Bupivacaine 0,5% Ditambah Dexamethason Terhadap Nyeri: Tesis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TESIS



PERBANDINGAN EFEK ANALGETIK BUPIVACAINE 0,5% DENGAN BUPIVACAINE 0,5% DITAMBAH DEXAMETHASON TERHADAP NYERI PASKA OPERASI DENGAN TEKNIK BLOK INFRAORBITAL PADA OPERASI FESS (FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS SURGERY)



OLEH: dr. Wayu Dwi Pangestu NIM : 137041169



PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK/ SPESIALIS DEPARTEMEN/ SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H ADAM MALIK MEDAN 2018



TESIS



PERBANDINGAN EFEK ANALGETIK BUPIVACAINE 0,5% DENGAN BUPIVACAINE 0,5% DITAMBAH DEXAMETHASON TERHADAP NYERI PASKA OPERASI DENGAN TEKNIK BLOK INFRAORBITAL PADA OPERASI FESS (FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS SURGERY)



OLEH: dr. Wayu Dwi Pangestu Pembimbing: dr. Akhyar Hamonangan Nasution, Sp. An, KAKV dr. Muhammad Ihsan, Sp. An, KMN



PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK/ SPESIALIS DEPARTEMEN/ SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H ADAM MALIK MEDAN 2018



KATA PENGANTAR Dengan segala kerendahan hati, saya memanjatkan puji syukur serta doa saya sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kepada saya akal budi, hikmat dan pemikiran sehingga saya dapat menyelesaikan tesis penelitian sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Spesialis dalam bidang Ilmu Anestesiologi danTerapi Intensif di Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai dan banggakan. Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis / hasil penelitian ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian bahasanya. Meskipun demikian, saya berharap dan besar keinginan saya agar kiranya tulisan ini dapat memberi manfaat dan menambah khasanah serta perbendaharaan dalam penelitian di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya tentang “PERBANDINGAN EFEK PENGGUNAAN BUPIVACAINE 0,5% DITAMBAH NORMAL SALINE DENGAN TERHADAP



BUPIVACAINE NYERI



PASKA



0,5%



DITAMBAH



OPERASI



DENGAN



DEXAMETHASON TEKNIK



BLOK



INFRAORBITAL PADA OPERASI FESS (FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS SURGERY) “. Dengan penulisan tesis/ hasil penelitian ini, maka pada kesempatan ini pula dengan diiringi rasa tulus dan ikhlas, ijinkan saya mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua saya H. Warsito Suhendra SE dan Hj. Yusnani yang tidak bosan – bosan mendoakan dan mendukung saya sejak kecil hingga sekarang. Dan juga ucapan terimakasih dan penghargaan kepada yang terhormat: dr. Akhyar Hamonangan Nasution, Sp. An. KAKV dan Muhammad Ihsan, Sp. An, KMN atas kesediaannya sebagai pembimbing penelitian saya ini, yang walaupun di tengah kesibukannya masih dapat meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian serta kesabaran, memberikan bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini. Tidak lupa ucapan terimakasih saya berikan kepada Bapak Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M. Kes sebagai pembimbing statistik yang juga telah banyak meluangkan waktu dan kesibukannya untuk berdiskusi menganai statistik penelitian ini. Dan dengan berakhirnya pula masa pendidikan saya di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, maka pada kesempatan yang berbahagia ini



xii



perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada: Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.hum, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Yang terhormat Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV dan Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Tasrif Hamdi, M.Ked (An), SpAn sebagai Plt. Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, dan dr. Cut Meliza Zainumi, M.Ked (An), SpAn sebagai Plt. Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, terimakasih karena telah memberikan izin, kesempatan, ilmu dan pengajarannya kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif hingga selesai. Yang terhormat guru – guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan : dr. A. Sani P. Nasution, SpAn. KIC; Alm. dr. Chairul M. Mursin, SpAn, KAO; Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO; dr. Akhyar H. Nasution, SpAn. KAKV; dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn. KAP.KMN; dr. Qodri F. Tanjung, SpAn. KAKV; dr. Hasanul Arifin SpAn. KAP. KIC; Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA; dr. Ade Veronica HY, SpAn. KIC; dr. Yutu Solihat, SpAn. KAKV; dr. Soejat Harto, SpAn. KAP; dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn; dr Tumbur, SpAn; dr. Walman Sitohang, SpAn; LetKol (CKM) dr. Nugroho Kunto Subagio, SpAn; Kol. (CKM) Purn. dr. Tjahaya, SpAn; Dr. dr. Dadik W. Wijaya, SpAn; dr. M. Ihsan, SpAn. KMN; dr. Guido M. Solihin, SpAn. KAKV; dr. Andriamuri P. Lubis, M. Ked (An), Sp. An; dr. Ade Winata, Sp. An, KIC; dr. Rommy F Nadeak, SpAn; dr. Rr. Shinta Irina, SpAn; dr. Fadli Armi Lubis, M. Ked (An), Sp. An; dr. Raka Jati P. M. Ked (An) Sp. An; dr. Bastian Lubis M.Ked(An) Sp.An; dr. Wulan Fadine M. Ked(An) Sp.An; dr. A. Yafiz Hasbi M.Ked (An) Sp.An; dr. Tasrif Hamdi M. Ked (An) Sp.An, dr. Luwih Bisono, Sp. An, KAR, dr. Amran Simanjuntak, Sp. THT – KL (K); saya ucapkan terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif sehingga semakin xiii



menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab saya terhadap pasien serta pengajaran dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari. Yang terhormat Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit TK II Putri Hijau Medan, Direktur RS Haji Medan yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan kepada saya untuk belajar menambah ketrampilan dan dapat menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin, tak lupa saya haturkan terimakasih. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Istri tercinta Ernanda Pratiwi SE dan juga anak tersayang Kinara Caliezia Pangestu yang telah bersedia meluangkan waktu, perasaan dan tenaga untuk mendukung dan mendoakan selama masa pendidikan saya dimulai hingga saat ini. Yang tercinta teman – teman sejawat peserta pendidikan keahlian Anestesiologi dan Terapi Intensif dr. Andro Asituah Sitorus, dr. Fathur Rahman, dr, R. Andika Dwi Cahyadi, dan dr. Galdy Wafie yang telah bersama-sama baik duka maupun suka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat dengan harapan teman – teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Kepada seluruh teman – teman, rekan – rekan dan kerabat, handaitaulan, keluarga besar, pasien – pasien yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu yang senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materil kepada saya selama menjalani pendidikan, dari lubuk hati saya yang terdalam saya ucapkan terimakasih. Kepada paramedis dan karyawan Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, RS Haji Medan, RSUD Pirngadi Medan dan Rumkit Tk II Putri Hijau Medan, RS. FL Tobing Sibolga yang telah banyak membantu dan bekerjasama selama saya menjalani pendidikan dan penelitian ini saya juga ucapkan terima kasih. Dan akhirnya perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai.



xiv



Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan kerjasama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat berkah serta balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Medan, November 2018 Penulis



(dr. Wayu Dwi Pangestu)



xv



DAFTAR ISI Hal LEMBER PENGESAHAN --------------------------------------------------------



ii



KATA PENGANTAR --------------------------------------------------------------



iv



DAFTAR ISI -------------------------------------------------------------------------



viii



DAFTAR GAMBAR ---------------------------------------------------------------



xi



DAFTAR TABEL -------------------------------------------------------------------



xiii



DAFTAR SINGKATAN -----------------------------------------------------------



xiv



DAFTAR LAMPIRAN-------------------------------------------------------------



xvi



ABSTRAK ---------------------------------------------------------------------------



xvii



ABSTRACT --------------------------------------------------------------------------



xviii



BAB 1 PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------



1



1.1



Latar Belakang ---------------------------------------------------------



1



1.2



Rumusan Masalah -----------------------------------------------------



3



1.3



Hipotesis -----------------------------------------------------------------



3



1.4



Tujuan Penelitian ------------------------------------------------------



3



1.4.1 TujuanUmum --------------------------------------------------



3



1.4.2 Tujuan Khusus ------------------------------------------------



3



Manfaat Penelitian -----------------------------------------------------



4



1.5.1 Manfaat dalam Bidang Akademik -------------------------



4



1.5.2 Manfaat dalam Bidang Pelayanan -------------------------



4



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ----------------------------------------------------



5



1.5



2.1



2.2



Sinus Paranasal ---------------------------------------------------------



5



2.1.1 Sinus ethmoidalis ---------------------------------------------



5



2.1.2 Sinus maksilaris ----------------------------------------------



6



2.1.3 Sinus frontal ---------------------------------------------------



7



2.1.4 Sinus sphenoid ------------------------------------------------



7



2.1.5 Nervus Infraorbita -------------------------------------------



8



FESS----------------------------------------------------------------------



11



2.2.1 Persiapan situs operasi ---------------------------------------



14



2.2.2 Pertimbangan preoperatif------------------------------------



15



viii



2.2.2.1 Perspektif otolaryngologis-------------------------



15



2.2.2.2 Perspektif anestesiologis ---------------------------



16



2.2.3 Pertimbangan intraoperatif ----------------------------------



19



2.2.3.1 Perspektif otolaryngologis-------------------------



19



2.2.3.2 Perspektif anestesiologis ---------------------------



20



2.2.4 Pertimbangan Postoperatif ----------------------------------



28



Blok nervus perifer ----------------------------------------------------



29



2.3.1 Blok nervus sphenopalatin ----------------------------------



30



2.3.2 Blok nervus infraorbital -------------------------------------



31



Anestesi regional -------------------------------------------------------



36



2.4.1 Farmakodinamik dan fisiokimia dari anestesi lokal----



37



2.4.2 Farmakologi klnis anestesi lokal --------------------------



39



2.4.3 Bupivacain -----------------------------------------------------



40



2.4.4 Deksamethason sebagai adjuvan --------------------------



42



2.5



Penilaian Nyeri ---------------------------------------------------------



45



2.6



Kerangka Teori ---------------------------------------------------------



48



2.7



Kerangka Konsep Penelitian---- -------------------------------------



49



METODE PENELITIAN ------------------------------------------------



50



2.3



2.4



BAB 3



3.1



Desain Penelitian -------------------------------------------------------



50



3.2



Tempat dan Waktu Penelitian ---------------------------------------



50



3.2.1 Tempat Penelitian---------------------------------------------



50



3.2.2 Waktu Penelitian ----------------------------------------------



50



Populasi dan Sampel Penelitian -------------------------------------



50



3.3.1 Populasi Penelitian -------------------------------------------



50



3.3.2 Sampel Penelitian ---------------------------------------------



50



Kriteria Inklusi dan Eksklusi-----------------------------------------



50



3.4.1



Kriteria Inklusi ------------------------------------------------



50



3.4.2 Kritreria Eksklusi ---------------------------------------------



51



3.4.3 Kriteria Putus Uji (Drop Out) ------------------------------



51



3.5



Perkiraan Besar Sampel-----------------------------------------------



51



3.6



Teknik Pengambilan Sampel-----------------------------------------



51



3.7



Bahan ---------------------------------------------------------------------



52



3.3



3.4



ix



3.8



Informed Consent --------------------------------------------------



52



3.9



Cara Kerja ---------------------------------------------------------------



52



3.10 Instrumen Penelitian ---------------------------------------------------



54



3.11 Identifikasi Variabel ---------------------------------------------------



54



3.12 Rencana Manajemen dan Analisis Data ---------------------------



54



3.13 Definisi Operasional ---------------------------------------------------



54



3.14 Masalah Etika -----------------------------------------------------------



54



3.15 Kerangka Kerja ---------------------------------------------------------



56



BAB 4 HASIL PENELITIAN ----------------------------------------------------



57



4.1 Karakteristik Demografi Responden Penelitian ---------------------------



57



4.2 Efek Perlakuan Obat terhadap Sampel --------------------------------------



60



4.2.1 Efek Perlakuan Obat pada T0 -------------------------------------



60



4.2.2 Efek Perlakuan Obat pada T1 --------------------------------------



61



4.2.3 Efek Perlakuan Obat pada T2 --------------------------------------



62



4.2.4 Efek Perlakuan Obat pada T3 --------------------------------------



63



BAB 5 PEMBAHASAN ------------------------------------------------------------



65



5.1 Karakteristik Demografi Sampel Penelitian--------------------------------



65



5.2 Efek Perlakuan Obat terhadap Sampel --------------------------------------



66



BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN -------------------------------------------



69



6.1 Kesimpulan ----------------------------------------------------------------



69



6.2 Saran ------------------------------------------------------------------------



69



DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------



70



LAMPIRAN ------------------------------------------------------------------------------



74



x



DAFTAR GAMBAR



No Gambar 2.1



Judul



Hal



Proksimitas sinus dan lapangan operasi terhadap struktur krusial, seperti otak dan orbit Topografi



umum



dari



pola inervasi



dari



6



nervus



infraorbital. Cabang palpebral inferior (IP) menjalar keatas Gambar 2.2



sementara



empat



cabang



lainnya



menjalar



kebawah. Keempat percabangan (dari medial ke lateral)



9



adalah cabang nasal eksternal (EN), cabang nasal internal (IN), sub-cabang medial (SLm) dan sub-cabang lateral (SLl) dari cabang labial superior Area yang disuplai cabang nervus inferior palpebral. A) Gambar 2.3



semua area inferior kelopak mata, B) sepertiga medial, C)



10



duapertiga medial, D) dupertiga lateral Area yang disuplai cabang eksternal nasal. A) dari lantai Gambar 2.4



ke ala nasi, B) empatperlima inferior nasi, C) tigaperlima



10



inferior nasi, D) duaperlima inferior nasi Area yang disuplai oleh cabang superior labial. A) dari Gambar 2.5



area sentral bibir menuju ujung mulut, B) dari area sentral



11



bibir menuju lateral dari ujung mulut Gambar 2.6



Algoritma tatalaksana anestesiologis pada pasien yang menjalani FESS (a) Pendekatan



Gambar 2.7



transnasal



pada



blok



21



nervus



sphenopalatine



31



(b) Blok nervus sphenopalatin (a) Pendekatan intraoral pada blok nervus infraorbital Gambar 2.8



(b) posisi jari pada saat blok nervus infraorbital dengan



34



pendekatan intraoral Gambar 2.9



Pendekatan transnasal pada blok nervus infraorbital dan anatomi terkait yang menunjukkan efek distribusi anestesi



xi



35



dengan blok infraorbital Gambar 2.10



Struktur molekul anestesi ester dan amide



36



Gambar 2.11



Diagram intraneural



37



Gambar 2.12



Wong Baker Faces Pain Rating Scale



46



Gambar 2.13



Verbal Rating Scale



46



Gambar 2.14



Numerical Rating Scale



46



Gambar 2.15



Visual Analogue Scale



47



Gambar 2.16



Kerangka Teori



48



Gambar 2.17



Kerangka Konsep Penelitian



49



Gambar 3.1



Kerangka Alur Penelitian



56



Gambar 4.1



Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin



57



Gambar 4.2



Distribusi sampel berdasarkan kelompok usia



58



Gambar 4.3



Distribusi sampel berdasarkan Suku



59



Gambar 4.4



Efek perlakuan Obat terhadap T0 (1 jam setelah Operasi)



60



Gambar 4.5



Efek perlakuan Obat Terhadap T1 (6 jam setelah Operasi)



61



Gambar 4.6



Efek perlakuan obat terhadap T2 (12 jam setelah Operasi)



62



Gambar 4.7



Efek perlakuan obat terhadap T3 (24 jam setelah Operasi)



63



Gambar 4.8



Rerata nilai VAS pada setiap waktu pemeriksaan



64



xii



DAFTAR TABEL



No



Judul



Hal



Tabel 2.1



Komplikasi utama pada prosedur FESS



12



Tabel 2.2



Kriteria diagnostik rinosinusitis kronik



16



Tabel 2.3



Kontraindikasi dilakukan anestesi regional pada FESS



28



Tabel 2.4



Fisiokimia dan farmakokinetik dari tiga anestesi lokal kerja panjang



41



Tabel 2.5



Obat adjuvan untuk blok nervus perifer



42



Tabel 4.1



Tabel distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin



57



Tabel 4.2



Tabel distribusi sampel berdasarkan usia



58



Tabel 4.3



Tabel distribusi sampel berdasarkan Suku



59



Tabel 4.4



Efek Perlakuan Obat Terhadap T0 (1 jam setelah Operasi)



60



Tabel 4.5



Efek Perlakuan Obat Terhadap T1 (6 jam setelah Operasi)



61



Tabel 4.6



Efek Perlakuan Obat Terhadap T2 (12 jam setelah Operasi)



62



Tabel 4.7



Efek Perlakuan Obat Terhadap T3 (24 jam setelah Operasi)



63



xiii



DAFTAR SINGKATAN ASA



:



American Society of Anesthesiologists



AVM



:



ArterioVenous Malformation



CBT



:



Cone Beam Tomography



CO



:



Cardiac Output



COX-2



:



CycloOxygenase – 2



COX-3



:



CycloOxygenase – 3



CPAP



:



Continuous Positive Airway Pressure



CSF



:



CerebroSpinal Fluid



CT



:



Computed Tomography



ECG



:



ElectroCardioGraphy



ETT



:



Endotracheal Tube



FESS



:



Functional Endoscopy Sinus Surgery



GERD



:



GastroEsophageal Reflux Disease



HCU



:



High Care Unit



HDU



:



High Dependency Unit



ICU



:



Intensive Care Unit



ID



:



Internal Diameter



IM



:



IntraMuscular



IO



:



Infraorbital



IV



:



IntraVenous



LMA



:



Laryngeal Mask Airway



LR



:



Likelihood ratio



MAP



:



Mean Arterial Pressure



MRI



:



Magnetic Resonance Imaging



NIBP



:



Non Invasive Blood Pressure



NPV



:



Negative Predictive Value



NSAID



:



Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs



OSA



:



Obstructive Sleep Apnea



PACU



:



Post Anesthesia Care Unit



xiv



PONV



:



PostOperative Nausea and Vomiting



PPDS



:



Peserta Pendidikan Dokter Spesialis



PPV



:



Positive Predictive Value



PPV



:



Positive Pressure Ventilation



RAE



:



Ring, Adair, Elwyn Tube



RARS



:



Rhinosinusitis Akut Rekuren



ROC



:



Receiver Operating Characteristic



SP



:



Sphenopalatin



SVR



:



Systemic Vascular Resistance



TIVA



:



Total IntraVenous Anesthesia



VAS



:



Visual Analog Scale



xv



DAFTAR LAMPIRAN



No



Judul



Hal



Lampiran 1



Riwayat Hidup Peneliti



74



Lampiran 2



Jadwal Tahapan Pelaksanaan Penelitian



75



Lampiran 3



Lembar Penjelasan Mengenai Penelitian



76



Lampiran 4



Lembar



Persetujuan



Setelah



Consent)



Penjelasan



(Informed



78



Lampiran 5



Lembar Observasi Pasien



80



Lampiran 6



Tabel Random



81



Lampiran 7



Rencana Anggaran Penelitian



83



xvi



xvii



ABSTRAK Pendahuluan: Vasokonstriktor dapat digunakan sebagai vasokonstrisi dari pembuluh darah dan dapat mengurangi jumlah absorbsi anestesi lokal kedalam sirkulasi darah. Pro dan kontra pemberian adjuvan yang dianggap berpotensial meningkatkan kerja anestesi lokal pada blokade saraf perifer seperti dexamethasone Tujuan: Untuk menilai perbedaan efek penggunaan bupivacaine 0,5% dengan bupivacaine 0,5% ditambah dexamethason terhadap nyeri paska operasi dengan teknik blok infraorbita pada operasi FESS. Metode: Penelitian ini menggunakan metode double-blind randomized controlled trial dari Agustus – Oktober 2018 di Rumah Sakit Umum Haji Mina Medan. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan non-probability sampling dengan metode consecutive sampling yang berjumlah 40 pasien. Sesaat sebelum ekstubasi, blok infraorbita dengan teknik trans nasal dilakukan dengan menggunakan bupivacaine 0,5% (1 – 1,5 mg/kg dengan dosis maksimal 100 mg) ditambah normal saline dan bupivacaine 0,5% ditambah dexamethason (0,1 mg/kg) masing-masing pada kelompok. Pasien yang telah menjalani operasi FESS dinilai skala nyeri menggunakan VAS (skor 0 – 10) dan kebutuhan terhadap analgesik ekstra dalam 24 jam pertama. Hasil: Pada penelitian ini 40 sampel yang diperiksa diantaranya dengan jenis kelamin laki – laki sebanyak 20 sampel (50%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 20 sampel (50%). Penilaian nyeri pada T0 didapati data yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Penilaian nyeri pada T1 didapati data yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Penilaian nyeri pada T2 didapati data yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Penilaian nyeri pada T3 didapati data yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Kelompok B (Bupivacaine + Dexamethasone) menghasilkan nilai VAS yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai VAS rata – rata pada penelitian ini. Dari uji statistic didapatkan hasil perbedaan yang tidak bermakna pada seluruh waktu pemeriksaan (p>0,05). Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang tidak bermakna secara statistik nilai VAS pada pemberian A (Bupivacain 0,5% + Normal saline) dibandingkan dengan pemberian B (Bupivacaine + dexamethasone). Penambahan dexamethasone sebagai adjuvant tidak memberikan banyak perbedaan tingkat nyeri pada penelitian ini Kata Kunci : Bupivacain, Dexamethasone, FESS, Visual analog scale



xvii



xviii ABSTRACT Introduction: Vasoconstrictors can be used to reduce blood vessels size and reduce the amount local anesthesia absorption into the blood circulation. Pros and cons of giving adjuvants that are considered to potentially increase the work of local anesthetics in peripheral nerve blockade such as dexamethasone Objective: To assess the effect of using 0.5% bupivacaine and normal saline with bupivacaine 0.5% and dexamethasone on postoperative pain with infraorbital block technique in FESS surgery. Method: This study used a double blind randomized controlled trial from August to October 2018 at Haji Mina General Hospital. This study used non-probability sampling with a consecutive sampling method which amounted to 40 patients. Shortly before extubation, the infraorbital block with a nasal trans technique was performed using 0.5% bupivacaine (1 - 1.5 mg / kg with a maximum dose of 100 mg) plus normal saline and 0.5% bupivacaine plus dexamethasone (0.1 mg / kg) in each group. Patients who have had FESS surgery assessed the scale of pain using VAS (score 0 - 10) and requirement for extra analgesics in the first 24 hours. Results: In this study 40 samples were examined including 20 male samples (50%) and 20 female samples (50%). Pain assessment in T0 found data that were not statistically significant (p> 0.05). The assessment of pain in T1 found data that were not statistically significant (p> 0.05). The assessment of pain in T2 found data that were not statistically significant (p> 0.05). Assessment of pain in T3 found data that were not statistically significant (p> 0.05). Group B (Bupivacaine + Dexamethasone) produced a lower VAS value compared to the average VAS value in this study. From the statistical test the results of the differences were not significant at all examination times (p> 0.05). Conclusion: There was a statistically significant difference in the value of VAS in administration of A (Bupivacaine 0.5% + Normal saline) compared to administration



of



B



(Bupivacaine



+



dexamethasone).



The addition



of



dexamethasone as an adjuvant did not give much difference in the level of pain in this study Keyword: Bupivacaine, Dexamethasone, FESS, Visual analog scale xviii



1



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1



Latar belakang Kontrol nyeri yang adekuat adalah pertimbangan penting pada manajemen



pasien paska operasi. Nyeri sangat umum dirasakan pada pasien yang menjalani pembedahan nasal, terutama bila terjadi manipulasi tulang dan iritasi periosteal. Beberapa penelitian dan observasi klinis merekomendasi kanbahwa reduksi nyeri dapat dilakukan dengan pemberian anestesi lokal dikombinasikan dengan anestesi umum pada pembedahan kepala dan leher. Secara spesifik, blockade nervus yang ditambahkan pada anestesi umum dapa tmemberikan kontrol nyeri yang baik selama dan setelah operasi. Kelebihan penggunaan teknik blok saraf spesifik pada operasi sinus endoskopis mencakup berkurangnya nyeri intra operatif dan postoperative serta reduksi dari penggunaan anestesi umum pada saat prosedur berlangsung (Higashizawa, 2001; Masomi, 2012). FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery) adalah teknik endoskopik nasal yang memberikan visualisasi sinus paranasal dan kavitas nasal tanpa perlu insisi kulit.Pada pasien limbus medial yang akan enjalani FESS, anesthesia umum lebih dipilih untuk menjaga saluran napas dan lapangan operasi yang tidak bergerak. Kombinasi dengan anestesi regional berupa blok dapat dilakukan pada percabangan dari nervus maksilaris, yaitu nervus infraorbita (IO) dan ganglion sphenopalatin (SP) (Sim, 2014).Nervus infraorbita memberikan sensasi pada pipi, bibir atas, kelopak mata, dan aspek lateral dari hidung. Nervus infraorbita keluar melalui foramen infraorbita sekitar satu cm dibawah batas inferior orbital, dapat dipalpasi dengan jari, sepanjang garis vertikal dari mata. Blok nervus infraorbita dibuktikan dapat memperpanjang analgesia paska operasi pada pembedahan intra nasal dan bibir sumbing (Feriani, 2016; Sim, 2013). Bupivacaine adalah anestesi lokal golongan amida yang bersifat jangka panjang (long-acting). Struktur kimia Bupivacaine lebih hidrofobik bila dibandingkan dengan Mepivacain dan Lidocain. Walaupun onset Bupivacaine



2



lebih lama, tetapi durasinya dapat bertahan lebih panjang. Bupivacaine dapat berikatan dengan protein, yang konsisten dengan durasinya yang panjang sehingga berpotensi menjadi kardiotoksik. Bupivacaine adalah obat anestesi lokal yang sering digunakan untuk memblokade saraf pada operasi nasal. Beberapa studi yang dilakukan membandingkan penggunaan obat anestesi lokal seperti Bupivacaine dengan normal salin. Penggunaan adjuvant pada anestesi lokal dapat memperpanjang blokade regional. Vasokonstriktor dapat digunakan untuk memvasokonstriksi pembuluh darah dan mengurangi jumlah absorbs anestesi lokal kedalam sirkulasi darah. Penggunaan dexamethason pada anestesi lokal dapat meningkatkan durasi blok (Aguirre, 2012; Movafegh, 2006). Beberapa penelitian dan metaanalisis telah mempertimbangkan pro dan kontra pemberian adjuvan yang dianggap berpotensial meningkatkan kerja anestesi lokal pada blokade saraf perifer seperti dexamethason. Dexamethason dikatakan dapat mengurangi transmisi stimulus pada serabut saraf-c nosiseptif dengan inhibisi kanal potassium pada saraf sehingga akan mengurangi impuls nyeri



yang



dirasakan



pasien.



Dexamethason



juga



dapat



menyebabkan



vasokonstriksi jaringan dan memperlambat uptake serta absorbs anestesi lokal oleh system pembuluh darah sehingga durasi obat lebih panjang. Selain itu, efek Dexamethason sebagai antiinflamasi dapat menghambat mediator inflamasi seperti interleukin dan sitokin sehingga menurunkan stimulus nyeri (Olivier, 2015). Atas dasar penjelasan beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa efek dexamethason sebagai adjuvant blok nervus perifer, maka peneliti tertarik untuk membandingkan efek obat Bupivacaine dengan Bupivacaine ditambah Dexamethason terhadap nyeri paska operasi dengan teknik blok infraorbita pada operasi FESS di Rumah Sakit Haji Medan.



3



1.2



Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka



dapat diajukan rumusan masalah sebagai berikut: Apakah terdapat perbedaan efek analgetik bupivacaine 0,5% dengan bupivacaine 0,5% ditambah dexamethason terhadap nyeri paska operasi dengan teknik blok infraorbita pada operasi FESS? 1.3



Hipotesis Terdapat efek analgetik lebih lama pada bupivacaine 0,5% ditambah



dexamethason dibandingkan dengan bupivacaine 0,5% terhadap nyeri paska operasi dengan teknik blok infraorbita padaoperasi FESS. 1.4



Tujuan Penelitian



1.4.1 Tujuan Umum Untuk menilai perbedaan efek penggunaan bupivacaine 0,5% ditambah normal saline dengan bupivacaine 0,5% ditambah dexamethason terhadap nyeri paska operasi dengan teknik blok infraorbita pada operasi FESS. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Melihat gambaran dan deskripsi karakteristik kedua kelompok pasien yang menjalani operasi FESS dengan teknik blok infraorbita dan diolah dalam bentuk tabulasi 2. Melihat perbedaan lama nyeri pemberian obat bupivacaine 0,5% antara obat bupivacaine 0,5% + dexamethason pada kedua kelompok pasien yang menjalani operasi FESS dengan teknik blok infraorbita 3. Menilai perbedaan tingkat nyeri pada kedua kelompok pasien yang menjalani operasi FESS dengan teknik blok infraorbita



4



1.5



Manfaat Penelitian



1.5.1 Manfaat dalam Bidang Akademik 1. Hasil penelitian ini dapat menambah studi literatur rujukan mengenai efek pemberian bupivacaine 0,5% ditambah dexamethason terhadap nyeri pasca operasi dengan teknik blok infraorbita pada operasi FESS. 2. Hasil penelitian ini dapat menjadikan dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai efek pemberian bupivacaine 0,5% ditambah dexamethason terhadap nyeri paska operasi dengan teknik blok infraorbita pada operasi FESS. 1.5.2 Manfaat dalam Bidang Pelayanan 1. Hasil penelitian ini dapat memberikan rekomendasi penggunaan Bupivacaine 0,5% ditambah dexamethason terhadap nyeri paska operasi dengan teknik blokinfraorbita pada operasi FESS. 2. Mengurangi lama rawat pasien paska operasi dan jumlah analgetik tambahan yang diberikan.



5



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Sinus Paranasal Sinus paranasal terbentuk dari kompleks empat pasang kavitas: sinus



ethmoidal, sphenoidal, maksilaris, dan frontalis. Tiap nama dari sinus diberikan berdasarkan tulang yang berdekatan. Sinus-sinus ini diinervasi oleh cabang dari nervus trigeminal. Sinus paranasal mulai berkembang membentuk lekukan dan saluran pada dinding lateral nasal sejak minggu ke-8 proses embriogenesis, dan terjadi pneumatisasi lanjutan sampai dewasa muda (Aravindaksha, 2016). Sinus paranasal dan kavitas nasal adalah kompleks labirin struktur tulang berongga dalam tengkorak yang berfungsi untuk memberikan kehangatan dan humidifikasi dari traktus respirasi, resonansi suara, mengurangi berat tengkorak, dan sebagai mekanisme pertahanan mekanis dan imunologis terhadap patogen udara dan kontaminan. Mukosa sinonasal dilapisi oleh epitel pseudostratified kolumnar bersilia yang terdiri dari sel khusus yang berfungsi sebagai sistem transpor mukosiliar yang memproduksi dan membentuk lapisan protektif mukosa yang mengalir dari sinus ke kavitas nasal (Sim, 2013). 2.1.1 Sinus Ethmoidalis Sinus ethmoidalis terbentuk sejak bulan ketiga dan keempat janin yaitu terjadi evaginasi dari dinding lateral nasal. Sewaktu kelahiran, sel ethmoid anterior teraerasi, sementara sel ethmoid posterior terisi cairan. Sel ethmoid posterior mengalami pneumatisasi seiring usia, dan udara akan mengisi sel-sel ini menggantikan cairan. Sel ethmoid dibatasi kavitas nasal pada batas medial, lamina papyracea pada batas lateral, dan fovea ethmoidalis pada batas superior. Basal lamina dari turbinasi tengah membagi sel ethmoidalis menjadi bagian anterior dan posterior. Sel anterior membentuk saluran menuju meatus tengah, dan sel posterior membentuk saluran menuju meatus superior. Jumlah sel ethmoid bervariasi pada masing-masing individu; biasanya, terdapat tujuh sel anterior kecil



6



dan empat sel posterior besar. Suplai arterial pada sel ethmoid melalui arteri ethmoidal yang bercabang dari arteri opthalmik. Arteri ethmoidal anterior masuk ke foramen ethmoid anterior 24 mm posterior dari lekukan lakrimal anterior dan menyuplai sel ethmoid anterior. Arteri ethmoidal posterior masuk ke foramen ethmoid posterior 36 mm posterior dari lekukan lakrimal anterior dan menyuplai sel ethmoidal posterior. Inervasi melalui persarafan nervus ethmoid anterior dan posterior melalui nervus opthalmikus (V1) dan percabangan nasal posterior dari nervus maksilaris (V2) (Aravindaksha, 2016; Casiano, 2007).



Gambar 2.1 Proksimitas sinus dan lapangan operasi terhadap struktur krusial, seperti otak dan orbit (Sim, 2014) 2.1.2 Sinus Maksilaris Sinus maksilaris mulai terbentuk sejak usia minggu ketiga gestasi. Sewaktu usia gestasi minggu ke-12, sinus maksilaris membentuk invaginasi ektodermal dari lekukan meatal tengah dan berkembang secara internal. Di dalam kandungan, sinus initerisi cairan; tetapi setelah kelahiran, terjadi pneumatisasi dengan perkembangan bifasik yaitu selama 3 tahun awal kehidupan dan pada usia 7 – 12 tahun. Bentuk sinus ini seperti piramid quadrangular, dengan dasar menghadap dinding lateral nasal dan apeks pada arcus zygomatikum. Atap dari sinus membentuk lantai dari orbit, dasar sinus menghadap prosesus alveolar.



7



Konsentrasi silia meningkat jika dekat dengan ostium sinus. Sinus maksilaris memiliki anastomosis arteri yang tinggi yang berasal dari arteri infraorbital, sphenopalatin, lateral nasal posterior, pterygopalatin, palatin mayor, dan alveolar posterior superior. Inervasi dari sinus maksilaris berasal dari nervus alveolar anterior superior, middle superior, dan posterior superior (Aravindaksha, 2016; Casiano, 2007). 2.1.3 Sinus Frontalis Sinus frontalis adalah sinus yang paling superior diantara sinus anterior. Sinus ini berada diantara plat dalam dan luar. Plat dalam atau dinding posterior (yang memisahkan sinus frontal dengan fossa kranialis anterior)lebih tipis dari dinding plat luar dan dapat dipenetrasi secara tidak sengaja sewaktu operasi. Ostium dari sinus frontalis terdapat pada lantai bagian posteromedial. Duktus bagian depan terbuka menuju bagian depan dari meatus tengah dan resesus frontal atau langsug pada ujung anterior dari infundibulum. Hubungan antara infundibulum dan meatus tengah bertujuan untuk melindungi sinus frontal dari penyebaran penyakit pada kompleks osteomeatal. Sinus frontalis diperdarahi oleh arteri supraorbital dan supratrochlear yang merupakan percabangan dari arteri oftalmikus, serta vena oftalmikus superior yang berfungsi untuk mendrainase darah dari sinus tersebut (Aravindaksha, 2016; Casiano, 2007). 2.1.4 Sinus Sphenoidalis Sinus sphenoidalis berlokasi di lantai tengkorak pada titik pertemuan antara fossa serebral anterior dan tengah. Perkembangan sinus sphenoid terjadi pada bulan ketiga dan keempat gestasi, dimana terjadi invaginasi dari mukosa nasal pada bagian posterior dari kapsul kartilago nasal. Pneumatisasi dari tulang sphenoid terjadi pada usia 3 tahun, berkembang menuju sella tursika pada usia 7 tahun, dan mencapai bentuk sempurna pada usia remaja. Dua sinus tersebut berkembang secara asimetris dan dipisahkan oleh septum tulang intersinus. Pada beberapa kasus akibat asimetrikal ini, septum intersinus melewati garis tengah dan dapat memiliki insersi posterior pada tulang karotid kanal, yang berada pada



8



dinding lateral dari sphenoid. Oleh karena itu, ketika melakukan prosedur pembuangan septum perlu berhati-hati karena avulsi dapat menyebabkan ruptur karotid. Dinding lateral dari sinus sphenoid berhubungan dengan beberapa organ, dimana yang paling penting yaitu kanal karotid dan kanal optik. Arteri karotid internal, struktur yang paling medial pada sinus kavernosus terletak pada permukaan lateral dari tulang sphenoid. Kanal optik dapat ditemukan pada sudut posterosuperior antara dinding lateral, posterior dan superior dari sinus, menyilang kanal karotid secara horizontal dari lateral ke medial. Kanal dari dua persarafan lain dapat ditemukan pada dinding lateral dari sinus sphenoid, dibawah level kanal karotid: percabangan kedua dari nervus trigeminal melewati foramen rotundum secara superior dan nervus vidian pada kanal pterygoid secara inferior (Aravindaksha, 2016; Casiano, 2007). 2.1.5 Nervus infraorbital Nervus infraorbital (ION) adalah cabang terminal dari nervus maksila; nervus ini mensuplai kulit dan membran mukosa pada wajah bagian tengah. Nervus ini berjalan pada lantai dari orbit dan kanal infraorbital, dan keluar melalui foramen infraorbital pada otot levator labii superior. Ketika nervus infraorbital keluar dari foramen infraorbital, nervus terbagi menjadi lima cabang: 1) cabang palpebral inferior, yang menginervasi kulit dari kelopak mata inferior dan konjungtiva; 2) cabang nasal eksternal, yang menginervasi kulit dari permukaan lateral hidung; 3) cabang nasal internal, yang menginervasi septum nasal dan vestibula nasal; 4) cabang labial superior dengan sub-cabang medial, yang menginervasi kulit dan mukosa dari bagian tengah bibir atas; dan 5) cabang labial superior dengan subcabang lateral, yang menginervasi kulit dan mukosa dari bagian lateral bibir atas. Cabang-cabang dari nervus infraorbital ini saling tumpang tindih pada ruang infraorbital. Batas atas dari ruang infraorbital dibatasi oleh otot levator labii superior (LLS), batas bawah dibatasi oleh otot orbikularis oris, batas lateral dibatasi oleh otot levator anguli oris (LAO), dan batas medial dibatasi oleh otot superioris alaque nasi (LLSAN) (Hu, 2006).



9



Gambar 2.2Topografi umum dari pola inervasi dari nervus infraorbital. Cabang palpebral inferior (IP) menjalar keatas sementara empat cabang lainnya menjalar kebawah. Keempat percabangan (dari medial ke lateral) adalah cabang nasal eksternal (EN), cabang nasal internal (IN), sub-cabang medial (SLm) dan subcabang lateral (SLl) dari cabang labial superior (Hu, 2006). Pola percabangan dari nervus infraorbital ini terbagi menjadi empat tipe. Tipe I, dimana keempat cabang saling terpisah, ditemukan pada 42,1% kasus; tipe II dimana dua cabang nasal terpisah dan dua sub-cabang dari cabang superior labial bergabung, ditemukan pada 21,1% dari kasus; tipe III, dimana hanya dua subcabang dari cabang labial superior terpisah, ditemukan pada 21,1% kasus; dan tipe IV, dimana dua cabang nasal dan sub-cabang dari cabang labial superior labial bergabung, ditemukan pada 15,7% kasus (Hu, 2006).



10



Gambar 2.3Area yang disuplai cabang nervus inferior palpebral. A) semua area inferior kelopak mata, B) sepertiga medial, C) duapertiga medial, D) dupertiga lateral (Hu, 2007) Pada banyak kasus (55,8%), cabang inferior palpebral mensuplai semua area pada inferior kelopak mata, tetapi pada beberapa kasus cabang tersebut hanya mensuplai sepertiga medial (16,3%), duapertiga medial (16,3%) atau duapertiga lateral (11,6%) pada inferior kelopak mata. Cabang eksternal nasal mensuplai kulit lateral dari hidung, dan terdistribusi merata dari lantai sampai ala hidung. Pada 26,8% kasus percabangan ini hanya mensuplai regio ala (duapertiga inferior dari hidung), dan 22% mensuplai pada area yang lebih luas, sekitar tigaperlima inferior hidung. Umumnya, cabang eksternal nasal ini mensuplai empatperlima dari hidung (39%) dan pada beberapa kasus (12,2%) mensuplai semua area dari ala sampai lantai hidung (Hu, 2007).



Gambar 2.4Area yang disuplai cabang eksternal nasal. A) dari lantai ke ala nasi, B) empatperlima inferior nasi, C) tigaperlima inferior nasi, D) duaperlima inferior nasi (Hu, 2007)



11



Cabang superior labial adalah cabang paling besar dari nervus infraorbital dan mempunyai lapangan persarafan yang luas. Pada 25,6% kasus, cabang terminal dari superior labial mempersarafi dari bibir sampai ke ujung dari mulut, dan 74,4% mempersarafi sampai batas lateral dari mulut. Cabang superior labial diklasifikasikan menjadi cabang medial yang mempersarafi area sentral dari bibir atas dan cabang lateral yang mempersarafi area lateral dari bibir atas (Hu, 2007).



Gambar 2.5 Area yang disuplai oleh cabang superior labial. A) dari area sentral bibir menuju ujung mulut, B) dari area sentral bibir menuju lateral dari ujung mulut (Hu, 2007) 2.2



FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery) Sinusitis kronik terjadi pada sekitar 35 juta warga Amerika tiap tahunnya



dan menambah 35 juta jumlah kunjungan ke dokter. Penyakit ini umum terjadi pada populasi di berbagai usia dan grup etnis. Sinusitis kronik telah menyebabkan penurunan kualitas hidup secara signifikan, seperti yang dapat dilihat pada kondisi penyakit arteri koroner dan asma. FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery) adalah teknik endoskopik nasal yang memberikan visualisasi sinus paranasal dan kavitas nasal tanpa perlu dilakukannya insisi kulit. Teknik operasi ini ditemukan pada akhir tahun 1970-an oleh Messerklinger dan Stamberger. FESS menjadi prosedur yang populer dilakukan dalam 30 tahun terakhir dan sekarang menjadi prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan dalam bidang otolaringologi (Sim, 2013; Sim, 2014). FESS secara umum merupakan prosedur dengan risiko rendah dan mempunyai tingkat keamanan yang besar. Akan tetapi, banyak komplikasi fatal



12



termasuk kematian yang dilaporkan pada pasien yang menjalani FESS. Komplikasi ini berupa perdarahan masif, cedera otak langsung, kebutaan akibat cedera nervus optikus, anosmia, kebocoran cairan serebrospinal, dan infeksi intrakranial. Komplikasi ini disebutkan pada tabel 1 dan dikategorikan menjadi tiga kelompok utama, yaitu orbital, intrakranial, dan nasal. Komplikasi ini disebabkan oleh lokasi dari sinus paranasal dan kavitas nasal dalam tengkorak serta proksimitasnya dengan berbagai struktur penting, seperti arteri karotid interna, orbit, nervus optik, dan kavitas intrakranial. Tabel 2.1 Komplikasi utama pada prosedur FESS Orbital



Intrakranial



Nasal



Perdarahan orbital



Kebocoran CSF



Adhesi



Abses (infeksi)



Meningitis



Anosmia



Kebutaan (cedera n.



Abses otak



Hiposmia



optikus)



Perdarahan intrakranial



Cedera duktus lakrimal



Indikasi untuk dilakukan operasi pada sinus paranasal ini dibuat dengan anamnesis dari keluhan utama, dilanjutkan dengan pemberiksaan rinoskopi dan endoskopi serta pencitraan yang adekuat (CT scan, CBT, MRI). Oleh karena lapangan pandang yang terbatas melalui endoskopi, risiko komplikasi utama dicurigai meningkat ketika terjadi perdarahan intraoperatif yang berlebih dan tidak terkontrol sehingga mengganggu visualisasi struktur penting pada lapangan operasi. Perdarahan intraoperatif dan kondisi operasi buruk tidak hanya meningkatkan komplikasi tetapi juga memperpanjang waktu operasi total dan menyebabkan reseksi jaringan atau tumor yang tidak lengkap sehingga memerlukan operasi ulang. Banyak faktor yang berhubungan, seperti komorbid pasien dan medikasi, prosedur yang dilakukan, teknik anestesi dapat berkontribusi pada visualisasi lapangan operasi yang buruk sekunder terhadap perdarahan intraoperatif berlebih (Sim, 2014; Weber, 2015). FESS diindikasikan secara medis bila ditemukan satu atau lebih penyakit dibawah ini (UnitedHealthcare Oxford, 2018).



13



1. Rinosinusitis kronik yang telah dikonfirmasi dengan CT dengan satu atau lebih gejala dibawah a. Penebalan mukosa b. Remodeling tulang c. Penebalan tulang d. Obstruksi kompleks osteomeatal e. Sinus menjadi opak 2. Gejala bertahan walaupun telah diberikan terapi medis seperti a. Kubah nasal b. Terapi antibiotik, jika curiga infeksi bakteri c. Kortikosteroid intranasal 3. Mukosel dikonfirmasi dengan CT 4. Konka bulosa dikonfirmasi dengan CT 5. Komplikasi sinusitis seperti abses 6. Tumor yang dikonfirmasi dengan CT (seperti poliposis atau malignansi) 7. Rinosinusitis akut rekuren (RARS) Selain yang disebutkan di atas, indikasi FESSlainnya adalah sinusitis akut rekuren, polip nasal simptomatis, mukosel, benda asing, epistaksis berulang, perbaikan kebocoran cairan otak, biopsi massa nasal, dekompresi orbital, dan pembedahan pituitari. Intervensi pembedahan hanya pada kasus non-emergensi setelah pemberian terapi konservatif berupa obat-obatan tidak efektif. Pada kasus rinosinusitis akut, percobaan konservatif berupa terapi antibiotik intravena merupakan tatalaksana yang tepat. Setelah beberapa episode rinosinusitis akut rekuren, penggunaan steroid nasal dapat diberikan sebagai profilaksis, terutama pada rinitis alergi berulang. Akan tetapi, efektivitasnya kurang diketahui. Pada kasus rinosinusitis akut, farmakoterapi maksimal direkomendasikan. Medikasi tersebut meliputi steroid nasal dalam dosis tinggi, diikuti dengan pembersihan nasal menggunakan cairan salin, terapi antibiotik selama 2-3 minggu, dan steroid sistemik. Pembersihan nasal dengan cairan salin efektif pada semua tipe



14



rinosinusitis kronik, rinitis alergi, rinosinusitis akut, dan sebagai profilaksis infeksi saluran napas atas (Luong, 2006; Terrell, 2007; Weber, 2015). Prosedur standar untuk diagnostik tomografi dari sinus paranasal adalah CT (Computed Tomography). Alternatif lain yaitu CBT (Cone Beam Tomography) dapat digunakan karena memberikan resolusi tulang yang jelas pada tiga bidang dengan paparan sinar radiasi yang paling rendah. Akan tetapi pencitraan jaringan lunak dengan menggunakan CBT memberikan hasil yang kurang memuaskan di samping regio pemeriksaannya yang terbatas. MRI (Magnetic Resonance Imaging)



direkomendasikan



terutama



pada



kasus



rinosinusitis dengan komplikasi intrakranial atau orbital progresif ataupun pada malignansi dan tumor jinak khusus. Walaupun memberikan resolusi yang buruk pada struktur tulang, MRI direkomendasikan untuk anak-anak atau pada kasus tertentu karena ekspos radiasi yang rendah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pembengkakan mukosa dan sirkulasi darah pada siklus nasal yang dapat disalahartikan sebagai inflamasi pada rinosinusitis akut atau kronik (Weber, 2015). 2.2.1 Persiapan Situs Operasi Persiapan dan pertimbangan anestesiologi dilakukan untuk mengurangi perdarahan seminimal mungkin sewaktu operasi, mengurangi risiko, mencapai hasil yang diinginkan pada operasi, mengurangi durasi intervensi, meminimalisir waktu proses penyembuhan luka postoperative, dan reaksi granulasi serta sikatriks. Persiapan situs operasi dapat berupa (Weber, 2015): 1.



Pemberian vasokonstriksi topikal, seperti aplikasi adrenalin menggunakan swab (dengan konsentrasi 1:1000, pada anak-anak dan pasien berisiko 1:2000). Aplikasi topikal tidak menaikkan level serum puncak setinggi dengan injeksi. Penggunaan derivat imidazolin diperhatikan karena dapat mengakibatkan reaksi toksis pada anak-anak (penyakit kardiovaskular, nervus sentral). Pemberian kokain dan adrenalin juga memberikan efek yang sama.



2.



Pemilihan anestesi yang tepat. TIVA (Total Intravenous Anesthesia) dengan propofol dan remifentanil sering digunakan dan sedikit lebih baik



15



dibandingkan dengan anestesi inhalasi. Reduksi dari cardiac output menjadi target utama dalam tahap ini. Pemberian obat tambahan seperti beta bloker atau klonidin juga dapat dilakukan. 3.



Penggunaan masker laringeal dibandingkan dengan tube intratracheal.



4.



Reduksi dari tekanan ventilasi (positive endexpiratory pressure)



5.



Posisi operasi Trendelenburg reverse dengan inklinasi 20 – 30o



6.



Premedikasi menggunakan steroid topikal



7.



Premedikasi menggunakan steroid sistemik biasanya diberikan 30 – 50 mg (hingga 1 mg/kg) prednisolon dalam 5 – 7 hari. Argumentasi mengenai inflamasi yang berkurang, lapangan intraoperatif yang lebih baik, dan perdarahan



intraoperatif



yang



berkurang



dipertimbangkan



terhadap



kemungkinan obat menutupi penyakit dengan memberikan gambaran kesembuhan jangka pendek dan kemungkinan efek samping steroid sistemik. 8.



Interupsi/penggantian aplikasi obat yang mengganggu koagulasi. Aspek ini mencakup banyak fito-farmasi (2 minggu pre-operatif).



9.



Insersi dari tamponade faringeal tidak menyebabkan mual muntah postoperatif (PONV), tetapi meningkatkan nyeri postoperatif pada oral dan ruang faringeal.



10. Aplikasi dari asam traneksamat, baik sistemik maupun topikal, menurunkan perdarahan hingga 30 – 40%. Kualitas dari situs operasi membaik. Pada pemberian sistemik, dosis sebesar 1 gram per hari cukup. Pada pemberian topikal, 100 mg semprotan pada akhir operasi diberikan secara endonasal. 11. Pembersihan intraoperatif menggunakan air panas (49oC, 20 ml tiap 10 menit) memberikan visualisasi situs operasi yang baik setelah durasi > 120 menit. Kehilangan darah juga berkurang pada durasi pembersihan yang singkat. 2.2.2 Pertimbangan Preoperatif 2.2.2.1 Perspektif Otolaringologis Pasien yang menjalani operasi sinonasal biasanya disebabkan oleh berbagai alasan, seperti obstruksi nasal, kontrol epistaksis, dan terapi dari



16



penyakit inflamasi serta neoplasia. Manajemen bedah pada penyakit sinus inflamatori memberikan tingkat keberhasilan lebih dari 95% dengan pemilihan pasien yang tepat. Bila penyakit pasien stabil lebih dari18 bulan setelah operasi, kebutuhan akan operasi revisi menjadi berkurang. Sinusitis bakterial akut adalah kondisi yang berlangsung selama 4 minggu dengan gejala demam, kongesti nasal, rinorhea purulen dan dibedakan dengan rinosinusitis viral berdasarkan durasi (7 – 10 hari). Sinusitis kronik ditegakkan bila gejala bertahan lebih dari 3 bulan dan minimal memiliki dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor (Tabel 2). Intervensi bedah direkomendasikan bila manajamen medis pada sinusitis akut maupun kronis gagal atau frekuensi melebihi empat atau lebih infeksi dalam setahun (Sim, 2014). Tabel 2.2 Kriteria diagnostik rinosinusitis kronik Kriteria mayor



Kriteria minor



Nyeri/ Tekanan wajah



Sakit kepala



Kongesti/ rasa penuh pada wajah



Demam



Obstruksi nasal



Halitosis



Discharge nasal



Lemas



Hiposmia/anosmia



Nyeri gigi



Purulen pada kavitas nasal



Batuk Tekanan/ rasa penuh pada telinga



2.2.2.2 Perspektif Anestesiologis Evaluasi preoperatif pada pasien yang akan menjalani FESS perlu dilakukan sesuai dengan panduan ASA (American Society of Anesthesiologists). Evaluasi ini mencakup riwayat penyakit dengan fokus penggunaan anestesi sebelumnya, fungsi kardiopulmonar, dan riwayat obat. Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan airway, pemeriksaan paru mencakup auskultasi, dan pemeriksaan jantung. Pertimbangan anestesiologi mencakup (Sim, 2013; Terrell, 2007):



17



1. Respirasi Pasien yang akan menjalani FESS bervariasi mulai dari anak-anak sampai dewasa dengan rasio kasar pria dan wanita 1:1. Diagnosis preoperatif mencakup polip nasal, sinusitis kronik, infeksi sinus rekuren, tumor jinak dan ganas, atau manajemen prosedur bedah sebelumnya (seperti kebocoran cairan CSF, formasi jaringan sikatriks). Lebih dari 35 juta penduduk Amerika menderita penyakit sinus kronik dan kondisi yang berhubungan dengan apnea tidur obstruktif, GERD dan kistik fibrosis. Sekitar 20 – 30 % pasien dengan poliposis nasal memiliki penyakit saluran napas yang reaktif atau asma. Beberapa pasien sensitif terhadap aspirin (Triad Samter) yang dapat menyebabkan bronkospasme, urtikaria, atau anafilaksis. Penyakit tersebut terjadi oleh karena abnormalitas kaskade asam arakhidonik yang menyebabkan overproduksi leukotrien dan menyebabkan gejala seperti alergi. Penggunaan obat NSAID mencakup ketorolac dihindari pada pasien tersebut, walaupun asetaminofen masih dianggap aman. Pasien dengan triad Samter (polip nasal, asma, intoleransi aspirin) cenderung memiliki asma berat, polip berat, dan perdarahan intraoperatif yang banyak. Pada pasien ini biasanya diberikan steroid sistemik selama 4 – 5 hari untuk mengurangi massa polipoid dan mengurangi perdarahan saat operasi. Pasien OSA juga menjadi suatu masalah oleh karena sulitnya ventilasi menggunakan bag mask dan sensitif terhadap depresi napas dengan narkotik. Pasien ini diberikan sedasi minimal saat induksi dengan menggunakan analgesiaseperti opioid kerja pendek, asetaminofen, dan anestesi lokal. Penggunaan CPAP (Continuous Positive Airway Pressure) dirumah ideal selama fase penyembuhan, tetapi sewaktu operasi penggunaan CPAP dihubungkan dengan kejadian perdarahan postoperatif atau aspirasi darah. Pasien dengan riwayat asma kurang terkontrol perlu diperiksa oleh pulmonologis sebelum operasi. Penggunaan agonis beta 2 oral atau inhalasi preoperatif (albuterol), antikolinergik (ipratropium bromida), antileukotrien (montelukas), kortikosteroid, dan antibiotik mungkin diperlukan. Penggunaan beta bloker intraoperatif ataupun agen beta 1 selektif seperti metoprolol atau



18



esmolol untuk kontrol hipotensi perlu hati-hati oleh karena kecenderungan terjadi bronkospasme. Pasien dengan infeksi dan proses inflamasi aktif juga diberikan semprot nasal dekongestan seperti oxymetazoline, kontrol hipertensi preoperatif untuk meminimalisir vasokongesti yang dapat menurunkan risiko kehilangan darah intraoperatif. 2. Kardiovaskular Asesmen kardiovaskular mencakup anamnesis riwayat untuk menentukan toleransi olahraga fungsional dan adanya gejala sewaktu beraktivitas. Gejala seperti dispnea, nyeri dada, palpitasi, atau pusing setelah naik tangga atau sewaktu istirahat memberikan petunjuk untuk dilakukan pemeriksaan kardiovaskular lanjutan seperti EKG, ekokardiogram, tes stres atau angiografi koroner. Pasien dengan OSA diasosiasikan dengan hipertensi pulmoner dan hipertrofi ventrikular kanan yang dapat didiagnosa dengan EKG 12 leadatau ekokardiografi. Pasien dengan riwayat penyakit arteri koroner atau aritmia jantung tidak dapat diberikan vasokonstriktor lokal seperti kokain atau epinefrin. Pasien dengan pengobatan antiplatelet atau antikoagulan perlu dihentikan sementara sebelum operasi. Bila pasien pernah dilakukan pemasangan stent koroner, penghentian pengobatan tersebut perlu dikoordinasi dengan kardiologis. 3. Endokrin Walaupun penggunaan steroid kronis umum pada pasien yang akan menjalani FESS dan efeknya sebagai terapi sinusitis kronik masih kontroversial, steroid preoperatif telah dibuktikan memperbaiki kondisi operasi oleh karena efek antiinflamasi dan antiedema pada pasien rinosinusitis. Sebagai tambahan, peran steroid sebagai antiemetik juga membantu. Secara umum, insufisiensi pituitari adrenal tidak menjadi masalah selama pasien tetap mengonsumsi dosis pemeliharaan



preoperatif



masaintraoperatif.



atau



diberikan



dosis



intravena



selama



19



2.2.3 Pertimbangan Intraoperatif 2.2.3.1 Perspektif Otolaringologis Teknik anestesi hipotensi penting pada pembedahan sinus endoskopi sebagai manajemen penyakit inflamatori dan neoplastik. Hanya sinus-sinus yang menunjukkan patologi yang akan dioperasi. Secra umum sinus normal pada CT scan preoperatif tidak akan dibuka untuk menghindari pasien dari risiko yang bisa dicegah. Kontrol kehilangan darah intraoperatif ditatalaksana menggunakan teknik anestesi; tetapi vasokonstriksi topikal penting untuk menjadi lapangan operasi tetap kering dan memungkinkan untuk diseksi pada dasar tengkorak dan orbit medial. Faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu derajat inflamasi pada kavitas. Pembedahan sinus tipikal dimulai dari anstrostomi maksila. Sinus maksila dibersihkan dan atap dari sinus diidentifikasi sebagai penanda operasi agar tidak terjadi entri intrakranial sewaktu diseksi kavitas ethmoid. Bila operator mendiseksi pada level atap sinus maksila menuju kavita ethmoid, kemungkinan kebocoran cairan otak akan berkurang. Setelah sinus maksila dibuka, sinus ethmoid didiseksi pada arah anterior ke posterior menuju sinus sphenoid. Dasar tengkorak diidentifikasi pada kavitas ethmoid posterior atau sinus sphenoid dan kemudian dilakukan diseksi dari arah posterior ke anterior sepanjang atap kavitas ethmoid. Tujuan arah diseksi ini oleh karena dasar tengkorak berada pada titik terendah pada bagian posterior di kavitas ethmoid atau sinus sphenoid, dan identifikasi titik terendah mengurangi risiko kebocoran cairan otak. Pembuangan semua septa tulang dalam kavitas ethmoid penting untuk memaksimalkan hasil operasi dan meminimalisir formasi mukosel. Sinus sphenoid dibuka terdapat masalah, oleh karena arteri karotid atau nervus optikus berada pada dinding lateral sinus. Sinus frontal merupakan sinus yang terakhir dibuka dan paling sulit oleh karena identifikasi dinding orbital medial dan dasar tengkorak diperlukan untuk identifikasi ostrium frontal. Sebagian besar prosedur pada kavitas nasal dan sinus paranasal menggunakan pendekatan endoskopis. Ada beberapa pengecualian dimana akses eksternal menuju sinus maksilaris dengan pendekatan Caldwell-Luc atau sinus frontal menggunakan trepinasi atau flap resesor osteoplastik.



20



2.2.3.2 Perspektif Anestesiologis 1. Teknik anestesi Pada pasien yang akan menjalani FESS, anestesia umum lebih dipilih pada pasien yang akan menjalani prosedur yang lebih kompleks dan agresif untuk menjaga saluran napas dan lapangan operasi yang tidak goyang. Prosedur yang dimaksud seperti operasi pada penyakit sinus ekstensif, polip besar, atau ketika curiga hiperreaktivitas saluran napas akibat darah. Anestesi umum dimulai dengan pemasangan ETT dan pemberian lidokain topikal pada pita suara dan trakea sewaktu laringoskopi untuk mengurangi reaktivitas. Paket tenggorokan intraoperatif dapat digunakan, dan paket nasal postoperatif diberikan untuk meminimalisir risiko larygospasme akibat darah setelah ekstubasi. Relaksan otot tidak perlu digunakan pada operasi ini; satu agen inhalasi tunggal dapat digunakan. Perlu diperhatikan kemungkinan terjadi disritmia jantung sewaktu diberikan epinefrin untuk infiltrasi dengan anestesi halogen. Akan tetapi, mayoritas prosedur FESS dilakukan pada pasien rawat jalan, dan penyembuhan cepat menjadi tujuan utama dari manajemen anestesi (Sim, 2013; Terrell, 2007).



21



Gambar 2.6 Algoritma tatalaksana anestesiologis pada pasien yang menjalani FESS (Terrel, 2007) 2. Pertimbangan umum Seperti yang telah disinggung sebelumnya, tujuan utama pencapaian anestesi pada FESS adalah meminimalisir perdarahan intraoperatif. Oleh karena ruang kerja operasi yang sempit pada hidung dan sinus, sedikit perdarahan saja dapat secara signifikan mengganggu visibilitas operasi. Walaupun penyebab perdarahan intraoperatif biasanya multifaktorial, terdapat beberapa teknik yang efektif diimplementasikan sewaktu perioperatif untuk mengurangi perdarahan dan inflamasi. Perdarahan intraoperative disebabkan oleh intensitas aliran darah yang melalui pembuluh darah besar dan kapiler didalam kavitas nasal.



22



Intensitas ini bergantung pada MAP dan tekanan vena regional atau sentral. Hipotensi “terkontrol” telah menjadi teknik anestesi yang dipakai untuk mengurangi kehilangan darah dan memperbaiki visualisasi lapangan operasi. Walaupun selama ini MAP 50 mmHg atau 30% penurunan dari MAP awal masih aman bagi pasien ASA 1, definisi dari hipotensi terkontrol tidak memberikan suatu angka pasti pada tekanan darah. Hipotensi terkontrol bervariasi pada masing-masing individu dan level dari hipotensi tidak dapat ditentukan sebelum induksi, tetapi disetarakan sampai efek yang diinginkan tercapai (seperti lapangan operasi yang kering dan tidak berdarah). Risiko untuk mencapai efek tersebut perlu dipertimbangkan dengan kebutuhan aliran darah ke serebral dan koroner. MAP adalah produk dari resistensi vaskular sistemik (SVR) dan cardiac output (CO): MAP = SVR x CO Walaupun terjadi reduksi pada salah satu SVR, CO atau keduanya dapat memberikan MAP yang rendah, intervensi untuk menurunkan CO dibuktikan lebih efektif untuk memperbaiki kondisi pembedahan dibandingkan intervensi untuk menurunkan SVR. Reduksi dari SVR dapat dicapai dengan pemberian agen vasodilator seperti calcium channel blocker, nitrat, dan anestesi inhalasi poten. Blokade dari reseptor adrenergik alfa juga dapat diberikan seperti labetalol, hidralazin, atau fentolamin. Reduksi dari SVR tidak memberikan hasil yang diinginkan walaupun hipotensi terkontrol telah tercapai (MAP < 50 mmHg), dan terdapat bukti yang menunjukkan vasodilatasi dapat memperparah perdarahan dan menyebabkan peningkatan aliran darah kapiler. CO bergantung pada preload, afterload, kontraktilitas jantung, denyut jantung, dan ritme jantung. Beta bloker mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas, dan terdapat bukti bahwa terdapat korelasi antara bradikardi dan lapangan operasi yang baik. Kondisi pembedahan optimal dicapai pada MAP yang lebih tinggi (MAP > 65 mmHg) dimana beta bloker diimplementasikan sebagai teknik primer untuk mengurangi CO. Blokadebeta kerja pendek dengan esmolol dibuktikan memberikan kondisi lapangan operasi yang lebih baik dibanding sodium nitroprusside, yang memerlukan MAP 50 – 54 mmHg untuk mencapai



23



kondisi optimal. Ini menunjukkan bahwa penurunan CO via reduksi denyut jantung dan kontraktilitas lebih penting dibanding hanya menurunkan tekanan darah sistemik. 3. Medikasi preoperatif Pemberian steroid pada preoperatif untuk mengurangi inflamasi dan edema. Administrasi antibiotik preoperatif tidak memberikan efek yang signifikan pada kondisi operasi. Penghentian medikasi antiplatelet dan antikoagulan dipertimbangkan bersama dengan kardiologis dan evaluasi mendalam mengenai risiko kardiovaskular pada pasien, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit arteri koroner. Vasokonstriksi lokal diinfiltrasi ke dalam sinus nasal untuk mengurangi kongesti mukosal, mengurangi hilangnya darah, dan membantu mencapai hemostasis. Kombinasi dari anestesi lokal juga digunakan sebagai analgesia intraoperatif dan postoperatif. Agen topikal juga diberikan dengan kombinasi teknik infiltrasi. Agen yang umumnya digunakan adalah oxymetazolin,



fenilefrin,



kokain,



dan



epinefrin.



Risiko



penggunaan



vasokontriktor pada mukosa nasal terjadi bila terjadi absorbsi dari obat-obat tersebut. Konsekuensi serius yang pernah dilaporkan seperti hipertensi krisis, bradikardi, takiaritmia tidak stabil, infark miokard, stroke, dan shok kardiogenik. Oleh karena itu, penggunaan obat tersebut perlu diperhatikan pada pasien lansia dengan penyakit jantung berat. Penggunaan fenilefrin atau epinefrin menyebabkan hipertensi akibat agonis alfa dan penggunaan blokade beta juga berbahaya karena meningkatkan afterload jantung. 4. Posisi Elevasi kepala atau posisi Trendelenberg terbalik telah digunakan sebagai teknik untuk mengurangi hilangnya darah dan memperbaiki kondisi pembedahan pada FESS. Elevasi dari kepala minimal 15omenyebabkan pooling vena pada ekstremitas bawah dan menurunkan kongesti dan edema vena sinus. Perlu diingat bahwa pengukuran tekanan darah setinggi jantung tidak menjadi indikator tekanan pada level otak dan Circle of Willis, dimana tekanan jantung



24



bisa lebih rendah. Sebagai tambahan, penurunan dari tekanan darah pada level otak dapat diperparah bila dilakukan hipotensi terkontrol. FESS juga dapat dilakukan dengan kepala dari bed menghadap anestesiologis, atau diputar 90o menjauh, sesuai dengan preferensi operator. Bila kepala dari bed diputar 90o, penggunaan endotracheal tube dan sirkuit ekstensi dapat membantu. 5. Induksi Sebelum induksi, monitor ASA standar (EKG, NIBP, oksimetri, kapnografi) perlu dilakukan. Penggunaan kateter arterial dipertimbangkan sesuai komorbid pasien, durasi operasi atau kemungkinan kehilangan darah dari reseksi neoplastik. Kateter intravena 18 g perifer biasanya cukup sebagai akses vena, dimana estimasi kehilangan darah berkisar 150 ml (risiko rendah) sampai 300 ml atau leibh (risiko tinggi) dan kebutuhan cairan yang minimal, sekitar 3 – 4 ml/kg/jam. Biasanya pasien tidak perlu dilakukan pemasangan kateter urin. Induksi dari anestesi umum biasanya dicapai dengan pemberian propofol (1,5 – 2,5 mg/kg), dimana propofol adalah agen induksi ideal oleh karena efek redistribusi yang cepat dan sebagai anti emetik. Bolus fentanil (2 – 3 mcg/kg) atau remifentanil kerja cepat (1 – 2 mcg/kg) dapat diberikan untuk mengurangi respon hemodinamik sewaktu dilakukan intubasi. Bolus remifentanil lebih dari 2 mcg/kg diasosiasikan dengan kejadian bradikardi, hipotensi atau keduanya. Penggunaan glikopirolat 0,2 mg dapat diberikan sebelum atau bersamaan dengan remifentanil untuk mengurangi kejadian bradikadi, tanpa meningkatkan denyut jantung sewaktu laringoskopi. Alternatif lain, lidokain (1 – 2 mg/kg) dapat diberikan secara intravena sebagai pengganti dosis kecil dari opioid dan propofol juga dapat digunakan untuk mengurangi respon hemodinamik sewaktu intubasi. FESS tidak memerlukan paralisis otot yang signifikan dan dengan menghindari penggunaan agen ini dapat eliminasi risiko blokade residual. Pada banyak kasus, blokade neuromuskular perlu dibalikkan sewaktu darurat.



Terdapat



bukti kontroversional dimana penggunaan neostigmin dan kejadian mual muntah postoperatif meningkat. Intubasi endotracheal tidak wajib memerlukan



25



relaksan otot oleh karena ketakuran penggunaan blokade neuromuskular menyebabkan



paralisis



residual



dan



meningkatkan



risiko



komplikasi



postoperatif dan reintubasi. 6. Manajemen jalan napas Anestesi umum dengan pemasangan endotracheal tube adalah manajemen jalan napas predominan pada FESS. Anestesi topikal pada pita suara saat laringoskopi direk mengurangi risiko laringospasme dan batuk tiba-tiba. Penggunaan tube RAE oral memberikan akses bedah yang lebih mudah dan mengurangi kejadian kinking pada mulut. Akan tetapi kekurangan tube RAE adalah kedalaman dari tube ditentukan oleh diameter internal (ID) pada tube. Rata-rata, ETT oral dapat difiksasi 21 cm pada mulut bagi wanita dan 23 cm bagi pria. Tube RAE memerlukan tube yang lebih besar dari ukuran yang diinginkan (7,5 ID bagi wanita dan 8,5 bagi pria). Penggunaan ukuran tube RAE yang tepat malah terlalu pendek dan meningkatkan risiko ekstubasi intraoperatif. Ekstensi dari kepala (yang menyebabkan ETT terlepas) untuk akses pembedahan dapat meningkatkan ekstubasi tersebut. Penggunaan ID RAE yang besar meningkatkan risiko nyeri tenggorokan dan disfungsi pita suara. Penggunaan laryngeal mask airway (LMA) juga merupakan opsi yang viabel sebagai manajemen jalan napas pada FESS. Perbandingan penggunaan LMA dan ETT telah menunjukkan kejadian kontaminasi dengan menggunakan pemeriksaan fiberoptik postnasal direk. Mengenai kondisi pembedahan dan perdarahan intraoperatif, penggunaan LMA dan ETT dengan propofol dan remifentanil ditemukan membeikan visualisasi yang lebih baik dan mengurangi kehilangan darah pada 15 menit awal operasi. Teori yang berkembang adalah dimana terjadi penurunan produksi katekolamin sewaktu insersi LMA dibandingkan dengan laringoskopi direk dan intubasi serta berkurangnya kongesti vena akibat ventilasi spontan atau ventilasi tekanan positif via LMA. Akan tetapi, 15 menit setelah kondisi pembedahan tercapai, grup dengan ETT memerlukan dosis infus remifentanil yang lebih tinggi. Keuntungan lain seperti



26



kemampuan LMA dilepas sewaktu emergensi lebih lancar (tanpa menimbulkan batuk); walaupun kemampuan ini dapat dicapai dengan bantuan propofol dan remifentanil bila menggunakan ETT. Penggunaan LMA tidak menjaga jalan napas pada kasus regurgitasi, pasien dengan riwayat GERD, obesitas, hernia hiatal, pasien dengan riwayat operasi gaster. 7. Pemeliharaan dari anestesia TIVA adalah teknik pemeliharaan yang dipilih untuk operasi FESS. Secara spesifik, anestesi menggunakan remifentanil dan propofol ditunjukkan memberikan kondisi operasi yang superior dan mengurangi risiko kehilangan darah intraoperatif dibanding kombinasi anestesi volatil dan narkotik standar. Semua teknik terbukti efektif untuk mencapai hipotensi atau MAP dibawah 60 mmHg, tetapi hanya TIVA dengan propofol dan remifentanil sukses untuk mereduksi kehilangan darah, kemungkinan oleh karena efeknya pada kontraktilitas. Remifentanil mengurangi tonus simpatis dan menunjukkan penurunan denyut jantung dan CO secara dose-dependent. Selain itu, farmakokinetik remifentanil yang cepat dieliminasi dari plasma mengurangi kejadian efek residual setelah pemberian agen dihentikan. 8. Pemilihan ventilasi Takikardi dan vasodilatasi dapat terjadi oleh karena hiperkapnia dan hipoventilasi dan dapat memperparah perdarahan serta memperparah kondisi pembedahan sewaktu FESS. Telah diketahui bahwa hipokapni ringan atau hiperventilasi dapat menginduksi vasokonstriksi pada sinus nasal dan mengurangi perdarahan sewaktu operasi. Akan tetapi, prinsip tersebut telah dipelajari dan tidak menunjukkan adanya keuntungan yang signifikan dibandingkan normokapnia atau hiperkapnia. Ada beberapa teori yang menyebutkan penggunaan ventilasi tekanan positif (PPV) meningkatkan tekanan vena sentral yang menyebabkan perdarahan vena.



Oleh karena



penggunaan remifentanil menekan ventilasi pada > 0,05 mcg/kg/min,



27



penggunaan ventilasi tekanan positif tidak dapat dielakkan bila agen ini digunakan. 9. Anestesi regional pada FESS Penggunaan anestesi regional pada pembedahan kepala dan leher adalah suatu konsep dan dapat digunakan bersamaan dengan anestesi umum ataupun sebagai anestesi primer dengan sedasi pada beberapa pasien yang terpilih. Ada tiga kategori utama teknik anestesi regional: infiltrasi lokal, blok lapangan (field block) dan blok nervus. Teknik infiltrasi lokal menganestesi ujung saraf terminal. Teknik ini diindikasikan bila hendak menganestesikan area kecil tertentu. Teknik ini dilakukan langsung pada area yang akan dilakukan pembedahan. Teknik blok lapangan menganestesi cabang saraf terminal pada area tertentu. Area yang akan dilakukan pembedahan sedikit distal dari lokasi injeksi. Efek dari anestesi lokal pada apeks dari gigi hanya terbatas pada anestesi pulpa dan jaringan lunak. Teknik blok saraf menganestesi cabang utama dari nervus tertentu dan dapat digunakan untuk pembedahan regio yang diinervasi pada nervus tersebut. Kelebihan penggunaan teknik blok saraf spesifik pada operasi sinus endoskopis mencakup berkurangnya nyeri intraoperatif dan postoperatif dan reduksi dari penggunaan anestesi umum pada prosedur. Divisi maksila dari nervus trigeminal (V2) menyediakan inervasi sensoris pada bagian tengah wajah, mencakup kelopak mata bawah, bibir atas, sinus maksilaris, kavitas nasal serta palatum lunak dan keras. Secara spesifik, percabangan dari nervus maksilaris, yaitu nervus infraorbital (IO) dan ganglion sphenopalatin (SP) dapat diblok dengan anestesi lokal pada FESS (Ahmed, 2007; Kandarian, 2017; Sim, 2014).



28



Kontraindikasi absolute Neoplasma, AVM, dan patologi lain pada kavitas nasal anterior – ION Neoplasma, AVM, dan patologi lain pada fossa pterygopalatin atau fisura infraorbital – SPG Penolakan pasien



Kontraindikasi relative Riwayat selulitis nasal – ION Diplopia preoperatif akibat kondisi seperti mukosel, oftalmopati tiroid Perlu menilai sensasi setelah operasi (repair lantai orbital) Ketika digabungkan dengan



Hipersensitivitas terhadap anestesi lokal pembedahan kosmetik (blok infraorbital merubah anatomi) Tabel 2.3 Kontraindikasi dilakukan anestesi regional pada FESS. ION = kontraindikasi blok nervus infraorbital, SPG = kontraindikasi blok ganglion sphenopalatin (Sim, 2014) 2.2.4 Pertimbangan postoperatif Tujuan utama anestesiologis pada tindakan FESS adalah mempersingkat waktu rawat pasien di PACU. Pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan pada kepala dan leher, monitoring ketat terhadap obstruksi jalan napas postoperatif dan perdarahan perlu dilakukan untuk mencegah distres respirasi. Insidensi perdarahan postoperatif atau epistaksis sekitar 1 – 1,6 %, dengan kejadian perdarahan berat yang memerlukan transfusi darah lebih sedikit berkisar 0,19%. Kejadian bronkospasme berkisar 1,8% hampir sama dengan kejadian epsitaksis dan kedua kejadian ini dicurigai terjadi bersamaan. Mual muntah postoperatif (PONV) setelah tindakan FESS menjadi masalah oleh karena mual muntah dapat memperparah perdarah postoperatif. Keluhan ini juga memperlama masa rawatan dan terapi tambahan. Kejadian ini bersifat multifaktorial, bisa disebabkan oleh inflamasi saluran napas atas, darah pada gaster, dan penggunaan opioid. Dekompresi gaster sebelum dilakukan ekstubasi dapat meringankan gejala ini. Penghindaran penggunaan anestesi volatile dan penggunaan propofol mengurangi risiko PONV dan penggunaan blok



29



nervus regional juga mengurangi kebutuhan akan opioid jangka panjang. Steroid dosis tinggi seperti deksamethason (10 – 12 mg) intraoperatif, ondansetron (4 mg) atau droperidol (0,625 – 1,25 mg) diberikan sebagai profilaksis emetik standar. Patch skopolamin dapat digunakan pada pasien risiko tinggi. Nyeri postoperatif bervariasi dari ringan sampai moderat, dengan pendekatan multimodal sering diterapkan. Remifentanil dimetabolisme secara cepat dan tidak memberikan efek analgesia postoperatif. NSAID nonselektif seperti ketorolac dihindari pada FESS karena kerjanya dalam inhibisi tromboksan A2 dan mengurangi agregasi platelet. Bukti menunjukkan bahwa anestesi lokal, NSAID COX-2 atau COX-3 , dan opioid memberikan kontrol nyeri yang sama pada pasien FESS sewaktu digunakan terpisah. Oleh karena itu, pendekatan secara umum yaitu penggunaan anestesi lokal dan blok nervus dengan anestesi jangka panjang seperti bupivacain sebelum operasi, penggunaan analgesik non opioid seperti asetaminofen atau inhibitor COX-2 intraoperatif ataupun segera setelah operasi dan penggunaan opioid jangka panjang seperti fentanil sebagai terapi penyelamat. 2.3



Blok nervus perifer Blok nervus perifer dianggap aman dibanding teknik neuro-aksial. Blok



nervus perifer dapat menjadi tantangan bagi anestesiologi yang kurang berpengalaman, oleh karena markah jaringan lunak dan tulang yang kurang jelas. Adanya alat dengan teknologi yang canggih dapat meningkatkan tingkat kesuksesan blokade dan memaksimalkan kerja obat. Keuntungan dari blok nervus perifer itu sendiri dapat digunakan sebagai alternatif dari analgesik sistemik. Blok ini dapat digunakan ketika opioid sistemik dikontraindikasikan (resiko depresi napas pada anak, pasien dengan nyeri kronis yang menjadi toleran terhadap efek opioid). Blok nervus perifer dilakukan sebagai tambahan pada anestesi umum. Penggunaan blok ini mengurangi kedalaman anestesi umum yang digunakan; penggunaan intubasi atau ventilasi tekanan positif berkurang (pasien dengan anestesia dalam rentan apnoe), penggunaan relaksan otot berkurang, durasi



30



pemulihan berkurang, resiko akibat anestesia dalam berkurang (depresi kardiak, respirasi, metabolik, serta CNS)(Ramson, 2012). Blok nervus perifer juga tidak menyebabkan instabilitas hemodinamik, kecuali bila telah terjadi toksisitas anestetik lokal atau injeksi intravaskular, berbeda pada agen anestesi umum yang terkenal menyebabkan respon berlebih terutama selama induksi, intubasi, dan ekstubasi.



Depresi napas akibat opiat



memperpanjang ventilasi postoperatif. Bupivacain, pada sisi lain, menstimulasi pusat respirasi secara langsung dan menurunkan durasi ventilasi post operatif dan otomatis menurunkan kejadian komplikasi postoperatif pada blok nervus perifer(Ramson, 2012). Agen anestesi umum diimplikasi menyebabkan apoptosis pada sel otak imatur. Sebaliknya, penggunaan blok nervus perifer diteliti memiliki efek neuroprotektif. Kadar beberapa hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon juga rendah pada anestesi regional dibanding anestesia umum. Pada operasi FESS, blok nervus perifer dilakukan pada nervus infraorbital dan sphenopalatin (Ramson, 2012). 2.3.1 Blok nervus sphenopalatin Ganglion sphenopalatin atau ganglion pterygopalatin mempersarafi kelenjar lakrimal, sinus paranasal, mukosa kavitas nasal dan faring, gingiva dan membran mukosa pada palatum keras. Ganglion dapat diblok via pendekatan intraoral atau transpalatal. Pada posisi pasien berbaring dan leher ekstensi, foramen palatine mayor diidentifikasi medial dari garis gusi pada molar kedua atau ketiga pada bagian posterior dari palatum keras. Ekspos dibantu dengan laryngoskop lengkung. Sewaktu aspirasi, jarum panjang 25 G 1,5 inchi digunakan dan memasuki foramen dengan sudut 45o pada trajektori superior dan sedikit posterior. Setelah dilakukan aspirasi negatif, 1,5 – 2,0 ml lidokain dengan campuran 1:100.000 epinefrin diinjeksikan. Regio ini memiliki tingkat vaskularisasi yang tinggi dengan tingkat absorpsi sistemik yang minimal. Sebagai tambahan, penggunaan vasokontriktor turut memberikan kontribusi lapangan operasi yang visuabel. Teknik ini diasosiasikan dengan komplikasi seperti injeksi



31



intravaskular, cedera nervus infraorbital, atau diplopia transien (Kandarian, 2017; Sim, 2014).



(a)



(b)



Gambar 2.7 (a) pendekatan transnasal pada blok nervus sphenopalatin (b) blok nervus sphenopalatin (Kandarian, 2017) 2.3.2 Blok nervus infraorbital Nervus infraorbital memberikan sensasi pada pipi, bibir atas, kelopak mata, dan aspek lateral dari hidung. Nervus infraorbital keluar melalui foramen infraorbital sekitar 1 cm dibawah batas inferior orbital, dapat dipalpasi dengan jari, sepanjang garis vertikal dari limbus medial mata. Lekukan infraorbital dapat dipalpasi dengan jari tangan menyusuri batas orbital inferior. Blok ini dapat dilakukan secara intraoral atau transnasal. Teknik transnasal dilakukan dengan meletakkan jari telunjuk tangan nondomoninan pada foramen infraorbital. Jarum panjang 25 g 1,5 inchi diposisikan melalui nares ipsilateral. Sewaktu aspirasi, jarum dimajukan ke arah jari yang menandai posisi foramen, dan 2 ml dari 0,5 – 0,75% bupivacain diinjeksikan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, teknik ini tidak dapat dilakukan pada pasien dengan patologi seperti neoplasma atau AVM pada kavitas nasal anterior seperti pada septum dan vestibulum nasal. Teknik blok nervus infraorbital dikombinasi dengan blok nervus sphenopalatin mengurangi kebutuhan opiat dan penggunaan post anestesi (Kandarian, 2017; Sim, 2014). Indikasi dari teknik infraorbital adalah penutupan luka, analgesia, anestesi saat debridemen, dan kontraindikasi anestesi umum. Kontraindikasi dari teknik



32



infraorbital adalah alergi terhadap obat anestesi, adanya infeksi pada lokasi injeksi, distorsi anatomi, dan pasien tidak kooperatif. Penggunaan agen anestesi lokal dengan struktur kimia yang sama, yang tediri dari cincin aromatik, dihubungkan dengan rantai intermediat dengan segmen amino hidrofilik. Rantai intermediat antara segmen aromatik dan hidrofilik adalah ester atau amida. Perbedaan struktur kimia ini menentukan cara agen dimetabolisme dalam tubuh dan potensi alergi yang ditimbulkan. Seperti contoh, amino amid dimetabolisme pada hepar, sedangkan amino ester dimetabolisme dalam plasma via pseudokholinesterase. Hidrolisis dari komponen amino ester ini menghasilkan asam para-aminobenzoik (PABA), yang dikenal sebagai alergen sebagai metabolit intermediat. Amino ester secara signifikan menyebabkan reaksi alergi dibanding amino amid. Amino ester yang sering digunakan mencakup tetrakain, prokain, khloroprocain, kokain, dan benzokain. Grup amino ester mencakup lidokain, bupivakain, mepivakain, prilokain, dan etidokain. Methemoglobinemia dapat terjadi pada penggunaan agen-agen tersebut, tetapi jarang signifikan. Blok nervus infraorbital memerlukan 1-3 mL agen anestesi. Lidokain (Xylocaine) adalah agen yang paling sering digunakan dengan onset obat sekitar 4-6 menit dan durasi efek sekitar 75 menit. Bupivacaine (Marcaine) adalah agen anestesi lain yang sering digunakan dengan onset obat lebih lama dibanding lidokain dan durasi obat 4-8 kali lebih lama dibanding lidokain. Desain jarum masih menjadi isu kontroversial. Awalnya jarum bevel pendek direkomendasikan karena lebih jarang terjadi cedera penetrasi saraf. Akan tetapi Rice dan McMahon menemukan penggunaan jarum ini malah menyebabkan cedera nervus yang sering dan lebih serius dan memerlukan waktu pemulihan yang lama. Penggunaan adrenalin pada anestesi lokal bertujuan sebagai tester dosis telah menjadi isu yang kontroversial. Ada dua cara yang digunakan untuk mendeteksi injeksi intravaskular secara tak disengaja; darah pada jarum saat aspirasi atau aliran balik spontan terdeteksi; denyut nadi berubah akibat injeksi intravaskular dari adrenalin. Perubahan ECG (amplitudo gelombang T dan perubahan segmen ST >25%) menjadi indikator yang lebih sensiitif. Perubahan



33



amplitudo gelombang T terjadi dahulu, dilanjutkan dengan perubahan denyut nadi dan akhirnya menyebabkan perubahan tekanan darah (Ramson, 2012). Teknik blok infraorbital ada dua macam, yaitu pendekatan intraoral dan pendekatan transnasal. Beberapa langkah yang dilakukan pada pendekatan intraoral adalah (Bryne, 2017): •



Aplikasikan aplikator yang telah diberi dengan anestesi lokal pada mukosa yang berseberangan dengan bikuspid kedua atas (gigi premolar) selama 1 menit







Untuk palpasi foramen infraorbital, pasien diminta untuk melihat ke depan dan bayangkan garis vertikal (sagital) dari pupil turun menuju batas inferior dari area infraorbital







Jari yang melakukan palpasi ditempatkan diatas batas inferior dari area infraorbital







Angkat pipi dan suntikkan jarum pada mukosa yang berseberangan dari bikuspid kedua atas kira-kira 0,5 cm dari permukaan bukal







Jarum disuntikkan secara paralel dengan aksis panjang dari bikuspid kedua sampai jarum terpalpasi dekat dengan foramen (kedalaman sekitar 1,5 – 2,5 cm). Bila jarum masuk terlalu superior dan posterior, jarum dapat menembus orbit







Setelah jarum diposisikan secara benar, dilakukan aspirasi untuk memastikan jarum tidak berada dalam pembuluh darah







Injeksikan 2 – 3 mL larutan anestesi berdekatan foramen







Hati-hati agar tidak menginjeksikan ke dalam foramen (yang dapat menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata bawah) dengan tetap jari yang mempalpasi tetap berada pada batas orbital inferior



34



(a)



(b)



Gambar 2.8 (a) Pendekatan intraoral pada blok nervus infraorbital (b) posisi jari pada saat blok nervus infraorbital dengan pendekatan intraoral (Bryne, 2017) Berikut ini adalah langkah pendekatan ekstraoral (Bryne, 2017): •



Selama teknik ekstraoral, jarum sangat dekat dengan arteri fasial. Oleh karena proksimitas ini, vasokonstriktor sebaiknya dihindari sebagai agen anestesi







Gunakan teknik sebelumnya untuk menentukan foramen infraorbital







Persiapan lokasi penyuntikan dengan menggunakan povidon iodin dan kasa steril







Dengan teknik steril, masukkan jarum melalui kulit, jaringan subkutan dan otot quadratus labii superioris







Aspirasi untuk memastikan jarum tidak berada pada pembuluh darah. Arteri dan vena fasial terletak sangat dekat dengan jarum pada posisi ini







Injeksikan larutan anestesi. Jaringan yang terinfiltrasi akan terlihat bengkak







Area dimassase selama 10 – 15 detik.



Komplikasi dari blok nervus infraorbital berupa perdarahan, pembentukan hematoma, reaksi alergi dari agen anestesi, infeksi, injeksi tidak disengaja pada arteri atau vena, gagal anestesi, kerusakan saraf, dan pembengkakan kelopak mata. Laserasi pada nervus, dapat terjadi sewaktu blok saraf. Indikasi klinis dari laserasi nervus dapat mencakup paresthesia, sensasi nyeri tajam, dan nyeri berlebih sewaktu insersi jarum. Paresthesia dari nervus infraorbital ditandai dengan sensasi nyeri yang tajam pada bibir atas, nasal ala, dan gigi atas. Bila jarum dicurigai telah masuk dan menyebabkan laserasi nervus, jarum wajib dikeluarkan secara perlahan-lahan 1 – 2 mm sampai paresthesia tidak lagi



35



dikeluhkan. Jarum tidak boleh dimasukkan kembali, dipindahkan lateral, atau dimasukkan kedalam foramen karena manuver ini akan meningkatkan resiko laserasi nervus. Walaupun gejala disesthesia mungkin bertahan selama beberapa waktu, pada kebanyakan pasien, nervus mengalami regenerasi dan sensasi kembali normal seiring waktu. (Bryne, 2017; Gmyrek, 2015)



Gambar 2.9 Pendekatan transnasal pada blok nervus infraorbital dan anatomi terkait yang menunjukkan efek distribusi anestesi dengan blok infraorbital (Sim, 2014) Dengan meningkatnya frekuensi otolaryngologis menggunakan bantuan pencitraan CT selama operasi FESS, deposisi oleh anestesi lokal sewaktu blok nervus infraorbital dapat mengganggu sistem registrasi



oleh karena proses



tersebut mengandalkan kedalaman dan topografi kulit wajah sebagai kalibrasi dan identifikasi pasien dengan tepat. Sebagai tambahan, blok sphenopalatin memerlukan kemampuan untuk mengekstensikan kepala pasien dan visualisasi palatum. Manuver ini dapat mengganggu band yang diletakkan di dahi pasien. Sehingga blok sphenopalatin direkomendasikan untuk dilakukan sebelum menggunakan CT dan blok infraorbital dilakukan setelah registrasi (Kandarian, 2017; Sim, 2014).



36



2.4



Anestesi regional Anestesi regional memblokade transmisi neuronal yang reversibel dan



lengkap ketika diberikan dekat akson. Aplikasi dari anestesi ini menginterupsi konduksi impuls saraf sehingga sensasi pada area yang diinervasi hilang dan juga memblok motorik. Penggunaan lokal anestesi pertama oleh Carl Koller pada tahun 1884 menggunakan kokain untuk anestesi mata dengan aplikasi topikal. Molekul anestesi lokal ini terdiri dari tiga bentuk: cincin aromatik hidrofobik, amino tertiar hidrofilik dan rantai intermediat yang menghubungkan keduanya. Ikatan kimia antara rantai intermediata dan cincin aromatik membagi anestesi lokal dalam dua kelompok yaitu “ester” dan “amid” bergantung pada rantai hidrokarbon diikat ke cincin ester atau amid. Tipe ikatan ini penting untuk menentukan bagaimana anestesi lokal dimetabolisme. Kelompok amid lebih stabil dan risiko alergi yang rendah dibanding ester (Aguirre, 2012; Datta, 2010).



Gambar 2.10 Struktur molekul anestesi ester dan amide. Dengan eksitasi elektrik dari neuron, stimulus berdepolarisasi pada akson. Perubahan stimulus signifikan dari – 70 mV menjadi – 55 mV diperlukan untuk terjadi depolarisasi sempurna: kanal sodium pada membran teraktivasi dan ion Na+ masuk ke dalam sesuai dengan gradasi elektrokimia. Influks dari kation mengubah potensial membran menjadi +35mV. Molekul anestesi lokal melewati membran sel dan blok kanal sodium dari dalam sel. Na+ tidak dapat masuk dan kanal sodium tidak terbuka saat distimulasi (periode refraktori).



Kanal Na+



berubah menjadi resting state. Pada kondisi ini, tidak terjadi perpindahan ion Na+,



37



tetapi dengan stimulus yang cukup kuat akan membalikkan kondisi kanal seperti semula. Anestesi lokal ini tidak mengikat pada reseptor klasik, melainkan pada tempat pengikatan khusus pada kanal sodium dekat dengan pintu intraselular. Pada satu bagian dengan regio hidropfobik akan diikat oleh bagian hidrofobik dari molekul anestesi, pada bagian dengan regio hidrofilik akan diikat oleh amino quaternary (Aguirre, 2012; Datta, 2010). Secara umum, nervus memiliki pembuluh darah dual. Sistem ekstrinsik berlokasi pada epineurium, non-nutrisi dan respon terhadap stimulasi adrenergik. Kebalikannya, sistem intrinsik berlokasi dalam perineurium yang kaya nutrisi dan reseptor adrenergik minimal. Mereka tidak memiliki otot polos dan kurang dapat meregulasi aliran darah intrafasikular. Nervus perifer disuplai oleh vaskular ekstensif dimana kapiler endoneurial memiliki tight junction, sebuah analogi perifer dari blood brain barrier (Vadhanan, 2015).



Gambar 2.11 Diagram intraneural (Vadhanan, 2015)



2. 3.1 Farmakodinamik dan fisiokimia dari anestesi lokal Potensi adalah konsentrasi minimal dari anestesi lokal yang diperlukan untuk blokade neural. Solubilitas lipid berkorelasi dengan potensi dari anestesi lokal. Semakin cepat suatu nervus distimulasi, semakin rendah konsentrasi dari anestesi lokal yang diperlukan untuk memblok nervus. Observasi ini disebut blok fasik atau blok rate-dependent. Blok fasik lebih sering terjadi pada anestesi lokal hidrofobik (poten). Anestesi hidrofobik memiliki affinitas ikatan yang lebih kuat



38



dan hal ini menjelaskan mengapa anestesi hidrofobik lokal lebih kardiotoksik dibanding anestesi hidrofilik lokal (Aguirre, 2012; Datta, 2010). Karakteristik blokade anestesi lokal juga bervariasi berdasarkan tipe akson. Pada akson yang tidak bermyelin, konsentrasi anestesi lokal yang diperlukan berkurang seiring semakin panjang saraf yang terekspos anestesi. Umumnya anestesi lokal merupakan basa lemah (pKa = 7,6 – 9,0) yang disediakan dalam cairan asam dengna pH berkisar 4 – 5. pKa menentukan pH dimana setengah dari obat terionisasi dan setengah lain tidak terionisasi (basa). Bentuk non-ionisasi



mempenetrasi



membran



saraf,



sementara



bentuk



ionisasi



mengikatkan diri dengan protein pada bagian intraselular kanal sodium. Agen dengan nilai pKa paling dekat dengan pH tubuh lebih jarang terprotonasi dan agen tetap pada bentuk dasarnya. Bentuk ini lebih tidak polar dan lebih mudah terdifusi melewati membran saraf, dan blokade dengan onset cepat. Walaupun bentak dasar penting bagi difusi melewati membran saraf, bentuk terionisasi lebih mengikat pada kanal sodium intraseluler. Sehingga kedua bentuk anestesi lokal penting bagi blokade neural. Sodium bikarbonat dapat ditambahkan pada larutan anestesi lokal untuk meningkatkan kadar pH larutan dan meningkatkan bentuk non-ionisasi (Aguirre, 2012; Datta, 2010). Bentuk terionisasi pada anestesi lokal lebih hidrofilik dari bentuk nonionisasi. Hidrofobisitas berkolerasi dengan potensi dan durasi kerja obat; semakin hidrofobik suatu agen, semakin poten agen obat tersebut. Hidrofobisitas memfasilitasi penetrasi obat kedalam membran sel neuronal, yang mempercepat pengikatan anestesi lokal pada bagian intraselular dari kanal sodium. Karakteristik penting lain yang mempengaruhi durasi kerja obat anestesi lokal yaitu derajat pengikatan protein (tipikal pada albumin – kapasitas tinggi dengan affinitas rendah dan α-1-acid-glikoprotein – kapasitas rendah dengan affinitas tinggi). Pengikatan pada protein plasma bervariasi. Secara umum, makin hidrofobik obat anestesi semakin kuat pengikatan protein plasma. Pengikatan protein serum juga mencegah terjadi toksisitas obat oleh karena hanya fraksi anestesi lokal bebas (tidak terikat protein) yang dapat menginduksi toksisitas. Akan tetapi, setelah serum protein tersaturasi, pemberian tambahan anestesi lokal dapat menyebabkan



39



toksisitas. Pengikatan pada protein plasma bergantung pada kadar pH: ikatan berkurang selama asidosis dikarenakan berkurangnya tempat pengikatan pada lingkungan asam (Aguirre, 2012; Datta, 2010). Anestesi lokal ester dimetabolisme oleh kholiesterasi plasma ubiquitous (pseudokholinesterase). Enzim ini disintesa oleh hepar dan ditemukan pada sistem vaskular dan sistem CSF. Oleh karena distribusi enzim yang luas, metabolisme obat golongan ester cepat terjadi. Sebaliknya, anestesi lokal golongan amid dimetabolisme pada hepar dan memiliki waktu paruh yang lebih Panjang (Aguirre, 2012;Datta, 2010). 2. 3.2 Farmakologi klinis anestesi lokal Ada beberapa faktor yang menentukan kualitas blok. Onset blok ditentukan berdasarkan proksimitas dari anestesi lokal yang diinjeksikan ke nervus; semakin dekat dengan saraf, semakin pendek waktu yang dibutuhkan obat untuk difusi kedalam saraf. Dosis total anestesi lokal bukan volume atau konsentrasi menentukan onset, durasi, dan intensitas dari blok saraf. Pemilihan anestesi lokal juga krusial dimana agen hidrofobik lebih cenderung berikatan pada jaringan ikat hidrofobik dibandingkan dengan obat hidrofilik. Ini menjelaskan mengapa anestesi lokal hidrofobik memiliki onset yang lambat walaupun potensi obat kuat (Aguirre, 2012; Datta, 2010). Faktor yang mempengaruhi durasi blok adalah kecepatan klirens dari anestesi lokal. Anestesi lokal hidrofobik memiliki kecepetan klirens yang lebih lama dibanding anestesi lokal hidrofilik. Selain itu, komponen hidrofobik memiliki potensi yang lebih besar. Kedua faktor tersebut yang membuat blok menjadi tahan lama. Selain itu, anestesi lokal menunjukkan efek vaskular yang bervariasi. Vasokontriksi akan mengurangi klirens akibat terganggunya transpor dari situs injeksi. Dosis juga mempeengaruhi durasi obat: semakin besar dosis yang diberikan akan memberikan efek blok yang lebih lama dibanding dosis rendah. Hal ini disebabkan oleh perlunya waktu yang lebih lama untuk klirens dosis yang tinggi (Aguirre, 2012; Datta, 2010).



40



Lipofilistas berkolerasi dengan potensi blok: semakin lipid soluble suatu agen anestesi, semakin poten obat tersebut. Lipofilisitas memfasilitasi penetrasi melalui membran sel dan mempercepat pengikatan anestesi lokal pada lokasi pengikatan kanal Na+ intraselular (Aguirre, 2012; Datta, 2010). 2. 3.3 Bupivacain Bupivacain adalah anestesi lokal amida kerja panjang pertama. Struktur kimia bupivacain lebih hidrofobik dibandingkan mepivacain dan lidocain, onset lebih lama tetapi durasi lebih panjang. Bupivacain terikat pada protein, yang konsisten dengan durasi yang panjang dan berpotensi menjadi kardiotoksisitas. Kardiotoksisitas dari bupivacain yang mendorong penemuan ropivacain dan Lbupivacain. Bupivacain populer pada aplikasi yang luas, mencakup infiltrasi (0,25%), blok nervus perifer (0,375 – 0,5%), spinal (0,5 – 0,75%), dan epidural (0,5 – 0,75%). Oleh karena toksisitas sistemik, bupivacain tidak digunakan sebagai anestesia regional IV. Bupivacain memiliki indeks terapi yang rendah, agen ini terabsorbsi secara lambat ke dalam plasma dan konsentrasi plasma puncak 40% lebih rendah dibanding lidocain. Konsentrasi bupivacain bervariasi dari 0,05% (infus kontinu epidural sebagai analgesia persalinan dan manajemen nyeri akut) sampai 0,5% (anestesia spinal dan blok nervus perifer). Blok nervus perifer memberikan blok sensori selama 4 – 12 jam, bahkan sampai 24 jam. Levobupivacain dan ropivacain adalah dua anestesi lokal terbaru dikembangkan setelah beberapa kejadian kejang berulang dan henti jantung setelah resusistasi setelah injeksi bupivacain intravaskular secara tidak sengaja. Oleh karena struktur tiga dimensi, molekul anestesi ini memiliki stereospesifisitas, dengan dua molekul enantiomer dapat muncul pada dua konfigurasi spasial yang berbeda, seperti tangan kiri dan kanan. Molekul dari anestesi lokal ini memiliki atom karbon asimetris yang terikat pada empat substitusi yang berbeda. Struktur dari komponen ini disebut chiral. Enantiomer sangat aktif secara optis, dan dapat dibedakan berdasarkan efek dari rotasi cahaya terpolarisasi menjadi stereoisomer dekstrorotasi (rotasi searah jarum jam – R+) atau levorotasi (rotasi berlawanan jarum jam – S–). Larutan dairi bupivacain mengandung kadar enantiomer yang



41



sama dan disebut larutan rasemik, dan perkembangan teknologi memungkin produksi dari larutan yang hanya mengandung satu enantiomer yang murni. Fisiokimia dari molekul enantiomer in hampir sama, tetapi dua enantiomer ini memiliki sifat yang berbeda dalam hal afiinitas. Enantiomer R– dan S– memiliki afinitas yang berbeda pada tiap kanal sodium, potasium dan kalsium, dan hal ini mengurangi kejadian toksisitas sistem saraf pusat dan kardiak secara signifikan pada enantiomer S– dibandingkan enantiomer R–.



Tabel 2.4 Fisiokimia dan farmakokinetik dari tiga anestesi lokal kerja panjang (Leone, 2008) Toksisitas sistem saraf pusat dapat terjadi akibat injeksi intravaskulat atau intrathecal secara tidak sengaja, atau pemberian dosis yang berlebih. Gejala pertama yang muncul biasanya bersifat eksitatori dan mencakup menggigil, twitching otot dan tremor. Seiring meningkatnya dosis, alur eksitatori diblok dan gejala eksitasi CNS diikuti dengan gejala depresi CNS generalisata dengan tanda berupa hipoventilasi dan henti napas, dan kemudian diikuti konvulsi general. Pada studi dengan menggunakan hewan coba, bupivacaine diteliti memiliki 1,5 – 2,5 kali lipat threshold yang lebih rendah dibanding levobupivacaine dan ropivacaine. Gejala awal toksisitas kardiak biasanya bersamaan dengan fase eksitatori CNS dengan aktivasi sistem saraf simpatis, yang mana akan menutupi gejala depresi miokard. Akan tetapi, dengan peningkatan konsentrasi obat pada stadium ini akan diikuti dengan aritmia dan depresi jantung yang akan mengakibatkan kolaps kardiovaskular. Ketiga anestesi lokal ini menunjukkan efek prolongasi dari konduksi jantung yang dose-dependent, dimana terjadi pemanjangan interval PR



42



dan durasi QRS yang diakibatkan oleh blok kanal sodium persisten pada diastol dan memicu aritmia re-entry. Inhibisi dari kontraktilitas jantung juga proposional terhadap solubilitas lipid dan potensi blok nervus dari anestesi lokal, dan bila diurutkan berdasarkan potensi kardiotoksik dari rendah ke tinggi, ropivacain diikuti oleh S– bupivacain diikuti oleh bupivacain rasemik dan bupivacain R+. Pada blok nervus periferal, ropivacain menunjukkan efek yang sama seperti bupivacaine rasemik dan levobupivacain ketika digunakan pada dosis dan konsentrasi yang sama, sebaliknya dengan dosis ropivacaine yang meninggi pada 0,75 – 1%, mempercepat onset dan memperpanjang durasi kerja obat dibanding dua agen lainnya (Leone, 2008). Obat



Efek samping



Dosis



Lama kerja obat



Epinefrin



Neurotoksisitas



5 – 10 mcg/mL



1 jam



vasokonstriksi Clonidine



Sedasi, bradikardi, 0,5 mcg/kg, maks 200 menit hipotensi



150 mcg



Dexmedetomidine



Bradikardi, sedasi



100 µg



1,5 – 8 jam



Buprenorphine



PONV



3 mcg/kg



6 – 9 jam



Dexamethasone



paresthesia



0,1 mg/kg



3 – 10 jam



Tramadol



Sedasi, PONV



Efek prolongasi analgesia sedikit/tidak ada



Midazolam



Neurotoksisitas,



Tidak disetujui FDA



sedasi Tabel 2.5 Obat adjuvan untuk blok nervus perifer (Kirksey, 2015) 2. 3.4 Deksamethason sebagai adjuvan Penggunaan teknik blok nervus perifer sebagai anestesi lokal dan manajemen nyeri postoperatif telah meningkat secara signifikan dengan ditemukannya teknik bantuan ultrasound. Beberapa penelitian dan meta analisis telah mempertimbangkan pro dan kontra pemberian adjuvan yang dianggap berpotensial meningkatkan kerja anestesi lokal pada blokade saraf perifer.



43



Beberapa teori tentang peranan deksamethason sebagai adjuvan anestesi. Deksamethason mengurangi transmisi stimulus pada serabut saraf-c nosiseptif dengan inhibisi kanal potassium pada saraf. Hal ini akan mengurangi impuls nyeri yang dirasakan pasien. Teori kedua dimana deksamethason menyebabkan vasokonstriksi jaringan dan uptake serta absorbsi anestesi lokal oleh vaskular melambat sehingga durasi obat lebih panjang. Teori ketiga dimana efek deksamethason sebagai anti inflamasi menghambat mediator inflamasi seperti interleukin dan sitokin sehingga menurunkan stimulus nyeri (Olivier, 2015). Beberapa penelitian seperti yang diakukan Choi (2014) membuktikan bahwa penggunaan deksamethason sebagai adjuvan memperpanjang blok pleksus brakhial dari 730 menit menjadi 1306 menit pada anestesi lokal jangka panjang dan 168 menit menjadi 343 menit pada anestesi jangka intermediat. Deksamethason dianggap dapat mengurangi mediator inflamasi, menurunkan keluarnya neuronal ektopik, dan inhibisi kanal potassium pada C-fibre nosiseptif. Beberapa studi lain juga meneliti mengenai deksamethasone setelah studi ini. Durasi blok pleksus brakhialis dengan lidokain dan epinefrin diperpanjang menjadi dua kali lipat dengan penambahan deksamethason pada studi pasien yang menjalani pembedahan elektif pada tangan, telapak dan siku. Mekanisme prolongasi blokade nervus perifer oleh deksamethason belum diketahui secara pasti. Efek prolongasi ini berhubungan dengan efek anti inflamasi dari glukokortikoid dimana derajat prolongasi blok meningkat seiring dengan meningkatnya potensi glukokortikoid dan efek ini dapat dibalik dengan pemberian antagonis reseptor glukortikoid. Efek dari reseptor glukokortikoid dicurigai merubah fungsi kanal ion atau menyebabkan asidosis lokal pada sel saraf sehingga konsentrasi anestesi lokal yang diperlukan untuk menghambat konduksi menurun atau dengan mengurung molekul bupivacain yang terionisasi didalam sel neuron (Biradar, 2013). Waktu untuk permintaan analgesik pertama setelah operasi blok transversus abdominis plane (TAP) menggunakan bupivacain pada histerektomi diperpanjang berkisar satu jam dengan penambahan deksamethason. Penurunan kejadian PONV juga dibuktikan dengan pemberian dekstamethason sewaktu blok TAP untuk operasi histerektomi. Steroid topikal memiliki efek



44



vasokonstriksi dan aktivitas antialergik pada reseptor spesifik glukokortikoid (Ammar,



2012).



Rasmussen



(2013)



juga



menemukan



penambahan



deksamethason memperpanjang kerja ropivacaine pada blok nervus perifer pada ekstremitas bawah dengan median sekitar 37 %. Penggunaan deksamethason sistemik ditunjukkan mensupresi reaktivitas imun neuropeptida pada nervus normal. Ketika diaplikasikan langsung ke saraf, deksamethason menyebabkan reduksi dari aliran darah nervus tetapi masih dibawah threshold terjadinya perubahan iskemik dan tidak menyebabkan neuropatologi. Kejadian komplikasi neurologis berat jarang terjadi (0,02 – 0,07%), akan tetapi kejadian cedera transien lebih umum terjadi (0,01 – 0,07%).



Pada studi lain, pasien yang menerima



deksamethason dilaporkan terjadi penurunan nyeri signifikan sewaktu operasi, nyeri postoperatif, dan tingkat kepuasan yang lebih baik. Saritas (2014) juga menemukan prolongasi efek blok pleksus brachial dengan penambahan deksamethason, akan tetapi durasi blok menjadi lebih singkat dibanding grup yang hanya menerima levobupivacaine. Perlu diperhatikan bahwa durasi analgesia dan durasi blok adalah tidak sama dan pengaruh obat deksamethason juga berpengaruh ke sistemik. Fredrickson (2013) menemukan bahwa penurunan rasa nyeri dilaporkan setelah 24 jam pasien diberikan bupivacaine untuk blok skiatik dengan deksametason perineural versus deksametason subkutan/intramuskular. Walaupun belum ada bukti klnis yang meneliti tentang neurotoksisitas, pada studi tikus sebagai hewan coba



menunjukkan



kemungkinan



deksametason



menaikkan



kejadian



neurotoksisitas ropivacaine. Beberapa preparat deksametason mengandung neurotoksin seperti benzyl alkohol, polietilen glikol, dan beberapa materi insolubel. Oleh karena penggunaan deksametason dapat meningkatkan efek neurotoksik, klinisi mempertimbangkan penggunaan deksamethason sistemik dibanding perineural. Dua studi lain menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam durasi analgesi pada blok interskalen dengan ropivacain dan blok nervus skiatik dengan bupivacain dan epinefrin yang dibantu dengan 8 – 10 mg deksamethason secara intravena versus perineural. Akan tetapi, metodologi kedua



45



studi ini masih dipertanyakan apakah cukup adekuat untuk membandingkan kedua rute administrasi (Desmet, 2013; Rahangdale, 2014; Sondekoppam, 2013). Walaupun penggunaan deksamethason secara perineural telah memberikan hasil yang konsisten pada beberapa blok nervus perifer, masih belum jelas apakah efek ini bukan dikarenakan efek sistemik. Pada studi yang dilakukan Liu (2015) mendemonstrasikan pemberian deksamethason memperpanjang analgesia sampai sekitar 10 jam dibandingkan grup kontrol pada operasi bahu menggunakan 0,25% bupivacaine, dan dicapai dengan dosis deksamethason perineural tanpa pengawet bervariasi dari 1 mg, 2 mg, dan 4 mg. Efek pada studi Liu bisa dirancukan dengan pemberian deksamethason IV sebagai antiemetik pada kedua grup. Studi observasional yang dilakukan oleh William (2011) melaporkan reduksi dari durasi analgesia dan elevasi dari nyeri rebound dengan pemberian deksamethason perineural 2 mg (versus 1 mg), dengan dosis 1 – 2 mg dosis deksamethason perineural lebih rendah dari semua dosis yang disebutkan diatas. 2.5



Penilaian Nyeri Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi



nyeri pascabedah yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan. Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien saat ini. 1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat (Larkin, 1999) (European Society of Regional Anaesthesia and Pain Therapy, 2005) (Rawal, 2008) (International Association for the Study of Pain, 2012).



46



Gambar 2.12Wong Baker Faces Pain Rating Scale (Rawal et al, 2008). 2. Verbal Rating Scale (VRS) Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat (Daniel, 1992) (European Society of Regional Anaesthesia and Pain Therapy, 2005) (Rawal, 2008) (Jane, 2008).



Gambar 2.13Verbal Rating Scale (Rawal et al, 2008). 3. Numerical Rating Scale (NRS) Pertama sekali dikemukakan oleh Downie et al pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat (Daniel, 1992) (European Society of Regional Anaesthesia and Pain Therapy, 2005) (Rawal, 2008) (International Association for the Study of Pain, 2012).



Gambar 2.14Numerical Rating Scale (Rawal et al, 2008). 4. Visual Analogue Scale (VAS) Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda



47



tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll et al karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana penggunaannya mudah hanya menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson et al juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat dan digunakan sebagai tanda untuk diberikan analgetik tambahan (Larkin, 1999) (International Association for the Study of Pain, 2012).



Gambar 2.9Visual Analogue Scale(Rawal et al, 2008).



48



2.6



Kerangka Teori



Membran Akson Nodus Ranvier



↓ pKa



↑ molekul nonionisasi



Kanal Na+ istirahat (- 70 mV)



↑ pengikatan protein



↑ hidrofobisitas obat



↑ durasi obat



↑ potensi obat



↑ difusi obat Kanal Na+ terbuka ↑onset obat Area hidrofobik



Area hidrofilik



Aromatik



Anestesi regional (bupivacaine)



Amino



Adjuvan (deksamethason)



Influks Na+ (depolarisasi)



Kanal Na+ tertutup Kanal K+ terbuka (repolarisasi)



Pompa Na/K ATP-ase memompa keluar 3 ion Na+ dan menerima 2 ion K+



vasokonstriksi



Inhibisi kanal K



↓ IL & sitokin



↓ uptake & absorbsi anestesi oleh vaskular



↓ transmisi serabut saraf C nosiseptif



↓ edema & stimulus jaringan



↑ durasi obat



↓ derajat nyeri



↓ stimulus nyeri



Gambar 2.16 Kerangka Teori



49



2.7



Kerangka Konsep Penelitian



Bupivacaine 0,5% VAS dan Lama Nyeri Bupivacaine 0,5% + Dexamethasone Gambar 2.7. Kerangka Konsep Penelitian Variabel independen: kelompok bupivacaine dan kelompok bupivacaine + deksamethason Variabel dependen: tingkat nyeri, lama nyeri



50



BAB 3 METODE PENELITIAN



3.1



Desain Penelitian Desain penelitian adalah simple blind randomized controlled trial.



3.2



Tempat dan Waktu Penelitian



3.2.1 Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Rawat Inap Terpadu, ruang pemulihan dan PACU RSU Haji Medan. 3.2.2 Waktu Penelitian Penelitian dimulai setelah ethical clearance dan izin dari RSU Haji Medan. diterbitkan sampai dengan jumlah sampel terpenuhi. 3.3



Populasi dan Sampel Penelitian



3.3.1 Populasi Penelitian Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang akan menjalani operasi FESS di Ruang Rawat Inap Terpadu, ruang pemulihan dan PACU di RSU Haji Medan. 3.3.2 Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 3.4



Kriteria Inklusi dan Eksklusi



3.4.1 Kriteria Inklusi 1. Pasien yang akan menjalani operasi FESS dan menggunakan teknik anestesi umum disertai anestesi regional berupa blok infraorbita 2. Pasien berusia 19-65 tahun 3. Pasien yang setuju untuk ikut serta dalam penelitian



51



3.4.2 Kriteria Eksklusi 1. Durasi Operasi lebih dari 3 jam 2. Pasien dengan riwayat hipertensi 3. Pasien dengan perdarahan derajat 3 4. Pasien yang alergi dengan dexamethasone dan bupivacaine 3.4.3 Kriteria Putus Uji (Drop Out) 1. Pasien masuk ICU 3.5



Perkiraan Besar Sampel Estimasi besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus



sebagai berikut:



n1 = n2 ³



2s 2 (Z (1-a / 2) + Z (1- b ) )



2



(µ1 - µ 2 )2



Dimana :



Z (1-a / 2 ) = deviat baku alpha. utk a = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96 Z (1- b )= deviat baku alpha. utk b = 0,10 maka nilai baku normalnya 1.282 S d º s = Standar deviasi FASS 1 jam setelah operasi dengan obat bupivacaine sebesar = 3.1 (Kepustakaan)



µ1 - µ 2= beda FASS 1 jam setelah operasi pemberian antara obat bupivacaine 0,5% ditambah normal salinedan bupivacaine 0,5% ditambah dexamethason yang bermakna ditetapkan sebesar = 2 Maka sampel minimal untuk masing-masing kelompok sebanyak 20 orang.



3.6



Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu non-probability



sampling dengan metode consecutive sampling. Consecutive sampling merupakan teknik pemilihan sampel dengan cara semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan dipenuhi.



52



3.7



Bahan 1. Spuit 3cc, 10cc (Terumo) 2. Obat Anestesi Lokal: Bupivakain 0,5% Isobarik (Marcain® 0,5% Hiperbarik, Astra Zeneca). 3. Dexamethasone 5 mg (Dexamethasone) 4. Ketorolac 30 mg (Ketorolac) 5. Fentanyl 50mcg/ml (Fentanyl) 6. Bahan-bahan untuk tindakan aseptik dan antiseptik: betadin, alkohol 70% 7. Obat-obat emergensi: Efedrin 5 mg/ml yang telah disiapkan, Sulfas atropin 0,5 mg yang telah disiapkan, Epinefrin, Aminofilin, dan Deksametason 8. Laringoskop set (macinthos) dan face mask/ sungkup ukuran dewasa dengan alat Endotracheal tube (ETT) no: 7,5, 7 dan 6,5.



3.8



Informed Consent Setelah mendapat persetujuan dari komite etik, pasien mendapatkan



penjelasan tentang prosedur yang akan dijalani serta menyatakan secara tertulis kesediaannya dalam lembar informed consent. 3.9



Cara Kerja 1. Penelitian ini dilakukan setelah mendapat informed consent dan disetujui oleh komisi etik penelitian bidang kesehatan / bagian pendidikan dan pelatihan (Diklat) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan komisi etik RS Haji Medan. 2. Pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap di RS Haji Medan yang akan menjalani operasi FESS dan memenuhi kriteria inklusi akan diminta informed consent 3. Pasien diminta puasa 6-8 jam sebelum operasi



53



4. Di ruang operasi, monitor standar seperti elektrokardiografi (ECG), noninvasive arterial blood pressure (NIBP) dan oksimetri (SpO2) terpasang dengan mean arterial pressure (MAP) terbaca. 5. Pasien terpasang infus normal saline dan diberikan Fentanil 2 µg/kg sebagai analgesia dan menghindari respon intubasi. Anestesi umum diinduksi dengan menggunakan Propofol 1,5 – 2,5 mg/kg dan intubasi trakea dengan Rokuronium 0,4 mg/kg. Pasien diposisikan posisi Anti Trendelenburg 15 derajat untuk menfasilitasi drainase vena. Anestesi dipertahankan dengan kadar oksigen-nitrous oksida (40 – 60%) dan titrasi Propofol 100 – 150 µg/kg/min untuk mempertahankan kadar MAP dalam jangka 60 – 70 mmHg. Bila perlu, infus esmolol dan/atau nitrogliserin diberikan untuk mengontrol MAP. Relaksan otot dipertahankan dengan bolus Rokuronium IV 0,02 mg/kg bila perlu 6. Sesaat sebelum ekstubasi, blok infraorbita dengan teknik trans nasal dilakukan dengan menggunakan bupivacaine 0,5% (1 – 1,5 mg/kg dengan dosis maksimal 100 mg) ditambah normal saline dan bupivacaine 0,5%ditambahdexamethason (0,1 mg/kg) masing-masing pada kelompok B dan B+D menggunakan jarum panjang 25G 1,5 inci yang diposisikan melalui nares ipsilateral. Setelah dilakukan aspirasi negatif, obat diinjeksikan. 7. Pasien yang telah menjalani operasi FESS dinilai skala nyeri menggunakan VAS (skor 0 – 10) dan kebutuhan terhadap analgesik ekstra dalam 24 jam pertama. 8. Agen analgesia ekstra akan diberikan bila pasien perlu. Agen analgesia yang diberikan berupa fentanyl secara intravaskular. Data akan dicatat dengan teknik Simple Blind. 9. Setelah data terkumpul maka dilakukan analisis data 3.10



Instrumen Penelitian Penilaian tingkat nyeri dan lama nyeri menggunakan VAS (Visual Analog



Scale) dilakukan oleh relawan pemeriksa (peserta PPDS Anestesi Tahap III stase



54



Instalasi Rawat Intensif) saat perawatan postoperatif di ruang pemulihan. Relawan pemeriksa yang menilai tidak saling mengetahui hasil dari sistem penilaian yang lain. Hasil dari penilaian diberikan kepada relawanpencatat.Setelah data terkumpul maka dilakukan analisis data. 3.11



Identifikasi Variabel • Variabel bebas: o Kelompok bupivacaine 0,5% + normal saline, kelompok bupivacaine 0,5% + dexamethasone • Variabel terikat: o Tingkat nyeri



3.12



Rencana Manajemen dan Analisis Data 1. Setelah data yang diperlukan telah terkumpul,data tersebut diperiksa kembali tentang kelengkapannya sebelum ditabulasi dan diolah. Lalu data tersebut diolah dengan menggunakan software analisa data 2. Analisis Univariat dilakukan untuk mengetahui deskripsi karakteristik masing- masing variabel dan dinilai dengan frekuensi, rerata dengan standar deviasi. Pada analisis univariat juga dilakukan uji normalitas data nilai VAS menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov 3. Untuk melihat perbedaan nilai VAS pada pasien yang diberikan bupivacaine 0,5% + normal saline dan pasien yang diberikan bupivacaine 0,5% + dexamethason menggunakan uji chi-square. 4. Interval kepercayaan 95% dengan nilai p 0,05). Tabel 4.2. Tabel distribusi sampel berdasarkan usia Intervensi*



Kelompok Usia



Jumlah



Persentase (%)



12 (60%)



19



47,5



8 (40%)



4 (20%)



12



30



47 – 61 Tahun



2 (10%)



2 (10%)



4



10



>61 Tahun



3 (15%)



2 (10%)



5



12,5



Total



20



20



40



100



A



B



17 – 31 Tahun



7 (35%)



32 – 46 Tahun



*A = Bupivacain + Saline, B = Bupivacaine + Dexamethasone **Anova



Tabel distribusi sampel berdasarkan usia 14 12 10 8 6 4 2 0 A



B 17-31 tahun



32-46 tahun



47-51 tahun



>51 tahun



Gambar 4.2. Distribusi sampel berdasarkan kelompok usia



p Value**



0,316



59 Berdasarkan tabel 4.2. dapat dilihat pada kelompok A diikuti oleh 7 sampel (35%) pada kelompok usia 17 – 31 tahun, 8 sampel (40%) pada kelompok usia 32 – 46 tahun, 2 sampel (10%) pada kelompok usia 47 – 61 tahun dan 3 sampel (15%) pada kelompok usia >61 tahun. Sedangkan pada kelompok B diikuti oleh 12 sampel (60%) pada kelompok usia 17 – 31 tahun, 4 sampel (20%) pada kelompok usia 32 – 46 tahun, 2 sampel (10%) pada kelompok usia 47 – 61 tahun, dan 2 sampel (10%) pada kelompok usia >61 tahun. Berdasarkan uji statistik didapati data yang relatif homogen (p>0,05). Tabel 4.3. Tabel distribusi sampel berdasarkan Suku Intervensi*



Suku



Jumlah



Persentase (%)



1 (5%)



2



5



6 (30%)



11



27,5



A



B



Aceh



1 (5%)



Batak



5 (25%)



Jawa



7 (35%)



5 (25%)



12



30



Mandailing



1 (5%)



2 (10%)



3



7,5



Melayu



6 (30%)



5 (25%)



11



27,5



Padang



0 (0%)



1 (5%)



1



2,5



Total



20



20



40



100



*A = Bupivacain + Saline, B = Bupivacaine + Dexamethasone **Anova



Distribusi sampel berdasarkan Suku 8 7 6 5 4 3 2 1 0 A



B Aceh



Batak



Jawa



Mandailing



Melayu



Padang



Gambar 4.3. Distribusi sampel berdasarkan Suku



p Value**



0,621



60 Berdasarkan tabel 4.3. dapat dilihat pada kelompok A didapati 1 sampel (5%) suku Aceh, 5 sampel (25%) suku Batak, 7 sampel (35%) suku Jawa, 1 sampel (5%) suku Mandailing dan 6 sampel (30%) suku Melayu. Sedangkan pada kelompok B didapati 1 sampel (5%) suku Aceh, 6 sampel (30%) suku Batak, 5 sampel (25%) suku Jawa, 2 sampel (10%) suku Mandailing, 5 sampel (25%) suku Melayu dan 1 sampel (5%) suku Padang. Berdasarkan uji statistik didapati data yang relatif homogen (p>0,05). 4.2. Efek Perlakuan Obat terhadap Sampel 4.2.1 Efek Perlakuan Obat pada T0 Tabel 4.4. Efek Perlakuan Obat pada T0 (1 jam setelah Operasi) Kelompok*



VAS



Total



A



B



0



1 (5%)



0 (0%)



1 (2,5%)



1



16 (80%)



18 (90%)



34 (75%)



2



3 (15%)



2 (10%)



5 (12,5%)



Total



20 (100%)



20 (100%)



40 (100%)



Nilai p*



0.517



*A = Bupivacain + Saline, B = Bupivacaine + Dexamethasone **Chi-Square



Efek perlakuan Obat terhadap T0 (1 jam setelah Operasi) 20 18 16 14 12 10 8



18



16



6 4 2 0



3



1 A



0



2 B VAS 0



VAS 1



VAS 2



Gambar 4.4. Efek perlakuan Obat terhadap T0 (1 jam setelah Operasi) Berdasarkan tabel 4.4 didapati pada pemeriksaan 1 jam setelah operasi (T0) didapati sampel pada kelompok A yang tidak merasakan nyeri (VAS 0) sebanyak 1 sampel (5%),



61 sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 16 sampel (80%) dan yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 2 sebanyak 3 sampel (15%). Sedangkan pada kelompok B pada T0 yang tidak merasakan nyeri (VAS 0) sebanyak 0 sampel (0%), sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 18 sampel (90%) dan yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 2 sebanyak 2 sampel (10%). Berdasarkan penilaian nyeri pada T0 didapati data yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05). 4.2.2 Efek Perlakuan Obat pada T1 Tabel 4.5. Efek Perlakuan Obat pada T1 (6 jam setelah Operasi) Kelompok*



VAS



Total



Nilai p*



A



B



0



1 (5%)



0 (0%)



1 (2,5%)



1



5 (25%)



5 (25%)



10 (25%)



2



5 (25%)



9 (45%)



14 (35%)



3



9 (45%)



6 (30%)



15 (37,5%)



Total



20 (100%)



20 (100%)



40 (100%)



0.433



*A = Bupivacain + Saline, B = Bupivacaine + Dexamethasone **Chi-Square



Efek perlakuan obat terhadap T1 (6 jam setelah Operasi) 10 9



9



8



9



7 6



6



5



5



4



5



5



3 2 1 0



1



0 A



B VAS 0



VAS 1



VAS 2



VAS 3



Gambar 4.5. Efek perlakuan obat terhadap T1 (6 jam setelah Operasi) Berdasarkan tabel 4.5 didapati pada pemeriksaan 6 jam setelah operasi (T1) didapati sampel pada kelompok A yang tidak merasakan nyeri (VAS 0) sebanyak 1 sampel (5%),



62 sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 5 sampel (25%), yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 2 sebanyak 5 sampel (25%), dan yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 3 sebanyak 9 sampel (45%). Sedangkan pada kelompok B pada T1 yang tidak merasakan nyeri (VAS 0) sebanyak 0 sampel (0%), sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 5 sampel (25%), yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 2 sebanyak 9 sampel (45%) dan yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 3 sebanyak 6 sampel (30%). Berdasarkan penilaian nyeri pada T1 didapati data yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05). 4.2.3 Efek Perlakuan Obat pada T2 Tabel 4.6. Efek Perlakuan Obat pada T2 (12 jam setelah Operasi) VAS



Kelompok*



Total



A



B



1



9 (45%)



14 (70%)



23 (57,5%)



2



10 (50%)



6 (30%)



16 (40%)



3



1 (5%)



0 (0%)



1 (2,5%)



Total



20 (100%)



20 (100%)



40 (100%)



Nilai p*



0.214



*A = Bupivacain + Saline, B = Bupivacaine + Dexamethasone **Chi-Square



Efek Perlakuan Obat pada T2 (12 jam setelah Operasi) 16 14 12 10 8 6 4 2 0 A



B VAS 1



VAS 2



VAS 3



Gambar 4.6 Efek perlakuan obat terhadap T2 (12 jam setelah Operasi)



63 Berdasarkan tabel 4.6. didapati pada pemeriksaan 12 jam setelah operasi (T2) didapati sampel pada kelompok A sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 9 sampel (45%), yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 2 sebanyak 10 sampel (5%0), dan yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 3 sebanyak 1 sampel (5%). Sedangkan pada kelompok B pada T1 sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 14 sampel (70%), yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 2 sebanyak 6 sampel (30%) dan yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 3 sebanyak 0 sampel (0%). Berdasarkan penilaian nyeri pada T2 didapati data yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05). 4.2.4 Efek Perlakuan Obat pada T3 Tabel 4.7. Efek Perlakuan Obat pada T3 (24 jam setelah Operasi) VAS



Kelompok*



Total



A



B



0



17 (85%)



20 (100%)



37 (92,5%)



1



3 (15%)



0 (0%)



3 (7,5%)



Total



20 (100%)



20 (100%)



40 (100%)



Nilai p* 0.075



*A = Bupivacain + Saline, B = Bupivacaine + Dexamethasone **Chi-Square



Efek perlakuan obat terhadap T3 (24 jam setelah Operasi) 25 20 15 10 5 0 A



B VAS 0



VAS 1



Column1



Gambar 4.7 Efek perlakuan obat terhadap T3 (24 jam setelah Operasi) Berdasarkan tabel 4.7. didapati pada pemeriksaan 24 jam setelah operasi (T3) didapati sampel pada kelompok A yang tidak merasakan nyeri (VAS 0) sebanyak 17 sampel (85%), dan



64 sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 3 sampel (15%). Sedangkan pada kelompok B pada T1 yang tidak merasakan nyeri (VAS 0) sebanyak 20 sampel (100%), dan sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 0 sampel (25%). Berdasarkan penilaian nyeri pada T3 didapati data yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05).



Rerata nilai VAS pada setiap waktu pemeriksaan 2.5 2 1.5 1 0.5 0 T0



T1



T2 A



B



T3



Total



Gambar 4.8. Rerata nilai VAS pada setiap waktu pemeriksaan Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa kelompok B menghasilkan nilai VAS yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai VAS rata – rata pada penelitian ini. Dari uji statistic didapatkan hasil perbedaan yang tidak bermakna pada seluruh waktu pemeriksaan (p>0,05).



65 BAB 5 PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan efek penggunaan Bupivacaine 0,5% ditambah dengan normal saline dengan bupivacaine 0,5% ditambah dexamethasone terhadap nyeri paska operasi dengan tekhnik blok supraorbital pada operasi FESS. Penanganan nyeri yang baik akan meningkatkan hasil akhir pembedahan dengan mengurangi morbiditas dan mempercepat waktu pemulihan. 5.1. Karakteristik Demografi Sampel Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Haji Mina Medan pada bulan Agustus – Oktober 2018 dan diikuti oleh 40 sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Dari karakteristik penelitian berdasarkan jenis kelamin (tabel 4.1) didapati pada kelompok A (Bupivacaine + Normal Saline) diikuti paling banyak sampel yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 12 sampel (60%) dan yang berjenis kelamin laki – laki sebanyak 8 sampel (40%). Sedangkan pada kelompok B (Bupivacaine + Dexamethasone) paling banyak diikuti oleh sampel yang berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 12 sampel (60%) dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 8 sampel (40%). Berdasarkan karakteristik jenis kelamin didapatkan hasil data yang relatif homogen (p>0,05). Dari karakteristik distribusi sampel berdasarkan kelompok usia (tabel 4.2) didapati paling banyak pada kelompok A sampel pada kelompok usia 32 – 46 tahun yaitu sebanyak 8 Sampel (40%) dan yang paling sedikit pada kelompok umur 47 – 61 tahun yaitu sebanyak 2 sampel (10%). Sedangkan pada Kelompok B pada penelitian ini paling banyak diikuti oleh sampel yang dalam kelompok usia 17—31 tahun yaitu sebanyak 12 sampel (60%) dan yang paling sedikit pada kelompok usia 47 – 61 tahu dan diatas 61 tahun yaitu sebanyak 2 sampel (10%) pada masing-masing kelompok. Berdasarkan karakteristik kelompok usia didapatkan hasil data yang relatif homogen (p>0,05) Dari karakteristik distribusi sampel berdasarkan suku (tabel 4.3) didapati paling banyak pada kelompok A sampel yang mempunyai suku jawa yaitu berjumlah 7 sampel (35%) dan yang paling sedikit yang mempunyai suku padang yaitu sebanyak 0 sampel (0%). Sedangkan pada kelompok B sampel yang mengikuti penelitian ini paling banyak pada suku Batak yaitu sebanyak 6 sampel (30%) dan yang paling sedikit adalah suku padang yaitu sebanyak 1 sampel (5%). Berdasarkan karakteristik distribusi sampel berdasarkan suku didapati hasil data yang relatif homogen (p>0,05).



66 5.2. Efek Perlakuan Obat terhadap Sampel Pada waktu pemeriksaan T0 yang ditunjukkan oleh tabel 4.4. bahwa pada kelompok A sampel yang tidak merasakan nyeri dengan VAS 0 sebanyak 1 sampel (5%), sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 16 sampel (80%) dan yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 2 sebanyak 3 sampel (15%). Sedangkan pada kelompok B pada T0 yang tidak merasakan nyeri (VAS 0) sebanyak 0 sampel (0%), sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 18 sampel (90%) dan yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 2 sebanyak 2 sampel (10%). Berdasarkan penilaian nyeri pada T0 didapati data yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Pada waktu pemeriksaan T1 yang ditunjukkan oleh tabel 4.5. bahwa pada kelompok A sampel yang tidak merasakan nyeri (VAS 0) sebanyak 1 sampel (5%), sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 5 sampel (25%), yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 2 sebanyak 5 sampel (25%), dan yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 3 sebanyak 9 sampel (45%). Sedangkan pada kelompok B pada T1 yang tidak merasakan nyeri (VAS 0) sebanyak 0 sampel (0%), sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 5 sampel (25%), yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 2 sebanyak 9 sampel (45%) dan yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 3 sebanyak 6 sampel (30%). Berdasarkan penilaian nyeri pada T1 didapati data yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Pada waktu pemeriksaan T2 yang ditunjukkan oleh tabel 4.6 bahwa pada kelompok A sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 9 sampel (45%), yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 2 sebanyak 10 sampel (5%), dan yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 3 sebanyak 1 sampel (5%). Sedangkan pada kelompok B pada T1 sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 14 sampel (70%), yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 2 sebanyak 6 sampel (30%) dan yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 3 sebanyak 0 sampel (0%). Berdasarkan penilaian nyeri pada T2 didapati data yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Hasil ini sejalan dengan penelitian seperti yang diakukan Choi (2014) membuktikan bahwa penggunaan deksamethason sebagai adjuvan memperpanjang blok pleksus brakhial dari 730 menit menjadi 1306 menit pada anestesi lokal jangka panjang dan 168 menit menjadi 343 menit pada anestesi jangka intermediat. Deksamethason dianggap dapat mengurangi mediator inflamasi, menurunkan keluarnya neuronal ektopik, dan inhibisi kanal potassium pada C-fibre nosiseptif. Beberapa studi lain juga meneliti mengenai deksamethasone setelah studi ini. Durasi blok pleksus brakhialis dengan lidokain dan epinefrin diperpanjang menjadi dua kali lipat



67 dengan penambahan deksamethason pada studi pasien yang menjalani pembedahan elektif pada tangan, telapak dan siku. Pada waktu pemeriksaan T3 yang ditunjukkan pada tabel 4.7. didapati pada kelompok A sampel yang tidak merasakan nyeri (VAS 0) sebanyak 17 sampel (85%), dan sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 3 sampel (15%). Sedangkan pada kelompok B pada T1 yang tidak merasakan nyeri (VAS 0) sebanyak 20 sampel (100%), dan sampel yang merasakan nyeri ringan dengan VAS 1 sebanyak 0 sampel (25%). Berdasarkan penilaian nyeri pada T3 didapati data yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Pada gambar 4.8 dapat dilihat bahwa kelompok B menghasilkan nilai VAS yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai VAS rata – rata pada penelitian ini. Dari uji statistik didapatkan hasil perbedaan yang tidak bermakna pada seluruh waktu pemeriksaan (p>0,05). Hasil ini sejalan seperti studi yang dilakukan Liu (2015) mendemonstrasikan pemberian deksamethason memperpanjang analgesia sampai sekitar 10 jam dibandingkan grup kontrol pada operasi bahu menggunakan 0,25% bupivacaine, dan dicapai dengan dosis deksamethason perineural tanpa pengawet bervariasi dari 1 mg, 2 mg, dan 4 mg. Efek pada studi Liu bisa dirancukan dengan pemberian deksamethason IV sebagai antiemetik pada kedua grup. Studi observasional yang dilakukan oleh William (2011) melaporkan reduksi dari durasi analgesia dan elevasi dari nyeri rebound dengan pemberian deksamethason perineural 2 mg (versus 1 mg), dengan dosis 1 – 2 mg dosis deksamethason perineural lebih rendah dari semua dosis yang disebutkan diatas. Mekanisme prolongasi blokade nervus perifer oleh deksamethason belum diketahui secara pasti. Efek prolongasi ini berhubungan dengan efek anti inflamasi dari glukokortikoid dimana derajat prolongasi blok meningkat seiring dengan meningkatnya potensi glukokortikoid dan efek ini dapat dibalik dengan pemberian antagonis reseptor glukortikoid. Efek dari reseptor glukokortikoid dicurigai merubah fungsi kanal ion atau menyebabkan asidosis lokal pada sel saraf sehingga konsentrasi anestesi lokal yang diperlukan untuk menghambat konduksi menurun atau dengan mengurung molekul bupivacain yang terionisasi didalam sel neuron (Biradar, 2013). Beberapa penelitian dan metaanalisis telah mempertimbangkan pro dan kontra pemberian adjuvan yang dianggap berpotensial meningkatkan kerja anestesi lokal pada blokade saraf perifer seperti dexamethason. Dexamethason dikatakan dapat mengurangi transmisi stimulus pada serabut saraf-c nosiseptif dengan inhibisi kanal potassium pada saraf sehingga akan mengurangi impuls nyeri yang dirasakan pasien. Dexamethason juga dapat menyebabkan vasokonstriksi jaringan dan memperlambat uptake serta absorbs anestesi lokal



68 oleh sistem pembuluh darah sehingga durasi obat lebih panjang. Selain itu, efek Dexamethason sebagai antiinflamasi dapat menghambat mediator inflamasi seperti interleukin dan sitokin sehingga menurunkan stimulus nyeri (Olivier, 2015). Perlu diperhatikan bahwa durasi analgesia dan durasi blok adalah tidak sama dan pengaruh obat deksamethason juga berpengaruh ke sistemik. Fredrickson (2013) menemukan bahwa penurunan rasa nyeri dilaporkan setelah 24 jam pasien diberikan bupivacaine untuk blok skiatik dengan deksametason perineural versus deksametason subkutan/intramuskular. Pada studi lain, pasien yang menerima deksamethason dilaporkan terjadi penurunan nyeri signifikan sewaktu operasi, nyeri postoperatif, dan tingkat kepuasan yang lebih baik. Saritas (2014) juga menemukan prolongasi efek blok pleksus brachial dengan penambahan deksamethason, akan tetapi durasi blok menjadi lebih singkat dibanding grup yang hanya menerima levobupivacaine.



69 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Didapati manfaat efek analgetik pada pemberian bupivacaine pada operasi FESS dengan tekhnik blok infraorbital. 2. Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistik pada nilai VAS pada pemberian bupivacain 0,5% + Normal saline dibandingkan dengan pemberian Bupivacaine + dexamethasone. 6.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perbandingan Bupivacaine + dexamethasone dengan obat adjuvant lainnya untuk mencari alternatif obat yang baik dalam menangani nyeri post operasi FESS dengan tekhnik block supraorbital. 2. Dalam penelitian berikutnya diharapkan untuk menilai efek bupivacaine + Normal saline dan Bupivacaine + deksamethasone dalam jenis operasi yang lainnya. 3. Dalam penelitian berikutnya diharapkan untuk menilai tekhnik block supraorbital dibandingkan dengan tekhnik block lainnya pada operasi FESS dalam menangani nyeri post operasi. 4. Diharapkan pada penelitian berikutnya, peneliti melakukan pemantauan dengan waktu yang lebih panjang untuk mendapatkan lama waktu efek analgetik bupivacaine dan dexamethasone.



70



DAFTAR PUSTAKA Aguirre, J.A., Votta-Velis, G., Borgeat, A., 2012. Practical Pharmacology in Regional Anesthesia. In: Kaye, A.D., Urman, R.D., Vadivelu, N. (eds.), Essentials of Regional Anesthesia. New York: Springer Science+Business Media New York Ahmed, M.H.M., Abu-Zaid, M.E.H., 2007. Role of Intraoperative Endoscopic Sphenopalatine Ganglion Block in Sinonasal Surgery. Journal of Medical Sciences 7(8): 1271 – 1303 Ammar ,A.S., Mahmoud ,K.M., 2012. Effect of adding dexamethasone to bupivacaine on transversus abdominis plane block for abdominal hysterectomy: A prospective randomized controlled trial. Saudi J Anaesth 6(3):229–33. Aravindaksha, S.P., 2016. The Paranasal Sinuses. In: Kademani, D., Tiwana, P., Atlas of Oral and Maxillofacial Surgery. USA: Elsevier: Saunders Biradar PA, Kaimar P, Gopalakrishna K., 2013. Effect of dexamethasone added to lidocaine in supraclavicular brachial plexus block: A prospective, randomised, double-blind study. Indian J Anaesth 57:180-4. Byrne,



K.M.,



2017.



Infraorbital



Nerve



Block.



Available



from



https://emedicine.medscape.com/article/82660-overview#showall [Accessed 20 March 2018] Casiano, R.R., Sargi, Z.B., 2007. Surgical Anatomy of the Paranasal Sinuses. In: Kountakis, S.E., Onerci, M., Rhinologic and Sleep Apnea Surgical Techniques. Germany: Springer Science+Business Media Choi, S., Rodseth, R., McCartney, C.J.L., 2014. Effects of dexamethasone as a local anaesthetic adjuvant for brachial plexus block: a systematic review and meta-analysis of randomized trials. British Journal of Anaesthesia 112(3): 427 – 39 Datta, S., Kodali, B.S., Segal, S., 2010. Obstetric Anesthesia Handbook. 5th edition. New York: Springer Science+Business Media



71



Desmet, M., Braems, H., Reynvoet, M., Plasschaert, S., Van Cauwelaert, J., Pottel, H., et al.,2013. I.V. and perineural dexamethasone are equivalent in increasing the analgesic duration of a single-shot interscalene block with ropivacaine for shoulder surgery: a prospective, randomized, placebocontrolled study. Br J Anaesth. 111(3):445–52. Feriani, G., Hatanaka, E., Torloni, M.R., da Silva, E.M.K., 2016. Infraorbital nerve block for postoperative pain following cleft lip repair in children (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews Fredrickson,



M.J.,



Danesh-Clough,



T.K.,



White,



R.,



2013.



Adjuvant



dexamethasone for bupivacaine sciatic and ankle blocks: results from 2 randomized placebo-controlled trials. Reg Anesth Pain Med 38 (4):300–7 Gmyrek,



R.,



2015.



Local



and



Regional



Anesthesia.



Available



from:



https://emedicine.medscape.com/article/1831870-overview#a1 [Accessed 20 March 2018] Higashizawa, T., Koga, Y., 2001. Effect of infraorbital nerve block under general anesthesia on consumption of isoflurane and postoperative pain in endoscopic endonasal maxillary sinus surgery. J Anesth 15: 136 – 138 Hu, K.S., Kwak, H.H., Song, W.C., Kang, H.J., Kim, H.C., Fontaine, C., et al, 2006. Anatomic Studies: Branching Patterns of the Infraorbital Nerve and Topography Within the Infraorbital Space. The Journal of Craniofacial Surgery 17(6): 1111 – 5 Hu, K.S., Kwak, J., Koh, K.S., Abe, S., Fontaine, C., Kim, H.J., 2007. Topographic distribution area of the infraorbital nerve. Surg Radiol Anal 29: 383 – 388 Kandarian, B., Levine, A., DeMaria, S., 2017. Head and Neck Regional Anesthesia Techniques. American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine (November 2017): 38 – 44 Kirksey, M.A., Haskins, S.C., Cheng, J., Liu, S.S., 2015. Local Anesthetic Peripheral Nerve Block Adjuvants for Prolongation of Analgesia: A Systematic Qualitative Review. PloS ONE 10 (9): e0137312



72



Leone, S., Cianni, S.D., Casati, A., Fanelli, G., 2008. Pharmacology, toxicology, and clinical use of new long acting local anesthetics, ropivacaine and levobupivacaine. Acta Biomed 79:92 – 105 Liu, J., Richman, K.A., Grodofsky, S.R., Bhatt, S., Huffman, G.R., Kelly, J.D. 4th, et al., 2015. Is there a dose response of dexamethasone as adjuvant for supraclavicular brachial plexus nerve block? A prospective randomized double-blinded clinical study. J Clin Anesth. 27(3):237–42. Luong, A., Marple, B.F., 2006. Sinus Surgery: Indications and Techniques. Clinical Reviews in Allergy and Immunology 30: 217 – 222 Masomi, A., Abshirini, H., Hekmat, M., 2012. Comparison of Local Anesthetic Effect of Bupivacaine versus Bupivacaine plus Dexamethasone in Nasal Surgery. Irianian Journal of Otorhinolaryngology 1(25): 7 – 10 Movafegh, A., Razazian, M., Hajimaohamadi, F., Meysamie, A., 2006. Dexamethasone Added to Lidocaine Prolongs Axillary Brachial Plexus Blockade. Anesth Analg 102: 263 – 7 Oliveira, J.M., 2015. Does The Addition Of Dexamethasone To Local Anesthetic Used For Peripheral Nerve Block Prolong Analgesia In The Surgical Patient? Nurse Anethesia Capstone. 3 Rahangdale, R., Kendall, M.C., McCarthy, R.J., Tureanu, L., Doty, R.Jr., Weingart, A., et al., 2014. The effects of perineural versus intravenous dexamethasone on sciatic nerve blockade outcomes: a randomized, double-blind, placebo-controlled study. Anesth Analg. 118(5):1113–9. Ramson, V., 2012. Paediatric Peripheral Nerve Blocks. University of KwazuluNatal. Rasmussen, S.B., Saied, N.N., Bowens, C.Jr., Mercaldo, N.D., Schildcrout, J.S., Malchow, R.J., 2014. Duration of upper and lower extremity peripheral nerve blockade is prolonged with dexamethasone when added to ropivacaine: a retrospective database analysis. Pain Med 14(8):1239–47. Saritas, A., Sabuncu, C., 2014. Comparison of clinical effects of prilocaine, dexamethasone added to prilocaine and levobupivacaine on brachial plexus block. J Pak Med Assoc 64(4):433–6.



73



Sim, A.J., Levine, A.I., Govindaraj, S., 2013. Functional Nasal and Sinus Surgery. In: Levine, A., Govindaraj, S., DeMaria, S (eds) Anesthesiology and Otolaryngology. New York: Springer Science+Business Media New York Sim, A.J., Levine, A.I., 2014. Functional Endoscopic Sinus Surgery. In: Reed, A.P., Yudkowitz, F.S., Clinical Cases in Anesthesia. 4th edition. Philadelphia: Elsevier: Saunders Sondekoppam, R.V., Uppal, V., Ganapathy, S., 2014. Intravenous or perineural dexamethasone for interscalene brachial plexus block: the equivalence not yet proven. Br J Anaesth. 112(1):175–6. Terrell, J.E., Brown, A.C.D., 2007. Endoscopic Sinus Surgery. In: Bready, L., Noorily, S., Dillman, D., Desicion Making in Anesthesiology: An Algorithmic Approach. 4th edition. USA: Elsevier: Saunders UnitedHealthcare Oxford, 2018. Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). UnitedHealthcare Oxford Clinical Policy Vadhanan, P., Tripaty, D.K., Adinarayanan, S., 2015. Physiological and pharmacologic



aspects



of



peripheral



nerve



blocks.



Journal



of



Anaesthesiology Clinical Pharmacology 31(3): 384 – 393 Weber, R.K., Hosemann, W., 2015. Comprehensive review on endonasal endoscopic sinus surgery. Head and Neck Surgery 14:1-108 Williams, B.A., Hough, K.A., Tsui, B.Y., Ibinson, J.W., Gold, M.S., Gebhart, G.F., 2011. Neurotoxicity of adjuvants used in perineural anesthesia and analgesia in comparison with ropivacaine. Reg Anesth Pain Med 36(3):225–30.



Lampiran1 RIWAYAT HIDUP PENELITI Nama



: dr. Wayu Dwi Pangestu



Tempat/Lahir



: Pematang Siantar/ 17 Agustus 1986



Agama



: Islam



Alamat



: Jl Kenanga Raya No 100A Tj Sari Medan



Nama Ayah



: H. Warsito Suhendra SE



Nama Ibu



: Hj. Yusnani



Status



: Menikah



Nama istri



: Ernanda Pratiwi SE



Nama Anak



: Kinara Caliezia Pangestu



Riwayat Pendidikan 1991-1997



: SD Negeri 1 Bah Jambi Simalungun



1998- 2000



: SLTP Swasta Taman Asuhan P. Siantar



2001-2003



: SMU Negeri 4 Medan



2004-2010



: Kedokteran Umum FK USU



2014 - Sekarang



: PPDS Anestesiologi & Terapi Intensif FKUSU



Riwayat Pekerjaan 2008–2011



: Dokter Umum RS PTPN2 Tanjung Morawa



75



Lampiran 2 JADWAL TAHAPAN PELAKSANAAN PENELITIAN No.



Tahapan Penelitian



Rencana



1.



Bimbingan proposal



Februari – Maret 2018



2.



Seminar proposal



April 2018



3.



Perbaikan proposal



Mei 2018



4.



Komisi etika penelitian



Juni 2018



5.



Pengumpulan data



Agustus - Oktober 2018



6.



Pengolahan dan Analisa Data



Oktober 2018



7.



Bimbingan Penyusunan laporan



Oktober - November 2018



8.



Seminar Hasil



November 2018



9.



Perbaikan laporan seminar hasil



November 2018



Tahapan Penelitian



TAHUN2018 Feb



Mar



Apr



Mei



Jun



Jul



Agt



Sept



Okt



Nov



Bimbingan proposal Seminar proposal Perbaikan proposal Komisi etika penelitian Pengumpulan data Pengolahan &analisa data Bimbingan penyusunan laporan Seminar hasil Perbaikan Hasil



75



76



Lampiran 3 LEMBAR PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN Bapak/Ibu/Saudara/i Yth. Saya, dr. Wayu Dwi Pangestu saat ini sedang menjalani program pendidikan dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran USU dan akan melaksanakan penelitian sebagai syarat ujian akhir. Adapun penelitian saya berjudul: PERBANDINGAN EFEK PENGGUNAAN BUPIVAQAINE 0,5% DITAMBAH NORMAL SALINE DENGAN BUPIVAQAINE 0,5% DITAMBAH DEXAMETHASON TERHADAP NYERI PASKA OPERASI DENGAN TEKNIK BLOK INFRAORBITAL PADA OPERASI FESS (FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS SURGERY) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efek penggunaan bupivaqaine 0,5% ditambah normal saline dengan bupivaqaine 0,5% ditambah dexamethason terhadap nyeri paska operasi dengan teknik blok infraorbital pada operasi FESS (functional endoscopic sinus surgery) atau operasi sinus dengan menggunakan prosedur endoskopi. Keluarga Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian akan diambil sebagai subjek/pelaku penelitian ini, berdasarkan kriteria yang sudah disepakati sebelumnya. Bila anda setuju untuk diikutsertakan dalam penelitian ini, maka saya sangat mengharapkan kerjasama yang baik dan berkenan untuk menandatangani surat persetujuan ini. Namun apabila anda tidak bersedia, kami akan tetap memberikan pelayanan sebagaimana mestinya. Untuk lebih jelasnya, saat turut serta sebagai sukarelawan pada penelitian ini, keluarga Bapak/Ibu/Saudara/i akan menjalani prosedur penelitian sebagai berikut: 1. Pasien yang telah menjalani operasi sinus dengan menggunakan endoskopi (FESS) dan menggunakan teknik anestesi umum disertai anestesi lokal berupa suntikan di daerah bawah mata di RSU Haji Medan.



76



77



2. Pada semua sampel dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang 3. Pasien yang telah menjalani operasi sinus dengan menggunakan endoskopi (FESS) dinilai skala nyeri menggunakan VAS (skor 0 – 10) dan kebutuhan terhadap analgesik ekstra (obat pereda nyeri tambahan) dalam 24 jam pertama.Agen pereda nyeri ekstra akan diberikan bila pasien perlu. 4. Setelah data terkumpul maka dilakukan analisis data Pada lazimnya, penelitian ini tidak akan menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian. Akan tetapi, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penelitian berlangsung, yang disebabkan oleh perlakuan yang dilakukan selama penelitian ini, maka Bapak/Ibu/Saudara/i dapat menghubungi dr. Wayu Dwi Pangestu (Hp.082276816661) untuk mendapatkan pertolongan dan konsultasi. Selain dari itu, penelitian ini juga diawasi konsultankonsultan di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan peneliti dapat berkonsultasi dalam hal penanganan kejadian tersebut. Kerja sama Bapak/Ibu/Saudara/i sangat diharapkan dalam penelitian ini. Bila masih ada hal-hal yang belum jelas menyangkut penelitian ini, setiap saat dapat ditanyakan pada peneliti, dr Wayu Dwi Pangestu. Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan Bapak/Ibu/Saudara/i yang telah terpilih pada penelitian ini, dapat mengisi lembaran persetujuan turut serta dalam penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya.



Medan, ………………… 2018 Peneliti



(dr. _____________)



77



78



Lampiran 4 LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (INFORMED CONSENT)



Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama



: .........................................................................



Umur



: ……………. tahun



Alamat



: .........................................................................



Pekerjaan



: .........................................................................



Pendidikan



: .........................................................................



Hubungan keluarga



: .........................................................................



Nama Pasien



: .........................................................................



Umur Pasien



: ……………. tahun



No. Rekam Medis



: .........................................................................



Setelah memperoleh penjelasan sepenuhnya dan menyadari serta memahami tentang tujuan, manfaat, dan resiko yang mungkin timbul dalam penelitian berjudul: PERBANDINGAN EFEK PENGGUNAAN BUPIVAQAINE 0,5% DITAMBAH NORMAL SALINE DENGAN BUPIVAQAINE 0,5% DITAMBAH DEXAMETHASON TERHADAP NYERI PASKA OPERASI DENGAN TEKNIK BLOK INFRAORBITAL PADA OPERASI FESS (FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS SURGERY) Dan mengetahui serta memahami bahwa subjek dalam penelitian ini sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dalam keikutsertaannya, dengan ini menyatakan ikut serta dalam penelitian dan bersedia berperan serta dengan mematuhi semua ketentuan yang berlaku dan telah saya sepakati dalam penjelasan mengenai penelitian tersebut di atas.



78



79



Demikian surat pernyataan ini saya buat, agar dapat dipergunakan bila diperlukan.



Medan, ……………………. 2018 Mengetahui,



Yang Menyatakan,



Penanggung Jawab Penelitian



Keluarga Peserta Uji Klinik



(dr._____________)



(____________________) Saksi,



(_____________________)



79



80



Lampiran 5 LEMBAR OBSERVASI PASIEN PERBANDINGAN EFEK PENGGUNAAN BUPIVAQAINE 0,5% DITAMBAH NORMAL SALINE DENGAN BUPIVAQAINE 0,5% DITAMBAH DEXAMETHASON TERHADAP NYERI PASKA OPERASI DENGAN TEKNIK BLOK INFRAORBITAL PADA OPERASI FESS (FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS SURGERY) DATA DASAR Nama



: .........................................................................



No. Rekam Medis



: .........................................................................



Umur



: ……………. tahun



Jenis Kelamin



: Pria / Wanita



Suku Bangsa



: .........................................................................



Diagnosis Masuk RS



: .........................................................................



Outcome



: Meninggal / Hidup



DATA PENILAIAN



Waktu



VAS (0 – 10)



1 jam 6 jam 12 jam 24 jam Kebutuhan terhadap analgetik ekstra 50mcg fentanyl



80



81



Lampiran 6 TABEL RANDOM 13962



70992



65172



28053



02190



83634



66012



70305



66761



88344



42905



46941



72300



11641



43548



30455



07686



31840



03261



89139



00504



48658



38051



59408



16508



82979



92002



63606



41078



86326



61274



57238



47267



35303



29066



02140



60867



39847



50968



96719



83503



51662



21636



68192



84294



38754



84755



34053



94582



29215



36807



71420



35804



44862



23577



79551



42003



58684



09271



68396



19110



55680



18792



41487



16614



83053



00812



16749



45347



88199



82615



86984



93290



87971



60022



35415



20852



02909



99476



45568



05621



26584



36493



63013



68181



57702



49510



75304



38724



15712



06936



37293



55875



71213



83025



46063



74665



12178



10741



58362



84981



60458



16194



92403



80951



80068



47076



23310



74899



87929



66354



88441



96191



04794



14714



64749



43097



83976



83281



72038



49602



94109



36460



62353



00721



66980



82554



90270



12312



56299



78430



72391



96973



70437



97803



78683



04670



70667



58912



21883



33331



51803



15934



75807



46561



80188



78984



29317



27971



16440



62842



84445



56652



91797



45284



25842



96246



73504



21631



81223



19528



15445



77764



33446



41204



70067



33354



70680



66664



75486



16737



01887



50934



43306



75190



86997



56561



79018



34273



25196



99389



06685



45945



62000



76228



60645



87750



46329



46544



95665



36160



38196



77705



28891



12106



56281



86222



66116



39626



06080



05505



45420



44016



79662



92069



27628



50002



32540



19848



27319



85963



19758



92795



00458



71289



05884



37963



23322



73243



98185



28763



04900



54460



22083



89279



43492



00066



40857



86568



49336



42222



40446



82240



79159



44168



38213



46839



26598



29983



67645



Cara randomisasi blok Kelompok bupivacaine



:A



Kelompok bupivacaine + deksamethason



:B



Besar blok ialah jumlah subjek yang harus terbagi dua sama besar maka jumlah kemungkinan kombinasi N!(N/2)!x(N/2)1 = 6



81



82



Nomor



Sekuens



0 – 17



AABB



18 – 35



ABBA



36 – 53



ABAB



54 – 71



BABA



72 – 89



BAAB



90 – 99



BBAA



Pena jatuh pada angka 64, maka angka berikutnya adalah 66, 78 ,80, 25, 70, 86, 60, 56, 27, 05, 43, 38, 24, 71, 53, 36 dan 17. NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20



Sekuens B A B A B A B A B A A B B A A B A B B A



NO 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40



Sekuens B A B A B A A B B A B A B A B A A B B A



82



83



Lampiran 7 RENCANA ANGGARAN PENELITIAN Taksasi dana yang diperlukan selama penelitian: 1. Bahan dan peralatan penelitian Fotocopy lembar observasi pasien



= Rp 100.000



Bahan habis pakai



= Rp 1.000.000



2. Obat dan Alat



= RP 3.500.000



3. Seminar usulan penelitian Pengadaan bahan seminar usulan penelitian



= Rp200.000



4. Seminar hasil penelitian Pengadaan bahan seminar hasil penelitian



= Rp 200.000



5. Tesis Pencetakan tesis



= Rp200.000



6. Subtotal



= Rp1.700.000



7. Biaya tidak terduga (10% subtotal)



= Rp 170.000



Perkiraan biaya penelitian



= Rp5.370.000



83