Cerpen Jawa [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Ayu
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Bibirnya tertutup rapi, matanya menatap hampa dan wajahnya meredup. Seakan tak bergairah lagi untuk melanjutkan hidup.Habitatnya berada di pojok ruangan, dia rajin menulis, jarang keluar bangku dan jarang berinteraksi. Seolah bulpoin adalah teman terbaiknya yang bisa mengajaknya berkelana lewat tulisan. Itulah gambaran yang aku lukiskan saat pertama kali bertemu dengannya disini. Kami mengurup udara yang sama, diberi ilmu yang sama walaupun memang daya serap kami berbeda. Kepintarannya bersembunyi dari sifat pendiamnya. Aku pikir orang pendiam adalah orang yang kosong tak berisi apa-apa, ternyata tidak semua orang pendiam begitu. Sudah hampir dua minggu kami berada di tempat menimba ilmu yang sama tapi aku belum pernah bersaapa dengannya, tak banyak ku tahu tentang dia, hanya yang aku tahu dia memiliki keturunan Jawa dari Bapaknya. Ruamhnya lumayan dekat dari sini. Obrolan kami di mulai dengan memalukan. lebih teaptnya aku yang malu, yaitu ketika ada PR Kimia dan aku seorang gadis lambat yang masih belum memahami materi yang di sampaikan guruku kemarin. Tapi untungnya bukan hanya aku, mayoritas siswa di kelas ini juga begitu, dan di saat kelas mulai genting seperti ini pastilah ada seoarng pahlawan kan? Ya, dia pahlawannya. Hal yang tak patut dicontoh sebenarnya tapi hukum alam yang membuat situasi harus begini. Aku mengikuti temanku yang lain melihat hasil Pekerjaan Rumahnya. Sudah kubilang bukan kepintarannya bersembunyi dibalik sifat pendiamnya? Dengan ragu aku meminta izin terlebih dahulu bahwa aku ingin melihat hasli berfikir nya saat semalam. Dia hanya mengangguk. dan seperti biasa raut wajahnya memang msih datar, temanku termasuk aku tidak menghiraukannya, toh dari awal dia dikelas ini memang wajahnya seperti itu. Dua bulan sudah, aku mementau dirinya, dan sekarang sudah ada secercah sinar kebahagiaan di wajahnya, walau pun harus kuakui wajah berserinya hanya dia bagi dengan teman sebangkunya, yang memang tingkah nya itu selalu konyol. Mungkin ini yang dinamakan sepasang teman, yang satu pendiam dan yang satu konyol. lambat laun aku lihat dia tertawa tetapi, tertawanya hanya dia bagi untuk teman sejajar bangkunya. Apa mungkin dia memang tidak pendiam hanya aku yang lagi-lagi salah menafsirkan?. Sampai suatu hari, Titan, yaitu teman sebangkunya yang konyol itu, mengajakku untuk bergabung mengobrolkan sesuatu, tak heran Titan memang sudah akrab dengan semua penghuni kelas. Aku menarik kursiku dan bergabung, mulai mengobrol, membuat suatu kumpulan. Titan, dia bercerita jika dia sekarang sedang senang mengoleksi binatang, bukan sembarang binatang, dia sekarang sedang memelihara musang, dia beri nama Densu. Kata Titan dia meminjam uang SPP selama tiga bulan hanya untuk membeli musang itu. “Gila kamu ya, kalau ketahuan gimana?” Aku terheran dengan dia.



“Ya jangan sampai ketahuan lah, ya paling-paling di susruh tidur diluar” Aku pikir setiap siswa yang benar-benar manikmati masa SMA nya pernah melakukan hal yang dilakukan oleh Titan. Dia melanjutkan ceritanya bahwa Kakak perempuannya pernah tak mau pulang gara-gara takut Densu alias musang itu keluar dari kandang nya dan langsung membunuhnya. Dasar Titan! Dia juga bilang jika pengeluaran Densu lebih besar daripada pengeluarannya sendiri. Saking jahilnya dia di saat kami mendengarkan ceritanya, dia membawa sesuatu di kolong mejanya. “Taraaaaaaa……………….ini Densu” Ucapnya sambil tertawa. Otomastis yang merasa gender nya perempuan berteriak termasuk aku. Titan tertawa dan dia juga tertawa teman sebangkunya. Dia tertawa membuatku merasa bahwa dia harus seperti itu menjadi orang normal layaknya remaja. Segala macam umpatan keluar untuk Titan, tapi dia memang kebal, kemudian dia mulai menakuti perempuan yang ada dikelas, sampai ada yang naik ke meja segala membuat Titan semakin bersemangat melakukan tindakan jailnya. Aku tertawa, temanku yang naik meja itu hamper mennagis. Tanpa sadar aku menyaksikan kejadian itu sambil duduk di sebelahnya. Kemudian darisanalah aku benar-benar berbicara padanya. “Anak SD!” Dia tibatiba berkata seperti itu. Dan aku tersindir, tubuhku memang kecil dan wajahku bisa dibilang asih cocok jadi anak SD. Aku memukul bahunya pelan. Sejak saat itu, aku semakin akrab dengannya karena dia suka mengejekku, dan menjahiliku. “Pindah ke SD sana, kok malah kesini” Ujanya padaku. “Wajah baby face tau, dari pada wajah tua kayak kamu tuh” Saat kegiatan belajar mengajar, dia suka menimpukku dengan kertas yang di remas kecil. Ketika aku menengok dia malah seperti orang wajah tanpa berdosa. Kesal sekali, aku pun selalu membalasnya. Kejahilan lain pun terjadi, dia suka menyembunyikan pulpenku, dan aku selalu tersadar disaat aku mau menulis aku semakin kesal. Hari demi hari aku lalui dengan kejahilannya, tetapi sebenarnya bukan hanya dia yang jahil, aku pun selalu membalas kejahilannya. Pernah suatu ketika, dia menyembunyikan buku paketku, dan parahnya itu buku paket kimia, tahu kan, aku lambat sekali dalam pelajaran ini, Terlebih Guru Kimia disekolah yang killer, setengah mati aku menahan rasa takutku, ketahuan tidak bawa buku paket bisa di suruh mengerjakan soal, dia sih enak dia pasti bisa. Aku menengok ke belakang ku lihat dia menahan tertawanya dan seolah-olah sedangg memperhatikan padahal aku tahu dia ingin tertawa terpbahaj-bahak. Tetapi untugnya aku bernasib baik, aku



selamat. dan saat guru keluar, aku langsung menghampiri bangkunya. Aku jambak rambutnya yang ikal dan hitam itu. “Dasar kamu ya! kalau mau bercanda jangan kimia!” Dia merintih kesakitan tapi aku tak memperhatikannya. “Iya le, iya, ampun” Dia berucap kata itu berulang-ulang, dan aku akhirnya melepaskannya. “Lihat kan jadi acak-acakan” Aku tak menggubrisnya. Kejahilan-kejahilan lain pun selalu saja ada, mulai dari mengambil makananku saat aku sedang memakannya, sopan sekali buka?, kemudian mulai dari menjodohkanku dengan teman sekelas yang anaknya super lebay. Dia selalu saja menggodaku. Tapi bukan hanya itu saja yang aku ingat, dia juga baik, sudah ku bilang dia memang anak baik. Pelajaran Kimia lagi karena memang Kimia ini ingin sekali membuatku menangis. Guru Kimia kami, akan memberikan nilai tambah kepada siapa saja yang akan menegrjakan soal yang di PR kan. Karena aku merasa bahwa nilai kimia ku memang rendah, ini kesempatan yang baik bukan? Guru Kimia ku sedang sibuk dengan siswa yang melaporkan hasil obervasinya tugas yang dia berikan seminggu yang lalu, ketika akan mengambil buku. Sebenarnya buku ku ketinggalan, dan seperti biasa aku menyalin hasil pekerjaan dia di kertas dua lembar, karena aku ingin aman aku meminjam buku temanku lalu mengerjakan soal di papan tulis. Tapi belum sampai aku duduk tiba-tiba suara yang horror aku dengar. “Ada apa ini?” Semua hening, guru kimiaku tiba-tiba berdiri. aku buru-buru duduk tapi malah ada Titan disana, aku pun terpaksa dduk di banhku Dafa. Guru Kimiaku marah besar karena tadi tidak kondusif setiap penghuni kelas berlalu lalalang, dan menghapus jawaban yanh telah aku tulis di papan tulis ntuk mengulangnnya lagi tanpa buku, aku panik. bagaiman ini aku tidak bisa, apa yang harus aku lakukan? Dan akhirnya aku memita bantuannya. “Please ganttiin aku yang kedepan” Tanganku berseidekup kepapdanya. “Bapa bakaln tau” “Ga akan, Jo Please” Wajahku sidah memelas saat itu dan dia menatapku dalam , lalu bangkit dari kursi dan menggantikan posisiku.



Mulai dari sana tanpa sadar ada rasa yang kian dalam lagi untuknya. Hari demi ghari ku lalui dengannya, tentunya dengan kebercandaan kami yang terjalin setiap hari dikelas, hanya di ruang kelas, tak ada tekonologi, kami belum pernah melakukan kontak diluar kelas. Hari berganti bulan dan, bulan berganti tahun, dan tanpa terasa sekarng sudah akhir dari kebersamaan kami di kelas. besok kita tidak akan pernah tertawa di kelas lagi bersama, tidak akan ada kejahilan bersama, dan tidak akan bersama-sama di ruangan yang sama. Disini tak ada manusia yang bernafas lagi selain kami berdua, suasana sekarang seudah serius. “Aku akan kerja dulu” Dia memulai percakapan. “Bagus, suapaya tahu rasanya cari uang itu susah” Jawabku masih dengan nada riang seperti biasanya. “Kamu Kuliah? Aku terkekeh sbelum mejawabnya. “akan ke SD lagi aku Hahaha” “Jadi Guru SD?” “Bukan aku jadi Anak SD lagi seperti katamu”