Buku Pemantauan Dinamika Laut Indonesia PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Tim Penulis: Albert Sulaiman, Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin, Marina C.G. Frederik, Muh. Sadly, Yusuf S. Djajadihardja, Retno Andiastuti



www.tisda.org/indoo Indonesian Operational Ocean Observing System (INDOO PROJECT - SPF ASIE/2005/102-483)



Buku ini dicetak oleh BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN APBN Tahun Anggaran 2006



Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Tim Penulis: Albert Sulaiman, Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin, Marina C.G. Frederik, Muh. Sadly, Retno Andiastuti



Indonesian Operational Ocean Observing System (INDOO PROJECT - SPF ASIE/2005/102-483)



KEPALA BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI KATA SAMBUTAN Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya alam ini perlu dikelola dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa Indonesia, tentu dengan senantiasa memperhatikan dan menjaga kelestariannya. Permasalahan sumberdaya alam kelautan menempati posisi yang cukup sentral dalam memberikan kontribusi pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalam laut terpendam potensi keanekaragaman hayati laut, potensi sumberdaya non-hayati, potensi jasa kelautan, serta potensi lingkungan laut yang luar biasa besarnya. Ini berarti bahwa kelautan kita yang begitu besar itu, apabila bisa dikonversikan menjadi asset ekonomi yang nyata dapat menjadi sumber devisa negara yang menonjol dan mampu mencerdaskan masyarakat. Untuk dapat mengelola sumberdaya alam kelautan secara baik, sebagaimana diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, maka ada salah satu faktor penting yang tidak dapat diabaikan, bahkan amat diperlukan, yakni teknologi. Dalam kaitan ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) secara umum, dan Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) secara khusus, dapat memainkan peranan yang berarti. Oleh karena itu saya menyambut gembira ketika mengetahui berkembangnya inisiatif dan upaya staf Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) dalam kerangka Proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO Project), dimana BPPT bekerjasama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dengan European Space Agency (ESA), ENEA Italy dengan dukungan grant dari Uni-Eropah (EU), untuk menyusun sebuah buku mengenai peranan teknologi penginderaan jauh dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya dalam pemantauan dinamika laut Indonesia. Buku berjudul “Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia” membahas secara komprehensif tentang karakteristik dinamika laut Indonesia, satelit oseanografi dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut Indonesia dan pengembangan sistem pemantauannya, serta contoh riset kelautan terpadu. Oleh karena itu kandungan buku ini sangat penting untuk diketahui oleh segenap Bangsa Indonesia. Isi buku yang kaya informasi iptek kelautan di Indonesia dan ditulis dengan gaya popular, tapi tetap dalam koridor saintifik ini diharapkan dapat



menjangkau khalayak pembaca yang luas. Kepada Tim Editor, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ini. Sebagai penutup saya berharap kehadiran buku ini di tengah gencarnya pembangunan kelautan, serta mengingat masih langkanya ketersediaan informasi tentang hal ini di tanah air, maka kehadiran buku ini merupakan angin segar yang patut kita syukuri, dengan harapan kiranya dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, khususnya para peneliti, kalangan perguruan tinggi, masyarakat pengguna informasi penginderaan jauh kelautan dan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan potensi sumberdaya lautan. Semoga keahlian dan teknologi pengelolaan sumberdaya alam kelautan dapat dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif pada masa depan.



Jakarta, Mei 2006 Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)



Prof. Ir. Said D. Jenie, Sc. D.



DEPUTI KEPALA BIDANG TEKNOLOGI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA ALAM, BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI KATA SAMBUTAN Permasalahan sumberdaya alam kelautan, khususnya di dalam pemantauan dinamika laut Indonesia menempati posisi yang cukup penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam lautan yang baik diperlukan metode dengan pendekatan multidisiplin yang meliputi berbagai aspek, seperti aspek pemanfaatan sumberdaya, kelestarian lingkungan dan aspek sosial ekonomi masyarakat. Orientasi pembangunan Bangsa Indonesia ke depan yang berbasis pada sumberdaya kelautan merupakan suatu keharusan mengingat (i) Indonesia memiliki sumberdaya laut yang besar, (ii) Indonesia memiliki daya saing yang tinggi di bidang kelautan, (iii) Industri di bidang kelautan dan perikanan memiliki keterkaitan yang kuat dengan industri industri lainnya. Hal ini sesuai dengan kebijakan strategis yang dibuat Kementerian Negara Riset dan Teknologi telah menempatkan pembangunan kelautan sebagai salah satu program unggulan. Sumberdaya iptek Nasional diarahkan untuk mendukung program tersebut. Untuk melaksanakan hal tersebut diatas, peran teknologi di dalam pengelolaan sumberdaya kelautan merupakan salah satu faktor penting yang tidak dapat diabaikan, bahkan amat diperlukan. Dalam kaitan ini, Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) secara cermat membina unit-unit nya dalam hal ini Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) agar dapat memainkan peranan yang berarti di dalam mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi penginderaan jauh untuk kelautan. Berbagai bentuk kegiatan, seperti seminar, ceramah, pameran, dan penerbitan buku. Salah satu kegiatan tersebut yang dapat dipandang strategis,karena memiliki dampak dalam jangka panjang. Oleh karena itu saya menyambut dengan sangat gembira usaha segenap staf peneliti Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) yang telah berhasil menyusun dan menerbitkan buku berjudul “Riset dan Teknologi



Pemantauan Dinamika Laut Indonesia”. Buku ini merupakan salah satu produk dari proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO Project) dimana BPPT bekerjasama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), European Space Agency (ESA), ENEA dan IMC Italy dengan dukungan grant dari Uni-Eropah (European Union). Melalui buku ini saya sangat berharap, masyarakat luas dapat lebih mengetahui dan memahami kemampuan-kemampuan yang dimiliki P-TISDA khususnya, serta Kedeputian TPSA umumnya, dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di Indonesia. Hal ini tercermin dari Isi buku yang kaya informasi iptek kelautan di Indonesia Akhir kata, saya memberikan penghargaan yang tinggi Kepada Tim P-TISDA atas usaha di dalam menerbitkan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat dalam memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya kelautan di Indonesia. Terima kasih.



Jakarta,



Mei 2006



Deputi Kepala Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi



Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS.



DIREKTUR PUSAT TEKNOLOGI INVENTARISASI SUMBERDAYA ALAM KATA SAMBUTAN Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya kelautan yang sangat besar, para peneliti di bidang teknologi kelautan sudah seharusnya bergerak secara cepat untuk melakukan kajian-kajian untuk selanjutnya di implementasikan dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya kelautan kita, yang akhirnya mampu memberi kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia. Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) merupakan suatu Unit dibawah Kedeputian Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT dengan dukungan 3 (tiga) Bidang, yaitu: Bidang Teknologi Karakterisasi Sumberdaya Alam, Bidang Teknologi Pemodelan Sistem Sumberdaya Alam, dan Bidang Teknologi Akuntansi SDA. Dalam melaksanakan kegiatannya, P-TISDA didukung oleh 6 (enam) Kompetensi Inti (KI), yaitu: KI Remote Sensing, KI GIS, KI Teknologi Kelautan, KI Teknologi Iklim, KI Survei Terrestrial, dan KI Valuasi SDA. Berbekal kompetensi dalam bidang teknologi remote sensing untuk aplikasi kelautan, P-TISDA telah melakukan berbagai kegiatan riset bidang kelautan bekerjasama dengan institusi/universitas di dalam negeri maupun dengan luar negeri. Salah satu bentuk kerjasama kegiatan riset kelautan yang dilakukan PTISDA adalah berpartisipasi dalam Proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO Project). Proyek INDOO merupakan kegiatan riset kelautan dan pembiayaannya melalui grant dari Uni-Eropah (European Union). BRKP sebagai koordinator kegiatan ini bekerjasama dengan BPPT, European Space Agency (ESA), IMC dan ENEA Italy. Dalam rangka promosi kemampuan teknologi kelautan yang dimiliki Indonesia saat ini kepada masyarakat luas, para peneliti P-TISDA BPPT mengambil inisiatif untuk menerbitkan buku yang diberi judul ”Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia”. Rangkaian kata-kata tajuk tersebut bukannya tanpa makna sama sekali. Buku ini memuat secara komprehensif tentang karakteristik dinamika laut Indonesia yang dimulai dengan paparan sejarah riset oseanografi dilanjutkan



dengan karakteristik umum serta dinamika laut Indonesia, satelit oseanografi dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut Indonesia dan pengembangan sistem pemantauannya, serta contoh riset kelautan terpadu. Oleh karena itu kandungan buku ini sangat penting untuk diketahui oleh segenap Bangsa Indonesia. Sebagai catatan akhir, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih atas kerja keras dari Tim Editor P-TISDA hingga diterbitkannya buku ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Tim peneliti dari Pusat Riset Teknologi Kelautan (PRTK) Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) yang merupakan mitra kerjasama di dalam Proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO). Semoga buku ini memberikan manfaat kepada berbagai kalangan, khususnya para peneliti, kalangan perguruan tinggi, masyarakat pengguna informasi penginderaan jauh dan pihak pihak yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, dan memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya kelautan di Indonesia.



Jakarta,



Mei 2006



Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam



Dr. Ir. Yusuf S. Djajadihardja, MSc.



DIREKTUR PUSAT RISET TEKNOLOGI KELAUTAN BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN KATA SAMBUTAN Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya alam ini perlu dikelola dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa Indonesia, tentu dengan senantiasa memperhatikan dan menjaga kelestariannya. Di dalam laut terpendam potensi keanekaragaman hayati laut, potensi sumberdaya non hayati, potensi jasa kelautan, serta potensi lingkungan laut yang luar biasa besarnya. Ini berarti bahwa kelautan kita yang begitu besar itu, apabila bisa dikonversikan menjadi aset ekonomi yang nyata dapat menjadi sumber devisa negara yang menonjol, mampu mencerdaskan masyarakat. Pusat Riset Teknologi Kelautan (PRTK) merupakan suatu Unit dibawah Badan Riset kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan, dimana salah satu tugasnya adalah melakukan kajian teknologi kelautan untuk mengetahui potensi kelautan di Indonesia. Untuk itu, PRTK melakukan berbagai kegiatan di bidang kelautan dengan melakukan koordinasi dengan institusi institusi terkait seperti BPPT. Untuk itu melalui Proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO Project), PRTK bekerjasama dengan BPPT (dalam hal ini P-TISDA) serta European Space Agency (ESA), IMC dan ENEA Italy. Oleh karena itu, saya memberikan apresiasi kepada Tim P-TISDA BPPT yang telah berinisiatif menerbitkan Buku berjudul “Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia”. Buku ini kaya akan informasi iptek kelautan di Indonesia yang membahas secara komprehensif tentang karakteristik dinamika laut Indonesia, satelit oseanografi dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut Indonesia dan pengembangan sistem pemantauannya, serta contoh riset kelautan terpadu. Oleh karena itu kandungan buku ini sangat penting untuk diketahui oleh segenap Bangsa Indonesia. Sebagai penutup saya berharap kehadiran buku ini di tengah gencarnya pembangunan kelautan, serta mengingat masih langkanya ketersediaan informasi tentang hal ini di tanah air, maka kehadiran buku ini merupakan



angin segar yang patut kita syukuri, dengan harapan kiranya dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. Semoga buku ini memberikan manfaat kepada berbagai kalangan, khususnya para peneliti, kalangan perguruan tinggi, masyarakat pengguna informasi penginderaan jauh dan pihak pihak yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, dan memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya kelautan di Indonesia.



Jakarta,



Mei 2006



PUSAT RISET TEKNOLOGI KELAUTAN, BRKP



Dr. Farid Ma'ruf



TIM PENULIS KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Perkasa, karena atas perkenan-Nya juga, tim penulis berhasil menyelesaikan buku ”Riset Dan Teknologi Kelautan Indonesia”. Karya tulis ini merupakan kerja bersama peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam kegiatan program INDOO (Indonesia Operational Ocean Observing System) yang mendapatkan pendanaan dari Uni Eropa dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP), Departemen Kelautan dan Perikanan. Garis besar buku disusun sebagai berikut: Bab 1 menyajikan gambaran karakteristik dinamika perairan Indonesia. Bab 2 memberikan gambaran perkembangan satelit oseanografi. Aplikasi penginderaan jauh untuk perikanan tangkap, pemetaan karakteristik perairan, pemantauan fenomena laut dan pesisir, pengamatan perubahan tutupan lahan laguna segara Anakan, dan pengamatan gelombang internal dipaparkan masing-masing pada Bab 3, 4, 5, 6 dan 7. Bab 8, 9, dan 10 memaparkan metoda numerik dinamika laut, model spektral elemen hingga di Selat Makassar, dan model sebaran zat hara untuk hidro-ekologi perairan teluk. Bab 11 memuat konsep pengembangan sistem pemantauan dinamika laut Indonesia. Bab 12 memberikan contoh pengelolaan riset terpadu dalam kegiatan survei PotRets Nipah. Besar harapan kami, buku ini dapat memberikan wawasan riset dan pemanfaatan teknologi kelautan di Indonesia, khususnya dapat menjadi acuan untuk pengembangan sistem pemantauan kondisi biofisik perairan Indonesia yang bermanfaat untuk semua pelayaran antar pulau maupun lintas kepulauan Indonesia, aktivitas olahraga air, industri perikanan budidaya dan lain sebagainya. Tidak lupa kami sampaikan ucapan terimakasih kepada pimpinan di kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA), BPPT, khususnya direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, Dr. Ir. Yusuf Surachman Djadjadiharja MSc. dan kepala Pusat Riset Teknologi Kelautan, BRKP-DKP, Dr. Ir. W. Farid Ma'ruf MSc., atas semua dukungan sehingga buku ini dapat diterbitkan. Jakarta, 15 Mei 2006 Tim Penulis



Daftar Isi KATA SAMBUTAN KATA SAMBUTAN KATA SAMBUTAN KATA SAMBUTAN



KEPALA BPPT DEPUTI TPSA BPPT DIREKTUR P-TISDA KEPALA PUSRISTEKLA



DAFTAR ISI



BAB I



BAB II



KARAKTERISTIK DINAMIKA LAUT INDONESIA 1.1 Sejarah riset oseanografi 1.2 Karakteristik umum 1.3 Dinamika Laut Indonesia: Samudra Pasifik Barat, Arlindo, Samudra Hindia Timur, Paparan



1 1 5 7



SATELIT OSEANOGRAFI DAN APLIKASINYA 2.1 Sejarah Satelit Oseanografi 2.2 Metoda Penginderaan Jauh Kelautan



20 30



BAB III



PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERIKANAN TANGKAP



47



BAB IV



PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pemetaan Karakteristik Perairan



52



PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pemantauan Fenomena Laut dan Pesisir



57



PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pengamatan Perubahan Tutupan Lahan Laguna Segara Anakan



65



BAB V



BAB VI



BAB VII PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pengamatan Gelombang Internal



69



BAB VIII Metoda Numerik DINAMIKA LAUT



75



BAB IX



MODEL Spektral Elemen Hingga Di Selat Makassar



78



BAB X



MODEL Sebaran Zat Hara Untuk Hidro-Ekologi Perairan Teluk



80



BAB XI



PENGEMBANGAN SISTEM PEMANTAUAN DINAMIKA LAUT INDONESIA



85



BAB XII RISET KELAUTAN TERPADU: PotRets NIPAH



97



Lampiran A. Sebaran konsentrasi klorofil-a 1998-2005 B. Pola kekeruhan perairan 2003 C. Dokumentasi kegiatan INDOO 2005 D. Informasi alamat penulis



110 118 119 125



BAB I Karakteristik Dinamika Laut Indonesia A. Sulaiman dan F. Syamsudin



1.1 SEJARAH RISET OSEANOGRAFI Sejarah riset kelautan di Indonesia menurut Parwono dkk (2005) dapat dibagi dalam 3 perioda sebagai berikut: 1. Masa sebelum jaman penjajahan Belanda (sejak awal catatan sejarah Indonesia sampai dengan awal kehadiran Belanda di tanah air). 2. Masa Penjajahan Belanda (sejak awal abad ke-17 sampai dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945). 3. Masa setelah Kemerdekaan Indonesia Masa sebelum jaman penjajahan Belanda (sejak awal catatan sejarah Indonesia sampai dengan awal kehadiran Belanda di tanah air). Masa sebelum jaman penjajahan Belanda mempunyai dua jaman gemilang, yaitu masa antara tahun 863 sampai dengan 1225 sebelum masehi, ketika armada kerajaan laut Sriwijaya menguasai Sumatra dan seluruh wilayah bagian barat Indonesia seperti yang kita kenal saat ini. Adapun masa gemilang kedua antara tahun 1293 sampai dengan 1389 di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Pariwono (1986) membuat postulat bahwa sejak kedua jaman gemilang tersebut, Indonesia telah memiliki ahli oseanografi handal untuk keperluan praktis perang seperti mengetahui sifat angin, pasang surut laut dan lain sebagainya. Hal itu bisa dilihat pada beberapa relief tentang perahu dan armadanya yang terdapat pada candi Borobudur misalnya. Pengetahuan Oseanografi praktis pada saat itu telah membuat kerajaan maritim seperti Sriwijaya dan kerajaan besar Majapahit mampu menguasai sebagian besar wilayah Indonesia pada waktu yang sangat panjang sebelum hegemoni kekuasaan mereka dilumpuhkan dengan kedatangan para pelaut ulung dengan teknologi yang lebih modern dari Eropa (Portugis dan Belanda). Masa Penjajahan Belanda (sejak awal abad ke-17 sampai dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945). Penelitian Oseanografi pada jaman kolonial memiliki sejarah yang sangat berarti pada perkembangan penelitian kelautan di Indonesia pada saat ini. Penelitian pada periode kolonial dimulai pada tahun 1768, ketika ekspedisi kelautan Boudeuse and Etoile digelar Perancis di perairan Indonesia. 1 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Selanjutnya sekitar 38 ekspedisi kelautan lainnya dengan melibatkan 10 negara (Austria, Inggris, Denmark, Belanda, Prancis, Jerman, Itali, Jepang, Rusia, dan Amerika) telah digelar di perairan Indonesia dalam kurun waktu 173 tahun (Pariwono, 1986, dan Aken, 2005). Penelitian oseanografi yang dilakukan mencakup: 1) Pengetahuan karakteristik massa air (van Riel, 1932, 1934, dan 1938), 2) Kondisi hidrografi perairan Indonesia (Tydeman, 1903; van der Stok, 1922; Schott, 1935), 3) Arus yang dipicu oleh angin di Laut Jawa (Barlage, 1927), dan 4) Iklim yang berhubungan dengan wilayah penelitian tersebut (Braak, 1921). Perlu juga dicatat disini bahwa Riel (1932) adalah orang pertama yang menyatakan transport arus di perairan Indonesia mengarah ke samudera Hindia dengan menggunakan data pada ekspedisi Snellius pertama. Ekspedisi Snellius ini juga berhasil memberikan informasi kondisi batimetri perairan timur Indonesia (van Riehl, 1934; Kuenen, 1935). Beberapa jejak penting penelitian kelautan pada periode kolonial ini adalah didirikannya Pasar Ikan di Jakarta yang menjadi laboratorium kelautan pertama di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Banyak hasil riset monumental dihasilkan pada laboratorium riset ini, diantaranya adalah publikasi buku Atlas Ichthyologique dalam 6 volume sejak tahun 1819 sampai dengan 1878. Publikasi lainnya adalah The Fishes of the Indonesian Archipelago oleh Weber dan de Beaufort (1911, 1913, 1916, 1922, 1929, 1931). Pada masa ini juga terbit jurnal ilmiah pertama di Indonesia berjudul: Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch indie (Nontji, 2005). Penelitian oseanografi di Indonesia sudah dimulai sejak kedantangan VOC ke tanah air. Bermula pada tahun 1598 pedagang VOC Willem Lodeijckz membuat suatu catatan yang cukup lengkap tentang ikan dan mamalia laut di Indonesia. Setelah itu seorang agen VOC kelahiran Jerman Georg Everhard Rumpf (16271702) yang tinggal di Ambon meneliti secara otodidak kerang, crustacean, mineral, tumbuhan dan binatang. Risetnya yang kebanyakan dalam bidang organisme laut dipublikasikan tahun 1705 dengan judul D'Amboinsche Rariteitkamer. Pada jaman VOC penelitian berjalan lambat karena dianggap tidak menguntungkan. Sejalan dengan semakin lemahnya VOC dan pemerintah Belanda semakin kuat mencengkeram kakinya di Bumi Nusantara maka perlahan tapi pasti penelitian oseanografi mulai berjalan. Pada akhir abab 17 dan awal abad 18 dimana Inggris berkuasa beberapa pelayaran oseanografi dilakukan. Louis Antoines De Bouganville dengan kapal Boudeuse dan Etoile malakukan pelayaran di Indonesia timur tahun 1768. Disususl oleh James Cook dengan kapal Endeavour tahun 1770. Diantara tahun 1793 sampai tahun 1840 2 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



justru peneliti dari Prancis mendominasi. Pada tahun 1858 mulailah era penelitian laut dalam. Diawali dengan kapal Cachelot yang diketuai oleh Seidenburg (Belanda) melakukan pengambilan sample sampai kedalaman 4900m di laut Banda. Pada tahun 1875 HMS Challenger yang dikomandoi Wyville Thomson (Inggris) melakukan pengukuran di laut banda sampai kedlaman 500m. Mereka menemukan temperature dasar sekitar 3.3ºC dan mereka mengindikasikan adanya air laut dari kutub masuk ke laut Banda. Kapal Gazelle yang dikomandoi Von Schleinitz dari Jerman mengobservasi temperature sekitar 2.9ºC dan 3.3ºC pada kedalaman 3700m dan 4300m. Penelitian komprehensif pertama kalai dilakukan dalam suatu ekspedisi yang dinamakan ekspedisi Siboga. Ekspedisi ini diketuai oleh professor Max Weber yang mempunyai latar belakang ahli zoology di universitas Amsterdam. Pada bula Mei 1898 Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia membangun kapal riset Siboga yang dimodifikasi dari kapal Perang. Sebagai kapten kapal dipegang oleh LetKol G.F Tydeman. Meskipun tentara Tyderman sangat tertarik pada ilmu pengetahuan. Tyderman pernah bekerja di observatory di universitas Leiden. Pada akhir kariernya Tyderman mengajar Astronomi dan Navigasi di Akademi Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Kapal Siboga mempunyai panjang 50.6m, dua propeller dan mesin uap 1400 hp .Peralatan berat oseanografi seperti winche di pasang di tempat bekas meriam. Dalam ekspedisinya Siboga membawa beberapa thermometer untuk mengukur arus permukaan dan bawah permukaan, botol sampling dan peralatan kimia untuk menentukan konsentrasi DO dan lain sebagainya. Disamping itu beberapa peralatan seperti plankton net, trawl dan vertical nets di bawa untuk menangkap plankton dan organisme lainnya. Istri Weber, Anne Weber-van Bosse ahli alga dan plankton ikut serta dan membawahi devisi flora laut. Dia adalah wanita pertama yang ikut dalam riset oseanografi. Akibat penelitiannya dari ekspedisi Siboga ini Anne Weber mendapatkan gelar Doktor dari universitas Utrecht. Sayang sekalai dalam ekspedisi ini tak ada ahli oesenografi fisika dan kimia. Pada saat itu tak ada ahli yang mengkususkan diri pada bidang fisika oseanografi. Ekspedisi Siboga mendapatkan 323 titik sampling termasuk stasiun dekat karang dan pantai. Ekspedisi berakhir pada 27 februari 1900 di pelabuhan Surabaya. Hasil dari ekspedisi ini di publikasikan dalam bentuk monograf antara tahun 1901 sampai 1982. Hasil yang menarik adalah prediksi Tyderman tentang adanya sirkulasi arus dari pasifik masuk ke laut Banda dan akhirnya ke lautan Hindia. Hasil ini tak pernah di publikasikan oleh Tyderman, hanya diberikan di kuliahnya. Tapi 20 tahun kemudian karya ini dipublikasikan. Pada tahun 1925 seorang hydrografer belanda LetKol Luymes mengusulkan kepada himpunan Geografi Kerajaan untuk melakukan penelitian dasar laut (deep basin) Indonesia. Ekpedisi ini memgkususkan diri dalam bidang fisika oseanografi dan geologi laut. Luymes memprogandakan ekspedisi ini sebagai perhatian pemerintah 3 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



belanda terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di Negara tropis. Kenyataanya ilmuwan dari Polyteknik Bandung (sekarang ITB) tak dilibatkan. Inilah watak asli orang Belanda. Profesor Max Weber dan Laksamana Tyderman duduk sebagai komite. Ekspedisi ini dinamakan Snellius diketuai oleh van Riel dimulai pada bulan Maret 1929. Dalam ekspedisinya Snellius membawa dua echosounder, coring (40-210cm), botol nansen dan thermometer. Dua teknisi dari Indonesia Kartodiharjo dan Erie ikut serta membantu sampling geologi dan biologi. Selama ekspedisi Snellius mempunyai 374 titik sampling dan 500 botol sample. Hasil dari Snellius berupa 23 volume report dan 35 papwer di jurnal internasional. Pada tahun 1978 masih terdapat paper yang menggunakan data Snellius. Masa setelah Kemerdekaan Indonesia Riset kelautan pada perioda ini dimulai oleh Hardenberg dan Soeriaatmadja yang mengumpulkan sampel data suhu dan salinitas bulanan yang diperoleh dari kapal dagang kerajaan Hindia Belanda pada awal dekade tahun 1950-1960. Data mereka juga menjadi acuan Wyrtki (1957, 1961) yang melakukan studi sebaran rata-rata salinitas di permukaan pada perairan Indonesia dan sekitarnya. Riset kelautan di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat besar ketika untuk pertama kalinya Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI mendapatkan kapal riset, KR Samudera pada tahun 1950, kemudian bertambah lagi dengan kapal yang lebih besar KR Jalanidhi pada tahun 1961. Dengan kedua kapal ini, Indonesia berpartisipasi dalam penelitian Internasional Indian Ocean Expedition (Wyrtki, K., 1971). Jumlah ekspedisi yang telah dilakukan dalam kurun waktu singkat tersebut jumlahnya hampir 2x ekspedisi kelautan yang dilakukan selama perioda kolonial dalam rentang waktu panjang 173 tahun. Karya tulis ilmiah yang dihasilkan pada era itu (antara tahun 1950-1960) tercatat ada 3 buah penelitian yang dinilai penting. Penelitian tentang salinitas utara pantai Jawa dan Arus Pantai Selatan Jawa oleh Soeriaatmadja (1956, 1957). Kedua artikel tersebut adalah karya tulis oseanografi pertama oleh putra Indonesia. Karya lainnya adalah tentang fisika oseanografi perairan Indonesia yang ditulis Wyrtki (1961). Karya tulis tersebut mengenalkan apa yang kita ketahui saat ini sebagai sistem arus lintas Indonesia. Riset kelautan pada perioda tahun 1960 sampai dengan 1980 lebih fokus pada proses fisik aspek lokal dan dikaitkan dengan bidang perikanan dengan memanfaatkan kedua kapal riset LIPI tersebut. Thema umum penelitian adalah menentukand aerah upwelling di perairan Indonesia: Selat Makassar (Illahude, 1970, 1978); Selatan Bali (Illahude, 1975; Nontji dan Illahude, 1975); Laut Banda, Maluku, Halmahera dan Seram (Birowo dan Illahude, 1977); Selat Sunda



4 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



(Illahude dan Ermaitis, 1992); Laut Arafura (Illahude dkk, 1990); dan sepanjang selatan Jawa sampai Sumbawa (Illahude, 1992). Memasuki tahun 1980 hingga menutup abad ke-20 riset kelautan di Indonesia sangat intensif dilakukan. Hal itu terutama karena minat peneliti dunia pada sistem arus yang kita kenal sebagai Arlindo (Arus Lintas Indonesia) memiliki kaitan yang sangat penting dalam konteks studi perubahan iklim dunia. Pada masa tersebut paling tidak ada 4 program internasional yang telah dilakukan di perairan Indonesia. 1. Kerjasama riset keluatan antara Indonesia yang diwakili BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan Prancis dalam program JADE (Java-Australia Dynamic Experiment) dari tahun 1985 sampai dengan 1995. Tujuan program JADE ini adalah mengukur transport arlindo dan variabilitasnya pada pintu keluar di perairan antara Jawa dan Australia (Fieux dkk., 1994, 1996). 2. Kerjasama riset kelautan antar negara ASEAN dan Australia pada program ROD (Regional Oceanographic Dynamic) Current Meter Experiment dari tahun 1993 sampai dengan 1995 (Cresswell and Wells, 1998). 3. Kerjasama riset kelautan antara Indonesia (BPPT) dan Amerika yang diwakili Universitas Columbia dan Universitas California at San Diego dalam program Arlindo dari tahun 1991 sampai dengan 1998. Studi program Arlindo mencakup pemahaman pada proses mixing, stratifikasi dan variabilitas arlindo pada beberapa selat penting Makassar, Lombok, dan Ombai. Memasuki abad ke-21 ini, pemahaman laut Indonesia sudah semakin maju, meskipun pengetahuan tentang variabilitas transport Arlindo itu sendiri masih menjadi pertanyaan besar saat ini. Untuk itulah, melalui kolaborasi 5 negara (Indonesia, Amerika, Prancis, Belanda, dan Australia) kerjasama riset kelautan memantau arlindo pada semua selat penting yang dilaluinya telah dilakukan sejak tahun 2004 dan direncanakan berakhir pada tahun 2007 dengan program yang disebut INSTANT (Internasional Nusatara Stratification and Transport). Kerjasama riset ini melibatkan BPPT, BRKP, LIPI, LDEO Universitas Columbia, SIO-UCSD, LODYC Prancis, NIOZ Belanda, dan CSIRO Australia. 1.2 KARAKTERISTIK UMUM Sirkulasi arus laut di kepulauan Indonesia di pengaruhi oleh dua samudra. Beda tekanan diantara mereka akan memberikan gaya pengerak sirkulasi arus di perairan Indonesia. Gaya pengerak lain yang cukup dominan adalah monsoon. Pada musim timur (boreal summer) (Juli-September) angin bergerak dari benua Australia ke benua Asia sedangkan pada musim barat (boreal winter) (JanuariMaret) angin bergerak dari benua Asia ke benua Australia. Pada musim timur suhu muka laut lebih panas di sebelah utara dan berkebalikan jika musim barat.



5 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Sirkulasi arus di daerah paparan bergerak dari laut Cina selatan, masuk ke laut Jawa melalui selat Karimata kemudian bergerak ke timur sampai ke laut Flores dan akhirnya ke laut Banda. Sirkulasi arus ini sangat dipengaruhi oleh monsoon. Arus di laut antara pulau Sumatra dan pulau Kalimantan selalau berarah utara-selatan, sedangkan di laut Jawa berarah timur-barat. Sistem laut ini merupakan sistem laut tertutup sehingga angin monsoon yang berhembus tak dapat menimbulkan swell karena fetch tak terbentuk. Musim transisi terjadi pada bulan April dimana arus bergerak dari laut Cina Selatan masuk ke laut Jawa dengan kecepatan sekitar 0.5 m/s. Sesampainya di laut Flores, arus ini bertemu dengan arus dari selat Makasar. Di pantai selatan Jawa arus yang berasal dari pantai Sumatra bergerak ke timur dengan kecepatan 0.75 m/s. Arus ini akan bertemu dengan arus lintas yang muncul di selat Lombok dan selat Ombai. Pada bulan Agustus (musim timur) arus bergerak dari timur ke barat yaitu mulai dari laut Flores ke laut Cina Selatan. Kecepatan arus permukaan sekitar 0.5-0.7 m/s. Pada bulan ini angin monsoon yang bertiup dari benua Australia ke benua Asia akan mengenerasi arus yang bergerak sepanjang pantai selatan jawa sampai ke pantai barat Sumatra. Beberapa peneliti menyebutkan arus ini akan mengenerasi Up welling sepanjang pantai selatan Jawa (Susanto,D et al 2002). Pada musim transisi ke dua yaitu sekitar bulan Oktober, dimana angin monsoon mulai melemah, di laut Jawa terdapat dua sistem arus yaitu di pantai selatan Kalimantan arus bergerak ke barat, sedangkan di pantai utara Jawa arus bergerak ke timur. Di pantai timur Sumatra arus bergerak ke selatan sedangka di pantai barat Kalimantan arus bergerak ke utara. Dimusim barat dimana agin monsoon bergerak dari benua Asia ke benua Australia, akan mengenerasi arus permukaan yang bergerak dari laut Cina Selatan masuk ke laut Jawa dan akhirnya ke laut Flores dengan kecepatan rata-rata sekitar 0.7 m/s. Tingginya curah hujan dan banyaknya aliran sungai menyebabkan massa air di lautan bagian dalam kepulauan Indonesia mempunyai salinitas permukaan yang rendah yaitu dibawah 34 ‰. Salinitas permukaan tinggi hanya ada di perairan Indonesia bagian timur yaitu di laut Banda dan laut Arafura. Di laut Jawa sampai Sumatra salinitas besar pada bulan Juli-Agustus dan rendah pada bulan Maret-April. Pasang surut laut umumnya terdiri dari tipe diurnal dan campuran. Di wilayah bagian barat umumnya bertipe diurnal sedangkan di laut Jawa umumnya bertipe campuran cenderung diurnal kecuali di beberapa pantai di Jawa Timur bertipe diurnal. Di perairan wilayah timur umumnya bertipe campuran cenderung semi-diurnal.



6 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



1.3 DINAMIKA LAUT INDONESIA Diatas telah diuraikan bahwa dinamika laut perairan Indonesia dapat di golongkan dalam empat daerah kajian. Pertama adalah dinamika laut samudra Pasifik Barat. Kedua dinamika laut arus lintas Indonesia (Arlindo). Ketiga dinamika arus samudra India Timur dan ke empat adalah dinamika laut paparan. Kita akan membahasnya satu persatu. 1.3.1 Dinamika Laut Samudra Pasifik Barat Sistem sirkulasi arus di Pasifik Barat dinamakan sistem sirkulasi arus batas barat lintang rendah Pasifik (The Pacific low latitude western boundary currents/LLWBCs). Didunia ini ada tiga buah lautan yang mempunyai sistem sirkulasi arus LLWBCs yaitu lautan Pasifik, lautan Atlantik dan lautan India. Dari ketiga lautan tersebut hanya LLBWCs di lautan Pasifik yang mempunyai dinamika paling kompleks. Ada dua factor utama yang menyebabkan dinamika arus di LLBWCs ini kompleks. Faktor pertama adalah angin (merupakan gaya pengerak utama arus) mempunyai variabilitas yang tinggi karena pengaruh monsoon. Faktor yang lain adalah daerah batasnya berupa kepulauan sehingga akan menyusun kondisi batas yang tak teratur. Bandingkan dengan lautan Atlantik dengan kondisi angin yang umumnya tunak serta batasnya berupa benua afrika dan amerika. Skematik dari LLWBCs di lautan Pasifik dan arus lintas Indonesia dapat dinyatakan dalam gambar berikut:



Gambar 1.1 Diagram skematik the Pacific low latitude western boundary currents (LLBWCs) dan arus lintas Indonesia (Arlindo). (Sumber: Lukas, R., dkk, 1996).



7 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Sumber utama massa air yang menopang sistem sirkulasi arus LLWBCs adalah arus pasifik selatan/South Equatorial Currents (SEC) dan arus pasifik utara/North Equatorial Currents (NEC) (Lukas et al 1996). Di belahan bumi utara arus pasifik utara (NEC) yang bergerak ke barat pada lintang 14ºN akan memecah menjadi dua, arus yang satu bergerak ke utara dan yang lain ke selatan. Arus yang ke utara menjadi arus Kuroshiwo yang bergerak ke perairan Jepang dan yang bergerak ke selatan menjadi arus Mindanao. Dibelahan Bumi bagian selatan arus ekuator selatan (SEC) yang bergerak kebarat akan membelah di sekitar 15ºS yang satu bergerak sepanjang Great Barrier Reef dan akan menjadi Great Barrier Reef Undercurrents (GBRUC) dan kemudian mengalir ke sepanjang pantai Papua New Guenia menjadi The New Guinea Coastal Undercurrents (NGCUC). Massa air yang mengalir ke selatan menjadi arus Australia timur /East Australia Currents (EAC). Dilapisan termokline massa air dari NGCUC mengalir ke timur menjadi Equatorial Undercurrents (EUC), sebagian menjadi North Equatorial Countercurrents (NECC), sebagian lagi menjadi North Subsurface Counter Currents (NSCC) dan sebagian menjadi arus lintas Indonesia yang diduga masuk melalui laut Halmahera. Massa air dari SEC juga masuk ke kepulauan Indonesia melalui selat Torres terus ke laut Arafura. Arus Mindanao bergerak ke selatan sebagian masuk ke laut Sulawesi dan sebagian berinteraksi dengan arus ekuator selatan (SEC). Akibat interaksi ini terjadi defleksi arus ke selatan menjadi North Equatorial Counter Currents yang tak stabil. Akibat defleksi ini juga memicu timbulnya Mindanau Eddy. Arus Mindanao yang masuk ke laut Sulawesi sebagian masuk ke selat Makasar dan sebagian dibelokkan ke timur sepanjang pantai utara Sulawesi dan akhirnya masuk ke laut Halmahera. Interaksi arus ini dengan arus the New Guinea Coastal Currents (NGCC) yang bergerak sepanjang pantai Papua New Guinea akan menimbulkan adanya Halmahera Eddy. Kedua eddy ini dibatasi oleh the North Equatorial Countercurrents (NECC). North Pacific Intermediate Water (NPIW) dan Antarctic Intermediate Water (AAIW) juga terobsevasi di laut Sulawesi dan Laut Halmahera (Kashino, Y., dkk, 1996). Massa air laut Pasifik utara dan massa air dari pasifik selatan mempunyai sifat yang berbeda dan mudah dibedakan dari salinitasnya atau profil oxigennya. Massa air Pasifik utara mempunyai salinitas maksimum 34.75‰ pada 100 meter dan massa air Pasifik selatan mempunyai salinitas maksimum 35.41‰ pada 150 meter. Profil oksigen dari massa air Pasifik utara mempunyai curva yang menurun dari permukaan ke dalam dengan minimum disekitar 10 C, sedangkan massa air Pasifik selatan mempunyai profil oksigen yang cenderung konstan antara 25ºC-10ºC (Ffield,A & A.L. Gordon 1992). Hasil analisi massa air yang



8 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



dinyatakan dalam TS diagram dan profil oksigen dari hasil observasi di perairan



Gambar 1.2 Analisis massa air di perairan Indonesia bagian timur NP(north pasific) dan SP(south pacific) (sumber: Ffield, A. dan A. Gordon, 1992).



Indonesia dapat dilihat dari gambar berikut: Hasil diatas menunjukkan bahwa massa air dari Pasifik masuk ke perairan Indonesia. Masuknya massa air ini ke perairan Indonesia ini akan dikenal dengan nama arus lintas Indonesia (Arlindo). Arus lintas ini ternyata mempengaruhi dinamika atmosfer-laut skala global yang dikenal dengan El Nino. Variasi tahunan dari suhu muka laut (SST) di lautan Pasifik (khususnya Pasifik tengah dan Pasifik timur) mempunyai kaitan erat dengan anomali atmosfer global. Pemanasan abnormal skala besar di samudra Pasifik ekuator disebut El Nino. Fenomena ini berkaitan erat dengan sistem osilasi global di atmosfer yang dinamakan osilasi selatan, sehingga kedua fenomena tersebut merupakan suatu kesatuan yang sering disebut dengan nama El Nino Southern Oscillation 9 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



(ENSO). Selama masa El Nino, tekanan lebih rendah dari normal terobservasi di Pasifik tropis sebelah timur dan tekanan lebih tinggi dari normal terobservasi di Indonesia dan Australia utara. Pada periode ini di Indonesia terjadi penurunan penguapan sehingga terjadi kekeringan. Siklus ENSO merupakan flukstuasi skala besar dari temperatur laut, curah hujan, sirkulasi atmosfer, gerakan vertikal dan gerakan sepanjang ekuator Pasifik. Selama periode El Nino temperatur muka laut sekitar 2ºC-5ºC diatas normal dan lawan dari kondisi diatas yang disebut La Nina, suhu muka laut sekitar 1ºC-4ºC dibawah normal. Hubungan antara El Nino dengan arus lintas diakibatkan kenyataan bahwa hubungan dinamik antara samudra Pasifik dan samudra India dikontrol oleh benua maritim Indonesia yang mempunyai topografi dan jaringan selat yang kompleks. Dengan menggunakan simulasi global ocean general circulation model (GOGCM) menunjukkan bahwa dengan adanya Arlindo maka pemanasan suhu muka laut di Pasifik akan bergeser ke arah barat dibandingankan tanpa kehadiran Arlindo. Lautan Pasifik juga akan lebih panas dan lautan India akan lebih dingin jika Arlindo tidak hadir. Perubahan magnitude Arlindo akan mempengaruhi pola suhu muka laut di Pasifik ekuator. 1.3.2 Dinamika Laut Arus Lintas Indonesia Dinamika arus lintas Indonesia ini sangat terpengaruh oleh musim dan mempunyai variabilitas tinggi (Wyrtki, K., 1987). Selama musim tenggara arus lintas ini menguat, dan selama musim barat arus lintas melemah. Pada lapisan permukaan dinamika massa air arus lintas ini dipengaruhi oleh angin permukaan. Selama musim tenggara massa air permukaan bergerak dari laut Banda ke laut Flores, kemudian meneruskan perjalanan ke laut Jawa dan akhirnya ke laut Cina selatan. Selama musim barat massa air bergerak dari laut Jawa dan selat Malaka kemudian memotong laut Flores dan akhirnya masuk ke laut Banda. Hasil observasi menunjukkan bahwa untuk lapisan atas, massa air laut Banda berasal dari massa air lautan Pasifik utara (Gordon, A., dkk, 1994). Massa air itu masuk ke arus lintas Indonesia melalui selat Makasar. Skematik arus lintas Indonesia dapat dilihat pada gambar 1.3. Massa air dari Pasifik Barat masuk ke perairan Indonesia melalui selat Makasar, kemudian diteruskan ke laut Flores. Di laut ini arus memecah, sekitar 20% masuk ke Selat Lombok dan diteruskan ke Samudra India dan sisinya masuk ke Laut Banda. Dari laut Banda massa air keluar ke Samudra Indonesia melalui laut Timor. Selat Makasar merupakan lintasan utama dari pergerakan massa air di lautan Pasifik ke lautan India. Sumber utama massa air yang masuk ke selat Makasar adalah massa air dari Pasifik utara. Massa air ini akan bergerak dari laut



10 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 1.3 Skematik arus lintas Indonesia (www.ldeo.columbia.edu)



Sulawesi masuk ke selat Makasar sepanjang tahun (Wyrtki, K., 1966). Arus yang kuat yang menuju ke selatan terdeteksi di lapisan intermediate (Waworuntu, J., dkk,1999). Temperatur dasar dari selat Makasar umumnya konstant dan hanya bervariasi sekitar 0.007ºC. Untuk memahami struktur termal di selat Makasar di perlukan minimal sistem hidrodinamika tiga lapis (Waworuntu, J., dkk, 1999). Sedangkan massa air dari Pasifik selatan akan berinfiltrasi dari laut Sulawesi masuk ke laut Banda melalui selat Lifamatola. Massa air ini adalah massa air intermediate yaitu massa air dibawah temokline. Gordon, A dan A. Field 1994 mengobservasi bahwa pada musim barat yaitu pada bulan Desember di Laut Flores dan Laut Banda bagian barat mempunyai salinitas maksimum di sekitar 110 dbar (20ºC) dan salinitas minimum disekitar 300dbar (10ºC) yang merupakan ciri dari massa air Pasifik utara sub tropik dan massa air Pasifik utara intermediate. Salinitas permukaan lebih tawar dari salinitas sub permukaan, hal ini diakibatkan sebagai konsekuensi tingginya curah hujan dan adanya transport massa air tawar dari sungai. Salinitas permukaan terendah terendah berada di Laut Flores bagian barat. Salinitas permukaan sebesar 34.5‰ terobservasi di laut Flores sebelah timur dan laut Banda terobservasi salinitas diatas 34.4‰ . Pada musim barat di lapisan 11 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



permukaan mempunyai transport massa sebesar 6.3 Sv (1 Sv = 106 m3 /det) yang berarah ke timur, sedangkan antara 300 sampai 1000dbar mempunyai transport massa sebesar 3.5 Sv ke arah barat. Pergerakan massa air dapat dilihat dari transport massa air yang dapat dihitung



Gambar 1.4 Transport geostropik laut Banda (sumber: Gordon, A dan A. Ffield, 1994)



dari data CTD. Transport geostropik di Laut Banda dapat dilihat pada gambar berikut: Gordon, A dan A. Ffield mengemukakan gagasan bahwa tingginya salinitas di laut Flores sebesar 34.4‰ -34.6‰ pada kedalaman 300 dbar sampai 1000 dbar diakibatkan adanya massa air dari dari laut Banda dengan salinitas antara 34.5‰ -34.6‰ yang bergerak ke barat menuju laut Flores akan menabrak sill (gundukan) di dekat selat Makasar sehingga massa air tadi dibelokkan kembali ke laut Banda Massa air laut Banda di bawah termoklin yang mempunyai salinitas tinggi diindikasikan berasal dari laut Pasifik selatan atau lautan India. Massa air dari laut Pasifik selatan masuk ke arus lintas Indonesia melalui laut Maluku dan laut Halmahera, sedangkan massa air dari laut India masuk ke arus lintas melalui celah Alor-Wetar dan celah Timor. 12 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Laut utama dari arus lintas adalah laut Banda dan di laut ini pada musim barat mempunyai suhu muka laut rata-rata 4ºC lebih panas daripada musim timur (Ilahude, A.G dan A. Gordon, 1996). Di tengah laut Banda pada musim timur mempunyai suhu muka laut antara 25.7ºC-26.1ºC dan di musim barat suhu muka laut antara 29.6ºC-30.3ºC. Pada musim timur lapisan termokline lebih dangkal sekitar 40m, hal ini mengindikasikan adanya proses upwelling di laut Banda (Wyrtki, K 1961). Salinitas pada musim barat maupun musim timur cenderung sama yaitu berkisar antara 34.1‰ - 34.4‰. Dibeberapa daerah di sebelah selatan yang berdekatan dengan laut Timor mempunyai harga salinitas sebesar 34.5‰. Beberapa fenomena menarik tentang sirkulasi arus lintas adalah proses pengadukan (mixing processes). SST (sea surface temperatur/temperatur muka laut) bervariasi secara empat belas harian dan bulanan di perairan Indonesia dan ini mengindikasikan adanya proses mixing yang digenerasi oleh pasang surut (Ffield dan Gordon, 1996). Periode 14 harian secara kuat muncul di laut Seram-Maluku dan laut Banda. Lebih lanjut Ffield dan Gordon menghipotesakan bahwa proses mixing atau turbulen yang kuat digenerasi di











D



T t  5.5  10 5 T z



m 2 s 1



termoklin selama pasut kuat. Mereka menghitung bahwa dengan pendinginan permukaan 0.2ºC dalam periode 14 hari mensyaratkan difusivitas diapiknal di termoklin adalah: Dimana kedalaman lapisan permukaan D = 20 m dan temperatur dibawah lapisan permukaan menurun secara linier pada T/z=0.06ºC/m. Difusivitas ini berharga sepuluh kali lebih besar dibandingkan laut terbuka. A. Field dan A. Gordon oceanographer dari LDEO Columbia University dan Hautala dkk dari Universitas Washington menggunakan model adveksi-difusi untuk menghitung sifat transport besaran skalar (salinitas, temperatur dan konsentrasi oksigen), dan mereka menyimpulkan bahwa supaya perhitungan mereka cocok dengan data di lapangan maka laut Banda harus mempunyai difusivitas diapiknal (difusivitas vertikal)   10-4 m2/det. Hasil ini menunjukkan tingginya difusivitas diapiknal yang harus terjadi di laut Banda. Sebagai perbandingan untuk rata-rata laut terbuka mempunyai difusivitas vertikal   10-6 m2/det. Sjoberg & Stigebrandt 1992 mengemukakan bahwa mixing yang kuat di perairan Indonesia diakibatkan adanya topografi yang kompleks serta pasang 13 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



surut yang kuat.



Gambar 1.4 a) Akusisi data MMP dari buritan kapal Baruna Jaya IV. (sumber foto: Jenifer ). b) Harga rata-rata dari dan K di Laut Banda pada saat pengamatan.



Hasil pengukuran mixing pada bulan September-Oktober 1998 di koordinat (6.5ºS;128ºE) yang merupakan pusat dari laut Banda dengan Modular Microstructure Profiler (MMP) yang mengukur parameter: potensial temperatur, salinitas, potensial densitas, tekanan serta energi kinetik dissipation rate menunjukkan hasil yang mengejutkan. Harga rata-rata kedalaman dibawah lapisan permukaan (20m  z  300m) untuk rate of dissipation  = (9.57 0.34) x 10-9 W/kg dan difusivitas vertikal = (9.2 0.55) x 10-6 m2/det. Hasil juga menunjukkan bahwa ~N2 dan ~N0. Kondisi ini adalah tipikal turbulensi untuk laut terbuka. Pola deret waktu dari rate of dissipation () menunjukan bahwa rate of dissipation terkonsentrasi di daerah dengan stratifikasi maksimum yaitu daerah dengan shear tinggi. Profil deret waktu dari kecepatan arus dan shear baik dalam arah zonal maupun arah meridional menunjukkan suatu pola osilasi (dalam gambar tampak berbentuk pita miring ke kanan). Pola osilasi ini timbul sebagai akibat hadirnya suatu gelombang yang ada di badan air yang dikenal dengan nama gelombang internal. Syarat untuk terjadinya gelombang internal adalah adanya gradient densitas (Brunt-Vaisala frequency  0). Umumnya mixing di laut dihasilkan oleh pecahnya gelombang internal. Parameterisasi mixing dalam bentuk energi gelombang internal untuk laut terbuka menunjukkan suatu fraksi kecil dari total yang diperlukan untuk mempertahankan stratifikasi abisal (jurang). Sejauh ini diyakini pada umumnya 14 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



ada dua sumber gelombang internal yaitu pasang surut Bulan dan stress angin. Untuk sumber Bulan, aliran pasut barotropik yang lewat dalam topografi yang kasar akan diubah ke aliran pasut baroklinik untuk menggenerasi gelombang internal dengan frekuensi pasut. Gelombang internal mempunyai frekuensi yang kontinu. Angin akan merangsang gerakan inersia (lembam) di lapisan campuran yang menghasilkan gelombang internal semi-inersia (near-inertial internal wave). Dari total sebesar 2.1 TW (1012 W) energi mixing di jurang laut, 0.9 TW akibat pasang surut dan 1.2 TW akibat angin (Munk, 1998). Gelombang internal yang digenerasi angin mempunyai tipikal frekuensi intrisik ( I) yang sama dengan frekuensi Koriolis lokal (fo). Gelombang ini dikendala penjalarannya diekuator. Jika frekuensinya menjadi lebih kecil dari frekuensi kritis maka dia menjadi frekuensi superinersia. Gelombang semi-inersia ini pada suatu saat akan mentransfer energinya ke skala gelombang pecah melalui



Gambar 1.5 Kecepatan shear arus dalam arah Zonal dan Meridional (Sulaiman, A, 2000).



mekanisme interaksi gelombang-gelombang atau melalui ketakstabilan shear. Di dalam keadaan yang ekstrim gelombang semi-inersia ini akan mencapai disuatu daerah lintang tinggi dengan frekuensi  I=2f dengan mekanisme parametric subharmonic instability (PSI) (Hibiya, P., dkk, 1999). Disamping mekanisme pecahnya gelombang internal, angin juga merupakan sumber untuk turbulen yang biasanya disebut mixing diimbuh angin. Shear didominasi oleh pita yang miring keatas. Kondisi ini merepresentasikan eksistensi gelombang internal semi inersia dengan rotasi berlawanan arah jarum jam dan berarah kebawah. Perioda yang terobservasi adalah 4.4 hari



15 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



(frekuensi f=1/4.4 hari =0.227). Frekuensi ini sama dengan fo = 2 osin. Lintang dilaut Banda adalah =6.5º maka fo=0.22743 dimana  o=1/hari. Maka kita dapatkan frekuensi observasi dinyatakan oleh  o=(1.02  0.02) fo. Hasil ini menunjukkan bahwa frekuensi yang terobservasi sama dengan frekuensi Coriolis lokal sehingga disebut frekuensi intrisik. Dengan demikian kita mempunyai gelombang internal tipe semi-inersia. Hasil menunjukan bahwa gelombang mencepai kedalaman 10m selama 19.4 hari pada lintang (6.9ºS;130.6ºE), kira-kira sejauh 300 km. Perubahan lintang juga akan mempengaruhi perubahan frekuensi intrisik, dengan kata lain penjalaran gelombang juga dipengaruhi oleh lintang. Dari hasil ini dapat diduga gelombang internal semi-inersia digenerasi di salah satu sisi cekungan di sebelah barat daya pada saat musim tenggara (southeast monsoon) dan menjalar ke barat laut. Rekaman pada saat survei menunjukkan gelombang bergerak ke dasar cekungan, jadi gelombang pada penjalarannya ke atas akan dipantulkan lagi ke dasar. 1.3.3 Dinamika Laut Samudra India Timur Laut India merupakan lautan yang paling sempit dan paling kompleks dibandingkan lautan lainnya (Pasifik dan Atlantik). Gaya pengerak utama sisitem sirkulasi arus di samudra India adalah monsoon. Lautan India bagian barat sirkulasi arus akibat monsoon mempunyaiperiode semi annual, sedangkan bagian timur sirkulasi arus mempunyai periode annual dan dipengaruhi oleh arus lintas Indonesia (Ueda, H, 2001, Matsumoto,Y. dan G. Mayer, 1998). Anomali beda fase antara bagian barat dan timur terutama di ekuator akan menciptakan pola dua kutub (dipole). Struktur dipole timur-barat di samudra India ekuator bisasnya diasosiasikan dengan sebuah anomaly interannual suhu muka laut (tinggi-rendah) dan kompresi conveksi di timur-barat samudra India. Selama Musim Tenggara, angin tenggara dari Australia membangkitkan Upwelling sepanjang Jawa-Sumatra dan kondisi ini berbalik pada Musim Baratlaut. Sedangkan pada periode transisi yaitu bulan April-May dan OctoberNovember, equatorial westerly generated equatorial downwelling Kelvin waves menjalar ke timur, menumbuk pulau Sumatra dan memecah menjadi dua, sebagian ke utara menuku ke teluk bengala dan sebagian menyusur pantai Sumatra dan Jawa. Di pantai Sumatra dan Jawa gelombang ini coastally trapped Kelvin waves dan masuk ke perairan dalam Indonesia melalui selat Lombok (Susanto, D., dkk, 2002). Profil salinitas di lautan India bagian timur mempunyai bentuk yang sama dengan profil pada 03N,90E 03S,90E yang mana memmpunyai salinitas 35 psu pada 100m dan menurun pada kedalamaan (Sulaiman, A., dkk, 2002). Pada 04S,90E salinitas maksimum 35.2 psu terdapat pada kedalaman sekitar 70m 16 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



dan menurun sampai 34.6 psu pada kedalamana 150m. Salinitas tertinggi berada di sebelah selatan ekuator yang mengindikasikan kehadiran massa air the Indian Central Water (ICW). Di lintang utara salinitas rendah (32‰). DAFTAR PUSTAKA Alford, M.H dan M. C Gregg 1999 “Diapycnal Mixing in The Banda Sea: Result of the First Microstructure Measurement in the Indonesian Througflow” J. Geophys. Lett; Vol:26, No:17, hal. 2741-2744. Alford, M.H dan M.C Gregg 2000 “Near-Inertial Mixing: Modulation of Shear, strain and Microstructure at Low latitude” J. Geophys. Res. Submitted. Ffield, A dan A. Gordon 1992 “Vertical Mixing in The Indonesian Thermocline” J. Phys. Ocean, Vol: 22 184-195. Gordon, A dan J. Mc Clean 1999 “Thermohaline Stratification of the Indonesian seas: Model and Observation” J. Phys. Oceanorg, Vol:29, hal.198-216. Gordon, A., A. Ffield dan A.G Ilahude, 1994 “Thermocline of the Flores and Banda Sea”J. Geophys. Res Vol:99 No: C9, hal. 18.235-18.242. Gordon, A; D. Susanto dan A. Ffield 1999 “Througflow within Makassar Strait” Geophys.Res. Lett Vol:26, No:21, 3325-3328. Gregg,M.C 1987 “Dyapicnal Mixing in the Thermocline : A Review” J. Geophys. Res. Vol: 92, No:C5 , 5249-5286. 18 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Hautala,S; J.L Reid & N. Bray 1996 “The Distribition and Mixing of Pacific water Masses in The Indonesian Seas” J. Geophys.Res. Vol: 101, No: C5, 12.375-12.389. Ilahude,A.G & A. Gordon 1996 “ Thermocline Stratification within the Indonesian Seas” J. Geophys. Res, Vol:101, No:C5 12.401-12.409. Ilyas,M; A. Sulaiman & M.C Gregg 1999 “The Water Mass Dynamics of the Banda Sea (Results from Arlindo Microstructure Survey)” Prosiding. Konferensi ESDAL'99, Jakarta. Kashino,Y; E. Firing; P. Hacker; A. Sulaiman & Lukiyanto “Direct Current Measurement in and around the Celebes Sea at February 1999“ J. Geophys. Res. Letter. Submitted. Monin,A.S & R.V Ozminov1985 “Turbulence in the Ocean” D. Reidel Pubs.Comp. Dordrecht. Moum,F; D. Caldwell & C. Paulson 1989 “Mixing in the Equatorial Surface Layer and Thermocline” J. Geophys.Res. Vol:94, No:C2, 2005-2021. Munk,W & C. Wunsch 1998 “Energitic of Tidal and Wind" Res. Vol:104, No:C5, 10.981-10.989 Sulaiman, 2000 “Turbulensi Laut Banda” P3 TISDA, Jakarta. Sulaiman,A; Agus A. Dipoera & Mekky 2002 “Mirai Cruise Report”, Jakarta. Waworuntu,J et al 2000 “Througflow Dynamics in the Makassar Strait and the Western Pacific” Procc. Int. Conference on Ocean Science Technology and Industry, Jakarta. Wyrtki,K 1961 “Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters” Univ of California,La Jolla, california.Mixing” Deep-Sea Res.I 45, 1977-2009.



19 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



BAB II Satelit Oseanografi N. Hendiarti, M. Sadly, M.C.G. Frederik, R. Andiastuti A., A. Sulaiman



Bab ini akan membahas secara komprehensif tentang satelit oseanografi. Diawali dengan ulasan singkat tentang sejarah satelit oseanografi, dilanjutkan dengan pengamatan fenomena laut menggunakan data satelit penginderaan jauh, analisis kesuburan perairan dan hubungannya dengan keberadaan ikan pelagis, serta pengamatan fenomena pesisir. Pada bagian ini akan ditunjukkan bahwa teknologi satelit, khususnya satelit oseanografi memiliki peranan dan kontribusi besar di dalam penyediaan informasi tentang sumberdaya laut serta mampu melakukan identifikasi dan monitoring terhadap perubahan sumberdaya alam dan lingkungan laut secara cepat dan berkelanjutan.



2.1 SEJARAH SATELIT OSEANOGRAFI Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Sekitar 70 % muka bumi kita terdiri dari lautan dengan segala potensi dan sumberdaya laut yang dikandungnya. Potensi sumberdaya alam ini perlu dikelola dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Dengan melihat luasnya wilayah laut Indonesia, maka penanganan dan pengelolaan potensi sumberdaya alam kelautan memerlukan suatu teknologi yang mampu melakukan identifikasi serta monitoring terhadap perubahan sumberdaya alam dan lingkungan laut secara cepat dan berkelanjutan. Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) merupakan salah satu teknologi alternatif yang dapat digunakan dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lautan. Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) mempunyai kemampuan yang baik di dalam mengidentifikasi serta melakukan monitoring terhadap perubahan sumberdaya alam dan lingkungan laut dalam periode tertentu. Benefit yang diperoleh di dalam pemanfaatan Teknologi penginderaan jauh satelit adalah cakupan pengamatan yang luas, resolusi temporal (perulangan) yang tinggi karena datanya dapat diperoleh hampir setiap hari bahkan setiap jam sehingga dapat digunakan untuk pemantauan/monitoring, mampu mengamati daerah-daerah terpencil, pengamatan dan penerimaan data secara near real time sehingga data yang 20 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



dihasilkan selalu yang terbaru. Spektrum sensor penginderaan jauh yang mencakup sinar tampak, infra merah, infra merah termal, dan gelombang mikro dapat memberikan bebagai informasi tentang obyek daratan dan perairan di permukaan bumi. Teknik mengindera permukaan bumi dibagi menjadi 2 bagian, yaitu secara pasif dan aktif (lihat Gambar 2.1). Secara pasif yaitu dengan merekam pantulan radiasi matahari dari benda-benda di permukaan bumi. Sensor pasif biasanya menggunakan panjang gelombang sinar tampak hingga infra merah. Mengindera secara aktif, yaitu sensor memantulkan radiasi di panjang gelombang micro ke permukaan bumi dan merekam pantulannya. Pengamatan muka bumi, samudra/lautan, atmosfir dan interaksi ketiganya dengan satelit berlangsung secara kontinyu, cepat dan selalu dapat diperbaharui dengan segera. Secara garis besar, empat jenis satelit pengindera bumi yang sudah beroperasi adalah: (a). Satelit cuaca/lingkungan, (b). Satelit



Gambar 2.1 Visualiasi perbedaan cara kerja sensor pasif dan aktif.



21 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



sumber alam, (c). Satelit pengamatan kelautan, dan (d). Satelit pengamat sifat-sifat fisika/geofisika bumi. Khusus satelit penginderaan kelautan tidak cukup hanya dilakukan melalui satelit cuaca/lingkungan dan satelit sumber alam saja, namun juga oleh satelit yang khusus dirancang untuk tugas tersebut. Peluncuran satelit pertama dunia, badan ruang angkasa telah memulai untuk mempertimbangan aplikasi praktis bahwa teknologi baru memungkinkan digunakan untuk memasang kamera dan instrumen pengindera lain pada platform. Pemanfaatan satelit penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan kelautan diawali pada tahun 1960 dengan pengembangan teknologi satelit oleh Amerika Serikat (USA) yang disebut TIROS (Television and Infrared Observation Satellite), yang mana menyediakan sistem pemantauan cuaca 24 jam. Selanjutnya pada tahun 1970, generasi kedua sistem satelit cuaca, penyempurnaan sistem operasional TIROS (Television and Infrared Observation Satellite) yang dikembangkan dari teknologi TIROS. Terdapat total 6 (enam) satelit yang berurutan, semuanya membawa infrared dengan ITOS-D, diluncurkan pada tahun 1972 membawa sensor Very High Resolution Radiometer (VHRR). Pada tahun 1978, diluncurkan satelit generasi ketiga yang mana membawa sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) . Generasi ini termasuk NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration). Hingga saat ini program tersebut masih berjalan, dan masih beroperasinya 5 (lima) satelit NOAA, yaitu NOAA-12, 14, 15, 16, dan 17. Satelit NOAA berorbit polar pada ketinggian 833 km dan memiliki sensor utama yaitu AVHRR 5 kanal. Pada tahun 1978, NASA meluncurkan satelit SEASAT, satelit pengamatan samudra yang pertama, guna mengamati sifat-sifat fisika samudra. Sensor imaging radar dan altimeter yang dibawa SEASAT berhasil merekam data arus laut, pola gelombang arah dan kekuatan gelombang laut, serta bentuk topografi bawah laut hasil interpretasi dari profil muka laut. Dari data yang diperoleh, dilakukan berbagai aplikasi, antara lain usaha penginventarisasian potensi energi gelombang laut untuk pembangkit energi listrik, potensi akumulasi migas berdasarkan profil topografi bawah laut, prediksi arus serta arah pergerakan gelombang dan angin. SEASAT disusul oleh satelit GEOSAT (Geodetic Satellite), satelit geodesi milik AL-AS, meruang angkasa pada tahun 1985, dan sejak tahun 1986 dialihkan kepada NOAA guna dipakai dalam kegiatan-kegiatan ilmiah. Data GEOSAT khusus diarahkan kepada pengamatan potensi gelombang laut dan studi topografi bawah laut untuk eksplorasi. Wilayah samudra disekitar Indonesia 22 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



juga dicakup oleh GEOSAT dengan lebar cakupan 3 km dan jarak antar jalur orbit 150 km. Data akan sangat membantu dalam eksplorasi migas dan inventarisasi potensi energi gelombang laut di wilayah Indonesia. Pada tahun 1978 juga, sensor satelit khusus untuk kelautan dikembangkan oleh NASA yang disebut Coastal Zone Color Scanner (CZCS). Sensor ini digunakan untuk mengamati warna laut (ocean color) dari kondisi suatu perairan. Pada periode dari tahun 1980 sampai saat ini mempunyai keberlanjutan pada pengembangan untuk oseanografi dengan memaksimalkan sensor satelit. Pada tahun 1988 Badan Antariksa Cina meluncurkan satelit lingkungan Fengyun-1A (FY-1A) dan programnya terus berlanjut hingga peluncuran satelit FY-1D pada bulan Mei 2002. Satelit FY memiliki sensor MVISR (Multispectral Visible and Infrared Scan Radiometer) dengan 10 kanal. FY-1 MVISR dapat digunakan untuk pemantauan warna laut, serta dapat digunakan juga untuk mendeteksi sebaran klorofil dan kekeruhan di perairan. Eropa juga telah meluncurkan satelitnya dengan sensor SAR, yang disebut European Remote Sensing Satellite (ERS-1) pada tahun 1991, selanjutnya pada tahun 1992, Jepang telah meluncurkan satelit yang disebut Japanese earth Resources Satellite (JERS-1). Pada tahun 1992, gabungan antara Amerika dan Perancis telah meluncurkan satelit TOPEX/POSEIDON. Pada tahun 1997 NASA (USA) meluncurkan satelit Seastar dengan membawa sensor SeaWiFS (Sea viewing Wide Field-of view Sensor) dengan minimum luas area yang dapat dideteksi (resolusi spasial) 1.1 km, dengan jumlah kanal 8 (delapan). Data satelit ini digunakan untuk pemantauan distribusi klorofil di laut, yang sangat berguna dan merupakan salah satu parameter didalam penentuan lokasi keberadaan ikan. Sementara itu pada akhir tahun 1999 telah diorbitkan satelit lingkungan Terra atau EOS-AM yang membawa sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). Kemudian pada tahun 2002 diorbitkan satelit Aqua atau EOS-PM yang membawa sensor yang sama dengan Terra. Satelit tersebut berorbit polar pada ketinggian 705 km dengan sistem descending pada satelit Terra dan ascending pada satelit Aqua.satelit ini memiliki 36 kanal dengan resolusi spasial 250 m untuk kanal 1 dan 2, 500 m untuk kanal 3 hingga 7 dan 1 km untuk kanal 8 hingga 36. Dengan melihat perkembangan pesat dari teknologi satelit dengan dukungan sensor yang semakin canggih, dapat dikatakan bahwa saat ini data satelit memungkinkan untuk dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi, khususnya aplikasi dibidang kelautan dan perikanan. Pertanyaan seputar peranan dan benefit dari satelit untuk aplikasi bidang kelautan telah terjawab dengan deskripsi singkat diatas. Gambar 2.2 memperlihatkan karakteristik sensor-sensor pasif yang pernah 23 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



24



Gambar 2.2 Karakteristik sensor pasif yang telah dimanfaatkan untuk pengamatan perairan Indonesia.



digunakan dalam penelitian di perairan Indonesia. Sumbu x menampilkan panjang gelombang optik hingga infra-merah. Sumbu Y (kiri) menampilkan sensor satelit dan sumbu Y (kanan) adalah tahun beroperasinya. Warna biru menunjukkan resolusi spasial citra berukuran 250 meter atau lebih dan warna hijau menunjukkan resolusi spasial berukuran 90 meter atau kurang. Lebar dari masing-masing kotak menampilkan lebar kanalnya. Di gambar ini terlihat bahwa hampir seluruh panjang gelombang sudah dapat dipantau dengan sensor yang ada. Berikut adalah ulasan singkat tentang satelit-satelit yang pernah dan telah dimanfaatkan untuk observasi perairan indonesia antara lain: CZCS Satelit Nimbus-7 yang salah satu sensornya adalah Coastal Zone Color Sensor (CZCS) dibuat oleh NASA, Amerika khusus untuk pemantauan warna perairan laut. Satelit ini beroperasi tahun 1978 - 1986, memiliki 6 band spektral (433-12500nm), dan dengan reso- lusi spasial 825 meter. Produknya adalah peta konsentrasi klorofil, vegetasi permukaan, dan suhu permukaan laut. CZCS :www.ioccg.org /sensors/czcs.html membuktikan bahwa pemantauan dari satelit dapat memberikan informasi berguna tentang konsentrasi klorofil dan sedimen dan memberikan jalan untuk dikembangkannya misi kelautan lainnya seperti SeaWiFS dan MODIS.



www.ioccg.org/sensors/octs.html



OCTS Satelit ADEOS yang dilengkapi dengan sensor Ocean Color and Temperature Scanner (OCTS) dibuat oleh NASDA, Jepang beroperasi tahun 1996 - 1997. Sensor ini memiliki 12 band spektral (402-12500 nm) dan resolusi spasial 700 meter. Produknya adalah peta konsen- trasi klorofil, materi terlarut dan suhu permukaan laut. Dengan cakupan yang kasar, maka sensor ini dapat memantau suatu lokasi setiap 3 hari.



25 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



SeaWiFS Satelit OrbView-2 (SeaStar) dengan sensor satu-satunya SeaWiFS (Sea Viewing Wide Field of View Sensor) dioperasikan oleh OSC, Amerika. Beroperasi dari tahun 1997 sekarang. Sensor ini memiliki 8 band spektral (402-885 nm) dengan resolusi spasial 9 dan oceancolor.gsfc.nasa.gov/ 1.1 km. Produknya adalah peta konsentrasi SeaWiFS/IMAGES/seastar_orbit.jpg klorofil, suhu permukaan laut, batimetri, turbiditas, dan pemantauan terumbu karang. Karena besarnya cakupan citra, maka sensor ini dapat memantau kondisi laut setiap hari.



Aqua – MODIS Satelit Aqua (EOS PM-1) dengan sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) dibuat oleh NASA, Amerika diluncurkan tahun 2002 dan masih beroperasi hingga sekarang. Sensor ini memiliki 36 band spektral (620-965nm, 3660-14385 µm), dengan 3 resolusi spektral (250m, 500m, dan ww.mumm.ac.be/ OceanColour/ Sensors/modis.php 1 km). Band spektral 8-16 diperuntukan khusus untuk pemantauan warna perairan. Produknya adalah: sebaran konsentrasi klorofil, suhu permukaan laut, turbiditas, dan kecerahan. Sedangkan untuk aplikasi lainnya antara lain adalah untuk pemantauan aerosol, atmosfer, suhu permukaan dll.



www.ioccg.org/sensors/meris.html



MERIS Satelit ENVISAT yang dibuat oleh ESA, Eropa, memiliki beberapa sensor, salah satunya adalah MERIS (MEdium Resolution Imaging Spectrometer). Satelit ini diluncurkan tahun 2002 dan masih beroperasi hingga sekarang. Sensor ini memiliki 15 band spektral (4121050 nm) dengan resolusi spasial 300 dan 1200 meter. Produk sensor ini adalah: konsentrasi klorofil, turbiditas, sedimen, vegetasi, dan aerosol.



26 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



NOAA Satelit NOAA dibuat oleh NASA, Amerika memiliki beberapa sensor yang salah satunya adalah sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Satelit ini sangat terkenal, sejak diluncurkan tahun 1978 hingga satelit seri ke 18 yang diluncurkan www.spaceflightnow.com/titan/g14/ tahun 2005. Konstelasinya telah memberikan informasi berguna di berbagai bidang studi meteorologi dan lingkungan. Sensor AVHRR memiliki 5 band spektral (580-1250 nm) dengan resolusi spasial 4 km dan 1.1 km. Produknya adalah: suhu permukaan laut dan daratan, anomali suhu permukaan, pemetaan awan, deteksi es dan salju, batas air dan darat, deteksi hot spot. LANDSAT Satelit LANDSAT pertama kali diluncurkan tahun 1972 dan yang terbaru (Landsat 7 ETM+) diluncurkan tahun 1999. Satelit ini dibuat oleh NASA, Amerika dan dioperasikan oleh USGS, Amerika. Sensor ETM (Enhanced Thematic Mapper) memiliki 7 band spektral (450-2350 nm) dengan resolusi spasial 30 dan landsat.gsfc.nasa.gov 60 meter, sedangkan band spektral ke 8 (520-9000 nm) memiliki resolusi 15 meter. Satelit ini berguna bagi berbagai bidang studi seperti pertanian, kehutanan, geologi, kelautan dll. Produknya adalah: konsentrasi klorofil, turbiditas, sedimen, garis pantai, tutupan lahan, dll. SPOT Satelit SPOT (Le Systéme Pour l’Observation de la Terre)dengan sensor HRG (High Resolution Geometry) dibuat oleh Perancis. Diluncurkan tahun 1986, seri 5 diluncurkan tahun 2002. SPOT 5 memiliki 4 band spektral (500-1750 nm) dengan resolusi spasial 10 dan 20 meter, 2 band spektral pankromatik (480710 nm) dengan resolusi spasial 5 m dengan telsat.belspo.be/ beo/en/ hasil citra beresolusi 2.5 meter. Satelit SPOT satellites/spot.htm juga memiliki sensor VEGETATION dengan 4 band spektral (450 – 1750 nm) dengan resolusi spasial 1 km. Produknya adalah: deteksi tumpahan minyak, sedimen,



27 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



garis pantai, tutupan lahan, DEM, tutupan vegetasi, dll. TERRA – ASTER Satelit Terra (EOS AM-1) memiliki beberapa sensor yang salah satunya adalah ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) yang dioperasikan oleh GSFC-NASA, Amerika dan ERSDAC, Jepang. Diluncurkan tahun 1999 dan masih beroperasi hingga sekarang. Sensor ASTER memiliki 14 band spektral yang dibagi menjadi 3, VNIR (520-860 nm) beresolusi asterweb.jpl.nasa.gov spasial 15 meter, SWRI (1600-2430nm) beresolusi 30 meter, dan TIR (8125-11650 nm) beresolusi 90 meter. Produknya adalah: peta geologi, turbiditas, suhu permukaan darat dan laut, tutupan lahan, DEM, dll. TOPEX/Poseidon Satelit TOPEX/Poseidon dibuat oleh NASA (Amerika) dan CNES (Perancis), diluncurkan tahun 1992 yang kemudian dilanjutkan oleh Jason-1 sejak tahun 2001 hingga kini. Instrumen yang digunakan adalah radar altimeter, beroperasi pada frekuensi 13.6 dan 5.3 GHz. Instrumen ini dikombinasikan dengan instrumen lainnya seperti GPS, TMR www.jpl.nasa.gov (TOPEX Microwave Radiometer) dan DORIS untuk mengukur ketinggian permukaan laut dengan akurasi pengukuran hingga 2.5 cm. Produknya: anomali ketinggian permukaan laut, tinggi gelombang, kecepatan angin, dan uap air.



www.space.gc.ca/asc/eng/satellites/ radarsat1/default.asp



RADARSAT Satelit Radarsat dioperasikan oleh CSA (Kanada) dan MDA (Amerika). Radarsat-1 diluncur-kan tahun 1995 dan Radarsat-2 direncanakan tahun 2006. Radarsat-1 dilengkapi sensor SAR (Synthetic Aperture Radar) dengan frequensi 5.3 GHz. Sensor ini dapat berfungsi dalam beberapa mode yang menghasilkan citra dengan resolusi spasial antara 8 hingga 100 meter. Aplikasinya 28



Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



adalah untuk pertanian, penggunaan lahan, pemantauan bencana alam dan tumpahan minyak, peta kehutanan, geologi, deteksi kapal, dll. ERS Satelit ERS dibuat oleh ESA (Eropa), seri 1 diluncurkan tahun 1991 dan seri ke 2 tahun 1995. Satelit ERS memiliki 7 instrumen, salah satu-nya adalah Radar Altimetri yang bekerja di panjang gelombang 13.8 GHz dan memberikan informasi tinggi gelombang, directory.eoportal.org/pres_ERS2EU kecepatan angin permukaan, dan tinggi ROPEANREMOTESENSINGSATELLITE2.html permukaan laut. Sensor ATSR-1 memiliki 4 band spektral (1600-12000 nm) dan ATSR-2 memiliki tambahan 3 band (550-870 nm) yang memberikan informasi suhu permukaan laut dan vegetasi. Sensor SAR bekerja di frekuensi 5.3 GHz dan dapat menghasilkan citra dengan resolusi spasial 2 km. Untuk kajian semilokal seperti perairan Laut Jawa sebaiknya digunakan data LAC (Local Area Coverage) dengan resolusi spasial 0.5-1.1 km. Kedua jenis data tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan informasi secara rutin mengenai kondisi biofisik lingkungan perairan. Data GAC dapat dipesan secara near-real time melalui akses internet dengan prosedur yang tidak terlalu sulit. Sedangkan, pengadaan data LAC hanya dimungkinkan dengan adanya SGRS untuk HRPT (High Resolution Picture Transmission) yang mencakup wilayah Indonesia. Data GAC dan arsip data LAC serta produknya seperti citra SPL dan klorofil-a dapat diperoleh secara gratis antara lain melalui alamat homepage berikut:  http://daac.gsfc.nasa.gov/data  http://oceancolor.gsfc.nasa.gov Data LAC (NOAA, MODIS, Feng-Yun) secara near-real time dapat diperoleh dari LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Antariksa Nasional) dan SEACORM (Southeast Asia Center for Ocean Research and Monitoring). Permasalahan yang sering dijumpai pada penerapan teknologi PJK sensor pasif ini adalah intensitas tutupan awan yang tinggi di daerah tropis terutama pada kondisi musim hujan (Desember-April). Padahal kajian data seri untuk perioda waktu yang lama akan sangat bermanfaat untuk mengetahui perubahan dinamika laut menurut ruang dan waktu yang antara lain dipicu oleh pengaruh angin musiman. Untuk itu, diperlukan dukungan data lain dari satelit sensor aktif (radar) serta dari teknologi lain seperti pemodelan hidrodinamika laut, untuk melengkapi informasi / data yang 'bolong' karena tertutup awan. Riset dan pengembangan teknologi PJK mencakup berbagai aspek antara lain akuisisi data termasuk pemrosesan dan analisisnya. Untuk memperoleh informasi yang diinginkan, data tersebut perlu diproses dengan menggunakan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak (software) yang disebut dengan image processing. Saat ini, cukup banyak software image processing yang dapat digunakan untuk keperluan tersebut, baik yang berbasis



31 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



komersial maupun open source termasuk juga software yang dikembangkan sendiri oleh putra bangsa Indonesia. Salah satu perangkat lunak berbasis open source tersebut adalah SeaDAS (SeaWiFS Data Analysis System) yang dikembangkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration), Amerika pada tahun 1997. SeaDAS merupakan paket analisis citra satelit secara komprehensif untuk memproses, menampilkan dan menganalisa semua produk dari data satelit ocean color SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor) termasuk data ancillary-nya. Dalam perkembangannya, software tersebut kini juga memiliki kemampuan untuk memproses data satelit ocean color lainnya seperti CZCS (Coastal Zone Color Scanner), ADEOS / OCTS (Ocean Color Thermal System), MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer), dan MOS (Modular Optoelectronic Scanner). Selain itu, dapat juga digunakan untuk menampilkan citra suhu permukaan laut dari data AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). SeaDAS ini dilengkapi juga dengan software pemrograman IDL (Interactive Data Language) yang memungkinkan sipengguna mengembang- kan aplikasinya. Pemanfaatan software ini telah memberikan hasil yang cukup memuaskan baik bagi komunitas pengguna maupun pengembang teknologi penginderaan jauh dalam bidang aplikasi pesisir dan kelautan di Indonesia. SeaDAS dalam beberapa versi dan IDL embedded termasuk prosedur instalasi dapat didownload di http://seadas.gsfc.nasa.gov/. Selanjutnya akan dijabarkan prosedur pembuatan peta lingkungan perairan dari satelit yang secara rutin telah dimanfaatkan untuk pemantauan laut Indonesia. Suhu Permukaan Laut dari data NOAA-AVHRR Citra Suhu Permukaan Laut (SPL) dihasilkan dari data satelit NOAA-AVHRR untuk kanal infra merah jauh yang memiliki kisaran panjang gelombang 3-14 um. Masing-masing satelit NOAA mampu memberikan informasi dua kali dalam sehari dengan daerah pengamatan yang sama untuk data LAC dengan resolusi spasial 1.1 km2. Prosedur umum dari pemrosesan data tersebut meliputi: deteksi dan eliminasi awan, koreksi geometri, determinasi nilai brightness temperature, dan koreksi atmosfer (Cracknell, 1997). Pengukuran radiasi dan energi pada spektrum infra merah jauh yang dipancarkan oleh permukaan laut hanya dapat memberikan informasi suhu air pada lapisan permukaan. Prosedur koreksi atmosfer merupakan langkah yang penting dalam pemrosesan data untuk menghasilkan citra SPL. Untuk Perairan Indonesia, metoda koreksi atmosfer yang digunakan adalah split window dengan algoritma McMillin dan



32 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Crosby (1984). Algoritma perhitungan SPL tersebut telah divalidasi oleh Marine Research of the Australia's Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO, Australia) dengan menggunakan data pengukuran in situ yang sebagian mencakup wilayah perairan Samudra India (Komunikasi pribadi dengan Paul Tildesley dari CSIRO, Hobart). Persamaan matematis dari algoritma tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: SPL (ºK) = T4 + 2.702 * (T4 - T5) - 273.73 dimana, SPL adalah nilai suhu permukaan laut dalam derajat Kelvin; T4 adalah brightness temperature untuk kanal 4 (10500-11500 nm); T5 adalah brightness temperature untuk kanal 5 (1150012500 nm). Verifikasi algoritma SPL untuk Perairan Indonesia telah dilakukan oleh BPPT dengan menggunakan data pengukuran in situ di Samudra India, laut Jawa, Selat Bali, Selat Lombok, dan Selat Sunda. Prosedur validasi tersebut



Juli



Agustus



September



2002



2003



2004



2005



SPL (C)



Gambar 2.4 Pengamatan regional: Citra SPL dari tahun 2002 2005 pada bulan Juli sampai September. Pada perioda tersebut, kondisi perairan Samudra Pasifik lebih hangat dibandingkan Samudra India; masa air dari Pasifik barat bergerak masuk ke perairan Indonesia menuju samudra India (Arlindo). Sumber : GSFC-NASA



33 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 2.5. Pengamatan semi-lokal: Citra SPL pada 28 Agustus 2001 memperlihatkan fenomena upwelling di Selatan Jawa ditunjukkan dengan sebaran SPL lebih rendah dengan warna biru.



menghasilkan akurasi yang lebih tinggi yaitu 0.8C dan 1.5C untuk data AVHRR LAC yang direkam pada malam dan siang hari (Farahidy dkk, 1996; Hendiarti dan Lestiana, 1999). Data AVHRR yang direkam pada malam hari menghasilkan tingkat ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan data siang hari. Dimana, pada siang hari terbentuk termoklin diurnal dekat lapisan permukaan yang menyebabkan kondisi pada lapisan tersebut menjadi kurang akurat untuk menggambarkan nilai SPL dari kolom air tersebut. Contoh citra SPL dari data MODIS GAC yang dapat didownload dalam format 'hdf' dan gambar melalui alamat homepage NASA diperlihatkan pada Gambar 2.4. Analisis yang dapat dilakukan terhadap citra satelit tersebut hanya kualitatif untuk kajian regional seperti terlihat bahwa Samudra Pasifik Barat memiliki sebaran SPL yang lebih hangat (warna oranye) dibandingkan dengan Samudra India (warna kuning). Tingkat ketelitian dari informasi yang dihasilkan juga lebih rendah dibandingkan produk dari data AVHRR, karena sensor MODIS hanya merekam data pada siang hari yang merupakan kondisi kurang optimal untuk perhitungan SPL namun optimal untuk pengukuran kandungan material dalam air. Contoh produk SPL dari data LAC dengan resolusi spasial 1.1 km disajikan dalam 34 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 2.5. Kandungan Material dalam Air dari Data Satelit Ocean Color Teknologi penginderaan jauh kelautan dapat digunakan untuk memantau sebaran material organik (klorofil-a) dan material anorganik (sedimen terlarut) yang terkait dengan kesuburan dan kekeruhan perairan mulai dari cakupan regional hingga lokal. Citra satelit dapat menyajikan hasil dari proses interaksi antara gelombang energi matahari (Tenaga Elektro Magnetik = TEM) dengan perairan termasuk material yang dikandungnya (gambar 2.6). Sensor ocean color SeaWiFS dan MODIS menerima radiasi matahari dalam spektrum sinar tampak (400-700 nm) dari gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh lapisan permukaan perairan dan yang dihamburkan oleh atmosfer. Radiasi pantulan ini mengandung informasi sifat bio-optik air laut yang diakibatkan oleh adanya bahan tersuspensi dan terlarut pada air laut tersebut, serta membentuk warna perairan (Gordon dan Morel, 1983). Pada umumnya bahan-bahan sedimen anorganik, fitoplankton dan produk-produk turunannya, bahan-bahan hasil penghancuran organisme laut dan terestrial (disebut juga material kuning atau “yellow substance”) menjadi bahan utama yang mempengaruhi kenampakan warna air laut.



Gambar 2.6 Sistem penginderaan jauh satelit ocean color.



35 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Fitoplankton menyerap energi cahaya pada panjang gelombang pendek sehingga terlihat adanya penurunan besarnya energi yang dipantulkan pada panjang gelombang tersebut. Penyerapan dan penghamburan energi cahaya oleh material organik dan inorganik menyebabkan naiknya besar energi pada panjang gelombang biru-hijau (blue-green). Data satelit ocean color dapat dikelompokkan menjadi 3 tingkatan (level) yang berbeda yaitu level 1 (1A dan 1B), 2, dan 3. Prosedur pemrosesan data ocean color SeaWIFS diperlihatkan dalam Gambar 2.7. Level 1A berisi total radiasi yang terekam oleh sensor (Lt), dimana mencakup komponen informasi lainnya



Gambar 2.7 Prosedur pemrosesan data SeaWIFS (Senga, 2002).



dari atmosfer dan laut dalam volume yang besar. Data level 2 merupakan produk dengan nilai radiasi yang telah terkoreksi atmosfer dan informasi mengenai parameter fisika dan biologi (klorofil-a dan material terlarut). Data level 3 merupakan citra hasil komposit. Pada prosedur pemrosesan ini, koreksi atmosfer merupakan tahapan yang terpenting untuk memperoleh hasil yang maksimal. Kesuburan Perairan (konsentrasi klorofil-a perairan) Citra klorofil-a merupakan salah satu produk dari data satelit ocean color seperti Satelit SeaStar dengan sensor SeaWiFS (Sea Viewing Wide Field of View Sensor) dan Satelit Aqua dengan sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). Informasi ini diperoleh sekali dalam sehari dan diakuisisi pada siang hari dengan ketelitian spasial 1.1 Km2. Satelit SeaStar yang lebih dikenal dengan SeaWiFS, dirancang untuk memperoleh informasi tentang 36 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



kondisi lautan melalui kenampakan warna pada perairan yang direkamnya. Dengan 6 kanal pada cahaya tampak dan dua kanal pada inframerah dekat, sensor SeaWiFS sangat baik untuk mendeteksi tingkat kehijauan (klorofil-a) di suatu perairan. Satelit AQUA yang membawa sensor multikanal MODIS diharapkan informasi oseanografi yang diperoleh dapat lebih baik dan akurat. Hal ini dikarenakan MODIS memiliki 36 kanal spectral yang bekerja pada kisaran gelombang visible dan infra merah (1-19 dan 26) dan termal pada kanal-kanal selebihnya. Kisaran gelombang pada kanal-kanal yang dimilikinya yang lebih sempit tersebut diharapkan menghasilkan informasi parameter yang lebih baik dan akurat. Algoritma multi-scattering yang menggunakan band 670/865 nm dengan iterasi infra merah dekat di perangkat lunak SeaDAS 4 adalah prosedur yang direkomendasikan untuk koreksi atmosfer di perairan Indonesia (Hendiarti, 2003).



Chla (OC 4v 4)  10



( 0.366  3.067 R 1.930 R 2  0.649 R 3 1.532 R 4 )



nLw (443) nLw (490) nLw (510)  nLw (555)  R  max  F (443) , F (490) , F (510)  F (555) 0 0 0   0



F0 adalah nilai irradiance dari extraterrestrial solar.



Algoritma yang digunakan untuk menghitung kandungan klorofil dari citra SeaWiFS dan MODIS adalah OC4 (Ocean Chlorophyll 4-band) versi 4. Algoritma OC4 ini dibuat dan dikembangkan untuk perairan dengan konsentrasi klorofil rendah (di bawah 0.03 mg/m3) ke tinggi (di atas 1.0 mg/m3) berdasarkan basis data in situ global dan hasil prediksi dari model bio-optik. Persamaan empiris algoritma ini menggunakan ratio nilai nLw tertinggi untuk kanal 443, 490, 510 dan 555 nm (O'Reilly dkk., 2000). Algoritma OC4 memiliki akurasi lebih baik dibandingkan algoritma klorofil lainnya seperti OC2 (Ocean Chlorophyll 2-band) dengan tingkat ketelitian 35% (Hooker et al., 1992). Untuk Perairan Indonesia, koefisien korelasi antara konsentrasi klorofil-a yang diperoleh dari citra SeaWiFS dan hasil pengukuran lapangan di permukaan perairan pada perioda pengamatan Agustus 2000 Juli 2001 berkisar 0.26-0.42 untuk perairan keruh /pesisir dan 0.65-0.81 untuk perairan laut (Hendiarti, 37 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Juli



Agustus



September



1998



1999



2000



2001



2002



2003



2004



2005



Gambar 2.8 Pengamatan regional: pola sebaran klorofil-a pada bulan Juli sampai September. Konsentrasi klorofil tinggi (> 0.5 mg/m3) ditunjukkan dengan warna hijau-kuning-merah. Sumber : GSFC-NASA



38 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



2003). Validasi dilakukan di 92 stasiun pada perairan Samudra India, Selat Sunda, Teluk Pelabuhan Ratu, dan perairan pesisir Timur Lampung. Pada beberapa kondisi, konsentrasi klorofil-a dari citra ocean color tersebut ditemukan lebih tinggi dari data lapangan, diduga karena kontribusi klorofil maksimum di kedalaman. Untuk mengurangi efek ini yang bergantung pada tingkat penyerapan cahaya di kolom air, dimana suatu prosedur dengan menggunakan konsentrasi permukaan weighted harus diterapkan. Setelah dilakukan prosedur koreksi weighted tersebut, tingkat ketelitian dari produk citra klorofil tersebut meningkat 2-6% untuk perairan laut (Hendiarti, 2003). Gambar 2.8 memperlihatkan citra klorofil-a yang dihasilkan dari data satelit GAC ocean color SeaWiFS dan MODIS Aqua dengan resolusi spasial 4-9 km untuk kajian regional. Hasil pengamatan selama 8 tahun (1998-2005) menunjukkan bahwa kondisi lingkungan biologi perairan Indonesia pada lapisan paling atas atau di zona eufotik sangat dinamis, dan fenomena ini juga memiliki korelasi yang significant dengan potensi perikanan tangkap. Analisis terhadap sebaran klorofil-a perairan dari menunjukkan kesuburan perairan yang tinggi dengan konsentrasi klorofil-a tidak kurang dari 0.5 mg/m3 dan penyebarannya yang lebih luas dijumpai pada bulan Juni-September, puncaknya Agustus terutama di



MODIS, 28 Juli 2003, 06.10 GMT



Gambar 2.9 Pengamatan semi-lokal: sebaran klorofil-a pada bulan Juni dan Juli 2003 memperlihatkan perubahan pola sebaran dipicu oleh fenomena upwelling di selatan Jawa dan Selat Sunda pada bulan Juli (kandungan klorofil yang tinggi, warna merah).



Samudra Hindia, Laut Jawa, Laut Seram, Laut Banda, Selat Karimata, Selat Makassar selatan, dan Laut Arafuru. Sedangkan konsentrasi tinggi tersebut di Laut Aru terjadi sepanjang tahun. Citra satelit klorofil-a secara lengkap dapat



39 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



dilihat pada lampiran-A dalam buku ini atau dapat juga didownload di alamat: http://www.tisda.org/indoo. Contoh produk citra klorofil dari data LAC yang diterapkan untuk kajian fenomena semi-lokal dan lokal disajikan dalam Gambar 2.9.



TSS =



  0.5296 * R555  0.001004  0.03040 * R555  0.005860



R



Kekeruhan 555 Perairan (Konsentrasi Endapan Terlarut) Data yang digunakan untuk menghitung konsentrasi endapan terlarut sebagai salah satu indikator dalam menentukan tingkat kekeruhan perairan adalah juga data satelit ocean color seperti SeaWiFS dan MODIS. Algoritma yang digunakan untuk menghitung kandungan endapan terlarut (TSM) dari citra SeaWiFS adalah algoritma yang dikembangkan oleh Institute for Environmental Studies at the Vrije Universiteit, Amsterdam dengan menggunakan pantulan energi cahaya dari permukaan pada kanal 555nm (Dekker and Hoogenboom, 1997). Persamaan empirisnya dapat dijabarkan sebagai berikut: dimana, adalah pantulan energi cahaya dari permukaan air pada kanal 555nm. Algoritma TSM ini dikembangkan untuk perairan North Sea, dengan akurasi



01.2003



04.2003



07.2003



01.2005



04.2005



07.2005



Gambar 2.10 Pengamatan regional: pola sebaran kekeruhan perairan pada bulan Juli sampai September. Kekeruhan perairan tinggi ditunjukkan dengan warna kuning-merah.



40 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



tidak melebihi 15-20% (Hesselmans dkk., 2000). Pola sebaran TSS yang dihasilkan akan dibandingkan dengan nilai pengukuran lapangan. Sedangkan untuk data MODIS Aqua, kekeruhan perairan dilihat dari nilai energi cahaya yang dipantulkan dari permukaan pada panjang gelombang 510 nm. Analisis yang dilakukan secara visual pada citra MODIS level 3 tersebut menghasilkan informasi sebaran material terlarut secara kualitatif seperti terlihat pada Gambar 2.10. Parameter lain yang terekam adalah bilangan pokok pengurang menegak atau disebut dengan attenuation coefficient yang diukur pada panjang gelombang 490 nm (Kd 490). Bilangan ini dihitung dari rata-rata di kedalaman dari permukaan air hingga kedalaman maksimum dimana sinar matahari dapat menembus. Bilangan ini mengindikasikan hilangnya cahaya sinar tampak yang menembus di kedalaman air. Kisaran nilainya dari 0,03 yang mewakili air laut dimana cahaya matahari dapat menembus sampai kedalaman sekitar 75 m dan 0,5 yang mewakili air di pesisir yang turbid dimana sinar matahari hanya mencapai kurangdari 5 m. Bilangan pokok ini bisa di interpretasikan menjadi kecerahan perairan yang biasanya secara manual diukur dengan menggunakan metoda secchi-disk. Fenomena Biologi Laut Biologi laut sebenarnya bercerita mengenai kehidupan di laut yang sangat kompleks seperti halnya kehidupan di daratan. Plankton dan sumberdaya ikan merupakan komponen penting dalam memahami kehidupan di laut dan ekosistem di pesisir perairan. Nontji (2006) menjabarkan plankton sebagai makhluk hidup (tumbuhan/ fitoplankton dan hewan/zooplankton) yang mengapung, mengambang, atau melayang di dalam air yang kemampuan renangnya sangat terbatas sehingga selalu terbawa hanyut oleh arus. Fitoplankton sebagai rantai dasar makanan di laut sebagian besar tumbuh dan berkembang biak pada zona eufotik, yaitu lapisan kedalaman dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis atau produksi fitoplankton. Selain itu, untuk tumbuh dan berkembangbiak fitoplankton juga membutuhkan supply zat hara yang umumnya berasal dari daratan. Terkait dengan penjelasan di atas, fenomena biologi laut yang dapat dipantau dengan menerapkan teknologi penginderaan jauh adalah: 1. Limpasan zat hara 2. Kesuburan Perairan 3. Algae Bloom 4. Penentuan zona perikanan tangkap pelagis Untuk keperluan analisis sebaran partikel dalam air, perlu ditambahkan juga citra satelit SSH (sea surface height/ tinggi muka laut) dari data TOPEX



41 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



POSEIDON untuk menghasilkan informasi mengenai pola arus permukaan. Riset dan pengembangan teknologi penginderaan jauh untuk pemantauan fenomena biologi laut Indonesia menjadi penting mengingat luasnya cakupan perairan Indonesia dan sangat dinamisnya perubahan, serta termanfaatkannya sumberdaya perikanan laut kita secara optimal dan bijaksana. Selain itu, kemajuan teknologi penginderaan jauh kelautan menuntut kita untuk meningkatkan kemampuan terapannya di perairan Indonesia jika kita tidak menginginkan bangsa lain yang terus menerus memanfaatkan potensi sumberdaya alam kita Kesuburan perairan merupakan indikator yang sangat penting bagi perkembangan perikanan laut kita, bahkan lebih penting dibandingkan dengan parameter suhu perairan khususnya untuk wilayah perairan berlintang rendah seperti Perairan Indonesia. Di masa sekarang dan mendatang, data satelit penginderaan jauh ocean color dapat diaplikasikan untuk memetakan kesuburan perairan secara spasial dan rutin dari data sebaran klorofil-a di permukaan (kompas tanggal 27/11/2003). Dengan pengamatan / pengukuran dalam jangka waktu yang lama dan secara terus menerus, maka dapat dipantau perubahannya, selanjutnya di masa mendatang daerah penangkapan ikan pelagis dapat di duga dari data penginderaan jauh dengan multi-sensor. Berdasarkan validasi model dengan pengukuran lapangan, informasi yang diperoleh dari teknologi tersebut cukup baik. Meskipun idealnya, upaya penerapan teknologi ini perlu didukung dengan program riset untuk validasi dari keakuratan informasi / produk yang dihasilkan oleh data satelit tersebut yang sebenarnya didasarkan pada pendekatan model global, dengan melakukan pengukuran lapangan secara rutin pada beberapa lokasi strategis dan yang telah ditetapkan sebagai stasiun validasi. Kandungan material dalam air dari data Landsat 7 ETM+ Data satelit resolusi spasial tinggi diperlukan untuk kajian skala lokal ( >100 m). Salah satunya adalah data Landsat yang memiliki resolusi spasial 30 m. Sensor satelit Landsat ETM memiliki 3 kanal yang merekam pada kisaran panjang gelombang sinar tampak yaitu pada kanal 1 (450-520 nm), kanal 2 (530-610 nm) dan kanal 3 (630-690 nm). Informasi besarnya radiance/energi yang terekam pada kanal-kanal tersebut dapat digunakan untuk memetakan sebaran spasial klorofil-a perairan secara kuantitatif dan sebaran material endapan terlarut secara kualitatif. Untuk menghitung konsentrasi klorofil-a, digunakan persamaan matematis yang diadaptasi dari Chuqun Chen (2003) dimana variable-nya adalah nilai 42 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



pixel pada kanal 1 (gelombang sinar tampak biru) dan kanal 3 (sinar tampak merah). Berikut adalah rumus persamaan perhitungan klorofil-a:



23 Juni ‘02



20 Sept ‘02



27 Juli ‘02



6 Sept ‘02



4 Juli ‘02



30 Agus ‘02



23 Agus ‘02 29 Juni ‘02



19 Agus ‘02 22 Mei ‘02



12 Agus ‘02



30 Agus ‘02



rendah



6 Juli ‘02



28 Mei ‘02



tinggi



Gambar 2.11 Mosaik citra Klorofil Pulau Jawa dan sekitarnya dari data satelit Landsat ETM 2002



Chl-a = 86.963*(TM3/TM1) - 24.283 Dimana TM3 dan TM1 adalah nilai pixel kanal 3 dan 1. Dengan rumus persamaan ini, akurasi rata-rata untuk perairan pesisir di Teluk Daya China adalah kurang dari 20% (Chuqun Chen, 2003). Nilai akurasi ini lebih kecil jika dibandingkan dengan akurasi klorofil-a yang dapat diperoleh jika menggunakan data SeaWiFS yaitu 35% (Hendiarti, 2004) dengan rumus persamaan khusus untuk data SeaWiFS. Studi pengamatan kandungan klorofil-a di sekitar Pulau Jawa menggunakan citra Landsat 7 ETM+ yang diakuisisi pada tahun 2002. Gambar 2.11 menampilkan mosaik dari citra klorofil tersebut. Masing-masing tanggal akusisi citra tertera pada setiap citranya. Warna putih adalah pulau dan warna ungu diatas pulau menunjukkan sungai. Pada umumnya citra diakuisisi pada pertengahan hingga akhir tahun, yaitu sekitar musim Timur. Terlihat beberapa lokasi di pesisir yang menunjukkan nilai klorofil yang lebih tinggi dari sekitarnya, misalnya di Jawa barat: sekitar Ujung Kulon sampai Tanjung Karangtaraja dan sebelah utara di teluk Jakarta, di Jawa Tengah di sebelah utara Rembang, Laguna Segara Anakan, sebelah selatan Karangbolong



43 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 2.12 Kiri: Citra klorofil-a menunjukkan sebaran klorofil-a pada 23 Juni 2002 di wilayah pesisir Kabupaten Serang; Abu-abu adalah daratan. Kanan: Citra single band kanal 2 (570 nm) menunjukkan sebaran partikel anorganik (endapan terlarutTSM) secara kualitatif; sebaran dengan konsentrasi TSM yang relatif tinggi dijumpai pada perairan Teluk Banten.



Gambar 2.13 Desa Tengkurak dan Pedaleman yang terletak disebelah kanan kabupaten Serang. Terlihat di kawasan pesisir ini banyak kegiatan aqua kultur atau tambak. Di muara dua sungai terlihat pola sebaran sedimen. Dan terlihat juga bahwa air di kedua sungai tersebut banyak mengandung partikel seperti lumpur.



44 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



dan Yogyakarta, di Jawa Timur: di Tanjung Pangkah hingga Pasuruan dan Tanjung Panggang dekat Pulau Bali. Tinjauan lebih rinci tentang sebaran klorofil dan TSM di perairan sekitar Teluk Banten, ditujukan pada Gambar 2.12. Citra klorofil (kiri) memperlihatkan sebaran klorofil-a dengan kisaran konsentrasi klorofil-a antara 11 dan 53mg/m3. Gambar 2.12 kanan Sebaran TSM dapat diperlihatkan secara kualitatif dengan citra single band untuk kanal 2 (570 nm), yaitu gelombang sinar tampak hijau, dimana citra tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi sebaran partikel anorganik (endapan terlarut, TSM) secara kualitatif. Sebaran partikel anorganik tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi yang relatif lebih tinggi juga dijumpai pada pesisir Teluk Banten dan sekitarnya. Kedua parameter lingkungan, yaitu klorofil-a dan partikel endapan terlarut dapat digunakan untuk menentukan tingkat kekeruhan perairan, yang selanjutnya hasil tersebut masih perlu diverifikasi dengan menggunakan data pengukuran lapangan. Untuk mengetahui pemicu tingginya kandungan partikel endapan terlarut dan klorofil pada sekitar Desa Tangkurak dan Pedaleman (pesisir timur Provinsi Banten). Hasil analisis tutupan lahan pesisir menunjukkan pada zona tersebut terdapat banyak budidaya tambak (Gambar 2.13). Gambar 2.13 menampilkan citra TERRA-ASTER dengan resolusi spasial 15 meter yang diakuisisi pada tanggal 2 April 2004. Gambar ini ditampilkan menggunakan kombinasi RGB dimana warna hijau menunjukkan tanaman/tumbuhan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan persamaan 3*(band1+band3)/4 pada warna hijau (G), band 2 pada warna merah (R) dan band 1 pada warna biru (B). DAFTAR PUSTAKA Allan T.D., 1992. The Marine Environment, International Journal of Remote Sensing, 13 (6-7), hal. 1261-1276. Allan T.D., 1993. Satellite Microwave Remote Sensing, Ellis Horwood Ltd., UK, 526 hal. Chen, C., 2003. Satellite remotely-sensed technique and its application for monitoring the environment in coastal water, Proceedings the Eleventh Workshop of OMISAR (WOM-11) on the Application and Networking of Satellite Data, hal. 11-1. Cracknell, A.P., 1997. AVHRR data applications. Ellis Horword Limited, England, hal. 182-200. Dekker, A.G. and Hoogenboom H.J., 1997. Operational tools for remote sensing of water quality: A prototype toolkit. BCSR report NRSP-2, hal. 9618. Edward J., 1999. Application of Satellite and Airborne Image Data to Coastal Management, UNESCO, Paris. Farahidy, I., Hendiarti, N., Wooster, M., Patterson, G., 1996. Validating



45 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



remotely sensed estimates of sea surface temperature in support of marine monitoring programmes in East Java waters. Proceeding of Workshop on direct reception of satellite data for integrated and sustainable environmental monitoring in Indonesia, hal. 3.1-3.12. Gordon, H. R., and Morel, A.Y., 1983. Remote assessment of ocean colour for interpretation of satellite visible imagery. Springer-verlag, 114 halaman. Hendiarti, N., 2003. Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany, 93 halaman. Hendiarti, N., 2003. Satelit Pemantau Fitoplankton. Tulisan di Inspirasi Kompas Tanggal 27 November 2003. Hendiarti, N., Frederik, M., Andiastuti, Retno A., 2006, Laporan analisis Data ASTER dan Landsat ETM+ untuk Studi Tutupan Lahan Wilayah Pesisir, Sebaran Klorofil-a dan Kekeruhan Perairan Kabupaten Serang Hendiarti, N., Frederik, M., Sanjaya, H., Amri, K., Andiastuti, R., 2003. Laporan Akhir, Pekerjaan Bidang Penerapan Teknologi Penginderaan Jauh Untuk Karakterisasi River Discharge Dan Kajian Awal Dampaknya Terhadap Ekosistem Pesisir Sungai Siak Riau, Kerjasama Indonesia Jerman Untuk Bidang Kelautan Dan Ilmu Kebumian, P3 TISDA - BPPT, Jakarta, 40 halaman. Hendiarti, N., Lestiana, H., 1999. Validation of SST images derived from AVHRR of NOAA-12 in Sunda Strait. Proceeding of Workshop on validation of remote sensing data for fisheries, Jakarta, hal. 3.8- 3.21. Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2004. Investigation of different coastal processes in Indonesian waters using SeaWiFS data, Deep Sea Research Part II 51 (2004): 85-97. Hesselmans, G.H.F.M., Calkoen, C.J., Wensik, G.J., SAS, M., Trouw, K., 2000. Monitoring changes to bathymetry and sediment transport regimes caused by port development (MOCCASSIN), ARGOSS, 49 halaman. Hooker, S.B., Esaias, W., Feldman, E., Gregg, W.W. and McClain, C.R., 1992. An overview of SeaWiFS and Ocean Color. NASA Tech. Memo 104566, Vol. 1, edited by S.B. Hooker and E.R. Firestone, NASA Goddard Space Flight Center, Greenbelt Maryland, 24 halaman. Jones, Ian S.F., Sugimori, Y., Stewart, RW, Kenkyusha, Seibutsu, 1993. Satellite Remote Sensing of Oceanic Environment, Tokyo, Japan. Mark, R. A., Chelton, D. B., 1991. Advances in Passive Remote Sensing of the Ocean, Rev. Geophys. Supplement, hal. 571-589. McMillin, L.M., Crosby, D.S., 1984. Theory and validation of the multiple window sea surface temperature technique. J. Geophys Res (89): 36553661. Nontji, A., 2006. Tiada Kehidupan di Bumi tanpa Keberadaan PLANKTON, LIPI, Jakarta, 248 halaman. O'Reilly, J.E., and 24 Coauthors, 2000. SeaWiFS Postlaunch Calibration and



46 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



BAB III Penginderaan Jauh untuk Perikanan Tangkap Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin, M. Sadly Potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Indonesia sampai saat ini masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Dari 6.8 juta ton/tahun potensi perikanan tangkap Indonesia, hampir 50%nya yaitu sebesar 3.2 juta ton/tahun adalah potensi ikan pelagis dengan tingkat pemanfaatan 46.6% sehingga masih ada peluang untuk dikembangkan terutama di wilayah perairan Indonesia Timur (Tim fish stock nasional, 2001). Dukungan teknologi diperlukan untuk meningkatkan nilai pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Salah satu caranya yaitu dengan mengetahui daerah potensi penangkapan ikan pelagis melalui penerapan teknologi penginderaan jauh, nelayan dapat lebih mengefektifkan waktu berlayarnya, menghemat biaya dan dapat meningkatkan hasil tangkapannya. Sejak tahun 1998, teknologi penginderaan jauh kelautan ini telah diterapkan oleh instansi pemerintah terkait (BPPT: 1998-1999 sebagai rintisan; LAPAN: 1999-sekarang; BRKP: 2000-sekarang) untuk deteksi zona penangkapan ikan pelagis. Data satelit yang dipakai adalah citra suhu permukaan laut, klorofil-a, tinggi muka laut, dan arus permukaan laut. Informasi lokasi penangkapan ikan dihasilkan dengan cara identifikasi tidak langsung. Data suhu permukaan laut dari satelit digunakan untuk mengidentifikasi fenomena pengangkatan massa air (upwelling) ataupun pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front). Data sebaran kandungan klorofil-a perairan digunakan menjadi indikator tingkat kesuburan dan kelimpahan makanan bagi ikan. Data tinggi muka laut digunakan untuk mendeteksi arus dan menduga arah pergerakan kumpulan ikan pelagis. Sejalan dengan terus berkembangnya teknologi penginderaan jauh kelautan, diperlukan upaya untuk meningkatkan akurasi, inovasi, otomatisasi sistem dari pemanfaatan teknologi tersebut. Pembangunan sistem informasi perikanan tangkap terpadu yang juga memperhatikan faktor pemanfatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan juga sangat diperlukan. Secara ilmiah diketahui bahwa perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem pola angin muson memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antara musim. Dimana pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke



47 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



arah timur perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika musim timur berkembang dengan sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan Indonesia bagian barat (Wyrtki, K. 1961). Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi



3



C hlorophyll a (mg/m )



2.5



2



Laut Jawa Selat Sunda Pesisir S. India Selat Bali



1.5



1



0.5



0



Laut Jawa Selat Sunda Pesisir S. India Selat Bali



32 31 30 29



SPL (C) 28 27 26 25 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des



Bulan



Gambar 3.1 (kiri) Citra klorofil dari data MODIS pada 24 Agustus 2004; (bawah) Perubahan rata-rata bulanan dari SPL dan klorofil dari data tahun 1997-2004. Peningkatan pertumbuhan fitoplankton di pesisir Samudra India disebabkan oleh upwelling dijumpai pada bulan Juni-Oktober. Peningkatan nilai SPL di Laut Jawa dan Selat Sunda mungkin disebabkan oleh banyaknya limpasan air sungai pada musim transisi (Maret-Mei). (Hendiarti dkk., 2005).



48 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



tinggi rendahnya produktivitas perairan. Untuk itu, hubungan antara parameter lingkungan perairan yang dapat dipantau dengan satelit penginderaan jauh dan keberadaan ikan perlu dikaji secara lebih komprehesif. Berikut ini adalah contoh dari hasil kajian mengenai korelasi antara variasi musiman dari sebaran kandungan klorofil-a dan keberadaan ikan pelagis di perairan. Pengamatan citra satelit selama 8 tahun menunjukkan bahwa fenomena laut yang terjadi di perairan sekitar Pulau Jawa turut mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran kandungan klorofil-a (fitoplankton), lihat gambar 3.1. di Samudra India sebelah selatan Pulau Jawa, kandungan klorofil yang tinggi (> 0.3 mg/m3) dijumpai pada bulan JuliSeptember dan relatif rendah pada bulan Januari-Maret. Kondisi ini terkait dengan terjadinya fenomena upwelling di sepanjang pantai Selatan Jawa pada bulan JuniSeptember. Pada saat itu, angin bertiup dari tenggara (Australia) dan memacu terjadinya transport Ekman ke arah lepas pantai. Meningkatnya densitas ikan pelagis pada perairan upwelling disebabkan oleh ketersediaan makanan yang cukup untuk larva dan ikan-ikan kecil dan besar. Termasuk ikan pelagis pemangsa seperti tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling. Kondisi serupa dijumpai di Selat Bali, dimana meningkatnya kandungan klorofil-a perairan merupakan respon tidak langsung dari terjadinya fenoma upwelling di perairan Selatan Jawa. Keberadaan ikan pelagis di Laut Jawa dan Selat Sunda dipengaruhi oleh fenomena pergerakan masa air (throughflow) yang juga berperan dalam penyebaran ikan pelagis. Sebagai contoh di Selat Sunda, rata-rata jumlah tangkapan ikan pelagis dari TPI Labuan mencapai puncaknya pada musim angin timur (Juni September). Kondisi ini berkaitan dengan fenomena pergerakan masa air Laut Jawa menuju Samudra Hindia melalui Selat Sunda, yang dicirikan dengan kandungan klorofil perairan dan SPL yang relatif tinggi di Selat Sunda dibandingkan dengan Samudra Hindia. Dengan menggunakan data satelit, fenomena upwelling dan throughflow dapat terpantau dengan lebih akurat sehingga lokasi penangkapan ikan dapat dipetakan dengan lebih tepat. Aplikasi Praktis Satelit Oseanografi Untuk Nelayan Hal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah memeriksa ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter yang ditampilkan. Apabila ditemukan koordinat pada peta tidak sesuai dengan objek citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk mengembalikannya pada posisi yang benar. Secara visual cukup membuat sebangun antara peta bumi dan hasil citra. Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya terjadi 49 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan ini diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis proses fisik yang terjadi di laut. Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra satelit biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah Indonesia yang berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat intensif sehingga bias warna pada pengolahan citra sangat mungkin terjadi. Terutama untuk



Gambar 3.2 Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tanggal. 28 Juni 2001 di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius (Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P-TISDA, BPPT).



membedakannya dengan rekaman arus yang membawa massa air dingin. Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra satelit dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi massa air dingin oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s) dibandingkan pergerakan awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek citra massa air dingin relatif lebih stabil. Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu dilakukan sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua buah arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras (convergence zone atau front) dan upwelling. Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa air



50 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi diisi massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen dan zat hara sebagai sumber makanan fitoplankton. Secara visual kelimpahan fitoplankton dapat dilihat dari perairan sekitar pantai yang berwarna keruh kehijauan. Tanda ini dapat dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau kesuburan perairan. Gambar 3.2 adalah citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tanggal. 28 Juni 2001 di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius. Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeastward) sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang pada Musim Timur bergerak ke arah baratlaut (Northwestward). Lingkaran ungu terjadi di perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan barat Sumatra. Kedua lokasi ini dapat dijadikan barometer tempat penangkapan ikan (fishing ground). Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan arus membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi di permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan kecil dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam teori rantai makanan. Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar dengan mencari lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak ditemukan dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai contoh). DAFTAR PUSTAKA Pusat Riset Perikanan tangkap - Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2001. Laporan Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Hendiarti, N., Suwarso, Aldrian , E., Amri , K., Andiastuti, RA, Sachoemar, SI, Wahyono, IB, 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Around Java, Oceanography: The Indonesian Seas, Vol. 18, No. 4, Dec. 2005. Wyrtki, K., 1961: Physical oceanography of the Southeast Asian Waters. NAGA report 2, Scripps Institute of Oceanography, California.



51 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



BAB IV Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Karakteristik Perairan Nani Hendiarti



Beberapa proses dapat menimbulkan keberadaan perairan tipe 2, yaitu karena transpor alami dan material antropogenik dari daratan dan wilyah pesisir. Tingkat konsentrasi sedimen tersuspensi yang tinggi dari dasar air dan limpasan sungai serta tingginya terrigenous yellow substances yang sering ditimbulkan dari aktivitas penduduk, seperti perkotaan dan pengembangan daerah industri dapat berkontribusi dan mendominasi perairan tipe 2 secara optik (Gordon and Morel, 1983). Gambar 2.16 memperlihatkan kedua kelas perairan berdasarkan komposisi dari materi utama yang dikandung dalam air (Sathyendranath, 2000). Karena kondisi perairan tipe 2 lebih kompleks dari tipe 1, algoritma ocean color yang biasanya berhasil diterapkan untuk perairan tipe 1, sering tidak cocok untuk perairan tipe 2 (Hu dkk., 2000; Ruddick dkk., 2000). Untuk Perairan Indonesia, koefisien korelasi antara konsentrasi klorofil-a yang diperoleh dari citra SeaWiFS dengan hasil pengukuran lapangan berkisar 0.650.81 untuk perairan tipe 1 dan hanya 0.26-0.42 untuk perairan tipe 2 (Hendiarti, 2003). Untuk itu, perlu dikembang-kan algoritma lokal ocean acolor untuk perairan tipe 2 / pesisir. Perairan Indonesia memiliki karakter yang spesifik dan sangat dinamis, baik dilihat secara ruang maupun waktu. Keragaman tipe perairan Indonesia banyak disebabkan oleh proses fisis yang terjadi baik dalam skala regional maupun lokal. Perubahan kondisi perairan dipengaruhi juga oleh adanya faktor iklim musiman. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada pertumbuhan ekosistem pesisir dan laut termasuk sumberdaya hayati lautnya. Maka, penting adanya upaya untuk memantau perubahan kondisi perairan. Metodologi klasifikasi tipe perairan ini yang bermanfaat dalam pemantauan lingkungan perairan dilakukan berdasarkan pada komposisi material yang dikandung oleh air. Secara umum dalam studi penginderaan jauh, pengklasifikasian perairan ke dalam tipe 1 dan 2 yang diperkenalkan oleh Morel and Prieur (1977) adalah berdasarkan komposisi material dalam air, dan kemudian dikembangkan oleh Gordon dan Morel (1983). Dalam air tipe 1 atau perairan laut bebas/dalam/jernih, sifat optiknya didominasi dengan penyerapan dan penyebaran radiasi oleh fitoplankton, turunannya dan air di sekitarnya. Tetapi untuk air tipe 2 atau perairan pesisir/dangkal/keruh adalah lebih kompleks dengan adanya material anorganik tersuspensi dan 'substansi kuning' (yellow substances) serta fitoplankton dan detritus. 52 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 4.1.Diagram menampilkan komposisi perairan tipe (case) 1 dan 2 yang diadaptasi dari Prieur and Sathyendranath (1981) dalam Sathyendranath (2000).



Metoda yang diterapkan untuk deteksi tipe perairan adalah analisis terhadap variasi perilaku spektral yang terukur berdasarkan komposisi material yang dikandung oleh air (Siegel dan Brosin, 1986; Siegel dkk., 1997). Gambar 4.2 memperlihatkan tipe perairan Selat Malaka dan sekitarnya dapat dibedakan dengan warna perairan dan perilaku spektral (kurva) pada panjang gelombang sinar tampak yang berbeda.



!



!



Perairan Selat Malaka memiliki perilaku spektral yang serupa dengan air Sungai Siak yang keruh dan berwarna coklat yang merupakan perairan tipe 2. Perilaku spektral air Sungai Siak yang diplot dengan garis putusputus warna merah menunjukkan kandungan polutan material organik dan anorganik yang lebih tinggi dibandingkan dengan Selat Malaka. Besarnya penyerapan dan penghamburan energi cahaya oleh material organik dan inorganik menyebabkan turunnya besar energi pada panjang gelombang pendek dan naiknya besar energi pada gelombang panjang. Perairan Laut Cina Selatan memiliki perilaku spektral yang serupa dengan Samudra India yang berwarna biru dan merupakan perairan tipe 1. Air Laut Cina Selatan memiliki kandungan fitoplankton yang lebih tinggi, terlihat dengan adanya penurunan besarnya energi yang dipantulkan pada panjang gelombang pendek.



53 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



!



Perairan di Kepulauan Riau merupakan tipe 2 yang memiliki kandungan partikel endapan terlarut yang sangat tinggi terlihat dengan peningkatan besar energi pada gelombang panjang akibat penghamburan oleh material anorganik.



Gambar 4.2. Beberapa tipe perairan (Selat Malaka yang relatif jernih; Sungai Siak yang keruh oleh tingginya kandungan material polutan; perairan Kepulauan Riau yang keruh oleh endapan terlarut) ditunjukkan dengan warna perairan dan kurva spektral yang berbeda.



Luasan perairan dengan karakter tipe 1 dan 2 dapat diketahui dengan menerapkan metoda yang sangat sederhana yaitu dengan citra ocean color komposit RGB (Red-Green-Blue). Teknik pengamatan ini dapat juga digunakan untuk melihat perubahan pola sebaran yang spesifik dari tipe perairan yang berbeda. Sebagai contoh, pengamatan tipe perairan di sekitar pulau Jawa terpantau lebih beragam (Gambar 4.3). Pada musim angin timur, warna biru untuk perairan Samudra India dan Selat Makasar bagian selatan yang diduga merupakan bagian dari 'Arlindo' (dari Samudra Pasifik) merupakan tipe air laut murni. Laut Jawa yang berwarna putih menggambarkan besarnya penyerapan dan penghamburan energi cahaya oleh material organik dan anorganik, juga 54 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



terlihat dipengaruhi oleh Arlindo. Fenomena upwelling di perairan Selatan Jawa dan Selat Sunda yang memiliki kandungan fitoplankton yang tinggi



MODIS RGB 28.07.2003



Gambar 4.3 Produk dari data Aqua MODIS pada 28 Juli 2003: Citra komposit RGB (551-531-443 nm). Tipe perairan ditunjukkan dengan warna perairan pada citra yang berbeda. Abu-abu adalah daratan, dan hitam adalah awan. Perairan laut jernih yang berwarna biru: Samudra India dan Selat Makasar bagian selatan yang diduga bagian dari 'Arlindo' (Samudra Pasifik). Warna kecoklatan menunjukkan perairan dengan fenomena upwelling. Perairan Laut Jawa yang berwarna putih merupakan perairan tipe 2 dengan kandungan material organik dan anorganik yang tinggi.



Gambar 4.4 Produk dari data SeaWiFS pada 19 September 1999. Kiri: Citra komposit RGB (555, 510, 443 nm); kanan: variasi kandungan klorofil dan TSM dari beberapa tipe perairan yang dijumpai di perairan Selat Sunda dan sekitarnya. Warna hitam adalah awan, dan abu-abu adalah daratan. (Hendiarti dkk., 2002)



55 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



teridentifikasi dengan warna merah kecoklatan. Komposisi dari kandungan material organik (klorofil) dan anorganik (endapan tersuspensi) yang dimiliki oleh masing-masing tipe perairan dapat diketahui, seperti pengamatan yang dilakukan untuk perairan Selat Sunda dan sekitarnya (Hendiarti dkk., 2002), lihat Gambar 4.4. Data penginderaan jauh telah terbukti dapat digunakan untuk pengamatan klasifikasi tipe perairan. Tipe perairan laut jernih dan pesisir keruh sangat mudah untuk dibedakan. Teknik pengamatan ini akan bermanfaat khususnya untuk pemantauan kondisi lingkungan perairan pesisir. Namun demikian, dukungan data pengukuran lapangan akan sangat membantu dalam menjabarkan karakteristik tipe perairan tersebut secara lebih rinci. DAFTAR PUSTAKA Gordon, H. R., and Morel, A.Y., 1983. Remote assessment of ocean colour for interpretation of satellite visible imagery. Springer-verlag, 114 hal. Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2002. Distinction of different water masses in and around the Sunda Strait: satellite observations and in-situ measurements. Proceeding of The Sixth Pan Ocean Remote Sensing Conference (PORSEC) 2002, volume 2, 674-679. Hu, C., Carder, K.L., and Muller-Karger, F.E., 2000. Atmospheric Correction of SeaWiFS Imagery over Turbid Coastal Waters: A Practical Method, Remote Sensing of Environment, 74, 195-206. Morel, A., Prieur, L., 1977. Analysis of variations in ocean color. Limnol. Oceanogr. 22(4), 709-722. Ruddick, K.G., Ovidio, F., and Rijkeboer, M., 2000. Atmospheric correction of SeaWiFS imagery for turbid coastal and inland waters. Applied Optics, Vol. 39, No. 6, 897-912. Sathyendranath, S., 2000. Remote sensing of ocean color in coastal, and other optically-complex, waters. IOCCG report number 3, 139 hal. Siegel, H., H.J. Brosin, 1986. Regional differences in the spectral reflectance of sea water. Beitr. Meereskd., 55, 71-77. Siegel, H., M. Gerth, M. Beckert, 1997. Variation of specific optical properties and their influence on measured and modelled spectral reflectances in the Baltic Sea. In Ocean Optics XIII, S.G. Ackleson, R. Frouin, Editors, Proc. SPIE 2963, 526-531.



56 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



BAB V Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Fenomena Laut Dan Pesisir Nani Hendiarti, Frederik, MCG, Ambarini, RA



Satelit penginderaan jauh merupakan alat yang cocok untuk mengkaji proses pesisir dan kelautan secara global, regional, dan skala lokal. Data satelit di panjang gelombang tampak dan infra merah dengan resolusi spasial berbeda telah digunakan dalam berbagai topik penelitian kelautan, seperti: observasi proses dinamika laut dan pesisir, yaitu upwelling dan eddies (Solanki dkk., 2001, Hendiarti dkk., 2004), algae bloom (Sathyendranath, 2000), limpasan sungai dan pesisir (Siegel dkk., 1996; Hardman-mountford, 2000), dan penelitian perikanan (Liu dkk., 2002). Citra ini diinterpretasi berdasarkan fitur fisik yang dipengaruhi oleh proses-proses dinamik, dan karakteristik biologi dari kandungan fitoplankton laut. Di perairan Indonesia, aplikasi satelit penginderaan jauh dimulai dengan penggunaan suhu permukaan laut. Selanjutnya, data satelit ocean color memberikan perspektif baru dalam penelitian ini walaupun memiliki kendala mengenai tutupan awannya yang tinggi terutama pada perioda musim hujan. Pendekatan umum dari pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk pengamatan fenomena laut dan pesisir dapat dilihat pada Gambar 5.1. Metode penelitian ini memperlihatkan juga hubungan antara metodologi pengamatan dan aplikasinya. Kesemuanya memberikan kontribusi pada aplikasi data satelit untuk meneliti proses oseanografi yang spesifik. Dalam hal ini, proses dinamika laut Indonesia yang utama yaitu upwelling dan arus lintas Indonesia (Arlindo) dapat diamati perubahannya dalam perioda mingguan-bulanan menggunakan data satelit penginderaan jauh untuk skala regional dengan resolusi spasial 1 km (resolusi 0.25-1 km untuk data open source hingga 3-30



57 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



m untuk data komersial). Pengamatan terhadap dinamika pelimpasan material daratan tersebut bermanfaat untuk aplikasi dalam bidang lingkungan perairan pesisir dan laut. Melalui pendekatan ini, pengamatan proses secara individu dapat dilakukan secara lebih tepat baik dari tinjauan ruang maupun waktu. Dalam dekade mendatang, selain fokus pada peningkatan kajian terapan teknologi tersebut, diharapkan dapat ditingkatkan juga kegiatan riset dalam aspek pengembangan metodologi pemantauan terutama untuk optimasi produk satelit kelautan. Kegiatan optimasi ini meliputi validasi citra sebaran kandungan material (organik dan anorganik) dalam air untuk tipe perairan yang berbeda. Oleh sebab itu, klasifikasi tipe perairan perlu dilakukan untuk membuat strategi pemantauan termasuk dalam menentukan lokasi stasiun



Gambar 5.1 Skema pendekatan umum untuk pengamatan fenomena laut dan pesisir.



validasi. Berikut adalah penjabaran lebih rinci untuk karakterisasi dan pemantauan fenomena upwelling, pergerakan masa air dekat permukaan yang merupakan bagian dari 'Arlindo' dan limpasan material dari daratan pesisir. Selain itu, dikaji pula mengenai pengaruh fenomena laut tersebut terhadap pertumbuhan fitoplankton dan distribusi ikan pelagis. Penelitian difokuskan di perairan sekitar Pulau Jawa. Samudra Hindia, terutama sepanjang pesisir selatan Pulau 58 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Jawa, dipelajari karena adanya upwelling. Selat Sunda dan Selat Lombok merupakan tempat studi yang baik mengenai pergerakan masa air dekat permukaan yang juga merupakan dampak dari sistem iklim musiman dan fenomena 'Arlindo'. Laut Jawa memiliki karakteristik perairan laut dangkal (< 200m) dan semi-tertutup yang dipengaruhi oleh fenomena limpasan material daratan pesisir dan 'Arlindo'. Dalam kajian proses yang terjadi di pesisir dan perairan laut berikut ini, aplikasi dari data satelit ocean color dikombinasikan dengan data SPL dan data lapangan. Keberadaan upwelling, limpasan pesisir dan arus lintas di perairan sekitar Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan data satelit SeaWiFS LAC dan GAC, MODIS-Aqua LAC dan GAC, NOAA-AVHRR LAC yang diakuisisi pada bulan September 1997 hingga Desember 2005. Upwelling Fenomena upwelling yaitu proses naiknya masa air yang lebih dingin dan kaya akan zat hara dari kedalaman tertentu ke zona dekat permukaan dimana



Gambar 5.2 Atas: Zona upwelling ditunjukkan dengan citra satelit klorofil (warna merah) dan SPL (warna biru); Bawah: pertumbuhan upwelling (arsir hitam) berbeda dalam perioda Tahun 2000 dan 2001.



59 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



cahaya matahari masih dapat menembus, sehingga fitoplankton dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Meningkatnya densitas ikan pelagis pada perairan upwelling disebabkan oleh ketersediaan makanan yang cukup untuk larva dan ikan-ikan kecil dan besar. Termasuk ikan pelagis pemangsa seperti tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling. Perairan upwelling dicirikan dengan nilai SPL di bawah 28oC dan diikuti dengan naiknya kandungan klorofil-a (0.6 - 2.0 mg/m3). Melalui analisis citra klorofil dan SPL, di tahun rata-rata, fenomena upwelling terjadi di sepanjang pantai Selatan Pulau Jawa pada musim Timur (Juni-September). Pada saat itu, angin



1.4



Station 19 Station 14 nLw-555nm (mW cm-2 m-1 sr-1)



Sumatra



19 14



Jawa



nLw-555



1.2



Laut Jawa 1



0.8



Mixed water



0.6



0.4



(mW cm-2 um-1 sr-1) 0.2



J



F



M



A



M



J J Months



A



S



O



N



D



Gambar 5.3 Kiri: Citra nLw 555 nm pada bulan Juli 2001, (b) Variasi bulanan nilai nLw 555 nm yang menggambarkan perioda pergerakan masa air dari Laut Jawa menuju Samudra India lewat Selat Sunda terutama terjadi pada bulan Juni-Agustus.



bertiup dari tenggara (Australia) dan memacu terjadinya transport Ekman ke arah lepas pantai. Pada bulan September menunjukkan sebaran upwelling lebih besar dari bulan lainnya. Luasan daerah upwelling bervariasi setiap tahunnya, seperti ditunjukkan pada Gambar 5.2. Sementara itu, jumlah tangkapan ikan pelagis dari TPI Banyuwangi yang tinggi dijumpai pada perioda terjadinya upwelling yaitu pada triwulan ke-3 (Juni - September). Pergerakan Masa Air Fenomena pergerakan masa air (throughflow) yang disebabkan oleh perubahan iklim musiman (monsoon) juga berperan dalam penyebaran ikan pelagis. Di perairan Selat Sunda, rata-rata jumlah tangkapan ikan pelagis dari TPI Labuan mencapai puncaknya pada musim angin timur (Juni September). Kondisi ini 60 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



berkaitan dengan fenomena pergerakan masa air Laut Jawa menuju Samudra Hindia melalui Selat Sunda, yang dicirikan dengan kandungan klorofil perairan dan SPL yang relatif tinggi di Selat Sunda (di atas 29.5C dan 0.8 mg/m3) dibandingkan dengan Samudra Hindia. Dengan menggunakan data satelit ocean color, fenomena upwelling dan throughflow di Selat Sunda dapat terpantau dengan lebih akurat. Gambar 5.3 memperlihatkan transport masa air dekat permukaan dari Laut Jawa menuju Samudra India melalui Selat Sunda terjadi pada bulan Juni-Agustus. Keberadaan masa air Laut Jawa di Selat Sunda dicirikan dengan nilai reflektansi cahaya yang tinggi (>1 mW cm-2 m-1 sr-1) karena tingginya hamburan cahaya oleh material anorganik pada pada panjang gelombang 555 nm. Material tersebut bisa berasal dari fenomena limpasan daratan. Pelimpasan Material Daratan (Kasus: Teluk Jakarta)



Gambar 5.4 (a) Citra Landsat TM RGB 3 Agustus 2002 dengan resolusi spasial 30 m.; (b) Variasi bulanan konsentrasi klorofil-a Teluk Jakarta dan Laut Jawa pada perioda pengamatan 1999-2002; (c-d) Peta sebaran klorofil dan TSM dari data Aqua MODIS 24 September 2005; (e-f) Kelimpahan fitoplankton dari pengukuran lapangan di CBL dan Cisadane.



61 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Proses pelepasan material yang beragam dari pantai ke laut merupakan fenomena oseanografi yang berpotensi dapat menurunkan kualitas air dan dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan ekosistem pesisir serta potensi sumberdaya perikanan laut, seperti yang terjadi di perairan Teluk Jakarta. Dengan mengetahui pola penyebaran limpasan tersebut, upaya antisipasi dapat lebih difokuskan pada perioda musim rawan dimana dampaknya terjadi pada wilayah perairan yang lebih luas. Perubahan warna air laut yang dijumpai di Teluk Jakarta dan dapat mengakibatkan kematian massal ikan seperti yang terjadi pada pertengahan



Kisaran Nilai



Parameter CBL (permukaan)



Cisadane (permukaan)



Unit



Amonia (NH3-N)



0.025 – 0.089



0.026 – 0.318



mg/L



Nitrit (NO2-N)



0.009 – 0.042



2.5 mg/m3 TSM: > 8 mg/l SST: >30.5 C0.8C Klorofil: > 3 mg/m3  1.3 mg/m3 TSM: > 10 mg/l SST: >30.5 C0.8C Klorofil: > 0.5 mg/m3 SST frontier zone



Perioda



Skala cakupan



June -September



Regional



June-September



Regional



Maret, April, November.



Lokal



Desember-Maret



June-September



Lokal



Regional



Tabel 5.2 Karakteristik, perioda dan luasan zona upwelling, pergerakan masa air dekat permukaan dan pelimpasan material serta perikanan tangkap pelagis.



63 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Untuk mengetahui kualitas informasi yang dihasilkan oleh satelit, kegiatan validasi (survei lapangan) dilakukan di hilir dan muara sungai Cisadane, dan hilir CBL (Canal Bekasi Laut) pada bulan September 2005. Lokasi survei diperlihatkan pada citra komposit Landsat ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) yang direkam pada tanggal 22 September 2002 (Gambar 5.4). Kondisi perairan pesisir di muara Sungai Cisadane dan CBL terlihat berbeda antara musim peralihan dan musim kemarau, dimana pada musim peralihan intensitas limpasan material dari sungai terlihat relatif lebih besar dibandingkan dengan kondisi pada musim kemarau. Hasil survei validasi mendukung analisis citra yaitu kondisi kualitas perairan Teluk Jakarta terutama pada zona muara Sungai Cisadane dan CBL dapat dikatakan kurang baik (lihat Tabel 5.1), yang diduga dampak dari limpasan sungai. Dari penjabaran di atas, data satelit penginderaan jauh terbukti dapat diterapkan untuk mengkaji karakteristik dari fenomena laut dan pesisir; serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan fitoplankton dan distribusi ikan pelagis. Untuk perairan sekitar Pulau Jawa, proses dinamika laut yang teridentifikasi meliputi upwelling di Selatan Pulau Jawa dan Selat Sunda; serta pergerakan masa air dekat permukaan dari Laut Jawa ke Samudra India melalui Selat Sunda dan Selat Bali. Sedangkan fenomena pesisir mencakup proses pelimpasan material daratan ke laut. Karakteristik dari masing-masing fenomena tersebut yang ditinjau dari skala ruang (lokasi dan penyebarannya) dan skala waktu (perioda terjadinya), dijabarkan dalam Tabel 5.2. DAFTAR PUSTAKA Hardman-Mountford, N.J., 2000. Environmental variability in the Gulf of Guinea large marine ecosystem. A thesis of Doctor of Philosophy, Department of Biological Sciences, University of Warwick. Hendiarti, N., 2003. Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany, 93 halaman. Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2004. Investigation of different coastal processes in Indonesian waters using SeaWiFS data, Deep Sea Research Part II 51 (2004): 85-97. Kompas, 2004. Fitoplankton berlebih picu kematian massal ikan, 13 Mei 2004. Liu, C., Nan, C., Ho, C., Kuo, N., Hsu, M., 2002: Tuna catch and satellite remote sensing. Proceeding of The Sixth Pan Ocean Remote Sensing Conference (PORSEC) 2002, volume 2, 442-444. Sathyendranath, S., 2000. Remote sensing of ocean color in coastal, and other optically-complex, waters. IOCCG report number 3, 139 hal. Siegel, H., Gerth, M., Schmidt, T., 1996: Water exchange in the Pomeranian Bight investigated by satellite data and shipborne measurement. Continental Shelf Research, Vol. 16, No. 14, 1793-1817. 64 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



BAB VI Penginderaan Jauh untuk Pengamatan Perubahan Tutupan Lahan Laguna Segara Anakan Marina C G Frederik



Kawasan estuari memiliki peran penting di daerah tropis seperti Indonesia. Mangove adalah salah satu tempat dimana ikan dan kepiting hidup dan berkembang biak. Tetapi kawsan mangrove sering mengalami perubahan drastis. Contohnya, Laguna Segara Anakan. Laguna ini terletak di sebelah selatan Propinsi Jawa Tengah dengan koordinat geografis 7o 35' 7o 45' LS dan 108o 45' 108o 55' BT. Pulau Nusa Kambangan terletak di sebelah selatan laguna ini dan melindungi laguna dari Samudra Indonesia. Laguna Segara Anakan mengalami dampak seperti pendangkalan air dan berkurangnya luas vegetasi mangrove akibat kegiatan perambahan hutan di bagian utara serta penebangan hutan mangrove di sekitar laguna tersebut. Akibat dari kegiatan ini adalah terjadinya penumpukan sedimen di laguna sehingga luas permukaannya semakin kecil, airnya semakin keruh dan dangkal yang mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan serta pendapatan penduduk setempat yang merupakan nelayan tradisional. Agar dapat memelihara dan mengembangkan ekosistem mangrove, diperlukan suatu metode pengembangan yang di dasari oleh data yang baik. Salah satunya adalah menggunakan citra penginderaan jauh. Studi perubahan tutupan lahan mangrove dilakukan menggunakan citra satelit penginderaan jauh SPOT multitemporal dengan kurun waktu 11 tahun, yaitu SPOT 2 tahun 1987, SPOT 3 tahun 1995, dan SPOT 1 tahun 1998. Gambar 6.1 memperlihatkan proses alur dalam studi ini dan tabel 6.1 memperlihatkan hasil perubahan tutupan lahan. Terlihat bahwa perubahan terbesar adalah kawasan perkotaan. Untuk perubahan lahan mangrove, perubahan luasnya berkurang sekitar 35%, lahan persawahan bertambah sekitar 43%, dan lahan yang digunakan untuk aquakultur bertambah pada tahun 1998. Hal ini sesuai dengan perubahan yang diamati. Gambar 6.2 memperlihatkan hasil perhitungan perubahan dimana citra SPOT tahun 1998 digunakan sebagai citra latar belakangnya. Terlihat warna hijau yang menunjukkan tidak ada perubahan, warna kuning dan orange yang 65 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



menunjukkan perubahan dari mangrove ke air keruh dan sawah. Hasil penelitian ini perlu diverifikasi kembali pada keadaan sesungguhnya untuk



Luas th 1987 (ha)



Luas th 1998 (ha)



No.



Tipe Tutupan La han



% perubahan



1



Tambang



45.5



64.7



42.2



2



Awan



3 230.5



408.8



-87.3



3



Perkebunan



1 941.2



1 819.1



-6.3



4



Hutan



546.6



513.5



-6.1



5



Sedimen



1 080.7



320.8



-70.3



6



Aquakultur



0.0



729.9



-



7



Mangrove



14388.8



9300.4



-35.4



8



Air bersedimen



2 322.1



3 132.8



34.9



9



Laut



4 815.6



4 092.7



-15.0 43.3



12



Sawah



7 856.7



11 255.7



14



Perumahan dengan kebun



6 163.7



6 154.6



-0.1



15



Perkotaan



1 085.7



2 265.4



108.7



16



Hutan primer



5 250.8



7 279.7



38.6



20



Non kelas



1 660.2



3 050.0



83.7



Tabel 6.1 Perubahan lahan antara 1987-1998 dari interpretasi citra SPOT



SPOT 1995



melihat keakurasian proses klasifikasi dan interpretasinya. SPOT 1987



Geokoreksi



SPOT 1998



Geokoreksi



SPOT 1995 terkoreksi



Geokoreksi



SPOT 1987 terkoreksi



SPOT 1998 terkoreksi Vektor



Interpretasi visual



SPOT 1987 14 kelas



Interpretasi visual Informasi survey lapangan



SPOT 1998 15 kelas



Deteksi perubahan



Gambar 6.1 Metode pengolahan perubahan lahan mangrove.



66 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Tidak berubah antara tahun 1987-1998 Mangrove menjadi sedimen Mangrove menjadi aquakultur Mangrove menjadi sawah Mangrove menjadi rumah + kebun Mangrove menjadi perkebunan Mangrove baru antara tahuin 1987-1998 Gambar 6.3. Citra SPOT 1998 ditampilkan dengan vektor perubahan tutupan lahan mangorve



DAFTAR PUSTAKA BCEOM in association with PT Ardes Perdana & PT Bhawana Prasasta, 1997, Segara Anakan Conservation and Development Project, Package 2 parts B & C, Technical proposal, Vol. 2 ; General Approach & Methodology, workplan, comments on TOR, section D, Jakarta, 50p Bruzzone, L et S.B. Serpico, 1997, Detection of changes in remotely-sensed images by the selective use of multi-spectral information, Int. J. Remote Sensing, Vol. 18, No. 18, P. 3883-3888. Chavaud, S., C. Bouchon et R. Maniere, 1998, Remote sensing techniques adapted to high resolution mapping of tropical coastal marine ecosystems (coral reefs, seagrass beds and mangrove), Int. J. Remote Sensing, Vol. 19, No. 18, p. 3625-3639. Dewanti, R. et T., Maulana, 1998, Monitoring the changes of lagoon Segara Anakan, Central Java by using multitemporal Landsat data , Warta Inderaja, Vol. X, No. 1, p. 34-38. Frederik, MCG., 2001, Detection of Land Cover Changes of Segara Anakan Lagoon, Indonesia, RS & GIS Yearbook 2000, p. 224-238. Green, E.P., C.D. Clark, P.J. Mumby, A.J. Edwards, et Ellis, A.C., 1998, Remote sensing techniques for mangrove mapping, Vol. 19, No. 5, p. 935-956. 67 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Hartono, 1991, Etude des mangroves de Java, 279p, Ecologie et Télédétection, Toulouse, France. Singh, A., 1989, Digital change detection techniques using remotely-sensed data, Int. J. Remote Sensing, Vol. 10, No. 6, p. 989-1003.



68 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



BAB VII Penginderaan Jauh untuk Pengamatan Gelombang Internal Albert Sulaiman



Gelombang internal adalah gelombang yang menjalar di dalam lautan (dibadan air). Gelombang ini dapat terjadi jika di badan air terdapat beda densitas dimana beda densitas ini muncul apabila dilapisan air terdapat beda temperatur ataupun beda salinitas. Gelombang internal ini mempunyai variasi panjang gelombang dari beberapa meter sampai ke puluhan kilometer, sedangkan amplitudenya dapat mencapai 50m. Periodenya mempunyai rank antara menit sampai jam. Gelombang soliton internal adalah suatu gelombang internal yang dalam penjalarannya mempertahankan bentuk akibat keseimbangan yang terjadi dari efek nonlinier dan efek dispersi. Efek nonlinier akan cenderung membuat gelombang memipih (steepening) sedangkan efek dispersi membuat gelombang melebar. Keseimbangan antara kedua efek ini akan membantu gelombang internal mempertahankan bentuknya pada saat dia menjalar ataupun jika dia bertubrukan dengan sesamanya (Grimshaw,R 2000). Gelombang soliton internal mempunyai restoring force gaya gravitasi dan terjadi biasanya akibat aliran fluida melewati suatu gundukan (sill), pungungan (bank) atau suatu perubahan batimetri yang tajam (continental slope) di dasar perairan. (Brandt,P et al 1997; Holloway,P et al 1997).Tidak ada mekanisme yang unik dan tertentu untuk menjelaskan bagaimana gelombang ini terbentuk (Farmer,D & L. Armi 1998, Bogucki,D; 1997, Bogucki,D; 1998). Gelombang internal dapat dideteksi keberadaanya secar langsung (insitu) dan secara tak langsung. Pengukuran secara langsung dapat menggunakan ADCP atau thermocouple baik dengan kapal atau system mooring. Pengukuran insitu jarang dilakukan. Sedangkan pengukuran tak langsung memalui satelit. Beberapa jenis satelit yang dpat mendeteksi gelombang internal soliter adalah satelit dengan sensor radar missal ERS, Radarsat atau beberapa satelit lain seperti MODIS dan SPOT. Dari citra satelit dapat diketahui kemunculan gelombang internal soliter (yang merupakan fenomena mesoscale) muncul di daerah: selat Lombok, selat Makasar, laut Flores, laut Seram, laut Maluku, laut Banda dan laut Sawu. Paling banyak muncul ada di selat Lombok. Berikut berepa citra satelit yang memerikan gelombang internal soliter. 69 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Diselat Lombok mempunyai pola sirkular dengan gelombang menjalar dikedua arah yaitu ke utara dan ke selatan. Pada umumnya gelombang yang bergerak ke utara (ke laut Flores) akan mempunyai crest gelombang yang lebih lebar jangkauannya sedangkan di selatan lebih sempit. Disebelah utara mempunyai pola seperti soliton “periodik” sedangkan di selatan dalam bentuk paket gelombang dimana dalam satu paket terdiri dari beberapa soliton tunggal. Pola



a)



b)



Gambar 7.1 a) Gelombang Internal soliter di selat Lombok (5-11-1997) Citra ERS-2. b) Gelombang Internal soliter di selat Makasar (1-11-1997) Citra ERS-2



70 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



seperti ini biasanya dibangkitkan oleh arus yang menabrak suatu gundukan (Brandt,P et al 1997). Sedangkan diselat Makasar mempunyai pola 3-4 soliton yang menjalar dari laut lepas menuju pantai. Seperti juga pada gelombang permukaan, gelombang internal ini terlihat akan cenderung bergerak sejajar dengan garis pantai. Berikut karakteristik gelombang internal soliter yang



Daerah bulan:



J



F



M



A



M



J



J



A



S



O



Selat Makasar



D



1



Delta Mahakam



2



Laut Flores Selat Lombok



N



1 1



1



1



2



1 2



1



1



2



2



Catatan



3-4 soliton 1



3-4 soliton



2



2



“periodik”



2



4



Paket soliton



Tabel 7.1 Karakteristik gelombang internal soliter di jalur Arlindo.



berhasil diketahui dari citra satelit. Amplitude soliton dapat dicari dengan bantuan model matematika. Umumnya model matematika untuk mempelajari gelombang internal soliton dari data obeservasi menggunakan teori gelombang nonlinier lemah yang diperikan melalui persamaan Korteweg & de Vrie (KdV) (Holloway,P; E. Pelinovsky & T. Talipova 1999, Grimshaw,R; E. Pelinovsky & T. Talipova 1997, Grimshaw,R 2000). Persaman KdV memerikan evolusi dari gelombang soliton internal dengan amplitude kecil yang menjalar di perairan dangkal. Jika kita aproksimasi fluida dua lapis maka untuk orde pertama kita dapatkan (Grimshaw, R ., 2000): 3 A A A  A  c A   3  0 t x x x (1)



θτ dimana amplitude A( , ) akan memenuhi 1 persamaan Korteweg & de Vris (KdV) sbb:  1H 2   2H 1 2 (1)     x, t   (2)   A x , t  H2  



dimana koefisien c (kecepatan fase gelombang panjang linier), α (koefisien 71 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



nonlinier) dispersi) akan diberikan oleh: H H g  dan  β (koefisien



c



2



1



1



2



H1ρ1



 2 H 1  1 H 2



 



 2 H 12   1 H 22 3 c 2 H1H 2  2 H1  1H 2



 



cH 1 H 2  1 H 1   2 H 2 6  2 H1  1H 2



H2ρ2



Gambar 7.3 Koefisien KdV dan geometri gelombang internal fluida dua lapis.



Arus internal dalam arah horisontal diberikan oleh persamaan kontinuitas. Propagasi gelombang soliton internal (amplitude, kecepatan, energi dll) dapat di ketahui dengan mencari solusi persamaan KdV, Persamaan KdV tersebut mempunyai banyak solusi seperti solusi satu soliton, solusi dua soliton, solusi N soliton serta solusi 'periodik' soliton yang dinyatakan dalam bentuk fungsi elliptik jacobi. Solusi soliton tunggal (atau sering disebut solusi gelombang jalan) dari persamaan KdV didapat dengan mengambil solusi dalam bentuk f=f(x-ct) sehingga hasilnya adalah (Sulaiman,A 2004):  21 A  ,   A o sec h     V   L   (3)



dimana Ao adalah amplitude maksimum dan λs adalah panjang gelombang soliton. V kecepatan fase soliton dan panjang gelombang soliton diberikan sebagai berikut: 12  A o ; L  V  c  3 A o (4)



Dengan data kedalaman dan data CTD (untuk mengetahui densitas air laut) maka profil gelombang internal soliton dapat diketahui. Misal di selat lombok dapat dilihat pada gambar 7.4. Hasil menunjukkan bahwa gelombang internal menjalar dengan kecepatan rambat V = 2.1779 m/s dan amplitude mencapai 13 m. Energi gelombang 72 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 7.4 Profil soliton, kecepatan orbital tiap lapisan dan arus orbital permukaan.



sebesar E= 1.2658e+007 J/m. Arus orbital permukaan sebesar 0.14 m/s, dan arus inilah yang akan memberikan harga intensitas yang tertangkap pada citra SAR. Untuk gelombang internal di delta Mahakam dengan panjang gelombang sekitar 2 km mempunyai amplitude sebesar 25m dan kecepatan fase sebesar 1.74m/s. Sedangkan di utara selat Lombok dengan panjang gelombang 2.6 km akan mempunyai amplitude 25m dan kecepatan fase sebesar 1.5m/s. Sedangkan disebelah selatan dengan panjang gelombang 2.5km akan mempunyai amplitude sebesar 20m dengan kecepatan fase 1.4 m/s. Gelombang internal soliter yang terjadi mempunyai amplitude dalam orde 20m dan kecepatan fase dalam orde 2m/s akan mempunyai dampak yang sangat berarti pada bangunan lepas pantai (misal anjungan minyak), jalur pipa bawah air serta dampak lingkungan seperti resuspensi sedimen (Bogucki,D et al 1997). Bagaimana pengaruh gelombang internal ini pada sirkulasi Arlindo? Apakah dia akan mempengauhi transport massa air (seperti pada penjalaran gelombang Kelvin yang datang dari samudra India)?. Bagaimanapun juga pengukuran in situ sangat diperlukan untuk menentukan amplitude dan kecapatan fase gelombang internal ini. Apa yang didapat dari citra SAR adalah estimasi berdasarkan persamaan KdV. Soliton yang dibahas ini hanya yang terdapat di jalur utama Arlindo. Studi gelombang ini masih merupakan buku yang terbuka lebar. Hasil analisis citra menunjukkan bahwa pola propagasi soliton di selat Makasar berupa penjalaran 3-4 soliton tunggal sedangakan di selat Lombok mempunyai pola “periodik” soliton di utara dan paket soliton di selatan. Pada umunya panjang gelombang internal antara 2km-5km dengan kecepatan rambat dalam orde 1m/s dan amplitude rata-rata sekitar 20m. Gelombang internal di selat Lombok diduga dibangkitkan oleh arus pasut internal yang menabrak sill, 73 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



sedangkan di selat Makasar diduga dibangkitkan oleh perubahan batimetri yang tajam (continental slope). DAFTAR PUSTAKA Bogucki,D; T. Dickey & L.G. Redekopp 1997 “Sediment Resuspension and Mixing by Resonantly Generated Internal Solitary Waves” J. Phys.Osean. Vol: 27, 1181-1195. Bougucki,D.J & L. Redekopp 1998 ”A Mechanism for Sediment Resuspendsion by Internal Solitary Waves” Int.Solitary waves Workshop,Dunsmuir Lodge. Brandt,P; A. Rubino; W. Alpers & J. Backhaus 1997 “Internal Waves in the Strait of Messina Studied by a Numerical Model and Synthetic Aperture Radar Images from the ERS1/2 Satellites” J. Phys. Oceanogr Vol: 27, 648663. Farmer,D & L. Armi 1998 ” Solitary waves Formed Over Topography” Int. Solitary waves Workshop,Dunsmuir Lodge Grimshaw,R 2000 “Internal Solitary Wave” Preprint No:00/33 Dept. Mathematical Science, Loughborough University. Grimshaw,R; E. Pelinovsky & T. Talipova 1997 “The Modified KdV Equation in the Theory of Large Amplitude Internal Waves” Nonlinear Processes in Geophysics 4:237-250. Holloway,P; E. Pelinovsky; T. Talipova & B. Barnes 1997 “A Nonlinear Model of Internal Tide Transformation on The Australian North West Shelf” J. Phys. Ocean. Vol:27, 871-892. Sulaiman,A and M. Sadli 2004 “Study of Nonlinear Internal Waves in the Indonesian Troughflow using SAR images” Proceding PIT MAPIN 04, Jakarta.



74 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



BAB VIII Metoda Numerik Dinamika Laut Albert Sulaiman



Dinamika perairan Indonesia dapat dibagi menjadi dua skala yaitu dinamika skala regional dan dinmaika skala local. Dinmaika skala regional meliputi dinamika samufra pasifik barat, dinamiak arus lintas Indonesia, dinamika samudra India timur dan paparan. Sedangkan skala local umummya terdiri system teluk dan pantai. Perbedaan antara mereka dalam pemodelan ditentukan oleh factor skaling dan gaya pengeraknnya. Pemerian keduanya dapat dilihat sebagai berikut: Model regional mempunyai gaya pembangkit angina dengan skala ruang yang luas (orde puluhan km) dan skala temporal yang lebih lama (hari-bulan). Gaya pengerak utama adalah angin dan beda tekanan. Model ini didasarkan pada persamaan kekekalan momentum dan persamaan kekekalan massa yang dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:  u



         u  u  f  u  g '     h  u   0 u  t h h







   h  u   0



(1)



(2)



t Dimana u=(u,v) adalah kecepatan zonal and meridional, h adalah ketebalan lapisan atas, H kedalaman kondisi setimbang,  elevasi muka laut, f parameter Koriolis, g' adalah reduced gravity,  koefisien drag dasar,  viskositas lateral dan adalah densitas air laut. Persamaan tersebut mempunyai kondisi batas dirichlet untuk kecepatan u dan kondisi Newmann. (pembahasan detail menyusul) Model sirkulasi laut skala local meliputi sirkulasi di pantai, teluk dan estuaria. Ada banyak sekali model hidrodinamika yang telah dikembangkan untuk memerikan sirkulasi diderah tersebut. Pada umumnya ada dua fenomena dasar untuk studi dinamika skala local yaitu model hidrodinamika dan model adveksi difusi yang diperikan secara ringkas sebagai berikut



75 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Model Hidrodinamika Model ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa tinggi muka air yang terjadi jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan panjang horisontalnya sehingga besaran kecepatan dirata-ratakan terhadap kedalaman. Dengan asumsi ini maka sirkulasi yang terjadi hanya dalam arah horisontal. Model hidrodinamika terdiri dari persamaan kekekalan massa atau persamaan kontinuitas dan persamaan kekekalan momentum atau persamaan gerak. Persamaan kontinuitas dinyatakan sebagai berikut: 







t



 UH







x



 VH



(1)



 Q



y



dimana  adalah variasi tinggi muka air (water level variation) (catatan: variasi tinggi muka air dapat disebabkan oleh gelombang dan pasang surut), t adalah waktu (detik), U dan V adalah komponen kecepatan pada arah x dan y pada suatu kedalaman tertentu (m/s), H adalah kedalaman total dari kolom air (m), Q adalah banyaknya air yang diinjeksi (masukan dari sungai yang dinyatakan dalam debit m3/s). Sedangkan untuk persamaan momentum pada diberikan oleh: u



u



u



t v t



u



v



x v x



v



u



 g



y v y



 g







 fv 



x  y



 fu 



g



Q k 2 2 1/2 2 (u  v ) u  W x | W |  (u  u o) (2) H H HC



Q k 2 2 1/ 2 W y | W |  ( v  v o) (3) 2 (u  v ) v  H H HC g



dimana f adalah parameter Coriolis f  2  sin  dengan  kecepatan angular dari rotasi bumi dan  adalah besarnya lintang bumi, g adalah percepatan gravitasi bumi, k adalah parameter stress geser  aC D ) ,  adalah densitas dari perairan, a adalah densitas angin ( k   udara, CD adalah koefisien drag angin, Wx dan Wy adalah komponen kecepatan angin pada arah x dan y, adalah wind speed, c adalah faktor gesekan Chezy. Persamaan diatas dapat diselesaikan dengan dua macam kondisi batas yaitu: - Variasi muka air terhadap waktu. - Tak ada kondisi batas arus. Kondisi batas (a) dapat berupa data arus yang dinyatakan dalam file tersendiri serta fungsi sinusoidal yang telah diberikan dalam model dengan memasukkan amplitude, frekuensi dan beda fasenya. 76 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Model Adveksi-Difusi Model adveksi-dispersi memerikan sebaran suatu partikel polutan dalam kolom air, baik secara vertikal maupun horizontal. Pergerakan vertikal tersebut terkait dengan pengaruh arus (proses adveksi), sedangkan pergerakan horizontal berhubungan dengan proses dispersi (termasuk difusi turbulensi). Partikel S dapat berupa beberapa jenis polutan, termasuk polutan terlarut maupun tersuspensi. Sebagai dasar perhitungan untuk kualitas perairan, model akan menghitung salinitas dan temperatur perairan. Beberapa variabel yang dapat dimodelkan adalah oksigen terlarut (DO), biological oxygen demand (BOD), ammonia (NH3), nitrat (NO3), phospat (PO4), dan polutan yang lain, seperti sisa pakan dan faeces. Bentuk umum dari persamaan adveksi-dispersi untuk sembarang padatan S adalah sebagai berikut:  c     c     HD y   HD x     x Hcu  t Hc  S  Qc o y  x  x  y   



(4)



atau sebagai alternatif, dapat ditulis c    c    c c  HD y   Hu  H  S  Qc o  HD x     y  x  x  y  x t



(5)



dimana c adalah konsentrasi berupa limpahan yang disebabkan oleh penambahan sedimen atau pengaruh temperatur, u adalah kecepatan yang diberikan pada setiap elemen yang diberikan oleh persamaan hidrodinamika, Dx adalah koefisien dispersi longitudinal, Dy adalah koefisien dispersi transversal, S adalah bentuk fluks massa, Q adalah air yang diinjeksikan, co adalah konsentrasi berupa limpahan konsentrasi sedimen/temperatur dari aliran yang masuk (dari debit sungai dll). DAFTAR PUSTAKA Doneker,R et al “Pollutant Transport and Mixing Zone Simulation of SedimentDensity Currents” JOURNAL OF HYDRAULIC ENGINEERING © ASCE / APRIL 2004 Officer,B 1978 “Physical Oceanography of Estuaries” John Willey & Son, New York. Rijn,L.C 1993 “Principles of Sedimen Transport in Rivers, Estuaries and Coastal Waters“ Aqua Pubh. Amsterdam.



77 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



BAB IX Model Spektral Elemen Hingga di Selat Makassar Fadli Syamsudin



Salah satu skema penyelesaian persamaan model regional adalah dengan Spectral Element Ocean Model (SEOM) yang dikembangkan oleh Rutgers University. SEOM adalah sebuah tipe h-p model dari elemen hingga (finite element) yaitu mendekati solusi dengan apa yang disebut dengan unstructured grid of quadrilateral elements. SEOM secara akurat dapat mensimulasi dinamika gelombang dan arus dalam batimetri yang kompleks termasuk garis pantai yang rumit dan pulau (Syamsudin, 2001). Salah satu hal yang menarik dari penerapan model ini adalah melihat dinamika propagasi gelombang Kelvin dari samudra India ke perairan Indonesia. Langkah pertama adalah dengan membangun grid elemen hingga dari samudra India timur sampai laut Sulawesi. Beberapa pengambaran elemen dapat dilihat pada gambar 9.1. Hasil simulasi dengan SEOM untuk propagasi gelombang Kelvin dengan periode 50 hari yang menjalar dari samudra India menyusur pantai Sumatra, Jawa dan masuk ke perairan dalam Indonesia melalui selat Lombok dapat dilihat pada gambar 9.2.



Gambar 9.1 289 elemen hingga di Selat Makassar dan Laut Sulawesi.



78 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 9.2 Propagasi gelombang Kelvin masuk ke perairan dalam Indonesia. atas) amplitud gelombang; bawah) sistem arus.



Sistem arus dan amplituda gelombang Kelvin pada eksperimen model ini sesuai dengan hasil observasi di Selat Makassar (Syamsudin, 2001). Simulasi juga menunjukkan bahwa gelombang Keli yang masuk ke perairan Indonesia dapat mereduksi transport arus lintas.



DAFTAR PUSTAKA Syamsudin, F., “On Kelvin Wave Propagation Effects on Indonesian Throughflow in Makassar Strait”, Thesis Master di Rutgers University, 2001.



79 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



BAB X Model Sebaran Zat Hara untuk Hidro-Ekologi Perairan Teluk Albert Sulaiman



Dalam praktek hanya kasus yang sangat sederhana saja persamaan 4.1-4.5 dapat dipecahkan secara analitik. Karena kesulitan mencari solusi analitik maka digunakan metode numeric. Metode yang paling banyak di pakai adalah metode beda hingga dan metode elemen hingga. Banyak perangkat lunak telah dikembangkan orang misalnya AquaSea, Mike21, SMS, Princeton Ocean Model (POM) dan lain sebagainya. Pada umunya setiap model mensyaratkan data batimetri perairan. Data lain yang sangat di perlukan adalah data pasang surut karena pada skala ini salah satu gaya yang paling dominant adalah pasang surut. Data yang lain yang cukup signifikan untuk sirkulasi arus skala local adalah data angin. Beberapa data pendukung seperti discharge dari sungai, sumber polutan dan lain sebagainya juga diperlukan. Berikut akan diberikan contoh penerapan sirkulasi skala local di daerah teluk Hurun Lampung. Data batimetri teluk Hurun dapat dilihat pada gambar 10.1. Kedalaman dasar laut perairan teluk yang terdalam adalah 23,5 m yang dijumpai di timur laut yaitu mulut teluk bagian selatan. Pada umumnya perairan bagian mulut teluk mempunyai kedalaman dasar laut lebih besar dari 20,0 m. Garis pantai yang tertera dalam peta batimetri merupakan hasil interpolasi terhadap data kedalaman yang terdekat dengan garis pantai. Untuk mendapatkan peta batimetri perairan teluk, data titik-titik kedalaman dasar laut tersebut diplot kedalam peta skala 1: 5000. Berdasarkan peta titik kedalaman dasar laut tersebut kemudian dibuat peta batimetri dengan cara menghubungkan titik-titik kedalaman yang sama, dengan interval garis kontur 2m. Peta batimetri yang dihasilkan menunjukkan pola garis kontur sampai dengan kedalaman 10 m, mengikuti bentuk garis pantai teluk Hurun Hanura. Kedalaman dasar laut lebih dari 18 m pada umumnya relatif datar dan menempati bagian tengah daerah penyelidikan. Dasar perairan yang relatif terjal hanya dijumpai di bagian pantai utara dan selatan yang pada bagian daratnya umumnya berupa perbukitan. Dari peta terlihat bahwa bila dilihat dari pola garis konturnya, daerah yang diduga tingkat sedimentasinya cukup rendah adalah pada garis kontur lebih dari 16 m. Pengukuran pasang surut 80 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 10.1 Kondisi batimetri teluk Hurun.Perangkat lunak yang digunakan adalah AquaSea yang dikembangkan oleh Vatnaskil Consulting Engineering.



menunjukkan bahwa tipe pasang surut yang terjadi bertipe campuran, condong ke harian. Periode dominan adalah 12 jam (semi-diurnal). Ketinggian maksimum adalah 1 m. Berdasarkan data barimetri dan data pasang surut maka model hirdodinamika dapat dijalankan dengan hasil pada gambar 10.2. Dari gambar 10.2 dan 10.3 terlihat bahwa pada sirkulasi arus pada saat pasang dan surut mempunyai pola yang sedikit berbeda. Pada saat pasang secara umum arus akan masuk ke pantai dan pada saat surut arus akan menuju ke laut lepas. Pada daerah dengan kedalaman sekitar 15m dimana daerah tersebut berbentuk semacam cekungan, maka pola sirkulasi baik saat pasang dan surut terdapat semacam eddy (putaran/gyre) dimana pada saat surut eddy berputar searah jarum jam dan pada saat pasang eddy berputar berlawanan arah jarum jam. Model adveksi-difusi dijalankan setelah mendapat masukan dari model hidrodinamika (lihat gambar 10.4 dan 10.5). Simulasi diatas menggunakan perangkat lunak Mike-21. Hasil menunjukkan bahwa pada saat muka air surut terkeonsentrasi pada kisaran 2x10-4 3x10-4



81 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 10.2 (atas) Kondisi arus pada saat surut Gambar 10.3 (bawah) Kondisi sirkulasi arus pada saat pasang.



82 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 10.4 Simulasi Phospat ada saat surut rendah.



83 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 10.5 Simulasi Phospat a) pada saat air mulai pasang, b) pada saat air pasang tinggi.



mg/l. Sedangkan pada air pasang tinggi kandungan phopat menurun menjadi sekitar 1.6x10-5 mg/l. DAFTAR PUSTAKA Bowden,K 1985 “Physical Oceanography of Coastal Waters” Ellis Horwood, New York. Subandar,A; Lukiyanto & A. Sulaiman 2005 “Penentuan Daya Dukung Lingkungan Budidaya Keramba Jaring Apung” KMNRT, Jakarta. Suhardi,I & A. Sulaiman “Pendahuluan Geomorfologi Pantai Indonesia” under construction. Velasco,G & C. Winant 2003 “Wind and Density Driven Circulation in a WellMixed Estuary” J. Phys. Ocean Vol 34,1103-1116



84 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



BAB XI Pengembangan Sistem Pemantauan Dinamika Laut Indonesia Fadli Syamsudin



Potensi Bencana Alam dari Atmosfer dan Laut Secara periodik 3-5 tahunan seluruh wilayah Indonesia terkena dampak fenomena ENSO yang menyebabkan Indonesia mengalami kemarau yang panjang pada saat El Nino dan musim hujan yang lama pada saat La Nina. Fenomena ENSO ini tekah diketahui berasal dari mekanisme laut yang terjadi di Samudera Pasifik, yaitu ketika kolam panas yang biasanya terkonsentrasi di wilayah sekitar ekuatorial Pasifik Barat berpindah ke wilayah Pasifik Tengah dan Timur akibat penjalaran gelombang Kelvin. Kekosongan massa air hangat yang menjadi sumber panas konveksi (curah hujan yang cukup di wilayah Indonesia), digantikan oleh naiknya massa air dingin oleh proses upwelling dari kedalaman di wilayah ekuatorial Pasifik Barat yang menyebabkan wilayah Indonesia kehilangan sumber panas konveksi dan menjadikan wilayah ini kekeringan. Hal yang sebaliknya terjadi pada saat La Nina berlangsung. Disisi lain, proses internal dinamika Samudera Hindia menyebabkan fenomena serupa seperti yang terjadi di Samudera Pasifik, yaitu fenomena Indian Ocean Dipole (IOD). Fenomena ini belum banyak diketahui masyarakat Indonesia, namun fenomena ini telah membuat musim kemarau semakin panjang pada tahun 1997, ketika IOD datang secara bersamaan saat terjadinya El Nino dari Samudera Pasifik dan menyebabkan tahun 1997 seluruh Indonesia mengalami musim kering yang diikuti dengan kebakaran hutan. Musim kering pada tahun 1997 tercatat sebagai yang terbesar selama ini. IOD tercatat juga terjadi pada tahun 1994. Selain fenomena regional di atas, wilayah Indonesia juga sangat intens dipengaruhi badai tropis yang terjadi di sekitar Laut China Selatan, perairan Teluk Benggala, Laut Timor dan Samudera Hindia bagian timur. Badai tropis ini selain menyebabkan suatu wilayah mengalami curah hujan yang tinggi dalam durasi yang panjang juga menimbulkan badai pasang akibat meningkatnya tinggi muka laut di perairan yang dilaluinya. Hal itu berbahaya pada bangunan 85 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



dan pemukiman sekitar pantai apabila gelombang pasang mencapai wilayah tersebut. Dengan kondisi seperti itu, wilayah Indonesia memerlukan sebuah sistem peringatan dini yang dapat memberitahukan informasi akurat sejak dini kedatangan bencana yang disebabkan interaksi laut dan atmosfer. Hal itu dapat dilakukan dengan memantau perubahan lingkungan laut dan atmosfer di sekitar wilayah Indonesia sejak sebelum terjadinya bencana alam tersebut. Parameter Oseanografi Untuk Proxy Prediksi El Nino dan La Nina Fase awal El Nino terjadi karena melemahnya sistem angin pasat timur (easterly trade wind) di ekuator Pasifik, kemudian dilanjutkan dengan menguatnya sistem angin pasat barat (westerly trade wind) yang memindahkan konsentrasi massa air hangat lebih besar atau sama dengan 29 derajat C di kolam panas Samudera Pasifik barat ke bagian tengah dan timur. Kekosongan massa air hangat tersebut di Samudera Pasifik barat kemudian diisi massa air dingin melalui proses upwelling (taikan air). Dengan nilai Indeks NINO3 (yaitu wilayah di Pasifik Tengah dan Timur) sebesar 2 dan Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index) -10, maka fenomena El Nino dapat didefinisikan telah berlangsung. Khusus perairan Indonesia, kami



Gambar 11.1 Rekaman data arus kedalaman 225 m pada mooring yang ditambatkan di Selat Makassar (panel atas) dan perbandingan data arus hasil filter 30 hari dengan indek osilasi selatan (panel bawah) [Sumber gambar: Bambang Herunadi, Unit Pelaksana Teknis Baruna Jaya].



86 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 11.2. Perbedaan Indeks Osilasi Selatan dan Anomali Suhu Permukaan Laut (STA) serta Tinggi Muka Laut (SLA) di Selat Lombok [Sumber gambar: Bambang Herunadi, Unit Pelaksana Teknis Baruna Jaya].



melakukan analisis deret waktu data arus, suhu, dan pasang surut (pasut) di Selat Makassar dan Lombok, kemudian dibandingkan dengan Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index). Gambar 11.1 dan 11.2 menunjukkan dengan jelas Indek Osilasi selatan mempunyai korelasi yang signifikan dengan phase tertinggal (phase lag) sekitar 1,5-3 bulan, terhadap data arus 225 m hasil filter 30 harian di Selat Makassar (gambar 11.1), dan juga dengan suhu dan pasut di Selat Lombok (gambar 11.2). Fakta ini menunjukkan bahwa sinyal akan terjadinya El Nino telah terdeteksi di perairan Indonesia sejak 1,5 sampai 3 bulan sebelumnya. Hal ini dapat menjadi proxy prediksi datangnya ENSO sejak awal dengan mengamati perubahan parameter Oseanografi yang terjadi di perairan Indonesia. Fenomena IOD (INDIAN OCEAN DIPOLE) dan Perubahan Iklim Regional Indian Ocean Dipole (IOD) adalah perbedaan anomali dua kutub Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia bagian timur (perairan Indonesia sekitar Sumatera dan Jawa) dan Samudera Hindia bagian tengah sampai barat



87 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



(perairan pantai timur benua Afrika) (Saji dkk., 1999). Evolusi terjadinya IOD dimulai dengan menguatnya angin tenggara di Samudera Hindia sepanjang pantai di perairan selatan Jawa dan Sumatera, kemudian diikuti dengan perubahan angin baratan (kondisi normal) menjadi angin timuran sepanjang ekuator Samudera Hindia. IOD terbentuk apabila ada indikasi terjadi anomali negatif SPL di Samudera Hindia bagian timur diikuti anomali positif SPL di Samudera Hindia bagian tengah sampai barat. Indikasi awal sinyal IOD dapat dilacak dengan melihat data anomali angin timuran dari ECMWF (European Center for Medium-Range Weather Forecast) satelit NOAA dan meningkatnya anomali positif SPL (1.5-2 derajat celsius) di Samudera Hindia tengah dan barat. Demikian juga analisis data satelit anomali Outgoing Longwave Radiation (OLR) yang dapat dipantau langsung dari hasil rekaman Pusat Diagnostik Iklim (Climate Diagnostic Center), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), apabila menunjukkan anomali positif OLR 70-90 Watt/m2 (sedikit konveksi mengakibatkan curah hujan menurun) ditandai dengan kontur warna biru gelap di Samudera Hindia bagian timur, terfokus di perairan selatan Jawa dan Sumatera, dan anomali negatif OLR 50-70 Watt/m2 (banyak konveksi mengakibatkan curah hujan meningkat) ditandai dengan kontur warna merah muda di Samudera Hindia bagian tengah. Disamping itu dapat diketahui dengan semakin menguatnya angin tenggara sepanjang pesisir pantai Jawa dan Sumatera yang akan meningkatkan konsentrasi massa air dingin (anomaly SPL negatif) di wilayah tersebut, akibat intensitas upwellig yang meningkat. Semua fenomena yang dipaparkan di atas adalah untuk menjelaskan IOD fase positif yang berdampak pada kekeringan seperti halnya El Nino. Selain itu ada proses fisik yang berlawanan dengan mekanisme di atas, yaitu IOD fase negatif yang berdampak pada peningkatan intensitas hujan seperti halnya La Nina. IOD dengan fase positif pernah terjadi pada tahun 1982, 1994 dan 1997, sedangkan fase negatif DME pada tahun 1984-1954 dan 1996. Fase positif (negatif) mempunyai karakteristik memanasnya (mendinginnya) Suhu Permukaan Laut (SPL) di bagian barat Samudera Hindia (perairan sekitar pantai timur Afrika), sedangkan di bagian timur Samudera Hindia (perairan sekitar Sumatra dan Jawa) terjadi pendinginan (pemanasan) yang berlebihan dari kondisi normalnya. Demikian juga kecepatan Wyrtki jet (system arus dengan kecepatan tinggi yang bergerak ke timur sepanjang ekuator Samudera Hindia dan umumnya terjadi dua kali setahun pada bulan April-Mei dan Oktober-November) mengalami penurunan (kenaikan) selama fase positif (negatif) IOD dan diikuti dengan 88 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



menebalnya (menipisnya) lapisan termoklin (perubahan suhu secara drastis pada suatu kedalaman tertentu di laut) dari kondisi normalnya di Samudera Hindia bagian timur dan sebaliknya menipis (menebal) di Samudera Hindia bagian barat. Dampak dari perubahan kondisi Oseanografi di atas menyebabkan hujan (kemarau) yang berkepanjangan di Kenya dan negara di pantai timur Afrika serta beberapa daerah di India bagian barat, sedangkan Indonesia dan negara sekitarnya, dimana kolam dingin (panas) berada di Samudera Hindia bagian barat, akan mengalami kemarau (hujan) pada saat terjadinya fase positif (negatif) IOD.



Gambar 11.3 Penampang menegak suhu secara melintang pada 900 BT; 4 LU 4 LS, yang diambil dari Kapal Riset Mirai (JAMSTEC, Jepang) pada bulan Oktober 2001.



89 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



05 LS 06 LS 07 LS 08 LS 09 LS 10 10 5 6



10 7



10 10 1 8 9 1



11 1



11 2



11 11 3 4



Gambar 11.4. Suhu Permukaan Laut satelit NOAA 12, yang diambil pada tangal 28 Februari, 2002, pukul 05:01 WIB (Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P-TISDA, BPPT).



Kami sajikan hasil pengukuran suhu laut yang diambil pada pelayaran Kapal Riset Mirai (Jepang) saat melintas perairan di ekuator Samudera Hindia bagian barat pada bulan Oktober 2001 yang lalu untuk melihat perubahan parameter Oseanografi yang terjadi di Samudera Hindia bagian timur pada saat IOD fase negative terjadi pada akhir tahun 2001 dan menyebabkan Indonesia mengalami musim hujan yang berkepanjangan hingga bulan Maret 2002. Gambar 11.3 adalah penampang menegak suhu di sekitar ekuator dari 4 LU 4 LS sepanjang lintasan yang dilalui K/R Mirai. Terlihat tertekan/menebalnya lapisan termoklin sebagai akibat menguatnya arus Wyrtki jet. Kedalaman lapisan homogen (ditandai dengan warna merah pada suhu 280C) sekitar 100120m adalah lebih tinggi dari kondisi normalnya yang berkisar 60-80m. Indikasi di atas memberikan sinyal kuat terjadinya fase negatif IOD. Apabila akumulasi panas yang terkumpul cukup besar dan diikuti juga dengan semakin menebalnya lapisan termoklin, maka dapat diperkirakan besarnya transfer panas (bahang) ke atmosfer sebagai akibat proses konveksi yang terjadi. Dan laut adalah reservoar alam terbesar, maka konveksi panas tersebut sangat signifikan menyebabkan hujan dalam skala regional. Gambar 11.4 adalah citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 pada tanggal



90 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



28 Februari, 2002 yang diolah laboratorium Remote Sensing dan GIS, P-TISDA di sekitar perairan selatan Jawa dan Barat Sumatra. Analisis citra SPL satelit NOAA-12 menunjukkan dominasi suhu tinggi dalam kisaran 28-320C (warna merah menunjukkan kontras suhu yang tinggi, sedangkan putih adalah wilayah yang tertutup awan) di sekitar Samudera Hindia bagian timur yang berkorelasi positif dengan pengamatan hidrologi K/R Mirai (gambar 11.3). Melihat kondisi di atas, dapat dimengerti mengapa intensitas hujan pada bulan Februari dan Maret 2002 sangat intens terjadi di wilayah sekitar P. Jawa dan Sumatra. Khusus untuk Jakarta telah terjadi musibah nasional dengan bencana banjir. Sistem Informasi Data Laut dan Atmosfer Indonesia Data lapangan yang telah dibentangkan di atas menunjukkan bahwa parameter Oseanografi dapat dijadikan parameter dasar untuk memantau datangnya fenomena ENSO yang dipicu di Samudera Pasifik dan IOD dari Samudera Hindia. Disamping itu dengan menggunakan analisis citra satelit Oseanografi dan Meteorologi secara bersama-sama dapat juga dipantau sejak awal terjadinya kedua fenomena perubahan iklim tersebut. Dengan demikian analisis yang kredibel untuk prediksi datangnya ENSO dan IOD dapat dilakukan dengan menggunakan data laut dan atmosfer yang representatif. Untuk membangun sistem monitoring perubahan iklim regional yang andal kita harus membangun sistem informasi data laut dan atmosfer untuk wilayah Indonesia yang dapat diperoleh secara terus menerus dan langsung (real time). Beberapa pelampung yang dilengkapi sensor untuk mengukur parameter standar Oseanografi (suhu, salinitas, perubahan muka laut) dan Stasiun Meteorologi (suhu, tekanan, arah, kecepatan angin, dan kelembaban) sebaiknya dipasang di sepanjang Paparan Sunda Samudera Hindia untuk menyidik sinyal Indian Ocean Dipole. Untuk Samudera Pasifik, prasarana tersebut sudah tersedia melalui program Tropical Atmosphere-Ocean (TAO)/TRITON berupa penambatan 70 buah stasiun Oseanografi dan Meteorologi di sepanjang ekuator Samudera Pasifik. Program ini merupakan kerja sama Pemerintah Amerika, Jepang, dan Perancis untuk memonitor perkembangan ENSO. Indonesia telah berperan aktif dalam program ini melalui kerjasama antara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Marine Science and Technology Center (JAMSTEC), Jepang.



91 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Apabila prasarana standar sistem monitoring ini telah terpenuhi, ditambah lagi dengan melimpahnya data satelit oseanografi laut (NOAA, TOPEX/POSEIDON) dan meteorologi (NOAA, GMS, METEOSAT) yang dapat diakses dari berbagai situs, maka prediksi perubahan iklim regional yang terjadi dapat dibuat sedini dan setepat mungkin. Sebagai penutup, kami ingin menunjukkan sensitivitas perairan bagian timur Samudera Hindia, khususnya sekitar paparan Sunda dan Laut Jawa terhadap perubahan iklim regional yang disebabkan oleh fenomena ENSO dan IOD. Gambar 11.5 adalah lokasi transek Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL) citra satelit TOPEX/ERS-2 di Samudera Hindia Bagian Timur (A) dan Laut Jawa (B) [panel atas] dan Hoevmoller diagram ATPL di kedua perairan (A) dan (B) [panel bawah]. ATPL positif menunjukkan massa air hangat dan ATPL negatif untuk massa air dingin. Massa air hangat selanjutnya berkolerasi dengan penguapan yang intensif yang berakibat pada curah hujan tinggi, sebaliknya untuk massa air dingin dengan terjadinya kekeringan, sebagai akibat konveksi panas yang sedikit. Analisis ATPL selama tahun 2000 s/d 2002 menunjukkan Samudera Hindia sangat sensitive terhadap perubahan iklim regional dibandingkan Laut Jawa. Hal ini dapat dianalisis bahwa perubahan parameter Oseanografi di Samudera Hindia, khususnya paparan Sunda sangat memegang peranan penting dalam perubahan iklim regional. Dari analisis ATPL pada gambar 11.5 dengan jelas kita dapat melihat curah hujan tinggi yang menyebabkan sebagian wilayah Indonesia, khususnya Indonesia bagian barat dilanda banjir seperti yang terjadi di Jakarta pada bulan Januari dan mencapai puncaknya pada Februari pada tahun 2000 dan 2001. Hal tersebut ditunjukkan dengan konsentrasi ATPL tinggi yang terjadi dari bulan Januari s/d April selama tahun 2000 dan 2001. Sebaliknya memasuki bulan Agustus s/d Oktober 2000, 2001, dan 2002 konsentrasi massa air dingin (ATPL negatif) mendominasi perairan paparan Sunda dan hal ini berkorelasi dengan kekeringan yang datang berbarengan dengan puncak musim kemarau. Dengan demikian secara sederhana, kita dapat memantau perairan paparan Sunda dan sekitarnya untuk prediksi musim kering dan musim basah di wilayah Indonesia, khususnya Indonesia bagian Barat dan Tengah yang lebih didominasi



92 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



B A



B



A



S. Sunda



S. Ombai



L. Jawa S. Makassar



Gambar 11.5 Lokasi Transek Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL) citra satelit TOPEX/ERS-2 di Samudera Hindia Bagian Timur (A) dan Laut Jawa (B) [panel atas] dan Hoevmoller diagram ATPL di kedua perairan (A) dan (B) [panel bawah]. Satuan skala gambar dalam cm.



93 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



oleh perubahan internal parameter dinamika oseanografi Samudera Hindia bagian timur. Sedangkan untuk gambar 11.6 adalah rekomendasi untuk sebuah sistem



O1 P X1 P O3



X2



P



O2 P



P P



Gambar 11.6 Sistem Monitoring Untuk Respon Bencana Alam Dari Laut dan Atmosfer di Wilayah Indonesia. Tanda silang (merah) adalah lokasi stasiun meteorology di garis katulistiwa, X1 (kota tabang, Sumatra Barat) dan X2 di Sulawesi Tengah (diusulkan untuk dibangun); tanda bulat (biru) adalah lokasi 3 buah pelampung pengukur suhu permukaan laut dan parameter meteorology laut; sedangkan huruf P (hijau) adalah stasiun pasut yang sudah terpasang di wilayah Indonesia sepanjang pantai paparan Sunda.



peringatan dini bencana alam yang disebabkan oleh interaksi laut dan atmosfer di Samudera Hindia. Tanda silang (merah) adalah lokasi stasiun meteorologi di garis katulistiwa, X1 (Kota Tabang, Sumatra Barat) dan X2 di Sulawesi Tengah (diusulkan untuk dibangun); tanda bulat (biru) adalah lokasi 3 buah pelampung pengukur suhu permukaan laut dan parameter meteorology laut; sedangkan huruf P (hijau) adalah stasiun pasut yang sudah terpasang di wilayah Indonesia sepanjang pantai paparan Sunda. Posisi stasiun meteorologi di garis katulistiwa diusulkan dipasang di Sulawesi Tengah untuk memperkuan analisis yang telah dimiliki sebelumnya oleh BPPT di Kota Tabang, Sumatra Barat. Data meteorology di kedua stasiun ini akan memberikan informasi penjalaran gelombang antar musiman seperti MaddenJulian Oscillation yang berkorelasi positif dengan pembentukan badai tropis di sekitar wilayah Samudera Hindia.



94 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Banyak lagi fenomena lapisan batas atmosfer di katulistiwa yang mempengaruhi pola iklim secara regional. Perubahan parameter yang dapat kita pantau sejak awal seperti meningkatnya arus konveksi di katulistiwa dapat memberikan informasi sejak awal pembentukan awan-awan konveksi yang menyebabkan wilayah Indonesia mengalami curah hujan tinggi atau akan datangnya bencana banjir. Kami merekomendasikan dipasangnya 3 (tiga) buah pelampung di perairan paparan Sunda untuk mengukur parameter dasar Oseanografi (suhu permukaan laut) dan Meteorologi (tekanan, arah dan magnitude angin, tekanan udara) di permukaan laut. Informasi tersebut dapat digunakan untuk melacak perubahan suhu, arah dan kekuatan angin serta tekanan udara di Samudera Hindia yang berkorelasi dengan indikasi awal terjadinya fenomena IOD, sedangkan ENSO dapat dilacak 1,5 -2 bulan sebelumnya dengan memanfaatkan data pasang surut yang tersedia di sekitar perairan Selat Makassar dan Lombok, seperti yang telah ditunjukkan dalam pembahasan pada sub. bab sebelumnya. Selain itu, studi yang dilakukan Syamsudin dkk. (2003) menunjukkan bahwa fenomena El Nino dan IOD berkorelasi dengan kedatangan gelombang Kelvin dan Rossby di perairan paparan Sunda. Formasi pelampung O1 dan O2 (lihat gambar 11.6) dapat mendeteksi sejak dini kedatangan gelombang Kelvin yang menjalar ke timur sepanjang pantai selatan P. Sumatra, Jawa, Bali dan Lombok, sedangkan O3 (lihat gambar 11.6) dapat mendeteksi penjalaran gelombang Rossby ke arah barat sepanjang 10-12 Lintang Selatan (LS). Penggunaan stasiun pasut demikian juga stasiun meteorologi yang telah dimiliki Bakosurtanal (Badan Koordinasi Suvei dan Pemetaan Nasional) dan Dishidros (Dinas Hidro-OSeanografi)-TNI AL serta Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) semakin mendukung analisis deteksi awal indikasi terjadinya perubahan parameter Oseanografi dan Meteorologi yang berkorelasi positif dengan bencana alam yang akan terjadi. Demikian juga pemanfaatan analisis citra satelit penginderaan jauh sangat mendukung kinerja sistem monitoring peringatan dini bencana alam dari laut dan atmosfer ini. Lebih detil bagaimana satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk antisipasi banjir di wilayah Indonesia dapat dilihat pada laporan teknis intern kami pada bulan Maret 2004, dengan judul: “Antisipasi Banjir Dengan Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Dan TOPEX/ERS-2 Di Wilayah Indonesia” yang disampaikan direktur Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA)



95 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



kepada kepala bidang teknologi akuntasi sumberdaya alam, P-TISDA, BPPT. Pemerintah sudah saatnya menerapkan sistem ini dengan memanfaatkan teknologi telemetri yang memungkinkan semua data tersebut dapat dikirimkan secara real time dan terus menerus pada analis yang berada di pusat informasi dan pengolahan data sistem peringatan dini bencana nasional. DAFTAR PUSTAKA Syamsudin, F. dan A. Kaneko. 2003. On Kelvin and Rossby Waves Propagation in the Indo-Australian Bight. Proceedings of Japan Oceanographic Society Meeting on Fall Season. Nagasaki University, 23-27 September 2003. Saji, N.H., B.N. Goswani, P.N. Vinayachandran dan T. Yamagata. 1999. A Dipole Mode in The Tropical Indian Ocean. Nature 401, 360-363.



96 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



BAB XII Riset Kelautan Terpadu: 'PotRets' Nipah N. Hendiarti, M.C.G. Frederik, A. Purwandani, Agustan, D. Nugroho, Y. Wahyudi, G. F. Suryono, Afla Ridlo



Pulau Nipah terletak di antara Selat Phillip dan Selat Main pada koordinat 103º39'04.68” - 103º39'39.38 BT dan 1º08'26.88” - 1º09'12.20” LU. Pulau ini merupakan salah satu pulau yang terletak di dekat perbatasan antar Indonesia dan negara tetangga. Secara administratif termasuk di dalam Desa Pemping, Kecamatan Belakangpadang, Kota Batam, Propisi Kepulauan Riau. Oleh karena posisi pulau Nipah yang berhadapan langsung dengan Singapura dan terletak pada jalur lintas pelayaran internasional, maka pulau ini menjadi penting dan strategis secara politis. P-TISDA bekerjasama dengan Balai Teknologi Survey Laut telah melaksanakan ekspedisi PotRets (Potential Resources Investigation surrounding) Pulau Nipah dan sekitarnya dengan menggunakan K/R Baruna Jaya I. Kegiatan survey pulau tersebut dilakukan pada tanggal 29 Juli - 7 Agustus 2004. Maksud kegiatan ini adalah mengkaji



P. Nipah



Gambar 12.1 Lokasi Pulau Nipah



97 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



potensi sumber daya alam secara terintegrasi, baik hayati dan non-hayati, dan mengungkapkan kemungkinan pemanfaatan pulau tersebut. Dengan tersedianya data dasar dan informasi tentang pulau Nipah, diharapkan akan dapat dijadikan bahan dalam memberi masukan pemanfaatan dan pengambilan kebijaksanaan pengelolaan, serta pengembangan dan pemanfaatan kawasan ini. Kegiatan yang dilakukan adalah: studi penginderaan jauh, biologi-fisika-kimia laut, geologi laut, terumbu karang, akustik perikanan, eksplorasi potensi mikroba laut, topografi, pasang surut, serta geologi dan geomorfologi pulau. Berikut adalah diskusi sekilas kegiatan dan hasil studi yang dilakukan P-TISDA



Gambar 12.2 Tim survei ekspedisi PotRets berpose bersama para pejabat BPPT yang meninjau kegiatan ini.



untuk pulau Nipah dan perairan sekitarnya. Penginderaan Jauh Pada program Pulau Nipah untuk pemantauan kondisi pulau serta perairan di sekitarnya citra satelit penginderaan jauh dipakai sebagai masukan dalam penentuan rute survey, kondisi awal dan juga untuk melengkapi analisis data survey lapangan. Analisis penginderaan jauh meliputi karakterisasi parameter biologi laut (fitoplankton/klorofil-a), fisika laut (suhu permukaan laut dan pola transport masa air dekat permukaan), dan kekeruhan perairan sekitar pulau Nipah. Dimulai dengan satelit yang mengindera dengan sensor global seperti Aqua-MODIS dan NOAA-AVHRR, ke sensor detil dengan Terra-ASTER dan SPOTXS. 98 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Gambar 12.3 Batimetri daerah survei dan plot stasiun pengukuran.



Citra satelit Aqua-MODIS yang dipilih untuk studi ini diakuisisi pada tanggal 12 Juni 2004, jam 06 :15 GMT, digunakan untuk menentukan kandungan konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL). Untuk perhitungan konsentrasi klorofil-a, digunakan algoritma OC4 (Ocean Chlorophyll 4-band, O'Reilly, dkk, 2000). Dari analisa citra selama lebih dari satu tahun, perairan 'zona aman' atau zona di luar alur transportasi kapal, memiliki konsentrasi klorofil-a yang relatif lebih tinggi terutama pada bulan Mei November dengan nilai di atas 3 mg/m3. Secara umum, perairan bagian barat memiliki konsentrasi klorofil yang lebih tinggi dari bagian timur. Kondisi ini diduga disebabkan oleh limpasan material daratan melalui sungai-sungai dari pantai timur Pulau Sumatra. Gambar 12.2 memperlihatkan citra konsentrasi klorofil-a pada tanggal 12 Juni 2004. Citra sebelah kanan adalah pembesaran kotak pada citra sebelah kiri. Terlihat di gambar ini bahwa kisaran konsentrasi klorofil antara 2.4-2.8 mg/m3. Gambar 12.3 menunjukkan citra SPL, terlihat kisaran suhu sekitar pulau Nipah adalah 3132°C. Perhitungan SPL menggunakan rumus persamaan



99 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



khusus untuk citra terakuisisi siang hari dengan memakai band 31 dan 32. Citra ASTER dapat digunakan untuk perhitungan suhu permukaan laut (SPL) dengan menggunakan ke lima band termalnya (band 10 hingga 14) yang beresolusi spasial 90 meter. Perhitungan ini mempergunakan rumus SPL khusus untuk citra ASTER (Friedrich dan Kosloswsky, 2002). Citra ASTER yang digunakan dalam kegiatan ini diakuisisi pada tanggal 23 April 2004, jam 3:34 GMT. Gambar 4 menunjukkan citra SPL, terlihat perairan sekitar pulau Nipah suhunya berkisar antara 28 dan 29 derajat celsius. Suhu perairan sekitar P.



Gambar 12.4. Citra Klorofil-a, 12 Juni 2004



Gambar 12.4 Citra Suhu Permukaan Laut (12 Juni 2004, kiri) dan Suhu Permukaan Laut (23 April 2004, kanan)



Batam relatif lebih tinggi diduga diakibatkan oleh adanya proses limpasan



100 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



material daratan. Citra komposit warna semu RGB dari data SPOT 5 (Gambar 12.4, atas) yang diakuisisi pada tanggal 25 Agustus 2000 menampilkan fenomena oseanografi, yaitu adanya pola sirkulasi arus permukaan sekitar pulau Nipah (Gambar 12.4,



Transport massa air P. Nipah



Kapal



Citra SPOT, 25 Agustus 2000



Gambar 12.5 Citra SPOT Komposit RGB (321) untuk Perairan Pulau Nipah dan sekitarnya. Memperlihatkan pola arus permukaan dan deteksi kapal.



bawah). Juga, aktifitas transportasi laut dengan banyaknya kapal besar dan kecil yang melintasi perairan tersebut. Hal ini menjadi penting, karena fenomena oseanografi ini termasuk aktifitas transportasi yang diduga turut mempengaruhi kondisi lingkungan perairan. 101 Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia



Secara umum, kondisi kualitas perairan di sekitar Pulau Nipah dapat dikatakan kurang baik, hal ini diduga berasal dari limpasan atau buangan material daratan, eksploitasi pasir laut dan aktifitas pelayaran. Melihat kondisi perairan sekitar Pulau Nipah yang bervariasi antara lain disebabkan oleh adanya perubahan musim, maka perlu dilakukan pemantauan kondisi lingkungan perairan. Salah satu metoda yang efisien adalah menggunakan teknologi penginderaan jauh. Biologi-Kimia-Fisika Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah karakterisasi kondisi biologi, kimia dan fisika perairan dengan melakukan pengukuran lapangan yang juga digunakan untuk validasi data penginderaan jauh. Hasil studi menunjukkan bahwa kualitas perairan di sekitar pulau Nipah tidak cukup baik untuk mendukung pengembangan ekosistem pesisir dan lautnya. Kondisi ini terjadi karena limpasan pesisir, eksploitasi penambangan pasir, dan aktivitas transportasi laut. Konsentrasi tertinggi materi dalam air dan nilai salinitas terendah ditemukan di pesisir Pulau Karimun. Kondisi ini ditermukan juga dari citra klorofil-a dan TSM (Total Suspended Matter) yang dihasilkan dari data satelit Aqua-MODIS dan citra suhu permukaan laut dari data satelit Terra-ASTER dan NOAA-AVHRR. Kondisi ini diduga karena pengaruh limpasan sungai dari pulau-pulau yang mengandung banyak materi organik dan nutrien. Limpasan sungai membawa nutrien ke laut yang mengakibatkan tingginya konsentarsi klorofil-a dan banyaknya fitoplankton. Spesies fitoplankton yang ditemukan didominasi oleh gourp Diatom Bacillariophyceae, yang ditermukan lebih banyak jumlahnya dari zooplankton. Menurunnya jumlah zooplankton diperkirakan karena tingginya konsentrasi materi tersuspensi, keadaan ini juga berakibatkan berkurangnya densitas ikan. Kecepatan arus yang direkam selama survey menunjukkan kearah barat pada kedalaman 2-5 meter dengan kecepatan 0.14-0.20 m/s dan ke arah barat pada kedalaman 12-15 meter dengan kecepatan 0.35-0.40 m/s, dan ke arah selatan pada bagian barat pulau. Hasil simulasi model material transport menunjukkan materi akan memperngaruhi lingkungan Pulau Nipah terutama pada bagian timur dimana terdapat arus lebih keras/cepat. Gambar 12.6 menampilkan grafik hasil pengukuran lapangan untuk kelimpahan fitoplankton (< 250,000 ind/m3), tidak ditampilkan, dan zooplankton (