BUKU Ilmu Pendidikan Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ILMU PENDIDIKAN ISLAM



UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4 Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Pembatasan Pelindungan Pasal 26 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap: i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual; ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan; iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran. Sanksi Pelanggaran Pasal 113 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). 2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



ILMU PENDIDIKAN ISLAM



Halid Hanafi, S.Ag, M.Ag. La Adu, S.Pd.I., MA. Zainuddin, S.Pd.I., MA.



ILMU PENDIDIKAN ISLAM Halid Hanafi La Adu Zainuddin Desain Cover : Dwi Novidiantoko Tata Letak Isi : Ika Fatria Sumber Gambar : www.freepik.com Cetakan Pertama: Desember 2018 Hak Cipta 2018, Pada Penulis Isi diluar tanggung jawab percetakan Copyright © 2018 by Deepublish Publisher All Right Reserved Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA) Anggota IKAPI (076/DIY/2012) Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581 Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com E-mail: [email protected]



Katalog Dalam Terbitan (KDT) HANAFI, Halid Ilmu Pendidikan Islam/oleh Halid Hanafi, La Adu dan Zainuddin.--Ed.1, Cet. 1-Yogyakarta: Deepublish, Desember 2018. xiv, 517 hlm.; Uk:17.5x25 cm ISBN 978-623-7022-31-2 1. Pendidikan Islam



I. Judul



297.07



KATA PENGANTAR Segala puji hanya milik Allah, Tuhan Pemberi Pengetahuan kepada manusia, salawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada Nabi akhirul zaman Muhammad saw yang membimbing umat manusia yang berakhlak mulia. Ajaran Islam pada hakekatnya memiliki tiga pilar utama, yakni akidah, syariah dan akhlak. Misi utama Nabi Muhammad saw adalah menyempurnakan akhlak yang mulia (akhlaq al-karîmah). Pembinaan akhlak erat kaitannya dengan pendidikan Islam. Dengan demikian pendidikan Islam berorientasi bukan saja untuk peningkatan pengetahuan (kognisi), namun juga pembinaan dan peningkatan akhlak (sikap, afeksi) dan keterampilan hidup (psikomotorik) peserta didik. Pendidikan yang hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual akan melahirkan manusia-manusia yang memiliki kecerdasan secara akademik, namun dalam realitas mereka justru menjadi sumber problem kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kecerdasannya digunakan untuk melakukan berbagai tindak criminal yang sangat merugikan masyarakat, bangsa dan negara, seperti para koruptor, bandar narkoba, mafia migas, illegal fishing, yang mayoritas adalah orangorang pintar secara intelektual. Namun afeksi (kecerdasan spiritual) mereka sangat rendah. Karena itu pendidikan Islam menggabungkan beberapa kecerdasan, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan transendental. Bahkan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw adalah perintah untuk membaca (iqra) yang tidak disebutkan objeknya. Hal itu menunjukkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk membaca dengan objek tak terbatas, membaca apa saja. Namun proses dan tujuan pembacaan tersebut harus berorientasi kepada kecerdasan spiritual dan transcendental (bismi rabbika). Membaca merupakan bagian dari proses pendidikan, bukan saja untuk mencerdaskan otak,dan emosional, namun terlebih daripada itu harus mampu mencerdaskan kesadaran spiritual dan kedekatan dengan Allah sang pencipta (kecerdasan transedental). Dengan demikian semakin cerdas, seseorang akan semakin taat kepada Allah, sehingga memiliki akhlak yang luhur dan mulia. Pendidikan Islam yang sedemikian luhur itu memiliki cakupan yang sangat luas, di antaranya metode pendidikan Islam. Orang tua dan guru perlu



v



menggunakan metode atau strategi yang tepat dalam mendidik anak atau muridnya. Sehingga di samping anak atau siswa mampu memahaminya secara kognisi, juga telah terdidik sikap (akhlak) dan keterampilannya dalam menjalani kehidupannya. Dengan demikian pendidikan Islam merupakan tanggungjawab bersama antara orang tua (pendidikan keluarga), pemerintah dan masyarakat (pendidikan formal dan non formal). Dalam pendidikan keluarga, gaya pendidikan otoriter dari orang tua dikhawatirkan tanpa sadar telah mendidik anak bermental egois, lantaran orang tua membiasakan anaknya harus ikut maunya orang tua. Anak tak diberi kesempatan untuk menyampaikan gagasan, keinginan pribadi (dalam kaitannya dengan hal-hal mubah, bukan yang dilarang agama). Buku yang ditulis oleh: Halid Hanafi, La Adu dan Zainuddin ini membahas pendidikan Islam dalam berbagai aspek. Di antaranya bahwa sebagai khalifah Allah di bumi, manusia bertanggungjawab memakmurkan bumi. Tugas itu erat kaitannya dengan pendidikan Islam, agar manusia mampu melaksanakan tugas memakmurkan bumi dengan baik, dan bukan justru mengeksploitasi bumi. Hal itu sejalan dengan pandangan Achmadi bahwa pendidikan Islam merupakan segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma-norma Islam. 1 Bahkan menurut Hujair AH Sanaki, pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Hewan juga belajar tetapi lebih ditentukan oleh instink, sedangkan bagi manusia belajar berarti rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Olehnya itu, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan manusia.2 Dengan demikian buku ini patut dibaca oleh para mahasiswa jurusan/program studi Pendidikan Agama Islam serta para peminat pendidikan Islam. Ambon, 02 Agustus 2018 ttd Dr. La Jamaa, MHI



1 2



Achmadi, Idiologi Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 29. Hujair AH Sanaki, Paradigma Pendidikan Islam (Cet. III; Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), h. 5



vi



PRAKATA PENYUSUN Segala puji bagi Allah swt yang telah mencurahkan rahmat, hidayah dan ridha-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku yang berjudul; Ilmu Pendidikan Islam, yang dapat djadikan sebagai referensi ilmiah untuk mahasiswa di perguruan tinggi Islam baik negeri maupun swasta terutama untuk mata kuliah ilmu pendidikan Islam. Shalawat dan salam kami haturkan kepada junjungan kami, Nabi Besar Muhammad saw, keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman agar mereka selalu mendapat ridha Allah swt. Kajian dalam buku ini terdiri dari 15 bab, yang memuat uraian meliputi; (I) pandangan Islam terhadap manusia, pengetahuan dalam Islam, perbedaan antara filsafat, ilmu dan teknik pendidikan Islam, (2) pengertian, sumber-sumber, tujuan dan fungsi pendidikan Islam, (3) fitrah manusia dan implikasinya terhadap Kegiatan pendidikan Islam, (4) kedudukan, objek dan hubungan antara ilmu pendidikan Islam dengan ilmu lain, (5) peserta didik dan pendidik dalam pendidikan Islam, (6) metode pendidikan Islam, (7) media pengajaran, sarana dan prasarana serta dana dalam proses pendidikan Islam, (8) kurikulum dan evaluasi dalam pendidikan Islam, (9) periodesasi pendidikan Islam, (10) lembaga-lembaga pendidikan Islam, (11) sistim pengelolaan pendidikan Islam pada lembaga pendidikan pesantren di Indonesia, (12) posisi strategis pendidikan Islam dalam undang-undang no 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, (13) sejarah historis perkembangan madrasah di Indonesia sebagai lembaga pendidikan Islam, (14) majelis ta‟lim sebagai lembaga pendidikan Islam non formal di Indonesia dan (15) problematika pembelajaran membaca al-Qur‟an dan peran TPQ sebagai lembaga pendidikan Islam non formal. Sistem kajian dalam buku ini menggunakan sistem kajian satu topik untuk setiap bab dimana formulasi uraian pada setiap bab dibagi tiga bagian yaitu latar belakang pemikiran berupa landasan pemikiran yang melatar belakangi penyusun mengangkat suatu topik kajian, analisis kajian berupa analisis uraian detail tentang topik materi yang dibahas dan rangkuman yang berisi ringkasan kajian dari suatu topik kajian serta dilengkapi dengan sumber-sumber kutipan dari kepustakaan dimana hal itu dimaksudkan untuk membantu memudahkan mahasiswa dalam membuat sebuah latar belakang karya tulis, membuat analisis suatu kajian teori dan membuat suatu



vii



kesimpulan dari suatu kajian teori lewat pendekatan kepustakaan sehingga nantinya mahasiswa diharapkan dengan mudah mampu membuat sebuah karya tulis sesuai standar ilmiah dan bisa dipertanggung jawabkan. Di sisi yang lain keberadaan buku ini diharapkan dapat meningkatkan capaian kemampuan hasil pembelajaran mahasiswa perguruan tinggi Islam dalam bidang kajian ilmu pendidikan Islam baik capaian pembelajaran bidang pengetahuan berupa mahasiswa setelah mengikuti pembelajaran materi kuliah ilmu pendidikan Islam mereka akan mampu memahami dan memiliki pengetahuan tentang teori-teori ilmu pendidikan Islam, capaian pembelajaran bidang sikap berupa mahasiswa setelah mengikuti pembelajaran materi kuliah ilmu pendidikan malsI mereka mampu memahami, menemukan dan membentuk dalam kepribadian nilai-nilai sikap yang terkandung dalam kajian ilmu pendidikan Islam, capaian pembelajaran bidang keterampilan umum berupa mahasiswa setelah mengikuti pembelajaran materi kuliah ilmu pendidikan Islam mereka mampu mempresentasikan dan memberikan pemahaman secara ilmiah terkait dengan materi ilmu pendidikan Islam baik secara lisan maupun tulisan, dan capaian pembelajaran bidang keterampilan khusus berupa mahasiswa setelah mengikuti pembelajaran materi kuliah ilmu pendidikan Islam mereka mampu menerapkan dan mengembangkan dalam kehidupan pengetahuan, nilai-nilai sikap dan keahlian yang diperoleh terkait dengan kajian materi-materi ilmu pendidikan Islam. Kami menyadari penyusunan buku ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak untuk itu pada kesempatan ini perkenankan kami menyampaikan ucapan terimah kasih dan penghargaan kami yang sebesar-besarnya kepada; Rektor IAIN Ambon Dr Hasbullah Toisuta, M.Ag, Ketua Yayasan al-Ikhlas DDI Mangkoso Drs Saparuddin Latif, MS, Ketua STAI DDI Mangkoso Prof Dr (HRC) AG HM Faried Wadjedy, MA., Ketua Yayasan STAI Al-Munawwarah Toli-Toli Kamirdin, S.Ag., M.Pd., serta yang lainnya yang tidak sempat kami sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan hingga terselesainya penyusunan buku ini. Selain itu terima kasih kami yang sebesarbesarnya kami sampaikan kepada Dr La Jama‟ah, MHI yang telah bersedia memberikan pengantar dalam buku ini dan kepada pihak penerbit Deepublish yang telah membantu untuk menerbitkan buku ini. Kami berharap semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada kami dalam penyusunan dan penerbitan buku ini mendapatkan balasan setimpal dari Allah swt. Kami penyusun adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kehilafan dimana kami menyadari bahwa penyusunan dan penerbitan buku ini



viii



belumlah sempurna, oleh karena itu diharapkan kepada para pembaca untuk membantu menyampaikan kritik dan saran kepada kami demi perbaikan dan menyempurnakan buku ini pada edisi cetakan berikutnya serta mudahmudahan buku ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa PTAI dan para pembaca. Amin. Barru, Sulawesi Selatan, 22 Juli 2018 Penyusun: ttd Halid Hanafi, S.Ag, M.Ag La Adu S.Pd.I., MA Zainuddin, S.Pd.I., MA



ix



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................... v PRAKATA PENYUSUN ............................................................................. vii DAFTAR ISI ................................................................................................. x BAB I



BAB II



BAB III



PANDANGAN ISLAM TERHADAP MANUSIA, PENGETAHUAN DALAM ISLAM, PERBEDAAN ANTARA FILSAFAT, ILMU DAN TEKNIK PENDIDIKAN ISLAM .............................................................. 1 A.



Latar Belakang Pemikiran ................................................ 1



B.



Pandangan Islam Terhadap Manusia ................................. 4



C.



Pengetahuan dalam Islam ............................................... 23



D.



Perbedaan Antara Filafat, Ilmu dan Teknik Pendidikan Islam ............................................................ 29



E.



Rangkuman .................................................................... 30



PENGERTIAN, SUMBER-SUMBER, TUJUAN DAN FUNGSI PENDIDIKAN ISLAM .................................... 33 A.



Latar Belakang Pemikiran .............................................. 33



B.



Pengertian Pendidikan Islam........................................... 37



C.



Sumber-Sumber Pendidikan Islam .................................. 54



D.



Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam .............................. 59



E.



Rangkuman .................................................................... 63



FITRAH MANUSIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEGIATAN PENDIDIKAN ISLAM .................. 65 A.



Latar Belakang Pemikiran .............................................. 65



B.



Pengertian Fitrah Manusia .............................................. 70



C.



Bentuk-Bentuk Fitrah Manusia ....................................... 83



D.



Aspek-Aspek Psikologis Fitrah Manusia ......................... 86



E.



Keterkaitan Fitrah Manusia Terhadap Kegiatan Pendidikan Islam ............................................................ 88



x



F. BAB IV



BAB V



BAB VI



BAB VII



Rangkuman .................................................................... 93



KEDUDUKAN, OBJEK DAN HUBUNGAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM DENGAN ILMU LAIN ...................... 95 A.



Latar Belakang Pemikiran .............................................. 95



B.



Kedudukan Ilmu Pendidikan Islam ................................. 97



C.



Objek Ilmu Pendidikan Islam ....................................... 100



D.



Hubungan Ilmu Pendidikan Islam dengan Ilmu Lain.............................................................................. 102



E.



Rangkuman .................................................................. 104



PESERTA DIDIK DAN PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM .......................................................... 107 A.



Latar Belakang Pemikiran ............................................ 107



B.



Peserta Didik dalam Pendidikan Islam .......................... 109



C.



Pendidik dalam Pendidikan Islam ................................. 128



D.



Rangkuman .................................................................. 158



METODE PENDIDIKAN ISLAM ......................................... 161 A.



Latar Belakang Pemikiran ............................................ 161



B.



Pengertian Metode Pendidikan Islam ............................ 163



C.



Prinsip-Prinsip Metode Pendidikan Islam ..................... 175



D.



Pengembangan Metode Pendidikan Islam ..................... 180



E.



Bentuk-Bentuk Metode Pendidikan Islam ..................... 184



F.



Manfaat Metode Mengajar Dalam Pendidikan Islam ............................................................................ 253



G.



Rangkuman .................................................................. 254



MEDIA PENGAJARAN, SARANA DAN PRASANA SERTA DANA DALAM PROSES PENDIDIKAN ISLAM .......................................................... 257 A.



Latar Belakang Pemikiran ............................................ 257



B.



Media Pengajaran dalam Proses Pendidikan Islam ............................................................................ 261



C.



Sarana Prasaran dalam Proses Pendidikan Islam ........... 273



D.



Dana dalam Proses Pedidikan Islam.............................. 277



xi



E. BAB VIII



BAB IX



BAB X



Rangkuman .................................................................. 284



KURIKULUM DAN EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM .......................................................... 287 A.



Latar Belakang Pemikiran ............................................ 287



B.



Kurikulum Pendidikan Islam ........................................ 289



C.



Evaluasi Pendidikan Islam ............................................ 298



D.



Rangkuman .................................................................. 324



PERIODESASI PENDIDIKAN ISLAM ................................. 329 A.



Latar Belakang Pemikiran ............................................ 329



B.



Proses Pendidikan Islam Fase Pemilihan Jodoh............. 332



C.



Proses Pendidikan Islam Fase Perkawinan .................... 339



D.



Proses Pendidikan Islam Fase Kehamilan ..................... 343



E.



Proses Pendidikan Islam Fase Bayi ............................... 352



F.



Proses Pendidikan Islam Fase Kanak-kanak .................. 355



G.



Proses Pendidikan Islam Fase Anak-anak ..................... 369



H.



Proses Pendidikan Islam Fase Remaja .......................... 373



I.



Proses pendidikan Islam Fase Dewasa .......................... 376



J.



Rangkuman .................................................................. 380



LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM .................. 385 A.



Latar Belakang Pemikiran ............................................ 385



B.



Hakikat lembaga Pendidikan Islam ............................... 388



C.



Peran Orang Tua Sebagai Pelaksana Pendidikan Islam di Lembaga Pendidikan Informal......................... 391



D.



Peran Guru Sebagai Pelaksana Pendidikan Islam di Lembaga Pendidikan Formal ........................... 393



E.



Peran Masyarakat Sebagai Pelaksana Pendidikan Islam di Lembaga Pendidikan Non Formal.......................................................................... 394



F.



Bentuk-Bentuk Kerjasama Antara Orang Tua, Guru dan Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pendidikan Islam Bagi Anak......................................... 395



G.



Rangkuman .................................................................. 398



xii



BAB XI



BAB XII



BAB XIII



SISTEM PENGELOLAAN PENDIDIKAN ISLAM PADA LEMBAGA PENDIDIKAN PESANTREN DI INDONESIA.......................................................................... 399 A.



Latar Belakang Pemikiran ............................................ 399



B.



Pengertian Pesantren .................................................... 402



C.



Sejarah Perkembangan Pesantren di Indonesia .............. 404



D.



Ciri Umum Pesantren ................................................... 407



E.



Tujuan Pendidikan Pesantren ........................................ 409



F.



Pengelolaan Kegiatan Pendidikan Pesantren di Tengah Tantangan Zaman ............................................ 410



G.



Rangkuman .................................................................. 412



POSISI STRATEGIS PENDIDIKAN ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL ................. 415 A.



Latar Belakang Pemikiran ............................................ 415



B.



Hakikat Pendidikan Islam ............................................. 417



C.



Hakikat Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional ............................ 420



D.



Posisi Strategis Pendidikan Islam di Indonesia dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional ............................ 421



E.



Rangkuman .................................................................. 433



SEJARAH HISTORIS PERKEMBANGAN MADRASAH DI INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM ...................................... 435 A.



Latar Belakang Pemikiran ............................................ 435



B.



Hakikat Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia ...................................... 440



C.



Latar Belakang Historis Lahirnya Madrasah di Indonesia. ..................................................................... 442



D.



Perkembangan Madrasah di Indonesia .......................... 448



E.



Strategi Pengembangan Madrasah ............................... 456



F.



Rangkuman .................................................................. 461



xiii



BAB XIV



BAB XV



MAJELIS TA‟LIM SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM NON FORMAL DI INDONESIA.......................................................................... 463 A.



Latar Belakang Pemikiran ............................................ 463



B.



Pengertian Majelis Ta‟lim ............................................ 465



C.



Sejarah Perkembangan Majelis Ta‟lim Sebagai Lembaga Pendidikan Islam Nonformal ......................... 466



D.



Peranan Majelis Ta‟lim Sebagai Lembaga Pendidikan Islam non Formal di Indonesia.................... 468



E.



Rangkuman .................................................................. 472



PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN MEMBACA AL-QUR‟AN & PERAN TPQ SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM NON FORMAL ............ 473 A.



Latar Belakang Pemikiran ............................................ 473



B.



Pengertian Pembelajaran Membaca al-Qur‟an............... 477



C.



Tujuan Pembelajaran Membaca al-Qur‟an .................... 480



D.



Fungsi Pembelajaran Membaca al-Qur‟an. .................... 481



E.



Materi Pembelajaran Membaca al-Qur‟an ..................... 487



F.



Peran Orang Tua Dalam Pembelajaran Membaca al-Qur‟an Anak ............................................ 488



G.



Pengertian Taman Pendidikan al-Qur‟an ....................... 492



H.



Batas Usia Minimal Peserta Pendidikan pada Taman Pendidikan al-Qur‟an ........................................ 494



I.



Materi Pembelajaran Membaca al-Qur‟an pada TPQ ............................................................................. 497



J.



Fungsi dan Srategi TPQ sebagai lembaga pendidikan Islam non formal ........................................ 499



K.



Rangkuman .................................................................. 502



DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 505 BIOGRAFI PENULIS ............................................................................... 516



xiv



BAB I PANDANGAN ISLAM TERHADAP MANUSIA, PENGETAHUAN DALAM ISLAM, PERBEDAAN ANTARA FILSAFAT, ILMU DAN TEKNIK PENDIDIKAN ISLAM A.



Latar Belakang Pemikiran Eksistensi manusia di muka bumi sudah merupakan sunatullah yang wajib disyukuri karena lewat keteraturan hidup dan kehidupan di dalamnya maka akan diperoleh berbagai macam kenikmatan hidup selama manusia masih mengikuti aturan-aturan dalam ajaran yang Allah swt turunkan sebaliknya di dalamnya juga terdapat penderitaan yang dapat membuat manusia bisa kesulitan dalam kehidupan ketika manusia sudah tidak lagi mentaati aturan-aturan dalam ajaran yang Allah swt turunkan melalui para Nabi dan Rasul-Nya. Jadi diciptakannya manusia untuk tinggal dan menjalani kehidupan di muka bumi demi untuk beribadah kepada Allah swt bukan untuk yang lain. 1 Allah SWT berfirman dalam surat QS. Adz-Dzariyat (51): 56, yaitu;



      Terjemahnya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.2 Berdasarkan firman Allah di atas jelas bahwa memang manusia diciptakan oleh Allah swt tiada lain kecuali untuk menyembah Allah swt. Ini bermakna bahwa segala aktivitas manusia dalam kehidupan harus sesuai dengan ketentuan aturan dari Allah swt serta yang dilakukan manusia dalam kehidupan semuanya dilakukan dalam rangka untuk beribadah di jalan Allah bukan untuk berfoya-foya. Pengabdian kepada Allah sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkan dalam amaliah untuk mencapai derajat orang yang bertakwa di 1 2



Zaini Dahlan dkk, Filsafat Hukum Islam ( Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 52 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang : Toha Putra, 2002), h.756



1



sisi Allah. Selain itu Allah menciptakan manusia dengan tujuan mengemban tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Agar dapat merealisasikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi maka manusia dituntut harus mampu memahami berbagai aturan Allah yang telah digariskan dalam ajaran Islam. Manusia harus memanfaatkan segala potensi yang dimiliki serta berbagai fasilitas dalam kehidupan dengan sebaik-baiknya sehingga nantinya kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat dapat tercapai.3 Allah berfirman dalam QS. Al-Rum (30): 30, yaitu;



                         Terjemahnya; Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.4 Berdasarkan firman Allah di atas dapatlah dipahami bahwa manusia dalam kehidupannya dituntut untuk memberdayakan kehidupannya dengan memakmurkan alam tempat ia berpijak yang tiada lain semuanya dilakukan sesuai dengan aturan dalam Islam sebab jalan itulah yang dapat mengantarkan manusia pada tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan tercapainya keselamatan hidup di akhirat kelak. Agar bisa berjalannya tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi secara optimal maka manusia harus ditempa atau didik lewat proses pendidikan Islam yaitu segala bentuk upaya yang dilakukan untuk mendidik manusia agar mampu memiliki ilmu atau pengetahuan tentang Islam dan ajaran-ajaran yang dikandung di dalamnya serta dengan ilmu atau pengetahuan tersebut manusia dituntun dan dibimbing dalam kehidupan agar hidup sesuai tuntunan aturan yang terkandung dalam Islam dan nilai-nilai ajarannya.5 Pemaparan tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa lewat proses pendidikan Islamlah, barulah manusia dapat mewujudkan eksistensi 3 4 5



Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h, 179 Departemen Agama RI, op. cit, h. 574 Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. xi; Jakarta: Bumi Aksara, 2014), h.17



2



dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi sebab lewat proses pendidikan Islam manusia dibimbing dan diajarkan tentang berbagai pengetahuan atau ilmu yang harus dipahami dan diimplementasikan oleh manusia dalam kehidupan. Hal ini juga bermakna bahwa manusia yang mampu menjalankan perannya dengan baik dalam kehidupan di dunia ini sebagai khalifah Allah adalah manusia yang sudah di didik dengan pengetahuan-pengetahuan Islam secara baik dan benar lewat proses pendidikan Islam sebab mana mungkin seseorang dalam kehidupan dapat menjalankan aturan-aturan Allah dengan baik sementara ia buta atau bodoh akan pengetahuan-pengetahuan tersebut. Hasan Basri mengemukakan bahwa; Apabila dibicarakan soal ilmu pendidikan Islam, karena Islam sebagai agama yang tertulis dalam kitab suci al-Qur‟an dan as-Sunnah, ilmu pendidikan Islam adalah kumpulan pengetahuan yang bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunnah yang dijadikan landasan kependidikan. Secara aplikatif, pendidikan Islam artinya mentrasformasikan nilai-nilai Islam terhadap anak didik dan lingkungan sekolah, lingkungan keluarga dan masyarakat. Ilmu pendidikan Islam adalah akumulasi pengetahuan yang bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunnah yang diajarkan, dibinakan dan dibimbingkan kepada manusia sebagai peserta didik dengan menerapkan metode dan pendekatan Islami yang bertujuan membentuk peserta didik yang berkepribadian muslim. 6 Berdasarkan pendapat Hasan Basri tersebut cukup tergambar dengan jelas bahwa proses pendidikan Islamlah yang menjadikan manusia mampu memahami pengetahuan Islam dengan baik dan mampu mengamalkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu pendidikan Islam sifatnya berlangsung tidak hanya berfokus pada satu lembaga atau lingkungan tetapi prosesnya melibatkan semua unsur dan komponen berlangsung proses pendidikan Islam baik pada lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarkat. Achmadi mengemukakan bahwa; Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma-norma Islam”.7 Berdasarkan pendapat Achmadi tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan dalam 6 7



Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 11 Achmadi, Idiologi Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 29.



3



kehidupan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri manusia agar nantinya potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut digunakan dan dimanfaatkan dalam kehidupan sesuai dengan aturan-aturan dalam Islam atau agama Islam. Dengan demikian merujuk pada penjelasan-penjelasan tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi dengan memanfaatkan segala potensi dan fasilitas yang Allah telah berikan sesuai dengan tuntunan aturan-turan dari Allah. Akan tetapi untuk bisa mewujudkan hal tersebut maka manusia harus dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan tentang aturan yang Allah tetapkan dimana hal itu dapat diperoleh lewat proses pendidikan Islam dan proses pendidikan Islamlah yang juga membimbingnya dalam mengimplementasikan aturanaturan yang Allah telah tetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia dengan kodratnya sebagai wakil Allah di muka bumi tidak dapat dilepaskan dengan persoalan pengetahuan dalam Islam dan proses pendidikan Islam serta segala hal yang terkait dengannya sebab lewat adanya pengetahuan dalam Islam dan proses pendidikan Islamlah manusia dapat mewujudkan eksistensi sebagai khalifah di muka bumi. Melihat begitu pentingnya eksistensi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi dihubungkan dengan betapa pentingya pengetahuan Islam dan proses pendidikan Islam dalam upaya mewujudkan ekstensi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi sesuai dengan aturan-aturan yang telah digariskan dalam Islam maka dalam bab ini penulis akan mengulas secara luas topik kajian tentang pandangan Islam terhadap manusia, pengetahuan dalam Islam, perbedaan antara ilmu, filsafat dan teknik pendidikan Islam. B. 1.



Pandangan Islam Terhadap Manusia Pengertian Manusia Secara etimologi atau bahasa manusia berarti makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; atau orang. 8Makhluk berarti; sesuatu yang dijadikan atau diciptakan Tuhan (seperti; manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan).9 Makna pengertian manusia secara bahasa ini memberikan pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan diberikan kelebihan akal sehingga adanya akal tersebut



8 9



Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 629 Ibid., h. 618



4



memungkinkan baginya untuk menguasai makhluk yang lain seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Secara terminologi pengertian manusia dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli. Sastraprateja, misalnya mengatakan bahwa; Manusia adalah makhluk historis. Hakikat manusia sendiri adalah suatu sejarah, suatu peristiwa yang bukan semata-mata datum (tanggal, hari, bulan). Hakikat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarah yaitu sejarah perjalanan manusia. Sastraprateja lebih lanjut mengatakan bahwa apa yang diperoleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manusia. Ada dorongan-dorongan dan orientasi yang dapat ditarik dalam sejarah perjalanan umat manusia, yaitu; relasi manusia dengan kejasmanian, alam sekitar dan lingkungan ekologis; keterlibatan dengan sesama; keterkaitan dengan struktur sosial dan institusional; ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat; hubungan timbal balik antara teori dan praktis; kesadaran religius dan para religius. Semuannya merupakan satu sintesis dan masing-masing saling berpengaruh satu dengan yang lain.10 Berdasarkan pendapat Sastraprateja tersebut dapatlah dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri tetapi ia bisa menjalankan eksistensinya dalam kehidupan bila ia selalu menjalin hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan alam sekitarnya. Bila hal itu mampu diwujudkan oleh manusia maka ia mampu menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini. Abuddin Nata mengemukakan; Manusia adalah makhluk yang memiliki kelengkapan jasmani dan rokhani. Dengan kelengkapan jasmani, ia dapat melakukan tugas yang memerlukan dukungan fisik dan dengan kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan mental. Selanjutnya agar kedua unsur tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif maka perlu dibina dan diberikan bimbingan. Dalam hubungan ini pendidikan amat memegang peranan yang amat penting. 11 Berdasarkan penjelasan dari Abuddin Nata tersebut dapatlah dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani dimana jasmani berfungsi untuk mengerjakan hal-hal yang bersifat jasmani sedangkan rohani berfungsi untuk melaksanakan hal-hal yang bersifat 10 11



M Sastraprateja dkk, Manusia Multideminsional; Sebuah Renungan Filsafat (Cet. I; Jakarta: Gramedia, 1982), h. ix-x Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Cet.III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 35



5



rohani, namun demikian dari awal keberadaan manusia kedua unsur pada diri manusia tersebut belum berfungsi secara optimal, nanti lewat pendidikan barulah kedua unsur pada diri manusia itu dapat difungsikan secara optimal. Hery Noer Ali mengemukakan bahwa; Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dengan diberikan kelebihan akal dimana proses penciptaan awalnya (Adam) dari tanah sedangkan anak cucu Adam diciptakan dari nutfah serta kedua proses tersebut dalam proses penciptaan, Allah meniupkan ruh kepadanya. Keberadaan ruh dan jiwa pada manusia berperan mengantarkan manusia untuk melakukan berbagai aktivitas dalam kehidupan baik terkait dengan eksistensi memakmurkan bumi dan eksistensinya sebagai hamba Allah hingga terwujud kebahagiaan hidup di alam dunia dan terwujud kebahagiaan hidup di akhirat kelak serta keberadaan kedua unsur pada diri manusia saling mempengaruhi sehingga satu dengan lainnya tidak bisa dipisahkan.12 Berdasarkan pendapat Hery Noer Ali tersebut dapatlah dipahmi bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang dibentuk dari dua unsur yaitu ruh dan jiwa sehingga menjadi manusia serta kepadanya diberikan tanggung jawab untuk hidup di bumi dan melakukan berbagai aktivitas sesuai dengan kehendak Allah sehingga kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat kelak dapat digapai. Ahmad Tafsir Mengatakan bahwa; Pandangan tentang kemakhlukan manusia cukup menggambarkan salah satu hakikat manusia. Manusia adalah makhluk (ciptaan) Tuhan; inilah salah satu hakikat wujud manusia. Hakikat wujudnya yang lain adalah bahwa manusia adalah makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. 13 Berdasarkan pendapat Ahmad Tafsir tersebut dapatlah dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah swt dan perkembangannya dalam kehidupan itu dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan lingkungan sekitarnya. Lebih lanjut Ahmad Tafsir Mengemukakan bahwa; Manusia mempunyai banyak kecenderungan; ini disebabkan oleh banyak potensi yang dibawanya. Dalam garis besarnya dapat dibagi



12 13



Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h.58 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h.50



6



menjadi dua, yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi orang yang jahat.14 Berdasarkan pendapat Ahmad Tafsir tersebut dapatlah dipahami bahwa manusia dalam kehidupannya lantaran potensi yang ada pada dirinya sejak lahir menjadikan dirinya memiliki dua kecenderungan yaitu kecenderungan yang dapat membuat dirinya dalam kehidupan menjadi orang baik dan kecenderungan yang dapat membuat dirinya menjadi orang jahat. Zainuddin Ali Mengemukakan bahwa; Manusia pada hakikatnya adalah makhluk Allah yang paling sempurna di antara makhluk lainnya. Manusia mempunyai beberapa kelebihan di antaranya; (1); mampu bergerak dalam berbagai ruang baik di darat, di laut maupun di udara, (2) mempunyai potensi berbuat baik (akal) dan berbuat yang tidak baik (nafsu),(3) memegang amanah sebagai khalifah di muka bumi.15 Lebih lanjut Zainuddin Ali mengatakan; Hakikat dan martabat manusia dalam ajaran agama Tauhid tersusun dari dua unsur yaitu materi dan nonmateri, jasmani dan rokhani. Tubuh manusia mempunyai daya fisik atau jasmani, yaitu mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium dan daya gerak baik ditempat seperti menggerakkan tangan, kepala, kaki, mata dan sebagainya. Adapun roh atau jiwa dari non materi yang biasa disebut dengan al-nafs mempunyai tiga daya, yaitu; (1) daya berpikir yang disebut akal berpusat di kepala, (2) daya rasa di dada berpusat di kalbu, dan (3) daya nafsu berpusat di perut. Ketiga daya dimaksud akan mengalami perkembangan dan penurunannya sesuai kemampuan manusia mengolah daya-daya dimaksud. 16 Berdasarkan pendapat Zainuddin Ali tersebut dapatlah dipahami bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain. Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur yaitu jasmani dan rokhani serta mempunyai potensi untuk dapat berbuat baik dan dapat berbuat tidak baik lantaran adanya daya-daya pada diri manusia dimana baik dan buruknya manusia dalam kehidupan tergantung pada kemampuan manusia mengolah daya-daya yang ada pada dirinya dalam kehidupan. Untuk mendapat gambaran tentang daya akal, daya rasa dan daya nafsu yang ada pada jiwa manusia maka digambarkan sebagai berikut;



14 15 16



Ibid., h. 51 Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam (Cet. V; Bandung: Bumi Aksara, 2012), h. 14 Ibid., h. 18



7



a.



Daya pikir atau akal yang berpusat di kepala Daya pikir atau akal yang berpusat di kepala dalam ajaran Islam dipertajam melalui perenungan alam semesta dan kejadian-kejadian yang ada di alam ini. Oleh karena itu di dalam sejarah Islam daya pikir dipertajam cendekiawan dan filosof Islam melalui dorongan ayat-ayat yang mengandung perintah kepada manusia agar memikirkan dan meneliti alam di sekitarnya. Ulama klasik banyak melaksanakan perintah ini dan mengembara ke tempat yang jauh untuk meneliti dan mencari pengetahuan yang bukan hanya di bidang agama saja, melainkan juga dalam bidang lain. Pemikiran dan penelitian mereka menghasilkan ilmu pengetahuan keagamaan yang diwarisi oleh generasi sesudahnya dan ilmu pengetahuan keduniaan yang sekarang di sebut sains. Berdasarkan hasil penemuan mereka muncullah peradaban Islam yang berkembang dengan baik antara abad ke 8 M dan abad ke 13 M.17 b. Daya rasa pada kalbu yang berpusat di dada Daya rasa pada kalbu yang berpusat di dada dipertajam melalui ibadah (shalat, puasa, zakat dan haji). Hal ini berarti intisari dari semua ibadah dalam Islam adalah mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci. Yang Maha Suci hanya dapat didekati oleh roh yang suci. Oleh karena itu makin banyak manusia melakukan ibadah secara Ikhlas, makin suci pula ruh atau jiwanya. Selain ibadah untuk mempertajam hati nurani di atas, al-Qur‟an juga berbicara mengenai ajaran-ajaran moral yang juga terdapat dalam hadits. Ajaran yang dibawah oleh al-Qur‟an, menurut Tor Andre, seorang penulis Barat, mempunyai corak kesediaan menolong orang serta berterima kasih kepada orang tua, sikap damai, sikap tidak kikir, tidak melakukan zina, tidak bersumpah palsu, tidak tuli dan buta terhadap teguran untuk kebaikan, menjadi teladan yang baik bagi manusia dan cinta sesama manusia. Oleh karena itu peradaban Islam tidaklah berdasar hanya pada penalaran akal, melainkan juga pada hati nurani dengan budi pekerti yang luhur dan akhlak mulia.18 c. Daya nafsu yang berpusat di perut Daya nafsu yang berpusat di perut akan meningkat kekuatannya bila nafsu itu diikuti kemauannya. Manusia yang mengikuti hawa nafsunya yang demikian akan jatuh derajatnya lebih rendah dari makhluk binatang. Sebaliknya manusia yang mengendalikan hawa nafsunya akan menjadi lebih tinggi derajatnya dari makhluk malaikat karena malaikat tidak mempunyai 17 18



Ibid., h. 18, Lihat Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), h. 38 Zainuddin Ali, op. cit., h. 19



8



hawa nafsu sehingga tidak ada yang membangkang atau melanggar larangan Allah swt. Ketiga daya di atas, yaitu daya pikir di kepala dilatih dengan baik akan mempertajam penalaran. Daya rasa di dada yang berpusat di kalbu bila diasah dengan baik akan mempertajam hati nurani. Daya nafsu di perut bila mendapat bimbingan hati nurani melalui keimanan akan menjadi makhluk yang termulia, tetapi bila tidak mendapatkan bimbingan keimanan akan menjadi makhluk terhina di dunia.19 Zuhairini dkk terkait hakikat manusia mengemukakan bahwa; Manusia terdiri dari dua subtansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan jasad hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer, karena ruh saja tanpa jasad yang material, tidak dapat dinamakan manusia.20 Berdasarkan pendapat Zuhairini dkk tersebut dapatlah dipahami bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang diciptakan dari dua subtansi yaitu jasad dan ruh dimana jasad bersumber dari materi yang berasal dari bumi sedangkan ruh berasal dari Tuhan lalu keduanya disatukan oleh Allah hingga menjadi manusia. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut tentang hakikat manusia maka dapatlah dipahami bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna yang terbentuk dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani yang kepadanya diberikan kodrat untuk menjalankan aktivitas kehidupan di muka bumi dan selama kehidupannya di alam dunia ia dituntut hidup sesuai dengan aturan-aturan yang telah Allah tetapkan. 2.



Pandangan Islam tentang Manusia Manusia adalah merupakan salah satu makhluk Allah yang diciptakan Allah demi untuk mendiami dunia. Setelah manusia mendiami bumi maka manusia menurut Islam memiliki tanggung jawab untuk mengabdi kepada Allah. Untuk tugas yang harus ditunaikan tersebut manusia oleh Allah diberi beberapa potensi atau kemampuan berkenaan dengan sifat-sifat Allah seperti; pengasih, penyayang, pencipta, penguasa, maha suci, dan sebagainya dimana manusia dalam menyembah kepada Allah berarti mengembangkan dan 19 20



Ibid, h. 19, Lihat Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta Amzah; 2010), h. 14 Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 77



9



menjalankan sifat-sifat itu dalam kehidupannya menurut perintah dan petunjuk Allah yang terdapat dalam agama Islam. Misalnya Allah memerintahkan menjalankan shalat maka dengan shalat itu manusia menjadi suci yang berarti ia telah meniru sifat Allah dalam kesucian. Allah adalah Maha Pengasih, tetapi ia memerintahkan manusia supaya bersifat pengasih kepada tetangganya jika mengharapkan Allah bersifat pengasih kepadanya. Allah Maha Mengetahui tetapi Allah memerintahkan manusia selalu mencari dan menambah pengetahuan dan berdoa agar Allah menolongnya. Allah memiliki sifat memiliki segala kekuasaan tetapi diberi juga kekuasaan politik kepada manusia di atas muka bumi dan sebagainya. Dalam Islam sifat-sifat Allah diberikan kepada manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas dan sifat-sifat itu diberikan kepada manusia itu merupakan amanah dan harus dipertanggung jawabkan kepada Allah. 21 Menyembah kepada Allah dalam artian luas adalah mengembangkan sifat Allah yang diberikan kepada manusia. Untuk melaksanakan penyembahan maka manusia diberikan kekuasaan di atas bumi dan mencari rezki padanya. Namun demikian karena bumi merupakan kepunyaan Allah maka manusia paling banyak hanya menjadi khalifah dan ia akan diuji dengan apa yang telah diberikan Allah kepadanya. Semua ini bermakna bahwa manusia harus mengembangkan sifat-sifat pada dirinya sesuai dengan ajaran Islam dan mengurus dunia serta segala Isinya sesuai dengan aturan-aturan dalam ajaran Islam sebab semua itu merupakan amanah dari Allah kepada manusia yang telah diajukan kepada langit, bumi dan gunung tetapi mereka enggan untuk memikulnya dan amanah itu dipikulkan Allah kepada manusia dan manusia menerimanya, untuk itu manusia harus menjalankan amanah tersebut sesuai dengan tuntunan agama Islam. 22 Menurut sifat hakikinya manusia adalah makhluk beragama, yaitu makhluk yang mempunyai fitrah untuk memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, serta sekaligus menjadikan kebenaran agama itu sebagai rujukan atau referensi sikap dan perilakunya. Dapat juga dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki motif beragama, rasa keagamaan, dan kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilainilai agama. Kefitrahannya inilah yang membedakan manusia dari hewan dan juga mengangkat harkat dan martabatnya atas kemuliaannya di sisi Allah. 23 21 22 23



Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Cet. X; Bandung: Al-Ma‟arif, 1995), h. 49 Ibid., h.50 Syamsu Yusuf & A Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 135



10



Allah berfirman dalam QS. Al-A‟raf ( 7 ): 172, yaitu;



                             Terjemahannya; Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".24 Firman Allah di atas memberikan gambaran bahwa ternyata manusia sebelum di lahirkan ke dunia sudah mengikat kontrak dengan Allah bahwa Allah sebagai Tuhan yang harus diakui keberadaannya. Ini memberikan makna bahwa secara tidak langsung dengan adanya pengakuan terhadap keberadaan Allah tersebut maka manusia sudah mengikat perjanjian dengan Allah bahwa bila ia terlahir ke dunia nanti akan hidup menurut aturan-aturan yang Allah telah tetapkan sehingga manusia bisa mencapai kesempurnaannya sebagai makhluk Allah bila mampu menjalankan aturan-aturan Allah dalam kehidupannya. Tugas lain yang harus diemban manusia setelah dalam kehidupannya menjadi seorang Islam yang baik maka menurut Islam manusia diwajibkan menyampaikan dakwah Islam kepada segenap manusia, baik melalui jalur pendidikan informal, formal maupun non formal. Islam merupakan risalah semua manusia dalam setiap fase kehidupannya, dan segala aspeknya, bidangnya, maka tidak heran jika kita menemukan ajaran Islam, semuanya tampil secara istimewa secara komprehensif dan cakupan menyeluruh terhadap setiap persoalan dan kehidupan manusia. 25 Umat Islam ditugaskan menyambungkan risalah universal ini kepada seluruh dunia. Maka tidak boleh baginya memonopoli kebaikan dan cahaya bagi dirinya sendiri, melainkan setelah mendapatkan petunjuk hidayah dengan 24 25



Depertemen Agama RI, op.cit., h. 282 Yusuf al-Qardhawy, Madkhal Lima'rifatil Islam Muqawwi_matuhu Khashaishuhu, Ahdafuhu, Mashadiruhu, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo dengan Judul Pengantar Kajian Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997),h.199.



11



cahaya Allah swt maka ia harus menunjuki orang lain kepada-Nya. Dan setelah ia menjadi baik dengan iman dan amal shalih maka ia harus memperbaiki lingkungannya yang dengannya Allah swt telah memuliakannya.26 Oleh karena itu Allah swt telah mensifati umat Islam dengan menjunjungnya dalam kitab-Nya, sebagaimana firman Allah swt.dalam QS. Ali Imran (3): 110, sebagai berikut:



                         Terjemahnya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.27 Umat yang terbaik sebagaimana dimaksudkan dalam ayat ini adalah umat Islam yaitu manusia yang telah menjadi penganut Islam secara benar. Ia memiliki tugas menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kepada segala hal yang mungkar serta beriman kepada Allah swt dengan baik dan benar adalah merupakan tugas dan tanggung jawabnya di dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat pada umumnya. Dengan demikian penganut Islam dituntut untuk berperan aktif di dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam secara baik dan benar untuk mendukung tugasnya sebagai umat terbaik sudah barang tentu perilakunya harus berlandaskan kepada ajaran Islam agar menjadi contoh yang baik bagi umat yang lain yang belum dapat mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam. Sejalan dengan peran yang harus diemban oleh umat Islam dalam kehidupan, Allah swt berfirman di dalam al-QS. Ali Imran (3): 104 sebagai berikut:



26 27



Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan(Cet. IV; Jakarta, Paramadina, 1996), h. 2 Departemen Agama RI., op. cit., h. 80



12



                Terjemahnya: Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar merekalah orang-orang yang beruntung.28 Dalam konteks ayat ini jelaslah bahwa umat manusia yang telah menjadi pengikut agama Islam secara benar dianjurkan untuk mengajak kepada umat-umat yang lain supaya mengerjakan hal-hal yang baik sesuai dengan ketentuan dalam ajaran Islam. Hal ini dimaksudkan membawa hidupnya ke dalam kehidupan yang baik, yang pada intinya tidak menyusahkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, maka tugasnya pula untuk mengajak umat atau golongan lain untuk keluar dari kehidupan yang tersesat kepada kehidupan yang baik. Olehnya itu manusia yang beragama Islam secara benar perlu mengambil langkah-langkah dalam mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat mendatangkan kehidupan yang tidak baik yaitu dengan jalan, setiap saat selalu memberikan pemahaman terhadap umat-umat atau golongan lain tentang ajaran-ajaran Islam dengan menyeru kepada kebaikan dan mencegah segala kemungkaran yang dapat merusak kehidupan umat manusia. Pemaparan tersebut di atas tentang pandangan Islam tentang manusia dihubungkan dengan uraian sebelumnya tentang pengertian manusia memberikan pemahaman bahwa manusia dalam sudut pandang Islam adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki karakteristik dan tugas sebagai berikut; a. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dibandingkan makhluk-makhluk Allah yang lain b. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang diciptakan dari dua subtansi yaitu; jasmani dan rokhani c. Manusia menjalankan aktivitas kehidupannya di muka bumi d. Manusia menjadi khalifah Allah di muka dimana dengan posisinya tersebut ia diwajibkan menjalankan seluruh aktivitas dalam kehidupan ini sesuai dengan aturan yang telah Allah tentukan e. Masih dalam bentuk sebagai khalifah Allah di muka bumi manusia ditutut setelah memahami ajaran Islam dengan baik maka ia harus 28



Ibid.,h. 79



13



menyampaikan dakwah Islam atau pembinaan tentang ajaran Islam kepada segenap manusia, baik melalui jalur pendidikan informal, formal maupun non formal. Zakiah Dradjat dkk mengenai pandangan Islam tentang manusia mengemukakan bahwa bila di lihat dari sudut pandang pendidikan Islam maka manusia memiliki tiga karakteristik yaitu; manusia sebagai makhluk Allah yang mulia, manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi dan manusia sebagai makhluk paedagogik.29 a. Manusia sebagai makhluk Allah yang mulia Manusia diciptakan oleh Allah sebagai penerima dan pelaksana ajaran. Oleh karena itu ia ditempatkan pada kedudukan yang mulia. 30Ini ditegaskan oleh Allah dalam QS.al-Isra (17): 70, sebagai berikut;



                  Terjemhanya; Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.31 Berdasarkan firman Allah tersebut dapat dipahami bahwa Allah memberikan kemuliaan kepada manusia berupa melebihkan manusia dari makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Allah juga berfirman dalam QS. Al-Tin (95): 4-8, sebagai berikut;



                               



29 30 31



Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. XI; Bumi Aksara, 2014), h. 3 Ibid. Departemen Agama RI, op. cit., h.394



14



Terjemahannya; Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putusputusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?. Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?.32 Berdasarkan firman Allah tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Namun bila manusia dalam kehidupan ini tidak menjalankan aturan Allah maka mereka akan dihinakan oleh Allah berupa nantinya akan ditempatkan ke tempat yang paling hina yaitu neraka. Selanjutnya Zakiah Daradjat dkk mengatakan bahwa untuk mempertahankan kedudukannya yang mulia dan bentuk pribadi yang bagus itu, Allah melengkapi manusia dengan akal dan perasaan yang memungkinkan menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta membudayakan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti bahwa kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia itu adalah karena adanya akal dan perasaan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang seluruhnya dikaitkan pada pengabdian kepada Allah swt. 33 Hampir senada dengan pemikiran Zakiah Daradjat dkk tersebut Hasan Basri mengemukakan bahwa; Manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Kesempurnaan manusia berada pada jasmani dan rohaninya. Ciri utama manusia yang sempurna adalah makhluk yang berfikir. Akal dapat membedakan baik dan buruk. Akal adalah alat utama agar manusia dapat mempertahankan kehidupannya. Akal memproduksi ilmu pengetahuan atas berbagai sumber, misalnya dari pengindraan, pengalaman, pengamatan dan sebagainya. Manusia dengan akalnya dapat menciptakan pengetahuan yang bermanfaat sekaligus dapat merusak tatanan kehidupan. Islam memberikan sistem etika yang baik dan benar agar manusia mengembangkan peranan akalnya dengan nilai-nilai yang diridhai Allah. Manusia yang tidak berakal adalah manusia yang telah rusak saraf otaknya atau ia merusak kehidupan dengan akalnya karena memanfaatkan akal tanpa nilai-nilai Ilahiyyah dan rubbubiyyah.34



32 33 34



Ibid., h. 903 Zakiah Daradjat ddk, op. cit., h. 4 Hasan Basri, op. cit., h. 39



15



Untuk itu merujuk pada pendapat Zakiah Daradjat dkk dan Hasan Basri tersebut dapatlah bahwa manusia sebagai makhluk yang mulia karena diciptakan oleh Allah dengan bentuk pribadi yang bagus dan kepadanya diberikan akal yang dengan akal tersebut mampu menjadikan dirinya dalam menjalankan seluruh aktivitas dan karyanya dalam kehidupan sesuai dengan tuntunan ajaran Islam tetapi bila bertentangan maka ia telah merusak kemuliaan yang Allah berikan sehingga berakibat pada ia dikembalikan ke tempat yang hina oleh Allah yaitu neraka. Bukhari Umar mengemukakan bahwa; Agar manusia hidup sesuai dengan nilai dan tuntunan Ilahi, maka manusia dituntut untuk menggunakan akal dan potensi fisik serta psikis yang dimilikinya secara optimal dengan tetap berpedoman pada ajaranNya. Manusia akan mampu mewujudkan dirinya sebagai makhluk Allah yang mulia. Jika tidak manusia akan tergelincir dan terjerumus dalam kehinaan, bahkan lebih hina daripada hewan. Oleh karena itu Allah senantiasa menguji keimanan hamba-hamba-Nya, untuk mengetahui apakah mereka senantiasa mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya.35 Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut memberikan pemahaman bahwa agar manusia mampu mempertahankan kemuliaan yang telah Allah berikan kepadanya maka manusia dituntut untuk hidup sesuai dengan garis ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah berupa seluruh aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan itu tetap mengikuti rambu-rambu yang Allah telah ditetapkan dimana bila manusia melenceng dari aturan Allah maka kemuliaan itu akan berubah menjadi kehinaan bahkan lebih hina dari binatang. Dengan demikian jelas bahwa kemuliaan yang diperoleh manusia dalam kehidupan dikarenakan kemuliaan karena bentuk pribadinya diciptakan lebih baik dibandingkan makhluk Allah yang lain serta diberi kelebihan akal dan kemuliaan karena mampu menjalankan seluruh aktivitas serta karya dalam kehidupan sesuai dengan tuntunan ajaran Islam tetapi bila dalam kehidupan manusia hidup tidak sesuai dengan garis-garis ketentuan yang telah tetapkan Allah maka kemuliaan itu akan hilang dan berganti dengan kehinaan yang membawa manusia lebih hina dari binatang dan kelak di akhirat imbalan yang diperoleh adalah penderitaan dalam neraka. b. Manusia sebagai khalifah Allah di Muka bumi Setelah bumi diciptakan oleh Allah, Allah memandang perlu bumi itu didiami, diurus dan diolah. Untuk itu Allah menciptakan manusia yang 35



Bukhari Umar, op. cit., h. 9



16



diserahi tugas dan jabatan khalifah. Kemampuan bertugas ini adalah suatu anugerah Allah sekaligus merupakan amanat yang dibimbing dengan aturanaturan ajaran dari dari Allah, yang pelaksananya merupakan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah swt.36 Ahmad Mustafah al-Maragi yang dikutip oleh Bukhari Umar mengemukakan bahwa; kata khalifah mengandung dua makna meliputi khalifah bermakna pengganti yaitu pengganti Allah swt untuk melaksanakan titahnya di muka bumi dan khalifah yang bermakna pemimipin yaitu manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendayagunakan alam semesta bagi kepentingan manusia secara keseluruhan. Lebih lanjut Buhkari Umar mengutip pendapat Muhammad Iqbal yang mengemukakan bahwa; sebagai khalifah, Allah telah memberikan mandat kepada manusia menjadi penguasa untuk mengatur bumi dan isinya. Semua itu merupakan kekuasaan dan wewenang yang bersifat umum yang diberikan oleh Allah kepadanya sebagai khalifah untuk memakmurkan kehidupan bumi. 37 Namun perlu disadari bahwa kewenangan manusia untuk memanfaatkan alam semesta harus didasari kepada garis yang telah ditetapkan oleh Allah dan tidak boleh menyalahinya seperti tidak boleh merusak alam, mengeksploitasinya untuk kepentingan individu atau golongan, memanfaatkannya secara berlebih-lebihan dan hal-hal destruktif lainnya. Untuk itu manusia diharapkan mampu mempertahankan martabatnya sebagai khalifah Allah yang hanya tunduk kepada Allah dan tidak akan tunduk kepada alam semesta.38 Zuhairini dkk mengemukakan bahwa khalifah berarti kuasa atau wakil. Dengan demikian manusia adalah kuasa atau wakil Allah di bumi. Manusia adalah pelaksana dari kekuasaan dan kehendak dari Allah. Di sisnilah hakikat basmalah pada setiap perbuatan manusia. Segala perbuatan manusia dengan nama atau atas nama Allah.39 Abuddin Nata mengemukakan bahwa; jika diamati dengan saksama, nampak bahwa istilah khalifah dalam bentuk mufrad atau tunggal yang berarti penguasa politik hanya digunakan untuk nabi-nabi, yang dalam hal ini nabi Adam as dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Untuk manusia pada umumnya biasa digunakan istilah khala‟if yang di dalamnya mempunyai arti yang lebih luas yaitu bukan hanya sebagai penguasa politik tetapi juga 36 37 38 39



Zakiah Daradjat ddk, op. cit., h. 10 Bukhari Umar, op. cit., h. 16 Ibid., h. 17 Zuhairini dkk, op. cit., h. 78



17



penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan dengan pembicaraan dengan kedudukan manusia dalam alam ini, nampaknya lebih cocok digunakan istilah khala‟if dari pada kata khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi. Pendapat yang demikian memang tidak ada salahnya karena dalam istilah khala‟if sudah terkandung makna istilah khalifah. Seorang khalifah dalam ia berfungsi mengantikkan orang lain, mengantikkan kedudukannya, kepemimpinan atau kekuasaannya.40 Lebih lanjut Abuddin Nata mengemukakan bahwa khalifah dalam arti yang luas memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etik yang harus ditegakkan dalam menjalankan fungsi khalifah itu. Abuddin Nata mengutip pendapat M Quraish Shihab, misalnya mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan sesamanya bukan merupakan hubungan antara penakluk dengan yang ditaklukkan atau tuan dengan hambanya tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah swt karena kalaupun manusia mampu mengelola atau menguasai, itu bukan akibat kekuatan yang dimilikinya tetapi Allah menundukkan untuk manusia. Hal ini menurut Abuddin Nata sejalan dengan pendapat Musa Asya‟arie yang mengatakan bahwa tugas seseorang khalifah sebagai pengganti yang memegang kepemimpinan dan kekuasaan, pada dasarnya mengandung aplikasi moral karena kepemimpinan dan kekuasaan yang dimiliki seorang khalifah dapat disalahgunakan untuk kepentingan mengejar hawa nafsu atau sebaliknya juga dapat dipakai untuk kesejahteraan bersama. Oleh karena itu kepemimpinan dan kekuasaan manusia harus tetap diletakkan dalam kerangka eksistensi manusia yang bersifat sementara sehingga dapat dihindari kecenderungan pemutlakan kepemimpinan atau kekuasaan yang akibatnya dapat merusak tataran dan harmoni kehidupan. Selain kekuasaan seorang khalifah pada dasarnya tidak bersifat mutlak karena kekuasaannya dibatasi mandat khalifah yaitu Tuhan. Dan sebagai mandat Tuhan seorang khalifah tidak diperbolehkan melawan hukum-hukum yang ditetapkan Tuhan.41 Selanjutnya terdapat persyaratan yang bersifat teknis dan keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang yang menjadi khalifah. Hal ini dapat dilihat dari isyarat yang terkandung dalam surat al-Baqarah (2): 30-31. Pada ayat-ayat ini dijelaskan bahwa nabi Adam setelah diangkat sebagai khalifah diberikan pengajaran. Ini mengisyaratkan bahwa seseorang khalifah perlu memiliki pengetahuan, keterampilan, mental yang dewasa serta pendidikan 40 41



Abuddin Nata, op. cit., h. 37 Ibid., h. 39



18



pada umumnya. Selain itu pelaksanaan ibadah kepada Allah pada hakikatnya adalah dalam rangka melaksanakan fungsi kekhalifahan di muka bumi. 42 Untuk itu kedudukan manusia di alam jagad raya di samping sebagai khalifah yang memiliki kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya juga sekaligus juga sebagai abdi yaitu seluruh usaha dan aktivitasnya harus dilaksanakan dalam rangka ibadah kepada Allah. Dengan pandangan seperti ini seorang khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Tuhan. Agar manusia dapat menjalankan kekhalifaan dan ibadah dengan baik maka manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, keterampilan, teknologi dan sarana pendukung lainnya.43 Thabathaba‟i eratnya kaitannya dengan peran manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi mengemukakan; penggunaan kata bani Adam menunjukkan arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu pertama anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah seperti berpakaian guna menutup aurat. Kedua mengingatkan pada keturunan nabi Adam agar tidak terjerumus pada bujuk rayu syaitan yang selalu mengajak pada keingkaran. Ketiga memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkan Allah swt. 44 AlThabary menambahkan bahwa; ke semua itu merupakan anjuran sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan dibandingkan makhluk yang lainnya.45 Pendapat Thabathaba‟i dan al-Thabary tersebut memberikan pemahaman bahwa manusia dalam kehidupan dituntut berbudaya sesuai dengan Islam, hidup menghindari bujuk rayu syetan, dan memanfaatkan segala yang ada di alam dunia semuanya dalam rangka pengabdian kepada Allah swt. Ini memberi makna bahwa dalam rangka menjalankan tugas sebagai khalifah Allah maka manusia boleh mengembangkan budaya dalam kehidupan asal tidak bertentangan dengan Islam, melakukan segala aktivitas dalam kehidupan dibolehkan selama perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan menggunakan segala fasilitas yang ada di bumi



42 43 44 45



Ibid., h. 40 Ibid., h. 41 Muhammad Hussein al-Thabathabai‟i, al-Mizan Fi Tafsir al-Qur‟an, Jilid 8, 13 dan 17 (Beyrut: Dar al-Fikr, 1983), h. 68, 155, 112 Ibnu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabary, Jami‟ al-Bayan (Beyrut: Dar al-Fkr, 1988), h. 125



19



dibolehkan selama dalam jalur-jalur yang dibolehkan Islam dan dalam rangka sebagai pengabdian kepada Allah. Samsul Nizar mengemukakan bahwa; Manusia sebagai khalifah di muka bumi, merupakan gambaran cinta ideal yang diciptakan Allah. Dengan potensi yang dimilikinya, manusia mampu menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Ia mampu berkreasi dan berkarya sebebas-bebasnya sesuai dengan kadar kemampuan, namun di sisi yang lain, karena ia juga merupakan makhluk beragama sebagai fitrahnya, memiliki tanggung jawab besar yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah swt. Tanggung jawab tersebut meliputi; berbagai fungsi sebagai khalifah di muka bumi beserta unsur-unsur yang ada di dalamnya.46 Berdasarkan pendapat Samsul Nizar tersebut dapatlah dipahami bahwa Allah menciptakan manusia sebagai khalifah yang dilengkapi dengan berbagai potensi yang dimiliki dengan tujuan agar mereka mampu mengembangkan dan berkarya dalam kehidupan di dunia sesuai dengan kemampuannya dengan catatan segala yang dilakukan tidak menyalahi aturan Allah swt sebab jabatan khalifah yang diberikan kepada manusia hanya merupakan amanah agar ia berkarya dan beraktivitas dalam kehidupan sesuai potensi dan kemampuan tetapi semua yang dilakukan harus mengikuti aturan Allah swt dan akan dipertanggung jawabkan kepada Allah swt. Untuk itu manusia berkualitas merupakan prasyarat untuk dapat melaksanakan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Kualitas manusia menunjukkan tingkat baik dan buruknya, tinggi dan rendahnya sumber daya manusia. Karena tujuan penciptaan manusia untuk diperankan sebagai khalifah Allah di muka bumi, maka Allah mempersiapkan berbagai potensi insani atau sumber daya manusia untuk dikembangkan secara optimal sehingga menjadi manusia yang berkualitas dan mampu melaksanakan peran kekhalifaannya tersebut.47 Quraish Shihab menjadikan sumber daya yang ada pada diri manusia menjadi empat yaitu; 1) Daya tubuh yang mengantarkan manusia berkekuatan fisik. Berfungsi organ tubuh dan panca indra berasal dari daya ini.



46 47



Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 72 Achmadi, Idiologi Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 108



20



2)



3) 4)



Daya hidup, yang menjadikan manusia memiliki kemampuan mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta mempertahankan hidup dalam menghadapi segala tantangan Daya akal, yang memungkinkan manusia memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi Daya qalbu yang memungkinkan manusia bermoral, merasakan keindahan, kelezatan iman dan kehadiran Tuhan.



Semua daya tersebut bila digunakan dan dikembangkan secara baik, maka kualitas manusia akan mencapai puncaknya, suatu pribadi yang beriman, berbudi pekerti luhur, memiliki kecerdasan, ilmu pengetahuan dan keterampilan, keuletan serta wawasan masa depan yang disertai dengan fisik yang sehat.48 Memang Allah menciptakan bumi dalam keadaan seimbang dan serasi. Keteraturan alam dan kehidupan ini dibebankan kepada manusia untuk memelihara dan mengembangkan demi kesejahteraan hidup mereka sendiri. Tugas ini dimulai oleh manusia dari dirinya sendiri, kemudian istri dan anak serta keluarga, tetangga dan lingkungan serta masyarakat dan bangsa. Untuk itu ia harus mendidik diri dan anak-anaknya serta membina kehidupan keluarga dan rumah tangganya sesuai dengan ajaran Islam. Ia harus memelihara lingkungan dan masyarakatnya, mengembangkan dan mempertinggi mutu kehidupan bersama, kehidupan bangsa dan negara. Itulah tugas khalifah Allah dalam mengurus dan memelihara alam semesta.49 Dengan demikian merujuk pada uraian-uraian tersebut di atas tentang peran manusia sebagai kahlifah Allah di muka bumi memberikan pemahaman bahwa agar manusia mampu menjalankan perannya dengan baik sebagai khalifah Allah di muka bumi maka ia harus mengikuti proses pendidikan terkait dengan berbagai aturan tentang pengembangan diri, pengembangan orang lain, ajaran Islam dan berbagai aturan tentang pengelolaan alam yang baik serta pemanfaatannya sesuai dengan tuntunan ajaran Islam dimana bila ia telah memiliki pengetahuan, kematangan berpikir dan berperilaku yang benar sesuai tuntutan ajaran Islam barulah mulai menerapkan konsep tersebut kepada orang dekatnya hingga kepada umat manusia serta mengelola dan memanfaatkan alam sekitarnya untuk kemaslahatan dan kemakmuran bersama, bukan untuk merusaknya.



48 49



Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1992), h. 280 Nur Uhbiyati, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Semarang: Rezki Putra, 2013), h. 8



21



c.



Manusia sebagai makhluk paedagogik Makhluk paedagogik ialah makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat didik dan dapat mendidik. Makhluk itu adalah manusia. Dialah yang memiliki potensi dapat dididik dan dapat mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di muka bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan. Ia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Namun potensi yang ada pada diri manusia yang sudah diciptakan Allah itu tidak akan mungkin dapat berkembangan dengan sendirinya kalau potensi itu tidak dikembangkan. Di sisi yang lain pengembangan itu juga butuh orang yang menuntun atau mendidiknya. Untuk itu, manusia jelas punya potensi untuk dididik dan dapat mendidik, dalam artian dididik untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri sedangkan mendidik untuk membantu mengembangkan potensi orang lain dimana semuanya dilakukan dalam kerangka terwujudnya fungsi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang selalu hidup, beraktivitas dan berprestasi dalam kehidupan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah swt.50 Memang kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dengan kegiatan pendidikan dan pengajaran sebab keberadaannya sangat penting bagi kehidupan manusia, juga mempunyai peranan sentral dalam mendorong individu dan masyarakat untuk meningkatkan kualitasnya dalam segala aspek kehidupan demi mencapai kemajuan, dan untuk menunjang perannya di masa yang akan datang. Untuk itu pendidikan dan pengajaran merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Hewan juga belajar tetapi lebih ditentukan oleh instink, sedangkan bagi manusia belajar berarti rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Olehnya itu, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan manusia.51 Satu sisi pendidikan dalam Islam diberlakukan untuk menuntut umat yang belum terdidik agar menjadi manusia dalam kehidupan hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, namun di sisi yang lain lewat adanya pendidikan menuntut adanya umat manusia dalam kehidupan untuk mampu mengembangkan dirinya sebagai seorang pendidik 50 51



Zakiah Daradjat dkk, op. cit., Hujair AH Sanaki, Paradigma Pendidikan Islam (Cet. III; Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), h. 5



22



sehingga mampu menuntun umat manusia lain agar hidup sesuai dengan nilainilai ajaran Islam sehingga proses pendidikan dalam Islam menjadi wajib dalam pandangan Islam. 52 Untuk itu, berdasarkan uraian di atas tentang manusia sebagai makhluk paedagogik dapatlah dipahami manusia secara konteks fitrah dapat berkembang dalam kehidupan ini baik secara individu maupun secara bermasyarakat lewat proses adanya dididik dan mendidik sebab proses pendidikan yang berlangsung tidak akan pernah berlangsung kalau tidak ada yang didik dan yang mendidik dan lewat proses pendidikanlah manusia mampu mengenal dirinya, mampu memahami perannya dengan orang lain, mampu memahami perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi dan mampu menentukan pilihan antara mengikuti aturan Allah bila menghendaki keselamatan atau mengingkari aturan Allah bila tidak menghendaki adanya keselamatan. Dengan demikian merujuk pada penjelasan-penjelasan di atas tentang pandangan Islam tentang manusia dapatlah dipahami bahwa dalam pandangan Islam manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna yang dilengkapi dengan berbagai potensi untuk menjalani aktivitas kehidupan di dunia sebagai khalifah Allah dan semua itu baru dapat terwujud lewat adanya proses pendidikan dimana dengan adanya proses tersebut manusia akan mampu mengenal dan memahami bentuk perannya sebagai khalifah Allah dalam kehidupan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah swt, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, berbangsa maupun umat dan dalam hal pengurusan dunia serta segala potensi yang ada di dalamnya C.



Pengetahuan dalam Islam Pengetahuan adalah semua yang diketahui. Ini tentu bukanlah definisi pengetahuan, tetapi itu sudah lumayan untuk menjelaskan apa pengetahuan itu. Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa sampai ia telah menulis bukunya dengan judul Ilmu pendidikan Islam edisi revisi 2012 ia juga belum tau, apa definisi pengetahuan itu. Yang ia ketahui hanyalah bahwa pengetahuan adalah semua yang diketahui. Apa yang diketahui? Banyak. Inilah kira-kira uraiannya. Seseorang ingin mengetahui, jika jeruk ditanam, apa buahnya. Ia mencari bibit jeruk lalu ditanamnya. Ia menunggu, dan pada saatnya ternyata jeruk itu berbuah jeruk. Jadi tahulah ia bahwa jeruk berbuah jeruk. Orang 52



Zakiah Daradjat dkk,op. cit., h. 16



23



ingin mengetahui mana yang lebih dingin, es atau api. Ia mendekatinya atau bahkan merabanya. Tahulah ia bahwa es dingin dan api yang panas. Inilah jenis pengetahuan pertama yang tersimpan dalam pengetahuan indrawi. Jeruk ditanam berbuah jeruk, api lebih panas daripada es. Sebenarnya keadaan itu tidaklah hanya berjalan seperti itu. Ada sesuatu yang berada di belakangnya., sesuatu itu ada logikanya, yaitu yang dapat menerangkan mengapa itu begitu. Mengapa misalnya jika di tanam di tanah yang tandus buahnya kecil dan bila di tanah subur buahnya besar. Logikanya kira-kira tanah subur memberi cukup bahan untuk membesarkan buah, tanah tandus tidak. Mengapa bila yang menjual banyak pembeli sedikit, harga akan turun? Ya, itu logis sebab orang berlomba menjual. Agar menang dalam menjual, ia harus menurunkan harganya. Bila yang menjual sedikit dan pembeli banyak, maka harga akan naik. Mengapa? Karena orang berebut membeli, kesempatan itu digunakan untuk menaikan harga. Jadi logis demikian. 53 Pengetahuan jenis kedua disebut dengan pengetahuan sain yaitu logis empiris54 dalam kamus bahasa Indonesia ada istilah ilmu. Penggunaan ilmu dalam kamus bahasa Indonesia diambil dari bahasa Arab yang berarti pengetahuan. Lebih membingungkan lagi orang Indonesia menyebut sains dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan jenis pertama tadi (pengetahuan indrawi) sebenarnya sama saja (hakikatnya) dengan pengetahuan sain. Bedanya hanya sedikit. Pengetahuan indrawi itu sederhana (karena tidak diuraikan) sedangkan pengetahuan sains itu komplek (sebenarnya karena diuraikan). Pengetahuan inderawi juga kompleks bila diuraikan. Bila pengetahuan inderawi diuraikan, ia akan sama persis dengan pengetahuan sains. Inilah jenis pengetahuan manusia yang pertama. Dalam bentuknya yang baku (hingga kini), pengetahuan sains itu mempunyai paradigma dan metode tertentu. Paradigmanya adalah paradigma sain, metodenya disebut metode sain. 55 Paradigma dan metode sain ini diturunkan dari filsafat positivisme. 56 Yang dimaksud dengan paradigma sain adalah cara pandang sain, yang dimaksud dengan metode sain adalah metode yang mengandalkan logika dan bukti empiris. Metode sain mengatakan, bila benar, buktikan bahwa itu logis serta tunjukan bukti empirisnya. 53 54



55 56



Ahmad Tafsir, op. cit., h. 8 Empiris secara bahasa Indonesia berarti; berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan), Departemen P dan K, op. cit., h. 262 Ahmad Tafsir, op. cit., h. 9 Positifisme adalah aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Ibid., h. 783



24



Kaidah sain perlu sekali diperhatikan oleh kalangan ilmuwan sebab adakalanya sesuatu mempunyai bukti empiris, tetapi tidak logis, ini bukan pengetahuan sain. Misalnya begini. Bila ada gerhana, pukul kentongan, gerhana itu akan hilang. Ini dapat dibuktikan secara empiris. Bila ada gerhana, pukul kentongan. Lama kelamaan gerhana itu akan hilang. Tidak percaya boleh dibuktikan. Memang terbukti, tetapi ada logikanya ? ternyata bila ada gerhana dan kentongan tidak dipukul, gerhana juga akan hilang. Pengetahuan seperti ini yaitu ada bukti, tetapi tidak logis, bukan pengetahuan sains. Ini mungkin dapat disebut pengetahuan takhayul, pengetahuan bohong-bohongan. Metode sains itu dikembangkan orang secara luar biasa dalam bentuk metodologi riset sain. Itulah yang dipelajari mahasiswa dalam mata kuliah metodologi riset atau metode riset, sebagai usaha untuk menguasai teori-teori guna memperoleh pengetahuan sain yang harus dibuktikannya dalam bentuk penulisan skripsi. Skripsi ini merupakan laporan cara menemukan, dan temuan itu sendiri yang berupa sain.57 Lanjutan pengetahuan sain itu ada lagi, yakni pengetahuan jenis kedua yang kelak kita sebut pengetahuan filsafat. Kita kembali kepada jeruk. Jeruk di tanam, buahnya jeruk. Ini pengetahuan sain. Akan tetapi, ada yang bertanya mengapa jeruk selalu berbuah jeruk, tidak pernah berbuah bakso, misalnya? Untuk menjawab pertanyaan ini orang tidak lagi mengadakan penelitian empiris karena objek yang hendak diketahui itu sebenarnya tidak ada pada bibit atau pohon jeruk. Lalu, kalau begitu, bagaimana cara mengetahuinya, bagaimana menjawab pertanyaan tadi? Dengan berpikir dan hanya dengan berpikir. Yang dipikir memang jeruk, tetapi bukan jeruk yang empiris. Yang dipikir adalah jeruk umumya yaitu jeruk yang abstrak. Kita menemukan jawaban; jeruk selalu berbuah jeruk karena ada hukum yang mengatur agar jeruk selalu berbuah jeruk. Para ahli menyebutnya gen. hukum itu tidak kelihatan, tidak empiris, tetapi akal yakin benar bahwa hukum itu ada. Jeruk selalu berbuah jeruk karena hukum yang mengaturnya demikian. Inilah pengetahuan jenis kedua pengetahuan filsafat. Kebenarannya hanya dipertanggung jawabkan secara rasional. Paradigma untuk mengetahui filsafat kita sebut paradigma rasional, metodenya disebut metode rasional yang mengandalkan pemikiran rasional. Cara kerja metode ini sulit dijelaskan; yang dapat dikatakan adalah mencari kebenaran tentang sesuatu dengan cara memikirkannya secara rasional. 58



57 58



Ahmad Tafsir, op. cit., h. 9 Ibid.



25



Pengetahuan filsafat tadi masih dapat maju selangkah lagi yaitu pertanyaan siapa yang membuat hukum itu? Dipikir dan ditemukan; yang membuat hukum itu haruslah sesuatu yang amat cerdas. Ini masih pengetahuan filsafat karena kesimpulan itu logis rasional. Kebenaran filsafat ditentukan oleh logis atau tidaknya argumen; bila argumenya logis, maka filsafat itu benar; bila tidak, tidak. Segelintir orang masih maju ia bertanya siapa yang amat cerdas itu? Orang mengatakan itu Tuhan. Siapa Tuhan itu? Saya ingin mengenalnya. Menurut Kant, manusia tidak akan dapat memahami Tuhan dengan akalnya (akal murni menurut istilah Kant); manusia hanya dapat mengenal Tuhan dengan hatinya (akal praktis menurut istilah yang digunakan Kant). Di dalam tradisi Islam hati itu disebut kalbu, dzauq, dlamir. Inilah pengetahuan jenis ketiga. Kita namakan pengetahuan jenis mistik yaitu segala pengetahuan yang diperoleh dengan hati, yaitu pengetahuan suprarasional, pengetahuan ini diperoleh melalui pemikiran supra rasional. Dapat juga dengan melatih kalbu agar dapat merasakan, menangkap pengetahuan yang tidak dapat ditangkap oleh rasio di kepala. Pengetahuan jenis ini objeknya di luar rasio. 59 Matriks Pengetahuan Manusia Macam Pengetahuan Sain Filsafat/rasional Suprarasional



Objek



Pardigma



Metode



Kriteria



Empiris Abstrak rasional Abstrak suprarasional



Sain rasional



Sain rasional



Mistik



Mistik



Rasional dan empiris Rasional Keyakinan suprarasional



Pengetahuan sain adalah pengetahuan yang rasional dan empiris. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan logis tidak ada bukti empiris. Pengetahuan supra rasional ialah pengetahuan logis jalur suprarasional. Perlu dijelaskan logis itu ada dua, ada logis rasional ada logis suprarasional. Masih ada satu lagi macam pengetahuan yang belum kelihatan dalam matriks tersebut, yaitu pengetahuan seni yang mencakup pengetahuan tentang objek-objek dari segi indah-tindak indahnya. Besar dugaan pengetahuan ini sebagai besar dicapai dengan paradigma ketiga. Jika begitu, ia masuk pengetahuan supra rasional.60 Mana pengetahuan agama? Pengetahuan agama itu apa bila agama adalah wahyu Tuhan maka, al-Qur‟an (untuk agama Islam) itu isinya ada yang dapat dipahami secara sain, ada yang dapat dipahami secara filsafat dan 59 60



Ibid Ibid., h. 11



26



kebanyakan hanya dapat dipahami secara suprarasional. Di lihat dari segi lain, seluruh ayat al-Qur‟an harus diterima dengan yakin; berarti semuanya masuk pengetahuan suprarasional. Jadi al-Qur‟an isinya ada yang saintifik, ada yang rasional dan ada yang supra rasional. Di atas itu adalah suatu cara membagi pengetahuan manusia. Ada lagi cara membagi pengetahuan manusia yaitu pengetahuan dibagi dua; pertama pengetahuan yang diwahyukan, kedua pengetahuan yang diperoleh. Maksud diperoleh adalah dicari sendiri oleh manusia sedangkan pengetahuan yang diwahyukan adalah pengetahuan yang diterima. Ini cara pembagian menurut Islam. Menurut al-Qur‟an semua pengetahuan datangnya dari Allah. Konferensi internasional pendidikan tahun 1980 membuat rekomendasi sebagai berikut ini (King Abdul Azis Universiti). Semua pengetahuan datang dari Allah. Sebagian diwahyukan pada orang yang dipilih, sebagian lain diperoleh manusia dengan menggunakan indra, akal dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai kebenaran yang Absolut sedangkan pengetahuan yang diperoleh kebenarannya tidak mutlak. 61 Zainuddin Ali mengemukakan bahwa; di dalam ajaran Islam ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan, yaitu; 1. Akal dalam artian potensi yang diberikan oleh Allah kepada manusia, dengan menggunakan kesan-kesan yang diperoleh panca indra sebagai bahan pemikiran untuk sampai pada kesimpulan 2. Wahyu dalam pengertian komunikasi dari Tuhan kepada manusia. Kedua jenis perolehan pengetahuan manusia dimaksud yaitu; 1. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui wahyu yang diyakini bersifat absolut dan mutlak benar 2. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal yang bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah.62 Lebih lanjut Zanuddin Ali mengemukakan bahwa pada dasarnya pengetahuan atau ilmu dalam ajaran Islam mempunyai klasifikasi dan karakteristik yang bercorak Ilahiyah. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak dapat dipisahkan dengan iman, bahkan dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu bersumber dari Allah yang Maha Berilmu. Allah sebagai sumber ilmu mendidik manusia melalui ayat-ayatnya, baik yang tertulis maupun yang tersirat dalam al-Qur‟an dan sunatullah yang ada di alam. Dengan demikian,



61 62



Ibid., h. 12 Zanuddin Ali, op. cit.,h. 38



27



manusia berusaha untuk mempunyai ilmu untuk membina iman yang dapat membahagiakan kehidupannya di dunia dan di akhirat.63 Berdasarkan pemikiran dari Zainuddin Ali tersebut dapatlah dipahami bahwa sumber pengetahuan dalam Islam adalah Allah dan cara memperolehnya adalah lewat wahyu Allah dan lewat penalaran manusia dengan menggunakan akal dimana pengetahuan yang diperoleh lewat wahyu sifat kebenarannya mutlak sedangkan yang dengan daya nalar akal sifatnya relatif dimana bisa benar dan bisa salah, hanya saja esensi pengetahuan dalam Islam adalah sebagai kerangka pedoman untuk menambah dan memperkuat keyakinan agar bisa tercapai kebahagiaan di dunia kini dan keselamatan di akhirat kelak. Pemikiran ini juga dapat melahirkan imej pengetahuan yang dibolehkan dan dapat dikembangkan dalam Islam adalah pengetahuan yang tidak bertentangan dengan wahyu Ilahi. Ahmad tafsir juga mengemukakan bahwa; Pengetahuan manusia berbeda nilainya. Pengetahuan yang paling tinggi nilainya adalah pengetahuan tentang Allah, yaitu ma‟rifah, diperoleh melalui jalan berpikir dan jalan riyadlah. Jalan pertama adalah jalan yang ditempuh para Nabi dan ahli hikmah, jalan kedua adalah jalan para sufi. Menurut Islam pengetahuan tidak ada segi baiknya bila ia tidak menunjuki kita kepada hakikat pertama alam ini, yaitu Allah. Jadi pengetahuan apapun yang kita milik haruslah dapat berguna untuk mengetahui Allah. Dengan begitu ilmu (pengetahuan) dapat membantu kita menunjukkan tempat kita di alam ini. Oleh karena itu tujuan semua pengetahuan adalah pada akhirnya untuk mengetahui Allah sampai mengakui wujud dan segala sifatnya. Ma‟rifah itu ada dua macam, yaitu ma‟rifah yang hak (benar) dan ma‟rifah hakiki. Ma‟rifah hak adalah mengetahui Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat yang dinyatakan-Nya kepada makhluk-Nya. Adapun ma‟rifah hakiki tidak dapat dicapai oleh manusia karena pengetahuan manusia amat terbatas. Setelah mengetahui Allah, selanjutnya kita perlu mengetahui hal-hal yang halal dan yang haram, setelah itu kita perlu juga mengetahui ilmu bahasa dan ilmu-ilmu lainnya.64 Berdasarkan pemikiran Ahmad Tafsir tersebut dapatlah dipahami bahwa pengetahuan tertinggi dalam Islam adalah pengetahuan tentang Allah sang pencipta dan pengetahuan yang baik dalam Islam adalah pengetahuan yang mengantarkan manusia dapat mengenal Allah dan segala aturannya.



63 64



Ibid., h. 39 Ahmad Tafsir, op. cit., h. 16



28



Dengan demikian merujuk pada penjelasan di atas tentang pengetahuan dalam Islam didapatkan pemahaman-pemahaman sebagai berikut; a. Pengetahuan adalah semua yang diketahui b. Secara umum pengetahuan dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu sain, filsafat dan pengetahuan suprarasional atau mistis dimana pengetahuan sain adalah pengetahuan yang bersifat rasional dan lewat proses penelitian, pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh lewat proses berpikir tanpa adanya hasil penelitian sedangkan pengetahuan supra rasional adalah pengetahuan yang diperoleh lewat keyakinan di hati c. al-Qur‟an bila dilihat dari isinya ada yang dapat dipahami secara sain, ada yang dapat dipahami secara filsafat dan kebanyakan hanya dapat dipahami secara suprarasional tetapi bila dilihat dari segi lain yaitu ayat al-Qur‟an diterima lewat keyakinan maka seluruh isi al-Qur‟an masuk pengetahuan yang bersifat suprarasional. d. Dalam konteks Islam semua pengetahuan bersumber dari Allah, hanya saja dalam proses memperolehnya pengetahuan ada dua cara yang ditempuh yaitu yang diwahyukan dan pengetahuan yang diperoleh dimana pengetahuan yang diwahyukan sifatnya mutlak kebenarannya sedangkan pengetahuan diperoleh lewat pencarian akal manusia bersifat relatif kebenarannya dimana bisa benar dan bisa salah. D.



Perbedaan Antara Filsafat, Ilmu dan Teknik Pendidikan Islam Ahmad Tafsir memberikan penjelasan tentang perbedaan antara filsafat, ilmu dan teknik pendidikan sebagaimana pemaparan berikut. Sains (ilmu) adalah pengetahuan logis dan mempunyai bukti empiris. Kaidah ini digunakan Ahmad Tafsir untuk ilmu pendidikan Islam. Teori-teori dalam ilmu pendidikan Islam haruslah dapat diuji secara logis dan sekaligus empiris. Bila kurang satu saja maka ia bukan ilmu pendidikan Islam. Adapun Filsafat adalah sejenis pengetahuan manusia yang logis saja tentang objek-objek yang abstrak. Bisa saja Objek penelitiannya kongkrit tetapi yang ingin diketahuinya bagian abstraknya. Suatu teori filsafat benar bila ia dapat dipertanggung jawabkan secara logis untuk selama-lamanya tidak akan dibuktikan secara empiris. Bila suatu waktu ia dapat dibuktikan secara empiris maka ia segera berubah menjadi ilmu. Berdasarkan itu maka filsafat pendidikan Islam adalah kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya



29



dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.65 Mengenai teknik pendidikan Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa teknik pendidikan yang dimaksud adalah bukanlah teknologi pendidikan sebab teknologi menurutnya masih berada pada daerah sain dan selevel dengan sain. Teknik pendidikan dapat berarti Juklak (petunjuk pelaksanaan) teori-teori sain pendidikan.66 Pemikiran ini memberikan pemahaman bahwa bila yang dimaksud adalah teknik pendidikan Islam maka itu berarti petunjuk pelaksanaan teori-teori sain pendidikan Islam. Lebih lanjut mengenai teknik pendidikan Islam Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa teknik pendidikan Islam bukanlah teori, tempatnya di bawah teori. Teori berada dalam Ilmu dan filsafat pendidikan Islam. Teknik pendidikan Islam adalah petunjuk pelaksanaan teori-teori tersebut.67Artinya teknik pendidikan Islam adalah cara operasional pelaksanaan ilmu pendidikan Islam dan pemikiran filsafat pendidikan Islam. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa perbedaan antara filsafat, ilmu dan teknik pendidikan Islam meliputi; ilmu pendidikan Islam adalah pengetahuan tentang teori-teori pendidikan yang diperoleh dengan menggunakan pemikiran logis dan pembuktian lewat hasil penelitian, filsafat pendidikan Islam adalah pengetahuan tentang teoriteori pendidikan yang diperoleh melalui proses pemikiran logis tanpa dukungan pembuktian hasil penelitian sedangkan teknik pendidikan adalah juklak operasional dari cara penemuan pengetahuan teori-teori pendidikan Islam baik secara filsafat maupun secara ilmu. E.



Rangkuman Menurut Islam manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling mulia dan kepadanya diberikan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi namun tanggung jawab tersebut baru dapat diwujudkan lewat adanya proses pendidikan Islam yang diterima serta berhasil tidaknya dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah bergantung pada tingkat implementasi nilainilai pengetahuan Islam yang diperoleh dalam proses pendidikan Islam dalam kehidupan nyata sesuai ketentuan aturan yang sudah ditetapkan Allah. Dalam Islam sumber pengetahuan Islam adalah Allah tetapi cara memperoleh pengetahuan dalam Islam lewat dua cara yaitu; lewat wahyu dan 65 66 67



Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam Dalam Prespektif Islam (Cet. XII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 15 Ibid., h. 17 Ibid., h. 23



30



lewat kemampuan berpikir dimana pengetahuan yang diperoleh lewat wahyu sifat kebenarannya mutlak sedangkan pengetahuan yang diperoleh lewat pencarian akal manusia bersifat relatif kebenarannya karena bisa benar dan bisa salah. Ilmu pendidikan Islam adalah pengetahuan tentang pendidikan Islam yang diperoleh lewat pemikiran logis dan didukung pembuktian ilmiah, filsafat pendidikan Islam adalah pengetahuan tentang pendidikan Islam yang diperoleh hanya melalui proses pemikiran logis sedangkan teknik pendidikan adalah proses atau prosedur penemuan pengetahuan pendidikan Islam baik secara filsafat maupun secara ilmu



31



32



BAB II PENGERTIAN, SUMBER-SUMBER, TUJUAN DAN FUNGSI PENDIDIKAN ISLAM A.



Latar Belakang Pemikiran Bila diamati secara saksama keadaan bayi pada saat dilahirkan, maka akan disaksikan bahwa mereka dalam keadaan yang sangat lemah dan serba tidak berdaya. Hampir seluruh hidup dan kehidupannya hanya menggantungkan diri kepada orang lain. Mereka sangat memerlukan pertolongan dan bantuan dalam segala hal. Kalau seandainya anak tersebut tidak diberi minum atau makan oleh ibunya maka ia pasti akan mati. Demikian pula kalau ia tidak diberi bimbingan atau pendidikan, baik pendidikan jasmani maupun pendidikan rohani yang berupa pendidikan intelek, susila, sosial, agama dan lain-lain maka anak tersebut tidak akan dapat berbuat sesuatu. Tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Emmanuel Kant bahwa manusia dapat menjadi manusia karena pendidikan. 68 Pernyataan tersebut mengandung pengertian bahwa bilamana anak tidak mendapatkan pendidikan maka mereka tidak akan menjadi manusia sebenarnya dalam arti tidak akan sempurna hidupnya dan tidak akan dapat memenuhi fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan kehidupannya. Dengan kata lain hanya pendidikanlah yang dapat memanusiakan dan membudayakan manusia. Suatu bukti pernyataan tersebut, peristiwa yang terjadi di India, yakni sewaktu Mr Singh menemukan dua orang anak manusia yang berada dalam sebuah gua sarang serigala. Kedua anak tersebut di asuh oleh serigala itu sehingga akibatnya segala gerakgerik dan tingkah lakunya serta kemampuannya menyerupai serigala. Demikian pula anak yang di asuh oleh monyet maka juga tingkah lakunya seperti monyet. Semua itu membuktikan bahwa kemampuan dasar yang dimiliki oleh anak baik jasmani maupun rohaninya tidak secara otomatis tumbuh dan berkembang tetapi membutuhkan bantuan dari orang lain di sekitarnya untuk melakukan proses bimbingan, pengarahan dan pendidikan barulah potensi jasmani dan rokhani seorang anak dapat tumbuh dan berkembang. 69



68 69



Zuhairini ddk, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 93 Ibid, h. 94



33



Mengenai manusia dalam kehidupan memerlukan adanya proses kegiatan pendidikan dari orang lain barulah ia bisa tumbuh dan berkembang menuju kedewasaannya disinyalir oleh Allah lewat Firmannya dalam QS. An-Nahl (16): 78, yaitu;



                Terjemahnya; Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.70 Berdasarkan firman Allah swt, tersebut dapatlah dipahami bahwa setiap anak yang dilahirkan oleh ibunya ke dunia tidak memiliki pengetahuan sama sekali, untuk anak nantinya dapat memiliki pengetahuan sehingga bisa berkembang menuju kedewasaannya maka Allah melengkapi anak dengan telinga untuk mendengar, mata untuk melihat dan hati untuk meyakini kebenaran sesuatu yang dilihat dan dipelajarinya. Hal ini memberikan gambaran bahwa agar anak dapat tumbuh dan berkembang dalam kehidupannya maka lewat adanya potensi pada dirinya yang diberikan oleh Allah tersebut dituntut perlu adanya proses pendidikan bagi dirinya. Hujair AH Sanaki mengemukakan bahwa; Pendidikan sangat penting bagi kehidupan manusia, karena pendidikan itu sendiri mempunyai peranan sentral dalam mendorong individu dan masyarakat untuk meningkatkan kualitasnya dalam segala aspek kehidupan demi mencapai kemajuan dan untuk menunjang perannya di masa yang akan datang. Untuk itu pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Hewan juga belajar tetapi lebih ditentukan oleh insting, sedangkan bagi manusia belajar berarti rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Olehnya itu, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan manusia.71 70 71



Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2002), h. 375 Hujair AH Sanaki, Paradigma Pendidikan Islam (Cet. III; Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), h. 5



34



Uraian-uraian di atas memberikan pemahaman bahwa memang keberadaan pendidikan dalam kehidupan manusia berperan sebagai sarana untuk mengembangkan potensi yang dibawa oleh manusia sejak kelahirannya sehingga potensi yang dimiliki dapat digunakan dalam kehidupannya dengan sebaik-baiknya agar dapat berguna bagi diri maupun orang lain yang ada di sekitarnya dimana proses pendidikan tersebut berkembang sesuai dengan berkembangnya kebutuhan hidup manusia dari waktu ke waktu serta proses pelaksanaan pendidikan dilakukan oleh manusia dewasa yang telah memiliki pengetahuan tentang hidup dan kehidupan serta proses pendidikan bagi manusia berlangsung pada semua lingkungan pendidikan. Erat kaitanya dengan pendidikan memegang peran yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia maka bagi umat Islam salah satu pendidikan yang tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan hidup mereka adalah keberadaan pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah suatu proses pendidikan yang dilaksanakan dalam upaya menuntut umat manusia dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Selain itu pendidikan Islam juga bertujuan menuntun umat manusia dalam kehidupan agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat.72 Untuk itu, pengelolaan pendidikan Islam dalam kehidupan harus benarbenar sejalan dengan ajaran Islam dengan merujuk kepada dua landasan utamanya yaitu kitab suci al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah Muhammad saw. Banyak ajaran-ajaran atau nilai-nilai pendidikan yang dikandung ke dua sumber pegangan dalam pendidikan Islam tersebut, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan lingkungannya.73 Abu Fatah Jalal mengemukakan bahwa; tujuan hidup merupakan sumber tujuan pendidikan. Artinya, isi tujuan pendidikan Islam pada intinya merupakan penjabaran dari tujuan hidup manusia di muka bumi. Hakikat manusia ialah memperoleh keridhaan Allah. Jika demikian, tujuan akhir pendidikan Islam ialah manusia yang diridhai oleh Allah swt, yaitu manusia yang menjalankan peranan idealnya sebagai hamba dan khalifah Allah secara sempurna.74



72 73



74



Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. XI; Jakarta: Bumi Aksara, 2014), h.31 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan,Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam (Cet. I; Bogor Kencana: 2005), h. 1, Lihat Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Cet. IV; Jakarta: Kalam Mulia, 2005), h. 21-22 Oemar Mohammad al-Toumy al-Syaibaniy, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiya, Diterjemahkan oleh; Hasan Langgulung Dengan judul: Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h..405



35



Berdasarkan pendapat Abu Fatah Jalal memberikan pemahaman pendidikan Islam sangat urgen keberadaannya bagi umat Islam sebab hanya lewat proses pendidikan Islam manusia mampu memahami dan menjalankan perannya dengan baik dalam kehidupan baik sebagai abdi Allah maupun sebagai khalifah Allah di muka bumi sebab tujuan pendidikan Islam pada intinya merupakan penjabaran dari tujuan ajaran Islam. Acmadi mengemukakan bahwa esensi dari fungsi keberadaan pendidikan Islam bagi umat Islam yaitu; 1. Mengembangkan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia, alam sekitar dan mengenai kebesaran Ilahi 2. Membebaskan manusia dari segala anasir yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia) baik yang datang dari dalam dirinya maupun dari luar 3. Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memajukan kehidupan maupun sosial.75 Nur Uhbiyati mengenai fungsi keberadaan pendidikan Islam bagi umat Islam memiliki cukup banyak fungsi di antaranya; 1. Menumbuhkan dan memelihara keimanan 2. Membina dan menumbuhkan akhlak yang mulia 3. Membina dan meluruskan ibadat 4. Menggairahkan amal dan melaksanakan ibadah 5. Mempertebal rasa dan sikap keberagamaan serta mempertinggi solidaritas sosial.76 Berdasarkan pendapat Acmadi dan Nur Uhbiyati di atas dapatlah dipahami bahwa keberadaan pendidikan Islam bagi Umat Islam tiada lain adalah untuk mengarahkan agar seluruh aktivitas dalam kehidupan dilakukan harus sesuai dengan garis-garis ketentuan yang ditetapkan Allah baik kehidupan secara individu, kehidupan secara sosial maupun kehidupan dalam pengembangan pengetahuan dan pengelolaan sumber daya alam dimana prinsip yang dianut semua yang dilakukan dalam kehidupan hanya sebagai bentuk pengabdian kepada Allah swt. Dengan demikian merujuk pada penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa manusia dalam kehidupan dapat berkembang dengan baik seluruh potensi yang dibawah sejak lahir menuju bisa 75 76



Achmadi, Idiologi Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 36 Nur Uhbiyati, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (Cet. I; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2013), h. 22



36



terwujudnya kesejahteraan hidup karena adanya proses pendidikan dan bagi umat Islam agar bisa terwujudnya kebahagiaan hidup yang hakiki sesuai dengan tuntunan ajaran Islam adalah lewat proses pendidikan Islam. Hal ini juga memberikan makna bahwa pendidikan Islam memiliki posisi yang sangat urgen dalam pencapaian kehidupan umat Islam sebab hanya lewat proses pendidikan Islamlah manusia mampu memahami dan menjalankan peran sebenarnya di muka bumi sesuai ketentuan aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah sehingga bisa digapai kebahagiaan hidup di dunia kini dan keselamatan hidup di akhirat kelak. Melihat begitu urgennya posisi pendidikan Islam bagi umat Islam dalam upaya tercapainya kebahagiaan hidup di dunia kini dan keselamatan hidup di akhirat kelak maka dalam bab ini akan diulas topik kajian yaitu; pengertian, sumber-sumber, tujuan dan fungsi pendidikan Islam. B.



Pengertian Pendidikan Islam Secara struktur kaidah bahasa Indonesia pendidikan Islam terdiri dari dua suku kata yaitu: pendidikan dan Islam. Pendidikan berarti; “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”. 77 Sementara Islam berarti; “Agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw berpedoman pada kitab suci al-Qur‟an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah”.78 Berdasarkan pengertian pendidikan Islam secara kaedah bahasa Indonesia tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah upayaupaya yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupan untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok lewat pengajaran atau latihan agar dalam kehidupannya sesuai dengan ajaran agama Islam yang dibawah oleh nabi Muhammad saw. Secara istilah Muhaimin dkk mengemukakan bahwa secara sederhana istilah pendidikan Islam dapat dipahami dalam beberapa pengertian, yaitu pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, pendidikan keislaman atau pendidikan agama Islam, dan pendidikan dalam Islam. Pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami adalah pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya yaitu; Qu‟an dan Sunnah. Dalam pengertian yang pertama 77 78



Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 232 Ibid, 388



37



ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut. Dalam realitasnya pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islam terdapat beberapa visi, yaitu; a. Pemikiran, teori, dan praktik penyelenggaraannya melepaskan diri atau kurang mempertimbangkan situasi kongkrit dinamika perkumpulan masyarakat muslim (era klasik dan kontemporer) yang mengintarinya b. Pemikiran, teori dan praktek penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan pengalaman dan khasanah intelektual ulama klasik c. Pemikiran, teori, dan praktek penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan situasi sosio-historis dan kultur masyarakat kontemporer dan melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman serta khasanah intelektual ulama klasik d. Pemikiran, teori dan praktek penyelenggaraannya mempertimbangkan pengalaman dan khasanah intelektual muslim klasik serta mencermati situasi sosio-historis dan kultur masyarakat kontemporer.79 Adapun pendidikan keislaman atau pendidikan agama Islam adalah upaya pendidikan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi Way of life (pandangan hidup dan sikap hidup) seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini pendidikan agama Islam dapat berwujud; a. Segenap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga untuk membantu seseorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan agama Islam atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya dalam diri dan kehidupannya. b. Segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya nilai-nilai ajaran Islam dan atau tumbuhkembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak. 80 Sementara pendidikan dalam Islam adalah proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah agama Islam. Dalam arti proses bertumbuhkembangnya Islam dan umatnya baik Islam sebagai agama, ajaran, maupun sistem dan peradaban sejak zaman Nabi Muhammad sampai sekarang. Dalam pengertian ketiga ini,



79 80



Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah ( Cet. II; Bandung: PR Remaja Rosdakarya, 2002), h. 29 Ibid.



38



istilah pendidikan Islam sebagai; Proses pembudayaan ajaran Islam, budaya, peradaban umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarah.81 Selanjutnya Muhaimin dkk mengemukakan bahwa walaupun pendidikan Islam tersebut dapat dipahami secara berbeda namun pada hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud secara operasional dalam suatu sistem yang utuh. Konsep dan teori kependidikan Islam sebagaimana yang dibangun dan dikembangkan dari Qur‟an dan Sunnah mendapatkan justifikasi dan perwujudan secara operasional dalam proses pembudayaan dan pewarisan serta pengembangan ajaran Islam, budaya dan peradabannya dari generasi ke generasi yang berlangsung sepanjang sejarah umat Islam. Proses tersebut dalam prakteknya berlangsung dari proses pengembangan dan pembinaan manusia atau pribadi muslim pendukungnya pada setiap generasi sepanjang sejarah umat Islam. 82 Jika dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam, ada tuduhan sebagian orang yang beranggapan bahwa ajaran Islam tidak mempunyai konsep tersendiri mengenai pendidikan lantaran Islam selalu menerima dan berasimilasi serta beradaptasi bahkan mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan dari lingkungan sosial budaya dari peradaban masyarakat yang dijumpainya serta sampai saat ini belum ada kesepakatan pendapat di kalangan para ahli mengenai istilah yang dianggap baku untuk menyatakan secara tepat konsep dan wawasan pendidikan Islam dimana para ahli masih berbeda dalam penggunaan Istilah tarbiyah, ta‟lim dan ta‟dib sebagai istilah yang tepat dan baku untuk menyatakan pendidikan Islam menurut ajaran Islam dengan argumentasi masing-masing sehingga anggapan sementara orang bahwa Islam tidak mempunyai konsep tersendiri tentang pendidikan, tampaknya cukup beralasan.83 Namun, alasan tersebut menurut Muhaimin dkk tidaklah sepenuhnya benar sebab memang fakta sejarah menunjukkan; Islam selalu berintegrasi dan beradaptasi, bahkan mengadopsi sistem dan lembaga kependidikan serta sosial budaya lain dari masyarakat yang dijumpai dan dimasukinya tetapi ternyata dalam proses integrasi dan adaptasi tersebut, Islam tidak pernah kehilangan karakteristik dasarnya, bahkan sebaliknya, kemudian terjadi proses Islamisasi terhadap sistem dan kelembagaan serta lingkungan sosial budaya yang dimasukinya itu sedemikian rupa sehingga berkembang menjadi sistem dan lingkungan sosial budaya yang Islami, dan hilang identitas dan 81 82 83



Ibid. Ibid. Ibid, h. 30



39



karakteristik lamanya. Demikian juga dalam bidang kelembagaan pendidikan. Kemampuan mengadopsi dan mengadakan Islamisasi tersebut menunjukkan Islam memiliki konsep-konsep dan prinsip dasar tentang pendidikan Islam hanya saja para ahli berbeda pendapat dalam penggunaan istilah tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib sebagai istilah yang tepat dan baku untuk menyatakan pendidikan menurut ajaran Islam dengan argumentasi masing-masing.84 Untuk memberikan pemahaman lebih dalam tentang perbedaan para ahli untuk kata yang tepat dan baku untuk istilah pendidikan Islam antara istilah tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib maka dibawah ini dikemukakan pendapat mereka tentang istilah-istilah tersebut disertai argumen-argumenya. Kata ta‟lim merupakan masdar dari kata allama yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. 85 Penunjukan kata ta‟lim pada pengertian pendidikan sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Bakarah (2) : 31, yaitu;



َ َ َ ‫أ‬ َ َ َ ‫َ َ َّ َ َ َ َ أ َ أ َ َ ُ َّ َ ُ َّ َ َ َ ُ أ َ َ أ‬ ُ‫لة َف َل َال أَُأبئ‬ ‫ِٔن ِبأ أس ٍَا ِء ْ ُؤَل ِء ِإن‬ ِ ‫وعيً ءادم اْلسٍاء ُكٓا ثً عرضًٓ لَع الٍَل ِئ‬ ِ ِ َ ‫ُنِأجُ أً َصادق‬ ‫ي‬ ِِ Terjemahnya; Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!.86 Bila di lihat dari batasan pengertian yang ditawarkan dari kata ta‟lim dan ayat di atas, terlihat pengertian pendidikan yang dimaksudkan mengandung makna yang terlalu sempit. Pengertian ta‟lim hanya sebatas proses pentransferan seperangkat nilai antar manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai nilai yang ditransfer secara “kognitif” 87dan psikomotorik, akan 84 85 86 87



Ibid., h. 31 Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Juz 9 ( Mesir: Daar al-Mishriyah, 1992), 370 Departemen Agama RI, op. cit., h. 16 Hasil belajar atau perubahan tingkah laku terdiri dari tiga aspek yaitu aspek kognitif meliputi; perubahan dalam segi penguasaaan pengetahuan dan perkembangan kemampuan menggunakan pengetahuan tersebut; aspek afektif meliputi; perubahanperibahan dalam sikap, emosi dan perilaku seseorang; aspek psikomotorik meliputi perubahan-perubahan dalam segi bentuk tindakan motorik berupa kemampuan keterampilan dan kemampuan bertindak individu. Zakiah Daradjat dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Cet.II; jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 197, Lihat Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar (Cet. VII; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), h. 54, Lihat H Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa Dari Teori Hingga Aplikasi (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 20



40



tetapi tidak dituntut pada domain afektif.88 Namun Abdul Fattah Jalal mengatakan; kata ta‟lim secara implisit juga menanamkan aspek afektif, karena pengertian ta‟lim juga ditekankan pada perilaku yang baik, 89 sesuai Firman Allah dalam QS.Yunus (10): 5, yaitu;



َّ ُ َ َّ َ ‫السن‬ ِّ ‫ٔرا َوكَ َّد َر ُه ٌََِاز َل َِل أعيَ ٍُٔا َع َد َد‬ ً ُُ ‫اء َواىأ َل ٍَ َر‬ ً َ‫الش أٍ َس ضي‬ ‫ي‬ ‫اَّلي َج َعو‬ ِ ِ ِ َٔ ْ ِ ِ َّ َ َ ُ َّ َ َ َ َ َ َ ‫َ أ‬ َ َ‫َ َ أ‬ َ ‫أ ِّ ُ َ ِّ ُ أ‬ ‫ات ِىل أٔمٍ يعي ٍُٔن‬ ِ ‫و‬ ِ ‫اْلساب ٌا خيق اَّلل ذلِم إَِل ِباْلَق يفصو اْلي‬ Terjemahnya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orangorang yang mengetahui.90 Dari ayat di atas menurut Abduh Fatah Jalal bermakna akan berpencaran ilmu-ilmu lain bagi kemaslahatan manusia sendiri, tanpa terlepas pada nilai Ilahiah. Kesemuanya itu dalam rangka beribadah kepada Allah swt. Untuk sampai pada tujuan ini, ta‟lim merupakan suatu proses yang terus menerus, yang diusahakannya semenjak manusia lahir sampai manusia tua renta atau bahkan meninggal dunia. Dari argumenya tersebut maka Abu Fatah Jalal menempatkan Istilah ta‟lim kepada penunjukan pengertian pendidikan karena cakupannya yang luas, dibanding dengan istilah lain yang sering dipergunakan. 91 Kata tarbiyah merupakan masdar dari kata rabba yang berarti mengasuh, mendidik dan memelihara.92 Dalam Leksikologi Qur‟an, penunjukan kata tarbiyah yang merujuk pada pengertian pendidikan secara Inplisif tidak ditemukan. Penunjukan pada pengertian pendidikan hanya di lihat dari istilah lain yang seakar dengan kata tarbiyah. Antara lain adalah kata rab, rabbayani, murabbiy dan rabbaniy. Adapun dalam hadis Nabi penunjukan kata yang bermakna pada tarbiyah hanya ditemukan lewat term rabbaniy.



88 89 90 91 92



Lihat Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 86 Abdul Fattah Jalal, Min al-Ushul al-Tarbawiyah Fi al-Islam ( Mesir: Jumhur Mesir alArabiyah, 1977), h. 15 Departemen Agama RI, op. cit, h. 281 Abdul Fatah Jalal, op. cit, h. 16 Ibnu Manzhur, op. cit, h. 98



41



Sebenarnya ke semua kata tersebut di atas memiliki kesamaan makna, walaupun dalam konteks tertentu memiliki perbedaan. 93 Fahr al-Razi mengartikan term Rabbayaniy sebagai bentuk pendidikan dalam arti luas. Term tersebut bukan saja menunjukkan makna pendidikan yang bersifat ucapan tetapi juga meliputi aspek pendidikan pada tingkah laku.94 Sayyid Qutub menafsirkan term tarbiyah sebagai upaya pemeliharaan jasmani peserta didik dan membantunya menumbuhkan kematangan sikap mental sebagai pancaran akhlakul karimah pada peserta didik. 95 Hal ini memberikan pengertian bahwa kata tarbiyah mencakup semua aspek pendidikan yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.Baik yang mencakup aspek jasmani maupun rokhani, secara harmonis dan integral. 96 Kata ta‟dib merupakan masdar dari addaba yang dapat diartikan kepada proses pendidikan yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Menurut Muhammad al-Naquib alAtas penggunaan term ta‟dib lebih cocok digunakan dalam diskursus pendidikan Islam, dibanding penggunaan terma ta‟lim maupun tarbiyah. Hal ini disebabkan karena pengertian term ta‟lim hanya ditujukan pada proses pentransferan ilmu (proses pengajaran) tanpa adanya pengenalan yang lebih mendasar pada perubahan tingkah laku sedangkan terma tarbiyah penunjukan makna pendidikan masih bersifat umum. Bukan hanya ditujukan kepada manusia tetapi juga kepada makhluk Allah yang lain. Sementara pendidikan Islam hanya ditujukan kepada manusia agar menjadi muslim yang benar. Untuk itulah maka M Naquib al-Attas term ta‟dib lebih tepat digunakan bagi istilah pendidikan Islam sebab pengertiannya mencakup semua wawasan ilmu pengetahuan baik teoritis maupun praktis yang terformulasi dengan nilai-nilai tanggung jawab dan semangat Ilahiyah sebagai bentuk pengabdian manusia kepada khaliknya.97 Untuk itu jelas bahwa memang terjadinya perbedaan pandangan para ahli dalam Islam untuk menggunakan istilah yang tepat untuk pendidikan Islam bisa timbul karena memang di dalam Qur‟an maupun hadis Nabi tidak ada kata yang baku yang langsung menunjukkan pada makna pendidikan Islam, yang ada hanya term-term yang semakna dengan nilai-nilai kandungan dalam pendidikan Islam. 93 94 95 96 97



Samsul Nizar, op. cit., h. 87 Fahr al-Raziy, Tafsir Fahr al-Raziy, Juz XXI (Teheran: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, T.th), h. 151 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Dhilalil Qur‟an, Juz XV (Beirut: Dbr al-Ahya, t.th), h. 15 Samsul Nizar, op. cit., h. 88 Muhammad al-Naqiub al-Attas, The Consept of Education In Islam (Kuala Lumpur: ABIM, 1980), h. 25



42



Sementara perbedaan istilah yang digunakan para ahli hanya merupakan masalah perbedaan pendapat dan berdasarkan konferensi Pendidikan Islam tahun 1977 di Jeddah, dimana akhirnya demi menghindari pembicaraan yang berkepanjangan yang dasarnya hanya pada segi permainan kosa kata maka dalam konferensi Pendidikan Islam tahun 1977 di Jeddah dikeluarkan rekomendasi pengertian pendidikan menurut Islam adalah keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah-istilah yang diperselisihkan oleh para ahli tersebut.98 Abuddin Nata terkait Islam memiliki konsep pendidikan mengungkapkan; sebagai suatu agama Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan komprehensif dibandingkan dengan agama-agama lain yang pernah Allah turunkan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat adalah al-Qur‟an dan as-Sunnah. Sebagai sumber ajaran, alQur‟an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Hal ini dapat dibuktikan antara lain karena al-Qur‟an memuat istilah-istilah yang selama ini digunakan untuk pendidikan, yaitu tarbiyah dan ta‟lim sebagaimana telah dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas. Selain itu dapat pula di lihat dari lima ayat al-Qur‟an yang pertama turun, yaitu surat alAlaq ayat 1-5. Dalam ayat-ayat tersebut Tuhan telah memperkenalkan istilah yang berkaitan dengan pendidikan yaitu; iqra‟, „allama dan al-qalam, yang artinya; bacalah, mengajarkan dan pena atau alat tulis. Hal ini menarik karena dari sekian banyak nama yang diberikan Tuhan untuk al-Qur‟an, ada dua nama yang cukup populer, yaitu al-Qur‟an dan al-Kitab yang artinya bacaan dan tulisan. Nama-nama tersebut erat berhubungan dengan al-Qur‟an. Atas dasar ini, tidak mengherankan jika Salih Abdullah Salih sampai pada suatu kesimpulan bahwa al-Qur‟an adalah kitab kependidikan.99 Lebih lanjut Abuddin Nata mengemukakan, demikian pula hadis sebagai sumber ajaran Islam, diakui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad saw telah mencanangkan 98



99



Muhaimin dkk, op. cit, h. 31, Lihat Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Cet. III; Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997), h. 8, Lihat Hery Noer Aly, Imu Pendidikan Dalam Islam (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 10 Abuddin Nata, “Filsafat Pendidikan Islam”, op. cit., h. 12



43



program pendidikan seumur hidup (long life education). Hal ini dapat dipahami dari hadisnya yang menyuruh seseorang menuntut ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahad (uthlub al-ilm min al-mahd ila al-lahd). Lebih lanjut Rasulullah menyuruh giat menuntut ilmu, kalau perlu sampai kenegeri Cina (uthlub al-ilm walau bi al-shin). Selanjutnya beliau menyatakan dengan tegas bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat (tahalab al-ilm faridha „ala kulli muslimin wa muslimah). 100 Dari informasi tersebut Abuddin Nata berpendapat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al-Qur‟an dan hadis sejak awal telah mencanangkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al-Qur‟an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini diakui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka dan seterusnya. Selain itu, hal lain yang relevan untuk disebutkan bahwa al-Qur‟an mengandung paham integralistik dalam bidang ilmu pengetahuan. Seluruh ilmu yang bersumber dari alam raya ini (ilmu-ilmu fisika, sains), tingkah laku manusia (ilmu-ilmu sosial), wahyu atau ilham (ilmu agama, ilmu tasawuf dan filsafat) adalah bersumber dari Allah. Hal lain juga yang amat mendasar bahwa al-Qur‟an amat menekankan pentingnya hubungan yang harmonis antara ilmu dan iman. Ilmu tanpa iman akan tersesat, dan iman tanpa ilmu tidak akan berdaya. Hal ini antara lain dapat dipahami dari kandungan ayat al-Qur‟an surat alMujaddilah ayat 31 yang menyatakan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. 101 Abdurrahman al-Nahlawi yang dikutip oleh Hery Noer Ali mengemukakan; Islam bukan agama mantera-mantera dan jampi-jampi. Segala ajarannya menuntut manusia agar mengarahkan tingkah laku, bahkan hidupnya untuk merealisasi hukum-hukum Ilahi secara praktis. Praktik ini akan sulit terlaksana manakalah seseorang tidak terlatih dan terbiasa untuk melaksanakannya.102 Berdasarkan pendapat Abdurrahman an-Nahlawi tersebut memberikan pemahaman bahwa Islam menjadi salah satu agama terbesar di dunia seperti sekarang ini bukan karena pekerjaan sesaat tetapi merupakan kerja keras dari 100 101 102



Ibid. Ibid., h. 13 Hery Noer Aly. Op. cit., h. 188



44



para penganut Islam terdahulu dalam mengarahkan umat manusia lewat proses pendidikan yang membutuhkan proses waktu yang lama untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam sehingga budaya-budaya masyarakat yang tidak Islam secara perlahan dapat dihilangkan dan mereka akhirnya berkembang menjadi sistem sosial budaya yang Islami. Untuk itu, merujuk pada uraian-uraian tersebut di atas tentang hakikat pendidikan Islam dapat diperoleh pemahaman bahwa pendidikan Islam atau pendidikan agama Islam atau pendidikan dalam Islam adalah konsep pendidikan yang konsep dasarnya dapat dipahami dan dianalisis serta dikembangkan dari Qur‟an dan hadis Nabi, konsep operasionalnya dapat dipahami, dianalisis, dan dikembangkan dari proses pembudayaan, pewarisan, dan pengembangan ajaran Islam, budaya, dan peradaban Islam dari generasi ke generasi, sedangkan secara praktis dapat dipahami, dianalisis, dan dikembangkan dari proses pembinaan, dan pengembangan (pendidikan) pribadi muslim pada setiap generasi dalam sejarah umat Islam sehingga bisa dikatakan bahwa seluruh aktivitas terkait dengan penanaman nilai-nilai Islam baik antara orang perorang, di keluarga, lembaga pendidikan, dan di masyarakat merupakan pendidikan Islam. Untuk lebih mempertegas lagi tentang pengertian pendidikan Islam menurut para ahli maka dalam uraian-uraian di bawah ini akan dikemukakan pendapat para ahli lain mengenai pengertian pendidikan Islam sesuai dengan konsep-konsep makna pendidikan Islam yang telah mereka rumuskan. Samsul Nizar mengemukakan bahwa; Pendidikan Islam adalah rangkaian proses yang sistematis, terencana dan komprehensif dalam upaya mentransfer nilai-nilai kepada anak didik, mengembangkan potensi pada diri anak didik sehingga anak didik mampu menjalankan tugasnya di muka bumi dengan sebaikbaiknya, sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyat yang didasarkan pada ajaran agama (al-Qur‟an dan hadits) pada semua dimensi kehidupan. 103 Berdasarkan pendapat Samsul Nizar tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah rangkaian kegiatan pendidikan yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis dalam upaya mengantarkan anak didik dapat menjalankan aktivitas dalam seluruh dimensi kehidupan di muka bumi sesuai tuntunan ajaran agama Islam. Achmadi mengemukakan pendidikan Islam adalah “segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia 103



Samsul Nizar, op. cit., h. 94



45



yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma Islam.104 Berdasarkan pendapat Achmadi tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri manusia agar nantinya mereka dapat gunakan dalam kehidupan sesuai dengan aturan-aturan dalam agama Islam. Zakiah Daradjat dkk terkait dengan pengertian pendidikan Islam mengemukakan sebagai berikut; Pendidikan Islam berarti pembentukan pribadi muslim. Isi pribadi muslim itu adalah pengamalan sepenuhnya ajaran Allah dan Rasul-Nya. Tetapi pribadi muslim itu tidak akan tercapai atau terbina kecuali dengan pengajaran dan pendidikan. Membina pribadi muslim adalah wajib. Dan pribadi muslim tidak mungkin terwujud kecuali dengan pendidikan maka pendidikan itu menjadi wajib dalam pandangan Islam.105 Berdasarkan pendapat Zakiah Daradjat dkk tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan terhadap peserta didik agar dalam kehidupan hidup sesuai dengan aturan yang diatur dalam ajaran Islam atau dengan kata lain menuntun peserta didik dalam kehidupan lewat proses pendidikan agar nantinya ia hidup dengan kepribadian sebagai seorang muslim sesuai dengan takaran aturan yang terdapat dalam ajaran Islam. Hery Noer Ali mengemukakan bahwa; Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu yang berdasarkan Islam. Ruang lingkupnya ialah situasi berlangsungnya pendidikan Islam, dan metodenya ialah metode Ilmiah, setiap teori dalam ilmu pendidikan Islam harus mempunyai tanggungjawab moral Islam. 106 Berdasarkan pendapat Hery Noer Ali tersebut memberikan pemahaman bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses pendidikan yang dilakukan terhadap peserta didik dimana konsep-konsep ilmu yang diajarkan kepada peserta didik berisi ilmu-ilmu yang berdasarkan Islam dengan tujuan terbentuknya perilaku-perilaku peserta didik dalam kehidupan sesuai dengan aturan-aturan ajaran Islam.



104 105 106



Achmadi, op. cit., h. 29 Zakiah Daradjat dkk, “Ilmu Pendidikan Islam”, op. cit, h. 18 Hery Noer Aly, op. cit., h. 27



46



Armai Arief mengemukakan : Pendidikan Islam sebagai suatu proses pengembangan potensi kreatif peserta didik, bertujuan untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt, cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi, berbudi pekerti luhur, mandiri dan bertanggungjawab terhadap dirinya, bangsa dan negara serta agama. Proses ini berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia.107 Berdasarkan penjelasan Armai Arief di atas dapatlah dipahami pendidikan Islam adalah suatu proses upaya mengantarkan umat manusia dalam kehidupan agar cerdas secara qalbu, dan cerdas secara perilaku sesuai dengan tuntutan nilai-nilai ajaran Islam dimana proses upaya mengantarkan umat manusia itu agar hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam berlangsung setiap saat dan tidak dibatasi oleh waktu dan ruang. Abdul Majid dan Dian Andayani mengemukakan: Pendidikan Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa. 108 Berdasarkan penjelasan Abdul Majid dan Dian Andayani di atas dapatlah dipahami pendidikan Islam adalah suatu upaya untuk menjadikan peserta didik sebagai manusia yang patuh dan taat serta mengamalkan ajaran agama Islam dan dijadikan sebagai pedoman untuk menghormati dan menghargai keberagamaan demi terwujudnya kedamaian kehidupan berbangsa dan bernegara. Ahmad D Marimba, mengemukakan; “pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rokhani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”. 109 Berdasarkan pendapat Ahmad D Marimba tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan agar menuntun umat manusia dalam kehidupan agar sesuai dengan aturan-aturan dalam ajaran Islam.



107 108



109



Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 4 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 (Cet. II; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 130 Ahmad D Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT al-Ma‟arif, 1980), h. 23



47



Menurut Ramayulis Pendidikan Islam adalah “suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian menurut ukuran Islam”. 110 Berdasarkan pendapat Ramayulis tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses pengajaran yang dilakukan dalam kehidupan agar mereka yang telah mengikuti proses pengajaran yang dilakukan itu berkepribadian sesuai dengan ukuran-ukuran dalam ajaran Islam. Djamaluddin & Abdullah Aly mengemukakan; “Pendidikan Islam adalah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim”. 111 Berdasarkan pendapat Djamaluddin & Abdullah Aly tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah pembinaan yang dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa kepada anak didik yang belum mencapai masa kedewasaan agar nantinya anak didik berperilaku dalam segala aktivitas kehidupannya menurut standar ukuran sebagai seorang Islam. Bukhari Umar mengemukakan bahwa; Pendidikan Islam adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya.112 Lebih lanjut Bukhari Umar mengemukakan; Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai Ilahi dan nilai-nilai Insani. Nilai Ilahi mempunyai dua jalur; pertama, nilai yang bersumber dari sifat-sifat Allah yang tertuang dalam al-Asma al-Husnah sebanyak 99 nama yang indah. Nama-nama tersebut pada hakikatnya telah menyatu pada potensi dasar manusia yang selanjutnya disebut fitrah. Kedua, nilai-nilai yang bersumber dari hukum-hukum Allah baik berupa hukum yang linguistik-verbal (Qur‟ani) maupun yang verbal (kauni). Sebaliknya nilai-nilai Insani merupakan nilai yang terpancar dari daya cipta, rasa dan karsa manusia yang tumbuh untuk memenuhi kebutuhan peradaban manusia yang memiliki sifat dinamis temporer. 113 Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses perubahan dan penghayatan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri peserta didik lewat pengembangan potensi fitrahnya



110 111 112 113



Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 6 Djamaluddin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 11 Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2010), h. 29 Ibid., h. 30



48



sehingga tercapai keselarasan dan kesempurnaan hidup anak didik dalam semua aspek kehidupan. Menurut M Athiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh Ramayulis mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah; Mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikiranya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaan, manis tutur katanya baik lisan atau tulisan. 114 Berdasarkan pendapat M Athiyah al-Abrasyi tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah kegiatan pembinaan yang dilakukan terhadap manusia dalam kehidupan agar menjadi manusia yang sempurna secara fitrahnya dan mampu berperan dalam kehidupan sesuai dengan kondisi dan keadaan yang dihadapinya, baik terkait kehidupan secara pribadi, bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama. Ahmad Tafsir mengemukakan; Ilmu pendidikan Islam ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Islam adalah nama agama yang dibawah nabi Muhammad saw. Islam berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia. Ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al-Qur‟an dan hadis serta akal. Jadi demikian, maka ilmu pendidikan Islami adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan al-Qur‟an, hadis dan akal. Penggunaan dasar ini harus berurutan; al-Qur‟an lebih dahulu, bila tidak ada atau tidak jelas lihat di dalam hadis, bila tidak ada barulah digunakan akal (pemikiran), tetapi temuan akal itu tidak boleh bertentangan dengan jiwa al-Qur‟an dan atau hadis. Oleh karena itu teori dalam pendidikan Islam harus dilengkapi dengan ayat al-Qur‟an dan atau hadis dan atau argumen (akal) yang menjamin teori tersebut. 115 Berdasarkan pendapat Ahmad Tafsir tersebut tentang ilmu pendidikan memberikan pemahaman bahwa pendidikan Islam adalah suatu upaya kegiatan pendidikan yang dilakukan dalam kehidupan terhadap peserta didik dengan berpedoman kepada al-Qur‟an, hadis serta akal dengan ketentuan hasil pemikiran akal yang digunakan terkait kegiatan pendidikan yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur‟an dan hadis. Soleha dan Rada mengemukakan bahwa;



114 115



Ibid. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami (Cet. II; Bandung: Re,maja Rosdakarya, 2013), h. 18



49



Pendidikan Islam adalah suatu proses yang sangat kompleks, di susun secara sistematis, terencana, dalam upaya mengembangkan potensi yang ada pada diri anak didik secara optimal, untuk menjalankan tugasnya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan nilainilai Ilahiyat yang didasarkan dengan bingkai ajaran Islam pada semua aspek kehidupan.116 Berdasarkan pendapat Soleha dan Rada tersebut memberikan pemahaman bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses pendidikan yang bersifat sangat kompleks dilakukan secara sistematis dan terencana demi untuk mengembangkan potensi yang ada pada peserta didik agar berfungsi secara maksimal sehingga mampu menjalankan perannya di muka bumi dalam semua aspek kehidupan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. M Arifin mengemukakan bahwa; Suatu proses yang diinginkan dalam suatu usaha kependidikan adalah proses yang terarah dan bertujuan yaitu mengarahkan anak didik (manusia) kepada titik optimal kemampuannya. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai manusia individual dan sosial serta hamba Tuhan yang mengabdikan diri padanya.117 M Arifin juga mengemukakan bahwa; Pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. 118 Berdasarkan pendapat M Arifin tersebut memberikan pemahaman bahwa pendidikan Islam adalah suatu usaha kegiatan pendidikan oleh orang dewasa muslim yang dilakukan dalam bentuk mengarahkan dan membimbing akan pertumbuhan dan perkembangan potensi anak didik sesuai tuntunan ajaran Islam secara maksimal. Muhaimin mengemukakan; Pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilainilai Islam dalam kegiatan pendidikannya. Kata niat mengandung pengertian suatu usaha yang direncanakan dengan sungguh-sungguh yang muncul dari hati yang bersih dan suci karena mengharap ridha116 117 118



Soleha & Rada, Ilmu pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2011), h. 23 M Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1994),. h. 11 M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 22



50



Nya bukan karena interes-interes yang lain. Niat tersebut ditindak lanjuti dengan mujahadah, yakni berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan niat serta berusaha melakukan kebaikan atau konsisten dengan sesuatu yang direncanakan. Kemudian dilakukan muhasabah, yakni melakukan kontrol dan evaluasi terhadap rencana yang telah dilakukan. Jika berhasil dan konsisten dengan niat rencana semula, maka hendaknya bersyukur, serta berniat lagi untuk melakukan rencana-rencana berikutnya. Sebaliknya, jika gagal, atau kurang konsisten dengan rencana semula, maka ia segera beristigfar atau bertaubat kepada-Nya sambil memohon pertolongan kepada-Nya agar diberi kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan niat atau rencana tersebut.119 Berdasarkan pendapat Muhaimin tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses kegiatan pendidikan yang dilakukan terhadap peserta didik dengan dilandasi niat yang tulus dan dalam proses kegiatan pendidikan tersebut yang diterapkan bagi peserta didiknya adalah sistem pengajaran dan implementasi tentang ajaran dan nilai-nilai Islam. Jalaluddin mengemukakan bahwa secara umum pendidikan Islam dapat diartikan sebagai; Usaha pembinaan dan pengembangan potensi manusia secara optimal sesuai dengan statusnya, dengan berpedoman kepada syrai‟at Islam yang disampaikan oleh rasul Allah agar supaya manusia dapat berperan sebagai pengabdi Allah yang setia dengan segala aktivitasnya guna tercipta suatu kondisi kehidupan Islami yang ideal selamat, aman, sejahtera dan berkualitas serta memperoleh jaminan (kesejahteraan) hidup di dunia dan jaminan bagi keselamatan yang baik di akhirat.120 Lebih lanjut Jalaluddin mengemukakan bahwa secara khusus pendidikan Islam dapat diartikan sebagai; Usaha untuk membimbing dan mengembangkan potensi manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial secara bertahap sesuai dengan tingkatan pertumbuhan dan perkembangannya, jenis kelamin, bakat, tingkat kecerdasan serta potensi spiritual yang dimiliki masing-masing secara maksimal. 121 Berdasarkan pendapat jalaluddin tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses kegiatan pembinaan dan pengembangan 119 120 121



Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 9 Jalaluddin, Teologi Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Raja Gtrafindo Persada, 2003), h. 74 Ibid., h. 76



51



seluruh potensi peserta didik secara maksimal dalam semua segi kehidupan dengan berpedoman pada aturan-aturan syariat Islam sehingga nantinya peserta didik mampu menjalankan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan sesuai dengan tuntunan syari‟at Islam dan mampu menggapai kehidupan di dunia dan keselamatan hidup serta proses pembinaan dan pengembangan tersebut disesuaikan dengan tingkatan umur, jenis kelamin dan potensi keampunan yang dimiliki peserta didik. Azyumardi Azra mengemukakan; Pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran Islam yang diwahyukan oleh Allah Swt kepada Muhammad saw. Melalui proses pendidikan seperti ini individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi supaya ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi dan berhasil mewujudkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.122 Berdasarkan pendapat Azymardi Azra tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses kegiatan pembentukan diri individu sesuai dengan tuntunan ajaran Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw sehingga ia mampu menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi dan mampu memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Yusuf al-Qardhawi yang dikutip Azyumardi Azra mengemukakan bahwa; Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rokhani dan jasmaninya, akal dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Berdasarkan pendapat Yusuf al-Qardhawi tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses pendidikan yang diperuntukkan bagi manusia dan kegiatan yang dilakukan dalam proses pendidikan tersebut adalah terkait dengan seluruh potensi yang ada pada diri manusia secara keseluruhan sehingga nantinya manusia mampu menghadapi segala tantangan yang terjadi dalam kehidupannya.



122



Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 5



52



Haidar Putra Daulay mengemukakan bahwa; Hakikat pendidikan adalah pembentukan manusia ke arah yang dicitacitakan. Dengan demikian pendidikan Islam adalah proses pembentukan manusia ke arah yang dicita-citakan Islam. 123 Berdasarkan pendapat Haidar Putra Daulay tersebut dapatlah dipahami bahwa dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses kegiatan pembentukan manusia dalam kehidupan sehingga mereka hidup sesuai dengan yang dikehendaki oleh ajaran Islam Hasil rumusan seminar pendidikan Islam se Indonesia tahun 1960 dikemukakan bahwa; Pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. 124 Berdasarkan rumusan pengertian pendidikan Islam dari hasil rumusan seminar pendidikan Islam se Indonesia tahun 1960 tersebut dapatlah dipahami pendidikan Islam proses pembinaan terhadap pertumbuhan jasmani dan rokhani individu sesuai ajaran Islam dimana proses pembinaan tersebut dapat ditempuh terhadap diri individu lewat proses kegiatan hikmah arahan, pengajaran, latihan, asuhan dan pengawasan dalam pelaksanaan ajaran Islam. Hasil rumusan kongres sedunia tentang pendidikan Islam melalui seminar konsepsi dan kurikulum pendidikan Islam tahun 1980 dinyatakan bahwa; Pendidikan Islam ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan diri pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihanlatihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan dan panca indra. Oleh karena itu pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia baik spiritual, intelektual, imajinasi, jasmani, keilmuannya, bahasanya, baik secara individu maupun kelompok serta mendorong aspek-aspek itu ke arah kebaikan dan ke arah pencapaian kesempurnaan hidup. 125 Berdasarkan hasil rumusan kongres sedunia tentang pendidikan Islam melalui seminar konsepsi dan kurikulum pendidikan Islam tahun 1980 dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses pendidikan yang 123 124 125



Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h. 3 M Arifin, “Filsafat Pendidikan Islam”, op. cit., h. 14 Ibid., h. 16



53



dilakukan terhadap manusia agar tercapai keseimbangan pertumbuhan pada diri manusia secara menyeluruh. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan pengertian pendidikan Islam baik secara bahasa maupun secara istilah seperti yang telah dikemukakan tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah segala bentuk usaha pembinaan yang dilakukan oleh manusia kepada manusia yang lain dalam kehidupan agar manusia yang telah dibina tersebut berkepribadian dalam segala aktivitas sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. C.



Sumber-Sumber Pendidikan Islam Dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar adalah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu. Adapun dasar pendidikan Islam adalah identik dengan ajaran Islam, dimana ia bersumber dari kitab suci al-Qur‟an dan sunnah. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama. 126 Dimana secara lengkapnya tentang dasar hukum pelaksanaan pendidikan Islam meliputi; 1. Al-Qur‟an Al-Qur‟an adalah firman Allah berupaya wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad saw. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam al-Qur‟an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut dengan akidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari‟ah. Di dalam ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak banyak dibicarakan dalam al-Qur‟an, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukan bahwa amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia dalam hubunganya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia (masyarakat), dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal shaleh (syari‟ah). Istilah-istilah yang banyak digunakan dalam membicarakan ilmu tentang syari‟ah ini adalah; a. Ibadah untuk perbuatan yang langsung berhubungan dengan Allah b. Muamalah untuk perbuatan yang berhubungan selain dengan Allah



126



H Ramayulis, op. cit, h. 54



54



c.



Akhlak untuk tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti dalam pergaulan. 127



Pendidikan, karena termasuk di dalam usaha tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup muamalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut menentukan corak dan bentuk amal serta kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat. Di dalam alQu‟an terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca kisah Luqman mengajari anaknya, dimana dalam kisah itu digariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak, ibadah, sosial dan ilmu pengetahuan.128 Hal tentang kisah Luqman mengajari anaknya itu dapat di lihat lewat firman Allah dalam QS. Luqman (31) : 12-19 sebagai berikut;



                                                                                                                                                   



127 128



Zakiah Daradjat dkk,“Ilmu Pendidikan Islam”,op. cit, h. 20 Ibid.



55



                Terjemahnya; Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.129 Selain ayat-ayat tersebut yang banyak memuat tentang nilai-nilai pendidikan dalam Islam maka masih banyak ayat-ayat lain yang muat tentang nilai-nilai pendidikan Islam. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu pendidikan Islam harus menggunakan al-Qur‟an sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai teori tentang Pendidikan Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus 129



Departemen Agama RI, op. cit., h. 581-582



56



berlandaskan ayat-ayat al-Qur‟an yang penafsiranya dapat dilakukan berdasarkan ijtihad disesuaikan dengan perubahan dan pembaharuan.130 Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa sumber atau dasar hukum pertama dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam Islam atau kegiatan pendidikan Islam adalah kitab suci Al-Qur‟an. 2. Sunnah Al-Qur‟an disampaikan oleh Rasullulah saw, kepada umat manusia dengan penuh amanat, tidak sedikitpun ditambah atau dikurangi. Selanjutnya manusia yang hendaklah berusaha memahaminya, menerimanya, kemudian mengamalkannya. Seringkali manusia menemui kesulitan dalam memahaminya, dan ini dalami oleh para sahabat sebagai generasi pertama penerima al-Qur‟an. Karenanya, mereka meminta penjelasan kepada Rasulullah saw yang memang diberi otoritas itu.131 Allah swt menyatakan otoritas dimaksud dalam firmanya dalam QS. An-Nahl ( 16 ): 44, yaitu;



             Terjemahnya: Keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.132 Berdasarkan firman Allah tersebut dapatlah dipahami bahwa kedudukan Rasullulah adalah menjelaskan kepada umat manusia tentang isi ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam kitab suci al-Qur‟an. Penjelasan-penjelasan Rasulullah terhadap materi ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur‟an disebut al-Sunnah. Para ulama menyatakan bahwa kedudukan sunnah terhadap al-Qur‟an adalah sebagai penjelas. Sunnah memang berkedudukan sebagai penjelas bagi al-Qur‟an. Namun, pengamalan 130



131 132



Zakiah Daradjat dkk.“Ilmu Pendidikan Islam” op. cit., h. 20, Lihat H Abuddin Nata, “Manajemen Pendidikan,Mengatasi Kelamahan Pendidikan Islam”, op. cit., h. 1, Lihat Hery Noer Aly,op. cit., h. 39 Ibid. Departemen Agama RI, op. cit, h. 370



57



ketaatan kepada Allah sesuai dengan ajaran al-Qur‟an seringkali sulit terlaksana tanpa penjelasan dari sunnah Rasulullah. Karenanya, Allah memerintahkan kepada manusia untuk menaati Rasul dalam rangka ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya para ulama memandang sunnah Rasulullah sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur‟an.133 Seperti al-Qur‟an, sunnah juga berisi akidah, dan syari,ah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertakwa. Untuk itu Rasulullah menjadi guru dan pendidik utama. Beliau sendiri mendidik, pertama dengan menggunakan rumah al-Arqam Ibn Abi alArqam, kedua dengan memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar baca tulis, ketiga dengan mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang baru masuk Islam. Semuanya itu adalah pendidikan dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat Islam. Oleh karena itu sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim atau kegiatan dalam pendidikan Islam. Sunnah selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya, termasuk sunnah yang berkaitan dengan pendidikan. 134 Berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa sebagai sumber hukum pelaksanaan pendidikan Islam yang ke dua adalah sunnah Rasullah saw dimana fungsinya sebagai penjelasan terhadap ajaran-ajaran Islam yang tidak dapat dipahami dalam kitab suci al-Qur‟an. 3.



Ijtihad. Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari‟at Islam untuk menetapkan atau menentukan sesuatu hukum syari‟at Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur‟an dan sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada al-Qur‟an dan sunnah. Namun demikian, ijtihad harus mengikuti kaidah-kaidah yang diatur oleh para mujtahid, tidak boleh bertentangan dengan isi al-Qur‟an dan sunnah Rasullah saw. Karena itu ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah rasul Allah wafat. Sasaran Ijtihad adalah segala sesutu yang diperlukan dalam kehidupan yang senantiasa berkembang. 133 134



Ahmad Ibrahim Muhannah, Al-Tarbiyah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Syalabi, 1982), h. 7 Zakiah Daradjat dkk, “Ilmu Pendidikan Islam”, op. cit, h..21



58



Ijtihad bidang pendidikan sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju, terasa semakin urgen dan mendesak, tidak saja di bidang materi atau isi, melainkan juga di bidang sistem dalam artinya yang luas. Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber pada al-Qur‟an dan sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari pada para ahli pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup.135 Ijtihad di bidang pendidikan ternyata semakin perlu sebab ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur‟an dan sunnah adalah bersifat pokok-pokok dan prinsip-prinsipnya saja. Bila ternyata ada yang agak terperinci, maka perincian itu adalah sekedar contoh dalam menerapkan yang prinsip itu. Sejak diturunkan sampai nabi Muhammad saw wafat, ajaran Islam telah tumbuh, dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula. Ini berarti pendidikan Islam iu, selain berlandaskan al-Qur‟an dan sunnah, juga berlandaskan ijtihad dalam menyesuaikan kebutuhan bangsa yang selalu berubah dan berkembang. 136 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tentang ijtihad tersebut dapatlah dipahami bahwa sebagai sumber hukum pelaksanaan pendidikan Islam yang ketiga adalah ijtihad, dimana ijtihad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan kitab suci al-Qur‟an dan hadis Rasulullah saw.Selain itu perlu diketahui bahwa yang termasuk dalam wilayah ijitihad ini seperti; ijma‟, Qiyas, Istihsan, mashlah mursalah, istishab,sadduz-Dzari‟ah dan yang lainya.137 D. 1. a.



Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam Tujuan pendidikan Islam Tujuan akhir pendidikan Islam Tujuan akhir adalah tujuan yang hendak dicapai oleh pendidik terhadap peserta didik melalui seluruh proses pendidikan. Tujuan akhir disebut juga tujuan tertinggi, tujuan umum, tujuan total, atau tujuan lengkap. Dimaksudkan dengan tujuan akhir ialah bahwa dengan tercapainya tujuan ini, maka berakhirlah seluruh proses pendidikan. Dinamakan dengan tujuan tertinggi 135 136 137



Hery Noer Aly, op. cit, h. 48 Zakiah Daradjat, “Ilmu Pendidikan Islam”, op. cit, h. 23-24 Lihat Humaidy Tatapangarsa dkk, Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa (Cet. I; Malang: IKIP Malang, 1990), h. 113-126,



59



karena ia berisi nilai tertinggi dalam gradasi nilai-nilai. Disebut tujuan umum karena ini memberi gambaran tentang apa yang hendak dicapai dalam bentuk garis besar, tidak dalam bentuk rincian. Dan disebut tujuan total atau tujuan lengkap karena ia mencakup semua tujuan yang secara gerak hierarkis berada di bawahnya.138 Para ahli pendidikan Islam telah mengemukakan tujuan akhir pendidikan Islam dalam redaksi yang berbeda-beda. Imam al-Gazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah kesempurnaan insan di dunia dan di akhirat.139 Muhammad Munir Mursa mengemukakan tujuan terpenting pendidikan Islam adalah tercapainya kesempurnaan insani, karena Islam sendiri merupakan manifestasi tercapainya kesempurnaan agamawi. 140 M Athiyah Al-Abrasyi berpendapat bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah tercapainya akhlak yang sempurna atau keutamaam. 141 Ahmad D Marimba mengemukakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim. 142 Menurut Abu Fatah Jalal tujuan akhir pendidikan Islam adalah menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah swt.143 Dalam pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Abdurrahman alNahlawi. 144 Redaksi-redaksi yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas sesungguhnya tidak saling bertentangan jika dilihat dari penafsiran mereka terhadap redaksi yang dibawakanya. Redaksi yang dibawakan oleh seorang ahli tampak menjadi isi dalam redaksi tujuan yang dibawakan ahli yang lain. Tujuan hidup, sebagaimana telah dikemukakan, merupakan sumber tujuan pendidikan. Artinya, isi tujuan pendidikan Islam pada intinya merupakan penjabaran dari tujuan hidup manusia di muka bumi. Hakikat manusia ialah memperoleh keridhaan Allah. Jika demikian, tujuan akhir pendidikan Islam ialah manusia yang diridhai oleh Allah swt, yaitu manusia yang menjalankan peranan idealnya sebagai hamba dan khalifah Allah secara sempurna. Manusia dimaksud adalah yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut; 138 139



140 141 142 143 144



Hery Noer Aly, op. cit, h. 76 Fathiyah Hasan Sulaiman, Madzahib Fi al-Tarbiyah Bahtsun fi al-Madzhab al-Tarbawi Indah al-Gazali, diterjemahkan oleh Hery Noer Aly dengan Judul; Alam Pikiran AlGazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu ( Bandung: Diponegoro, 1986), h. 31 Muhamad Munir Mursa, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, Ushuluha Wa Tathawuruha Fi alBilad al-Arabiyah (Cairo: Alam al-Kutub, 1977), h. 18 M Athiyah al-Abrasyi, op. cit, h. 23 Ahmad D Marimba, op. cit, h. 46 Abu Fatah Jalal, Min Ushul al-Tarbiyah fi al-Islam, diterjemahkan oleh :Hery Noer Aly dengan judul; Asas-Asas Pendidikan Islam (Bandung: Diponegro, 1988), h. 119 Abdurrahman Al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Baiyt wa al-Madrasah wa al-Mujtama‟a (Damaskus: Dar al-Fikir, 1979), h. 98



60



1) 2) 3)



Manusia yang mengenali secara sempurna kedudukan dan peranan idealnya dalam sistem penciptaan. Manusia yang mengakui secara sempurna kedudukan dan peranan idealnya dalam sistem penciptaan Manusia yang melaksanakan secara sempurna peranan idealnya dalam sistem penciptaan.145



Apabila ciri-ciri tersebut dihubungkan dengan unsur-unsur yang membentuk kejadian manusia, maka ciri-cirinya yaitu, berhubungan aspek akal pada unsur rohani, berhubungan dengan aspek perasaan pada unsur rohani dan berhubungan dengan unsur jasmani. Dari situlah dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan Islam; 1) Pendidikan akal ditujukan agar manusia mengenali secara sempurna kedudukan dan peranan idealnya dalam sistem penciptaan 2) Pendidikan perasan ditujukan agar manusia mengakui secara sempurna kedudukan dan peranan idealnya dalam sistem penciptaan 3) Pendidikan jasmani ditujukan agar manusia melaksanakan secara sempurna peranan idealnya dalam sistem penciptaan. 146 Masalahnya, bagaimana mengukur kejiwaan seperti itu, siapa manusia yang telah mencapai kesempurnaan itu. Sesungguhnya penentuan mengenai hal itu bukanlah wewenang manusia. Tuhanlah yang menentukan siapa-siapa diantara hambanya yang betul-betul telah mencapai kesempurnaan itu. 147 Inilah rahasianya mengapa pendidikan Islam berlangsung sepanjang hayat. Manusia harus terus menerus berusaha untuk mencapai kesempurnaannya mulai dari pendidikan oleh orang lain sampai dengan pendidikan oleh diri sendiri. Oleh sebab itu, menurut al-Syaibaniy, pelaksanaan tujuan akhir tidak terbatas pada lembaga dan pusat pendidikan tertentu, tetapi dilaksanakan di semua lembaga dan pusat-pusat pendidikan: keluarga, sekolah, pondok pesantren, masjid, organisasi pemuda, surat kabar, majalah, radio, televisi, perpustakaan dan lain-lain.148 Tujuan akhir bersifat tetap dan umum. Karena sifatnya yang tetap itu, ia berfungsi memelihara seluruh usaha pendidikan Islam, dan karena sifatnya yang umum, ia perlu dijabarkan dengan tujuan-tujuan yang khusus sampai tingkat yang operasional.



145 146 147 148



Hery Moer Aly, op. cit, h. 78 Ibid, h. 79 Ahmad D Marimba, op. cit, h. 48 Oemar Mohammad al-Toumy al-Syaibaniy, op. cit, h..405



61



b.



Tujuan Sementara Tujuan sementara merupakan penjabaran dari tujuan akhir serta berfungsi membantu memelihara arah seluruh usaha dan menjadi batu loncatan untuk mencapai tujuan akhir. Pendidikan Islam adalah usaha yang berproses sepanjang hayat manusia. Prinsip ini memungkinkan lahirnya banyak tujuan sementara. Kemudian Islam adalah agama yang sesuai untuk setiap tempat dan masa. Prinsip ini memungkinkan lahirnya perbedaan tujuan sementara di setiap tempat dan masa. Oleh sebab itu pendidikan Islam membuka pintu bagi para ulama untuk berijtihad dalam menetapkan tujuan sementara.149 Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tentang tujuan pendidikan Islam tersebut dapatlah dipahami bahwa tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan pendidikan Islam adalah terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang sesuai dengan nilasi-nilai ajaran Islam, dimana tujuan tersebut dapat dijabarkan sesuai dengan kondisi dan kedaan yang terjadi di suatu tempat. 2. Fungsi pendidikan Islam Adapun fungsi dari pendidikan Islam yaitu; a. Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran Ilahi, sehingga tumbuh kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan, serta memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan kemampuan akal menumbuhkan kreativitas dan produktivitas sebagai implementasi identifikasi diri pada Tuhan “Pencipta”. b. Membebaskan manusia dari segala anasir yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar. Yang dari dalam antara lain kejumudan, taklid, kultus individu, kurafat, dan yang terberat adalah syirik. Terhadap anasir dari dalam ini manusia terus menerus melakukan penyucian diri (Tazkiyah anafsi). Sedangkan yang datang dari luar adalah situasi dan kondisi, baik yang bersifat kultular mapun struktural yang dapat memasung kebebasan manusia dalam mengembangkan realisasi dan aktualisasi diri. Untuk menghilangkan atau meminimalkan anasir dari luar ini harus ada upaya sistematis dan strategis dari seluruh 149



Hery Noer Aly, op. cit, h. 80



62



c.



elemen masyarakat, terutama pemerintah. Dengan semakin minimalnya anasir-anasir tersebut terbukalah jalan untuk optimalisasi, realisasi diri dan aktualisasi diri sehingga menuntun hidup individu dan masyarakat lebih arif dan bertanggung jawab Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memajukan kehidupan baik individu maupun sosial. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menurut sinyal yang diberikan landasan-landasan ajaran Islam, dan hendaknya di mulai dengan memahami fenomena alam dan kehidupan dengan pendekatan empirik, sehingga mengetahui hukumhukumnya (Sunnah Allah). 150



Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tentang fungsi dari pendidikan Islam tersebut dapatlah dipahami bahwa fungsi dari pelaksanaan pendidikan Islam meliputi; mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran Ilahi, membebaskan manusia dari segala anasir yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar dirinya dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memajukan kehidupan baik individu maupun sosial. E.



Rangkuman Pendidikan Islam adalah segala bentuk usaha pembinaan yang dilakukan dalam kehidupan untuk menuntut manusia berkepribadian dalam segala aktivitas dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Sumber hukum pelaksanaan pendidikan Islam ada tiga yaitu kitab suci alQur‟an, as-Sunnah Rasulullah saw dan Ijtihad. Tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam sedangkan fungsi pendidikan Islam adalah mengembangkan wawasan yang tepat dan benar tentang jati diri, membebaskan manusia dari segala anasir yang dapat merendahkan martabat dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang serta memajukan kehidupan.



150



Achmadi, op. cit, h. 36



63



64



BAB III FITRAH MANUSIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEGIATAN PENDIDIKAN ISLAM A.



Latar Belakang Pemikiran Islam adalah agama yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw lewat perantaraan malaikat Jibril. Semenjak proses awal diturunkan, Islam sudah mempunyai perhatian yang begitu besar terhadap kemajuan hidup manusia dengan memerintahkan untuk belajar (membaca) yang merupakan bentuk bagian penting dalam proses pendidikan. 151 Perintah membaca ini tergambar lewat wahyu Allah yang pertama turun kepada nabi Muhammad yang terdapat dalam QS. Al-Alaq (96); 1-5, yaitu;



                         Terjemahnya; Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.152 Berdasarkan firman Allah tersebut memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam sangat memperhatikan proses pendidikan bagi umat Islam sehingga wahyu yang pertama turun adalah perintah membaca tetapi konsekuensi yang harus dijalankan agar proses pendidikan yang dilakukan itu berhasil maka kegiatan pendidikan yang dilakukan harus selalu didahului dengan mengingat kebesaran dan kekuasaan Allah minimal melalui bentuk yang sederhana yaitu menyebut asma-Nya sebab segala proses pendidikan yang dilakukan, fasilitas dan berbagai potensi yang digunakan semuanya bersumber atau merupakan pemberian dari Allah bahkan pendidikan yang 151 152



Djamaluddin Darwis, Dinamika Pendidikan Islam, Sejarah, Ragam dan Kelembagaan (Semarang: Rasail, 2006), h. 133 Maksud yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam adalah Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca. Lihat Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2002), h. 1079



65



dilakukanpun itupun secara hakiki petunjuk-petunjuknya sebenarnya bersumber atau datangnya dari Allah. Pada sudut pandang yang lain diketahui karena begitu besar perhatian Islam terhadap proses pendidikan bagi manusia maka sebenarnya proses pendidikan itu bukan saja baru di mulai pada masa Nabi Muhammad tetapi sejak proses adanya manusia pertama yaitu Nabi Adam as proses pendidikan telah dimulai dimana Allah telah mengisyaratkan kepada nabi Adam agar belajar, berfikir dan memahami tentang lingkungan kehidupan manusia. 153 Isyarat pendidikan tersebut dapat dilihat lewat Firman Allah dalam QS. AlBaqarah (2): 31-33, yaitu;



                                                      Terjemahannya; Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!". Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?".154 Berdasarkan firman Allah tersebut memberikan pemahaman bahwa Islam menuntut umatnya agar belajar dalam kehidupan sebab bila tidak belajar maka ia tidak akan mengetahui hal-hal yang terkait dengan kehidupan 153 154



Djamaluddin Darwis, op. cit., h. 133 Departemen Agama RI, op. cit., h. 6-7



66



dan segala aturan yang terkait dengannya, dimana hal itu tergambar dari ayat di atas, lantaran Adam as sudah diajar oleh Allah maka ia bisa memberikan penjelasan kepada malaikat tentang apa yang sudah dipelajarinya sebaliknya malaikat karena tidak pernah diajarkan pengetahuan yang diajarkan kepada Adam maka begitu ditanya oleh Allah tentang hal tersebut mereka tidak dapat menjelaskannya. Hal ini juga bermakna bahwa proses pendidikan itu telah dimulai dalam Islam semenjak adanya manusia pertama yaitu nabi Adam as. Untuk itu jelas bahwa pendidikan Islam, jika di lihat dari aspek historisnya, baik sejak awal kejadian manusia maupun dari aspek materi diketahui bahwa pesan yang paling awal dalam risalahnya mempunyai pandangan yang sangat dinamis karena telah memberikan perhatian begitu besar terhadap pendidikan bahkan merupakan perhatian yang utama dan pertama dibandingkan dengan perhatian pada aspek-aspek lain. Hal ini dapat dimengerti karena masalah pendidikan ini menyangkut masalah kualitas manusia yang merupakan modal dasar dan modal awal untuk memenuhi berbagai aspek kebutuhan manusia, baik kebutuhan fisiknya, kebutuhan psiko-sosial maupun kebutuhan spiritual.155 Pendidikan Islam adalah proses pendidikan yang dilakukan terhadap peserta didiknya dalam rangka menumbuhkembangkan segala potensi atau fitrah manusia seoptimal mungkin agar semua potensi atau fitrah manusia itu dapat berdaya guna dalam kehidupan sesuai dengan esensi tugas manusia dalam kehidupan di dunia ini yang tiada lain untuk mengabdikan diri kepada Allah lewat pengelolaan dan pemanfaatan berbagai potensi hidup dan kehidupan di dunia serta pengelolaan dan pemanfaatan berbagai kekayaan yang terdapat di dunia sehingga bisa terwujud kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat sesuai aturan-aturan yang digariskan oleh Allah.156 Erat kaitannya dengan pendidikan memiliki andil yang cukup besar terhadap upaya pembentukan dan pengembangan potensi atau fitrah yang dimiliki manusia maka Ramayulis mengemukakan bahwa; Berbicara mengenai perkembangan penghayatan keagamaan pada anak tidak terlepas dari perkembangan kehidupan kejiwaan manusia karena penghayatan keagamaan tidak akan terlepas dari berbagai aspek kejiwaan seperti; perkembangan pikiran, perkembangan perkenalan, perkembangan tugas kehidupan, perkembangan perasaan dan sebagainya. Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun 155 156



Djamaluddin, op. cit., h. 133 M Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 156



67



psikis. Ia memerlukan bimbingan perkembangan selanjutnya.157



dan



pemeliharaan



untuk



Berdasarkan penjelasan dari Ramayulis tersebut dapatlah dipahami bahwa manusia dalam kehidupan walaupun sudah diberikan fitrah atau berbagai potensi oleh Allah baik fisik maupun non fisik akan tetapi dalam pengembangannya sangat memerlukan proses pendidikan nilai-nilai agama Islam atau keislaman barulah potensi-potensi yang dimiliki tersebut dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan dalam Islam atau agama Islam sebab mana mungkin manusia hanya dengan sendiri mampu melakukan hal tersebut tanpa lewat proses pendidikan Islam yang dilaluinya dalam kehidupan. M Quraish Shihab mengemukakan bahwa fitrah manusia dapat dimaknai sebagai potensi yang diberikan Allah kepada manusia dimana dengan potensi yang diberikan oleh Allah tersebut manusia dituntut mampu melaksanakan amanah yang dibebankan oleh Allah kepadanya serta potensi manusia itu mencakup seluruh dimensi yang berkaitan dengan manusia. 158 Berdasarkan pendapat M Quraish Shihab tersebut memberikan pemahaman bahwa fitrah manusia adalah segala potensi yang diberikan oleh Allah kepada manusia berupa seluruh potensi manusia yang terkait dengan kehidupan manusia dimana esensi dari keberadaan fitrah tersebut tiada lain agar manusia lewat potensi tersebut dapat menjalankan amanah yang telah diberikan Allah kepada mereka dalam kehidupan. Samsul Nizar mengemukakan bahwa; Agar manusia mampu hidup dengan harmonis, kepada manusia diberikan potensi untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut. Namun demikian, Allah swt menuntut agar manusia dapat mempertanggungjawabkan penggunaan potensi yang telah diberikanNya kepada manusia. Guna menyelamatkan manusia dari sifat kealpaan dirinya, maka Allah turunkan aturan-aturan lewat para utusan-Nya, sebagai penuntun dan acuan bagi umat manusia melakukan seluruh aktivitasnya. Dengan tuntunan tersebut diharapkan manusia dapat menggunakan potensi yang telah dianugerahkan Allah kepadanya sebagai sarana penunjang tugas dan fungsinya di muka bumi dengan sebaik-baiknya.159 157 158 159



Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Cet. III; Jakarta: Radar Jaya Offset, 2001), h. 40 M Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an; Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), h. 285. Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 76



68



Berdasarkan pendapat Samsul Nizar tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah telah melengkapi manusia dengan berbagai fitrah atau potensi dalam upaya menjalankan aktivitas dalam kehidupan tetapi dengan adanya fitrah atau potensi yang diberikan Allah tersebut belum menjadi jaminan bagi manusia dalam kehidupan mampu menggunakannya sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Untuk itu agar potensi yang dimiliki manusia mampu berfungsi dengan baik maka Allah menurunkan petunjuk aturan-aturan lewat para rasulNya kepada manusia dalam kehidupan. Hal ini juga bermakna bahwa optimalnya penggunaan segala fitrah yang dimiliki oleh manusia dalam kehidupan harus ditempuh lewat proses pendidikan Islam sebab hanya pendidikan Islam yang mendidik manusia dalam kehidupan sesuai dengan tuntunan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Abdurrahman al-Nahlawi yang dikutip oleh Hery Noer Ali mengemukakan; Islam bukan agama mantera-mantera dan jampi-jampi. Segala ajarannya menuntut manusia agar mengarahkan tingkah laku, bahkan hidupnya untuk merealisasikan hukum-hukum Ilahi secara praktis. Praktik ini akan sulit terlaksana manakalah seseorang tidak terlatih dan terbiasa untuk melaksanakannya.160 Berdasarkan pendapat Abdurrahman an-Nahlawi tersebut memberikan pemahaman bahwa memang aturan-aturan Allah itu tidak akan mungkin datang atau dipahami oleh manusia tanpa adanya proses pendidikan Islam yang dilakukan kepadanya sebab hanya lewat proses pendidikan Islamlah manusia mampu memahami dan bisa mengimplementasikan aturan-aturan Allah yang termuat pada ajaran Islam dalam kehidupan. Selain itu pemikiran tersebut juga memberikan makna bahwa potensi fitrah yang dimiliki oleh manusia akan dapat berfungsi dengan baik bila dibina dan dikembangkan lewat proses pendidikan Islam. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa manusia dituntut dalam kehidupannya untuk menjalankan amanah yang diberikan oleh Allah kepadanya dimana untuk bisa merealisasikan tujuan tersebut maka Allah membekali manusia dengan fitrah atau potensi yang dapat digunakan untuk mengembangkan dan menjalankan aktivitas kehidupannya di dunia, namun potensi tersebut tidak akan dapat berfungsi dengan baik tanpa adanya proses pendidikan Islam sebab lewat pendidikan Islam segala potensi yang dimiliki manusia dapat dibina dan 160



Hery Noer Aly. Ilmu Pendidikan Islam. (Cet. II; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 188



69



dikembangkan dengan baik sehingga nantinya segala potensi yang dimiliki dapat digunakan dalam kehidupan sesuai dengan aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah. Untuk itu pendidikan Islam memiliki posisi yang sangat strategis dalam upaya proses pendayagunaan segala potensi manusia dalam kehidupan. Melihat begitu sentralnya peran pendidikan Islam dalam upaya pembinaan dan pengembangan potensi fitrah manusia dalam kehidupan maka dalam bab ini topik kajian yang diulas adalah tentang fitrah manusia dan implikasinya terhadap kegiatan pendidikan Islam. B.



Pengertian Fitrah Manusia Secara bahasa (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata fitrah mengandung beberapa pengertian meliputi; sifat asal, kesucian, bakat dan pembawaan.161 Merujuk pada makna ini maka fitrah manusia dapat dimaknai sebagai sifat asal manusia, kesucian manusia, bakat manusia dan pembawaan manusia. Samsul Nizar tentang makna kebahasaan kata fitrah mengemukakan bahwa; Kata fitrah itu berasal dari kata fathara yang berarti menjadikan. Kata tersebut berasal dari akar kata al-faathir yang berarti belahan atau pecahan. Dalam al-Qur‟an kata-kata yang mengacu pada pemaknaan kata fitrah muncul sebanyak 20 kali yang tersebar di 19 surat. Secara umum pemaknaan kata fitrah dalam al-Qur‟an dapat dikelompokkan pada setidaknya empat makna, yaitu; (1) proses penciptaan langit dan bumi, (2) proses penciptaan manusia, (3) pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan seimbang, (4) pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.162 Berdasarkan pendapat Samsul Nizar tersebut maka fitrah dapat bermakna menjadikan dan bila dihubungkan dengan ayat-ayat al-Qur‟an maka fitrah itu secara umum mengandung makna proses penciptaan langit dan bumi, proses penciptaan manusia, pengaturan alam dan isinya secara serasi dan seimbang serta fitrah dapat berarti agama Allah. Muhaimin dkk mengemukakan bahwa secara bahasa fitrah berarti; ciptaan, sifat tertentu, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), agama dan as-Sunnah. Lebih lanjut Muhaimin dkk juga mengutip pendapat al-Ragib al-Asfahani ketika menjelaskan makna fitrah dari segi bahasa, dia 161 162



Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 277 Samsul Nizar, op. cit., h. 73



70



mengungkapkan kalimat fathara Allah al-khalq, yang maksudnya Allah mewujudkan sesuatu dan menciptakan bentuk/keadaan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan. Sedangkan maksud fitrah Allah sebagaimana dalam QS. Al-Rum ayat 30 adalah sesuatu kekuatan/daya untuk mengenal/mengakui Allah (keimanan kepadanya-Nya) yang menetap/menancap dalam diri manusia.163 Berdasarkan pendapat Muhaimin dkk tersebut dapatlah diketahui bahwa fitrah secara umum dapat dimaknai dalam beberapa pengertian meliputi seperti kemampuan Allah untuk menciptakan dan mengatur ciptaanya, ciptaan, sifat tertentu, sifat pembawaan manusia yang dibawa sejak lahir, agama dan as-sunnah. Achmadi mengemukakan bahwa; Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa digunakan dalam al-Qur‟an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang perlu penyempurnaan. Kata-kata yang biasanya digunakan dalam al-Qur‟an untuk menunjukkan bahwa bahwa Allah menyempurnakan pola dasar ciptaan Allah atau melengkapi penciptaan itu adalah kata kerja ja‟ala yang artinya menjadikan, yang diletakkan pada satu ayat setelah kata khalaqa dan ansyaa. Perwujudan dan penyempurnaan selanjutnya diserahkan kepada manusia.164 Achmadi memperkuat pendapatnya tersebut dengan beberapa contoh ayat-ayat al-Qur‟an berikut. QS. Al-Insaan (76); 2, yaitu;



           Terjemahnya; Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan Melihat.165



163 164 165



Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2002), h. 16 Achmadi, Idiologi Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 41 Departemen Agama RI, op. cit., h. 856



71



QS. Al-Hujurat (49); 13, yaitu;



                       Terjemahnya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.166 QS. Al-Mulk (67); 23, yaitu;



             Terjemahnya; Katakanlah: "Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.167 QS.al-Rum (30); 30, yaitu;



                          Terjemahnya; Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.168



166 167 168



Ibid., h. 745 Ibid., h. 824 Ibid., h. 574



72



Selanjutnya Acmadi mengemukakan; Dari ke empat ayat tersebut dapat dipahami bahwa; pertama, penciptaan manusia menggunakan kata khalaqa dan ansyaa baru pernyataan (informasi) pendahuluan, belum final. Baru lengkap dan sempurna setelah diikuti dengan kata ja‟ala. Kedua, penciptaan yang menggunakan kata fathara sudah final, manusia tinggal melaksanakan atau mewujudkannya. Ketiga, pernyataan Allah setelah kata-kata ja‟ala menunjukkan potensi dasar yang merupakan bagian integral dari fitrah manusia, seperti pendengaran, penglihatan, akal-pikiran (fuad) sebagai SDM, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku sebagai potensi sosial. Semua itu baru bermakna apabila manusia mensyukuri dalam arti mampu menggunakannya dengan baik, memelihara dan meningkatkan daya gunanya.169 Berdasarkan pendapat Achmadi tersebut dapat dipahami bahwa fitrah dapat dimaknai sebagai kemampuan Allah menciptakan dan mengatur ciptaannya serta potensi dasar yang dimiliki manusia sebagai hasil ciptaan Allah dimana potensi dasar manusia itu dapat berupa seperti; pendengaran, penglihatan, akal, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. M Arifin terkait dengan pengertian fitrah mengemukakan; Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik di antara makhluk Allah yang lain. Struktur manusia ini terdiri atas unsur jasmaniah (fisiologi) dan rokhaniah (psikologis). Dalam struktur jasmani dan rokhani itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi, yang menurut aliran psikologi behaviorisme disebut propotence reflexes (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang). Dalam pandangan Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut dengan fitrah, kata yang berasal dari fathara yang dalam pengertian etimologi mengandung arti kejadian. 170 Berdasarkan pendapat M Arifin tersebut memberikan pemahaman bahwa fitrah manusia adalah kemampuan dasar atau pembawaan yang dibawa oleh manusia yang memiliki kecenderungan untuk berkembang dalam kehidupan dimana potensi dasar itu merupakan pemberian dari Allah kepada manusia.



169 170



Achmadi, op. cit., h. 43 M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 42



73



Lebih lanjut M Arifin mengemukakan bahwa; Bilamana tujuan pendidikan Islam diarahkan pada pembentukan manusia seutuhnya, maka proses kependidikan yang harus dikelola di atas pola dasar dari fitrah yang telah dibentuk Allah dalam setiap pribadi manusia. Pola dasar ini mengandung potensi psikologis yang kompleks, karena di dalamnya terdapat aspek-aspek kemampuan dasar yang dapat dikembangkan secara dialektis interaksional (saling mengacu dan mempengaruhi) untuk terbentuknya kepribadian yang serba utuh dan sempurna melalui arahan kependidikan. Salah satu aspek potensial dari apa yang disebut fitrah kemampuan berpikir manusia dimana rasio atau intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya. Para pendidik muslim sejak dahulu menganggap bahwa berpikir inilah yang menjadi kriterium (pembeda) yang esensial antara manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Di samping itu kemampuan ini memiliki kapabilitas untuk berkembang secara optimal mungkin yang banyak bergantung pada daya guna proses pendidikan. Pada makhluk lainnya tidak didapati kemampuan kapabilitas; oleh karena itu makhluk binatang dan tumbuh-tumbuhan misalnya, tidak dapat didik untuk berkembang seperti manusia. Dalam kehidupan binatang seperti simpanze, hanya terdapat fitrah yang terbatas, yaitu gharizah (instink) dan perasaan (emosi) serta dorongan keinginan berkembang secara naluri yang sangat terbatas sejalan dengan usianya.171 Berdasarkan pemikiran M Arifin tersebut memberikan asumsi bahwa potensi fitrah manusia sangat banyak dan satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi dalam upaya terbentuknya kepribadian manusia yang baik. Selain itu, salah satu potensi fitrah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuan berpikir dimana dengan potensi ini manusia bisa didik sedangkan hewan tidak memiliki dan tumbuh-tumbuhan tidak dapat didik seperti manusia karena hidup hanya berdasarkan insting, perasaan dan dorongan keinginan berkembang mengikuti nalurinya yang terbatas sesuai umurnya Pada sisi yang lain, M Arifin lebih khusus terkait dengan pengertian fitrah mengemukakan sebagai berikut; Proses pengembangan kemampuan manusia melalui pendidikan tidaklah menjamin akan terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi baik menurut kehendak pencipta-Nya, mengingat Allah sendiri telah menggariskan bahwa di dalam diri manusia terdapat 171



M Arifin, “Filsafat Pendidikan Islam”, op. cit.,, h. 158



74



kecenderungan dua arah yaitu ke arah perbuatan fasik (menyimpang dari peraturan) dan ke arah ketaqwaa (menaati peraturan/perintah). 172 M Arifin memperkuat pendapatnya tersebut dengan beberapa ayat alQur‟an. QS. Asy-Syam (91): 7-10, yaitu;



                  Terjemahnya; Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.173 QS.an-Najm (53); 39-40, yaitu;



            Terjemahnya; Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).174 Berdasarkan pemikiran M Arifin tersebut dan landasan-landasan ayat al-Qur‟an yang digunakan memberikan pemahaman bahwa potensi yang dibawah manusia yang diciptakan oleh Allah itu ada terbagi dua yaitu potensi yang mampu mengantarkan manusia hidup ke jalan yang lurus dan potensi yang bisa mengantarkan manusia ke jalan yang bertentangan dengan ajaran Islam dimana agar manusia bisa selamat dalam kehidupan maka manusia harus menggunakan potensi yang ada pada dirinya untuk memilih jalan kebaikan bukan jalan kesesatan. Hal ini juga bermakna bahwa potensi yang dimiliki manusia itu berfungsi pada kebaikan atau kejahatan tergantung pribadi manusia itu dengan ketentuan mungkin aturan ini diperuntukkan bagi setiap orang muslim yang sudah dewasa (baligh dan berakal) sebab pada tataran orang tersebutlah aturan Allah baru diterapkan. 172 173 174



Ibid., h. 156 Departemen Agama RI, op. cit., h. 896 Ibid., h. 766



75



Abdul Fattah Jalal terkait potensi yang dimiliki manusia yang diciptakan oleh Allah kepadanya mengemukakan bahwa; Manusia yang hendak dijadikan Allah swt sebagai khalifah di muka bumi, telah dijadikan-Nya dalam penampilan yang sebaik-baiknya. Ia menjadikan manusia sebagai ciptaan-Nya yang terbaik, lahir maupun bathin, dengan rancangan yang indah serta struktur tiada bandingannya. Allah telah bersumpah, bahwa Dia telah menciptakan manusia dalam bangunan yang sebaik-baiknya.175 Abdul Fattah Jalal melandaskan pemikiran tersebut pada firman Allah QS. Al-Tin (95); 1-5, yaitu;



                      Terjemahnya; Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun. Dan demi bukit Sinai. Dan demi kota (Mekah) ini yang aman. Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).176 Abdul Fattah Jalal mengutip pemikiran Al-Qurthubi tentang penafsiran ayat tersebut sebagai berikut; Allah telah menciptakan Adam as dan anak cucunya dalam keadaan tegak dan indah. Allah menciptakan segala sesuatu selaras dengan kehendak-Nya. Dia menciptakan manusia dengan sempurna; mempunyai lisan yang fasih, tangan dan jari-jemari untuk menggenggam. Abu Bakar Ibnu Thahir berkata; manusia dihiasi dengan akal, mampu menjalankan perintah, dapat didik, memiliki bentuk tubuh yang bagus dan mendapatkan makanan dengan tangannya. Ibnu alArabi mengatakan; Allah swt, tidak mempuyai makhluk yang lebih baik daripada manusia. Allah menciptakan manusia dengan potensi untuk hidup, mengetahui, berkemampuan, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, berpikir dan bijaksana.177 Abdul Fattah Jalal juga mengutip pemikiran Muhammad Abdu tentang penafsiran ayat tersebut sebagai berikut; 175 176 177



Abdul Fattah Jalal, min Ushul al-Tarbiyah Fi al-Islam, Diterjemahkan oleh: Hery Noer Ali dengan Azas-azas Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: CV Diponegoro, 1988), h. 46 Departemen Agama RI, op. cit., h. 903 Abdul Fattah Jalal, op. cit., h. 47



76



Allah swt bersumpah, bahwa dia telah membentuk manusia dalam bentuk yang paling utama dan menatanya sebaik-baik tatanan. Pernyataan ini dikuatkan suatu pengandaian, yaitu apabila manusia melupakan (tidak memanfaatkan) akal yang dijadikan Allah sebagai alat untuk memuliakannya, maka mereka cenderung memandang dirinya (menempatkan dirinya pada kedudukan) sebagai sejenis hewan belaka, seperti hewan lainnya. Mereka akan berbuat seperti binatang, tanpa dihalangi oleh rasa malu. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa manusia diciptakan dengan kecenderungan pada kejahatan. Maka untuk menunjukkan sesatnya pandangan ini Allah swt berfirman, bahwa Dia telah menganugerahkan kepada manusia sebaik-baik fitrah, baik fisik maupun psikis dan memuliakannya dengan akal yang menjadi alat untuk menguasai (dan mengatur) seluruh alam bumi dan dengan perkenaan Allah swt, menguak seluruh alam samawi. 178 Lebih lanjut Abdul Fattah Jalal mengutip pendapat al-Qurthubi yang mengemukakan sebagai berikut; Yang benar dan yang adil adalah bahwa pengutamaan (yakni pengutamaan keturunan Adam as atas kebanyakan makhluk) tiada lain dengan akal. Sebagai penopang tugas-tugas yang diletakkan di atas pundaknya. Dengan akal itulah mereka mampu mengenal Allah dan memahami firman-Nya. Akal itulah yang mengantarkan manusia kepada surga-Nya serta pada pembenaran para Rasul-Nya. Hanya saja, karena akal belum mampu mengerjakan segala yang dituntut dari hamba, maka diutuslah para rasul dan diturunkanlah kitab-kitab. Apabila syara‟ diumpamakan sebagai matahari, maka akal ibarat mata. Apabila mata itu dibuka dan ia dalam keadaan sehat, maka akan dapat melihat matahari dan akan dapat pula melihat berbagai hal sampai sekecil-kecilnya.179 Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang diangkat dan dikemukakan Abdul Fattah Jalal tersebut hubungannya dengan fitrah manusia memberikan pemahaman bahwa fitrah manusia adalah segala potensi yang berikan oleh Allah kepada manusia dalam upaya menjalankan tugas-tugas diembannya di dunia sebagai sarana menuju jalan tercapainya kebahagiaan dunia akhirat dimana potensi tersebut dapat berupa potensi yang berada pada diri manusia seperti; akal, tangan, lisan, potensi hidup, potensi dididik, potensi mengetahui, potensi berkemampuan, potensi berkehendak, potensi berbicara, potensi mendengar, potensi melihat, potensi berpikir, potensi bijaksana dan sebagainya maupun potensi yang berada di luar di diri manusia seperti adanya 178 179



Ibid. Ibid., h. 49



77



rasul, kitab Allah sebagai sumber ajaran agama Islam serta alam semesta dan isinya, dimana manusia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan hidup kalau hanya mengandalkan potensi yang ada pada dirinya tetapi harus ditopang oleh potensi yang ada di luar dirinya serta semua potensi itu diciptakan Allah untuk terwujudnya kesempurnaan hidup manusia di dunia dan di akhirat selama potensi-potensi tersebut dikembangkan dan digunakan sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Samsul Nizar mengemukakan bahwa Hasan Langgulung mengartikan fitrah sebagai potensi-potensi yang dimiliki manusia. Potensi-potensi tersebut merupakan suatu keterpaduan yang tersimpul dalam al-Asma‟ al-Husnah Allah (sifatsifat Allah). Batasan tersebut memberikan arti, bahwa – sebagai misaljika Allah memiliki sifat al-Ilm (Maha Mengetahui), maka manusia memiliki potensi untuk bersifat sebagai sifat al-Ilmu-Nya. Demikian pula jika Allah memiliki sifat al-Sama‟, al-Bashar dan sebagainya, maka otomatis manusiapun memiliki potensi tersebut. Akan tetapi, bukan berarti kemampuan manusia (makhluk) sama tingkatannya dengan kemampuan Allah (Khaliq). Hal ini disebabkan karena berbedanya hakekat antara keduanya. Sifat Allah merupakan sifat Kemahasempurnaan sedangkan potensi manusia merupakan potensi makhluk yang memiliki sifat keterbatasan. Akibat dari keterbatasan yang dimilikinya, menjadikan manusia sebagai makhluk yang senantiasa membutuhkan bantuan dan pertolongan dari Tuhan dalam upaya pemenuhan semua kebutuhannya. Keadaan ini menyadarkan manusia akan keterbatasannya dan Kemaha Kuasaan serta kesempurnaan Allah.180 Muhaimin dkk mengenai pemikiran Hasan langgulung tentang konsep fitrah manusia dikemukakan sebagai berikut; Menurut Hasan Langgulung bahwa ketika Allah menghembuskan/meniupkan ruh pada diri manusia (pada proses kejadian manusia secara nonfisik/immateril) maka pada saat itu pula manusia (dalam bentuk yang sempurna) mempunyai sebagian sifat-sifat Ketuhanan sebagaimana yang tertuang dalam al-asma‟ al-Husnah. Hanya saja kalau Allah serba Maha, sedang manusia hanya diberikan sebagian. Sebagian sifat-sifat Ketuhanan yang menancap pada diri manusia dan dibawah sejak lahir itulah yang disebut fitrah. Misalnya al-alim (Maha Mengetahui), manusia juga diberi kemampuan/potensi untuk mengetahui sesuatu; al-Rahman (Maha Pengasih) dan al-Rahim (Maha Penyayang), manusia juga diberi kemampuan untuk mengasihi 180



Samsul Nizar, op. cit., h. 74



78



dan menyayangi orang lain; al-Afuw al-Gaffar (Maha pemaaf lagi Maha pengampun), manusia juga diberi kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain; al-Khaliq (Maha pencipta), manusia juga diberi kemampuan untuk mengkreasi sesuatu, membudayakan alam; al-Latif al-Khabir (Maha Lembut lagi Maha Mengetahui segala sesuatu yang tampak maupun tersembunyi), manusia juga diberi kemampuan/potensi untuk merahasiakan sesuatu atau dirinya dan kemampuan mengetahui fenomena sosial atau rahasia alam; al-Qadir (Maha Kuasa), manusia juga diberi kemampuan untuk berkuasa; al-Adl (Maha Adil), manusia juga diberi kemampuan berlaku adil; al-Murid (Maha Berkendak), manusia juga diberi potensi untuk berkehendak, mempunyai motivasi untuk berbuat, al-Hadi (Maha Pemberi Petunjuk), manusia juga diberi kemampuan untuk mendidik atau memberi pengajaran, demikian seterusnya. Sebagian sifat-sifat Ketuhanan (Potensi/Fitrah) itu harus ditumbuhkembangkan secara terpadu oleh manusia dan diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan individu maupun sosialnya karena kemuliaan seseorang disisi Allah lebih ditentukan oleh sejauhmana kualitasnya dalam mengembangkan sifat-sifat Ketuhanan tersebut yang ada pada dirinya bukan dilihat dari aspek materi, fisik dan jasadi. 181 Berdasarkan pemikiran yang diangkat Samsul Nizar dan Muhaimin dkk tentang pemikiran Hasan Langgulung tersebut memberikan pemahaman bahwa fitrah manusia adalah segala potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia yang diberikan oleh Allah kepadanya dalam upaya menjalankan aktivitas kehidupan di dunia sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan oleh Allah, dimana sifat potensi atau kemampuan yang diberikan tersebut merupakan pengejewantahan dari sebagian kecil dari kemampuan sifat-sifat Allah yang diberikan kepada manusia sehingga ia mempunyai keterbatasan maka untuk pengoptimalannya sesuai dengan penggunaannya dalam kehidupan di dunia, manusia selalu harus mendapat bimbingan dan bantuan atau pertolongan dari Allah swt. Abdul A‟la al-Maududi yang dikutip M Arifin mengemukakan bahwa; Manusia telah dibentuk Tuhan dalam dua aspek kehidupannya dalam dua suasana kegiatan yang berbeda. Pertama, ia berada di dalam suasana dimana dirinya secara menyeluruh diatur oleh hukum Tuhannya. Juga ia tidak dapat mengubah dan melangkahinya. Dengan kata lain ia benar-benar terperangkap kedalam genggaman hukum alam dan terikat untuk mematuhinya. Kedua, manusia telah dianugerahi kemampuan akal dan kecerdasan. Dia dapat berpikir dan membuat 181



Muhaimin dkk, op. cit., h. 17



79



pertimbangan dengan akalnya untuk memilih dan menolak serta pengambilan ataupun membuangnya. Ia juga dapat memeluk kepercayaan apa saja, mengikuti cara hidup apa saja, serta membentuk kehidupannya sesuai ideologi yang ia pilih. Diapun dapat menciptakan kode tingkah lakunya sendiri atau menerima saja kode-kode yang dibuat orang lain. Dia telah diberi kemampuan bebas berkehendak dan dapat menetapkan arah perbuatannya sendiri. Tidak seperti makhlukmakhluk lainnya, manusia telah diberikan oleh Tuhan kebebasan berpikir, berbuat dan memilih. Aspek-aspek kemampuan demikian itu, menjadikan manusia, juga makhluk-makhluk lainnya, dilahirkan sebagai muslim (berserah diri) yang berbeda ketaatannya kepada Tuhan., tetapi di lain pihak manusia bebas untuk menjadi muslim atau bukan muslim. 182 Berdasarkan pemikiran Abdul a‟la al-Maududi tersebut dapatlah dipahami bahwa manusia diciptakan Allah diberikan dua potensi fitrah yaitu aturan hukum Allah yang harus di taati, dan agar hal tersebut bisa terwujud maka manusia diberikan potensi fitrah akal agar ia mampu membedakan antara mengikuti aturan Allah atau ingkar terhadap aturan Allah. Hal ini menurut asumsi penulis keberadaan akal itu bukan menyelewengkan manusia tetapi semata-mata sebagai barometer bagi manusia dalam kehidupan sebenarnya agar ia bisa selamat baik kehidupan di dunia maupun di akhirat sebab akalpun tanpa adanya wahyu maka mana mungkin manusia mampu mengetahui kewajibannya secara sempurna kepada khaliknya. Bukhari Umar mengemukakan; Fitrah merupakan citra asli manusia, yang berpotensi baik atau buruk, dimana aktualisasinya tergantung pilihan. Fitrah yang baik merupakan citra asli yang primer sedangkan fitrah yang buruk merupakan citra asli yang sekunder. Citra unik tersebut sudah ada sejak awal penciptaannya. Seluruh manusia mempunyai fitrah yang sama, meskipun perilakunya berbeda. Fitrah manusia yang paling esensial adalah penerimaan terhadap amanah untuk menjadi khalifah Allah. 183 Bukhari Umar juga mengemukakan bahwa dalam studi Qur‟ani, fitrah ketika dikorelasikan dengan kalimat lain mempuyai banyak makna antara lain; 1. Fitrah berarti suci yaitu kesucian psikis yang terbebas dari dosa dan warisan dari penyakit rokhaniah



182 183



M Arifin, “Filsafat Pendidikan Islam”, op. cit., h. 159 Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2010), h. 70



80



2.



Fitrah berarti potensi berislam. Abu Hurairah mengatakan bahwa fitrah itu beragama Islam 3. Fitrah berarti mengakui keesaan Allah. Manusia lahir membawa potensi tauhid yang cenderung mengesakan Tuhan dan berusaha secara terus menerus mencari dan mencapai ketauhidan 4. Fitrah berarti kondisi selamat dan kontinuitas 5. Fitrah berarti; perasaan yang tulus. Manusia lahir dengan membawa sifat baik. Diantara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam melakukan aktivitas 6. Fitrah berarti kesanggupan untuk melakukan kebenaran 7. Fitrah berarti potensi dasar manusia atau perasaan untuk beribadah kepada Allah 8. Fitrah berarti ketetapan atau takdir asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan hidup 9. Fitrah berarti tabiat atau watak asli manusia 10. Fitrah berarti sifat-sifat Allah swt yang ditiupkan pada setiap manusia sebelum dilahirkan. Bentuk-bentuknya adalah asma‟ al-Husnah yang dalam al-Qur‟an berjumlah 99 nama yang indah (QS.Al-Hijr (15):29). Tugas manusia adalah mengaktualisasikan fitrah asma‟ al-Husnah tersebut sebaik-baiknya dengan cara transinternalisasi sifat-sifat tersebut ke dalam kepribadiannya. 11. Fitrah dalam beberapa hadits memiliki arti takdir.184 Lebih lanjut Bukhari Umar mengemukakan argumen yaitu; Berdasarkan beberapa pengertian di atas, Fitrah dapat diartikan dengan citra asli yang dinamis yang terdapat pada sistem-sistem psikofisiologi manusia, dan dapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut telah ada sejak awal penciptaannya. Dari pengertian ini, sekalipun potensi fitrah manusia itu merupakan gambaran asli yang suci, bersih, sehat dan baik, namun dalam aktualisasinya dapat mengaktualkan perbuatan buruk sebab fitrah manusia itu dinamis yang aktualisasinya sangat mengantung pada keinginan manusia dan lingkungan yang mempengaruhinya.185 Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut dapatlah dipahami bahwa fitrah adalah segala potensi yang diberikan oleh Allah kepada manusia sejak kelahirannya agar bisa menjalankan aktivitas dalam kehidupan dimana potensi



184 185



Ibid., h. 71 Ibid.



81



tersebut bisa berpengaruh pada adanya aktivitas kehidupan yang bisa baik dan bisa buruk tergantung pada keinginan manusia dan faktor lingkungannya. Muhammad Bin Asyur yang dikutip oleh M Quraish Shihab tentang pengertian fitrah dikemukakan sebagai berikut; Fitrah (makhluk) adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya.186 Terkait dengan pendapat Muhammad Bin Asyur tersebut M Quraish Shihab mengatakan; Dalam batasan pengertian tersebut terlihat pengertian fitrah diartikan sebagai potensi yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan potensi tersebut, manusia mampu melaksanakan amanah yang dibebankan oleh Allah kepadanya. Potensi tersebut meliputi seluruh dimensi manusia.187 Berdasarkan pendapat yang diangkat dan dikemukakan oleh M Quraish Shihab tersebut memberikan pemahaman bahwa fitrah adalah kemampuan Allah mencipta dan mengurus makhluk ciptaannya sedangkan fitrah manusia berarti segala potensi yang Allah ciptakan dan berikan kepada manusia agar mereka dapat menjalankan amanah Allah di muka bumi dan potensi fitrah manusia itu mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia. Sesuai dengan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang fitrah baik secara etimologi dan terminologi dapatlah dipahami bahwa fitrah secara umum dapat dimaknai dalam banyak pengertian dimana pengertian fitrah secara umum dapat bermakna; kesucian manusia, bakat manusia, pembawaan manusia sejak lahir, proses penciptaan langit dan bumi, proses penciptaan manusia, agama Allah, as-Sunnah, kemampuan Allah untuk menciptakan dan mengatur ciptaannya, ciptaan dan segala potensi yang dimiliki manusia yang diberikan oleh Allah kepadanya dalam upaya terwujudnya kebahagiaan hidup dunia dan akhirat sedangkan secara khusus tentang fitrah manusia dapatlah dipahami bahwa sebagai segala potensi yang berikan oleh Allah kepada manusia dalam upaya tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat dimana potensi tersebut dapat berupa potensi yang berada pada diri manusia seperti; akal, tangan, lisan, potensi hidup, potensi dididik, potensi mengetahui, potensi berkemampuan, potensi berkehendak, potensi berbicara, potensi mendengar, potensi melihat, potensi berpikir, potensi bijaksana, potensi sosial berupa 186 187



M Quraish Shihab, op. cit., h. 285 Ibid.



82



berbangsa dan bersuku-suku dan sebagainya maupun potensi yang berada di luar diri manusia seperti kitab Allah, alam semesta dan isinya sebab bagaimanapun baiknya potensi yang ada pada diri manusia yang Allah ciptakan tanpa ditopang oleh potensi yang ada di luar dirinya maka terwujudnya kesempurnaan hidup manusia di dunia dan di akhirat sulit diwujudkan. C.



Bentuk-Bentuk Fitrah Manusia Muhaimin dkk mengemukakan bahwa fitrah manusia itu cukup banyak macamnya. Dimana yang terpenting di antaranya yaitu; 1. Fitrah beragama. Fitrah beragama adalah merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk selalu pasrah, tunduk dan patuh kepada Tuhan, yang menguasai dan mengatur segala aspek kehidupan manusia, dan fitrah ini merupakan sentral yang mengarahkan dan mengontrol perkembangan fitrah-fitrah lainnya 2. Fitrah berakal budi. Fitrah ini merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk berpikir dan berzikir dan memahami tandatanda keagungan Tuhan yang ada di alam semesta, berkreasi dan berbudaya, serta memahami persoalan dan tentang hidup dan berusaha memecahkannya 3. Fitrah kebersihan dan kesucian. Fitrah ini mendorong manusia untuk selalu komitmen terhadap kebersihan dan kesucian diri serta lingkungannya. 4. Fitrah bermoral atau berakhlak. Fitrah ini mendorong manusia untuk komitmen terhadap norma-norma atau nilai-nilai dan aturan yang berlaku 5. Fitrah kebenaran. Fitrah ini mendorong manusia untuk selalu mencari dan mencapai kebenaran.188 6. Fitrah kemerdekaan. Fitrah ini mendorong manusia untuk bersikap bebas merdeka, tidak terbelenggu, dan tidak mau diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan 7. Fitrah keadilan. Fitrah ini mendorong manusia untuk berusaha menegakkan keadilan di muka bumi 8. Fitrah persamaan dan persatuan. Fitrah ini mendorong manusia untuk mewujudkan persamaan hak serta menentang diskriminasi ras, etnik, 188



Muhaimin dkk, op. cit., h. 18



83



9.



10. 11.



12. 13. 14.



bahasa dan sebagainya, dan berusaha menjalin kesatuan dan persatuan di muka bumi Fitrah individu. Fitrah ini mendorong manusia bersikap mandiri, bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan, mempertahankan harga diri dan kehormatannya serta menjaga keselamatan diri dan hartanya Fitrah sosial. Fitrah ini mendorong manusia untuk hidup bersama, bekerjasama, bergotong royong, saling membantu dan sebagainya. Fitrah seksual. Fitrah ini mendorong seseorang untuk mengembangkan keturunan (berkembangbiak), melanjutkan keturunan dan mewariskan tugas-tugas kepada generasi penerusnya Fitrah ekonomi. Fitrah ini mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas ekonomi Fitrah politik. Fitrah ini mendorong manusia berusaha menyusun suatu kekuasaan dan institusi yang mampu melindungi kepentingan bersama Fitrah seni. Fitrah ini mendorong manusia untuk menghargai seni dalam kehidupannya.189



Berdasarkan pendapat Muhaimin dkk tersebut memberikan pemahaman bahwa fitrah manusia cukup banyak dimana di antara fitrah terpenting dari fitrah manusia itu meliputi seperti; fitrah beragama, fitrah berakal budi, fitrah kebersihan dan kesucian, fitrah bermoral atau berakhlak, fitrah kebenaran, fitrah kemerdekaan, fitrah keadilan, fitrah persamaan dan persatuan, fitrah individu, fitrah sosial, fitrah seksual, fitrah ekonomi, fitrah politik dan fitrah seni. Bukhari Umar menyatakan bahwa fitrah manusia itu cukup banyak, namun fitrah manusia yang terpenting meliputi; 1. Fitrah agama. Sejak lahir manusia memiliki nalurui atau insting beragama, insting yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Mutlak yaitu Allh swt. Sejak di alam ruh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya (QS. Al-Anfal (7):172, sehingga ketika dilahirkan, ia berkecenderungan pada al-Hanif, yakni rindu akan kebenaran mutlak Allah.(QS. Al-Rum (30);30. 2. Fitrah intelek. Intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dan buruk, yang benar dan salah. Allah selalu mengingatkan



189



Ibid., h. 19



84



3.



4.



5.



6.



7.



manusia untuk menggunakan fitrah inteleknya. Karena daya dan fitrah intelek inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Fitrah sosial yaitu kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok yang di dalamnya terbentuk suatu ciri-ciri yang khas yang disebut dengan kebudayaan Fitrah susila yaitu kemampuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifat-sifat amoral, atau sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah yang menciptakannya Fitrah ekonomi (mempertahankan hidup) yaitu daya manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan upaya memberikan kebutuhan jasmani demi kelangsungan hidupnya. Maksudnya fitrah ini adalah memanfaatkan kekayaan alam sebagai realisasi tugas-tugas kekhalifaan dalam rangka beribadah kepada Allah Fitrah seni yaitu; kemampuan manusia yang dapat menimbulkan daya estetika, yang mengacu pada sifat al-Jamal Allah swt. Tugas pendidikan yang terpenting adalah memberikan suasana gembira, senang dan aman dalam proses belajar mengajar karena pendidikan merupakan proses kesenian, oleh karena itu dibutuhkan seni mendidik Fitrah kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, kawin, cinta tanah air dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya.190



Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut dapatlah dipahami bahwa bentuk fitrah manusia itu sangat banyak namun diantaranya meliputi; fitrah agama, fitrah intelek, fitrah sosial, fitrah susila, fitrah ekonomi, fitrah seni, fitrah kemajuan, fitrah keadilan, fitrah kemerdekaan, fitrah kesamaan, fitrah ingin dihargai, fitrah kawin, fitrah cinta tanah air dan fitrah-fitrah yang berkaitan dengan kebutuhan hidup manusia. M Quraish Shihab tentang bentuk fitrah manusia itu mengatakan bahwa fitrah manusia sangat banyak hanya saja sebagai contoh dari sekian banyak potensi atau fitrah yang dimiliki manusia seperti; 1. Potensi berjalan tegak dengan menggunakan kedua kaki, merupakan potensi jasdiah. 2. Kemampuan manusia untuk menarik suatu kesimpulan dan sejumlah premis, merupakan potensi akliyah. 3. Ketiga kemampuan manusia untuk dapat merasakan senang, nikmat, sedih, bahagia, tenteram dan sebagainya merupakan bentuk potensi rokhaniyah. 191 190



Buhkari Umar, op. cit., h. 72



85



Berdasarkan pendapat M Quraish Shihab tersebut memberikan pemahaman bahwa bentuk-bentuk fitrah manusia sangat banyak dimana di antara yaitu fitrah jasadiah atau potensi jasadiah, fitrah akliyah atau potensi akliyah dan fitrah rokhaniyah atau potensi rokhaniyah. Ibnu Taimiyah yang dikutip Nurcholis Majid membagi fitrah manusia kepada dua bentuk yaitu; (1) Fitrah al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir. Bentuk fitrah (potensi) ini antara lain adalah nafsu, akal dan hati nurani. Fitrah dapat dikembangkan oleh manusia lewat jalur pendidikan. (2) Fitrah al-Munazzalat merupakan potensi yang bersumber dari luar diri manusia. Wujud fitrah ini adalah wahyu Ilahi yang diturunkan Allah untuk membimbing dan mengarahkan potensi yang ada pada diri manusia untuk berkembang sesuai dengan fitrah-Nya yang hanif. Semakin tinggi hubungan antara kedua fitrah manusia itu maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia (insan kamil), akan tetapi bila kedua fitrah itu hubungannya tidak serasi atau berbenturan maka manusia akan semakin tergelincir dari fitrahnya yang hanif. 192 Berdasarkan pendapat yang diangkat oleh Nucholis Majid tersebut memberikan pemahaman bahwa menurut Ibnu Taimiyah secara umum fitrah atau potensi manusia itu dapat dibagi dua macam yaitu fitrah yang bersumber dari dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir seperti akal, nafsu dan hati nurani dengan fitrah yang bersumber dari luar diri manusia yaitu wahyu Ilahi sebagai petunjuk dan pedoman untuk mengarahkan fitrah yang berasal dari dalam diri manusia yang terbawa sejak lahir. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut tentang bentuk-bentuk fitrah manusia dapatlah dipahami bahwa bentuk-bentuk fitrah manusia sangat banyak dimana di antaranya meliputi; fitrah beragama, fitrah jasadiah, fitrah akliyah, fitrah kebersihan dan kesucian, fitrah bermoral atau berakhlak, fitrah kebenaran, fitrah kemerdekaan, fitrah keadilan, fitrah persamaan dan persatuan, fitrah kemajuan, fitrah ingin dihargai, fitrah kawin, fitrah cintah tanah air, fitrah individu, fitrah sosial, fitrah ekonomi, fitrah politik dan fitrah seni. D. Aspek-Aspek Psikologis Fitrah Manusia M Arifin mengemukakan bahwa apek-aspek psikologis fitrah meliputi;



191 192



M Quraish Shihab, op. cit., h. 285 Nurcholish Majid, Islam Kemoderenan dan KeIndonesiaan (Bandung: Mizan, 1991), h. 8



86



1. 2.



3.



4.



Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk berkembang Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh (integral) yang menggerakkan seluruh aspek-aspeknya yang secara mekanistik satu sama lain saling pengaruh mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu. Aspek-aspek fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan. Komponen-komponen dasar meliputi; 193 bakat, insting, nafsu dan dorongan-dorongannya, karakter, hereditas atau keturunan dan intuisi.



Adapun penjelasan-penjelasan tentang komponen-komponen dasar tersebut sebagai berikut; 1. Bakat yaitu suatu kemampuan pembawaan yang potensial kepada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (profesional) dalam berbagai bidang kehidupan. 2. Insting atau gharizah ialah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar dimana tingkah laku manusia yang digolongkan insting yaitu; melarikan diri karena perasaan takut, menolak karena jijik, ingin tahu karena menakjubi sesuatu, melawan karena kemarahan, merendahkan diri karena perasaan mengabdi, menonjolkan diri karena adanya harga diri atau manja, orang tua karena perasaan halus budi, berkelamin (sexsual) karena keinginan mengadakan reproduksi, berkumpul karena keinginan mendapatkan sesuatu yang baru, mencari sesuatu karena ingin bergaul/ bermasyarakat, membangun sesuatu karena ingin mendapatkan kemajuan, menarik perhatian orang lain karena ingin diperhatikan oleh orang lain. Jenis-jenis insting ini menurut pandangan Mac Dougall, ahli psikologi sosial Inggris dimana ia mengartikan insting sebagai tendensi khusus jiwa manusia/binatang yang terbawa sejak lahir yang menimbulkan tingkah laku tanpa melalui proses belajar.194 3. Nafsu dan dorongan-dorongnya. Dalam tasawuf dikenal adanya nafsu lawwama yang mendorong ke arah perbuatan mencela dan merendahkan diri orang lain, nafsu marah yang mendorong ke arah perbuatan merusak, membunuh atau memusuhi orang lain; nafsu birahi 193 194



M Arifin, “Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatana Interdisipliner”, op. cit., h. 51 Ibid.



87



4.



5.



yang mendorong ke arah perbuatan seksual untuk memuaskan tuntunan akan pemuasan hidup berkelamin, nafsu mutmainnah yang mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa dan nafsu bahimiah yang mendorong ke arah perbuatan rendah sebagaimana binatang Karakter atau watak tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya dimana karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang dimana ia terbentuk oleh kekuatan dari dalam diri bukan karena pengaruh dari luar Intuisi ialah kemampuan psikologis manusia untuk menerima Ilham Tuhan. Intuisi mengerakkan hati nurani manusia yang membimbingnya ke arah perbuatan dalam situasi khusus di luar kesadaran akal pikirannya, namun mengandung makna yang bersifat konstruktif bagi kehidupannya. Intuisi biasanya diberikan Tuhan kepada orang yang bersih jiwanya. Di kalangan kaum sufi, intuisi ini lebih banyak dirasakan sebagai getaran hati nurani yang merupakan panggilan Tuhan untuk berbuat sesuatu yang amat khusus. Filsuf Prancis, Bergson, memandang intuisi sebagai kekuatan pokok yang mendorong manusia berpikir dan berbuat.195



Berdasarkan pendapat M Arifin tersebut dapatlah dipahami bahwa aspek-aspek psikologi fitrah manusia meliputi; fitrah merupakan potensi dasar perkembangan manusia yang dibawah sejak lahir, potensi fitrah berkembang secara menyeluruh dan saling mempengaruhi serta dipengaruhi, aspek-aspek fitrah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis dan responsif terhadap pengaruh lingkungan dan komponen-komponen dasar fitrah meliputi; bakat, insting, nafsu dan dorongan-dorongannya, karakter, keturunan dan intuisi. E.



Keterkaitan Fitrah Manusia Terhadap Kegiatan Pendidikan Islam Secara alamiah, proses manusia tumbuh dan berkembang dalam kehidupan yang dimulai sejak dalam kandungan sampai meninggal tentu mengalami proses tahapan demi tahapan. Hal yang sama juga terjadi pada proses kejadian alam semesta yang diciptakan Allah swt tentu melalui proses setingkat demi setingkat. Memang pola perkembangan manusia dan kejadian alam semesta yang diciptakan oleh Allah melalui tahapan-tahapan demikian adalah berlangsung atas hukum Allah swt sebagai Sunnatullah. 195



Ibid., h. 52, Lihat Sudiono, Ilmu Pendidikan Islam Jilid I (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 149-152



88



Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmaniah juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan /pertumbuhan, baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir perkembangan /pertumbuhannya. Tidak ada satupun makhluk ciptaan Tuhan di atas bumi yang mencapai kesempurnaan / kematangan hidup tanpa berlangsung melalui suatu proses. 196 Manusia dilahirkan seperti kertas putih, bersih dan belum terisi apa-apa walaupun ia terlahir dengan dibekali dengan berbagi potensi atau kemampuan oleh Allah yang memungkinkan dapat berkembang tetapi perkembangan itu tidak akan maju dan tumbuh dengan maksimal tanpa lewat adanya proses pendidikan. Kewajiban untuk mengembangkan potensi atau fitrah yang dimiliki oleh manusia merupakan tanggung jawab manusia kepada Allah. Kemungkinan pengembangan potensi yang dimiliki manusia dapat menempatkan manusia satu sisi sebagai terdidik atau peserta didik yang memerlukan proses pendidik terhadap potensi yang ada pada dirinya dan di sisi yang lain pada suatu saat ia akan berperan sebagai pendidik yang melaksanakan proses pendidikan terhadap pengembangan potensi yang dimiliki oleh manusia lain.197 Disi yang lain manusia dalam kehidupan agar mampu menjalankan perannya dengan baik sebagai pemegang amanah dalam kehidupan oleh Allah dituntut untuk memiliki sumber daya yang berkualitas barulah ia mampu menjalankan dengan baik amanah yang diberikan oleh Allah dalam menjalankan kehidupannya di alam dunia. Kualitas yang dimiliki manusia dapat menjadi indikasi tingkat baik dan buruknya serta tinggi rendahnya kualitas sumber daya yang dimiliki. Memang Allah telah membekali manusia dengan berbagai fitrah atau kemampuan tetapi bukan menjadi jaminan keberadaan kemampuan tersebut serta merta langsung menjadikan manusia menjadi manusia yang berkualitas dalam menjalankan aktivitas kehidupannya di alam dunia sebab indikasi manusia yang berkualitas dalam konteks Islam adalah manusia yang memiliki pribadi beriman, berbudi pekerti yang luhur, memiliki kecerdasan, ilmu pengetahuan, keterampilan, punya wawasan ke depan dan lain sebagainya. Selain itu manusia berkualitas barulah dapat diperoleh atau dicapai hanyalah setelah lewat proses pendidikan Islam sebab



196 197



M Arifin, “Filsafat Pendidikan Islam”, op. cit., h. 11 Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. XI; Jakarta: Bumi Aksara, 2014), h.17



89



konteks kualitas yang dimaksudkan di atas adalah kualitas menurut standar ukuran Islam yang hanya diajarkan dalam proses pendidikan Islam. 198 Zuhairini dkk mengemukakan bahwa; Manusia mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan binatang, yakni manusia memiliki berbagai macam potensi atau kemampuan dasar (fitrah) yang telah di bawah semenjak lahirnya, seperti kemampuan untuk berpikir, berkreasi, beragama, beradaptasi dengan lingkungan dan lain sebagainya. Dengan adanya berbagai macam kemampuan dasar tersebut, maka manusia dalam hidup dan kehidupannya tidak hanya berdasar pada instink atau naluri saja seperti halnya binatang tetapi juga berdasar dorongan dari berbagai potensi yang dimilikinya. Untuk mengembangkan potensi/kemampuan dasar tersebut maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong, dan mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan secara optimal sehingga kelak hidupnya dapat berdaya guna dan berhasil guna.199 Berdasarkan pendapat Zuhairini dkk tersebut memberikan pemahaman bahwa manusia semenjak diciptakan oleh Allah telah dibekali dengan fitrah atau berbagai kemampuan sebagai sarana untuk menopang berlangsung proses kehidupannya di dunia tetapi seluruh potensi tersebut tidak bisa berfungsi dan berkembangan dengan baik dalam kehidupan kalau tanpa adanya proses pendidikan yang dilakukan oleh orang lain kepadanya. Selain itu pemikiran ini juga memberikan pemahaman karena potensi yang diberikan oleh Allah itu harus digunakan sesuai dengan aturan Allah maka tiada lain proses pendidikan yang harus ditempuh untuk bisa memfungsikan dengan baik fitrah yang diberikan oleh Allah itu adalah proses pendidikan Islam sebab dalam pendidikan Islam aturan-aturan yang telah ditentukan Allah itu diajarkan. Hasan Basri mengemukakan bahwa; Apabilah dibicarakan soal ilmu pendidikan Islam, karena Islam sebagai agama yang tertulis dalam kitab suci al-Qur‟an dan as-Sunnah, ilmu pendidikan Islam adalah kumpulan pengetahuan yang bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunnah yang dijadikan landasan kependidikan. Secara aplikatif, pendidikan Islam artinya mentrasformasikan nilai-nilai Islam terhadap anak didik dan lingkungan sekolah, lingkungan keluarga dan masyarakat. Ilmu pendidikan Islam adalah akumulasi pengetahuan yang bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunnah yang diajarkan, dibinakan dan 198 199



Achmadi, op. cit., h. 109 Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Asara, 1995), h. 94



90



dibimbingkan kepada manusia sebagai peserta didik dengan menerapkan metode dan pendekatan Islami yang bertujuan membentuk peserta didik yang berkepribadian muslim. 200 Berdasarkan pendapat Hasan Basri tersebut cukup tergambar dengan jelas bahwa memang kegiatan pendidikan Islamlah yang menjadikan manusia mampu mengenal dan memahami pengetahuan Islam dengan baik serta mampu mengamalkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu kegiatan pendidikan Islam sifatnya berlangsung tidak hanya berfokus pada satu lembaga atau lingkungan tetapi prosesnya melibatkan pada semua tempat dan lingkungan serta melibatkan semua pihak sehingga kegiatan pendidikan Islam berlangsung pada lingkungan keluarga, sekolah dan masyarkat. Achmadi mengemukakan bahwa; Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma-norma Islam”.201 Berdasarkan pendapat Achmadi tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam merupakan segala bentuk kegiatan yang dilakukan dalam oleh manusia dalam kehidupan untuk memelihara dan mengembangkan potensi atau fitrah yang ada pada diri manusia sehingga fitrah manusia tersebut dapat berfungsi dan difungsikan secara optimal dalam kehidupan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam ajaran Islam. Untuk itu merujuk pada pemaparan-pemaparan tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa fitrah manusia mempunyai keterkaitan yang erat dengan kegiatan pendidikan Islam sebab ternyata fitrah yang dimiliki oleh manusia yang diberikan oleh Allah tidak akan bisa berkembang dan difungsikan dengan baik dalam kehidupan bila tidak ditempa lewat proses pendidikan Islam sebab fitrah yang diberikan oleh Allah itu harus digunakan dalam kehidupan sesuai dengan aturan-aturan yang telah Allah gariskan dimana aturan-aturan itu hanya diajarkan dalam proses kegiatan pendidikan Islam. Abdul Fattah Jalal mengutip pendapat al-Qurthubi yang mengemukakan sebagai berikut;



200 201



Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 11 Achmadi, op. cit., h. 29.



91



Yang benar dan yang adil adalah bahwa pengutamaan (yakni pengutamaan keturunan Adam as atas kebanyakan makhluk) tiada lain dengan akal. Sebagai penopang tugas-tugas yang diletakkan di atas pundaknya. Dengan akal itulah mereka mampu mengenal Allah dan memahami firman-Nya. Akal itulah yang mengantarkan manusia kepada surga-Nya serta pada pembenaran para Rasul-Nya. Hanya saja, karena akal belum mampu mengerjakan segala yang dituntut dari hamba, maka diutuslah para rasul dan diturunkanlah kitab-kitab.202 Berdasarkan pemikiran al-Qurthubi yang dikutip oleh Abdul Fattah Jalal tersebut memberikan pemahaman bahwa manusia diberikan potensi atau fitrah oleh Allah untuk memahami Allah dengan rasulnya akan tetapi karena fitrah tersebut belum mampu menjalankan perannya dengan baik atau masih memiliki keterbatasan maka untuk menyempurnakannya lalu Allah menurunkan ajaran agama lewat perantara rasul-Nya untuk menyempurnakan keterbatasan fitrah yang dimiliki manusia sehingga nantinya fitrah tersebut dapat digunakan sesuai dengan ketentuan aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah. Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa; Ternyata al-Qur‟an dan hadis Nabi juga menunjukkan bahwa akal dapat digunakan dalam aturan hidup bagi muslim, yaitu bila al-Qur‟an dan hadis tidak menjelaskan aturan itu dan aturan yang dibuat akal tidak boleh bertentangan dengan jiwa al-Qur‟an dan hadis. Karena pendidikan menduduki posisi penting dalam kehidupan manusia, maka wajarlah muslim meletakkan al-Qur‟an, hadis dan akal sebagai dasar bagi teori-teori pendidikannya. Itulah sebabnya pendidikan Islam memilih al-Qur‟an dan hadis sebagai dasarnya. Kata akal tidak perlu disebutkan secara formal karena telah diketahui secara umum bahwa alQur‟an dan hadis menyuruh menggunakan akal. Jadi mengapa muslim meletakkan al-Qur‟an dan hadis menjadi dasar pendidikannya, jawabanya adalah karena kedua sumber itu dijamin kebenarannya. Mengapa muslim tidak mengambil teori filsafat, seperti liberalisme, pragmatisme dan materialisme sebagai dasar pendidikannya, jawabannya adalah karena isme-isme itu buatan manusia dan karena itu, tidak dijamin kebenarannya. Mengapa tidak dijamin kebenarannya, karena ia buatan manusia, dan manusia tidak Maha Pintar, manusia sekedar pintar bukan Maha Pintar. Muslim tidak ingin untung-



202



Abdul Fattah Jalal, op. cit., h.. 49



92



untungan. Muslim menganggap tidak bijak hidup pada isme-isme buatan manusia. Akal itu lemah, tidak meyakinkan. 203 Berdasarkan pemikiran Ahmad Tafsir tersebut memberikan suatu pemahaman bahwa kenapa hanya pendidikan Islam yang mampu dijadikan sebagai sarana untuk membentuk dan mengembangkan fitrah manusia agar dapat difungsikan dengan baik dalam kehidupan sebab memang dasar pendidikan yang digunakan dalam pendidikan Islam yaitu al-Qur‟an dan hadis yang kebenaran dijamin secara mutlak, karena ia merupakan produk buatan yang Maha Pintar yaitu Allah swt sehingga jelas di dalamnya berisi aturanaturan jelas yang berasal dari Allah swt. Hal ini juga memberikan makna bahwa karena fitrah manusia itu adalah pemberian Allah maka penggunaannya juga harus mengikuti aturan Allah. Maka untuk bisa mewujudkan hal tersebut maka harus didik lewat proses pendidikan yang di dalamnya diajarkan aturan-aturan dari Allah yaitu tiada lain adalah pendidikan Islam. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang keterkaitan antara fitrah manusia dengan kegiatan pendidikan Islam dapatlah dipahami bahwa fitrah manusia mempunyai keterkaitan erat dengan kegiatan pendidikan Islam sebab kesempurnaan fitrah manusia yang diberikan oleh Allah itu baru dapat difungsikan dengan baik dalam kehidupan lewat proses pendidikan Islam dan hanyalah pendidikan Islam yang mengajarkan aturan–aturan penggunaan fitrah manusia yang diberikan Allah secara tepat guna dalam kehidupan sesuai dengan aturan-aturan yang telah tetapkan oleh Allah. F.



Rangkuman Fitrah secara umum dapat dimaknai dalam banyak makna yaitu; kesucian manusia, bakat dan pembawaan manusia sejak lahir, proses penciptaan langit dan bumi, proses penciptaan manusia, agama Allah, asSunnah, kemampuan Allah untuk menciptakan dan mengatur ciptaanya, ciptaan dan segala potensi yang dimiliki manusia sedangkan secara khusus tentang fitrah manusia dapat dimaknai sebagai segala potensi yang berikan oleh Allah kepada manusia dalam upaya tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat dimana potensi tersebut dapat berupa potensi yang berada pada diri manusia maupun potensi yang berada di luar di diri manusia. Bentuk-bentuk fitrah manusia sangat banyak namun di antaranya meliputi fitrah; beragama, jasadiah, akliyah, kebersihan dan kesucian, 203



Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h. 31



93



bermoral, kebenaran, kemerdekaan, keadilan, persamaan dan persatuan, kemajuan, ingin dihargai, kawin, cintah tanah air, individu, sosial, ekonomi, politik dan seni. Aspek psikologi fitrah manusia meliputi; fitrah merupakan potensi dasar perkembangan manusia yang dibawa sejak lahir, potensi fitrah berkembang secara menyeluruh dan saling mempengaruhi serta dipengaruhi, aspek-aspek fitrah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis dan responsif sedangkan komponen-komponen dasar fitrah meliputi; bakat, insting, nafsu dan dorongan-dorongannya, karakter, keturunan dan intuisi. Fitrah manusia mempunyai keterkaitan erat dengan kegiatan pendidikan Islam sebab kesempurnaan fitrah manusia yang diberikan oleh Allah kepada manusia, baru dapat difungsikan dengan baik dalam kehidupan setelah lewat proses kegiatan pendidikan Islam.



94



BAB IV KEDUDUKAN, OBJEK DAN HUBUNGAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM DENGAN ILMU LAIN A.



Latar Belakang Pemikiran Dalam al-Qur‟an ditegaskan bahwa Allah menciptakan manusia agar menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepada Allah. Aktivitas yang dimaksud tersimpul dalam ayat al-Qur‟an yang menegaskan bahwa manusia khalifah Allah. Dalam statusnya sebagai khalifah Allah, manusia hidup di alam mendapat tugas dari Allah untuk memakmurkan bumi sesuai dengan konsep yang ditetapkannya. Manusia sebagai khalifah Allah memikul beban yang sangat berat. Tugas ini tidak dapat diaktualisasikan jika manusia tidak dibekali dengan ilmu atau pengetahuan. 204 Salah satu ilmu yang tidak dapat dilepas-pisahkan dengan upaya terwujudnya tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi adalah ilmu pendidikan Islam. Ilmu pendidikan Islam memegang peranan yang sangat penting terkait upaya terwujudnya tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah sebab lewat ilmu pendidikan Islam manusia dapat mengetahui bentuk peran yang sebenarnya yang harus ia jalankan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Islam adalah nama agama yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw. Islam berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia. Ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al-Qur‟an dan hadis serta akal. Jika demikian maka ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan al-Qur‟an, hadist dan akal. Penggunaan dasar ini haruslah berurutan; al-Qur‟an lebih dahulu, bila tidak ada atau tidak jelas dalam alQur‟an maka harus dicari di dalam hadis. Bila tidak ada dalam hadis barulah digunakan akal (pemikiran), tetapi temuan akal itu tidak boleh bertentangan dengan jiwa al-Qur‟an dan hadis. Oleh karena itu, teori dalam pendidikan Islam haruslah dilengkapi dengan ayat-ayat al-Qur‟an atau hadis dan atau argumen akal yang menjamin teori tersebut. 205



204 205



Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Kalasik dan Pertengahan (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 9 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam (Cet. XI; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 12



95



Untuk itu jelas bahwa ilmu pendidikan yang bisa mengantarkan manusia mampu mewujudkan eksistensi sebagai khalifah Allah di muka bumi adalah ilmu pendidikan Islam sebab hanya ilmu pendidikan Islam yang mengembangkan teori-teori ilmu pendidikannya maupun kegiatan pendidikannya bersumber pada Islam atau ajaran Islam. Azyumardi Azra mengemukakan bahwa; Allah swt memberikan bekal potensi kepada manusia dan berbagai kemungkinan yang dialami manusia. Dengan bekal potensi itu mempunyai kebebasan jalan hidupnya, baik atau buruk. Dengan kebebasan memilih itulah manusia dapat dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Tuhan. Tetapi bagaimanapun, sifat kepengasihan Tuhan membuat-Nya menurunkan Islam sebagai alternatif bagi manusia untuk mengembangkan berbagai potensinya menuju kesejahteraan dunia dan akhirat. Islam merupakan suatu sumber pengetahuan dan petunjuk yang membimbing manusia di dalam kehidupannya, tanpa mengabaikan fitrah manusia. 206 Berdasarkan pemikiran Azyumardi Azra tersebut diperoleh pemahaman bahwa manusia telah dibekali oleh Allah berbagai potensi untuk menjalankan aktivitas dalam kehidupan tetapi keberadaan potensi tersebut belum mampu menjadikan manusia mampu menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi sesuai aturan yang Allah tetapkan. Untuk bisa meralisasikan tujuan keberadaan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi maka Allah menurunkan bekal ilmu atau pengetahuan Islam dimana dengan ilmu atau pengetahuan Islam itu manusia dibimbing secara benar akan tugas dan fungsi dalam kehidupan. Hal ini juga memberikan makna karena ilmu pendidikan Islam berdasarkan Islam maka ilmu pendidikan Islamlah yang bisa mengantarkan manusia mampu mewujudkan eksitensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dengan demikian berdasarkan uraian-uraian tersebut memberikan pemahaman ilmu pendidikan Islam memiliki posisi yang sangat urgen dalam upaya perwujudan manusia yang dalam kehidupan akan hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam sebab tanpa adanya kontribusi ilmu pendidikan Islam dan kegiatan pendidikannya mana mungkin manusia bisa memahami jati dirinya sebenarnya dalam kehidupan sesuai dengan Islam. Melihat begitu sentralnya ilmu pendidikan Islam bagi manusia dalam kehidupan dalam upaya perwujudan manusia yang hidup sesuai dengan aturan 206



Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Melenium III (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2012), h. 8



96



Islam maka dalam bab ini diulas topik kajian tentang kedudukan, objek dan hubungan ilmu pendidikan Islam dengan ilmu lain demi untuk mengetahui secara jelas posisi dan objek ilmu pendidikan Islam dalam konteks keilmuan manusia serta keterkaitan antara ilmu pendidikan Islam dengan ilmu-ilmu lain dalam hubungannya dengan peran manusia dalam kehidupan sesuai dengan tuntutan Islam. B.



Kedudukan Ilmu Pendidikan Islam Sebelum masuk pada pembahasan tentang kedudukan Ilmu pendidikan Islam maka alangkah baiknya terlebih dahulu diketahui makna keduduk dan makna ilmu pendidikan Islam. Kedudukan dapat diartikan dalam beberapa makna meliputi; tempat kediaman, tempat pegawai tinggal melakukan pekerjaan atau jabatan, letak atau tempat suatu benda, tingkatan atau martabat, keadaannya yang sebenarnya dan status.207Adapun mengenai pengertian ilmu pendidikan Islam secara jelasnya dapat di lihat lewat beberapa pendapat yang dikemukakan para ahli di bawah ini. Nur Uhbiyati mengemukakan bahwa Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu yang membicarakan persoalanpersoalan pokok pendidikan Islam dan kegiatan mendidik anak untuk ditujukan kearah terbentuknya kepribadian muslim. 208 Armai Arief mengemukakan bahwa; Ilmu pendidikan Islam merupakan prinsip, struktur, metodologi dan objek yang memiliki karakteristik epistemologi209 ilmu Islami. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat bertolak belakang dengan ilmu pendidikan non Islam. Pengembangan pendidikan Islam adalah upaya memperjuangkan sebuah sistem pendidikan alternatif yang lebih baik dan relatif dapat memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari.210



207 208 209



210



Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 245 Nur Uhbiyati, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 20013), h. 33 Epistemologi berasal dari bahasa Yunani “episteme” dan “logos”. Episteme berarti pengetahuan sedangkan logos berarti teori, uraian atau ulasan. Jadi Epistemologi berarti sebuah teori tentang pengetahuan. Harun Nasutian mengartikan Epistemologi dengan ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan bagaimana memperolehnya. Lihat Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Cet. I: Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 3-4 Ibid., h. 3



97



Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa; Ilmu pendidikan Islami adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Jika anda membuka buku ilmu bumi, anda akan menemukan teori-teori tentang bumi. Ilmu sejarah berisi teori-teori tentang sejarah, ilmu fisika berisi teori-teori tentang alam fisik. Maka isi ilmu pendidikan Islam adalah teori-teori tentang pendidikan berdasarkan Islam.211 Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa; Sebenarnya secara lengkap isi suatu ilmu bukan hanya teori. Isi lainnya adalah penjelasan tentang teori itu serta kadang-kadang ada juga yang mendukung tentang teori itu. Jadi lengkapnya isi ilmu adalah (1) teori, (2) penjelasan tentang teori itu, dan (3) data yang mendukung penjelasan itu kalau ada.212 M Sudiono mengemukakan bahwa; “Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu yang mempelajari cara-cara dan usaha untuk menuju berhasilnya pembentukan kepribadian muslim yang sempurna”. 213 Soleha dan Rada mengemukakan bahwa; Ilmu pendidikan Islam ialah ilmu yang mengkaji pandangan Islam tentang pendidikan dengan menafsirkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam dan mengomunikasikan secara tibal balik dengan fenomena sosial dalam situasi pendidikan kontemporer. 214 Abuddin Nata mengemukakan bahwa; Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu yang membahas berbagai teori, konsep dan desain tentang berbagai aspek atau komponen pendidikan; visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar dan sebagainya yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana terdapat di dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah.215 Berdasarkan pendapat para ahli tersebut tentang pengertian ilmu pendidikan dapatlah dipahami bahwa ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang kajian-kajian teori, konsep dan kegiatannya berdasarkan ajaran Islam.



211 212 213 214 215



Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h. 17 Ibid. M Sudiono, Ilmu Pendidikan Islam Jilid I (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 6 Soleha & Rada , Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2011), h. 7 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 20



98



Untuk itu dari penjelasan tersebut tentang pengertian kedudukan ilmu pendidikan Islam dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kedudukan ilmu pendidikan Islam adalah posisi atau status dari ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Nur Uhbiyati mengemukakan bahwa kedudukan ilmu pendidikan Islam itu sebagai berikut; 1. Ia termasuk dalam kategori ilmu (menurut kelompok ilmu oleh Ibnu Sina) sebagai ilmu yang bersifat praktis karena di samping membahas atau memaparkan pendapat yang berkembang juga mengusahakan agar pendapat tersebut dilaksanakan dalam praktek 2. Ia termasuk ke dalam klasifikasi ilmu ke masyarakat (menurut kelompok ilmu oleh Al-Farabi) karena ilmu ini berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat terutama berusaha untuk menuntun masyarakat (peserta didik) untuk menghayati nilai-nilai keislaman dan dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehingga menjadi insan kamil berkepribadian muslim 3. Ia termasuk dalam kelompok ilmu pengetahuan yang disampaikan (menurut kelompok ilmu oleh Ibnu Khaldum), karena ilmu pendidikan Islam ini misi yang paling utamanya adalah menyampaikan materi kepada peserta didik dan dengan menguasai sepenuhnya materi tersebut insya Allah ia akan dapat menjadi insan kamil 4. Ia termasuk sebagai ilmu pengetahuan yang dalam kadar terpuji (menurut kelompok ilmu oleh Al-Gazali), karena ilmu dapat mengantarkan orang untuk lebih menghayati akan arti dan pentingnya agama dalam kehidupan 5. Ia termasuk ilmu pengetahuan yang hukum mempelajarinya mubah (menurut kelompok ilmu oleh al-Gazali) karena ilmu ini termasuk ilmu yang sangat diperlukan bagi tegaknya lembaga pendidikan Islam yang menunjang tersebarnya agama Islam. 216 Berdasarkan pendapat Nur Ubiyati tersebut dapatlah dipahami bahwa kedudukan ilmu pendidikan Islam itu dapat dikategorikan dalam lima kelompok ilmu yaitu; ilmu yang bersifat praktis, ilmu kemasyarakatan, ilmu pengetahuan yang disampaikan, ilmu pengetahuan dalam kadar terpuji dan ilmu pengetahuan yang hukum mempelajarinya mubah. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut tentang kedudukan ilmu pendidikan Islam dapat dipahami bahwa kedudukan ilmu pendidikan 216



Nur Uhbiyati, op. cit., h. 34-39



99



Islam adalah posisi dari ilmu pendidikan dalam konteks kategori ilmu atau jenis ilmu dimana berdasarkan posisi tersebut maka ilmu pendidikan Islam masuk dalam lima kategori ilmu meliputi; ilmu yang bersifat praktis, ilmu kemasyarakatan, ilmu pengetahuan yang disampaikan, ilmu pengetahuan dalam kadar terpuji dan ilmu pengetahuan yang hukum mempelajarinya mubah. C.



Objek Ilmu Pendidikan Islam Objek berarti; hal, perkara atau orang yang menjadi pokok pembicaraan; benda, hal dan sebagainya yang dijadikan sasaran untuk diteliti atau diperhatikan dan sebagainya; dan hal atau benda yang menjadi usaha sambilan. 217 Untuk itu bila kata objek itu dihubungkan dengan istilah ilmu pendidikan Islam maka dimaksudkan adalah bagian-bagian yang menjadi sasaran kajian dan kegiatan ilmu pendidikan Islam. Nur Ubiyati mengemukakan bahwa; Ilmu pendidikan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas karena di dalamnya banyak segi-segi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik langsung atau tidak langsung. Objek ilmu pendidikan Islam ialah situasi pendidikan yang terdapat pada dunia pengamalan. 218 Untuk itu, berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa objek ilmu pendidikan Islam adalah keadaan atau bidang-bidang dari pendidikan Islam yang ada dalam proses kehidupan yang menjadi sasaran kajian dan kegiatan dari ilmu pendidikan Islam. Lebih lanjut Nur Uhbiyati mengemukakan bahwa di antara objek atau segi ilmu pendidikan Islam dalam situasi pendidikan meliputi; 1. Perbuatan mendidikan itu sendiri yaitu; seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap yang dilakukan pendidik sewaktu menghadapi/mengasuh anak didik 2. Anak didik yaitu pihak yang menjadi objek terpenting dari pendidikan karena mereka menjadi sasaran pelaksanaan kegiatan pendidikan Islam. 3. Dasar dan tujuan pendidikan Islam yaitu landasan yang menjadi fondamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan Islam. Dasar atau sumber pendidikan Islam adalah al-Qur‟an dan hadis sedangkan tujuannya yaitu arah kemana anak didik akan di bawah dalam kegiatan pendidikan Islam dalam hal ini secara tujuannya adalah ingin



217 218



Departemen P & K, op. cit., h. 698 Nur Uhbiyati, op. cit., h. 43



100



4. 5.



6. 7. 8. 9.



membentuk anak didik menjadi manusia (dewasa) muslim yang bertakwa kepada Allah atau secara sederhana berkepribadian muslim Pendidik yaitu subjek yang melaksanakan pendidikan Islam Materi pendidikan Islam yaitu bahan-bahan atau pengalamanpengalaman belajar ilmu agama Islam yang disusun sedemikian rupa (dengan susunan yang lazim dan logis) untuk disajikan kepada anak didik Metode pendidikan Islam ialah cara yang paling tepat yang dilakukan pendidikan untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan Islam Evaluasi pendidikan yaitu memuat cara-cara bagaimana melakukan evaluasi/penilaian terhadap hasil belajar anak didik Alat-alat pendidikan Islam yaitu alat-alat yang dapat digunakan selama melaksanakan pendidikan Islam Lingkungan sekitar pendidikan Islam dimana yang dimaksudkan ialah keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan hasil pendidikan Islam.219



Berdasarkan pendapat Nur Uhbiyati tersebut memberikan pemahaman bahwa objek ilmu pendidikan Islam itu meliputi; perbuatan mendidik, anak didik, sumber dan tujuan pendidikan Islam, materi pendidikan Islam, metode pendidikan Islam, evaluasi pendidikan Islam, alat-alat pendidikan Islam, lingkungan sekitar pendidikan Islam. Selanjutnya Nur Uhbiyati membagi objek pendidikan Islam itu dalam dua kategori yaitu; objek materil dan objek formil. Objek materil ilmu pendidikan Islam adalah anak yang masih dalam proses pertumbuhan dan dikembangkan ke arah yang diinginkan sedangkan objek formil ilmu pendidikan Islam yaitu perbuatan mendidik yang ditujukan kepada anak didik untuk membawah ke arah tujuan pendidikan Islam. 220 Berdasarkan pendapat Nur Uhbiyati tersebut memberikan pemahaman bahwa secara umum objek pendidikan Islam dapat dikategorikan kepada dua kelompok yaitu objek materi dan objek formil dimana objek materi adalah anak didik sedangkan objek formil adalah perbuatan mendidik yang ditujukan buat anak didik dalam proses pendidikan. Erat kaitannya dengan objek pendidikan Islam, Jalaluddin mengemukakan bahwa;



219 220



Ibid., h. 43-44 Ibid., h. 45



101



Pendidikan sebagai sistem terangkai dalam berbagai komponen pendukung yang antara satu dengan yang lainnya saling bergantung, saling berhubungan dan saling menentukan. Secara garis besarnya, komponen-komponen yang termuat dalam sistem pendidikan mencakup dasar, metode, bahan, alat, pendidik, peserta didik, evaluasi serta tujuan pendidikan. Sebuah sistem pendidikan akan terselenggara dengan baik apabila didukung oleh komponen-komponen dimaksud. Pertama, dasar pendidikan yang berorientasi pada pemikiran filosofis tentang pendidikan. Untuk mengantar pada tujuan pendidikan yang dicitacitakan, diperlukan pula bahan pendidikan yang terangkum dalam kurikulum. Di samping itu juga perlu adanya tenaga pendidikan yang memiliki kriteria tertentu, hingga mampu menyampaikan bahan dengan menggunakan metode yang efektif kepada peserta didik. Kemudian keberhasilan dari proses pendidikan itu sendiri hanya mungkin diketahui dari kegiatan tahap akhir, yaitu berdasarkan evaluasi. Evaluasi merupakan rangkaian kegiatan untuk mengetahui hasil akhir yang dicapai.221 Berdasarkan pemikiran Jalaluddin tersebut dihubungkan dengan objek pendidikan Islam memberikan pemahaman bahwa ilmu pendidikan Islam secara operasional harus ditopang berbagai keadaan dan komponen dimana satu dengan yang lainnya harus menopang baru upaya yang ingin dicapai dalam tujuan keberadaan ilmu pendidikan Islam itu dapat diwujudkan. Selain itu dari pemikiran Jaluddin tersebut juga dapat dirumuskan objek pendidikan Islam itu meliputi; tujuan pendidikan Islam, dasar pendidikan Islam, metode pendidikan Islam, Bahan (kurikulum) pendidikan Islam, alat pendidikan Islam, peserta didik, pendidik dan evaluasi. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa yang menjadi objek pendidikan Islam itu adalah hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan operasional ilmu pendidikan Islam yang meliputi; perbuatan mendidik, anak didik, sumber, tujuan, kurikulum atau materi, metode, evaluasi, alat-alat dan lingkungan pendidikan. D.



Hubungan Ilmu Pendidikan Islam dengan Ilmu Lain Nur Uhbiyati mengemukakan bahwa agar pendidikan Islam dapat berjalan dengan baik dan lancar maka ia harus dibantu oleh ilmu-ilmu yang lain sebab kenyataannya menunjukkan bahwa dalam situasi pendidikan sering ditemui fakta-fakta dari pendidik atau anak didik dengan ciri/sifat yang dapat



221



Jalaluddin, Teknologi Pendidikan (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 113



102



menentukan arah atau memberikan dalil bagi pelaksanaan pendidikan. 222 Lebih lanjut Nur Uhbiyati mengemukakan bahwa di antara ilmu-ilmu yang berkaitan dengan fakta atau pengamalan pendidik dan anak didik tersebut ialah; 1. Ilmu pengetahuan agama Islam yaitu; cabang-cabang ilmu agama pada umumnya sekalipun dalam bentuk elemen. Ilmu ini sangat diperlukan mengingat pendidikan Islam merupakan ilmu yang bergerak dalam situasi pendidikan menuntun anak didik untuk dapat memahami, meyakini dan mengamalkan ajaran agama secara baik dan benar sehingga atas tanggungjawabnya sendiri dapat hidup memenuhi ajaran Islam serta hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Mengingat hal tersebut maka cabang ilmu pengetahuan agama Islam sangat penting bagi arah, isi dan sasaran pendidikan Islam. 223 2. Ilmu jiwa.224 Termasuk dalam ilmu jiwa ini ialah; ilmu jiwa umum, jiwa watak dan ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa ini diperlukan terutama dimaksudkan agar dapat mengetahui kelakuan pendidik, sikap manusia untuk menerima agama dan lain-lain.225 3. Ilmu jiwa perkembangan ialah; 226 ilmu yang mempelajari perkembangan kejiwaan anak sejak lahir sampai dewasa bahkan sampai meninggal dunia. Ilmu ini diperlukan terutama untuk mengetahui sifatsifat anak pada masa perkembangan, tingkah laku dan masa peka mereka. Di samping itu juga kemungkinan kesulitan-kesulitan yang ditemui sewaktu pendidikan itu dilaksanakan. 227 4. Ilmu Jiwa sosial yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari segi-segi psikologis daripada tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh interaksi sosial. Ilmu ini diperlukan terutama untuk menghadapi dan 222 223 224



225 226



227



Nur Uhbiyati, op. cit., h. 45 Ibid. Psikologi yang dalam itilah lama disebut ilmu jiwa berasal dari kata bahasa Inggris psychology. Kata psychology merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani), yaitu ; 1) psyche yang berarti jiwa; 2) logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa. Pasikologi atau ilmu jiwa berarti ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan membahas tingkah laku terbukadan tertutup pada manusia, baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Lihat Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Cet. IX; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 7 & 10 Nur Uhbiyati, op. cit., h. 45 Syamsu Yunus LN mengemukakan bahwa Ilmu jiwa perkembangan atau psikologi perkembangan adalah merupakan salah satu bidang psikologi yang memfokuskan kajian atau pembahasanya mengenai tingkah laku perilaku dan proses perkembangan dari masa konsepsi (pra natal) sampai mati. Lihat Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Cet. VII; Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2006), h. 3 Nur Uhbiyati, op. cit., h. 46



103



5.



6.



7.



memecahkan kemungkinan adanya kesulitan-kesulitan dalam pergaulan anak didik Sosiologi yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan dalam masyarakat, mempelajari segala keadaan dan perhubungan manusia hidup bersama. Sejarah pendidikan Islam yakni ilmu yang membahas tentang sistemsistem pendidikan Islam yang telah dilaksanakan oleh ahli-ahli didik Islam masa lampau sampai sekarang. Ilmu ini mempunyai kaitan erat dengan ilmu pendidikan Islam karena ilmu ini menginformasikan sistem-sistem pendidikan Islam yang bermutu dan berhasil dilaksanakan serta pendidikan yang kurang berhasil. Pendidikan yang baik dapat menjadi acuan atau petunjuk untuk dilaksanakan sedangkan yang kurang berhasil supaya dijauhi.228 Filsafat Pendidikan Islam. Ilmu ini membahas aspek-aspek atau faktorfaktor pendidikan Islam secara filosofis dan sistematis. Ilmu ini juga membahas atau berusaha memecahkan problem-problem pendidikan Islam dan kemudian menyusunnya menjadi teori-teori pendidikan Islam yang baru. Karena itu ilmu ini mempunyai hubungan erat dengan ilmu pendidikan Islam sebab penyusunan teori-teori dalam ilmu pendidikan Islam mendapat bahan yang sangat banyak dari filsafat pendidikan Islam.229



Dengan demikian berdasarkan pendapat Nur Ubiyati tersebut memberikan pemahaman bahwa ilmu pendidikan Islam mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ilmu-ilmu lain sebab implementasi pelaksanaan ilmu pendidikan Islam dalam wujud pendidikan Islam tidak akan dapat berjalan dengan baik dan lancar tanpa adanya topangan-topangan ilmu lain dimana ilmu lain tersebut di antaranya meliputi; ilmu pengetahuan agama Islam, ilmu jiwa watak, ilmu jiwa umum, ilmu jiwa agama, ilmu jiwa perkembangan, ilmu jiwa sosial, sosiologi, sejarah pendidikan Islam dan filsafat pendidikan Islam E.



Rangkuman Kedudukan pendidikan Islam adalah posisi dari ilmu pendidikan Islam dalam konteks jenis ilmu dimana ilmu pendidikan Islam masuk dalam lima kategori ilmu meliputi; ilmu yang bersifat praktis, ilmu kemasyarakatan, ilmu



228 229



Ibid Ibid



104



pengetahuan yang disampaikan, ilmu pengetahuan dalam kadar terpuji dan ilmu pengetahuan yang hukum mempelajarinya mubah. Objek pendidikan Islam itu adalah hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan operasional ilmu pendidikan Islam dimana objek tersebut dapat berupa seperti; perbuatan mendidik, anak didik, sumber, tujuan, kurikulum atau materi, metode, evaluasi, alat-alat dan lingkungan pendidikan. Ilmu pendidikan Islam mempunyai hubungan yang erat dengan ilmuilmu lain sebab penerapan ilmu pendidikan Islam dalam wujud kegiatan pendidikan Islam tidak dapat berjalan dengan baik dan lancar tanpa adanya topangan dari ilmu lain dimana ilmu lain itu seperti; ilmu pengetahuan agama Islam, ilmu jiwa watak, ilmu jiwa umum, ilmu jiwa agama, ilmu jiwa perkembangan, ilmu jiwa sosial, sosiologi, sejarah pendidikan Islam dan filsafat pendidikan Islam



105



106



BAB V PESERTA DIDIK DAN PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM A.



Latar Belakang Pemikiran Peserta didik yang belajar pendidikan agama Islam atau pendidikan Islam diharapkan memiliki karakteristik tersendiri sebagai ciri dari pendidikan Islam yang dipelajari. Peserta didik yang belajar pendidikan Islam akan memiliki sosok yang unik dan luhur dalam penampilan, bicara, pergaulan, ibadah, tugas, hak, tanggung jawab, pola hidup, kepribadian, watak, semangat serta cita-cita. Efektivitas pendidikan Islam yang dilalui oleh peserta didik dari berbagai bidang, paling tidak akan mengantarkan peserta didik yang memiliki ahlakul karimah, dan dengan ahlakuk karimah ini diharapkan akan dapat terbentuk peserta didik menjadi anak saleh dalam kehidupannya, baik di sekolah, keluarga dan terlebih-lebih dalam lingkungan masyarakat. Dengan ahlakul karimah, seorang peserta didik akan menghayati segisegi kehidupannya melalui pendekatan agama. Artinya, seorang peserta didik akan menghadapi realitas sosialnya lebih agamis. Kebutuhan realitas sosial yang berdasarkan pada nilai-nilai agama tersebut mutlak diperlukan oleh peserta didik dalam proses tumbuh dan berkembang dalam masyarakatnya agar memiliki identitas dan jati diri. Tanpa nilai-nilai agama yang diperoleh dari pendidikan Islam, maka peserta didik cenderung akan mengalami depresi sosial dengan nilai-nilai luar yang bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianut atau yang diberikan selama ini baik di rumah maupun di sekolah. 230 Sosok ideal yang harus dimiliki oleh peserta didik setelah belajar pendidikan Islam adalah tumbuhnya pemahaman dan sikap dalam dirinya yaitu pemahaman dan sikap yang sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Nilai-nilai sosial yang mungkin tumbuh pada diri peserta didik yang belajar pendidikan Islam di antaranya adalah penampilan peserta didik yang sopan, pantas dan wajar. Penampilan itu tidak tumbuh begitu saja pada diri peserta didik, akan tetapi lahir dari adanya aktualisasi diri yang menunjukkan bahwa nilai-nilai agama yang diperoleh dari pendidikan Islam, memberikan bekas pada terbentuknya penampilan yang sopan, wajar dan pantas.231 230 231



Mukhtar. Desain Pembelajaran Prndidikan Agama Islam. (Cet. I; Jakarta: CV. Misaka Galiza, 2003), h. 69 Ibid.



107



Untuk itu jelas bahwa peserta didik merupakan salah satu komponen utama yang menjadikan berlangsung proses pendidikan Islam sebab mereka yang menjadi inti pembelajaran nilai-nilai Islam yang dilaksanakan oleh pendidik dalam pendidikan Islam dan keberadaan mereka juga yang menjadikan adanya tujuan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan. Tanpa peserta didik maka proses pendidikan Islam tidak akan pernah berlangsung walaupun komponen-komponen lain dari pendidikan Islam itu sudah ada. Di sisi yang lain salah satu komponen yang juga memiliki andil yang besar terhadap berlangsungnya proses pendidikan Islam adalah pendidik. Pendidik dalam pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap berkembangnya seluruh potensi peserta didik lewat proses pendidikan Islam yang diberikan kepadanya sehingga potensi-potensi yang dimiliki tersebut dapat difungsikan secara tepat guna dalam kehidupan baik dalam kehidupan secara pribadi maupun kehidupan secara sosial sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah 232 Selain itu perlu diketahui bahwa cakupan pendidik dalam pendidikan Islam cukup luas seperti orang tua pada lingkungan keluarga, guru pada lingkungan sekolah dan masyarakat pada lingkungan masyarakat dimana pada pundak merekalah tanggung jawab maju mundurnya pendidikan Islam. Pendidikan Islam tidak akan berjalan dengan baik dan efektif kalau hanya berlangsung pada satu lingkungan sebab ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi antara satu dengan yang lain dimana keberhasilan pelaksanaan pendidikan Islam bagi peserta didik bergantung pada kerjasama ketiganya. Hal ini cukup beralasan sebab misalnya nilai-nilai Islam yang diperoleh peserta didik pada lembaga pendidikan formal, itu tidak berakhir dengan diterimanya materi tersebut tetapi diperlukan implementasinya dalam kehidupan. Dalam implentasi tersebut perlu adanya pengawasan dan pembiasaan secara terus menerus yang harus dilakukan pendidik terhadap peserta didik agar materi tersebut benar-benar dijadikan sebagai kepribadian dalam diri peserta didik dan diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bisa mewujudkan hal tersebut maka otomatis tidak akan mungkin hanya dilakukan oleh pendidik yang berada di sekolah tetapi harus didukung oleh pendidik yang ada di lingkungan keluarga dan di masyarakat sebab terkadang karena pengaruh



232



Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2010), h. 83



108



lingkungan peserta didik menjadi lalai dalam menjalankan aturan-aturan Islam yang diajarkan kepadanya.233 Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapatlah dipahami ada dua komponen penting yang sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses pendidikan Islam yaitu peserta didik dan pendidik dimana bila salah satunya tidak ada maka proses pendidikan tidak akan berlangsung sebab peserta didik berperan sebagai objek penyampaian materimateri pendidikan Islam sementara pendidik berfungsi sebagai orang atau individu yang melaksanakan proses pembelajaran terhadap peserta didik. Melihat begitu pentingnya kedudukan pendidik dan peserta didik dalam berlangsungnya proses pendidikan Islam maka dalam bab ini akan diulas kajian topik kajian tentang peserta didik dan pendidik dalam pendidikan Islam demi untuk mendapatkan gambaran jelas tentang peserta didik dan pendidik dalam pendidikan Islam serta segala hal yang terkait dengannya. B. 1.



Peserta Didik dalam Pendidikan Islam Pengertian Peserta Didik dalam Pendidikan Islam Secara bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia peserta didik berarti; orang, anak didik, siswa atau anak sekolah yang sedang mengikuti proses pendidikan. 234 Berdasarkan pengertian secara bahasa tersebut dapatlah dipahami bahwa peserta didik adalah orang dan anak manusia yang sedang mengikuti proses kegiatan pendidikan dalam kehidupan sesuai dengan lingkungan atau tempat pendidikan yang diikutinya. Secara umum menurut istilah pengertian peserta didik dapat dilihat dari beberapa ahli berikut. Umar Tirtarahardja dan La Sulo tentang pengertian peserta didik mengemukakan sebagai berikut; Peserta didik berstatus subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutnya demikian. Oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri has dan otonom, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya. Ciri has peserta didik yang harus dipahami oleh pendidik ialah (a) individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas sehingga merupakan individu yang khas. (b) individu yang sedang 233 234



Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 125 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Rl, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 232



109



berkembang. (c) individu yang membutuhkan bimbingan individu dan pelakunya manusia. (d) individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.235 Berdasarkan pendapat Umar Tirtarahardja dan La Sulo tersebut dapatlah dipahami bahwa peserta didik adalah pribadi tanpa memandang usia yang perlu bimbingan dan perlakuan dalam kehidupan oleh pendidik agar ia mampu memecahkan berbagai masalah-masalah hidup yang dijumpai selama kehidupannya di dunia. Uyoh Sadullah dkk mengemukakan bahwa; Istilah peserta didik merupakan sebutan bagi semua orang yang mengikuti pendidikan dilihat dari tataran makro. Dengan istilah peserta didik subjeknya sangat beragam tidak terbatas kepada anak yang belum dewasa saja. Peserta didik adalah siapa saja yang mengikuti proses pendidikan mulai dari bayi sampai kepada kakek-kakek bisa menjadi peserta didik. 236 Berdasarkan pendapat Uyoh Sadullah dkk tersebut dapatlah dipahami bahwa peserta didik adalah setiap individu manusia dalam kehidupan yang sedang mengikuti proses pendidikan dimana individu yang dimaksud mulai dari manusia dalam konteks bayi hingga kepada orang yang sudah tua. Ramayulis mengutip pendapat Saleh Abdul Azis dan Abdul Azis Majid dalam buku mereka al-Tarbiyah wa al-Thawauq al-Tadris dikemukakan bahwa; Peserta didik adalah makhluk individu yang mempunyai kepribadian dengan ciri-ciri yang khas sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhannya. Perkembangan dan pertumbuhan peserta didik mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya. Sementara perkembangan dan pertumbuhan peserta didik dipengaruhi lingkungan dimana ia berada.237 Berdasarkan pendapat Saleh Abdul Azis dan Abdul Azis Majid yang dikutip oleh Ramayulis dapatlah dipahami peserta didik adalah individu manusia yang mempunyai kepribadian sesuai dengan kondisi perkembangan dan pertumbuhannya sehingga terbentuk sikap dan tingkah laku lantaran adanya pengaruh dari lingkungan ia berada. 235 236 237



Umar Tirtarahardja & S L La Sulo, Pengantar Pendidikan (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 52 Uyoh Sadullah, Agus Muharram, Babang Robandi, Pedagogik Ilmu Mendidik (Cet. II; Bandung: Alfabeta, 2011), h. 135 Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan, Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan (Cet. I; Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 159



110



Ramayulis terkait dengan pengertian peserta didik mengemukakan bahwa; “dalam kita membicarakan peserta didik, sesungguhnya kita membicarakan hakikat manusia yang memerlukan bimbingan”. 238 Pendapat ini memberikan pemahaman bahwa peserta didik adalah pribadi individu manusia yang mengikuti proses pendidikan dalam kehidupan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut tentang pengertian peserta didik secara umum baik secara bahasa maupun menurut pendapat para ahli dapatlah dipahami bahwa peserta didik adalah individu manusia dalam kehidupan tanpa memandang usia yang sedang mengikuti proses pendidikan yang dilakukan oleh pendidik demi untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan dan proses pendidikan itu berlangsung pada semua lingkungan kehidupan. Lalu bagaimana konsep peserta didik menurut pendidikan Islam. Untuk hal tersebut dapat di lihat dari beberapa pendapat pendapat ahli berikut ini. Bukhari Umar mengatakan bahwa; Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu (Undang-Undang Sisdiknas Pasal 1 ayat 4). Dalam pendidikan Islam yang menjadi peserta didik bukan hanya anak-anak, melainkan juga orang dewasa yang masih berkembang, baik fisik maupun psikis. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa pendidikan Islam berakhir setelah seseorang meninggal dunia. Buktinya orang yang hampir wafat masih dibimbing mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebutan untuk peserta didik beragam. Di lingkungan rumah tangga, peserta didik disebut anak. Di sekolah atau madrasah, ia disebut siswa. Pada tingkat perguruan tinggi, ia disebut mahasiswa. Dalam lingkungan pesantren disebut santri. Sedangkan dimajelas ta‟lim, ia di sebut jama‟ah. 239 Berdasarkan pendapat Bukhari Umar Tersebut dapatlah dipahami bahwa peserta didik adalah individu manusia yang sedang mengikuti proses pembelajaran demi untuk mengoptimalkan potensi yang ada pada diri agar dapat digunakan dalam kehidupan sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam ajaran Islam. Hasan Basri mengemukakan bahwa; Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, hakikat anak didik terdiri dari beberapa macam. 1) Anak didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya 238 239



Ibid. Bukhari Umar, op.cit., h. 103



111



menjadi anak didiknya di dalam keluarga. 2) anak didik adalah semua anak yang berada dibawah bimbingan pendidik di lembaga pendidikan formal maupun nonformal, seperti di sekolah, pondok pesantren, tempat pelatihan, sekolah keterampilan, tempat pengajian anak seperti TPA, majelis ta‟lim dan sejenisnya, bahwa peserta pengajian di masyarakat yang dilaksanakan seminggu sekali atau sebulan sekali semuanya orang-orang yang menimba ilmu yang dapat dipandang sebagai anak didik. 3) Anak didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran, dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.240 Berdasarkan pendapat Hasan Basri tersebut memberikan pemahaman bahwa peserta didik adalah pribadi manusia mulai dari kategori anak hingga orang dewasa yang sedang mengikuti proses pendidikan dari pendidiknya baik yang berlangsung pada lingkungan lembaga pendidikan informal yaitu keluarga, lembaga pendidikan formal yaitu sekolah atau lembaga pendidikan tertentu maupun lembaga pendidikan nonformal yaitu proses pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat. Abuddin Nata mengemukakan bahwa; Di lihat dari segi kedudukan, anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Dalam pandangan yang lebih moderen, anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan sebagaimana disebutkan di atas melainkan juga harus diperlakukan sebagai subjek pendidikan. Hal ini antara lain dilakukan dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan anak didik kita. Tiga istilah tersebut adalah murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya) talamidz yang berarti murid dan thalib alilm yang menuntut ilmu, pelajar atau mahasiswa. Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada seseorang yang tengah menempuh pendidikan.241 Berdasarkan pendapat Abuddin Nata tersebut dapatlah dipahami bahwa peserta didik adalah individu manusia yang memerlukan proses bimbingan 240 241



Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 88 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 79



112



dan pengajaran agar potensi fitrah yang sedang dalam proses perkembangan dan pertumbuhan dapat berfungsi maksimal dalam menjalani kehidupan. Selain itu dari pemikiran tersebut juga dikemukakan suatu asumsi bahwa karena fitrah manusia dalam pendidikan Islam harus dikembangkan dalam kehidupan sesuai dengan tuntunan nilai-nilai ajaran Islam maka peserta didik dalam pendidikan Islam dapat dipahami sebagai individu manusia yang sedang mengikuti proses pendidikan dalam kehidupan agar seluruh potensi yang dimiliki dapat difungsikan dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Achmadi mengemukakan bahwa; Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma-norma Islam”.242 Berdasarkan pendapat Achmadi tersebut dapatlah dipahami bahwa karena pendidikan Islam adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri manusia agar nantinya potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut digunakan dan dimanfaatkan dalam kehidupan sesuai dengan aturan-aturan dalam Islam sedangkan peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu manusia yang sedang dikembangkan potensinya dalam proses pendidikan Islam maka hal ini bermakna bahwa peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu manusia yang sedang mengikuti proses pendidikan Islam dengan tujuan agar seluruh potensi fitrah yang ada pada diri manusia itu dapat digunakan dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam atau aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah dalam agama Islam bagi manusia. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang pengertian peserta didik dalam pendidikan Islam dapat dipahami bahwa peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu manusia yang tanpa memandang umur sedang mengikuti proses pendidikan nilai-nilai ajaran Islam agar seluruh potensi yang dimilikinya dapat dipergunakan dalam kehidupan sesuai dengan tuntunan nilai-nilai ajaran Islam.



242



Achmadi, Idiologi Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 29.



113



2.



Kebutuhan Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam Al-Qussy yang dikutip Bukhari Umar membagi kebutuhan manusia dalam dua kebutuhan pokok sebagai berikut; a. Kebutuhan primer yaitu kebutuhan seperti makan, minum, seks dan sebagainya b. Kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan rokhaniyah. Selanjutnya al-Qussy membagi kebutuhan rokhaniyah kepada enam macam yaitu; a. Kebutuhan akan rasa kasih sayang b. Kebutuhan akan rasa aman c. Kebutuhan akan rasa harga diri d. Kebutuhan akan rasa bebas e. Kebutuhan akan rasa sukses f. Kebutuhan akan suatu pembimbing atau pengendalian diri manusia seperti, pengetahuan lain yang ada, seperti pengetahuan lain yang ada pada setiap manusia yang berakal. 243 Law Head membagi kebutuhan manusia sebagai berikut; a. Kebutuhan jasmani, seperti makan, minum, bernafas, perlindungan, seksual, kesehatan dan lain-lain b. Kebutuhan rokhani, seperti kasih sayang, rasa aman, penghargaan, belajar, menghubungkan diri dengan dunia yang lebih luas (mengembangkan diri), mengaktualisasikan diri sendiri dan lainlain c. Kebutuhan yang menyangkut jasmani dan rokhani seperti istirahat, rekreasi, butuh supaya setiap potensi fisik dapat dikembangkan semaksimal mungkin, butuh agar setiap usaha/pekerjaan sukses dan lain-lain d. Kebutuhan sosial, seperti dapat diterima oleh teman-temannya secara wajar, supaya dapat diterima oleh orang yang lebih tinggi darinya seperti orang tua, guru-guru dan para pemimpinnya seperti kebutuhan untuk memperoleh prestasi dan posisi e. Kebutuhan yang lebih tinggi sifatnya (biasanya dirasakan lebih akhir) merupakan tuntutan rukhani yang mendalam, yaitu kebutuhan untuk meningkatkan diri yaitu kebutuhan terhadap agama.244 243 244



Bukhari Umar, op. cit., h. 104 Ibid., h. 105



114



Semua kebutuhan manusia yang dikemukakan dalam dua pendapat tersebut baik jasmani maupun rokhani juga menjadi kebutuhan yang dibutuhkan peserta didik dalam kehidupan hanya kalau pada pendapat di atas kebutuhan akan agama dijadikan kebutuhan terakhir maka dalam proses pendidikan Islam kebutuhan agama merupakan kebutuhan utama sekaligus menjadi filterisasi bagi semua kebutuhan-kebutuhan lain bagi peserta didik dalam kehidupan dimana peserta didik yang berkualitas dalam pendidikan Islam adalah peserta didik yang mampu mengaktualkan seluruh aktivitas dalam kehidupan sikap dan tata lakunya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam sehingga agama Islam menjadi materi utama dan sekaligus barometer terhadap materi-materi pendidikan lain yang diterima peserta didik. 3.



Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam Agar peserta didik memperoleh ilmu yang bermanfaat diperlukan adab atau tata krama untuk mengikuti pendidikan Islam. Menurut Imam al-Gazali yang dikutip Nur Uhbiyati dikemukakan bahwa adab seorang peserta didik mengikuti pelajaran itu ada beberapa macam yaitu; a. Hendaknya seorang pelajar mengemukakan cita-cita yang suci, dipenuhi oleh semangat yang suci, terhindar dari sifat yang tidak senonoh dan mempunyai budi pekerti yang baik b. Sedikitkan perhubungan dengan urusan lain. Hendaknya pula meninggalkan tanah air tumpah darahnya dan keluarga dalam menuntut ilmu agar tidak bimbang pikiran antara belajar dan keadaan keluarga c. Jangan menyombongkan diri karena ilmu yang dipelajari dan tidak berburuk sangka pada guru yang mengajar serta mendengarkan nasihat guru d. Tetap dan tenang belajar menghadapi seorang guru, janganlah ia bimbang lalu belajar pada beberapa orang guru karena hal itu bisa memusingkan otaknya e. Jangalah ia meninggalkan suatu mata pelajaran yang hendak dipelajari, sebelum dimilikinya pelajaran itu f. Janganlah hendaknya mempelajari sekalian ilmu-ilmu pengetahuan karena umur manusia tidak akan cukup untuk mempelajari sekalian ilmu itu sebab itu ambillah mana yang lebih penting dahulu. Orang yang hemat, cermat ialah yang mengambil tiap-tiap sesuatu yang lebih utama saja



115



g.



h.



i.



Jangan mengambil tambahan pelajaran sebelum mengerti pelajaran yang lama karena sesuatu ilmu itu teratur baik dan dapat membantu pelajaran lanjutan. Orang yang hemat ialah yang dapat menjaga aturan susunan ilmu pengetahuan itu. Hendaknya tujuan pendidikan itu dihadapkan untuk mendekatkan diri kepada Allah yaitu dengan jalan berbakti kepadanya dan bukan untuk hal-hal bersifat keduniaan semata seperti akan menjadi kepala bagian, berpangkat tinggi maupun dipuji orang, ataupun bermegah-megahan dengan kawan-kawan Hendaknya pelajar mengetahui perbandingan faedah tiap-tiap mata pelajaran dengan ilmu-ilmu yang lain supaya dapat olehnya pengetahuan apa yang lebih patut diutamakannya dari pada yang lain. Kepentingan pelajaran itu adalah untuk keselamatan di dunia dan di akhirat serta menuju kesenangan yang kekal abadi. 245



Bukhari Umar tentang kode etik peserta didik dalam pendidikan Islam mengutip pendapat al-Gazali meliputi; a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah swt sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik selalu menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela b. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi c. Bersikap tawadhu (rendah diri) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya d. Menjaga pikiran dari pertentangan yang timbul dari berbagai aliran e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik untuk ukhhrawi maupun duniawi f. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (kongkrit) menuju pelajaran yang susah (abstrak) atau dari ilmu yang fardhu ain menuju ilmu yang fardhu kifayah g. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya sehingga peserta didik memiliki spesifikasi pengetahuan secara mendalam h. Mengenal nilai-nilai ilmiah atau ilmu pengetahuan yang dipelajari i. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi 245



Nur Uhbiyati, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2013), h. 109



116



j.



k.



Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu yang dapat bermanfaat, membahagiakan dan menyejahterakan serta memberi keselamatan hidup di dunia Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokter, mengikuti prosedur dan metode mazhab lain yang diajarkan oleh pendidik pada umumnya serta diperkenankan kepada peserta didik mengikuti kesenian yang baik.246



Berdasarkan pemikiran al-Gazali baik yang dikutip Nur Ubiyanti maupun Bukhari Umar tersebut dapat dipahami bahwa kode etik peserta didik dalam proses pendidikan Islam meliputi; belajar dengan niat ibadah kepada Allah, mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi, bersikap tawadhu, menjaga pikiran, mempelajari ilmu-ilmu yang sifatnya terpuji, belajar dengan bertahap atau berjenjang, belajar ilmu sampai tuntas baru beralih pada ilmu yang lainnya, mengenal nilai-nilai ilmiah pengetahuan yang dipelajari, memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi, mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik dan proses pendidikan yang diterapkan pendidik serta diperbolehkan peserta didik mengikuti kesenian yang baik. Nur Uhbiyati mengutip M Athiyah al-Abrasyi yang mengemukakan bahwa siswa dalam proses pendidikan harus memperhatikan ketentuanketentuan sebagai berikut; a. Sebelum mulai belajar, siswa itu harus membersihkan diri terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat yang buruk karena belajar itu dianggap sebagai ibadah. Ibadat tidak sah kecuali dengan hati yang suci, berhias dengan moral yang baik seperti berkata benar, ikhlas, takwa, rendah hati, zuhud, menerima apa yang ditentukan Tuhan, serta menjauhi sifat-sifat yang buruk seperti dengki, iri, benci, sombong, menipu, tinggi hati dan angkuh b. Dengan belajar itu ia bermasuk hendak mengisi jiwanya dengan fadhilah, mendekatkan diri kepada Allah, bukanlah dengan maksud menonjolkan diri, berbangga-bangga dan gagah-gagahan c. Bersedia mencari ilmu, termasuk meninggalkan keluarga dan tanah air, dengan tidak ragu-ragu bepergian ke tempat-tempat yang paling jauh sekalipun bila dihendaki demi untuk mendatangi guru 246



Bukhari Umar, op. cit., h. 106



117



d.



e. f.



g.



h.



i.



j.



k.



l.



Hendaknya menghormati guru dan memuliakannya serta mengagungkannya karena Allah dan berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang baik Jangan terlalu sering menukar guru tetapi haruslah ia berpikir panjang dulu sebelum bertindak mengganti guru Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan, janganlah meletihkan dia untuk menjawab, jangan berjalan dihadapanya, jangan duduk di tempat duduknya, dan jangan mulai bicara setelah mendapat izin guru Jangan membuka rahasia kepada guru, jangan pula seorangpun menipu guru, jangan pula meminta kepada guru membukakan rahasia, diterima pernyataan maaf dari guru bila selip lidahnya Bersungguh-sungguh dan tekun belajar, bertanggung jawab siang malam untuk memperoleh pengetahuan, dengan lebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting Jika saling mencintai dan persaudaraan haruslah menyinari pergaulan antara siswa sehingga merupakan anak-anak yang sebapak Siswa harus terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya, mengurangi percakapan di hadapan guru, jangan mengatakan kepada guru si Anu bilang begini lain dari yang bapak katakan dan jangan pula ditanya kepada guru siapa teman duduknya Hendaknya siswa tekun belajar, mengulangi pelajaran di waktu senja dan menjelang subuh. Waktu antara isya dan makan sahur itu adalah waktu yang penuh berkah Bertekad untuk belajar hingga akhir umur, jangan meresahkan suatu cabang ilmu, tetapi hendaknya menganggap bahwa setiap ilmu ada faedahnya, jangan meniru-niru apa yang didengar dari orang yang terdahulu yang mengkritik dan merendahkan sebagian ilmu seperti ilmu mantik dan filsafat.247



Berdasarkan pendapat M Arhiyah al-Abrasyi tersebut memberikan pemahaman bahwa inti dari seorang peserta didik dalam pendidikan Islam agar berhasil dalam proses pendidikan adalah karena hal-hal meliputi; menyucikan diri sebelum kegiatan belajar, menjadikan belajar sebagai ibadah, rela berkorban demi untuk mencari ilmu, menghormati dan memuliakan guru dalam semua proses pendidikan, menutup rahasia diri, bersungguh-sungguh 247



Nur Uhbiyati, op. cit., h. 109



118



dalam belajar, menjadikan teman belajar seperti saudara kandung, selalu lebih dahulu memberi salam kepada guru, jangan bercakap dihadap guru, jangan duduk ditempat duduk guru, jangan berjalan di hadapan guru, jangan berbicara sebelum diizinkan guru, waktu mengulang pelajaran di waktu senja dan menjelang subuh, belajar hingga akhir umur dan jangan merendahkan ilmu yang lain. Syech Az-Zarnuji dalam kitab Ta‟limu Mata Allim yang dikutip Nur Uhbiyati menerangkan beberapa sifat dan tugas penuntun ilmu; a. Tawadhu, sifat sederhana, tidak sombong tidak pula rendah hati b. Effah, sifat yang menunjukkan rasa harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan/tingkah laku yang tidak patut c. Tabah (tsabat), tahan dalam menghadapi kesulitan pelajaran dari guru d. Sabar, tahan terhadap godaan nafsu, rendah, keinginan, keinginan akan kelezatan, dan terhadap godaan-godaan yang berat e. Cinta ilmu dan hormat kepada guru dan keluarganya, dengan demikian ilmu akan bermanfaat f. Sayang kepada kitab, menyimpannya dengan baik, tidak membubuhi catatan supaya tidak kotor atau menggosok tulisan sehingga menjadi kabur g. Sungguh-sungguh belajar dan memanfaatkan waktu sebaikbaiknya (bangun di tengah malam), tetapi tidak memaksakan diri sampai lemah h. Ajeg dan ulet dalam menuntut ilmu dan mengulang pelajaran i. Wara‟ ialah sifat menahan diri dari perbuatan tingkah laku yang terlarang j. Punya cita-cita yang tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan, orang dengan cita-cita seperti burung dengan sayapnya k. Tawakkal, maksudnya menyerahkan kepada Tuhan segala perkara. Bertwakal adalah akhir dari proses kegiatan dan ikhtiar seorang mukmin dalam mengatasi urusanya.248 Berdasarkan pendapat Az-Zarnuji yang dikutip Nur Uhbiyati tersebut memberikan pemahaman bahwa kode etik yang harus diikuti peserta didik agar berhasil dalam proses pendidikan Islam meliputi; tawdhu, memiliki harga diri yang baik, tabah, sabar, cinta ilmu, hormat kepada guru, sayang kepada kitab, sungguh-sungguh dalam belajar dan memanfaatkan waktu dengan 248



Ibid., h. 110



119



sebaik-baiknya, bermantel baja dan ulet, mengulang pelajaran, menjaga diri dari perilaku tidak baik, mempunyai cita-cita tinggi, dan bertawakal. Dengan demikian merujuk pada uraian-urian sebelumnya tentang kode etik peserta didik dalam pendidik Islam dapatlah dipahami bahwa kode etik peserta didik yang harus diikuti peserta didik agar berhasil dalam proses pendidikan Islam meliputi; menyucikan diri sebelum kegiatan belajar, belajar dengan niat ibadah, mengurangi kecenderungan pada duniawi, rela berkorban demi untuk mencari ilmu, menghormati dan memuliakan guru, tunduk pada nasihat pendidik, selalu duluan memberi salam kepada guru, jangan bercakap dihadap guru, jangan duduk ditempat duduk guru, jangan berjalan di hadapan guru, jangan berbicara sebelum diizinkan guru, menutup rahasia diri, bersungguh-sungguh dalam belajar, cinta ilmu, sayang kepada kitab atau catatan materi pelajaran, bersikap rendah diri, menjaga pikiran, menjadikan teman seperti saudara kandung, mempelajari ilmu-ilmu yang sifatnya terpuji, belajar dengan bertahap atau berjenjang, belajar ilmu sampai tuntas, mengenal nilai-nilai ilmiah pengetahuan, memprioritaskan ilmu diniyah sebelum ilmu duniawi, mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, bercitacita tinggi, memanfaatkan waktu belajar dengan sebaik-baiknya, rajin mengulang pelajaran, waktu mengulang pelajaran di waktu senja dan menjelang subuh, belajar hingga akhir umur, jangan merendahkan ilmu lain, diperbolehkan belajar kesenian yang baik dan bertawakal. 4.



Pengaruh Lingkungan Terhadap Peserta Didik Perkembangan kepribadian seorang anak bukanlah merupakan suatu hal yang terjadi dengan sendirinya. Sebagaimana halnya dengan tanaman maka anak agar bisa berkembang dengan baik diperlukan pembinaan dan pemeliharaan. Pembinaan dan pemeliharaan anak bukanlah pekerjaan yang mudah tetapi memerlukan kerja keras dari kedua orang tuanya sehingga bisa tumbuh dari kecil menuju kedewasaan dengan baik. Untuk bisa mewujudkan tercapainya pertumbuhan anak dari kecil menuju kedewasaan dengan baik maka orang tua harus mampu menyediakan segala sesuatu yang terkait dengan pertumbuhan seorang anak baik yang sifatnya terkait dengan jasmani anak maupun yang terkait rohani anak. 249 Setiap anak yang terlahir ke dunia tidak terlahir atas kemauannya sendiri. Proses kelahiran seorang anak ke dunia merupakan hasil benih buah cinta yang terjadi lantaran adanya perkawinan oleh kedua orang tuanya. 249



Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan (Cet. I; Surabaya: Karya Abditama, 1994), h. 25



120



Kelahiran seorang anak merupakan dambaan dari setiap orang tua agar nantinya anak tersebut akan menjadi pewaris garis keturunan kedua orang tuanya. Untuk itu, agar anak yang dilahirkan tersebut dapat memenuhi harapan dari kedua orang tuanya maka sudah sewajarnya kedua orang tua harus mengurus dan membimbing anak tersebut dengan sebaik-baiknya. Kemampuan orang tua berkomunikasi dengan anak pada saat semenjak anak hingga perkembangan selanjutnya sudah barang tentu akan memudahkan orang tua untuk proses pembimbingan dan perawatan terhadap anak sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang menuju kedewasaan dengan baik. Anak dalam sudut pandang Islam adalah karunia sekaligus amanah Allah yang diberikan kepada orang tua. Sebagai karunia kelahiran anak harus diyakini sebagai nikmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia. Sebagai amanah, orang tua mempunyai tanggung jawab memelihara amanah itu. Bukti syukur dan tanggung jawab orang tua terhadap anak itu diwujudkan dalam perlakukan baik, kasih sayang, pemeliharaan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, kebutuhan batiniah dan spiritual. Singkatnya kelahiran anak sebagai karunia dan amanah meniscayakan perlunya pendidikan. Perlunya pendidikan melahirkan lembaga-lembaga yang berfungsi melaksanakan pendidikan, baik secara informal (keluarga), nonformal (masyarakat) maupun formal (sekolah).250 Keberadaan tiga lembaga pendidikan tersebut dalam konteks pelaksanaan pendidikan Islam tiada lain adalah dalam upaya kegiatan berantai untuk membantu atau menuntun seorang anak atau beberapa orang anak agar dapat mengenyam pengetahuan agama sehingga nantinya seorang anak dapat tumbuh dan berkembang dengan kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Lebih khusus lagi dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga pendidikan Islam dalam upaya membentuk seorang anak atau beberapa orang anak agar memiliki kepribadian yang membuat mereka mampu menyadari dan menjalankan kewajibannya dalam menyembah kepada Allah swt.251 Allah berfirman dalam QS. An-Nahl (16): 78, yaitu;



                 250 251



Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. I; jakarta: logos, 2001), h. 27 Acmadi, op. cit., h. 47



121



Terjemahnya; Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.252 Berdasarkan firman Allah swt, tersebut dapatlah dipahami bahwa setiap anak yang dilahirkan oleh ibunya tidak memiliki pengetahuan apa-apa, nanti untuk mendapatkan pengetahuan maka setiap anak manusia yang lahir itu dilengkapi dengan alat panca indra, seperti mulut, telinga, mata, hati dan lainlain. Kondisi itu, memberikan gambaran bahwa sebenarnya faktor dari luar diri anak yang lahir tersebut yang membuat seorang anak berpengetahuan sehingga karenanya keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam upaya mendidik anak agar seorang anak dapat tumbuh dengan kepribadian yang Islami sangat urgen. Karena anak yang lahir masih polos seperti kertas yang putih sehingga tergantung warna apa saja yang menyentuh maka kertaspun berubah warnanya seperti warna yang menyentuhnya tersebut. Uraian tersebut memberikan pemahaman bahwa proses pembinaan kepribadian anak dalam sudut pandangan pendidikan Islam harus dilakukan semenjak anak dilahirkan sebab anak saat dilahirkan masih seperti kertas yang masih putih dan tergantung apa yang mempengaruhinya sejak kelahirannya untuk itu agar anak bisa tumbuh dengan kepribadian yang Islami maka ia sudah harus dibina dengan nilai-nilai Islam semenjak kelahirannya serta upaya pembinaan kepribadian anak dalam pendidikan Islam berlangsung pada tiga lingkungan pendidikan meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sebab di tengah kemajuan ilmu pengetahuan sekarang kalau tanggung jawab pengontrolan perilaku anak hanya dilakukan oleh orang tua saja maka dapat dipastikan begitu di tengah masyarakat karena tidak ada yang mengontrolnya, ia bisa terpengaruh oleh pergaulan sehingga melakukan perilaku-perilaku yang menyimpang. Bukhari Umar mengatakan bahwa; Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia (peserta didik). Ia dapat berupa manusia dan dapat pula bukan berupa manusia seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, sungai, laut udara dan sebagainya. Bahkan, selain itu, ada pula sesuatu yang berada di luar diri manusia yang tidak tampak oleh manusia (ghaib), tetapi keberadaannya pasti. Hal ini dapat diketahui melalui informasi kitab suci al-Qur‟an. Golongan ini meliputi jin dan malaikat. Diantara 252



Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2002), h. 375



122



lingkungan tersebut ada yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan peserta didik, yaitu lingkungan keluarga (orang tua), teman dan setan. Ketiga lingkungan ini sering mewarnai kehidupan peserta didik. 253 Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut diperoleh pemahaman bahwa ada satu hal dari lingkungan yang bisa mempengaruhi kepribadian peserta didik yaitu setan. Hal ini memberikan pemahaman bahwa selain lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang bisa mempengaruhi kepribadian peserta didik ternyata syetan bisa merusak kepribadian peserta didik dalam kehidupannya. Syetan telah banyak menghancurkan kehidupan manusia, mulai dari manusia pertama sampai sekarang bahkan sampai manusia di akhir zaman. Agar peserta didik terpelihara dari gangguan syetan, maka peserta didik harus dibimbing untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah swt dan selalu memohan pertolongan Allah serta perlindungannya. 254 Selain hal-hal tersebut yang bisa mempengaruhi anak didik ada pula lingkungan bukan manusia yang juga mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan peserta didik yaitu media yang berwujud berbagai bentuk, seperti televisi, video, komputer, internet dan handphone. Mediamedia ini telah membuat wawasan anak-anak dan remaja berkembang lebih cepat dari masa sebelumnya.255 Memang perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat moderen dengan ciri-ciri yang bersifat rasional, berorientasi ke masa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif.256Sedangkan masyarakat informasi ditinjau oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah. Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Penggunaan teknologi elektronika seperti komputer, faksimile, internet, dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang bersifat lokal dan nasional kepada lingkungan internasional, mendunia dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi satelit dan komputer, orang tidak hanya 253 254 255 256



Bukhari Umar, op. cit., h. 107 Ibid., h. 111 Ibid., h. 112 Deliar Noer, Pembangunan Di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1987), h. 24



123



memasuki informasi, lewat komunikasi satelit dan komputer, orang tidak hanya memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan menemukannya secara lisan tulisan bahkan fisual. 257 Melalui berbagai peralatan moderen tersebut berbagai peristiwa atau kejadian yang terjadi di belahan dunia yang lain dapat dengan mudah di ketahui dan diakses. Munculnya situasi tersebut lantaran pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi selain memberikan dampak positif bagi manusia berupa mempermudah manusia mendapatkan informasi dan melaksanakan aktivitasnya dalam hidup, juga ternyata hal itu membawa dampak negatif, yaitu manakala informasi yang di muat dalam berbagai peralatan komunikasi adalah informasi yang merusak moral. Pola budaya hubungan yang serba bebas, model pakaian yang tidak mengindahkan batas-batas aurat, tingkah laku kekerasan, gambar-gambar porno dan sebagainya yang mudah didapati dan sulit dikontrol. Hal itu semakin membuka peluang terciptanya moral yang buruk.258 Realita yang terjadi sekarang berupa jauhnya kehidupan anak-anak dari nilai-nilai agama merupakan salah satu dampak nyata dan ekses global dan informasi yang sedemikian deras tanpa adanya filter yang dapat menjadi perekat identitas yang cukup kuat. Pada sisi lain kondisi kehidupan seperti tersebut juga telah mampu merambah kalangan lingkungan pendidikan Islam sehingga banyak para peserta didik yang berakhlak menyimpang dari ajaran agama, seperti kurang santun di sekolah, rumah, dan masyarakat, bahkan mereka sering terlibat dalam berbagai tindakan kekerasan masal dan berperilaku yang cenderung menyimpang dari ajaran agama. Hampir tiap saat dapat disaksikan dalam realitas sosial banyak perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para siswa, seperti menurunnya akhlak dan tata krama sosial dalam kehidupan sekolah maupun masyarakat yang pada dasarnya tidak sesuai dengan agama dan budaya sosial. 259 Di sisi yang lain dengan kemajuan bidang elektronik menjadikan anakanak dan remaja sangat tertarik kepada berbagai permainan (games) dan hiburan (entertaimment) yang disajikan oleh berbagai media. Bahkan peserta didik tidak segan-segan menghabiskan sebagian besar waktu efektifnya untuk pergi ke mall, warnet dan playstation untuk menikmati permainan kesukaan mereka. Hal ini menyebabkan cost (biaya ekonomi) biaya keluarga dan 257 258 259



Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam (Cet. I; Bogor Kencana: 2005), h. 77 Ibid, h. 201 Mukhtar, op. cit., h.3



124



berkurangnya waktu belajar peserta didik. Akhirnya mau atau tidak mau akan terjadi penurunan kualitas akademik peserta didik. Ini semua menjadi permasalahan yang serius.260 Olehnya itu pelaksanaan pendidik Islam dalam upaya pembentukan kepribadian peserta didik sesuai dengan nilai-nilai Islam tidak dapat dipandang ringan. Dengan terbinanya kepribadian peserta didik berarti telah memberikan sumbangan yang besar bagi penyiapan masa depan bangsa yang lebih baik, sebaliknya bila membiarkan para pelajar terjerumus ke dalam perbuatan yang tersesat, berarti telah membiarkan bangsa dan negara terjerumus ke jurang kehancuran. Dengan terbinanya kepribadian peserta didik dengan nilai-nilai Islam maka keadaan lingkungan sosial juga semakin baik, aman, tertib, dan tentram, yang memungkinkan masyarakat akan merasa nyaman. Berbagai gangguan lingkungan yang diakibatkan ulah sebagian para pelajar dengan sendirinya akan lenyap.261 Menyadari hal demikian maka kegiatan pendidikan Islam dalam upaya pembentukan kepribadian yang Islam haruslah mampu dilakukan dan diwujudkan lewat pembinaan peserta didik sesuai dengan usianya dan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur‟an maupun Hadis, dimana petunjuk-petunjuk tersebut perlu direnungkan dan diamalkan baik di lingkungan rumah, sekolah maupun masyarakat. Petunjuk tersebut misalnya dengan memberikan contoh dan teladan bertutur kata dan perbuatan yang baik. Membiasakan membaca al-Qur‟an, tekun mengerjakan shalat lima waktu, berpakaian yang sopan, makan dan minum yang halal dan baik, bergaul dengan sesama orang yang baik serta menjauhi perbuatan yang buruk, menolong orang yang berada dalam kesusahan dan lain sebagainya. Petunjuk tersebut kiranya dapat dipegang teguh dan dilaksanakan secara konsekuen, dengan cara demikian kepribadian peserta didik akan terbina dengan baik.262 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut tentang pengaruh lingkungan terhadap peserta didik dapatlah dipahami bahwa lingkungan kalau dikelola sesuai dengan nilai-nilai Islam akan mampu membuat peserta didik hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam tetapi jika lingkungan tidak dikelola dengan baik sesuai nilai-nilai Islam maka akan bisa memperburuk kepribadian peserta didik sehingga keberadaan pendidikan Islam bagi peserta didik dalam Islam harus terus digalakkan dan dilakukan dalam semua lingkungan kehidupan sebab bila peserta didik terbina dengan baik sesuai dengan nilai260 261 262



Bukhari Umar, op. cit., h. 112 Abuddin Nata, op. cit, h. 217 Ibid, h. 218



125



nilai Islam dalam semua lingkungan kehidupan maka dijamin penyiapan masa depan suatu masyarakat, bangsa dan negara maupun agama dapat diwujudkan karena peserta didik merupakan generasi penerus atau pengganti generasi tuanya serta kegiatan pendidikan Islam selain diterapkan dalam semua lingkungan juga harus menggunakan berbagai media yang ada dalam kehidupan sehingga dengan begitu berbagai godaan baik yang datangnya dari manusia, syetan, media dan lingkungan bisa dibendung dengan baik. 5.



Kedudukan Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam Keberadaan peserta didik sebagai salah satu komponen kegiatan belajar mengajar dalam lingkungan pendidikan tentu tidak dapat diabaikan, dimana ia mengandung dwi fungsi yaitu sebagai objek dan juga sebagai subjek. Anak didik sebagai objek karena ia ditempatkan sebagai titik atau sasaran penyajian bahan pelajaran, sementara ia sebagai objek karena ia harus aktif mengikuti, mempelajari, menelaah, dan mengelola apa yang diberikan serta diajarkan pendidiknya.263 Peserta didik sebagai objek utama dalam kegiatan belajar mengajar di lingkungan pendidikan dididik oleh faktor pengalaman belajar mereka dan kualitas pendidikannya bergantung pada pengalaman, kualitas pengalamanpengalaman, sikap-sikap, termasuk sikap-sikapnya pada pendidikan dan oleh para pendidik yang menuntun mereka dalam kegiatan belajar mengajarnya. Proses belajar yang berhasil menuntun siswa menjadi siswa berkualitas karena peran serta yang baik dan yang berhasil dikembangkan oleh pendidik dalam kegiatan belajar mengajar peserta didik. 264 Untuk itu peserta didik menempati tempat yang sangat urgen dalam peran proses kegiatan pendidikan di suatu lembaga pendidikan sebab satu sisi peserta didik berperan sebagai sarana penyampaian pelajaran yang dilakukan oleh pendidik sementara di sisi lain peserta didik sebagai objek dalam kegiatan pendidikan dan tentu dituntut mampu berperan aktif dalam semua proses kegiatan pendidikan yang dituntun oleh para pendidik di lembaga pendidikan dimana peserta didik tidak akan mampu tumbuh dan berkembang menjadi peserta didik yang berkualitas sesuai dengan kegiatan pendidikan yang diikutinya tanpa adanya rangsangan, bimbingan dan pengembangan dari pendidik. Sama halnya juga dalam proses berlangsung pendidikan Islam maka 263 264



Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia ( Cet. I ; Jakarta : Bumi Aksara, 1988),, h. 24 Cece Wijaya dkk, Upaya Pembaharuan Pendidikan Dalam Pengajaran (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1992), h. 23



126



keberadaan peserta didik menjadi bagian yang sangat penting dari proses pendidikan Islam sebab mereka yang menjadi objek penyampaian materimateri pendidikan Islam. Mana mungkin proses pendidikan Islam bisa berlangsung bila tanpa adanya peserta didik. Kegiatan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan Islampun mengacu pada keadaan dan kondisi dari peserta didik sendiri. Uyoh Sadullah dkk mengemukakan bahwa; Dalam kegiatan pendidikan, sasaran yang kita harapkan akan menjadi orang dewasa adalah anak didik. Mereka menjadi tumpuan harapan agar menjadi manusia yang utuh, manusia bersusila dan bermoral, bertanggung jawab bagi kehidupan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat.265 Berdasarkan pendapat Uyoh Sadullah tersebut dapatlah dipahami bahwa jelas bahwa sasaran yang ingin dicapai dalam proses pendidikan adalah hal yang ingin diwujudkan pada diri peserta didik. Apa mungkin sebuah kegiatan pendidikan yang dilakukan bisa berlangsung sementara peserta didik tidak ada. Ini bisa bermakna karena peserta didik tidak ada maka tujuan pendidikanpun akan menjadi tidak jelas. Hal ini juga memberikan makna bahwa berlangsung tidak proses pendidikan Islam yang dilakukan bergantung terhadap ada tidaknya peserta didiknya. Nur Ihbiyati mengemukakan; Anak didik yaitu pihak yang merupakan objek terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan perbuatan atau tindakan mendidik itu diadakan atau dilakukan hanyalah untuk membawa anak didik ke arah tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan. 266 Berdasarkan pendapat Nur Uhbiyati tersebut dapatlah dipahami bahwa memang anak didik atau peserta didik merupakan komponen terpenting dalam proses pendidikan Islam sebab ia menjadi objek dari proses pendidikan Islam dalam arti menjadi tujuan kegiatan perbuatan mendidik yang dilakukan berupa mengantarkan mereka bisa memperoleh atau mencapai harapan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam yang dilaksanakan bagi mereka. Soleha dan Rada mengemukakan bahwa; Pendidikan Islam adalah suatu proses yang sangat kompleks, di susun secara sistematis, terencana, dalam upaya mengembangkan potensi yang ada pada diri anak didik secara optimal, untuk menjalankan 265 266



Uyoh Sadullah, Agus Muharram, Babang Robandi, op. cit., h. 135 Nur Uhbiyati, op. cit., h. 43



127



tugasnya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan nilainilai Ilahiyat yang didasarkan dengan bingkai ajaran Islam pada semua aspek kehidupan.267 Berdasarkan pendapat Soleha dan Rada tersebut memberikan pemahaman bahwa keberadaan pendidikan Islam tiada lain dalam upaya mengembangkan potensi yang ada pada peserta didik agar berfungsi secara maksimal sehingga mampu menjalankan perannya di muka bumi dalam semua aspek kehidupan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini juga memberikan pemahaman anak atau peserta didik dalam proses pendidikan Islam menjadi sentral atau bagian penting sehingga berlangsungnya pendidikan Islam sebab kegiatan yang dilakukan dalam pendidikan Islam itu adalah kegiatan pendidikan yang diperuntukkan untuk anak didik demikian dengan pula dengan tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa kedudukan peserta didik dalam pendidikan Islam adalah sebagai objek dari berlangsungnya pendidikan Islam sebab tanpa adanya anak didik maka proses pendidikan Islam tidak bisa berlangsung karena materi dan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai dalam proses pendidikan Islam semata-mata diperuntukkan bagi peserta didik sendiri bukan yang lain. C. 1.



Pendidik dalam Pendidikan Islam Pengertian Pendidik Dalam Pendidikan Islam Secara bahasa pendidik dapat diartikan sebagai orang yang mendidik. 268 Ini bermakna bahwa pendidik adalah orang yang bertugas dalam suatu kegiatan pendidikan untuk melaksanakan proses kegiatan mendidik peserta didiknya atau anak didiknya. Lebih jauh lagi tentang pengertian pendidik maka dapat dilihat beberapa pendapat para ahli yang dikemukakan berikut. Ramayulis mengemukakan bahwa; Pendidik merupakan orang dewasa secara jasmani dan rokhani, memiliki kompetensi untuk mendewasakan peserta didiknya ke arah kesempurnaan dengan menggunakan cara-cara dan pendekatan kependidikan. Pendidik adalah orang yang memiliki kepribadian yang luhur sehingga ia berhak mendidik orang lain agar memiliki



267 268



Soleha & Rada, Ilmu pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2011), h. 23 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Rl, op. cit., h. 232



128



kedewasaan berpikir. Pendidik memiliki sifat karakter mulia sehingga pantas untuk dijadikan contoh bagi murid-muridnya.269 Berdasarkan pendapat Ramayulis tersebut memberikan pemahaman bahwa pendidik adalah orang yang telah mencapai kedewasaan baik secara jasmani dan rokhani serta memiliki kemampuan melakukan pendewasaan peserta didik lewat proses pendidikan dengan menggunakan berbagai cara dan pendekatan kependidikan bagi peserta didiknya sehingga peserta didik mampu tumbuh dan berkembang menuju kedewasaan baik secara jasmani maupun rohaninya. Umar Tirtarahardja dan S L Lasulo mengemukakan bahwa; Pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikan dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sebab itu yang bertanggungjawab terhadap pendidikan ialah orang tua, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat/organisasi.270 Berdasarkan pendapat Umar Tirtarahardja dan S L Lasulo tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidik adalah semua orang yang memiliki tanggungjawab terhadap berlangsungnya proses pendidikan bagi peserta didik dimana karena pendidikan itu berlangsung pada tiga lingkungan pendidikan maka yang menjadi pendidik itu dapat berupa seperti orang tua di lingkungan keluarga, guru di lingkungan sekolah dan masyarakat di lingkungan masyarakat Muhibbin Syah mengutip pendapat Mc Leod tentang pengertian pendidik atau guru dikemukakan bahwa pendidik atau guru adalah A Person whose occupation is teaching others artinya seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain. 271 Berdasarkan pendapat Mc Leod yang dikutip oleh Muhibbin Syah tersebut memberikan pemahaman bahwa pendidik adalah seseorang yang dalam hidupnya melaksanakan pekerjaannya mengajar atau melaksanakan proses pembelajaran kepada orang lain. Berdasarkan uraian-uraian di atas tentang pengertian pendidik secara umum baik secara bahasa maupun secara istilah dapatlah dipahami bahwa pendidik adalah orang yang telah mencapai kedewasaan baik secara jasmani 269 270 271



Ramayulis, op. cit., h. 137 Umar Tirtarahardja & S L Lasulo, op. cit., h. 54 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Cet. IX; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 222



129



dan rokhani yang dalam kehidupannya melaksanakan tugas dalam suatu kegiatan pendidikan untuk mendidik peserta didiknya atau anak didiknya menuju pada terwujudnya kedewasaan pada peserta didik atau anak didiknya secara jasmani maupun rokhani dan yang termasuk sebagai pendidik meliputi seperti guru di sekolah, orang tua di rumah dan masyarakat pada lingkungan masyarakat. Lalu bagaimana makna pendidik dalam pendidikan Islam. Untuk hal ini dapat di lihat dari beberapa pendapat ahli berikut. Bukhari Umar mengemukakan bahwa; Dalam pendidikan Islam, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta) maupun psikomotor (karsa). Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan rukhaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri. 272 Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut memberikan pemahaman bahwa pendidik dalam pendidikan Islam adalah orang dewasa yang mengupayakan berkembangnya seluruh potensi peserta didiknya dalam kehidupan serta potensi tersebut mampu digunakan dengan baik dalam kehidupan serta penggunaannya selalu disesuaikan dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah swt. Nur Uhbiyati mengemukakan bahwa; Yang dimaksud dengan pendidik di sini adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaanya, mampu melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah, khalifah di permukaan bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri. 273 Berdasarkan pendapat Nur Uhbiyati tersebut memberikan pemahaman bahwa pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang dewasa dalam kehidupan yang melaksanakan proses pembimbingan dan pemberian bantuan bagi peserta didik agar potensi jasmani dan rokhani peserta didik dapat 272 273



Bukhari Umar, op. cit., h. 83 Nur Uhbiyati, op. cit., h. 113



130



berkembang dan berfungsi dengan baik sehingga peserta didik mampu menjalankan perannya di muka bumi baik sebagai khalifah Allah, sebagai makhluk sosial maupun sebagai makhluk individu. Abuddin Nata terkait makna pendidik dalam pendidikan Islam mengemukakan sebagai berikut; Dalam al-Qur‟an ada empat yang dapat menjadi pendidik, yaitu 1) Allah swt, 2) Para Nabi, 3) kedua orang tua, dan 4) orang lain. Orang yang keempat inilah yang selanjutnya disebut guru. Bergesernya tugas mendidik dari orang tua kepada orang lain (guru) lebih lanjut dijelaskan Ahmad Tafsir. Menurutnya pada mulanya tugas mendidik itu adalah murni tugas orang tua; jadi tidak perlu orang tua mengirim anaknya ke sekolah untuk diajar oleh guru. Akan tetapi karena perkembangan pengetahuan, keterampilan, sikap serta kebutuhan hidup sudah demikian luas, dalam dan rumit, maka orang tua tidak mampu lagi melaksanakan sendiri tugas-tugas mendidik anaknya. Selain tidak mampu karena luasnya perkembangan pengetahuan dan keterampilan, mendidik anak di rumah sekarang amat tidak ekonomis. Dapat dibayangkan, seandainya orang tua mendidik anak sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi di rumah, oleh dirinya sendiri, sekalipun orang tuanya mampu menyelenggarakan itu, apa yang akan terjadi? Mahal, tidak efisien dan mungkin juga tidak efektif? Berdasarkan analisis tersebut nampak bahwa apa yang disebutkan dalam al-Qur‟an mengenai adanya pendidik tersebut menggambarkan adanya perkembangan masyarakat, misalnya dari zaman nabi Adam, tentu Allah sendiri sebagai guru, karena tugas tersebut belum dapat diwakilkan kepada orang lain. Tetapi setelah ada nabi maka tugas mendidik masyarakat sudah diwakilkan kepada para nabi, dan setelah masyarakat itu berkembang luas, tugas tersebut sebagian diwakilkan kepada orang tuanya masing-masing, dan setelah masyarakat itu berkembang luas, maka tugas mendidik dibagi lagi kepada orang lain yang secara khusus dipersiapkan menjadi guru dan pendidik. 274 Berdasarkan penjelasan Abuddin Nata tersebut dapatlah dipahami bahwa dalam konteks manusia, pendidik dalam pendidikan Islam itu dapat dimaknai sebagai orang-orang yang diberikan amanah untuk mendidik manusia dalam kehidupan agar mereka dapat hidup sesuai tuntunan nilai-nilai ajaran Islam sebagai esensi akhir dalam berlangsung suatu proses pendidikan Islam dimana dalam hal ini yang dimaksud pendidik dalam pendidikan Islam meliputi; orang tua di rumah, guru di sekolah dan masyarakat pada lingkungan masyarakat 274



Abuddin Nata, “Filsafat Pendidik Islam”, op. cit., h. 67



131



Samsul Nizar mengemukakan bahwa; Secara umum menurut Hadari Nawawi yang bertanggung jawab maju mundurnya pendidikan- termasuk pendidikan Islam ada pada pundak keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Ketiganya harus mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana yang memberikan motivasi, fasilitas edukasi, wahana pengembangan potensi yang ada pada diri peserta didik dan mengarahkannya untuk mampu bernilai efektif-efisien sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zamannya, serta memberikan bimbingan dan perhatian yang serius terhadap kebutuhan moral-spiritual peserta didiknya. Bimbingan yang dimaksud meliputi pengembangan potensi anak didik, transformasi ilmu pengetahuan dan kecakapan lainnya, dan membangkitkan motifmotif yang ada seoptimal mungkin. Di samping ketiga unsur tersebut, menurut penulis ada satu lagi yang ikut bertanggung jawab atas terlaksananya pendidikan Islam, yaitu manusia itu sendiri sebagai subjek dan objek langsung pendidikan. Tanpa kesadaran dan tumbuhnya nilai tanggungjawab pada dirinya, mustahil pendidikan Islam mampu memainkan perannya secara maksimal. Untuk itu, di samping ketiga unsur di atas diperlukan kesiapan dan tanggungjawab yang besar pada diri peserta didik sebagai hamba Allah yang siap melaksanakan amanahnya di muka bumi. 275 Berdasarkan pemikiran yang diangkat oleh Samsul Nizar memberikan pemahaman bahwa pendidik dalam pendidikan Islam adalah mereka yang memiliki tanggung jawab maju dan berlangsungnya proses pendidikan Islam yang dilakukan terhadap peserta didik sehingga peserta didik mampu mengoptimalkan berbagai perannya dalam kehidupan dalam upaya menjalankan kewajiban sebagai abdi dan pelaksana amanah Allah di muka bumi dimana yang dimaksud pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang muslim yang telah dewasa dan memberikan bimbingan kepada orang lain agar hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam. Lebih khusus tentang pengertian pendidik dalam pendidikan Islam, Samsul Nizar mengemukakan bahwa; Pendidik dalam perspektif pendidikan Islam ialah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya jasmani maupun rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.276 275 276



Samsul Nizar, op. cit., h. 125 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm 41.



132



Berdasarkan pendapat Samsul Nizar tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidik dalam pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab dalam upaya mengembangkan pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta rokhani peserta didiknya sehingga nantinya peserta didik mampu menjalankan nilai-nilai Islam dengan baik dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa; Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotorik, kognitif, maupun potensi afektif, yang dikembangkan secara seimbang sampai ke tingkat yang setinggi mungkin, menurut ajaran Islam. 277 Berdasarkan pendapat Ahmad Tafsir tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidik dalam pendidikan Islam adalah manusia yang dalam kehidupannya mengupayakan manusia lain agar berkembang dan berfungsi seluruh potensi yang ada pada diri manusia yang dididik dalam kehidupan sesuai ajaran Islam. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang pendidik dalam pendidikan Islam dapatlah dipahami bahwa pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap manusia yang telah dewasa, telah memahami konsep-konsep hidup dan kehidupan serta nilai-nilai ajaran Islam serta mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan lalu melaksanakan proses pembinaan kepada peserta didiknya agar mereka mampu memahami konsep-konsep tentang hidup dan kehidupan serta nilai-nilai Islam lalu menjalankan perannya dalam kehidupan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dimana pendidik dalam pendidikan Islam ini meliputi pendidik yang berada di rumah seperti orang tua dan kakak kandung, pendidik yang ada di sekolah seperti guru dan kepala sekolah, pendidik yang ada di perguruan tinggi seperti dosen, pendidik yang ada di majelis ta‟lim seperti Ustaz, pendidik yang ada TPQ seperti guru ngaji atau senior dalam TPQ, pendidikan di tengah lingkungan masyarakat seperti warga masyarakat dan sebagainya dimana bila dikelompokkan berdasarkan lingkungan yaitu pendidik lembaga pendidikan informal yaitu pendidik pada lingkungan keluarga, pendidik pada lembaga pendidikan formal yaitu pada lingkungan lembaga sekolah dan perguruan tinggi serta pendidik pada lembaga pendidikan nonformal yaitu pada lingkungan masyarakat. 277



Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm 74.



133



2.



Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam Menurut al-Gazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan serta membimbing hati manusia untuk mendekatkan diri (Taqarrub) kepada Allah swt. Hal ini karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jika pendidik belum mampu membiasakan diri dalam peribadatan kepada peserta didik, berarti ia mengalami kegagalan dalam tugasnya, sekalipun peserta didik memiliki prestasi akademik yang luar biasa. Hal ini mengandung arti akan keterkaitan antara ilmu dan amal. Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikkan dengan guru ( gu dan ru) yang berarti digugu dan ditiru. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri teladan oleh peserta didik. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar transformasi ilmu, tetapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya kepada peserta didik. Pada tataran ini terjadi singkronisasi antara apa yang diucapkan oleh guru (didengar oleh peserta didik) dan yang dilakukan (dilihat oleh peserta didik). 278 Untuk itu, tugas pendidik dalam pendidikan Islam adalah melakukan proses pendidikan kepada peserta didik baik lewat pengajaran secara tulisan, lisan maupun secara perilaku terkait dengan upaya menyempurnakan, membersihkan, menyucikan serta membimbing hati peserta didik dengan nilai-nilai ajaran Islam agar peserta didik mampu menjalankan aktivitas dalam kehidupan sebagai bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah swt Ahmad Tafsir mengutip pendapat Agus Sujono tentang tugas pendidik (termasuk guru) secara umum yaitu; a. Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak-anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket dan sebagainya b. Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang c. Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, keterampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat 278



Bukhari Umar, op. cit., h. 88



134



d. e.



Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik Memberikan bimbingan dari penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensi. 279



Lebih lanjut terkait dengan tugas pendidik secara umum tersebut maka Ahmad tafsir mengemukakan sebagai berikut; Dalam tugas tersebut di atas tidak disebut dengan jelas tugas guru, yang terpenting adalah mengajar. Sebenarnya tugas itu terdapat secara implisit dalam tugas pada (b) dan (c). sebenarnya dalam teori pendidikan Barat tugas guru tidak hanya mengajar, mereka juga bertugas mendidik dengan cara selain mengajar, sama saja dengan tugas guru dalam pendidikan Islam. Perbedaannya adalah tugas-tugas itu dikerjakan mereka untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan keyakinan filsafat mereka tentang manusia, yang baik menurut mereka. sikap demokratis, sikap terbuka misalnya dibiasakan dan dicontohkan mereka kepada murid. Hal itu kelihatan terutama dalam metode mengajar yang digunakan mereka, juga dalam perilaku guru-guru di Barat. Jadi perbedaannya bukan terletak pada tugas guru, melainkan pada sistem filsafat yang dianut; sistem filsafat Barat memang berbeda dari sistem filsafat pendidikan muslim. 280 Berdasarkan pemikiran Ahmad Tafsir tersebut memberikan pemahaman bahwa yang membedakan pendidik dalam pendidikan Islam dengan pendidik dalam pendidikan Barat bukan dari persoalan kegiatan mendidik atau mengajarnya tetapi yang membedakkan adalah kandung nilainilai yang ingin dicapai dari proses pendidikannya. Hal ini juga bermakna karena pendidikan Islam kandungan nilai-nilai yang ingin dicapainya adalah nilai-nilai Islam maka tugas pendidikan dalam Islam itu dalam mengajar dan mendidik harus selalu mengacu pada konsep nilai-nilai Islam. Untuk itu bila tugas pendidik secara umum yang dikutip Ahmad Tafsir dari pendapat Agus Sujono tersebut di akumulasi menjadi tugas pendidik dalam pendidikan Islam kira-kira gambaran tugas pendidik dalam pendidikan Islam seperti berikut; a. Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak-anak didik dengan berbagai cara dan tetap berlandaskan pada konsep nilainilai Islam



279 280



Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h. 126 Ibid.



135



b.



c.



d.



e.



Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk sesuai dengan nilai-nilai Islam Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, keterampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik sesuai dengan nilai Islam Memberikan bimbingan dari penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensi sesuai dengan nilai-nilai Islam.



Muhaimin mengemukakan bahwa tugas guru dalam pandangan pendidikan Islam meliputi; a. Mengembangkan profesionalisme secara berkelanjutan dalam melakukan ta‟lim, tarbiyah, irsyad, tadris, ta‟dib, tazkiyah dan tilawah b. Mengembangkan pengetahuan teoritis, praktis dan fungsional bagi peserta didik c. Menumbuhkembangkan kreativitas, potensi-potensi dan/atau fitrah peserta didik d. Meningkatkan kualitas akhlak dan kepribadian, dan/atau menumbuhkembangkan nilai-nilai insani dan nilai-nilai Ilahi e. Menyiapkan tenaga kerja yang produktif f. Membangun peradaban yang berkualitas (sesuai dengan nilai-nilai Islam) di masa depan g. Membantu peserta didik dalam penyucian jiwa sehingga ia kembali kepada fitrahnya h. Mewarisi nilai-nilai Ilahi dan nilai-nilai insani kepada peserta didik. 281 Muhaimin juga mengemukakan yaitu; Tilawah adalah upaya pewarisan nilai-nilai Ilahi dan nilai-nilai insani kepada peserta didik. Tazkiyah adalah upaya penyucuian jiwa peserta didik sehingga ia kembali ke fitrahnya. Ta‟dib adalah upaya 281



Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 180



136



menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan. Tadris adalah upaya mencerdaskan peserta didik, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya sehingga menjadi tenaga yang produktif. Irsyad adalah upaya meningkatkan kualitas akhlak dan kepribadian peserta didik atau upaya pemberian keteladanan. Tarbiyah adalah upaya membantu peserta didik agar mampu mengatur, memelihara, mengembangkan, memperbaiki dan meningkatkan dirinya dengan segala potensinya dan satuan sosial (dalam kehidupan bermasyarakat) secara bertahap ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih baik. Taklim adalah upaya membantu peserta didik agar mampu menangkap makna baik yang tersurat, mengembangkan pengetahuan serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, baik secara teoritis maupun praktis, atau melakukan transfer ilmu/pengetahuan, internalisasi serta amaliah (imlementasi) secara terpadu. Ustad adalah orang yang komitmen terhadap profesionalisme, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvenent. Ustad bertugas untuk melakukan taklim, tarbiyah, isryad, tadris, ta‟dib, tazkiyah dan tilawah. 282 Berdasarkan penjelasan dari Muhaimin tersebut memberikan pemahaman bahwa tugas pendidik dalam pendidikan Islam tiada lain adalah mengupayakan peserta didik agar dapat mengembangkan dan menggunakan segala potensi yang ada pada dirinya dalam kehidupan baik dalam kehidupan secara individu maupun secara sosial sesuai dengan tuntunan ajaran Islam sehingga terwujud kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Dengan demikian berdasarkan uraian-uraian tersebut dapatlah dipahami esensi dari tugas pendidik dalam pendidikan Islam adalah mengupayakan berlangsungnya proses pendidik bagi peserta didik sehingga peserta didik mampu mengembangkan segala potensi kemampuan yang ada pada diri dan maupun di luar diri untuk difungsikan demi kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat sesuai dengan ajaran Islam atau dalam istilah sederhana adalah mampu membuat peserta didik dalam proses pendidikan Islam cerdas secara akal, cerdas secara kalbu dan cerdas secara perilaku dalam kehidupan sesuai dengan tuntanan ajaran Islam dimana hal itu bisa diwujudkan bukan hanya pekerjaan satu atau dua pendidik saja tetapi dilakukan oleh kesuluruhan pendidik Islam dimana dan kapan saja peserta



282



Ibid., h.180-179



137



didik itu berada serta sistem pendidikan Islam yang diterapkan disesuaikan dengan peran masing-masing. 3.



Kompetensi Pendidik Dalam Pendidikan Islam Kompetensi secara bahasa berarti; “kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu)”.283 Kompetensi secara istilah dapat diartikan sebagai; suatu tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan, keterampilan yang dituntunkan jabatan seseorang. 284 Nur Uhbiyati mengemukakan bahwa kompetensi pada intinya adalah kecakapan, kemampuan untuk melakukan sesuatu.285 E Mulyasa mengemukakan; kompetensi mengacu pada kemampuan melakukan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan.286 Berdasarkan pengertian kompetensi baik secara bahasa maupun istilah tersebut dapat dipahami bahwa kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk berbuat sesuatu dalam kehidupan yang diperolehnya lewat adanya proses pendidikan yang diikuti sehingga bila seseorang dikatakan telah memiliki kompetensi akan sesuatu maka orang tersebut telah memiliki kemampuan untuk berbuat dalam kehidupan tentang sesuatu tersebut dan itu bisa dimiliki bila sudah mengikuti proses pendidikan tentangnya dan dalam pendidikan tersebut ia mengausai kompetensi sesuatu tersebut dengan baik. Lalu bagaimanakah dengan kompetensi atau kemampuan yang harus dimiliki oleh pendidik dalam pendidikan Islam terlebih lagi pendidik dalam pendidikan Islam wilayah kerjanya berbeda-beda misalkan ayah dan ibu sebagai pendidik di rumah, guru dan dosen sebagai pendidik di lembaga pendidikan formal dan perguruan tinggi, ustaz dan guru ngaji sebagai pendidikan di lingkungan masyarakat dan masyarakat yang telah memahami ajaran Islam sebagai pendidik di lingkungan masyarakat tempat ia tinggal dan sebagainya. Buhkari Umar mengatakan secara sederhana bahwa dalam melaksanakan pendidikan Islam kita dapat berasumsi bahwa setiap umat Islam wajib menda‟wakan ajaran Islam. 287 Indikasi tersebut dapat dilihat dari beberapa Firman Allah berikut. QS An-Nahl (16): 125, yaitu;



283 284 285 286 287



Departemen Pendidikan & Kebudayaan, op. cit, h. 516 Bukhari Umar, Op. Cit., h. 81 Nur Uhbiyati, op. cit., h. 114 E Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2007), h. 26 Bukhari Umar, op. cit., h. 91



138



                          Terjemahnya; Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk.288 QS Asy-Syura (42): 15, yaitu;



                                            Terjemahnya; Maka Karena itu Serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan Aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)".289 QS Ali Imran (3): 104, yaitu;



                Terjemahnya



288 289



Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Departemen Agama RI, op. cit., h. 383 Ibid., h. 695



139



Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.290 QS. Al-Ashr (103); 1-3 yaitu;



                 Terjemahnya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehatmenasehati supaya menetapi kesabaran.291 Selanjutnya Bukhari Umar menambahkan hadist Nabi Muhammad saw yang artinya; sampaikan ajaran dariku walaupun hanya sepata kata (seayat). (HR. al-Bukhari). 292 Kemudian Bukhari Umar mengemukakan bahwa; Merujuk pada ayat-ayat dan hadis tersebut dapat dipahami bahwa siapapun dapat menjadi pendidik dalam pendidikan Islam, dengan catatan ia memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih. Di samping itu ia mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang diajarkan, sebagai penganut Islam yang patut dicontoh dalam ajaran Islam dan bersedia menularkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam pada pihak yang lain. Namun untuk menjadi pendidik Islam yang profesional masih diperlukan persyaratan yang lebih dari pada itu.293 Berdasarkan pemikiran Bukhari Umar tersebut memberikan pemahaman bahwa kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam pendidikan Islam adalah suatu kemampuan yang diperoleh baik dari segi pengetahuan maupun dalam hal pengamalannya harus lebih dari kemampuan peserta didik yang dididik sedangkan untuk menjadi pendidik profesional dalam pendidikan Islam maka dibutuhkan adanya persyarat khusus terkait dengan hal itu sehingga tidak memungkinkan untuk hal ini



290 291 292 293



Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya. Ibid., h. 72 Ibid., h. 913 Bukhari Umar, op. cit., h. 91 Ibid., h. 92



140



mampu dilakukan oleh semua orang Islam yang telah dewasa dan punya potensi untuk mendidik manusia lain sesuai dengan nilai-nilai Islam. Profesional secara bahasa berarti “orang yang mempunyai keahlian tertentu”. 294 Adapun menurut istilah profesional berarti “orang yang melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan keahliannya dan ia mengabdikan diri pada pengguna jasa dengan disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan dan keahliannya.295 Untuk itu pendidik profesional dalam pendidikan Islam adalah orang yang memiliki kemampuan khusus dalam bidang pengelolaan pendidikan Islam dan selalu mempertanggungjawabkan kemampuan tersebut dalam bentuk tercapainya hasil maksimal dari proses pendidikan Islam yang dilaksanakan terhadap peserta didiknya. Nur Uhbiyati terkait dengan pendidik profesional dalam pendidikan Islam mengutip pendapat Mujib bahwa seorang guru atau ustaz agar berhasil menjalankan tugas mendidik hendaknya memiliki 3 kompetensi yaitu kompetensi profesional religius, kompetensi personal religius dan kompetensi sosial religius. Lebih lanjut Mujib menjelaskan bahwa dalam setiap kompetensi tersebut kata religius selalu dikaitkan, karena menunjukkan adanya komitmen pendidikan dengan ajaran Islam sebagai kriteria utama, sehingga segala masalah pendidikan akan dihadapi, dipecahkan serta ditempatkan dalam perspektif Islam. 296 Mujib yang dikutip Nur Uhbiyati, selanjutnya menguraikan ketiga kompetensi tersebut sebagai berikut; a. Kompetensi profesional religius yaitu kemampuan untuk menjalankan tugas keguruan secara profesional dalam arti mampu menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Di atara tugas keguruan itu adalah pembuatan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran, pembuatan keputusan atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkan berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam b. Kompetensi personal religius adalah menyangkut kepribadian agamais, artinya pada dirinya melekat nilai-nilai keagamaan Islam yang memadai di hadapan para santri dan masyarakat lingkungannya. Nilai-nilai dimaksud adalah kejujuran, amanah, 294 295 296



Departemen Pendidikan dan Kebudayaan op. cit., h. 789 Sudarman Danim, Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 22. Nur Uhbiyati, op. cit., h. 115



141



c.



keadilan, kecerdasan, tanggung jawab, musyawarah, kebersihan, keindahan, kedisiplinan, ketertiban dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut mempunyai peran penting bagi pelaksanaan pemindahan penghayatan nilai-nilai oleh pendidik kepada peserta didiknya baik langsung ataupun tidak langsung, atau setidaknya tidak terjadi transaksi (alih tindakan) dari pendidik kepada peserta didiknya Kompetensi sosial religius adalah kemampuan yang menyangkut kepedulian uztadz terhadap masalah-masalah sosial yaitu yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan masyarakat sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Perilaku dan sikap gotong royong, tolong menolong, bantu membantu dalam menyelesaikan problem kehidupan, masalah pelajaran, kepentingan masyarakat dan lainlain. Sikap dan perilaku ringan tangan dalam mengatasi masalah ini juga perlu dimiliki seorang ustadz dalam rangka keberhasilan tarnsinternalisasi (pemindahan penghayatan nilai-nilai) sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan peserta didik. 297



Berdasarkan pemikiran Mujib yang dikutip oleh Nur Uhbiyati tersebut memberikan pemahaman bahwa untuk seorang pendidik dalam pendidikan Islam bisa berperan sebagai pendidikan profesional maka ia harus memiliki tiga kompetensi dan mampu mengimplementasikan kompetensi tersebut dalam kehidupan sehari-hari dimana kompetensi tersebut meliputi; kompetensi profesional religius yaitu kemampuan menjalankan tugas pendidikan Islam dengan sebaik-baiknya, kompetensi personal religius yaitu memiliki kepribadian yang melekat nilai-nilai Islam dan kompetensi sosial religius yaitu kemampuan yang menyangkut kepedulian terhadap masalahmasalah sosial yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan masyarakat sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Bukhari Umar terkait pendidik Islam yang profesional mengemukakan bahwa pendidik Islam yang profesional harus memiliki kompetensi yang lengkap yaitu; a. Menguasai materi Islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang yang menjadi tugasnya b. Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode dan teknik) pendidikan Islam termasuk kemampuan evaluasinya c. Penguasaan ilmu dan wawasan kependidikan 297



Ibid., h. 116



142



d. e.



Memahami prinsip-prinsip dalam menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengembangan pendidikan Islam Memiliki kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya. 298



Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidik profesional dalam pendidikan Islam adalah pendidik yang memiliki kemampuan meliputi; pengausan pengetahuan terkait bidang keilmuannya pendidikan Islam, penguasaan pengelolaan pendidikan Islam, penguasaan pengetahuan tentang ilmu-ilmu kependidikan, penguasaan pengelolaan penelitian ilmiah guna pengembangan pendidikan Islam dan mempunyai kepekaan terhadap berbagai informasi yang dapat mendukung bidang tugas. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas tentang pendidik dalam pendidikan Islam dapatlah dipahami bahwa kompetensi adalah segenap kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam pendidikan Islam dalam upaya melaksanakan proses pendidikan Islam bagi peserta didiknya dimana kompetensi tersebut dapat dibagi pada dua kelompok yaitu kompetensi pendidikan Islam non profesional dan kompetensi pendidik Islam profesional. Kompetensi pendidikan Islam non profesional adalah kemampuan standar yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam pendidikan Islam berupa suatu kemampuan yang diperoleh baik dari segi pengetahuan maupun dalam hal pengamalannya harus lebih dari kemampuan peserta didik yang didik sedangkan kompetensi pendidik Islam profesional adalah segenap kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam pelaksanaan pendidikan Islam bagi peserta didiknya dimana kemampuan tersebut mampu mengantarkan peserta didiknya yang didik mencapai tujuan yang diinginkan dalam proses pendidikan Islam yaitu terbentuknya kepribadian peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Kompetensi pendidik Islam profesional meliputi; kemampuan penguasaan pengetahuan keilmuan pendidikan Islam, kemampuan penguasaan pengetahuan keilmuan pendidikan umum, kemampuan pengelolaan pendidikan dan pengajaran dalam pendidikan Islam, memiliki kepribadian yang melekat nilai-nilai Islam, kemampuan pengelolaan penelitian ilmiah guna pengembangan pendidikan Islam, kemampuan kepedulian terhadap masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan



298



Bukhari Umar, op. cit., h. 83



143



masyarakat secara Islam dan kepekaan terhadap berbagai informasi demi untuk mendukung bidang tugas kegiatan pendidikan Islam yang dilaksanakan. Untuk lebih mempertegas lagi konsep pendidik profesional dalam pendidikan Islam maka penulis akan mencoba mengombinasikan dengan pendapat-pendapat yang lain terkait pendidikan profesional dalam kegiatan pendidikan agar bisa mendapatkan rumusan yang tepat dan lengkap tentang konsep pendidik profesional dalam pendidikan Islam. Oemar Hamalik mengungkapkan bahwa syarat-syarat guru profesional: a. Harus memiliki bakat sebagai guru b. Harus memiliki keahlian sebagai guru c. Memiliki kepribadian yang baik dan terintegrasi d. Memiliki mental yang sehat e. Berbadan sehat f. Memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas g. Guru adalah manusia berjiwa Pancasila h. Guru adalah seorang warga negara yang baik. 299 Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Oemar Hamalik tersebut dapatlah dipahami bahwa guru profesional memiliki persyaratan yang sangat berat, karena syarat-syarat tersebut terkait dengan bakat, keahlian, kepribadian, mental, kesehatan, pengalaman, pengetahuan, serta status kehidupan sebagai warga negara yang baik. Untuk itu bila seseorang pendidik dalam pendidikan Islam ingin menjadi seorang pendidik Islam profesional maka ia harus mampu mempersiapkan dirinya baik dari segi bakat keahlian, kepribadian mental, kesehatan, pengalaman dan pengetahuan yang luas terkait dengan profesi keguruan ilmu pendidikan Islam yang akan digelutinya. Moch Idochi Anwar terkait dengan syarat-syarat guru profesional mengemukakan ada tiga aspek performasi guru; yaitu; a. Kemampuan profesional yang mencakup; a) penguasaan pelajaran yang terdiri atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep dasar keilmuan serta bahan yang diajarkan itu, b) penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan serta keguruan, c) penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran peserta didik b. Kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntunan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru 299



Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.18



144



c.



kemampuan personal guru mencakup, 1) penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya, 2) pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang guru,3) kepribadian, nilai sikap hidup penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi peserta didiknya.300



Berdasarkan penjelasan Moch Idochi Anwar tersebut diperoleh pemahaman bahwa jika pendidik dalam pendidikan Islam ingin menjadi pendidik Islam yang profesional maka ia harus memiliki kemampuankemampuan meliputi; penguasaan pengetahuan tentang ilmu-ilmu mendidik, penguasaan bahan pelajaran yang akan diajarkan, penguasaan tentang pola perilaku yang baik dalam menjalankan tugas sebagai pendidik dalam pendidik Islam, kemampuan mengelola berbagai metode mengajar dan penggunaan media pembelajaran dengan baik dan sebagainya sehingga sampai pada tujuan akhir dari pelaksanaan pembelajaran bagi peserta didik berupa mampu membuat para peserta didik yang diajarnya menjadi peserta didik hidup dalam kehidupan sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Ahmad Sabri mengemukakan bahwa seorang guru dapat dikatakan profesional pada bidang tugasnya bila ia mampu memiliki 3 kemampuan terkait dengan bidang keguruannya yang meliputi; a. Kemampuan bidang kognitif artinya kemampuan intelektual seperti kemampuan bidang pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan mengenai bimbingan penyuluhan, pengetahuan mengenai administrasi kelas, pengetahuan mengenai cara menilai hasil belajar peserta didik, pengetahuan tentang kemasyarakatan, serta pengetahuan umum lainnya b. Kemampuan bidang sikap artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan bidang tugasnya. Misalnya sikap menghargai pekerjaan, mencintai dan memiliki perasaan terhadap mata pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi terhadap sesama teman profesinya, memiliki kemampuan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya



300



Moch Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan, Teori Konsep dan Isu (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2003), h. 52



145



c.



Kemampuan bidang perilaku artinya kemampuan guru dalam berbagai keterampilan berperilaku seperti keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan peserta didik, keterampilan melaksanakan administrasi kelas, dan lain-lain.301



Berdasarkan pendapat Ahmad Sabri tersebut diperoleh pemahaman bahwa seorang pendidik dalam pendidikan Islam dapat dikatakan profesional bila terkait dengan tugasnya ia memiliki 3 kemampuan berupa kemampuan bidang kognitif, kemampuan bidang sikap, dan kemampuan bidang perilaku dimana ketiga kemampuan tersebut harus mampu dimiliki dan diaplikasikan oleh pendidik dalam pendidikan Islam dalam melaksanakan tugas pendidikan Islam kepada peserta didiknya. Nana Sudjana mengemukakan perbedaan pokok antara profesi guru dengan profesi lainnya terletak dalam tugas dan tanggung jawabnya. Tugas dan tanggung jawab tersebut erat kaitannya dengan kemampuan yang disyaratkan untuk memangku profesi tersebut. Kemampuan dasar tersebut tiada lain adalah kompetensi guru. Selanjutnya Nana Sudjana mengutip pendapat Cooper bahwa ada empat kemampuan atau kompetensi yang harus dikuasai oleh guru meliputi; a. Mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia b. Mempunyai pengetahuan dan bidang studi yang dibinanya c. Mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat, dan bidang studi yang dibinannya d. Mempunyai keterampilan teknik mengajar.302 Berdasarkan penjelasan Nana Sudjana tersebut diperoleh pemahaman bahwa seorang pendidik dalam pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai pendidik profesional bila ia memiliki syarat-syarat kemampuan terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pendidik dalam pendidikan Islam dimana kemampuan tersebut meliputi; pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, pengetahuan tentang bidang studi yang digeluti, memiliki sikap yang baik terkait dengan tugasnya, dan menguasai teknik mengajar yang baik. E Mulyasa tentang seorang guru dapat dikatakan sebagai guru profesional meliputi; 301 302



Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar & Macro Teaching (Cet. I; Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 79 Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar (Cet. VII; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), h. 18



146



a. b. c. d.



Mampu mengembangkan tanggung jawab sebagai pendidik dengan baik Mampu melaksanakan peran dan fungsinya sebagai pendidik dengan baik Mampu bekerja untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan di sekolah Mampu melaksanakan peran dan fungsinya sebagai dalam proses pembelajaran di kelas. 303



seorang seorang kegiatan pendidik



Berdasarkan penjelasan E Mulyasa tersebut diperoleh pemahaman bahwa seorang pendidik dalam pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai seorang pendidik Islam profesional bila ia memiliki kemampuan meliputi; memiliki kemampuan untuk terus mengembangkan ilmunya secara baik, mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang pendidik dalam pendidikan mampu menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya di sekolah sehingga tercapai tujuan kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah dan mampu melaksanakan proses pembelajaran di sekolah bagi para peserta didiknya dengan baik. Syafruddin Nurdin seorang guru dapat dikatakan profesional bila memiliki kemampuan meliputi; a. Menguasai bahan yang akan diajarkan b. Mampu mengelola program belajar mengajar c. Mampu mengelola kelas d. Mampu menggunakan media dan sumber belajar e. Menguasai landasan-landasan kependidikan f. Mampu mengelola interaksi belajar mengajar g. Mampu menilai prestasi belajar siswa h. Mampu mengenal dan menyelenggarakan program bimbingan dan penyuluhan i. Mampu mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah j. Mampu memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian.304 Berdasarkan pendapat dari Syafruddin Nurdin tersebut diperoleh pemahaman bahwa seorang pendidik dalam pendidikan Islam dapat dikatakan profesional bila ia memiliki kemampuan meliputi; menguasai ilmu keguruan, 303 304



E Mulyasa, op. cit., h. 18 Syafruddin Nurdin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum (Cet. III; Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 80



147



menguasai materi pelajaran yang di bidangnya, mampu mengelola program belajar mengajar dengan baik, mampu melakukan penilaian terhadap peserta didiknya, memahami dan mampu melakukan bimbingan dan konseling bagi peserta didiknya, mampu mengenal dan melaksanakan kegiatan administrasi di lembaga pendidikan Islam yang dikelola dan menguasai ilmu penelitian dan mampu menilai hasil-hasil penelitian. Syafaruddin dan Irwan Nasution mengutip pendapat Bestor bahwa syarat-syarat guru profesional meliputi; a. Memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas dalam bidang keguruan yang dikerjakannya b. Memiliki kemampuan dan keterampilan dalam melaksanakan pekerjaanya sebagai guru sesuai dengan bidangnya c. Memiliki karakter atau kepribadian yang membuatnya dihargai, dibanggakan dan di terima peserta didiknya.305 Dari penjelasan tersebut diperoleh pemahaman bahwa seorang pendidik dalam pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai pendidik profesional bila ia memiliki kemampuan yakni; menguasai pengetahuan serta memiliki wawasan yang luas tentang pendidikan yang digeluti, mempunyai kemampuan dan keterampilan menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan memiliki kepribadian yang dapat membuat peserta didiknya menghargai, membanggakan dan menerimanya. Terkait dengan seorang guru dapat dikatakan profesional maka dalam UU. No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dikemukakan seorang yang berprofesi sebagai pendidik baik itu sebagai guru atau dosen dituntut memiliki kompetensi atau kemampuan, hal tersebut dapat di lihat dalam penjelasan dalam pasal-pasal UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagaimana penjelasan di bawah ini. Dalam UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 1 ayat 10 dikemukakan; “Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalnya”. 306 Berdasarkan penjelasan dalam pasal tersebut memberikan pemahaman seorang pendidik dikatakan profesional dalam bidangnya bila memiliki kemampuan terkait dengan bidang tugasnya meliputi; kemampuan pengetahuan, kemampuan 305 306



Syafaruddin & Irwan Nasution, Manajemen Pembelajaran (Cet. I; Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 29 UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen & Peraturan Mendiknas No 11 Tahun 2005 Beserta Penjelasannya (Cet. Bandung: Citra Umbaran, 2005), h. 4



148



keterampilan dan kemampuan dalam sikap yang harus dapat dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh seorang pendidik dalam upaya melaksanakan tugas sebagai pendidik sehingga dapat membuahkan hasil yang baik terhadap anak didiknya. Pasal 8 UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dikemukakan bahwa; “guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. 307 Pasal ini memberikan pemahaman bahwa syarat-syarat sebagai guru atau pendidik dapat dikatakan profesional meliputi; memiliki kualifikasi pendidikan, memiliki kompetensi, memiliki sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rokhani, dan memiliki kemampuan merealisasikan tujuan pendidikan nasional dalam bidang tugasnya. Pasal 10 UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dikemukakan bahwa; “Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi; kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”. 308 Pasal ini memberikan pemahaman bahwa terkait dengan persyaratan kemampuan kompetensi yang harus dimiliki guru, maka dalam bidang ini meliputi 3 hal meliputi; memiliki kemampuan kepribadian, memiliki kemampuan sosial dan memiliki kemampuan profesional. Pada penjelasan pasal 10 ayat 1 UU No 14 tahun 2005 dikemukakan bahwa; Yang dimaksud kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Yang dimaksud kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Yang dimaksud kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi secara luas dan mendalam. Yang dimaksud kompetensi sosial adalah kemampuan guru berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua /wali peserta didik dan masyarakat sekitar.309 Berdasarkan penjelasan pasal 10 UU. No. 14 tahun 2005 di atas dapatlah dipahami bahwa persyaratan kemampuan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru profesional meliputi; kemampuan mengelola pembelajaran dengan baik bagi peserta didik, kemampuan berperilaku yang baik, kemampuan penguasaan materi secara baik, dan kemampuan berkomunikasi 307 308 309



Ibid., h. 8 Ibid., h. 9 Ibid., h. 57



149



dan berinteraksi secara efektif dan efisien baik dengan peserta didik maupun pihak lain. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa kompetensi pendidik dalam pendidikan Islam adalah segenap kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam pendidikan Islam dalam upaya melaksanakan proses pendidikan Islam bagi peserta didiknya dimana kompetensi tersebut dapat dibagi dua yaitu kompetensi kegiatan pendidikan Islam non profesional dan kompetensi pendidik Islam profesional. Kompetensi pendidikan Islam non profesional adalah kemampuan standar yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam berupa suatu kemampuan yang diperoleh melebihi dari kemampuan peserta didik yang dididik sedangkan kompetensi pendidik Islam profesional adalah segenap kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam pelaksanaan pendidikan Islam sehingga nantinya mampu membuat peserta didiknya terbentuk kepribadian sesuai dengan tuntunan ajaran Islam dimana kompetensi pendidik Islam profesional itu meliputi; memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas pendidikan Islam, memiliki kemampuan legalitas keilmuan pendidikan Islam, memiliki kemampuan penguasaan ilmu pendidikan Islam, memiliki kemampuan teknik-teknik pentransferan ilmu pendidikan Islam yang diajarkan, memiliki visi dan misi ke depan, dan mempunyai komitmen dalam upaya perubahan sesuai dengan tuntunan nilainilai ajaran Islam. 4.



Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam Ibnu Jama‟ah terkait dengan kode etik pendidik dalam pendidikan Islam membaginya menjadi tiga yaitu; a. Etika yang terkait dengan dirinya sendiri berupa memiliki sifatsifat keagamaan yang baik meliputi; patuh dan tunduk terhadap syari‟at Allah dalam bentuk ucapan dan tindakan, baik yang wajib maupun sunnah, senantiasa membaca al-Qur‟an, berzikir kepadaNya, baik dengan hati maupun lisan (lahir atau bathin); dan memiliki sifat-sifat akhlakul yang mulia seperti menghias diri (tahalli) dengan memelihara diri, khusyu, rendah hati, menerima apa adanya, Zuhud dan memiliki daya serta hasrat yang kuat b. Etika terhadap peserta didik yaitu; sifat-sifat sopan santun, yang terkait dengan akhlak yang mulia seperti di atas dan sifat-sifat memudahkan, menyenangkan dan menyelamatkan



150



c.



Etika dalam proses pembelajaran yaitu; sifat-sifat memudahkan, menyenangkan dan menyenangkan dengan sifat-sifat seni, yaitu seni mengajar yang menyenangkan sehingga peserta didik tidak merasa bosan.310



Al-Gazali yang dikutip Bukhari Umar merumuskan kode etik pendidik dalam pendidikan Islam meliputi; a. Menerima segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka b. Bersikap penyantun dan penyayang c. Menjaga kewibawaan kehormatannya dalam bertindak d. Menghindari dan menghilangkan sikap angkup terhadap sesama e. Bersifat rendah hati ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat f. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia g. Bersikap lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang rendah IQ-nya dan membinanya sampai pada taraf maksimal h. Meninggalkan sifat marah dalam menghadapi problem peserta didik i. Memperbaiki sifat peserta didik dan lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar bicara j. Meninggalkan sifat menakutkan bagi peserta didik terutama pada peserta didik yang belum mengerti atau mengetahui k. Berusaha memperbaiki pertanyaan-pertanyaan peserta didik walaupun pertanyaannya terkesan tidak bermutu atau tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan l. Menerima kebenaran yang diajukan peserta didik m. Menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walau kebenaran itu datangnya dari peserta didik n. Mencegah dan mengontrol peserta didik belajar ilmu yang membahayakan o. Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus menerus mencari informasi guna disampaikan pada peserta didik yang pada akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah swt p. Mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardhu kifayah (kewajiban kolektif, seperti ilmu kedokteran, psikologi, ekonomi,



310



Bukhari Umar, op. cit., h. 99



151



q.



dan sebagainya) sebelum mempelajari ilmu fardhu ain (kewajiban individual, seperti akidah, syari‟ah dan akhlak Mengaktualisasikan informasi yang diajarkan kepada peserta didik. 311



M Athiyah al-Abrasyi yang dikutip Bukhari Umar mengemukakan kode etik pendidik dalam pendidikan Islam meliputi; a. Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik sehingga ia menyayangi peserta didik seperti menyayangi anaknya sendiri b. Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik. c. Memperhatikan kondisi dan kemampuan peserta didik d. Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik misalnya hanya memperhatikan anak yang berkecerdasan tinggi e. Mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian dan kesempurnaan f. Mengaitkan materi satu dengan materi lainnya g. Memberi bekal kepada peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa depan, karena ia tercipta berbeda dengan zaman yang dialami pendidiknya h. Sehat jasmani dan rokhani serta memiliki kepribadian yang kuat, bertanggung jawab, dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.312 Dengan demikian berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas tentang kode etik pendidik dalam pendidikan Islam baik menurut pemikiran Ibnu Jama‟ah, Al-Gazali dan M Athiyah al-Abrasyi dapat dipahami bahwa pada esensi muatannya sama diantara tiga pemikiran tersebut dan etika tersebut banyak berhubungan dengan etika-etika yang harus diterapkan oleh pendidik baik untuk dirinya maupun untuk peserta didiknya selama melaksanakan proses pendidikan terhadap peserta didik sehingga ilmu yang diajarkan kepada peserta didik dapat dengan mudah dipahami dan dimengerti peserta didik serta mudah pula dalam pengamalannya dalam kehidupan.



311 312



Ibid., h. 100 Ibid., h. 101-102



152



5.



Sifat-Sifat yang Harus Dimiliki Guru dalam Melaksanakan Pendidikan Islam M Athiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh Nur Uhbiyati tentang sifat-sifat yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan pendidikan Islam yaitu; a. Memiliki sifat Zuhud, tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari keridhaan Allah semata b. Seorang guru harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa besar, sifat riya‟, dengki, permusuhan, perselisihan dan lain sifat-sifat yang tercela c. Ikhlas dalam pekerjaan d. Keikhlasan dan kejujuran seorang guru di dalam pekerjaannya merupakan jalan terbaik ke arah suksesnya di dalam tugas dan sukses murid-muridnya e. Seorang guru harus bersifat pemaaf terhadap murid-muridnya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak bersabar dan jangan pemarah karena sebab-sebab yang kecil. Berpribadi dan mempunyai harga diri f. Seorang guru harus mencintai murid-muridnya seperti cintanya terhadap anaknya sendiri, dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya sendiri. Bahkan seharusnya ia lebih mencintai murid-muridnya daripada anaknya sendiri g. Seorang guru harus mengetahui tabiat, pembawaan, adat kebiasaan, rasa dan pemikiran murid-muridnya agar ia tidak keliru dalam mendidik murid-muridnya h. Seorang guru harus menguasai mata pelajaran yang akan diberikannya, serta memperdalam pengetahuannya tentang itu sehingga mata pelajaran itu tidak akan bersifat dangkal. 313 Imam al-Gazali yang dikutip Nur Uhbiyati tentang sifat-sifat guru dalam melaksanakan pendidikan Islam yaitu; a. Seorang guru harus menaruh rasa kasih sayang terhadap muridmuridnya dan memperlakukan mereka seperti perlakuan mereka terhadap anaknya sendiri b. Tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih tetapi dengan mengajar itu ia bermaksud mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepadanya



313



Nur Uhbiyati, op. cit., h. 127



153



c.



d.



e.



f.



g.



h.



Hendaknya guru menasihatkan kepada pelajar-pelajarnya supaya jangan sibuk dengan ilmu yang abstrak dan yang gaib-gaib, sebelum selesai pelajaran atau pengertiannya dalam ilmu yang jelas, konkrit dan ilmu-ilmu yang pokok. Terangkanlah bahwa sengaja belajar itu supaya dapat mendekatkan diri kepada Allah, bukan bermegah-megahan dengan ilmu pengetahuan Mencegah murid dari sesuatu akhlak tidak baik dengan jalan sindiran jika mungkin dan jangan dengan terus terang, dengan jalan halus dan jangan mencela Supaya diperhatikan tingkat pikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya dan jangan disampaikan sesuatu yang melebihi tingkat tangkapannya agar ia tidak lari dari pelajaran, ringkasnya bicaralah dengan bahasa mereka Jangan ditimbulkan rasa benci pada diri murid mengenai sesuatu ilmu yang lain, tetapi seyogianya dibukakan jalan bagi mereka untuk belajar cabang ilmu tersebut Seyogianya kepada murid yang masih dibawah umur, diberikan pelajaran yang jelas dan pantas buat dia, dan tidak perlu disebutkan kepadanya akan rahasia-rahasia yang terkandung dibelakang sesuatu itu, sehingga tidak menjadi dingin kemauannya atau gelisah pikirannya. Seorang guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlain kata dengan perbuatannya.314



Mahmud Yunus yang dikutip oleh Ahmad Tafsir bahwa sifat guru muslim sebagai berikut; a. Menyayangi murid dan memperlakukan mereka seperti menyayangi dan memperlakukan anak sendiri b. Hendaknya guru memberikan nasihat kepada muridnya seperti melarang mereka menduduki suatu tingkat sebelum berhak mendudukinya c. Hendaknya guru memperingatkan muridnya bahwa tujuan menuntut ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan untuk menjadi pejabat, untuk bermegah-megahan atau bersaing d. Hendaknya guru melarang muridnya berkelakuan tidak baik dengan cara lemah lembut bukan dengan cara mencaci maki 314



Nur Uhbiyati, op. cit., h. 128



154



e.



f. g. h. i. j.



Hendaknya guru mengajarkan kepada murid-muridnya mula-mula bahan pelajaran yang mudah dan banyak terjadi di dalam masyarakat Tidak boleh guru merendahkan pelajaran lain yang tidak diajarkannya Hendaknya guru mengajarkan masalah yang sesuai dengan kemampuan murid Hendaknya guru mendidik muridnya supaya berpikir dan berijtihad, bukan semata-mata menerima apa yang diajarkan guru Hendaknya guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataan berbeda dengan perbuatan Hendaknya guru memberlakukan semua muridnya dengan cara adil, jangan membedakan murid atas dasar kekayaan atau kedudukan. 315



Abdurrahman an-Nahlawi yang dikutip Nur Uhbiyanti menyarankan agar guru melaksanakan tugasnya dengan baik supaya memiliki sifat-sifat sebagai berikut; a. Tingkah laku dan pola pikir guru bersifat rabbani b. Guru seorang yang ikhlas c. Guru bersabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada anak-anaknya d. Guru jujur dalam menyampaikan apa yang diserukannya e. Guru senantiasa membekali diri dengan ilmu dan kesediaan membiasakan untuk terus mengkajinya f. Guru mampu menggunakan berbagai metode mengajar secara bervariasi menguasainya dengan baik serta mampu menentukan dan memilih metode mengajar yang selaras bagi materi pengajaran serta situasi belajar mengajarnya g. Guru mampu mengelola siswa, tegas dalam bertindak serta meletakkan berbagai perkara secara proporsional h. Guru mempelajari kehidupan psikis para pelajar selaras dengan masa perkembangannya ketika ia mengajar mereka sehingga dia dapat memberlakukan mereka sesuai dengan kemampuan akal dan kesiapan psikis mereka i. Guru tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi jiwa, keyakinan dan pola pikir angkatan 315



Ahmad Tafsir, “Ilmu Pendidikan Islami”, op. cit., h. `133



155



j.



muda. Di samping itu, hendaknya memahami pula berbagai problem kehidupan moderen serta cara bagaimana Islam menghadapi dan mengatasinya Guru bersikap adil di antara pelajar.316



Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang sifat-sifat yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan pendidikan Islam dapatlah dipahami bahwa sifat-sifat yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan pendidikan Islam meliputi; zuhud, bersih diri baik secara fisik maupun bathin, ikhlas, jujur, pemaaf, mencintai murid-murid seperti anak sendiri, memahami karakter peserta didik, menguasai mata pelajaran yang diajarkan, mengamalkan ilmunya, mengajar murid disesuaikan dengan kemampuannya, mengarahkan peserta didik untuk mendahulukan pengetahuan yang sifatnya jelas dan ilmu-ilmu pokok, mengarahkan murid bahwa belajar adalah bagian dari ibadah, menghindarkan murid dari akhlak tidak baik, menanamkan kecintaan murid pada semua ilmu, bersikap adil di antara murid-muridnya, mengikuti perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi kepribadian dan pola pikir murid, guru bersikap proporsional dan tegas pada setiap persoalan dan guru dalam melaksanakan kegiatan mengajar menggunakan metode secara tepat, efektif dan bervariasi. 6.



Kedudukan Pendidik dalam pendidikan Islam Pendidik Islam ialah individu yang melaksanakan tindakan mendidik terhadap peserta didik secara Islami demi untuk tewujudnya nilai-nilai Islami dalam diri peserta didik. Ia merupakan salah satu penentu kedua dalam berlangsung proses pendidikan Islam setelah anak didik. Ia memiliki peranan yang amat penting dalam proses pendidikan Islam sebab ialah yang menyampaikan materi pembelajaran nilai-nilai Islam kepada peserta didik dan dia juga punya andil dalam menuntut peserta didik dalam kehidupan hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam.317 Bukhari Umar mengemukakan bahwa; Pendidik adalah bapak ruhani (spiritual father) bagi peserta didiknya, yang memberikan santapan jiwa dan ilmu, pembinaan akhlak mulia dan meluruskan perilaku yang buruk. Oleh karena itu pendidik mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam. 318



316 317 318



Nur Uhbiyanti, op. cit., h. 130-131 Ibid., h. 117 Bukhari Umar, op. cit., h. 86



156



Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidik dalam pendidikan Islam menempati posisi yang tinggi atau mulia dalam Islam karena mereka menjadi bapak rohani bagi peserta didiknya karena mereka yang menjadikan jiwa peserta didik terisi dengan nilai-nilai ajaran Islam, mereka juga yang menjadikan karatekter peserta didik menjadi karakter yang terhiasi dengan akhlak mulia dan mereka pulalah yang selalu meluruskan perilaku peserta didik dari penyimpangan-penyimpangan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. M Athiyah al-Abrasyi mengemukakan bahwa; Seseorang yang berilmu kemudian mengamalkan ilmunya itu, maka orang inilah yang dinamakan orang yang berjasa besar di kolong langit. Orang tersebut bagaikan matahari yang menyinari orang lain dan menerangi pula dirinya sendiri, ibarat minyak kesturi yang baunya dinikmati orang lain dan ia sendiri pun harum. Siapa yang bekerja dibidang pendidikan maka sesungguhnya ia telah memiliki pekerjaan dan sangat penting maka hendaknya ia memelihara adab dan sopan santun dari tugasnya itu.319 Berdasarkan pendapat M Athiyah al-Abrasyi tersebut dapatlah dipahami bahwa kedudukan pendidik dalam pendidikan Islam sangat mulia dan sangat tinggi dimana ia dibaratkan sebagai matahari yang bersinar dan sinarnya menerangi orang-orang lain. Ia diibaratkan minyak kesturi yang baunya dinikmati oleh orang lain. Kedudukan tersebut dapat diperoleh asalkan pendidik dalam pendidikan Islam itu benar menjalankan tugas pendidikan kepada peserta didiknya sesuai dengan petunjuk-petunjuk dalam ajaran Islam serta ia sendiri menjadi teladan bagi peserta didiknya dalam pengamalan nilainilai ajaran Islam. Al-Gazali mengemukakan; Seorang sarjana yang bekerja mengamalkan ilmunya adalah lebih baik daripada seorang yang hanya beribadah saja, puasa saja setiap hari dan sembahyang setiap malam.320 Berdasarkan pendapat Imam al-Gazali tersebut dapatlah dipahami bahwa orang Islam yang memiliki ilmu lalu ilmu itu diajarkan kepada orang lain maka kebaikannya lebih baik dari orang yang beribadah, puasa setiap hari dan sembahyang setiap malam. Hal ini juga bermakna bahwa pendidik dalam 319



320



Mohammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, Diterjemahkan Bustani A Gani dan Johar Bahry dengan Judul; Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 130 Imam al-Gazali, Ihya Ulumuddin, Jilid I (Beyrut: Dar al-Fikr, t.th), h. 25



157



pendidikan Islam bila benar-benar menanamkan nilai-nilai Islam kepada peserta didiknya maka hal itu akan lebih tinggi kemuliaannya ketimbang hanya menjalankan ibadah, puasa setiap hari dan sembahyang setiap malam. Memang tidak dapat disangkal bahwa pendidik merupakan elemen penting dari bisa berlangsung proses pendidikan Islam. Pendidik dalam pembelajaran menempati posisi yang tidak bisa diabaikan. Pembelajaran dalam proses pendidikan Islam tidak akan bisa berjalan tanpa adanya partisipasi pendidik. Masa depan peserta didik sangat bergantung pada bagaimana pendidik mempengaruhi proses pembelajaran peserta didik dalam pendidikan Islam. Pendidik bukan hanya memikirkan bagaimana metodemetode yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran pendidikan Islam tetapi ia juga menyiapkan dan mengembangkan segala hal yang terkait dengan proses pendidikan Islam agar peserta didiknya dengan mudah memahami nilai-nilai Islam yang diajarkan dan dengan mudah pula mampu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.321 Dengan demikian merujuk pada penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang kedudukan pendidik dalam pendidikan Islam dapatlah dipahami bahwa pendidik memegang peran pentingnya dalam berlangsungnya proses pendidikan Islam sebab dengan adanya pendidik proses penanaman nilai-nilai Islam bagi peserta didik dapat dilakukan tetapi bila pendidik tidak ada maka proses penanaman nilai-nilai Islam tidak dapat dilakukan terhadap peserta didik sehingga pendidik menjadi ujung tombak berlangsung proses pentransferan ilmu-ilmu Islam dalam proses pendidikan Islam. D.



Rangkuman Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu manusia yang tanpa batas umur yang sedang mengikuti proses penanaman nilai-nilai Islam dalam proses pendidikan Islam agar nantinya potensi yang dimilikinya dapat difungsikan dalam kehidupan sesuai dengan tuntunan nilai-nilai ajaran Islam. Kode etik peserta didik yang harus diikuti peserta didik agar berhasil dalam proses pendidikan Islam diantaranya yaitu; menyucikan diri sebelum kegiatan belajar, belajar dengan niat ibadah, rela berkorban demi untuk mencari ilmu, menghormati dan memuliakan guru, selalu duluan memberi salam kepada guru, jangan bercakap dihadap guru, jangan duduk ditempat duduk guru, jangan berjalan di hadapan guru, jangan berbicara sebelum diizinkan guru, bersungguh-sungguh dalam belajar, sayang kepada kitab atau 321



Lihat Ramayulis, op. cit., h. 138



158



catatan materi pelajaran, bersikap rendah diri, menjadikan teman seperti saudara kandung, belajar dengan bertahap atau berjenjang, memprioritaskan ilmu diniyah sebelum ilmu duniawi, memanfaatkan waktu belajar dengan sebaik-baiknya, rajin mengulang pelajaran, waktu mengulang pelajaran di waktu senja dan menjelang subuh, dan jangan merendahkan ilmu lain. Pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap manusia yang telah dewasa, telah memahami dan mengimplementasikan konsep-konsep kehidupan dan nilai-nilai ajaran Islam serta melaksanakan proses pembinaan kepada peserta didiknya agar mereka dalam kehidupan hidup sesuai nilai-nilai Islam. Pendidik dalam pendidikan Islam ini meliputi pendidik yang berada di lingkungan keluarga, pendidik yang berada di lingkungan lembaga pendidikan formal dan pendidikan yang berada di lingkungan masyarakat. Sifat-sifat yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan pendidikan Islam di antaranya; zuhud, bersih diri, ikhlas, jujur, pemaaf, mencintai muridmurid seperti anak sendiri, memahami karakter peserta didik, menguasai mata pelajaran yang diajarkan, mengamalkan ilmunya, mengajar murid disesuaikan dengan kemampuannya, menghindarkan murid dari akhlak tidak baik, menanamkan kecintaan murid pada semua ilmu, bersikap adil di antara muridmuridnya, mengikuti perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi kepribadian dan pola pikir murid, dan guru dalam melaksanakan kegiatan mengajar menggunakan metode secara tepat, efektif dan bervariasi.



159



160



BAB VI METODE PENDIDIKAN ISLAM A.



Latar Belakang Pemikiran Pendidikan berkembang dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang sangat kompleks sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat tempat pendidikan itu berlangsung. Dalam masyarakat yang sederhana ketika kebutuhan hidup terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan kelangsungan hidup pendidikan berlangsung secara intuitif dan tradisional. pelaksanaannya ditangani sepenuhnya oleh orang tua. Ayah umpamanya mengajari putranya cara-cara berburu dan bercocok tanam sementara Ibu mengajari putrinya bagaimana mempersiapkan makanan dan mengatur rumah. Namun ketika kebutuhan meningkat semakin banyak, orang tidak hanya berpikir tentang bagaimana memenuhi kebutuhan itu, tetapi juga apakah perlu menciptakan kebutuhan baru, lalu memilih antara yang sesungguhnya dibutuhkan dalam hidup dan mana yang tidak dibutuhkan dalam hidup. Perkembangan bidang pekerjaan yang membawa serta spesialisasi pengetahuan dan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan keagamaan anak membuat para orang tua sadar akan keterbatasan kemampuannya sementara kasih sayang terhadap anak mendorongnya untuk meminta bantuan para profesional dalam memikul tanggung jawab pendidikan. Pendidikan yang tadinya hanya berada dalam keluarga berkembang ke lingkungan sekolah dan lembaga pendidikan di masyarakat. 322 Untuk itu, dapat dipahami bahwa keberadaan pendidikan bagi umat manusia sangat penting sebab lewat proses pendidikanlah manusia dapat berkembang dalam kehidupannya. Akibat tuntutan kebutuhan hidup manusia maka mempengaruhi proses pelaksanaan pendidikan bagi anak didik dari waktu ke waktu yang terus berkembang dimana tadinya pelaksanaan pendidikan hanya dilaksanakan dalam keluarga lalu berpindah pada lingkungan pendidikan formal hingga adanya lembaga-lembaga pendidikan non formal dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan sasaran dan tujuan pelaksanaan pendidikan tersebut. Bagi umat Islam salah satu pendidikan yang tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan hidup mereka adalah keberadaan pendidikan Islam yang dilaksanakan sebagai bagian dari upaya menanamkan nilai-nilai ajaran Islam 322



Hery Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 16



161



bagi umat Islam agar dalam kehidupannya selalu hidup sesuai dengan nilainilai ajaran yang terdapat dalam agama Islam. 323 Agar berhasil pelaksanaan pendidikan Islam yang dilaksanakan bagi peserta didiknya maka selain dituntut adanya kemampuan seorang pendidikan dalam pelaksanaan pendidikan Islam berupa kemampuan penguasaan terhadap materi yang akan diajarkan maka para pendidik dalam pelaksanaan pendidikan Islam juga dituntut untuk menguasai metode pembelajaran atau berbagai cara atau pola penyampaian materi terhadap anak didiknya. 324 Ramayulis mengemukakan bahwa; Metode adalah seperangkat cara dan jalan yang digunakan oleh pendidik dalam proses pembelajaran agar peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran atau menguasai kompetensi tertentu yang dirumuskan dalam silabi mata pelajaran.325 Armai Arief mengartikan secara spesifik tentang metode pendidikan Islam yaitu; “Cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan Islam”. 326 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bukhari Umar bahwa; “metode pendidikan Islam adalah cara-cara yang digunakan dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.327 Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa salah satu yang aspek yang cukup berpengaruh dalam berlangsungnya proses pendidikan Islam adalah keberadaan metode pendidikan Islam sebab lewat keberadaan metode pendidikan Islam proses penyampaian materi pendidikan Islam dapat berlangsung dan berhasil tidaknya tujuan pendidik Islam yang dilaksanakan bergantung pada kemampuan seorang pendidik dalam memilih dan menggunakan metode yang tepat terkait nilai-nilai pendidikan Islam yang diajarkan kepada peserta didiknya. Selain itu dari penjelasan tersebut juga memberikan pemahaman bahwa segala bentuk penyampaian materi kepada peserta didik dalam pendidikan Islam semuanya merupakan wujud dari metode pendidikan Islam itu sendiri sehingga lingkup metode dalam pendidikan Islam itu cakupannya cukup luas seperti dapat berupa



323



324 325 326 327



Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 (Cet. II; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), 132 HM Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 100 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. XII; Jakarta: Kalam Mulia, 2012), h. 272 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 40 Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2010), h. 181



162



penyampaian materi secara lisan, tulisan, praktik, keteladanan atau perilaku maupun yang lainnya. Nur Uhbiyati mengemukakan bahwa; Pendidik dalam menyampaikan materi atau bahan pendidikan kepada anak didik harus benar-benar disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan anak didik. Kita tidak boleh mementingkan materi atau bahan dengan mengorbankan anak didik. Sebaiknya, kita harus mengusahakan dengan jalan menyusun materi sedemikian rupa sesuai dengan taraf kemampuan anak, tetapi dengan cara serta gaya yang menarik. 328 Berdasarkan pemikiran Nur Uhbiyati tersebut memberikan pemahaman bahwa seorang pendidik dalam proses pendidikan Islam dalam menerapkan metode pembelajaran harus tepat sesuai dengan karakteristik materi, keadaan peserta didik, dan situasi saat proses pembelajaran sehingga dengan begitu tujuan pendidikan yang diterapkan bisa dicapai atau terwujud dengan baik dalam diri peserta didik. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas tentang esensi keberadaan metode dalam proses pendidikan Islam dapatlah dikemukakan suatu asumsi bahwa metode pendidikan Islam adalah salah satu aspek yang mempengaruhi tercapainya tujuan pendidikan Islam karena metode pendidikan Islam adalah berbagai cara yang dapat ditempuh oleh pendidik untuk menyampaikan materi-materi pendidikan Islam kepada peserta didiknya dimana agar dicapai tujuan pendidikan Islam yang dilaksanakan terhadap peserta didiknya maka pendidik dalam pemilihan metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi, potensi peserta didik dan situasi proses pendidikan itu dilaksanakan. Melihat begitu vitalnya keberadaan metode dalam proses pelaksanaan pendidikan Islam bagi peserta didik dan ketercapaian tujuan pendidikan Islam yang dilaksanakan maka dalam bab ini akan diulas topik kajian tentang metode pendidikan Islam demi untuk mengetahui secara jelas tentang metode dalam pendidikan Islam serta segala hal yang terkait dengannya. B.



Pengertian Metode Pendidikan Islam Sebelum membahas tentang pengertian metode pendidikan Islam maka alangkah baiknya dipahami terlebih dahulu tentang dua istilah yang sering digunakan dalam proses penyampaian materi pelajaran kepada peserta didik 328



Nur Uhbiyati, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 20013), h.164



163



yaitu metode pengajaran dan metodologi pengajaran sebab rata-rata dua istilah tersebut selalu muncul dalam kajian-kajian pendidikan terkait dengan cara pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik. Secara bahasa Indonesia metodologi pengajaran berasal dari dua suku kata yaitu; metodologi dan pengajaran. Metodologi berarti; “ilmu tentang metode atau uraian tentang metode”.329 Penjelasan ini belum memberikan pengertian jelas kaitannya dengan kegiatan pengajaran. Untuk itu agar dapat melahirkan rumusan yang tepat kaitannya dengan pengajaran maka perlu dikemukakan pengertian dari kata metode. Metode berarti; cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud atau dapat juga berarti cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. 330 Sementara pengajaran berarti; “proses perbuatan, cara mengajar, atau mengajarkan”. 331 Berdasarkan penjelasan etimologi tentang metodologi dan pengajaran tersebut dapatlah dipahami bahwa metodologi pengajaran adalah suatu ilmu pengetahuan tentang cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan mengajar yang harus diterapkan oleh seorang pendidik agar tujuan mengajar yang dilakukan terhadap peserta didik dapat dicapai. Dengan kata lain dari pengertian bahasa metodologi pengajaran adalah ilmu pengetahuan yang mengajarkan tentang cara-cara pendidik dalam melaksanakan suatu proses pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran yang dilakukan dapat dicapai dengan baik. Adapun pengertian metodologi mengajar secara terminologi secara jelasnya dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli tentang metodologi pengajaran sebagaimana uraian-uraian di bawah ini. M Basyiruddin Usman mengemukakan; Istilah metodologi pengajaran sebenarnya sama dengan metodik yaitu suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan bagaimana cara menyajikan bahan pelajaran terhadap siswa agar tercapai suatu tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. 332 Berdasarkan penjelasan dari M Basyiruddin Usman tersebut dapatlah dipahami bahwa metodologi pengajaran adalah suatu ilmu pengetahuan yang di dalamnya memuat kajian-kajian tentang cara-cara pendidik melaksanakan 329 330 331 332



Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia(Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h.653 Ibid, h. 652 Ibid, h. 15 M Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam (Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 4



164



pembelajaran kepada siswannya sehingga pembelajaran yang dilakukan oleh seorang pendidik bersifat efektif dan efisien serta tujuan pembelajaran yang dilakukan pendidik terhadap siswannya dapat dicapai. Ramayulis mengemukakan; Istilah metodologi pengajaran, terdiri dari dua kata yaitu metodologi dan pengajaran. Metodologi terdiri pula dari dua kata yaitu; metode dan logi. Logi berasal dari kata logos yang berarti ilmu. Jadi metodologi ialah suatu ilmu yang membicarakan suatu cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Pengajaran berasal dari kata ajar di tambah awal pe- dan akhiran -an sehingga menjadi kata pengajaran yang berarti proses penyajian atau bahan pelajaran yang disajikan. Dengan demikian metodologi pengajaran berarti suatu ilmu yang membicarakan tentang jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pengajaran. Metodologi pengajaran ini tidak akan ada artinya kalau tidak dilaksanakan dalam praktek pendidikan. Pelaksanaan metodologi pengajaran dalam pendidikan disebut metode mengajar. Metode mengajar juga sebagai alat dalam pendidikan. 333 Berdasarkan penjelasan Ramayulis tersebut dapatlah dipahami bahwa metodologi pengajaran adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang jalan yang harus ditempuh oleh pendidik dalam melaksanakan kegiatan mengajar sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Namun bila metodologi pengajaran dipraktekkan dalam proses pendidikan maka ia dikenal dengan metode mengajar yang menjadi salah satu penentu kegiatan pendidikan. Armai Arief mengemukakan bahwa; Metodologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata; Metodos berarti cara atau jalan dan logos yang berarti ilmu. Metodologi berarti ilmu tentang jalan atau cara. Namun untuk memudahkan pemahaman tentang metodologi, lebih dahulu akan dijelaskan pengertian metode. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Seiring dengan itu, oleh Mahmud Yunus mengatakan; metode adalah jalan yang hendak ditempuh oleh seseorang supaya sampai kepada tujuan tertentu, baik dalam lingkaran perusahaan atau perniagaan, maupun dalam kepuasan ilmu pengetahuan dan lainnya. Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa metode mengandung arti adanya urutan kerja yang terencana, sistematis dan merupakan hasil eksperimen ilmiyah 333



Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Cet. III; Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h.. 108



165



guna mencapai tujuan yang telah direncanakan. Pertanyaan yang timbul adalah apa yang dimaksud dengan metodologi itu sendiri. Berdasarkan asal kata kata metodologi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, metodologi adalah ilmu tentang cara atau sampai kepada tujuan. Oleh Asmuni Syukir tentang metodologi menjelaskan, metodologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil efektif dan efisien. Demikian perbedaan yang sangat tipis antara pengertian metode dengan metodologi namun harus dapat dibedakan secara jelas. 334 Berdasarkan penjelasan Armai Arief tersebut memberikan pemahaman bahwa metodologi pengajaran adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang ditempuh pendidik untuk mencapai tujuan pendidikan yang dilaksanakan terhadap peserta didiknya. Soleha dan Rada mengemukakan bahwa; Metodologi pembelajaran adalah berbagai cara atau seperangkat cara atau jalan yang dilakukan, ditempuh guru secara sistematis dalam melakukan upaya pembelajaran yang telah diolah sehingga menjadi milik peserta didik.335 Berdasarkan pendapat Soleha dan Rada tersebut memberikan pemahaman bahwa metodologi pengajaran adalah berbagai cara yang ditempuh oleh guru secara sistematis dalam upaya berlangsungnya proses pembelajaran yang dilakukan terhadap peserta didik sehingga materi pembelajaran yang diajarkan dalam proses pembelajaran tersebut dapat berpindah secara pengetahuan dari guru sebagai pengajar kepada peserta didik yang menerima pembelajaran dari guru dalam bentuk pengetahuan yang dimiliki peserta didik. Lalu bagaimana pengertian metode pengajaran. Mengenai pengertian metode pengajaran secara jelasnya dapat di lihat dari beberapa pendapat para ahli yang dikemukakan di bawah ini. Abuddin Nata mengemukakan bahwa; Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu; Meta dan Hodos. Meta berarti melalui dan hodos berarti jalan atau cara. Dengan demikian metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin tertentu. Ada lagi berpendapat metode sebenarnya berarti jalan untuk mencapai tujuan. 334 335



Armai Arief, op. cit., h. 88 Soleha & Rada, Ilmu pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2011), h. 107



166



Jalan untuk mencapai tujuan itu bermakna ditempatkan pada posisinya sebagai cara untuk menemukan, menguji, dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan ilmu atau tersistematisasikan suatu pemikiran. Dengan pengertian yang terakhir ini, metode lebih memperhatikan sebagai alat untuk mengelola dan mengembangkan suatu gagasan sehingga menghasilkan suatu teori atau temuan. 336 Pada pemikiran selanjutnya Abuddin Nata mengemukakan; Tentang fungsi metode secara umum dapat dikemukakan sebagai sumber jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan tersebut. Sedangkan dalam konteks lain metode dapat merupakan sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin suatu ilmu. Terdapat suatu prinsip yang umum dalam memfungsikan metode, yaitu prinsip agar pengajaran dapat disampaikan dalam suasana yang menyenangkan, menggembirakan, penuh dorongan dan motivasi sehingga pelajaran atau materi didikan itu dapat dengan mudah diberikan. Banyak metode yang ditawarkan para ahli sebagaimana dijumpai dalam buku-buku kependidikan lebih merupakan usaha untuk mempermudah atau mencari jaling paling sesuai dengan perkembangan jiwa si anak dalam menerima pelajaran. 337 Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Abuddin Nata tersebut memberikan pemahaman bahwa metode pengajaran adalah cara-cara atau jalan yang ditempuh pendidik untuk mempermudah peserta didik menerima materi pelajaran yang diajarkan. Zakiah Daradjat dkk mengemukakan; Secara harfiah metodik itu berasal dari kata metode (method). Metode berarti suatu cara kerja yang sistematik dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan. Ia merupakan jawaban pertanyaan bagaimana. Metodik (methodentic) sama artinya dengan metodologi (methodology), yaitu suatu penyelidikan yang sistematis dan formulasi yang akan digunakan dalam penelitian. Metodik khusus berarti penyelidikan khusus untuk suatu proyek. Dalam hal ini metodik adalah suatu cara dan siasat penyampaian bahan pelajaran tertentu dari suatu mata pelajaran agar siswa dapat mengetahui, memahami, mempergunakan dan dengan kata lain menguasai bahan pelajaran tersebut.338



336 337 338



Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 92 Ibid., h. 94 Zakiah Daradjat dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 1



167



Berdasarkan penjelasan Zakiah Daradjat ddk tersebut dapatlah dipahami bahwa metode pengajaran adalah suatu cara dan siasat penyampaian bahan pelajaran yang harus diterapkan oleh seorang guru atau pendidik dalam melaksanakan pembelajaran bagi para siswannya sehingga siswa menguasai bahan pelajaran sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam pembelajaran mata pelajaran tersebut. Abu Ahmadi dan Joko Triprasetya mengemukakan bahwa; Metode mengajar adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh seorang guru atau instruktur. Pengertian lain ialah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas, baik secara individual atau secara kelompok/klasikal, agar pelajaran itu dapat diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh siswa dengan baik. Makin baik metode mengajar, makin efektif pula pencapaian tujuan.339 Berdasarkan pendapat Abu Ahmadi dan Joko Triprasetya tersebut memberikan pemahaman bahwa metode pengajaran disebutkan dengan istilah metode mengajar yang berarti pengetahuan berisi tentang cara-cara mengajar yang dapat diterapkan oleh pendidik dalam kegiatan pengajaran yang diterapkan kepada peserta didik baik secara individu maupun kelompok dengan tujuan materi yang diajarkan atau materi pengajaran dapat diserap, dipahami dan dimanfaatkan peserta didik dengan baik dalam kehidupan. Ahmad Sabri mengemukakan bahwa; Metode pembelajaran adalah cara-cara atau teknik penyajian bahan pelajaran yang akan digunakan oleh guru pada saat menyajikan bahan pelajaran, baik secara individu atau secara kelompok. Agar tercapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, seorang guru harus mengetahui berbagai metode. Dengan memiliki pengetahuan mengenai sifat berbagai metode maka seorang guru akan lebih mudah menetapkan metode yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi. Penggunaan metode mengajar bergantung pada tujuan pembelajaran.340 Berdasarkan pendapat Ahmad Sabri tersebut memberikan pemahaman bahwa metode pengajaran adalah pengetahuan tentang cara-cara atau teknik penyajian pelajaran yang dapat diterapkan oleh pendidik dalam melaksanakan kegiatan pengajaran kepada peserta didiknya sehingga tercapai tujuan pengajaran yang telah direncanakan bagi peserta didiknya dimana metode 339 340



Abu Ahmadi & Joko Triprasetya, Strategi Belajar Mengajar Untuk Fakultas Tarbiyah (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 52 Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching (Cet. Jakarta: Quantum Teaching: 2005), h. 52



168



pengajaran yang baik yang diterapkan oleh seorang pendidik adalah metode pengajaran yang penggunaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta tujuan pengajaran yang dilaksanakan. Nana Sudjana mengemukakan bahwa; Metode mengajar ialah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran. Oleh karena itu peranan metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses belajar dan mengajar. Dengan metode ini diharapkan tumbuh berbagai kegiatan belajar siswa sehubungan dengan kegiatan mengajar guru. Dengan kata lain terciptalah interaksi edukatif. Dalam interaksi ini guru berperan sebagai penggerak atau pembimbing sedangkan siswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing. Proses interaksi ini akan berjalan baik kalau siswa banyak aktif dibandingkan dengan guru. Oleh karenanya metode mengajar yang baik adalah metode yang dapat menimbulkan kegiatan belajar siswa.341 Berdasarkan pemikiran Nana Sudjana tersebut memberikan pemahaman bahwa metode pengajaran adalah cara yang dipergunakan seorang pendidik dalam mengadakan hubungan proses pembelajaran dengan peserta didiknya dimana dengan proses tersebut timbul berbagai kegiatan belajar dari peserta didik sesuai materi pengajaran yang diajarkan oleh pendidik. Untuk itu merujuk pada penjelasan-penjelasan tersebut di atas baik tentang metodologi pengajaran maupun tentang metode pengajaran dapatlah dipahami bahwa metodologi pengajaran adalah ilmu pengetahuan yang di dalamnya membahas tentang pola-pola yang harus di tempuh guru dalam melaksanakan pembelajaran sehingga pembelajaran yang dilakukan oleh guru dapat mencapai tujuan yang diinginkan sebaliknya metode pengajaran adalah cara-cara guru atau pendidik menyampaikan pengajaran kepada peserta didik sehingga pembelajaran berlangsung dengan baik dan tercapai tujuan pengajaran yang diterapkan kepada peserta didik. Hal ini memberi makna bahwa sebenarnya metodologi pengajaran intinya adalah ilmu yang membahas cara-cara penyampaian pelajaran sedangkan metode pengajaran atau metode mengajar juga intinya adalah ilmu yang membahas cara-cara penyampaian pelajaran kepada peserta didik sehingga bila kita membahas tentang metodologi pengajaran maka sudah pasti yang dibicarakan juga adalah pengetahuan tentang metode pengajaran sedangkan membahas tentang metode pengajaran otomatis yang dibicarakan juga adalah pengetahuan 341



Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar (Cet. VII; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), h. 76



169



tentang cara-cara pendidik menyampaikan pelajaran terhadap peserta didik sebab pendidik tidak akan bisa menerapkan metode pengajaran kalau dia tidak memiliki pengetahuan tentang metode pengajaran, karenanya menurut asumsi penulis keduanya pada intinya sama tidak ada perbedaan sebab esensi keduanya yaitu berisi pengetahuan yang harus dimiliki guru terkait dengan cara-cara penyampaian pelajaran terhadap peserta didik dalam kegiatan mengajar yang dilakukan sehingga proses pengajaran berlangsung dengan baik dan tercapai tujuan pengajaran yang dilakukan terhadap peserta didik baik dari segi pemahaman, pengetahuan maupun dari segi aplikasi pengetahuan itu dalam kehidupan. Lewat pengertian tersebut di atas tentang metodologi pengajaran dan metode pengajaran lalu dihubungkan dengan pengertian metode pendidikan Islam maka secara sepintas dari penjelasan pengertian metodologi pengajaran dan metode pengajaran tersebut di atas dapat dipahami bahwa metode pendidikan Islam adalah ilmu pengetahuan yang di dalamnya membahas tentang berbagai pola-pola atau cara-cara yang harus di tempuh pendidik dalam pendidikan Islam dalam melaksanakan kegiatan pendidikan Islam sehingga peserta didiknya dapat menguasai materi-materi pendidik Islam dengan baik. Lebih jelasnya tentang hal tersebut dapat di lihat dari pendapat para ahli tentang pengertian metodologi pendidikan Islam sebagaimana penjelasan-penjelasan di bawah ini. Nur Uhbiyati mengemukakan bahwa; Metode berasal dari bahasa latin meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan ke atau cara ke. Dalam bahasa Arab metode disebut dengan tariqah artinya jalan, cara, sistem, atau ketertiban dalam mengerjakan sesuatu. Sedangkan menurut Istilah ialah sesuatu sistem atau cara yang mengatur suatu cita-cita. Sedangkan pendidikan Islam yaitu bimbingan secara sadar dan pendidik (orang dewasa) kepada anak yang masih dalam proses pertumbuhannya berdasarkan norma-norma yang Islami agar terbentuk kepribadiannya menjadi kepribadian muslim. Sedangkan yang dimaksud metode pendidikan Islam adalah jalan atau cara yang dapat ditempuh untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan Islam kepada anak didik agar terwujud kepribadian muslim. 342 Berdasarkan pendapat Nur Uhbiyati tersebut dapatlah dipahami bahwa metode pendidikan Islam adalah cara atau jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik dalam pendidikan Islam pada saat menyampaikan materi-materi 342



Nur Uhbiyati, op. cit., h. 163



170



pendidikan Islam yang diajarkan terhadap peserta didik sehingga nantinya setelah proses pendidikan peserta dapat berkepribadian Islami sesuai dengan materi-materi pendidikan Islam yang diajarkan kepadanya. Armai Arief mengemukakan bahwa; Metodologi pendidikan Islam merupakan jalan yang dapat ditempuh untuk memudahkan pendidik dalam membentuk pribadi muslim yang berkepribadian Islam dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh al-Qur‟an dan hadist. Oleh karena itu penggunaan metode dalam pendidikan tidak harus berfokus kepada suatu bentuk metode, akan tetapi dapat memilih atau mengombinasikan di antara metode-metode yang ada sesuai dengan situasi dan kondisi sehingga dapat memudahkan si pendidik dalam mencapai tujuan yang telah direncanakan. 343 Berdasarkan pendapat Armai Arief tersebut memberikan pemahaman bahwa metode pendidikan Islam adalah cara-cara atau jalan yang ditempuh oleh pendidik terhadap peserta didiknya dalam proses pendidikan Islam agar peserta didiknya dapat berkepribadian muslim sesuai dengan ketentuan aturan yang telah digariskan dalam kitab suci al-Qur‟an maupun hadis serta efektifnya suatu metode yang diterapkan dalam pendidikan Islam adalah lewat pengkombinasian beberapa metode dalam proses pendidikan Islam sesuai dengan kondisi dan situasi serta tujuan yang direncanakan. M Basyiruddin Usman terkait pengertian metode pendidikan Islam mengemukakan sebagai berikut; Metodologi pengajaran agama Islam adalah ilmu yang membicarakan cara-cara menyajikan bahan pelajaran agama Islam kepada siswa agar tercapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. 344 Berdasarkan pendapat M Basyiruddin Usman tersebut memberikan pemahaman bahwa metode pendidikan Islam adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang cara-cara yang dapat ditempuh pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan Islam kepada peserta didiknya secara efektif dan efisien sehingga tercapai tujuan materi pendidikan Islam yang diajarkan kepada peserta didiknya tersebut. Bukhari Umar mengemukakan bahwa; Metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu metha dan hodos. Metha berarti melalui atau melewati dan hodos berarti jalan atau cara. Metode berarti jalan atau cara yang harus dilalui mencapai tujuan tertentu. 343 344



Armai Arief, op. cit., h. 89 M Basyiruddin Usman, op. cit., h. 5



171



Dalam bahasa Arab metode disebut thariqah. Mengajar berarti menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran. Lebih lanjut Bukhari Umar mengemukakan bahwa; Metode mengajar yang umum dikenal dalam dunia pendidikan hingga sekarang adalah metode ceramah, metode diskusi, metode eksperimen, metode demonstrasi, metode pemberian tugas, metode sosiodrama, metode driil, metode kerja kelompok, metode tanya jawab, metode proyek, metode bersyarah, metode simulasi, metode model, metode karya wisata dan sebagainya. Semua metode ini dapat dipergunakan berdasarkan kepentingan masing-masing, sesuai dengan pertimbangan bahan yang akan diberikan serta kebaikan dan keburukannya masingmasing. Dengan kata lain, pemilihan dan penggunaan metode tergantung pada nilai dan aktivitasnya masing-masing. Selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, metode tersebut boleh dipergunakan dalam pendidikan Islam. Metode pendidikan Islam adalah cara-cara yang digunakan dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Karena pengajaran adalah bagian dari pendidikan Islam, maka metode mengajar itu termasuk metode pendidikan Islam. Ini berarti bahwa masih ada metode-metode lain yang dapat digunakan dalam rangka mengembangkan potensi-potensi peserta didik. 345 Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut dapatlah dipahami bahwa metode pendidikan Islam adalah cara-cara yang diterapkan pendidik dalam upaya mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik dalam proses pendidikan Islam sesuai tujuan pendidikan Islam dimana metode-metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam cukup banyak seperti metode ceramah, diskusi, tanya jawab, metode proyek, metode bersyarah, metode simulasi, metode model, metode karya wisata dan lain sebagainya namun dalam penerapannya metode yang digunakan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam serta disesuaikan dengan bentuk aktivitas pembelajaran pendidikan Islam yang diterapkan kepada peserta didik. HM Arifin mengemukakan bahwa; Metodologi pendidikan adalah suatu ilmu pengetahuan tentang metode yang dipergunakan dalam pekerjaan mendidik. Asal kata metode mengandung pengertian suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Metode berasal dari dua perkataan yaitu meta dan hodos. Meta berarti melalui dan hodos berarti jalan atau cara. Bila ditambahkan dengan logi sehingga menjadi metodologi berarti ilmu pengetahuan 345



Bukhari Umar, op. cit., h. 181-182



172



tentang jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan, oleh karena kata logi yang berasal dari bahasa Greek (Yunani) logos berarti akal atau ilmu. Sebagai suatu ilmu metodologi merupakan bagian dari perangkat disiplin keilmuan yang menjadi induknya. Hampir semua ilmu pengetahuan mempunyai metodologi tersendiri. Oleh karena itu, ilmu pendidikan sebagai salah satu disiplin ilmu memiliki metodologi yaitu metodologi pendidikan. Metodologi pendidikan Islam memiliki tugas dan fungsi memberikan jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan Islam tersebut. pelaksanaannya berada dalam ruang lingkup proses kependidikan yang berada dalam suatu sistem dan struktur kelembagaan yang diciptakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.346 Berdasarkan pendapat HM Arifin tersebut memberikan pemahaman bahwa metode pendidikan Islam adalah ilmu pengetahuan yang memberikan penjelasan tentang cara atau jalan yang ditempuh atau dilalui sehingga berlangsung proses pendidikan Islam dan tercapai tujuan pendidikan Islam yang sedang berlangsung tersebut. Abuddin Nata mengemukakan bahwa; Jika kata metode dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadinya objek sasaran yaitu pribadi muslim. Selain itu metode dapat membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan ajaran Islam sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. 347 Berdasarkan pendapat Abuddin Nata tersebut memberikan pemahaman bahwa metode pendidikan Islam adalah jalan yang dapat ditempuh oleh pendidik terhadap seseorang dalam upaya menanamkan pengetahuan agama sehingga terwujudlah pada pribadi yang ditanamkan pengetahuan agama itu, kepribadian muslim. Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa; Yang dimaksud dengan metode pendidikan di sini ialah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik. Kata metode di sini diartikan secara luas karena mengajar adalah salah satu bentuk upaya mendidik, maka metode yang dimaksud di sini mencakup juga metode mengajar. Dalam literatur ilmu kependidikan, khususnya ilmu pengajaran dapat ditemukan banyak metode mengajar. Adapun metode mendidik selain 346 347



HM Arifin, Ilmu Pendidikan Islamh, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 65 Abuddin Nata, op. cit., h. 92



173



dengan cara mengajar, tidak terlalu banyak dibahas oleh para ahli sebabnya mungkin metode mengajar lebih jelas, lebih tegas, objektif bahkan universal, sedangkan metode mendidik selain mengajar lebih subjektif, kurang jelas, kurang tegas, lebih bersifat seni daripada sebagai sains. Dalam literatur pendidikan barat dapat diketahui banyak metode mengajar seperti metode ceramah, tanya jawab, diksusi, sosio drama dan bermain peran, pemberian tugas dan resitasi. Anda dapat mempelajari metode-metode ini dalam banyak buku dalam bahasa Indonesia. Metode ini banyak sekali, dan akan bertambah terus sejalan dengan perkembangan teori-teori pengajaran. Tidak dapat dibayangkan akan sejauh mana perkembangan metode-metode tersebut. sekarang ini metode-metode itu jumlahnya lebih dari 16. Metode-metode mengajar ini disebut metode umum. Disebut metode umum karena metode tersebut digunakan untuk mengajar pada umumnya. Biasanya studi tentang metode mengajar umum disebut dengan menggunakan istilah metode pengajaran. Jadi sebenarnya untuk kepentingan pengembangan teori pendidikan Islam, masalah metode mengajar tidaklah terlalu sulit. Metode-metode mengajar yang dikembangkan di Barat dapat saja digunakan atau diambil untuk memperkaya teori tentang metode pendidikan Islam.348 Berdasarkan pemikiran Ahmad Tafsir tersebut dapatlah dipahami bahwa metode pendidikan Islam adalah semua cara yang digunakan atau ditempuh pendidik dalam proses pendidikan Islam dan metode-metode mengajar pada umumnya yang dikembangkan di Barat dapat digunakan atau diterapkan dalam proses pendidikan Islam seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, sosio drama dan bermain peran, pemberian tugas, resitasi dan sebagainya. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut tentang metodologi pengajaran, metode pengajaran dan metode pendidikan Islam memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud dengan metode pendidikan Islam adalah segala bentuk upaya atau jalan yang ditempuh pendidik dalam upaya menanamkan ajaran Islam terhadap peserta didik lewat proses kegiatan pendidikan Islam sehingga peserta didik berkepribadian muslim berupa dalam kehidupan sehari-hari hidup sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, dengan prinsip metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, disesuaikan kemampuan peserta didik, karakter materi yang diajarkan dan kondisi saat pembelajaran diterapkan pada peserta didik. 348



Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam (Cet. XII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 131



174



C.



Prinsip-Prinsip Metode Pendidikan Islam Secara bahasa Indonesia prinsip berarti asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya) atau juga berarti dasar. 349 Dari pengertian kata prinsip secara bahasa ini memberikan pemahaman bahwa prinsip metode pendidikan Islam dapat dimanai sebagai dasar atau asas yang menjadi pedoman penggunaan metode pendidikan Islam. Armai Arief mengemukakan bahwa; Prinsip disebut juga dengan asas atau dasar. Asas adalah kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan metodologi pendidikan Islam berarti prinsip yang dimaksud di sini adalah dasar pemikiran yang digunakan dalam mengaplikasikan metode pendidikan Islam. 350 Berdasarkan pendapat Armai Arief tersebut memberikan pemahaman bahwa prinsip metode pendidikan Islam adalah dasar pemikiran yang diterapkan dalam pelaksanaan metode-metode dalam proses pelaksanaan kegiatan pendidikan Islam. Bukhari Umar mengutip pendapat Shaleh Muntanasir terkait dengan pengertian prinsip metode pendidikan Islam mengemukakan sebagai berikut; Asas metode pendidikan dalam penyampaian pembelajaran adalah menghindari ketegangan dan suasana yang menakutkan pada peserta didik dengan menggunakan pelatihan-pelatihan yang intensif, memberikan contoh dan tingkah laku yang baik, partisipasi yang memadai pada peserta didik, serta memandang bahwa segala aktivitas yang dilakukan merupakan ibadah, asal berangkatnya dengan bismillah sebagai penghambaan tugas selaku wakil Allah swt.351 Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Bukhari Umar tersebut memberikan pemahaman bahwa prinsip metode pendidikan Islam adalah pedoman yang dijadikan landasan dalam pelaksanaan pembelajaran bagi peserta didik dalam proses pendidikan Islam sehingga peserta didik tidak merasa tegang dan aktif dalam proses pembelajaran yang dilakukan dengan prinsip dasarnya adalah kegiatan pembelajaran yang diterapkan pendidik merupakan bagian ibadah kepada Allah sedangkan anak didik menjadikan kegiatan pembelajaran yang diikuti sebagai bentuk ibadah kepada Allah swt. Abuddin Nata terkait dengan pengertian prinsip metode pendidikan Islam mengemukakan bahwa; 349 350 351



Departemen P & K, op. cit., h. 788 Armai Arief, op. cit., h. 93 Bukhari Umar, op. cit., h. 185



175



Dalam al-Qur‟an, metode dikenal sebagai sarana yang menyampaikan seseorang kepada tujuan pencipta-Nya sebagai khalifah di muka bumi dengan melaksanakan pendekatan dimana manusia sangat penting ditempatkan sebagai makhluk yang memiliki potensi rohaniah dan jasmaniah yang keduanya dapat digunakan sebagai saluran penyampaian materi pelajaran. Karenanya terdapat suatu prinsip agar pengajaran dapat disampaikan dengan suasana menyenangkan, menggembirakan, penuh dorongan dan motivasi sehingga pelajaran atau materi pendidikan itu dapat dengan mudah diberikan. 352 Berdasarkan pendapat Abuddin Nata tersebut memberikan pemahaman bahwa prinsip metode pendidikan Islam adalah suatu asas atau dasar penerapan metode dalam proses pembelajaran pendidikan Islam sehingga pembelajaran berlangsung dengan baik dan memudahkan peserta didik menerima dan memahami materi yang diajarkan. Untuk itu merujuk pada pengertian penjelasan di atas tentang prinsipprinsip metode pendidikan Islam baik di lihat dari sisi kebahasaan maupun berdasarkan pendapat ahli dapatlah dipahami bahwa prinsip metode pendidikan Islam adalah konsep dasar atau asas yang melandasi penggunaan suatu metode pembelajaran dalam proses pendidikan Islam. Armai Arief mengutip pendapat Omar Muhammad al-Toumy alSyaibani dikemukakan bahwa prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan Islam yaitu; 1. Mengetahui motivasi, kebutuhan dan minat anak didik 2. Mengetahui tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan sebelum pelaksanaan pendidikan 3. Mengetahui tahap kematangan, perkembangan serta perubahan anak didik 4. Mengetahui perbedaan-perbedaan di dalam anak didik 5. Memperhatikan kepahaman, dan mengetahui hubungan-hubungan, integrasi pengalaman dan kelanjutannya, keaslian, pembaharuan dan kebebasan berfikir 6. Menjadikan proses pendidikan sebagai pengalaman yang menggembirakan anak didik 7. Menegakkan uswah hasanah (contoh teladan yang baik). 353 Ramayulis mengemukakan bahwa agar penggunaan metode lebih efektif maka setiap metode harus memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut; 352 353



Abuddin Nata, op. cit., h. 94 Armai Arief, op. cit., h. 94



176



1.



2.



3.



4.



5.



6.



7.



8.



Metode tersebut harus memanfaatkan kegiatan mandiri. Belajar merupakan akibat dari kegiatan peserta didik. Pada dasarnya berujud melalui pengalaman, memberi reaksi, dan melakukan. Menurut prinsip ini seseorang belajar melalui reaksi atau melalui kegiatan mandiri yang merupakan landasan dari semua pembelajaran. Pembelajaran harus dilaksanakan melalui pembelajaran tangan pertama. Dengan kata lain peserta didik banyak memperoleh pengalaman belajar Metode harus memanfaatkan hukum pembelajaran. Kegiatan metode dalam pembelajaran berjalan dengan cara yang tertib dan efisien sesuai dengan hukum-hukum dasar yang mengatur pengoperasiannya. Hukum-hukum dasar menyangkut kesiapan, latihan dan akibat, harus dipertimbangkan dengan baik dalam segala jenis pembelajaran. Pembelajaran yang baik memberi kesempatan terbentuknya motivasi, latihan, peninjauan kembali, penelitian dan evaluasi Metode harus berawal dari apa yang sudah diketahui peserta didik. Memanfaatkan pengalaman masa lampau peserta didik yang mengandung unsur-unsur yang sama dengan unsur-unsur materi pembelajaran yang dipelajari akan melancarkan pembelajaran. Hal tersebut dapat dicapai dengan sangat baik melalui korelasi dan perbandingan. Pembelajaran akan dipermudah apabila yang memulainya dari apa yang sudah diketahui peserta didik Metode harus didasarkan atas teori dan praktik yang terpadu dengan baik yang bertujuan menyatukan kegiatan pembelajaran. Ilmu tanpa amal (praktek) seperti pohon tanpa buah, Metode harus memperhatikan prosedur-prosedur individual dan menggunakan prosedur-prosedur yang sesuai ciri-ciri pribadi seperti kebutuhan, minat serta kematangan mental dan fisik Metode harus merangsang kemampuan berpikir dan nalar para peserta didik. Prosedurnya harus memberikan peluang bagi kegiatan berpikir dan kegiatan pengorganisasian yang seksama. Prinsip kegiatan mandiri sangat penting dalam mengajar peserta didik untuk bernalar Metode tersebut harus disesuaikan dengan kemajuan peserta didik dalam hal keterampilan, kebiasaan, pengetahuan, gagasan, dan sikap peserta didik, karena semua itu merupakan dasar psikologi perkembangan Metode tersebut harus menyediakan bagi peserta didik pengalamanpengelaman belajar melalui kegiatan belajar yang banyak dan



177



bervariasi. Kegiatan-kegiatan yang banyak dan bervariasi diberikan untuk memastikan pemahaman 9. Metode harus menantang dan memotivasi peserta didik ke arah kegiatan-kegiatan yang menyangkut proses diferensiasi dan integrasi. Proses penyatuan pengalaman sangat membantu dalam terbentuknya tingkah laku terpadu. Ini paling baik dicapai melalui penggunaan metode pengajaran terpadu 10. Kelebihan suatu metode dapat menyempurnakan kekurangan/ kelemahan metode lain. Metode tanya jawab, metode demonstrasi, metode eksperimen, metode diskusi dan metode proyek, kesemuanya dapat digunakan untuk mendukung kelemahan metode ceramah, kenyataan yang diterima secara umum bahwa metode yang baik merupakan sintesa dari banyak metode atau prosedur. Hal ini didasarkan atas prinsip bahwa pembelajaran terbaik terjadi apabila semakin banyak indra yang dirangsang 11. Satu metode dapat digunakan untuk berbagai jenis materi atau mata pelajaran satu materi atau mata pelajaran memerlukan banyak metode 12. Metode pendidikan Islam harus digunakan dengan prinsip fleksibel dan dinamis. Sebab dengan kelenturan dan kedinamisan metode tersebut, pemakaian metode tidak hanya monoton dan zaklik dengan satu macam metode saja. Seseorang pendidik mampu memilih salah satu dari berbagai alternatif yang ditawarkan oleh para pakar yang dianggap cocok dan pas dengan materi, multi kondisi peserta didik, sarana dan prasarana, situasi dan kondisi lingkungan serta suasana pada waktu itu.354 Erat kaitannya dengan prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan Islam Ahmad Sabri mengemukakan ada syarat-syarat yang harus diperhatikan oleh seseorang guru dalam penggunaan metode pembelajaran yaitu; 1. Metode yang digunakan harus dapat membangkitkan motif, minat dan gairah belajar siswa 2. Metode yang digunakan dapat merangsang keinginan siswa untuk belajar lebih lanjut, seperti melakukan inovasi dan ekspotasi 3. Metode yang digunakan harus dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk mewujudkan hasil karya 4. Metode yang digunakan harus dapat menjamin perkembangan kegiatan perkembangan siswa 354



Ramayulis, “Ilmu Pendidikan Islam”,op. cit., h.277-279



178



5. 6.



Metode yang digunakan harus dapat mendidik murid dalam teknik belajar sendiri dan cara memperoleh pengetahuan melalui usaha pribadi Metode yang digunakan harus dapat menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap siswa dalam kehidupan sehari-hari.355



Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas diperoleh pemahaman bahwa pada intinya prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam penggunaan metode pendidikan Islam meliputi; 1. Metode yang digunakan tidak boleh bertentang dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang terkandung dalam kitab suci al-Qur‟an dan hadis 2. Metode harus memanfaatkan kegiatan mandiri peserta didik 3. Metode harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran 4. Metode harus memanfaatkan hukum pembelajaran dan belajar 5. Metode harus berawal dari apa yang sudah diketahui peserta didik 6. Metode harus didasarkan atas teori dan praktek yang terpadu dengan baik 7. Metode harus memperhatikan prosedur-prosedur individual 8. Metode harus merangsang kemampuan berpikir dan nalar para peserta didik 9. Metode tersebut harus disesuaikan dengan kemajuan peserta didik 10. Metode yang digunakan harus bervariasi 11. Metode yang digunakan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat pembelajaran 12. Metode yang digunakan harus dapat menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap siswa dalam kehidupan sehari-hari 13. Setiap metode yang digunakan harus selalu dimulai dengan dilandasi niat, doa dan rasa syukur terhadap karunia yang telah Allah berikan sebab semua yang dilakukan atas adanya karunia yang Allah telah berikan sehingga perlu adanya rasa syukur atasnya dan semua yang dilakukan sebagai suatu bentuk pengabdian kepada Allah sehingga minimal setiap kegiatan yang dilakukan harus dimulai dengan membaca bismilllah, berdoa dan bersyukur kepada Allah swt demikian pula bila telah selesai juga ditutup dengan ucapan bersyukur dan doa kepada Allah agar semua yang dilakukan mendapatkan berkah dari Allah dan tercapai tujuan yang diinginkan Dengan demikian berdasarkan uraian-uraian tentang prinsip-prinsip metode pendidikan Islam dapatlah dipahami prinsip metode pendidikan Islam 355



Ahmad Sabri, op. cit., h. 53



179



adalah konsep dasar atau asas yang melandasi penggunaan suatu metode pembelajaran dalam proses pendidikan Islam dimana pada prinsipnya penggunaan metodologi pendidikan Islam agar mampu membuat peserta didik menjadi insan-insan muttaqin maka para pendidik tidak boleh melepaskan prinsip-prinsip dari metode pendidikan Islam yang meliputi; prinsip pencapaian kualitas, prinsip mempermudah, prinsip berkesinambungan, prinsip fleksibel dan dinamis, prinsip sejalan dengan kitab suci al-Qur‟an dan hadis Rasulullah saw dan semua yang dilakukan sebagai rasa syukur dan sebagai bentuk ibadah kepada Allah serta semua prinsip tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, juga memperhatikan kondisi peserta didik, sarana prasarana, situasi dan kondisi lingkungan pendidikan, juga suasana saat mengajar. D. 1.



Pengembangan Metode Pendidikan Islam Masa klasik (610 M – 1258 M) M Athiyah al-Abrasyi yang dikutip Armai Arief mengemukakan bahwa metode-metode pendidikan yang digunakan pada masa klasik meliputi; metode ceramah, hafalan, membaca tadarus, tanya jawab, berceritera, menulis, metode khusus. Instansi yang digunakan antara lain, rumah, masjid, surau atau pondok sebagai tempat berlangsung pendidikan antara Nabi, para sahabat dan kaum muslimin.356 Perlu penulis tambahkan bahwa selain Rasulullah melakukan penyampaian materi lewat pola tersebut maka Rasulullah saw juga dalam mengajarkan materi pendidikan Islam selalu menerapkan pembiasaan, keteladan dan pemberian hukuman sebab banyak ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah juga ditempuh dengan pembiasaan-pembiasaan, keteladan dan pemberian hukuman yang dilakukan bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran ajaran Islam sesuai yang diatur dalam ajaran Islam seperti Umar sendiri penah memberikan hukuman kepada anaknya karena ia meminum khamar. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa metode-metode pendidikan Islam yang diterapkan pada masa Islam klasik (610 M – 1258 M) meliputi; ceramah, hafalan, membaca tadarus, tanya jawab, berceritra, menulis, metode khusus mungkin dimaksud di sini seperti keteladan, pembiasaan dan pemberian hukuman serta instansi yang digunakan



356



ArmaiArief, op. cit., h. 47



180



antara lain, rumah, masjid, surau atau pondok sebagai tempat berlangsung pendidikan Masa Pertengahan (1258 M – 1800 M) Pada masa ini metode yang digunakan antara lain; ceramah, hafalan, membaca-menulis, membaca-tadarus, tanya jawab, cerita lewat buku, menulis al-Qur‟an mulai ada titik, keyakinan atau pembenaran, Mudzakarah, umum dan sederhana, metode khusus, menyeluruh, pemberian contoh dan membimbing. Seiring dengan makin berkembangnya jumlah umat Islam dan keinginan memperoleh pengajaran, menuntut adanya kelembagaan yang lebih teratur dan terarah maka didirikanlah kutab sebagai lembaga baru.357 Sama halnya juga pada masa klasik maka penulis punya keyakinan bahwa materi pendidikan Islam selalu menerapkan pembiasaan, keteladan dan pemberian hukuman sebab banyak ajaran Islam yang terkandung di dalamnya unsur-unsur pembiasaan, keteladan dan pemberian hukuman yang diberlakukan bagi orang-orang Islam dan bagi yang melakukan pelanggaran ajaran Islam sesuai yang diatur dalam ajaran Islam. Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa metode-metode yang digunakan pada masa pertengahan meliputi; ceramah, hafalan, membaca-menulis, membaca-tadarus, tanya jawab, ceritra lewat buku, menulis al-Qur‟an mulai ada titik, keyakinan atau pembenaran, Mudzakarah, umum dan sederhana, menyeluruh, pemberian contoh, membimbing dan metode khusus mungkin yang dimaksud adalah seperti metode keteladanan, pembiasan dan pemberian hukuman atau juga yang lainnya terus lembaganya sudah ditambahkan dengan adanya kutab 2.



3.



Masa moderen (1800- sekarang) Metode berikut ini adalah pengembangan metode-metode pada masa klasik dan pertengahan yaitu; ceramah dengan menggunakan media, hafalan mandiri, membaca dengan pemahaman, murid bertanya dan menjawab, ceritra lewat media, menulis al-Qur‟an secara utuh, sintesis analisis, diskusi, deduktif, induktif, komprehensip dan demonstrasi. Memasuki abad moderen Johan Amos menggunakan metode ilmiah dalam pendidikan dan John Locke menggunakan metode persepsi dan asosiasi dalam menekankan pentingnya pengalaman. Selain itu lembaga kuttab tidak mampu lagi menampung aspirasi dan kebutuhan belajar yang lebih luas, maka dibentuklah madrasah dan 357



Ibid., h. 48



181



sekolah. Madrasah dan sekolah dilengkapi dengan perpustakaan. Institusi pendidikan Islam berkembang lagi seperti perpustakaan, majelis taklim dan pendidikan individu/privat. Pada dasarnya antara zaman klasik, pertengahan dan moderen, penggunaan metode pendidikan adalah sama seperti metode ceramah, hafalan, tanya jawab dan lain-lain namun hal yang membedakan antara ketiga periode tersebut adalah pengembangan dalam menggunakan metode dengan dibantu alat dan media yang semakin canggih. Penggunaan metode ceramah mislanya berbeda antara zaman klasik yang hanya mengandalkan suara dan tempat terbatas dengan periode pertengahan yang sudah menggunakan alat pengeras suara. Apalagi dibanding dengan masa moderen yang tidak hanya menggunakan media pendengaran suara dan dalam ruangan tertentu tetapi dapat dijangkau ke seluruh pelosok dunia melalui media audio, atau audio visual seperti radio, TV, internet dan lain-lain. 358 Berdasarkan penjelasan tersebut diperoleh pemahaman metode-metode yang digunakan pada masa moderen yaitu; ceramah dengan menggunakan media, hafalan mandiri, membaca dengan pemahaman, murid bertanya dan menjawab, cerita lewat media, menulis al-Qur‟an secara utuh, sintesis analisis, diskusi, deduktif, induktif, komptehensip, demonstrasi dan lain sebagainya dengan sistem lembaga sudah semakin luas dengan munculnya madrasah, sekolah, majelis taklim dan sebagainya. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut tentang pengembangan metode dalam pendidikan Islam itu dibagi dalam tiga periode yaitu periode klasik yang berlangsung dari tahun 610 M – 1258 M, periode pertengahan berlangsung dari tahun 1258 M -1800 M dan periode moderen berlangsung dari tahun 1800 M – sampai sekarang dimana metode pendidikan Islam yang digunakan pada masa klasik seperti; ceramah, hafalan, membaca tadarus, tanya jawab, berceritera, menulis, keteladan, pembiasaan dan pemberian hukuman serta instansi yang digunakan antara lain, rumah, masjid, surau atau pondok, adapun metode yang digunakan pada masa pertengahan yaitu ceramah, hafalan, membaca-menulis, membaca–tadarus, tanya jawab, ceritra lewat buku, menulis al-Qur‟an mulai ada titik, keyakinan atau pembenaran, Mudzakarah, umum dan sederhana, menyeluruh, pemberian contoh, membimbing, metode keteladanan, pembiasaan dan pemberian hukuman terus lembaganya sudah ditambahkan dengan adanya kutab, lalu metode yang digunakan pada masa moderen meliputi seperti ceramah dengan 358



Ibid., h. 49



182



menggunakan media, hafalan mandiri, membaca dengan pemahaman, murid bertanya dan menjawab, cerita lewat media, menulis al-Qur‟an secara utuh, sintesis analisis, diskusi, deduktif, induktif, komprehensif, demonstrasi dan lain sebagainya dengan sistem lembaga sudah semakin luas dengan munculnya madrasah, sekolah, majelis taklim dan sebagainya. Selain itu juga perlu diketahui bahwa satu sisi pengembangan metode dalam pendidikan Islam itu juga dipengaruhi perkembangan media pendidikan dimana metode yang digunakan pada masa klasik medianya sangat sederhana maka metode yang digunakan pula secara sederhana sebaliknya pada masa moderen metode yang dikembangkan sudah dipadukan dengan media yang moderen namun di sisi yang lain menurut asumsi penulis metode sederhana pada masa klasik punya keunggulan yaitu peserta didiknya rata-rata mengenal, memahami, menguasai dan mengamalkan materi yang diajarkan pendidik sedangkan metode yang dikembangkan dengan media moderen kebanyakan hanya sebagian kecil peserta didik yang benar-benar memahami, mengenal, memahami, menguasai dan mengamalkan materi yang diajarkan serta menurut asumsi penulis metode yang dikembangkan zaman moderen itu acuannya berasal dari metode pada masa klasik artinya dunia mengalami perubahan setelah bersentuhan dengan Islam dan mempelajari kemajuan serta pengetahuan-pengetahuan dari dunia Islam, dimana ini memberikan makna sebenarnya pengembangan metode pendidikan dalam dunia Barat itu acuan kerangaka dasarnya bersumber dari Islam sehingga bisa bermakna bahwa Islamlah yang menjadi peletak dasar-dasar metode dalam dunia pendidikan sebab andai tidak ada kemajuan yang terjadi dalam dunia Islam mungkin revolusi industri tidak akan pernah terjadi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi umat Islam untuk kembali membuat konstruksi metode yang tepat sehingga benar-benar peserta didik dapat secara keseluruhan mengenal, memahami, menguasai dan mengamalkan nilai-nilai materi yang diajarkan kepada mereka. Minimal ada yang hilang dari sistem pendidikan yang pernah diterapkan pada masa Rasulullah saw seperti mungkin kurangnya membaca bismillah dalam tiap kegiatan, tidak adanya niat yang tulus, belum semua aktivitas dijadikan sebagai ibadah, atau apapun yang semisalnya yang memerlukan perenungan sebab pada konteks bukubuku sejarah Islam, yang ada kebanyakan ringkasan-ringkasan umum tidak dijelaskan secara detail pengembangan pendidikan mulai zaman klasik sehingga menurut asumsi penulis jangan dulu kita keburu mengatakan orang Barat berupaya mengaburkan peran Islam di Dunia tetapi siapa tau kita sendiri orang Islam yang malah mengaburkan peran Islam di Dunia apalagi umat



183



Islam di Indonesia sebagai umat Islam terbanyak di Dunia berarti tanpa sadar sebenarnya kita telah mempelopori pengaburan peran Islam dalam konteks sejarah Islam. Bahkan kalau kita bertanya sudahkah isi al-Qur‟an dipahami isinya sebagai kitab suci, kemungkinan rata-rata jarang yang mampu melakukan hal itu. Sepertinya Islam bukan lagi bersumber pada kitab suci al-Qur‟an dan hadis tetapi Islam lebih dikenal lewat pemikiran ahli melalui kitab-kitabnya pada hal seharusnya Islam dimulai dari Qur‟an dan hadis baru dikembangkan lewat kitab-kitab hasil pemikiran para ahli sebab takkala seorang masuk kubur salah satu pertanyaan siapa imammu maka agar selamat maka jawabannya kitab suci al-Qur‟an bukan buku ilmiah atau kitab kuning, bukan buku karangan si anu, buku mata pelajaran PAI, bukan buku yang dikarang oleh seorang profesor, bukan buku yang dikarang oleh seorang jenderal, bukan buku yang diterbitkan penerbit terkenal dan sebagainya. E. 1.



Bentuk-Bentuk Metode Pendidikan Islam Realitas umum bentuk metode pendidikan yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan Pendidikan Islam. Berbicara tentang bentuk-bentuk metode pengajaran yang dapat digunakan oleh seorang pendidik dalam melaksanakan proses pelaksanaan pendidik Islam lewat karya-karya tulis yang ditulis para ahli diketahui cukup banyak sekali sehingga tidak memungkinkan untuk dibahas secara keseluruhan. Untuk itu dalam pembahasan di sini hanya dikemukakan secara umum tentang bentuk-bentuk metode pengajaran yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan pendidikan Islam dan beberapa contoh dari di antara sekian metode pengajaran tersebut. HM Arifin mengemukakan bahwa metodologi atau metode-metode yang dapat digunakan dalam kegiatan pengajaran agama Islam meliputi; 1) metode berpikir, 2) Metode perintah dan larangan, 3) metode pemberian suasana, 4) metode motifativ, 5) metode mendidik secara kelompok, 6) metode kisah Qur‟ani, 7) metode pemberian contoh dan teladan, 8) Metode instruksional, 9) metode bimbingan dan penyuluhan, 10) metode diskusi, 7) metode tanya jawab, 8) metode pemberian perumpamaan, 9) metode tobat dan ampunan dan 10) Metode-metode lainya.359 Berdasarkan penjelasan dari HM Arifin tersebut dapatlah dipahami bahwa metode pengajaran yang dapat diterapkan oleh pendidik dalam 359



M Arifin, “Ilmu Pendidikan IslamTinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner”, op. cit., h. 68-78



184



pelaksanaan pendidik Islam terhadap anak didiknya meliputi; metode berpikir, metode perintah dan larangan, metode pemberian suasana, metode motifativ, metode mendidik secara kelompok, metode kisah Qur‟ani, metode pemberian contoh dan teladan, metode instruksional, metode bimbingan dan penyuluhan, metode diskusi, metode tanya jawab, metode pemberian perumpamaan, metode tobat dan ampunan dan metode-metode lainnya. Ramayulis mengemukakan metode pengajaran yang dapat digunakan oleh pendidik melaksanakan kegiatan pendidikan Islam terhadap peserta didiknya cukup banyak di antaranya meliputi; Metode ceramah, metode diskusi, metode tanya jawab, metode demonstrasi, metode karya wisata, metode penugasan, metode pemecahan masalah, metode stimulasi, metode eksperimen, metode penemuan, metode unit, metode sosio drama, metode kerja kelompok, metode studi ke masyarakat, metode pengajaran berprogram, metode modul dan lain-lain.360 Berdasarkan penjelasan Ramayulis tersebut dapatlah dipahami bahwa metode pengajaran yang dapat digunakan oleh pendidik dalam melaksanakan pendidikan Islam bagi peserta didiknya meliputi; metode ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi, karya wisata, penugasan, pemecahan masalah, stimulasi, eksperimen, penemuan, unit, sosio drama, kerja kelompok, studi ke masyarakat, pengajaran berprogram modul dan lain-lain. Armai Arief mengemukakan bahwa metodologi pengajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran agama Islam meliputi; Metode pembiasaan, metode keteladanan, metode pemberian ganjaran, metode pemberian hukuman, metode ceramah, metode tanya jawab, metode diskusi, metode sorogan, metode bandongan, metode mudzakarah, metode kisah, metode pemberian tugas, metode karya wisata, metode eksperimen, metode drill atau latihan, metode sosiodrama, metode simulasi, metode kerja lapangan, metode demonstrasi, dan metode kerja kelompok.361 Berdasarkan penjelasan Armai Arief tersebut dapatlah dipahami bahwa metode pengajaran yang dapat digunakan oleh pendidik dalam proses pelaksanaan pendidikan Islam meliputi; pembiasaan, keteladanan, pemberian ganjaran, pemberian hukuman, ceramah, tanya jawab, diskusi, sorogan, bandongan, mudzakarah, kisah, pemberian tugas, karya wisata, eksperimen,



360 361



Ramayulis, “Metodologi Pengajaran Agama Islam”, op. cit., h. 109 Armai Arief, op. cit, h. xi-xii



185



drill atau latihan, sosiodrama, simulasi, kerja lapangan, demonstrasi dan metode kerja kelompok M Basyirudin Usman mengemukakan terkait dengan metode pengajaran yang diterapkan pendidikan dalam proses pendidikan Islam yaitu; Secara garis besar metodologi pengajaran dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yakni metodologi mengajar konvensional dan metodologi pengajaran inkonvensional. Metodologi pengajaran konvensional yaitu metodologi pengajaran yang lazim dipakai pendidik atau sering disebut metode tradisional sedangkan metodologi pengajaran inkonvensional yaitu suatu teknik mengajar yang baru berkembang dan belum lazim digunakan secara umum, seperti mengajar dengan modul, pengajaran berprogram, pengajaran unit, masih merupakan metodologi yang baru dikembangkan dan diterapkan di beberapa lembaga pendidikan tertentu yang mempunyai peralatan dan media yang lengkap serta para pendidiknya yang ahli menggunakannya. Beberapa metodologi pengajaran konvensional meliputi; ceramah, metode diskusi, metode tanya jawab, metode demonstrasi dan eksperimen, metode resitasi, metode kerja kelompok, metode sosio drama dan bermain peran, metode karya wisata, metode driil, dan metode sistem beregu.362 Berdasarkan penjelasan M Basyiruddin umar tersebut dapatlah dipahami bahwa metode pengajaran yang dapat dipakai oleh pendidik dalam melaksanakan kegiatan pendidikan Islam meliputi; mengajar dengan modul, pengajaran berprogram, pengajaran unit, ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi dan eksperimen, resitasi, kerja kelompok, sosio drama dan bermain peran, karya wisata, driil, dan sistem beregu. Perlu diketahui bahwa tentang bentuk metode pengajaran yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam itu cukup banyak sekali dan dalam proses pembelajaran tidak akan efektif bila yang digunakan hanya satu metode, sebab setiap metode pengajaran itu ada kelemahannya, dimana kelemahan pada satu metode pengajaran dapat ditutupi bila dikombinasikan dengan metode pengajaran pendidikan Islam yang lain. Untuk itu dalam kegiatan pembelajaran pendidikan Islam tidak ada satu metode pengajaranpun yang dapat unggul dari metode pengajaran pendidikan Islam yang lain sebab semua metode pengajaran pendidikan Islam yang dikembangkan oleh para ahli bersifat kondisional. Olehnya itu setiap kegiatan pendidikan Islam terlebih dahulu dipelajari setiap metode pengajaran secara baik, kemudian barulah para pendidik dalam 362



M Basyiruddin Usman, op. cit, h. 34



186



pendidikan Islam mempertimbangkan metode pengajaran apa yang lebih tepat untuk digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan Islam sehingga dapat mempengaruhi hasil pembelajaran ke arah yang lebih baik dan relevan dengan materi yang disampaikan. Di samping itu, penggunaan metode pengajaran pendidikan Islam juga hendaknya menjadi pertimbangan bagi setiap pendidik dalam pendidikan Islam guna meningkatkan minat belajar anak didik.363 Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa bentuk-bentuk metode yang dapat diterapkan dalam proses pendidikan Islam itu cukup banyak di antaranya; metode berpikir, metode perintah dan larangan, metode pemberian suasana, metode motifativ, metode mendidik secara kelompok, metode kisah Qur‟ani, metode instruksional, metode bimbingan dan penyuluhan, metode pemberian perumpamaan, metode tobat dan ampunan, pembiasaan, keteladanan, pemberian ganjaran, pemberian hukuman, ceramah, tanya jawab, diskusi, sorogan, bandongan, mudzakarah, kisah, pemberian tugas, karya wisata, eksperimen, drill atau latihan, sosiodrama, simulasi, kerja lapangan, demonstrasi, metode kerja kelompok dan yang lainnya dimana pada prinsipnya bukan banyak metode yang menjadikan pembelajaran pendidikan Islam berhasil tetapi penggunaan suatu metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi, situasi dan kondisi saat pembelajaran, penggunaan metode yang bervariasi dalam proses pembelajaran, kemampuan peserta didik dan metode yang digunakan tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang ada dalam al-Qur‟an maupun Sunnah. 2.



Contoh-contoh bentuk metode pengajaran yang dapat diterapkan dalam proses pendidikan Islam a. Metode keteladanan 1) Pengertian metode keteladanan Sejak fase-fase awal kehidupan manusia banyak sekali belajar lewat peniruan terhadap kebiasaan dan tingkah laku orang-orang di sekitarnya, khususnya dari kedua orang tuanya. Al-Qur‟an telah memberikan contoh bagaimana manusia belajar lewat meniru. Kisah tentang Qabil yang mengetahui bagaimana menguburkan mayat saudaranya Habil yang telah dibunuhnya diajarkan oleh Allah melalui peniruan seekor gagak yang mengali-gali tanah guna menguburkan bangkai seekor gagak yang lain. Kecenderungan manusia untuk meniru atau belajar lewat peniruan, 363



Armai Arief, op. cit, h. 50



187



menyebabkan keteladan menjadi sangat penting artinya dalam proses pembelajaran.364 Kalau kita menilik peristiwa yang terjadi beberapa abad di silam di kawasan Timur Tengah yaitu Saudi Arabia bahwa keberhasilan Rasullah dalam mengajar umat manusia sehingga mereka beriman kepada Allah, diketahui bahwa salah kunci kesuksesan Rasullah karena beliau menggunakan keteladan dalam proses pembelajaran. Rasulullah saw banyak memberikan keteladanan dalam mendidik para sahabatnya. 365 Allah mengutus Nabi Muhammad SAW ke permukaan bumi ini adalah sebagai contoh teladan yang baik bagi umatya. Beliau terlebih dahulu mempraktekkan semua ajaran yang disampaikan oleh Allah sebelum menyampaikan kepada ummat sehingga tidak ada celah bagi orang-orang yang tidak senang membantah dan menuduh bahwa Rasulullah SAW. Hanya pandai bicara dan tidak pandai mengamalkan. praktek “uswah” ternyata menjadi pengikat terhadap umat untuk menjauhi semua larangannya yang disampaikan Rasulullah dan mengamalkan semua tuntunan yang diperintah oleh Rasulullah, seperti melaksanakan ibadah salat, puasa, nikah, dan lainlain.366 Secara bahasa metode keteladanan berasal dari dua suku kata yaitu metode dan keteladanan. Metode berarti cara yang teratur dan terpikir baikbaik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) atau dalam pengertian lain metode berarti cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. 367Keteladanan berasal dari kata teladan yang berarti perbuatan, barang dan sebagainya yang patut ditiru atau dicontoh, bila kata teladan di tambah awalan ke- dan akhiran -an sehingga menjadi kata keteladan maka ia berarti hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh. 368 Berdasarkan pengertian kata metode dan keteladan secara bahasa Indonesia tersebut dapatlah dipahami bahwa pengertian metode keteladan secara bahasa Indonesia adalah cara kerja yang bersistem yang dilakukan oleh seseorang, benda dan sebagainya dalam menyampaikan pengetahuan atau pesan kepada pihak lain demi tercapainya sesuatu maksud atau tujuan yang dilakukan lewat contoh atau panutan. Bila makna ini dihubungan dengan 364 365 366 367 368



Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Islam, Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan (Cet. I; Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 191 Armai Arief, op. cit., h. 116 Ibid., h. 119 Departemen P & K, op. cit., h. 652 Ibid, h. 1025



188



makna metode keteladan hubungannya dengan kegiatan mengajar guru maka dapatlah dipahami bahwa metode keteladan adalah cara guru dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswanya lewat sistem guru memberikan contoh atau guru bertindak memberi patunan secara nyata dari materi yang telah disampaikan kepada siswanya. Menurut bahasa Arab istilah keteladanan lebih diidentikkan dengan kata uswah dan qudwah. Kata uswah terbentuk dari huruf-huruf: hamzah, sin dan waw. Secara etimologi setiap kata bahasa Arab yang terbentuk dari ketiga huruf tersebut memiliki persamaan arti yaitu pengobatan dan perbaikan. Terkesan lebih luas pengertian yang diberikan oleh Al-Ashfani, bahwa menurut beliau al-uswah dan al-iswah sebagaimana kata al-qudwah dan al-qidwah berarti suatu keadaan ketika seorang manusia mengikuti manusia lain, apakah dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan, atau kemurtadan.369 Senada dengan al-Ashfahany, Ibnu Zakaria mendefinisikan bahwa uswah berarti qudwah yang artinya ikutan atau mengikuti yang diikut.370 Berdasarkan pengertian keteladanan secara bahasa Arab tersebut diperoleh suatu pemahaman bahwa metode keteladan adalah cara membimbing orang lain tentang sesuatu dalam kehidupan sehingga orang tersebut mengalami perubahan pada dirinya sesuai yang dibimbingkan kepadanya yang dilakukan lewat cara memberikan contoh atau lewat penuntun secara langsung yang ditunjukkan kepada orang yang dibimbing tersebut atau dengan kata lain metode keteladan dapat dipahami sebagai upaya mengubah orang dengan cara menampakkan sesuatu pada diri sehingga dapat dicontoh dan ditiru oleh orang tersebut. Bila makna ini dihubungkan dengan metode keteladan yang diterapkan oleh guru dalam melaksanakan kegiatan mengajar maka dapatlah dipahami bahwa metode keteladan adalah cara guru menyampaikan pelajaran kepada siswa lewat upaya guru menampakkan atau memberi contoh langsung mengenai materi yang diajarkan kepada siswanya. Berdasarkan penjelasan tersebut tentang pengertian metode keteladan secara bahasa baik bahasa Indonesia maupun bahasa Arab tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa secara bahasa metode keteladan adalah cara guru atau pendidik menyampaikan materi dengan pola setelah guru atau pendidik memberikan penyampaian tentang materi kepada siswa atau peserta didik maka guru atau pendidik langsung menunjukkan contoh kongkrit atau 369 370



Al-Raghi Al-Ashfahany, Mufradat Al-Azh Al-Qu‟an (Damsiq: Dar Al-Qalam, t.th), h. 105 Abi al-Husain Ahmad ibn al-Faris Ibn Zakaria, Mu‟jam Maqayis al-Lighah, Jilid I (Cet. II; Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby Wa Awladuh, 1939), h. 105



189



mempraktekkan tentang materi yang diajarkan tersebut sehingga siswa atau peserta didik selain paham secara teori juga paham secara wujud nyata pada materi yang diajarkan. Untuk mendapatkan pengertian yang lebih luas lagi tentang pengertian metode keteladan maka berikut akan dikemukakan pengertian metode keteladanan secara istilah lewat pendapat-pendapat yang dikemukakan para ahli tentang metode keteladanan, dimana secara jelasnya dapat di lihat pada penjelasan-penjelasan yang akan di paparkan bawah ini. HM Arifin mengemukakan; Metode pemberian contoh teladan yang baik (Uswatun Hasanah) terhadap manusia didik, terutama anak-anak yang belum mampu berpikir kritis, akan banyak mempengaruhi pola tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Guru sebagai pembawa dan pengamal nilai-nilai agama, kultur dan ilmu pengertian akan memperoleh manfaat dalam mendidik anak apabila menerapkan metode ini terutama dalam pendidikan akhlak dan agama serta sikap mental anak didik. 371 Berdasarkan penjelasan dari HM Arifin tersebut dapatlah dipahami bahwa metode keteladan adalah pola guru menyampaikan pelajaran kepada siswannya dengan menggunakan cara memberikan contoh yang baik terkait dengan materi yang diajarkan kepada siswanya dan metode teladan ini lebih bagusnya diterapkan dalam pembelajaran materi agama dan akhlak dimana guru setelah memberikan materi guru juga langsung memberikan contoh teladan yang baik kepada siswa lewat aplikasi dari pengamalan materi yang diajarkan sehingga siswa selain paham secara teori juga paham secara penerapannya. Armai Arief mengemukakan; Seorang guru hendaknya tidak hanya mampu memerintahkan atau memberi teori kepada siswa, tetapi lebih dari itu ia harus mampu menjadi panutan bagi siswanya sehingga siswanya dapat mengikuti tanpa merasakan adanya unsur paksaan. Oleh karena itu keteladan merupakan faktor dominan dan sangat menentukan bagi keberhasilan pendidikan.372 Berdasarkan penjelasan dari Armai Arief tersebut dapatlah dipahami bahwa metode keteladan adalah sistem yang diterapkan oleh guru dalam melakukan transfer pengetahuan kepada siswannya tentang sesuatu materi 371 372



HM Arifin, “Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Inter Disipliner”,op. cit, h. 154 Armai Arief, op. cit., h. 122



190



lewat cara guru menjadi panutan dalam pengamalan materi yang telah diajarkan. Hery Noer Aly mengemukakan; “pendidikan dengan keteladan berarti pendidikan dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berpikir, dan sebagainya”.373Berdasarkan penjelasan Hery Noer Aly tersebut dapatlah dipahami bahwa metode keteladan adalah sistem yang digunakan oleh guru dalam mengajar siswanya tentang sesuatu materi dengan cara materi tersebut ditunjukkan oleh guru dengan memberikan contoh, baik dalam bentuk tingkah laku, sifat, cara berpikir, dan sebagainya. Ramayulis mengemukakan; Pendekatan keteladan yaitu menyuguhkan keteladan, baik yang langsung melalui penciptaan kondisi pergaulan yang akrab antar personal di sekolah, perilaku pendidikan dan tenaga kependidikan lainnya yang mencerminkan akhlak, maupun yang tidak langsung, melalui suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah ketelaudanan. 374 Berdasarkan penjelasan Ramayulis tersebut dapatlah dipahami bahwa metode keteladanan adalah pola pemberian materi oleh guru yang mengajar suatu materi pelajaran yang dilakukan baik lewat penciptaan kondisi perilaku sesuai dengan materi yang diajarkan maupun lewat pemberian ilustrasi tentang materi yang diajarkan dengan menceritakan perilaku-perilaku orang teladan. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang pengertian metode keteladan baik secara bahasa maupun istilah lewat penjelasan-penjelasan para ahli maka dapatlah dipahami bahwa metode keteladan adalah cara guru atau pendidik dalam menyampaikan materi kepada siswanya atau peserta didik dengan memakai cara guru atau pendidik memberikan contoh dan panutan kepada para siswanya atau peserta didiknya terkait dengan materi yang diajarkan baik di dalam maupun di luar kelas serta dalam bentuk tingkah laku, sifat, cara berpikir, cerita dan sebagainya. 2) Urgensi keteladanan dalam proses pendidikan Kalau pada masa Rasulullah metode keteladan merupakan salah satu kunci beliau berhasil menyampaikan syiar Islam kepada umat Islam maka bagaimana kedudukan metode keteladan ini dalam proses pembelajaran sekarang. Dengan kata lain bagaimana pengaruh pentingnya metode keteladan dalam proses pembelajaran di sekolah pada zaman sekarang.



373 374



Hery Noer Aly, op. cit, h. 178. Ramayulis, “Metodologi Pengajaran Agama Islam”, op.cit., h. 285



191



Wina Sanjaya mengemukakan; Guru dalam melaksanakan pembelajaran harus memperagakan sesuatu sebagai contoh yang ditiru oleh siswa. Misalnya guru memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, mengoperasikan sebuah alat, melafalkan sebuah kalimat, memainkan alat musik, menggunakan termometer dan sebagainya. Proses tersebut akan memudahkan siswa dalam penguasaan dan penerapan materi sehingga menghindarkan siswa hanya paham secara teori tetapi tidak mampu melaksanakan secara praktek. 375 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa penerapan metode keteladan di zaman sekarang masih sangat urgen keberadaannya dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru khususnya guru-guru yang mengajar materi yang membutuhkan praktek sebab dengan contoh praktek akan memudahkan siswa menerapkan teori yang didapat dalam operasionalnya sebab banyak kenyataan yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran di sekolah banyak siswa menguasai suatu materi tetapi begitu disuruh untuk mempraktekkan materi maka ia sulit melakukan dimana hal itu bisa terjadi karena guru hanya fokus menyampaikan materi tetapi tidak memberikan penjelasan materi dalam bentuk contoh kongkrit. M Arifin mengemukakan; Pengaruh praktik dalam proses belajar mengajar telah banyak diselidiki oleh para ahli pendidikan yang membuktikan bahwa dengan melalui praktik, seseorang akan lebih mendapatkan kesan-kesan mendalam dan diingat dalam jangka lama daripada hanya belajar teori saja. Pengetahuan yang melekat pada jiwa manusia bila tidak diperoleh melalui praktik dan dipraktikkan semakin lama semakin berkurang intensitasnya. Dalam penelitian dapat diketahui berbagai pengaruh cara belajar mengajar sebagai berikut. 1) belajar hanya dengan mendengarkan hanya berhasil di serap oleh manusia didik sebesar 14 persen, 2) belajar dengan menggunakan mata dapat menghasilkan 55 persen dari bahan yang disajikan, 3) belajar dengan praktik menghasilkan bahan apersepsi sampai dengan 90 persen dari bahan yang diajarkan.376 Berdasarkan penjelasan M Arifin tersebut dapatlah dipahami bahwa ternyata metode keteladan dalam proses pembelajaran akan sangat membantu peserta didik dalam proses belajar dan dalam penguasaan materi secara lama 375 376



Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2006), h. 122 HM Arifin, “Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Inter Disipliner”,op. cit, h. 155



192



dan memudahkan dalam aplikasi sebab materi pelajaran yang diterima dari pendidik kalau hanya diperoleh lewat penyampaian teori makin lama materi tersebut hilang dari daya ingatan peserta didik bila tanpa didukung dengan mempraktekkannya. Bahkan hasil penelitian bahwa lewat contoh atau panutan dari pendidik maka keberhasilan pendidik dalam menguasai materi adalah 90 persen dari materi yang diajarkan dapat dikuasai dan diaplikasikan siswa dalam penerapan. Penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa ternyata keberadaan metode teladan dalam proses pembelajaran, dari sisi kegiatan mengajar pendidik, metode ini dapat memudahkan pendidik untuk melakukan transfer materi kepada peserta didiknya karena peserta didik lebih mudah memahami dan mengaplikasikan teori yang diajarkan kepadanya sementara dari sisi kegiatan belajar peserta didik, metode ini akan memudahkan peserta didik dalam belajar dalam arti peserta didik lebih mudah menguasai dengan baik materi yang telah diajarkan baik dari segi penguasaan maupun praktek serta penerapannya dalam kehidupan. Imam Bawani menjelaskan, faktor-faktor pendukung keberhasilan pendidikan pesantren adalah: a) Terwujudnya keteladanan Kiai dalam memimpin sebuah pesantren adalah karena memiliki pamor atau kelebihan yang baik dan terkenal di masyarakat luas. Pamor dan kelebihan itu ia bangun dengan keteladanan yang selalu ia lakukan dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan; sesuai antara perkataan perbuatan. Sering dengan itu, ke masyarakat dan kepepopuleran sebuah peasantren selalu dikaitkan dengan kebesaran dan kepopuleran kiai yang memimpinnya, baik di mata masyarakat, lebih-lebih pandangan santrinya. b) Terciptanya hubungan harmonis antara seorang kiai dengan kiai yang lain, dan hubungan kiai dengan santrinya lainnya. Hubungan semacam ini mayoritas selalu didasarkan kepada dasar kemanusiaan dan ikatan ukhuwah antara sesama muslim. c) Mencuatnya kematangan out-put atau lulusan pesantren dalam menjalankan agama di tengah masyarakat. Hal ini membuat lembaga pesantren menjadi panutan, disayangi, dihormati, disegani serta dicintai oleh hampir semua kalangan masyarakat luas. Ketiga faktor di atas menurut Imam Banawi; merupakan modal dalam mendukung keberhasilan lembaga pendidikan pesantren; kualitas dan kuantitasnya setiap waktu mengalami peningkatan. Karena selain santrinya



193



belajar dengan tekun untuk menjadi ilmuwan, mereka juga selalu mengamalkan dan mempraktekan apa yang telah mereka peroleh dari guru/kiainya. Oleh karena itu, suasana di lembaga di pesantren hendaknya dijadikan sebagai uswah oleh dunia pendidikan moderen di saat ini. Supaya pemaduan antara pengetahuan agama dan umum, penyelarasan perbutan dan perkataan, merupakan sistem pendidikan yang perlu untuk dikembangkan khususnya di abad ke-21 ini. 377 Cahyan Takariman mengemukakan bahwa “faktor penyebab kenakalan anak adalah karena terjadinya krisis prinsip, keteladan dan lingkungannya”.378 Berdasarkan penjelasan dari Imam Bawani dan Cahyan Takariman tersebut dapatlah dipahami ternyata penggunaan metode keteladan sangatsangat memudahkan bagi peserta didik untuk menguasai materi dengan baik bahkan memudahkan pendidik dalam penerapan materi dalam bentuk pratek atau pengamalan. Hal ini juga berarti bahwa metode keteladan dalam proses pembelajaran merupakan salah satu metode penting karena lewat penerapan metode keteladan dengan baik oleh pendidik dalam proses pembelajaran akan memudahkan pendidik melakukan transfer pengetahuan dan penerapan materi terhadap peserta didik serta memudahkan peserta didik memahami dan mengaplikasikan materi yang diajarkan. Untuk itu dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah untuk menciptakan peserta didik yang berprestasi baik secara ilmu atau maupun pengamalan maka pembelajaran dari pendidik tidak cukup hanya memberikan prinsip saja karena yang lebih penting bagi peserta didik adalah figur yang memberikan keteladanan dalam menerapkan prinsip materi tersebut sehingga sebanyak apapun prinsip yang diberikan tanpa disertai contoh dan teladan, dia hanya akan menjadi kumpulan resep yang tak bermakna Sungguh tercelah seorang pendidik yang mengajarkan kebaikan kepada peserta didiknya sedangkan ia sendiri ia tidak menerapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Karenanya seorang pendidik hendaknya tidak hanya mampu memerintah atau memberikan teori kepada peserta didiknya tetapi lebih dari itu ia harus mampu menjadi contoh dan panutan bagi peserta didiknya sehingga peserta didiknya dapat mengikutinya.379 Melihat begitu besar keberadaan metode keteladan dalam pembelajaran khususnya untuk menuntun peserta didik sehingga dengan mudah mengenal dan mengaplikasikan materi pelajaran dalam kehidupan, Armai Arief 377 378 379



Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1970), h. 5 Cahyan Takariman, Pernik-Pernik Rumah Tangga Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), h. 12 Armai Arief, op. cit, h. 122



194



mengemukakan manfaat metode keteladan dalam proses pembelajaran di sekolah yaitu; a) Memudahkan anak didik dalam menerapkan ilmu yang dipelajarinya di sekolah. b) Memudahkan guru dalam mengevaluasi hasil belajar anak didik c) Agar tujuan pendidikan lebih terarah dan tercapai dengan baik d) Bila keteladanan dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat baik, maka akan tercipta situasi yang baik e) Tercipta hubungan harmonis antara guru dengan anak didiknya. f) Secara tidak langsung guru dapat menerapkan ilmu yang diajarkan. g) Mendorong guru untuk selalu berbuat baik karena akan dicontoh oleh peserta didiknya.380 Dari penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami manfaat metode keteladan dalam proses pembelajaran yaitu; memudahkan peserta didik menerapkan pengetahuan yang diperoleh, memudahkan pendidik mengetahui hasil kegiatan pembelajaran yang dilakukan, memudahkan tercapainya tujuan pembelajaran, memudahkan terciptanya hubungan komunikasi yang baik antara pendidik dan peserta didiknya serta para pendidik yang lain baik di sekolah, orang tua dan masyarakat, memudahkan pendidik menerapkan langsung materi yang diajarkan, dan mendorong pendidik agar selalu memberikan contoh yang baik terkait dengan materi yang diajarkan. Ulwan yang dikutip oleh Edi Suardi mengemukakan bahwa; Masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam hal baik buruknya anak. Jika pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka anak akan tumbuh menjadi anak yang jujur, berakhlak mulia, berani dalam sikap dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Dan jika pendidik berbohong, berkhianat, durhaka, kikir, penakut dan hina maka bagaimanapun suci dan beningnya fitrah anak, bagaimanapun besarnya usaha dan sarana yang dipersiapkan untuk pendidikan anak, anak tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan kepribadian utama selama ia tidak melihat sang pendidik sebagai teladan yang mempunyai nilai-nilai moral yang tinggi. 381



380 381



Ibid, h. 23 Edi Suardi, Pedagogik II (Bandung: Angkasa, 19966), h. 125



195



Pemikiran Ulwan yang dikutip Edi Suardi tersebut sungguh luar biasa amanahnya dan sangat berat bila dihubungkan dengan peran pendidik dalam proses pembelajaran sebab fakta yang ada sekarang betapa rusak moral keagamaan dari sebagian besar para peserta didik kita. Sudah seharusnya kita sebagai pendidikan untuk berusaha dalam setiap aktivitas kehidupan, apa yang kita makan, pakai, tinggali, ajarakan dan sebagainya sudah menunjukkan implementasi keteladan dari nilai-nilai keagamaan. Atau mungkinkah yang terjadi dengan rusaknya moral keagamaan sebagian besar peserta didik kita, ini ada hubungannya dengan penarapan metode keteladan yang kurang maksimal dari para pendidik atau karena faktor zamanlah yang menggerus nilai-nilai keagamaan dari peserta didik di era sekarang. semua kita kembalikan pada diri kita masing-masing. Mudah-mudah kita semua berharap bahwa kita selalu berada di jalan yang lurus dan dilandasi sendiri-sendi moral keagamaan dalam mengarungi perjalanan kareir selama hidup di dunia ini, baik karier dalam dunia pendidikan, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agama. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang metode keteladan dalam proses pembelajaran maka dapatlah diketahui bahwa metode keteladan memegang peranan penting dalam proses pembelajaran sebab dengan adanya metode keteladanan yang diterapkan dengan baik oleh pendidik terhadap peserta didik maka akan didapatkan manfaat-manfaat sebagai berikut; pendidik mudah untuk mengukur tingkat penguasaan peserta didik pada materi yang telah diajarkan, memudahkan pendidik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan, memudahkan peserta didik untuk menerapkan materi yang dipelajarinya, memudahkan terjalinnya komunikasi antara pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran, mendorong pendidik dan peserta didik untuk selalu berbuat baik dalam kehidupan serta mendorong akan terciptanya suasana baik di lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat. b.



Metode Pemberian Hukuman Pemberian hukuman merupakan salah satu metode dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Penerapan pemberian hukuman dalam pelaksanaan pendidikan Islam mendapat perhatian besar dari pada filosof dan pendidik muslim seperti Ibnu Sina, al-Gazali, al-Abdari, Ibnu Khladum, Muhammad Athiyah al-Abrasyi. Mereka secara sepakat berpegang pada prinsip yang menyatakan bahwa menjaga (tindakan prefentif) lebih baik ketimbang mengobati (tindakan kuratif). Oleh sebab itu, mereka menyeruh para pendidik



196



untuk menggunakan berbagai metode dalam mendidik anak-anak atau peserta didik agar mereka mempunyai kebiasaan-kebiasaan baik ketika besar sehingga ketika itu tidak diperlukan metode hukuman. Mereka juga menyerukan agar anak-anak atau peserta didik jangan biasa diperlakukan dengan kasar. Perlakuan yang demikian akan membuat anak berjiwa sempit, kehilangan semangat, serta berdusta, dan pandai membuat tipu daya karena takut diperlakukan secara kasar. Pemberian hukuman merupakan metode terburuk dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam tetapi dalam kondisi tertentu harus digunakan.382 Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa pemberian hukuman merupakan salah satu metode yang dapat diterapkan oleh pendidik dalam proses pelaksanaan kegiatan pendidikan Islam. Ia merupakan salah satu metode alternatif terakhir yang dapat digunakan sesudah digunakan berbagai metode yang lain dalam proses pembelajaran pendidikan Islam seperti metode ceramah, keteladan, metode kisah qur‟ani, metode kasih sayang, metode nasihat, metode peringatan dan sebagainya. Hal itu cukup beralasan karena memang dalam pelaksanaan pendidikan sedapat mungkin untuk menghindari sikap kasar terhadap peserta didik tetapi kalau memang sudah tidak ada jalan maka hal pemberian hukuman baru dilaksanakan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pendidik dalam pelaksanaan pendidikan Islam untuk menggunakan pemberian hukuman terhadap peserta didiknya meliputi; 1) Pemberian hukuman adalah metode kuratif, artinya tujuan pemberian hukuman ialah untuk memperbaiki peserta didik yang melakukan kesalahan dan memelihara peserta didik lainnya, bukan untuk dijadikan ajak balas dendam terhadap anak didik. Oleh sebab itu pendidik dalam pendidikan Islam hendaknya tidak menjatuhkan hukuman dalam keadaan marah 2) Pemberian hukuman baru dapat digunakan oleh pendidik apabila metode lain seperti nasihat dan peringatan tidak berhasil guna dalam memperbaiki peserta didik. Abdullah Ulwan mengemukakan langkahlangkah yang hendak diperhatikan dalam memperbaiki peserta didik meliputi; mengingat akan kesalahan dengan memberi pengarahan, membujuk, memberi isyarat, mencela, mengucilkan, memukul dan hukuman yang mengandung pendidikan. 383 382 383



Hery Noer Aly, op. cit, h. 200, Lihat H Ramayulis, “Metodologi Pengajaran Agama Islam”,op. cit, h. 168 Hery Noer Aly, op. cit, h. 201



197



3) 4)



5)



6)



7) 8)



Sebelum dijatuhi hukuman, peserta didik hendaknya lebih dahulu diberi kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri Hukuman yang diberikan kepada peserta didik dapat dimengerti olehnya sehingga ia sadar akan kesalahannya dan tidak mengulanginya. Dengan perkataan lain, sasaran hukuman bukanlah hukuman agar peserta didik berperilaku benar, melainkan bagaimana agar ia memiliki emosi yang baik yang dengan emosi itu akhirnya ia akan berperilaku baik.384 Hukuman Psikis lebih baik ketimbang hukum fisik. Umpamanya, anak terlalu bermain sehingga tidak mempunyai perhatian untuk belajar. Bagi anak ini hukumannya tidak boleh bermain lebih baik ketimbang pukulan. Hukuman hendaknya disesuaikan dengan perbedaan latar belakang kondisi peserta didik. Abdullah Ulwan mengemukakan bahwa peserta didik mempunyai kesiapan yang berbeda-beda dalam hal kecerdasan ataupun respon yang dilahirkan. Demikian pula dalam hal tempramen. Ada peserta didik yang temparamennya tenang, ada yang tempramennya sedang, dan ada pula yang mudah bergejolak. Semua disebabkan oleh faktor warisan, lingkungan, kematangan, dan pendidikan. Atas dasar itu, ada anak yang dapat diperbaiki dengan dipandang menggunakan muka masam, ada pula yang dicela, dan ada yang perlu dipukul. Dalam menjatuhkan hukuman, hendaknya diperhatikan prinsip logis, yaitu hukuman disesuaikan dengan jenis kesalahan Pendidik hendaknya tidak mengeluarkan ancaman hukuman yang tidak mungkin dilakukan. Umpamanya “jika kamu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, saya akan membunuhmu”. Pendidik tidak mungkin membunuh peserta didiknya. Ancaman yang demikian dapat membuat anak mengulangi perbuatannya.385



Berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa hal-hal yang harus diperhatikan pendidik dalam pelaksanaan pendidikan Islam bagi peserta didiknya sebelum Pendidik menerapkan hukuman meliputi; hukuman diberikan untuk memperbaiki peserta didik, hukuman digunakan sebagai langkah alternatif yang terakhir, sebelum dihukum peserta didik diberi 384



385



Betrand Rusel, Education and The Social Order, Diterjemahkan oleh; Ahmad Setiawan Abadi dengan judul: Pendidikan danTatanan Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 39 Hery Noer Aly, op. cit, h. 202, Lihat Ahmad Tafsir, op. cit, h. 187



198



kesempatan memperbaiki diri, hukuman yang diberikan harus dipahami oleh peserta didik, hukuman psikis lebih baik dari hukuman fisik, hukuman disesuaikan dengan kondisi peserta didik, hukum disesuaikan dengan kesalahan, dan pendidik tidak boleh menggunakan ancaman hukuman bagi peserta didik yang tidak mungkin dilakukan. Taraf-taraf sebelum pemberian hukum maka yang dilakukan meliputi; pengarahan, membujuk, memberi isyarat, mencela, mengucilkan, dan terakhir baru hukuman diterapkan. Mengenai prinsip bertahapnya dalam pemberian hukum, disyaratkan oleh Allah misalnya lewat firmannya dalam QS. An-Nisa (4): 34 yaitu;



                                             Terjemahnya; Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencaricari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.386 Berdasarkan firman Allah tersebut jelas bahwa untuk seorang istri yang durhaka terhadap suaminya maka langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh suaminya meliputi; menasehat tetapi bila dinasehati juga belum sadar maka langkah kedua adalah suami memisahkan tempat tidur dengan istrinya, tetapi walaupun sudah memisahkan tempat tidur tetapi ia belum sadar juga maka langkah yang terakhir adalah suami baru memukul istrinya namun pukulan 386



Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2002), h. 108



199



yang diberikan bukan untuk menyakiti tetapi untuk menyadarkan. Hal ini bermakna bahwa bila dalam pelaksanaan pendidikan Islam anak didik melakukan kesalahan bukan langsung harus diberi hukuman tetapi minimal ia di nasehati, diperingati, dan sebagainya dimana bila anak masih melakukan kesalahan barulah upaya yang paling terakhir baru anak dipukul tetapi bukan untuk menyakiti tetapi untuk menyadarkan akan kesalahan yang dilakukan. Indikasi keberadaan hukuman dalam proses pendidikan agama Islam juga disinyalir oleh lewat firmannya dalam QS. Al-Imran (3 ): 10-11, yaitu;



                                   Terjemahnya; Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka. (keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami; Karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan Allah sangat keras siksaNya.387 Berdasarkan firman Allah swt tersebut dapatlah dipahami bahwa Allah memberikan hukuman kepada umat manusia yang menentang peraturan dari Allah yang sudah diutus rasul kepada mereka. Bahkan betapa banyak umatumat terdahulu diturunkan azab kepada mereka karena membangkang perintah dari Allah yang disampaikan kepada mereka seperti Fir‟aun dan kaumnya, kaum nabi Luth, kaum nabi Nuh dan sebagainya. Untuk itu berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa Islam mentolerir pemberian hukuman bagi peserta didik bila melakukan penyimpangan dalam proses pendidikan Islam asalkan hukuman yang diberikan itu bertujuan untuk menyadarkan dan sudah tidak ada alternatif lain.



387



Ibid, h. 63



200



Armai Arief mengatakan; Prinsip pokok dalam mengaplikasikan pemberian hukuman yaitu; bahwa hukuman adalah jalan yang terakhir yang harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti anak didik. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan peserta didik dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Untuk itu pemberian hukuman harus memenuhi syaratsyarat meliputi (1) pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang, (2) harus didasarkan alasan keharusan, (3) harus menimbulkan kesan di hati anak, (4) harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak didik, (5) diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.388 Berdasarkan pendapat Armai Arief tersebut dapatlah dipahami bahwa dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam dibolehkan menerapkan pemberian hukuman kepada peserta didik dengan prinsip langkah tersebut merupakan langkah terakhir dan hukuman yang diberikan kepada peserta tersebut dengan tujuan agar peserta didik menyadari kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Dalam pelaksanaan hukum dalam proses pendidikan Islam bagi peserta didik khususnya hukuman fisik maka yang harus dijaga dan tidak dilakukan oleh pendidik meliputi; 1) Memukul karena ditakutkan akan mencederai alat indra yang ada di bagian muka, misalnya apabila mata cedera, maka akan menghalangi penglihatannya 2) Kekerasan yang berlebihan, akan menjadikan peserta didik sangat menderita secara jasmaniah 3) Berkata buruk, akan meninggalkan kesan tidak baik di hati peserta didik 4) Memukul ketika marah, karena pukulan yang didasari oleh perasaan marah sering melampaui batas dan dapat membahayakan anak didik 5) Menendang dengan kaki, dipandang tidak sopan dan tidak bermoral. 389 Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang pemberian hukuman terhadap anak didik dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam dapatlah diketahui bahwa pemberian hukuman merupakan salah satu metode dalam pembelajaran pendidikan Islam, namun kedudukannya merupakan alternatif terakhir setelah dilakukan berbagai upaya sebelumnya tetap tidak berhasil baru digunakan pemberian hukuman dimana 388 389



Armai Arief, op. cit., h. 131 Ibid, h. 132



201



hukuman yang diberikan bukan untuk menyakiti jasmani dan rohani anak didik tetapi dimaksudkan agar anak didik menyadari kesalahannya sehingga kali berikutnya dia tidak melaksanakan lagi perbuatan menyimpang yang dilakukan. c. 1)



Metode Pembiasaan Pengertian pembiasaan Secara etimologi, pembiasaan awal katanya adalah biasa. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, biasa adalah 1). Lazim atau umum, 2) seperti sedia kala, 3) sudah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan seharihari.390 Adanya prefiks pe dan sufiks an menunjukkan arti proses, sehingga pembiasaan dapat diartikan dengan proses membuat sesuatu atau seseorang menjadi terbiasa. Kaitannya dengan metode pengajaran dalam pendidikan Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan ajaran agama Islam. Pembiasaan dinilai sangat efektif jika penerapannya dilakukan terhadap peserta didik yang berusia kecil, karena memiliki rekaman ingatan yang kuat dan kondisi kepribadian yang belum matang, sehingga mereka mudah terlarut kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari. Oleh karena itu, sebagai awal dalam proses pendidikan, pembiasaan merupakan cara yang sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai moral ke dalam jiwa anak. Nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya ini kemudian akan termanifestasikan dalam kehidupannya semenjak ia mulai melangkah ke usia remaja dan dewasa. Dalam teori perkembangan peserta didik, dikenal teori konvergensi, dimana pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya dan dengan mengembangkan potensi dasar yang ada padanya. Potensi dasar ini dapat menjadi penentu tingkah laku (melalui proses). Oleh karena itu, potensi dasar harus selalu diarahkan agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi dasar tersebut adalah melalui kebiasaan yang baik. 391 Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan pendidik dalam menerapkan metode pembiasaan meliputi;



390 391



Departemen P dan K, op. cit., h. 129 Armai Arief, op. cit., h. 110



202



a)



b)



c)



d)



Mulai pembiasaan sebelum terlambat, sebelum anak didik memiliki kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan Pembiasaan hendaknya dilakukan secara terus menerus, dilakukan secara teratur berencana sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis, untuk itu diperlukan pengawasan Pendidik hendaknya konsekuen, bersikap tegas dan teguh dalam pendirian yang telah diambilnya. Jangan memberi kesempatan kepada anak untuk mengingkari kebiasaan yang telah dilakukan Pembiasaan yang pada awalnya mekanistis, harus menjadi kebiasaan yang disertai kesadaran dan kata hati anak itu sendiri. 392



Kriteria-kriteria tersebut dapat diwujudkan dengan baik oleh pendidik jika secara berangsur-angsur disertai pula dengan penjelasan-penjelasan dan nasihat-nasihat dari pendidik terhadap anak didiknya sehingga makin lama timbullah pengertian dalam diri anak didik sebab anak adalah makhluk yang mempunyai kata hati sedangkan tujuan pendidik ia memimpin anak agar kelak dapat berdiri sendiri.393 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa metode pembiasaan merupakan salah satu metode yang dapat diterapkan dalam proses pendidikan termasuk pendidikan Islam dimana dengan adanya metode pembiasaan mampu membiasakan peserta didik sejak dini dilatih dengan nilai-nilai Islam sehingga nantinya ia akan terbiasa dengan nilai-nilai Islam tersebut asal pembiasaan tersebut harus dilakukan secara terus menerus dan adanya sikap tegas oleh pendidikan akan hal tersebut. 2) Syarat-syarat Metode Pembiasaan Syarat-syarat yang harus dilakukan dalam pengaplikasian pendekatan pembiasaan dalam pendidikan yaitu: a) Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat. Usia sejak bayi dinilai waktu yang sangat cepat untuk mengaplikasikan pendekatan ini, karena setiap anak mempunyai rekaman yang cukup kuat dalam menerima pengaruh lingkungan sekitarnya dan secara langsung akan dapat membentuk kepribadian seorang anak. Kebiasaan positif maupun negatif itu akan muncul sesuai dengan lingkungan yang membentuk.



392 393



Uyoh Sadullah, Pedagogik (Ilmu Mendidik) (Cet. II; Bandung: Alfabeta, 2011), h. 121 M Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Cet. XIII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 178



203



b)



c)



d)



Pembiasaan hendaknya dilakukan secara kontinyu, teratur dan terprogram, sehingga pada akhirnya akan membentuk sebuah kebiasaan yang utuh, permanen dan konsisten. Oleh karena itu faktor mengawasan sangat menentukan dalam pencapaian keberhasilan dalam potensi ini. Pembiasaan hendaknya diawasi secara ketat, konsisten dan tegas. Jangan memberi kesempatan yang luas kepada anak didik untuk melanggar kebiasaan yang telah ditanamkan. Pembiasaan yang pada mulanya hanya bersifat mekanistis, hendaknya secara berangsur-angsur di ubah menjadi kebiasaannya yang tidak verbalistik dan menjadi kebiasaan yang disertai dengan kata lain anak didik itu sendiri. 394



Uyoh Sadullah mengemukakan bahwa ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan pendidik dalam menerapkan metode pembiasaan meliputi; a) Mulai pembiasaan sebelum terlambat, sebelum anak didik memiliki kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan b) Pembiasaan hendaknya dilakukan secara terus menerus, dilakukan secara teratur berencana sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis, untuk itu diperlukan pengawasan c) Pendidik hendaknya konsekuen, bersikap tegas dan teguh dalam pendirian yang telah diambilnya. Jangan memberi kesempatan kepada anak untuk mengingkari kebiasaan yang telah dilakukan d) Pembiasaan yang pada awalnya mekanistis, harus menjadi kebiasaan yang disertai kesadaran dan kata hati anak itu sendiri. 395 Kriteria-kriteria tersebut dapat diwujudkan dengan baik oleh pendidik jika secara berangsur-angsur disertai pula dengan penjelasan-penjelasan dan nasihat-nasihat dari pendidik terhadap anak didiknya sehingga makin lama timbullah pengertian dalam diri anak didik sebab anak adalah makhluk yang mempunyai kata hati sedangkan tujuan pendidik ia memimpin anak agar kelak dapat berdiri sendiri.396 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa metode pembiasaan merupakan salah satu metode yang dapat diterapkan dalam proses pendidikan termasuk pendidikan Islam dimana 394 395 396



M Ngalim Purwanto, op. cit., h. 114-115 Uyoh Sadullah, Pedagogik (Ilmu Mendidik) (Cet. II; Bandung: Alfabeta, 2011), h. 121 M Ngalim Purwanto, op. cit., h. 178



204



dengan adanya metode pembiasaan mampu membiasakan peserta didik sejak dini dilatih dengan nilai-nilai Islam sehingga nantinya ia akan terbiasa dengan nilai-nilai Islam tersebut asal pembiasaan tersebut harus dilakukan secara terus menerus dan adanya sikap tegas oleh pendidik akan hal tersebut. 3) Kelebihan dan kekurangan metode pembiasaan Sebagaimana pendekatan-pendekatan lainnya dalam proses pendidikan, pendekatan pembiasaan tidak bisa terlepas dari dua aspek yang saling bertentangan yaitu kelebihan dan kekurangan sebab tidak satupun dari hasil pemikiran manusia yang sempurna dan bebas dari kelemahan. a) Kelebihan. Kelebihan pendekatan ini antara lain: (1) Dapat menghemat tenaga dan waktu dengan baik. (2) Pembiasaan tidak hanya berkaitan dengan aspek lahiriah tetapi juga berhubungan dengan aspek batiniah. (3) Pembiasaan dalam sejarah tercatat sebagai metode yang paling berhasil dalam pembentukan kepribadian anak didik. b) Kekurangan. Kelemahan metode ini adalah membutuhkan tenaga pendidik yang benar-benar dapat dijadikan sebagai contoh tauladan di dalam menanamkan sebuah nilai kepada anak didik. Oleh karena itu pendidik yang dibutuhkan dalam mengaplikasikan pendekatan ini adalah pendidik pilihan yang mampu menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan, sehingga tidak ada kesan bahwa pendidik hanya mampu memberikan nilai tetapi tidak mampu mengamalkan nilai yang disampaikan terhadap anak didik. 397 Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa agar berhasil dalam penggunaan pembiasaan maka harus dilakukan terhadap anak sejak dini, kontinyu dan terus diawasi. Kelebihan pembiasaan adalah menghemat tenaga dalam proses pembelajaran dan pembelajarannya menyangkut lahir dan bathin sedangkan kekurangannya adalah diperlukan pendidik yang baik dalam penerapannya. c) Peranan Pembiasaan dalam Proses Pembelajaran Pendidikan Islam Pembiasaan merupakan proses penanaman pembiasaan. Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang sangat penting, terutama bagi anak-anak. Mereka belum menginsafi apa 397



Ibid, h. 114 -116



205



yang disebut baik dan buruk dalam arti susila. Demikian pula mereka belum mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan seperti orang dewasa. Ingatan mereka belum kuat. Mereka lekas melupakan apa yang sudah dan baru terjadi. Di samping itu, perhatian mereka lekas dan mudah beralih kepada hal-hal yang baru dan disukainya. Apalagi pada anak-anak yang lahir, semua itu belum ada sama sekali. Dalam kondisi ini mereka perlu dibiasakan dengan tingkah laku keterampilan, kecakapan, dan pola pikir tertentu. Anak perlu dibiasakan untuk mandi, makan dan tidur secara teratur, serta bermain-main, berbicara, belajar bekerja dan sebagainya. Seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melaksanakan dengan mudah dan senang hati. Bahkan, segala sesuatu yang menjadi kebiasaan dalam usia muda sulit untuk diubah dan tetap berlangsung sampai hari tua. Untuk mengubahnya seringkali diperlukan terapi dan pengendalian diri yang serius. Contoh orang yang mempunyai kebiasaan merokok. Ia sadar bahwa kebiasaan itu buruk, tetapi usaha untuk mengusahakan dengan kompensasi menghisap gula-gula dan sebagainya seringkali mengalami kegagalan. Ia baru bisa menghentikannya di bulan Ramadhan. Itupun hanya di siang hari ketika ia berpuasa, sedangkan di malam hari ia kembali kepada kebiasaannya. Atas dasar ini, para ahli pendidikan senantiasa mengingatkan agar anak-anak segera dibiasakan dengan sesuatu diharapkan menjadi kebiasaan sebelum terlanjur mempunyai kebiasaan lain yang berlawanan dengannya.398 Pembiasaan adalah upaya praktis dalam pembinaan dan pembentukan kepribadian anak. Hasil dari pembiasaan yang dilakukan oleh pendidik adalah terciptanya suatu kebiasaan bagi peserta didik. Kebiasaan adalah suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya otomatis, tanpa direncanakan terlebih dahulu, dan berlaku begitu saja tanpa dipikirkan. Dalam kehidupan sehari-hari, pembiasaan itu merupakan hal yang sangat penting karena banyak kita lihat orang berbuat dan bertingkah laku karena hanya kebiasaan semata-mata. Tanpa itu hidup kita akan berjalan lambat sekali, sebab sebelum melakukan 398



Hery Noer Aly. op. cit., h. 188



206



sesuatu kita harus memikirkan terlebih dahulu apa yang dilakukan.399 Bagi anak yang masih kecil pembiasaan ini sangat penting karena dengan pembiasaan itulah akhirnya suatu aktivitas akan menjadi milik anak di kemudian hari. Pembiasaan yang baik akan membentuk suatu sosok manusia yang berkepribadian yang baik pula. Sebaliknya pembiasaan yang buruk akan membentuk sosok manusia yang berkepribadian yang buruk pula. Begitulah biasanya yang terlihat dan yang terjadi pada diri seseorang. Karenanya, di dalam kehidupan bermasyarakat, kedua kepribadian yang bertentangan ini selalu ada dan tidak jarang terjadi konflik di antara mereka. Anak kecil tidak seperti orang dewasa yang dapat berpikir abstrak. Ia hanya dapat berpikir kongkrit. Kata-kata seperti kebijaksanaan, keadilan dan perumpamaan, adalah contoh kata abstrak yang sukar dipikirkan oleh anak. Ia belum kuat ingatannya dan lekas melupakan apa yang sudah dan baru terjadi. Perhatian mereka beralih kepada hal-hal baru yang disukainya.400 Anak kecil memang belum mempunyai kewajiban, tetapi dia sudah mempunyai hak, seperti hak dipelihara, hak dilindungi, hak diberi makan yang bergizi dan hak mendapatkan pendidikan. Salah satu cara untuk memberikan haknya di bidang pendidikan adalah dengan cara memberikan kebiasaan yang baik dalam kehidupan mereka. Berdasarkan pembiasaan itulah anak terbiasa menurut dan taat kepada peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat, setelah mendapatkan pendidikan kebiasaan di rumah. Pengaruhnya juga terbawa ke sekolah. Menanamkan kebiasaan yang baik memang tidak mudah dan kadang-kadang memakan waktu yang lama. Tetapi sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sukar pula untuk mengubahnya. Maka adalah penting pada awal kehidupan anak, menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik saja dan jangan sekali-kali mendidik anak berdusta, tidak disiplin, suka berkelahi dan sebagainya. Tetapi tanamkan kebiasaan seperti ikhlas melakukan puasa, gemar menolong orang yang kesukaran, suka membantu fakir miskin, gemar melakukan shalat lima waktu, aktif 399 400



Ramayulis, “Dasar-Dasar Kependidikan”, op. cit., h. 194 Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain, op. cit., h. 63



207



berpartisipasi dalam kegiatan yang baik-baik dan sebagainya. Maka dari itu pengaruh lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat tidak bisa di elakkan dalam hal ini. 401 Armai Arief mengemukakan bahwa; Pendekatan pembiasaan sesungguhnya sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai positif ke dalam diri anak didik; baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Selain itu pendekatan pembiasaan juga sangat di nilai efisien dalam mengubah kebiasaan negative menjadi positif. Namun pendekatan ini akan jauh dari keberhasilan jika tidak diiringi dengan contoh teladan yang baik dari pendidik.402 Pemaparan di atas memberikan pemahaman bahwa metode pembiasaan merupakan metode pembelajaran yang dapat diterapkan terhadap peserta didik yang masih kecil sebab dengan adanya pembiasaan sejak dini kelak kebiasaan tersebut akan menjadi aktivitas anak di kemudian hari. Jika anak sejak kecil diberikan pembiasaan yang baik maka kelak ia akan tumbuh menjadi manusia yang berkepribadian yang baik. Untuk itu proses pembiasaan ini harus dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sebab pengaruh ketiga lingkungan tersebut akan sangat mempengaruhi kebiasaan anak didik ke depannya. Selain itu dalam penerapan kebiasaan ini harus dibarengi dengan contoh keteladan oleh orang yang menjadi pendidik atau panutanya sebab tanpa dibarengi dengan keteladanan maka pembiasaan yang dilakukan hasilnya akan sia-sia. Ramayulis mengemukakan bahwa; Pembiasaan bisa diartikan pengulangan. Maka anak didik dituntut untuk selalu mengulang pelajaran dan ini perlu pembiasaan, apabila sudah terbiasa maka kebiasaan tersebut dapat membuat seseorang tidak terbebani lagi mengerjakan sesuatu terutama dalam hal yang berhubungan dengan pendidikan. Dalam pendidikan Islam pengembangan sikap dan amal keagamaan melalui pembiasaan sangat perlu dilakukan agar peserta didik terbiasa bersikap positif dalam menjalankan ajaran agama secara rutin dalam kehidupan sehari-hari.403 Berdasarkan pendapat Ramayulis tersebut dapatlah dipahami bahwa untuk proses pembelajaran di sekolah pendidik harus menerapkan metode pembiasaan ini terhadap peserta didiknya dalam proses pembelajaran agar 401 402 403



Ibid. Armai Arief, op.cit., h.114 Ramayulis, “Metodologi Pendidikan Agama Islam”, op. cit., h. 158



208



peserta didik nantinya sudah terbiasa dengan hal-hal yang diarahkan kepadanya dan tidak merasa berat terhadap berbagai tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Untuk mata pelajaran agama Islam peserta didik harus selalu dibiasakan untuk menjalankan materi terkait pembentukan sikap dan amal sehingga nantinya peserta didik merasa terbiasa untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam tersebut. Tindakan praktis mempunyai kedudukan penting dalam Islam. Islam, kata „Abdurrahman al-Nahlawi, bukan agama mantera-mantera dan jampijampi. Segala ajarannya menuntut manusia agar mengarahkan tingkah laku, bahkan hidupnya untuk merealisasi hukum-hukum Ilahi secara praktis. Praktik ini akan sulit terlaksana manakalah seseorang tidak terlatih dan terbiasa untuk melaksanakannya. Orang tua diperintahkan untuk mengajarkan tata cara melaksanakan sholat kepada anak-anaknya ketika berumur tujuh tahun, lalu menyuruh mereka untuk melaksanakannya sesuai dengan tata cara pelaksanaannya. Hal ini dimaksudkan agar mereka terbiasa dan merasa senang untuk melaksanakan sholat. Setelah umur 10 tahun, apabila mereka meninggalkan sholat, hendaknya para orang tua memukul mereka, karena mereka telah balig. Pada umur 10 tahun itu pula, orang tua memisahkan tempat tidur anak-anak satu dengan lainnya. Pemisahan ini dimaksudkan untuk menghindari gejolak nafsu birahi, meskipun mereka bersaudara. Pendek kata, perintah kepada orang tua ini dimaksudkan sebagai pendidik dan pengajar bagi anak-anak agar senantiasa memelihara perintah Allah, bergaul antara sesama makhluk menurut perintah Allah, tidak berada di tempat yang biasa menimbulkan prasangka buruk dan menjauhi larangan Allah. 404 Pembentukan kebiasaan melalui pengulangan dan memperoleh bentuknya yang tetap apabila disertai dengan kepuasan. 405 Anak yang sering mendengarkan orang tuanya mengucapkan nama Allah, umpamanya akan mulai mengenal nama Allah. Hal itu kemudian mendorong tumbuhnya jiwa keagamaan pada anak tersebut.406 Demikian pula anak dapat berdisiplin dengan berlatih mematuhi peraturan secara berulang-ulang di lingkungan keluarga, sekolah dan di lingkungan lainnya. Menanamkan kebiasaan itu sulit dan kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, kesulitan itu disebabkan pada mulanya seseorang atau anak belum mengenal secara praktis sesuatu yang hendak dibiasakannya. Apalagi 404 405 406



Hery Noer Aly, op. cit., h. 188. Suparlan Suryapratondo. Ilmu Jiwa Kepribadian. (Jakarta: Pryu Barkah, 1982), h. 153 Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 87.



209



yang kalau dibiasakan itu dirasa kurang menyenangkan. Oleh sebab itu, dalam menanamkan kebiasaan diperlukan pengawasan. Bahkan dalam hal ini pembiasaan ini bisa menggunakan motivasi dengan kata-kata yang baik, bisa memberi hadiah hingga menggunakan hukuman apabila dipandang perlu dalam meluruskan penyimpangan. Pengawasan hendaknya digunakan, meskipun secara berangsur-angsur peserta didik harus diberi kebebasan. Anak-anak yang masih kecil sangat membutuhkan pengawasan. Selanjutnya, makin besar anak itu pengawasan terhadapnya hendaknya makin dikurangi, dengan kata lain pengawasan dilakukan dengan mengikuti usia peserta didik, serta perlu ada keseimbangan antara pengawasan dan kebebasan. Tujuan pendidikan adalah membentuk peserta didik agar pada akhirnya dapat berdiri sendiri dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Hal itu baru akan tercapai apabila ia mempunyai kebebasan.407 Pengawasan hendaknya dilakukan terus menerus, artinya pendidik hendaknya konsekuen, bersikap tegas, dan tetap teguh pada pendirian yang telah diambilnya. Segala aturan, baik perintah maupun larangan, agar hendaknya dijaga agar selalu dilaksanakan dan tidak dilanggar. Jadi dengan pengawasan pendidik dapat mengevaluasi apakah peserta didik telah mempunyai kebiasaan tentang sesuatu yang ditanamkan kepadanya? Apakah untuk menguatkan itu diperlukan ganjaran atau hukumnya?, apakah kebiasaan itu melahirkan kepuasan pada peserta didik? Evaluasi semacam ini akan berguna bagi pendidik dalam proses pembiasaan, di samping itu dengan pengawasan, pendidik dapat menghindarkan bahaya-bahaya yang dapat merugikan perkembangan anak-anak baik jasmani maupun rohani. Pembiasaan hendaknya disertai dengan usaha membangkitkan kesadaran atau pengertian terus menerus akan maksud dari tingkah laku yang dibiasakan sebab pembiasaan yang digunakan bukan untuk memaksa peserta didik agar melakukan sesuatu secara otomatis seperti robot melainkan agar ia dapat melaksanakan segala kebaikan dengan mudah tanpa merasa susah atau berat hati. Pembiasaan yang pada awalnya bersifat mekanistis hendaknya diusahakan agar bisa menjadi kebiasaan yang disertai kesadaran (kehendak dan kata hati). Hal ini sangat mungkin apabila pembicaran secara berangsurangsur disertai dengan penjelasan dan nasihat-nasihat hingga makin lama timbul pengertian dari peserta didik. 408



407 408



Hery Noer Aly, op. cit., h. 189-190 Ibid.,h. 191



210



Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa pembiasaan merupakan salah satu pola pembelajaran yang diterapkan bagi anak-anak yang masih kecil karena mereka belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum memahami kewajiban-kewajiban sebagai orang dewasa, ingatan mereka belum kuat, cepat lupa terhadap apa yang telah diberikan dan perhatian mereka lekas serta mudah beralih kepada hal-hal yang baru dan disukainya maka lewat proses pembiasaan anak akan selalu mengingat dan mengikuti apa yang dibiasakan kepadanya sehingga dengan begitu kebiasaan yang selalu dibiasakan kepadanya akan terus terbawa pada proses pertumbuhannya. Untuk itu bagi anak yang masih kecil pembelajaran pendidikan Islam sangat baik sekali diajarkan lewat pembiasaan sehingga nantinya ia akan tumbuh dan berkembang hingga menuju kedewasaannya dengan kepribadian Islam. Pepatah mengatakan kecil teranja-anja besar terbawa-bawa dan sudah tua tidak akan berubah. Maknanya jika kecil anak dibiasakan dengan perilaku Islami, maka besar ia akan selalu berperilaku Islami hingga sampai masa tua perilaku itu tidak akan pernah terlepas dari kehidupannya secara pribadi. Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran Islam, memuat prinsip-prinsip umum pemakaian metode pembiasaan dalam proses pendidikan. Dalam mengubah sebuah perilaku negatif misalnya, al-Qur‟an memakai pendekatan pembiasaan yang dilakukan secara berangsur-angsur. Kasus pengharaman khamar, misalnya, al-Qur‟an menggunakan beberapa tahap. Sebagai gambaran umum tentang khamar Allah menurunkan ayat: Q.S. An-Nahl (16): 67 sebagai berikut;



                 Terjemahannya : Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.409 Ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah memberikan penjelasan bagi manusia bahwa lewat buah kurma dan anggur manusia 409



Departemen Agama RI, op. cit., h. 43



211



diberikan pilihan untuk dapat membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik dan bagaimana manusia lewat akalnya untuk memilih antara memabukkan atau sesuatu rezeki yang baik. Ayat di atas juga memberi penjelasan hanya sebatas tentang manfaat yang dapat diperoleh dari buah kurma dan anggur agar mereka merasakan demikian besarnya kemaha kuasaan Allah. Ayat di atas sama sekali belum menyentuh garis hukum haramnya minuman khamar. Isyarat ayat di atas dinilai sangat halus dan hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang biasa merasakan kebesaran Allah SWT. Suatu saat pasti akan melarang minuman yang memabukkan tersebut.410 Untuk tahap awal tentang minuman khamar Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 219 sebagai berikut :



                             Terjemahnya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayatayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.411 Ayat ini mengisyaratkan adanya alternatif pilihan yang diberikan oleh Allah, kepada manusia antara memilih yang banyak positifnya dengan yang lebih banyak negatifnya dari kebiasaan minuman khamar. Demikian tolerannya Al-Qur‟an. Sesungguhnya dapat menyentuh perasaan dan pikiran setiap orang bahwa kebiasaan minuman khamar dan melakukan perjudian adalah kebiasaan yang seharusnya ditinggalkan, karena aspek negatif yang akan muncul dari perbuatan tersebut lebih banyak dari pada aspek manfaatnya.412



410 411 412



Armai Arief, op. cit, h. 112 Departemen Agama RI, op. cit, h. 57 Armai Arief, op. cit., h.112



212



Tahap kedua, tentang khamar Alah menurunkan ayat dalam Q.S. AnNisa (4); 43 sebagai berikut :



            Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.413 Meminum khamar adalah perbuatan dan kebiadaban yang tidak terpuji. Sebagian di antara kaum muslimin telah menyadari dan membiasakan untuk tidak lagi meminum-minuman yang memabukkan. Namun masih ditemukan juga sebagian yang lain yang sulit untuk mengubah kebiasaan tersebut, sampai-sampai ingin melakukan sholatpun mereka melakukan kebiasaan tersebut.414 Tahap ketiga, secara tegas Allah melarang meminum khamar sebagaimana tercermin dalam Q.S. al-Maidah (5):90 sebagai berikut:



                Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.415 Oleh karena itu, pendekatan pembiasaan sesungguhnya sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai positif ke dalam diri anak didik baik pada aspek kognitif, afektif dan psikomotirik. Selain itu, pendekatan pembiasaan juga dinilai sangat efisien dalam mengubah kebiasaan negatif menjadi positif. Namun demikian pendekatan ini akan jauh dari keberhasilan jika tidak diiringi dengan contoh dan tauladan yang baik dari si pendidik. 416



413 414 415 416



Departemen Agama RI, op. cit, h. 110 Armai Arief, op. cit, h. 113 Departemen Agama RI, op. cit, h. 163 Armai Arief, op. cit, h. 122



213



Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang peranan pembiasaan dalam proses pembelajaran pendidikan Islam dapatlah dipahami bahwa peranan pembiasaan sangat berguna bagi proses pembelajaran pendidikan Islam bagi anak yang masih kecil dan mengubah perilaku negatif seseorang dimana anak yang masih kecil belum paham segala sesuatu terkait dengan kewajibannya sebagai seorang muslim dimana potensi yang ada pada dirinya belum sama seperti orang dewasa sehingga untuk mengajarkan ajaran Islam padanya hanya dilakukan lewat pembiasaan dimana pembiasaan itu agar berhasil dalam penanaman nilai-nilai ajaran Islam bagi anak harus dilakukan secara kontinyu, konsisten dan tegas dan ditopang oleh metode-metode lain sementara untuk mengubah perilaku negatif seseorang yang sudah berurat akar dapat dilakukan secara perlahan-perlahan sehingga timbul kesadaran untuk menjalankan ajaran agama Islam secara sebenarnya. d. 1)



Metode Ceramah Pengertian metode ceramah Secara bahasa metode ceramah berasal dari dua suku kata yaitu; metode dan ceramah. Metode berarti; “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”417, sedangkan ceramah berarti; “pidato seseorang di hadapan banyak pendengar, yang membicarakan sesuatu hal, pengetahuan dan sebagainya”.418 Berdasarkan pengertian kata metode dan ceramah secara bahasa tersebut dapatlah dipahami bahwa metode ceramah adalah cara yang teratur dan terpikir baik yang dilakukan oleh seseorang untuk menyampaikan kepada orang tentang suatu pengetahuan atau yang lainnya dengan menggunakan sistem pidato atau bahasa secara lisan. Ramayulis berpendapat bahwa berpidato dan bertablig sama artinya dengan ceramah. Metode ceramah banyak sekali dipakai karena metode ini mudah digunakan. Nabi Muhammad dalam memberikan penjelasan terhadap umatnya banyak menggunakan metode ceramah di samping metode lainnya.419



417 418 419



Deprtemen P & K, op. cit., h. 652 Ibid, h. 185 Ramayulis, “Metodologi Pengajaran Agama Islam”, op.cit., h. 134



214



Selain itu di dalam Al-Qur‟an banyak ditemukan ayat-ayat yang disampaikan oleh Allah kepada nabi Muhammad dalam bentuk ceramah. Diantaranya seperti firman Allah dalam QS. Yusuf (12); 2, 3, yaitu:



                        Terjemahannya: Sesungguhnya kami menurunkan berupa al-Qur‟an dengan bahasa arab, agar kamu memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur‟an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelumnya (Kami mewahyukannya) adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.420 Ayat di atas menerangkan bahwa Allah menurunkan al-Qur‟an dengan memakai bahasa Arab dan menyampaikan kepada Nabi Muhammad dengan jalan cerita dan ceramah. Dari pemahaman sebelumnya dapat dikatakan bahwa metode ceramah masih merupakan metode yang paling dominan dan yang paling banyak dipakai khususnya di sekolah-sekolah tradisional. Adapun pengertian metode ceramah secara istilah secara jelasnya dapat di lihat lewat pendapat beberapa para ahli tentang hal tersebut dimana secara jelasnya tentang pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dimaksud dapat dilihat pada penjelasan-penjelasan di bawah ini. Armai Arief mengemukakan bahwa “Metode ceramah ialah cara menyampaikan sebuah materi pelajaran dengan cara penuturan lisan kepada siswa atau khalayak ramai”.421 Berdasarkan pendapat Armai Arief tersebut dapatlah dipahami bahwa metode ceramah adalah cara penyampaian sebuah materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didiknya atau khalayak ramai yang dilakukan dengan menggunakan penuturan bahasa lisan. Ramayulis mengemukakan bahwa; metode ceramah adalah” penerangan dan penuturan secara lisan guru terhadap murid-murid di dalam kelas”422. Berdasarkan pendapat Ramayulis tersebut dapatlah dipahami bahwa metode ceramah adalah cara guru mengajar siswanya di dalam kelas dengan memakai penerangan dan penuturan dari lisan guru.



420 421 422



Departemen Agama RI, op. cit., h. 318 Armai Arief, op. cit., h. 136 Ramayulis, “Metodologi Pengajaran Agama Islam”, op. cit, h. 102



215



Zuhairini dkk mengemukakan bahwa; “metode ceramah adalah suatu metode di dalam pendidikan dimana cara penyampaian materi pelajaran kepada anak didik dengan cara penerangan dan penuturan secara lisan katakata”.423 Berdasarkan pendapat Zuhairini dkk tersebut dapatlah dipahami bahwa metode ceramah adalah cara pendidik menyampaikan materi pelajaran yang dilakukan lewat komunikasi dengan anak didiknya dengan menggunakan bahasa lisan. Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya mengemukakan; Metode ceramah adalah suatu metode di dalam pendidikan dan pengajaran di mana cara menyampaikan pengertian-pengertian materi kepada anak didiknya dilaksanakan dengan lisan oleh guru di dalam kelas. Hubungan antara guru dengan anak didiknya menggunakan bahasa lisan. Peranan guru dan murid berbeda jelas yaitu guru terutama dalam menuturkan dan menerangkan secara aktif sedangkan murid mendengarkan dan mengikuti secara cermat serta membuat catatan tentang pokok persoalan yang diterangkan oleh guru. 424 Berdasarkan pendapat Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya tersebut dapatlah dipahami bahwa metode ceramah adalah cara guru menyampaikan pelajaran kepada siswanya di kelas dengan memakai bahasa lisan serta dalam proses pembelajaran tersebut guru bersifat aktif sedangkan siswa hanya bersifat pasif. Ahmad Sabri mengemukakan; Metode ceramah adalah metode yang dilakukan oleh guru dalam menyampaikan bahan pelajaran di dalam kelas secara lisan. Interaksi guru dengan siswa banyak menggunakan bahasa lisan. Dalam metode ceramah ini yang mempunyai peran adalah guru.425 Berdasarkan pendapat Ahmad Sabri tersebut dapatlah dipahami bahwa metode ceramah adalah metode mengajar yang digunakan oleh guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas dengan cara materi yang diajarkan disampaikan dengan bahasa lisan serta dalam proses pembelajaran tersebut guru yang selalu aktif. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang pengertian metode ceramah baik secara bahasa maupun secara istilah maka secara umum dapatlah dipahami bahwa metode ceramah adalah cara 423 424 425



Zuhairini dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama (Cet. VIII; Surabaya: Usaha Nasional, 1983), h. 83 Abu Ahmadi & Joko Tri Prasetya, op. cit.,, h. 53 Ahmad Sabri, op. cit., h. 54



216



guru atau pengajar dalam mengajarkan materi pelajaran kepada anak didiknya dengan cara materi tersebut disampaikan dengan lewat penuturan bahasa lisan dan di dalam proses pembelajaran tersebut guru atau pengajar bersifat aktif sementara anak didik atau peserta didik bersifat pasif. 2) Sistem Penerapan Metode Ceramah Metode ceramah yang merupakan cara penyampaian materi kepada anak didik yang dilakukan lewat penggunaan bahasa lisan telah banyak digunakan dalam menyampaikan ajaran yang telah ditentukan. Penyampaian ajaran agama dengan menggunakan bahasa lisan telah dipraktekkan oleh Rasululah dalam mengajak umat manusia ke jalan Tuhan. Dalam masa sekarang metode ceramah atau biasa dikenal dengan tabligh amat populer dan banyak digunakan termasuk dalam pengajaran, karena metode ini termasuk yang mudah, murah, dan tidak banyak memerlukan peralatan. Daya tarik ceramah bisa berbeda-beda tergantung kepada siapa pembicaraannya, bagaimana pribadi si pembicara, dan bagaimana bobot pembicaraan itu, apa prestasinya yang telah dihasilkan. Semua itu akan menjadi daya tarik ceramah yang disampaikan. Ini mengingatkan atau memberi petunjuk bahwa jika seorang guru atau pendidik akan mempergunakan metode ceramah dan ceramahnya itu ingin diperhatikan orang bahkan ceramahnya itu dijadikan pegangan hidup, maka si penceramah atau guru itu harus mempunyai kualitas-kualitas sebagaimana disebutkan di atas.426 Lalu bagaimana penerapan metode ceramah dalam proses pengajaran. Pada Sekolah-sekolah tradisional metode ceramah masih dominan dipakai dalam proses pengajaran bahkan kebanyakan guru di lembaga-lembaga pendidikan formal selalu menggunakan metode ceramah dalam pengajaran yang dipadukan dengan metode-metode yang lainnya. Memang metode ceramah sampai kapanpun masih tepat dipakai untuk melaksanakan pembelajaran di lembaga pendidikan formal. Secara umum tentang penerapan metode ceramah meliputi; a) Langkah persiapan. Persiapan yang dimaksud di sini adalah menjelaskan kepada peserta didik tentang tujuan pelajaran dan pokok masalah yang akan dibahas dalam pelajaran tersebut. Di samping itu pendidik memperbanyak bahan materi yang akan disampaikan agar memudahkan dalam pengajaran



426



Abuddin Nata, “Filasafat Pendidikan Islam”, h. 106



217



b) c)



d)



Langkah penyajian. Pada tahap ini guru atau pendidik menyajikan bahan yang berkenaan dengan pokok masalah Langkah generalisasi. Dalam hal ini unsur yang sama dan berlainan dihimpun untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan pokok masalah langkah aplikasi penggunaan. Pada langkah ini kesimpulan yang diperoleh digunakan dalam berbagai situasi sehingga nyata makna kesimpulan itu. 427 Untuk itu, dapatlah dipahami bahwa penerapan metode ceramah di sekolah dilakukan lewat cara guru menyampaikan materi dengan menggunakan bahasa lisan di depan kelas dan siswa mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru dimana dengan penggunaan metode ceramah ini memudahkan proses penyampaian materi pelajaran bagi para peserta didik sehingga memungkin kapan dan dimanapun proses pembelajaran bagi peserta didik dapat dilakukan karena memang metode ini memiliki kemudahan karena pengoperasionalannya mudah, murah, dan tidak banyak memerlukan peralatan. Secara otomatis bila siswa selalu diingatkan tentang materi pelajaran maka dapat membuat ia tidak lengah untuk selalu ingat akan materi yang diajarkan kepadanya dan memungkinkan peserta didik untuk selalu mengaplikasikan materi yang diajarkan kepadanya dalam kehidupan.



Namun demikian bagi seorang guru yang hendak menggunakan metode ceramah maka ia harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut; a) Guru yang menyampaikan metode ini adalah guru yang baik dan berwibawa serta mempunyai pengetahuan dan wawasan luas. b) Bahan pelajaran yang akan disampaikan terlalu banyak sementara alokasinya sedikit. c) Bahan yang akan disampaikan merupakan topik yang baru yang mengandung informasi, penjelasan dan uraian. d) Tidak ditemukan bahan yang akan disampaikan di dalam buku yang akan dipergunakan anak didik. e) Tidak ada media lain kecuali lisan. f) Guru adalah seorang orator yang mahir dan bersemangat dan merangsang perhatian murid. 428 427



Armai Arief, op. cit, h. 138



218



Selain itu bagi seorang guru diharapkan agar dalam melaksanakan kegiatan mengajar kepada siswa tidak terlalu monoton menggunakan metode ceramah sebab metode ceramah juga memiliki kelemahan meliputi ; a) Interaksi cenderung berpusat pada guru. b) Guru tidak mengetahui dengan pasti sejauh mana siswa menguasai bahan ceramah. c) Mungkin saja siswa memperoleh konsep-konsep yang lain yang berbeda dengan apa yang dimaksud guru. d) Siswa kurang menangkap apa yang dimaksud oleh guru, jika ceramah berisi istilah-istilah yang kurang dimengerti oleh siswa dan akhirnya mengarah kepada verbalisme. e) Tidak memberikan kepada siswa untuk memecahkan masalah karena siswa hanya diarahkan untuk mengikuti pikiran guru. f) Kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kecakapan dan kesempatan mengeluarkan pendapat. g) Guru lebih aktif sedangkan murid bersikap pasif.429 Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa penerapan metode ceramah dalam proses pengajaran dilakukan lewat proses guru atau pendidik menyampaikan materi kepada anak didik dengan menggunakan bahasa lisan sementara peserta didik duduk mendengarkan materi yang diajarkan dan proses penyampaian materi pengajaran bagi peserta didik dapat dilakukan kapan dan dimanapun saja. Keberhasilan seseorang menggunakan metode ceramah tergantung kepada gaya berbicara, kepribadian, bobot materi yang disampaikan dan prestasi yang telah dihasilkan. e. 1)



Metode Diskusi Pengertian Metode Diskusi Secara umum pengertian diskusi adalah suatu proses yang melibatkan dua individu atau lebih, berintegrasi secara verbal, dan saling berhadapan, saling tukar informasi, saling mempertahankan pendapat, dalam memecahkan suatu persoalan tertentu,430 sedangkan metode diskusi adalah sebuah cara yang dilakukan dalam mempelajari bahan dan menyampaikan materi dengan jalan mendiskusikannya, dengan tujuan dapat menimbulkan pengertian serta 428 429 430



Armai Arief, op. cit, h. 138 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 289 – 290. Ibid.



219



perubahan tingkah laku pada siswa, atau dalam pengertian lain metode diskusi adalah suatu cara penyajian atau penyampaian bahan pelajaran dimana guru memberi kesempatan pada para siswa/kelompok siswa untuk mengadakan pembicaraan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan.431 Dalam Islampun manusia dalam kehidupan dianjurkan melakukan diskusi. Hal ini dapat dilihat lewat firman Allah dalam QS. An Nahl (16): 125 yaitu;



                          Terjemahannya: Serulah manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalannya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. 432 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa metode diskusi yang digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah adalah langkah-langkah penyampaian materi pelajaran oleh guru kepada siswanya dengan cara didiskusikan, dan diskusi yang dilakukan tersebut kebanyakan dalam bentuk diskusi kelompok, dimana satu kelompok siswa mempresentasikan topik materi yang telah diberikan oleh guru dan kelompok yang lainnya menyanggahnya sehingga didapatkan suatu kesimpulan dari topik materi yang didiskusikan dan guru bertindak sebagai pengarah dan penuntun pada materi pelajaran yang didiskusikan tersebut. 2) Bentuk-Bentuk Diskusi a) Diskusi informal Diskusi ini terdiri dari satu diskusi yang pesertanya terdiri dari murid-murid yang jumlahnya sedikit. Dalam diskusi informal ini hanya seorang yang menjadi pimpinan, tidak perlu ada pembantupembantu, sedangkan yang lainnya hanya sebagai anggota diskusi



431 432



Ramayulis,”Metodologi Pengajaran Agama Islam”,op. cit, h. 145 Departemen Agama RI, op.cit., h. 383



220



b)



c)



d)



Diskusi formal Diskusi ini berlangsung dalam suatu diskusi yang serba diatur dari pimpinan sampai dengan anggota kelompok. Diskusi dipimpin oleh seorang guru atau oleh seorang murid yang cakap karena semua telah diatur maka para anggota diskusi tidak dapat begitu saja berbicara, semua harus diatur melalui aturan yang dipegang oleh pimpinan diskusi. Diskusi panel Diskusi ini dapat diikuti oleh banyak murid sebagai peserta yang dibagi menjadi peserta aktif dan peserta tidak aktif. Peserta aktif yaitu langsung mengadakan diskusi sedangkan peserta tidak aktif adalah sebagai pendengar Diskusi simposium Dalam diskusi simposium, masalah-masalah yang akan dibicarakan diantarkan oleh seseorang atau lebih pembicara dan disebut pemrasaran. Pemrasaran boleh berbeda-beda pendapat terhadap suatu masalah, sedangkan peserta boleh mengeluarkan pendapat menanggapi yang dikemukakan pemrasaran.433



Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut tentang bentukbentuk dari diskusi dapatlah diketahui bahwa bentuk-bentuk diskusi meliputi; diskusi informal, diskusi formal, diskusi panel, dan diskusi simposium. Dari keempat jenis diskusi tersebut diketahui bahwa diskusi yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran di kelas yaitu; diskusi informal, diskusi formal dan diskusi panel. 3) Kegunaan Metode Diskusi Kegunaan metode diskusi meliputi; a) Untuk menumbuhkan sikap transparan dan toleran bagi peserta didik karena ia terbiasa mendengarkan pendapat orang lain sekalipun pendapat tersebut berbeda dengan pendapatnya. b) Untuk mencari berbagai masukan dalam memutuskan sebuah atau beberapa permasalahan secara bersama. c) Untuk membiasakan peserta didik berfikir secara logis dan sistematis.434 Terkait kegunaan metode diskusi tersebut dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, Zainal Akib mengemukakan; 433 434



Ibid, h. 294 - 295 Armai Arief, op cit, h.147



221



Diskusi adalah metode suatu cara penguasaan bahan pelajaran melalui wahana tukar pendapat dan informasi berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah diperoleh guna memecahkan suatu masalah, memperjelas suatu bahan serta pelajaran dan mencapai kesepakatan. Melalui metode ini berbagai keterampilan seperti bertanya, berkomunikasi, menafsirkan dan menyimpulkan materi pelajaran. Kemampuan mengendalikan emosi dan sebagainya dapat dibina melalui penggunaan metode diskusi.435 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa kegunaan dari penggunaan metode diskusi adalah melatih kepribadian siswa sistem berdiskusi secara baik-baik dari segi bertanya, menjawab pertanyaan, menyimpulkan materi yang didiskusikan secara baik, dan siswa bisa memahami dan mendengarkan pendapat siswa yang lain, walaupun pendapat siswa yang lain tersebut berbeda dengan pendapat yang dipahaminya. 4) Kelebihan dan Kekurangan Metode Diskusi Pada prinsipnya metode diskusi dalam penerapannya juga memiliki kelebihan dan kekurangan, dimana kelebihan dan kekurangan dari metode diskusi dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini. a) Kelebihan metode diskusi Keunggulan-keunggulan dari penerapan atau penggunaan metode diskusi antara lain yaitu: (1) Suasana kelas lebih hidup (2) Dapat menaikkan prestasi kepribadian individu. (3) Kesimpulan diskusi mudah dipahami siswa. (4) Siswa dilatih belajar peraturan-peraturan dan tata tertib layaknya dalam suatu musyawarah. (5) Membantu murid untuk mengambil keputusan yang lebih baik. (6) Tidak terjebak dalam pikiran individu yang kadang-kadang salah penuh prasangka dan sempit. 436 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa kelebihan dari pelaksanaan metode diskusi meliputi; kegiatan pembelajaran dalam kelas dapat dihidupkan, dapat mendorong siswa untuk menaikan prestasinya, kesimpulan 435 436



Zainal Akib, Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran (Cet. I; Surabaya: Insan Cendikia, 2002), h. 93 Ibid, h. 149



222



b)



dari materi yang didiskusikan mudah dipahami oleh siswa, siswa dilatih cara-cara berdiskusi yang baik, membantu siswa untuk membuat keputusan-kepuasan yang baik, dan membuat siswa tidak terjebak pada pendapat sendiri yang terkadang salah memahami atau prasangka dan sempit. Kekurangan metode diskusi Adapun kekurangan-kekurangan dari penerapan atau penggunaan metode diskusi yaitu: (1) Kemungkinan ada siswa yang tidak ikut aktif sehingga diskusi baginya hanyalah merupakan kesempatan melepaskan tanggung jawab. (2) Sulit menduga hasil yang dicapai karena waktu yang dipergunakan untuk diskusi cukup panjang. 437



Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa kelemahan dari penggunaan diskusi dalam proses pembelajaran di kelas yaitu; adanya siswa yang mengikuti diskusi malas dan melepaskan keaktifan atau tanggung jawab diskusi tersebut pada teman-temannya yang rajin atau aktif, serta target hasil yang dapat dicapai dari pelaksanaan kegiatan diskusi karena dalam proses pelaksanaan kegiatan diskusi biasanya waktu yang digunakan cukup banyak. 5) Peranan guru dalam penggunaan metode diskusi Dalam penggunaan metode diskusi, peranan guru sangat penting dalam rangka menghidupkan gairah murid berdiskusi, dimana peranan guru tersebut meliputi; a) Guru harus berusaha dengan semaksimal mungkin agar semua murid turut aktif dan berperan dalam diskusi tersebut b) Guru harus mampu berperan sebagai pengatur lalu lintas pembicaraan, harus bijaksana dalam mengarahkan diskusi, sehingga diskusi tersebut berjalan lancar dan aman. c) Guru harus membimbing diskusi agar sampai pada suatu kesimpulan. 438 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa dalam pelaksanaan diskusi di kelas, seorang guru sebagai pimpinan pelaksanaan diskusi memiliki peran meliputi; mengerahkan segala kemampuan untuk mengerakkan semua murid sehingga aktif dalam 437 438



Ibid. Zakiah Daradjat dkk, op. cit., h. 292



223



pelaksanaan diskusi, menjadi pengatur lalu lintas pelaksanaan diskusi secara bijak, dan mengarahkan kegiatan diskusi hingga sampai pada suatu kesimpulan sesuai dengan tujuan dari pembelajaran materi yang didiskusikan. 6) Peranan Para Peserta Diskusi Meskipun tidak dapat disangkal lagi bahwa pimpinan diskusi amat menentukan jalan dan keberhasilan diskusi, yang pada umumnya di jabat oleh mereka yang sudah biasa memimpin diskusi dan yang pada akhirnya bertanggung jawab terhadap tercapainya tidaknya tujuan dari diskusi kelompok, namun tidak kurang pentingnya peranan yang harus dijalankan peserta agar diskusi dapat berjalan lancar dan menemui sasarannya, maka hendaknya telah dipersiapkan kondisi-kondisi yang memadai dari para peserta sebagai suatu keseluruhan. Kondisi-kondisi yang dimaksud itu antara lain; a) Satu sama lain harus saling kenal. Biasanya tidaklah masalah bila peserta diskusi itu terdiri dari kawan sekelas atau sekelompok. Tetapi jika terjadi percampuran atau perbauran antara anggota kelas satu dengan yang lain maka satu dengan yang lainnya harus saling mengenal. b) Para peserta harus sudah menyiapkan diri c) Para peserta harus berpikir dengan berpijak pada masalah dan harus menilai pembicaraannya atau gagasannya dari ide-ide dan fakta-fakta baru yang berkembang dalam diskusi d) Para peserta harus sabar dan cermat e) Peserta harus mengembangkan rasa kebersamaan kelompok, jika bicara maka pembicaraannya dihadapkan kepada semua peserta, berbicara dengan tenang dan mantap, serta dapat menghormati pendapat pembicara-pembicara lainnya. f) Diskusi harus tetap berpegang teguh kepada pokok masalah g) Para peserta dapat saling membantu.439 Berdasarkan penjelasan tersebut maka peran yang dimainkan oleh para peserta diskusi meliputi; satu sama lain saling mengenal, sudah menyiapkan diri sebelum diskusi, berusaha berpikir dengan bertumpu pada masalah yang didiskusikan, sabar, cermat, mengembangkan rasa kebersamaan, tetap berpegang teguh pada masalah dan dapat saling membantu. 7) Sistem penerapan metode diskusi dalam proses pembelajaran Agar metode diskusi yang diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran benar-benar dapat meningkatkan kualitas siswa maka seorang 439



Ramayulis,”Metodologi Pengajaran Agama Islam”, op. cit, h. 140-151



224



guru dituntut untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dalam penerapan metode diskusi dalam proses pembelajaran dimana syarat-syarat tersebut meliputi; a) Permasalahan yang didiskusikan hendaknya menarik perhatian anak didik. b) Hendaknya persoalan yang didiskusikan adalah persoalan yang relatif banyak menimbulkan pertanyaan. c) Peranan moderator yang aspiratif dan proporsional sangat membutuhkan jalannya diskusi dengan baik. d) Permasalahan yang didiskusikan hendaknya membutuhkan pertimbangan dari berbagai pihak. 440 Berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa syarat-syarat dari penerapan metode diskusi dalam proses pembelajaran meliputi; materi yang didiskusikan hendaknya dapat menarik minat siswa, hendaknya materi pelajaran yang didiskusikan dituntun sebaik-baiknya oleh guru sehingga materi yang didiskusikan tersebut dapat mendorong siswa untuk selalu bertanya, guru berperan dengan sebaik-baiknya dalam diskusi sehingga diskusi dapat berjalan dengan baik dan memenuhi target pencapaian materi yang didiskusikan, dan materi pelajaran yang didiskusikan harus dikembangkan sesuai dengan sasaran pembelajaran materi pembelajaran yang didiskusikan. Selanjutnya bila persoalan di atas telah dipahami oleh guru maka cara penerapan metode diskusi dalam proses pembelajaran menggunakan sistem sebagai berikut (1) Pendahuluan Dalam pendahuluan dari penerapan metode diskusi maka langkahlangkah yang ditempuh yaitu: (a) Guru dan murid menentukan masalah. (b) Menentukan bentuk diskusi yang akan digunakan sesuai dengan masalah yang akan didiskusikan dan kemampuan murid dalam melaksanakan diskusi (2) Pelajaran inti Dalam melaksanakan diskusi guru dapat langsung memimpin (moderator) atau dipimpin oleh murid yang dianggap cakap namun guru tetap bertanggung jawab atas berlangsungnya diskusi.



440



Abu Ahmadi & Joko Triprasetya, op. cit., h. 58-59



225



(3) Penutup Guru atau pemimpin diskusi memberikan tugas kepada audience membuat kesimpulan diskusi. Kemudian guru memberikan ulasan atau memperjelas dari kesimpulan diskusi.441 Berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa langkahlangkap penerapan metode diskusi dalam proses pembelajaran terbagi tiga yaitu; pendahuluan, pelajaran inti, dan penutup. Pada tahap pendahuluan yang dilakukan yaitu; guru menentukan materi dan bentuk diskusi yang dilakukan. Pada tahap pelajaran inti yang dilakukan yaitu; guru atau siswa yang dianggap mampu memimpin atau berperan sebagai moderator selama proses berlangsungnya diskusi, selain itu selama proses diskusi tersebut guru tetap menuntun siswanya dan bertanggung jawab terhadap proses berlangsungnya diskusi agar tujuan materi yang didiskusikan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Selanjutnya pada tahap penutup guru dapat menyuruh siswa untuk membuat kesimpulan tentang materi yang didiskusikan, dan baru setelah itu guru memperjelaskan tentang kesimpulan dari materi pelajaran yang didiskusikan. f.



Metode Resitasi Pengertian Metode Resitasi Metode resitasi yang disebut dengan metode pekerjaan rumah yaitu cara menyajikan bahan pelajaran dimana guru memberikan sejumlah tugas terhadap siswa-siswanya di luar jam pelajaran dimana penyelesaiannya dapat dilakukan di perpustakaan, laboratorium, rumah dan sebagainya untuk selanjutnya dipertanggung jawabkan kepada guru.442 Tugas yang diberikan oleh guru bisa berbentuk memperbaiki, memperdalam, mengecek, mencari informasi atau menghafal pelajaran yang akhirnya membuat kesimpulan tertentu. Siswa harus mempertanggungjawabkan semua tugas yang dibebankan kepadanya, hal itu dapat dilakukan secara individual ataupun kelompok baik secara lisan maupun tulisan. 443 Dalam al-Quran prinsip metode pemberian tugas dapat dipahami misalnya pada QS. Al-Qiyamah (75): 17-18 yaitu; 1)



441 442 443



Mahfud Shalahuddin dkk., Metodologi Pendidikan Agama (Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 51 Abu Ahmadi &Joko Tri Prasetya, op. cit., h. 61 Armai Arief, op. cit., h. 165



226



          Terjemahnya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuat pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu.444 2) Tujuan penggunaan metode resitasi Adapun tujuan penggunaan metode resitasi yaitu; a) Guru mengharapkan agar semua pengetahuan yang telah diterima lebih mantap b) Untuk mengaktifkan siswa mempelajari sendiri sesuatu masalah dengan membaca dan mengerjakan soal-soal sendiri serta mencobanya sendiri c) Agar siswa lebih rajin dan dapat mengukur kegiatan sendiri baik di rumah dan sekolah. 445 3) Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat diterapkan dalam metode resitasi Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat diterapkan dalam metode resitasi meliputi; a) Siswa diberi tugas mempelajari bagian dari buku teks baik secara kelompok maupun perorangan, diberi waktu tertentu untuk mengerjakannya kemudian siswa yang bersangkutan mempertanggungjawabkannya b) Siswa diberi tugas untuk melakukan sesuatu yang tujuannya melatih mereka dalam hal yang bersifat kecakapan mental dan motorik c) Siswa diberi tugas untuk melaksanakan eksperimen dengan tujuan memberikan pengalaman yang berguna sehingga timbul keterampilan d) Siswa diberi tugas untuk mengatasi masalah tertentu/problem solving dengan cara mencoba memecahkannya. Dengan tujuan ini siswa bisa berpikir ilmiah (logis dan sistematis) dalam memecahkan suatu masalah e) Siswa diberi tugas melaksanakan proyek dengan tujuan agar siswa-siswa membiasakan diri bertanggungjawab terhadap



444 445



Departemen Agama RI, op.cit., h. 854 Ahmad Sabri, op. cit., h. 59



227



penyelesaian suatu masalah, yang telah disediakan dan bagaimana mengelola selanjutnya.446 4) Syarat-syarat Penggunaan Metode Resitasi Adapun syarat-syarat penggunaan metode resitasi yaitu; a) Tugas yang diberikan harus berkaitan dengan pelajaran yang telah siswa pelajari sehingga siswa di samping sanggup mengerjakannya juga sanggup menghubungkannya dengan pelajaran tertentu b) Guru harus dapat mengukur dan memperkirakan bahwa tugas yang diberikan kepada siswa sesuai dengan kesanggupan dan kecerdasan yang dimiliki siswa c) Guru harus menanamkan kepada siswa bahwa tugas yang diberikan kepada mereka akan dikerjakan atas kesadaran sendiri yang timbul dari hati sanubarinya d) Jenis tugas yang diberikan kepada siswa harus dimengerti benarbenar sehingga siswa tidak ada keraguan dalam 447 melaksanakannya. 5) Kelebihan Metode Resitasi Adapun kelebihan metode resitasi yaitu; a) Baik sekali untuk mengisi waktu luang yang konstruktif b) Memupuk rasa tanggungjawab dalam segala tugas pekerjaan sebab dalam metode ini siswa-siswa harus mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang telah dikerjakan c) Dapat digunakan untuk semua bidang studi d) Membiasakan siswa giat belajar e) Memberikan tugas siswa yang bersifat praktis umpamanya membuat laporan tentang peribadatan di daerah masing-masing, kehidupan sosial dan lain sebagainya.448 6) Kekurangan Metode Resitasi Adapun kekurangan metode resitasi meliputi; a) Seringkali tugas di rumah itu dikerjakan oleh orang lain sehingga siswa tidak tahu menahu pekerjaan tersebut b) Sulit untuk memberikan tugas karena perbedaan individu siswa dalam kemampuan belajar. c) Seringkali siswa-siswa tidak mengerjakan tugas dengan baik, cukup menyalin pekerjaan dari temannya 446 447 448



Zakiah Daradjat dkk, op. cit., h. 299 Ibid, h. 300 Abu Ahmadi &Joko Tri Prasetya, op. cit., h. 61



228



d)



Apabila tugas itu selalu banyak atau terlalu berat akan mengganggu keseimbangan mental siswa.449 7) Cara Mengatasi Kelemahan Metode Resitasi Ada beberapa cara untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari metode resitasi meliputi; a) Tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya jelas sehingga siswa mengerti apa yang harus dikerjakan b) Tugas yang diberikan kepada siswa dengan memperlihatkan perbedaan individu c) Waktu untuk menyelesaikan tugas harus cukup d) Adalah kontrol atau pengawasan yang sistematis atas tugas yang diberikan sehingga mendorong siswa untuk belajar dengan sungguh-sungguh e) Tugas yang diberikan hendaknya mempertimbangkan; (1) Menarik minat dan perhatian siswa (2) Mendorong siswa untuk mencari, mengalami dan menyampaikan (3) Diusahakan tugas bersifat praktis dan ilmiah serta 4) bahan pelajaran yang ditugaskan diambil dari hal-hal yang dikenal siswa.450 8) Pelaksanaan Metode Resitasi Adapun pelaksanaan dari metode ini terdiri dari 3 tahapan meliputi; pendahuluan, pelajaran inti dan penutup, secara jelasnya seperti uraian di bawah ini. (a) Pendahuluan Pada langkah ini perlu mempersiapkan mental siswa untuk menerima tugas yang akan diberikan kepada mereka pada pelajaran inti, untuk itu perlu memberikan kejelasan tentang suatu bahan pelajaran yang dilaksanakan dengan metode ini, diberikan contoh-contoh serupa dengan tugas jika keterangannya telah cukup (b) Pelajaran inti Guru memberikan tugas, siswa melaporkan hasil kerja mereka sementara guru mengadakan koreksi terhadap tugas-tugas tersebut dan bila ditemukan kesalahan perlu diadakan diskusi (c) Penutup 449 450



Ibid. h. 62 Syaiful Sagala, Konsep dan Makna pembelajaran (Cet. IV; Bandung: Alfabeta, 2006), h. 220



229



Pada langkah ini siswa bersama guru mengecek kebenaran sementara siswa disuruh mengulang kembali tugas. 451 Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa metode pemberian tugas atau metode resitasi merupakan salah satu cara di dalam menyajikan bahan pelajaran kepada siswa. Guru memberikan sejumlah tugas terhadap murid-muridnya untuk mempelajari sesuatu, kemudian mempertanggungjawabkannya. Metode ini dapat diberikan dalam berbagai kegiatan mengajar dari semua mata pelajaran. Namun metode ini juga punya kelemahan dan kelebihan, sehingga profesionalisme seorang guru dalam mengaplikasikan metode ini sesuai dengan situasi dan kondisi yang kondusif. g. 1)



Metode Inkuiri Pengertian Metode Inkuiri Secara bahasa inkuiri berasal dari dari kata inquire dan kata inquiry. Kata inquire berarti menanyakan, meminta keterangan atau menyelidiki sedangkan kata inkuiri berarti penyelidikan. 452 Untuk itu secara bahasa metode inkuiri berarti pola mengajar siswa penemuan, bertanya, meminta keterangan dan penyelidikan. Pengertian metode inkuiri secara istilah adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa.453 Menurut pengertian lain inkuiri merupakan teknik mengajar yang berusaha meletakan dasar dan mengembangkan cara berpikir ilmiah. Pada sistem ini menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam pemecahan masalah. Siswa betul-betul ditempatkan sebagai subjek belajar. Peranan guru hanya sebagai pembimbing belajar dan fasilitator belajar. Tugas utama guru adalah memilih masalah yang perlu dilontarkan kepada kelas untuk dipecahkan oleh siswa sendiri. Tugas guru berikutnya menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka pemecahan masalah. Sudah barang tentu bimbingan dan pengawasan dari guru masih tetap diperlukan, namun campur tangan terhadap kegiatan siswa dalam pemecahan masalah harus dikurangi. 454 Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa metode inkuiri adalah sistem penyampaian materi 451 452 453 454



Armai Arief, op. cit., h. 167 Abu Ahmadi & Joko Triprasetya, op. cit., h. 76 Wina Sanjaya, op. cit., h. 196 Ahmad Sabri, op. cit., h. 12



230



terhadap siswa yang mengedepankan kemampuan daya berpikir dimana guru mengajukan suatu masalah terkait materi pelajaran kemudian siswa berusaha menemukan jawab masalah materi tersebut sementara guru hanya bertugas sebagai pengarah dan fasilitator dalam proses pembelajaran. 2) Syarat-Syarat Penggunaan Metode Inkuiri Adapun syarat-syarat penggunaan metode Inkuiri adalah; a) Persoalan yang dipilih guru harus relefan untuk diajukan kepada siswa sesuai dengan daya nalar siswa b) Guru mampu menumbuhkan motivasi belajar siswa dan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan c) Adanya fasilitas dan sumber belajar yang cukup d) Adanya kebebasan siswa untuk berpendapat, berkarya dan berdiskusi e) Guru tidak banyak campur tangan dan interfensi terhadap kegiatan siswa.455 Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa syarat-syarat penggunaan metode inkuiri meliputi; guru mampu memilih masalah yang diajukan kepada siswa, guru terampil memotivasi siswa dan membangun suasana belajar yang menyenangkan, tersedia fasilitas belajar yang memadai, memberikan kebebasan kepada siswa dalam proses pembelajaran untuk berpendapat, berkarya dan berdiskusi serta guru tidak interfensi dan campur tangan terhadap kegiatan siswa 3) Langkah-langkah Penerapan Metode Inkuiri Adapun langkah-langkah penerapan metode inkuiri meliputi; a) Orientasi. Langkah orientasi adalah langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran yang responsif. 456 b) Merumuskan masalah. Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa pada suatu persoalan yang mengandung teka-teki. Dikatakan teka-teki dalam rumusan masalah yang ingin dikaji disebabkan masalah itu tentu ada jawabannya, dan siswa didorong untuk mencari jawaban yang tepat. 457 c) Merumuskan hipotesis. Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang sedang dikaji. 458 455 456 457 458



Syaiful Sagala, op. cit., h. 197 Wina Sanjaya, op. cit., h. 202 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Cet. VII; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 191 Syaiful Sagala, op. cit., h. 197



231



d)



e)



f)



Mengumpulkan data. Mengumpulkan data adalah aktivitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Menguji Hipotesis. Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data.459 Merumuskan kesimpulan. Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian dari hipotesis.460



Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapatlah dipahami langkah-langkah metode inkuri meliputi; orientasi, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan merumuskan kesimpulan. 4) Kelebihan dan kekurangan metode inkuiri a) Kelebihan metode inkuri Adapun kelebihan dari penggunaan metode inkuiri meliputi; (1) Pembelajaran lebih menekankan pengembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotor secara seimbang sehingga pembelajaran lebih bermakna (2) Memberi ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya mereka belajar (3) Dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Artinya siswa yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar.461 Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa kelebihan metode inkuiri meliputi; pembelajaran lebih bermakna, siswa dapat belajar sesuai dengan caranya dan dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan berbeda. b) Kekurangan metode inkuiri Adapun kekurangan dari metode inkuiri meliputi; (1) Sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa (2) Sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar (3) Memerlukan waktu yang panjang 459 460 461



Ahmad Sabri, op. cit., h. 13 Wina Sanjaya, op. cit., h. 205 Ibid., h. 208



232



(4) Bila keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi maka metode inkuiri sulit untuk diterapkan oleh guru.462 Dengan demikian berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa kekurangan-kekurangan dari metode inkuri meliputi; sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa, sulit merencanakan pembelajaran, memerlukan waktu yang banyak dan bila keberhasilan belajar ditentukan kemampuan penguasaan materi maka metode inkuiri sulit untuk diterapkan oleh guru. h. 1)



Metode Demonstrasi Pengertian Metode Demonstrasi Secara bahasa demonstrasi dapat diartikan sebagai pernyataan protes yang dikemukakan secara masal atau unjuk rasa sementara dalam artian lain demonstrasi berarti peragaan atau pertunjukan tentang cara melakukan atau mengerjakan sesuatu.463 Dengan demikian dari makna demonstrasi secara bahasa tersebut dapat dikemukakan demonstrasi dalam dua versi dimana satu versi berarti mengajar orang atau makhluk hidup untuk melakukan unjuk rasa atau melakukan protes secara masal sementara dalam versi lain demonstrasi dapat diartikan mengajar orang atau makhluk hidup tentang sesuatu lewat peragaan secara langsung. Untuk itu karena yang dikaji ini metode demonstrasi yang terkait dengan pembelajaran di sekolah makna versi kedua yang dianggap cocok. Adapun pengertian metode demonstrasi dalam pembelajaran secara istilah dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli yang akan dikemukakan dalam uraian-uraian di bawah ini. Syaiful Sagala mengemukakan; “metode demonstrasi adalah metode yang digunakan oleh seorang guru atau orang luar yang sengaja didatangkan atau murid sekalipun untuk mempertunjukkan gerak-gerak suatu proses dengan benar diserta keterangan-keterangannya”.464 M Subana dan Sunarti mengemukakan bahwa; “metode demonstrasi adalah cara mengajar guru dengan menunjukkan atau memperlihatkan suatu proses sehingga siswa dapat melihat, mengamati, mendengar, meraba dan merasakan proses yang dipertunjukkan oleh guru.465 462 463 464 465



Ibid., h. 209 Departemen P & K, op. cit., h. 221. Syaiful Sagala,op. cit., h. 211. M Subana & Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia, Berbagai Pendekatan, Metpde teknik dan Media Pengajaran (Bandung: Pustaka Setia, t.th), h. 110.



233



Nana Sudjana mengemukakan: Metode demonstrasi merupakan metode mengajar yang sangat efektif sebab membantu para siswa untuk mencari jawaban dengan usaha sendiri berdasarkan fakta (data) yang benar. Demonstrasi yang dimaksudkan adalah suatu metode mengajar yang memperlihatkan bagaimana proses terjadinya sesuatu. 466 Zakiah Dardjat dkk mengemukakan: Metode demonstrasi adalah metode mengajar yang menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu kepada anak didik. Memperjelas pengertian tersebut dalam prakteknya dapat dilakukan oleh guru itu sendiri atau langsung oleh anak didik dengan metode demonstrasi guru atau murid memperlihatkan pada seluruh anggota kelas sesuatu proses misalnya bagaimana cara shalat sesuai dengan ajaran Islam atau contoh dari Rasulullah SAW.467 Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa secara istilah metode demonstrasi dapat diartikan sebagai metode mengajar yang diterapkan guru dalam proses pembelajaran dengan menggunakan sistem peragaan secara langsung yang ditunjukkan kepada siswa untuk memperjelas pengertian suatu materi pelajaran maupun terkait proses suatu materi pelajaran dimana peragaan secara langsung dapat dilakukan oleh guru sendiri, menunjuk siswa atau mendatangkan orang lain. 2) Cara Penggunaan Metode Demonstrasi a) Persiapan atau perencanaan Sebelum seorang guru hendak menerapkan metode demonstrasi dalam pembelajaran yang dilakukan maka persiapan atau perencanaan yang harus dilakukan guru tersebut meliputi: (1) Menjelaskan materi yang akan dibahas (2) Menetapkan tujuan demonstrasi yang akan dilakukan (3) Menetapkan langkah-langkah pokok demonstrasi (4) Menyiapkan alat-alat yang diperlukan.468 (5) Mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan (6) Menetapkan rencana untuk menilai kemajuan siswa. (7) Klarifikasi469



466 467 468 469



Nana Sudjana, op. cit., h. 83. Zakiah Daradjat dkk, op. cit., h. 296. Nana Sudjana,op. cit., h. 84. Ramayulis,“Metodologi Pengajaran Agama Islam”, op. cit., h. 171.



234



b)



Tahap pelaksanaan demonstrasi Hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang guru sewaktu pelaksanaan metode demonstrasi dalam pembelajaran meliputi sebagai berikut: (1) Mengupayakan demonstrasi dapat diikuti dan diminati oleh semua siswa dalam kelas (2) Mengupayakan tumbuhnya sikap kritis pada diri siswa sehingga terdapat tanya jawab dan diskusi tentang materi pelajaran yang didemonstrasikan (3) Memberikan kesempatan setiap siswa untuk mencoba sehingga siswa merasa yakin tentang pengertian atau kebenaran suatu proses terkait dengan materi pelajaran yang diajarkan (4) Guru membuat penilaian terkait kegiatan dan pemahaman siswa terkait materi pelajaran yang didemonstrasikan tersebut.470 c) Tahap refleksi Setelah selesai pelaksanaan metode demonstrasi terkait dengan suatu materi pelajaran maka guru harus memberikan tugas kepada siswa baik secara tertulis maupun secara lisan, misalnya membuat karangan laporan dan lain-lain. Dengan demikian guru dapat menilai sejauh mana tingkat efektifitas hasil demonstrasi terkait dengan materi pelajaran yang didemonstrasikan. 471 3) Kelebihan-Kelebihan Penggunaan Metode Demonstrasi Tujuan pengajaran menggunakan metode demonstrasi adalah untuk memperlihatkan proses terjadinya suatu peristiwa sesuai materi, cara pencapaiannya dan kemudahan untuk dipahami oleh siswa dalam pengajaran kelas. Demontarsi dalam pembelajaran mempunyai kelebihan-kelebihan dalam penggunaannya yaitu; a) Perhatian siswa dapat dipusatkan kepada hal-hal yang dianggap penting oleh guru sehingga hal yang penting itu dapat diamati secara teliti. Di samping itu perhatian siswapun lebih mudah dipusatkan kepada proses belajar mengajar dan tidak kepada yang lainya b) Dapat membimbing peserta didik ke arah berpikir yang sama dalam satu saluran pikiran yang sama 470 471



Ibid. Nana Sudjana, op. cit., h. 84.



235



c)



4)



472 473 474



Dapat mengurangi kesalahan-kesalahan bila dibandingkan dengan hanya membaca atau mendengarkan karena siswa mendapatkan gambaran yang jelas dari hasil pengamatannya d) Lewat gerakan dan proses yang dipertunjukkan maka tidak akan memerlukan keterangan-keterangan yang banyak e) Mengenai persoalan-persoalan yang menimbulkan pertanyaan atau keraguan dapat diperjelas waktu proses demonstrasi. 472 f) Bila anak didik sendiri ikut aktif dalam suatu percobaan yang bersifat demonstratif maka mereka akan memperoleh pengalaman yang melekat pada jiwanya dan ini berguna dalam pengembangan kecakapan.473 Kelemahan menggunakan metode demonstrasi dan cara mengatasinya a) Kelemahan menggunakan metode demonstrasi Mengenai kelemahan menggunakan metode demonstrasi meliputi; (1) Derajat penglihatan dan pengamatan keadaan kurang, siswa tidak dapat melihat atau mengamati keseluruhan benda atau peristiwa yang didemonstrasikan serta kadang-kadang terjadi perubahan yang tidak terkontrol (2) Untuk mengadakan demonstrasi diperlukan alat yang khusus sehingga sukar didapat. Demonstrasi tidak akan wajar bila alat yang didemonstrasikan tidak dapat diamati secara seksama (3) Dalam mengadakan pengamatan terhadap hal-hal yang didemonstrasikan diperlukan pemusatan perhatian dan dalam hal ini banyak diabaikan oleh siswa-siswa (4) Tidak semua hal dapat didemonstrasikan di dalam kelas (5) Kadang-kadang proses yang didemonstrasikan di dalam kelas akan berbeda jika proses itu di demonstrasikan dalam situasi nyata (6) Agar demonstrasi mendapatkan hasil yang baik diperlukan ketelitian dan kesabaran dimana kadang-kadang ketelitian dan kesabaran itu diabaikan sehingga apa yang diharapkan tidak tercapai sebagaimana mestinya.474



Syaiful Sagala, op. cit., h. 211. Zakiah Daradjat dkk, op. cit., h. 297. Syaiful Sagala, op. cit., h. 212 .



236



b)



Cara mengatasi kelemahan menggunakan metode demonstrasi Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan menggunakan metode demonstrasi yaitu: (1) Tentukan terlebih dahulu hasil yang ingin dicapai dalam jam pertemuan mengajar (2) Guru mengarahkan demonstrasi sedemikian rupa sehingga murid-murid memperoleh pengertian dan gambaran yang benar, pembentukan sikap dan kecakapan praktis (3) Pilih dan kumpulkan alat-alat demonstrasi yang akan dilaksanakan (4) Usahakan agar seluruh siswa dapat mengikuti pelaksanaan demonstrasi itu sehingga memperoleh pengertian dan pemahaman yang sama (5) Berikan pengertian yang sejelas-jelasnya tentang landasan teori yang didemonstrasikan serta hindari pemakaian istilah yang tidak dipahami siswa (6) Sedapat mungkin bahan pelajaran yang didemonstrasikan adalah hal-hal bersifat praktis dan berguna dalam kehidupan sehari-hari (7) Menetapkan garis-garis besar langkah-langkah demonstrasi yang akan dilaksanakan dan sebaiknya sebelum demonstrasi dimulai guru telah mengadakan uji coba supaya kelak dalam melakukannya tepat dan secara otomatis. 475



Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tentang metode demonstrasi dalam pembelajaran dapatlah dipahami bahwa metode demonstrasi adalah cara guru mengajarkan siswa suatu materi pelajaran dengan cara peragaan secara langsung terkait materi tersebut baik yang berhubungan dengan pengertiannya maupun yang berhubungan dengan prosesnya sehingga siswa dengan mudah dapat melihat, mengamati, mendengar, meraba dan merasakan proses yang dipertunjukan serta peragaannya dilakukan oleh guru sendiri, lewat siswa atau orang lain yang didatangkan.



475



Ibid.



237



i.



Metode Tanya Jawab 1) Pengertian metode tanya jawab Metode tanya jawab adalah penyampaian pelajaran dengan cara guru mengajukan pertanyaan dan murid menjawab. Pengertian lain dari metode tanya jawab adalah cara menyajikan pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama guru kepada murid atau dapat juga dari murid ke guru. Metode ini termasuk metode yang paling tua di samping metode ceramah, namun efektifitasnya lebih besar dari metode lain sebab dengan metode tanya jawab, pengertian dan pemahaman dapat diperoleh lebih mantap sehingga segala bentuk kesalahpahaman dan kelemahan daya tangkap terhadap pelajaran dapat dihindari semaksimal mungkin. 476 2) Kelebihan dan kekurangan metode tanya jawab Dalam penerapannya, metode tanya jawab mempunyai kelebihan dan kekurangan, dimana kelebihan dan kekurangan metode tanya jawab dapat di lihat pada penjelasan di bawah ini. a) Kelebihan metode tanya jawab Adapun kelebihan metode tanya jawab dalam penerapannya, sebagai berikut; (1) Situasi kelas hidup. (2) Melatih anak agar berani menyampaikan buah pikiran dengan lisan secara teratur. (3) Timbulnya perbedaan antara anak, akan menghangatkan proses diskusi dalam kelas. (4) Mendorong murid lebih aktif dan bersungguh-sungguh. (5) Walau agak lambat, guru dapat mengontrol pemahaman atau pengertian murid pada masalah yang dibicarakan. (6) Pertanyaan dapat memusatkan perhatian siswa sekalipun saat itu siswa sedang ribut. (7) Merangsang siswa untuk melatih dan mengembangkan daya fikiran termasuk daya ingatan. (8) Mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat.477 b) Kekurangan metode tanya jawab Adapun kekurangan metode tanya jawab dalam penerapannya, sebagai berikut; 476 477



Abu Ahmadi & Joko Tri Prasetya,op. cit., h. 56. Zuhairini dkk, op. cit., h. 87.



238



3)



4)



478 479



(1) Bila terdapat perbedaan pendapat bisa memakan waktu yang lama. (2) Kemungkinan akan terjadi penyimpangan perhatian anak didik, terutama bila mendapat jawaban yang menarik perhatiannya. (3) Tidak dapat secara tepat merangkum bahan-bahan pelajaran. (4) Siswa merasa takut apabila guru kurang mampu mendorong siswanya untuk berani menciptakan suasana santai dan bersahabat. (5) Tidak mudah membuat pertanyaan yang sesuai tingkat berfikir siswa. (6) Waktu sering terbuang apabila siswa tidak dapat membuat pertanyaan sampai 2 atau 3 orang. (7) Dalam jumlah siswa yang banyak tidak mungkin melontarkan pertanyaan kepada setiap siswa.478 Syarat-syarat penggunaan metode tanya jawab Adapun syarat-syarat dari penggunaan metode tanya jawab, sebagai berikut (1) Pertanyaan hendaknya dapat membangkitkan minat dan mendorong inisiatif anak didik sehingga mereka dapat terangsang untuk bekerja sama. (2) Perumusan pertanyaan harus jelas dan terbatas serta harus ada jawaban. (3) Pemakaian metode tanya jawab adalah untuk materi yang sudah disiapkan. (4) Pertanyaan hendaknya diajukan untuk seluruh siswa di kelas. Langkah-langkah penggunaan metode tanya jawab Adapun langkah-langkah penggunaan metode tanya jawab sebagai berikut; (1) Menentukan tujuan yang akan dicapai. (2) Merumuskan pertanyaan yang akan diajukan. (3) Pertanyaan diajukan kepada siswa secara keseluruhan. (4) Membuat ringkasan hasil tanya jawab sehingga diperoleh pengetahuan secara sistematis.479



Armai Arief, op. cit., h. 143. Ibid., h. 144.



239



Berdasarkan penjelasan-penjelasan seputar metode tanya jawab dapat kita kemukakan suatu asumsi bahwa metode tanya jawab adalah penyampaian materi pelajaran dengan cara mengajukan pertanyaan dan murid menjawab atau sebaliknya. Dalam metode tanya jawab terdapat kelebihan dan kekurangan sehingga seorang guru harus memperhatikan kesesuaian materi pelajaran dengan metode yang akan digunakan. Dalam menggunakan metode tanya jawab harus memperhatikan hal-hal meliputi jenis pertanyaan, syaratsyarat penggunaan metode tanya jawab dan dirumuskan langkah-langkah yang benar. j.



Metode Simulasi Pengertian Metode Simulasi Metode simulasi terdiri dari suku kata yaitu metode dan simulasi. Secara bahasa metode berasal dari bahasa Yunani yaitu; Meta dan Hodos. Meta berarti melalui dan hodos berarti jalan atau cara. Untuk itu, metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan. bila metode dikaitkan dengan mengajar dapat membawa arti sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan (materi belajar) pada diri anak didik sehingga terlihat dalam pribadinya tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan belajar mengajar tersebut.480 Simulasi berasal dari kata simulate berpura-pura atau berbuat seolaholah. Juga dari kata simulation yang berarti tiruan atau perbuatan yang hanya berpura-pura saja.481 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia simulasi berarti; metode pelatihan yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang sesungguhnya atau penggambaran sesuatu sistem atau suatu proses dengan peragaan berupa model statistik atau pemeranan. 482 Untuk itu simulasi hubungannya dengan kegiatan mengajar dapat diartikan sebagai cara menanamkan pengetahuan kepada siswa lewat peragaan secara berpura-pura terkait materi yang diajarkan. Dengan demikian berdasarkan pengertian kata metode dan simulasi secara bahasa tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa metode simulasi secara bahasa dapat diartikan sebagai cara guru mengajar anak didik atau siswa lewat proses peragaan secara berpura-pura pada materi pelajaran yang diajarkan. 1)



480 481 482



Abuddin Nata, “Filsafat Pendidikan Islam”, op. cit., h. 92 Armai Arief, op. cit., h. 181 Departemen P & K, op. cit., h. 943



240



Pengertian metode simulasi secara istilah secara jelasnya dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli tentang metode simulasi yang ditulis dalam buku-buku mereka dimana secara jelasnya tentang penjelasan mereka tersebut dapat di lihat pada uraian-uraian di bawah ini. Nana Sudjana mengemukakan; Metode simulasi adalah cara untuk menjelaskan suatu (bahan pelajaran) melalui perbuatan yang bersifat pura-pura atau melalui proses tingkah laku imitasi, atau bermain peranan mengenai suatu tingkah laku yang dilakukan seolah-olah dalam keadaan sebenarnya.483 Berdasarkan pendapat Nana Sudjana tersebut dapatlah dipahami bahwa metode simulasi adalah teknik guru menjelaskan materi pelajaran kepada siswa dengan cara peragaan langsung secara tingkah laku materi pelajaran disesuaikan dengan keadaan atau kondisi sebenarnya dari materi pelajaran yang diajarkan. Armai Arief mengemukakan; Metode simulasi adalah suatu usaha untuk memperoleh pemahaman akan hakikat dari suatu konsep atau prinsip atau keterampilan tertentu melalui proses kegiatan atau latihan dalam situasi tiruan”. 484 Berdasarkan pendapat Armai Arief tersebut dapatlah dipahami bahwa metode simulasi adalah suatu cara menanamkan pengetahuan kepada anak didik tentang suatu materi pelajaran melalui latihan peniruan atau peragaan materi pelajaran tersebut. Wina Sanjaya; “metode simulasi berarti cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip atau keterampilan tertentu”.485 Berdasarkan pendapat Wina Sanjaya tersebut dapatlah dipahami bahwa metode simulasi adalah cara menyajikan pelajaran yang dilakukan oleh guru dengan cara pelaksanaan kegiatan peniruan materi pelajaran sehingga mudah dipahami siswa baik secara konsep, prinsip atau keterampilan mengenai materi pelajaran tersebut. Ramayulis mengemukakan bahwa; Metode simulasi adalah suatu usaha untuk memperoleh pemahaman akan hakikat dari sesuatu konsep atau prinsip atau sesuatu keterampilan tertentu melalui proses kegiatan atau latihan dalam situasi tiruan 483 484 485



Nana Sudjana, op. cit., h. 89 Armai Arief, op. cit, h. 183 Wina Sanjaya, op. cit.,h. 159



241



sehingga dengan demikian individu yang bersangkutan akan mampu menghadapi kenyataan yang mungkin terjadi.486 Berdasarkan pendapat Ramayulis tersebut dapatlah dipahami metode simulasi adalah proses penjelasan suatu pengetahuan oleh pendidik terhadap anak didiknya lewat proses kegiatan atau latihan peniruan sehingga anak didik dengan mudah memahami dan menghadapinya dalam kenyataan hidup. Dengan demikian berdasarkan pengertian metode simulasi baik secara bahasa maupun istilah yang telah dikemukakan di atas dapatlah dipahami bahwa metode simulasi adalah proses penyampaian materi pengajaran yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didiknya lewat peniruan dalam peragaan secara langsung materi yang diajarkan sesuai dengan karakteristik materi yang diajarkan agar peserta didik dapat dengan mudah memahami dan menghadapinya dalam kenyataan hidup. 2) Kelebihan metode simulasi Metode simulasi dapat digunakan sebagai metode mengajar dengan asumsi tidak semua proses pembelajaran dapat dilakukan secara langsung pada objek yang sebenarnya. Belajar bagaimana cara mengoperasikan sebuah mesin yang mempunyai karakteristik khusus misalnya, siswa sebelum menggunakan mesin yang sebenarnya akan lebih bagus melalui simulasi terlebih dahulu. Demikian juga untuk mengembangkan pemahaman dan penghayatan terhadap suatu peristiwa, penggunaan simulasi akan sangat bermanfaat. Adapun secara jelasnya tentang kelebihan metode simulasi yaitu; a) Simulasi dapat dijadikan sebagai bekal bagi siswa dalam menghadapi situasi yang sebenarnya kelak, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun menghadapi dunia kerja. b) Simulasi dapat mengembangkan kreativitas siswa, karena melalui simulasi siswa diberi kesempatan untuk memainkan peranan sesuai dengan topik yang disimulasikan. c) Simulasi dapat memupuk keberanian dan percaya diri siswa. d) Memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang problematis. e) Simulasi dapat meningkatkan gairah siswa dalam proses pembelajaran.487



486



Ramayulis, “Metodologi Pengajaran Agama Islam”, 225 Wina Sanjaya, op. cit, h. 160



487



242



f)



Aktivitas simulasi menyenangkan siswa sehingga siswa secara wajar terdorong untuk berpartisipasi g) Menggalakkan guru untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas simulasi sendiri tanpa bantuan siswa h) Memungkinkan eksperimen tanpa memerlukan lingkungan yang sebenarnya i) Mengurangi hal-hal yang terlalu abstrak sebab dikerjakan dalam bentuk aktivitas j) Tidak memerlukan skill komunikasi yang pelik dalam banyak siswa dapat berbuat dengan pengarahan yang simpel k) Interaksi antara siswa memungkinkan timbulnya keakraban l) Strategi ini menimbulkan respons yang positif bagi siswa yang lamban, kurang cakap dan kurang motivasinya m) Melatih siswa agar mampu berpikir kritis. 488 3) Kekurangan Metode simulasi Adapun kekurangan dari metode simulasi meliputi; a) Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat dan sesuai dengan kenyataan di lapangan. b) Pengelolaan yang kurang baik, sering simulasi dijadikan sebagai alat hiburan, sehingga tujuan pembelajaran menjadi terabaikan. c) Faktor psikologis seperti rasa malu dan takut sering mempengaruhi siswa dalam melakukan simulasi.489 d) Dalam simulasi sering tidak terikutkan elemen-elemen penting e) Terlalu mahal misalnya membuat simulasi hanya untuk memotivasi f) Simulasi menghendaki pengelompokan siswa yang fleksibel g) Simulasi menghendaki banyak imaginasi dari guru dan siswa h) Simulasi menghendaki hubungan yang inovatif antara guru dan siswa i) Sering mendapat kritikan dari orang tua karena aktivitas ini melibatkan permainan. 490 4) Jenis-Jenis metode simulasi Metode simulasi terdiri dari 5 jenis yaitu; a) Peer Teaching yaitu latihan mengajar yang dilakukan oleh siswa kepada teman-teman calon guru 488 489 490



Armai Arief, op. cit, h. 185 Wina Sanjaya, op. cit, h. 160 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, op. cit, h.230



243



b)



5)



491 492



Sosiodrama yaitu; bermain peranan yang ditujukan untuk menentukan alternatif pemecahan masalah sosial. Tujuan sosiodrama adalah agar siswa dapat menghargai dan menghayati perasaan orang lain serta memupuk rasa tanggung jawab pada diri siswa c) Psikodrama yakni bermain yang ditujukan agar siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dirinya, dapat menemukan konsep sendiri dan dapat menyatakan reaksinya terhadap tekanan yang menimpa dirinya. Psikodrama dilakukan esensinya untuk maksud terapi (masalah yang bersifat psikologis). d) Simulasi game yaitu bermain peranan berupa para siswa berkompetisi mencapai tujuan tertentu melalui permainan dengan memenuhi peraturan yang ditetapkan e) Role Playing yaitu bermain peranan yang ditujukan untuk mengkreasi kembali peristiwa masa lampau, mengkreasi kemungkinan masa depan, mengekspose kejadian masa kini dan sebagainya.491 Sistem Penerapan Metode Simulasi a) Persiapan simulasi Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempersiapkan simulasi meliputi; (1) Menetapkan topik dan tujuan simulasi (2) Guru memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan disimulasikan (3) Menetapkan kelompok dan topik-topik yang akan dibahas (4) Guru menetapkan pemain yang akan terlibat dalam simulasi, peranan yang harus dimainkan oleh para pemeran serta waktu yang disediakan. (5) Guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk bertanya dan memberikan kesempatan bagi pemain untuk menyiapkan dirinya masing-masing. 492 b) Pelaksanaan simulasi Langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan simulasi meliputi; (1) Simulasi dilakukan oleh sekelompok siswa yang pendidikan Islam Nana Sudjana, op. cit, h. 90 Armai Arief, op. cit, h. 184



244



c)



(2) Para siswa lain mengikuti dengan penuh perhatian (3) Guru hendaknya memberikan bantuan kepada pemeran yang mendapat kesulitan (4) Simulasi dihentikan pada saat puncak. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong siswa berpikir dalam menyelesaikan masalah yang sedang disimulasikan. Penutup. Langkah-langkah pada tahapan penutup dari kegiatan simulasi meliputi; (1) Melakukan diskusi baik tentang jalannya simulasi maupun materi cerita yang disimulasikan. Guru harus mendorong agar siswa dapat memberikan kritik dan tanggapan terhadap proses pelaksanaan simulasi. (2) Merumuskan kesimpulan.493



Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut tentang metode simulasi dapatlah dipahami bahwa metode simulasi pada intinya adalah proses cara penyampaian materi pelajaran dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik terhadap peserta didiknya dengan menggunakan cara menirukan lewat peragaan secara langsung akan materi yang diajarkan sesuai dengan karakteristik materi sehingga nantinya peserta didik dapat dengan mudah memiliki pemahaman yang jelas dalam menghadapinya pada kenyataan hidup k. 1)



Metode Karya Wisata Pengertian metode karya wisata Secara bahasa metode karya wisata terdiri dari dua suku kata yaitu kata metode dan kata karya wisata. Metode berarti “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.494 Karya wisata berarti; kunjungan ke suatu objek dalam rangka memperluas pengetahuan dalam hubungannya dengan pekerjaan seseorang atau sekelompok orang”.495 Berdasarkan pengertian kata metode dan karya wisata secara bahasa tersebut dapatlah dipahami bahwa metode karya wisata adalah suatu cara penyampaian materi yang dilakukan oleh guru kepada peserta didiknya 493 494 495



Wina Sanjaya, op. cit, h. 162 Departemen P & K, op. cit.,, h. 652 Ibid, h. 449



245



dengan cara kunjungan pada suatu objek yang akan ditunjukan oleh guru kepada peserta didik sekaligus menjelaskan keberadaan objek tersebut dalam rangka memperluas pengetahuan anak hubungannya dengan alam sekitar. Adapun pengertian metode karya wisata menurut istilah secara jelasnya dapat di lihat lewat pendapat-pendapat para ahli tentang metode karya wisata yang di tulis dalam buku-buku mereka dimana secara jelasnya tentang hal tersebut dapat dilihat pada penjelasan-penjelasan di bawah ini. Nana Sudjana mengemukakan; “Karya wisata dalam arti metode mengajar mempunyai arti tersendiri yang berbeda dengan karya wisata dalam arti umum. Karya wisata di sini berarti kunjungan ke luar kelas dalam rangka belajar”.496 Berdasarkan pendapat Nana Sudjana tersebut dapatlah dipahami bahwa metode karya wisata adalah suatu metode mengajar yang dapat digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran bagi peserta didiknya dimana sistemnya adalah proses pembelajaran berlangsung di luar kelas dengan mengunjungi sesuatu objek terkait dengan materi belajar bagi peserta didik M Basyiruddin Usman mengemukakan; Metode karya wisata adalah metode pengajaran yang dilakukan dengan mengajar para peserta didik keluar kelas untuk mengunjungi suatu peristiwa atau tempat yang ada kaitannya dengan pokok bahasan. Sebelum keluar kelas guru terlebih dahulu membicarakan dengan anakanaknya tentang hal-hal yang akan diselidiki, aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan. Untuk lebih terarahnya dalam beberapa kelompok sesuai dengan kebutuhan permasalahan yang akan diselidiki atau di observasinya.497 Berdasarkan penjelasan M Basyiruddin Usman tersebut dapatlah dipahami bahwa metode karya wisata adalah suatu metode pengajaran yang digunakan oleh guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran bagi peserta didiknya dengan cara pengajaran di lakukan di luar kelas dimana guru bersama-sama dengan peserta didiknya mengunjungi suatu tempat atau objek yang ada hubungannya dengan pokok pembahasan dalam suatu materi pelajaran. Zuhairini dkk mengemukakan; “Metode karya wisata adalah suatu metode pengajaran yang dilaksanakan dengan jalan mengajak anak keluar kelas untuk dapat memperhatikan hal-hal atau peristiwa yang ada hubungannya dengan pelajaran”.498 496 497 498



Nana Sudjana, op. cit., h. 87 M Basyiruddin Usman, op. cit., h. 53 Zuhairini dkk, op. cit., h. 104



246



Berdasarkan pendapat Zuhairini dkk tersebut dapatlah dipahami bahwa metode karya wisata adalah pola penyampaian materi kepada peserta didik dengan cara guru mengajak peserta didik ke luar kelas untuk memperkenalkan hal-hal tertentu atau suatu peristiwa yang berhubungan erat dengan materi pelajaran yang diajarkan pada peserta didik dimana diharapkan lewat pola tersebut peserta didik mudah mengetahui suatu hal yang ada kaitannya dengan materi pelajaran secara nyata. Armai Arief mengemukakan; Metode karya wisata adalah suatu cara pengajaran yang dilaksanakan dengan jalan mengajak anak didik ke luar kelas untuk dapat memperlihatkan hal-hal atau peristiwa yang ada hubungannya dengan bahan pelajaran. Metode karya wisata merupakan metode yang lebih menekankan pembinaan pada aspek psikomotorik karena dalam metode ini peserta didik lebih banyak dituntut keaktifannya dalam setiap kegiatan sedangkan untuk pembinaan aspek yang lain (kognitif dan afektif) merupakan pendorong untuk terciptanya elaborasi dari teoriteori yang telah didapat oleh anak didik. 499 Berdasarkan pendapat Armai Arief tersebut dapatlah dipahami bahwa metode karya wisata adalah suatu sistem pengajaran yang diterapkan oleh guru kepada peserta didiknya dengan cara memperlihatkan langsung suatu keadaan tentang sesuatu yang ada kaitannya dengan materi pelajaran yang diajarkan oleh guru terhadap peserta didiknya. Selain itu pada sisi lain proses pembelajaran yang diterapkan oleh guru dengan menggunakan metode karya wisata lebih menekankan pada aspek psikomotorik dari peserta didik sebab metode ini menuntut adanya peran aktif dari peserta didik sediri. Ahmad Sabri mengemukakan; “Metode karya wisata adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran dengan membawa peserta didik mengunjungi objek yang akan dipelajari”.500 Berdasarkan penjelasan dari Ahmad Sabri tersebut dapatlah dipahami bahwa metode karya wisata adalah suatu pola pengajaran yang diterapkan oleh guru terhadap peserta didiknya dengan cara guru mengajak langsung para peserta didiknya untuk mengunjungi suatu objek yang menjadi pusat pembelajaran. Abu Ahmadi & Joko Tri Prasetya mengemukakan; Metode karya wisata sering diberi pengertian sebagai suatu metode pengajaran yang dilaksanakan dengan cara bertamasya di luar kelas. Dalam perjalanan tamasya, ada hal-hal tertentu yang direncanakan oleh 499 500



Armai Arief, op. cit., h. 171 Ahmad Sabri, op. cit., h. 65



247



guru untuk didemonstrasikan pada anak didik, di samping hal-hal yang secara kebetulan ditemukan di dalam perjalanan tersebut.501 Berdasarkan penjelasan dari Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya tersebut dapatlah dipahami bahwa metode mengajar adalah suatu sistem pengajaran yang diterapkan oleh guru terhadap peserta didiknya dengan cara peserta didik diajak bertamasya oleh guru dan proses tamsya tersebut guru melaksanakan kegiatan pembelajaran bagi peserta didiknya. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang pengertian metode karya wisata baik secara bahasa maupun menurut istilah dapatlah dipahami bahwa metode karya wisata adalah suatu proses pembelajaran yang digunakan oleh guru terhadap peserta didiknya dengan cara para peserta didik diajak langsung oleh guru untuk melihat langsung suatu objek atau peristiwa yang ada hubungannya dengan materi pelajaran dimana dengan beradannya guru dan peserta didik pada tempat yang di tuju maka terjadilah proses pembelajaran oleh guru terhadap peserta didiknya. 2) Kelebihan dan kekurangan metode karya wisata a) Kelebihan metode karya wisata Adapun kelebihan dari penggunaan metode karya wisata dalam proses pembelajaran yang diterapkan oleh guru terhadap peserta didiknya meliputi ; (1) Peserta didik dapat menyaksikan secara langsung kegiatankegiatan yang dilakukan di tempat kunjungan tersebut (2) Peserta didik memperoleh pemantapan-pemantapan teori-teori yang pernah mereka pelajari di sekolah dengan kenyataan aplikasi yang diterapkan pada objek yang mereka kunjungi. Dalam hal ini bisa juga mendapatkan pengalamanpengalaman baru dengan ikut serta atau mencoba dan membuktikan secara langsung dengan objeknya. (3) Peserta didik dapat menghayati pengalaman praktek suatu ilmu yang telah diperoleh di sekolah (4) Peserta didik bisa memperoleh informasi yang lebih akurat dengan jalan mengadakan wawancara atau mendengarkan ceramah yang diberikan oleh petugas setempat (5) Dalam karya wisata berbagai mata pelajaran dapat dipelajari sekaligus dan integral dan tidak hanya terbatas pada suatu mata pelajaran.502 501 502



Abu Ahmadi & Joko Tri Prasetya, op. cit., h. 66 Armai Arief, op. cit, h. 169



248



b)



503



Berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa kelebihan dari penerapan metode karya wisata yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran bagi peserta didiknya meliputi; peserta didik menyasikan secara langsung kegiatankegiatan yang terjadi di tempat kunjungan, peserta didik mendapatkan pemantapan teori-teori yang mereka peroleh di sekolah, peserta didik dapat memahami pengamalan praktek suatu ilmu, peserta didik dapat memperoleh yang lebih akurat karena adanya interaksi saat pada tempat berkunjung, dan lewat kunjungan karya wisata materi pelajaran dapat dipelajari sekaligus. Kekurang metode karya wisata Adapun kekurangan dari penerapan metode karya wisata yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran materi pelajaran terhadap peserta didiknya meliputi; (1) Waktu yang dibutuhkan cukup panjang apalagi persiapan ataupun pelaksanaan acara tersebut tidak diatur dengan baik (2) Pembiayaan dalam sebuah karya wisata merupakan beban tambahan yang akan memberatkan bagi orang tua peserta didik yang kurang mampu (3) Karya wisata akan berubah menjadi piknik karena persiapan yang kurang matang (4) Beberapa acara inti sering terabaikan karena pelaksanaan secara tidak tepat pada waktunnya.503 Berdasarkan penjelasan tersebut tentang kelemahan dari penggunaan metode karya wisata yang diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran bagi peserta didik meliputi; memerlukan waktu banyak, membutuhkan biaya yang besar, proses pembelajaran peserta didik bisa berubah jadi peknik bila persiapan awal yang tidak matang, dan beberapa sasaran kegiatan pembelajaran tidak terlaksana bila pelaksanaan tidak sesuai waktu yang ditargetkan. M Basyiruddin Usman mengemukakan tentang kelemahan penerapan metode karya wisata dalam proses pembelajaran meliputi; (1) Metode ini akan gagal bila mana menemui objek yang kurang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan



Ibid.



249



(2) Waktu yang tersedia tidak mencukupi dan menyita waktu pelajaran (3) Metode karya wisata membutuhkan biaya transportasi dan akomodasi yang besar sehingga menjadi beban peserta didik dan guru itu sendiri.504 Berdasarkan pendapat M Basyiruddin Usman tersebut dapatlah dipahami bahwa kelemahan penerapan metode karya wisata oleh guru dalam proses pembelajaran bagi peserta didik meliputi; sasaran pembelajaran tidak dapat dicapai kalau objek yang dituju tidak sesuai dengan yang diharapkan, memerlukan waktu yang banyak, dan memerlukan biaya yang dapat memberatkan guru dan peserta didik. Abu Ahmadi & Joko Tri Prasetya mengemukakan kelemahan penerapan metode karya wisata dalam proses pembelajaran meliputi; (1) Apabila objek karya wisata tidak cocok untuk mencapai tujuan (2) Waktu yang tersedia tidak mencukupi (3) Pembayaran karya wisata merupakan beban tambahan anak sehingga memberatkan bagi anak-anak yang orang tuanya tidak mampu.505 Berdasarkan penjelasan dari Abu Ahmadi dan Joko Tri Parsetya tersebut dapatlah dipahami bahwa kekurangan dari penerapan metode karya wisata dalam proses pembelajaran meliputi; tujuan pembelajaran tidak tercapai bila di lapangan objek tidak sesuai dengan yang diharapkan, waktu tidak memadai, dan membutuhkan biaya sehingga dapat memberatkan bagi peserta didik yang orang tuanya tidak mampu. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang kelemahan dari penggunaan metode karya wisata dalam proses pembelajaran bagi peserta didik dapatlah diketahui bahwa kelemahan dari penggunaan metode karya wisata dalam proses pembelajaran meliputi; tujuan pembelajaran tidak dapat dicapai bila objek kunjungan tidak sesuai dengan sasaran pembelajaran, memerlukan waktu banyak, proses pembelajaran bisa berubah jadi peknik bila persiapan awal yang tidak matang, 504



M Basyiruddin Usman, op. cit, h. 54 505 Abu Ahmadi & Joko Tri Prasetya, op. cit, h. 67



250



dan beberapa sasaran kegiatan pembelajaran tidak terlaksana bila pelaksanaan tidak sesuai waktu yang ditargetkan, dan membutuhkan biaya yang besar yang dapat memberatkan guru dan peserta didik yang orang tuanya kurang mampu. 3) Penerapan metode karya wisata dalam sistem pembelajaran Perencanaan yang matang dan baik akan membantu atau mempermudah seseorang untuk mencapai tujuan, demikian juga halnya dengan metode karya wisata. Kegiatan ini akan terrealisasi dengan baik jika program yang telah dirancang terlaksana sesuai dengan rencana yang ada. Dalam metode ini ada beberapa tahapan yang harus dilalui agar pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode karya wisata berjalan dengan lancar. Sistem yang harus dilalui agar penerapan metode karya wisata terbagi pada tiga tahapan meliputi; pendahuluan, pelaksanaan, dan penutup. a) Pendahuluan Pada tahap pendahuluan ini guru harus memulai tujuan sementara karya wisata, kemudian mengadakan kunjungan pertama (survey) untuk memperoleh gambaran umum tentang objek yang hendak dikunjungi. Jika hasil survei yang dilakukan baik maka guru dituntut harus memulai menyusun program yang antara lain; (1) Tujuan karya wisata (misalnya untuk materi atau untuk mempelajari sesuatu) (2) Pembagian objek kunjungan menjadi sub objek disesuaikan dengan bahan yang dibutuhkan agar pelaksanaannya lebih efisien dan efektif (3) Pembentukan kelompok peserta (4) Menyusun jadwal acara dengan jelas dan terperinci (5) Penyusunan tata tertib yang harus dipatuhi oleh semua peserta.506 b) Pelaksanaan. Di saat kegiatan karya wisata berlangsung, peserta didik diharapkan harus bisa berperan aktif terkait dengan kegiatan karya wisata yang dilakukan sementara guru hanya bertindak sebagai pembimbing agar acara tersebut dapat dilaksanakan seefisien mungkin, oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan dalam poin ini adalah sebagai berikut; (1) Peserta didik aktif melaksanakan tugasnya masing-masing 506



Armai Arief, op. cit, h. 170



251



(2) Selama peserta didik melaksanakan kegiatan pada tempat yang dikunjungi maka guru bertugas memberikan bimbingan, pengawasan, memberikan motivasi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap peserta didik terkait dengan objek yang dikunjungi (3) Pengolahan data sementara (4) Penyusunan laporan yang dirumuskan melalui hasil-hasil pelaksanaan acara. Dari kegiatan ini guru dapat menilai kemajuan peserta didik dalam kunjungan tersebut c) Penutup Kegiatan yang dilakukan dalam langkah penutup adalah penilaian dan tindak lanjut. (follow up). Penilaian sebaiknya dilakukan oleh peserta didik dengan bimbingan guru dan hal-hal yang perlu dinilai berkaitan dengan tujuan, kelancaran acara, objek yang dikunjungi, kerjasama, partisipasi, kemajuan peserta, panitia dan guru. Setelah penilaian dilakukan perlu diadakan tindak lanjut dari kegiatan tersebut. Pada tahap ini guru ataupun peserta didik bisa merencanakan pelaksanaan pameran hasil karya wisata. Hal lain yang perlu dikerjakan dalam tahap ini ialah memberikan ucapan terima kasih pada pihak-pihak yang ikut berpartisipasi dalam acara tersebut.507 Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut tentang penerapan metode karya wisata oleh guru dalam sistem pembelajaran bagi peserta didik maka dapatlah dipahami bahwa proses penerapan metode karya wisata dalam proses pembelajaran terbagi pada tiga tahap yaitu tahap pendahuluan yang berintikan observasi awal terhadap objek yang akan dikunjungi dan penyiapan segala sesuatu yang terkait dengan kunjungan yang akan dilaksanakan dimana hal ini dilakukan oleh guru sendiri, tahap pelaksana yang berintikan tentang proses kegiatan pada saat kunjungan terhadap objek dimana peserta didik harus aktif mengamati dan memahami objek yang dikunjungi serta guru membimbing, mengawasi, memberi motivasi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait dengan objek yang dikunjungi dan memerintahkan peserta didik membuat kesimpulan tentang objek yang dikunjungi, tahap penutup berupa penilaian dan tindak lanjut terhadap hasil yang diperoleh setelah proses kunjungan pada sesuatu objek dimana penilaian dilakukan oleh peserta didik dengan



507



Ahmad Sabri, op. cit, h. 67



252



bimbingan dari guru agar diketahui perkembangan pemahaman peserta didik terhadap suatu objek yang telah selesai dikunjungi. Demikianlah 11 contoh bentuk metode yang dapat diterapan dalam proses pembelajaran pendidikan Islam yang meliputi; metode keteladan, pemberian hukuman, metode pembiasaan, metode ceramah, metode diskusi, metode resitasi atau pemberian tugas, metode inkuiri, metode demonstrasi, metode tanya jawab, metode simulasi dan metode karya wisata dimana sebenarnya masih banyak contoh-contoh yang lain namun pada prinsipnya metode yang digunakan dalam pendidikan Islam harus sejalan dengan nilainilai ajaran Islam serta saat penerapan dalam proses pembelajaran metode tidak akan efektif bila yang digunakan hanya satu metode mengajar, sebab setiap metode mengajar itu ada kelemahannya, dimana kelemahan pada satu metode mengajar dapat ditutupi bila dikombinasikan dengan metode mengajar yang lain. Untuk itu dapat kita pahami bahwa ternyata dalam kegiatan belajar mengajar tidak ada satu metode yang dapat diunggulkan dari metode mengajar yang lain sebab semua metode mengajar yang dikembangkan oleh para ahli bersifat kondisional. Olehnya itu hendaknya setiap pendidik terlebih dahulu mempelajari semua metode mengajar secara baik, kemudian barulah ia mempertimbangkan metode apa yang lebih tepat untuk digunakan dalam kegiatan mengajar sehingga dapat mempengaruhi hasil mengajar ke arah yang lebih baik dan relevan dengan materi pelajaran yang disampaikan. Di samping itu, penggunaan metode mengajar yang bervariasi pada setiap pelajaran hendaknya menjadi pertimbangan bagi setiap guru guna meningkatkan minat belajar anak didik terutama dalam proses pendidikan Islam. F. Manfaat Metode Mengajar Dalam Pendidikan Islam Adapun manfaat metode mengajar adalah; 1. Menolong anak didik untuk mengembangkan pengetahuan, maklumat, pengalaman, keterampilan dan sikap dalam bentuk cinta ilmu, suka menuntut, dan membuka rahasianya, merasa enak, serta nikmat dalam mencarinya. 2. Membiasakan belajar menghafal, memahami, berpikir sehat, memperhatikan dengan tepat, rajin, sabar dan teliti dalam menuntut ilmu, mempunyai pendapat yang berani, berhasil dan murni. 3. Mempermudah proses pengajaran bagi pengajar dan membuatnya mencapai sebanyak mungkin tujuan yang diinginkan, menghemat tenaga dan waktu yang digunakan untuk mencapainya.



253



4.



Menciptakan suasana yang sesuai dengan pengajaran yang berlaku, sifat percaya mempercayai dan hormat menghormati antara guru dan murid dan hubungan antara keduanya serta juga meningkatkan semangat mengajar, menggalakkan belajar dan bergerak. 508



Dengan demikian dapatlah kita pahami bahwa pada intinya metode mengajar itu mempunyai manfaat dalam proses pendidikan Islam satu sisi mempermudah peserta didik dalam memperoleh ilmu dan pengetahuan yang diajarkan oleh para pendidik, sementara di sisi lain mempermudah tenaga pendidik dalam melakukan transfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, serta dapat membangun suasana belajar mengajar yang kondusif antar pendidik dan anak didik demi terwujudnya kegiatan pendidikan Islam yang pada intinya yaitu terbentuknya peserta didik yang hidup dengan kepribadian Islam dalam kehidupan sehari-hari. G.



Rangkuman Metode pendidikan Islam adalah segala bentuk upaya atau jalan yang ditempuh pendidik dalam upaya menanamkan ajaran Islam terhadap peserta didik lewat proses kegiatan pendidikan Islam sehingga peserta didik berkepribadian muslim berupa dalam kehidupan sehari-hari hidup sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, dengan prinsip metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsipprinsip ajaran Islam, disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, karakter materi yang diajarkan dan kondisi saat pembelajaran diterapkan pada peserta didik. Prinsip metode pendidikan Islam adalah konsep dasar atau asas yang melandasi penggunaan metode pembelajaran dalam proses pendidikan Islam dan prinsipnya yang dianut dalam penggunaan metode pendidikan Islam yaitu; untuk pencapaian kualitas, mempermudah, berkesinambungan, fleksibel, dinamis, digunakan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam kitab suci al-Qur‟an dan hadis Rasulullah saw, setiap penerapan metode pembelajaran dilakukan sebagai rasa syukur dan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah dan semua prinsip tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan memperhatikan kondisi peserta didik, sarana prasarana, situasi dan kondisi lingkungan pendidikan serta suasana saat mengajar. 508



Oemar Muhammad al-Toumy assyaibani, Falsafat al-tarbiyah al-Islamiyah, alih bahasa oleh Hasan Langgulung dengan Judul; Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 58



254



Pengembangan metode dalam pendidikan Islam itu dibagi dalam tiga periode yaitu periode klasik yang berlangsung dari tahun 610 M – 1258 M, periode pertengahan berlangsung dari tahun 1258 M -1800 M dan periode moderen berlangsung dari tahun 1800 M – sampai sekarang. Satu sisi pengembangan metode pendidikan Islam dipengaruhi perkembangan media pendidikan dimana metode yang digunakan pada masa klasik medianya sangat sederhana maka metode yang digunakan pula secara sederhana sebaliknya pada masa moderen metode yang dikembangkan sudah dipadukan dengan media yang moderen namun disisi yang lain metode sederhana pada masa klasik punya keunggulan yaitu peserta didiknya rata-rata mengenal, memahami, menguasai dan mengamalkan materi yang diajarkan pendidik sedangkan metode yang dikembangkan dengan media moderen kebanyakan hanya sebagian kecil peserta didik yang benar-benar memahami, mengenal, memahami, menguasai dan mengamalkan materi yang diajarkan Metode yang dikembangkan zaman moderen itu acuannya berasal dari metode pada masa klasik artinya dunia mengalami perubahan setelah bersentuhan dengan Islam dan mempelajari kemajuan serta pengetahuanpengetahuan dari dunia Islam, dimana ini memberikan makna sebenarnya pengembangan metode pendidikan dalam dunia Barat itu acuan kerangka dasarnya bersumber dari Islam sehingga bisa bermakna bahwa Islamlah yang menjadi peletak dasar-dasar metode dalam dunia pendidikan sebab bila tidak ada kemajuan yang terjadi dalam dunia Islam mungkin revolusi industri tidak akan pernah terjadi Untuk itu menjadi pekerjaan rumah bagi umat Islam untuk kembali membuat konstruksi metode yang tepat sehingga benar-benar peserta didik dapat secara keseluruhan mengenal, memahami, menguasai dan mengamalkan nilai-nilai materi yang diajarkan kepada mereka minimal ada yang hilang dari sistem pendidikan yang pernah diterapkan pada masa Rasulullah saw seperti mungkin kurangnya membaca bismillah dalam tiap kegiatan, tidak adanya niat yang tulus, belum semua aktivitas dijadikan sebagai ibadah, atau apapun yang semisalnya yang memerlukan perenungan Bentuk-bentuk metode yang dapat diterapkan dalam proses pendidikan Islam itu cukup banyak di antaranya; metode berpikir, metode perintah dan larangan, metode pemberian suasana, metode motifativ, metode mendidik secara kelompok, metode kisah Qur‟an, metode instruksional, metode bimbingan dan penyuluhan, metode pemberian perumpamaan, metode tobat dan ampunan, pembiasaan, keteladanan, pemberian ganjaran, pemberian hukuman, ceramah, tanya jawab, diskusi, sorogan, bandongan, mudzakarah,



255



kisah, pemberian tugas, karya wisata, eksperimen, drill atau latihan, sosiodrama, simulasi, kerja lapangan, demonstrasi, metode kerja kelompok dan yang lainya dimana pada prinsipnya bukan banyak metode yang menjadikan pembelajaran pendidikan Islam berhasil tetapi penggunaan suatu metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi, situasi dan kondisi saat pembelajaran, penggunaan metode yang bervariasi dalam proses pembelajaran, kemampuan peserta didik dan metode yang digunakan tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang ada dalam al-Qur‟an maupun Sunnah. Manfaat metode mengajar dalam proses pendidikan Islam satu sisi mempermudah peserta didik dalam memperoleh ilmu dan pengetahuan yang diajarkan oleh para pendidik, sementara di sisi lain mempermudah tenaga pendidik dalam melakukan transfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, serta dapat membangun suasana belajar mengajar yang kondusif antar pendidik dan anak didik demi terwujudnya kegiatan pendidikan Islam yang pada intinya yaitu terbentuknya peserta didik yang hidup dengan kepribadian Islam dalam kehidupan sehari-hari.



256



BAB VII MEDIA PENGAJARAN, SARANA DAN PRASANA SERTA DANA DALAM PROSES PENDIDIKAN ISLAM A.



Latar Belakang Pemikiran Hidup bersama antara manusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi. Dalam kehidupan semacam inilah terjadi interaksi. Dengan demikian kegiatan hidup manusia selalu dibarengi dengan proses interaksi baik interaksi dengan sesama manusia maupun interaksi dengan alam lingkungan. Dari berbagai bentuk interaksi, khususnya mengenai interaksi yang disengaja, ada istilah interaksi eduktif. Interaksi edukatif adalah interaksi yang berlangsung dalam suatu ikatan tujuan pendidikan dan pengajaran. Dalam arti yang lebih spesifik pada bidang pengajaran, dikenal adanya istilah interaksi belajar mengajar.509 Interaksi belajar mengajar mengandung suatu arti adanya kegiatan interaksi dari tenaga pengajar yang melaksanakan tugas-tugas mengajar di satu pihak dengan warga belajar atau anak didik di pihak yang lain. Interaksi antara pengajar dengan warga belajar diharapkan terjadi proses motivasi, dimana pihak pengajar mampu mendorong dan mengembangkan warga belajar agar dapat melakukan kegiatan belajar secara optimal. Untuk itu, perlu dipahami secara benar mengenai pengertian proses dan interaksi belajar mengajar. Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal tetapi memang memiliki makna yang berbeda. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah laku karena hasil dan pengalaman yang diperoleh, sedangkan mengajar adalah kegiatan penyediaan kondisi yang merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar siswa atau anak didik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap sehingga terjadi perubahan tingkah laku, perubahan pengetahuan dan perubahan kesadaran diri sebagai individu. Lebih khusus lagi dapat dikatakan bahwa interaksi belajar mengajar bertujuan untuk membentuk peserta didik yang berkualitas.510



509



510



Sardiman AM, Interaks idan Motifasi Belajar Mengajar ( Cet. X; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, h. 1, Lihat Abu Ahmadi & Joko Tri Prasetya, Strategi Belajar Mengajar (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 118 M Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 100



257



Namun demikian ternyata dalam upaya membentuk peserta didik yang berkualitas tidak hanya bertumpu pada kegiatan belajar peserta didik dan mengajar pendidik tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti tujuan pengajaran, kurikulum, sarana prasarana pendidikan termasuk media pengajaran di dalamnya, dana dan sebagainya serta itu semua terjadi pada semua lembaga pendidikan termasuk pendidikan Islam. Wina Sanjana mengemukakan bahwa; Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran misalnya media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengkapan sekolah dan sebagainya sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran misalnya; jalan menuju sekolah, penerangan sekolah, kamar kecil dan sebagainya. Kelengkapan sarana dan prasarana akan membantu guru dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. Dengan demikian sarana dan prasarana merupakan komponen penting yang dapat mempangaruhi proses pembelajaran.511 Sesuai pendapat Wina Sanjaya tersebut dapatlah dipahami bahwa sarana dan prasarana memegang peranan penting dalam proses pembelajaran karena menjadi alat pendukung kelancaran proses pembelajaran dan tercapainya tujuan pembelajaran yang dilakukan dimana tanpa adanya sarana dan prasarana maka proses pembelajaran tidak berlangsung dan secara otomatis tujuan pembelajaranpun tidak dapat diwujudkan. Di antara sarana prasarana tersebut adalah media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengkapan sekolah dan sebagainya. Mukhtar, Rusmini dan Samsu mengemukakan; Untuk mencapai tujuan pembelajaran tidak dapat dilepaskan dari ketersediaan dan kelengkapan sarana dan prasarana yang mendukung pencapaian tujuan pembelajaran. Sarana dan prasarana ini diperlukan untuk mendukung terlaksananya pendidikan secara umum dan pencapaian tujuan pembelajaran secara khusus. Yang termasuk sarana dan prasarana yang dapat mendukung terwujudnya pendidikan dan tujuan pembelajaran secara baik, meliputi sarana gedung, kelengkapan administrasi kantor, kelas dan sebagainya. 512



511 512



Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Cet. IV; Jakarta: Kencana, 2008), h. 55 Mukhtar dkk, Pendidikan Anak Bangsa Pendidikan untuk Semua (Cet. I; jakarta: Nimas Multitama, 2002), h. 29



258



Sesuai dengan pendapat Mukhtar, Rusmini dan Samsu tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa dalam pelaksanaan proses pembelajaran sarana prasarana memegang peranan penting karena lewat ketersediaan sarana dan prasarana proses mengajar dapat berlangsung dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dapat diwujudkan. Hery Noer Ali mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan pendidikan Islam maka keberadaan media pengajaran berfungsi sebagai alat penyampaian materi kepada anak didik khusunya pada lembaga pendidikan di sekolah sehingga terjadi proses belajar mengajar dan memudahkan tercapainya ke tujuan yang ingin dicapai.513 Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau proses belajar mengajar di kelas tanpa didukung oleh adanya media pengajaran seperti papan tulis, buku, gambar dan sebagainya maka sudah barang tentu anak didik akan kesulitan dalam mengikuti proses belajar mengajar di kelas sehingga mungkin akan menyulitkan anak didik dalam mencapai prestasi yang baik. Misalnya; anak didik akan diajarkan tentang membaca al-Quran maka tanpa ditopang oleh adanya al-Qur‟an maka pembelajaran tersebut tidak akan berjalan. Untuk itu dalam pelaksanaan pendidikan Islam keberadaan media dalam proses belajar mengajar menjadi salah satu faktor penentu peserta didik berprestasi. Selain sarana dan prasarana yang termasuk di dalamnya media pengajaran yang cukup berpengaruh pada upaya berlangsung proses pendidikan dan upaya pembentukan peserta didik dalam proses pendidikan Islam ternyata faktor lain juga yang cukup berpengaruh di era moderen yaitu keberadaan dana. Keberadaan dana cukup memiliki andil pada berlangsungnya proses pendidikan Islam di sekolah sebab di era sekarang untuk mendapat seorang pendidik saja yang mau mengajar maka perlu adanya topangan dana. Mana mungkin sebuah lembaga pendidikan Islam di era sekarang bisa mendatangkan seorang pendidikan untuk mengajar tanpa adanya imbalan berupaya gaji yang setimpal bila lembaga pendidikan tidak memiliki pendanaan terutama lagi di tengah persaingan pengelolaan mutu pendidikan di era sekarang. Di sisi yang lain untuk meningkatkan mutu pendidikan dan daya saing lembaga pendidikan Islam maka dalam pengelolaan pendidikan di era sekarang selain ketersediaan tenaga pendidik yang bermutu maka perlu ditopang tersedianya sarana prasarana yang memadai yang otomatis untuk terpenuhinya hal tersebut maka perlu adanya pendanaan yang memadai. Untuk itu lembaga Islam membutuhkan adanya 513



Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 142



259



dana sebab dengan adanya dana pengadaan sarana prasarana pendidikan termasuk media yang bermutu bisa diadakan, pembayaran gaji untuk kesejahteraan pendidikan dan pegawai dapat dilakukan serta pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan demi tetap menjaga kualitasnya dapat dilakukan sehingga dengan begitu proses pendidikan bisa berjalan dengan baik, mutu pendidikan dapat ditingkatkan dan segala hal terkait dengan pengembangan mutu pendidikan dapat dilakukan. 514 Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa; Peningkatan mutu sekolah memerlukan sekurang-kurangnya dua syarat yang tidak boleh harus dipenuhi; pertama, penguasaan teori pendidikan yang moderen; yaitu teori yang Islami dan sesuai dengan perkembangan zaman; kedua, ketersediaan dana yang cukup.515 Berdasarkan pendapat Ahmad Tafsir tersebut memberikan pemahaman bahwa pengelolaan pendidikan Islam yang berkualitas baik dari segi pengelolaan lembaga, sumber daya manusia, pengadaan sarana dan prasarana serta perwujudan peserta didik yang bermutu dalam proses pendidikan itu dipengaruhi oleh adanya tenaga pendidikan yang bermutu dan ketersediaan dana yang memadai yang dimiliki oleh lembaga pendidikan Islam. Dengan demikian dalam pelaksanaan lembaga pendidikan Islam agar dapat mewujudkan lembaga pendidikan Islam yang bermutu maka keberadaan sarana dan prasarana termasuk media dan dana akan menjadi salah satu tolak ukur berhasil tidaknya lembaga pendidikan Islam mengembangkan lembaga pendidikan yang bermutu sebab bila sarana dan prasarana termasuk media pembelajaran memadai lalu ditopang kemampuan guru dalam mengajar dan kemauan sungguh-sungguh dari peserta didik untuk belajar maka usaha perwujudan pendidikan Islam yang bermutu dapat diwujudkan tetapi sebaliknya kemampuan guru sangat baik dan kemauan sungguh-sungguh dari peserta didik untuk belajar tetapi tidak ditopang adanya sarana dan prasarana maka sulit kiranya untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam yang bermutu maka tiada jalan lain dalam hal ini keberadaan dana juga memiliki andil yang besar untuk pengadaan sarana prasarana pendidikan Islam, peningkatan kesejahteraan guru dan pegawai termasuk bisa mendatangkan pendidik yang berkualitas. Hal ini memberikan makna diera moderan sekarang ini selain keberadaan sarana dan prasarana pendidikan termasuk media pembelajaran maka keberadaan dana memiliki andil yang besar 514 515



Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h. 250-251 Ibid., h. 152



260



terhadap perwujudan lembaga pendidikan Islam yang bermutu baik dari segi fasilitas, sumber daya manusia, maupun pembentukan peserta didik yang bermutu. Melihatnya begitu pentingnya peran sarana dan prasaran termasuk media pembelajaran serta keberadaan dana di dalamnya maka dalam bab ini diulas topik kajian tentang media pengajaran, sarana dan prasana serta dana dalam proses pendidikan Islam demi untuk mendapatkan gambaran jelas tentang peran penting media pembelajaran, sarana dan prasarana pendidikan serta dana dalam upaya perwujudan lembaga pendidikan Islam yang bermutu. B. 1.



Media Pengajaran dalam Proses Pendidikan Islam Pengertian media pengajaran pendidikan Islam Kalau dilihat dari sejarah perkembangan profesi pendidik maka tugas mengajar adalah pelimpahan dari tugas orang yang tidak mampu lagi memberikan suatu pengetahuan dan keterampilan dengan memberikan contoh-contoh kongkrit. Dengan perkembangan kebudayaan yang meliputi pula perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, jumlah anak yang memerlukan pendidikan disertai keinginan manusia untuk serba cepat membawa pengaruh pula pada tugas dan peranan guru. Pada zaman Socrates, ilmu pengetahuan yang diajarkan terutama adalah hasil penemuan/daya pikir Socrates sendiri. Dalam perkembangan kemudian pemerintah atau masyarakat menentukan apa yang harus diajarkan kepada anak didik. Bahkan selanjutnya berbagai cara mengajarkan, jadwalnya, penilaannya, ditetapkan dengan apa yang disebut kurikulum. 516 Tetapi di lain pihak timbul perkembangan yang mengarah pada isolasi sekolah terhadap masyarakat, yaitu sekolah merupakan suatu lembaga yang eksklusif, yang menyendiri dengan anggota-anggota yang tertentu. Kecenderungan ini akan makin cukup terasa bila guru kelas masih berpendapat bahwa ia adalah penguasa tunggal di dalam kelas sehingga segala perintah, perbuatan dan tindakan dari seorang guru atau pendidik harus dipatuhi dan diikuti oleh semua murid. Kecenderungan itu masih terasa bila mana selain guru kelas tidak ada sumber belajar yang bervariasi di dalam kelas yang dapat digunakan oleh murid-murid atau peserta didik. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menyediakan sumber belajar yang bervariasi di dalam kelas, di antaranya buku teks, buku bacaan, peta dan alat-alat pelajaran lain. Tapi pada kenyataan 516



Yusuf Hadi Miarso dkk Teknologi Komunikasi Pendidikan, Pengertian Dan Penerapannya Di Indonesia (Cet. II ; Jakarta : CV Rajawali, 1986), h. 99



261



masih banyak menunjukkan adanya sarana itu hanya sebagai pajangan (hiasan) dan belum merupakan bagian yang integral atau menyatu dalam proses belajar. Untuk itu penggunaan media atau keberadaan media dalam proses pembelajaran tiada lain sebagai sarana bagi pendidik dalam pentransferan pengetahuan kepada si siswa juga dalam upaya membantu anak-anak atau peserta didik untuk belajar baik secara individu dengan media dan secara berkelompok kecil sesama teman kelas .517 Kata media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari kata medium yang berarti perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima. Media merupakan salah satu komponen komunikasi yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan. Berdasarkan definisi ini dapat dikatakan bahwa proses belajar mengajar merupakan proses komunikasi. Jadi media memiliki pengertian yang sangat luas. Hakekat proses belajar mengajar adalah proses komunikasi, penyampaian pesan dari pengantar ke penerima. Pesan berupa isi/ajaran yang dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik verbal (kata-kata dan tulisan) maupun non verbal, proses ini dinamakan encoding. Penafsiran simbol-simbol komunikasi tersebut oleh siswa dinamakan decoding. Dalam penafsiran tersebut ada kalanya berhasil dan adakalanya tidak berhasil atau gagal. Dengan kata lain dapat dikatakan kegagalan/ketidakberhasilan dalam memahami apa yang didengar, dibaca, di lihat atau diamati. Kegagalan/ketidakberhasilan itu disebabkan oleh gangguan yang menjadi penghambat komunikasi yang dalam proses komunikasi dikenal dengan istilah barries atau noise. Semakin banyak verbalisme semakin abstrak (nyata) pemahaman yang diterima. 518 Pemaparan di atas memberikan pemahaman bahwa media pembelajaran adalah sarana dijadikan tempat untuk pentransferan pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik dimana sarana tersebut baik dalam bentuk tulisan dan kata maupun dalam bentuk bukan tulisan dan kata. Zakaiah Daradjat dkk mengemukakan bahwa; Untuk mencapai tujuan pendidikan memerlukan berbagai alat dan metode. Istilah lain dari alat pendidikan yang dikenal hingga saat ini adalah media pendidikan, audio visiual aids (AVA), alat peraga, sarana dan prasarana pendidikan dan sebagainya.519 517 518 519



Ibid, h. 100-101 Daryanto, Media Pembelajaran, Perananya Sangat Penting Dalam Mencapai Tujuan Pembelajaran (Cet. I; Yogyakarta: Gava Media, 2010), h. 5 Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 2004),h.80



262



Berdasarkan pendapat Zakiah Dardajat dkk tersebut memberikan pemahaman bahwa media pengajaran adalah alat yang dijadikan sarana untuk tercapainya tujuan pembelajaran yang dilakukan di lembaga suatu pendidikan yang dilakukan oleh seorang pendidik ke peserta didiknya. Roestiyah Nk dkk mengemukakan; media pengajaran adalah alat, metode, dan teknik yang digunakan dalam rangka mengefektifkan komunikasi dan interaksi edukatif antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.520 Berdasarkan pendapat Roestiyah ddk tersebut dapatlah dipahami bahwa media pengajaran adalah segala hal yang digunakan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sutari Imam Barnadib mengemukakan media pengajaran adalah suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan.521 Berdasarkan pendapat Sutari Imam Barnadib tersebut dapatlah dipahami bahwa media pengajaran adalah segala perbuatan, keadaan dan benda yang secara sengaja diadakan dalam upaya tercapainya tujuan pembelajaran di lingkungan pendidikan. Ahmad Sabri mengemukakan bahwa media pengajaran adalah alat yang digunakan sebagai perantara untuk menyampaikan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan dan kemajuan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar mengajar.522 Berdasarkan pendapat Ahmad Sabri tersebut dapatlah dipahami bahwa media pengajaran adalah berbagai alat yang digunakan guru dalam proses pembelajaran di kelas Azhar Arsyad mengemukakan bahwa; Kata media berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara atau pengantar. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara (wasaail) atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Gerlack & Eli mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan



520 521 522



Roestiyah Nk dkk, Kompetensi Mengajar dan Guru (Jakarta: Nasco, 1979), h. 6 Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), h.96 Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching (Cet.I; Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 112



263



sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronik untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual secara verbal. 523 Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Azhar Arsyad tersebut memberikan pemahaman bahwa media secara luas adalah segala perantara yang digunakan untuk mengantar pesan dari sipemberi pesan kepada penerima pesan dimana yang dimaksud dengan media adalah manusia, materi dan hal lain yang dapat membuat peserta didik mampu memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Adapun secara khusus media diartikan sebagai alat-alat yang digunakan secara visual dalam berlangsung pembelajaran bagi peserta didik. Dengan demikian sesuai penjelasan-penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa media pengajaran adalah segala perbuatan, keadaan dan benda yang dengan sengaja diadakan dalam proses belajar mengajar dalam lingkungan pelaksanaan pendidikan dengan suatu harapan keberadaan hal-hal tersebut demi tercapainya tujuan pembelajaran yang sedang dilaksanakan. Hal ini juga memberikan makna jika yang dimaksud adalah media pengajaran pendidikan Islam maka otomatis yang dimaksud adalah segala perbuatan, keadaan dan benda yang dengan sengaja diadakan dalam proses belajar mengajar pada lingkungan pelaksanaan pendidikan Islam dengan suatu harapan keberadaan hal-hal tersebut demi tercapainya tujuan pembelajaran pendidikan Islam yang sedang dilaksanakan. 2.



Bentuk-Bentuk Media Pengajaran Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa media pengajaran pada intinya merupakan sarana yang dapat dimuati pesan materi pelajaran oleh pendidik yang akan disampaikan kepada peserta didik baik berupa orang, alat atau bahan ajar. Umumnya ada tiga jenis media pengajaran yang dipakai oleh pendidik dalam melaksanakan kegiatan pengajaran yang dilakukan dalam bentuk benda meliputi; media grafis, media audio, dan media proyeksi diam, dimana yang dimaksud ketiga jenis media tersebut yaitu; a. Media grafis adalah media visual, dimana pesan yang akan disampaikan dapat dituangkan dalam simbol-simbol komunikasi serta simbol-simbol yang ada perlu dipahami secara tepat dan benar agar proses penyampaian pesan dapat berhasil secara efektif. Yang termasuk dalam jenis media grafis antara lain seperti gambar, foto, sketsa, diagram, bagan, grafik, poster, peta, globe, 523



Azhar Arsyad, Media Pembelajaran (Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 3



264



b.



c.



papan buletin dan lain-lain.524 Media audio adalah media yang berkaitan dengan indra pendengaran. Dalam media ini pesan pembelajaran disampaikan ke dalam lambang auditif baik bersifat verbalis, misalnya dalam bentuk kata-kata atau bahasa lisan seperti pelafalan maupun yang bersifat non verbal. Jenis-jenis media yang dapat di kelompokkan dalam media audio seperti ; radio, tape recorder, laboratorium bahasa dan lain-lain sebagainya. Media proyeksi diam adalah media visual. Media jenis ini hampir sama dengan media grafis dalam segi penyajian, dimana dalam media grafis oleh interaksinya yang ada dapat berjalan secara langsung dengan pesan media yang bersangkutan, sedangkan dalam media proyeksi diam pola interaksinya harus diproyeksikan dengan proyektor terlebih dahulu agar pesannya dapat dilihat oleh siswa sebagai penerima pesan. Yang termasuk dalam jenis ini antara lain meliputi ; film bingkai, OHP dan lain-lain.525



Zakiah Daradjat tentang media pengajaran yang dapat digunakan dalam proses pendidikan dalam bentuk benda meliputi; a. Media tulis atau cetak seperti buku, al-Qur‟an, hadis, sejarah, tauhid dan sebagainya b. Benda-benda alam seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, zat padat, zat cair dan sebagainya c. Gambar-gambar, lukisan, diagram, peta dan sebagainya d. Gambar yang dapat diproyeksi baik dengan alat atau tanpa suara seperti; foto, slide, televisi, video, dan sebagainya e. Alat untuk mendengar seperti kaset tape, radio, piringan hitam dan lain-lain yang semuanya diwarnai dengan ajaran agama Islam. 526 Sementara di sisi yang lain oleh karena itu pendidikan Islam juga mengutamakan pengajaran ilmu dan pembentukan akhlak peserta didik maka media untuk mencapai ilmu adalah alat-alat pendidikan sedangkan media untuk pembentukan akhlak adalah pergaulan. Dalam pergaulan edukatif, pendidik dapat menyuruh atau melarang peserta didik mengerjakan sesuatu. Ia dapat menghukum peserta didik sebagai koreksi atas tingkah lakunya yang salah dan memberi hadiah sebagai pendorong untuk berbuat yang lebih baik 524 525 526



Abdul Ghofir dkk, Strategi Belajar Mengajar (Penerapanya Dalam Pembelajaran) Pendidikan Agama Islam (Cet. I; Surabaya: CV Citra Media, 1996), h. 95 Ibid, h. 96 Zakiah Daradjat dkk,op. cit., h. 81



265



lagi. Selain itu dalam pergaulan contoh teladan dari guru, pimpinan sekolah dan lainya banyak mempengaruhi murid untuk menjadi manusia yang baik. Untuk itu dapatlah dipahami bahwa secara umum media pengajaran pendidikan yang dapat dipakai dalam proses pembelajaran pendidikan di sekolah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu; 1. Kelompok pertama berupa sesuatu yang muncul dari perilaku manusia yang dilakukan secara sengaja demi tercapainya tujuan pembelajaran 2. Kelompok yang kedua berupa hasil-hasil daya cipta manusia berupa benda yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran di sekolah. Perlu juga diketahui bahwa ada empat faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan media untuk suatu pembelajaran, di samping kesesuaian antara tujuan pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar dengan media dimana keempat faktor tersebut yaitu, ketersediaan sumber dana, tenaga dan fasilitas, kepraktisan, dan ketahanan media yang digunakan, serta efektifitas biaya dalam jangka waktu panjang. 527 Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang bentuk-bentuk media pengajaran yang dapat dipakai dalam proses pendidikan Islam di sekolah terbagi dua, berupa yang bersumber dari perilaku manusia dan bersumber dari benda hasil cipta manusia yang kesemuanya sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pelaksanaan pendidikan. 3.



Manfaat Media Pengajaran Dalam Proses Pendidikan Islam Tujuan pendidikan Islam seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia yakni untuk mengabdi kepada-Nya. Pengabdian kepada Allah sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkan dalam amaliah untuk mencapai derajat orang yang bertaqwa di sisi Allah. Kemudian Allah juga menciptakan manusia sebagai khalifah. Untuk melaksanakan tugasnya, khalifah dituntut menjadikan sifat-sifat Allah bagian dari karakteristik kepribadiannya. Pengabdian dan ketakwaan kepada Allah merupakan jembatan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Agar tujuan pendidikan bisa tercapai, maka perlu diperhatikan sesuatu yang mendukung keberhasilan program pendidikan itu. Dari sekian faktor penunjang keberhasilan tujuan pendidikan, kesuksesan dalam proses pembelajaran merupakan salah satu faktor yang sangat dominan sebab di 527



Abdul Ghofir dkk, op. cit, h. 97



266



dalam proses pembelajaran itu terjadinya internalisasi nilai-nilai dan pewarisan. Untuk itu perlu sekali dalam proses pembelajaran suasana yang kondusif, agar peserta didik benar-benar tertarik dan ikut dalam proses itu. 528 Dalam kaitannya dengan usaha menciptakan suasana yang kondusif itu, keberadaan media pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting sebab media pendidikan merupakan sarana yang membantu proses pembelajaran terutama yang berkaitan dengan indra pendengaran dan penglihatan bahkan keberadaan media pengajaran dapat mempercepat proses pembelajaran murid karena dapat membuat pemahaman murid lebih cepat pula. Dengan adanya media pengajaran maka tradisi lisan dan tulisan dalam proses pembelajaran dapat diperkaya dengan berbagai alat media pengajaran. Keberadaan media pengajaran sangat membantu guru sebagai pengajar dalam hal menciptakan berbagai situasi di dalam kelas, menentukan metode yang tepat dalam mengajar dan menciptakan iklim emosional yang sehat di antara murid-muridnya bahkan media pengajaran membantu guru dalam mengelola pembelajaran di dalam kelas dimana misalnya ide yang abstrak dengan adanya media pengajaran dapat dibuat menjadi kongkrit atau jelas.529 Abu Bakar Muhammad mengemukakan peranan media pengajaran dalam proses pembelajaran meliputi; 1. Mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dan memperjelas materi yang sulit 2. Mampu mempermudah pemahaman dan menjadikan pelajaran lebih hidup dan menarik 3. Merangsang anak untuk bekerja dan menggerakkan naluri kecintaan belajar dan menimbulkan kemauan keras untuk mempelajari sesuatu 4. Membantu pembentukan kebiasaan, melahirkan pendapat, memperhatikan dan memikirkan sesuatu pelajaran 5. Menimbulkan kekuatan perhatian (ingatan) mempertajam, indera, melatihnya, memperluas perasaan dan cepat belajar. 530 Yusuf Hadi Miarso sebagaimana dikutip Ramayulis mengemukakan bahwa keberadaan media pengajaran dapat membawa manfaat meliputi; 1. Membuat kongkrit konsep yang abstrak 528 529 530



Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Kalam Mulia, 2002),h. 179 Ibid, h. 180 Abu Bakar Muahmmad, Pedoman Pendidikan dan Pengajaran (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 97



267



2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



Membawa objek yang sukar didapat ke dalam lingkungan belajar siswa Menampilkan objek yang terlalu besar Menampilkan objek yang tidak dapat diamati dengan mata telanjang Mengamati gerakan yang terlalu cepat Memungkin keseragaman pengamatan dan presepsi bagi pengalaman belajar siswa Membangkitkan motivasi belajar siswa Menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan sesuai kebutuhan.531



Merujuk pada penjelasan tersebut di atas tentang esensi keberadaan media pengajaran dalam pelaksanaan pendidikan Islam terutama di lingkungan pendidikan sekolah dapatlah dipahami bahwa keberadaan media pengajaran sangat membantu peserta didik dalam proses belajar sehingga memudahkan peserta didik dalam belajar sementara pada sisi lain memudahkan bagi pendidik dalam melakukan proses pengajaran yang dilakukan dengan baik sehingga bila dalam pendidikan Islam memanfaatkan dan mengembangkan media pengajaran dengan baik maka para peserta didik akan memiliki pemahaman yang bagus dan seragam tentang yang didapatnya serta akan memiliki moral yang tinggi karena besar kemungkinan tujuan pendidikan Islam akan tercapai secara efektif dan efisien. Namun demikian selengkap apapun media dalam lingkungan proses pelaksanaan pendidikan Islam tetapi kalau tidak ditunjang oleh adanya kemampuan atau kompetensi dari pendidik Islam dalam mengoperasikan berbagai media pendidikan, baik yang bersumber dari perilaku maupun dari benda hasil cipta manusia maka sangat sulit kiranya mewujudkan peserta didik yang berkualitas dalam mata pelajaran pendidikan Islam sebab semua proses transfer pengetahuan materi pendidikan Islam tidak akan dengan mudah muncul lewat media tetapi harus lewat proses pengajaran yang baik dan penggunaan berbagai media dengan baik dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik Islam serta didukung oleh adanya pengetahuan atau penguasaan yang baik terkait mata pelajaran agama Islam yang diajarkan oleh guru pendidikan agama.



531



Ramayulis, op. cit, h. 190



268



Abdurrrahman an-Nahlawi yang dikutip oleh Ramayulis mensinyalir bahwa tugas pokok pendidik dalam pendidikan Islam secara umum adalah sebagai berikut; 1. Mendidik anak didik supaya beriman kepada Allah dan menjalankan syariatnya. 2. Mendidik diri supaya beramal saleh 3. Mendidik masyarakat supaya saling menasihati dalam kebenaran, tabah dalam menghadapi cobaan 4. Beribadah kepada Allah swt.532 Berdasarkan penjelasan Abdurrahaman an-Nahlawi tersebut hubungannya dengan kemampuan atau kompetensi pendidik dalam menggunakan media pembelajaran pendidikan Islam dapatlah dipahami bahwa pendidik Islam dituntut harus memiliki kemampuan atau kompetensi melakukan transfer ilmu-ilmu agama yang telah dipelajarinya lewat berbagai media pembelajaran kepada anak didiknya sehingga anak didiknya setelah mengikuti proses pembelajaran yang dilakukan menjadi beriman kepada Allah swt serta menjalankan segala aturan-aturan dalam ajaran Islam serta pendidik Islam menjadi suri teladan utama dalam pengamalan materi ajaran Islam. Selain melaksanakan tanggung jawab tersebut maka guru pendidikan Islam juga memikul tanggung untuk mendidik masyarakat agar masyarakat dalam kehidupannya selalu sesuai dengan tuntunan nilai-nilai ajaran Islam. Uraian tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa keberhasilan guru pendidikan Islam dalam penggunaan media pembelajaran bukan hanya ditunjang oleh media pembelajaran yang lengkap tetapi harus didukung oleh kompetensi meliputi; 1. Penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran yang akan diajarkan kepada anak didiknya 2. Penguasaan yang baik terhadap berbagai ilmu pengetahuan terkait teknik transfer pengetahuan kepada siswa 3. Penguasaan yang baik terhadap penggunaan berbagai media pembelajaran yang tersedia 4. Selalu menjadi teladan yang baik bagi anak didik dalam penerapan ajaran agama Islam dalam kehidupan Namun demikian guru pendidikan Islam dalam menjalankan tanggung jawab pendidikan Islam dengan mengoperasikan berbagai media pembelajaran dalam proses pembelajaran yang ditopang penguasaan yang 532



Ibid., h.88



269



baik terkait berbagai bidang tugasnya tersebut juga tidak akan maksimal kalau tanggung jawab tersebut hanya terbeban di pundak guru pendidikan Islam sendiri khususnya untuk di lingkungan sekolah sebab jam mengajar guru agama sendiri di sekolah sangat terbatas sementara dalam pengajaran agama Islam butuh aplikasi dalam kehidupan sehingga siswa bukan hanya diajarkan materi ajaran agama tetapi lebih dari pada itu siswa perlu dituntun dan diawasi dalam kehidupan sehingga karenanya perlu juga menggunakan media lain yaitu berupa membangun komunikasi dengan para pendidik yang lain di sekolah, orang tua di rumah dan masyarakat di lingkungan. Realita yang terjadi sekarang berupa jauhnya kehidupan anak-anak dari nilai-nilai agama merupakan salah satu dampak nyata dan ekses global dan informasi yang sedemikian deras tanpa adanya filter yang dapat menjadi perekat identitas yang cukup kuat. Pada sisi lain kondisi kehidupan seperti tersebut juga telah mampu merambah kalangan lingkungan pendidikan sehingga banyak para pelajar yang berakhlak menyimpang dari ajaran agama, seperti kurang santun di sekolah, rumah dan masyarakat, bahkan mereka sering terlibat dalam berbagai tindakan kekerasan masal dan berperilaku yang cenderung menyimpang dari ajaran agama. Hampir tiap saat dapat disaksikan dalam realitas sosial banyak perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para siswa, seperti menurunnya akhlak dan tata krama sosial dalam kehidupan sekolah maupun masyarakat yang pada dasarnya tidak sesuai dengan agama dan budaya sosial.533 Hal ini bisa terjadi selain karena ekses derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga karena kurang adanya kontrol yang melekat terhadap para siswa dimana kebanyakan perilaku-perilaku menyimpang tersebut terjadi di tengah-tengah masyarakat yang kebanyakan hal itu kurang diketahui oleh para guru pendidikan Islam dan pendidikan yang lain serta para orang tua siswa sendiri. Untuk itu bagi seorang guru pendidikan Islam selain menggunakan media pembelajaran di sekolah dalam proses pembelajaran pendidikan Islam bagi siswa dan menjadi teladan bagi siswa dalam pengamalan ajaran Islam maka guru pendidikan Islam juga harus menggunakan media lain berupaya menjalin kerjasama dengan para orang tua, para pelaksana pendidikan lain di sekolah dan pihak masyarakat dalam hal pengawasan perilaku para siswa dalam kehidupan sehari-hari. Kerjasama yang dapat dibangun oleh guru pendidikan Islam dengan orang tua dalam proses pelaksanaan pendidikan Islam meliputi; meminta 533



Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Cet. I; Jakarta: CV Misaka Galiza, 2003), h.3



270



kepada para orang tua untuk menjalankan peran sebagai pendidik Islam dengan baik di rumah kepada anak dimana peran yang harus dijalankan oleh orang tua terkait dengan pembelajaran agama Islam siswa di sekolah meliputi; orang tua membantu anak untuk belajar materi pelajaran yang diterima di sekolah, orang tua memotivasi anak untuk belajar materi pelajaran yang diterima di sekolah, orang tua membantu sekolah untuk meningkatkan hasil belajar siswa, dan orang tua membantu sekolah melengkapi berbagai fasilitas kegiatan pendidikan agama Islam siswa di sekolah, orang tua mengontrol dan menuntun anak dalam pengamalan materi-materi agama Islam yang diterima di sekolah. 534 Kerjasama yang dapat dibangun oleh guru pendidikan Islam dengan para pelaksana pendidikan di sekolah dalam pelaksanaan pendidikan Islam bagi siswa berupa bersama-sama menjadikan sekolah sebagai lapangan yang baik bagi pertumbuhan kepribadian anak didik, di samping sebagai tempat menuntut ilmu pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan anak, juga untuk menumbuhkan sikap keagamaan yang baik. Mendorong guru lain ikut betanggung jawab dalam pendidikan agama di sekolah misalnya pelajaran matematika mendidik anak menjadi manusia agar berfikir yang sistematik, logis, objektif, jujur, ulet, dan tekun. Pelajaran fisika mendidik manusia agar mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang terdapat pada ciptaannya. Pelajaran biologi mendidik manusia agar bekerja teratur. Pelajaran sejarah mendidik manusia agar berpihak kepada kebenaran. Selain itu pendidikan agama di sekolah melibatkan kerjasama semua pendidik di sekolah. 535 Muhaimin mengemukakan; Jika ada beberapa peserta didik yang terlibat narkoba misalnya, maka hal itu bukan berarti kegagalan guru PAI saja, tetapi juga merupakan kegagalan guru IPA, IPS dan PPKn. Kalau ada peserta didik yang hidup mewah dan boros, juga merupakan kegagalan dari guru matematika dan ekonomi. Kalau ada peserta didik yang kurang peduli terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, juga merupakan kegagalan dari guru IPA. Kalau ada peserta didik yang kurang sopan dalam berbicara dengan orang yang lebih tua, juga merupakan kegagalan dari guru bahasa. Kalau ada peserta didik yang kurang menghargai terhadap jasa-jasa pahlawan pendahulunya, juga merupakan kegagalan guru sejarah dan IPS, demikian seterusnya. Hal ini bukan berarti para guru PAI mengelak dari tanggung 534



535



Lihat, Departemen P & K, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam ( Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Ditjen, Dikdasmen, Depdiknas, 2003), h. 22 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Cet. III; Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997),h. 201



271



jawab sebagai pembimbing dan pengarah ajaran dan moral agama, tetapi lebih merupakan upaya membangun kekompakan dan harmonisasi dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam bagi siswa.536 Untuk itu guru dalam upaya menginternalisasikan nilai-nilai materi pendidikan Islam bagi siswanya maka ia juga harus menjalin kerjasama dengan para pelaksana pendidikan di sekolah. Bentuk kerjasama lain yang harus dibangun oleh guru pendidikan Islam dalam hal proses pembelajaran pendidikan Islam dengan siswanya adalah kerjasama dengan masyarakat dan yang dapat dilakukan oleh guru pendidikan Islam berupa bersama-sama semaksimal mungkin untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan kepribadian, baik itu dalam bentuk kerja sosial yang berhubungan dengan sesama manusia maupun beribadah dalam bentuk hubungan dengan Allah swt. Agar pendidikan agama dalam upaya pemantapan kepribadian anak dapat berlangsung dan membuahkan hasil maka harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana, termasuk teknologi moderen. Demikian pula berbagai sarana seperti masjid, mushallah, lembaga-lembaga pendidikan, surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dan sebagainya dapat digunakan sebagai tempat untuk pembentukan kepribadian anak sesuai dengan ajaran Islam.537 Bila dalam pelaksanaan pendidikan Islam bagi siswa di sekolah berbagai media dan operasionalnya mampu dijalankan oleh guru pendidikan Islam maka upaya untuk terbentuknya peribadi siswa dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam atau terbentuknya siswa yang berkualitas dalam mata pelajaran pendidikan Islam dapat diwujudkan tetapi jika hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh guru pendidikan agama Islam maka sudah barang tentu upaya membentuk siswa yang berkualitas sulit diwujudkan. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang manfaat media pengajaran dalam pelaksanaan pendidikan Islam terutama di lingkungan pendidikan sekolah dapatlah dipahami bahwa media pengajaran memiliki kegunaan untuk membantu peserta didik dalam proses belajar sementara pada sisi lain memudahkan bagi pendidik dalam melakukan transfer pengetahuan bagi peserta didik serta berhasil tidak penerapan media yang digunakan bergantung pada kemampuan pedidik mengelola setiap media pengajaran yang ada baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, baik 536 537



Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 20 Abuddin Nata, op. cit, h. 204



272



yang berbentuk benda maupun non benda dan sesuaikan dengan karakteristik materi yang diajarkan terhadap peserta didiknya. C. 1.



Sarana Prasaran dalam Proses Pendidikan Islam Pengertian Sarana dan Prasarana Pendidikan Islam Sebelum dijelaskan tentang pengertian sarana dan prasarana pendidikan agama Islam maka perlu ditegaskan bahwa belum ada tulisan atau referensi ilmiah yang membahas tentang pengertian sarana dan prasarana pendidikan Islam dimana pembahasan yang ada dalam tulisan dan referensi ilmiah hanya sebatas dalam bentuk konsep media pendidikan Islam, sumber belajar pendidikan Islam atau dalam bentuk alat pengajaran pendidikan Islam sehingga untuk merumuskan pengertian dari sarana dan prasarana pendidikan Islam maka harus dipadukan dari pengertian sarana dan prasarana pendidikan menurut teori-teori pendidikan secara umum dengan pengertian pendidikan Islam. Sarana pendidikan diartikan sebagai peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dalam proses belajaran mengajar seperti gedung, ruang kelas, meja kursi, serta media pengajaran sementara prasana pendidikan diartikan sebagai fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pengajaran seperti halaman, kebun, taman sekolah dan jalan menuju sekolah.538 Wina Sanjaya mengemukakan bahwa: Sarana pendidikan adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran misalnya media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengkapan sekolah dan sebagainya sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran misalnya; jalan menuju sekolah, penerangan sekolah, kamar kecil dan sebagainya. Kelengkapan sarana dan prasarana akan membantu guru dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. Dengan demikian sarana dan prasarana merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.539 E Mulyasa mengemukakan bahwa; Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dalam menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar seperti gedung, ruang kelas, meja 538 539



Hamdani, Dasar-Dasar Pendidikan (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 191 Wina Sanjaya,op. cit., h. 55



273



kursi serta alat-alat dan media pengajaran. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalanya proses pendidikan atau pengajaran, seperti halaman, kebun, tanah sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar seperti taman sekolah untuk pengajaran biologi, halaman sekolah sekaligus sebagai lapangan olahraga, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan.540 Berdasarkan pengertian-pengertian sarana dan prasarana pendidikan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa sarana pendidikan adalah berbagai peralatan yang secara langsung digunakan dalam proses pembelajaran sementara prasarana pendidikan adalah berbagai fasilitas yang secara tidak langsung menunjang berlangsungnya proses pembelajaran di sekolah. Adapun pengertian pendidikan Islam yaitu; bimbingan jasmani dan rokhani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran-ukuran Islam.541 Merujuk pada pengertian ini dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses pengajaran yang dilakukan terhadap anak didik sehingga nantinya kepribadian peserta didik akan terbentuk sesuai dengan ukuran ajaran Islam. Dengan demikian berdasarkan pengertian sarana dan prasaran pendidikan serta pengertian pendidikan Islam tersebut di atas dapatlah dilahirkan suatu asumsi bahwa sarana pendidikan Islam adalah berbagai peralatan yang secara langsung dapat digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan Islam sementara prasarana pendidikan Islam adalah berbagai fasilitas yang secara tidak langsung dapat menunjang berlangsungnya proses pendidikan Islam. 2.



540 541 542



Bentuk-Bentuk Sarana dan Prasana Pendidikan Islam a. Bentuk-bentuk sarana pendidikan Islam Adapun bentuk-bentuk sarana pendidikan yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan Islam adalah; perlengkapan sekolah, gedung, ruang kelas, meja kursi, serta media pengajaran.542 Mengenai bentuk-bentuk media pengajaran dapat



E Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi (Cet. VII; Bandung: 2004), h. 49 Ahmad D Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT al-Ma‟arif, 1980), h. 32 Wina Sanjaya, op. cit, h. 55



274



berupa seperti; papan tulis, komputer, gambar, VCD, poster, foto, radio, audio tape, OHP dan grafik. 543 Adapun lebih luas lagi tentang bentuk-bentuk media pengajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah seperti dikemukakan Zakiah Daradjat dkk meliputi; 1) Media tulis atau cetak seperti buku, al-Qur‟an, hadis, sejarah, tauhid dan sebagainya 2) Benda-benda alam seperti manusia, hewan, tumbuhtumbuhan, zat padat, zat cair dan sebagainya 3) Gambar-gambar, lukisan, diagram, peta dan sebagainya 4) Gambar yang dapat diproyeksi baik dengan alat atau tanpa suara seperti; foto, slide, televisi, video, dan sebagainya 5) Alat untuk mendengar seperti kaset tape, radio, piringan hitam dan lain-lain yang semuanya diwarnai dengan ajaran agama Islam.544



b.



543 544 545 546



Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut bentukbentuk sarana pendidikan Islam yang menunjang secara langsung berlangsung proses pendidikan Islam di sekolah bila dilihat dari karakteristinya di kelompokkan dalam 5 bentuk meliputi; perlengkapan sekolah, gedung sekolah, ruang kelas sekolah, meja kursi dan media pembelajaran. Bentuk–bentuk Prasarana Pendidikan Islam Hamdani mengemukakan bahwa bentuk-bentuk dari prasana pendidikan yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah meliputi; halaman sekolah, kebun sekolah, taman sekolah, masjid atau mushallah dan jalan menuju sekolah. 545 Wina Sanjaya mengemukakan bahwa bentuk-bentuk dari prasarana pendidikan yang dapat mendukung berlangsungnya proses pembelajaran di sekolah meliputi; jalan menuju sekolah, penerangan sekolah, kamar kecil dan sebagainya.546 E Mulyasa mengemukakan bahwa bentuk-bentuk dari prasarana pendidikan yang dapat menunjang



Darwin Syah dkk, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam (Cet. II; Jakarta: Gaung Persada, 2007), h. 130 Zakiah Daradjat dkk,op. cit., h. 81 Hamdani, op. cit, h. 191-192 Wina Sanjaya, op. cit, h. 55



275



berlangsungnya proses pembelajaran di sekolah meliputi; halaman sekolah, kebun sekolah, tanah sekolah dan jalan menuju sekolah. 547 Berdasarkan penjelasan para ahli tersebut tentang berbagai bentuk prasarana pendidikan yang secara tidak langsung dapat mendukung berlangsungnya proses pembelajaran di sekolah maka bila dihubungkan dengan kegiatan pembelajaran pendidikan Islam di sekolah maka dapat dikemukakan bentuk-bentuk prasana pendidikan Islam yang secara tidak langsung dapat mendukung berlangsungnya proses pembelajaran PAI di sekolah meliputi; jalan menuju sekolah, halaman sekolah, tanah sekolah, taman sekolah, masjid atau mushallah, penerangan sekolah, kamar kecil, toko-toko atau kios yang menjual peralatan belajar mengajar dan lingkungan sekolah yang kondusif. 3. Manfaat Sarana dan Prasarana Pendidikan Islam Adapun manfaat dari saran pendidikan Islam meliputi; a. Memudahkan berlangsungnya proses pembelajaran materi-materi pendidikan Islam b. Merangsang timbulnya imajinatif siswa dalam proses pembelajaran materi-materi pendidikan Islam c. Memudahkan pendidik dalam mengelola proses pengajaran materi-materi pendidikan Islam d. Memudahkan terwujudnya siswa yang bermutu pada mata pelajaran pendidikan Islam e. Membuat betah siswa untuk mengikuti proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah f. Menarik minat para orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan yang dikelola.548 Mengenai manfaat prasarana pendidikan Islam hampir sama dengan fungsi sarana pendidikan Islam yaitu meliputi; a. Memudahkan siswa mengikuti proses pembelajaran pendidikan Islam di sekolah b. Memudahkan pendidik dalam mengelola proses pengajaran agama Islam di sekolah c. Mewujudkan terjadi pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah 547 548



E Mulyasa, op. cit, h. 49 Hamdani, op. cit, h. 93



276



d. e.



Membuat betah siswa untuk mengikuti proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah Menjadi daya tarik bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan yang dikelola.549



Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut di atas tentang sarana dan prasana pendidikan dalam proses pendidikan Islam memberikan pemahaman bahwa sarana dan prasana memiliki peran yang sangat penting dalam berlangsungnya proses pendidikan Islam terutama di lingkungan sekolah sebab dengan adanya sarana prasarana pendidikan Islam yang memadai pada lembaga pendidikan Islam maka akan sangat memudahkan bagi peserta didik datang untuk mengikuti proses kegiatan pendidikan Islam di sekolah, peserta didik merasa nyaman dalam mengikuti proses pendidikan Islam yang dilaksanakan di sekolah maupun kegiatan pendidikan lainnya, memudahkan bagi pendidik dalam melaksanakan atau melangsungkan proses pembelajaran pendidikan Islam bagi peserta didik, memudahkan terwujudnya peserta didik yang berkualitas dalam materi-materi pendidikan Islam yang diajarkan oleh pendidik Islam dan dengan adanya sarana prasarana yang memadai akan menjadi daya tarik bagi para orang tua untuk mau menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan tersebut. D. 1.



Dana dalam Proses Pendidikan Islam Pengertian dana dalam pendidikan Islam Dana secara bahasa berarti; uang yang disediakan untuk suatu keperluan; atau biaya.550 Berdasarkan pengertian dana secara bahasa ini memberikan pemahaman bahwa dana pendidikan adalah uang yang disediakan untuk keperluan kegiatan pendidikan sehingga bila yang dimaksud adalah dana dalam proses pendidikan Islam maka yang dimaksud adalah uang yang disediakan demi untuk berlangsung proses pendidikan Islam bagi peserta didiknya. Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa; “sekolah membutuhkan dana. Dana adalah uang. Yang sudah pasti dana itu diperlukan untuk (1) pengadaan alat-alat, (2) gaji guru dan pegawai, (3) pemeliharaan alat.551 Berdasarkan pendapat Ahmad tafsir ini memberikan pemahaman bahwa dana dalam proses



549 550 551



Ibid. Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 207 Ahmad Tafsir, op. cit., h.250



277



pendidikan adalah uang yang digunakan terkait dengan kebutuhan pengelolaan pendidikan dan kesejahteraan pelaksana pendidikan Islam. Dengan demikian berdasarkan uraian-uraian tersebut memberikan pemahaman bahwa dana dalam proses pendidikan Islam adalah uang yang disediakan dan dipergunakan demi kebutuhan pengelolaan pendidikan dan pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan Islam termasuk perawatannya serta demi untuk gaji bagi pengelola pendidikan Islam. 2.



Bentuk-Bentuk Pendanaan Dalam Proses Pendidikan Islam Secara umum untuk sistem pendidikan Islam di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun2003 ditegaskan secara jelas bahwa pengadaan dana dan pendayagunaan sumber daya pendidikan oleh semua pihak termasuk di dalamnya adalah pemerintah, masyarakat, serta keluarga peserta didik untuk mempermudah dalam memberikan kesempatan belajar bagi semua warga negaranya.552 Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana di atur dalam pasal 31 ayat 4 UndangUndang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan, dewasa ini masih mengacu kepada peraturan pemerintah nomor 48 Tahun 2008. Sumber pendanaan ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan. Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik. Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah dialokasikan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 553 Ruang lingkup biaya pendidikan meliputi biaya santunan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan dan biaya pribadi peserta didik. Biaya satuan pendidikan sebagaimana dimaksud terdiri atas; 552 553



Yeti Heryanti & Mumuh Muhsin, Manajemen Sumber Daya Pendidikan (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2014), h. 227 Ahmadi & Syukri Nafis, Manajemen Pendidikan Islam (Cet. II; Yogyakarta: Lesbang Presindo, 2011), h. 82



278



a. b. c. d.



Biaya investasi yang terdiri atas biaya investasi lahan dan biaya investasi selain lahan pendidikan Biaya operasi yang terdiri atas biaya personalia dan biaya nonpersonalia Bantuan biaya pendidikan Beasiswa



Selain biaya tersebut bantuan dari pemerintah juga meliputi biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan meliputi; a. Biaya investasi yang terdiri atas biaya investasi lahan pendidikan dan biaya investasi selain lahan pendidikan b. Biaya operasi yang terdiri atas biaya personalia dan biaya nonpersonalia Biaya personalia meliputi; biaya personalia satuan pendidikan, yang terdiri atas gaji pokok bagi pegawai pada satuan pendidikan, tunjangan yang melekat pada gaji pegawai pada satuan pendidikan, tunjangan struktural pada satuan pendidikan, tunjangan fungsional bagi pejabat fungsional di luar guru, tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional bagi guru, tunjangan profesi bagi guru, tunjangan khusus bagi guru dan maslahat tambahan bagi guru. Biaya personalia penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan, yang terdiri atas gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan struktural bagi pejabat struktural, dan tunjangan fungsional bagi pejabat fungsional. 554 Investasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemerintah daerah, baik lahan maupun selain lahan, yang menghasilkan aset fisik dibiayai melalui belanja modal dan/atau belanja barang sesuai peraturan perundangundangan. Investasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas dan/atau kompetensi sumber daya manusia dan investasi lainnya yang tidak menghasilkan aset fisik dibiayai melalui belanja pegawai dan/atau belanja barang sesuai peraturan perundang-undangan. 555 Adapun secara umum sumber-sumber biaya pendidikan yang diterapkan di Indonesia yang dikemukakan oleh Yeti Heryanti & Mumuh Muhsin, yaitu sebagai berikut;



554 555



Ibid., h. 83 Ibid.



279



a.



b.



c.



Dana pemerintah Penerimaan dari pemerintah umum meliputi penerimaan dari sektor pajak, pendapat dari sektor non pajak, pajak pendidikan dari perusahaan, iuran pembangunan daerah, keuntungan dari sektor barang dan jasa, usaha-usaha negara lain termasuk investasi saham dan BUMN. Penerimaan dari pemerintah khususnya untuk pendidikan biasanya berupa bantuan dalam bentuk hibah atau pinjaman dari luar negeri seperti dari badan internasional dan bank dunia. Iuran sekolah Penerimaan dari iuran sekolah berupa sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) atau badan penyelenggara pembina pendidikan (BP3) Sumbangan sukarela Penerimaan dari sumbangan sukarela dari masyarakat berupa sumbangan swasta, perorangan, keluarga, atau perusahaan. Sumbangan yang diberikan tidak hanya berupa uang, tetapi juga tenaga, tanah dan bahan bangunan untuk mendirikan sekolah. 556



Berdasarkan pendapat Yeti Heryanti & Mumuh Muhsin memberikan pemahaman bahwa bentuk-bentuk pendanaan yang dapat diperoleh lembaga pendidikan di Indonesia adalah lewat bantuan pemerintah, iuran sekolah dan sumbangan sekolah maka karena pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian kegiatan pendidikan nasional maka dana pendidikannya dapat diperoleh lewat tiga jalur tersebut meliputi; bantuan dari pemerintah, iuran sekolah dan bantuan swasta. Ramayulis mengemukakan bahwa pembiayaan lemnbaga pendidikan Islam yang dikelola oleh umat Islam dapat diperoleh lewat jalur meliputi; wakaf, zakat, sedekah dan hibah dimana penjelasanya tentangnya dapat di lihat dalam uraian di bawah ini. a. Wakaf Wakaf adalah sumbangan dalam pengertian umum yang merupakan hadiah yang diberikan untuk memenuhi banyak kebutuhan spiritual dan temporal kaum muslimin. Dana-dana yang diperoleh dari sumbang tersebut digunakan untuk membangun dan merawat tempat-tempat ibadah, mendirikan sekolah dan rumah sakit, menafkahi para ulama dan da‟i, mempersiapkan kebutuhan 556



Yeti Heryanti & Mumuh Muhsin, op. cit., h. 227



280



b.



c.



d.



557



558 559



kaum miskin dan memasok senjata bagi para pejuang yang berjuang di jalan Allah. 557 Zakat Zakat adalah harta tertentu yang diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan beberapa persyaratan. Quraish Shihab mengemukakan bahwa karena zakat merupakan salah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, maka Allah menjadikannya sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya dan harus diarahkan guna kepentingan bersama. Pendidikan termasuk pendidikan sosial, sudah sepantasnya zakat dapat dijadikan sebagai sumber dana pendidikan. Dana zakat harus dikelola secara profesional dan transparan agar sebagiannya dapat dipergunakan untuk membiayai lembaga pendidikan Islam. 558 Pendidikan Islam akan dapat terlaksana dengan baik apabila didukung oleh dana yang memadai sebab mutu dan kualitas lembaga pendidikan Islam di era sekarang tidak bisa terlepas dari ketersediaan dana. Mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan hingga penilaian, pendidikan Islam membutuhkan dana dan biaya. Demikian pula beberapa komponen dalam pendidikan Islam tidak bisa diwujudkan tanpa adanya biaya. Untuk membangun gedung lengkap dengan isinya, gaji guru, karyawan, pengadaan buku bacaan, dan fasilitas lainnya membutuhkan dana dan biaya yang cukup besar.559 Sedekah Sedekah, atau disebut juga sedekah sunat merupakan anjuran agama yang sangat besar nilainya. Orang yang bersedekah pada jalan Allah akan mendapat ganjaran dari Allah 700 kali nilainya dari harta yang disedekahkan bahkan melebihi dari itu. Hibah Hibah adalah pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau untuk badan sosial, keagamaan dan ilmiah.



Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet.XII; Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 425, Lihat GC Kazlowski, Muslim Endowements and Society in British Idia (London: Cabridge University, 1985), h. 10 Ramayulis, op. cit., h. 428, Lihat M Quraish Shihab, membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), h. 323 Ramayulis, op. cit., h. 424



281



e.



Sumber-sumber lain yang tidak mengikat Bagi lembaga pendidikan Islam di Indonesia seperti pesantren dan madrasah selain sumber di atas bisa pula memperoleh dana dari sumber lainnya baik sumber intern maupun sumber eksteren.560 Sumber dana intern dapat diperoleh lewat membentuk badan usaha atau koperasi; membentuk lembaga amil zakat, infaq dan sadaqah dimana sebagian dari dana yang terkumpul dapat dipergunakan untuk membiayai pendidikan karena memang undang-undang membolehkan lembaga pendidikan Islam untuk membentuk lembaga tersebut; dan membentuk badan kerjasama antara lembaga pendidikan Islam/yayasan dengan orang tua murid dimana dengan lembaga tersebut dia dapat menghimpun potensi dana yang dimiliki oleh sebagai orang tua murid atau masyarakat. Sumber dana eksteren dapat diusahakan dengan cara membentuk donatur tetap, mengupayakan bantuan pemerintah, dan mengupayakan bantuan luar negeri dengan prinsip bantuan yang diterima itu sifatnya halal dan benar-benar digunakan dalam pengelolaan kegiatan pendidikan Islam serta bukan demi kepentingan untuk memperkaya segelintir orang.561



Berdasarkan pemikiran Ramayulis tersebut memberikan pemahaman bahwa pendanaan dalam pendidikan Islam secara internal dapat diperoleh dari wakaf, zakat, sedekah, hibah dan sumber lain yang sifatnya halal. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bentuk-bentuk pendanaan yang dapat diperoleh dalam pengelolaan kegiatan pendidikan Islam dapat diperoleh lewat wakaf, zakat, sedekah, hibah, pemerintah dan sumber-sumber lain yang sifatnya halal. 3.



Manfaat pendanaan dalam Proses pendidikan Islam. Dalam kenyataan sehari-hari dapat di lihat terdapat sejumlah lembagalembaga pendidikan yang berkualitas dan bermutu sebaliknya juga terdapat pula lembaga-lembaga pendidikan berjalan seadanya memprihatinkan dan tidak berkualitas dan hal ini kebanyakan terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh swasta. Kondisi ini bisa terjadi karena perbedaan dalam memiliki kelengkapan sarana prasarana, sumber daya



560 561



Ibid., h. 429-430 Ibid., h. 431



282



manusia, manajemen, sistem informasi dan lain sebagainya yang semuanya itu berhubungan erat dengan ketersediaan dana dan biaya. Sehubungan dengan hal tersebut maka keberadaan dana dalam pendidikan Islam merupakan salah satu komponen yang menentukan dalam proses berlangsung kegiatan-kegiatan pendidikan Islam sebab mana mungkin di era jaman sekarang sebuah lembaga pendidikan Islam bisa bersaing dalam pengembangan mutu pendidikan kalau hanya dengan sumber daya yang terbatas serta sarana prasarana pendidikan seadanya, dimana kondisi ini mungkin untuk mendapatkan peserta didik saja sudah akan sangat susah terlebih lagi di tengah persaingan pengelolaan pendidikan di zaman sekarang.562 Hamdani mengemukakan bahwa; Setidaknya ada dua hal yang menimbulkan adanya perhatian yang besar pada keuangan. Pertama, keunguan termasuk kunci penentu kelangsungan dan kemajuan lembaga pendidikan. Kenyataan ini mengandung konsekuensi bahwa program-program pembaharuan atau pengembangan pendidikan bisa gagal dan berantakan jika tidak didukung oleh keuangan yang memadai. Kedua, lazimnya uang yang besar sulit didapatkan, khususnya bagi lembaga pendidikan swasta yang baru berdiri.563 Berdasarkan pendapat Hamdani tersebut memberikan pemahaman bahwa salah satu penyebab kurang maksimalnya pengelolaan pendidikan adalah karena keterbatasan dana yang berakibat kurang upaya program pembaharuan dan pengembangan pendidikan pada suatu lembaga pendidikan. Hal ini juga bermakna bahwa jika lembaga pendidikan Islam kurang memiliki pendanaan yang memadai dalam pengelolaan pendidikannya maka otomatis hal itu bisa mempengaruhi bahkan menggagalkan proses pendidikan yang dikelolanya. HAR Tilaar mengemukakan bahwa; Sebab-sebab sehingga SKB tiga Menteri 24 Maret 1975 dikeluarkan karena berusaha mengembalikan ketinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan nasional. Pada waktu itu telah berhasil diidentifikasi berbagai kelemahan pendidikan Islam seperti madrasah meliputi; terlalu banyaknya materi pelajaran yang diarahkan, kualitas guru yang rendah, sarana pendidikan yang kurang, para siswanya kebanyakan berasal dari keluarga yang kurang mampu 562 563



Ibid. Hamdani, op. cit., h. 191



283



sehingga memang pada saat itu lembaga-lembaga pendidikan Islam belum merupakan alternatif pendidikan moderen. 564 Berdasarkan pendapat HAR Tilaar tersebut dapatlah dipahami bahwa sebab-sebab madrasah kurang bersaing dengan lembaga pendidikan umum di antaranya rendahnya kualitas guru yang mengajar, sarana dan prasarananya yang tidak memadai, dan siswanya kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi lemah. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor pendanaan menjadi salah satu faktor sehingga madrasah atau lembaga-lembaga pendidikan Islam kurang mampu bersaing dalam hal pengelolaan pendidikan. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa dana dalam proses pendidikan Islam memegang peranan yang sangat penting dalam pengelolaan kegiatan pendidikan Islam sesuai dengan tuntunan mutu sebab salah daya tarik bagi masyarakat pada umumnya untuk mau menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan di era sekarang adalah kelayakan sarana prasarana pendidikan yang ada di suatu lembaga pendidikan barulah pertimbangan mereka selanjutnya kualitas pendidikan yang dilaksanakan pada lembaga pendidikan Islam dimana hal ini bila ingin lembaga pendidikan Islam mampu bersaing dalam upaya pengelolaan kegiatan pendidikan maka mereka harus punya pendanaan yang memadai sebab dengan adanya dana tersebut mampu membuat mereka bisa menyediakan sarana prasarana pendidikan yang memadai dan mampu juga mendatangkan tenaga pendidikan yang handal sehingga proses pendidikan yang bermutu mampu diwujudkan baik dari lembaga, pengelolaan maupun lulusan peserta didiknya. E.



Rangkuman Media pengajaran pendidikan Islam adalah segala perbuatan, keadaan dan benda yang dengan sengaja diadakan dalam proses belajar mengajar pada lingkungan pelaksanaan pendidikan Islam demi tercapainya tujuan pembelajaran pendidikan Islam yang sedang dilaksanakan. Bentuk-bentuk media pengajaran yang dapat dipakai dalam proses pendidikan Islam di sekolah yaitu media yang bersumber dari perilaku manusia dan media bersumber dari benda hasil cipta manusia. Media pengajaran memiliki peran yang sangat pentingnya dalam berlangsungnya proses pendidikan Islam karena satu sisi membantu peserta didik dalam proses belajar sementara pada sisi lain memudahkan bagi pendidik dalam melakukan transfer pengetahuan 564



HAR Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 200), h. 148



284



bagi peserta didik serta berhasil tidak penerapan media yang digunakan bergantung pada kemampuan pendidik mengelola setiap media pengajaran yang ada baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Sarana pendidikan Islam adalah berbagai peralatan yang secara langsung digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan Islam sementara prasarana pendidikan Islam adalah berbagai fasilitas yang secara tidak langsung dapat menunjang berlangsungnya proses pendidikan Islam. Bentukbentuk sarana pendidikan Islam ada 5 bentuk meliputi; perlengkapan sekolah, gedung sekolah, ruang kelas sekolah, meja kursi dan media pembelajaran sedangkan prasarana pendidikan Islam meliputi; jalan menuju sekolah, halaman sekolah, tanah sekolah, taman sekolah, masjid atau mushallah, penerangan sekolah, kamar kecil, toko-toko atau kios yang menjual peralatan belajar mengajar dan lingkungan sekolah yang kondusif. Sarana dan prasarana memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendidikan Islam terutama di sekolah sebab keberadaannya akan sangat memudahkan bagi peserta didik datang untuk mengikuti proses kegiatan pendidikan Islam maupun kegiatan pendidikan lainnya dan memudahkan bagi pendidik dalam melaksanakan atau melangsungkan proses pembelajaran pendidikan Islam bagi peserta didik dan dengan adanya sarana prasarana yang memadai akan menjadi daya tarik bagi para orang tua untuk mau menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan tersebut. Dana dalam proses pendidikan Islam adalah uang yang disediakan dan dipergunakan demi kebutuhan pengelolaan pendidikan dan pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan Islam termasuk di dalamnya perawatannya serta gaji bagi pengelola pendidikan Islam. Bentuk-bentuk pendanaan yang dapat diperoleh dalam pengelolaan kegiatan pendidikan Islam dapat diperoleh lewat wakaf, zakat, sedekah, hibah, pemerintah dan sumber-sumber lain sifatnya halal. Dana dalam proses pendidikan Islam memegang peranan yang sangat penting sebab dengan adanya dana berbagai kebutuhan terkait pengelolaan pendidikan dan pengadaan sarana prasarana dapat diwujudkan sesuai standar mutu bagi lembaga pendidikan Islam sehingga lembaga pendidikan Islam mampu bersaing dalam upaya pengelolaan kegiatan pendidikan dan proses pendidikan yang bermutu mampu diwujudkan baik dari segi lembaga, sumber daya manusia, pengelolaan maupun lulusan peserta didiknya.



285



286



BAB VIII KURIKULUM DAN EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM A.



Latar Belakang Pemikiran Keberadaan pendidikan sangat urgen sekali bagi umat manusia dalam kehidupannya sebab lewat proses pendidikanlah manusia dapat berkembang dalam kehidupannya. Semakin meningkat tuntutan kebutuhan hidup yang dialami manusia maka hal itu akan turut mempengaruhi proses pelaksanaan pendidikan bagi anak didik dari waktu ke waktu yang terus berkembang dimana tadinya pelaksanaan pendidikan hanya dilaksanakan dalam keluarga lalu berpindah pada lingkungan pendidikan formal hingga adanya lembagalembaga pendidikan non formal dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan sasaran dan tujuan pelaksanaan pendidikan tersebut. Bagi umat Islam salah satu pendidikan yang tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan hidup mereka adalah keberadaan pendidikan Islam yang dilaksanakan sebagai bagian dari upaya menanamkan nilai-nilai ajaran Islam bagi umat Islam agar dalam kehidupannya selalu hidup sesuai dengan nilainilai ajaran yang terdapat dalam agama Islam. 565 Agar berhasil pelaksanaan pendidikan Islam yang dilaksanakan bagi peserta didiknya maka selain dituntut adanya kemampuan seorang pendidik dalam pelaksanaan pendidikan Islam berupa kemampuan penguasaan terhadap materi yang akan diajarkan maka para pendidik dalam pelaksanaan pendidikan Islam juga dituntut untuk menguasai berbagai cara atau pola penyampaian materi terhadap anak didiknya. 566 Namun demikian ternyata dalam upaya terbentuknya peserta didik yang berprestasi dalam proses pendidikan Islam ternyata bukan hanya dipengaruhi oleh kemampuan dari seorang pendidik dalam melakukan proses pembelajaran bagi peserta didiknya tetapi cukup banyak faktor yang mempengaruhinya baik terkait dengan keberadaan lembaga pendidikan dan sarana prasarananya, pendidik dan kemampuannya dalam melaksanakan



565



566



Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 (Cet. II; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), 132 HM Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 100



287



kegiatan mengajar, siswa dan segala hal yang mempengaruhi kemampuannya dalam belajar, kurikulum, tujuan pendidikan, lingkungan dan sebagainya. 567 Erat kaitannya dengan berbagai faktor yang dapat berpengaruh pada keberhasilan pelaksanaan pendidikan Islam maka diketahui bahwa ada dua faktor yang ikut mempengaruhi berhasilnya proses pendidikan Islam yaitu keberadaan kurikulum pendidikan Islam dan evaluasi pendidikan Islam. Kurikulum pendidikan Islam secara umum dapat diartikan sebagai pedoman acuan yang dapat digunakan pendidik dan anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap mereka serta dalam artian lain kurikulum pendidikan Islam adalah suatu program pendidikan Islam yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, 568 sedangkan evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan pengambilan sejumlah keputusan yang berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan dalam pendidikan Islam guna melihat sejauhmana keberhasilan pendidikan yang dilakukan terhadap peserta didik selaras dengan nilai-nilai Islam sebagai tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.569 Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa keberadaan kurikulum dan evaluasi sangat urgen sekali pada berlangsung proses pendidikan Islam sebab di dalam kurikulum pendidikan diatur berbagai acuan tentang kegiatan pendidikan Islam mulai dari sistem yang akan ditempuh dalam kegiatan pendidikan Islam, materi-materi yang akan diajarkan, sarana prasarana yang harus disiapkan, tujuan pendidikan Islam yang dilaksanakan, dan segala hal yang terkait dengannya sedangkan evaluasi merupakan penilaian terhadap tingkat keberhasilan berlangsung proses pendidikan Islam termasuk di dalamnya penerapan kurikulum dalam sistem pendidikan Islam. Kondisi ini juga memberi pemahaman bahwa karena peserta didik dalam pendidikan Islam berbeda-beda tingkatan jenjang proses pendidikan yang diikuti maka sudah barang tentu acuan kurikulum dan evaluasi yang dipakaipun pasti berbeda-beda. Untuk itu jelas sekali keberadaan kurikulum dan evaluasi cukup punya adil yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan Islam sebab bisa dibayangkan suatu kegiatan pendidikan Islam yang dilaksanakan tanpa perencanaan yang matang, acuan yang jelas dan pengukuran terhadap pencapaian yang diperoleh maka sulit kiranya untuk mencapai suatu tujuan pendidikan Islam yang diinginkan dan mengetahui 567 568 569



Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar (Cet. VII; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), h. 40 Armai Arief, Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 30 Ibid., h. 54



288



tingkat keberhasilan yang dilakukan, misalnya Rasulullah Muhammad saw mengajarkan agama Islam bagi umat kalau tanpa acuan pedoman dari Allah maka sudah barang tentu Islam tidak akan dapat menyebar seperti sekarang ini sebaliknya kalau tidak adanya evaluasi mana mungkin dapat diketahui siapa yang benar menjadi penganut Islam dan siapa yang hanya berpura-pura. Sejalan dengan uraian tersebut tentang begitu urgennya keberadaan kurikulum dan evaluasi dalam proses pendidikan Islam maka dalam bab ini akan diulas topik kajian tentang kurikulum dan evaluasi dalam pendidikan Islam demi untuk mendapatkan gambaran jelas tentang sistem kurikulum dalam pendidikan Islam dan sistem evaluasi dalam pendidikan Islam serta segala hal yang terkait dengan keduanya. B. 1.



Kurikulum Pendidikan Islam Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam Kurikulum merupakan rencana pendidikan yang memberi pedoman tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan. Kurikulum berasal dari bahasa latin “curriculum” yang berarti bahan pengajaran dan terdapat pula dalam bahasa Prancis “Corier” yang berarti berlari. Istilah ini digunakan untuk sejumlah “Courses” atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai gelar atau ijazah. Secara tradisonal kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. 570 Kurikulum dalam pendidikan Islam dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka baik yang berada di lingkungan lembaga pendidikan maupun yang berada di luar lingkungan pendidikan sehingga terjadi perubahan pada diri peserta didik sesuai dengan tujuan-tujuan dari kegiatan pendidikan Islam. 571 Selain itu kurikulum juga di pandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan. 572 Adapun arti manhaj atau kurikulum dalam pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat dalam kamus al-Tarbiyah yang dikutip oleh H Ramayulis dikemukakan bahwa kurikulum pendidikan Islam adalah seperangkat



570 571



572



S Nasution, Pengembangan Kurikulum (Cet. V; Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 9 Oemar Muhammad al-Toumy al-Syaibaniy, Falsafah Pendidikan Islam, Diterjemahkan oleh; Hasan Langgulung Dengan Judul: Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 478 Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 122



289



perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan Islam dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan Islam. 573 Wiliam B Ragan, sebagaimana dikutip S Nasution berpendapat bahwa kurikulum meliputi seluruh program dan kehidupan di sekolah. Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran, tetapi seluruh kehidupan di kelas. S Nasution juga mengatakan ada beberapa penafsiran lain tentang kurikulum, di antaranya kurikulum sebagai produk (sebagai hasil pengembangan kurikulum), kurikulum sebagai program (alat yang dilakukan di sekolah untuk mencapai tujuan), kurikulum sebagai hal-hal yang diharapkan akan di pelajari siswa (sikap, keterampilan tertentu) dan kurikulum dipandang sebagai pengalaman siswa.574 HM Arifin mengemukakan; Di dalam kurikulum tidak hanya dijabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus diajarkan oleh pendidik (guru) kepada anak didik dan anak didik mempelajarinya, akan tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan yang dipandang perlu, karena mempengaruhi terhadap anak didiknya, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam, misalnya olah raga, kepramukaan, widya wisata, seni budaya yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam proses pendidikan anak didik sehingga perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum itu.575 Hasan Langgulung yang dikutip oleh H Ramayulis mengemukakan bahwa pada intinya kurikulum itu memuat tentang hal-hal yang berhubungan dengan bisa terwujudnya proses pendidikan yang dilaksanakan pada suatu lembaga atau kegiatan pendidikan yang meliputi; tujuan pendidikan, materi yang akan diberikan, metode mengajar dan cara penilaian.576 Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa kurikulum pendidikan Islam adalah alat yang menjadi pedoman dalam proses berlangsung kegiatan pendidikan Islam dan tercapainya tujuan pendidikan Islam baik itu berupa tujuan pendidikan, materi pelajaran, sarana prasarana, metode, penilaian dan segala hal yang berpengaruh pada terjadinya perubahan pada peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.



573 574 575 576



H Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 129 S Nasution, Asas-Asas Kurikulum ( Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 5-9 HM Arifin, “Filsafat Pendidikan Islam”, op. cit, h. 84 H Ramayulis, op. cit, h. 128



290



2.



Macam-Macam kurikulum pendidikan Islam. Secara umum macam-macam kurikulum dalam pendidikan Islam terbagi kepada tiga sesuai dengan perkembangan kegiatan pendidikan Islam yang meliputi; kurikulum pada masa klasik, kurikulum pada masa pertengahan dan kurikulum pada masa moderen. a. Kurikulum Pada Masa Klasik Kurikulum pada masa klasik berlangsung pada masa Nabi saw dan masa-masa para sahabat. Materi pendidikannya pada saat itu tidak terlepas dari masalah pembinaan dan pemantapan umat serta pembinaan kerukunan antar umat beragama. Lembaga pendidikannya berupa majelis-majelis pengajaran dan masjidmasjid tempat Nabi saw dan para sahabat menyampaikan dakwanya. Pada masa ini lembaga pendidikan belum didirikan secara formal. Hal ini disebabkan belum tersebarnya Islam secara luas b. Kurikulum pada masa pertengahan. Kurikulum pada masa pertengahan dapat dikatakan sebagai masa kemajuan dan masa kemunduran. Masa keemasan dapat di lihat pada masa pemerintahan Daulat Abasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Rasyid. Pada masa ini banyak didirikan lembaga-lembaga pendidikan baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Ilmu-ilmu yang diajarkan disesuaikan dengan jenjang pendidikan anak dari pemberian mata pelajaran dan pengaturan waktu untuk belajar. Pada masa ini jenjang pendidikan di mulai dari al-Khuttab (sekolah tingkat rendah) untuk anak-anak, lama pendidikan selama 5 tahun, lalu kemudian di lanjutkan ke jenjang pendidikan menengah dan jenjang perguruan tinggi. Pada jenjang perguruan tinggi ada beberapa jurusan antara lain ilmu agama dan kesusasteraan serta jurusan ilmu hikmah. Masa kemunduran dalam pendidikan Islam dipengaruhi oleh meletusnya perang salib yang menyebabkan banyak ulama meninggal dunia dan musnahnya ribuan, bahkan jutaan kitab seiring dengan musnahnya beberapa perpustakaan Islam saat itu.577 Jadi kurikulum pada masa pertengahan mulai dilaksanakan pada lembaga-lembaga sekolah atau dikenal dengan madrasah mulai dari tingkat dasar hingga tingkat pendidikan tinggi. Dengan 577



Armai Arief, op. cit, h. 32



291



c.



578 579



berdirinya madrasah lengkaplah pendidikan Islam secara formal. Hanya saja perlu diketahui kondisi lembaga pendidikan pada saat itu belum mempunyai kurikulum yang seragam tetap bervariasi antara madrasah satu dengan yang lainnya dimana hal itu tergantung pada keahlian guru-gurunya, pandangan tentang kepentingan suatu ilmu pengetahuan, dan berhubungan pula dengan perhatian para pembesar pendiri sekolah-sekolah atau madrasah yang didirikan.578 Kurikulum pada masa moderen Kurikulum pendidikan Islam pada masa moderen adalah sistem kurikulum yang telah dikembangkan sesuai dengan perkembangan dunia moderen tetapi tidak terlepas dari esensi dasar ajaran Islam. Prinsip yang dianut kurikulum pada masa moderen meliputi; berisikan nilai keilmuan murni dan juga memberikan tuntunan kepada anak didik agar mampu memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sesuai dengan bakat dan keahliannya dan kurikulum pendidikan Islam berupaya mengintegrasikan ilmu yang berkaitan dengan ke dunia dan ajaran Islam. Mengenai lembaga pendidikannya tetap dibagi pada tiga tingkatan sama dengan masa pertengahan hanya sistemnya sudah lebih dimoderenkan lagi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. 579 Merujuk pada penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami macam-macam kurikulum dalam pendidikan Islam terbagi pada tiga bentuk dimana meliputi kurikulum pada masa klasik yang proses pendidikan berlangsung pada masa Rasulullah dan para sahabat dan proses pendidikannya belum berlangsung dalam format lembaga pendidikan formal, kurikulum pada masa pertengahan yang berlangsung pada masa kejayaan dan kemunduran Islam dimana proses pendidikan telah dilaksanakan dalam format lembaga pendidikan formal hanya saja skopnya masih banyak bersentuhan dengan ilmu-ilmu pengetahuan Islam, dan kurikulum pada masa moderen yang berlangsung pada era moderen dimana proses pendidikan telah dilaksanakan pada lembaga pendidikan formal hanya saja materi kurikulumnya selain dikembangkan tentang ilmu-ilmu keislaman juga telah dipadukan dengan ilmu-ilmu moderen sesuai dengan tuntutan zaman.



Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h, 102 Armai Arief, op. cit, h. 33



292



3.



Asas-Asas Kurikulum pendidikan Islam Al-Syaibaniy yang dikuti H Ramayulis mengemukakan bahwa asasasas kurikulum pendidikan Islam terbagi empat meliputi; a. Asas Agama dalam arti segala sistem yang ada dalam masyarakat termasuk pendidikan harus meletakkan dasar falsafah, tujuan kurikulumnya pada dasar agama Islam dengan segala aspeknya. Dasar agama ini dalam kurikulum pendidikan Islam jelas harus didasarkan pada al-Qur‟an, al-Sunnah dan sumber-sumber bersifat furu lainnya. b. Asas falsafah. Asas ini memberikan pedoman bagi tujuan pendidikan Islam secara filosofis sehingga tujuan, isi dan organisasi kurikulum mengandung suatu kebenaran dan pandangan hidup dalam bentuk nilai-nilai yang diyakini sebagai suatu kebenaran baik ditinjau dari segi ontologis, epistemologi maupun axiologi c. Asas psikologis. Asas ini memberikan landasan dalam perumusan kurikulum yang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan psikis peserta didik, sesuai dengan tahap kematangan dan bakatnya, memperhatikan kecakapan pemikiran dan perbedaan perseorangan antara satu peserta didik dengan yang lainnya. d. Asas sosial. Asas ini memberikan gambaran bagi kurikulum pendidikan Islam yang tercermin pada asas sosial yang mengandung ciri-ciri masyarakat Islam dan kebudayaan baik dari segi pengetahuan, nilai-nilai ideal, cara berpikir, adat kebiasaan, seni dan sebagainya. Kaitannya dengan kurikulum pendidikan Islam sudah tentu kurikulum ini harus mengakar terhadap masyarakat dan perubahan serta perkembangan. 580 Berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa ada empat asas yang dianut kurikulum pendidikan Islam yaitu asas agama, asas falsafah, asas psikologis dan asas sosial dimana ke empatnya saling berpadu dan saling melengkapi satu sama lainnya sehingga asas-asas tersebut merupakan syarat utama dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum pendidikan Islam.



580



H Ramayulis, op. cit, h. 132



293



4.



Ciri-Ciri Kurikulum Pendidikan Islam Armai Arief yang mengutip pendapat Oemar Muhammad al-Toumy alSyaibani dikemukakan bahwa ciri-ciri kurikulum dalam pendidikan Islam meliputi; a. Agama dan akhlak merupakan tujuan utama. Segala yang diajarkan harus berdasar pada al-Qur‟an dan as-Sunnah serta ijtihad para ulama b. Mempertahankan pengembangan dan bimbingan terhadap semua aspek pribadi siswa dari segi intelektual, psikologi, sosial dan spiritual c. Adanya keseimbangan antara kandungan kurikulum dan pengalaman serta kegiatan pengajaran.581 Berdasarkan pendapat di atas dapatlah dipahami bahwa ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam meliputi; agama dan akhlak merupakan tujuan utama, mempertahankan bimbingan dan pengembangan pada semua aspek peserta didik serta adanya keseimbangan antara isi kurikulum, pengalaman dan kegiatan pengajaran. 5.



Jenis-jenis kurikulum pendidikan Islam Syamsul Ma‟arif mengemukakan bahwa terkait dengan implementasi kurikulum pendidikan Islam maka ada empat jenis kurikulum dalam kegiatan pendidikan Islam, meliputi; a. Kurikulum yang berorientasi pada humanistik dalam artian kurikulum ini harus berorientasi pada pertumbuhan dan integritas pribadi seseorang secara bebas dan bertanggung jawab b. Kurikulum bercorak rekonstruksi sosial, maksudnya kurikulum sebagai alat untuk mempengaruhi perubahan sosial dalam mencipta masa depan yang lebih baik bagi masyarakat c. Kurikulum yang bercorak teknologi, dimana melihat kurikulum sebagai proses teknologi untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki oleh pembuat kebijakan d. Kurikulm berorientasi akademik dimana kurikulum ini berorientasi pada upaya peningkatan intelektual dengan cara memperkenalkan peserta didik terhadap berbagai macam pelajaran yang terorganisir dengan baik.582 581 582



Armai Arief, op. cit., h. 6 Syamsul Ma‟arif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 46



294



Berdasarkan penjelasan Syamsul Ma‟arif tersebut maka dalam pelaksanaan pendidikan Islam ada empat jenis kurikulum yang diterapkan yaitu kurikulum yang berorientasi pada pertumbuhan dan integritas pribadi manusia, kurikulum yang berorientasi pada upaya perubahan sosial, kurikulum yang berorientasi pada iptek dan kurikulum yang berorientasi pada kegiatan peningkatan intelektual secara akademik. 6. Prinsip-Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam Kurikulum pendidikan Islam memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut; a. Prinsip pertautan yang sempurna dengan agama termasuk ajaran dan nilai-nilainya. Setiap bagian yang terdapat dalam kurikulum, mulai dari tujuan, kandungan, metode mengajar, cara-cara perlakuan dan sebagainya harus berdasar pada agama dan akhlak Islam b. Prinsip menyeluruh pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum, yakni mencakup tujuan membina akidah, akal, jasmani dan lain-lain yang bermanfaat bagi masyarakat dalam perkembangan spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik termasuk ilmu-ilmu agama, bahasa, kemanusiaan, fisik, praktis, profesional, seni rupa dan sebagainya c. Prinsip keseimbangan yang relatif antara tujuan-tujuan dan kandungan kurikulum d. Prinsip perkaitan antara bakat, minat, kemampuan-kemampuan dan kebutuhan belajar, begitu juga dengan alam sekitar baik fisik maupun sosial dimana pelajar hidup dan berinteraksi e. Prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual di antara para pelajar baik dari segi minat maupun bakatnya f. Prinsip penerimaan perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat g. Prinsip keterkaitan antara berbagai mata pelajaran dengan pengalaman-pengalaman dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum. 583 Dengan demikian ada tujuh prinsip yang dianut dalam kurikulum pendidikan Islam meliputi selalu menyatu dengan ajaran Islam, menyeluruh pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum, keseimbangan yang 583



H Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 128



295



relatif antara tujuan dan kandungan kurikulum, saling terkait dengan potensi yang dimiliki peserta didik dan lingkungan sekitar tempat ia berinteraksi, tetap menjunjung perbedaan potensi yang ada pada peserta didik, menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan serta saling terpadu antara mata pelajaran, pengalamanpengalaman dan bentuk kegiatan dalam kurikulum. 7.



Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum pendidikan Islam Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum pendidikan Islam meliputi; a. Tujuan dan filsafat pendidikan yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan institusional yang pada gilirannya menjadi landasan dalam merumuskan kurikulum b. Keadaan lingkungan yang dalam arti luas meliputi lingkungan manusia, lingkungan sosial budaya, lingkungan biologis, dan lingkungan geografis c. Kebutuhan pembangunan yang mencakup kebutuhan pembangunan di bidang ekonomi, hukum, dan kesejahteraan masyarakat d. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disesuaikan dengan sistem nilai dan kemanusiaan serta budaya bangsa. 584 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam ada empat faktor meliputi; tujuan dan pemikiran pendidikan yang dilaksanakan, keadaan lingkungan dalam arti luas, kebutuhan pembangunan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi yang disesuaikan dengan nilai-nilai, kemanusiaan dan budaya bangsa. 8.



Fungsi kurikulum dalam pendidikan Islam Adapun fungsi kurikulum dalam pendidikan Islam menurut Bukhari Umar meliputi; a. Alat untuk mencapai tujuan dan menempatkan harapan manusia sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan



584



Muhktar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Cet. I; Jakarta: CV Misaka Galiza, 2003), h.



296



b. c.



d.



Pedoman dan program yang harus dilakukan oleh subyek dan objek pendidikan Fungsi kesinambungan untuk persiapan pada jenjang sekolah berikutnya dan penyiapan tenaga kerja bagi yang tidak melanjutkan Standarisasi dalam penilaian kriteria keberhasilan suatu proses pendidikan, atau sebagai batasan dari program kegiatan yang akan dijalankan pada caturwulan, semesteran maupun pada tingkat tertentu.585



Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut memberikan pemahaman bahwa fungsi kurikulum pendidikan Islam meliputi; sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, sebagai pedoman dan program yang akan dilakukan dalam pendidikan Islam, untuk kesinambungan jenjang pendidikan Islam dan sebagai standarisasi dalam penilaian kriteria keberhasilan pendidikan Islam. 9.



Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Secara konseptual pendidikan Islam itu bertujuan untuk membentuk muslim yang seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rokhania, menumbuh suburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu seutuhnya sekaligus pewaris nilai-nilai Islam. Untuk merealisasikan tujuan pendidikan idealnya seperti ini, haruslah desain dalam kurikulum pendidikan Islam dengan melihat sub sistem dan elemen-elemen yang ada di dalamnya yang sesuai dan tepat dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan. 586 Pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang akan ditransformasikan kepada peserta didik agar menjadi milik dan kepribadiannya sesuai dengan identitas di masa depan. Sudah saatnya dalam menyusun kurikulum pendidikannya, dengan memperhatikan asas-asas pembentukan kurikulum seperti; asas agama, filosofis, psikologis dan sosiologis. Lebih lanjut pendidikan Islam harus menyusun kurikulum yang baik yaitu kurikulum yang menyediakan bahan-bahan yang dapat membantu murid, pemuda dan orang dewasa untuk berkembang. Jadi kurikulum yang baik adalah seperti fungsi suatu laboratorium. Ia selalu rentan kontinyu suatu 585 586



Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2010), h.172 Armai Arief, op. cit, h. 37



297



eksperimen dalam semua pelakunya (guru dan murid). Kurikulum bersifat lentur, eksploratif dan mencoba apa yang belum dia coba, bergerak secara dinamis, serta mampu mendorong perkembangan minat, perilaku dan kemampuan praktis. Sayangnya kurikulum yang digunakan dalam pendidikan Islam kebanyakan belum didasarkan pada asas-asas pembentukan kurikulum yang baik dan bisa menyentuh isu-isu faktual. Kebanyakan kurikulumnya masih kelihatan usang dan banyak mengalami problematika ketika dihadapkan pada kebutuhan globalisasi. Hal itu disebabkan, salah satu di antaranya yang paling mendasar adalah ketika meletakkan kedudukan ilmu dalam pandangan Islam. Telah lama terjadi di dunia Islam konsep keilmuan melenceng dari posisi yang sebenarnya. Ilmu yang berkembang adalah ilmu-ilmu yang terfokus “Hablum Minallah” saja, dan mengabaikan ilmu yang berkenaan “Hablum Minannas” dan “Hablum Minal „Alam”. Maka wajar, kurikulum yang dikembangkannyapun masih juga terkesan dikotomis dan masih banyak mengajarkan sejumlah materi yang tidak relevan dengan perkembangan zaman. Meskipun di penghujung abad 19 dan awal 20 telah terjadi reinformasi di dunia muslim untuk kembali meletakkan kedudukan ilmu tersebut secara benar, akan tetapi pada realitanya belum berjalan secara maksimal. 587 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapatlah diketahui bahwa tingkat pengembangan kurikulum telah berlangsung sejak awal Islam hingga sekarang ini hanya saja sebelum memasuki penghujung abad ke XIX ternyata kurikulum pendidikan masih terfokus pada masalah hubungan dengan Tuhan dan kurang memperhatikan hubungan manusia dengan sesamanya maupun dengan lingkungan alam nanti setelah memasuki penghujung abad ke XIX barulah upaya tersebut dilakukan tetapi kenyataan hinga sekarang belum berjalan secara optimal. C. 1.



Evaluasi Pendidikan Islam Pengertian evaluasi pendidikan Islam Secara bahasa evaluasi berarti penilaian588 sementara penilaian berarti “proses, cara, perbuatan menilai”.589 Berdasarkan pengertian evaluasi secara bahasa tersebut dihubungkan dengan kegiatan pendidikan di sekolah dapatlah dipahami bahwa evaluasi adalah suatu proses perbuatan menilai terhadap 587 588 589



Syamsul Ma‟arif, op. cit, h. 47 Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 272 Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar (Cet. VII; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), h.690



298



proses dan hasil pembelajaran yang dilakukan terhadap siswa terkait dengan upaya tercapainya tujuan pendidikan yang berlangsung di sekolah Adapun secara umum tentang pengertian evaluasi secara istilah dapat di lihat lewat pendapat-pendapat para ahli dimana secara jelasnya tentang hal tersebut dapat di lihat pada penjelasan-penjelasan di bawah ini. Suharsimi Arikunto mengemukakan bahwa evaluasi adalah “suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan buruk”. 590 Berdasarkan pendapat Suharsimi Arikunto tersebut dapatlah dipahami bahwa evaluasi adalah proses pengambilan keputusan terhadap upaya mengukur tingkat keberhasilan proses pembelajaran yang dilakukan terhadap siswa dan tingkat penguasaan siswa pada mata pelajaran yang telah diajarkan oleh guru kepada mereka. Oemar Hamalik mengemukakan; Evaluasi adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mengukur prestasi belajar siswa. Evaluasi juga dimaksudkan untuk mengamati peranan guru, strategi pengajaran khusus, materi kurikulum, dan prinsip-prinsip belajar untuk diterapkan pada pengajaran. Fokusnya adalah bagaimana dan mengapa siswa bertindak dalam pengajaran serta apa yang mereka lakukan. Tujuan evaluasi adalah untuk memperbaiki pengajaran dan penguasaan tujuan tertentu dalam pembelajaran. 591 Berdasarkan pendapat H Oemar Hamalik tersebut dapatlah dipahami bahwa evaluasi adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan di sekolah sebagai upaya untuk mengukur tingkat keefektifan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan hasil penguasaan siswa dari materi yang telah diajarkan oleh guru serta upaya-upaya perbaikan terhadap kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh guru dan penguasaan siswa pada materi yang telah diajarkan oleh guru. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang pengertian evaluasi secara umum baik secara bahasa maupun secara istilah dapatlah dipahami bahwa evaluasi dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan sebagai bagian dari upaya untuk mengukur tingkat keefektifan kegiatan mengajar yang dilakukan oleh seorang guru dan mengukur tingkat penguasaan siswa pada materi mata pelajaran yang telah diajarkan kepada mereka.



590 591



Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi (Cet. I; Jakarta; Bumi Aksara, 1999), h. 3 Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 145146



299



Adapun pengertian evaluasi dalam proses pendidikan Islam secara jelasnya dapat di lihat dari beberapa pendapat ahli berikut. Abuddin Nata mengemukakan bahwa; Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris; evaluation yang berarti tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu atau dapat diartikan sebagai tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu yang ada hubungannya dengan pendidikan. Dalam bahasa Arab evaluasi dikenal dengan istilah imtihan yang berarti ujian. Dan dikenal pula dengan istilah khataman sebagai cara menilai hasil akhir dari proses pendidikan. 592 Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Abuddin Nata tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi dalam pendidikan Islam adalah proses ujian untuk menilai hasil akhir yang dicapai dari proses kegiatan pendidikan Islam yang sudah dilakukan. Bukhari Umar mengemukakan bahwa; Evaluasi pendidikan Islam dapat diberi batasan sebagai suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam proses pendidikan Islam. Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan Islam kepada peserta didik. Sedangkan dalam ruang lingkup luas, evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan Islam (dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya) dalam mencapai tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan. Penilaian dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan berbagai keputusan pendidik, baik yang menyangkut perencanaan, pengelolaan, proses, dan tindak lanjut pendidikan, baik yang menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Penilaian dalam pendidikan Islam bertujuan agar keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam sesuai dengan nilai-nilai Islam sehingga tujuan pendidikan Islam yang dicanangkan dapat dicapai. 593 Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi dalam pendidikan Islam adalah seluruh rangkaian kegiatan untuk mengetahui taraf keberhasilan proses pendidikan Islam yang dilakukan kepada peserta didik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diajarkan kepada peserta didiknya dimana minimal yang akan diketahui tingkat keberhasilan pendidik dalam pendidik Islam terkait materi yang diajarkannya. 592 593



H Abuddin Nata, op. cit., h. 131 Bukhari Umar, op. cit., h. 194



300



HM Arifin mengemukakan bahwa; Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku peserta didik berdasarkan stándar perhitungan yang komprehensif dari seluruh aspek kehidupan mental-psikologis dan spiritual-religius karena manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersifat religius melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakat.594 Berdasarkan pendapat HM Arifin tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi dalam pendidikan Islam adalah cara penelitian yang diterapkan dalam proses pendidikan Islam untuk menilai penguasaan peserta didik akan materi yang diajarkan dan menilai penerapan pengetahuan yang sudah diajarkan kepada peserta didik dalam kehidupan nyata dimana semua stándar penilaian itu mengacu pada terwujudnya peserta didik yang hidup sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam dalam proses kehidupan baik dalam kehidupan secara individu, bermasyarakat maupun beragama serta dalam proses penilaiannya disesuaikan dengan materi yang sudah diajarkan kepada peserta didik. Menurut Nur Uhbiyanti mengemukakan bahwa; Dari segi bahasa evaluasi berarti penilaian atau penaksiran. Karena itu evaluasi pendidikan Islam berarti penilaian atau penaksiran terhadap pelaksanaan pendidikan Islam untuk diketahui sampai sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu dapat dicapai. 595 Berdasarkan pendapat Nur Uhbiyanti tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi dalam proses pendidikan Islam adalah rangkaian kegiatan penilaian terhadap proses pendidikan yang dilaksanakan untuk mengetahui tingkat ketercapaian tujuan pendidikan Islam yang dilakukan terhadap peserta didik. Armai Arief mengemukakan bahwa; Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan pengambilan sejumlah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam guna melihat sejauh mana keberhasilan pendidikan yang selaras dengan nilai-nilai Islam sebagai tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri. 596



594 595 596



HM Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis (Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 162 Nur Uhbiyanti, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I: Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2013), h. 205 Armai Arief, op. cit., h. 54



301



Berdasarkan pendapat Armai Arief tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi pendidikan Islam adalah kebijakan-kebijakan yang diambil terkait dengan kegiatan pendidikan Islam yang dilaksanakan demi untuk mengetahui tingkat keberhasilan kegiatan pendidikan Islam yang dilaksanakan. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang evaluasi pendidikan Islam dapatlah dipahami bahwa evaluasi pendidikan Islam adalah kegiatan penilaian terhadap proses pendidikan Islam yang dilaksanakan demi untuk mengetahui tingkat ketercapaian tujuan pendidikan Islam yang dilaksanakan. 2.



Sasaran evaluasi pendidikan Islam. HM Arifin mengemukakan bahwa sasaran evaluasi pendidikan Islam secara garis besar meliputi empat kemampuan anak didik yaitu; a. Sikap dan pengamalan pribadinya berhubungan dengan Tuhan b. Sikap dan pengamalan dirinya, berhubungan dengan masyarakat c. Sikap dan pengalaman kehidupannya, hubungannya dengan alam sekitar d. Sikap dan pandangannya terhadap dirinya serta selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah di muka bumi. 597 Lebih lanjut HM Arifin mengemukakan bahwa keempat kemampuan dasar tersebut dijabarkan dalam klasifikasi kemampuan teknis menjadi masing-masing sebagai berikut; a. Sejauh mana loyalitas dan kesanggupan untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan dengan indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang mencerminkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Aspek teknis ini berwujud dalam bentuk tingkah laku yang merujuk kepada keimanan, ketekunan beribadah, kemampuan praktis dalam mengerjakan syari‟at Islam dan cara menanggapi atau melakukan responsi terhadap permasalahan hidup seperti tawakal, sabar, dan ketenangan batín serta menahan amarah b. Sejauhmana menerapkan nilai-nilai agama dan kegiatan hidup bermasyarakat, seperti berakhlak mulai dalam pergaulan, disiplin dalam menjalankan norma-norma agama dalam kaitannya dengan 597



HM Arifin, “Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis”, op. cit., h. 162



302



c.



d.



orang lain, misalnya ketepatan memenuhi janji, menunaikan amanat, tak mau berdusta, mementingkan diri sendiri, anti sosial dan lain-lain sifat yang tercela.598 Bagaimana ia berusaha mengelola dan memelihara serta menyesuaikan dirinya dengan alam sekitar, apakah ia merusak lingkungan hidup, apakah ia mampu mengubah lingkungan sekitar menjadi lebih bermakna bagi kehidupan diri dan masyarakat Bagaimana dan sejauhmana ia sebagai seorang muslim memandang dirinya sendiri (self-consept) dalam berperan sebagai hamba Allah dalam menghadapi kenyataan bermasyarakat yang beraneka macam budaya dan suku serta agama. Bagaimana seharusnya ia mengelola dan memanfaatkan serta memelihara kelangsungan hidup dalam lingkungan sekitar sebagai anugerah Allah. Apakah ia memiliki self consep negatif atau postif, memandang dirinya memiliki kesanggupan untuk berperan positif dan partisipan dalam pembangunan masyarakat, apakah ia mempunyai pendirian dan pandangan yang tetap, tak berubahubah, atau ia hanya berperan sebagai pengikut, bersikap lemah dan tak peduli terhadap permasalahan hidup lingkungannya.599



Kemudian HM Arifin mengemukakan bahwa; sasaran evaluasi tersebut dirumuskan ke dalam ítem-item pertanyaan atau statemen-statemen yang disajikan kepada manusia didik untuk ditanggapi. Hasil dari tanggapan mereka kemudian dianalisis secara psikologis, karena yang menjadi pokok persoalan evaluasi adalah sikap mental dan pandangan dasar dari mereka sebagai manifestasi dari keimanan dan keislaman serta ilmu pengetahuannya.600 Berdasarkan pendapat HM Arifin tersebut memberikan pemahaman bahwa sasaran evaluasi dalam pendidikan Islam terhadap peserta didik mencakup empat hal yaitu; kepribadian peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan, kepribadian peserta didik yang berhubungan dengan sesama manusia, kepribadian peserta didik yang berhubungan dengan alam sekitar dan kepribadian peserta didik yang berhubungan dengan dirinya sendiri baik selaku hamba Allah, anggota masyarakat dan khalifah Allah di muka bumi. Hasan Basri mengemukakan bahwa;



598 599 600



Ibid., h. 163 Ibid. Ibid.



303



Evaluasi pendidikan Islam bukan hanya ditujukan pada evaluasi dalam arti prestasi akademik anak didik. Evaluasi pendidikan Islam ditujukan pula kepada evaluasi kehidupan anak didik dalam hubungannya dengan Allah dan dengan sesama manusia. Jadi, hablum minallah dan hablum minannas pun diuji, karena nilai yang diharapkan dari pendidikan Islam adalah kekuatan anak didik dalam menghadapi ujian dari Allah swt. Ujian Allah bisa berupa kekayaan, kemiskinan, kebahagiaan, ketakutan, kepedihan dan sebagainya. Keberhasilan akan diperoleh apabila tetap dalam iman dan takwa saat menghadapi ujian Allah. 601 Berdasarkan pendapat Hasan Basri tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi dalam pendidikan Islam sasarannya ada dua yaitu tevaluasi terkait dengan kegiatan mengenai prestasi akademik peserta didik dan evaluasi terkait kegiatan pengamalan nilai-nilai ajaran Islam oleh peserta didik dalam kehidupan. Evaluasi terkait dengan pengamalan nilai-nilai ajaran Islam stándar ukurannya adalah kebenaran ajaran yang terkandung dalam agama Islam. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut di atas tentang sasaran evaluasi pendidikan Islam dapat dipahami bahwa sasaran evaluasi dalam proses pendidikan Islam itu yaitu peserta dalam pendidikan Islam dalam bentuk evaluasi yang dilakukan terkait kegiatan penguasaan pengetahuan Islam, keterampilan dan kegiatan pengamalan ajaran Islam dimana evaluasi terkait penguasaan pengetahuan dan keterampilan tentang Islam dilakukan oleh pendidik atau yang mengajarnya materi-materi ajaran Islam sedangkan yang melakukan evaluasi terkait pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan yang utama dilakukan oleh Allah sang pencipta karena Allah sendiri yang mengetahui kebenaran perilaku keagamaan seseorang dalam kehidupan sedangkan manusia melakukannya hanya berdasarkan petunjuk-petunjuk dalam ajaran Islam tetapi hasil yang sebenarnya dari pencapaian pengamalan ajaran Islam itu hanya Allah sendiri sebagai penentu dan memahaminya dengan pasti sedangkan manusia hanya melihat gejalagejalanya secara umum yang ada pada diri manusia dan berdasarkan petunjuk yang ada dalam ajaran agama Islam. 3.



Fungsi evaluasi terkait kegiatan lembaga pendidikan Islam Bukhari Umar mengemukakan bahwa secara umum fungsi evaluasi dalam proses kegiatan lembaga pendidikan Islam ada empat yaitu;



601



Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 145



304



a.



b.



c.



d.



Dari segi pendidik evaluasi berfungsi untuk membantu seorang pendidik mengetahui sudah sejauhmana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya Dari segi peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik Dari segi ahli pikir pendidikan Islam, evaluasi berfungsi untuk membantu para pemikir pendidikan Islam mengetahui kelemahan teori-teori pendidikan Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah Dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam (pemerintah), evaluasi berfungsi untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapkan dalam sistem pendidikan nasional (Islam). 602



Semua fungsi atau kegunaan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kebaikan dan kelemahan pendidikan Islam dalam berbagai aspek dalam rangka peningkatan kualitasnya di masa depan. Hal ini berarti bahwa proses evaluasi dalam pendidikan Islam memiliki umpan balik yang positif sifatnya ke arah perbaikan pendidikan Islam secara kuantitatif di masa kini dan masa yang akan datang.603 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa fungsi pelaksanaan evaluasi dalam proses pendidikan Islam yaitu; mempermudah pendidik untuk mengukur tingkat pencapaian pelaksanaan tujuan pendidikan Islam yang dilaksanakan, mempermudah peserta didik mengetahui tingkat pencapaiannya dalam kegiatan pendidikan Islam yang diikuti, bagi pengelola pendidikan dapat mengetahui berbagai persoalan terkait pengelolaan pendidikan Islam dan bagi penguasa dapat membantu membenahi sistem pengawasan pengelolaan pendidikan Islam dan pengambilan kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan pendidikan Islam. 4.



Fungsi Evaluasi yang Allah terapkan HM Arifin mengemukakan bahwa; ada tiga tujuan pendidikan dari sistem evaluasi yang diterapkan Allah terhadap perbuatan manusia yaitu;



602 603



Bukhari Umar, op. cit., h. 199 Ibid.



305



a. b.



c.



Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dialaminya Untuk mengetahui sampai dimana atau sejauh mana hasil pendidikan wahyu yang telah diterapkan Rasulullah saw terhadap umatnya Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat-tingkat hidup Islami atau keimanan manusia sehingga diketahuinya manusia yang paling mulia di sisi Allah yaitu yang paling bertakwa kepada-Nya, manusia yang sedang dalam iman dan ketakwaannya, manusia yang ingkar kepada ajaran Islam.



Berdasarkan penjelasan HM Arifin tersebut memberikan pemahaman bahwa proses evaluasi yang diterapkan oleh Allah terhadap manusia memiliki tiga tujuan yaitu; untuk menguji daya keimanan manusia dalam menghadapi realitas kehidupan, untuk mengetahui pencapaian Rasulullah saw dalam menerapkan pendidikan wahyu dan untuk mengetahui tingkat posisi pencapaian manusia sebagai hamba Allah sehingga alat yang diterapkan oleh Allah adalah ajaran agama Islam. 5.



Fungsi evaluasi dalam proses pembelajaran materi pendidikan Islam Fungsi evaluasi dalam proses belajar mengajar kegiatan pendidikan Islam meliputi; a. Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas cara belajar dan mengajar yang telah dilakukan benar-benar tepat atau tidak, baik yang berkenaan dengan sikap pendidik/guru maupun anak didik/murid b. Untuk mengetahui hasil prestasi belajar siswa guna menetapkan keputusan apakah bahan pelajaran perlu diulang atau dapat dilanjutkan c. Untuk mengetahui dan mengumpulkan informasi tentang taraf perkembangan dan kemajuan yang diperoleh murid dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum pendidikan Islam d. Sebagai bahan laporan bagi orang tua murid tentang hasil belajar siswa. Laporan ini dapat berbentuk buku rapor, piagam, sertifikat, ijazah dan lain-lain.



306



e.



Untuk membandingkan hasil pembelajaran yang diperoleh sebelumnya dengan pembelajaran yang dilakukan sesudah itu, guna meningkatkan pendidik.604



Berdasarkan pendapat Armai Arief tersebut memberikan pemahaman bahwa fungsi evaluasi dalam proses belajar mengajar pendidikan Islam meliputi; sebagai alat ukur tingkat efektifitas kegiatan mengajar pendidik dan kegiatan belajar peserta didik, untuk mengetahui hasil belajar siswa dan langkah terkait dengannya, sebagai bahan laporan kepada orang tua peserta didik dan sebagai bahan pembanding terkait hasil pembelajaran sebelumnya dan pembelajaran sesudahnya. 6.



604 605



Prinsip evaluasi dalam proses pembelajaran materi pendidikan Islam a. Prinsip Umum Agar evaluasi dapat akurat dan bermanfaat bagi peserta didik dan masyarakat, maka evaluasi harus menerapkan seperangkat prinsipprinsip umum sebagai berikut; 1) Valid. Evaluasi mengukur apa yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis tes yang terpercaya dan sahih. Artinya adanya kesesuaian alat ukur dengan fungsi pengukuran dan sasaran pengukuran. Bila alat ukur tidak shahih maka data yang dihasilkan juga salah dan kesimpulan yang ditarik juga menjadi salah 2) Berorientasi kepada kompetensi. Evaluasi harus memiliki pencapaian kompetensi peserta didik yang meliputi seperangkat pengetahuan, sikap keterampilan dan nilai yang terrefleksi dalam keabsahan berfikir dan bertindak. Dengan berpijak pada kompetensi ini maka, ukuran-ukuran pembelajaran akan dapat diketahui secara jelas dan terarah. 3) Berkelanjutan. Evaluasi harus dilakukan secara terus menerus dari waktu ke waktu untuk mengetahui secara menyeluruh perkembangan peserta didik sehingga kegiatan dan unjuk kerja peserta didik dapat dipantau melalui penilaian. 605 4) Menyeluruh. Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh, yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dan meliputi seluruh materi ajar serta berdasarkan pada strategi



Armai Arief, op. cit., h. 58 H Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. XII; Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 401



307



dan prosedur penelitian. Dengan berbagai bukti tentang hasil belajar peserta didik yang dapat dipertanggungjawabkan. 5) Bermakna. Evaluasi diharapkan bermakna yang signifikan bagi semua pihak. Untuk itu evaluasi hendaknya mudah dipahami dan dapat ditindak lanjuti oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Hasil penilaian hendaknya mencerminkan gambaran yang utuh tentang peserta didik dalam pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan. 6) Adil dan objektif. Evaluasi harus mempertimbangkan rasa keadilan bagi peserta didik dan objektivitas pendidik, tanpa membedakan jenis kelamin, latar belakang etnis, budaya dan berbagai hal yang memberikan kontribusi pada pembelajaran sebab ketidak adilan dalam penilaian dapat menyebabkan menurunnya motivasi belajar peserta didik karena mereka merasa dianaktirikan 7) Terbuka. Evaluasi hendaknya dilakukan secara terbuka bagi berbagai kalangan sehingga keputusan tentang keberhasilan peserta didik jelas bagi pihak-pihak yang berkepentingan, tanpa adanya rekayasa atau sembunyi-sembunyi yang dapat merugikan semua pihak. 8) Ikhlas. Ikhlas berupa kebersihan niat atau hati pendidik, bahwa ia melakukan evaluasi dalam rangka efisiensi tercapainya tujuan pendidikan, dan bagi kepentingan peserta didik, dengan niat ikhlas karena Allah swt. 606 9) Praktis. Praktis berarti mudah dimengerti dan dilaksanakan dengan beberapa indikator yaitu (1) hemat waktu, biaya dan tenaga, (2) mudah diadministrasikan, (3) mudah menskor dan mengolahnya, dan (4) mudah ditafsirkan 10) Dicatat dan akurat. Hasil dari setiap evaluasi prestasi peserta didik harus secara sistematis dan komprehensif di catat dan disimpan sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan 11) Sistematis. Evaluasi dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah yang baku 12) Menggunakan acuan kriteria. Evaluasi didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan



606



Ibid., h. 402



308



b.



13) Akuntabel. Evaluasi dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi teknik, prosedur maupun hasilnya.607 Prinsip khusus evaluasi pembelajaran materi pendidikan Islam Prinsip khusus evaluasi pembelajaran materi pendidikan Islam meliputi; 1) Adanya jenis penilaian yang digunakan yang memungkinkan adanya kesempatan terbaik dan maksimal bagi peserta didik menunjukkan kemampuan hasil belajarnya 2) Setiap pendidik harus mampu melaksanakan prosedur penilaian, dan pencatatan secara tepat prestasi dan kemampuan serta hasil belajar yang dicapai peserta didik 3) Hasil penilaian ditindaklanjuti dengan program remedial bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya di bawah kriteria ketuntasan minimal 4) Penilaian harus sesuai dengan kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan baik di sekolah maupun di luar sekolah. 608



Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa prinsip evaluasi dalam proses pembelajaran materi pendidikan Islam ada dua jenis yaitu prinsip umum dan prinsip khusus dimana prinsip umum meliputi; valid, berorientasi pada kompetensi, menyeluruh, bermakna, adil dan objektif, terbuka, ikhlas, praktis, dicatat dan akurat, sistematis, menggunakan acuan kriteria dan akuntabel sedangkan prinsip khusus meliputi; jenis penilaian yang digunakan memungkinkan peserta didik menunjukkan kemampuan hasil belajar, prosedur penilaian dilakukan sesuai kemampuan peserta didik, dilakukan remedial bagi peserta didik yang hasil penilaiannya di bawah standar minimal dan penilaian dilakukan sesuai dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan. 7.



607 608



Jenis-Jenis evaluasi dalam proses pembelajaran materi pendidikan Islam berdasarkan tujuan. a. Jenis evaluasi berdasarkan dalam proses pembelajaran materi pendidikan Islam berdasarkan tujuan Jenis-jenis evaluasi yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran materi pendidikan Islam terhadap peserta didik



Ibid., h. 403 Ibid.



309



berdasarkan tujuan meliputi; evaluasi formatif, evaluasi sumatif, evaluasi penempatan dan evaluasi diagnostik. 1) Evaluasi formatif Evaluasi formatif yaitu evaluasi untuk mengetahui hasil belajar peserta didik setelah menyelesaikan program dalam satuan bahan pelajaran pada suatu bidang studi tertentu. Tujuan dari evaluasi formatif untuk mengetahui sejauh mana penguasaan murid tentang bahan pendidikan agama Islam yang diajarkan dalam suatu program satuan serta sesuai tidaknya dengan tujuan. Aspek-aspek yang dinilai meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap terhadap bahan pelajaran agama yang disajikan. 609 Terkait dengan keberadaan evaluasi formatif, H Daryanto secara umum tentang penerapan evaluasi formatif dalam proses pendidikan di sekolah mengemukakan bahwa; Evaluasi semacam ini disajikan di tengah program pengajaran untuk memantau atau memonitor kemampuan belajar siswa dengan memberikan umpan balik baik kepada siswa maupun kepada guru. Berdasarkan evaluasi ini guru dan siswa agar memahami apa yang masih perlu untuk dijelaskan agar materi pelajaran dapat dikuasai lebih baik. Siswa dapat mengetahui bagian mana dari bahan pelajaran yang masih belum dikuasainya agar dapat mengupayakan perbaikan. Guru dapat melihat bagian mana yang umumnya belum dikuasai siswa sehingga dapat mengupayakan pola pengajaran yang lebih baik dan lebih meluas agar materi pelajaran yang belum dikuasai siswa dapat dikuasai dengan baik. 610 Berdasarkan pendapat H Daryanto tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi formatif dilaksanakan di tengah program pengajaran yang dilakukan dengan tujuan untuk mengukur sejauh mana pemahaman siswa pada materi yang sudah diajarkan sehingga dapat diketahui bagian mana yang belum dipahami siswa lalu dilakukan upaya perbaikan sehingga materi-materi yang sudah diajarkan tersebut dapat dikuasai dengan baik oleh siswa.



609 610



Armai Arief, op. cit., h. 61 H Daryanto, Evaluasi Pendidikan (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2001) ,h. 13



310



Ramayulis mengemukakan bahwa; Evaluasi formatif adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai peserta didik setelah ia menyelesaikan program dalam satuan bahan pelajaran dalam suatu bidang studi tertentu. Jenis diterapkannya berdasarkan asumsi bahwa manusia mempunyai banyak kelemahan, dan pada mulanya tidak mengetahui apa-apa sehingga pengetahuan, keterampilan dan sikap itu tidak dibiasakan. Untuk itu Allah swt menganjurkan agar manusia berkonsentrasi pada suatu informasi yang didalami sampai tuntas, mulai proses pencarian (belajar mengajar) sampai pada tahap pengevaluasian. Setelah informasi itu dikuasai dengan sempurna, ia dapat beralih pada informasi lain. 611 Berdasarkan pendapat H Ramayulis tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan dalam proses pembelajaran terkait topik materi yang sudah diajarkan demi untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa pada materi yang sudah diajarkan. Bukhari Umar mengemukakan bahwa; “evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang menetapkan tingkat penguasaan manusia didik dan menentukan bagian-bagian tugas yang belum dikuasai dengan tepat.612 Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik demi untuk mengetahui bagian-bagian dari materi pelajaran yang belum dipahami dengan baik oleh peserta didik. Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan pada proses kegiatan mengajar peserta didik mengenai suatu topik materi yang sudah diajarkan dalam lingkup suatu mata pelajaran dengan tujuan untuk mengetahui pemahaman siswa akan materi dan memperjelas lagi materi yang belum dipahami dengan baik oleh siswa sehingga diharapkan siswa nantinya benar-benar memahami dengan baik materi yang diajarkan tersebut. 611 612



H Ramayulis, “Ilmu Pendidikan Islam”, op. cit., h. 407 Bukhari Umar, op. cit., h. 204



311



2)



Evaluasi Sumatif. Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik yang telah selesai mengikuti pelajaran dalam satu catur wulan, semesteran, atau akhir tahun. Tujuannya adalah untuk mengetahui taraf hasil belajar yang dicapai peserta didik dalam satu cawu, semester pada unit pendidikan tertentu. Aspek yang dinilai mempunyai kesamaan dengan yang dinilai pada evaluasi formatif. 613 Terkait dengan keberadaan evaluasi sumatif, H Daryanto secara umum tentang penerapan evaluasi sumatif dalam proses pendidikan di sekolah mengemukakan bahwa; Evaluasi sumatif biasannya diberikan pada akhir tahun ajaran atau akhir tahun jenjang pendidikan meskipun maknanya telah diperluas untuk dipakai pada evaluasi akhir catur wulan atau semesteran dan bahkan evaluasi akhir pokok bahasan. Dalam maknanya sebagai evaluasi akhir atau akhir suatu jenjang pendidikan maka evaluasi ini dimaksudkan untuk memberikan nilai yang menjadi dasar menentukan kelulusan dan atau pemberian sertifikat bagi yang telah menyelesaikan pelajaran dengan hasil baik. Karena evaluasi ini umumnya merupakan evaluasi akhir tahun atau evaluasi akhir jenjang pendidikan maka ruang lingkupnya pun sangat luas meliputi seluruh bahan yang telah disajikan sepanjang tahun atau sepanjang jenjang pendidikan. Tingkat kesukaran soalnyapun bervariasi. 614 Berdasarkan pendapat H Daryanto tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada akhir tahun ajaran atau akhir jenjang pendidikan baik evaluasi catur wulan, semesteran dan akhir pokok bahasan dimana tujuan dilakukan evaluasi ini menentukan nilai sebagai hasil pembelajaran yang sudah dilakukan dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan bahan materi pelajaran yang sudah diajarakan. H Ramayulis mengemukakan bahwa; Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik setelah mengikuti



613 614



Armai Arief, op. cit., h. 61 H Daryanto, op. cit, h. 14



312



pelajaran dalam satu catur wulan, satu semester, atau akhir tahun untuk menentukan jenjang berikutnya. 615 Berdasarkan pendapat H Ramayulis tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik untuk mengetahui hasil belajar peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran selama kurun waktu satu catur wulan, satu semester atau akhir tahun untuk menentukan proses jenjang pendidikan selanjutnya. Buhari Umar mengemukakan bahwa; Evaluasi sumatif, yaitu penilaian secara umum tentang keseluruhan hasil belajar dari proses belajar mengajar yang dilakukan pada setiap akhir periode belajar mengajar secara terpadu.616



3)



615 616



Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik terkait hasil belajar mengajar dalam suatu periode belajar dimana evaluasi dilakukan di akhir masa periode belajar. Berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa evaluasi sumatif adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik bila ia telah menyelesaikan kurun waktu tertentu dalam proses belajar seperti catur wulan, semesteran atau akhir tahun ajaran dimana tujuannya untuk menentukan skor nilai yang diperoleh dari suatu mata pelajaran dan demi untuk proses pembelajaran pada tingkat selanjutnya. Evaluasi penempatan Evaluasi penempatan adalah evaluasi tentang pribadi anak untuk kepentingan penempatan dalam situasi belajar mengajar yang sesuai dengan anak didik tersebut. Tujuannya untuk menempatkan anak didik pada tempat yang sebenarnya, berdasarkan bakat, minat, kemampuan dan keadaan diri anak sehingga anak tidak mengalami hambatan dalam mengikuti pelajaran yang disajikan guru. Adapun aspek-aspek yang



H Ramayulis, “Ilmu Pendidikan Islam”, op. cit., h. 407 Bukhari Umar, op. cit., h. 204



313



dinilai meliputi; keadaan fisik dan psikis, bakat, kemampuan, pengetahuan, keterampilan, sikap dan aspek lainnya yang dianggap perlu bagi kepentingan pendidikan anak. 617 H Daryanto secara umum tentang penerapan evaluasi penempatan dalam proses pendidikan di sekolah mengemukakan bahwa; Evaluasi jenis ini disajikan pada awal tahun pelajaran untuk mengukur kesiapan siswa dan mengetahui tingkat pengetahuan yang telah dicapai sehubungan dengan pelajaran yang akan disajikan. Dengan demikian siswa dapat ditempatkan pada kelompok yang sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki. Tentu saja hal ini tidak berlaku untuk sistem klasikal seperti yang dilaksanakan di Indonesia. Hanya dapat diterapkan pada sekolah yang menggunakan sistem individual. evaluasi dalam bentuk ini biasanya tesnya disusun dengan ruang lingkup yang luas dan memiliki tingkat kesukaran yang bervariasi agar dapat membedakan antara siswa yang telah dan yang belum menguasai pelajaran. Evaluasi semacam ini dibuat dengan mengacu pada norma. 618 Berdasarkan pendapat H Daryanto tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi penempatan adalah evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik di awal tahun ajaran tujuannya demi untuk mengetahui potensi yang dibawa peserta didik terkait tingkat pengetahuannya dalam materi pelajaran yang nantinya akan diajarkan sehingga peserta didik dapat ditempatkan dengan kelompok peserta didik yang selefel dengan kemampuannya. Bukhari Umar mengemukakan bahwa; Evaluasi penempatan (palacement evaluation) yang menitikberatkan pada penilaian tentang berbagai permasalahan yang berkaitan dengan; a, ilmu pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang diperlukan untuk proses awal belajarnya mengajar; b, pengetahuan peserta didik tentang tujuan pengajaran yang telah ditetapkan di sekolah; c, minat dan perhatian, kebiasaan bekerja, corak kepribadian yang menonjol 617 618



Armai Arief, op. cit., h. 61 H Daryanto, op. cit., h. 12



314



yang mengandung konotasi kepada suatu metode belajar tertentu misalnya belajar berkelompok dan sebagainya.619



4)



Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi penempatan adalah evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik dalam bidang pengetahuan dan keterampilan peserta didik untuk kepentingan tahap proses awal pembelajaran, untuk tujuan pengajaran yang akan dilaksanakan dan untuk penggunaan metode belajar tertentu. Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi penempatan adalah evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik di awal tahun proses pembelajaran dengan maksud identifikasi potensi yang ada pada diri anak sebelum proses pembelajaran dilakukan sehingga memudahkan dalam penentuan materi ajar yang tepat, penentuan kelompok siswa sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan penentuan metode pembelajaran yang tepat terkait dengan pencapaian materi pembelajaran yang dilaksanakan. Evaluasi diagnostik Evaluasi diagnostik adalah evaluasi terhadap hasil penganalisisan terhadap keadaan peserta didik baik berupa kesulitan atau hambatan dalam situasi belajar mengajar maupun untuk mengatasi hambatan yang dialami anak didik waktu mengikuti kegiatan belajar mengajar. Adapun aspekaspek yang dinilai meliputi; hasil belajar dan latar belakang kehidupannya.620 H Ramayulis mengemukakan bahwa; Evaluasi diagnosis adalah evaluasi terhadap hasil penganalisisan tentang keadaan belajar peserta didik baik merupakan kesulitan-kesulitan atau hambatan-hambatan yang ditemui dalam situasi belajar mengajar.621 Berdasarkan pendapat H Ramayulis tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik demi untuk mengetahui



619 620 621



Bukhari Umar, op. cit., h. 205 Armai Arief, op. cit., h. 62 H Ramayulis, “Ilmu Pendidikan Islam”, op. cit., h. 407



315



berbagai kesulitan dan hambatan-hambatan peserta didik yang dialaminya dalam situasi berlangsungnya proses belajar dan mengajar. M Chabib Taha secara umum tentang penerapan evaluasi penempatan dalam proses pendidikan di sekolah mengemukakan bahwa; Evaluasi semacam ini bertujuan mendiagnosa kesulitan belajar siswa untuk mengupayakan perbaikannya. Sepintas lalu tampakanya seperti evaluasi formatif namun penyusunan pola evaluasinya sangat berbeda dari evaluasi formatif atau jenis evaluasi lainnya. Karena tujuannya adalah untuk mendiagnosis kesulitan belajar siswa, maka harus terlebih dahulu diketahui bagian mana dari pengajaran yang memberikan kesulitan belajar pada siswa. Berarti harus terlebih dahulu disajikan evaluasi formatif untuk mengetahui ada tidaknya bagian yang belum dikuasai siswa, dimana dapat dibuatkan soal-soal yang lebih memusatkan pada bagian itu sehingga dapat dipakai untuk mendeteksi bagian-bagian mana dari pokok bahasan atau sub pokok bahasan yang belum dikuasai. Untuk tiap unit dalam pokok bahasan atau sub pokok bahasan yang belum dikuasai itu dibuatkan soalsoal yang tingkat kesukarannya relatif rendah. Tujuannya adalah agar dapat diperoleh informasi bahwa unit tertentu belum dikuasai sehingga soalnya tidak dapat dijawab meskipun soal-soal sebagai penilaian tersebut umumnya mudah. Atas dasar informasi semacam inilah guru dapat mengupayakan perbaikan. 622 Berdasarkan pendapat M Chabib Taha tersebut memberikan pemahaman evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik dalam proses belajar mengajar demi untuk mengetahui kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didik dan melakukan upaya-upaya perbaikan terkait kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didik. Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang dilakukan 622



M Chabib Thaha, Teknik Evaluasi Pendidikan (Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 49



316



b.



623



terhadap peserta didik dengan tujuan untuk mengetahui kesulitankesulitan dan hambatan-hambatan yang dialami peserta didik dalam lingkup kegiatan belajar mengajar yang dilakukan sehingga dapat dicarikan jalan keluarnya. Perlu diketahui dalam sumber ilmu pendidikan Islam klasifikasi evaluasi di atas tidak ditemukan secara eksplisit, namun dalam praktik dapat diketahui bahwa pada prinsipnya evaluasievaluasi sejenis itu juga sering ditemukan baik dalam firmanfirman Allah dalam al-Qur‟an maupun sunnah Nabi saw. Misalnya, murid-murid al-Kuttab pada periode awal perkembangan Islam hanya ditetapkan untuk anak-anak. Demikian juga Zawiyah, hanya diikuti oleh orang-orang yang berminat sama yaitu tasawuf. Juga prinsip Ibnu Sina dalam pemberian pembelajaran yang harus dimulai dari yang mudah menuju pelajaran yang susah mengingat kemampuan peserta didik yang belum dapat menguasai secara tepat bahan-bahan pengetahuan yang diberikan oleh guru. Dalam sejarah pendidikan Islam terbukti bahwa setiap akhir unit pelajaran diselenggarakan khataman sebagai cara menilai hasil akhir dari poses pendidikan. Di madrasah-madrasah di negeri kita sejak dahulu telah dikenal sistem imtihan atau ujian.623 Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang jenis-jenis evaluasi pendidikan yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran materi pendidikan Islam berdasarkan tujuan dapatlah dipahami bahwa jenis-jenis evaluasi yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran materi pendidikan Islam berdasarkan tujuan meliputi; evaluasi formatif, evaluasi sumatif, evaluasi penempatan dan evaluasi diagnostik. Jenis-Jenis Evaluasi pembelajaran materi pendidikan Islam berdasarkan sasaran H Ramayulis membagi jenis-jenis evaluasi berdasarkan sasaran menjadi lima jenis yaitu; 1) Evaluasi konteks, yaitu evaluasi yang ditujukan untuk mengukur konteks program terbaik mengenai rasional tujuan, latar belakang program maupun kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam perencanaan



Bukhari Umar, op. cit., h. 205



317



2)



3)



4)



5)



c.



624 625



Evaluasi input yaitu evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui input baik sumber daya maupun strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan Evaluasi proses yaitu evaluasi yang ditujukan untuk melihat proses pelaksanaan, baik mengenai kelancaran proses, kesesuaian dengan rencana faktor pendukung dan faktor hambatan yang muncul dalam proses pelaksanaan dan sejenisnya Evaluasi hasil atau produk yaitu evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil program yang dicapai sebagai dasar untuk menentukan keputusan akhir, diperbaiki, dimodifikasi, ditingkatkan atau dihentikan Evaluasi outcome atau lulusan yaitu evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil belajar siswa lebih lanjut yaitu evaluasi lulusan setelah terjun ke masyarakat.624



Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa evaluasi pembelajaran materi pendidikan Islam di lihat dari sasaran itu ada lima jenis yaitu evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi proses, evaluasi hasil dan evaluasi lulusan. Jenis evaluasi pembelajaran materi pendidikan Islam berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran Ramayulis membagi jenis evaluasi ini kepada tiga jenis yaitu; 1) Evaluasi program pembelajaran yaitu evaluasi yang mencakup terhadap tujuan pembelajaran, isi program pembelajaran, strategi belajar mengajar, aspek-aspek pembelajaran yang lain 2) Evaluasi proses pembelajaran yaitu evaluasi yang mencakup kesesuaian antara proses pembelajaran dengan garis-garis besar program pembelajaran yang ditetapkan, kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, kemampuan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran 3) Evaluasi hasil pembelajaran yaitu evaluasi hasil belajar mencakup tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan pembelajaran yang ditetapkan baik umum maupun khusus, ditinjau dari aspek kognitif, afektif, psikomotorik.625



H Ramayulis, “Ilmu Pendidikan Islam”, op. cit., h. 408 Ibid.



318



Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa jenis evaluasi pembelajaran materi pendidikan Islam berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran meliputi tiga bentuk yaitu evaluasi program pembelajaran yang mencakup evaluasi terkait program-program pembelajaran materi pendidikan Islam, evaluasi proses yaitu mencakup evaluasi terkait proses pembelajaran materi-materi pendidikan Islam dan evaluasi hasil pembelajaran yaitu evaluasi terkait hasil-hasil pembelajaran materi pendidikan Islam. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang jenis-jenis evaluasi pembelajaran materi pendidikan Islam diperoleh pemahaman bahwa bila dilihat dari tujuan materi ada lima jenis meliputi; evaluasi formatif, evaluasi sumatif, evaluasi penempatan dan evaluasi diagnostik, bila dilihat dari sasaran ada lima jenis yaitu evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi proses, evaluasi hasil dan evaluasi lulusan dan di lihat dari lingkup kegiatan pembelajaran ada tiga jenis yaitu; evaluasi program pembelajaran, evaluasi proses pembelajaran dan evaluasi hasil pembelajaran. 8.



Sasaran evaluasi pembelajaran materi pendidik Islam H Abuddin Nata mengemukakan bahwa pada umumnya ada tiga sasaran pokok evaluasi yaitu; a. Segi tingkah laku, artinya segi-segi yang menyangkut sikap, minat, perhatian, keterampilan murid sebagai akibat dari proses belajar mengajar b. Segi pendidikan, artinya penguasaan materi pelajaran yang diberikan oleh guru dalam proses belajar mengajar c. Segi yang menyangkut proses belajar mengajar dan mengajar itu sendiri, yaitu bahwa proses belajar mengajar perlu diberi penilaian secara objektif dari guru sebab baik tidaknya proses belajar mengajar akan menentukan baik tidaknya hasil belajar yang dicapai murid. 626 Berdasarkan pendapat H Abuddin Nata tersebut memberikan pemahaman bahwa sasaran evaluasi pembelajaran materi pendidikan Islam menyangkut tiga hal meliputi segi tingkah laku yang mencakup sikap, minat, 626



H Abuddin Nata, op. cit., h. 143



319



perhatian dan keterampilan peserta didik dalam proses belajar mengajar peserta didik dalam proses pendidikan Islam; segi pendidikan yang mencakup penguasaan dan pengamalan materi-materi pendidikan Islam yang diterima dalam proses belajar mengajar materi pendidikan Islam dan segi yang menyangkut proses belajar mengajar dan mengajar materi pendidikan Islam yang mencakup penilaian yang diberikan tentang pencapaian peserta didik dalam proses pembelajaran materi pendidikan Islam yang diajarkan oleh pendidik yang diberikan secara objektif dan tanpa ada unsur pilih kasih yang diterapkan kepada peserta didik 9.



Ciri-ciri evaluasi dalam proses pembelajaran materi pendidikan Islam H Abuddin Nata mengemukakan bahwa secara umum ciri-ciri evaluasi dalam proses pembelajaran meliputi; a. Evaluasi dilakukan secara tidak langsung dimana evaluasinya dilakukan lewat seperti tanda-tanda yang ditunjukkan lewat aktivitas peserta didik terkait proses kegiatan pembelajaran b. Penggunaan ukuran kuantitaf yaitu penggunaan simbol bilangan sebagai pengukuran hasil belajar c. Evaluasi pendidikan menggunakan unit-unit atau satuan yang tetap misalnya IQ 105 itu ukuran anak normal dan IQ 80 menurut unit ukurannya termasuk anak dungu d. Penilaian pendidikan bersifat relatif artinya tidak sama atau tidak selalu tetap dari satu waktu ke waktu bergantung banyak faktor yang terjadi e. Dalam penilaian pendidikan sering terjadi kesalahan yang bisa disebabkan penggunaan alat ukur yang kurang baik, terletak pada orang yang melakukan penilaian, terletak pada anak yang dinilai dan terletak pada situasi dimana penilaian itu dilakukan. Ciri-ciri evaluasi pendidikan tersebut adalah suatu hal biasa dijumpai dalam tugas sehingga dengan ciri-ciri tersebut dapat membantu tugas seorang pendidikan melakukan evaluasi dengan baik. 627 Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman ciri-ciri evaluasi dalam proses pembelajaran pendidikan Islam meliputi; evaluasi dilakukan secara tidak langsung, evaluasi dilakukan dalam bentuk penilaian angka-angka terhadap hasil belajar, penilaian menggunakan unit-unit atau



627



Ibid., h, 144-147



320



satuan yang tetap, penilaian pendidikan bersifat relatif dan dalam penilaian pendidikan sering terjadi kesalahan. 10. Alat-alat evaluasi dalam proses pembelajaran materi pendidikan Islam Dalam pelaksanaan evaluasi hasil belajar peserta didik akan diperkenalkan tiga bentuk alat evaluasi meliputi; a. Tes tertulis 1) Pengertian tes tertulis Tes tertulis ialah tes, ujian atau ulangan yang dialami oleh sejumlah peserta didik secara serempak dan harus menjawab sejumlah pertanyaan atau soal secara tertulis dalam waktu yang telah ditentukan 2) Kebaikannya, antara lain; a) Sekaligus dapat menilai peserta didik dalam waktu singkat b) Bagi peserta didik terdapat kebebasan untuk memilih dalam menjawab c) Karena sama, maka skop dan isi pengetahuan yang dinilai pada setiap siswa pun sama. 3) Kelemahannya antara lain; a) Tidak benar-benar menilai kepribadian peserta didik b) Mudah menimbulkan kecurangan dan kepalsuan jawaban. c) Mudah menimbulkan spekulasi bagi peserta didik dalam menjawab soal-soal yang diberikan 4) Penyelenggaraan Dalam penyelenggaraan evaluasi tes tulisan perlu diperhatikan hal-hal meliputi; a) Soal telah tertulis sebelumnya b) Pertanyaan harus mencakup seluruh bahan yang diajarkan c) Menentukan jumlah atau banyaknya pertanyaan atau soal d) Kalimat pertanyaan harus jelas e) Pertanyaan harus mengandung beberapa kemampuan f) Menyiapkan kunci jawaban dan menyiapkan norma evaluasi. 628 628



Zakiah Daradjat dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2001) h. 212



321



b.



Tes lisan 1) Pengertian Tes lisan ialah suatu proses evaluasi yang dilakukan terhadap sejumlah siswa dimana sejumlah peserta didik seorang demi seorang diuji secara lisan oleh seorang penguji atau lebih. 2) Kebaikannya tes lisan Adapun kebaikan dari penggunaan tes lisan meliputi; a) Lebih dapat mengevaluasi kepribadian dan isi pengetahuan peserta didik karena dilakukan secara bertahap b) Jika siswa belum merasa jelas soalnya, penguji dapat merubah pertanyaan sehingga peserta didik menjadi paham c) Dengan sikap dan cara menjawab peserta didik penguji dapat mengetahui apa yang tersirat di samping yang tersurat d) Penguji dapat mengoreksi pengetahuan siswa sampai mendetail dan dapat mengetahui bidang mana yang lebih dikuasai atau disenangi peserta didik e) Penguji dapat langsung mengetahui hasilnya 3) Kelemahan tes lisan Adapun kelemahan dari tes lisan meliputi; a) Jika hubungan antara peserta didik dengan penguji kurang baik dapat mengganggu objektivitas hasil tes b) Sifat penggangu pada peserta didik dapat mengganggu kelancaran jawaban yang diberikan c) Pertanyaan yang diberikan tidak dapat senantiasa sama pada setiap peserta didik d) Untuk menguji kelas yang peserta didiknya banyak diperlukan waktu yang lama dan kurang ekonomis e) Sering tidak terdapat kebebasan bagi peserta didik 4) Penyelenggaraan Dalam penyelenggaraan evaluasi dengan menggunakan tes lisan perlu diperhatikan hal-hal meliputi; a) Penguji mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan yang hendak diajukan secara tertulis b) Pertanyaan hendaknya jelas, sederhana dan santun c) Pertanyaan harus mengandung beberapa kemampuan



322



d) e) f)



c.



629



Menentukan jumlah pertanyaan dan mengingat waktu Membuat perencanaan dan penataan aspek pertanyaan Membuat kunci jawab, menetapkan norma evaluasi dan memberi skor serta mengolahnya.629 Observasi 1) Pengertian Observasi ialah metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati siswa atau sekelompok siswa secara langsung. Dalam rangka evaluasi hasil belajar, observasi digunakan sebagai alat evaluasi untuk menilai kegiatan-kegiatan belajar yang bersifat keterampilan atau aspek psikomotor 2) Kebaikannya antara lain; a) Data observasi diperoleh secara langsung melalui penglihatan/pengamatan terhadap segala ekspresi peserta didik dalam situasi atau perangsang tertentu b) Data observasi bersifat lebih objektif dan melukiskan aspek-aspek kepribadian peserta didik yang sebenarnya c) Di dalam situasi yang relatif bebas dalam arti tanpa tekanan-tekanan, peserta didik tidak merasa ada yang memperhatikan tetapi juga tidak merasa sendirian sehingga segala tingkah lakunya, perasaannya itu dilakukan secara spontan d) Data observasi lebih bersifat menyeluruh, mencapai berbagai aspek kepribadian, aspek hasil belajar sehingga dalam pengolahannya tidak timpang dan lebih mengambarkan kepribadian peserta didik secara keseluruhan 3) Kelemahannya antara lain; a) Observasi sebagai suatu teknik evaluasi memerlukan sejumlah keterampilan yang baik, yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidik harus dapat mengenal perbedaan antara tingkah laku yang terlukiskan dengan tingkah laku yang dinilai. Dengan kata lain guru harus



Ibid, h. 214, Lihat M Chabib Thoha, op. cit, h. 59-62



323



4)



dapat membedakan apa yang tersurat dengan apa yang tersirat. b) Kepribadian pendidik seringkali merupakan variabel tambahan. Pengalaman, prasangka-prasangka, nilai-nilai pribadi peserta didik turut dalam membutuhkan pencatatanya sehingga sukar dipisahkan secara tegas dari tingkah laku murid yang sedang diamati c) Tingkah laku yang sama yang diekspresikan beberapa orang peserta didik, belum tentu mempunyai arti yang sama bagi guru pengamat yang berlainan atau beberapa guru pengamat d) Data yang diperoleh dari observasi tidak dapat memberikan wawasan yang sama mengenai struktur kepribadian peserta didik. 630 Penyelenggaraan Dalam penyelenggaraan observasi sebagai alat evaluasi serupa dengan tes tambahan, perlu diperhatikan; a) Menentukan komponen yang akan diamati atau dievaluasi b) Menentukan aspek setiap komponen c) Menentukan norma evaluasi d) Menskor, menjumlah dan mengolahnya.631



Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang bentuk-bentuk alat evaluasi yang dapat digunakan dalam penilaian kemampuan hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran materi pendidikan Islam dapatlah diketahui bahwa alat evaluasi yang dapat digunakan itu terbagi kepada tiga bentuk meliputi; tes tertulis, tes lisan dan observasi. D.



Rangkuman Kurikulum pendidikan Islam adalah alat yang menjadi acuan penilaian dalam proses berlangsung kegiatan pendidikan Islam dan tercapainya tujuan pendidikan Islam baik itu berupa tujuan pendidikan, materi pelajaran, sarana prasarana, metode, penilaian dan segala hal yang berpengaruh pada terjadinya perubahan pada peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri. kurikulum pendidikan Islam terbagi pada tiga macam kurikulum yaitu 630 631



Zakiah Daradjat dkk, op. cit, h. 215 Ibid.



324



kurikulum klasik, kurikulum pertengahan dan kurikulum moderen. Asas kurikulum pendidikan Islam ada empat yaitu asas agama, falsafah, psikologis dan sosial. Ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam meliputi; agama dan akhlak merupakan tujuan utama, mempertahankan bimbingan dan pengembangan pada semua aspek peserta didik serta adanya keseimbangan antara isi kurikulum, pengamalan dan kegiatan pengajaran. Ada empat jenis kurikulum yang diterapkan dalam pendidikan Islam yaitu kurikulum yang berorientasi pada pertumbuhan dan integritas pribadi manusia, kurikulum yang berorientasi pada upaya perubahan sosial, kurikulum yang berorientasi pada iptek dan kurikulum yang berorientasi pada kegiatan peningkatan intelektual secara akademik. Ada tujuh prinsip kurikulum pendidikan Islam yaitu; selalu menyatu dengan ajaran Islam, menyeluruh pada tujuan-tujuan dan kandungankandungan kurikulum, keseimbangan yang relatif antara tujuan dan kandungan kurikulum, saling terkait dengan potensi yang dimiliki peserta didik dan lingkungan sekitar, tetap menjunjung perbedaan potensi peserta didik, menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan serta saling terpadu antara mata pelajaran, pengalamanpengalaman dan bentuk kegiatan dalam kurikulum. Faktor yang sangat berpengaruh dalam pengembangan kegiatan pendidikan Islam ada empat faktor yaitu tujuan dan pemikiran pendidikan yang dilaksanakan, keadaan lingkungan dalam arti luas, kebutuhan pembangunan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disesuaikan dengan nilai-nilai, ke manusia serta budaya bangsa. Fungsi kurikulum pendidikan Islam yaitu; sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, sebagai pedoman dan program yang akan dilakukan dalam pendidikan Islam, untuk kesinambungan jenjang pendidikan Islam dan sebagai standarisasi dalam penilaian kriteria keberhasilan pendidikan Islam Kurikulum pendidikan Islam telah berlangsung sejak awal Islam hingga sekarang ini hanya saja sebelum memasuki penghujung abad ke XIX kurikulum pendidikan masih terfokus pada masalah hubungan dengan Tuhan dan kurang memperhatikan hubungan manusia dengan sesamanya maupun dengan lingkungan alam nanti setelah memasuki penghujung abad ke XIX barulah upaya tersebut dilakukan tetapi kenyataan hinga sekarang belum berjalan secara optimal. Evaluasi pendidikan Islam adalah kegiatan penilaian terhadap proses pendidikan Islam yang dilaksanakan demi untuk mengetahui tingkat ketercapaian tujuan pendidikan Islam yang dilaksanakan sedangkan sasaran



325



evaluasi pendidikan Islam adalah peserta dalam pendidikan Islam meliputi evaluasi yang dilakukan terkait penguasaan pengetahuan pendidikan Islam, keterampilan dan kegiatan pengamalan ajaran Islam. Fungsi pelaksanaan evaluasi dalam proses pendidikan Islam yaitu; mempermudah pendidik mengukur pencapaian pelaksanaan tujuan pendidikan Islam yang dilakukan, mempermudah peserta didik mengetahui tingkat pencapaian pendidikan Islam yang diikuti, bagi pengelola pendidikan dapat mengetahui berbagai persoalan terkait pengelolaan pendidikan Islam dan bagi penguasa dapat membantu membenahi sistem pengawasan pengelolaan pendidikan Islam dan pengambilan kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan pendidikan Islam. Fungsi evaluasi yang diterapkan oleh Allah terhadap manusia yaitu; menguji daya keimanan manusia dalam menghadapi realitas kehidupan, mengetahui pencapaian Rasulullah saw dalam menerapkan pendidikan wahyu dan mengetahui tingkat posisi pencapaian manusia sebagai hamba Allah. Fungsi evaluasi dalam proses belajar mengajar pendidikan Islam meliputi; sebagai alat ukur tingkat efektifitas kegiatan mengajar pendidik dan kegiatan belajar peserta didik, untuk mengetahui hasil belajar siswa dan langkah terkait dengannya, sebagai bahan laporan kepada orang tua peserta didik dan sebagai bahan pembanding terkait hasil pembelajaran sebelumnya dan pembelajaran sesudahnya. Prinsip evaluasi dalam proses pembelajaran materi pendidikan Islam ada dua jenis yaitu prinsip umum dan prinsip khusus dimana prinsip umum meliputi; valid, berorientasi pada kompetensi, menyeluruh, bermakna, adil dan objektif, terbuka, ikhlas, praktis, dicatat dan akurat, sistematis, menggunakan acuan kriteria dan akuntabel sedangkan prinsip khusus meliputi; jenis penilaian yang digunakan memungkinkan peserta didik menunjukkan kemampuan hasil belajar, prosedur penilaian dilakukan sesuai kemampuan peserta didik, dilakukan remedial bagi peserta didik yang hasil penilaiannya di bawah standar minimal dan penilaian dilakukan sesuai dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Jenis-jenis evaluasi pembelajaran materi pendidikan Islam bila dilihat dari tujuan materi ada lima jenis meliputi; evaluasi formatif, evaluasi sumatif, evaluasi penempatan dan evaluasi diagnostik, bila dilihat dari sasaran ada lima jenis yaitu evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi proses, evaluasi hasil dan evaluasi lulusan dan di lihat dari lingkup kegiatan pembelajaran ada tiga jenis yaitu; evaluasi program pembelajaran, evaluasi proses pembelajaran dan evaluasi hasil pembelajaran. Sasaran evaluasi pembelajaran materi



326



pendidikan Islam meliputi segi tingkah laku, segi pendidikan dan segi yang menyangkut proses belajar mengajar dan mengajar materi pendidikan Islam Ciri-ciri evaluasi dalam proses pembelajaran pendidikan Islam meliputi; evaluasi dilakukan secara tidak langsung, evaluasi dilakukan dalam bentuk penilaian angka-angka terhadap hasil belajar, penilaian menggunakan unit-unit atau satuan yang tetap, penilaian pendidikan bersifat relatif dan dalam penilaian pendidikan sering terjadi kesalahan Bentuk-bentuk alat evaluasi yang dapat digunakan dalam penilaian kemampuan hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran materi pendidikan Islam meliputi; tes tertulis, tes lisan dan observasi



327



328



BAB IX PERIODESASI PENDIDIKAN ISLAM A.



Latar Belakang Pemikiran Kalau kita amati secara saksama keadaan bayi pada saat dilahirkan maka kita akan saksikan bahwa mereka dalam keadaan yang sangat lemah dan serba tidak berdaya. Hampir seluruh hidup dan kehidupannya, hanya menggantungkan diri kepada orang lain. Mereka sangat memerlukan pertolongan dan bantuan dalam segala hal. Kalau seandainya anak tersebut tidak diberi makan dan minum oleh ibunya maka pasti ia akan mati. Demikian pula kalau ia tidak diberi bimbingan atau pendidikan baik pendidikan jasmani maupun pendidikan rohani berupa pendidikan intelek, susila, sosial, agama dan lain-lain, maka anak tersebut tidak akan dapat berbuat sesuatu. Pernyataan tersebut mengandung pengertian bahwa bila anak tidak mendapatkan pendidikan maka mereka tidak akan menjadi manusia sebenarnya, dalam arti tidak akan sempurna hidupnya dan tidak akan dapat memenuhi fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan kehidupannya. Dengan kata lain pendidikanlah yang dapat memanusiakan dan membudayakan manusia. Suatu bukti pernyataan tersebut, peristiwa yang terjadi di India, yakni sewaktu Mr Singh menemukan dua orang anak manusia yang berada dalam sebuah gua sarang serigala. Kedua anak tersebut diasuh oleh serigala itu, sehingga akibatnya, segala gerak-gerik dan tingkah lakunya serta kemampuannya menyerupai serigala. Hal itu membuktikan bahwa kemampuan dasar yang dimiliki anak, baik jasmani maupun rohaninya, tidak secara otomatis tumbuh dan berkembang, tetapi membutuhkan adanya bimbingan, pengarahan dan pendidikan. Dalam artian lain anak bisa tumbuh dan berkembang dalam kehidupan lewat proses belajar.632 Manusia, jika ditinjau dari segi biologi, maka sebenarnya ada segi-segi persamaan dengan binatang, bahkan manusia dimasukkan dalam golongan binatang yang menyusui. Karena manusia juga mempunyai sifat biologis seperti yang dimiliki oleh binatang, antara lain membutuhkan makanan, udara, mengembangkan jenis dan lain-lain. Namun di samping itu manusia mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan binatang, yakni manusia memiliki berbagai macam potensi atau kemampuan dasar (fitrah) yang telah dibawah sejak lahir, seperti kemampuannya untuk berpikir, 632



Zuhairini ddk, Filsafat Pendidika Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 93



329



berkreasi, beragama, beradaptasi dengan lingkungan dan sebagainya. Dengan adanya berbagai macam kemampuan dasar tersebut, maka manusia dalam hidup dan kehidupannya tidak hanya berdasar pada insting atau naluri saja seperti halnya binatang, tetapi juga berdasarkan dorongan dari berbagai potensi yang dimilikinya. Untuk mengembangkan potensi atau kemampuan dasar maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong dan mengarahkan agar berbagai potensinya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar dan optimal, sehingga kelak kehidupannya dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dengan begitu mereka akan dapat memenuhi kebutuhan hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya.633 Pemaparan tersebut memberikan pemahaman bahwa manusia bisa tumbuh dan berkembang dalam kehidupannya karena lewat proses pendidikan yang dialaminya sehingga kualitas proses pendidikan yang dialami manusia dalam kehidupan akan mempengaruhi kualitas pertumbuhan potensi yang dimilikinya. Proses pendidikan yang terjadi dalam kehidupan manusia di mulai sejak ia dilahirkan hingga akhir hayatnya di dunia maka sudah pasti proses pendidikan yang diikuti manusia pada setiap waktu dan tempat akan berbeda sesuai dengan usia anak didik dan tujuan belajar yang dilakukan. Hal itu tentu akan mempengaruhi sistem mengajar yang dilakukan seorang pendidik terhadap anak didiknya dalam berbagai bentuk kegiatan pendidikan yang diikutinya. Dalam berlangsung proses pendidikan Islam bagi peserta didik, prosesnya tidak berlangsung secara otomatis sekaligus tetapi harus disesuaikan dengan kondisi dan keadaan peserta didik. Pendidikan Islam dalam membentuk karakter peserta didik membutuhkan suatu proses tidak hanya berfokus pada suatu waktu tertentu tetapi proses itu harus berlangsung secara berkelanjutan. Artinya pendidikan Islam berlangsung sepanjang hayat atau berlangsung secara terus menerus bagi peserta didiknya. 634 Secara global proses perkembangan individu atau anak sampai menjadi individu berlangsung dalam tiga tahapan yaitu; tahapan proses konsepsi (pembuahan sel ovum ibu oleh sel sperma ayah), tahapan proses kelahiran saat kelahiran bayi dari rahim ibu ke alam dunia bebas dan tahapan proses perkembangan individu bayi tersebut menjadi pribadi yang khas sehingga bila 633 634



Ibid, h. 94, Lihat HM Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 58 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. XII; Jakrta: Kalam Mulia, 2015), h. 432



330



dikelompokkan terhadap proses perkembangan kepribadian anak maka proses perkembangan anak melalui tiga tahapan yaitu; masa anak menjadi janin dalam rahim seorang ibu, masa anak menjadi bayi, dan masa anak dari kanakkanak hingga tumbuh menjadi dewasa hingga mengakhiri hayat hidup di dunia. 635 Kondisi tersebut memberikan pemahaman bahwa karena proses terbentuknya kepribadian manusia secara bertahap maka otomatis terhadap proses pendidikan Islampun itu berlangsung secara bertahap pula dimana pola pendidikan yang diterapkan pada setiap periode itu pasti akan berbeda sebab mana mungkin materi pendidikan Islam yang diberikan kepada anak usia 5 tahun bisa disamakan dengan materi pendidikan Islam bagi anak usia 15 tahun. Bukhari Umar membagi periodisasi pendidikan Islam bagi peserta didik dalam lima bentuk periodisasi pendidikan Islam yang meliputi; pendidikan Islam masa prakonsepsi, pendidikan Islam masa pranatal, pendidikan Islam masa bayi, pendidikan Islam masa kanak-kanak, pendidikan Islam masa remaja, dan pendidikan Islam masa dewasa.636 Ramayulis membagi periodisasi pendidikan Islam yang diterapkan kepada peserta didik menjadi dua bentuk yang meliputi; pendidikan pranatal berupa pemilihan jodoh, pernikahan dan kehamilan, kemudian yang kedua adalah pendidikan pasca natal berupa pendidikan bayi, kanak-kanak, anak-anak dan dewasa.637 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa manusia bisa tumbuh dan berkembang dalam kehidupannya sehingga bisa hidup sesuai dengan tuntunan nilai-nilai Islam yang dikehendaki dalam proses pendidikan Islam ternyata prosesnya tidak berlangsung sekaligus tetapi lewat tahapan-tahapan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan peserta didik dalam kehidupan serta tahapan-tahapan tersebut juga tentu akan berpengaruh pada pola pengajaran yang diterapkan dan materi pengajaran yang diterapkan. Hasil ini juga memberikan makna keberhasilan proses pendidikan Islam yang dilakukan terhadap peserta didik juga dipengaruhi oleh keberlangsungan proses pendidikan Islam dalam periodesasi pendidikan Islam yang dilalui peserta didik sebab semuanya merupakan satu kesatuan proses pendidikan 635



636 637



Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Anak Dengan Pendekatan Baru (Cet. IX; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, Lihat Tohirin Ms, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Cet. II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 39, Lihat H Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 20 Buhkari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2010), h. 113 Ramayulis, op. cit., h. 433



331



Islam yang saling menopang terhadap upaya pembentukan kepribadian peserta didik yang Islami. Melihat begitu pentingnya proses pendidikan Islam bagi peserta dalam tahapan-tahapan pendidikan yang dilalui peserta didik maka dalam bab ini akan diulas topik kajian yaitu; Periodisasi Pendidikan Islam demi untuk mengetahui secara riil bentuk-bentuk pendidikan Islam dalam periode-periode pendidikan Islam yang dilalui dan dilakukan terhadap peserta didik terkait dengan penanaman nilai-nilai Islami. B.



Proses Pendidikan Islam Fase Pemilihan Jodoh Pendidikan Islam sangat memperhatikan kriteria pemilihan calon pendamping dalam menaungi kehidupan rumah tangga. Pemilihan jodoh merupakan langkah awal dari suatu proses menuju terjadinya pernikahan antara seorang laki-laki dalam kehidupan. Ketika seorang pria memilih seorang wanita tentu dengan harapan wanita tersebut dapat dijadikan teman hidup sekaligus teman dalam bekerja sama menuju kehidupan rumah tangga bahagia. Hal yang sama juga pasti berlaku untuk seorang wanita sudah barang tentu ia membutuhkan calon suami yang nantinya mampu menjadi teman hidup yang baik dalam menaungi kehidupan rumah tangga yang bahagia. Islam mengajarkan dalam memilih calon suami atau Istri yang ideal maka harus diperhatikan berbagai aspek yang terkait dengannya terutama demi berlangsungnya proses pendidikan Islam yang baik dalam kehidupan rumah tangga muslim. 638 Rasulullah saw bersabda;



ُ َ ‫َّ َ َ أ‬ َ ‫ْي أب َُ َخ أرب َو ُُمَ ٍَّ ُد أب َُ ال أ ٍُثَ ََّّن َو ُعبَيأ ُد َّ أ‬ ُ ‫َخ َّد َثَِا ُز َْ أ‬ َُ ‫يد كالٔا َخدثَِا َي ََي أب‬ ٍ ‫اَّلل ب َُ س ِع‬ ِ ٍ َ َ ‫َ أ ُ َ أ َّ َ أ‬ ُ ‫َبِن َسع‬ َ ‫يد أب َُ أَِب‬ َ ََ‫خ‬ ِّ َّ‫يد َع أَ أ ِبي ِّ َع أَ أِب ُْ َريأ َر َة َع أَ انل‬ ‫ِب‬ ‫ع‬ ‫س‬ ٍ ِ ٍ ‫س ِع‬ ِ ِ ‫اَّلل أ‬ ِ ‫يد عَ عبي ِد‬ ِ ِ ِ َ ُ َ ‫َّ َ َ ُ أ َ أ‬ َ ُ َّ َّ َ َ ‫َ أ‬ ‫اَّلل َعييأ ِّ َو َسي ًَ كال تِه ُح ال ٍَ أرأة ِْل أر َب ٍع ل ِ ٍَال ِ َٓا َو ِْل َ َس ِب َٓا َو ِِل َ ٍَال ِ َٓا َو ِ ِِلي ِِ َٓا فاظف أر‬ ‫صَّل‬ ‫اِليَ ثَر َب أ‬ َ ‫ت يَ َد‬ ِّ ‫ب َذات‬ ‫اك‬ ِ ِ ِ ِ Artinya; Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Muhammad bin Al Mutsanna dan 'Ubaidullah bin Sa'id mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari 'Ubaidillah telah 638



Buhkari Umar, op. cit., h. 113



332



mengabarkan kepadaku Sa'id bin Abu Sa'id dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Seorang wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu beruntung.639 Berdasarkan hadis tersebut memberikan pemahaman bahwa kriteria seorang wanita dinikahi karena empat perkara yaitu dipilih karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya tetapi sebaik-baik dari ke empat jenis pilihan yaitu karena landasan agamanya sebab agama akan menjadi tolak ukuran baik tidaknya seseorang dalam kehidupan. Ramayulis mengemukakan bahwa syarat-syarat memilih calon istri meliputi; 1. Saling mencintai di antara keduanya 2. Memilih wanita karena agamanya agar nantinya mendapat berkah dari Allah swt sebab orang yang memilih kemuliaan seseorang akan mendapatkan kehinaan, jika memilih karena hartanya maka akan memperoleh kemiskinan, jika memilih karena kedudukan maka akan memperoleh kerendahan 3. Wanita yang shaleh 4. Sama derajatnya dengan calon mempelai 5. Wanita yang hidup di lingkungan yang baik 6. Wanita yang jauh keturunannya dan jangan memilih wanita yang dekat keturunannya sebab dapat menurunkan anak yang lemah jasmani dan bodoh 7. Wanita yang gadis dan subur (bisa melahirkan). 640 Berdasarkan pendapat Ramayulis tersebut memberikan pemahaman bahwa kriteria calon Istri yang baik menurut pendidikan Islam yaitu; mencintai calon suaminya dan calon suaminya mencintai dirinya, calon istri dipilih karena agamanya, calon istri adalah wanita sholeha, calon istri harus sederajat dengan calon suami, calon istri dari lingkungan yang baik-baik, calon istri harus jauh hubungan kekeluargaannya dari calon suami dan calon istri alangkah baiknya yang gadis serta bisa memberikan keturunan. Bukhari Umar mengemukakan bahwa hadis Rasulullah tersebut di atas dapat dipahami bahwa ada empat faktor yang menjadi alasan mengapa



639



640



M Nasiruddin Al-Bani, Muhtasar Shahih Muslim, Diterjemahkan Oleh; Elly Lathifah Dengan Judul Ringkasan Shahih Muslim (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 375 Ramayulis, op. cit., h. 436



333



seorang pria atau wanita memilih pasangannya masing-masing dimana hal tersebut karena pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut; 1. Faktor kekayaan dimaksudkan agar dapat mempermudah dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Dengan kepemilikan harta diharapkan anggota keluarga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat melengkapi fasilitas pendidikan dan ibadahnya. Seseorang yang memiliki cukup harta tidak perlu banyak menyita waktu dan pemikiran untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan pokok dalam hidupnya. Ia dapat berkonsentrasi melaksanakan pendidikan dan ibadah. 2. Faktor keturunan karena keturunan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak-anak 3. Faktor kecantikan juga tidak kalah pentingnya sebab kecantikan akan meningkatkan semangat suami atau istri dalam mengarungi kehidupan rumah tangga 4. Faktor agama sangat prinsipil dan perlu dipertimbangkan. Demikian pula apabila seorang calon memiliki semua faktor di atas, maka pilihan harus dijatuhkan pada yang lebih bagus agamanya. 641 Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut memberikan pemahaman bahwa dalam memilih calon pasangan pertimbangannya karena empat hal yaitu; karena hartanya, keturunannya, kecantikan atau kegagahan, dan karena agamanya tetapi yang harus dipertimbangkan adalah karena agama sebab agama bisa menjadi barometer dalam menjalani kehidupan rumah tangga dimana bila mereka ingin punya keturunan maka mereka akan mengupayakan keturunan tersebut menjadi keturunan yang beragama, bila cantik atau gagah maka dengan agama yang baik kecantikan atau kegagahan akan dipersembahkan khusus untuk pasangannya sendiri, kalau punya harta kekayaan maka harta kekayaan tersebut akan digunakan sesuai aturan-aturan yang dikehendaki agama Islam. Bukhari Umar mengutip pendapat Abdullah Nasih Ulwan mengemukakan bahwa beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih calon pasangan suami istri meliputi; 1. Seseorang memilih calon berdasarkan agamanya. Diupayakan pasangan harus memiliki agama yang sama serta mempunyai pemahaman yang hakiki terhadap Islam dan penerapannya yang tinggi dalam bentuk perbuatan dan tingkah laku. 641



Bukhari Umar, op. cit., h. 114



334



2. 3. 4.



Mengutamakan orang jauh dari hubungan kekerabatan dalam perkawinan Mengutamakan pasangan calon yang masih berstatus gadis Mengutamakan wanita yang subur.642



Berdasarkan pendapat Abdullah Nasih Ulwan tersebut memberikan pemahaman bahwa dalam memilih pasangan ada beberapa pertimbangan yang harus dilakukan yaitu; memilih pasangan karena pertimbangan dasar utama agama dan kemampuan implementasi agama dalam kehidupan, pasangan yang dipilih harus jauh hubungan kekerabatannya, pasangan yang dipilih harus berstatus gadis atau perjaka dan pasangan yang dipilih harus wanita atau pria yang subur yang bisa memberikan keturunan. Jelasnya upaya pembinaan nilai-nilai keagamaan bagi calon mempelai harus dilakukan sejak dini baik lewat pembinaan jalur keluarga maupun lembaga pendidik di sekolah atau lembaga pendidikan yang ada di tengah masyarakat sebab tidak ada dalam kehidupan sesuatu itu dapat berubah secara otomatis tetapi lewat proses yang panjang barulah hasil yang diperoleh akan memuaskan. H Syamsu Yunus LN mengemukakan bahwa; Faktor fitrah beragama mempunyai kecenderungan untuk berkembangan. Namun perkembangan itu tidak akan pernah terjadi manakala tidak ada faktor dari luar yang memberikan rangsangan atau stimulus dari luar yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor Eksternal itu tidak lain adalah lingkungan dimana individu itu hidup. Lingkungan itu adalah keluarga, sekolah dan masyarakat.643 Berdasarkan penjelasan H Syamsu Yunus LN tersebut dapatlah dipahami bahwa proses penghayatan keagamaan anak berkembangan sesuai dengan lingkungan ia berada sebab anak kalau tidak ada rangsangan atau pembinaan dari orang dari luar dirinya atau karena faktor lingkunganya maka ia tidak akan pernah mengenal yang namanya agama dimana jangankan tentang cara-cara pengamalan agama mengenai konsep agama secara teoripun ia tidak akan pernah memahaminya sehingga karenanya bila konsep pendidikan nilai-nilai agama bagi para calon mempelai betul dipahami dan tertanam dalam diri pasangan yang akan menikah maka hal itu perlu dilakukan sejak dini disesuaikan dengan kondisi umurnya agar nantinya tidak 642 643



Ibid., h. 116 H Syamsu Yunus LN, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Cet. VII; Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2006), h. 137



335



salah dalam pemberian. Selain itu karena penghayatan keagamaan seseorang berkembang sesuai dengan lingkungan tempat dimana ia diperkenalkan dan diajarkan pada agama baik di sekolah, keluarga dan masyarakat maka pola pendidikan sudah seharusnya dilakukan sejak dini dengan melibatkan tiga lingkungan yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat. Perlu disadari secara fitrah tidak ada satu pasanganpun yang menikah menghendaki perkawinannya berakhir di pengadilan tetapi oleh karena persoalan godaan kehidupan dunia, dangkalnya pengetahuan agama dan kurang tertanamnya nilai-nilai agama pada seseorang menjadi masalah yang mengakibatkan banyak rumah tangga yang ambruk dan berakhir di pengadilan. Agar dapat menghindarinya maka upaya penanaman nilai-nilai agama tidak hanya dilakukan tatkala seseorang benar-benar sudah akan menikah tetapi masih sedini mungkin dilakukan baik itu pembinaan lewat ceramah langsung, pembinaan di lingkungan-lingkungan keluarga, bekerja sama dengan lembaga pendidikan di sekolah maupun lembaga pendidikan yang ada di tengah-tengah masyarakat seperti majelis ta‟lim, TPQ, organisasi kepemudaan dan lain-lain sebagainya. Selain itu perlu juga dilakukan lewat kerja sama dengan semua pendidik baik orang tua sebagai pendidik di rumah, guru sebagai pendidik di sekolah, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta kalangan orang yang telah dewasa yang ada di masyarakat sebab kenyataan banyak generasi muda kebanyakan kurang dalam pendalaman dan pengamalan nilai-nilai agama itu akibat pengaruh media dan pengaruh karakter yang terbentuk dalam lingkungan masyarakat bukan di hadapan guru, orang tua, ustaz ataupun seperti guru di sekolah tapi kebanyakannya hal itu banyak terjadi di lingkungan. H Abuddin Nata mengemukakan bahwa penanaman nilai-nilai agama Islam bagi anak didik atau generasi mudah tidak dapat dipandang ringan dan proses penanamannyapun harus dilakukan secara berkesinambungan serta melibatkan semua komponen pendidik baik orang tua sebagai pendidik di rumah, guru sebagai pendidik di sekolah dan masyarakat sebagai pendidik di lingkungan dan ketiga komponen tersebut harus saling bekerja sama. Dengan terbinanya anak didik atau generasi muda berarti telah memberikan sumbangan yang besar bagi penyiapan masa depan bangsa yang lebih baik, sebaliknya bila membiarkan anak didik atau generasi muda terjerumus ke



336



dalam perbuatan yang tersesat, berarti telah membiarkan bangsa dan negara terjerumus ke jurang kehancuran.644 Lewat pernyataan H Abuddin Nata tersebut memberikan suatu pemahaman bahwa bila ingin membuat generasi muda yang memasuki kehidupan rumah tangga yang dinaungi nilai-nilai Islam maka sudah seharusnya landasi mereka yang nantinya akan menjadi calon-colon suami dan istri dengan nilai-nilai keagamaan pada diri pribadi mereka sebab hanya lewat agamalah segala persoalan dapat dicarikan solusi yang benar. Pola pembinaan juga harus dilakukan secara berkesinambungan dimana pembinaan harus dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah sampai pada lingkungan masyarakat bahkan melibatkan semua kalangan pendidik baik yang ada di keluarga, sekolah maupun di masyarakat dan pengawasannyapun harus dilakukan secara bersama supaya hasilnya juga dapat maksimal. Minimal masjid bisa terisi dengan baik bukan hanya kebanyakan dihuni oleh orang yang tinggal menunggu panggilan Ilahi sementara generasi muda lebih banyak mengisi tempat-tempat rekreasi, mol-mol, café-café dan lainnya terus minimal mata kita tidak perlu lagi silau melihat pasangan muda mudi yang sibuk berboncengan lalu lalang pada hal mereka bukan muhrim sebab biasanya awalnya boncengan di atas motor lama-lama kelamaan akhirnya ikut berboncengan juga di atas tempat tidur dan masih banyak hal-hal lainnya. Akhirnya ilmu agama kayaknya kurang laku sementara ilmu jepang seperti motor dan mobil jadi dambaan muda mudi. Lebih lanjut lagi H Abuddin Nata mengemukakan bahwa; penanaman nilai-nilai agama harus juga dilakukan dengan menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana, termasuk teknologi moderen. Kesempatan berekreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan sebagainya digunakan sebagai peluang untuk membina pribadi anak. Demikian pula berbagai sarana seperti masjid, mushallah, lembaga-lembaga pendidikan, surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dan sebagainya dapat digunakan sebagai tempat untuk membina kepribadian. 645 Berdasarkan pendapat H Abuddin Nata tersebut memberikan suatu asumsi bahwa jika betul ingin menuai hasil pendidikan nilai-nilai agama yang dilakukan bagi calon-calon suami atau calon-calon istri maka hal tersebut bukan hanya dilakukan pada pasangan akan menikah tetapi sejak dini sudah harus dilakukan baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dan 644 645



H Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan,Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam (Cet. I; Bogor Kencana: 2005), h. 217 Ibid., h . 204



337



menjalin kerjasama dengan semua pendidik serta merambah berbagai peluang dan kesempatan, majalah, dunia maya, radio, televisi dan sebagainya. . Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa; Penanaman iman itu dimulai sejak dini yaitu sejak memilih jodoh. Maksudnya hati-hati memilih jodoh, karena sifat ayah atau sifat ibu dapat menurun kepada anaknya. Jika ayah atau ibunya nakal, sifat itu kemungkinan besar akan menurun kepada anaknya; jika sifat buruk menurun, anak itu akan sulit didik menjadi orang beriman. Dalam hal memilih jodoh, nabi mengemukakan agar memilih empat kriteria, yaitu kekayaannya, keturunannya, rupanya, dan agamanya. Apabila kamu memilih agamanya, maka akan terbebaslah kamu dari kesulitan. Selanjutnya takkala anak itu ada dalam kandungan ibunya, penanaman keimanan terus perlu dilakukan caranya sama saja dengan mendidik anak yang sudah lahir. Akan tetapi pendidikan keimanan pada masa ini dilakukan oleh atau kepada ibunya. Hasil penelitian psikologi menjelaskan bahwa apa-apa yang dialami ibu hamil akan mempengaruhi bayi yang dikandungnya. Apabila ibunya mendapatkan pendidikan keimanan, anak yang dikandungnya juga akan memperoleh pendidikan keimanan. Selanjutnya pendidikan keimanan terus dilakukan setelah anak dilahirkan. 646 Berdasarkan pendapat Ahmad Tafsir tersebut dapatlah dipahami bahwa kondisi orang tua akan sangat mempengaruhi kondisi anak yang akan dilahirkan kalau perilaku orang tuanya baik maka hal itu akan mempengaruhi anak akan menjadi baik tetapi bila perilaku orang tua kurang baik maka anak yang akan dilahirkan akan menjadi tidak baik pula. Hal ini memberikan makna pula bahwa bagi para calon-calon ibu dan calon bapak harus diberikan didikan nilai-nilai keagamaan agar mereka dapat melakukan pendidikan nilainilai keagamaan kepada anak yang dikandung sehingga begitu lahir anak tersebut sudah tertanam nilai-nilai keimanan dalam dirinya dan boleh jadi anak itu terus akan tumbuh dengan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama Islam hingga memasuki rumah tanga bahkan hingga akhir hayat hidupnya di dunia. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa proses pendidikan Islam pada fase pemilihan jodoh adalah proses pendidikan terkait dengan kriteria pemilihan calon pendamping dalam kehidupan dimana tolok ukur utama dalam memilih 646



Ahmad Tafsir (editor), Pendidikan Agama Dalam Keluarga (Cet. IV; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 5-6



338



pendamping menurut pendidikan Islam adalah faktor agama dan pengamalan agama menjadi dominan dalam memilih calon pasangan sebab dengan agama yang baik maka segala yang kekurangan bisa diperoleh bila dalam kehidupan rumah tangga semuanya dikelola mengikuti kehendak Allah swt karena yang dimiliki manusia dalam kehidupan semuanya milik Allah dan Allahlah yang memberikannya untuk itu pola pembinaan nilai-nilai agama itu bukan dimulai saat anak mau menikah tetapi proses tersebut sudah dibentuk sejak dini baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dan menggunakan berbagai media dan kesempatan yang ada dalam kehidupan. C.



Proses Pendidikan Islam Fase Perkawinan Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur‟an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad. Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.647 Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.648Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaannya adalah merupakan ibadah. 649 Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan perempuan dalam rangka membentuk rumah yang bahagia dan kekal sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam ajaran agama dan aturan undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Untuk itu perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketentuan ajaran Islam. Ikatan lahir adalah 647 648 649



H Sulaiman Rasyid, Fiqhi Islam (Cet.XXXX; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007),,h. 374 Mohd Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), h. 43 M Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), h. 4



339



hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, yang mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat sedangkan ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh mengikat kedua pihak. Ikatan perkawinan merupakan ikatan suci yang berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan untuk membentuk keluarga sakinah dan mawaddah. Perkawinan tidak lagi hanya sebagai hubungan jasmani tetapi juga merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan perkawinan selama ini hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga mengandung aspek yang lebih subtantif dan berdimensi jangka panjang. Ikatan yang didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek sedangkan ikatan lahir batin itu lebih jauh. Dimensi masa ini dieksplisitkan dengan tujuan sebuah perkawinan yakni untuk membangun sebuah keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.650 Hukum perkawinan merupakan bagian integral dari syari‟at Islam, yang tidak terpisahkan dari dimensi akidah dan akhlak Islami. Di atas dasar inilah hukum perkawinan ingin mewujudkan perkawinan di kalangan orang muslim menjadi perkawinan yang bertauhid dan berakhlak, sebab perkawinan semacam inilah yang bisa diharapkan memiliki nilai transedental dan sakral untuk mencapai tujuan perkawinan yang sejalan dengan tujuan syar‟iat Islam.651 Di Indonesia aturan-aturan mengenai perkawinan telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan kompilasi hukum Islam lewat Inpres No 1 Tahun 1991 dimana aturan yang dikandung dalam kedua undang-undang tersebut merupakan kumpulan tentang hukum munakahat yang terkandung di dalam Al-Quran, Sunnah Rasulullah, dan kitab-kitab fiqih klasik kontemporer, yang telah berhasil diangkat oleh sistem hukum nasional Indonesia dari hukum normatif menjadi hukum tertulis dan hukum positif yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk umat muslim Indonesia.652 Selain itu keberadaan undang-undang tersebut juga bermaksud sebagai medan dan perjuangan umat Islam Indonesia dalam konteks mencari keadilan dan kebahagiaan hidup khususnya terkait dengan persoalan dalam rumah tangga



650 651 652



Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 46 M Anshary MK, op.cit., h. 10 Ibid. 12



340



serta mencegah agar tidak dengan gampang suatu perceraian dapat dilakukan oleh seseorang tanpa alasan yang jelas. 653 Namun demikian walaupun aturan tentang perkawinan itu sudah sangat jelas akan tetapi dalam realita kehidupan angka perceraian yang terjadi pada umat muslim Indonesia cukup tinggi. Hal ini bisa terjadi bukan karena aturan undang-undang perkawinan yang tidak jelas akan tetapi bisa jadi kesiapan diri pribadi orang yang menikah belum matang dan masih minimnya pengetahuan keagamaan sehingga begitu memasuki rumah tangga dan banyak menghadapi benturan-benturan dalam biduk rumah tangga bukan jalan keluar terbaik yang dicari demi keutuhan rumah tangga tetapi sepertinya perceraian yang dijadikan solusi untuk terlepas dari masalah-masalah yang dihadapi. Pada hal harusnya rumah tangga dibentuk untuk membangun keluarga yang selalu dinaungi rahmat Allah dan penuh dengan kasih sayang bukan dibentuk untuk siap bertengkar atau siapa berpisah. Dalam Islampun dianjurkan bahwa bagi laki-laki yang belum sanggup untuk menikah maka diharuskan untuk berpuasa. Selain itu dalam Islam juga dianjurkan agar memilih pasangan itu salah satu pertimbangannya karena faktor agama dan budi pekerti karena dengan agama dan budi pekerti akan menjadi dasar kerukunan dan kemaslahatan sebuah keluarga.654 Kondisi ini memberikan pemahaman bahwa dalam Islam kesiapan bathin dan mental keagamaan seseorang dapat dijadikan tolak ukur untuk seseorang yang sudah dapat menikah atau belum sebab hanya dengan agama kehidupan seseorang akan baik dan hanya dengan agama pula seseorang dapat menghadapi tantangan dalam kehidupan. Andaikan bukan agama yang menjadi tolak ukur maka boleh jadi nabi tidak pernah memerintahkan kepada orang yang belum sanggup untuk menikah supaya berpuasa karena itu sebaikbaik pilihan. Secara logika dapat diasumsikan bahwa mana mungkin seorang laki-laki yang telah dewasa dan normal tidak akan mampu menjalankan perannya sebagai suami kalau hanya pertimbangan fisik semata tetapi karena masalah agamalah dan tantangan dalam kehidupan rumah tanggalah sehingga nabi menyuruh supaya berpuasa dan langkah ini pula bisa menjadi indikasi sebagai bagian dari upaya pencegahan perceraian. Erat kaitanya dengan pentingnya pendidikan Islam dalam fase pernikahan supaya sebuah kehidupan rumah tangga dapat berlangsung



653 654



Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosilogi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 5 H Sulaiman Rasyid, op. cit., h. 377



341



dengan baik, Ramayulis mengemukakan bahwa nilai-nilai pendidikan Islam yang harus ditanamkan dan diterapkan dalam fase perkawinan ini meliputi; 1. Perkawinan merupakan sunnah 2. Perkawinan untuk ketentraman dan kasih sayang 3. Perkawinan untuk mendapatkan keturunan 4. Perkawinan untuk memelihara pandangan dan menjaga kemaluan Berdasarkan pemikiran Ramayulis tersebut memberikan pemahaman proses nilai-nilai pendidikan Islam yang harus diterapkan dalam fase perkawinan adalah bahwa menjadikan perkawinan itu sebagai bentuk bagian ibadah dalam kehidupan dengan prinsip perkawinan dilakukan untuk menjalankan sunnah, demi untuk ketenteraman dan kasih sayang, demi untuk mendapat keturunan yang baik dan untuk menjaga pandangan serta menjaga kehormatan. Slamet Abidin dan H Aminuddin mengemukakan bahwa tujuan dilakukan perkawinan secara rinci meliputi; 1. Melaksanakan libido seksualitas 2. Memperoleh keturunan 3. Memperoleh keturunan yang saleh 4. Memperoleh kebahagiaan dan ketenteraman 5. Mengikuti sunah nabi 6. Menjalankan perintah Allah 7. Untuk berdakwa.655 Penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa tujuan dari perkawinan yaitu; penyaluran hasrat seksual dengan baik, melanjutkan keturunan, memperoleh anak yang saleh, mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman, mengikuti sunnah nabi dan menjalankan perintah Allah dan untuk kegiatan dakwa syiar Islam. Hal ini juga bermakna bahwa dengan perkawinan yang dilakukan satu pasangan maka mereka dituntuk menjadikan seluruh aktivitas dalam rumah tangga sebagai bentuk pendidikan untuk pengabdian kepada Allah swt baik dalam seksualitas, kebahagiaan dan ketenteraman, keturunan yang shaleh maupun yang lainnya dimana kebaikan dan kebahagiaan dalam rumah tangga harus selalu mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam. Lebih Lanjut Slamet Abidin dan H Aminuddin mengemukakan bahwa hikmah dari dilangsungkannya perkawinan meliputi; 655



Slamet Abidin &H Aminudin, Fiqh Munakahat I(Bandung : CV Pustaka Setia, 1999),h. 12 - 18.



342



1. 2. 3. 4. 5. 6.



Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat. Perkawinan untuk melanjutkan keturunan Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak. Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam mencukupi keluarga. Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar. Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan. 656



Berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami hikmah dari dilangsungkannya sebuah perkawinan tiada lain adalah demi untuk ketentraman pasangan yang menikah serta terhindar dari kemaksiatan, untuk melanjutkan keturunan, saling melengkapi, menimbulkan adanya tanggung jawab, adanya pembagian tugas dalam mengurus keluarga dan mempererat tali kekeluargaan dan kekerabatan. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa periodesasi pendidikan Islam pada masa perkawinan adalah suatu periode proses pendidikan yang harus dilakukan dua pasangan suami istri untuk menyatukan jiwa dan raga mereka dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga dan segala hal yang terkait dengannya sesuai dengan ketentuan dalam ajaran Islam yang tiada lain ujung terakhirnya hanya sebagai bentuk pengabdian kepada Allah swt baik dalam hal seksual, ketenteraman, kerjasama, dan tanggung jawab maupun upaya pemenuhan kebutuhan hidup. D.



Proses Pendidikan Islam Fase Kehamilan Setiap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan tidak akan pernah terjadi dengan sendirinya tanpa ada faktor penyebabnya. Gedung bertingkat, jalan raya, mobil, rumah, komputer, pesawat, pakaian, meja kursi dan sebagainya tentu tidak secara otomatis terjadi dengan sendirinya tetapi hal itu bisa terjadi lantaran upaya kerja keras dari manusia dalam kehidupan dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman dalam kehidupan yang memadukan berbagai material dalam kehidupan sehingga terjadilah hal-hal seperti tersebut di atas. Misalnya meja tidak akan pernah berbentuk meja kalau tidak ada kayu. Kayu tidak akan pernah menjadi meja kalau tidak ada tukang kayu pembuat meja. Adanya tukang kayu pembuat meja dan kayu tidak akan bisa 656



Ibid., h. 40.



343



mewujudkan terjadinya meja kalau tidak ditopang oleh alat-alat pertukangan. Hal ini mengindikasikan bahwa segala yang ada dalam kehidupan di dunia ada faktor penyebab sehingga memunculkan keberadaannya dalam kehidupan, bahkan faktor penyebab keberadaan sesuatu benda atau sesuatu sudah barang tentu juga mempengaruhi kualitas sesuatu benda atau sesuatu tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada kelahiran seorang anak manusia ke alam dunia yang diidam-idamkan oleh setip orang tua tentu tidak bisa muncul dengan sendirinya dalam kehidupan tanpa ada faktor-faktor penyebab kelahirannya. Anak yang dalam sudut pandang Islam adalah karunia sekaligus amanah Allah yang diberikan kepada orang tua maka orang tua mempunyai tanggung jawab memelihara amanah itu. 657 Namun demikian upaya untuk mendapatkan anak bagi seorang pasangan suami istri tentu bukanlah sesuatu yang mudah seperti membalik telapak tangan. Banyak dalam kehidupan pasangan suami istri yang mendambakan seorang anak belum tentu bisa mendapatkan anak sebaliknya ada pasangan yang karena dorongan seksual semata melakukan hubungan intim di luar nikah toh muda melahirkan anak. Orang tua yang mengidam-idamkan untuk mendapatkan anak laki-laki belum tentu mendapatkan anak laki-laki sebaliknya orang tua yang mengharapkan mendapatkan anak perempuan malah mendapatkan anak laki-laki. Ada orang tua yang menginginkannya anak yang saleh tetapi ternyata begitu lahir dan tumbuh berkembang malah menjadi anak yang tidak saleh. Bahkan terkadang lantaran perjuangan untuk mendapatkan anak, betapa banyak dalam kehidupan seorang ibu harus melayang nyawanya lantaran perjuangan saat melahirkan. Seorang anak manusia tidak secara otomatis muncul dengan sendiri dalam kehidupan dunia tetapi lewat sebuah proses yang panjang dan memakan waktu serta memerlukan perjuangan berat. Secara biologis proses lahirnya anak ke alam dunia terwujudnya lewat proses menyatunya dua insan antara seorang laki-laki dan perempuan lewat prosesi perkawinan lalu dari proses tersebut tumbulah janin dalam rahim seorang istri atau perempuan sehingga melahirkan seorang anak bayi manusia yang dalam proses selanjutnya tumbuh menjadi anak-anak hingga menjadi dewasa lalu memasuki masa tua hingga mengakhiri hidupnya di dunia. Dalam perkembangan selanjutnya lewat adanya lagi proses perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan lalu melahirkan anak dan berkembang terus lewat proses perkawinan-perkawinan lain yang terjadi dalam kehidupan sehingga tumbulah 657



Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. I; jakarta: logos, 2001), h. 27



344



manusia dalam kehidupan menjadi kelompok masyarakat, bangsa hingga negara dan bertebaran di muka bumi. Proses perkembangan anak manusia dalam kehidupan di dunia juga disinyalir oleh Allah dalam Islam lewat firmannya yang terdapat dalam QS. al-Hujurat (49): 13, yaitu;



             .          Terjemahnya Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. 658 Berdasarkan firman Allah swt tersebut dapatlah dipahami bahwa memang prosesi keberadaan anak manusia dalam kehidupan di dunia bermula dari diciptakan seorang laki-laki dan perempuan oleh Allah lalu terjadilah perkawinan di antara dua manusia yang berbeda jenis kelamin tersebut lalu terjadi kehamilan pada perempuan sehingga lahirlah seorang anak manusia dan dalam proses selanjutnya menjadikan anak tersebut tumbuh menjadi dewasa dan melakukan pernikahan lagi lalu punya anak, anaknya tumbuh menjadi dewasa dan begitu seterusnya hingga menjadikan manusia dalam kehidupan di dunia tumbuh menjadi kelompok-kelompok keluarga, suku-suku dan bangsa yang terus berkembang yang bertebaran di muka bumi. Secara Islam biasanya dipahami bahwa manusia bermula dari diciptakan Adam dari tanah oleh Allah lalu dari tulang rusuk Adam diciptakan Hawa dan dari perkawinan keduanya berkembanglah anak keturunan manusia di seluruh pelosok dunia. Memang selain Adam dan Hawa yang terlahir tanpa proses ayah dan ibu, ada yang terlahir hanya lewat ibu yaitu Nabi Isa tapi itu semua karena kekuasaan dari Allah, tetapi selain itu semua anak manusia terlahir ke dunia lewat prosesi adanya ayah dan ibu. 659 Untuk itu jelas dalam proses perkembangan seorang manusia dalam kehidupan melalui tahapan-tahapan perubahan dalam proses yang lama dan 658 659



Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang : Taho Putra, 2002) h. 739 Lihat Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah (Cet. II; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 4



345



dalam proses tersebut terjadi perubahan-perubahan yang dialami oleh seorang anak manusia dimana hal tersebut lebih dikenal dengan proses perkembangan atau proses pertumbuhan kepribadian anak. Di sisi yang lain setiap anak yang lahir ke dunia membawa hereditas tertentu. Ini berarti bahwa karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan dari pihak orang tuanya. Pewarisan tersebut misalnya struktur tubuh, warna kulit, bentuk rambut, kecerdasan, emosional, bakat dan sebagainya. Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas dapat diartikan sebagai totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada anak atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi (masa pembuahan ovum oleh sel sperma) sebagai pewarisan dari pihak orang tua melalui gen-gen. Setiap individu memulai kehidupannya sebagai organisme yang bersel tunggal yang bentuknya sangat kecil, garis tengahnya kurang lebih 1/200 inchi. Sel ini merupakan perpaduan antara sel telur (ovum) yang berasal dari ibu dengan sperma (spermatozoid) yang berasal dari ayah. Di dalam rahim, sel benih ini terus bertambah besar dengan jalan pembelahan sel menjadi organisme yang bersel dua, empat, delapan, dan seterusnya sehingga setelah kurang lebih sembilan bulan menjadi organisme yang sempurna. Kesempurnaan janin sebagai makhluk hidup diperoleh setelah ditiupkan ruh oleh malaikat ke dalam dirinya pada usia 120 hari (4 bulan). 660 Setiap sel tersebut memiliki inti sel yang sangat kecil. Inti sel benih berlainan dengan sel yang lainnya (sel badan). Sel-sel badan mempunyai fungsi menggerakkan otot, menghubungkan syaraf, menahan keseimbangan dan sebagainya. Sedangkan sel benih mempunyai fungsi yang istimewa dan khusus, yaitu fungsi pertumbuhan (pembentukan organisme baru). Hanya selsel benih yang menentukan penurunan sifat, sementara sel-sel lain tidak menentukan sifat. Setiap sel benih memiliki 48 kromosom, yaitu benda seperti benang, yang berpasangan sebanyak 24 pasang. Tiap kromosom mengandung sejumlah gen-gen (unsur-unsur keturunan atau faktor-faktor dasar dalam pembawaan). Gen-gen inilah yang akan menentukan sifat-sifat individu, baik fisik maupun psikisnya. Jumlah gen-gen dalam satu telur yang telah dibuahi sebanyak 10000 sampai 15000. Setelah terjadi pembuahan maka terjadilah perpaduan kromosom yang jumlahnya menjadi 48 pasang. Perpaduan ini pun segera diikuti oleh pembelahan diri menjadi dua organisme sehingga jumlah kromosom pada sel660



Syamsu Yusuf LN & A Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling (Cet. I; Badung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 173



346



sel baru tersebut tetap 24 pasang. Di antara kedua organisme baru tersebut terjadilah perjuangan dan yang lebih kuat dapat terus hidup. Pada akhirnya hanya satu organisme yang berhasil hidup, maka akan lahir satu orang anak, tetapi apabila keduanya berhasil mempertahankan hidupnya, akan lahir anak kembar. Kembar yang berasal dari satu sel telur akan melahirkan anak kembar yang memiliki jenis kelamin dan sifat yang sama. Kembar yang berasal dari dua sel telur akan melahirkan anak kembar bisa memiliki jenis kelamin dan sifat yang sama atau jenis kelamin dan sifat yang berbeda. Mengenai jenis kelamin dari hasil pembuahan, sangat bergantung pada perpaduan antara kromosom. Pada pria ada pasangan kromosom XY sedangkan pada wanita hanya memiliki pasangan XX. Bila dalam pembuahan terjadi pasangan XY (X dari wanita dan Y dari laki-laki ) maka anak yang akan lahir adalah laki-laki, sedangkan apabila XX maka yang akan lahir adalah wanita.661 Penjelasan-penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi anak sebelum lahir adalah faktor gen dari orang tuanya dimana kualitas gen dari orang tua akan sangat berpengaruh dasar pada kondisi fisik maupun psikis dari anak saat dilahirkan, dimana anak itu akan menjadi perempuan atau laki-laki, sehat atau kurang sehat, cerdas atau kurang cerdas, dan sebagainya itu tergantung pada kualitas gen dari orang tua. Ini berarti bahwa agar orang tua dapat memiliki anak yang sehat secara jasmani maupun rokhani maka para orang tua harus menjaga kualitas gen yang dimilikinya minimal selain perawatan bayi dalam kandungan saat ibu mengandung maka boleh jadi seorang ibu dan ayah harus mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dilarang oleh agama baik itu berupa makanan yang dikonsumsi, perilaku yang ditampakkan saat mulai proses pembuatan anak hingga kelahirannya, bertobat bila punya kesalahan-kesalahan masa lalu, hidup sesuai dengan yang digariskan Islam, dan sebagainya. Sebab pepatah kaum bijak mengatakan bahwa buah kelapa jatuh tidak jauh dari pohonnya, bila menanam kelapa maka akan tumbuh kelapa. Suatu perumpamaan yang dapat kami kemukakan misalnya; sebagus apapun tanah yang akan ditanami petani kalau tanam yang ditanamnya itu tidak dirawat dengan baik maka pasti hasilnya juga tidak akan baik tetapi walaupun tanah yang akan ditanami itu gersang serta kondisi alam yang panas tetapi kalau petani rajin mengelola tanah yang akan ditanami berupa memberinya pupuk, tanaman rajin dirawat, serta rajin disirami maka boleh jadi akan membuahkan hasil yang memuaskan. 661



Ibid, h. 174, Lihat Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Cet. XII; Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 2002), h. 194,



347



Sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abi Hurairah, yang berbunyi;



َ َ ُ َ ُ ُ ‫َ أ َ ُ َ أ َ َ َ َ َّ ُ َ أ ُ َ َ َ َ َّ ُّ َ َّ َّ ُ َ َ أ َ َ َّ َ ُ ُّ َ أ‬ ‫عَ أ ِِب ْريرة ر ِِض اَّلل عِّ كال كال انل ِِب صَّل اَّلل عيي ِّ وسيً ُك مٔلٔ ٍد ئِل لَع‬ َ ‫َ َ َ أَ َ ُ أَ ُ أَ َ َ َ أ‬ ِّ ُ َ َ ِّ َ ُ ‫أ أ َ َ َ َ َ ُ ُ َ ِّ َ َ أ‬ ‫يٍة ْو ث َرى‬ ِٓ ‫ِّصا ُِ ِّ أ أو ي ٍَج َسا ُِ ِّ نٍث ِو ال ِٓيٍ ِة ثنج ال‬ ِ‫اى ِفطر ِة فأبٔاه يٓٔدا ُِ ِّ أو ي‬ ‫َ أ‬ ‫يٓا َجد ََع َء‬ ‫ِف‬ Artinya; Dari Abi Hurairah ra berkata; telah bersabda nabi saw; setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majuzi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya (HR Bukhari). Ahmad Tafsir mengatakan bahwa Rasulullah lewat hadis tersebut telah menggariskan bahwa setiap anak yang dilahirkan itu dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikan ia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Selain itu redaksi hadis tersebut sepertinya tidak bisa dipahami secara tekstual saja sebab kalau yang dipahami kelahiran anak itu sebatas saat anak lahir maka tentu saat anak masih dalam kandungan, apapun yang dilakukan oleh orang tuanya tidak akan berpengaruh padanya, pada hal sebagaimana disebutkan di atas dan berdasarkan hasil penelitian dalam bidang psikologi ternyata kebanyakan yang dilakukan oleh orang tua sangat berpengaruh pada perilaku anak selanjutnya.662 H Baihaqy AK yang dikutip oleh Ahmad Tafsir mengemukakan; Hadis di atas bermakna bahwa karena tangan-tangan orang tuanyalah si anak dapat berubah arah, yang tadinya fitrah malah menjadi menyimpang. Kelahiran anak itu sendiri fitrah, dan orang tuanyalah yang mewarnai dengan celupan Majusi, Nasrani, atau Yahudi. Analogi hadis dimaksud adalah kenakalan, kemalasan, ketidakpatuhan, serta ketidak sopanan, akibat ulah orang tuanya. Pada hal secara kejadian dan kelahiran anak itu bersih atau suci.663 Berdasarkan pendapat Ahmad Tafsir dan H Baihaqy AK tersebut dapatlah dipahami bahwa proses kejadian anak dan kelahirannya itu bersih atau suci nanti yang membuat perangai anak itu menjadi perangai Yahudi, 662 663



Ahmad Tafsir (editor), op. cit., h. 67 Ibid.



348



Majusi dan Nasrani karena ulah tangan-tangan atau perilaku keseharian dari kedua orang tuanya sehingga karenanya para orang tua dalam kehidupannya tanpa memandang waktu harus selalu hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. H Jalaluddin mengemukakan bahwa keselamatan diri dapat dipelihara atas dasar ketaatan menjalankan syari‟at Islam meliputi; 1. Memelihara agama 2. Memelihara akal, seperti menghindari minuman memabukkan, menuntut ilmu, dan sebagainya 3. Memelihara jiwa, antara lain tidak menganiaya diri 4. Memelihara harta benda, tidak boros, atau membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaat 5. Memelihara keturunan seperti membina keluarga melalui pernikahan yang sah.664 Berdasarkan pendapat H Jalaluddin tersebut dapatlah dipahami bahwa semua yang dimiliki manusia dalam kehidupan baik diri, keluarga, harta benda, nyawa dan sebagainya semuanya harus diarahkan dalam kehidupan demi untuk pengabdian kepada Allah termasuk apa yang diperoleh harus diperoleh lewat jalan yang halal. Ini bermakna dalam hal proses pembuatan anak maka segala aktivitas yang terkait dengan proses pembuatan tersebut benar-benar lewat proses yang halal dan ditopang oleh hal-hal yang halal serta perilaku yang dibenarkan oleh Islam. Untuk itu sudah seharusnya bagi seorang calon ibu atau suami sejak dini sudah mempersiapkan dirinya dengan baik berupa hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam segala aktivitas kehidupannya. Bila sebelumnya ia banyak melakukan kesalahan maka segerahlah bertobat sebab Allah maha pengampun. Sebaliknya juga bagi para ibu atau bapak yang terlanjur melakukan kesalahan dalam proses pengadaan anak maka perbaikilah diri anda dengan jalan tobat dan hidup secara Islami sehingga dengan demikian anak-anak yang akan dilahirkan atau sudah dilahirkan bisa menjadi anak yang saleh. Hery Noer Aly mengemukakan bahwa; Pertumbuhan jasmani seorang anak kadangkala dipengaruhi oleh faktor iklim, baik alamiah seperti iklim, perubahan musim dan sifat tanah, maupun dipengaruhi sosio-budaya seperti cara makan, cara memelihara badan dari penyakit dan perawatan. Untuk faktor warisan dari orang tua 664



H Jalaluddin, op. cit, h. 64



349



ibarat sebiji benih apabila disemaikan di atas tanah yang sesuai, benih akan tumbuh menjadi pohon atau tumbuh-tumbuhan yang diharapkan. Namun, apabila disemaikan di atas tanah yang tidak sesuai, ia tidak akan tumbuh dengan semestinya. Sebaliknya, walaupun bagaimana suburnya tanah itu, benih tidak akan dapat menjadi tanaman yang baik apabila tanaman yang disemaikan itu benih yang buruk. Demikian pula halnya dengan kecerdasan. Seorang tidak akan bisa diharapkan untuk menjadi pintar atau genius walaupun bagaimanapun suburnya lingkungan di sekelilingnya apabila sejak awal ia membawa warisan dari kecerdasan dari orang tuanya rendah. 665 Berdasarkan penjelasan dari Hery Noer Aly tersebut dapatlah dipahami bahwa faktor penyebab yang mempengaruhi anak terlahir ke alam dunia adalah kualitas sperma dari ayah dan kualitas sel telur yang dimiliki oleh seorang ibu serta proses perawatan yang dilakukan terhadap ibu hamil selama mengalami proses kehamilan sehingga hal tersebut memungkin bisa lahirnya seorang anak dengan baik. Kartini Kartono mengemukakan bahwa; Janin dalam rahim ibu itu nyaman terlindung dari setiap gangguan lingkungan. Namun hal ini tidak berarti bahwa janin tersebut secara absolut bisa aman dari pengaruh luar. Sebagian besar proses pertumbuhan janin tersebut sangat bergantung pada kondisi internal sang ibu, yaitu kondisi fisik dan psikisnya. Ibu dan janin merupakan satu bagian perkumpulan organik tunggal. Semua kebutuhan ibu dan bakal anak dicukupi melalui proses fisiologis yang sama. Substansi fisik dari ibu si anak mengalir pula ke dalam jasad janinnya. Unitas ini tidak hanya meliputi proses-proses kehidupan yang positif saja, akan tetapi juga menyangkut segi-segi destruktif. Tegasnya, kesejahteraan ibu, baik jasmani maupun rokhani, akan melimpahkan kesejahteraan kepada janinnya. Gangguan-gangguan pada pribadi ibu, baik yang bersifat fisik maupun psikis (misalnya suatu penyakit yang parah atau gangguan emosional yang serius). Selanjutnya, kematian dari salah seorang yaitu ibu atau janinnya, biasanya mengakibatkan pula kematian pada pihak lainnya. Apabila mineral dan hormon-hormon yang esensial penting bagi pertumbuhan calon bayi itu sangat kurang, maka janin akan banyak menyerap mineral dan hormon dari ibunya dengan mengorbankan kondisi ibunya.666 Berdasarkan pendapat Kartini Kartono tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa faktor yang mempengaruhi seorang anak terlahir ke alam 665 666



Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 123 Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembanga ) (Cet. V; Bandung: Mandar Maju, 1995), h. 67-68



350



dunia juga dipengaruhi oleh kondisi fisik dan psikis dari seorang ibu termasuk makanan yang dikonsumsi oleh seorang ibu. Untuk itu di saat seorang sedang mengandung maka ia harus dijaga makanannya, kesehatannya, dan kenyamanan tempat ia selama mengandung anak dimana bila hal itu baik maka anak yang dilahirkan kemungkinan akan lahir dengan baik tetapi bila hal tersebut kurang baik maka bisa jadi akan mempengaruhi kelahiran misalnya bayi lahir cacat, keguguran, atau bahkan kematian bayi atau ibu dan bayinya. Pemaparan di atas memberikan pemahaman bahwa banyak hal yang mempengaruhi anak terlahir ke alam dunia meliputi; kualitas sperma seorang ayah, kualitas sel telur seorang ibu, makanan yang dikonsumsi seorang ibu, kondisi dalam kehidupan rumah tangga, kondisi kejiwaan seorang ibu, perilaku keagamaan orang tua, kenyaman tempat tinggal ibu saat mengandung, kondisi kesehatan ibu dan takdir dari Allah. Masuknya takdir dari Allah sebagai salah satu penyebab yang mempengaruhi anak sebelum dilahirkan dikarenakan secara Islam walaupun berbagai hal telah diupayakan oleh manusia agar ia bisa mempunyai anak namun bila Allah tidak menghendaki keduanya untuk mendapatkan anak maka pasangan tersebut tentu tidak dikarunia anak, prinsipnya manusia harus melakukan ikhtiar berusaha asal jangan menghalakan segala cara tetapi tetap merujuk pada ajaran Islam. Ramayulis mengemukakan bahwa proses pendidikan bagi anak dalam kandungan dimulai semenjak pertemuan sperma dan ovum dimana proses ini berlangsung hingga anak lahir ke dunia dimana ia membutuhkan waktu lebih kurang 9 bulan. Proses pendidikan bagi anak dalam kandungan secara tidak langsung sebagai berikut; 1. Seorang ibu yang telah hamil harus mendoakan anaknya agar menjadi anak yang shaleh 2. Ibu harus menjaga dirinya agar tetap memakan makanan dan minuman yang halal 3. Ikhlas mendidik anak. Setiap orang tua harus ikhlas dalam mendidik anak pra natal dimana yang dimaksud adalah segala amal perbuatan dan usaha terutama upaya mendidik anak pranatal dilakukan dengan niat karena Allah semata, mendekatkan diri kepada Allah, dan ketaatan kepadanya, tidak dengan niat mendapatkan pamrih atau balas jasa dari anak kelak. Dengan kata lain mendidik anak pra natal harus diniatkan beribadah, memperhambakan diri kepada Allah swt, serta memelihara amanat Allah swt.



351



4. 5. 6.



Memenuhi kebutuhan Istri yang mengandung terutama pada masa-masa awal kandungan Mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah wajib maupun ibadah sunnah Kedua orang tua berakhlak mulia.667



Berdasarkan pendapat Ramayulis tersebut memberikan pemahaman bahwa pendidikan yang harus diterapkan dalam periodesasi kehamilan meliputi; selalu mendoakan anak agar menjadi anak yang shaleh, menjaga dan memberikan makanan yang bergizi dan halal bagi seorang ibu hamil, Ikhlas dalam merawat anak dalam kandungan, memenuhi kebutuhan ibu saat mengandung, suami istri harus mendekatkan diri kepada Allah dan suami harus selalu berakhlak yang baik dalam kehidupan. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang pendidikan Islam pada periode kehamilan meliputi; suami istri memperbaiki kualitas gen yang dimiliki dimana bila kesalahan-kesalahan masa lalu maka mereka harus memohan ampun kepada Allah, selalu mendoakan anak agar menjadi anak yang shaleh, memberikan ibu hamil makan dan minuman yang halal, Ikhlas dalam merawat anak dalam kandungan, memenuhi kebutuhan ibu hamil, dan suami istri harus mendekatkan diri kepada Allah dan selalu berakhlak yang baik dalam kehidupan. E.



Proses Pendidikan Islam Fase Bayi Masa bayi disebut juga masa mulut (oral phase). Disebut demikian karena bayi dapat mencapai pemuasan kebutuhan hidupnya dengan menggunakan mulutnya. Apabila pemuasan kurang terpenuhi anak dapat menjadi penghisap ibu jari. Ciri khusus pada masa mulut yaitu; 1. Pada bulan pertama bayi senang tidur sehingga disebut sipenidur 2. Hidupnya hanya makan, tidur dan seakan-akan hidupnya bersifat vegetatif seperti tumbuh-tumbuhan 3. Seakan-akan belum ada hubungan dengan dunia luar (pasif). 4. Apabila bangun, bergerak-gerak secara spontan, menggelepar, membuka dan menutup tangan, menggerakan badan dan sebagainya. 5. Pada umur empat bulan bayi mulai miring, membalikkan badan dan mengangkat kepala, kemudian belajar merangkak, duduk, berdiri dan pada umur 1 tahun dapat berjalan dengan bantuan 667



Ramayulis, op. cit., h. 43-45



352



6. 7.



Perkembangan gerakan dan bersifat gerak serentak lama kelamaan makin terperinci sehingga dapat memegang, memukul dan sebagainya. Perasaan semula kabur, kemudian mulai timbul dengan lagu tangisan yang bermacam-macam, seorang ibu yang cerdik dapat membedakan antara tangisan sedih, sakit, marah dan sebagainya. 668



Fase bayi ialah fase kehidupan manusia terhitung dari saat kelahiran sampai kira-kira berumur dua tahun. 669 Syamsu Yunus LN mengemukakan bahwa fase bayi adalah masa bayi dimulai sejak berakhirnya masa orok sampai akhir tahun kedua dari kehidupan.670 Selama masa bayi kehidupan bayi biasanya sangat tergantung pada bantuan dan pemeliharaan pihak lain terutama si ibu. Dalam periode ini peranan ibu besar sekali yaitu memberi makan, membersihkan tempat dan pakaian, memandikan, menidurkan, menimang-nimang dan mengendong, menyusui. Peranan ibu yang demikian tentu mempunyai arti tersendiri bagi pendidikan bayi. Pendidikan pada masa bayi mulai masuk pada pendidikan secara langsung. Beberapa data aspek kehidupan sudah mulai dilacak dan dimonitor melalui indra. Aspek-aspek kehidupan itu meliputi; perkembangan fisik, psikis, sosial dan agama. Hal ini semua menunjukkan bahwa sibayi pada saat itu walaupun masih belum sempurna kerja organ tubuhnya namun sudah siap menerima pendidikan. Di antara perkembangan menonjol pada saat itu adalah indra pendengaran. Untuk menuju ke arah kesempurnaan organ tubuhnya yang belum bekerja secara sempurna maka bayi perlu diberikan latihan dan bimbingan terutama indra pendengarannya yang lebih dahulu berfungsi ketimbang organ lainnya di isi dengan kata-kata suci dan bukan diserobot dengan nilai-nilai yang merusak.671 Beberapa hal yang harus dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya pada masa bayi yaitu; 1. Mengeluarkan zakat fitrah 2. Memberikan hak waris bila terjadi pembagian warisan 3. Menyampaikan kabar gembira dan ucapan selamat atas kelahirannya 4. Menyuarakan azan dan iqamah di telinga bayi 5. Mengaqiqahkan anak pada hari ke tujuh dari kelahirannya atau kapan saja kalau kurang mampu 6. Memberi nama yang baik bagi anak.672 668 669 670 671 672



Ibid., h. 446 Ibid. Syamsu Yunus LN, op. cit., h. 151 Ramayulis, op. cit., h. 447 Ibid., h. 448-449



353



Berdasarkan penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa pendidikan Islam yang harus diterapkan bagi anak masa bayi yaitu; mendengarkan kata-kata suci pada anak, melatih fungsi organ agar bisa berfungsi dengan baik, mengeluarkan zakat fitrah, memberikan hak waris bila terjadi pembagian warisan, mensyukuri kelahirannya, menyuarakan azan dan iqamah di telinga bayi, mengaqiqahkan anak dan memberikan nama yang baik. Bukhari Umar mengemukakan bahwa pendidikan bagi anak masa bayi meliputi; memberikan nama yang baik, melaksanakan aqiqah, menyusui minimal dua tahun, merawat dengan mengurus anak dengan akhlak yang baik seperti membaca bismillah pada setiap kesempatan baik waktu menyuapi maupun kegiatan lainnya dan orang tua harus bekerjasama dalam mengurus bayi dan menghindari pertengkaran yang dapat mengganggu psikologi anak.673 Berdasarkan pendapat Bukhari Umar tersebut diperoleh pemahaman bahwa pendidikan bagi anak di usia bayi meliputi; memberikan padanya nama yang baik, melaksanakan aqiqah baginya, menyusui anak hingga usia dua tahun, merawat dan mengurus anak dengan kepribadian orang tua yang dilandasi akhlak yang baik dan membiasakan dengan perilaku yang baik pula dan ayah serta ibu bekerjasama dalam pemelihaan anak termasuk menghindari pertengkaran yang bisa mempengaruhi psikologi anak. Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas tentang periodisasi pendidikan masa bayi diperoleh suatu pemahaman bahwa pendidikan Islam yang harus diterapkan bagi anak masa bayi yaitu; mendengarkan kata-kata Islami padanya, menyuarakan azan dan iqamah pada telinganya, memberi nama yang baik terhadapnya, melatih fungsi organ-organ tubuhnya agar bisa berfungsi dengan baik, mengeluarkan zakat fitrah, memberikan hak waris bila terjadi pembagian warisan, mensyukuri kelahirannya, mengaqiqahkan anak, menyusui anak selama dua tahun, anak dirawat dan diurus dengan perilaku akhlak yang mulia, berkerjasama antara ayah dan ibu dalam pengurusan anak serta menghindari perilaku tidak baik yang terjadi antara orang tua yang bisa mempengaruhi psikologi anak.



673



Bukhri Umar, op. cit., h. 118



354



F. 1.



Proses Pendidikan Islam Fase Kanak-kanak Hakikat Anak Fase Kanak-Kanak Atau Usia Pra Sekolah Masa kanak-kanak adalah masa selepas usia dua tahun hingga anak berusia 6 Tahun. Jadi batasnya sejak lepas panggilan bayi sampai masuk sekolah, ini biasanya yang berlaku di Indonesia. Masa kanak-kanak disebut dengan masa estetika, masa indera dan masa menentang orang tua. Disebut masa estetika karena pada masa itu merupakan saat terciptanya perasaan keindahan dimana anak-anak senang dengan segala sesuatu yang indah dan warna warni dan anak-anak menyukai pakaian yang berwarna cerah. Disebut masa Indra karena pada masa itu indra anak berkembang dengan pesat dan merupakan kelanjutan dari perkembangan sebelumnya sehingga dengan adanya perkembangan indra anak senang melakukan eksplorasi. Disebut masa menentang orang tua karena pada masa itu telah menonjol perkembangan berbagai aspek fisik dan psikis sementara di sisi yang lain belum berfungsi kontrol akal dan moral.674 H Syamsu Yunus LN mengemukakan; Anak usia pra sekolah (usia taman kanak-kanak) merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buangan air dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya).675 Berdasarkan penjelasan H Syamsu Yunus LN tersebut memberikan pemahaman bahwa anak usia 2 – 6 Tahun adalah anak yang belum mengenyam kegiatan pendidikan formal pada pendidikan dasar dimana ia lebih dikenal dengan anak usia pra sekolah. Soemiarti Patmonodewo mengemukakan; Anak pra sekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun menurut Biechler dan Snoman. Mereka biasanya mengikuti program pra sekolah. Di Indonesia umumnya mereka mengikuti program penitipan anak (3-5 tahun), kelompok bermain (usia 3 tahun) dan usia 4-6 tahun biasanya mereka mengikuti program taman kanak-kanak. 676 Berdasarkan penjelasan Soemiarti Patmonodewo tersebut dapatlah dipahami bahwa anak usia 3-6 Tahun adalah anak usia pra sekolah dikarenakan umur mereka belum cukup untuk mengikuti kegiatan pendidikan 674 675 676



Mokhtar Yahya, Pertumbuhan Akal dan Manfaat Naluri Kanak-Kanak (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 20 H Syamsu Yusuf LN, op. cit., h. 162 Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Pra Sekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 19



355



pada tingkat dasar dan masuk pada bagian dari kelompok anak usia pra sekolah. Suryadi mengemukakan; Usia dini atau usia pra sekolah adalah masa dimana anak belum memasuki pendidikan formal. Rentang usia dini merupakan saat yang tepat dalam mengembangkan potensi dan kecerdasan anak. Pengembangan potensi anak secara terarah pada rentang usia tersebut akan berdampak pada kehidupan masa depannya. Sebaliknya pengembangan yang asal-asalan akan berakibat tumpulnya potensi anak yang sebenarnya.677 Berdasarkan pendapat Suryadi tersebut dapatlah dipahami bahwa usia anak 6 tahun ke bawah dikategorikan anak usia pra sekolah karena pada usia tersebut seorang anak belum mengenyam pendidikan pada sekolah dasar dimana pada masa tersebut merupakan masa yang krusial bagi seorang anak karena bila potensi anak pada masa tersebut dibina dengan baik maka potensi anak akan tumbuh dan berkembang pada proses selanjutnya dengan baik tapi bila potensi anak pada masa usia pra sekolah tidak dibina dengan baik maka potensi anak tidak akan tumbuh dan berkembang pada proses selanjutnya dengan baik. Untuk itu pemaparan tersebut memberikan pemahaman bahwa anak usia 2- 6 tahun merupakan usia anak para sekolah karena pada usia tersebut belum mengenyam kegiatan pendidikan pada pendidikan tingkat dasar yaitu SD atau sederajatnya. 2. a.



Pola Pendidikan Anak Usia Pra Sekolah Pendidikan anak Usia Pra Sekolah di Lingkungan Keluarga Sekolah paling dasar dalam pelaksanaan pendidikan formal adalah sekolah dasar dan sederajatnya. Ini memberi makna bahwa bila yang dimaksud penanaman nilai-nilai agama pada usia pra sekolah maka yang dimaksud adalah penanaman nilai-nilai agama bagi anak pada saat anak berusia antara 2-6 tahun dimana anak pada usia tersebut belum mengikuti proses pendidikan pada sekolah dasar atau sederajatnya. Sementara pada sisi lain bahwa posisi anak pada saat usia tersebut kebanyakan selalu bersama orang tuanya sehingga tanggung jawab orang tua dalam melaksanakan pendidikan anak pada usia tersebut sangat vital. Keluarga adalah salah satu mata rantai kehidupan yang paling esensial dalam sejarah perjalanan hidup manusia. Keluarga sebagai pranata sosial 677



Suryadi, Kiat Jitu Dalam Mendidik Anak (Cet. I; Jakarta: Edsa Mahkota, 2006), h. vii



356



pertama dan utama, tidak disangkal lagi bahwa keluarga mempunyai arti paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan putra putri yang tengah mencari makna kehidupannya. Meskipun diakui bahwa keluarga bukan merupakan satu-satunya pranata yang menata kehidupan karena di samping keluarga masih banyak pranata sosial lainnya yang secara kontributif mempunyai andil dalam memberikan pendidikan pada anak, tetapi keluarga sebagai titik awal sekaligus sebagai modal awal pendidikan anak. Berhasil dan gagalnya pendidikan keluarga dalam Islam, sepenuhnya bergantung pada kemampuan seseorang untuk memahami manhajul Islam (metode) yang diterapkan di lingkungan keluarga berdasarkan pada Qur‟an dan Sunnah. Islam menegaskan bahwa manusia di atas bumi berfungsi sebagai khalifah Allah, yang mengembangkan amanat-Nya untuk menegakkan ajaran Allah serta melestarikan kehidupan makhluknya di atas bumi, termasuk kehidupan manusia. Khalifah Allah berarti melaksanakan sebagian tugas dari Allah sesuai dengan fitrahnya. Allah adalah Rabbun (Pemelihara/pendidik), maka sebagian tarbiyah-Nya diamanatkan kepada manusia. Oleh karena itu tarbiyah (pendidikan) menjadi salah satu tugas manusia di atas bumi. 678 Unit terkecil dari keluarga adalah suami istri dan ibu, ayah dan anak yang bernaung di bawah satu rumah tangga, 679 juga merupakan lingkungan kelompok sosial yang paling kecil. Orang tua merupakan institusi yang paling dekat dalam mendidik anak sebab semenjak anak dilahirkan orang tuanya yang selalu dekat dan bersama dengannya. Hal ini berarti orang tua sebagai pendidik pertama dan utama mempunyai kewajiban dalam memberikan pendidikan kepada anaknya. Sayyid Sabiq al-Amawi, sebagaimana dikutip oleh Rehani menyatakan bahwa pendidikan dan pengajaran berfungsi sebagai sarana alat untuk menyelamatkan manusia dari siksaan api neraka, dan keselamatan manusia dari azab dan kerugian akan tercapai dengan mendidik individu supaya beriman kepada Allah dan menjalankan syariat-Nya, mendidik beramal saleh dan mengikuti jalan hidup Islam dalam kehidupan sehari-hari.680 Konsep pendidikan keluarga sebagaimana diajarkan oleh Nabi SAW dengan cara melalui keteladanan dan pembiasaan yang dilakukan oleh orang tua, karena keteladanan dan pembiasaan inilah yang tidak mungkin dilakukan 678 679 680



Jalaluddin Rahmat & Muthar Gadatmaja, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Moderen (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), h. 199 M Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, Tafsir Maudhui Atas Berbagai Persoalan Umat (Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1998), h. 201 Rehani, Berawal Dari Keluarga, Revolusi Belajar (Jakarta: Hikmah, 2003), h. 84



357



di sekolah, taman pendidikan Kanak-kanak, pesantren atau guru agama yang diundang ke rumah. Hanya kedua orang tualah yang mungkin dapat melakukan hal itu secara sempurna, karena orang tua adalah orang yang menjadi panutan bagi anak. Setiap anak mula-mula mengagumi kedua orang tuanya. Semua tingkah laku orang tua akan ditiru oleh anak, karena itu keteladanan oleh orang tua sangat diharuskan. Misalnya ketika orang tua makan membaca basmalah, orang tua shalat, mengajak makan sahur anak dan sebagainya akan membawa pengaruh pada anak. Untuk itu orang tua memegang peranan penting terhadap penanaman nilai-nilai agama bagi anak semenjak dilahirkan hingga ia sebelum memasuki pendidikan di sekolah dasar. Orang tua adalah orang yang melahirkan anak. Anak adalah kebanggaan dan tumpuan harapan masa depan dari orang tua. Untuk itu sudah sewajarnya orang tua memiliki rasa cinta dan kasih sayang terhadap anaknya. Perasaan ini dijadikan Allah sebagai asas kehidupan psikhis, sosial, dan fisik kebanyakan makhluk hidup.681 Allah menanamkan perasaan itu dalam diri manusia antara lain untuk mempertahankan kelangsungan hidup jenis mereka di muka bumi. Perasaan inilah yang membuat orang tua nampak bersabar dalam memelihara, mengasuh, mendidik anak serta memperhatikan segala kemaslahatannya.682 Kadang-kadang perasaan cinta dan kasih sayang orang tua terhadap anak menjadi ekstrim berlebihan sehingga menghalanginya untuk menjalankan ketentuan agama. Namun, kadang-kadang perasaan itu bisa hilang seperti terjadi pada sebagian orang tua bangsa Arab di masa jahiliyah dahulu dengan mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Islam mengajarkan agar perasaan itu hendaknya berada dalam ketentuan agama. Kepada orang tua pertama Islam mengingatkan agar kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya didahulukan dan kedua orang tua diingatkan bahwa kasih sayang Allah terletak pada kasih sayang mereka kepada anaknya. Pendidikan yang dilakukan oleh orang tua atas dorongan kasih sayang sebab ia dilembagakan dalam Islam sebagai kewajiban yang dipertanggung jawabkan kepada Allah. Orang tua adalah orang dewasa pertama yang memikul tanggung jawab pendidikan, sebab secara alami anak pada masa awal-awal hidupnya atau usia pra sekolah berada di tengah-tengah ibu dan ayahnya sementara pendidikan 681 682



Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah Wa Asalibuha Fi al-Bayt Wa al-Madrasah Wa al-Mujtama‟ (Damaskus: Dar al-Fikr, 1979), h. 124 Abdullah Ulwan, Tarbiyah al-Awlad Fi al-Islam, Jilid I (Cet. Beyrut: Dar al-Salam, 1979), h. 47-48



358



pada taman kanak-kanak atau sejenisnya itu hanya berlangsung beberapa jam setiap harinya. Untuk itu dari orang tualah anak mulai mengenal nilai-nilai ajaran agama. Dasar-dasar pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup banyak tertanam sejak anak berada di tengah-tengah orang tuanya. Mereka dapat mengenalkan kepada anak segala hal yang mereka ingin beritahukan kepada anak atau yang anak sendiri ingin mengetahuinya mulai dari hal yang baik sampai kepada hal yang buruk, mulai dari bahasa cinta sampai kepada bahasa benci dan mulai dari hal yang konkrit sampai yang abstrak.683 M Athiyah al-Abrasyi, mengemukakan; Pendidikan Islam menghendaki setiap pendidik untuk mengikhtiarkan cara-cara yang bermanfaat dalam membentuk adat istiadat yang baik, pendidikan akhlak untuk kemurnian hati nuraninya, menguatkan kemauan bekerja, mendidik panca indera, mengarahkan pembawaanpembawaannya di waktu kecil ke jalan yang lurus dan membiasakannya berbuat amal baik dan menghindari setiap kejahatan. Para Filosof Islam merasakan betapa pentingnya periode kanak-kanak dalam pendidikan budi pekerti dan membiasakan anak-anak pada tingkah laku yang baik sejak kecilnya. Mereka sependapat pendidikan anak sejak kecil harus mendapat perhatian penuh. Pepatah lama mengatakan; Pelajaran di waktu kecil ibarat lukisan di atas batu, pendidikan di waktu besar ibarat lukisan di atas air. Dengan demikian tidak mengherankan bila ahli-ahli pendidikan moderen abad ke 20 mengatakan bahwa anak-anak meniru tabiat orang yang mendampinginya dalam 5 tahun pertama dari umurnya. Ibnu Jauzi menulis dalam bukunya pengobatan jiwa bahwa; pembentukan yang utama ialah di waktu kecil. Apabila seorang anak dibiarkan melakukan sesuatu (yang kurang baik) sehingga nantinya menjadi kebiasaan, sukarlah untuk meluruskannya. Artinya pendidikan budi pekerti yang tinggi, wajib dimulai di rumah, dalam keluarga, sejak kecil dan jangan membiarkan anak-anak tanpa pendidikan, bimbingan, dan petunjuk-petunjuk. Bahkan sejak kecil ia harus didik sehingga tidak terbiasa dengan adat istiadat yang tidak baik. Bila dibiarkan saja, tidak diperhatikan, tidak dibimbing, ia akan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik sehingga sukarlah mengembalikannya dan memaksakannya untuk meninggalkannya. Ringkasnya pemeliharaan lebih baik dari perawatan.684 Berdasarkan pendapat M Athiyah al-Abrasyi tersebut dapatlah 683 684



Hery Noer Ali. op. cit, h. 86-87 M Athiyah al-Abrasyi, At-Tarbiyyah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh KH Abdullah Zakiy al-Kaaf, dengan judul; Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 115-116



359



dipahami bahwa pendidikan Islam bagi anak sudah dilakukan bagi anak sejak sedini mungkin khususnya pada usia anak 5 tahun pertama. Penanaman nilainilai Islam bagi anak pada usia tersebut dilakukan lewat menciptakan lingkungan keluarga dengan budaya-budaya yang sesuai dengan tuntunan dalam ajaran Islami, anak dibiasakan melakukan perilaku-perilaku sesuai dengan tuntunan dalam ajaran Islami dan menjauhkannya dengan perilakuperilaku yang tidak sesuai dengan tuntunan dalam ajaran Islami, serta dalam proses penanaman nilai-nilai ajaran Islam terhadap anak dilakukan lewat proses kasih sayang bukan lewat pemaksaan dan dilakukan lewat perhatian penuh dari orang tua. Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa sistem pendidikan Islam bagi anak usia pra sekolah dilakukan lewat dua cara yaitu keteladan dari orang tua berupa orang tua selalu hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam dalam semua lingkup kehidupan dan pembiasan berupa orang tua selalu membiasakan anak agar hidup dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam baik itu pembiasaan lewat penglihatan dan pendengarannya maupun pembiasaan dalam tingkah laku tetapi harus dilakukan disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan anak bukan lewat pemaksaan. Al-Gazali mengungkapkan sebagaimana dikutip M Athiya al-Abrasyi dikemukakan bahwa; Anak biasakan dengan yang baik dan diajar sejak kecil, ia akan menjadi besar dengan sifat-sifat yang baik dan apabila dewasa ia akan berbuat demikian pula, berbahagialah ia di dunia dan di akhirat. Sebaliknya apabila ia terbiasa dengan hal yang jelek sewaktu kecil dan ia tidak diperhatikan tanpa pendidikan dan pengajaran seperti membiarkan seekor binatang, maka ia akan menderita dan celaka dalam hidupnya.685 Berdasarkan pendapat al-Gazali tersebut dapatlah dipahami bahwa seorang anak sudah harus dibimbing dengan nilai-nilai ajaran agama oleh kedua orang tuanya semenjak ia dari kecil sebab apa yang dialami oleh seorang anak sejak kecil itu akan terbawa dalam kehidupan selanjutnya. Selain itu dalam upaya mendidik anak sejak kecil harus dilakukan dengan sepenuh hati oleh kedua orang tuanya sebab kurang adanya perhatian dari kedua orang tua terhadap anak akan mempengaruhi perkembangan kepribadian anak nantinya yaitu tumbuh dengan kepribadian yang kurang baik. Hal ini bermakna bahwa sistem pendidikan Islam bagi anak pada anak usia pra sekolah dilakukan lewat proses pembiasaan dan penuh kasih sayang 685



Ibid, h. 126



360



sebab dengan cara tersebut nantinya mampu menumbuhkan anak yang akan tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat kelak tetapi bila penanaman nilai-nilai ajaran Islam bagi anak saat kecil kurang diperhatikan oleh orang tuanya maka sama saja mempersiapkan anak di kemudian dengan kehidupan yang penuh dengan penderitaan. Agus Sujanto mengemukakan; Bagi orang tua dan guru dalam hal membantu anak di usia pra sekolah maka yang dapat dilakukan berupa; 1) melatih anak dapat melakukan kewajiban-kewajiban yang sesuai dengan keadaan jasmani dan rokhaninya, 2) melatih anak melakukan peraturan-peraturan keluarga atau sekolah, 3) melatih anak, menyertakan gerakan-gerakan tertentu pada saat berbicara, bernyanyi, bersyair, bergembira, bersedih dan sebagainya, 4) melatih gerakan dengan baik dan benar lewat berbagai bentuk permainan.686 Berdasarkan pendapat Agus Sujanto tersebut memberikan pemahaman bahwa proses pendidikan Islam bagi anak pada usia pra sekolah dilakukan lewat pengajaran dalam bentuk pelatihan dalam upaya memantapkan kemampuan potensi dan perilaku dari anak yang disesuaikan dengan kondisi potensi anak baik jasmani dan rohaninya agar kedua kemampuan tersebut berfungsi dengan baik sebagaimana orang dewasa pada umumnya. H Ramayulis mengemukakan bahwa; Dalam mendidik anak pada usia pra sekolah, orang tua harus mengambil jalan tengah, jangan terlalu lunak dan jangan terlalu ekstrim. Orang tua harus memahami potensi-potensi yang dimiliki oleh anak semasa itu. Perkembangan indra yang pesat membuat anak banyak berinisiatif. Dia mulai ikut terlibat berhubungan dengan orang lain. Bermain merupakan kegiatan paling disenangi. Hasilnya, bagaimana kesenangan beraktivitas anak tersebut digantikan dengan latihan-latihan shalat, kedisiplinan moral, dan sebagainya. Ingat masa anak pra usia sekolah juga merupakan masa meniru. Dia akan meniru semua perilaku yang akan ditemuinya. Jelasnya anak pada masa itu kebiasaan dan pembiasaan pada anak sangat menentukan bagi keberhasilan pendidikan.687 Berdasarkan pendapat H Ramayulis tersebut dapatlah dipahami bahwa proses pendidikan Islam bagi anak di usia pra sekolah berbeda dengan proses penanaman nilai-nilai ajaran Islam pada anak usia sekolah yang lebih banyak didominasi ceramah, tanya jawab, pemberian tugas dan diskusi, keteladan dan 686 687



Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan (Cet. VI; Jakarta: Asara Baru, 1988), h. 76 H Ramayulis, op. cit., h. 452



361



sebagainya dimana proses penanaman nilai-nilai ajaran untuk anak usia pra sekolah dapat dilakukan oleh para orang lewat keteladan dan pembiasaan. Tadjab mengemukakan; Perkembangan anak bukanlah merupakan suatu hal yang terjadi dengan sendirinya. Sebagaimana halnya dengan tanaman maka anak agar bisa berkembang dengan baik diperlukan pembinaan dan pemeliharaan. Pembinaan dan pemeliharaan anak bukanlah pekerjaan yang mudah tetapi memerlukan kerja keras dari kedua orang tuanya sehingga bisa tumbuh dari kecil menuju kedewasaan dengan baik. Untuk bisa mewujudkan tercapainya pertumbuhan anak dari kecil menunju kedewasaan dengan baik maka orang tua harus mampu menyediakan segala sesuatu yang terkait dengan pertumbuhan seorang anak baik yang sifatnya terkait dengan jasmani anak maupun yang terkait rohani anak.688 Berdasarkan pendapat Tadjab tersebut dapatlah dipahami bahwa perkembangan yang terjadi pada kepribadian anak bukan terjadi dengan sendirinya tetapi hal itu bisa terjadi lewat proses pembinaan dan pemeliharaan dari kedua orang tuanya semenjak dari kecil, sebaliknya pula dengan perkembangan rohani seorang anak sehingga karenanya agar seorang anak dalam kehidupannya tumbuh dengan kepribadian yang Islami maka semenjak kecil ia sudah harus dibina dengan nilai-nilai ajaran Islam atau diterapkan pendidikan Islam kepadanya. Mansur mengemukakan; Setiap orang tua muslim hendaknya menyadari bahwa anak adalah amanat Allah yang dipercayakan kepada orang tua. Dengan demikian maka orang tua pantang menghianati amanat Allah berupa dikaruniakannya anak kepada mereka. Di antara sekian perintah Allah berkenaan dengan amant-Nya yang berupa anak adalah bahwa setiap orang tua muslim wajib mengasuh dan mendidik anak-anak dengan baik dan benar. Hal ini dilakukan agar tidak menjadikan anak-anak lemah imannya dan lemah kehidupan duniawinya, namun agar dapat tumbuh dewasa menjadi generasi yang saleh, sehingga terhindar dari siksa api neraka. Jika orang tua menempuh jalan yang benar dalam mengembang amanat Allah, yakni mendidik anak-anak mereka dengan baik dan benar, niscaya Islami anak akan tumbuh dan lebih bisa diharapkan dapat masuk surga. Sebaliknya jika orang tua lengah dalam mengembang amanat Allah niscaya fitrah Islamiah anak akan tercoreng



688



Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan (Cet. I; Surabaya: Karya Abditama, 1994), h. 25



362



atau bahkan sama sekali dan tergantikan oleh akidah lain, mungkin menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi atau menjadi kafir. 689 Berdasarkan penjelasan dari Mansur tersebut dapatlah dipahami bahwa tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai ajaran Islam dan pendidikan terhadap anak harus dilakukan dengan baik dan benar sebab kesalahan dalam mendidik anak akan menjadi fatal bagi perkembangan seorang anak pada masa-masa selanjutnya. Untuk itu anak yang terlahir secara fitrah atau suci agar kesuciannya tersebut terus dijaga oleh orang tua dengan sebaik-baiknya lewat proses penanaman nilai-nilai ajaran Islam dengan baik dan benar padanya sehingga nantinya anak akan tumbuh dengan kepribadian yang Islam serta akan mendapatkan kebahagiaan hidup di surga kelak tetapi bila fitrah seorang anak tidak dijaga oleh orang tuanya lewat proses penanaman nilai-nilai ajaran Islam maka anak dalam perkembangan selanjutnya bisa berkepribadian Yahudi, Nasrani dan Majusi sehingga secara otomatis dalam kehidupan di akhirat kelak akan mendapatkan kesengsaraan berupa neraka. Tanggung Jawab orang tua menanamkan nilainilai ajaran Islam pada anak merupakan amanah yang diberikan oleh Allah kepada ke dua orang tua sehingga para orang tua harus menjaga amanat tersebut dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan seputar sistem pendidikan Islam bagi anak di usia pra sekolah tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa sistem pendidikan Islam bagi anak di usia pra sekolah dilakukan lewat proses pembiasaan dan peneladan yang dilakukan sesuai dengan kondisi dan kemampuan dari seorang anak sebab anak usia pra sekolah baik dari kemampuan jasmani maupun kemampuan rohaninya masih sangat terbatas tidak seperti orang dewasa sehingga nantinya anak tumbuh dan berkembang dengan kepribadian yang Islami. b. Pendidikan anak Usia Para Sekolah Pada Taman Kanak-Kanak Pendidikan pada taman kanak-kanak adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia empat tahun sampai enam tahun. 690 Raudhatul Anfhal (RA), Bustanul Anfhal (BA) adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan umum dan pendidikan



689 690



Mansur, op. cit, h. 8 Depdiknas, Standar Kompetensi Taman Kanak-Kanak dan Raudhatul Athfal, (Depdiknas Jakarta, 2004), h. 5



363



keagamaan Islam bagi anak berusia empat tahun sampai enam tahun. 691 Taman Kanak-Kanak Raudhatul Antfhal (RA), Bustanul Anfhal (BA), untuk selanjutnya ditulis Taman Kanak-Kanak merupakan pendidikan anak usia dini dan di dalamnya terdapat Garis-garis besar program kegiatan belajar (GBPKB) yakni usaha untuk mengetahui secara mendalam tentang perangkat kegiatan yang direncanakan untuk dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, dalam rangka meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan diri anak usia Taman Kanak-Kanak. Adapun fungsi pendidikan Taman Kanak-Kanak adalah untuk menanamkan peraturan dan menanamkan disiplin pada anak, mengenal anak dengan dunia sekitar, menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik, mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi, mengembangkan keterampilan, kreativitas dan kemampuan yang dimiliki anak, menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar. Adapun tujuannya adalah untuk membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional, kognitif, bahasa fisik atau motorik kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar.692 Tujuan Taman Kanak-Kanak adalah kesinambungan dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu untuk membentuk Insan kamil (manusia sempurna). Oleh karena itu tujuan Taman Kanak-Kanak adalah pembentukan dasar untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak usia dini. Dalam hal itu keluarga mempunyai peranan yang sangat penting untuk mewujudkan peletakan dasar dalam rangka memasuki pendidikan selanjutnya. Program kegiatan Taman Kanak-Kanak didasarkan pada tugas perkembangan anak sesuai dengan tahap perkembangan anak. Program kegiatan belajar Taman Kanak-Kanak merupakan satu kesatuan program kegiatan belajar yang utuh. Program kegiatan belajar ini berisi bahan-bahan pembelajaran yang dapat dicapai melalui tema yang sesuai dengan lingkungan anak dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjang kemampuan yang hendak dikembangkan. Dengan demikian bahan itu dapat dikembangkan lebih lanjut oleh guru menjadi program kegiatan pembelajaran yang operasional. Program pengembangan pembentukan perilaku melalui pembiasaan dalam rangka mempersiapkan anak sedini mungkin dalam mengembangkan sikap dan perilaku yang hidup sesuai dengan norma yang dianut oleh masyarakat. Biasanya untuk memudahkan pelaksanaan program kegiatan belajar 691 692



Ibid. Ibid



364



mengajar, anak Taman Kanak-Kanak dikelompokkan dalam dua kelompok belajar, yaitu kelompok A untuk anak didik usia 4 sampai 5 tahun, dan kelompok B untuk anak usia 5 sampai 6 tahun. 693 Kurikulum berbasis kompetensi untuk anak kelompok A disusun lebih sederhana dari kemampuan-kemampuan yang diharapkan dicapai oleh anakanak didik kelompok B. walaupun demikian, dalam pelaksanaan lebih cepat atau lebih lambat dari teman sebaya, untuk melayani anak yang demikian, hendaknya guru dapat bersikap luwes sehingga perkembangan anak secara individual tidak terlambat. Urutan kemampuan yang diharapkan dicapai disesuaikan dengan perkembangan kemampuan anak, dan tidak menutupi kemungkinan adanya penambahan kemampuan yang ingin dicapai. Adapun kurikulum berbasis kompetensi B pada kelompok B adalah anak mampu melakukan ibadah, terbiasa mengikuti aturan dan dapat hidup bersih dan mulai belajar membedakan benar dan salah, terbiasa berperilaku terpuji. Anak mempunyai pendengaran dan berkomunikasi secara lisan, memiliki perbedaan kata dan mengenal simbol yang melambangkan untuk persiapan membaca dan menulis. Anak mampu memahami konsep sederhana, memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Anak mampu melakukan aktivitas fisik secara terkoordinasi dalam rangka persiapan untuk menulis misalnya, kelenturan, keseimbangan dan kelincahan serta melatih keberanian. Anak mampu mengekspresikan diri dan berkreasi dengan berbagai gagasan imajinasi dan menggunakan berbagai media atau bahan menjadi suatu karya seni. 694 Adapun ciri-ciri Taman Kanak-Kanak yang baik bagi peserta didiknya meliputi; 1) Orang tua dan guru sebaiknya saling bahu-membahu, sehingga tercipta kerjasama yang baik antara pihak rumah dan sekolah yang akan mendukung anak dalam memperoleh pengalaman di sekolah. 2) Pengalaman anak hendaknya dirancang, lingkungan yang bersifat anak sebagai pusat yang akan mendorong proses belajar melalui penjelajahan dan penemuan, anak tidak hanya duduk diam, kelas tidak akan dikuasai oleh meja, kertas dan buku kerja. 3) Anak harus diberi kesempatan untuk mendapatkan berbagai pengetahuan, dan kegiatan yang rumit. Anak-anak harus mampu



693 694



Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2005), h. 130 Ibid.



365



menggunakan alat-alat permainan atau alat bantu belajar yang tersedia. 4) Anak belajar menyukai buku dan bahasa melalui aktivitas bercerita, kegiatan yang berulang kali untuk mendapat kesempatan mendengar dan belajar melalui sajak atau permainan bahasa. 5) Anak mampu berbahasa dengan caranya sendiri, memiliki pengalaman dan tanggapan perkembangan dan tahapan perkembangan yang merupakan dasar dari kegiatan membaca dan menulis. 6) Anak berpartisipasi dengan kegiatan sehari-hari yang dirancang dengan kegiatan perkembangan motorik kasar dan halus, yang meliputi kegiatan lari, melompat, melambung bola, menjahit, dan lain sebagainya. 7) Anak mengembangkan pengertian matematika melalui penggunaan materi yang dikenal yaitu pasir, air, unit balok, dan alat bantu untuk menghitung, bukan hanya melalui pernyataan yang diajukan guru, atau dari buku kerja yang telah dikerjakan. 695 8) Anak mengemban rasa ingin tahu tentang alam, elemen-elemen yang telah dikenal melalui pengamatan yang merupakan dasar dari ilmu pengetahuan, percobaan dan tindakan mengambil kesimpulan, hal tersebut dilakukan melalui kegiatan yang direncanakan dan interaksi yang spontan dengan tanaman, binatang, karang, tanah, air dan sebagainya. 9) Anak mengenal berbagai irama dan alat musik melalui kegiatan yang dilakukan sehari-hari. 10) Anak menyukai ekspresi seni melalui penggunaan berbagai alat bantu media yang dirancang dalam kurikulum, bukan sekadar melalui kegiatan menggambar, mewarnai, menggunting, menempel dan sebagainya. 11) Semua kegiatan di Taman Kanak-Kanak dirancang untuk mengembangkan kreasi yang positif, serta sikap yang baik kepada teman sekolah. 12) Bermain harus dihargai karena nilainya sebagai medium belajar bagi anak.696



695 696



Suryadi, op. cit., h. 42 Soemiarti Patmonodewo, op. cit., h. 89



366



Dewasa ini ada kecenderungan yang meluas bahwa praktik pendidikan Taman Kanak-Kanak di Indonesia (disingkat satuan pendidikan) menyimpang dari apa yang seharusnya, dari norma-norma yang telah digariskan dalam kurikulum dan pedoman penyelenggaraannya. Suka atau tidak, gejala ini merupakan realitas yang perlu kita sadari dan kita angkat sebagai suatu persoalan untuk dicari pemecahannya, bukan sebagai sesuatu yang kita negosiasikan, dianggap seakan-akan tidak pernah ada, atau tidak penting. Dunia pendidikan kita sekarang ini cenderung ambivalen dalam menghadapi persoalan pendidikan Taman Kanak-Kanak. Ambivalen dalam pengertian bahwa secara formal kita mengacu kepada pedoman-pedoman normatif yang telah dibuat (kurikulum, pedoman penyelenggaraan Taman Kanak-Kanak), sementara kenyataannya kita melakukan sesuatu yang lain. Bila hal tersebut tidak kita angkat, maka lama kelamaan kita akan percaya bahwa yang benar adalah yang terjadi pada praktik, betapapun hal itu tidak sejalan dengan apa yang secara ideal kita definisikan. Agar pendidikan anak berkembang dengan baik.697 Potret yang digambarkan di atas tentu tidak mewakili Taman KanakKanak, tatapi hal itu menjadi sesuatu yang signifikan untuk diangkat karena secara perlahan-lahan membentuk citra masyarakat tentang Taman KanakKanak yang baik, yang bermutu, yang diukur dari hal-hal seperti itu. Bahwa akan terjadi sebagian kecil Taman Kanak-Kanak mungkin juga benar, tatapi sebagian kecil itu menjadi sesuatu yang besar dan berpengaruh karena telah secara perlahan-lahan menjadi model atau dimodelkan oleh masyarakat dan penyelenggaraan pendidikan Taman Kanak-Kanak. Lazimnya, sesuatu yang menjadi model atau dimodelkan akan menjadi contoh, dijadikan acuan, melalui proses komunikasi dan sosialisasi akan membentuk persepsi baru dalam benak masyarkat dan pelaksana pendidikan Taman Kanak-Kanak. Lebih hebat lagi karena pemerintah juga seakan-akan memberikan pengakuan dan dorongan dengan cara memberikan anugerah, hadiah penghargaan terhadap Taman Kanak-Kanak yang demikian. Para pendidiknya yang menjadi juara dalam lomba diberi hadiah, dinyatakan sebagai guru teladan. Diminta menjadi penyaji atau instruktur dalam pelatihan. Pada saat itulah terjadi pengembangan citra bahwa Taman Kanak-Kanak yang baik itu adalah seperti melakukan tugas dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang mengedepan kualitas belajarnya.



697



Dedi Supriadi, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan. (Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), h. 49



367



Pendidikan Taman Kanak-Kanak harus mampu menyiapkan anak untuk memasuki Sekolah Dasar. Hal ini menjadi runyam lagi karena Taman Kanak-Kanak berada sebagian besar di kota, dan orang tua di kota umumnya menuntut demikian. Popularitas Taman Kanak-Kanak juga diukur bukan dari apakah yang diberikan kepada anak sesuai dengan bidang-bidang pengembangan yang digariskan dalam kurikulum, melainkan apakah anakanak Taman Kanak-Kanak itu siap masuk Sekolah Dasar. Apakah di Taman Kanak-Kanak itu anak dilatih berhitung, menulis, membaca, sebagaimana di Sekolah Dasar, ada musiknya, sering mengadakan pertunjukan. Taman Kanak-Kanak yang populer dan memiliki preferensi tinggi dewasa ini adalah Taman Kanak-Kanak yang begitu, bahkan juga mengajarkan bahasa Inggris, tampil di televisi, radio. Ini adalah penyimpangan dari apa yang seharusnya. Sebagian besar guru dan yayasan penyelenggaraan juga hanyut dalam cara berfikir demikian, seakan-akan tak kuasa. Bahkan secara perlahan tumbuh anggapan bahwa praktek pendidikan Taman Kanak-Kanak yang begitulah yang sebenarnya tepat, dibutuhkan oleh masyarakat dan dapat menyiapkan anak masuk ke Sekolah Dasar.698 Berdasar penjelasan tersebut di atas tentang pendidikan anak usia pra sekolah pada taman kanak-kanak dapat diperoleh pemahaman bahwa pendidikan anak usia Taman Kanak-Kanak adalah suatu proses pendidikan yang diselenggarakan bagi anak usia Pra-sekolah yang dalam hal ini anak berusia antara 4 sampai 6 tahun. Hal yang diharapkan dengan proses pendidikan tersebut nantinya memudahkan anak untuk mengikuti kegiatan pendidikan pada Sekolah Dasar dan dengan proses pendidikan tersebut mampu memberikan dasar-dasar perilaku bagi anak melalui pembiasaan dalam rangka mempersiapkan anak sedini mungkin dalam mengembangkan sikap dan perilaku yang hidup sesuai dengan norma agama maupun normanorma yang dianut oleh masyarakat serta disesuaikan potensi yang ada pada diri anak serta berhasil tidaknya proses pendidikan pada taman kanak bergantug pada kerjasama yang baik antara orang tua dan guru pada taman kanak-kanak serta peran orang sangat fital bagi berlangsungnya pendidikan anak pada taman kanak-kanak sebab guru pada taman kanak-kanak hanya melakukan pengenalan-pengenalan dasar pengetahuan dan sikap pada anak sementara pembentukan sebenarnya dari pengetahuan dan sikap dasar itu berlangsung pada lingkungan keluarga. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut di atas tentang 698



Ibid., h. 50



368



pendidikan Islam bagi anak pada fase kanak-kanak dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam pada fase ini berlangsung pada saat anak berusia antara 2 sampai 6 tahun dimana ia lebih dikenal dengan pendidikan usia pra sekolah sebab proses pendidikan pada masa berlangsung bagi anak yang belum mengikuti kegiatan pendidikan pada tingkat sekolah dasar atau sederajanya dimana pola pembinaan pendidikan pada tahap ini dapat ditempuh lewat proses pembiasaan dan peneladan yang dilakukan sesuai dengan kondisi dan kemampuan dari seorang anak karena anak pada usia tersebut kemampuan jasmani maupun kemampuan rohaninya masih sangat terbatas sehingga nantinya anak tumbuh dan berkembang dengan kepribadian yang Islami serta perlu diketahui bahwa ada dua sistem pendidikan Islam pada usia pra sekolah yaitu yang dilaksanakan di lingkungan keluarga dan di TK atau sejenisnya tetapi esensi utama pendidikan Islam anak usia pra sekolah terletak pada pundak orang tua sebab merekalah yang memiliki tanggung jawab utama untuk mengantarkan anak pada perkembangan kedewasaan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam sementara keberadaan TK atau sederajatnya hanya membantu karena keterbatasan waktu dan keterbatasan sistemnya. G.



Proses Pendidikan Islam Fase Anak-anak Periode anak-anak dimulai sejak anak berusia 6 tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang. JE Bropi membatasinya sejak anak usia 6, ditandai dengan masuknya ke sekolah hingga usia 12 Tahun. Karakteristik anak pada masa ini meliputi; anak mulai sekolah, guru mulai menjadi pujaannya, gigi tetap mulai tumbuh, anak mulai gemar membaca, anak mulai malu auratnya di lihat orang, hubungan anak dengan ayahnya semakin erat dan anak suka sekali menghafal.699 Periode ini sangat penting bagi peletakan dasar pada perkembangan selanjutnya melalui sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan. Awal dari fase ini merupakan permulaan bagi anak untuk mengenal orang dewasa di luar keluarganya. Masa bersekolah yang didasari oleh sikap sosial telah memungkinkan anak bergaul dengan orang dewasa dan teman sebayanya. Ia mulai merasa pelindung terbaik baginya adalah orang-orang dewasa yang beriman kepada Allah.700 Pada masa ini anak sudah berpikir operasional kongkrit dan berakhir dengan berpikir operasional. Berpikir operasional kongkrit artinya anak sudah memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkan pada masalah-masalah 699 700



Ramayulis, op. cit., h. 454 Bukhari Umar, op. cit., h. 120



369



kongkrit. Bila menghadapi suatu pertentangan antara pikiran dan persepsi, anak sudah mampu memilih pengambilan keputusan logis, bukan keputusan perseptual seperti anak pada masa sebelumnya sedangkan berpikir operasional formal adalah, dimana anak sudah dapat menggunakan operasi-operasi kongkrit untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Pada saat itu, anak tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwaperistiwa kongkrit karena dia sudah mempunyai kemampuan berpkir secara abstrak. Anak pada masa ini sudah mulai mengenal Tuhan melalui bahasa dan kata-kata orang yang berada di lingkungannya yang pada mulanya ditemaninya secara acuh tak acuh, lambat laun tanpa disadarinya akan memasukan pemikiran tentang Tuhan dalam pembentukan kepribadiannya dan menjadi objek pengalaman agamais. Perasaan anak terhadap Tuhan sudah mengarah kepada keadaan yang lebih positif bahkan hubungan dengan Tuhan telah dipenuhi oleh rasa aman dan percaya sehingga sering ditemukan anak bertambah rajin melakukan ibadah, semakin senang pergi ke masjid, mengaji, sekolah dan sebagainya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan pada emosional maka wajar bila konsep Tuhanpun bersifat formal. Itulah tampaknya yang mendorong anak-anak tertarik dan senang pada lembagalembaga yang dikelola orang dewasa di lingkungannya. Pendidikan agama Islam pada masa ini dilakukan dengan penuh kesabaran dan jangan sekalisekali memaksakan kehendak kepada anak. Cara yang paling tepat adalah pembinaan, latihan dan suri teladan dari orang tua.701 Disi yang lain terkait pembelajaran pendidikan Islam bagi anak usia sekolah dasar dimana periode usia sekolah dasar merupakan masa pembentukan nilai-nilai agama sebagai kelanjutan pada periode sebelumnya. Kualitas keagamaan anak sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan atau pendidikan yang diterimanya. Berkaitan dengan hal tersebut, pendidikan Islam di sekolah dasar mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, pendidikan agama (pengajaran, pembiasaan, dan penanaman nilai-nilai di sekolah dasar harus menjadi perhatian semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah dasar, bukan hanya guru agama tetapi kepala sekolah dan guru-guru lainnya. Apabila semua pihak tersebut telah memberikan contoh (suri teladan) dalam melaksanakan nilai-nilai agama yang baik, maka pada diri peserta didik akan berkembang sikap yang positif terhadap agama dan pada gilirannya akan berkembang pula kesadaran beragama pada dirinya. 701



Ramayulis, op. cit., h. 455



370



H Syamsu Yunus LN mengemukakan bahwa Dalam kaitannya dengan pemberian materi agama kepada peserta didik sekolah dasar, selain mengembangkan pemahaman juga memberikan latihan atau pembiasaan keagamaan yang menyangkut ibadah, seperti melaksanakan shalat, berdoa, dan membaca al-Qur‟an (anak diwajibkan untuk menghafal surat-surat pendek berikut terjemahannya. Anak juga dibiasakan melakukan ibadah sosial, yakni menyangkut akhlak terhadap sesama manusia seperti; hormat kepada orang tua, guru dan orang lain; memberikan bantuan kepada orang yang memerlukan pertolongan, menyayangi fakir miskin, memelihara kebersihan dan kesehatan, bersikap jujur dan bersikap amanah. 702 Berdasarkan pendapat Mastuhu tersebut memberikan pemahaman bahwa proses pendidikan Islam bagi siswa sekolah dasar merupakan dasar pembentukan nilai-nilai keagamaan yang merupakan kelanjutan pada proses sebelumnya dimana pada proses ini keagamaan anak dipengaruhi oleh proses pembentukan dan pengajaran. Upaya yang ingin dicapai pada proses penanaman nilai-nilai agama Islam anak pada siswa sekolah dasar tiada lain membuat mereka dapat mengenal dan melaksanakan ibadah-ibadah harian yang harus dijalankan seorang muslim, membuat mereka dapat membaca alQur‟an dan membuat mereka dapat berperilaku yang baik terhadap sesama manusia. Untuk bisa mewujudkan hal tersebut maka upaya pembentukan dan pengajaran yang dilakukan terhadap siswa sekolah dasar harus dipikul bersama oleh para pelaksana pendidikan di sekolah. Kenyataan-kenyataan yang sering ditampakkan oleh siswa yang telah mengikuti pendidikan agama di SD atau sederajanya meliputi; 1. Kurang disiplin. Dalam arti kurang tepat waktu, kurang sungguhsungguh dalam belajar dan mengejar cita-cita, kurang santun, dan kurang taat pada perintah agama atau adat istiadat yang dijunjung oleh masyarakat 2. Solidaritas konco dan main keroyokan. Sering terlibat baku hantam di antara mereka sendiri, suka mencoret-coret dinding, kurang idealistis, mementingkan orientasi material, dan suka dengan jalan pintas.703 Hal ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran pendidikan agama Islam yang dilakukan oleh guru pendidikan agama Islam di sekolah hanya mampu menciptakan peserta didik yang memiliki karakter, kurang tepat 702 703



H Syamsu Yusuf LN, op.cit., h. 183 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 138.



371



waktu, malas belajar, kurang santun, sering lalai mejalankan perintah agama, suka berantem sesama mereka, selalu matrealis, suka mengambil jalan pintas, dan kurang memperhatikan persoalan prestasi dalam belajar. Bahkan bila di lihat lebih jauh lagi banyak siswa yang telah mengikuti kegiatan pendidikan agama di sekolah dasar atau sederajanya tidak dapat membaca al-Qur‟an. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam yang dilaksanakan bagi siswa pada tingkat sekolah dasar atau sederajanya ternyata tidak mampu menanamkan kesadaran semangat belajar materi agama dan kesdaran menjalankan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan materi yang telah diajarkan kepada mereka. H Syamsu Yunus LN; Penyebab kondisi perilaku siswa seperti tersebut disebabkan oleh hasil budaya pop, pengaruh globalisasi, melalui komunikasi masa lengkap dengan alat-alat canggih yang digunakan seperti media elektronik, dan media cetak. Selain itu penyebab lainnya adalah lemahnya budaya akademik. Guru sering berperilaku sebagai pegawai dan pengajar bukan sebagai pendidik. Tambahan lagi, kebiasaan masyarakat sering merasa cukup dengan menyerahkan proses pendidikan anak-anak kepada kepala sekolah dan lembaga-lembaga keagamaan dengan biaya-biaya yang telah ditentukan. Prestasi hanya diukur dari nilai-nilai rapor dan ukuran-ukuran formal. 704 Berdasarkan pendapat Mastuhu tersebut memberikan pemahaman bahwa kurang berkualitasnya siswa dalam pembelajaran pendidikan agama Islam dikarenakan oleh hal-hal meliputi; hasil budaya pop dan pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti adanya media elekronik dan media cetak, guru hanya berperan memberikan materi pelajaran bukan mendidik siswa, orang tua menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada pihak sekolah, dan prestasi siswa hanya diukur dengan nilai rapor. Ini menujukkan bahwa kelemahan pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa dikarenakan oleh proses pembelajaran pendidikan agama Islam hanya dipikulkan pada pundak guru agama sementara guru agamapun hanya sekedar melaksanakan kegiatan mengajar dengan tujuan dapat menyelesaikan materi sesuai dengan materi yang telah dipaket. Untuk itu agar pembelajaran pendidikan agama Islam di tingkat sekolah dasar mampu membuat seluruh siswannya berkualitas maka langkah-langkah yang harus diambil meliputi; perbaikan mutu guru PAI tingkat sekolah dasar, perbaikan kesejahteraan guru, pengadaan sarana prasarana pendidikan agama 704



Ibid, h. 139



372



Islam yang memadai, pembelajaran PAI diarahkan pada aspek pengetahuan, hati, dan pengamalan; pembelajaran PAI melibatkan semua pelaksana pendidikan di sekolah, orang tua, masyarakat dan berbagai media yang dapat dalam kehidupan, mengembangkan sikap keteladan dalam pengamalan ajaran agama Islam baik di sekolah, rumah dan masyarakat terhadap siswa; evaluasi pembelajaran pendidikan agama Islam dilakukan pada semua aspek, pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa dilakukan di dalam serta di luar kelas. Dengan demikian pola pendidikan Islam yang dapat diterapkan bagi anak pada periode anak-anak atau anak usia 6 -12 tahun adalah lewat proses pembelajaran terkait dengan pengenalan materi-materi akidah, ibadah dan akhlak bagi seorang Islam dalam kehidupan sekaligus menuntun dan melatih mereka mengimplementasikan materi-materi tersebut dalam kehidupan seharihari disesuaikan dengan tingkatan umurnya dan dilandasi penuh kesabaran lewat proses pembinaan, latihan dan suri teladan dari orang tua dan gurunya serta pola pengajarannya pun harus dilakukan lewat kerja sama antara orang tua di rumah dan guru di sekolah sedangkan dalam pengawasan juga menjalin kerjasama dengan pihak masyarakat serta memanfaatkan media dan sarana yang ada dalam kehidupan. H.



Proses Pendidikan Islam Fase Remaja Setelah anak melewati masa anak-anak maka seterusnya ia akan memasuki masa remaja (Adolencence). Masa ini berlangsung dari umur 12 sampai umur 21 tahun. Kalangan ahli ilmu jiwa tidak sepakat tentang berapa lama masa remaja tersebut. Kapan masa itu dimulai dan kapan ia berakhir. Semuanya sepakat awal remaja ditandai dengan dimulainya keguncangan, baik laki-laki maupun perempuan. Laki-laki ditandai dengan ibtilant (basah malam) sedangkan perempuan ditandai dengan mestruasi. Masa remaja juga ditandai dengan adanya perubahan-perubahan yang menyangkut gender sehingga ahli ilmu jiwa menyebutnya peralihan dari aseksual menjadi seksual. Selain itu pada masa remaja juga terjadi perubahan fisik seperti badan bertambah tinggi, bertambah besar, payudara semakin membesar dan sebagainya.705 Tohirin mengemukakan bahwa; Fase ini berada pada masa persimpangan antara dunia anak-anak dan dewasa. Perkembangan kepribadian yang terjadi pada masa ini 705



Ramayulis, op. cit., h. 457



373



meliputi; pencapaian dan pesiapan memasuki masa dewasa, seperti; mencapai pola kematangan hubungan dengan lawan jenis, berfungsinya alat reproduksi kelamin secara normal, mempersiapkan diri mencapai karier tertentu, mempersiapkan diri untuk memasuki jenjang perkawinan dan sebagainya.706 Hurlock yang dikutip Ramayulis mengemukakan bahwa selain perubahan gender dan fisik maka anak pada usia remaja juga mengalami perubahan psikis yang dapat dibedakan antara lain yaitu; meningginya emosi, perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh lingkungan sosial, perubahan minat dan perubahan tingkah laku dan munculnya sikap ambivalen.707 Selanjutnya berbagai macam peristiwa yang terjadi pada masa ini turut mempengaruhi pola pendidikan yang harus diberikan kepada mereka. Remaja membutuhkan teman yang dapat memahami dan menolongnya, teman yang dapat turut serta memahami suka dukanya. Di sini mulailah tumbuh dorongan untuk mencari pedoman hidup, mencari sesuatu yang dapat dipandang bernilai, pantas dijunjung tinggi dan dipuja-puja. Proses terbentuknya pendirian hidup atau pandangan hidup atau cita-cita dapat dipandang sebagai penemuan nilai-nilai hidup di dalam eksplorasi remaja.708 Sumadi Suryabrata mengemukakan bahwa proses tersebut melewati tiga langkah yaitu; 1. Karena tiadanya pedoman, siremaja merindukan sesuatu yang dianggap bernilai, pantas dihargai dan dipuja 2. Selanjutnya pada taraf yang kedua, objek pemujaan itu telah menjadi lebih jelas, yaitu pribadi-pribadi yang dipandangnya mendukung sesuatu nilai 3. Pada taraf yang ketiga siremaja dapat menghargai nilai-nilai lepas dan pendukungnya, nilai sebagai hal yang abstrak.709 Remaja pada fase ini semakin mampu dan memahami nilai-nilai norma yang berlaku dalam kehidupan sehingga periode ini sangat baik untuk membantu remaja guna menumbuhkan sikap bertanggung jawab dan memahami nilai-nilai terutama yang bersumber dari agama Islam. Setiap remaja secara bertahap harus dibantu menyadari tanggung jawabnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang menjadi khalifah di muka bumi. Dalam konsep 706 707 708 709



Tohirin MS, op. cit., h. 42 Ibid., h. 458 Ibid. Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Cet. XII; Jakarta: Raja Garfindo Persada, 2004), h. 220



374



sederhana mereka perlu dikenalkan konsep agama tentang sikap yang baik dan rasa bertanggung jawab di dalam kehidupan untuk mencapai keselamatan di dunia dan di akhirat. Bila awal sebelum remaja mereka terlatih memahami dan menerapkan konsep ajaran dengan baik dalam kehidupan maka pembinaan akhlak akan lebih mudah karena mereka sudah terbiasa dan terlatih memahami perintah agama dan menghindari larangannya. Pada perkembangan selanjutnya setelah awal masa remaja berlalu anak memasuki masa pubertas. Pada masa ini tampak kecenderungan anak remaja kembali pada sikap introverts karena anak mengira dirinya sudah dewasa sehingga hal ini mempersulit upaya memberikan bimbingan dan petunjuk kepada mereka. Untuk itu sangat perlu langkah-langkah yang bijaksana dari orang dewasa dalam melakukan pendekatan pada remaja. 710 Dalam mendidik anak usia remaja harus mengambil sikap-sikap sebagai berikut; 1. Mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja yang sedang puber dengan melakukan pengamatan 2. Mengarahkan mereka untuk selalu pergi ke masjid sejak kecil sehingga memiliki kedisiplinan naluria dan andil yang potensial di lingkungan rabaniyah 3. Menanamkan rasa percaya diri pada diri mereka dan siap mendengarkan pendapat-pendapat mereka 4. Menyarankan agar menjalani persahabatan dengan teman-teman yang baik 5. Mengembangkan potensi mereka di semua bidang yang bermanfaat 6. Menganjurkan mereka untuk berpuasa sunat karena hal itu dapat menjadi perisai dan kebobrokan moral 7. Membuka dialog dan menyadarkan mereka akan status sosial mereka.711 Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas tentang periodesasi pendidikan Islam anak masa remaja adalah proses pendidikan anak saat anak memasuki remaja yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi meliputi; mulai membutuhkan teman yang dapat memahami dan menolongnya, membutuhkan teman yang dapat turut dan memahami suka dukanya, berfungsi alat seksual, berfungsi alat reproduksi, badan bertambah tinggi, bertambah besar, payudara semakin membesar, meningginya emosi, 710 711



Ramayulis, op. cit., h. 459 Ibid., h. 460



375



adanya perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh lingkungan sosial, perubahan minat dan perubahan tingkah laku maupun yang lainnya sehingga pola pendidikan Islam yang harus diterapkan lebih pada upaya menumbuhkan sikap bertanggung jawab dan memahami nilai-nilai Islam sebagai bentuk tanggung jawab yang harus dijalankan dalam kehidupan serta pola pendidikannya harus dilakukan lewat cara-cara berupa; memahami perubahan yang mereka alami dan memberikan solusi yang tepat, mengarahkan mereka pada kegiatan yang bersifat keagamaan dan mendorong mereka disiplin dalam pengamalan serta melakukan pengawasan terhadap berbagai kegiatan mereka tersebut, menerapkan rasa percaya diri dan mendengarkan pendapat-pendapat mereka, menyarankan untuk mencari teman yang baik, mengembangkan seluruh potensi yang mereka miliki, mengarahkan mereka untuk berpuasa sunat dan membuka dialog serta memberikan pemahaman terhadap status sosial. I.



Proses pendidikan Islam Fase Dewasa Usia dewasa di mulai semenjak berakhirnya keguncangan-keguncangan kejiwaan yang menimpa masa remaja. Usia dewasa bisa dikatakan masa ketenangan jiwa, ketetapan hati dan keiman yang tegas. Namun terkadang juga dijumpai orang-orang yang dewasa yang masih merasakan keguncangan jiwa. Tentu kegoncangan itu tidak sehebat yang terjadi pada masa remaja. Hal itu wajar terjadi, mengingat persoalan hidup tetap saja timbul sekalipun mereka telah mencapai usia dewasa. Maka disinilah sebenarnya perlunya pendidikan dan bimbingan bagi orang dewasa. 712 Tohirin membagi masa dewasa ini menjadi tiga fase yaitu masa dewasa awal, masa setengah baya dan masa tua, dimana penguraiannya sebagai berikut; 1. Masa dewasa awal. Masa ini terjadi pada saat remaja mulai memasuki usia antara 21-22 tahun dimana perkembangan yang terjadi pada masa ini meliputi; memilih teman bergaul, belajar mengasuh anak-anak, merawat rumah, mulai bekerja sesuai keahlian, mulai bertanggung jawab sebagai warga negara, memperoleh kelompok sosial yang seirama dengan nilai-nilai pahamnya dan lain-lain 2. Masa Setengah baya. Masa ini berlangsung antara umur 40 -60 tahun. Perkembangan yang terjadi pada masa ini meliputi; mencapai tanggung jawab sosial dan kewarganegaraan secara lebih dewasa, membantu 712



Ibid.



376



3.



anak-anak usia belasan tahun agar berkembang menjadi dewasa, mengembangkan aktivitas dan memanfaatkan waktu dengan baik bersama orang-orang dewasa, menyesuaikan diri dengan perikehidupan orang-orang berusia lanjut, menghubungkan diri dengan pasangannya sebagai seorang pribadi yang utuh, mencapai dan melaksanakan penampilan yang memuaskan dalam profesi dan jabatan, menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan pada yang dialami pada masa itu. Masa Tua. Masa ini merupakan masa akhir kehidupan manusia yang berlangsung antara 60 tahun hingga meninggal dunia. Hal yang terjadi pada masa ini meliputi; menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan dan kesehatan jasmani, menyesuaikan diri dengan keadaan pensiun dan berkurangnya pensiun, menyesuaikan diri dengan kematian pasangan, membina hubungan yang tegas dengan anggota sebayanya, dan membina pengaturan jasmani yang sedemikian rupa agar memuaskan dan sesuai dengan kebutuhan serta menyesuaikan diri dengan peranan-peranan sosial yang memuaskan.713



Berdasarkan pendapat Tohirin tersebut memberikan pemahaman masa dewasa ini adalah masa dimana seorang manusia mulai berusia antara 21-22 tahun hingga akhir hayat hidupanya di dunia, dimana masa tersebut dibagi menjadi tiga periode yaitu masa dewasa awal berlangsung pada usia 21sampai 40 tahun dimana pada usia ini manusia sudah menjalankan perannya dalam kehidupan sosial walaupun belum dalam bentuk tanggung jawab secara matang dan penuh dengan kedewasaan, lalu masa setengah baya yaitu masa usia antara 40-60 tahun dimana pada masa ini manusia bukan hanya mampu menjalankan perannya dalam kehidupan dengan baik tetapi ia juga mampu mempertanggungjawabkan peran-peran tersebut dalam kehidupan dengan baik, kemudian masa tua dimana masa ini berlangsung pada saat manusia berusia 60 tahun ke atas dimana pada masa ini manusia ditandai mulai berkurangnya fungsi fisik , bersikap tegas dan bijak dalam kehidupan serta mampu menyesuaikan peran-peran sosial yang bisa memuaskannya. Netty Hartati dkk membagi masa dewasa menjadi tiga tahap yaitu; 1. Fase dewasa dini. Fase dewasa dini adalah masa pencarian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketenangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan-perubahan nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada hidup yang baru. Masa dewasa dini dari umur 18 713



Tohirin MS, op. cit., h. 44



377



2.



3.



hingga usia 40 tahun. Penyesuaian keluarga dan pekerjaan pada masa usia dewasa dini sangat sulit karena kebanyakan orang dewasa muda membatasi dasar-dasar yang dengannya ia membangun penyesuaian diri. Ketika ia menikahpun akan membatasi dan berusaha untuk mencari pasangan yang menurutnya sesuai dengan statusnya. Fase Dewasa Madya. Fase ini dipandang sebagai masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Masa tersebut ditandai adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental. Ciri-ciri yang terjadi pada usia madya meliputi; periode yang sangat menakutkan, merupakan usia transisi, masa stres, usia yang berbahaya, usia canggung, masa berprestasi, masa evaluasi, dievaluasi dengan stándar ganda, masa sepi dan masa jenuh. Biasanya pada umur dewasa ini akan tampak tanda-tanda atau isyarat yang menunjukkan kemana kecenderungan yang sebenarnya, ke arah kebaikan atau kejahatan, menjadi manusia pembangun atau perusak.714 Fase dewasa akhir. Fase dewasa akhir atau lansia yaitu terjadi pada usia 60 tahun ke atas yang ditandai terjadinya penurunan daya kekuatan fisik dan sering pula diikuti dengan penurunan daya ingat. Ciri-ciri pada fase ini meliputi; merupakan periode kemunduran, perbedaan individual pada efek menua dan usia tua dinilai dengan kriteria berbeda.715



Berdasarkan pendapat Netty Hartati dkk tersebut dapatlah dipahami bahwa masa dewasa terbagi pada tiga periode yaitu masa dewasa dini dimana usia manusia berkisar pada 18-40 tahun dengan ciri kurang mampu menyesuaikan diri dengan keluarga dan pekerjaannya, lalu masa dewasa madya dimana usia manusia berkisar antara 40-60 tahun dengan ciri khusus masa berprestasi atau tidak membuat prestasi dalam kehidupan serta masa kematangan bertindak baik atau malah menjadi orang jahat, kemudian masa dewasa akhir dimana usia manusia berkisar 60 tahun ke atas dengan ciri khusus yaitu mulai menurunnya fungsi fisik dan daya ingat manusia sehingga mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial sehingga terkadang karena faktor ketuaan maka ia bergantung kepada orang lain. Pada umumnya ketika seseorang telah mencapai usia dewasa, dia sudah mempunyai banyak ilmu pengetahuan dan pengalaman. Bila mereka melanjutkan studi berarti mereka telah ada pada pendidikan tinggi. Sedangkan selainnya mereka langsung berhadapan dengan masalah pekerjaan, masalah 714 715



Netty Hartati dkk, Islam dan Psikologi (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 43 Ibid.



378



kemasyarakatan dan perkawinan. Dalam menghadapi beberapa permasalahan itu di antara mereka ada yang mampu menyelesaikan dengan sukses dan ada pula yang mengalami kegagalan. Kegagalan yang dialami oleh orang dewasa dianggap sebagai suatu kewajaran. Memang terkadang juga menimbulkan guncangan jiwa namun karena pada dasarnya usia dewasa mempunyai kesiapan mental maka mereka mampu mengendalikan diri. 716 Sikap keagamaan pada orang dewasa memiliki ciri-ciri sebagai berikut; 1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan yang matang bukan sekadar ikut-ikutan 2. Cenderung bersifat realistik sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tata laku 3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalamnya 4. Tingkat ketaatan beragama berdasarkan pertimbangan dan tanggung jawab diri sehingga sikap keberagaman merupakan realisasi dari sikap hidup 5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang luas 6. Bersikap lebih kritis terhadap ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pemikiran juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani 7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami dan melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.717 Berdasarkan pendapat tersebut memberikan pemahaman bahwa sikap keagamaan pada orang dewasa memiliki ciri meliputi; memahami kebenaran agama berdasarkan pertimbangan matang, bersifat realistik, bersikap positif, ketaatan beragama berdasarkan pertimbangan dan tanggung jawab, bersikap terbuka dan berwawasan luas, bersifat kritis dan sikap keberagaman cenderung mengarah pada tipe-tipe masingmasing. Mengenai pendidikan Islam yang diberikan kepada mereka disesuaikan dengan kondisi dan keadaan mereka. Pendidikan Islam masih dibutuhkan bagi mereka. Pada prinsipnya pendidikan Islam bagi orang dewasa dapat dilakukan lewat majelis ta‟lim karena majelis ta‟lim sarat dengan zikrullah, di sana para 716 717



Ramayulis, op. cit., h. 463 Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 52



379



pengikutnya akan memperoleh ketenangan hati, jauh dari hinggar-binggar dunia fanah. Manusia butuh ketenangan untuk menghadapi kehidupan moderen yang didominasi materi dan kepentingan-kepentingan duniawi yang menimbulkan kedekatan hati. Majelis ta‟lim dapat membina kedekatan dan ikatan hamba dengan penciptanya yang akan semakin erat.718 Buhkari Umar mengatakan bahwa bermacam-macam cara dan bentuk pendidikan orang dewasa telah ditempuh dan dilaksanakan orang dalam masyarakat, mulai dari yang sangat sederhana sampai kepada bentuk sekolah secara teratur, dimana diantaranya meliputi; cara yang tidak formal, ceramah atau kuliah umum, diskusi atau tukar pikiran, pengajian penerangan agama, kursus atau sekolah secara teratur, pendidikan melalui bacaan, pendidikan melalui radio dan televisi, dan biro-biro konsultasi.719 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut tentang proses pendidikan Islam fase dewasa dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam pada fase dewasa proses penanaman nilai-nilai Islam yang dilakukan terhadap manusia yang melewati masa remaja dimana berusia antara 18 tahun hingga usia 60 ke atas dimana pola pembinaannya dilakukan sesuai dengan kondisi dan keadaan mereka dengan sistem yang diterapkan hanya mengarahkan mereka agar semakin lebih erat lagi mendekatkan diri kepada Allah dalam segala aktivitas kehidupannya dimana pola pendidikannya dapat ditempuh dengan berbagai cara diantaranya lewat majelis ta‟lim, ceramah agama, diskusi atau tukar pikiran, ceramah lewat televisi dan radio, biro-biro konsultasi, pendidikan lewat bacaan dan kajian-kajian kegiatan keagamaan dengan prinsip kegiatan yang dilakukan harus memberikan pemahaman kebenaran agama berdasarkan pertimbangan matang, bersifat realistik dan bersikap positif, mengarahkan ketaatan beragama berdasarkan pertimbangan dan tanggung jawab serta kajian keagamaan harus bersikap terbuka, berwawasan luas dan bersifat kritis. J.



Rangkuman Proses pendidikan Islam pada fase pemilihan jodoh adalah proses pendidikan terkait dengan kriteria pemilihan calon pendamping dalam kehidupan dimana tolok ukur utama dalam memilih pendamping menurut pendidikan Islam adalah faktor agama dan pengamalan agama menjadi dominan dalam memilih calon pasangan sebab dengan agama yang baik maka segala yang kekurangan bisa diperoleh bila dalam kehidupan rumah tangga 718 719



Ibid., h. 464 Buhkhari Umar, op. cit., h. 133



380



semuanya dikelola mengikuti kehendak Allah sebab semua yang dimiliki manusia dalam kehidupan milik Allah dan Allahlah yang memberikannya untuk itu pola pembinaan nilai-nilai agama itu bukan dimulai saat anak mau menikah tetapi proses tersebut sudah dibentuk sejak dini baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dan menggunakan berbagai media dan kesempatan yang ada dalam kehidupan. Periodisasi pendidikan Islam pada masa perkawinan adalah suatu periode proses pendidikan yang harus dilakukan pasangan suami istri untuk menyatukan jiwa dan raga mereka dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga dan segala hal yang terkait dengannya sesuai dengan aturan ajaran Islam yang tiada lain hanya sebagai bentuk pengabdian kepada Allah swt baik dalam hal seksual, ketentraman, kerja sama, dan tanggung jawab maupun upaya pemenuhan kebutuhan hidup Pendidikan Islam pada periode kehamilan adalah upaya-upaya yang harus dilakukan demi kehamilan seorang istri dalam sebuah keluarga sesuai tuntunan ajaran Islam yang meliputi; suami istri memperbaiki kualitas gen yang dimiliki, selalu mendoakan anak agar menjadi anak yang shaleh, memberikan ibu hamil makan dan minuman yang halal, ikhlas dalam merawat anak dalam kandungan, memenuhi kebutuhan ibu hamil, dan suami istri harus mendekatkan diri kepada Allah serta selalu berakhlak yang baik dalam kehidupan. Periodisasi pendidikan Islam fase bayi adalah proses pendidikan Islam yang harus diterapkan bagi anak masa bayi yaitu; mendengarkan kata-kata Islami, menyuarakan azan dan iqamah, memberi nama yang baik, melatih fungsi organ-organ tubuhnya, mengeluarkan zakat fitrah, memberikan hak waris, mensyukuri kelahiran, mengaqiqahkan, menyusui selama dua tahun, anak dirawat dan diurus dengan perilaku akhlak yang mulia, berkerjasama pengurusan anak dan menghindari perilaku tidak baik yang bisa mempengaruhi psikologi anak. Pendidikan Islam bagi anak pada fase kanak-kanak adalah pendidikan Islam berlangsung pada saat anak berusia antara 2 sampai 6 tahun dimana ia lebih dikenal dengan pendidikan usia pra sekolah sebab proses pendidikan pada masa berlangsung bagi anak yang belum mengikuti kegiatan pendidikan pada tingkat sekolah dasar atau sederajanya dimana pola pembinaan pendidikan pada tahap ini ditempuh lewat proses pembiasaan dan peneladan yang dilakukan sesuai dengan kondisi dan kemampuan dari seorang anak karena anak pada usia tersebut kemampuan jasmani maupun kemampuan rohaninya masih sangat terbatas sehingga nantinya anak tumbuh dan



381



berkembang dengan kepribadian yang Islami serta dua sistem pendidikan Islam pada usia pra sekolah yaitu yang dilaksanakan di lingkungan keluarga dan di TK atau sejenisnya tetapi esensi utama pendidikan Islam anak usia pra sekolah terletak pada pundak orang tua sebab merekalah yang memiliki tanggung jawab utama untuk mengantarkan anak pada perkembangan kedewasaan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam sementara keberadaan TK atau sederajatnya hanya membantu karena keterbatasan waktu dan keterbatasan sistemnya. Pendidikan Islam bagi anak pada fase anak-anak adalah pendidikan Islam yang diterapkan pada anak usia 6 -12 tahun lewat proses pembelajaran tentang pengenal materi-materi akidah, ibadah dan akhlak bagi seorang Islam dalam kehidupan sekaligus menuntun dan melatih mereka mengimplementasikan materi-materi tersebut dalam kehidupan sehari-hari disesuaikan dengan tingkatan umurnya dan dilandasi penuh kesabaran lewat proses pembinaan, latihan dan suri teladan dari orang tua dan gurunya serta pola pengajarannya pun harus dilakukan lewat kerjasama antara orang tua di rumah dan guru di sekolah sedangkan dalam pengawasan juga menjalin kerjasama dengan pihak masyarakat serta memanfaatkan media dan sarana yang ada dalam kehidupan. Periodesasi pendidikan Islam fase anak masa remaja adalah proses pendidikan anak saat anak memasuki remaja yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi meliputi; mulai membutuhkan teman yang dapat memahami dan menolongnya, membutuhkan teman yang dapat turut dan memahami suka dukanya, berfungsi alat seksual, berfungsi alat reproduksi, badan bertambah tinggi, bertambah besar, payudara semakin membesar, meningginya emosi, adanya perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh lingkungan sosial, perubahan minat dan perubahan tingkah laku maupun yang lainnya sehingga pola pendidikan Islam yang harus diterapkan lebih pada upaya menumbuhkan sikap bertanggung jawab dan memahami nilai-nilai Islam sebagai bentuk tanggung jawab yang harus dijalankan dalam kehidupan serta pola pendidikannya harus dilakukan lewat cara-cara berupa; memahami perubahan yang mereka alami dan memberikan solusi yang tepat, mengarahkan mereka pada kegiatan yang bersifat keagamaan dan mendorong mereka disiplin dalam pengamalan serta melakukan pengawasan terhadap berbagai kegiatan mereka, menerapkan rasa percaya diri dan mendengarkan pendapat-pendapat mereka, menyarankan untuk mencari teman yang baik, mengembangkan seluruh potensi yang



382



mereka miliki, mengarahkan mereka untuk berpuasa sunat dan membuka dialog serta memberikan pemahaman terhadap status sosial. Pendidikan Islam fase dewasa adalah pendidikan dilakukan terhadap manusia yang melewati masa remaja dimana berusia antara 18-22 tahun hingga usia 60 ke atas dimana pola pembinaannya dilakukan sesuai dengan kondisi dan keadaan mereka dengan sistem yang diterapkan hanya mengarahkan mereka agar semakin lebih erat lagi mendekatkan diri kepada Allah dalam segala aktivitas kehidupannya dimana pola pendidikannya dapat ditempuh dengan berbagai cara diantaranya lewat majelis ta‟lim, ceramah agama, diskusi atau tukar pikiran, ceramah lewat televisi dan radio dan birobiro konsultasi, pendidikan lewat bacaan dan kajian-kajian kegiatan keagamaan dengan prinsip kegiatan yang dilakukan harus memberikan pemahaman kebenaran agama berdasarkan pertimbangan matang, bersifat realistik dan bersikap positif, mengarahkan ketaatan beragama berdasarkan pertimbangan dan tanggung jawab serta kajian keagamaan harus bersikap terbuka, berwawasan luas dan bersifat kritis.



383



384



BAB X LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM A.



Latar Belakang Pemikiran Pendidikan sangat penting bagi kehidupan manusia, karena pendidikan itu sendiri mempunyai peranan sentral dalam mendorong individu dan masyarakat untuk meningkatkan kualitasnya dalam segala aspek kehidupan demi mencapai kemajuan dan untuk menunjang perannya di masa yang akan datang. Untuk itu pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Hewan juga belajar tetapi lebih ditentukan oleh instink, sedangkan bagi manusia belajar berarti rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Olehnya itu, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan manusia.720 Erat kaitannya dengan pendidikan memegang peran yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia maka keberadaan pendidikan Islam yaitu pendidikan yang dilaksanakan dalam upaya menuntut umat manusia dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, juga tidak kalah pentingnya karena selain menuntut umat manusia dalam kehidupan agar mencapai puncak kebahagiaan dalam hidup di dunia juga menuntut umat manusia agar di kehidupan akhirat nanti mencapai keselamatan atau terbebas dari siksaan Allah swt.721 Pendidikan Islam yang benar-benar sejalan dengan ajaran Islam adalah pendidikan yang dilaksanakan dalam kehidupan dengan merujuk kepada dua landasan utamanya yaitu kitab al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah. Banyak ajaran-ajaran atau nilai-nilai pendidikan yang dikandung ke dua sumber pegangan dalam pendidikan Islam tersebut, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan lingkungannya serta proses pelaksanaan pendidikan Islam itu berlangsung pada tiga lembaga pendidikan Islam yaitu; keluarga, sekolah dan masyarakat.722



720 721 722



Hujair AH Sanaki, Paradigma Pendidikan Islam (Cet. III; Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), h. 5 Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 31 H Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan,Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam (Cet. I; Bogor Kencana: 2005), h. 1



385



Secara umum salah satu komponen sistem pendidikan yang memungkinkan bisa berlangsungnya proses pendidikan secara konsisten dan berkesinambungan demi tercapainya tujuan pendidikan yang dilaksanakan adalah keberadaan lembaga atau institusi pendidikan. Lembaga adalah wahana pemenuhan kebutuhan pokok yang melahirkan sistem yang stabil dan universal. Lembaga merupakan norma-norma yang intergratif antara cita-cita pendidikan dan masyarakat sebagai pengelola dan konsumen pendidikan. Dalam makna dan fungsi sama pada konteks pendidikan dikenal istilah lain yaitu lingkungan pendidikan yang mempunyai peran sangat penting terhadap keberhasilan pendidikan. Lingkungan dapat mempengaruhi secara positif atau negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Dalam proses pembudayaan umat manusia, adanya kelembagaan pendidikan dalam masyarakat merupakan syarat mutlak. Lembaga tersebut memiliki tanggung jawab secara kultural edukatif terhadap perkembangan anak didik dan masyarakat.723 Secara khusus terkait dengan kegiatan pendidikan Islam maka lembaga pendidikan Islam dapatlah dipahami sebagai tempat atau organisasi yang menyelenggarakan pendidikan Islam, yang mempunyai struktur yang jelas dan bertanggung jawab atas terlaksananya kegiatan pendidikan Islam. Untuk itu lembaga pendidikan Islam mampu menciptakan sasana yang memungkinkan terlaksananya pendidikan Islam dengan baik menurut tugas yang diberikan kepadanya seperti sekolah atau madrasah yang melaksanakan proses pendidikan Islam. 724 H Jalaluddin mengemukakan bahwa; Lingkungan pelaksanaan pendidikan Islam bagi anak terbagi tiga meliputi lingkungan pendidikan informal yaitu pendidikan di keluarga, lingkungan pendidikan formal yaitu pendidikan di sekolah seperti madrasah atau SD hingga perguruan tinggi, dan lingkungan pendidikan non formal yaitu pendidikan di masyarakat seperti majelis ta‟lim baik di masjid atau majelis lainnya.725 Berdasarkan penjelasan dari H Jalaluddin tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam tempat berlangsungnya pelaksanaan kegiatan pendidikan Islam bagi anak didik agar anak tumbuh dengan kepribadian yang Islam meliputi lingkungan pendidikan di keluarga, 723 724 725



Hamdani, Dasar-Dasar Kependidikan (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 55 Buhkari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2010), h.150 H Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.78



386



lingkungan pendidikan di sekolah, dan lingkungan pendidikan di tengah masyarakat. Hal ini juga memberikan makna secara umum ada 3 jenis lembaga pendidikan yang memiliki andil bagi berlangsung proses pendidikan Islam bagi anak didik yaitu lembaga pendidikan informal yaitu keluarga, lembaga pendidikan formal yaitu lembaga pendidikan yang berlangsung di sekolah dan lembaga pendidikan nonformal yaitu lembaga pendidikan Islam yang berada di masyarakat. Zuhairini dkk mengemukakan bahwa; Untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan pada anak maka perlu mengadakan pendekatan terhadap anak didik untuk memberi penjelasan dan membawanya menyadari dan melaksanakan apa yang diperintahkan dan dilarang oleh agama dimana yang melakukan hal itu terhadap anak adalah para pendidik dalam Islam yaitu orang tua, guru dan orang dewasa.726 Berdasarkan pendapat Zuhairini dkk tersebut memberikan pemahaman bahwa orang yang memiliki tanggung jawab terhadap berlangsung kegiatan penanaman nilai-nilai Islam bagi anak dalam pendidikan Islam secara umum dapat dikelompokkan kepada tiga kelompok yaitu orang tua, guru dan orang dewasa. Hal ini memberikan pemahaman bahwa karena orang tua berada di lingkungan keluarga maka lembaga pendidikan Islam pertama bagi anak adalah keluarga, lalu guru berada di sekolah maka lembaga pendidikan Islam kedua adalah lembaga pendidikan formal dan orang dewasa berada di lingkungan masyarakat maka lembaga pendidikan Islam ketiga adalah lembaga pendidikan yang dijalankan di lingkungan masyarakat. Untuk itu tidak dapat disangkal dalam upaya mewujudkan terbentuknya pribadi pada diri seseoarang anak atau peserta didik dalam pendidikan Islam maka keberadaan tiga lembaga pendidikan tersebut dalam konteks pelaksanaan pendidikan Islam tiada lain adalah dalam upaya kegiatan berantai untuk membantu atau menuntun anak atau peserta didik agar dapat mengenyam pengetahuan agama sehingga nantinya seorang anak atau peserta didik dapat tumbuh dan berkembang dengan kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Lebih khusus lagi dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga pendidikan Islam sebagai bagian dari upaya membentuk seorang anak atau peserta didik baik secara individu atau kelompok agar nantinya mampu menyadari dan menjalankan kewajibannya dalam menyembah kepada Allah swt.727 726 727



Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 175 Acmadi, Idiologi Pendidikan Islam(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.47



387



Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa keberadaan lembaga pendidikan Islam yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat memiliki andil yang cukup besar dalam berlangsung proses pendidikan Islam bagi anak didik dimana ada sistem penanaman nilainilai Islam bagi anak atau peserta didik polanya hanya dapat dilakukan di lingkungan keluarga khususnya bagi peserta didik yang belum berusia sekolah, ada juga penanaman nilai-nilai Islam sistem hanya dapat dilakukan di lingkungan sekolah dan ada juga penanaman nilai-nilai Islam yang akan lebih efektif bila sistemnya dilaksanakan di lingkungan masyarakat sehingga keberhasilan pendidikan Islam itu harus ditopang oleh keberadaan ketiga lembaga pendidikan Islam tersebut sebab proses pendidikan Islam akan berhasil bila kegiatannya dapat dilakukan secara berangkai dalam lembaga pendidikan Islam yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Melihat begitu pentingnya peran ketiga lembaga pendidikan Islam sebagai kegiatan berangkai dalam berlangsungnya proses pendidikan Islam maka dalam bab ini akan diulas topik kajian tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam demi untuk mengetahui secara jelas bentuk dan peran lembaga-lembaga pendidikan Islam. B.



Hakikat Lembaga Pendidikan Islam Secara umum salah satu komponen sistem pendidikan yang memungkinkan bisa berlangsungnya proses pendidikan secara konsisten dan berkesinambungan demi tercapainya tujuan pendidikan yang dilaksanakan adalah keberadaan lembaga atau institusi pendidikan. Lembaga adalah wahana pemenuhan kebutuhan pokok yang melahirkan sistem yang stabil dan universal. Lembaga merupakan norma-norma yang intergratif antara cita-cita pendidikan dan masyarakat sebagai pengelola dan konsumen pendidikan. Dalam makna dan fungsi sama pada konteks pendidikan dikenal istilah lain yaitu lingkungan pendidikan yang mempunyai peran sangat penting terhadap keberhasilan pendidikan. Lingkungan dapat mempengaruhi secara positif atau negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Dalam proses pembudayaan umat manusia, adanya kelembagaan pendidikan dalam masyarakat merupakan syarat mutlak. Lembaga tersebut memiliki tanggung jawab secara kultural edukatif terhadap perkembangan anak didik dan masyarakat.728



728



Hamdani, op. cit., h. 55



388



Secara khusus terkait dengan kegiatan pendidikan Islam maka lembaga pendidikan Islam dapatlah dipahami sebagai tempat atau organisasi yang menyelenggarakan pendidikan Islam, yang mempunyai struktur yang jelas dan bertanggung jawab atas terlaksananya kegiatan pendidikan Islam. Untuk itu lembaga pendidikan Islam mampu menciptakan sasana yang memungkinkan terlaksananya pendidikan Islam dengan baik menurut tugas yang diberikan kepadanya seperti sekolah atau madrasah yang melaksanakan proses pendidikan Islam. 729 Erat kaitannya dengan lembaga pendidikan Islam maka Ahmad Thontowi secara umum membagi lembaga pendidikan sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan terbagi kepada tiga yaitu ; 1. Lembaga pendidikan formal yaitu lembaga pendidikan yang menunjukkan bentuk yang nyata dalam arti komponen-komponennya tersusun secara formal. Misalnya bahan pendidikan, metode, media, tujuan, organisasi dan sebagainya. Lembaga pendidikan formal dalam bentuk ini adalah sekolah, yang timbul sebagai akibat perkembangan masyarakat dan budaya yang semakin kompleks, dan untuk membantu lembaga pendidikan yang semula ada, yaitu keluarga. 2. Lembaga pendidikan Informal yaitu lembaga pendidikan yang tidak menunjukkan bentuk yang nyata, dalam arti komponen-komponennya tidak tersusun secara teratur. Komponen bahan pendidikan tidak tersusun dalam kurikulum, media pendidikannya tidak menggunakan strategis ilmiah, medianya tidak menunjukkan bentuk nyata. Lembaga pendidikan ini adalah keluarga yang dianggap sebagai lembaga pendidikan pertama. 3. Lembaga pendidikan Non formal. Unesco sebagai suatu badan PBB yang menciptakan istilah lembaga pendidikan non formal karena semakin kompleksnya permasalahan pendidikan. Sistem pendidikan pada lembaga pendidikan non formal hanya mengenai satu atau beberapa pengetahuan dan keterampilan. Lembaga pendidikan non formal berada di luar sekolah dan keluarga yaitu berada pada masyarakat.730 Jika pendidikan pada garis besarnya mengenai aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap maka ketiga lembaga pendidikan tersebut dapat saling berkerjasama. Lembaga pendidikan di sekolah lebih banyak melangsungkan 729 730



Buhkari Umar, op.cit., h.150 Ahmad Thonthowi, Psikologi Pendidikan (Cet. IX: Bandung: Angkasa, 1993), h. 63



389



pendidikan yang menyangkut pengetahuan, lembaga pendidikan di keluarga lebih banyak melangsungkan pendidikan sikap dan kepribadian, sementara lembaga pendidikan masyarakat lebih banyak hanya melangsungkan kegiatan atau keterampilan satu atau dua jenis saja, sehingga antara ketiganya tidak dapat dipisah-pisahkan dalam fungsinya melaksanakan pendidikan secara bulat serta pendidikan seumur hidup.731 Zuhairini ddk mengemukakan bahwa; Untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan pada anak maka perlu mengadakan pendekatan terhadap anak didik untuk memberi penjelasan dan membawanya menyadari dan melaksanakan apa yang diperintahkan dan dilarang oleh agama dimana yang melakukan hal itu terhadap anak adalah para pendidik dalam Islam yaitu orang tua, guru dan orang dewasa.732 Dari pendapat Zuhairini dkk tersebut dapatlah dipahami bahwa pihak yang bertanggung jawab terhadap upaya penanaman nilai-nilai Islam pada anak adalah orang tua, guru dan orang dewasa. Ini menujukan bahwa bila dihubungkan dengan lembaga pendidikan Islam maka dapat diketahui sesuai lingkungan tempat para pendidikan itu tinggal yaitu orang tua di keluarga atau rumah, guru di sekolah dan orang dewasa banyak di masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa lembaga pelaksanaan pendidikan Islam ada tiga meliputi lembaga pendidikan keluarga, lembaga pendidikan sekolah dan lembaga pendidikan masyarakat. H Jalaluddin mengemukakan bahwa; Lingkungan pelaksanaan pendidikan Islam bagi anak terbagi tiga meliputi lingkungan pendidikan informal yaitu pendidikan di keluarga, lingkungan pendidikan formal yang itu pendidikan di sekolah seperti madrasah atau SD hingga perguruan tinggi, dan lingkungan pendidikan non formal yaitu pendidikan di masyarakat seperti majelis ta‟lim baik di masjid atau majelis lainnya.733. Berdasarkan penjelasan dari H Jalaluddin tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa lembaga pelaksanaan pendidikan Islam bagi anak didik agar anak tumbuh dengan kepribadian yang Islam meliputi lembaga pendidikan di keluarga, lembaga pendidikan di sekolah, dan lembaga pendidikan yang berada tengah masyarakat. 731 732 733



Ibid, h. 63, Lihat M Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis (Cet. VIII; Bandung : Remaja Rosda Karya 1995), h. 123 Zuhairini dkk, op. cit., h. 175 H Jalaluddin, op. cit., h. 78



390



Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa; Pendidikan Islam pada intinya dilaksanakan sebagai bentuk bimbingan yang dilakukan oleh seseorang pada orang lain sehingga orang yang dibimbing tersebut semaksimal mungkin menjadi seorang muslim, serta proses pelaksanaan bimbingan tersebut dilaksanakan atau diselenggarakan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.734 Berdasarkan penjelasan dari Ahmad Tafsir tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa tempat proses pelaksanaan pendidikan Islam bagi seseorang dalam kehidupan sehingga benar-benar menjadi seorang muslim itu dilaksanakan pada tiga tempat yaitu lembaga pendidikan Islam yang berada di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan Islam yang berada di lingkungan sekolah dan lembaga pendidikan Islam yang ada di lingkungan masyarakat. Dengan demikian merujuk pada penjelasan-penjelasan pengertian lembaga pendidikan Islam dapatlah dipahami bahwa lembaga pendidikan Islam adalah tempat atau organisasi yang memiliki tanggung jawab terhadap terselenggaranya kegiatan pendidikan Islam bagi peserta didiknya dimana secara umum lembaga pendidikan Islam dapat di bagi dalam tiga kelompok yaitu lembaga pendidikan Islam bersifat formal yaitu lembaga pendidikan yang proses pendidikan Islamnya berlangsung dalam lingkungan sekolah, lembaga pendidikan Islam informal yaitu lembaga pendidikan yang proses pendidikan Islam berlangsung dalam lingkungan keluarga dan lembaga pendidikan Islam non formal yaitu lembaga pendidikan Islam yang proses pendidikan Islamnya berlangsung dalam lingkungan masyarakat. C.



Peran Orang Tua Sebagai Pelaksana Pendidikan Islam di Lembaga Pendidikan Informal Orang tua adalah pelaksana pendidikan Islam di lingkungan keluarga. Keluarga adalah salah satu mata rantai kehidupan yang paling esensial dalam sejarah perjalanan hidup manusia. Keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama, tidak disangkal lagi mempunyai arti paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan putra putri yang tengah mencari makna kehidupannya. Meskipun diakui bahwa keluarga bukan merupakan satu-satunya pranata yang menata kehidupan karena di samping keluarga masih banyak pranata sosial lainnya yang secara kontributif



734



Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam (Cet. III; Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2000), h.32



391



mempunyai andil dalam memberikan pendidikan pada anak, tetapi keluarga sebagai titik awal sekaligus sebagai modal awal pendidikan anak. 735 Unit terkecil dari keluarga adalah suami istri dan ibu, ayah dan anak yang bernaung di bawah satu rumah tangga, 736 juga merupakan lingkungan kelompok sosial yang paling kecil. Orang tua merupakan institusi yang paling dekat dalam mendidik anak. Hal ini berarti orang tua sebagai pendidik pertama dan utama mempunyai kewajiban dalam memberikan pendidikan kepada anaknya. Sayyid Sabiq al-Amawi, sebagaimana dikutip oleh Rehani menyatakan bahwa pendidikan dan pengajaran berfungsi sebagai sarana alat untuk menyelamatkan manusia dari siksaan api neraka, dan keselamatan manusia dari azab dan kerugian akan tercapai dengan mendidik individu supaya beriman kepada Allah dan menjalankan syariat-Nya, mendidik beramal saleh dan mengikuti jalan hidup Islam dalam kehidupan sehari-hari.737 Konsep pendidikan keluarga sebagaimana diajarkan oleh Nabi SAW dengan cara melalui keteladanan dan pembiasaan yang dilakukan oleh orang tua, karena keteladanan dan pembiasaan inilah yang tidak mungkin dilakukan di sekolah, pesantren atau guru agama yang diundang ke rumah. Hanya kedua orang tualah yang mungkin dapat melakukan hal itu secara sempurna, karena orang tua adalah orang yang menjadi panutan bagi anak. Setiap anak mulamula mengagumi kedua orang tuanya. Semua tingkal laku orang tua akan ditiru oleh anak, karena itu peneladanan oleh orang tua sangat diharuskan. Ditilik dari hubungan dan tanggung orang tua terhadap anak, maka tanggung jawab pendidikan itu pada dasarnya tidak bisa dipikulkan kepada orang lain, sebab guru dan pimpinan umat umpamanya, dalam memikul tanggung jawab pendidikan hanyalah merupakan keikutsertaan. Dengan kata lain, tanggung jawab pendidikan yang dipikul oleh para pendidik selain orang tua yang karena satu dan lain hal tidak mungkin bisa melaksanakan pendidikan anaknya secara sempurna. 738 Terkait dengan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak menurut Islam meliputi; 1. Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari tanggung jawab setiap orang tua dan merupakan 735 736 737 738



Jalaluddin Rahmat & Muthar Gadatmaja, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Moderen (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), h. 199 M Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, Tafsir Maudhui Atas Berbagai Persoalan Umat (Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1998), h. 201 Rehani, Berawal Dari Keluarga, Revolusi Belajar (Jakarta: Hikmah, 2003), h. 84 Lihat Ahmad Tafsir, op. cit, h.. 155



392



2.



3.



4.



dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan yang menyimpang dari tujuan hidup sesuai dengan falsafah hidup dan agama yang dianut. Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya. Membahagiakan anak baik kehidupan di dunia maupun di akhirat sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim. 739



Berdasarkan pendapat tersebut tentang tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak, dapatlah dipahami bahwa tanggung jawab orang tua tersebut meliputi; mengurus dan memelihara anak, melindungi anak dari hal-hal yang dapat mencelakakan anak baik secara fisik maupun non fisik, membuat anak nantinya dapat memperoleh kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat Dengan demikian berdasarkan pemaparan tersebut memberikan pemahaman bahwa peran orang tua sebagai pelaksana pendidikan Islam di lembaga pendidikan informal atau di lingkungan keluarga meliputi, mengasuh dan mengurus anak, menyiapkan segala hal yang terkait dengan upaya membantu proses belajar anak dan membimbing dan menuntun anak dengan nilai-nilai ajaran Islam. D.



Peran Guru Sebagai Pelaksana Pendidikan Islam di Lembaga Pendidikan Formal Keberadaan sekolah sebagai salah lembaga untuk mendidik anak, telah membuka peluang kepada orang-orang lain (pendidik selain orang tua) untuk serta memikul tanggung jawab pendidikan. Peluang itu pada dasarnya terletak pada kemungkinan apakah orang-orang lain itu dapat memenuhi tugas dan kewajibannya sesuai seperti yang diharapkan oleh para orang tua. Dengan demikian peluang ini hanya mungkin diisi oleh setiap orang dewasa yang mempunyai harapan, cita-cita, pandangan hidup dan hidup keagamaan sesuai apa yang dihajatkan oleh para orang tua untuk anak-anaknya. Di samping itu, tentu saja kesediaan orang dewasa yang demikian itu diperlukan karena



739



Zakiah Daradjat, op. cit, h. 38



393



dengan itu ia menyatakan kerelaannya untuk memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang dibebankan para orang tua.740 Sekolah adalah lembaga pendidikan yang penting sesudah keluarga. Akibat makin besarnya kebutuhan anak, maka orang tua menyerahkan tanggung jawabnya sebagian kepada lembaga sekolah. Pengajaran yang diterima anak di sekolah mengenai apa yang tidak dapat atau tidak ada kesempatan orang tua untuk memberikannya kepada anak dan melaksanakannya. Materi-materi yang diterima anak di sekolah meliputi ilmu pengetahuan, keterampilan dan agama. Pendidikan yang budi pekerti dan keagamaan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah haruslah merupakan kelanjutan dari apa yang diterima anak di rumah. 741 Dengan demikian peran guru sebagai pelaksana pendidikan Islam di Lembaga formal Islam adalah memberikan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan terkait dengan masa depan anak dalam mencapai kesejahteraan hidup dunia dan membimbing serta memperdalam pengetahuan anak tentang materi-materi agama yang diterima anak di rumah sehingga wawasannya semakin meluas sehingga lebih memantapkan kepribadiannya dalam menjalankan kewajiban sebagai hamba Allah. E.



Peran Masyarakat Sebagai Pelaksana Pendidikan Islam di Lembaga Pendidikan Non Formal Proses pendidikan dalam masyarakat telah dimulai sejak anak-anak untuk beberapa jam setelah selepas dari asuhan keluarga dan berada di luar sekolah. Corak ragam pendidikan yang diterima anak didik dalam masyarakat banyak sekali meliputi segala bidang baik pembentukan kepribadian, pembentukan pengetahuan, sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan. Prosesnya berlangsung secara tidak langsung dan dilaksanakan secara sadar atau tidak sadar oleh masyarakat. Anak didik sendiri secara sadar atau tidak sadar mendidik dirinya sendiri, mencari pengetahuan dan pengamalan sendiri, mempertebal keimanan serta keyakinan sendiri akan nilai-nilai kesusilaan dan keagamaan di dalam masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan masyarakat yang berbentuk lembaga seperti organisasi pemuda, pramuka, olahraga, keagamaan dan sebagainya sedangkan yang tidak berbentuk lembaga berupa proses keteladan dan sikap masyarakat dalam hal pengamalan ajaran Islam serta mencegah anak berbuat hal yang menyimpang dari ajaran agama. Bila hal seperti ini dapat diperankan 740 741



Ibid, h. 39 Zuhairini dkk, op. cit., h.179



394



oleh masyarakat maka degradasi moral seperti yang terjadi di sebagian kalangan remaja seperti sekarang dapat dicegah. Namun kenyataannya di sebagian besar masyarakat kita tidak mampu memerankan peran seperti tersebut di atas sehingga generasi muda kita di zaman sekarang kerusakan moralnya semakin sulit dibedung.742 Dengan demikian peran masyarakat sebagai pelaksana pendidikan Islam di lembaga pendidikan nonformal adalah sebagai pembimbing penanaman nilai-nilai keagamaan bagi anak didik di lingkungan masyarakat, menjadi teladan dalam pengamalan agama bagi anak di lingkungan masyarakat serta sebagai pengontrol dan pencegah bagi anak bila hendak melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama di lingkungan masyarakat. F.



Bentuk-Bentuk Kerjasama Antara Orang Tua, Guru dan Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pendidikan Islam Bagi Anak. Era globalisasi dan informasi menuntut adanya berbagai upaya pengembangan dan desain kebijakan pendidikan oleh suatu bangsa, serta yang khas sehingga sebuah masyarakat tidak tenggelam dalam arus globalisasi dan informasi yang demikian derasnya. Banyak perubahan yang tidak disangka datang dari dua sisi kekuatan dunia saat ini yang sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat, yaitu kegiatan ekonomi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan meningkatnya kompetensi dan persaingan global, berarti mampu untuk mempertahankan standar hidup yang layak, generasi muda saat ini harus bekerja lebih keras dan lebih lama jika dibandingkan dengan generasi orang tua mereka sendiri.743 Sangat beralasan bila muncul berbagai keluhan dan keresahan orang tua khususnya dan masyarakat umumnya mengenai kehidupan anak-anak mereka di masa sekarang maupun di masa yang akan datang akibat maraknya budaya pop, glamour, santai serta krisis akhlak yang melanda masyarakat moderen yang lahir dari akibat globalisasi dan informasi. Jauhnya kehidupan anak-anak dari nilai-nilai agama merupakan salah satu dampak nyata dan ekses global dan informasi yang sedemikian deras tanpa adanya filter yang dapat menjadi perekat identitas yang cukup kuat.744



742 743 744



H Abuddin Nata, op. cit, h. 180 Maurice J Ellias dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak Dengan EQ (Bandung: Kaifah, 2000), h. 27 Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Cet. I; Jakarta: CV Misaka Galiza, 2003), h.3



395



Olehnya itu pendidikan Islam bagi anak didik tidak dapat dipandang ringan. Dengan terbinanya anak didik berarti telah memberikan sumbangan yang besar bagi penyiapan masa depan bangsa yang lebih baik, sebaliknya bila membiarkan anak didik terjerumus ke dalam perbuatan yang tersesat, berarti telah membiarkan bangsa dan negara terjerumus ke jurang kehancuran.745 Menyadari hal demikian maka kegiatan pendidikan agama haruslah mampu dilakukan sesuai dengan petunjuk-petunjuk pembinaan yang terdapat dalam al-Qur‟an maupun Hadis, dimana petunjuk-petunjuk tersebut perlu direnungkan dan diamalkan baik di lingkungan rumah, sekolah maupun masyarakat. Petunjuk tersebut misalnya dengan memberikan contoh dan teladan bertutur kata dan perbuatan yang baik. Membiasakan membaca alQur‟an, tekun mengerjakan shalat lima waktu, berpakaian yang sopan, makan dan minum yang halal dan baik, bergaul dengan sesama orang yang baik serta menjauhi perbuatan yang buruk, menolong orang yang berada dalam kesusahan dan lain sebagainya. Petunjuk tersebut kiranya dapat dipegang teguh dan dilaksanakan secara konsekuen, dengan cara demikian kepribadian anak didik akan terbina dengan baik. 746 Untuk itu pendidikan agama bagi anak ddik harus dilakukan lewat kerja sama baik di lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat. Selama ini kenyataan yang ada masyarakat, orang tua dan masyarakat lebih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Akibatnya dalam pembelajaran agama Islam bagi anak didik banyak terjadi pengulangan sementara seharusnya pendidikan Islam harus berkesinambungan. Para orang melakukan kegiatan pendidikan agama pada anak sesuai dengan yang dipahaminya. Guru agama di sekolah melakukan proses pembelajaran agama sesuai materi yang dikembangkan lewat kurikulum tanpa melakukan kroscek apa materi itu sudah dikuasai oleh anak atau belum. Masyarakat seperti para dai dalam melakukan dakwa tanpa pernah konfirmasi dengan masyarakat tempat ia melakukan dakwa. Selain itu pelaksanaan pendidikan agama Islam dilakukan lewat keteladanan oleh kalangan setiap orang dewasa baik itu guru maupun orang tua yang benarbenar memahami konsep pendidikan agama Islam, bukan dibuat-buat. Salah satu realita kenapa anak didik rusak akhlaknya karena tumpang tindihnya pemberiaan materi agama sehingga bukan membuat anak didik berkualitas tetapi membuat mereka bosan, hilangnya nilai-nilai keteladanan di tengah-



745 746



H Abuddin Nata, op. cit,h. 217 Ibid, h. 218



396



tengah masyarakat umat Islam yang cenderung dipengaruhi globalisasi dan informasi. Sebenarnya yang perlu disadari bersama adalah menghapus kesenjangan pandangan antara kenyataan kemampuan moral modernitas yang terus berkembang. Kita harus kritik dan optimis dalam memandang perkembangan zaman sebagai peluang yang bagus untuk dikembangkan sebab bagaimanapun mereka hidup dalam zaman modern dan karena harus mampu meresponi kebutuhan dasar moral yang sesuai dengan tantangan zaman. Suatu kreativitas, keberanian bertindak, sikap realistis-pragmastis, solidaritas kawan, kesenangan membaca dan belajar agama adalah cara-cara untuk menumbuhkan rasa hormat kepada orang tua, guru dan orang yang lebih tua di lingkungannya serta sikap ingin menolong orang lain misalnya perlu diapresiasikan sebagai kecenderungan positif untuk dikembangkan sesuai dengan tantangan yang akan mereka hadapi. 747Selain itu pendidikan agama harus dilakukan dengan menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana, termasuk teknologi moderen. Kesempatan berekreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan sebagainya digunakan sebagai peluang untuk membina pribadi anak. Demikian pula berbagai sarana seperti masjid, mushallah, lembagalembaga pendidikan, surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dan sebagainya dapat digunakan sebagai tempat untuk membina akhlak. 748 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa bentuk kerja sama yang dapat dilakukan orang tua, sekolah dan masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan Islam bagi anak meliputi; masing-masing memaksimal pelaksanaan pendidikan agama di lingkungan masing-masing dan saling di komunikasikan materi yang disampaikan hingga tidak terjadi kerancuan materi yang diajarkan, semua pihak berupaya menjadi teladan yang baik bagi anak, bersama-sama memerangi keberadaan saranasarana yang dapat merusak pribadi anak, bersama-sama membangun lingkungan dengan berbagai sarana penanaman nilai-nilai Islam, dan bersamasama selalu mengawasi dan mengontrol perilaku keseharian anak didik serta mencegah anak didik berperilaku yang menyimpang.



747 748



Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidkan Islam ( Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 140 H Abddin Nata, op. cit, h. . 204



397



G.



Rangkuman Lembaga pendidikan Islam adalah tempat atau organisasi yang bertanggung jawab terhadap terselenggaranya kegiatan pendidikan Islam bagi anak dimana secara umum lembaga pendidikan Islam terbagi tiga yaitu lembaga pendidikan Islam bersifat formal yaitu lembaga pendidikan yang proses pendidikan Islamnya berlangsung dalam lingkungan sekolah, lembaga pendidikan Islam yang bersifat informal yaitu lembaga pendidikan yang proses pendidikan Islam berlangsung dalam lingkungan keluarga dan lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal yaitu lembaga pendidikan Islam yang proses pendidikan Islamnya berlangsung dalam lingkungan masyarakat. Peran orang tua sebagai pelaksana pendidikan Islam di lembaga pendidikan informal yaitu mengasuh dan mengurus anak, menyiapkan segala kebutuhan anak dalam proses belajar dan membimbing serta menuntun anak dengan nilai-nilai ajaran Islam. Peran guru sebagai pelaksana pendidikan Islam di Lembaga pendidikan formal yaitu memberi bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan anak dalam mencapai kesejahteraan hidup dunia dan membimbing serta menuntun anak secara mendalam akan materi-materi agama yang diterima di rumah sehingga wawasan keagamaannya semakin meluas yang berujung pada kemantapan kepribadian dalam menjalankan kewajiban sebagai hamba Allah. Peran masyarakat sebagai pelaksana pendidikan Islam di lembaga pendidikan nonformal adalah membimbing dan menanam nilai-nilai keagamaan bagi anak didik di lingkungan masyarakat, menjadi teladan bagi anak dalam pengamalan agama di lingkungan masyarakat dan selalu mengontrol dan mencegah anak bila hendak melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari Islam di lingkungan masyarakat. Bentuk kerjasama yang dapat dilakukan orang tua, sekolah dan masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan Islam bagi anak meliputi; masing-masing memaksimal pelaksanaan pendidikan Islam di lingkungannya, saling berkomunikasi tentang materi yang diajarkan pada anak, bersama-sama menjadi teladan yang baik bagi anak, memerangi keberadaan sarana-sarana yang dapat merusak pribadi anak, membangun lingkungan dengan berbagai sarana penanaman nilai-nilai Islam, selalu mengawasi dan mengontrol perilaku keseharian anak didik serta mencegahnya berperilaku menyimpang.



398



BAB XI SISTEM PENGELOLAAN PENDIDIKAN ISLAM PADA LEMBAGA PENDIDIKAN PESANTREN DI INDONESIA A.



Latar Belakang Pemikiran Pendidikan Islam termasuk masalah sosial, sehingga dalam kelembagaanya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada.Lembaga disebut juga institusi atau pranata, sedangkan lembaga sosial adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peran-peran dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukuman, guna tercapainya kebutuhankebutuhan sosial dasar. Lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebuah wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan. Proses yang dimaksud adalah dimulai dari lingkungan keluarga. Menurut ajaran Islam keluarga merupakan basis atau lembaga pertama dalam pendidikan Islam, setelah itu baru yang lain. Disinilah letak pentingnya peranan keluarga dalam membentuk dan mengarahkan anaknya, sehingga tanggung jawab pendidikan tidak sepenuhnya diserahkan ke lembaga pendidikan formal atau jalur sekolah. 749 Pendidikan Islam yang berlangsung melalui proses operasional menuju tujuannya, memerlukan model dan sistem yang konsisten serta dapat mendukung nilai-nilai moral spiritual yang melandasinya. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan fitrah siswa yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Oleh karena itu, manajemen kelembagaan pendidikan Islam memandang bahwa seluruh proses kependidikan dalam institusi adalah sebagai suatu sistem yang berorientasi kepada perbuatan yang nyata. Lembaga-lembaga pendidikan Islam merupakan sebuah sistem masyarakat atau bangsa. Dalam operasionalnya harus mengacu dan tanggap pada kebutuhan masyarakat. Lebih-lebih di zaman keterbukaan terhadap arus informasi yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi ini memberikan dampak terhadap lingkungan dan 749



Hendropuspito, Sosiologi Agama (Jakarta: Kanisius, 1988), h. 144, Lihat Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 127



399



masyarakat. Berbagai kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, seperti kemajuan teknologi komunikasi, informasi dan unsur budaya lain akan mudah diketahui oleh masyarakat. Kecenderungan seperti itu tentu harus diantisipasi oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam jika ingin menempatkannya sebagai agen pembangunan dan pengembangannya yang tidak ketinggalan zaman. Lembaga pendidikan Islam harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak sekedar sebagai penerima arus informasi global, tetapi harus memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengelola, menyesuaikan dan mengembangkan apa yang diterimanya melalui arus informasi itu dan juga tetap menyeimbangkan pengembangan kegiatan pendidikan demi melahirkan sumber daya manusia yang mampu menggapai kesejahteraan di akhirat kelak. Untuk itu pengembangan lembaga pendidikan Islam dikatakan mampu melahirkan sumber daya yang unggul atau berkualitas di tengahtengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang bila mampu melahirkan sumber daya manusia yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta menjalankan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan aturan-aturan dalam Islam.750 Berbicara tentang pengembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia upaya menjawab tantangan zaman, maka salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam yang di kenal di Indonesia adalah pondok pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sudah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Di lembaga inilah diajarkan dan dididik ilmu dan nilai-nilai agama Islam kepada santri. Pada tahap awal pendidikan di Pesantren tertuju semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama saja lewat kitab-kitab klasik atau kitab kuning. Ilmu-ilmu agama yang terdiri dari berbagai cabang diajarkan di Pesantren. Pada tahap awalnya sistemnya berbentuk nonformal, tidak dalam bentuk klasikal, serta lamanya santri di pesantren tidak ditentukan oleh tahun, tetapi oleh kitab yang dibaca. Biasa juga seorang santri berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, untuk mendalami yang lebih spesifik dari



750



H Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 11, Lihat HM Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 38, Lihat H Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 13, Lihat Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam ( Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h., 131, lihat Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar ( Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 199



400



pesantren yang bersangkutan, dan biasa juga bagi santri yang memiliki kemampuan ekonomi melanjutkan pelajaran ke Makkah atau ke Mesir.751 Namun seiring dengan perjalanan waktu dari masa ke masa, perkembangan yang terjadi dalam upaya pengembangan pesantren maka ditemukan 5 pola perubahan dari pengembangan pesantren. Pola pertama pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah guru, dimana model ini masih sangat sederhana. Kiai hanya menggunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar. Santri berasal dari daerah sekitar pesantren tersebut. Pola kedua pesantren terdiri dari masjid, rumah guru, dan pondok atau asrama. Pola ini telah dilengkapi pondok yang disediakan bagi para santri yang datang dari daerah lain. Pola ketiga pesantren terdiri dari masjid, rumah guru, pondok atau asrama dan madrasah. Pada pola ketiga ini telah memakai sistem klasikal, santri mendapat pengajaran di madrasah. Di samping itu, belajar mengaji, mengikuti pengajaran yang diberikan oleh guru di pondok. Pola keempat pesantren telah berubah kelembagaannya yang terdiri dari masjid, rumah guru, pondok atau asrama, madrasah dan tempat keterampilan. Pola ini dilengkapi dengan tempat-tempat keterampilan agar santri dengan pekerjaan yang sesuai dengan sosial kemasyarakatan, seperti pertanian, peternakan, jahit menjahit, dan sebagainya. Pola ke lima seperti halnya pola keempat, tapi ditambah adanya universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga, dan sekolah umum. 752 Perubahan yang terjadi tersebut wajar karena memang dinamika kehidupan dari masa ke masa menghendaki adanya perubahan pengembangan pesantren sesuai tuntutan kehidupan yang terjadi, lebih-lebih di tengah tantangan zaman seperti sekarang ini, dimana kalau dahulu pesantren itu lebih dominan ada di hanya di beberapa wilayah di Indonesia maka sekarang pengembangan pesantren di Indonesia telah menyebar hampir di seluruh Indonesia dengan jumlah yang sangat banyak. Hal itu bisa berakibat pada timbulnya persaingan dari para pengelola Pesantren dalam hal memenej kegiatan pendidikan yang dikembangkannya agar dapat merekrut para santri yang dapat menimba ilmu padanya. Selain bersaing dengan sesama lembaga pesantren maka pesantren juga harus mampu bersaing dalam upaya merekrut para santri dengan lembaga-lembaga pendidikan umum maupun swasta yang bukan dalam format pesantren, dimana mereka juga berusaha semaksimal



751 752



Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan NasionalDi Indonesia (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h.26 H Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Grasindo, 2001), h. 97



401



mungkin untuk mendapatkan anak didik yang dapat mengikuti kegiatan pendidikan padanya dengan pola-pola pengembangan yang mereka gunakan. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa salah satu lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia dan melaksanakan proses pendidikan Islam di Indonesia adalah lembaga pendidikan pesantren dimana ia merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang masih terus eksis dalam sistem proses pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia dan terus dikembangkan sesuai dengan sistem pengelolaannya disesuaikan dengan kebutuhan pengelolaan Islam bagi masyarakat Indonesia dan disesuaikan dengan tantangan pengelolaan pendidikan di era moderen dimana hal ini bermakna bahwa pesantren juga cukup memiliki andil dalam pembentuk peserta didik yang berkualitas dalam ilmu-ilmu pendidikan ajaran Islam dan umum di Indonesia. Untuk itu melihat pesantren tidak dapat dilepas pisahkan dengan berlangsung sistem pendidikan Islam di Indonesia maka dalam bab akan diulas topik kajian tentang sistem pengelolaan pendidikan Islam pada lembaga pendidikan pesantren di Indonesia demi untuk mengetahui dengan pasti bentuk sistem perkembangan pesantren dalam pengelolaan pendidikan Islam di Indonesia. B.



Pengertian Pesantren Secara etimologis istilah pondok Pesantren berasal dari kata funduk (Bahasa Arab) dan santri yang diberi imbuhan per dan an. Kata funduk berarti ruang tidur atau wisma sederhana. Sedangkan kata Pesantren berati tempat para santri. Kata santri juga diartikan sebagai penggabungan antara suku kata sant (manusia baik) dan tra (suka menolong) sehingga kata Pesantren dapat diartikan sebagai tempat mendidik manusia yang baik. 753 Hasbullah mengatakan bahwa; Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri. Pesantren merupakan bapak dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal itu dapat di lihat dari perjalanan sejarah, dimana bila di runut kembali, sungguh



753



H Moch Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2003), h. 85



402



pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da‟i.754 Berdasarkan pendapat Hasbullah tersebut memberikan pemahaman bahwa pesantren adalah tempat berlangsung proses pendidikan bagi para santri dimana pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang awal mula didirikannya dengan tujuan mencetak calon-calon da‟i dan calon ulama demi untuk kegiatan dakwah Islamiyah. H Djamaluddin & Abdullah Aly mengemukakan bahwa; Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama atau kampus yang santri-santrinya menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan kepemimpinan seseorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.755 Berdasarkan pendapat H. Djamaluddin & Abdullah Aly tersebut memberikan pemahaman bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan agama Islam yang berlangsung dengan menggunakan sistem asrama bagi santrinya untuk tinggal dan pola pendidikannya diterapkan dalam bentuk pendidikan madrasah atau pengajian serta dalam pengelolaanya bersifat independent dibawah kepemimpinan seorang atau beberapa orang kiai yang kharismatik. Hj Enung K. Rukhiati dan Fenti Hikmawati mengemukakan bahwa; Pesantren dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da‟i.Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar santri.756 Berdasarkan pendapat Hj Enung K. Rukhiati dan Fenti Hikmawati tersebut memberikan pemahaman bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang dilaksanakan sebagian bagian dari upaya penyebaran dan pembinaan ajaran Islam sekaligus sebagai lembaga yang akan melahirkan santri-santri sebagai kader calon ulama dan da‟i. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut tentang arti pesantren dapatlah dipahami bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan 754 755 756



Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, op. cit., h. 138 H Djamaluddin & Abdullah Aly, Kpita Selekta Pendidikan Islam (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 99 Hj Enung K Rikhiati & Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam (Cet.I; Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 103



403



Islam yang dilaksanakan dibawah kepemimpin kharismatik seorang kiai atau beberapa orang kiai, santrinya di asramakan, sistem pengajarannya dalam madrasah atau pengajian, dan tujuan pelaksanaannya adalah penyebaran dan pembinaan ajaran Islam bagi santri serta upaya melahirkan santri yang berkualitas sebagai calon-calon ulama dan da‟i. C.



Sejarah Perkembangan Pesantren di Indonesia Tentang kehadiran pesantren secara pasti di Indonesia pertama kali, dimana dan siapa pendirinya tidak ada keterangan yang pasti. Sesuai dengan hasil pendataan yang dilaksanakan oleh departemen agama pada tahun 19841985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 M di Pamekasan Madura, dengan nama pesantren Jan Tampes II, namun data itu juga diragukan karena tentunya ada pesantren Jan Tanpes I yang lebih tua. Kendatipun demikian, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang peran sertanya tidak diragukan lagi adalah sangat besar bagi perkembangan Islam di Nusantara.757 H Haidar Putra Daulay mengemukakan bahwa; Belum ditemukan data pasti kapan pesantren pertama kali didirikan. Banyak pendapat mengatakan bahwa pesantren muncul pada zaman wali songo dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang pertama yang mendirikan pesantren. Di Jawa sebelum Islam masuk, telah dikenal adanya lembaga pendidikan jawa kuno yang diberi nama pawiyatan, di tempat tersebut tinggal bersama K Ajar dan Cantrik. Ki Ajar yang mengajar dan Cantrik murid yang belajar. Di Pawiyatan berlangsung pendidikan sepanjang hari dan malam. Sistem ini mirip dengan sistem pesantren. Jadi dengan demikian sistem pendidikan pesantren itu telah ada di Jawa sebelum datangnya Islam. Setelah Islam masuk maka sistem ini termasuk yang diislamisasikan. 758 Berdasarkan pendapat H Haidar Putra Daulay tersebut memberikan pemahaman secara data pasti kapan, dimana dan siapa pendiri pasti pesantren di Indonesia itu tidak diketahui hanya bila melihat ciri khas pesantren yang mirip dengan pola pendidikan yang diterapkan di Jawa kuno sebelum datangnya Islam maka pesantren itu indikasi adanya semenjak datangnya Islam ke Indonesia dimana pesantren hanya merupakan lembaga pendidikan yang diislamisasi setelah datangnya Islam. 757 758



Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 41 H Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 14



404



Pola pembangunan pesantren di Indonesia awalnya pendirian suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga pendidikan lanjutan. Namun demikian, faktor guru yang memenuhi persyaratan keilmuan yang diperlukan sangat menentukan tumbunya suatu pesantren. Pada umumnya, berdirinya suatu pesantren ini diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kiai. Karena keinginan menuntut ilmu dari guru tersebut, masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Kemudian mereka membangun tempat tinggal yang sederhana di sekitar tempat tinggal guru tersebut.759 Di masa-masa awal keberadaan pesantren menunjukkan bahwa memang sistem pengelolaan pendidikannya dalam bentuk asrama atau kompleks asrama sehingga santri mendapatkan pendidikan dalam situasi lingkungan sosial keagamaan yang kuat dengan ilmu pengetahuan agama yang dilengkapi dengan atau tanpa ilmu pengetahuan umum. Ilmu pengetahuan agama yang diajarkan itu sangat bergantung pada kegemaran atau keahlian kiai yang bersangkutan. Pada umumnya santri-santri dalam pondok didisiplinkan dalam mengamalkan ibadah sehari-hari sehingga praktik keagamaannya tampak menonjol sedangkan segi teori kurang mendapatkan motivasi yang semestinya terutama soal kedisiplinan belajar. Kurikulum formal tidak digunakan dan kegiatan pengajaran terbatas pada pengajian baik sorogan maupun weton. Akibatnya hanya santri yang berpembawaan cerdas saja yang dapat sukses menjadi alim sesuai dengan idaman mereka. 760 Selain itu karena pondok pesantren di masa awal didirikan secara individu atau beberapa orang kiai (biasanya sefamili) maka segala sesuatu yang berlaku pada pondok tersebut bergantung pada sistem kedisiplinan kiai yang bersangkutan. Masing-masing pondok pesantren mempunyai tipe khas keilmuan lainnya. Bilama kiai ahli dan gemar ilmu pengetahuan alat, maka pondoknyapun terkenal dengan tersebut. Kedaulatan dalam pengelolaan pondok termasuk materi dari kitab-kitab kuningnya antara satu pondok dan pondok yang lain berbeda ciri khasnya dimana semuanya bergantung pada tangan kiai. Itulah sebabnya pondok pesantren dari sudut pandang sosiologi diibaratkan sebuah kerajaan tersendiri dimana kiai menjadi raja sehingga hidup matinya sesuatu pondok sangat bergantung kemampuan kiai baik dari segi kaharismatiknya, keahliannya ataupun asetnya. 761 759 760 761



Hj Enung K Rikhiati & Fenti Hikmawati, op. cit., h. 104 Ibid., h. 101 Ibid., h. 102



405



Untuk itu di masa awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yaitu; ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan. Perkembangan Pesantren yang lebih interen, berlangsung sejak awal abad ke 20 ditandai oleh pembukaan sistem madrasah dengan dukungan para ulama yang baru kembali dari tanah suci. Pemerintah Hindia Belanda melihat perkembangan tersebut sebagai suatu ancaman sehingga menekan dan mengawasi perkembangan pesantren. Walaupun kebijakan pihak pemerintah Hindia Belanda sangat merugikan perkembangan pesantren namun ternyata pesantren mampu bertahan. Bahkan sekitar tahun 1930 perkembangan pesantren justru lebih pesat. Bila pada tahun 1920 Pesantren besar hanya memiliki santri sekitar 200 maka pada tahun 1930 santri pesantren besar dapat mencapai lebih dari 1500 santri. Setelah Indonesia merdeka, ketika pemerintah membuka dan mengembangkan sekolah-sekolah umum dan memberikan fasilitas utama bagi para alumnus pendidikan umum untuk menduduki jabatan dalam struktur pemerintah, maka sejak itu asumsi masyarakat tentang pendidikan dan sekolah mulai dikaitkan dengan penyediaan lapangan kerja. Bahkan sampai sekarangpun masih terdapat kecenderungan bahwa sekolah umum adalah satu-satunya lembaga pendidikan tempat anak didik belajar sehingga mereka yang tidak menjalani studi di sekolah dianggap tidak berpendidikan. 762 Nanti pada tahun 1980 ternyata ada titik balik yang berupa gencarnya ragam pendapat dan pernyataan bahwa sistem pendidikan model pesantren (dengan cara siswa/santri belajar diasramakan) dianggap sebagai salah satu sumber keberhasilan dalam pendidikan dewasa ini. Model seperti itu, saat ini dikembangkan dalam konsep sekolah unggulan seperti Taman Taruna Nusantara, Paramadina, Muthahari, Pesantren Darul Ulum, Gontor dan sebagainya.763 Bentuk-bentuk pengembangan pesantren mulai dari masa awalnya hingga memasuki abad moderen menurut HM Arifin terdiri dari 4 tipe yaitu; 1. Pondok Pesantren dengan sistem pendidikan yang lama dimana pada umumnya terdapat jauh di luar kota, dan hanya memberikan pengajian. 2. Pondok Pesantren moderen dengan sistem pendidikan klasikal berdasarkan atas kurikulum yang tersusun baik termasuk pendidikan skill dan keterampilan 762



763



H Moch Idochi Anwar, op. cit., h. 86, Lihat Abuddin Nata, op. cit., h. 93, Lihat A Timur Jaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan Pembangunan Perguruan Agama ( Jakarta: Dermaga, 1982), h. 18 H Moch Idochi Anwar.op. cit, h. 87



406



3.



4.



Pondok Pesantren dengan kombinasi yang di samping memberikan pelajaran dengan sistem pengajian, juga madrasah yang dilengkapi dengan pengetahuan umum menurut tingkat atau jenjangnya. Tipe seperti ini banyak dilakukan pada kebanyakan lingkungan Pesantren Pondok Pesantren yang tidak lebih dari asrama pelajar dari pada pondok yang semestinya.764



Demikian berdasarkan penjelasan tersebut sejarah pesantren di Indonesia dan perkembangannya di Indonesia dapatlah diketahui bahwa tentang kapan pesantren berdiri sebagai lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia, siapa berdirinya dan dimana lokasinya beradanya itu tidak diketahui hanya diketahui bahwa pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dimana setelah adanya pesantren baru kemudian muncul lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain seperti madrasah, dimana pesantren memiliki sejarah yang panjang mulai dalam bentuk sistem pendidikan pesantren dalam format yang sederhana hingga dalam realita sekarang ini telah muncul pesantren-pesantren dalam format moderen. D.



Ciri Umum Pesantren Meskipun pesantren memiliki akar sejarah yang panjang, namun asal usul pesantren-pesantren besar yang ada sekarang hanya terlacak sampai akhir abad ke 19 atau awal abad ke 20. Peta penyebaran pesantren di pulau Jawa pada kurun waktu itu menunjukkan adanya 40 pemusatan pesantren dengan Jawa Timur sebagai pemegang jumlah terbesar, disusul secara berurutan oleh Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pengembangan layanan pendidikan pesantren mulai tampak ketika diperkenalkan konsep madrasah yang klasikal sejak akhir dasawarsa 1920.Dewasa ini hampir semua pesantren mengembangkan sistem madrasah bahkan sekolah umum. Ada lima pola pesantren dalam pengembangan pendidikannya, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling maju. Pola 1 pesantren hanya terdiri dari masjid dan rumah Kiai. Pola 2 terdiri atas masjid, rumah Kiai dan pondok. Pola 3 terdiri atas masjid, rumah kiai, pondok dan madrasah. Pola 4 terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, tempat keterampilan. Pola 5 terdiri atas masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga, dan sekolah umum. Keberagaman pola pesantren tersebut tentu saja 764



HM Arifin,op. cit., h. 243



407



membedakan kondisi antar pesantren baik dari segi manajemen penyelenggaraan maupun layanan pendidikan. 765 Dalam dasawarsa 1960 ada perkembangan baru, yaitu ketika banyak pesantren yang melembagakan diri dalam bentuk yayasan, suatu bentuk badan hukum yang mengandung arti kiai bukan lagi satu-satunya penguasa pesantren dan masuknya teknokrat ke dalam pesantren sehingga kiai menjadi bersifat simbolis. Seiring dengan perkembangan badan hukum tersebut, maka keberadaan pesantren bukan hanya sebagai lembaga normatif yang secara filantrofis menyediakan pendidikan tradisonal di bidang agama, tetapi merupakan pula lembaga kalkulatif yang menyelenggarakan pendidikan moderen, seperti pendidikan agama Islam secara klasikal dan pendidikan umum dalam lingkungan pesantren. Perkembangan pesantren seperti itu ada hubungannya dengan pergeseran pemahaman terhadap makna pendidikan dari sudut pandang Islam. Jika pada masa lalu ilmu berarti ilmu agama maka kini telah diformulasi bahwa mencari ilmu pengetahuan umum sebagai wajib kifayah. Alasan lain, meskipun pesantren-pesantren yang membatasi pelayanan pada pendidikan agama Islam cukup efektif bagi peserta didik dan berbagai latar usia dan kadar pemahaman agama, namun untuk sekarang ini pembatasan tersebut tidak antisipatif terhadap kebutuhan masyarakat akan jenis-jenis pendidikan seperti teknologi, pertanian, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. 766 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa ciri khas pesantren bila di lihat dari pola awal berdirinya hingga sekarang maka pesantren itu dapat di kelompok kepada lima ciri pesantren meliputi; pesantren hanya terdiri dari masjid dan rumah Kiai, pesantren yang terdiri dari masjid, rumah Kiai dan pondok, pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok dan madrasah, pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, tempat keterampilan dan pesantren yang terdiri atas masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga, dan sekolah umum dimana pengelolaan pendidikannya bergantung pada sistem yang diterapkan pada suatu pesantren.



765 766



1H Moch Idochi Anwar.op. cit, h. 87, Lihat Sudjoko Prasodjo dkk, Profil Pasantren (Jakarta: LP3Es, 1982), h.. 83 Ibid, h. 88, Lihat M Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pasantren, Jakarta: P3M, 1985), h. 107-10



408



E. 1.



Tujuan Pendidikan Pesantren Tujuan Umum Tujuan umum dari pendidikan pesantren adalah membentuk mubalighmubaligh Indonesia berjiwa Islam Pancasilais yang bertakwa, yang mampu, baik rokhani maupun jasmani, mengamalkan ajaran Islam bagi kepentingan kebahagiaan hidup diri sendiri, keluarga, masyarakat , bangsa dan negara. 2. Tujuan khusus Tujuan khusus dari pendidikan Pesantren yakni; a. Membina suasana hidup keberagamaan dalam pondok Pesantren sebaik mungkin sehingga berkesan pada jiwa anak didiknya b. Memberikan pengertian keagamaan melalui pengajaran agama Islam c. Mengembangkan sikap keberagamaan melalui praktek-praktek ibadah d. Mewujudkan ukhuwah Islamiah dalam pondok pesantren dan sekitarnya e. Memberikan pendidikan mengembangkan pendidikan keterampilan, civic dan kesehatan, kepada anak didik. f. Mengusahakan terwujudnya segala fasilitas dalam pondok pesantren yang memungkinkan pencapaian tujuan umum. 767 Terkait dengan uraian tentang tujuan pendidikan pesantren seperti di sebutkan di atas H Haidar Putra Daulay mengemukakan bahwa; Ada tiga H yang harus dididikan kepada para santri seperti sekarang ini, yaitu H pertama, head artinya kepala, maknanya mengisi otak santri dengan ilmu pengetahuan, H kedua, heart yang artinya hati, maknanya mengisi hati santri dengan iman dan takwah, dan H yang ketiga adalah hand artinya tangan, pengertiannya kemampuan bekerja. Dengan berdasarkan kemampuan tiga H tersebut, Pesantren saat sekarang ini akan berperan sebagai lembaga pendidikan Islam yang mencetak kader ulama, bangsa, dan negara. 768 Berdasarkan pendapat H Haidar putra Daulay tersebut memberikan pemahaman agar pesantren mampu mencetak kader ulama, bangsa dan Negara maka dalam pengelolaan pendidikannya harus mengacu pada tercapainya tiga kemampuan meliputi pengisian otak santri dengan ilmu pengetahuan, pengisian hati santri dengan iman dan takwa dan pembekalan kemampuan santri dengan keahlian yang mampu diterapkan dan 767 768



H Djamaluddin & Abdullah Aly, op. cit., h. 108 H Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 26



409



dikembangkan dalam kehidupan baik secara pribadi, bermasyarakat, berbangsa, bernegara maupun sebagai umat manusia dalam berbagai lini kehidupan. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut serta melihat tujuan berdirinya pesantren pada masa-masa awal maka tujuan pendidikan pesantren yaitu masa klasik bertujuan melahirkan santri-santri yang menjadi calon-calon da‟i dan ulama sedangkan tentang tujuan pendidikan pesantren di era modern mampu membentuk santri-santrinya menjadi santri yang berkualitas yaitu; menguasai ilmu agama dan mampu mengaplikasikan dalam kehidupan, menguasai ilmu pengetahuan umum dan mampu mengabdikan dalam kehidupan sesuai dengan jenjang tingkat pendidikan yang dikelola pondok Pesantren yang diikuti para santri sehingga nantinya para santri bukan hanya berkiprah dalam ilmu-ilmu keagamaan dalam masyarakat tetapi juga dalam hal ilmu-ilmu pengetahuan umumpun mereka dapat mengambil peran. F.



Pengelolaan Kegiatan Pendidikan Pesantren di Tengah Tantangan Zaman Kemajuan sistem dan alat infomasi dewasa ini memungkinkan penetrasi kebudayaan dengan mudah merambah ke masyarakat pedesaan. Tradisi kota dengan mudah mempengaruhi masyarakat desa, bahkan tidak menutup kemungkinan masyarakat kelas menengah pedesaan lebih maju dibandingkan dengan masyarakat kota pinggiran. Pola kerja masyarakat desapun tidak lagi sepenuhnya bergantung kepada pertanian. Lunturnya tradisi kehidupan sehari-hari warga desa, pola kerja yang semakin heterogen, hilangnya waktu istirahat karena perubahan pola pertanian ditambah dengan derasnya arus informasi ke pedesaan pada gilirannya dapat mengubah pola berpikir, aspirasi dan tradisi warga desa dalam menjalani kehidupan. Bagi dunia pesantren, pergeseran tersebut telah mengimplikasikan pergeseranan fungsi manajemen pelayanan yang cenderung melemahkan fungsi edukatifnya, yaitu fungsi sebagai tempat belajar mengajar agama Islam menjadi pengelola kegiatan yang berfungsi ganda. Pesantren yang berfungsi ganda tersebut memang mendorong masyarakat golongan menengah ke atas untuk menyekolahkan putra putrinya di pesantren, yang dilayani seperti layaknya para tamu yang sedang beristirahat di hotel. Nilai edukatif yang hilang akibat perubahan itu adalah, kemandirian siswa atau santri dalam mengatasi dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dampak ekonomisnya, layanan pendidikan pesantren menjadi mahal dan sifat hubungan antara masyarakat dengan pesantren menjadi kontraktual. Pada tingkat visi,



410



pergeseran itu mengisyaratkan perubahan eksistensi pesantren dari wataknya yang populis menjadi lembaga pencetak birokrat.769 Pesantren sebagai lembaga pendidikan, dari sudut pandang administrasi pendidikan harus mampu merefleksikan sifat-sifat penting pendidikan, yaitu; mengandung nilai dan memberikan pertimbangan nilai-nilai, berorientasi kepada perbaikan kehidupan manusia dan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dimana pendidikan itu berada. Pesantren sebagai suatu kesatuan sistem, merupakan lapisan terpenting dalam setiap upaya pembaharuan. Pada tingkat institusi keberhasilan program pembaharuan pendidikan menuntut dilakukannya tiga hal. Pertama, memperkuat lembaga dan struktur organisasi pesantren, termasuk mengembangkan kemampuan personil dalam mengelola inovasi. Kedua, meningkatkan kemampuan guru atau tenaga pengajar, mengembangkan komitmen pelaksana dari semua pihak dalam programprogram pembaharuan. Dunia pesantren saat ini, dihadapkan kepada tarikan dua aspirasi. Di satu pihak, pesantren harus konsisten dengan tradisi populasinya sebagai lembaga pendidikan yang menyebarkan ajaran Islam, alat kontrol sosial, pengayom dan panutan masyarakat. Di lain pihak, pesantren sebagai human investmen bagi pembangunan nasional dihadapkan dengan tantangan dan tuntutan mutakhir yang dilahirkan dari modernisasi kehidupan masyarakat. Dalam tataran manajemen penyelenggaraan, tarikan dua kepentingan menempatkan Pesantren pada persoalan-persoalan strategis seperti struktur pembiayaan, yang makin kompleks, keragaman latar belakang sosial ekonomi santri, dan kompetensi tenaga profesional tenaga pendidikan. 770 Terkait dengan persoalan pendidikan pesantren tersebut, Muktar dkk mengemukakan bahwa keberhasilan kegiatan pendidikan di suatu lembaga pendidikan didukung oleh; 1. Input yang terdiri dari visi, misi, tujuan, sasaran, manajemen, dan sumber daya 2. Proses yang terdiri dari proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan sekolah, pengelolaan program sekolah, pemotivasian staf, pengkoordinasian tugas melalui team work, pembelajaran, monitoring, evaluasi pengajaran dan pendidikan. 771



769 770 771



H Moch Idochi Anwar.op. cit, h. 90 Ibid, h. 91, H Suryama M, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan (Cet. II; Bandung: Alfabeta, 2004), h. 52 Lihat Mukhtar dkk, Pendidikan Anak Bangsa Pendidikan Untuk Semua (Cet. I; Jakarta: Pt Nimas Multitama, 2002), h. 12-16



411



Berdasarkan pendapat Mukhtar dkk tersebut memberikan pemahamn bahwa agar sebuah pesantren mampu melahirkan santri-santri yang berkualitas maka dalam pesantren harus mengelola input dan proses pendidikannya sebab hanya pola tersebut sistem pendidikan dapat berlangsung dengan baik, standar mutu bisa diwujudkan dan pengelolaan pendidikan mampu dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, agama dan tuntutan zaman. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami agar pesantren mampu menjawab tantangan zaman dalam pengelolaan kegiatan pendidikan baik dalam melahirkan santri-santri yang berkualitas maupun mewujudkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan pelayanan mutu maka mereka harus memperbaiki dan mengembangkan sistem pengelolaan kegiatan pendidikannya disesuaikan dengan kebutuhan santri, masyarakat, bangsa, negara, agama, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta agama menjadi kontrol utama dalam pengembangan kegiatan pendidikannya dimana bila hal tersebut mampu dilakukan pada pesantren dalam pengelolaan dan pengembangan kegiatan pendidikan maka dapat dipastikan pesantren akan mampu mewujudkan berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bermutu, mampu bersaing di tengah persaingan pengembangan kegiatan pendidikan seperti sekarang serta mampu melahirkan santri-santri yang cerdas secara ilmu dan cerdas secara perilaku serta dapat berperan dalam berbagai lini kehidupan. G.



Rangkuman Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang dilaksanakan dibawah kepemimpin seorang kiai atau beberapa orang kiai dimana santrinya di asramakan, pengajarannya dalam bentuk madrasah atau pengajian dan tujuan pendidikannya adalah penyebaran dan pembinaan ajaran Islam bagi santri sehingga mereka bisa menjadi calon-calon ulama dan da‟i Sejarah pesantren di Indonesia dan perkembangannya diketahui bahwa pesantren awal berdiri di Indonesia, pendirinya dan tempat berdirinya tidak diketahui hanya diketahui bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dengan sistem pendidikan yang dikelola mulai dari pesantren dalam format yang sederhana hingga pesantren dalam format moderen. Ciri khas pesantren mulai awal berdirinya hingga sekarang ada lima ciri yaitu; pesantren hanya terdiri dari masjid dan rumah Kiai; pesantren yang terdiri dari masjid, rumah Kiai dan pondok; pesantren yang terdiri dari



412



masjid, rumah kiai, pondok dan madrasah; pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, tempat keterampilan; dan pesantren yang terdiri atas masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga dan sekolah umum Tujuan pendidikan pesantren secara klasik melahirkan santri-santri yang menjadi ulama dan da‟i sedangkan secara moderen mampu membentuk santri-santrinya menjadi santri yang berkualitas yaitu; menguasai ilmu agama dan mampu mengaplikasikan dalam kehidupan, menguasai ilmu pengetahuan umum dan mampu mengabdikan dalam kehidupan sesuai dengan jenjang tingkat pendidikan yang dikelola Agar pesantren mampu menjawab tantangan zaman dalam pengelolaan kegiatan pendidikannya maka pesantren harus memperbaiki dan mengembangkan sistem pengelolaan kegiatan pendidikannya disesuaikan dengan kebutuhan santri, masyarakat, bangsa, negara, agama, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta agama dijadikan sebagai kontrol berbagai kegiatan pendidikannya sehingga nantinya pesantren dapat mewujudkan dirinya menjadi lembaga pendidikan Islam yang bermutu dan mampu bersaing serta mampu melahirkan santri-santri yang cerdas secara ilmu dan cerdas secara perilaku serta dapat berperan dalam berbagai lini kehidupan.



413



414



BAB XII POSISI STRATEGIS PENDIDIKAN ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL A.



Latar Belakang Pemikiran Salah satu perubahan mendasar dari reformasi pendidikan dalam era reformasi adalah lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, serta UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Kedua undang-undang tersebut membawa prespektif baru yang amat revolusioner dalam konteks perbaikan sektor pendidikan yang mendorong pendidikan sebagai urusan publik dan urusan masyarakat secara umum dengan mengurangi otoritas pemerintah baik pada kebijakan kurikulum, manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan institusi pendidikan itu sendiri. Arah reformasi pendidikan nasional di awal abad ke 21 adalah demokratisasi dalam pengembangan dan pengelolaan pendidikan, didukung oleh komunitasnya sebagai kontributor dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut.772 Salah bentuk pendidikan yang tidak dapat dilepas-pisahkan dengan kegiatan pendidikan nasional adalah pendidikan Islam yang dikembangkan oleh masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Berkembangnya lembaga pendidikan Islam di Indonesia telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Ia merupakan salah lembaga pendidikan yang tertua di Indonesia. Pengembangan pendidikan Islam di Indonesia sebagai upaya menuntun umat Islam di Indonesia dalam kehidupan agar menjalankan ajaran Islam secara baik dan benar sesuai dengan dua sumber landasan utama yaitu kitab suci AlQur‟an dan Sunnah Rasulullah saw demi terwujudnya kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat kelak dengan tetap menjaga hubungan yang baik dengan Allah, sesama manusia, sesama makhluk Allah yang lainnya maupun dengan alam sekitarnya.773 Sudah seharusnya ia sebagai lembaga pendidikan tertua dan masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam maka visi dari reformasi pendidikan nasional harus dikembangkan tidak bertentangan dengan visi dari pengembangan pendidikan Islam di Indonesia



772 773



Lihat Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h. 12 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 219



415



tanpa mengesampingkan pengembangan kegiatan pendidikan masyarkat Indonesia yang beragama lain. Sejalan dengan penjelasan tersebut, untuk dapat membuktikan tentang reformasi pendidikan nasional yang dilaksanakan di Indonesia tetap sejalan dengan visi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, maka dikemukakan salah satu pasal dari UU No 20 tahun 2003 tentang sisdiknas yang dianggap sebagai undang-undang hasil reformasi pendidikan di Indonesia yaitu; pasal 3 dikemukakan sebagai berikut; Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.774 Bila ditelaah secara sepintas tujuan dari pelaksanaan pendidikan nasional tersebut dapatlah dikemukakan suatu asumsi bahwa pengembangan pendidikan nasional tetap mengakumilir visi misi kegiatan pendidikan Islam di Indonesia, karena tujuan yang ingin dicapai dalam tujuan pendidikan nasional sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan pendidikan Islam. Hal itu berarti bahwa ternyata kegiatan pendidikan nasional dalam pengembangan menjadikan konsep-konsep pendidikan Islam sebagai salah satu acuan kegiatan pendidikannya. Secara khusus mungkin dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam di Indonesia merupakan salah satu sentral utama dalam kegiatan pendidikan nasional. Terkait dengan gambaran sepintas posisi penting dari pendidikan Islam di Indonesia pasca lahirnya Undang-Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 dalam kegiatan pendidikan nasional maka dalam bab ini akan diulas topik kajian tentang posisi strategis pendidikan Islam dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional demi untuk mendapatkan jawaban secara jelas tentang posisi penting kegiatan pendidikan Islam setelah lahirnya Undang-Undang no 20 Tahun 2003 dalam kegiatan pendidikan nasional.



774



UU RI No 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional (Cet. III; Fokus Media, 2003), h. 7.



416



B.



Hakikat Pendidikan Islam Secara bahasa pendidikan Islam berasal dari dua suku kata yaitu pendidikan dan Islam. Pendidikan berarti; “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.775 Sementara Islam berarti; “Agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw berpedoman pada kitab suci alQur‟an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah”. 776 Dengan demikian secara bahasa dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupan untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok lewat pengajaran atau latihan agar dalam kehidupannya sesuai dengan ajaran agama Islam yang dibawah oleh nabi Muhammad saw. Sementara tentang pengertian pendidikan Islam menurut istilah atau pendapat para ahli dapat dilihat pada penjelasan-penjelasan seperti di bawah ini. Ahmad D Marimba, mengemukakan; “pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rokhani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”. 777 Berdasarkan pendapat Ahmad D Marimba tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan agar menuntun umat manusia dalam kehidupan agar sesuai dengan aturan-aturan dalam ajaran Islam. H Djamaluddin & Abdullah Aly mengemukakan; “Pendidikan Islam adalah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim”. 778 Berdasarkan pendapat H Djamaluddin & Abdullah Aly tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah pembinaan yang dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa kepada anak didik yang belum mencapai masa kedewasaan agar nantinya berperilaku dalam segala aktivitas kehidupannya menurut standar ukuran sebagai seorang Islam. Achmadi mengemukakan pendidikan Islam adalah “segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan 775 776 777 778



Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 232 Ibid, 388 Ahmad D Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT al-Ma‟arif, 1980), h. 23 H Djamaluddin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 11



417



norma Islam”. 779 Berdasarkan pendapat Achmadi tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri manusia agar nantinya potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut sesuai dengan aturan-aturan dalam Islam atau agama Islam. Zakiah Daradjat dkk, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah “upaya perubahan sikap dan tingkah laku seseorang sesuai dengan nilai-nilai Islam atau pembentukan kepribadian muslim”. 780 Berdasarkan pendapat Zakiah Daradjat dkk tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah menuntut seseorang dalam kehidupan agar hidup dengan kepribadian sebagai seorang muslim sesuai dengan takaran aturan yang terdapat dalam ajaran Islam. Menurut H Ramayulis pendidikan Islam adalah “suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian menurut ukuran Islam”. 781 Berdasarkan pendapat H Ramayulis tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses pengajaran yang dilakukan dalam kehidupan agar mereka yang telah mengikuti proses pengajaran yang di lakukan itu berkepribadian sesuai dengan ukuran-ukuran dalam ajaran Islam. Menurut M Athiyah al-Abrasyi yang dikutip H Ramayulis mengemukakan; pendidikan Islam adalah; Mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaan, manis tutur katanya baik lisan atau tulisan. 782 Dengan demikian berdasarkan pendapat M Athiyah al-Abrasyi tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah kegiatan pembinaan yang dilakukan terhadap manusia dalam kehidupan agar menjadi manusia yang sempurna secara fitrahnya dan mampu berperan dalam kehidupan sesuai dengan kondisi dan keadaan yang dihadapinya, baik terkait kehidupan secara pribadi, bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama. Berdasarkan penjelasan-penjelasan pengertian pendidikan Islam seperti yang telah dikemukakan tersebut dapatlah dipahami bahwa pendidikan Islam adalah segala bentuk usaha pembinaan yang dilakukan oleh manusia kepada manusia yang lain dalam kehidupan agar manusia yang telah dibina tersebut 779 780 781 782



Achmadi, Idiologi Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 29 Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 28 H Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 7 Ibid, h. 3



418



berkepribadian dalam segala aktivitas kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Uraian di atas memberikan gambaran bahwa pelaksanaan pendidikan Islam dalam kehidupan bukan hanya dilaksanakan dalam satu lembaga pendidikan seperti sekolah tetapi semua kegiatan manusia dalam kehidupan untuk menuntut manusia lain sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam maka itulah proses pendidikan Islam. Hal ini memberikan gambaran bahwa ternyata proses pendidikan Islam itu berlangsung dalam semua lini kehidupan baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. H Jalaluddin mengemukakan bahwa; Lingkungan pelaksanaan pendidikan Islam terbagi tiga meliputi lingkungan pendidikan informal yaitu pendidikan di keluarga, lingkungan pendidikan formal yang itu pendidikan di sekolah seperti madrasah atau SD hingga perguruan tinggi, dan lingkungan pendidikan non formal yaitu pendidikan di masyarakat seperti majelis ta‟lim baik dimasjid atau majelis lainya.783 Berdasarkan penjelasan dari H Jalaluddin di atas dapatlah dipahami bahwa lingkungan-lingkungan pelaksanaan pendidikan Islam bagi anak didik agar anak didik tumbuh dengan kepribadian yang Islami meliputi lingkungan pendidikan di keluarga, lingkungan pendidikan di sekolah, dan lingkungan pendidikan di tengah masyarakat. Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa; Pendidikan Islam pada intinya dilaksanakan sebagai bentuk bimbingan yang dilakukan oleh seseorang pada orang lain sehingga orang dibimbing tersebut semaksimal mungkin menjadi seorang muslim, serta proses pelaksanaan bimbingan tersebut dilaksanakan atau diselenggarakan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.784 Berdasarkan penjelasan dari Ahmad Tafsir di atas dapatlah dipahami bahwa tempat proses pelaksanaan pendidikan Islam bagi seseorang dalam kehidupan sehingga benar-benar menjadi seorang muslim itu dilaksanakan pada tiga tempat yaitu di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat. Dengan demikian merujuk pada penjelasan-penjelasan tentang seputar pendidikan Islam tersebut di atas maka dapat dikemukakan suatu asumsi 783 784



H Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.78 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam (Cet. III; Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2000), h.32



419



bahwa pendidikan Islam adalah segenap kegiatan yang dilakukan oleh manusia kepada manusia lainnya dalam kehidupan agar hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam dan proses pelaksanaan pendidikan Islam dapat dilaksanakan baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. C.



Hakikat Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Memasuki era sebelum tahun 1998 pendidikan nasional menghadapi berbagai tantangan yang amat berat khususnya dalam upaya menyiapkan kualitas sumber daya manusia ( SDM ) yang mampu bersaing di era global. Pada saat itu juga pendidikan nasional masih dihadapkan pada dampak buruk dari krisis dalam berbagai bidang kehidupan. Namun semenjak Mei 1998, bangsa Indonesia dihadapkan pada secercah harapan untuk memasuki era baru yakni era reformasi yang lahir dari semangat kebangkitan para pemuda dan mahasiswa untuk menegakkan kehidupan demokratis dalam berbagai kehidupan. Pemilihan umum yang jujur dan adil yang telah dilaksanakan telah berhasil membentuk pemerintah baru yang bertekad untuk memperkaya dan melanjutkan agenda-agenda reformasi untuk memecahkan berbagai permasalahan bangsa saat itu. Terbentuknya pemerintahan baru ini telah menumbuhkan harapan baru dalam memacu kehidupan demokratis, perlindungan HAM, pemulihan ekonomi, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa sebagai koreksi terhadap berbagai kebijaksanaan pemerintahan Orde Baru yang belum berhasil mengembangkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 1945. Berbagai perbaikan diarahkan untuk mengatasi berbagai permasalahan struktural, seperti pemerintahan yang terlalu sentralistik yang kurang selaras dengan kebhinekaan masyarakat dan budaya bangsa. Demikian pula pembaharuan dalam bidang pendidikan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari gelombang reformasi. Berbagai kegiatan seminar, diskusi dan pengamatan para ahli serta kelompok masyarakat terus bermunculan sebagai masukan bagi pemerintah untuk melakukan pembaharuan sistem pendidikan nasional secara menyeluruh yang sesuai dengan tuntutan modernisasi dan mengakar pada kepentingan masyarakat banyak.785 Salah satu perubahan mendasar dari reformasi pendidikan dalam era reformasi adalah lahirnya UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Lahirnya Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang 785



Lihat Ace Suryadi & Dasiman Budimansyah, Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru (Cet. I; Bandung: PT Genesindo, 2004), h. 3-4



420



sisdiknas sebagai wujud perubahan yang ingin dilakukan oleh pemerintah karena dianggap Undang-Undang Sidiknas No 2 Tahun 1989 sudah dianggap tidak sesuai dengan cita-cita reformasi. Perubahan yang dikehendaki berupa perbaikan sektor pendidikan yang mendorong pendidikan sebagai urusan publik dan urusan masyarakat secara umum dengan mengurangi otoritas pemerintah baik pada kebijakan kurikulum, manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan institusi pendidikan itu sendiri. 786 Selain itu lahirnya Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 karena dengan adanya undang-undang ini dapat menjadi landasan bagi arahan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa sebelum lahirnya Undang-undang No 20 tahun 2003, kegiatan pendidikan di Indonesia belum mampu menghasilkan lulusan yang dapat diandalkan dalam menciptakan lapangan kerja bahkan SDM Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara di kawasan ASEAN serta lulusan-lulusan pendidikan di Indonesia diragukan kualitasnya. Akhirnya melalui perumusan yang lama dan lewat perdebatan yang alot maka lewat rapat paripurna DPR tanggal 11 Juni 2003 lahirlah Undang-Undang sisdiknas No 20 tahun 2003.787 Dengan demikian berdasarkan pernyataan tersebut dapatlah dipahami bahwa Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional adalah undang-undang pendidikan yang menggantikan undang-undang pendidikan sebelumnya karena dianggap sudah tidak sesuai zaman karena hasil pendidikan pada saat itu tidak mampu membentuk SDM Indonesia yang berkualitas serta menghilangkan monopoli pemerintah dalam pengelolaan pendidikan dan dirubah dengan melibatkan semua elemen masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. D.



Posisi Strategis Pendidikan Islam di Indonesia dalam UndangUndang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Untuk mengetahui posisi strategis sistem pendidikan Islam setelah lahirnya Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas secara jelasnya dapat di anilisa dari poin-poin pasal yang terkandung dalam UndangUndang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan di Indonesia di hubungan sistem pendidikan Islam di Indonesia serta pemikiran-pemikiran para ahli tentang hal tersebut, dimana secara jelasnya tentang hal tersebut dapat di lihat pada penjelasan-penjelasan di bawah ini. 786



787



Lihat Dede Rosyada, loc.cit, lihat Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam Sisdiknas (Cet. I; Jakarta; Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003), h.iii Ibid, h. iv



421



Pada pasal 3 UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dikemukakan sebagai berikut; Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.788 Berdasarkan pasal tersebut dapatlah dipahami bahwa sistem yang dianut dalam pengembangan pendidikan di Indonesia adalah pendidikan yang membentuk kepribadian dari bangsa Indonesia yang bermartabat dan cerdas dalam upaya membentuk manusia-manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal tersebut memberikan gambaran sistem pendidikan yang dikembangkan di Indonesia adalah sistem pendidikan yang tetap memperhatikan keanekaragaman corak masyarakat Indonesia serta dalam pengembangannya dilaksanakan dalam upaya terwujudnya manusia-manusia Indonesia yang cerdas baik dari segi pengabdian kepada Tuhan, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, melestarikan dan memanfaatkan lingkungan dengan baik, dan mampu berperan dalam kegiatan pembangunan di Indonesia. Bila dipahami secara mendalam tentang konsep yang ingin dicapai dari kegiatan pendidikan nasional tersebut adalah konsep yang dianut dalam kegiatan pendidikan Islam sebab inti dari kegiatan pelaksanaan pendidikan Islam adalah proses pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan pada ajaranajaran Islam dengan tujuan untuk melahirkan manusia yang hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam berupa, beriman dan bertakwa kepada Allah swt, berakhlak mulia, menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia dan makhluk Allah, mengembangkan sistem toleransi dalam kehidupan beragama, selalu melestarikan dan memanfaatkan alam semesta dengan sebaik-baiknya dimana semuanya harus sesuai dengan aturan dari Allah sehingga proses pendidikan yang diikuti manusia dapat mencapai kesempurnaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat kelak. Lebih jelasnya tentang inti sari dari tujuan pendidikan nasional merupakan inti sari dari tujuan pendidikan Islam dapat di lihat dari pendapat 788



UU RI No 20 Tahun 2003, op. cit, h. 7



422



para ahli meliputi; Imam al-Gazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah kesempurnaan insan di dunia dan di akhirat.789 Muhammad Munir Mursa yang dikutip oleh Hery Noer Aly mengemukakan tujuan terpenting pendidikan Islam adalah tercapainya kesempurnaan insani, karena Islam sendiri merupakan manifestasi tercapainya kesempurnaan agamawi. 790 M Athiyah Al-Abrasyi yang dikutip Hery Noer Aly, berpendapat bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah tercapainya akhlak yang sempurna atau keutamaam.791 Ahmad D Marimba mengemuakakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim. 792 Menurut Abu Fatah Jalal tujuan akhir pendidikan Islam adalah menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah swt.793 Armai Arief mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam yaitu; Untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT., cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi, berbudi pekerti luhur, mandiri dan bertanggungjawab terhadap dirinya, bangsa dan negara serta agama. Proses ini berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia.794 Abdul Majid dan Dian Andayani mengemukakan tujuan pendidikan Islam adalah: Menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.795 H Abuddin Nata mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam yaitu; 1. Mengarahkan manusia agar menjadikan khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengelola bumi sesuai dengan kehendak Tuhan. 789



790 791 792 793 794 795



Fathiyah Hasan Sulaiman, Madzahib Fi al-Tarbiyah Bahtsun fi al-Madzhab al-Tarbawi Indah al-Gazali, diterjemahkan oleh Hery Noer Aly dengan Judul; Alam Pikiran AlGazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu ( Bandung: Diponegoro, 1986), h. 31 Hery Noer Aly, op. cit, h. 77 Ibid. Ahmad D Marimba, op. cit, h. 46 Abu Fatah Jalal, Min Ushul al-Tarbiyah fi al-Islam, diterjemahkan oleh :Hery Noer Aly dengan judul; Asas-Asas Pendidikan Islam (Bandung: Diponegro, 1988), h. 119 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 4 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 (Cet. II; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 130



423



2.



3. 4.



5.



Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah swt, sehingga tugas tersebut terasa ringan untuk dilaksanakan. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.796



Merujuk pada penjelasan-penjelasan para ahli tersebut tentang tujuan pendidikan Islam dihubungkan dengan tujuan dari kegiatan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 pada pasal 3 jelaslah bahwa memang tujuan pendidikan nasional sejalan dengan tujuan pendidikan Islam. Hal ini memberi gambaran posisi pendidikan Islam sangat menentukan keberhasilan dari proses pendidikan nasional sebab kebanyakan konsep-konsep yang dianut dan tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan pendidikan nasional merupakan bagian dari konsep dan tujuan dari pendidikan Islam sehingga sudah selayaknya agar pemerintah mampu mewujudkan proses pendidikan nasional maka harus melibatkan para pelaksana pendidikan Islam sebab misalnya mana mungkin proses pendidikan nasional yang mengajarkan tentang konsep takwa itu adalah orang dari ahli matematika atau biologi. Hanya saja yang jadi persoalan tentang sumber daya pelaksana pendidikan Islam di Indonesia, mereka telah siap atau belum untuk mengimplementasikan hal tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan nasional adalah kegiatan pendidikan Islam sebaliknya kegiatan pendidikan Islam merupakan kegiatan pendidikan nasional. Hasbullah mengemukakan bahwa; Nilai-nilai dan aspek yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional sepenuhnya adalah nilai-nilai dasar ajaran Islam, tidak ada yang bertentangan dengan tujuan pendidikan Islam. Oleh karena itu perkembangan pendidikan Islam akan mempunyai peranan yang menentukan dalam keberhasilan pendidikan nasional.797 796 797



H. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Cet. IV; Jakarta: PT. Logos Waca Ilmu, 2001), h. 53-54 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 31



424



Berdasarkan pendapat Hasbullah tersebut dapatlah dipahami bahwa memang konsep dan tujuan dari kegiatan pendidikan nasional merupakan konsep dari kegiatan pendidikan Islam sehingga dengan sendirinya bila ingin kegiatan pendidikan nasional mampu mewujudkan tujuan yang hendak dicapai maka pemerintah harus benar-benar memperhatikan lembaga-lembaga pendidikan Islam dan melibatkan mereka dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut sebab lembaga pendidikan Islamlah yang memiliki secara lengkap tentang konsep-konsep ajaran yang ingin dicapai dalam kegiatan pendidikan nasional. H Djamaluddin & Abdullah Ali tentang tujuan kegiatan pendidikan nasional adalah konsep nilai ajaran agama Islam yang ingin dicapai dalam kegiatan pendidikan Islam dapat di lihat dari pendapat mereka berdua tentang konsep iman dan takwa sebagai berikut; Iman yang hendak ditanamkan melalui pendidikan adalah suasana batin yang meyakini bahwa hidup harus dijalani sesuai dengan ajaran Tuhan yang diungkapkan dalam bentuk ucapan dan prilaku. Kesemuanya itu mengambarkan seseorang yang taat kepada Tuhan. Takwa adalah sikap dan tindakan menjaga diri agar senantiasa melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya. Secara operasional iman dan takwa tidaklah dapt dipisahkan, tidak ada iman tanpa takwa. Bila dirinci lebih teliti, maka akan ditemukan bahwa manusia yang beriman dan bertakwa adalah manusia yang bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran al-Qur‟an dan hadis. Ia mampu hidup secara seimbang, antara segi dunia dan akhirat, lahiriah dan batiniah, individu dan masyarakat.798 Sesuai dengan pendapat H Djamaluddin & Abdullah Ali tersebut dapatlah dipahami bahwa memang konsep yang dianut dalam proses pendidikan nasional adalah konsep pendidikan Islam hanya saja dalam implementasinya itu dilaksanakan sesuai dengan konsep pendidikan Islam atau tidak itu kembali pada para pelaksana kegiatan pendidikan nasional. Jelasnya secara rumusan Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas jelaslah bahwa proses pendidikan yang dianut di Indonesia adalah konsepkonsep ajaran dalam kegiatan pendidikan Islam. Pada pasal 4 UU No 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas, dikemukakan; pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak



798



H Djamaluddin & Abdullah Aly, op. cit, h. 41



425



diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai-nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa‟. 799 Pasal tersebut memberikan pemahaman bahwa pengembangan pendidikan di Indonesia dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan serta dalam pengelolaan antara satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lainnya tidak diskriminatif, serta dikembangkan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Hal ini memberikan gambaran bahwa setelah lahirnya Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sisdiknas maka proses pendidikan Islam di Indonesia secara lembaga dan materi telah merupakan bagian dari kegiatan pendidikan nasional serta dalam hal pengembangan pemerintah telah mensejajarkan kegiatan pendidikan Islam dengan kegiatan pendidikan lainnya di Indonesia sehingga tidak perlu lagi ada dikotomi atau anak tiri antara perhatian pemerintah terhadap lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan agama seperti pendidikan Islam dalam hal bantuan yang diberikan baik dari segi dana, sarana prasarana, tenaga pendidikan dan sebagainya tetap disamaratakan. Pasal 12 ayat 1 dan poin a UU No 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas dikemukakan bahwa; Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak; a mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.800 Pasal tersebut memberikan pemahaman bahwa terkait dengan materi pelajaran agama seperti ajaran agama Islam menjadi salah satu materi pelajaran yang harus diajarkan pada berbagai tingkatan pendidikan dan yang harus mengajarkannya adalah orang-orang Islam sendiri. Hal ini memberi makna bahwa dalam pelaksanaan pendidikan Islam dapat dilakukan dalam setiap kegiatan pendidikan dalam negara kesatuan Republik Indonesia baik pada lembaga pedidikan informal, formal maupun nonformal dan yang harus melaksanakan proses pembelajarannya adalah orang-orang yang beragama Islam dan yang benar-benar menguasai ajaran Islam sebab bagaimana mungkin seorang Islam mau mengajar peserta didik ajaran Islam kalau dia sendiri buta akan pengetahuan ajaran Islam. Pada Pasal 17 dan 18 Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sisdiknas secara rinci dapat diketahui bahwa sekolah dasar berbentuk SD, MI, atau yang sederajatnya serta SMP, madrasah atau bentuk lain yang sederajat.



799 800



UU RI No 20 Tahun 2003, op. cit, h. 7 Ibid, h. 9



426



Pendidikan menengah berbentuk SMA, MA, SMK, MAK dan yang sederajatnya.801 Pasal ini memberikan pemahaman bahwa secara kelembagaan lembagalembaga pendidikan agama Islam telah disetarakan dengan lembaga-lembaga pendidikan umum sehingga dalam hal pengelolaan pendidikan Islam dituntut bagi para pelaksana pendidikan Islam untuk mampu mengelola kegiatan pendidikan pada lembaga pendidikan yang dikelola agar dapat bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan umum minimal dalam hal mata pelajaran umum para siswa harus mampu dibuat bersaing dengan lembaga pendidikan umum lebih-lebih dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas menganut sistem berupa pemerintah hanya merancang kurikulum dasar sementara pengembangan selanjutnya diserahkan pada pihak sekolah. Bukankah secara ilmu seharusnya lembaga pendidikan Islam harus lebih unggul dari sekolah umum sebab ia lebih mendalami mata pelajaran agama sementara pada sekolah umum materi agama terbatas dan jam pelajaranpun terbatas sementara kalau menilik pada lembaga pendidikan agama mereka belajar mata pelajaran umum sama dengan materi pelajaran umum yang diterima di sekolah umum sementara mata pelajaran agama yang mereka pelajaran jauh berbeda baik dari segi materi maupun jam pelajarannya bahkan pelajaran agamapun dibagi menjadi beberapa mata pelajaran. Hanya saja dituntut agar walaupun padat materi pelajaran yang diajarkan pada lembaga tetapi kalau ditopong dengan pendanaan yang memadai, sarana prasarana yang memadai, sumber daya manusia yang unggul, manajemen yang baik pasti lembaga-lembaga pendidikan Islam secara materi pelajaran umum mampu bersaing dengan sekolah umum sementara dalam materi-materi pelajaran agama mereka akan unggul dari lembaga-lembaga pendidikan umum sebab hal-hal tersebut di ataslah sehingga lembaga-lembaga pendidikan Islam selama ini banyak hanya menjadi pilihan kedua ketimbang lembagalembaga pendidikan umum. Suatu contoh yang dapat kita jadikan sebagai acuan tentang berbagai persoalan yang terjadi pada lembaga pendidikan Islam seperti madrasah yang hingga sekarang ini boleh dikatakan kebanyakan madrasah di Indonesia masih kalah power bila dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan umum dimana hal itu diakibatkan pada berbagai persoalan yang terjadi pada pengelolaan lembaga madrasah itu sendiri.



801



Ibid, h. 19



427



HAR Tilaar mengemukakan bahwa; Sebab-sebab sehingga SKB tiga Menteri 24 Maret 1975 dikeluarkan karena berusaha mengembalikan ketinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan nasional. Pada waktu itu telah berhasil diidentifikasi berbagai kelemahan pendidikan Islam seperti madrasah meliputi; terlalu banyaknya materi pelajaran yang diarahkan, kualitas guru yang rendah, sarana pendidikan yang kurang, para siswanya kebanyakan berasal dari keluarga yang kurang mampu sehingga memang pada saat itu lembaga-lembaga pendidikan Islam belum merupakan alternatif pendidikan moderen. 802 Berdasarkan pendapat HAR Tilaar tersebut dapatlah dipahami bahwa sebab-sebab sehingga rendahnya kualitas siswa di tingkat madrasah bukan karena madrasah itu merupakan sekolah yang bercirikan Islam semata, tetapi sebab sehingga madrasah kurang mampu membentuk siswa-siswa yang berkualitas adalah karena faktor terlalu banyaknya materi yang diajarkan di madrasah, rendahnya kualitas guru yang mengajar, sarana dan prasarananya yang tidak memadai, dan siswanya kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi lemah. Pada hal bila ditilik dari sejarah berdirinya madrasah di Indonesia Bukankah latar belakang historis didirikannya madrasah di Indonesia adalah karena ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan yang di kembangkan pada awal abad ke 20 dimana sistem pendidikan pesantren hanya mengajarkan materi agama, sedangkan sistem pendidikan yang dikembangkan penjajah Belanda adalah sistem pendidikan moderen yang hanya mengajarkan ilmuilmu pengetahuan moderen dan tidak mengajarkan materi-materi pendidikan agama. Madrasah dibentuk pada saat itu dengan tujuan untuk memadukan antara sistem pendidikan yang dikembangkan pada pesantren dan sistem pendidikan yang dikembangkan oleh penjajah Belanda.803 Jadi seharusnya lembaga pendidikan Islam seperti madrasah harus dijadikan sebagai alternatif strategis pengembangan pendidikan Islam di Indonesia khususnya untuk umat Islam bukan hanya dijadikan sebagai sekolah alternatif atau pelarian. Memang dalam kehidupan setiap kegiatan yang dilakukan dalam hidup tentu menginginkan kegiatan yang dilakukan tersebut membuahkan hasil yang memuaskan. Tiap orang atau kelompok orang yang melakukan suatu usaha atau kegiatan tidak menginginkan mendapatkan kegagalan. Misalnya seorang petani menanam padi tentu mengharapkan dengan benih yang ditanam dapat 802 803



HAR Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 200), h. 148 Lihat A Samad Hamid, Islam dan Pembaharuan (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), h. 43



428



menghasilkan padi yang lebih banyak lagi. Sebaliknya juga dengan pendidikan Islam yang dilakukan, sudah barang tentu dengan proses pendidikan tersebut diharap para peserta didiknya dapat berprestasi dalam kegiatan pendidikan Islam. Namun dalam perjalanan hidup manusia ternyata setiap yang diinginkan atau setiap yang dilakukan dalam hidup belum tentu sesuai dengan harapan yang diinginkan. Hal itu wajar-wajar saja terjadi sebab di tengah perjalanan mengapai sesuatu tentu banyak rintangan dan tantangan yang dihadapi, dimana terkadang dengan tantangan dan rintangan yang dihadapi tersebut membuat seseorang atau kelompok memperoleh kegagalan, tetapi manusia pada prinsipnya tetap harus berusaha sebab pepatah orang bijak mengatakan; “kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda”. Prinsip inilah yang harus ditanamkan dalam pengelolaan pendidikan Islam bukan malah para pengelola lembaga pendidikan Islam harus pasrah dengan persoalanpersoalan yang mereka hadapi. Olehnya itu diharapkan bagi para pelaksana lembaga pendidikan Islam untuk sesegera mungkin membenahi diri dalam pengelolaan pendidikan Islam demi menyongsong peluang dan kepercayaan yang telah diberikan oleh negara untuk bersama-sama dengan pemerintah melahirkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu memiliki sumber daya yang unggul serta bersaing dalam segala bidang yang pada akhirnya mampu mewujudkan terbentuknya masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, jujur adil, cerdas, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab bukan melahirkan manusia-manusia yang bermental korup serta menyusahkan bangsa dan masyarakat sendiri. Untuk itu dengan lahirnya Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sisdiknas maka lembaga-lembaga pendidikan Islam harus mulai membenahi diri dalam hal pengelolaan, sumber daya dan sarana prasarananya sesuai dengan tuntutan zaman dan nilai-nilai ajaran Islam sebab terkait dengan pengelolaan pendidikan di Indonesia sudah disetarakan secara nasional dan bantuan-bantuan yang diberikan sudah disamaratakan bahkan konsep-konsep yang dianut dalam lembaga pendidikan Islam kini telah menjadi acuan utama dalam kegiatan pendidikan nasional. Sebenarnya menurut asumsi penulis realita sekarang ini yang dapat di lihat rendahnya kualitas peserta didik dan lulusan pendidikan baik dari segi penguasaan materi, moral dan pengamalan ajaran agama serta nilai-nilai pendidikan nasional bukan hanya melanda lembaga-lembaga pendidikan Islam tetapi juga terjadi di sebagian besar peserta didik pada lembaga sekolah-



429



sekolah umum. Okelah secara jumlah secara jujur dapat dikatakan siswa pada lembaga-lembaga pendidikan umum jumlahnya jauh bila besar ketimbang lembaga pendidikan Islam, namun dari segi kualitas belum tentu semua siswa pada lembaga pendidikan umum berkualitas secara keseluruhan dimana menurut asumsi penulis itu hanya segelintir siswa tetapi dalam kenyataan terlalu dibesar-besarkan sehingga ada anggapan di kalangan masyarakat umum bahwa hanya lewat lembaga pendidikan umumlah anak-anak mereka dapat menjadi pegawai negeri atau pejabat dan dapat melanjutkan pendidikan ke lembaga-lembaga pendidikan unggulan. Pada hal sudahkah diteliti bahwa mereka yang menjadi pegawai negeri atau mampu melanjutkan pendidikan ke lembaga-lembaga pendidikan unggulan selama ini karena benar-benar sesuai dengan kemampuan atau kualitas yang dimilikinya. Masih terngiang dalam ingatan kita kasus yang melanda sekolah calon-calon pencetak birokrat ternyata praktek terselubung yang diterapkan disana banyak yang melanggar norma-norma dalam kegiatan pendidikan nasional. Realita lain yang dapat di lihat dalam kehidupan sehari-hari banyak siswa yang melakukan perilaku menyimpang, seperti menurunnya moral dan tata krama sosial, sering terlibat dalam berbagai tindakan kekerasan masal, pergaulan bebas, mabuk-mabukan, bergaya hidup hippies seperti di Eropa dan Amerika, malas melaksanakan ibadah, seks bebas, memakai narkoba dan sebagainya. 804 Mungkinkah hal itu dilakukan oleh hanya kalangan siswa dari lembaga pendidikan Islam. Menurut penulis itu merupakan sesuatu yang mustahil bahkan boleh dikatakan banyak didominasi oleh siswa-siswa dari lembaga pendidikan umum. Selain itu betapa dapat dilihat berapa banyak lembaga-lembaga pendidikan tinggi atau perguruan tinggi yang rusak fasilitasnya akibat adanya tawuran yang terjadi di antara para mahasiswanya. Inikah yang dinamakan mahasiswa unggulan yang akan menjadi calon-calon pengganti para pemimpin bangsa di negara yang tercinta ini. Mungkinkah kasus tersebut terjadi hanya terjadi pada lembaga pendidikan agama atau malah terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan umum yang diunggulkan. Suatu kenyataan unik sering dapat dilihat selama ini bahwa perhatian dilakukan pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidik dalam hal pengadaan sarana prasarana keseringan pengadaan fasilitas pendidikan di sekolah hanya menyentuh persoalan pengembangan keterampilan dan kecerdasan otak seperti pengadaan lab komputer, lab bahasa, lab matematika dan Ipa sementara terkait dengan pencerdasan kalbu sebagai salah satu misi 804



H Abuddin Nata,Manajemen Pendidikan Islam, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di Indonesia ( Cet. I; Bogor: Kencana, 2003 ), h.



430



terwujudnya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia di sekolah kurang diperhatikan. Misalnya pengadaan lab agama. Pada hal jelas-jelas diketahui bahwa salah satu misi pendidikan nasional bukan hanya pencerdasan keahlian dan otak tetapi juga pencerdasan kalbu yaitu membentuk manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Jadi pengadaan sarana seperti lab komputer, lab bahasa, lab matematika dan IPA itu hanya menyentuh persoalan membentuk manusia yang cerdas otak dan memiliki keterampilan secara keduniaan. Diperparah lagi dengan posisi guru di Indonesia kata Hadiyanto, nasibnya masih cukup tragis, sebagaimana dikemukakan Hadiyanto sebagai berikut; Sebagian Gaji guru hanya pas-pasan sekedar hidup, gali lobang tutup lobang. Guru Umar Bakri ilustrasi Iwan Fals tentang nasib guru yang sejak zaman Jepang atau empat puluh tahun mengabdi dan telah banyak menciptakan menteri tetapi bernasib tragis hanya mampu naik sepeda kumbang buntut. Terdorong oleh kondisi seperti itu akhirnya guru tidak mampu memelihara kewibawaan sehingga nyaris tidak ada bedanya profesi guru dengan pedagang asongan. Guru atau dosen maupun pedagang asongan sama-sama mulai kegiatannya dengan mencegat bis atau angkutan kota di persimpangan jalan untuk samasama bergelantungan. Lalu guru atau pedagang asongan sama-sama menjual dagangan basi. Sebagian guru atau dosen tidak pernah mengup to date pengetahuannya sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, hanya mengandalkan ilmu yang telah diperoleh sepuluh tahun lalu. Hal itu tidak ubahnya seperti pedagang tahu lontong yang menjual dagangan kemasan kemarin, saat pembeli merasakan makanan yang dibeli itu basi, si pedagang asongan sudah turun dari bis sehingga selamat dari omelan pembeli. Sebagian guru maupun pedagang asongan yang sama-sama merangkap jabatan tukang copet. Pekerjaan asongan memang ada yang digunakan sebagai kedok karena profesi yang sebenarnya adalah mencopet. Pekerjaan yang terakhir ini lebih banyak mendatangkan uang. Sayangnya pekerjaan ini tidak halal. Hal ini mirip dengan yang dilakukan sebagian guru atau dosen yang mengajar di tempat lain atau menggeluti berbagai pekerjaan lain. Aktivitas ini mencuri banyak waktu, karena sering meninggalkan kelas utamanya untuk mengejar kelas lain atau mengejar pekerjaan lain yang lebih banyak mendatangkan uang. Hasil dari copetan ini jelas lebih menggiurkan dengan mengajar biasa atau hasil tukang copet konvensional di bis kota jurusan kampung Rambutan – Grogol. Ilustrasi ini bukan menggeneralisasi semua guru atau dosen dan pedagang asongan. Ilustrasi itu juga tidak berarti merendahkan profesi guru yang masih memiliki nurani dan kejujuran akademis. Ilustrasi ini



431



menggambarkan betapa amburadulnya manajemen guru yang penghargaan pemerintah dan masyarakat hanya sebatas basa basi sehingga gurupun mau nyabet apa saja di sekelilingnya agar dapat digunakan mengasapi dapur mereka. Sementara otonomisasi daerah malah menumbuhkan penguasa-penguasa daerah sehingga otonomi daerah berubah makna menjadi otonimi putra daerah. Adapun gaji guru di Indonesia lebih rendah dari gaji tukang parkir di Brunai Darussalam, bahkan gaji seorang profesor di Indonesia tidak jauh beda dengan gaji sopir bus Trans Jakarta. 805 H Muhaimin mengemukakan bahwa untuk mengantisipasi rendahnya kualitas siswa dalam kecerdasan kalbu maka pengajarannya harus dipikul bersama para pelaksana pendidikan di sekolah dimana hal itu dapat di lihat dari pernyataan H Muhaimin sebagai berikut; Jika ada beberapa peserta didik yang terlibat narkoba, maka hal itu juga merupakan kegagalan guru IPA dan IPS. Kalau ada peserta didik yang suka hidup mewah dan boros maka hal itu juga merupakan kegagalan guru matematika dan ekonomi. Kalau ada peserta didik yang kurang peduli terhadap lingkungan hidup di sekitarnya maka hal itu juga merupakan kegagalan guru IPA. Kalau ada peserta didik yang kurang sopan dalam berbicara dengan orang maka hal itu juga merupakan kegagalan guru bahasa. Kalau ada peserta didik yang kurang menghargai jasa-jasa pahlawan maka hal itu juga merupakan kegagalan guru IPS. Olehnya itu dalam upaya pelaksanaan pendidikan agama dalam lingkup sekolah harus ada kekompakan dan harmonisasi semua komponen yang ada di sekolah.806 Untuk itu sebenarnya problem rendahnya kualitas peserta didik bukan hanya melanda kalangan lembaga pendidikan Islam tetapi juga terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan umum dimana hal itu bisa terjadi dikarenakan hal-hal meliputi; tanggung jawab pembinaan kecerdasan kalbu siswa di sekolah masih terpikul pada pundak guru agama, terbatasnya sarana prasarana pendidikan kalbu di sekolah dan masyarakat, belum terjalinnya kerjasama yang baik dalam kegiatan pendidikan siswa baik antara guru dan pelaksana pendidikan di suatu sekolah, dengan sekolah lain, masyarakat, dan kalangan orang tua, terbatasnya pendanaan, gaji guru yang kurang memadai, rendahnya kualitas sebagian guru dan kurang mengembangkan keilmuannya sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemerintah belum mampu 805 806



Hadiyanto, Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan Di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Asdii Mahasatya, 2004), h. 2 H Muhaimin , Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Peguruan Tinggi (Cet. I; Jakarta: raja Grafindo Persda, 2005), h. 20



432



melahirkan sebuah solusi jelas terkait dengan realita degradasi moral remaja usia sekolah sehingga hal itu sering terjadi di tengah-tengah masyarakat karena tidak ada aturan yang mengikat. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas tentang posisi strategis pendidikan Islam dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas diketahui bahwa sistem pendidikan Islam menjadi bagian utama dari kegiatan pendidikan nasional sebab misi yang diemban kegiatan pendidikan nasional merupakan pengejewantahan dari nilai-nilai ajaran Islam yang dikembangkan dalam kegiatan pendidikan Islam dan dari segi kelembagaan, lembaga-lembaga pendidikan Islam telah disetarakan dengan lembaga-lembaga pendidikan umum serta dalam hal bantuan dan perhatian yang diberikan oleh pemerintah juga telah disamakan dengan sekolah-sekolah umum baik dari segi pengembangan sumber daya maupun pengadaan sarana dan prasarana pendidikan. E.



Rangkuman Pendidikan Islam adalah segenap usaha yang dilakukan untuk mengantarkan umat dalam kehidupannya agar hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam dan proses pelaksanaan pendidikan Islam dapat dilaksanakan baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sisdiknas adalah undangundang pendidikan yang mengantikkan undang-undang sisdiknas No 2 tahun 1989 karena dianggap sudah tidak sesuai zaman karena tidak cocok lagi dengan kegiatan pendidikan nasional dalam upaya membentuk SDM Indonesia yang berkualitas dan menghilangkan monopoli pemerintah dalam pengelolaan pendidikan yang dirubah dengan melibatkan semua elemen masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. Posisi strategis sistem pendidikan Islam dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional diketahui bahwa dari segi materi maka materi pendidikan Islam telah menjadi salah satu acuan utama dari kegiatan pendidikan nasional dan materi pendidikan Islam menjadi mata pelajaran wajib yang harus diajarkan di semua jenjang pendidikan bagi mereka yang beragama Islam, dari segi status pendidikan Islam telah menjadi salah satu komponen utama dalam kegiatan pendidikan nasional, dari segi kelembagaan maka lembaga-lembaga pendidikan Islam telah disetarakan dengan lembaga-lembaga pendidikan umum, dari segi bantuan yang diberikan pemerintah maka lembaga-lembaga pendidikan Islam mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan bantuan yang seimbang dengan yang diterima oleh



433



lembaga-lembaga pendidikan umum dan dari segi pengelolaan maka lembagalembaga pendidikan Islam diberi kewenangan seluas-luasnya sama seperti sekolah umum dalam hal mengelola kegiatan lembaga pendidikannya.



434



BAB XIII SEJARAH HISTORIS PERKEMBANGAN MADRASAH DI INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM A.



Latar Belakang Pemikiran Pertumbuhan suatu lembaga pendidikan tidaklah ia ada dan lahir dengan sendirinya, tetapi melalui proses sebagaimana juga yang terjadi dalam pertumbuhan lembaga lainnya dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan lainlain lembaga kemasyarakatan, perkembangan masyarakat, pemikiran dan gerakan, kecuali yang bersifat formal, tidaklah muncul atau berhenti pada satu patokan tahun, tetapi biasanya mengandung proses awal atau akhir yang menyebar dalam jarak waktu yang relatif panjang. Sama halnya juga dengan madrasah, bila dilihat pada awal pertumbuhannya dimotivasi oleh keadaan dan situasi tertentu yang mengkondisikan madrasah itu tumbuh dan dimotori oleh perseorangan atau lembaga swasta tertentu hingga pada perkembangan selanjutnya dibina oleh pemerintah.807 Kelahiran madrasah dilatar belakangi oleh sistem pendidikan pesantren yang terfokus pada agama dan sistem pendidikan kolonial Belanda yang hanya terfokus pada pengetahuan moderen saja. Keberadaan lembaga pendidikan madrasah di Indonesia pada proses awalnya adalah sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam pembaharuan yang berupaya memadukan antara sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren dan sistem pendidikan yang diterapkan oleh pihak kolonial Belanda.808 Madrasah awalnya dirintis oleh kaum pribumi Indonesia yang pernah mengikuti proses pendidikan pada lembaga pendidikan yang dikelola oleh pihak kolonial Belanda tetapi tidak melunturkan semangat keislamannya, mereka merasa tidak puas terhadap sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren dan sistem pendidikan yang diterapkan oleh kolonial Belanda sebab menurut mereka pentingnya pendidikan umum atau modern dengan tidak mengesampingkan dan meninggalkan pola pendidikan pesantren lalu



807 808



H Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. Jakarta: Gramedia, 2001), h. 188 A Timur Djaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan perguruan Agama (Jakarta: Dermaga, 1982), h. 18



435



mendorong mereka mendirikan lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah.809 Memang pada faktanya kehadiran madrasah dilandasi oleh keinginan untuk menerapkan atau memberlakukan secara berimbang antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum dalam kegiatan pendidikan di kalangan umat Islam dimana madrasah dijadikan sebagai lembaga pendidikan yang berusaha memadukan antara sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan yang diterapkan oleh kolonial Belanda sebab pada saat itu di Indonesia terdapat dua sistem pendidikan yaitu sistem pendidikan pesantren yang kegiatan pendidikannya hanya menitikberatkan materi-materi pendidikan agama dan sistem pendidikan kolonial Belanda yang menitikberatkan pendidikan umum namun kurang menghiraukan pendidikan agama.810 Secara umum setidaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia mempunyai beberapa latar belakang di antaranya yaitu; 1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam 2. Usaha penyempurnaan terhadap sistem pendidikan masjid ke arah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesempatan kerja dan perolehan ijazah 3. Menjembatani antara sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan moderen dari hasil akulturasi. 4. Adanya sikap mental pada sementara segolongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada barat dengan sistem pendidikan mereka.811 Pemaparan tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa kelahiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia adalah sebagai lembaga pendidikan Islam pembaruan yang berupaya memadukan dua sistem pendidikan yang berlangsung saat itu dimana proses pendidikan yang diterapkan pada lembaga pendidikan madrasah adalah memberikan pengetahuan agama dan pengetahuan-pengetahuan umum bagi peserta didiknya lantaran sistem ini tidak terakomodasi dalam sistem pendidikan pesantren maupun sistem pendidikan kolonial Belanda karena pendidikan pesantren hanya lebih menitikberatkan kegiatan pendidikannya pada materi 809 810 811



Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Cet.II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 67 Ibid., h. 66 Hamdani, Dasar-Dasar Kependidikan (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 135



436



agama dan sistem pendidikan kolonial Belanda hanya menitikberatkan kegiatan pendidikannya pada materi-materi umum atau moderen serta dengan adanya lembaga pendidikan madrasah mampu memberi kesempatan bagi lulusan peserta didiknya memperoleh kesempatan yang sama dengan lulusanlulusan sekolah umum. Hanun Asroha mengemukakan bahwa sulit sekali memastikan kapan tepatnya istilah madrasah dipakai di Indonesia dan madrasah mana yang pertama kali didirikan. Hanun Asrohan mengatakan menurut tim penyusun dari Departemen Agama RI menetapkan madrasah yang pertama kali didirikan di Indonesia adalah Madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera Barat) oleh Syekh Abdullah Ahmad tahun 1909 M dengan nama Adabiyah School dan tahun 1915 M dirubah menjadi HIS Adabiyah. Tahun 1910 M dipandang juga didirikan sekolah agama dengan nama Madras School dan pada tahun 1923 berganti nama menjadi Diniyah School. 812 Lebih lanjut Hanun Asroha mengatakan bahwa tim penyusun dari Departemen Agama menetapkan demikian karena berpegang pada konsep bahwa madrasah sama dengan sekolah dengan konotasi khusus yaitu sekolahsekolah agama Islam dan sekolah-sekolah seperti tersebut yang setelah Indonesia Merdeka menjadi madrasah yang berada di bawah naungan departemen agama. Jika memang demikian mengapa sekolah agama yang didirikan oleh organisasi Jami‟at al-Khair tidak diangkat sebagai madrasah pertama yang didirikan di Indonesia karena didirikan pada tahun 1905 M sebelum berdirinya sekolah Adabiyah di Padang. Boleh jadi Jami‟at al-Khair yang pertama memakai istilah madrasah sebagai organisasi persatuan orangorang Arab yang ada di Indonesia dengan mendatangkan guru-guru dan alat sekolahnya dari Timur Tengah, terutama dari Mesir dan Tunisia. Oleh karenanya tidak tertutup kemungkinan Jam‟at al-Khair yang pertama kali mendirikan madrasah di Indonesia. Lalu pada perkembangan selanjutya madrasah Adabiyah di Padang, barulah beberapa organisasi pendidikan Islam memakai istilah madrasah untuk sekolah agama Islam yang mereka dirikan.813 H Mahmud Yunus mengemukakan; Pendidikan Islam diadakan di surau-surau dengan tidak berkelas dan tidak pula memakai bangku, meja dan papan tulis, hanya duduk bersela saja. Kemudian mulailah perubahan sedikit demi sedikit sampai sekarang. Pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis, ialah sekolah Adabiyah (Adabiah 812 813



Hanun Asroha, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Logos, 2001), h. 193 Ibid., h. 194



437



School) di Padang. Menurut tahu kita inilah madrasah (sekolah agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan di seluruh Indonesia, karena menurut penyelidikan kita, tidak ada madrasah yang lebih dahulu didirikan dari madrasah Adabiyah itu. Adabiah itu didirikan oleh almarhum Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 M. Adabiah itu hidup sebagai madrasah (sekolah agama) sampai tahun 1914). Tetapi kemudian diubah menjadi HIS Adabiah pada tahun 1915. Itulah His pertama di Minangkabau yang memasukan pelajaran agama dalam rencana pembelajarannya.814 Berdasarkan pendapat H Mahmud Yunus tersebut memberikan pemahaman bahwa madrasah pertama yang didirikan di Indonesia adalah Madrasah Adabiyah di Padangan daerah Minangkabau yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad dimana menurut penelitian beliau bahwa tidak ada madrasah di Indonesia yang didirikan sebelum berdirinya madrasah Adabiyah dengan sistem pembelajaran mengenakan sistem kelas, meja, bangku dan papan tulis. Sesuai dengan pemaparan-pemaparan tersebut di atas tanpa melihat madrasah mana yang menjadi madrasah pertama yang berdiri di Indonesia maka seharusnya bila ditilik dari misi yang diembannya dari upaya untuk mendirikan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam maka seharusnya madrasah lembaga pendidikan formal Islam tertua di Indonesia harus mampu menjadi lembaga pendidikan utama bagi umat Islam di Indonesia sebab misi awal berdirinya adalah mencetak manusia berilmu secara keduniaan dan berilmu untuk tujuan akhirat. Tapi sayang di zaman sekarang walaupun lembaga pendidikan madrasah sudah di masukan dalam sistem pendidikan di Indonesia oleh pemerintahan atau menjadi bagian dari kegiatan pendidikan nasional tetapi kelihatannya misi awal berdirinya madrasah di Indonesia boleh dikatakan hanya tinggal konsep semboyan belaka sebab rata-rata lulusan madrasah di Indonesia kurang mampu bersaing dengan lulusan pendidikan umum bahkan boleh dikatakan keberadaan madrasah di Indonesia hanya sebagai sekolah alternatif kedua dibandingkan lembaga pendidikan umum sebab pada kenyataan lembaga pendidikan yang paling diminati oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan umum dimana hal itu dapat dilihat dari banyak siswa-siswa pada lembaga sekolah umum sementara terbatasnya peserta didik pada lembaga-lembaga pendidikan madrasah.



814



H Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Mutiara Sumber Wdya, 1995), h.63



438



HAR Tilaar mengemukakan bahwa; Sebab-sebab sehingga SKB tiga Menteri 24 Maret 1975 dikeluarkan karena berusaha mengembalikan ketinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan nasional. Pada waktu itu telah berhasil diidentifikasi berbagai kelemahan pendidikan Islam seperti madrasah meliputi; terlalu banyaknya materi pelajaran yang diarahkan, kualitas guru yang rendah, sarana pendidikan yang kurang, para siswanya kebanyakan berasal dari keluarga yang kurang mampu sehingga memang pada saat itu lembaga-lembaga pendidikan Islam belum merupakan alternatif pendidikan moderen. 815 Berdasarkan pendapat HAR Tilaar tersebut dapatlah dipahami bahwa sebab-sebab sehingga madrasah kurang mampu bersaing dengan lembagalembaga pendidikan umum dikarenakan hal-hal meliputi; terlalu banyaknya materi yang diajarkan di madrasah, rendahnya kualitas guru yang mengajar, sarana dan prasarananya yang tidak memadai dan siswanya kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi lemah. Melihat begitu dilematiknya perkembangan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang didirikan untuk mengembangkan kegiatan pendidikan yang memadukan antara ilmu umum dan agama dimana visi awal berdirinya madrasah sebagai lembaga pendidikan pembaharuan yang memadukan berbagai sistem pendidikan yang berlangsung saat itu antara sistem pendidikan Islam yang mengedepankan pembentukan peserta didik yang mampu menjalankan ajaran Islam dengan baik dan sistem pendidikan kolonial yang lebih mengedepankan penguasaan pengetahuan-pengetahuan umum yang sesuai tuntunan kebutuhan hidup di era dunia moderen dimana pada perkembangannya madrasah kurang mampu mewujudkan cita-cita tersebut walaupun keberadaan madrasah sudah menjadi bagian dari kegiatan pendidikan Nasional maka dalam bab ini diulas topik kajian tentang; Sejarah Historis Perkembangan Madrasah di Indonesia Sebagai Lembaga Pendidikan Islam, demi untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang sistem pengembangan kegiatan pendidikan Islam pada madrasah di Indonesia mulai awalnya berdirinya hingga sekarang serta mengetahui berbagai dilematika yang dihadapi madrasah dalam pengelolaan kegiatan pendidikan bagi peserta didiknya.



815



HAR Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 200), h. 148



439



B.



Hakikat Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Secara harfiah kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat belajar sedangkan menurut bahasa Indonesia pengertiannya sepadan dengan makna sekolah. Menurut Shorter Encyclopedia of Islam, istilah madrasah diartikan sebagai sebuah nama lembaga pendidikan yang mengajarkan pengetahuan Islam. Madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Secara teknis, madrasah mengambarkan proses pembelajaran yang secara formal tidak berbeda dengan sekolah. 816 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, madrasah adalah sekolah atau perguruan (biasanya yang berdasarkan agama Islam), dimana madrasah aliyah adalah sekolah agama (Islam) tingkat menengah atas, madrasah ibtidaiyah adalah sekolah agama (Islam) tingkat dasar dan madrasah sanawiyah adalah sekolah agama (Islam) tingkat menengah pertama. 817 Untuk itu berdasarkan pengertian tersebut memberikan pemahaman bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan Islam formal yang kegiatan pembelajaran bagi peserta didiknya dengan ciri khas utama pembelajaran pengetahuan-pengetahuan Islam dan juga melaksanakan pembelajaran pengetahuan yang diajarkan di sekolah umum. Hj Enung K Rukhiyati & Fenti Hikmawati mengemukakan bahwa; madrasah merupakan isim makan dari darasa yang berarti tempat duduk untuk belajar. Istilah madrasah ini sekarang telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan (terutama Islam). Untuk itu mereka cenderung menyamakan arti madrasah dengan sekolah. 818 Berdasarkan pendapat H Enung K Rukhiyati & Fenti Hikmawati tersebut memberikan pemahaman bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan Islam formal yang melaksanakan kegiatan pendidikan bagi peserta didiknya sama seperti sekolah pada umumnya hanya lebih berciri khas dengan Islam. H Mahmud Yunus mengemukakan; Pendidikan Islam diadakan di Surau-Surau dengan tidak berkelas dan tidak pula memakai bangku, meja dan papan tulis, hanya duduk bersela saja. Kemudian mulailah perubahan sedikit demi sedikit sampai sekarang. Pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis, ialah sekolah Adabiyah (Adabiah 816 817 818



Hamdani, op. cit., h. 134 Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia(Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 631 Hj Enung K Rukhiyati & Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 113



440



School) di Padang. Menurut tahu kita inilah madrasah (sekolah agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan di seluruh Indonesia, karena menurut penyelidikan kita, tidak ada madrasah yang lebih dahulu didirikan dari madrasah Adabiyah itu.819 Berdasarkan pendapat H Mahmud Yunus tersebut memberikan pemahaman bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang proses pendidikannya menggunakan sistem kelas sebagaimana sistem pendidikan yang diterapkan pada sekolah-sekolah umum dimana sebelum adanya madrasah lembaga pendidikan Islam itu dilaksanakan dalam bentuk sistem pengajian yang diberikan kepada peserta didik di surau-surau dimana para peserta didiknya dalam mengikuti proses pendidikan hanya duduk secara bersila tanpa menggunakan kursi, bangku dan meja. Malik Fajar yang dikutip Hamdani mengemukakan bahwa; secara kultur madrasah memiliki konotasi spesifik dimana di dalam lembaga ini diajarkan hal ihwal pengetahuan agama sehingga dalam pemakaian kata madrasah lebih dikenal dengan sekolah agama.820 Berdasarkan pendapat Malik Fajar yang dikutip Hamdani tersebut memberikan pemahaman bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan formal yang di dalamnya diajarkan berbagai pengetahuan agama Islam. Haidar Putra Daulay mengemukakan bahwa; perkataan madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum tetapi di Indonesia ditujukan untuk sekolah-sekolah yang mata pelajaran dasarnya adalah agama Islam.821 Berdasarkan pendapat H Haidar Putra Daulay tersebut memberikan pemahaman bahwa madrasah dalam konteks proses pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia adalah lembaga pendidikan yang proses pendidikannya menjadikan materi-materi agama Islam sebagai materi utama dalam proses pendidikannya. H Maksum mengemukakan bahwa; Kata Madrasah sebagai nama lembaga pendidikan agama Islam pada zaman kita tidak asing bagi pendengaran masyarakat Indonesia, baik dikalangan pelajar/mahasiswa, masyarakat umum dan aparatur pemerintah. Namun tidak diketahui secara pasti kapan madrasah sebagai istilah-sebutan untuk satu jenis pendidikan Islam digunakan di Indonesia. Untuk menelusuri hal itu agaknya diperlukan penelitian dan studi khusus yang lebih serius. Namun demikian madrasah sebagai satu 819 820 821



H Mahmud Yunus, op. cit., h. 63 Hamdani, op. cit., h. 134 Haidar Putra Daulay, Historisitas dari Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta; Tiara Wacana, 2001), h. 59



441



sistem pendidikan Islam berkelas dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu keagamaan dan non keagamaan sudah tampak awal abad ke XX. 822 Berdasarkan pendapat H Maksum tersebut memberikan pemahaman bahwa lembaga pendidikan madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang mulai di kenal di Indonesia sejak awal abad ke XX dimana sistem pendidikan yang diterapkan di dalamnya menggunakan kelas dan yang diajarkan adalah pengetahuan-pengetahuan agama Islam dan pengetahuan-pengetahuan umum. Terkait dengan pemaknaan madrasah Hasbullah mengemukakan bahwa; Kehadiran madrasah di latarbelakangi oleh keinginan untuk memberlakukan secara berimbang antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam kegiatan pendidikan di kalangan umat Islam. Atau dengan kata lain madrasah merupakan perpaduan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan kolonial. 823 Berdasarkan pendapat Hasbullah tersebut memberikan pemahaman bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang diadakan bagi peserta didiknya dimana di dalamnya diajarkan pengetahuan-pengetahuan agama Islam dan pengetahuan-pengetahuan secara umum. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang pengertian madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia dapatlah dipahami bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan Islam formal yang didirikan oleh umat Islam di Indonesia dimana sistem pendidikannya berlangsungnya menggunakan kelas bagi proses pendidikan peserta didiknya baik pada tingkat dasar atau menengah dimana sistem pembelajaran menjadikan materi agama sebagai materi utama yang diajarkan dan diajarkan pula materi-materi pengetahuan umum seperti yang diajarkan pada lembaga pendidikan umum yang setingkat dengannya. C.



Latar Belakang Historis Lahirnya Madrasah di Indonesia. Pendidikan dan pengajaran merupakan suatu ketentuan yang telah digariskan dalam Islam bagi pemeluknya sehingga harus dilaksanakan tanpa kecuali. Maju mundurnya umat Islam sangat tergantung pada berhasil tidaknya pendidikan dan pengajaran di Indonesia. Lembaga pendidikan madrasah, sejak tumbuhnya merupakan lembaga pendidikan yang mandiri, tanpa bantuan dan bimbingan pemerintah kolonial Belanda. Lembaga ini mulai tumbuh di Indonesia pada awal abad ke 20 M. Kelahiran madrasah 822 823



H Maksum, Madrasah Sejarah & Perkembangannya (Cet. I; Jakarta: Logos,1999), h. 97 Hasbullah, “Kapita Selekta Pendidikan Islam”, op. cit., h. 66



442



tidak terlepas dari ketidakpuasan terhadap sistem Pesantren yang semata-mata menitikberatkan agama, di lain pihak sistem pendidikan umum yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda justru ketika itu menghiraukan agama.824 Kehadiran Madrasah di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keinginan untuk mengembangkan sebuah lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya diberlakukan sistem pengajaran secara seimbang antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan kata lain sistem pendidikan madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang didirikan umat Islam dimana sistemnya merupakan perpaduan sistem pendidikan Islam berpola pesantren dengan sistem pendidikan kolonial yang dilaksanakan oleh penjajah Belanda. Memang pada waktu itu, terdapat dua sistem pendidikan yang sangat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sekolah-sekolah moderen menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat, sedikit banyak mempengaruhi sistem pendidikan yang telah berkembang di Indonesia yaitu; pesantren. Pada hal diketahui bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia sebelum adanya sekolah kolonial, justru sangat berbeda dalam sistem dan pengelolaannya dengan sistem sekolah yang diperkenalkan oleh Belanda.825 Adanya perbedaan yang sangat kontradiktif dari kedua sistem pendidikan tersebut rupanya menjadi pendorong sebagian penduduk pribumi yang pernah mengikuti pendidikan kolonial Belanda, akan tetapi tidak melunturkan semangat keislaman dan nasionalismenya, dimana mereka menyadari akan pentingnya pendidikan umum dengan tidak mengesampingkan dan meninggalkan pola pendidikan pesantren. Kesadaran itu dilandasi juga kenyataan sejarah, selama ratusan tahun dijajah Belanda, umat Islam selalu menjadi korban empuk, lantaran umat Islam lemah dalam beberapa hal, terutama bidang keduniaan yang sesungguhnya juga menjadi sasaran risalah Islam. Belanda di samping sengaja melemahkan umat Islam, umat Islam juga telah terkontaminasi jalan hidupnya oleh orang-orang terdahulu supaya semata-mata melihat Islam sebagai tata cara ritual keagamaan belaka, dan sebaliknya agar membenci dunia dengan



824



825



Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya (Cet.IV; Jakarta: Raja Grinfindo Persada, 209), h. 174, Lihat A Samad Hamid, Islam dan Pembaharuan (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), h. 43, Lihat A Timur Djaelani, op. cit., h. 18-19 Hasbullah, “Kapita Selekta Pendidikan Islam”, op. cit , h. 67



443



memandangnya sebagai suatu fitnah belaka.826 Untuk itu setidak-tidaknya kehadiran madrasah di Indonesia sebagai lembaga pendidikan Islam menurut Muhaimin dan Abdul Majid mempunyai beberapa latar belakang, yaitu; 1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan pendidikan Islam 2. Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusanya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum. 3. Adanya sikap mental dari segolongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada barat sebagai sistem pendidikan mereka. 4. Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilaksanakan oleh pesantren dan sistem pendidikan moderen dari hasil akulturasi.827 Berdasarkan penjelasan dari Muhamin dan Abdul Majid tersebut dapatlah dipahami latar belakang lahirnya madrasah di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor meliputi; sebagai wujud upaya pembaharuan pendidikan Islam, usaha penyempurnaan pendidikan pesantren sehingga alumninya dapat memperoleh peluang yang sama dengan sekolah umum, adanya sikap mental sebagian umat Islam yang terpukau pada pendidikan orang barat dan menjadikan sebuah lembaga pendidikan yang memadukan antara pendidikan moderen dan pendidikan pesantren. H Haidar Putra Daulay mengemukakan bahwa; Madrasah di Indonesia baru populer setelah awal abad keduapuluh. Kehadiaran madrasah sebagai lembaga pendidikan di latar belakangi oleh munculnya semangat pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Madrasah sebagai lembaga pendidikan muncul setelah pesantren dan sekolah mengadopsi sebagian sistem pesantren dan sekolah. 828 Berdasarkan pendapat H Haidar Putra Daulay tersebut memberikan pemahaman bahwa kelahiran madrasah di Indonesia baru mulai dikenal atau populer pada awal abad ke XX M dimana kemunculannya sebagai lembaga pendidikan Islam pembaharuan setelah adanya lembaga pendidikan pesantren dan sekolah serta sistem pendidikannya berupaya memadukan sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren dengan sistem pendidikan yang 826 827 828



Bawani, Segi-Segi Pendidikan Islam (Surabaya: al-Ikhkas, 1987), h. 108 Muhaimin & Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya (Bandung: Trigenda Karya: 1993), h. 305 H Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 21



444



dilaksanakan di sekolah. Hanun Asroha mengutip pendapat Azyumardi Azra terkait dengan latar belakang lahirnya madrasah mengemukakan bahwa; Pesantren menunjukkan sikap kolot dalam merespon upaya modernisasi. Kekolotan pesantren dalam mentransfer hal-hal yang berbau moderen itu merupakan sisa-sisa dari respons pesantren terhadap kolonial Belanda. Lingkungan pesantren merasa bahwa sesuatu yang bersifat moderen yang datang dari Barat, berkaitan dengan penyimpangan terhadap agama. Di masa kolonial Belanda, pesantren sangat anti pati terhadap modernisme dan westernisme yang ditawarkan oleh Belanda. Sikap anti pati ini mendorong mereka untuk mengisolasi diri dari sentuhan perkembangan moderen. Oleh sebab itu, mereka senantiasa merasa curiga terhadap sesuatu moderen, yang selalu mereka anggap datang dari barat.829 Berdasarkan pendapat Azyumardi Azra yang dikutip Hanon Asroha tersebut memberikan pemahaman bahwa pesantren pada zaman kolonialisme Belanda menutup diri dari sentuhan perkembangan moderen karena dianggap apa yang dibawa dari Barat termasuk Belanda bertentangan dengan ajaran Islam sehingga boleh jadi karena hal inilah pesantren dalam pengelolaan pendidikan hanya berfokus pada sistem pengajaran Islam dan tidak menghiraukan sistem pendidikan yang mengembangkan sistem pendidikan moderen dimana karena sikap yang demikian inilah menjadi salah satu penyebab sehingga didirikannya lembaga madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang memadukan antara sistem pendidikan di pesantren dengan sistem pendidikan moderen yang dikembangkan oleh Kolonial Belanda. Hanun Asroha mengemukakan bahwa; Pada mulanya pesantren menunjukkan suatu komunitas yang dinamis dan kosmopolit karena berkembang di tengah-tengah masyarakat urban, seperti Surabaya (Ampel Delta), Gresik (Giri), Tuban (Sunan Bonang), Demak, Cirebon, Banten, Aceh (Sumatera), Makassar (di Sulawesi Selatan) dan sebagainya. Kedinamisan pesantren tidak hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan kekuasaan, tetapi juga maju dalam bidang keilmuan Islam, membuat Taufiq Abdullah mencatat pesantren sebagai pusat pemikiran keagamaan. Kecenderungan kehidupan pesantren yang kosmopolit dan dinamis berubah setelah kedatangan penjajah Belanda. Dengan dikuasainya kota-kota perdagangan oleh Belanda membuat pesantren terdorong keluar dari kota-kota pesisir dan 829



Hanun Asroha, op. cit., h. 186



445



masuk ke pedalaman yang menutup diri dari kehidupan duniawi. Setelah itu pesantren hanya memusatkan perhatian dalam masalahmasalah agama. Semakin kuat penjajah Belanda yang diikuti dengan upaya westernisasi dan modernisasi, menyebabkan pesantren semakin menutup diri. Namun pesantren tidak bisa menutup mata terhadap penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh Belanda terhadap rakyat. Sejak masa kolonial Belanda pesantren telah memberikan kontribusi yang besar dalam mengusir penjajah dari tanah air.830 Berdasarkan pendapat Hanun Asroha tersebut memberikan pemahaman bahwa pesantren menutup dari sistem pendidikan moderen yang dikembangkan oleh kolonial Belanda dikarenakan kedatangan pihak Belanda di Indonesia bukan datang dengan jalan damai tetapi malah menjajah bangsa Indonesia dimana hal itulah mungkin menjadi salah satu sebab sehingga pesantren tidak mau berhubungan dengan sistem pendidikan yang dikembangkan oleh kolonial Belanda dan ditambah lagi sistem monopoli perdagangan, pendidikan dan kekerasan yang dilakukan pihak Belanda terhadap rakyat Indonesia. Hamdani mengutip pendapat Badruddin dikemukakan bahwa; Kebanyakan madrasah yang berada di Jawa dan Sumatera dipengaruhi oleh sistem madrasah Haramain, yaitu madrasah Shaulatiyyah, Madrasah Darul Ulum ad-Diniyyah di Haramain serta Madrasah Darul al-Ulum di Mesir. Madrasah tersebut merupakan lembaga pendidikan tradisional dengan menerapkan pola pendidikan klasikal (bukan halaqah) dan kurikulum standar, mengikuti standar pendidikan Islam secara umum yang diselenggarakan di wilayah Arab. Madrasahmadrasah salafiyah adalah madrasah yang mendapat pengaruh Haramain. Adapun madrasah-madrasah yang selain mengajarkan agama, mengajarkan pengetahuan umum yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda seperti madrasah Adabiyah di Sumatera Barat dan Madrasah yang didirikan Muhammadiyah, Persatuan Islam, NU dan PUI di Majalengka, madrasah yang mendapat pengaruh sekolah Gubernment. Berdasarkan pendapat Badruddin yang dikutip oleh Hamdani tersebut memberikan pemahaman bahwa salah faktor latar belakang berdirinya madrasah adalah mengembangkan sistem pendidikan yang satu sisi mengajarkan materi-materi agama seperti diajarkan di pesantren dan di sisi yang lain mengajarkan materi-materi pengetahuan umum seperti diajarkan pada sekolah yang dikelola pemerintahan Hindia Belanda. 830



Ibid., h. 186



446



Hj Enung K Rukhiyati & Fenti Hikmawati terkait dengan latar belakang berdirinya madrasah mengemukakan bahwa; Antara pendidikan pesantren dan pendidikan kolonial terdapat perbedaan dan boleh dikatakan kontradiksi, baik menyangkut sistem maupun materi yang diberikan. Dari segi sistem umpamanya, lembaga pendidikan kolonial lebih moderen, baik menyangkut sistem maupun fasilitasnya yang lebih memungkinkan seperti meja, bangku, papan tulis dan lain-lain. Sementara itu dari segi materi pada pendidikan kolonial diajarkan lebih teratur dan terjadwal. Keadaan demikian tidak ayal lagi melahirkan jurang pemisah dan tampak sekali dalam aktivitas sosial dan intelektual seperti cara kedua golongan tersebut bergaul, berpakaian, berbicara dan sebagainya. Luasnya perbedaan yang terdapat antara dua golongan, yaitu golongan yang terpelajar dari sekolah-sekolah Barat dan golongan terpelajar dari pesantren. Kondisi demikian menyebabkan lahirnya pemikiran baru di kalangan umat Islam khususnya bagi mereka yang terpelajar. Mereka berusaha untuk menetralisasikan jurang pemisah yang ada. Usaha yang mereka lakukan adalah dengan mengadakan pembaharuan dalam pendidikan Islam, baik menyangkut materi maupun sistem yang ada di dalamnya dan untuk menjadikan ajaran Islam sesuai dengan ajaran al-Qur‟an dan sunnah.831 Berdasarkan pendapat Hj Enung K Rukhiyati & Fenti Hikmawati tersebut memberikan pemahaman bahwa pendidikan pesantren bila dibandingkan dengan pendidikan kolonial Belanda dalam sistem pengelolaan terdapat perbedaan yang cukup signifikan lantaran materi dan sistem pembelajarannya tidak teroganisasi dan tertata dengan rapi serta tidak dikembangkan sesuai dengan kemajuan pengelolaan pendidikan di dunia moderen sedangkan pendidikan kolonial Belanda sistem materi dan pembelajarannya terorganisasi dan tertata dengan rapi serta dikembangkan sesuai dengan perkembangan pengelolaan pendidikan di dunia moderen dimana karena hal tersebutlah lalu munculah upaya pembaharuan sistem pendidikan Islam yang berupaya memadukan sistem pendidikan pesantren dengan pendidikan yang dikelola kolonial Belanda yang boleh jadi ide pembaharuan tersebutlah yang menjadikan lembaga pendidikan Islam dalam bentuk madrasah yang memadukan antara sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan kolonial Belanda. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa latar belakang berdirinya madrasah di Indonesia dilandasi oleh adanya dua sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia pada saat itu, 831



Hj Enung K Rukhiyati & Fenti Hikmawati, op. cit., h. 117



447



dimana dikenal adanya sistem pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan materi-materi agama Islam dan pendidikan barat yang dikembangkan oleh penjajah Belanda yang hanya mengajarkan pengetahuan moderen tanpa mengajarkan pengetahuan Islam di dalamnya. Hal itulah yang mengilhami sebagian penduduk pribumi yang telah mengikuti pendidikan moderen Belanda dan tetap menjaga nilai-nilai keagamaan yang dianutnya, mendirikan madrasah sebagai bentuk sekolah yang memadukan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan moderen. D. 1.



Perkembangan Madrasah di Indonesia Perkembangan Madrasah di Indonesia Sebelum Kemerdekaan Sesuai dengan yang telah disepakati bahwa madrasah pertama yang dianggap berdiri di Indonesia adalah madrasah Adabiyah di Padang (Sumatra Barat), didirikan pada tahun 1909 oleh Syekh Abdullah Ahmad dimana ia dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam pembaharuan pertama sebab pada madrasah ini sistemnya disetarakan dengan sekolah HIS yang di dalamnya agama Islam dan al-Qur‟an diajarkan secara wajib. Pada tahun 1915, sekolah ini mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda dan mengganti namanya dengan HIS Adabiyah. 832 Menurut Mahmud Yunus bahwa sekolah adabiyah adalah sekolah agama pertama yang menerapkan sistem pembelajaran menggunakan sistem kelas yang berbeda dengan pendidikan di surau-surau atau langgar-langgar yang tidak menggunakan sistem kelas tetapi hanya duduk bersila saja. 833 Ada juga yang mengatakan bahwa madrasah Adabiyah di Padang pada mulanya bercorak agama semata-mata, nanti pada tahun 1915 berubah menjadi HIS (Holand Inland School) Adabiyah dimana HIS Adabiyah inilah yang merupakan sekolah pertama yang dalam bentuk madrasah yang memasukan pelajaran umum ke dalam kegiatan pendidikannya. Pada tahun 1910 M didirikan Madrasah School (sekolah agama) yang dalam perkembangannya berubah menjadi Diniyah School (Madrasah Diniyah). Dalam bentuk diniyah inilah yang kemudian berkembang dan terkenal. Setelah itu madrasah diniyah berkembang hampir di seluruh kepulauan Nusantara, baik merupakan bagian pesantren maupun surau, ataupun berdiri di luarnya. Pada tahun 1918 M di Yogyakarta berdiri madrasah Muhammadiyah (Kweekscholl Muhammadiyah) yang kemudian menjadi madrasah Muallimin Muhammadiyah, sebagai realisasi cita-cita pembaharuan 832 833



H Haidar Putra Daulay, “Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara”, op. cit., h. 33 H Mahmud Yunus, op. cit., h. 63



448



pendidikan Islam yang dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan.834 Pada tahun 1916 di lingkungan pesantren Tebuireng Jombang (Jawah Timur), telah didirikan madrasah Salafiyah oleh KH Hasyim Asy‟ari, sebagai persiapan melanjutkan ke pesantren, dan pada tahun 1929 atas usaha Kiai Ilyas, diadakan pembaharuan dengan memasukan pengetahuan umum pada madrasah tersebut. Permulaan Abad ke 20, merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah hampir di seluruh Indonesia, dengan nama dan tingkat yang bervariasi. Namun madrasah tersebut, pada awal perkembangannya, masih bersifat diniyah semata-mata atau tidak bedannya proses pembelajaran pada pesantren umumnya nanti pada perkembangan selanjutnya sedikit demi sedikit atau secara perlahan mulai dilakukan perubahan terhadap madrasah-madrasah dalam rangka memantapkan keberadaannya, khususnya dengan penambahan pengetahuan umum untuk kegiatan pembelajarannya. 835 Materi-materi umum yang diajarkan pada madrasah meliputi; membaca dan menulis (huruf latin bahasa) Indonesia, berhitung, ilmu bumi, sejarah Indonesia dan dunia, serta olahraga dan kesehatan. Meskipun begitu dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya masih belum punya keseragaman antara daerah yang satu dengan yang lainnya, terutama sekali menyangkut kurikulum dan rencana pelajaran. Memang pembaharuan yang dilakukan sebelum masa kemerdekaan belum mengarah kepada penyeragaman bentuk, sistem, dan rencana pelajaran. 836 Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang perkembangan madrasah di Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan dapatlah dipahami bahwa madrasah yang dianggap berdiri pertama di Indonesia adalah madrasah Adabiyah di Padang Sumatera Barat, lalu berdiri madrasah-madrasah yang lain hingga pada awal abad ke 20 madrasah telah berdiri dan bertebaran hampir di seluruh Indonesia dalam berbagai tingkat dan variasi. Proses pembelajaran yang dilaksanakan di masa awal berdirinya sistemnya masih sama dengan pesantren, nanti secara perlahan sesuai dengan perkembangannya proses pembelajaran madrasah mulai memasukan pengetahuan-pengetahuan umum dimana madrasah pertama yang melakukan hal tersebut adalah HIS Adabiyah lalu di ikuti oleh madrasah-madrasah lainnya dan madrasah pada masa sebelum kemerdekaan 834 835 836



Mahmud Yunus, op. cit, h. 63 Hasbullah, “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembanganya”, h. 170 Hasbullah, “Kapita Selekta”, op. cit, h. 73



449



dikelola oleh tokoh-tokoh masyarakat dan agama. 2.



Perkembangan Madrasah di Indonesia Setelah Kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah RI. UUD 1945 mengamanatkan, agar mengusahakan terbentuknya suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. Dalam upaya merealisasikan amanat tersebut, maka Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat ( BPKNIP ) sebagai badan pekerja MPR pada saat itu, merumuskan pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran, dimana pada pasal 5 memuat ketetapan yaitu; Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat akar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan materil dari pemerintah. 837 Untuk pembinaan dan tuntunan, wewenang diserahkan kepada Departemen Agama. Maksud dilaksanakannya pembinaan adalah agar madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berkembang secara terintegrasi dalam suatu sistem pendidikan nasional, tetapi dalam pelaksanaannya tidak begitu berjalan mulus, karena masih ada sikap sebagian masyarakat yang masih tidak mau bekerja sama dengan pemerintah, satu sikap peninggalan penjajah Belanda. Dalam rangka meningkatkan sesuai dengan sasaran BPKNIP agar madrasah dapat bantuan materil dan bimbingan dari pemerintah, maka Kementerian Agama RI mengeluarkan peraturan Menteri Agama No 1 tahun 1952, dimana yang dimaksud madrasah adalah tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan memuat pendidikan umum dan ilmu pengetahuan agama Islam yang menjadi pokok pengajarannya, dengan sistem pendidikan terbagi tiga yaitu; madrasah rendah dengan lama pendidikan 6 tahun, madrasah lanjutan tingkat pertama dengan lama pendidikan 3 tahun, dan madrasah lanjutan atas dengan lama pendidikan 3 tahun. Untuk lebih jelasnya peraturan menteri Agama menteri Agama tentang pengelolaan madrasah dapat dikemukakan sebagai berikut; 838 a. Madrasah rendah atau sekarang lazim sebagai Madrasah Ibtidaiyah, ialah madrasah yang memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya, lama pendidikan 6 tahun. 837 838



Ibid, h. 175 Hanun Asroha, op. cit., h. 195, Lihat Zuharirini dkk, Sejarah Pendidikan Islam ( Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 196, Lihat Hasbullah, “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesi”, op. cit, h. 176



450



b.



c.



Madrasah lanjutan tingkat pertama atau sekarang dikenal sebagai Madrasah Tasanawiyah ialah madrasah yang menerima murid tamatan madrasah rendah atau sederajat dengan itu, serta memberikan pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok, lama pendidikan 3 tahun Madrasah lanjutan atas atau sekarang dikenal sebagai Madrasah Aliyah, ialah madrasah yang menerima murid-murid tamatan madrasah lanjutan pertama atau yang sederajat memberikan pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok, lama belajar 3 tahun.



Sebelum lahirnya peraturan tersebut, pembinaan madrasah untuk tahap pertama sudah dilakukan Kementerian Agama yaitu; untuk mengarahkan agar madrasah dapat diakui sebagai penyelenggara kewajiban belajar, sebagaimana yang dikehendaki pasal 10 ayat 2 Undang-undang No 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Dalam hal ini pemerintah menggariskan kebijakan bahwa madrasah yang diakui oleh pemerintah dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar atau kegiatan pendidikan, harus terdaftar dengan persyaratan madrasah bersangkutan harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok yang paling sedikit 6 jam seminggu, secara teratur di samping mata pelajaran umum. Adanya persyaratan tersebut, maka diadakanlah pendaftaran madrasahmadrasah yang memenuhi persyaratan, sehingga pada tahun 1954 madrasahmadrasah yang berhasil didaftar meliputi; madrasah ibtidaiyah 1057 buah dengan jumlah murid 1.927.777 orang, madrasah tsanawiyah 776 buah dengan murid 87.932 orang dan madrasah aliyah sebanyak 16 buah dengan murid sebanyak 1881 orang. 839 Bagi madrasah yang menginginkan bantuan dari pemerintah baik berupa uang, alat-alat ataupun tenaga, maka madrasah yang bersangkutan harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui menteri agama, diantaranya yaitu; a) Telah berdiri secara terus menerus minimal 1 tahun b) Memiliki organisasi yang teratur c) Pendirian madrasah tersebut diinginkan oleh masyarakat d) Di samping pendidikan agama, madrasah tersebut memberikan pengajaran umum sekurang-kurangnya 30% dari jumlah pengajaran seluruh jam pelajaran dalam seminggu. Bila semua persyaratan tersebut terpenuhi sebuah madrasah, maka 839



Ibid, h. 177



451



madrasah tersebut berhak untuk mendapat bantuan. Madrasah yang menerima bantuan mempunyai kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan penggunaan bantuan yang diterima dan harus bersedia menerima inspeksi jawatan pendidikan agama agar dengan demikian mutu madrasah yang bersangkutan dapat ditingkatkan.840 Pada tahun 1958 pemerintah membentuk madrasah wajib belajar (MWB) dengan sistem penyelenggaraan sebagai berikut; a) MWB adalah tanggung jawab pemerintah baik mengenai guru-guru, alat-alat, maupun buku-buku pelajaran, bila memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah b) MWB menampung murid-murid yang berumur antara 6 – 14 tahun dengan tujuan mempersiapkan mutu murid untuk dapat hidup mandiri dan mencari nafkah, terutama dalam lapangan ekonomi, industrialisasi dan transmigrasi c) Lama belajar MWB adalah 8 tahun d) Materi pelajaran terdiri dari tiga kelompok yaitu; pengetahuan agama, pengetahuan umum, dan pelajaran keterampilan e) 25% dari jam pelajaran digunakan untuk pelajaran agama dan 75% untuk pengetahuan umum dan keterampilan. Namun disayangkan MWB untuk meningkatkan mutu madrasah ibtidaiyah ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, lantaran keterbatasan sarana dan prasarana, tenaga guru yang dipersiapkan oleh pemerintah, dan kurang tanggapnya masyarakat serta pihak penyelenggara madrasah, khususnya dalam hal menetapkan ketentuan aturan-aturan pendidikan madrasah wajib belajar.841 Kegagalan penyelenggaraan MWB tersebut mendorong pemerintah mendirikan madrasah-madrasah negeri baik di tingkat ibtidaiyah, sanawiyah, maupun madrasah aliyah, dimana ketentuan kurikulumnya adalah 30 % untuk pelajaran agama dan 70 % untuk materi pengetahuan umum. Tujuan pendidikan madrasah-madrasah negeri adalah untuk menjadi model dan standar dalam upaya memberikan ketentuan secara lebih kongkrit bagi penyelenggaraan madrasah. Pihak-pihak penyelenggara madrasah negeri diharapkan dapat menjadi koordinator dalam pelaksanaan evaluasi serta pembinaan terhadap madrasah-madrasah swasta di sekitarnya. Penegerian madrasah-madrasah swasta menjadi madrasah negeri mulai dilakukan oleh 840 841



Ibid, h. 178 Departemen Agama RI, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Bimbaga, 1986), h. 80



452



(Jakarta: Dirjen



pemerintah pada tahun 1967 dan upaya itu berakhir pada tahun 1970 setelah dikeluarkanya keputusan Menteri Agama RI Tahun 1970 tentang tidak ada lagi penegerian madrasah-madrasah swasta, berhubung pembiayaan dan fasilitas yang terbatas. Sekolah-sekolah dalam bentuk madrasah yang berhasil dinegerikan meliputi; MIN sebanyak 352 buah, MTsN sebanyak 182 buah, dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) sebanyak 42 buah. Sistem kurikulum yang dikembangkan dalam madrasah-madrasah negeri disamakan dengan sekolah-sekolah umum yang berada di bawah Depdiknas untuk mata pelajaran-pelajaran umum. 842 Namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah tersebut belum mampu mengangkat kualitas pendidikan pada tingkat madrasah dimana madrasah tetap tidak mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan umum sehingga akhirnya memicu lahirnya SKB 3 menteri demi perbaikan pengelolaan madrasah dan perbaikan mutu lulusan madrasah. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang perkembangan madrasah setelah masa kemerdekaan dapatlah dipahami bahwa pengembangan madrasah setelah Indonesia merdeka adalah mulai mendapat perhatian dari pemerintah berupa memasukkan lembaga pendidikan madrasah sebagai bagian dari kegiatan pendidikan nasional, madrasah mendapat bantuan sarana dan tenaga dari pemerintah. Upaya tersebut belum juga mengangkat kualitas pengembangan madrasah maka pemerintah membentuk madrasah wajib belajar yang dikelola langsung oleh pemerintah tetapi upaya itupun juga tidak membuahkan hasil maka langkah terakhir yang dilakukan oleh pemerintah sebelum lahirnya SKB 3 menteri demi perbaikan madrasah dalam pengembangan maka pemerintah melakukan upaya-upaya penegerian madrasah tetapi upaya tersebutpun tidak membuahkan hasil sehingga lahirlah SKB 3 menteri demi perbaikan madrasah selanjutnya. Kurikulum madrasah pada masa, setelah kemerdekaan, materi agama 70 % dan umum 30 %, dalam bentuk madrasah wajib belajar materi umum 75 % dan agama 25 % dan madrasah saat penegerian materi umum 70 % dan materi agama 30 %. 3.



Perkembangan Madrasah di Indoneisa Setelah Lahirnya SKB 3 Menteri Rupanya upaya penegerian beberapa madrasah baik tingkat ibtidaiyah sampai madrasah aliyah belum mampu mengangkat kualitas dari siswa-siswa lulusan madrasah untuk bersaing dalam kancah nasional. Maka pada tahun 1975 dikeluarkan surat keputusan bersama (SKB) 3 menteri tentang 842



Lihat Harun Asrohah, op.cit, h. 198, Lihat Hasbullah, “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia”‟, op. cit, h. 178



453



peningkatan mutu pendidikan madrasah. Menurut SKB 3 Menteri yaitu Menteri dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan kebudayaan memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut; a Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat b Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah umum setingkat lebih atas c Siswa madrasah dapat berpindah sekolah ke sekolah umum yang setingkat.843 Untuk pengelolaan madrasah dan pembinaan agama menurut SKB 3 Menteri tersebut dilakukan oleh menteri agama, sedangkan pengawasan mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri. Dengan adanya SKB 3 Menteri ini mata pelajaran umum yang diajarkan di madrasah telah dikembangkan sesuai dengan kurikulum yang berlaku di sekolah umum, sehingga beban yang dipikul oleh madrasah bukan bertambah ringan tetapi justru sebaliknya semakin berat. Memang dengan adanya SKB tiga menteri Madrasah telah disetarakan dengan sekolah umum, tetapi masyarakat tidak begitu saja menerima karena realitanya lulusan madrasah pada saat itu masih rendah. Lebih dari itu pelaksanaan SKB tiga menteri ini tidak berjalan mulus, karena sebagian umat Islam mengangap dengan kurikulum SKB tiga menteri itu mengeser pengetahuan agama yang menjadi ciri khas madrasah. Tergesernya pengetahuan agama ini semakin dirasakan ketika madasah aliyah membuka jurusan umum. Keluhan umat Islam ini di kemudian hari di respon oleh pemerintah (Departemen Agama) dengan didirikanya madrasah aliyah program khusus yang selanjutnya setelah lahirnya kurikulum 1994 yang merupakan realisasi UU no 2 Tahun 1989, Madrasah Aliyah program khusus diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan. Madrsah aliyah tersebut 100 % materinya pelajaran agama dengan tujuan bila lulus dapat melanjutkan ke IAIN. madasah aliyah dengan program khusus ini lahir berdasarkan keputusan Menteri Agama no 73 tahun 1987.844 Upaya-upaya perbaikan dari madrasah terus dilakukan oleh pemerintah untuk mengejar ketertinggalannya dari pendidikan umum. Peningkatan mutu madrasah terus diupayakan dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan 843 844



Ibid, h. 182 Achmadi, Idiologi Pendidikan Islm (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar:, 2005), h. 176



454



kurikulum 1994 sebagaimana yang berlaku pada sekolah umum, pengadaan dan peningkatan kualitas guru yang relevan dengan bidang studi, peningkatan perlengkapan sarana dan prasarananya, serta fasilitas pendidikan lainnya. Upaya perbaikan dari mutu madrasah terus berlanjut hingga diberlakukannya Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003, dimana dalam sistem yang dianut dalam pengelolaan pendidikan adalah sistem demokratis dan berkeadilan. 845 Hal itu menunjukkan bahwa tidak perlu ada dikotomi antara lembaga pendidikan agama dan umum, dan dalam penempatan tenaga pendidik harus merata antara lembaga pendidikan umum dan agama sehingga kualitas yang dilahirkan kegiatan pendidikan di Indonesia dapat berimbang antara lembaga pendidikan agama dan umum khususnya untuk materi-materi umum ,dimana selama ini lembaga-lembaga pendidikan seperti pendidikan Islam rendah kualitas siswanya karena terbatasnya tenaga pengajar yang mengajarnya, sementara di sekolah-sekolah umum untuk guru satu bidang studi umum biasanya banyak. Hal tersebut harus menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah bukan hanya merombak-rombak sistem kurikulum yang berlaku pada madrasah tetapi juga hal-hal yang terkait dengan upaya bisa terbentuknya lulusan madrasah yang berkualitas, sehingga madrasah bukan hanya dijadikan sebagai sekolah alternatif tetapi madrasah dapat menjalankan fungsinya seperti awal pertama kali didirikan di Indonesia yaitu memadukan antara ilmu pengetahuan moderen dan ilmu-ilmu agama. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang perkembangan madrasah di Indonesia dapatlah dipahami bahwa perkembangan madrasah di Indonesia memiliki sejarah panjang dimana sesuai yang sudah disepakati bahwa madrasah bermula dari berdirinya madrasah Adabiyah di Padang (Sumatra Barat) pada tahun 1909 oleh Syekh Abdullah Ahmad hingga terus berkembang sampai sekarang ini dimana perkembangan sebelum kemerdekaan dikelola oleh tokoh agama dan masyarakat, setelah kemerdekaan masuk dalam bagian kegiatan pendidikan nasional dan dikelola oleh masyarakat dengan bantuan pemerintah bahkan pada saat itu pemerintah sendiri membentuk madrasah wajib belajar tetapi akhirnya dibubarkan kurang diminati oleh masyarakat hingga dinegerikannya madrasah, serta setelah lahirnya SKB tiga menteri madrasah disetarakan dengan sekolah umum hingga sekarang ini. Namun berbagai upaya tersebut ternyata hingga realita yang kita saksikan sekarang ternyata belum mampu mengangkat kualitas 845



Ibid, h. 177



455



pengelolaan madrasah walaupun berbagai upaya perbaikan madrasah telah dilakukan oleh pemerintah. Hal itu bisa terjadi karena sistem pengelolaan madrasah yang kurang mengikuti perkembangan dan pemerintah belum sepenuhnya menangani madrasah dimana secara realita sekarang madrasah baik dari sarana maupun sumber daya pengelolanya masih jauh bila dibandingkan dengan sekolah umum sehingga masyarakat menganggap hanya sekolah umum yang memberi pulang anaknya mendapatkan pekerjaan dan menjadikan madrasah sebagai sekolah alternatif bila anaknya tidak lolos pada sekolah umum. E.



Strategi Pengembangan Madrasah Melihat realita madrasah di Indonesia tersebut di atas dimana ternyata hingga sekarang madrasah belum mampu mewujudkan cita-cita sebagai lembaga pendidikan yang memadukan pengetahuan agama dan umum yang seharus mempunyai nilai ples dan harus dijadikan rujukan sekolah-sekolah umum, namun ternyata hanya menjadi sekolah alternatif karena mutu yang dikeluarkan tidak mampu bersaing dengan sekolah umum. Untuk itu, perlu langkah-langkah strategis agar pengelolaan madrasah itu dapat bersaing dengan sekolah umum maka dibawah ini penulis mencoba mengemukakan sistem yang perlu diterapkan madrasah agar madrasah mampu bersaing dengan sekolah umum. 1. Strategi madrasah menarik minat peserta didik Langkah-langkah yang digunakan madrasah dalam upaya menarik minat peserta didik yaitu; a. Menyebarkan visi misi madrasah serta menginformasikan kepada masyarakat. b. Pemberian beasiswa bagi siswa yang berprestasi dan memberikan kemudahan pendidikan bagi siswa yang tidak mampu c. Membina reputasi madrasah dengan mengutamakan profil keberadaan madrasah.846 Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa strategi madrasah dalam meningkat minat peserta didik untuk melanjutkan pendidikan padanya meliputi; menyebarkan visi misi madrasah dan menginformasikan pada masyarakat, memberikan beasiswa bagi siswanya yang berprestasi dan memudahkan bagi siswa yang kurang mampu dan 846



Lihat H Suryafarma M, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan (Cet. II; Bandung: CV Alberta:, 2004), h. 140



456



mengembangkan reputasi madrasah dalam persaingan pengelolaan pendidikan sesuai dengan kebutuhan agama dan kebutuhan di dunia moderen 2.



Strategi bersaing untuk mengembangkan proses pembelajaran Langkah-langkah yang ditempuh madrasah agar mampu bersaing dalam pengembangan proses pembelajaran meliputi; a. Menjadikan guru sebagai mitra belajar bagi siswa b. Penyusunan silabus di madrasah yang tidak kaku, dapat dikembangkan menurut keikhlasan guru, keterbukaan siswa dan sistem pengelolaan pendidikan di madrasah c. Guru terus mengembangkan kemampuannya untuk memadukan berbagai metodologi pembelajaran dan pimpinan madrasah menunjang upaya ini dengan menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan dengan dibantu seluruh pihak-pihak pelaksana pendidikan di madrasah d. Madrasah perlu menggunakan sistem untuk menggerakan dan menjaga kesinambungan proses pembelajaran yang efektif. 847 Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa langkah-langkah strategi bersaing yang dapat dikembangkan madrasah dalam pengembangan proses pembelajarannya meliputi; pendidikan di madrasah menjadikan siswa sebagai mitra belajar, penyusunan silabus di madrasah dikembangkan sesuai mutu keilmuan dan pengelolaan pendidikan, guru terus mengembangkan keilmuan sesuai dengan tuntunan pengelolaan keilmuan yang bermutu dan pengelola pendidikan di madrasah menopang kegiatan mutu pendidikan dengan menyediakan berbagai sarana prasarana pendidikan yang berkualitas, dan Madrasah mengembangkan sistem yang tetap menjaga pergerakan dan kesinambungan proses pembelajaran yang efektif. 3.



847



Strategi pengelolaan manajemen madrasah yang efektif a. Efisiensi internal madrasah Langkah-langkah yang dilakukan; 1) Materi pembelajaran harus diprogram secara baik 2) Pengembangan kurikulum di madrasah harus relevan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan masyarakat tanpa melepas nilai-nilai ajaran Islam.



Lihat, Ibid, h. 14



457



3)



b.



Tersedianya pengelola pendidikan di madrasah yang memadai dengan kualitas yang baik 4) Sarana dan prasarana pendidikan di madrasah harus dirawat dengan baik dan dalam kondisi yang siap pakai 5) Dana yang mencukupi untuk terlaksananya pendidikan di madrasah 6) Dikelola dengan baik melalui organisasi yang ramping dan gesit 7) Diupayakan siswa yang bermutu baik 8) Pelaksanaan proses pembelajaran yang baik untuk mencetak lulusan yang berkualitas Efisiensi eksternal madrasah Langkah-langkah yang diambil; 1) Meningkatkan minat masyarakat untuk memilih madrasah sebagai lembaga pendidikan bagi anaknya 2) Menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dapat memberikan bekal masa depan siswa sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta nilai-nilai ajaran Islam. 3) Peningkatan efisiensi manajemen madrasah dengan upaya melakukan penghematan 4) KKN harus dihapuskan dalam pengelolaan pendidikan di madrasah 5) Fasilitas sarana belajar harus tersedia dan memadai 6) Masyarakat ekonomi lemah dimudahkan dalam mengikuti pendidikan di madrasah.848



Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa strategi yang dapat diterapkan dalam pengelolaan madrasah yang efektif meliputi; strategi internal terdiri dari materi pembelajaran terprogram dengan baik, kurikulum dikembangkan sesuai kebutuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi tanpa melepas nilai-nilai ajaran Islam sebagai pondasi utamanya, tersedianya pengelola pendidikan yang bermutu, tersedianya sarana prasarana yang bermutu dan layak pakai, tersedianya dana yang memadai demi berlangsung proses pendidikan yang bermutu, madrasah dikelola lewat organisi yang ramping tetapi gesit, menjadikan siswa bermutu sesuai standar kualitas dan sistem pengelolaan pembelajaran mengedepankan standar kelayakan mutu peserta didik sedangkan strategi internal yang dapat 848



Ibid, h. 16



458



dikembangkan dalam pengelolaan madrasah meliputi; meningkatkan minat masyarakat untuk melanjutkan pendidikan pada madrasah yang dikelola, menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mampu memberikan bekal masa depan siswa, peningkatan efisiensi dalam pengelolaan madrasah, sistem KKN dihilangkan dalam pengelolaan madrasah, sarana prasarana pendidikan harus tersedia dan memadai serta siswa ekonomi lemah dimudahkan dalam mengikuti pendidikan di madrasah. HAR Tilaar mengemukakan bahwa terkait dengan upaya pengembangan sebuah lembaga pendidikan agar tetap eksis di tengah tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dalam hal pengembangan madrasah, hal-hal yang dilakukan yaitu; 1. Membangun kerjasama dengan berbagai pihak dalam upaya mengembangkan madrasah 2. Mengedepankan kualitas, baik dari segi sumber daya pengelolaan, sarana dan prasaranannya serta dari segi anak didik yang didiknya 3. Dalam pengelolaan harus menggunakan manajemen terbuka yang transparan dan mengedepankan kejujuran dan keikhlasan 4. Membangun kemitraan sejajar dengan semua pihak 5. Kejelasan cita-cita dengan langkah-langkah yang rasional di dalam usaha mewujudkan cita-cita pendidikan Islam pada madrasah sesuai dengan tuntutan dalam kehidupan tanpa melepas terwujudnya kebahagiaan hidup di akhirat kelak.849 Berdasarkan pendapat HAR Tilaar tersebut memberikan pemahaman bahwa langkah-langkah harus diambil madrasah dalam upaya menjadikannya sebagai lembaga pilihan dalam kegiatan pendidikan meliputi; menjamin kerjasama dengan berbagai pihak dalam pengelolaan madrasah, pengelolaan berbagai sistem pendidikannya harus mengedepankan kualitas, sistem yang dianut dalam pengelolaan harus menerapkan manajemen terbuka yang mengedepankan sistem kejujuran dan keikhlasan, membangun sistem kemitraan sejajar dengan berbagai pihak dan kejelasan visi dan misi dalam pengelolaan madrasah sesuai dengan tantangan dalam pengelolaan pendidikan di era moderan. Hujair AH Sanaki mengemukakan bahwa di tengah-tengah kemajuan iptek sekarang ini, maka lembaga-lembaga pendidikan Islam harus dikembangkan berdasarkan paradigma yang berorientasi pada;



849



HAR Tilaar, op. cit, , h. 110-116



459



1.



2. 3. 4. 5.



Menghilangkan dikotomi ilmu dan agama, serta ilmu tidak bebas nilai, juga mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisonal melainkan juga sisi rasional Membangun keilmuan dan kemajuan kehidupan yang integratif antara nilai spiritual, moral dan material bagi kehidupan Pendidikan harus disusun atas dasar kondisi lingkungan masyarakat baik kondisi masa kini maupun pada masa akan datang Memberdayakan potensi umat yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat madani Pendidikan harus diubah berdasarkan pendidikan demokratis dan pendidikan yang bersifat sentralistik. 850



Berdasarkan pendapat Hujair A Sanaki tersebut memberikan pemahaman bahwa agar madrasah mampu bersaing dalam pengelolaan pendidikan di era moderen maka langka-langkah yang harus ditempuh dalam pengelolaan madrasah meliputi; menghilangkan dikotomi ilmu dan agama, memadukan agama dengan ilmu pengetahuan, pendidikan disusun dan dikelola sesuai dengan kebutuhan lingkungan masyarakat, memberdayakan peserta didiknya sesuai kebutuhan masyarakat madani, dan pendidikan di madrasah harus dirubah berdasarkan pendidikan demokratis dan sentralistik Ace suryadi dan dasiman Budimansyah mengemukakan bahwa yang harus diperhatikan dalam pengembangan pendidikan di tengah tantangan kemajuan ilmu pengetahuan yaitu; 1. Mencerdaskan kehidupan bangsa 2. Mempersiapkan peserta didik yang cakap, terampil dan terlatih 3. Membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. 851 Berdasarkan pemikiran Ace Suryadi dan Budimansyah tersebut memberikan pemahaman bahwa hal-hal yang harus diperhatikan madrasah dalam pengelolaan pendidikannya di era sekarang meliputi; pendidikan yang dikembangkan di madrasah harus dikembangkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan yang dikelola harus mampu membuat peserta didik menjadi berkualitas baik secara pengetahuan dan implementasinya



850 851



Hujair AH Sanaki, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: safaria Insania Press, 2003), h. 135 Ace Suryadi & Dasiman Budimansyah, Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru (Cet. I; bandung: Genesindo, 2004), h. 108



460



dalam kehidupan dan pendidikan yang dikelola harus mengacu pada munculnya berbagai keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut tentang pengembangan madrasah dapatlah dipahami bahwa madrasah harus dikelola dengan mengembangkan sistem manajemen yang efektif dan efisien baik secara internal maupun eksternal dengan menyesuaikan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan dunia kerja, nilai-nilai ajaran Islam serta kondisi dan kebutuhan masyarakat. F.



Rangkuman Madrasah adalah lembaga pendidikan Islam formal yang didirikan oleh umat Islam di Indonesia dimana sistem pendidikannya berlangsungnya menggunakan sistem kelas bagi peserta didiknya baik pada tingkat dasar atau menengah dengan sistem pembelajaran berupa menjadikan materi agama sebagai materi utama yang diajarkan dan diajarkan pula materi-materi pengetahuan umum seperti materi pada lembaga pendidikan umum yang setingkat dengannya Latar belakang berdirinya madrasah di Indonesia dilandasi oleh adanya sistem pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan materi-materi agama Islam dan pendidikan barat yang dikembangkan oleh penjajah Belanda yang hanya mengajarkan pengetahuan moderen tanpa mengajarkan pengetahuan Islam di dalamnya sehingga mengilhami sebagian penduduk pribumi mendirikan madrasah sebagai bentuk sekolah yang memadukan antara ilmuilmu agama dan ilmu pengetahuan moderen. Perkembangan madrasah di Indonesia dimulai dengan berdirinya madrasah Adabiyah di Padang (Sumatra Barat ) pada tahun 1909 oleh Syekh Abdullah Ahmad hingga terus berkembang sampai sekarang ini dimana perkembangan sebelum kemerdekaan dikelola oleh tokoh agama dan masyarakat, setelah kemerdekaan masuk bagian kegiatan pendidikan nasional dan dikelola oleh masyarakat dengan bantuan pemerintah maupun pemerintah sendiri hingga dinegerikannya madrasah serta lahirnya SKB tiga menteri madrasah disetarakan dengan sekolah umum hingga sekarang ini. Berbagai upaya pengembangan madrasah mulai didirikan hingga sekarang ternyata belum mampu mengangkat kualitas pengelolaan madrasah dimana hal itu dipengaruhi sistem pengelolaan madrasah yang kurang maksimal dan pemerintah belum sepenuhnya menangani madrasah sehingga madrasah baik dari sarana maupun sumber daya pengelolaannya masih jauh bila dibandingkan dengan sekolah umum sehingga agar madrasah mampu



461



bersaing di era sekarang maka ia harus dikelola dengan mengembangkan sistem manajemen yang efektif dan efisien baik secara intern maupun eksteren serta dikembangkan sesuai dengan tuntunan iptek dan agama.



462



BAB XIV MAJELIS TA’LIM SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM NON FORMAL DI INDONESIA A.



Latar Belakang Pemikiran Pendidikan memegang yang sangat peranan penting bagi kelangsungan hidup umat manusia sebab lewat proses pendidikanlah manusia dapat berkembang dalam kehidupannya. Akibat tuntutan kebutuhan hidup manusia maka mempengaruhi proses pelaksanaan pendidikan bagi anak didik dari waktu ke waktu yang terus berkembang dimana tadinya pelaksanaan pendidikan hanya dilaksanakan dalam keluarga lalu berpindah pada lingkungan pendidikan formal hingga adanya lembaga-lembaga pendidikan nonformal dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan sasaran dan tujuan pelaksanaan pendidikan tersebut. Bagi umat Islam termasuk masyarakat Islam di Indonesia, salah satu pendidikan yang tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan hidup mereka adalah keberadaan lembaga pendidikan Islam yang dilaksanakan sebagai bagian dari upaya menanamkan nilai-nilai ajaran Islam bagi mereka agar dalam kehidupan mereka selalu hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran yang terdapat dalam agama Islam. 852 Proses pelaksanaan pendidikan Islam bagi umat Islam termasuk masyarakat Islam Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan tiga lingkungan proses pendidikan Islam yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat sebab proses pengajaran dan asimilasi ajaran Islam lewat tiga jalur tersebut, dimana satu dengan yang lain saling mendukung dan menopang dalam upaya berhasilnya proses pendidikan Islam terhadap para peserta didiknya bahkan lewat ketiga lingkungan pendidikan Islam tersebutlah proses Islam dapat berlangsung di Indonesia semenjak awalnya masuknya Islam di Indonesia hingga Islam terus berkembang dan menjadi agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia seperti sekarang. 853 Hal ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan Islam yang dilaksanakan di Indonesia baik yang dilaksanakan 852



853



Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 (Cet. II; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), 132 H Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h. 9



463



pada lingkungan keluarga (informal), sekolah (formal) dan di tengah masyarakat (non formal) sangat berperan dalam upaya peningkatan kualitas keagamaan bangsa Indonesia khususnya masyarakat penganut agama Islam. Salah satu lembaga pendidikan Islam non formal yang cukup punya andil dalam upaya peningkatan kualitas keagamaan bangsa Indonesia semenjak masuknya Islam di Indonesia hingga sekarang bahkan diakui status keberadaannya dalam Undang-Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 adalah majelis ta‟lim. Majelis ta‟lim merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam nonformal yang ada di Indonesia yang senantiasa menanamkan akhlak yang luhur dan mulia, meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan keterampilan jama‟ahnya serta memberantas kebodohan umat Islam di Indonesia agar dapat memperoleh kehidupan yang bahagia dan sejahtera serta diridhai oleh Allah swt.854 HM Arifin Mengemukakan; Majelis taklim berperan sebagai salah satu lembaga penyiaran dakwah Islam bagi umat manusia yang berlangsung semenjak masa Rasulullah di kota Mekah hingga berkembang ke segala penjuru dunia termasuk di Indonesia hingga sekarang dengan tujuan meningkatkan kualitas umat manusia secara integral, lahiriah dan batiniah, duniawiah, dan ukrawiah sesuai tuntunan ajaran Islam yaitu iman dan takwa yang melandasi kehidupan duniawi dalam segala bidang kegiatannya. 855 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa salah satu lembaga pendidikan Islam yang bersifat nonformal yang cukup berperan dalam pembinaan dan pengajaran agama Islam bagi Umat Islam di Indonesia adalah majelis ta‟lim yang pembelajaran dilaksanakan di lingkungan masyarakat dan tujuan akhir yang ingin dicapai adalah tertanamnya nilai-nilai ajaran Islam di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang berlangsung semenjak masuknya Islam di Indonesia hingga sekarang ini. Sejalan dengan penjelasan di atas bahwa peningkatan kualitas keagamaan umat Islam Indonesia tidak dapat dilepas-pisahkan dengan kegiatan majelis ta‟lim yang ada di Indonesia maka dalam bab ini akan diulas topik kajian yang tentang majelis ta‟lim sebagai lembaga pendidikan Islam non formal di Indonesia demi untuk mendapatkan jawaban pasti tentang



854 855



Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 201 HM Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 120



464



bentuk peranan yang dapat dimainkan oleh majelis ta‟lim di Indonesia dalam upaya peningkatan kualitas keagamaan umat Islam Indonesia. Pengertian Majelis Ta’lim Perkataan‟majlis ta‟lim berasal dari bahasa Arab yang terdiri dua kata yaitu majelis dan ta‟lim. Majelis artinya tempat duduk, tempat sidang, dewan. Ta‟lim berarti pengajaran. Untuk itu secara lugawi majelis ta‟lim dapat diartikan sebagai tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajian agama Islam.856 Menurut bahasa Indonesia majelis ta‟lim diartikan sebagai lembaga (organisasi) sebagai wadah pengajian, sidang pengajian atau tempat pengajian. 857 Mengenai pengertian secara istilah tentang majelis ta‟lim sebagaimana dirumuskan pada musyawarah majelis ta‟lim se DKI Jakarta tahun 1980 adalah; lembaga pendidikan nonformal Islam yang memiliki kurikulum tersendiri, diselenggarakan secara berkala dan teratur dan diikuti oleh jama‟ah yang relatif banyak dan bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun serta serasi antara manusia dengan lingkungannya dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah swt. 858 Lebih jelasnya tentang pengertian majelis Ta‟lim dapat dilihat dari pendapat Hasbullah yang mengidentifikasi majelis ta‟lim sebagai berikut; 1. Majelis ta‟lim adalah lembaga pendidikan nonformal Islam 2. Waktu belajar pada majelis ta‟lim berkala tapi teratur, tidak setiap hari sebagaimana halnya sekolah atau madrasah 3. Pengikut atau pesertanya disebut jama‟ah (orang banyak), bukan pelajaran atau santri dan kehadiran dalam majelis ta‟lim tidak merupakan kewajiban sebagaimana dengan kewajiban murid menghadiri sekolah atau madrasah 4. Tujuannya yaitu memasyarakatkan ajaran Islam.859 B.



Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa majelis ta‟lim adalah lembaga pendidikan nonformal Islam yang diselenggarakan oleh masyarakat dan dalam lingkungan masyarakat serta pesertanya dari kalangan masyarakat yang tidak terikat oleh umur, status, waktu dan kehadiran dalam majelis tergantung pada kerelaan serta 856 857 858 859



Hasbullah, op. cit, h. 202 Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 615 Nurul Huda dkk, Pedoman Majelis Ta‟lim (Jakarta: Proyek Penerangan Dakwah Khutbah Agama Islam Pusat, 1984), h. 5 Hasbullah, op.cit., h. 201



465



pelaksanaannya dengan tujuan membina masyarakat yang menjadi pesertanya menjadi masyarakat yang bertakwa kepada Allah swt. Sejarah Perkembangan Majelis Ta’lim Sebagai Lembaga Pendidikan Islam Nonformal Majelis ta‟lim merupakan lembaga pendidikan tertua dalam Islam. Kelahirannya bermula dari awal datangnya ajaran Islam. Majelis ta‟lim sudah dilaksanakan pada zaman Rasulullah saw, meskipun pada saat itu tidak disebut dengan nama majelis ta‟lim namun pengajian nabi Muhammad saw yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam di zaman Rasul atau periode mekah dapat dianggap sebagai majelis ta‟lim dalam konteks pengertian sekarang. Kemudian setelah adanya perintah Allah swt untuk menyiarkan Islam secara terang-terangan maka pengajian seperti tersebut segera berkembang di tempat-tempat lain yang diselenggarakan secara terbuka dan tidak sembunyi-sembunyi lagi. Pada periode Madinah ketika Islam telah menjadi kekuatan nyata dalam masyarakat, penyelenggaraan pengajian itu lebih pesat. Rasulullah saw duduk di masjid Nabawi untuk memberikan pengajian kepada para sahabat dan kaum muslimin ketika itu. Dengan cara tersebut Nabi saw telah berhasil menyiarkan Islam dan sekaligus dengan hasil itu pula membentuk karakter dan ketaatan umat. Lebih jauh dari itu, Nabi juga berhasil membina para pejuang Islam yang tidak saja gagah perkasa di medan perang dalam membela dan menegakkan Islam tetapi terampil dalam mengatur pemerintahan dan membina kehidupan masyarakat.860 Sistem pengajian yang Rasulullah saw lakukan terus diterapkan pada masa Sahabat, tabiin, tabiit tabiin dan seterusnya sampai generasi sekarang, bahkan di masjidil Haram sendiri sampai saat ini terdapat pengajian (majelis ta‟lim) yang diasuh ulama-ulama terkenal dan terkemuka serta dikunjungi para jama‟ah dari berbagai bangsa terutama ketika musim haji tiba. Di masa puncak kejayaan Islam, majelis ta‟lim di samping dipergunakan sebagai tempat menuntut ilmu juga menjadi tempat para ulama dan pemikir menyebarluaskan hasil penemuan atau ijtihadnya. Barangkali tidak akan salah bila dikatakan bahwa para ilmuan Islam dalam berbagai disiplin ilmu ketika itu, merupakan produk dari mejlis ta‟lim. 861 C.



860 861



HM Arifin, op. cit, h. 119, Lihat Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 22 Nurul Huda dkk, op. cit, h. 7



466



Sementara di Indonesia terutama di saat-saat penyiaran Islam oleh para wali dahulu juga mempergunakan majelis ta‟lim untuk menyampaikan dakwanya. Itulah sebabnya maka untuk Indonesia majelis ta‟lim merupakan lembaga pendidikan Islam tertua. Barulah kemudian seiring dengan perkembangan ilmu dan pemikiran dalam mengatur pendidikan, di samping majelis ta‟lim yang sifatnya pendidikan nonformal, tumbuh lembaga-lembaga pendidikan yang lebih formal sifatnya seperti pesantren, madrasah dan sekolah. Walaupun di sana sini telah berdiri berbagai lembaga pendidikan Islam formal namun keberadaan majelis ta‟lim tetap ada di tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia dan terus menjalankan fisi misinya hingga sekarang ini. 862 Bahkan yang menggembirakan lagi majelis ta‟lim sudah merupakan bagian dari kegiatan pendidikan nasional karena statusnya sebagai lembaga pendidikan nonformal sudah dilegitimasi oleh undangundang sisdiknas. Dalam Undang-Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 1, 2 dan ayat 4 dikemukakan sebagai berikut; Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hajat (1). Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional (2). Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis. 863 Berdasarkan pasal tersebut dapatlah dipahami bahwa memang lembaga majelis ta‟lim telah menjadi salah komponen kegiatan pendidikan nasional hanya saja dalam status pengelolaannya dilaksanakan bagi kalangan masyarakat secara umum dimana ia dapat berperan sebagai pengganti, penambah atau pelengkap dari kegiatan pendidikan formal terkait dengan upaya pengembangan pengetahuan, sikap dan kepribadian serta dalam kelompok kegiatan pendidikan nasional, majelis ta‟lim masuk kelompok pendidikan nonformal.



862 863



Hasbullah, op. cit, h. 204 Departemen Agama RI, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam Undang-Undang Sisdiknas (Cet. III; Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), h. 45



467



Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas tentang sejarah perkembangan majelis ta‟lim sebagai lembaga pendidikan nonformal Islam dapat dipahami bahwa sistem majelis ta‟lim telah berkembang sejak awal penyebaran Islam di benua Arabia, kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam di Asia, Afrika dan Indonesia pada khususnya serta terus berkembang hingga sekarang ini dengan misi utamanya adalah memasyarakatkan ajaran Islam bagi umat Islam sehingga umat Islam benar-benar menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah swt, bahkan di Indonesia majelis ta‟lim sudah merupakan salah satu komponen kegiatan pendidikan nasional. Peranan Majelis Ta’lim Sebagai Lembaga Pendidikan Islam non Formal di Indonesia Majelis ta‟lim mempunyai kedudukan dan ketentuan tersendiri dalam mengatur pelaksanaan pendidikan atau dakwah Islamiyah, di samping lembaga-lembaga lainnya yang mempunyai tujuan yang sama. Memang pendidikan nonformal dengan sifatnya tidak terlalu mengikat dengan aturan yang ketat dan tetap, merupakan pendidikan yang efektif dan efisiensi, cepat menghasilkan dan sangat baik untuk mengembangkan tenaga kerja, karena ia digemari oleh masyarakat luas. Efektifitas dan efisiensi sistem pendidikan ini sudah banyak dibuktikan melalui media pengajian-pengajian Islam atau majelis ta‟lim yang sekarang banyak tumbuh dan berkembang baik di desadesa maupun di kota-kota besar.864 Tentang peranan dari majelis ta‟lim tidak terlepas dari kedudukannya sebagai alat pembinaan kesadaran beragama atau alat peningkatan kualitas keagamaan bangsa. Sistem pengajaran yang dapat diterapkan dalam lembaga majelis ta‟lim agar dapat menjadikan bangsa berkualitas dalam bidang keagamaan dapat ditempuh lewat 3 cara meliputi; 1. Lewat propaganda, yang lebih menitikberatkan kepada pembentukan opini agar mereka mau bersikap dan berbuat sesuai dengan maksud propagandis. Sifat propaganda masal, caranya dapat melalui rapat umum, siaran radio, TV, film, drama, spanduk dan sebagainya. 2. Melalui indokrinasi yaitu menanamkan ajaran dengan konsep yang telah disusun secara tegas dan bulat oleh pihak pengajar untuk disampaikan kepada masyarakat, melalui kuliah, ceramah, kursuskursus, training centre dan sebagainya D.



864



Hj Enung K Rukhiati dan Fenti Himawati, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 205



468



3.



Melalui jalur pendidikan dengan menitikberatkan kepada pembangkitan cipta, rasa, dan karsa sehingga cara pendidikan ini lebih mendalam dan matang daripada propaganda dan indokrinasi. 865



Lewat ketiga metode tersebut dalam pelaksanaan proses pendidikan pada majelis ta‟lim akan mampu membuat kegiatan pendidikan pada majelis ta‟lim berlangsung secara efektif karena ia dapat mengumpulkan banyak orang dalam satu waktu serta banyak digunakan pada masa-masa sebelumnya baik pada lembaga majelis ta‟lim maupun pada madrasah dan pesantren yang ternyata selain mampu melahirkan peserta didik yang memiliki pengetahuan agama Islam dengan baik juga mampu membentuk peserta didik yang selalu konsekuan dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam. Karena itu sangatlah jelas bahwa majelis ta‟lim memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan masyarakat Islam termasuk di Indonesia yang berpengetahuan agama Islam dan benar-benar menjalankan ajaran agama Islam.866 Salah satu ilustrasi yang dikemukakan bahwa upaya dapat memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara benar adalah bahwa salah satu keahlian yang harus dikuasai oleh umat Islam adalah mampu membaca al-Qur‟an. Lalu mungkinkah selama ini kemampuan membaca al-Qur‟an yang dapat dimiliki oleh umat Islam itu karena jasa lembaga-lembaga pendidikan formal atau karena lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal. Secara sederhana majelis ta‟lim dapat dipahami sebagai tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajian agama Islam. Kondisi ini bila dihubungkan dengan realita yang terjadi di tengah masyarakat maka dapat dikatakan bahwa kebanyakan umat Islam di Indonesia mampu membaca al-Quran besik dasarnya dari pengajianpengajian yang mereka ikuti di masyarakat yang diselenggarakan oleh masyarakat baik di rumah-rumah guru ngaji maupun pada masjid-masjid tanpa menafikkan keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam formal atau pesantren. Hal ini memberi ilustrasi bahwa keberadaan majelis ta‟lim sangat berperan dalam upaya membuat kualitas keagamaan bangsa. Ilustrasi lain mungkinkah pembelajaran praktek tentang ibadah dapat seluruhnya dilaksanakan pada lembaga-lembaga pendidikan formal seperti madrasah sementara jam mengajar materi fiqih untuk setiap semester hanya dua jam maka sangat mustahil hal tersebut mampu dilakukan pada madrasah. Palingpaling selama ini dapat dilihat ada praktek tetapi hanya sebagian kecil materi 865 866



Salahuddin Sanusi, Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Dakwah Islam (Semarang: Ramadhani, 1964), h. 112 Hasbullah, op. cit, h. 205



469



ajaran yang dapat dipraktekkan di sekolah karena keterbatasan waktu, itupun paling hanya beberapa orang siswa bukan secara keseluruhan. Untuk itu keberadaan majelis ta‟lim sebagai lembaga pengajian-pengajian ajaran Islam memengang peranan yang urgen sekali dalam upaya peningkatan kualitas keagamaan bangsa sebab banyak prakek pengamalan ajaran agama dipahami oleh umat Islam kebanyakan pada lingkungan masyarakat baik lewat pengajian, ceramah, maupun keteladanan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang agama sementara pada bangku pendidikan formal hanya kebanyakan berbasis pendalaman pengetahuan keagamaan. Patokan tentang hal tersebut dapat dilihat di era para orang tua kita dahulu pengajian agama ramai ada sementara lembaga-lembaga pendidikan Islam formal masih sedikit tetapi masalah kerusakan moral umat Islam ada tetapi mungkin frekuensinya kecil dan tersembunyi sementara sekarang pengajian hanya dilakukan oleh segelintir orang sementara lembaga pendidikan Islam formal telah menjamur dimana-mana tetapi maksiat merajalela dan dilakukan secara terang-terang. Malah hal-hal tersebut dilakukan oleh sebagian generasi muda Islam dianggap sebagai suatu kebanggaan, istilnya tidak hebat kalau tidak mabuk, tidak jantan kalau tidak punya pacar, dan sebagainya serta banyak orang-orang Islam yang terlibat korupsi tetapi dianggap hal yang biasa-biasa saja maupun hal-hal yang lainnya.. Hal tersebut yang memungkinkan banyaknya generasi muda Islam melakukan perilaku menyimpang dari ajaran Islam seperti mabuk-mabukan, pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, malas beribadah, tawuran, menjadi pemakai obat-obat terlarang dan sebagainya lantaran majelis ta‟lim sudah kurang digalakkan di tengah-tengah masyarakat tanpa menafikkan dari kurang berperannya orang tua dalam hal mendidik anak sebab kebanyakan generasi muda Islam rusak bukan di dalam rumahnya tetapi di tengah-tengah lingkungan masyarakat.867 Kenyataan tersebut harus menjadi renungan bagi kita kalangan umat Islam agar jangan sampai majelis ta‟lim yang sudah merupakan salah satu komponen kegiatan pendidikan nasional hanya menjadi simbol semata lebih para lagi kalau mau jujur bahwa banyak sarjana intelektual Islam di Indonesia menjamur di mana-mana tetapi kebanyakan dari mereka malah kembali menjadi bunga di kampungnya sendiri bukan membangun majelis-majelis ta‟lim demi untuk pembinaan kualitas keagamaan umat.



867



Lihat Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Cet. I; Jakarta: CV Misaka Galiza, 2003), h.3



470



Lalu peran apa yang dapat dimainkan oleh majelis ta‟lim sebagai lembaga pendidikan nonformal Islam dalam upaya peningkatan kualitas keagamaan umat Islam di Indonesia. Nurul Huda dkk mengemukakan bahwa peran dari majelis ta‟lim tersebut meliputi; 1. Membina dan mengembangkan ajaran Islam dalam rangka membentuk masyarakat yang bertakwa kepada Allah swt 2. Sebagai taman rekreasi rokhani karena penyelenggaraannya bersifat santai 3. Sebagai ajang berlangsungnya silaturrahmi masal yang dapat menghidupsuburkan dakwah dan ukhuwah Islamiyah 4. Sebagai sarana dialog berkesinambungan antara ulama umarah dengan umat 5. Sebagai media penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan bangsa pada umumnya. 868 Berdasarkan penjelasan Nurul Huda dkk tersebut dapatlah dipahami bahwa bentuk peranan dari majelis dalam pembentukan kualitas keagamaan umat Islam di Indonesia adalah membimbingan dan mengajarkan agama Islam bagi masyarakat, mewujudkan dirinya sebagai taman rekreasi rohani, tempat silaturrahmi sesama umat Islam dalam upaya menyuburkan dakwah dan ukhuwah Islam, tempat berlangsungnya kegiatan dialog berkesinambungan antara ulama dan umarah dengan umat serta sebagai tempat penyampaian ide-ide yang bermanfaat bagi kegiatan pembangunan umat dan bangsa secara umum. Selain itu kegiatan majelis ta‟lim sendiri tidak mengikat, tidak selalu mengambil tempat-tempat ibadah seperti masjid, langgar atau mushallah, tapi juga dapat dilaksanakan di rumah keluarga, balai pertemuan, aula suatu instansi, kantor, hotel dan sebagainya. Pelaksanaannya pun terdapat banyak variasi tergantung kepada pimpinan jama‟ahnya (kiai, ustadz, ulama atau tokoh agama). Bahkan dewasa ini majelis ta‟lim di Indonesia diselenggarakan oleh kelompok masyarakat seperti pejabat negara, golongan profesional, seperti seniman, artis film, maupun masyarakat umum dan sebagainya. 869 Hasbullah mengemukakan bahwa; keberadaan majelis ta‟lim sebagai lembaga pendidikan Islam nonformal dalam rangka pencerdasanan manusia Indonesia khususnya umat Islam tidak dapat diragukan lagi. Sejarah mencatat bahwa dengan sistem pendidikan Islam seperti mejelis ta‟lim hasilnya sangat 868 869



Nurul Huda dkk, op. cit, h. 9 Hasbullah, op. cit, h. 206



471



memuaskan dan bahkan menakjubkan. Ia tetap tumbuh dan berkembang mendidik dan mencerdaskan masyarakat Islam Indonesia menjadi manusiamanusia Indonesia yang beragama, bersatu dan berjiwa kebangsaan.870 Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa peranan yang dapat dilakukan oleh majelis ta‟lim dalam upaya peningkatakan kualitas keagamaan umat Islam di Indonesia meliputi; melaksanakan kegiatan pembinaan dan pengajaran agama Islam bagi kalangan masyarakat, menjadikan dirinya sebagai lembaga tempat rekreasi rohani bagi kalangan warga masyarakat, melangsungkan kegiatan silaturrahmi di antara sesama warga masyarakat dalam upaya mengembangkan kegiatan dakwah dan ukhuwah Islam, mewujudkan dirinya sebagai tempat berlangsungnya kegiatan dialog berkesinambungan antara ulama dan tokoh masyarakat dengan warga masyarakat, serta mewujudkan dirinya sebagai tempat lahirnya ide-ide yang bermanfaat bagi masyarakat dalam upaya kegiatan pembangunan umat dan bangsa secara umum. E.



Rangkuman Majelis ta‟lim adalah lembaga pendidikan nonformal Islam yang diselenggarakan dalam lingkungan masyarakat dengan tujuan membina masyarakat yang menjadi pesertanya menjadi masyarakat yang bertakwa kepada Allah swt. Sejarah perkembangan majelis ta‟lim sebagai lembaga pendidikan nonformal Islam telah berkembang sejak awal sebagai salah satu lembaga penyebaran Islam dilakukan oleh Rasullah saat berada di kota Mekah kemudian menyebar keseluruhan penjuru dunia Islam termasuk di Indonesia serta terus berkembang hingga sekarang ini bahkan di Indonesia majelis ta‟lim sudah merupakan salah satu komponen kegiatan pendidikan nasional Peranan yang dapat dilakukan oleh majelis ta‟lim dalam upaya peningkatakan kualitas keagamaan umat Islam di Indonesia meliputi; membina dan melakukan pengajaran agama Islam bagi masyarakat, mewujudkan dirinya sebagai tempat rekreasi rohani bagi masyarakat, melangsungkan silaturrahmi di kalangan masyarakat dalam upaya mengembangkan dakwah dan ukhuwah Islam, melaksanakan kegiatan dialog berkesinambungan antara ulama dan tokoh masyarakat dengan warga masyarakat, serta menyampaikan ide-ide yang bermanfaat bagi masyarakat dalam upaya kegiatan pembangunan umat bangsa secara umum. 870



Ibid, h. 207



472



BAB XV PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN MEMBACA AL-QUR’AN & PERAN TPQ SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM NON FORMAL A.



Latar Belakang Pemikiran Umat Islam tidak dapat dipisahkan dengan al-Qur‟an dalam kehidupannya karena al-Qur‟an adalah pedoman dalam kehidupan mereka sehingga agar al-Qur‟an bisa dijadikan sebagai pedoman hidup maka mereka harus mampu membaca dan memahami isinya sebab selain sebagai pedoman hidup ternyata ibadah-ibadah dalam Islam juga berhubungan dengan ayat-ayat al-Qur‟an.871 A Mas‟ud Sjafi‟i mengemukakan; Kemampuan membaca al-Qur‟an diartikan sebagai kemampuan dalam melafalkan al-Qur‟an dan membaguskan huruf/kalimat-kalimat alQur‟an satu persatu dengan terang, teratur, perlahan dan tidak terburuburu bercampur aduk, sesuai dengan hukum tajwid. 872 Berdasarkan pendapat A Mas‟ud Sjafi‟i memberikan pemahaman bahwa kemampuan membaca al-Qur‟an adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang setelah belajar al-Qur‟an berupa mampu melafalkan tulisantulisan dalam al-Qur‟an baik secara huruf maupun kalimat-kalimatnya secara terang, teratur dan perlahan sesuai dengan hukum tajwid. Manshur mengemukakan bahwa; Kemampuan baca tulis al-Qur‟an merupakan indikator kualitas kehidupan keagamaan seorang Islam. Oleh karena itu gerakan baca dan tulis al-Qur‟an merupakan langka strategis dalam rangka meningkatkan kualitas umat Islam dan keberhasilan pembangunan di bidang agama Islam.873 Berdasarkan pendapat Manshur tersebut dapatlah dipahami bawa jika ingin membangun umat Islam yang berkualitas dalam menjalankan ajaran agama Islam dengan baik dan benar dalam kehidupan maka salah satu tolak 871 872 873



Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. Bogor; Kencana, 2003), h. 292 A Mas‟ud Sjafi‟i, Pelajaran Tajwid (Bandung: Putra Jaya, 2001), h. 3 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 136



473



ukurnya adalah mengupayakan bagi umat Islam untuk mampu membaca alQur‟an dengan baik dan benar sebab hanya dengan kemampuan tersebutlah mampu membuka jalan untuk mengantarkan mereka menjadi umat Islam yang berkualitas dalam pengamalan ajaran Islam. Zakiah Daradjat dkk mengemukakan bahwa; Orang (anak) Islam mesti belajar membaca al-Qur‟an karena kepandaian membaca al-Qur‟an itu merupakan kebutuhan sehari-hari bagi kehidupan seorang muslim dalam kegiatan pengamalan ajaran agamanya. Setiap shalat (minimal lima kali dalam sehari semalam) mereka wajib membaca (hafal) ayat al-Qur‟an. Walaupun hafalan itu dapat dicapai dengan tidak melalui belajar membaca, namun membaca al-Qur‟an merupakan suatu ilmu (kepandaian) yang berguna dan seharusnya ada pada setiap orang Islam dalam rangka ibadat dan syi‟ar agamanya.874 Berdasarkan pendapat Zakiah Daradjat tersebut memberikan pemahaman bahwa setiap orang Islam dan anak orang Islam sudah menjadi keharusan untuk belajar kepandaian membaca al-Qur‟an sebab kepandaian tersebut merupakan kebutuhan utama bagi setiap orang Islam terkait dengan pengamalan-pengamalan ajaran Islam. Disisi yang lain salah satu lembaga pendidikan yang melaksanakan proses pembelajaran al-Qur‟an terhadap peserta didiknya adalah TPQ. TPQ adalah lembaga pendidikan Islam non formal tingkat dasar yang berada di masyarakat dimana pesertanya secara umum ditunjukkan kepada anak-anak usia taman kanak-kanak, tetapi pada praktiknya sering ditemui anak tingkat pendidikan SD, SLTP bahkan SLTA. Jangkauannya sangat luas dari kota sampai ke pelosok desa. Hampir dapat dipastikan setiap ada langgar atau masjid pasti di sana ada TPQ. Ia berfungsi sebagai pengajaran membaca alQur‟an, doa sehar-hari, menghafal surat-surat pendek, praktek wudhu dan tata cara shalat yang baik dan pengajaran materi-materi dasar ibadah lainya.875 Keberadaan taman pendidikan al-Qur‟an yang berada di lingkungan masyarakat tidak dapat dianggap sebelah mata terkait upaya pembentukan kemampuan membaca al-Qur‟an peserta didik sebab taman pendidikan alQur‟an adalah lembaga pendidikan Islam nonformal untuk anak-anak yang menjadikan peserta didiknya mampu dan gemar membaca al-Qur‟an dengan benar sesuai ilmu tajwid sebagai target pokoknya lalu mendidik peserta didik 874 875



Zakiah Daradjat dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 92 Abd Rahman Assegaf, Pendidikan Islam Integratif, Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 160



474



agar dapat mengerjakan shalat dengan baik, hafal sejumlah surat pendek dan ayat pilihan serta mampu berdoa dan beramal shaleh. 876 Strategi yang dapat diterapkan guru pada TPQ agar santrinya memiliki kemampuan membaca al-Qur‟an yaitu berupa pembelajaran tentang pengenalan huruf hijaiyah, cara membunyikan masing-masing huruf hijaiyah dan sifat-sifat huruf itu, mengajarkan bentuk dan fungsi tanda baca, bentuk dan fungsi tanda berhenti baca (waqaf), melatih siswa membaca secara tadarus sesuai dengan kaidah ilmu tajwid, dan sebagainya.877 Muhaimin yang dikutip oleh Abd Rahman Assegaf mengemukakan bahwa ada lima materi pembelajaran yang dapat diterapkan pada pembelajaran taman pendidikan al-Qur‟an yaitu; membaca al-Qur‟an, doa sehari-hari, hafalan surat pendek, praktik wudhu dan tata cara shalat yang baik.878 Pemaparan di atas memberikan pemahaman bahwa agar santri mampu membaca al-Qur‟an dengan baik dan mampu menerapkan al-Qur‟an dalam kegiatan ibadah sehari-hari maka langkah yang ditempuh guru TPQ dalam melaksanakan kegiatan tilawah al-Qur‟an atau kegiatan belajar membaca alQur‟an meliputi; pengenalan huruf hijaiyah, cara membunyikan masingmasing huruf hijaiyah dan sifat-sifat huruf itu, bentuk dan fungsi tanda berhenti baca (waqaf), melatih santri membaca secara tadarus sesuai dengan kaidah ilmu tajwid, mengajarkan santri doa sehari-hari, hafalan surat pendek, praktik wudhu dan tata cara shalat yang baik. Di sisi lain karena belajar membaca al-Qur‟an bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dimana harus membutuhkan waktu yang banyak serta memerlukan latihan secara berulang-ulang barulah memungkin santri mampu memiliki kemampuan membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar sementara materi pembelajaran baca tulis al-Qur‟an sangat padat sedangkan waktu pengajarannya di TPQ sangat terbatas maka otomatis demi efisiennya proses pembelajaran membaca al-Qur‟an bagi santri maka hal itu alangkah bagusnya dilakukan dengan kerjasama dengan orang tua santri agar anak setelah belajar di TPQ maka mereka bisa melatih kembali setelah pulang di rumahnya dengan pengawasan orang tuanya.879



876 877 878 879



Departemen Agama RI, Peta Taman Pengajian Al-Qur‟an (Jakarta; Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, 1995), h. 11 Zakiah Daradjat dkk,”Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam”, op. cit., h. 91, Lihat Hamdani, Dasar-Dasar Kependidikan (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 141 Abd Rahman Assegaf, op. cit., h. 161 Ibid., h. 142



475



Fakta yang tidak dapat dielakkan di zaman sekarang kondisi kehidupan keluarga sekarang jauh berbeda dengan kehidupan keluarga di masa lalu. Dimasa lalu ukuran status keluarga adalah kesalehan tetapi pada zaman sekarang orang tua pada umumnya memandang status keluarga yang tinggi adalah kepemilikan harta. Sekarang budaya materil atau budaya kering nilai agama telah menggeser budaya spiritual. Banyak indikator yang menunjukkan bahwa pergeseran nilai itu telah terjadi dalam keluarga. Misalnya anak-anak sekarang lebih senang mendengarkan lagu-lagu pop Indonesia, atau lagu-lagu percintaan yang sarat pesan-pesan keduniaan daripada mendengar nyanyian yang berisikan pujian-pujian kepada Tuhan.880 Tradisi keluarga di masa lalu lebih kental dengan nuansa keagamaan. Kebiasaan membaca Qur‟an setelah magrib sering terdengar di dalam rumah. Tadarus merupakan bagian kehidupan warga masyarakat. Mendengar ceramah agama, mengunjungi tabligh akbar, menghadiri MTQ adalah kegemaran mereka walaupun harus berjalan kaki. Kegemaran tersebut kini sudah jauh berkurang. Kini kegemaran tersebut kalah bersaing dengan kegiatan konser musik AFI menuju bintang, pagelaran dangdut goyang ngebor dan pagelaranpagelaran dangdut lainnya di Indonesia. Kehidupan keluarga sekarang pada umumnya lebih banyak terpedaya oleh tipu daya duniawi. Mengaku beragama Islam, tetapi tidak atau kurang pandai membaca al-Qur‟an. Memiliki alQur‟an bukannya dibaca tetapi hanya dijadikan pajangan. Bahkan al-Qur‟an itu berdebu karena lama tersimpan, tak pernah dibaca. Inilah potret keluarga yang miskin tradisi keagamaan.881 Dengan demikian penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa guru TPQ harus punya strategi yang jitu dalam mengupayakan anak-anak dapat membaca dan mempunyai minat belajar membaca al-Qur‟an dan mau menjalankan ibadah sehari-hari dalam kehidupan dimana langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain menerapkan pembelajaran yang baik dan maksimal dalam membaca al-Qur‟an di TPQ seperti; pengenalan huruf hijaiyah, cara membunyikan huruf hijaiyah dan sifat-sifat huruf itu, mengenalkan bentuk dan fungsi tanda berhenti baca (waqaf), melatih membaca secara tadarus sesuai kaidah ilmu tajwid, mengajarkan doa seharihari, hafalan surat pendek, praktik wudhu dan tata cara shalat yang baik sementara pada sisi lain yang dilakukan adalah bekerja sama dengan orang tua terkait kegiatan santri di TPQ dan pengawasan perilaku keagamaan santri, 880 881



Syaiful Bahri Djamarah, Pola Kumunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga, Sebuah Prespektif Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 22 Ibid., h. 23



476



mendatangi orang tua dan memotivasi mereka untuk mengikutkan anaknya mengikuti kegiatan belajar tulis al-Qur‟an lewat pemberian pemahaman yang benar akan pentingnya kemampuan membaca al-Qur‟an dalam kehidupan serta bersama masyarakat bekerjasama dalam pengontrolan perilaku keberagamaan santri dalam lingkungan. Bila hal ini mampu dilakukan maka otomatis santri akan berlomba-lomba mengikuti kegiatan belajar membaca alQur‟an pada TPQ dan meramaikan masjid dalam kegiatan ibadah shalat berjama‟ah seperti fakta yang ada sekarang masjid pada saat shalat berjama‟ah hanya diisi oleh sedikit orang dan kalangan-kalangan tertentu saja pada waktu-waktu shalat berjama‟ah. Sehubungan dengan uraian di atas tentang begitu vitalnya peran pembelajaran membaca al-Qur‟an bagi umat Islam dan begitu vitalnya peran TPQ dalam mengatasi buta aksara al-Qur‟an bagi anak di usia pra sekolah dan melatih mereka dalam pengamalan ibadah wajib maka dalam bab ini diulas topik kajian yaitu problematika pembelajaran membaca al-Qur‟an dan peran TPQ sebagai lembaga pendidikan Islam non formal, demi mengetahui secara jelas tentang persoalan pembelajaran membaca al-Qur‟an dan peran penting TPQ dalam melaksanakan proses pendidikan Islam di Lingkungan Masyarakat. B.



Pengertian Pembelajaran Membaca al-Qur’an Istilah “pembelajaran membaca al-Qur‟an” terdiri dari tiga suku kata yaitu; pembelajaran, membaca dan al-Qur‟an. Pembelajaran secara bahasa berarti; proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar.882 Pembelajaran secara istilah berarti; upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.883 Membaca secara bahasa berarti; “melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis atau mengeja atau melafalkan apa yang tertulis.884 Membaca secara istilah berarti; mengenali dan memahami isi sesuatu yang tertulis (lambang-lambang tertulis) dengan melafalkan atau mencernanya dalam hati. Membaca hakikatnya adalah proses komunikasi antara pembaca dan penulis melalui teks yang ditulisnya, maka secara langsung di dalamnya ada hubungan kognitif antara bahasa lisan dengan bahasa tulisan.885



882 883 884 885



Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h.15 HD Sudjana S, Strategi Pembelajaran (Cet. IV; Bandung: Falah Production, 2005), h. 6 Departemen P & K, op. cit., h. 72 Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab (Cet. IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 143



477



Al-Qur‟an secara makna bahasa berarti; bacaan atau yang dibaca. AlQur‟an adalah mashdar yang diartikan dengan arti isim maf‟ul yaitu maqru artinya yang dibaca. Menurut ahli agama al-Qur‟an adalah nama bagi kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad yang ditulis dalam mushaf.886 Berdasarkan penjelasan-penjelasan pengertian di atas tentang istilah “pembelajaran membaca al-Qur‟an” dapatlah dipahami pembelajaran membaca al-Qur‟an adalah upaya pendidikan untuk menjadikan peserta didik agar mereka dapat melihat, memahami, melafalkan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sehubungan dengan makna istilah pembelajaran membaca al-Qur‟an tersebut A Mas‟ud Sjafi‟i mengemukakan; Kemampuan membaca al-Qur‟an diartikan sebagai kemampuan dalam melafalkan al-Qur‟an dan membaguskan huruf/kalimat-kalimat alQur‟an satu persatu dengan terang, teratur, perlahan dan tidak terburuburu bercampur aduk, sesuai dengan hukum tajwid. 887 Berdasarkan pendapat A Mas‟ud Sjafi‟i dihubungkan dengan pengertian istilah pembelajaran membaca al-Qur‟an dapatlah bahwa pembelajaran membaca al-Qur‟an adalah upaya membantu seseorang peserta didik agar setelah proses pembelajaran peserta didik mampu memiliki kemampuan melafalkan tulisan-tulisan dalam al-Qur‟an baik secara huruf maupun kalimatkalimatnya secara terang, teratur dan perlahan sesuai dengan hukum tajwid. Deden Makbuloh mengutip pendapat al-Zarqani yang mengatakan; Secara lughawi (bahasa) al-Qur‟an dari kata Qara‟a yang berarti membaca, sesuatu yang di baca. Membaca yang dimaksud adalah membaca huruf-huruf dan kata-kata antara satu dengan yang lain. 888 Berdasarkan pendapat al-Zarqani yang dikutip oleh Deden Makbuloh tersebut dihubungkan dengan pengertian istilah pembelajaran membaca alQur‟an dapatlah dipahami bahwa pembelajaran membaca al-Qur‟an adalah upaya pendidik menuntun peserta didik agar mampu membaca bacaan-bacaan yang ada dalam al-Qur‟an baik secara huruf, kata ataupun rangkaiannya. Lebih lanjut Deden Makbulah sendiri mengemukakan bahwa; Membaca dalam pengertian qara‟ adalah khusus ditujukan pada alQur‟an sebagai teks seperti yang dapat kita saksikan. Al-qur‟an sebagai 886 887 888



TM Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir (Cet. VI; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2014), h. 1 A Mas‟ud Sjafi‟i, op. cit., h. 3 Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam, Arah Baru Pengembangan Ilmu di Perguruan Tinggi (Cet. II; Jakarta: Rajawali 2012), h. 156



478



teks sebenarnya merupakan kumpulan dari teks-teks kitab sebelumnya yang sudah disempurnakan. Oleh karena itu, kata qara‟a dapat pula diartikan menghimpun. Al-Qur‟an menghimpun segala kitab sebelumnya, juga menghimpun segala ilmu pengetahuan. 889 Berdasarkan pendapat Deden Makbulah tersebut dihubungkan dengan pengertian istilah pembelajaran membaca al-Qur‟an dapatlah dipahami bahwa pembelajaran membaca al-Qur‟an adalah upaya pendidik untuk mendidik peserta didik sehingga mampu membaca teks-teks dalam kitab suci al-Qur‟an. M Quraish Shihab mengemukakan bahwa; Falsafah dasar iqra adalah surat pertama yang turun pada nabi Muhammad saw. Iqra (perintah membaca yang berakar kata qara‟a diartikan membaca, meneliti, menghimpun dan menyampaikan baik teks tertulis maupun ayat-ayat yang tidak tertulis. Jadi perintah membaca dalam konteks surat al-Alaq ayat 1-5 adalah perintah menelaah ayat al-Qur‟an, alam raya, diri sendiri, masyarakat, majalah, koran dan buku-buku lainnya.890 Berdasarkan pendapat M Quraish Shihab tersebut dihubungkan dengan pengertian istilah pembelajaran membaca al-Qur‟an dapatlah dipahami bahwa pembelajaran membaca al-Qur‟an adalah upaya pendidik untuk mendidik peserta didik sehingga mampu membaca, menguasai, memahami dan menyampaikan kepada orang lain baik teks-teks yang ada dalam kitab suci alQur‟an maupun tek-teks yang ada dalam jaga raya termasuk yang bersumber dari hasil produk manusia. Pemahaman pembelajaran membaca bentuk ini cakupan cukup luas sekali karena tidak hanya berfokus pada bacaan-bacaan yang ada dalam kitab suci al-Qur‟an tetapi lebih luas lagi yaitu pendalaman isi al-Qur‟an termasuk pemahaman terhadap segala yang dalam kehidupan jagad raya. Pembelajaran membaca al-Qur‟an menurut pemikiran M Quraish tersebut tidak semua orang mampu untuk melakukannya dan hanya akan mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu yang sudah menguasai bukan cuma bacaan al-Qur‟an tetapi juga menguasai kandungan isi al-Qur‟an, bahasa Arab, ilmu tafsir, hadits dan berbagai ilmu-ilmu agama Islam yang lain sehingga konteks pembelajaran membaca al-Qur‟an dalam konteks ini tidak bukan berlaku bagi orang yang baru belajar membaca al-Qur‟an.



889 890



Ibid. M Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an; Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1993), h. 168



479



Konteks pembelajaran membaca al-Qur‟an yang dimaksudkan dalam kajian ini berlaku pada konteks belajar membaca teks al-Qur‟an. Bila di lihat dari esensi keberadaan TPQ (taman pendidikan al-Qur‟an atau taman pengajian al-Quran (TPA) di Indonesia oleh kementerian agama RI yaitu; merupakan bagian dari pusat pendidikan Islam yang berkembang pesat, sebagaimana dijelaskan dalam peta taman pengajian al-Qur‟an yang diterbitkan oleh Ditjen Keagamaan Tahun 1995, dikemukakan bahwa taman pengajian al-Qur‟an atau taman pendidikan al-Qur‟an adalah lembaga pendidikan Islam non formal untuk anak-anak yang menjadikan peserta didiknya mampu dan gemar membaca al-Qur‟an dengan benar sesuai ilmu tajwid sebagai target pokoknya dapat mengerjakan shalat dengan baik, hafal sejumlah surat pendek dan ayat pilihan serta mampu berdoa dan beramal shaleh. 891 Jadi bila di lihat dari konsep awalnya dirintis taman pengajian alQur‟an atau taman pendidikan al-Qur‟an di Indonesia oleh Kementerian agama RI tahun 1995 dapatlah dipahami bahwa pembelajaran membaca alQur‟an adalah upaya pendidik untuk membina atau mendidik peserta didiknya agar mampu membaca teks-teks yang ada dalam al-Qur‟an sesuai hukum tajwid sebagai target utamanya serta ditambahkan materi-materi tentang mengerjakan shalat dengan baik, hafalan sejumlah surat pendek dan ayat pilihan serta materi berdoa dan beramal shaleh sedangkan pembelajaran membaca al-Qur‟an yang dimaksudkan oleh M Quraish Shihab adalah pembelajaran membaca al-Qur‟an untuk mencetak kader-kader ulama. Dengan demikian berdesakan penjelasan-penjelasan tersebut dapatlah dipahami pembelajaran membaca al-Qur‟an dalam konteks pelajar, anak atau santri adalah upaya pendidikan untuk menjadikan peserta didik agar dapat melihat, memahami dan melafalkan teks-teks yang ada dalam kitab suci alQur‟an sesuai hukum tajwid serta menuntun peserta didik dapat mengerjakan shalat dengan baik, hafal sejumlah surat pendek dan ayat pilihan serta mampu berdoa dan beramal shaleh. C.



Tujuan Pembelajaran Membaca al-Qur’an Adapun tujuan pembelajaran membaca al-Qur‟an untuk lingkup siswa atau santri yaitu; 1. Agar peserta didik meyakini dan menghormati al-Qur‟an sebagai kitab suci 891



Hamdani, op. cit., h. 140.



480



2. 3. 4. 5.



Agar peserta didik terbiasa dan gemar membaca al-Qur‟an (tadarus) dengan fasih menurut kaidah ilmu tajwid Agar peserta didik mudah menghafal sejumlah doa, surat pendek dan ayat-ayat pilihan Agar peserta didik terbiasa dan mudah mengerjakan shalat Agar peserta didik mudah dan terbiasa mengerjakan amal shaleh. 892



Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa tujuan pembelajaran al-Qur‟an meliputi; mendidik peserta didik agar meyakini dan menghormati al-Qur‟an sebagai kitab suci, mendidik peserta didik agar mampu dan terbiasa membaca al-Qur‟an sesuai ilmu tajwid, mendidik peserta didik agar mampu menghafal doa-doa, surat-surat pendek dan ayat-ayat pilihan, mendidik peserta didik agar mampu mengerjakan shalat dengan baik, dan mendidik peserta didik agar terbiasa mengerjakan amal shaleh. D.



Fungsi Pembelajaran Membaca al-Qur’an. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah swt melalui perantaraan malaikat Jibril as, kepada manusia pilihannya yakni Rasullah Muhammad saw. Agama Islam merupakan agama tauhid yang diturunkan untuk menyempurnakan agama sebelumnya yang telah banyak dari para penganutnya atau pemeluknya yang melakukan penyelewengan. Setiap agama yang diturunkan di muka bumi tentu ada landasan hukum sebagai tempat pijakan bagi para pemeluknya dalam upaya menjalankan ajaran agama yang diturunkan tersebut. Bukankah setiap usaha atau kegiatan yang dilakukan dalam upaya mencapai tujuan jelas mempunyai landasan tempat pijakan yang baik dan kuat. Oleh karena itu agama Islam sebagai agama Allah yang telah diturunkan di muka tentu dalam kegiatan pengajarannya bagi umat manusia jelas juga mempunyai landasan dalam pelaksanaannya.



892



Ibid., h. 141



481



Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2); 2-4 sebagai berikut;



 



         



                    Terjemahnya; Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.893 Berdasarkan firman Allah di atas dapat dipahami bahwa salah satu sumber pedoman pelaksanaan ajaran Islam bagi umat Islam dalam menjalankan aktivitas kehidupannya sehingga mampu mencapai derajat takwa yaitu mampu menjalankan segala perintah dari Allah swt dan meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah adalah tiada lain lewat kitab suci al-Qur‟an. Selanjutnya dalam ayat tersebut memberikan penegasan bahwa bagi umat manusia dalam menjadikan al-Qur‟an sebagai ajaran tidak perlu ragu karena memang ia merupakan salah satu pedoman dan bahkan merupakan sumber pertama dalam pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan. Ibnu Katsir mengatakan bahwa ajaran Islam yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah ayat dua adalah bahwa kitab al-Qur‟an adalah petunjuk yang tidak perlu ada keraguan-raguan padanya karena memang al-Qur‟an benarbenar diturunkan dari sisi Allah dan sebagian ahli mengatakan bahwa ayat tersebut merupakan berita yang berupa larangan yang artinya larangan meragukan al-Qur‟an. al-Qur‟an memang memiliki sifat sebagai petunjuk hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa. al-Muttaqin bisa berarti cahaya bagi orang yang bertakwa. Al-Muttaqin juga bermakna orang-



893



Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2002, h.2



482



orang mukmin yang sangat takut berbuat syirik kepada Allah dan senantiasa berbuat taat kepadanya.894 Ibnu Abbas mengatakan al-mutaqqin juga bermakna orang yang senantiasa menghindari siksaan Allah swt dengan tidak meninggalkan petunjuk yang diketahuinya dan mengharapkan rahmatnya dalam mempercayai apa yang terkandung di dalam petunjuk tersebut. Al-Hasan alBisri mengatakan bahwa firman Allah swt (lilmuttaqin) bermakna mereka yang benar-benar takut mengerjakan apa yang telah diharamkan oleh Allah swt serta menunaikan apa yang diwajibkan kepada mereka. Qatadah mengatakan bahwa al-muttaqin adalah mereka yang disifati Allah swt dalam firmannya; yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki Allah yang telah dianugerahkan kepada mereka. Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat tersebut mencakup kesemuanya dan itulah yang benar.895 Untuk itu sangat jelas sekali dari pemaparan di atas memberikan pemahaman bahwa al-Qur‟an menjadi petunjuk atau pedoman bagi umat Islam dalam aktivitas kehidupan di dunia tetapi keberfungsiannya sebagai pedoman atau petunjuk dapat terwujud, itu kembali pada diri umat Islam sendiri dimana sejaumana mereka mau mempelajari dan memahami kitab suci al-Qur‟an sebagai pedoman pelaksanaan ajaran Islam lalu mengamalkannya dalam kehidupan. Selain itu al-Qur‟an dapat berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan seseorang muslim bila ia tidak ragu akan kebenaran yang ada dalam kitab suci al-Qur‟an dan segala yang terkait dengannya serta ia tetap konsisten dalam menjalankan segala aturan yang ada di dalam al-Qur‟an maupun segala hal yang terkait dengannya. Memang Al-Qur‟an adalah merupakan firman Allah yang disampaikan kepada Rasulullah Muhammad saw melalui perantaraan malaikat jibril sebagai hujjah bagi Rasulullah Muhammad saw bahwa ia benar-benar Rasul Allah dan menjadi undang-undang atau pedoman dan sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah bagi umat Islam dalam melaksanakan aktivitas kehidupan di dunia sehingga terwujud kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat, serta ia merupakan sumber pertama pelaksanaan ajaran Islam. 896 Hal ini menunjukkan bahwa agar umat Islam dapat menjadikannya alQur‟an secara benar sebagai pedoman utama dalam kehidupan maka umat 894 895 896



Al-Hafiz Abi al-Fida‟ Islamil bin Umar bin Katsir al-Quraisyi ad-Dimasyiqiy, Tafsir alQur‟anil Azhim (Cet. I; Beirut Libanon: Dar Ibn Hazm, 2000M), h. 86-87 Ibid., h. 87 H Abuddin Nata, op. cit., h. 292-293



483



Islam harus mempelajari dan memahami al-Qur‟an dengan baik-baiknya sebab hanya dengan demikian barulah mereka dapat memfungsikan al-Qur‟an sebagai pedoman kehidupan mereka terlebih lagi bagi umat Islam Indonesia dimana al-Qur‟an berbahasa Arab maka untuk bisa mempelajarinya tentu harus mampu membaca tulisannya dengan baik barulah bisa memahami isinya dengan baik. Esensi utama dari kegiatan pembelajaran membaca Qur‟an bagi para santri atau anak dalam Islam adalah agar tidak terjadi kemerosotan agama dan generasi Qur‟ani. Kemampuan membaca al-Qur‟an merupakan indikator kualitas kehidupan beragama seorang muslim. Oleh karena itu gerakan membaca al-Qur‟an merupakan langkah strategis meningkatkan kualitas umat khususnya umat Islam dan keberhasilan pembangunan di bidang agama. AlQur‟an merupakan wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada umatnya sebagai petunjuk manusia untuk petunjuk kehidupan dunia dan akhirat. Al-Qur‟an mengarahkan manusia pada jalan yang benar dan lurus sehingga bisa mencapai kesempurnaan manusiawi yang merealisasikan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.897 Al-Qur‟an merupakan kebutuhan sehari-hari bagi kehidupan seorang muslim. Setiap shalat (minimal 5 kali dalam sehari semalam mereka wajib membaca (hafal) ayat al-Qur‟an. Walaupun hafalan itu dapat diperoleh dengan tidak melalui belajar membaca, namun membaca al-Qur‟an merupakan suatu ilmu atau kepandaian yang berguna dan seharusnya ada pada setiap orang Islam dalam rangka ibadah dan syiar agamanya. ini pulalah yang mendorong orang Islam berlomba-lomba mempelajari al-Qur‟an itu dengan baik.898 Rasulullah saw bersabda;



َّ َ ُ ُ ‫َ أ ُ أ َ َ َ َ َّ ُ َ أ ُ َ أ َّ ِّ َ َّ َّ ُ َ َ أ َ َ َّ َ َ َ َ أ‬ ًَ ‫ْيك أً ٌَ أَ ت َعي‬ ‫عَ عثٍان ر ِِض اَّلل عِّ عَ انل ِِب صَّل اَّلل عيي ِّ وسيً كال خ‬ ُ َّ َ ُ ‫أ‬ ٍَّ ‫اىل أرآن َو َعي‬



897 898



Mansur, “Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam”, op. cit, h. 136 Zakiah Daradjat dkk, ”Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam”, op. cit, h. 92



484



Artinya; Dari Utsman ra dari Nabi Saw, beliau bersabda; "Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al Qur`an dan mengajarkannya."899 Hadis di atas memberikan penegasan kepada orang-orang yang ahli baca al-Qur‟an atau telah mempelajari al-Qur‟an bahwa orang yang dianggap sempurna atau terbaik dari ahli membaca atau mempelajari al-Qur‟an adalah orang-orang yang telah mempelajari bacaan al-Qur‟an dengan sebaik-baiknya lalu mengamalkannya dalam kehidupan. Membaca atau mempelajari disini adalah mempelajari bacaan al-Qur‟an, mempelajari kandungan syari‟at, dasardasar dan cabang-cabangnya syari‟at yang terkait dengannya dan mengamalkannya dalam kehidupan. Hadis tersebut juga memberikan penegasan bahwa kesempurnaan dalam mempelajari al-Qur‟an itu bila apa yang sudah dipelajari atau dibaca itu baik dari al-Qur‟an maupun yang terkait dengannya lalu diamalkan dalam kehidupan untuk kesempurnaan diri dan kesempurnaan itu akan lengkap atau sempurna bila ia juga mampu mengajarkannya atau memberikan kesempurnaan kepada orang lain. Itulah yang dikatakan sebagai orang beriman secara benar yaitu mempelajari atau membaca al-Qur‟an demi kebutuhan menjalankan syari‟at untuk dirinya dan juga hal itu dilakukan kepada orang lain. Iman yang baik dalam Islam adalah mempelajari sesuatu dari Islam kemudian diamalkan, lalu hal itu juga diajarkan pula kepada orang lain. Orang terbaik dalam Islam adalah Rasulullah, kemudian orang yang mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah dan orang menyerupai apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Imam As-Satibi mengemukakan bahwa; sebaik-baik manusia dari aspek tinjaun belajar dan mengajar adalah orang yang mempelajari al-Qur‟an dan mengajarkannya.900 Penjelasan tentang hadist tersebut juga memberikan petunjuk bahwa mempelajari al-Qur‟an merupakan hal yang wajib bagi setiap orang Islam sebab hanya dengan adanya kemampuan pemahaman terhadap al-Qur‟an akan memudahkan memahami ajaran Islam yang ada dalam al-Qur‟an dan segala hal yang terkait dengannya sebab mana mungkin seorang dapat memahami Islam dengan baik kalau tidak memahami isi al-Qur‟an dengan baik dan segala yang terkait dengannya dimana misalnya seseorang belajar shalat 899



900



Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy al-Ja‟fiy, Shahih Bukhari, Jilid VI, Kitab al-Fadhailul Qur‟an, bab Hairukum man Tallamlul Qur‟ana wa allamahu (Cet. I; Damakus: Dar Tukun Najah, 1422H), h. 192 Abu Abdullah Al-Nu‟man al-Atsariy, Aunul Ma‟bud Ala Syarhi Sunan Abi Dawud (Cet. I; Beirut; Dar Ibnu Hazm, 2005), h. 408



485



hanya pada al-Qur‟an maka hal itu tidak akan sempurna sebab ternyata shalat hanya digambarkan secara umum dalam al-Qur‟an maka untuk kesempurnaan akan pemahaman dan pengamalan shalat tentu harus juga mempelajari hadis karena aturan-aturan tentang shalat banyak dijelaskan dalam hadis dimana hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya dengan mempelajari al-Qur‟an mampu membuat seorang muslim mempelajari Islam secara lengkap. Selain itu ternyata penjelasan hadits tersebut juga memberikan pemahaman adanya anjuran untuk mempelajari al-Qur‟an dengan sebenarbenarnya baik secara tulisan, kandungan-kandungan hukum syari‟at yang ada di dalamnya dan segala aturan syari‟at yang terkait dengannya serta mengamalkannya dalam kehidupan, kemudian apa yang sudah dipelajari dan diamalkan dari mempelajari al-Qur‟an itu juga diajarkan kepada orang lain sebagaimana Rasullah yang menerima wahyu al-Qur‟an, mempelajarinya dan mengamalkan aturan-aturan syari‟atnya, kemudian mengajarnya juga hal tersebut kepada orang umat Islam dimana hal itu merupakan salah satu bentuk wujud kesempurnaan iman seseorang dalam kehidupan sebagaimana kesempurnaan iman yang sudah ditunjukkan Rasulullah saw kepada umat Islam. Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut tentang fungsi pembelajaran membaca al-Qur‟an dapatlah dipahami bahwa fungsi pembelajaran membaca al-Qur‟an secara umum bagi umat Islam adalah memudahkan untuk memahami bacaan tulisan al-Qur‟an, memahami kandungan ajaran Islam yang terkandung di dalam al-Qur‟an dan segala hal yang terkait dengannya serta mempermudah dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam dengan sebab dengan belajar al-Qur‟an secara benar maka hal itu sama saja dengan telah mempelajari Islam secara keseluruhan dimana kesempurnaan ajaran Islam yang dipelajari dalam al-Qur‟an bisa dicapai jika juga mempelajari aturan-aturan ajaran Islam dalam hadist lantaran terkadang penjelasan tentang ajaran Islam masih bersifat umum dalam alQur‟an dan kesempurnaan penjelasannya baru dapat diperoleh bila ditopang dengan mempelajari hadist dengan baik bahkan secara praktek ibadah-ibadah wajib dalam Islam ternyata banyak bersentuhan dengan bacaan-bacaan ayatayat yang terdapat dalam al-Qur‟an sedangkan fungsi pembelajaran membaca al-Qur‟an bagi santri di TPQ atau anak dalam Islam adalah agar mampu membuat mereka mampu membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar serta memudahkan mereka mengamalkan materi-materi ibadah wajib dalam kehidupan sehari-hari.



486



E.



Materi Pembelajaran Membaca al-Qur’an Adapun materi-materi yang diajarkan dalam pembelajaran membaca alQur‟an yaitu; 1. Pengenalan huruf hijaiyah, yaitu huruf Arab mulai dari alif sampai dengan ya 2. Cara membunyikan masing-masing huruf hijaiyah dan sifat-sifat huruf itu 3. Bentuk dan fungsi tanda baca seperti syakal, syaddah, tanda panjang (maad), tanwin dan sebagainya. 4. Bentuk dan fungsi tanda berhenti baca (waqaf), seperti waqaf mutlak, waqaf jawaz dan sebagainya 5. Cara membaca, melagukan dengan bermacam-macam irama dan bermacam-macam qiraat yang di muat dalam ilmu qiraat dan ilmu nagham 6. Adabut tilawah, yang berisi tata cara dan etika membaca al-Qur‟an sesuai dengan fungsi bacaan itu sebagai ibadah. 901 7. Materi hafalan berupa doa harian dan bacaan shalat 8. Materi hafalan surat-surat pendek dan ayat-ayat pilihan. 9. Materi menyangkut isi al-Qur‟an yang meliputi; materi akidah, syari‟ah, akhlak, sejarah dan lainnya dengan pertimbangan bagi anak atau santri kegiatan yang dilakukan tidak membebani mereka dimana bimbingan yang menyangkut isi serta nilai-nilai ajaran Islam ditempuh dengan pendekatan yang praktis dengan menekankan aspek penghayatan dan pengamalan melalui kemasan-kemasan yang menarik untuk diikuti anak.902 Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa materi-materi terkait kegiatan pembelajaran al-Qur‟an meliputi; pengenalan huruf hijaiyah dan cara membunyikan huruf hijaiyah, pengenalan bentuk dan tanda-tanda baca al-Qur‟an, pengenalan teknik membaca al-Qur‟an dengan berirama sesuai dengan macam-macam irama dan qiraat yang ada dalam ilmu qira‟at serta nagham, pengenalan tentang tata cara dan etika membaca alQur‟an sebagai bagian dari kegiatan ibadah, menghafal doa-doa harian dan bacaan-bacaan dalam shalat, menghafal surat-surat pendek dan ayat-ayat pilihan dan pengajaran terkait materi isi al-Qur‟an seperti materi ibadah, akidah, akhlak, sejarah dan segala hal yang terkait dengannya akan tetapi bagi 901 902



Zakiah Daradjat dkk, ”Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam”, op. cit.,h. 91 Hamdani, op.cit., h. 142



487



anak atau santri pola pembelajaran isi al-Qur‟an penerapannya harus secara prakris serta disesuaikan dengan kondisi, potensi dan keadaan mereka. Peran Orang Tua Dalam Pembelajaran Membaca al-Qur’an Anak Perkembangan kepribadian seorang anak bukanlah merupakan suatu hal yang terjadi dengan sendirinya. Sebagaimana halnya dengan tanaman maka anak agar bisa berkembang dengan baik diperlukan pembinaan dan pemeliharaan. Pembinaan dan pemeliharaan anak bukanlah pekerjaan yang mudah tetapi memerlukan kerja keras dari kedua orang tuanya sehingga bisa tumbuh dari kecil menuju kedewasaan dengan baik. Untuk bisa mewujudkan tercapainya pertumbuhan anak dari kecil menunju kedewasaan dengan baik maka orang tua harus mampu menyediakan segala sesuatu yang terkait dengan pertumbuhan seorang anak baik yang sifatnya terkait dengan jasmani anak maupun yang terkait rohani anak. 903 Setiap anak yang terlahir ke dunia tidak terlahir atas kemauannya sendiri. Proses kelahiran seorang anak ke dunia merupakan hasil benih buah cinta yang terjadi lantaran adanya perkawinan oleh kedua orang tuanya. Kelahiran seorang anak merupakan dambaan dari setiap orang tua agar nantinya anak tersebut akan menjadi pewaris garis keturunan kedua orang tuanya. Untuk itu, agar anak yang dilahirkan tersebut dapat memenuhi harapan dari kedua orang tuanya maka sudah sewajarnya kedua orang tua harus mengurus dan membimbing anak tersebut dengan sebaik-baiknya. Kemampuan orang tua berkomunikasi dengan anak pada saat semenjak anak masih kecil hingga perkembangan selanjutnya sudah barang tentu akan memudahkan orang tua untuk proses pembimbingan dan perawatan terhadap anak sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang menuju kedewasaan dengan baik. Anak dalam sudut pandang Islam adalah karunia sekaligus amanah Allah yang diberikan kepada orang tua. Sebagai karunia kelahiran anak harus diyakini sebagai nikmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia. Sebagai amanah, orang tua mempunyai tanggung jawab memelihara amanah itu. Bukti syukur dan tanggung jawab orang tua terhadap anak itu diwujudkan dalam perlakukan baik, kasih sayang, pemeliharaan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, kebutuhan batiniah dan spiritual. 904 F.



903 904



Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan (Cet. I; Surabaya: Karya Abditama, 1994), h. 25 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. I; jakarta: logos, 2001), h. 27



488



Orang tua sebagai pendidik di rumah harus meningkatkan perhatiannya terhadap anak-anaknya dengan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, menunjukkan keteladanan, dan pembiasaan yang baik. Orang tua juga harus berupaya menciptakan rumah tangga yang harmonis, aman, tenang dan tenteram sehingga si anak merasa tenang jiwanya dan dengan mudah dapat diarahkan ke pada hal-hal yang positif. Pembinaan di rumah harus dilakukan dari anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan sebab setiap anak yang lahir belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tau batas-batas dan ketentuan Islam yang berlaku dalam lingkungannya. Pembinaan sewajarnya harus bertahap melalui pembiasaan dan keteladanan.905 Upaya pembentukan kepribadian anak dalam sudut pandang pendidikan Islam melalui tanggung jawab orang tua meliputi; 1. Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari tanggung jawab setiap orang tua dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia 2. Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan yang menyimpang dari tujuan hidup sesuai dengan falsafah hidup dan agama yang dianut. 3. Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya. 4. Membahagiakan anak baik kehidupan di dunia maupun di akhirat sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim. 906 Berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa tanggung jawab orang tua tersebut meliputi; mengurus dan memelihara anak, melindungi anak dari hal-hal yang dapat mencelakakan anak baik secara fisik maupun maupun non fisik, membuat anak nantinya dapat memperoleh kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Untuk itu orang tua sebagai pendidik di rumah dan memiliki tanggung jawab utama dalam mendidik anak agar anak dapat tumbuh dengan kepribadian Islam harus mampu memenej waktu dan kesempatan untuk pembinaan anak agar dapat berdiri sendiri dengan kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam.



905 906



Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 2004),h.66 Ibid, h. 38



489



Erat kaitannya dengan betapa pentingnya peran orang tua dalam upaya menumbuhkan kepribadian yang Islam pada diri anaknya maka terkait dengan pembelajaran membaca al-Qur‟an terhadap anak maka sudah seharusnya orang tua memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengupayakan pembelajaran membaca al-Qur‟an terhadap anaknya sebab bagaimana mungkin orang tua menginginkan anaknya dapat membaca al-Qur‟an dengan baik kalau anak sendiri tidak pernah dibimbing untuk belajar al-Qur‟an atau mengarahkan untuk belajar membaca al-Qur‟an kepada orang-orang yang mampu mengajarkannya. Dengan anak memiliki kemampuan membaca alQur‟an maka hal itu akan memudahkannya untuk mempelajari materi-materi ajaran Islam dan memudahkannya dalam pengamalannya dimana hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh zakiah Daradjat dkk bahwa; anak Islam mesti belajar membaca al-Qur‟an karena kepandaian membaca alQur‟an merupakan kebutuhan sehari-hari bagi kehidupan seorang muslim dalam kegiatan pengamalan ajaran agamanya. 907 Al-Gazali yang dikutip oleh Nur Ubiyati mengemukakan; Anak adalah amanah Allah dan harus dijaga dan didik untuk mencapai keutamaan dalam hidup dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Semua bayi yang dilahirkan ke dunia ini, bagaikan sebuah mutiara yang belum diukir dan belum berbentuk tapi amat bernilai tinggi. Maka kedua orang tuanyalah yang akan mengukir dan membentuknya menjadi mutiara yang berkualitas tinggi dan di senangi semua orang. 908 Berdasarkan pendapat al-Gazali tersebut hubungannya dengan tanggung jawab orang tua dalam upaya orang tua mewujudkan anaknya mempunyai kemampuan membaca al-Qur‟an dapatlah dipahami bahwa orang tua tidak akan mungkin hanya dengan berharap atau punya angan-angan agar anaknya bisa memiliki kemampuan membaca al-Qur‟an lalu anaknya bisa secara otomatis mampu memiliki kemampuan membaca al-Qur‟an akan tetapi kemampuan itu bisa muncul kalau orang tua sendiri sebagai pemegang amanah dari Allah mengupayakan kepada anak untuk belajar membaca alQur‟an barulah harapan orang itu bisa terwujud. Itupun kalau misalkan orang tua menyuruh anak belajar membaca al-Qur‟an pada orang lain maka proses itupun tidak akan bisa berjalan dengan baik kalau tanpa adanya dukungan baik materil maupun moril terhadap anak. Jadi orang tua memiliki cukup punya andil yang besar dalam upaya mengantarkan anak menggapai 907 908



Zakiah Daradjat dkk, “Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, op. cit., h. 92 Nur Uhbiyati, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2013), h. 94



490



kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat termasuk upaya mewujudkan adanya kemampuan membaca al-Qur‟an pada diri anak. Mansur mengemukakan bahwa; Para santri yang mengikuti taman pendidikan al-Qur‟an (TPQ) akan mendapat pengaruh dari cara orang tua mendidik anak, relasi antara anggota keluarga dan suasana rumah tangga. Cara orang tua mendidik anak sangat besar pengaruhnya terhadap keikutsertaan anak mengikuti taman pendidikan al-Qur‟an karena keluarga merupakan lembaga pertama dan utama. Kelurga yang agamais sangat besar mempengaruhi anak untuk bisa membaca dan menulis al-Qur‟an.909 Berdasarkan pendapat Mansur tersebut dapatlah dipahami bahwa kemauan dan keinginan anak untuk mengikuti pembelajaran membaca alQur‟an itu dipengaruhi oleh pendidikan yang dilaksanakan oleh pihak orang tua dalam lingkungan keluarga dimana bila pada lingkungan keluarga selalu dilingkupi dengan pendidikan yang bernuansa Qur‟ani maka hal itu bisa mempengaruhi anak untuk berjiwa qur‟ani dan punya kemauan untuk mengikuti pembelajaran membaca al-Qur‟an tetapi sebaliknya bila pada lingkungan keluarga kurang dilingkupi dengan pola pendidikan yang Qur‟ani maka kemungkinan juga hal itu akan menjadikan anak itu bermental yang tidak karuan. Terlebih lagi orang tua adalah orang yang memikul tanggung utama dan besar dari Allah untuk mengupayakan kebutuhan jasmani dan rokhani anak. Karmani Buseri mengungkapkan; Disebabkan anak harus terus mengembangkan kualitas dirinya dalam hal itu tidak mungkin diperoleh seluruhnya di lingkungan keluarga maka anak membutuhkan lingkungan pendidikan lain. Namun dalam kaitan ini, keluarga harus menjadi sinar bagi pendidikan anak. Keluarga muslim sering kali lalai memahami hal ini sehingga yang terjadi adalah sebaliknya pendidikan rumah tangga dianggap berakhir bilamana anak anak telah dimasukkan ke lembaga lain. Dengan demikian anak bisa lepas kontrol, juga sering terjadi hubungan yang tidak harmonis antara apa yang di rumah dengan di luar rumah bahkan apa yang diterima anak di rumah tidak cukup kuat menjadi fondasi bagi pendidikan anak di luar rumah.910 Berdasarkan pendapat Karmani Buseri tersebut dihubungkan dengan peran orang tua untuk menumbuhkan kemampuan membaca al-Qur‟an pada 909 910



Mansur, “Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam”, op. cit., h. 137 Karmani Buseri, Pendidikan Keluarga Dalam Islam (Cet. I; Yogyakarta: Bina Usaha, 1990), h. 31



491



diri anak maka dapatlah dipahami bahwa upaya pembentukan anak agar berhasil dalam meningkatkan kualitas dirinya termasuk kemampuan membaca al-Qur‟an karena adanya pembinaan dari orang tua dan orang tua mau menyekolahkan anak pada suatu lembaga pendidikan dengan tujuan agar anak dapat berkualitas di lembaga pendidikan tersebut maka orang tua harus selalu mengontrol kegiatan belajar anak dan memberikan motivasi serta menyediakan segala yang dibutuhkan anak terkait dengan kegiatan pendidikan termasuk terkait dengan kegiatan pembelajaran membaca al-Qur‟an pada TPQ sebab mana mungkin anak bisa mengikuti kegiatan pembelajaran membaca al-Qur‟an di TPQ kalau segala kebutuhan dan dorongan itu tidak didukung serta ditopang oleh orang tua. Dengan demikian merujuk dari penjelasan-penjelasan di atas tentang peranan orang tua dalam pembelajaran membaca al-Qur‟an anak dapatlah dipahami bahwa orang tua memilki tanggung jawab yang besar dalam mengupayakan anak memiliki kemampuan membaca al-Qur‟an sebab secara kodrat dan tanggung jawab upaya pemeliharaan anak, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, kebutuhan batiniah dan spiritual seorang anak adalah merupakan tanggung jawab utama dari orang tua dan hal itu merupakan amanah yang harus ditunaikan serta kelak akan dipertanggungkan kepada Allah swt. G.



Pengertian Taman Pendidikan al-Qur’an Secara etimologi taman pendidikan al-Qur‟an terdiri dari tiga suku kata yaitu taman, pendidikan dan al-Qur‟an. Taman berarti; tempat. 911 pendidikan berarti; suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok yang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan; proses; perbuatan, cara mendidik.912 Al-Qur‟an berarti; kitab suci agama Islam.913 Berdasarkan pengertian kata taman, pendidikan dan al-Qur‟an secara etimologi tersebut dapat dipahami bahwa secara etimologi taman pendidikan al-Qur‟an secara bahasa dapat diartikan sebagai tempat berlangsungnya proses pengajaran kitab suci umat Islam. Adapun pengertian taman pendidikan al-Qur‟an secara terminologi dapat di lihat lewat penjelasan-penjelasan berikut. Mansur mengemukakan bahwa; 911 912 913



Departemen P & K, op. cit., h. 997 Ibid., h. 232 Ibid., h. 805



492



Taman pendidikan al-Qur‟an adalah pendidikan untuk baca dan menulis al-Qur‟an di kalangan anak-anak. Secara umum taman pendidikan al-Qur‟an bertujuan untuk menyiapkan anak-anak didiknya menjadi generasi Qur‟ani, yaitu komitmen dan menjadikan al-Qur‟an sebagai pandangan hidup sehari-hari mereka.914 Berdasarkan pendapat Mansur tersebut dapat dipahami bahwa taman pendidikan al-Qur‟an adalah lembaga pendidikan yang diperuntukkan untuk kalangan anak-anak dimana di dalamnya di ajarkan materi membaca dan menulis al-Qur‟an sehingga mereka dapat menjadikan al-Qur‟an sebagai pandangan hidup mereka dalam kehidupan. Abd Rahman Assegaf mengemukakan bahwa; Taman pengajian al-Qur‟an adalah lembaga pendidikan Islam tingkat dasar di luar sekolah. Pesertanya secara umum memang ditujukan pada anak-anak usia taman kanak-kanak, tetapi pada praktiknya, sering ditemui anak-anak usia SD atau SLTP bahkan terkadang SLTA yang ingin lancar membaca al-Qur‟an. Jangkauannya sangat luas dari kotakota besar sampai ke pelosok desa. Hampir dapat dipastikan setiap ada masjid atau langgar di sana pasti ada TPQ.915 Berdasarkan pendapat Abd Rahman Assegaf tersebut dapatlah dipahami bahwa taman pendidikan al-Qur‟an adalah lembaga pendidikan Islam yang berada di luar lembaga pendidikan sekolah dan berada di lingkungan masyarakat dimana kegiatan pendidikannya diperuntukkan bagi anak mulai usia taman kanak-kanak hingga selanjutnya yang belum memiliki kemampuan membaca al-Qur‟an dan kurang lancar membaca al-Qur‟an. Menurut buku Peta Taman Pengajian al-Qur‟an yang diterbitkan oleh Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Tahun 1995, yang dikutip oleh Hamdani dikemukakan bahwa; Taman pengajian al-Qur‟an atau taman pendidikan al-Qur‟an adalah lembaga pendidikan Islam nonformal untuk anak-anak yang menjadikan siswanya mampu dan gemar membaca al-Qur‟an dengan benar sesuai ilmu tajwid sebagai target pokoknya, dapat mengerjakan shalat dengan baik, hafal sejumlah surat pendek dan ayat-ayat pilihan serta mampu berdoa dan beramal shaleh. 916



914 915 916



Mansur, “Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, op. cit., h. 135 Abd Rahman Assegaf, op. cit., h. 160 Hamdani, op. cit., h. 140



493



Berdasarkan pedoman taman pengajian yang diterbitkan Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Tahun 1995 tersebut dapatlah dipahami bahwa taman pengajian adalah lembaga pendidikan Islam yang bersifat nonformal yang proses pendidikannya diperuntukkan untuk anak-anak yang belum mampu membaca al-Qur‟an sesuai dengan ilmu tajwid sebagai kegiatan utama serta di tambah materi tambahan tentang shalat, hafalan surat-surat pendek, ayat-ayat pilihan dan doa-doa serta materi-materi tentang beramal shaleh. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut tentang pengertian taman pendidikan al-Qur‟an dapatlah dipahami bahwa taman pendidikan al-Qur‟an adalah lembaga pendidikan Islam nonformal yang diperuntukan untuk anak mulai usia taman kanak-kanak hingga selanjutnya yang belum lancar membaca al-Qur‟an dengan proses pendidikan yang dilaksanakan adalah pembelajaran membaca al-Qur‟an sebagai kegiatan utama dan ditambah materi-materi tentang shalat, hafalan surat-surat pendek, ayat-ayat pilihan dan doa-doa serta materi-materi tentang beramal shaleh sebagai materi tambahan. H.



Batas Usia Minimal Peserta Pendidikan pada Taman Pendidikan al-Qur’an Mengenai batas minimal usia anak yang mengikuti pendidikan pembelajaran al-Qur‟an pada taman pendidikan al-Qur‟an tidak ada standard baku, namun mengacu pada penjelasan sebelumnya bahwa pendidikan alQur‟an itu diperuntukkan untuk anak-anak usia taman kanak-kanak dan usiausia selanjutnya maka hal itu memberikan pemahaman bahwa batas usia minimal anak untuk mengikuti proses pendidikan pada taman pendidikan alQur‟an adalah saat anak memasuki usia pendidikan taman kanak-kanak. Untuk lebih jelasnya batas usia maksimal anak mengikuti proses pembelajaran al-Qur‟an pada taman pendidikan al-Qur‟an maka alangkah baiknya kita melihat batasan usia anak yang boleh mengikuti proses pendidikan pada taman kanak-kanak. Menurut Departemen pendidikan Nasional Tahun 2004 dikemukakan bahwa; Pendidikan pada taman kanak-kanak adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang



494



menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia empat tahun sampai enam tahun.917 Berdasarkan penjelasan Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2004 tersebut dapatlah dipahami bahwa usia anak dalam jenjang pendidikan taman kanak-kanak adalah berkisar pada usia 4 – 6 tahun. Mansur mengemukakan bahwa; Biasanya untuk memudahkan pelaksanaan program kegiatan belajar mengajar, anak Taman Kanak-Kanak dikelompokkan dalam dua kelompok belajar, yaitu kelompok A untuk anak didik usia 4 sampai 5 tahun, dan kelompok B untuk anak usia 5 sampai 6 tahun. 918 Berdasarkan pendapat Mansur tersebut dapatlah dipahami bahwa batasan anak mengikuti proses pendidikan pada tingkatan pendidikan taman kanak-kanak adalah usia 4 – 6 tahun. Menurut undang-undang sisdiknas No 20 Tahun 2003 pasal 28 ayat 1 5 dikemukakan sebagai berikut; a. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar b. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal c. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat d. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA) atau bentuk lain yang sederajat e. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. 919 Berdasarkan pasal tersebut dapatlah dipahami bahwa anak usia taman kanak-kanak adalah anak yang status umurnya belum mencukupi untuk mengikuti kegiatan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar berupa sekolah dasar atau madrasah Ibtidaiyah maupun sederajatnya. 917 918 919



Departemen Pendidikan Nasional, Standar Kompetensi Taman Kanak-Kanak dan Raudhatul Athfal, (Depdiknas Jakarta, 2004), h. 5 Mansur, “Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam”, op. cit., h. 130 Departemen Agama RI, Memahamai Paradigma Pendidikan Nasional Dalam UndangUndang Sisdiknas (Cet. II; Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003), h. 46



495



Soemiarti Patmonodewo mengemukakan; Yang dimaksud dengan anak pra sekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun menurut Biechler dan Snoman. Mereka biasanya mengikuti program pra sekolah. Di Indonesia pada umumya mereka mengikuti program penitipan anak (3 – 5 tahun), kelompok bermain (usia 3 tahun) dan usia 4-6 tahun biasanya mereka mengikuti program taman kanak-kanak. 920 Berdasarkan penjelasan Soemiarti Patmonodewo tersebut dapatlah dipahami bahwa anak usia taman kanak-kanak adalah anak yang memiliki umur belum cukup untuk mengikuti kegiatan pendidikan pada tingkat dasar dan masuk pada bagian dari kelompok anak usia pra sekolah dimana di Indonesia umur anak usia taman kanak-kanak berkisar pada 4 – 6 tahun. Ibrahim Bafadhal mengemukakan “semua siswa taman kanak-kanak berusia sekitar 4 – 6 tahun yang masih lebih senang ditemani oleh orang tuanya dan merasa malu atau takut bertemu orang lain”. 921 Pemaparan Ibrahim Bafadhal tersebut dapatlah dipahami bahwa anak usia taman kanakkanak bekisar berusia antara 4 – 6 tahun. Dedi Supriadi mengemukakan bahwa; “Taman Kanak-kanak merupakan pendidikan pra sekolah (pra SD), maka fungsi Tk pun lebih mengutamakan penyiapan anak memasuki SD”.922 Berdasarkan penjelasan Dedi Supriadi tersebut dapatlah dipahami bahwa anak usia taman kanakkanak adalah anak yang status usianya belum memasuki umur untuk mengikuti kegiatan pendidikan pada tingkat sekolah dasar. Hamdani mengemukakan bahwa; pembelajaran membaca al-Qur‟an bagusnya berlangsung pada sore hari atau secepatnya siang hari, dimana kebijaksanaan ini salah satunya berdasarkan pertimbangan dan tujuan bahwa ia tidak mengganggu kegiatan sekolah TK/SD.923 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa usia anak bisa mengikuti proses pendidikan pada taman pendidikan kanak-kanak itu berkisar pada usia 4 – 6 tahun. Hal ini juga memberi penegasan bahwa jika anak usia anak taman kanak-kanak itu berkisar pada usia 4 – 6 tahun maka karena taman pendidikan al-Qur‟an itu diperuntukkan pada anak mulai usia taman kanak kanak-kanak maka boleh jadi batas 920 921 922 923



Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Pra Sekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h.19 Ibrahim Bafadhal, Dasar-Dasar Manajemen dan Supervisi Taman Kanak-Kanak (Cet.I; Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 36 Dedi Supriadi, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan (Cet.I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 47 Hamdani, op. cit., h. 142



496



minimal anak sudah bisa mengikuti proses pembelajaran al-Qur‟an itu pada saat ia berusia 4 tahun. Adapun untuk batas maksimal tidak ada batasan. Hal ini juga bermakna walau anak itu sudah berusia dewasa selama ia belum memiliki kemampuan membaca al-Qur‟an atau belum lancar membaca alQur‟an maka ia dapat mengikuti proses pendidikan pada taman pendidikan alQur‟an bahkan kalangan orang tuapun yang tidak lancar membaca al-Qur‟an bisa mengikuti proses pendidikan taman pendidikan al-Qur‟an karena tidak ada larangan untuk hal tersebut. Materi Pembelajaran Membaca al-Qur’an pada TPQ Muhaimin yang dikutip oleh Abd Rahman Assegaf mengemukakan bahwa ada lima materi pembelajaran yang dapat diterapkan pada pembelajaran taman pendidikan al-Qur‟an yaitu; membaca al-Qur‟an, doa sehari-hari, hafalan surat pendek, praktik wudhu dan tata cara shalat yang baik.924 Berdasarkan pendapat Muhaimin tersebut dapatlah dipahami bahwa materi-materi pembelajaran yang dapat diterapkan pada taman pendidikan alQur‟an meliputi; materi pembelajaran membaca al-Qur‟an, materi doa seharisehari bagi seorang muslim, menghafal surat-surat pendek, tata cara berwudhu dan praktiknya serta materi shalat dan praktiknya. Mansur mengemukakan bahwa; I.



Taman pendidikan al-Qur‟an perlu merumuskan target yang dijadikan sebagai tujuan dalam waktu lebih kurang selama satu tahun. Hal ini sesuai dengan petunjuk dalam buku pedoman TKA-TPA atau TPQ nasional yaitu; membaca al-Qur‟an dengan benar sesuai dengan ilmu tajwid, dapat melakukan shalat dengan baik dan terbiasa hidup dalam suasana Islami, dapat menulis huruf-huruf al-Qur‟an, hafal surat-surat pendek, ayat-ayat pilihan dan doa sehari hari. Kemampuan membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar merupakan target dan sekaligus merupakan tujuan pokok dan perdana yang harus dicapai dan sekaligus dimiliki oleh setiap santrinya. Oleh karena itu, pada saat penerimaan anak di setiap lembaga Islam, kemampuan membaca al-Qur‟an hendaknya dijadikan sebagai materi pertama dan utama, sedangkan materi yang lain sebagai penunjang. 925 Berdasarkan pendapat Mansur tersebut dapatlah dipahami bahwa materi-materi pembelajaran yang dapat diterapkan pada taman pendidikan alQur‟an meliputi; 924 925



Abd Rahman Assegaf, op. cit., h. 161 Mansur” Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam”, op. cit. 135



497



1. 2.



Materi pokok atau utama yaitu materi pembelajaran membaca alQur‟an sesuai dengan hukum tajwid Materi tembahan meliputi; pembelajaran shalat, pembelajaran etika hidup yang Islami, pembelajaran menulis huruf-huruf al-Qur‟an, pembelajaran menghafal surat-surat pendek, pembelajaran menghafal surat-surat pilihan dan pembelajaran doa-soa sehari-hari sebagai seorang Islam



Antara materi pokok dan materi tambahan menurut Mansur ada ketentuan pemberian, dimana dalam proses pembelajaran pada taman pendidikan al-Qur‟an yang harus dijadikan prioritas utama adalah materi pembelajaran membaca al-Qur‟an dan nanti setelah materi pembelajaran membaca al-Qur‟an itu sudah dituntaskan oleh peserta didik barulah materimateri tambahan diberikan bagi para santri. Merujuk pada buku Peta Taman Pengajian al-Qur‟an yang diterbitkan oleh Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Tahun 1995, yang dikutip oleh Hamdani, dimana dikemukakan sebagai berikut; Taman pengajian al-Qur‟an atau taman pendidikan al-Qur‟an adalah lembaga pendidikan Islam nonformal untuk anak-anak yang menjadikan siswanya mampu dan gemar membaca al-Qur‟an dengan benar sesuai ilmu tajwid sebagai target pokoknya, dapat mengerjakan shalat dengan baik, hafal sejumlah surat pendek dan ayat-ayat pilihan serta mampu berdoa dan beramal shaleh. 926 Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa materi-materi pembelajaran al-Qur‟an yang dapat diterapkan dalam pembelajaran al-Qur‟an di taman pendidikan al-Qur‟an meliputi; materi pokok yaitu pembelajaran membaca al-Qur‟an sesuai ilmu Tajwid dan materi tambahan yaitu; materi pembelajaran shalat, materi pembelajaran menghafal sejumlah surat-surat pendek, materi pembelajaran menghafal ayat-ayat pilihan, materi pembelajaran doa-doa sehari-hari sebagai seorang Islam dan materi-materi amal shaleh dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang Islam. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut tentang materi-materi pembelajaran yang dapat diterapkan pada taman pendidikan alQur‟an dapat dipahami bahwa materi pembelajaran itu dapat dikelompok pada dua kelompok yaitu materi wajib atau utama dan materi tambahan dimana materi wajib adalah pembelajaran membaca al-Qur‟an sesuai ilmu tajwid 926



Hamdani, op. cit., h. 140



498



sedangkan materi tambahan meliputi; mencintai al-Qur‟an sebagai kitab suci, shalat dan segala hal yang terkait dengannya, menulis huruf-huruf al-Qur‟an, menghafal sejumlah surat-surat pendek, menghafal ayat-ayat pilihan, doa-doa sehari-hari sebagai seorang Islam dan amal-amal shaleh dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang Islam dengan ketentuan materi-materi tambahan itu baru bisa diajarkan bila para santri telah menguasai materi pokok atau utama. J.



Fungsi dan Srategi TPQ sebagai lembaga pendidikan Islam non formal 1. Fungsi TPQ sebagai lembaga pendidikan Islam non Formal Fungsi utama taman pendidikan al-Qur‟an sebagai lembaga pendidikan Islam nonformal yang diperuntukkan bagi anak-anak mulai usia taman kanakkanak hingga selanjutnya demi membekali mereka pengetahuan kemampuan membaca al-Qur‟an dan memudahkan mereka mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan. Setiap muslim mesti yakin bahwa manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah manusia yang hidupnya berpedoman kepada al-Qur‟an dan tujuan pendidikan yang begitu luhur adalah sesuatu yang mustahil akan dapat dicapai manakala tidak ada usaha yang sungguhsungguh untuk mengakrabkan manusia sedini mungkin pada kitab suci alQur‟an. Oleh karena itu bukanlah sesuatu yang berlebihan jika taman pendidikan al-Qur‟an dijadikan sebagai tempat untuk menyiapkan generasi Qur‟ani yang berakhlakul karimah927 Hal itu cukup beralasan bahwa fakta yang ada dalam kehidupan menunjukkan bahwa meningkatnya angka kebodohan generasi muda Islami dalam hal membaca al-Qur‟an dan pengetahuan agama lainnya. Kondisi ini bisa terjadi lantaran masih lemahnya sistem pendidikan agama pada jalur pendidikan formal, melemahnya perhatian orang tua dalam membimbing putra putrinya dalam pengajaran membaca dan menulis al-Qur‟an sementara di sisi lain pendidikan formal mulai mempersyaratkan adanya tuntunan anak didik untuk menguasai baca tulis al-Qur‟an, adanya serangan budaya luar dan pengaruh arus globalisasi.928 Zakiah Darajat dkk mengemukakan bahwa;



927 928



Hamdani, op. cit., h. 140 Mansur, Sejarah Syarekat Islam dan Pendidikan Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 167



499



Yang terpenting dalam pengajaran qiraat al-Qur‟an adalah keterampilan membaca al-Qur‟an dengan baik sesuai dengan kaidah yang di susun dalam ilmu tajwid. Untuk dapat membaca dengan baik tentu harus dapat memahami bermacam irama yang dibicarakan dalam ilmu nagham. Sebelum itu hendaknya ia memahami dan dapat menggunakan berbagai tanda-tanda baca, di samping sudah dapat membunyikan simbol-simbol huruf dan kata sesuai dengan bunyi yang diucapkan oleh orang Arab. Kita mencontoh bunyi yang diucapkan orang Arab karena bahasa al-Qur‟an itu adalah bahasa mereka. Tiap belajar membaca alQur‟an tidak sama dengan belajar bahasa Arab. Belajar bahasa Arab harus mengerti wujud asli simbol kata sedangkan belajar al-Qur‟an, cukup dapat membunyikan simbol huruf atau katanya saja walaupun wujud aslinya tidak dapat dipahami. Belajar bahasa Arab dapat digunakan untuk komunikasi dengan orang Arab sedangkan belajar alQur‟an tidak dapat digunakan alat bicara dengan orang Arab. Memang tujuan pengajarannya bukan untuk bicara dengan orang Arab tetapi untuk ibadah dan syiar Islam.929 Mansur mengemukakan bahwa; taman pendidikan al-Qur‟an berfungsi sebagai lembaga pendidikan non formal agar tidak terjadi kemerosotan agama dan generasi Qur‟ani.930 Generasi Qur‟ani adalah generasi yang komitmen dan menjadikan al-Qur‟an sebagai pandangan hidup mereka. 931 Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa fungsi taman pendidikan al-Qur‟an adalah sebagai lembaga pendidikan Islam nonformal yang melaksanakan proses pendidikan untuk membina anak didik yang akan tumbuh dengan kemampuan membaca al-Qur‟an dengan baik sesuai ilmu tajwid, menjadikan al-Qur‟an sebagai pedoman hidup mereka, berakhlakul karimah dan menjalankan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari serta mengentaskan buta aksara al-Qur‟an di kalangan umat Islam. 2.



Strategi TPQ Sebagai Lembaga Pendidikan Islam non Formal Strategi TPQ agar sukses dalam mengelola kegiatan pembelajaran membaca al-Qur‟an dan pembelajaran materi-materi dasar Ibadah di TPQ dan di lingkungan masyarakat bergantung pada kualitas sumber daya manusia pengelolaannya. Kegiatan ini mencita-citakan adanya harapan atau hasil memuaskan bagi pelaksana maupun pesertanya serta orang-orang yang terkait dengannya dimana langkah-langkah yang ditempuh meliputi;



929 930 931



Zakiah Daradjat dkk, “Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam”, op. cit., h. 93 Mansur,” Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam”,op. cit. 36 Ibid., h. 34



500



1.



2.



3.



4.



5.



932



Ide jelas. Maksudnya adalah kejelasan terhadap tujuan yang akan dicapai dan tujuan itu melalui proses beberapa tahap yang harus di tempuh melalui saran dan prasarana di dalam suatu wadah atau lembaga. Niat ikhlas. Maksudnya niat ketulusan hati atau etika yang jelas dan murni dalam melaksanakan tugas sesuai dengan ide yang sudah ditetapkan sebelumnya kemudian disertai dengan niat lillahi rabil alamin, berarti; tumbuhnya kesadaran untuk berbuat demi memajukan kebaikan di atas prinsip pengabdian semata-mata karena Allah swt. Wawasan luas. Maksudnya mempunyai pengetahuan sesuai dengan job yang digelutinya sehingga akan memberikan kemampuan dalam mengembangkan ide-ide yang dimilikinya. Dengan wujud kongrit mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk keaktifan dalam melaksanakan dan mengembang tugas yang di emban. Dalam rangka meningkatkan wawasan agar mampu mengembangkan ide hendaknya lewat berbagai bentuk keaktifan, antara lain aktif membaca, aktif mendengar, berdialog, mengikuti berbagai seminar, lokakarya, pelatihan dan lain-lain. Penataan administrasi yang rapi. Adanya kegiatan pasti ada lembaga dan berhasilnya kegiatan juga mengacu pada pengelolaan administrasi yang baik. Administrasi yang baik akan mempengaruhi sistem kegiatan yang dilakukan dan sudah barang tentu hal itu tentu akan mempengaruhi kegiatan pembelajaran membaca al-Qur‟an khususnya menarik minat calon peserta didiknya. Lewat administrasi yang baik akan mempengaruhi kualitas yang akan dimiliki oleh peserta didik sebab segala kegiatan minimal pergerakannya bisa dipantau lewat catatan administrasi sehingga bila ada kekurangan maka pasti bisa diperbaiki kekurangan serta bila ada penambahan atau pengembangan maka ditingkatkan saja buka kerja harus dimulai dari awal.932 Figur pengelola atau pelaksana yang handal. Agar berhasilnya kegiatan pembelajaran membaca al-Qur‟an maka pelaksananya adalah diambil dari orang yang punya kemampuan dalam pengelolaan kegiatan membaca al-Qur‟an.



Mansur, “Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam”, op. cit., h. 147



501



6.



Dukungan kuat dan kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait seperti pihak orang tua santri, pihak toko-tokoh masyarakat ataupun pihak-pihak yang lainnya yang dapat membantu dan mendukung proses berlangsungnya kegiatan pembelajaran membaca al-Qur‟an sebab kegiatan tersebut hanya dilakukan atas kemauan satu orang saja boleh jadi untuk mendapatkan peserta didik saja akan kewalahan belum lagi akan kebutuhan-kebutuhan lainnya.933



Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa strategi yang dapat diterapkan oleh TPQ sebagai lembaga pendidikan Islam non formal agar berhasil dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran al-Qur‟an dan pembelajaran ibadah-ibadah wajib baik bagi santri maupun lingkungan masyarakatnya meliputi; adanya ide yang jelas, niat ikhlas, wawasan luas, penataan administrasi yang rapi, figur pengelola atau pelaksana yang handal dan dukungan serta kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait dan berkompeten terkait dengan kegiatan pembelajaran membaca al-Qur‟an. K.



Rangkuman Pembelajaran membaca al-Qur‟an dalam konteks pelajar, anak atau santri adalah upaya pendidik untuk menjadikan peserta didik agar dapat melihat, memahami dan melafalkan teks-teks yang ada dalam kitab suci alQur‟an sesuai hukum tajwid serta menuntun peserta didik dapat mengerjakan shalat dengan baik, hafal sejumlah surat pendek dan ayat pilihan serta mampu berdoa dan beramal shaleh. Tujuan pembelajaran al-Qur‟an meliputi; mendidik peserta didik agar menyakini dan menghormati al-Qur‟an sebagai kitab suci, mendidik peserta didik agar mampu dan terbiasa membaca al-Qur‟an sesuai ilmu tajwid, mendidik peserta didik agar mampu menghafal doa-doa, surat-surat pendek dan ayat-ayat pilihan, mendidik peserta didik agar mampu mengerjakan shalat dengan baik, dan mendidik peserta didik agar terbiasa mengerjakan amal shaleh. Fungsi pembelajaran membaca al-Qur‟an secara umum bagi umat Islam adalah memudahkan untuk memahami bacaan tulisan al-Qur‟an, memahami kandungan ajaran Islam yang terkandung di dalam al-Qur‟an dan segala hal yang terkait dengannya serta mempermudah dalam memahami dan 933



Ibid., h. 148



502



menjalankan ajaran Islam sebab dengan belajar al-Qur‟an secara benar maka hal itu sama saja dengan telah mempelajari Islam secara keseluruhan sedangkan fungsi pembelajaran membaca al-Qur‟an bagi santri di TPQ atau anak dalam Islam adalah agar mampu membuat mereka membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar serta memudahkan mereka mengamalkan materimateri ibadah wajib dalam kehidupan sehari-hari. Materi-materi kegiatan pembelajaran al-Qur‟an meliputi; pengenalan huruf hijaiyah dan cara membunyikannya, pengenalan bentuk dan tanda-tanda baca al-Qur‟an, pengenalan teknik membaca al-Qur‟an dengan berirama sesuai dengan macam-macam irama dan qiraat yang ada dalam ilmu qira‟at serta nagham, pengenalan tentang tata cara dan etika membaca al-Qur‟an sebagai bagian dari kegiatan ibadah, menghafal doa-doa harian dan bacaanbacaan dalam shalat, menghafal surat-surat pendek dan ayat-ayat pilihan serta pengajaran terkait materi isi al-Qur‟an seperti materi ibadah, akidah, akhlak, sejarah dan segala hal yang terkait dengannya akan tetapi bagi anak atau santri pola pembelajaran isi al-Qur‟an penerapannya harus secara prakris serta disesuaikan dengan keadaan mereka. Orang tua memiliki peran penting dalam pembelajaran membaca alQur‟an anak sebab mereka sebagai penanggung jawab utama dari keberhasilan anak belajar membaca al-Qur‟an sebab secara kodrat dan tanggung jawab upaya pemeliharaan anak, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, kebutuhan batiniah dan spiritual seorang anak adalah merupakan tanggung jawab utama dari orang tua dan hal itu merupakan amanah yang harus ditunaikan dan dipertanggungkan kepada Allah swt. Taman pendidikan al-Qur‟an adalah lembaga pendidikan Islam nonformal yang diperuntukan bagi anak usia taman kanak-kanak hingga selanjutnya yang belum lancar membaca al-Qur‟an dengan proses pendidikannya adalah pembelajaran membaca al-Qur‟an sebagai kegiatan utama dan ditambah materi-materi tentang shalat, hafalan surat-surat pendek, ayat-ayat pilihan dan doa-doa serta materi-materi tentang beramal shaleh sebagai materi tambahan Batas minimal anak sudah bisa mengikuti proses pembelajaran alQur‟an adalah saat ia berusia 4 tahun sedangkan batas maksimal tidak ada batasan dimana bila anak sudah berusia dewasa tetapi misalkan belum lancar membaca al-Qur‟an maka ia dapat mengikuti proses pendidikan pada taman pendidikan al-Qur‟an bahkan kalangan orang tuapun yang tidak lancar membaca al-Qur‟an bisa mengikuti proses pendidikan taman pendidikan alQur‟an karena tidak ada larangan untuk hal tersebut.



503



Materi pembelajaran al-Qur‟an pada taman pendidikan al-Qur‟an yaitu materi wajib dan materi tambahan dimana materi wajib adalah pembelajaran membaca al-Qur‟an sesuai ilmu tajwid sedangkan materi tambahan meliputi; pembelajaran tentang mencintai al-Qur‟an sebagai kitab suci, shalat dan segala hal yang terkait dengannya, menulis huruf-huruf al-Qur‟an, menghafal sejumlah surat-surat pendek, menghafal ayat-ayat pilihan dan doa-doa seharihari, amal-amal shaleh dalam kehidupan sehari-hari dengan ketentuan materimateri tambahan itu baru bisa diajarkan bila para santri telah menguasai materi utama. Fungsi taman pendidikan al-Qur‟an adalah sebagai lembaga pendidikan Islam nonformal yang melaksanakan proses pendidikan bagi anak didik sehingga mereka tumbuh dengan kemampuan membaca al-Qur‟an dengan baik sesuai ilmu tajwid, menjadikan al-Qur‟an sebagai pedoman hidup mereka, berakhlakul karimah dan menjalankan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari serta mengentaskan buta aksara al-Qur‟an di kalangan umat Islam sedangkan strategi yang dapat diterapkan oleh TPQ sebagai lembaga pendidikan Islam non formal agar berhasil dalam pelaksanaan kegiatan pembelajarannya di TPQ meliputi; adanya ide yang jelas, niat ikhlas, wawasan luas, penataan administrasi yang rapi, figur pengelola atau pelaksana yang handal dan dukungan serta kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait dan berkompeten terkait dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan di TPQ



504



DAFTAR PUSTAKA Abidin,Slamet &H Aminudin, Fiqh Munakahat I, Bandung : CV Pustaka Setia, 1999 Achmadi. Idiologi Pendidikan Islam, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar:, 2005 Al-Abrasyi, M Athiyah. At-Tarbiyyah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh KH Abdullah Zakiy al-Kaaf, dengan judul; Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam, Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2003 -------. al-Tarbiyah al-Islamiyah, Diterjemahkan Bustani A Gani dan Johar Bahry dengan Judul; Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1974 Ahmadi & Syukri Nafis.Manajemen Pendidikan Islam, Cet. II; Yogyakarta: Lesbang Presindo, 2011 Akib, Zainal.Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran, Cet. I; Surabaya: Insan Cendikia, 2002 Ali, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II; Jakarta: Logos, 1999 Ali, Zainuddin.Pendidikan Agama Islam, Cet. V; Bandung: Bumi Aksara, 2012 Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999 AM, Sardiman.Interaksi dan Motifasi Belajar Mengajar, Cet. X; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003 Anwar, H Moch Idochi. Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan, Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2003 Arief, Armai. Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002 Arifin, Anwar. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam Sisdiknas, Cet. I; Jakarta; Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003 Arifin, HM. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2000 -------.Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2011 -------.Filsafat Pendidikan Islam, Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1994



505



Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar Evaluasi, Cet. I; Jakarta; Bumi Aksara, 1999 Arsyad, Azhar.Media Pembelajaran, Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004 Asroha, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam, Cet. II; Jakarta: Logos, 2001 Assegaf, Abd Rahman. Pendidikan Islam Integratif, Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Al-Atsariy, Abu Abdullah Al-Nu‟man. Aunul Ma‟bud Ala Syarhi Sunan Abi Dawud, Cet. I; Beirut; Dar Ibnu Hazm, 2005 Al-Attas, Muhammad al-Naqiub.The Consept of Education In Islam, Kuala Lumpur: ABIM, 1980 Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 -------.Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Melenium III, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2012 Bafadhal, Ibrahim. Dasar-Dasar Manajemen dan Supervisi Taman KanakKanak, Cet.I; Jakarta: Bumi Aksara, 2004 Al-Bani, M Nasiruddin. Muhtasar Shahih Muslim, Diterjemahkan Oleh; Elly Lathifah Dengan Judul Ringkasan Shahih Muslim, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2006 Barnadib, Sutari Imam.Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: Andi Offset, 1993 Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2009 Bawani, Imam.Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1970 Bawani. Segi-Segi Pendidikan Islam, Surabaya: al-Ikhkas, 1987 Buseri, Karmani. Pendidikan Keluarga Dalam Islam, Cet. I; Yogyakarta: Bina Usaha, 1990 Dahlan, Zaini dkk. Filsafat Hukum Islam, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992 Daradjat, Zakiah dkk. Ilmu Pendidikan Islam, Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 2004 -------..Ilmu Pendidikan Islam, Cet. XI; Bumi Aksara, 2014 -------.Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Cet.II; jakarta: Bumi Aksara, 2001 Daradjat, Zakiah.Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1976



506



Darwis, Djamaluddin. Dinamika Pendidikan Islam, Sejarah, Ragam dan Kelembagaan, Semarang: Rasail, 2006 Daryanto, H. Evaluasi Pendidikan, Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2001 Daryanto.Media Pembelajaran, Perananya Sangat Penting Dalam Mencapai Tujuan Pembelajaran, Cet. I; Yogyakarta: Gava Media, 2010 Daulay, H Haidar Putra. Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2009 -------.Historisitas dari Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta; Tiara Wacana, 2001 -------. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004 Departemen Agama RI. al-Qur‟an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 2002 -------.Memahamai Paradigma Pendidikan Nasional Dalam Undang-Undang Sisdiknas, Cet. II; Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003 -------. Peta Taman Pengajian Al-Qur‟an, Jakarta; Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, 1995 -------. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Dirjen Bimbaga, 1986 Departemen P & K. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997 -------.Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Ditjen, Dikdasmen, Depdiknas, 2003 -------.Standar Kompetensi Taman Kanak-Kanak dan Raudhatul Athfal, Depdiknas Jakarta, 2004 ad-Dimasyiqiy, Hafiz Abi al-Fida‟ Islamil bin Umar bin Katsir al-Quraisyi. Tafsir al-Qur‟anil Azhim, Cet. I; Beirut Libanon: Dar Ibn Hazm, 2000M Djaelani, A Timur. Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama, Jakarta: Dermaga, 1982 Djamaluddin & Abdullah Aly.Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 1999 Djamarah, Syaiful Bahri. Pola Kumunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga, Sebuah Prespektif Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2004 Ellias, Maurice J dkk. Cara-cara Efektif Mengasuh Anak Dengan EQ, Bandung: Kaifah, 2000



507



Faisal, Yusuf Amir.Reorientasi Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995 Ghofir, Abdul dkk.Strategi Belajar Mengajar (Penerapanya Dalam Pembelajaran) Pendidikan Agama Islam, Cet. I; Surabaya: CV Citra Media, 1996 Hadiyanto. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan Di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Asdii Mahasatya, 2004 Hamalik, Oemar. Proses Belajar Mengajar, Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2004 Hamdani. Dasar-Dasar Kependidikan, Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2011 Hamid, A Samad. Islam dan Pembaharuan, Surabaya: Bina Ilmu, 1984 Hartati, Netty dkk. Islam dan Psikologi, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Hasbullah. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999 -------. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1995 -------. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001 Hendropuspito.Sosiologi Agama, Jakarta: Kanisius, 1988 Hermawan, Acep. Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Cet. IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014 Heryanti, Yeti & Mumuh Muhsin.Manajemen Sumber Daya Pendidikan, Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2014 Huda, Nurul dkk. Pedoman Majelis Ta‟lim, Jakarta: Proyek Penerangan Dakwah Khutbah Agama Islam Pusat, 1984 Jaelani,A Timur.Peningkatan Mutu Pendidikan Pembangunan Perguruan Agama, Jakarta: Dermaga, 1982 Jalal, Abdul Fattah.Min al-Ushul al-Tarbawiyah Fi al-Islam, Mesir: Jumhur Mesir al-Arabiyah, 1977 -------. min Ushul al-Tarbiyah Fi al-Islam, Diterjemahkan oleh: Hery Noer Ali dengan Judul: Azas-azas Pendidikan Islam, Cet. I; Bandung: CV Diponegoro, 1988 al-Ja‟fiy, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy. Shahih Bukhari, Jilid VI, Cet. I; Damakus: Dar Tukun Najah, 1422H Jalaluddin. Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998 -------.Teknologi Pendidikan, Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003



508



Kartono, Kartini. Psikologi Anak (Psikologi Perkembanga ), Cet. V; Bandung: Mandar Maju, 1995 Kazlowski, GC.Muslim Endowements and Society in British Idia, London: Cabridge University, 1985 Langgulung, Hasan.Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Cet. X; Bandung: Al-Ma‟arif, 1995 LN, Syamsu Yunus. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, Cet. VII; Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2006 LN, Syamsu Yusuf & A Juntika Nurihsan. Landasan Bimbingan dan Konseling, Cet. I; Badung: PT Remaja Rosdakarya, 2005 M, H Suryafarma, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, Cet. II; Bandung: CV Alberta:, 2004 Ma‟arif, Syamsul. Revitalisasi Pendidikan Islam, Cet. I; Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007 Majid, Abdul & Dian Andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Cet. II; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005 Madjid, Nurcholis.Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Cet. IV; Jakarta, Paramadina, 1996 -------. Islam Kemoderenan dan KeIndonesiaan, Bandung: Mizan, 1991 Makbuloh, Deden. Pendidikan Agama Islam, Arah Baru Pengembangan Ilmu di Perguruan Tinggi, Cet. II; Jakarta: Rajawali 2012 Maksum. H, Madrasah Sejarah & Perkembangannya, Cet. I; Jakarta: Logos,1999 Mansur. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 -------. Sejarah Syarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Manzhur, Ibnu.Lisan al-Arab, Juz 9, Mesir: Daar al-Mishriyah, 1992 Marimba, Ahmad D. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT al-Ma‟arif, 1980 Mastuhu. Memberdayakan Sistem Pendidkan Islam, Cet. II; Jakarta: Logos, 1999 Miarso, Yusuf Hadi dkk.Teknologi Komunikasi Pendidikan, Pengertian Dan Penerapannya Di Indonesia, Cet. II ; Jakarta : CV Rajawali, 1986 MK, M Anshary. Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010



509



Ms, Tohirin. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Cet. II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006 Muahmmad, Abu Bakar.Pedoman Pendidikan dan Pengajaran, Surabaya: Usaha Nasional, 1981 Muhaimin & Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya: 1993 Muhaimin dkk. Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah, Cet. II; Bandung: PR Remaja Rosdakarya, 2002 Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Cet. II; Jakarta: Rajawali Pers, 2012 -------. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005 Mukhtar dkk.Pendidikan Anak Bangsa Pendidikan untuk Semua, Cet. I; jakarta: Nimas Multitama, 2002 Mukhtar. Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Cet. I; Jakarta: CV Misaka Galiza, 2003 Mulyasa, E. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2007 -------.Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi, Cet. VII; Bandung: 2004 Mursa, Muhamad Munir.Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, Ushuluha Wa Tathawuruha Fi al-Bilad al-Arabiyah, Cairo: Alam al-Kutub, 1977 Al-Nahlawi, Abdurrahman.Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Baiyt wa al-Madrasah wa al-Mujtama‟a, Damaskus: Dar al-Fikir, 1979 Nasution, Harun.Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1995 Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 -------. Pengembangan Kurikulum, Cet. V; Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993 Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2010 -------. Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Kalasik dan Pertengahan, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 -------. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. IV; Jakarta: PT. Logos Waca Ilmu, 2001



510



-------. Manajemen Pendidikan,Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam, Cet. I; Bogor Kencana: 2005 -------. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. Jakarta: Gramedia, 2001 Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002 Nk, Roestiyah dkk.Kompetensi Mengajar dan Guru, Jakarta: Nasco, 1979 Noer, Deliar. Pembangunan Di Indonesia, Jakarta: Mutiara, 1987 Nurdin, Syafruddin. Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, Cet. III; Jakarta: Quantum Teaching, 2005 Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006 Patmonodewo, Soemiarti. Pendidikan Anak Pra Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta, 2002 Pidarta, Made. Manajemen Pendidikan Indonesia, Cet. I ; Jakarta : Bumi Aksara, 1988 Prasodjo, Sudjoko dkk.Profil Pesantren, Jakarta: LP3Es, 1982 Purwanto, M Ngalim.Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Cet. XIII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000 al-Qardhawy, Yusuf. Madkhal Lima'rifatil Islam Muqawwi_matuhu Khashaishuhu, Ahdafuhu, Mashadiruhu, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo dengan Judul Pengantar Kajian Islam, Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997 Quthub, Sayyid.Tafsir Fi Dhilalil Qur‟an, Juz XV, Beirut: Dbr al-Ahya, t.th Raharjo, M Dawam.Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: P3M, 1985 Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. I; jakarta: logos, 2001 Rahmat, Jalaluddin & Muthar Gadatmaja. Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Moderen, Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. XII; Jakarta: Kalam Mulia, 2012 -------.Dasar-Dasar Kependidikan, Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan, Cet. I; Jakarta: Kalam Mulia, 2015 -------. Metodologi Pengajaran Agama Islam, Cet. III; Jakarta: Radar Jaya Offset, 2001 -------. Metodologi Pendidikan Agama Islam, Cet. IV; Jakarta: Kalam Mulia, 2005



511



Ramulyo, Mohd Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1995 Rasyid, H Sulaiman. Fiqhi Islam, Cet.XXXX; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007 Al-Raziy, Fahr.Tafsir Fahr al-Raziy, Juz XXI , Teheran: Dar al-Kutub alIlmiyah, T.th Rehani. Berawal Dari Keluarga, Revolusi Belajar, Jakarta: Hikmah, 2003 Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004 Rukhiati, Hj Enung K & Fenti Hikmawati.Sejarah Pendidikan Islam, Cet.I; Bandung: Pustaka Setia, 2006 Rusel,Betrand.Education and The Social Order, Diterjemahkan oleh; Ahmad Setiawan Abadi dengan judul: Pendidikan danTatanan Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993 S, HD Sudjana. Strategi Pembelajaran, Cet. IV; Bandung: Falah Production, 2005 Sabri, Ahmad. Strategi Belajar Mengajar & Macro Teaching, Cet. I; Jakarta: Quantum Teaching, 2005 Sadullah, Uyoh. Agus Muharram, Babang Robandi, Pedagogik Ilmu Mendidik, Cet. II; Bandung: Alfabeta, 2011 Sagala,Syaiful.Konsep dan Makna pembelajaran, Cet. IV; Bandung: Alfabeta, 2006 Sanaki, Hujair AH. Paradigma Pendidikan Islam, Cet. III; Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003 Sanjaya, Wina.Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Cet. IV; Jakarta: Kencana, 2008 Sanusi, Salahuddin. Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Dakwah Islam, Semarang: Ramadhani, 1964 Sastraprateja, M dkk.Manusia Multideminsional; Sebuah Renungan Filsafat, Cet. I; Jakarta: Gramedia, 1982 Shalahuddin, Mahfud dkk.Metodologi Pendidikan Agama, Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1987 Al-Ashfahany,Al-Raghi.Mufradat Al-Azh Al-Qu‟an, Damsiq: Dar Al-Qalam, t.th Ash-Shiddieqy, TM Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Cet. VI; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2014



512



Shihab, M Quraish. Membumikan al-Qur‟an; Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1993 ______, Quraish.Membumikan al-Qur‟an Bandung: Mizan, 1992 Sjafi‟i, A Mas‟ud. Pelajaran Tajwid, Bandung: Putra Jaya, 2001 Soleha & Rada. Ilmu pendidikan Islam, Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2011 Suardi, Edi.Pedagogik II, Bandung: Angkasa, 1966 Subana, M & Sunarti.Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia, Berbagai Pendekatan, Metpde teknik dan Media Pengajaran, Bandung: Pustaka Setia, t.th Sudiono, M. Ilmu Pendidikan Islam Jilid I , Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2009 Sudjana, Nana. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. VII; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004 Sujanto, Agus. Psikologi Perkembangan, Cet. VI; Jakarta: Asara Baru, 1988 Sulaiman, Fathiyah Hasan. Madzahib Fi al-Tarbiyah Bahtsun fi al-Madzhab al-Tarbawi Indah al-Gazali, diterjemahkan oleh Hery Noer Aly dengan Judul; Alam Pikiran Al-Gazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu, Bandung: Diponegoro, 1986 Supriadi, Dedi Membangun Bangsa Melalui Pendidikan, Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004 Suprijanto, H.Pendidikan Orang Dewasa Dari Teori Hingga Aplikasi, Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 2007 Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan, Cet. XII; Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 2002 Suryadi, Ace & Dasiman Budimansyah. Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru, Cet. I; bandung: Genesindo, 2004 Suryadi. Kiat Jitu Dalam Mendidik Anak, Cet. I; Jakarta: Edsa Mahkota, 2006 Suryapratondo, Suparlan. Ilmu Jiwa Kepribadian, Jakarta: Pryu Barkah, 1982 Syafaruddin & Irwan Nasution. Manajemen Pembelajaran, Cet. I; Jakarta: Quantum Teaching, 2005 as-Syaibani, Oemar Muhammad al-Toumy.Falsafat al-tarbiyah al-Islamiyah, alih bahasa oleh Hasan Langgulung dengan Judul; Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1979 Syah, Darwin dkk.Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, Cet. II; Jakarta: Gaung Persada, 2007 Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Anak Dengan Pendekatan Baru, Cet. IX; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004



513



-------. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Cet. VII; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002 Tadjab. Ilmu Jiwa Pendidikan, Cet. I; Surabaya: Karya Abditama, 1994 Tafsir, Ahmad (editor). Pendidikan Agama Dalam Keluarga, Cet. IV; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002 -------. Ilmu Pendidikan Islami, Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013 -------. Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam, Cet. XII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014 Takariman, Cahyan.Pernik-Pernik Rumah Tangga Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1972 Tatapangarsa, Humaidy dkk.Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa, Cet. I; Malang: IKIP Malang, 1990 al-Thabary, Ibnu Ja‟far Muhammad bin Jarir.Jami‟ al-Bayan, Beyrut: Dar alFkr, 1988 al-Thabathabai‟i, Muhammad Hussein.al-Mizan Fi Tafsir al-Qur‟an, Jilid 8, 13 dan 17, Beyrut: Dar al-Fikr, 1983 Thaha, M Chabib. Teknik Evaluasi Pendidikan, Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996 Thonthowi, Ahmad. Psikologi Pendidikan, Cet. IX: Bandung: Angkasa, 1993 Tilaar, HAR. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2000 Tirtarahardja, Umar & S L La Sulo. Pengantar Pendidikan, Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2012 Uhbiyanti, Nur. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam, Cet. I: Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2013 Ulwan, Abdullah. Tarbiyah al-Awlad Fi al-Islam, Jilid I, Cet. Beyrut: Dar alSalam, 1979 Umar, Buhkari. Ilmu Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: Amzah, 2010 Usman, M Basyiruddin.Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2005 Usman, Sabian. Dasar-Dasar Sosilogi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009 UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen & Peraturan Mendiknas No 11 Tahun 2005 Beserta Penjelasannya, Cet. Bandung: Citra Umbaran, 2005 UU RI No 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional, Cet. III; Fokus Media, 2003



514



Wijaya, Cece dkk. Upaya Pembaharuan Pendidikan Dalam Pengajaran, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1992 Yahya, Mokhtar. Pertumbuhan Akal dan Manfaat Naluri Kanak-Kanak, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Yunus, H Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Cet. IV; Jakarta: Mutiara Sumber Widya Agung, 1995 Yusuf, Syamsu & A Juntika Nurihsan.Landasan Bimbingan dan Konseling, Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005 Zakaria,Abi al-Husain Ahmad ibn al-Faris Ibn.Mu‟jam Maqayis al-Lighah, Jilid I, Cet. II; Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby Wa Awladuh, 1939 Zuhairini ddk. Filsafat Pendidika Islam, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1995 -------. Sejarah Pendidikan Islam, Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2000 -------. Metode Khusus Pendidikan Agama, Cet. VIII; Surabaya: Usaha Nasional, 1983



515



BIOGRAFI PENULIS Halid Hanafi, S.Ag, M.Ag. Lahir di Saparua, 2 Oktober 1975. Anak kedua dari 10 bersaudara. Ayah Muhamad Hanafi dan Ibu Wa Uku. Menamatkan pendidikan dasar pada SD Negeri 3 Saparua Tahun 1988. Melanjutkan pendidikan pada MTs Al-Hilal Siri Sori Islam dan lulus Tahun 1991. Masuk Madrasah Aliyah Al-Hillal Siri Sori Islam dan lulus tahun 1994. Setelah lulus dari Madrasah Aliyah Al-hilal Siri Sori Islam, lalu melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ambon, Jurusan Syari‟ah program Studi S1 Ahwal al-Syahksiah dan memperoleh gelar sarjana November tahun 1999. Menyelesaikan studi S2 di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Januari Tahun 2005. Istri Husnah Razak, S.Ag., M.Ag. Anak; Muh Fikri Hanafi, Muhammad Faiz Hanafi dan Masyhurah Fikrah Hanafi. Pengalaman kerja antara lain: Dosen PGSD D2 STAIN Ambon Tahun 2001-2002. Dosen pada program studi S1 Pendidikan Agama Islam STAI DDI Mangkoso 2014 hingga sekarang. Ketua Badan Penjaminan Mutu STAI DDI Mangkoso Periode Tahun 2017-2021. LA Adu, S.Pd.I, M.A lahir di Kelapa Dua pada tanggal 24 Januari 1979. Anak pertama dari sembilan bersaudara Ayah bernama La Ipu dan Ibu bernama Wa Amisa (Almarhuma). Memulai pendidikan dasar di SD Negeri Kelapa Dua pada tahun 1993, kemudian melanjutkan ke MTs AlIkhlash Kelapa Dua dan lulus pada tahun 1996. Masuk Madrasah Aliyah pada tahun itu juga di MA Negeri 2 Tulehu dan lulus pada tahun 1999. Setelah lulus MAN, melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ambon program Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam. dan memperoleh gelar sarjana pada Maret 2004. Menyelesaikan studi S2 di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Tahun 2008. Istri: Siti Kunarti, S.Pd. Anak: Azka al-Farisi, Muh Akmal Ramadhan, Nasrul Absan dan Muh Rifqi. Pengalaman kerja antara lain: Dosen pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN sejak 2009 hingga sekarang.



516



Zainuddin, S.Pd.I., MA. Lahir di Manggai Kabupaten Maros, 24 September 1980. Anak pertama dari 5 bersaudara. Ayah H Abdul Karim, BA dan Ibu Hj Nur Siah (almarhuma). Menamatkan pendidikan dasar pada SD Negeri Tinabogan Kabupaten Toli-Toli Sulawesi Tengah Tahun 1992. Melanjutkan pendidikan pada MTs AlIttihad DDI Soni Sulawesi Tengah dan lulus Tahun 1995. Masuk Madrasah I‟dadiyah Pondok Pesantren DDI Mangkoso Barru Tahun 1995 dan Lulus 1996. Masuk Madrasah Aliyah Putra DDI Mangkoso Barru Tahun 1996 dan lulus tahun 1999. Melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Agama Islam DDI Mangkoso Barru, Program Studi S1 pendidikan Agama Islam dan memperoleh gelar sarjana tahun 2005. Menyelesaikan studi S2 di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Tahun 2013. Istri Asriani, SHi, Anak; Aniesa Azkia, Mar‟ah Karimah dan Ahmad Dzaky. Pengalaman kerja antara lain: Guru pada Pondok Pesantren Al-Ittihad DDI Soni Sulawesi Tengah Tahun 2007-2010. Mengabdi sebagai Dosen STAI DDI Mangkoso Tahun 2011-sekarang. Sekretaris Prodi PAI STAI DDI Mangkoso Periode Tahun 2017-2021.



517