Candra Kirana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Candra Kirana



Karangan Ajip Rosidi Terbit 1983 oleh Pustaka Jaya | Cetakan pertama: 1962 | Binding: Hardcover | Halaman: 272 | Karakter: Dewi Anggraeni, Raden Panji, Dewi Sekar Taji. Candra Kirana: sebuah saduran atas sebuah Cerita Panji. Termasuk Seri Pustaka Klasik Indonesia No. 1 Ilustrasi oleh A. Wakidjan



DEWI ANGGRAENI



Bagaikan sebuah mata air yang jernih-bening keluar dari tebing di pegunungan, atau laksana sekuntum bunga yang kembang di tengah kesunyian hutan, segar serta indah, demikianlah Dewi Anggraeni bagi Raden Panji Kuda Waneng Pati putera mahkota kerajaan Janggala yang jaya. Tepekur pahlawan Kahuripan itu di depan keindahan dan keheningan alami yang terpancar dari senyuman yang mekar pada bibir yang indah. Adakah yang lebih indah dalam hidup ini daripada mereguk keindahan alami sepanjang hayat dikandung badan? Adakah yang lebih bahagia daripada duduk berdampingan dengan bunga jelita itu menyusuri sisa usia? Bertemu tangan dengan tangan, melalui pancaran mata yang sama-sama mengerti, maka hati pun memadu. Anggraeni! Nama yang nyaman terdengar itu terukir dengan indahnya dalam sanubari calon pemangku takhta Janggala. Tetapi, aduhai! Kebahagiaan tak semudah itu dicapai! Kedudukan putra mahkota yang oleh orang lain diperebutkan, baginya bagaikan sebungkah karang yang menjulang menghalang. Ayahanda, seorang yang bercita-cita tinggi. Baginda memimpikan kebesaran kerajaan yang sekali pernah dipersatukan oleh leluhur mereka, Sang Airlangga yang jaya kembali bisa tercapai dengan mengadakan perkawinan antara putranda Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan putri Kadiri, Dewi Sekar Taji. Persetujuan telah tercapai oleh kedua belah fihak, selagi kedua bayi masih dalam kandungan. Keduanya telah dipertautkan oleh perjanjian dua kerajaan yang samasama ingin meniadakan batas yang dibuat oleh Empu Bharada yang sakti itu. Sejak masih kecil Raden Panji sudah tahu bahwa ia telah dipertunangkan oleh ayahanda dengan puteri Kadiri, yang masih terhitung kerabatnya juga. Pertunangan yang didukung oleh cita-cita yang luhur itu, sangat direstui oleh para tetua kerajaan kedua belah fihak. Resi-resi Syiwa dan Wisynu memberikan berkahnya, lantaran mereka pun masih terkenang akan perjuangan Sang Airlangga tatkala hendak membangun kerajaannya yang besar. Raden Panji menerima berita tentang pertunangannya itu sewajarnya saja. Ia masih kecil amat untuk mengerti dan memikirkan hal-hal yang bersangkut-paut dengan hal tersebut. Bahkan ia merasa senang hatinya, tatkala ia masih berusia tujuh atau delapan



tahun, diganggu oleh para pengasuhnya mengenai pertunangannya dengan Dewi Sekar Taji. Ia belum mengerti. la hanya merasa hatinya sedikit berguncang, dan merasa sedikit malu. Tetapi tatkala gangguan-gangguan itu telah biasa, ia menerimanya secara wajar pula. Tahun demi tahun tumbang, dan usianya bertambah jua. Tatkala mencapai usia delapan tahun, dipanggil baginda seorang resi yang terkenal bijaksana akan mendidiknya dalam hal kerohanian dan begitu pula seorang patih yang menjadi kepercayaan baginda, dititahkan untuk mengajarinya mengenai segala soal yang berkenaan dengan soal kenegaraan. Raden Panji mulai tenggelam dalam pelajarannya, dalam kitab-kitabnya dan dalam ilmu yang pelik-pelik. Meski nama Dewi SekarTaji masih kadang-kadang terdengar, namun ia merasa bertambah asing. Kadang-kadang ia termenung memikirkan tunangannya yang belum pernah dia jumpai itu. Ia belum juga mendapat kesempatan untuk pergi ke Kadiri akan menyambangi bakal istrinya. Baginda sendiri bukannya lupa akan pertunangan putranda dengan kemenakan baginda Dewi Sekar Taji, namun baginda berpikir, adalah lebih elok apabila Panji sungguhsungguh menghadapi pelajarannya dahulu. Bukankah ia yang kelak akan melanjutkan memangku takhta kerajaan? Bukan hanya kerajaan Janggala seperti yang dia perintah sekarang, tetapi termasuk pula Kadiri! Karena Sekar Taji adalah pewaris takhta kerajaan Kadiri. Tersenyum baginda memikirkan hal itu. Tak sia-sialah hendaknya usaha leluhurnya yang jaya serta bijaksana, Rake Halu Syri Lokesywara Dharmawangsya Airlangga Anantawikramatunggadewa! Raden Panji Kuda Waneng Pati bukan satu-satunya putra baginda. Jumlah semua putera baginda empat puluh tiga orang! Dan bukan pula ia yang tertua. Tumenggung Braja Nata lebih tua empat belas tahun daripada Raden Panji. Tetapi pada Raden Panjilah harapan baginda tertumpah, karena ia pewaris takhta yang sah, karena hanya Raden Panji saja di antara semua putranda, yang berdarah langsung keturunan Empu Sindok, cikal-bakal ahala Isyana! Maka tatkala Raden Panji berangkat remaja dan segala ilmu mengenai kerajaan dan kerohanian telah ditumpahkan semuanya oleh guru-gurunya, siaplah ia akan melaksanakan cita-cita baginda yang luhur hanya tinggal menanti saatnya saja. Namun ilmu adalah seumpama langit, makin tinggi dijelang, makin tinggi menembus



awang-awang, makin ingin hati menyelaminya! Makin banyak yang direguk, makin haus dan dahaga makin menjadi-jadi. Raden Panji merasa dahaga akan ilmu, dan banyak pertanyaan-pertanyaannya, terutama yang mengenai soal-soal rohaniah, mengusiknya tatkala merenung. Ia meminta perkenan ramanya untuk menemui para resi yang sakti dan para pendeta yang bijaksana, akan mencari penawar hausnya, penentramkan kegelisahan kalbu. Mula-mula sang baginda merasa keberatan akan mengabulkan maksud anakanda itu. Tetapi kemudian diperkenankannya juga. Bukankah maksud seperti itu adalah maksud yang sangat baik? Bukankah itu menandakan harapannya selama ini tidak sia-sia? Karena, menambah ilmu dan memperluas pengalaman dan pengetahuan, akan sangat berguna bagi kerajaan yang kelak akan diperintah oleh Raden Panji. Bukankah dahulu pun leluhurnya yang bijaksana, sang Airlangga tak jemu-jemunya berguru, tak bosanbosannya bertapa, pergi dari resi menemui resi yang lain, berangkat dari satu pendeta menemui pendeta yang lain? Sang Airlangga yang bijaksana itu telah memberi contoh yang baik dan kini anakanda, tumpuan harapan masa depannya, Raden Panji, hendak mengikuti jejak leluhurnya itu! Tidakkah itu suatu tanda yang baik? Maka karena pikiran-pikiran seperti itu, akhirnya baginda memperkenankan anakanda Raden Panji Kuda Waneng Pati mengembara ke saban Petapan, mencari resi yang sakti, mendapatkan pendeta yang bijaksana, akan menambah ilmunya. Sesungguhnya bukan persoalan-persoalan kenegaraan yang menyebabkan Raden Panji merasa tidak tenteram dan yang menyebabkan dia mesti mengembara dari petapan ke petapan. Dari patih Prasanta yang selama beberapa tahun mengajarinya pengetahuanpengetahuan kenegaraan, dia telah mendengar riwayat keturunan Isyana, tak hentihentinya berperang dan berperang dimana manusia-manusia terbunuh sia-sia, memperebutkan negara dan takhta kerajaan. Dia kagum akan moyangnya; Airlangga yang gigih serta berhasil memperbesar daulat kerajaannya, mengamankan keadaan dalam negeri yang kacau setelah diserang oleh raja Wura-wari, kemudian menaklukkan kerajaan demi kerajaan yang lain kedalam wilayah takluknya. Tetapi, kalau teringat pula olehnya, bahwa untuk maksud tersebut, tak terhitung entah berapa ribu manusia yang mati sia-sia, Raden Panji mengerutkan dahi. Adakah moyangnya itu berbahagia setelah mengurbankan demikian banyak balatentara dan tenaga? Adakah ia berbahagia setelah menentramkan



kekacauan dalam negeri dan menaklukkan kerajaan-kerajaan sekelilingnya? Adakah ia tenteram senang di atas takhta kerajaan yang meliputi wiiayah yang luasnya tak terkira, setelah lelah berjuang mati-matian sepanjang hidupnya? Raden Panji ragu untuk menjawab, "Ya, moyangku Airlangga yang bijaksana itu berbahagia melihat hasil usahanya yang tak kunjung henti selama dia hidup. Ya, ia ragu untuk meyakini jawaban seperti itu. Bukankah sang Airlangga menjelang akhir hidupnya, meninggalkan keraton setelah meminta tolong kepada Empu Bharada yang konon sakti itu membagi dua kerajaannya menjadi Janggala dan Kadiri? Ya, sang Airlangga tidak mustahil kecewa pada akhir hidupnya lantaran melihat keturunannya, anak-anaknya sendiri saing-menyaingi untuk menduduki takhta. Ya, tak mustahil sang Airlangga merasa usahanya seu'mur hidup itu sia-sia, lalu ia pun mengikuti jejak putrinda sang Kili Suci untuk bertapa di Pucangan. Dan ia, ia sendiri - Raden Panji Kuda Waneng Pati bagaimana? Akankah ia menemui kebahagiaan dan kedamaian hati apabila kelak ia menjadi raja menggantikan ayahanda memerintah kerajaan Janggala dan lantaran ia telah dipertunangkan dengan Dewi Sekar Taji, ia pun akan menguasai wiiayah Kadiri pula? Sungguh luhur cita-cita ayahanda! Baginda hendak mewujudkan kembali usaha sang Airlangga yang dahulu! Baginda hendak mempersatukan Janggala dan Kadiri pula! Dan tugas itu terpikul pada pundaknya, pundak Raden Panji! Tetapi, benarkah kelak, kalau sudah melaksanakan kewajibannya sebaik-baiknya sebagai keturunan Isyana yang bijaksana, ia bakal menemui kebahagiaan dan ketentraman batin? Begitukah hidup manusia? Berjuang membela kebahagiaan yang digariskan orang lain, untuk keperluan orang lain dan demi kebahagiaan orang lain pula? Alangkah sederhana! Namun alangkah asing dan aneh kedengarannya! Tidak, yang dia cari dari resi ke resi, dari petapan ke petapan, bukan hal-hal yang demikian ruwet. Ia ingin merasakan batinnya tenteram. Suasana dalam keraton tidak memberinya ketentraman. Ia melihat semua orang di sana, berdiri pada tempatnya, mempunyai beban yang mesti diselesaikannya. Kesibukan-kesibukan yang terasa seolaholah disibuk-sibukkan saja! Kesibukan dalam suatu perputaran yang lebih besar, yang entah akan bermanfaat ataukah tidak buat diri si petugas sendiri! Orang-orang di keraton seolah-olah bukan manusia lagi, melainkan kuda yang kalau tidak menarik kereta sebaikbaiknya akan mendapat cemeti menyambar punggung. Dan ia sendiri, kelak suatu hari,



kalau menduduki takhta, tentulah tak ubahnya dengan kusir yang selalu mengamangkan cemeti, menakuti kuda supaya jangan keluar dari jalannya. Tidak, kedudukan seorang kusir, meskipun mengusiri kerajaan yang luasnya tak terhingga, bukanlah impian yang serasi dengan jiwanya. Dalam petapan yang rimbun serta sejuk, jauh dipunggung gunung di tengah-tengah hutan, Raden Panji sering merenungkan itu semua. Alangkah berat bebannya! Alangkah berat tugasnya! Dan masih juga setiap pendeta yang ditemuinya menyadarkan dia akan tugas itu: "Kewajiban nap manusia adalah menjalankan darmanya masing-masing sebaikbaiknya. Hamba yang dilahirkan sebagai seorang berahmana menjalankan darma sebagai seorang berahmana. Dan gusti yang dilahirkan sebagai seorang satria mempunyai tugas sebagai seorang satria pula yang luhur serta suci. Hanya mereka yang menjalankan darmanya sebaik-baiknyalah yang mungkin mencapai kedamaian abadi - moksya." Kedamaian abadi! Ya, kedamaianlah yang diingininya. Apakah hanya ada satu jalan mencapai kedamaian yaitu menjalankan tugas yang dipikulkan orang kepadanya dan akan dilaksanakannya tentu dengan tidak merasa damai? Apakah hanya dengan melalui ketakdamaian saja ia bakal mencapai kedamaian? Tetapi ia bukan seorang satria kalau menyatakan ketakpenujuannya secara kasar. la menyimakkan setiap nasihat, petuah, ajaran setiap resi dan pendeta mengenai kedamaian. "Kedamaian itu," kata maharesi Saptani di pegunungan Penanggung yang dia kunjungi, "hanya bisa dicapai dengan pengetahuan. Pengetahuan apa? Yakni pengetahuan tentang kedamaian. Kedamaian di mana? Kedamaian dalam hidup, bukan? Jadi pengetahuan kedamaian apa?Tentulah pengetahuan kedamaian dalam hidup. Jadi juga pengetahuan tentang hidup. Dan pengetahuan tentang hidup tak bisa dipisahkan dari pengetahuan tentang mau". Apa mau?" Terdengar-dengar tiada segala tutur maha resi yang dalam gaya tanya-jawab sendirian itu oleh Raden Panji. Namun ia tunduk temungkul, husyu mencoba menyimakkan ajaran sang Resi Saptani. Namun tatkala akhirnya sang Resi mempersilakannya beristirahat karena malam telah larut, Raden Panji belum juga bisa mendamaikan hati-nya, "Bagaimanakah jalannya untuk mencapai pengetahuan tentang kedamaian dalam hidup? Bagaimanakah ia bisa mencapai pengetahuan tentang hidup? Tentang mati?"



Yang dia dengar dari sang resi, penuh teka-teki, bagaikan belokan-belokan yang mungkin menyesatkan. Udara malam sangat hening. Dan sejuk pegunungan memberikan suatu suasana yang sangat mengesankan. Telah sering ia bermalam di petapan-petapan sunyi di tengah hutan jauh di puncak gunung, namun suasana seperti yang dia rasakan malam itu, alangkah lain. Rabunya luas, bagaikan hendak menghirup seluruh udara. Dan dalam perasaan bahwa ia bisa menghirup seluruh alam ke dalam rabunya, ia merasakan kedamaian yang ajaib. Ia terlena. Tatkala keesokan harinya ia pagi-pagi benar keluar akan menyaksikan Batara Surya muncul nun jauh di timur terkejutlah ia lantaran melihat seorang bidadari berjalan membawa sajen. Sungguh tak percaya ia akan penglihatannya karena di hutan yang terpencil seperti itu ia tak mengira akan melihat wanita sejelita itu. Tak syak lagi. Itu bukan manusia, melainkan bidadari. Terpukau ia dengan mata terbelalak memperhatikan tingkah bidadari itu kemalu-maluan. "Siapakah dia gerangan?" tanyanya kepada dirinya sendiri, waktu akhirnya si jelita itu menghilang. Ia lupa kepada niatnya, lalu mengikuti jejak si cantik jelita. Itulah perkenalan yang pertama dengan Dewi Angraeni. Anggraeni yang kemudian memberinya perasaan damai. Apa sebabnya, kalau dia berada bersama gadis itu, hatinya merasa damai? Merasa tenang? Dan kegelisahan yang biasanya mengamuk, lenyap tak bersisa? Entahlah, entahlah. la sendiri bahkan tidak menyadari hal itu pada awalnya. Namun setelah setiap hari ia menemui gadis itu, kedamaian dan ketentraman makin berakar dalam dirinya. Kalau sehari saja ia tidak bertemu dengan gadis itu, seolah-olah sesuatu hilang dari jiwanya. Tetapi Anggraeni pun bukan orang yang suka bermimpi. Ia mengetahui siapakah gerangan jejaka tampan itu. Putra mahkota. Putra mahkota kerajaan Janggala yang jaya. Yang suatu kali kelak menentukan hidup atau mati semua kawula diseluruh kerajaan. Lain dari itu, ia pun telah pula mendengar tentang pertunangan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji. la mengetahui siapa gerangan dirinya. Wanita gunung. bukan keturunan raja, dan bukan tandingan seorang putra mahkota. Namun apakah artinya putera mahkota bagi Raden Panji? Apakah bedanya bagi Raden Panji seorang putra raja atau kawula jelata? Apakah beda antara manusia dengan manusia



yang sama-sama dihangati oleh hati yang mengenai cinta, bagi orang yang sudah ragu akan kedamaian dirinya kelak di atas takhta? Laksana sebuah mata air yang jernih bening keluar dari tebing di pegunungan, atau laksana sekuntum bunga yang kembang di tengah kesunyi-an hutan, segar serta indah, memberinya kedamaian yang sejuk. Demikianlah halnya Dewi Anggraeni bagi Raden Panji. Mata air itu takkan habis-habisnya mengeluarkan air yang jernih bening. Takkan mengenai kering musim kemarau, takkan mungkin dikotori segala sampah duniawi. Dan bunga yang kembang itu takkan layu-layu. karena takkan habis-habisnya mendapat pupuk kasih sayangnya sendiri. "Mengapa wajahmu selalu murung, puspa jelita?" tegur Raden Panji kepada Dewi Anggraeni pada suatu hari. "Takkah hatimu senang, takkah perasaanmu gembira mendapat kunjungan seorang kelana sebagai hamba?" Dewi Anggraeni menekurkan kepala. "Ampun beribu ampun hamba mohonkan" sahutnya dengan suara tak lancar. "Masakan hamba seorang hina-dina ini berani tidak bersenang hati lantaran mendapat kunjungan Gusti seorang putra mahkota yang suatu kali kelak akan menentukan mati-hidup hamba sebagai kawula?" "Jadi, apakah gerangan sebabnya maka wajahmu yang jelita itu bagaikan matahari tertutup awan? Lihat, burung-burung enggan bemyanyi lantaran melihat wajahmu muram. Dengarkan, air terjun di jauhan itu bagaikan menangis, meratap-ratap ingin mengetahui sebab-musababnya maka junjungan mereka bermuram durja. Wahai, puspita dewi, katakanlah, apakah gerangan yang merundung kalbumu, sehingga tak cerah tak gembira?" Dewi Anggraeini tidak segera menyahut. la tahu, pergaulannya dengan Raden Panji sudah terlalu jauh. Baginya sendiri bukan tanpa pengurbanan kalau berpisah dengan dia! Tetapi aduhai! Pahlawan itu telah ditakdirkan duduk bersanding dengan yang setimpal! "Mengapa tidak menyahut? Adakah sesuatu halmu yang tidak boleh Kanda ketahui?" Perlahan-lahan Dewi Anggraeni menggelengkan kepala. "Tidak, tidak. Bukan demikian ..." sahutnya. Sedangkan dalam hatinya ia berbisik, "Ah salah sangka. Disangkanya aku tidak mau berterusterang . . . Duhai bagaimana hal itu akan kuterangkan kepadanya? Bahwa sesungguhnya hatiku sendiri . . .?"



"Jadi apakah gerangan sebabnya?" tanya Raden Panji tak sabar. Dewi Anggraeni mengeluh. "Ah, Gusti tentu lebih maklum," sahutnya kemudian. Raden Panji mengerutkan dahi. Matanya tajam mengawasi Dewi Anggraeni. Meskipun ia bisa menduga, namun ia bertanya juga; "Tidak, puspa jelita. Bagiku halmu itu pekat sepekat malam tak berbintang. Katakanlah terus terang." Dewi Anggraeni tidak segera memberi jawaban. Hatinya sesak. Dan dadanya seperti padat, tak bisa mengembang. Sudut matanya terasa hangat. "Ah, jangan menangis . ..," bujuk Raden Panji. "Hamba hanya seorang gadis gunung, seorang yang lahir di tengah rimba dan agaknya telah ditetapkan Dewata, agar hidup dalam kesunyian dan meninggal dalam kesunyian ... " "Tidak! Oleh Dewata yang maha kuasa Adinda ditetapkan untuk hidup di sampingku, dan melepaskan duka kalau kelak aku meninggal." "Tidak berani hamba berpikir sejauh itu ..." "Tetapi itulah yang bakal terjadi: Akan kuminta engkau kepada orangtuamu, dan kita akan berbahagia." "Tidak! Sadarkah Gusti, siapakah sebenarnya hamba? Seorang gadis jelata! Orang gunung yang tak pantas dibawa ke tengah..." "Tetapi aku akan menempatkanmu di tengah-tengah dunia. Seluruh dunia akan menyembahmu, karena Adindalah yang akan duduk di sampingku. Itulah takdir yang telah ditetapkan oleh Mahadewa. Karena itu dititahkannya daku mengembara berkelana dari satu petapan ke lain petapan untuk menemui Adinda. Dan sekarang Adinda telah kutemui, maka apakah lagi gunanya bagiku yang lain? Kalau aku disuruh memilih antara yang lain-lain dengan Adinda, maka bunga segar indah yang tumbuh di hutan pegunungan Penanggungan ini yang akan kupilih ..." Dewi Anggraeni menyungkup wajahnya dengan kedua belah tangan. "Ampun Gusti, betapa besarnya pun kasih Gusti yang dilimpahkan kepada hamba, namun ..." "Namun apa? Cintaku tumbuh bersama-sama dengan cintamu, dan perpaduan keduanya akan membuahkan kebahagiaan yang kekal. Kebahagiaan yang akan menjadikan dunia ini surga bagi kita berdua..." "Namun, sadarlah Gusti hendaknya akan perbedaan yang terentang antara kita berdua,



ampun Gusti!" "Kalau cinta telah bersemi, kalau keduanya telah tumbuh berkembang, lenyaplah segala perbedaan antara kedua orang yang memilikinya! Antara engkau dengan daku, tak ada perbedaan. Yang ada hanyalah rentangan kasih yang dipertautkan cinta menuju gapura kebahagiaan." Anggraeni tidak menyahut. "Atau begitu hinakah cintaku, sehingga bagimu ia patut ditolak dikesampingkan?" "Ampun Gusti!" sahut Dewi Anggraeni cepat. "Bukan begitu halnya. Tak berani hamba kendati berpikiran seperti itu! Namun mengatakan hal yang sebenarnya terasa dalam hati hamba pun, hamba tidak sanggup pula!" "Apakah pula yang masih menjadi penghalang antara kita, yang masih menabiri jarak antara kita?" "Pengetahuan bahwa yang hendak memetik hamba, bukanlah sembarang, melainkan satria pilihan. Duhai, jika saja Gusti bukan seorang putra mahkota!" Raden Panji melengak. Ia menghirup nafas dalam-dalam Kemudian ia melangkah mendekati Dewi Anggraeni. Tangannya yang kanan terulur, kemudian membelai rambut hitam yang halus serta panjang itu. "Bagimu, aku bukanlah seorang putra mahkota, melainkan seorang hamba yang akan bernaung dalam teduh kedamaian hatimu." bisiknya dengan mesra. ***



SANG PRABU JAYANTAKA Termenung baginda mendengar kabar tentang pernikahan anakanda Raden Panji Kuda Waneng Pati, putra mahkota tumpuan harapan seluruh kerajaan. Ketika hal itu pertama kali disampaikan orang, baginda tidak mau percaya. Benarkah Panji berbuat seperti itu? Sejak kecil ia menunjukkan perangai seorang yang alim, yang sungguh-sungguh, yang selalu sibuk dengan kehidupan yang tak nampak pada mata orang biasa. Mungkinkah ia berbuat seperti itu? Namun tatkala berkali-kali baginda mendengar sembah itu, dan ketika akhirnya permaisuri sendiri yang mempersembahkannya kepada baginda, mau tak mau baginda mesti percaya. "Rayi," sabda baginda kepada sang permaisuri. "Dari siapakah Rayinda mendengar kabar seperti itu?" "Ampun Rakanda," sahut permaisuri. "Berita itu hamba dengar dari Anakanda sendiri." "Raden Panji?" "Sesungguhnyalah." Baginda tersentak. "Jadi Raden Panji sendiri yang mempersembahkan hal itu kepada Rayinda?" "Daulat Kanda." "Mengapa ia tidak menyampaikan hal itu kepada Kanda?" "Beribu ampun Rakanda, kelapangan dan keluasan maaf Rakanda, Rayinda minta," sahut permaisuri menghaturkan sembah. "Raden Panji tidak berani mempersembahkan hal itu langsung kepada Rakanda. Ia takut." "Takut? Mengapa pula takut?" "Ia kuatir hal itu akan membuat Rakanda murka." "Kanda murka? Kanda tidak pernah murka kepada orang yang tidak bersalah. Dan dalam hal ini, Raden Panji..." "Hamba mintakan ampun berlaksa untuk anak kita berdua itu, Rakanda." "Tetapi kenyataan bahwa Raden Panji sendiri tidak berani mempersembahkan hal tersebut kepada Rakanda, membuktikan bahwa ia sendiri sadar bahwa ia melakukan suatu..." "Ampun Rakanda."



"Ia sendiri sadar, bahwa yang dia lakukan suatu dosa...kekeliruan." "Ampun Rakanda. Raden Panji tidak berani mempersembahkan hal pernikahannya itu kepada Rakanda, karena ia merasa kuatir Rakanda murka lantaran gadis yang dia kawini itu bukan seorang keturunan raja ..." "Kalau ia tidak merasa melakukan suatu kesilapan, apa salahnya ia menyampaikan niatnya itu terlebih dahulu kepada kita?" "Ampun Rakanda." "Raden Panji tidak melakukannya. Raden Panji tidak meminta pertimbangan kita terlebih dahulu. Ia bahkan tidak memberi kabar kepada kita sebelum pernikahan berlangsung. Bahkan sesudah pernikahan berlangsung pun, ia tidak berani memberi kabar kepada Kanda, ayahnya!" "Ampun Rakanda! Ia masih muda ..." "Tetapi ia seorang putra mahkota, yang mesti tahu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar." Permaisuri tidak menyahut. "Dan lain dari itu. Rayinda pun tahu. bahwa pernikahan Raden Panji itu akan menyeret persoalan kerajaan bersamanya. Bukan hanya satu kerajaan, tetapi dua kerajaan: Janggala dan Kadiri yang dahulu sekali pernah seluruh menghaturkan sembah kepada seoi yakni moyang kita." Sang baginda baginda berhenti sebentar, kemudian, "Bukankah Rayinda masih ingat akan pertunangan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji?" "Hamba, Rakanda." "Pertunangan itu diadakan atas persetujuan kedua belah pihak. Kakanda telah berdamai dengan rayinda Sri Jayawarsya dan kami berdua telah sepakat hendak mewujudkan kembali usaha dan cita-cita moyang kita sang baginda Airlangga yang Iuhur. Kerajaan Jawa yang maha luas dan yang pernah dibagi dua oleh Empu Bharada yang sakti itu,hendak kami persatukan kembali dengan jalan menikahkan dua orang putra mahkota. Raden Panji Kuda Waneng Pati yang menjadi putra mahkota Janggala, mesti nikah dengan Dewi Sekar Taji yang menjadi putri mahkota Kadiri. Dari kedua putra mahkota itu, diharapkan akan melahirkan keturunan yang akan mewarisi kedua buah kerajaan di bawah satu kekuasaan ... "



"Hamba, Rakanda." "Dan sekarang? Sekarang Raden Panji mengawini seorang gadis yang tak keruan keturunannya, yang entah ditemuinya dimana!" "Ampun Rakanda. Meskipun benar Dewi Anggraeni bukan seorang keturunan raja, tetapi ia benar-benar seorang gadis jelita, sukar mencari bandingannya." Sang baginda memandang permaisuri tajam-tajam. "Jadi Rayi sudah bertemu dengan dia?" "Hamba, Rakanda." "Jadi Raden Panji telah membawa istrinya ke istana?" "Di kaputran." Baginda mengeluarkan nafas dalam satu hembusan yang cepat. "Dan ia belum juga meminta perkenan Rakanda..." Baginda bergumam. "Bahkan ia belum memberitahukan hal itu kepada kami..." "Ampun, Rakanda, hamba meminta kelapangan dan kedalaman lautan ampun yang hendaknya Rakanda limpahkan atas batu-kepala anakanda Raden Panji Kuda Waneng Pati..." Baginda termenung. Permaisuri tidak berani memecah kesunyian. Maka waktu pun berjenak-jenak berlalu dalam hening. "Dan apa tadi kata Rayi?" akhirnya sang baginda memecah kesepian. "Gadis yang bernama Dewi Anggraeni itu seorang gadis jelita jarang bandingannya? Ah, kalau pernikahan hanya cukup oleh kecantikan dan ketampanan belaka..." "Ampun Rakanda. Semula Rayinda pun tidak setuju demi mendengar pernikahan Raden Panji. Namun tatkala Raden Panji membawa istrinya kepada Rayi dan tatkala Rayinda menyaksikan sendiri gadis itu - menantu kita - lenyaplah kekuatiran Rayinda. la sungguhsungguh seorang gadis yang dicita-citakan setiap bunda untuk menjadi menantunya ..." "Karena ia cantik, karena ia jelita?" potong sang baginda. "Tidak hanya itu. Ia pun seorang yang berbudi halus, serta tahu akan adat. Sampai Rayinda berpikir, bagaimana mungkin seorang gadis yang berasal dari gunung yang terpencil mengetahui adat-istiadat serta sopan santun keraton sesempurna itu? Tidakkah ia mungkin seorang puteri raja yang melarikan diri?"



"Ah, janganlah Rayinda memikirkan yang bukan-bukan. Putri raja! Raja manakah yang melarikan diri ke hutan?" "Ampun, daulat Rakanda! Sangkaan itu hanyalah terbit lantaran Rayinda tercengang melihat tingkah laku Dewi Anggraeni yang sangat sempurna jua." Baginda menunggu beberapa jenak, baru kemudian menyahut, "Bagaimana pun jelitanya dia, dan bagaimana pun tingkah lakunya sopan-santun dan betapa pun sempurnanya dia sebagai gadis yang dicita-citakan oleh setiap mertua, namun kesemuanya itu lenyap artinya sekarang, berhadapan dengan persoalan kerajaan yang menyangkut-paut matihidup berlaksa jiwa kawula dua buah negara. Yang jadi persoalan bagi Rakanda sekarang, bukan hal pernikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni, tetapi persoalan yang terseret oleh pernikahan itu. Raden Panji mesti menikah dengan Dewi Sekar Taji, putri mahkota kerajaan Kadiri." Kembali suasana hening. "Bagaimanakah kelak akan Rakanda jawab kalau sekiranya Rayinda Prabu Jayawarsya meminta kita menepati janji?" "Ampun Rakanda," sahut sang permaisuri. "Bagi seorang ibu, yang menjadi idaman dan harapannya adalah kebahagiaan putra yang pernah dia kandung sembilan bulan lebih dibawah jantungnya. Adalah kebahagiaan putra yang pernah meronta-ronta meminta air susu dari dadanya. Adalah kebahagiaan putra yang pernah ditimang-dipangkunya selagi bayi. Maka tatkala hamba menyaksikan betapa rukun dan saling cinta-mencintainya Raden Panji dengan istrinya Dewi Anggraeni, kebahagiaan pun menyelimuti hati bunda yang pernah mengandung dan melahirkannya. Alangkah bahagianya putra kita! Dan melihat kebahagiaan itu, lenyap segala persoalan dan pikiran yang lain." "Itulah. Seorang bunda adalah seorang wanita. Dan seorang wanita hanya memandang apa-apa yang kelihatan oleh matanya saja. Matanya buta oleh benda yang berada di depan matanya, benda nyata, sehingga lenyaplah hakekat segala benda yang tidak nampak oleh mata. Kasih sayang seorang bunda, bukan tidak mustahil membutakan matanya kepada akibat-akibat yang mungkin timbul sebagai taruhan kebahagiaan putranya. Kebahagiaan Raden Panji Kuda Waneng Pati, bukan tidak dipertaruhi. Pada batu timbangan yang lain, nasib dan kebahagiaan kawula dua buah kerajaan besar terletak. Kalau diri Raden Panji yang kita menangkan, maka akan hancurlah negara dan kekacauan akan mengamuk di



kedua buah negara." "Ampun Rakanda. Rakanda berbicara tentang kekacauan, namun kekacauan apakah itu gerangan? Rakanda berbicara tentang kehancuran, tetapi kedua buah negara sekarang masih megah berdiri." "Itulah bukti yang senyata-nyatanya, bahwa seorang wanita hanya sanggup melihat yang terdekat dengan pandangannya. Ia tidak bisa melihat ke kaki langit yang nun di kejauhan, dan apalagi melihat apa yang terjadi di balik kaki langit itu! Tidakkah Rayinda tahu, apakah yang sekiranya terjadi kalau Rayinda Prabu Jayawarsya mendengar kabar tentang pernikahan Raden Panji putra mahkota Janggala dengan putri yang bukan putri mahkota Kadiri? Tidakkah Rayinda maklum, apakah akibatnya jika Rayinda Prabu Jayawarsa murka? Akan dikumpulkannya wadia-bala dan akan diserangnya Janggala! Perang! Peranglah yang akan menjadi taruhan pernikahan Raden Panji sekarang! Perang yang akan terjadi antara dua buah kerajaan yang berasal dari satu keturunan. Pandawa dengan Kurawa pun seperti dituturkan dalam Mahabharata, adalah berasal dari satu keturunan leluhur Bharata. Dan kedua kaum itu pun berperang. Tetapi apakah yang menjadi taruhannya? Kebenaran. Pandawa mempertahankan kebenaran, melawan dan menghapuskan keserakahan kaum Kurawa dari muka dunia. Tetapi kalau pecah perang antara Janggala dan Kadiri, apakah yang kita pertahankan? Kebenaran? Terang kita berada pada fihak yang bersalah. Kita tidak menepati janji. Kehormatan? Kehormatan, masihkah orang yang tidak menepati janji berhak bicara tentang kehormatan? Ah, Rayinda tidakkah Rayinda melihat malapetaka yang demikian besar menjadi taruhan kebahagiaan seorang Raden Panji? Tidakkah Rayinda melihat darah akan membanjir, dan mayat-mayat bergelimpangan? Mayat-mayat prajurit dan pahlawan Kadiri dan Janggala. Dan keduanya berjuang secara sia-sia. Keduanya berkelahi mempertahankan apa yang memang tak patut dipertahankan!" Baginda menjatuhkan kepala dan melipatkan kedua belah tangan di dadanya. Suasana sangat mencekam. Akhirnya sang permaisuri menyahut, suaranya mula-mula perlahan, tetapi makin lama makin tegas jua. "Mengapa Kanda melihat terlalu jauh? Mengapa Kanda membayangkan hal-hal yang buruk saja? Tidak, pernikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni, tak usah



berpengaruh kepada kerajaan. Pernikahan itu tidak membatalkan perjanjian yang telah Kanda buat dengan Prabu Jayawarsya, bukan? Tidak. Pernikahan itu mesti Kanda restui demi kebahagiaan anak kita sendiri dan demi kebahagiaan kerajaan ..." "Demi kebahagiaan kerajaan kata Rayinda?" "Ampun Kanda, demikianlah adanya." Baginda mengerutkan kening. "Bagaimana hal itu mesti diterangkan supaya Kanda menjadi maklum?" tanya baginda penuh penasaran. "Daulat Kanda, apabila sekarang Kanda memisahkan Raden Panji dari Dewi Anggraeni, bukan hanya hatinya akan hancur luluh, tetapi juga cita-cita Kanda yang luhur itu akan sirna." "Apa kata Rayinda?" "Cita-cita Rakanda yang luhur itu akan sirna, karena Raden Panji yang mesti melaksanakan cita-cita luhur itu akan mereras. Ia akan sangat berduka apabila dipisahkan dari kekasihnya. Kalau Raden Panji meninggal karena duka cita, bukan hanya Rayinda yang akan tenggelam dalam lautan kesedihan, tetapi Rakanda pun tidak mungkin melaksanakan cita-cita Kanda yang mulia itu ..." Sang baginda mengangguk-anggukkan kepala. la tidak segera bersabda, melainkan hening termenung, memandang kearah luar, seolah-olah hendak mencari sesuatu nun jauh di kaki langit. Akhirnya ia menarik nafas dalam. "Jadi bagaimanakah sebaiknya menurut Rayinda?" ia bertanya. Wajah permaisuri bercahaya. "Ampun Rakanda," sembahnya. "Menurut hemat hamba, sebaik-baiknya Rakanda menitahkan putra kita Raden Panji bersama istrinya menghadap untuk merestui pernikahan mereka ..." Kembali baginda menghela nafas. "Kanda mengerti," sabdanya kemudian dengan suara dalam. "Memisahkan keduanya dalam saat-saat seperti ini, sangat berbahaya. Terima kasih Rayinda, terima kasih Rayinda telah memperingatkan Kakanda akan akibatnya yang parah kalau Kanda bersikeras. Kanda ingin melihat cita-cita Kanda yang mulia



terlaksana. Kanda mau bersabar." Lalu baginda hening beberapa lamanya. Tangannya yang kanan mengusap-usap dagu. seolah-olah hendak memeriksa rambut yang tumbuh di sana. "Kanda percaya. kalau waktu telah berlalu, saat-saat penuh bunga telah lewat. Raden Panji takkan berat meninggalkan kekasihnya." "Jadi akan Kanda perkenankankah mereka menghadap? Akan Rakanda beri restukah mereka,'' tanya permaisuri harap-harap ccmas. Baru setelah menghela dan menghembuskan nafasnya pula, sambil menganggukanggukkan kepala baginda menyahut. "Baiklah. Baiklah nasihat Rayinda akan Kakanda turut. Mudah-mudahan akibatnya tidak sejauh yang Kakanda bayangkan... Artinya, mudah-mudahan Rayinda Prabu Jayawarsya tidak murka dan bisa dikasih mengerti. Mudah-mudahan takkan terbit bencana!" Pemiaisuri menghaturkan sembah, mengucapkan terima kasih. "Akan Rayinda sampaikan supaya Raden Panji dengan Dewi Anggraeni datang menghadap dibawah duli. Raden Panji tentu akan sangat bergembira sekali..." Sang Baginda hanya mengangguk-anggukkan kepala, sedangkan matanya masih jua menatap ke kejauhan nun ke kaki langit yang tak terjangkau, seolah-olah perhatiannya tertarik akan apa yang nampak olehnya di sana. ***



SANG PRABU JAYAWARSYA Apa yang ditakutkan oleh Sri Baginda Jayantaka Tunggadewa raja Janggala yang jaya, benar-benar terjadi. Berita mengenai pernikahan Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan Dewi Anggraeni seorang gadis tak berbangsa, yang konon ditemui Raden Panji di sebuah petapan, sampai juga kepada Sri Baginda Jayawarsya Tunggadewa, raja Kadiri. Tidak, pertama kali mendengar hal itu, baginda Jayawarsya tidak percaya. "Mana mungkin." kata baginda. "Mana mungkin Kakanda Prabu Jayantaka lupa akan perjanjian yang pernah sama-sama kita ikat! Raden Panji akan dinikahkan dengan putriku Sekar Taji, karena kami sama-sama ingin menyaksikan Janggala dan Kadiri bersatu dibawah pemerintahan keturunan mereka!" Tetapi kabar itu makin lama makin santer dan makin santer jua. Akhirnya baginda menitahkan seorang senapati untuk menyelidiki kebenaran kabar itu. Dua orang mata-mata dikirimkan ke Janggala akan membuktikan kebenaran berita yang menyinggung martabat sang baginda. Mata-mata bekerja dengan teliti dan cepat, maka seminggu kemudian kepastian mengenai berita tersebut telah mereka peroleh. Mereka mempersembahkan hasil penyelidikannya kepada sang senapati Wiranggada yang kemudian melanjutkannya kepada sang baginda. Terhenyak baginda di atas tempat duduknya. Tak sepatah pun perkataan keluar dari mulutnya berjenak-jenak lamanya. Kemudian baginda menunduk, memegang keningnya dengan tangan kanan yang bertelekan di atas lututnya. Baginda asyik berpikir. Sang senapati Wiranggada tidak berani mengganggu. Ia pun duduk diam. Kepalanya menunduk seolah-olah berat benar baginya untuk mengangkat wajah. Lama keduanya berdiam-diam demikian, sehingga Baginda mengangkat wajahnya, "Panggil menghadap semua para menteri istana. Begitu pula para tetua negara yang penting-penting! Sekarang juga bawalah mereka semua ke balairung dan menghadapku!" "Daulat Gusti. Hamba laksanakan titah Paduka" jawab senapati Wiranggada. Maka tanpa ayal lagi senapati Wiranggada memanggil semua pejabat dan pembesar



negara yang termaksud. Dan semua perintah itu ia lakukan dengan cepat. Dan tidak berapa lama kemudian, semua tetua negara dan pejabat-pejabat yang penting sudah datang menghadap di hadapan Sri Baginda Jayawarsya. Wajah mereka nampak penuh pertanyaan. karena mendapat titah menghadap bukan pada saat yang biasa. Dari sorot yang terpancar dari mata mereka kelihatan hati mereka dipenuhi tanda tanya dan dugaan-dugaan. Mereka saling pandang, saling berbisik dan saling bertanya sesamanya, tetapi mereka hanya bisa menduga-duga saja. Namun dari keangkeran suasana balairung yang seolah-olah menjadi muram oleh kemuraman durja sang baginda, mereka merasakan suasana yang menekan dan berat menyesakkan kalbu. Setelah menghaturkan sembah dengan takzimnya, mereka duduk diam-diam dengan kepala tertunduk, menanti sabda yang dipertuan. Sedangkan baginda, dengan kening yang tetap berkerut, nampak berpikir keras, dirundung persoalan yang agaknya sangat berat. Baginda hening, duduk di atas takhta, memandang ke kejauhan, dan mereka yang datang menghadap seolah-olah tertangkap tiada kendati bayangannya. Mata baginda lebar terbuka, tetapi orang-orang yang masuk ke bangsal penghadapan, seakan-akan tidak kelihatan olehnya. Sebentar-sebentar baginda merubah sikap duduknya, menelekankan siku tangan diatas lutut. Atau bangkit dan berjalan-jalan dengan kedua belah tangan bertemu di bagian bawah punggungnya, sedang matanya diarahkan ke luar, meninjau langit yang menjadi muram dan rendah memberat. Melangkah beberapa tindak, baginda kembali ke atas singgasana, lalu duduk pula merenung. Dan suasana balairung makin berat menekan. Bahkan nafas pun seolah-olah ditahan, supaya jangan memecahkan kesunyian dan kemuraman yang membeku. Namun, sesudah semua yang dititahkan hadir lengkap menghadap, dan setelah beberapa lamanya mereka tertekan dalam suasana yang berat itu, mahapatih Kebo Rerangin yang sudah lanjut usianya dan terkenal bijaksana, tempat baginda meminta nasihat, terdengar menghaturkan sembah. Suaranya Iirih, namun jelas dan sejuk terasa masuk ke dalam hati barang siapa yang mendengarnya. "Ampun beribu-ribu ampun, Gusti, hamba mohonkan lantaran hamba telah lancang, berani bersuara tanpa perkenan Gusti... Namun, hamba sekalian telah dititahkan menghadap dalam saat yang luar biasa, niscaya ada persoalan maha penting yang luar



biasa pula. Hati hamba sekalian selama di jalan dan terlebih-lebih setelah sampai dihadapan duli, bagaikan hendak pecah lantaran ingin tahu. Hamba sekalian ingin sekali menerima titah Gusti, apakah gerangan yang menyebabkan suasana keraton dan kerajaan Kadiri yang biasa-nya cerah dipenuhi gelak tertawa, sekarang muram murung laksana dialahkan garuda. Ampun Gusti, beribu ampun hamba mohonkan, namun suasana seperti ini hampir tak tertanggungkan. Lebih baik bagi kami sekalian, Gusti titahkan berperang menempur selawe negara, menyerang raja berpahlawan gagah perkasa, daripada terusmenerus tersiksa dalam suasana seperti ini. Ampun, Gusti." Sri Baginda mengarahkan pandangannya kepada maha patih Kebo Rerangin, mendengarkan apa yang dipersembahkannya, sedang kepalanya mengangguk-angguk. Tetapi beberapa saat setelah mahapatih selesai berbicara, tidak juga Baginda bersabda. Baru kemudian, setelah beberapa waktu lampau dalam keheningan, baginda memecahkannya; "Mamanda mahapatih! Para mentri dan para tetua yang bijaksana." Para penghadap menghaturkan sembah sambil menggumam, "Daulat Gusti!" "Titah kami yang luar biasa, yakni menitahkan andika sekalian datang menghadap bukan pada saat yang biasa, tentu menimbulkan seribu satu tanda tanya dalam hati andika sekalian. Apa yang tadi dipersembahkan oleh mamanda maha patih Kebo Rerangin, adalah sangat tepat. Memang, memang ada soal yang luar biasa yang telah menyebabkan kami memberi titah yang luar biasa. Memang, adalah lantaran ada soal yang sangat berat menekan pikiran kami, maka andika sekalian yang terkenal bijaksana, kami titahkan datang menghadap pada waktu ini juga. Kami ingin mendengar pendapat andika sekalian. Kami ingin meminta nasihat... " kembali baginda berhenti bersabda dan pandangannya kembali menatap ke kejauhan, ke alam tak berwatas, merenung. "Ampun beribu ampun hamba mohonkan," sembah patih Kebo Rerangin. "Apakah gerangan soal yang demikian berat menekan kalbu Gusti, sehingga nampak durja Gusti begitu muram?" Kembali baginda menghela nafas. "Seperti mungkin andika sekalian sudah dengar, beberapa hari yang lampau kami mendengar berita yang sangat mengejutkan... Berita yang mula-mula tidak mau kami percaya! Kami sangat percaya akan perkataan dan ucapan Rakanda Prabu Jayantaka, raja Janggala. Kami percaya, bahwa sebagai seorang satria yang tahu harga diri, Rakanda



takkan menyalahi janji..." "Ampun Gusti," sela maha patih Kebo Rerangin "Maafkan kelancangan hamba. Tetapi, meskipun hamba bisa meraba kemana arah titah Gusti, namun hal yang sesungguhnya belum jelas... Mengenai hal apakah Rakanda Gusti Prabu Jayantaka tunggadewa menyalahi janji?" Sang Prabu memandang maha patih tajam-tajam. "Lupakah Mamanda Maha Patih akan janji yang telah kami berdua sama-sama padu? Rakanda Prabu Jayantaka mempunyai cita-cita tinggi; Baginda hendak mewujudkan cita-cita moyang kami sang Airlangga yang maha bijaksana. Pembagian kerajaan yang pernah dilakukan oleh maha resi Empu Bharada, hendak kami hapuskan. Antara Janggala dan Kadiri akan hilang batas. Kedua kerajaan hendak kami persatukan kembali. Jalan yang termudah untuk melaksanakan cita-cita tersebut adalah dengan menikahkan putera mahkota Janggala Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan putri mahkota Kadiri, Dewi Sekar Taji ... " "Daulat, Gusti. Akan hal itu Mamanda sangat ingat..." "Dan sekarang, tatkala putra dan putri sudah dewasa, saat terwujudnya cita-cita yang agung itu dekat sudah... Tetapi ..." lalu sang baginda menjatuhkan kepala, tertunduk. "Apakah gerangan yang terjadi?" "Mamanda Patih pun tahu. Seminggu yang lalu kami mendengar kabar mengenai pernikahan Raden Panji dengan seorang gadis gunung, entah siapa, konon bukan keturunan raja. Kami tidak percaya akan berita tersebut. Lalu kami menitahkan supaya mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki kebenaran berita itu. Dan sekarang..." "Sudah kembalikah para penyelidik itu?" "Mereka sudah datang. Dan... hancur, pantang menyerah sebelum membangkai!" Suara baginda makin lama makin naik, makin naik, dan wajah baginda menjadi memerah laksana terbakar. Baginda sangat murka. Sedangkan matanya bagaikan menyinarkan api yang membakar barang yang dilihatnya. Semua yang hadir tak berani menentang pandangan baginda yang demikian. Mereka menundukkan wajah. Ada yang turut marah, dan mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui perkataan baginda, dari mulutnya terdengar gumam, "Di Kadiri pun masih banyak satria, pahlawan yang tak pantang berjuang!" Ada yang saling pandang dengan sesamanya, sambil menggilirkan kepala keris yang



tersandang. Mereka sudah seperti ingin agar pasukan Janggala berada didepannya, supaya mereka bisa memuaskan amarahnya. "Tidakkah benar kata kami? Tidakkah benar bahwa para satria Kadiri belum mati? Tidakkah benar bahwa para pahlawan Kadiri masih siap sedia untuk berjuang?Untuk mempertahankan kehormatan dan harga dirinya? Tidakkah benar? Manakah pahlawan Kadiri?" "Tentang semangat para pahlawan Kadiri, Gusti tak usah ragu!" sahut seorang senapati sambil menghaturkan sembah. "Para pahlawan Kadiri tahu akan harga dirinya, takkan manda saja membiarkan dirinya diperhina!" "Tak usah menanti hari berganti, malam ini juga semua wadia-bala Kadiri telah siap untuk berperang! Gusti tak usah kuatir, Janggala takkan mungkin menumpas satria Kadiri!" sembah yang lain pula. "Kita berada pada fihak yang benar, maka para dewa tentu akan berada pada fihak kita! Sang Syiwa akan merestui kita! Kita akan menang! Kita takkan mungkin kalah!" sambut yang lain. "Gusti hanya tinggal memberi titah, maka setiap saat bala tentara Kadiri siap sedia. Siang ataupun malam tak nanti lalai," terdengar pula suara senapati yang mula-mula bicara. Sejenak lamanya dalam balairung terdengar hiruk-pikuk. Suasana menjadi panas. Setiap orang yang berada di sana terbakar semangatnya, geram dan murka, ingin segera menerjang lawan. Baginda mengangguk-anggukkan kepala, tanda berbesar hati. Baginda percaya akan kekuatan bala tentara kerajaannya. Kadiri mempunyai satria-satria yang kebal kulitnya, pahlawan-pahlawan yang tangguh tulangnya. Baginda merasa semangatnya makin terbakar. "Kami lihat para pahlawan Kadiri siap sedia setiap saat..." "Hanya menanti titah saja, ampun Gusti!" sahut senapati Wirapati ing Alaga. "Kami siap." "Makin cepat makin baik..." kata baginda agak perlahan. Tetapi baginda menoleh ke arah maha patih Kebo Rerangin, "Mamanda apakah bicara Mamanda mengenai hal ini? Kami lihat sejak tadi Mamanda berdiam diri saja. Tidakkah Mamanda kurang yakin akan kegagahan dan kesaktian para satria serta para pahlawan



Kadiri? Tidakkah Mamanda yakin bahwa Janggala akan dengan mudah dikalahkan oleh para senapati kita yang gagah berani? Mengapa Mamanda diam saja?" Sang maha patih Kebo Rerangin menghaturkan sembah. Suaranya tenang, tidak dipengaruhi amarah seperti suara yang lain-lain. Ia berbicara lambat-lambat, namun pasti. "Ampun beribu hamba mohon maaf berlaksa hamba minta terlebih dahulu, kelapangan dan keluasan faham Gusti jua yang hamba harapkan.." Sang baginda menatapnya tajam-tajam. "Bicaralah. Mamanda!" Maha patih Kebo Rerangin memperbaiki letak duduknya. "Daulat Gusti" sembahnya kemudian. "Hamba percaya akan keteguhan tulang para senapati Kadiri. Hamba percaya akan kekebalan kulit para pahlawan Kadiri yang pantang mundur. Hamba yakin akan semangat wadia-bala Kadiri yang gagah berani. Tetapi tidakkah terlebih baik sebelum ia kita kerahkan untuk menyerang Janggala, kita kaji dahulu sebab lantarannya?" "Mamanda Maha Patih! Mengapa Mamanda bertanya demikian? Bukankah Mamanda tadi mendengarkan perkataan kami?" "Daulat Gusti, sepatah pun perkataan yang Gusti sabdakan, tak ada yang terlepas dari pendengaran hamba. Tetapi..." "Tetapi apa? Apakah Mamanda belum mengetahui jua sebab lantarannya mengapa kita mesti menyerang Janggala yang telah menghina kita?" "Menurut hemat hamba, Janggala tidak melakukan penghinaan ..." "Mamanda Maha Patih! Tidakkah harga diri dan kehormatan Mamanda merasa terhina kalau putri mahkota kerajaan kita diperhina?" "Ampun Gusti, hambalah orang yang akan paling merasa terhina kalau putri mahkota Kadiri yang hamba dijunjung tinggi diperhina orang, Hambalah orangnya yang akan paling dahulu menghunus keris memusnahkan orang yang menghinanya!" "Nah, mengapa Mamanda Maha Patih masih bertanya juga?" Maha patih Kebo Rerangin merasa terdesak. Tetapi ia menghaturkan sembah, "Tentang penghinaan itu -kalau benar penghinaan- hamba pun akan sependapat dengan yang lainlain. Dalam hal demikian wajib kita mengangkat senjata kepada Janggala. Tak benar kalau kita diam saja, manda saja diperhina. Namun sebelum kita memepak wadia-bala, patut kalau kita renungkan lebih dahulu hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu..." "Apa maksud Mamanda?"



"Ampun Gusti. Gusti pun tentu lebih maklum, Kadiri dan Janggala berasal dari satu keturunan, dari satu kerajaan ..." "Ya, dipisahkan oleh air kendi yang dicucurkan oleh Empu Bharada!" "Gusti lebih maklum. Jadi sesungguhnya antara Kadiri dan Janggala ada perhubungan darah, perhubungan keturunan. Raja Janggala masih berasal dari darah yang sama dengan. Gusti sendiri, Sri Baginda Jayantaka Tunggadewa masih kepernah Rakanda Gusti." "Ya, lalu?" "Antara orang yang berasal dari daerah yang sama apalagi kalau menyangkut nasib kerajaan beserta seluruh kawulanya, tak patutlah senjata diminta bicara. Apabila ada persoalan, elok diperbincangkan terlebih dahulu..." "Tetapi ini mengenai kehormatan dan harga diri kita sebagai satria, sebagai negara dan kerajaan, Mamanda Maha Patih!" "Ampun Gusti. Karena itu pula dalam hal ini kebijaksanaan Gusti yang menggenggam mati-hidup kawula negara di seluruh kerajaan diminta lebih besar..." "Tetapi masihkah kita patut bicara, berbincang dengan orang yang dengan sengaja sudah menghina dan merendahkan kita?" "Bagaimanapun, sang Baginda Prabu Jayantaka adalah saudara Gusti jua. Kalau ia melakukan kesilapan, adalah seyogyanya apabila Gusti yang menegur serta memberinya ingat." Sang baginda termenung. Termakan juga apa yang dipersembahkan maha patih Kebo Rerangin olehnya. Kebo Rerangin sungguh seorang tetua yang luas dan dalam pandangannya. Terkesiap juga baginda, kalau teringat bahwa hampir saja baginda meninggalkan keutamaan seorang bijaksana, lantaran terbawa oleh amarah. Kalau sampai terjadi peperangan antara kedua kerajaan, entah bagaimana akibatnya. Namun apabila teringat pula oleh baginda akan perbuatan Rakanda Prabu Jayantaka mengingkari janji yang telah mereka bikin, hatinya menjadi mendidih pula. "Perang bukanlah suatu hal yang kecil. Apalagi antara dua buah kerajaan yang sesungguhnya masih bersaudara ..." terdengar maha patih Kebo Rerangin berbicara pula. "Apakah soal yang menjadi sebab tidak bisa dirundingkan secara damai lagi, sehingga



senjata diminta berbicara? Kalau segala pembicaraan telah buntu, kalau segala perundingan telah mati, barulah boleh kita angkat senjata. Sedangkan dalam hal kita sekarang, meski benar perbuatan Rakanda Prabu menikahkan Raden Panji dengan orang lain melanggar janji yang telah kita adakan, namun belum pasti berarti bahwa baginda dengan sengaja hendak memperhina kita... " Sang baginda mengangkat wajah. "Mana boleh begitu?" "Ampun Gusti, menurut hemat hamba, pernikahan Raden Panji dengan putri yang lain, tidaklah berarti bahwa fihak Janggala telah membatalkan perjanjian secara sefihak. Pernikahan Raden Panji dengan orang lain, tak boleh kita tafsirkan bahwa pertunangan dengan Dewi Sekar Taji menjadi batal. Mungkin ada sebab-sebab lain yang kita tidak tahu, yang menyebabkan Rakanda Prabu Jayantaka mengambil jalan yang seolah-olah menghina kita. Bagaimana pun juga, menurut hemat hamba semuanya itu belum cukup besar untuk diakhiri dengan suatu perang. Apalagi perang antara kerajaan yang berasal dari satu keturunan. Cita-cita Gusti berdua dengan rakanda Gusti tinggi, agung serta luhur, hendak mewujudkan kembali apa yang dahulu pernah diusahakan oleh sang Baginda Airlangga. Cita-cita yang luhur itu patutkah kita hancurkan begitu saja, lantaran menduga sesuatu tanpa melihat latar belakangnya yang lebih luas?" Baginda merenung, tidak mengeluarkan sepatah pun perkataan. Tetapi senapati Wirapati berdatang sembah, "Ampun Gusti, mengapa kita mesti berbuat sebagai pengecut? Telah jelas; orang telah menghina kita, mengapa kita masih manda juga mengajaknya berunding? Orang telah dengan sengaja melanggar janjinya sendiri, mengapa kita masih ragu-ragu untuk mengangkat senjata? Apakah telah tumbuh takut dalam kerajaan Kadiri? Apakah tidak ada lagi semangat satria yang berani menentang mati?" Sang baginda memandang kepada sang senapati Wirapati. Namun sebelum baginda mengeluarkan perkataan, terdengar maha patih Kebo Rerangin bersuara. "Ampun hamba mohonkan, Gusti. Apabila tadi hamba mempersembahkan apa yang telah hamba persembahkan, bukanlah itu berarti bahwa semangat Kebo Rerangin telah lenyap. Bukanlah berarti Kebo Rerangin seorang pengecut yang takut mati, tak berani melihat darah! Kebo Rerangin telah kenyang berperang, telah kenyang memasukkan kerisnya ke



dalam dada orang-orang yang sombong dan bersemangat, namun makin hari usia makin tua dan setelah usia lanjut makin banyak pertanyaan-pertanyaan dalam hati. Buat apakah kita membunuh sesama manusia? Buat apakah kita mengurbankan begitu banyak wadiabala, darah dan nyawa? Untuk memuaskan nafsu? Untuk menunjukkan bahwa kita bersemangat? Tidak. Bagi hamba, nun Gusti, semangat bukan satu-satunya yang harus kita punyai. Dengan semangat saja kita takkan mencapai apa-apa. Paling-paling penyesalan yang akan menanti kita kelak. Penyesalan, penyesalan yang tak berguna, tak berarti, sia-sia... Hamba meminta keluasan hati Gusti, dan hamba percaya akan kebijaksanaan Gusti; Gusti takkan mengurbankan manusia, entah wadia-bala Kadiri maupun wadia-bala Janggala untuk suatu hal yang belum tentu. Hamba tetap memohonkan kebijaksanaan Gusti untuk mengadakan perundingan dengan fihak Janggala.'' Baginda menghela nafas. Senapati Wirapati hendak menghaturkan sembah pula, tetapi tangan baginda yang kiri melambai, tanda bahwa baginda menitahkannya diam. "Baiklah. Kami percaya akan keberanian dan semangat Senapati Wirapati yang senantiasa setia. Kami percaya akan semangat dan kejayaan seluruh satria, perwira, para pahlawan dan wadia-bala Kadiri. Kami percaya. Kami tak ragu akan hal itu. Kami tahu, pada saatnya seluruh wadia-bala Kadiri akan tak sayang membuang nyawa, mengalirkan darah untuk membela kehormatan dan harga diri raja serta negaranya!" sabda baginda dengan suara yang tenang. "Tetapi apa yang dipersembahkan oleh Mamanda Maha Patih Kebo Rerangin pun mempunyai kebenarannya pula. Tak patut kita tiba-tiba saja menyerang Janggala yang adalah masih berasal dari keturunan yang sama dengan kami, sedangkan persoalan belum jelas." "Kalau Gusti mengirimkan utusan kepada rakanda Gusti di Janggala, Gusti telah menunjukkan kelapangan hati dan kebijaksanaan Gusti," sembah maha patih Kebo Rerangin. "Kalau kelak ternyata, fihak Janggala memang dengan sengaja hendak menghina puteri mahkota Kadiri beserta kerajaannya, perang adalah jalan yang satu-satunya boleh kita tempuh!" "Namun, Mamanda, untuk mengirimkan utusan kepada Rakanda Prabu Jayantaka, kami



merasa kurang patut. Pernikahan Raden Panji sekarang, dilakukan tanpa persetujuan, bahkan tanpa sepengetahuan kami, sedangkan Raden Panji telah dipertunangkan dengan Dewi Sekar Taji. Kalau kita mengirimkan utusan ke sana, maka mungkin kelihatan seolah-olah kita begitu rendah ingin menawarkan Sekar Taji supaya diperisteri oleh Raden Panji! Tidak, untuk mengirimkan utusan ke Jenggala, kami merasa keberatan. Kita mesti menempuh jalan lain!" Seluruh balairung hening. Senapati Wirapati menundukkan wajah, sedang matanya menjeling ke kanan ke kiri. Ia merasa malu, karena merasa tidak mendapat muka dari sang baginda. Hatinya panas. Lirikannya ganas menjilat kearah maha patih Kebo Rerangin yang duduk di depan. Maha patih Kebo Rerangin hening pula. Duduk dengan tertib, sedangkan keseluruhan dirinya menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras.Semua orang terdiam berpikir, merenung. Suasana pecah, tatkala dari sudut sebelah kanan terdengar suara yang renta dan rendah menghaturkan sembah. "Ampun Gusti!" katanya. "Mamanda Kuda Lalean! Adakah Mamanda mendapat pikiran yang baik untuk menghilangkan yang kami bingungkan? Bicaralah!" sabda baginda. "Daulat Gusti. Menurut hemat hamba, satu-satunya jalan untuk mengatasi suasana yang sulit ini adalah dengan jalan meminta tolong kepada fihak ketiga. Fihak ketigalah yang sebaik-baiknya datang kepada Rakanda Prabu di Janggala, meminta keterangan yang lebih jelas." "Sungguh tepat!" potong sang baginda dengan cepat dan wajahnya menjadi cerah. "Sungguh tepat apa yang dipersembahkan oleh Mamanda Kuda Lalean! Tetapi ..." baginda berhenti sejenak. "Siapakah gerangan fihak ketiga yang patut kita percayai untuk menjadi perantara? Orang itu mesti yang kita percayai dan yang dihormati pula oleh fihak Janggala, tak mungkin orang sembarang! Orang itu mesti benar-benar tak berfihak! Raja manakah yang menurut hemat andika sekalian, yang patut kita mintai tolong dalam hal ini?" Setelah suasana sepi sejenak, terdengar maha patih Kebo Rerangin angkat bicara, "Mengapa Gusti hendak meminta tolong kepada raja-raja lain? Mengapa Gusti tidak



teringat kepada sang Kili Suci yang adalah wakil tetua kedua buah kerajaan, baik Janggala maupun Kadiri! Sang Kili Sucilah yang telah menyebabkan kerajaan sang Baginda Airlangga dipecan dua. Karena sang Kili Suci tidak sudi memangku takhta! Dia memilih kehidupan pertapa di Pucangan!" Baginda terhenyak. "Ya maha dewa! Mana boleh kami lupa! Mengapa boleh kami tak teringat? Eyang Sang Kili Suci! Telah lanjut usianya, tetapi ia masih segar bugar! Kehidupannya sebagai pertapa menyebabkannya awet jaya! Ya, memang beliau satusatunya orang yang paling tepat untuk keperluan ini! Tak ada yang lain! Sang Kili Suci!" "Sesungguhnyalah!" sembah maha patih Kebo Rerangin dan para tetua lainnya bersamasama. "Sang Kili Suci patut menjadi fihak ketiga." "Baiklah Mamanda Patih. sekarang Mamanda titahkan orang untuk menjemput sang Kili Suci supaya sudi meninggalkan petapannya yang suci di Pucangan, menjenguk negeri Kadiri ini. Siapa orang yang patut menjalankan titah itu kami percayakan kepada Mamanda untuk memilihnya." "Daulat Gusti." "Kalau mungkin hari ini juga ia mesti berangkat. Makin cepat makin baik. la mesti kembali dengan mengiringkan sang Kili Suci. Jangan ayal di jalan." "Daulat Gusti." sembah maha patih. "Hamba Gusti. Senapati Secaprawira hamba pikir patut menjunjung titah yang berat itu." "Baiklah. Ki Senapati Secaprawira pergi ke Pucangan. Dengan siapakah ia akan pergi? Sendirian sajakah?" "Ia harus dikawani oleh dua-tiga orang hamba Gusti yang lain. Baiklah perihal itu hamba atur kelak." "Ya, semuanya kami percayakan kepada Mamanda. Tetapi kami ingin hari ini juga mereka harus berangkat. Pucangan jauh. dan kami tidak mau menunggu terlalu lama! Kalau orangnya sudah siap, titahkan mereka menghadap! Sekarang, baik andika sekalian pulang. Tetapi Ki Senapati Wirapati! Persiapan-persiapan jangan dilalaikan. Belum tentu sang Kili Suci berhasil dengan damai menyelesaikan soal ini, maka kita mesti berperang juga dengan Janggala. Karena itu persiapan-persiapan perang jangan sampai tercecer! Kita mesti siap pada waktunya!" "Daulat Gusti, hamba sekalian akan siap setiap saat! Titah patik junjung di atas batu



kepala patik!" sembah senapati Wirapati. Maka pertemuan di balairung pun bubar. Sang baginda masuk ke dalam istana. Para tetua dan pejabat negara pulang ke rumahnya masing-masing, kecuali mereka yang mendapat titah dan mesti menyelesaikan titahnya. Maha patih Kebo Rerangin memilih orang untuk mengawani Secaprawira buat menjemput sang Kili Suci, serta menitahkan mempersiapkan segala sesuatunya buat keperluan di jalan. ***



SANG KILI SUCI Home



→ Bacaan → Candra Kirana → SANG KILI SUCI



Lapor Tjareuh_Boelan



19 Februari jam 8:05amSang Kili Suci yang hidup tenang di Pucangan, adalah putri baginda sang Airlangga yang jaya serta bijaksana. Dialah yang sesungguhnya berhak atas takhta, menggantikan ayahanda. Tetapi ia sejak masih muda telah tertarik hatinya akan kehidupan di petapan. Kehidupan keraton dan kesibukan kerajaan tidak membetahkannya. Ia tidak mau hidup dalam kegemilangan istana. Ya, putrinda itu mengikuti jejak ayahanda, sang Airlangga; sangat mencintai kehidupan bertapa, karena ayahanda tatkala masih muda pernah dilindungi para petapan, yaitu tatkala ia melarikan diri dari kejaran tentara Wura-wari yang menyerbu keraton mertuanya. Bertahun-tahun lamanya sang Airlangga hidup di tengah-tengah kaum pertapa. Ia banyak mendapat bantuan dan sokongan dari kaum pertapa, baik para resyi Syiwa, maupun para biksyu agama Budha, bahkan juga para pemuja Wisynu. Tidak heran pula ia tatkala kemudian melihat putrinda Kili Suci lebih menyukai hidup dalam hutan sebagai pertapa, ia lalu mendirikan petapan di Pucangan, sebagai tanda terima kasihnya kepada para pertapa yang telah menolong dan menyokongnya selagi sengsara. Tetapi kemudian putrinda Kili Suci agaknya lebih merasa betah di sana. Yang menyulitkan sang Airlangga adalah sikap putrinda Kili Suci yang tidak mau memangku takhta. Memang, kecuali Kili Suci, baginda masih mempunyai dua orang putra pula. Dan keduanya laki-laki yang menunjukkan minat yang luar biasa terhadap takhta, sehingga nampak oleh baginda bahwa persaingan antara keduanya sangat besar. Mereka bukan putranda dari permaisuri, sehingga hak keduanya sama atas takhta kalau Kili Suci menolaknya. Baginda kuatir, kalau-kalau setelah baginda mangkat akan terjadi persaingan dan perkelahian antara kedua putranda untuk memperebutkan takhta. Maka berminggu-minggu baginda membujuk putrinda Kili Suci supaya mau memangku takhta. Namun sia-sia saja. Kili Suci tetap pada pendiriannya. Ia tidak menghendaki takhta. Maka bertahun-tahun lamanya baginda memikirkan akal, akan menghindari persaingan



dan perebutan takhta antara kedua putranda itu kelak, meski mungkin selama baginda masih hidup, persaingan dan perebutan itu takkan terjadi. Namun tak mustahil pabila baginda sudah meninggal, perebutan yang ditakutkan itu terjadi juga. Akhirnya baginda mengambil kebijaksanaan membagi dua kerajaan yang telah dengan susah payah baginda bina, dan mempercayakan pembagian itu kepada seorang guru Budha Mahayana yang ahli dalam ilmu tantra, yaitu Empu Bharada. Empu Bharada seorang yang sakti, konon pernah menyeberangi selat Bali dengan berjalan di atas permukaan laut. Gelombang yang tinggi tidak sedikit pun membasahi kendati ujung jubahnya. Sambil mengenangkan usahanya sejak muda, sejak ia berangkat dari Bali memenuhi panggilan mertuanya maharaja Teguh, sang Airlangga menyaksikan hasil jerih-payahnya itu dirobek-robek di depan matanya. Hancur hatinya. Namun kalau mengingat pula akan akibat yang mungkin timbul kalau baginda tidak melakukan usaha pencegahan seperti itu, sang Airlangga yang sudah kenyang berperang itu, merasa lega, karena ia telah menghindarkan kedua putranda dari peperangan antara sesama saudara. Setelah membagi dua kerajaannya yang besar menjadi Janggala dan Kadiri, dan menobatkan kedua anakanda menjadi raja di kedua kerajaan tersebut, baginda Airlangga mengikuti jejak putrinda Kili Suci; baginda memilih kehidupan damai di petapan. Baginda menjadi bagawan. Baginda dihormati dan disebut orang sebagai Paduka Gusti Pelindung Buana. Baginda bersemayam di Gandakuti hingga wafatnya. Sesudah baginda wafat, Kili Suci makin betah di petapannya. Tetapi hubungan dengan masyarakat ramai tidak terputus. Pada waktu-waktu tertentu ia menyambangi saudarasaudaranya yang memerintah kerajaan Janggala dan Kadiri. la banyak memberi nasihat dan petunjuk dan segalanya itu diterima oleh saudara-saudaranya dengan senang hati. Bahkan mereka tidak segan-segan meminta nasihat dan petunjuk dari putri petapa itu. Waktu terus berlalu. Raja Janggala dan Kadiri telah dua kali bertukar, karena mangkat, tetapi sang Kili Suci masih segar bugar juga. la masih juga tetap sehat. Ia tidak meninggalkan kebiasaannya untuk tetap mengunjungi Janggala atau Kadiri, mendatangi keraton, akan bercengkerama dan memberi nasihat kepada para pemangku takhta. Oleh rakyat kecil pun ia sangat dihormati, karena banyak sekali pertolongan-pertolongannya. Mereka memuja sang Kili



Suci hampir-hampir sebagai dewi penolong yang sakti dan gaib. Mereka memandang Pucangan sebagai tempat keramat yang suci. Tempat tinggal manusia utama yang luar biasa baik. --Tatkala mendengar dari Senapati Secaprawira, bahwa sang baginda Jayawarsya dari Kadiri menghaturinya datang, lantaran ada masalah berat yang minta dipecahkan, tidak menanti lama, maka sang Kili Suci pun berangkat meninggalkan Pucangan. Mereka berjalan dengan cepat, maka beberapa hari kemudian, sampailah sang Kili Suci di ibukota Kadiri, lalu masuk ke dalam istana. Kedatangannya segera dipersembahkan kepada sang baginda. Takzim dan hormat, baginda menghaturkan sembah kepada sang Kili Suci. Sang Kili Suci mengusap-usap kepala baginda. kemudian mengangkatnya bangkit. "Apakah gerangan sebabnya, maka Cucunda menitahkan Nenenda datang secepat mungkin?" tanya sang Kili Suci setelah beberapa saatnya berbicara tentang segala macam soal, tentang kesehatan baginda dan mengenai kerajaan. "Ampun hamba mohonkan, karena telah berani mengusik Nenenda dari kehusyuan bertapa...," sahut baginda. "Cucunda telah mengusik Nenenda dari petapan, tentu lantaran ada suatu soal besar yang mesti dipecahkan. Karena itu sebaiknya, cepat Cucunda sampaikan kepada Nenenda, apakah gerangan soal yang mesti dipecahkan itu?" Maka sang baginda Jayawarsya pun lalu mempersembahkan halnya. Baginda mengenangkan sang Kili Suci kepada perjanjian yang dahulu diadakan antara Kadiri dan Janggala tentang maksud menikahkan putra mahkota Janggala dengan putri mahkota Kadiri. Sang Kili Suci tahu akan perjanjian itu, maka ia pun teringat akan halnya. Tatkala mendengar bahwa Raden Panji sudah menikah dengan orang lain Kili Suci termenung, dan dari matanya nampak bahwa ia terkenang masa kecil, tatkala ayahanda masih berat tatkala kerajaan belum terpecah dua. "Jadi apakah yang sekarang hendak kita perbuat?" akhirnya sang Kili Suci bertanya setelah sang baginda selesai mempersembahkan semuanya. Matanya yang jernih itu menatap baginda seakan-akan hendak mengajuk ke dalam hati sanubari baginda.



Maka baginda segera berterus terang. "Hamba merasa terhina dan menganggap kehormatan kerajaan Kadiri hanya mungkin dibela dengan mengangkat senjata. Tetapi mengingat bahwa antara Kadiri dengan Janggala ada pertautan yang lebih erat, maka hamba meminta nasihat Nenenda yang bijaksana. Apakah yang sepatutnya Cucunda perbuat sekarang?" Kili Suci mengangguk-anggukkan kepala. "Jangan terburu nafsu. Siapkan wadia-bala untuk keperluan lain. Tentang pernikahan Raden Panji, biar akan Nenenda periksa sendiri ke Janggala. Sekalian Nenenda hendak menyambangi cucunda Prabu Jayantaka yang sudah lama tidak Nenenda jenguk. Nenenda hendak menanyakan duduknya perkara yang lebih jelas. Kelak kalau semuanya sudah terang-benderang pasti Nenenda akan kembali lagi ke mari." Dan selesai membicarakan soal-soal yang ada sangkutan dengan kerajaan. Sang Kili Suci bertanya. "Manakah putrinda Dewi Sekar Taji? Tentu ia sekarang sudah besar! Sudahkah ia mendengar kabar mengenai pernikahan Raden Panji? Baiklah hal itu jangan disampaikan dahulu kepadanya! Tentu akan sedih hatinya." Setelah menemui dan bercakap-cakap dengan permaisuri, Dewi Sekar Taji dan saudarasaudaranya yang lain, sang Kili Suci segera meminta diri. Ia hendak langsung menuju ke Janggala. Betapapun baginda mencegah, ia memaksa juga pergi. Sang Kili Suci berjalan ke arah timur laut dengan cepat. Ia maklum akan pentingnya perkara. la tidak ayal. Hampir dua minggu kemudian sampailah ia ke Kahuripan, ibukota Janggala, lalu menuju ke keraton. Terkejut sang baginda Jayantaka demi mendengar persembah tentang kedatangan sang Kili Suci. Maka bangkitlah baginda buru-buru, memburu menyembah sang pertapa agung itu. "Nenenda! Angin apakah gerangan yang telah membawa Nenenda ke mari? Telah lama nian Nenenda tidak datang! Dan hamba sendiri telah lama pula tidak berkunjung kepada Nenenda, maklum-lah suasana dalam keraton sangat sibuk, banyak hal-hal yang meminta perhatian hamba sepenuh hati." Sang Kili Suci tersenyum. Dengan tangan kanan ia merestui baginda, lalu menyilakannya bangkit. "Ya, telah lama nian Nenenda tidak datang kemari. Bagaimanakah kabar orang-orang di seluruh Janggala. Baik-baik saja?"



"Berkat restu Nenenda, kami sekalian berada dalam sehat, tidak kurang suatu apa." "Dan bagaimanakah keadaan cicitda Raden Panji? Tentu telah makin pandai menunggang kuda dan mempermainkan senjata! Dan Nenenda dengar ia suka pergi mengunjungi para petapa. Mengapa ia jarang benar pergi ke Pucangan akan menemui buyutnya?" "Ampun Nenenda!" sahut baginda. "Raden Panji memang jarang berada di keraton. Ia tak jemu-jemunya mengembara dari petapan yang satu ke petapan yang lain. Tetapi kini, ia tentu akan menetap di kaputran, karena ia sekarang telah beristri ..." Sang Kili Suci pura-pura terkejut. "Beristri? Dengan Dewi Sekar Tajikah ia nikah? Mengapa dalam pernikahan itu Nenenda tidak diundang? Bukankah Nenenda turut menyaksikan kedua cucunda tatkala mengadakan perjanjian mempertunangkan kedua putra mahkota?" Sang baginda menundukkan wajah. "Ampun Nenenda! Raden Panji bukannya menikah dengan putri mahkota Kadiri, Dewi Sekar Taji..." "Apa? Bukan dengan Dewi Sekar Taji? Jadi dengan siapa? Bukankah Raden Panji sudah dipertunangkan dengan Dewi Sekar Taji sejak masih kecil? Bukankah hal itu telah dijanjikan Cucunda dengan baginda Kadiri?" Baginda Jayantaka termenung. Ia menengokkan wajahnya ke arah lain, seolah-olah menghindari pandangan Sang Kili Suci yang menatapnya tajam-tajam. "Sesungguhnya!" sahutnya kemudian dengan suara rendah. "Sesungguhnyalah apa yang Nenenda sabdakan! Raden Panji telah dipertunangkan sejak masih kecil dengan Dewi Sekar Taji - putri mahkota Kadiri ..." "Tetapi ia kini menikah dengan orang Iain? Siapa nama istrinya itu?" "Dewi Anggraeni." "Dewi Anggraeni? Nama yang indah! Tentu wajahnya pun jelita, karena niscaya itulah yang telah menyebabkan Raden Panji memilihnya. Putri siapakah ia gerangan?" "Dia bukanlah seorang putri raja, melainkan seorang keturunan biasa saja, yang dijumpai Raden Panji disebuah petapan. Raden Panji menikah dengan Dewi Anggraeni tanpa setahu hamba ..." "Jadi menikah dengan diam-diam?" "Dengan diam-diam. Sehingga, ketika hamba mendengar berita mengenai pernikahan itu, gundahlah hati hamba. Hamba teringat akan perjanjian dengan Rayinda Prabu



Jayawarsya dari Kadiri. Kalau Rayinda mendengar hal pernikahan ini, tentu murka. Hamba kuatir lantaran hal ini Rayinda Prabu Jayawarsya akan sakit hati.." Sang Kili Suci merenung. Sebagai seorang yang bijaksana, segera ia mengerti keadaan yang dihadapi oleh prabu Jayantaka. "Sebenarnya, Cucunda, Nenenda sekarang datang adalah dalam hubungan dengan hal itu," sabdanya kemudian. Sang baginda mengangkat wajah, memandang kepada sang Kili Suci. "Jadi sesungguhnya Nenenda sudah tahu? Jadi Nenenda sebenarnya sudah mendengar kabar pernikahan Raden Panji?" "Demikianlah halnya." "Memang, tak mungkin disembunyikan lagi. Orang-orang tahu akan perjanjian yang kami ikat, dan karena itu pernikahan Raden Panji sekarang juga tentu akan mereka besarbesarkan. Ah, dari siapakah Nenenda mendengar berita itu?" Berkata sang Kili Suci, "Dari Prabu Jayawarsya, raja Kadiri." Sang baginda terkejut bukan buatan. "Dari Rayinda Prabu Jayawarsya? Jadi Rayinda Prabu pun sudah mengetahuinya? Dan bagaimanakah sikapnya? Murkakah dia?" "Ah, kalau pun murka sudah sepatutnya, tetapi sesungguhnya Nenenda mendengar berita itu dari Prabu Jayawarsya, karena Nenenda dipanggil menghadap ke Kadiri. Baginda sangat murka. Bahkan telah dititahkannya untuk memepak wadia bala, hendak menyerang Janggala. Tetapi Prabu Jayawarsya, seorang yang berhati luas; baginda ingin mengetahui bagaimanakah pendirian Cucunda di sini. Lagi pula berperang antara sesama saudara tidakIah terpuji. Nenenda dikirim ke mari oleh baginda, untuk mengingatkan Cucunda akan perjanjian yang telah sama-sama Cucunda adakan mengenai pertunangan Raden Panji putra mahkota Janggala dengan Dewi Sekar Taji putri mahkota Kadiri." "Sungguh luas hati Rayinda Prabu Jayawarsya!" sahut baginda. "Tetapi lebih bijaksana pula Nenenda yang telah sudi bercapai-lelah untuk menemui cucunda berdua." "Tak usah Cucunda berkata seperti itu," potong Kili Suci. "Yang penting sekarang, bagaimanakah hal pertunangan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji?" "Ampun Nenenda!" sembah sang baginda. "Janji yang telah diadakan seorang raja adalah ibarat hujan yang takkan mungkin dikembalikan ke langit yang menurunkannya. Apa



yang sudah menjadi perjanjian antara Janggala dan Kadiri, tidak menjadi batal." "Tetapi Raden Panji sudah menikah!" "Raden Panji menikah, bukan berarti bahwa pertunangannya dengan Dewi Sekar Taji putus." "Namun pertunangan mesti diakhiri oleh pernikahan, Cucunda! Maka pertunangan Raden Panji dan Sekar Taji juga akan diakhiri dengan pernikahan. Dan bagaimanakah halnya pernikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni, Cucunda?" "Pernikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni tidak berarti bahwa Anggraeni yang akan menjadi permaisuri. Permaisuri Raden Panji telah ditetapkan: Dewi Sekar Taji, putri mahkota Kadiri!" Sang Kili Suci mengangguk-anggukkan kepala. "Sang Prabu Jayawarsya kuatir, kalau pernikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni itu dilakukan dengan sengaja untuk memutuskan pertunangannya dengan Dewi Sekar Taji. Kalau benar demikian, itu dianggapnya sebagai penghinaan. Penghinaan akan martabat dan kehormatan Kadiri." "Pernikahan itu sama-sekali tidak dilangsungkan untuk menghina Kadiri ataupun Rayinda Prabu Jayawarsya." "Sukurlah. Dengan demikian persoalan menjadi jelas, dan kepada Prabu Jayawarsya akan Nenenda sampaikan, bahwa pernikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni tidak mempengaruhi perjanjian yang pernah Cucunda berdua adakan dahulu. Raden Panji akan menikah dengan Dewi Sekar Taji sebagai permaisuri. Dan cita-cita agung serta luhur untuk mempersatukan kerajaan di bawah satu tampuk akan dilaksanakan." "Demikianlah adanya." "Tetapi Nenenda lihat sekarang, baik Dewi Sekar Taji maupun Raden Panji, keduaduanya sudah sama-sama dewasa. Pernikahan sudah patut dilangsungkan. Apakah lagi yang ditunggu? Apakah lagi yang dinanti?" "Ampun Nenenda. Hamba melihat bahwa Raden Panji sekarang berat benar kepada istrinya Dewi Anggraeni. Hamba kuatir, kalau sekarang juga mereka berdua dipisahkan, akan terbit akibat yang sama-sekali tidak kita harapkan. Hamba memohon kesudian Nenenda, supaya menyampaikan kepada Rayinda Prabu Jayawarsya, bahwa pernikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji sebaiknya dilangsungkan pada hari Legi yang kedua



bulan yang pertama tahun yang akan datang." "Tahun yang akan datang?" "Ya, saat itu adalah saat yang sebaik-baiknya buat pernikahan. Dihitung sejak sekarang, waktunya masih kurang lebih empat bulan lagi." "Empat bulan lagi. Hari Legi yang kedua pada bulan yang pertama tahun yang akan datang." "Itulah saat pernikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji yang hamba anggap sebaikbaiknya. Tetapi pabila Rayinda Prabu Jayawarsya menganggap saat itu kurang tepat dan memilih saat yang lain, hamba akan menurut saja." "Baiklah. Semuanya akan Nenenda sampaikan kepada Prabu Jayawarsya di Kadiri." Kemudian sang Kili Suci menemui permaisuri dan cicit-cicitnya akan bercengkrama dengan mereka. Raden Panji dipanggil, diberitahu tentang kedatangan buyutnya itu. Maka ia pun datang menghadap bersama istrinya, Dewi Anggraeni. Tatkala sang Kili Suci melihat Dewi Angraeni, terkesiaplah ia. Alangkah cantiknya gadis itu! Tak kalah oleh Dewi Sekar Taji! Dan lihat, wajahnya yang segar itu bagaikan belahan pinang laiknya dengan Dewi Sekar Taji! Alangkah sama keduanya! Lebih-lebih tatkala melihat tingkah lakunya yang sopan santun dan sangat penuh hormat, senang benar sang Kili Suci. Ia mengangguk-anggukkan kepala, sedangkan dalam hati ia berkata, "Patutlah Raden Panji memilihnya sebagai istri. Tak salah penglihatannya! Dewi Anggraeni seorang putri yang jarang bandingannya!" Tetapi sepatah pun ia tidak berkata tentang Dewi Sekar Taji di depan Raden Panji. la banyak berbicara dengan Raden Panji, terutama mengenai agama dan hidup. Sebagai seorang yang sudah lanjut usianya dan sudah kenyang bertapa, ia banyak memberi petunjuk dan nasihat. Dan Raden Panji menyimakkan dengan penuh hidmat akan segala perkataan sang Kili Suci. Setelah tiga malam sang Kili Suci beristirahat di dalam keraton Janggala, maka ia pun meminta diri. Dengan hati berat seluruh keraton melepaskannya pergi. Mereka tahu, orang sebagai sang Kili Suci takkan merasa betah tinggal dalam kesibukan istana. Tetapi sang baginda Jayantaka berpikir lebih jauh: Makin cepat sang Kili Suci



menyampaikan pesannya kepada Rayinda Prabu Jayawarsya, makin senang hatinya. Ia akan merasa dunia kembali luas dan hatinya lega. Sang baginda Jayawarsya pun setelah mendapat penjelasan secara panjang lebar dari sang Kili Suci, senang hatinya. Amarahnya lenyap, meski ia merasa tersinggung juga oleh pernikahan Raden Panji itu. Namun lantaran hal itu tidak mempengaruhi perjanjian yang telah mereka buat bersama-sama, hendak dilupakannya saja. Baginda menyetujui waktu yang telah dipilih oleh Rakanda Prabu Jayantaka sebagai saat yang sebaik-baiknya untuk pernikahan putrinda. Setelah semuanya nampak beres, maka sang Kili Suci meminta diri akan kembali ke petapannya yang tenang, nun di Pucangan. Sia-sia saja usaha sang baginda untuk menahannya lebih lama. Sang petapa telah merindukan kedamaian petapannya. *** SANG PRABU



RADEN PANJI KUDA



JAYAWARSYA



WANENGPATI



← Bab Sebelum Bab Sesudah → 107 orang telah membaca



7 komentar Baca semua komentar Tulis Komentar #



Tjareuh_Boelan23



3



AHMAD77 menulis:



Februari jam 10:51pm Lapor



Suhu, sblmya maaf, cerita panji inukertopati yg beredar luas turun temurun di jawa timur khusus kediri jauh berbeda yg suhu tuliskan, panji inukertopati hanya menikahi sekartaji, didalamnya ada cerita etit yaitu sang inukertopati menyamar sebagai orang dusun untk mengoda adiknya. Hikayat aslinya memang sprti itu. Tapi di cerita Candra Kirana ini, mungkin ini adalah hikayat Panji "versi" Sunda, setidak-tidaknya ini adalah hikayat Panji versi Pak Ajip Rosidi, sang pengarangnya.. Hehe # maaf kalau cerita ini agak berbeda dari kisah Raden Inu Kertopati dan



Galuh Ajeng Candra Kirana yg sebenarnya. # 4



AHMAD771



Maret jam 4:11pm Lapor



Makash suhu atas penjelasannya, jadi faham ceritanya, smg suhu sehat dan smg jua lancar rejeki dan usaha.



# 5



BondanKamis



jam 8:33pm Lapor



Rasanya pernah membaca juga versi Ande-ande Lumut dengan Klenting Kuning .... yang ternyata adalah Raden Inu dan Dewi Sekartaji yang menyamar .... apakah ini akan seperti itu ....



# 6



Tjareuh_BoelanJumjam



jam 12:18pm Lapor



Kisah Ande Ande Lumut saya belum pernah baca. Tapi saya pernah mendengar lagunya dalam versi gending jawa. NB: Kalau ingin membaca kisah Candra Kirana yg aslinya, ada dalam buku karya Saleh Sastrawinata, yg bertajuk: HIKAYAT KUDA PANJI SEMIRANG. Dalam buku tsb memang jalan ceritanya sesuai dg kisah Raden Inu Kertapati yg selama ini dikenal masyarakat banyak. Atau baca dalam versi komiknya karya R.A KOSASIH, yg berjudul PANDJI SEMIRANG. Demikian sedikit pengetahuan saya. Semoga bermanfaat. Salam persahabatan selalu dari saya untuk Anda semuanya.....



# 7



Bondankemarin



jam 2:08pm Lapor



Kebetulan nemu dari mbah Gugle : http://resourcefulparenting.blogspot...akyat.html



Hall of Fame Anggota



52 anggota, 41 tamu online akr1s anseta atenk auda112 banyu batamboy beelzebub bubeng budiman25 cimeng coex dedi_arsa dexs Didi_Seven dolly fahrian Ferianto fetty gema Gpd gunawansetyohadi ibah Icalsaru inod jarijari Juven lew037 luminisious mawanxx maxpc nazri OMAN otib Perwito PPPoE prima Rahmah Rauzan Sulaiman syaeful t4nu Tjareuh_Boelan tourano tusmanwidojono udin_tjg wahyu123 windx xera yopi yoseph ys



zainiyacub



Display full version | mobile version Fish Ball Noodle + Ice Peach Tea 2012.01.03 (108q 0,35s 0,56s)



HomeArtikelResensiBacaanKatalogForumFilesCari OMANLogoutPilihanPesanBookmarks



RADEN PANJI KUDA WANENGPATI Home



→ Bacaan → Candra Kirana → RADEN PANJI KUDA WANENGPATI



Lapor Tjareuh_Boelan



19 Februari jam 8:05amWaktu terus berlalu. Hari telah bergulung menjadi minggu, dan minggu melipat jadi bulan. Saat yang ditentukan oleh sang baginda Prabu Jayantaka Tunggadewa untuk pernikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji makin mendekat jua. Enam minggu menjelang waktu yang ditetapkan. datang utusan dari Kadiri memperingatkan baginda akan hal itu dan meminta baginda untuk mengadakan persiapan-persiapan. Pernikahan akan berlangsung di Kadiri, karena itu harus ditetapkan kapan Raden Panji mesti dijemput. Lantaran kedatangan utusan Kadiri itu, sang baginda Jayantaka segera menitahkan menghadap kepada para pejabat dan tetua negara. Para utusan ditempatkan di sebuah pesanggrahan yang baik. Sementara menunggu hasil penindingan, Raden Panji Kuda Waneng Pati dipanggil dari peristirahatannya yang mungil dan yang terletak agak jauh dari Kahuripan ibukota Janggala. Dia hidup tentram di sana bersama dengan istri yang dia cintai sepenuh hati. Tetapi titah nampak penting, Raden Panji segera berangkat akan menghadap, sendirian saja. Dan memang demikian yang dikehendaki baginda. Kecuali Raden Panji, para putra baginda yang Iain juga nampak datang. Tumenggung Braja Nata duduk di barisan paling depan. Setelah semuanya lengkap menghadap, maka baginda masuk ke balairung. Dan setelah selesai menerima sembah, baginda segera membuka persidangan. "Andika sekalian sekarang diminta datang, bukan pada waktu yang biasa! Tentu pada diri andika pun timbul pertanyaan dan sangkaan yang merusuhkan hati. Baiklah, dengan singkat kami terangkan, bahwa andika sekarang kami titahkan menghadap adalah berhubungan dengan datangnya utusan Rayinda sang Prabu Jayawarsya dari Kadiri.



Seperti andika masih ingat, kami dengan Rayinda Prabu Kadiri telah mengikat suatu perjanjian, yang didasarkankepada suatu cita-cita yang agung, yakni hendak mewujudkan kembali jerih payah usaha moyang kami sang Airlangga. Kadiri dan Janggala hendaknya bersatu di bawah suatu tampuk pemerintahan. Asal kedua kerajaan ini dahulu satu, maka sepatutnya kalau kelak pun dibawah pemerintahan putra-putra yang akan datang dari perkawinan yang kami janjikan itu akan bersatu pula. Perjanjian itu dahulu dilakukan dengan mempertunangkan putra mahkota Janggala Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan putri mahkota Kadiri Dewi Sekar Taji. Ketika dipertunangkan keduanya masih sama-sama kecil, sama-sama kanak-kanak. Tetapi sejak itu waktu telah berlalu, dan kini keduanya telah dewasa. Bahkan Raden Panji..." baginda menoleh ke arah putranda. Raden Panji duduk bersila menundukkan wajah, seakan-akan tidak mengetahui arti pandangan ayahanda. "Raden Panji Kuda Waneng Pati!" seru baginda kemudian kepada Raden Panji. "Hamba, Gusti!" sahut Raden Panji. "Kemarin telah datang utusan dari mamandamu di Kadiri akan menanyakan pernikahan Ananda dengan Dewi Sekar Taji. Dahulu kami telah menjanjikan kepada mamandamu itu, bahwa pernikahan akan berlangsung pada hari Legi kedua bulan pertama tahun yang akan datang. Sekarang tinggal enam minggu lagi. Waktunya telah dekat. Utusan dari mamandamu menanyakan kapan engkau bisa dijemput, karena pernikahan hendak dilangsungkan di Kadiri!" Raden Panji Kuda Waneng Pati menghaturkan sembah, "Ampun Gusti, tetapi hamba telah beristri..." "Kami tahu, engkau telah beristri dengan Dewi Anggraeni, tetapi ia bukanlah jodohmu yang setimpal!" sabda baginda. "Ampun Gusti, tetapi Gusti telah merestui pernikahan kami," sembah Raden Panji Kuda Waneng Pati. "Pernikahan dengan Dewi Anggraeni kau lakukan secara diam-diam, tak setahu kami. Hal itu telah menunjukkan bahwa dalam dirimu pun tumbuh kesadaran, bahwa perbuatan seperti itu adalah suatu kekeliruan, suatu kesalahan. Namun kami restui juga pernikahan engkau berdua, karena ketika itu kami melihat, bahwa nafsumu tak mungkin dipadamkan. Kini waktu telah berlalu, nafsu tentu sudah mengendur, dan sepatutnya engkau teringat



akan kewajibanmu terhadap tunangannmu Dewi Sekar Taji." "Yang menyebabkan hamba menikah dengan Dewi Anggraeni, sekali-kali bukan nafsu, Gusti. Adalah cinta yang suci serta luhur yang menyebabkan hamba berani menempuh hal yang Gusti anggap kekeliruan ..." Sang baginda mendengus. "Cinta yang suci! Cinta yang luhur!" terdengar baginda tertawa meleceh. "Raden Panji Kuda Waneng Pati!" "Ampun Gusti!" sahut Raden Panji. "Kau berbicara dengan ayahmu, tak usah kau mengajari ayahmu tentang cinta suci atau tak suci. Yang penting sekarang kita bicarakan ialah pernikahanmu dengan Dewi Sekar Taji. Kau telah dipertunangkan dengan dia sejak masih kanak-kanak, kini tiba saatnya pertunangan diakhiri dengan pernikahan!" "Ampun Gusti! Tetapi pertunangan itu diadakan tanpa persetujuan dan pengetahuan hamba." "Kau pun menikah dengan Dewi Anggraeni tanpa sepengetahuan dan persetujuan kami!" "Tetapi hambalah yang menikah. Hamba yang mengalami pahit manis serta sukadukanya. Hamba sendiri. Ampun Gusti." "Raden Panji Kuda Waneng Pati!" "Daulat Gusti!" "Dengan singkat, maukah kau menikah dengan Dewi Sekar Taji?" "Ampun Gusti! Hamba sudah beristri!" "Dewi Anggraeni bukan seorang keturunan raja, ia boleh terus menjadi istrimu, tetapi Dewi Sekar Taji yang kelak akan menjadi permaisuri!" "Ampun Gusti! Dewi Anggraeni mesti menduduki tempat kedua? Sebagai selir? Sebagai istri kedua? Dewi Anggraeni adalah cinta hamba, hidup hamba. Hamba tidak sanggup menempatkannya di samping orang lain. Jangankan pula menempatkannya sesudah orang lain" "Jadi kendati pun hanya menggeser kedudukannya saja, engkau menolak?" "Ampun Gusti!" Baginda murka, nampak jelas dari wajahnya yang menjadi muram dan membesi terbakar,sedangkan giginya nampak digigitkan erat-erat. Tangannya memukul-mukul



paha kanan. "Raden Panji!" "Daulat Gusti." "Selama ini engkau tidak pernah menunjukkan kelakuan yang kurang sopan. Engkau seorang anak yang baik, yang senantiasa mengikuti segala perkataan orangtuamu. Tetapi, ya, memang sejak masih kecil, sudah kusaksikan sifatmu yang manja. Kau seorang yang sangat manja. Kau ingin supaya segala kehendakmu terlaksana. Engkau terlalu menurutkan hatimu sendiri. Engkau sibuk dengan dirimu sendiri yang sempit, karena yang senantiasa engkau pikir dan perhatikan hanyalah dunia kecilmu, yang penuh dengan kehendak-kehendak perseorangan yang serakah. Engkau sedikit pun tidak menaruh perhatian kepada masalah yang lebih besar. Engkau tidak mau memperhatikan masalah orang lain! Engkau tidak suka. Engkau enggan! Karena kalau pun engkau memperhatikan orang lain, hanyalah dari segi-segi kepentingan dirimu sendiri yang sempit." Kemudian baginda melanjutkan pula, "Sekarang segala yang dahulu kami kuatirkan terjadi. Engkau bersitahan dengan dirimu, engkau tidak mau melepaskan istrimu, karena kau anggap itu akan mengurangi kebahagiaanmu. Namun, sececah pun tidak pernah kau perhatikan kebahagiaan orang lain kebahagiaan manusia yang menjadi kawula dalam dua buah kerajaan!" Raden Panji tidak menyahut. "Raden Panji! Tidakkah kau sadari, bahwa pernikahanmu dengan Dewi Sekar Taji akan membawa dua buah kerajaan ke dalam gerbang kebahagiaan?" "Ampun Gusti, bagi hamba kerajaan adalah sesuatu yang tidak jelas. Apakah artinya kerajaan, karena hamba sendiri pun bagian yang tak terpisahkan dari kerajaan Janggala!" "Kerajaan adalah segala sesuatu yang hidup didalamnya. Kerajaan bukanlah batas-batas, bukanlah sungai-sungai, bukanlah gunung-gunung, tetapi manusia-manusia yang menjadi kawulanya. Manusia-manusia itu yang mesti kau lihat. Manusia-manusia yang sama seperti engkau, seperti istrimu, yang sama-sama merindukan kebahagiaan dalam hidupnya." Tetapi apakah benar kebahagiaan mereka itu tergantung dari ketidakbahagiaan hamba, ampun Gusti?" "Ketidakbahagiaanmu? Nyatalah, nyata bahwa engkau selalu melihat sesuatu dari dirimu



yang sempit, yang picik,yang serakah. Engkau menyebutnya ketidakbahagiaan, padahal sesungguhnya pengurbanan. Dan sebagai seorang putra mahkota yang kelak memangku takhta kerajaan, engkau mesti menganggap bahwa pengurbanan yang kau berikan untuk kebahagiaan kawula negara dan untuk kemanusiaan umumnya, adalah satu-satunya kebahagiaan. Makin besar pengurbanan yang kau berikan, makin besar kebahagiaan yang kau dapat Karena, kebahagiaan seorang raja adalah kalau ia telah bisa meleburkan diri beserta kepentingan-kepentingannya yang sempit untuk kebahagiaan kawula serta manusia yang mulia. "Ampun Gusti, tetapi benarkah kawula kedua buah negara akan lebih merasa berbahagia di bawah pemerintahan satu mahkota daripada terpecah dalam dua mahkota?" "Raden Panji! Tak usah engkau mencari-cari persembunyian dalam silat lidah yang pintar. Yang kami minta bukanlah kepintaranmu berkata melainkan kesediaanmu mengurbankan kepentingan dirimu sendiri yang sempit demi kebahagiaan kerajaan, untuk mencapai cita-cita yang luhur. Cita-cita yang hendak mewujudkan kembali usaha moyangmu sang Airlangga!" "Namun, bahkan sang Airlangga sendiri tidak berdaya, pada akhir hayatnya baginda terpaksa membagi dua kerajaan ..." "Itulah yang hendak kita persatukan kembali!" "Empu Bharada telah membuatkan batas dan ia seorang yang sakti." "Kita akan melenyapkan kesaktian Empu Bharada. Kita hendak menghapuskan batas yang dia bikin." "Ampun Gusti, mengapa justru hamba yang dijadikan kurban dalam usaha hendak menghapuskan kesaktian Empu Bharada? Mengapa hamba yang mesti memberikan pengurbanan sebesar itu" "Tidak ada yang besar kalau kau telah sampai dalam arti Besar yang sesungguhnya. Tak ada yang berat untuk dilakukan, kalau kau mengerti ujud Berat yang sesungguhnya. Besar dan berat hanyalah ukuran yang dibuat oleh manusia berdasarkan perasaannya yang sempit itu. Kalau kau melihatnya dari keluasan pandangan, dari kepentingan umat manusia yang banyak, maka semuanya menjadi kecil dan tak berarti. Engkau, Raden Panji, seorang yang sudah kenyang berguru dan bertapa tentu akan mengerti tujuan hidupmu yang benar..."



"Ampun Gusti,dalam hidup hamba yang singkat, sering kegelapan menutup seluruh pandangan. Meraba-raba hamba terantuk-antuk mencari jalan. Tak ada cahaya yang memberi petunjuk. Alam buana bagaikan tak bermatahari. Hingga .. hingga sampai pertemuan hamba dengan Dewi Anggraeni. Dialah yang memberi hamba sinar. Dialah yang menjadi pelita, yang menjadi bintang, yang menjadi bulan,yang menjadi matahari dalam hidup hamba. Karena itu, bagaimana mungkin hamba menyisihkannya? Bagaimana mungkin hamba menggesernya?" "Tetapi Raden Panji engkau seorang putera mahkota yang berhak atas takhta kerajaan Janggala. Tujuan hidupmu tidaklah hanya sampai ke pangkuan Dewi Anggraeni belaka!" "Ampun Gusti!" "Sanggupkah engkau menghilangkan dirimu sendiri demi kepentingan kebahagiaan kawula dua buah kerajaan. Sangguplah engkau melenyapkan dirimu dan cintamu pada Dewi Anggraeni untuk kebahagiaan manusia lain yang banyak dan untuk kemanusiaan? Sanggupkah engkau meleburkan dirimu sendiri demi kepentingan cita-cita yang agung serta luhur dan suci? Sanggupkah engkau?" "Ampun Gusti. Untuk menyisihkan Dewi Anggraeni, hamba . . .hamba tidak sanggup." sahut Raden Panji Kuda Waneng Pati. Sang baginda makin geram. Dari matanya bagaikan berpancaran lelatu-lelatu api. Suasana dalam balairung sangat tegang. Tak seorang pun yang berani mengangkat muka. Mereka semua menunduk. Mereka mendengarkan dengan diam-diam percakapan antara raja dengan putra mahkota. Tetapi tatkala menyaksikan bahwa suasana sudah sampai ke puncak, patih Prasanta yang tua, yang sejak masih muda menghambakan diri kepada baginda Jayantaka Tunggadewa dan menjadi salah seorang patih kepercayaan, dan menjadi salah seorang guru putra mahkota, segera menghaturkan sembah. "Ampun Gusti, perkenankan hamba memberikan sepatah dua kata..." Sang baginda menolehkan wajahnya kearah sumber suara. "Kakang Prasanta!" tegurnya. "Bicaralah'" "Ampun gusti, perkenankan hamba berbicara kepada Raden Panji." "Baiklah, Kakang! Berbicaralah kepadanya" Patih Prasanta mengarahkan mukanya kepada Raden Panji, kemudian ia bicara dengan suara yang tenang. "Raden, istri Raden Dewi Anggraeni adalah seorang yang luas



pandangannya. Ia tentu mengerti akan pentingnya pertunangan Raden dengan Dewi Sekar Taji dilanjutkan dengan pernikahan. Ia tentu akan dengan rela memberikan kedudukannya di samping Raden kepada Dewi Sekar Taji yang memang lebih berhak ..." Raden Panji menolehkan wajahnya. "Mamanda Patih Prasanta, Dewi Anggraeni seorang yang luas pandangannya, memang! Memang tak mustahil ia akan dengan rela memberikan tempatnya kepada Dewi Sekar Taji. Tetapi hamba tidak mungkin menipu diri hamba sendiri. Hamba tidak bisa membohongi diri hamba sendiri, hamba tidak mau menyisihkan cinta hamba, tidak mau menggesernya untuk orang lain!" "Raden, tetapi kalau Raden menikah dengan Dewi Sekar Taji itu bukan berarti bahwa Raden menyisihkan atau menggeser cinta Raden. Raden hanya memenuhi kewajiban Raden sebagai seorang satria yang sadar akan tanggung jawabnya. Raden seorang putra mahkota. Putra mahkota kerajaan Janggala yang jaya." "Hamba tidak peduli. Mamanda Patih! Hamba tidak ingin menjadi seorang satria, seorang putra mahkota! Mengapa hamba tidak boleh hidup sebagai seorang manusia biasa yang boleh mengecap kebahagiaan hidupnya secara sesuka hatinya, menurut pilihan hatinya sendiri?" "Karena kebahagiaan seorang putra mahkota atau seorang raja, bukanlah dalam mengikuti kehendak hatinya tetapi dalam pengabdiannya kepada kerajaan dan kawulanya." "Hamba tidak menemui kebahagiaan dalam hidup seperti itu. Mamanda Patih. Hamba tidak ingin hidup seperti itu. Hamba tidak peduli apakah hamba seorang putra mahkota atau bukan, seorang pangeran ataupun bukan. Ambillah kedudukan putra mahkota itu, tetapi jangan usik Dewi Anggraeni dari samping hamba!" "Raden Panji Kuda Waneng Pati!" teriak baginda tatkala mendengar perkataan putranda yang terakhir. Raden Panji terkejut, segera menghaturkan sembah, "Daulat Gusti!" "Engkau berbicara seperti orang yang tidak waras...!" baginda tertegun sejenak, perkataannya terpotong, lalu menoleh kepada patih Prasanta. "Kakang Prasanta."



"Daulat Gusti!" "Sudahlah! Tak ada gunanya Kakang berbicara pula. Raden Panji memang sudah tak mau berpisah dengan Dewi Anggraeni. Selama ada Dewi Anggraeni agaknya Raden Panji takkan sudi memikirkan hal yang lain kecuali cintanya itu saja. Karena itu...," baginda termenung sejenak, baru kemudian melanjutkan dengan suara yang berubah, "biarlah! Tak usahlah hal itu kita bicarakan lagi. Raden Panji, bukankah engkau merasa berat menikah dengan Dewi Sekar Taji lantaran disampingmu ada Dewi Anggraeni yang kau cintai sepenuh hati?" "Daulat Gusti, demikianlah adanya." Baginda merenung ke kejauhan. Meskipun berbicara dengan Raden Panji, baginda tak melihat ke arah putranda. Suasana dalam balairung tegang. Orang-orang merasa heran lantaran mendengar suara baginda yang berubah, rendah dan seolah-olah tidak menyala-nyala lantaran amarah seperti tadi, namun terdengar-dengar gemetar, gugup dan gelisah. Setelah sejenak hening, baginda bersabda pula dengan suaranya yang gemetar serta gugup itu, "Raden Panji! Kami hargai kebesaran cintamu kepada istrimu Dewi Anggraeni. Cinta yang kau sebut cinta suci. Cinta yang telah menyebabkan engkau rela kendati melepaskan kedudukanmu sebagai putra mahkota!" "Daulat Gusti," sembah Raden Panji dengan suara setengah berbisik. "Dewi Sekar Taji tak mungkin kau nikahi karena di sampingmu ada Dewi Anggraeni, bukan?" "Daulat Gusti." Baginda menghela nafas pula. Matanya redup memandang ke kejauhan. Dan wajahnya bagaikan berkeras hati hendak mengambil keputusan yang sangat berat namun terpaksa. "Tetapi, Raden Panji engkau pun tahu pertunanganmu dengan Dewi Sekar Taji telah diresmikan. Perjanjian telah diadakan antara dua kerajaan." Raden Panji tidak menyahut, hanya menghaturkan sembah tanda ia mengetahui apa yang disabdakan baginda. Suara baginda tiba-tiba berubah, memaksakan diri supaya tegas dan hendak mengambil keputusan, kemudian bersabda dengan suara yang angker lagi. "Raden Panji, engkau masih ingat beberapa waktu yang lalu sang Kili Suci datang mengunjungi kita, bukan?"



"Daulat Gusti." "Tetapi engkau barangkali tidak tahu, bahwa kedatangan sang Kili Suci itu adalah bersangkutan dengan pernikahanmu dengan Dewi Sekar Taji." "Ampun Gusti, hamba tidak tahu." "Karena sekarang kau telah pasti tak mau menikah dengan Dewi Sekar Taji, selama Dewi Anggraeni ada di sampingmu, maka kami titahkan engkau sekarang juga menghadap kepada sang Kili Suci. Sampaikan halmu kepadanya dan sampaikan takzim serta sembah kami." Raden Panji bingung. Ia sia-sia mengikuti arah pembicaraan ramanda. Ia tidak mengerti arah percakapan ramanda. Tetapi dengan disebutnya sang Kili Suci, hatinya terbuka. Sang pertapa yang arif itu tentu maklum akan cintanya yang besar kepada Dewi Anggraeni. Sang pertapa itu tentu akan menolongnya. "Daulat Gusti," sembahnya dengan suara sarat harap. "Nah, berangkatlah engkau sekarang jua ke Pucangan. Sampaikan semuanya. Dan mintalah engkau nasihat sang Kili Suci, entah bagaimana nasihatnya untuk memecahkan halmu itu." "Ampun Gusti, titah hamba junjung. Tetapi dengan demikian, apakah persoalan pernikahan telah dianggap selesai?" Baginda melengos. "Kami menitahkanmu ke Pucangan, untuk meminta nasihat sang Kili Suci mengenai hal ini. Mudah-mudahan ia menunjukkanmu jalan yang sebaik-baiknya ditempuh. Mudah-mudahan ia maklum akan keadaan dan kehendakmu dan memberimu petunjuk ke jalan yang benar. Berangkatlah segera." "Hamba akan berangkat sekarang juga, tetapi perkenankan sebelum langsung menuju ke Pucangan, hamba pulang dahulu akan mengabarkan keberangkatan hamba kepada istri hamba Dewi Anggraeni." "Mengingat bahwa persoalan ini penting, dan kepada utusan dari Kadiri yang sekarang sedang menanti keputusan, kita mesti memberi jawaban secepat mungkin, kutitahkan engkau langsung menuju ke Pucangan. Makin cepat makin baik. Mengenai istrimu, tak usah kau merasa kuatir.Keberangkatanmu akan dikabarkan juga kepadanya oleh salah seorang saudaramu." "Ampun Gusti, titah hamba junjung. Tetapi perkenankan hamba meminta kawan buat di



jalan." "Tentu, tentu engkau mesti berkawan. Baiklah Kakang Prasanta,Kakang kawani Raden Panji Kuda Waneng Pati ke Pucangan. Kalau masih perlu, bawa beberapa orang ponggawa. Pilihlah sesukamu." "Titah hamba junjung," sahut Patih Prasanta sambil menghaturkan sembah. "Ponggawa akan hamba pilih beberapa orang, mengingat sekarang musim hujan, jalan ke Pucangan tentu licin. Para ponggawa akan membawa kuda cadangan." "Sesukamu, Kakang. Persiapan dan persediaan buat bekal di jalan, kami percayakan kepada Kakang. Berangkatlah sekarang juga." "Daulat Gusti." "Raden Panji." "Ampun Gusti." "Ingat, engkau mesti langsung menuju ke Pucangan, jangan membelok atau singgah ke tempat lain dahulu." "Ampun Gusti, hal itu akan hamba ingatkan." "Sekarang berangkatlah segera." "Hamba minta diri, mengharapkan restu Gusti selama dalam perjalanan." "Perjalalananmu untuk kepentingan kerajaan, menyangga titah raja, kami restui." Setelah menghaturkan sembah, Raden Panji bersama Patih Prasanta segera mengundurkan diri dari balairung. Sejenak dibagian belakang balairung terdengar hiruk-pikuk. Beberapa nama ponggawa disebut, akan dibawa ke Pucangan, mengawani putra mahkota yang hendak mengunjungi sang Kili Suci. Persiapan-persiapan segera diadakan, kemudian terdengar suara ringkik kuda yang makin lama makin menjauh. Sementara terjadi kesibukan itu, sang baginda duduk di atas singgasana, dengan kepala tertunduk, kening berkerut. Dari wajahnya nampak seolah-olah telah mengambil suatu keputusan yang berat, lelah dan payah. Nafasnya turun-naik, kelihatan dari gerakangerakan teratur punggungnya. Suasana dalam balairung hening. Tak seorang pun berani mengganggu baginda yang kelihatan sedang asyik berpikir. Akhirnya baginda mengangkat kepala. Wajahnya nampak keruh seolah hatinya dibebani sebuah gunung. Sebelum bersabda, terlebih dahulu baginda mengusap wajahnya dengan



kedua belah telapak tangan. "Tumenggung Braja Nata!" sabdanya kemudian. "Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan hati kebat-kebit, terpengaruh oleh suasana yang menekan, suaranya perlahan. "Tumenggung Braja Nata!" baginda mengulangi sabdanya dengan suara naik tiba-tiba. "Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan suara lebih keras. "Patik menanti titah Gusti." Sejenak baginda melihat kearah Tumenggung Braja Nata, tetapi kemudian segera mengalihkan pandangannya pula ke kejauhan. "Engkau sejak tadi memperhatikan apa yang terjadi di sini, bukan? Engkau memperhatikannya?" "Daulat Gusti!" "Engkau mengerti apa sebabnya maka Raden Panji kutitahkan ke Pucangan?" "Ampun Gusti, untuk menemui sang Kili Suci!" Baginda tertawa hambar. "Tidak! Bukan itu maksudku yang sebenarnya. Titahku agar dia menghadap keadilan, Kili Suci hanya agar mempermudah maksud yang sesungguhnya. Tahukah kau apa maksudku yang sesungguhnya?" "Ampun Gusti, hamba kurang tahu." "Titah kami kepada Raden Panji hanya mempermudah jalan untuk maksud yang sesungguhnya...," baginda berhenti sejenak. "Dan maksud yang sesungguhnya itu akan kami bebankan di atas bahumu." "Ampun Gusti, bagi hamba belum jelas juga titah itu. Selama hayat dikandung badan, hamba akan berusaha melaksanakan segala titah gusti, meski mesti menempuh lautan api ataupun gunung braja." Baginda menghela nafas. "Demikianlah hendaknya semangat seorang satria. Satria Janggala yang tahu akan kewajibannya," baginda bersabda pula. "Tetapi tugasmu bukanlah menempuh lautan api ataupun menerjang gunung braja, melainkan ..." baginda berhenti pula sejenak. "Tidak, bukan itu titah yang akan kami bebankan kepadamu, melainkan ..." sang baginda menghunus keris yang tersandang.



Baginda mengamati matanya yang tajam dan ukiran-ukiran nya yang indah. "Tumenggung Braja Nata. kau lihatkah keris ini telanjang, tak bersarung?" Tumenggung Braja Nata tidak mengerti makna pertanyaan ayahanda, tetapi ia menyahut juga, "Daulat Gusti." "Keris ini keris pusaka, yang selalu dipakai oleh setiap raja Janggala. Dari Nenenda ia turun kepada Ayahanda dan sekarang ia ada pada kami. Umurnya sudah tua. Tetapi ia masih indah dan masih baik. Jarang empu yang pandai membuat keris sebagus ini," lalu baginda menjentikkan telunjuknya kepada ujung keris, bunyinya nyaring 'cring-cringcring' menggema diseluruh balairung yang seperti mati. Orang-orang dengan heran mengawasi kelakuan raja mereka dengan diam. Mata mereka terbuka lebar, kuatir sesuatu terjadi tanpa mereka saksikan. "Dengar, suaranya sangat nyaring. Sungguh keris yang jarang tandingnya! Hmmmh, ia kini telanjang, tak bersarung, perlu mendapat sarung baru!" Kemudian baginda menatap Tumenggung Braja Nata. "Tumenggung Braja Nata! Kepadamulah tugas untuk memberi sarung baru keris ini terpikul!" Tumenggung Braja Nata tidak mengerti akan ujud perkataan baginda. Tadi baginda akan menitahkannya melaksanakan titah yang berat, tetapi ternyata titah itu cuma mencari sarung baru buat keris pusaka! Meskipun keris itu keris pusaka, namun perkara itu agaknya tidak begitu penting kalau mengingat soal yang sejak tadi dibicarakan. Ia tidak mengerti. Ia samasekali tidak mengerti. Tetapi menolak titah iapun tidak berani. "Daulat Gusti, titah hamba junjung diatas kepala patik," sembahnya. "Kami ingin agar segera dilaksanakan sekarang juga!" sabda baginda tegas. "Daulat Gusti," sahut Tumenggung Braja Nata. "Tetapi empu manakah yang berkenan dengan hati Gusti untuk memberi sarung baru buat keris pusaka kerajaan Janggala itu?" Baginda menatap Tumenggung Braja Nata. "Tumenggung Braja Nata!" sabda baginda keras-keras. "Daulat Gusti!" "Bukankah engkau tadi mendengarkan apa yang kami sabdakan dalam balairung ini? Bukankah engkau tadi mendengarkan percakapan kami dengan Raden Panji Kuda



Waneng Pati mengenai pernikahannya dengan Dewi Sekar Taji?" "Daulat Gusti!" "Engkau mengerti?" "Hamba, ham . . . hamba mengerti, Gusti!" "Nah, kalau engkau mengerti, maka pergilah engkau sekarang mencari sarung baru buat keris pusaka kerajaan Janggala ini! Demi kelangsungan cita-cita luhur sang Airlangga! Berangkatlah sekarang juga!" "Ampun Gusti, tetapi bagaimanakah bentuk sarung baru yang Gusti kehendaki, seperti yang lama sajakah atau ...?" "Tumenggung Braja Nata!" potong sang baginda. "Daulat Gusti!" "Benar-benarkah engkau mengerti akan maksud kami? Benar-benarkah engkau menyimakkan segala sabda kami kepada Raden Panji? Benar-benarkah engkau mengerti akan segala apa yang kau dengar tadi di sini?" "Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan tak mengerti. "Kau sadar akan arti persatuan Janggala dan Kadiri untuk mewujudkan cita-cita agung moyangmu sang Airlangga?" "Daulat Gusti." "Satu-satunya jalan mencapai cita-cita yang agung itu adalah dengan menikahkan Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan putri mahkota Kadiri Dewi Sekar Taji. Kau mengerti?" "Hamba. Gusti." "Tetapi untuk sampai pada pernikahan itu ada rintangan. Raden Panji Kuda Waneng Pati tidak mungkin menikah dengan Dewi Sekar Taji kalau disampingnya ada istri yang sangat dicintainya, Dewi Anggraeni. Rintangan mesti dihilangkan, supaya jalan menuju cita-cita yang luhur serta agung tidak terganggu. Pada pundakmulah kami bebankan tugas untuk menghilangkan rintangan itu. Terimalah keris pusaka yang tidak bersarung ini! Dengan keris pusaka ini kau mesti menghilangkan rintangan satu-satunya yang menghalangi kita mencapai tujuan yang mulia, cita-cita yang tinggi. Sarung keris ini tak mungkin kau cari pada empu siapa pun juga, betapa pun pandainya ia bertukang. Ia mesti kau beri sarung dalam diri orang yang menjadi rintangan bagi tercapainya cita-cita yang agung!"



Sehabis berkata-kata itu baginda terduduk di atas kursinya. Giginya tergigit keras, seolaholah menguat-nguatkan hati. Kelihatan baginda sangat lesu dan letih. Keringat bermanikmanik di dahinya. Tumenggung Braja Nata juga terhenyak. la mengerti kini ujud titah baginda: Dewi Anggraeni! Dewi Anggraeni! Dewi Anggraenilah sarung baru keris pusaka yang dimaksudkan ayahanda! Dewi Anggraeni menjadi penghalang tercapainya cita-cita baginda untuk mempersatukan Janggala dengan Kadiri! Dan penghalang itulah yang mesti dimusnahkan! Jalan mesti direntas dari segala penghalang! Jalan mencapai cita-cita mesti luas dan lurus! Dan ia, ia, ia, Tumenggung Braja Nata mendapat tugas untuk merentas jalan itu! Untuk menghilangkan segala penghalang! Untuk melenyapkan segala rintangan! Untuk untuk ... untuk menjadikan Dewi Anggraeni sarung baru bagi keris pusaka Janggala! Ia! Ia mesti melakukan tugas itu! la bukan harus menerjang lautan api atau mengalahkan sebuah kerajaan! Ia bukan dititahkan menenang gunung braja atau menumpas pemberontakan! la bukan dititahkan mengeringkan segara atau merebut sebuah negara buat memperluas daerah! Tidak! Ia hanya dititahkan untuk menghapuskan Dewi Anggraeni! Dewi Anggraeni! Ia tahu. Dewi Anggraeni istri saudaranya. Raden Panji Kuda Waneng Pati. Seorang yang cantik, halus, lemah lembut, sopan, ibarat sebuah bunga! Mengapa ayahanda tidak menitahkannya mengalahkan seekor macan yang galak melainkan mematahkan setangkai bunga yang sedang kembang? Dewi Anggraeni bagaikan setitik embun yang bersih, yang dengan menyentuh pelan-pelan daun tempatnya memercik akan jatuh ke muka bumi. Mengapa ayahanda menitahkannya untuk menjatuhkan embun yang cerlang ditimpa matahari pagi itu dan tidak menitahkannya saja membendung kali Brantas yang besar? Ah, Dewi Anggraeni. Dewi Anggraeni... Tumenggung Braja Nata merasa tubuhnya menggigil. Hatinya menjadi lemah dan jantungnya seakan-akan berhenti berdenyut. la merasakan seluruh sendi-sendinya lesu tak bertenaga. Bahkan seluruh tubuhnya terasa tak berdaya, tak berkekuatan, hanya seonggok beban yang memberati jiwa. "Tumenggung Braja Nata!" titah baginda pula. Dengan tangan yang menggigil, Tumenggung Braja Nata menghaturkan sembah.



Suaranya pun gemetar. "Daulat Gusti!" "Mengertikah kau sekarang? Tahukah kau sekarang akan tugas yang kami bebankan di bahumu?" "Da . . .daulat Gusti! Hamba ... ham ... hamba mengerti." Baginda memberi titah pula. "Sekarang kau telah mengerti akan tugasmu. Maka lakukanlah sekarang apa yang telah kau mengerti itu." "Tetapi ... tetapi Gusti. ham ... hamba ..." "Tumenggung Braja Nata! Engkau seorang satria! Seorang satria Janggala yang perwira! Engkau akan menjadi contoh bagi sekalian satria Janggala! Keperwiraanmu akan menjadi teladan. Untuk mencapai cita-cita yang agung, yang hasilnya akan membawa kawula kerajaan, manusia ke gerbang kebahagiaan, engkau mesti berani menghancurkan dirimu, perasaan-perasaanmu sendiri yang sempit, melenyapkannya buat kepentingan kebahagiaan umat manusia yang banyak! Engkau mesti berani menghilangkan dirimu yang kecil, yang tak berarti beserta lingkunganmu yang juga sempit! Engkau seorang satria, engkau sejak kecil telah membaca kitab Mahabharata yang suci. Engkau telah menyimakkan Bhagawad Gita, petua-petua Batara Kresna terhadap Arjuna yang ragu. Demikianlah keadaanmu sekarang! Engkau adalah Arjuna yang mesti melenyapkan perasaan-perasaan persaudaraan yang sempit demi kebahagiaan persaudaraan yang lebih luas. Engkau adalah Arjuna yang mesti tidak gentar melawan Kaurawa yang masih berasal dari satu turunan Bharata untuk membela kebenaran dan cita-cita kemanusiaan yang mulia! Engkau ingat akan nasihat Batara Kresna? Maka simakkanlah segala petua Sang Wisynu itu dan tempatkanlah dirimu pada kedudukan Sang Janaka!" Sang Janaka! Ia, Tumenggung Braja Nata adalah sang Janaka di Kurusetra! Sang Janaka yang mesti melenyapkan keragu-raguan hatinya dan berbulat tekad untuk berkelahi dan membunuh saudara-saudara, orangtua dan bahkan gurunya! Namun alangkah canggung! Sang Janaka menghadapi musuh-musuhnya, kebanyakan laki-laki di medan peperangan Kuru! Musuh-musuhnya yang juga mempertahankan diri, melawan, menyerang! Tetapi Dewi Anggraeni? Ia hanya seorang wanita! Akan sampai hatikah ia berbuat kejam terhadap seorang wanita? Seorang wanita yang takkan mungkin melawannya? Wanita yang adalah istri tercinta saudaranya sendiri? Akankah sampai hatinya? Tumenggung Braja Nata tertunduk. Ia tidak berani menengadahkan pandangannya, kuatir berbentrok



dengan sinar mata ayahanda. Padahal sesungguhnya, tak usah hal itu dia takuti, karena ayahanda sendiri selalu menghindarkan pandangannya ke arah Iain. Beberapa jenak suasana balairung hening dan tegang. "Tumenggung Braja Nata! Ketahuilah, bahwa kami sendiri hancur hati mengambil keputusan ini! Tetapi demi cita-cita persatuan Janggala dan Kadiri yang agung, kami tempuh juga jalan satu-satunya ini. Kami mencoba melenyapkan diri dan perasaanperasaan sendiri yang sempit untuk melapangkan jalan menuju cita-cita luhur. Maka engkau juga, Braja Nata, anak yang lahir dari darah kami sendiri, engkau juga harus sanggup melenyapkan dirimu dan perasaan-perasaanmu sendiri yang sempit demi kepentingan cita-cita yang agung. Engkau yang kami pilih untuk menjalankan titah yang luarbiasa ini, supaya Raden Panji, saudaramu itu, sadar bahwa segalanya kami tempuh demi kepentingan kebahagiaan manusia yang banyak, yang menjadi kawula dua buah kerajaan!" "Ampun Gusti, tetapi alangkah beratnya tugas hamba!" keluh Tumenggung Braja Nata. "Mengapa hamba tidak dititahkan saja menaklukkan para pemberontak atau kraman yang ganas mengganggu ketentraman rakyat? Mengapa justru untuk ... untuk ... untuk mencari sarung baru bagi keris pusaka? Duhai Gusti! Hamba tak ... tak ... " Baginda mengalihkan pandangannya ke arah Tumenggung Braja Nata. "Jangan engkau berbicara seperti perempuan! Engkau adalah satria Janggala yang mengenai kehormatan dirinya! Engkau adalah satria Janggala yang rela mengurbankan dirinya sendiri untuk kepentingan kerajaan dan kebahagiaan umat yang hidup di dalamnya! Engkau adalah Sang Janaka di medan Kuru! Engkau mesti tabah!" "Namun Gusti . . . ." sembah Tumenggung Braja Nata. "Yang hamba mesti hadapi bukanlah Arya Dursasana yang Iicik pelit, bukanlah Duryodana yang angkara murka! Yang mesti hamba hadapi... ampun Gusti!" Sang baginda menghefa nafas pula. "Memang tugasmu tidak ringan, Braja Nata. Itu kami sadari. Dan sesungguhnya bagi kami pun tidaklah ringan memberi titah itu kepadamu. Namun demi kebahagiaan manusia yang menjadi kawula dua buah kerajaan, segala pertimbangan-pertimbangan kedirian mesti dikesampingkan. Kau mesti tabah! Terimalah keris yang tak bersarung ini!" Baginda mengulurkan keris kepada Tumenggung Braja Nata.



Tumenggung Braja Nata bagaikan lesu, tak bertenaga untuk menerima keris itu. Tetapi ia tak berani menolak titah baginda. "Terimalah Braja Nata! Engkau satria Janggala yang mesti memberi teladan kepada para satria lain!" "Am ... am ... ampun Gusti!" "Braja Nata! Berani kau menyanggah perintah rajamu? Kami, Prabu Jayantaka Tunggadewa, yang menguasai hidup serta mati seluruh mahluk yang ada di wiiayah kerajaan Janggala, menurunkan titah kepada engkau, Tumenggung Braja Nata untuk melaksanakan titahnya buat melapangkan jalan serta melenyapkan rintangan menuju tercapainya cita-cita kemanusiaan yang agung! Terimalah keris ini!" Tak berani lagi Tumenggung Braja Nata berbuat ayal. Suara sang baginda terdengar angker dan berpengaruh. Dengan jari-jari menggigil ia menerima keris yang diulurkan baginda. Benda dari logam yang tidak seberapa besar dan nampak ringan itu, bagaikan sebuah gunung besi yang berat sekali, menekan tangan, bahu dan seluruh dirinya. Dia hampir tidak sanggup memegangnya! Hampir terjatuh ke lantai, untung dengkulnya tetap,sehingga tak usah ia terjeremuk.Keringat laksana mutiara berkilauan pada keningnya, dan tatkala ada angin yang semilir masuk dari celah-celah, terasa keringat dingin memenuhi seluruh tubuhnya! Nafasnya sesak. jantungnya bagaikan tak sanggup berdenyut. "Tumenggung Braja Nata!" sabda baginda kemudian. "Kami percayakan tugas untuk merentas jalan, melapangkan rintangan yang menghalangi tercapainya cita-cita kita yang suci! Kami percayakan kepadamu, seorang satria yang sadar akan kehormatan dan tanggungjawab dirinya! Engkau yang akan memberi teladan yang baik buat satria-satria lainnya di Janggala! Kami percaya, engkau akan melaksanakan tugasmu dengan baik!" "Da... dau... daulat Gusti!" "Baiklah. Berangkat kau sekarang juga! Jangan kau perayalkan titah raja Janggala!" Kemudian baginda menoleh ke arah Senapati Arya Suralaga, "Arya Suralaga!" Yang dipanggil terkejut bukan buatan. "Daulat Gusti!" "Andika kami titahkan untuk pergi mengawani Tumenggung Braja Nata melaksanakan tugasnya. Andika mesti mengawasi supaya titah kami dilaksanakan sebaik-baiknya.



Andika jangan membiarkan dia bertindak ayal atau menyalahi tugasnya!" "Da . . . daulat Gusti!" "Pergilah andika sekarang juga, bersama Tumenggung Braja Nata untuk memberi sarung baru kepada keris pusaka kerajaan Janggala! Cepat!" "Daulat Gusti!" Setelah itu, suasana balairung kembali sibuk. Mereka yang mendapat titah, sesudah meminta diri serta mendapat restu baginda segera melangkah ke luar dengan lesu. Sang baginda sendiri nampak lesu. Kepalanya tertunduk. Akhirnya baginda memberi isyarat bahwa persidangan bubar. Maka orang-orang pun mengundurkan diri dengan diam-diam. Peristiwa yang mereka saksikan tadi, sangat mencengkam hatinya masing-masing. Dan itu saja telah menyebabkan mereka enggan berbicara. *** SANG KILI SUCI



← Bab



TUMENGGUNG BRAJA NATA



Bab Sesudah → Sebelum 93 orang telah membaca



7 komentar Baca semua komentar Tulis Komentar #



Tjareuh_Boelan23



3



AHMAD77 menulis:



Februari jam 10:51pm Lapor



Suhu, sblmya maaf, cerita panji inukertopati yg beredar luas turun temurun di jawa timur khusus kediri jauh berbeda yg suhu tuliskan, panji inukertopati hanya menikahi sekartaji, didalamnya ada cerita etit yaitu sang inukertopati menyamar sebagai orang dusun untk mengoda adiknya. Hikayat aslinya memang sprti itu. Tapi di cerita Candra Kirana ini, mungkin ini adalah hikayat Panji "versi" Sunda, setidak-tidaknya ini adalah hikayat Panji versi Pak Ajip Rosidi,



sang pengarangnya.. Hehe # maaf kalau cerita ini agak berbeda dari kisah Raden Inu Kertopati dan Galuh Ajeng Candra Kirana yg sebenarnya. # 4



AHMAD771



Maret jam 4:11pm Lapor



Makash suhu atas penjelasannya, jadi faham ceritanya, smg suhu sehat dan smg jua lancar rejeki dan usaha.



# 5



BondanKamis



jam 8:33pm Lapor



Rasanya pernah membaca juga versi Ande-ande Lumut dengan Klenting Kuning .... yang ternyata adalah Raden Inu dan Dewi Sekartaji yang menyamar .... apakah ini akan seperti itu ....



# 6



Tjareuh_BoelanJumjam



jam 12:18pm Lapor



Kisah Ande Ande Lumut saya belum pernah baca. Tapi saya pernah mendengar lagunya dalam versi gending jawa. NB: Kalau ingin membaca kisah Candra Kirana yg aslinya, ada dalam buku karya Saleh Sastrawinata, yg bertajuk: HIKAYAT KUDA PANJI SEMIRANG. Dalam buku tsb memang jalan ceritanya sesuai dg kisah Raden Inu Kertapati yg selama ini dikenal masyarakat banyak. Atau baca dalam versi komiknya karya R.A KOSASIH, yg berjudul PANDJI SEMIRANG. Demikian sedikit pengetahuan saya. Semoga bermanfaat. Salam persahabatan selalu dari saya untuk Anda semuanya.....



# 7



Bondankemarin



jam 2:08pm Lapor



Kebetulan nemu dari mbah Gugle : http://resourcefulparenting.blogspot...akyat.html



Hall of Fame Anggota



52 anggota, 41 tamu online akr1s anseta atenk auda112 banyu batamboy beelzebub bubeng budiman25 cimeng coex dedi_arsa dexs



Didi_Seven dolly fahrian Ferianto fetty gema Gpd gunawansetyohadi ibah Icalsaru inod jarijari Juven lew037 luminisious mawanxx maxpc nazri OMAN otib Perwito PPPoE prima Rahmah Rauzan Sulaiman syaeful t4nu Tjareuh_Boelan tourano tusmanwidojono udin_tjg wahyu123 windx xera yopi yoseph ys zainiyacub



Display full version | mobile version Fish Ball Noodle + Ice Peach Tea 2012.01.03 (109q 0,76s 1,02s)



indozone.net HomeArtikelResensiBacaanKatalogForumFilesCari OMANLogoutPilihanPesanBookmarks



TUMENGGUNG BRAJA NATA Home



→ Bacaan → Candra Kirana → TUMENGGUNG BRAJA NATA



Lapor Tjareuh_Boelan



19 Februari jam 8:05amTempat peristirahatan yang ditinggali Raden Panji beserta istrinya terletak agak jauh dari ibukota, berupa suatu istana kecil yang sangat indah dan menyenangkan, sangat cocok buat sepasang merpati yang sedang mengecap manisnya madu penghidupan. Hawanya sejuk serta segar, pemandangan pun menyedapkan. Sebuah taman yang asri, penuh dengan bunga-bungaan yang aneka macam, berkembangan dengan indahnya, menyebarkan harum yang semerbak, Iembut disilir angin sepoi. Sungguh suatu tempat yang akan menyebabkan setiap orang iri hati! Setiap orang di segenap penjuru kerajaan memuji-muji peruntungan Dewi Anggraeni yang menurut mereka sangat bagus! Seorang gadis keturunan orang kebanyakan, diambil menjadi istri putra mahkota yang bakal mewarisi takhta kerajaan! Meski mereka semua tahu akan pertunangan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji, namun mereka menganggap bahwa pulung telah jatuh pada diri dan nasib Dewi Anggraeni. Setiap saat Dewi Anggraeni melayani Raden Panji dengan wajah yang segar dan ria bahagia, dan setiap orang yang melihatnya tentu akan mengira bahwa gadis gunung itu menemukan kebahagiaan sempurna dalam istana kecil yang mewah serta indah itu, didampingi suami yang sangat mencintainya. Bahkan Raden Panji Kuda Waneng Pati sendiri menyangka bahwa istrinya selama itu merasa bahagia, benar-benar bahagia. Meskipun di antara kedua kekasih itu selalu saling mencintai, saling penuhi kehendak masing-masing, rukun dan penuh kasih sayang, namun badai yang mengamuk dalam kalbu Dewi Anggraeni boleh dikata tidak pernah reda. Dalam hatinya yang dalam, nun jauh dalam relung-relung gelap, perasaan takut senantiasa mengintai. Ia merasa takut, cemas, kuatir. Ia sangat mencintai Raden Panji, dan merasa berbahagia bahwa Raden Panji telah menunjukkan cintanya pula yang besar dan agung dengan jalan menikahinya.



Tetapi karena ia tahu bahwa Raden Panji seorang putra mahkota yang sudah dipertunangkan dengan putri mahkota pula, ia cemas kalau-kalau suatu kali Raden Panji akan meninggalkannya.Kadang-kadang kalau kebetulan ia sendirian, matanya merenung ke kejauhan, menatap ke ketiadaan, mengenangkan hal-hal yang tak menenteramkan hatinya. "Kalau saja ia bukan seorang putra mahkota ...," katanya dalam hati, "akan lebih sempurna rasanya bahagia kami! Ah, mengapa ia bukan seorang manusia biasa, keturunan orang kebanyakan saja?" Tetapi kepada suaminya tak berani ia mempertunjukkan sikap yang mungkin merusak suasana kebahagiaan. Ia sangat mencintai Raden Panji. Bukan karena ia seorang putra mahkota, tetapi hanya lantaran ia mencintainya. la ingin kekasihnya itu senantiasa merasa berbahagia. Ia tidak ingin melihat kekasihnya murung, atau merasa terganggu kebahagiaannya lantaran dirinya. Dan alangkah besarnya cinta Raden Panji! Alangkah agungnya! Kalau teringat olehnya bahwa Raden Panji sudah dipertunangkan sejak masih kecil dengan Dewi Sekar Taji, kegamangan mengamuk dalam kalbunya. Ia merasa berdosa, ia merasa bersalah lantaran telah sudi diperistri Raden Panji. Tidak, ia tidak menolak lamaran Raden Panji, bukan hanya lantaran ia mencintai Raden Panji, tetapi lebih-lebih lantaran tahu betapa besar dan agungnya cinta Raden Panji kepadanya. Dia kuatir kalau Raden Panji akan berduka atau murung. Ia tak mampu membayangkan Raden Panji murung! Dia tak ingin menyebabkan orang yang dikasihinya itu berduka! Lagipula Raden Panji Kuda Waneng Pati putra mahkota Janggala mungkin akan murka lantaran merasa terhina jika lamarannya ditolak! Ah, bahkan Raden Panji juga agaknya sadar, bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan kehendak ayahanda, sang baginda raja Janggala, ternyata dengan pernikahan yang dilakukan diam-diam. Baru setelah mendapat berita dari ibunda, bahwa ia boleh menghadap ayahanda akan mempersembahkan halnya, mereka diterima dan mendapat restu baginda. Baginda merestui mereka dan nampak menyukai menantunya, tetapi dari sinar mata baginda, Dewi Anggraeni merasakan ketaktentraman. Pandangan baginda seolah-olah menyalahkan dia, dia yang mungkin dianggap telah memikat Raden Panji! Pandangan baginda itulah yang menyebabkan ia kadang-kadang tak bisa memejamkan matanya. Pandangan yang dingin, tapi bagaikan menusukkan logam tajam ke dalam jiwa, tak



terperikan. Tidak, Dewi Anggraeni tidak dendam kepada pandangan baginda yang demikian dingin itu. Malah ia merasa bersalah, nun jauh dalam relung hatinya, merasa bahwa tuduhan yang dilemparkan baginda melalui pandangan matanya itu benar. Ya, ia telah bersalah, bersalah .... Tetapi cinta begitu besar. Benarkah ia berhak duduk di samping putra mahkota Janggala yang suatu kali kelak akan menduduki takhta? Benarkah ia berhak mengambil Raden Panji sebagai suami? Ia ingin kekasihnya bahagia, dan melakukan kewajibannya sebaik mungkin. Ia ingin kekasihnya itu jangan sampai berduka. Jangan sampai murung, tetapi senantiasa bersinar-sinar bagaikan mentari kemarau. Ia ingin Raden Panji memenuhi harapan dan cita-cita ayahanda yang besar. Ya, ia tahu akan cita-cita mulia Prabu Jayantaka hendak mempersatukan Janggala dengan Kadiri. Dan ia sering terumbang-ambing antara keinginan-keinginannya sendiri yang merindukan kebahagiaan yang damai dengan keinginannya supaya kekasihnya itu memenuhi harapan ayahanda. Dan kemarin dulu suaminya menghadap ke bawah duli, lantaran mendapat titah yang tiba-tiba dan sangat penting. Apakah gerangan yang akan dititahkan baginda? Perasaannya yang halus menduga bahwa titah ayahanda berhubungan dengan persoalan Dewi Sekar Taji. Dan tatkala Raden Panji hendak pergi, seakan-akan berat benar hatinya. Mengapa ia memandang begitu? Mengapa pandangan kekasihnya itu bagaikan mengisaratkan suatu malapetaka? Mengapa berlainan daripada biasa, kepergian Raden Panji sekali ini meninggalkan perasaan sunyi bukan buatan? Sunyi yang lebih daripada kesepian lantaran orang yang dikasihi-dicintai tak ada di sampingnya? "Tak lama, Adinda, Kakanda takkan lama pergi. Besok atau selambat-lambatnya lusa, tentu Kanda kembali ke sampingmu ...." itulah perkataan Raden Panji sebelum berangkat. Sampai malam kemarin ia sia-sia menanti, Raden Panji tak kunjung datang. Perasaannya diamuk sepi yang luar biasa, lengang menyendiri, seakan seluruh dunia kehilangan seni. Dan kalbunya digundahi pertanyaan-pertanyaan yang tak menentramkan, "Apakah gerangan yang menyebabkan Raden Panji tidak pulang? Apakah titah baginda yang melantarankan Raden Panji dipanggil cepat-cepat dan sendirian saja? Adakah persoalan yang begitu penting? Persoalan apa? Persoalan negara? Persoalan kerajaan? Tetapi mengapa Raden Panji belum juga pulang?" Ia tidak bisa tenang. Duduk salah, berdiri pun bukan. Terbaring tak senang, berjalan pun serasa mengawang. Taman yang penuh bunga-bungaan aneka macam, tidak



menghiburnya, bahkan seolah-olah bunga-bunga yang melambai dilanda angin semilir itu, menegurnya dan bertanya; "Di manakah Raden Panji gerangan? Mengapa Tuan berjalan sendirian?" Burung-burung yang berkicau, terdengar murung, seperti turut berduka lantaran Raden Panji belum juga pulang. Setiap ada suara langkah mendekat, ia terjaga. "Raden Panjilah itu!" katanya dalam hatinya sendiri. Tetapi tiap kali ia kecewa. Setiap ada suara kuda lari, ia bangkit dan memandang ke luar, tetapi yang dinanti tidak kunjung muncul. Dan setiap saat, terbayang pula pandangan kekasihnya pada saat terakhir, sebelum berangkat. Alangkah aneh pandangan itu! Pandangan yang luar biasa, laksana mengisaratkan suatu perpisahan berdinding mati! Suatu perpisahan akhir! Timbul pikirannya yang bukan-bukan,tetapi dengan kemauan sehat, diusirnya dan disabar-sabarkannya dirinya. "Hanya bayang-bayangan hayali belaka!" ia menghibur dirinya sendiri. Emban Wagini, inang pengasuhnya yang sudah tua dan yang telah mengasuhnya sejak masih bayi, yang senantiasa berada di sampingnya itu, melihat gustinya gelisah dan senantiasa bersedih maka ia pun berduka. Sebagai seorang yang sudah lanjut usia, ia segera mengerti sebab-musababnya. Maka tak berani ia menyinggung-nyinggung Raden Panji di hadapan gustinya, senantiasa ia mengajak gustinya yang sangat dicintainya lebih daripada kepada jiwanya sendiri itu, bercakap-cakap tentang hal yang menyenangkan. "Gusti, lihatlah, matahari sangat indah dan alam nampak segar serta gembira! Tidakkah Gusti ingin bercengkrama ke tengah taman, menyaksikan burung-burung menyanyi sambil memetik bunga mawar yang kembang indah? Cempaka pun musimnya berbunga, Gusti, bunga-bunga itu meliuk-Iiuk meminta Gusti petik ..." Dewi Anggraeni hanya mengeluh dan menghindari pandangan inang pengasuhnya itu. "Tak baik Gusti bermuram durja sedang hari secerah ini! Kibaskan segala kemurungan yang suram itu! Batara akan murka, kalau segala anugrahnya tidak kita terima dengan suka ..." Sekali lagi Dewi Anggraeni mengeluh. "Bagaimana kami bisa bersuka cita, sedang di dalam hati selalu rusuh, lantaran Kakang Panji belum juga pulang?" akhirnya ia menyahut. "Gusti Panji berjanji akan pulang hari ini, tentu beliau akan menepati janjinya. Janji satria



Janggala tak nanti tak ditepati ...," kata Emban Wagini menghibur. "Kakang Panji berjanji kemarin akan pulang, kalau ada halangan baru hari ini. Dan hari telah datang, ia belum pulang, ada halangan apakah gerangan yang menahannya?" tanya Dewi Anggraeni. "Bibi, bukan sekali ini Kakang Panji meninggalkan kami, tetapi mengapa sekarang perasaan kami sangat berbeda? Mengapa merasa lengang tak menentu?" "Ah, itu perasaan yang tak karuan, jangan Gusti perturutkan juga! Gusti Panji akan segera datang. Lebih elok kalau Gusti bergembira, supaya jangan keruh nanti menyambut kedatangan Gusti Panji. Akan murka ia kepada bibi, kalau melihat Gusti bermuram durja." Dewi Anggraeni menghela nafas dengan berat. Matanya menghindari pandangan inang pengasuhnya yang setia itu. "Lesu lelah rasanya tubuhku," katanya kemudian perlahan. "Gusti mesti bersantap ... " "Patah seleraku! Semua makanan seperti tersekat di kerongkongan. Lagipula makan tidak dengan Kakang Panji ..." tak lanjut kalimatnya. "Bibi kapankah Kakang Panji pulang? Benarkah ia hari ini tiba?" "Gusti, junjunganku, Gusti Panji tentu akan pulang hari ini seperti dijanjikannya. Sekarang ia barangkali masih di jalan. Sebentar lagi, tentu..." Tiba-tiba terdengar suara kaki kudanya dijauhan, Emban Wagini menengokkan kepalanya. "Lihat, lihatlah! Panjang usia Gusti Panji! Sedang kita bicarakan, dia datang! Tidakkah terdengar oleh Gusti suara ketiplak kuda datang mendekat?" Menyirat darah pada wajah Dewi Anggraeni yang pucat lesi itu. Cahya kegembiraan membakar hatinya. Maka bangkitlah ia akan menyongsong kedatangan jungjungannya. "Kakang Panji! Benarkah ia datang?" terloncat tanyanya sarat kegembiraan. "Benarkah dia datang?" "Tidakkah Gusti dengar suara kuda mendekat?" sahut inang pengasuhnya. "Hai, dengan siapakah maka Gusti Panji berdua?" Dewi Anggraeni mempertajam matanya. "Tidak, tidak ..." kepalanya menggeleng lemah. "yang datang itu bukan Kakang Panji



bukan!" "Bukan Gusti Panji?" tanya Emban Wagini tak percaya. "Habis, siapa?" Wajah Dewi Anggraeni kembali pucat, bahkan lebih pucat daripada semula. Jantungnya bagaikan berhenti tiba-tiba. Dan darahnya seperti berhenti mengalir. Hampir ia tak kuasa menopang tubuh. "Kakanda Braja Nata!" bisiknya mendesis hampir tak kedengaran. "Mengapa dia ke mari?Ke manakah Kakang Panji? Bukan, bukan, yang mengiringkannya pun bukan Kakang Panji! Mana Kakang Panji? Mana?" Wagini memburu tubuh gustinya yang hampir rubuh. "Tenang, tenanglah, Gusti, tenanglah ..., bujuknya. "Kanjeng Braja Nata tentu akan membawa berita tentang gusti Panji..." Dewi Anggraeni didudukkan baik-baik, tetapi tubuhnya yang lesu itu bagaikan tak lagi kuat duduk tegak. Tumenggung Braja Nata sementara itu telah menambatkan kuda, lalu naik akan menemui Dewi Anggraeni. Suasana puri itu sangat lengang, bukan hanya lantaran tak terdengar suara orang tetapi bagai dicengkam kemurungan yang dalam. Dia mendapati Dewi Anggraeni duduk dikawani oleh inang pengasuhnya yang telah dia kenal baik "Kakanda!" tegur Dewi Anggraeni. "Silahkan masuk, Kanda! Silahkan! Dengan siapakah Kanda datang? Lama benar Kanda tidak menyambangi kami! Kanda, manakah Kakang Panji? Mengapa ia tidak datang serta?" Mendengar Dewi Anggraeni menanyakan Raden Panji, kalbu Tumenggung Braja Nata guncang. Bagaikan sebuah badai besar memukulnya, meremukkannya. Alangkah mengenaskan suara Dewi Anggraeni menanyakan suaminya itu, alangkah menusuk kalbu! Dan ia . .. ! Ia berdehem beberapa kali melonggarkan tenggorokannya yang tersekat. Kemudian terbata-bata menyahut, "Bagaimanakah kabarnya, Rayinda? Baik-baik sajakah? Alangkah segarnya udara di sini! Sayang Kakanda terlampau sibuk, sehingga tidak bisa sering-sering mengunjungi Rayinda di sini! Tetapi ... tetapi... Rayinda baikbaik saja bu ...bukan?"



Dewi Anggraeni menatapkan pandangannya. "Ya, dengan restu Kakanda, kami baik-baik saja disini. Tetapi Kakanda, manakah Kakang Panji? Tidakkah Kakanda bertemu dengan dia di istana? Dia berangkat kemarin dulu dan sekarang belum juga pulang!" Tumenggung Braja Nata menghindari tatapan itu. Dia menoleh ke samping, lalu melihat Emban Wagini, kemudian dia tertawa tak keruan, menegurnya, "Apa kabar, Bibi? Alangkah panasnya hari, ya Bibi! Tidakkah Bibi sudi mengambil barang seteguk air buat membasahi tenggorokan yang kering?" Dewi Anggraeni menoleh kepada inang pengasuhnya. "Kakanda Tumenggung dahaga, Bibi, ambilkan air buah yang segar. Buah-buahan yang ranum-ranum itu pun bawa pula ke mari!" katanya kepada inang pengasuhnya, Emban Wagini yang segera mengundurkan diri akan melaksanakan titah junjungannya, kemudian menoleh pula kepada Tumenggung Braja Nata. "Kakanda, mengapa Kanda selalu menghindari pertanyaan hamba mengenai Kakang Panji? Mengapa Kanda mencari-cari alasan untuk mengelakkan pertanyaan hamba? Tadi Kakang berkata hari sangat segar, dan tiba-tiba barusan kepada Bibi Wagini Kakanda mengatakan udara sangat panas! Katakan, duhai Kakanda katakan kepada hamba, ke manakah Kakang Panji maka tidak pulang bersama Kakanda?" Tumenggung Braja Nata tergagap-gagap dan menjadi sukar untuk menjawab. "Eh ... eh ... hai ke manakah Arya Suralaga, gerangan? Mengapa ia tidak naik juga?" ia pura-pura tak mendengar pertanyaan Dewi Angraini dan pura-pura mencari kawannya. Lalu pamit dan keluar pula. "Arya Suralaga! Mari naik ke mari! Mengapa di luar saja?" Dewi Anggraeni merasa kesal, tetapi ia masih menunjukkan kesabarannya, menjengukkan kepalanya ke luar. "Dengan Mamanda Arya Suralaga-kah Kakanda datang? Mengapa ia tidak naik juga? Ke marilah Mamanda Senapati!" ajaknya. Tetapi Senapati Arya Suralaga menyahut dengan suara yang dalam, "Biarlah, biarlah hamba di sini saja. Hari sangat panas, tentu gerah didalam rumah!" "Marilah Senapati!" ajak Tumenggung Braja Nata.Sedangkan dalam hatinya ia berkata, "Marilah ke mari, kawani aku, bagaimana akan kusampaikan semua titah itu? Bukankah engkau disuruh mengawasi? Alangkah berat lidah ini! Alangkah berat!"



Sementara itu Emban Wagini sudah datang membawa hidangan. "Lihatlah, Bibi Wagini membawa minuman dan buah-buahan yang segar! Marilah masuk, Mamanda Senapati!" ajak Dewi Anggraeni. Tumenggung Braja Nata pun bagaikan berat untuk masuk. Dan air jeruk yang segar itu seperti tidak menarik seleranya. "Kakanda. silakan minum. Bukankah Kakanda tadi dahaga? Tentu dahaga, karena hari panas dan naik kuda sejauh itu! Dan Mamanda Senapati! Mari ke sini! Mari minum!" Senapati Arya Suralaga yang tak pantang takut itu, naik ke dalam, sedangkan hatinya merasa tak tentram kebat-kebit berdegupan dengan kencang. Tumenggung Braja Nata menghabiskan air itu dengan sekali teguk, sehingga kelihatan seolah-olah orang yang benar-benar dahaga. "Alangkah segar minuman ini!" katanya kemudian meski ia sendiri tidak tahu benar bagaimana sesungguhnya rasa minuman yang baru lalu ditenggorokannya itu. "Ayuhlah Senapati! Ayuhlah!" Senapati Arya Suralaga mengikuti jejak Tumenggung Braja Nata. "Kakanda!" tegur Dewi Anggraeni tak sabar. "Mengapa Kanda selalu mengelakkan pertanyaan hamba mengenai Kakang Panji? Mengapa? Apakah yang terjadi dengan Kakang Panji? Mengapa Kanda menunduk? Mengapa Kanda tidak sudi menyahut? Mendapat malapetaka-kah Kakang Panji? Apakah kecelakaan yang menimpanya? Mengapa Kakanda melengos? Mengapa Kanda diam saja? Mengapa tak mau menyahut?" Senapati Arya Suralaga segera menahan minumannya, lalu menundukkan kepala, seakanakan hendak mencari helah untuk mengundurkan diri. "Eh... eh ...memang ...Ada sesuatu ...," Tumenggung Braja Nata menyahut dengan suara gagap. "Mengapa Kanda bicara terputus-putus? Parahkah Kakang Panji? Berbahayakah jiwanya?" "Ah ... Tidak, tidak!" Tumenggung Braja Nata menggelengkan kepala keras-keras. "Raden Panji tak kurang suatu apa!" "Tetapi mengapa Kanda seakan segan bicara?" desak Dewi Anggraeni. "Sama sekali tidak, tidak!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan tetap gugup. "Hanya ..."



"Hanya apa? Bagaimanakah sebenarnya Kakang Panji? Katakanlah Kanda, katakanlah! Katakanlah terus terang! Adinda berjanji, takkan terkejut meskipun mendengar Kakang Panji mendapat . . . ampun Batara, mudah-mudahan tak terjadi apa yang kutakutkan!" kemudian Dewi Anggraeni menyungkup wajah dengan tangan menangis tergukguk. Melihat Dewi Anggraeni menangis, makin tak tentu hati Tumenggung Braja Nata. Tangannya meraba-raba tak keruan, karena tak tahu apa yang mesti dia perbuat. "Jangan menangis, jangan Adinda menangis. Raden Panji selamat, tak kurang suatu apa. Sudahlah, sudahlah, jangan Adinda men ..." tak lanjut perkataannya, karena tiba-tiba tangannya menyentuh keris pusaka yang diberikan baginda kepadanya. Maka ia pun teringat pula akan tugasnya. Tangannya mendadak terkulai Iemas. Ia memejamkan mata. "Duhai Batara. Mengapa mesti kujalankan titah seberat ini? Berilah hamba kekuatan, ketabahan untuk melapangkan jalan bagi cita-cita tinggi," katanya dalam hati. "Beri hamba kekuatan untuk mengesampingkan segala perasaan kedirian yang sempit, yang menghalangi cita-cita agung tercapai!" Dewi Anggraeni tergugah. "Benarkah Kanda? Benarkah Kakang Panji tak kurang suatu apa? Benar-benarkah Kanda?" tanyanya dengan mata disinari secercah harapan. "Tetapi mengapa ia tidak pulang sekarang?" "Raden Panji mendapat titah dari Baginda," kata Tumenggung Braja Nata. "Ia tidak kurang suatu apa, tetapi ia mendapat titah yang tak boleh ditangguhkan. sehingga ..." "Sehingga apa, Kanda?" desak Dewi Anggraeni tak sabar. "Sehingga ia tidak sempat ke mari dahulu mengabarkan hal itu kepada Adinda. Ia sangat kuatir akan kesehatan Adinda, yang selalu dia kenangkan. Dia meminta kepada Kanda supaya Kanda ke mari ..." "Apakah titah yang mesti diselesaikan oleh Kakang Panji? Mengapa ia sampai tak sempat menjenguk istrinya dahulu? Penting benarkah titah itu?" potong Dewi Angraeni, biarkan Tumenggung Braja Nata menyelesaikan kalimatnya. "Tidaklah ia mendapat titah untuk untuk memerangi pemberontak ataukah karaman?" "Bukan, Raden Panji tidak dititahkan memerangi pemberontak ataupun karaman. Tetapi titah tak boleh ditunda, sehingga tak sempat dia singgah dahulu akan mengabarkan hal itu kepada Rayinda. Namun, ia masih sempat meminta Kakanda untukmenyampaikan



pesannya kepada Rayinda ..." "Pesannya? Apakah gerangan pesan Kakang Panji? Mengapa tidak tadi-tadi Kanda berbicara? Mengapa tadi Kanda seperti gugup benar bicara?" "Tadi Kanda baru datang, masih lelah, maklumlah si Pramuga, Kanda pacu sekuatkuatnya. Kanda kuatir kalau-kalau Rayinda terlampau lama mengharap dan bergelisah ..." "Sesungguhnyalah, Rayinda sudah bergelisah benar. Menurut janji Kakang Panji, Kakang Panji sudah pulang kemarin, atau paling lambat hari ini. Dan sekarang ...ternyata Kakang Panji belum bisa pulang, hanya pesannya saja. Dan apakah pesan yang mesti Kanda sampaikan kepada hamba, ampun Kanda Tumenggung?" "Raden Panji berpesan....." Tumenggung Braja Nata terhenti dan kata-kata berhenti di tenggorokannya. "Raden Panji berpesan ... berpesan, supaya ..." "Supaya apa, Kanda?" "Supaya Kanda datang ke mari akan menjemput Rayinda!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan nafas memburu. "Menjemput hamba? Ke mana?" "Ya, menjemput Rayinda. Ke Muara Kamal." "Ke Muara Kamal? Ada apakah gerangan?" "Raden Panji mendapat titah baginda. la mengharap agar Rayinda turut pula ke sana. Karena mungkin ia di sana akan lama baru pulang. Lagi-pula pemandangan di tepi laut, tentu akan sangat menyenangkan hati Rayinda. Sudahkah Rayinda melihat laut? Merasakan ombak menyimbah kaki? Merasakan angin yang besar, yang meniup gelombang memecah di pantai?" "Apakah gerangan titah Baginda maka mengirimkan Kakang Panji ke Muara Kamal?" tanya Dewi Anggraeni tak mempedulikan pertanyaan Tumenggung Braja Nata tentang laut. Dan ditanya demikian, Tumenggung Braja Nata kehilangan helah. "A aa . . anu. Rayinda, di Muara Kamal ... datang utusan dari ... Tiongkok hendak menghadap kepada Baginda." akhirnya ia menyahut sejadinya. "Tak ada orang yang patut menerima tamu agung itu mereka utusan kaisar Tiongkok, penguasa negara atas angin itu kecuali Raden Panji ..."



"Tetapi mengapa begitu mendadak dan terburu -buru?" "Kedatangan mereka serentak, sehingga kita tidak sempat membuat persiapan-persiapan yang patut ..." keringat bermanik-manik di dahi Tumenggung Braja Nata, meskipun ia tidak merasa gerah. "Hamba perempuan Kanda. Patutkah hamba turut menampilkan muka di hadapan tamu agung seperti mereka?" "Mengapa tidak? Konon, di antara tamu-tamu itu ada pula wanita, entah katanya kemenakan sang Kaisar, hendak mengetahui tanah Jawa. Kanda pikir tak ada yang lebih tepat untuk menyambut mereka itu kecuali Rayinda sendiri. Baginda pun telah menyetujuinya." "Baginda menyetujui, sedangkan hamba ditinggalkan oleh Kakang Panji dalam gelisah! Alangkah ajaib!" "Rayinda dititahkan dijemput. Hamb ... eh Rakanda-lah yang dititahkan Baginda menjemput. Kita tidak ke istana dahulu, melainkan terus langsung menuju ke Muara Kamal! Makin cepat makin baik, karena kita mengejar Raden Panji." Dan dalam hatinya sendiri, Tumenggung Braja Nata mengulang-ulang kalimat baginda yang baru diucapkannya itu: Makin cepat makin baik. Makin cepat makin baik. Makin cepat makin baik. Makin cepat... "Jadi hamba mesti berangkat sekarang juga?" tanya Dewi Anggraeni. "Ya, demikianlah. Sesegera mungkin." Dewi Anggraeni menoleh kepada Emban Wagini dan berkata gembira, "Bibi, kita berangkat sekarang, kita akan menyusul Kakang Panji ke Muara Kamal. Kita akan melihat laut! Cepat berkemas-kemas!" Tumenggung Braja Nata gelisah. "Akankah Rayinda bawa Bibi Wagini?" Dewi Anggraeni memandangnya heran. "Ya," sahutnya mengangguk. "Bibi Wagini selalu melayani hamba siang maupun malam, lagipula ia sudah bagaikan bunda hamba saja . Mengapa?" Tumenggung Braja Nata menjatuhkan pandangan. "Tidak. Tetapi menurut Kanda, lebih baik . . . lebih baik. .. lebih baik kalau ia tak usah ikut," katanya dengan tak berani mengangkat pandangannya.



''Mengapa? Mengapa ia tak boleh turut?" "Bukan tak boleh, hanya saja lebih baik . . . lebih baik rasanya kalau tak usah dia dibawa." "Kanda, benarkah Kakang Panji menitahkan hamba turut dengan Kakanda?" tanya Dewi Anggraeni. Tumenggung Braja Nata terkejut. "Sungguh benarkah Raden Panji menitahkan Kanda kemana akan menjemput Rayinda, tetapi mengapa ia tak membolehkan Rayinda membawa Bibi Wagini. padahal ia sendiri tahu bahwa Bibi Wagini selalu bersama-sama hamba." "Bukan begitu Rayinda," sahut Tumenggung Braja Nata. "Raden Panji tidak mengatakan hal itu kepada Kanda, sehingga Kanda salah faham ..." Dewi Anggraeni tenang kembali. Ia menoleh kepada inang pengasuhnya yang setia itu. "Bibi, mengapa Bibi belum juga bangkit untuk berkemas-kemas, menunggu apa lagi? Ayuhlah. jangan biarkan Kakang Panji menanti terlampau lama!" katanya memberi titah. Emban Wagini yang sudah kenyang makan garam itu, melihat sesuatu yang tidak beres dalam tingkah laku Tumenggung Braja Nata. Hal itu dia perhatikan sejak mulai datang dan makin lama makin nyata saja. Mengapa ia selalu kelihatan gugup? Mengapa bicaranya sering gagap terbata-bata tak lancar? Apakah sebabnya gerangan? Perasaannya yang halus dan tajam mencium hal-hal yang mencurigakan. Ia ingin menahan gustinya, jangan menurutkan ajakan yang tidak keruan. Demi mendengar teguran junjungannya, maka ia menjatuhkan diri, menghaturkan sembah dengan suaranya yang iba, "Gusti, tetapi Gusti lagi gering. perjalanan amat jauh, tidakkah lebih baik Gusti tinggal saja di sini? Tentu Baginda pun takkan murka kalau Baginda maklum sebab-musababnya. Dan Gusti Panji ...," tak lanjut kalimatnya, karena cepat dipotong oleh Dewi Anggraeni yang tak sabar, "Bibi! Mengapa Bibi bicara seperti itu? Bibi menganjurkan kami mendurhaka dan Kakang Panji tentu akan sedih hatinya kalau kami tak datang menyusul." "Tetapi Gusti." sahut Wagini dengan sabar, "Gusti sedang gering, hamba kuatir kalaukalau perjalanan ini akan memarahkan penyakit ..." "Tidak! Penyakit kami akan hilang kalau sudah berada di samping Kakang Panji! Tidak! Kami tidak boleh lemah hati, kami mesti berangkat! Siap-siaplah segera. Berkemas-



kemaslah secukupnya!" Tumenggung Braja Nata yang gelisah lantaran mendengar sembah Emban Wagini yang seakan-akan hendak mencegah kepergian gustinya, turut menyumbangkan pendapatnya, "Angin laut sangat baik bagi kesehatan. Segala penyakit akan hilang, akan lenyap. Dan apakah Rayinda gering?" "Ah. tidak." sahut Dewi Anggraeni cepat. "Hanya merasa lesu ..." "Kalau begitu, dengan sedikit bepergian, akan hilang." "Cepatlah Bibi! Maafkan kami, Kanda! Makanlah buah-buahan itu Mamanda Senapati! Ranum baru kemarin dipetik dari pohonnya, menyediakan Kakang Panji. Tetapi rupanya Mamanda yang beruntung, habiskan saja. Hamba akan mempersiapkan beberapa pakaian dan perhiasan dahulu ..." "Tak usahlah, Rayinda, tak usahah terlalu membawa... terlalu banyak pakaian atau pun segala perhiasan..." "Bagaimana pula, Kakanda? Bukankah hamba nanti mesti menjemput putri Tiongkok yang baru datang? Tentu harus mengenakan pakaian yang patut ..." sahut Dewi Anggraeni dengan heran. "Namun, utusan kaisar Tiongkok itu tentu membawa pakaian yang indah-indah dari sutra!" "Ah, tetapi itu kan belum tentu! Baiklah kalau membawa, daripada kita malu kelak!" "Baiklah, bagaimana menurut Rayinda saja," sahut Tumenggung Braja Nata. "Tetapi cukup Rayinda berdua dengan Bibi Wagini saja yang ikut! Kita mengejar waktu, kita naik kuda saja. Bukankah Rayinda sanggup naik kuda?" "Hamba sering dilatih oleh Kakang Panji, sehingga tabah menunggang si Hitam," sahut Dewi Anggraeni. "Sukurlah kalau begitu. Kita perlu buru-buru, kalau tidak naik kuda, tentu takkan terkejar saat-nya. Cukup kita berempat, karena kalau ditambah pula, mungkin memperlambat perjalanan." "Hamba hanya merasa perlu mengajak Bibi Wagini, karena ia adalah pengganti bunda hamba." "Baiklah." Dewi Anggraeni masuk hendak berkemas, sedangkan Tumenggung Braja Nata memejamkan matanya, kemudian menjatuhkan kepala pula. Kepalanya terkulai, bagaikan



sebungkah benda tak bernyawa. Sedangkan dalam kalbunya sebuah peperangan dahsyat sedang berlangsung. "Engkaulah Sang Janaka di Kurusetra, kau mesti tabah, mesti berani meleburkan dirimu yang sempit untuk kepentingan cita-cita kemanusiaan yang luhur dan agung!" terngiang kembali sabda ayahanda kepadanya. "Lapangkan jalan menuju citacita itu. Adalah tugasmu untuk menghilangkan penghalang! ... Berilah keris pusaka ini sarung baru! Sarung baru! Sarung baru!" Senapati Arya Suralaga yang senantiasa mengunjuk keberanian dan ketangkasannya di medan perang itu, kini tertunduk, tak berani mengangkat kepala akan melirik ke arah Tumenggung Braja Nata, padahal ia ditugaskan untuk mengawasinya! *** RADEN PANJI KUDA



PERISTIWA DALAM



WANENGPATI



HUTAN



← Bab Sebelum 107 orang telah membaca



Bab Sesudah →



7 komentar Baca semua komentar Tulis Komentar #



Tjareuh_Boelan23



3



AHMAD77 menulis:



Februari jam 10:51pm Lapor



Suhu, sblmya maaf, cerita panji inukertopati yg beredar luas turun temurun di jawa timur khusus kediri jauh berbeda yg suhu tuliskan, panji inukertopati hanya menikahi sekartaji, didalamnya ada cerita etit yaitu sang inukertopati menyamar sebagai orang dusun untk mengoda adiknya. Hikayat aslinya memang sprti itu. Tapi di cerita Candra Kirana ini, mungkin ini adalah hikayat Panji "versi" Sunda, setidak-tidaknya ini adalah hikayat Panji versi Pak Ajip Rosidi, sang pengarangnya.. Hehe # maaf kalau cerita ini agak berbeda dari kisah Raden Inu Kertopati dan Galuh Ajeng Candra Kirana yg sebenarnya.



# 4



AHMAD771



Maret jam 4:11pm Lapor



Makash suhu atas penjelasannya, jadi faham ceritanya, smg suhu sehat dan smg jua lancar rejeki dan usaha.



# 5



BondanKamis



jam 8:33pm Lapor



Rasanya pernah membaca juga versi Ande-ande Lumut dengan Klenting Kuning .... yang ternyata adalah Raden Inu dan Dewi Sekartaji yang menyamar .... apakah ini akan seperti itu ....



# 6



Tjareuh_BoelanJumjam



jam 12:18pm Lapor



Kisah Ande Ande Lumut saya belum pernah baca. Tapi saya pernah mendengar lagunya dalam versi gending jawa. NB: Kalau ingin membaca kisah Candra Kirana yg aslinya, ada dalam buku karya Saleh Sastrawinata, yg bertajuk: HIKAYAT KUDA PANJI SEMIRANG. Dalam buku tsb memang jalan ceritanya sesuai dg kisah Raden Inu Kertapati yg selama ini dikenal masyarakat banyak. Atau baca dalam versi komiknya karya R.A KOSASIH, yg berjudul PANDJI SEMIRANG. Demikian sedikit pengetahuan saya. Semoga bermanfaat. Salam persahabatan selalu dari saya untuk Anda semuanya.....



# 7



Bondankemarin



jam 2:08pm Lapor



Kebetulan nemu dari mbah Gugle : http://resourcefulparenting.blogspot...akyat.html



Hall of Fame Anggota



52 anggota, 41 tamu online akr1s anseta atenk auda112 banyu batamboy beelzebub bubeng budiman25 cimeng coex dedi_arsa dexs Didi_Seven dolly fahrian Ferianto fetty gema Gpd gunawansetyohadi ibah Icalsaru inod jarijari Juven lew037 luminisious mawanxx maxpc nazri OMAN otib Perwito PPPoE prima Rahmah Rauzan Sulaiman syaeful t4nu Tjareuh_Boelan tourano tusmanwidojono udin_tjg wahyu123 windx xera yopi yoseph ys zainiyacub



Display full version | mobile version



Fish Ball Noodle + Ice Peach Tea 2012.01.03 (110q 0,91s 1,17s) indozone.net HomeArtikelResensiBacaanKatalogForumFilesCari OMANLogoutPilihanPesanBookmarks



PERISTIWA DALAM HUTAN Home



→ Bacaan → Candra Kirana → PERISTIWA DALAM HUTAN



Lapor Tjareuh_Boelan



19 Februari jam 8:05amMereka memacu kudanya dengan cepat. Tumenggung Braja Nata berjalan di depan, kemudian mengikut si Hitam yang ditunggangi Dewi Anggraeni bersama inang pengasuhnya, dan di belakang sekali Senapati Arya Suralaga. Mereka berpacu sambil berdiam diri. Tumenggung Braja Nata memecut kudanya bagaikan terbang. Dewi Anggraeni antara sebentar berseru, "Jangan terlampau cepat, Kanda!" Maka baru Tumenggung Braja Nata memperlambat lari kudanya. Oleh pemandangan sepanjang jalan, meskipun menambah dia kian terkenang akan junjungannya, Dewi Anggraeni kembali kegembiraannya. Apa pula tatkala menyaksikan bahwa kudanya tidak banyak tingkah. Kadang-kadang ia bertanya kepada Tumenggung Braja Nata yang kadang-kadang berjalan tak berapa jauh antaranya, tentang hal-hal yang mereka lewati. Tumenggung Braja Nata, kecuali kalau ditanya, hampir tak mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah melewati tegalan yang luas dan tanah-tanah pertanian yang subur, mereka pun masuk ke dalam hutan lebat. Udara segar dan sejuk. Tetapi di sini mereka tidak bisa memacu kuda secepat-cepatnya. Pohon-pohon yang besar kadang-kadang merintangi jalan yang mereka tempuh. Beberapa lamanya berkuda di dalam hutan, tiba-tiba Tumenggung Braja Nata mengekang kendali kudanya, ia berhenti. Nafasnya turun naik, seirama dengan kudanya yang mendengus-dengus. Dewi Anggraeni demi melihat kandanya berhenti, ia pun menahan si Hitam.Wajahnya



merah karena darah telah naik ke urat-urat paras, sedangkan keringat pun berbintikbintik, menambah kecantikannya berkilauan. "Sudahkah kita sampai ke Muara Kamal, Kakanda?" tanyanya dengan nafas terengahengah. "Capai benar rasanya!" "Masih jauh, masih jauh lagi," sahut Tumenggung Braja Nata dengan nafas memburu. "Mengapa Kanda berhenti? Bukankah kita mesti cepat-cepat?" Tumenggung Braja Nata menjatuhkan kepalanya. Ia meloncat dari kudanya. Lalu dicarinya sebatang pohon akan menambatkan kudanya itu. "Kanda hendak mengasoh?" tegur Dewi Anggraeni. "Tidakkah kita akan datang terlambat?" "Turun dahulu, Rayinda sekarang." kata Braja Nata dengan suara lunak. 'Mengapa harus berhenti disini?' pikir Emban Wagini dalam hati. Ia mencium sesuatu yang mencurigakan maka ia mengisaratkan gustinya agar jangan menurutkan kehendak Tumenggung Braja Nata. 'Mungkinkah Tumenggung Braja Nata hendak merusak pagar ayu Adinda?' tanya Emban Wagini kepada dirinya sendiri. 'Mengapa sikapnya sangat luar biasa dan mencurigakan?' Dewi Anggraeni juga merasakan suasana yang sangat luar biasa. "Marilah kita lanjutkan saja perjalanan, Kanda, biar kelak mengasoh kalau sudah ketemu dengan Kakang Panji!" katanya mengelak. Senapati Arya Suralaga sudah berhenti pula, lalu menuntun kudanya, seperti tidak kunjung menemu batang pohon yang baik buat menambatkan kuda. Ia menyelinapnyelinap dan makin menjauh-jauh saja. Tumenggung Braja Nata melihat kelakuan Senapati Arya Suralaga itu, ia berseru keras, "Senapati! Mengapa mencari tempat jauh benar? Bukankah di sini banyak batang buat menambatkan kudamu?" "Ti . . . tidak . . . biarlah di sana saja ..." sahutnya gagap. "Kanda, ada apakah gerangan maka hari ini Kanda kelihatan gugup dan gelisah? Ada apakah gerangan yang terjadi?" tanya Dewi Anggraeni dengan suara berubah dan mata tajam menatap. "Katakan terus terang! Meski Kanda mencoba menyembunyikannya, segaja tingkah laku Kanda sejak tadi mengatakannya kepada Rayinda, bahwa ada yang Kakanda coba



sembunyikan!" Tumenggung Braja Nata cepat-cepat menyahut, "Tidak, Kanda tidak ...sungguh Kanda tak berdusta. Raden Panji ...dititahkan Ramanda ke Puc . . . eh, ke Muara Kamal, untuk . . . untuk mengalahkan lanun ..." "Apa?" Dewi Anggraeni terkejut, lalu meloncat dari kudanya. "Katakanlah yang benar, Kanda, kemanakah Kakang Panji dititahkan oleh baginda? Ke Muara Kamal? Atau ke ...Pucangan? Tadi agaknya hendak terloncat perkataan itu dari mulut Kakanda! Dan di Muara Kamal? Apakah yang menyebabkan Kakang Panji mesti berangkat ke sana? Benarkah ada utusan dari kaisar Tiong-kok?Mengapa barusan Kanda bilang untuk mengalahkan lanun? Ah, Kanda, katakanlah, ada apakah sebenarnya di istana? Apakah yang terjadi dengan Kakang Panji! Katakan terus terang!" Tumenggung Braja Nata termenung. 'Engkaulah sang Janaka di medan Runi!' terdengar kalimat baginda pula olehnya. 'Tabahkan hatimu!' Sementara itu Dewi Anggraeni telah menolong inang pengasuhnya yang tua itu turun dari kuda. Lalu dia berdiri dengan mata tetap tajam medang kakandanya. Keningnya berkerut, wajahnya yang tadi cerah nampak menjadi keruh. "Mengapa Kakanda seperti segan? Tadi pun hamba telah berkata, katakanlah terus terang, hamba akan menyimakkannya dengan baik." Akhirnya Tumenggung Braja Nata menguasai dirinya kembali. "Ya, lebih baik Kakanda berterus terang saja sekarang ...," katanya kemudian. "Sesungguhnya ... sesungguhnya, Raden Panji tidak dititahkan Ayahanda ke Muara Kamal..." "Habis? Ke manakah dia?" Dewi Anggraeni penasaran. "Ke Pucangan." "Ke Pucangan?" tanya Dewi Anggraeni. "Ada apa? "Ia, Raden Panji dititahkan baginda ke Pucangan, untuk menyambangi sang Kili Suci ..." "Hendak menyambangi sang Kili Suci ...?" gumam Dewi Anggraeni. "Apakah soal yang mesti disampaikan, maka Kakang Panji sampai tak keburu singgah untuk menemui hamba barang sejenak? Kanda Tumenggung, ada soal apakah di istana, maka kelihatannya suasana sangat sibuk? Begitu sibuk, sehingga Kakang Panji tak sempat menengok istrinya yang menanti gelisah?"



Tumenggung Braja Nata menjatuhkan pandangan pula. "Dan hamba? Mengapa Kanda bawa ke dalam hutan ini? Mengapa kita menuju ke Muara Kamal?" "Ke Muara Kamal?" gumam Tumenggung Braja Nata bagaikan tak sadar. "Tidak... tak usah kita ke sana. Di sini saja lebih baik. Karena... karena ... makin cepat makin baik!" "Kanda, mengapa Kanda berkata tak keruan juntrungannya? Pusing Adinda menebaknebak perkataan Kakanda sejak tadi! Apakah yang lebih baik dilakukan di sini? Apakah? Mengapa Kanda seperti gugup?" "Rayi, Kakanda mendapat titah Ayahanda, membawa Adinda ke sini..." Dewi Anggraeni terkejut. "Atas titah Baginda? Jadi bukan atas permintaan Kakang Panji? Mengapa Baginda menitahkan Kanda membawa hamba ke dalam hutan?" 'Bagaimana akan kuterangkan? Bagaimana aku akan menjelaskannya?' pikir Tumenggung Braja Nata. 'ia begitu jelita dan halus bagaikan bunga yang sedang kembang ...!' "Rayinda ... anu... Rayinda ... Kakanda dititahkan membawa Adinda ke dalam hutan untuk melapangkan jalan buat cita-cita kemanusiaan yang luhur. Cita-cita agung ..." Dewi Anggraeni makin tidak mengerti. "Melapangkan jalan buat cita-cita tinggi? Mengapa mesti membawa hamba ke dalam hutan? Mengapa hal itu tidak Kakanda katakan tadi saja di rumah? Mengapa mesti dalam hutan?" Tumenggung Braja Nata gugup lagi. "Tetapi ... tetapi ... sebaik-baiknya memang dalam hutan hal itu Kanda lakukan ... Di sini, di sini ... makin cepat makin baik, makin baik!" "Apa yang akan Kanda lakukan? Mengapa Kanda bicara selalu dalam teka-teki? Katakan semuanya, supaya hamba mengerti!" "Baik akan ... akan Kanda coba terangkan duduk halnya ..." Tumenggung Braja Nata menyeka keringat dari mukanya, "Rayinda, tahukah adinda bahwa sesungguhnya ... Raden Panji sudah dipertunangkan sejak masih kecil dengan putri mahkota Kadiri?" ia mengangkat muka, mengarahkan pandangannya kepada Dewi Anggraeni.



"Tahukah Rayinda?" Dewi Anggraeni merasa nafasnya sesak. Jadi hal itu! Hal itu yang juga selama ini menjadi pikirannya! Itulah biang keladinya! Dan ia merasakan detak jantungnya yang menghebat memukul-mukul dinding dada. 'Kakang Panji, agaknya soal yang selama ini Adinda takuti juga yang menyebabkan sejak kemarin merasa lesu ...' katanya dalam hati. "Tahukah Rayinda?" desak Tumenggung Braja Nata. Dewi Anggraeni mengangguk, tetapi lidahnya bagaikan sebungkah besi,tak sanggup kendati mengucapkan sepatah "ya" sekalipun. "Pertunangan itu dilangsungkan tatkala Raden Panji masih kanak-kanak atas persetujuan baginda Prabu Janggala dengan mamanda Prabu Kadiri. Kedua baginda bercita-cita tinggi, hendak mempersatukan kedua buah kerajaan Janggala dan Kadiri buat mewujudkan kembali usaha dan cita-cita moyang kita semua sang Airlangga ..." kata Tumenggung Braja Nata menerangkan. Dewi Anggraeni menekurkan kepala. "Hal itu hamba ketahui ...," katanya perlahan. "Dan sekarang," Tumenggung Braja Nata melanjutkan seolah-olah tak menghiraukan perkataan Dewi Anggraeni, "tiba saatnya untuk mengakhiri pertunangan itu dengan pernikahan ... Telah datang utusan dari Kadiri menanyakan saat pernikahan. Karena itu, kemarin Raden Panji dititahkan menghadap buru-buru, sebab baginda hendak menanyakan hal itu kepadanya ..." "Jadi ada utusan dari Kadiri datang?" tanya Dewi Anggraeni tanpa mengangkat mukanya. "Dan bagaimanakah sikap Kakang Panji? Maukah ia hendak menikah dengan ... putri mahkota Kadiri?" Tumenggung Braja Nata menghela nafas. "Itulah." katanya. "Raden Panji menolak ..." "Kakang Panji menolak?" Dewi Anggraeni mengangkat mukanya. "Ya. Raden Panji menolak. la sangat mencintai Rayinda, ia tidak mau menceraikan Rayinda bahkan ia pun tidak mau memperduakan Rayinda... sehingga ..." 'Alangkah besarnya, alangkah agungnya cinta Kakang Panji!' kata Dewi Anggraeni dalam hati. 'Sungguh suci!' "Tetapi bagaimanakah akhirnya, Kakanda?" ia bertanya. "Bagaimanakah disabdakan Baginda kepada utusan dari Kadiri?"



"Utusan dari Kadiri masih menunggu, karena persoalan belum selesai..." "Belum selesai?" "Belum selesai. Karena Raden Panji menolak, Baginda murka ..." sahut Tumenggung Braja Nata. "Baginda murka? Jadi?" Dewi Anggraeni penasaran. "Baginda murka dan ... dan ... " "Dan bagaimana?" "Dan baginda menitahkan Raden Panji ..." "Apa titah baginda kepada Kakang Panji?" "Raden Panji dititahkan baginda ke Pucangan" "Ke Pucangan?" Dewi Anggraeni heran. "Buat apa?" "Menyambangi sang Kili Suci..." "Hanya untuk itu? Hanya untuk menyambangi. Sedangkan dalam istana persoalan mengenai dirinya belum selesai? Kakanda, katakan terus terang, buat apakah kakang Panji dititahkan baginda ke Pucangan? Akankah ia mendapat hukuman dari sang Kili Suci? Tidakkah baginda menyerahkan menghukumnya kepada sang Kili Suci?" "Tidak," Tumenggung Braja Nata menggelengkan kepala. "Raden Panji hanya dititahkan menyambangi sang Kili Suci, agar mudah melapangkan jalan buat melaksanakan cita-cita agung sang baginda ..." "Supaya mudah melapangkan jalan! Apakah sesungguhnya yang Kakanda maksud?" tanya Dewi Anggraeni. Tumenggung Braja Nata tidak segera menyahut. "Menurut Baginda," katanya kemudian dengan suara menggigil. "Cita-citanya yang agung itu takkan terlaksana kalau masih ada penghalang yang merintanginya ... Maka ... maka ... dititahkannya Kakanda mencari sarung baru buat keris pusaka kerajaan Janggala ...." "Kakanda dititahkan mencari sarung baru bagi keris pusaka kerajaan Janggala? Tetapi mengapa ....," tak lanjut perkataan Dewi Anggraeni, karena tiba-tiba ia mengerti. Wajahnya pucat, bibirnya gemetar, dan tubuhnya terasa tak bertenaga. 'Penghalang! Bukankah aku yang menjadi perintang tercapainya cita-cita baginda?' pikirnya. 'Ya akulah yang menjadi rintangan, karena aku yang menyebabkan Kakang Panji tidak sudi



melaksanakan cita-cita baginda untuk menikah dengan Dewi SekarTaji! Ya, akulah penghalang! Dan penghalang mesti dihilangkan! Rintangan mesti ditebas! Mengerti aku sekarang! Mengerti! Dan Kakanda dititahkan untuk mencari sarung baru keris pusaka. Aku ...akulah sarung baru itu! Aku!' Tak disadarinya air mata deras keluar, meleleh membasahi pipi. "Kakanda! Hamba mengerti sekarang!" katanya dengan sedu-sedan yang menyesakkan dada. "Hamba mengerti mengapa sejak tadi Kakanda kelihatan gugup dan bingung! Hamba tahu, apa yang menjadi penghalang buat terlaksananya cita-cita yang agung sang baginda! Hamba, hambalah orangnya! Hambalah yang menjadi penghalang antara Kakang Panji dengan Dewi Sekar Taji! Dan penghalang mesti dibuang, ditebas! Bukankah Kakanda dititahkan baginda untuk membuang penghalang? Mengapa Kanda belum juga lakukan titah baginda yang mulia itu? Mengapa?" Tumenggung Braja Nata terkejut bukan buatan. Keringat keluar di seluruh tubuhnya. la menghindari pandangan Dewi Anggraeni, lalu matanya mencari-cari Senapati Arya Suralaga. Tetapi tak kelihatan olehnya. "Mengapa tidak Kakanda acungkan keris pusaka yang mesti mendapat sarung baru itu? Mengapa tidak Kanda masukkan ke dalam serangkanya yang baru ke dalam dada hamba?" desak Dewi Anggraeni. "Ti . . tidak, tidak, Rayinda! Kanda . . . Kanda tak . . . sampai hati." sahut Tumenggung Braja Nata. "Kakanda Tumenggung Braja Nata!" kata Dewi Anggraeni. "Mana keberanian Kanda? Bukankah Kakanda satria utama kerajaan Janggala yang jaya? Mengapa Kanda tidak hendak melaksanakan titah dengan baik? Mengapa Kanda waswas dan ragu? Tikamlah hamba. Kanda, hamba rela! Hamba rela mati untuk kepentingan kerajaan, Kanda! Kalau hamba yang menjadi penghalang, biarlah hamba lenyapkan diri hamba! Kakanda, marilah! Bukankah kata Kanda juga makin cepat makin baik?" Tumenggung Braja Nata mundur, seolah-olah kuatir Dewi Anggraeni menerkamnya. Emban Wagini yang mendengarkan percakapan gustinya sejak tadi dan melihat suasana sudah hampir memuncak, menjatuhkan diri pada kaki gustinya, lalu menangis. "Jangan. Gusti, jangan Gusti berbuat nekat ... Gusti, jangan Gusti menghabiskan jiwa



secara percuma ratapnya. Dewi Anggraeni mencoba melepaskan kaki dari pelukan inang pengasuhnya yang setia itu. "Lepaskan! Lepaskan! Kalau kami mati tidak lah kami mati secara percuma! Setiap kawula negara mesti rela mengurbankan dirinya buat kepentingan negara! Lepaskan!" "Tetapi Gusti ... Gusti masih muda dan Gusti Panji tentu akan kehilangan. Apa yang mesti hamba jawab kalau Gusti Panji menanyai hamba?" ratap Emban Wagini. Dewi Anggraeni murka. "Mengapa engkau, Bibi? Mengapa bertingkah? Lepaskan!" Dan melihat gustinya murka, makin erat Wagini memeluknya. "Lepaskan kataku!" teriak Dewi Anggraeni sambil menyepakkan kakinya sekuat tenaga, sehingga tubuh yang renta itu terpelanting, lalu jatuh terguling. Terdengar tangisnya menggerung-gerung. "Kanda Tumenggung! Jangan Kanda ragu! Bukankah darma satria itu mesti diletakkan di atas segala perasaan tak tega dan bimbang? Mengapa Kanda hendak memalukan kerajaan Janggala? Satria Janggala janganlah ragu dan waswas! Lakukan titah baginda! Lapangkan jalan menuju tercapainya cita-cita agung kemanusiaan! Masukkan keris pusaka itu ke dalam serangkanya yang baru!" Tumenggung Braja Nata tidak menyahut. Tangannya yang kanan memegang keris pusaka kerajaan Janggala yang telanjang itu dengan lesu dan tak bertenaga. 'Tabahkan hatimu! Engkau adalah Arjuna yang mesti membunuh saudara, orangtua dan gurunya di medan Kuru! Tabahkan hatimu!' suara baginda terngiang-ngiang dalam telinganya.Ia melirik kepada Dewi Anggraeni dengan ujung mata. Maka kelihatan olehnya wajah jelita itu bermandikan air mata, tetapi menunjukkan ketenangan yang luar biasa. "Kanda, mengapa Kanda seperti bukan satria saja? Mengapa hatimu lemah? Hamba kira, Tumenggung Braja Nata seorang pahlawan sinatria kerajaan Janggala! Tak tahu ternyata masih menaruh belas kasihan di atas kewajibannya!" kata Dewi Anggraeni dengan suara setengah mengejek. Ia maju mendekati Tumenggung Braja Nata. Matanya tak lepas-lepas memandang Tumenggung Braja Nata yang kuyu itu. Lalu, tiba-tiba sekali, ia meloncat, tangannya yang kanan merebut keris dari tangan Tumenggung Braja Nata. Tumenggung Braja Nata terkejut, tetapi keris pusaka telah berpindah tangan. Sejenak ia



terbengong, terbelalak melihat kepada Dewi Anggraeni. "Kanda, biarlah, kalau Kanda tak sampai hati menghilangkan penghalang yang merintangi cita-cita tinggi Baginda Prabu Janggala. biar kuhapuskan diriku sendiri, karena adaku di dunia hanya menambah beban kepada orang lain! Sampaikan kepada Kakang Panji, bahwa hamba melakukan semua ini dengan ... iklas tulus!" kata Dewi Anggraeni seraya menusukkan mata keris pusaka yang tajam itu ke dalam dadanya. Darah yang merah menyirat segar, membasahi ikat pinggang dan kainnya. Perlahan-lahan tubuhnya rebah. Sedangkan darah makin banyak juga yang keluar, meruah-ruah di atas daun-daunan yang membusuk. "Kakang Panji! ... Berbahagialah ...sela .... mat ... tinggal, semuanya!" katanya terputusputus. "Gusti! Gustiku!" teriak Wagini memburu sambil melompat, menubruk tubuh junjungannya. Lalu ia menangis di sana. "Mengapa Gusti? Mengapa Gusti meninggalkan hamba?" "Rayinda!" teriak Tumenggung Braja Nata sambil memeluk tubuh yang terkulai tak bernyawa itu. "Gusti! . . Hidupku! Untuk siapakah gunanya hidupku di dunia, kalau Gusti tak ada lagi?" ratap Wagini. "Tak kukira Gusti akan mengakhiri hidup seperti ini. Duhai, tak ada artinya hidupku kini, tak ada artinya! Tak ada!" Tiba-tiba ia bangkit dan mencabut keris pusaka yang tertancap itu dari dada gustinya. Darah yang masih merah segar membasahi mata keris itu. "Jangan, jangan Gusti tinggalkan hamba di dunia sendiri... jangan hamba ditinggalkan!" lalu tangannya yang memegang keris itu terangkat, dan sekejap kemudian, keris itu telah terbenam pula ke dalam tubuhnya. "Nan... tikan, nantikanlah hamba. Gusti . . . Hamba ikut " desisnya makin lama kian lemah jua. Darah membanjir pula. Wagini mencari tempat di samping Gustinya, lalu rubuh, numprah tak bernyawa. Tumenggung Braja Nata terkesima. "Duhai, dua!..." Ia memperhatikan dua mayat yang bersisi-sisun itu dengan mata setengah sadar. Bibir matanya bagaikan takkan mengejap, sedangkan bibir mulutnya bergerakgerak, bagaikan menggumam.... "Mereka bunuh diri . . . Dua orang! Dua orang



manusia! ... Manusia, manusia berdarah merah! Hangat! Manusia yang hidup, nyata! Kini terbaring ... terhantar tak bernyawa! Mereka bunuh diri! Duhai, mengapa dua jiwa mesti hilang percuma ... Benarkah mereka hilang untuk kepentingan kemanusiaan? Mengapa untuk kepentingan kemanusiaan mesti lenyap terbunuh dua orang manusia yang nyata, hidup, berdaging, berdarah, bertulang, bernyawa?" Beberapa jenak lamanya ia termenung, tenggelam dalam pikirannya yang kacau, merenungkan segala peristiwa yang dialaminya sejak masih dari istana. "Cita-cita luhur senantiasa menuntut pengurbanan. Kebesaran jiwa seorang satria kelihatan dari kesanggupannya menghilangkan dan menghancurkan dirinya sendiri, dalam kepentingan kemanusiaan yang lebih besar." Tatkala akhirnya Tumenggung Braja Nata terjaga dari renungannya, ia menengok ke kiri ke kanan, mencari-cari kawannya. Hutan yang mencekam, memberikan suasana yang menggiriskan jiwa. la merasa lengang. Jiwanya meronta-ronta meminta kawan untuk diajak menembus kelengangan itu. "Arya Suralaga!" teriaknya tiba-tiba memecah kesunyian yang mencekam itu. "Arya Suralaga! Di mana engkau?" "Hamba!" sahutan terdengar di kejauhan, teralingi semak tinggi. "Ke mari!" "Hamba mengurus kuda Gusti!" "Tinggalkan, biarkan kuda itu. Ke mari saja!" teriak Tumenggung Braja Nata dengan berang yang meluap mendadak. Dengan langkah segan-segan dan hati berat, Senapati Arya Suralaga mendekati Tumenggung Braja Nata. Meski ia telah menduga peristiwa yang terjadi, namun ia terkejut juga demi melihat dua mayat tergeletak berlumuran darah yang mulai mengental. "Gusti!" hanya itulah perkataan yang keluar dari mulutnya. Tumenggung Braja Nata melirik kepadanya, kemudian menjatuhkan pandangannya pula. Beberapa jenak mereka berdiam-diaman. Tak seorang pun mau bicara, kecuali dengan kelebat mata. Akhirnya Tumenggung Braja Nata bangkit, tubuhnya mengangkang hendak mengambil keris yang tertancap pada dada Wagini. Dengan hati-hati dicabutnya keris itu. "Mereka meninggal secara mulia ...." gumamnya lemah.



"Dewi Anggraeni! Sungguh seorang satria! Karena menganggap dirinya menjadi penghalang buat cita-cita kemanusiaan yang agung, tak segan-segan dia menghapuskan dirinya sendiri..." "Jadi mereka membunuh diri?" tanya Senapati Arya Suralaga. Tumenggung Braja Nata mengangguk. "Ya!" sahutnya lemah, "Ketahananku tak ada artinya dibandingkan dengan ketabahan dan kesediaannya meleburkan diri guna kepentingan yang lebih agung." "Batara akan melindungi mereka ...," gumam lemah Senapati Arya Suralaga. Maka beberapa jenak pula mereka hening. Kelengangan hutan yang sayup-sayup diiringi suara binatang yang sayu, bagaikan turut berhidmat kepada arwah yang baru meninggalkan raga. "Titah telah terlaksana, tidakkah kita lebih baik pulang sekarang untuk mempersembahkannya kepada baginda?" akhirnya Senapati Arya suryalaga memecah kesunyian. Ia tak tahan lebih lama berdiam-diaman dalam suasana mencekam. Tumenggung Braja Nata bangkit. "Baginda tidak menitahkan kita untuk membawa jenazah keduanya ke istana, hendak diapakan jadinya mereka?" "Lebih baik kita biarkan saja di sini. Supaya jangan diganggu binatang, lebih baik kita timbun dahulu ..." sahut Senapati Arya Suralaga. "Baiklah," jawab Tumenggung Braja Nata mengangguk. Maka keduanya pun membetulkan letak kedua mayat itu, kemudian menimbuninya dengan sampah daun-daunan yang banyak bertebaran di sana. Tak lama kemudian, segalanya telah selesai. Bekas darah tak lagi nampak. Keduanya menganggap cukup aman, lalu berdiri akan memberikan hidmat terakhir kepada kedua jiwa satria itu. "Perhatikan batang cempaka itu ...," kata Tumenggung Braja Nata sebelum pulang. "Bunga-bunganya sedang bermekaran, dan dibawah naungannya, kita tanam bunga yang menjadi ratu segala bunga..." Senapati Arya Suragala tidak menyahut. Kepalanya jatuh tertunduk. Kemudian keduanya mengambil kudanya masing-masing, dan berlalu dari sana.



*** TUMENGGUNG BRAJA



PATIH



NATA



PRASANTA



← Bab Sebelum Bab Sesudah → 124 orang telah membaca



7 komentar Baca semua komentar Tulis Komentar #



Tjareuh_Boelan23



3



AHMAD77 menulis:



Februari jam 10:51pm Lapor



Suhu, sblmya maaf, cerita panji inukertopati yg beredar luas turun temurun di jawa timur khusus kediri jauh berbeda yg suhu tuliskan, panji inukertopati hanya menikahi sekartaji, didalamnya ada cerita etit yaitu sang inukertopati menyamar sebagai orang dusun untk mengoda adiknya. Hikayat aslinya memang sprti itu. Tapi di cerita Candra Kirana ini, mungkin ini adalah hikayat Panji "versi" Sunda, setidak-tidaknya ini adalah hikayat Panji versi Pak Ajip Rosidi, sang pengarangnya.. Hehe # maaf kalau cerita ini agak berbeda dari kisah Raden Inu Kertopati dan Galuh Ajeng Candra Kirana yg sebenarnya. # 4



AHMAD771



Maret jam 4:11pm Lapor



Makash suhu atas penjelasannya, jadi faham ceritanya, smg suhu sehat dan smg jua lancar rejeki dan usaha.



# 5



BondanKamis



jam 8:33pm Lapor



Rasanya pernah membaca juga versi Ande-ande Lumut dengan Klenting Kuning .... yang ternyata adalah Raden Inu dan Dewi Sekartaji yang menyamar .... apakah ini akan seperti itu ....



#



Tjareuh_BoelanJumjam



6



jam 12:18pm Lapor



Kisah Ande Ande Lumut saya belum pernah baca. Tapi saya pernah mendengar lagunya dalam versi gending jawa. NB: Kalau ingin membaca kisah Candra Kirana yg aslinya, ada dalam buku karya Saleh Sastrawinata, yg bertajuk: HIKAYAT KUDA PANJI SEMIRANG. Dalam buku tsb memang jalan ceritanya sesuai dg kisah Raden Inu Kertapati yg selama ini dikenal masyarakat banyak. Atau baca dalam versi komiknya karya R.A KOSASIH, yg berjudul PANDJI SEMIRANG. Demikian sedikit pengetahuan saya. Semoga bermanfaat. Salam persahabatan selalu dari saya untuk Anda semuanya.....



#



Bondankemarin



7



jam 2:08pm Lapor



Kebetulan nemu dari mbah Gugle : http://resourcefulparenting.blogspot...akyat.html



Hall of Fame Anggota



52 anggota, 41 tamu online akr1s anseta atenk auda112 banyu batamboy beelzebub bubeng budiman25 cimeng coex dedi_arsa dexs Didi_Seven dolly fahrian Ferianto fetty gema Gpd gunawansetyohadi ibah Icalsaru inod jarijari Juven lew037 luminisious mawanxx maxpc nazri OMAN otib Perwito PPPoE prima Rahmah Rauzan Sulaiman syaeful t4nu Tjareuh_Boelan tourano tusmanwidojono udin_tjg wahyu123 windx xera yopi yoseph ys zainiyacub



Display full version | mobile version Fish Ball Noodle + Ice Peach Tea 2012.01.03 (108q 0,41s 0,64s) indozone.net HomeArtikelResensiBacaanKatalogForumFilesCari OMANLogoutPilihanPesanBookmarks



PATIH PRASANTA Home



→ Bacaan → Candra Kirana → PATIH PRASANTA



Lapor



Tjareuh_Boelan



19 Februari jam 8:05amRaden Panji Kuda Waneng Pati dengan diiringi oleh Patih Prasanta yang tua beserta beberapa orang ponggawa, bagaikan kalap memacu kudanya dari arah Pucangan. Raden Panji merasa sangat gelisah. Kegelisahan menyebabkan ia kehilangan ketenangan, rusuh mengamuk di dalam kalbu, berbagai perasaan berkecamuk tak menentu. Waktu ia menuju ke Pucangan, pikirannya masih dipengaruhi oleh titah baginda. Ia merasa bergembira karena baginda tidak memaksanya menikah dengan Dewi Sekar Taji. Namun demikian, ia sendiri tidak mengerti benar mengapa tiba-tiba saja baginda menitahkannya menghadap kepada sang Kili Suci. Begitu pentingkah titah itu, sampai ia tidak diperkenankan singgah dahulu akan menemui istrinya. Adalah harapan bahwa sang pertapa akan berdiri di fihaknya, yang menyebabkan ia senantiasa menekan perasaan rusuh yang tak keruan paran, sehingga dengan cepat sampai ke Pucangan. Tetapi alangkah heran tatkala menyaksikan sang Kili Suci menyambutnya, dengan wajah yang muram durja. "Sejak dahulu hatiku tawar untuk urusan perkara kerajaan ...," berkata sang Kili Suci setelah mendengar persembahan Raden Kuda Waneng Pati mengenai pertunangannya dengan Dewi Sekar Taji. "Hidup menyepi di petapan adalah lebih menentramkan. Lebih cocok bagiku. Untuk mengenal dan mengurus kehendak dan kemauan diri sendiri pun sudah sangat berat apalagi untuk mengurus orang satu kerajaan! Untuk itu tentu diperlukan pengertian dan pengurbanan yang sangat besar. Kerelaan pengurbanan yang bukan buatan. Sedangkan aku ..." Daripada memberi jawaban terhadap sembah Raden Panji, sang pertapa yang sudah lanjut usianya itu, malah seolah-olah berbicara tentang dirinya, sedangkan wajahnya sangat bersedih. Dengan matanya yang muram itu ia mengawasi wajah serta kepala Raden Panji, mesra dan penuh sayang, namun kalau kebetulan Raden Panji memandang kepadanya, ia cepat-cepat menghindari pandangan putra mahkota Janggala itu. "Sebagai putra mahkota yang kelak akan memangku takhta, engkau mesti tabah dan tetap hati. Apa yang dipetuahkan oleh ayahmu adalah benar semua. Hanya saja..." tak lanjut pula perkataannya.



"Sekarang paling tepat, engkau buru-buru pulang ke tempat istrimu. Semua lelah terjadi, tak mungkin dihindari, karena itu... karena itu engkau mesti benar-benar teguh hati. Ingatlah, bahwa hidup di dunia ini hanya maya, tak langgeng, semuanya tak abadi ... Dan engkau Raden, seorang pahlawan yang bijaksana, tentu akan sanggup mengalami berbagai cobaan yang datang!" Setelah berhenti sejenak, dengan menghela nafas yang wegah, sang Kili Suci menyambung pula, "Bukan tak ingin mengajak Raden tinggal di sini barang beberapa hari, tetapi yang paling tepat sekarang, Raden cepat-cepat pulang ke tempat istrimu ..." Raden Panji menghaturkan sembah. "Tetapi bagaimanakah gerangan dengan pertunangan hamba dengan Dewi Sekar Taji? Mungkin Ayahanda akan meminta tolong untuk menjelaskan hal diri hamba kepada Baginda Prabu Kadiri, supaya tidak terbit persengketaan... Kalau sekarang hamba pulang, apakah yang mesti hamba persembahkan kepada Ayahanda?" Suara sang Kili Suci sangat perlahan, "Adalah yang mesti Raden pikirkan bagi kebenaran dunia ini! Pulanglah segera. Temuilah Anggraeni, istrimu" Pertemuannya dengan sang Kili Suci itu menumbuhkan kegelisahan dalam hatinya. la merasa sangat heran akan tingkah laku dan perkataan sang Kili Suci. Alangkah muram sekali. Apakah gerangan yang menyebabkannya? Mengapa tak nampak tanda-tanda kegembiraan hatinya bertemu dengan dia? Mengapa malah menyuruhnya pulang cepatcepat? Ada apakah gerangan yang terjadi? Mengapa suaranya sangat murung dan wajahnya berduka? Tidak, tak pernah sebelumnya sang Kili Suci nampak berduka. Setiap bersua, kelihatan wajahnya berseri-seri. Seorang pertapa yang sudah mengatasi duka dunia! Tidak lagi gelombang perasaan berpengaruh terhadapnya, maka wajahnya nampak segar. Tetapi tadi . . . ! Dalam pada itu perasaan gelisah yang berkecamuk dalam hatinya makin membadai. Ia memacu kuda secepat-cepatnya, masih juga ia merasa larinya terlalu lambat. Ia hampir tidak menoleh-noleh akan melihat kawan-kawannya seperjalanan, sehingga Patih Prasanta yang sudah lanjut usianya itu, mati-matian menyusulnya. Bahkan tiga orang ponggawa jauh tertinggal dibelakang, betapa pun mereka memecuti kudanya. "Alangkah aneh!" katanya berulang-ulang dalam hatinya sendiri. "Alangkah aneh yang kualami hari-hari ini! Ayahanda menitahkan aku ke Pucangan,



sedangkan utusan dari Kadiri masih menanti. Dan di Pucangan, sungguh luar biasa! Mengapa sang Kili Suci nampak demikian muram dan berkata-kata bagaikan tak tentu ujung pangkalnya? Wahai, ia orang bijaksana, yang sakti kenyang bertapa, tentu waspada, tahu sudah apa maksud baginda ... Tetapi kepadaku ia wanti-wanti berpesan supaya cepat-cepat pulang ... Wahai, ada peristiwa apakah yang menunggu?' Begitulah hutan dan jurang dilalui dengan cepat. Jalan terjal dan licin, tetapi Raden Panji sungguh-sungguh seorang yang pandai berkuda. Di tempat yang datar, kudanya melesat laksana anak panah dari busurnya, hanya sekilas nampak oleh pandangan. 'Dan Rayinda Anggraeni ... tentu ia sudah gelisah menanti!' pikir Raden Panji pula. 'Seharusnya aku datang kemarin dulu. Ah, tentu ia sudah mengira yang bukan-bukan!' Teringat kepada istrinya yang sangat dia cintai, Raden Panji cerah wajahnya, lantaran terbayang sambutan istrinya itu kelak. Alangkah akan gembira Anggraeni menyambutnya! 'Sudah tahukah ia bahwa aku dititahkan ke Pucangan? Tentu salah seorang kandaku telah memberitahukannya . Ia tentu membiarkannya menanti dalam gelisah dan melang pikirnya pula. Makin dekat ke tempat peristirahatan, simpang siur tak keruan makin menjadi. Hati makin gelisah saja. Dan wajah Anggraeni berkelebat pucat terbayang-bayang dalam mata batinnya. Alangkah pucat! Seolah-olah darah tak mampu naik kepada urat-urat wajahnya. la mencoba memejamkan mata akan menghilangkan bayangan yang menyeramkan itu, tetapi selalu dan selalu saja muncul kembali. Sedangkan mata kekasihnya itu tajam tetapi tenang seakan-akan terus-menerus memandangnya, menatapnya, tak kunjung mengejap, dingin dan mengibakan.... 'Apakah gerangan yang terjadi dengan Anggraeni?' pikirnya tak habis-habisnya. "Raden! Raden Panji!" tiba-tiba terdengar teriakan dibelakangnya. Itulah suara Patih Prasanta. la menghentikan kudanya. "Ada apa Mamanda Patih?" ia kembali bertanya sambil berpaling. "Hari telah sore, tidakkah lebih elok kita mencari penginapan buat bermalam saja?" tanya Patih Prasanta berteriak karena jarak antara mereka masih jauh. Raden Panji memecut kudanya pula. "Tidak! Kita terus saja!"



"Tetapi, Raden ..." tak lanjut perkataan Patih Prasanta karena sementara itu Raden Panji telah jauh meninggalkannya. Ia bingung, karena para ponggawa yang mengiringinya makin banyak saja yang tertinggal, entah meninggalkan diri. Tentu lantaran kuda mereka bukan kuda pilihan tak sanggup mengejar kuda Raden Panji yang memang terkenal sangat bagus. Akankah ia menanti para ponggawa yang tercecer itu untuk kemudian mengejar bersama? Ataukah ia akan terus? la pun telah lelah, sedang mulut kudanya sudah berbusah-busah. 'Bagaimanapun aku mesti mengikutinya, karena untuk mengawaninyalah aku dititahkan turut.' Akhirnya ia mengambil keputusan. Maka ia menyentakkan kendali pula, tanda supaya kudanya lari lagi. Kuda itu tahu akan isyarat tuannya, segera berlari. Keesokan harinya dengan wajah yang kuyu dan mata kurang tidur karena semalaman tak henti-hentinya berkuda, Raden Panji sampai di tempat peristirahatannya. Tubuhnya kaku dan lesu, tetapi kalbunya pepat, gelisah tak menentu. Waktu ia sudah menambatkan kuda dan masuk ke rumah, ia mendapati rumah lengang. Para emban dan orang-orang yang bertemu dengan dia, menghaturkan sembah diamdiam, tetapi lalu menundukkan wajah. Mereka heran melihat keadaan gustinya yang luar biasa itu dan menduga yang bukan-bukan. Raden Panji mencari-cari istrinya, tetapi tak kelihatan olehnya. "Rayinda!" ia berteriak rusuh. Hanya gaung yang menyahut. "Rayinda!" "Rayi! Keluarlah, suamimu datang!" Tetapi tak ada juga sahutan. Ia masuk ke dalam peraduan, tetapi Dewi Angraeni tak nampak. Ia heran. Sangkaan yang bukan-bukan memenuhi kepalanya. Lalu ia menoleh kepada seorang emban. "Emban, ke manakah gustimu? Mengapa tak kelihatan? Pergi ke tamankah dia? Cepat panggil!" katanya. "Ampun Gusti!" sembah emban yang ditanya. "Mengapa Gusti bertanya kepada hamba? Adalah hamba yang hendak menanyakan hal itu kepada Gusti..." Raden Panji melengak. "Apa maksudmu?" "Ampun Gusti," sembah emban. "Gusti putri kemaren dulu berangkat dengan Bibi



Wagini..." "Pergi? Ke mana?" tanya Raden Panji heran. "Ampun Gusti, hamba kurang tahu. Yang hamba dengar, katanya hendak menyusul Gusti." "Menyusul kami?" "Hamba, Gusti." "Menyusul kami ke mana? Ke istana?" "Hamba kurang tahu, Gusti. Tetapi Gusti Putri berangkat bersama rakanda Gusti Kangjeng Tumenggung ..." "Apa? Bersama rakanda Braja Nata?" "Hamba, Gusti." Raden Panji terhenyak. Ia terduduk, sedangkan tubuhnya terasa lesu. Tumenggung Braja Nata! Apakah maksudnya gerangan maka menjemput istrinya, Dewi Anggraeni? Hendak menyusul? Ke mana? Ke Pucangan? Bukankah Tumenggung Braja Nata tahu bahwa Raden Panji mendapat titah ayahanda ke Pucangan, menyambangi Sang Kili Suci? Mengapa malah ia menjemput istrinya? Sedangkan baginda tidak memperkenankan ia sendiri singgah menemui istrinya itu! Mengapa justru Tumenggung Braja Nata malah menjemputnya? Untuk pergi ke mana? Dan kapan ...? Kemarin dulu! Kemarin dulu! Bukankah waktu itu pula ia mendapat titah ayahanda? Bukankah kemarin dulu ia berangkat ke Pucangan? Agaknya!. 'Apakah maksud Kakanda Tumenggung?' pikir Raden Panji. 'Mustahil ia hendak main gila kepada Dewi Anggraeni, tetapi ... mengapa tidak? Dewi Anggraeni sangat jelita!' Terpengaruh oleh pikirannya yang bercemburu, darah Raden Panji naik. Wajahnya bagaikan terbakar dan amarah meluap-luap. "Ke mana mereka hendak pergi?" ia bertanya pula kepada emban. "Ampun Gusti, hamba kurang tahu. Sebab ketika itu hamba sedang di belakang ... ," sahut emban. "Apakah ketika itu ada diantara kalian yang tahu?" "Sembah, Raden. Hamba akan panggil emban-emban yang lain. Mungkin mereka mengetahuinya." Emban itu mengundurkan diri akan memanggil kawannya yang kemarin dulu melayani



kedua tamu yang berkunjung itu. Waktu ia kembali, ia membawa tiga orang emban yang lain. "Darmir," tegur Raden Panji. "Tahukah kau ke mana gustimu kemarin dulu hendak dibawa?" "Ampun Gusti, kemarin dulu itu hamba di dalam saja. Hamba tidak tahu tegas, karena yang melayani tamu hanya bibi Wagini saja," sahut emban itu. "Tetapi tatkala Gusti Putri berkemas-kemas, hamba ada dengar juga tempat yang hendak dituju, katanya hendak menyusul Gusti ..." "Ya, ke mana katanya mereka mau pergi?" Raden Panji tak sabar. "Kalau hamba tak salah ... ke Muara . . . Muara Kam . . . Muara Kamal," sahut emban itu dengan ragu-ragu. "Katanya hendak menyusul Gusti yang telah berangkat duluan ke sana..." "Ke mana? Muara Kamal?" "Hamba, Gusti. Muara Kamal." Raden Panji bangkit. Kepada Patih Prasanta yang masih berdiri di ambang pintu, ia berkata, "Mamanda Patih! Kita Pergi ke Muara Kamal!" "Tetapi Raden ..." "Mamanda, kita berangkat sekarang!" Patih Prasanta menghela nafas. Matanya memandang tak mengerti kepada putra mahkota Janggala. Kepalanya menggeleng. Raden Panji sudah melompat dari rumah, lalu mendekati kudanya pula. Waktu dilihatnya kuda itu kelelahan, ia menukarnya dengan yang baru dari kandang. "Ke mana kita hendak pergi. Raden?" tanya Patih Prasanta. Raden Panji menepuk-nepuk punggung kuda. "Ke Muara Kamal! Ambillah kuda baru dari kandang!" "Ke Muara Kamal? Ada apa?" Tetapi Raden Panji tidak mau menyahut. Ia meloncat ke atas punggung kuda, lalu memacunya. Ia bagaikan tidak menghiraukan lagi patih Prasanta. Patih yang tua itu segera pula mencari kuda baru, lalu memacunya, mengejar Raden Panji.



"Sungguh aneh!" bisiknya. Tetapi ia tidak berani melepaskan putra mahkota pergi sendirian, maka ia pun kepacu ke arah Muara Kamal. Kuda baru yang masih bertenaga penuh itu, melesat terbang membawa Raden Panji dalam kegelisahan dan berbagai pikiran yang kusut. 'Tumenggung Braja Nata! Sungguh tak kusangka! Mengapa ia berbuat nista?' pikirnya. 'Selagi aku menjalankan titah Baginda, ia mencuri istriku! Kurang ajar!' Patih Prasanta yang tua itu kini tidak mau ketinggalan. Kudanya yang juga kuda pilihan yang diambilnya dari kandang kuda. Patih Prasanta lari dengan kecepatan luar biasa, ia tidak jauh di belakang Raden Panji. Demikianlah beberapa lamanya keduanya berkejar-kejaran bagaikan orang yang sedang berlumba. Setelah melewati padang yang luas dan tanah-tanah pertanian yang subur, mereka masuk ke dalam hutan lebat. Pohon-pohonnya tinggi-tinggi, tapi meski demikian, Raden Panji tetap memacu kudanya. Hanya kalau terhadang oleh belukar yang lebat, ia memperlambat lari kudanya. Tiba-tiba kudanya berbenger dan menghentikan langkahnya, dan tak jauh di sebelah depan terdengar pula benger kuda. Tak tertahan lagi kuda yang ditunggangi itu lari ke arah suara kuda datang. Sia-sia saja Raden Panji menahannya. Maka segera ia mempertajam matanya. "Si Hitam!" teriaknya tatkala kelihatan olehnya seekor kuda tertambat pada sebatang pohon trembesi. "Mengapa ada di sini?" Lalu ia pun mendekati kuda itu, kemudian turun. Patih Prasanta pun mengikuti Raden Panji. "Ada apa, Raden?" ia bertanya. "Si Hitam kuda tunggangan Dewi Anggraeni ada di sini!" sahut Raden Panji sambil mendekati si Hitam, yang setelah mengenali majikannya lalu berbenger pula. "Mengapa ada di sini?" Si Hitam hanya meringkik saja. "Lihat, tapak kuda di sini bukan hanya bekas si Hitam saja!" kata Patih Prasanta yang segera memperhatikan keadaan sekelilingnya.



"Agaknya paling tidak ada dua ekor kuda lainnya lagi!" Raden Panji turut memperhatikan tapak kuda. "Ya, ada dua tapak kuda pula yang bukan bekas si Hitam!" sahutnya. "Salah satu mestilah tapak kuda Tumenggung Braja Nata! Ke mana mereka sekarang?" Patih Prasanta mengikuti tapak kuda itu dengan seksama. "Mereka menuju kembali ke arah yang kita tinggalkan ...," katanya kemudian. "Mereka datang bertiga, tetapi yang satu ditinggalkan!" "Itulah si Hitam!" potong Raden Panji cepat. "Dan itu kuda tunggangan istriku Dewi Anggraeni!" Wajahnya menjadi pucat dan merah bergantian. Ia murka kepada Tumenggung Braja Nata, tetapi ia pun kuatir akan nasib istrinya .... "Jadi bagaimana? Kita kejar atau ... ?" "Kita cari dahulu penunggang si Hitam!" Raden Panji memutuskan. Lalu ia memperhatikan keadaan sekitarnya dengan teliti. "Lihat! Apakah tumpukan daun-daun kering itu? Mengapa seperti dibikin orang?" ia pun Iari ke arah tumpukan dedaunan kering di bawah pohon cempaka. Karena penasaran Raden Panji membongkar tumpukan daunan yang membukit itu. Tentunya bagaikan kerasukan sebentar saja tumpukan daun yang tinggi itu telah dia bongkar. Dan tatkala akhirnya ia menyentuh tubuh yang kaku, makin cepat ia membongkar, sedangkan tangannya menggigil. Jantungnya berhenti berdenyut. "Anggraeni!" teriaknya kemudian tatkala ia melihat mayat siapa gerangan yang terbujur itu. Lupa akan apa pun jua, ia menjatuhkan dirinya, lalu menangis di atas tubuh istrinya yang dingin dan kaku, namun utuh, sedangkan pada bibirnya tersungging senyuman rela. Raden Panji terjatuh. Ia yang lelah karena kurang tidur dan memacu kuda tak hentihentinya itu, tak tahan mengalami kekagetan dahsyat, sehingga pingsan. Patih Prasanta yang berdiri di belakangnya, lalu menubruk Raden Panji yang tak sadarkan diri itu, ditidurkan baik-baik, sambil dia pijiti supaya lekas siuman. Kemudian ia meninggalkan tubuh Raden Panji, mendekati mayat Dewi Anggraeni. Sisasisa sampah yang masih menutupi wajah dan badannya, dibuangnya, lalu mayat itu diangkatnya, dibaringkan baik-baik di dekat Raden Panji. Maka kelihatan olehnya mayat



yang lain, yang tak bukan adalah mayat Emban Wagini. Mayat itu pun diangkatnya baikbaik dan dibaringkannya. "Sungguh dahsyat!" pikirnya dalam hatinya sendiri. "Agaknya untuk inilah baginda menitahkan Raden Panji ke Pucangan! Sungguh berhati batu! Dia hendak menyingkirkan penghalang yang menuju perkawinan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji! Wahai, lihat! Senyuman Dewi Anggraeni, bagaikan iklas ia meninggalkan dunia ini untuk kepentingan persatuan dua kerajaan! Tumenggung Braja Nata! Sungguh tangguh kalbunya, keras hatinya, sampai tega ia membunuh istri adiknya sendiri!" Ia memijiti urat-urat Raden Panji pula supaya lekas siuman, tetapi sia-sia saja. "Sungguh besar pengurbananmu, Raden!" ratapnya dalam hati. "Sungguh keras kehendak Ramanda! Dan engkau, Raden, wahai, inilah agaknya arti petuah sang Kili Suci! Raden mesti tabah! Raden mesti sadrah! Raden, inilah agaknya yang dimaksudkan sang Kili Suci! Ia sungguh waspada, meski tak sepatah pun berkata, namun tak ada rahasia baginya. Pantas wajahnya muram! Sungguh berat, sungguh berat Raden, cobaan yang mesti kau tanggungi" Patih Prasanta menghela nafas, sedang tangannya masih juga memijit Raden Panji. "Tak bisa kupersalahkan baginda yang keras hati membela kepentingan kerajaan, demi tercapainya cita-citanya yang suci serta luhur itu. Untuk setiap cita-cita tinggi memang harus diberikan pengurbanan yang besar! Tetapi ... Raden Panji pun seorang manusia yang mempunyai hati. Ia pun mempunyai kehendak-kehendak untuk mengecap kebahagiaan kalbunya ... Tidak, ia pun tak bisa dipersalahkan karena tidak mau menerima titah baginda ..." Tak terasa lagi air matanya keluar dan menitik, hangat terasa. 'Sayang, sungguh sayang sekali ... sayang sekali ... Ah, mengapa baginda tidak bertindak bijaksana? Mengapa baginda menempuh jalan keras? Aduhai, Raden, sadar, sadarlah ... Kuatkan hatimu! Tabahkan! Tanggungkan cobaan yang sangat berat ini! Sadarlah, Raden, sadarlah ...' Dari arah selatan, terdengar suara ketepuk kaki kuda. Tak lama kemudian kelihatan mendatangi para ponggawa di atas kuda mereka: letih dan lesu, namun nampak berkuatir atas nasib putra mahkota. Demi melihat Patih Prasanta sedang berjongkok menghadapi tiga orang yang terhantar kaku, terkejut mereka bukan buatan, lalu bersi-cepatan turun



dari punggung binatang tunggangannya. "Mengapakah Gusti Panji, Gusti Patih?" tanya salah seorang di antara mereka. Patih Prasanta hanya menengokkan mukanya. "Kalian carikan air. Cepatlah!" Dua orang ponggawa tergopoh-gopoh mencari air dingin. Untung tak jauh dari sana ada sumber air yang jernih bening, sehingga tak lama kemudian ia sudah datang membawa air yang diminta. Patih Prasanta menerima air itu, lalu menyiram kepala Raden Panji. Karena air dingin itu, Raden Panji siuman pula. Perlahan-lahan ia membuka mata. "Anggraeni ...Anggraeni ..." gumamnya, ia memandang ke sekelilingnya, lalu bangkit, sedangkan Patih Prasanta dan para ponggawa lain seakan-akan tak dia lihat. Dia menubruk tubuh istrinya. "Anggraeni ... mengapa kau tidur di sini? Mengapa bukan di rumah? Duhai, Anggraeni, istriku sayang, alangkah nyenyak tidurmu! Dan ini, mengapa dadamu berdarah? Duhai, nyamuk jahanam itu telah menyentuh kulitmu! Tenang, tenanglah, tidurmu jangan terusik, biar kujaga baik-baik!" Lalu dia meloncat ke arah kuda, dicarinya, sesuatu, tetapi tatkala tak ketemu, ia kembali kepada istrinya. "Di manakah kipas kau tinggalkan, Adinda? Biar, biarlah tak kukipasi juga, angin di sini sejuk menyilir ... Tidur saja kau, tidurlah ... Biar kusenandungkan lagu-lagu yang indah ...," maka ia pun menembang dengan suaranya yang parau, hampir mulutnya rapat pada telinga istrinya itu, sehingga orang-orang yang melihat tamasya itu segera memalingkan wajahnya. "Raden ... , Raden ..." gumam Patih prasanta. Para ponggawa yang lainnya menjatuhkan kepalanya masing-masing. Mereka berduka demi melihat tingkah gusti mereka. Mereka pun berduka lantaran melihat mayat Dewi Anggraeni. Yang mengherankan mereka adalah meskipun darah yang keluar dari lukanya sudah hitam kering, tetapi tubuhnya masih tetap segar bugar, bagaikan masih bernyawa. Dan senyuman yang bergelut pada bibirnya, takkan mungkin disangka orang sudah menjadi mayat. Waktu mengangkat wajah, mereka hanya bersi-pandangan dengan sesamanya, untuk kemudian menjatuhkan kepala pula. Patih Prasanta pun tidak mengganggu Raden Panji yang sedang bersenandung itu. Ia hanya diam juga menundukkan kepala. Akhirnya Raden Panji selesai bersenandung, lalu



bangkit pula dan memangku istrinya itu. "Ah, mengapa di sini, Sayang, mengapa di sini Dinda terbaring? Lumut itu mengotori kulitmu indah, dan ranting itu akan menusuk lenganmu langsat ..." bisiknya mesra. "Mari kupindahkan, kupindahkan engkau atas ranjang gading ketiduran kita... " Lalu ia menoleh kepada patih Prasanta. "Mamanda Patih! Mengapa diam saja? Ambillah Bibi Wagini itu, Mamanda pangku ia, supaya kita pindahkan mereka, jangan tertidur di sini ... Pelan-pelan, jangan sampai ia terjaga dari tidurnya!" katanya memberi perintah. Patih Prasanta ayal-ayalan, ia ragu-ragu, "Tetapi Raden ... Raden ..." "Mengapa Mamanda tidak segera menjalankan titah? Ataukah Mamanda tidak memandang mata lagi kepada kami? Mamanda tahu, kami putra mahkota Janggala, yang akan naik takhta, dan putra mahkota mesti tabah hati, mesti berani berkurban ..." lalu tiba-tiba saja ia tersedu-sedu bagaikan kanak kanak. Maka basahlah wajah istrinya oleh air mata. "Duhai, mengapa kubasahi wajah jelita ini dengan air mata hina? Tidur, tidurlah Rayi, jangan engkau terjaga oleh karena air mata ini! Kekasih abadi! Percayalah, biar gunung Semeru mereka hadangkan antara kita, namun engkau tak nanti terpisahkan dari hidupku ... Percayalah, kekasih, percayalah! Percayalah akan cintaku yang besar! Tak nanti kukhianati! Biar, biar, biar seluruh kerajaan memusuhi Kakanda, namun hatiku tetap cintamu ... Anggraeni! Lihat! Bunga cempaka! Alangkah indah! Maukah kau kuuntai sekarangan bunga, akan menjadi penghias kejelitaanmu? Alangkah cantiknya Adinda jika berhiaskan bunga ... Tetapi, bunga cempaka! Wahai, mengapa bunga seputih ini berbau darah? Tak terciumkah olehmu. Adinda, amis darah merangsang hidung? Amis! Amis! Mamanda Patih! Mengapa amis darah? Darah siapa duhai Mamanda Patih?" la menoleh kepada Patih Prasanta. Sang patih menundukkan wajah. Air matanya makin lebat membasahi pipinya yang tua keriputan itu, lantaran tak tega melihat keadaan junjungannya. "Raden ... Raden ...," hanya itulah yang keluar dari mulutnya. "Mamanda Patih! Siapakah yang luka? Siapakah yang darahnya ... lihat! Alangkah merahnya darah itu! Lihat mengapa batang cempaka itu mengeluarkan darah semerah itu? Mengapa batang cempaka bukan bergetah, melainkan berdarah?" ia mundur sambil



memangku istrinya. "Paman, mundur, mundur, darah itu makin banyak makin banyak jua! Lihat membanjir! Tidakkah ia akan menghanyutkan kita? Mamanda Patih! Tolong!" Raden Panji memejamkan matanya. Dan berteriak-teriak meminta tolong tak keruan. Patih Prasanta dan para ponggawa hanya melihatnya saja. Mereka tidak melihat darah, tentu hanya penglihatan Raden Panji saja. Tatkala ia membuka matanya pula, Raden Panji memeluk istrinya erat-erat, sedang ratapnya berkepanjangan. "Anggraeni, istriku, kekasihku ... Mengapa, matamu begitu berduka? Mengapa begitu sedih? Ah, engkau tidur di pangkuanku, mengapa matamu tak pejam? Mengapa memandangku begitu sayu?" "Mamanda, Mamanda Patih! Siapakah orang itu yang wajahnya seperti kekasihku, menatap tak henti-henti kepadaku? Siapakah dia? Bukan, dia bukan istriku, karena istriku sedang nyenyak tertidur di pelukanku ... Mamanda, tolong! Tolong singkirkan dia, karena darah tak henti-hentinya mengalir dari dadanya! Duhai, tolong, darah yang merah! Merah!" Raden Panji berlari-lari ketakutan dan mulutnya tak henti-hentinya berteriak-teriak. Patih Prasanta memburunya. Dipegangnya bahu Raden Panji. "Raden tenanglah Raden, tenanglah ... Tak ada orang yang memandang Raden dan darahnya tak henti-henti mengalir ... Tak ada!" "Tetapi lihat! Ia berdiri di samping Mamanda! Ia memandang! Mamanda, suruh ia pergi! Jangan memandangku dengan pandangan dingin begitu!" "Raden ...," suara Patih Prasanta serak lantaran hiba. "Yang berdiri di samping Raden, hanya Mamanda seorang, tak ada yang lain! Dan Dewi Anggraeni.... " "Sssttt ...," Raden Panji menekankan telunjuk ke mulutnya. "Jangan keras-keras Mamanda bicara, nanti ia terjaga! Lihat, ia tidur, nyenyak sekali. Perlahan-lahan Mamanda, supaya ia jangan terjaga..." Patih Prasanta hanya memandang dengan kasihan. "Tidur, tidurlah sayang ...," kata Raden Panji kepada mayat istrinya. "Tidurlah biar nyenyak.Jangan hiraukan suara-suara yang mengganggumu. Dengar, dengarlah, biar Kanda senandungkan pula lagu yang indah ...," dan ia pun menyanyi pula dengan suara yang rendah dan parau, sedangkan matanya hampir pejam, pipinya di atas pipi Dewi



Anggraeni. Ia membisikkan senandungnya itu ke telinga kekasihnya. Patih Prasanta serta para ponggawa kembali menjatuhkan kepala. Mereka menghindarkan pandangan dari tamasya yang mengenaskan itu ... Raden Panji berjalan beberapa tindak, lalu duduk dan membaringkan kekasihnya di atas naungan pohon yang rindang. Ditaruhnya kepala mayat istrinya di atas pangkal lengannya yang kanan, lalu tangannya yang kiri memeluk sayang tubuh istrinya, sedangkan mulutnya tidak juga berhenti bersenandung.... Tidak lama kemudian suaranya lenyap, agaknya ia tertidur. Patih Prasanta terjaga dari lamunannya, lalu bangkit dan memberi isyarat kepada para ponggawa agar mengikutinya. Ia berjalan agak jauh dari tempat Raden Panji, lalu memberi perintah dengan berbisik. "Biarkan ia tertidur, jangan berbuat ribut. Ia lelah ...," ia lupa bahwa ia sendiri bersama para ponggawa itu lelah semua. Lalu dititahkannya supaya dua orang ponggawa pulang ke istana, akan mempersembahkan hal Raden Panji kepada baginda. "Ampun Gusti Patih," sembah ponggawa yang mendapat titah itu. "Bagaimanakah hamba mesti mempersembahkan hal itu kepada baginda?" Patih Prasanta berpikir keras. "Kau persembahkanlah apa yang kau saksikan sendiri dengan matamu ..." katanya kemudian. "Mestikah hamba persembahkan, bahwa Raden Panji ... Raden Panji ... berubah . eheh ...berubah ingatan?" Patih Prasanta menghindarkan pandangan ponggawa itu. "Pesembahkanlah hal yang sesungguhnya ...." sahutnya kemudian. Sang ponggawa menekur. "Tidakkah baginda akan murka?" ia bertanya menggumam. "Bagaimanapun, kau mesti mempersembahkan hal yang sesungguhnya ..." sahut Patih Prasanta pula. "Persembahkan, bahwa aku tidak menghadap sendiri, karena kuatir kalaukalau Raden Panji berbuat nekat." Ponggawa itu segera menghaturkan sembah, lalu bersama seorang kawannya mengendapendap menuntun kudanya kembali ke arah Kahuripan. Patih Prasanta duduk dengan kepala tertunduk. Kantuk dan lelah dirinya tak dia rasa, pikirannya tertuju kepada keselamatan gusti mudanya saja. Sejenak ia memandang ke



arah Raden Panji tertidur berpelukan dengan mayat istrinya itu, lalu airmatanya pun mengalir tak tertahankan lagi. Ia merasa hiba dan sedih hati yang luar biasa. 'Alangkah hebat akibat kekerasan hati baginda! Menantu yang tak berdosa dibunuh dan putranda sendiri! ... Wahai, putra mahkota Janggala yang berhak atas takhta, berubah ingatan! Bagaimana pula baginda akan melaksanakan cita-citanya menikahkan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji? Duhai, akan remuk hati sang permaisuri apabila disaksikannya putranda berhal seperti ini!...,' pikirnya. Patih Prasanta memandang pula ke arah Raden Panji yang tenang tertidur di samping mayat istrinya itu. 'Alangkah besar cintanya! Alangkah besar! Dan alangkah besar pengurbanan yang mesti dia berikan! Sungguh hebat!' pikirnya pula. Sementara itu angin yang sejuk, bangkit semilir membawa kantuk. Seluruh hutan bagaikan mati. Kuda-kuda mengisi perutnya dengan lahap sambil beristirahat. Para ponggawa di kejauhan bagaikan terpukau oleh kantuk. Terdengar bisik-bisik dan keluhan-keluhan berduka, tetapi peristiwa yang mereka alami dan saksikan menyebabkan mereka terpaku lidahnya. Kelu. Sang patih bersandar pada sebatang pohon, dan tatkala angin yang semilir menyejuk tubuhnya, ia pun jatuh tertidur. Tatkala ia terjaga pula. Raden Panji sudah berdiri di sampingnya, sambil mengguyahguyahkan tubuhnya. "Mamanda! Mamanda! Mari kita berangkat!" Patih Prasanta membuka matanya. "Berangkat ke mana. Raden?" "Kita pergi ke pantai! Ke Muara Kamal!" Patih Prasanta terheran-heran. "Ke Muara Kamal?" "Ya, kita pergi ke Muara Kamal. Dewi Anggraeni ingin mandi di laut. Ia ingin melihat pemandangan laut. Ia ingin berenang-renang, berperahu, berlayar-layar, menghirup udara laut..." Patih Prasanta memegang kedua bahu junjungannya, dan sambil matanya memandang tajam kepada wajah Raden Panji, ia berkata, suaranya perlahan dan bagaikan tersekat di kerongkongan, "Raden, tetapi... Raden, sadarlah! Dewi Anggraeni sudah meninggal. Ia tidak punya kehendak lagi. Ia sudah tidak berkeinginan lagi. Ia mesti ... " Raden Panji menyentak melepaskan tubuhnya dari pegangan Patih Prasanta.



''Apa kata Mamanda? Dewi Anggraeni meninggal? Jangan Mamanda bicara yang bukanbukan! Tidakkah Mamanda lihat ia tersenyum, menertawakan perkataan Mamanda? Sudahlah Mamanda, mari kita berangkat! Tidakkah terdengar oleh Mamanda suara ombak menderu mengajak kita mandi di dalamnya?" Patih Prasanta memandang dengan mata penuh hiba. "Tetapi Raden, Raden...yang Raden peluk itu bukan istri Raden, melainkan ...," katanya kemudian. "Apa? Mamanda masih bicara juga? Mamanda kira siapa yang kupeluk ini? Istriku! Istriku Dewi Anggraeni yang tercinta!" teriak Raden Panji. "Lihat, ia merasa gerah, ia ingin mandi. Mari kita berangkat ke Muara Kamal! Bukankah ia berangkat dari rumah pun menuju ke Muara Kamal?" Patih Prasanta menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia memegang bahu Raden Panji pula. "Dengarkan Raden ..." katanya. "Yang Raden peluk itu memang istri Raden, Dewi Anggraeni yang Raden cintai dan mencintai Raden sepenuh hati.Tetapi sekarang, sekarang ... ia sudah meninggal ... Tidakkah Raden perhatikan wajahnya? Ia tidak lagi bernafas ..." "Mamanda! Sudah, jangan bicara juga! Kekasihku langgeng, kekal, ia 'kan kekal mencintaiku dan tak nanti meninggalkan daku sendirian di dunia ini. Tidak! Ia 'kan tetap setia disampingku!" Kemudian ia menoleh kepada kekasihnya. "Tidakkah benar begitu, kekasihku?" Patih Prasanta hanya menghela nafas. Ia mengalihkan pandangan dan junjungannya. "Mamanda!" terdengar Raden Panji bicara pula. "Pangkulah Bibi Wagini! Kasihan ia wanita, sudah lanjut pula usianya! Biar Dewi Anggraeni akan kupangku. Mamanda pangku Bibi Wagini! Ia seorang emban setia, pengasuh kekasihku sejak masih kecil, tak mau ditinggalkan ke mana pun gustinya pergi ... Sekarang, mari kita ajak dia ke laut. Biar senang keduanya menyaksikan tamasya laut yang indah...," kemudian ia menoleh kepada mayat istrinya, "Bukankah Adinda belum melihat laut yang berbusa putih? Laut yang sejauh-jauh mata memandang terhampar luas? Pucuk ombak gemerlap, perahu mayang, ikan-ikan, binatang-binatang, matahari, dan bulan! Ya, kita lihat matahari dan bulan bersama-sama di atas laut! Mari, mari sekarang juga Kanda antar ke sana, biar suka hatimu, biar puas Adinda menghirup udara laut yang menyegarkan! Mari kita berangkat,



mari!" Lalu ia pun bangkit, dipangkunya istrinya, kemudian berjalan menuju kudanya. Hati-hati sekali dinaikkannya tubuh istrinya itu di atas kuda, lalu dilepaskannya tali tambatannya, baru ia naik. Dipegangnya kendali dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memeluk tubuh istrinya erat-erat. "Mari Mamanda! Mari. cepat!" teriaknya sambil menoleh kepada Patih Prasanta. "Mengapa Mamanda selalu ayal-ayalan?" Patih Prasanta segera melakukan titah junjungannya. Dipangkunya mayat Emban Wagini lalu dinaikkannya ke atas kuda. Tetapi sebelum ia sendiri naik, diberinya isyarat supaya para ponggawa pun turut mengikutinya. "Biar bagaimana pun, mesti kita ikuti ..." katanya kepada para ponggawa itu. "Jangan biarkan ia berbuat apa pun sendirian ... Ke manapun kita mesti turut. Hatinya sangat berduka dan cintanya kepada istrinya sangat besar, maka tak mau ia percaya bahwa istrinya sudah meninggal. Maka baginya, Dewi Anggraeni itu masih berjiwa jua agaknya ..." Para ponggawa mendengarkan perkataan patih Prasanta dengan diam-diam dan menundukkan kepala. Mereka menundukkan kepala, lantaran terharu dan iba yang amat sangat. Segera mereka mengambil kudanya masing-masing dengan diam-diam. Sementara itu Raden Panji sudah beberapa belas tumbak meninggalkan mereka. Sayupsayup terdengar senandungnya yang parau. Makin lama suaranya makin keras dan makin keras jua. Walaupun parau, suaranya bagaikan bukan orang berduka, melainkan riang seriang-riangnya riang. Demikianlah iring-iringan yang aneh itu berjalan. Di depan Raden Panji memeluk mayat istrinya tak henti-hentinya menembang. Dan di belakangnya mengikuti Patih Prasanta yang juga memeluk mayat, tetapi ia tidak menembang, melainkan berwajah muram dan berduka. Di belakang mereka mengikuti para ponggawa yang juga tidak nampak gembira, bahkan bersedih hati. Keluar dari hutan, maka nampaklah tegalan yang luas, dengan ilalang yang bergelombang. Di kejauhan terdengar dentur ombak laut yang menerjang pantai. "Dengar, kau dengarkan kekasihku, suara gelombang itu menghimbau memanggilmu?



Mari, mari kita ke sana! Laut ingin dikunjungi oleh putri jelita seperti engkau, supaya sudi mencecahkan kakimu indah berbasah-basah di tepi pantai ..." bisik Raden Panji kepada istrinya. "Dan lihat! Alangkah indahnya! Di sini tidak seperti dalam hutan! Pemandangan luas dan bebas! Tak ada pohon-pohon suram yang menghalangi pandangan! Alangkah luas! Mari dongakkan kepalamu, pandanglah semuanya sepuasmu!" Suara ombak makin nyata terdengar, dan tak lama kemudian sampailah mereka di pesisir. Pucuk ombak yang menuju pantai gemerlap dalam sinar matahari yang terik. Keringat kuda bercucuran, bermanik-manik sepanjang surinya, bagaikan permata berkilauan. "Kekasihku! Lihatlah, laut luas terbentang di hadapanmu itu! Alangkah indahnya pemandangan samudra di bawah bulan purnama! Sungguh cemerlang! Dan bulan itu ...," ia mendongak ke arah langit, lalu menunjuk ke arah matahari yang bersinar terik itu, "alangkah bulatnya!" Demi sampai di tepi pantai, lalu ia turun dari kuda sambil memangku kekasihnya, yang dipeluknya. Kakinya yang indah itu dibiarkannya dibasahi sibakan-sibakan air yang didorong ombak dari tengah. "Sungguh menyegarkan air laut ini!" serunya gembira. "Tidakkah engkau senang air yang segar itu membasahi kakimu, sayang?" Tak lama kemudian Patih Prasanta pun sampai juga ke sana. "Mari, mari kemari Mamanda! Kita berjuntai di sini, membasah-basahi kaki dengan air laut yang menyegarkan ini!" Beberapa lamanya mereka berbuat demikian, hingga tiba-tiba Raden Panji melompat dari duduknya. "Mamanda. lihat! Lihat di Muara itu banyak perahu! Mari, kita pinjam beberapa buah, supaya boleh kita bersenang-senang berlayar ke tengah samudra. Dewi Anggraeni tentu senang hatinya apabila berperahu di lautan! Hahaha...bukankah engkau belum pernah berlayar-layar ke lautan? Ya, mari, mari, sekarang! Biar puas hatimu! Senang kita berlayar-layar dengan perahu sedangkan bulan memancar seindah ini!" "Tetapi Raden ..." sahut Patih Prasanta. "Apa pula 'tetapi', Mamanda?" cepat Raden Panji memotong. "Tak pakai tetapi lagi, mari kita berangkat sekarang! Mamanda panggil tukang perahu itu, boleh kita sewa!"



"Tetapi Raden, tidakkah lebih baik kita pulang?" "Apa pulang? Tidak, Mamanda, di istana baginda tidak ada lagi, yang sekarang ada seorang yang bermuka macan, berlepotan darah! Tidakkah Mamanda tahu, siapa yang telah mengalahkan Ayahanda? Itulah raksasa! Yang taringnya menakutkan! Tidak, tak mau kami kembali ke sana! Lebih baik kita berlayar akan mencari pulau yang indah dimana manusia-manusia kasih-mengasih sesamanya, seperti kami cinta-mencintai dengan Dewi Anggraeni! Mari! Mari,Mamanda! Kita cari pulau tempat tinggal manusia, jangan tempat raksasa kita datangi!" Patih Prasanta terhenyak. Ia tidak bisa berbuat lain daripada melakukan kehendak Raden Panji. 'Bagaimanapun sekarang ia sedang berduka, tak baik kehendaknya kuhalang-halangi,' katanya dalam hati. 'Baiklah, kuturutkan saja segala kehendaknya, mudah-mudahan takkan berlarut-larut.' Maka dititahkannya para ponggawa menemui juragan perahu akan meminjam perahuperahu mereka. Demi tahu siapakah gerangan yang hendak mempergunakan perahu mereka, para juragan perahu itu tidak keberatan, hanya saja seorang diantara mereka menyatakan kekuatirannya, "Tetapi hari rupanya akan menjadi buruk! Menurut penglihatan hamba di kaki langit nun di sana kelihatan warna hitam gumpalan awan, mungkin badai akan turun sore nanti." Sembah itu disampaikan kepada Raden Panji, tetapi putra mahkota yang tidak waras itu malah tertawa mengejek, "Apa, badai? Jangan main-main! Masa pada hari seindah ini, dengan purnama seterang ini, badai akan turun? Engkau rupanya tak mau meminjamkan perahu kepada kami, maka kau takut-takuti kami dengan badai! Tidak, kami tak mungkin kau bohongi! Kami akan berlayar bersenang-senang! Tidakkah engkau lihat, wajah kekasihku ini menjadi murung lantaran mendengar cegahanmu? Engkau telah menerbitkan kekuatiran dalam kalbunya!" Juragan perahu itu pada mulanya merasa tak senang karena dikata-katai oleh Raden Panji seperti itu. Ia memberi peringatan untuk keselamatan orang, siapa tahu malah dimakimaki. Tetapi tatkala ia sudah dibisiki oleh para ponggawa bahwa putra mahkota sedang sakit



ingatan, ia hanya menunduk. "Terserahlah!" katanya. "Hamba tidak sayang perahu hamba diterjang badai. Tetapi putra mahkota Janggala ...?" Akhirnya Raden Panji naik juga ke atas perahu. Sebuah perahu yang besar dipilihnya. Sambil memangku kekasihnya ia naik. Kemudian disuruhnya Patih Prasanta mengikutinya sambil memangku mayat inang pengasuh Dewi Anggraeni itu. Dan para ponggawa dititahkan naik ke perahu yang Iain. Kedua perahu itu diperintahkan diikat erat-erat. Demikianlah perahu-perahu itu bertolak dari pantai. Sedangkan para awak perlu melakukan tugasnya dengan hati kebat-kebit. Raden Panji tak henti-hentinya menembang dengan suaranya yang parau itu... Kedua perahu itu berlayar dengan angin buritan,makin lama makin jauh dari pantai. Raden Panji menurutkan kehendaknya sendiri. Ia menitahkan awak-awak perahu itu terus maju ke tengah samudra. Makin lama makin ke tengah dan daratan sudah sayup-sayup. Apa yang dikatakan oleh juragan perahu tentang badai itu, benar-benar terjadi. Tiba-tiba angin dan hujan datang dengan kerasnya. Matahari yang bersinar terik tiba-tiba menjadi gelap gulita, dan air serta halilintar menggantikannya. Di Muara Kamal orang-orang menyaksikan semuanya dengan gelisah dan putus asa. Perahu yang dinaiki oleh putra mahkota itu mereka ikuti dengan teliti sejauh-jauh mata menuju kaIa badai bertiup, lenyaplah segala pemandangan. Dan tidak lama kemudian yang dahsyat pun sampai pula ke Muara Kamal. Orang-orang saling pandang. Mereka merasakan kekuatiran hatinya dengan pandangan suram. "Sungguh celaka!" kata juragan perahu yang tadi mencegah Raden Panji. "Mengapa tak kularang mereka pergi? Mengapa aku manda saja?" "Baginda tentu akan murka kalau diketahuinya hal hilangnya putra mahkota diterjang topan!" kata seseorang membumbui. "Kita akan kena murka!" Orang-orang itu saling pandang dengan cemasnya. "Tetapi meski bagaimana pun, kita mesti memberitahukan hal ini kepada baginda!" tibatiba kata seorang yang sudah lanjut usianya. "Tak peduli bagaimana murka baginda, namun hal ini mesti diberitahukan juga!"



Kemudian orang-orang itu berunding siapa yang akan berangkat ke ibukota buat memberitahukan kabar duka itu kepada baginda. *** PERISTIWA DALAM



SANG



HUTAN



PERMAISURI



← Bab Sebelum Bab Sesudah → 89 orang telah membaca



7 komentar Baca semua komentar Tulis Komentar #



Tjareuh_Boelan23



3



AHMAD77 menulis:



Februari jam 10:51pm Lapor



Suhu, sblmya maaf, cerita panji inukertopati yg beredar luas turun temurun di jawa timur khusus kediri jauh berbeda yg suhu tuliskan, panji inukertopati hanya menikahi sekartaji, didalamnya ada cerita etit yaitu sang inukertopati menyamar sebagai orang dusun untk mengoda adiknya. Hikayat aslinya memang sprti itu. Tapi di cerita Candra Kirana ini, mungkin ini adalah hikayat Panji "versi" Sunda, setidak-tidaknya ini adalah hikayat Panji versi Pak Ajip Rosidi, sang pengarangnya.. Hehe # maaf kalau cerita ini agak berbeda dari kisah Raden Inu Kertopati dan Galuh Ajeng Candra Kirana yg sebenarnya. # 4



AHMAD771



Maret jam 4:11pm Lapor



Makash suhu atas penjelasannya, jadi faham ceritanya, smg suhu sehat dan smg jua lancar rejeki dan usaha.



# 5



BondanKamis



jam 8:33pm Lapor



Rasanya pernah membaca juga versi Ande-ande Lumut dengan Klenting Kuning .... yang ternyata adalah Raden Inu dan Dewi Sekartaji yang menyamar .... apakah ini akan seperti itu ....



#



Tjareuh_BoelanJumjam



6



jam 12:18pm Lapor



Kisah Ande Ande Lumut saya belum pernah baca. Tapi saya pernah mendengar lagunya dalam versi gending jawa. NB: Kalau ingin membaca kisah Candra Kirana yg aslinya, ada dalam buku karya Saleh Sastrawinata, yg bertajuk: HIKAYAT KUDA PANJI SEMIRANG. Dalam buku tsb memang jalan ceritanya sesuai dg kisah Raden Inu Kertapati yg selama ini dikenal masyarakat banyak. Atau baca dalam versi komiknya karya R.A KOSASIH, yg berjudul PANDJI SEMIRANG. Demikian sedikit pengetahuan saya. Semoga bermanfaat. Salam persahabatan selalu dari saya untuk Anda semuanya.....



#



Bondankemarin



7



jam 2:08pm Lapor



Kebetulan nemu dari mbah Gugle : http://resourcefulparenting.blogspot...akyat.html



Hall of Fame Anggota



52 anggota, 41 tamu online akr1s anseta atenk auda112 banyu batamboy beelzebub bubeng budiman25 cimeng coex dedi_arsa dexs Didi_Seven dolly fahrian Ferianto fetty gema Gpd gunawansetyohadi ibah Icalsaru inod jarijari Juven lew037 luminisious mawanxx maxpc nazri OMAN otib Perwito PPPoE prima Rahmah Rauzan Sulaiman syaeful t4nu Tjareuh_Boelan tourano tusmanwidojono udin_tjg wahyu123 windx xera yopi yoseph ys zainiyacub



Display full version | mobile version Fish Ball Noodle + Ice Peach Tea 2012.01.03 (109q 0,19s 0,43s) indozone.net HomeArtikelResensiBacaanKatalogForumFilesCari OMANLogoutPilihanPesanBookmarks



SANG PERMAISURI Home



→ Bacaan → Candra Kirana → SANG PERMAISURI



Lapor Tjareuh_Boelan



19 Februari jam 8:05amBerita tentang Raden Panji berubah ingatan yang dibawa oleh ponggawa pengiringnya, sangat mendukakan hati sang permaisuri. Saking terkejut, ia pingsan dan beberapa lamanya tak kabarkan diri. Baginda pun terhenyak. Pukulan itu sangat mengejutkan hatinya. Lain yang dicita, lain yang terjadi! Tatkala sang permaisuri siuman pula, maka ia menangis berkepanjangan, lantaran dukacita. Betapa kan tidak! Raden Panji Kuda Waneng Pati satu-satunya putranda! Biji mata tumpuan harap! Yang akan menggantikan ayahanda memangku takhta! Dan sekarang ... berubah ingatan! "Bagaimanapun, Gusti juga yang bersalah! Melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang!" katanya antara sedu sedan yang menyesakkan dada dan pipi yang basah dengan air mata. Dipersalahkan seperti itu, baginda tidak mau menerima. Ia memandang kepada permaisuri dengan mata yang guram. "Dasar si Panji itu seorang yang lemah hati. Yang dia pikirkan hanya kepentingan dirinya semata!" sabdanya. "Sekali-kali dalam pikirannya tak pernah terlintas kepentingan orang lain, kepentingan manusia kawula kerajaan!" "Kepentingan kawula kerajaan!" bantah sang permaisuri. "Untuk kepentingan kawula kerajaan, Gusti rela membunuh menantu dan membikin putra sendiri tidak ... tidak ... wa ... waras!" "Yang kutitahkan dilenyapkan adalah penghalang akan terlaksananya cita-cita yang agung! Dan kalau si Panji sekarang berubah ingatan, adalah lantaran kelemahan hatinya jua!" sahut baginda. "Dan sekarang, setelah semuanya berlaku seperti ini, bagaimana gerangan cita-cita Gusti yang agung itu?" ejek sang permaisuri. "Bisakah Gusti mencapai cita-cita tinggi itu, dengan jalan kekerasan dan paksaan? Bisakah Gusti mencapai kebahagiaan manusia dua kerajaan dengan mengurbankan kebahagiaan putranda sendiri?" "Kalau si Panji seorang yang berhati kuat, yang sadar akan arti hidupnya sebagai seorang



putra mahkota yang mesti rela mengurbankan diri dan kebahagiaan sendiri buat kepentingan kebahagiaan kawula negara, tak nanti terjadi hal seperti ini! Hal yang seperti ini terjadi, semata-mata lantaran si Panji seorang yang lemah hati, seorang yang terlalu dimanjakan! Dan Rayindalah yang telah terlalu memanjakannya, sehingga ia lupa akan darmanya sebagai seorang satria! Bahkan seorang satria utama!" Dituduh demikian, sang permaisuri menjadi murka. "Hamba pula dipersalahkan! Ya, hanya orang lain yang bersalah dan Gusti seorang maha manusia yang senantiasa memikirkan kebahagiaan manusia-manusia lain, tak mungkin melakukan kesalahan! Setiap kehendak Gusti mesti terlaksana! Dan kalau terjadi yang di luar kehendak Gusti, tentu ada orang lain yang bersalah! Padahal Gusti melakukan segalanya tanpa mempertimbangkan hal-hal yang bersangkutan dengan pelaksanaannya! Gusti menitahkan Raden Panji melakukan hal yang diluar kemampuannya. Gusti tidak pernah memikirkan sifat tabiat Raden Panji. Ya, Gusti tidak pernah mempunyai waktu yang cukup buat memperhatikan putranda sendiri, lantaran Gusti senantiasa sibuk memikirkan kepentingan manusia-manusia lain!" "Rayinda!" sang baginda berteriak. "Apa yang Rayinda katakan?" Permaisuri tidak menyahut, menangis sejadi-jadinya. Tak terlerai lagi. Setelah baginda merasa dadanya sendiri reda membadai, baru bersabda dengan suara yang disabar-sabarkan, "Rayinda mesti mengerti. PersoaIan Raden Panji, persoalan yang menyangkut martabat kerajaan! Pernikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji mesti dilaksanakan, karena keduanya sudah dipertunangkan dan pertunangan itu dilakukan atas nama dua kerajaan yang bercita-cita luhur!" Sang permaisuri mengangkat wajah. "Pernikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji! Tetapi mestikah itu dilakukan setelah melangkahi mayat Dewi Anggraeni lebih dahulu?" "Anggraeni adalah penghalang yang menyebabkan Raden Panji tidak mau menikah dengan Dewi Sekar Taji!" "Dan sekarang, setelah Dewi Anggraeni meninggal, bagaimana? Akankah Raden Panji sudi menikah dengan Dewi Sekar Taji?" Baginda melengak. la tidak bisa menyahut, hanya diam-diam kepalanya menekur. "Mengapa Gusti tidak mendengar perkataan hamba? Bukankah hamba wanti-wanti berpesan, supaya jangan dilakukan paksaan? Bukankah dengan dilakukan paksaan,



hasilnya sia-sia saja? Jangankan cita-cita Gusti tercapai, bahkan Raden Panji sendiri ..." tak lanjut perkataan permaisuri, lantaran dadanya menjadi sesak pula oleh biang tangis. Beberapa lamanya ia sesenggukan, terdengar pula ratapnya tak berkeputusan, "Duhai Raden ...mengapa nasibmu malang? Mengapa mesti engkau yang mengalami pengalaman dahsyat seperti itu? Anggraeni hilang, dan yang menitahkannya lenyap adalah ayahanda! Aduhai, Tumenggung Braja Nata, saudaramu sendiri yang melakukannya! Sungguh hebat ..." Kecuali suara sang permaisuri yang meratap berkepanjangan, hanya nafas baginda yang terdengar. Baginda diam merenung, sedangkan matanya memejam. Beberapa lamanya berdiamdiam seperti itu,akhirnya baginda menghela nafas panjang, kemudian memegang kedua bahu sang permaisuri. "Sudahlah Rayinda, sudahlah," sabdanya. "Jangan Rayinda perturutkan juga kedukaan hati Rayinda." Permaisuri meratap-ratap juga. Baginda keluar akan menitahkan beberapa orang ponggawa untuk membawa Raden Panji pulang ke istana. Belum lama orang berangkat, datang warta dari Muara Kamal: putra mahkota Janggala tenggelam di lautan diterjang badai! Baginda terperenyak. Tubuhnya seolah lesu dan tulang-tulangnya tak berdaya. Berita yang datang saling menyusul itu sangat meremukkan kalbu baginda. Tetapi masih sempat baginda memberi ingat para hamba supaya jangan sampai berita itu terdengar oleh sang permaisuri. Sekarang, lenyaplah harapan baginda! Raden Panji hilang dalam lautan, tak mungkin baginda memenuhi janjinya kepada raja Kadiri. Tak mungkin cita-cita yang agung itu bisa terlaksana. Andai bila Raden Panji masih hidup, meskipun tidak waras, masih ada harapan suatu waktu ia akan sembuh dan persatuan Janggala dengan Kadiri terlaksana. Tetapi sekarang ...! Raden Panji entah di mana di dasar samudra, mungkin sudah menjadi santapan ikan hiu pula! Tetapi agaknya itulah akhir yang sebaik-baiknya bagi Raden Panji... pikir baginda kemudian.



Daripada hidup terus dengan ingatan yang tidak waras... Kemudian baginda termenung pula.Baginda merenung, menyelam ke dasar lubuk jiwanya, memikirkan peristiwa demi peristiwa yang belakangan ini dialaminya. Sebagai seorang raja, baginda seorang yang berambekan tinggi dan bercita-cita luhur. Tetapi kejadian-kejadian yang berlalu di luar kekuasaannya sendiri, menggagalkan cita-citanya yang luhur itu, sehingga hatinya menjadi tawar. "Malu aku kepada moyangku sang Airlangga!" pikirnya. "Cita-citanya hendak kulaksanakan. tetapi gagal!" lalu setelah menghela nafas, "Padahal pembagian dua kerajaan itu dahulu, meskipun batasnya dibikin oleh Empu Bharada, namun atas titah sang Airlangga juga. Tidakkah sekarang aku kena kutuknya?" baginda tertegun. "Dahulu sang Airlangga malah dengan sengaja membagi dua kerajaannya ... agaknya lantaran baginda melihat kenyataan-kenyataan yang jauh dari kemungkinan berlangsungnya kemegahan kerajaan secara abadi... Baginda membagi dua kerajaan, karena dua saudara yang menjadi nenek kami memperlihatkan gejala-gejala yang memungkinkan timbulnya perang..." Teringat akan leluhurnya, terkenang pula baginda akan Sang Kili Suci yang menolak takhta dan memilih kehidupan bertapa sebagai pilihan hidup. Terkenang pula ia akan pertemuannya dengan wanita pertapa itu beberapa waktu berselang. "Yang paling benar adalah Nenenda sang Kili Suci. Ia memilih kehidupan yang aman, damai, tenang ... Takhta kerajaan yang dimimpi-mimpikan orang lain, yang diperebutkan orang lain dengan melupakan keselamatan jiwanya sendiri, malah dia tolak. Sungguh mulia!" baginda teringat akan wajah yang segar dan damai, yang selalu memandang sesuatu dengan hati terbuka. "Mengapa aku bertahan dalam hidup kerajaan yang megah namun tak menentramkan ini?" pikir baginda lebih lanjut. "Mengapa tidak kuikuti saja jejak Nenenda? Mengapa aku tidak pergi saja ke gunung akan bertapa, meninggalkan kehidupan keraton yang sangat berat ini?" "Raden Panji sendiri tak mau menerima tahta. Dan Raden Panji kusuruh ke Pucangan akan menemui sang Kili Suci. Apakah yang diperkatakan mereka? Jemukah Raden Panji dengan sang Kili Suci? Tahukah sudah petapa suci itu akan apa yang telah terjadi? Duhai, ia seorang yang waspada, tentu



diketahuinya segala sesuatu yang terjadi dan akan terjadi! Duhai, apakah akan katanya kelak, kalau diketahuinya bahwa Dewi Anggraeni telah meninggal dan Raden Panji dalam gilanya tenggelam ke dasar samudra? Padahal beliau sangat sayang kepada Raden Panji! Kepada Dewi Anggraeni pun beliau menunjukkan kasihnya! Coba kalau tidak ada persoalan pertunangan antara dua putra mahkota ..." Berpikir sampai di situ wajah baginda menjadi guram pula. Baginda terkenang kepada menantunya, Dewi Anggraeni. Dan Tumenggung Braja Nata telah menuturkan secara terus terang apa yang dilakukannya. "Tak kukira engkau seagung itu, Anggraeni!" kata baginda dalam hati setelah menghela nafas. "Engkau rela mengurbankan hidupmu sendiri, demi kepentingan kerajaan ... Engkau memilih mati, karena tahu bahwa hidupmu menjadi penghalang bagi tercapainya cita-cita luhur ... Apa nak dikata, semuanya telah terjadi, dan cita-cita tinggal cita-cita belaka..." Baginda sangat bersukur dan kagum akan ketulusan cinta Dewi Anggraeni dan terharu tatkala mendengar sembah Tumenggung Braja Nata. Baginda menyayangkan menantu yang iklas itu dan kini mempersalahkan dirinya yang telah berkeras kepala. "Betul," kata baginda kemudian kepada dirinya sendiri. "Yang paling benar adalah hidup seperti Nenenda di Pucangan. Biar kutinggalkan segala kemegahan dan kegemilangan istana ini! Biar semuanya kutinggalkan, karena tak satu pun memberiku ketentraman!" Setelah keadaan memperkenankan, baginda kemudian mengutarakan maksudnya itu kepada sang permaisuri. Dan sang permaisuri yang juga telah tawar hati dan berduka, menyetujui saran baginda. Maka diputuskan, bahwa baginda akan mengundurkan diri dari takhta dan bersama-sama dengan sang permaisuri akan mengasingkan diri ke gunung dan hutan, buat bertapa. Telah ditetapkan, bahwa yang akan menggantikan baginda memegang tampuk kerajaan Janggala adalah Tumenggung Braja Nata. Meski banyak lagi putra baginda yang lain, namun dialah yang paling tepat menggantikan baginda. Setelah Raden Panji tak bisa diharapkan lagi, maka Tumenggung Braja Nata menerima penetapan baginda. Namun terkenang akan peristiwa-peristiwa yang telah dialaminya, ia sangat berduka dan jauh dalam hatinya masih mengharap-harap bahwa Raden Panji belum lagi meninggal. 'Belum pasti perahu itu tenggelam dan kalaupun perahunya karam, belum pasti Raden



Panji meninggal di dasar samudra. Siapa tahu dia terdampar ke dataran?' pikirnya. Dia merasa tak Puas dan berdosa kepada Raden Panji, setelah peristiwa dalam hutan itu. Ia ingin supaya suatu kali dalam hidupnya ia bertemu pula dengan Raden Panji akan menghaturkan ampun. la ingin menjelaskan duduknya perkara kepada Raden Panji, ia ingin Raden Panji mengetahui, bahwa ia tidak sampai membunuh Dewi Anggraeni. Beberapa puluh orang ponggawa dititahkan untuk mencari-cari Raden Panji. Bahkan suatu angkatan perahu dikerahkan untuk mencari sisa-sisa perahu yang dilanda badai itu. Tetapi sia-sia saja. Ia menerima pengangkatan baginda untuk memangku takhta, namun kepada dirinya sendiri ia berjanji, kalau suatu masa kelak Raden Panji ternyata masih hidup, ia akan dengan rela menyerahkan takhta kepada putra mahkota yang sesungguhnya berhak. Demikianlah baginda Prabu Jayantaka meninggalkan keraton Kahuripan menuju tempat petapan, tetapi tidak dalam keadaan yang segar, melainkan tergantung kabut kemurungan yang menutupi kegembiraan kalbu seluruh kerajaan. Tumenggung Braja Nata menangis tatkala timbang terima, tetapi bukan lantaran kegembiraan, melainkan lantaran kedukaannya juga terkenang akan Raden Panji dan lebih-lebih kepada istrinya, Dewi Anggraeni. Sang Prabu Jayantaka pun tak kuat menahan air mata, apalagi sang permaisuri yang tak henti-hentinya tersedu-sedu. Seluruh balairung sangat lengang, kecuali suara sedu sedan.Bahkan di antara para pejabat negara yang hadir banyak yang tak kuat menahan air mata, mengalir membasahi pipi.... *** PATIH PRASANTA



← Bab



DALAM SINAR PURNAMA



Bab Sesudah → Sebelum 105 orang telah membaca



7 komentar Baca semua komentar Tulis Komentar



#



Tjareuh_Boelan23



3



AHMAD77 menulis:



Februari jam 10:51pm Lapor



Suhu, sblmya maaf, cerita panji inukertopati yg beredar luas turun temurun di jawa timur khusus kediri jauh berbeda yg suhu tuliskan, panji inukertopati hanya menikahi sekartaji, didalamnya ada cerita etit yaitu sang inukertopati menyamar sebagai orang dusun untk mengoda adiknya. Hikayat aslinya memang sprti itu. Tapi di cerita Candra Kirana ini, mungkin ini adalah hikayat Panji "versi" Sunda, setidak-tidaknya ini adalah hikayat Panji versi Pak Ajip Rosidi, sang pengarangnya.. Hehe # maaf kalau cerita ini agak berbeda dari kisah Raden Inu Kertopati dan Galuh Ajeng Candra Kirana yg sebenarnya. # 4



AHMAD771



Maret jam 4:11pm Lapor



Makash suhu atas penjelasannya, jadi faham ceritanya, smg suhu sehat dan smg jua lancar rejeki dan usaha.



# 5



BondanKamis



jam 8:33pm Lapor



Rasanya pernah membaca juga versi Ande-ande Lumut dengan Klenting Kuning .... yang ternyata adalah Raden Inu dan Dewi Sekartaji yang menyamar .... apakah ini akan seperti itu ....



# 6



Tjareuh_BoelanJumjam



jam 12:18pm Lapor



Kisah Ande Ande Lumut saya belum pernah baca. Tapi saya pernah mendengar lagunya dalam versi gending jawa. NB: Kalau ingin membaca kisah Candra Kirana yg aslinya, ada dalam buku karya Saleh Sastrawinata, yg bertajuk: HIKAYAT KUDA PANJI SEMIRANG. Dalam buku tsb memang jalan ceritanya sesuai dg kisah Raden Inu Kertapati yg selama ini dikenal masyarakat banyak. Atau baca dalam versi komiknya karya R.A KOSASIH, yg berjudul



PANDJI SEMIRANG. Demikian sedikit pengetahuan saya. Semoga bermanfaat. Salam persahabatan selalu dari saya untuk Anda semuanya..... #



Bondankemarin



7



jam 2:08pm Lapor



Kebetulan nemu dari mbah Gugle : http://resourcefulparenting.blogspot...akyat.html



Hall of Fame Anggota



52 anggota, 41 tamu online akr1s anseta atenk auda112 banyu batamboy beelzebub bubeng budiman25 cimeng coex dedi_arsa dexs Didi_Seven dolly fahrian Ferianto fetty gema Gpd gunawansetyohadi ibah Icalsaru inod jarijari Juven lew037 luminisious mawanxx maxpc nazri OMAN otib Perwito PPPoE prima Rahmah Rauzan Sulaiman syaeful t4nu Tjareuh_Boelan tourano tusmanwidojono udin_tjg wahyu123 windx xera yopi yoseph ys zainiyacub



Display full version | mobile version Fish Ball Noodle + Ice Peach Tea 2012.01.03 (110q 0,20s 0,39s) indozone.net HomeArtikelResensiBacaanKatalogForumFilesCari OMANLogoutPilihanPesanBookmarks



DALAM SINAR PURNAMA Home



→ Bacaan → Candra Kirana → DALAM SINAR PURNAMA



Lapor Tjareuh_Boelan



19 Februari jam 8:05amDalam terjangan badai yang dahsyat Raden Panji erat-erat memeluk tubuh istrinya yang dingin. Para awak perahu tidak mampu berbuat apa-apa. Layar-layar segera mereka turunkan, namun ombak yang setinggi-tinggi gunung mengempas-empaskan kedua perahu itu bagaikan sabut saja. Para ponggawa pucat, ada yang muntah-muntah dan ada pula yang tak henti-hentinya menyebut nama Batara, memohon pertolongannya. Patih Prasanta tak henti-hentinya memberi petunjuk. Sedangkan Raden Panji tak henti-hentinya membujuk-bujuk mayat istrinya. "Lihat, raksasa hitam datang! Tapi jangan takut, jangan cemas, biar dilandanya kita,



namun tak nanti kita kalah! Biar mereka berbuat sesuka hati, tetapi engkau cintaku, jangan kuatir! Engkau akan selamat, engkau akan Kanda selamatkan. Takkan Kanda biarkan tangannya yang menjijikkan serta mengerikan itu menjamah tubuhmu. Erateratlah peluk Kanda, supaya jangan lepas engkau dari tangan Kanda!" Tak dirasanya air hujan yang turun lebat membasahi tubuhnya. Sedangkan badannya menggigil lantaran kedinginan. Perahu tak terkuasai lagi. Jurumudi tak mampu berbuat suatu apa dan menyerahkan nasibnya kepada para Dewa. Untung kedua buah perahu itu erat terikat, sehingga keduanya tidak terpisah-pisah. Dalam gelap gulita itu mereka tidak tahu arah ke mana perahu dibawa ombak. Bahkan mereka tidak tahu bahwahari telah menjadi malam dan pagi lagi. Waktu badai reda, hari sangat cerah, matahari sangat cerlang, mereka menengok ke kiri ke kanan, maka nampaklah pantai diarah selatan. Segera mereka mengayuh perahunya ke sana. Raden Panji turun dari perahu, sedangkan mayat istrinya tak lepas dari pelukan. Ia tak henti-henti menembang atau berbisik-bisik kepada istrinya itu. "Mari kita turun, lihat alangkah indah pemandangan di sini! Hutan subur dan pinggir lautan pula! Tidakkah senang hatimu, bertamasya selagi hari seindah ini? Menikmati pemandangan sebagus ini?" Patih Prasanta juga turun sambil memangku mayat inang pengasuh Dewi Anggraeni yang setia itu. Ia bersukur bahwa mereka bisa selamat mendarat, meski belum lagi tahu di pantai mana mereka sesungguhnya sekarang. Tetapi ia sudah habis pikir mengenai hari depan mereka. Tak mungkin mereka terus terusan pergi ke mana-mana sambil memangku-mangku mayat itu, dan memangku-mangku mayat pengasuh. Tidak pula baik kepada Raden Panji, ia jadi senantiasa tak bisa melepaskan pikiran dari kekasihnya. la jadi terus merasa berdekatan dengan kekasihnya dan berbuat seolah-olah istrinya itu masih bernyawa. Hanya iba kasihan jua yang tergugah pada barang siapa menyaksikannya. Tidak, ia memikirkan akal supaya Raden Panji waras kembali, ia jangan sampai berlarut-larut, ia mesti dipisahkan dari mayat istrinya, supaya pikirannya terbuka kepada hal-hal lain. Karena menurut pengamatannya, sesungguhnya Raden Panji tidak parah apabila saja ia sempat dijauhkan dari mayat istrinya itu. "Mamanda!" teriak Raden Panji. "Alangkah indahnya alam di sini! Mengapa baru sekali



ini Mamanda membawa kami ke sini? Mengapa tidak dahulu-dahulu Mamanda mempersembahkan bahwa ada pemandangan seindah ini kepada kami?" "Ampun Raden," sahut Patih Prasanta, "Sengaja hamba tidak memberitahukan hal ini kepada Gusti dahulu-dahulu, karena..." Raden Panji memandangnya dengan mata heran. "Karena apa, Mamanda?" "Karena tanah ini adalah tanah yang paling tepat buat peristirahatan istri Raden, Dewi Anggraeni." "Untuk peristirahatannya, Mamanda? Mengapa hanya untuknya saja? Mengapa tidak tepat juga buat kami?" "Masing-masing orang mempunyai tempat tertentu yang tepat buat peristirahatannya masing-masing. Yang tepat buat istri kita belum tentu tepat pula buat kita ... Lagi pula Raden masih hidup, masih harus melakukan perbuatan-perbuatan mulia pula. Sedangkan istri Raden sudah meninggal ..." "Apa? Apa Mamanda bilang? Dewi Anggraeni sudah meninggal? Tidak! Mamanda jangan bicara yang bukan-bukan! Dewi Anggraeni sedang tidur, nyenyak sekali, tidak Mamanda lihatkah wajahnya yang tentram tenang itu?" "Memang, memang. Raden benar ..." Patih Prasanta memperbaiki sikapnya. "Dewi Anggraeni tidak meninggal, melainkan tertidur dengan amat nyenyaknya ... Tetapi tidakkah Raden maklum, bahwa orang yang tidur itu mesti beristirahat dengan tenang? Ia takkan menemukan ketenangan jika terus-terusan Raden pangku-pangku dibawa ke mana pun Raden pergi. Sang Dewi tentu ingin beristirahat tenang ..." Raden Panji Kuda Waneng Pati memandang kepada Patih Prasanta. Perkataan patih yang sudah lanjut usianya itu seperti termakan olehnya. "Di manakah ia akan beristirahat, Mamanda?" "Di sini! Tempat ini sangat tepat untuk peristirahatan sang Dewi!" "Tetapi di mana ia akan kita baringkan? Sedangkan di sini hanya ada hutan belukar belaka!" "Supaya sang Dewi tenang dan tidak diganggu binatang-binatang buas, baik kita gali sebuah tempat berbaring di dalam tanah ... " "Di dalam tanah?!" "Ya, di dalam tanah. Supaya sang Dewi jangan diganggu binatang-binatang buas. Di sini



dekat hutan, kalau sang Dewi tidak di kub ... eh, dibaringkan di dalam tanah, mungkin datang macan atau srigala mengganggunya..." "Tetapi ia akan merasa sesak!" "Tidak Gusti, orang yang tidur abadi takkan merasa sesak." "Namun bagaimana ia akan melihat bintang atau bulan? Ia sangat senang bercengkerama apabila bulan purnama..." "Apabila sang Dewi ingin bercengkerama, tentu akan bangkit dari tidurnya. Tak ada yang mungkin mampu menghalanginya ... Raden tak usah kuatir, Sang Dewi akan mampu bangun sendiri ..." Raden Panji termenung. "Benarkah engkau lelah, Anggraeni? Benarkah engkau ingin beristirahat pula?" kemudian ia bertanya kepada mayat istrinya. "Engkau akan dibaringkan di sini, di dalam tanah, supaya tak ada binatang buas mengganggumu. Maukah engkau?" "Tentu saja sang Dewi suka ...," Patih Prasanta menalangi menyahut. "Tanah di sini sangat subur dan pemandangan sangat indah ..." "Dan kalau istriku telah dibaringkan di dalam tanah, nanti kita dirikan istana yang indah di sini, buat tempat kita menjaganya..." "Tidak. Raden, kalau sang Dewi sudah dibaringkan baik-baik dalam tanah. Raden jangan di sini terus, melainkan Raden mesti melakukan hal-hal yang sangat menyukakan hati sang Dewi Untuk menjaganya di sini, cukuplah kita baringkan pula Bibi Wagini. Bukankah ia seorang inang pengasuh yang setia? Tentu ia akan menjaga sang Dewi dengan setia!" "Melakukan hal yang menyukakan sang Dewi? Tetapi Dewi Anggraeni suka kalau kami berada di sampingnya, Mamanda!" "Benar , sang Dewi suka Raden berada disampingnya. Tetapi itu kalau ia tidak sedang tidur abadi ..." sahut Patih Prasanta sambil tersenyum. "Kalau ia sedang tidur, ia ingin tenang, tentu ia menginginkan Raden pergi jauh-jauh melakukan perbuatan-perbuatan yang menjadi darma Raden... " "Jadi apa yang mesti kami lakukan?" "Raden mesti berbuat kebaikan. Raden mesti menolong orang-orang yang sengsara! Banyak orang yang sengsara karena perbuatan raja-raja durhaka! Raden mesti menolong



mereka, mesti menjadi pelindung mereka. Raden mesti membasmi dan menaklukkan raja-raja durhaka itu dan Raden mesti memberikan kebahagiaan kepada para kawula kerajaan ...." "Yang paling dahulu adalah raja Janggala..." gumam Raden Panji. Patih Prasanta menggelengkan kepala. "Tidak! Itu raja kita! Dan agaknya kita pun sekarang mendarat bukan dalam wilayah Janggala. Mamanda mengenal seluruh daerah kerajaan kita, tetapi daerah ini baru sekali ini Mamanda lihat. Kita agaknya terdampar jauh dari kerajaan kita." Sesungguhnyalah, Patih Prasanta seorang yang luas pengetahuan dan pengalamannya. Tak sia-sia menjadi pejabat kerajaan Janggala puluhan tahun lamanya. Ia maklum, bahwa mereka terdampar di daerah asing dan kalau melihat arah matahari, rupanya di sebelah timur Janggala, jauh di sebelah timur. Adalah menurut rencananya, ia akan mengajak gustinya itu berbuat kepahlawanan, dan membawanya sedikit demi sedikit kearah barat selatan, menuju kerajaan Kadiri. Kemudian Patih Prasanta menyuruh para ponggawa menggali liang lahat buat membaringkan mayat Dewi Anggraeni bersama inang pengasuhnya yang berbakti itu. 'Biar dikubur saja dahulu, kelak kalau Raden Panji sudah sembuh, digali lagi untuk dibakar ...' pikir Patih Prasanta. 'Kalau sekarang dibakar, tentu Raden Panji takkan memperkenankannya.' Sementara mengubur kedua orang itu, hari senja dan malam pun tiba. Di langit sebelah timur, muncul bulan yang bulat penuh. Sinarnya sangat indah dan menenangkan. Raden Panji bersimpuh di hadapan kuburan istrinya, sedangkan mulutnya mengeluarkan cumbuan-cumbuan mesra. "Tidurlah engkau di sini, kekasihku, tidurlah tenang! Jangan engkau terganggu oleh apa pun! Simakkan olehmu dalam tidur, suara ombak yang menerjang pantai dan suara angin yang melanda hutan ... Bukankah itu suara cinta kita yang besar? Yang tidak kelihatan namun kekal sifatnya? Bukankah itu suaraku membisikkan rindu hatiku kepadamu? Ombak itu takkan jemu-jemunya mencium pantai, seperti juga cintaku kekal kepadamu ...." Patih Prasanta dan ponggawa berdiri tak jauh dari tempat Raden Panji. Mereka mempersaksikan perbuatan gusti mereka dengan hati yang hancur. Tetapi senang juga Patih Prasanta, karena Raden Panji sudi memperkenankan Dewi Anggraeni dikubur. Dan



senang juga ia, muslihatnya termakan semua oleh gustinya yang kasmaran itu. Kini ia diam-diam menyaksikan perpisahan terakhir yang mengenaskan antara sepasang suami istri yang saling mencintai dengan sungguh-sungguh itu. "Wahai, Anggraeni! Engkau terjaga? Engkau puas tidur? Engkau bangkit?" tiba-tiba terdengar Raden Panji berkata-kata dengan suara yang berubah,sedangkan ia bangkit dari duduknya. "Ya, mari kita bersama-sama pulang ke istana kita!" tangannya bergerak-gerak ke depan, seolah-olah hendak memeluk seseorang, sedangkan oleh Patih Prasanta dan para ponggawa tak nampak siapa pun di depan gustinya itu. Mereka mengira penyakit gustinya kumat pula, dan beberapa orang di antara mereka tak sanggup menyaksikannya, menundukkan kepala atau melengos, memandang ke arah lain. "Mengapa engkau hanya tersenyum saja. Anggraeni? Mengapa sepatah pun engkau tak mau menyahut? Alangkah indah senyummu! Seindah bulan yang terbit di ufuk itu! Seindah bunga yang mekar! Anggraeni, mari, dekatlah ke mari, biar kupeluk tubuhmu dan kita berbahagia pula! Mari, mari!" tangan Raden Panji terulur bagaikan hendak memeluk seseorang. Namun oleh Patih Prasanta dan kawan-kawannya hanya udara jua yang nampak hendak dipeluknya. "Anggraeni, mengapa engkau hanya memandang saja? Dan pandanganmu, alangkah menyejukkan, bagaikan sinar purnama ini! Anggraeni, mengapa engkau mundur, mengapa engkau menjauh? Anggraeni, tidakkah engkau sudi Kanda peluk? Tidakkah sudi engkau ... Anggraeni, ke mana engkau hendak pergi?" Raden Panji berdiri, kakinya melangkah. "Anggraeni, tunggu! Tunggu! Jangan engkau menjauh-jauh seperti itu? Ataukah engkau minta kanda kejar? Ya, berkejar-kejaran seperti dahulu di dalam taman?" Raden Panji bergerak, bagaikan mengejar seseorang. "Anggraeni mengapa engkau lari juga? Mengapa engkau menjauh juga?" Dan makin cepat pula ia bergerak. "Anggraeni, mengapa engkau diam saja, tidak tertawa? Mana gelakmu yang biasanya berderai? Mana suaramu yang merdu menentramkan hati? Mengapa engkau hanya tersenyum saja?"



Raden Panji kini berlari, makin jauh juga meninggalkan kawan-kawannya. Patih Prasanta kuatir, kalau-kalau gustinya itu tergelincir ke dalam jurang atau laut, maka ia bangkit mengejarnya. "Raden! Raden!" teriaknya. Tetapi Raden Panji berlari makin cepat sedangkan matanya melotot tak berkedip dan mulutnya memanggil manggil. "Anggraeni! Anggraeni, tunggu! Mengapa engkau tega menunggalkan Kanda? Mengapa engkau tak sudi menanti meski sejenak? Anggraeni!" "Raden! Raden!" teriak patih Prasanta yang mengejarnya. Kedua orang itu berkejar-kejaran dalam sinar bulan purnama, sedangkan ombak tak henti-hentinya berdeburan menerjang pantai. Raden Panji berlari bagaikan orang yang tak sadar, maka tak lama kemudian Patih Prasanta sudah berhasil mengejarnya. Dengan kedua belah tangannya yang sudah mulai keriputan namun masih tangkas itu, ia memeluk tubuh gustinya. "Raden! Raden! Sadarlah!" Raden Panji meronta-ronta, sedangkan tangannya menggapai-gapai dan mulutnya tak henti-henti berteriak. "Anggraeni! Engkau terbang? Wahai, engkau sungguh seorang bidadari! Sungguh, tetapi mengapa engkau meninggalkan Kanda? Wahai, mengapa engkau terbang setinggi itu? Mengapa makin tinggi saja?" Raden Panji tertegun. "Mamanda, Mamanda Patih Prasanta, tidakkah Mamanda lihat Dewi Anggraeni terbang? Lihat ia bagaikan bersayap! Lihat, ditinggalkannya kami di sini! Anggraeni, sampai hati engkau meninggalkan Kanda? Lihat, ia makin tinggi juga! Dia terbang ke arah bulan! Anggraeni!Anggraeni! Mamanda Patih, ia makin kecil dan makin kecil dan makin dekat juga ke bulan! Tidakkah Mamanda lihat?" Patih Prasanta mengarahkan pandangannya ke arah bulan sedang purnama yang bulat itu. Ia tidak melihat Dewi Anggraeni, tetapi tiba-tiba cahaya bulan menggelap, bagaikan ada yang menghalanginya. Ia membuka matanya lebar-lebar, samar-samar seorang tokoh wanita terpeta dalam kegelapan itu, kemudian sinar bulan pun sedikit demi sedikit kembali pula menerangi dunia. Ia terpukau menyaksikan keajaiban itu. 'Kiranya benar-benar Dewi Anggraeni itu terbang ke arah bulan ...' pikirnya. 'Hanya, ia



nampak cuma kepada suaminya saja ...' "Anggraeni ..., Anggraeni ...," desis Raden Panji. "Dinda tega benar meninggalkan Kanda disini dalam kelengangan!" Patih Prasanta membelai-belainya. "Tidak, Raden. Raden tidak ditinggalkan dalam kelengangan. Dan pula sang Dewi takkan pergi untuk selama-lamanya ...." "Apa maksud Mamanda? Anggraeni akan kembali pula?" "Ya, sang Dewi akan kembali pula kelak." "Betulkah itu?" kata Raden Panji memandang Patih Prasanta dengan lirih. "Benar, Raden. Sang Dewi pasti akan kembali. Raden harus menunaikan kebajikan kepada sesama manusia, maka sang Dewi akan senang hatinya. Sang Dewi dengan tenang dan damai sekarang terbang ke arah bulan, menjadi candra kirana - cahaya bulan tanda dia dikasihi para dewa ... Dan para dewa tentu akan mengembalikannya pula kelak kepada Raden." Raden Panji menyimakkan sungguh-sungguh. "Tetapi kini Anggraeni pergi ... Apa kata Mamanda? Menjadi candra kirana - cahaya bulan? Ya, sesungguhnya ia cahaya bulan, kalau aku matahari! Ia menjadi cahaya bulan, yang menerangi kegelapan malam gulita! la menerangi dunia dengan cahayanya yang lembut, tenang, menentramkan ..." "Karena itu Raden mesti tenang, mesti sabar...." "Alangkah indahnya cahaya bulan candra kirana! Mamanda, sejak sekarang, istriku telah menjadi Candra Kirana ... Dia yang memberi kedamaian dan ketenangan, keindahan dan perasaan-perasaan mulia ..." kata Raden Panji, "la menjadi Candra Kirana ..." Patih Prasanta mengangguk-anggukkan kepala. "Ya, menjadi Candra Kirana, cahaya bulan purnama yang sejuk menentramkan, memberi kebahagiaan ...." sahutnya. "Ya, ia membangkitkan perasaan-perasaan mulia untuk kebaikan dan kebajikan ... Karena itu Raden juga mesti melakukan kebaikan-kebaikan, menolong rakyat sengsara, melakukan perbuatan-perbuatan kepahlawanan. Karena hidup tanpa melakukan perbuatan-perbuatan baik adalah bagaikan malam yang gelap gulita, tak bercahaya, jauh dari cahaya bulan, jauh dari Candra Kirana ..." Raden Panji menganggukkan kepala. "Nasihat Mamanda akan kami turutkan, karena kami tak mau ditinggalkan oleh Candra Kirana," sahut Raden Panji. "Kami ingin hidup disinari kegemilangan cahaya bulan,



dalam kegemilangan Candra Kirana ... Tak mau kehilangan dia! Besok akan mulai kulakukan perbuatan-perbuatan baik dan kepahlawanan, darma seorang satria yang mesti melupakan kepentingan dirinya sendiri, buat kebahagiaan umat manusia." Raden Panji bangkit, sekali lagi memandang kepada bulan yang sudah meninggi seolaholah hendak melihat apakah kekasihnya ada di sana. Kemudian ia membalikkan tubuhnya sambil berkata, "Tenanglah kau di sana. Candra Kirana! Kalau kelak hidupku telah berarti, engkau pun tentu akan datang kepada Kanda, bukan?" Patih Prasanta tersenyum melihat kelakuan gustinya itu. la merasa bangga dan lega, karena menyaksikan sinar harapan memancar bagi hari depan gustinya. Tidak, gustinya takkan berlarut-larut tenggelam dalam kesedihan. Ia akan melakukan perbuatanperbuatan mulia. Dan ia sendiri, akan membimbing dan akan selalu mendampinginya. *** Beberapa bulan kemudian, muncullah seorang satria yang mengaku dirinya berasal dari tanah Sebrang dan bernama Kelana Jayeng Sari, melakukan berbagai perbuatan-perbuatan mulia dan bersifat kepahlawanan. Mula-mula ia bersama para pengikutnya mengalahkan berbagai kraman dan perampok yang mengganggu keamanan dan ketentraman rakyat yang bersembunyi dalam hutan-hutan. Kraman-kraman itu dikalahkan dan hasilnya harta rampasan dibagikan kepada rakyat sengsara, sehingga makin lama pengikutnya makin banyak dan makin banyak juga. Para kraman yang sudah dikalahkannya, tidak dibunuhnya, melainkan disuruhnya memilih antara menjadi pengikutnya atau kembali hidup sebagai rakyat biasa, bertani, menjadi nelayan. Tokoh Kelana Jayeng Sari menjadi sebut-sebutan dan buah tutur setiap orang. Rakyat yang sengsara menyebutnya dengan suatu harapan akan munculnya ketentraman dan kedamaian yang abadi. Dan para pemeras serta penjahat mendengar namanya saja gemetar lututnya. Perbuatan mulia Kelana Jayeng Sari menjadi sebut-sebutan semua orang dan menyebabkan orang-orang suka kepadanya. Menurut cerita yang menjalar dari mulut ke mulut, Kelana Jayeng Sari itu seorang satria yang tampan, muda, manis budi dan sangat halus perasaannya. Tetapi ia pun seorang yang sakti dan digjaya, ahli memainkan berbagai macam senjata dan senantiasa mampu mengalahkan musuh-musuhnya secara mengagumkan. la muncul secara ajaib. Kadang-kadang ia terdengar melakukan perbuatan mulia di hutan pegunungan sebelah selatan, tetapi tak lama kemudian terdengar berita bahwa ia baru saja melakukan perbuatan kepahlawanan pula di pantai utara. Ia seorang tokoh yang sakti, dan dianggap oleh para penduduk, mungkin muncul di mana saja sesuka hatinya, bahkan mungkin muncul di beberapa tempat dalam waktu yang bersamaan. Yang diperkatakan orang-orang pula, ialah bahwa ia selalu didampingi seorang yang sudah lanjut usianya, yang konon disebut orang Ki Kebo Pandogo. Ternyata Ki Kebo Pandogo itu seorang yang sakti pula, menjadi penasihat Kelana Jayeng Sari. Setelah ia mendapat banyak pengikut, maka ditaklukkannya pula berbagai raja, terutama raja-raja yang



zalim. Mula-mula raja Belambangan kemudian raja Basuki, Lumajang dan akhirnya Pasuruan. Ia beraksi ke barat, tetapi pada umumnya tak bisa disangka-sangka. Ia selalu muncul pada saat orang-orang tidak mengharapkan kedatangannya, dan karena itu pula mungkin maka ia senantiasa mengalahkan musuhmusuhnya dengan mudah. Tetapi yang mengherankan orang-orang, ialah karena meskipun ia berhasil menaklukkan raja-raja itu, namun ia sendiri tidak mau duduk memangku takhta. Tatkala raja Lumajang dikalahkan, atas bisikan patihnya, sang baginda mempersembahkan seorang putra dan seorang putrinda akan menjadi hamba Kelana Jayeng Sari yang perwira itu. Sesungguhnya itu adalah muslihat sang patih, yang ingin mengikat sang kelana, supaya mau tinggal di Lumajang dan dengan demikian akan menyebabkan Lumajang dimalui dan disegani oleh kerajaan-kerajaan lain. Tetapi peristiwa yang aneh terjadi. Waktu sang putra dan sang putri yang tampan rupawan itu datang ke hadapan Kelana Jayeng Sari, sang Kelana memburu sang putri, sedangkan mulutnya berteriak kegirangan, "Candra Kirana! Engkaukah yang datang itu?!" Sang putri Lumajang itu terkejut dan hatinya berdegupan lantaran takut. Ia menundukkan kepala. Dirasanya dua buah tangan yang perkasa memegang bahunya kiri kanan, kemudian mengangkat wajahnya. "Nama hamba ... Lukita Sari ...," sahutnya dengan suara gemetar dan terputus-putus. Sang Kelana Jayeng Sari melepaskan kedua belah tangannya, lalu memejam. "Ya, engkau bukan istriku ... Candra Kirana seorang yang amat sangat jelita. Tak ada yang menandinginya ... Tak ada orang yang secantik dia, bercahaya bagaikan bulan purnama ..." gumamnya kemudian. "Dan engkau, siapakah engkau?" Maka patih yang mewakili raja Lumajang itu menghaturkan sembah, menerangkan bahwa kedua putraputri itu adalah tanda takluk baginda kepada Sang Kelana Jayeng Sari, di samping berbagai persembahan lain-lainnya pula. "Baginda mempersembahkan kedua putranda, akan menjadi hamba gusti." akhirnya sang patih menutup pembicaraan. Sang Kelana Jayeng Sari menggeleng lemah. "Tidak ..." sahutnya. "Kembalilah engkau semua kepada rajamu. Haturkan kepada baginda bahwa aku tidak mengharapkan persembahan apa pun sebagai tanda takluk. Pengakuan rajamu saja sudah cukup. Tak usah ia mengurbankan putra-putrinya. Kami pun tidak menghendaki hamba-hamba ... Para ponggawa sudah cukup bagi kami. Sekarang, pulanglah engkau semua." Patih itu kembali dengan sangat merasa heran dan malu. Ia malu lantaran muslihatnya tak mempan, umpan tidak dimakan. Dan heran akan perbuatan serta sikap yang luar biasa dari Kelana Jayeng Sari yang gagah perkasa serta sakti itu.



Peristiwa itu cepat pula menjalar dari mulut ke mulut. Dan selalu mengherankan barang siapa yang mendengarnya. Jadi buat apakah Kelana Jayeng Sari dari tanah Sebrang itu mengalahkan kerajaan demi kerajaan, sedangkan ia sendiri tidak sudi menduduki singgasana? Sedangkan dia sendiri lebih suka berkelana dari hutan ke hutan, dari gunung ke gunung? Sedangkan dia sendiri merasa puas tidur di alam terbuka dalam kemah? Karena itu pula nama Kelana Jayeng Sari menjadi makin termashur. Dihormati, diherani, dikagumi berbareng ditakuti. Beberapa orang raja, tanpa dia perangi, menyatakan dirinya takluk, yang diterima Kelana Jayeng Sari dengan sikap yang biasa. Ia tidak nampak gembira, pernyataan takluk raja-raja itu diterima dengan sikap yang tawar dan tak ambil perduli. Baginya seolah-olah tak ada bedanya apakah raja itu takluk atau tidak.Hanya dengan mendahului menyatakan takluk, raja-raja itu menunjukkan sikap bijaksana, karena dengan demikian ia menghindarkan kerajaannya dari malapetaka peperangan yang terkutuk itu. Bahkan meskipun beberapa orang raja menawarkan takhta serta istananya yang indah mewah, Kelana Jayeng Sari senantiasa menolak. Ia lebih suka tinggal di hutan, di tengah-tengah alam yang segar daripada tinggal di tengah-tengah manusia. Apabila tidak melatih pasukannya berperang, atau apabila tidak melakukan peperangan, biasanya Kelana Jayeng Sari termenung-menung saja kerjanya. Dalam keadaan seperti itu, tak dikehendakinya ada orang yang berani mengganggu. Tak diperkenankan orang berada di dekatnya. Hanya penasihat yang tua itu saja yang dibolehkan datang menemani. Kadang-kadang Kelana Jayeng Sari berbicara dengan suara yang murung dan guram. Sedangkan penasihatnya itu, Sang Kebo Pandogo, menghiburnya dengan berbagai hal yang menarik hati. Terutama mengenai raja-raja yang belum mereka taklukkan. "Tahukah Gusti, kerajaan apakah yang berada di sebelah barat hutan yang sekarang kita tinggali ini?" bertanya Kebo Pandogo dengan suara setengah bersenda. "Tak tahu! Dan kerajaan apa pun yang berada di sana, tak kuperdulikan, karena mereka sama saja. Mereka akan dengan mudah kita kalahkan!" sahut Kelana Jayeng Sari tak peduli. "Tetapi, apabila Gusti pergi ke kerajaan itu, cita-cita Gusti bakal tercapai..." Kelana Jayeng Sari mengangkat wajah. Agaknya hatinya mulai tertarik. "Apa maksud Mamanda Kebo Pandogo?" tanyanya dengan mata bersinar-sinar. "Kalau kukalahkan pula raja yang berada di sebelah barat itu akan bersuakah kami dengan istri kami yang tercinta?" Kebo Pandogo tersenyum. "Makin banyak Gusti berbuat kepahlawanan, makin cepat ia kembali, bukan?" "Kalau begitu, baiklah besok kita berangkat untuk menaklukkannya. Kerajaan apakah yang berada di sebelah barat itu?" "Tidak usah tergesa-gesa begitu," sahut Kebo Pandogo sambil bergelut senyum juga. "Kita tidak usah menyerangnya..." "Habis?" "Kita tinggali saja hutan yang menjadi daerah kerajaannya, kita buat onar di sana ... Kalau pancingan kita berhasil, siapa tahu orang yang selama ini Gusti harapkan akan datang." Kelana Jayeng Sari seperti tak mengerti apa yang dimaksud oleh penasihatnya yang bijaksana itu. "Kerajaan apakah yang berada di sebelah barat itu, Mamanda?" ia mengulangi pertanyaannya yang belum



dijawab. Kebo Pandogo tersenyum dan sambil tersenyum itu ia menyahut. "Kadiri ...!" katanya. Kelana Jayeng Sari seperti terkejut, tetapi kemudian ia termenung. Beberapa jenak lamanya ia tidak berkata-kata. "Apa yang menurut Mamanda baik, baiklah kita lakukan ...," akhirnya ia berkata. Kebo Pandogo merasa puas. Ia merasa bangga dan gembira. Adalah maksudnya yang sesungguhnya, hendak mempertemukan gustinya itu dengan pahlawan yang tersohor dan menjadi kebanggaan kerajaan Kadiri: putri perwira Dewi Sekar Taji. Dewi Sekar Taji sangat gagah dan sakti, sudah sering menaklukkan kraman dan begal-begal yang mengganggu keamanan kerajaannya. Apabila perbuatan-perbuatan Kelana Jayeng Sari kelak dianggap mengancam keamanan kerajaan Kadiri, Kebo Pandogo mengharap; Dewi Sekar Taji-lah yang akan turun tangan menaklukannya. Ia tidak melihat jalan lain yang tepat untuk mempertemukan keduanya. Sedangkan ia sendiri percaya, bahwa kalau kedua muda mudi itu bertemu dapat dipastikan akan terjadi sesuatu yang sangat diharapkan; mereka berdua akan saling tertarik cinta mencintai. Biarlah semuanya berjalan seperti apa yang terjadi diakhirnya. Jika pun tidak terjadi sesuatu, bahwa peristiwa lain telah menghendaki kejadian lain pula. *** Di sebelah barat Kadiri, berdiri kerajaan Metaun yang diperintah oleh Prabu Gajah Angun-angun. Prabu Gajah Angun-angun belum lama menaiki takhta, menggantikan ayahanda yang meninggal belum lama berselang. Raja yang masih muda usianya itu berambekan besar, ia tidak puas dengan kerajaan ayahanda dan kepada ayahanda yang telah puas dengan apa yang ada, ia pun merasa tidak puas. Ia mencita-citakan suatu kerajaan yang lebih luas dan kekuasaan yang lebih besar. Ia bercita-cita hendak memperluas wilayah kekuasaannya. Ia seorang muda yang pandai bergaul dan licin. Maka telah dihasutnya berbagai raja kecil dan para bupati yang selama itu hidup berdampingan dengan damai atau menjadi setengah kawula kerajaan Kadiri, sehingga banyak di antara mereka yang mau mendengar perkataannya itu. Kalau ada bupati atau raja yang menolak pikirannya tak ragu-rag lagi ia melakukan tangan besi dengan membokong raja yang lemah itu. Maka ia menjadi seorang raja yang ditakuti oleh raja-raja kecil. Karena takut, kebanyakan di antara mereka mengakui kedaulatannya di atas mereka dan menyatakan kerajaan mereka di bawah perintah Prabu Gajah Angun-angun dari Metaun itu. Tatkala itu Prabu Gajah Angun-angun menganggap dirinya sudah cukup kuat untuk melakukan penyerangan kepada kerajaan-kerajaan yang besar-besar. Kerajaan besar yang bertapal batas dengan kerajaannya di sebelah timur, adalah Kadiri. Maka diancamnya Prabu Jayawarsya, raja Kadiri, hendak diperanginya, kecuali kalau Prabu Jayawarsya bersedia menyatakan takluk kepadanya. Mendengar ancaman itu Prabu Jayawarsya murka. Tetapi ia tidak bisa mengumbar amarahnya, karena baginda sendiri bingung, siapa gerangan yang mungkin memerangi raja Gajah Angun-angun yang muda itu. Meskipun balatentara Kadiri tidak lemah dan para pahlawannya bersemangat, namun apabila baginda



mengukur kekuatannya, diam-diam baginda mengakui keunggulan balatentara Metaun itu. Mereka tentara yang sudah dipersiapkan untuk suatu perang besar, sedangkan balatentara kerajaan Kadiri lantaran berbagai soal di dalam negeri, waktu-waktu belakangan menyita perhatian, tidak bisa dipersiapkan dengan segera untuk menghadapi Mataun yang demikian kuat dan sangat besar jumlah balatentaranya. Dewi Sekar Taji yang mendengar ancaman Metaun itu, menjadi murka dan marah. Sang putri lalu mengunjuk sembah kepada baginda, "Mengapa kita itu seperti menjadi bingung? Biar hamba berangkat ke tapal-batas akan menyambut serangan orang angkuh dari Metaun itu!" Baginda memandang kepada putrinya itu. Dewi Sekar Taji memang bukan putri sembarangan. Ia seorang putri yang gagah berani. Ia putri yang akan menggantikan ayahanda memegang tampuk kerajaan, karena itu kecuali mempelajari berbagai ilmu pemerintahan, ia pun mempelajari pula ilmu peperangan. Berbagai macam alat senjata tak ada yang asing baginya. Dan alat-alat peperangan itu dipergunakannya dengan kemahiran yang mengagumkan. Kegagahan dan keahliannya dalam mempergunakan tombak dan keris, terbukti dalam perbuatan-perbuatannya yang perwira, mengalahkan para kraman dan pemberontak yang mengganggu keamanan kerajaan. Ya, baginda tidak ragu-ragu akan keperwiraan putri tunggalnya itu. Tetapi yang baginda hadapi bukan para pemberontak atau kraman biasa, melainkan seorang musuh tangguh. Tidak, baginda tidak yakin akan kegagahan putrinda untuk mengalahkan musuh yang bukan sembarangan itu. Baginda merasa kuatir akan keselamatan putrinda. "Tidak. Sekar Taji...! Raja Metaun itu bukan lawanmu yang seimbang! Ia konon sakti dan ia pun sangat kejam!" sabda baginda sambil memandang kepada putrinda. Mendengar perkataan baginda itu, Dewi Sekar Taji merasa terhina. Ia marah, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengundurkan diri, lalu menghibur dirinya di tengah-tengah taman yang warna-warni. Sementara itu baginda dengan para pejabat negara yang penting-penting merundingkan masalah yang dihadapi oleh kerajaan Kadiri yang diancam bahaya peperangan dengan raja Metaun itu. Baginda meminta pemandangan para pejabat negara, dan merembukkan jalan-jalan memecahkannya. Umumnya para pejabat negara itu berpendirian sama, bahwa dengan kekuatan kerajaan Kadiri saja, musuh dari barat itu tak mungkin dilawan. Beberapa kerajaan di sebelah barat, bahkan juga yang tadinya menjadi takluk Kadiri, kini berpihak kepada raja Gajah Angun-angun. Tak ada jalan lain, Kadiri mesti meminta bala bantuan kepada salah satu kerajaan sahabat. Patih Wiranggada menganjurkan agar baginda meminta bala bantuan kepada raja Janggala. Bukankah Janggala dan Kadiri bersaudara? Tetapi usul untuk meminta bantuan dari Janggala kemudian ditolak, karena menurut pertimbangan yang lain-lain, Janggala terlalu jauh. Sementara menunggu bantuan datang, sewaktu-waktu balatentara Mataun bisa masuk menyerbu. Rupanya kemungkinan seperti itu pun sudah pula diperhitungkan fihak Metaun sebelum ia melakukan penyerangannya. Maka termenunglah para pejabat penting kerajaan Kadiri yang tersohor arif bijaksana itu. Mereka asyik memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan kerajaan mereka dari kehancuran.



"Bagaimanakah jadinya, Mamanda Mahapatih Kebo Rerangin?" tanya baginda beberapa saat kemudian, dengan suara yang muram. "Adakah jalan lain yang lebih tepat kita tempuh? Memang, kita tidak nanti mau menyerah tak bersyarat kepada raja Metaun itu, tetapi kita pun jangan sampai hancur musnah, apabila masih kita lihat cahaya harapan ..." Mahapatih Kebo Rerangin yang sudah lanjut usianya itu berdehem beberapa kali. Setelah itu baru ia menghaturkan sembah. "Ampun Gusti, memang keadaan kita sangat sulit. Hamba percaya akan keperwiraan para pahlawan Kadiri yang gagah berani, tetapi dengan perkiraan yang waras, balatentara Metaun yang sekarang berada di tapal batas itu bukan lawan kita yang setimpal. Tak ada jalan lain, kita mesti meminta tolong kepada fihak lain. Tetapi siapa? Janggala yang pasti akan menolong kita tak mungkin kita minta tolong berhubung kerena letaknya yang sangat jauh. Mau tak mau kita mesti meminta tolong kepada fihak yang dekat ... Dan tetangga kita yang terdekat, di sebelah barat adalah ... Raja Metaun, yang sekarang sedang mengancam kita! Raja Malang, agaknya dalam hal ini tak boleh kita harapkan pula, karena ia memang tidak mempunyai bala tentara yang kuat, lagi pula perhubungannya tetap sulit. Sebelum bala bantuan datang, setiap saat mungkin datang tentara Metaun ..." Orang batuk-batuk kecil, lantaran merasa jemu oleh perkataan Mahapatih Kebo Rerangin seperti mengulang-ulang apa yang telah dikunyah tadi. Mengapa dalam keadaan mendesak seperti itu Mahapatih Kebo Rerangin berkata-kata demikian menjemukan? "Jadi bagaimana?" baginda bertanya dengan tak sabar. Tetapi agaknya bukan tidak dengan maksud tertentu, Kebo Rerangin bicara seperti itu. la menghaturkan sembah pula kepada rajanya, kemudian ia melanjutkan pembicaraannya pula. "Karena itu, kita hanya mungkin meminta bala bantuan kepada satu-satunya fihak ..." "Siapa?" "Ampun Gusti, hendaknya Gusti jangan terkejut, satu-satunya fihak yang mungkin kita mintai tolong adalah .. . Kelana Jayeng Sari!" Semua orang terkejut. Kelana Jayeng Sari! Itulah kraman yang dalam waktu belakangan ini mengacau di hutan-hutan perbatasan Kadiri sebelah timur dan makin lama makin ke arah barat! "Tetapi Mamanda Patih ...," baginda bertanya. "Bukankah Kelana Jayeng Sari itu mengacau di perbatasan sebelah timur?" Mahapatih Kebo Rerangin menghaturkan sembah. "Daulat, Gusti. Hal itu memang benar." "Masa kita meminta tolong kepada orang yang hendak mengacau kita?" Mahapatih Kebo Rerangin berbicara dengan tetap sabar. "Memang hal ini sulit. Hamba sendiri mengikuti perihal Kelana Jayeng Sari yang konon mengaku dirinya berasal dari tanah Sebrang itu sejak lama ... Ia banyak melakukan keanehan-keanehan, tetapi tak syak lagi, ia seorang yang gagah dan perwira. Ia mengalahkan berbagai kerajaan di sebelah timur. Dan boleh dikatakan semua negara di sebelah timur kerajaan kita ini, sampai di pantai timur, takluk belaka kepadanya. Namun alangkah mengherankan, karena dia tidak mau duduk memangku takhta. Yang disukainya adalah berperang ... Ia mengacau di beberapa



daerah, tetapi untuk kepentingan penduduk daerah itu. Mereka tidak melakukan kekejaman atau perbuatan keterlaluan, bahkan konon selalu menjadi pelindung rakyat-rakyat sengsara ... Ia mulai dari pantai timur, dan makin lama makin ke barat jua. Kini ia berada di dalam wilayah kita, di suatu hutan yang hamba dengar tak jauh letaknya dari sini. Ia bersama balatentaranya melakukan berbagai gangguan-gangguan kecil-kecilan, tetapi terang tidak membahayakan. Ia seperti dengan sengaja hendak menguji kesabaran kita ..." "Ia malah harus kita basmi!" sembah Senapati Wirapati. "Memang kalau keadaan tidak segenting sekarang, orang seperti itu mesti kita basmi. Tetapi keadaan kita sekarang sangat sulit dan genting ... Kita mesti bertindak bijaksana!" sahut Mahapatih Kebo Rerangin. "Apakah tindakan bijaksana meminta tolong kepada kraman yang mengacau di negeri sendiri?" "Kalau Kelana Jayeng Sari mau menerima permintaan tolong kita, maka kita telah melakukan tindakan yang bijaksana sekali." "Bagaimana pula itu?" "Baik Kelana Jayeng Sari maupun raja Metaun tidak hendak berbuat kebajikan kepada kita, boleh dikatakan dua-duanya musuh kita ..." "Itu pasti!" sahut Senapati Wirapati. "Kalau keduanya bertempur untuk kepentingan kita, maka kita telah membunuh dua ekor ular dengan sekali pukul! Kalau Metaun bertempur dengan Kelana Jayeng Sari, siapa yang akan untung? Pasti fihak ketiga. Dan fihak ketiga tersebut tak lain tak bukan: kita sendiri. Jika akhirnya Metaun tak bisa dikalahkan oleh Kelana Jayeng Sari, namun terang kekuatan keduanya akan menjadi lemah. Lebih mudah bagi kita memukul salah seorang dari mereka itu setelah keduanya bertempur daripada sekarang kita menghadapi dua musuh sekaligus!" Baginda mengerti akan maksud Mahapatih Kebo Rerangin yang licin itu. Baginda mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. Sekali lagi baginda kagum akan mahapatih yang arif serta sudah lanjut usianya itu. Maka diputuskanlah, bahwa Kadiri akan meminta tolong kepada Kelana Jayeng Sari untuk menaklukkan raja Gajah Angun-angun dari Metaun. Mereka mesti bekerja dengan cepat maka seketika itu juga baginda menitahkan Patih Wiranggada pergi membawa sepucuk surat untuk Kelana Jayeng Sari yang menyatakan maksud baginda. Patih Wiranggada tidak boleh ayal, seketika itu juga bersiap-siap, lalu berangkat hendak mencari Kelana Jayeng Sari ke hutan-hutan di sebelah timur. Kelana Jayeng Sari mempunyai ponggawa yang jumlahnya ratusan orang, sehingga takkan susah dicari.



Dewi Sekar Taji merasa tidak puas, lantaran ayahanda bagaikan memandang tidak tinggi kepada kegagahannya. la percaya, ia sendiri akan mampu mengalahkan Prabu Gajah Angun-angun yang angkuh itu. la tidak takut. Dan ia ingin menunjukkan keperwiraannya dalam membela kerajaan Kadiri. Maka tatkala kemudian ia mendengar bahwa ayahanda telah memutuskan untuk meminta tolong buat melawan raja Metaun itu kepada Kelana Jayeng Sari yang waktu itu banyak mengacau di hutan-hutan



bagian timur kerajaan Kadiri, amarahnya meluap kepada kepala kraman yang konon berasal dari tanah Seberang itu. 'Apa sih kelebihannya orang Seberang itu daripadaku?' tanyanya dalam hati. 'Mengapa ayahanda sampai meminta tolong kepadanya? Sungguh tak mengerti aku!' Wajahnya guram, dan memberengut. Beberapa lamanya termenung-menung mengumbar kekesalan hatinya.Akhirnya ia memberangsang. 'Baiklah, 'kan kucoba kepandaian orang Sebrang menusukkan keris!' katanya pula dalam hati. 'Ingin kucoba kegagahan dan kesaktiannya!' Setelah berpikir demikian, maka tetaplah hatinya. Ia mempersiapkan segala sesuatunya, tetapi dengan diam-diam saja. Ia tak ingin maksudnya itu diketahui orang lain. Lebih-lebih ia tidak ingin baginda akan mengetahuinya. Maka ia mempersiapkan tombak serta kerisnya. Kemudian dia berdandan, tetapi tidak seperti seorang putri, melainkan sebagai seorang lelaki. Dalam pakaian demikian, ia tampak tampan dan gagah, akan mengagumkan barang siapa yang melihatnya. Tetapi ia masih kuatir juga kalau-kalau kelak ia akan dikenali orang, maka dibekal-nya sebuah topeng akan penutup parasnya. Waktu hari mulai gelap, ia sudah siap. Maka diambilnya kuda. Kepada orang kepercayaannya ia berpesan, supaya kepergiannya itu jangan sampai diketahui orang lain. Malam itu bulan purnama, dan seperti biasanya jika bulan bulat penuh, Kelana Jayeng Sari keluar dari kemahnya, lalu berjalan sendirian akan menggadangi sang rembulan yang sinarnya lembut itu. Sering ia tampak merenung, memandang ke arah bulan, seakan-akan mengharap akan terjadi keajaiban dari sana. Para ponggawa sudah mengenal kebiasaan gusti mereka dan tidak berani mengganggu gusti mereka itu dari lamunannya. Ki Kebo Pandogo yang biasanya turut serta mengawani Kelana Jayeng Sari, tatkala itu tidak nampak. Kebo Pandogo tidak menyertai gustinya, karena ia tatkala itu sedang sibuk menghadapi tetamu, utusan dari Kadiri. Kelana Jayeng Sari telah menemui utusan itu dan telah pula membaca surat yang disampaikan oleh Patih Wiranggada kepadanya. Ia maklum kepada maksud raja Kadiri. Tetapi Kebo Pandogo mengajukan syarat: apabila raja Metaun berhasil dikalahkan, raja Kadiri mesti menyerahkan putrinya, sang Dewi Sekar Taji kepada Kelana Jayeng Sari. Mendengar nama Dewi Sekar Taji disebut, hati Kelana Jayeng Sari tawar. Apapula malam telah turun, dan malam bagaikan siang terang-benderang disinari cahaya bulan yang bulat penuh bulan purnama. Maka halhal selanjutnya diserahkannya kepada penasihatnya itu akan dirundingkan lebih jauh dengan sang Patih Wiranggada yang menjadi kepercayaan Prabu Jayawarsya dari Kadiri. Ia sendiri keluar dari kemah, sendirian menyusuri malam yang indah disinari cahaya keemasan yang lembut menyejukkan..... Berjalan beberapa lama sampailah ia di bagian hutan yang agak terbuka, sehingga dari sana ia bisa berpuaspuas menikmati sinar bulan purnama. Ia berdiri sambil mempersilangkan tangan di depan dadanya, sedangkan matanya menatap wajah bulan yang indah itu. Merenungi..... Entah berapa lama ia berdiri.



"Hehh! Begitu sajakah Kelana Jayeng Sari yang termashur gagah berani dan tak terkalahkan itu? Merenung memandang bulan bagaikan orang kasmaran yang mimpi?" Kelana Jayeng Sari menoleh ke arah suara itu, maka nampak olehnya sesosok tubuh berdiri tegak bagaikan menantang menghadap ke arahnya. Ia tak bisa memandang dengan jelas, siapakah gerangan orang itu, karena dalam bayang-bayang hutan ia samar sekali. Sedangkan suaranya, ia terkejut mendengar suara itu.....seolah-olah suara yang selama ini dinanti-nantikannya! "Siapakah Tuan?" ia balik bertanya. Sosok tubuh itu tertawa pula mengejek, bergerak ke arah tempat yang tidak disamari bayang-bayang yang hitam. Maka kelihatan oleh Kelana Jayeng Sari sekarang, bahwa menilik pakaiannya, orang yang berdiri di depannya itu seorang lelaki. Tetapi tatkala ia meneliti dengan telik, nampaklah bahwa wajah orang itu ditutupi sebuah topeng. "Akulah orang yang sengaja datang untuk menaklukkanmu, supaya engkau jangan sombong. Engkau mesti tahu, di dunia ini tidak hanya engkau lelaki. Tidak hanya engkau yang gagah berani!" Kelana Jayeng Sari memandang dengan tenang ke arah orang itu. "Mengapa engkau bertopeng?" tanyanya kemudian dengan suara tetap. "Jangan banyak bertanya, hunus kerismu! Mari kucoba kepandaianmu mempermainkan keris!" Kelana Jayeng Sari tertawa. "Lebih baik pertunjukkan permainanmu dahulu!" sahutnya. Orang itu agaknya merasa terhina dan menjadi murka. Maka dihunusnya keris, kemudian melompat ke arah Kelana Jayeng Sari, menikam... Tetapi dengan matanya yang terlatih Kelana Jayeng Sari melihat bahwa orang itu menusuknya tidak dengan sungguh-sungguh, kelihatan bahwa ia ragu-ragu. Kelana Jayeng Sari jadi heran dan bertanya-tanya dalam hati. 'Siapakah gerangan orang itu?' Ia mengegoskan tubuhnya dari tikaman, lalu mencoba memukul pergelangan tangan orang yang memegang keris itu, agar kerisnya terjatuh. Namun orang itu sungguh-sungguh tangkas, sebat sekali ia mengilir, sehingga tangannya tak menjadi kurban pukulan Kelana Jayeng Sari yang anginnya berkesiur. Karena tikamannya meleset, ia mengulangi lagi. Tetapi kembali Kelana Jayeng Sari melihat, bahwa orang itu menjadi ragu-ragu tatkala kerisnya sudah menuju bagian tubuh yang berbahaya, dan dibelokkan ke arah bagian yang tidak begitu berbahaya. Kelana Jayeng Sari mencoba menangkap tangan orang itu, tetapi ia pun tidak manda saja membiarkan dirinya ditangkap oleh musuhnya. Atas kesigapan dan ketangkasan orang itu, Kelana Jayeng Sari merasa kagum. 'Siapakah orang itu yang begitu tangkas?' tanyanya dalam hati. Maka ia pun makin mempertajam matanya akan meneliti orang itu. Ia ingin membuka topeng orang itu dan tak terlintas dalam pikirannya untuk mencelakakannya. Sementara itu orang yang bertopeng telah menyerangnya pula bertubi-tubi, gencar dan sangat sebat sekali. Kelana Jayeng Sari dengan tak kurang tangkas, berkelit dari setiap tikaman. Sehingga orang yang bertopeng menyerang secara sia-sia saja. Tetapi Kelana Jayeng Sari pun tidak bisa berbuat leluasa. Ia ingin



menangkap dan memaksa orang bertopeng itu melepaskan kerisnya, tetapi sebegitu jauh usahanya tidak berhasil. Demikianlah beberapa lama keduanya berkelahi dengan seru, memperlihatkan ketangkasan dan kesebatannya masing-masing. Dalam berkelahi itu Kelana Jayeng Sari tak henti-hentinya merasa kagum atas ketangkasan dan kesebatan orang bertopeng yang tak dikenal itu. Keringat telah membasahi tubuh mereka, tetapi keduanya masih tangguh bagaikan gunung. Mereka berkelahi di tempat terbuka, tetapi jauh dari perkemahan, sehingga tak diketahui orang lain. Nafas mereka sudah mulai memburu, tetapi tak ada tanda-tanda bahwa perkelahian itu akan segera berakhir. Kelana Jayeng Sari tiba-tiba meloncat, keluar dari kalangan, sambil berteriak, "Tunggu dulu orang asing! Tunggu dulu! Berkelahi dengan mempergunakan topeng tidak leluasa! Bukalah topengmu, supaya bebas kita berkelahi!" "Kau ngaco-belo apa?" hardik orang itu. "Apa bedanya berkelahi dengan topeng atau tidak?" Kelana Jayeng Sari tak sempat berkata-kata pula, karena serangan telah menyusul. Ia segera berkelit. Sekali lagi, usahanya untuk menangkap tangan musuhnya tak terlaksana. 'Sungguh bukan orang sembarangan,' katanya dalam hati. 'Jarang orang yang mempunyai kepandaian seperti ini. Tetapi masih aku tidak mengenalnya! Siapakah dia gerangan?' Tetapi ia tidak juga mengetahuinya, apapula karena gencarnya serangan yang mengarahnya secara bertubitubi. 'Ia kelihatannya masih muda.....' pikirnya kemudian. 'Tetapi kulitnya halus benar!' Sekali, waktu tikamannya tak mengena, orang bertopeng itu tak sempat menghindarkan tangannya dari sabetan tangan Kelana Jayeng Sari yang mengarah pergelangan. "Lepas!" teriak Kelana Jayeng Sari. Tiba-tiba orang bertopeng itu merasa tangannya terpukul dan semutan, sehingga keris yang dipegangnya itu pun terlepas......... "Jawab; siapakah engkau?" Kelana Jayeng Sari bertanya. Orang yang bertopeng itu tidak menyahut. Ia dengan sigap memungut kerisnya yang jatuh. Kelana Jayeng Sari kagum akan kesigapannya itu. Keris yang terlempar itu segera kembali dipegang oleh tangan kiri orang bertopeng. Tetapi setelah ia menjemput keris, orang bertopeng itu tidak kembali menyerangnya, melainkan lari ke hutan yang gelap. "Kelana Jayeng Sari! Tak kecewa kau disebut orang gagah! Namamu bukan nama kosong belaka!" "Terima kasih atas pujian Tuan. Tetapi siapakah Tuan sebenarnya?" Kelana Jayeng Sari balik bertanya. Tetapi orang bertopeng itu tak kedengaran menyahut. Ia hanya tertawa di kejauhan, dan tertawanya yang keras berderai itu makin lama makin menjauh sampai akhirnya ia hilang dalam kelengangan hutan. Kelana Jayeng Sari merasa sangat penasaran. Suara orang itu dan deraian tertawanya sungguh sama dengan suara orang yang selama ini dimimpi-mimpikannya: suara istrinya yang telah lenyap terbang ke bulan......... Ia memandang ke arah bulan yang ketika itu telah mulai condong ke arah barat.



Tak terasa lagi, ia rupanya telah bergadang hampir semalaman. Tatkala ia menganggap bahwa orang bertopeng itu takkan muncul kembali, maka ia pun kembali ke kemahnya. Di sana didapatinya penasihatnya Kebo Pandogo belum tidur, tetapi Kelana Jayeng Sari tidak bernapsu hendak berbicara, maka dibaringkannya tubuhnya di atas ranjang ketidurannya. Demikianlah peristiwa perkelahiannya malam itu dengan musuh tak dikenal, tak pernah dia ceritakan kepada orang lain. Meskipun ia sendiri tak habis-habisnya heran, memikirkan siapakah gerangan musuh yang telah berkelahi dengan memakai topeng itu............ *** Bingung juga sang Prabu Jayawarsya tatkala mendengar sembah Patih Wiranggada tentang permintaan yang diajukan pihak Kelana Jayeng Sari sebagai syarat: Dewi Sekar Taji, putri mahkota Kadiri, diminta sebagai tanda terima kasih apabila Kelana Jayeng Sari berhasil memukul mundur balatentara Metaun! Kelana Jayeng Sari, meski termashur gagah serta perwira, namun orang yang tak ketahuan asal-muasalnya. Dalam pada itu Dewi Sekar Taji pun masih terikat oleh pertunangan dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati dari Janggala. Memang baginda mengetahui juga, bahwa Raden Panji telah lenyap tak ketahuan hidupmatinya, namun kepastian ia sudah tak ada lagi di dunia ini, juga tak ada. Masih mungkin kelak sewaktuwaktu akan muncul Raden Panji Kuda Waneng Pati dan ia mungkin akan menuntut tunangannya. Lama juga baginda termenung-menung, memikirkan syarat yang diajukan oleh pihak Kelana Jayeng Sari itu. Tetapi keadaan tidak memungkinkan baginda berpikir terus. Keadaan sangat mendesak. Berita tentang makin majunya tentara Metaun menuju Kadiri datang saling susul-menyusul. Agaknya pihak Metaun sudah juga mencium berita baginda meminta tolong kepada Kelana Jayeng Sari. Sambil berjalan ke arah timur, tentara Metaun itu melakukan perampokan dan pembakaran di sepanjang jalan. Para penduduk mengungsi dengan ketakutan dan ratapan-ratapan yang mengharukan kalbu. Baginda cepat mengambil keputusan; Baginda menerima syarat yang diajukan pihak Kelana Jayeng Sari, tetapi meminta supaya Kelana Jayeng Sari segera datang di ibu kota bersama pasukannya. Patih Wiranggada segera pulang kembali akan mengabarkan hal itu. Dan keesokan harinya Kelana Jayeng Sari sudah akan masuk ke ibukota. Seluruh ibukota sejak pagi sudah dititahkan berhias, akan menyambut pahlawan mereka dari Sebrang itu. Tatkala hari sudah lewat tengah hari, bala-bantuan yang diharap-harapkan pun datang. Kelana Jayeng Sari dengan gagah duduk di atas kudanya, memandang tak peduli kepada segala keriahan yang diselenggarakan untuk menyambutnya itu. Kelana Jayeng Sari diterima baginda dengan gembira, kemudian ditempatkan di puri Tambaknya yang dihiasi seindah-indahnya. Dia segera menempati puri istana itu dan Penasihatnya yang tua itu, Kebo Pandogo mendapat bilik yang tak berjauhan. Para ponggawa dan pasukan Kelana Jayeng Sari telah bertemu dengan baginda dan bercakapcakap juga beberapa lamanya kemudian ia meminta diri akan kembali ke purinya. Malam itu Kebo Pandogo berniat hendak mempersembahkan pakaian yang indah-indah buat Dewi Sekar Taji. la sudah mempersiapkan persembahan itu sejak beberapa lama, berupa pakaian sutra yang halus-halus



dan intan permata yang gemerlapan, emas urai, mutiara dan sebagainya. Kelana Jayeng Sari tidak ambil peduli akan maksud penasihatnya itu. Tetapi ia sendiri tidak hendak pergi ke istana. "Tak usahlah Gusti turut serta," kata Kebo Pandogo. "Biarlah semuanya hamba urus. Lagi-pula Gusti mesti beristirahat karena bukankah besok kita akan bertempur dengan tentara Metaun?" Tetapi Kelana Jayeng Sari tidak mau tidur, ia berjalan-jalan di taman yang sangat indah,menikmati udara malam yang sejuk. Kebo Pandogo diterima baginda dengan hormat, dan tatkala mendengar maksud kedatangannya, baginda menitahkan supaya Dewi Sekar Taji datang menghadap. Tatkala Kebo Pandogo melihat Dewi Sekar Taji, ia terkesiap. 'Sungguh serupa benar!' katanya dalam hati. 'Tak sia-sia usahaku selama ini! Kalau Kelana Jayeng Sari melihat Dewi Sekar Taji ini, tentu ia lupa akan istrinya. Dan niscaya ia percaya kepada perkataanku, bahwa istrinya benar-benar kembali turun ke dunia!' Waktu ia kembali ke puri, didapatinya gustinya belum lagi beradu. Maka ia pun mempersembahkan pengalamannya bertemu dengan Dewi Sekar Taji. "Kalau Gusti bertemu dengan putri dari Kadiri itu, Gusti tentu akan kagum, karena ia sungguh-sungguh seorang yang sangat jelita!" akhirnya ia bilang. Kelana Jayeng Sari menghela nafas. "Tetapi mungkinkah ia secantik istriku Candra Kirana?" tanyanya dengan tak bernafsu. "Tak ada orang yang secantik dia! Takkan ada!" Kebo Pandogo tersenyum-senyum. "Kelak akan Gusti lihat!" katanya. "Dewi Sekar Taji memang sama cantiknya dengan Dewi Anggraeni..." Mendengar nama itu disebut orang, Kelana Jayeng Sari menjadi berduka dan ia tak hendak bercakap-cakap pula. Kenang-kenangan akan istrinya membuat ia bersedih, sedangkan malam itu ia menumpahkan kerinduan hatinya dengan memandang ke arah purnama yang bercahaya lembut. Keesokan harinya pagi-pagi benar ia sudah bersiap, karena hari itu ia akan bertempur melawan raja Metaun. Para ponggawanya pun sudah siap, suaranya hiruk-pikuk, genderang peperangan telah dipalu, berdebamdebam bunyinya. Waktu Kelana Jayeng Sari sudah naik ke atas kudanya, hendak berangkat, tiba-tiba datang berlari-lari seorang putri yang berkata kepadanya, "Kelana Jayeng Sari! Perkenankanlah aku turut berperang di sisi Tuan!" Kelana Jayeng Sari menolehkan mukanya dan memandang dengan mata terbelalak kepada putri yang mendatanginya itu. "Istriku yang tercinta, sungguh-sungguhkah engkau kembali?" sambutnya. "Tuan khilaf, Kelana Jayeng Sari!" sahut putri itu yang bukan lain daripada Dewi Sekar Taji putri mahkota



Kadiri, "Hamba belum lagi menjadi istri Tuan!" Tetapi Kelana Jayeng Sari tak syak lagi: parasnya, tubuhnya, suaranya, gerak-geriknya, ah, semuanya sama benar dengan istrinya. "Candra Kirana! Masihkah Adinda akan mempermainkan Kakanda?" tanyanya dengan suara lembut. "Candra Kirana? Siapakah Candra Kirana itu, Kelana Jayeng Sari?" sahut putri Sekar Taji. "Nama hamba bukan Candra Kirana, melainkan dewi Sekar Taji, putri Kadiri!" Kelana Jayeng Sari tertegun. Dewi Sekar Taji! Inilah putri yang telah dipertunangkan dengan dia sejak masih kanak-kanak! Baru sekali ini ia melihatnya! Dan putri itu bagaikan pinang dibelah dua dengan istrinya yang terbang ke arah bulan! Alangkah sama! Segalanya! Ia memandang tajam-tajam ke arah putri itu, meneliti dengan mata terpukau. Beberapa jenak ia tak kuasa melahirkan kata-kata. Lidahnya menjadi kelu. "Hamba hendak turut serta dengan Tuan memerangi raja Gajah Angun-angun yang angkuh itu!" kata putri Sekar Taji pula. Kelana Jayeng Sari cepat menguasai dirinya pula. "Tetapi putri jelita, sayangilah kecantikanmu itu! Jangan turut ke medan perang!" sahutnya. "Hamba memang seorang wanita, tetapi hamba bukan seorang pengecut!" kata Dewi Sekar Taji pula. "Orang-orang menyebut hamba putri yang gagah berani dan hamba memang mahir mempermainkan pelbagai alat senjata, Tuan pun tahu!" "Kita baru sekali ini bertemu, mana mungkin hamba tahu tentang diri Tuan Putri!" Putri Sekar Taji tertawa. "Mata Tuan sungguh buta! Tuan benar-benar seorang pemimpi yang kerjanya melamun menggadang cahaya bulan!" katanya seperti mengejek. Mendengar perkataan itu Kelana Jayeng Sari terkejut. Begitulah ia diejek orang yang penuh rahasia itu tempo hari. Jadi orang yang bertopeng itu Dewi Sekar Taji? Ia memandang tajam-tajam kepada putri yang ada di depannya itu. Tak syak lagi! Suara itu pula yang dia dengar malam itu. Dan oleh hidungnya yang tajam, tercium pula wangi yang malam itu juga dia cium. "Tak hamba sangka di Kadiri ada putri perwira!" katanya kemudian sambil tertawa. "Sungguh mataku buta, pendengaranku cupet!" Dewi Sekar Taji tertawa pula. "Jadi Tuan perkenankan hamba turut serta ke medan pertempuran?" Kelana Jayeng Sari hanya tertawa. "Hamba mempunyai seekor gajah putih ..." kata Dewi Sekar Taji pula. "Ia seekor binatang peperangan yang terlatih. Biarlah ia kutunggangi untuk menyaksikan pertarungan Tuan dengan Raja Metaun!" Prabu Jayawarsya tidak berhasil melarang putrinda turut ke medan laga. Maka ia hanya berpesan kepada Kelana Jayeng Sari supaya hati-hati menjaganya, agar jangan sampai mendapat celaka. "Sang Dewi seorang gagah perwira," Kelana Jayeng Sari berkelakar. Tetapi ia menyanggupi juga pesan baginda. Maka Kelana Jayeng Sari bersama wadia-balanya pun berangkat ke arah barat. Sang Dewi Sekar Taji duduk di atas gajah putihnya yang anggun dan tangkas itu.



Gajah Angun-angun beserta bala tentaranya bergerak ke arah timur, berbuat semena-mena melampiaskan amarahnya. Para penduduk yang tidak berdosa dianiaya serta disiksa. Rumah-rumah dibakar, harta kekayaan diranjah dan dirampas, wanita-wanita diperkosa. Tatkala kedua tentara itu bertemu, maka perang campuh pecah. Suara senjata yang berlaga berdencingdencing, diselang oleh teriakan-teriakan kesakitan yang mengerikan hati. Darah mengalir membasahi tanah dan suara kuda yang mabuk darah atau luka menyebabkan langit dan bumi gemetar. Balatentara Metaun sudah lelah, karena menganiaya dan menyiksa penduduk, lagipula tak terkuasai lagi oleh orang atasannya, sehingga bertempur cerai-berai, merugikan pihaknya. Sebaliknya wadia-bala Kelana Jayeng Sari yang telah terlatih itu, masih segar bugar dan dikendalikan oleh ahli siasat yang mahir. Menjelang tengah hari, balatentara Metaun sudah cerai-berai. Betapapun sang Prabu Gajah Angun-angun berteriak murka menitahkan bala tentaranya supaya jangan lari, namun sia-sia saja. Lagipula beberapa raja yang semula berpihak kepadanya tatkala melihat gelagat tidak baik, segera berbalik senjata atau menitahkan para pengikutnya menghindarkan diri, meloloskan pasukan ke luar arena pertempuran, karena dengan begitu terlepas dari raja yang kejam itu. Di atas gajahnya yang didandani secara mewah Prabu Gajah Angun-angun tak henti-hentinya berteriak, menganjurkan supaya maju menerjang anak buah Kelana Jayeng Sari. Panah yang menghujaninya dengan tangkas selalu dapat ditangkisnya. Kelana Jayeng Sari dengan perkasa, berdampingan dengan Dewi Sekar Taji maju ke arah barat. Kelana Jayeng Sari di atas kuda, sang putri di atas gajah. Sedangkan tangan keduanya tak berhenti-henti memain. Kelana Jayeng Sari mempergunakan tombak. Setiap gerakan tangannya menyebabkan tentara musuh rubuh. Mereka tak mampu menghindari tusukan tombak yang matanya bagaikan dapat melihat itu. Yang selamat, timbul takutnya, lalu terbirit-birit melarikan diri. Gajah yang ditunggangi oleh Dewi Sekar Taji sudah biasa di medan perang, menyebabkan musuh yang kurang waspada kehilangan nyawanya, hancur dibanting oleh belalai atau luluh lantak diinjak oleh kakinya yang besar-besar itu. Panah Dewi Sekar Taji pun sangat berbahaya, senantiasa meminta kurban nyawa. Segera Prabu Gajah Angun-angun melihat musuhnya. Murkanya pun membakar wajahnya. "Kelana Jayeng Sari!" ia berteriak menantang. "Kau kira medan perang ini tempat apa? Kalau kau benar berani, tinggalkanlah perempuan itu, mari kita bertarung mencoba kekebalan kulit masing-masing." Kelana Jayeng Sari tertawa mengejek. "Prabu Gajah Angun-angun, jangan banyak bicara, harimu yang terakhir sudah tiba! Lihatlah sinar matahari sepuas-puasmu, karena besok ia takkan kaulihat pula!" Prabu Gajah Angun-angun bertambah murka. Maka diarahkannya gajahnya ke dekat Kelana Jayeng Sari, sehingga keduanya berhadapan. "Kelana Jayeng Sari! Kalau engkau benar perkasa, kau tangkis tombakku si Pantang Kalah ini" teriaknya sambil menusukkan tombaknya. Tetapi Kelana Jayeng Sari dengan mudah saja menangkisnya, sehingga murka Prabu Gajah Angun-angun makin menjadi. Bertubi-tubi ia menusuk dan mengarah tubuh musuhnya, tetapi dengan tamengnya Kelana Jayeng Sari selalu menangkis.



"Mana permainan tombakmu yang kesohor itu?" ejek Kelana Jayeng Sari sambil tertawa. "Hanya itu sajakah?" Prabu Gajah Angun-angun meloncat dari gajahnya. "Kelana Jayeng Sari, turun ke mari! Mari kita berkelahi dengan keris di atas tanah!" Hanya sekejap Kelana Jayeng Sari sudah berada dihadapannya... "Apa maumu akan selalu kulayani!" kata Kelana Jayeng Sari. Belum lagi perkataannya habis diucapkan, maka keris telah menyambar akan menusuk lambung. Tetapi ia sungguh gesit, tusukan itu bisa dihindarinya dengan mudah. Sebaliknya Prabu Gajah Angun-angun hampir-hampir ngusruk lantaran kehilangan keseimbangan tubuh. Ia menusuk dengan sepenuh tenaga, tak tahunya musuh mengegoskan diri. "Hunus kerismu!" teriaknya dengan murka. "Tak usah terburu-buru benar ..." sahut Kelana Jayeng Sari. "Bukankah engkau masih ingin melihat sinar matahari?" Ejekan-ejekan Kelana Jayeng Sari yang menghina itu menyebabkan Prabu Gajah Angun-angun makin murka. Ia sudah tak bisa menguasai amarahnya lagi. Ia menusuk dengan kalap kepada musuhnya, tetapi dengan demikian musuhnya pun jadi lebih gampang menyelamatkan diri. Demikianlah kedua pahlawan itu berkelahi beberapa lamanya, ditonton dengan asyik oleh Dewi Sekar Taji yang tersenyum-senyum saja. la yakin akan kepandaian Kelana Jayeng Sari yang diketahuinya sangat mahir dan ahli mempermainkan keris. Dalam pada itu pertempuran sudah mendekati akhirnya. Kelana Jayeng Sari sudah menghunus kerisnya yang konon sangat sakti dan bertuah benar itu. Ia tidak membuta seperti musuhnya menusuk-nusukkan keris, tetapi menanti saat yang tepat. Matanya yang tajam mengawasi musuhnya dengan teliti. Ia pun mesti menghindarkan diri dari setiap tusukan Prabu Gajah Angun-angun. Tidak berapa lama, ia melihat satu lowongan..... Tatkala keris Prabu Gajah Angun-angun mengarah dadanya sebelah kiri, ia sengaja bertindak ayal, sehingga menggembirakan musuhnya itu. Ia yakin sekali ini Kelana Jayeng Sari tak nanti mampu menghindarkan dirinya dari tusukan kerisnya. "Rubuhlah!" teriak Prabu Gajah Angun-angun. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata yang benar-benar rubuh adalah: tubuh yang besar kekar itu rubuh, karena tangan kanan Kelana Jayeng Sari yang memegang keris itu telah mendahului masuk ke bawah ketiaknya, sedangkan mata kerisnya masuk ke dalam dada. Darah mengucur, keris terlepas dari tangan Prabu Gajah Angun-angun. Kelana Jayeng Sari berdiri sambil bernafas lega. Ia membersihkan kerisnya dari darah yang merah membasahinya. "Sungguh mengagumkan!" terdengar pujian dari atas gajah. Itulah suara Dewi Sekar Taji yang sejak tadi menyaksikan pertarungan mati-matian kedua orang itu. Karena raja mereka rubuh, maka bubar tak keruanlah tentara Metaun. Yang tak sempat melarikan diri, tertangkap, lalu dibelenggu oleh bala tentara Kelana Jayeng Sari. Mereka memohon ampun, mau



menyelamatkan selembar nyawanya. Kelana Jayeng Sari menitahkan agar mayat Prabu Gajah Angun-angun dan para tawanan dibawa ke Kadiri akan menjadi bukti kemenangannya.



Seluruh Kadiri mengelu-elukan Kelana Jayeng Sari yang telah menjadi pahlawan mereka memukul mundur tentara Metaun dan membunuh Prabu Gajah Angun-angun yang kejam. Prabu Jayawarsya menyambut kedatangan Kelana Jayeng Sari bersama pasukannya itu sampai diluar kota Kadiri. Waktu sang pahlawan turun dari gajah akan menghaturkan sembah kepada baginda, terdengar sorak gempita yang membelah udara. "Hidup Kelana Jayeng Sari! Hidup pahlawan Kadiri!" Kemudian mereka bersama-sama masuk ke dalam istana. Prabu Jayawarsya nampak terharu. Ia memandang berganti-ganti kepada Kelana Jayeng Sari dan putrinda Dewi Sekar Taji, lalu menundukkan kepalanya, seperti memikirkan sesuatu hal yang mengganggu kalbunya. Para prajurit Kelana Jayeng Sari dijamu dan dihibur dengan berbagai pertunjukan. Maka hilang lenyap capai lelah mereka, karena terhibur oleh berbagai hal yang menyukakan hati. Sementara itu di istana, baginda beserta beberapa orang pejabat penting juga sedang menjamu Kelana Jayeng Sari bersama Kebo Pandogo. Baginda memuji kepahlawanan sang Kelana dan bersukur karena ancaman bahaya terhadap Kadiri sudah bisa dihindari. Tatkala pembicaraan sampai pada soal pernikahan Kelana Jayeng Sari dengan Dewi Sekar Taji seperti yang telah dijanjikan, baginda menghela nafas panjang. "Jodoh memang ditentukan oleh para dewa ... " sabdanya kemudian. "Manusia tak bisa berbuat sesuatu apa, apabila Dewata raya tidak memperkenankannya ..." Orang-orang termenung demi mendengar sabda baginda yang diucapkan dengan suara yang murung sedih itu, diam termenung, tak ada yang berani memotong kalimat. Suasana yang penuh gelak tertawa berubah menjadi sungguh-sungguh. "Umpamanya Dewi Sekar Taji ..." baginda melanjutkan perkataannya pula. "Sejak masih kanak-kanak ia telah dipertunangkan dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati, putra mahkota Janggala. Apa mau pihak Janggala tidak menepati janji - atau lebih tepat: Dewata menghendaki yang lain. Raden Panji konon nikah di luar perkenan ayahanda dengan seorang bukan keturunan raja dan menolak untuk menikah dengan anakku Sekar Taji ..." wajah baginda muram, suaranya pun makin menjadi guram. "Dan kemudian Raden Panji konon tenggelam di lautan selagi berlayar-layar dengan istrinya yang sudah meninggal ... Tetapi ada pula yang mengatakan, bahwa Raden Panji masih hidup, hanya sebegitu jauh sampai sekarang belum kelihatan muncul. Sang Prabu Jayantaka sudah mengundurkan diri, kini telah digantikan oleh Prabu Braja Nata, putra baginda. Hebat adalah bagi kami, karena Prabu Braja Nata bersikeras mengatakan bahwa saudaranya, Raden Panji Kuda Waneng Pati masih hidup, karena itu pertunangannya dengan Dewi Sekar Taji tidak dibatalkan! Tetapi bertahun-tahun telah lampau, kabar mengenai Raden Panji tak juga sampai. Lagipula bukti bahwa Raden Panji masih hidup tak ada yang layak



dipercaya ... Prabu Braja Nata tak percaya saudaranya itu telah meninggal, karena mereka tidak berhasil menemukan mayatnya. Ya, bagaimana pula mencari mayat di dalam lautan yang dalam dan luas tak terkira?" baginda berhenti sejenak, suasana hening. "Karena itu, menurut pendapat kami, adalah anakku Kelana Jayeng Sari yang telah ditentukan oleh Dewata untuk menjadi jodoh Dewi Sekar Taji, anakku. Sesuai dengan perjanjian kita, kami merasa tidak keberatan menikahkan anakku Dewi Sekar Taji dengan anakku Kelana Jayeng Sari. Persiapan untuk itu akan segera disediakan ..." Hampir Kelana Jayeng Sari tak kuasa menahan dirinya, akan sujud di depan baginda dan menjelaskan bahwa Raden Panji Kuda Waneng Pati yang dikabarkan tenggelam di lautan itu, adalah dia sendiri adanya. Hampir ia tak kuat menahan keinginan untuk mengatakan bahwa Raden Panji Kuda Waneng Pati dan Kelana Jayeng Sari itu orangnya satu. Untung saja penasihatnya yang bijaksana, Ki Kebo Pandogo, menekan tangannya, sehingga sadar ia akan dirinya yang sedang menyamar. Maka pembicaraan pun dilanjutkan tentang pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Beberapa orang senapati mengutarakan kekuatirannya kalau-kalau pihak Janggala menjadi marah dan menyerang Kadiri. Tetapi mengapa pula mesti takut? Bukankah Kelana Jayeng Sari yang gagah perwira dan sakti itu akan sanggup memukul mundur serbuan Janggala? Maka mengenai hal itu orang tidak berani menyinggung-nyinggungnya pula. Pernikahan ditetapkan akan dilangsungkan enam minggu lagi. Selama itu persiapan-persiapan akan diadakan. Sebuah pesta kerajaan akan diselenggarakan besar-besaran. Bukankah Dewi Sekar Taji putri mahkota yang kelak akan memangku takhta Kadiri? Seluruh kerajaan sibuk bersiap-siap untuk menyambut hari yang akan dirayakan empat puluh hari empat puluh malam itu. Tetapi waktu yang enam minggu itu menyebabkan berita tentang pernikahan Dewi Sekar Taji dengan Kelana Jayeng Sari dari tanah Seberang itu sampai di Janggala dan Prabu Braja Nata murka besar tatkala mendengarnya. "Dewi Sekar Taji sudah dipertunangkan dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati!" katanya dengan geram. "Raden Panji memang hilang, tetapi ia belum meninggal dan pertunangan antara keduanya pun belum diputuskan! Nyata pihak Kadiri hendak menghina kita, Janggala! Hinaan ini tak boleh kita biarkan saja!" Maka baginda berunding dengan para pejabat kerajaan yang penting-penting membicarakan persiapanpersiapan untuk menyerang Kadiri, supaya pernikahan tunangan putra mahkota Janggala dengan orang yang berasal dari tanah Sebrang itu jangan sampai terlaksana. Baginda bertindak cepat, beberapa hari kemudian berangkatlah tentara Janggala dalam jumlah yang besar menuju Kadiri. Prabu Braja Nata sendiri memimpin penyerangan itu. Tetapi Prabu Braja Nata bertindak hati-hati. Ia tidak langsung menyerang Kadiri. Tatkala sampai di perbatasan, ia pun mendirikan perkemahan. Lalu ditulisnya sepucuk surat yang akan diantarkan oleh Senapati Arya Suralaga kepada sang baginda Prabu Jayawarsya. Dalam surat itu Prabu Braja Nata



mengingatkan mamanda akan pertunangan putri mahkota Kadiri dengan putra mahkota Janggala Raden Panji Kuda Waneng Pati. Pertunangan itu belum pernah diputuskan, dan meskipun dikabarkan tenggelam ke dasar lautan, belum tentu Raden Panji sudah meninggal. Hingga sekarang mayatnya belum diketemukan orang. Karena itu, Prabu Braja Nata menyatakan keberatannya kalau Dewi Sekar Taji dinikahkan dengan orang lain, sedangkan pertunangannya dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati belum diputuskan secara resmi. Ia mengatakan bahwa jika hal itu dilangsungkan, maka itu berarti penghinaan buat Janggala dan ia takkan membiarkan diri serta nama baik kerajaannya terhina. Di perbatasan ia telah siap dengan bala tentaranya yang besar untuk menyerbu Kadiri, kalau penghinaan dilangsungkan juga. Pada akhir suratnya, Prabu Braja Nata menuntut agar pernikahan itu dibatalkan dan agar Kelana Jayeng Sari datang menyerah kepadanya untuk menerima hukuman penggal. Orang yang konon berasal dari tanah Sebrang itu dianggap telah dengan sengaja menghina kerajaan Janggala. Tetapi sebelum Senapati Arya Suralaga sampai di hadapan Prabu Jayawarsya akan mempersembahkan surat Prabu Braja Nata, berita tentang kedatangan tentara Janggala di perbatasan Kadiri telah meniup-niup di seluruh negeri. Setiap orang membicarakannya. Setiap orang berkuatir. Dan kekuatiran itu mempengaruhi persiapan pesta kerajaan untuk pernikahan putri mahkota mereka. Dan tatkala Prabu Jayawarsya menerima utusan Prabu Braja Nata, hatinya goncang. Sebelum ia membuka surat yang dipersembahkan orang kepadanya, untuk sebagian besar baginda telah maklum akan isinya: Perang! Perang dengan Kadiri! Tidak, bencana itu tak mungkin dihindari lagi! Tuntutan Prabu Braja Nata sangat mustahil: Kelana Jayeng Sari mana mungkin bersedia untuk menyerahkan kepalanya kepada pihak Janggala! Sebaliknya ia pun takkan mungkin meminta Kelana Jayeng Sari untuk membatalkan pernikahannya dengan Dewi SekarTaji! Itu akan menyebabkan pahlawan dari tanah Sebrang itu merasa terhina dan murka pula! Memang, ia boleh tidak usah menaruh kuatir, karena Kelana Jayeng Sari dengan bala tentaranya tentu akan menghadapi serangan dari Janggala. Namun jika hal itu terjadi, maka perhubungannya dengan Janggala akan buruk untuk selama-lamanya. Sedangkan Janggala dengan Kadiri berasal dari satu keturunan, dari satu kerajaan jua ... Maka terkenang pula baginda akan cita-citanya semasa muda, bersama-sama dengan saudara sebuyutnya Prabu Jayantaka, untuk bersama-sama mewujudkan kembali apa yang dahulu dengan susah payah telah dipersatukan oleh moyang mereka Sang Airlangga: persatuan Kadiri dengan Janggala! Sungguh suatu cita-cita yang indah! Sungguh tak baginda kira, cita-cita yang mulia itu akan berakhir seperti ini. Jangankan persatuan, bahkan perpecahan selama-lamanya mengancam perhubungan kedua kerajaan itu! Baginda menghela nafas. Kepada Senapati Arya Suralaga baginda meminta tempo untuk merundingkannya dahulu dengan para tetua negara dan sementara menunggu keputusan itu, utusan Prabu Braja Nata dipersilakan beristirahat di sebuah pesanggrahan yang sangat resik. Tetapi para tetua serta pejabat negara pun tidak mampu menghasilkan saran yang merupakan jalan keluar. Mahapatih Kebo Rerangin yang terkenal bijaksana itu, merenung, berpikir keras dan kata-katanya tidak memberikan cahaya harapan. "Akhir-akhirnya segala-galanya terserah kepada Gusti Kelana Jayeng Sari jua ... " demikian katanya.



"Hanya ia dalam hal ini yang mungkin memberi keputusan. Kalau ia menghendaki perang, maka perang pun takkan mungkin dihindari ... Kecuali kalau ia bersedia memenuhi tuntutan Prabu Braja Nata itu ... " "Tetapi sudikah ia menyerah?" tanya baginda. "Itulah yang tak bisa kita jawab. Karena itu hanya ia sendiri yang mungkin memberi keputusan ...." "Tak ada jalan lain kalau begitu: kita mesti merundingkan hal ini dengan dia! Baiklah, Senapati Wirapati, silakan Kelana Jayeng Sari datang ke mari!" sabda baginda. Sementara itu Dewi Sekar Taji, yang juga mendengar berita tentang masuknya tentara Janggala ke perbatasan, bermuram durja. Ia nampak merenung-renung dan melamun, sehingga menimbulkan heran Kelana Jayeng Sari yang sedang mengunjunginya. "Apakah yang Adinda pikirkan?" tanyanya. Dewi Sekar Taji memandang kepada bakal suaminya itu dengan mata redup. "Hamba kuatir, karena hamba dengar wadia-bala Janggala telah sampai di perbatasan akan menyerang Kadiri," sahutnya dengan suara guram. "Tentu gara-gara pihak Janggala mendengar tentang akan dilangsungkannya pernikahan kita ..." Kelana Jayeng Sari tersenyum dan wajahnya cerah, seperti ia tidak mengetahui apa-apa dan sambil tersenyum jua ia bertanya, "Jadi menyesalkah Adinda akan pernikahan kita?" Dewi Sekar Taji memandang dengan tajam. "Jangan Kakanda berbicara seperti itu! Hamba tidak menyesal karena telah mendapat jodoh Kakanda, malah ... bangga!" "Tetapi agaknya Adinda mengharap-harap jua Raden Panji, tunangan Adinda sejak masih kanak-kanak itu ... " kata Kelana Jayeng Sari sambil tersenyum jua. "Tidak!" sahut Dewi Sekar Taji cepat. "Tidak demikian! Hamba dengan Raden Panji belum pernah bersua. Atau kalau pun pernah bersua, tentu tatkala kami masih kanak-kanak. Kami tak ingat lagi. Lagipula Raden Panji hamba dengar sudah menikah dengan orang lain dan ia sangat mencintai istrinya itu, sehingga..." "Jadi apa yang Adinda rusuhkan?" potong Kelana Jayeng Sari seakan-akan ia tak mau mendengar kekasihnya itu menghabiskan kalimat. Dewi Sekar Taji menghela nafas sambil mengarahkan pandangannya ke kejauhan. Ia nampak berfikir keras. "Yang hamba jadikan pikiran," akhirnya ia menyahut, "adalah bencana yang bakal dialami oleh rakyat Kadiri..." "Bencana apa?" "Kalau bala tentara Janggala masuk, tentu peranglah yang akan terjadi dan tentu rakyat Kadiri akan hancur menderita karenanya ..." sahutnya dengan suara murung. "Ragu-ragukah Adinda akan kegagahan serta keperwiraan para ponggawa Kelana Jayeng Sari?" Dewi Sekar Taji menggleng-gelengkan kepala. "Tidak! Sedikit pun Dinda tidak ragu. Hamba telah menyaksikan mereka bertempur tatkala menghadapi tentara Metaun dan hamba percaya, mereka di bawah pimpinan gustinya yang perwira akan mencapai kemenangan di setiap peperangan ..." mengucapkan yang terakhir ia tersenyum sambil mengerling manja



kepada tunangannya. Kelana Jayeng Sari tersenyum. "Jadi apa yang Adinda kuatirkan?" kemudian ia bertanya. "Apabila terjadi perang dengan Janggala, tentu akan banyak orang yang mati atau sekurang-kurangnya mendapat celaka, menderita berbagai kesengsaraan. Wanitawanita akan banyak yang kehilangan suami, anak-anak banyak yang akan kehilangan ayah dan ibu-ibu banyak yang akan kehilangan anak lelaki mereka yang menjadi tiang kehidupannya ... Waktu berperang dengan Metaun tempo hari, hamba menyaksikan hal-hal yang mengerikan dan menyedihkan itu. Dan diamdiam hamba berpikir: Alangkah hebatnya bencana yang dialami dan diderita oleh manusia lantaran perang! Apakah manfaatnya perang itu? Apakah artinya perang antara sesama manusia, sesama saudara? Ya. Kadiri dan Janggala masih berasal dan satu keturunan ... Kalau terjadi perang, tak peduli siapa yang menang ataupun siapa yang kalah, kedua pihak akan menderita, akan mengalami bencana. Bencana atas sesama manusia." Dewi Sekar Taji berhenti sebentar dan karena kekasihnya diam saja menyimakkan perkataannya, kemudian ia melanjutkan pula, "Dan kalau hamba bertanya kepada diri hamba sendiri. Apakah pangkal sebabnya sehingga kedua kerajaan yang berasal dari satu keturunan itu berperang? Apakah yang mereka bela? Apakah yang mereka pertahankan? Kanda pun tahu: hambalah pangkal sebabnya. Hamba! Hambalah yang akan menyebabkan manusia saling bunuh sesamanya! Dan kalau pun kelak kita menang, apakah yang akan kita dapat? Kebahagiaan kita. Barangkali kita akan berbahagia dalam hidup kita. Tetapi apakah artinya kebahagiaan kita apabila kita perbandingkan dengan penderitaan serta kesengsaraan yang dialami oleh beratus-ratus dan beribu-ribu orang yang mendapat bencana perang itu? Seimbangkah kebahagiaan kita dengan kurban yang dimintanya? Ya, apakah artinya kebahagiaan kita kalau untuk itu kita menyebabkan beribu-ribu orang lain mendapat bencana dan menderita kesengsaraan?" Kelana Jayeng Sari mendengarkan perkataan bakal istrinya itu dengan kagum. la merasa malu, karena ia sendiri dahulu hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri saja. 'Coba kalau dahulu aku tidak terlalu menurutkan hatiku sendiri ...' sesalnya dalam hati. 'Kini tentu bulan dan matahari ada dalam genggamanku! Dan siapakah lagi yang akan lebih berbahagia daripada orang yang menyandingkan keduanya?' Teringat akan masa lampaunya, ia menjadi murung dan menyesal. Tetapi melihat Dewi Sekar Taji yang memandang dengan mata redupnya ke arah tak berwatas, ia segera berkata, "Kalau begitu, perang mesti kita hindari ..." Dewi Sekar Taji menolehkan wajahnya. Kini ia memandang wajah Kelana Jayeng Sari tajam-tajam, dari matanya terpancar keheranan. "Apakah maksud Kanda?" "Perang itu akan kita hindari ..." "Tetapi semudah itukah soalnya? Sesederhana itukah?" Kelana Jayeng Sari tersenyum. "Kalau Kanda mengirimkan utusan kepada Prabu Braja Nata, tentu persoalan akan beres dan apa yang Rayinda takuti akan terhindar..."



Dewi Sekar Taji memandang dengan heran dan tidak mengerti. Ia hendak bertanya pula, tetapi tatkala itu datang Senapati Wirapati yang memangku titah baginda. Kelana Jayeng Sari disilakan menghadap baginda secepat mungkin. "Apakah soalnya gerangan?" tanya Dewi Sekar Taji. Senapati Wirapati seperti keberatan menyahut. Maka Kelana Jayeng Sari menalanginya, menjawab, "Tentu soal Janggala, bukan?" Senapati Wirapati terkejut. 'Bagaimana ia mungkin mengetahuinya? Benar-benar orang ini sakti!' pikirnya dalam hati. Ia hanya mengangguk dan mengiakan saja. Kelana Jayeng Sari meminta diri dari kekasihnya, lalu bergegas menuju balairung, diiringkan oleh Senapati Wirapati. Waktu ia sampai di sana, Ki Kebo Pandogo juga sudah ada di sana. Maka baginda pun lalu membicarakan masalah yang membingungkan hatinya itu. Surat yang diterimanya dari Prabu Braja Nata diberikannya kepada Kelana Jayeng Sari. Ki Kebo Pandogo tersenyum-senyum saja, tetapi ia tidak berkata sesuatu apa. Setelah Kelana Jayeng Sari menelaah surat itu, terdengar baginda bersabda, "Anakku pun tahu, bahwa dalam hal ini, semuanya tergantung kepada Anakku Kelana sendiri ... Kami tak bisa berbuat apa-apa ... Apakah yang hendak Anakku lakukan?" Kelana Jayeng Sari memandang kepada baginda, kemudian menghaturkan sembah, "Tak usah Gusti merisaukan hal itu. Ancaman tentara Janggala tak usah Gusti kuatirkan ..." "Ya, kami percaya, Anakku akan dengan mudah mengalahkannya dan memukulnya mundur," sela baginda. "Tidak!" sela Kelana Jayeng Sari. "Hamba tidak akan mempergunakan kekuatan senjata ..." Semua orang terkejut, kecuali Ki Kebo Pandogo. "Apa maksud Anakku?" tanya baginda penasaran. Kelana Jayeng Sari tersenyum. "Hamba akan menyerahkan diri hamba kepada Prabu Braja Nata ..." "Apa?" semua orang terlonjak dari duduknya. "Anakku akan menyerahkan diri untuk dipenggal?" tanya baginda dengan hati kuatir, meski baginda berpikir, bahwa itulah yang sebaik-baiknya untuk mencegah permusuhan antara kedua kerajaan yang berasal dari satu keturunan. "Daulat Gusti," sahut Kelana Jayeng Sari. "Hamba akan menyerahkan kepala hamba kepada Prabu Braja Nata .... " "Tetapi ... bagaimana dengan prajurit-prajurit Anakku? Tidakkah mereka mampu menangkis bahkan memukul mundur tentara Janggala? Apakah Anakku merasa kuatir?" "Sama-sekali hamba tidak merasa kuatir," sahut Kelana Jayeng Sari. "Tetapi bukankah jalan itu yang sebaik-baiknya ditempuh?" Baginda terperanyak. Perkataan itu mengena benar pada hati baginda. Darah menyirat memerahi wajah baginda.



'Apakah ia tahu apa yang kami kuatirkan?' pikir baginda dalam hati. 'Sungguh sakti ia!' Melihat baginda terdesak, mahapatih Kebo Rerangin yang bijaksana itu segera menghaturkan sembah, "Bagaimana pun Gusti, Gusti Kelana Jayeng Sari-lah yang mungkin memberi putusan. Apa juga yang dikehendakinya, kita tak mungkin berbuat apa-apa ..." Dan dengan demikian ia merasa telah menolong gustinya dari kesulitan. Maka keputusan diambil. Kelana Jayeng Sari tidak akan mengadakan perlawanan terhadap Prabu Braja Nata. Ia malah hendak menyerahkan diri. Kepada Senapati Arya Suralaga yang menunggu di pesanggrahannya, segera baginda menyampaikan keputusan itu. Maka rombongan utusan itu, keesokan harinya segera pulang membawa keputusan yang melegakkan hati. Namun tatkala Prabu Braja Nata menerima berita itu, ia hampir-hampir tidak percaya. Semudah itukah soal bisa diselesaikan? Mengapa Kelana Jayeng Sari yang terkenal gagah perwira itu segampang itu menyerah? la curiga kalau-kalau di balik kesediaan untuk menyerah itu tersembunyi maksud keji untuk membokong. Tetapi tatkala ia bertanya dengan lebih teliti kepada Senapati Arya Suralaga, barangkali mereka diam-diam mengadakan persiapan perang, utusan yang bermata tajam itu menyangkalnya. "Persiapan yang hamba lihat semuanya dipusatkan untuk perayaan pernikahan belaka," sahutnya. "Hamba tak melihat persiapan-persiapan bala tentara!" Mau tak mau baginda percaya akan keterangan itu, karena Senapati Arya Suralaga seorang yang teliti dan waspada. Hidungnya tajam mencium bahaya dan tentang hal itu baginda yakin. "Sungguh aneh" katanya. Siapakah gerangan Kelana Jayeng Sari itu sesungguhnya? Mengapa ia berbuat yang mengherankan sekali? Tetapi tak seorang pun yang bisa menerangkan hal itu. Maka sehari lamanya baginda dan para penasihatnya dirundung kebingungan. Mereka lega karena takkan terjadi perang, tetapi akhir peristiwa agaknya sama-sekali di luar sangkaan semua orang. Mereka tak habis-habisnya merasa heran. Siang hari datang seorang pengawal memberitakan kedatangan tokoh yang mengherankan berbareng membingungkan mereka itu: Kelana Jayeng Sari hendak menghadap kepada Prabu Braja Nata, akan menyerah. "Dengan siapakah ia datang? Banyakkah pengiringnya?" tanya baginda dengan perasaan kuatir juga. "Hanya berdua dengan seorang yang sudah lanjut usianya," sahut pengawal itu. "Titahkan mereka ke mari!" sabda baginda akhirnya setelah merenung sejenak. Sementara itu para tetua dan penasihat baginda memang sudah mengharap-harap kedatangan tamu itu. Dan mereka senantiasa mengharap dengan perasaan heran juga kedatangan satria yang penuh rahasia itu. Mereka siap menerima. Sementara menanti masuknya satria yang mereka anggap telah menghina harga diri mereka itu, tak tahu kenapa mereka merasa debaran jantungnya mendadak mengeras. Prabu Braja Nata sendiri gelisah dan beberapa orang yang lain merasa tidak tenang duduk. Bagaimana pun akhir segala sesuatunya berlainan benar dengan yang pernah mereka bayangkan. Akhirnya yang dinanti-nantikan pun datang juga....



"Adinda!" teriak Prabu Braja Nata dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. "Raden Panji!" teriak yang lain-lainnya dengan takjub. Prabu Braja Nata melompat lalu memeluk adinda dengan berurai airmata. "Adinda ... Adinda ... Jadi Adindakah Kelana Jayeng Sari itu?" tanyanya dengan suara sarat suka-cita. "Wahai Adinda, terlebih dahulu berilah Kakanda ampun!" Kelana Jayeng Sari yang telah menjadi Raden Panji Kuda Waneng Pati kembali itu, mencoba menahan keharuan hatinya. Tetapi ia tak mampu. Maka dalam pelukan kakanda ia pun tergukguk mengalirkan airmata sukacita. "Tak ada yang mesti hamba maafkan," akhirnya ia berhasil mengucapkan kata-kata, "karena tak ada kesalahan Kanda atas Dinda! Malah sebaliknya, Adindalah yang meminta kelapangan hati Kanda karena telah membikin Kanda semua merasa tegang ..." Sementara itu Senapati telah memeluk merangkul Ki Kebo Pandogo dengan mesra dan terharu. "Kanda Prasanta! Kakandalah kiranya!" Waktu Prabu Braja Nata melepaskan pelukannya dari adinda, ia menoleh kepada Patih Prasanta yang tua itu. Baginda pun berseru, "Mamanda Prasanta!" "Daulat Gusti!" sahut Patih Prasanta. Lalu mereka pun berbicara dengan sukacita, mencurahkan perasaan hatinya masing-masing. Prabu Braja Nata meminta agar Adinda Raden Panji Kuda Waneng Pati sudi mengisahkan pengalamannya selama menjadi Kelana Jayeng Sari. Adinda tersenyum, lalu memandang kepada Patih Prasanta. "Semuanya adalah atas nasihat Mamanda Prasanta ..." ia menyahut. "Ia sungguh seorang yang bijaksana ..." "Gusti memuji terlalu berlebihan," tukas Patih Prasanta. "Yang hamba lakukan hanya kewajiban seorang hamba terhadap junjungannya belaka." Akhirnya Patih Prasanta mau juga mengisahkan pengalamannya selama berkelana sehabis terpukul badai di tengah lautan, diakhiri dengan kisah menaklukkan raja Metaun yang disertai syarat agar baginda Prabu Jayawarsya sudi menyerahkan Dewi Sekar Taji pabila Prabu Gajah Angun-angun bisa dikalahkan. "Namun pernikahan itu tidak mungkin berlangsung, lantaran pihak Janggala murka dan hendak memenggal kepala sang Kelana Jayeng Sari, yang dianggap telah merebut tunangan Adinda Raden Panji Kuda Waneng Pati ..." demikian Patih Prasanta mengakhiri kisahnya sambil tersenyum. Orang-orang tertawa. "Tetapi Kelana Jayeng Sari ternyata adalah Adinda Raden Panji, karena itu sesungguhnya tak ada peristiwa perebutan tunangan," sabda Prabu Braja Nata kemudian. "Karena itu pernikahan Kelana Jayeng Sari dengan Dewi Sekar Taji mesti dilangsungkan! Kita yang sudah kepalang sampai di perbatasan, sekalian saja masuk ke Kadiri akan turut merayakan pernikahan kedua putra mahkota!" Pikiran itu mendapat persetujuan orang banyak. Maka keesokan harinya tentara Janggala itu bergerak ke arah Kadiri. Tetapi bukan untuk menyerang atau berperang, melainkan untuk merayakan pesta pernikahan yang akan mewujudkan cita-cita Prabu Jayantaka dan Prabu Jayawarsya dahulu .... *** Prabu Jayawarsya sangat bersuka-cita tatkala mengetahui bahwa Kelana Jayeng Sari itu tak lain Raden



Panji Kuda Waneng Pati adanya. Mereka menyambut kedatangan Kelana Jayeng Sari bersama-sama rakanda Prabu Braja Nata dengan kehormatan dan kegembiraan. Pernikahan Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan Dewi Sekar Taji dilangsungkan dengan amat sangat meriah. Seluruh kerajaan berpesta. Semua orang bersuka ria. Berbagai pertunjukan dan hiburan diselenggarakan tanda kegembiraan hatinya menyaksikan pernikahan putra mahkota Janggala dengan putri mahkota Kadiri. Bala tentara Janggala yang berangkat dari negerinya ditangisi oleh para kerabatnya lantaran hendak berperang, tenggelam dalam pesta dan suka ria. Setelah empat puluh hari empat puluh malam lamanya bersuka ria dan bersenang-senang, Prabu Braja Nata meminta diri kepada Baginda Prabu Jayawarsya akan pulang ke negerinya. Kepada Raden Panji Kuda Waneng Pati ia meminta agar putra mahkota itu segera pulang ke Janggala akan menerima takhta kerajaan. Prabu Braja Nata merasa dirinya hanya seorang wakil belaka dan ia ingin menyerahkannya kembali kepada yang berhak. Tetapi di luar dugaannya, Raden Panji menggelengkan kepala. Hatinya telah tawar, ia tidak memikirkan takhta kerajaan dan ia meminta agar rakanda terus menduduki takhta. "Bagi Adinda sekarang," katanya lebih lanjut, "kehidupan terpencil di sebuah pegunungan lebih menarik hati ... Kesibukan istana dan kerajaan, membikin pikiran Adinda pepat ... " "Tetapi kalau demikian Adinda menyia-nyiakan cita-cita ayah kita dahulu..." kata Prabu Braja Nata. Raden Panji menghela nafas. Terkenang pada ayahanda, ia berduka. "Bagaimana pun juga," katanya kemudian, "sekarang belum bersedia hamba kembali ke Janggala akan memangku takhta. Sekarang, Kakanda saja pulang dahulu. Kalau kelak hamba ternyata diperlukan, tentu akan datang..." Setelah masak diperembukkan, maka diambil keputusan, Prabu Braja Nata beserta tentaranya akan segera pulang ke Janggala, sedangkan Raden Panji beserta istrinya Dewi Sekar Taji akan pergi ke sebuah gunung akan mengecap madu kebahagiaan selama di sana. Prabu Jayawarsya telah membangun sebuah istana mungil untuknya, letaknya di punggung gunung Wilis yang sejuk hawanya. Demikianlah penganten dan mempelai itu mengecap keberuntungan serta kebahagiaan hidupnya, di suatu tempat terpencil dari keriahan kerajaan. Hanya beberapa orang pengasuh dan ponggawa yang turut serta dengan mereka. Dewi Sekar Taji sangat berbahagia, di tengah alam yang indah serta bunga-bungaan yang aneka warna, ia bagaikan mahkota segala bunga.... Tetapi Raden Panji tidak mengecap kebahagiaan itu sepenuh jiwa, lantaran ia terkenang akan istrinya yang dahulu, Dewi Anggraeni ... Apa pula keadaan alam pegunungan itu, mengenangkan ia akan pertemuannya dengan Dewi Anggraeni di pegunungan Penanggungan. Kadang-kadang, lantaran Dewi Sekar Taji bagaikan pinang dibelah dua dengan Dewi Anggraeni, ia merasa ragu, siapakah sebenarnya gerangan putri yang ada di sampingnya itu, Anggraeni ataukah Sekar Taji? Tak jarang ia terluncur kata, memanggil 'Anggraeni' kepada istrinya, untung kemudian segera ia sadar. Dewi Sekar Taji maklum akan keadaan kakanda, kadang-kadang ia pun merasa berduka, pabila kakanda memanggilnya dengan nama istri kakanda yang dahulu, ia merasa disia-siakan ...



Tetapi untuk menghapus kakanda dari kenangannya kepada istrinya yang pertama itu, ia merasa tidak mampu. Pabila terhenyak lantaran dipanggil dengan nama yang bukan namanya itu, kakanda segera memperbaiki dirinya sambil memeluknya membisikkan kata-kata lembut. "Maafkan Kakanda, Sekar ... Maafkan Kakanda!" Tetapi sesungguhnya, tak ada yang mesti dimaafkan. Maka ia hanya tersenyum arif, meski merasa hatinya pedih. Raden Panji sendiri bukan tidak maklum akan apa yang dirasa oleh istrinya. Ia merasa bersalah. Tetapi ia pun merasa lebih bersalah pula jika mencoba hendak menghapuskan kenangan kepada istrinya yang dahulu itu. 'Benarkah Anggraeni akan kembali?' tanyanya dalam hatinya sendiri. 'Ia pergi terbang ke langit, ke arah bulan dan mungkin suatu waktu ia kembali kepadaku.' Teringat bahwa akan hancur kalbu Dewi Anggraeni pabila menyaksikan ia sudah beristrikan orang lain, hati Raden Panji pepat. Ia merenung memikirkan dirinya. Malam itu purnama bulat penuh keluar dengan cahayanya yang laksana emas. Raden Panji terkenang pula akan istrinya, merenung memandang kepada ratu malam yang lembut itu. Terkenang pula Raden Panji akan malam tatkala istrinya secara gaib terbang ke arah bulan. Waktu itu bulan pun purnama, bulat tak bercacat...... Dan beberapa lamanya Raden Panji memandang bulan purnama itu dengan mata tak mengejap-ngejap, sedangkan Dewi Sekar Taji menyaksikan kelakuan suaminya itu dengan hati yang teriris. Tiba-tiba Raden Panji melihat sesuatu bergerak dari arah bulan kepadanya. Mula-mula titik yang tak bisa dikenali, tetapi makin dekat makin jelas. "Itulah Dewi Anggraeni!........" bisik Raden Panji dengan mata terbelalak. "Ia datang!" Kemudian ia melihat Dewi Anggraeni yang sangat jelita dalam cahaya bulan itu, lebih jelita daripada waktu yang lampau, berdiri di sebelah istrinya, di sebelah Dewi Sekar Taji. Keduanya sama benar! Hanya, pabila Dewi Anggraeni memandangnya dengan senyum yang menyejukkan kalbu, adalah Dewi Sekar Taji memandangnya dengan mata redup. "Anggraeni!" ia berteriak sambil bangkit, lalu berjalan hendak memeluk istrinya yang dahulu itu. Tetapi Dewi Anggraeni tidak menyahut. Ia hanya tersenyum saja, tersenyum. Dan jaraknya makin dekat juga ia kepada Dewi Sekar Taji, makin dekat dan makin dekat... Waktu Raden Panji melompat hendak menubruknya, Dewi Anggraeni sudah berpadu dengan Dewi Sekar Taji. Maka istrinya itulah yang ditubruk serta dipeluknya. "Kakanda!" terdengar Dewi Sekar Taji bicara dengan suara yang hiba. "Kakanda! Mengapa?" tanya Dewi Sekar Taji. Raden Panji tersadar. Ia ternyata merangkul istrinya, Dewi Sekar Taji yang berdiri berdampingan dengan roh sukma Dewi Anggraeni. Alangkah cantiknya kedua istrinya itu. Namun lambat laun bayangan Dewi Anggraeni menghilang, dan yang berdiri dihadapannya hanya Dewi Sekar Taji yang kini telah menyatu dengan bayangan Dewi Anggraeni. Bagaikan kecantikan dua putri jelita telah bersatu-padu dan memijar. Ia



sejenak tak bisa menyaksikannya "Kakanda! Ada apakah gerangan?" Dewi Sekar Taji bertanya, padahal ia sudah maklum akan hal kakanda. Tentu kenangannya kepada istrinya dahulu jua yang menjadi sebab. "Adinda! Adinda!" bisik Raden Panji. "Tidakkah Adinda tadi melihat ada orang datang?" Dewi Sekar Taji terkejut. "Orang?" tanyanya dengan heran, "Tidak ada. Yang ada cuma kita berdua ..." Raden Panji melengak. Ia memandang kepada istrinya dengan mata menyelidik. Tetapi agaknya istrinya itu berkata dengan sungguh-sungguh. Jadi, apakah yang kelihatan olehnya tadi? Ia berpikir. 'Tak salah aku! Tadi di samping Dewi Sekar Taji ia berdiri! Tersenyum dengan manis ...' katanya dalam hati. 'Dialah yang tadi kupeluk.' Tiba-tiba ia yakin. 'Tak syak lagi! Tentu kedua istriku itu kini telah berpadu. Dewi Anggraeni telah kembali kepadaku, tetapi ia menyatukan dirinya dengan Dewi Sekar Taji.' "Kakanda ..." suara Dewi Sekar Taji menyadarkan ia dari pikirannya. Ia memandang kepada istrinya itu. "Kakanda, agaknya Kakanda senantiasa diharu-biru pikiran ..." perkataan itu diucapkan Dewi Sekar Taji tidak lancar. "Sesungguhnya sudah lama hamba memperhatikan kelakuan Kanda ... Agaknya ingatan kepada Dewi Anggraeni selalu mengganggu Kanda ... Kanda, kata orang ia sudah meninggal, karena itu hamba tidak merasa telah merebut Kanda dari sampingnya. Namun begitu, tidakkah Kanda memandang hamba sebagai gantinya?" Ia sudah lama hendak berkata seperti itu, tetapi baru ketika itu mampu dia ucapkan. Dan kalimat yang sejak lama telah dia susun dan rangkai-rangkaikan dalam kepala, ternyata masih tersekat-sekat dalam kerongkongannya.... Raden Panji melengak. Ia memandang ke dalam mata istrinya yang jernih bening itu. Ia memandang mata Dewi Anggraeni. "Sejak sekarang engkau tak usah cemas ..." sahutnya. "Engkaulah istriku, kekasih yang abadi, penjelmaan cinta yang kudus suci... Pada dirimu Kanda lihat apa yang Kanda sangka telah hilang ... Engkau Dewi Sekar Taji, istriku, tetapi engkau pun Dewi Anggraeni, istriku yang dahulu ... Sekarang kedua istriku berpadu dalam dirimu......." Dewi Sekar Taji berurai airmata saking gembira. Ia menyekapkan wajah dalam dada suaminya. Ia menangis bahagia. "Kanda ... Kanda!" terdengar suaranya antara sedu-sedu kecil. "Ya, Adinda saja seorang yang sejak sekarang Kanda cintai sepenuh hati ... Hanya engkau saja Candra Kirana ..." kata Raden Panji sambil membelai-belai istrinya dengan mesra. Dewi Sekar Taji tersentak. "Apa? Candra Kirana? Siapakah Candra Kirana?" ia bertanya seperti tersengat. Raden Panji tersenyum. Kedua tangannya memegang bahu istrinya, dan sambil memandang kepada wajahnya dan menyelam ke dalam matanya, ia berkata dengan suara lembut, "Ya, engkaulah Candra Kirana! Engkau yang menjadi perpaduan antara dua mutiara ... Sukakah Adinda akan nama itu? Tidakkah nama itu indah?" "Candra Kirana ... Candra Kirana ..." Dewi Sekar Taji menggumam. "Alangkah indah! Nama itu Kanda



anugerahkan kepada Adinda?" "Ya, kepadamu, kepada cintaku. Candra Kirana ..." Keduanya berpelukan dan sambil memandang kepada bulan purnama yang menebarkan cahaya yang lembut keemasan itu, mereka pun melihat masa emas kebahagiaan mereka .... - TAMAT Ciborelang, 1961