Buku Pedoman Nasional Pengendalian TB 2014 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

614.542 Ind.



p



Kalalog Dalam Terbilan. Kementerian Kesehalan Rl 614.542 lnd



p



Indonesia. Kementerian Kesehalan Rl. Dineklorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehalan Lingkungan



Pedoman nasionalPengendalian Tuberkulosis.Jakarta: Kementerian Kesehatan Rl. 2014 ISBN 978-602-235-733-9 1. Judul I. TUBERCULOSIS- PREVENTION AND CONTROL II. TUBERCULOSIS- DRUG THERAPY



TIM PENYUSUN



Pengarah



Dr. Mohammad Subuh, MPPM; Dr. Sigit Priohutomo, MPH



Penangung Jawab



Dr. Christina Widaningrum, M.Kes



Editor cetakan 2014



Dr. Triya Novita Dinihari; Dr. Vanda Siagian



Kontributor: Dr. Anna Uyainah, Sp.PD,KP, MARS, FINASIM; Dr. Arto Yuwono,SpPD(K); Dr. Arifin Nawas,SpP(K); Bawa Wuryaningtyas, SKM, MM; Dr. Bey Sonata; Budiarti Setyaningsih, SKM, M.Kes Dr. Darmawan BS,SpA(K); Drg. Devi Yuliastanti; Dr. Dyah Armi Riana, MARS Drg. Dyah Erti Mustikawati,MPH Dr. Eka Sulistiany; Dr. Endang Lukitosari,MPH; Dr. Erlina Burhan,SpP(K); Drg. Erwinas; Dr. Fainal Wirawan; Hardini Utami, SKM, MKM; Dr. Hari Basuki, MPPM, DTMH; Dr. Harini A.Janiar,Sp.PK; Dr. lrfan Ediyanto; Dr. Jan Voskens,MPH; Dr. Joan Tanumiha a; Ora. Lesmaria Simamora Mikyal Faralina, SKM; Munziarti,SKM,MM; Dr. Nastiti Rahayu,SpA(K); Dr. Novayanti; NurulBadriyah, SKM;



Js(•



Dr. Priyanti,Sp.P(K); Dr. Purwantyastuti,MSc,Ph.D; Dr. Ratih Pahlesia; Dr. Regina Loprang; Regina Tambunan, SKM; Dr. Retno Kusumadewi; Dr. Reviono,SpP; Rony Candra, M.Biomed; Rudy E. Hutagalung, BSc Saida N.Debataradja, SKM; Dr. Servas Pareira, MPH; Dr. Setiawan Jatilaksono; Drg. Siti Nur Anisah, MPH; Dr. Sity Kunarisasi, MARS; Sophia T.Patty, SKM; Dr. Sri Prihatini B, SpP; Prof. Dr.Sudijanto Kamso,MPH,PhD; Sulistiyo,SKM,MEpid; Su ana,SKM; Suwandi, SKM, M.Epid; Prof. Dr.Tjandra YogaAditama,SpP(K); liar Salman, ST,MM; Totok Haryanto, SKM,M.Kes; Dr. Triya Novita Dinihari; Dr. Tutik Kusumastuti, Sp.P Dr. Vanda Siagian; Yusuf Said,SH;











DAFTARISI



Tim Penyusun Daftar lsi Kata Pengantar Daftar Singkatan BABI A. B.



c. BAB II A. B.



c. D.



E.



F. G. H.



iii vii ix



Pendahuluan Epidemiologi dan Permasalahan TB Dunia Patogenesis dan Penularan TB Upaya Pengendalian TB



1 1 2 4



Pengendalian Tuberkulosis diIndonesia Riwayat Singkat Upaya Pengendalian TB di Indonesia Besaran Masalah TB di Indonesia Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia Visi dan Misi Tujuan dan Target StrategiNasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia 2010-2014 Kegiatan Organisasi Pelaksana



6 6



7 9 10 10 10 11 11



BAB Ill Tatalaksana Pasien Tuberkulosis A. Penemuan Pasien Tuberkulosis B. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa Klasifikasi dan Tipe Pasien TB c. D. Pengobatan Pasien TB



13 13 15 17 20



BABIV A. B.



38 38 38 40 44 45 48 49 49 49 49



c. D.



E.



F. G. H. I.



J.



Tatalaksana TB Pada Anak Epidemiologi Diagnosis TB Pada Anak Pemeriksaan Penunjang Untuk Diagnosis TB Anak Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Pada Anak Pengobatan TB Pada Anak Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak Efek Samping pengobatan TB Pada Anak Tatalaksana Pasien TB Anak Yang Berobat Tidak Teratur Hasil pengobatan TB Pada Anak Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH)



DArrARISI



e



BABY



A. B.



c. D. E. F.



G.



H.



Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat (MTPTRO) Defenisi TB Resistan Obat Tujuan dan Kebijakan MTPTRO Pengorganisasian MTPTRO Diagnosis TB Resistan Obat Pengobatan TB MDR EvaluasiAkhir Pengobatan TB MDR Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan Lengkap Tatalaksana TB Resistan Obat pada Anak



51 51 51 52



54 57 59



60 60



BABVI Kegiatan KolaborasiTB-HIV Latar Belakang Tujuan Dan Kebijakan Dalam Kegiatan Kolaborasi TB-HIV c. Pengorganisasian D. Diagnosis TB Pada ODHA E. Diagnosis HIV Pada Pasien TB F. Pengobatan TB Pada ODHA dan lnisiasi ART Secara Dini G. Pemberian Pengobatan Pencegahan Dengan Isoniazid (PP INH) H. Pemberian Pengobatan Pencegahan Dengan Kotrimoksasol (PPK) I. Perawatan, Dukungan Dan Pengobatan HIV



62 62 62 64 64 69 69 70 70



BAB VII Pencegahan dan Pengendalian lnfeksiTuberkulosis Prinsip Pencegahan dan Pengendalian lnfeksi



72 72



A. B. C. D.



BAB VIII Public- Private Mix DOTS Dalam Pengendalian Tuberkulosis Tujuan Prinsip dan Strategi PPM Penerapan PPM Langkah-Langkah Pemantapan PPM E. lndikator Pelaksanaan PPM



76 76 76 77 80 81



BABIX Manajemen Laboratorium Tuberkulosis A. Organisasi Pelayanan Laboratorium TB Manajemen Laboratorium TB B. C. Keamanan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium TB



82 82 87 90



A. B.



BABX



A. B.



Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis



71



91 91 95



.-.-----------------------------------------D0



BAB XI A B. C. D.



Pengembangan Sumber Daya Manusia Program Pengendalian Tuberkulosis Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TB Peran SDM Dalam Pengendalian TB Pelatihan Program Pengendalian TB Evaluasi Paska Pelatihan (EPP) Program Pengendalian TB



104 104 106 108 111



BAB XII Keterlibatan Masyarakat dan OrganisasiKemasyarakatan Dalam Pengendalian Tuberkulosis A Bentuk-Bentuk OrganisasiKemasyarakatan B. Tantangan Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB C. Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB D. Prinsip-Prinsip Pellbatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB E. lndikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakat Dalam Pengendalian TB F. Peran dan Kegiatan Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam Pengendalian TB G. Strategi Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan dalam Program Pengendalian TB BAB XIII Sistim lnforrnasi Strategis Program Pengendalian Tuberkulosis A Surveilans Tuberkulosis B. Monitoring dan Evaluasi(Monev) Program TB C. Penelitian Program Pengendallan Tuberkulosis BAB XIV Perencanaan dan Penganggaran Program Pengendalian Tuberkulosis A Konsep Perencanaan dan penganggaran B. Penyusunan Perencanaan dan Penganggaran/Sumber Pembiayaan P2TB C. Sistim Pelayanan Kesehatan Untuk Pengendalian TB D. Pembagian Peran dan Wewenang Dalam Pengendallan TB TAMBAHAN TB HIV PADAANAK LAMPlRAN



114 114 114 115 115 116 116 116 118 119 120 138



141 141



142 144 146



148



,u• ----DAFTAR lSI.











KATA PENGANTAR UPDATE TAHUN 2014 Beberapa tahun terakhir, upaya pengendalian TB di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup pesat, hal ini antara lain dibuktikan dengan tercapainya indikator penting dalam Program Pengendalian TB. Faktor keberhasilan tersebut antara lain: akses pelayanan kesehatan semakin baik, adanya pendanaan dan dukungan pemerintah pusat dan daerah, peran serta masyarakat dan swasta semakin meningkat, semakin berkembangnya teknologi pengendalian TB, serta banyak kegiatan terobosan yang di inisiasi baik dalam skala Global maupun Nasional. Seiring dengan penemuan baru ilmu dan tekhnologi serta perkembangan program pengendalian TB di lapangan, maka buku Pedoman Nasional Pengendalian TB ini harus mengikuti perkembangan-perkembangan tersebut. Untuk itu pada cetakan ini, dilakukan beberapa perubahan sesuai dengan perkembangan yang terjadi di lapangan, seperti perubahan definisi, terminologi, sistematika dan kebijakan operasional. Beberapa perubahan baru mengikutibuku pedoman, pengobatan yang diterbitkan WHO, dengan tetap mempertimbangkan situasi spesifik program TB di Indonesia, antara lain perubahan pada teknis tatalaksana pasien TB, baik TB pada dewasa maupun TB pada anak. Perubahan itu dilakukan untuk mengakomodasi kewaspadaan terhadap terjadinya TB resisten obat, masalah koinfeksi TB-HIV, upaya pencegahan dan Pengendalian lnfeksi dan lain-lain. Demikian pula perluasan strategi penemuan pasien TB bukan hanya bertumpu pada penemuan secara pasif tetapi juga secara aktif pada kelompok yang berisiko seperti di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan ditempat kerja. Akhir kata dengan terbitnya buku pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis cetakan tahun 2014 ini, dapat menjadi panduan dalam pelaksanaan program TB,terutama bagi pelaksana program dan pendukung program pengendalian TB di lapangan.



Jakarta, November 2014 Direktur Jenderal,



dr.H.M. Subuh, MPPM NIP 196201191989021001







KATA PUGAITAR.











DAFTAR SINGKATAN



BLK BLN BTA BP4 BUMN CDR em CNR Cs Ditjen. PPdanPL



= = = = = = = = = = = = = = = = = = =



Ditjen. Binfar dan Alkes Ditjen. BUK DIP DOTS DPR (D) DPM DST E EQAS Eto FDC FEFO Gerdunas -TB GFK H HIV IAKMI IBI



= = = = = = = = = = = = = = = = = =



AIDS AKMS APBN/D AP ARTI ART Bapelkes



Acquired Immune Deficiency Syndrome Advokasi Komunikasi dan Mobilisasi Sosial Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara/Daerah Akhir Pengobatan Annual Risk of TB Infection Anti RetroviralTherapy ARV Anti RetroviralViral (obat) Balai Pelatihan Kesehatan BCG Bacillus Calmette et Guerin Balai Laboratorium Kesehatan Bantuan Luar Negeri Basil Tahan Asam Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru Badan Usaha Milik Negara Case Detection Rate Capreomycin Case Notification Rate Cycloserine Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Daftar lsian Proyek DirecUy Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah) Prakter Dokter Mandiri Drug Sensitivity Testing Etambutol External Quality Assurance System Ethionamide Fixed Dose Combination First Expired First Out Gerakan Terpadu NasionalPengendalian Tuberkulosis Gudang Farmasi Kabupaten/ Kota lsoniasid (INH lso Niacid Hydrazide) Human Immunodeficiency Virus lkatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia lkatan Bidan Indonesia



=



DUTJIR IIIIIGIIATO



0



IDAI IDI IUATLD KBNP KBPP KDT KG KKNP KKPP Km KPP Lapas



Lfx LP LSM LPLPO MDG MDR/XDR Mfx MOTT OAT Ofl PAPDI PCR PDPI PME PMI PMO POA POGI POM PPM PPM PPNI PPTI PRM PS PSDM Pta Puskesmas



= lkatan Dokter Anak Indonesia = lkatan Dokter Indonesia = International Union Against TB and Lung Diseases = Kesalahan besar negatif palsu = Kesalahan besar positif palsu = Kombinasi Oasis Tetap = Kesalahan Gradasi = Kesalahan kecil negatif palsu = Kesalahan kecil positif palsu =Kanamycin = Kelompok Puskesmas Pelaksana = Lembaga Pemasyarakatan = Levofloxacin = Lapang Pandang = Lembaga Swadaya Masyarakat = Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat = Millenium Development Goals = Multi Drugs Resistance I extensively Drugs Resistance = Moxifloxacin = Mycobactrium Other Than Tuberculosis = ObatAnti Tuberkulosis = Ofloxacin = Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia = Poly Chain Reaction = Perhimpunan Dokter Paru Indonesia = Pemantapan Mutu Eksternal = Pemantapan Mutu Internal = Pengawasan Minum Obat = Plan of Action = Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia = Pengawasan Obat dan Makanan = Puskesmas Pelaksana Mandiri = Public Private Mix = Perhimpunan Perawat Nasionallndonesia = Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia = Puskesmas Rujukan Mikroskopis = Puskesmas Satelit = Pengembangan Sumber Daya Manusia = Prothionamide = Pusat Kesehatan Masyarakat



.--.--------------------------------------mD-o!..! .



Pustu



R RSP RTL Rutan



s



SDM SGOT SGPT SKRT SPS



TB TNA UPK WHO



z



ZN



= = = = = = = =



=



=



=



=



=



=



=



=



=



Puskesmas Pembantu Rifampisin Rumah Sakit Paru Rencana Tindak Lanjut Rumah tahanan Streptomisin Sumber Daya Manusia Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase Serum Pyruric Oxaloacetic Transaminase SurveiKesehatan Rumah Tangga Sewaktu-Pagi-Sewaktu Tuberkulosis Training Need Assessment Unit Pelayanan Kesehatan World Health Organization Pirazinamid Ziehl Neelsen



DUTJIR IIIIIGIIATO



e











BABI



PENDAHULUAN A. Epidemiologidan Permasalahan TB Dunia. TB sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat didunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995. Dalam laporan WHO tahun 2013: • Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika. • Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia. • Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar terjadi pada pria tetapi angka kesakitan dan kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2,9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian karena TB mencapai 410.000 kasus termasuk di antaranya adalah 160.000 orang wanita dengan HIV positif. Separuh dari orang dengan HIV positif yang meninggal karena TB pada tahun 2012 adalah wanita. • Pada tahun 2012 diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh kasus TB secara global mencapai 6% (530.000 pasien TB anakl tahun). Sedangkan kematian anak (dengan status HIV negatif) yang menderita TB mencapai 74.000 kematian/ tahun, atau sekitar 8% dari total kematian yang disebabkan TB. • Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit yang sebenamya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta juga menunjukkan keberhasilan dalam pengendalian TB. Peningkatan angka insidensi TB secara global telah berhasil dihentikan dan telah menunjukkan tren penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012), angka kematian juga sudah berhasil diturunkan 45% bila dibandingkan tahun 1990. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15_ 50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah: ../ Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang sedang berkembang. ../ Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan disparitas yang terlalu Iebar, sehingga masyarakat masih mengalami masalah dengan kondisi sanitasi, papan, sandang dan pangan yang buruk. ../ Beban determinan sosial yang masih berat seperti angka pengangguran, tingkat pendidikan yang, pendapatan per kapita yang masih rendah yang berakibat pada kerentanan masyarakat terhadap TB. o/ Kegagalan program TB selama ini. Halini diakibatkan oleh: o Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan



)IJ• BABI PENDABOLUAI.



-/ -/ -/



-/



o Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya). o Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagalmenyembuhkan kasus yang telah didiagnosis) o Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG. o lnfrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat. o Belum adanya sistem jaminan kesehatan yang bisa mencakup masyarakat luas secara merata. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan. Besamya masalah kesehatan lain yang bisa mempengaruhi tetap tingginya beban TB seperti gizi buruk, merokok, diabetes. Dampak pandemi HIV. Pandemi HIVIAIDS di dunia akan menambah perrnasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhimya akan menyebabkan terjadlnya epidemi TB yang sulit ditangani. ( 11 )



B. Patogenesis dan Penularan TB. 1. Kuman Penyebab TB.



Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. leprae dsb. yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhadap Mycobacterium tuberculosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB. Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain adalah sebagai berikut: • Berbentuk batang dengan panjang 1 -10 mikron, Iebar 0,2-0,6 mlkron. • Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode ZiehlNeelsen. • Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa. • Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop. • Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C. • Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet. • Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. • Dalam dahak pada suhu antara 30 - 37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu. • Kuman dapat bersifat dormant ("tidur" I tidak berkembang)



-ii -----------------------------------M-WW--



2. Cara Penularan TB. a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%. c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut. d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. 3. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia. Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Perjalanan alamiah TB a. Paparan Peluang peningkatan paparan terkait dengan:



      



Jumlah kasus menular di masyarakat Peluang kontak dengan kasus menular Tingkat daya tular dahak sumber penularan Intensitas batuk sumber penularan Kedekatan kontak dengan sumber penularan Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar ultra violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan konsentrasi) Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan terinfeksi saja, menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB. b. Infeksi Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 – 14 minggu setelah infeksi  Reaksi immunologi (lokal) Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian berlangsung reaksi antigen – antibody.  Reaksi immunologi (umum) Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)  Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.  Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi



BAB I PENDAHULUAN



3



c. Sakit TB Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari :



   



Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup Lamanya waktu sejak terinfeksi Usia seseorang yang terinfeksi Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula. Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun bila seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses reaktifasi. TB umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra Paru). Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ tubuh terkena (TB milier). d. Meninggal dunia  Akibat dari keterlambatan diagnosis Faktor risiko  Pengobatan tidak adekuat kematian karena TB:  Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV positif.



C. Upaya Pengendalian TB Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. 2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. 4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-effective). Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.



4



BAB I PENDAHULUAN



Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu: 1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS 2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya 3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan 4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. 5. Memberdayakan pasien dan masyarakat 6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru, mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu meletakkan landasan ke arah eliminasi TB. Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1 kasus TB per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB (pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per 100.000 penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000 penduduk dan penurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih komprehensif bagi pengendalian TB secara global. Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035 yang ditandai dengan: 1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015. 2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk) Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-komponenya yaitu: 1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko tinggi. b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred support) c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain. d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan beresiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB. 2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas. a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan pencegahan TB. b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan kerangka kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi. d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi dampak determinan sosial terhadap TB. 3. Intensifikasi riset dan inovasi a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan strategi baru pengendalian TB. b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang inovasiinovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian TB.



BAB I PENDAHULUAN



5



BABII PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA A. Riwayat Singkat Upaya Pengendalian TB diIndonesia. Upaya pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak sebelum kemerdekaan. Setelah perang dunia kedua, secara terbatas melalui 20 balai pengobatan dan 15 sanatorium yang pada umumnya berada di pulau Jawa. Setelah perang kemerdekaan, diagnosis ditegakkan TB berdasarkan foto toraks dan pengobatan pasien dilakukan secara rawat inap. Pada era tersebut sebenamya World Health Organization (WHO) telah merekomendasikan upaya diagnosis melalui pemeriksaan dahak langsung dan pengobatan menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT} yang baru saja diketemukan yaitu: INH, PAS dan Streptomisin, serta metode pengobatan pasien dengan pola rawat jalan. Era tahun 1960-1970 menandai diawalinya upaya pengendalian TB secara modern dengan dibentuknya Subdit TB pada tahun 1967 dan disusunnya suatu pedoman nasional pengendalian TB. Pada era awal tersebut penatalaksanaan dilakukan melalui Puskesmas dengan Rumah Sakit sebagai pusat rujukan untuk penatalaksanaan kasus kasus sulit. Pada tahun 1977 mulai diperkenalkan pengobatan jangka pendek (6 bulan) dengan menggunakan paduan OAT yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol. Beberapa kegiatan uji pendahuluan yang dilaksanakan menunjukkan hasil kesembuhan yang cukup tinggi. Pada tahun 1994 Departemen Kesehatan Rl melakukan uji coba penerapan Strategi DOTS di satu Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan satu Kabupaten di Provinsi Jambi. Atas dasar keberhasilan uji coba yang ada, mulai tahun 1995 secara nasional Strategi DOTS diterapkan bertahap melalui Puskesmas. Perjalanan waktu membuktikan bahwa upaya pengendalian TB telah memberikan hasil yang bermakna sampai dengan saat ini. Evaluasi yang dilakukan melalui Joint External TB Monitoring Mission (JEMM) ( • ) pada tanggal 11-22 Februari 2013, dllaporkan bahwa Indonesia telah banyak mencapai kemajuan dalam upaya pengendalian TB di Indonesia sebagai berikut: • Indonesia berpeluang mencapai penurunan angka kesakitan dan kematian akibat TB menjadi setengahnya di tahun 2015 jika dibandingkan dengan data tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar 443 per 100.000 penduduk, pada tahun 2015 ditargetkan menjadi 222 per 100.000 penduduk. Pencapaian indikator MDG's untuk TB di Indonesia saat ini sudah sesuai jalurnya dan diperkirakan semua indikator dapat dicapai sebelum waktu yang ditentukan. • Selama periode 2011-2013, Program Nasional Pengendallan TB telah menunjukkan keberhasilan dalam berbagai bidang, diantaranya dalam peningkatan jumlah temuan kasus dan keberhasilan pengobatan di Puskesmas. Rendahnya angka kekebalan obat di antara kasus TB baru berdasrkan hasil survei yang ada, menunjukkan kinea program pengendalian TB di Indonesia sudah berjalan dengan baik. • Masuknya standar pengobatan TB sebagai salah satu komponen akreditasi rumah sakitmerupakan salah satu terobosan tpenting dari program Nasional TB untuk menjamin seluruh pasien TB dapat mengakses pelayanan TB yang sesuai standar di seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan menghindarkan pasien dari TB MDR maupun TB XDR.



e



iiir-,D;; -------- -- PBNGBR_D_ALIAR TUBERKULOS_ IS D1INID AOR - BS -



• Komponen diagnosis TB juga mengalami kemajuan, dengan ditunjuknya 3 Laboratorium Rujukan TB Nasional yaitu BLK Jawa Barat (pemeriksaan Mikroskopis), BBLK (Balai Besar Laboratorium Kesehatan) Surabaya (Biakan dan Uji kepekaan OAT) dan Departemen Mikrobiologi FK Ul (Riset Operasional dan Molekuler). Selain itu juga pemanfaatan alat diagnosis cepat yaitu GenXpert MTB/RIF dan LPA (HAIN test), untuk pemeriksaan penapisan TB MDR dan TB HIV. Dengan upaya tersebut maka pasien TB dapat didiagnosis dengan cepat dan dapat segera mendapat pengobatan, supaya tidak menjadi sumber penularan dimasyarakat. • Upaya pengendalian TB Resistan Obat elah dimulai sejak 2009 dan telah dibuat suatu rencana pengembangan layanan ke semua propinsi di Indonesia. • Keberhasilan dalam upaya kolaborasi TB HIV adalah diterbitkannya beberapa buku pedoman tentang tatalaksana klinis koinfeksi TB HIV, buku manajemen kolaborasi TB HIV dan yang terpenting adalah upaya untuk perbaikan surveilens TB HIV dengan melakukan monitoring dan evaluasi terpadu TB HIV di tingkat provinsi. • Program pengendalian TB bersama dengan Program AIDS Nasional dan Program Malaria Nasional telah berhasil menyusun dan menerbitkan Pedoman Exit Strategi Dana Hibah GF ATM, yang bertujuan untuk menyiapkan keberlanjutan pendanaan program pada saat Dana Hibah sudah tidak ada lagi, dan mendorong kemandirian program di semua tingkatan dalam hal pembiayaan. B. Besaran Masalah TB diIndonesia. Indonesia telah mencapai kemajuan yang bermakna dalam upaya pengendalian TB di Indonesia bahkan beberapa target MDGs telah tercapai jauh sebelum waktunya, namun perlu diwaspadai karena masih ada beberapa tantangan utama yang harus dihadapi agar tidak menghambat laju pencapaian target program selanjutnya. Salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah masih banyaknya kasus TB yang "hilang" atau tidak terlaporkan ke program. Pada tahun 2012 diperkirakan ada sekitar 130.000 kasus TB yang diperkirakan ada tetapi belum terlaporkan. Beberapa tantangan internal yang masih dialami program pengendalian TB Nasional antara lain: 1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Faskes yang ada belum seluruhnya terlibat sepenuhnya dalam program pengendalian TB. Bersumber data dasar provinsi pada tahun 2012, sudah 100% BKPM/BBKPMIRS Paru dan 98% dari jumlah Puskesmas yang ada telah menerapkan strategi DOTS. Namun, baru sekitar 38% RS (Pemerintah, BUMN, TNI, Polri dan Swasta) yang menerapkan pelayanan dengan menggunakan strategi DOTS. 2. Ketenagaan Meskipun dilaporkan bahwa 98% staf di Puskesmas dan lebih kurang 24% staf TB di rumah sakit telah dilatih, program TB harus tetap melakukan pengembangan sumber daya manusia mengingat tingkat mutasi staf yang cukup tinggi. Tantangan baru yang harus dihadapi oleh program TB adalah meningkatnya kebutuhan akan pelatihan untuk pendekatan baru seperti TB resistan obat, PAL, PPI TB, dan lainnya. Pelatihan dasar tentang TB tetap dibutuhkan mengingat ekspansi program serta berbagai inovasi baru untuk memperkuat pelaksanaan program,misalnya pengenalan alat diagnostikbaru,



Jst(•BABD



sistem informasi TB elektronik, AKMS (Advokasi, Komnikasi dan Mobilisasi Sosial), manajemen logistik.



3. OAT Pemenuhan kebutuhan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Kendala yang masih harus dihadapi adalah masih belum optimalnya sistem manajemen mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi sampai kepada dispensing obat kepada pasien dan pencatatan pelaporan. Kemampuan SDM dan sistem manajemen OAT ditingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota harus ditingkatkan secara terus menerus agar tidak terjadi kekurangan cadangan obat.



4. Pembiayaan Dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat dan daerah. Alokasi APBD untuk pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan masih tingginya ketergantungan terhadap pendanaan dari donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Rendahnya komitmen politis untuk pengendalian TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB. Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah baik untuk pembiayaan program maupun biaya operasional lainnya sesuai kebutuhan daerah. Saat ini struktur pembiayaan yang tersedia lebih banyak terpusat kepada aspek kuratif sedangkan pembiayaan untuk aspek promotif, preventif dan rehabilitatif masih sangat kecil. Tantangan baru seberti TB resisten obat, epidemi ganda TB-HIV dan TB-DM juga memerlukan dukungan pendanaan yang lebih besar.



5. Kepatuhan Penyedia Pelayanan Kesehatan Pemerintah dan Swasta Terhadap Pedoman Nasional Pengendalian TB. Banyak kemajuan telah dicapai dalam perluasan program pengendalian TB nasional, namun penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan program. Pengalaman yang diambil dari upaya menerapkan standar pelayanan berdasar International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) masih menemui banyak kendala antara lain karena tidak adanya kerangka aturan yang menjadi payung hukumnya. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk mentransformasikan setandar pelayanan seperti ISTC kedalam bentuk aturan yang memiliki payung hukum yang kuat yaitu menjadi suatu Pedoman Nasional Praktek Kedokteran Tatalaksana TB (PNPK-TB). PNPK TB akan menjadi acuan penyusunan panduan praktek klinis (PPK), standar pelayanan dan clinical pathway di faskes baik FKTP maupun FKRTL.Upaya lain untuk meningkatkan kepatuhan penyedia layanan terhadap pedoman nasional adalah dengan mengembangkan sistem akreditasi dan sertifikasi yang memasukkan layanan TB yang berkualitas. Dengan dua upaya tersebut diharapkan mampu menjamin kepatuhan penyedia layanan sehingga pasien tidak akan dirugikan oleh layanan yang tidak sesuai standar. Selain tantangan yang bersifat internal maka program pengendalian TB juga menghadapi kendala di luar program yang apabila tidak ditanggulangi secara bersamaan akan mengakibatkan pencapaian program akan terhambat. Tantangan tersebut antara lain:



8



BAB II PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA



1. Sistem Jaminan Kesehatan Belum meratanya akses terhadap layanan yang bermutu karena kendala finansial. Sehingga tanpa tersedianya suatu jaminan kesehatan yang bisa mencakup seluruh warga negara akan mengakibatkan capaian semua program kesehatan termasuk TB menjadi tidak optimal. 2. Pertumbuhan ekonomi tanpa disparitas. Disparitas pembangunan dan hasil-hasilnya akan mengakibatkan tingginya beban permasalahan determinan sosial seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, pekerjaan. Hal tersebut akan meningkatkan kerentanan bagi populasi yang tidak memperoleh manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh mudahnya penularan TB. Beban TB yang tinggi akan mengakibatkan beban sosial yang besar yang akan mengancam tercapainya target pemerataan pembangunan. 3. Meningkatnya kerentanan terhadap TB akibat masalah kesehatan lain. Beberapa masalah kesehatan akan memberi dampak negatif terhadap capaian program TB di Indonesia seperti: meningkatnya laju epidemi HIV, besarnya populasi merokok, angka prevalensi diabetes yang tinggi, permasalahan gizi buruk/ malnutrisi. Selain itu beban TB yang tinggi juga menjadi penghambat tercapainya target kesehatan seperti penurunan angka kematian ibu/ wanita hamil dan anak. C. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia. 1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana). 2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai kerangka dasar dan memperhatikan strategi global untuk mengendalikan TB (Global Stop TB Strategy). 3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program pengendalian TB. 4. Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB resistan obat. 5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), Klinik Pengobatan serta Dokter Praktek Mandiri (DPM). 6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan TB dengan tingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP akan dilakukan di FKRTL dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit telah dapat ditangani. 7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB). 8. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan. 9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi menjamin ketersediaannya.



BAB II PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA



9



10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program. 11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya terhadap TB. 12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. 13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global pengendalian TB. D. Visi dan Misi Visi ” Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan” Misi 1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani dalam pengendalian TB. 2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan. 3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB. 4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik. E. Tujuan dan target Tujuan Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Target Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun. Pada RPJMN 2010-2014 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100,000 penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang disembuhkan dari 85% menjadi 88%..Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN 2010-2014 akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya. Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan dengan target pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target Global TB Strategy pasca 2015 dan target SDGs (Sustainable Development Goals). Target utama pengendalian TB pada tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2% per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5% pertahun. Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015. F. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 – 2014 ( ¹¹ ) Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi: 1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu. 2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya. 3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public-



10



BAB II PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA



4. 5. 6. 7.



Private Mix) dan menjamin kepatuhan terhadap Standar Internasional Penatalaksanaan TB (International Standards for TB Care). Memberdayakan masyarakat dan pasien TB. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program pengendalian TB. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.



Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun 2015-2019 merupakan pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan beberapa pengembangan strategi baru untuk menghadapi target dan tantangan yang lebih besar. G. Kegiatan 1. Tatalaksana TB Paripurna a. Promosi Tuberkulosis b. Pencegahan Tuberkulosis c. Penemuan pasien Tuberkulosis d. Pengobatan pasien Tuberkulosis e. Rehabilitasi pasien Tuberkulosis 2. Manajemen Program TB a. Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis b. Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis c. Pengelolaan logistik program pengendalian Tuberkulosis d. Pengembangan ketenagaan program pengendalian Tuberkulosis e. Promosi program pengendalian Tuberkulosis. 3. Pengendalian TB Komprehensif a. Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis; b. Public-Private Mix Tuberkulosis; c. Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi buruk; d. Kolaborasi TB-HIV; e. TB Anak; f. Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB; g. Pendekatan praktis kesehatan paru (Practicle Aproach to Lung Health = PAL); h. Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO) i. Penelitian tuberkulosis. H. Organisasi Pelaksana 1. Aspek Manajemen Program TB a. Tingkat Pusat Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB.



BAB II PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA



11



Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis. b. Tingkat Propinsi Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan Propinsi. c. Tingkat Kabupaten/Kota Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh DinasKesehatan Kabupaten/Kota.\ 2. Aspek Tatalaksana pasien TB Dilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL). a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) FKTP dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang mampu memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKTP adalah Puskesmas, DPM, Klinik Pratama, RS Tipe D dan BKPM. Dalam layanan tatalaksana TB, fasilitas kesehatan yang mampu melakukan pemeriksaan mikroskopis disebut FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM). FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM) menerima rujukan pemeriksaan mikroskopis dari FKTP yang tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan mikroskopis yang disebut sebagai FKTP Satelit (FKTP-S). b. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif untuk kasus-kasus TB dengan penyulit dan kasus TB yang tidak bisa ditegakkan diagnosisnya di FKTP. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS Tipe C, B dan A, RS Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) dan klinik utama. Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB secara berkualitas dan terjangkau, semua fasilitas kesehatan tersebut diatas perlu bekerja sama dalam kerangka jejaring pelayanan kesehatan baik secara internal didalam gedung maupun eksternal bersama lembaga terkait disemua wilayah.



12



BAB II PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA



BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS A. Penemuan Pasien Tuberkulosis Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB, sehinga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan terduga pasien, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara bermakna akan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB serta sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Keikutsertaan pasien merupakan salah satu faktor penting dalam upaya pengendalian TB. 1. Strateglpenemuan a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi terdampak TB dan populasirentan. b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini. c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan; didukung dengan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat. d. Pelibatan semua fasllitas kesehatan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan. e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap: 1) kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV, Diabetes mellitus dan malnutrisi. 2) kelompok yang rentan karena berada dl lingkungan yang berisiko tinggi terjadinya penularan TB, seperti: Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo. 3) Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB. 4) Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resistan obat. f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan gejala dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung health = PAL), manajemen terpadu balita sakit (MTBS), manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS) akan membantu meningkatkan penemuan pasien TB di faskes, mengurangi terjadinya misopportunity dan sekaligus dapat meningkatkan mutu layanan. g. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala: -1' Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,



Jst(•BABm



TATAIAXSAIIA PMIIIll TllBBIIKDLOIIIB



-



malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.  Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. 2. Pemeriksaan dahak a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS): • S (sew aktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua. • P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes. • S (sew aktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. b. Pemeriksaan Biakan Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal: • Pasien TB ekstra paru. • Pasien TB anak. • Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif. Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut. 3. Pemeriksaan uji kepekaan obat Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan obat. Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi.



14



BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS



B. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa 1. Diagnosis TB paru: • Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat. • Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB. • Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara kllnis dilakukan setelah pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang tidak memberikan perbaikan klinis. • Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis. • Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis. • Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung: • Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu - Pagi Sewaktu): • Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif.



2. Diagnosis TB ekstra paru: • Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. • Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena. • Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala yang sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.



Jst(•BAB m



TATAIAXSAIIA PMIIIll TllBBIIKDLOIIIB



e



Gambar 1. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa (tanpa kecurigaan/bukti: hasil tes HIV(+) atau terduga TB Resistan Obat)



[



]



Batuk berdahak :"!' 2 rna



"'



[



]



Pemeriksaan ldinis 1, SPS



I



(+++)



[



! [



,,



J



Folo tOI'Ib mendukunilB,



(- + +)



,,



!



[ Tidak bisa dirujuk



Rujuk ke Faskes Jtujukan Tingkat Lanjut



( -- +)



L



I



r



l



Foto toraks tidak mendukung TB, per!imbangan dokter



pellilll.,_lpll daldli'



!



l



J



]



,,



,,,,'',,



,,'



,,,,,'



,,' BUKAN TB



] ,,"' [



,,' ,,,,



Pemeriksaan Tes Cepat/Biakan



I



[



[



+



Terapi AB non OATs ]



Tidak ada perbaikan



,"'



I I I



(



(- - -)1



J



Pmrks. klinis ulang, SPS 6



J, --l



(-- -)1



]



[ Pemaikan



J



L J



(+++) (- + +) (- +. )



---------- ----------I



:



M.tb (+) Rif.



resistan I I



1B



ll



J, Jtujuk ke Faskes Jtujukan TBMDR



[ Observasi 7



J



J



! Pei......TB -.1 pliilarMn l8lianll I I I I



(



I



KOLABORASI KEGIATAN TB HIV



}----:



[



*



BUKANTB



J



• (dimodifikasi dari :



Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National Programme, WHO, 2003)



-i-i-m----------------------T-T----AP_A_mD



n-m--B---'-!



Keterangan : 1) Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar kondisi pasien dalam rekam medis. Untuk faskes yang memiliki alat tes cepat, pemeriksaan mikroskopis langsung tetap dilakukan untuk terduga TB tanpa kecurigaan/bukti HIV maupun resistensi OAT. 2) Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan tes cepat dan biakan. Untuk pemeriksaan tes cepat dapat dilakukan hanya dengan mengirimkan contoh uji. 3) Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi. 4) Pemberian AB (antibiotika) non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB termasuk golongan Kuinolon. 5) Untuk memastikan diagnosis TB 6) Dilakukan TIPK (Test HIV atas lnisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling) 7) Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan asesment lanjutan oleh dokter untuk faktor2 yg bisa mengarah ke TB Catatan: 1. Agar tidak terjadi over diagnosis atau under diagnosis yang dapat merugikan pasien serta gugatan hukum yang tidak perlu, pertimbangan dokter untuk menetapkan dan memberikan pengobatan didasarkan pada: a. Keluhan, gejala dan kondlsi klinis yang sangat kuat mendukung TB b. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan, misal: pada Meningitis TB, TB milier, pasien ko-infeksi TB/HIV, dsb c. Sebaiknya tindakan medis yang diberikan dikukuhkan dengan persetujuan tertulis pasien atau pihak yang diberikan kuasa (informed consent). 2. Semua terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan edukasi tentang PPI (Pencegahan dan Pengendalian lnfeksi) untuk menurunkan risiko penularan



C. Klaslflkasl dan Tlpe Paslen TB Diagnosis TB adalah upaya untuk menegakkan atau menetapkan seseorang sebagai pasien TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Selanjutnya untuk kepentingan pengobatan dan survailan penyakit, pasien harus dibedakan berdasarkan klasifikasi dan tipe penyakitnya dengan maksud: 1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat 2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat 3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk pengendalian TB 4. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan 5. Analisis kohort hasil pengobatan 6. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifll:as program TB secara tepat baik dalam maupun antar kabupaten I kota, provinsi, nasional dan global. Terduga TB: adalah seseorang yang mempunyaikeluhan atau gejala klinis mendukung TB.



Jst(•BAB



m



TATALAKSANA PASIBI TUBERKOLOSIS.



1. Definisi Pasien TB: Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis: Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert). Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah: a. Pasien TB paru BTA positif b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena. e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis. Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis: Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah: a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB. b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis. c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring. Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis. 2. Klasifikasi pasien TB: Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga diklasifikasikan menurut : a. Lokasi anatomi dari penyakit b. Riwayat pengobatan sebelumnya c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat d. Status HIV



a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit: Tuberkulosis paru: Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.



18



BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS



Tuberkulosis ekstra paru: Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.



b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: 1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).



2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: • Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi). • Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. • Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default). • Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.



3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.



c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa : • Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja • Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan • Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan • Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin) • Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).



BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS



• Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.



19



d. Klasifikasipasien TB berdasarkan status HIV 1) Paslen TB dengan HIV posltlf (paslen ko-lnfeksl TB/HIV): adalah pasien TB dengan: • Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau • Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB. 2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan: • Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau • Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB. Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya temyata hasil tes HIV menjadipositif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif. 3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosisTB ditetapkan. Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien harus disesuaikan kembaliklasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir.



D.Pengobatan Pasien TB 1. Tujuan Pengobatan TB adalah: a. Menyembuhkan pasien dan memperbaikiproduktivitas serta kualitas hidup b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB d. Menurunkan penularan TB e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat 2. Prinsip Pengobatan TB: Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip: • Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi • Diberikan dalam dosis yang tepat • Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan • Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan



-ii----------------------------------------------------------T----T---------A P_A_mD...n..m..B



------'--!-



3. Tahapan Pengobatan TB: Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan maksud: • Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu. • Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah te adlnya kekambuhan.



4. Obat Anti Tubarkulosis (OAn Tabel 2. OAT LiniPertama Jenis



Sifat



Efek samping



Isoniazid (H)



bakterisidal



Neuropati perifer,psikosis toksik, gangguan fungsi hati, kejang



Rifampisin (R)



bakterisidal



Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urine berwarna merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas, anemia hemolitik



Pirazinamid (Z)



bakterisidal



Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout artritis



Streptomisin (S) bakterisidal



Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan dan pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia, agranulositosis, trombositopeni



Etambutol (E)



Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer



bakteriostatik



TATAIAXSAIIA PMIIIll TllBBIIKDLOIIIB



e



Tabel3. Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa Dosia



3x/ minggu



Harian



OAT



Kisaran dosis (mg/kg BB)



Maksimum ( mg)



Kisaran dosis (mglkg BB)



Maksimum/hari (mg)



Isoniazid



5(4-6)



300



10(8-12)



900



Rifampisin



10 ( 8-12)



600



10(8-12)



600



Pirazinamid



25 ( 20-30)



35 ( 30-40)



Etambutol



15 ( 15-20)



-



30 ( 25-35)



-



Streptomisin



15(12-18)



-



15 ( 12- 18)



1000



Catatan:



• Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien dengan berat badan 500mg/hari.( 2 ) Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10 mglkg/BB/hari.



-ii-m---------------------------------------------------------T --- -T-------- -AP_A_mD



n--m-B--------



Tabel4.OAT yang digunakan dalam pengobatan TB MDR Janis Golongan 1:OAT lini pertama oral



(Z)



Sifat



Efek samping



bakterisidal



gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati,gout artritis



Etambutol (E) Golongan 2 :OAT suntikan Kanamycin (Km) Amikacin (Am) Capreomycin (Cm) Golongan 3: Fluorokuinolon Levofloksasin (Lfx)



bakteriostatik



gangguan penglihatan, buta wama, neuritis perifer



bakterisidal bakterisidal bakterisidal



Km,Am, Cm memberikan efek samping yang serupa seperti pada penggunaan Streptomisin



Moksifloksasin (Mfx)



bakterisidal



Golongan 4:OAT lini keduaoral Para-aminosalicylic acid



bakteriostatik



gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati dan pembekuan darah Oarang),hipotiroidisme yang reversible



Cycloserine (Cs)



bakteriostatik



Ethionamide (Etio)



bakterisidal



gangguan sistem saraf pusat : suilt konsentrasi dan lemah, depresi, bunuh diri, psikosis. Gangguan lain adalah neuropati perifer, Stevens Johnson syndrome gangguan gastrointestinal, anoreksia, gangguan fungsi hati, jerawatan, rambut rontok, ginekomasti, impotensi, gangguan siklus menstruasi, hipotiroidisme yang reversible



Pirazinamid



bakterisidal



(PAS)



mual, muntah, sakit kepala, pusing, sulit tidur, ruptur tendon uarang) mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, nyeri sendi, ruptur tendon uarang)



Golongan 5:obat yang masih belum jelas manfaatnya dalam pengobatan TB resistan obat. Clofazimine (Cfz), Linezolid (Lzd), Amoxicillin/Ciavulanate (Arnx/Civ}, Thioacetazone (Thz), lmipenem/Cilastatin (lpm/Cin), Isoniazid dosis tinggi (H),Clarithromycin-(Cir),Bedaquilin (Bdq).



5. Paduan OAT yang digunakan diIndonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC) ( ,,) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah: • Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. • Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. • Kategori Anak: 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR • Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.



TATAIAXSAIIA PMIIIll TllBBIIKDLOIIIB



-



Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya. Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu: a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien



6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya. a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: • Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis. • Pasien TB paru terdiagnosis klinis • Pasien TB ekstra paru Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3



Berat Badan 30 – 37 kg 38 – 54 kg 55 – 70 kg ≥ 71 kg



24



Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275) 2 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT



Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 2 tablet 2KDT 3 tablet 2KDT



4 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT



4 tablet 2KDT 5 tablet 2KDT



BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS



Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3



Lama Pengobatan



Tablet Isoniasid @ 300 mgr



Kaplet Rifampisin @ 450 mgr



Tablet Pirazinamid @ 500 mgr



Tablet Etambutol @ 250 mgr



Jumlah hari/ kali menelan obat



2 Bulan 4 Bulan



1 2



1 1



3 -



3 -



56 48



Dosis per hari / kali Tahap Pengobatan



Intensif Lanjutan



b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang): • Pasien kambuh • Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya • Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) Tabel 7. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3



Berat Badan 30-37 kg 38-54 kg 55-70 kg ≥71 kg



Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S Selama 56 hari Selama 28 hari 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin inj. 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj. 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj. 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT + 1000mg Streptomisin inj. ( > do maks )



Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E(400) selama 20 minggu 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol 3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol 4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol 5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol



Tabel 8. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3 Tahap Pengobatan



Tahap Awal (dosis harian) Tahap Lanjutan (dosis 3x semggu)



Lama Pengobatan



Tablet Isoniasid @ 300 mgr



Kaplet Rifampisin @ 450 mgr



Tablet Pirazinamid @ 500 mgr



Etambutol Tablet @ 250 mgr



Tablet @ 400 mgr



Streptomi sin injeksi



Jumlah hari/kali menelan obat



2 bulan 1 bulan



1 1



1 1



3 3



3 3



-



0,75 gr -



56 28



5 bulan



2



1



-



1



2



-



60



BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS



25



Catatan: • Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus. • Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg). • Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² ) • Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua. • OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.



7. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB ( ²⁶ ) a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan. Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan hasil pengobatan: 1) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif : • Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis pengobatan tahap lanjutan • Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5 dan Akhir Pengobatan) 2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif : Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1) : • Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.



26



BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS



• Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan). Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat. • Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ). Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 2): • Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur. • Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR • Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR • Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ). 3) Pada bulan ke 5 atau lebih : • Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis pengobatan selesai diberikan • Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR . • Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR • Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1), pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal. • Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pussat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap upaya PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi). Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. ( ⁹ )



BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS



27



Tabel 9. Pemeriksaan dahak ulang untuk pemantauan hasil pengobatan



-=



KATEGORI PENGOBATAN Paslen baru



BULAN PENGOBATAN 1



2



3



4



5



6



(=-- )



( == )



(--·)



(·--)



(·--·)



(·--·)



X



(X)



X



X



apabila hasilnya BTA positif, periksa ksmbalipads bulan



apabila hasilnya BTApositif•, dinyatakan gagal



apabila hasilnya BTA positif -. dinyalaksn gagal



BTApositif 2(HRZE) I 4(HR)3



Pasien baru



(== )



BTAnegetlf 2(HRZE) I 4(HR)3



Paslen pengobatlln ulang



(=-- )



ke3



apabila hasilnya BTA pollitif", lanjutkan pengobalan dan periksa kembali pada bulan ke 5



(====)



(-)



X



(X)



X



X



apabila hasilnya BTA positif, pe ksa kemballpads bulan ke3



apabila hasilnya BTA pollitif", lanjutkan pengobalan dan perlkaa kemball pada bulan ke 5



apabila hasilnya BTAposltlf•, dlnyatakan gagal



apabila hasilnya BTA posltlf ••.dlnyalakan gagal



( == )



(-=--)



(·--·)



(·--·)



(--)



(·--)



(--·)



7



8



(- )



(---)



(--·)



X



X



X



apabila hasilnya BTA pollitif", lanjutkan pa'lgobalan dan pariksa kambali pada bulan ka 5



apabila haailnya BTApositif•, dinyalakan gagal



apabila hallilnya BTApositif-, dinyatakan gagaI



BTApositif 2(HRZE)S I (HRZE) 15(HR)3£3 '"'J



2:;



rn



;



I rn



( dimodifikasi dari : Management of Tuberculosis, Training for Health Facility staf,WH0,2010) Keterangan: ( ==) Pengobalan tahap awal (-) Pengobalan tahap lanjutan X Pemeriksaan dahak ulang pada minggu terakhir bulan pengobalan unluk memantau hasil pengobatan (X) Pamariksaan dahak ulang pada bulan inidilakukan hanya apabila hasil pamariksaan pada akhir lahap awalhasilnya BTA(+) lakukan pemariksaan biakan dan ujikspakaan.Jiks hasilnya manunjukkan ada rasislllnsi,pasian dinyatakan GAGAL,rujuk kB faskas rujukan TB niSistan obat Pasien dinyatakan gagal.lakukan pameriksaan biakan dan ujikapakaan.Jika hasilnya manunjukkan ada r!lsistensi,rujuk ka faskas rujukanTB r!lsistan obal.



Pasien TB ekstra paru



Untuk pasien TB ekstra paru, pemantauan kondisiklinis merupakan cara menilai kemajuan hasil pengobatan (Standar 10. ISTC). Sebagaimana pada pasien TB BTA negatif, perbaikan kondisi klinis antara lain peningkatan berat badan pasien merupakan indikator yang bermanfaat.



b.



Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur ( a 5 ) Tabel10. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur Tlndakan pada paalen yang putua barobat aelama kurang dart1bulan



t:l:l



=



• Ollakukan palacakan paslan • Olskuslkan dangan paslen untuk mancarl faktor panyabab putus barobat



•Lanjutkan pangobalan dosls yang terslsa sampal seluruh dosls pangobatan lerpanuhl•



Tlndakan pada paalen yang putua barobat antara 1- 2 bulan Tindakan pertama Apabila hasilnya BTA negatif alau pada awal pengobatan adalah pasian TB akstra paru



• Lacak paslan



Tindakan kedua Lanjulkan pengobatan dosis yang tersisa sampaiseluruh dosis pengobalan lelpenuhi•



Total dosis pengobatan sebelumnya s 5 bulan



• Olskuslkan dangan paslan untuk mencarl laktor penyebab putus barobat



Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi• • Kategori 1:



Apabila salah satu atau labih hasilnya BTA positif • Periksa dahak SPS dan melanjutikan pengobalan sementara menunggu hasilnya



Tindakan pada puien yang putua berobat 2 bulan atau labih (LollS



Apabila hasilnya BTA negatif atau pada awal pengobatan adalah paslen TB akstra paru



• Lacak pelien • Oiskusikan dengan pasien unluk mancari laktor penyebab putus berobat



i !0!1



I



to follow-i!p)



ll nls paslan, Kaputusan pangobatan selanjutnya dlta1apkan olah dolder tergantung pada kondlsl kl apabila: 1. sudah ada perbllkan nyalll:henllkan pengobatan dan paslan tetap dlobservasl. Apabila kamudian te adiparburukan kondisi ldinis,pasien diminte untuk parikse kambeli l1au 2. bllum ada perblikan nyalll:lanjulkan pangobllan dosis yang tarsisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi• Ka orl1



• Periksa dahak SPS dan atau tes cepat • Hentikan pengobatan sementara menunggu hasilnya



1. Lakukan Plllllrlksaan ta cepal 2. Barlkan Katlgorl 2 mulaldarl awa1•• • Kategori 2: Lakukan pemeriksaan tes cepat atau dirujuk ka RS Pusat Rujukan TB MOR -



Total dosls pangobatan sabelumnya il:: 5 bulan



Dosis pengobatan sebelumnya < 1bin Apabila salah satu atau lebih hasilnya BTA positif dan tldak ada buktl raststensl



Apabila selah satu atau lebih hasilnya BTA positif dan ada bukti rasiatansi



Berikan pengobatan Kat. 1 mulai dari awal



Berikan pengobatan Kat. 2 mulaidari awal Kat.gorl2 Dosis pengobatan sebelumnya < 1bin Berikan pengobatan Kat. 2 mulaidari awal Dosis pengobatan sebelumnya > 1bin Dlru)uk ka layanan spasialistik untuk pemeriksaan labih lanjut Dosis pengobatan sebelumnya > 1bin



Kategort 1maupun Kltegort 2 DlruJuk ke RS pusat rujukan TB MDR



(dlmodmkaaldarl :Treatment of Tubareuloala,Guldallnea for National Programme, WHO, 2003) Keterangan : • Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhidan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kernbalisetelah menyelesaikan dosis pengobatan pada bulan ke 5 dan AP .. Sementara menunggu hasilpemeriksaln ujikepekaan pasien dapat diberikan pengobatan paduan OAT kategori 2• ...Sementara menunggu hasilpemeriksaan uji kepekaan pesien lidak diberikan pengobatan paduan OAT.



c. Hasil Pengobatan Pasien TB ( ¹ ) Hasil pengobatan Sembuh



Pengobatan lengkap



Gagal Meninggal Putus berobat (loss to follow-up)



Tidak dievaluasi



Definisi Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya. Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan. Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau sedang dalam pengobatan. Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.



Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.



d. Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed Treatment) ( ¹¹ ) Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Untuk tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat dengan kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan. 1) Persyaratan PMO a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela. d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien



30



2) Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas BABkIeIIsehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, Oa SI.S anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat TlaAiTnAnLyAaKSaAtNaAu PaAnSgIEgNoTtaUBkEeRlK uUaLrg 3) Tugas seorang PMO a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.



1) Persyaratan PMO a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela. d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien 2) Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. 3) Tugas seorang PMO a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan. d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan. 4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke fasyankes. e. Pengobatan TB pada keadaan khusus 1) Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya



BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS



31



sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50 mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( ¹² ) 2) Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. 3) Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal. 4) Pasien TB dengan kelainan hati ( ²⁶ ) a) Pasien TB dengan Hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.



b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis : • Pembawa virus hepatitis • Riwayat penyakit hepatitis akut • Saat ini masih sebagai pecandu alkohol Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.



c) Hepatitis Kronis Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan: • 2 obat yang hepatotoksik  2 HRSE / 6 HR  9 HRE • 1 obat yang hepatotoksik  2 HES / 10 HE • Tanpa obat yang hepatotoksik  18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).



32



BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS



Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB, harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.  Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,  Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,  Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan diperlukan evaluasi gangguan penglihatan. 5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR. H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. ( ²⁶ ) Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi ginjal sangat diperlukan. Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 11: Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis. Tingkat 1



Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK) KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan saluran kencing, misalnya: ginjal polikistik, kelainan struktur KK (60 – 90 ml/menit) KK (30 – 60 ml/menit) KK (15 – 30 ml/menit) KK (< 15 ml/menit) dengan atau tanpa dialisis



2 3 4 5



Tabel 12: Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan penyakit ginjal kronis. OAT Isoniasid Rifampisin Pirasinamid Etambutol



Stadium 1-3 300 mg/hari 30 kali/menit, demam > 39°C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak dibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon ( untuk 10 lain) dengan meneruskan alur diagnosis



(2) Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang bakteriologis,histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya. (3) Pemeriksaan mikroskopis tetap dilakukan bersamaan dengan tes cepat TB dengan tujuan untuk mendapat data dasar pembanding pemeriksaan mikroskopis follow up, namun diagnosis TB berdasarkan hasilpemeriksaan tes cepat (4) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) tetapi menunjukkan gejala klinis TB yang menetap atau bahkan memburuk, maka ulangi pemeriksaan tes cepat sesegera mungkin dengan kualitas sputum yang lebih baik. (5) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-)dan foto toraks mendukung TB: Jika hasil tes cepat ulang MTB (+) maka diberikan terapi TB sesuai dengan hasil tes cepat Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis kuat maka diberikan terapi TB Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis meragukan cari penyebab lain



Jst( BABVI •



BIGIAT.. KOIABORASI TB/BIV (II)



8



Gambar 6. Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Sulit Menjangkau Layanan Tes CepatTB



IStataTB ODIIA



Tertqa TB Gejala:de1101, II turaa,



ampt mlm, Htuk, pjala TB eUtra pm {lJ, {31



Pelllerlbun miholkopll +++



t )II



++·



•··



Terapl TB liDJ pcta111 (bt I ataa kat IIJ AIUaPPI



t



c



lendakuiC Tl{3)



+



rollow ap eetelU 3 miDgl pe gobata



Perbalku



PeDpbatan diiajutbn



rota tonka



t Tldu 11a11ukuJ TB



+



f Rajuk tee cepat utuk



1



koDflnl.ui IIUtedoiogjl {41



Perblllwl klllll lllteiU. peqoktm lafebi bU:tlrlal



lllkaaTB



TIUk adaPerbaibD



Tertup TB Rellsten Ollat{krlterla 10 9J



raskes yang nlit menjaqba layanu Tea CepatTB



TWU:ada PIDalkukiWI



RteiU penpbatlll bd"ebt 'Nktedal



'lllangl



pelleribwl PPIIB AIT,PPK



miboakopia daD ruJd:



utuktea cepat TB III.Ut alllr iiagDOiil dengan tel



cepatTBI



- --.------------------------------- 11 KEGIATAN KOLABORASI TB/IUV {1&)



-



Keterangan : (1) Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 39°C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak dibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon ( untuk 10 lain) dengan meneruskan alur dlagnosa. (2) Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang bakteriologis,histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya (3) Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA neg dan foto toraks menduku ng TB : diberikan terapi TB terlebih dahulu (4) Tes cepat TB bertujuan untuk konfirmasi MTB dan mengetahui resistensi terhadap rifampisin (5) Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA neg dan foto toraks tidak mendukung TB dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes cepat TB yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis TB. E.DIAGNOSIS HIV PADA PASIEN TB • Salah satu tujuan dari kolaborasi TB-HIV adalah menurunkan beban HIV pada pasien TB. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi pintu masuk bagi pasien TB menuju akses pencegahan dan pelayanan HIV sehingga dengan demikian pasien tersebut mendapatkan pelayanan yang komprehensif. • Tes dan konseling HIV bagi pasien TB dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: Tes HIV Atas lnisiasi Petugas Kesehatan dan Konseling (TIPK) dan Konseling dan Tes Sukarela (KTS) • Merujuk pada Permenkes no. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, semua pasien TB dianjurkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK sebagai bagian dari standar pelayanan oleh petugas TB atau dirujuk ke layanan HIV. • Tujuan utama TIPK adalah agar petugas kesehatan dapat membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan medis secara khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang seperti dalam pemberian terapi ARV. • Langkah-langkah untuk pelaksanaan TIPK pada pasien TB akan dijelaskan lebih lengkap dalam Petunjuk Tatalaksana Klinis Ko-infeksi TB-HIV.



F. PENGOBATAN TB PADA ODHA DAN INISIASIART SECARA DINI • Diantara pasien TB yang mendapatkan pengobatan, angka kematian pasien TB dengan HIV positif lebih tinggi dibandingkan dengan yang HIV negatif. Angka kematian lebih tinggi pada ODHA yang menderita TB paru dengan BTA negatif dan TB ekstra paru oleh karena pada umumnya pasien tersebut lebih imunosupresi dlbandingkan ODHA dengan TB yang BTA positif. (2 6) Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA termasuk wanita hamilprinsipnya adalah sama seperti pada pasien TB lainnya. Pasien TB dengan HIV positif diberikan OAT dan ARV, dengan mendahulukan pengobatan TB untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian.



Jst( BABVI •



BIGIAT.. KOIABORASI TB/BIV



(I ).-



Pengobatan ARV sebaiknya dlmulai segera dalam waktu 2- 8 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan TB dan dapat ditoleransi baik . (= 16) • Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata 1), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV. • Apabila pasien TB didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk pasien ke unit HIV atau RS rujukan ARV untuk mempersiapkan dimulainya pengobatan ARV. • Sebelum merujuk pasien ke unit HIV, Puskesmas/unit DOTS RS dapat membantu dalam melakukan persiapan agar pasien patuh selama mendapat pengobatan ARV. • Pengobatan ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu memberikan tatalaksana komplikasi yang terkait HIV, yaitu di RS rujukan ARV atau satelitnya. Sedangkan untuk pengobatan TB bisa didapatkan di unit DOTS yang terpisah maupun yang terintegrasi di dalam unit PDP. • Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya sudah tidak lagi dijumpai reaksi atau efek samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat dirujuk kembali ke Puskesmas/unit RS DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan untuk ARV tetap diberikan oleh unit HIV. • Ke asama yang erat dengan Fasyankes yang memberikan pelayanan pengobatan ARV sangat diperlukan mengingat adanya kemungkinan harus dilakukan penyesuaian ARV agar pengobatan dapat berhasil dengan balk. • Pengobatan bersama TB-HIV akan dijelaskan lebih rinci dalam Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis KoinfeksiTB-HIV. G. PEMBERIAN PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN ISONIAZID {PP INH) Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) bertujuan untuk mencegah TB aktif pada ODHA, sehingga dapat menurunkan beban TB pada ODHA . Jika pada ODHA tidak terbukti TB dan tidak ada kontraindikasi, maka PP INH diberikan yaitu INH diberikan dengan dosis 300 mg/hari dan 86 dengan dosis 25mg/hari sebanyak 180 dosis atau 7 bulan.



H. PEMBERIAN PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN KOTRIMOKSASOL (PPK) Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian pada ODHA dengan atau tanpa TB akibat 10. Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol relatif aman dan harus diberikan sesuai dengan Pedoman Nasional PDP serta dapat diberikan diunit DOTS atau diunit PDP.







BABVI







KEGIATAN KOLABORASI TB/IUV (1&1



I. PERAWATAN, DUKUNGAN DAN PENGOBATAN HIV • Perawatan bagi pasien dengan HIV bersifat komprehensif berkesinambungan, artinya dilakukan secara holistik dan terus menerus melalui sistem jejaring yang bertujuan memperbaiki dan memelihara kualitas hidup ODHA dan keluarganya. Perawatan komprehensif meliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan pendukung lainnya seperti aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan penyembuhan dan rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologi, sosial dan kebutuhan spritual individu termasuk perawatan paliatif. • Dukungan bagi pasien dengan HIV meliputi dukungan sosial, dukungan untuk akses layanan, dukungan di masyarakat dan di rumah, dukungan spriritual dan dukungan dari kelompok sebaya.



BIGIAT.. KOIABORASI TB/BIV



(I ).-



BAB VII PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk, berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu yang cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak permukaan. Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli. Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk mencegah tersebarnya kuman TB ini. A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi. Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan adalah yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut belum sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat. Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu : 1. Pengendalian Manajerial 2. Pengendalian administratif 3. Pengendalian lingkungan 4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus dilakukan ada saat WBP baru, dan kontak sekamar. 1. Pengendalian Manajerial. Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait. Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi: a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif



72



BAB VII PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS



d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI TB e. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB (tenaga, anggaran, sarana dan prasarana) yang dibutuhkan f. Monitoring dan Evaluasi g. Melakukan kajian di unit terkait penularan TB h. Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan organisasi masyarakat terkait PPI TB 2. Pengendalian Administratif. Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman m. tuberkulosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan, mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan. Upaya ini mencakup: a. Strategi TEMPO (TEMukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati secara tepat) b. Penyuluhan pasien mengenai etika batuk. c. Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuangan dahak yang benar. d. Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk KIE. e. Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB. Pengendalian administratif lebih mengutamakan strategi TEMPO yaitu penJanngan, diagnosis dan pengobatan TB dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi penularan TB secara efektif.



• TEMukan pasein secepatnya • Pisahkan secara aman • Obati secara tepat



Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar, dan ideal untuk diterapkan. Dengan menggunakan strategi TEMPO akan mengurangi risiko penularan kasus TB dan TB Resistan Obat yang belum teridentifikasi. Untuk mencegah adanya kasus TB dan TB Resistan Obat yang tidak terdiagnosis, dilaksanakan strategi TEMPO dengan skrining bagi semua pasien dengan gejala batuk.



BAB VII PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKST I UBERKULOSIS







Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut: a. Temukan pasien secepatnya. Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan dirujuk ke laboratorium.



b. Pisahkan secara aman. Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan masker. Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan dalam antrian (prioritas).



c. Obati secara tepat. Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera diobati sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius 3. Pengendalian Lingkungan. Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida. Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu: a. Ventilasi Alamiah b. Ventilasi Mekanik c. Ventilasi campuran Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik. 4. Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri. Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan. Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah. Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.



74



BAB VII PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS



Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet. Gambar 6: Jenis respirator untuk petugas kesehatan



Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari). Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.



BAB VII PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS



75



BAB VIII PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan semua fasilitas layanan kesehatan. Public Private Mix (bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif. PPM (Public Private Mix) meliputi: • Hubungan kerjasama pemerintah-swasta, seperti: kerjasama program pengendalian TB dengan faskes milik swasta, kerjasama dengan sektor industri/perusahaan/tempat kerja, kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM). • Hubungan kerjasama pemerintah-pemerintah, seperti: kerjasama program pengendalian TB dengan institusi pemerintah Lintas Program/Lintas Sektor, kerjasama dengan faskes milik pemerintah termasuk faskes yang ada di BUMN, TNI, POLRI dan lapas/rutan. • Hubungan kerjasama swasta-swasta, seperti: kerjasama antara organisasi profesi dengan LSM, kerjasama RS swasta dengan DPM, kerjasama DPM dengan laboratorium swasta dan apotik swasta. Sehubungan dengan berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) yang dimulai Januari tahun 2014, maka pemberian layanan TB tanpa penyulit dilakukan di FKTP, sedangkan untuk TB dengan penyulit atau yang memerlukan pemeriksaan diagnosis lanjutan dilakukan di FKRTL. A. Tujuan Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan. B. Prinsip dan Strategi PPM. 1. Prinsip PPM Dalam melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai berikut: a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan saling menguntungkan. b. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kebaikan pasien dengan menerapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK). c. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang dikoordinir oleh program pengendalian TB di setiap tingkat.



76



BAB VIII PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



2. Strategi PPM Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga diharapkan peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix (PPM), yaitu : a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas, b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta, c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis, d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas, e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional, f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas. C. Penerapan PPM Penerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu: 1. Tingkat Nasional 2. Tingkat Provinsi 3. Tingkat Kabupaten/Kota 1. Tingkat Nasional Di tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan kebijakan, peraturan, pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menjadi pegangan bagi penerapan PPM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat nasional terdiri dari jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait lainnya, pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership Indonesia (FSTPI), organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan, LSM serta mitra internasional. 2. Tingkat Provinsi Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan, perhimpunan profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan, tempat kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar dapat melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di tingkat kabupaten/kota. 3. Tingkat kabupaten/kota Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring kemitraan antar pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar fasyankes.Tahapan pelaksanaan dimulai dengan pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan kabupaten/kota untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring rujukan. Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM. a. Pilar 1: Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas . Subdit Tuberkulosis, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular langsung, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menetapkan NSPK berkaitan dengan Pilar ini antara lain:



BAB VIII PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



77



1) Penguatan sistem surveilans dan Management Information for Action (MIFA), misalnya Pengembangan Sistim Informasi TB Terpadu (SITT) berbasis web yang bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin). 2) Peningkatan Kualitas layanan DOTS paripurna. 3) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung Health/PAL) yaitu pendekatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer terhadap pasien yang mengalami gangguan saluran pernafasan dengan keluhan utama batuk kronis dan sesak. 4) Meningkatkan cakupan TBHIV yaitu melalui: • Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV • Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV 5) Penyusunan Regulasi dari Kementerian Pertahanan dalam upaya pengendalian TB di wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) melalui faskes TNI dan pengembangan jejaring melalui Mobilisasi Sosial TNI. 6) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS dasar dengan pilar-pilar yang lain, contohnya: • Memperluas Pelayanan untuk pasien TB Resistan Obat. • Pelibatan Rutan/Lapas dalam pelayanan untuk warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang terdampak dan rentan terhadap TB. • Pelibatan tempat kerja, swasta dan dunia usaha untuk membangun kepedulian perusahan terhadap pengendalian TB melalui CSR (Corporate Social Responsibility). • Integrasi layanan TB di FKTP kedalam skema JKN yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. • Bekerjasama dengan organisasi profesi dalam hal peningkatan rujukan kasus TB ke faskes DOTS dasar. 7) Peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif. b. Pilar 2: Pelayanan DOTS di RS publik/swasta Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan akan menetapkan NSPK sesuai pendekatan-pendekatan sebagai berikut: 1) Integrasi penerapan layanan TB dengan Strategi DOTS ke dalam Akreditasi Rumah Sakit 2012. 2) Penerapan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana TB. 3) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS di RS dengan pilar yang lain, contohnya: • Memperkuat jejaring rujukan dengan pelayanan DOTS dasar. • Memperluas layanan rujukan TB resistan obat di RS-RS yang ditunjuk. • Mendorong terbentuknya Center of Excellent (COE) untuk layanan TB. • Meningkatkan kualitas layanan TB-HIV yaitu melalui:  Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,  Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,  Pengobatan pencegahan dengan INH (PP-INH). c. Pilar 3: Pelayanan DOTS oleh Dokter Praktek Mandiri dan Spesialis Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkoordinir penerapan pilar ke 3 melalui pendekatanpendekatan sebagai berikut:



78



BAB VIII PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



1) Penerapan International Standards for TB Care (ISTC) yang telah diwujudkan dalam bentuk PNPK yang merupakan standar pelayanan TB bagi dokter di seluruh Indonesia. 2) Sertifikasi DPM untuk mengobati pasien TB melalui terbitnya Surat Keputusan PB IDI No.680.1/PB/A/09/2013 tentang penatalaksanaan pasien tuberkulosis. Dokter yang tersertifikasi TB memiliki kewenangan mengobati pasien TB, sedangkan dokter yang belum tersertifikasi hanya diperkenankan menjaring terduga TB dan merujuk kepada fasilitas layanan TB dengan strategi DOTS. Dokter yang mengobati pasien TB akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk SKP dari PB IDI. 3) Penetapan Panduan Praktik Klinis Dokter di Layanan Primer melalui Surat Keputusan PB IDI no.561/PB/A.4/08/2013 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no.5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Selain IDI, pilar 3 ini juga meliputi pendekatan lain yang dikoordinir oleh Kemenkes berupa kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran dan telah disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia. d. Pilar 4: Diagnosis TB yang berkualitas. Pilar ini dikoordinir oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik (BPPM) dan Sarana Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Rujukan, melalui pendekatan: 1) Penguatan Jejaring dan Quality Assurance (QA) laboratory dengan mengembangkan sistim Pemantauan Mutu Eksternal pemeriksaan diagnostik TB (Mikroskopis, kultur, DST dan molekuler). 2) Menjamin kualitas laboratorium di fasyankes melalui pengembangan Jejaring Lab TB dengan mengatur dan mendorong adanya Laboratorium Rujukan TB Provinsi dan Laboratorium rujukan intermediate. 3) Menentukan laboratorium yang bersertifikat untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan 2. 4) Pemanfaatan teknologi tes diagnostik TB dengan tes cepat (GeneXpert dan LPA). 5) Meningkatkan keterlibatan lab swasta dalam jejaring DOTS serta meningkatkan mutunya. e. Pilar 5: Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara Rasional. Pilar ini dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dirjen Bina Kefarmasian Alat Kesehatan dengan melibatkan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Pendekatan pilar ini lebih pada penetapan regulasi dan penegakan hukum, yaitu: 1) Mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan “One Gate Policy”. 2) Pelaksanaan post market surveillance untuk OAT lini-1. 3) Penyusunan SOP pengelolaan logistik TB OAT dalamnya termasuk SOP uji kualitas OAT. 4) Memfaslitasi proses prakualifikasi WHO untuk OAT. 5) Mendorong regulasi penggunaan OAT secara rasional. f. Pilar 6: Penguatan Sistem Komunitas. Pilar ini melibatkan secara aktif lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat dan organisasi terdampak TB, melalui pendekatan:



BAB VIII PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



79



1) Membantu mengadvokasi membangun komitmen termasuk pendanaan. 2) Membangun kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan layanan DOTS yang berkualitas 3) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam memantau kualitas layanan TB yang diberikan faskes. 4) Memberdayakan masyarakat peduli TB dalam pemberian dukungan psikososial pada pasien TB. 5) lntegrasi layanan TB kedalam upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM). D.Langkah·langkah Pemantapan PPM. Langkah-langkah pemantapan PPM dilakukan antara lain sebagai berikut: 1. Melakukan penilaian dan analisa situasi untuk mendapatkan mapping kesiapan atau permasalahan penerapan pelayanan TB di fasyankes yang telah atau akan dilibatkan. 2. Mendapatkan komitmen yang kuat dari pimpinan stakeholders (organisasi profesi, NGO, CSR, dll) baik swasta maupun pemerintah dalam rangka melaksanakan PPM. 3. Memastikan pelayanan TB be alan di tiap fasyankes primer sesuai kemampuan,dengan mempertimbangkan antara lain sebagai berikut: a. Ada tidaknya Tim DOTS atau pelaksana pelayanan TB terlatih di fasyankes b. Keberadaan Unit DOTS di fasyankes sebagai tempat koordinasi dan pelayanan pasien TB secara komprehensif dan terpadu. c. Kesiapan akses pelayanan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak sesuai standar di fasyankes atau merujuk ke lab TB yang lain. d. KelengkapanTenaga medis, paramedis, laboratorium, rekam medis, petugas administrasi, farmasi (apotek) yang terlatih. e. Biaya operasional. f. Ketersediaan SOP baik dalam jejaring internal maupun jejaring eksternal. g. Berjalannya surveilans TB dan penggunan format pencatatan dan pelaporan sesuai kegiatan pelaksanaan program TB nasional h. Menentukan fasyankes yang perlu dl supervisi dan yang terllbat dalam pertemuan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program TB. i. Menginformasikan/umpan balik, menyebarluaskan hasil pencapaian fasyankes sampai ke pimpinan fasyankes. Fungsi Dinas Kesehatan dalam jejaring PPM,sebagaiberikut: 1. Penanggung jawab PPM. 2. Menunjuk koordinator PPM. 3. Membuat surat keputusan tentang pembentukan tim PPM. 4. Bersama fasyankes menyusun protap jejaring layanan pasien TB, dan memastikan protap dijalankan. 5. Mengesahkan protap jejaring layanan TB. 6. Pembinaan, monitoring dan evaluasi penerapan DOTS dan kegiatan program TB lainnya di fasyankes. 7. Memastikan sistem surveilans TB (pencatatan dan pelaporan) be alan.







BABVJD







PUBUC PRIVATI MIX DOTS DALAK PEBGUDALIAI TOBBRKULOSIS



Keberhasilan pendekatan PPM sangat tergantung dalam membentuk sistim J9Jarlng dengan berbagai sector oleh karena itu per1u adanya Koordinator PPM yang mempunyai tugas sebagai berikut 1. Memastikan mekanisme jejaring seperti yang tersebut diatas berjalan dengan baik. 2. Memfasilitasi rujukan antar fasyankes dan antar prov/kab/kota 3. Memastikan pasien yang dirujuk melanjutkan pengobatan ke fasyankes yang dituju dan menyelesaikan pengobatannya. 4. Memastikan setiap pasien mangkir dilacak dan ditindak lanjuti 5. Memastikan terlaksananya kegiatan validasi data, supervisi, monitoring dan evaluasi pasien di fasyankes. 6. Menyusun laporan kegiatan PPM kepada penanggung jawab PPM (Dinas kesehatan setempat). E. lndikator Pelaksanaan PPM Pemantapan PPM perlu dilakukan diantaranya dengan mempertahankan mutu program pengendalian tuberkulosis agar memperoleh hasil yang efektif, efisien dan bermutu. Oleh karena itu dalam dalam pemantapan PPM di Kabupaten/Kota per1u dilakukan pemantauan yang berkesinambungan, agar tetap berjalan dalam jalumya, maka lndikator untuk memantau kegiatan PPM adalah: 1. Proporsifaskes ter1ibat PPM diantara jumlah faskes yang ada. 2. Kontribusi terhadap angka penemuan TB (CNR). 3. Angka keberhasilan pengobatan di masing-masing faskes PPM. 4. Angka keberhasilan rujukan difaskes PPM.



Jst(•BABVID



BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS



Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas (gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan memerlukan fasilitas sumber daya laboratorium yang memenuhi standar . Pemeriksaan 3 contoh uji (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan hanya dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja penanggulangan TB, diperlukan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium tersebut. Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium TB, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi. A. Organisasi Pelayanan Laboratorium TB. Laboratorium TB tersebar luas dan berada di setiap wilayah, mulai dari tingkat Kecamatan, Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai laboratorium pelayanan kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium pendidikan/penelitian. Setiap laboratorium yang memberikan pelayanan pemeriksaan TB mulai dari yang paling sederhana, yaitu pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling mutakhir seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar. Untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar, maka diperlukan jejaring laboratorium TB. Masing-masing laboratorium di dalam jejaring TB memiliki fungsi, peran, tugas dan tanggung jawab yang saling berkaitan. Masing-masing tingkat laboratorium memiliki fungsi sesuai dengan pelayanan laboratorium mikroskopis, biakan, uji kepekaan dan molekuler. 1. Jejaring Pelayanan Laboratorium Mikroskopis TB. a. Laboratorium mikroskopis TB di faskes Dalam layanan pemeriksaan mikroskopis, fasilitas kesehatan dibagi berdasarkan kemampuannya melakukan pemeriksaan mikroskopis TB menjadi: • Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis TB (FKTP-RM), adalah FKPT dengan laboratorium yang mampu membuat sediaan contoh uji , pewarnaan dan pemeriksaan mikroskopis dahak, menerima rujukan dan melakukan pembinaan teknis kepada laboratorium FKTP Satelit (FKPT-PS). FKTP-RM harus mengikuti pemantapan mutu eksternal melalui uji silang berkala oleh laboratorium RUS-1 di wilayahnya atau lintas kabupaten/kota. • Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit (FKTP-S), adalah FKTP dengan laboratorium yang melayani pengumpulan dahak, pembuatan contoh uji, fiksasi dan kemudian merujuk ke FKTP-RM. Dalam jejaring laboratorium mikroskopis TB semua fasiltas laboratorium kesehatan termasuk laboratorium Rumah Sakit dan laboratorium swasta yang melakukan pemeriksaan laboratorium mikroskopis TB dapat mengambil peran sebagai FKTP-RM dan FKTP-S sesuai dengan kemampuan pemeriksaan yang dilaksanakannya.



82



BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS



b. Laboratorium Rujukan Uji Silang Pertama /Lab Intermediate/ RUS 1 Laboratorium RUS 1 ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan dan berada di tingkat Kabupaten/Kota dengan wilayah kerja yang ditetapkan oleh Dinas Kabupaten/Kota terkait atau lintas kabupaten/kota atas kesepakatan antara Dinas Kabupaten /Kota. Pada Lab RUS 1 dengan wilayah kerja lebih dari 1 kabupaten/kota, penetapan laboratorium oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Laboratorium RUS 1 memiliki tugas dan fungsi: 1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan mikroskopis BTA. 2) Melaksanakan uji silang sediaan dahak dari laboratorium fasyankes di wilayah kerjanya. 3) Melakukan pembinaan teknis laboratorium mikroskopis di wilayah kerjanya. 4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan). 5) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan jejaring laboratorium TB di wilayahnya. c. Laboratorium Rujukan Uji Silang Kedua/ RUS 2 Laboratorium RUS 2 terdapat di provinsi yang memiliki laboratorium RUS 1. Apabila provinsi yang tidak memiliki laboratorium RUS 1, maka laboratorium rujukan provinsi berperan sebagai lab RUS. Laboratorium RUS 2 ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan dengan peran dan fungsi: 1) Melakukan uji silang ke-2 jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan (diskordance) mikroskopis laboratorium fasyankes dan laboratorium RUS 1 2) Melakukan pembinaan teknis laboratorium RUS 1 di wilayahnya 3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk pengelolaan jejaring laboratorium TB di wilayahnya 4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan). 5) Mengikuti PME tingkat nasional (uji silang sediaan dahak dengan metode LQAS, supervisi, tes panel) dari Laboratorium Rujukan Nasional. d. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011 tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BLK Provinsi Jawa Barat sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut: 1) Peran: a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan mikroskopis TB b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan mikroskopis TB 2) TanggungJawab: Memastikan semua kegiatan laboratorium mikroskopis dalam jejaring laboratorium mikroskopisTB berjalan sesuai peran dan tugas pokoknya.



BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS



83



3) Tugas: a) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium mikroskopis TB. b) Memfungsikan jejaring laboratorium mikroskopis TB. c) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai untuk laboratorium mikroskopisTB. Gambar 7. Struktur Jejaring Laboratorium Mikroskopis TB



LAB. RUJUKAN PROVINSI LABORATORIUM RUJUKAN UJI SILANG 2



LABORATORIUM INTERMEDIATE/ LABORATORIUM RUJUKAN UJI SILANG 1



LABORATORIUM MIKROSKOPIS TB Dl FKTP-RM



FKTP SATELIT



+:



Pembinaan & pengawasan mutu ------. : mekanisme rujukan



2. Jejaring Pelayanan Lab Biakan dan Uji Kepekaaan a. Laboratorium fasyankes mikroskopis TB Laboratorium fasyankes mikroskopis TB adalah laboratorium Puskesmas, RS atau BP4 yang mempu melakukan pemeriksaan mikroskopis TB. Dalam jejaring pelayanan laboratorium biakan dan uji kepekaan, laboratorium fasyankes mikroskopis TB berperan mengirimkan dahak pasien penderita TB untuk diperiksa ke Laboratorium rujukan Xpert MTB/RIF terdekat sesuai dengen ketentuan yang ber1aku. b. Laboratorium UjiCepat Biomolekuler Laboratorium uji cepat biomolekuler merupakan laboratorium di fasyankes Rujukan/Sub Rujukan TB MDR yang mampu melakukan pemeriksaan uji cepat biomolekuler yaitu GeneXpert. Pada terduga pasien TB MDR dengan hasilpemeriksaan GeneXpert adalah Rif Res (Rifampisin resistan) maka laboratorium uji cepat biomolekuler harus mengirimkan sampel dahak dari pasien tersebut ke laboratorium rujukan biakan dan uji kepekaan lini 1 dan 2.







BABIX







MABAJEMEN LABORATORIUII TOBBRKULOSIS



c. Laboratorium biakan Laboratorium biakan adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan biakan M. tuberculosis sesuai standar dan memenuhi indikator kinerja laboratorium biakan TB. Pencatatan pelaporan wajib dilaksanakan oleh laboratorium biakan TB dan indikator kinerja laboratorium ini dilaporkan kepada Laboratorium Rujukan Regional dan LRN. Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: 1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan identifikasi parsial NTM 2) Mengirimkan isolat biakan ke Laboratorium Rujukan Regional 3) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN 4) Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait dengan tugasnya sebagai Laboratorium rujukan biakan provinsi d. Laboratorium biakan dan uji kepekaan Melakukan pemeriksaan pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji kepekaan OAT sesuai standard dan tersertifikasi melalui mekanisme pemantapan mutu oleh LRN. Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: 1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan/ atau 2 2) Melakukan pembinaan dan menerima rujukan dari laboratorium yang melakukan pemeriksaan biakan TB di wilayah kerjanya. Fungsi ini merupakan fungsi sebagai laboratorium rujukan regional. Laboratorium dengan fungsi regional adalah laboratorium rujukan provinsi yang ditetapkan oleh LRN berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan 3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan jejaring laboratorium TB di wilayah kerjanya. 4) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN. e. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011 tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BBLK Surabaya sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut: 1) Peran a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB. b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan isolasi, identifikasi, dan uji kepekaan TB. 2) Tugas Pokok a) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium biakan dan uji kepekaan TB b) Memfungsikan jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TB c) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai untuk laboratorium biakan dan uji kepekaan TB d) Mengembangkan pedoman teknis, prosedur tetap, pemantapan mutu eksternal (PME) dan pedoman pelatihan biakan dan uji kepekaan TB e) Menyelenggarakan PME dalam jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TB f) Melaksanakan pelayanan rujukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB



BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS



85



g) Menyelenggarakan pelatihan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB h) Melaksanakan pencatatan, pelaporan dan evaluasi data kegiatan jejaring i) Mengikuti kegiatan PME diselenggarakan oleh laboratorium rujukan TB supranasional. 3) Tanggung Jawab j) Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai laboratorium pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB berjalan sesuai peran dan tugas pokok. Gambar 8 S truktur Jejaring Laboratorium Biakan dan UjiKepekaan TB



.......



• • • I•ll••••• • •:.I.Lab Biakan



Laboratorium Rujukan Nasional











.



Keterangan =Aiur



t=Aiur







• = Alur







3. Jajaring Palayanan Laboratorium UjiCapat Biomolakular. a. Laboratorium UjiCepat Biomolekuler (GeneXpert) Rujukan pemeriksaan laboratorium uji cepat biomolekuler berada dalam jejaring pelayanan laboratorium biakan dan uji kepekaan, sedangkan pembinaannya berada pada jejaring pelayanan laboratorium uji cepat biomolekuler. b. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011 tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk Departemen Mikrobiologi FKUI sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk penelitian operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan Mycobacterium other than TB (MOTT) yang pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat







BABIX







MABAJEMEN LABORATORIUII TOBBRKULOSIS



Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut: 1) Peran a) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk penelitian operasional TB, b) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT. 2) Tugas Pokok a) Melaksanakan penelitian operasional TB b) Melaksanakan pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT. c) Melaksanakan evaluasi/validasi teknologi baru. d) Melaksanakan pelatihan dan evaluasi pasca pelatihan teknologi baru e) Melaksanakan PME untuk teknologi baru f) Bekerjasama dalam jejaring laboratorium TB internasional. 3) Tanggungjawab Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai penelitian operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT berjalan sesuai peran dan tugas pokok. B. Manajemen Laboratorium TB. 1. Manajemen Logistik Laboratorium TB. Perencanaan, pengadaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan dan penggunaan logistik laboratorium TB diatur melalui mekanisme logistik Program Pengendalian TB 2. Manajemen Pemantapan Mutu Laboratorium TB. Pemantapan mutu laboratorium TB dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jejaring laboratorium mikroskopis, biakan/uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler. Komponen pemantapan mutu terdiri dari 3 hal utama yaitu: a. Pemantapan Mutu Internal (PMI) b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME) c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement) a. Pemantapan Mutu Internal (PMI) PMI adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan laboratorium TB untuk mencegah kesalahan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi proses pemeriksaan laboratorium agar hasil pemeriksaan tepat dan benar. Tujuan PMI: 1) Memastikan bahwa semua proses sejak persiapan pasien, pengambilan, penyimpanan, pengiriman, pengolahan contoh uji, pemeriksaan contoh uji, pencatatan dan pelaporan hasil dilakukan dengan benar. 2) Mendeteksi kesalahan, mengetahui sumber/penyebab dan mengoreksi dengan cepat dan tepat. 3) Membantu peningkatan pelayanan pasien. Kegiatan PMI harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap praanalisis, analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.



BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS



87



Beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan PMI yaitu: 1) Tersedianya Prosedur Tetap (Protap) untuk seluruh proses kegiatan pemeriksaan laboratorium, misalnya : a) Protap pengambilan dahak b) Protap pembuatan contoh uji dahak c) Protap pewarnaan Ziehl Neelsen d) Protap pemeriksaan Mikroskopis e) Protap pembuatan media f) Protap inokulasi g) Protap identifikasi h) Protap pengelolaan limbah, dan sebagainya. 2) Tersedianya Formulir /buku untuk pencatatan dan pelaporan kegiatan pemeriksaan laboratorium TB 3) Tersedianya jadwal pemeliharaan/kalibrasi alat, audit internal, pelatihan petugas 4) Tersedianya contoh uji kontrol (positip dan negatip) dan kuman kontrol. b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME) PME laboratorium TB dilakukan secara berjenjang, karena itu penting sekali membentuk jejaring dan tim laboratorium TB di laboratorium rujukan. Pelaksanaan PME dalam jejaring ini harus berlangsung teratur/berkala dan berkesinambungan. Koordinasi PME harus dilakukan oleh laboratorium penyelenggara yaitu laboratorium rujukan bersama dengan Dinas Kesehatan setempat agar dapat melakukan evaluasi secara baik, berkala dan berkesinambungan. 1) Perencanaan PME a) Melakukan koordinasi diantara komponen pelaksana Program TB berdasarkan wilayah kerja jejaring laboratorium TB b) Menentukan kriteria laboratorium penyelenggara c) Menentukan jenis kegiatan PME d) Penjadwalan pelaksanaan PME dengan mempertimbangkan beban kerja laboratorium penyelenggara. e) Menentukan kriteria petugas yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan PME f) Penilaian dan umpan balik. 2) Kegiatan PME Kegiatan PME laboratorium TB dilakukan melalui: a) PME Mikroskopis • Uji silang sediaan dahak mikroskopis Dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan dengan melakukan pemeriksaan ulang sediaan dahak dari unit laboratorium mikroskopis TB di fasyankes. Pengambilan sediaan dahak untuk uji silang dilakukan dengan metode Lot Quality Assurance Sampling (LQAS). Metoda ini diterapkan diseluruh Indonesia namun dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan sumber daya laboratorium metoda LQAS dapat dimodifikasi sehingga alur dan peran komponen PME dapat berubah.



88



BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS



Gambar 9. Alur uji silang mikroskopis TB Unit Kemenkes dengan tupoksiPembinaan Laboratorium



I



TB12 r ekap nasional + Absensi Uji Silang Nasional



SUBDITTB nal+ s pnasi UjiSilan Nas TB12 rekap provinsi+ Absensi Uji Silang Prov



LRN TB12 rekap provinsi + Absensi Uji Silan2 Prov



T DINKES PROVINSI



LAB RUS II TB12 reka p kabupaten + Absen UJSilang Kab+ TB12 Fasyanke



l



TB12 r ekap kabupaten + TB12 rekap kabupaten Absen Uji Silang Kab+ + Absen Uji Silang TB12 asyankes Kab+ TB12 Fasyan es DINKES KAB/



LAB RUS I TB12 fasyankes



KOTA TB12







Uji profisiensi/ tes panel sediaan dahak mikroskopis, Kegiatan ini untuk menilai kinerja petugas laboratorium TB tetapi hanya dilaksanakan apabila uji silang dan supervisi belum berjalan dengan memadai.



b) PME Uji Kepekaan OAT Secara berkala dan berkesinambungan dilakukan Tes Panel dari laboratorium rujukan nasional melalui pengiriman isolat-isolat yang kemudian harus diperiksa dengan biakan dan diuji kepekaan terhadap OAT di laboratorium pelaksana pelayanan biakan dan uji kepekaan TB. c) Bimbingan teknis Laboratorium TB. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menindaklanjuti menjamin kualitas pemeriksaan laboratorium TB.



umpan balik PME dan



c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement) Kegiatan ini dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari PMI dan PME, dengan membuat tolok ukur dan perencanaan peningkatan mutu, meliputi: 1) Tenaga: pelatihan, penyegaran, mutasi, penetapan kriteria/kualifikasi tenaga laboratorium TB pada semua jenjang 2) Sarana dan prasarana: standarisasi,pemeliharaan, pengadaan, uji fungsi 3) Metode Pemeriksaan: revisi protap, pengembangan metode pemeriksaan



..;t-r.'...



BABIX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS ••



3. Manajemen Sistim Informasi Laboratorium TB Untuk menjamin data kegiatan laboratorium dapat termonitor dengan baik, maka seluruh kegiatan laboratorium TB akan terintegrasi dengan Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis (SITT) untuk pelayanan pemeriksaan mikrokopis (Laporan TB.12) dan eTB Manager untuk pelayanan pemeriksaan biakan, uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler. C. Keamanan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium TB Manajemen laboratorium harus menjamin adanya sistem dan perangkat keamanan dan keselamatan kerja serta pelaksanaannya oleh setiap petugas di laboratorium dengan pemantauan dan evaluasi secara berkala, yang diikuti dengan tindakan koreksi yang memadai. Komponen yang berperan pada keselamatan dan keamanan laboratorium TB yaitu: infrastruktur laboratorium, peralatan, bahan yang dipakai, proses dan keterampilan kerja dan pengelolaan limbah laboratorium TB. Komponen-komponen tersebut harus diselaraskan baik dari aspek pengelolaan (manajemen) dan teknis laboratorium agar terjamin keselamatan dan keamanan petugas dan lingkungan. Keselamatan dan Keamanan Laboratorium TB bertujuan untuk mencegah dan menangani infeksi dan kecelakaan kerja di laboratorium TB.



90



BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS



BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan, baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes). Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik sehingga ketersediaan dan kualitasnya terjamin. A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis. 1. Pengertian Logistik P2TB. Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari proses penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya. Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat. Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang digunakan untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat. 2. Jenis-jenis Logistik P2TB. Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan Non OAT. a. Jenis-jenis Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan Program Pengendalian TB (P2TB di Indonesia adalah seluruh jenis OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli (KOMLI) dengan memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO. Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB adalah: • Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomisin (S). • Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx), Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino Salicylic (PAS). 1) Obat Anti TB (OAT) Non Resistan Dalam pelayanan pengobatan pasien TB, Program Nasional Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paket individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis



BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



91



kemasan, yaitu: kemasan Kombinasi Dosis Combination (FDC) dan kemasan Kombipak.



Tetap



(KDT)/Fix



Dose



Paket OAT KDT/FDC adalah paket OAT yang dalam setiap tablet OAT-nya telah ada seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB. Dimana P2TB pada paket OAT KDT-nya menggunakan 4KDT/4FDC dan 2KDT/2FDC. Paket Kombipak adalah paket OAT dimana tablet OAT-nya masih lepasan dari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB. Baik paket OAT KDT/FDC maupun paket OAT Kombipak, tablet OAT-nya dikemas dalam bentuk blister. Paduan paket OAT yang saat ini disediakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah: • Paket KDT OAT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 • Paket KDT OAT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 • Paket KDT OAT Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) • Paket Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 • Paket Kombipak Kategori Anak : 2HRZ/4HR 2) Obat Anti TB (OAT) RR/MDR Dalam pelayanan pengobatan pasien TB resistan obat, Program Nasional Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paduan individual yang terdiri dari beberapa OAT lini kedua ditambah OAT lini pertama yang masih sensitif. Paduan pengobatan pasien TB RR/MDR yang digunakan Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah: Km – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E) Sediaan dari OAT lini kedua dan lini pertama yang digunakan untuk paduan OAT RR/MDR yang disediakan adalah: Nama OAT Kanamycin (Km) Capreomycin (Cm) Levofloxacin (Lfx) Moxifloxacin (Mfx) Ethionamide (Eto) Cycloserin (Cs) Para Amino Salicylic (PAS) Pirasinamid (Z) Etambutol (E)



92



Dosis



Bentuk



1000 mg 1000 mg 250 mg 400 mg 400 mg 250 mg 2g 500 mg 400 mg



vial vial tablet tablet tablet kapsul sachet tablet tablet



BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



b. Logistik Non OAT Logistik Non OAT yang digunakan dalam P2TB adalah seluruh jenis logistik Non OAT yang digunakan P2TB baik dalam pelayanan pasien TB maupun pasien TB resistan obat. 1) Logistik Non OAT Non Resistan Logistik Non OAT yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai. a) Logistik Non OAT habis pakai antara lain adalah:  Bahan-bahan laboratorium TB, seperti: Reagensia, Pot Dahak, Kaca sediaan, Oli Emersi, Ether Alkohol, Tisu, Sarung tangan, Lysol, Lidi, Kertas saring, Kertas lensa, dll.  Formulir pencatatan dan pelaporan TB, seperti: TB.01 s/d TB.13 b) Logistik Non OAT tidak habis pakai antara lain adalah:  Alat-alat laboratorium TB, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak penyimpanan OAT, dll  Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lainlain. 2) Logistik Non OAT Resistan Obat Logistik Non OAT resistan obat yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai. a) Logistik Non OAT resistan obat habis pakai antara lain adalah:  Cartridge GeneXpert  Masker bedah  Respirator N95  Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB & MDR b) Logistik Non OAT resistan obat tidak habis pakai antara lain adalah:  Alat-alat laboratorium TB resistan obat, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak penyimpanan OAT, dll  Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lainlain. 3. Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB. Pengelolaan logistik P2TB dilakukan pada setiap tingkat pelaksana program pengendalian TB, yaitu mulai dari tingkat Pusat, Dinkes Provinsi, Dinkes Kab/Kota sampai dengan di Fasyankes, baik rumah sakit, puskesmas maupun fasyankes lainnya yang melaksanakan pelayanan pasien TB dengan strategi DOTS.



BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



93



Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT adalah seperti gambar dibawah ini: Gambar 10: Jejaring Pengelolaan Logistik TB.



Dinkes Provinsi



Instalasi Farmasi Provinsi (IFP)



distribusi



permintaan



Dinkes Kab/kota



permintaan



Instalasi Farmasi Kab/Kota(IFK)



distribusi



Fasyankes



Dokter Praktik Mandiri (DPM)



Klinik Swasta



Keterangan: Alur distribusi OAT Alur permintaan dan pelaporan OAT Keterangan: Untuk Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan klinik akan memperoleh logistik melalui Puskesmas yang membina wilayah dimana DPS/Klinik tersebut berada. Jejaring pengelolaan logistik TB Resisten Obat di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT Resistan Obat adalah seperti gambar dibawah ini:



97



94



BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



Gambar 11: Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB Resistan Obat Pusat



Instalasi Farmasi Nasional



Dinkes Provinsi



Instalasi Farmasi Provinsi (IFP)



Faskes Rujukan



Instalasi Farmasi Faskes Rujukan



Faskes Sub Rujukan



Faskes Satelit



Keterangan: Alur Distribusi OAT Alur Permintaan dan Pelaporan OAT



Keterangan: Fasyankes Rujukan TB MDR memperoleh logistik TB Resistan Obat, baik obat maupun non obat dari Dinas Kesehatan Provinsi. Sedangkan untuk fasyankes satelit memperoleh logistik dari fasyankes rujukannya. B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis. Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menjamin agar logistik P2TB tersedia di setiap layanan pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan pengelolaan logistik P2TB dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, sampai dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen pendukung. Hal ini dapat dilihat pada siklus pengelolaan logistik dibawah ini.



BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



95



Gambar 12: Siklus Manajemen Logistik P2TB



MANAJEMEN PENDUKUNG ,.t'Organlsasl



,.I'Dana ,.I'Sistem lnfonnasl ,.t'sumber Daya Manusla



,.I' Jaga Mutu



1. Perencanaan Logistik P2TB. Perencanaan adalah kegiatan pertama dalam siklus pengelolaan logistik. Kegiatan ini meliputi proses penilaian kebutuhan, menentukan sasaran, menetapkan tujuan dan target, menentukan strategi dan sumber daya yang akan digunakan. Hal-hal yang diperhatikan dalam melakukan perencanaan logistik P2TB adalah: a. Menyiapkan data yang dibutuhkan dalam merencanakan logistik P2TB, antara lain: data pasien TB yang diobati dan jumlah logistik yang digunakan tahun sebelumnya, data fasilitas pelayanan kesehatan, stok logistik yang masih bisa dipakai dan sumber dana. b. Menentukan jenis logistik yang dibutuhkan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan. Untuk logistik OAT dan Non OAT yang berhubungan dengan kegiatan teknis program TB seperti lab suplies, formulir pencatatan pelaporan,dll harus sesuai dengan spesifikasi Program TB Nasional. c. Perencanaan logistik dihitung sesuai dengan kebutuhan dengan memperhitungkan sisa stok logistic P2TB yang masih ada dan masih dapat dipergunakan (belum Kadaluarsa atau rusak). d. Perencanaan logistik berdasarkan kebutuhan program (program oriented) bukan budget oriented. e. Perencanaan logistik P2TB dilakukan oleh/diserahkan kepada tim perencanaan terpadu yang sudah ada.



-x- ------------------------------- 11



PBRGBLOLAI' LOG ISTIK R P OGRAMPBRGU DALIAR TOBBRKULOSIS



f. Pelaksanaan perencanaan kebutuhan logistik disesuaikan dengan jadwal penyusunan anggaran disetiap tingkat pemerintahan di Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. a. Perencanaan OAT Perencanaan kebutuhan OAT menggunakan dua pendekatan yaitu metode konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi adalah proses penyusunan kebutuhan berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya, sedangkan metode morbiditas adalah proses penyusunan kebutuhan berdasarkan perkiraan jumlah pasien yang akan diobati (insidensi) sesuai dengan target yang direncanakan. Perencanaan OAT P2TB yang digunakan merupakan gabungan dari kedua pendekatan metode konsumsi dan morbiditas. Perencanaan kebutuhan setiap jenis/kategori OAT didasarkan target penemuan kasus, dengan memperhitungkan proporsi tipe penemuan pasien tahun lalu, jumlah stok yang ada dan masa tunggu (lead time). 1) Perencanaan OAT Tidak Resistan Perencanaan OAT Non Resistan dilakukan secara “bottom up planning” mulai dari Kabupaten/Kota kemudian diusulkan ke Provinsi dan rekapnya diusulkan ke Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya. 2) Perencanaan OAT Resistan Obat Mengingat data kondisi epidemilogis resistan obat disetiap wilayah belum tersedia, maka perencanaan OAT resistan obat saat ini dilakukan secara terpusat di Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya sesuai dengan target penemuan kasus. b. Perencanaan Non OAT Perencanaan logistik Non OAT dilaksanakan disetiap tingkatan dengan memperhatikan: 1) Jenis logistik 2) Spesifikasi 3) Jumlah kebutuhannya. 4) Stok yang tersedia dan masih dapat dipergunakan 5) Unit pengguna Perencanaan logistik Non OAT dilakukan oleh Program Nasional Pengendalian TB bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan memperhatikan target penemuan kasus dan pengembangan cakupan program.



BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



97



2. Pengadaan Logistik P2TB. Pengadaan logistik merupakan proses untuk penyediaan logistik yang dibutuhkan pada institusi maupun layanan kesehatan. Pengadaan yang baik harus dapat memastikan logistik yang diadakan sesuai dengan jenis, jumlah, tepat waktu sesuai dengan kontrak kerja dan harga yang kompetitif. Proses pengadaan harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan Pengadaan logistic P2TB adalah: a. Tersedianya logistik P2TB dalam jumlah, jenis, spesifikasi dan waktu yang tepat. b. Didapatkannya logistik P2TB dengan kualitas yang baik dengan harga yang wajar. Kebijakan Pengadaan Logistik P2TB adalah: a. Pengadaan logistik bisa berasal dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota dan Bantuan Luar Negeri. b. Pelaksanaan pengadaan logistik berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku dengan mengacu ke Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. c. Pengadaan yang sumber dana dari Bantuan Luar Negeri selain mengikuti Perpres juga mengikuti persyaratan dari donor. d. Pengadaan logistik yang berasal dari APBN dilaksanakan oleh Kemenkes RI, Ditjen Binfar & Alkes, Ditjen PP&PL maupun Ditjen lainnya. e. Pengadaan yang berasal dari APBD Provinsi dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dengan usulan dari Dinas Kesehatan Provinsi yang bersangkutan. f. Pengadaan yang berasal dari APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. a. Pengadaan OAT OAT merupakan obat dengan kategori “Sangat Sangat Esensial” (SSE) sehingga Pemerintah wajib menyediakannya, baik pemerintah Pusat maupun Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Saat ini kebutuhan OAT masih dipenuhi dari pengadaan Pusat dengan dana APBN. Sedangkan untuk OAT resistan obat masih menggunakan dana bantuan (donor). Pengadaan OAT dengan dana APBN setiap tahunnya dilakukan oleh Ditjen. Binfar dan Alkse Kemenkes R.I. Sedangkan OAT resistan obat dengan dana bantuan dilakukan oleh Subdit. TB. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik OAT adalah: 1) Paduan OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional Pengendalian TB. 2) Batas kadaluarsa OAT pada saat diterima oleh panitia penerima barang minimal 24 (dua puluh empat) bulan.



98



BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



3) Persyaratan mutu OAT harus sesuai dengan persyaratan mutu yang tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir. 4) Industri Farmasi yang memproduksi OAT bertanggung jawab terhadap mutu OAT melalui pemastian dan pemeriksaan mutu (Quality Control) oleh industri farmasi dengan mengimplementasikan CPOB secara konsisten. 5) OAT memiliki sertifikat analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor bets masing-masing produk. 6) OAT diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB. b. Pengadaan Non OAT Logistik Non OAT P2TB juga merupakan komponen yang penting dalam mendukung terlaksananya kegiatan P2TB. Untuk itu pengadaan logistik Non OAT P2TB juga menjadi tanggung jawab Pemerintah khususnya Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kebijakan Desentralisasi, baik logistic Non OAT untuk TB regular maupun TB resistan obat. Saat ini, pengadaan logistik Non OAT P2TB masih mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat, baik dari dana APBN maupun dana bantuan donor. Namun alokasi dana yang ada tidak dapat memenuhi/mengadakan 100% kebutuhan Nasional. Sehingga kontribusi pengadaan dari Kabupaten/Kota maupun Provinsi sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan yang ada. Hal-Hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik Non OAT adalah: 1) Logistik Non OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional Pengendalian TB. 2) Mutu logistik yang diadakan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan untuk setiap jenis logistik.



3. Penyimpanan Logistik P2TB. Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan logistik termasuk memelihara yang mencakup aspek tempat penyimpanan (Instalatasi Farmasi atau gudang), barang dan administrasinya. Dengan dilaksanakannya penyimpanan yang baik dan benar, maka logistik P2TB akan terjaga mutu/kualitasnya, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab (irasional) dan menjamin ketersediaannya serta memudahkan pencarian dan pengawasan. Dalam penyimpanan logistic P2TB baik OAT maupun Non OAT, Program Nasional Pengendalian TB mengikuti kebijakan Ditjen. Binfar dan Alkes Kemenkes R.I., yaitu: “One Gate Policy”, dimana seluruh OAT maupun Non OAT disimpan di dalam Instalasi Farmasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten Kota dan Fasyankes.



BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



99



Ketentuan-ketentuan dalam penyimpanan logistic P2TB agar terkelola dengan baik dapat merujuk pada “Buku Panduan Pengelolaan Logistik P2TB”. 4. Distribusi Logistik P2TB. Distribusi logistic P2TB adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengeluaran dan pengiriman logistik P2TB dari tempat penyimpanan (Istalasi Farmasi/IF) ke tempat lain (IFP/IFK/IFF) dengan memenuhi persyaratan baik administratif maupun teknis untuk memenuhi ketersediaan jenis dan jumlah logistik dan terjaga kualitasnya sampai di tempat tujuan. Proses distribusi ini harus memperhatikan aspek keamanan, mutu dan manfaat.



Tujuan distribusi logistik P2TB adalah: a. Terlaksananya pengiriman logistik P2TB seseuai kebutuhan dan terencana (jadwal) sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang cukup. b. Terjaminnya ketersediaan logistik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan c. Terjaminnya mutu logistik pada saat pendistribusian Distribusi dilaksanakan berdasarkan permintaan secara berjenjang untuk memenuhi kebutuhan logistik di setiap jenjang penyelenggara program penanggulangan TB. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses distribusi adalah: a. Distribusi dari Pusat dilaksanakan atas permintaan dari Dinas Kesehatan Provinsi. Distribusi dari Provinsi kepada Kabupaten/ Kota atas permintaan Kabupaten/ Kota. Distribusi dari Kabupaten/Kota berdasarkan permintaan Fasyankes. b. Setelah ada kepastian jumlah logistik yang akan didistribusikan, maka tingkat yang lebih tinggi mengirimkan surat pemberitahuan kepada tingkat yang dibawahnya mengenai jumlah, jenis dan waktu pengiriman logistik. c. Membuat Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan Berita Acara Serah Terima (BAST). d. Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan logistik maka Institusi yang bersangkutan menginformasikan ke Institusi diatasnya untuk dilakukan relokasi atau pengiriman logistik tersebut. e. Proses distribusi ke tempat tujuan harus memperhatikan sarana/transportasi pengiriman yang memenuhi syarat sesuai ketentuan obat atau logistik lainnya yang dikirim. f. Penerimaan logistik dilaksanakan pada jam kerja. g. Penetapan frekuensi pengiriman logistik haruslah memperhatikan antara lain anggaran yang tersedia, jarak dan kondisi geografis, fasilitas gudang dan sarana yang ada.



100



BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



5. Penggunaan Logistik P2TB. Penggunaan logistik P2TB adalah kegiatan/proses penggunaan logistik P2TB, baik OAT maupun Non OAT sesuai dengan peruntukannya dan aturan pakainya. a. Penggunaan Logistik OAT Penggunaan logistik dapat dilihat dan mengacu pada tatalaksana pengobatan TB baik TB yang tidak resistan maupun TB yang resistan. b. Penggunaan Logistik Non OAT Untuk penggunaan logistik non OAT seperti bahan dan alat laboratorium mengacu pada buku-buku panduan maupun juknis laboratorium TB. Demikian juga dengan formulir dan buku pencatatan pelaporan penggunaannya mengacu pada bab pencatatan dan pelaporan TB. 6. Manajemen Pendukung Pengelolaan logistik program TB dilakukan di setiap tingkat pelaksana, mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota maupun Sarana Pelayanan Kesehatan (SPK). Sehingga diperlukan suatu manajemen pengelolaan dan koordinasi yang baik antara setiap tingkat pelaksana tersebut. a. Pengorganisasian Organisasi pengelolaan logistik P2TB dilakukan disetiap tingkat pelaksana, mulai dari tingkat Pusat sampai dengan Fasyankes. Organisasi pengelolaan ini dapat digambark:an di bawah ini: Gambar 13.Organisasi Pengelolaan Logistik P2TB



I



KEMENTERIAN KESEHATAN



I



DITJEN PP&PL INSTALASIFARMASI NASIONAL



PUSAT



I



DINAS KESEHATAN PRQVINSI .-'-IN_S_T_A_LA_S_I_F_A-RM_A_S_I--, PROVINSI (IFP)



... DINAS KESEHATAN KAB/KOTA



!



I INSTALASI FARMASI KAB/KOTA (IFK)



FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN



I'BIGII.OIAAll LOGIBTIII PROOIIAIII PIIGEIDALIAII



'I'IIIIEIIKIILO -



b. Pembiayaan Logistik P2TB Pembiayaan dalam pengelolaan logistik program TB sangat diperlukan. Pembiayaan ini dapat bersumber dari dana APBN, APBD maupun sumber lainnya yang sah sesuai kebutuhan. Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu. Pembiayaan dapat diidentifikasi dari berbagai sumber mulai dari anggaran pemerintah dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber dana dapat dimobilisasi. c. Sistim Informasi Logistik P2TB Saat ini Program Nasional Pengendalian TB telah menggunakan 2 sistem informasi untuk pencatatan dan pelaporan Program TB dan TB resistan obat, dimana didalamnya sudah termasuk sistim informasi tentang pengelolaan logistik P2TB yaitu: 1) Untuk pelaporan TB.13 OAT menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu (SITT), yang mulai dipergunakan sebagai sistem informasi TB sejak tahun 2011. 2) Untuk pelaporan TB.13 OAT resistan obat menggunakan e-TB Manajer, yang mulai dipergunakan untuk sistem informasi TB MDR sejak tahun 2009. d. Sumber Daya Manusia Logistik P2TB Dalam Pengelolaan Logistik Program TB, dukungan manajemen dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting untuk terciptanya pengelolaan logistik yang baik. SDM TB untuk mengelola logistik di setiap tingkat pelaksana sangat dibutuhkan, baik jumlah maupun kompetensinya, sehingga perlu adanya suatu standar ketenagaan, pelatihan dan supervisi sesuai tupoksi dan beban kerjanya. Tujuan pengembangan SDM dalam program TB adalah tersedianya tenaga pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata lain “kompeten”) yang diperlukan dalam pengelolaan logistik program TB, dengan jumlah yang cukup sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Pengembangan SDM tidak hanya berkaitan dengan pelatihan tetapi meliputi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam penanggulangan TB. e. Pengawasan Mutu Logistik P2TB Pengawasan atau jaga mutu logaitik P2TB adalah kegiatan yang dilakukan untuk memastikan bahwa logistic P2TB yang ada terjamin/terjaga kualitasnya baik mulai dari produksi, distribusi, penyimpanan sampai dengan saat digunakan.



102



BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



1) Pengawasan Mutu OAT Pengawasan/jaga mutu OAT adalah kegiatan/proses standardisasi produk OAT dan sarana yang digunakan mulai dari pre sampai dengan post market, yaitu: a) Pre-market: pemberian nomor ijin edar, sertifikasi CPOB. b) Post-market: pemeriksaan setempat, sampling dan pengujian, monitoring efek samping. Logistik terutama OAT yang diterima atau disimpan di gudang perbekalan kesehatan secara rutin harus dilakukan uji mutu. Uji mutu ini dapat dilakukan secara organoleptik dan laboratorium. 2) Pengawasan Mutu Logistik Non OAT Pengawasan/jaga mutu logistik Non OAT pada prinsipnya sama dengan jaga mutu OAT, hanya disesuaikan dengan jenis dan karakteristiknya. Pengawasan/jaga mutu logistic Non OAT dilakukan pada saat produksi dan distribusi sehingga kualitas logistic Non OAT dapat terjamin mutunya. Contoh: Reagensia, selain dilakukan uji secara organoleptik juga dilakukan uji secara laboratorium.



BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



103



BAB XI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



Pencapaian target global TB menjadi lebih menantang sehubungan dengan isu-isu seperti HIV/AIDS, TB-MDR, TB-Infection Control (TB-IC) dan lain-lain. Demikian juga isu desentralisasi di bidang kesehatan telah meningkatkan kompleksitas tantangan untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM). Turnover staf yang tinggi dan distribusi staf yang tidak merata di provinsi/kabupaten/kota mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan tenaga yang terampil. Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata lain ”kompeten”) yang diperlukan dalam pelaksanaan program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Untuk menjamin ketersediaan tenaga yang kompeten ini, kontribusi terhadap sistem pengelolaan SDM TB yang terintegrasi sangat diperlukan misalnya perencanaan SDM TB yang memadai, pola rekrutmen yang baik, distribusi yang merata dan retensi SDM TB yang terlatih. Di dalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam Pengendalian TB. Bab ini akan membahas 3 hal kegiatan pokok yang sangat penting dalam pengembangan SDM untuk mendukung tercapainya tujuan program yaitu perencanaan ketenagaan Program TB, peran SDM TB dalam Pengendalian TB, pelatihan dan evaluasi paska pelatihan TB. A. Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TB. Perencanaan ketenagaan dalam Program Pengendalian TB ditujukan untuk memastikan kebutuhan tenaga demi terselenggaranya kegiatan Program TB di suatu unit pelaksana. Dalam perencanaan ketenagaan ini berpedoman pada standar kebutuhan minimal baik dalam jumlah dan jenis tenaga yang diperlukan. 1. Standar Ketenagaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan a. Puskesmas 1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium.



104



BAB XI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



2) Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB b. Rumah Sakit Umum Pemerintah 1) RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2 dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR) , 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga laboratorium 2) RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2 dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR), 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga laboratorium 3) RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter (2 dokter umum, SpP/SpD, SpA), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium 4) RS kelas D, RSP dan BBKPM/BKPM: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 2 dokter (dokter umum dan atau SpP), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium 5) RS swasta: menyesuaikan. c. Dokter Praktik Mandiri, minimal telah dilatih. 2. Standar Ketenagaan di Tingkat Kabupaten/Kota Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20 fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah yang aksesnya mudah dan 10 fasyankes untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 fasyankes dapat memiliki lebih dari seorang supervisor. Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah: a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB, b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (Labkesda), c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait. 3. Standar Ketenagaan di Tingkat Provinsi. Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20 kabupaten/kota di daerah yang aksesnya mudah dan 10 kabupaten/kota untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 kabupaten/kota dapat memiliki lebih dari seorang supervisor. Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB, b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (BLK), c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait, d. Provincial Training Team (PTT)/Tim Pelatihan TB Provinsi (TPP) yang terdiri dari 1 orang Provincial Training Coordinator (PTC)/Koordinator Pelatihan Provinsi (KPP)



BAB XI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



105



dengan Tim Pelatih TB minimal 5 orang fasilitator/pelatih per provinsi dan 1 orang Master of Training (MoT)/Pengendali Diklat



B.Peran SDM Dalam Pengendalian TB. Pelayanan kesehatan di tingkat kabupatenlkota adalah tulang punggung pelaksanaan Program Pengendalian TB. Setiap kabupaten/kota didukung oleh fasilitas kesehatan primer yaitu Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), Puskesmas Satelit (PS), dan Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) Kepala Dinkes kabupaten/kota bertanggung jawab melaksanakan Program Pengendalian TB, termasuk perencanaan, penganggaran dan monitoring P2TB. Di bawah Seksi Pengendalian Penyakit Menular di tingkat kabupatenlkota, seorang wasor TB bertanggung jawab atas monitoring, supervisi, pencatatan pengobatan dan ketersediaan obat. Beberapa lapas, rutan, dan tempat kea telah menjadi bagian jejaring Program Pengendalian TB di kabupaten/kota dan Puskesmas. Puskesmas bertanggung jawab untuk mendiagnosa, mengobati dan memonitor pengobatan, yang didukung oleh anggota keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO). Di tingkat provinsi, dibentuk Tim TB yang terdiri dari Provincial Project Officer (PPO), Pengelola Program TB dan petugas kesehatan lainnya



Tabel24: Peran SDM dalam Pengendalian TB Manajemen



-



Staf



Peran/tugas utama



Subdit TB dipimpin oleh Ka SubditTB



Staf Subdit TB



Tugas utama melakukan supervisi staf TB di provinsi dan kabupaten I kota. Selain itu, setiap staf memiliki tanggung jawab khusus sesuaidengan strategi dan kegiatan subdit TB.



Dinas Kesehatan Provinsi



Pengelola Program TB (Wasor) dan tim TB tingkat provinsi



•Supervisi staf TB kabupaten/kota dan puskesmas •Surveilans (Monitoring dan evaluasi) •Perencanaan dan implementasi program termasuk manajemen logistik.



Koordinator SDM TB dan tim pelatihan tingkat provinsi



•Perencanaan dan pelaksanaan pelatihan (pre dan in service) •Monitor ketersediaan dan kualitas stafTB •Supervisi dan evaluasi



Technical Officer



Dukung tugas/peran supervisor dan koordinator SDM



m-- -------------------------------- 11



PEIGIIDL\liGAJI SUitBBR DAYA IIAliUSIA PROGRAM: PUG£1IDALWI TDBIRKULOSIS



Dinas Kesehatan Kabupatenlkota



Pengelola Program TB (Wasor) dan Tim TB tingkat kablkota



•Supervisi Puskesmas • Register TB kabupaten • Manajemen obat • Analisa hasil uji silang •Surveillans (Monitoring dan Evaluasi) • Perencanaan dan implementasi program •Jejaring TB



Fasllltas kesehatan Rumah sakit



Staf



Peran/tugas utama



Dokter



• Mendiagnosa • Mengobati



Staf klinik



• Mengisi daftar terduga TB • Mengisi kartu pengobatan pasien TB • Pengawas Menelan Obat



Dokter Puskesmas (Puskesmas Rujukan Mikroskopis/ Puskesmas Pelaksana Mandiri)



• Mendiagnosa • Mengobati



Staf klinik



• Mengisi daftar terduga TB • Mengisi kartu pengobatan pasien TB • Pengawas Menelan Obat



Puskesmas satelit



Dokter



• Mendiagnosa • Mengobati



Staf klinik



• Mengisi daftar terduga TB • Mengisi kartu pengobatan pasien • Melacak yang mangkir • Pengambilan dahak • Fiksasi • Mengirim contoh uji ke Puskesmas Rujukan Mlkroskopis



Dokter praktik mandiri, Klinik sederhana



Dokter



• Mendiagnosa • Meresepkan obat



Staf klinik



• Mengisi daftar terduga TB • Mengisi kartu pengobatan pasien • Melacak yang mangkir



-



PIIGEMBAIGAI SUliBIR DAYA IIAIUSIA PROGRAM PBNGIIDALIAI TUBERKULOSJS



...



Anggota keluarga, kader, tenaga kesehatan, LSM



Masyarakat



Laboratorium



Staf



• Identifikasi dan rujuk terduga TB ke fasyankes. • Pengawas Menelan Obat (PMO) • Kunjungan rumah • Melacak yang mangkir • Catatan sederhana Peran/ tugas utama



Lab TB nasional



Ahli Biomolekuler, Spesialis Patologi klinik, spesialis Patologi Anatomi, Spesialis mikrobiologi klinik, Ahli Mikrobiologi, Analis.



Pemeriksaan dan penelitian biomolekuler, pemeriksaan non konvensional lainnya, uji silang ke dua untuk pemeriksaan biakan



Lab TB rujukan regional



Spesialis Patologi klinik, Ahli Mikrobiologi, Analis dan analis media.



Kultur, identifikasi dan uji kepekaan M.TB dan MOTT dari dahak dan bahan lain



Lab TB rujukan provinsi



Spesialis Patologi Klinik, Analis.



Pemeriksaan mikroskopis BTA, uji silang mikroskopis final



Laboratorium rujukan Uji silang (Intermediate TB Laboratory)



Petugas laboratorium dan analis



Uji silang pertama (Laboratory Quality Assurance)



Pusat Mikroskopis TB: PRM PPM Laboratorium RS Laboratorium swasta



Analis



Pembuatan contoh uji apusan dahak, fiksasi, pewarnaan Z-N, pembacaan skala IUATLD dan interpretasi



Pusat Fiksasi contoh uji TB (Puskesmas satelit)



Petugas lab



Pembuatan contoh uji apusan dahak dan fiksasi



C. Pelatihan Program Pengendalian TB Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kinerja petugas. Kegiatan pelatihan ini dapat dilakukan secara konvensional dengan klasikal dan pelatihan jarak jauh (LJJ)/distance learning. Pelatihan Program TB di Indonesia dilaksanakan secara berjenjang yaitu dimulai sejak pembentukan Master Trainer/Pelatih Utama TB, kegiatan Training of Trainers (TOT) sampai pelatihan untuk petugas kesehatan dan manajer yang terlibat dalam Pengendalian TB. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa peningkatan pelaksanaan pelatihan diikuti juga dengan meningkatnya perhatian terhadap peningkatan kualitas pelatihan.



108



BAB XI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS



1. Konsep Pelatihan P2TB. Konsep pelatihan dalam program TB, terdiri dari: a. Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training) Dengan memasukkan materi Program Pengendalian Tuberkulosis dalam pembelajaran/kurikulum lnstitusi pendidikan tenaga kesehatan. (Fakultas Kedokteran, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Farmasi dan lainlain) b. Pelatihan dalam tugas (in service training) Dapat berupa aspek klinis maupun aspek manajemen program 1) Pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS implementation) a) Pelatihan TB yang terakreditasinasional dengan kurikulum standar. b) On the job traininglkalakarya (pelatihan ditempat tugaslrefresher): telah mengikuti pelatihan sebelumnya tetapi masih ditemukan masalah dalam kinerjanya, dan cukup diatasi hanya dengan dilakukan supervisi. 2) Pelatihan lanjutan (continued training/advanced training): pelatihan ini untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan program dengan materi yang lebih tinggi dari materi pelatihan dasar. 2. Pengembangan Pelatihan P2TB. Secara umum ada 3 tahap pengembangan pelatihan sebagaimana tergambar pada gambar berikut:



-



PIIGEMBAIGAI SUliBIR DAYA IIAIUSIA PROGRAM PBNGIIDALIAI TUBERKULOSJS



..



Gambar 14.Tahap Pengembangan Pelatihan.



PENGKAJIAN ldentiflkaslkebutuhan pelatihan • Kesenjangankompetensi dan kinerja • Variable: IOrganisasi /program, ITugas abatan IPersonal



Penetapan Tujuan Pelatlhan



IMPLEMENTASI



I



v



Disain pelatihan • Pengembangankuri2x3