Candi Mendut [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CANDI MENDUT



Disusun oleh APRIANUS PASKALIS MAU 221 17 012



CANDI MENDUT ABSTRAK :



Candi Mendut memang berbeda dengan candi yang berada di Indonesia. Sebagai candi Buddha, candi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Tidak saja keberadaan arca Buddha ukuran besar, candi Mendut ini juga dihiasi dengan relief-relief yang menggambarkan ceritera-ceritera Jataka, yang sarat dengan makna ajaran-ajaran hukum ‘Sebab dan Akibat.’ Relief di sebelah kanan menggambarkan, kura-kura yang dalam keadaan bahaya diselamatkan oleh dua ekor burung bangau. Relief lainnya mengisahkan tentang seekor kera yang ditolong dan diseberangkan seekor buaya perut kera dengan giginya yang tajam.Mendut Temple is different from temples in Indonesia. As a Buddhist temple, this temple has its own charm. Not only is the existence of a large Buddha statue, Mendut temple is also decorated with reliefs depicting Jataka stories, which are full of the meanings of the legal teachings' Cause and Effect. danger saved by two herons. Other reliefs tell of an ape who was helped and crossed by a crocodile with an ape stomach and sharp teeth. KATA KUNCI : candi mendut, candi Buddha 1. PENDAHULUAN Candi Mendut adalah salah satu candi bercorak Budha yang cukup populer di Indonesia. Candi Mendut berada di Jawa Tengah, tepatnya di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Letaknya sekitar 38 km dari Kota Yogyakarta. Candi ini juga tidak cukup jauh dari candi terkenal lainnya, Candi Borobudur. Dilihat dari sejarah candi mendut, candi Borobudur memiliki kaitan yang cukup erat dengan Candi Borobudur dan Candi Pawon. Bila Anda melihat dari peta, letak ketiga candi Budha ini membentuk garis lurus dari arah utara ke selatan. Artikel ini akan memberikan gambaran umum mengenai sejarah candi mendut beserta cerita dibalik arsitektur yang terkandung di dalamnya. sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, Candi Mendut merupakan candi bercorak Budha yang cukup terkenal baik dalam skala nasional atau



pun mancanegara. ecara umum, candi mendut memiliki denah dengan bentuk persegi. Candi mendut memilki tinggi bangunan keseluruhan 26.4 m. Bagian tubuh candi berada di atas batu dengan tinggi 2 m. Di permukaan batu tersebut memilki selasar yang lebar. Di dinding candi mendut, terdapat kurang lebih 31 panel yang menampilkan beberapa relief cerita, sulur suluran serta pahatan bunga yang menandakan corak dari candi mendut. Bila Anda berkunjung ke candi ini, Anda akan melihat beberapa saluran untuk membuang air dari selasar di sepanjang dinding luar langkan. Bagian saluran ini disebut dengan jaladwara. Jaladwara ini menjadi ciri khas pada candi candi yang berada di kawasan Jawa Tengah. bagian tangga candi terletak di sisi barat candi yang juga berada di depan pintu masuk ke dalam tubuh candi. Di pintu masuk candi ini, Anda bisa melihat bilik penampil yang menjorok keluar. Bilik penampil ini memiliki tinggi yang serupa dengan atap candi sehingga terlihat menyatu dengan tubuh candi. Pintu masuk tubuh candi ini tidak memiliki garupa ataupun bingkai pintu sebagaimana candi lainnya. Bilik ini memiliki bentuk berapa lorong dengan langit berongga rongga memanjang dengan penampang segi tiga. Selain di candi mendut, relief Kuwera dan Hariti ini juga banyak terdapat pada candi lain seperti Candi Sewu, Candi Kalsan dan Candi Banyuniba. Di dalam relief yang terukir di candi mendut, tergambang kuwera sedang duduk di atas bangku. Di sekelilingnya anak anak kuwera terlihat sedang bermain. Di bawah tempat duduk Kuwera, edangkan pada sisi kanan juga terdapat perempuan yang duduk juga di atas padmasana. Di sisi kiri dan kanan atas tergambar gumpalan awan. Di gumpalan awan itu, tergambar pria yang membaca kitab, Relief ini terletak di sisi dinding timur Candi Mendut. Di dalam relief ini, terlihat Budha dengan sosok memiliki tangan empat yang berdiri di atas lingga. Di relief ini, Budha menggunakan pakaian kebesaran raja, i sisi utara Candi Mendut, terlihat relief yang menggambarkan Dewi Tara. Di dalam relief ini, terlihat Dewi Tara yang duduk di atas padmasana dengan kedua orang lelaki di sisi kiri dan kanannya. Dewi Tara dalam relief ini digambarkan memiliki delapan tangan. dalam relief ini, digambarkan Sarwaniwaranawiskhambi yang berdiri di bawah payung. Relief ini terletak di sisi barat depan Candi Mendut. Di dalam relief ini Sarwaniwaranawiskhambi terlihat memakai pakaian kebesaran kerajaan, Arca ini terletak di tengah candi dengan menghadap bagian barat Candi Mendut. Arca ini



terlihat dalam posisi duduk dengan kedua kakinya menyiku ke bawah. Kakinya menapak



di



landasangan



yang



memiliki



bentuk



bunga



teratai,



Arca



Budha



avalokitesvara atau Lokesvara terleta di sebelah utara dyani budha cakyamuni. Arca ini menghadap ke sisi selatan candi mendut. Dalam arca ini, Budha digambarkan sedang berduduk dengan kaki kirinya dilipat kedalam. Sementara kaki kanannya menjuntai ke arah bawah. Arca Budha avalokitesvara ini mengambil sikap tangan varamudra yang artinya Budha sedang memberikan pengajaran. Arca bodhisatva vajrapani digambarkan menghadap ke uata. Dalam arca ini, Budha digambarkan sedang dalam posisi duduk dengan posisi kaki kanan dilipat dengan telapak kaki Budha menyentuh paha, Candi mendut memang cukup unik bila dibandingkan dengan candi candi Budha lain di Indonesia. Keunikan candi mendut dapat dilihat dari ukuran arca Budha yang terbilang besar untuk ukuran candi Budha di Indonesia, khususnya candi di sekitar Jawa Tengah. Candi Mendut juga memiliki banyak relief yang menjelaskan cerita Jataka. Cerita dalam relief di Candi Mendut banyak yang menjelaskan hukum sebab akibat yang tentunya sangat bermanfaat untuk diketahui bersama.



1.1.



METODE



Metode yang digunakan 



Penelitian deskkriptif tujuan sebagai prosedur pemecahan masalah yang



diselidiki dengan penelitian dapat lembaga, masyaraka 



Komparatif penelitian yang sifatnya membandingkan, yang dilakukan untuk



membandingkan persamaan dan perbedaan 2 atau lebih sifat-sifat dan fakta-fakta objek yang diteliti berdasarkan suatu kerangka



2.



HASIL DAN PEMBAHASAN



Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha, Mendut berasal dari kata VenuVana-Mandira, arti kata itu adalah candi di tengah hutan bambu. Candi Mendut terletak di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa tengah, sekitar 38 km ke arah barat laut dari Yogyakarta. Lokasinya hanya sekitar 3 km dari Candi Barabudhur, yang mana Candi Buddha ini diperkirakan mempunyai kaitan erat dengan Candi Pawon dan Candi borobudur. Ketiga candi tersebut terletak pada satu garis lurus arah utara-selatan. Belum didapatkan kepastian mengenai kapan Candi Mendut dibangun, namun J.G. de Casparis menduga bahwa Candi Mendut dibangun oleh raja pertama dari wangsa Syailendra pada tahun 824 M. Dugaan tersebut didasarkan pada isi Prasasti Karangtengah (824 M), yang menyebutkan bahwa Raja Indra telah membuat bangunan suci bernama Wenuwana. Casparis mengartikan Wenuwana (hutan bambu) sebagai Candi Mendut. Diperkirakan usia candi Mendut lebih tua daripada usia Candi Borobudur. Di dalam Candi Mendut terdapat 3 (tiga) patung besar, candi mendut bagi umat Budha mempunyai makna tersendiri. Ketiga arca Budha yang berada di bilik candi ini dianggap masih memancarkan sinar kesucian. Arca-arca Buddha yang berada di dalam bilik Candi Mendut ini adalah, Arca Dyani Buddha Sakyamuni atau Vairocana, Arca Budha Avalokitesvara atau Lokesvara, dan Arca Bodhisatva Vajrapani atau Maitreya. Arca ini digambarkan dalam posisi duduk, kaki kiri dilipat kedalam dan kaki kanan menjuntai ke bawah. Arca Bodhisatva Vajrapani yang terletak di sebelah kiri arca Budha Sakyamuni menghadap ke utara, digambarkan dengan mengenakan pakaian kebesaran seperti arca Bodhisatva Avalokitesvara. Candi ini pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1836. Seluruh bangunan candi Mendut diketemukan, kecuali bagian atapnya. Pada tahun 1897-1904, pemerintah Hindia Belanda melakukan uapaya pemugaran yang pertama dengan hasil yang cukup memuaskan walaupun masih jauh dari sempurna. Kaki dan tubuh candi telah berhasil direkonstruksi. Pada tahun 1908, Van Erp memimpin rekonstruksi dan pemugaran kembali Candi Mendut, yaitu dengan menyempurnakan bentuk atap, memasang kembali stupa-stupa dan memperbaiki sebagian puncak atap. Pemugaran sempat terhenti karena ketidaktersediaan dana, namun dilanjutkan kembali pada tahun 1925.



Candi Mendut memiliki denah dasar berbentuk segi empat.Tinggi bangunan seluruhnya 26,40 m.Tubuh candi Buddha ini berdiri di atas batu setinggi sekitar 2 m. Di permukaan batu terdapat selasar yang cukup lebar dan dilengkapi dengan langkan. Dinding kaki candi dihiasi dengan 31 buah panel yang memuat berbagai relief cerita, pahatan bunga dan sulur-suluran yang indah.Di beberapa tempat di sepanjang dinding luar langkan terdapat jaladwara atau saluran untuk membuang air dari selasar. Jaladwara terdapat di kebanyakan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, seperti di Candi Borobudhur, Candi Banyuniba, Candi Prambanan dan di Situs Ratu Baka. Jaladwara di setiap candi memiliki bentuk yang berbeda-beda.Tangga menuju selasar terletak di sisi barat, tepat di depan pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi. Pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi dilengkapi dengan bilik penampil yang menjorok keluar. Atap bilik penampil sama tinggi dan menyatu dengan atap tubuh candi. Tidak terdapat gapura atau bingkai pintu pada dinding depan bilik penampil. Bilik itu sendiri berbentuk lorong dengan langit-langit berbentuk rongga memanjang dengan penampang segi tiga.Dinding pipi tangga dihiasi dengan beberapa panil berpahat yang menggambarkan berbagai cerita yang mengandung ajaran Buddha. Pangkal pipi tangga dihiasi dengan sepasang kepala naga yang mulutnya sedang menganga lebar, sementara di dalam mulutnya terdapat seekor binatang yang mirip singa. Di bawah kepala naga terdapat panil begambar makhluk kerdil mirip Gana.Atap candi itu terdiri dari tiga kubus yang disusun makin ke atas makin kecil, mirip atap candi-candi di Komplek Candi Dieng dan Gedongsanga. Di sekeliling kubus-kubus tersebut dihiasi dengan 48 stupa kecil. Puncak atap sudah tidak tersisa sehingga tidak diketahui lagi bentuk aslinya. Candi Mendut memang berbeda dengan candi yang berada di Indonesia. Sebagai candi Buddha, candi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Tidak saja keberadaan arca Buddha ukuran besar, candi Mendut ini juga dihiasi dengan relief-relief yang menggambarkan ceritera-ceritera Jataka, yang sarat dengan makna ajaran-ajaran hukum ‘Sebab dan Akibat.’ Relief di sebelah kanan menggambarkan, kura-kura yang dalam keadaan bahaya diselamatkan oleh dua ekor burung bangau. Relief lainnya mengisahkan tentang seekor kera yang ditolong dan diseberangkan seekor buaya. Si kera naik di punggung



buaya. Di tengah sungai buaya berhenti, dan ingin merobek perut kera dengan giginya yang tajam. Di relief lain menggambarkan seekor gajah yang menjadi ganas ketika berada di tengah-tengah mereka yang sedang dihukum karena kejahatan. Tetapi gajah itu menjadi lembut dan jinak ketika berada di dekat para pertapa, para bhiku, yang suasananya tenang dan teduh. Dan masih banyak lagi relief ceritera fable dari kisah Jataka yang dipahatkan di candi ini. Karena candi Mendut ini dulu dibangun tidak hanya sebagai tempat pemujaan dan samadi, tetapi juga sebagai tempat untuk memperdalam ajaran-ajaran Budha bagi umatnya.Di sebelah kanan pintu masuk ke bilik candi Mendut (sisi utara), ada sebuah relief Kuvera. Penggambarannya, ada seorang lelaki yang yang duduk dikelilingi anak-anak. Di bawahnya ada kendikendi yang penuh dengan uang. Tetapi setelah bertemu dengan sang Budha dan diberi ajaran moral dan budi pekerti luhur, dia bertobat dan berubah perangai menjadi pelindung anak-anak.Di sisi kiri (sisi selatan) pintu masuk ke bilik candi mendut, terpahatkan relief Hariti yang duduk memangku anak. 3.1. 3.2.



Krakter Arsiteketur Percandian Jawa Tengah



Karakter Arsitektur Candi Mendut



Hiasan - Hiasan Pada Candi



Kamadhatu ( bagian Dasar atau kaki candi ).Melambangkan Dunia manusia yang masih penuh dengan Dosa, dari perbuatan yang penuh dengan Maksiat.Di bagian Kamadhatu terdapat hiasan hiasan pada bagian perangkat tangga yg berada didepanambang pintu yang menuju ke ruangan Cand



. Anak Tangga Candi Mendut



Makara Di bagian ujung depan Pipi tangga candi, terdapat Makara yang berada di samping kanan dan kiri. Ragam Hias pada Kaki Candi



Ragam hias pada dinding kaki candi di penuhi dengan Relief flowra dan fauna, juga para dewa dewi penghuni kahyangan. Pipi tangga Candi Bagian pipi tangga candi sebelah utara, terdapat beberapa relief yang terkenal dengan sebuah



pesan



moral



yang



terdapat



dalam



kisah cerita



jataka.



Pipi tangga CandiBagian Pipi tangga Candi sebelah selatan, sama halnya dengan ukiran hiasan relief yang mempunyai pesan moral, sama halnya trdapat pada cerita Jataka.Relief Pancatantra pada pipi tangga Candi mendut di sebelah kanan Utara Angsa dan Kura kura



Seekor kura kura yang bertempat tinggal di Danau Kamudawati, yang airnya berasal dari telaga manasasara. Di tempat itu pula tinggal sepasang angsa jantan dan betina, angsa



jantan



bernama cakrangga dan



angsa



betina



bernama cakranggi,



yang



bersahabat dengan kura kura. Ketika musim kemarau tiba, air di danau pun menjadi kering. Dan semua penghuni danau pun, pergi mencari danau lain yang mempunyai air untuk kebutuhan hidupnya. Sepasang angsa pun melakukan hal yang sama dengan hewan hewan lainnya, pergi mencari danau yang masih memiliki persediaan air yang cukup untuk bertahan hidup, saat kedua angsa tersebut berpamitan kepada kura kura, mengatakan bahwa ke dua angsa tersebut ingin hijrah atau pindah tempat ke kaki Gunung Himawan yang bernama danau Manasana, menggambarkan air itu jernih, bening dan dalam, tidak akan habis walaupun musim kemarau datang, kata si angsa seperti itu, si kura kura yang bernama Kecapa pun ingin mengikuti kemana arah angsa tersebut pergi mencari danau yaang memiliki cukup air, dengan tujuan mereka menunjukan suatu tempat di kaki gunung, akhirnya dengan niat mengajak kura kura pergi dan meninggalkan danau yang kering tersebut. Dan membawa kura kura terbang dengan cara menggigit bagian tengah batang kayu, pada bagian setiap ujung di gigit menggunakan paruh oleh kedua angsa jantan dan betina. Sebelum perjalanan melalui penerbangan, ke dua angsa memberikan pesan ke pada kura kura, supaya tidak membuka mulutnya di tengah tengah penerbangannya, walaupun apa yangbterjadi, dan si kura kura kecap mengiyakan pesan kedua angsa tersebut, lalu terbanglah kedua



angsa dwngan membawa kura kura si kecapa, di tengah tengah perjalanan, saat melewati sebuah pedesaan, anak anak desa melihat kejadian tersebut, maka mengejek dan mengata ngatai si kura kura sebagai kotoran sapi lering yang di bawa kedua angsa, maka mendengar ejekan dari anak anak desa tersebut, terselip niat dari kura kura membalas ejekan dari anak anak desa itu. Akan tetapi, seketika ia membuka mulutnya, gigitan kayu tersebut lepas dan si kura kura pun jatuh di kerumunan anak anak yang di bawahnya. Kedua angsa Cakrangga dan cakranggi sangat menyesalkan kejadian itu, lalu ke dua angsa tersebut melanjutkan perjalanan menuju kaki gunung himawan di sebuah danau yang bernama manasasana.Adalah relief Brahmana dengan seekor kepiting, berada pada pipi tangga sebelah kanan Utara



Arca Ganda



Arca Ganda



Ke dua arca Gana yang terdapat pada bagian bawah makara, Seringya arca gana berdiri, posisi ke dua tangan di atas kepala, menunjukan sedang mengangkat atau menahan beban yang di angkatnya.Namun posisi Gana dalam Candi Mendut ini dalam posisi duduk bersila dan satu kakinya setengah berdiri dan di tekuk ke dalam.Masih Banyak lagi hiasan hiasan ukiran berbentuk relief yang berada pada bagian Kamadhatu, khususnya pada bagian kaki Candi.



Penemu kembali candi mendut



penemuan kembali candi mendut terjadi di tahun 1836. Pada saat itu, berhasil ditemukan seluruh bagian candi mendut kecuali bagian atap dari candi. Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu melakukan pemugaran sejak tahun 1897 sampai 1904. Hasil dari upaya ini cukup baik dengan berhasil mengembalikan bagian kaki dan tubuh candi lewat rekonstruksi. Meski begitu, terdapat beberapa bagian candi yang masih belum dapat direkonstruksi kembali. Empat tahun berselang, Van Erp menjadi pemimpin untuk kegiatan rekonstruksi Candi Mendut tahap dua. Tim ini melakukan aktivitas pengembalian bentuk atap candi, pemasangan stupa stupa dan perbaikan pada beberapa puncak atap candi. Tujuan rekonstruksi ini cukup baik hanya saja sempat terkendala dana di tengah prosesnya. Kegiatan rekonstruksi ini baru dimulai kembali di tahun 1925. Berkat upaya rekonstruksi ini, kita kini dapat menikmati keunikan candi mendut sambil mempelajari sejarah candi mendut dan pesan dibalik setiap arsitekturnya. Sejarah Candi Mendut



http://www.mercubuana.ac.id Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, Candi Mendut merupakan candi bercorak Budha yang cukup terkenal baik dalam skala nasional atau pun mancanegara. Kata mendut sendiri berasal dari kata Venu, Vana, Mandira yang artinya candi yang berada di tengah hutan bambu. Sejarah awal pembangunan candi mendut masih memiliki beberapa versi dan belum dapat dipastikan kebenarannya, sejarawan terkenal bernama J.G. de Casparis memaparkan bahwa candi mendut dibangun pada masa kerajaan dinasti Syailendra di tahun 824 M. Hal ini berdasarkan isi dari Prasati Karangtengah per tahun 824 M. Di dalam prasasti tersebut disebutkan bahwa Raja Indra membangun sebuah bangunan suci dan menamainya Wenuwana. Wenuwana atau hutan bambu ini diartikan oleh de Casparis sebagai Candi Mendut. Dengan menggunakan asumsi, maka sejarah candi mendut sudah dimulai sebelum candi borobudur. Candi mendut memiliki umur yang lebih tua dibandingkan Candi Borobudur, salah satu candi terbesar dan tersohor di dunia yang sempat masuk ke 7 Keajaiban Dunia. Arsitektur candim mendut secara umum, candi mendut memiliki denah dengan bentuk persegi. Candi mendut memilki tinggi bangunan keseluruhan 26.4 m. Bagian tubuh candi berada di atas batu dengan tinggi 2 m. Di permukaan batu tersebut memilki selasar yang lebar. Di dinding candi mendut, terdapat kurang lebih 31 panel yang menampilkan beberapa relief cerita, sulur suluran serta pahatan bunga yang menandakan corak dari candi mendut. Bila Anda berkunjung ke candi ini, Anda akan melihat beberapa saluran untuk membuang



air dari selasar di sepanjang dinding luar langkan. Bagian saluran ini disebut dengan jaladwara. Jaladwara ini menjadi ciri khas pada candi candi yang berada di kawasan Jawa Tengah. Jenis jaladwara ini dapat Anda temukan pada candi candi terkenal di Jawa Tengah & Yogjakarta seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Situs Ratu Baka dan Candi Banyuniba. Meski begitu, bentuk jaladwara tidaklah sama dan memilki ciri sendiri sesuai dengan ciri khas candi tersebut.



bagian tangga candi terletak di sisi barat candi yang juga berada di depan pintu masuk ke dalam tubuh candi. Di pintu masuk candi ini, Anda bisa melihat bilik penampil yang menjorok keluar. Bilik penampil ini memiliki tinggi yang serupa dengan atap candi sehingga terlihat menyatu dengan tubuh candi. Pintu masuk tubuh candi ini tidak memiliki garupa ataupun bingkai pintu sebagaimana candi lainnya. Bilik ini memiliki bentuk berapa lorong dengan langit berongga rongga memanjang dengan penampang segi tiga. Relief candi mendut sebagaimana candi lainnya, candi mendut juga memiliki relief dengan corak yang khas. Berikut merupakan beberapa relief yang berada di candi mendut:







Relief Kuwera & Hariti



Relief kuwera atau Ayataka adalah relief yang terukir di bagian dinding utara di bilik penampil. Kuwera sendiri adalah raksasa pemakan manusia yang dikisahkan melakukan pertobatan setelah bertemu dengan Budha. Kuwera ini memiliki istri bernama Hariti. Hariti sendiri memiliki kisah hidup yang sama dengan Kuwera. Ia adalah raksasa pemakan manusia yang juga akhirnya bertobat setelah bertemu Budha. Hariti kemudian menjadi seorang pelindung bagi anak anaknya dengan Kuwera, Selain di candi mendut, relief Kuwera dan Hariti ini juga banyak terdapat pada candi lain seperti Candi Sewu, Candi Kalsan dan Candi Banyuniba. Di dalam relief yang terukir di candi mendut, tergambang kuwera sedang duduk di atas bangku. Di sekelilingnya anak anak kuwera terlihat sedang bermain. Di bawah tempat duduk Kuwera, terdapat pundi pundi uang. Gambar ini menjelaskan Kuwera sebagai dewa kekayaan. Sedangkan di relief Hariti, Anda bisa melihat gambaran yang serupa. Hariti terlihat sedang duduk di kursi dengan memangku anaknya. Terdapat juga beberapa anak Hariti dan Kuwera yang juga sedang bermain. 



Relief Bodhisattva Ayalokitesvara



Relief ini menerangkan kehidupan Budha. Relief ini terletak di dinding selatan Candi Sewu. Di dalam relief ini, Budha digambarkan sedang duduk diatas padmasana atau singgasana dari bunga padma. Budha duduk di bawah pohon kalpataru. Dalam relief ini, Dewi Tara juga tampak sedang duduk di atas padmasana di sisi kiri Budha. Sedangkan pada sisi kanan juga terdapat perempuan yang duduk juga di atas padmasana. Di sisi kiri dan kanan atas tergambar gumpalan awan. Di gumpalan awan itu, tergambar pria yang membaca kitab. Sedangkan di siis kiri dan kanan relief ini tergambar pilar batu yang bertumpuk, di atas pilar tersebut tergambar Gana yang sedang berjongkok dan menyangga sesuatu. Di depan Budha duduk, terdapat kolam dengan banyak bunga teratai. Air kolam ini direpresentasikan sebagai air mata Budha akibat kesedihan Budha yang sedang memikirkan umatnya yang sengsara di dunia. Di depan kolam ini juga terlihat dua perempuan yang muncul dari sela kolam teratai. 



Relief Bodhisatwa



Relief ini terletak di sisi dinding timur Candi Mendut. Di dalam relief ini, terlihat Budha dengan sosok memiliki tangan empat yang berdiri di atas lingga. Di relief ini, Budha menggunakan pakaian kebesaran raja. Budha digamabrkan memancarkan sinar dewa dari kepalanya. Tangan kiri belakang Budha terlihat memegang kitab sedangnya tangan kanannya memegang tasbih. Tangan depan Budha menggambarkan sikap yaramudra. Yaramudra adalah sikap Budha sedang bersila dengan bentuk tangan memberi anugrah. Di sebelah kiri Budha terlihat terdapat bunga teratai yang seolah keluar dari bejana.







Relief Dewi Tara sisi utara Candi Mendut, terlihat relief yang menggambarkan Dewi Tara. Di dalam



relief ini, terlihat Dewi Tara yang duduk di atas padmasana dengan kedua orang lelaki di sisi kiri dan kanannya. Dewi Tara dalam relief ini digambarkan memiliki delapan tangan. Tangan Dewi Tara memegang beberapa barang seperti tiram, wajra, cakra, tasbih, kapak, tongkat, kitab dan cawan. 



Relief Sarwaniwaranawiskhambi Dalam relief ini, digambarkan Sarwaniwaranawiskhambi yang berdiri di bawah



payung. Relief ini terletak di sisi barat depan Candi Mendut. Di dalam relief ini Sarwaniwaranawiskhambi terlihat memakai pakaian kebesaran kerajaan. Arca Budha pada Candi Mendut



salah satu bagian sejarah candi mendut adalah adanya arca besar yang unik. Bagian arca ini terletak di bagian tubuh candi mendut. Terdapat 3 buah arca Budha besar, yang terdiri dari; 1.



Arca Dyani Budha Cakyamumi



Cara ini juga di kenal dengan nama viarocana.Arca ini terletak di tengah candi dengan menghadap bagian barat candi mendu.Arca ini ini terlihat dalam posisi dudk dengan kedua kakinya menyuki ke bawah.kakinya menampak di landasangan yang memiliki



bentuk bunga teratai.sementara tangan arca dyakni budha cakyamimi bersikap dharmachakramudra. Sikiap ini bermakna budha yang sedang memutarroda kehidupan. 2. Arca Budha Ayalokitesyara Arca budha ayalokitesyara atau lokesyara terletak di sebela utara dyani budha cakyamumi arca ini menghadap ke sebelah selatan candi mendut.Ddalam arca ini budha di gambarkan sedang duduk dengan kaki kirinya di lipat kedalam.sementara kaki arca



di



kananyamenjuntai



kearah



bawah



arca



budha



sedang



memberikan



pelajaran.Arca lokesyara ini di rupakan memakai pakian kebesaran kerajaan dengan di timbah perhiasan di bagian leher,bahu telinga . Tak lupa ada mahkota yang menambah keagungan dari arca ini.Sejarah kerajaan Islam Di Indonesia 3. Arca Bodhisatva Vajrapani Arca ketiga ini memiliki letak di sebelah kiri archa Budha Sakyamuni. Arca bodhisatva vajrapani digambarkan menghadap ke uata. Dalam arca ini, Budha digambarkan sedang dalam posisi duduk dengan posisi kaki kanan dilipat dengan telapak kaki Budha menyentuh paha. Sementara paha kirinya digambarkan menjuntai ke bawah. Sama halnya seperti arca Budha avalokitesvara, arca bodhisatva vajrapani juga digambarkan memakai pakaian kebesaran kerajaan, Dari artikel ini, dapat kita lihat bahwa sejarah candi mendut cukup panjang dan memiliki banyak cerita di dalamnya. Candi mendut memang cukup unik bila dibandingkan dengan candi candi Budha lain di Indonesia. Keunikan candi mendut dapat dilihat dari ukuran arca Budha yang terbilang besar untuk ukuran candi Budha di Indonesia, khususnya candi di sekitar Jawa Tengah. Candi Mendut juga memiliki banyak relief yang menjelaskan cerita Jataka. Cerita dalam relief di Candi Mendut banyak yang menjelaskan hukum sebab akibat yang tentunya sangat bermanfaat untuk diketahui bersama. Relief ini tersebar di dinding candi mendut. Candi Mendut adalah salah satu candi yang wajib dikunjungi bila Anda singgah ke kawasan Jawa Tengah maupun Yogyakarta.



ARSITEKTUR CANDI Arsitektur candi merupakan salah satu bukti peninggalan masa Mataram Kuna yang fungsinya sebagai kuil atau bangunan suci. Candi dan tata ruangnya yang mewujud dalam



ruang



sakral



menampilkan



seperangkat



tanda



yang



terstruktur



yang



merepresentasikan gambaran ruang kosmos.Istilah kosmos dalam konteks kosmologi kerapkali disebut sebagai filsafat alam semesta yang berasal dari bahasa Yunani kosmos ( susunan atau keteraturan) dan logos (telaah atau studi ) (Bakker,1995., Eliade, 2002., Siswanto, 2005., Donder, 2007, Wirasanti,2015 a). Tulisan Donder (2007) menyimpulkan kosmologi merupakan ilmu pengetahuan yang menyangkut penyelidikan atau teori tentang asal usul, watak, dan perkembangan alam semesta sebagai sistem yang teratur dan sempurna.



Alam pikir masyarakat Mataram Kuna yang terpengaruh



budaya Hindu-Buddha berlandaskan pada kepercayaan adanya keserasian antara dunia manusia ( mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos). Menurut kepercayaan ini manusia selalu berada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang terpancar dari bintang-bintang dan planet. Kekuatan itu dapat membawa kebahagiaan, kesejahteraan, atau bencana tergantung dapat atau tidaknya masyarakat, atau kerajaan menyerasikan hidup dan semua kegiatannya dengan gerak alam semesta. Masyarakat atau kerajaan dapat memperoleh keserasian dengan alam semesta jika kerajaan juga bangunan candi ditata sebagai bayangannya, sebagai kosmos dalam bentuk kecil (Geldern, 1942., Soediman, 1995., Poesponegoro, 2009).



Kosmos dalam pandangan doktrin Hindu



ataupun Buddha pada prinsipnya sama. Pusat alam semesta adalah Gunung Meru yang dikelilingi samudra dan daratan yang secara vertikal dibagi menjadi tiga bagian, alam bawah atau Bhumi, alam tengah atau atmosfir, dan di atasnya adalah alam dewa (Geldern, 1942, Anom, 1997., Poesponegoro, 2009). Struktur alam semesta tersebut sama dengan struktur vertikal candi yang melambangkan Gunung Meru yang yang terdiri atas kaki candi (Bhurloka), tubuh candi (Bhuvarloka) dan atap candi (Svarloka). Tanda tersebut terhubung satu dengan lainnya sama posisinya dengan Gunung Meru yang dikelilingi samudra, dan daratan.Tata ruang halaman yang di desain berundakundak simbol sebuah perjalanan ke pusat dunia, menaiki halaman pertama ke halaman-



halaman berikutnya yang lebih tinggi



menyiratkan pesan telah memasuki ”ruang



sakral” yang mentransenden kan dunia profan (Eliade, 1957).



Gambaran



makromosmos mewujud pada ruang sakral dengan beragam wujud dan ekspresi. Hal itu menunjukan terjadi transformasi, sebagian arsitektur candi wujud dan ekspresinya tampil dengan megah dan monumental tetapi sebagian lainnya diwujudkan dengan ekspresi yang sederhana.



Struktur candi yang di terdiri atas tiga bagian terlihat



persamaannya dengan bagianbagian tubuh manusia (mikrokosmos). Secara filosofis baik candi maupun manusia adalah kosmos, untuk melihat kesamaan tersebut dapat merujuk dalam sistem yoga khususnya HastaYoga (Brown, 1959., Anom,1997). Selanjutnya dijelaskan dalam Hasta-Yoga (Anom 1997), bahwa dalam tubuh manusia terbagi menjadi lima bagian yang masing-masing disimbolkan dengan padma atau cakra. Seluruh cakra tersusun di dalam tubuh manusia yang menurut sistem HastaYoga ada tujuh buah tanda berturut-turut dari atas ke bawah : 1) sahasrara-padma adalah ubun-ubun di puncak tengkorak, 2) ajna-cakra terletak antara kedua mata, 3) visuddhi (a)-cakra terletak di tenggorokan, 4) anahata-cakra terletak di hati, 5) manipura-cakra terletak pada pusar, 6) svadhisthana-cakra terletak pada organ seks, 7) muladhara terletak antara dubur dan organ seks.



Komponen muladhara dan



visuddhi (a)-cakra terdapat merudhanda yang berdiri tegak lurus menembus semua cakra yang ada di antara kedua cakra tersebut. Murudanda ini disamakan dengan tulang sumsum manusia sebagai simbol poros atau sumbu tempat berputar dunia. Struktur padma atau cakra pada manusia jika dianalisis menunjukkan kesamaan dengan arsiektur candi yang dibaca dari bawah ke atas:



1) struktur muladhara, manipura-cakra, svadhisthana-cakra yang merupakan tanda pada manusia dapat disejajarkan dengan kaki candi simbol dari dunia bawah (Bhuvarloka), 2) pada tubuh manusia secara struktural terdapat sistem tanda anahata-cakra, manipura-cakra,



yang sejajar dengan tubuh candi yang mencerminkan simbol dunia



tengah (Bhurloka) ditandai sebuah bilik dan arca, 3) struktur Visudhi (a)-cakra, ajna-cakra, dan sahasrara-padma yang terdapat pada kepala sampai leher dapat disejajarkan dengan sistem tanda pada atap candi, simbol dunia atas (Svarloka) yakni rongga di atap candi yang terhubung dengan lobang batu penutup sungkup yang dihiasi padma. Adapun



murudanda yang menghubungkan



muladhara dengan sahasrara-padma disejajarkan dengan tulang punggung manusia, sedangkan pada candi ditandai dengan lobang (pipa penghubung) antara wadah peripih di fondasi di kaki candi menuju ke arca di bilik candi dan terus terhubung menuju rongga di atap candi. Hubungan Arsitektur Candi Dan 7 Unsur Budaya Kebudayaan Hindu - Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima seperti apa adanya, tetapi diolah, ditelaah dan disesuaikan dengan budaya yang dimiliki penduduk Indonesia, sehingga budaya tersebut berpadu dengan kebudayaan asli Indonesia menjadi



bentuk



akulturasi



kebudayaan



Indonesia



Hindu



-



Budha.



Wujud akulturasi tersebut adalah berikut ini:



1.



Bahasa



Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu bertulis) peninggalan kerajaan Hindu -



Budha pada abad 5 - 7 M, contohnya prasasti Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya 7 13 M. Untuk aksara, dapat dibuktikan adanya penggunaan huruf Pallawa, kemudian berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa Kuno.



2.



Religi/Kepercayaan



Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha masuk ke Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme. Dengan masuknya agama Hindu - Budha ke Indonesia, masyarakat Indonesia mulai menganut/mempercayai agama-agama tersebut. Agama Hindu dan Budha yang



berkembang



di



Indonesia sudah



mengalami



perpaduan



dengan



kepercayaan animisme dan dinamisme, atau dengan kata lain mengalami Sinkritisme. Sinkritisme adalah bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu. Untuk itu agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu - Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut dapat Anda lihat dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, upacara tersebut.



3.



Organisasi Sosial Kemasyarakatan



Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat Anda lihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India. Dengan adanya pengaruh kebudayaan India



tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah oleh seorang raja secara turun temurun. Raja di Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya raja-raja yang memerintah di Singosari seperti Kertanegara diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya Raja Majapahit diwujudkan sebagai Harhari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi satu). Pemerintahan Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di India dan ada juga yang menerapkan prinsip musyawarah. Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak mempunyai putra mahkota yaitu seperti yang terjadi di kerajaan Majapahit, pada waktu pengangkatan Wikramawardana.Wujud akulturasi di samping terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta. Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana (golongan Pendeta), kasta Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan), kasta Waisya (golongan pedagang) dan kasta Sudra (golongan rakyat jelata). Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh umat Hindu Indonesia tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India karena kasta India benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Indonesia tidak demikian, karena di Indonesia kasta hanya diterapkan untuk upacara keagamaan. 4.



Sistem Pengetahuan



Wujud akulturasi dalam bidang pengetahuan, salah satunya yaitu perhitungan waktu berdasarkan kalender tahun saka, tahun dalam kepercayaan Hindu. Menurut perhitungan satu tahun Saka sama dengan 365 hari dan perbedaan tahun saka dengan tahun masehi adalah 78 tahun sebagai contoh misalnya tahun saka 654, maka tahun masehinya 654 + 78 = 732 M. Di samping adanya pengetahuan tentang kalender Saka, juga ditemukan perhitungan tahun Saka dengan menggunakan Candrasangkala.



Apakah Anda sebelumnya pernah mendengar istilah Candrasangkala? Candrasangkala adalah susunan kalimat atau gambar yang dapat dibaca sebagai angka. Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti yang ditemukan di pulau Jawa, dan menggunakan kalimat bahasa Jawa salah satu contohnya yaitu kalimat Sirna ilang kertaning bhumi apabila diartikan sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4 dan bhumi = 1, maka kalimat tersebut diartikan dan belakang sama dengan tahun 1400 saka atau sama dengan 1478 M yang merupakan tahun runtuhnya Majapahit .



5.



Peralatan hidup dan teknologi



Salah satu wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi terlihat dalam seni bangunan Candi. Seni bangunan Candi tersebut memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India, karena candi di Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan. Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan. Bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orangorang terkemuka. Di samping itu, dalam bahasa kawi candi berasal dari kata Cinandi artinya yang dikuburkan. Untuk itu yang dikuburkan didalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disimpan dalam Pripih.



Dengan demikian fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan dengan raja yang sudah meninggal. Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan fungsi candi di India adalah untuk tempat pemujaan terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi yang terdapat di kota Benares



6.



merupakan



tempat



pemujaan



terhadap



dewa



Syiwa.



Kesenian



Wujud akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni rupa, seni sastra dan seni pertunjukan . Dalam seni rupa contoh wujud akulturasinya dapat dilihat dari relief dinding candi gambar timbul pada candi tersebut banyak menggambarkan suatu kisah atau cerita yang berhubungan dengan ajaran agama Hindu ataupun Budha. Relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Budha sedang digoda oleh Mara yang menarinari diiringi gendang. Relief ini mengisahkan riwayat hidup Sang Budha seperti yang terdapat dalam kitab Lalitawistara. Demikian pula halnya dengan candi-candi Hindu. Relief-reliefnya yang juga mengambil kisah yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah Ramayana yang digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi Panataran. Untuk wujud akulturasi dalam seni sastra dapat dibuktikan dengan adanya suatu ceritera/ kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber dari kitab Ramayana yang ditulis oleh Walmiki dan kitab Mahabarata yang ditulis oleh Wiyasa. Kedua kitab tersebut merupakan kitab kepercayaan umat Hindu. Tetapi setelah berkembang di Indonesia tidak sama proses seperti aslinya dari India karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa Jawa kuno. Dan, tokoh-tokoh cerita dalam kisah tersebut ditambah dengan hadirnya tokoh punokawan seperti Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Bahkan dalam kisah Bharatayuda yang disadur dari kitab Mahabarata tidak menceritakan perang antar



Pendawa dan Kurawa, melainkan menceritakan kemenangan Jayabaya dari Kediri melawan Jenggala. Di samping itu juga, kisah Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai suatu cerita dalam seni pertunjukan di Indonesia yaitu salah satunya pertunjukan Wayang. Seni pertunjukan wayang merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan wayang tersebut sangat digemari terutama oleh masyarakat Jawa. Wujud akulturasi dalam pertunjukan wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon ceritera dari kisah Ramayana maupun Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis dengan aslinya karena sudah mengalami perubahan. Perubahan tersebut antara lain terletak dari karakter atau perilaku tokoh-tokoh ceritera misalnya dalam kisah Mahabarata keberadaan tokoh Durna, dalam cerita aslinya Dorna adalah seorang maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di Indonesia Dorna adalah tokoh yang berperangai buruk suka menghasut.



7.



Sistem Mata Pencaharian



Proses Masuk dan Berkembangnya Agama Hindu-Buddha di Indonesia – Agama dan kebudayaan Hindu-Buddha masuk ke Indonesia melalui kontak perdagangan. Pada awalnya, orang-orang India bersikap aktif dalam perdagangan tersebut. Hal ini menurut Claudius Ptolomeus (Yunani) didorong oleh kekayaan Indonesia akan emas, perak, cengkih, dan lada yang menarik para pedagang mancanegara. Hubungan perdagangan ini telah berlangsung sejak sekitar abad ke-5M. Struktur, Teknik Konstruksi dan Pembangunan Candi A.



Struktur



Kebanyakan bentuk bangunan candi meniru tempat tinggal para dewa yang sesungguhnya, yaitu Gunung Mahameru. Oleh karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola yang menggambarkan alam Gunung Mahameru. Peninggalan-peninggalan purbakala, seperti bangunan-bangunan candi, patung-patung, prasasti-prasasti, dan ukiran-ukiran pada umumnya menunjukkan sifat kebudayaan Indonesia yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu-Budha.. Pada hakikatnya, bentuk candicandi di Indonesia adalah punden berundak, dimana punden berundak sendiri merupakan unsur asli Indonesia. Berdasarkan bagian-bagiannya, bangunan candi terdiri atas tiga bagian penting, antara lain, kaki, tubuh, dan atap. 1. Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan dunia bawah atau bhurloka. Pada konsep Buddha disebut kamadhatu. Yaitu menggambarkan dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis, raksasa dan asura, serta tempat manusia biasa yang masih terikat nafsu rendah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang dilengkapi dengan jenjang pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus membentuk denahnya, dapat berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Tangga masuk candi terletak pada bagian ini, pada candi kecil tangga masuk hanya terdapat pada bagian depan, pada candi besar tangga masuk terdapat di empat penjuru mata angin. Biasanya pada kiri-kanan tangga masuk dihiasi ukiran makara Pada dinding kaki



candi biasanya dihiasi relief flora dan fauna berupa sulur-sulur tumbuhan, atau pada candi tertentu dihiasi figur penjaga seperti dwarapala. Pada bagian tengah alas candi, tepat di bawah ruang utama biasanya terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih (peti batu). Sumur ini biasanya diisi sisa hewan kurban yang dikremasi, lalu diatasnya diletakkan pripih. Di dalam pripih ini biasanya terdapat abu jenazah raja serta relik benda-benda suci seperti lembaran emas bertuliskan mantra, kepingan uang kuno, permata, kaca, potongan emas, lembaran perak, dan cangkang kerang. 2.



Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap



sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Pada konsep Buddha disebut rupadhatu. Yaitu menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan kesempurnaan batiniah. Pada bagian depan terdapat gawang pintu menuju ruangan dalam candi. Gawang pintu candi ini biasanya dihiasi ukiran kepala kala tepat di atastengah pintu dan diapit pola makara di kiri dan kanan pintu. Tubuh candi terdiri dari



garbagriha, yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya berisi arca utama, misalnya arca dewa-dewi, bodhisatwa, atau Buddha yang dipuja di candi itu. Di bagian luar dinding di ketiga penjuru lainnya biasanya diberi relung-relung yang berukir relief atau diisi arca. Pada candi besar, relung keliling ini diperluas menjadi ruangan tersendiri selain ruangan utama di tengah. Terdapat jalan selasar keliling untuk menghubungkan ruang-ruang ini sekaligus untuk melakukan ritual yang disebut pradakshina. Pada lorong keliling ini dipasangi pagar langkan, dan pada galeri dinding tubuh candi maupun dinding pagar langkan biasanya dihiasi relief, baik yang bersifat naratif (berkisah) atau pun dekoratif (hiasan). 3. Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka Pada konsep Buddha disebut arupadhatu. Yaitu menggambarkan ranah surgawi tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan bersemayam. Pada umumnya, atap candi terdiri dari tiga tingkatan yang semakin atas semakin kecil ukurannya. Sedangkan atap langgam Jawa Timur terdiri atas banyak tingkatan yang membentuk kurva limas yang menimbulkan efek ilusi perspektif yang mengesankan bangunan terlihat lebih tinggi. Pada puncak atap dimahkotai stupa, ratna, wajra, atau lingga semu. Pada candi-candi langgam Jawa Timur, kemuncak atau mastakanya berbentuk



kubus atau silinder dagoba. Pada bagian sudut dan tengah atap biasanya dihiasi ornamen antefiks, yaitu ornamen dengan tiga bagian runcing penghias sudut. Kebanyakan dinding bagian atap dibiarkan polos, akan tetapi pada candi-candi besar, atap candi ada yang dihiasi berbagai ukiran, seperti relung berisi kepala dewa-dewa, relief dewa atau bodhisatwa, pola hias berbentuk permata atau kala, atau sulur-sulur untaian roncean bunga. B.Teknik Konstruksi dan Pembangunan Candi



1.



Bahan bangunan



Tumpukan susunan balok batu andesit di Borobudur yang rapi dan saling kunci menyerupai balok permainan lego.



Candi Blandongan di kompleks percandian Batujaya, Karawang, Jawa Barat, berbahan bata merah. Bahan material bangunan pembuat candi bergantung kepada lokasi dan ketersediaan bahan serta teknologi arsitektur masyarakat pendukungnya. Candi-candi di Jawa Tengah menggunakan batu andesit, sedangkan candi-candi pada masa Majapahit di Jawa Timur banyak menggunakan bata merah. Demikian pula candi-candi di Sumatera



seperti Biaro Bahal, Muaro Jambi, dan Muara Takus yang berbahan bata merah. Bahanbahan untuk membuat candi antara lain: 1. Batu andesit, batu bekuan vulkanik yang ditatah membentuk kotak-kotak yang saling kunci. Batu andesit bahan candi harus dibedakan dari batu kali. Batu kali meskipun mirip andesit tapi keras dan mudah pecah jika ditatah (sukar dibentuk). Batu andesit yang cocok untuk candi adalah yang terpendam di dalam tanah sehingga harus ditambang di tebing bukit. 2. Batu putih (tuff), batu endapan piroklastik berwarna putih, digunakan di Candi Pembakaran di kompleks Ratu Boko.. Bahan batu putih ini juga ditemukan dijadikan sebagai bahan isi candi, dimana bagian luarnya dilapis batu andesit 3. Bata merah, dicetak dari lempung tanah merah yang dikeringkan dan dibakar. Candi Majapahit dan Sumatera banyak menggunakan bata merah. 4. Stuko (stucco), yaitu bahan semacam beton dari tumbukan batu dan pasir. Bahan stuko ditemukan di percandian Batu Jaya. 5. Bajralepa (vajralepa), yaitu bahan lepa pelapis dinding candi semacam plaster putih kekuningan untuk memperhalus dan memperindah sekaligus untuk melindungi dinding dari kerusakan. Bajralepa dibuat dari campuran pasir vulkanik dan kapur halus. Konon campuran bahan lain juga digunakan seperti getah tumbuhan, putih telur, dan lain-lain. Bekas-bekas bajralepa ditemukan di candi Sari dan candi Kalasan. Kini pelapis bajralepa telah banyak yang mengelupas. 6. Kayu, beberapa candi diduga terbuat dari kayu atau memiliki komponen kayu. Candi kayu serupa dengan Pura Bali yang ditemukan kini. Beberapa candi tertinggal hanya batu umpak atau batur landasannya saja yang terbuat dari batu andesit atau bata, sedangkan atasnya yang terbuat dari bahan organik kayu telah lama musnah. Beberapa dasar batur di Trowulan Majapahit disebut candi, meskipun sesungguhnya merupakan landasan pendopo yang bertiang kayu. Candi Sambisari dan candi Kimpulan memiliki umpak yang diduga candi induknya dinaungi bangunan atap kayu. Beberapa candi seperti Candi Sari dan Candi Plaosan memiliki komponen kayu karena pada



struktur batu ditemukan bekas lubang-lubang untuk meletakkan kayu gelagar penyangga lantai atas, serta lubang untuk menyisipkan daun pintu dan jeruji jendela. 2.



Konstruksi



Bangunan candi di Indonesia umumnya dibangun dengan cara a joint vif, yaitu bebatuan yang saling ditumpuk diatasnya tanpa ada bahan pengikat. Pada awalnya teknik penumpukan batu dilakukan dengan cara membuat perkuatan dengan memotong bagian balok batu untuk membuat semacam lidah dan tekukan yang saling mengunci dengan balok-balok yang bersebelahan baik secara mendatar maupun ke atas. Pada awal abad ke-9, ahli bangunan Jawa menggunakan teknik India mengenai dinding batu berdaun ganda. Jawa merupakan satu-satunya wilayah di Asia Tenggara yang menggunakan cara konstruksi seperti ini. Teknik ini memerlukan pembuatan sepasang dinding sejajar dan pengisian rongga diantaranya dari puing atau dari batu dengan bentuk yang tidak beraturan direkatkan dengan lumpur, kadang-kadang ditambah sedikit kapur seperti di Loro Joggrang. Lapisan luar batu biasanya diarahkan ke bagian luar dalam serangkaian bebatuan. menggantung berjarak tidak rata yang menghasilkan kesan bagian luar bagikan dipahat atau di sesak. Setelah abad ke 9, teknik kontruksi candi agak sedikit berubah sejalan dengan peralihan pusat politik pada masa itu ke Jawa Timur. Pembangunan candi memiliki tata cara dan upacara ritual. Upacara yang dilaksanakan serigkali dicatat dalam tulisan batu (piagem) atau lempengan perak atau tembaga. Yang brinisiatif membangun candi pada pertama kalinya adalah bangsawan (orang suci) dengan mengajak orang-orang di kampungnya (sekelilingnya) untuk bergotong royong membangun candi. Pertama sekali bangsawan yang menyelenggarakan acara membagikan hadiahpada semua orang yang datang. Kemudian peserta menghiasi diri dengan bunga dan pewarna dan batu suci diletakkan ditengah halaman candi yang yang akan dibangun



KESIMPULAN



Indonesia terdiri dari begitu banyak candi.Candi di Indonesia dapat dibagi berdasarkan letaknya, seperti candi bahal di Sumatera Utara, candi Dieng di Jawa Tengah, candi Singasari di Jawa Timur, dan Pura Tanah lot di Bali.Selain itu, candi di Indonesia juga dapat dibagi berdasarkan agama, hirarki,ukuran, dan fungsi.Struktur candi terdiri dari kaki candi, tubuh candi, dan atap candi.Batu adesit, batu putih, batu merah, stuko, bajralepa dan kayu sering digunakan sebagai bahan dalam pembuatan candi.Dengan adanya candi di Indonesia, unsur-unsur budaya Indonesia sangat terpengaruhi, terutama dengan masuknya agama Hindu-Buddha.