Catur Anggraheni (17050950830) - Research Proposal Flow Chart [PDF]

  • Author / Uploaded
  • catur
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama : Catur Anggraheni NIM



: 1705095083



Kelas : BK-B 2017 Research Proposal Flow Chart “Perbedaan Tingkat Pengetahuan Pendidikan Seks Antara Peserta Didik dengan Pola Asuh Otoriter, Permisif, dan Demokratis di SMAN X Balikpapan” 1. Introduction (Perkenalan) What : a. Perilaku seksual pranikah meningkat, perilaku seksual pra nikah ini akan mengakibatkan beberapa permasalahan lain seperti : 1) Tingginya penyakit menular seksual (PMS), seperti HIV/AIDS, klamidia, gonore, sifilis 2) Tingginya tingkat kehamilan di luar nikah 3) Tingginya tingkat aborsi b. Remaja kurang memahami fungsi tubuhnya sendiri, sehingga seringkali remaja kebingungan saat tumbuh tanda tanda baik tanda seks primer maupun seks sekunder c. Rentan terhadap bahaya pelecehan seksual d. Membentuk pemahaman yang salah tentang seks Why : Pemahaman pendidikan seks rendah. How : Pada masa remaja, keingintahuan tentang seksualitas adalah hal yang wajar, namun jika tidak diarahkan, rasa keingintahuain ini akan menjadi malapetaka bagi remaja. Seringkali, remaja mencari sumber yang salah mengenai seksualitas, sumber yang salah ini dapat berasal dari menonton film porno maupun membaca manga/manhwa dewasa. Sumber yang salah, akan membuat persepsi anak mengenai seks keliru. Orang tua adalah guru peserta didik di dalam rumah, sehingga terdapat kemungkinanan adanya perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh otoriter, permisif, dan demokratis. Pertanyaan penelitian (research question) yaitu : 1. Apakah terdapat perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik ditinjau dari pola asuh orang tua? 2. Apakah terdapat perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh otoriter dan peserta didik dengan pola asuh demokratis? 3. Apakah terdapat perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh otoriter dan peserta didik dengan pola asuh permisif? 4. Apakah terdapat perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif dan peserta didik dengan pola asuh demokratis? Ringkasan Proposal (summary of proposal) yaitu untuk mengetahui : 1. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik ditinjau dari pola asuh orang tua.



2. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh otoriter dan peserta didik dengan pola asuh demokratis. 3. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh otoriter dan peserta didik dengan pola asuh permisif. 4. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks



2. Literature Review (Tinjauan Pustaka) Literature Review (tinjauan pustaka) : A. Literature on topic (literatur tentang topik) 1. Pengetahuan Pendidikan Seks a) Pengertian Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melaksanakan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, pengindraan terjadi melaluai panca indara manusia, yakni panca indra penglihatan , pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia di perolehmelalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior) (Notoatmodjo, 2012). b) Pengertian Pengetahuan Pendidikan Seks Sedangkan menurut Sarwono (2011), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan c) Pentingnya Pengetahuan Pendidikan Seks Pendidikan sex penting yaitu karena : (1) memberikan bekal pengetahuan kepada anak, serta membuka wawasan anak seputar masalah sex secara benar dan jelas sehingga anak memiliki kesadaran akan fungsi organ reproduksinya serta paham tentang cara menjaga dan memeliharanya (2) menghindarkan anak dari berbagai kejahatan sexual dan resiko negatif dari perilaku sexual yang tidak bertanggung jawab (Haryono et al., 2018). d) Tujuan Pengetahuan Pendidikan Seks Tujuan lain dari pendidikan seksualitas tidak hanya mencegah dampak negatif dari perilaku seksual di usia dini sebagaimana dikutipkan oleh banyak orang, tetapi yang lebih penting menekankan pada kebutuhan akan informasi yang benar dan luas tentang perilaku seksual serta berusaha untuk memahami seksualitas manusia sebagai bagian penting dari kepribadian yang menyeluruh ( Bruess & Greenberg dalam Qibtiyah, 2006).



e) Materi Pendidikan Seks Materi pendidikan seks bisa mencakup tentang kesehatan seksual, anatomi dan fungsi alat reproduksi, perkembangan dan pertumbuhan mental dan fisik, desinisi seks dan seksualitas, kehamilan dan pencegahan kehamilan. f) Sumber Pendidikan Seks Pendidikan seks dapat bersumber dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sekitar (teman sebaya dan media massa) 2. Pola Asuh Orang Tua a) Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Aisyah (dalam Novianti, 2011) Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. b) Dimensi Pola Asuh Menurut Pratiwi (1998), ada empat dimensi dalam mengasuh anak yaitu : dimensi kontrol, tuntutan, kejelasan komunikasi antara orang tua dan anak, dan pemeliharaan terhadap anak. c) Jenis Pola Asuh Tipe pola asuh orang tua menurut Stewart & Koch ada tiga yaitu pola asuh demokratis, permisif dan otoriter. d) Faktor Pola Asuh Menurut Triwardani (dalam Pratiwi, 1998), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu: sosial ekonomi, pendidikan, kepribadian, nilai-nilai yang dianut orang tua, dan jumlah anak. 3. Hubungan Antara Pengetahuan Pendidikan Seks dengan Pola Asuh Orang Tua Pendidikan seks harus diberikan oleh orang tua sejak dini, hal ini disebabkan karena mengajarkan seksualitas yang benar membutuhkan proses yang panjang, sejak lahir sampai tahap remaja akhir. Pemahaman pendidikan seks yang diberikan melalui pola asuh orang tua diharapkan agar anak mendapat informasi yang tepat mengenai seks, hal ini dikarenakan adanya media lain yang dapat mengajari anak mengenai pendidikan seks. Oleh karena itu pola asuh orang tua berhubungan dengan pengetahuan pendidikan seks pada peserta didik. B. Literature on Method (Literatur tentang metode) Pendekatan penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode kuantitaif komparatif atau perbandingan. C. Theoretical Approach (Pendekatan teoritis) Pendekatan teoritis yang digunakan yaitu pendekatan fiolosofi progresivisme. D. Find a hole (Temukan kejanggalan) dan look for debates (temukan perdebatan) Walaupun sebesar 67,36% orang tua sudah memiliki pengetahuan tentang tujuan pendidikan seks untuk anak usia dini , akan tetapi sebesar 76,4% orang tua belum memahami dengan baik cara menyampaikan pendidikan seks yang benar (Nadar, 2017). Oleh karena itu perlu diketahui perbedaan tingkat pengetahuan pendidikan seks berdasarkan jenis pola asuh orang tua.



3. Methodology (Metodologi) A. Research Design (Desain Penelitian) Pendekatan penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode kuantitaif komparatif atau perbandingan. B. Research Prosedures (Prosedur Penelitian) Terdapat lima tahap prosedur penelitian kuantitatif komparatif yaitu : 1. Penentuan masalah penelitian 2. Penentuan kelompok yang memiliki karakteristik yang ingin diteliti 3. Pemilihan kelompok pembanding 4. Pengumpulan data 5. Analisis data C. Kind of Data (Jenis Data) Data berbentuk data kuantitatif. Jenis data berbentuk nomor dan bilangan. D. Collection Procedures (Prosedur Pengumpulan) Angket dan wawancara. E. Selection and Access (Seleksi dan Akses) Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi uji persyaratan analisis dan uji hipotesis. F. Human Subjects Review (Tinjauan Subjek Manusia) 1. Peserta didik Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan informal, pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu. 2. Orang tua Orang tua adalah ayah dan/atau ibu seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial.  G. Ethics Statement (Pernyataan Etika) H. Costs and Funding (Biaya dan Pendanaan) Tidak ada.



4. Preliminary Data (Data awal) A. Evidence of importance (bukti penting) Menurut survey yang dilakukan oleh Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) pada 2017 tercatat 80% wanita dan 84% pria mengaku pernah berpacaran. Aktifitas berpacaran yang dilakukan antara lain berpegangan tangan pada wanita 64%, dan pada pria 75% , berpelukan pada wanita 17% dan pada pria 33% , cium bibir pada wanita 30% dan pada pria 50% dan meraba/diraba pada wanita 5% dan pada pria 22% .



B. Informs Methodology (informasi metodologi) Pendekatan penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode kuantitaif komparatif atau perbandingan. Penelitian komparatif adalah bentuk analisis variabel (data) untuk mengetahui perbedaan di antara dua kelompok data (variabel) atau lebih (M. Iqbal, 2001). C. Preliminary Findings (penemuan terdahulu) Dalam junal oleh Djufri et al (2019), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh dengan tingkat pengetahuan pendidikan seks, disimpulkan bahwa peserta didik dengan pola asuh demokratis lebih memiliki tingkat pengetahuan pendidikan seks dibanding peserta didik dengan pola asuh otoriter atau permisif. D. Important Categories and Relationships (kategori dan hubungan yang penting) Kategori dan hubungan yang penting yang akan dicari di dalam penelitian ini yaitu tentang hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat pemahaman pendidikan seks, lebih khususnya akan membahas tentang perbedaan tingkat pengetahuan pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif, demokratis, dan otoriter.



5. Statement of Limitations (Batasan pernyataan) A. Alternatives (Alternatif) Diharapkan orang tua di rumah dapat memberikan beberapa topik tentang pendidikan seks, seperti : 1. Seks dan seksualitas 2. Mengenal dan merawat organ seks (alat reproduksi) 3. Pergaulan lawan jenis (peran gender, batasan pergaulan dengan lawan jenis) 4. Pemahaman tentang hubungan seksual di luar nikah berdasarkan budaya dan agama yang dianut Sedangkan, guru BK dapat memberikan topik tentang pendidikan seks sebagai berikut : 1. Seks dan seksualitas 2. Mengenal dan merawat organ seks (alat reproduksi) 3. Pergaulan lawan jenis (peran gender, batasan pergaulan dengan lawan jenis) B. Weaknesses (Kelemahan) Kelemahan penelitian kuantitatif komparatif antara lain : 1. tidak terdapat kontrol dari variabel bebas, 2. sulit dalam memilih faktor penyebab secara aktual, 3. faktor tunggal tidak membentuk hasil (harus ada gabungan faktor faktor lain), dll. C. What my research will do (Apa yang akan dilakukan oleh penelitian saya) Penelitian ini akan mencari perbedaan tingkat pengetahuan pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif, demokratis, dan otoriter di SMAN X Balikpapan



6. Conclusion (Kesimpulan) A. Contributions (Kontribusi) Kontrubusi yang peneliti hendak harapkan dari penelitian ini yaitu : 1. Bagi Guru Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang perbedaan tingkat pengetahuan pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif, demokratis, dan otoriter sehingga dapat membantu pihak sekolah untuk memantau dan memperhatikan peserta didik dalam pemberian pendidikan seks di sekolah. 2. Bagi Peneliti Dengan penelitian ini peneliti dapat menambah dan meningkatkan wawasan, pengetahuan yang berkaitan dengan perbedaan tingkat pengetahuan pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif, demokratis, dan otoriter serta harapannya penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian lainnya. B. Importance (Kepentingan) Kepentingan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif, demokratis, dan otoriter.



Introduction (Perkenalan) : A. What, How, Why? (Apa, bagaimana, dan mengapa?) Semua manusia pasti pernah mengalani suatu rentang kehidupan yang bernama masa remaja. Masa remaja adalah masa penghubung antara masa kanak kanak dan masa dewasa. Pada usia remaja terjadi pertumbuhan dan perkembangan psikologis dan fisik. Secara psikologis ditandai dengan sikap, perasaan, dan emosi yang tidak stabil, sedangkan secara fisik masa remaja seringkali ditandai dengan seks primer (haid dan mimpi basah) dan seks sekunder (pada laki laki tumbuh jakun, bulu ketiak, dll dan pada perempuan payudara membesar, pinggul melebar dll). Masa remaja dibagi menjadi 2 fase yaitu masa remaja awal dengan usia antara 13-17 tahun dan masa remaja akhir usia antara 17-18 tahun (B. Hurlock, 2010). Pada masa remaja, remaja cenderung memiliki rasa ingin tahu yang besar, rasa ingin tahu remaja dapat digambarkan segabai proses ingin memahami, mengerti, mengetahui, dan pada akhirnya melaksanakan suatu hal tertentu. Rasa ingin tahu remaja biasanya disalurkan dengan mencari informasi di berbagai referensi, baik melalui buku, internet, film, komik, series dan lain lain. Pada masa remaja, keingintahuan tentang seksualitas adalah hal yang wajar, namun jika tidak diarahkan, rasa keingintahuain ini akan menjadi malapetaka bagi remaja. Seringkali, remaja mencari sumber yang salah mengenai seksualitas, sumber yang salah ini dapat berasal dari menonton film porno maupun membaca manga/manhwa dewasa. Sumber yang salah, akan membuat persepsi anak mengenai seks keliru. Persepsi yang keliru ini dapat menghasilkan perilaku seksual pranikah pada remaja. Perilaku seksual pranikah adalah perilaku perilaku seksual yang dilakukan sebelum menikah. Perilaku seksual ini, dimulai dari berpegangan tangan, berciuman, saling meraba organ intim, sampai hubungan badan. Di Indonesia 63% remaja sudah pernah melakukan kontak seksual dengan lawan jenisnya dan 21% pernah melakukan aborsi (BKKBN, 2008). Menurut survey yang dilakukan oleh Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) pada 2017 tercatat 80% wanita dan 84% pria mengaku pernah berpacaran. Aktifitas berpacaran yang dilakukan antara lain berpegangan tangan pada wanita 64%, dan pada pria 75% , berpelukan pada wanita 17% dan pada pria 33% , cium bibir pada wanita 30% dan pada pria 50% dan meraba/diraba pada wanita 5% dan pada pria 22% . Selain itu dilaporakan 8% pria dan 2% wanita telah melakukan hubungan seksual. Di Samarinda sendiri, pada tahun 2018, dari 125



responden remaja perempuan berusia 19 tahun, responden yang melakukan kegiatan seksual “Bergandengan Tangan” sebanyak 97,6 %, “Berpelukan dan Membelai” sebanyak 59,2 %, “Berciuman” sebanyak 68,0 %, “Berciuman dengan Lidah” sebanyak 56,0 %, “Meraba-raba alat kelamin” sebanyak45,6 %, “Masturbasi” sebanyak 35,2 %, “Oral Seks”sebanyak 44,0 %, “Seks Melalui Anus”sebanyak34,4 %, dan “Seks Melalui Vagina” sebanyak 45,6 %. (Purwanto & Kalsum, 2018). Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kaltim, juga menyebutkan bahwa sejak tahun 2012, remaja kaltim berumur 14 tahun sudah melakukan hubungan seks dengan pacarnya (korankaltim.com). Fakta di lapangan yang penulis temukan juga tidak jauh berbeda, di salah satu SMK di Balikpapan setiap tahunnya juga terdapat paling sedikit satu peserta didik yang harus berhenti sekolah karena hamil di luar nikah. Salah satu dampak lain akan minimnya pemahaman pendidikan seks oleh remaja yaitu pemahaman akan tanda tanda seks primer dan seks sekunder yang rendah. Sebesar 59.52% remaja berpengetahuan kurang baik tentang tanda tanda seks sekunder (Rostinah, 2012). Banyak remaja yang kebingungan saat mulai tumbuh tanda tanda seks primer/seks sekunder seperti mimpi basah atau menstruasi, tumbuh jakun, payudara membesar, pinggul membesar, dll. Belum lama ini, penduduk Indonesia dihebohkan oleh mantan anggota DPRD NTB yang melakukan pelecehan seksual kepada anak kandungnya sendiri. Banyak remaja yang belum memahami benar bagaimana bentuk pelecehan pelecehan seksual. Hasil Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, 2014 silam dari 2.726 kekerasan terhadap anak, 56% di antaranya berupa pelecehan seksual. Di tahun 2017 dari bulan Januari hingga bulan Juli, terjadi peningkatan pengaduan sangat tajam, ada 2.898 kasus di mana 59,30% kekerasan seksual dan sisanya kekerasan lainnya (KPAI, 2017) (dalam Amalia et al., 2018). Di Balikpapan sendiri, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB), menyatakan bahwa dalam sebulan, dapat terjai 2-3 kasus kekerasan seksual. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya pemahaman tentang pendidikan seks. Hal ini didukung oleh data bahwa pendidikan seksual berpengaruh signifikan terhadap kejadian kekerasan seksual pada anak SD di Sumatra Barat (Amalia et al., 2018) Dewasa ini, pendidikan seks bukanlah sesuatu yang tabu lagi untuk dibicarakan. Pendidikan seks hakikatnya dapat diberikan oleh orang tua kepada anak sedini mungkin, pada saat di sekolah-pun, guru BK diharapkan dapat memberikan



pengetahuan tentang pendidikan seks. Namun, tidak semua orang tua memiliki kesadaran dan kemauan untuk memberikan anak meraka pendidikan seks. Sebesar 67,36% orang tua sudah memiliki pengetahuan tentang tujuan pendidikan seks untuk anak usia dini , akan tetapi sebesar 76,4% orang tua belum memahami dengan baik cara menyampaikan pendidikan seks yang benar (Nadar, 2017). Pengetahuan pendidikan seks yang diberikan oleh pola asuh orang tua melalui anak diharapkan dapat mencegah perilaku seksual pra nikah, bahaya pelecehan seksual, dan pemahaman yang salah tentang seks. Pola asuh merupakan bimbingan, didikan, dan perlindungan orang tua kepada anak melakui interaksi dan komunikasi untuk mencapai kedewasaan anak yang sesuai dengan norma masyarakat. Dikarenakan urgensi pemahaman pendidikan seksual yang tinggi, maka diperlukan benar pemberian pendidikan seks pada remaja. Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa masalah yang ditimbulkan dari kurangnya pemahaman tentang pendidikan seks yang dialami oleh sekelompok peserta didik yaitu : 1. Perilaku seksual pranikah meningkat, perilaku seksual pra nikah ini akan mengakibatkan beberapa permasalahan lain seperti : 1) Tingginya penyakit menular seksual (PMS), seperti HIV/AIDS, klamidia, gonore, sifilis 2) Tingginya tingkat kehamilan di luar nikah 3) Tingginya tingkat aborsi 2. Remaja kurang memahami fungsi tubuhnya sendiri, sehingga seringkali remaja kebingungan saat tumbuh tanda tanda baik tanda seks primer maupun seks sekunder 3. Rentan terhadap bahaya pelecehan seksual 4. Membentuk pemahaman yang slaah tentang seks B. Research Question (Pertanyaan penelitian) 1. Apakah terdapat perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik ditinjau dari pola asuh orang tua? 2. Apakah terdapat perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh otoriter dan peserta didik dengan pola asuh demokratis? 3. Apakah terdapat perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh otoriter dan peserta didik dengan pola asuh permisif? 4. Apakah terdapat perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif dan peserta didik dengan pola asuh demokratis?



C. Summary of Proposal (ringkasan proposal) 1. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik ditinjau dari pola asuh orang tua. 2. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh otoriter dan peserta didik dengan pola asuh demokratis. 3. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh otoriter dan peserta didik dengan pola asuh permisif. 4. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pemahaman pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif dan peserta didik dengan pola asuh demokratis. Literature Review (tinjauan pustaka) : A. Literature on topic (literatur tentang topik) 1. Pengetahuan Pendidikan Seks a) Pengertian Pengetahuan Pengetahuan merupakan bagian dari ilmu, oleh karena itu pengetahuan dan ilmu adalah hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ilmu berarti pengetahuan yang disusun secara sistematis, sedangkan pengetahuan yaitu sesuatu yang ditangkap oleh pancaindera dan diolah melalui pikiran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui. Pengetahuan dalam bahasa Inggris disebut sebagai knowledge yang mempunyai arti; (1) the fact or conditioning of being aware of something (kenyataan atau kondisi menyadari sesuatu). (2) the fact or conditioning of knowing something with familiarity gained through experience or association (kenyataan atau kondisi mengetahui sesuatu yang diperoleh secara umum melalui pengalaman atau asosiasi), (3) the sum of is known; the body of truth, information, and principles acquired by mankind, (sejumlah pengetahuan, susunan kebenaran informasi, dan prinsip-prinsip yang diperoleh manusia) (4) the fact or condition of having information or of being learned (kenyataan atau kondisi memiliki informasi yang sedang dipelajari) (Suhartono, 1997). Menurut Pudjawidjana , pengetahuan adalah reaksi dari manusia atas rangsangannya oleh alam sekitar melalui persentuhan melalui objek dengan indera dan pengetahuan merupakan hasil yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan sebuah objek tertentu. Sedangkan menurut Notoatmodjo , pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang



melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Jujun S. Suriasumantri, 2012). Pengetahuan menurut Wibowo dkk (2010), pengetahuan adalah semua informasi yang tersusun di dalam memori seseorang, baik yang berasal dari pengamatan indrawi atau belajar sendiri, maupun dari pengamatan yang dilaksanakan dengan cara yang tidak sistematis, tidak jelas metodenya dan tidak dapat dibuktikan kebenarannnya. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melaksanakan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, pengindraan terjadi melaluai panca indara manusia, yakni panca indra penglihatan , pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia di perolehmelalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior) (Notoatmodjo, 2012). Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah segala sesuatu yang didapat dari pancaindera, baik itu melihat, mendengar, dan merasakan terhadap suatu objek tertentu dan diolah dan diproses melalui pikiran. b) Pengertian Pengetahuan Pendidikan Seks Pengertian seks sangat beragam, seks dapat berarti jenis kelanin antara laki laki dan perempuan. Seks juga dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang organ organ reproduksi. Selain itu, seks juga dapat diartikan sebagai hubungan seksual. Hubungan seks sendiri adalah hubungan intim yang dilakukan pria dan wanita yang terikat dalam sebuah pernikahan (Andika, 2010). Dalam kamus pscychologi, sex adalah kualitas yang menentukan seseorang pria atau wanita (Gulo, 1982). Sedangkan definisi seksualitas menurut Andika (2010) seksualitas yaitu perbedaan jenis kelamin antara lakilaki dan perempuan. Seksualitas menyangkut beberapa hal yaitu, pertama dimensi biologis. Seksualitas berkaitan dengan segala sesuatu mengenai organ reproduksi. Termasuk cara merawat kebersihan dan menjaga kesehatan oragan vital. Kedua dimensi psikologis, identitas peran jenis dan perasaan terhadap lawan jenis, dan cara manusia menjalankan fungsinya sebagai makhluk hidup.



Istilah pendidikan seks (sex education) berasal dari masyarakat Barat. Negara Barat yang pertama kali memperkenalkan pendidikan ini dengan cara sistematis adalah Swedia, dimulai sekitar tahun 1926. Dan untuk Indonesia pembicaraan mengenai pendidikan seks ini secara resmi baru dimulai tahun 1972, tepatnya tangal 9 September 1972, dengan penyampaian satu ceramah dengan tema: Masalah Pendidikan Seks, dengan Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran sebagai pencetusnya (Sa’abah, 2001). Suryadi (2007) mendefinisikan pendidikan seks merupakan usaha untuk pemberian informasi kepada anak tentang kondisi fisiknya sebagai perempuan atau laki-laki, dan konsekuensi psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Secara umum, pendidikan seks terdiri atas penjelasan tentang organ reproduksi,kehamilan, alat kontrasepsi, kesuburan, dan manepouse, serta penyakit kelamin. Menurut Tretsakis (2003) pendidikan seks menjelaskan tentang perilaku yang bersifat antonomis, behavior, emosi, kepribadian, pandangan hidup, lingkungan sosial, nilai-nilai moral yang berlaku dalam suatu masayarakat. Sedangkan Andika (2010) menyatakan bahwa pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi penting diberikan melalui keluarga maupun kurikulum sekolah. Berdasarkan kesepakatan internasional di Kairo 1994 (The Cairo Consensus) tentang kesehatan yang ditandatangani oleh 184 negara termasuk Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seks pada remaja. Andika (2010) juga mengungkapkan bahwa pendidikan seks berbeda dengan pengetahuan reproduksi. Pendidikan seks bertujuan untuk mengenalkan anak tentang jenis kelamin dan cara menjaganya, baik dari sisi kesehatan



dan



kebersihan,



keamanan,



serta



keselamatan.



Sementara



pengetahuan reproduksi sangat berkaitan dengan proses perkembangbiakan makhluk hidup. Menurut Abdulah Nashin Ulwan (dalam Nadar, 2017) menyatakan bahwa pendidikan seks adalah masalah mengajarkan, memberi pengertian, dan menjelaskan masalah-masalah yang menyangkut seks, naluri dan perkawinan kepada anak sejak akalnya mulai tumbuh dan siap memahami hal-hal di atas. Sedangkan menurut Sarwono (2011), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai



kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Menurut Boyke D N, Pendidikan sex pada anak-anak bukan mengajarkan cara-cara berhubungan sex semata, melainkan lebih kepada upaya memberikan pemahaman kepada anak sesuai dengan usianya, mengenai fungsi-fungsi alat sexsual dan masalah naluri alamiah yang mulai timbul: bimbingan mengenai pentingnya menjaga dan memelihara organ intim mereka, disamping juga memberikan pemahaman tentang perilaku pergaulan yang sehat serta resiko-resiko yang dapat terjadi seputar masalah seksual (dalam Madani, 2003). Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan pendidikan seks adalah suatu informasi yang disusun secara sistematis menjadi ilmu pengetahuan tentang seksualitas yang meliputi aspek biologik, orientasi, nilai, sosiokultur dan moral, serta perilaku. c) Pentingnya Pengetahuan Pendidikan Seks Pendidikan sex penting yaitu karena : (1) memberikan bekal pengetahuan kepada anak, serta membuka wawasan anak seputar masalah sex secara benar dan jelas sehingga anak memiliki kesadaran akan fungsi organ reproduksinya serta paham tentang cara menjaga dan memeliharanya (2) menghindarkan anak dari berbagai kejahatan sexual dan resiko negatif dari perilaku sexual yang tidak bertanggung jawab (Haryono et al., 2018). Menurut Tretsakis (2003) pendidikan seks secara dini bagi anak-anak perlu dan penting demi kesejahteraan dan kemantapan pribadi anak tersebut kelak setelah dewasa. Berikut alasannya: (1) pendidikan seks secara dini akan memudahkan anak-anak menerima keberadaan tubuhnya secara menyeluruh dan menerima fase-fase perkembangannya secara wajar, (2) pendidikan seks secara dini akan membantu anak-anak untuk mengerti dan merasa puas dengan peranannya dalam kehidupan, (3) pendidikan seks yang sehat cukup efektif untuk menghilangkan rasa ingin tahu yang tidak sehat yang sering muncul dalam benak anak-anak, (4) secara keseluruhan, informasi seks yang diberikan akan melindungi kehidupan masa depan mereka dari komplikasi dan kelainan seks, (5) pendidikan seks yang sehat, jujur dan terbuka juga akan menumbuhkan



rasa hormat dan patuh anak-anak terhadap orang tuanya, (6) pendidikan seks yang diajarkan secara terarah dan terpimpin di dalam lingkungan keluarga cenderung cukup efektif untuk mengatasi informasi-informasi negatif yang berasal dari luar lingkungan keluaraga, (7) bila diajarkan dengan baik, pendidikan seks akan membuat masing-masing anak bangga dengan jenis kelaminnya, (8) pendidikan yang sehat dan wajar memungkinkan anak memperoleh taraf kedewasaan yang layak menurut usianya, (9) pendidikan seks mempersiapkan seorang anak untuk kelak menjadi orang tua yang dengan baik dan benar, akan mengajarkan pengetahuan seks kepada anak-anaknya. Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan seks penting agar anak dapat mengetahui perkembangan dan pertumbuhan di dalam dirinya, menjaga organ reproduksinya, tugas perkembangan sesuai jenis kelamin, dan resiko resiko berhubungan seksual pra nikah. d) Tujuan Pengetahuan Pendidikan Seks Para pendidik, khususnya guru bimbingan dan konseling, sudah seharusnya memberikan pengetahuan tentang pendidikan seks kepada peserta didik mengingat akibat yang ada karena minimnya pengetahuan pendidikan seks sangat buruk. Oleh karena itu, guru bimbingan dan konseling harus dapat memberikan pengertian yang wajar mengenai proses kedewasaan dirinya, baik secara fisik maupun mental emosional yang berkorelasi dengan seksualitas. Sesuai dengan kesepakatan International Conference of Sex Education and Family Planning tahun 1962, tujuan pendidikan seks adalah untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang dapat menjalankan kehidupan yang bahagia karena dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya, serta bertanggungjawab terhadap dirinya dan orang lain (Rono Sulistyo dalam Tanjung, 2007). Tujuan lain dari pendidikan seksualitas tidak hanya mencegah dampak negatif dari perilaku seksual di usia dini sebagaimana dikutipkan oleh banyak orang, tetapi yang lebih penting menekankan pada kebutuhan akan informasi yang benar dan luas tentang perilaku seksual serta berusaha untuk memahami seksualitas manusia sebagai bagian penting dari kepribadian yang menyeluruh ( Bruess & Greenberg dalam Qibtiyah, 2006). Tujuan penting lainnya adalah untuk menghindari seksualitas yang tidak sehat, prematur, hubungan seksual yang tidak aman, kekerasan, dan pelecehan seksual ( Powell & Cassidy dalam



Qibtiyah, 2006) dan juga untuk mensosialisasikan pandangan positif tentang seksualitas ( Darling & Hollo dalam Qibtiyah, 2006). Memahami seksualitas secara positif bukan berarti menginnginkan untuk melakukan hubungan seksual tetapi lebih pada bagaimana mempunyai pemahaman dan sikap positif terhadap seksualitas diri kita sendiri (Parvaz dalam Qibtiyah, 2006). Adapun, pendidikan seks bertujuan untuk memperkenalkan anak tentang jenis kelamin dan cara menjaganya, baik dari sisi kesehatan dan kebersihan, keamanan serta keselamatan (Andika, 2010). Akhmad Azhar Abu Miqdad mengutip pendapat Kir Kendall (dalam Rohmaniah, 2018) bahwa tujuan Pendidikan Seks adalah sebagai berikut: 1. Membentuk pengertian tentang perbedaan seks antara pria dan wanita dalam keluarga, pekerjaan dan seluruh kehidupan, yang selalu berubah dan berbeda dalam tiap masyarakat dan kebudayaan. 2. Membentuk pengertian tentang peranan seks di dalam kehidupan manusia dan keluarga, hubungan antara seks dan cinta, perasaan seks dalam perkawinan dan sebagainya. 3. Mengembangkan pengertian diri sendiri sehubungan dengan fungsi dan kebutuhan seks. disini Pendidikan Seks menjadi pendidikan mengenai seksualitas manusia, jadi seks dalam arti sempit. 4. Membantu anak dalam mengembangkan kepribadiannya, sehingga mampu untuk mengambil keputusan yang bertanggungjawab, misalnya memilih jodoh, hidup berkeluarga, perceraian, kesusilaan dalam seks, dan lainnya. Menurut Voss (dalam Syarifah & Chamidah, 2019) tujuan pendidikan seks adalah: 1. Memberikan informasi yang tepat dan mengurangi mitos dan konsepsi yang keliru 2. Menunjukan sikap toleransi dan membantu partisipan agar menerima orang lain yang mempunyai pandangan dan tingkah laku yang berbeda 3. Harus dirancang untuk menunjukkan pemecahan masalah social seperti hubungan seks sebelum menikah, hamil di luar nikah atau kehamilan yang tidak di kehendaki, penularan penyakit seksual , aborsi dan keluarga berencana. 4. Merupakan komunikasi yang terbuka dan memudahkan hubungan antara orang orang yang berjenis kelamin berbeda. Berdasarkan beberapa pendpaat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari diadakannya pendidikan seks yaitu agar peserta didik dapat mengetahui tentang perilaku seksual serta berusaha untuk memahami



seksualitas manusia sebagai bagian penting dari kepribadian yang menyeluruh; peserta didik dapat menghindari seksualitas yang tidak sehat, prematur, hubungan seksual yang tidak aman, kekerasan, dan pelecehan seksual ; peserta didik dapat memandang positif tentang seksualitas. e) Materi Pendidikan Seks Materi pendidikan seks bisa mencakup tentang kesehatan seksual, anatomi dan fungsi alat reproduksi, perkembangan dan pertumbuhan mental dan fisik, desinisi seks dan seksualitas, kehamilan dan pencegahan kehamilan. Materi pendidikan seks sangat bervariasi dari satu tempat ke lain tempat, tetapi sebuah survei Margarett Terry Orr (dalam Sarwono, 2011) di Amerika Serikat menunjukkan pada umumnya materi pendidikan seks adalah sebagai berikut : 1) Masalah-masalah yang banyak dibicarakan di kalangan remaja sendiri : 



Perkosaan







Masturbasi *)







Homoseksualitas







Disfungsi seksual *)







Eksploitasi seksual *)



2) Kontrasepsi dan pengaturan kesuburan : 



Alat KB







Pengguguran







Alternatif-alternatif dari pengguguran



3) Nilai-nilai seksual : 



Seks dan nilai-nilai moral







Seks dan hukum







Seks dan media massa *)







Seks dan nilai-nilai religi *)



4) Perkembangan remaja dan reproduksi manusia : 



Penyakit menular seksual







Kehamilan dan kelahiran







Perubahan-perubahan pada masa puber







Anatomi dan fisiologi







Obat-obatan alkohol dan seks



5) Ketrampilan dan perkembangan sosial : 



Berkencan







Cinta dan perkawinan



6) Topik-topik lainnya : 



Kehamilan pada remaja







Kepribadian dan seksualitas







Mitos-mitos yang dikenal umum







Kesuburan







Keluarga Berencana







Menghindari hubungan seks







Teknik-teknik hubungan seks **)



Catatan : *) Tidak diberikan dan tidak boleh diberikan pada 31-40% sekolah yang disurvei. **) Tidak diberikan dan tidak boleh diberikan pada 74% sekolah yang disurvei. f) Sumber Pendidikan Seks Sumber pendidikan seks merupakan hal yang sanget penting dalam proses pemberian pengetahuan pendidikan seks kepada anak. Sumber pendidikan seks yang salah seperti mencari di internet atau teman sebaya akan megakibatkan persepsi yang keliru tentang seks. Pendidikan seks dapat diperoleh peserta didik dari orang tua, guru di sekolah, dan lingkungan di luar kedua hal tersebut, seperti media massa dan teman sebaya. 1) Lingkungan keluarga Pendidikan pertama anak didapat dari keluarga, khusunya dari orang tua. Keluarga adalah tmepat pertama kali anak berkomunikasi untuk mengetahui segala hal. Pendidikan keluarga sangat strategis untuk memberikan pemahaman anak tentang segala hal termasuk tentang pendidikan seks. Posisi keluarga adalah posisi primer dalam memberikan pendidikan seks. Keluarga merupakan wadah pembentukan kepribadian masing-masing anggotanya terutama anak. Dengan dasar pertimbangan sebagai berikut: a. Keluarga adalah tempat perkembangan awal seorang anak sejak kelahiran sampai proses perkembangan dan jasmani berikutnya,



b. Keluarga adalah tempat pertama kali mengalami hubungan dengan manusia lain, c. Hubungan antar individu dalam keluarga dilihat dengan pertalian hubungan batin yang tidak dapat digantikan, d. Keluarga merupakan tempat pemupukan dan pendidikan untuk hidup bermasyarakat dan bernegara agar mampu berdedikasi dalam tugas dan tanggung jawabnya, e. Keluarga merupakan tempat pemupukan dan pendidikan dalam untuk hidup bermasyarakat dan bernegara agar mampu berdedikasi dalam tugas dan tanggung jawabnya, f. Dalam keluarga dapat terealisasi makna kebersamaan, solidaritas, cinta kasih dan pengertian rasa hormat menghormati dan rasa memiliki, g. Keluarga menjadi pengayom, tempat beristirahat rekreasi, studi, dan penyaluran hobi dan kreativitas (Mulyono, 1996). Melihat peran orang tua yang sangat penting dalam pendidikan seks anak, oleh karena itu orang tua harusnya dapat lebih memperhatikan lagi pengetahuan pendidikan seks anak. Orang tua harusnya dapat memebrikan pendidikan seks kepada anak sejak anak berusia dini, hal ini dilakukan agar anak dapt terhindar dari penyimpangan seksual dan kekerasan seksual. Namun yang terjadi pada kenyataan tidak begitu, banyak orang tua yang menganggap pendidikan seks adalah hal yang tabu dan akan didapatkan anak dengan sedirinya ketika beranjak dewasa. Satu satunya cara agar hal ini tidak terjadi adalah dengan tidak menggap pembicaraan mengenai seks sebagai hal yang tabu, dan menanggapi setiap pertanyaan anak tentang seks secara bijak. 2) Lingkungan sekolah Lingkungan pendidikan formal, yaitu sekolah melakukan pembinaan pendidikan pada peserta didik yang didasarkan pada kepercayaan yang diberikan oleh keluarga dan masyarakat. Kondisi itu muncul karena keluarga dan masyarakat memiliki keterbatasan dalam melaksanakan pendidikan. Akan tetapi, tanggung jawab pendidikan anak seutuhnya tetap menjadi tanggung jawab orang tua. Sekolah hanya meneruskan dan mengembangkan pendidikan yang telah diperoleh di lingkungan keluarga sebagai lingkungan pendidikan informal yang telah dikenal anak sebelumnya. Oleh karena itu disini peran guru sebagai pendidik sangat strategis dalam mengajarkan tentang pendidikan seks terutama guru bimbingan dan konseling. Tanggung jawab sekolah sebagai penyelenggara pendidikan formal terbagi menjadi tiga yaitu tanggung jawab formal, tanggung jawab keilmuan, dan tanggung jawab fungsional. Namun, pada kenyataannya



pendidikan seks yang diajarkan oleh sekolah masih bersifat terbatas, dikarenakan tidak ada kurikulum yang pasti yang membahas tentang pelaksanaan pendidikan seks. Disinilah guru bimbingan dan konseling dapat berperan dalam memberikan layanan informasi tentang pendidikan seks seuati dengan kubutuhan yang ada di sekolah tersebut.



3) Lingkungan sekitar Lingkungan sekitar dapat mencakup teman sebaya, internet, televisi, radio, majalan, koran dan lain lain. Lingkungan sekitar ini jangkauan sangat luas dimana para peserta didik biasanya lebih memilih untuk mencari sumber sumber tentang seks di media dibanding bertanya kepada orang tua atau guru di sekolah. Hal ini terjadi dikarenakan tidak semua peserta didik memiliki kedekatan yang intim dengan orang tua atau guru di sekolah, sehingga kerap ali peserta didik merasa canggung untuk menanyakan hal hal yang berbau seksualitas. Tidak bisa dipungkiri media adalah tampat yang paling mudah untuk memperoleh informasi, hanya dalam hitungan detik, informasi yang kita inginkan akan terpapar dengan lengkap. Namun, informasi yang tersedia di internet misalnya, merupakan informasi yang tidak tersaring. Sehingga peserta didik dapat dengan mudah terpapar oleh hal hal yang salah. Oleh karena itu oarng tua harus dapat mengawasi pergerakan peserta didik di rumah, agar peserta didik dapat dengan lebih bijak menggunakan media. 2. Pola Asuh Orang Tua a) Pengertian Pola Asuh Orang Tua Keluarga adalah lembaga paling dasar dalam kehidupan manusia. Pengaruh keluarga dalam pemrtumbuhan dan perkembangan kepibadian sangatlah besar perannya. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempengaruhi peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak. Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi perlindungan dan pengasuhan. Dalam proses mengasuh anak sering dipengaruhi oleh budaya yang berada di sekitarnya. Di samping itu orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan terhadap anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pengasuhan tertentu (Marheni et al., 2009).



Pola asuh terdiri atas dua kata yaitu pola dan asuh. Secara etimologi, pola berarti bentuk atau tata cara. Asuh berarti menjaga, merawat, mendidik. Sehingga pola asuh berarti bentuk atau tata cara dalam menjaga, merawat dan mendidik. Jika ditinjau dari terminologi, pola asuh anak adalah suatu pola atau sistem yang diterapkan dalam menjaga, merawat, dan mendidik seorang anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Menurut Aisyah (dalam Novianti, 2011) Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Sedangkan pengasuhan dapat diartikan sebagai orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma norma yang ada dalam masyarakat. Sedangkan, menurut Marsiyanti dan Harahap (dalam Novianti, 2011) Pola asuh adalah ciri khas dari pendidikan, pembinaan, pengawasan, sikap, hubungan dan sebagainya yang diterapkan orang tua kepada anaknya. Pola asuh orang tua terhadap anaknya akan mempengaruhi perkembangan anak mulai dari kecil sampai dia dewasa nanti. Pola asuh orang tua dapat diartikan sebagai perlakuan orangtua terhadap anak dalam bentuk merawat, memelihara, mengajar, mendidik, membimbing, melatih, yang terwujud dalam bentuk pendisiplinan, pemberian tauladan, kasih sayang, hukuman, ganjaran, dan kepemimpinan dalam keluarga melalui ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orangtua (Sunarty, 2016). Kemudian menurut Agus Wibowo (2012) mendefinisikan pola asuh sebagai pola interaksi antara anak dengan orang tua, yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan nonfisik seperti perhatian, empati, kasih sayang, dan sebagainya. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah bentuk usaha yang dilakukan orang tua dalam



mengaja,



membimbing,



merawat,



mendidik,



mendisiplinkan,



melindungi, dan mengawasi anak melalui penguatan positif atau negatif agar anak dapat mencapai kedewasaan sesuai dengan norma norma masyarakat yang berlaku. b) Dimensi Pola Asuh Menurut Pratiwi (1998), ada empat dimensi dalam mengasuh anak yaitu : dimensi kontrol, tuntutan, kejelasan komunikasi antara orang tua dan anak,



dan pemeliharaan terhadap anak. Euis Sunarti (2004) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi gaya pengasuhan, yaitu dimensi kehangatan, dimensi pelatihan emosi, serta dimensi arahan. c) Jenis Jenis Pola Asuh Tipe pola asuh orang tua menurut Stewart & Koch ada tiga yaitu pola asuh demokratis, permisif dan otoriter. Pengertian dari ketiga pola asuh tersebut ialah sebagai berikut. 1) Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis adalah pola asuh orang tua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orang tua. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio dan pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untik memilih dan melakukan suatu tindakan. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan orang tua kepada anak-anaknya. Menurut Danni I Yatim ( dalam Widyastuti, 2016), pola asuh demokratis atau otoritatif adalah pola asuh orang tua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orang tua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para orang tua kepada anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan teknik asuhan otoritatif akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orang tua, menghargai dan menghormati orang tua, tidak mudah stress dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain. 2) Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orang tua akan membuat berbagai aturan yang saklek harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Misalnya, kalau tidak



mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya. Sementara itu menurut Danni I Yatim (dalam Widyastuti, 2016), pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku dimana orang tua akan membuat berbagai aturan yang harus dipatuhi oleh anakanaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orangtuanya. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anakanak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghornati orang tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid, selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orang tua dan lainlain. Namun, dibalik itu biasanya anak hasil didikan orang tua otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggung jawab dalam menjalani hidup. 3) Pola Asuh Permisif Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak. Apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, materalistis, dan sebagainya. Biasanya pola pengasuhan anak oleh orang tua semacam ini diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa. Danni I Yatim (dalam Widyastuti, 2016) menjelaskan bahwa pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang tak acuh terhadap anak. Jadi apapun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negative, materialistis, dan sebagainya. Biasanya pola pengasuhan anak oleh orang tua semacam ini diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan



begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa. Anak yang diasuh orang tuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri yang buruk, salah bergaul, tidak menghargai orang lain, dan sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat tiga jenis pola asuh yaitu pola asuh demokratis, permisif, dan otoriter. d) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Menurut Triwardani (dalam Pratiwi, 1998), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu: sosial ekonomi, pendidikan, kepribadian, nilai-nilai yang dianut orang tua, dan jumlah anak. Menurut Supartini Y (dalam Widyastuti, 2016), faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh adalah sebagai berikut: 1) Usia Orang Tua Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau tua mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial 2) Keterlibatan orang tua Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentingnya dengan ayah dan walaupun secara kodrati aka nada perbedaan. Di dalam rumah tangga, ayah dapat melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja sama dengan ibu dalam melakukan perawatan anak seperti menggantikan popok ketika anak mengompol atau mengajaknya bermain bersama sebagai salah satu upaya dalam melakukan interaksi 3) Pendidikan orang tua 4) Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak Orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap menjalankan pengasuhan dan lebih rileks 5) Stres orang tua



Stres yang dialami orang tua akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan peran pengasuhannya terutama dalam kaitannya dengan strategi koping yang dimiliki oleh anak 6) Hubungan suami istri Hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan berdampak pada kemampuan dalam menjalankan perannya sebagai orang tua dan meraat serta mengasuh anak dengan penuh rasa bahagia karena satu sama lain dapat saling memberi dukungan dan menghadapi segala masalah dengan koping yang positif. Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi jenis pola asuh orag tua yaitu sosial ekonomi, pendidikan, kepribadian, nilai-nilai yang dianut orang tua, dan jumlah anak, usia orang tua, keterlibatan orang tua, pengalama sebelumnya dalam mengasuh anak, stres, dan hubungan antara suami dan istri. 3. Hubungan Antara Pengetahuan Pendidikan Seks dengan Pola Asuh Orang Tua Pendidikan seks harus diberikan oleh orang tua sejak dini, hal ini disebabkan karena mengajarkan seksualitas yang benar membutuhkan proses yang panjang, sejak lahir sampai tahap remaja akhir. Pemahaman pendidikan seks yang diberikan melalui pola asuh orang tua diharapkan agar anak mendapat informasi yang tepat mengenai seks, hal ini dikarenakan adanya media lain yang dapat mengajari anak mengenai pendidikan seks. Oleh karena itu pola asuh orang tua berhubungan dengan pengetahuan pendidikan seks pada peserta didik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Djufri dkk (2019) menunjukan bahwa dari 19 sampel yang mendapatkan pola asuh demokratis didapatkan 17 sampel memiliki pemberian pendidikan seks yang optimal dan 2 sampel yang kurang optimal dalam pemberian pendidikan seks, kemudian dari 13 sampel yang menerapkan pola asuh otoriter didapatkan 5 sampel yang memiliki pemberian pendidikan seks yang optimal dan sisanya kurang optimal dalam pemberian pendidikan seks yaitu sebanyak 8 sampel, dan yang terakhir dari 9 sampel yang menerapkan pola asuh permisif didapatkan bahwa 9 sampel yang memiliki pemberian pendidikan seks yang kurang optimal. Dapat disimpulkan bahwa peserta didik dengan pola asuh demokratis lebih memiliki tingkat pengetahuan pendidikan seks dibanding peserta didik dengan pola asuh otoriter atau permisif.



B. Literature on Method (Literatur tentang metode) Pendekatan penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode kuantitaif komparatif atau perbandingan. Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data mengginakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2015). Penelitian komparatif adalah bentuk analisis variabel (data) untuk mengetahui perbedaan di antara dua kelompok data (variabel) atau lebih (M. Iqbal, 2001). Menurut Nana Syaodih (dalam Enggar Saraswati, 2015) penelitian komparatif adalah penelitian yang diarahkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara dua kelompok atau lebih dalam aspek atau variabel yang diteliti. C. Theoretical Approach (Pendekatan teoritis) Pendekatan teoritis merupakan pendekatan pola pikir atau pikiran yang menjadi dasar sebagai landasan tindakan teori teori yang ada. Pendekatan teoritis yang digunakan yaitu pendekatan fiolosofi progresivisme. Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman



belajar



dan



proses.



Progresivisme



merupakan



landasan



bagi



pengembangan belajar peserta didik aktif. D. Find a hole (Temukan kejanggalan) dan look for debates (temukan perdebatan) Walaupun sebesar 67,36% orang tua sudah memiliki pengetahuan tentang tujuan pendidikan seks untuk anak usia dini , akan tetapi sebesar 76,4% orang tua belum memahami dengan baik cara menyampaikan pendidikan seks yang benar (Nadar, 2017). Oleh karena itu perlu diketahui perbedaan tingkat pengetahuan pendidikan seks berdasarkan jenis pola asuh orang tua. Methodology (Metodologi) A. Research Design (Desain Penelitian) Pendekatan penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode kuantitaif komparatif atau perbandingan. Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk



meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data mengginakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2015). Penelitian komparatif adalah bentuk analisis variabel (data) untuk mengetahui perbedaan di antara dua kelompok data (variabel) atau lebih (M. Iqbal, 2001). Menurut Nana Syaodih (dalam Enggar Saraswati, 2015) penelitian komparatif adalah penelitian yang diarahkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara dua kelompok atau lebih dalam aspek atau variabel yang diteliti. B. Research Prosedures (Prosedur Penelitian) Penelitian Komparatif, sebagaimana penelitian lainnya dilakukan dalam lima tahap: 1. Penentuan masalah penelitian, dalam perumusan masalah penelitian atau pertanyaan penelitian, kita berspekulasi dengan penyebab fenomena berdasarkan penelitian sebelumnya, teori, atau pengamatan. 2. Penentuan kelompok yang memiliki karakteristik yang ingin diteliti. 3. Pemilihan kelompok pembanding, dengan mempertimbangkan karakteristik atau pengalaman yang membedakan kelompok harus jelas dan didefinisikan secara operasional (masing-masing kelompok mewakili populasi yang berbeda). Mengontrol variabel ekstra untuk membantu menjamin kesamaan kedua kelompok. 4.  Pengumpulan data, dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian yang memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas. 5.  Analisis data, dimulai dengan analisis statistik deskriptif menghitung rata-rata dan simpangan baku. Selanjutnya dilakukan analisis yang mendalam dengan statistik inferensial. C. Kind of Data (Jenis Data) Data berbentuk data kuantitatif. Jenis data berbentuk nomor dan bilangan. D. Collection Procedures (Prosedur Pengumpulan) 1. Angket Menurut Suharsimi Arikunto (2010) Angket atau kuesioner adalah “sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui”. Sedangkan Moh Nasir (2003:203) mengatakan “Kuesioner adalah sebuah set pertanyaan yang



secara logis berhubungan dengan masalah penelitian, dan tiap pertanyaan merupakan jawaban-jawaban yang mempunyai makna dalam menguji hipotesis”. Dari dua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa angket adalah salah satu teknik pengumpulan data yang berbentuk daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh responden. Menurut Suharsimi Arikunto (2010) jenis-jenis angket yang digunakan untuk mengumpulkan data ada bermacam-macam, tergantung dari sudut pandangan. Adapun jenis angket tersebut adalah sebagai berikut : a. Dipandang dari cara menjawab sebagi berikut: 1) Kuesioner terbuka, yaitu angket yang dijawab menggunakan kalimat dari responden.



2) Kuesioner tertutup, yaitu angket yang jawabannya sudah disediakan oleh peneliti sehingga responden tinggal menjawab.



b. Dipandang dari jawaban yang diberikan sebagai berikut: 1) Kuesioner langsung, yaitu angket yang disediakan peneliti kepada responden dengan responden menjawab tentang dirinya sendiri.



2) Kuesioner tidak langsung, yaitu angket yang disediakan untuk responden menceritakan tentang keadaan orang lain.



c. Dipandang dari bentuknya sebagai berikut: 1) Kuesioner pilihan ganda yaitu angket yang sudah ada jawabannya responden tinggal memilih saja.



2) Kuesioner isian yaitu angket yang disediakan dengan cara responden menjawab dengan kalimatnya sendiri.



3) Check list, sebuah daftar yang tinggal diberi tanda check (√) pada kolom yang sesuai yang telah dibuat peneliti.



4) Rating scale (skala bertingkat), yaitu sebuah pertanyaan yang dibuat dengan menunjukkan tingkat-tingkatan, misalnya mulai dari sangat sesuai, sesuai dan kesangat tidak sesuai.



Adapun angket yang digunakan oleh peneliti adalah angket jenis tertutup dengan menggunakan rating scale (skala 1-5). 2. Wawancara Teknik pengumpulan data lainnya yaitu wawancara. Menurut Suharsimi Arikunto



interview



pelaksanaannya, yaitu :



atau



wawancara



dibagi



menjadi



tiga



berdasarkan



a. Interview bebas yaitu pewawancara bebas mengajukan pertanyaan tetapi masih dalam lingkup penelitian. b. Interview terpimpin yaitu pewawancara membawa daftar pertanyaan secara terstuktur. c. Interview bebas terpimpin yaitu gabungan antara wawancara bebas dan terpimpin. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan interview bebas terpimpin, dimana peneliti akan menyiapkan daftar pertanyaan secara terstuktur namun, masih akan menambahkan pertanyaan apabila ada yang dirasa kurang jelas. E. Selection and Access (Seleksi dan Akses) Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi uji persyaratan analisis dan uji hipotesis. 1. Uji Persyaratan Analisis Sebelum melakukan analisis data dalam rangka menguji hipotesis terlebih dahulu dilakukan pengujian persyaratan analisis. Uji prasarat analisis yang dimaksud yaitu uji homogenitas. Analisis ini dilakukan dengan bantuan SPSS. Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah beberapa varian populasi adalah sama atau tidak. Asumsi yang mendasari dalam analisis varians (ANAVA) adalah bahwa varians dari populasi adalah sama. Sebagai kriteria pengujian, jika nilai signifikansi lebih dari 0,05 maka dapat dikatakan bahwa varians dari dua atau lebih kelompok data adalah sama. 2. Uji Hipotesis Teknik Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis varians satu jalur atau one way anava. Analisis varians satu jalur digunakan untuk menguji hipotesis komparatif rata-rata k sampel bila datanya interval atau ratio dan bila pada setiap sampel hanya terdiri atas satu kategori (Sugiyono. 2010: 164-165). Peneliti menitik beratkan pengelompokan aspek dari pola asuh orang tua dengan melihat kecenderungan dari tiap subjek. Untuk melihat kecenderungan subjek pada tiap aspek pola asuh orang tua, peneliti menggunakan nilai rerata atau mean dari tiap hasil skala yang sudah dijawab oleh subjek. Skala pola asuh orang tua terdiri dari aspek item pola asuh orang tua yang otoriter, demokrasi, dan permisif. Cara mendapatkan rerata atau mean dengan melihat skor total dari tiap item. Skor total tersebut kemudian dibagi dengan jumlah total item yang ada. Hasil dari



pembagian tersebut adalah rerata atau mean. Hasil rerata atau mean dari tiap aspek pola asuh orang tua kemudian dibandingkan satu dengan yang lain. Nilai rerata yang paling tinggi akan menjadi kecenderungan subjek terhadap aspek pola asuh orang tua. Teknik analisi data juga dilengkapi dengan analisis kuantitatif deskriptif. Analisis kuantitatif deskriptif yang dilakukan meliputi nilai-nilai empiris dan ideal untuk skor minimum, skor maksimum, mean/rerata, median dan simpangan baku (SD). Nilai-nilai tersebut digunakan untuk menyusun tabel distribusi frekuensi, histogram, dan kategorisasi skor. F. Human Subjects Review (Tinjauan Subjek Manusia) 1. Peserta didik Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan informal, pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu. 2. Orang tua Orang tua adalah ayah dan/atau ibu seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial.  G. Ethics Statement (Pernyataan Etika) H. Costs and Funding (Biaya dan Pendanaan) Tidak ada. Preliminary data (data awal) A. Evidence of importance (bukti penting) Menurut survey yang dilakukan oleh Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) pada 2017 tercatat 80% wanita dan 84% pria mengaku pernah berpacaran. Aktifitas berpacaran yang dilakukan antara lain berpegangan tangan pada wanita 64%, dan pada pria 75% , berpelukan pada wanita 17% dan pada pria 33% , cium bibir pada wanita 30% dan pada pria 50% dan meraba/diraba pada wanita 5% dan pada pria 22% . Selain itu dilaporakan 8% pria dan 2% wanita telah melakukan hubungan seksual. Di Samarinda sendiri, pada tahun 2018, dari 125 responden remaja perempuan berusia 19 tahun, responden yang melakukan kegiatan seksual “Bergandengan Tangan” sebanyak 97,6 %, “Berpelukan dan Membelai” sebanyak



59,2 %, “Berciuman” sebanyak 68,0 %, “Berciuman dengan Lidah” sebanyak 56,0 %, “Meraba-raba alat kelamin” sebanyak45,6 %, “Masturbasi” sebanyak 35,2 %, “Oral Seks”sebanyak 44,0 %, “Seks Melalui Anus”sebanyak34,4 %, dan “Seks Melalui Vagina” sebanyak 45,6 %. (Purwanto & Kalsum, 2018). Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kaltim, juga menyebutkan bahwa sejak tahun 2012, remaja kaltim berumur 14 tahun sudah melakukan hubungan seks dengan pacarnya (korankaltim.com). Fakta di lapangan yang penulis temukan juga tidak jauh berbeda, di salah satu SMK di Balikpapan setiap tahunnya juga terdapat paling sedikit satu peserta didik yang harus berhenti sekolah karena hamil di luar nikah. B. Informs Methodology (informasi metodologi) Pendekatan penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode kuantitaif komparatif atau perbandingan. Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data mengginakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2015). Penelitian komparatif adalah bentuk analisis variabel (data) untuk mengetahui perbedaan di antara dua kelompok data (variabel) atau lebih (M. Iqbal, 2001). C. Preliminary Findings (penemuan terdahulu) Dalam junal oleh Djufri et al (2019), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh dengan tingkat pengetahuan pendidikan seks, dari 19 sampel yang mendapatkan pola asuh demokratis didapatkan 17 sampel memiliki pemberian pendidikan seks yang optimal dan 2 sampel yang kurang optimal dalam pemberian pendidikan seks, kemudian dari 13 sampel yang menerapkan pola asuh otoriter didapatkan 5 sampel yang memiliki pemberian pendidikan seks yang optimal dan sisanya kurang optimal dalam pemberian pendidikan seks yaitu sebanyak 8 sampel, dan yang terakhir dari 9 sampel yang menerapkan pola asuh permisif didapatkan bahwa 9 sampel yang memiliki pemberian pendidikan seks yang kurang optimal. Dapat disimpulkan bahwa peserta didik dengan pola asuh demokratis lebih memiliki tingkat pengetahuan pendidikan seks dibanding peserta didik dengan pola asuh otoriter atau permisif. D. Important Categories and Relationships (kategori dan hubungan yang penting)



Kategori dan hubungan yang penting yang akan dicari di dalam penelitian ini yaitu tentang hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat pemahaman pendidikan seks, lebih khususnya akan membahas tentang perbedaan tingkat pengetahuan pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif, demokratis, dan otoriter. Statement of Limitations (Batasan pernyataan) A. Alternatives (Alternatif) Berdasarkan identifikasi dan sasaran diatas, langkah selanjutnya yang dapat dilakukan yaitu mencari alternatif pemecahan masalah, alternatif pemecahan masalah tentang minimnya pemahaman pendidikan seks pada remaja dapat diberikan oleh orang orang di lingkungan rumah dan lingkungan sekolah. Di rumah, yang memegang peran untuk mmeberikan pendidikan seks adalah orang tua. Sedangkan, di sekolah, hakikatnya semua guru harus dapat memberikan pengetahuan tentang pendidikan seks, terutama guru BK.  Bimbingan Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling (face to face) oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut konseli) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi konseli serta dapat memanfaatkan berbagai potensi yang dimiliki dan sarana yang ada, sehingga individu atau kelompok individu itu dapat memahami dirinya sendiri untuk mencapai perkembangan yang optimal, mandiri serta dapat merencanakan masa depan yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan hidu (Prayitno & Amti, 2015). Bimbingan dan Konseling dapat menjadi solusi atas pemasalahan ini, karena bimbingan dan konseling memiliki berbagai macam layanan, seperti layanan informasi tentang pendidikan seks. Layanan informasi adalah suatu pemahaman kepada individuindividu yang berkepentingan tentang berbagai hal yang diperlukan untuk menjalani suatu tugas atau kegiataan, atau untuk menentukan arah suatu tujuan atau rencana yang dikehendaki (Prayitno & Amti, 2015). Diharapkan orang tua di rumah dapat memberikan beberapa topik tentang pendidikan seks, seperti : 1. Seks dan seksualitas 2. Mengenal dan merawat organ seks (alat reproduksi) 3. Pergaulan lawan jenis (peran gender, batasan pergaulan dengan lawan jenis) 4. Pemahaman tentang hubungan seksual di luar nikah berdasarkan budaya dan agama yang dianut



Sedangkan, guru BK dapat memberikan topik tentang pendidikan seks sebagai berikut : 1. Seks dan seksualitas 2. Mengenal dan merawat organ seks (alat reproduksi) 3. Pergaulan lawan jenis (peran gender, batasan pergaulan dengan lawan jenis) B. Weaknesses (Kelemahan) Kelemahan penelitian kuantitatif komparatif antara lain : 1. tidak terdapat kontrol dari variabel bebas, 2. sulit dalam memilih faktor penyebab secara aktual, 3. faktor tunggal tidak membentuk hasil (harus ada gabungan faktor faktor lain), dll. C. What my research will do (Apa yang akan dilakukan oleh penelitian saya) Penelitian ini akan mencari perbedaan tingkat pengetahuan pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif, demokratis, dan otoriter di SMAN X Balikpapan Conclusion (Kesimpulan) A. Contributions (Kontribusi) Kontrubusi yang peneliti hendak harapkan dari penelitian ini yaitu : 1. Bagi Guru Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang perbedaan tingkat pengetahuan pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif, demokratis, dan otoriter sehingga dapat membantu pihak sekolah untuk memantau dan memperhatikan peserta didik dalam pemberian pendidikan seks di sekolah. 2. Bagi Peneliti Dengan penelitian ini peneliti dapat menambah dan meningkatkan wawasan, pengetahuan yang berkaitan dengan perbedaan tingkat pengetahuan pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif, demokratis, dan otoriter serta harapannya penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian lainnya. B. Importance (Kepentingan) Kepentingan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan pendidikan seks antara peserta didik dengan pola asuh permisif, demokratis, dan otoriter.



Daftar Pustaka : Amalia, E., Afdila, F. L., & Andriani, Y. (2018). PENGARUH PEMBERIAN PENDIDIKAN SEKSUAL TERHADAP KEJADIAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI SD NEGERI 04 BALAI RUPIH SIMALANGGANG PAYAKUMBUH TAHUN 2018. JURNAL KESEHATAN PERINTIS (Perintis’s Health Journal). https://doi.org/10.33653/jkp.v5i2.125 Andika, A. (2010). Bicara Seks Bersama Anak. Yogyakarta: PT Suka Buku. Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Pendidikan Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. B. Hurlock, E. (2010). Psikologi Perkembangan - Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga. Djufri, M. A. P., Posangi, J., & Oroh, W. (2019). HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PEMBERIAN PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK DI KELAS 5 DAN 6 SD INPRES BOYONG PANTE. E-Journal Keperawatan, Vol 7(No 1). Enggar Saraswati. (2015). Perbedaan Hasil Belajar Siswa Laki-Laki dan Perempuan dalam Mata Pelajaran Matematika Kelas III Semester 2 Materi Sudut dan Pecahan di SD Negeri Se-Desa Caturharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta. Gulo, D. (1982). Kamus Psychologi. Bandung : Penerbit Tonis. Haryono, S. E., Anggraini, H., Muntomimah, S., & Iswahyudi, D. (2018). Implemetasi Pendidikan Sex Pada Anak Usia Dini Di Sekolah. Jurnal Akses Pengabdian Indonesia, Vol 3(No 1), 24–34. HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PEMBERIAN PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK DI KELAS 5 DAN 6 SD INPRES BOYONG PANTE. (2019). JURNAL KEPERAWATAN. Jujun S. Suriasumantri. (2012). Ilmu dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan dan Karangan Tentang Hakikat Ilmu). In Yayasan Pustaka Obor Indonesia. M. Iqbal, H. H. (2001). Pokok-pokok Materi Statistik I ( Statistik Deskriptif). In Statistik deskriptif. Madani. (2003). Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Islam. Jakarta : Pustaka Zahra. Marheni, A., Krisna, I., & Afiatin, T. (2009). Sikap Terhadap Perceraian Ditinjau Dari Tingkat Pendidikan, Jenis Kelamin Dan Persepsi Pola Asuh Orang Tua. Universitas Gajah Mada.



Mulyono, B. (1996). Mengatasi Kenakalan Remaja. Yogyakarta : Yayasan Andi. Nadar, W. (2017). Persepsi Orang Tua Mengenai Pendidikan Seks Untuk Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini. Vol 1 No 2. Notoatmodjo, S. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. In Journal of Chemical Information and Modeling. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 Novianti, A. (2011). KEMATANGAN KARIR SISWA KELAS XI SMA N 10 YOGYAKARTA DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA. Universitas Negeri Yogyakarta. Pratiwi, N. (1998). Pola Asuh Anak Pada Pernikahan Beda Agama. Psikologi, Fakultas Gunadarma, Universitas Agama, Pernikahan Beda. Purwanto, E., & Kalsum, U. (2018). GAMBARAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA DI KOTA SAMARINDA TAHUN 2016. Mahakam Nursing Journal, 2(3), 126–133. Qibtiyah, A. (2006). Paradigma Pendidikan Seksualitas. Penerbit Kurnia Kalam Semesta. Rohmaniah, S. (2018). Pendidikan Seks Bagi Remaja (Perspektif Abdullah Nashih Ulwan dan Ali Akbar). UIN Sunan Kalijaga. Rostinah. (2012). GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG MUNCULNYA TANDA-TANDA SEKS SEKUNDER DI SMPN 4 SUNGGUMINASA TAHUN 2012. UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR. Sa’abah, M. U. (2001). Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam. Yogayakarta : UII Press. Sarwono, S. W. (2011). Psikologi Remaja Edisi Revisi. In Psikologi Remaja. https://doi.org/10.1108/09513551011032482.Bastian Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : CV Alfabeta. Suhartono, S. (1997). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Makassar : Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Sunarti, E. (2004). Mengasuh dengan Hati Tantangan yang Menyenangkan. PT. Elex Media Komputindo. Sunarty, K. (2016). HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DAN KEMANDIRIAN ANAK. Journal of Educational Science and Technology (EST). https://doi.org/10.26858/est.v2i3.3214 Suryadi. (2007). Cara Efektif Memahami Perilaku Anak Usia Dini. Mahkota.



Jakarta : EDSA



Syarifah, A. T. I. N., & Chamidah, A. N. (2019). Kompetensi pedagogis guru dalam pembelajaran seksual pada anak autis usia remaja di Yogyakarta. JPK (Jurnal Pendidikan Khusus). https://doi.org/10.21831/jpk.v14i2.25171 Tanjung, A. (2007). Free Sex No! Nikah Yes! (Amzah (Ed.)).



Tretsakis, M. (2003). Seks & Anak-Anak : Bagaimana Menanamkan Pemahaman Seks yang Sehat Kepada Anak-Anak. Bandung : CV. Pionir Jaya . Wibowo, A. (2012). Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban. Yogayakarta. Wibowo, & Mungin, E. (2010). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Negeri Semarang. Widyastuti, V. (2016). HUBUNGAN TINGKAT PENDAPATAN ORANG TUA DAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS X BIDANG KEAHLIAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI SMK NEGERI 1 BANTUL. Universitas Negeri Yogyakarta.