Case 1 Jejas, Adaptasi Sel, Pemulihan Jaringan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUTORIAL KASUS 1 JEJAS



Disusun Oleh: Fallery Setyaprawira W.



(1910211041)



Salwa Tsabitah A.M.



(1910211054)



Ayi Nabilah



(1910211056)



Nden Ajeng Tresnawati



(1910211057)



Theresia Angelin Hulu



(1910211092)



Andreifa Fatwa Fadillah



(1910211104)



Fadhilah Qostholani Augisna (1910211124) Dhia Adhi Perwirawati



(1910211125)



Tutor: Dra. Arfiyanti, M. Kes KELAS TUTORIAL B3 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA



Tahun Akademik 2019/2020



KATA PENGANTAR



Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan banyak karunia serta rahmatNya, sehingga makalah Tutorial Kasus 1 “JEJAS“ Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dapat kami selesaikan. Adapun makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi tugas kami untuk melaksanakan Ujian Akhir Semester. Makalah ini memuat materi kasus 1 beserta learning progressnya. Demikian makalah ini kami susun. Kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam proses pembutan laporan ini, kami ucapkan terima kasih. Kami harap makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi semua pihak.



Jakarta, 25 Oktober 2019



JEJAS- FBS 2 Terminologi 



Cell injury







Inflammation







Apoptosis







Nekrosis







Tumor







Dolor







Calor







Rubor



Problem 



Mengapa Ny. R mengalami luka borok?







Apa penyebab jejas pada tumit kaki kanan Ny.R?







Termasuk jejas apakah yang disebabkan oleh sepatu itu?







Mengapa luka lecet pada kaki Ny. R tidak terasa nyeri?







Mengapa penyakit gula pada Ny. R dapat memperparah jejas?







Mengapa lecet tersebut bertambah parah?







Mengapa kulit di sekitar luka berwarna kemerahan?







Mengapa terjadi bengkak pada luka tersebut?







Mengapa terjadi nyeri pada luka tersebut?







Mengapa luka pada Ny. R semakin besar, bernanah serta berbau?







Bagaimana proses pemulihan jaringan pada luka Ny. R?







Mengapa Ny. R harus mengendalikan kadar gula darahnya?







Mengapa Ny. R juga harus menjaga kulitnya agar tidak terluka lagi?







Mengapa terbentuk jaringan parut pada bekas luka di Ny. R tersebut?







Mengapa kaki Ny. R masih bisa diselamatkan?



Hipotesis



Luka borok yang berbau pada tumit kanan Ny. R disebabkan oleh jejas fisik, jejas hipoksia, jejas biologis, yang akan mengalami adaptasi sel, reaksi radang/inflamasi, nekrosis, dan pemulihan jaringan. Mekanisme Ny. R 65 tahun penderita dm



Hipoksia



Jalan santai dengan sepatu baru



sel stres



lecet/jejas



luka



fisik



inflamasi



kemerahan rubor calor



akut



kronik



irreversible



reversible



pemulihan jaringan



penyembuhan luka



normal



tidak normal



nekrosis



apoptosis



Learning Issues 



Definisi jejas







Etiologi jejas







Mekanisme jejas







Adaptasi sel terhadap jejas







Jenis jejas







Regenerasi sel a. Proses pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi sel b. Mediator yang berperan c. Interaksi matriks intra dan ekstraselular







Inflamasi a. Pengertian b. Jenis c. Peran kelenjar dan pembuluh getah bening







Pemulihan jaringan oleh jaringan penunjang a. Angiogenesis c. Fibrosit b. Remodelling jaringan parut







Proses penyembuhan luka a. Luka primer b. Luka sekunder







Kekuatan luka







Aspek patologi dari proses pemulihan



JEJAS SEL Suatu keadaan di mana sel beradaptasi secara berlebihan ketika sel tersebut mengalami stress fisiologis atau rangsangan patologis. Jejas sel terjadi ketika sel tidak lagi mampu beradaptasi terhadap stress/stimulus berbahaya yang diterimanya.



FAKTOR-FAKTOR/ETIOLOGI



JEJAS



SEL



Stres yang dapat menginduksi jejas sel berkisar dari trauma fisik menyeluruh akibat kecelakaan motor sampai defek gen tunggal yang menghasilkan enzim rusak yang menjadi penyebab penyakit metabolik



spesifik.



Sebagian



besar



penyebab



dapat



digolongkan



menjadi kategori luas berikut ini. 



Deprivasi Oksigen. Hipoksia atau defisiensi oksigen, mengganggu respirasi oksidatif aerobik. Hipoksia merupakan penyebab cedera sel tersering dan terpenting, serta menyebabkan kematian. Hipoksia harus dibedakan dengan iskemia, yang merupakan terhentinya suplai darah dalam jaringan akibat gangguan aliran darah. arteri atau berkurangnya drainase vena. Iskemia merupakan penyebab tersering terjadinya hipoksia, Defisiensi oksigen dapat juga disebabkan oleh oksigenasi darah yang tidak adekuat, seperti pada pneumonia, atau berkurangnya kemampuan pengangkutan oksigen darah, seperti pada anemia atan keracunan karbon monoksida (CO) (CO membentuk ikatan kompleks yang stabil dengan hemoglobin sehingga menghalangi pengikatan oksigen).







Bahan Kimia. Sebenarnya, semua bahan kimia dapat menyebabkan jejas; bahkan, zat tak berbahaya, seperti glukosa atau garam. Jika terkonsentrasi cukup banyak akan merusak keseimbangan lingkungan osmotik sehingga mencederai atau menvebabkan kematian sel. Oksigen dalam tekanan yang cukup tinggi juga bersifat toksik. Bahan yang sering dikenal sebagai racun menyebabkan kerusakan serius pada tingkat selular dengan mengubah permeabilitas membran homeostasis osmotik, atau keutuhan enzim atau kofaktor, dan dapat berakhir dengan kematian seluruh organ. Bahan berpotensi toksik lainnya ditemukan setiap hari di lingkungan kita; bahan tersebut meliputi polusi udara, insektisida, karbon monoksida, asbes, dan "stimulan" sosial, seperti etanol. Bahkan, obat terapeutik dapai menyebabkan jejas sel atau jaringan pada pasien yang rentan atau pada pemakaian yang tepat.







Agen Infeksius. Berkisar dari virus submikroskopik sampai cacing pita yang panjangnya beberapa meter; di antara rentang itti terdapat riketsia, bakteri, fungi, dan protozoa.







Reaksi Imunologi. Walaupun sistern imun melindungi tubuh dalam melawan benda asing, reaksi imun yang disengaja atau tidak disengaja dapat menyebabkan jejas sel dan jaringan. Anafilaksis terhadap protein asing atau suatu obat merupakan contoh klasik. Selain itu, hilangnya toleransi dengan respons terhadap antigen sendiri merupakan penyebab sejumlah penurunan autoimun.







Defek Genetik. Defek genetik dapat menyebabkan perubahan patologis yang menyolok, sepertr malformasi kongenital yang disebabkan oleh sindrom Down atau tak kentara, seperti substitusi asam amino tunggal pada hemoglobin S anemia sel sabit. Beberapa kesalahan metabolisme saat lahir akibat defisiensi enzimatik kongenital merupakan contoh kerusakan sel dan jaringan yang disebabkan oleh perubahan “sepele" yang sering kali terjadi pada asam deoksiribonukleat (DNA).







Nutrisi. Bahkan di zaman berkembangnya kemakmuran giobal sekarang ini, fefisiensi nutrisi masih rnerupakan penyebab utama jejas sel. Insufisiensi (ketidakcukupan) kalori-protein pada masyarakat yang serba kekurangan merupakan contoh nyata; defisiensi vitamin tertentu sering terjadi bahkan di negara indrustrialis dengan standar hidup relatif tinggi. Ironisnya, nutrisi yang berlebihan juga merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas; misalnya, obesitas jelas meningkatkan risiko penyaklt disbetes melitus tipe 2 (dahulu disebut tidak dependen insnlin, onset dewasa). Selain itu, diet kaya lemak hewani sangat bersangkut-paut pada perkembangan aterosklerosis serta kerentanan terhadap banyak gangguan termasuk kanker.







Agen Fisik. Trauma, temperatur yang ekstrem, radiasi, syok elektrik, dan perubahan mendadak pada tekanan



atmosfer,



kisaran luas pada sel



semulanya



mempunyai



efek



dengan



MEKANISME JEJAS SEL 



Mekanisme Biokimiawi Secara jelas, terdapat banyak cara berbeda untuk menginduksi jejas sel. Selain itu, mekanisrne biokimiawi yang menghubungkan setiap cedera tertentu dan manifestasi selular dan jaringan yang terjadi bersifat kompleks dan saling terjalin erat dengan jalur intrasel lain. Terdapat prinsip relevan :







Respon terhadap rangsangan jejas bergantung pada jenis jejas, lama dan intensitasnya.







Konsekuensi jejas bergantung jenis, keadaan dan kemampuan adaptasi sel-sel yang mengalami jejas







Jejas sel terjadi karena abnormalitas pada satu / > 5 komponen sel yang essensial: respirasi aerobik (fosforilasi oksidatif mitokondria dan produksi ATP), Integritas membran sel, sintesis protein, sitoskeleton intrasel, integritas aparatus genetik.







Deplesi ATP. Fosfat berenergi tinggi ATP penting bagi setiap proses yang terjadi dalam sel, termasuk mempertahankan osmolaritas selular, proses transpor, sintesis protein, dan jalur metabolik dasar.



Hilangnya



sintesis



ATP



(baik



melalui



fosforilarsi



oksidatif mitokondria maupun glikolisis, anaerobik) menyebabkan penutupan segera jalur homeostasis yang paling kritis Fosfat ↓ sintesis ATP dan deplesi ATP iskemik maupun toksik. ATP dihasilkan



konsekuensi yang umum terjadi karena jejas glikolisis (anerob, inefisien)) dan fosforilasi oksidatif



dlm mitokondria (aerob, efisien). Hipoksia glikogen



Fosfat ↑ glikolisis anaerob dengan deplesi



m’↑ produksi asam laktat & asidosis intrasel. ATP



diperlukan bagi transpor



membran, pemeliharaan gradien ionik (Na+, K+ & Ca2+) dan sintesis protein. 



Influks Kalsium Intrasel dan Hilangnya Homeostasis Kalsium. Kalsium bebas dalam sitosol normalnya dipertahankan oleh transpor kalsium yang bergantung ATP pada konsentrasi sampai 10.000 kali lebih rendah dibandingkan konsentrasi kalsium ekstrasel dari sisa mitokondria intrasel dan reticulum endoplasma. Iskemia atau toksin menyebabkan masuknya kalsium ekstrasel melintasi membran plasma diikuti pelepasan kalsium dari deposit intraselular. Peningkatan kalsium sitosol sebaliknya mengaktivasi bermacam fosfolipase (mencetuskan kerusakann membran), protease



(mengatabolisasi protein membran dan struktural), ATPase (mempercepat deplesi ATP), dan endonuklease (memecah material genetik). Walaupun jejas sel menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan sebaliknya memperantarai berbagai efek delesi (pengurangan) termasuk



kernatian



sel.



Hilangnya



homeoostasis kalsium tidak selalu merupakan puncak kejadian yang perlu pada jejas sel irevcrsibel.







Defek pada permeabilitas membran plasma Membran plasma dapat langsung dirusak oleh toksin bakteri tertentu, protein virus, komponen komplemcn limfosit sitolitik, atan sejumlah agen fisik atau kimiawi. Perubahan permeabilitas membran



bisa



juga



sekunder,



yang disebabkan



oleh hilangnya



sintesis ATP atau disebabkan oleh aktivasi fosiolipase yang dimediasi kalsium. Hilangnya barier membran menimbulkan kerusakan gradient konsentrasi metabolit yang diperlukan untuk mempertahankan aktivitas metabolik normal.







Kerusakan mitokondria. Oleh karena semua sel mamalia akhirnya sangat bergantung pada metabolisme oksidatif, keutuhan mitokondria penting bagi pertahanan hidup sel. Tidaklah terlalu mengejutkan bila mitokondria baik langsung maupun tak langsung akan berakhir sebagai target sebagian besar tipe cedera. Peningkatan kalsium sitosol, stress, oksidatif intrasel, dan produk pemecahan lipid menyebabkan semuanya berkulminasi dalam pembentukan saluran membran mitokondria interna dengan kemampuan konduksi yang tinggi (disebut juga transisi permeabilitas mitokondria. Pori nonselektif ini memungkinkan gradien proton melintasi membran mitokondria untuk menghilang sehingga mencegah pembentukan ATP. Sitokrom c (protein mudah larut penting pada rantai transport elektron) juga bocor keluar ke dalam sitosol; di sini jalur kematian apoptosis akan teraktivasi. Disfungsi mitokondria, diinduksi oleh berbagai rangsang yang menyebabkan transisi permeabilitas mitokondria, menimbulkan kerusakan gradien proton yang diperlukan untuk pembentukan ATP serta melepaskan sitokrom c dari mitokondria ke dalam sitosol.







Cedera Kimiawi







Zat kimia menginduksi jejas se1 dengan salah satu dari dua mekanisme yaitu : Bcberapa zat kimia bekerja secara langsung dengan cara bergabung dengan komponen molekular kritis atau organel selular. Misalnya, pada keracunan merkuri klorida, merkuri



berikatan dengan gugus sulfhidril berbagai protein membran sel, menyebabkan inhibisi transpor yang bergantung ATPase dan meningkatkan permeabilitas membran. Banyak agen kemoterapeutik antineoplastik dan antibiotik juga menginduksi kerusakan sel dengan efek sitotoksik langsung yang serupa. Pada kondisi ini, kerusakan terbesar tertahan oleh sel yang menggunakan, mengabsorpsi, mengekskresi atau mengonsentrasikan senyawa. 



Bnnyak zat kimia lain yang tidak aktif secara intrinsik, biologis, tetapi pertama kali harus dikonversi menjadi metabolit toksik reaktif, yang kemudia bekerja pada sel target. Modilikasi ini biasanya disempurnakan oleh oksidase fungsi campuran P-450 dalam retikulum endoplasmik halus (SER) hati dan organ lain. Meskipun metabolit dapat mcnvebabkan kerusakan membran dan jejas sel dengan pengikatan kovalen langsung pada protein dan lipid, mekanisme jejas sel terpenting melibatkan pembentukan radikal bebas reaktif. Karbon tetraklorida (CCl4) digunakan secara luas pada industri cuci kering) dan asetaminofen termasuk dalam kategori ini. CCl4 misalnya dikonversi menjadi radikal bebas toksik CCl4, terutama di hati. Radikal bebas itu mcnyebabkan peroksidasi fosfolipid membran autokatalitik, dengan kerusakan cepat retikulum endoplasma. Dalam waktu kurang dari 30 menit, terdapat penurunan sintesis protein hati enzim dan protein plasma; dalam waktu 2 jam terjadi pembengkakan SER dan disosiasi ribosom dari RER. Terdapat pengllrangan ekspor lipid dari hepatosit, karena ketidakmampuannya menyintesis apoprotein menjadi ikatan kompleks dengan trigliserida sehingga mempermudah sekresi lipoprotein; akibatnya terjadi "perlemakan hati" pada keracrlnan CCl4. Kondisi itu diikuti dengan cedera pada mitokondria, dan berikutnya penurunan cadangan ATP menyebabkan gangguan transpor ion dan pembengkakan sel yang progresif; selanjutnya, membran plasrna dirusak oleh aldehid perlernakan yang disebabkan oleh peroksidasi lipid dalam SER. Hasil akhirnya bisa terjadi influks kalsium dan akhirnya kematian sel.. Seperti dicatat sebelumnya, rangsang berbahaya tidak perlu bersifat mematikan. Jelasnya, keparahan atau durasi jejas yang terbatas memungkinkan sel dan jaringan ke kondisi normal semula yang sama pentingnya pada keseimbangan ketahanan hidup adalah kemampuan sel yang mengalami jejas dapat berespons dan beradaptasi terhadap jejas.







Jejas Sel yang Diinduksi Radikal Bebas. Kerusakan radikal bebas juga mendasari cedera zat kimia dan radiasi, toksisitas oksigen dan gas lain, penuaan selular, pembunuhan mikroba oleh sel fagositik, kerusakan sel radang, destruksi tumor oleh makrofag, dan proses cedera lainnya. Radikal bebas merupakan spesies kimiawi dengan satu elektron tak berpasangan di orbital terluar. Keadaan kimiawi tersebut sangat tidak stabil dan mudah bereaksi dengan zat kimia anorganik atau organik; saat dibentuk dalam sei, radikal bebas segera menyerang dan



mendegradasi asam nukleat serta berbagai molekui membran. Selain itu, radikal bebas menginisiasi reaksi autokatalitik; sebaliknya, molekul yang bereaksi dengan radikal bebas diubah menjadi radikal bebas, semakin memperbanyak rantai kerusakan. Radikal bebas dapat dibentuk dalam sel oleh 



Reaksi redoks yang terjadi selama proses fisiologis normal. Selama respirasi normal, misalnya, oksigen molekular secara bertahap direduksi dalam mitokondria dengan penambahan empat elektron untuk menghasilkan air. Pada proses ini, sejumlah kecil spesies intermedia toksik dibentuk; termasuk radikal superoksida, hidrogen peroksida, dan OH. Selanjutnya, beberapa oksidase intrasel (seperti xantin oksidase) membentuk radikal superoksida sebagai akibat langsung aktivitasnya. Logam transisi, seperti tembaga (Cu) dan zat besi (Fe) juga menerima atau mendonor elektron bebas selama reaksi intrasel tertentu sehingga mengatalisis pembentukan radikal bebas, seperti pada reaksi Fenton. OIeh karena sebagian besar zat besi bebas intrasel dalam bentuk ferri, pertama-tama zat besi harus direduksi menjadi bentuk ferro untuk berpartisipasi dalam reaksi Fenton. Tahap reduksi itu dikatalisis oleh ion strperoksida sehingga zat besi dan superoksida bersinergi unluk memperoieh cedera sel oksidatif maksimal







Nitrit oksida (NO) merupakan mediator kimiawi penting yang normalnya disintesis oleh berbagai tipe sel yang dapat berperan sebagai radikal bebas atau dapat diubah menjadi spesies nitrit yang sangat reaktif.







Penyerapan energi radian (misalnya, sinar ultraviolet, sinar X). Radiasi pengion dapat menghidroIisis air menjadi gugus hidroksil (OH ) dan radikal bebas hidrogen.







Metabolisme



enzimatik



zat



kimia



eksogen



(misalnya,



karbon



tetraklorida



Tiga reaksi yang paling relevan dengan jejas seyang diperantarai radikal bebas o



Peroksidasi lipid membran. Ikatan ganda pada lemak tak jenuh (polyunsaturated lipid) membrane mudah terkena serangan radikal bebas berasal dari oksigen. Interaksi radikal lemak menghasilkan peroksida,



yang



tidak



stabil



dan



reaktif,



dan



terjadi



reaksi rantai autokatalitik. o



Fragmentasi DNA. Reaksi radikal bebas dengan timin pada DNA mitokondria dan nukleat menimbulkan



rusaknya untai tunggai. Kerusakan DNA tersebut telah memberikan implikasi pada pembunuhan se1 dan perubahan sel menjadi ganas. o



lkatan silang protein. Radikal bebas mencetuskan ikatan silang protein yang diperantarai sulfhidril menyebabkan peningkatan kecepatan degradasi atau hilangnya aktivitas enzimatik. Reaksi radikal bebas juga bisa secara langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida. Selain merupakan akibat jejas kimiawi dan radiasi, pembentukan radikal bebas juga merupakan bagian normal respirasi dan aktivitas selular rutin lainnya, termasuk pertahanan mikroba. Untungnya, radikal bebas memang tidak stabil, dan umuunya rusak secara spontan; misalnya superoksida, sangat cepat rusak dengan adanya air yang masuk ke dalam oksigen dan hidrogen peroksida.



Namun, sel juga membentuk beberapa sistem enzimatik dan nonenzimatik untuk menonaktifkan radikal bebas 



Kecepatan kerusakan spontan meningkat bermakna oleh kerja superoksida dismutase (SOD) yang ditemukan pada banyak tipe seL







Glutation (GSH) peroksidase juga melindungi sel agar tidak mengalami jejas dengan mengatalisis perusakan radikal bebas. Iglutation homodimer. Rasio intrasel glutation teroksidase (CSSG) menjadi glutation tereduksi (GSH) merupakan refleksi status oksidasi sel dan aspek penting kemampuan sel untuk mengatabolisme radikal bebas.







Katalase terdapat dalam peroksisom, langsung mendegradasi hidrogen peroksida







Antioksidan endogen dan eksogen (misal, vitamir E, A, dan C, serta B-karoten) juga dapat mcnghambat pembentukan radikal bebas atau memulung radikal bebas ketika selesai dibentuk.







Meskipun zat besi dan tembaga yang diionisasi bebas dapat mengatalisis pembentukan spesies oksigen reaktif, rinsur tersebut biasanya diasingkan oleh cadangan dan/atau protein transpor (misalnya, transferin, feritin, dan seruloplasmin).



Pembentukan radikal bebas (A, atas), jejas sel akibat kerja radikal bebas penentang (B, kiri bawah), dan netralisasinya dengan mekanisme antioksidan selular (C, kanan bawah).



A.



Oksigen dikonversi menjadi superoksida (O2-.) oleh enzim oksidatif (seperti P-450 dan oksidase b5) dalam retikulum endoplasma, mitokondria, membran plasma, peroksisom, dan sitosol, O2dikonversi menjadi H2O2 oleh superoksida dismutase (SOD), kemudian menjadi OH' dengan reaksi Fenton dikatalisis Cu2+/Fe2+ (kotak merah muda). H2O2 juga dibentuk secara langsung dari oksidase pada peroksisom. B. Resultan radikal bebas dapat merusak lipid (peroksidasi), protein, dan DNA. Perhatikan bahwa superoksida mengatalisis reduksi Fe2+. menjadi Fe3+, jadi memperbanyak pembentukan OH' oleh reaksi Fenton. C. Enzim antioksidan utama adalah SOD, katalase, dan glutation peroksidase, Radikal bebas juga dinetralkan oleh sel pemulung (scavenger) (vitamin E,A, dan C, beta-karoten), dan kemampuan Cu2+ dan Fe3+ untuk membentuk radikal diminimalisasi oleh pengikatan ion dengan protein karier (feritin dan seruloplasmin). GSH, glutation tereduksi, GSSG, glutation teroksidasi; NADPH, bentuk reduksi nikotinamid adenin dinukleotida fosfat; NO, nitrit oksida.



JEJAS ISKEMIK/HIPOKSIA 



Penurunan aktivitas pompa Natrium



Deplesi



ATP menyebabkan penurunan aktivitas pompa Natrium, selanjutanya terjadi akumulasi



natrium intrasel dan difusi kalium keluar sel. Penurunan aktivitas pompa natrium ini akan menyabkan pembengkakan akut yang diikuti oleh peningkatan beban osmotik dari akumulasi metabolik lain seperti fosfat anorganik, asam laktat, dan nukleosida purin . 



Peningkatan Glikolisis Anaerob Ketika terjadi deplesi ATP, terjadi peningkatan AMP (Adenosin Monofosfat) dan terjadi glikolisis anaerob. Glikolisis anaerob menyebabkan akumulasi asam laktat dan fosfat anorganik akibat hidrolisis ester fosfat. Peningkatan asam laktat dan fosfat anorganik menyebabkan penurunan pH intrasel.







Penurunan pH intrasel Penuruan pH intrasel menyebabkan ribosom lepas dari retikukulum endoplasma kasar. Akibatnya, terjadi penuruna sintesis protein.



ADAPTASI SEL TERHADAP JEJAS A. ADAPTASI SELULAR



Adaptasi fisiologis: adaptasi ini mewakili respons sel terhadap perangsangan normal oleh hormon atau mediator kimiawi endogen. Adaptasi patologik: mekanisme dasarnya sama, tapi memungkinkan sel untuk mengatur lingkungannya, dan melepaskan diri dari cedera. Jadi, adaptasi selular: sel berada pada kondisi normal, tidak stres maupun mengalami cedera karena stres berlebihan. Dimana adaptasi selular didahului sejumlah mekanisme. Terdapat beberapa respons adaptif yang melibatkan: 1. Up regulation/ down regulation reseptor selular spesifik. Misal reseptor permukaan sel yang terlibat dalam pengambilan LDL, normalnya terjadi down-regulated saat sel tsb kelebihan kolesterol.



2. Induksi sintesis protein baru oleh sel target, protein ini dapat melindungi dari cedera tertentu. 3. Pertukaran dari satu jenis protein menjadi jenis protein yang lain, atau produksi berlebih protein tertentu. Misal sel yang menyintesis berbagai kolagen dan matriks protein ekstrasel pada inflamasi kronik dan fibrosis. 4. Pertumbuhan dan diferensiasi sel dalam kondisi patologis, diantaranya:



ATROFI: pengerutan ukuran sel (yang menggambarkan terjadinya pengurangan komponen struktural sel) karena hilangnya suatu substansi. Meskipun fungsinya akan mengalami penurunan, tetapi sel tidak mati. Penyebab (bersifat fisiologis): 



Berkurangnya beban kerja atau imobilisasi anggota gerak.







Hilangnya persarafan dan hilangnya rangsang endokrin.







Berkurangnya suplai darah.







Nutrisi tidak adekuat.







Penuaan. Mekanisme yang mendasari proses atrofi bervariasi, tapi akhirnya memengaruhi



keseimbangan antara sintesis dan degradasi, dimana sintesis berkurang, atau terjadi peningkatan katabolisme, atau keduanya, sehingga menyebabkan atrofi. Pada sel normal, sintesis dan degradasi isi sel ini dipengaruhi sejumlah hormon, antara lain insulin, TSH, dan glukokortikoid. Pengaturan degradasi protein sendiri memiliki peran kunci pada atrofi, dimana pada mamalia, terdapat 2 sistem proteolitik dengan fungsi berbeda: 



Lisosom, pendegradasi molekul yang di-endositosis dari lingkungan ekstrasel, dan mengatabolisme komponen subselular.







Jalur ubiquitin-proteasome, pendegradasi protein sitosolik dan inti, menyebabkan percepatan proteolisis pada keadaan hiperkatabolik. Atrofi dapat disertai:







Peningkatan sejumlah vakuola autofagik yang didalamnya terdapat debris sel yang dapat menahan digesti.







Fusi lisosom dengan organela dan sitosol intrasel, yang memungkinkan katabolisme dan pembongkaran komponen selnya sendiri pada sel yang atrofi.



HIPERTROFI: penambahan ukuran sel dan menyebabkan penambahan ukuran organ. Pada hipertrofi murni, tidak ada sel baru, hanya membesar ukuran selnya. Penyebab (bersifat fisiologis atau patologis): 



Peningkatan sintesis organela dan protein struktural







Peningkatan kebutuhan fungsional, atau karena rangsangan hormonal spesifik.



Contoh hipertrofi fisiologis: hipertrofi uterus selama kehamilan, karena rangsangan estrogen dari hipertrofi otot polos dan hiperplasia otot polos. Contoh hipertrofi patologis: pembesaran jantung karena hipertensi. Mekanisme yang mengatur hipertrofi jantung melibatkan paling sedikit dua macam sinyal: 1. Pemicu mekanis, seperti regangan. 2. Pemicu trofik, seperti aktivasi reseptor a-adrenergik. Hingga kemudian akan tercapai suatu batas dimana pembesaran massa ototnya tidak lagi dapat melakukan kompensasi untuk peningkatan beban; pada kasus jantung, dapat terjadi gagal jantung. Pada stadium ini, terjadi sejumlah perubahan “degeneratif" pada serabut miokardial, yang terpenting di antaranya adalah fragmentasi dan hilangnya elemen kontraktil miofibrilar.



HIPERPLASIA: peningkatan jumlah sel dalam organ/ jaringan. Biasanya terjadi bersamaan dengan hipertrofi. Penyebabnya dapat bersifat fisiologis atau patologis. Hiperplasia fisiologis: 



Hormonal, ditunjukkan dengan proliferasi epitel kelenjar payudara perempuan pada pubertas dan kehamilan.







Kompensatoris, terjadi saat sebagian jaringan dibuang/ sakit.



Hiperplasia patologis: 



Stimulasi faktor pertumbuhan atau hormonal berlebih. Misal setelah menstruasi, terjadi ledakan aktivitas endometrium proliferatif yang diatur oleh rangsangan melalui hormon hipofisis dan estrogen ovarium. Tapi apabila tidak seimbang, terjadi hiperplasia endometrial yang menyebabkan perdarahan menstruasi abnormal.



METAPLASIA: perubahan reversibel, dimana satu jenis sel dewasa digantikan oleh sel dewasa lainnya. Adaptasi sel yang sensitif terhadap stres tertentu, dimana sel yang stres akan digantikan oleh sel lain yang lebih mampu bertahan. Misal: perubahan epitel gepeng yang terjadi pada epitel saluran napas perokok kretek (kebiasaan). Sel epitel silindris bersilia normal pada trakea dan bronkus, secara fokal atau luas, diganti dengan sel epitel gepeng bertingkat.



DISPLASIA: kelainan perkembangan, pertumbuhan, dan diferensiasi sebuah jaringan.



B. RESPONS SUBSELULAR TERHADAP JEJAS



Selain respons terjadi pada keseluruhan unit sel, respons juga dapat terjadi pada organela subselular dan protein sitosolik. Diantara reaksi yang terjadi yaitu:







Katabolisme lisosomal, yaitu pemecahan material yang dicerna dengan cara heterofagi maupun autofagi.







Heterofagi, material (bakteri) dari eksternal diambil melalui proses endositosis, kemudian diingesti/dicerna dan didegradasi oleh netrofil. Kemudian makrofag akan menelan dan mengatabolisme sel nekrotik.







Autofagi, terlibat dalam penyingkiran organela rusak atau mati, dan pada perbaikan kembali sel yang disertai diferensiasi sel.







Induksi/hipertrofi REH. Pada pemakaian barbiturat terus menerus, terjadi peningkatan toleransi sehingga dosis berulang menimbulkan pemendakan durasi tidur secara progresif. Karenanya, pasien dikatakan mampu beradaptasi dengan obat tersebut. Adaptasi ini disebabkan oleh induksi dengan penambahan volume atau hipertrofi REH hepatosit, yang memetabolisme obat melalui sistem oksidase fungsi campuran P-450, untuk meningkatkan daya larut berbagai senyawa (steroid, alkohol, dll) sehingga mempermudah ekskresinya. Jadi, pengobatan antikejang dapat dilakukan pada pasien yang menambah asupan alkohol sambil memakai fenobarbital untuk epilepsinya.







Perubahan mitokondria. Berperan penting pada jejas sel akut dan kematian sel.







Abnormalitas sitoskeletal, misal defek daya gerak sel atau gerakan organel intrasel yang menyimpang. Unsur sitoskeletal harus terorganisasi secara fungsional untuk memberi kekuatan, aktivitas kontraktil, atau atribut fisiologi lain. Karena itu, sel dan jaringan berespons terhadap stresor lingkungan dengan memperbaiki kembali perancah intraselulernya secara konstan.







Protein syok panas. Diinduksi setelah rangsangan berbahaya berperan penting dalam pelipatan kembali polipeptida yang mengalami denaturasi, untuk memperbaiki fungsinya sebelum menimbulkan disfungsi/ kematian sel serius.



C. AKUMULASI INTRASEL



Sel dapat mengakumulasi sejumlah zat abnormal, yang dapat menimbulkan cedera. Terdapat 3 jalur umum yang selnya dapat menambah akumulasi intrasel abnormal: 



Metabolisme abnormal. Misal: perlemakan (steatosis) di hati, dapat disebabkan oleh defek pada tiap tahapan masuknya asam lemak sampai keluarnya lipoprotein. Selain itu ada juga penimbunan kolesterol dan ester kolesteril pada penyakit aterosklerosis, dimana sel otot polos dan makrofag terisi oleh kolesterol sehingga terbentuk plak aterosklerotik berwarna kuning. Selain itu ada juga penimbunan protein karena gangguan pada ginjal, penimbunan glikogen karena defek enzim sintesa-nya, dan penimbunan pigmen, misal pigmen eksogen yaitu



karbon, pada kasus debu batu bara yang apabila masuk dalam tubuh, akan difagositosis oleh makrofag alveolar dan diangkut sistem limfatik menuju kelenjar getah bening. Agregat pigmen ini akan menghitamkan aliran kelenar getah bening dan parenkim paru. Akumulasinya dapat menginduksi emfisema yang mengakibatkan penyakit paru serius. 



Mutasi. Menyebabkan perubahan pelipatan dan transpor protein, sehingga menyebabkan molekul yang defektif menumpuk intrasel.







Defisiensi enzim penting untuk pemecahan senyawa tertentu, menyebabkan substrat menumpuk di lisosom, misal pada penyakit penimbunan lisosomal.







Ketidakmampuan degradasi partikel yang difagositosis, misal pada akumulasi pigmen karbon.



D. KALSIFIKASI PATOLOGIK



Proses umum yang secara tidak langsung menunjukkan deposisi abnormal garam kalsium, bersama dengan sejumlah kecil zat besi, magnesium, dan mineral lain. Terbagi menjadi: 



Kalsifikasi distrofik: terjadi pada jaringan yang akan mati atau telah mati, dalam keadaan tidak ada kekacauan metabolik kalsium. Ditemukan di berbagai area nekrosis jenis apapun. Pasti terjadi pada ateroma aterosklerosis lanjut, area jejas intima di aorta dan arteri yang ditandai dengan akumulasi lipid. Kalsifikasi ini sering menjadi penyebab disfungsi organ.







Kalsifikasi metastatik: terjadi pada jaringan normal yang secara prinsip menyerang jaringan interstisial pembuluh darah, ginjal, paru, dan lambung, dalam keadaan ada kekacauan metabolik kalsium. Disebabkan oleh peningkatan sekresi hormon paratiroid, destruksi tulang, gangguan vitamin D, dan gagal ginjal.



JENIS JEJAS Sistem sel yang paling mudah terkena jejas: 



Integritas membran sel, berperan dalam homeostasis ionik dan osmotik selular







Pembentukan ATP







Sintesis protein







Integritas aparatus genetik



A. JEJAS REVERSIBEL



Sel dapat mengompensasi gangguan tersebut, jika rangsang penyebab jejas dihilangkan, sel kembali ke keadaan normal. Perubahan ultrastruktur jejas sel reversibel meliputi:







perubahan membran plasma seperti bula (pembengkakan); penumpulan atau distorsi mikrovilli; dan longgarnya pelekatan intersel;







perubahan mitokondrial, seperti pembengkakan dan munculnya densitas amorf kaya fosfolipid;







dilatasi retikulum endoplasma dengan kerusakan ribosom dan disosiasi polisom; dan







perubahan nuklear, dengan disagregasi unsur granular dan fibrilar.



Dua pola perubahan morfologik yang berkaitan dengan jejas reversibel dapat dikenali dengan mikroskop cahaya: pembengkakan sel dan degenerasi lemak (perlemakan). 1. Pembengkakan sel adalah manifestasi yang pertama terjadi dari hampir semua bentuk jejas sel; muncul setiap sel tidak mampu mempertahankan homeostasis ionik dan cairan. Pembengkakan sel dapat menjadi perubahan morfologik yang sulit diamati dengan mikroskop cahaya dan mungkin lebih tampak pada tingkat seluruh organ. Bila semua sel pada organ terkena, terdapat warna kepucatan, peningkatan turgor, dan penambahan berat badan. Secara mikroskopik, bisa tampak vakuola kecil, jernih di dalam sitoplasma; vakuola itu menggambarkan segmen retikulum endo- plasma yang berdistensi dan menekuk. Pola jejas nonletal, ireversibel tersebut kadang-kadang disebut perubahan hidropik atau degenerasi vakuolar; pembengkakan sel bersifat reversibel. 2. Perlemakan, terjadi pada jejas hipoksik dan ber- bagai bentuk jejas toksik atau metabolik, bermanifestasi dengan munculnya vakuola lipid dalam sitoplasma. Perlemakan merupakan reaksi yang kurang sering terjadi, terutama ditemukan pada sel yang berperan dalam metabolisme Iemak (misalnya, hepatosit dan sel miokardial), dan juga bersifat reversibel. B. JEJAS IRREVERSIBLE



Sedangkan jika cedera terjadi secara berlebihan dan mencapai point of no return maka akan masuk ke kondisi jejas irreversible. Disebabkan ketidakmampuan memperbaiki disfungsi mitokondria dan karena terjadinya gangguan fungsi membran yang besar. Penyebab potensial kerusakan membran: 



Kehilangan progresif fosfolipid membran.







Abnormalitas sitoskeletal.







Radikal oksigen toksik.







Produk pemecahan lipid.



Apapun mekanisme kerusakan membran, hasil akhirnya berupa kebocoran masif material intrasel dan influks masif kalsium. Keadaan tersebut disertai kerusakan luas pada semua membran, pembengkakan lisosom, vakuolisasi mitokondria, sehingga terjadi penurunan kapasitas untuk membentuk ATP. Kalsium ekstrasel masuk ke dalam sel, dan cadangan kalsium intrasel dikeluarkan, mengakibatkan aktivasi enzim yang dapat mengatabolisasi membran, protein, ATP, dan asam nukleat . Jadi, salah satu penanda ultra- struktur jejas ireversibel yang paling dini adalah akumulasi densitas amorf, kaya kalsium dalam matriks mitokondria.



Setelah itu, terdapat kehilangan kontinu protein, koenzim esensial, dan asam ribonukleat dari membran plasma yang hiperpermeabel, dengan sel yang kekurangan metabolit vital untuk membentuk kembali ATP, dan selanjutnya mengosongkan fosfat berenergi tinggi intrasel. Jejas pada membran lisosomal menyebabkan kebocoran ke dalam sitoplasma; asam hidrolase diaktivasi pada penurunan pH intrasel pada sel yang iskemik dan mendegradasi komponen sitoplasma dan nuklear. Setelah kematian sel, kandungan sel secara progresif terdigesti oleh hidrolase lisosomal; selanjutnya, terjadi kebocoran luas enzim yang berpotensi destruktif, masuk ke dalam ruang ekstrasel. Sel mati akhirnya dapat digantikan dengan massa fosfolipid berulir besar yang disebut gambaran mielin. Presipitat fosfolipid terseburt kemudian difagositosis oleh sel lain atau selanjutnya didegradasi menjadi asam lemak; kalsifikasi residu asam lemak seperti itu menghasilkan pembentukan sabun kalsium. Sebagai ringkasan, jejas sel irreversible akhirnya memengaruhi fosforilasi dan sintesis suplai ATP yang vital; kerusakan membran sel merupakan tahap kritis pnda perkembangan jejas sel letal, dan kalsium merupakan mediator potensial pertumbuhan morfologis akhir pada kemation sel.



Jejas sel irreversible - Nekrosis



Nekrosis (dari bahasa yunani νέκρωσις "kematian, tahap kematian, tindak pembunuhan" dari νεκρός "mati") adalah bentuk cedera sel yang mengakibatkan kematian prematur sel-sel pada jaringan hidup dengan autolisis. Nekrosis disebabkan oleh faktor-faktor eksternal sel atau jaringan, seperti infeksi, racun, atau trauma yang mengakibatkan pencernaan tidak teratur komponen-komponen sel. Sebaliknya, apoptosis adalah penyebab terprogram alami dan tertarget kematian sel. Sementara apoptosis sering memberikan efek menguntungkan bagi organisme, nekrosis hampir selalu merugikan dan bisa berakibat fatal. Kematian seluler akibat nekrosis tidak mengikuti jalur transduksi sinyal apoptosis; berbagai reseptor diaktifkan mengakibatkan hilangnya integritas membran sel dan rilis tidak terkendali produk kematian sel ke ruang ekstraseluler. Peristiwa ini memicu respons inflamasi di jaringan sekitar, menarik leukosit serta fagosit yang dekat menghabisi sel-sel mati dengan fagositosis. Namun, zat-zat pengrusak mikroba yang dirilis oleh leukosit akan membuat kerusakan tambahan pada jaringan di sekitarnya.[2] Kerusakan tambahan yang berlebihan ini menghambat proses penyembuhan. Dengan demikian, nekrosis yang tidak ditangani menghasilkan timbunan jaringan dan debris sel mati yang membusuk pada atau dekat lokasi kematian sel. Contoh klasik yaitu gangren. Untuk alasan ini, sering kali diperlukan menghilangkan jaringan nekrotik melalui pembedahan, prosedur yang dikenal sebagai debridemen.



Ada enam pola morfologi khas nekrosis:



1. Nekrosis koagulatif bercirikan formasi substansi gelatin (seperti gel) pada jaringan mati yang mana arsitektur jaringan bertahan dan dapat diamati dengan mikroskop cahaya. Koagulasi terjadi akibat denaturasi protein, menyebabkan albumin bertransformasi ke keadaan kaku dan tak tembus cahaya. Pola nekrosis ini khas terlihat pada lingkungan hipoksik (rendah oksigen), seperti infark. Nekrosis koagulatif terjadi utamanya pada jaringan seperti ginjal, jantung, dan kelenjar adrenalin. Iskemia parah umumnya menyebabkan nekrosis bentuk ini. 2. Nekrosis likuifaktif (atau nekrosis kolikuatif), berlawanan dengan nekrosis koagulatif, bercirikan pencernaan sel mati membentuk badan cairan kental. Ciri ini tipikal dari infeksi bacteri, atau kadang jamur, karena kemampuan mereka memacu respons peradangan. Badan cairan nekrotik sering kali kuning krem karena keberadaan leukosit mati dan umumnya dikenal sebagai pus. Infark hipoksik di otak ada dalam tipe ini; karena otak mengandung sedikit jaringan penghubung tetapi lemak dan enzim pencerna dalam jumlah banyak, sel dapat langsung dicerna oleh enzim mereka sendiri. 3. Nekrosis gangren dapat dipandang sebagai jenis nekrosis koagulatif yang menyerupai jaringan termumifikasi. Jenis ini khas iskemia tungkai bawah dan saluran gastrointestinal. Jika infeksi superimposisi jaringan mati terjadi, nekrosis likuifaktif berikutnya (gangren basah) 4. Caseous necrosis dapat diaggap sebagai kombinasi nekrosis koagulatif dan likuifaktif, khas akibat mikobakteria (misalnya tuberkulosis), jamur dan beberapa zat asing. Jaringan nekrotik tampak putih dan rapuh, seperti gumpalan keju. Sel mati hancur tetapi tidak sepenuhnya dicerna, partikel granular tersisa. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan debris granular amorphous yang tertutup dalam batas peradangan khusus. Granuloma bercirikan ini. 5. Nekrosis lemak adalah nekrosis khusus jaringan lemak, akibat aktivitas lipase teraktivasi pada jaringan lemak seperti pankreas. Pada pankreas kondisi ini berujung pada pankreatitis akut, keadaan di mana enzim pankreas bocor ke rongga peritoneal, dan mencairkan membran dengan membelah ester trigliserida menjadi asam lemak melalui saponifikasi lemak. Kalsium, magnesium, atau natrium dapat berikatan dengan jejas ini memproduksi zat putih kapur. Deposit kalsium secara mikroskopik terpisah dan bisa jadi cukup besar tampak pada pemeriksaan radiografik. Secara kasat mata, deposit kalsium kelihatan sebagai bintik-bintik putih berpasir. 6. Nekrosis fibrinoid adalah bentuk khusus nekrosis yang biasanya disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah termediasi-imun. Kondisi ini ditandai oleh kompleks antigen and antibodi, kadang disebut sebagai “kompleks imun” yang terdeposit dalam dinding arteri bersama fibrin.



Jejas sel irreversible- Apoptosis



Apoptosis adalah cara kematian sel yang penting dan tersendiri, jalur bunuh diri sel namun bukan pembunuham sel yang terjadi pada kematian sel nekrotik. Menyebabkan kematian sel terprogram yang meliputi: a. Kerusakan sel terprogram selama embriogenesis, seperti pada implantasi, organogenesis, dan terjadinya involusi. b. Involusi fisiologik bergantung hormon, seperti involusi endometrium selama siklus menstruasi, atau payudara pada masa laktasi setelah penyapihan, atau atrofi patologik seperti pada prostat setelah kastrasi. c. Delesi sel pada populasi yang berproliferasi, seperti epitel kripta usus, atau kematian sel pada tumor. d. Delesi sel T autoreaktif di timus, kematian sel dari limfosit yang kekurangan sitokin, atau kematian sel yang diinduksi oleh sel T sitotoksik. e. Berbagai rangsang cedera ringan yang menyebabkan kerusakan DNA yang tidak dapat diperbaiki, sebaliknya memicu jalur lintas bunuh diri.



Mekanisme apoptosis: 1. Signaling/ pemberian sinyal. Berasal dari kejadian terprogram intrinsik, kekurangan faktor tumbuh, interaksi ligan-reseptor spesifik, pelepasan granzim dari sel T sitotoksik, atau agen jejas tertentu. Reseptor membran plasma TNFR memberi sekuens protein ‘domain kematian’ intrasel, yaitu bila dioligomerisasi menimbulkan aktivasi kaspase inisiator dan kaskade aktivasi enzim yang memuncak pada kematian sel.



2. Kontrol dan integrasi. Dilengkapi protein spesifik penghubung sinyal kematian asli dengan program eksekusi akhir, dapat menimbulkan komitmen atau pembatalan sinyal yang berpotensi letal. Jalur luas pada tahapan ini: a. Transmisi langsung sinyal kematian dengan protein pencocok terhadap mekanisme eksekusi. b. Pengaturan permeabilitas mitokondrial oleh anggota famili protein BCL-2 dan berbagai agonis (Ca+, radikal bebas). Pembentukan pori dalam membran mitokondrial menyebabkan reduksi potensial membran, dengan pengurangan produksi ATP dan pembengkakan mitokondrial, peningkatan permeabilitas membran mitokondrial luar melepaskan pencetus apoptotik, sitokrom c, ke dalam sitosol. Sitoplasma c yang dilepas mengikat protein sitosol tertentu dan mengaktifkannya, mencetuskan aktivasi kaspase eksekusi dan pengaturan gerakan kejadian proteolitik yang membunuh sel. BCL-2 menekan apoptosis dengan mencegah peningkatan permeabilitas mitokondrial dan menstabilkan protein, seperti Apaf-1, sehingga tidak terjadi aktivasi kaspase. Anggota lain famili BCL-2 berikatan dengan BCL-2 dan memodulasi efek antiapoptotiknya, sehingga BCL-X menghambat apoptosis. sementara BAX dan. BAD menyebabkan kematian sel terprogram. 3. Eksekusi. Ditandai dengan konstelasi kejadian biokimiawi khas yang dihasilkan dari sintesis atau aktivasi sejumlah enzim katabolik sitosolik. Pola pokok umum pada semua bentuk apoptosis: a. Pemecahan protein oleh golongan protease yang baru dikenal, dinamakan caspase, karena memiliki s(c)istein sisi aktif, dan pecah setelah residu asam aspartat. Ekspresi berlebihan tiap kaspase menyebabkan apoptosis selular, mengesankan bahwa dalam kondisi normal, protein harus dikontrol dengan ketat. Aktivasi enzim ini secara tak terduga menyebabkan rentetan bertingkat aktivasi protease lain, hingga puncaknya berupa bunuh diri sel. Misal, aktivasi endonuklease down-stream mengakibatkan fragmentasi DNA khas, sementara perubahan volume dan bentuk sel sebagian dapat disebabkan oleh pemecahan komponen sitoskeleton. b. Ikatan silang protein luas melalui aktivasi transglutaminasi, mengubah protein sitoplasmik mudah larut terutama protein sitoskeletal menjadi selubung memadat berikatan secara kovalen yang dapat berfragmentasi menjadi badan apoptotik. c. Pemecahan DNA menjadi fragmen berpasangan dengan basa 180-200 terjadi melalui kerja endonuklease yang bergantung Ca++ dan Mg++. Digambarkan sebagai penjenjangan DNA tersendiri menjadi kepingan berukuran diskret pada elektroforesis gel agarosa. 4. Pengangkatan sel mati. Sel apoptotik dan fragmennya memiliki molekul penanda pada permukaannya, yang mempermudah pengambilan dan pembuangan oleh sel yang berdekatan atau fagosit. Perubahan-perubahan yang terjadi memungkinkan pengenalan dan fagositosis dini sel



apoptotik tanpa pelepasan mediator proinflamasi. Sel mati menghilang tanpa meninggalkan bekas, dan inflamasi benar-benar tidak ada.



INFLAMASI DEFINISI Inflamasi adalah suatu respons protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab asal jejassel serta membuang sel dan jaringnn nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal. Inflamasi melaksanakan tugas pertahanannya dengan mengencerkan, menghancurkan, atau menetralkan agen berbahaya (misalnya, mikroba atau toksin). Inflamasi kemudian menggerakkan berbagai kejadian yang akhirnya menyembuhkan dan menyusun kembali tempat terjadinya jejas.



PENGARUH Adanya inflamasi bisa berakibat atau menghasilkan pengaruh yang menguntungkan dan merugikan.



Hal yang menguntungkan apabila : 1. terjadi pengenceran toksin yang dihasilkan oleh bakteri sehingga dapat disalurkan ke saluran limfatik 2. terjadi pembentukan fibrin dan fibrinogen yang menahan gerakan kuman 3. terjadi stimulasi respons imun melalui aliran eksudat radang ke kelenjar limfe sehingga reaksi imun dimulai.



Hal yang merugikan apabila : 1) terjadi pencairan jaringan normal 2) adanya pembengkakan misalnya ; edema pada radang akut epiglottis pada anak dapat menyebabkan kematian karena tersumbatnya saluran nafas.



JENIS IFLAMASI Terdapat dua jenis inflamasi yaitu inflamasi akut dan kronik. Pada radang akut proses terjadinya cukup singkat dari menit hingga hari, ditandai dengan eksudasi cairan dan protein plasma serta emigrasi sel lekosit terutama netrofil. Radang kronik berlangsung lebih lama bisa hingga tahunan dan ditandai adanya sel limfosit dan makrofag serta proliferasi pembuluh darah dan jaringan ikat. Terdapat 5 pokok inflamasi atau tanda kardinal yaitu : i.



RUBOR (merah) : ini terjadi karena pelebaran pembuluh darah pada jaringan yang mengalai



gangguan



ii. KALOR (panas) : terjadi akibatnya bertambahnya pembuluh darah sehingga daerah tersebut mendapatkan banyak darah iii. TUMOR (bengkak) : terjadi akibat adanya edema yaitu terkumpulnya cairan ekstravaskuler sebagai bagian dari eksudat inflamasi serta sel-sel inflamasi yang bermigrasi ke tempat tersebut iv. DOLOR (sakit) : terjadi akibat penekanan jaringan karena edema dan mediator kimia v. GANGGUAN FUNGSIONAL



INFLAMASI AKUT Inflamasi akut merupakan respons segera dan dini terhadap jejas yang dirancang untuk mengirimkan leukosit ke tempat jejas. Sesampainya di tempat jejas, leukosit menghilangkan mikroba dan memulai proses penguraian jaringan nekrotik. Proses ini memiliki dua komponen utama yaitu : a) Perubahan vaskular : perubahan pembuluh darah yang mengakibatkan vasodilatasi dan perubahan struktural. b) Cellular events : proses emigrasi leukosit untuk membunuh mikroba



Perubahan vaskular i.



Pertama akan terjadi vasokonstriksi. Proses ini akan terjadi beberapa detik hingga menit



tergantung kepada kerasnya jejas yang dialami. ii. Kemudian akan terjadi vasodilatasi yang akan menyebabkan meningkatnya permiabelitas kapiler. iii. Lekosti akan mendekati dinding pembuluh dara kemudian akan keluar dari pembuluh darah



Transmigasi Lekosit Pada fase awal yaitu dalam 24 jam pertama, sel yang paling banyak berekasi ialah sel netrofil atau lekosit polimorfonukleus. Lekosit polimorfonukleus berfungsi menelan dan merusak bakteri, kompleks imun, dan debris yang berasal dari jaringan yang nekrotik. Urutan yang terjadi pada lekosit adalah sebagai berikut : I.



Penepian yaitu lekosit bergerak ke tepi pembuluh.



II. Pelekatan yaitu lekosit melekat pada dinding pembuluh darah. III. Diapedesis yaitu lekosit keluar dari pembuluh darah. IV. Fagositosis yaitu lekosti menelan bakterti dan debris jaringan.



JENIS SEL YANG TERLIBAT DALAM INFLAMASI



Netrofil Netrofil merupakan primadona pada radang akut. Melalui diapedesis sel netrofil keluar dari pembuluh menuju lokasi jarigan yang cedera. Sel inilah yang paling dahulu tiba di tempat jejas. Fungsi utama adalah fagositosis bakteri dan destruksi sel dengan enzim lisosomal. Enzim lisosomal terdiri atas : 1. Mieloperoksidase yaitu enzim antibakteri yang utama. 2. Hidrolase asam, bekerja pada benda organik termasuk bakteri. 3. Protease, mengakibatkan degradasi protein. 4. Lisozim, menghidrolisis mikroba. 5. Protein kation, mencegah pertumbuhan bakteri.



Basofil Mengandung granula yang berisi histamin dan heparin.



Eosinofil Menghasilkan antihistamin.



Sel mast Mempunyai fungsi mirip basofil dan merupakan sel jaringan ikat.



Makrofag Berasal dari sumsum tulang yang dilepas dalam pembuluh darah dan kemudian menyebar ke berbagai organ. Fungsi : 



Endositosis







Pencernaan partikel yang dikelilinginya







Opsonisasi







Mengaktifkan sel T



Limfosit Limfosit dijumpai pada berbagai jenis radang khususnya setelah berkurangnya netrofil. Limfosit berasal dari stem cell sumsum tulang. Limfosit dapat juga dijumpai sebagai sel T dan sel B. MEDIATOR KIMIA PADA RADANG



Pada proses radang, walaupun penyebabnya berbeda-beda namun reaksi yang terjadi sama akibat dari adanya zat mediator kimia yang menentukan reaksi yang terjadi. Mediator dapat berasal dari plasma



atau dari sel. Mediator asal sel sumbernya adalah trombosit, netrofil, monosit/makrofag dan sel mast. Mediator ini dapat dibagi enjadi 5 kelompok yaitu : 



Amin vasoaktif; zat ini ada dalam sel mast, basofil, dan trombosit. Zat ini terutama berperan pada saat permulaan proses radang dan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan meningginya permiabelitias pembuluh darah.







Metabolit yang berasal dari asam arakidonat; zat yang berasal dari asam arakidonat misalnya prostaglandin, lekotren, zat lipid yang bersifat kemotaktik.







Limfokin; zat aktif hasil sel T akibat reaksi imunologik. Termasuk kelompok ini adalah interferon dan interleukin.







Nitrogen Monoksida; mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah dan dihasilkan oleh sel endotel dan makrofag.







Radikal bebas; zat - zat ini cenderung menimbulkan kerusakan pada jaringan karena dapat menyebabkan kerusakan sel endotel, tidak aktifnya protease, dan meningkatnya proses kemotaksis.



Mediator sel asal plasma ada dalam bentuk prekursor dan perlu diaktifkan untuk dapat berfungsi. Ada dua sistem yaitu sistem kinin dan sistem komplemen.



Sistem Kinin Sistem ini akan menghasilkan bradikinin dan proses fibronolisi atau koagulasi. Bila plasma mengenai kolagen atau endotoksin, maka faktor Hageman akan diaktifkan dan akan menghasilkan bradikinin. Bradikinin berperan mirip seperti histamin yaitu meningkatkan permiabelitas kapiler, vasokonstriksi, dan vasodilatasi. Faktor Hageman akan mengaktifkan sistem pembekuan darah dengan hasil akhirnya yaitu fibrinogen diubah menjadi fibrin. Fibrinolisis akan menyebabkan pembekuan yang bermanfaat untuk menjerat kuman.



Sistem Komplemen Sistem komplemen akan membentuk C3a dan C5a serta C5b yang mempunyai efek kemotaktik pada netrofil. Efek lain adalah meningkatkan permiabilitas pembuluh serta mempunyai peranan dalam fagosistosis berupa opsonisasi. Epiglottitis Epiglottis berfungsi untuk menutup saluran pernafasan ketika kita menelan makanan. Epiglottitis umumnya disebabkan oleh bakteri, yaitu bakteri haemophilus influenza type b. Namun, setelah pemberian vaksin haemophilus influenzae, yang umum menyebabkan epiglottitis adalah bakteri group A b-hemolytic streptococci.







Eksudat o



Pengertian Eksudat adalah cairan dengan kandungan protein dan kotoran sel yang lolos dari pembuluh darah serta diendapkan di dalam jaringan atau pada permukaan jaringan, biasanya merupakan hasil peradangan. Yang dimana lawan dari eksudat adalah transudate. Transudat adalah substansi cair yang telah melalui membrane atau telah didorong keluar dari jaringan yang ditandai dengan fluuiditas yang tinggi dan mempunyai kandungan protein, sel, atau bahan padat yang rendah, yang berasal dari sel.



b. Tipe Eksudat i. Eksudat Serosa Merupakan eksudat jernih, mengandung sedikit protein akibat radang yang ringan. Eksudat serosa berasal dari serum atau hasil sekresi sel metosel yang melapisi peritoneum, pleura, pericardium. Contoh : luka bakar, efusi pleura. ii. Eksudat Supuratifa / Purulenta Merupakan eksudat yang mengandung nanah / pus, yaitu campuran lekosit yang rusak, jaringan nekrotik serta mikroorganisme yang musnah. Organisme tertentu missal stafilokok akan mengakibatkan supurasi dan disebut kuman piogenik.



iii. Eksudat Fibrinosa Merupakan eksudat yang mengandung banyak fibrin sehingga mudah membeku. Keadaan ini terjadi pada jejas berat yang mengakibatkan permeabilitas pembuluh meningkat dan molekul besar seperti fibrin dapat keluar. iv. Eksudat Hemoragika Eksudat yang mengandung darah.



9. Bentuk Radang Akut a. Radang Kataral Ditandai dengan pembentukan mucus yang berlebihan, pada mukosa misalnya mukosa hidung atau mata. b. Radang Supuratifa



Ditandai dengan pembentukan eksudat purulenta, biasanya terjadi pada infeksi kuman piogenik. Pada organ padat dapat terjadi abses yaitu pencairan jaringan nekrotik oleh enzim yang dilepas karena kerusakan atau pecahnya lekosit sehingga terbentuk rongga yang berisi nanah. Pada rongga tubuh dapat menyebabkan empyema, misalnya akibat pleuritis supuratifa, peritonitis supuratifa. c. Radang fibrinosa



Biasanya terjadi pada permukaan yang dilapisi lapisan serosa (pleura, pericardium, dan peritoneum), ditandai dengan pembentukan eksudat fibrinosa; contohnya: pneumonia, karditis rheumatika.



d. Radang Pseudomembranosa Ditandai dengan pembentukan pseudomemberan pada permukaan mukosa yaitu nekrosis epitel permukaan mukosa disertai endapan fibrin dan lekosit, contohnya radang akibat difteri.



e. Radang Serosa



Ditandai dengan adanya eksudat serosa.



10. Susunan Limfatik Saluran limfe dan kelenjar getah bening merupakan alat yang menyaring cairan ekstraseluler. Bersama sistem makrofag merupakan pertahanan kedua bila reaksi local radang tidak berhasil menghilangkan jejas. Saluran limfe merupakan saluran yang halus tanpa unsur otot. Cairan limfe akan bertambah pada radang dan membantu pengeluaran cairan dari rongga ekstravaskuler. Selain cairan, terdapat pula lekosit dan sel yang rusak serta bakteri dan dapat mengakibatkan peradangan pada kelenjar getah bening regional dan di tempat yang lebih jaulh. Kelenjar getah bening dapat membesar dan nyeri, yang disebabkan oleh hiperplasia folikelnya dan hiperplasia sel fagosit yang melapisi sinus kelenjar getah bening. Bila bakteri itu dapat melalui sistem limfatik dan kemudian masuk sistem pembuluh darah maka akan terjadi bakteriemia. Bakteri kemudian dapat menyebar ke berbagai organ tubuh dan sering m. ngakibatkan endokarditis, meningitis, abses renal.



B. Radang Kronik a. Pengertian



Radang kronik terjadi bila penyembuhan pada radang akut tidak sempurna, bila penyebab jejas menetap, atau bila penyebab ringan dan timbul berulang-ulang. Dapat pula diakibatkan oleh reaksi imunologik. Radang berlangsung lama (berminggu-minggu, berbulan-bulan) sedangkan proses peradangan, kerusakan jaringan penyembuhan terjadi serentak.



b. Proses Berbeda dengan radang akut, radang kronik ditandai dengan : i. infiltrasi sel mononuklear, yaitu makrofag monosit, limfosit dan sel plasma, ii. kerusakan jaringan, dan iii. terbentuknya jaringan granulasi dengan proliferasi fibroblas dan pengendapan kolagen. Bila sel utama pada radang akut ialah netrofil maka pada radang kronik ialah sel makrofag. Sel makrofag dapat berasal dari pembuluh darah dan monosit yang mengalami proliferasi setelah keluar pembuluh darah atau sel monosit yang menetap pada tempat radang. Sebagai diketahui netrofil pada radang akut hanya mampu memfagositosis mikroorganisme dan mengakibatkan kematian sel akibat kerusakan selnya sendiri serta umur netrofil hanya 3 hari. Sedangkan makrofag mampu melakukan fagositosis benda lebih banyak dari netrofil di samping mikroorganisme, misalnya sisa sel yang nekrotik, mikroorganisme yang masih viabel dimasukkan ke dalam sel. Umurnya lebih lama dari netrofil.



Sel makrofag menghasilkan zat aktif yang merupakan zat toksis untuk sel, misalnya protease, sitokin. Limfosit menghasilkan limfokin. Sel plasma menghasilkan zat anti untuk antigen yang persisten. c. Radang Kronik Granulomatosa Berbagai radang kronik granulomatosa Radang ini merupakan reaksi radang kronik yang khusus di mana sel yang menyolok ialah sel makrofag yang mengalami modifikasi berubah menyerupai sel epitel dan disebut sel epiteloid. Granuloma merupakan suatu daerah pada radang granulomatosa yang menunjukkan kumpulan sel epiteloid, sel datia dikelilingi oleh limfosit dan kadang-kadang sel plasma. Beberapa sel epiteloid dapat bergabung membentuk sel datia, berupa sebuah sel dengan sitoplasma banyak serta mengandung inti sejumlah 20 atau lebih. Menurut letak intinya dikenal 3 jenis sel datia yaitu ; 1) sel datia Langhans bila intinya tersusun seperti tapal kuda di pinggir sel, 2) sel datia benda asing bila inti letaknya tidak teratur dan 3) sel datia Touton bila intinya tersusun melingkar di tepi. Contoh radang granulomatosa : 



Radang granulomatosa yang disebabkan oleh infeksi Infeksi mikobakteri :







Infeksi mikobakteri : tbc, lepra, virus. Gambaran khas granuloma tuberkulosa ialah tuberkel yang mengalami nekrosis perkijuan.







Infeksi treponema : sifilis, patek.







Infeksi jamur: cryptococcus, histoplasma.







Infeksi parasit skistosomiasis







Radang granulomatosa akibat benda asing. Umumnya tidak terjadi nekrosis dan dikenal dengan adanva bahan sintetik (benang operasi), asbes. Penvakit autoimun penyakit Hashimoto, arthritis rheumatica







Radang granulomatosa yang tidak diketahui sebabnya: kolitis Iseratif, sarkoidosis.



d. Pembentukan Makrofag



Oleh karena merupakan hal utama dan inti pada inflamasi kronik, makrofag merupakan sel jaringan yang berasal dari monoslf dalam sirkulasi setelah beremigrasi dari aliran darah. Makrofag normalnya tersebar difus pada sebagian besar jaringan ikat-juga bisa ditemukan dalam jumlah yang meningkat di organ, seperti hati (disebut sel Kupffer), limpa dan kelenjar getah bening (disebut histiosit sinus), sistem saraf pusat (sel mikroglia), dan paru (makrofag alveolus). Di tempat ini, makrofag bertindak sebagai penyaring terhadap bahan berukuran partikel, mikroba, dan sel-sel yang mengalami proses kematian/ senescent (disebut juga sistem fagosit mononuklear), dan bekerja sebagai sentinel untuk memperingatkan komponen spesifik sistem imun (limfosit T dan B) terhadap rangsang yang berbahaya .



e. Maturasi



Maturasi monosit dalam sirkulasi menjadi makrofag jaringan yang teraktivasi. Makrofag dapat di- aktivasi oleh sitokin (terutama interferon-y [lFN-y] dari sel T yang teraktivasi-imun atau oleh rangsang nonimunologik, seperti endotoksin. Tampak produk yang dibuat oleh makrofag teraktivasi yang memerantarai cedera dan fibrosis jaringan. AA, Asam arakhidonat; FGF, fibroblastgrowth factor, PDGF, platelet-derived growth factor,TGFg, transforming growth factor B. f. Interaksi



lnteraksi limfosit-makrofag pada inflamasi kronik Limfosit dan makrofag teraktivasi saling merangsang satu sama lain, dan kedua jenis sel melepaskan mediator peradangan yang memengaruhisel lain. IFN-y, intederon-y; lL-1, interleukin 1:TNF, tumor necrosis factor.



C. Perbedaan Radang Akut dan Radang Kronik



Radang Akut Durasi



Respon yang cepat dan segera,



Radang Kronik Inflamasi yang berdurasi panjang (bermingguminggu hingga bertahuntahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan pennyembuhan.



Ciri Perubahan



Perubahan vaskuler, edema, dan Infiltrasi sel mononuklir inflitrasi neutrofil dalam jumlah (seperti makrofag, besar.



limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis)



PEMULIHAN JARINGAN Hal kritis pada ketahanan hidup suatu organisme ialah kemampuannya untuk dapat memperbaiki kerusakan akibat pengaruh toksik



dan



radang. Respons radang terhadap mikroba dan jaringan



yang



rusak



tidak



hanya



untuk



mengeliminasi bahaya ini, tetapi juga memulai proses pemulihan. Pemulihan, disebut juga penyembuhan, merupakan upaya restorasi arsitektur jaringan dan fungsi setelah suatu jejas. Terjadi melalui dua jenis reaksi: regenerasi jaringan yang cedera dan pembentukan jaringan parut melalui pengendapan jaringan ikat. I.



Regenerasi sel



Regenerasi ialah proses jaringan untuk mengganti sel yang rusak dan kembali menjadi normal. Regenerasi terjadi melalui proliferasi sel residu (tidak kena jejas) yang tetap mempunyai kapasitas untuk membelah, dan pergantian melalui sel punca. Hal ini merupakan respons khas terhadap jejas pada epitel yang membelah dengan cepat di kulit dan usus, dan beberapa organ parenkim, yaitu hati. Regenerasi sel melibatkan proses proliferasi sel yang diatur oleh growth factor (GH), timbulnya sel baru yang telah berdiferensiasi yang berasal dari sel punca, dan bergantung pada integritas matriks ekstraseluler (ECM).



A. Proses pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi sel Proses penting pada proliferasi sel ialah replikasi DNA dan mitosis. Urutan kejadian yang mengatur kedua proses disebut siklus sel. Proliferasi dipengaruhi dengan adanya faktor pertumbuhan dan kemampuan jaringan atau sel itu sendiri. Kemampuan jaringan untuk memulihkan



diri



sendiri



dipengaruhi



terutama



oleh



kapasitas



proliferatif



intrinsik.Berdasarkan kriteria ini, jaringan tubuh dibagi atas tiga kelompok. 



Jaringan labil (selalu membelah). Sel dari kelompok jaringan ini akan terus hilang dan diganti oleh sel punca yang mengalami pematangan dan melalui proliferasi sel matur. Termasuk sel labil ialah sel hematopoietik dari sumsum tulang dan semua sel epitel permukaan.







Jaringan stabil. Sel kelompok ini bersifat diam dan hanya mempunyai aktivitas replikasi terbatas pada keadaan normal. Contohnya seperti sel endotel, fibroblas, dan otot polos.







Jaringan permanen Sel jaringan ini dianggap telah selesai berdiferensiasi lengkap dan bersifat nonproliferatif setelah kelahiran, seperti neuron dan sel otot jantung. Proses proliferasi melibatkan replikasi DNA & mitosis (siklus sel). Siklus sel memiliki



beberapa fase, yaitu G0 (sel yg belum masuk ke siklus sel), G1 (sintesis organel), S (replikasi DNA), G2 (sintesis protein, replikasi DNA telah selesai) & M (mitosis). Proses transisi (progresi) dari satu fase ke fase lainnya diatur oleh siklin yang aktivitasnya diatur oleh sebuah enzim bernama cyclin dependent kinase (CDK). B. Mediator yang berperan dalam regenerasi sel Faktor pertumbuhan yang berperan dihasilkan oleh makrofag melalui jalur alternative, yang berfungsi untuk : 



Mentimulasi fungsi gen pengatur pertumbuhan







Memicu siklus sel (proliferasi sel)







Mencegah apoptosis







Meningkatkan sintesis protein sel







Stimulasi angiogenesis & fibrogenesis



Faktor pertumbuhan



Sumber



Fungsi



Faktor pertumbuhan Makrofag yang teraktifkan, Mitogenik untuk kerainosit dan fibroblast; ependymal (EGF) kelenjar liur, keratinosit, dan menstimulasi migrasi keratinosit; berbagai sel lain menstimulasi pembentukan granulasi Faktor pertumbuhan Makrofag teraktifkan, keratinosit, Menstimulasi proliferasi transformasi-α (TGF- α) berbagai sel lain berbagai sel lain



hepatosit



dan



Faktor pertumbuhan Fibroblast , sel stroma di hati, sel Meningkatkan proliferasi hepatosit dan hepatosit (HGF) endotel berbagai sel lain; meningkatkan motilitas sel Faktor pertumbuhan Sel mesenkim endotel vascular (VEGF)



Menstimulasi proliferasi sel endotel; meningkatkan permeabilitas vascular



Faktor pertumbuhan asal Trombosit, makrofag, sel endotel, Kemotaksis untuk neutrofi, makrofag, trombosit (PDGF) sel otot polos, keratinosit fibroblastdan otot polos; mengakifkan prolifrasi fibroblast endotel dan sel lain: menstimulasi sintesa protein ECM Faktor pertumbuhan Makrofag, sel mast, sel endotel, Kemotaksis dan mitogenik untuk fibroblast; fibroblast (FGFѕ), berbagai sel lain menstimulasi angiogenesis dan sintesa termasuk (FGF-1) asam protein ECM dan (FGF-2) basa Faktor prtumbuhan Trombosit, limfosit T, makrofag, Kemotaksis untuk leukosit dan fibroblast; transformasi-β (TGF – β) sel endotel, keratinosit, sel otot menstimulasi sintesa protein ECM, menekan polos, fibroblast radang akut. Faktor pertumbuhan Fibroblast keratinosit (KGF) (missal FGF -7 )



Menstimulasi diferensiasi



migrasi,



proliferasi,



dan



 Faktor pertumbuhan berikatan pada reseptor spesifik & memicu sinyal biokimia. Pemberian sinyal ekstrasel melalui mediator terlarut terjadi dalam empat bentuk yang berbeda: a. Pemberian sinyal autokrin, saat suatu mediator terlarut bekerja secara menonjol (atau bahkan eksklusif) pada sel yang menyekresinya. Jalur ini penting pada respons imun (sitokin) dan pada hiperplasia epitel kompensatoris (misalnya, regenerasi hati). b. Pemberian sinyal parakrin, berarti mediator hanya memengaruhi sel yang sangat berdekatan. Untuk melaksanakannya, hanya memerlukan difusi minimal, yang sinyalnya didegradasi dengan cepat, dibawa oleh sel lain, atau terperangkap di dalam ECM.



c. Sinaptik, yang jaringan saraf yang teraktivasinya menyekresi neurotransmiter pada srratu penghubung sel khusus Ginnps) menuju sel target, seperti saraf atau otot lain. d. Endokrin, yang substansi pengaturnya, misalnya hormon, dilepaskan ke dalam aliran darah dan bekerja pada se1 target yang berjauhan. Faktor pertumbuhan polipeptida bekerja secara autokrin, parakrin, atau endokrin. C. Interaksi matriks intra dan ekstraseluler Pemulihan jaringan tidak hanya bergantung pada faktor pertumbuhan tetapi juga dengan interaksi sel dan komponen ECM. Kompleks ECM merupakan kompleks beberapa protein yang menyusun suatu jaringan yang mengelilingi sel dan merupakan bagian penting dari setiap jaringan tubuh. ECM terjadi dalam dua bentuk dasar yaitu : 



Matriks interstisium ECM jenis ini dijumpai di rongga antar sel di jaringan ikat, dan di antara epitel dan jaringan penunjang vaskular dan struktur otot polos. Disintesa oleh sel mesenkim (misal fibroblas) dan juga cenderung membentuk gel amorfus tiga dimensi. Konstitusi utama ialah kolagen fibril dan non fibril, juga fibronektin, elastin, proteoglikan, hialuronat, dan elemen lain (dibahas kemudian).







Membran basalis Matriks interstitium yang tersusun acak di jaringan ikat menjadi terorganisasi disekitar sel epitel, sel endotel, dan sel otot polos, membentuk membran basalis. Faktor pertumbuhan umumnya berfungsi dengan berikatan pada reseptor spesifik di



permukaan sel dan memicu sinyal biokimia dalam sel. Jalur sinyal intrasel utama yang diinduksi oleh faktor petumbuhan mirip dengan reseptor sel lain yang mengenali ligan ekstrasel. Atas dasar jalur sinyal transduksi utama, reseptor membran plasma dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : 1) Reseptor dengan aktivitas kinase intrinsik. Ikatan ligan dengan bagian ekstrasel reseptor akan menyebabkan dimerisasi dan kemudian fosforilasi dari subunit reseptor. Setelah terjadi fosforilasi, reseptor akan mengikat dan mengaktifkan protein intrasel lain (misal RAS, phosphatidylinositol 3[P13]-kinase, fosfolipase Cy [PLC-y]) dan kemudian merangsang sinyal selanjutnya



yang akan menyebabkan proliferasi sel, atau menginduksi berbagai program transkripsi. 2) Reseptor pasangan-protein G. Reseptor ini mengandungi tujuh segmen a-helix-transmembran dan dikenal sebagai reseptor tujuhtransmembran. Setelah terjadi ikatan ligan, reseptor akan berasosiasi dengan protein yang terikat dengan guanosine triphosphate (GTP), protein G intrasel yang mengandungi guanosine diphosphate (GDP). Ikatan dengan protein G ini akan menyebabkan pertukaran GDP dengan GTP, yang mengaktifkan protein. Di antara berbagai jenis jalur sinyal yang diaktifkan oleh reseptor pasanganprotein G termasuk AMP siklik (cAMP), dan terjadi inositol 1,4,5-triphosphate (IP3), yang mengeluarkan kalsium dari retikulum endoplasmik. Reseptor kelompok ini merupakan kelompok terbesar dari reseptor membran plasma (lebih dari 1500 jenis telah diidentifikasi). 3) Reseptor tanpa aktivitas enzim intrinsik. Biasanya merupakan molekul transmembran monomer dengan domain ikatan ligan ekstrasel; interaksi ligan akan menginduksi perubahan intrasel yang sesuai, yang memungkinkan terjadinya asosiasi dengan protein kinases intrasel yang disebut Janus kinases (JAK). Fosforilasi JAK mengaktifkan faktor transkripsi sitoplasmik disebut STAT (transdusi sinyal dan aktivator transkripsi), akan bergerak ke inti dan akan menginduksi transkripsi pada gen target. Fungsi Matriks Ekstrasel Peran ECM bukan hanya pengisi ruang sekitar sel. Berbagai fungsi lain termasuk: a. Penopang mekanis untuk menjadi jangkar sel dan migrasi sel dan mempertahankan polaritas sel. b. Mengatur proliferasi sel melalui ikatan dan penampilan faktor pertumbuhan dan sinyal melalui reseptor kelompok integrin. Jenis protein ECM dapat mempengaruhi derajat diferensiasi sel di jaringan terutama melalui integrin sel permukaan. c. Penopang kerangka dasar untuk pembaharuan sel. Karena untuk mempertahankan struktur jaringan normal dibutuhkan membran basalis atau penopang kerangka stroma, maka integritas membran basalis atau stroma sel parenkim menjadi sangat penting untuk regenerasi jaringan



yang telah terorganisasi. Sehingga walaupun sel labil dan sel stabil mampu beregenerasi, namun kerusakan ECM akan mengakibatkan kegagalan jaringan membentuk jaringan parut untuk regenerasi dan pemulihan. d. Pengadaan lingkungan mikro jaringan. Membran basalis berperan sebagai penghubung antara epitel dan jaringan ikat di bawahnya dan juga membentuk bagian dari aparat filtrasi di ginjal e. ECM mengeluarkan air, mengatur turgor jaringan lunak dan mineral, sehingga tulang menjadi kaku. Juga mengatur proliferasi, gerak dan diferensiasi sel sekitarnya, dengan mensuplai substrat untuk adhesi sel, migrasi dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan faktor pertumbuhan. ECM selalu mengadakan penyesuaian dalam sintesa dan degradasi mengikuti morfogenesis, penyembuhan luka, fibrosis kronik, dan invasi tumor dan metastasis.



PEMULIHAN JARINGAN PEMULIHAN JARINGAN OLEH JARINGAN IKAT (FIBROSIS) Jejas jaringan berat atau menetap yang disertai kerusakan pada sel parenkim dan kerangka stroma menimbulkan suatu keadaan yang pemulihannya tidak dapat dilaksanakan melalui regenerasi parenkim saja. Dalam kondisi seperti ini, pemulihan terjadi melalui penggantian sel parenkirn nonregeneratif oleh jaringan ikat. Terdapat komponen umum proses ini: 



Hemostatik, yang berfungsi untuk menyumbat atau menghentikan pendarahan







Inflamasi, mengumpulkan neutrophil dan monosit lain selama 6-48 jam. Sel-sel inflamasi mengeliminasi zat penganggu







Proliferasi Sel, terjadi dalam 10 hari







Penyusunan Ulang (Remodelling), terjadi selama 2-3 minggu bahkan hingga bulanan atau tahunan.



Pemulihan dimulai dalam waktu 24 jam setelah jejas melalui migrasi fibroblas dan induksi proliferasi fibroblas dan sei endotel. Dalam 3 sampai 5 hari, muncul jenis jaringan khusus yang mencirikan terjadinya penyembuhan, yang disebut jaringan granulasi. Istilah jaringan granulasi berasal dari gambaran makroskopisnya yang berwama merah muda, lembut, dan bergranula, seperti yang terlihat di bawah keropeng pada luka kulit. Gambaran histologisnya ditandai dengan proliferasi fibroblas dan kapiler baru yang halus dan berdinding tipis di dalam ECMyang longgar. Jaringan granulasi kemudian akan mengumpulkan matriks jaringan ikat secara progresif, yang akhirnya menghasilkan fibrosis padat yang dapat melakukan remodelling lebih lanjut sesuai perjalanan waktu. ANGIOGENESIS Angiogenesis adalah proses terbentuknya pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang sudah ada. Tahapan Angiogenesis : 1. Vasodilatasi yang diinduksi oleh VEGF 2. Pemisahan perisit dari permukaan untuk memungkinkan pembentukan pembuluh darah baru 3. Migrasi sel endotel menuju lokasi kerusakan jaringan 4. Proliferasi sel endotel dibagian belakang ujung sel yang bermigrasi 5. Penyusunan ulang saluran kapiler 6. Pemanggilan sel periendotel 7. Penekanan proliferasi sel dan migrasi sel endotel serta peletakan membran basal Proses angiogenesis melibatkan beberapa komponen :



1. Faktor pertumbuhan VEGF terutama VEGF-A yang mendorong dalam vasodilatasi dengan menstimulasi produksi NO. Pembuluh darah yang baru terbentuk perlu distabilkan dengan perekrutan perisit dan sel otot polos serta peletakan jaringan ikat, proses ini melibatkan PDGF dan TGF-B. 2. Persinyalan Notch Merupakan percakapan VEGF yang mengatur pertunasan (sprouting) 3. Protein Matriks Ekstraseluler Dalam proses pemunculan tunas baru dalam pembuluh darah 4. Enzim MMPs ( Matrix Metalloproteinases) yang berfungsi untuk penyusunan ulang dan pemanjangan saluran vascular Hasil dari proses angiogenesis ini masih terbentuk pembuluh darah yang bocor karena pertemuan antar endotel belum tertutup. Hal ini disebabkan karena adanya VEGF yang memungkinkan terus proses angiogenesis berlangsung. Pada orang yang memiliki penyakit diabetes, hal ini dapat memungkinkan proses edema yang menetap sehingga luka tidak bias menutup.



AKTIVASI FIBROBLAS DAN DEPOSISI JARINGAN IKAT



Proses ini diatur oleh sitokin dan faktor pertumbuhan seperti PDGF, FGF-2, dan TGF-B. Seiring dengan penyembuhan, jumlah proliferasi fibroblast dan pembuluh darah akan menurun. Sintesis kolagen diperlukan untuk penyembuhan luka agar kuat dan stabil secara mekanis. Sintesis kolagen oleh fibroblast terjadi pada awal proses penyembuhan luka. Jumlah akumulasi akhir kolagen berakhir pada penurunan sintesis kolagen. Saat jaringan parut matang, akan terjadi regenerasi vaskular yang progresif dan akhirnya mengubah jaringan granulasi yang sangat vaskular menjadi avascular. REMODELLING JARINGAN IKAT Setelah jaringan parut terbentuk, akan terjadi penyusunan ulang untuk meningkatkan kekuatan dan kemudian mengerut. Kekuatan luka mengerut disebabkan oleh ikatan silang kolagen. Pada proses ini terjadi perubahan tipe kolagen III menjadi tipe kolagen I yang lebih kuat dan kokoh. Kekuatan luka dapat kembali hingga 70-80% kulit normal dalam 3 bulan. Degradasi kolagen dilakukan oleh kelompok enzim MMPs. MMPs diproduksi oleh bermacammacam jenis sel seperti fibroblas, neutrophil, makrofag, sel synovial, dan sel epitel. Sintesis dan sekresinya diregulasi oleh faktor pertumbuhan dan sitokinin. Kolagenase yang teraktivasi dengan cepat dihambat oleh TIMPs (Tissue inhibitor of metalloproteinases)



FAKTOR YANG MENGGANGGU PROSES PEMULIHAN JARINGAN IKAT 1. Infeksi Infeksi dalam memperpanjang inflamasi dan berpotensi meningkatkan jejas jaringan lokal. 2. Diabetes Penyakit metabolik yang membahayakan pemulihan jaringan dan penyebab sistemik yang menyebabkan penyembuhan luka menjadi abnormal. 3. Status Gizi Memiliki dampak besar dalam pemulihan jaringan, apabila malnutrisi protein dan defisiensi vitamin C dapat menghambat sintesis kolagen. 4. Glukokortikoid (Steroid) Pemberian steroid dapat menyebabkan jaringan parut yang lemah karena menghambat produksi TGF-B dan menghilangkan fibrosis. 5. Faktor Mekanis Faktor tekanan dapat menyebabkan tepi luka menepi (menganga) 6. Perfusi Buruk Akibat asteriosklerosis dan diabetes atau akibat pengosongan vena yang tersumbat. 7. Benda Asing Besi, kaca, atau bahkan tulang dapat menganggu proses penyembuhan. 8. Jenis dan keparahan kerusakan jaringan Pemulihan sempurna hanya terjadi pada jaringan yang tersusun oleh sel yang mampu berproliferasi. Sedangkan pada jejas berat masih memungkinkan regenerasi sel secara tidak sempurna dan setidaknya kehilangan sebagian fungsi. Pada jejas berat akan menimbulkan jaringan parut. 9. Lokasi Kerusakan



Contohnya pada inflamasi yang muncul di rongga jaringan memungkinkan untuk diserap oleh enzim proteolitik dari leukosit yang menyebabkan inflamasi mereda dan restorasi struktur jaringan menjadi normal. CONTOH KLINIS PENYEMBUHAN LUKA ABNORMAL



Keterangan : A = Ulkus Vena di Kaki, , terbentuk paling sering pada lansia akibat dari hipertensi yang menyebabkan vena varikosa yang parah. B = Ulkus Arteri, pada individu dengan aterosklerosis di arteri perifer C = Luka Tirah Baring, area ulkus kulit dan nekrosis jaringan dibawahnya yang disebabkan oleh penekanan yang lama jaringan terhadap tulang. D = Ulkus Diabetik, akibat penyakit penyakit pembuluh darah kecil yang menyebabkan iskemia, neuropatim kelainan metabolik sistemik, dan infeksi sekunder E = Gambar Mikroskopik Tepi Ulkus (Luka) F = Gambar Mikroskopik Inflamasi Kronis dan Jaringan Granulasi



A = Parut Hipertrofik B = Keloid C = Gambar Mikroskopik Keloid Pembentukan berlebihan komponen proses pemulihan dapat menyebabkan parut hipertrofik dan keloid. Parut Hipertrofik adalah akumulasi jumlah kolagen berlebih pada proses pemulihan jaringan, jaringan ini mengandung banyak miofibroblas namun dapat berangsur berkurang dalam hitungan bulan. Apabila tidak berkurang, maka disebut keloid. Keloid adalah tumor jinak jaringan ikat yang tumbuh secara berlebihan meluas melewati defek asal. (Ajab K, 2006). Keloid adalah jaringan parut yang tumbuh melebihi area luka / cederapada kulit yang menyembuh,sedangkan keloidosis yaitu keloid multipel atau pertumbuhan berulang keloid meski tidak pada tempat yang sama. (Gentur S,2011). a. Etiologi Keloid Etiologi keloid tidak diketahui tetapi sejumlah faktor pencetus misalnya operasi, tato, gigitan, vaksinasi, trauma tumpul, luka bakar dan luka tindik pada daun telinga. Terdapat peran growth factor pada pembentukan keloid,yaitu peningkatan kadar TGF – beta. (Gentur S,2011). Keloid mungkin terjadi spontan atau mungkin familial. Demikian pula banyak Universitas Sumatera Utara penyakit dermatologis lainnya yang berhubungan dengan



pembentukan keloid. Berbagai modalitas pengobatan dengan sukses dilaporkan meliputi terapi kompresi, steroid intralesi, krioterapi, eksisi bedah, radiasi, interferon, 5 – fluorouracil, bleomycin, gel silikon, UV-A1 terapi, methotrexate, Quercetin dan terapi laser. (Ajab K, 2006) b. Gambaran klinis Keloid umumnya dianggap sebagai hasil dari penyembuhan luka yang berlebihan, meskipun beberapa juga percaya bekas luka ini menjadi jenis tumor jinak berserat (Slemp & Kirschner 2006). Keloid ditandai oleh pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrosa padat ditambah dengan deposisi berlebihan komponen matriks ekstraseluler (ECM) seperti kolagen dan fibronectin (Rockwell, Cohen & Ehrlich 1989; Babu, Diegelmann & Oliver 1989). Keloid hanya terjadi pada manusia, dan dapat terjadi bahkan dari luka kulit paling kecil, seperti gigitan serangga atau jerawat (Urioste, Arndt & Dover 1999). Keloid sering terkait dengan gatal-gatal, rasa sakit , bila melibatkan kulit di atasnya sendi, terbatas rentang gerak (Lee et al. 2004). Untuk alasan yang tidak diketahui, keloid lebih sering terjadi pada dada, bahu, punggung bagian atas, belakang leher, dan telinga (Bayat et al. 2004). Jaringan parut keloid pada kornea juga telah diamati (Shukla, Arora & Arora 1975).



c. Pengobatan Penanganan



keloid



merupakan



tantangan



bagi



dermatolog.



Berdasarkan



pemahaman tentang patogenesis keloid yang ada saat ini, terdapat tiga pendekatan terapi yang dapat digunakan: manipulasi terhadap aspek mekanis penyembuhan luka, koreksi terhadap ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen, dan perubahan respon imun/inflamasi.5 Penanganan keloid merupakan masalah yang sulit, karena rendahnya respon penyembuhan terhadap berbagai terapi dan cenderung kambuh. Keloid yang hanya diterapi dengan pembedahan memiliki angka kekambuhan sampai 80%.



PENYEMBUHAN LUKA Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang. 1. Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi setelah diusahakan bertautnya tepi luka, biasanya dengan jahitan, plester, skin graft, atau flap. Hanya sedikit jaringan yang hilang dan Luka bersih. Jaringan granulasi sangat sedikit. Reepitelisasi sempurna dalam 10-14 hari, menyisakan jaringan parut tipis. Kontraindikasi Penutupan Luka Sec Primer: a. Infeksi b. Luka dg jaringan nekrotik. c. Waktu terjadinya luka >6 jam sebelumnya, kecuali luka di area wajah. d. Masih tdpt benda asing dlm luka e. Perdarahan dr luka f. Diperkirakan tdpt “dead space” stla dilakukan jahitan. g. Tegangan dlm luka atau kulit di sekitar luka terlalu tinggi h. perfusi jaringan buruk. 2. Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan primer. Dikarakteristikkan oleh luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Tidak ada tindakan aktif menutup luka, luka sembuh secara alamiah (intervensi hanya berupa pembersihan luka, dressing, dan pemberian antibiotika bila perlu). Proses penyembuhan lebih kompleks dan lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka dan terbentuk jaringan granulasi yang cukup banyak. Luka akan ditutup oleh re-epitelisasi dan deposisi jaringan ikat sehingga terjadi kontraksi. Jaringan parut dapat luas/ hipertrofik, terutama bila luka berada di daerah presternal, deltoid dan leher. Indikasi Penutupan luka secara sekunder: a. Luka kecil (6 jam se



belumnya, kecuali bila luka di area wajah.



f. Luka terkontaminasi (highly contaminated wounds) g. Diperkirakan terdapat “dead space” setelah dilakukan jahitan h. Darah terkumpul dlm dead space i. Kulit yg hilang cukup luas



j. Oedema jaringan yg hebat sehingga jahitan terlalu kencang dan mengganggu vaskularisasi yang dapat menyebabkan iskemia & nekrosis. 3. Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir. Delayed primary closure yang terjadi setelah mengulang debridement dan pemberian terapi antibiotika.



Fase Penyembuhan Luka Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi. Satu fase dengan fase yang lain merupakan suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan. a.



Fase Inflamasi 



Berlangsung segera setelah jejas terjadi dan berlanjut hingga 5 hari. Merupakan respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan jaringan lunak yang bertujuan untuk mengontrol perdarahan, mencegah koloni bakteri, menghilangkan debris dan mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan. Disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang lemah.







Awal fase, kerusakan jaringan menyebabkan keluarnya platelet yang akan menutupi vaskuler yang terbuka dengan membentuk clot yang terdiri dari trombosit dengan jala fibrin dan mengeluarkan zat yang menyebabkan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Terjadi selama 5 – 10 menit.







Setelah itu, sel mast akan menghasilkan sitokin, serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, pengumpulan sel radang, disertai vasodilatasi lokal. Tanda dan gejala klinik radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).







Eksudasi mengakibatkan terjadinya pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) terutama neutrofil menuju luka karena daya kemotaksis mengeluarkan enzim hidrolitik berfungsi untuk fagositosis benda asing dan bakteri selama 3 hari yang kemudian digantikan fungsinya oleh sel makrofag yang berfungsi juga untuk sintesa kolagen, pembentukan jaringan granulasi bersama makrofag, memproduksi Growth Factor untuk re epitelialisasi, dan proses angiogenesis.



b.



Fase Proliferasi Berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Disebut juga fase fibroplasias karena fase ini didominasi proses fibroblast yang berasal dari sel mesenkim undifferentiate, yang akan berproliferasi dan menghasilkan kolagen, elastin, hyaluronic acid, fifbronectin, dan



proteoglycans yang berperan dalam rekonstruksi jaringan baru. Fase ini terdiri dari proses proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks, dan kontraksi luka. 



Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan serat kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antar molekul.







Luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab epitel tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses maturasi.



c.



Fase Maturasi Berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung sampai berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Pada fase ini terjadi proses maturasi yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya remodelling jaringan yang baru terbentuk. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira – kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira – kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.



KEKUATAN LUKA Luka yang dijahit dengan cermat mempunyai kira-kira 80% kekuatan dibandingkan kekuatan kulit yang tidak terluka, sebagian besar disebabkan oleh penempatan jahitan. Jika jahitan dilepas, biasanya setelah 1 minggu, kekuatan luka menjadi kira-kira 10% dari kulit yang tidak terluka, tetapi kekuatan ini meningkat dengan cepat selama 4 minggu berikutnya. Pemulihan kekuatan peregangan



diakibatkan oleh adanya sintesis kolagen yang melebihi degradasinya selama 2 bulan pertama, dan oleh perubahan struktural kolagen (misalnya, pertautan silang dan peningkatan ukuran serabut) ketika sintesisnya berkurang di saat selanjutnya. Kekuatan luka mencapai kira-kira 70%-80% dari normal pada bulan ke-3, tetapi biasanya tidak akan meningkat melebihi angka tersebut.



ASPEK PATOLOGIS PEMULIHAN Dalam penyembuhan luka, pertumbuhan sel yang normal dan fibrosis dapat diubah olehberbagai macam pengaruh, yang sering kali mengurangi kualitas atau kecukupan proses pemulihan. Faktor ini dapat bersifat ekstrinsik (misalnya, infeksi) atau intrinsik terhadap jaringan yang cedera: a. Infeksi merupakan penyebab tunggal terpenting melambatnya penyembuhan, dengan memperpanjang fase peradangan proses tersebut dan berpotensi meningkatkan jejas jaringan lokal. Nutrisi mempunyai efek mendalam terhadap penyembuhan luka misaInya, kekurangan protein dan khususnya kekurangan vitamin C, menghambat sintesis kolagen dan memperlama penyembuhan. Glukokortikold (steroid) telah lama dikenal mempunyai efek antiradang, dan pemberiannya dapat mengakibatkan penlrrunan kekuatan luka yang disebabkan oieh berkurangnya fibrosis. Namun, dalam beberapa contoh, efek anti radang glukokortikoid memang dikehendaki. Misalnya, pada infeksi kornea, glukokortikoid terkadang diresepkan (bersama antibiotik) unbuk meng-rrangi kemungkinan kekeruhan yang dapat diakibatkan oleh deposisi kolagen. Faktor mekanis, seperti peningkatan tekanan lokal atau torsi dapat menyebabkan luka-luka menjadi terpisah, atat-t dehisce. Perfusi yang buruk, yang disebabkan oleh arteriosklerosis ataupun oleh sumbatan aliran vena, juga mengganggu penyembuhan. Akhirnya, benda asing, seperti pecahan baja, kaca, atau bahkan tulang, akan menghalangi penyembuhan. b. Jenis (dan jumlah) jaringan yang mengalami jejas merupakan faktor penting. Pemulihnn sempurna hanya dapat terjadi pada jnringnn yang tersusun atas sel stabil dan labil, bahkan kemudian, cedera yang luas akan mungkin mengakibatkan regenerasi jaringan menjadi tidak sempurna dan setidaknya akan kehilangan sebagian fungsinya. Jejas pada jaringnn yang tersusun atas sel permanen pasti mengakibatkan pembentukan jaringan parut, disertai paling maksimal, adanya upaya kompensasi fungsional oleh sisa unsur yang dapat hidup. Contohnya adalah pada kasus penyembuhan infark miokard. c. Lokasi alau sifat jaringan yang mengalami jejas merupakan hal yang penting pula. Sebagai contoh, peradangan yang muncul dttlam rongga jnringnn (misnlnya, rongga pleura, rongga peritoneum, rongga sinouial) menghasilkan eksudat luas. Pemulihan selanjutnya dapat terjadi melalui cernaan eksudat, yang dimulai oleh enzim proteolitik leukosit serta penyerapan



eksudat yang mencair. Proses ini disebut resolusi, dan jika tidak terjadi nekrosis sel, bentuk jaringan yang normal pada umumnya akan diperbaiki. Namun, pada penumpukan yang lebih besar, eksudat tersebut mengalami organisasi jaringan granulasi tumbuh ke dalam eksudat, akhirnya diikuti oleh pembentukan jaringan parut fibrosa. d. Penyimpangan pertumbuhan sel serta produksi ECM dapat terjadi, walaupun dimulai dengan penyembuhan luka yang normal. Sebagai contoh, penumpukan kolagen yang sangat banyak dapat menimbulkan jaringan parut yang menonjol dan menyembul yang dikenal sebagar keloid. Pembentukan keloid agaknya mempunyai suatu kecenderungan genetik, dan kondisi tersebut lebih lazim terjadi pada orang kulit hitam. Luka yang menyembuh dapat pula menghasilkan jaringan granulasi yang berlebihan yang menonjol di atas kulit sekitar dan dalam kenyataannya akan menghambat reepitelialisasi. Keadaan ini disebut dengan granulasi eksubernn, atau proud flesh, dan untuk mengembalikan kontinuitas epitel memerlukan reseksi bedah atau reseksi menggunakan kauter pada jaringan granulasi tersebut. e. Mekanisme yang mendasari fibrosis yang menimbulkan cacat dihubungkan dengan penyakit radang kronis, seperti artritis reumatoid, fibrosis paru, dan sirosis, pada dasarnya sama dengan mekanisme yang terlibat dalam penyembuhan luka normal. Namun, pada berbagai penyakit ini perangsangan fibrogenesis yang menetap berasal dari reaksi imun/autoimun kronis yang menyokong sintesis dan sekresi faktor pertumbuhan, sitokin fibrogenik, dan protease. Sebagai contoh, degradasi kolagen oleh kolagenase, yang secara normal penting dalam remodeling luka bertanggung jawab pada banyak kerusakan sendi yang terlihat pada artritis rheumatoid.



REFERENSI



Kumar, V., Abbas, A.K.., Aster, J.C., 2015. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 9, Elsevier Saunders, Singapura.



Pringgoutomo, Sudarto. Sutisna Himawan dan Achmad Tjarta. 2002. Buku Ajar Patologi I (Umum) edisi ke-1. Jakarta: Sagung Seto