Cerpen Qada Qodar-SalmaXII2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama



: Salma Syahidah Nurromadhona



Kelas



: XII-2



No. Absen : 31 Tugas



: PAI (Membuat Cerpen Islam Bab Qada dan Qadar)



Aku, Penyebab Rasa Syukur Beruntung sekali menjadi diriku. Setidaknya, aku tak kesepian. Setiap sejam sekali selalu ada seseorang yang mau menghampiriku dengan suka rela. Berbagai macam orang sudah kutemui. Sebagian besar dari mereka yang menghampiriku adalah yang kurang percaya akan dirinya sendiri. Tugasku disini hanya bisa memperhatikan mereka satu per satu dalam diam. Tunggu. Sepertinya ada yang mau menghampiriku sekarang. “Ibu, aku ngga mau pakai baju ini!” protes seorang anak laki-laki yang di gendong ibunya berjalan mendekatiku. Ibunya masih menggendong si anak walaupun sudah tepat berada di hadapanku. Aku bisa melihat mereka dengan sangat jelas. Mereka terlihat begitu normal. Baju anak kecil itu juga tidak ada masalah. “Udah, dong! Ibu capek, nak. Ayahmu yang salah. Dia ngga bisa belikan kita baju baru. Jadi, jangan mengadu ke ibu! Ibu juga jelek nih, pakai baju ini” kalian bisa lihat sendiri kan? Betapa kagetnya menemukan fakta seorang ibu yang berbicara seperti itu kepada anaknya. Bahkan, terkesan seperti menyuruh anak itu untuk segera membenci ayahnya. Dengan teliti, aku pandang baju anak itu. Namun, seperti yang kukatakan. Bajunya masih layak pakai. Mungkin, aku masih bisa toleransi jika mereka seorang pengemis yang berselimutkan kain peyot. Nyatanya, di depanku sekarang adalah sepasang ibu anak yang berbaju layak pakai tapi mengeluhkan hal itu. Beberapa detik setelah berbagi kesal denganku, mereka pergi. Rasanya, andai aku boleh berbicara, aku akan menujukkan kepada mereka siapa yang lebih berhak mengeluhkan kata-kata itu di depanku. Namun, apa daya. Aku hanyalah sosok yang dapat membuat mereka bercemin tanpa aku boleh melakukan apa pun. Hanya menunggu atas kesadaran mereka sendiri. Tak lama setelah ibu dan anak tadi pergi, datang pengunjung lain yang juga ingin mendatangiku. Seperti biasa, mereka diantaranya adalah



segerombolan anak remaja yang sibuk memamerkan aksesoris make up nya didepanku, ibu-ibu yang setia menggosip di depanku pula, serta satu atau dua orang yang mungkin hanya berniat menatapku. Sungguh, andai aku punya alat rekam, aku bisa tunjukkan kalian tontonan kehidupan yang epik. “Eh, lihat deh! Hidungku pesek banget” ucap salah seorang remaja dari suatu gerombolan yang mendatangiku. “Enggak masalah kok. Aku aja mancung gini malah enggak cocok di wajahku” sanggah yang lainnya. “Kalau aku sih, pengen ngawatin gigi sih. Biar enggak tongos lagi, gitu” “Ke SPA yuk! Biar enggak item kayak si Tengil” Seketika aku merinding sendiri. Aku tidak berniat menguping, hanya saja mereka yang terang-terangan bilang begitu di depanku. Sekilas, mungkin percakapan tadi terdengar wajar terlebih tokohnya adalah remaja labil yang mungkin ingin tampil cantik untuk pemuasan. Namun, saat aku renungkan dengan beberapa pertanyaan hidup dan mati, rasanya percakapaan ini perlu dipertanyakan mengapa hal seperti ini harus di pusingkan? Pada dasarnya, definisi kecantikan yang mereka jadikan patokan adalah standar kecantikan para selebritas. Karena itu, mereka berusaha mempermirip dirinya dengan makhluk Allah yang lain. Padahal, Allah sudah punya patokan kecantikan tersendiri dengan kriteria yang berbeda-beda. Namun, kenyataannya patokan kecantikan dari Sang Pencipta itu tak ada gunanya lagi di dunia liberal ini. Semua orang yang asik berkeluh-kesah di depanku tadi, kini sudah pergi tak bersisa. Setidaknya, bagiku ada ketenangan tersendiri karena tidak ada yang harus kuperhatikan. Satu jam. Dua jam. Tunggu. Buat apa aku menghitung? Tapi, disini benar-benar sepi.Tidak ada yang menghampiriku. Padahal sebelumnya, aku sangat yakin pasti setiap jam akan ada yang mendatangiku. Baiklah, aku hanya perlu menunggu beberapa saat lagi. Percaya atau tidak, siapapun yang melihatku pasti akan langsung tertarik denganku. Tak lain karena aku adalah sosok yang tepat untuk menilai diri. Dan hal itu meyakinkanku bahwa aku memang diciptakan sebagai tempat pelampiasan ketidakadilan dalam takdir seseorang. Karena begitu mereka menilai dirinya di depanku, mereka akan mereasa ada banyak kekurangan yang mereka miliki dan banyak hal baik yang tak mereka miliki. Sialnya, alih-alih menutupi kekurangan itu, mereka malah lebih nyaman untuk menyalahkan Sang Pemberi terlebih dahulu.



Tak lama kemudian, seseorang datang mendekat dari kejauhan. Mungkin dia juga ingin berkeluh kesah denganku tentang kehidupannya. Tentu aku harus mempersiapkan diri untuk itu. ia berjalan mendekat. Semakin dekat hingga aku bisa melihatnya dengan jelas. Seorang gadis. Tampak normal, hanya saja, Eh?! Dia melewatiku? Yang benar saja! Belum pernah ada seseorang yang melewatiku begitu saja terlebih dia sudah melirikku barusan. Seharusnya dia sudah tertarik denganku. “Tunggu!” cegatku kepada gadis itu. Untungnya, gadis itu berhenti dan langsung menoleh ke arahku. Seorang gadis berhijab dengan balutan gamis hitam menyelimuti sekujur tubuhya. “Ada apa?” tanyanya tamapak bingung. “Kenapa kamu tidak menghampiriku? Bukankan aku cukup menarik untuk dilihat? Apakah kamu tidak ingin protes perihal hidupmu, atau segala sesuatu tentang kekuranganmu?” jawabku yang diakhiri pertanyaan pula. “Untuk apa aku protes kepadamu? Aku rasa tidak ada yang perlu dikeluhkan. Semua pemberian ini rasanya sempurna” jelasnya, kemudian berjalan mendekat. “meskipun begitu, aku berhutang terimakasih padamu” tambahnya. “Untuk apa?” tanyaku. “ Setiap aku terbangun dari tidurku, aku langsung menghampirimu. Dan kamu selalu berhasil membuatku sadar bahwa kemarin aku terlalu banyak mengeluh atas sedikitnya kekurangan. Padahal, disamping itu aku diberikan kelebihan dan kebahagian yang berlimpah. Aku selalu menuntut akan takdirku sendiri. Parahnya, yang kukeluhkan adalah perihal sepele. Mengapa aku tidak secantik yang lain? Mengapa tubuhku tidak setinggi yang lain? Mengapa aku memiliki seorang ibu yang pemarah? Mengapa aku diberikan seorang adik yang sungguh menjengkelkan? Mengapa jodohku belum datang juga? Dan pertanyaan ketidakpuasaan hidupku yang lainnya. Namun, berkat dirimu aku bisa lebih bercermin. Memandang diri. Melihat betapa konyolnya aku berpikir rendah sedemikian rupa. Dan menyadari bahwa sebenarnya ada yang lebih pasti daripada itu semua, yaitu takdir dan jodohku akan kematian. Yang akan menghampiriku kapanpun itu tanpa perlu ku tunggu kehadirannya. Sejak itulah, aku selalu mendedikasikan apa yang kulakukan untuk menyenangkan Sang Pemberi takdir ini. Alloh. Yang masih memberiku banyak kenikmatan,



terutama hidup. Walaupun, aku sudah sering gagal dalam menangani sedikit cobaan yang diberikan. Aku tidak punya rencana lagi untuk ambil pusing menyenangkan manusia. membuat mereka menganggapku sosok yang sempurna. Karena pada hakikatnya, ukuran yang pas untuk kita ambil adalah ukuran dari Alloh. Bukan ukuran manusia yang membuat kita tak puas-puasnya dengan apa yang sudah ditakdirkan. Jadi, untuk kesekian kalinya. Terimakasih, untukmu. Cermin. Karena sudah membuatku tak kehabisna rasa syukur” Diam seribu bahasa. Benar. aku adalah sebuah cermin. Benda mati yang selalu mendengarkan keluh seseorang akan takdirnya. Namun, tak bisa ku percaya. Untuk pertama kalinya, seseorang menghampiriku untuk mengucapkan rasa syukurnya. Sehingga, disinilah aku mendapat pelajaran. Bahwa selama ini kita terlalu banyak mengeluhkan takdir yang menurut kita tidak cocok dengan kita. Dan tanpa sadar, kita sudah berdosa karena mengharapkan ukuran Sang Pencipta di ganti dengan ukuran manusia. padahal, kita memiliki takdir yang tak bisa diubah, yaitu kematian.