Case Study Hukum Laut [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HUKUM LAUT (CASE STUDY) LUSITANIA EXPRESSO INCIDENT Pada awal tahun 1992 muncul suatu berita dari Lisbon bahwa aktivis perdamaian berencana untuk berlayar ke Dili dengan menyewa kapal ferry milik portugis yang bernama Lusitania Expresso. Dikemukakan bahwa kunjungan itu bertujuan untuk menyampaikan simpati pada korban kerusuhan di Dili pada bulan November 1991, dengan menaburkan bunga di Dili. Indonesia merespon berita tersebut dengan mengeluarkan Press release suatu statement pada tanggal 25 February 1992 yang menyatakan bahwa tindakan itu termasuk provocative dan bahwa pemerintah Indonesia belum menerima permohonan entry permit dari aktivis perdamaian itu. Dalam statementnya Indonesia menyebutkan bahwa pelayaran tersebut sebagai ‘provocative in nature, that it is not at all humanitarian but politically motivated and designed to instigate confrontation, aggravate tension, induce divisiveness and incite disturbances in East Timor.’ Statement itu selanjutnya menyatakan bahwa laut territorial Indonesia tertutup untuk Lusitania Expresso. Tanpa menghiraukan statement tersebut, Lusitania Expresso berlayar menuju Darwin dan selanjutnya berangkat ke Dilli pada tanggal 9 Maret 1992. penumpangnya terdiri dari 132 orang dan 18 crew. Para penumpang itu terdiri dari pelajar, aktivis perdamaian, jurnalis serta crew TV. Ketika Lusitania Expresso memasuki wilayah perairan Indonesia pada tanggal 11 Maret 1992, kapal tersebut dihadang oleh KRI Yos Sudarso dan KRI Ki HadjarDewantara dan diminta untuk kembali dan meninggalkan perairan Indonesia. Kapal tersebut akhirnya berbalik arah dan kembali ke Darwin walaupun sempat berhenti sejenak untuk perbaikan mesin. Dengan demikian bias dikatakan bahwa the innocent passage Lusitania Expresso has been suspended (Hak lintas damai kapal tersebut ditangguhkan) karena ada dugaan tindakan para aktivis tersebut akan membahayakan keamanan Negara (provokativ) Analisa kasus tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982.



1



LEGAL ISSUES SURROUNDING THE LUSITANIA EXPRESSO INCIDENT



1. Apakah Indonesia bias secara sepihak menutup laut wilayahnya (territorial sea-nya) untuk pelayaran Lusitania Expresso? Whether Indonesia could close its territorial sea to the Lusitania Expresso? 2. Apakah tindakan Indonesia menyuruh kapal tersebut untuk kembali dan meninggalkan perairan Indonesia dapat dibenarkan menurut Hukum Laut Internasional? Whether it was justified in ‘turning back’ the vessel when it entered into Indonesia’s territorial sea on 11 March 1992? 3. Apakah praduga bahwa pelayaran kapal itu sebagai tindakan provokativ dan oleh sebab itu hak lintas damai kapal tersebut dapat ditangguhkan? Whether mere intent on the part of a vessel is sufficient for a coastal state to deny innocent passage of that vessel through its territorial sea? Hints: Apakah Konvensi Hukum Laut (KHL 1982)sudah berlaku pada tahun 1992? Apakah Indonesia sudah meratifikasi KHL 1982 pada tahun 1992?



2



The Right of Passage Pasal 17 KHL 1982: “Subject to this Convention, ships of all states, whether coastal or landlocked, enjoy the right of innocent passage through the territorial sea.” Pasal 18 KHL 1982: 1. Passage means navigation through the territorial sea for the purpose of: (a) traversing that sea without entering internal waters or calling at a roadstead or port facility outside internal waters; or (b) proceeding to or from internal waters or a call at such roadstead or port facility. 2. Passage shall be continuous and expeditious. However, passage includes stopping and anchoring, but only in so far as the same are incidental to ordinary navigation or are rendered necessary by force majeure or distress or for the purpose of rendering assistance to persons, ships or aircraft in danger or distress.



Non-innocent passage Pasal 19 (1) KHL 1982: “Passage is innocent so long as it is not prejudicial to the peace, good order or security of the coastal state. Such passage shall take place in conformity with this Convention and other rules of international law.” Pasal 19 (2) KHL 1982 memuat daftar aktivitas-aktivitas yang bila dilakukan akan berbahaya bagi keamanan coastal state sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 (1) KHL 1982. Ada 12 aktivitas akan tetapi hanya 6 yang relevan dengan kasus Lusitania Expresso.



3



Pasal 19 (2) (a) KHL 1982: “any threat or use of force against the sovereignty, territorial integrity or political independence of the coastal state, or in any other manner in violation of the principles of international law embodied in the charter of United Nations.” No evidence, Lusitania Expresso adalah kapal ferry yang tidak mempunyai kapasitas untuk menggunakan use of force. Pasal 19 (2) (c) KHL 1982: “any act aimed at collecting information to the prejudice of the defence or security of the coastal state.” In the short time that it was within Indonesia’s territorial sea there was little opportunity to engage in such an activity in any case. Pasal 19 (2) (d) KHL 1982: “any act of propaganda aimed at affecting the defence or security of the coastal state.” Analyses: Pasal 19 (2) (g) KHL 1982: “the loading or unloading of any commodity, currency or person contrary to the customs, fiscal, immigration or sanitary laws and regulations of the coastal state.” Analyses: Pasal 19 (2) (k) KHL 1982: “any act aimed at interfering with any system of communication or any other facilities or installations of the coastal state.” Analyses: Pasal 19 (2) (l) KHL 1982: “any other activity not having a direct bearing on passage.” Analyses:



4



Article 19 (2) seeks to deal with activities that have actually occurred within the territorial sea and not those which occurred prior to or may potentially occur at a later stage during passage. ---- mengatur aktivitas-aktivitas yang memang sesungguhnya sudah terjadi bukan aktivitas yang akan terjadi atau mungkin akan terjadi. Pasal 25 KHL 1982 mengatakan bahwa costal state punya hak untuk mengambil langkah-langkah tertentu untuk mencegah lintas yang noninnocent. Akan tetapi KHL 1982 tidak mengatur tentang prosedur untuk hal tersebut.—verbal warnings, the firing of warning shot, etc.



Suspension of innocent passage (Penangguhan hak lintas damai) Pasal 25 (3) KHL 1982 mengatakan bahwa hak lintas damai bias ditangguhkan jika keamanan Negara terancam contohnya untuk latihan perang. Kalau memang penangguhan hak lintas damai itu untuk kepentingan keamanan Negara mengapa yang disuspend hanya kapal Lusitanai expresso sedangkan kapal yang lain tidak? Pasal 19 KHL 1982 memuat kegiatan-kegiatan yang tidak boleh dilakukan selama melakukan lintas damai sedangkan Pasal 21 KHL 1982 memperbolehkan coastal state untuk menetapkan hukum dan peraturan perundang-undangan berhubungan dengan hak lintas damai. Akan tetapi tidak ada satu peraturanpun dalam KHL 1982 yang memuat tentang standar atau criteria untuk menentukan suatu tindakan itu non-innocent. Mengacu pada putusan MI pada Corfu Channel Case antara UK dan Albania, dikatakan bahwa standar atau criteria yang dipakai haruslah obyektif bukan subyektif. Harus didasarkan pada bagaimana lintas itu sesungguhnya bukan apa yang memotivasi lintasan tersebut (concentrates on the manner in which the passage was actually conducted rather than the motive). Indonesia dalam kasus ini telah memberlakukan standard subyektif yang melihat intention dari lintas tersebut. Akan tetapi memanglah sulit



5



untuk mengaplikasikan suatu standard yang murni obyektif.sebagaimana dikatakan oleh O’Connell:



Bahasa yang dipakai oleh KHL 1982 pada umunya bersifat open to any interpretation dan hal inilah yang menyebabkan munculnya kasus-kasus seperti diatas. Akan tetapi mengapa KHL 1982 bahasanya bersifat open atau subject to interpretation? Hal ini karena KHL 1982 mencoba untuk mencapai balancing accommodation semua kepentingan Negara-negara pesertanya. Akan tetapi sangatlah sulit mencapai sutu perfect balance.



6



7