Cerpen 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Ujian Bukan Setan yang Menakutkan Bagi para murid di Sekolah, ujian seakan menjadi momok yang menakutkan. Padahal ujian hanyalah salah satu cara untuk mengukur seberapa jauh pemahaman kita dalam memahami setiap pelajaran yang sudah disampaikan. Kita pun tidak boleh salah mengartikan jika ujian itu seperti hantu yang menakutkan. Ujar Dewi kepada Dinda disela-sela makan siang mereka. “Kamu sih enak, sudah pintar dan selalu paham apa yang dijelaskan. Sementara aku, kamu tau sendirikan bagaimana?” Sergah Dinda. “Kamu juga pintar kok, sudahlah santai saja, Percaya deh sama kemapuanmu” Jawab Dewi. “Yakin saja dengan ketentuan Tuhan dan jangan lupa rajin belajar dan berdoa” Imbuh Dewi. “Tapi sumpah aku takut Banget Wi” Tenang saja, ayo kita habiskan makanannya lalu kita segera pulang” Jawab Dewi. Selang 3 hari kemudian, semua murid peserta ujian dikumpulkan untuk mendapatkan pengarahan dari Kepala Sekolah. “Anak-anakku semua, 2 hari lagi kalian akan menempuh ujian akhir. Selesaikan dengan sungguh-sungguh. Ujian ini akan menentukan apakah kalian sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu atau tidak.” “Selamat menempuh ujian dan jangan sampai terlambat. Kerjakan soal-soal dengan yakin dan sungguh-sungguh agar tiada penyesalan di kemudian hari.” Lanjut Kepala Sekolah pengarahan pun diakhiri dengan doa bersama. Hari yang ditentukan telah tiba. Semua murid mengerjakan soal ujian dengan serius. Pengawas ujian pun sibuk mengawasi murid-murid yang mengerjakan soal ujian. Aku mun mengerjakan semua soal-soal dengan sungguh sungguh. Tak lupa kupasrahkan apapun yang terjadi akhirnya nanti.  Aku pun ingat pesan kedua orang tuaku. “Nak, yakinlah usaha dan juga doa-doamu sepanjang hari tidak akan menghianati hasil. Sungguh-sungguhlah dalam mengerjakan dan pasrahkan semua hasilnya kepada Tuhan.” Akhirnya hari pengumuman pun telah tiba. Aku dan Dinda pun lulus dengan hasil yang memuaskan.



Pentingnya Pendidikan Aku merupakan seorang guru biologi di SMA. Namaku adalah Fernando atau biasa dipanggil dengan nama Nando. Di suatu siang di sekolah, murid-murid di kelasku sudah mulai bosan. Sehingga akupun mengganti topik di luar mata pelajaran. Aku pun menceritakan sedikit kisah hidupku kepada mereka. Aku sendiri bermimpi untuk bisa menjadi seorang guru karena merupakan profesi yang sangat mulia dan memiliki peran penting dalam mencerdaskan karakter anak bangsa. Begitulah cita cita yang aku tanamkan di dalam diriku. Kedua orang tuaku hanyalah seorang petani yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Masih banyak orang-orang di desa ku yang memilih untuk bekerja daripada harus repot-repot pergi ke sekolah. Karena itulah aku memiliki mimpi untuk memberikan kesadaran akan pentingnya pendidikan di desa ku. Hingga suatu waktu saat aku sudah lulus SMK, aku pun dilanda kebimbangan. Berharap untuk melanjutkan sekolah, tetapi kondisi keuangan orang tuaku tidak memungkinkan. Akhirnya dengan berat hati, aku menerima keputusan kedua orang tuaku yang tidak mengijinkan aku untuk kuliah. Akupun bekerja keras untuk dapat memenuhi kehidupan sehari-hari. Walaupun aku tidak bisa kuliah, tetapi semangat belajarku tidak pernah padam. Dari hasil pekerjaanku, uang yang kudapatkan sedikit demi sedikit aku sisihkan. Pekerjaan yang kulakukan berjalan hampir setahun. Hingga pada waktu itu ada seorang teman sekolah yang menghubungiku jika di tempatnya kuliah terdapat beasiswa. Aku pun bersemangat mendengarnya. Langsung kutemui kedua orang tuaku dan mengutarakan maksudku untuk mendaftar kuliah.  Awalnya mereka menolak karena banyak pertimbangan, terutama keuangan. Akan tetapi setelah mendiskusikannya, akhirnya mereka mengizinkanku kuliah. Akupun segera mendaftar kuliah dan melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan. Perjalanan kuliahku pun penuh dengan tantangan, terutama permasalahan ekonomi. Beasiswa yang kudapatkan pun ternyata bukan beasiswa penuh sehingga mau tidak mau aku harus bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun begitu, aku tetap bertahan agar dapat melanjutkan kuliah sampai menjadi seorang guru. Aku pun menjalaninya dengan ikhlas dan sungguh sungguh. Hingga akhirnya tanpa disangka saat wisuda, akupun dinyatakan lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Cumlaude. “Begitulah kisah hidupku dalam mencari ilmu” Ucapku kepada murid-muridku. Aku menceritakan kisah hidupku agar murid-muridku lebih termotivasi dalam belajar dan tidak ada yang putus sekolah. Agar mereka sadar akan pentingnya pendidikan di masa depan.



Terimakasih Malam itu suasana di rumah seakan begitu dingin. Semua anggota keluarga tak mengeluarkan satu patah kata pun. Bukan karena marah atau kecewa, namun karena pusing memikirkan bagaimana cara membayar iuran wisata sekolahku. Awalnya aku hanya ingin mengurangi beban kedua orang tuaku dengan memutuskan untuk tidak ikut study tour. Namun belum selesai ku ucapkan keinginanku, Ayah yang semula terdiam seribu bahasa langsung membantah. “Tidak, kamu tetap ikut! Sudah tidurlah, besok ayah bayarkan biaya study tourmu” Ku susuri ruang tengah menuju kamarku. Meski sebenarnya tak bisa tidur, ku coba memejamkan mata dan tak memikirkan apapun. Namun isak tangis ibuku yang terdengar lirih semakin membuatku tak bisa terlelap. Aku tahu betul mengapa ibuku menangis, namun ayah tetap bersikeras untuk menyuruhku mengikuti kegiatan sekolah tersebut. Dialah sosok pria yang tak pernah membiarkan buah hatinya sedih bahkan malu karena ketidak mampuannya. Kala itu malam belum terlalu larut, hingga masuk pukul 8.00 malam suara pintu terketuk memecahkan hening di rumahku. Seorang tetangga datang dengan membawa sebuah amplop coklat. “Malam pak, maaf datang malam-malam” “Tidak papa pak, silahkan masuk” sambut ayahku. Setelah keduanya berbincang santai, tetanggaku menyerahkan amplop tersebut pada ayahku. “Ini adalah uang pembayaran tanah yang beberapa bulan lalu digunakan untuk jalan desa.” Seketika ayahku terkejut. Bagaimana tidak, uang tak tak pernah ia bayangkan sebelumnya tiba-tiba diantarkan ke rumah. Ya, awalnya tanah yang seberapa itu direlakan ayah untuk menjadi jalan umum. Namun karena kebijakan desa, tanah tersebut diputuskan untuk dibeli. Seperginya tetanggaku, ibu langsung masuk ke kamarku sembari memelukku erat. Tanpa berkata panjang ia memberikan sejumlah uang untuk membayar biaya study tourku. Air mata tak bisa tertahankan dari mata kami, dan malam itu rasa syukur memenuhi hatiku.