gangguan sistem sawar darah otak (SDO) yang dapat menyebabkan edema. Hal ini menye­ babkan hipoperfusi kronik akibat penurunan aliran darah otak dan hilangnya respons adaptif seperti autoregulasi dan neurovascu­ lar coupling, sehingga terjadi gangguan suplai nutrisi ke otak secara adekuat yang berlanjut pada kerusakan jaringan (Gambar 6). Adapun perubahan pada sistem vena dapat berupa ve­



Selain lesi iskemik, CSVD juga dapat me­ nyebabkan perdarahan. Perdarahan pada CSVD dapat berupa perdarahan masif mau­ pun perdarahan kecil (microhaemorrhage). Alasan mengapa beberapa pembuluh darah yang mengalami ruptur dapat menyebab­ kan perdarahan masif, sedangkan pembuluh darah lain hanya menyebabkan perdarahan kecil tidak diketahui. Perbedaan ketebalan dinding pembuluh darah pada kasus cerebral amyloid angiopathy (CAA) sebelumnya di­ pikirkan menjelaskan hal tersebut, yakni semakin tebal dinding pembuluh darah dikaitkan dengan lebih banyak perdarahan kecil.



nous collagenosis. Perubahan patologis pada pembuluh darah kecil dapat memberikan dampak iskemik maupun hemoragik. Bentuk iskemik CSVD antara lain lesi white matter dan infark



491



Ruptur pembuluh da rah



Jnflamasi



Buku A jar N eurologi



Kerusakan dinding pembuiuhdarah, mikroaneurisma, deposisiamiioid



Perdarahen makroskopis dengandestruksi parenkimiuas



Kerusakansawar darah-otak



Perdarahan mikroskopik



Lesimikrohipointens pada MRS sekuens echo



Apoptosis oligodendrosit



Nekrosis kompiet fokalfatau pan* nekrosis} padagray



atau white matter



Kavitasipadastruktur atau pada area white matter pada MRS sekuens Tl-weighted



(contoh infark lakunar)



atau FLAIR {infark lakunar)



Infark in kompiet (demielinasi, hilangnya oligodendrosit, kerusakanaksonal)



Hiperintensitasdifus pada MR) sekuens 72weighted (contoh white matter lesion atau



Small vessel disease



492



p



iskemiaakut, berat, terlokaiisir



X



Faktor risiko



Hiiangnyaselotot polos, restriksi lumen, penebaian dinding pembuiuhdarah



Penurunanaliran darahserebral, gangguan autoregulasi



J



Sskemia kronik, subklims,difus —>



G am bar 6, P atofisiologi Sm all Vessel D isease Dimodifikasi dari: Pantom L. Lancet Neurol; 2010, h. 6 8 9 -7 0 1 .



leukoaraiosis)



Cerebral Small Vessel Disease



T abel 4 . D efinisi d ari Fenotip Sm all Vessel D isease Fenotip



M ekanism e g en etik yang d iketah ui



D eep B rain In farcts Akut. Infark subkortikal kecil, berdiam eter 3-ZOmm, yang ditemukan pada CT atau MRI, Lesi ini paling baik dideteksi dengan sekuens DWI dan tampak hiperintens. Pada umumnya berlokasi di salah satu daerah perforating arteriole. Gambaran klinis dan pencitraan menunjukkan bahwa infark terjadi akut (segera hingga beberapa minggu) K ronik ( Lacune ). Kavitas berbentukbulatatau lonjong berisi cairan pada daerah subkortikal, berdiameter 3-20mm , yang ditemukan pada CT atau MRI. Lesi ini paling baik dideteksi dengan sekuens FLAIR dan tampak hipointens, Terkadang tampak pinggiran hiperintens yang menglilingi, Lesi ini konsisten dengan infark subkortikal kecil akut sebelumnya atau perdarahan pada area dari salah satu perforating arteriol.



Berkaitan dengan SNP rs 2 2 0 8 4 5 4 pada kromosom 2 0 p l2 . SNP ini berlokasi pada intron 3 dari domain MACRO yang mengandung 2 gen (MACROD2] dan pada regio bawah dari gen fibronectin leucinerich transmembrane protein-3 (FLRT3). Regio ini terlibat dalam regulasi dari growth fa c to r signaling, angiogenesis serta neurogenesis, dan berkaitan dengan penurunan risiko infark serebral yang digambarkan dengan MRL



W hite M atter Lesions Pada CT scan lesi ini tampak hipodens, namun pada MRI sekuens T2-weighted dan FLAIR tampak hiperintens, Distribusi lesi pada periventrikular dan white m atter hemisfer serebri, ganglia basal [deep gray matter), pons, batang otak, dan serebelum.



Berkaitan dengan 6 SNP yang telah teridentifikasi pada 1 iolcus kromosom 17q25, yakni WW domain binding protein gene (WBP2), dua tripartite motif-containing genes (TRIM65 dan TRIM47), the mitochondrial ribosomai protein L38 gene (MRPL38), the Fas-binding factor 1 gene (FBI), dan the acyl-coenzyme A oxidase lgene (ACOX1). Gen tersebut diketahui terlibat dalam banyak proses biologis, meliputi innate immunity, cell cycle regulation, vesicular trafficking, neuroproteksi, dan apoptosis.



C erebral M icrobleeds Small punctuated areas, berdiameter hingga 10mm, tampak hipointens pada MRI sekuens T2 -weighted, gradient echo atau susceptibility-weighted imaging (SWI). Lesi tersebut merupakan loimpulan kecil dari makrofag hemosiderin­ laden yang mengelilingi small perforating vessels.



Pola deep subcortical m icrobleeds telah dikaitkan dengan faktor risiko vaskular dan risiko terjadinya white m atter lesions dan deep brain infarcts. Sedangkan pola lobar berhubungan dengan CAA dan AP0-E4



genotype.



MRI: m agnetic resonance imaging; DWI: diffusion weighted imaging; FLAIR: flu id attenuated inversion recovery; SNP: single nucleotide polymorphisms; WML: white m atter lesions. Sumber: Rincon F, dkk. Frontiers in Aging Neurosc. 2014. h. 1-8.



GEJALA DAN TANDA KLINIS Infark komplet (lacunar syndrome ) atau



peningkatan risiko penurunan fungsi kognitif, demensia, gangguan gait, gangguan keseimbangan, serta parkinsonisme pada individu dengan CSVD, walaupun studi prospektifnya masih sedikit.



infark inkomplet [WML] struktur subkor­ tikal pada CSVD menimbulkan manifestasi klinis. Infark lakunar multipel dapat bermanifestasi sebagai gangguan fungsi kognitif, gangguan gait, gangguan mood, maupun gangguan motorik. Terdapat bukti adanya



WML juga memberikan gambaran klinis yang bervariasi, mulai dari tidak adanya keluhan,



493



Baku Ajar Neurologi



perivascular {Virchow Robbin space), deep



hingga terdapat gangguan fungsi kognitif dan gangguan motorik, termasuk parkinsonisme. Variasi ini berhubungan dengan luasnya lesi serta perbedaan mekanisme kompensasi untuk mencegah penurunan fungsi kognitif dan motorik. Gambaran MRI pada sekuens fluid attenuated inversion recovery (FLAIR) juga tidak khas, karena WML dapat atau tanpa disertai bentuk CSVD lain pada MRI, seperti infark lakunar dan cerebral microbleed .



hemorrhage {large subcortical hemorrhages dan microbleeds), dan atrofi otak. Lesi subkortikal seperti infark lakunar, WMH, dan deep hemorrhage {large subcortical hemorrhages dan microbleeds) juga merupakan penanda CSVD, namun tidak spesifik. WMH tidak ha­ nya ditemukan pada CSVD, infark lakunar juga dapat menggambarkan embolisme. Hal yang penting diperhatikan adalah CSVD ti­ dak hanya memilild gambaran iskemik, namun juga dapat memberikan gambaran perdarahan berupa macrolesions [large sub-cortical hemor­ rhages) dan microlesions {microbleeds), Sebagian besar perdarahan dapat dideteksi dengan pencitraan konvensional termasuk CT scan, mi­ crobleeds membutuhkan MRI dengan sekuens khusus yakni gradient echo atau susceptibilityweighted imaging (SWI).



D IA G N O SIS DAN D IA G N O SIS BA N D IN G



Kerusakan parenkim otak pada CSVD hanya dapat diidentifikasi dengan CT scan atau MRI, sehingga diagnosisnya sangat bergantung pada temuan pencitraan (Tab el 4 dan Gambar 7). Wardlaw dkk mengidentifikasi beberapa temuan, seperti infark lakunar, white matter hyperintensities (WMH) atau white matter lesions (WML), dilatasi ruang



(A)



(B)



CC]



Gambar 7. [A) FLAIR Sequence Menggambarkan Dense White Matter Hyperintensities dan; [B) Menggam­ barkan Stroke Lakunar; (C) Cerebral Microbleeds Sumber: Barkhof F, dkk. Radiology Assistant [serial online].



494



Cerebral Small Vessel Disease



T abel 5. S kala Fazekas



Periventricular White Matter (PVWM)



Deep White Matter (DWM)



0



tidak ada gambaran hiperintens



0



tidak ada gambaran hiperintens



1



gambaran hiperintens kecil-kecil



1



gambaran hiperintens yang kecil-kecil dan multipel



2



gambaran hiperintens berbentuk awan di sekitar ventrikel



2



Gambaran hiperintens yang mulai menyatu satu dengan lainnya



3



gambaran hiperintens ireguiar/regular mengelilingi periventrikular hingga deep



3



Gambaran hiperintens besar yang merupakan penyatuan dari beberapa lesi kecil



white matter



Terdapat klasifikasi yang digunakan secara luas untuk mendeskripsikan beratnya WML, yaitu Fazekas Scale yang pertama kali dikemukakan oleh Fazekas dkk (1987). Skor ini menilai secara kuantitatif jumlah white mat­ ter hyperintense lesions pada MRI sekuens T2/FLAIR yang timbul akibat iskemia kronik terutama oleh gangguan pembuluh darah ke-



cil. Namun dalam praktek sehari-hari hanya digunakan klasifikasi ringan (mild], sedang (moderate], dan berat (severe]. Skala Fazekas membagi white matter menjadi 2 regio, yaitu periventrikular dan deep white matter, dan tiap regio dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan ukuran dan confluence [penggabungan) dari lesi (Tabel 5 dan Gambar 8).



G am bar 8. Skala Fazekaz B e rd asark an G am baran MRI Sekuens FLAIR Sumber: BarkhofF, dkk. Radiology Assistant [serial online].



495



Buku Ajar Neurologi



sekunder. Kumpulan data analisis menunjukkan bahwa penurunan TD jangka panjang menurunkan kejadian stroke hingga 28% . Uji klinis multisenter Secondary Pre­ vention o f Small Subcortical Strokes (SPS3) menunjukkan pada kelompok dengan TD sistolik 1= perdarahan intraserebral • Skor 0 = meragukan



518



Stroke Hemoragik



1. Potongan CT scan dihitung 1 bila luas hematom pada potongan tersebut >75%



T abel 1. S k o r S tro ke S iriraj K om ponen 0 Kesadaran Kompos mentis Somnolen Sopor/koma Tidak ada 0 Vomitus Ada Tidak ada ®Nyeri Ada kepaia Tidak ada memiliki skor 0 ®Ateroma Ada DM, angina, atau penvakit pembuluh darah_____ DM: diabetes melitus



Skor 0 1 2 0 1 0 1 0 1



2. Potongan CT scan dihitung 0,5 bila luas he­ matom pada potongan tersebut 25-75% 3. Potongan CT scan tidak dihitung bila luas hematom pada potongan tersebut 20 menit, diulangi setiap 4 -6 jam dengan target osmolaritas darah 6 minggu, pertimbangkan untuk percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG).



b. Jika terjadi komplikasi perdarahan lambung, maka pemberian nutrisi en­ teral dapat ditunda sampai terjadi perbaikan dan sisa cairan lambung dalam 2 jam pertama 40 tahun (91% ).



Nyeri neuropatik adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan saraf, baik di susunan saraf pusat (SSP) maupun perifer. Nyeri ini dapat muncul walaupun keru­ sakan jaringan sudah sembuh atau bahkan tanpa adanya kerusakan jaringan. Nyeri neuropatik perifer sering digambarkan sebagai rasa terbakar, serasa sengatan listrik, rasa ditusuk, atau rasa kesemutan. Ditemukan juga gangguan sensorik berupa alodinia, hiperalgesia dengan lokasi yang kurang jelas, tidak pada daerah terluka saja, atau hiperpatia. Hampir semua proses patologis yang menyebabkan kerusakan/disfungsi ja ­ ringan saraf atau neuropati berpotensi menimbulkan nyeri neuropatik, seperti infeksi virus, bakteri, radang aseptik, tekanan karena neoplasma atau lesi struktural lainnya, degeneratif, iskemia, autoimun, zat beracun, trauma, dan endokrin/mekanisme metabolisme.



PATOFISIOLOGS Munculnya nyeri neuropatik diawali oleh lesi atau disfungsi jaringan saraf sebagai sistem somatosensorik. Nyeri ini muncul spontan dengan sensasi yang ’tidak biasa', seperti disestesia, rasa seperti tusukan, rasa terbakar, nyeri seperti tersengat listrik, dan sebagainya. Kerusakan jaringan saraf ditemukan pada penderita neuropati diabeti­ ka, postherpetic neuralgia (PHN), neuralgia trigeminal, nyeri fantom, complex regional pain syndrome (CRPS), pascabedah atau neuropati akibat trauma, toksik, neuropati idiopatik, nyeri sentral pascastroke, serta akibat tekanan tumor terhadap jaringan sa­ raf (Gambar 1).



EPIDEMIOLOGI Nyeri neuropatik dijumpai setidaknya pada 7-8% populasi di Eropa. Di Indonesia sendiri berdasarkan hasil penelitian multisenter unit rawat jalan 14 RS pendidikan yang dilakukan Pokdi Nyeri PERDOSSI tahun 2002 didapatkan 4.456 kasus nyeri, 9,5%



598



Nyeri Neuropatik



Gambar 1. Mekanisme Nyeri Neuropatik



Mekanisme Perifer



mengalami kerusakan. Pada lesi saraf perifer, terjadi upregulation adrenoreseptor a, se­ hingga terjadi peningkatan sensitivitas ter­ hadap noradrenalin pada neuron aferen di ganglion radiks dorsalis. Selain itu terjadi pula sprouting pada saraf aferen primer tersebut.



Dalam keadaan normal, sensasi nyeri dihantarkan oleh serabut saraf C dan AS. Lesi jaringan saraf di perifer yang beregenerasi dapat membentuk neuroma pada puntung [stump], sehingga neuron menjadi lebih sensitif. Akibatnya terjadi sensitisasi perifer yang ditandai oleh adanya aktivitas patologis secara spontan, eksitabilitas yang tidak normal, dan hipersensitif terhadap stimulus kimiawi, termal, dan mekanik, Mekanisme nyeri neuropatik di perifer muncul akibat perubahan struktur anatomi berupa kerusakan jaringan saraf atau akibat munculnya regenerasi jaringan saraf. Keadaan ini dapat berupa a) ectopic discharges dan ephatic condition, b] sprouting neuron kolateral, dan c) coupling antara sistem saraf sensorik dengan saraf simpatis. Coupling ke saraf simpatis diakibatkan oleh regenerasi jaringan saraf pada lesi yang tumbuh menyimpang dari jalur anato­ mi yang sebenarnya (Gambar 2].



Mekanisme Sentral Neuron di komu dorsalis akan memacu traktus spinotalamikus, yaitu bagian besar dari jaras asending nosiseptif, Konsekuensi aktivitas spontan secara terus menerus yang berasal dari perifer mengakibatkan meningkatnya ak­ tivitas jaras spinotalamikus, meluasnya areal penerima, dan meningkatkan respons terha­ dap impuls aferen. Fenomena ini disebut sebagai sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral ini diduga merupakan mekanisme penting terjadinya nyeri neuropatik yang persisten. Pada saraf sentral ditemukan beberapa perubahan antara lain: a) terjadinya reorganisasi anatomi medula spinalis, b) hipereksitabilitas medula spinalis, serta c) perubahan pada sistem opioid endogen.



Pengaruh aktivitas simpatik dan katekolamin terjadi pada saraf aferen primer yang 599



Buku Ajar Neurologi



metiI-4-asam isoksaazolepropionat (AMPA) dalam memodulasi transmisi nosiseptif sinapsis di susunan saraf pusat.



Pada kerusakan jaringan saraf perifer; juga terjadi aktivasi mikroglia di medula spinalis sehingga reseptor purin dan p-38, sebagian dari MAP kinase, turut menjadi alrtif. Hal ini merupakan kunci utama patogenesis dari hipersensitivitas reseptor di traktus spinotalamikus. Kerusakan di daerah tersebut akan memberikan keluhan yang sangat spesifik dan didefinisikan sebagai keluhan nyeri neuropatik



Nyeri yang muncul disebabkan oleh ectopic discharges sebagai akibat dari kerusakan ja­ ringan saraf (Gambar 3). Ectopic discharge ini merupakan akibat dari kerusakan jaring­ an saraf baik perifer maupun sentral, yang berkaitan dengan fungsi sistem inhibitorik, gangguan interaksi antara somatik dan simpatis. Terkadang pada inflamasi dan neu­ ropatik ditemukan perubahan secara fenotip di sel saraf perifer yang mengakibatkan eksitasi ataupun disinhibisi, baik di kornu dorsalis maupun di jaras nyeri sampai ke areal korteks sensorik. Keadaan ini memberikan gambaran umum berupa alodinia dan hiperalgesia yang merupakan keluhan spesifik dari nyeri neu­ ropatik. Keluhan ini jika tidak diterapi secepat mungkin akan mengakibatkan kerusakan neuron yang bersifat ireversibel.



Lesi di jaringan saraf ini menyebabkan ke­ rusakan mielin, protein membran, atau re­ septor sinaps, sehingga terjadi gangguan elektrisitas berupa sensitisasi yang terus menerus dari jaringan saraf yang rusak dan disebut sebagai ectopic-discharge . Nyeri neuro­ patik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi. Kejadian ini berhubungan dengan aktivasi kanal ion Ca2+ atau Na+ di akson yang berperan pada reseptor glutamat, yaitu N-metil-Daspartat (NMDA) atau a-am m o -3 -h id ro k s i-5-



Gambar 2. Pertumbuhan Sprouting Kolateral Mengakibatkan Coupling antara Sistem Saraf Sensorik dengan Saraf Simpatis Saraf aferen perifer yang beregenerasi (regenerating sprout) tidak tumbuh ke jalur anatomiyang seharusnya, tetapi tumbuh membentuk kolateral dengan serabut saraf simpatis. Adanya kolateral ini menyebabkan peningkatan jumlah adrenoreseptor a di saraf aferen perifer. Hal ini kemudian akan meningkatkan respons saraf aferen primer terhadap noradrenalin yang dilepaskan oleh saraf simpatis.



600



Nyeri Neuropatik



H»e£s&: Stimulusttyeri







5sssssss^ssi



— *>■ Fss&gsi



sgiz&arJtLss-rs^ J Slsss&sls«rs!idSfisaHs S?E£SS^SSSsSlia —>



s



S



*



F & ^ sIs» 2 *riia ^ a £ l^ f® T t» g *5 s s ^ a ^ a l s a s & s s s £«®&£8 d i ss^sssjaag s ls a s



Utszgim.



Gambar 3. Mekanisme Ectopic Discharge Lesi di saraf perifer menyebabkan gangguart elelctrisitas yang ditandai dengan adanya sinyal nyeri (digambarkan dengan simbol petir) yang dihantarltan terus-menerus, walaupun sebenarnya tidak ada stimulus nyeri. Hal ini berhubungan dengan aktivasi kanal natrium yang berperan dalam modulasi penghantaran sinyal nyeri di susunan saraf



berarti nyeri yang dirasakan ialah nyeri nosiseptif, bukan nyeri neuropatik. Misalnya pada neuralgia trigeminal, rasa nyeri bisa berasal dari daerah gusi yang menjalar ke daerah wajah hingga ke kepala. Maka perlu disingkirkan ada tidaknya abses di daerah gusi atau infeksi gigi lainnya yang dapat me­ nyebabkan nyeri.



G EJA LA DAN TANDA K U N IS



Pada prinsipnya gejala nyeri neuropatik sangat khas, berbeda dengan nyeri nosiseptif. Pada nyeri neuropatik tidak terdapat kerusakan jaringan yang dapat menjadi stimu­ lus, namun pasien merasa nyeri. Sensasinya juga tidak 'lazim', tidak sesuai dengan pemicu nyerinya (alodinia). Pasien dapat merasakan gejala positif, seperti rasa panas/dingin, nyeri seperti ditusuk, disayat, ditikam, disetrum, atau kesemutan, disertai gejala negatif, seperti baal atau hipestesia. Sensasi nyeri bisa juga sesuai dengan stimulusnya, namun terasa berlebihan (hiperalgesia).



Yang terakhir, rasa nyeri neuropatik biasanya menjalar sesuai dengan area saraf atau radiks yang dipersarafinya. Jadi perlu ditanyakan atau pasien diminta untuk menunjuk area-area nyeri yang dirasakannya. Contohnya pada NPB daerah L5-S1, akan terdapat rasa nyeri dari daerah pinggang ke tungkai bawah yang dapat dibuktikan den­ gan adanya gangguan sensorik pada peme­ riksaan sensibilitas di area tersebut.



Oleh karena itu, pada pemeriksaan fisik perlu dicari ada tidaknya daerah yang berpotensi menjadi sumber nyeri atau adanya kerusakan jaringan, sehingga bila ditemukan



601



Buku Ajar Neurologi



digunakan terutama pada pasien-pasien HIV dan sudah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia dengan sensitivitas dan spesifitas yang baik.



DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING



Rasa nyeri bersifat subyektif, kompleks, dan pribadi, yang hanya bisa dinilai secara tidak langsung melalui laporan si penderita. SeIain itu dibutuhkan suatu anamnesis yang lengkap dari pasien dan keluarga, karena nyeri juga bisa berkaitan dengan masalah biopsikososial. Anamnesis tersebut meliputi onset, karakteristik, dan kualitas nyeri, serta lokasi, distribusi, dan penjalaran nyeri. Ditanyakan juga faktor yang memperingan atau memperberat nyeri dan keluhan psikologis yang menyertainya. Lalu dilakukan pemeriksaan fisik umura, terutama lokal di aera nyeri dan neurologis.



LANSS merupakan instrumen yang dipercaya dalam menilai nyeri neuropatik dan telah divalidasi di berbagai negara dengan sensitivitas 82-91% dan spesifisitas 8094%. Instrumen ini dianggap sebagai instru­ men baku emas karena mampu mendeteksi komponen nyeri neuropatik menggunakan pemeriksaan sensibilitas. Namun untuk kepentingan penapisan ada tidaknya kompo­ nen nyeri neuropatik, dapat menggunakan kuesioner yang lebih sederhana seperti paindetect yang sudah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, yaitu masing-masing 78%.



Pengukuran nyeri dapat berdasarkan la­ poran pribadi pasien atau juga kesimpulan yang diambil oleh dokter berdasarkan kelu­ han pasien dengan menggunakan beberapa perangkat, seperti: verbal scale {Me Gill Pain



Pemeriksaan fisik pasien nyeri pada prinsipnya dilakukan untuk mencari kelainan struktural penyebab nyeri. Dimulai dari pemerik­ saan fisik umum, dilakukan inspeksi, palpasi, dan pergerakan di area yang dikeluhkan. Selanjutnya pemeriksaan fisik untuk mencari defisit neurologis sebagai analisis penyebab nyeri, terutama membuktikan adanya gangguan sensibilitas sesuai dengan area nyeri.



Questioners'), numeric scale {numeric rating scale , termometer nyeri), pictorial scale {painful fa c e scale, visual analog scale). Nu­ meric rating scale (NRS) merupakan skala yang paling sering digunakan pada nyeri se­ cara umum, yang dapat membagi tingkat intensitas nyeri pasien dalam kelompok nyeri ringan (NRS 1-3), sedang (NRS 4-7), atau berat (NRS 8-10).



Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memastikan kerusakan jaringan atau gangguan struktural yang menyebabkan penekanan atau iritasi radiks penyebab nyeri neuropatik. Hal ini akan menentukan terapi definitif nyeri, bukan hanya bersifat simtomatis. Pada NPB dan semua nyeri yang berkaitan dengan saraf perifer, dilakukan pemeriksaan elektromiografi (EMG) dan kecepatan hantar saraf (KHS), dilanjutkan pe­ meriksaan imajing sesuai dengan indikasi.



Namun NRS kurang dapat mendeteksi gejala nyeri neuropatik yang bervariasi. Oleh karena itu diperlukan suatu perangkat yang spesifik untuk nyeri neuropatik, antara lain; kuesioner nyeri McGill, Leeds Assessment o f Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS), Neuropathic Pain Questionnaire (NPQ), Douleur Neuropathique en 4 Questions (DN4), B rief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS), dan kuesioner PainDetect DN4 dan BPNS



602



Nyeri Neuropatik



IHiinDETECT



KUESIONER NYERI



( T an ggal



| K am a Panic n:~



U sia; Twxlu te ilu nyeri pad* lubuh



4*1* sversarstesj, W 0 «



iiu a t a t b tiiik a A x v fe rK



ftsgum a& i pcnslaha



» y iri A s ia



p&db



iai?__________________________ o



I



2



.1



4



5



6



7



I



9



Arab



i&at



10



T k isk s ^ i



m a t*



S ife i^ s a laiaa rasa n v i i xz%% tofcsxai M ta sa 4 i k w ^ sj KnkSur 7 % *» t o 0 1 2 4 -4 5 6 7 tm ls



T i< b k * b S c b c ra p i k u a*" n u - n t t ’ rg.ta n y «n » ) 3 2 » a 4 o



i



h



'3



4



$



t>



i



§



£



icrak h if?



io m aks



T k ta k a d a



Tanin garafca* ya»£ piling tqsn nreaggaffltttraVjm mast nyvn yang AaJa aUmi H y sii w a ^ i, terns- ©eseim SSdila liikJulia



Ayeis rsesssifap ds»ct&si Krmgsua nyeri ym$ fcbih ku»?



Nyeri hib&g daa tttabsd tsapaaiia raa jakil t&miaranya Seraaga»-*cfingMi ayeri duAtata



w«v^ri y§sg ^



□ □ □ □



Ayiiah r«a awrj nKi^al/»



j



Jjl,i ya,



1



U’hi£^rs Umdm tdbsb And*? Ya Tkbi a ih



mt



j



fsrjib ra / i



j



Apakah ArxSa nscraknta senjasi sepetti terbakar (piftK fissayetsgsf) di diersk syeri? t&kpsnah | j testpie lishk j jicdska □ ^ g D ^ □ SM splki^! □ Apak& And) eagrma kasessubit, w pifti dituitik-tuiuk tfj dscfslt nysri (tcpnti tesrM *nef*y»f> alas



kssmsmp



lak pm iM i j5™” ! Isis^stf l&Jhk |



|scdskit



j



j



sedisg



Adakth Krrniww riogan (wperti pskm m fm si %u® « k i * m * [ » j b ia yktN k k j— j



* * *



^



|



Isst!



|"'*:'|



> nwmbcri raw »ywi? Q kaat j— j



ApaLs® Aw k mtra&iiksj} r n n p n syeri ssgtt&Klak sepetti Kfigaian Iritis kAci-ctncn? i^ p a n ris | j tempi? tktok £—jw d & a |'"' ' j i&hzig j | tost j | Apakah - iiH iO H j



■ /uliiiiy.: i']'.v,iy.ii fii.sri' e N il;ii iisJS iliy ih ih ly ::rn rr p .iil.i



ki-. ....



T1 'R:De*aswl'.-



A



M bant; tortia moCTariof ffJ.Siibskapii!arisasuperlo r



tN.WrakotiOTsalls — W.§UbikspiHar&lrif&Hor



B. Gambar 2.Skema (A) dan Struktur (B) Pleksus Brakialis



709



Buku ija r Neurologi



tendinosus, biseps femoris, aduktor magnus divisi lateral, dan seluruh otot yang diinervasi oleh nervus peroneus dan tibialis. Area sensorik yang diiner­ vasi adalah seluruh area tungkai bawah, kecuali bagian medial yang sensoriknya diperantarai oleh N. Safena.



Pleksus lumbosakral bagian bawah mayoritas terbentuk dari radiks L5-S3 dan tambahan komponen dari L4. Komponen L4 bergabung dengan radiks L5 untuk membentuk trunkus lumbosakral yang kemudian berjalan turun di bawah pelvic outlet untuk bergabung den­ gan pleksus sakral.



2. N. Gluteus Superior



Pleksus lumbosakral bagian bawah akan membentuk saraf-saraf terminal, yaitu (Gambar 5):



Nervus ini berasal dari radiks L4-S1 dan menginervasi M. Tensor fasia latae, M. Gluteus medius, dan M. Gluteus mini­ mus.



1. N. Skiatik Nervus ini berasal dari radiks L4-S3 dan keluar dari pelvis melalui greater sciatic foramen. Nervus ini menginervasi otot hamstring, semimembranosus, semi-



3. N, Gluteus In ferior Nervus ini berasal dari radiks L5-S2 dan menginervasi M. Gluteus maksimus.



710



Pleksopati



4. N. Kutaneus Posterior Tungkai Atas



dapat berupa cedera tertutup, cedera terbuka, ataupun cedera iatrogenik.



Nervus ini berasal dari radiks S I -S3 (terutama S2] dan memperantarai sensorik area bokong bagian bawah dan tungkai atas sisi posterior. Trauma pada N. Skiatika biasanya juga mencederai nervus ini.



2. Tumor Dapat berupa tumor neural sheath (neu­ roblastoma, schwannoma, malignant peripheral nerve sheath tumor, dan m e­ ningioma] atau tumor nonneural yang jinak (desmoid, lipoma] maupun maligna (kan-ker payudara dan kanker paru].



ETIOLOGI Lesi pada pleksus brakialis dapat disebabkan antara lain:



3. Cedera radiasi Frekuensi cedera pleksus brakialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 1,8-4,9% dari lesi dan paling sering ditemukan pada pasien kanker payudara dan paru yang mendapatkan terapai radiasi.



1, Trauma Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakialis, dapat terjadi pada segala usia baik dewasa maupun neonatus,



Gambar 4. Nervus Terminal Mayor yang Merupakan Cabang Pleksus Lumbosakral



711



Buku Ajar Neurologi



4. Penjepitan (Entrapm ent)



proksimal), pleksopati radiasi, pleksitis lumbo­ sakral idiopatik, vaskulitis, infeksi atau parainfeksi, dan terkait heroin.



Cedera pleksus brakialis karena pen­ jepitan dapat terjadi karena adanya abnormalitas pada struktur pleksus dan jaringan sekitarnya, seperti pada thoracic outlet syndrome. Postur tubuh dengan bahu yang lunglai dan dada yang kolaps menyebabkan thoracic outiet menyempit sehingga menekan struktur neurovaskular. Adanya iga aksesori atau jaringan fi­ brosa juga berperan menyempitkan tho­ racic outlet Falctor lain yaitu payudara berulturan besar yang dapat menarik dinding dada ke depan (anterior dan infe­ rior]. Teori ini didukung dengan hilangnya gejala setelah operasi mamoplasti reduksi. Implantasi payudara juga dikatakan dapat menyebabkan cedera pleksus brakialis karena dapat meningkatkan tegangan di bawah otot dinding dada dan mengiritasi jaringan neurovaskular.



1. Perdarahan Perdarahan akibat penggunaan antikoagulan, ruptur aneurisma, maupun hemofilia, yang terjadi di M. Psoas dapat mengkompresi pleksus lumbal. Manifestasi Minis terutama meliputi N. Femoralis dan dapat juga meluas hingga N. Obturator dan N. Kutaneus femoralis lateral.



2. Neoplasma Pleksopati lumbosakral dapat disebab­ kan oleh invasi tumor dari vesika uri­ naria, serviks, uterus, ovarium, prostat, kolon, dan rektum. Implantasi jaringan abnormal endometriosis pada pleksus menimbulkan pleksopati dengan gejala intermiten dan mengenai pleksus lum­ bosakral bagian bawah. Limfoma dan leukimia dapat secara langsung menginfiltrasi serabut saraf tanpa adanya massa di sekitarnya.



5. Idiopatik Pada parsonage turner syndrome terjadi pleksitis tanpa diketahui penyebab yang jelas namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Manifestasi klasik adalah nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1 -2 minggu dan diikuti dengan kelemahan otot. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit ter­ jadi sekitar 2 tahun. Jarang terjadi kelumpuhan yang menetap.



3. Kehamilan dan Persalinan Pleksopati lumbosakral pascapartus disebut juga maternal peroneal palsy , maternal birth palsy, neuritis puerperalis, atau maternal obstetric paralysis. Pleksopati ini terjadi akibat penekanan kepala bayi pada tulang pelvis dan plek­ sus lumbosakral, serta biasanya menge­ nai trunkus lumbosakral yang terbentuk dari radiks L4-L5 (Gambar 5]. Trunkus lumbosakral tidak terproteksi lagi oleh M. Psoas saat melintasi pelvic outlet dan terletak di sakrum dekat sendi sakroiliaka, sehingga rentan terkompresi pada titik tersebut.



Lesi pleksus lumbosakral dapat disebabkan oleh lesi kompresif dan nonkompresif. Lesi kompresif meliputi perdarahan, neoplas­ ma, endometriosis, kehamilan, traumatik, pascaoperasi, aneurisma, dan sindrom kompartemen gluteal. Adapun lesi nonkompresif meliputi amiotrofi diabetik (neuropati diabetik



712



Pleksopati



4. Trauma dan Pascaoperasi



Pleksus yang akan bercabang menjadi N. Gluteus superior juga dapat terkompresi. Nervus Skiatik pars peroneal terletak di posterior dan berdekatan dengan tulang, sehingga juga rentan mengalami kompresi. Manifestasi Minis biasanya terjadi dalam beberapa hari pascapartus. Faktor risiko meliputi kehamilan pertama, disproporsi sepalopelvik, ukuran fisik ibu kecil (tinggi badan kurang dari 5 kaki atau sekitar kurang dari 150cm ), dan proses persalinan yang lama. Prog­ nosis pada sebagian besar kasus baik. Mekanisme yang mendasari kerusakan saraf adalah iskemia aldbat kompresi dan deformitas mekanik saraf yang menyebabkan demielinasi dan degenerasi aksonal.



Trauma pleksus lumbosakral umumnya terjadi pada kasus kecelakaan yang melibatkan fraktur pelvis atau sakrum. Selain itu, perdarahan dan avulsi radiks dapat pula terjadi. Mayoritas kasus mengenai pleksus bagian lumbal dan sakral walaupun dapat terjadi keterlibatan bagian sakral saja. Distribusi kelemahan biasanya lebih berat pada otot yang di-inervasi N. Peroneus komunis dan N. Gluteus dibandingkan distribusi tibial dan N. Femoralis. Pleksopati lumbosakral dapat pula terjadi pascaoperasi, seperti operasi penggantian panggul, koreksi fraktur femur atau asetabulum, operasi pelvis radikal, operasi vaskular aorta, dan pemasangan alat pacu jantung melalui vena femoralis.



Gambar S. Trauma Pleksus Lumbosakral pada Kehamilan dan Persalinan



713



Baku Ajar Neurologi



5. Aneurisma dan Penyakit Pembuluh Darah Besar



Amiotrofi diabetik biasanya melibatkan N. Femoralis dan N. Obturator serta N. Pero­ neal. Pada banyakkasus amiotrofi ini terjadi unilateral bersamaan dengan penurunan berat badan. Sisi kontralateral dapat terkena setelah beberapa minggu atau bulan sejak gejala awal. Pemulihan seringkali baik, tetapi berjalan lama dalam hitungan be­ berapa bulan hingga 1-2 tahun.



Ekspansi aneurisma arteri iliaka komunis, iliaka internal, atau hipogastrik dapat secara langsung mengkompresi pleksus lumbosakral. Hematom retroperitoneal dari kebocoran aneurisma juga dapat menyebabkan pleksopati. Etiologi ini dicurigai apabila terdapat nyeri punggung atau tungkai disertai massa pulsatil pada pemeriksaan fisik



9. Pleksopati Radiasi



6. Abses



Terjadi akibat paparan radiasi yang didapat bertahun-tahun sebelumnya. Ke­ lainan ini bersifat progresif lambat, disertai nyeri minimal. Temuan karakteristik pada pemeriksaan elektromiografi (EMG) adalah fasikulasi dan miokimia. Miokimia tidak didapatkan pada pleksopati akibat invasi langsung.



Abses psoas atau paraspinal umumnya disebabkan oleh infeksi tuberkulosis, jarang disebabkan oleh bakteri nonspesifik Abses perirektal yang ter jadi pascaoperasirektum atau pada individu imunokompromi, dapat menyebabkan pleksopati sakral bilateral,



7. Sindrom Kompartemen Gluteal



10. Pleksitis Lumbosakral Idiopatik



Sindrom ini disebabkan oleh trauma, misalnya jatuh atau komplikasi pascaoperasi.



Patologi yang mendasari belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan berupa inflamasi yang terjadi beberapa minggu setelah kejadian imunologis yang memicu, misalnya infeksi saluran nafas atas atau imunisasi. Manifestasi klinisnya berupa nyeri dalam yang berat di pelvis atau tungkai atas selama 1-2 minggu hingga berbulan-bulan, lalu defisit neurologis timbul setelah nyeri mereda. Perjalanan penyakit ini monofasik tetapi dapat juga men jadi progresif. Tata laksananya berupa pemberian steroid atau agen imunosupresan.



8. Amiotrofi Diabetik Amiotrofi diabetik dikenal juga dengan nama neuropati diabetik proksimal, sindrom Bruns-Garland, mononeuri­ tis multipleks diabetik, poliradikulopati diabetik, atau neuropati radikulopleksus lumbosakral diabetik. Kelainan ini biasanya mengenai pleksus dan radiks lumbal. Patofisiologinya berupa vaskulitis yang akhirnya menyebabkan iskemia, dapat terjadi pada penyandang diabetes (umumnya tipe II) lama. Manifestasinya berupa nyeri dalam yang berat di pelvis atau proksimal tungkai atas yang berlangsung selama beberapa minggu (sekitar 6 minggu). Saat nyeri mereda perlahan tampak kelemahan yang signifikan.



11. Vaskulitis Manifestasi klinisnya berupa nyeri hebat, kelemahan, dan defisit sensorik yang melibatkan satu atau lebih regio ekstremitas bawah. Pemeriksaan penunjang yang mendukung berupa laju endap



714



Pleksopati



PATOFISIOLOGI



darah, antibodi antinuklear, faktor reumatoid, kadar komplemen, antibodi sitoplasmik antineutrofil, hitung eosinofil, dan biopsi saraf. Biopsi saraf menunjukkan inflamasi transmural, nekrosis dinding vaskular, dan degenerasi akson.



Mekanisme yang menyebabkan pleksopati cukup beragam, terdiri dark 1) proses regangan [stretch], 2) laserasi, dan 3) kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif terfiksasi pada fasia prevertebral dengan pertengahan lengan atas atau ekstremitas bawah akan menyebabkan traksi. Traksi yang melebihi kapasitas regangan saraf yang dikontribusi oleh jaringan kolagen pada selubung saraf menyebabkan cedera regangan dan bahkan menyebabkan hilangnya kontinuitas total pada saraf (avulsi). Traksi juga dapat menyebabkan iskemia pada jaringan saraf. Laserasi atau robekan saraf ini dapat te r­ jadi misalnya pada kasus trauma benda tajam. Pada kompresi terjadi gangguan fungsional akibat kompresi mekanik pada saraf dan iskemia. Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematom intraneural, dan kemudian akan menjepit jaringan saraf sekitarnya.



12.lnfeksi atau Parainfeksi Infeksi langsung atau secara tidak langsung melalui mekanisme autoimun dapat menyebabkan pleksopati lumbosakral. Terdapat kasus pleksopati lumbosakral setelah infeksi Epstein-Barr virus (EBV] klinis disertai bukti serologis dengan peningkatan limfosit dan protein pada cairan serebrospinal. Infeksi lainnya adalah infeksi Lyme, Borellia burg­ dorferi, West Nile, dan herpes zoster.



13.Terkait Heroin Patofisiologi yang mendasarinya kemungkinan adalah efek toksik langsung heroin yang menyebabkan pleksopati lumbosakral dan brakialis. Onset gejala terjadi sekitar 36 jam setelah injeksi heroin dengan gejala nyeri hebat disertai kelemahan atau defisit sensorik ringan. Nyeri mereda dalam beberapa minggu dengan onset pemulihan defisit motorik yang lebih lama.



Derajat Kerusakan Derajat kerusakan pada lesi saraf perifer dapat dibagi berdasarkan klasifikasi Sheddon (1943) dan Sunderland (1951).



Tabel 1. Derajat Kerusakan Lesi Saraf Perifer Berdasarkan Klasifikasi Sunderland Tipe Tipe I



Keterangan Hambatan dalam konduksi (neuropraksia)



Tipe II



Cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)



Tipe III



Aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan epineural masih intak



Tipe IV



Aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural masih baik



Tipe V_______ Aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, dan epineural (neurotmesis)_______ Sumber: Campbell WW. Evaluation and management of peripheral nerve injury. 1978. h. 133-8.



715



Baku Ajar Neurologi



t



Normal



Gambar 6. Klasifikasi Derajat Trauma Saraf Perifer Berdasarkan Sunderland



3. Neurotmesis



Klasifikasi Sheddon adalah sebagai berikut:



Merupakan derajat kerusakan paling berat, berupa ruptur saraf yang menye­ babkan proses pemulihan sangat sulit terjadi meskipun dengan penanganan bedah. Dibutuhkan waktu yang lama dan biasanya pemulihan yang terjadi tidak sempurna.



1. Neuropraksia Pada tipe ini terjadi kerusakan mielin, namun akson tetap intak. Dengan adanya kerusakan mielin dapat menyebabkan hambatan konduksi saraf. Pada tipe cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal, sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling ringan.



Klasifikasi Sunderland lebih merinci keru­ sakan saraf yang terjadi dan membaginya dalam 5 tingkat (Tabel 1 dan Gambar 7).



2. Aksonotmesis Terjadi kerusakan akson namun semua struktur selubung saraf termasuk endo­ neural masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari lesi (degenerasi Wallerian]. Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi tersebut. Pemulihan sensorik cukup baik bila dibandingkan motorik.



Pleksopati diabetik diperkirakan akibat mikrovaskulitis inflamasi yang menyebab­ kan cedera saraf iskemik. Pada biopsi saraf tampak tanda vaskulitis, inflamasi, nekrosis vaskular, serta infiltrasi limfosit B dan T, makrofag, sel polimorfonuklear, dan deposisi komplemen, hilangnya serabut saraf fokal dan multifikal, serta penebalan perineural



716



Pleksopati



dan neovaskularisasi perineural. Diabetes menyebabkan abnormalitas sawar darahsaraf, sehingga rentan terjadi vaskulitis. Deposisi kompleks imun akan semakin merusak sawar darah saraf tersebut dan meningkatkan vaskulitis, sehingga terjadi oklusi pembuluh darah epineural dan perineural dengan hasil akhir iskemia dan infark.



Erb's point. Jenis lesi ini memberikan gambaran yang khas disebut deformitas waiters yang ditandai dengan kelemahan pada otot-otot rotatoar bahu, otot-otot fleksor lengan, dan otot-otot ekstensor tangan. a. Lesi tingkat radiks Pada lesi pleksus brakialis ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran klinis sesuai dengan dermatom dan miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat terjadi paralisis parsial dan hilangnya sensorik inkomplit, karena otot-otot tangan dan lengan biasanya dipersarafi oleh beberapa radiks.



Terjadinya pleksopati radiasi tergantung pada dosis total, dosis fraksi, teknik radiasi, kemoterapi yang menyertai radiasi, dan penggunaan brakiterapi intrakavitas. Radiasi dapat menyebabkan defisiensi mikrosirkulasi yang menyebabkan iskemia lokal dan fi­ brosis jaringan lunak, serta perubahan pada sel Schwann, fibroblas endoneural, sel dinding pembuluh darah, dan sel perineural



b. Sindrom Erb-Duchenne Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya terjadi akibat trauma. Pada bayi terjadi karena penarikan kepala saat proses kelahiran dengan penyulit distonia bahu, sedangkan pada orang dewasa terjadi karena jatuh pada bahu dengan kepala terlampau menekuk ke samping. Presentasi Minis pasien berupa waiter's tip position, yaitu lengan berada dalam posisi aduksi [kelemahan otot deltoid dan supraspinatus), rotasi internal pada bahu (kelemahan otot teres minor dan infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan braldoradialis), dan pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis longus dan brevis). Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakialis, brakialis, pektoralis mayor, subskapularis, romboid, levator skapula, dan teres mayor. Refleks biseps biasanya menghilang, sedangkan hipestesi ter-



GEJALA DAN TANDA KUNIS Gejala yang timbul umumnya unilateral berupa kelainan motorik, sensorik dan autonom pada ekstremitas. Gambaran Minis yang ditemukan dapat menunjukkan letak dan keparahan lesi.



Pleksopati Brakialis Lesi pleksus brakialis dapat mengenai mulai dari otot bahu sampai tangan, atau hanya sebagian, yang dibagi atas pleksopati supraMavikular dan pleksopati infraklavikular.



t . Pleksopati Supraklavikular Pada pleksopati supraklavikular lesi ter­ jadi di tingkat radiks atau trunkus saraf, atau kombinasinya. Lesi ditingkat ini dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi dibanding lesi infraklavikular. Pleksopati supraklavikular sering disebabkan oleh karena trauma, yaitu terjadi fleksi dari leher terhadap bahu, sehingga radiks mengalami tarikan antara leher dan



717



Buku Ajar Neurologi



inferior). Gejala klinis berupa kelema­ han otot triseps dan otot-otot yang dipersarafi N. Radialis (ekstensor tan­ gan), serta kelainan sensorik biasanya terjadi pada dorsal lengan dan tangan.



jadi pada bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan. c. Sindrom paralisis Klumpke Lesi di radiks servikal bawah (C8, T l) atau trunkus inferior akibat penarikan bahu, sehingga terjadi tarikan pada bahu. Keadaan ini sering terjadi pada bayi saat dalam proses kelahiran atau pada orang dewasa yang akan terjatuh dan berpegangan pada pada 1 lengan. Presentasi klinis berupa kelemahan pada otot-otot di lengan bawah, otototot tangan yang khas disebut dengan deformitas clawhand, sedangkan fungsi otot gelang bahu baik. Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor karpi ulnaris, fleksor digitorum, interosei, tenar, dan hipotenar sehingga tangan terlihat atrofi. Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi N. Medianus dan N. Ulnaris. Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam atau sisi ulnar dari lengan dan tangan.



f. Lesi di trunkus inferior Gejala klinisnya yang hampir sama dengan sindrom Klumpke di tingkat radiks. Terdapat kelemahan pada otototot tangan dan jari-jari terutama untuk gerakan fleksi, serta kelemahan otototot spinal intrinsik tangan. Gangguan sensorik terjadi pada aspek medial dari lengan dan tangan.



2. Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5T1 atau semua trunkus) Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas pada seluruh ekstremitas atas, dan mungkin terdapat nyeri. Otot rom­ boid, seratus anterior, dan otot-otot spi­ nal mungkin tidak lemah tergantung dari letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke distal (trunkus).



d. Lesi di trunkus superior Gejala klinisnya sama dengan sindrom Erb di tingkat radiks dan sulit dibedakan. Namun pada lesi di trunkus su­ perior tidak didapatkan kelumpuhan otot romboid, seratus anterior, leva­ tor skapula, dan saraf supraspinatus serta infraspinatus. Terdapat gangguan sensorik di lateral deltoid, aspek lateral lengan atas, dan lengan bawah, hingga ibu jari tangan.



3. Pleksopati Infraklavikular Terjadi lesi di tingkat fasikulus dan/ atau saraf terminal. Lesi ini jarang ter­ jadi dibanding supraklavikular, namun umumnya mempunyai prognosis lebih baik. Penyebab utama pleksopati infra­ klavikular biasanya adalah trauma tertutup (kecelakaan lalu lintas/sepeda motor) maupun terbuka (luka tembak). Mayoritas disertai oleh kerusakan struktur didekatnya (dislokasi kaput humerus, fraktur klavikula, skapula, atau humerus). Gambaran klinis sesuai dengan letak lesi, yaitu:



e. Lesi di trunkus media Sangat jarang terjadi dan biasanya melibatkan daerah pleksus lainnya (trunkus superior dan/atau trunkus



718



Pleksopati



umum ditemukan pada pleksopati lumbo­ sakral dan merupakan keluhan yang paling sering mengganggu. Nyeri dapat terlokalisir di daerah panggul, bokong, dan paha proksimal dengan penjalaran ke daerah tungkai. Pada pemeriksaan fisik beberapa gerakan dapat menimbulkan nyeri. Straight leg test atau tes Laseque dapat menimbulkan nyeri pada pleksopati sakral, sementara reversed straight leg test dapat menimbulkan nyeri pada pleksopati lumbal. Berbeda dengan lesi radiks, nyeri pada pleksopati tidak bertambah dengan batuk atau mengedan. Nyeri pinggang dapat muncul namun minimal.



a. Lesi di fasikulus lateral Dapat terjadi aldbat dislokasi tulang humerus. Lesi disini akan mengenai daerah yang dipersarafi oleh N. Muskulokutaneus dan sebagian dari N. Medianus. Gejala klinisnya yaitu kelemahan otot fleksor lengan bawah dan pronator lengan bawah, sedangkan otot-otot intrinsik tangan tidak terkena. Kelainan sensorik terjadi di la­ teral lengan bawah dan jari tangan I—III. b. Lesi di fasikulus medial Disebabkan oleh dislokasi bursa subkorakoid dari humerus. Kelemahan dr ' gejala sensorik terjadi di daerah motorik dan sensorik N. Ulnaris. Lesi disini akan mengenai seluruh fungsi otot intrinsik tangan, seperti fleksor, ekstensor, abduktor jari-jari tangan, dan fleksor ulnar pergelangan tangan. Secara keseluruhan kelainannya hampir menyerupai lesi di trunkus inferior. Kelainan sensorik terasa pada lengan atas dan bawah medial, tangan, dan 2 jari tangan bagian medial.



Manifestasi klinis pleksopati lumbosakral tergantung dari struktur yang terkena dan secara umum dibagi menjadi:



1. Pleksopati Lumbal Pleksopati lumbal menyebabkan defisit neurologis pada teritori N. Iliohipogastrik, N. Genitofemoral, N. Ilionguinal, N. Femoral, dan N. Obturator. Gambaran klinis berupa kelemahan pada fleksi pang­ gul, ekstensi lutut, dan adulcsi tungkai atas. Gangguan sensorik dapat terjadi di abdo­ men bagian bawah, inguinal, tungkai atas sisi medial, lateral, dan anterior serta tungkai bawah sisi medial. Refleks patela menurun atau menghilang.



c. Lesi di fasikulus posterior Lesi ini jarang terjadi, gejala klinis berupa kelemahan dan defisit sen­ sorik di area inervasi N. Radialis. Otot deltoid (abduksi dan fleksi bahu), otot-otot ekstensor lengan, tangan, dan jari-jari tangan mengalami kelemahan. Defisit sensorik terjadi pada daerah posterior dan lateral deltoid, aspek dorsal lengan, tangan, dan jari-jari tangan.



2. Pleksopati Sakral Pada pleksopati sakral tampak defisit neurologis pada teritori N. Gluteus, N. Skiatik, N. Tibial, dan N. Peroneus sehingga terdapat defisit motorik pada eksten­ sor panggul, abduktor panggul, fleksor lutut, fleksor plantar kaki, dan dorsofleksor kaki. Defisit sensorik meliputi tung­ kai atas sisi posterior, tungkai bawah sisi anterolateral dan posterior, serta hampir



Pleksopati Lumbosakral Nyeri merupakan manifestasi yang paling



719



Buku Ajar Neurologi



1. Laboratorium



seluruh kaki. Refleks patela normal, sedangkan refleks Achilles menurun atau menghilang.



Pemeriksaan laboratorium perlu disesuaikan dengan etiologi yang diperldrakan, antara lain laju endap darah, glukosa, HbAlc, dan penanda infeksi,



DIAGNOSIS Diagnosis pleksopati ditegakkan berdasarkan anamnesis yang mencakup waktu onset, waktu timbulnya gejala. Pemeriksaan frsik umum seperti posisi leher, bahu lengan, panggul, tungkai, tanda-tanda fraktur, serta pemerik­ saan neurologi yang teliti meliputi penilaian kekuatan motorik pada flap segmen miotom dan sensorik pada setiap segmen dermatom.



2. Radiologi a. Rontgen sendi bahu, servikal, pelvis, untuk melihat struktur tulang dan sendi. b. MRI bahu, leher, pelvis, dan pleksus.



3. Elektrodiagnosis Pemeriksaan elektrodiagnosis merupakan pemeriksaan yang sangat berperan dalam menentukan letak lesi, derajat keparahan, dan prognosflk. Pemeriksaan berupa: kecepatan hantar saraf motorik dan senso­ rik, gelombang F, serta EMG jarum.



Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang dilakukan berdasarkan klinis yang di dapatkan, seperti:



Tabel 2. Domain Otot Pleksus Brakialis Trunkus Superior Supraspinatus Infraspinatus Biseps Deltoid Teres minor Triseps Pronator teres Fleksor karpi radialis Brakioradialis Ekstensor karpi radialis Brakialis Levalor skapula Romboid Seratus anterior Korda lateral Biseps Brakialis Pronator teres Fleksor karpi radialis



Trunkus Medial Pronator teres Fleksor karpi radialis Triseps Ankoneus Ekstensor karpi radialis Ekstensor digitorum komunis Seratus anterior



Trunkus Inferior Abduktor polisis brevis Fleksor polisis longus Pronator kuadratus Ekstensor indisis propius Ekstensor polisis brevis Ekstensor karpi ulnaris First dorsal interosseous Abduktor digit! minimi Aduktor polisis Fleksor digitorum profundus 4,5 Fleksor karpi ulnaris



Korda Medial Korda Posterior Abduktor polisis brevis Latisimus dorsi Deltoid Oponen polisis Fleksor polisis longus Teres m inor First dorsal interosseous Triseps Aduktor polisis Ankoneus Abduktor digiti minimi Brakioradialis Fleksor karpi ulnaris Ekstensor karpi radialis Fleksor digitorum profundus 3,4 Ekstensor digitorum komunis Ekstensor polisis brevis Ekstensor karpi ulnaris Ekstensor indisis propius Sumber: Ferrante MA, dkk. Neuromuscular disorders in clinical practice. 2014. h. 1029-62.



720



Pleksopati



Tabel 3. Domain CMAP Pleksus Brakialis Domain CMAP Pleksus Brakialis Trunkus Superior N, Muskulokutaneus, perekaman di M, Biseps N. Aksilaris, perekaman di M. Deltoid



Korda Lateral N. Muskulokutaneus, perekaman di M, Biseps



Trunkus Medial N. Radialis, perekaman di M. Ankoneus



Korda Posterior N. Aksilaris, perekaman di M, Deltoid N. Radialis, perekaman di M. Ekstensor digitorum ko munis N. Radialis, perekaman di M. Ekstensor indisis proprius N. Radialis, perekaman di M, Ankoneus



Trunkus Inferior N. Ulnaris, perekaman di M, Abduktor digit! minimi N. Ulnaris, perekaman di M. Dorsal interosseous pertama N. Medianus, perekaman di M. Abduktor polisis brevis N. Radialis, perekaman di M. Ekstensor indisis proprius



Korda Medial N. Ulnaris, perekaman di M. Abduktor digiti minimi N. Ulnaris, perekaman di M. Dorsal interosseous pertama s N. Medianus, perekaman di M. Abduktor polisis brevis



CMAP: compound muscle action potentials. Sumber: Ferrante MA, dkk. Neuromuscular disorders in clinical practice, 2014. h. 1029-62. Tabel 4. Domain SNAP Pleksus B raid a 1is Domain SNAP Pleksus Brakialis Trunkus Superior



Korda Lateral



LABC (100% )



LABC [100%)



SNAP medianus, perekaman di digiti 1 [100%)



SNAP medianus, perekaman di digiti 1 [100%)



SNAP radialis superfisialis [60%)



SNAP medianus, perekaman di digiti 2 [100% )



SNAP medianus, perekaman di digiti 2 [20%)



SNAP medianus, perekaman di digiti 3 [80%)



SNAP medianus, perekaman di digiti 3 [10%) Trunkus Medial



Korda Posterior



SNAP medianus, perekaman di digiti 2 [80%)



SNAP radialis superfisialis [100% )



SNAP medianus, perekaman di digiti 3 [70%) SNAP radialis superfisialis [40%) Trunkus Inferior



Korda Medial



SNAP ulnaris, perekaman di digiti 5 [100%)



SNAP ulnaris, perekaman di digiti 5 [100%)



MABC [100% )



MABC [100% )



SNAP medianus, perekaman di digiti 3 [20%)____________ SNAP medianus, perekaman di digiti 3 [20%) SNAP: sensory nerve action potential; LABC: lateral antebrachii cutaneous; MABC: medial antebrachii cutaneous. sumber: Ferrante MA, dkk. Neuromuscular disorders in clinical practice. 2014. h. 1029-62.



721



Baku Ajar Neurologi



A-beta yang akan menginhibisi in­ terneuron di medula spinalis. Selain itu juga akan menginhibisi serabut A-delta dan serabut C-delta.



TATA LAKSANA Tata laksana lesi pleksus sangat bervariasi, beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi adalah onset, derajat kerusakan, jenis lesi, dan penyebabnya.



® Neuromuscular electrical stimulation [NMES], dengan cara memberikan stimulasi listrik pada otot, sehingga menambah kekuatan dan memeli­ hara massa otot yang lumpuh.



1. Fase Akut a. Istirahat, pada cedera pleksus brakialis yang berat dapat dilakukann fiksasi lengan yang mengalami kelumpuhan.



® Penggunaan ortosis pada lengan yang lumpuh total bertujuan untuk mempertahankan posisi, mencegah subluksasi bahu, m e­ ngurangi kekakuan sendi, dan sebagai kosmetik.



b. Kompres dingin, untuk mengurani rasa nyeri dan edema yang mungkin dapat terjadi. a



Penekanan atau kompresi bila ada edema.



d. Elevasi ekstremitas yang terkena (lengan atau kaki), akan mengurangi edema yang terjadi pada ekstremitas yang terkena.



3. Pembedahan Operasi dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan anatomi dan fungsi dari pleksus, pada beberapa kasus yang berat, operasi dilakukan dengan tujuan utama untuk mengembalikan fungsi fleksi atau ekstensi sendi. Operasi biasanya dilaku­ kan pada cedera pleksus yang berat dan dilakukan 3-4 bulan setelah trauma. Operasi tidak di anjurkan jika dilakukan setelah 6 bulan karena umumnya tidak memberikan hasil yang optimal. Jenisjenis operasi yang dilakukan:



e. Medikamentosa, berupa steroid, obat anti inflamasi non steroid, dan analgetik. Obat-obatan untuk nyeri neuropatik, misalnya antidepresan trisiklik, gabapentin, atau pregabalin dapat membantu.



2. Fase Subakut atau Kronik a. Mengatasi rasa nyeri b. Fisioterapi: ® Latihan memelihara lingkup gerak sendi untuk mencegah kekakuan pada sendi dan atrofi otot.



a. Pembedahan primer Bertujuan untuk memperbaiki saraf yang cedera pada pleksus dan mempercepat proses reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung dari de­ rajat keparahan lesi, ada beberapa teknik yang biasa dilakukan, yaitu:



® Ultrasound atau diatermi untuk me-ngurangi rasa nyeri dengan menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah dan menurunkan spasme otot. ® Transcutaneous electrical nerve stimulation [TENS), memberikan stimulasi listrik pada saraf, sehingga akan meng-aktivasi serabut



® Neurolisis, membebaskan jaringan parut yang terjadi di sekitar saraf.



722



Pleksopati



e. Pleksopati radiasi: antikoagulan untuk memperbaild aliran darah akibat kerusakan endotel yang diinduksi radiasi namun terapi tersebut belum memiliki bukti ilmiah yang kuat.



® Neuroma eksisi, dilakukan eksisi pada saraf, kemudian saraf dilekatkan kembali atau dengan nerve



graft, ® Nerve grafting



f. Pleksitis idiopatik: steroid, IVIG.



® Neurotization, biasanya dilakukan pada avulsi radiks, dilakukan penggantian saraf yang rusak dengan menggunakan saraf lain. Saraf do­ nor yang dapat digunakan adalah N. hiogosal, N. asesori spinalis, dan saraf interkostal. Dapat juga dilaku­ kan intraplexual neurotization, yaitu donor diambil dari radiks yang masih melekat pada medula spinalis sebagai penggati saraf yang rusak.



g. Pleksopati vaskulitis: obat imunosupresan.



PROGNOSIS Prognosis sangat tergantung dari letak dan jenis lesi. Pemulihan pada avulsi dan ruptur radiks yang dioperasi, kadang tidak dapat sempurna dan membutuhkan waktu yang lama. Pada cedera ringan yang menimbulkan jaringan sikatrik dan terjadi neuropraksia, dapat terjadi pemulihan spontan, sekitar 90-100 % akan kembali normal.



b. Pembedahan sekunder Bertujuan untuk memperbaiki fungsi agar optimal. Teknik yang digunakan, yaitu: tendon transfer, fre e muscle transfers, serta joint fusions and rota­



DAFTAR PUSTAKA 1.



tional 4. Tata Laksana Lainnya Sesuai dengan Etiologi Pleksopati



2.



a. Pleksopati akibat perdarahan: koreksi abnormalitas hemostasis dan drainase hematom perkutan.



3.



b. Pleksopati neoplastik: radioterapi, kemoterapi, dan pembedahan.



4.



c. Pleksopati akibat abses: drainase abses dan antibiotik.



5.



d. Pleksopati diabetik: perbaikan kontrol glikemik, intravenous immunoglobulin (IVIG).



723



Ferrante MA, Tsao BE. Brachial plexopathies. Dalam: Katirji B, Kaminsky HJ, Ruff RL. Neuro­ muscular disorders in clinical practice. Edisi ke2. New York: Springer; 2014. vol 2. h. 1029-62. Rutkove SB, Sax TW. Lumbosacral plexopathies. Dalam: Katirji B, Kaminsky Hj, Ruff RL. Neuro­ muscular disorders in clinical practice. Edisi ke2. New York: Springer; 2014;2:1063-71. Preston DC, Shapiro BE. Lumbosacral plexopathy. Dalam: Preston DC, Shapiro. Electromyography. Edisi ke-3. London: Elsevier; 2013, h, 501-17. Campbell WW. Evaluation and management of peripheral nerve injury. 2008. Clin Neurophysiol., 2008;119:1951-65. Gutierrez A, England JD. Peripheral nerve injury. Dalam: Katirji B, Kaminsky HJ, Ruff RL. Neuro­ muscular disorders in clinical practice. Edisi ke2. New York: Springer; 2014. vol 2. h. 863-869.



PENDEKATAN DIAGNOSIS MIOPATI Luh Ari Indrawati, Winnugroho Wiratman, Ahmad Yanuar Safri, Fitri Octaviana, Manfaluthy Hakim



PENDAHULUAN



sis periodik 1,72/100.000 penduduk; miotonia kongenital 0,32/100.000 penduduk; paramiotonia kongenital 0,15/ 100.000 penduduk; dan sporadic inclusion body myo­ sitis sebanyak 11,7/100.000 penduduk. Di Indonesia kasusnya juga tidak sedildt, namun minimnya ketertarikan para klinisi maupun akademisi untuk memperdalam ilmu ini, menyebabkan laporan kasusnya sulit didapatkan.



Penyebab miopati sangat bervariasi mulai dari kelainan kongenital dalam aspek kanal, struktur, ataupun metabolism e otot, maupun akibat kelainan yang didapat (inflamasi, autoimun, dan toksik). Setiap miopati memerlukan manajemen dan prognosis yang berbeda, sehingga sangat penting ditegakkan diagnosis yang spesifik. Sebagian kasus miopati yang memiliki pengobatan kausatif memiiki prognosis baik jika dikenali, sebaliknya pada kasus lainnya yang tidak berespons terhadap pengobatan, maka tata laksana lebih ditekankan secara simtomatik untuk meningkatkan kualitas hidup (paliatif).



PATOFISIOLOGI Untuk menegakkan diagnosis dan menentukan tata laksana yang tepat dibutuhkan pengetahuan patofisiologi kerusakan otot yang terjadi. Dalam bab ini akan dibahas dua pato­ fisiologi tersering, yaitu inflamasi dan distrofi. Miopati yangdisebabkan oleh inflamasi sering dikelompokkan ke dalam miositis, seperti polimiositis (PM), dermatomiositis (DM), dan inclusion body myositis (IBM). Miopati yang disebabkan oleh distrofi biasanya disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan.



EPIDEMIOLOGI Angka pasti prevalensi miopati sulit diperkirakan, oleh karena masih jarangnya studi epidemiologi berskala besar terhadap kelompok penyakit ini. Di Jepang terdapat 1 1,521 kasus dari 127 juta penduduk sepanjang 2 0 0 8 -2 0 1 3 yang mengalami



1. Inflamasi



immune m ediated myopathy.



Penyebab inflamasi pada PM dan DM adalah autoimun (Gambar 1). Pada DM target utama antigen adalah endotel pembuluh darah pada kapiler-kapiler endomisial. Rantai imunopatologi ini diawali saat komplemen antibodi bekerja terhadap sel endotel. Antibodi tersebut akan mengaktivasi komplemen C3 yang membentuk C3b dan C4b, kemudian ter-



Berdasarkan laporan oleh Lefter [2016], di Irlandia terdapat distrofi miotonik tipe I sebanyak 6,75/100.000 penduduk; distrofi muskularDuchenne (DMD) 3,0/100.000 pen­ duduk; distrofi muskular Becker 2,2/100.000 penduduk; distrofi fasioskapulohumeral 2,59/100.000 penduduk; distrofi muskular Hmb-girdle 2,88/100.000 penduduk; parali724



Pendekatan Diagnosis Miopati



bentuldah C5b-9 membrane attack com­ plex (MAC], suatu komponen litik dari jalur



VCAM dan ICAM ini diregulasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh rantai komplemen. Sel T dan makrofag diperantarai oleh integrin very late activation antigen (VLA)-4 ; dan leucocyte function-associated antigen (LFA)-l yang kemudian berikatan dengan VCAM dan ICAM, lalu masuk ke dalam otot ; melalui dinding sel endotel,



komplemen. Kemudian secara berurutan terjadilah pembengkakan sel endotel diikuti valcuolisasi, nekrosis pembuluh darah kapiler, inflamasi, perivaskular, iskemia, dan kerusakan serabut otot. Pada akhirnya terdapat penurunan jumlah kapiler perserabut otot diikuti kompensasi dilatasi kapiler-kapiler yang tersisa.



2. Distrofi Distrofi atau distrofinopati diawali oleh mutasi gen distrofin Xp21.2 yang mengkode protein distrofin. Contoh klasik kelainan ini adalah penyakit distrofi muskular Duchene (DMD) dan distrofi muskular Becker (Becker muscular dystrophyj BMD).



Selain itu, sel B, sel T (CD4+), dan makrofag juga berperan dalam patofisiologi ini, Mereka masuk ke dalam otot Migrasi sel-sel tersebut difasilitasi oleh vascular cell adhesion molecule (VCAM) dan intercel­ lular adhesion molecule (ICAM). Ekspresi Molecular mimicry



(tumor, virus ?)



Endotel pembuluh darah



Gambar 1. Imunopatologi pada Dermatomiositis B: sel B; T: sel T; LFA: leucocyte function-associated antigen; VIA: very late activation antigen; ICAM: intercellular adhesion molecule; MAC: m em brane attack complex; VCAM: vascular cell adhesion molecule; C3: komplemen C3



725



Bukii Ajar Neuroiogi



>i,r----- ib^s



bfstrbplft



py ■■■■



- # Y ” ‘ a t



N—



* S?'



* ® « W \ s r-i.g r-*



Mukrotof},



Cot otot normal



8*1 otot tanpa dlttropln Gambar 2. Patofisiologi Distrofinopati Otot



ini digantikan oleh sel-sel satelit yang terletak di antara lamina basal dan membran se­ rabut otot. Sel-sel satelit ini berperan seperti “stem-cell” yang dapat menumbuhkan sel-sel otot dan meregenerasi serabut otot yang ru­ sak. Seiring berjalannya waktu sel satelit ini tidak dapat mengejar kerusakan yang terjadi sehingga serabut-serabut otot yang rusak di­ gantikan oleh jaringan ikat dan lemak.



Protein distrofin memilild empat ranah (do­ main) dan merupakan protein kompleks. Mutasi pada protein ini menyebabkan kerusakan (breakdown) pada keseluruhan struktur yang kompleks dan penting, Kerusakan ini menye­ babkan sarkolema, yang berfungsi sebagai sawar antara sel otot dengan dunia luar layaknya membran sel, menjadi rapuh. Kontraksi otot yang intensif atau bahkan yang biasa saja untuk ukuran orang normal dapat menyebabkan kerapuhan sarkolema bertambah parah. Kerapuhan ini menyebabkan influks kalsium yang berlebihan dan mempercepat kerusakan serabut otot (Gambar 2).



DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Langkah penegakan diagnosis miopati meliputi evdluasi klinis, pemeriksaan laboratorium dan elektrofisiologi, histopatologi, dan pemeriksaan yang spesifik pada entitas miopati tertentu. Untuk penentuan peme-



Otot yang rusak memiliki kapasitas regenerasi yang terbatas. Sel-sel otot yang rusak



726



Pendekatan Diagnosis Miopati



1. Keluhan



riksaan spesifik yang bersifat konfirmasi, diperlukan penetapan diagnosis kerja dan diagnosis banding melalui evaluasi klinis.



Keluhan miopati dapat berupa gejala negatif dan positif, yaitu kelemahan, mudah lelah, intoleransi terhadap aktivitas, atrofi otot, kram, kontraktur, hipertrofi otot, mialgia, atau kekakuan (Tabel 1). Miopati yang berhubungan dengan metabolisme dan mitokondria abnormal dapat menimbulkan keluhan kelelahan/fatig setelah aktivitas. Mialgia dapat muncul episodik pada miopati metabolik atau muncul konstan misalnya pada miopati inflamasi. Kelemahan atau mialgia episodik setelah aktivitas dapat berkaitan dengan kejadian mioglobinuria, sehingga periu ditanyakan tentang warna urin pada anamnesis.



Pada prinsipnya miopati dibagi menjadi miopati herediter dan miopati yang didapat. Miopati yang herediter meliputi channelopathy, miopati kongenital, miopati metabolik, miopati mitokondrial, distrofi muskular, dan miotonia. Miopati yang didapat berupa miopati yang diinduksi obat, miopati endokrin, miopati inflamasi, miopati terkait penyakit sistemik, dan miopati toksik. Secara umum miopati memberikan keluhan berupa kelemahan otot, atrofi atau hipotrofi otot, refleks regang otot menurun sedildt atau menghilang pada derajat miopati yang berat dengan pemeriksaan sensorik nor­ mal, ke-cuali terdapat komorbiditas neuropati. Untuk menegakkan diagnosis spesi­ fik miopati ada beberapa aspek yang periu diketahui, yaitu gejala negatif atau positif, evolusi temporal penyakit, riwayat keluarga, kondisi pencetus, gejala dan tanda lain yang menyertai, serta distribusi otot yang terlib at Sintesis semua aspek tersebut akan membantu mempersempit kemungkinan entitas miopati, sehingga dapat dipilih peme­ riksaan penunjang yang tepat.



Kram otot dapat diprovokasi oleh aktivitas pada miopati akibat defek enzim glikolitik Miotonia biasanya diprovokasi oleh akti­ vitas atau paparan dingin misalnya pada paramiotonia kongenital. Peningkatan konsistensi massa otot dapat disebabkan oleh fibrosis pada miopati kronik atau deposit amiloid. Abnormalitas lainnya yang dapat ditemui adalah mioedema setelah perkusi otot, yaitu berupa pembengkakan otot yang berlangsung selama beberapa detik Mio­ edema ini dapat di-temukan pada miopati akibat hipotiroid.



Tabel 1, Miopati dan Gejala Penyerta Mialgia Kontraktur Otot » Miopati yang diinduksi obat ® Brody disease ® Defek enzim glikogenolitik atau glikolitik [misalnya statin) atau toksin ® Defisiensi myophosphotylase {McArdle disease) ® Sindrom mialgia-eosinofilia ® Defisiensi fosfofruktokinase, fosfogliserat » Miopati hipotiroid kinase, fosfogliserat mutase, laktat ® Miopati inflamasi dehidrogenase, enzim pemotong cabang ® Kelainan miotonik * Miopati hipotiroid • Miopati mitokondria ® Rippling muscie disease ® Miopati agregat tubular ® Distrofi muskular ® Miositis infeksi o Defisiensi deaminase mvoadenvlate______________ Sumber: Barohn R], dkk. Neurol Clin. 2014. h. 569-93.



727



______ Kekakuan Otot______ ® Miopati hipotiroid ® Miotonia dan paramiotonia kongenital ® Distrofi miotoni tipe 1 ® Miopati miotonik proksimal (distrofi miotonik tipe 2) ® Paralisis periodik hiperkalemia



Buku Ajar Neurologi



Tanda Gowers / -- j -V A ^ V ■/ ^



"i> f\ A



l^ ii 6 e s£ i4 . ^fm s^afigw m geg^ gfcg^iiiiigsfl:



l.\



A bA



"\'j — A >



^ / J



/



/



!



r /



1 J j v



*4^



Gambar 3, Tanda Gowers



Hipertrofi otot dapat teijadi pada miotonia kongenital, miopati akibat amiloidosis, sarkoidosis, dan hipotiroid. Pseudohip ertrofi otot (akibat penggantian massa otot dengan jaringan ikat dan lemak} terlihat pada distrofi muskular Duchenne dan Becker, distrofi muskular limb-gridle (LGMD 2C-F/ sarkoglikanopati], miopati Miyoshi, anoctamin-5 defect, LGMD 21 (fiilaitin-related pro­ tein), dan LGMD 2G (teletoninopati).



penting diperiksa. Kelemahan otot pada miopati umumnya lebih terlihat pada otot-otot proksimal, namun ada juga yang melibatkan kelumpuhan otot-otot distal dan wajah, yang dapat memberi petunjuk entitas miopati tertentu (Tabel 2). Kelemahan pada otot pelvis menyebabkan kesulitan dalam menaild tangga, bangldt dan lantai, atau bangkit dari posisi duduk Kesulitan bangkit dari posisi duduk atau berbaring tanpa bantuan eksremitas atas menunjukkan kelemahan otot ekstensor panggul. Tanda Gowers merupakan karakteristik yang terlihat pada kelemahan otot proksimal, yaitu saat pasien berusaha bang­ kit dari posisi berbaring, awalnya bertumpu pada tangan dan lutut, kemudian meluruskan ekstremitas bawah, melengkungkan badan ke belakang, diikuti dengan menumpukan tangan pada lutut lalu paha sehingga dapat mengekstensikan trunkus (Gambar 3}. Kelemahan otot kuadriseps menyebabkan kesulitan saat menurun tangga dibandingkan menaiki tangga.



2 . D is tr ib u s i O to t y a n g T e r lib a t Distribusi keterlibatan otot dapat dinilai dengan pemeriksaan kekuatan otot persegmen, identifikasi aktivitas fungsional yang terganggu yang terutama penting pada anak, dan atrofi otot. Penilaian kekuatan otot harus meliputi otot yang berfungsi pada gerakan ekstensi, fleksi, abduksi, aduksi, rotasi internal, dan rotasi eksternal. Otot fleksor leher dinilai pada keadaan supinasi, sedangkan ekstensor leher dinilai pada posisi pronasi. Otot yang diinervasi oleh nervus kranial juga



728



Pendekatan Diagnosis Miopati



’a bel 2. Miopati dan Distribusi Keterlibatan Otot ________________________________ Miopati Distrihusi Oculopharyngeal muscular dystrophy (OPMD) Dtot ekstraokular Mitochondrial myopathy Thyroid orbitopathy Facioscapulohumeral dystrophy (FSH) Otot wajah Myotonic dystrophy I terutama otot temporalis OPMD FSH Otot periskapular Laminopathy (LGMD IB), calpainopathy (LGMD 2A}fsarcoglycanopathies ( LGMD 2C-F) Pompe disease Myotonic dystrophy tipe 1 Otot leher Isolated neck extensor myopathy (INEM) Pompe's disease Otot pernafasart pada awal Myotonic dystrophy I penyakit Dystrophinopathies (Duchenne, Becker, x-linked cardiomyopathy] Keterlibatan otot jantung Emery-Dreifuss muscular dystrophy Myotonic dystrophy I LGMD (tipe IB, 2 C-G) Miopati infiamasi (keterlibatan ringan tidak umum dan keterlibatan derajat beratjarang) Mitochondrial myopathy Danon disease Myotonic dystrophy 1 Otot distal Inclusion body myositis (IBM) terutama pada otot fleksor lengan bawah dan M. Kuadriseps femoris D^sferiinopathies (Miyoshi, LGMD 2B) Keterlibatan otot asimetris FSH ______________________________ Miositis fokai__ LGMD: limb-gridle muscular dystrophy number: Barohn RJ, dkk Neurol Clin- 2014. h. 569-93.



dan distrofi muskular) atau episodik yang biasanya disebabkan oleh miopati metabolik, misalnya akibat gangguan jalur metabolisme glikolisis. Kelemahan otot yang bersifat konstan dapat terjadi pada onset akut atau subakut [misalnya pada miopati infiamasi), kronik progresifyang berlangsung bertahuntahun (distrofi muskular), atau nonprogresif dengan sedilat perubahan selama dekade (misalnya miopati kongenital).



Pasien dengan kelemahan ekstremitas atas bagian proksimal mengalami kesulitan melakukan aktivitas yang memerlukan elevasi lengan di atas level mata.



3. Onset dan Evolusi Gejala Onset penyakit penting untuk mempersempit diagnosis banding miopati (Tabel 3). Dermatomiositis dapat terjadi pada anakanak dan dewasa, sedangkan polimiositis dan IBM banyak pada usia tua, DMD biasanya terdeteksi pada usia 3 tahun, sedangkan FSH dan LGMD mulai terjadi gejala klinis pada usia remaja atau lebih tua.



Selain itu, perjalanan penyakit dapat monofasik atau relaps-remisi. Miopati dengan perjalanan monofesik, misalnya pada rabdomiolisis akibat intoksikasi kokain. Perjalanan penyakit paralisis periodik dan miopati metabolik biasanya bersifat relaps-remisi.



Kelemahan pada miopati dapat bersifat konstan (misalnya pada miopati infiamasi



729



Buku Ajar Neurologi



Tabel 3. Mlopati pada Berbagai Onset Onset Saat lahir



Mlopati Central core disease Miopati sentronuldear (miotubular) Congenital fiber-type disproportion Distrofi muskular distrofi Distrofi miotonik kongenital Penyakit yang berkaitan dengan penyimpanan glikogen [acid maltose and phosphorilase deficiencies) Penyakit yang berkaitan dengan penyimpanan lemak (defisiensi karnitin) Masa kanak-kanak Miopati kongenital: miopati nemalin, miopati sentronuklear, central core Endocrine-metabolic disorders: hipokalemia, hipokalsemia, hiperkalsemia Glycogen storage disease (acid maltose deficiency) Inflamasi miopati: dermatomiositis, polimiositis (jarang) Penyakit yang berkaitan dengan penyimpanan lemak (defisiensi karnitin) Miopati mitokondria Distrofi muskular: kongenital, Duchenne, Becker, Emery-Dreifuss, FSH, LGMD Masa dewasa Miopati sentronuklear Miopati distal Miopati endokrin: keiainan tiroid, paratiroid, adrenal, hipofisis Miopati inflamasi: polimiositis, dermatomiositis, IBM, virus (human immunodeficien­ cy virus) Miopati metabolik: acid maltose deficiency, penyakit yang berkaitan dengan penyimpanan lemak defisiensi debrancher, defisiensi fosforilase b kinase Miopati mitokondria Distrofi muskular: LGMD, FSH, Becker, Emery-Dreifuss Distrofi miotonik Miopati nemalin Mionati toksik: alkohol, kortikosteroid, inieksi lokal narkotik, kolkisin, klorokuin FSH: facioscapulohumeral dystrophy; LGMD: limb-gridle muscular dystrophy; IBM: inclusion body myositis Sumber; Barohrt RJ, dkk. Neurol Clin. 2014. h. 569-93. Tabel 4. Miopati dan Faktor Pencetus Miopati Miotonia kongenital tipe Thompsen Miotonia kongenital tipe Becker Distrofi miotonik tipe I Distrofi miotonik tipe 11 Paramiotonia Periodik paralisis Miopati aldbat defisiensi karnitin palmitil transferase Miopati akibat defek ialur metabolisme erlikolisis Sumber: Barohn RJ, dkk. Neurol Clin. 2014. h. 569-93.



Faktor Pencetus Tidak ada pencetus atau dapat dicetuskan oleh stres dan suhu dingin Pada saat awal latihan fisik Suhu dingin Suhu panas Latihan fisik yang berkepanjangan, suhu dingin Latihan fisik dan konsumsi karbohidrat yang banyak yang diikuti dengan istirahat Demam Latihan fisik



730



Pendekatan Diagnosis Miopati



Tabel 5. Miopati dan Tanda Penyerta Gejala dan Tanda Penyerta Frontal balding Kemerahan kulit Aritmia



Gagal jantung kongestif



Insufisiensi pernafasan



Penyakit t...ru interstisial Katarak "Mechanic hands" Keganasan Diabetes Gangguan kognitif



Osteomaiasia Penyakit Paget Gambaran fisik dismorfik Abnormalitas retina seperti cherry red spot Coats' disease Kalsifikasi kulit dan fasia Gottron's papules Keloid Striae dan stretch m ark Kontraktur pada awal onset miopati



Kemungkinan Miopati Distrofi miotonik Dermatomiositis Andersen-Tawil syndrome Kearns-Sayre syndrome Polimiositis Distrofi muskular: miotonik, LGMD IB, 2C-F, 2G, Emery-Dreifuss Acid m aitase deficiency Defisiensi karnitin Distrofi muskular: Duchenne, Becker, Emery-Dreifuss, miotonik, LGMD IB, 2C-F, 2G Miopati nemalin Polimiositis Distrofi muskular: Becker, Duchenne, kongenital, Emery-Dreifuss, LGMD 2A, 21, miotonik, FSH Miopati metabolik; acid maitase deficiency, debrancher deficiency Miopati mitokondrial Miopati kongenital: sentronuklear, nemalin Miopati inflamasi: polimiositis Antisynthetase syndrome Miopati inflamasi lainnya Distrofi miotonik Antisynthetase syndrome Miopati inflamasi lainnya Miopati inflamasi paraneoplastik Miopati mitokondrial Miopati kongenital Distrofi muskular (Duchenne, miotonik] Keiainan mitokondrial Distrofi miotonik (tipe I > tipe 11) FSH pada tipe yang berat IBM-demensia frontotemporal Defisiensi vitamin D IBM familial Miopati kongenital Miopati mitokondrial



FSH Dermatomiositis Dermatomiositis Miopati dengan abnormalitas kolagen tipe VI Miopati kortikosteroid Emery- Dreifuss dystrophy Abnormalitas kolagen VI Miopati Bethlem LGMD IB (laminopati) Miopati akibat amiloidosis, sarkoidosis, gangguan endokrin, penyakit kolagenPenyakit sistemik difus vaskular, nenvaldt infeksi dan keiainan mitokondria LGMD; Hmb-gridle muscular dystrophy; FSH: facioscapulohumeral dystrophy; IBM: inclusion body myositis Sumber: Oskarsson B. Neuromuscular disorders in clinical practice, 2014. h. 1159-68.



731



Buku Ajar Neurologi



gali, misalnya riwayat penyakit autoimun dan reumatologis.



4 . F a k to r P e n c e tu s K elu h an



Hanya sebagian miopati yang memilild fak­ tor pencetus yang dapat mengeksaserbasi keluhan, sehingga faktor pencetus perlu diidentifikasi (Tabel 4). Miotonia dapat dicetuskan dengan menginstruksikan pasien untuk menggenggam jari secara maksimal selama 15 detik kemudian melepaskannya dengan segera. Pada miotonia, relaksasiterjadi lambat dan tampak gerakan otot yang tidak Iancar saat melepas genggaman.



Tabel 6 . Obat Penyebab Miopati Toksik Patofisiologi Kerusakan Otot Inflamasi



Obat Penyebab



Simetidin D-penisilamin Prokainamid L-triptofan L-dopa Noninflamasi dengan proses Alkohol Obat penurun nekrosis dan vakuolisasi kolesterol Klorokuin Kolkisin Siklosporin dan takrolimus Emetin Asam e-aminokaproat Asam isoretinoat (analog vitamin A) Labetaloi Vinkristin Rabdomiolisis dan miogloAlkohol Amfetamin binuria Obatpenurun kolesterol Kokain Heroin Toluen Asam E-aminokaproat Hilangnya miosin Obatblokade neuromuskular nondepolarisasi Steroid Sumber: Barohn RJ, dkk. Neurol Clin, 2014. h. 569-93.



5. G ejala atari T an d a S iste m ik L ain n y a



Diagnosis miopati dapatberdiri sendiri atau disertai komorbiditas lainnya yang dapat memberikan petunjuk mengenai penyebab miopati tersebut, sehingga sangat penting untuk mengeksplorasi keterlibatan sistem organ lainnya (Tabel 5). 6 . P e n g g u n a a n O b at



Obat-obatyangdapatmenyebablcanmiopati toksik cukup banyak dan penggunaannya cukup luas pada berbagai penyakit yang prevalensinya tinggi. Oleh karena itu perlu diidentifikasi riwayat konsumsi obat untuk mencegah kerusakan otot lebih lanjut dapat dicegah [Tabel 6). 7 . R iw ay at P e n y a k it K e lu a rg a



Sebagian miopati disebabkan kelainan genetik yang dapat diwariskan dengan pola pewarisan autosomal maupun terkait kromosom X [Tabel 7). Untuk mendapatkan pola pewarisan, perlu dibuat pedigree minimal 3 level, Riwayat keluarga yang berkaitan dengan kelainan yang mungkin berkaitan dengan miopati juga perlu di-



Berdasarkan tufuh hal di atas maka dapat dikenali 10 pola miopati yang dapat membantu menentukan kemungkinan diagnosis miopati [Tabel 8).



732



Pendekatan Diagnosis Miopati



Tabel 7, Stfat Pewarisan Miopati Pola Pewarisan



Miopati



Autosom dominan



LGMD tipe l Distropi miotonik tipe I dan II OPMD FSH Miopati mitokondria



Autosom resesif



LGMD tipe II Miopati metabolik Miopati mitokondria



Terkait kromosom X



Distrofi muskular Duchenne dan Becker Distrofi muskular Emery-Dreifuss



Transmisi maternal



Miopati mitokondria



OPMD pada etnik Kanada-Perancis dan Hispanik dari Amerika Barat Daya Etnik I.GMD: limb-gridte muscular dystrophy; OPMD: oculopharyngeal muscular dystrophy, FSH: facioscapulohumeral dystrophy Sumber: Oskarsson 8 , Neuromuscular disorders in clinical practice. 2014. h. 1159-68.



b. Miastenia gravis dengan hanya keterlibatan limb-girdle



DIAGNOSIS BANDING



Diagnosis banding miopati adalah penyakit motor neuron, gangguan taut saraf otot, neuropati motorik, dan lesi sistem saraf pusat.



3. N e u ro p a ti M o to rik



a. Neuropati perifer demielinasi (varian motorik dari chronic inflammatory



demyelinating polyneuropathy), mul­ tifocal motor neuropathy dengan blok



Kelainan yang menyerupai miopati: 1. P e n y a k it M o to r N eu ro n



(Motor Neu­



konduksi



ron Disease)



b. Neuropati porfiria yang melibatkan serabut motorik proksimal



a. Atrofi spinal muskular onset lambat b. Atrofi muskular bulbospinal terkait kromosom X (Penyakit Kennedy)



c. Amiotrofi diabetik 4. L esi s is te m s a r a f p u s a t



c. Atrofi muskular progresif (varian sclerosis lateral amiotropik)



Stroke pada area watershed arteri serebri media-anterior bilateral.



2. G angguan T a u t S a ra f O tot



a, Sindrom miastenik Lambert-Eaton



733



Distribusi Kelemahan otot Pola Limb-girdle



Proksi­ mal +



Distal



Sim etris



Asimetris



Episodik



+



+



Diagnosis



tus



Sebagian besar miopati baik herediter dan didapat Miopati distal



-



+



Lengan proksimal, tungkai distal, skapuloperoneal



+ lengan



+ tungkai



+ (FSH)



+ lainnya



Lengan distal, tungkai proksimal



+ tungkai



+ lengan



+



-



-



Prosis dengan atau tanpa oftalmoparesis



+



"



+



•f



"



Otot leher dan ekstensor



+



-



-



+



-



-



INEM



Bulbar (lidah, faring)



+



-



-



+



+



*



+



+



OPMD



Kelemahan, nyeri atau rabdomiolisis episodik



+



Kelemahan episodik, tidak berhubungan dengan latihan fisik atau berhubungan secara lambat



+



4-



+



+/-



+



v-



Distal



-



-



FSH, Emery-Dreifuss, acid m altase deficiency, congenital scaputoperoneal -



IBM, distropi miotonik OPMD, miotonik distrofi, mitokondria



734



McArdle, CPT, obat, dan toksin Paralisis periodik primer dan sekunder Channelopathies (Na dan Ca)



distrofi miotonik, chan­ nelopathies, PROMM, rippling (stiff-person, neuromiotonia) FSH: facioscapulohumeral dystrophy; IBM: inclusion body myositis-, OPMD: oculopharyngeal muscular dystrophy, 1NEM: isolated neck extensor myopathy; CPT: carnitine palmitoyltransferase; PROMM: proximal myotonic myopathy Sumber: Barohn Rj, dkk. Neurol Clin, 2014, h, 569-93. Kekakuan



Buku A jar N eurologi



Tabel 8. Pola Miopati dan Diagnosis Banding



Pendekatan Diagnosis Miopati



Pemeriksaan Laboratorium



beberapa faktor, yaitu:



Konsentrasi kreatinin kinase (creatinine kinase /CK) terbesar terdapat di otot ske­ letal dan otot jantung (berada dalam jumlah kecil di otak, usus dan paru-paru), serta merupa-kan tes laboratorium rutin yang bermanfaat untuk evaluasi kelemahan pada penyakit neuromuskular. CK merupakan enzim sarkolema, sehingga kerusakan sarkomer akan meningkatkan permeabilitas membran dan terjadi kebocoran enzim. Kadar CK biasanya meningkat ketika terjadi nekrosis serabut otot aktif, misalnya pada miopati inflamasi dan distrofi.



1. Tingkat Keparahan Penyakit Penyakit dengan destruksi otot menyebakan peningkatan kadar CI< yang besar, misalnya pada DMD dan rabdomiolisis terjadi peningkatan CK hingga >100 kali nilai normal.



2. Perjalanan Penyakit Miopati progresif lebih cepat meningkat­ kan kadar CK, misalnya kadar CK jauh le­ bih tinggi pada polimiositis dibandingkan FSHD atau IBM yang progresif lambat.



3. Massa Otot Absolut Kadar CI< pada miopati tahap lanjut akan menurun, misalnya kadar CK pada awal onset DMD akan tinggi dan kemudian menurun hingga ke kadar normal pada tahap lanjut saat jaringan otot diganti oleh jaringan fibrosis.



Peningkatan kadar CK pada penyakit neuromuskular berkorelasi dengan massa otot yang mengalami kerusakan dan mengeluarkan enzim tersebut (Tabel 9). Namun kadarnya perlu diinterpretasi secara hati-hati dan mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu jenis kelamin, ras, massa otot, status fisiologis, dan abnormalitas m etabolik lainnya. Secara fisiologis kadar CK lebih tinggi pada laki-laki, ras Afrika, neonatus, anak, peningkatan m assa otot, dan latihan fisik yang teratur berkepanjangan.



4. Nekrosis Serabut Otot Miopati dengan sarkolema yang intak atau tidak berkaitan dengan destruksi serabut otot tidak menyebabkan peningkatan CK. Pemeriksaan enzim CK sebaiknya tidak dilakukan segera setelah pemeriksaan EMG, karena pemeriksaan EMG dapat menyebab­ kan peningkatan ringan kadar CK (biasanya 1,5 kali nilai normal).



Derajat peningkatan CK dipengaruhi oleh



Tabel 9. Miopati dan Kadar Creatinine K in ase Miopati dengan Peningkatan CK vane Tinggi* Distrofinopati (Duchene and Becker muscular dystrophies) Rabdomiolisis dan mioglobinuria Hipertermia maligna Sindrom neuroleptik maligna Polimiositis Miopati distal Mivoshi *Hingga 50-100 kali nilai normal; CK: creatinine kinase Sumber: Barohn RJ, dkk. Neurol Clin, 2014. h. 569-93.



Miopati dengan Kadar CK Normal Miopati steroid Necrotizing autoimmune myopathy (NAM) Miopati hipertiroid Miopati mitokondria Channelopathies



735



Buku Ajar Neurologi



recruitment, yaitu untuk menghasilkan kontraksi otot yang minimal diperlukan banyak MUAP. Pada miopati tahap lanjut dapat terjadi penurunan rekrutmen MUAP. Pada miopati tertentu, misalnya miopati aldbat steroid, perubahan miogenik pada MUAP dapat sangat minimal atau bahkan normal.



Pemeriksaan Elektro diagnosis Walaupun diagnosis spesifik miopati memerlukan pemeriksaan histopatologi dan genetik, pemeriksaan studi konduksi saraf, dan elektromiografi masih berperan penting. Pemeriksaan studi konduksi saraf dan elektromiografi ber­ peran dalam mengeksidusi kelainan lain yang klinisnya menyerupai miopati, misalnya penyakit motor neuron, gangguan taut saraf otot, dan neuropati yang murni melibatkan serabut motorik. Gambaran elektromiografi (distribusi keterlibatan otot, aktivitas spontan) juga dapat mempersempit diagnosis banding miopati.



Pemeriksaan EMG juga bermanfaat untuk membantu pemilihan otot untuk sampel histopatologi. Otot yang baik untuk peme­ riksaan histopatologi adalah otot yang terlibat dan tidak dalam keadaan kerusakan tahap akhir.



1. Pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf (KHS)



Pemeriksaan Histopatologi Pada sebagian besar miopati, pemeriksaan his­ topatologi memberikan informasi diagnostik yang penting. Jika hasil EMG tidak dapat langsung memberikan diagnosis akhir miopati spe­ sifik, maka pemeriksaan histopatologi dapat memberikan arahan pemeriksaan lanjutan yang spesifik Analisis histopatologi dapat mengelompokkan miopati menjadi miopati inflamasi, miopati nekrosis, dan miopati distrofi. Apabila gambaran histopatologi menunjukkan miopati inflamasi, maka dapat dipertimbangkan diagnosis dermatomiositis, polimiositis, atau inclusion body myositis. Ketiganya dapat dibedakan dengan telrnik pewamaan histokimia dan imunologi tertentu (Gambar 5).



Pada miopati pemeriksaan KHS sensorik normal, kecuali bila terjadi koeksistensi neuropati. Pemeriksaan KHS motorik biasanya normal karena KHS motorik urnumnya dilaltukan pada otot distal, sedangkan sebagian besar miopati mengenai otot proksimal pada tahap awal. Pada keadaan miopati tahap lanjut saat telah terjadi hipotrofi atau atrofi otot, amplitudo CMAP dapat menurun. Latensi distal dan KHS mo­ torik dalam batas normal.



2. Elektromiografi (EMG) Pemeriksaan EMG akan menhasilkan analisis motor unit action potential (MUAP) yang dapat membedakan lesi neurogenik dan miogenik (Gambar 4], Gambaran MUAP pada lesi miogenik adalah MUAP berdurasi pendek, amplitudo rendah, dan polifasik Pada miopati kronik dapat diperoleh gam­ baran MUAP berdurasi panjang dan memilild potensial satelit yang biasanya didapadtan pada lesi neurogenik Pada keadaan miopati tahap lanjut gambaran MUAP neurogenik dan miogenik mungkin sulit dibedalcan. Pola rekruitmen MUAP pada miopati adalah early



Beberapa miopati distrofi dapat menunjuk­ kan gambaran inflamasi pada histopatologi. Miopati dengan gambaran nekrosis biasanya didapatkan pada miopati toksik walaupun dapat juga ditemukan pada miopati akibat autoimun. Sampel histopatologi sebaiknya diambil dari otot kontralateral yang dilakukan pemeriksaan EMG dan skor kekuatan otot 4. Pemeriksaan EMG dapat menyebabkan inflamasi transien yang dapat mengacaukan hasil pemeriksaan histopatologi.



736



Pendekatan Diagnosis Miopati



Proksimai Distal Generalisata Simetrik Asimetrik



A



Miotonia - Distropi miotonik - Miotonia kongenital - Paramiotonia kongenital - Periodik paralisis hiperkalemia - Defisiensi asam maltase - Miopati sentrotubular/miotubular



y







Denervasi



A



- Polimiositis - Dermatomiositiis - Inclusion body miositis



- Miopati/polimiositis pada HIV - Miopati Sarkoidosis - Defisensi Becker)



distropin



(Duchene dan



- Miopati nemalin - Miopati alkohol -Miopati akibat penggunaan penurun kolesterol



obat



Gambar 4. Peran Pemeriksaan Elektromiografi Dimodifikasi dari: Preston DC, dkk. Electromyography and neuromuscular disorders clinical-electrophysiologic correlations. 2013. h. 549-62.



737



Baku Ajar Neurologi



Gambar 5. Pem eriksaan Lanjutan Berdasarkan Basil Pem eriksaan Histopatologi SRP: signal recognition particle Dimodifikasi dark Oskarsson B. Neuromuscular disorders in clinical practice. 2014. h. 1159-68.



Pemeriksaan Spesifik Lainnya



Adanya panel antibodi atau inflamasi terkail yang positif dapat menunjang diagnosis (spesifisitas cukup tinggi).



Apabila pemeriksaan histopatologi menunjukkan inflamasi maka dapat diperiksa panel-pa­ nel antibodi atau penanda inflamasi (Tabel 10).



Tabel 10. Penanda Inflamasi Miopati Penanda inflamasi



Kondisi Terkait



Antibodi antinuclear



SLE dan kondisi lainnya (nilai patologi tidak jelas bila titer L Late onset. P=L



Perempuan usia muda



Perempuan usia muda



Tingkat keparahan penyakit



MG tipe okular dan generalisata



Berat



Ringan



Patogenisitas



In vitro In vivo



In vitro



In vitro In vivo



In vitro



Isotypes



IgGl, IgG3 Ada



IgGl Kemungkinan ada



IgG4



Peran komplemen Abnormalitas dari timus



EOMG:HiperpIasia Folikular LOMG: timoma



IgGl Kemungkinan ada ?



Hiperplasia FoIikular ringan ?



Tidak ada Tidak ada



? Hubungan titer antibodi Tidakada Ada dengan derajat penyakit P: perempuan, L: laki-laki, EOMG: early onset myasthenia gravis [onset pada usia 40 tahun), AChR: acetylcholin receptor (reseptor asetilkolin), MuSK; muscle-specific kinase, LRP4: low-density lipoprotein receptor-related protein 4, Sumber: Berrih-Aknin S, dkk. J Autoimmun. 2014. h. 90-100.



745



Usia saat onset penyakit Rasio iaki-laki dan perempuan HLA-association (Caucasians)



20



746



SNMG 4 Umum



Usia berapapun (teutama usia lebih muda) 1:3



Usia berapapun



Usia berapapun



1 :2



Tidak ada data



B8 A1 DR3 (strong) DR16 DR9 (/ess strong)



DR7 (/ess strong) A25 (less strong)



DR14 (strong)



Tidak ada data



Tidak ada data



Anti-AChR-ab Anti-Titin-ab Anti-RyR-ab Anti-JL12-ab Anti-IFNa-ab Anti-IFNx-ab Thymoma Type A 5 % Type AB, B l-3 92% Biasanya kurang baik



Anti-MuSK-ab



Anti-AChR-ab (50-70 %)



Anti-LRP4-ab Anti-Argin-ab



Biasanya normal



Tidak ada data



Tidak ada data



Kurang baik



Tidak ada data



Tidak ada data



+(+)



+++



+(+)



LOMG 45 Umum, manifestasi maksimal dalam 3 tahun pertama



B7DR2 (/ess strong) Anti-titin-ab' with DR7 Anti-titin-ab* with DR3 Anti-AChR-ab Anti-Titin-ab Anti-RyR-ab Anti-IL12-ab Anti-IFNa-ab



Autoantibodi



Anti-AChR-ab



Abnormaiitas timus



Hiperplasia limfofolikular



Atrophy, involution



Respons terhadap timektomi



Baikjika dilakukan dalam 1-2 tahun setelah diagnosis +++



Tidak ada data



Respon terhadap imunoterapi



OMG 15 Okular



TAMG 10-15 Umum, more Umum, manifestasi scarcely, masih maksimal dalam 3 tahun pertama mungkin remisi komplit 45 (50, 60) tahun3 Usia berapapun (teutama 40-60 tahun) 1:1 5:1 1:3 EOMG



Frekuensi (%) Perjalanan dan manifestasi penyakit



MAMG 6



Umum, fasciopharyngeal focus



early onset myastenia gravis [ o n s e t p a d a u s i a < 4 0 t a h u n ) ; L O M G : late onset myas­ thenia gravis ( o n s e t p a d a u s i a > 4 0 t a h u n ) ; T A M G ; thymoma-associated myastenia gravis; M A M G : a n t i - M u S K - A b - a s s o d a t e d myastenia gravis; O M G : ocular myastenia gravis; S N M G : s e r o n e ^ n t/ v e m y a s t e n i a gravis



3s a a t in i p e m b a g i a n E O M G d a n L O M G m a s i h d a l a m p e r d e b a t a n . E O M G :



S u m b e r : M e lz e r N, d k k . ] N e u r o l. 2 0 1 6 . h . 1 4 7 3 - 9 4 .



Buku A jar N euroiogi



Tabel 2, Gambaran Klinis Berbagai Subtipe Miastenia Gravis



Miastenia Gravis



Terdapat juga klasifikasi oleh Task Force o f the



berdasarkan manifestasi Minis dan derajat kelemahan motorik yang sering digunakan untuk evaluasi pasien dalam praktik sehari had.



Medical Scientific Advisory Board o f the Myasthenia Gravis Foundation o f America [Tabel 3} Tabel 3. Klasifikasi Klinis Miastenia Gravis



Kelas___________________________________ Deskripsi__________________________________ I



Kelemahan motorik terbatas pada okular Memiliki kesulitan dalam menutup mata Kekuatan motorik lain normal



II



Kelemahan motorik derajat ringan melibatkan otot lain selain okular Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan berbagai derajat



Ha



Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya



lib



Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya



III



Kelemahan motorik derajat sedang melibatkan otot lain selain okular Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada olcular dengan berbagai derajat



Ilia



Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya



. b



Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya



IV



Kelemahan motorik derajat berat melibatkan otot lain selain okular Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan berbagai derajat



IVa



Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya



IVb



Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya



V



Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik, terkecuali dilakukan pascaoperasi _________ Pemberian nutrisi enteral tanpa intubasi termasuk ke kelompok IVb_______________ Sumber: Howard ]F. Myasthenia gravis: a manual for the health care provider. 2008. h. 13



747



Buku Ajar Neurologi



Tabel 4. Myasthenia Gravis Composite Scale Kriteria



Derajat Normal (0)



Ringan (1)



Sedang (2)



Diplopia pada iirikan Ice kanan (detik)



61



11-60



1 -1 0



Spontan



B e r a t(3)



Ptosis pada Iirikan ke atas (detik]



61



11-60



1 -1 0



Spontan Tidak dapat me­ nutup sempurna



Otot fasialis



Tahanan kelopak mata normal



Menutup sempurna, lemah, tahanan ringan



Menutup sem­ purna, tanpa tahanan



Menelan 120cc air ( 1/2 gelas)



Normal



Batulc atau mendeham sedikit



Tidak dapat Batuk hebat, tersedak, atau menelan (pemerregurgitasi nasal ilcsaan tidak dapat dilakukan)



Disartria pada angka 30-49



Disartria pada angka 10-29



Menghitung hingga 50 Tidak ada gangdengan suara lantang guan (onset disartria)



Disartria pada angka 9



Merentangkan tangan kanan pada posisi duduk tegak 90° (detik)3



240



90-239



10-89



0-9



Merentangkan tangan kiri pada posisi duduk tegak 90° (detik) 3



240



9 0 -239



10-89



0-9



Kapasitas vital (% prediksi)



80



65 -7 9



50 -6 4



10%



753



Buku Ajar Neurologi



Respons terapi piridostigmin pada pasien cukup adekuat, namun ketika dosis obat dinaikkan menjadi lebih dari 2x60mg muncul efek samping muskarinik yang mengganggu berupa hipersalivasi dan diare yang tidak dapat ditoleransi pasien. Pasien usia >40 tahun dengan gejala otot-otot bulbar yang dominan disertai intoleransi terhadap piridostigmin pada dosis yang tidak terlalu tinggi dapat sesuai dengan gambaran MG dengan antiMuSK positif. Pemeriksaan serologi antiAChR, anti MuSK harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis ini. Pada MG dengan antiMuSK positif timektomi ti­ dak memberikan hasil yang baik, namun respons terhadap imunosupresan sama baiknya dengan MG dengan antireseptor asetiikolin positif.



7.



8.



9.



10.



11. 12.



DAFTAR PUSTAKA



13.



1.



Melzer N, RuckT, Fuhr P, Gold R, Hohlfeld R, Marx A, dkk. Clinical features, pathogenesis, and treat­ ment of myasthenia gravis: a supplement to the guidelines of the German Neurological Society J Neurol. 2 016;263(8):1473-94. 2. Howard JF. Physician issues. Dalam: Howard JF, editor. Myasthenia gravis: a manual for the health care provider. St. Paul: Myasthenia Gravis Foun­ dation of America; 2008. h. 13. 3. Gold R, Schneider-Gold C. Current and future standards in treatment of myasthenia gravis. Neurotherapeutics, 2008;5[4):535-41. 4. Meriggioli MN, Sanders DB. Myasthenia gravis: diagnosis. Semin Neurol. 2004;24[l):31-39. 5. Young WL, Matteo RS, Ornstein E. Duration of action of neostigmine and pyridostigmine in the elderly. Anesth analg. 1988;67(8):775-8. 6 . Skeie GO, Apostolski S, Evoli A, Gilhus NE, Ilia I, Harms L, dkk. Guidelines for treatment of auto­



14.



15.



16.



17.



754



immune neuromuscular transmission disorders. Eur] Neurol, 2010;17[7):893-902. Rozmilowska I, Adamczyk-Sowa M, Rutkowska K, Pierzchala K, Misiolek H. Improvement of quality of life after therapeutic plasma exchange in pa­ tients with myasthenic crisis. Neurol Neurochir. 2016;50(6):418-24. Maniaol AH, Elsais A, Lorentzen AR, Owe JF, Viken MK, Ssether H, dkk. Late onset myasthe­ nia gravis is associated with HLA D RB1*15:01 in the Norwegian population. PloS One. 2 0 1 2 ;7[5):e36603. Gilhus NE, Verschuuren JJ. Myasthenia gravis: subgroup classification and therapeutic strate­ gies, Lancet Neurol. 2015;14(10):1023-36. Berrih-Aknin S, Le Panse R. Myasthenia gravis: a comprehensive review of immune dysregulation and etiological mechanisms. J Autoimmun. 2014;52:90-100. Sieb JP. Myasthenia gravis: an update for the cli­ nician. Clin Exp Immunol. 2014;175(3):408-18. Jayam TA, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M, Kalyanam J. Myasthenia gravis: a review. Autoim­ mune Dis. 2012;2012:874680. Burns TM. The MG composite: an outcome mea­ sure for myasthenia gravis for use in clinical trials and everyday practice. Ann N Y Acad Sci. 2012;1274:99-106. Godoy DA, Mello LJ, Masotti L, Di Napoli M. The myasthenic patient in crisis: an update of the management in Neurointensive Care Unit. Arq Neuropsiquiatr. 2013;71[9a):627-39. Nishikawa N, Nagai M, Tsujii T, Kyaw WT, Tanabe N, Iwaki H, dkk. Treatment of myasthenia gravis in patients with elderly onset at advanced age. japan Clin Med. 2015;6:9-13. AANN. Care of the patients with myasthenia Gra­ vis. AANN clinical practice guideline series [seri­ al online] 2013 [diunduh 26 Desember 2016];132. Tersedia dari: AANN. Sakai W, Matsui N, Ishida M, Furukawa T, Miyaza­ ki Y, Fujita K, dkk, Late-onset myasthenia gravis is predisposed to become generalized in the el­ derly. eNeurologicalSci. 2016;2:17-20.



MOTOR NEURON D ISEA SE



Fitri Octaviana, Ahmad YanuarSafin' Luh Ari Indrawati Winnugroho Wiratman, Manfaluthy Hakim



PENDAHULUAN



insidens MND di Inggris semakin meningkat sejak tahun 1998 hingga 2011 yaitu sekitar I, 76-4,3 per 100.000 penduduk. Mortalitas akibat MND di Inggris sekitar 1 tiap 350-450 penduduk. Demikian juga halnya di Australia, insidens dan mortalitas aldbat MND semakin meningkat. Pada tahun 2001 didapatkan 592 pasien meninggal dan 787 pasien meninggal pada tahun 2013 akibat MND. Angka di Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada. Di antara negara-negara Asia, insidens MND di Jepang tercatat sangat tinggi yaitu sekitar I I , 3 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara Asia lainnya seperti Cina dan Iran sekitar 1-3 per 100.000 penduduk.



Motor neuron diseases (MND) adalah penyakit yang disebabkan oleh degenerasi badan sel neuron motorik. Salah satu tipe MND yang paling sering terjadi adalah amyotrophic lateral sclerosis (ALS), sehingga istilah MND dan ALS sering kali digunakan jika membicarakan penyakit ini. Sampai saat ini MND termasuk dalam penyakit yang belum dapat disembuhkan dan mempunyai prognosis buruk. Belum ditemukan suatu pengobatan yang bersifat kuratif hingga saat ini. EPIDEMIOLOGI MND relatif sangat jarang terjadi namun



Gambar 1. Gambaran S kem atik Lesi Upper Motor Neuron dan Low er M otor Neuron Lesi UMN(biru), lesi LMN (merah)



755



Buku Ajar Neurologi



PATOFISIOLOGI



serabut otot tersebut berkontraksi secara bersamaan, maka motor unit yang terkait akan mengalami fasikulasi. Pada MND yang didapat {acquired], akson saraf m otorik terkait akan memeberikan reinervasi terhadap serabut otot sehingga pada gambaran pemeriksaan elektromiografi (EMG] akan terlihat gambaran reinervasi.



Berdasarkan anatomi dan fisiologi, terdapat dua motor neuron yaitu lower m otor neuron (LMN) dan upper m otor neuron (UMN). LMN terletak di kornu anterior medula spinalis dan di batang otak (nukieus motorik saraf kranialis} serta menginervasi otot-otot secara langsung. UMN terletak di korteks mo­ torik dan memberikan jaras ke kortikospinal dan kortikobulbar (Gambar 1).



Pada ALS yang bersifat familial, beberapa gen ternyata berhubungan dengan ALS, khususnya gen superoxide dismutase 1 (SOD1), TAR DNAbinding protein 43 (TARDBP), dan fused in sarcoma (FUS].



MND dapat bersifat didapat ( acquired} atau diturunkan (herediter). Neuron motorik mengalami apoptosis sehingga terjadi degenerasi akson nervus motorik dan pada akhirnya taut saraf-otot juga ikut mengalami kerusakan (lihat bab Neuropati, Gambar 1 mengenai Neuronopati}. Serabut-serabut otot yang dipersarafi oleh akson yang berdegenerasi akan mengalami atrofi.



GEJALA DAN TANDA KLINIS Gejala klinis ALS meliputi gejala UMN dan LMN, namun pada sebagian besar kasus dapat menunjukkan hanya gejala LMN. Tidak ada gejala atau gangguan sensorik pada ALS, karena murni hanya mengenai nukieus mo­ torik.



Apoptosis di atas terjadi diperkirakan paling mungkin karena faktor genetik, Hal ini diperkuat dengan laporan-laporan ilmiah tentang riwayat keluarga pada penderita yang bersifat autosomal dominan. Faktor lain yang mungkin menyebabkan adanya apoptosis adalah defisit primer transpor akson. Lambatnya transpor akson menyebabkan pembengkakan akson kemudian berujung pada atrofi akson. Selain dua teori di atas, banyak teori yang diper­ kirakan berkaitan dengan apoptosis neuron motorik, yaitu metabolisme karbohidrat yang abnormal, neoplasma, deposisi kompleks imun, defek DNA repair enzyme, dan lain-lain.



Gejala klinis LMN pada ALS: ® Kelemahan dan atrofi otot-otot ekstremitas bagian distal yang asimetri • Fasikulasi ® Flaksid atau tonus otot dapat normal • Penurunan refleks fisiologis Gejala klinis UMN pada ALS: © Atrofi tidak terlalu jelas terlihat © Spastis ® Peningkatan refleks fisiologis pada otot yang mengalami atrofi



Secara elektrofisiologi, masing-masing serabut otot akan menunjukkan fibrilasi dan gelombang positif {positive waves] akibat tidak stabilnya membran otot. Jika serabut-



® Terdapat refleks patologis (refleks Babinski, refleks Hoffmann Tromner] Sindrom klinis MND beserta gejala klinisnya dapat dilihat pada Tabel 1.



756



Motor Neuron Disease



Tabel 1. Sindrom Klinis M otor Neuron D iseases Sindrom ALS klasik Progressive bulbar palsy (PBP) Progressive muscular atrophy (PMAJ Flail arm syndrome; progressive amyotrophic diplegia; Sindrom Bernhard-Vulpian Flail leg syndrome Bentuk Monomelik MND



Gejala klinis Kelemahan mulai dari ekstremitas (spinal); kelemahan bulbar sering terjadi; tanda UMN dan LMN Mulai dari disartria diikuti gangguan bicara dan meneian Selalu dimulai dari kelemahan ekstremitas; >50% menunjukkan tanda UMN; 85% menunjukkan tanda bulbar Sindrom dengan gejala predominan kelemahan LMN pada kedua lengan; tanda UMN terjadi pada 50-70% ; progresif lambat



Sindrom kelemahan tungkai yang progresif, predominan LMN Varian MND yang jarang terjadi, fokal progresif lambat Harus dibedakan dari multifocal m otor neuropathy Sindrom UMN murni yang progresif Primary lateral sclerosis (PLS) Demensia tipe fronto-temnoral, teriadi pada 5% nasien MND Sindrom MND-Demensia ALS: amyotrophic lateral sclerosis; UMN: upper m otor neuron; LMN: low er m otor neuron. Sumber: Leigh PM, dkk. J Neurol Neurosurg Psychiatry;2003. h. iv32-47.



asimetris, pasien dapat menunjukkan gejala seperti drop foot, atrofi ototinstrinsiktangan, gangguan menulis, atau gerakan membuka botol. Pada pemeriksaan fisik, sering sekali dijumpai atrofi yang jelas pada otot tibialis anterior.



Pada saat awitan, biasanya kelemahan dan atrofi otot hanya mengenai sekelompok otot tertentu. Dapat dimulai dari otot ekstremitas, bulbar, dan otot pernapasan. Kelemahan otot ekstremitas bagian distal adalah bentukyang paling serlng dijumpai. Kelemahan bersifat



Gambar 2. Lidah Mengalami Atrofi dan Fasikulasi pada Pasien ALS [Dok: Pribadi)



757



Buku Ajar Neurologi



Pada bentuk bulbar, gejala yang paling sering dialami saat awitan adalah gangguan berbicara (pelo, slurred]. Pada pemeriksaan fisik tampak jelas lidah mengalami fasikulasi dan atrofi [Gambar 2). Disfagia dan kelemahan otot pernapasan biasanya muncul belakangan.



rangka dan lidah, peningkatan refleks fisiologis, dan perjalanan penyakit berjalan secara progresif. Pemeriksaan pencitraan dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan struk­ tural lain yang dapat menerangkan manifestasi Idinis pasien. Pada pasien yang dicurigai ALS, sangat penting dilakukan pemeriksaan elektrofisiologi [kecepatan hantar saraf (KHS} dan elektromiografi (EMG}] untuk membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan EMG dapat mengkonfirmasi adanya kelainan LMN pada pasien dengan klinis UMN.



DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Diagnosis ALS ditegakkan murni secara klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya yang dapat disebabkan kelainan struktural.



Pasien yang memenuhi kriteria revised El Escorial sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan KHS dan EMG. Kriteria re­ vised El Escorial adalah sebuah panduan untuk membantu menegakkan diagnosis ALS (Tabel 2).



Tanda klinis yang khas adalah pasien dengan tanda klinis atrofi beberapa kelompok otot di beberapa bagian tubuh, fasikulasi di otot-otot



Tabei 2. Kriteria R evised El Escorial untuk Membantu Menegakkan ALS Diagnosis ALS membutuhkan:______________________________________________________________________ 1. Terdapatnya/t h e p resen ce o f e Bukti degenerasi LMN secara pemeriksaan fisik, elektrofisiologi atau neuropatologis » Bukti degenerasi UMN secara pemeriksaan fisik e Gejala dan tanda klinis yang menyebar secara progresif dari regio satu ke regio lainnya, yang ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan elektrofisiologi. 2. Tidak terdapatnya /t h e a b se n ce o f 8 Bukti secara elektrofisiologi dan patologi adanya proses penyakit lainnya yang dapat menerangkan terjadinya tanda degenerasi LMN dan/atau UMN, dan 8 Bukti neuroimaging adanya proses penyakit lain yang dapat menerangkan tanda klinis dan tanda elek­ trofisiologi yang ditemukan Kriteria Diagnosis



8 Clinically definite ALS: ada bukti secara klinis dan elektrofisiologi tanda LMN dan UMN bersamaan pada regio bulbar dan paling sedikit 2 regio spinal ATAU tanda LMN dan UMN pada 3 regio spinal ®



Clinically probable ALS: ada bukti secara Idinis dan elektrofisiologi tanda LMN dan UMN paling sedikit pada 2 regio dengan gejala UMN pada regio rostral (di atas) gejala LMN



8



Clinically possible ALS: ada bukti secara klinis dan elektrofisiologi tanda UMN dan LMN di satu regio; ATAU tanda UMN saja pada satu atau lebih regio; ATAU tanda LMN pada bagian rostral terhadap tanda UMN. Pemeriksaan pencitaan dan laboratorium lainnya telah dilakukan dan kemungkinan diagnosis lainnya harus dieksklusi.___________________________________________________________________________________



ALS: amyotrophic lateral sclerosis; LMN: low er m otor neuron; UMN: upper m otor neuron Sumber: de Carvalho M, dkk. Clinical Neurophysiology; 2008. h. 497-503.



758



Motor Neuron Disease



Diagnosis Banding



dapat dikurangi dengan pemberian baklofen, fisioterapi, atau terapi neurolisis.



Penyakit gangguan motor neuron ( m otor neuron disorder) yang sering terjadi dan mirip dengan MND antara lain:



DAFTARPUSTAKA 1.



® Multifocal m otor neuropathy © Spinal muscular atrophy ® Spinal bulbar muscular atrophy/penyakit Kennedy



2.



® Poliomielitis ® Wes Nile virus ® Paraneoplastic motor neuron disease



3.



TATA LAKSANA 4.



Tata laksana hanya bersifat simtomatik dan bukan bersifat kuratif. Riluzole adalah suatu agen penghambat glutamat yang terbukti dapat memperpanjang angka harapan hidup pasien ALS. Penggunaan Riluzole telah disetujui di Amerika Serikat, Eropa dan Aus­ tralia. Penggunaan Riluzole lOOmg/hari dapat memperpanjang survival sekitar 15 bulan. Namun sayangnya Riluzole sampai saat ini belum tersedia di Indonesia.



5. 6.



7.



Penggunaan antioksidan seperti vitamin C dan vitamin E banyak digunakan pada pasien ALS. Namun efektivitas penggunaan antioksidan ini pada ALS belum terbukti. Terapi exerase/latihan direkomendasikan agar dapat mempertahankan tonus otot.



8.



9.



Pasien ALS dapat mengalami nyeri dan spastis. Obat antiinflamasi nonsteroid dan golongan opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri. Sedangkan spastisitas



10.



759



Mitchell ]D, Gatrell AC, Al-Hamad A, Davies RB, Batterby G. Geographical epidemiology of residence of patient with motor neuron disease in Lancashire and south Cumbria. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1998;65(6):842-7. Alonso A, Logroscino G, Jick SS, Hernan MA, Incidence and lifetime risk of motor neuron disease in the United Kingdom: a populationbased study. Eur J Neurol. 2009,T 6[6):745-51. MND Australia. MND in Australia. MND Austra­ lia [serial online]. 2013 [diunduh 12 November 2016]. Tersedia dari: MND Australia Chiao A, Logroscino G, Traynor B], Collins J, Simeone ]C, Goldstein LA, White LA Global epidemiology of amyotrophic lateral sclerosis: a systematic review of the published literature. Neuroepidemiology. 2013;41(12):118-30, Tiiyaki E, Horak H. ALS and other motor neuron diseases. Continuum. 2014;20(5):1185-207. Leigh PM, Abrahams S, Al-Chalabi A, Ampong MA, Goldstein LH, Johnson J, dkk. The manage­ ment of motor neuron disease. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2003;74(Suppl 4):iv32-47. McDermott CJ, Shaw PJ. Diagnosis and management of motor neurone disease. BMJ. 2008;336[7645):658-62. Orrell RW. Motor neuron disease: systematic reviews of treatment for ALS and SMA. British Medical Bulletin. 2010;93:145-59. Williams DB, Windebank AJ, Motor neuron disease, Di Dyck PJ, Thomas PK, Griffin JW, Low PA, Podulso JF, editor. Peripheral Neuropathy edisi 3. WB Saun­ ders, Philadelphia, Pennsylvania, 1993; h. 1028-50. de Carvalho M, Dengler R, Eisen A, England JD, Kaji R, Kimura J, dkk. Electrodiagnostic criteria for diagnosis of ALS. Clinical Neurophysiology. 2008;119[3):497-503.



INDEKS



3,4-diaminopiridin 270 4-aminopiridin 270,279 a-synucleinopathies 109 a-amino-3-hydroxy-S-methylisoxazole-4-propionic acid (AMPA) 100 p Amiloid 197,211,488 A Abai, lihat neglect ABCD, lihat skor Abnormal spontaneous eye movement 308 Ablasi telinga dalam 280 Abses otak 227, 228 Abstraksi 177 Abulia 212 ACDU ( alert,confused,drowsy,unresp onsive) 23 Acetyhlcoline, lihat asetilkolin Acethylcholinesterase inhibitor 751 Activated charcoal 33 Activity o f daily living (ADL) 123, 208 Acute confusiona!state, lihat delirium Acute disseminated encephalomyelitis 254 Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) 679 Acute motor axonal neuropathy (AMAN) 679 Afasia 181 amnestik 186,189 anomik 187 Broca 185 dinamik 186,189 global 186 konduksi 187,188 nonfluen, lihat afasia Broca progresif primer 216 semantik 187,189 supplementary motor area (SMA) 186 transkortikal campuran 188, 190 transkortikal motorik 188,189 transkortikal sensorik 188,189 Wernicke 185 After hyperpolaritation (AHP) 77 Agen osmotik 439, 540 Agitasi psikomotor 510 Agnosia 163 Agonis dopamin 123



Agregasi trombosit 454 AIDS [Acquired immunodeficiency syndrome) 239 Airway 398, 411 Akalkulia 175 Akinesia 117 Aksonopati 663 Aksonotmesis 716 Akuaduktus Sylvii 45 Alat penilaian nyeri 559 Alberta stroke programme early CT score (ASPECTS) 465 Albumin 51 Aleksia 172 murni 172 tanpa agrafia 172 Alertness 16 Algoritma stroke Gajah Mada, lihat skor Alodinia 548 Aipha-amino-3-hydroxy-5-methyl4-lsoxazolepropionic Acid (AMPA), lihat a-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid (AMPA) Altepiase 463 Alzheimer, lihat demensia Amantadin 128,129,424 Ambang batas nyeri 548, 549 Ambulasi 371 American Heart Association (AHA) 452, 541 American Spinal Injury Association (ASIA) 403 American Stroke Association (ASA) 452, 541 Amfoterisin B 242 efeksamping 243 Amigdala 113,114, 552 Amiotrofi diabetik 714 Amitriptilin 566, 577, 584, 607 Amnesia 153, 422 pascatrauma 393, 395 Amonia 19,31 AMPLE [alergy, medication, past ill­ ness, last meal, exposure) 405,412 Amyloidfibrils 482 Amyloid precursor protein (APP) 206,485 Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) 755 ANA 594 Analgesik



763



adjuvan 567, 655 non-opioid 646, 649, 653 Analgetik 575,638,703 Analisis isi lambung 30 kromatografi 30 Anamnesis 5 Aneurisma Charcot-Bouchard 453,515 familial 529 intrakranial 529 anatomi 529 mikotik 533,537 Angiogenesis 324 Angiopati amiloid 211,213,478 pascaradiasi 480,481 Angioplasti balon transluminal 543 Angiotensin-!! receptor blocker [ARB) 449, 578 Angiotensin-converting enzyme inhibi­ tor (ACE-I) 449,578 Anosmia 396,425 Anosognosia 165 Antagonis reseptorNMDA 208,214 vitamin K (VKA) 524 Antecendent infection 677 Antiansietas 585 Antibodi gangliosida 678 mimikri 677 Antidepresan trisiklik 577,584 Antiedema 333 Antigen kriptokokus 241, 242 Antigen presenting cells (APC) 230, 250 Antihistamin 279 Antikoagulan 467, 511 Antikoagulan lupus 506 Antikolinergik 124,128 Antikolinesterase 58, 751 Antikonvulsan 102, 566, 655 Anti-myelin-associated glycoprotein (anti-MAG) 669 Antiplatelet 497 Antipsikosis atipikal 56,133 Antiretroviral (ARV) 239 Antisakadik 292, 308 Antitrombotik 449 Anton, sindrom, lihat sindrom Apatis 218



Buku Ajar Neurologi



Apeks orbita 287, 314 Apneu 21 Apneusis 21 Apneustik, pola nafas 39 ApoE4196 Apolipoprotein alel-E2 211 Apolipoprotein E (APO-E) 486 Apomorfin 129,132 Apopleksi hipofisis 533, 534 Apoptosis 123, 324 Apraksia berpakaian 161 bukofasial 184,191 ideomotor 184 konstruksional 212 verbai 186 Aquaporin-4 (AQP4) 258 Aquaporumab 264 Araknoiditis 227 Area homolog 367 Argyrophilic grain disease (AGD) 216 Arteri basilaris 446,466,536 komunikans anterior 534, 535 perforator 478, 489 serebellaris inferior anterior 136 serebellaris inferior posterior 136, 536 serebellaris superior 136 Arteri oslderosis 481 Arteriovenous malformation (AVM), lihatmalformasi arteriovena spinal Arteritis temporal 588,594 Asam mefenamat 584, 651 Asam piruvat 580 Asam traneksamat 441 Asam valproat 90 Ascending reticular activating system [ARAS) 16 Asetazolamid 42,236,511 Asetilkolin (ACh) 198, 741 Asetilkolinesterase [AChE) 743 Asidosis Iaktat 19, 65 Aspirin 449,468,497,575,584 Astrosit 249, 324 reaktif 206 Astrositoma 329, 342 Asymmetric target sign, lihat tanda Ataksia 534, 592, 662, 680 Ataksik, pola nafas 39 Atenolol 578 Atensi 158 alternating attention 422 atensi fokus 422 atensi selektif 422



atensi terbagi 422 distraktibilitas 422 konsentrasi 419 setshifting 422 sustained attention 422 Aterosklerosis 446, 455 Aterotrombotik 448, 449 Atoniagaster 33 Atrial fibrilasi 449,455 Atrofi otak 387,479,494 otot 665,727,756 Audiometri 278,433 Augmentative alternative communi­ cation [AAC) 375 Aura 85, 573 Aura persisten tanpa infark 571 Autoimun 199, 249, 678, 743 Autoreguiasi 453,491,515,541 AVPU (alert, response to voice, re­ sponse to pain, unresponsive) 23 Awareness 16 Axonal transport 665 Azatioprin 256, 264, 751, 752



B Bacillus Calmette-Guerin [BCG) 230 Back exercise 584 Badan keton 19 Badan Lewy 110,118 Bahasa 167 Baklofen 270, 592 Balint, sindrom, lihat sindrom Balismus 4,130 Balloon microcompression 592 Bamboo spine 629 Bangkitan absans 84 tipikal 84 atipikal 85 akibatgegar 436 astatik, lihat bangkitan atonik atonik 84 fokal, lihat bangkitan parsial klonik 84 mioklonik 84 parsial 85 kompleks 85 sederhana 85 parsial sederhana berkembang menjadi umum sekunder 85 tonik 84 tonik-klonik 84 umum 84 Bangkitan epileptik 75 diagnosis 85 diagnosis banding 85 epidemiologi 75



764



gejala dan tanda ldinis 84 patofisiologi 75 tatalaksana 86 Bangkitan pascacedera kepala 435 diagnosis 436 diagnosis banding 436 gejala dan tanda klinis 436 patofisiologi 436 tata laksana 437 Basil tahan asam (BTA) 228 Battle sign, lihat tanda Bedah dekompresif 462bedah Bedah mikro 140 Beginning o f dose worsening 130 Behavioral and psychological symp­ toms o f dementia 208 Behavioral pain scale [BPS) 563 Behavioral pain scale-nonintubated [BPS-Ni) 563 Behavioral therapy, lihat terapi perilaku Bell's palsy 671 Benign focal epilepsy with centrotemporal spikes [BECTS) 88 Benign paroxysmal positional vertigo [BPPV) 273 Benzodiazepin 56,103,141, 279, 425, 263, 523, 585 Bernhard-Vulpian, lihat sindrom Beta amiloid, lihat p Amiloid Beta blocker, lihat penghambat beta Beta-endorfin 552 Betahistin 270, 279 Bevacizumab 335 Bevel, needle bevel 47,48 Bickerstaff’s brainstem encephalitis [BBE) 682 Bidai servikal 405,408,618 Bilasan lambung 33 Binswanger, lihat penyakit Biopsi kulit 668 saraf 668 stereotaktik334 Bleeding risk analysis in stroke imag­ ing before thrombolysis (BRASIL) 496 Blefarospasme 140 Blink reflex 673 Blok konduksi 683 Blok saraf 608, 638, 645, 649 Blood brain barrier [BBB), lihat sawar darah otak Bobath 371 Bone scan 350 Bone window, lihat CT scan dengan bone window Boston, lihat kriteria Boston naming test 171



lndeks



Braak, staging 114 Bradikinin 642 Brandt-Daroff, lihat manuver Brain death 32 Brain graft 131 Brain resident cells 458 Brainstem auditory evoked potentials (BAEP) 278 Bragard's sign, lihat tanda Breaking the bad news 332 Breakthrough pain, lihat nyeri sontak Breathing 398,411 Broadmann, area 37 186 45 186 Brown-Sequard, lihat sindrom Bridging therapy, lihat terapi Brief Pain Inventory (BPI) 562 Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS) 602 Broca, lihat afasia Broca Bromokriptin 129,191 Brunnstrom 371 Bruns-Garland, lihat sindrom Burst neuron, lihat neuron Butakortikal 184 Butorfanol spray 576 C Cairan serebrospinal 45 absorpsi 45 analisis rutin 50 glukosa 50 hitungjenis sel 50 protein 50 rasio glukosa CSS : serum 50 lajuproduksi 45 obstruksi aliran 51 tekanan 45 volume 45 Calcitonin gene-related peptide (CGRP) 572, 287, 626 Calcium channel blocker, lihat penghambatkanal kalsium Camptocormia 117 Campylobacterjejuni (C. jejuni) 677 Candesartan 578 Cardiac dysautonomia 671 Cardiac monitoring 461 Carotid artery stenting (CAS) 468 Carotid endarterectomy (CEA) 468 Carpal tunnel syndrome 703 Cascading degeneration 362 Cawthorne cooksey exercises 270 CD4 241-50 CDP-choline, lihatsitikolin Cedera aksonaldifus 390



kepaia 383 berat 393 minimal 392 ringan 392 sedang 393 medula spinalis 401 diagnosis 405 diagnosis banding 405 epidemiologi 401 gejala dan tanda ldinis 402 komplikasi 419 tata laksana 408 patofisiologi 401 kerusakan primer 401 kerusakan sekunder 402 otak primer 384 sekunder 384 tembus 384 tumpul 384 whiplash 613 Cedera kepaia 383 diagnosis 395 diagnosis banding 397 epidemiologi 383 gejala dan tanda klinis 392 patofisiologi 383 tata laksana 397 farmakologis 398 operatif 398 Celah intervertebralis 48 Central pontine myelinolysis (CPM) 439 Cerebral arterial small vessels 478 cabang superfisial 478 cabang profunda 478 Cerebral amyloid angiopathy (CAA) 482 herediter 484 sporadik 484 Cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical Infarcts and leukoencephalopathy (CADASIL) 211, 213, 289 Cerebral blood flow (CBF) 456 Cerebral blood volume (CBV) 42 Cerebral demyelinisation 482 Cerebral microbleeds 479,493 Cerebral perfusion pressure (CPP) 369, 524 Cerebral salt wasting syndrome (CSWS) 438 diagnosis 438 diagnosis banding 438 gejala dan tanda klinis 438 patofisiologi 438 tata laksana 439 Cerebral small vessel disease 476



765



definisi 477 diagnosis 494 diagnosis banding 494 epidemiologi 479 gejala dan tanda klinis 493 klasifikasi 479 patogenesis 491 tata laksana 496 Cervical sprain 610-12 strain 610-12 Channelopathy 727 Charcot-Bouchard, lihat aneurisma Charcot-Marie-Tooth disease, lihat hereditary motor and sensory neu­ ropathy Cheyne-Stokes 21,25,39 Childhood absence epilepsy (CAE) 91 Chronic inflamatory demyielinating polineuropathy (CIDP) 680 Chronic progressive external ophthal­ moplegia (CPEO) 315 Cilostazol 497 Circulation 398 Classic migraine, lihat migren dengan aura Clinically isolated syndrome (CIS) 253 Code stroke 464,471 Cognitive-behavioral therapy, lihat terapi perilaku kognitif Cogwheel, rigidity, lihat rigiditas roda gigi Cogan’s lid twitch 302 Coiling 539 Cold-water caloric 28 Common migraine, lihat migren tanpa aura Complement-dependent cytotoxicity (CDC) 259 Complex regional pain syndrome (CRPS) 556,598 Conccusion 426 Confusion 63, 447 Confusion assestment method (CAM) 54 Congo red 487 Constraint -therapy, lihat terapi Contraversive 304 Convulsive conccusion 436 Cord sign, lihat tanda Corneal light reflex, lihat refleks cahaya Corrugator 139 Cortical branch artery A ll Cortical spreading depression (CSD) 572 Corticobasal degeneration (CBD) 216



Buku Ajar Neurologi



Corticobasal syndrome (CBS) 217 Countercoup 387 Counting test, lihattes hitung Coup 387 Coupling 599 Cover test (single cover], lihat tesCover uncover, lihat tes Craniocervical junction 433 Critical care pain observational tools (CPOT) 563 Cross cover, lihat tes Crossed straight leg raising test, lihat tes ' Cryptococcal antigen 242 Cryptococcus neoformans 239 var.grubii 239 gatii 239 neoformans 239 Cryptodex 239 CSVD non-amyloid 481 CT angiografi 537 CT angiogram 140 CT scan 8 CT scan dengan bone window 399, 425 CTvenografi 506 Cyclic vomiting 571 Cytidine 5-diphosphocholine, lihat sitikolin



D Dawson’s finger 253 D-dimer 440, 506 Decoding 167 Deep brain stimulation (DBS) 130 Defisiensi antitrombin 501 protein C 506 protein S 506 Defisit neurologis fokal 3 Deformabilitas eritrosit 482 Deformitas clawband 718 Waiters 717 Degenerasi aksonal 670, 679, 697 berantai 362 kortiko-basal, lihat corticobasal degeneration lobus frontotemporal-tau (DLFT-tau) 216 retrograd 362 superfisial spongiform 215 transneuronal 362 Wallerian 361 Dekompresi mikrovaskuiar 141 Deksametason 43,235,333 Dekubitus lateral 49



Delay cerebral ischemia 532 Delayed on 130 Delirium 54 Demensia 205 Alzheimer (DA) 206 diagnosis 207 diagnosis banding 207 early onset AD tipe familial 206 gejala dan tanda klinis 206 patofisiologi 206 tata laksana 207 badan Lewy 200 campuran 205 denganbadan inkluss basofltik216 frontotemporal (DFT) 215 diagnosis 219 diagnosis banding 219 gejala dan tanda klinis 216 patofisiologi 215 varian perilaku 216 possible 220 probable 220 definite 220 varian behavioral (DFTvb) , lihat DFT varian perilaku lacking distinctive histopathology (DLDH) 216 pascastroke 210 single-infarct dementia 210 multi-infarct dementia 211 penyakit parkinson 205 semantik 217 terkait amyloid angiopathy 211 terkait mekanisme hemodinamik 211 terkait small vessel disease 211 subcortical ischaemic vascular disease, lihat penyakit Binswanger vaskular (DVa) 209 gejala dan tanda klinis 212



patofisiologi 209 tata laksana 214 Demielinisasi 249, 362, 678 Dense triangle sign, lihat tanda Depolarisasi 78 Deposisi amiloid 199,485 Depresi, okular 308 Derivat ergot 576 Dermatom 405, 694 Dermatomiositis (DM) 725 Descending formation retikularis 32 Deselerasi 384, 419 Deserebrasi 29



766



Deviasitonik 28 Diabetes mellitus 446 Diagnosis 9 etiologis 11 kerja 12 klinis 10 patologis 10 topis 10 Diaskisis 367 Diatermi 566, 722 Diazepam 103 Diet ketogenik 87 Diffuse leucoencephalopathy 381 Diffuse skeletal hyperostosis (DISH) 613 Digit span, lihat tes Digital subtraction angiography (DSA) 506, 538 Dihidroergotamin 575, 588 Dilatasi pupil 39,308 Diltiazem 578 Dinorfin 552 Diphasic dyskinesia, lihat diskinesia Diplopia binokular 295 monokular 295 Direct sign, lihat tanda Direct swallowing therapy, lihat terapi Disabilitas 367 Disartria 5, 744 Disautonomia 119 Disease modifying drug (DMD) 256 Discharge planning 463,523 Diseksi arteri intrakranial 531 Disekuilibrium 267, 271 Disestesia 403, 549, 598 Disfagia 5, 744 Disfoni 5, 744 Disfungsi eksekutif 207 Disgrafia 173 disfraksis 173 spasial 173 sentral 173 Disinhibisi 218 Diskinesia difasik 130 Diskonjugat 290 Diskus intervertebralis 625 Disleksia 171,172 Dislipidemia 454,496 Dismetria 286 Disosiasi sitoalbumin 52,684 Dispersi temporal 683 Dissemination in space (DIS) 252 Dissemination in time (DIT) 253 Distonia 130 Distonia wearing o ff 130



Indeks



DistorsiARAS 17 Distrofi fasioskapulohumeral 724 Distrofi muskular Becker (Becker muscular dystrophy/BMD) 724 Distrofi muskular Duchenne (DMD) 724 Distrofi muskular Limb Girdle (LGMD) 728 Distrofi neuritik 206 Distrofin gen 725 protein 725 Diuretik 280,439, 540 Diuretik osmotik 511 Dix-Hailpike, lihat manuver Divisi, pleksus brakialis anterior 706 posterior 706 Dizziness 267, 271 DLFT-ubiquitin (DLFT-U) 216 DLFT-uhfquit/n prateasome system CDLFT-UPS) 216 DNA repair enzyme 756 Doksepin 577 Dolttrin Monro-Kellie 36 Doll's-head maneuver 28 Domain 149 Donepezil 208 Dopamin nigrostriatal 112 Dopaminergik 112 Doppler karotis 448,459 transkranial 448,459 vertebralis 459 Dorsolateral prefrontal cortex (DLPC) 292 Dose failure, parkinson 130 Double Barrel 487 Douleur Neuropathique en 4 Ques­ tions (DN4) 602 Drainase CSS 542, 544 ventrikef eksternal 543 Dressing apraxia, lihat apraksia berpakaian Drifting 298 Drop attacks 448 Drop fo o t 757 Drowsiness 19 Duksi 287 Duloksetin 566, 604 Duramater 36



E Earlyfatiguing 117 Early recruitment 736 Early seizure 58



Ectopic discharges 599 Eculizumab 264 Edema interstisial 43 intrasel 458 otak 392 palpebra 587 periorbita 303 peritumoral 324 serebri 43 sitotoksik 43 vasogenik 43 Efek desak ruang 18, 325, 514 Ehlers-Dalos tipe IV, lihat penyakit Eksekutif, fungsi, lihat fungsi eksekutif Eksiklorotasi 308 Eksitasi ektopik 136 Eksitatorik 550, 566 Eksoftalmometri 302 Eksotropia 297 Ekstraaksial 334 Ekstranigrai 119 Ekstra sylvian 186 Ekuivalensi dosis 652, 654 El escorial, revised, kriteria 758 Elektrokokleografi 278 Elektromiografi (EMC] 12 Elevasi, okular 308 Ely's test, lihat tes Emboli 446,455 Embolus 455 Empty delta sign, lihat tanda Empty triangle sign, lihat tanda Encoding 167 End arteries 478 Endoneural 715 Endotelin 63, 642 Endovaskular 464 Enhanced ptosis 302 Ensefalitis 227 Ensefalitis Toksoplasma 243 diagnosis 244 diagnosis banding 244 epidemiologi 243 gejala dan tanda klinis 244 patofisiologi 244 tatalaksana 246 Entrapment neuropathy 703 Ependimoma 324,338 Ephaptic, transmisi 136 Epbaptic condition 599 Epidermal growth factor receptor 335 Epilepsi 75 pascacedera kepala 435 Epineural 715 Epley, lihat manuver



767



Erasmus GBS Outcome Score (EGOS) 686



Erb's point 717 Erb-Duchenne, lihat sindrom Ergotamin 576 Esotropia 297, 314 Estrogen 198, 455 Etambutol 234 European Stroke Organisation (ESO) 460 Evaluasi neurologis perioperatif 53 Eye tracking device 300 F F-wave, lihat gelombang F Fabry's disease, lihat penyakit Fabry Faces pain scale (FPS) 560 Facet arthrosis 637 Facial amimia 117 Factor eight inhibitor bypass activity (FEIBAJ 524 Fajersztajn, tanda, lihat Crossed straight leg raising test Faktor reumatoid 558,715 Family meeting 332 Fasikulasi 714, 756 Fasikulus arkuata 168,183,187 lateral, lihat korda lateral medial, lihat korda medial posterior, lihat korda posterior FAST, gejala stroke 459 Fazekas, scale 495 Fenitoin 103 Fenobarbital 103 Fenomena Bonnet 701 on-off 130 sudden o ff 130 unpredictable o ff 130 wearing o ff 130 Fenoprofen 584 Fentanil (transdermal) 651, 652 Festination 118 Fibrilasi atrial, lihat atrial fibrilasi Fiksasi 290 Fingolimod 255, 256 Fisioterapi 370,417, 722 Fistula dural arteriovena 533 Fisura orbitalis superior 314 Sylvii 169 FLACC [face, legs activity, cry, consolability) Scale 648 Flail arm syndrome, lihat sindrom Flail leg syndrome, lihat sindrom Fluensi 168 Flukonazol 242



Buku Ajar Neurolog i



Fluoksetin 566, 577 Flusitosin (5TC) 242 Fokalitas denervasi 366 Fonofobia 574,582 Foramen Luschka 45 Magendie 45 neuralis 343 obturator 708 stilomastoid 138, Forced duction 303 Forced generation 303 Formasio retikularis 16,550 Fosa posterior 28 Fosfenitoin 103 Fotofobia 574, 582 FOUR (full outline o f unresponsive) score 23 Fraktur basis kranii 387, 396 anterior 396 posterior 396 kompresi 350,644 Free muscle transfer 723 Freezing 117 Fresh frozen plasma (FFP) 441,524 Froment, lihatmanuver Frontal battery assessment (FBA) 423 Frontal eye field {FEF} 291 Frontalis 139 Frontotemporal disorder with parkin­ sonism 217 Frontotemporal disorder with amyo­ trophic lateral sclerosis (FTD-ALS) 217 Functional training 370 Fungal burden 241 Fungsi bahasa 167 eksekutif 174 konstruksi 212 luhur 190 Furosemid 280,439, 540 Fused in sarcoma (FUS), protein 756 Fusion magnetic resonance 140 Faset, lihat sendi



G Gabapentin 566, 579, 605, 655 Galantamin 208, 214 Gamma knife radiosurgery 592 Gamma-aminobutyric acid (GABA) 76,100 Gangguan autoregulasi 453,541 fungsional 327,367,586,706,715 gait 202



gerakan bola mata 285 anatomi 287 diagnosis 304 diagnosis banding 304 epidemiologi 285 gejala dan tanda klinis 295 patofisiologi 287 tatalaksana 315 kognitif 195 menelan 367 metabolik 6,18, 21, 31 pemusatan perhatian 153 pendengaran 274, 276, 279 pengosongan kandung kemih 370 perfusi 447,456 sensorik proprioseptif 4 Ganglia basal 110 Ganglion radiks dorsalis 550, 663, 691 Gaze holding 287 Gaze shifting 287 GelombangF 720 GeneXpertE MTB/Rif 52 Genu kapsula interna 211,212 Gerakan bola mata binokular 287 horizontal 291 monokular 287 vertikal 294 Gertsmann, sindrom, lihat sindrom Giant cell arteritis 313 Girus angularis 168,186,212 Glikoiisis 51,642,729 Glioblastoma 323,329,331 Glioma 324 Gliosis 215,490 Transkortikal 215 Globulin 51 Globus palidus 111 segmen interna 111 segmen eksterna 111 Glutamat 457, 550 Gower, lihat tanda Graded naming test, lihat tes Granular osmiophillic material (GOM) 489 Granulasio araknoid, Pacchioni 501 Granulocyte-macrophage colonystimulating factor (GM-CSF) 642 Granulomatosa nekrotik, peradangan 228 Greater sciatic foramen 710 Green birefringent 487 Growth factor 529 Guillain- Barre syndrome, lihat sin­ drom Guillain-Barre (SGB)



768



Guillain-Barre syndrome disability score (GBS disability score) Guillain-Barre syndrome with treat­ ment-related fluctuation (GBS-TRF), lihat sindrom Guillain-Barre (SGB)



H Hachinski, lihat skor Halo sign 396 Head-impulse test, lihat tes Head-roll test, lihat tes Headache diary 586 Hemangioblastoma 343 Hematogen 228, 344 Hematom 393 serebelar 525 Hemianopia 4,164,172 Hemifasial spasme 136 diagnosis 139 diagnosis banding 140 epidemiologi 136 gejala dan tanda klinis 139 patofisiologi 136 primer 136 sekunder 138 tatalaksana 141 Hemikrania kontinua 586 Hemineglect, lihat hemineglek spasial Hemineglek spasial 212 Hemisfer dominan 173, 186 ldri 183,191 serebri 16,183 Hemodiiusi 541,542 Hemoreologik 468 Hemosiderin 493,537 Heparin 463, 511 low-molecular weight heparin (LMWH) 511 unfractioned heparin 511 Hepatitis 233, 237 Hepatotoksisitas imbas obat 236 Heredodegeneratif 109 Herniasi cingulata 38 nukleus pulposus 631 otak 38 sentral 38 serebral 38 tentorial 38 tonsilar 39 transtentorium 38 unkal 38 Herring law 287 Hialinisasi 490, 515 Hidromorfon 651-3 Hidrops endolimfatik 274



Indeks



koklea 277 vestibuler 277 Hidrosefalus 42,231,543 High density lipoprotein (HDL) 454 HINTS 270 Hiperakusis 431, 672 Hiperalgesia 5, 548, 549 Hiperdensitas 519 Hiperestesia 549 Hiperglikerma 670 Hiperkapnia 19 Hiperkoagulasi 440 Hiperlipidemia 449, 455 Hiperosmolar 31, 43 Hipertensi 453.515 Hipertensi intrakranial 503, 505. 510 Hipertermia 21,31,33,400 Hipertrigliserida 454 Hipertropia 297,300,301 Hiperurisemia 454 Hiperventilasi 91,92 neurogenik setitral 21 Hipervolemia 542 Hipestesi 4,9 Hipoalgesia 549 Hipoestesia 549 Hipoglikemia 6,18, 22, 31 Hipokampus 152 Hipoksia 33, 58 Hiponatremia 19,235,438 Hipoperfusi 447,491 Hiposmia 118, 425 Hipotalamus 17,113 Hipotensi 4 ortostatik 8 ,1 2 1 Hirschberg, lihat tes Honeymoon period 129 Horner, lihat sindrom House-Brackmann, grading Hughes score, lihat Guillain-Barre Syndrome Disability Score (GBS Dis­ ability Score) Human brain microvascuiar endothe­ lial cells (HBMECs) 240 Human immunodeficiency virus (HIV) 227,239 Hunt and Hess, lihat skor Hyndman's sign, lihat tanda Hypermetric contraversive saccade 307 Hypermetric ipsiversive saccade 308 Hypometric contraversive saccade 308 Hypometric ipsiversive saccade 307 Hypoxic ischemic injury



I



Iatrogenik 414,434, 531, 542 Ibuprofen 575, 584, 617, 651 Ice pack eye test, lihat tes ID-migraineTM 574 IgG-AQP4 258, 261 IgG-MOG 261 Immediate memory 219 Immediate postoperative seizure 58 Immune reconstitutional inflamma­ tory syndrome (IRIS) 242, 247 Immunofixation electrophoresis (1FE) 669 Inumoglobulin intravena (IV1G) 6 8 6 , 723, 751 Imunokompromais 239, 241 Imunomodulator 263 Imunosupresan 263, 752 Inclusion body myositis 724 Indirect sign, lihat tanda Indonesia Stroke Registry 452 Inersia 2 1 2 , 220 Infark 456 batang otak 21, 31, 269 hemoragik 499, 507 inkomplet 493 komplet 493 lakunar 477, 494 miokard 456 subkortikal 479,493 Infeksi oportunistik 239 salurannapas 274 sistemik 31, 244, 328, 501, 569 Infratentorial 252, 253 Inhibitor asetilkolinesterase 207, 214, 221



MAO-B 123,128 Inhibitorik 566, 600 Initial Pain Assessment Inventory (IPAI) 562 Injeksi konjungtiva 303, 574, 588 Jnjeksi gliserol 592 toksin botulinum 133,143 Inkhisi neuron 216 Inkontinensia alvi 4, 9, 349 uri 4, 9, 349 Inouye's Risk Classification 56 Instabiiitas postural 118 spinal 352 Instrumental activity o f daily living (IADL) 196 Insufficient reserve 359 Insula



769



anterior 215 posterior 551 integrin very late activation antigen (VLA)-4 725 Intercellular adhesion molecule (ICAM) 725 Interferon-fSla 256 Interferon-filb 256 Interleukin-6 (IL-6 ) 642 Intermediate host 244 Intermitten catheterization (IMC) 370 International Association fo r the Study o f Pain (IASP) 547,648 International Medical Society o f Paraplegia (IMSOP) 403,414 International Panel fo r NMO Diagno­ sis (IPND), kriteria 260 International Study on Cerebral Vein and Dural Sinus Trombosis 501 International Study on Cerebral Venous Trombosis 500 International Subarachnoid Aneurysm Trial (ISAT) 540 Internuclear ophtalmoplegia (INO), lihat oftamoplegia internuklear Interval lusid 393 Intoksikasi 20,31,33,87 Intraaksial 308 Intracranial pressure, lihat tekanan intrakranial Intradural ekstramedula 338 Intramedula 338 Intraorbita 287, 303 Intratekal 46 antibiotik 46 kemoterapi 46 obatbius 46 Intravenous immunoglobulin (Jvlg), lihat imunoglobulin intravena Intubasi 411,460,521,540 iPad-based speech therapy, lihat terapi Ipsiversive 304 Irigasi 28, 542 Iskemia 456 Isoniazid 234 Isotonik 398, 521 Isotonis 462



I jalannapas 21,33,398 Japan alteplase clinical trial 464 Jaras asendens 268 desendens 268 langsung (direct) 112



Buku Ajar Neurologi



mamilotalamik 2 1 2 tidak langsung (indirect) 112 Jaw thrust 409, 411 Joint fusions and rotational 723 Jukstakortikal 252,253 Jump sign, lihat tanda Juvenile absence epilepsy (JAE) 92 Juvenile myoclonic epilepsy QME) 93 K Kafein 113, 584, 653 Kakosmia 4 Kaku kuduk 26, 517, 533 Kalium diklofenak 575 Kalsium intraselular 457 Kanabinoid 606,642 Kanalis auditorik interna 138,278,431 Dorello 314 semisirkular anterior 272 semisirkular horizontal 272 semisirkular posterior 272 spinalis 338, 624 Kanalolitiasis 276 Ranker 324, 641 Kantus lateral 143 Kapasitas fungsional 359 Karbamazepin 58,87, 606 Karbonikanhidrase 42,579 Kardioemboli 446-8 Karnofsky performance score 332 Kaskade koagulasi 440,455 Katekolamin 420, 424 Kateterurin 417,540 Kauda ekuina 338, 349, 635, 692 Kaudo-rostral asending 119 Ream Sayre, lihat sindrom Kecepatan hantar saraf [KHS] 602, 665,683, 736 Kecepatan proses pikir 422 Rejang fokal, lihat kejang parsial parsial 141, 448 pascaoperatif 59 perioperatif 57 umum 4, 6 , 93,505 Kelancaran bicara, lihat fluensi Kelumpuhan lirik horizontal 304 vertikal 304 Remosis 303 Kemoterapi 334,353 Reracunan alkohol 22 Rernig, lihat tanda Kerusakan sekunder 402 Kesadaran berkabut 23,159 derajat kesadaran 22,23



kualitas kesadaran 16 patofisiologi 16 Keseimbangan 267 Keterjagaan 16 Ketorolak 575, 651 Kewaspadaan, lihat alertness Rlaster, nyeri kepala, lihat nyeri kepala tipe klaster Rlaster, poia nafas 39,518 Rlonazepam 92,141 Klopidogrel 449,497 Rlumpke, lihat sindrom Roagulopati 523 Roagulopati pascacedera kepala 440 diagnosis 440 diagnosis banding 440 gejala dan tanda klinis 440 patofisiologi 440 tatalaksana 441 Rodein 650-9 Roklea 274, 277 Rolikulus superior 112,158,292 Kolinergik 17,424 Roma 24 Romisura posterior 295 Romosio 393 Rompensasi sentral 278,279 Komplikasi neurologis pascacedera kepala 419 perioperatif 54 kognitif 419 diagnosis 423 diagnosis banding 423 gejala dan tanda klinis 422 patofisiologi 419 tatalaksana 423 nonkognitif 425 metabolik 438 Rompos mentis 23 Komprehensi 170 Rompresi neurovaskular 137 arachnoid type 137 branch type 137 loop type 137 perforator type 137 sandwich type 137 tandem type 137 Kondisi stres oksidatif 458 Eonduksi lompatan 665 Rongesti nasal 587,588 Ronjugat 287, 290 Konkusio, lihat concussion Ronsultasi 53 Rontraktur 368, 372 Kontrol trunkal 368



770



Kontusio 387 Konus dystrophic growth 365 Ronvergensi 285, 290, 304 Korda lateral 707 medial 707 posterior 707 Korioretinitis toksoplasma 244 Rorpus kalosum 183,253 Korpus vertebra 343, 624 Korteks frontal 215, 291 serebri 16,160 cingulata anterior 551 temporoparietal 185,267 Kortikosteroid, lihat steroid Eraniektomi dekompresi 469 Rreatinin kinase 735 Rrikotiroidektomi 410 Rriopresipitat 441 Kriptokokoma 242 Krisis miastenia 68 , 751 Rriteria Boston 488 Ruadranopia 4 Kultur jamur 242 tuberkulosis (TBJ 52 Kupulolitiasis 276 L Labirin 268,431 Labirintitis 276 Labyrinthine concussion 432 Laccase, enzim 240 lacunar syndrome 493 Lagoftalmus 303, 674 Laju endap darah 448, 594, 637, 669, 720 Lakrimasi 431,588,672 Laktat 580, 642 Lambert-Eaton myasthenic syndrome, lihat sindrom Lamina terminalis 535 Laminar cortical neuronal apoptosis 489 Lamotrigin 87, 592, 604 LANSS, lihat Leeds assessment o f neuropathic symptoms and signs Language impairment-based treat­ ment 373 Large subcortical hemorrhages 494 Laserasi 387 Laseque, lihat tes Late seizure 58 Latensi distal 683,736 Lateral flow immunochromatographic assay (LFA) 242



Indeks



Leeds assessment o f neuropathic symptoms and signs (LANSS) 602 Lemniskus lateralis 16, 776 medialis 16 Lempert, manuver, lihat manuver Lentikulostriatum 212 Leptomeningeal 594, 647 Lesi desakruang 243,323,326 destruksi 17 folral multipel 243, 245 kompresi 17 miogenik 736 neurogenik 736 ovoid 253 pan-supraldavikular 718 Lesioning 130,131 Letargi 24 Leucocyte function-associated antigen [LFA)-1 725 Leukoaraiosis 490 Leukovorin 246 Leusin-enkefalin 552 Levetirasetam 87,95,334 Levodopa 65,124,127-131 Levofloksasin 237 Lewy neurites 114 Lhermittes, lihat tes Lid lag 303,749, Lidokain 48-49, 588, 620, 656, lifelong reinforcement 359 Ligamentum flavum 48,624-625,692 inguinal 708 interspinosus 624-625 intertransversal 625 longitudinal anterior 624 posterior 624 supraspinosus LimfositT 240,249-251,264 Limited regeneration 359 Lintasan sensorik nonspesifik 16 spesifik 16 Lipohialinosis 447,480,498,508, Low-density lipoprotein receptorrelated protein 4 (LRP4) 741, 745 Lisinopril 578 Litium 67,589 Locked-in syndrome 32 Logroll 405,412 Long extended transverse myelitis (LETM) 260 Long segment myelopathy 261-262 Lorazepam 103, 605 Lou Gehrig's disease, lihat amyo­



trophic lateral sclerosis (ALS) Low-density lipoprotein (LDL) 496 Low-molecular weight heparin (LMWH), lihat heparin Lupus eritematosus sistemik 254, 261,558 M M. Platysma 136 M, tuberculosis 245, 247, 249 Maddox rod, lihat tes Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada afasia 191 padacederakepala 393-394,397,437 pada cedera medula spinalis 407-408 pada cerebral small vessel disease 488,490,493-495,497 pada childhood absance epilepsy 91 pada demensia 214,220 pada gangguan gerak bola mata 311,315 pada hemifasial spasme 140 pada infeksi oportunistik 245 pada juvenile absance epilepsy 94 padameningitistuberkulosis 231,236 pada miastenia gravis (MRI toraks) 750 pada multipel sklerosis 252-254 pada neuromielitis optik 260-263 pada nyeri kepala 594 pada nyeri leher 616 pada nyeri punggung bawah 629630, 636-637 pada penyakit Parkinson 121-122 padaperdarahansubaraknoid 537 pada radikulopati 702-703 padasindromGuillain-Barre 682,684 pada status epiieptikus 105 pada stroke iskemik 459 pada trombosis vena serebral 506, 508,510,519 pada tumor otak 327,331 pada tumor spinal 350,352,354 sebelum pungsi lumbal 47 Magnetic resonance spectroscopy 94, 328 Major histocompatibility complex (MHC) 230,251 Malformasi arteriovena 534,594, 764, Malformasi Chiari tipe I 138 Malingering 6,32,423 Froment, lihat manuver Manitol 33,43,333-334,398,439, 461, 521, 540 Manometer 48-49, 243 Manual agility test 117 Manuver Brandt-Daroff 281-283



771



Epley 280-281 Froment 117 Lempert 283 Semont 280, 282 Valsava 531, 699 Masked face 117 Masseter 143 Maternal birth palsy 712 Maternal obstetric paralysis 712 Maternal peroneal palsy 712 Matriks ekstraseluler 529 Matrix metalloprotease (MMP) 229, 255,497 Me Gill Pain Questionnaire 561-562, 602, McDonald, kriteria 252,257 Mean arterial pressure [MAP), lihat rerata tekanan darah arteri Medial vestibular nucleus (MVN) 292 Medical Research Council (MRC) 231 MELAS [mitochondrial encephalomyopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes) 315,480 Melodic intonation therapy (MIT}, lihat terapi Memantin 192, 203, 208, 214,424, 605 Membrane attack complex (MAC) 259, 678, 725, 743-744, 777 Memori anterograd 150,153,179, 219 deklaratif 151 eksplisit 151 episodik 151 gangguan 153, 422 implisit 151 jangka panjang 150-151 jangkapendek 219 long-term 150 nondeklaratif 151 nonverbal 153,162 prosedural 151,153, remote 154-155 retrograd 150,153, 219 semantik 151 shortterm 150 working 94,150, 213,424, Memorial Pain Assessment Card 562 Meniere, lihat penyakit Meningen medula spinalis 338-339 Meningioma 323-325,328,330-331, 337-338, 342, 589 Meningitis kriptokokus 239 diagnosis 45, diagnosis banding 241



Buku Ajar Neurologi



epidemiologi 239 gejala dan tanda klinis 241 komplikasi 243 patofisiologi 239 tatalaksana 242 tuberkulosis (TB) 11,227-236 Meperidin 651, 654 Merokok 66,113,446, 454,482, 531, Mesensefalon 17, 39, 268, 289, 304, 531, 684, Metabolisme anaerob 386,458 Metadon 651-653 Metastasis 328,338,341,627,643647, 656, 696 Metilfenidat 424, 653, Metilprednisolon 256, 263-264, 412-413, 434 Metisergid 589 Metode ABC 519-520 Metoldopramid 575, 653 Metoprolol 578 Miastenia gravis (MG) anatomi 741-742 diagnosis 740 diagnosis banding 740 epidemiologi 741 fisiologi 741 gejala dan tanda klinis 743,746 klasifikasi 745,747 subtipe EOMG: early onset myastenia gravis 746 LOMG: late onset myasthe­ nia gravis 746 MAMGi anti-MuSK-Abassociated myas tenia gravis 746 0 MG: ocular myastenia gravis 746 SNMG: seronegative myas­ ten ia gravis 746 TAMG: thymoma-associat­ ed myastenia gravis 746 tatalaksana 751 Microbleeding 482,494 Microhemorrhages 489 Microvasculardecompression 592 Midazolam 48,103-106, 511, 659 Midline shift 47, 339, 391, Mielin 249,259,491,549,590,663, 716 Mielinopati 663-664, 668 Mielitis 227,258-263, 349, 685 Mielopati 349, 614-618, 685, 704705 Migraine screen questionnaire (MS-



Q), lihat questionnaire Migrainous infarct 571 Migrain-triggered seizure 571 Migren diagnosis 574 diagnosis banding 575 gejala dan tanda klinis 573 klasifikasi abdominal 571 basiler 278 dengan aura 213,448, 571, 574 kronis 571 retinal 571 tanpaanra 571,574 vestibular 267, 269, 279, komplikasi 571 patofisiologi 571 profilaksis 576 indikasi 576 tujuan 577 stadium 573 tata laksana 575 Mikroaneurisma 453,480-482,515 Mikroglia 230, 250, 362, 458,485, 600 Mikrografia 117 Mikrovakuolisasi 215 Mikrovaskular 63,141, 287, 311, 317,426 Mikrovaskulitis inflamasi 716 Mild cognitive impairment amnestik ranah jamak 200 amnestik ranah tunggal 200 nonamnestik ranah jamak 200 nonamnestik ranah tunggal 200 Mild hypothermia 469 Miller-Fischer, lihat sindrom Mini-mental status examination (MMSE) 9, 55-56,155-156, 423 Miokimia 140,665,714 Miopati Diagnosis 726 diagnosis banding 733 epidemiologi 724 jenis distrofi muskuiar 724 miopati didapat 727 miopati diinduksi obat 727 miopati endokrin 727,730 miopati herediter 727 miopati inflamasi 727, 729-731, 735-738 miopati metabolik 727, 729-733 miopati mitokondriai 727 miopati terkait penyakit sistemik 727



772



miopati toksik 727 patofisiologi 724 Miosis 587-588, 752 Miositis 724,727,738 Miotom 3,405,694,697,720 Miotonia 66 , 727, 728, 730, 732, 737 Misdirection sprouting 366 Mm. Orbicularis okuli 139-142, Orbikularis oris 139 Periokular 139 Zigomatikus 139 Mobilisasi 34,57,354,368, Modified Hoehn and Yahr 121,122 Modified ran kin scale (mRSj 465,496 Mofetil Mycophenolate 63, 264, 752 Moksifloksasin 234 Momen inersia 419 Mononeuritis multipleks diabetik 714 Mononeuropati multipleks 667 Monroe-Kellie, lihat doktrin MonroeKellie Montreal cognitive assessment (MoCA) 9,155,157,327 Morfin sulfat 65 It Morning jerks 93 Moth-eaten appearance 350 Motor neuron disease (MND) 663, 737t acquired 756 bentuk monomelik 757t diagnosis 758 diagnosis banding 759 epidemiologi 755 gejala dan tanda klinis 756 herediter 756 paraneoplastik 759 patofisiologi 756 tatalaksana 759 Motor unit 756 Motor unit action potential (MUAP) 736 Motorik 3 ,4 ,9 ,3 0 ,3 1 Movement Disorder Society (MDS) 128,129,132 MR venografi 506, 508, 510, 594, Multifocal motor neuropathy (MMN) 669, 733,757, 759 Multipel mononeuropati, lihat mono­ neuropati multipleks Multipel sklerosis diagnosis 252 diagnosis banding 252,253, 254 epidemiologi 249 gejala dan tanda klinis 250 patofisiologi 249,



Indeks



primary progressive multiple sclerosis (PPMS) 250 prevalensi 249 progresivitas 250,253,256 relapsing remitting multiple sclerosis (RRMS) 250 secondary progressive multiple sclerosis (SPMS) 250 tata laksana 256 Muscle relaxant, lihat pelemas otot 461 Muscle-specific kinase (MuSK) 741 Musical speech stimulation (MUSTIM) 375 Mutisme 32,184,188,191 Myasthenia Gravis Composite Scale 748 Myasthenic snarl 744 Myelin pallor 490 N Nadolol 578 Nalokson 412, 653 Naming, lihat penamaan 171,187, 188, 374 Narkolepsi 260 NASCIS (National Acute Spi­ nal Cord Injury Study) II412 Nasopharyngeal airway 409, Natalizumab 255 National Comprehensive Cancer Net­ work (NCCN) 641, 651, 655 National Institute o f Neurological Disorders and Stroke (NINDS) National institutes o f health stroke scale (NIHSS) 465,468,471, 472 Natrium naproksen 575 Neck stretch 618, 619 Neck tilting 618, 619 Neck turn 618,619 Neglect agraphia 173 auditory 167 body-160 dysgraphia-161,173 dyslexia-161,172 environment-centered-160 hemi-, lihat hemineglek spasial hemispatial neglect 164 object-centered 163 sensory-164,166 spatial-160 tactile 167 visuaM65,166 Nekrosis fibrinoid 453,480,481, 482,486,515 Neokorteks Anterior 215



Prefrontal 215 Neologisme 185 Neostriatum 111 Nerve grafting 723 Nerve growth factor (NGF) 641, 642 Nerve root entry zone 136, Nerve sprouting 641, 642 Nervus abdusens 39, 287, 292, 326 fasialis 12,136,137,138, 672, 673, 680, 681 meningeal rekuren 692 okulomotor 26, 27, 28, 287, 291, 292, 294 optikus 162, 258, 260 trigeminus 587, troklear 287 vestibularis 268, 271, 274 vestibulokoklearis 139, 431,433,435 Neural integrator 292, 294 Neural structural repair o f replace­ ment 359, Neuralgia trigeminal diagnosis 591 gejala klinis 590 klasifikasi klasik 589 simtomatik 589 patofisiologi 590 pemeriksaan penunjang 592 . tata laksana 592 Neuritis puerperalis 712 vestibular 267, 274, 276, 277 Neurodegenerasi 112,197, 206 Neurofibrillary tangles 206,207 Neurofibroma 330, 341, 342 Neurokinin A 572 Neuroleptic malignant syndrome 57, 68



Neurolisis 722, 759, Neurology music therapy (NMT), lihat terapi Neurological reserve 54, Neuroma 599, 641, 645, 723, Neuromielitis optik (NMO) diagnosis 261 diagnosis banding 262 epidemiologi 258 gejala dan tanda klinis 259 patofisiologi 258 Neuromodulasi 359,371,469, Neuromuscular blocking agent 67, Neuromuscular electrical stimulation (NMES) 111, Neuromuscular-junction, lihat taut saraf-otot



773



Neuromyelitis optica spectrum disor­ ders (NMOSD) 260,262 Neuron burst neuron 291, 294, 307 pascasinaps 361, 362, 366 presinaps 78, 361 von Economo 215 nosiseptif 549, 572, 623 ordo satu 548,550 ordokedua 550,551,552 ordoketiga 551 wide dynamic range neurons 550 Neuronal intermediate filament inclu­ sion disease 216 Neuronopati 663 Neuropathic pain questionnaire (NPQ), lihat questionnaire 602 Neuropati diabetik 598, 607 diabetikproksimal 714 diagnosis banding 667 diagnosis klinis 667 epidemiologi 663 gejala dan tanda klinis 665 jenis polineuropati 6 6 6 , 667, 668



multifokal 667, 670 multipel mononeuropati atau mononeuropati multipleks 667 neuropati fokal 667 mononeuropati 667 kranial multipe! 314 optik 303,426 patofisiologi 663 radikulopleksus lumbosakral diabetik 714 tata laksana 668 Neuropatologis 120, 548, 758 Neuropeptida y 100 Neuroplastisitas 359, 360,425 Neuropraksia 716,723 Neuroprotektor 123,193,468 Neurorecovery 468 Neuroregenerasi 359, Neurorehabilitasi 359, 469 Neurorepair 359 Neurorestorasi 359, 368, 469 Neurorestorasi fungsional 366, 371 pada afasia 373 pascastroke 367, 469 rehabilitatif 368, 371, 372,469 Neurorestoratologi 192, 359



Buku Ajar Neurologi



Neurotization, intraplexual 723 Neurotmesis 716 Neurotoksisitas 63, 486 Neurotransmiter 76,119,142,198, 419, 550, 566, 606 Neurovascular coupling 491 New oral anticoagulant (NOAC) 62, 468 Nifedipin 578, 589 Nikardipin 524, 578 Nikotin 113,454 Nimodipin 541, 578,589 Nimotuzumab 335 Nistagmoid 306 Nistagmus 28, 87, 269, 276,304 ageotropik 276 dissociated nystagmus 306 geotropik 276, 281 torsional 276 sentral 269, 270 upbeat 269, 270 downbeat 269, 270 N-methyl-D-aspartate (NMDA) 76,77, 386, 440, 600,604, 645 Nonconvulsive status epilepticus (NCSE), lihat status epileptikus nonkonvulsivus Nonmotor symptom questionnaire, lihat questionnaire Non-motorik 109,118,119,133 Nonperisylvian 184 Norepinefrin 133,158, 525, 565, 572, 577 Nortriptilin 133, 655 Nosiseptif 353, 548-550, 552, 623, 634, 645,650, 656 Nosiseptor 548, 626, 641, 642 NOTCH3 211, 489 Noxious stimulus 549,552,556 Nucleusprepositus hypoglossi (NPH) 292 Nuldeus fastigial 292,307,308 interstitial Cajal 268 kaudatus 111, 184, 211, 212, 292 pulposus 403,626,631 salivatorius superior 572 subtalamikus 111, 131 vestibuiar/vestibularis 268, 273 Numeric rating scale (NRS) 8, 560,561, 602, 648, Nutrisi enteral 462,522 Nyeri adaptif 548 aksial 347,611 akut 632, 647



alih 614,622,628,632,633, campur (mixedpain) 646, 648, 649 dasar 646 definisi 547 diskogenik 613, 620 evaluasi 552, 559, 594, 615, 648 anamnesis 552 pemeriksaan fisik 557, pemeriksaan penunjang 594 fantom 598 inflamasi 600, 617 intervensi 567,617,619,620 kanker akut641 diagnosis 647, 648 epidemiologi 641 gejala klinis 645, 646 kronik641, 648 patofisiologi 641-645 tatalaksana 648-656 kepala pascapungsi 46 definisi 569 primer 569 sekunder 570 tipe klaster diagnosis 588 ldasifikasi 587 episodik 587 kronik 587 patofisiologi 587 tatalaksana 588 tipe tegang diagnosis 582 gejala klinis 582 ldasifikasi 579 patofisiologi 580 tata laksana 584 kronik 564, 604, 606, 637, 648 leher diagnosis banding 615616 epidemiologi 609 gejala dan tanda klinis 614-616 ldasifikasi 611-614 patofisiologi 609-614 red flags 616 tata laksana 616-620 lokal 548, 628, 634 maladaptif 548 miofasia! 614, 628, 629, neuroanatomi 548 neuropatik 549 diagnosis 602 epidemiologi 598



774



gejala dan tanda klinis 601 patofisiologi 598-600 mekanisme perifer 599 mekanisme sentral 599 tata laksana 604-608 nosiseptif 548, 623 okular 260 patofisiologi 548 prinsip manajemen 564-567 punggung bawah anatomi 624-626 diagnosis 634-637 epidemiologi 622 etiologi 626-634 spesifik 626 nonspesifik/idiopatik 626 gejala dan tanda klinis 632-637 patofisiologi 623 red flags 635 tatalaksana 637-639 radikular 349, 633, 646, 697, 699 sentral/pusat 606 somatik 395, 554, 645, 646 sontak 641, 645, 646, 655, 656 tajam 428,633 tumpul 554 viseral 646 O



Obat antiepilepsi (OAE) 58, 87,92, 525 antiinflamasi non steroid (OAINS) 564,638,650, antituberkulosis (OAT) 230, 234,236,237 dayatembus 234,235 linisatu 234 Obtundation 24 Occip ito -temporo-parietal junction 308 Ocularflutter 308 Ocular misalignment 285, 295 horizontal 316 vertical 316 Oftalmoparesis 285, 315, 734 Oftalmoplegia 285, 286 679-82, eksternal 311 internal 311 internuklear 306 painful 296 Okludin 240, 324 Oklusi parsia!446 Oksigen 33,411,416,460,476,580 100% 588



tndeks



Oksikodon 605,651,652,654 Oksimorfon 651, 652 Dkskarbazepin 87, 606 Oligodendroglioma 324, 327-9, 331, 342 Dligodendrosit 136, 249, 259, 261, 324,491 Dligoklonal, pita, lihat pita oligoktmal Dmnipause neuron 292, 294 One and a half, lihat sindrom Dnkogenesis 324 On-off, fenomena, lihat fenomena Dokista 244 Open-mouth odontoid 407 Operkulum parietal 551 Opioid 552, 564, 604-7, 650-6 lepas cepat (immediate release) 654 switching, lihat penggantian apioid Opioid-naive, lihat pengguna opioid aaru Opioid-tolerant, lihat pengguna apioid rutin Optokinetic nystagmus (OKN) 300 Optokinetik 290,300 Oral Reading fo r Language in Aphasia (ORLA) 376 Organized stroke care 368 Oropharyngeal airway 398,407 Ortosis 371, 722 0s petrosum 274 Osilasi okular 304 Ostlopsia 276 Osmoterapi 400,461,521 Osteoklas 344, 643, 644, 656 Osteoporosis 631 Otokonia 273, 276, 280 281 Otorea 22,395,396,433, Otorrhea, lihat otorea Otot ekstraokular 287,295,315 hamstring 710 P



PainDetect 602, 603 Painfulface scale 602 Paliatif 332, 335, 355 Palidotomi 131,132 Palidum 112 Pannecrosis 491 Papiledema 29, 39, 505, 511 Parafasia 169,179,185,188 Parafrase 187 Paralisis agitans 109 Klumpke, lihat sindrom



lower motor neuron (LMN) 677 neuromuskular 461 Paramedian pontine reticular form a­ tion (PPRF) 291, 294, 306, 307 Paramiotonia 724, 727, 730, 737 Paraneoplastic motor neuron disease, lihat motor neuron disease Paraneoplastik, lihat sindrom Parasetamol 521, 575, 584, 650, 656 Parent artery 477 Paresis nervus III 308,311,313 komplet 313, 317 terisolir 311,312,317 nervus IV 297,313,316 nervus VI 286,297,314,318 Parietal eye field (PEF) 292 Parkinson 109 anatomi 110 diagnosis 121 diagnosis banding 121 epidemiologi 110 gejala dan tanda ldinis 115 Idiopatik 109 patofisiologi 112 plus, lihat sindrom primer 109 tatalaksana 121 Parkinsonisme 68,109,121,122, 216 Parkinson ism-hyp ernirexia syn drome (F|HS) 68 Parks-Bielschowsky three steps test, lihat tes Paroksismal hemikrania 586,588 Parsonage turner syndrome 712 Partial on response 130 Partner approaches 376 Parvocellular reticular formation 112 Pascatransplantasi 62,63, 64 Peak dose dyskinesia 130 Pediatric migraine disability assestment (PedMIDAS) 574 Pedikel 344, 624, 644, 692 Pedunculopontine nucleus (PPN) 112 Pelemas otot, lihat obat pelemas otot Pelvic outlet 710,712 Pembedahan 722, 723 primer, pada pleksopati 722 sekunder, pada pleksopati 723 Pemeriksaan cover uncover 297,429 fungsi luhur 9, 90, 94 keseimbangan dan koordinasi 9 motorik 9, 405, 666 nervus kranialis 9 neuropsikologi 219 otonom 9, 518



775



pupil 9,26 sensorik 9,402,518,688 Pemulihan fungsional 192,359,368, 514 Penamaan 171 Penapisan delirium 54 Pendekatan klinis 3,312,337 Penetrating artery 477,516, Penetrating vessels 477 Penggantian opioid 652, 654 Pengguna opioid baru 651 Pengguna opioid rutin 651,652, Penghambat 68, 578 Beta 578 kanalkalsium 578 monoamin oksidase (MAO) 68 Pengkodean 152,183 Pengulangan 159,168,185, 220 Peningkatan enzim transaminase 236 tekanan intrakranial 36 epidemiologi 36 gejala dan tanda klinis 39 patofisiologi 36 tata laksana 42 Pentobarbital 104 Penumbra 366,456,457,458,512 Penumbra system 512 Penurunan kesadaran 16-34 diagnosis 30 diagnosis banding 32 gejala dan tanda klinis 20 anamnesis 20 onset 20 klasifikasi 31 pemeriksaan penunjang 30 tata laksana 33 Penyakit Binswanger 211,213,481,490 degeneratif 31,110,195, 201, 270 Ehlers-Danlos tipe IV 530 Fabry 480, 481 ginjal polikistikautosom dominan (PGPAD) 530 Kennedy 733,759 Meniere 274, 276 neuromuskular 66, 735 neuron inldusi filamen menengah 216 Penyangatan meningen 242 pada daerah basal 232 Penyekat kanal kalsium, lihat peng­ hambat kanal kalsium Peptida 485,572 Ap 485 intestinal vasoaktif 572



Buku Ajar Neurologi



Perctitaneus endoscopic gastrotromy(PEG) 522 Perdarahan batangotak 269 epidural 389 hemisfer 31 intraserebral (PIS) 482,514 intraventrikular 390, 521, 535 lobar 483,484,488, 510, 525 mikro 209,211,477 parenkim 503, 505, 510 perimesensefalik 536 pontin 22,32 serebelar 32, 488 subaraknoid 390, 527 diagnosis 535 etiologi 528 gejala dan tanda klinis 532 patofisiologi 528 tata laksana 539 subdural 394 subhialoid 29,533 Perencanaan 174,176,213,217,423, Periaqueductal gray (PAG) 550 Periependimal 260 Perihematomal 517 Perindoprii Protection /(gainst Recur­ rent Stroke Study (PROGRESS) 489 Perineural 703,715,716,717 Perioral 88,139,143 Perisylvian 170,184,188,189 Periventrikuler 253 Perseverasi 178, 218 Persistent vegetative state 32 Pharyngeal-cervical-brachial weak­ ness, lihat sindrom Guillain-Barre Pick cells 215 Pictorial scale 602 Pill-rolling tremor 116 Pipa nasogastrik 34,416,462,519, 522 Pirasetam 191,192 Pirau ventrikuloperitoneal 236, 333, 390,511 Pirazinamid 234, 235, 236, 237 Piridostigmin 750,751 Pirimetamin 246, 247 Pita oligoklonal 253,254.261-3 Plak Aterosklerosis 446,455 Neuritik 206 Senilis 197 Plasma exchange, lihat plasmaferesis Plasmaferesis 263-264,685-686,751 Pleksitis lumbosakral idiopatik 712, 714



Pleksopati anatomi 706, 708 brakialis 717, 720 diagnosis 720 diagnosis banding 647, 666 epidemiologi 706 etiologi 711 gejala dan tanda klinis 717 infraklavikular lesi di fasikulus lateral 719 lesi di fasikulus medial 719 lesi di fasikulus posterior 719 lumbosakral 719 patofisiologi 715 prognosis 723 radiasi 714 supraklavikular tata laksana 722 Pleksus Batson 50, 343 brakialis 706, 710 koroid 45, 234, 240,329, 337 lumbal 708,712, lumbosakral 693,706,710-714 sakral 710 Pleositosis 232, 261, 263 Polifasik259, 687, 736 Polimiositis (PM) 729-731, 737 Poliomielitis 685, 759 Poliradikulopati diabetik 714 Polisitemia sekunder 454 Polymerase chain reaction (PCR) 50, 52,232, 246 Post herpetic neuralgia (PHN) 598 Post-concussion syndrome 424 Postdromal 574 Post-seizure state 31 Posttraumatic amnesia (PTA) 422, Posttraumatic epilepsy, lihat epilepsi pascatrauma Posttraumatic positional vertigo 433 Posttraumatic seizure (PTS) early 436-437 immediate 436-437 late 436-437 Postur simian 116-117 Posturing 368,372 Pramipeksol 123,127,129,133 Prednisolon 65, 264, 412, 589, 751752 Prednison 673, 703, 751-752 Pregabalin 141,566,604-607,655, 671, 704, 722 Prekursor opioid endogen 552 Premotorik 114,119,367



776



Presenilin (PS)1 206,483,486 (PS)2 206,483 Presinkop 267,271,671, PRIAMO (parkinson and non motor symptoms) 118 Primary lateral sclerosis 757 Primary progressive aphasia 202, 215,217,221, 375 Agramatik 220 Primary progressive multiple sclerosis (PPMS), lihat multipel sklerosis, subtipe Prisma Fresnel 316, 317 Permanen 316, 317 Probable migrain 571 Probable TAC 586 Prodromal 113,195, 274, 573, 574 Progesteron 331 Progressive amyotrophic diplegia 757 Progressive bulbar palsy (PBP) 757 Progressive multifocal leukoencephalopatby 254, 255, 752 Progressive muscluar atrophy (PMA) 757 Progressive nonfluent aphasia 217 Logopenic 217 Progressive Supranuclear Palsy (PSP) 68,109, 202, 216, 217 Proldorperazin 576, 653 Proksimitas 366 Promoting aphasias’ Communication Effectiveness (PACE) 376 Propanolol 128, 578 Propentofilin 214 Propofol 67,69,70,104,400,463, 523 Proprioseptif 4 Proprioseptive neurom uscular facili­ tation (PFN) 372 Proptosis 296,302,303,427 Propulsi 118 Proses akselerasi-deselerasi 419, modulasi nyeri 551, 552 persepsi nyeri 552 pikir 213,419,422,424 transduksi nyeri 551 transmisi nyeri 551 Prosesus spinosus 345,407,616,624, 625, 628 transversus 624, 625 Prosopagnosia 163 Protease 457, 529, 632, 642 Protein amiloidtipep 482,486 C-reaktif 594



Indeks



tau 198, 206, 216, 7rothrombin complex concentrates PCC) 524 ’rotoonkogen 324 ’rotrusi diskus 614,625,697,703 Pruning synapses 368, ^runing-relatedsprouting 364, 365 ’seudohipertrofi otot 728, 739 ’seudotumororbita 315,506,594 ’sikosis 63,118,190 ’sikotik 212 Psychogenic unresponsiveness 32, 70 >tosis 142,296,308,311,315,679, >81,744 7utse oximetry 21 ’ungsi lumbal alatdanbahan 48 indikasi diagnosis 46 terapi 46 kontraindikasi 46 komplikasi 46*47 prosedur lokasi insersi 48 ’upil asymmetric pupils 27 fixed, dilated pupils 26 fixed, midsized pupils 26 pinpoint pupils 26 Marcus Gunn 426 thalamic pupils 26 Pupil involvement 311,313,315 Pupil sparing 311,313,314,315 ’using berputar 8, 275,435 ’utamen 111,113,516,517,536 Quality o f life 334, 604 Questionnaire McGill pain questionnaire 561, 562,602 Migraine screen questionnaire (MS-Q) 574 Neuropathic pain questionnaire (NPQ) 602 Nonmotor symptom question­ naire 118 3 Racoon eyes 22, 396,399 3adiasio optika 16, 326 ladikal bebas 199,206,386,457, 158 ladiks dorsalis 706, 708 ventralis 706, 708 ladikulopati anatomi 691



diagnosis 697 diagnosis banding 703 epidemiologi 696 etiologi 697 patofisiologi 697 tatalaksana 703 Radiofrequency electrocoagulation 592 Radiosensitizer 335 Radiosurgery 131,334,592 Radioterapi 334, 352, 645, 656, Range o f motion 614,635 Range o f movement 116, 300 Rangsang nyeri 23, 24, 29 Raphe interpositus nuclei 294 Rafemagnus 552 Rasagilin 123,127,129,132, Rasio glukosa CSS 51, 52, 232, Rawat bersama 53 Reactive oxygen species (ROS) 63, 386, 387 Reaktivasi infeksi 240, 243, 244 Rebleeding 486, 536,540 Rebound phenomenon 333 Recall 151,155,156,178, 423 Recombinant tissue plasminogen activator (rTPA) 463,488, 542 Reemerges tremor 116 Refleks cahaya 308,426 Cushing 393, 399 kornea 429, 518 okulosefalik 27,29,40 okulovestibular 28, 34,40 pupil 25,40,411 spinal29,404 vestibulookular, lihat refleks okulovestibular Regenerasi abberant 140 abortif 363, 365 bonafide 365 neuron 123, 359 Regression o f cerebral artety stenosis (ROCAS) 497 Rehabilitasi kognitif 425 Reinervasi 365,366,674,722,756 Rekognisi 106,203,424 Rekombinan faktor Vila 441,524 Relapsing remitting multiple sclerosis (RRMS), lihat multipel sklerosis subtipe Relearningl92, 359 Renjatan neurogenik 402,411,413 spinal 402,404,405,410 Reorganisasi lokal 366 somatotropik 366



777



bihemisfer 367 Reperfusi 447, 456 Repetisi 169,188 Repetitive nerve stimulation (RNS] 750, 753, Repetitive tapping 117 Repetitive trancranial magnetic stimulations 368, 377 Rerata tekanan darah arteri 37,518 Rescue therapy, lihat terapi Reseksi luas 334 Reseptor asetilkolin 315, 741-743, 745 nosiseptif 548, 551 Resistensi 232, 234, 303, 372,459, 670, Respons motorik terhadap nyeri 25, 29,35 Responsivitas COz 43 Resting tremor 116 Restriksi 303,353,439,491,544 Retensi alvi 4, 518 uri 4,128,349,370,415,417,518 Retinitis retrobulbar 235 Retraction ball 362 Retraksi kelopak mata 302,303 Retrieval 152,155, 373, 374,423 Retropulsi 118,122 Reverse straight leg raise test, lihat tes Reversible posterior leukoencephaiopathy 63 Rey-Osterrieth complex figure test 154,162 Rhinorrhea, lihat rinorea Rifampisin 232, 234-237 Rigiditas roda gigi {cogwheel) 13,116 Riiuzole 759 Rinorea 22, 395, 396, 425 Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 149, 323,383,452,514 Risiko preoperatif 58 Rituksimab 264 Rivastigmin 133, 208, 214,424 Rongga perivaskular 479,489 Rood 371 Rostral interstitial medial longitudi­ nal fasciculus (riMLF) 268,294,295 Ruang subaraknoid 37,45,287,310, 390,507, 527 Ruptur aneurisma 528,531,536538, 540 S Saccade palsy 286 Sacral sparing 402,403



Buku Ajar Neurologi



Saddle anesthesia 349, 635, 702 Sakadik dismetria 286, 307 gangguan 286, 292, 304, 307, 308 memory-guided 292, 308 prediktif 292,308 refleks 292 vohmter 292 Sakulus 272 Salin hipertonik 43,400,439 Saltatory conduction, Iihat konduksi lompatan Sandbag 408 Santo krom 50 Sawar darah otak (SDO] 51,78,234, 324, 456,491, Schwannoma 328,332,341,342, 711 Secondary insult, Iihat kerusakan sekunder Secondary Prevention o f Small Sub­ cortical Strokes (SPS3) 496,497 Secondary progressive mulitple sclero­ sis (SPMS), Iihat multipel sklerosis subtipe Sel punca 131 Schwann 136, 678, 679 stromal 641, 644, 645 target 361,362, 365, 366 Selegilin 65,123,127,129 Selekoksib 651 Selective serotonin re uptake inhibitors (SSRF) 133,214,221,564,606,704 Semi-koma 23 Semiologi 85, 86, 88,91-93 Sendi faset 613, 624 sakroiliaka 627, 628, 630, 634, 712 Sensasi berputar 273 Sensitisasi perifer 549, 580, 599 sentral 549,573,580,599,604, 623,642, 645 Sensory enhancement techniques 370 Sentrifugasi 50, 232 Serabut A-delta 549-551,553,722 C 550,559,722 sarafaferen 549,550,552,553 Serebelum 7, 39, 267, 268, 290, 292, 307, 469 Serikonsep 213 Seroprevalensi 243 Serotonin 420,564-566,572,577, 656



Serotonin norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI) 133, 564,566, 577, 604 Serum penanda tumor 352 Serum transaminase 237 Shifting o f idea 213 Short-lasting unilateral neuralgiaform headache attacks (SUNCTJ 586,588 Shoulder abduction reflief sign, Iihat tes abduksi bahu Shoulder hand syndrome, Iihat sindrom Shuffling gait 118 Sianosis 21, 556 Sicard's sign, Iihat tanda Sign, Iihat tanda Siklus bangun tidur 32 Silent infarct 61,209 Simpatomimetik 26,105 Sindrom antifosfolipid 501, 506 Anton 184 areapostrema 260 Balint 184 Bernhard-Vulpian 757 Brown-Sequard 403 Bruns-Garland 714 Erb-Duchenne 717 faset servikal 613 flail arm 757 flail leg 757 Gertsmann 212 Guillain-Barre Bickerstaff's brainstem en­ cephalitis [BBE] 682 diagnosis 682 diagnosis banding 685 epidemiologi 677 kelemahan bifosial dengan parestesia 681 neuropati ataksia akut 682 oftalmoplegia/ptosis/midriasisakut 681 patofisiologi 677 pharyngeal-cervical-bra­ chial weakness 681 prognosis 686 SGB hiperrefleks 680 SGB paraparesis 681 tata laksana 685 terkait pengobatan 680 Horner 4, 310, 494 Kearn-Sayre 315 kompartemen gluteal 712,714 Lambert-Eaton 751 lobus frontal 14 medula spinalis 403



Miller Fischer 678 MND-demensia 757 nyeri kanker 641 nyeri miofasial 628 one and a h a lf 304-307 paralisis Klumpke 718 paraneoplastik 45 Parkinsonism-Plus 109 serotonin 68 shoulder hand 372 spinalis anterior 403 spinalis posterior 403 spinalis sentral 403 Single fiber electromyography (SFEMG) 750 Sinkinesia 139,141 Sinkop 19,447 Sintaktik 169-171 Sinus anterior inferior 501 dura 501 kavernosus 501,502 lateral 501,502 oksipital 501, 502 petrosalis inferior 501,502 superior 501, 502 posterior superior sagitalis inferior 501-503 superior 501-503 transversus, Iihat sinus lateral Siriraj, Iihat skor Sirkuit Frontal 420, 421 medial frontal-subkortikal anterior 420,421 orbitofrontal-subkortikal lateral 420,421 Papez 152 prefrontal-subkortikal dorsolat­ eral, Iihat sirkuit frontal Sistem noradrenergik 17,552 opioid 552 saraf perifer 7, 663, 667 simpatis 413,434,438 otonom 663, 667, 683 serotonergik 552 sinus serebral 45,501,502 ventrikel 42, 516, 527 vestibular 272 Sisterna interpedunkulus 531 kuadrigeminal 531 Sitokin cederakepala 436



Indeks



demensia Alzheimer 199 edema peritumoral 324 kriptokokus 240 miopati 725 multipel sklerosis 259 neuromielitis 250 nyeri kanker 643 Sitologi 50, 352 Skala Jankovic 142 koma Glasgow (SKG) 9, 23, 24, 392 Skew deviation 296,301,304, Skor ABCD 448 disabilitas GBS, lihat G8S dis­ ability score Hunt and Mess 534-535 iskemik Hachinski 213 preoperatif 56 stroke Djunaedi 518 GajahMada 518 Siriraj 518-519 World Federation o f Neurologi­ cal Surgeons (WFNS) 534 Skrining aspirasi 369 sleep-wake cycle, lihat sikius tidur bangun Small perforating arteries 478 Small vessel disease 211,213,448, 476,497 Smooth pursuit 286, 290 gangguan 308-309 direksional 308, 309 kraniotopik 308, 309 retinotopik 308. 309 Sodium valproat 578-579 Somatognosia 164-165 makro- 165 mikro- 165 Somnolen 9, 23, 519 Sorbitol 453 Spasme 83,139, 634 Spastisitas 372 Spinal bulbar muscular atrophy 759 Spinal cord injury without radiologi­ cal abnormality (SCIWORA) 408 Spina/ muscular atrophy 759 Spine board 405,408,409,411 Spondilitis tuberkulosis 629,630 Spondilosis 612, 620, 697 Sprouting aksonal 365 Spur 613 Spurling, lihat tes Square wave jerk 308 Stalevo Reduction in Dyskinesia Evaluation in Parkinson Disease



(STRIDE-PD) 128 Standardfo r reporting vascular changes on neuroimaging (STRIVE) 479 Status epileptikus (SE) 79,80,83,98 epidemiologi 99 etiologi 99-100 simtomatik 99 kriptogenik 99 klasifikasi 98 komplikasi 100-101 konvulsif 98 nonkonvulsif 98 patofisiologi 100 prognosis 105 tatalaksana 102-104 Status migrenosus 571, 576 Stenosis Karotis 60, 61,468 spinalis lumbalis 631 Stent retriever 465,466, 472,473, 512 Stereotactic radiotherapy 334 Steroid 42, 242, 247, 334,353,413, 704, 722 Stimulus nosiseptif 549 Stimulasi nervus vagus (SNV) 87,88 sensoris multimodal 371 Stocking anti trombotik 372 Stocking-and-glove 668 Storage disease 730, 738 Strabismus 286, 316 Straight leg raising test (SLR), lihat tes Straight sinus 501, 502, 503, 505 Streptomisin 234,235, 237, 280 Striatal hand 117 Striatal toe 117 Striatopalidal 112,113 Striatum ventral 111 String sign 507 Stroke 59-62,69,445-449,452-473, 514-526 Stroke perioperatif 59-62 preoperatif 69 Stroke hemoragik diagnosis 517-519 diagnsosis banding 517-519 epidemiologi 514-515 gejala dan tanda klinis 516-517 lobar is 516 patofisiologi 515-516 tata laksana 519-526 Stroke iskemik



779



diagnosis 459-460 diagnosis banding 459-460 epidemiologi 452-453 gejala dan tanda klinis 458-459 patofisiologi 453-458 tatalaksana 460-473 Stroke mimic 445 Stroke Prevention by Aggressive Reduction in Cholesterol levels (SPARCL) 496,497 Stroke-like syndrome 328 Struktur peka nyeri 39,569,632 Stupor 19,24,25, 535 Subakut-kronik 230, 239, 434 Subcortical white matter 478,490 Subcortical-cortical loops 212 Subkortikal 211-213,420-421 SubstansiP 100,113,550,572,587, 626 Substansia alba 17, 209, 211, 253, 260, 263 nigra 112, 289 pars kompakta (SNc) 13, 109,111-14 pars retikulata 111,113, 292 Substraksi 7 berantai 158 Sudden off, lihat fenomena Suhu 21,462,521 Sulfadiazin 246, 247 Sumatriptan 576, 588 Superficial middle cerebral vein 501 Superior oblique myokimia 285 Supernumerary collaterals 364,365 Superoxide dismutase 1 (SOD1) 756 Supersensitifitas denervasional 362 Supplementary eye field (SEF) 292 Supplementary motor area (SMA) 184,186,189, 367 Supranuklear 285-92, 304 Swimmer's position 407 Synaptic stripping 362 Syndrome o f inappropriate secretion o f antidiuretic hormone (SIADH) 235,438-439, 544 diagnosis 438-439 diagnosis banding 438-439 gejala dan tanda klinis 438 patofisiologi 438 tata laksana 439 Syok 6,31, 398,408,409 T T helper 1 (Till) 250,251 Tahap fluktuasi, Meniere 277 neural, Mgnilre 277



Buku Ajar Neurologi



Takizoit 244 Talamik-subtalamik paramedian 112 Talamokortikal 112-113,131 Talamotomi 131,132 Talamus pedunkel anterior 212 ventral posterolateral 550 ventromedial 212 Tanda asymmetric target 245 battle 14, 32, 386, 396 Bragard's 701 cord 507 dense triangle 507-508 direct 507-508 empty delta 507-508 empty triangle 507-508 Gowers 728 Halo 396 Hyndman’s 701 Indirect 507, 508 jump 629 Kernig 701 lesi intraorbita 302-303 peek 302 rangsang meningeal 26 Sicard's 701 String 507 von Graefe 303 winking owl 350 Tapering o ff 333 TAR DNA-binding protein 43 (TARDBP) 756 Tardive dyskinesia 140 Target availability 366 Targeted therapy 264,355 Taut saraf otot 733, 741-743 Tuberkulosis milier 230, 232 Tekanan darah 524, 534, 539 intrakranial 36-44 pembukaan, pungsi lumbal 46, 49, 243 vena sentral 411,461,522,543 Telangiekstasis 22 Temozolamid 334, 335 Tendon transfer 723 Tension-type headache (TTH) 579586 frequent dengan nyeri tekan perikranial 579 tidak berhubungan dengan nyeri tekan perikranial 579 infrequent dengan nyeri tekan perikra­ nial 579



tidak berhubungan dengan nyeri tekan perikranial 579 kronik dengan nyeri tekan perikra­ nial 579 tidak berhubungan dengan nyeri tekan perikranial 579 probable 580 Teori neurovaskular, pada mtgren 571 nuklear/sentral 137 perifer 137 vaskular, pada mtgren 571 Terapi abortif, mtgren 575-576 bridging therapy 62, 65 direct swallowing therapy 370 constraint-therapy constraint-induced aphasia therapy (CIAT) 374 constraint-induced lan­ guage therapy (CILT) 374 constraint-induced move­ ment therapy (CIMT] 374 fisik 566, 585, 617, 637-639 iPad-based speech therapy 376-377 melodic intonation therapy (MIT] 374-375 modalitas bahasa 373-374 neurointervensi 464-467 neurologic music therapy (NMT) 375 nonedikamentosa, migren 576 okupasi 354,417,566 perilaku 566, 606 perilaku kognitif 566 radiasi 531, 641 rescue 132 reposisi kanalit 280-283 target 264,355 vestibular rehabilitation therapy 270 Termometer nyeri 602 Tes abduksi bahu 700 alternating cover test 297 cover test (single cover) 297cover uncover 297 cross cover 297, 298 distraksi leher 700 graded naming test 171 head-impulse test 276 head-roll test 276 Hirschberg 297, 298



780



hitung 749 ice pack 302,750 kalori 28,29,32,433 kemampuan menelan 369 Laseque 700, 701, 719 Lhermitte 699 maddoxrod 297 orientasi dan amnesia Galvaston (TOAGJ 423 Parks-Bielschowsky three steps test 296 rentang digit 159,178 digit maju 159,178 digit terbalik 159,178 rest 302 reverse straight leg raise test 636 Spurling 699 straight leg raising test, lihat Tes Laseque test o f skew 270,301 uncover test (cover-uncover) 297 upper limb tension test 700 Wartenberg 749-750 The Global Burden o f Disease Study 110 Thermal tactile oral stimulation 370 ThioflavinS 487 Thoracic outlet syndrome 712 Threshold o f neuronal death 456 Thunderclap headache 532,593 Thyroid eye disease (TED) 315 Tic douloureux 589 Tightjunction 240,324 Tiks motorik 140,141 Timektomi 746, 751 Timolol 67,578 Timoma 745, 749 Tingkat toleransi nyeri 548, 549 Tinitus 276,277,433,435 Tintaindia 50,52,241 Tiopental 104 Tirah baring 368,540 Tiroid oftalmopati 315,316 Toksin botuiinum (BoNT) 133, 141-144 dosis 143 Toksoplasmosis 242,244-246 Tonus phenomenon 139 Topiramat 89, 92, 279,579 Towel roll 408,409 Toxoplasma encephalitis (TE) 243247 Toxoplasma gondii 244 Trakeostomi 410, 411,460 Traksi servikal 618,703,704 Traktus



Indeks



neospinotalamikus 550 paleospinotalamikus 550-551 spinoretikular 550 spinotalamikus 16, 348, 550553, 599-600 vestibulospinal 268 Tramadol 511, 604-606, 652, 656 Tranquilizer 463,523 Transcraniai doppler (TCD), lihat Doppler transkranial Transcraniai magnetic stimulation (TMS) 131,193, 368, 367, 377, Transcutaneus electrical nerve stimu­ lation (TENS) 704 Transesophageal echocardiography 69 Transient global amnesia 448 Transient ischemic attack (TIA) 445 diagnosis 447 diagnosis banding 447 epidemiologi 445 gejalaklinis 447 patofisiologi 446 prognosis 449 tatalaksana 449 Transneuronal 362 Transpor air 258 akson 670, 756 Traumatic perilymph fistula 433 Traumatic optic neuropathy 426 Tremor intensi 13 istirahat 13,116,122 Trias Cushing 39 Trigeminal autonomic cephalalgias (TAC) 586 Trigeminovaskular 572, 587 Trigger point 576,582,590, 612,620, 629 Trigonum femoral 708 Triheksifenidil 67,124,128 Trimetoprim-sulfametoksazol (TMPSMX) 246-247 Triple H 539-544 Tripod position 744 Triptans 576 Trojan horse 240 Trombektomi mekanik 464-466, 512 Tromboemboli 446,506,523-524 Trombofilia 501,506,512 Trombolisis intravena 463-465,468, 472 intraarterial 464-466 Trombosis Septik 499,508 vena dalam 416, 460,471, 518 vena serebral



diagnosis 506-510 diagnosis banding 506510 epidemiologi 500 gejala dan tanda klinis 503-505 patofisiologi 501-504 tata Ialtsana 510-512 Trombotik 453,454,481 Trombus 446,455, 507-508,511 Trunkus inferior 706-707, 709, 718-721 medial 706-707,709,720-721 superior 706-707, 709, 717718, 720-721 Tuberkuloma 227-228,230-232, 246 Tuberkulosis, infeksi 227 diagnosis 232-233 diagnosis banding 232-233 epidemiologi 227-228 gejala dan tanda klinis 230-232 komplikasi 235-237 patofisiologi 228-230 tatalaksana 233-236 Tuli perseptif 4 Tumor cerebellopontine angle 13,138, 590 hipofisis 328,330,333, 533 otak primer 323-335 diagnosis 327-329 diagnosis banding 327329 epidemiologi 323 gejala dan tanda klinis 324-327 klasifikasi 329-332 patofisiologi 324 tatalaksana 332-335 pineal 330-331,334,328 serebelum 333 spinal 51,337diagnosis 349-352 diagnosis banding 349352 epidemiologi 337-338 gejala dan tanda klinis 346-349 klasifikasi 338-343 patofisiologi 343-346 tatalaksana 352-354 Tumor necrosis factor-a (TNF-a) 229, 240, 642-643 U Uji prostigmin (neostigmin) 750



781



tensilon 750 Ulkus decubitus 34-35, 68, 372, 413-414 Ultrasonografi dupleks 140,510 Unfractionated heparin, lihat heparin United Kingdom Parkinson's Disease Society Brain Bank 109,121-122 Unpredictable off, lihat fenomena Upward gaze palsy 217 Uremia 19,22,31,101 Utrikulus 272-274,280-281,433 V Vascular cell adhesion molecule (VCAM) 725 Vascular cognitive impairment (VCI) 214 Vascular endothelial growth factor (VEGF) 324,335,642 Vaskulitis 227,480,501,714 Vaskulopati 480-481,488-489 Vasodilatasi 515, 571-572, 643, 722 Vasodilator 42,541, 543, 587 Vasokonstriktor 63 Vasopresin 101,439 Vasopresor 103,113,414-415,461 Vasospasme 531,541 Vena basal Rosenthal 501 greater anastomotic vein, lihat vena Troiard insula 501 kapiler 477-478 medularis 501 profunda 501,510 rolandik 501 serebri magna Galen 501, 503 striata 501 subependim 501 superfisiai 500-501 Troiard 501 Venereal disease research laboratory (VDRL) 50 Venlafaxin 578 Venous collagenosis 477,480-481, 490-491 Ventilator-associated pneumonia (YAP) 416 Ventriculo-peritonea! shunt (VP shunt), lihat pirau ventrikuloperitoneal Ventrikel keempat 39,45,47 ketiga 45,152 lateral 45 Ventrolateral tier 113



Buku Ajar Neurologi



Verapamil 578, 589 Verbal scale 602 Vertigo non vestibular 267 paroksismalbenignapadaanak 571 vestibular perifer 271-283 diagnosis 269-270 diagnosis banding 278 epidemiologi 270-271 gejala dan tanda klinis 275-277 patofisiologi 272 tatalaksana 279-283 sentral 267-270 diagnosis 270 diagnosis banding 270 epidemiologi 267 gejala dan tanda klinis 269-270 patofisiologi 268-269 tatalaksana 270 Vestibular rehabilitation therapy, lihat terapi



Vicariation 366 Vili araknoid 25 subaraknoid 240 Virchow Robin space 489,491 Virus Epstein-Barr (EBV) 249,678,715 JC (John Cunningham) 254 West Nile 715 Visual action therapy (VAT) 375-376 Visual analog scale (VAS) 559-561, 602, 616, 648 Visual evoked potential (VEP) 253,426 Visuokonstruksi 160,179, 422 Visuospasial 161,166 Vitamin D 123,129,249,731 Vitamins to Prevent Stroke (VITATOPS)-MRI 479 Von Graefe, lihat tanda



Warfarin 440, 467-468,511 preoperatif 61-62, 65 Warning leaks 533 Watershed area 478 Wearing off, lihat fenomena Wernicke, lihat afasia West Nile Virus, lihat virus Whiplash injury, lihat cedera Wide dynamic range neurons, lihat neuron White matter 211,263 White matter hyperintense lesions 495 White matter lesion 477-479,481, 482,489-494 WHO stepladder 567, 649-650 Winking owl sign, lihat tanda Working memory, lihat memori X



W



Waiter's tip position 717 Wakefulness, lihat keterjagaan



782



Y Z



Ziehl-Neelsen 232